Anda di halaman 1dari 60

1

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS YANG MELAKUKAN


PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN
AKTA OTENTIK

OLEH :
ELVARETA BAYU SAMUDRA, S.H.
NIM : 12217014
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

I.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 6

I.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 6


1.3.1. Tujuan Umum .......................................................................... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ......................................................................... 7

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 7

1.4.1. Manfaat Teoritis ....................................................................... 7

1.4.2. Manfaat Praktis ........................................................................ 7

1.5. Landasan Teoritis .................................................................................... 7

1.5.1. Asas Praduga Sah ..................................................................... 8

1.5.2. Konsep Tujuan Hukum dan Konsep Perlindungan Hukum ...... 8

1.5.3. Teori Keadilan .........................................................................10

1.5.4. Teori Pertanggungjawaban ......................................................11

1.6. Metode Penelitian ................................................................................... 13

1.6.1. Jenis Penelitian ......................................................................... 13

1.6.2. Jenis Pendekatan ...................................................................... 14

1.6.3. Sumber Bahan Hukum ............................................................. 14

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ....................................... 15

1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................ 15

BAB II TUJUAN UMUM


3

2.1. Notaris .................................................................................................... 16

2.2 Perbuatan Melawan Hukum ..................................................................... 21

2.3. Pertanggungjawaban Hukum .................................................................. 25

BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MELAKUKAN PERBUATAN


MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK

3.1. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris .............................................. 29

3.1.1. Tanggung Jawab Secara Perdata .............................................. 29

3.1.2. Tanggung Jawab Secara Administrasi ...................................... 33

3.1.3. Tanggung Jawab Terhadap Kode Etik Profesi Notaris ............. 36

3.1.4. Tanggung Jawab Secara Pidana ................................................ 39

3.2. Tanggung Jawab Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum 42

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANGDIBUAT OLEH


SEORANG NOTARIS YANG MELAKUKAPERBUATAN MELAWAN
HUKUM DALAM PEMBUATANAKTA OTENTIK

4.1. Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan ................................................46

4.2. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik .......................................................48

4.3. Akibat Hukum Terhadap Akta Notaris Yang Dibuat Oleh Notaris Secara
Melawan Hukum ..................................................................................... 51

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 56

5.2. Saran ....................................................................................................... 57

BAB I
4

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada masyarakat
sepatutnya bersikap sesuai aturan yang berlaku. Ini penting karena Notaris melaksanakan
tugas jabatannya tidaklah untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan
masyarakat, serta mempunyai kewajiban untuk menjamin kebenaran dari Akta-akta yang
dibuatnya, karena itu seorang Notaris dituntut agar lebih peka, jujur, adil, dan transparan
dalam perbuatan suatu akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam
pembuatan sebuah akta otentik.
Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi, karena dengan adanya
moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya,
sehingga Notaris akan dapat menjaga martabatnya sebagai seorang pejabat umum yang
memberikan pelayanan yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Agar setiap Notaris
mempunyai pengetahuan yang cukup luas dan mendalam serta keterampilan sehingga
merupakan andalan masyarakat dalam merancang, menyusun, dan membuat berbagai akta
otentik, sehingga susunan bahasa, teknis yuridisnya rapi, baik, dan benar, karena disamping
keahlian tersebut diperlukan pula kejujuran atau ketulusan dan sifat atau pandangan yang
objektif.
Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
demi terlaksanakannya fungsi pelayanan dan tercapainya kepastian hukum dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, telah diatur dan dituangkan dalam undang-
undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (untuk selanjutnya disebut
UUJN), Undang-Undang mana telah mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (untuk selanjutnya disebut
UU Perubahan Atas UUJN). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan
undang-undang lainnya.” Notaris dikatakan sebagai pejabat umum karena Notaris diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah. Meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah, namun Notaris tidak dapat disamakan dengan Pegawai Negeri yang juga
5

diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah. Yang membedakannya adalah Notaris


merupakan pegawai pemerintah tanpa menerima gaji dari pemerintah.
Diberlakukannya UUJN dan UU perubahan atas UUJN diharapkan bahwa akta otentik
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum. UU perubahan atas UUJN telah menetapkan dalam Pasal 15 ayat (1)
tentang kewenangan seorang Notaris yaitu notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjan, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu,
dan tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu dalam Pasal 15 ayat (2) UU perubahan atas UUJN
menyatakan Notaris juga berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan di dalam buku khusus, membuat kopi
dari asli surat di bawah tangan serupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi
dengan surat aslinya , memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang. Dari
kewenangan tersebut jasa seorang Notaris kebanyakan dibutuhkan oleh masyarakat dalam hal
pembuatan akta otentik.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan ke dalam
akta mengenai apa saja yang dikehendaki para pihak dan selanjutnya menuangkan pernyataan
atau keterangan para pihak tersebut ke dalam akta Notaris. Sedangkan tulisan di bawah
tangan atau biasa disebut dengan akta di bawah tangan dibuat tidak dibuat dihadapan Notaris
dan dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang serta tanpa adanya perantara
berdasarkan ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Menurut Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan bahwa “akta Notaris
adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta otentik yang dimaksud adalah akta otentik
sesuai dengan rumusan Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya
disebut KUHPerdata) yaitu : “suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang
6

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.”

Berdasarkan pasal tersebut Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta


otentik. Terdapat dua golongan akta otentik yang dibuat oleh Notaris yaitu akta otentik yang
dibuat oleh Notaris dimana merupakan suatu akta yang dibuat oleh Notaris mengenai suatu
tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang disaksikan oleh Notaris dan akta otentik
yang dibuat dihadapan Notaris yaitu akta yang dibuat dihadapan Notaris yang memuat uraian
mengenai hal-hal yang diterapkan oleh pihak yang menghadap kepada Notaris.

Akta otentik merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna. Akta
otentik memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah
(uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan
keabsahanya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang
memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul
diketahui dan didengar oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap.
Kekuatan pembuktian Materiil (materiele bewijskracht) yang merupkan kepastian tentang
materi atau isi suatu akta.

Menentukan adanya suatu pertanggungjawaban secara perdata atau pidana yang


dilakukan oleh seorang Notaris harus dipenuhi tiga syarat, yaitu harus ada perbuatan Notaris
yang dapat dihukum yang unsur-unsurnya secara tegas dirumuskan oleh undang-undang.
Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan hukum, serta harus ada kesalahan dari
Notaris tersebut. Kesalahan atau kelalaian dalam pengertian pidana meliputi unsur-unsur
bertentangan dengan hukum dan harus ada perbuatan melawan hukum. Sehingga pada
dasarnya setiap bentuk pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris selalu mengandung
sifat melawan hukum dalam perbuatan itu.

Istilah perbuatan hukum itu memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan
dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut
bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan
untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Perbedaan
perbuatan melawan hukum dan perbuatan pidana menurut Rachmat Setiawan adalah : “setiap
perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya
7

terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang
hanya menentukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap
perbuatan melawan hukum.

Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal
dalam dimensi Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis
maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi
wederrechtelijk dalam ranah Hukum Pidana dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah
Hukum Perdata diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pada bagian tentang perikatan-
perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang, yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik
dalam ranah Hukum Pidana (Publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (Privat). Sehingga
dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam
konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan
adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu
adalah untuk dikatakan sifat melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan
hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum tersebut
pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok
antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat melawan Hukum Pidana lebih
memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan
sanksinya adalah pemidanaan. Sedangkan sifat melawan Hukum Perdata lebih memberikan
perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti
kerugian (remedies). Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai perbuatan
melawan hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan
dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.

Sifat melawan hukum dibagi menjadi sifat melawan hukum formal dan sifat melawan
hukum materil. Sifat melakan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik di
dalam undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat
dipidananya suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hukum materil merupakan suatu
perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang, tetapi harus
8

dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat
dihapuskan berdasarkan ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.

Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam Konteks Hukum Pidana
dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititik beratkan pada perbedaan sifat
Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Sesuai dengan
sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang
dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan
melawan hukum dalam sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi
saja.

Ditemukan pada kasus-kasus yang menjerat Notaris ke pengadilan mulai dari kasus
perdata maupun kasus pidana serta sudah ada yang dijatuhi putusan pengadilan. Adapun
yurisprudensi-yurisprudensi mengenai Notaris yg dijatuhi putusan perdata dan pidana yaitu
putusan Mahkamah Agung Nomor 1847K/Pid/2010 jucto putusan Pengadilan Negeri Medan
nomor 1673/Pid.B/2008/PN.Mdn jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor
265/PID/2009/PT.MDN yang menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada seorang
Notaris yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana
yaitu membuat akta autenteik palsu. Putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor
88/PDT/2011PT-MDN jucto Putusan Pengadilan Negeri Medan nomor
297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi kepada Notaris
atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan dan menimbulkan kerugian kepada para
pihak. Putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010 jucto putusan Pengadilan Tinggi
Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN jucto putusan Pengadilan Negeri Medan nomor
3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan
keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.

Berdasarkan pemaparan diatas, Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum


dalam pembuatan akta otentik wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya baik secara
pidana maupun secara perdata. Namun penerapan satu jenis sanksi dalam
pertanggungjawaban Notaris dirasa belum cukup, sehingga diperlukan komulasi atau
penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban Notaris. Dengan
demikian pertanggungjawaban seorang Notaris terhadap perbuatan yang dilakukannya dapat
9

memberikan jaminan kepastian hukum kepada Notaris itu sendiri dan para pihak yang
dirugikan.

Ketentuan dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai
komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang
dibebani terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. UUJN dan UU
perubahan hanya mengatur mengenai penerapan sanksi perdata dan administrasi, dimana
kedua jenis sanksi tersebut berdiri sendiri dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama
karena penjatuhan sanksi tersebut terhadap jenis pelanggaran yang berbeda dalam ketentuan
UUJN dan UU perubahannya. Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong
penulis untuk melakukan penelitian serta menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul
“Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam
Pembuatan Akta Otentik”

Makalah ini menekankan pada pertanggungjawaban Notaris yang melakukan


perbuatan melawan hukum serta kekosongan norma dalam UUJN, UU perubahan atas UUJN
dan dalam Kode Etik Jabatan Notaris tentang tidak dicantumkannya ketentuan mengenai
komulasi atas penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang
diberikan terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga makalah ini
adalah asli, ada unsur kebenaran dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa bentuk tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum yang melakukan
perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik?
2. Apakah akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan
tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami Ilmu Pengetahuan
khususnya dalam bidang Hukum Kenotariatan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.
1.3.2. Tujuan Khusus
10

Selain memuat tujuan umum, penelitian ini juga memuat tujuan khusus yang ingin
diperoleh dari penelitian ini, adapun tujuan khususnya yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisa pertanggungjawaban seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum terhadap akta otentik yang
dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik.
1.4. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga
penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan mengenai perbuatan Notaris dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan pemahaman kepada Notaris agar Notaris dalam menjalankan profesinya,
terutama dalam pembuatan akta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
manfaat lainnya yaitu memberikan pemahaman kepada para pihak tentang akibat hukum akta
yang dibuatnya dihadapan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.
1.5. Landasan Teoritis
Melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis, sebagaimana
dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran
atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas
suatu kasus ataupun permasalahan. Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum,
maka pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-
konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan
menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab
permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-
penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar penemuan
dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini
berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi.
Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau
analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah
penelitian.
11

Adapun asas hukum, konsep hukum dan yurisprudensi-yurisprudensi yang digunakan


sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah asas praduga sah, konsep tujuan hukum
Gustav Radbruch dan konsep perlindungan hukum. Sementara itu, teori-teori yang digunakan
yaitu teori keadilan, teori pertanggungjawaban, dan teori kewenangan.
1.5.1. Asas Praduga Sah
Perlindungan hukum terhadap produk hukum seorang Notaris dapat dilindungi
dengan adanya suatu asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoden van Rechtmatigheid
atau Presumptio Iustae Causa) adalah asas yang menganggap sah suatu produk hukum
sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang
menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka akta otentik yang dibuat oleh Notaris
harus dianggap sah dan mengikat para pihak sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan dari
aspek lahiriah, formal, dan materil akta otentik tersebut. Apabila tidak dapat dibuktikan maka
akta yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan
dengan akta tersebut. Akta ini telah diakui dalam UUJN yang tersebut dalam penjelasan
bagian umum yang menegaskan bahwa akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat
dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang
berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan di hadapan
persidangan pengadilan.
Asas ini digunakan untuk menganalisis akibat hukum terhadap akta otentik yang
dibuat oleh Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta
otentik. Dengan asas praduga sah ini akta otentik patut dikatakan sah sebelum ada yang
membuktikan akta otentik tersebut tidak sah.
1.5.2. Konsep Tujuan Hukum dan Konsep Perlindungan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan konsep tujuan hukum dan konsep perlindungan
hukum. Konsep tujuan hukum menurut Gustav Radbruch adalah hukum memiliki tujuan yang
berorientasi pada 3 hal yaitu keadilan, kemanfaatan, kepastian Hukum. Pandangan dari
Gustav Radbruch ini dikenal juga dengan teori 3 Nilai Dasar Hukum yang merupakan
rechtsidee cita hukum yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia. Penelitian hukum ini
bermaksud untuk mencapai ketiga tujuan hukum diatas dengan menerapkannya kedalam
proses pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik. Sedangkan konsep perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon
mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum bahasa Belanda dikenal
dengan sebutan “rechtbescherming”. Pengertian kata perlindungan tersebut, terdapat suatu
usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah
dilakukan.
12

Satijipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah memberikan


pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum. Sedangkan Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan
hukum meliputi dua hal yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum
represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya
pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya adalah
perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa, seperti
contohnya adalah penyelesaian sengketa di pengadilan. Perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah
untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan
perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan.

Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada UUJN dan UU
perubahan atas UUJN. Landasan filosofis dibentuknya UUJN dan UU perubahan atas UUJN
adalah untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum
yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus
dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang
menggunakan jasa Notaris.

Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian hukum serta


perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu bersifat pencegahan
terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta otentik yang dibuat dihadapannya
terkait dengan status hukum, hak, dan kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi
sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan apabila terjadi sengketa atas hak dan
kewajiban terkait. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik
dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang berkepentingan
terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau kepastian perbuatan hukum itu
dilakukan.

1.5.3. Teori Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
tidak memihak atau tidak berat sebelah. Sehingga keadilan dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak memihak. Keadilan adalah salah satu
13

dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat
dilihat dalam ruang lingkup kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan
bernegara.Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini
menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Teori
keadilan Aritoteles, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam
keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah
keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan
commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan
prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.Teori
keadilan merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav
Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang konsep hukumnya adalah hukum
bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan kepastian. Teori keadilan John Rawls, berpendapat
bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social
institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan
atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,
khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Teori Keadilan Hans Kelsen, dalam bukunya
general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang
dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang
memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat


subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan
kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak
mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu,
yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut
dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan
manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan
pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-
faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.

Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-pendapat tentang


apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian adil. Adil ialah meletakan
sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang
dan memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara
14

sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang
melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.

Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mencari
keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Notaris
yang telah melakukan perbuatan melawan hukumdalam pembuatan akta otentik khususnya
perbuatan Notaris yang telah dijatuhi putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap. Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal
pertanggungjawaban Notaristerhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi
para pihak yang dirugikan oleh Notaris atau bagi Notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi
masyarakat yang akan menggunakan jasa Notaris. Sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap seorang Notaris akan semakin besar dan membuat masyarakat merasa aman apabila
menggunakan jasa seorang Notaris.

1.5.4. Teori Pertanggungjawaban

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan dan sebagainya). Dari pengertian tersebut maka tanggung jawab dapat diartikan
sebagai perbuatan bertanggungjawab (pertanggungjawaban) atas perbuatan yang telah
dilakukan.

Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig terdapat dua


teori yang melandasinya, yaitu:

a. Teori fautes personalles

Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan
kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini
beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services

Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan
kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini, tanggung jawab
dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan,
15

berat atau ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus
ditanggung.

Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan hukum
tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang
berlawanan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang
dibedakan atas pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban
mutlak (absolute responsibility).

Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang cukup umum
berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya pada
Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan
seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab secara hukum apabila unsur
terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai
pasal perbuatan melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi
yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya
hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung jawab mutlak


adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan
hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu
mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung
jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu pelaku tidak
melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-
hatian atau ketidakpatutan. Karena itu, tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan
tanggung jawab tanpa kesalahan. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung

jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu
perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal
perbuatan yang bertentangan”.

Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang penulis


angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat
umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta sesuai dengan ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,tetapi tidak dipungkiri di dalam
menjalankan tugasnya tersebut seorang Notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan
16

didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila
Notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris
tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Sehingga teori
pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang
dapat dibebankan kepada Notaris yang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya melakukan
perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan hukum. Teori ini untuk menjawab rumusan
masalah satu yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai
diberikan kepada Notaris dan nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang
dirugikan atas perbuatan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, maka penelitian ini merupakan jenis
penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal yakni yang
berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book), yang beranjak dari adanya kekosongan
norma dalam ketentuan UUJN dan UU perubahan atas UUJN mengenai komulasi atau
penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan
terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, ilmu hukum merupakan ilmu yang normatif.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan bagian esensial di dalam ilmu hukum.
Sehingga penelitian hukum normatif diartikan sebagai suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh tersebut,
sudah mengandung nilai.

Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang


mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan
pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa
hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau pelaksanaan.

1.6.2 Jenis Pendekatan


17

Pendekatan yang dipergunakan dalam tesis ini adalah pendekatan perundang-


undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach). Pendekatan
perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Sedangkan
pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, adalah sebagai
berikut :

1. Bahan Hukum Primer terdiri atas :


a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
e) Kode Etik Notaris.
2. Bahan Hukum Sekunder terdiri atas:
a) Buku-buku hukum (text book).
b) Jurnal-jurnal hukum.
c) Karya tulis hukum yang termuat dalam media massa.
3. Bahan Hukum Tertier terdiri atas:
a) Kamus hukum.
b) Ensiklopedi hukum.

c) Internet.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah teknik
telaah kepustakaan (study document). Teknik tersebut dilakukan dengan mengumpulkan
bahan-bahan hukum yang dianggap berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian,
kemudian melakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang dikumpulkan. Dalam hal
ini peneliti mempelajari kepustakaan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban Notaris
yang melakukan perbuatan melawan hukum.
18

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah terkumpul
untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah dilakukan
dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai berikut :

1. Teknik deskriptif merupakan langkah pertama yang dipergunakan dalam menganalisa,


karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik interpretasi (penafsiran) menurut Sudikno Mertokusumo merupakan salah satu


metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-
undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada
peristiwa hukum tertentu. Teknik interprestasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
interpretasi gramatikal (tata bahasa) dan interpretasi sistematis.

- Interpretasi gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa, adalah menafsirkan kata kata
dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Bahasa
merupakan sarana yang dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya.
Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda. Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa
sehari-hari.

- Interprestasi sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan dalam suatu
peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan. Suatu peraturan hukum tidak
berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan hukum lain. Dengan interpretasi
sistematis dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem
peraturan perundang-undangan.

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Notaris

Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang
dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan
narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam
penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notarishakikatnya ialah sebagai pejabat
umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan
19

masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata,
jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan
Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat. Notaris seperti yang
dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di
Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.

Pengertian Notaris dalam ketentuan Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in


Indonesia, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang harus mengetahui seluruh
perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta
dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan
pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan
mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah
berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia)
untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan
sebagainya.

Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for Paralegals and
Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys which is admitted by the court
and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys
special privileges.” Terjemahannya yaitu Notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang
diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai Notaris dan pengacara
dan sebagai Notaris ia menikmati hak-hak istimewa.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untukmembuat akta


otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse,
salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Mendasarkan pada
nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan
kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan
yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat
pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam
20

penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada
khususnya.

Menurut G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian Notaris yaitu Notaris adalah
pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh
yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin
kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Sedangkan menurut Colenbrunder, Notaris adalah pejabat yang
berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua yang dialami
dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang
yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.

Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya.” Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan
publik yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN merupakan
unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam
bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang
berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan
suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan
merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk
keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai
suatu lingkungan pekerjaan tetap.

Karakteristik kedua Notaris mempunyai kewenangan tertentu, artinya setiap


wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar
jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya.
Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang
yang telah ditentukan, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.
Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan
atas UUJN.
21

Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam Pasal 2 UUJN


menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini
menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UU perubahan atas UUJN). Notaris
meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti
Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, yaitu pemerintah. Dengan
demikian, Notaris dalam menjalankan jabatannya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak
memihak siapa pun (impartial), tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang
berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak
yangmengangkatnya atau oleh pihak lain.

Kewenangan Notaris sebagai penjabaran dari Pasal 1 angka 1 UU perubahan atas


UUJN terdapat dalam Pasal 15 UU perubahan atas UUJN yang tersirat sebagai berikut :

1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.

2) Notaris berwenang pula :


a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus.
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
g. Membuat akta risalah lelang.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturanperundang-undangan.

Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajiban-kewajiban yang


sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU perubahan atas UUJN. Seorang Notaris
wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan hal yang penting
22

karena jika seorang Notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian
yang merugikan klien bahkan akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris
tersebut. Keseksamaan bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan
seorang Notaris. Selain itu juga dalam melaksanakan jabatannya Notaris juga berkewajiban
untuk menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang diminta oleh klien,
membuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta di hadapan para pihak, dan
menerima karyawan magang di kantornya. Mengenai kewajiban Notaris ini diatur secara
lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU perubahan atas UUJN, yakni :
1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum.
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol
Notaris.
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta.
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta.
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada
alasan untuk menolaknya.
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih
dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidakdapat dimuat dalam satu buku, akta
tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan,
dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat
berharga.
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta
setiap bulan.
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang
berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap
bulan berikutnya.
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan.
23

l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada
ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan.
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang
saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
n. Menerima magang calon Notaris.
2 Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali.
3 Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.
b. Akta penawaran pembayaran tunai.
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga.
d. Akta kuasa.
e. Akta keterangan kepemilikan.
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris diharapkan mampu menjamin
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
suatu pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar Notaris tidak melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan dalam UUJN.

Menurut R. Soegondo mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta otentik,


seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang
advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk
membuat akta otentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum.
Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia
bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk
membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh
undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-
akta itu.

Nilai pembuktian akta otentik merupakan salah satu langkah dalam proses beracara
dalam perkara perdata dan pidana. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau
penyangkalan dari pihak lawan atau untuk membenarkan sesuatu hak yang menjadi sengketa
adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak. Apa yang
24

tersebut mengenai isi dari akta otentik diaggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Kekuatan pembuktian sempurna, mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan
dianggap benar sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut. Beban
pembuktian perlawanan itu jatuh pada pihak lawan dari pihak yang menggunakan akta
otentik atau akta di bawah tangan tersebut.

2.2 Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya diartikan secara


sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena
undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat
dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum,
suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut
adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan
dalam pergaulan masyarakat.

Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari
perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:

1 Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.


2 Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
3 Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
4 Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik.

Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar hak-hak
seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu hak-hak pribadi
(persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht), hak atas kebebasan dan hak atas
kehormatan dan nama baik. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri adalah suatu kewajiban hukum yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
adalah tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum
tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan
melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain maka pihak yang
25

menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan
melawan hukum seperti yang terkadung dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik
dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (privat). Sehingga
dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam
konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan
adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu
adalah untuk dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum
yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut pada
prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara
kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan Hukum Pidana lebih memberikan
perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah
pemidanaan. Sementara melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada
private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies).

Sementara menurut M.A. Moegni Djojodordjo, Mariam Darus Badrulzaman, Sri


Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan, menerjemahkannya menjadi
perbuatan melawan hukum. Penterjemahan onrechtmatige daad sebagai perbuatan melawan
hukum lebih tepat dibandingkan perbuatan melanggar hukum. Pertama, dalam kata melawan
melekat sifat aktif dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya
dibandingkan dengan kata melanggar. Maksudnya adalah bahwa dalam kata melawan dapat
mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata
melanggar cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja.

Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut :

1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual
atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.

2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi
orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak
berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan yang
merupakan suatu kecelakaan.
26

3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan
terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut
dapat dimintakan suatu ganti rugi.

4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut
yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban
trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.

5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih
tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan
oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.

6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum
melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat
dituntut oleh pihak yang dirugikan.

7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia bukansuatu fisika atau
matematika.

Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatanmelukai (injury)


daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract). Apalagi perbuatan melawan
hukum umumnya tidak didasari dengan adanya hubungan hukum kontraktual. Menurut Pasal
1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah
perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari
perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan melawan hukum karena kesengajaan, perbuatan
melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian) dan perbuatan
melawan hukum karena kelalaian.

Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan
dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut
bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan
untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Menurut Rahmat
Setiawan perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara
seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan
27

melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum,
yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.

Jadi pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan
hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis,
yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah
hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis,
yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta
benda warga masyarakat. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ada 4 unsur
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu :

1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum

Dikatakan perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan dengan
undang-undang, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatuyang memenuhi salah satu
unsur berikut yaitu berbertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan (kehati-
hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai
orang lain atau benda.

2. Adanya unsur kesalahan

Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.

3. Adanya kerugian

Yaitu kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya dapat
mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil,
yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

4. Adanya hubungan sebab akibat

Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan.

2.3 Pertanggungjawaban Hukum


28

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang secara etimologi berarti
kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat
tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika
terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Untuk
memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui
pendidikan, penyuluhan, keteladanan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Atas dasar ini, dikenal beberapa jenis tanggung jawab, yaitu :

1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri

Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran tiap orang untuk memenuhi
kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Dengan
demikian bisa memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri,
menurut sifat dasarnya manusia adalah mahluk bermoral, tapi juga seorang pribadi. Karena
merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan dan angan-
angan sendiri, sebagai perwujudan dari itu, manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini
manusia tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan baik disengaja maupun tidak disengaja.

2. Tanggung jawab terhadap masyarakat

Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lainnya, sesuai dengan
kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus
berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia disini
merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota
masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut.
Wajarlah apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat

3. Tanggung jawab kepada bangsa dan Negara

Suatu lagi kenyataan bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga Negara suatu Negara.
Dalam berpikir, bertindak, berbuat, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau
ukuran-ukuran yang dibuat oleh Negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila
perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada Negara.

4. Tanggung jawab terhadap Tuhan


29

Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan mengisi
kehidupannya, manusia mempunyai tanggung jawab langsung, sebab dengan mengabaikan
perintah-perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya
manusia terhadap Tuhan sebagai penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya,
manusia memerlukan pengorbanan.

Menurut Hans Kelsen dalam bukunya membagi pertanggungjawaban menjadi empat


macam yaitu:

1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap


pelanggaran yang dilakukannya sendiri.

2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu
pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu


bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan
dengan tujuan menimbulkan kerugian.

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas
pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Tanggung jawab hukum menurut KUHPerdata adalah tanggung jawab dengan unsur
kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1366 KUHPerdata dan tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1367 KUHPerdata.69 Sedangkan bentuk pertanggungjawaban dalam Hukum
Perdatadapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban kontraktual dan
pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.
Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan
melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau
tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual.
Sementara apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain,
pihak yang dirugikan dapat menggugat pihak yang merugikan untuk bertanggung jawab
dengan dasar telah melakukan perbuatan melawan hukum.
30

Tanggung jawab kontraktual didasarkan adanya hubungan kontraktual. Hubungan


kontraktual adalah hubungan hukum yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum,
yaitu menimbulkan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam perjanjian. Apabila salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dan karenanya menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, pihak yang dirugikan tersebut dapat mengugat dengan dalil wanprestasi.
Pengertian umum tentang wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena kelalaian
salah satu pihak. Bentuk dari kelalaian tersebut dapat berupa sama sekali tidak melaksanakan
prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau keliru dalam melaksanakan prestasi.

Konsekuensi hukum dari wanprestasinya adalah keharusan bagi salah satu pihak
untuk membayar ganti rugi. Adanya suatu wanprestasi salah satu pihak, pihak yang lainnya
dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan perjanjian. Gugatan wanpretasi
bertujuan menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian terlaksana (pay on
time).

Ganti rugi yang diberikan tersebut adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan
(expectation loss). KUHPerdata mengatur hal tersebut pada Pasal 1244, Pasal 1245 dan Pasal
1246 KUHPerdata, ganti rugi terdiri dari biaya, rugi dan bunga. Pengertian dari biaya adalah
segala pengeluaran yang nyata-nyatatelah dikeluarkan oleh kreditur akibat dari
wanprestasinya debitur. Rugi adalah kerugian yang ditanggung oleh kreditur akibat
wanprestasinya debitur. Sementara bunga adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan
oleh kreditur terhadap suatu hubungan hukum. Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual
adalah ganti rugi yang merupakan akibat langsung wanprestasi. Dengan kata lain,
adahubungan sebab akibat atau causal-verband antara kerugian yang diderita dengan
perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi.

Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir untuk melindungi hak-hak


seseorang. Hukum dalam perbuatan melawan hukum menggariskan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan baik kesalahan atau kelalaian atau melukai
orang lain dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perbuatan melawan
hukum di Indonesia secara normatif merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal
1365 KUHPerdata ini menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan
tersebut untuk mengganti kerugian.
31

BAB III

TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MELAKUKANPERBUATAN MELAWAN


HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK

3.1. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris


32

3.1.1. Tanggung Jawab secara Perdata


Tanggung jawab secara perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan
hukum, dalam hal ini menyangkut mengenai tanggung jawab terhadap akta yang dibuat oleh
Notaris secara melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris disini
dalam diartikan dalam sifat aktif maupun sifat pasif. Artian aktif yaitu Notaris melakukan
perbuatan yangmenimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan dalam artian pasif, Notaris
tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita
kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya suatu perbuatan yang
diilakukan secara melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar
undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan
menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan tersebut melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku,
bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan
kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Notaris dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain apabila melakukan
perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik, menurut Meyers hak subyektif
adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum pada seseorang dimana dapat
memperolehnya demi kepentingannya. Hak subyektif terdiri dari hak kebendaan dan
absolute, hak pribadi yang meliputi hak untuk mempunyai integritas terhadap jiwa dan
kehidupan, hak atas kebendaan pribadi, hak atas kehormatan dan hak istimewa juga nama
baik.

Kesalahan Notaris dalam membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami
kerugian dapat termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat
perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum, harus ada kesalahan, dan harus ada hubungan sebab dan akibat antara
perbuatan dan kerugian. Sedangkan unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya
suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.

Peran Notaris disini hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang
terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut
menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan akta otentik kemudian menuangkannya ke
33

dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta
otentik tersebut. Hal ini mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta
memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada
Notarisyang bersangkutan.

Namun Notaris dapat juga dipertanggung jawabkan atas kebenaran materiil suatu akta
bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari merupakan suatu yang keliru.
Serta apabila dalam pembuatan akta tersebutternyata Notaris tidak memberikan akses
mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah
satu pihak merasa tertipu atas ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi Notaris untuk
memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang

berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga
harus diperhatikan oleh Notaris, yaitu yang berkaitan dengan perlindungan hukum Notaris itu
sendiri, dengan adanya ketidakhati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan Notaris,
sebenarnya Notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang
harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dapat
dibuktikan, maka Notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah
ditentukan oleh undang-undang.

Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk menaati ketetapan yang
ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa
sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Sanksi merupakan alat kekuasaan yang
bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan
pada norma Hukum Administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi yaitu sebagai alat
kekuasaan, bersifat hukum publik, digunakan oleh penguasa dan sebagai reaksi terhadap
ketidakpatuhan.

Hakekatnya sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk


memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang
dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan untuk
mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum. Sanksi yang ditujukan
terhadap Notaris juga merupakan penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas dan
jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan jabatan
Notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN, serta untuk
34

mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya untuk tertib
sesuai dengan UUJN dan UU perubahan atas UUJN.

Pemberian sanksi terhadap Notaris juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan
Notaris yang dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat akta yang tidak melindungi
hak-hak para pihak. Sanksi tersebut juga untuk menjaga martabat lembaga Notaris sebagai
lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Secara individu diberikannya sanksi terhadap
Notaris merupakan suatu pertaruhan dari jabatan seorang Notaris yang menjalankan tugas
dan jabatannya, apakah dikemudian hari masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan
akta terhadap Notaris yang bersangkutan atau tidak. UUJN dan UU perubahan atas UUJN
yang mengatur jabatan Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau
merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan terhadap Notaris yang telah
melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas dan jabatannya.

Kedudukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan merupakan nilai dari sebuah pembuktian yang tidak dapat dituntut dengan ganti rugi
dalam bentuk apapun. Demikian juga dengan batalnya akta demi hukum, jika sudah batal
demi hukum maka akta tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. Jika
demikian bahwa tuntutan biaya, ganti rugi dan bunga bukan sebagai akibat seperti itu, tapi
karena ada hubungan hukum antara Notaris dan para pihak yang menghadap Notaris.
Hubungan hukum merupakan suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum.Hubungan
hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter
sebagai berikut :

a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam pemberian kuasa
untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

b. Mereka yang datang ke hadapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris mempunyai
kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam
bentuk akta otentik.

c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang berasal dari
permintaan atau keinginan para pihak sendiri.

d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.


35

Hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap yang telah membuat akta di
hadapan Notaris atau oleh Notaris tidak dapat dikontruksikan atau ditentukan pada awal
Notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan
apapun. Untuk menentukan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan tidak
berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, tidak mempunyai pejabat umum yang
bersangkutan, cacat dalam bentuknya atau akta Notaris dibatalkan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Kemudian hal ini dapat dijadikan dasar
untuk menggugat Notaris sebagai suatu perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain
hubungan Notaris dan para penghadap dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan
hukum, karena Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan dan akta Notaris
cacat dalam bentuknya.

Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
atau batal demi hukum, berdasarkan adanya hubungan hukum yang khas antara Notaris
dengan para penghadap dengan sebagai perbuatan melawan hukum dan ketidakcermatan,
ketidaktelitian, ketidaktepatan dalam teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN
dan UU perubahan atas UUJN serta penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam
akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan
menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya. Penjatuhan
sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap
yang amar putusannya menghukum Notaris untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada penggugat.

Kesimpulan dari pertanggungjawaban secara perdata seorang Notaris yang melakukan


perbuatan melawan hukum adalah Notaris wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya
dengan dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Namun sebelum
Notaris dijatuhi sanksi perdata maka Notaris terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa
telah adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum Notaris terhadap
para pihak, dan antara kerugian yang diderita dan perbuatan melawan hukum dari Notaris
terdapat hubungan kausal, serta perbuatan melawan hukum atau kelalaian tersebut
disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.
36

3.1.2. Tanggung Jawab secara Administrasi

Tanggung Jawab secara administrasi terhadap seorang Notaris yang melakukan


perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik dapat dijatuhi sanksi administrasi.
Secara garis besar sanksi administrasi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu sanksi
reparatif adalah sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum.
Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan sikap/tindakan sehingga
tercapainya keadaan semula yang ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan
dengan aturan. Contohnya paksaan untuk berbuat sesuatu untuk pemerintah dan pembayaran
uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman.

Sanksi punitif adalah sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan.
Sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventifyang menimbulkan
ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar lainnya.
Contohnya pembayaran denda kepada pemerintah, teguran keras. Dan sanksi regresif adalah
sanksi sebagai reaksi atas sesuatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan
menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum
keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu keputusan.

Beberapa kepustakaan Hukum Administrasi dikenal beberapa jenis sanksi


administrasi antara lain :

1. Eksekusi nyata adalah sanksi yang digunakan administrasi, baik dengan tidak memenuhi
kewajiban yang tercantum dalam suatu ketetapan Hukum Administrasi maupun pada
pelanggaran-pelanggaran suatu ketentuan undang-undang berbuat tanpa izin, yang terdiri dari
mengambil, menghalangi, menjalankan atau memperbaiki apa yang bertentangan dengan
ketentuan dalam peraturan yang sah, yang dibuat, disusun, dialami, dibiarkan, dirusak atau
diambil oleh pelaku.

2. Eksekusi langsung (parate executie) adalah sanksi dalam penagihan uang yang berasal dari
hubungan Hukum Administrasi.

3. Penarikan kembali suatu izin adalah sanksi yang diberikan pada pelanggaran-pelanggaran
peraturan atau syarat-syarat yang berhubungan dengan ketetapan, tetapi juga pelanggaran
peraturan perundang-undangan.

Menurut Philipus M Hadjon dan H. D. Van Wijk/ Willem Konijnenbelt77 sanksi


37

administrasi meliputi sebagai berikut :

a. Paksaan pemerintah

Paksaan pemerintah sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa guna mengakhiri
suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah Hukum Administrasi atau (bila masih)
melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga Negara karena bertentangan
dengan undang-undang.

b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi)

Sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan atau
ketetapan yang menguntungkan dengan mengeluarkan ketetapan baru. Sanksi seperti ini
diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang
dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-
undang yang terkait dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Dalam keadaan tertentu
sanksi seperti ini tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan,
apabila keputusan (ketetapan) berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya
dapat diakhiri atau ditarik kembali (izin, subsidi berkalas) dan tanpa adanya suatu peraturan
perundang-undangan yang tegas untuk itu, penarikan kembali tidak dapat diadakan secara
berlaku surut. Pencabutan atau penarikan yang menguntungkan merupakan suatu sanksi
situatif yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap
perbuatan yang tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan-
keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.

c. Pengenaan denda administratif

Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang melanggar peraturan
perundang-undangan tertentu dan kepada si pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan
wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut.

d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah

Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah hukuman yang
pasti, disamping denda yang telah disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
38

Sanksi Notaris karena melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam


pasal pasal dalam UU perubahan atas UUJN merupakan sanksi internal yaitu sanksi terhadap
Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya tidak melaksanakan serangkaian tindakan
tertib pelaksanaan tugas dan jabatan kerja Notaris yang harus dilakukan untuk kepentingan
Notaris sendiri. Sanksi terhadap Notaris berupa pemberhentian sementara dari jabatannya
merupakan tahap berikutnya setelah penjatuhan sanksi teguran lisan dan teguran secara
tertulis.
Kedudukan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris atau skorsing
merupakan masa menunggu pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Sanksi pemberentian
sementara Notaris dari jabatannya, dimaksudkan agar Notaris tidak melaksanakan tugas dan
jabatannya untuk sementara waktu,sebelum sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian tidak hormat dijatuhi kepada Notaris. Pemberian sanksi pemberhentian
sementara ini berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk menjalankan tugas dan
jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan sanksi pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian tidak hormat.

Sanksi pemberhentian sementara dari jabatan Notaris merupakan sanksi paksaan


nyata sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak
hormat termasuk ke dalam jenis sanksi pencabutan keputusan yang menguntungkan. Dengan
demikian ketentuan pasal-pasal UU perubahan atas UUJN yang dapat dikategorikan sebagai
sanksi administrasi yaitu pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian tidak hormat.

Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang
diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi administrasi adalah
sebagai langkah preventif (pengawasan) dan langkah represif (penerapan sanksi). Langkah
preventif dilakukan melalui pemeriksaan protocol Notaris secara berkala dan kemungkinan
adanya pelanggaran dalam pelaksanaan jabatan Notaris. Sedangkan langkah represif
dilakukan melalui penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah, berupa teguran lisan
dan teguran tertulis serta berhak mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberhentian
sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (Enam) bulan dan pemberhentian tidak hormat
Majelis Pengawas Pusat selanjutnya melakukan pemberhentian sementara serta berhak
mengusulkan kepada menteri berupa pemberhentian dengan tidak hormat. Kemudian Menteri
atas usulan Majelis Pengawas Pusat dapat memberhentian Notaris dengan hormat dan
pemberhentian tidak hormat.
39

Kesimpulan pertanggungjawaban secara administrasi terhadap seorang Notaris adalah


Notaris dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pemberhentian sementara, pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Notaris yang melakukan
perbuatan melawan hukum.

3.1.3 Tanggung Jawab terhadap Kode Etik Profesi Notaris

Seorang Notaris yang melakukan profesinya harus berperilaku profesional,


berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan Notaris dan berkewajiban
menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan nama baik korps atau
organisasi. Sebagai profesi Notaris, ia bertanggungjawab terhadap profesi yang dilakukannya,
dalam hal ini kode etik profesi.

Profesi Notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi,
masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan Notaris akan berkaitan dengan elemen-
elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru dari Notaris dalam menjalankan
pekerjaannya tidak hanya akan merugikan Notaris itu sendiri saja namun dapat juga
merugikan organisasi profesi, masyarakat dan Negara. Hubungan profesi Notaris dengan
masyarakat dan Negara telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan
lainnya. Sementara hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur melalui
kode etik Notaris.

Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai profesi


terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu sebagai berikut :

a. Kejujuran

b. Otentik

c. Bertanggung jawab

d. Kemandirian moral

e. Keberanian moral.

Notaris disini sebagai pejabat umum diberikan kepercayaan yang harus berpegang
teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada kode etik
profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.
40

Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
mengenai sumpah jabatan yang tersirat sebagai berikut :

1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut


agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai

berikut : "Saya bersumpah/berjanji : Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara
Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundang-undangan
lainnya.Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri,
dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai Notaris. Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam
jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun,
tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun."

Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan
menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan
tanggung jawabnya sebagai Notaris. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki agar Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada UUJN
juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggungjawab terhadap masyarakat
yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap
Negara. Setiap Notaris yang baru diangkat harus mengucapkan sumpah yang sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN. Kode etik profesi Notaris merupakan
pedoman sikap dan tingkah laku jabatan Notaris. Kode Etik Notaris ditetapkan oleh
Organisasi Notaris sesuai dengan bunyi Pasal 83 ayat (1) UUJN yaitu Organisasi Notaris
menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.

Menurut Abdulkadir Muhammad, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus


seperti sebagai berikut :

a. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat
itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena
jabatannya.
41

b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai
dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang
sebenarnya. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan
kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.

c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan
bukti sempurna.

Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris adalah perbuatan atau tindakan yang
dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain
yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang melanggar ketentuan kode etik
dan/atau disiplin organisasi. Terkait dengan sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik
Notaris atas pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan
sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin Notaris.

Menurut ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dinyatakan, bahwa pengawasan


terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk
Majelis Pengawas. Pengawasan tersebut meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan
Notaris. Dengan demikian, Majelis Pengawas, menggunakan Kode Etik yang telah dibuat
oleh Ikatan NotarisIndonesia (INI), sebagai bahan pengawasan terhadap Notaris. Majelis
Pengawas akan mengambil tindakan apabila ada pengaduan dari masyarakat mengenai
perilaku Notaris yang menyimpang. Kesimpulan pertanggungjawaban Notaris terhadap Kode
etik Notaris adalah seorang Notaris dijatuhi sanksi kode etik berupa teguran, peringatan,
schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari
keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan.

3.1.4. Tanggung Jawab secara Pidana

Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum dalam konteks
pidana atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat berupa:

1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana,
seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian.
42

2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti
pembunuhan, penganiayaan.

3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-
undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum.

b. Unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia.

c. Unsur subjektif dapat berupa :

1 Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid).

2 Kesalahan (schuld).

Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum
Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UUJN, sehingga syarat pemidanaan menjadi
lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan pelanggaran kode etik atau bahkan
dibenarkan oleh UUJN, maka mungkin hal ini dapat menghapuskan sifat melawan hukum
suatu perbuatan dengan suatu alasan pembenar. Adapun pemidanaan terhadap Notaris dapat
saja dilakukan dengan batasan sebagai berikut :

a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh
kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau
oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak
pidana.

b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang
jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN.

c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai
tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.

Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris sebagai bagian dari pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan Notaris,
tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta dan
hanya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja,
menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau penafsiran terhadap kedudukan Notaris
sedangkan akta otentik yang dibuat oleh Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.
43

Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-
upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan


sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang
tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notarisjuga harus memenuhi rumusan yang
tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Notarismemenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata
berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Daerah bukan suatu
pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena
ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan
Notaris.

Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur dalam
UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan
perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh
Notaris terhadap UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak
memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.
Terhadap Notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga
pemberhentian dengan tidak hormat.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan
tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar
larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatan-perbuatan yang tidak boleh
dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
Negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.

Sanksi pidana dianggap sebagai sanksi paling kuat bagi perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Notaris, karena seperti disebutkan di atas sanksi pidana merupakan
ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi perdata, administrasi atau sanksi kode
etik Notaris tidak mempan atau dianggap tidak mempan dalam menghukum atau membuat
Notaris menjadi jera untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Prosedur
penerapan sanksi pidanayaitu berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
44

kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu.
Jadi pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum adalah Notaris mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan penjatuhan
sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. Notaris dapat
dijatuhi sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana penjara atau pidana lainya yang
diatur dalam KUHP. Adapun yurisprudensi yang menunjang dalam pertanggungjawaban
seorang Notaris secara pidana yaitu putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010.
Dalam hal ini seorang Notaris bernama San Smith, SH didakwa dalam dakwaan primair yaitu
Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yaitu telah melakukan, turut
serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik
mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk
itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.

Dakwaan Subsidair Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak yang
dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan
palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan
oleha akta itu, dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran.
Terhadap dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya Nomor
3036/PID.B/2009/PN.Mdn, tertanggal 4 Januari 2010 yang amar lengkapnya menyatakan
bahwa terdakwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selam 1 (satu)
tahun.

Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan Penasihat
hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan nomor 82/PID/2010/PT-MDN tanggal
25 Februari 2010 bahwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik dan menjatuhkan pidana penajara selama 2 (dua) tahun.

Mahkamah Agung dalam Putusan MA nomor 1099 K/PID/2010 menolak permohonan


Kasasi dari pemohon kasasi yaitu Notaris tersebut. Menimbang bahwa putusan judex Facti
tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, judex facti tidak salah
menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis.
45

Putusan tersebut di atas seorang Notaris dibebankan petanggungjawaban secara


pidana yaitu dengan dijatuhkan pidana penjara atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukannya, disini Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban pidana. Dalam amar
putusannya tidak disebutkan pertanggungjawab secara perdata berupa penggantian kerugian
yang diderita oleh para pihak maupun pertanggungjawaban administrasi. Disini sanksi pidana
merupakan sanksi yang paling terkuat dan bisa memberikan efek jera terhadap Notaris yang
melakukan perbuatan melawan Hukum dalam pembuatan akta otentik. Namun seharusnya
pemberian ganti kerugian juga sangat perlu diberikan kepada para pihak, karena kerugian
yang diderita para pihak tidak dapat dibilang sedikit. Dalam hal ini adanya komulasi atau
penggabungan sanksi sebagai wujud dari pertanggungjawaban Notaris perlu dilakukan atau
diterapkan sehingga pertanggungjawaban seorang Notaris benar-benar memberikan rasa adil
dan memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang dirugikan atas perbuatan
melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik.

3.2. Tanggung Jawab Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan


profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya tersebut. Besarnya
tanggung jawab Notaris dalam menjalankan profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu
cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa,
tentunya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari
kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapatmerugikan
pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa syarat yang harus
terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh
undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta
perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. Secara
formal disini sudah dipenuhi karena sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi
secara materiil harus diuji kembali dengan kode etik, UUJN dan UU perubahan atas UUJN.

Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para
pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap
untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar
hukum. Jika hal ini dilakukan, selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang
yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang
senantiasa melanggar hukum.
46

Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus diukur
berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-
pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang
bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut
merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih
lanjut, lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal
tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris. Ancaman sanksi yang demikian itu
dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk
dapat bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun tanggung jawab hukum seorang Notaris dalam menjalankan profesinya


menurut Lanny Kusumawati digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu :

a. Tanggung jawab Hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukankesalahan karena ingkar
janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata atau
perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata. Terhadap kesalahan tersebut telah menimbulkan kerugian pihak klien atau

pihak lain.

b. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan perbuatan hukum yang
dilarang oleh undang-undang atau melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik
karena sengaja atau lalai yang menimbulkan kerugian pihak lain.

Selain adanya tanggung jawab Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugas dan jabatannya, juga
dikenakan tanggung jawab administrasi dan tanggungjawab terhadap kode etik jabatan
Notaris. Tanggung jawab administrasi, perdata dan kode etik Notaris dengan dikenai sanksi
yang mengarah pada perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, sedangkan
pertanggungjawaban pidana yang dikenai sanksi pidana menyasar pada pelaku (orang) yang
melakukan tindakan hukum tersebut. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat
reparatoir atau korektif artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi
oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris lain. Regresif berarti segala sesuatunya
dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan
hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi adminstratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana
(secara komulatif) yang bersifat comdemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini
47

UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal
seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.

Batasan-batasan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Notaris adalah


berupa ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh
kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau
oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak
pidana. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris
yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. Tindakan Notaris tersebut
tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam
hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan


sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang
tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notarisjuga harus memenuhi rumusan yang
tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris memenuhi
rumusan suatu tindak pidana,tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian
dari Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan
tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus
didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan Notaris.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bentuk pertangggungjawaban terhadap


Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah
seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk
melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi
berupa pemberian sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang
Notaris.

Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi


teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Sedangkan
pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana penjara
atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal-hal tersebut
48

berdasarkan temuan-temuan dalam yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban terhadap


Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum

BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANGDIBUAT OLEH SEORANG


NOTARIS YANG MELAKUKAPERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM
PEMBUATANAKTA OTENTIK

4.1 Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan

Pengertian akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat sebagai alat bukti yang
diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
49

yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Menurut R. Subekti, akta adalah
suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu
peristiwa dan ditandatangani.

Menurut A. Kohar, akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.
Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoorddenboek”, kata
akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat. Menurut ketentuan
Pasal 1867 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan
dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan“. Berdasarkan
bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa akta terdiri atas 2 macam akta yaitu akta
otentik dan akta di bawah tangan.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu pertama akta
yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke
akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang
dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/para pihak yang namanya diterangkan
didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris
bertanggung jawab menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk
menandatangani akta itu, misalnya dalam pembuatan Akta Berita Acara Rapat Para
Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas. Apabila orang-orang yang hadir dalam rapat
telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka Notaris cukup menerangkan
di dalam akta bahwa para pemegang saham atau peserta rapat yang hadir telah meninggalkan
rapat sebelum menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap merupakan suatu akta
otentik.

Kedua, akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta
partij (partij akten). Partij akta adalah akta yang dibuat dihadapan para pejabat yang diberi
wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya komparisi yang menjelaskan
kewenangan para pihak yang menghadap Notaris untuk membuat akta.

Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah dalam akta relaas penandatanganan
akta bukanlah suatu keharusan, akta tersebut masih dikatakan sah apabila salah satu pihak
atau lebih tidak menandatangani akta tersebut selama Notaris menyebutkan alasan pihak
tersebut tidak menandatangani akta. Sedangkan dalam akta partij penandatangan oleh para
50

pihak merupakan suatu keharusan yang menyatakan bahwa memang benar yang
bersangkutan memberi keterangan dihadapan Notaris. Apabila salah satu pihak/penghadap
tidak menandatangani akta tersebut maka hal ini berarti pihak tersebut tidak menyetujui isi
perjanjian tersebut, kecuali tidak menandatangani akta tersebut dikarenakan oleh keterbatasan
fisik, misalnya dikarenakan tidak bisa baca tulis, cacat, maupun sakit maka pihak tersebut
akan membubuhkan cap jempolnya dan Notaris menerangkan alasan pembubuhan cap jempol
tersebut dalam akhir akta.

Menurut Irawan Soerodjo, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur essensialia agar
terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum dan akta yang dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.103
Pendapat di atas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik
ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya.

Akta di bawah tangan adalah akta yang cara pembuatan atau terjadinya tidak
dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi hanya oleh pihak-pihak
yang berkepentingan saja. Akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa
menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan lain-lain. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata,
jika akta di bawah tangan diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta
tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang
menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Selain itu akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para
pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.

Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa perundang-
undangan sebagai berikut :

1 Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
51

2 Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah
tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah
tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat
umum.Ciri-ciri akta dibawah tangan yaitu bentuknya yang bebas, pembuatannya tidak harus
di hadapan pejabat umum, tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal
oleh pembuatnya dan dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi
juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah
tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat
pembuktian.

4.2 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata yaitu suatu akta otentik ialah suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Jadi syarat otentitas suatu
dokumen yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau dihadapan
pejabat umum dan pejabat tersebut harus berwenang di tempat akta dibuat. Menurut Pasal
285 Rbg, akta otentik yaitu yang dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan
bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak
tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka, hal
terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok
akta itu.

Akta otentik terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga
hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayanya pejabat tersebut, maka isi dari akta
otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Dengan kata lain dapatlah dianggap bahwa
akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai
dibuktikan sebaliknya.

Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi
pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari
pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu
peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa
yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan
Pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia
52

menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak
orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini
berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus

membuktikan.

Alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata antara lainadalah bukti
tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Menurut
G.H.S. Lumban Tobing akta Notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk, yaitu:

a. Akta yang dibuat oleh (door enn) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atauakta
pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini di antaranya akta berita acara rapat pemegang
saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta
berita acara penarikan undian.

b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten).
Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan
sebagainya.

Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu bahwa benar
para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta tersebut, tetapi juga
mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah
benar, inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, sehingga kekuatan pembuktian
akta otentik adalah sahkarena merupakan bukti sempurna bagi para pihak, ahli waris dan
orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna berarti bahwa kebenaran
dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain, sampai
dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Dan merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti
bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dapat dibuktikan
sebaliknya.

Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU
perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa Notaris ikut ambil bagian dalam
perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada
salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut
dipermasalahkan, maka Notaris dapat menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai
pembantu tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam
kualifikasi Hukum Pidana.
53

Perkara pidana dan perdata terhadap akta otentik biasanya dipermasalahkan dari aspek
formalnya yaitu mengenai pukul/waktu, tanggal, bulan dan tahun kapan para penghadap
menghadap ke hadapan Notaris, mengenai komparisi, identitas para penghadap termasuk juga
kewenangan para pihak dalam bertindak, mengenai tanda tangan para penghadap, mengenai
salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta, mengenai salinan akta ada tapi minuta
akta tidak ada, hal ini berkaitan dengan penyimpanan minuta akta yang seharusnya tertata
rapi, dan mengenai minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinanakta malah
dikeluarkan.

Hal-hal tersebut biasanya yang menjadi perhatian dalam pembuatan akta otentik oleh
Notaris, oleh karena itu Notaris harus berpedoman kepada UUJN dan UU perubahan atas
UUJN, jangan sampai melenceng jauh dari UUJN dan UU perubahan atas UUJN atau bahkan
tidak berpedoman kepada UUJN dan UU perubahan atas UUJN dalam pembuatan akta
otentik. Hal yang sangat penting diperhatikan yaitu mengenai komparisi akta, harus sesuai
apakah para pihak tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta atau
tidak.

Sedangkan bila dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan
aspek formal pembuatan akta otentik oleh Notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan
hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum :

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan


(Pasal 163 ayat (1), (2) KUHP)

2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP)

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP)

4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayat
(1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP)

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang
dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.

Jika kemudian ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut bukan orang
yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli, tapi orang yang sebenarnya tidak pernah
menghadap Notaris, sehingga menimbulkan kerugian orang yang sebenarnya, maka dalam
hal ini Notaris tidak bisa disalahkan karena unsur kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah
54

melaksanakan tugas jabatan sesuai aturan hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa
kesalahan, dan tiada kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka Notaris
tersebut harus dilepas dari segala tuntutan.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata dan UUJN, jika ada
prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta
tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai
pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

4.3 Akibat Hukum terhadap Akta Notaris Yang Dibuat Oleh Notaris Secara Melawan
Hukum.

Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan negara di
bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta Notaris). Dalam
pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun relaas akta, Notaris
bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui
peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa
yang berlaku terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal
tersebut sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki
otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna.

Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu :

a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut dapat diperbaiki
dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang asli dan hanya salinan yang sama
dengan yang asli baru mempunyai kekuatan sama seperti akta asli.

b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat berita acara rapat
tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan rapat.
55

c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para pihak yang
menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta dianggap benar tapi ternyata kemudian
tidak benar.

Apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang berkepentingan,
maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan dan pembatalan akta Notaris
sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada akta-akta
yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan
ke pengadilan sebagai alat bukti.

Menurut George Whitecross Patton117 alat bukti tersebut dapat berupa oral (words
spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a admissible documents)
atau material (the production of a physical res other document). Alat bukti sah atau yang
diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk
keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang
mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara
pidana dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang
disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan. Dalam
kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdap alat bukti tertulis dapat berupa tulisan
yang mempunyai nilai pembuktian. Secara tertulis tersebut dapat berupa surat (secara umum)
dan surat dalam bentuk tertentu serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh
peraturan perundang-undangan.

Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata, yakni dengan
mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam persidangan dimintakan
pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak korban) maka akta Notaris tersebut dapat
dibatalkan oleh hakim perdata jika ada bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta
Notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat
dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut pembatalan akta
ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan.

Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undang-undang


memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undang-undang dapat dilakukan
pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian
dalam suatu putusan oleh hakim perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan
56

hukum/perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah
adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan pembatalan
akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang
otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat hukum, maka dalam amar putusan
hakim perdata akan menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya
pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu
dibuat.

Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan
syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat
dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang
berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti
orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan
relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang
tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig
verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446
KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian
dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata.

Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak
yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak
terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa
perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat suatu persetujuan
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka
persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak
dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu
sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata),
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada
permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak
mengikat siapapun.

Kasus Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya
menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena kita
melihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 yang berisi
kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya suatu hal tertentuyang diperjanjikan
57

dan adanya suatu sebab yang halal terhadap perjanjian tersebut. Jika suatu akta menimbulkan
suatu pidana maka persyaratan perjanjian dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung
didalamnya. Para ahli hukum seperti Sudikno Mertokusuno, Mariam Darus, dan J.J. Satrio
bersepakat bahwa unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan
unsur aksidentalia.

Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua dan ketiga
disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang mutlak harus ada untuk
terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi
keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian.
Dengan kata lain, sifat esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu
tercipta (constructieve oordeel).

Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang
tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya
dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat bawaan (natuur) atau melekat pada
perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli.
Sedangkan unsur aksidentalia, artinya unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas
di dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah
menentukan tempat yang dipilih.

Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum
sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat
dibatalkan telah sejalan dengan teori kewenangan dan konsep perlindungan hukum. Seperti
dikemukakan dalam teori kewenangan, Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam
kewenangan secara atribusi, berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU perubahan atas
UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan
dan akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalakan wewenangnya telah melanggar ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi para pihak dan mengakibatkan
berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya pembatalan akta otentik tersebut oleh
pengadilan.

Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum yang
dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
58

itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum. Serta bahwa perlindungan hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum
kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan
pengertian konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat
hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa dirugikan
oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik.

Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan
menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU perubahan atas UUJN
serta akta otentik tersebut dapatdibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat
membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik
harus memuat ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan materiil) atau salah satu
unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang
kemudiandapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatanya
seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh
dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara pembuatan akta otentik agar
keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan atau akta tidak sampai dibatalkan.

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dengan pokok
permasalahan yang telah dirumuskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut bahwa:
59

1. Bentuk pertangggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan


hukum dalam pembuatan akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan
pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau
ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Notaris.

Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi teguran lisan,


teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian
dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris.Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi
Notaris berupa pemberiansanksi teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing),
pemecatan (Onzetting) dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan. Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa
pemberian sanksi pidana penjara atau kurungan atas perbuatanmelawan hukum yang
dilakukannya. Hal-hal tersebut berdasarkan temuan-temuan dalam yurisprudensi mengenai
pertanggungjawaban terhadap Notarisyang melakukan perbuatan melawan hukum.

2. Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan
menjadi akta dibawah tangan serta akta otentik tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang
mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan
suatu akta otentik harus memuat tiga unsur yaitu lahiriah, formal dan materiil atau salah satu
unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian
dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

5.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas terhadap


pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan
akta otentik adalah sebagai berikut :

1 Agar seorang Notaris dan para pihak terhindarkan dari segala resiko baik berupa sanksi
maupun pembatalan akta otentik dalam proses pembuatan akta otentik dihadapan Notaris
maka Notaris dan para pihak harus memiliki sifat kehati-hatian, lebih teliti dan memiliki
60

itikad baik dalam pembuatan akta otentik serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan
berlandaskan pada moral dan etika.

2 Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku
lembaga legislatif merekontruksi kembali pengaturan dalam UUJN dan UU perubahan atas
UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk
pertanggungjawaban seorang Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan
penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum
bagi para pihak yang dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris.

Anda mungkin juga menyukai