Anda di halaman 1dari 44

USULAN PENELITIAN TESIS

KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN

SURAT KETERANGAN WARIS TERKAIT

PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARIS

BAGUS PUTU WISNU MANDALA WAISNAWA

NIM. 2082411032

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022

i
USULAN PENELITIAN TESIS

KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN

SURAT KETERANGAN WARIS TERKAIT

PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARIS

BAGUS PUTU WISNU MANDALA WAISNAWA

NIM. 2082411032

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022

ii
USULAN PENELITIAN TESIS

KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN

SURAT KETERANGAN WARIS TERKAIT

PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARIS

Tesis ini diajukan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Udayana

BAGUS PUTU WISNU MANDALA WAISNAWA

NIM. 2082411032

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
2022

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

USULAN PENELITIAN TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 05 SEPTEMBER 2022

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum Dr. I Gusti Ayu Putri Kartika,SH,MH
NIP. 19591231 198602 1 007 NIP. 19660331 199303 2 003

Mengetahui

Program Studi Magister (S-2) Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Koordinator,

Prof. Dr. I Made Subawa. SH,.MS


NIP. 19560425 198503 1 003

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL LUAR ............................................................ i

HALAMAN SAMPUL DALAM .... .................................................... ii

PERSYARATAN GELAR................................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... iv

DAFTAR ISI............................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 9

1.3 Orisinalitas Penelitian ........................................................ 9

1.4 Tujuan Penelitian............................................................... 12

1.4.1 Tujuan Umum........................................................... 13

1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................... 13

1.5 Manfaat Penelitian .............................................................. 13

1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................... 13

1.5.2 Manfaat Praktis ........................................................ 14

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ....................... 15

1.6.1 Landasan Teoritis ..................................................... 15

1.6.1.1 Teori Kepastian Hukum................................. 16

1.6.1.2 Teori Hierarki Perundang-Undangan ............. 19

1.6.1.3 Teori Keadilan ............................................... 22

1.6.1.4 Teori Kewenangan ........................................ 24

v
1.6.1.5 Konsep pengaturan surat keterangan hak waris 29

1.6.1.6 Teori Diskriminasi Hukum ............................ 34

1.6.1.7 Asas Preferensi Hukum ................................. 38

1.6.2 Kerangka Pemikiran ................................................. 41

1.7 Metode Penelitian .............................................................. 41

1.7.1 Jenis Penelitian ......................................................... 43

1.7.2 Jenis Pendekatan ...................................................... 43

1.7.3 Sumber Bahan Hukum .............................................. 44

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................ 45

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................ 45

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 47

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seseorang yang selama masa hidupnya terus menerus coba bekerja guna

memenuhi kebutuhan hidupnya dan seseorang yang telah meninggal akan

meninggalkan harta benda maupun hutang piutang, sehingga untuk merawat itu

semua maka ada yang namanya ahli waris di dalam hukum waris di Indonesia.

Hukum Waris merupakan aturan yang menentukan tentang perpindahan hak atas

benda waris yang dimiliki dan kemudian ditinggalkan oleh seseorang yang telah

tutup usia (dalam hal ini disebut Pewaris) yang dipindahkan kepada seseorang yang

masih hidup (selanjutnya disebut Ahli Waris). 1 Menurut Soepomo dijelaskan

bahwa:

“Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoper barang-barang harta benda dan barang yang tak

berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya”. 2

Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal (pewaris) menjadi milik

ahli waris menurut hukum, termasuk tidak hanya harta benda, tetapi juga hutang

dan beban orang yang meninggal. 3

1
Dewi, N. P. Y. K., & Purwanti, N. P. (2014). Tata Cara Penuntutan Hak Waris oleh Ahli
Waris y ang Sebelumnya Dinyatakan Hilang Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 4(2), 1-5. h. 2
2
Kusuma, A. N. B. I., Indrawati, A. S., & Sukihana, I. A. Kajian Yuridis Jual Beli Hak
Waris Atas Warisan Yang Belum Terbagi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kertha
Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6(3), 1-5. h. 3
3
A. Kohar. (2000). Notaris Berkomunikasi. Bandung: Penerbit Alumni, h. 7
1
2

Hukum waris merupakan bagian dalam lapangan hukum privat yang

menunjukkan aneka warna hukum di Indonesia.4 Untuk membuktikan siapa

yang berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh seorang pewaris, surat keterangan

ahli warislah digunakan dan diperlukan untuk sebagai suatu pembuktian yang

kemudian menjadi sebuah dasar landasan pembagian harta peninggalan dari

pewaris, termasuk orang-orang yang memiliki hak untuk menerima warisan atas

harta peninggalan yang diwariskan tersebut dan/atau berapa bagian hak atas harta

warisan yang harus didapat oleh para ahli waris berdasarkan Legitieme Portie

dan/atau wasiat.5

Setiap Surat Keterangan ahli waris memiliki petugas sendiri yang

membuatnya, pejabat yang membuatnya pun tidak sama berdasarkan klasifikasi

penduduk Indonesia, dan masih berlaku sampai sekarang. Dasar pembuatan akta

ahli waris di Indonesia dan pejabat yang berwenang untuk membuatnya, Pasal 111

ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Agraria Nomor 7 Tahun 2019 Tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

(selanjutnya disebut Permen Pelaksanaan Pendaftaran Tanah), yang dirumuskan

sebagai berikut:

1) “bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli


waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua)

4
Ardika, I. N. (2016). Pemberian Hak Waris bagi Anak Perempuan di Bali dalam Perspektif
Keadilan. Jurnal Magister Hukum Udayana, 5(4), 639-649. h. 640
5
Laili, F. (2015). Analisis Pembuatan Surat Keterangan Waris Yang Didasarkan Pada
Penggolongan Penduduk (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis). Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 5(1), 1-
22. h. 2
3

orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat


tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;
2) bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak
mewaris dari Notaris; dan
3) bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat
keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.”
Pasal ini menentukan bahwa ada 3 (tiga) pejabat yang memiliki hak atau wewenang

untuk membuat surat keterangan waris di Indonesia yang kemudian tergantung

daripada penggolongan penduduknya, yaitu jika penduduk pribumi asli Indonesia

maka kepala desa dan penanggung jawab jalan membuat surat-surat keterangan

waris tersebut pada saat meninggalnya pewaris akan membuat surat keterangan

waris, keturunan Tionghoa membuat surat wasiat di kantor notaris, dan keturunan

orang asing Timur membuatkan surat wasiat melakukan pembuatan surat

keterangan waris di Balai Harta Peninggalan.

Ketentuan pembuatan surat keterangan waris di Negara Indonesia sampai

saat ini masih didasarkan pada pembagian golongan penduduk. Sebagai pelengkap

Undang-Undang Kewarganegaraan, lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang

Administrasi Kependudukan (Selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang

Administrasi Kependudukan) yang mempertegas penghapusan keberlakuan

penggolongan penduduk berdasarkan Staatsblad (STB 1917:129, STB 1924:556

dan STB 1917:12). Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris dirasa memiliki

banyak permasalahan dalam proses pembuatannya, sehingga pembuatan akta

keterangan waris tidak memberikan kepastian hukum bagi ahli waris pembuatan

surat keterangan waris yang berkaitan dengan pembagian penduduk Indonesia,

karena fondasi dan landasan dalam pembuatannya bukti tersebut begitu lemah dan
4

kekuatan pembuktiannya akan dipertanyakan kemudian, sedangkan yang dapat

membuat sebuah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna disebut

dengan profesi Notaris,

Notaris merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh Negara


6
untuk membuat akta otentik berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris.

Pembuatan Surat Keterangan Waris oleh Notaris berlangsung hingga saat telah

berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(selanjutnya disebut UUJN). UUJN merupakan peraturan atau perundang-

undangan utama yang mengatur mengenai jabatan Notaris. UUJN menentukan

sejumlah kewenangan Notaris, Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN diatur kewenangan

umum Notaris sebagai berikut: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai

semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,

menyimpan akta, memberikan Grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan”. Kewenangan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN memberikan kemungkinan

bagi notaris untuk memiliki kewenangan-kewenangan lain yang akan diatur

kemudian dalam produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan

6
Ibid., h. 4
5

melalui hubungan antara keseluruhan peraturan-peraturan yang diuraikan secara

sistematis maka kewenangan Notaris dalam pembuatan surat keterangan waris

dalam bentuk akta otentik merupakan kewenangan atribusi yang merupakan

pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan

perundang-undangan atau aturan hukum. Melalui teori kewenangan atribusi ini

Notaris memperoleh sumber kewenangan dari Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Peraturan Jabatan Notaris (UUJN). Dasar hukum tersebut dapat dijadikan

dasar pembuatan surat keterangan waris. Sehingga atas dasar hukum tersebut

Notaris dapat menciptakan bentuk surat keterangan waris/akta keterangan hak

mewaris yang diberlakukan bagi seluruh bangsa indonesia.

Bukti ahli waris yang merupakan bukti perdata tidak tepat jika

dikeluarkan oleh pejabat yang tunduk pada hukum administrasi. 7 Mengingat bagi

warga negara Indonesia penduduk asli dan bagi warga negara Indonesia keturunan

Timur Asing dibuat oleh pejabat administrasi, Sehingga tidak memiliki suatu

kepastian hukum yang adil bagi penduduk Indonesia dan melanggar hak

konstitusional warga negara Indonesia. Mengingat seluruh warga Indonesia dalam

hal merupakan warga negara Indonesia secara filosofis berdasarkan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

(selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan),. Permasalahan yang telah diuraikan di

atas memiliki permasalahan pada sisi normatif pengaturanya sehingga layak untuk

dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “KEWENANGAN NOTARIS

7
Ibid., h. 19
6

DALAM PEMBUATAN SURAT KETERANGAN WARIS TERKAIT

PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARIS”

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini dapat dirumuskan, sebagai

berikut:

1. Bagaimana pengaturan dalam pembuatan Surat Keterangan Waris

terkait penggolongan penduduk di Indonesia?

2. kewenangan Notaris terkait pembuatan surat Keterangan Waris dalam

peralihan hak atas tanah waris ?

1.3 Orisinalitas Penelitian

Penelitian tentang kewenangan notaris terkait pembuatan surat keterangan

waris di Indonesia merupakan penelitian yang asli dan dapat

dipertanggungjawabkan, dan penulis melakukan membandingkan dari penelusuran

kepustakaan yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan tesis terdahulu sebagai

pembanding yang menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki unsur kebaharuan,

adapun penelitian – penelitian tersebut adalah:

1) Tesis yang dibuat oleh Kuncoro Sidi, pada tahun 2017, di Program

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta, berjudul “Pelaksanaan Pembuatan Surat Keterangan Waris

Di bawah Tangan Yang Disaksikan Dan Dibenarkan Oleh Lurah Dan

Dikuatkan Oleh Camat Guna Persyaratan Peralihan Hak Atas Tanah

(Studi Di Kota Surakarta)”, permasalahan yang dibahas yaitu:


7

a. Apa Kendala dan Permasalahan Yang dihadapi oleh Lurah

dalam Proses pembuatan Surat Keterangan Waris di bawah

tangan?

b. Bagaimana Tanggung Jawab Hukum Lurah dan Camat jika

terdapat Ketidakbenaran keterangan yang diberikan oleh ahli

waris Atas pembuatan Surat Keterangan Waris?

2) Tesis yang dibuat oleh Wimby Madika Reza pada tahun 2019, pada

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya Palembang, dengan judul “Kedudukan Surat Keterangan

Waris Bagi Warga Negara Indonesia (WNI) Dalam Peralihan Hak Atas

Tanah Waris di Kota Palembang”, permasalahan yang diangkat yaitu

mengenai:

a. Bagaimana kedudukan surat keterangan ahli waris dalam

peralihan hak atas tanah?

b. Bagaimana penyelesaian pembagian harta hak ahli waris

terhadap harta yang ditinggal kan oleh pewaris?

c. Bagaimana peran Notaris terhadap surat keterangan waris?

Pembanding penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa

penelitian ini memiliki unsur kebaharuannya penelitian – penelitian tersebut agar

lebih mudah untuk memahami, sehingga hal tersebut disajikan dalam bentuk tabel,

sebagaimana di bawah ini:

Tabel 1.1: Penelitian Terdahulu Terkait Pengaturan Pembuatan Surat

Keterangan Waris
8

No. Penulis Judul Penelitian Rumusan Masalah

1. Kuncoro Sidi, “Pelaksanaan a. Apa Kendala dan

pada tahun 2017, Pembuatan Surat Permasalahan Yang

di Program Keterangan Waris Di dihadapi oleh Lurah

Magister bawah Tangan Yang dalam Proses pembuatan

Kenotariatan Disaksikan Dan Surat Keterangan Waris di

Fakultas Hukum Dibenarkan Oleh bawah tangan?

Universitas Lurah Dan Dikuatkan b. Bagaimana Tanggung

Sebelas Maret Oleh Camat Guna Jawab Hukum Lurah dan

Surakarta Persyaratan Peralihan Camat jika terdapat

Hak Atas Tanah (Studi Ketidakbenaran

Di Kota Surakarta)” keterangan yang diberikan

oleh ahli waris Atas

pembuatan Surat

Keterangan Waris?

2. Wimby Madika “Kedudukan Surat a. Bagaimana kedudukan

Reza pada tahun Keterangan Waris surat keterangan ahli waris

2019, pada Bagi Warga Negara dalam peralihan hak atas

Program Studi Indonesia (WNI) tanah?

Magister Dalam Peralihan Hak b. Bagaimana penyelesaian

Kenotariatan Atas Tanah Waris di pembagian harta hak ahli

Fakultas Hukum Kota Palembang”


9

Universitas waris terhadap harta yang

Sriwijaya ditinggal kan oleh pewaris?

Palembang c. Bagaimana peran Notaris

terhadap surat keterangan

waris?

Jika diperhatikan secara seksama 2 (dua) Tesis terdahulu yang membahas tentang

surat keterangan waris tidaklah memiliki kesamaan maupun unsur-unsur yang

mengarah pada kegiatan plagiat, maka dapat dibuktikan bahwa penelitian ini

memiliki orisinalitas yang valid dan memiliki untuk kebaharuan di dalam

pembahasanya. Penelitian ini berjudul “Kewenangan Notaris Terkait Pembuatan

Surat Keterangan Waris Di Indonesia” dengan mengangkat permasalahan yaitu

mengenai Bagaimana pengaturan dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait

pembagian golongan penduduk di Indonesia? Dan Apa urgensi pemberian

kewenangan kepada Notaris dalam pembuatan akta Keterangan Waris?

1.4 Tujuan Penelitian

Agar penelitian ini memiliki maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan

sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Tujuan penelitian ini terdiri atas

Tujuan Umum dan Tujuan Khusus. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1.4.1. Tujuan Umum


10

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk memahami dan menganalisa

hal-hal yang terkait kewenangan notaris dalam pembuatan surat keterangan waris

terkait peralihan hak atas tanah waris.

1.4.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan pada Tujuan Umum di atas, adapun Tujuan Khusus dari

penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas yakni :

a. Untuk memahami, mengetahui serta menganalisis mengenai

pengaturan dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait

pembagian golongan penduduk di Indonesia

b. Untuk memahami, mengetahui serta menganalisis mengenai urgensi

pemberian kewenangan kepada Notaris dalam pembuatan surat

Keterangan Waris

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya,

sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun manfaat

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.5.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis menjelaskan seberapa besar sumbangsih dari hasil

penelitian ini untuk pemikiran terhadap ilmu pengetahuan terkait penelitian, yakni

a. Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan memberikan sumbangan

pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan bagi

masyarakat di bidang hukum, khususnya di bidang kewenangan notaris


11

dalam pembuatan surat keterangan waris terkait peralihan hak atas tanah

waris.

b. Sebagai bagian dari usaha pembinaan hukum nasional dan pemecahan

masalah yang berkaitan dengan kewenangan notaris dalam pembuatan

surat keterangan waris terkait peralihan hak atas tanah waris..

c. Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan juga dapat menambah

pemahaman dan literatur bagi mahasiswa terhadap teori-teori yang

diperoleh dalam perkuliahan serta bentuk-bentuk untuk

mengaplikasikan teori-teori tersebut.

1.5.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pihak -

pihak terkait, diantara yakni :

a. Bagi notaris penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam hal

yang berkaitan dengan kewenangan notaris dalam pembuatan surat

keterangan waris terkait peralihan hak atas tanah waris.

b. Bagi Dosen dan Mahasiswa penelitian ini dapat dijadikan sebagai

referensi sebagai penunjang dalam proses belajar dan mengajar

dalam hal yang berkaitan dengan kewenangan notaris dalam

pembuatan surat keterangan waris terkait peralihan hak atas tanah

waris.

c. Bagi masyarakat penelitian ini dapat bermanfaat ketika menghadapi

permasalahan dalam yang berkaitan dengan kewenangan notaris


12

dalam pembuatan surat keterangan waris terkait peralihan hak atas

tanah waris.

d. Bagi saya sendiri, penelitian ini selain sebagai syarat dalam

menyelesaikan studi akhir di Magister Kenotariatan Universitas

Udayana juga bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya

dalam yang berkaitan dengan kewenangan notaris dalam pembuatan

surat keterangan waris terkait peralihan hak atas tanah waris.

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.6.1 Landasan Teoritis

Untuk mengkaji penelitian ini digunakan beberapa landasan teoritis yang

mempergunakan teori hukum di dalamnya. Teori hukum adalah Teori hukum

adalah teori bidang hukum yakni berfungsi memberikan argumentasi yang

meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau hal-hal yang

dijelaskan itu memenuhi standar teoritis. 8 Teori hukum dianggap sebagai:

“Legal theory is different. One immediately apparent difference is that legal

theory is painted on a larger canvas; or, to change the metaphor into a more

appropriately verbal one, it asks bigger questions”9

Pada tulisan penelitian tesis ini, digunakan landasan teoritis yang terdiri dari Teori

Kepastian Hukum, Teori Keadilan, Teori kewenangan, Konsep Pengaturan Surat

Keterangan Hak Waris dan Asas Preferensi Hukum.

8
H. Juhaya S. Praja, 2016, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV Pustaka Setia, Bandung,
h.53
9
Ian Mcleod, 2012, Legal Theory, Palgrave Macmillan Law Masters, Stirling Law School
University of Stirling, h. 2
13

1.6.1.1 Teori Kepastian Hukum

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan sebuah

jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian

hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan

yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu

memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum

berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.10

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum,

sedangkan Kaum Fungsionaris mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya

dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux”

yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat

menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan

hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan. 11

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan

hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan

yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan

atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

10
Asikin zainal, 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, h. 55
11
Dosminikus Rato, 2010, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo,
Yogyakarta, h. 59
14

Menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan, yaitu:

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada

kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tanpa

kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul

keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat

menaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.

Kepastian hukum juga dapat diartikan sebagai:

“Legal certainly has several functions: it helps in ensuring peace and order
in a society and contributes to legal efficiency by allowing individuals to
have sufficient knowledge of the law so as to be able to comply with it. It
also provides the individual with a means whereby he or she can measure
whether there has been arbitrariness in the exercise of state power” 12
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap

tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu

arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena dengan

adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban

menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang

harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak

dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan

yang memiliki asas keserasian dalam suatu undang-undang dan akan jelas pula

penerapanya.

Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan

pada aliran pemikiran Positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum

sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan

12
Veronika Bilkova, 2012, On Legal Certainty and The Independence of The Judiciary,
Venice Commission, Strasbourg, h. 6
15

hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum.

Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan

untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk

kepastian.13

Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan

terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang

selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena

dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan

kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu

apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang

atau tidak dilarang oleh hukum.

Kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta

ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak

dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan

sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan

efisiensi.

Relevansi Teori Kepastian Hukum dengan penulisan tesis ini akan

membantu penulis untuk menganalisis permasalahan dimana kepastian hukum ini

dapat diwujudkan melalui keserasian norma pada Undang-Undang terkait.

1.6.1.2 Teori Hierarki Perundang-Undangan

Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum yang

diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan

13
Riduan Syahrani, 2000, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, h. 23.
16

sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang

mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai

hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. 14 Norma yang menentukan

pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior.

Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas

keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan, Seperti yang diungkapkan oleh

Kelsen:

“The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the
norm–the lower one-is determined by another-the higher-the creation of
which of determined by a still higher norm, and that this regressus is
terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of
validity of the whole legal order, constitutes its unity”.15

Maka norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum

yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus

berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut

Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit

(abstrak), Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila. Teori Hans

Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf Merkl dengan

menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum memiliki dua

wajah, yang dengan pengertiannya: Norma hukum itu keatas ia bersumber dan

berdasar pada norma yang ada diatasnya; dan Norma hukum ke bawah, ia juga

menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang dibawahnya. Sehingga norma

14
Asshiddiqie,Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet
I, Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h.110

15
Kelsen, Hans,2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg,
Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, h.124
17

tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relatif karena masa

berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang diatasnya,

sehungga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka

norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula. 16

Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma

hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah

seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen,

yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der

rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah Norma fundamental

negara (Staatsfundamentalnorm); Aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz);

Undang-Undang formal (FormellGesetz); dan Peraturan pelaksanaan dan peraturan

otonom (Verordnung En Autonome Satzung). Staatsfundamentalnorm adalah

norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang

Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu

Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.

Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. 17

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai

norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai

Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental

negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi

berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. Berdasarkan teori Nawiaky

16
Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. h. 25.
17
Ibid.
18

tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan

menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan

struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.

Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: 18

1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945).

2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota, Sedangkan dalam

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan jenis dan

hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah

Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Berdasarkan penjelasan diatas Relevansi Teori hierarki peraturan

perundang undangan dengan penulisan tesis ini maka dapat disimpulkan bahwa

dalam beberapa ketentuan yang mengatur mengenai teori hierarki peraturan

perundang undangan maka mengandung makna bahwa peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi menjadi sumber atau dasar berlakunya peraturan

18
Ibid.
19

perundang-undangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan isinya dengan peraturan yang lebih tinggi. Apabila

ditemukan isi atau materi muatan peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi, maka yang berlaku adalah isi atau materi muatan

peraturan yang lebih tinggi.

1.6.1.2 Teori Keadilan

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak

hanya keadilan, tetapi juga mengenai kepastian hukum dan kemanfaatannya. Pakar

teori keadilan yaitu Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari

satu arti. “Adil dapat berarti menuntut hukum, dan apa yang sebanding yaitu yang

semestinya.”19

Seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila mengambil bagian lebih dari

bagian yang semestinya. “Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil,

karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.” 20

Thomas Aquinas selanjutnya membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:

keadilan umum (Justitia Generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah

keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi

kepentingan umum. “Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar

kesamaan atau proporsionalitas.” 21

Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran-pemikiran

seperti Jeremy Bentham, J.S. Mill dan Hume. Rawls berpendapat perlu adanya

19
Darji Darmadiharjo dan Shidarta, 2005, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.156.
20
Ibid.
21
Ibid.
20

keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Hukum

menurut Rawls persepsikan sebagai wasit yang memihak dan tidak bersimpati

dengan orang lain melainkan hukum justru harus menjadi penuntut agar orang dapat

mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya.

Menurut Robert Nozick, keadilan bukan merupakan perhatian utama

Nozick. Robert Nozaick lebih memperdebatkan pembatasan peran Negara bahwa

Negara minimal (minimal state) dan hanya Negara minimal adalah satu-satunya

yang bisa dijustifikasi. Keadilan kemudian muncul karena keadilan distributif

seperti dibayangkan Rawls sering dianggap sebagai rasionalisasi bagi Negara yang

lebih dari minimal, dalam upayanya menunjukkan bahwa keadilan distributif tidak

menyediakan rasionalisasi yang kuat bagi Negara yang lebih dari minimal.

Hak akan melahirkan suatu kewajiban, jadi hak dan kewajiban dapat terjadi

bila diperlukan suatu peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai suatu akibat.

Demikian pula pendapat dari Soedjono Dirdjosisworo bahwa “hak dan kewajiban

timbul bila adanya suatu peristiwa hukum”. Peristiwa hukum adalah “semua

peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak

yang mempunyai hubungan hukum”.22

“Keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual

mencirikan hukum, suatu hukum yang tidak adil bukan sekedar hukum yang

buruk” 23 Teori keadilan dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan

pembuatan surat keterangan waris yang dibedakan karena dibagi menjadi 3 (tiga)

22
Soedjono Dirdjosisworo, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
cetakan keenam, Jakarta, h. 130.
23
Cst Kancil et. Al, 2009, Kamus Istilah Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 385.
21

golongan di Indonesia, karena menurut teori keadilan bahwa seluruh masyarakat

Indonesia sama di hadapan hukum, tidak dapat dibeda-bedakan berdasarkan

ras/etnis maupun golongan.

1.6.1.3 Teori kewenangan

Konsep Hukum Tata Negara, kewenangan atau wewenang dideskripsikan

sebagai “rechtsmacht” (kekuasaan hukum). Dalam hukum publik, wewenang

terkait kekuasaan terdapat sedikit perbedaan antara kewenangan (Authority, gezag)

adalah apa yang disebut sebagai kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari

yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif. Sedangkan wewenang

(competence, bevoegdheid) hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu

dari kewenangan.

Kewenangan dalam bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan

mengadili lazim disebut kompetensi atau yurisdiksi. Di Belanda konsep

bevoegdheid dipergunakan baik dalam lapangan hukum publik, oleh karena itu

bevoegdheid tidak memiliki watak hukum, Sedangkan di Indonesia, konsep

wewenang selalu dimaknai sebagai konsep hukum publik, sebab wewenang selalu

dikaitkan dengan penggunaan kekuasaan.

Sesuai dengan pendapat di atas, Prajudi Atmosudirdjo menyatakan :

“wewenang merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan di

dalam lapangan hukum publik, sedangkan kekuasaan untuk melakukan

tindakan dalam lapangan hukum privat disebut hak”24

24
Prajudi Admosudirjo, 1998, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet.9. Jakarta,
h.76
22

Wewenang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga komponen, yaitu : pengaruh, dasar

hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh dimaksudkan, bahwa

penggunaan wewenang bertujuan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum;

komponen dasar hukum dimaksudkan, bahwa wewenang itu harus didasarkan pada

hukum yang jelas; dan komponen konformitas hukum menghendaki bahwa

wewenang harus memiliki standart yang jelas (untuk wewenang umum), dan

standart khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Secara yuridis, wewenang

merupakan kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk

melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.25

Setiap penggunaan wewenang harus memiliki dasar legalitas di dalam

hukum positif untuk mencegah terjadinya perbuatan sewenang-wenang.

Penggunaan wewenang pemerintahan selalu dalam batas-batas yang ditetapkan

sekurang-kurangnya oleh hukum positif. Dalam kaitannya dengan konsep negara

hukum, penggunaan Kewenangan tersebut dibatasi atau selalu tunduk pada hukum

yang tertulis maupun tidak tertulis, yang selanjutnya untuk hukum tidak tertulis di

dalam hukum pemerintahan di Indonesia disebut dengan “asas-asas umum

pemerintahan yang baik” hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 4 huruf a Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, yang berbunyi:

“Negara hukum adalah Negara yang dalam segala aspek kehidupan


masyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan
pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan demokratis yang
sejahtera, berkeadilan dan bertanggung jawab”.

25
Indroharto,2002, Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, h.68
23

Seperti di kemukakan di atas, bahwa dalam hukum publik wewenang

berkaitan dengan kekuasaan. 26 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan

wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudisial

adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara

dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan merupakan suat

kemampuan individu atau kelompok untuk melaksanakan kemauannya meskipun

menghadapi pihak lain yang menentangnya. 27

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),

sehingga kewenangan merupakan kewenangan yang sah. Pejabat (organ) dalam

mengeluarkan Keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Wewenang

bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dibagi menjadi : 28

a. Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil), yaitu pemberian

wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ

pemerintahan (atributie :toekenning van een bestuursbevoegheid door

een wetgever aan een bestuurorgaan). Kewenangan atributif bersifat

permanen atau tetap ada, selama undang-undang mengaturnya. Dengan

kata lain wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan

hukum tata negara, atributif ini di tunjukan dalam wewenang yang

dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya

berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang.

26
Philipus M. Hadjon, 2002, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, h.01
27
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana
Pranadamedia Groub, Jakarta, cet-ke 6, h.73
28
Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Prees, Jakarta, h.
102
24

Atributif ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar

konstitusi/undangundang dasar atau peraturan perundang-undangan.

b. Kewenangan yang bersifat non atributif (non orisinil) yaitu kewenangan

yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari aparat yang lain.

Kewenangan non atributif bersifat insidental dan berakhir jika pejabat

yang berwenang telah menariknya kembali. Penyerahan sebagian dari

wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam

melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri.

Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran

tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan

sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dalam politik hukum, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam yaitu

mandat dan delegasi. Dalam pelimpahan wewenang secara mandat terjadi ketika

organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya (mandaat : eenbestuurorgaan laat zijn bevoegheid namens hem

uitoefenen door een ander), mandat yang beralih hanya sebagian wewenang,

pertanggungjawaban tetap pada mandans. Hal ini dijelaskan Ridwan HR :

“sementara pada mandat, penerima mandat, mandataris bertindak untuk dan atas

nama pemberi mandat (mandans) tanggung jawab akhir Keputusan yang diambil

mandataris tetap berada pada mandans”.29

29
Ibid., h. 105-106
25

Pelimpahan wewenang secara delegasi, adalah pelimpahan wewenang

pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain

(delegatie : overdrach van een bevoegheid van het ene bestuurorgaan aan een

ander) yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans, maka yang

bertanggung jawab sepenuhnya adalah delegataris. Syarat-syarat delegasi menurut

Hadjon adalah :

a. Delegasi harus definitif dan pemberian delegasi (delegans) tidak dapat

lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan;

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan,

artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu

dalam peraturan perundang-undangan;

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

Atribusi, delegasi dan mandat adalah bentuk kewenangan organ (institusi)

pemerintah yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan

mempertahankannya. Tanpa Kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu Keputusan

yuridis yang benar. 30

Relevansi Teori kewenangan (authority theory) dengan penulisan tesis ini

akan membantu penulis untuk mengkaji dan menganalisis tentang “Kekuasaan dari

organ pemerintahan untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan

hukum publik maupun hukum privat.

30
F.A.M Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung h.209
26

1.6.1.4 Konsep Pengaturan Surat Keterangan Hak Waris

Surat Keterangan Waris merupakan salah satu surat tanda bukti sebagai ahli

waris yang dapat dipakai sebagai dasar hak bagi para ahli waris untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta peninggalan pewaris, selain surat tanda bukti sebagai

ahli waris lainnya yaitu: Wasiat dari Pewaris, Putusan Pengadilan dan Penetapan

Hakim/Ketua Pengadilan. Perbuatan hukum pembuatan surat keterangan waris

tersebut harus dilakukan secara bersama dengan para ahli waris lainnya, perbuatan

hukum yang dimaksud dapat berupa pendaftaran peralihan hak karena pewarisan

dan tindakan peralihan hal atas tanah pemilikan bersama kepada sesama pemilik

atau kepada pihak ketiga. Peralihan hak atas tanah warisan berarti salah satu ahli

waris hanya dapat mengalihkan besar bagian haknya atas warisan tersebut, kepada

sesama ahli waris maupun kepada pihak ketiga.

Keterangan hak waris dibuat dengan tujuan untuk membuktikan siapasiapa

yang merupakan ahli waris yang sah atas harta peninggalan yang telah terbuka

menurut hukum dan berapa porsi atau bagian masing-masing ahli waris terhadap

harta peninggalan yang telah telah terbuka tersebut. Keterangan hak waris disebut

juga dengan surat keterangan hak waris (SKHW), surat keterangan ahli waris (Surat

Keterangan Ahli Waris) merupakan surat bukti waris yaitu surat yang membuktikan

bahwa yang disebutkan di dalam surat keterangan waris tersebut adalah ahli waris

dari pewaris tertentu. Keterangan hak waris untuk melakukan balik nama atas

barang harta peninggalkan yang diterima dan atas nama pewaris menjadi atas nama

seluruh ahli waris. Tindakan kepemilikan yang dimaksud misalnya adalah :


27

1. Khusus untuk barang-barang harta peninggalkan berupa tanah, maka dapat

mengajukan permohonan ke Kantor Pertanahan setempat, yaitu :

a. Melakukan pendaftaran peralihan hak (balik nama) untuk tanah yang

sudah terdaftar (bersertipikat), dan

b. Melakukan permohonan hak baru (sertipikat) atas tanah yang belum

terdaftar seperti misalnya tanah girik, tanah bekas hak barat, tanah

negara.

2. Menggadakan atau dengan cara menjaminkan barang-barang harta

peninggalkan tersebut kepada pihak lain atau kreditur, apabila ahli waris

hendak meminjam uang atau meminta kredit.

3. Mengalihkan barang-barang harta peninggalkan tersebut pada pihak lain,

misalnya menjual, menghibahkan, melepaskan hak dan lain-lainnya yang

sifatnya berupa suatu peralihan hak.

4. Merubah status kepemilikan bersama atas barang harta peninggalan

menjadi milik dari masing-masing ahli waris dengan cara melakukan

membuat akta pembagian dari pemisahan harta peninggalan dihadapan

Notaris. 31

Di dalam Surat Keterangan Waris memuat tentang nama-nama dan para ahli

waris dan nama pewaris (almarhum), bagi golongan bumi putra para ahli waris itu

sendiri disaksikan oleh kepala desa Lurah dan dikuatkan oleh Camat. Penentuan

porsi dari masing-masing ahli waris tergantung pada hukum mana yang berlaku

31
Edy Kartasaputra, 2012, Prosedur dan Tata Cara Pengurusan Surat Keterangan Hak Waris
bagi Golongan Penduduk Bumi Putra di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, h. 106
28

bagi para ahli waris. Artinya adalah apabila ahli waris golongan Bumi Putra

membagi warisannya dengan hukum Faraidh maka akan dibagi sesuai dengan porsi

masing-masing, sedangkan untuk golongan yang tunduk pada hukum adat maka

akan dibagi sesuai dengan hukum adatnya.

Bagi golongan yang tunduk pada hukum yang bersifat matrinial maka porsi

anak perempuan akan lebih banyak atau lebih diutamakan sedangkan untuk

golongan yang tunduk pada hukum yang bersifat Patritineal maka porsi anak laki-

laki akan lebih diutamakan.

1.6.1.5 Asas Preferensi Hukum

Ada kalanya perundang-undangan yang satu mengatur berbeda dengan

perundang undangan yang lain untuk hal yang sama. Ada kalanya pula perbedaan

itu mengandung pertentangan. Salah satu cara menyelesaikan konflik perundang-

undangan yang demikian itu adalah dengan meneliti berbagai asas hukum yang

berfungsi menyelesaikan konflik perundang-undangan. Untuk penyelesaian-

penyelesaian konflik norma digunakan asas preferensi hukum. Ada tiga

penyelesaian berkaitan dengan asas preferensi hukum yang meliputi asas lex

superior, asas lex spesialis, dan asas posterior. 32 Penjelasan mengenai asas

preferensi hukum akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Asas lex superior derogate lex inferior

32
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, h. 31
29

Asas ini bermakna bahwa perundang-undangan yang derajatnya lebih

tinggi mengesampingkan perundang-undangan yang derajatnya lebih

rendah. Misalnya peraturan menteri bertentangan dengan undang-

undang. 33

2. Asas lex posteriori derogate lex priori

Asas ini artinya peraturan perundang-undangan yang terkemudian

menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu. Asas ini

bermakna bahwa perundang-undangan yang lahir paling akhir

mengesampingkan perundang- undangan yang lahir lebih dulu.

Penggunaan asas ini mensyaratkan bahwa yang diperhadapkan adalah

dua peraturan perundang-undangan dalam hierarki yang sama. 34

3. Asas lex specialis derogate legi generali

Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang

secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang

lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu

tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari

yang lain. 35

Asas preferensi hukum ini berguna serta berfungsi untuk menyelesaikan

permasalahan terkait kewenangan notaris dalam pembuatan surat keterangan waris

terkait peralihan hak atas tanah waris. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan

menggunakan Asas lex superior derogate lex inferior, asas ini bermakna bahwa

33
Abdul Rachmad Budiono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Bayu Media, Malang, h. 52
34
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 101
35
Ibid., h. 99.
30

perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan perundang-

undangan yang derajatnya lebih rendah.

1.6.2 Kerangka Pemikiran

LATAR BELAKANG
kewenangan Notaris dalam pembuatan surat keterangan waris dalam bentuk akta otentik
merupakan kewenangan atribusi yang merupakan pemberian wewenang yang baru kepada
suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum.

RUMUSAN MASALAH 1
RUMUSAN MASALAH 2
1. Bagaimana pengaturan dalam
pembuatan Surat Keterangan 2. kewenangan Notaris terkait
Waris terkait pembagian pembuatan surat Keterangan Waris
golongan penduduk di dalam peralihan hak atas tanah waris
Indonesia?

LANDASAN TEORITIS

LANDASAN TEORITIS 1. Teori kepastian hukum

1. Teori Keadilan; 2. Teori kewenangan


2. Konsep pengaturan
surat keterangan hak 3. Asas Preferensi Hukum.
waris

METODE PENELITIAN
Menggunakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan
Perundang-Undangan dan Pendekatan Konsep Hukum
31

1.7 Metode Penelitian

Mencari dan menemukan suatu kebenaran mengenai suatu permasalahan

hukum tentu saja ada caranya, yaitu melalui metode ilmiah. 36 Metode ilmiah

merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, dengan

kata lain ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Ideal

dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis. 37

Penelitian yang sifatnya ilmiah harus menggunakan suatu metode penelitian

tertentu. Dimana metode penelitian ilmiah merupakan suatu prosedur dalam

mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. 38 Penelitian dapat juga diartikan

sebagai:

“Legal research may be defined as systematic finding law on a particular


point and making advancement in the science of law. However, the finding
law is not so easy. It involves a systematic search of legal materials,
statutory, subsidiary and judicial pronouncements. For making
advancement in the science of law, one needs to go into the underlying
principles or reasons of the law. These activities warrant a systematic
approach. An approach becomes systematic when a researcher follows
scientific method.”39
Penelitian Hukum Empiris yaitu perkembangan ilmu hukum, tidak cukup

hanya dilakukan dengan melakukan studi mengenai sistem norma saja. Hukum

yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam

masyarakat, Artinya, keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial

masyarakat serta perilaku manusia yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.

36
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.21
37
Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta,
h.44
38
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 44.
39
Shanti Bhushan Mishra, 2011, Handbook of Research Methodology A Compendium for
Scholars & Researchers, Educreation Publishing, New Delhi, h. 1.
32

Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan

hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud

adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan

pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). 40

Maka tujuan dari penggunaan metode penelitian adalah agar penelitian

tersebut dapat memenuhi syarat dari suatu karya ilmiah. Metode penelitian yang

digunakan dalam tesis ini terdiri dari beberapa tahap, diantaranya:

1.7.1 Jenis Penelitian

Penyusunan tesis ini metode yang digunakan adalah metode penelitian

hukum normatif, penelitian hukum normatif juga disebut penelitian hukum doktrin,

juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut dengan

penelitian hukum doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada

peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Penelitian

normatif disebut sebagai penelitian doctrinal karena objek kajiannya adalah

dokumen dari peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka, bahan hukum

primer, sekunder, dan tersier yang berkaitan dengan topik penelitian . 41

1.7.2 Jenis Pendekatan

Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan

yakni:

1. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

40
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.34
41
Sugiyono, 2009, “Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
R&D”, Bandung: Alberta, hal.6
33

3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical & Conceptual

Approach)

5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) 42

Penelitian ini digunakan Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analytical &

conceptual approach) dan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach).

Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) mengkaji semua

Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 serta peraturan yang terkait dengan masalah yang diteliti. Analisa Konsep

Hukum (Analytical & conceptual approach) menjawab serta menguraikan masalah

dengan berpijak pada pola pikir dari konsep-konsep hukum formal yang umum

digunakan baik di Indonesia maupun di luar negeri yang berasal dari ahli – ahli

hukum.

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Penulisan ini merupakan penelitian Normatif, maka untuk menunjang

pembahasan masalah tersebut di atas maka sumber bahan hukum yang

dipergunakan terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

1. Bahan Hukum Primer, yakni Bahan yang mempunyai kekuatan

mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi

pihak-pihak yang berkepentingan yang terdiri dari Undang-Undang

42
ibid.
34

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Universal Deceleration

of Human Rights (UDHR) yang telah di ratifikasi oleh Indonesia ke

dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), UU

Penghapusan Diskriminasi dan Permen Pelaksanaan Pendaftaran Tanah;

2. Bahan Hukum Sekunder, yakni Bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa

buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang terkait

dengan permasalahan.43

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh, mengumpulkan serta mengolah bahan dalam

penyusunan tesis ini dilakukan dengan studi dokumen atau telaah bahan pustaka

serta menggunakan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan masalah

yang akan dikaji. Tujuan dan kegunaan studi dokumen dan kepustakaan pada

dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. 44

1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengolahan dan analisis bahan

Hukum yakni:

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu

kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum

43
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, h. 65
44
Ronny Hanitjo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet- ke 5,
Ghalia Indonesia, Jakarta, h 12
35

2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju

atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan

hukum sekunder.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak

argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
36

A. Kohar. (2000). Notaris Berkomunikasi. Bandung: Penerbit Alumni

Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta

Abdul Rachmad Budiono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Bayu Media, Malang

Asikin zainal, 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta

Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo,


Jakarta 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta

Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang


Adil, Grasindo, Jakarta

Cst Kancil et. Al, 2009, Kamus Istilah Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Darji Darmadiharjo dan Shidarta, 2005, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta

Dosminikus Rato, 2010, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT


Presindo, Yogyakarta

H. Juhaya S. Praja, 2016, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV Pustaka Setia,


Bandung

Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung

Ian Mcleod, 2012, Legal Theory, Palgrave Macmillan Law Masters, Stirling Law
School University of Stirling

Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat


Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,

M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta

Moh. Mahfud M.D, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII
Press, Yogyakarta

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum


Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
37

Riduan Syahrani, 2000, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung

Ronny Hanitjo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet-
ke 5, Ghalia Indonesia, Jakarta

Shanti Bhushan Mishra, 2011, Handbook of Research Methodology A Compendium


for Scholars & Researchers, Educreation Publishing, New Delhi

Soedjono Dirdjosisworo, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo


Persada, cetakan keenam, Jakarta

Surjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta

Veronika Bilkova, 2012, On Legal Certainty and The Independence of The


Judiciary, Venice Commission, Strasbourg

Jurnal Ilmiah

Ardika, I. N. (2016). Pemberian Hak Waris bagi Anak Perempuan di Bali dalam
Perspektif Keadilan. Jurnal Magister Hukum Udayana, 5(4), 639-649.

Dewi, N. P. Y. K., & Purwanti, N. P. (2014). Tata Cara Penuntutan Hak Waris oleh
Ahli Waris y ang Sebelumnya Dinyatakan Hilang Berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Kertha Semaya:
Journal Ilmu Hukum, 4(2), 1-5.

Kusuma, A. N. B. I., Indrawati, A. S., & Sukihana, I. A. Kajian Yuridis Jual Beli
Hak Waris Atas Warisan Yang Belum Terbagi Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6(3), 1-
5

Laili, F. (2015). Analisis Pembuatan Surat Keterangan Waris Yang Didasarkan


Pada Penggolongan Penduduk (Berdasarkan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis).
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 5(1), 1-22

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan


38

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia

Peraturan Menteri Agraria Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Anda mungkin juga menyukai