OLEH :
ELVARETA BAYU SAMUDRA, S.H.
NIM : 12217014
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
4.3. Akibat Hukum Terhadap Akta Notaris Yang Dibuat Oleh Notaris Secara
Melawan Hukum ..................................................................................... 51
BAB V PENUTUP
BAB I
4
PENDAHULUAN
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan ke dalam
akta mengenai apa saja yang dikehendaki para pihak dan selanjutnya menuangkan pernyataan
atau keterangan para pihak tersebut ke dalam akta Notaris. Sedangkan tulisan di bawah
tangan atau biasa disebut dengan akta di bawah tangan dibuat tidak dibuat dihadapan Notaris
dan dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang serta tanpa adanya perantara
berdasarkan ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan bahwa “akta Notaris
adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta otentik yang dimaksud adalah akta otentik
sesuai dengan rumusan Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya
disebut KUHPerdata) yaitu : “suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang
6
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.”
Akta otentik merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna. Akta
otentik memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah
(uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan
keabsahanya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang
memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul
diketahui dan didengar oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap.
Kekuatan pembuktian Materiil (materiele bewijskracht) yang merupkan kepastian tentang
materi atau isi suatu akta.
Istilah perbuatan hukum itu memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan
dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut
bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan
untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Perbedaan
perbuatan melawan hukum dan perbuatan pidana menurut Rachmat Setiawan adalah : “setiap
perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya
7
terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang
hanya menentukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap
perbuatan melawan hukum.
Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal
dalam dimensi Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis
maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi
wederrechtelijk dalam ranah Hukum Pidana dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah
Hukum Perdata diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pada bagian tentang perikatan-
perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang, yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik
dalam ranah Hukum Pidana (Publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (Privat). Sehingga
dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam
konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan
adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu
adalah untuk dikatakan sifat melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan
hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum tersebut
pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok
antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat melawan Hukum Pidana lebih
memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan
sanksinya adalah pemidanaan. Sedangkan sifat melawan Hukum Perdata lebih memberikan
perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti
kerugian (remedies). Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai perbuatan
melawan hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan
dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
Sifat melawan hukum dibagi menjadi sifat melawan hukum formal dan sifat melawan
hukum materil. Sifat melakan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik di
dalam undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat
dipidananya suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hukum materil merupakan suatu
perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang, tetapi harus
8
dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat
dihapuskan berdasarkan ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.
Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam Konteks Hukum Pidana
dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititik beratkan pada perbedaan sifat
Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Sesuai dengan
sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang
dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan
melawan hukum dalam sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi
saja.
Ditemukan pada kasus-kasus yang menjerat Notaris ke pengadilan mulai dari kasus
perdata maupun kasus pidana serta sudah ada yang dijatuhi putusan pengadilan. Adapun
yurisprudensi-yurisprudensi mengenai Notaris yg dijatuhi putusan perdata dan pidana yaitu
putusan Mahkamah Agung Nomor 1847K/Pid/2010 jucto putusan Pengadilan Negeri Medan
nomor 1673/Pid.B/2008/PN.Mdn jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor
265/PID/2009/PT.MDN yang menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada seorang
Notaris yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana
yaitu membuat akta autenteik palsu. Putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor
88/PDT/2011PT-MDN jucto Putusan Pengadilan Negeri Medan nomor
297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi kepada Notaris
atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan dan menimbulkan kerugian kepada para
pihak. Putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010 jucto putusan Pengadilan Tinggi
Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN jucto putusan Pengadilan Negeri Medan nomor
3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan
keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.
memberikan jaminan kepastian hukum kepada Notaris itu sendiri dan para pihak yang
dirugikan.
Ketentuan dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai
komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang
dibebani terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. UUJN dan UU
perubahan hanya mengatur mengenai penerapan sanksi perdata dan administrasi, dimana
kedua jenis sanksi tersebut berdiri sendiri dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama
karena penjatuhan sanksi tersebut terhadap jenis pelanggaran yang berbeda dalam ketentuan
UUJN dan UU perubahannya. Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong
penulis untuk melakukan penelitian serta menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul
“Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam
Pembuatan Akta Otentik”
Selain memuat tujuan umum, penelitian ini juga memuat tujuan khusus yang ingin
diperoleh dari penelitian ini, adapun tujuan khususnya yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisa pertanggungjawaban seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum terhadap akta otentik yang
dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik.
1.4. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga
penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan mengenai perbuatan Notaris dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan pemahaman kepada Notaris agar Notaris dalam menjalankan profesinya,
terutama dalam pembuatan akta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
manfaat lainnya yaitu memberikan pemahaman kepada para pihak tentang akibat hukum akta
yang dibuatnya dihadapan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.
1.5. Landasan Teoritis
Melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis, sebagaimana
dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran
atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas
suatu kasus ataupun permasalahan. Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum,
maka pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-
konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan
menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab
permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-
penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar penemuan
dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini
berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi.
Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau
analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah
penelitian.
11
Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada UUJN dan UU
perubahan atas UUJN. Landasan filosofis dibentuknya UUJN dan UU perubahan atas UUJN
adalah untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum
yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus
dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang
menggunakan jasa Notaris.
Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
tidak memihak atau tidak berat sebelah. Sehingga keadilan dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak memihak. Keadilan adalah salah satu
13
dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat
dilihat dalam ruang lingkup kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan
bernegara.Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini
menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Teori
keadilan Aritoteles, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam
keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah
keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan
commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan
prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.Teori
keadilan merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav
Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang konsep hukumnya adalah hukum
bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan kepastian. Teori keadilan John Rawls, berpendapat
bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social
institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan
atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,
khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Teori Keadilan Hans Kelsen, dalam bukunya
general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang
dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang
memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.
sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang
melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.
Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mencari
keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Notaris
yang telah melakukan perbuatan melawan hukumdalam pembuatan akta otentik khususnya
perbuatan Notaris yang telah dijatuhi putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap. Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal
pertanggungjawaban Notaristerhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi
para pihak yang dirugikan oleh Notaris atau bagi Notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi
masyarakat yang akan menggunakan jasa Notaris. Sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap seorang Notaris akan semakin besar dan membuat masyarakat merasa aman apabila
menggunakan jasa seorang Notaris.
Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan dan sebagainya). Dari pengertian tersebut maka tanggung jawab dapat diartikan
sebagai perbuatan bertanggungjawab (pertanggungjawaban) atas perbuatan yang telah
dilakukan.
Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan
kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini
beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan
kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini, tanggung jawab
dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan,
15
berat atau ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus
ditanggung.
Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan hukum
tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang
berlawanan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang
dibedakan atas pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban
mutlak (absolute responsibility).
Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang cukup umum
berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya pada
Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan
seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab secara hukum apabila unsur
terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai
pasal perbuatan melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi
yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya
hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu
perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal
perbuatan yang bertentangan”.
didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila
Notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris
tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Sehingga teori
pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang
dapat dibebankan kepada Notaris yang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya melakukan
perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan hukum. Teori ini untuk menjawab rumusan
masalah satu yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai
diberikan kepada Notaris dan nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang
dirugikan atas perbuatan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik.
Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, maka penelitian ini merupakan jenis
penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal yakni yang
berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book), yang beranjak dari adanya kekosongan
norma dalam ketentuan UUJN dan UU perubahan atas UUJN mengenai komulasi atau
penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan
terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ilmu hukum merupakan ilmu yang normatif.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan bagian esensial di dalam ilmu hukum.
Sehingga penelitian hukum normatif diartikan sebagai suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh tersebut,
sudah mengandung nilai.
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, adalah sebagai
berikut :
c) Internet.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah teknik
telaah kepustakaan (study document). Teknik tersebut dilakukan dengan mengumpulkan
bahan-bahan hukum yang dianggap berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian,
kemudian melakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang dikumpulkan. Dalam hal
ini peneliti mempelajari kepustakaan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban Notaris
yang melakukan perbuatan melawan hukum.
18
Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah terkumpul
untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah dilakukan
dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai berikut :
- Interpretasi gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa, adalah menafsirkan kata kata
dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Bahasa
merupakan sarana yang dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya.
Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda. Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa
sehari-hari.
- Interprestasi sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan dalam suatu
peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan. Suatu peraturan hukum tidak
berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan hukum lain. Dengan interpretasi
sistematis dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem
peraturan perundang-undangan.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Notaris
Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang
dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan
narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam
penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notarishakikatnya ialah sebagai pejabat
umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan
19
masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata,
jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan
Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat. Notaris seperti yang
dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di
Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.
Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for Paralegals and
Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys which is admitted by the court
and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys
special privileges.” Terjemahannya yaitu Notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang
diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai Notaris dan pengacara
dan sebagai Notaris ia menikmati hak-hak istimewa.
penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada
khususnya.
Menurut G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian Notaris yaitu Notaris adalah
pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh
yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin
kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Sedangkan menurut Colenbrunder, Notaris adalah pejabat yang
berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua yang dialami
dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang
yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.
karena jika seorang Notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian
yang merugikan klien bahkan akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris
tersebut. Keseksamaan bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan
seorang Notaris. Selain itu juga dalam melaksanakan jabatannya Notaris juga berkewajiban
untuk menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang diminta oleh klien,
membuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta di hadapan para pihak, dan
menerima karyawan magang di kantornya. Mengenai kewajiban Notaris ini diatur secara
lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU perubahan atas UUJN, yakni :
1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum.
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol
Notaris.
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta.
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta.
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada
alasan untuk menolaknya.
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih
dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidakdapat dimuat dalam satu buku, akta
tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan,
dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat
berharga.
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta
setiap bulan.
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang
berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap
bulan berikutnya.
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan.
23
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada
ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan.
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang
saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
n. Menerima magang calon Notaris.
2 Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali.
3 Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.
b. Akta penawaran pembayaran tunai.
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga.
d. Akta kuasa.
e. Akta keterangan kepemilikan.
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris diharapkan mampu menjamin
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
suatu pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar Notaris tidak melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan dalam UUJN.
Nilai pembuktian akta otentik merupakan salah satu langkah dalam proses beracara
dalam perkara perdata dan pidana. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau
penyangkalan dari pihak lawan atau untuk membenarkan sesuatu hak yang menjadi sengketa
adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak. Apa yang
24
tersebut mengenai isi dari akta otentik diaggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Kekuatan pembuktian sempurna, mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan
dianggap benar sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut. Beban
pembuktian perlawanan itu jatuh pada pihak lawan dari pihak yang menggunakan akta
otentik atau akta di bawah tangan tersebut.
Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari
perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar hak-hak
seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu hak-hak pribadi
(persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht), hak atas kebebasan dan hak atas
kehormatan dan nama baik. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri adalah suatu kewajiban hukum yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
adalah tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum
tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan
melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain maka pihak yang
25
menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan
melawan hukum seperti yang terkadung dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik
dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (privat). Sehingga
dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam
konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan
adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu
adalah untuk dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum
yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut pada
prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara
kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan Hukum Pidana lebih memberikan
perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah
pemidanaan. Sementara melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada
private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies).
Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut :
1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual
atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi
orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak
berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan yang
merupakan suatu kecelakaan.
26
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan
terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut
dapat dimintakan suatu ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut
yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban
trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih
tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan
oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum
melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat
dituntut oleh pihak yang dirugikan.
7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia bukansuatu fisika atau
matematika.
Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan
dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut
bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan
untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Menurut Rahmat
Setiawan perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara
seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan
27
melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum,
yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.
Jadi pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan
hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis,
yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah
hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis,
yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta
benda warga masyarakat. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ada 4 unsur
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu :
Dikatakan perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan dengan
undang-undang, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatuyang memenuhi salah satu
unsur berikut yaitu berbertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan (kehati-
hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai
orang lain atau benda.
Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.
3. Adanya kerugian
Yaitu kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya dapat
mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil,
yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang secara etimologi berarti
kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat
tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika
terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Untuk
memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui
pendidikan, penyuluhan, keteladanan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran tiap orang untuk memenuhi
kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Dengan
demikian bisa memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri,
menurut sifat dasarnya manusia adalah mahluk bermoral, tapi juga seorang pribadi. Karena
merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan dan angan-
angan sendiri, sebagai perwujudan dari itu, manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini
manusia tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lainnya, sesuai dengan
kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus
berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia disini
merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota
masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut.
Wajarlah apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat
Suatu lagi kenyataan bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga Negara suatu Negara.
Dalam berpikir, bertindak, berbuat, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau
ukuran-ukuran yang dibuat oleh Negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila
perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada Negara.
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan mengisi
kehidupannya, manusia mempunyai tanggung jawab langsung, sebab dengan mengabaikan
perintah-perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya
manusia terhadap Tuhan sebagai penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya,
manusia memerlukan pengorbanan.
2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu
pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas
pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Tanggung jawab hukum menurut KUHPerdata adalah tanggung jawab dengan unsur
kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1366 KUHPerdata dan tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1367 KUHPerdata.69 Sedangkan bentuk pertanggungjawaban dalam Hukum
Perdatadapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban kontraktual dan
pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.
Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan
melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau
tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual.
Sementara apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain,
pihak yang dirugikan dapat menggugat pihak yang merugikan untuk bertanggung jawab
dengan dasar telah melakukan perbuatan melawan hukum.
30
Konsekuensi hukum dari wanprestasinya adalah keharusan bagi salah satu pihak
untuk membayar ganti rugi. Adanya suatu wanprestasi salah satu pihak, pihak yang lainnya
dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan perjanjian. Gugatan wanpretasi
bertujuan menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian terlaksana (pay on
time).
Ganti rugi yang diberikan tersebut adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan
(expectation loss). KUHPerdata mengatur hal tersebut pada Pasal 1244, Pasal 1245 dan Pasal
1246 KUHPerdata, ganti rugi terdiri dari biaya, rugi dan bunga. Pengertian dari biaya adalah
segala pengeluaran yang nyata-nyatatelah dikeluarkan oleh kreditur akibat dari
wanprestasinya debitur. Rugi adalah kerugian yang ditanggung oleh kreditur akibat
wanprestasinya debitur. Sementara bunga adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan
oleh kreditur terhadap suatu hubungan hukum. Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual
adalah ganti rugi yang merupakan akibat langsung wanprestasi. Dengan kata lain,
adahubungan sebab akibat atau causal-verband antara kerugian yang diderita dengan
perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
BAB III
Notaris dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain apabila melakukan
perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik, menurut Meyers hak subyektif
adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum pada seseorang dimana dapat
memperolehnya demi kepentingannya. Hak subyektif terdiri dari hak kebendaan dan
absolute, hak pribadi yang meliputi hak untuk mempunyai integritas terhadap jiwa dan
kehidupan, hak atas kebendaan pribadi, hak atas kehormatan dan hak istimewa juga nama
baik.
Kesalahan Notaris dalam membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami
kerugian dapat termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat
perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum, harus ada kesalahan, dan harus ada hubungan sebab dan akibat antara
perbuatan dan kerugian. Sedangkan unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya
suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Peran Notaris disini hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang
terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut
menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan akta otentik kemudian menuangkannya ke
33
dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta
otentik tersebut. Hal ini mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta
memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada
Notarisyang bersangkutan.
Namun Notaris dapat juga dipertanggung jawabkan atas kebenaran materiil suatu akta
bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari merupakan suatu yang keliru.
Serta apabila dalam pembuatan akta tersebutternyata Notaris tidak memberikan akses
mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah
satu pihak merasa tertipu atas ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi Notaris untuk
memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang
berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga
harus diperhatikan oleh Notaris, yaitu yang berkaitan dengan perlindungan hukum Notaris itu
sendiri, dengan adanya ketidakhati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan Notaris,
sebenarnya Notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang
harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dapat
dibuktikan, maka Notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk menaati ketetapan yang
ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa
sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Sanksi merupakan alat kekuasaan yang
bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan
pada norma Hukum Administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi yaitu sebagai alat
kekuasaan, bersifat hukum publik, digunakan oleh penguasa dan sebagai reaksi terhadap
ketidakpatuhan.
mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya untuk tertib
sesuai dengan UUJN dan UU perubahan atas UUJN.
Pemberian sanksi terhadap Notaris juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan
Notaris yang dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat akta yang tidak melindungi
hak-hak para pihak. Sanksi tersebut juga untuk menjaga martabat lembaga Notaris sebagai
lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Secara individu diberikannya sanksi terhadap
Notaris merupakan suatu pertaruhan dari jabatan seorang Notaris yang menjalankan tugas
dan jabatannya, apakah dikemudian hari masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan
akta terhadap Notaris yang bersangkutan atau tidak. UUJN dan UU perubahan atas UUJN
yang mengatur jabatan Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau
merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan terhadap Notaris yang telah
melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas dan jabatannya.
Kedudukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan merupakan nilai dari sebuah pembuktian yang tidak dapat dituntut dengan ganti rugi
dalam bentuk apapun. Demikian juga dengan batalnya akta demi hukum, jika sudah batal
demi hukum maka akta tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. Jika
demikian bahwa tuntutan biaya, ganti rugi dan bunga bukan sebagai akibat seperti itu, tapi
karena ada hubungan hukum antara Notaris dan para pihak yang menghadap Notaris.
Hubungan hukum merupakan suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum.Hubungan
hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter
sebagai berikut :
a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam pemberian kuasa
untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
b. Mereka yang datang ke hadapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris mempunyai
kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam
bentuk akta otentik.
c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang berasal dari
permintaan atau keinginan para pihak sendiri.
Hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap yang telah membuat akta di
hadapan Notaris atau oleh Notaris tidak dapat dikontruksikan atau ditentukan pada awal
Notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan
apapun. Untuk menentukan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan tidak
berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, tidak mempunyai pejabat umum yang
bersangkutan, cacat dalam bentuknya atau akta Notaris dibatalkan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Kemudian hal ini dapat dijadikan dasar
untuk menggugat Notaris sebagai suatu perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain
hubungan Notaris dan para penghadap dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan
hukum, karena Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan dan akta Notaris
cacat dalam bentuknya.
Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
atau batal demi hukum, berdasarkan adanya hubungan hukum yang khas antara Notaris
dengan para penghadap dengan sebagai perbuatan melawan hukum dan ketidakcermatan,
ketidaktelitian, ketidaktepatan dalam teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN
dan UU perubahan atas UUJN serta penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam
akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan
menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya. Penjatuhan
sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap
yang amar putusannya menghukum Notaris untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada penggugat.
Sanksi punitif adalah sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan.
Sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventifyang menimbulkan
ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar lainnya.
Contohnya pembayaran denda kepada pemerintah, teguran keras. Dan sanksi regresif adalah
sanksi sebagai reaksi atas sesuatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan
menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum
keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu keputusan.
1. Eksekusi nyata adalah sanksi yang digunakan administrasi, baik dengan tidak memenuhi
kewajiban yang tercantum dalam suatu ketetapan Hukum Administrasi maupun pada
pelanggaran-pelanggaran suatu ketentuan undang-undang berbuat tanpa izin, yang terdiri dari
mengambil, menghalangi, menjalankan atau memperbaiki apa yang bertentangan dengan
ketentuan dalam peraturan yang sah, yang dibuat, disusun, dialami, dibiarkan, dirusak atau
diambil oleh pelaku.
2. Eksekusi langsung (parate executie) adalah sanksi dalam penagihan uang yang berasal dari
hubungan Hukum Administrasi.
3. Penarikan kembali suatu izin adalah sanksi yang diberikan pada pelanggaran-pelanggaran
peraturan atau syarat-syarat yang berhubungan dengan ketetapan, tetapi juga pelanggaran
peraturan perundang-undangan.
a. Paksaan pemerintah
Paksaan pemerintah sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa guna mengakhiri
suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah Hukum Administrasi atau (bila masih)
melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga Negara karena bertentangan
dengan undang-undang.
Sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan atau
ketetapan yang menguntungkan dengan mengeluarkan ketetapan baru. Sanksi seperti ini
diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang
dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-
undang yang terkait dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Dalam keadaan tertentu
sanksi seperti ini tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan,
apabila keputusan (ketetapan) berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya
dapat diakhiri atau ditarik kembali (izin, subsidi berkalas) dan tanpa adanya suatu peraturan
perundang-undangan yang tegas untuk itu, penarikan kembali tidak dapat diadakan secara
berlaku surut. Pencabutan atau penarikan yang menguntungkan merupakan suatu sanksi
situatif yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap
perbuatan yang tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan-
keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.
Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang melanggar peraturan
perundang-undangan tertentu dan kepada si pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan
wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut.
Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah hukuman yang
pasti, disamping denda yang telah disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
38
Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang
diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi administrasi adalah
sebagai langkah preventif (pengawasan) dan langkah represif (penerapan sanksi). Langkah
preventif dilakukan melalui pemeriksaan protocol Notaris secara berkala dan kemungkinan
adanya pelanggaran dalam pelaksanaan jabatan Notaris. Sedangkan langkah represif
dilakukan melalui penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah, berupa teguran lisan
dan teguran tertulis serta berhak mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberhentian
sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (Enam) bulan dan pemberhentian tidak hormat
Majelis Pengawas Pusat selanjutnya melakukan pemberhentian sementara serta berhak
mengusulkan kepada menteri berupa pemberhentian dengan tidak hormat. Kemudian Menteri
atas usulan Majelis Pengawas Pusat dapat memberhentian Notaris dengan hormat dan
pemberhentian tidak hormat.
39
Profesi Notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi,
masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan Notaris akan berkaitan dengan elemen-
elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru dari Notaris dalam menjalankan
pekerjaannya tidak hanya akan merugikan Notaris itu sendiri saja namun dapat juga
merugikan organisasi profesi, masyarakat dan Negara. Hubungan profesi Notaris dengan
masyarakat dan Negara telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan
lainnya. Sementara hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur melalui
kode etik Notaris.
a. Kejujuran
b. Otentik
c. Bertanggung jawab
d. Kemandirian moral
e. Keberanian moral.
Notaris disini sebagai pejabat umum diberikan kepercayaan yang harus berpegang
teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada kode etik
profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.
40
Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
mengenai sumpah jabatan yang tersirat sebagai berikut :
berikut : "Saya bersumpah/berjanji : Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara
Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundang-undangan
lainnya.Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri,
dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai Notaris. Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam
jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun,
tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun."
Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan
menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan
tanggung jawabnya sebagai Notaris. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki agar Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada UUJN
juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggungjawab terhadap masyarakat
yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap
Negara. Setiap Notaris yang baru diangkat harus mengucapkan sumpah yang sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN. Kode etik profesi Notaris merupakan
pedoman sikap dan tingkah laku jabatan Notaris. Kode Etik Notaris ditetapkan oleh
Organisasi Notaris sesuai dengan bunyi Pasal 83 ayat (1) UUJN yaitu Organisasi Notaris
menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
a. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat
itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena
jabatannya.
41
b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai
dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang
sebenarnya. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan
kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.
c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan
bukti sempurna.
Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris adalah perbuatan atau tindakan yang
dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain
yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang melanggar ketentuan kode etik
dan/atau disiplin organisasi. Terkait dengan sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik
Notaris atas pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan
sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin Notaris.
Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum dalam konteks
pidana atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat berupa:
1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana,
seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian.
42
2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti
pembunuhan, penganiayaan.
3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-
undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum.
2 Kesalahan (schuld).
Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum
Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UUJN, sehingga syarat pemidanaan menjadi
lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan pelanggaran kode etik atau bahkan
dibenarkan oleh UUJN, maka mungkin hal ini dapat menghapuskan sifat melawan hukum
suatu perbuatan dengan suatu alasan pembenar. Adapun pemidanaan terhadap Notaris dapat
saja dilakukan dengan batasan sebagai berikut :
a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh
kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau
oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak
pidana.
b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang
jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN.
c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai
tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.
Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris sebagai bagian dari pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan Notaris,
tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta dan
hanya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja,
menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau penafsiran terhadap kedudukan Notaris
sedangkan akta otentik yang dibuat oleh Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.
43
Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-
upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan.
Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur dalam
UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan
perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh
Notaris terhadap UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak
memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.
Terhadap Notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga
pemberhentian dengan tidak hormat.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan
tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar
larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatan-perbuatan yang tidak boleh
dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
Negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Sanksi pidana dianggap sebagai sanksi paling kuat bagi perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Notaris, karena seperti disebutkan di atas sanksi pidana merupakan
ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi perdata, administrasi atau sanksi kode
etik Notaris tidak mempan atau dianggap tidak mempan dalam menghukum atau membuat
Notaris menjadi jera untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Prosedur
penerapan sanksi pidanayaitu berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
44
kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu.
Jadi pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum adalah Notaris mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan penjatuhan
sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. Notaris dapat
dijatuhi sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana penjara atau pidana lainya yang
diatur dalam KUHP. Adapun yurisprudensi yang menunjang dalam pertanggungjawaban
seorang Notaris secara pidana yaitu putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010.
Dalam hal ini seorang Notaris bernama San Smith, SH didakwa dalam dakwaan primair yaitu
Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yaitu telah melakukan, turut
serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik
mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk
itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Dakwaan Subsidair Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak yang
dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan
palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan
oleha akta itu, dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran.
Terhadap dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya Nomor
3036/PID.B/2009/PN.Mdn, tertanggal 4 Januari 2010 yang amar lengkapnya menyatakan
bahwa terdakwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selam 1 (satu)
tahun.
Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan Penasihat
hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan nomor 82/PID/2010/PT-MDN tanggal
25 Februari 2010 bahwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik dan menjatuhkan pidana penajara selama 2 (dua) tahun.
Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para
pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap
untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar
hukum. Jika hal ini dilakukan, selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang
yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang
senantiasa melanggar hukum.
46
Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus diukur
berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-
pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang
bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut
merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih
lanjut, lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal
tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris. Ancaman sanksi yang demikian itu
dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk
dapat bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
a. Tanggung jawab Hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukankesalahan karena ingkar
janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata atau
perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata. Terhadap kesalahan tersebut telah menimbulkan kerugian pihak klien atau
pihak lain.
b. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan perbuatan hukum yang
dilarang oleh undang-undang atau melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik
karena sengaja atau lalai yang menimbulkan kerugian pihak lain.
Selain adanya tanggung jawab Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugas dan jabatannya, juga
dikenakan tanggung jawab administrasi dan tanggungjawab terhadap kode etik jabatan
Notaris. Tanggung jawab administrasi, perdata dan kode etik Notaris dengan dikenai sanksi
yang mengarah pada perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, sedangkan
pertanggungjawaban pidana yang dikenai sanksi pidana menyasar pada pelaku (orang) yang
melakukan tindakan hukum tersebut. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat
reparatoir atau korektif artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi
oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris lain. Regresif berarti segala sesuatunya
dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan
hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi adminstratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana
(secara komulatif) yang bersifat comdemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini
47
UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal
seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.
BAB IV
Pengertian akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat sebagai alat bukti yang
diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
49
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Menurut R. Subekti, akta adalah
suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu
peristiwa dan ditandatangani.
Menurut A. Kohar, akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.
Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoorddenboek”, kata
akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat. Menurut ketentuan
Pasal 1867 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan
dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan“. Berdasarkan
bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa akta terdiri atas 2 macam akta yaitu akta
otentik dan akta di bawah tangan.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu pertama akta
yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke
akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang
dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/para pihak yang namanya diterangkan
didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris
bertanggung jawab menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk
menandatangani akta itu, misalnya dalam pembuatan Akta Berita Acara Rapat Para
Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas. Apabila orang-orang yang hadir dalam rapat
telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka Notaris cukup menerangkan
di dalam akta bahwa para pemegang saham atau peserta rapat yang hadir telah meninggalkan
rapat sebelum menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap merupakan suatu akta
otentik.
Kedua, akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta
partij (partij akten). Partij akta adalah akta yang dibuat dihadapan para pejabat yang diberi
wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya komparisi yang menjelaskan
kewenangan para pihak yang menghadap Notaris untuk membuat akta.
Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah dalam akta relaas penandatanganan
akta bukanlah suatu keharusan, akta tersebut masih dikatakan sah apabila salah satu pihak
atau lebih tidak menandatangani akta tersebut selama Notaris menyebutkan alasan pihak
tersebut tidak menandatangani akta. Sedangkan dalam akta partij penandatangan oleh para
50
pihak merupakan suatu keharusan yang menyatakan bahwa memang benar yang
bersangkutan memberi keterangan dihadapan Notaris. Apabila salah satu pihak/penghadap
tidak menandatangani akta tersebut maka hal ini berarti pihak tersebut tidak menyetujui isi
perjanjian tersebut, kecuali tidak menandatangani akta tersebut dikarenakan oleh keterbatasan
fisik, misalnya dikarenakan tidak bisa baca tulis, cacat, maupun sakit maka pihak tersebut
akan membubuhkan cap jempolnya dan Notaris menerangkan alasan pembubuhan cap jempol
tersebut dalam akhir akta.
Menurut Irawan Soerodjo, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur essensialia agar
terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum dan akta yang dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.103
Pendapat di atas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik
ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya.
Akta di bawah tangan adalah akta yang cara pembuatan atau terjadinya tidak
dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi hanya oleh pihak-pihak
yang berkepentingan saja. Akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa
menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan lain-lain. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata,
jika akta di bawah tangan diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta
tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang
menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Selain itu akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para
pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.
Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa perundang-
undangan sebagai berikut :
1 Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
51
2 Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah
tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah
tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat
umum.Ciri-ciri akta dibawah tangan yaitu bentuknya yang bebas, pembuatannya tidak harus
di hadapan pejabat umum, tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal
oleh pembuatnya dan dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi
juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah
tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat
pembuktian.
Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata yaitu suatu akta otentik ialah suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Jadi syarat otentitas suatu
dokumen yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau dihadapan
pejabat umum dan pejabat tersebut harus berwenang di tempat akta dibuat. Menurut Pasal
285 Rbg, akta otentik yaitu yang dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan
bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak
tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka, hal
terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok
akta itu.
Akta otentik terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga
hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayanya pejabat tersebut, maka isi dari akta
otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Dengan kata lain dapatlah dianggap bahwa
akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai
dibuktikan sebaliknya.
Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi
pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari
pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu
peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa
yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan
Pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia
52
menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak
orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini
berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus
membuktikan.
Alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata antara lainadalah bukti
tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Menurut
G.H.S. Lumban Tobing akta Notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk, yaitu:
a. Akta yang dibuat oleh (door enn) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atauakta
pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini di antaranya akta berita acara rapat pemegang
saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta
berita acara penarikan undian.
b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten).
Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan
sebagainya.
Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu bahwa benar
para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta tersebut, tetapi juga
mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah
benar, inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, sehingga kekuatan pembuktian
akta otentik adalah sahkarena merupakan bukti sempurna bagi para pihak, ahli waris dan
orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna berarti bahwa kebenaran
dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain, sampai
dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Dan merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti
bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU
perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa Notaris ikut ambil bagian dalam
perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada
salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut
dipermasalahkan, maka Notaris dapat menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai
pembantu tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam
kualifikasi Hukum Pidana.
53
Perkara pidana dan perdata terhadap akta otentik biasanya dipermasalahkan dari aspek
formalnya yaitu mengenai pukul/waktu, tanggal, bulan dan tahun kapan para penghadap
menghadap ke hadapan Notaris, mengenai komparisi, identitas para penghadap termasuk juga
kewenangan para pihak dalam bertindak, mengenai tanda tangan para penghadap, mengenai
salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta, mengenai salinan akta ada tapi minuta
akta tidak ada, hal ini berkaitan dengan penyimpanan minuta akta yang seharusnya tertata
rapi, dan mengenai minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinanakta malah
dikeluarkan.
Hal-hal tersebut biasanya yang menjadi perhatian dalam pembuatan akta otentik oleh
Notaris, oleh karena itu Notaris harus berpedoman kepada UUJN dan UU perubahan atas
UUJN, jangan sampai melenceng jauh dari UUJN dan UU perubahan atas UUJN atau bahkan
tidak berpedoman kepada UUJN dan UU perubahan atas UUJN dalam pembuatan akta
otentik. Hal yang sangat penting diperhatikan yaitu mengenai komparisi akta, harus sesuai
apakah para pihak tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta atau
tidak.
Sedangkan bila dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan
aspek formal pembuatan akta otentik oleh Notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan
hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum :
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP)
4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayat
(1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP)
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang
dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.
Jika kemudian ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut bukan orang
yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli, tapi orang yang sebenarnya tidak pernah
menghadap Notaris, sehingga menimbulkan kerugian orang yang sebenarnya, maka dalam
hal ini Notaris tidak bisa disalahkan karena unsur kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah
54
melaksanakan tugas jabatan sesuai aturan hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa
kesalahan, dan tiada kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka Notaris
tersebut harus dilepas dari segala tuntutan.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata dan UUJN, jika ada
prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta
tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai
pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
4.3 Akibat Hukum terhadap Akta Notaris Yang Dibuat Oleh Notaris Secara Melawan
Hukum.
Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan negara di
bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta Notaris). Dalam
pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun relaas akta, Notaris
bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui
peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa
yang berlaku terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal
tersebut sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki
otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna.
Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu :
a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut dapat diperbaiki
dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang asli dan hanya salinan yang sama
dengan yang asli baru mempunyai kekuatan sama seperti akta asli.
b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat berita acara rapat
tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan rapat.
55
c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para pihak yang
menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta dianggap benar tapi ternyata kemudian
tidak benar.
Apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang berkepentingan,
maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan dan pembatalan akta Notaris
sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada akta-akta
yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan
ke pengadilan sebagai alat bukti.
Menurut George Whitecross Patton117 alat bukti tersebut dapat berupa oral (words
spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a admissible documents)
atau material (the production of a physical res other document). Alat bukti sah atau yang
diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk
keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang
mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara
pidana dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang
disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan. Dalam
kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdap alat bukti tertulis dapat berupa tulisan
yang mempunyai nilai pembuktian. Secara tertulis tersebut dapat berupa surat (secara umum)
dan surat dalam bentuk tertentu serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh
peraturan perundang-undangan.
Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata, yakni dengan
mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam persidangan dimintakan
pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak korban) maka akta Notaris tersebut dapat
dibatalkan oleh hakim perdata jika ada bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta
Notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat
dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut pembatalan akta
ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan.
hukum/perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah
adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan pembatalan
akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang
otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat hukum, maka dalam amar putusan
hakim perdata akan menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya
pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu
dibuat.
Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan
syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat
dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang
berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti
orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan
relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang
tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig
verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446
KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian
dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata.
Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak
yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak
terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa
perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat suatu persetujuan
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka
persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak
dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu
sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata),
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada
permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak
mengikat siapapun.
Kasus Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya
menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena kita
melihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 yang berisi
kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya suatu hal tertentuyang diperjanjikan
57
dan adanya suatu sebab yang halal terhadap perjanjian tersebut. Jika suatu akta menimbulkan
suatu pidana maka persyaratan perjanjian dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung
didalamnya. Para ahli hukum seperti Sudikno Mertokusuno, Mariam Darus, dan J.J. Satrio
bersepakat bahwa unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan
unsur aksidentalia.
Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua dan ketiga
disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang mutlak harus ada untuk
terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi
keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian.
Dengan kata lain, sifat esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu
tercipta (constructieve oordeel).
Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang
tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya
dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat bawaan (natuur) atau melekat pada
perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli.
Sedangkan unsur aksidentalia, artinya unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas
di dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah
menentukan tempat yang dipilih.
Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum
sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat
dibatalkan telah sejalan dengan teori kewenangan dan konsep perlindungan hukum. Seperti
dikemukakan dalam teori kewenangan, Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam
kewenangan secara atribusi, berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU perubahan atas
UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan
dan akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalakan wewenangnya telah melanggar ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi para pihak dan mengakibatkan
berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya pembatalan akta otentik tersebut oleh
pengadilan.
Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum yang
dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
58
itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum. Serta bahwa perlindungan hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum
kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan
pengertian konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat
hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa dirugikan
oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik.
Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan
menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU perubahan atas UUJN
serta akta otentik tersebut dapatdibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat
membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik
harus memuat ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan materiil) atau salah satu
unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang
kemudiandapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatanya
seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh
dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara pembuatan akta otentik agar
keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan atau akta tidak sampai dibatalkan.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dengan pokok
permasalahan yang telah dirumuskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut bahwa:
59
2. Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan
menjadi akta dibawah tangan serta akta otentik tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang
mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan
suatu akta otentik harus memuat tiga unsur yaitu lahiriah, formal dan materiil atau salah satu
unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian
dapat dibuktikan ketidakbenarannya.
5.2 Saran
1 Agar seorang Notaris dan para pihak terhindarkan dari segala resiko baik berupa sanksi
maupun pembatalan akta otentik dalam proses pembuatan akta otentik dihadapan Notaris
maka Notaris dan para pihak harus memiliki sifat kehati-hatian, lebih teliti dan memiliki
60
itikad baik dalam pembuatan akta otentik serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan
berlandaskan pada moral dan etika.
2 Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku
lembaga legislatif merekontruksi kembali pengaturan dalam UUJN dan UU perubahan atas
UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk
pertanggungjawaban seorang Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan
penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum
bagi para pihak yang dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris.