Anda di halaman 1dari 154

LAPORAN AKHIR

KAJIAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM


UPAYA PENANGGULANGAN BANJIR
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KONAWEHA

Tim Peneliti :

Ketua Tim:
Dr.Rudy Iskandar Ichlas, S.H.,M.H.,M.Kn.
Anggota Tim:
Dirawati, S.H.,M.H.
Irwansyah, S.H.,L.L.M.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2021

i
LAPORAN AKHIR

KAJIAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM


UPAYA PENANGGULANGAN BANJIR
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KONAWEHA

Tim Peneliti :

Ketua Tim:
Dr.Rudy Iskandar Ichlas, S.H.,M.H.,M.Kn.
Anggota Tim:
Dirawati, S.H.,M.H.
Irwansyah, S.H.,L.L.M.

ii
HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa dokumen kelitbangan ini menjadi Hak Cipta

atau hak khusus bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi

Tenggara, sebagai penerima hak atas hasil karya tulis ilmiah kelitbangan yang

menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

mempublikasikan atau memperbanyak maupun memberi izin dengan tidak

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kendari, 2021

Dr. Rudy Iskandar Ichlas, S.H.,M.H.,M.Kn.


Ketua Tim Peneliti

iii
ABSTRAK

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yakni: 1. Bagaimana penerapan


Perda No.1/2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha ?; 2. Bagaimana
problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha? ; 3. Bagaimana solusi
hukum atas problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha?. Sedangkan
tujuan penelitian ini: 1. Mendiskripsikan penerapan Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha. ;
2. Mengidentifikasi dan menguraikan problematika hukum upaya penanggulangan
banjir terkait DAS Konaweha. ;3. Untuk mengetahui kemudian merumuskan
solusi hukum atas problematika hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS
Konaweha. Adapun metode penelitianya terdiri dari: Lokasi dan Waktu
Pelaksanaan; Paradigma ; Jenis Penelitian; Pendekatan ; Sumber Data; Teknik
Pengumpulan Data ; Teknik Analisis Data ; Teknik Validasi Data. Kesimpulan
penelitian ini : 1. Penerapan Perda No.1/2015 tentang Pengelolaan DAS hingga
saat ini mengalami kendala teknis karena perencanaan sesuai Pasal 6 ayat (1)
Perda No.1/2015 huruf b tidak dapat terapkan. Pengelolaan DAS membutuhkan
instrument hukum yakni Peraturan Gubernur sebagai dasar mengimplementasikan
Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi serta Pembinaan dan
Pengawasan. Tanpa Peraturan Gubernur dimaksud maka sulit bagi instansi
pelaksana untuk menerapkan pengelolaan DAS yang bersifat teknis.; 2.
Problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha meliputi masalah yuridis
dan non yuridis. Secara yuridis Perda No.1/2015 memerlukan pernyesuaian
dengan peraturan yang lebih tinggi. Problem yuridis lainnya yaitu dibutuhkannya
Peraturan Gubernur sebagaimana perintah Perda No.1/2015 yang meliputi Pasal 8
ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2),
Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3). Secara non yuridis yaitu adanya
pemukiman warga di garis sempadan sungai. Pemukiman warga terkait erat
dengan penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang merupakan
wewenang pemerintah Kabupaten/Kota.; 3. Solusi hukum atas problematika
penanggulangan banjir di DAS Konaweha dilakukan melalui revisi terhadap
Perda No.1/2015 karena sejumlah payung hukumnya mengalami perubahan akibat
dinamika perundang-undangan di pusat. Selanjutnya kendala teknis pengelolaan
DAS memerlukan solusi hukum dengan segera diterbitkan Peraturan Gubernur
sebagai rujukan instansi pelaksana. Selain itu perlunya rekonstruksi hukum atas
Perda No.1/2015 baik pada bagian konsiderans, dasar hukum serta batang tubuh
yang terdiri dari Pasal 11 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 48, Pasal 56, serta Pasal
65.

Kata kunci: Kajian, Produk Hukum, Upaya, Banjir, Sungai

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN DALAM .................................................................................. ii
HAK CIPTA .................................................................................................. iii
ABSTRAK .................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.1. Rumusan Masalah.......................................................................... 4
1.2. Maksud dan Tujuan ....................................................................... 4
1.3. Maksud dan Tujuan ....................................................................... 4
1.4. Ruang Lingkup .............................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 5
2.1. Produk Hukum 6
a. Pembentukan Produk Hukum................................................... 6
2.1.1.1. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Beschikking 6
2.1.1.2. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Regeling. . . 6
b. Penerapan Hukum..................................................................... 7
i. Penerapan Hukum Beschikking......................................... 7
ii. Penerapan Hukum Regeling............................................... 8
c. Problematika Hukum................................................................ 8
i. Penerapan Hukum Beschikking......................................... 8
2.2. Tinjauan Tentang Banjir............................ 8
2.2.1. Dampak Sosial Banjir............................................... 9
2.2.2. Penyelenggaraan Penanggulangan Banjir................ 9
2.2.3. Kebijakan HukumTentang Banjir............................. 10
2.3. Daerah Aliran Sungai 10
2.3.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai........................... 10
2.3.2. Problematika Daerah Aliran Sungai......................... 11
2.3.3. Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.............. 11
2.4. Sungai Konaweha 12

v
LANDASAN TEORI........................................................................................ 12
2.1. Teori Negara Hukum (Grand Theory) ..... 12
2.2. Teori Politik Hukum (Middle Range Theory)
12
2.3. Teori Hukum Responsif Philippe Nunet dan Philip Zelznick
(Applied Theory) ................................................................. 13
BAB IV. METODOLOGI............................................................................... 14
3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ................................................... 14
3.2. Paradigma .................................................................................... 14
3.3. Jenis Penelitian ............................................................................ 14
3.4. Pendekatan .................................................................................. 15
3.5. Sumber Data ................................................................................ 15
3.6. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 15
3.7. Teknik Analisis Data .................................................................... 16
3.8. Teknik Validasi Data..................................................................... 16
IV. ANALISIS DATA.................................................................................. 18
4.1. Analisis Data Terhadap Nama dan Jumlah Kecamatan
Masing-masing Kabupaten/Kota di DAS Konaweha ................... 18
4.2. Analisis Data Terhadap Luas DAS Berdasarkan Lahan Kritis...... 24
4.3. Analisis Data Terhadap Luas Lahan Berdasarkan Tingkat
Bahaya Erosi Di DAS Konaweha.................................................. 26
4.4. Analisis Peristiwa Banjir DAS Konaweha Berdasarkan Data
Kejadian Bencana Kabupaten Kolaka Timur Tahun 2020............ 27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 30
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 30
5.2. Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 1 Tahun 2015 Dalam Pengelolaan DAS Konaweha............ 36
5.2.1. Latar Belakang Pembentukan Perda No.1/2015....................... 37
5.2.2. Penerapan Perda No.1/2015 Dalam Pengelolaan DAS
Konaweha.................................................................................. 39
a. Perencanaan....................................................................... 40

vi
b. Pelaksanaan........................................................................ 43
c. Monitoring dan Evaluasi.................................................... 45
d. Pembinaan dan Pengawasan.............................................. 48
5.3. Problematika Penanggulangan Banjir di DAS Konaweha................. 51
5.3.1. Masalah Penyesuaian dengan Peraturan yang Lebih
Tinggi........................................................................................ 51
a. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja........................................ 51
b. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air............................. 54
5.3.2. Masalah Peraturan Pelaksanaan Dari Perda No.1/2015........... 55
5.3.3. Masalah Pendanaan................................................................... 57
5.3.4. Masalah Deforestrasi................................................................. 60
a. Deforestrasi akibat Perambahan......................................... 60
b. Deforestrasi Akibat Pertambangan.................................... 62
c. Deforestrasi Akibat Perkebunan Kelapa Sawit.................. 64
5.3.5. Pemanfaatan Bantaran Sungai Konaweha................................ 66
5.4. Solusi Hukum Atas Problematika Penanggulangan Banjir
di DAS Konaweha)............................................................................ 68
5.4.1. Solusi Hukum Terkait Revisi Perda No. 1 / 2015
sebagai Penyesuaian Pada Aturan Yang Lebih Tinggi.......... 69
a. Penyesuaian dengan Undang-Undang............................... 69
1. Penyesuaian Terhadap Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja............................ 69
2. Penyesuaian Terhadap Undang - Undang
Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya
Air............................................................................... 70
b. Penyesuaian dengan Peraturan Pemerintah........................ 71
5.4.2. Solusi Atas Masalah Peraturan Pelaksanaan Perda
No.1/2015.................................................................................. 81
5.4.3. Solusi Hukum Atas Masalah Pendanaan dan Deforestrasi...... 92

vii
5.4.4. Solusi Hukum Atas Masalah Pemukiman di Bantaran
Sungai........................................................................................ 96
5.4.5. Solusi Hukum Atas Masalah Kepastian Terbitnya
Peraturan Pelaksana Perda No.1/2015...................................... 98
5.4.6. Solusi Hukum Yang Merupakan Penyesuaian Perda
No.1/2015 Menyangkut Istilah Dinas di Pasal 11 ayat (3)
dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Pasal
56 100
VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 103
6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 103
6.2. Saran................................................................................................... 104

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak terlepas dari fungsi


lahan yang ada di hulu, hilir serta di kiri dan kanan aliran sungai yang ada.
Keberadaan lahannya harus memiliki fungsi strategis sehingga pengelolaanya
diarahkan pada kelestarian atas fungsi lahan itu sendiri. Perubahan fungsi
lahan tentu memiliki konsekuensi atas kelestarian DAS. Perubahan yang
terjadi, salah satunya adalah perilaku manusia. Perilaku buruk terhadap
pemanfaatan sumber daya alam di dalam DAS adalah ancaman.
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung
(BPDASHL) Sampara, Kota Kendari, yang menangani DAS Konaweha
memiliki fungsi strategis. Secara administrasi DAS Konaweha meliputi tujuh
daerah otonom yakni Kabupaten Konawe, Kolaka Timur, Kolaka, Konawe
Selatan, Kolaka Utara, Konawe Utara dan Kota Kendari . Dengan cakupan
yang begitu luas, DAS Konaweha berpotensi besar menjadi faktor penyebab
banjir di tujuh daerah otonom tersebut diatas. Pengelolaan DAS Konaweha
yang baik tentu akan meminimalisir potensi banjir. Pengelolaan tersebut
harus selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Pada sisi lain fakta adanya ancaman banjir itu secara yuridis telah
terdeteksi sejak 6 (enam) tahun lalu. Regulasi terkait pengelolaan DAS di
Sulawesi Tenggara menunjukkan hal itu dengan terbitnya Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (Perda No.1/2015). Alasan pembentukan Perda
No.1/2015 pada konsiderans huruf b dengan jelas dan tegas menyatakan
“kerusakan daerah aliran sungai di Sulawesi Tenggara makin
memprihatinkan sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir,
tanah longsor, penurunan kualitas air, krisis air dan atau kekeringan, erosi dan
sedimentasi yang telah berdampak pada perekonomian dan tata kehidupan
masyarakat.”

1
Sejalan dengan hal tersebut diatas maka pemanfaatan lahan di daerah
aliran sungai perlu dikelola dengan penuh kehati-hatian mengingat fungsinya
sebagai konservasi air. Pada wilayah ini juga ditemukan ragam tumbuhan
baik berupa pohon ataupun rumput liar. Dampak negatif pemanfaatan lahan
dapat menjadi salah satu ancaman terhadap ekologi di daerah aliran sungai.
Populasi penduduk yang terus meningkat tentu berdampak bagi kebutuhan
lahan yang makin banyak luasannya. Sebagai akibat ikutannya yaitu daya
dukung lahan juga mengalami penurunan sebagai dampak populasi dimaksud.
Daya dukung lahan tersebut merupakan tingkat kemampuan bagi lahan dalam
mendukung berbagai aktifitas masyarakat di lingkungannya. Data atas lahan
DAS Konaweha dengan berbagai penggunaanya adalah potensi nyata bagi
ancaman secara ekologis. Penelitian dari pihak Fakultas Kehutanan dan Ilmu
Lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari tahun 2014, (Marwah, S.,2014),
telah menunjukkan fakta bahwa antara tahun 1991 hingga tahun 2010 tercatat
ada delapan macam penggunnaan lahan pada DAS Konaweha Hulu
sebagaimana ditampilkan tabel berikut ini:

Keberadaan lahan berupa Perkebunan, Kebun Campuran, Sawah


serta pemukiman menunjukkan secara signifikan bahwa fakta adanya
ancaman fungsi hutan sebagai resapan air di kawasan DAS. Pengelolaan DAS
yang memiliki sisi kelemahan atas upaya mempertahankan luasan hutan tentu
akan berakibat pada meningkatnya debit air di sungai akibat hutan sebagai
resapan air yang mengalami degradasi. Ancaman ini sangat terbuka ketika
investor perkebunan melakukan ekspansi lahan secara berlebihan.

2
Hasil observasi juga menunjukkan, selain persoalan yang
mengemuka diatas, lahan kritis juga merupakan persoalan tersendiri. Upaya
pengendalian terhadap lahan kritis sebenarnya telah dilakukan oleh
pemerintah berupa penghijauan atau reboisasi namun keberadaan lahan kritis
dalam lingkungan DAS tetap ada. Dijelaskan juga oleh pihak BPDASHL
Sampara bahwa di wilayah DAS Konaweha banyak ditemui adanya lahan
kritis.
“Pernah dilakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 2013
s/d 2018 oleh Dinas Kehutanan .DAS Konaweha banyak lahan
kritis, yang masuk kategori kritis 32 ribu ha.Yang sangat kritis
93 ha, pihak kami hanya mampu merehabilitasi 450 ha.Selain
keterbatasan sumber daya manusia juga masalah
pendanaan.”(Wawancara Sigit, Staf Analisa BPDASHL
Sampara, Rabu 13 Januari 2021)

Tujuh daerah otonom yang secara administrasi menaungi DAS


Konaweha tentu setidaknya memiliki tanggung jawab moral atas upaya
penanggulangan banjir. Kondisi daerah aliran sungai yang diabaikan
berdampak pada ancaman banjir sewaktu-waktu ketika air sungai Konaweha
meluap. Bentuk upaya bersama terkait penaggulangan banjir sungai
Konaweha tersebut seharusnya bukan lagi pada tataran wacana tetapi harus
diwujudkan baik secara hukum ataupun non hukum.
Dari sejumlah fakta atas ancaman secara ekologi di wilayah DAS
Konaweha yang telah diungkap diatas maka urgensi atas upaya
penanggulangan banjir menjadi manarik dari sisi kajian hukum. Berbagai
permasalahan telah dikemukakan terkait pengelolaan DAS Konaweha dalam
kaitannya dengan bahaya banjir. Masalah-masalah yang muncul itu mulai
dari populasi penduduk yang terus meningkat, pemanfaatan lahan DAS
Konaweha untuk berbagai keperluan , hutan yang terus terancam dengan
degradasi, penanganan lahan kritis, rehabilitasi lahan hingga ancaman
ekspansi lahan untuk perkebunan oleh investor. Sudah selayaknya dimulai
adanya kajian yang memungkinkan pembentukan produk hukum yang
menjadi landasan ideal bagi pengelolaan DAS Konaweha. Dalam upaya
tersebut penelitian ini mengetengahkan judul ”Kajian Pembentukan

3
Produk Hukum Upaya Penanggulangan Banjir di Daerah Aliran Sungai
Konaweha.”
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 1 Tahun 2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha ?
2. Bagaimana problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha?
3. Bagaimana solusi hukum atas problematika penanggulangan banjir di
DAS Konaweha?
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud pelaksanaan penelitian tentang kajian pembentukan produk
hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha
adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis tentang kajian pembentukan
produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai
Konaweha sehingga melahirkan produk hukum yang selaras dengan fungsi
ideal dari hukum.
Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan langkah penerapan Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 dalam pengelolaan DAS
Konaweha.
2. Mengidentifikasi dan menguraikan lebih lanjut perihal problematika
hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS Konaweha.
3. Untuk mengetahui kemudian merumuskan solusi hukum atas
problematika hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS
Konaweha.
1.4. Sasaran
Sasaran dari kegiatan ini adalah terwujudnya hasil penelitian yang
berfungsi sebagai bahan dasar pembentukan produk hukum upaya
penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha, dimana antara lain
meliputi:
1. Mendiskripsikan hasil analisis kajian pembentukan produk hukum
upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai konaweha.

4
2. Mengidentifikasi dan menguraikan lebih lanjut perihal problematika
hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS Konaweha
3. Untuk mengetahui kemudian merumuskan pembentukan produk
hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai
Konaweha.
1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian pembentukan produk hukum upaya


penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha meliputi substansi
sebagai berikut:
- Melaksanakan pengumpulan bahan hukum sehubungan
pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah
aliran sungai Konaweha.
- Mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi dalamupaya
penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha.
- Melakukan kajian analisis atas pembentukan produk hukum dalam
upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha
- Melahirkan sebuah rekomendasi tentang pembentukan produk
hukum dalam upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai
Konaweha

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

TELAAHAN PUSTAKA

2.1. Produk Hukum

Secara etimologis produk hukum merupakan rangkaian kata


yang terdiri dari “produk” dan “hukum”. Kata Produk menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengandung pengertian barang atau jasa yang
dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan
menjadi hasil akhir dari proses produksi itu(https://kbbi.web.id/produk ,
diunduh Minggu 17 Januari 2021). Sementara kata hukum dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti peraturan atau adat yang secara resmi
dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
(https://kbbi.web.id/hukum , diunduh Minggu 17 Januari 2021) Dari ke
dua pengertian tersebut maka pengertian dari produk hukum adalah
peraturan atau adat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintahyang
dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan
menjadi hasil akhir dari proses produksi itu.
2.1.1. Pembentukan Produk Hukum

2.1.1.1. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Beschikking

Beschikking atau keputusan tata usaha negara merupakan


produk hukum bersifat memutuskan atau menetapkan. Konsekuensi
dari sifatnya yang menetapkan tersebut maka beschikking
bentuknya kongkret dan individual, Philipus M Hadjon, dkk.
(2015). Meskipun bentuknya kongkret dan individual beschikking
diterbitkan dalam kerangka penyelenggraan pemerintahan.
Berkenaan dengan hal tersebut maka produk hukum bersifat
beschikking pembentukannya dilakukan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara.
2.1.1.2. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Regeling

6
Regeling sebagai produk hukum dari segi sifatnya tentu
berbeda dengan beschikking.Regeling memiliki sifat mengatur
sehingga konsekuensinya mengikat tidak secara individual tetapi
berlaku umum.Akibat dari sifat keberlakuannya yang umum itu
maka regeling memiliki bentuk yang abstrak sebagaimana
peraturan perundang-undangan.
Membentuk produk hukum yang memiliki sifat Regeling
dimana menyangkut kepentingan umum tentu ada tujuannya yang
jelas (beginsel van duideleijke doelstelling),Muhammad Ishom
(2017) sebagaimana terlihat dalam peraturan perundang-undangan.
Secara jelas tujuan ini terlihat pada dasar pertimbangan
pembentukannya yang memiliki 3 landasan pokok yang terdiri dari:
2.1.2. Penerapan Hukum

Keberhasilan suatu penegakan hukum tentu


berkontribusi positif atas penerapan hukum yang
dilakukan.Sementara dalam penegakan hukum itu sendiri,
komponen sistim hukum juga tidak kalah pentingnya.Menurut
Lawrence M. Friedman komponen sistem hukum terdiri atas kultur
hukum, substansi hukum, dan struktur hukum. Kultur hukum
adalah budaya hukum masyarakat, substansi hukum artinya materi
hukum yangtermuat dalam perundang-undangan dan struktur
hukum berarti lembaga pelaksana hukum (Freidman,2001:43).
2.1.2.1. Penerapan Produk Hukum Beschikking

Yang berhak mengeluarkan produk hukum


beschikking telah ditentukan yaitu badan dan/atau pejabat
pemerintahan sehingga badan hukum perdata atau pribadi
meskipun bersifat konkret dan individual bukanlah
beschikking. Sebagai bagian dari tata usaha Negara,
beschikkingdikategorikan sebagai keputusan tata usaha
negara yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha
Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan

7
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Ps.1 angka
7,UU No.30/2014).
2.1.2.2. Penerapan Produk Hukum Regeling

Sebagaimana dikemukakan Maria Farida Indrati


S (2007).yang membedakan produk hukum regeling dengan
beschikking yaitu sifatnya yang berlaku terus-menerus
(dauerhaftig) , dan produk hukum beschikking bersifat
sekali selesai (enmahlig). Produk hukum yang berlaku
terus-menerus (dauerhaftig) artinya sejak ditetapkan maka
produk hukum tersebut diberlakukan untuk seterusnya yang
tidak terikat oleh waktu sampai dinyatakan dicabut atau
diganti aturan baru.Sedangkan produk hukum bersifat
sekali selesai (enmahlig) hanya berlaku sekali saja dan
selesai sejak ditetapkan.
2.1.3. Problematika Hukum

Dalam konsep negara hukum, penyelenggaraan negara


harus berdasarkan hukum.Pada praktek hukum sering ditemukan
adanya permasalahan sehingga sengketa yang terjadi tidak
terhindarkan.Tidak mengherankan dalam negara yang memiliki
paham yang demikian tidak lepas dari problematika hukum.Di
dalam konteks negara yang berdasarkan atashukum, maka
problematika atau permasalahan hukum yang muncul harus segera
mendapatkan solusi,agar ada kepastian hukumnya.Problematika
yang muncul tersebut dapat disebabkan oleh ketidakjelasan dalam
pengaturan atau belum lengkapnya dalam pengaturan atau sebab
yang lain dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
(Saraswati, 2013: 97).
2.2. Tinjauan Tentang Banjir

Secara etimologis, bencana banjir merupakan rangkaian kata


yang meliputi kata”Bencana” dan “Banjir”. Pengertian bencana
menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang

8
menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan;
kecelakaan; bahaya. Demikian halnya pengertian banjir dalam KBBI
adalah berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tentang kali
dan sebagainya).Dari pengertian tersebut maka pengertian tentang
bencana banjir adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan)
kesusahan, kerugian, atau penderitaan di suatu wilayah yang berair
banyak dan deras, kadang-kadang meluap.Pengertian secara etimologis
ini tentu kurang memuaskan sehingga memerlukan pemahaman lebih
lanjut tentang banjir.
2.2.1. Dampak Sosial Banjir
Banjir yang berupa air yang melimpah bukan
menjadi jaminan atas ketersediaan air bersih bagi warga yang
terkena musibah.Air yang terbawa banjir bukanlah air yang
memiliki kualitas yang memadai karena pada dasarnya air yang
tidak terjamin kebersihanya apalagi dari segi kesehatan. Sejalan
dengan kondisi tersebut maka peran rumah tangga menjadi
penting untuk dikedepankan. Pengetahuan yang dimiliki rumah
tangga tentang banjir akan mempengaruhi sikap dan kepedulian
untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi banjir. Oleh karena
itu, rumah tangga seharusnya berpartisipasi dan memiliki
pemahaman tentang kesiapsiagaan menghadapi banjir untuk
mengurangi resiko, mengantisipasi bencana dan mengurangi
dampak negatif yang kemungkinan bisa terjadi di lingkungan
tempat tinggal mereka. Partisipasi pada lingkup yang paling
kecil adalah kesiapsiagaan diri dan keluarga masing- masing.
Berdasarkan hal ini maka diperlukan sebuah kajian tentang
kesiapsiagaan rumah tangga dalam mengantisipasi bencana
banjir. (Murbawan, I., Ma'ruf, A., & Manan, A. , 2018: 60)
2.2.2.Penyelenggaraan Penanggulangan Banjir
Banjir sebuah malapetaka yang selalu ingin dihindari
setiap orang. Berbagai kerugian akan dirasakan ketika luapan
air menggenangi suatu wilayah, utamanya area pemukiman.

9
Banjir yang membawa dampak merugikan sesungguhnya yang
membuat orang ingin menghindarinya sehingga terpikir untuk
berupaya menanggulanginya. Hal ini dipahami karena banjir
tidak dapat dicegah, tetapi bisa dikontrol dan dikurangi dampak
kerugian yang ditimbulkannya (Sebastian, L,2008:104).
2.2.3. Kebijakan HukumTentang Banjir
Kebijakan hukum lahir melalui institusi atau pejabat
yang berwenang untuk merealisasikan tujuan yang hendak
dicapai. Kebijakan hukum sering juga dinamai politik hukum
dimana peran pemerintah ada di dalamnya.Dinamakan politik
hukum sebagai bagian dari politik sosial dimana nampak bahwa
warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan
tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang
memegang kendali pemerintahan (Apriansyah,2017:189).
2.3. Daerah Aliran Sungai

Pembangunan berkelanjutan dalam upaya pelestarian


sumberdaya air pada Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu
proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam,
sumberdaya air, dan juga sumberdaya manusia secara berkelanjutan.
Mengingat debit air sungai yang selalu berubah akibat tergantung
dengan curah hujan maka DAS sebagai ruang sungai perlu dilindungi
agar tidak digunakan untuk kepentingan lain (Muhjad,2015:111).
2.3.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (Watershed) atau dalam skala
luasan kecil disebut Catchment Area adalah suatu wilayah
daratan yang dibatasi oleh punggung bukit atau batas-batas
pemisah topografi, yang berfungsi menerima, menyimpan dan
mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke alur-alur
sungai dan terus mengalir ke anak sungai dan ke sungai utama,
akhirnya bermuara ke danau/waduk atau ke laut.Air dalam
jumlah yang besar sebagai bagian dari daerah aliran sungai
memerlukan perlindungan dan pengendalian. Menurut Koesnadi

10
Hardjosoemantri pengaturan terkait perlindungan dan
pengendalian pemanfaatan air bumi(air tanah) hendaknya
ditingkatkan kualitasnya terutama kejelasan pengaturan tentang
wewenang pemerintah agar sumber air yang besar tersebut tidak
rusak akan tetapi dikelola secara lestari ((Muhjad,2015:104)..
2.3.2. Problematika Daerah Aliran Sungai

Untuk mendukung tujuan pengelolaan DAS secara


lestari, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 26
kawasan hutan. Artinya, daerah hulu yang berfungsi untuk
memberikan perlindungan kawasan di bawahnya dan daerah
sempadan sungai seharusnya merupakan kawasan hutan dan hal
ini telah diamanatkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung.Namun pada kenyataannya, melihat fenomena yang
terjadi dalam tiga dekade terakhir ini di kawasan DAS Indonesia,
lahan di daerah hulu dan sempadan sungai sudah menjadi hak
milik pribadi dan berubah menjadi lahan pertanian. Untuk
mengembalikan kawasan tersebut sesuai fungsinya sebagai
kawasan hutan sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang
lama untuk mengembalikan fungsinya seperti sediakala (Sofyan,
Thamrin & Mubarak: 59-70).
2.3.3. Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa


“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
bagian dari bumi yang mengandung air dan mengandung
kekayaan alam sehingga harus dilindungi, diatur, dikuasai dan
dikelola oleh negara dalam rangka untuk mewujudkan
kemakmuran bagi rakyat.Penguasaan negara dimaksud berkaitan
dengan pembangunan bagi rakyatnya. Namun merujuk pada

11
etika lingkungan maka perlu direfleksikan dengan pembangunan
berkelanjutan (Sinamo, 2010:73).
2.4. Sungai Konaweha
Sungai Konoweha atau Sungai Sampara adalah sungai di
Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia dan merupakan salah satu sungai
terpanjang serta terbesar di pulau Sulawesi dengan panjang sekitar 341
Km.Sungai ini berhulu di Gunung Bulu Brama, Kecamatan Uluiwoi,
Kabupaten Kolaka Timur dan bermuara ke Laut Banda dekat Kecamatan
Kapoiala, Kabupaten Konawe melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten
Kolaka Timur, Kabupaten Konawe Selatan , Kabupaten Konawe. Salah
satu peranannya yang sangat vital adalah sebagai sumber air bagi
pemenuhan kebutuhan domestik, industri dan irigasi
(Marwah,2014:209).
LANDASAN TEORI
2.1. Teori Negara Hukum (Grand Theory)
Secara kesejarahan, konsep negara hukum bercirikan
demokrasi ditemukan di negara kota (polis) Athena di Yunani sejak
berabad-abad yang lalu. Namun dalam negara hukum modern di abad
ke 20 sekarang ini memunculkan tipe negara hukum materiil/modern
atau negara kesejahteraan.Cirinya, hubungan antara negara dan
masyarakat bersifat aktif. Artinya rakyat berpastisipasi dalam
pemerintahan dan negara aktif mengatur dan mengurus perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat (Atmadja ,Wiyono dan
Sudarsono,2015:13).
2.2. Teori Politik Hukum (Middle Range Theory)
Pada setiap negara memiliki politik hukumnya masing-
masing sebagai bagian dari kebijakan negara. Pengertian mengenai
politik hukum sama halnya dengan pengertian hukum dimana para
ilmuan hukum belum ada pemahaman yang sama. Hal mana para
ilmuan dimaksud memandang hukum atau politik hukum berdasarkan
perspektif mereka masing-masing.Namun dari berbagai
pengertian/definisi itu pada substansinya sama(Mahfud MD,2011:1).

12
2.3. Teori Hukum Responsif Philippe Nunet dan Philip Zelznick
(Applied Theory)

Teori hukum responsif yang dimunculkan oleh Philippe


Nonet dan Philip Selznick merupakan bentuk ketidappuasan atas krisis
yang terjadi pada otoritas hukum.Perubahan sosial dan keadilan sosial
membutuhkan tatanan hukum yang responsif.Nonet dan Selznick
melalui konsep yang dibawakannya itu menempatkan hukum sebagai
sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik,
(Tanya,2011:78-79).

13
BAB IV
METODOLOGI

3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Lokasi penelitian meliputi Kab. Kolaka, Kab. Kolaka Utara, Kab.


Kolaka Timur, Kab. Konawe, Kab.Konawe Utara, Kab. Konawe Selatan,
dan Kota Kendari. Waktu penelitian dengan 7 lokasi tersebut , sebagaimana
direncanakan selama 4 bulan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: Juni,
Juli, Agustus, serta September 2021
3.2. Paradigma
Penulis dalam penelitian ini menggunakan paradigma
kostruktivisme, operasionalisasi paradigma konstruktivisme pada penelitian
ini untuk mendapatkan data material yang empirik didalam praktek
metedologi dilakukan dengan kajian pembentukan produk hukum upaya
penanggulangan banjir di Daerah Aliran Sungai Konaweha.Metode
penelitian in concreto yang diadopsi, untuk menguji apakah sebuah postulat
normatif dapat atau tidak dapat dipergunakan atau diterapkan untuk
peristiwa kongret seperti halnya bencana banjir. Keberhasilan penelitian
perkara hukumin concreto sangat dipengaruhi oleh kemampuan penelitian
dalam mengumpulkan fakta-fakta yang akurat tentang peristiwa banjir di
Daerah Aliran Sungai Konaweha yang menjadi obyek penelitian,
(Irwansyah,2020:114-115).
3.3. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan fokus kajian
normatif-empiris. Secara kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas social, sikap, kepercayaan,
persepsi , pemikiran orang secara individual maupun kelompok, Suteki &
Taufani(2018). Normatif-Empiris yakni secara normatif merupakan
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder.Dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut
tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu

14
hukum, Amiruddin dan Asikin (2014), sementara secara empiris meninjau
fungsi dari suatu hukum atau aturan dalam hal penerapannya di ruang
lingkup masyarakat.Peneliti harus memeriksa kembali informasi yang
diperoleh dari responden atau informan dan nara sumber, terutama
kelengkapan jawaban yang diterima apabila peneliti menggunakan banyak
tenaga dalam pengambilan data (Fajar dan Achmad, 2015:181).
3.4. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial legal research
.Sosiolegal bersifat interdisipliner dari studi besar tentang ilmu hukum dan
ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang lahir
sebelumnya. Studi sosiolegal melakukan studi tekstual, pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal
dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subyek hukum.Dalam hal
ini dapat dijelaskan bagaimanakah makna yang terkandung dalam pasal-
pasal tersebut merugikan atau menguntungkan kelompok masyarakat
tertentu dan dengan cara bagaimana, (Irianto,2011:177-178).
3.5. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh di lapangan sebagai sumber pertama, yakni
perilaku masyarakat,melalui penelitian, Soerjono Soekanto(2014).. Data
primer merupakan hasil observasi serta wawancara ke berbagai pihak terkait
kajian pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di Daerah
Aliran Sungai Konaweha.Sementara data sekunder telah tersususn dalam
bentuk dokumen-dokumen,Suryabrata (2012).Data sekunder/bahan hukum ini
dikualifikasikan sebagai bahan hukum primer: perundang-undangan,catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen resmi: buku-buku teks,jurnal-jurnal
hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan, (Marzuki,2010:181).
3.6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan
wawancara yang mendalam dengan para key informan yang sudah

15
ditentukan peneliti berdasarkan karakteristik penelitian. Menurut Larry
Cristensen,Sugiyono(2017). Observasi diartikan sebagai pengamatan
terhadap perilaku manusia dalam situasi tertentu,untuk mendapatkan
informasi tentang fenomena yang diinginkan. Menurut Sutrisno Hadi
bahwa dalam wawancara anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti adalah
sebagai berikut:
1. Bahwa subyek (informan/responden) adalah orang yang
paling tahu tentang dirinya sendiri.
2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti
adalah benar dan dapat dipercaya
3. Bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa
yang dimaksud peneliti, (Sugiyono, 2017:188).
Informan (responden) yang akan diwawancarai antara lain Kepala
BNPB Sultra (atau Staf yang ditunjuk), Kadis Kehutanan (atau Staf yang
ditunjuk), pihak BPDASHL Sampara, pihak Balai Wilayah Sungai Sulawesi
IV, pihak BKSDA Sulawesi Tenggara, Pihak Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi Sulawesi Tenggara, Pihak Dinas Lingkungan Hidup di Kolaka,
Koltim, Konawe, Konawe Utara, Konsel dan Kota Kendari, Pihak BNPB di
di Kolaka, Koltim, Konawe, Konawe Utara, Konsel dan Kota Kendari, dan
LSM Lingkungan.
Sementara pengumpulan data sekunder, dilakukan dengan studi
kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkain usaha untuk memperoleh data
dengan cara membaca, menelaah, mengklasifikasikan dan dilakukan
pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan-peraturan,
literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan yang dikemukakan,
(Soekanto & Mamudji,2011:12-14).
3.7. Teknik Analisis Data
Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sanagt kritis
dalam penelitian. Peneliti harus menentukan pola analisis mana yang
akandigunakan. Penelitian ini memakai metode analisis kualitatif yang
berlandaskan pada filsafat post-positivisme, diugnakan untuk meneliti

16
obyek yang alamiah , dimana peneliti sebagai instrument kunci, Suteki &
Taufani (2018).Data serta bahan hukum yang telah dikumpulkan menjadi
sebuah data kualitatif dianalisis secara mendalam dan terperinci sehingga
sifatnya panjang lebar. Akibatnya datanya bersifat spesifik, terutama untuk
meringkas data dan menyatukannya dalam satu alur analisis yang mudah
dipahami pihak lain.
3.8. Teknik Validasi Data
Teknik validasi data bertujuan untuk mengetahui sejauhmana
keabsahan data yang telah diperoleh dalam penelitian. Teknik yang
digunakan adalah triangulasi pada sumber, yakni (1) melakukan
perbandingan antara data yang diperoleh dari hasil observasi dengan data
yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan; (2) melakukan
perbandingan antara persepsi, pandangan dan pendapat umum dengan
persepsi, pandangan dan pendapat peneliti; (3) melakukan perbandingan
antara hasil wawancara dengan dokumen-dokumen hasil kajian pustaka.
Setelah proses triangulasi dilakukan, barulah peneliti menentukan data yang
dinilai sah untuk digunakan sebagai bahan penelitian.

17
BAB IV
ANALISIS DATA

4.1. Analisis Data Terhadap Nama dan Jumlah Kecamatan Masing-


Masing Kabupaten/Kota di DAS Konaweha
Analisis data secara administratif wilayah pemerintahan di area DAS
Konaweha dirasakan sangat penting karena dampak atas keberadaan DAS
apakah berkorelasi dengan bencana banjir yang terjadi. Data secara
administratif wilayah pemerintahan tersebut akan dianalisis berdasarkan
data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung
(BPDASHL) Sampara, Kota Kendari tentang Rencana Pengelolaan DAS
Konaweha (Revisi Tahun 2013-2018). Hal ini dipahami karena BPDASHL
berugas melaksanakan penyusunan rencana, pelaksanaan rehabilitasi hutan
dan lahan serta konservasi tanah dan air, pengembangan kelembagaan,
pengendalian kerusakan perairan darat, dan evaluasi pengelolaan daerah
aliran sungai dan hutan lindung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Sebagaimana dikatahui bahwa BPDASHL Sampara merupakan unit
pelaksanaan teknis di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan hutan
lindung yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur
Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Pasal 1
butir 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.10 /
Menlhk/ Setjen/ OTL/ 0/ 1 / 2016). Berdasarkan otoritas yang dimiliki oleh
BPDASHL tersebut menjadi relevan untuk menganalisis data secara
administratif wilayah pemerintahan di area DAS Konaweha dari aspek
dampak lingkungan yang terjadi, khususnya bencana banjir. Berdasarkan
data BPDASHL Sampara tersebut akan dicoba dianalisis dengan cara
sebagai berikut:

18
Tabel. 4.1.
Nama dan Jumlah Kecamatan Masing-masing Kabupaten/Kota
di DAS Konaweha

No. Kabupaten/Kota Jumlah


Kecamatan
Kecamatan

1. Konawe Abuki, Amonggedo,


Anggaberi, Asinua, Besulutu,
Bondoala, Kapoiala, Konawe,
Lalonggasumeeto, Lambuya,
Latoma, Meluhu, Onembute, 21
Pondidaha, Puriala, Sampara,
Tongauna, Uepay, Unaaha,
Wawotobi, Wonggeduku
2. Konawe Selatan Angata, Baito, Basala, Benua,
Buke, Konda, Landono,
Mowila, Ranomeeto, 11
Ranomeeto Barat, Wolasi
3. Konawe Utara Asera, Lasolo, Lembo, Sawa 4
4. Kolaka Wolo 1
5. Kolaka Timur Ladongi, Lalolae, Labandia,
Latambaga, Loea, Mowewe, 11
Polipolia, Samaturu, Tinondo,
Tirawuta, Uluiwoi
6. Kolaka Utara Pakue, Pakue Tengah, Pakue
4
Utara, Wawo
7. Kendari Baruga, Mandonga, Puwatu,
4
Wua-Wua
Sumber: BPDASHL Sampara tentang RPDAST DAS Konaweha 2014

Sebagaimana data yang tersaji diatas terlihat, akan dianalisis 3


daerah administratif sebagai sampel yang dianggap sebagai repsentasi
keseluruhan Kabupaten/Kota di DAS Konaweha. Analisis disajikan tidak
memperhitungkan ferkuensi kejadian selama setahun tetapi berdasarkan ada
atau tidaknya fakta yang terjadi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan

19
gambaran bahwa di suatu daerah tertentu memang memiliki rekam jejak atas
kejadian bencana banjir.
Tiga daerah yang akan dianalisis ini sengaja diberi warna sebagai
pembeda dengan 4 daerah DAS Konaweha lainnya. Ketiga daerah
administratif dimaksud masing-masing Kabupaten Konawe, Kabupaten
Kolaka Timur serta Kota Kendari. Kabupaten Konawe dipilih disamping
memiliki kecamatan terbanyak di DAS Konaweha karena baik Kabupaten
Konawe Selatan maupun Konawe Utara adalah hasil pemekaran dari
Kabupaten Konawe sebagai daerah induk. Sementara, Kabupaten Kolaka
Timur dipilih, selain sebagai tempat keberadaan hulu sungai Konaweha,
juga memiliki kecamatan di DAS Konaweha yang jauh lebih banyak
dibandingkan Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Kota Kendari menjadi
sampel, selain satu-satunya wilayah administratif yang berstatus kota yang
menjadi cakupan DAS Konaweha, juga karena kedudukannya sebagai ibu
kota provinsi yang memiliki fungsi strategis sebagai pusat pemerintahan
provinsi.
Bencana banjir sebagai dampak meluapnya sungai Konaweha tidak
dapat dipisahkan dengan DAS Konaweha itu sendiri. Wilayah Kabupaten
Konawe juga merupakan cakupan DAS Konaweha sehingga memiliki
urgensi untuk dianalis sehubungan potensi banjir yang ada. Sebagaimana
informasi pihak BPBD Kabupaten, diwilayah Kabupaten Konawe pernah
mengalami bencana banjir yang cukup luar biasa pada tahun 2019. Rekam
jejak terjadinya banjir di Kabupaten Konawe itu tentu merupakan bahan
riset yang penting untuk dianalisis. Bencana banjir yang terjadi dalam
cakupan DAS Konaweha di wilayah Kabupaten Konawe dapat disaksikan
melalui Data BPBD Konawe tahun 2019, berikut ini.

Tabel 4.2.

20
Rekapitulasi Bencana Banjir Tahun 2019

Sumber: BPBD Kabupaten Konawe

Dengan mengkomparasikan antara data BPDASHL dengan Data


milik BPBD Kabupaten Konawe tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 18
Kecamatan dari 21 Kecamatan di wilayah DAS Konaweha yang berada di
daerah administrasi Kabupaten Konaweha mengalami bencana banjir. Hal
ini menunjukkan 86 % daerah administrasi Kabupaten Konawe yang
menjadi cakupan DAS Konaweha terlanda banjir pada tahun 2019 silam.
Diketahui juga bahwa secara keseluruhan saat ini Kabupaten Konawe
memiliki 30 Kecamatan berdasarkan Permendagri Nomor 66 Tahun 2011.
Dengan mencermati data bencana banjir milik BPBD Konawe tahun 2019
diketahui juga bahwa sebanyak 60% kecamatan yang ada di Kabupaten
Konawe yang mengalami banjir pada tahun 2019 terletak di daerah cakupan
DAS Konaweha.
Selanjutnya, bencana banjir di wilayah cakupan DAS Konaweha
yang terjadi di Kabupaten Kolaka Timur dianalisis berdasarkan Data
Resume Kegiatan Terhadap Kejadian Bencana Tahun 2019 Bidang
Penanganan Darurat Dan Logistik , milik BPBD Kabupaten Kolaka Timur.

21
Data tersebut salah satunya menunjukkan bencana banjir tahun 2019 yang
terjadi di tujuh kecamatan:
Tabel 4.3.
Data Resume Kejadian Bencana
Kabupaten Kolaka TimurTahun 2019
No Kecamatan Desa
1 Ladongi 4 Desa
2 Loea 1 Desa
3 Dangia 10 Desa
5 Tirawuta 4 Desa
6 Uluiwoi 9 Desa
7 Ueesi 11 Desa
Jumlah 39 Desa
Sumber: BPBD Kabupaten Kolaka Timur

Berdasarkan data kejadian bencana tahun 2019 tersebut diatas


terlihat adanya bencana banjir di kecamatan yang merupakan wilayah
cakupan DAS Konaweha. Sebagaimana diketahui kecamatan yang
merupakan cakupan DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur masing-
masing terdiri dari: Ladongi, Lalolae, Labandia, Latambaga, Loea,
Mowewe, Polipolia, Samaturu, Tinondo, Tirawuta, Uluiwoi. Dari 11
kecamatan cakupan DAS Konaweha tersebut, berdasarkan data kejadian
bencana tahun 2019 tercatat ada 4 kecamatan yang mengalami bencana
banjir yaitu kecamatan : Ladongi, Loea, Tirawuta, Uluiwoi. Dari peristiwa
ini menunjukkan bahwa 36 % kecamatan yang ada di cakupan DAS
Konaweha di Kolaka Timur mengalami banjir. Dari total kejadian bencana
banjir tahun 2019 di seluruh kecamatan Kolaka Timur yang berjumlah 12
kecamatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Kolaka Timur, ternyata sebanyak 33% kecamatan
yang banjir di Kolaka Timur berasal dari wilayah DAS Konaweha.
Untuk, bencana banjir di Kota Kendari akan dianalisis berdasarkan
Data Laporan Kejadian Bencana milik Balai Wilayah Sungai Sulawesi
(BWS) IV Kendari. Dari data tersebut merekam kejadian bencana banjir 3
Juni 2019 di Kota Kendari.
Tabel 4.4.
Laporan Kejadian Bencana
Di Kota Kendari 3 Juni 2019

22
No Kecamatan Kelurahan
1. Baruga Kel. Lepo-lepo
2. Poasia Kel. Kambu
Sumber: BWS IV Kendari, 4Juni2019

Data BWS IV Kendari terlihat bahwa 1 dari dua Kecamatan yang


mengalami peristiwa banjir menunjukkan bahwa Kecamatan Baruga
merupakan cakupan wilayah DAS Konaweha. Kondisi yang demikian dapat
dimengerti jika dari 7 daerah administratif yang ada di DAS Konaweha, 4
kecamatan (Baruga, Mandonga, Puwatu , Wua-Wua) Kota Kendari
merupakan wilayah cakupan DAS tersebut. Itu artinya hanya 20% dari
kecamatan di Kota Kendari yang terletak di DAS Konaweha yang
mengalami banjir. Dapat dimaknai juga bahwa 10% dari keseluruhan
kecamatan yang ada di Kota Kendari yang berjumlah 10 kecamatan telah
mengalami banjir. Dan 10 % kecamatan dimaksud termasuk wilayah
cakupan DAS Konaweha.
Berdasarkan rekam jejak adanya bencana banjir pada tahun 2019
sebagaimana telah diuraikan diatas dengan sendirinya memerlukan
pengawasan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai
langkah antisispasi bencana. Terkait dengan bencana banjir di wilayah
cakupan DAS Konaweha, pengawasan mengacu pada Pasal 17 ayat (2)
huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana :
a. sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana;
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana;

Dengan melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf a, b dan c


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 diharapkan potensi bencana banjir
di wilayah cakupan DAS Konaweha dapat diminimalisir.
4.2. Analisis Data Terhadap Luas DAS Berdasarkan Lahan Kritis
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 Tentang
Konservasi Tanah Dan Air memberi pengertian bahwa Lahan Kritis adalah

23
lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk
menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan.
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa lahan kritis kurang baik
sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman. Sementara tanaman
merupakana yang ada di hutan-hutan wilayah DAS memiliki fungsi untuk
menyerap air. Jika kondisi lahan kritis sangat dominan di wilayah DAS
dengan sendirinya ancaman bencana banjir juga demikian besar akibat air
tidak terserap dengan baik. Akibat air tidak terserap dengan baik pada musin
hujan dengan curah yang tinggi tentu membuat debit air sungai meningkat.
Ketika volume air tidak tertampung di badan sungai akan terjadi bencana
banjir.
DAS Konaweha yang berada di tujuh kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Tenggara juga memiliki laha-lahan yang berkategori kritis. Hal ini
harus menjadi perhatian agar dapat mengantisipasi banjir dari aspek lahan
kritis yang ada. Eksploitasi lahan yang berlebihan dapat ditimbulkan oleh
minimnya tindakan konservasi pada wilayah DAS. Jika kondisi yang
demikian dilakukan pembiaran tentu merupakan ancaman bagi kualitas
lahan. Hal inilah yang menyebabkan penambahan terhadap adanya lahan
kritis dan lahan-lahan potensial kritis. Pengendalian lahan kritis menjadi
penting agar luasannya tidak mendominasi di wilayah DAS Konaweha .
Tabel 4.5.

Sumber: BPDAS Sampara 2013

Hasil kajian pihak BPDASHL Sampara berdasarkan “Rencana


Pengelolaan DAS Konaweha (Revisi Tahun 2013-2018“ telah menunjukkan
sekitar 94,94 % lahan di DAS Konaweha perlu mendapat perhatian serius .
Luasan tersebut merupakan akumulasi dari lahan potensial kritis, agak kritis,
kritis dan sangat kritis. Potensi ini harus dianggap sebagai ancaman yang

24
sangat serius atas kelestarian hutan pada wilayah DAS Konaweha akibat
serapan air yang menuju sungai Konaweha menjadi minim. Daya serap yang
begitu rendah akan berpengaruh pada meningkatnya debit air sungai
Konaweha ketika curah hujan cukup tinggi. Kondisi ini pada akhirnya
menimbulkan banjir ketika badan sungai tidak mampu lagi menampung
debit air yang ada.
Kondisi 94,94 % lahan di DAS yang secara akumulatif terdiri dari
lahan potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis memerlukan
perhatian yang serius. Dengan hal ini diperlukan adanya kebijakan yang
sifatnya mengendalikan. Tindakan pengendalian lahan kritis tersebut
diarahkan agar :
 pengurangan luas lahan kritis terealisasi.
 kemampuan lahan untuk mendukung fungsi dan peruntukannya
mengalami peningkatan.
 masyarakat menjadi peduli pada rehabilitasi dan pemulihan lahan
kritis.
 pemulihan kesuburan tanah dan meningkatnya produktifitas lahan
terwujud.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan mengenai kondisi serius
tetang lahan kritis di wilayah DAS Konaweha tidak dapat hanya ditopang
oleh Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Secara substantif peraturan
daerah ini tidak akan mampu mengakomodir pengaturan tentang lahan kritis
di Sulawesi Tenggara. Dipahami juga bahwa berdasarkan Lampiran
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015
dikatahui ada sebanyak 722 DAS di Sulawesi Tenggara. Dengan DAS yang
sejumlah itu maka dipandang perlu untuk melahirkan adanya produk hukum
daerah yang pro terhadap pengedalian lahan kritis di Sulawesi Tenggara.
Berlandaskan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi
Tanah Dan Air tentu dipandang pantas dan layak untuk membentuk regulasi
daerah terkait pengendalian lahan kritis.

25
4.3. Analisis Data Terhadap Luas Lahan Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi
Di DAS Konaweha
Dalam pemanfaatan lahan pada daerah aliran sungai sudah
selayaknya mematuhi kaidah konservasi tanah dan air. Jika mengabaikan
kaidah dimaksud maka merupakan ancaman tersendiri bagi DAS
bersangkutan, terutama bahaya erosi (Komaruddin, N., 2008). Berdasarkan
pandangan tersebut maka pemanfaatan lahan pada DAS Konaweha
memerlukan perlakuan yang sama agar bahaya erosi dapat dihindari atau
setidak-tidaknya dapat diminimalisir.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh pihak BPDASHL Sampara,
Kendari, Sulawesi Tenggara, terdapat lahan dengan Tingkat Bahaya Erosi
(TBE) seluas 697.947,51 ha dengan berbagai kategori mulai dari yang
sangat ringan, ringan, sedang , berat hingga sangat berat.
Tabel 4.6.

Sumber: BPDAS Sampara 2013

Berangkat dari fakta adanya lahan dengan Tingkat Bahaya Erosi


tersebut pihak BPDASHL Sampara sebagaimana yang dituangkan dalam
”Rencana Pengelolaan DAS Konaweha (Revisi Tahun 2013-2018)“ menilai
bahwa tingkat bahaya erosi (TBE) dengan kategori sedang sampai sangat
berat mencapai angka luas 348.059,43 hektar atau 49,9 % dan kategori
sangat ringan dan ringan mencapai luas 349.888,08 hektar atau 50,1 % dari
luas DAS Konaweha. Berdasarkan angka-angka tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa salah satu masalah yang dihadapi di DAS Konaweha
adalah erosi. Masalah erosi tersebut akan disertai dengan tingkat
sedimentasi yang tinggi.

26
Erosi yang tinggi pada lahan berpotensi untuk menurunkan atau
kemampuan tanah memasukkan dan menahan air. Keadaan yang demikian
tidak mungkin dibiarkan terus menerus. Erosi yang tinggi pada DAS
Konaweha mengandung arti bahwa ancaman banjir pada sungai Konaweha
sangat terbuka akibah kemampuan lahan DAS yang mengalami penurunan
kemampuan tanah memasukkan dan menahan air.
Menyikapi bahaya erosi yang menimbulkan potensi bahaya banjir
pada sungai Konaweha maka diperlukan adanya sikap untuk mematuhi
kaidah konservasi tanah dan air bagi seluruh kalangan yang berkepentingan.
Kaidah- kaidah yang mengatur konservasi tanah dan air dapat ditemukan
pada norma-norma yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah Dan Air serta produk hukum
turunannya.
4.4. Analisis Peristiwa Banjir DAS Konaweha Berdasarkan Data Kejadian
Bencana Kabupaten Kolaka Timur Tahun 2020
Sebagaimana diketahui bahwa sungai Konaweha memiliki hulu di
Gunung Bulu Brama, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur. Hulu
sungai yang berada di Kabupaten Kolaka Timur perlu dicermati secara
seksama karena kejadian di hulu tentu akan memiliki pengaruh di sepanjang
sungai hingga ke muara. Bencana banjir yang terjadi di hulu sungai
Konaweha dan sekitarnya sebagai bagian dari DAS juga menjadi relevan
untuk dicermati karena berdampak bagi sungai tersebut. Atas pertimbangan
ini maka peristiwa banjir di kawasan ini perlu dianalisis berdasarkan data
banjir di wilayah DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur. Berdasakan
Laporan Kejadian Bencana Tahun 2020 milik BPBD Kabupaten Kolaka
Timur diperoleh data sebagai berikut.

Tabel 4.7.
Data Peristiwa Banjir Tahun 2020 di DAS Konaweha Kolaka Timur

27
Sumber:BPBD Kolaka Timur

Berdasarkan data yang tersaji bahwa dari 11 kecamatan sebagai


locus yang menjadi cakupan DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur
menunjukkan adanya 7 kecamatan yang mengalami banjir. Ini artinya 60%
kecamatan yang menjadi cakupan DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka
Timur mengalami pertiwa banjir. Melihat tempus-nya maka pada bulan Juli
menunjukkan akumulasi banjir yang signifikan. Pada tempus a quo ada
locus sebanyak 3 kecamatan (Lambandia, Loea serta Uluiwoi) mengalami
lebih dari satu kali peristiwa banjir. Aspek penyebab banjir menunjukan
bahwa semua kecamatan yang menjadi cakupan DAS Konaweha di
Kabupaten Kolaka Timur pada tahun 2020 itu disebabkan oleh tingginya
curah hujan. Berdasarkan fenomena ini menunjukkan bahwa Kecamatan
Uluiwoi dan sekitarnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hulu
sungai Konaweha memiliki kecenderungan banjir ketika curah hujan yang
tinggi. Yang perlu diwaspadai adalah curah hujan yang tinggi di bulan Juli
karena ada kecenderungan banjir akan terjadi lebih dari satu kali.
Kecederungan ini berpotensi terjadi pada 3 kecamatan ,masing-masing
yaitu: Lambandia, Loea serta Uluiwoi.
Fakta atas peristiwa banjir di wilayah hulu sungai Konaweha perlu
penanganan yang serius dari aspek pengelolaan DAS. Kabupaten Kolaka
Timur yang memiliki 11 kecamatan dalam cakupan DAS Konaweha harus
dikelola secara optimal agar meminimalisir potensi banjir. Pentingnya
pengelolaan ini tidak semata-mata fakta empirik yang telah diuraikan diatas.
Secara yuridis juga tidak lepas dari Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

28
(Perda No.1/2015). Dimana Perda dimaksud lahir sebagai akibat adanya
kerusakan daerah di Sulawesi Tenggara yang semakin memprihatinkan
sebagaimana dituangkan dalam konsiderans menimbang pada huruf b.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

29
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Sebagai lokasi penelitian, Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha
merupakan DAS terluas yang ada di provinsi Sulawesi Tenggara. Pada
wilayah DAS ini memiliki dua musim yakni musim Kemarau dan musim
hujan. Pada musim penghujan berlangsung antara bulan Mei dan bulan
Agustus, sementara untuk musin kemarau terjadi antara bulan September
sampai dengan bulan Januari. DAS Konaweha mempunyai curah hujan
kurang dari 2.000 mm/tahun, meliputi wilayah sebelah selatan, batas antara
Kabupaten Konawe – Kabupaten Kolaka. Curah hujan yang paling dekat
dengan DAS Konaweha dapat diperoleh dari stasiun Abuki, Lambuya,
Mowewe, Kendari dan Motaha, curah hujan rata-rata pada ke lima stasiun
tersebut 1.194,49 mm per tahun (http: // sda. pu. go. id/ produk/ view_
produk/ Pola_ PSDA_Wilayah_Sungai_Lasolo-Konaweha, diakses 12 Mei
2021).
Secara yuridis sejak tahun 2011, Konaweha merupakan DAS yang
menjadi prioritas pengelolaannya sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI
Nomor : SK.511/Menhut-V/2011 tentang Penetapan Peta Daerah Aliran
Sungai. Hal-hal yang menjadi pertimbangan yang menjadikan DAS
Konaweha sebagai DAS prioritas antara lain: (1) merupakan DAS terluas di
Sulawesi Tenggara; (2) secara administrasi mencakup 7 (tujuh) daerah
otonom yakni Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Timur,
Kolaka Utara, Konawe Utara dan Kota Kendari (BPDASHL Sampara,2014:
2) Urgensi atas pengelolaan DAS tersebut tidak lepas dari ketersediaan
lahan di kawasan tersebut. Penggunaan lahan yang tidak terkendali merusak
DAS irusendiri sebagai kawasan tadah hujan.
Gambar 5.1.
Peta Wilayah DAS Konaweha

30
Sumber: Tanika, L. (2013).

Dari aspek ekosistem, DAS Konaweha sangatlah kompleks


kelestariannya tentu sangat bergantung dari dinamika tata guna lahan yang
terjadi. Ketika dinamika tersebut aktifitasnya positif tentu keberlangsungan
DAS itu terjaga, jika sebaliknya kelestarian DAS Konaweha akan terancam.
Dalam pemanfaatannya, sungai Konaweha merupakan pemasok atas
kebutuhan air pada sejumlah wilayah seperti Kolaka, Kolaka Utara, Kolaka
Timur, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan serta Kota Kendari.
Sungai merupakan salah satu bagian terpenting, memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap DAS Konaweha. Jika mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai maka keberadaan palung
dan sempadan yang ada pada sungai merupakan bagian yang menentukan
keberadaan sebuah DAS karena keduanya memiliki fungsi membentuk
ruang sungai. Hal ini dipahami karena palung sungai memiliki manfaat
untuk tempat mengalir yang di dalamnya terdapat keberlangsungan
kehidupan ekosistem yang ada di sungai. Sementara itu, sempadan
sungainya juga memiliki kemampuan sebagai ruang penyangga antara
ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak
saling terganggu.
Sebagaimana diketahui, DAS Konaweha yang meliputi sungai dan
anak-anak sungainya, berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan
air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang

31
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Kondisi
ini menggambarkan relasi antara sungai Konaweha dengan DASnya
memiliki pengaruh yang sangat kuat. Ketika DAS yang ada mengalami
gangguan akan berpengaruh pada sungai Konaweha itu sendiri. Fakta
menunjukkan bahwa perubahan atas penggunaan lahan pada wilayah DAS
Konaweha membawa akibat pada debit air sungai. Perubahan dimaksud
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan
debit maksimum. Fakta menunjukkan bahwa pada Mei 2000 terjadi banjir
dengan debit + 380 m3/ det yang menyebabkan lebih dari 10.000 ha sawah
di wilayah irigasi Wawotobi terendam banjir. Pada tahun yang sama dari
September sampai November terjadi kekeringan dengan debit minimum
rata-rata 10,6 m3/ det yang mengakibatkan lebih dari 5.000 ha sawah di
wilayah tersebut tidak mendapatkan pasokan air yang cukup. September
2003, debit minimum Sungai Konaweha sebesar 27 m3/ det, tahun 2006 dan
2008 pada bulan yang sama, debit minimum menjadi 23 m3/ det dan 20 m3/
det (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sultra, 2010). Jika kecenderungan
penurunan ini terus berlanjut, maka diperkirakan akan terjadi defisit air pada
musim kemarau (Marwah,2014:208-209).
Kawasan hutan pada kawasan DAS Konaweha memiliki fungsi
yang tidak semata-mata strategis tetapi sangat vital. Pada periode 1991-1999
luas hutan tersebut mengalami penurunan 1,25% per tahun, periode 2001-
2005 turun 0,52% per tahun dan laju penurunan luas hutan periode 2006-
2011 adalah 0,90% per tahun, dengan laju rata-rata 0,89% per
tahun,sehingga diperkirakan luas hutan tahun 2030 adalah 27,4%, tahun
2040 menjadi 18,5% dan tahun 2050 menjadi 9,6%. Koefisien aliran
permukaan dan debit maksimum akan meningkat dan debit minimum
menurun seiring dengan penurunan luas hutan dan peningkatan luas
penggunaan lahan lain. Neraca ketersediaan dan kebutuhan air tahunan dan
neraca ketersediaan dan kebutuhan air musim hujan masih surplus air,namun
demikian pada musim kemarau terjadi defisit air khususnya bulan september
dan oktober yang mulai terjadi tahun 2019 (La Baco dkk.,2013). Berkaitan

32
dengan ini maka kebijakan serta program pengelolaan sumber daya hutan
oleh pemerintah perlu mempertimbangkan secara lebih cermat aspek untung
ruginya.
Dipahami kemudian bahwa hutan pada wilayah cakupan DAS
Konaweha selain berfungsi untuk menyerap karbon untuk keperluan
mengurangi efek pemanasan global secara lokal, di dalam hutanya juga
menghasilkan komoditi yang bersifat ekonomis semisal madu ataupun rotan
dam kayu. Selain itu fungsi hutan sendiri pada kawasan dimaksud
merupakan pengatur tata air secara alami yang akan memenuhi kebutuhan
berbagai sektor baik industri, pertanian mamupun kebutuhan domestik
warga. Ketersediaan air bagi wilayah DAS Konaweha yang meliputi
Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Kolaka Timur, Konawe, Konawe Utara,
Konawe Selatan serta Kota Kendari sangat tergantung dari pasokan air
sungai Konaweha yang didukung oleh kelestarian fungsi hutan DAS
Konaweha.
Perkembangan yang kurang menggembirakan terjadi pada DAS
Konaweha akibat terjadi perubahan fungsi lahan. Di kecamatan Besulutu
Kabupaten Konawe sejak tahun 2011 telah terlihat adanya perkebunan
sawit. Hadirnya hamparan sawit ini cukup diirasakan oleh warga Desa
Laikandonga Kecamatan Ranomeeto Barat Kabupaten Konawe Selatan.
Sebagimana diketahui bahwa Desa Laikandonga dan wilayah Besulutu
letaknya berseberangan karena sama-sama dilintasi oleh sungai Konaweha.
Hadirnya perkebunan sawit tersebut jelas-jelas merupakan ancaman secara
ekologis bagi wilayah DAS Konaweha akibat adanya konversi lahan dimana
menurut riwayatnya merupakan wilayah hutan yang saat ini telah berubah
menjadi perkebunan kelapa sawit. Konversi lahan ini dirasakan benar oleh
warga Desa Laikandonga yang berada di seberang wilayah Besulutu, dimana
air sungai yang mengalami pendangkalan yang pada akhirnya mengikis
lahan bibir sungai. Wilayah bibir sungai di Desa Laikandongan terus
mengalami pengkisan akibat sungai Konaweha yang mengalami
pendangkalan.

33
Perubahan yang terjadi pada DAS tidak semata berdampak pada
perubahan lahan, kualitas air sungai Konaweha juga menurun. Irwan,
Kepala Desa Laikandonga mengatakan bahwa pada tahun 2019 wilayahnya
terisolir akibat terkepung air banjir. Lahan di belakang rumahnya
sebelumnya cukup jauh dari bibir sungai namun di tahun 2021 ini sisa
sekitar 7 meter dari sungai akibat terkikis air dari waktu ke waktu. Sehingga
tidak mengherankan ketika banjir pada tahun 2019 lalu air naik hingga
mencapai 5 meter. Warga Laikandonga pergi mengungsi 49 Kepala
Keluarga (KK) kebanyakan menghuni rumah berbahan papan. Penurunan
kualitas air sungai Konaweha ini imbasnya juga ikan, udang serta belut di
dalamnya. Warga Laikandonga dulunya cukup sering menjumpai hewan-
hewan air tersebut namun kini sudah sulit ditemukan.
“Waktu saya masih SD hingga SMA itu air tidak cepat
kabur ketika hujan. Dulu sangat stabil, kalau hujan
permukaan sungai tidak tinggi dan kemarau tidak
mengering. Sekarang ini biar hujan sedikit saja air naik
dan keruh demikian juga kalau kemarau permukaan
sungai sangat jauh menyusut” (Wawancara, Irwan,
Kepala Desa Laikandonga, Rabu 18 Agustus 2021)

Penurunan kualitas air sungai Konaweha tersebut sulit dipisahkan


dengan keberadaan kebun sawit di sekitarnya. Perubahan fungsi lahan dari
tanaman hutan yang heterogen yang tergantikan oleh kelapa sawit yang
homogen tentu akan mempengaruhi fungsi DAS. Erosi yang terjadi
membuat sungai dangkal serta permukaannya melebar akibat terjadi
pengikisan.
Kondisi di Kabupaten Konawe juga tidak kalah gentingnya, di
wilayah ini pada tahun 2019 banjir menggenangi hamper seluruh wilayah.
Sebanyak 25 kecamatan terdampak banjir. Bagian paling parah terjadi di
Desa Hongoa Kecamatan Pondidaha sebagai akibat bahwa desa ini
merupakan pertemuan tiga sungai yang meliputi sungai Konaweha, sungai
Rawa Aopa serta sungai Lahumbuti. Sainal, Kabid.Pencegahan dan
Kesipasiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Konawe,
mengatakan, alih fungsi lahan di wilayah DAS Konaweha juga berkaitan

34
dengan bencana kejadian banjir sungai Lahumbuti sebagai anak sungai
Konaweha.
“Selain karena curah hujan yang tinggi karena di daerah
atas telah banyak alih fungsi lahan. Akibat alih fungsi
lahan seperti perkebunan sawit, banjir yang tadinya tidak
sampai mencapai tinggi jembatan di Kecamatan
Anggaberi kini sudah sampai banjirnya.” (Wawancara
Sainal, Kabid. Pencegahan dan Kesipasiagaan BPBD
Konawe, Senin 9 Mei 2021)
Fenomena perkebunan kelapa sawit di sejumlah wilayah
administrasi pemerintahan yang merupakan wilayah cakupan DAS
Konaweha bukan semata-mata di Konawe Selatan dan Konawe. Kabupaten
Kolaka Timur juga dapat dijumpai adanya tanaman kelapa Sawit.
Kecamatan Ladongi yang sebelumnya meliputi wilayah Dangia juga
banyak ditemui pohon kelapa sawit. Wilayah Dangia yang menjadi
kecamatan yang definitif kini juga sering mengalami banjir.
Kepala Desa Dangia H.Kamaruddin, Kecamatan Dangia,
Kabupaten Kolaka Timur, mengatakan, Desa Dangi merupakan desa yang
tidak jauh dari Rawa Aopa dimana anak sungai Konaweha banyak mengalir
ke rawa tersebut. Dirinya tidak memungkiri kalau lahan-lahan di Desa
Dangia dan sekitarnya banyak ditemui kebun-kebun sawit.
Kondisi yang sedikit berbeda di Wilayah DAS Konaweha
Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka. Keberadaan areal pertambangan serta
perkebunana milik warga di wilayah ini telah merambah lahan yang cukup
luas. Dampak dari penggalian tanah untuk diolah menjadi biji nikel telah
mencemari wilayah DAS yang kebetulan tidak jauh dari pantai muara
Lapao-pao. Keaslian hutan yang ada di wilayah ketinggian yang juga
dijadikan kebun oleh warga telah berdampak pada desa-desa di wilayah
Kecamatan Wolo.
Bencana banjir di Kecamatan Wolo merupakan kejadian yang
cukup sering ketika hujanya yang terjadi cukup lebat. Kondisi lahan di
wilayah ini memang di kerendahan sehingga sungai Lana yang ada di
wilayah ini menjadi banjir. Sutarno, S.T.,M.Si., Kepala Bidang Penanganan
Darurat dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten

35
Kolaka, mengatakan, Di Desa Ulu Lapao-pao setiap tahun banjir serta
bertambah tingginya akibatnya area terdampak semakin meluas.
“Yang jelas ada pengurangan terhadap luasan hutan yang
ada, Dulu waktu kita lewat di jalan terlihat yang
mengkilat-kilat (rumah beratap seng) di atas kawasan
hutan atas bukit itu sedikit tetapi seiring berjalannnya
waktu jumlah kilatan tersebut bertambah banyak.”(
Wawancara ,Sutarno, S.T.,M.Si., Kabid. Penanganan
Darurat dan Logistik BPBD Kabupaten Kolaka, Kamis, 3
Juni 2021)

Sekretaris Desa Ulu Lapao-pao Kecamatan Wolo Kabupaten


Kolaka, Masjidin, AMd.Com, mengatakan, di wilayah sekitar desanya
memang merupakan daerah tambang, sawah dan kebun warga. Ketika
musim penghujan banjir juga melanda desanya serta desa sebelahnya seperti
Desa Donggala serta Muara Lapao-pao. Air sungai Desa Babarina yang juga
masih di Kecamatan Wolo warnanyapun berubah.

Air sungainya merah bisa dicek di sungai yang ada di


Desa Babarina. Gunung yang ada saat ini belum
merupakan ancaman, jika nanti telah ditambang ore
nikelnya baru ada ancaman. (Wawancara Sekretaris Desa
Ulu Lapao-pao Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka,
Masjidin, AMd.Com, Kamis 8 Juli 2021)

Berdasarkan hasil wawancara dari berbagai informan yang ada di


berbagai daerah tersebut telah memberi gambaran bagaimana kualitas DAS
Konaweha saat ini yang jauh menurun. Gambaran tersebut menunjukkan
bahwa pengelolaan DAS yang dijalankan saat ini tidak menjamin
kelestarian DAS itu sendiri. Kualitas DAS Konaweha saat ini tidak mampu
menjamin bahwa bencana banjir masih terus menjadi ancaman bagi
wilayah-wilayah DAS Konaweha dan sekitarnya.
5.2. Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1
Tahun 2015 Dalam Pengelolaan DAS Konaweha

Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara


Nomor 1 Tahun 2015 dalam Pengelolaan DAS Konaweha masih terikat
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,

36
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (l,embaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573).
Sejak ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pengelolaan DAS (Perda No.1/2015) konsekuensinya adalah
seluruh pengelolaan DAS di Provinsi Sulawesi Tenggara sebagaimana
termuat di dalam lampirannya, tunduk pada Perda No.1/2015 tersebut, tanpa
kecuali DAS Konaweha. Sebagai regulasi daerah, pembentukan atas Perda
No.1/2015 ini tidak lepas dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dimana pelaksanaan pengelolaan DAS lintas
kabupaten/kota dan dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan
pemerintah provinsi.
5.2.1. Latar Belakang Pembentukan Perda No.1/2015
Untuk memahami lebih jauh penerapan Perda No.1/2015
tersebut menjadi penting untuk memahami latar belakang
pembentukan perda tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam
memahami penerapan Perda No.1/2015 tidak hanya dipahami secara
tekstual semata tetapi juga makna histrorisnya. Ketua Forum DAS
Sultra, Dr.Ir. La Baco Sudia, M.Si., mengatakan, hal yang
melatarbelakangi Perda No.1/2015, selain akibat disahkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai juga karena difasilitasi oleh lembaga donor asal
Kanada yakni Program The Environmental Governance and
Sustainable Livehoods Program (EGSLP) di Sulawesi. Saat itu telah
berjalan hampir lima tahun setelah ditandatangani Menteri Negara
PPN/Kepala Bappenas, pihak EGSLP bersedia membiayai
penyusunan naskah akademik peraturan daerah tentang pengelolaan
DAS. Dipahami kemudian bahwa kunci pengelolaan DAS ada pada
pengaturannya serta bagaimana mengatur tata ruang, kawasan lindung
dan kawasan rawan banjir. Itu semua harus dibicarakan dalam satu

37
kesatuan pengelolaan DAS yang diimplementasikan dalam rencana
pengelolaan DAS Konaweha. Berdasarkan kenyataan itu maka timbul
gagasan bagaimana kalau seluruh DAS yang ada di Sulawesi
Tenggara dibuatkan aturannya. Dalam menyusun naskah
akademiknya kurang lebih ada 5 DAS di Sultra dijadikan sampel
yakni selain DAS Konaweha, ada DAS Lasolo, DAS Wanggu, DAS
Baubau dan DAS Jompi.
”Pihak donor menanggung penyusunan naskah
akademik sampai Perda itu disahkan”( Wawancara
Dr.Ir. La Baco Sudia, M.Si., Sabtu 1 Mei 2021 di
Kendari )

Bahwa apa yang disampaikan oleh Ketua Forum DAS Sultra


diatas memberi gambaran tentang ada aturan yang lebih tinggi serta
hadirnya pihak donor yang memberi ruang untuk mewujudkan
peraturan daerah tentang pengelolaan DAS di provinsi Sulawesi
Tenggara. Hal tak kalah pentingnya, memang produk hukum yang
hendak diwujudkan saat itu dirasakan mendesak mengingat kerusakan
DAS di Sulawesi Tenggara yang sangat memprihatinkan sehingga
menyebabkan banjir, tanah longsor, penurunan kualitas air ,
kekeringan , erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada
perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Fakta tersebut tertulis
jelas dalam salah satu konsiderans menimbang huruf b Perda
No.1/2015.
Hal-hal yang telah diuraikan diatas secara teoritis merupakan
konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum. Penetapan Perda
No.1/2015 harus dimaknai sebagai bentuk perlindungan konstitusional
bagi warga negara. Dimana secara hirarki Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai konstitusi
negera Republik Indonesia merupakan hukum dasar yang melandasi
segala bentuk perundang-undngan di Indonesia termasuk Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2012 ,serta Perda No.1/2015. Dari segi politik hukum,
ditetapkannya Perda No.1/2015 tersebut selain produk hukum yang

38
dianggap ideal, politik hukum tersebut merupakan mekanisme untuk
merealisasikan hukum yang dilandasi oleh wewenang serta keinginan
penguasa. Dalam pandangan teori hukum responsif sebagaimana
dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, keberadaan
Perda No.1/2015 merupakan sebuah kebijakan akomodatif dari
pemegang kekuasaan menyikapi perubahan sosial yang ada untuk
meminimalisir efek negatif dari pengelolaan DAS di provinsi
Sulawesi Tenggara.
5.2.2. Penerapan Perda No.1/2015 Dalam Pengelolaan DAS Konaweha
Jika mencermati politik hukum pengelolaan DAS di Sulawesi
Tenggara maka penerapan atas pengelolaan DAS Konaweha tidak
lepas dari Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 yang menyatakan
pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara meliputi tahapan kegiatan
sebagai berikut:
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
c. Monitoring dan evaluasi
d. Pembinaan dan pengawasan
Adanya 4 (empat) tahapan yang dijalankan dalam
pengelolaan DAS Konaweha sebagaimana Pasal 6 ayat (1) Perda
No.1/2015 merupakan langkah standarisasi pengelolaan DAS yang
dilakukan pemerintah daerah provinisi. Dimana setiap DAS yang ada
di Sulawesi Tenggara dikelola dengan pola tahapan yang sama
berdasarkan ketentuan hukum yang telah digariskan sehingga
pengelolaan dimaksud memiliki konsekuensi berupa
pertanggunganjawab secara hukum. Sebagai hukum prosedur akan
menentukan keabsahan dalam pengelolaan DAS. Hukum prosedur
harus dijalankan agar dijunjung tinggi karena sebagai negara hukum
berlakunya standar hukum akan menjamin perlakuan yang sama di
hadapan hukum agar menghadirkan hukum yang adil dan tidak
memihak.

39
Kondisi riil tentang penerapan Perda No.1/2015 dalam
pengelolaan DAS Konaweha akan diuraikan berdasarkan Pasal 6 ayat
(1) Perda No.1/2015 dengan tahapan-tahapan berikut ini:
a. Perencanaan
Perencanaan terhadap pengelolaan DAS Konaweha
dituangkan dalam suatu dokumen resmi dengan nomenklatur”
Rencana Pengelolaan DAS Konaweha”. Penyusunan dokumen
dimaksud agar pengelolaan DAS Konaweha dilaksanakan
berdasarkan prinsip keterpaduan dan kesetaraan. Pengelolaan DAS
tersebut juga disertai komitmen menerapkan penyelenggaraan
sumber daya alam yang adil, efektif dan efisien.
Urgensi dari tahap perencanaan karena menentukan
tentang tindakan selanjutnya untuk meminimalisir dampak negatif
dari keberadaan DAS Konaweha. Sejumlah wilayah telah
merasakan benar dampak negatifnya. Secara ilustratif pihak BPBD
Provinsi Sultra menggambarkan kondisi banjir di wilayah DAS
Konaweha di Kabupaten Konawe pada tahun 2019. Dedet Ilnari
Yusta, S.E., M.A.in CD., Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi
Sulawesi Tenggara, mengatakan, peristiwa di tahun 2019
merupakan bencana paling besar dalam 5 (lima) tahun terakhir.
“Bahkan sampai ada jembatan yang putus. Seperti di
Jembatan Ameroro diantara Kecamatan Uepai dan
Unaaha,Konawe.” (Wawancara Dedet Ilnari Yusta, S.E.,
M.A.in CD.,di Kendari, Rabu 28 April 2021)

Apa yang disampaikan oleh pihak BPBD Provinsi


Sulawesi Tenggara tersebut diatas merupakan sebagian kecil dari
dampak banjir di Kabupaten Konawe. Kerusakan di wilayah ini
pada tahun 2019 sebagai akibat bencana banjir tidak semata-mata
berdampak pada jembatan tetapi korban jiwa, kerusakan rumah,
sekolah, tempat ibadah, fasilitas umum bahkan pertanian, perikatan
serta peternakan.

40
Secara lebih lengkap pihak BPBD Kabupaten Konawe
telah mencatat atas adanya dampak bencana banjir pada tahun
2019. Dimana dampak yang tercatat meliputi sebagaimana tercatat
di bawah ini:
Gambar 5.6
Data Dampak Banjir 16 Juni 2019
di Kabupaten Konawe

Sumber BPBD Konawe 2021

Dampak perusakan yang ditimbulkan oleh sungai


Konaweha sebagaimana terungkap diatas memerlukan adanya

41
suatu tindakan antisipatif. Sebuah perencanaan yang baik
merupakan bentuk antisipasi meskipun belum tentu mampu
menghentikan secara tuntas adanya bencana yang timbul diwilayah
DAS Konaweha. Namun setidaknya dengan perencanaan yang
terprogram dengan baik diharapkan mencegah ekses negatif yang
ditimbulkan akibat keberadaan DAS Konaweha.
Berdasarkan pemahaman Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015
itu maka penerapan pengelolaan DAS Konaweha harus
dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagaimana dimaksudkan.
Muhmmad Aziz Absoni, Kepala BPDASHL Sampara, mengatakan
bahwa tahap perencanaan pengelolaan DAS Konaweha melibatkan
instansi terkait yang ditetapkan melalui SK Gubernur. Tim
selanjutnya akan menyusun perencanaan berdasarkan potensi
masalah dalam bentuk matriks yang dituangkan dalam bentuk
rencana aksi. Penyusunan perencanaan itu akan disetujui oleh
Gubernur yang selanjutnya disosialisasikan oleh pihak BPDASHL
kepada instansi – instansi berkompeten. Sementara pada tahap
Pelaksanaan secara operasional dilakukan oleh tim yang telah
termuat dalam matriks perencanaan. Tim pelaksana yang terlibat
ditentukan berdasarkan urgensi yang telihat dalam Matriks yang
berisi rencana aksi pengelolaan DAS tersebut.
”Kemudian ini tergantung pihak-pihak yang
disosialisasi karena apa yang disampaikan oleh
BPDAS tidak mengikat. Dari matriks tersebut
termuat sebuah rencana aksi dan akan kelihatan
tentang siapa bertanggung jawab apa”
(Wawancara Muhammad Aziz Absoni, di
Kendari, Jumat 30 Juli 2021)

Implementasi atas perencanaan pengelolaan DAS yang


dikemas dalam bentuk rencana aksi merupakan persoalan
tersendiri. Tim yang ditetapkan melalui SK Gubernur tersebut
seharusnya dipandang sebagai pihak yang memiliki legalitas. SK
Gubernur yang menjadi dasar pelaksanaan perencanaan
pengelolaan DAS merupakan dasar legalitas tindakan administrasi,

42
yang artinya perencanaan pengelolaan DAS sebagai suatu
dokumen resmi adalah sah adanya. Namun perencanaan sebagai
produk tindakan administrasi belum tentu mengikat semua pihak.
Otoritas Gubernur hanya berlaku dalam lingkup wewenangnya
sementara dalam pengelolaan DAS yang sifatnya lintas sektoral
tidak terjangkau semua oleh wewenang dimaksud. Pada sisi lain,
sekalipun perangkat daerah di bawah kendali gubernur jika produk
tim perencanaan itu bukan merupakan prioritas penganggaran
dalam pengelolaan DAS maka hal ini juga merupakan suatu
kendala. Organisasi Perangkat Daerah akan menolak membiayai
jika mereka memandang sebagai suatu penyimpangan anggaran
atau bukan penyimpangan anggaran tetapi bukan merupakan
prioritas untuk dibiayai.
b. Pelaksanaan
Perihal tahapan pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) Perda
No.1/2015 itu juga disampaikan oleh La Ode Yulardhi Yunus,
Kepala Bidang Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (PDAS RHL) Dinas Kehutanan Provinsi Sultra.
Menurutnya, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pengelolaan hutan
lindung dan hutan produksi lintas kabupaten/kota merupakan
wewenang pemerintah provinsi.
“Jadi kalau ada dana APBD maka dilaksanakan
di luar kawasan hutan kita di lahan-lahan APL
(Areal Penggunaan Lain). Kalau di dalam DAS
bukan domain kami.” (Wawancara La Ode
Yulardhi Yunus, Rabu, di Kendari,14 April
2021)

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang


Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tidak menganulir bahkan mengubah
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (PP No.37/2012). Diketahui juga bahwa
kententuan Pasal 42 huruf b PP No.37/2012 bahwa pengelolaan
DAS dalam provinsi dan/ atau lintas kabupaten/kota merupakan

43
wewenang Gubernur. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 huruf b PP
No.37/2012 itu maka dalam rangka pengelolaan DAS bukanlah
hal yang dilarang jika menggunakan dana APBD. Bahkan ketika
menyangkut inventarisasi hutan di tingkat DAS Konaweha sebagai
wilayah administratif Provinsi Sulawesi Tenggara. Tindakan
inventarisasi hutan ini dilaksanakan untuk mengetahui dan
memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi
kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Pasal 9
ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, sebagai
peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja, menyatakan sebagai
berikut:
“Inventarisasi hutan tingkat DAS
diselenggarakan oleh gubernur pada DAS yang
wilayahnya di dalam provinsi.”

Dengan berlakunya norma-norma yang ada di dalam


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021
maka harus menjadi rujukan materi muatan perubahan Perda
No.1/2015 nantinya agar kendala dalam tahapan pengelolaan di
sektor inventarisasi hutan tingkat DAS di dalam provinsi memiliki
solusi hukum. Masuknya norma-norma itu sebagai salah satu
langkah untuk menyelaraskan secara hirarkis sebagaimana
seharusnya politik hukum perundang-undangan. Secara politik
hukum, penyelarasan yang dilakukan ini sebagai langkah agar
pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara berjalan sebagaimana
tujuan hukum dalam rangka mencapai tujuan negara. Pada sisi lain
berlakunya hukum yang baru yang asalnya dari aturan yang lebih
tinggi tentu akan berpengaruh secara sosial. Langkah penyesuaian
secara hirarkis vertikal ke bawah juga melahirkan hukum secara
responsif di masyarakat. Secara teoritis hukum yang responsif
harus terbuka mengedepakan akomodasi untuk menerima
perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan
emansipasi publik agar meminimalisir efek negatif dari perubahan

44
sosial yang ada akibat penerapan hukum. Hal ini dipahami karena
hukum merupakan media untuk merespon kebutuhan dan aspirasi
sosial.
c. Monitoring dan Evaluasi

Tahap monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS


Konaweha belum terlaksana secara optimal. Karena dari tahap
pelaksanaannya yang melibatkan berbagai bidang institusi yang
memiliki otoritas masing-masing. Persinggungan antara
kewenangan masing-masing institusi dalam tahapan pelaksanaan
terbawa-bawa juga pada tahap monitoring dan evaluasi. Masing -
masing pihak belum terpola menjadi menjadi satu dalam
menjalankan tugas monitoring dan evaluasi.
“Tahap monitoring dan evaluasi belum pernah
dilakukan karena melibatkan banyak sektor
tergantung seberapa besar akan tergerak untuk
melaksanakan rencana aksi. Setiap instansi ada
keterbatasan - keterbatasan tersendiri pada setiap
tahunnya.” (Wawancara Muhammad Aziz
Absoni, di Kendari, Jumat 30 Juli 2021)

Ketiadaan tahapan monitoring dalam pengelolaan DAS


Konaweha saat ini telah memunculkan sejumlah masalah di
wilayah cakupan DAS Konaweha. Riswan Mangidi, ST., selaku
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe Selatan,
mengungkapkan, Kecamatan Mowila yang meliputi Desa Amasara
sampai di Desa Pudahoa merupakan daerah hutan tanaman
industri. Pohon-pohon di wilayah itu yang berada di tepian sungai
telah banyak di tebang oleh warga.
“ Di sekitar Pudahoa tadinya merupakan hutan lindung
kemudian mau diturunkan statusnya menjadi hutan
rakyat. Ternyata sampai sekarang belum diturunkan
statusnya tapi tanahnya telah banyak diperjualbelikan.”
(Wawancara Riswan Mangidi, ST., di Andoolo, Selasa
13 April 2021)
Tabel 5.1
Klasifikasi Fungsi Kawasan Hutan
di Kabupaten Konawe Selatan

45
Sumber: Data olahan AreGIS 2019 (Hardianti, A., & Harudu, L. (2019). Pemetaan Persebaran Hutan Menurut
Klasifikasi Arahan Fungsi Kawasan Hutan Di Kabupaten Konawe Selatan Berbasis Sig. Jurnal Penelitian Pendidikan
Geografi, 4(3), 79-88.)

Berdasarkan hal yang telah diuraikan oleh pihak Dinas


Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe Selatan dengan tabel
klasifikasi kawasan hutan di Konawe Selatan tersebut diatas,
terlihat ada kesesuaian. Ada ketimpangan antara luasan hutan
lindung dengan hutan produksi. Dimana kondisi hutan lindung di
tahun 2019 tersisa tinggal 24% (109.495,28 Ha) dari jumlah
keseluruhan luasan hutan 421.364,64 Ha. Sementara sebanyak 76
% merupakan kawasan hutan produksi.
Permasalahan juga ditemukan di Kabupaten Konawe yang
memerlukan tindakan monitoring dan evaluasi. Sainal, Kepala
Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Konawe,
mengatakan, alih fungsi lahan merupakan faktor yang membuat
semakin parah banjir yang terjadi. Pada tahun 2020 sebanyak 18
(delapan belas) kecamatan mengalami bencana banjir akibat
sungai Konaweha dan Lahumbuti akibat di wilayah ketinggian
terjadi alih fungsi lahan.
“Akibat alih fungsi lahan seperti perkebunan
sawit , banjir yang tadinya tidak sampai
mencapai tinggi jembatan di Kecamatan
Anggaberi kini sudah sampai banjirnya.”
(Wawancara Sainal, di Unaaha, Selasa 20 April
2021)

Pada tahun 2019 silam peristiwa banjir terjadi di


Kecamatan Anggaberi. Berdasarkan laporan Balai Wilayah
Sungai Sulawesi IV Kendari kepada POSKO PB PU Ditjen
Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2019 juga mencatat

46
kejadian banjir di Desa Wundongohi dan Desa Andabia di
Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe pada 9 Juni 2019.
Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit pada
DAS Konaweha terlihat di wilayah Kabupaten Konawe. Di Desa
Duriasih Kecamatan Wonggeduku, terlihat secara jelas perkebunan
sawit dengan areal persawahan yang berdampingan. Sebagaimana
dikatahui, dari sisi investasi buah sawit sebagai komoditi
perdagangan baik dalam negeri atau luar negeri dinilai sangat
menguntungkan. Tidak mengherangkan jika perkebunan sawit
terus berkembang seiring tingginya permintaan komoditi ini, tidak
terkecuali di wilayah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Desa Duriasih secara administratif berada kecamatan
Wonggeduku yang merupakan wilayah cakupan DAS Konaweha.
Ancaman ekspansi lahan sawit di wilayah ini begitu nyata yang
tidak menutup kemungkinan ketika perkebunan sawit tersebut
berkembang pesat maka lahan sawahnya akan dikonversi menjadi
kebun sawit. Kondisi ini dapat terlihat nyata ketika tim peneliti
melakukan kunjungan lanpangan di Kabupaten Konawe.

Fakta yang terungkap di Kabupaten Konawe dan Konawe


Selatan tersebut diatas dapat diantisipasi sejak awal kalau
monitoring dan evaluasi dijalankan secara terintegrasi masing-
masing instansi serta berkala disertai kedisiplinan yang tinggi.
Stake holder yang membidangi lahan dan tata ruang akan bersikap
terhadap alih fungsi lahan yang terjadi. Perizinan yang yang tidak
terkendali akan disikapi oleh stake holder agar ekses negatif yang
menjadikan degradasi lahan ditiadakan atau ditetapkan dengan
syarat yang ketat.
Berlakunya Perda No.1/2015 idealnya menjadi perekat
antar institusi ketika kepentingan mereka bersinggungan dengan
pengelolaan DAS Konaweha. Semua pihak harus tunduk pada
Perda No.1/2015 sehingga norma-norma yang terkandung

47
didalamnya menjadi acuan untuk menyikapi pengelolaan DAS
Konaweha. Perencanaan yang di dalamnya memuat rencana aksi
secara jelas melibatkan instansi-instansi yang terlibat dalam
monitoring dan evaluasi.
Adanya fakta yang mengemuka sebagaimana disampaikan
oleh informan diatas bukan semata-mata yang menjadi kendala
dalam tahapan monitoring dan evaluasi. Perda No.1/2015 sendiri
telah memberi wewenang secara atribusi kepada Gubernur untuk
menjalankan monitoring dan evaluasi atas pengelolaan DAS.
Namun dalam menjalankan wewenang tersebut memerlukan suatu
tata cara monitoring dan evaluasi. Untuk merealisasikan suatu tata
cara monitoring dan evaluasi juga memerlukan peraturan delegasi
setingkat peraturan Gubernur, sebagaimana Pasal 37 Perda
No.1/2015 menyatakan bahwa:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
monitoring dan evaluasi Pengelolaan DAS,
diatur dengan Peraturan Gubernur.”

Hal yang dikemukakan oleh informan Muhammad Aziz


Absoni bahwa monitoring dan evaluasi belum pernah dilakukan
bukan semata-mata keterbatasan-keterbatasan instansi. Lebih dari
hal itu instrument hukumnya belum direalisasikan. Peraturan
Gubernur yang mengatur mengenai tata cara monitoring dan
evaluasi Pengelolaan DAS sebagaimana termaktub dalam Pasal 37
Perda No.1/2015 belum ditetapkan sama sekali hingga saat ini.
d. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan Pengawasan dalam pengelolaan DAS
Konaweha harus selaras dengan Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 56
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, dimana pembinaan
dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun
monitoring dan evaluasi. Sementara dari aspek pengawasannya,
Gubernur berdasarkan wewenangnya melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan DAS Konaweha.

48
Permasalahan yang terjadi pada tahap monitoring dan
evaluasi sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas kemudian
berimbas pada tahap pembinaan dan pengawasan akibat Perda
No.1/2015 yang sudah ditetapkan belum ditindaklanjuti dengan
peraturan pelaksanaannya. Padahal sesuai Pasal 40 ayat (2) Perda
No.1/2015 , menegaskan bahwa: “ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan DAS
diatur dengan Peraturan Gubernur.”
Pihak BPDASHL Sampara sebagai salah satu unsur yang
terlibat dalam pengelolaan DAS Konaweha merasakan betul
perihal dampak belum ditetapkannya tata cara pembinaan dan
pengawasan kegiatan pengelolaan DAS di wilayah Sulawesi
Tenggara. Kondisi ini memiliki dampak ikutan terhadap
pengelolaan DAS Konaweha.
“Ketika Perdanya tidak memiliki peraturan
pelaksana maka pengelolaan DAS mengalami
stagnasi. Pelaksana di lapangan akan ragu
bertindak kalau tidak ada peraturan
pelaksanannya karena merasa belum memiliki
legitimasi.” (Wawancara Muhammad Aziz
Absoni, di Kendari, Jumat 30 Juli 2021)

Ekses yang terjadi akibat pengelolaan DAS yang stagnan


akan terlihat pada kondisi riil yang terjadi di wilayah DAS
Konaweha. Ekses negatif yang timbul diantaranya bencana banjir,
tanah langsor, , erosi, dampak industri tambang, degradasi lahan
serta pendangkalan sungai semakin tidak terkendali. Di Kecamatan
Wolo Kabupaten Kolaka kehadiran industry tambang Nikel telah
berdampak pada kondisi lingkungan. Masjidin, AMd.Kom.
Sekretaris Desa Ulu Lapao-pao, mengatakan PT Ceria yang
beroperasi di sekitar kecamatan Wolo dianggapnya telah
berkontribusi atas terjadinya pencemaran sungai atas kondisi ini
tidak dapat dihindari terjadinya perairan laut di sekitar Desa Ulu
Lapao-pao.

49
“Kami pernah pergi cek naik katinting. Sekarang
petani rumput laut sudah tidak ada lagi di lokasi
akibat pencemaran. Gunung masih ada saat ini
belum merupakan ancaman. Jika nanti telah
ditambang ore nikelnya baru ada ancaman.”
( Wawancara Masjidin, AMd.Kom., di Wolo,
Kamis 8 Juli 2021)

Apa yang dikeluhkan oleh warga kecamatan Wolo


mengenai pencemaran akibat aktifitas tambang sudah dirasakan
sejak tahun 2013. Data sekunder yang menunjukkan peristiwa itu
terlihat dalam pemberitaan media siber pada kurun waktu tersebut.
Portal berita Kompas.com - 23/12/2013, 13:26 WIB mengangkat
judul "Lingkungan di Wolo Terbukti Tercemari Limbah Tambang"
(https://regional.kompas.com/read/2013/12/23/1326124/Lingkunga
n.di.Wolo.Terbukti.Tercemari.Limbah.Tambang,diakses Jumat 15
Oktober 2021)
Di Kabupaten Konawe degradasi lahan terjadi dimana area
yang tadinya hutan telah dikonversi menjadi perkebuan warga serta
perkebunan industry kelapa sawit. Agusalim, S.H., Sekretaris Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe, mengatakan, masyarakat
yang menanam di ketinggian kemudian turun hujan sehingga
menimbulkan erosi dimana air dengan kecepatan tinggi menuju
sungai tidak lagi sempat terserap oleh tumbuhan sehingga terjadi
sedimen lumpur. Semakin hari pendangkalan sungai terus terjadi
sehingga permukaan air terus naik. Sementara perkebunan kelapa
sawit kurang menguntungkan dari sisi lingkungan karena banyak
membutuhkan air. Sepanjang bantaran sungai Konaweha dan
Lahumbuti dapat ditemui perkebunan sawit.
“Degradasi lahan dari tahun ke tahun akan
bertambah jika tidak diantisipasi pemerintah,
akan terus meluas. Harus ada langkah
pengendalian. Kan lebih bagus ada pengendalian
dari pada dipulihkan.” (Wawancara Agusalim,
S.H., di Unaaha, Senin 19 April 2021)

50
Fakta yang terungkap berdasarkan informan penelitian di
Kabupaten Kolaka serta Kabupaten Konawe tersebut diatas
menggambarkan betapa dampak adanya stagnasi pengelolaan DAS
Konaweha akibat pembinaan dan pengawasan yang belum berjalan
menimbulkan kerugian yang besar dari sisi pelestarian alam di
wilayah DAS Konaweha. Ancaman terhadap bahaya banjir sangat
besar resikonya akibat degradasi lahan baik oleh perkebunan warga
ataupun perkebunan kelapa sawit. Peraturan Gubernur tentang tata
cara pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan DAS
dirasakan begitu mendesak agar penerapan Perda No.1/2015 tidak
mengalami hambatan secara operasional.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka penerapan
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015
Dalam Pengelolaan DAS Konaweha, secara operasional belum dapat
berjalan secara optimal. Dari segi pengelolaan DAS Konaweha mengalami
kendala yang serius karena mengalami stagnasi dari aspek perencanaan.
Pengelolaan DAS Konaweha yang begitu stagnan karena peraturan
pelaksanaan yang dituangkan ke dalam Peraturan Gubernur belum pernah
ditetapkan sejak lahirnya peraturan daeran tentang pengelolaan DAS di
Sulawesi Tenggara pada tahun 2015 silam.
5.3. Problematika Penanggulangan Banjir di DAS Konaweha
Setelah mencermati permasalahan penerapan Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 (Perda No.1/2015)
dalam pengelolaan DAS Konaweha sebagaimana telah dibahas pada sub
bahasan Bab V point 5.2. penelitian ini maka problematika penanggulangan
banjir di DAS Konaweha akan dibahas berdasarkan hal-hal berikut ini:
5.3.1. Masalah Penyesuaian dengan Peraturan yang Lebih Tinggi
a. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) memerlukan
operasionalisasi sehubungan dengan diterbitkannya sejumlah
peraturan delegasinya. Hingga per 24 Februari 2021, pemerintah

51
telah menerbitkan sebanyak 45 Peraturan Pemerintah sebagai
produk turunan dari UU Cipta Kerja. Dinamika perundang-
undangan tersebut tentu memberi konsekuensi perundang-
undangan di level bawah termasuk di dalamnya Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 (Perda
No.1/2015).
Sebagaimana dipahami bahwa sebagai hukum positif
Perda No.1/2015 tersebut terikat dengan asas hukum lex superior
derogat legi inferior yang berarti peraturan yang lebih rendah (lex
inferior) tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi (lex superior). Kondisi ini harus dimaknai bahwa landasan
hukum dipakai oleh Perda No.1/2015 yang telah dibatalkan
sebagai konsekuensi lahir oleh UU Cipta Kerja sebagai aturan
baru menggantikan undang-undang yang lama telah usang.
Berangkat dari kenyataan tersebut maka dibutuhkan tindakan
penyesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi yang
menggantikan landasan hukum Perda No.1/2015 yang telah usang
tersebut.
Pihak Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara
telah mencermati dinamika hukum yang terjadi sebagai akibat
terbitnya UU Cipta Kerja tersebut. La Ode Yulardhi Yunus,
Kepala Bidang Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara,
mengatakan, banyaknya regulasi yang diperbaharui oleh
pemerintah pusat membuat Perda No.1/2015 mengalami
kesulitan untuk diterapkan. Menurutnya, pengelolaan DAS di
daerah memerlukan revisi atas peraturan daerah yang telah ada.
“Kalau berbicara DAS maka kita harus
merevisi Perdanya dulu. Bahkan sejak tahun
2015 banyak keluar regulasi baru.”
(wawancara La Ode Yulardhi Junus di
Kendari, Rabu 14 April 2021)

52
Adapun konsekuensi atas diterbitkannya UU Cipta
Kerja maka sejak per 24 Februari 2021, pemerintah pusat telah
menerbitkan sebanyak 45 Peraturan Pemerintah serta 4 Peraturan
Presiden, berdasarkan publikasi pihak Sekretaris Kabinet
Republik Indonesia (https: // setkab. go. id/ daftar- tautan -49
-aturan- pelaksana- uu –cipta -kerja/,diakses Rabu 25 Agustus
2021) .
Dengan pemahaman bahwa ke 49 (empat puluh
Sembilan) peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja tersebut diatas
telah mempunyai kekuatan mengikat secara hukum maka dengan
sendirinya Perda No.1/2015 harus segera menyesuaikan dengan
mengganti payung hukumnya yang telah usang. Dampak hukum
dari berlakunya peraturan pemerintah sebagai peraturan
pelaksanaan UU Cipta Kerja bagi Perda No.1/2015, terlihat ada
dua peraturan pemerintah yaitu:
1. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup berdampak pada pencabutan Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan
Pengendalian Pencemaran Air yang menjadi landasan hukum
Perda No.1/2015 pada bagian dasar hukum (mengingat) no: 12
2. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan berdampak pada pencabutan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan, yang menjadi landasan hukum Perda
No.1/2015 pada bagian dasar hukum (mengingat) no: 13
Atas pencabutan tersebut maka agar nantinya tidak
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka bagian
dasar hukum (mengingat) pada nomor 12 dan 13 dalam Perda
No.1/2015 segera digantikan dengan memasukan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2021.

53
b. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019
Tentang Sumber Daya Air
Sebagaimana diketahui bahwa terbitnya Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air maka
berdasarkan ketentuan penutup Pasal 76 huruf a Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 secara tegas menyatakan:
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
tenrang Pengairan (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3046) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku;”

Konsekuensi hukum atas kekuatan mengikat dari Pasal


76 huruf a Undang-Undang Nomor I7 Tahun 2019 maka
mengharuskan adanya perubahan pada bagian dasar hukum
(mengingat) angka 3 dengan menggantikan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1974 tenrang Pengairan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046) dengan peraturan yang baru berupa Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190)
Pada sisi lain, dengan ditetapkannya Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ternyata telah mengubah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya
Air. Perubahan oleh undang-undang yang baru ini berdampak
pada redaksi bagian dasar hukum (mengingat) angka 3 Perda
No.1/2015 yaitu:

“3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019


tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190)
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (l,embaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573).”

54
Urgensi dari penambahan atas redaksi bagian dasar
hukum (mengingat) angka 3 Perda No.1/2015 menegaskan bahwa
landasan hukumnya telah mengadopsi Undang Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air yang telah diubah oleh Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
5.3.2. Masalah Peraturan Pelaksanaan Dari Perda No.1/2015
Masalah peraturan delegasi atau peraturan pelaksanaan
dalam pengelolaan DAS Konaweha telah mengemuka pada
pembahasan di sub bahasan Bab V point 5.2. penelitian ini. Kendala
yuridis yang mengemuka yaitu sejumlah peraturan delegasi dalam
bentuk Peraturan Gubernur yang seharusnya ada setelah
ditetapkannya Perda No.1/2015 belum direalisasikan. Sebagaimana
diketahui, sebanyak 9 (Sembilan) rancangan peraturan gubernur
(Rapergub) sebagai peraturan delegasi atas Perda No.1/2015 telah
diserahkan sejak tahun 2018 lalu tetapi belum ditetapkan. Belum
diterbitkannya 9 (Sembilan) Rapergub itu merupakan sesuatu yang
problematik dari implementasi rencana pengelolaan DAS yang
sejalan dengan Perda No.1/2015.
Muhmmad Aziz Absoni, Kepala BPDASHL Sampara,
mengatakan Perda No.1/2015 belum efektif karena peraturan
pelaksanaannya belum terbit. Bahkan para inisiator Perda tersebut
yang tergabung dalam Forum DAS Sultra telah berupaya ke
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia agar peraturan
pelaksana itu terbit.
“Proses di Mendagri memberi petunjuk agar 9
(Sembilan) Rapergub itu di jadikan satu saja. Ini
sementara tahap finalisasi tetapi akibat pandemik
Covid-19 mandeg, pertemuan-pertemuan juga
mandeg.” (Wawancara Muhmmad Aziz Absoni,
di Kendari, Jumat 30 Juli 2021)

Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi


Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 Dalam Pengelolaan DAS
Konaweha belum operasional secara penuh. Penetapannya sebagai
sebuah norma yang mengatur tentang pengelolaan DAS hanya

55
menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah regulasi daerah saja.
Namun keberadaannya sebagai peraturan yang besifat mengikat bagi
berbagai pihak di wilayah yurisdiksi Sulawesi Tenggara belum
operasional secara penuh. Disamping banyaknya perundangan baru
yang memerlukan penyesuaian peraturan di bawahnya, fakta juga
menunjukkan bahwa Perda No.1/2015 dalam pengelolaan DAS
Konaweha memerlukan sejumlah peraturan pelaksanaan agar regulasi
daerah dimaksud mampu dioperasionalkan oleh instansi pelaksana.
Keberadaan peraturan daerah tentang Pengelolaan DAS sejak tahun
2015 yang tidak segera dilengkapi oleh peraturan delegasi membuat
penerapannya belum optimal sama sekali. Sebagaimana dipahami
bahwa
Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal
37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat
(3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun
2015 tentang Pengelolaan DAS memerlukan peraturan delegasi
yang lebih teknis berupa Peraturan Gubernur agar menjadi acuan
instansi pelaksana dan impelemtasinya di masyarakat tidak
menimbulkan berbagai interpretasi.
Dalam perspektif lain pihak Dinas Kehutanan Provinsi
Sulawesi Tenggara menilai Rapergub yang akan menjadi peraturan
delegasi tersebut sangat tergantung dengan Perda No.1/2015 tersebut.
Dimana Perda yang ditetapkan pada enam tahun lalu itu masih
memerlukan penyesuaian lebih lanjut dengan peraturan yang baru
diterbitkan oleh pusat saat ini. La Ode Yulardhi Junus, Kabid.
Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (PDAS RHL)
Dishut Sultra, mengatakan, untuk merubah peraturan daerah itu
memerlukan pendanaan.
“Kendala utama pada masalah finansial,
sehingga gagasan untuk melanjutkan Perda itu
menjadi stagnan. Tahun 2019 mulai lagi
menindaklanjuti penyusunan Pergubnya.”
(wawancara La Ode Yulardhi Junus di Kendari,
Rabu 14 April 2021)

56
Keberadaan peraturan gubernur sebagai produk turunan
dari Perda No.1/2015 yang tidak pernah diterbitkan sejak
ditetapkannya pada tahun 2015 hingga saat ini di tahun 2021
menunjukkan politik hukum yang telah ditetapkan belum disikapi
sebagai suatu prioritas. Hal ini artinya masa 6 tahun yang telah
berlalu sejak lahirnya Perda No.1/2015 dapat dimaknai bahwa
pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara belum dipandang sebagai
prioritas di bandingkan kebutuhan di sektor hukum lainnya.
Sebagaimana dikatakan pihak Dinas Kehutanan Provinsi
Sulawesi Tenggara, penerapan Perda No.1/2015 mengalami stagnasi
akibat belum ada peraturan gubernur yang dapat dipakai sebagai
pedoman pelaksanaannya di lapangan. Kebuntuan atas penerapan
Perda No.1/2015 tersebut merupakan kendala tersendiri dalam
pengelolaan DAS Konaweha. Pelaksanaan pengelolaan DAS
melibatkan berbagai stake holder. Fakta menunjukkan sejumlah
permasalahan akibat penerapan hukum dalam pengelolaan DAS
Konaweha belum optimal sepenuhnya. Pasal 6 Perda No.1/2015 telah
mengatur bagaimana pengelolaan DAS di Provinsi Sulawesi
Tenggara, termasuk DAS Konaweha di dalamnya.
5.3.3. Masalah Pendanaan
Dalam pengelolaan DAS Konaweha saat ini juga
mengalami kendala dari segi pendanaan baik dari aspek
pembentukan peraturannya serta aspek teknis operasionalnya.
Permasalahan dana ini sebenarnya sudah mengemuka sejak
pembentukan dari Perda No.1/2015 itu sendiri karena pembentukan
tersebut didanai oleh lembaga donor dari Kanada yakni The
Environmental Governance and Sustainable Livehoods Program
(EGSLP) yang membiayai operasional Forum DAS Sulawesi
Tenggara selaku inisiator Perda No.1/2015. Ketua Forum DAS
Sulawesi Tenggara, Dr. La Baco Sudia, M.Si., mengatakan, katika
lembaga donor tersebut menghentikan bantuanya pada tahun 2015
sangat dirasakan perihal pendanaan itu.Terhentinya bantuan lembaga

57
donor bukan satu-satunya masalah terkait pendanaan, merebaknya
pandemi Covid-19 juga menjadi persoalan lainnya terkait pendanaan.
“Ada kendala pendanaan Forum DAS sejak
tahun 2015, donor internasional terhenti.Terkait
Covid-19 pendanaan dari BPDASHL juga
terhenti, nanti tahun 2021 baru dialokasikan
lagi.” (Wawancara Dr. La Baco Sudia, M.Si.,di
Kendari, Sabtu, 1 Mei 2021)

Pada aspek pembentukan peraturanya menyangkut revisi


atas Perda No.1/2015 dan peraturan pelaksanaannya. Akibat dari
keterbatasan dana yang tersedia maka penyempurnaan perda tersebut
melalui revisi mengalami kendala bahkan peraturan pelaksanaannya
belum diterbitkan hingga saat ini. La Ode Yulardhi Junus, Kabid.
Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (PDAS RHL)
Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara.
"Kendala utama pada masalah finansial, sehingga
gagasan untuk melanjutkan Perda itu menjadi
stagnan.Tahun 2019 mulai lagi menindaklanjuti
penyusunan Pergubnya...” (Wawancara La Ode
Yulardhi Junus, di Kendari, Rabu 14 April 2021)

Persoalan pendanaan dalam revisi Perda No.1/2015 serta


pembentukan peraturan pelaksanaannya merupakan problematika
tersendiri. Pada satu sisi politik anggaran daerah pada saat ini belum
menempatkan anggaran revisi perda itu sendiri sebagai prioritas
untuk di biayai. Dampak penularan virus corona yang sedang
berlangsung saat ini membutuhkan dana anggara yang bersifat ekstra
sehingga tidak mengherankan terjadi refocusing anggaran untuk
penanganan Covid-19 di Indonesia. Dampak dari kondisi anggaran
yang demikian bukan hanya menghambat revisi Perda No.1/2015
semata tetapi juga pembentukan Rapergub sebagai peraturan
pelaksanaannya.
Permasalahan pendanaan sehubungan dengan peraturan
daerah tentang pengelolaan DAS Sultra serta produk turunannya
seperti peraturan gubernur merupakan produk hukum daerah. Atas
kenyataan ini, sebagai produk hukum daerah maka baik

58
pembentukan ataupun yang bersifat revisi seharusnya menjadi
tanggung jawab daerah untuk menyediakan dananya. Harus diakui
ketika menyangkut DAS, pengeloaannya melibatkan berbagai pihak
baik pusat maupun daerah. Ketika berbicara produk hukum daerah
sudah seharusnya pendanaannya oleh daerah. Apalagi ketika
penyangkut pelaksanaan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara
secara yuridis tunduk pada Pasal 42 huruf b dan Pasal 43 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai dinyatakan:
Pasal 42
Pelaksanaan Pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 menjadi
wewenang dan tanggung jawab:
a. Menteri dan menteri terkait sesuai
kewenangannya untuk DAS lintas Negara dan
lintas Provinsi;
b. gubernur sesuai kewenangannya untuk DAS
dalam provinsi dan/atau lintas kabupaten/kota;
dan
c. bupati/walikota sesuai kewenangannya untuk
DAS dalam kabupaten/kota.
Pasal 43
Dalam hal pemerintah provinsi dan/atau
kabupaten/kota melalaikan penyelenggaraan
kewenangan dalam pengelolaan DAS,
penyelenggaraannya dilaksanakan oleh
Pemerintah dengan pembiayaan bersumber dari
APBD daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka


sepatutnya pendanaan pengelolaan DAS Konaweha sebagai bagian
dari keseluruhan DAS di Sulawesi Tenggara tidak dapat lagi hanya
mengandalkan dana dari pendonor atau di luar kas pemerintah
daerah. Dengan mencermati Pasal 42 huruf b dan Pasal 43 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tersebut diatas maka revisi Perda
No.1/2015 dan produk turunannya sebagai landasan hukum
pengelolaan DAS di Sultra maka pendanaannya harus diakomodir di
APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini mengingat
ancaman bencana banjir terus terjadi sepanjang tahun akibat

59
pengelolaan DAS Konaweha serta DAS-DAS lainnya belum
dijangkau oleh Perda No.1/2015 serta peraturan pelaksanaannya.
5.3.4. Masalah Deforestrasi
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa deforestasi
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya banjir.
Deforestasi tersebut merupakan tindakan manusia yang merubah
lahan yang tadinya berfungsi sebagai hutan menjadi lahan untuk
fungsi yang lain secara permanen. Demikian halnya dengan peristiwa
banjir di ecoregion DAS Konaweha, ditemukan juga adanya
deforestasi.
Secara umum data dari pihak Institut Pertanian Bogor
menunjukkan bahwa Sulawesi Tenggara mengalami deforestasi
sekitar 63.7 ribu ha/tahun pada periode 2000–2009 dan luas
lahan memiliki hutan sekitar 1.4 juta ha (Dirjen Planologi 2009).
Bila laju deforestasi tidak berubah maka 20 tahun kemudian lahan
berhutan di Sulawesi Tenggara dimungkinkan akan hilang.
Deforestrasi sendiri menimbulkan lahan yang rawan erosi dan
bencana longsor maupun banjir. Fakta menunjukkan bencana
banjir dialami 21 desa/kelurahan di 6 Kecamatan di Kabupaten
Konawe pada bulan Juli 2013 (BPBD Sultra 2013). (Setiawan,
H., Jaya, I. N. S., & Puspaningsih, N.,2015). Deforestrasi di
ecoregion DAS Konaweha secara empirik diakibatkan oleh:
a. Deforestrasi akibat Perambahan
Perambahan terjadi di ecoregion DAS Konaweha dapat
ditemukan di Kabupaten Kolaka Timur, Konawe serta Konawe
Selatan. Riswan Mangidi, ST., Sekretaris Dinas Lingkungan
Hidup Konawe Selatan,mengatakan, Desa Amasara hingga
Pudahoa merupakan daerah hutan tanaman Industri. Pohon-pohon
di sekitar aliran sungai kini telah habis ditebang oleh masyarakat.
Termasuk di wilayah Kecamatan Landono, Mowila serta Buke di
kiri-kanan sungai telah berubah akibat banyaknya pemukiman.
”Di sekitar Pudahoa (Kec.Mowila) tadinya
merupakan hutan lindung telah menjadi hutan

60
rakyat. Ternyata sampai sekarang belum
diturunkan statusnya telah banyak
dijualbelikan oleh warga”(Wawancara Riswan
Mangidi, ST., di Andoolo Kabupaten Konawe
Selatan, Senin, 12 Aril 2021)

Sementara dari data dari Jurnal Penelitian Pendidikan


Biologi Universitas Haluoleo Kendari, terungkap bahwa kawasan
Hutan Lindung Wolasi telah banyak terjadi perambahan dan
pembukaan lahan untuk kegiatan berladang. Berdasarkan data
KPH menyebutkan bahwa 1.137,32 Ha Kawasan Hutan Lindung
Wolasi telah mengalami perambahan dari total luas kawasan,
yaitu 5.957,02 Ha (KPH Gularaya, 2014). Terjadinya kerusakan
lahan pada kawasan tersebut tentunya akan membawa dampak
terhadap keseimbangan ekosistem (Adha, N., Munir, A., &
Darlian, L.,2018).
Perambahan di Kabupaten Kolaka Timur juga terjadi
dengan pola yang berbeda. Kepala BPBD Kabupaten Kolaka
Timur, Ir. H.M. Anzarullah, M.Si., mengatakan, pengelolaan
kebun oleh rakyat di wilayah kecamatan Lalolae dilakukan
dengan cara membakar. Hal ini berakibat terjadinya kebakaran
hutan di wilayah itu hampir setiap tahun karena kebun yang
dibakar tidak terkendali lagi apinya.
”Di sana itu ada rawa Tinondo dimana
dasarnya ada batubara muda. Panas 40 derajat
saja terbakar karena ada batubara. Biar tidak
dibakar akan terbakar.”( Wawancara Kolaka
Timur, Ir. H.M. Anzarullah, M.Si., di
kompleks perkantoran Kabupaten Kolaka
Timur, Senin 19 April 2021)

Bentuk perambahan yang terjadi di Kabupaten Konawe


diungkapkan oleh Agusalim, SH., Sekretaris Dinas Lingkungan
Hidup Kabupaten Konawe. Dikatakan, masyarakat telah
melakukan penanaman di ketinggian kemudian turun hujan dan
terjadi erosi dimana air tak sempat terserap tumbuhan tetapi

61
langsung ke sungai sehingga terjadi sedimentasi lumpur yang
menyebabkan perubahan arah sungai. Makin hari kedangkalan
sungai makin rendah air dari arah hulu sungai tidak sanggup
memuat lagi sehingga air naik ke permukaan.
Sebagaimana diketahui data dari pihak BPDASHL
Sampara menunjukkan bahwa Kabupaten Konawe sebagai
ecoregion DAS Konaweha meliputi 21 kecamatan yang terdiri
dari Kecamatan Abuki, Amonggedo, Anggaberi, Asinua,
Besulutu, Bondoala, Kapoiala, Konawe, Lalonggasumeeto,
Lambuya, Latoma, Meluhu, Onembute, Pondidaha, Puriala,
Sampara, Tongauna, Uepay, Unaaha, Wawotobi, serta
Wonggeduku.

“Kebun warga di ketinggian menyebabkan


erosi tebing karena air mengikis lahan di
ketinggian sehingga terjadi sedimentasi
pendangkalan/ pelebaran sungai,” (Wawancara
Agusalim, SH., di Unaaha Kabupaten Konawe,
Rabu 21 April 2021)

Hasil penelitian di Sekolah Pascasarjana Institut


Pertanian Bogor menunjukkan, seiring dengan bertambahnya
waktu dan jumlah penduduk, lahan dikawasan hutan banyak
beralih fungsi menjadi areal tanaman perkebunan mente, kakao
dan kelapa sawit (perambahan hutan) di Kabupaten Konawe.
Akibat dari aktivitas pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk
perkebunan tersebut menyebabkan meningkatnya luas lahan kritis
di DAS Konaweha,(Surya, R. A., Purwanto, J., Yanuar, M.,
Sapei, A., & Widiatmaka, W.,2015).
b. Deforestrasi Akibat Pertambangan
Deforestrasi sebagai akibat pertambangan
mengakibatkan hilangnya hutan selain hilangnya keanekaragaman
hayati tindakan ini juga berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Deforestrasi sebagai dampak aktifitas pertambangan di ecoregion

62
DAS Konaweha juga ditemukan di Kabupaten Konawe , Konawe
Selatan, Kolaka Utara, Kolaka, Konawe Utara.
Sebagaimana diketahui, data investasi tahun 2014 dari
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Konawe menunjukkan 14 perusahaan tambang di
ecoregion DAS Konaweha .
Tabel 5.2.
Perusahaan Tambang di Kabupaten Konawe
Pada Ecoregion DAS Konaweha

Sumber: http://ptsp.konawekab.go.id/main/fullprofile/32

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten


Konawe, Agusalim, SH., mengakui adanya aktifitas tambang di
DAS Konaweha .
”Pada DAS Sampara (sebut lain dari DAS
Konaweha) ini kalau bukan perkebunan sawit
ya perusahaan tambang. Kalau warga
umumnya memanfaatkan penambangan pasir
sungai.”( Wawancara Agusalim, SH., di
Unaaha Kabupaten Konawe,Rabu 21 April
2021)

Hadirnya perusahaan tambang di Kabupaten Konawe


akan menjadi ancaman ketika berada di ecoregion DAS
Konaweha. Alih fungsi lahan hutan untuk pertambangan

63
berakibat pada hilangnya fungsi hutan yang memiliki potensi
menunda serta mengurangi aliran air banjir ketika hujan dengan
durasi yang pendek.
c. Deforestrasi Akibat Perkebunan Kelapa Sawit
Ancaman bahaya banjir sebagai akibat deforestrasi
untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah DAS Konaweha juga
terlihat nyata adanya. Irwan, Kepala Desa Laikandonga,
Kecamatan Ranomeeto Barat, Kabupaten Konawe Selatan,
megalami betul akibat deforestrasi untuk perkebunan kelapa sawit
di wilayah DAS Konaweha. Rumahnya yang hanya berjarak 7
meter dari bibir sungai Konaweha telah dua kali mengalami banjir
besar sebagai akibat luapan sungai Konaweha yaitu tahun 2013
dan tahun 2019. Desa yang dipimpinya itu sempat terisolir akibat
banjir luapan sungai Konaweha di Desa Laikandonga.
Fenomena banjir di Desa Laikandonga menjadi sering
terjadi ketika timbul hujan sejak munculnya perkebunan kelapa
sawit yang terletak di seberang sungai Konaweha yang secara
administrasi berada di Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe.
Sejak adanya sawit di seberang sungai di Desa Laikandonga juga
mengakibatkan turunnya kualitas air dimana sebelumnya tidak
sekeruh sekarang ini akibat tercemar air lumpur.
“Dulu memang ada juga banjir tapi tidak
seberat dan sesering seperti sekarang ini.
Sejak ada sawit kita di sini sering mendapat
banjir. Airnya kalau hujan cepat sekali
tingginya kalau kemarau air jauh berkurang
hingga dasar sungai sebagain mengering.”
( Wawancara Irwan, di Desa Laikandonga,
Kecamatan Ranomeeto Barat, Kabupaten
Konawe Selatan, Senin, 16 Agustus 2021)

Fakta atas keberadaan perkebunan sawit di Kecamatan


Besulutu Kabupaten Konawe yang berseberangan langsung
dengan Desa Laikandonga nyata adanya. Data menunjukkan
bahwa perkebunan kelapa sawit milik PT.Mega Utama Tani di
Kabupaten Konawe seluas 346.92 hektar dengan luas tanaman

64
346.49 hektar di Kecamatan Besulutu Kabupaten
Konawe(Ahmad, S. W., Jamili, J., & Mustang, M. 2016).
Berdasarkan data dari Dinas Perizinan Terpadu Satu
Pintu dan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Konawe
(http://ptsp.konawekab.go.id/main/fullprofile/32) menunjukkan
10 perusahaan yang memiliki izin untuk mengelola perkebunan
kelapa sawit, sebagaimana telah dikutip di bawah ini:
Tabel 5.3.
Data Perusahaan Yang Mendapatkan Izin Lokasi/Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Konawe Tahun 2014

Sumber: http://ptsp.konawekab.go.id/main/fullprofile/32

Mencermati data perusahaan yang mendapatkan izin


lokasi/usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Konawe
Tahun 2014 tersebut diatas ternyata berkesesuaian dengan kondisi
yang dijelaskan oleh Kepala Desa Laikandonga tersebut diatas.
Artinya ekspansi lahan kelapa sawit sebagai tindakan deforestrasi
telah mengancam DAS Konaweha. Sebagaimana juga diberitakan
oleh sebuah portal berita lingkungan bernama Berita
Lingkungan.Com, yang berjudul “Ketika Perkebunan Sawit
Membawa Sengsara” bahwa :
“Dampak lain dari kehadiran perusahaan
sawit ternyata telah menyebabkan krisis air di

65
areal persawahan di sejumlah wilayah di
Konawe. Semata bukan karena dampak
musim kemarau panjang, tetapi juga dipicu
oleh ekspansi perusahaan sawit yang secara
seporadis mengolah lahan di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Konaweha.” ( http: // www.
beritalingkungan. com/ 2016/ 07/ ketika-
perkebunan –sawit -membawa- sengsara.
html, diakses Kamis 26 Agustus 2021)

Atas hal-hal yang telah diuraikan diatas membuktikan


jika deforestrasi akibat perkebunan kelapa sawit telah
menurunkan kualitas air sekaligus menghadirkan ancaman banjir
sewaktu-waktu di sebagian wilayah DAS Konaweha.
5.3.5. Pemanfaatan Bantaran Sungai Konaweha
Pemanfaatan bantaran sungai Konaweha juga merupakan
bentuk lain dari kontribusi banjir di wilayah DAS Konaweha.
Pemanfaatan yang demikian merupakan masalah tersendiri yang
memerlukan pendekatan infrastruktur dan sosial serta tidak
terkecuali pendekatan hukum juga.
Permasalahan yang umumnya terjadi terkait pemafaatan
bantaran sungai yaitu adanya pemukiman bantaran serta garis
sempadan sungai. Konsekuensi atas adanya fenomena pemukiman
tersebut maka pemanfatan sungai serta lahan disekitarnya seperti
transportasi air, mandi, cuci, kakus hingga pembuangan limbah dan
sampah rumah tangga. Bahkan lahan di kiri-kanan sungai yang
masih tersisa akan dimanfaatkan untuk bercocok tanam.
Adanya pemanfaatan bantaran sungai akan merugukan
sungai bukan hanya kualitas air yang terganggu volume sampah
terutama dari rumah tangga di sekitar sungai faktor penyebab banjir
yang terjadi. Menghadapi situasi yang demikian tentu memerlukan
penyelesaian dari berbagai aspek diantaranya aspek birokrasi dan
aspek hukum. Suryaningrat dari pihak Balai Wilayah Sungai
Sulawesi IV Kendari, menyatakan pendapatnya bahwa seharusnya
ada larangan dari pihak Badan Pertanahan Nasional untuk sertifikat
di garis sempadan sungai yaitu suatu garis maya di kiri dan kanan

66
palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
Sebagaimana dipahami, ketika seseorang memiliki hak atas tanah di
sempadan sungai maka hak dia untuk membangun padahal bangunan
itu akan memicu banjir. Di kawasan sungai Konaweha di wilayah
Desa Pohara banyak masyarakat bermukim. Ada kendala
pembebasan lahan untuk membuat tanggul sungai.
“Pembebasan lahan tanggung jawab Pemda.
Idealnya rumah warga dibangun menghadap
sungai menghindari sungai itu jadi tempat
pembuangan sampah runah tangga.” (Wawancara
Suryaningrat di Kota Kendari, Rabu 14 April
2021)
Secara faktual pemanfaatan bantaran sungai juga terjadi di
Desa Laikandonga Kecamatan Ranomeeto Barat Kabupaten Konawe
Selatan. Rumah Kepala Desa Laikandonga hanya berjarak 5 mater
dari bibir sungai Konaweha yang ada di wilayah administratif desa
tersebut. Banjir sebagai akibat meluapnya sungai Konaweha sudah
sering kali terjadi di desa tersebut. Ancaman atas dampak sungai
Konaweha di Laikandinga bukan hanya banjir, pengikisan bibir
sungai mengakibatkan badan sungai semakin melebar sehingga
rumah warga di banran sungai semakin dekat dengan bibir sungai.
“ Belakang rumah saya ini dulunya sekitar 7
meter dari pinggir sungai. Sekarang semakin
dekat belakang rumah. Waktu hujan 2019 lalu
air naik sangat tinggi sampai banjir di
sini.”( Wawancara Irwan, di Desa
Laikandonga Kecamatan Ranomeeto Barat
Kabupaten Konawe Selatan, Senin, 16
Agustus 2021)

Menyadari dampak buruk adanya pemukimann pada garis


sempadan sungai Konaweha maka hal ini memerlukan adanya
instrument hukum yang mengatur tentang pemukiman di bantaran
sungai termasuk juga di garis sempadan sungai agar setidak-tidaknya
mengurangi potensi banjir di wilayah DAS Konaweha. Mereka yang
bermukim pada garis sempadan sungai Konaweha harus memiliki
izin mendirikan bangunan yang diatur secara ketat.

67
Guna menjaga kelestarian sungai Konaweha tersebut maka
instrument hukum perizinan yang merupakan wewenang pemerintah
Kabupaten/Kota hendaknya memulai untuk mengatur pemukiman
pada garis sempadan sungai Konaweha. Keberadaan instrument
hukum tersebut nantinya akan menghadirkan pemukiman ramah
lingkungan yang bertalian dengan pelestarian wilayah DAS
Konaweha.
5.4 Solusi Hukum Atas Problematika Penanggulangan Banjir di DAS
Konaweha

Solusi hukum merupakan salah satu alternatif penyelesaian atas


persoalan yang dialami masyarakat. Dalam pengelolaan DAS Konaweha
yang telah dipayungi oleh Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Perda
No.1/2015), ternyata belum mampu menjawab sejumlah problematika yang
terjadi yang memerlukan adanya solusi secara hukum.
Problematika yang mengemuka pada sub bahasan 5.3 Bab V

pada pokoknya bukan semata-mata masalah revisi Perda No.1/2015 sebagai

akibat dinamika sosial serta adanya produk hukum baru yang lebih tinggi.

Kondisi yang demikian tentu mempengaruhi materi muatan Perda

No.1/2015 sebagai produk hukum pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara

dimana mutatis-mutandis berlaku pada DAS Konaweha. Pada sisi lain

Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan Perda No.1/2015 juga

belum ditetapkan karena 9 (Sembilan) Rapergub yang akan dibentuk

memerlukan penyempurnaan berdasarkan pertimbangan yuridis dan

sosiologis.

Dengan demikian maka solusi hukum yang diharapkan dalam


penelitian ini, menyangkut revisi Perda No.1/2015 kemudian peraturan
pelaksanaannya serta masalah pendanaan dan deforestrasi. Selanjutnya
mengenai hasil dan pembahasan penelitian ini akan diuraikan lebih lanjut ke

68
dalam suatu solusi hukum berdasarkan permasalahan yang ada, sebagaimana
dikemukakan dibawah ini:
5.4.1. Solusi Hukum Terkait Revisi Perda No. 1 / 2015 sebagai
Penyesuaian Pada Aturan Yang Lebih Tinggi
Setelah enam tahun penetapan Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun (1/2015) dirasakan perlu dilakukan berbagai
perubahan sebagai bentuk penyesuaian secara yuridis, sebagaimana
diuraikan pada sub bahasan 5.3.
Adapun penyesuaian segi yuridis maupun non yuridis
dimaksud meliputi hal-hal berikut ini:
a. Penyesuaian dengan Undang-Undang:
1. Penyesuaian Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja
Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 6573), merupakan peristiwa hukum
yang cukup menarik perhatian di tahun 2020 lalu. Secara umum
undang-undang ini dikenal dengan sebutan UU Cipta Kerja
yang bercorak omnibus law. Corak yang sama berlaku di
negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Hal
ini sedikit berbeda dengan sistim di Indonesia yang memakai
sistem eropa kontinental yang pernah selama 3 (tiga) abad
dijajah Belanda yang juga menganut sistem hukum yang sama.
Sebagai produk hukum yang berpengaruh terhadap
perundang-undangan di bawahnya maka UU Cipta Kerja harus
diadopsi menjadi payung hukum. Peraturan Daerah yang
dipengaruhi oleh UU Cipta Kerja harus menjadikannya sebagai
dasar hukum keberlakuannya. Tidak terkecuali juga Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015

69
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Perda No.1/2015).
Meskipun 5 (lima) tahun lebih dahulu diterbitkan, Perda
No.1/2015 harus menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja yang
secara hirarki lebih tinggi. Ditambah lagi peraturan pemerintah
yang menjadi pelaksanaan dari UU Cipta Kerja juga terhadap
Perda No.1/2015.
Berdasarkan fakta tersebut diatas maka dasar
hukum (mengingat) pada Perda No.1/2015 harus mengadopsi
UU Cipta Kerja menjadi salah satu dasar hukum
keberlakukannya.
2. Penyesuaian Terhadap Undang - Undang Nomor 17
Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air

Sebagaimana diketahui bahwa terbitnya Undang-


Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air
merupakan bentuk pembaharuan atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1974 tenrang Pengairan (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046).
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2019 maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 kemudian
dicabut oleh pemerintah berdasarkan ketentuan penutup Pasal
76 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 secara tegas
menyatakan:
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
tenrang Pengairan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3046) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku;”

Konsekuensi hukum atas kekuatan mengikat dari


Pasal 76 huruf a Undang-Undang Nomor I7 Tahun 2019 maka
mengharuskan adanya perubahan pada bagian dasar hukum
(mengingat) angka 3 Perda No.1/2015 dengan menggantikan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan

70
Lembaran Negara Nomor 3046) dengan peraturan yang baru
berupa Undang-Undang Nomor I7 Tahun 2019 Tentang
Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 190)
b. Penyesuaian dengan Peraturan Pemerintah

Keberlakuan UU Cipta Kerja agar menjadi


operasional memerlukan peraturan pelaksanaan. Konsekuensi
peraturan pelaksanaan seperti halnya Peraturan Pemerintah (PP)
membuat sejumlah PP yang telah terlebih dahulu terbit dicabut
karena dianggap tidak selaras dengan UU Cipta Kerja tersebut.
Sebagai dampak lanjutannya yaitu peraturan di tingkat bawah
seperti halnya peraturan daerah (Perda) yang menjadikannya
sebagai payung hukum terkena imbasnya. Ketika sebuah Perda
memakai landasan hukum yang berasal dari peraturan yang
lebih tinggi seperti PP yang kemudian dibatalkan, tentu Perda
tersebut harus melakukan penyesuaian dengan PP yang baru.
Hal ini wajar karena Perda sebagai aturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi sesuai
asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferior .
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (Perda No.1/2015) juga tidak terkecuali harus
menyesuaikan dengan berlakunya UU Cipta Kerja tersebut
diatas. Selain harus mencantumkan UU Cipat Kerja sebagai
dasar hukum pembentukannnya, sejumlah aturan di bawah
undang-undang seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang juga
menjadi dasar hukum juga harus digantikan yaitu:
1. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup berdampak pada
pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan

71
Pengendalian Pencemaran Air yang menjadi landasan
hukum Perda No.1/2015 pada bagian dasar
hukumnya, (mengingat) no: 12
2. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan berdampak
pada pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang
menjadi landasan hukum Perda No.1/2015 pada
bagian dasar hukumnya, mengingat no: 13
Sebagaimana diketahui, baik Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 2021 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2021 (PP No.23/2021) merupakan peraturan pelaksanaan
dari UU Cipta Kerja. Berhubung ke PP tersebut juga merupakan
pembaharuan dari PP yang menjadi dasar hukum Perda
No.1/2015 maka peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja itu
harus dimasukan kembali sebagai bagian dari dasar hukum serta
batang tubuh dari Perda No.1/2015.
Pada bagian batang tubuh Perda No.1/2015mengalami
penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2021 yang meliputi Pasal 7 ayat (1) huruf a hingga Pasal 9
sampai Pasal 11 Perda No.1/2015. Adapun rinciannya adalah
sebagai berikut:
1) Pasal 7 ayat (1) huruf a
Pasal 7 ayat (1) huruf a Perda No.1/2015 yang
semula nomenklaturnya “Inventarisasi karakteristik DAS”
harus meyesuaikan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (4) huruf b
PP No.23/2021 yakni menjadi ”Inventarisasi Hutan tingkat
DAS dalam provinsi ”.
2) Pasal 8 , Pasal 9 dan Pasal 10
Pasal 8 , Pasal 9 dan Pasal 10 Perda No.1/2015
yang semula berkaitan dengan Pasal 7 sehingga harus diubah
secara keseluruhan sebagai bentuk penyesuaian dengan PP

72
No.23/2021. Pasal 10 terpaksa dihapus karena unsur yang
terkandung pada pasal dimaksud terlau teknis sifatnya
sehingga tidak sesuai lagi dengan dengan PP No.23/2021
tersebut.
5) Pasal 11
Perubahan yang terjadi pada Pasal 11 Perda
No.1/2015 merupakan dampak penyesuaian Pasal 8 Perda
No.1/2015 terhadap PP No.23/2021.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas,jika


direkonstruksikan ke Perda No.1/2015. maka hasilnya sebagai
berikut:
a. BAGIAN DASAR HUKUM :

Sebelum direkonstruksi:

Mengingat 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


: Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi
Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara
dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47
Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah
Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2687);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3064);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan

73
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4412);
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4725);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5432);
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5657)
11. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan

74
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5608);
12. Peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);
13. Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 2004
tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4452);
14. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4453);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011
tentang Sungai (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5230);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5292);
18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2014-2034 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5292);

Setelah direkonstruksi:

Mengingat 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


: Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

75
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi
Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara
dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47
Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah
Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2687);
3. Undang - Undang Nomor I7 Tahun 2019
Tentang Sumber Daya Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 190) sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888) sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia
Nomor 6573);
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4725) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran

76
Negara Republik Indonesia Nomor 5059)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5432)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
11. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5608)
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia

77
Tahun 2021 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6634);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6635);
15. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4453);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011
tentang Sungai (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5230);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5292);
19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2014-2034 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5292);

b. BAGIAN BATANG TUBUH:

Pasal 7 ayat (1) huruf a Perda No1/2015


Sebelum direkonstruksi :

Pasal 7

(1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan tahapan
kegiatan:

78
a. Inventarisasi karakteristik DAS;
b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan
c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS;

Setelah mengalami rekonstruksi


Pasal 7

(1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan tahapan
kegiatan:
a. Inventarisasi Hutan Tingkat DAS di dalam
Provinsi ;
b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan
c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS;

Pasal 8 Perda No1/2015

Sebelum direkonstruksi :
Bagian Kedua
Inventarisasi Karakteristik DAS

Pasal 8
(1) Inventarisasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat(1) huruf a meliputi:
a. Proses penetapan batas DAS;dan
b. Penyusunan klasifikasi DAS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
batas DAS diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan

Setelah direkonstruksi :

Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan Tingkat DAS
Pasal 8

a. Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana


dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) dilakukan untuk
memperoleh data dan informasi sebagai bahan
penyusunan rencana pengelolaan DAS.
b. Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) dilaksanakan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
c. Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) paling sedikit
mencakup data dan informasi:
a. Penutupan Hutan;

79
b. jenis dan potensi tegakan Hutan; dan
c. hidrologi atau tata air

Pasal 9 Perda No1/2015

Sebelum direkonstruksi :
Bagian Ketiga
Penyusunan Kalsifikasi DAS

Pasal 9

(1) Berdasarkan hasil proses penetapan batas DAS yang


telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilakukan penyusunan klasifikasi DAS.
(2) Penyusunan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk menetukan:
a. DAS dipulihkan;dan
b. DAS yang dipertahankan daya dukungnya.
(3) Persatuan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria:
a. kondisi lahan;
b. kulitas,kuantitas dan kontinuitas air;
c. sosial ekonomi;
d. inventarisasi bangunan air;dan
e. pemanfaatan ruang wilayah.
(4) Penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.

Setelah direkonstruksi :

Pasal 9

(1) Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan tingkat DAS


sebagaimana Pasal 7 ayat (1) mengacu pedoman
Inventarisasi Hutan dan hasil Inventarisasi Hutan tingkat
nasional dan provinsi.
(2) Penyelenggaraan kegiatan Inventarisasi dalam Hutan
tingkat DAS sebagaimana ayat (1) dilaksanakan oleh OPD
dengan berkoordinasi dengan unit kerja Kementerian
DAS.
(3) Kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS
sebagaimana ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.
(4) Dalam hal OPD tidak memiliki kemampuan teknis
melaksanakan kegiatan Inventarisasi Hutan tingkat DAS
sebagaimana ayat (2), selanjutnya dilaksanakan sesuai

80
peraturan perundang-undangan

Pasal 10 dihapus

Pasal 11 Perda No1/2015

Sebelum direkonstruksi :

Bagian Keempat
Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS

Pasal 11
(1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana
pengelolaan DAS.
(2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur.
(3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari
dinas instansi terkait dan melibatkan perguruan tinggi
serta pemangku kepentingan lainnya.

Setelah direkonstruksi :

Bagian Keempat
Rencana Pengelolaan DAS
Pasal 11

(1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan
rencana pengelolaan DAS.
(2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur.
(3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim
yang terdiri dari OPD terkait dan melibatkan
perguruan tinggi serta pemangku kepentingan
lainnya.

5.4.2. Solusi Atas Masalah Peraturan Pelaksanaan Perda No.1/2015

Sebagaimana telah dikemukakan pada sub bahasan 5.3


Bab V maka peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015 merupakan
implementasi dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 37 , Pasal
41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3)
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun

81
2015 tentang Pengelolaan DAS. Ketentuan pada pasal-pasal
dimaksud memberikan suatu delegasi yang secara teknis diwujudkan
ke dalam bentuK suatu “ Peraturan Gubernur”.
Implementasi atas Perda No.1/2015 belum dapat
dioperasionalkan karena ada hal-hal yang lebih teknis sebagaimana
pasal-pasal yang merupakan “delegans” atas peraturan gubernur yang
hendak dibentuk. Akibat peraturan gubernur tersebut tidak kunjung
ditetapkan tenyata menjadi kendala tersendiri. Instansi pelaksana
mengalami kesulitan untuk melaksanakan rencana pengelolaan DAS
yang telah ada. Norma-norma yang terkandung di dalam Perda
No.1/2015 dirasakan masih bermakna luas. Kehadiran Peraturan
Gubernur selaku “delegataris” atas Perda No.1/2015 nantinya akan
memberikan solusi agar tidak menimbulkan multi interpretasi.
Ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Pasal 8 ayat
(2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46
ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 , maka akan
melahirkan 9 Rancangan Peraturan Gubernur (Rapergub) yang terdiri
dari:
1. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara
Penetapan Batas DAS sesuai perintah Pasal 8 ayat (2)
Perda No.1/2015.
2. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara
Inventarisasi Dalam Hutan Tingkat DAS sesuai
perintah Pasal 9 ayat (3) Perda No.1/2015.
3. Rancangan Peraturan Gubernur tentang tata cara
penetapan Rencana Pengelolaan DAS sesuai perintah
Pasal 25 Perda No.1/2015.
4. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara
Pengelolaan DAS yang Dipulihkan dan DAS yang
Dipertahankan sesuai perintah Pasal 30 Perda
No.1/2015.

82
5. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Monitoring dan
Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS
sesuai perintah Pasal 37 Perda No.1/2015.
6. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara
Pembinaan dan Pengawasan Kegiatan Pengelolaan
DAS sesuai perintah Pasal 41 Perda No.1/2015.
7. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan
Pengelolaan DAS sesuai perintah Pasal 46 ayat (2)
Perda No.1/2015.
8. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara dan
Keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS
sesuai perintah Pasal 51 ayat (5) Perda No.1/2015.
9. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara
Penetapan dan Pemberian Penghargaan Dalam
Pengelolaan dan Mempertahankan Kelestarian DAS
sesuai perintah Pasal 62 ayat (3) Perda No.1/2015.
Jika mencermati pasal - pasal yang mendelegasikan ke 9
(Sembilan) Rapergub tersebut diatas secara tegas dan nyata
keseluruhannya bahwa hal itu menyangkut petunjuk pelaksanaan
pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara. Menyikapi hal ini maka
secara praktis hendaknya disatukan menjadi satu Repergub . Hal ini
didasari bahwa ke 9 (Sembilan) Rapergub tersebut diatas jelas-jelas
merupakan peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015. Selain itu,
secara subtantif merupakan suatu peraturan gubernur tentang
petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS.
Diharapkan dengan penyatuan ke 9 (Sembilan) Rapergub itu maka
akan menghemat waktu, tenaga , pikiran serta anggaran dalam
pembentukan suatu perundang-undangan seperti halnya Rapergub
tersebut. Ide penyatuan ini juga selaras dengan hasil konsultasi pihak
Forum DAS Sultra kepada pihak Kementerian Dalam Negeri

83
Republik Indonesia yang pada dasarnya memberi petunjuk tentang
penyatuan ke 9 (Sembilan) Rapergub dimaksud. Sebagaimana
dikatakan oleh Dr. Ir. La Baco Sudia, M.Si Ketua Forum DAS
Sultra:
“Terakhir kita konsultasikan di Depdagri lagi
dianjurkan agar 9 Pergub tersebut digabung
menjadi satu saja tetapi secara substansi
dimasukkan semua” (Wawancara Dr. Ir. La Baco
Sudia, M.Si., Ketua Forum DAS Sultra, Sabtu, 1
Mei 2021)

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka


sebagai suatu perundang-undangan maka Rapergub yang memuat
perintah berasal dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal
30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta
Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS dimana sebelumnya
diformulasikan menjadi 9 (Sembilan) Rapergub maka idealnya
menjadi satu Rapergub yang secara substantif memuat judul,
pembukaan serta batang tubuh. Hal ini dapat menjadi usulan dalam
perancangan Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015. Adapun
wujud substansi Rancangan Peraturan Gubernur yang hendak
dibentuk, diuraikan secara Outline sebagaimana berikut ini:
I. JUDUL:

“Rancangan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara tentang


Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”
II. PEMBUKAAN

2.1. Konsiderans:

Menimbang:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal


9 ayat (3), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46
ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pengelolaan DAS perlu menetapkan Peraturan

84
Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pengelolaan DAS.
2.2. Dasar Hukum:
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I
Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara
dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun
1960 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi
Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-
Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2687);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 38881) sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
3. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2013 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

85
Nomor 5432) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
7. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah Dan Air (Lembaran Negara Repulik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5608);
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) sebagimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik indonesia Nomor 4453) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5056);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 2012 Nomor 62 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5292);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6635);

86
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 60/Menhut-
II/2013 tentang Tata Cara Penyusunan Dan Penetapan
Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu;
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 61/Menhut-
II/2013 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai;
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 17/Menhut-
II/2014 tentang tata cara pemberdayaan masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 67/Menhut-
II/2014 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Sistem
Informasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Provinsi;
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah (Berita Negara Republik lndonesia Tahun
2015 Nomor 2036);
18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2
Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034;
19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1
Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun (1/2015)

III. BATANG TUBUH


3.1. BAB I
KETENTUAN UMUM:
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara
3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara
4. Instansi Terkait adalah Perangkat Daerah Provinsi dan
Instansi Vertikal di daerah yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumber daya
Daerah Aliran Sungai, serta perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang
selanjutnya disebut Bappeda adalah Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.
6. Daerah Aliran Sungai selanjutnya disingkat dengan DAS
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah

87
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
7. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan
dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai
utama.
8. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur
hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan
manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar
terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia secara berkelanjutan dan dilakukan secara
terpadu.
9. Pengelolaan DAS Provinsi Sulawesi Tenggara yang
selanjutnya disebut Pengelolaan DAS Provinsi adalah
pengeloiaan DAS yang secara geografis berada di
wilayah provinsi Sulawesi Tenggara.
10. Daya Dukung DAS adalah kemampuan DAS untuk
mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia dan makhluk hidup lainnya secara
berkelanjutan.
11. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adatah DAS yang
kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air,
sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan
ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
12. DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS
yang kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas
air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan
pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana
meshnya.
13. Konservasi Tanah dan Air adalah upaya pelindungan,
pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah
pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan
lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.
14. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi
sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah
beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan
hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat
pengaruh manusia.
15. Penyuluh kehutanan pegawai negeri sipil yang
selanjutnya disingkat penrrluh PNS adalah pegawai
negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang
berwenang pada satuan organisasi lingkup kehutanan
untuk melakukan kegiatan penyuluhan kehutanan.

88
16. Pendampingan adalah aktivitas penyuluhan yang
dilakukan secara terus menerus pada kegiatan
pembangunan kehutanan untuk meningkatkan
keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan kehutanan
serta keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.
17. Para pihak adalah pihak pihak terkait yang terdiri dari
unsur pemerintah dan bukan pemerintah yang
berkepentingan dengan pengelolaan DAS.
18. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
yang selanjutnya disebut Forum DAS adalah wadah
koordinasi antar instansi penyeienggara Pengelolaan
DAS.
19. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan.
20. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan sumberdaya buatan.
3.2. BAB II
RUANG LINGKUP;
Pasal 2

Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Gubernur ini


meliputi :
a. Tata Cara Penetapan Batas, Klasifikasi dan Rencana
Pengelolaan DAS
b. Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan dan
DAS yang Dipertahankan
c. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan
Pengelolaan DAS
d. Tata Cara Pembinaan, Pengawasan dan
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan
Pengelolaan DAS
e. Tata Cara dan Keanggotaan Forum Koordimasi
Pengelolaan DAS
f. Tata Cara Penetapan dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pengelolaan dan Mempertahankan
Kelestarian DAS
3.3. BAB III
TATA CARA PENETAPAN BATAS DAN PENETAPAN
KLASIFIKASI DAS

Bagian Kesatu
Tata Cara Penetapan Batas DAS
Bagian Kedua
Penetapan Klasifikasi DAS

89
Bagian Ketiga
Tata Cara Penetapan Rencana Pengelolaan DAS

3.4. BAB IV
TATA CARA PENGELOLAAN DAS YANG
DIPULIHKAN DAN YANG DIPERTAHANKAN

Bagian Kesatu
Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan
Bagian Kedua
Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipertahankan

3.5. BAB V

MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN


KEGIATAN PENGELOLAAN DAS

Bagian Kesatu
Monitoring Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS
Bagian Kedua
Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS

3.6. BAB VI
TATA CARA PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
KEGIATAN PENGELOLAAN DAS
Bagian Kesatu
Tata Cara Pembinaan Kegiatan Pengelolaan DAS
Bagian Kedua
Tata Cara Pengawasan Kegiatan Pengelolaan DAS
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan
Pengelolaan DAS

3.7. BAB VII


TATA CARA DAN KEANGGOTAAN FORUM
KOORDINASI PENGELOLAAN DAS

3.8. BAB VIII


TATA CARA PENETAPAN DAN PEMBERIAN
PENGHARGAAN DALAM PENGELOLAAN DAN
MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN DAS

3.9. BAB IX
KETENTUAN PENUTUP.

Solusi hukum yang dikemukakan diatas merupakan


sebuah kerangka acuan yang menjamin suatu penulisan bersifat

90
konseptual, menyeluruh serta terarah dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengelolaan DAS. Kerangka acuan yang ada pada Bab
III diatas yaitu TATA CARA PENETAPAN BATAS DAN
INVENTARISASI DALAM HUTAN TINGKAT DAS merupakan
gabungan tiga Raperda yang seharusnya telah diusulkan sebelumnya,
sebagaimana diperintahkan Pasal 8 ayat (2) , Pasal 9 ayat (3) serta
Pasal 25 Perda No.1/2015 yang diuraikan lebih lanjut menjadi Bagian
Kesatu, Bagian Kedua serta Bagian Ketiga.
Adapun yang termuat dalam kerangka acuan yang
tercantum pada BAB IV yakni TATA CARA PENGELOLAAN
DAS YANG DIPULIHKAN DAN YANG DIPERTAHANKAN
peraturan gubernur yang diperintahkan Pasal 30 Perda No.1/2015
yang diintegrasikan ke dalam Rancangan Peraturan Gubernur
Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan DAS.
Sama halnya dengan BAB V MONITORING DAN EVALUASI
PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN DAS juga
membahas mengenai monitoring dan evaluasi yang seharusnya
dituangkan dalam sebuah Rapergub sesuai yang diamanatkan Pasal
37 Perda No.1/2015.
Sementara itu, apa yang terkandung dalam BAB VI yaitu
TATA CARA PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN
PENGELOLAAN DAS. Pada Bab ini terbagi tiga yaitu Bagian
Kesatu, Bagian Kedua serta Bagian Ketiga, dimana ketika
mencermati Pasal 41 Perda dan Pasal 46 ayat (2) Perda No.1/2015
seharusnya diimplementasikan ke dalam dua Peraturan Gubernur
yang disederhanakan menjadi satu bahasan dalam BAB VI
Rancangan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengelolaan DAS yang hendak dibentuk.
Yang kemudian tercantum pada BAB VII dan BAB VIII
merupakan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara dan

91
Keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS sesuai perintah
Pasal 51 ayat (5) Perda No.1/2015 dan Rancangan Peraturan
Gubernur tentang Tata Cara Penetapan dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pengelolaan dan Mempertahankan Kelestarian DAS sesuai
perintah Pasal 62 ayat (3) Perda No.1/2015.
Meskipun bukan dalam bentuk draft perundang-undangan
yang utuh namun kerangka acuan tersebut diatas akan menjadi bagian
dari Peraturan Gubernur juga yang merupakan suatu produk hukum
daerah yang bersifat ius constituendum (hukum yang dicita-citakan)
yang diharapkan menjadi solusi hukum dalam upaya pembentukan
gabungan 9 (Sembilan) Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara
sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun (1/2015)
5.4.3. Solusi Hukum Atas Masalah Kelestraian dan Sumber Daya Alam
Masalah pendanaan dan deforestrasi yang mengemuka di
Bab V pada sub bahasan 5.3.3. dan 5.3.4., meliputi aspek
pembentukan peraturannya serta aspek teknis operasionalnya. Artinya
Perda No.1/2015 yang memerlukan revisi akibat dinamika
perundang-undangan yang lebih tinggi serta pembentukan peraturan
pelaksanaannya sebagai upaya agar operasionalisasi dari Perda
No.1/2015 dapat dijalankan oleh instansi pelaksana. Pernyataan dari
pihak Ketua Forum DAS Sulawesi Tenggara serta pihak Dinas
Kehutanan Sulawesi Tenggara sebagaimana sub bahasan 5.4.3.,
diatas, telah menunjukkan bahwa Pengelolaan DAS di Sulawesi
Tenggara dimana DAS Konaweha didalamnya, mengalami
permasalahan pendanaan pada aspek pembentukan peraturannya serta
aspek teknis operasionalnya. Sementara pada sisi lain, berdasarkan
Pasal 42 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, menyatakan bahwa Gubernur

92
memiliki kewenangan dalam pengelolaan DAS dalam provinsi
dan/atau lintas kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2012 hingga saat ini masih eksis keberlakuannya
meskipun UU Cipta Kerja telah mengubah isi dari Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Solusi hukum atas adanya permasalahan pendanaan ini
maka sesuai kewenangan pemerintah daerah berdasarkan Pasal 42
huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 maka daerah
perlu memberikan penyelesaian atas pengelolaan DAS di Sulawesi
Tenggara. Jika mencermati Pasal 58 Perda No.1/2015 sumber
pembiayaan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara meliputi 3 (tiga)
hal sebagaimana disebutkan pada pasal tersebut:
Pasal 58
Pembiayaan yang dibutuhkan untuk Pengelolaan DAS dapat
dibebankan pada:
a. APBN
b. APBD, dan
c. Sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.

Dengan mengandalkan 3 sumber pembiayaan


sebagaimana Pasal 58 Perda No.1/2015 tersebut, pada sisi lain
kondisi proporsi anggaran lebih diporsikan untuk penanganan
pandemi Covid-19 saat ini, pengelolaan DAS tentu sulit menjadi
prioritas untuk mendapatkan pembiayaan APBN atau APBD. Politik
anggaran lebih berpihak pada pembiayaan penanggulangan Covid-19.
Sementara ketentuan Pasal 58 huruf c Perda No.1/2015 belum begitu
tegas dan konkret tentang siapa yang dimaksud “sumber lainnya”
untuk membiayai pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara.
Di pihak lain kegiatan industrialisasi tambang dan
perkebunan sawit di wilayah DAS seperti DAS Konaweha telah
merusak keaslian hutan (deforestrasi) sebagai daerah resapan air.
Perusahaan-perusahaan tersebut tentunya memiliki dana tanggung
jawab sosial dan lingkungan atau Corporate Social Responsibility
(CSR). Fakta yang terjadi di lapangan, kecenderungan banjir masih
saja terjadi di wilayah DAS Konaweha. Sebagaimana dipahami

93
bersama, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan
Terbatas bahwa :
Tanggung jawab sosial dan lingkungan
dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana
kerja tahunan Perseroan setelah mendapat
persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai
dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan.

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun


2012 tersebut diatas dapat diartikan bahwa dalam memanfaatkan dana
CSR merupakan subyektifitas dari perusahaan. Artinya, sesuai
kebijakan internal perusahaan dimana agenda lingkungan yang
dijalankan perusahaan belum tentu bersinergi dengan agenda untuk
kepentingan pengelolaan DAS. Atas hal itu maka sebagai
pertimbangan rasionalnya maka diperlukan pendanaan dari segala
jenis perusahaan yang ada sebagai kompensasi pemanfaatan lahan
serta adanya konversi hutan wilayah DAS. Sejalan dengan
pertimbangan itu maka dibutuhkan peran serta badan usaha dalam
pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara. Peran badan usaha tersebut
cukup dirasakan bagi daerah seperti halnya terjadi di Kabupaten
Kolaka. Yusnaningsih Andi Hamid, S.P.,M.Si., Kepala Bidang Tata
Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kolaka
mengatakan, melalui kerja sama dengan salah satu perusahaan
pertambangan pada tahun 2021 ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH)
Kabupaten Kolaka melahirkan satu program yang disebut sebagai
“Kampung Iklim”.
“Kerjasama dengan PT Ceria. Dinas Lingkungan
Hidup dari segi pembinaanya sementara PT.
Ceria segi pendanaannya dalam bentuk CSR.
Program Kampung Iklim tidak semata-mata
menanam tetapi ada tujuan konservasi di
dalamnya” (Wawancara Yusnaningsih Andi
Hamid, S.P.,M.Si., di Kabupaten Kolaka, Kamis
3 Juni 2021)

94
Keterlibatan badan usaha dalam pengelolaan DAS
merupakan bentuk kontribusi dari pihak swasta yang berperan dalam
pengelolaan DAS. Kondisi ini sejalan dengan Pasal 47 ayat (2) Perda
No.1/2015 yang secara normatif menataka:
“Pihak swasta dapat berperan serta dalam
pengelolaan DAS secara individu, kelompok,
perkumpulan atau melalui Forum Koordimasi
Pengelolaan DAS.”

Apa yang dilaksanakan oleh pihak DLH Kabupaten


Kolada dan PT Ceria tersebut merupakan kontribusi positif terhadap
kelestarian DAS. Kegiatan-kegiatan yang demikian seharusnya
menjadi model percontohan di daerah lain, utamanya di wilayah
daerah otonom merupakan cakupan DAS Konaweha.
Pada sisi lain, terdapat kendala yuridis pada Pasal 47 dan
Pasal 48 Perda No.1/2015 tersebut. Akibat normanya bersifat”wajib”
maka harus dimaknai sebagai perintah, artinya mutlak harus
dilaksanakan. Sebuah norma yang sifatnya memerintahkan tanpa
disertai sanksi tentu tidak menimbulkan konsekuensi”sanksi” ketika
terjadi pelanggaran atas norma tersebut, dalam hal ini Pasal 47 dan
Pasal 48 Perda No.1/2015. Tanpa keberadaan sanksi yang menyertai
norma yang bersifat memerintahkan maka sulit untuk menerapkan
Pasal 47 dan Pasal 48 Perda No.1/2015 ketika terjadi ketidakpatuhan
masyarakat. Dengan demikian menjadi relefan untuk menyertakan
sanksi sebagai akibat keberadaan Pasal 47 dan Pasal 48 Perda
No.1/2015. Mencermati hal ini maka perlu menyertakan adanya
sanksi atas pemberlakuan Pasal 48 sebagai norma lanjutan Pasal 47
ayat (1). Adapun caranya yaitu dengan merekonstruksi Pasal 48 Perda
No.1/2015 menjadi 2 (dua) ayat sebagaimana di bawah ini:
Sebelum rekonstruksi:

Pasal 48
Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup:

95
a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus mempertimbangkan
aspek kelestarian DAS, membuka kesempatan kerja, dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan DAS;
c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam
akibat kegiatan usaha yang dilakukan;
d. terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait kegiatan
pengelolaan DAS;dan
e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan
DAS.

Setelah rekonstruksi:

Pasal 48
(1) Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup:
a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus
mempertimbangkan aspek kelestarian DAS, membuka
kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan
DAS;
c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam
akibat kegiatan usaha yang dilakukan;
d. terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait
kegiatan pengelolaan DAS;dan
e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan
DAS.
(2) Pihak swasta yang tidak mengindahkan ketentuan ayat (1)
dapat dikenai sanksi administratif sesuai perundang-
undangan yang berlaku.

Dengan menempatkan sanksi administratif sesuai


perundang-undangan yang berlaku maka sanksi yang diberikan akan
mengacu pada norma sanksi yang berada di berbagai peraturan
perundangan-undangan yang ada. Sementara istilah “ dapat” akan
memberi alternatif untuk penjatuhan sanksi sesuai tingkat kesalahan
yang diperbuat oleh pihak swasta. Dengan keberadaan Pasal 48 ayat
(2) tersebut nantinya diharapkan ada kepatuhan terhadap Perda
No.1/2015, khususnya Pasal 47 dan Pasal 48.
5.4.4. Solusi Hukum Atas Masalah Pemukiman di Bantaran Sungai
Masalah pemukiman di wilayah bantaran sungai
Konaweha juga menjadi permasalahan tersendiri. Keberadaan
pemukiman tersebut selain beresiko terhadap luapan air sungai ketika

96
debit airnya meninggi tidak terkendali juga berpotensi untuk
menjadikan sungai sebagai tempat membuang sampah rumah tangga.
Munculnya permasalahan sebagaimana diatas maka perlu
adanya norma yang mengtur pemukiman di sepanjang DAS agar
meminimalisir potensi permasalahan pemukiman warga di bantaran
sungai Konaweha. Pihak Suryaningrat dari Balai Wilayah Sungai
Sulawesi IV Kendari menilai, keberadaan warga yang bermukim di
bantaran sungai Konaweha perlu diatur radius keberadaannya dari
bibir sungai. Sebaiknya rumah warga menghadap ke sungai dengan
jarak yang aman, bukan membelakangi sungai. Dengan mengatur
jarak dari bibir sungai maka selain potensi bahwa berkurang maka
kelestarian sungai juga terjaga.
“Dengan rumah warga yang menghadap ke
sungai diharapkan diantara warga akan saling
mengawasi agar tidak membuang sampah ke
sungai. (Wawancara Suryaningrat di Kota
Kendari, Rabu 14 April 2021)

Berdasarkan wewenang pengeloaan DAS sebagaimana


ketentuan Pasal 42 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai maka pemerintah
provinsi dapat mengatur rumah warga sehubungan pengelolaan DAS.
Atas hal ini maka perlu adanya norma dalam Perda No.1/2015 yang
mengatur tentang himbauan untuk tidak membangun rumah di
bantaran sungai berdasarkan wewenang pemerintah provinsi. Untuk
mengimplementasikan hal ini maka Pasal 42 Perda No.1/2015 perlu
direkonstruksi dengan cara sebagai berikut.
Sebelum rekonstruksi:

Pasal 42
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi
pengelolaan DAS
(3) Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) membantu dalam mendukung keterpaduan
penyelenggaraan pengelolaan DAS

97
Setelah rekonstruksi:

Pasal 42
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi
pengelolaan DAS
(3) Peran serta masyarakat dapat dengan tidak membangun
rumah di bantaran sungai pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota
(4) Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) membantu dalam mendukung keterpaduan
penyelenggaraan pengelolaan DAS

Dengan memasukan norma yang ada pada Pasal 42a ayat


(3) sebagaimana diatas memang tidak memiliki kekuatan untuk
memaksa agar warga tidak bermukim di wilayah bantaran sungai.
Akan tetapi setidaknya, adanya himbauan itu secara tersirat tentang
pentingnya untuk menjaga keaslian bantaran sungai yang memiliki
fungsi ekologis. Secara tersirat pula bahwa setiap norma ada
maksudnya sehingga masyarakat tersadarkan. Dengan demikian maka
Pasal 42a ayat (3) Perda No.1/2015 tersebut diharapkan akan
meminimalisir pemukiman warga di bantaran sungai.
5.4.5. Solusi Hukum Atas Masalah Kepastian Terbitnya Peraturan
Pelaksana Perda No.1/2015

Pada sisi lain,agar pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara


dimana DAS Konaweha tercakup di dalamnya maka harus ada jaminan
bahwa Perda No.1/2015 akan dimplementasikan secepatnya. Diketahui juga
bahwa selama ini terdapat kendala dari aspek penerbitan peraturan gubernur
sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015. Selama kurun masa 6
tahun peraturan gubernur sebagai peraturan pelaksanaan tidak terbit. Agar
memiliki kepastian hukum tentang penerbitan peraturan gubernur tersebut
maka perlu pengaturan lebih lanjut di bagian BAB XX mengenai
KETENTUAN PERALIHAN Perda No.1/2015 tersebut dengan
menambahkan norma pada Pasal 65 setelah ayat (2) . Sejalan dengan hal itu
Pasal 65 Perda No.1/2015 mengalami rekonstruksi sebagai berikut:
Sebelum rekonstruksi:

BAB XX

98
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65
(1)Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan
DAS di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah
ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai
dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan.

Setelah mengalami rekonstruksi:

BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan
DAS di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah
ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai
dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan.
(3) Peraturan Gubernur sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2),
Pasal 9 ayat (3), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46
ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) diatas, harus
sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun setelah Peraturan
Daerah ini diundangkan perubahannya.

Dengan menambahkan norma sebagaimana Pasal 65a ayat (3)


sebagaimana diatas menandakan adanya urgensi dari terbitnya Peraturan
Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015. Norma
tersebut merupakan politik hukum pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara
yang lebih pro terhadap pelestarian DAS guna mencegah terjadinyabanjir,
tanah longsor, penurunan kualitas air, krisis air dam/atau kekeringan, erosi
dan sedimentasi yang telah berdampak pada perekonomian dan tata
kehidupan masyarakat. Selain itu, penambahan norma dimaksud juga
sebagai jawaban atas keterlambatan terbitnya Peraturan Gubernur sebagai
peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015 sejak pertama kali disahkan
pada tahun 2015 silam serta adanya kepastian akan terbitnya peraturan
gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015.

99
5.4.6. Solusi Hukum Yang Merupakan Penyesuaian Perda No.1/2015
Menyangkut Istilah Dinas di Pasal 11 ayat (3) dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah di Pasal 56

Ketentuan yang ada pada Pasal 11 ayat (3) mernyatakan


bahwa :”Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari dinas terkait
dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan
lainnya”. Istilah”dinas” sebagaimana dimaksud memberi makna yang
sempit sebab perangkat daerah yang ada tidak semata-mata hanya
dinas tetapi meliputi unsur pembantu kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sesuai Pasal 1 angka
1 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
(PP No.18/2016). Sementara sebagai unsur pembantu kepala daerah tidak
hanya dinas karena sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) PP No.18/2016
meliputi: a. sekretariat Daerah; b. sekretariat DPRD; c. inspektorat; d.
dinas; dan e. badan. Atas hal ini maka Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015
tersebut juga perlu mengalami rekonstruksi sebagaimana berikut ini:
Sebelum rekonstruksi:

Pasal 11
(1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS.
(2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur.
(3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari dinas
terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku
kepentingan lainnya.
Sesudah rekonstruksi:

Pasal 11
(4) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS.
(5) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur.
(6) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari organisasi
perangkat daerah terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta
pemangku kepentingan lainnya.

100
Atas hal tersebut diatas maka “dinas terkait” sebagaimana
ketentuan Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015 memiliki makna yang sempit
jika merujuk Pasal 5 ayat (1) PP No.18/2016. Sebagaimana dipahami pihak
yang terkait dalam pengelolaan DAS sebagaimana Pasal 11 ayat (3) Perda
No.1/2015 tidak hanya dinas tetapi ada juga yang berbentuk badan seperti
halnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Untuk menghindari
kerancuan tersebut maka harus memilih kata yang memiliki makna
yang luas agar tidak menyesatkan. Sebagai pengganti yang tepat atas
istilah “dinas” pada Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015 tersebut adalah
“organisasi perangkat daerah” yang lebih merujuk pada Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dengan
mengadopsi istilah “organisasi perangkat daerah” maka maknanya diperluas
karena yang terlibat dalam perencanaan pengelolaan DAS sebagai Pasal 11
ayat (3) Perda No.1/2015 tidak semata-mata hanya “dinas” tetapi juga dapat
melibatkan “badan”.
Permasalahan juga terjadi pada Pasal 56 Perda No.1/2015 yang
menyatakan: “Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS
dibangun sistem informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan
dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan
mengikutsertakan instansi terkait.”
Jika menyangkut pengelolaan informasi pada perangkat daerak
ada yang lebih berkompeten dibandingkan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah. Sebagai oragnisasi perangkat daerah yang
menjalankan fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang komunikasi di
Sulawesi Tenggara adalah Dinas Komunikasi dan Informatika yang
diatur dalam Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 87 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara
Nomor 67 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi,
Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Komunikasi Dan
Informatika Provinsi Sulawesi tenggara.
Atas permasalahan Pasal 56 Perda No.1/2015 ini maka
dirasakan perlu adanya penyesuaian dengan melakukan rekonstruksi.
Adapun rekonstruksinya adalah sebagai berikut:

101
Sebelum rekonstruksi:

Pasal 56
Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun
sistem informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan mengikutsertakan
instansi terkait.

Setelah rekonstruksi:

Pasal 56
Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun
sistem informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh
Dinas Komunikasi dan Informatika dengan mengikutsertakan
instansi terkait.

Dengan merekonstruksi Pasal 56 Perda No.1/2015 maka sistem


informasi pengelolaan DAS didasari oleh organisasi perangkat daerah
yang tepat. Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi
Tenggara merupakan unsur pelaksana urusan pemerintahan di bidang
komunikasi, informatika, statistik dan persandian. Dengan menempatkan
Dinas Komunikasi dan Informasi menangani sistem informasi
pengelolaan DAS sesungguhnya telah menempatkan instusi sesuai
proporsinya.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam Bab V penelitian
ini maka kesimpulan penelitian yanh dihasilkan adalah sebagai berikut:

102
6.1.1. Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor
1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS hingga saat ini mengalami
kendala teknis karena perencanaan sesuai Pasal 6 ayat (1) Perda
No.1/2015 huruf b tidak dapat terapkan. Pengelolaan DAS
membutuhkan instrument hukum yakni Peraturan Gubernur sebagai
dasar mengimplementasikan Perencanaan, Pelaksanaan,
Monitoring dan Evaluasi serta Pembinaan dan Pengawasan. Tanpa
Peraturan Gubernur dimaksud maka sulit bagi instansi pelaksana
untuk menerapkan pengelolaan DAS yang bersifat teknis.
6.1.2. Problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha meliputi
masalah yuridis dan non yuridis. Secara yuridis Perda No.1/2015
memerlukan pernyesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi.
Problem yuridis lainnya yaitu dibutuhkannya Peraturan Gubernur
sebagaimana perintah Perda No.1/2015. Secara non yuridis yaitu
adanya pemukiman warga di garis sempadan sungai. Pemukiman
warga terkait erat dengan penerbitan Persetujuan Bangunan
Gedung (PBG) yang merupakan wewenang pemerintah
Kabupaten/Kota.
6.1.3. Solusi hukum atas problematika penanggulangan banjir di DAS
Konaweha dilakukan melalui revisi terhadap Perda No.1/2015
karena sejumlah payung hukumnya mengalami perubahan akibat
dinamika perundang-undangan di pusat. Selanjutnya kendala teknis
pengelolaan DAS memerlukan solusi hukum dengan segera
diterbitkan Peraturan Gubernur sebagai rujukan instansi pelaksana.
Selain itu perlunya rekonstruksi hukum atas Perda No.1/2015 baik
pada bagian konsiderans, dasar hukum serta batang tubuh .
6.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini maka
dihasilkan sejumlah rekomendasi sebagaimana diuraikan berikut ini:
6.2.1. Agar pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara segera mengeluarkan
kebijakan hukum tentang perubahan atas Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 (Perda

103
No.1/2015) dan membentuk serta menerbitakan Peraturan
Gubernur sebagaimana perintah Perda No.1/2015, guna
terlaksananya pengelolaan DAS di Provinsi Sulawesi Tenggara.
6.2.2. Agar pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara membentuk Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun
2015 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan
melakukan rekonstruksi hukum atas Perda No.1/2015 baik pada
bagian konsiderans, dasar hukum serta batang tubuh, sebagaimana
terlampir dalam laporan hasil penelitian ini.
6.2.3. Agar pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara membentuk Peraturan
Gubernur sebagaimana perintah Perubahan Perda No.1/2015 dalam
satu Rapergub yang mencakup 9 sembilan substansi pengaturan.
Adapun Rapergub yang mencakup 9 sembilan substansi tersebut
dilampirkan dalam bentuk Outline pada Laporan Akhir Penelitian
ini.

104
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. I., Abidin, M. R., & Suarlin, S. 2019. Analisis Indeks Pencemaran (IP)
Sungai Konaweha Akibat Pengaruh Aktifitas Tambang Nikel di
Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. PROSIDING SEMINAR
NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam
Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4, Ruang Teater Menara Pinisi UNM.
Anthon F. Susanto.2017. Hukum Dari Consilience Ke Paradigm Hukum
Konstruktif-Transgresif. Bandung: Refika Aditama
Apriansyah, N. (2017). Peran Pemerintahan Dalam Pembentukan Kebijakan
Hukum (Role Of Government In Legal Policy-Making). Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum
Austin, K. G., Mosnier, A., Pirker, J., McCallum, I., Fritz, S., & Kasibhatla, P. S.
2017.Shifting patterns of Oil Palm Driven Deforestation in
Indonesia and Implications for Zero-Deforestation
Commitments.Land Use Policy, 69,
Ahmad, S. W., Jamili, J., & Mustang, M. 2016.Keanekaragaman Jenis Burung
Pada Areal Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Besulutu
Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. BioWallacea: Jurnal
Penelitian Biologi (Journal of Biological Research), 3(1)
Amiruddin dan Zainal Asikin.2014.Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Adha, N., Munir, A., & Darlian, L. Identifikasi Tumbuhan Palem Di Kawasan
Hutan Lindung Wolasi Kabupaten Konawe Selatan. AMPIBI: Jurnal
Alumni Pendidikan Biologi, 2(1)
Ariyani, N., Ariyanti, D. O., & Ramadhan, M. (2020).Pengaturan Ideal tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia (Studi di Sungai
Serang Kabupaten Kulon Progo). Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM, 27(3)
Asshiddiqie, J. (2011, November). Gagasan Negara Hukum Indonesia. Makalah
Disampaikan dalam Forum Dialog Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional yang Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum
B. Arief Sidharta. 2013. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Cetakan Keempat.
Bandung: Refika Aditama
Bernard L. Tanya.2011. Politik Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak & Markus Y. Hage.2013.Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi.Yogyakarta:
Genta Publishing
BPDASHL Sampara.2014. RPDAST DAS Konaweha 2014 (Revisi Tahun 2013-
2018)
Budiono Kusumohamidjojo.2019. Teori Hukum Dilemma Antara Hukum dan
Kekuasaan.Cetakan ke III.Bandung: Yrama Widya
Budoyo, S. (2014). Konsep Langkah Sistemik Harmonisasi Hukum Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. CIVIS, 4(2/Juli).
Bungkolu, I. P., & Rumagit, G. A. 2017.Analisis Kerentanan Kawasan
Permukiman Pada Kawasan Rawan Banjir Di Bagian Hilir Sungai
Sario. Agri-sosioekonomi, 13(3A),
Blomquist, W., & Schlager, E. (2005).Political Pitfalls of Integrated Watershed
Management. Society and Natural Resources, 18(2)
Deby, R., Dermawan, V., & Sisinggih, D. 2019. Analysis of Wanggu River Flood
Inundation Kendari City Southeast Sulawesi Province Using HEC
RAS 5.0. 6. International Research Journal of Advanced Engineering
and Science, 4(2)
Deni Bram.2014.Hukum Lingkungan Hidup.Jakarta: Gramata Publishing
Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L. Tanya.2011.Hukum Etika dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Genta Publishing
Fitriana, M. K. (2018). Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia sebagai Sarana Mewujudkan
Tujuan Negara (Laws And Regulations In Indonesia As The Means
Of Realizing The Country’S Goal). Jurnal Legislasi Indonesia, 12(2)
H.M. Hadin Muhjad .2015. Hukum Lingkungan sebuah pengatar untuk konteks
Indonesia.Yogyakarta: Genta Publishing
H.L.A. Hart.2016. Konsep Hukum.Cetakan VIII (Diterjemahkan oleh M.
Khozim).Bandung:Nusa Media
H.M.Aries Djaenuri.2015.Kepemimpinan, Etika, & Kebijakan
Pemerintahan.Bogor: Ghalia Indonesia
Halim, F. (2014).Pengaruh Hubungan Tata Guna Lahan Dengan Debit Banjir
Pada Daerah Aliran Sungai Malalayang.Jurnal Ilmiah Media
Engineering, 4(1).
Hadi, S. 2015. Pengaruh Konfigurasi Politik Pemerintah Terhadap Produk
Hukum. Addin, 9(2).
I Dewa Gede Atmadja ,Suko Wiyono dan Sudarsono.2015. Teori Konstitusi &
Konsep Negara Hukum.Malang:Setara Press
Inu Kencana Safiie.2016.Ilmu Pemerintahan.Cetakan ke keempat, Jakarta:Bumi
Aksara
Irwansyah.2020. Penelitian Hukum Pilihan Metode & PraktikPenulisan Artikel.
Yogyakarta:Mitra Buana Media
J.J.H. Bruggink. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Kelley, L. C., & Prabowo, A. 2019. Flooding and land use change in Southeast
Sulawesi, Indonesia. Land, 8(9)
Komaruddin, N.,2008, Penilaian Tingkat Bahaya Erosi di Sub Daerah Aliran
Sungai Cileungsi, Bogor. Agrikultura, 19(3)
Kusumaratna, R. K.2003. Profil Penanganan Kesehatan Selama dan Sesudah
Banjir di Jakarta. Jurnal Kedokteran Trisakti, 3(22)
La Baco, S., Kahirun, K., & Hasani, U. O. (2017). Analisis Daerah Rawan Banjir
Dan Tanah Longsor Di Daerah Aliran Sungai Latoma Provinsi
Sulawesi Tenggara. Jurnal Ecogreen, 3(2),
Lawrence Meir Freidmen.2001. American Law an Introduction (diterjemahkan
oleh Wisnhu Basuki). Jakarta: Tata Nusa Jakarta
Murbawan, I., Ma'ruf, A., & Manan, A. 2018. Kesiapsiagaan Rumah Tangga
Dalam Mengantisipasi Bencana Banjir Di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Wanggu. Jurnal Ecogreen, 3(2).
Marwah, S. 2014. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Ketersediaan
Sumberdaya Air di DAS Konaweha Propinsi Sulawesi Tenggara.
Jurnal Agroteknos, 4(3)
Maria Farida Indrati S.2007.Ilmu Perundang-Undangan I.Yogyakarta: Kanisius
Moh.Mahfud MD.2011.Pilitik Hukum Di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada
Moh.Mahfud MD.2003.Demokrasi dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta
Mohammad Askin.2010.Seluk Beluk Hukum Lingkungan.Jakarta:Nekamatra
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad .2015.Dualisme Penelitian Hukum Normatif
&Empiris.Yogyakarta : Putaka Pelajar
Muhammad Ishom.2017.Legal Drafting. Malang: Setara Press
Nomensen Sinamo.2010. Hukum Lingkungan Indonesia.Tengerang: Pustaka
Sejati
Ni’matul Huda.2011.Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII Press
Otje Salman & Anthon F. Susanto.2015.Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama
Philipus M Hadjon, Sri Soemantri Martosoewignyo, Sjachran Basah, Bagir
Manan, H.M.Laica Marzuki , J.B.J.M. ten Berge, P.J.J. van Buuren
dan F.A.M. Stroink.2015.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Cetakan keduabelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Peter Mahmud Marzuki.2010.Penelitian Hukum.Jakarta: Prenada Media
R. Wiyono.2016. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan keempat.
Jakarta: Sinar Grafika
Sukiyah, E., & Jaassin, A. M. 2019.Kondisi Tektonik Rencana Tapak Bendungan
Pelosika Berdasarkan Analisis Citra Satelit Dan Sistem Informasi
Geografis. Bulletin of Scientific Contribution: GEOLOGY, 17(2)
Suteki & Galang Taufani.2018.Metodologi Penelitian Hukum
(Filsafat,Teori&Praktik).Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sugiyono.2017. Metode Penelitian Kombinasi.Bandung: Alfabeta,
Surya, R. A., Purwanto, J., Yanuar, M., Sapei, A., & Widiatmaka, W. 2015.
Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Air Baku Berkelanjutan di
Sub DAS Konaweha Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(3)
Setiawan, H., Jaya, I. N. S., & Puspaningsih, N.2015. Model Spasial Deforestasi
di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi
Tenggara. Media Konservasi, 20(2).
Soerjono Soekanto.2014.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta:UI Press
Saraswati, R. 2013. Problematika Hukum Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal
Yustisia
Sumadi Suryabrata.2012.Metodologi Penelitian.Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sulistyowati Irianto.2011.Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi
(Bunga Rampai). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji.2011.Penelitian Hukum Normatif.Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Susilo, A. B. 2011. Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif
Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi terhadap
Problematika Penegakan Hukum di Indonesia. Biroli, A.
2015.Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia (Kajian
Dengan Perspektif Sosiologi Hukum).DIMENSI-Journal of
Sociology Perspektif, 16(4).
Sebastian, L. 2008. Pendekatan Pencegahan Dan Penanggulangan Banjir., Jurnal
Geografi Volume 12 No 1
Suwitri, S. 2008.Jejaring Kebijakan Dalam Perumusan Kebijakan Publik Suatu
Kajian Tentang Perumusan Kebijakan Penanggulangan Banjir dan
Rob Pemerintah Kota Semarang. Jurnal Delegasi, Jurnal Ilmu
Administrasi, STIA Banjarmasin, 6(3),
Sofyan, H., Thamrin, T., & Mubarak, M. Model pengelolaan daerah aliran
sungai terpadu (sub das tapung kanan). Jurnal Ilmu Lingkungan,
9(1),
Tanika, L. 2013. Dampak Perubahan Tutupan Lahan Dan Iklim Terhadap Fungsi
Hidrologi Daerah Aliran Sungai Konaweha Hulu. Jurnal Sumber
Daya Air, 9(2)
Utomo, P. 2020. Omnibus Law: Dalam Perspektif Hukum Responsif. Nurani
Hukum, 2(1)
Wahyudi Kumorotomo.2015.Etika Administrasi Pemerintahan,cetakan ke 113.
Jakarta: Rajagrafindo Persada
Xiao, S. C., Li, J. X., Xiao, H. L., & Liu, F. M. (2008).Comprehensive
Assessment of Water Security for Inland Watersheds in the Hexi
Corridor, Northwest China. Environmental geology, 55(2),
Yudha Bhakti Ardhiwisastra.2012.Penafsiran Dan Konstruksi Hukum,cetakan ke-
3.Bandung:Alumni
………...2012.Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Lasolo-
Konaweha. Kementerian Pekerjaan Umum
PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air


Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai
Dan Garis Sempadan Danau
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.60/Menhut-II/2013
Tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai
SK Menteri Kehutanan Nomor SK. 328/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009
tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas.

INTERNET
http: //sda.pu.go.id/produk/view_produk/Pola_PSDA_Wilayah_Sungai_Lasolo-
Konaweha,diakses 12 Mei 2021
barito.or.id/pengelolaan-daerah-aliran-sungai-terpadu (diunduh Februari 2021)
https://kbbi.web.id/produk , diunduh Minggu 17 Januari 2021
https://kbbi.web.id/hukum, diunduh Minggu 17 Januari 2021
Lampiran 1

GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA


NOMOR:…TAHUN 2021
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR: 1 TAHUN 2015 TENTANG
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


GUBERNUR SULAWESI TENGGARA,

Menimbang : b. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan kesatuan


ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir yang terdiri
dari unsure-unsur utama tanah, vegetasi, air maupun udara
dan memiliki fungsi penting dalam pembangunan
ekonomi masyarakat yang berkelanjutan;
c. bahwa kerusakan Daerah Aliran Sungai di Sulawesi
Tenggara semakin memprihatinkan, sehingga menjadi
salah satu penyebab terjadinyabanjir, tanah longsor,
penurunan kualitas air, krisis air dam/atau kekeringan,
erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada
perekonomian dan tata kehidupan masyarakat;
d. bahwa karena perkembangan keadaan khususnya
pengaturan teknis dan hal lain terkait dengan pelaksanaan
Pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota dan dalam daerah
kabupaten/kota yang ditentukan oleh perundang-
undangan yang lebih tinggi, terdapat beberapa substansi
dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai yang perlu disesuaikan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun
2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai .
Mengingat 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
: Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I
Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang
Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah
Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2687);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5432) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
10. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5608)
11. Undang - Undang Nomor I7 Tahun 2019 Tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 190) sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6634);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6635);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang
Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5230);
18. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2
Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5292);

Dengan persetujuan bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
dan
GUBERNUR SULAWESI TENGGARA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI
: SULAWESI TENGGARA NOMOR: 1 TAHUN 2015
TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun 2015 Nomor:…), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:


“Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara
2. Pemerintah daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara
3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara
4. Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut OPD
Provinsi adalah unsur pembantu Gubernur dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
bidang Kehutanan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi.
5. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang beraasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktifitas daratan.
6. Instansi terkait adalah Kementerian/Lembaga Pemerintah non
kementerian di bidang sumber daya air, serta perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
7. Inventarisasi Hutan Tingkat DAS dalam wilayah provinsi yang
selanjutnya disebut Inventarisasi Hutan Tingkat DAS adalah kegiatan
untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber
daya, potensi kekayaan alam Hutan serta lingkungannya secara lengkap
di DAS dalam wilayah provinsi.
8. Karakteristik DAS adalah kekhasan yang dimiliki oleh suatu DAS yang
ditentukan berdasarkan besaran dan sifatnya dengan indikator biofisik,
sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
9. Permasalahan DAS adalah kesenjangan antara kondisi yang terjadi
dengan kondisi yang seharusnya dalam suatu DAS yang meliputi aspek
biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
10. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan
timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam
bagimanusia secara berkelanjutan.
11. Bagian hulu daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam
kesatuan daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi
bergelombang, berbukit dan/atau bergunung, dengan kerapatan drainase
relative tinggi, merupakan sumber air yang masuk langsung ke sungai
utama dan/atau melalui anak-anak sungai, serta sumber erosi yang
sebagiannya tersangkut ke daerah hilir sungai menjadi sedimen.
12. Bagian tengah daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam
kesatuan DAS yang membentang mulai dari daerah hulu sampai hilir
termasuk sempadan sungai, merupakan sumber sumber penghidupan
manusia dan satwa lainnya.
13. Bagian hilir daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam
kesatuan daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi datar
sampai landai, merupakan daerah endapan sedimen atau alluvial.
14. Sumberdaya Daerah Aliran Sungai adalah seluruh sumber daya dalam
kawasan DAS yang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan
pembengunan sosial, ekonomi dan penopang system penyengga
kehidupan manusia maupun satwa lainnya.
15. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan, dan
pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan
peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan
dan kehidupan yang lestari.
16. Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat yang tinggal
dan memiliki ketergantungan terhadap daerah aliran sungai atau
sekitarnya yakni tokoh adat, tokoh agama dan lain-lain dengan sejumlah
pengalaman dan kearifannya dalam menjaga dan mempertahankan
kelestarian sumber daya alam pada masing-masing kawasan daerah
lairan sungai.
17. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Provinsi yang
selanjutnya disebut Forum DAS adalah lembaga koordinatif yang
beranggotakan berbagai pihak dan bersifat lintas sektor dalam
mengelola DAS regional.
18. Mekanisme Insentif dan Disinsentif adalah pengaturan tentang
pemberian penghargaan/kompensasi terhadap semua bentuk dorongan
spesifik atau rangsangan untuk mempengaruhi atau memotivasi semua
pihak terutama masyarakat, baik secara individu atau kelompok untuk
bertindak atau melaksanakan kegiatan dengan tujuan memperbaiki atau
menjaga kondisi DAS serta pemberian sanksi terhadap semua bentuk
tindakan yang mengakibatkan kerusakan DAS.
19. Penyelesaian sengketa adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara sistemayis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik
sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup
pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik
yang berkaitan dengan pengelolaan DAS.
20. Pengarustamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah.
21. Kerjasama antar daerah adalah kesepakatan antara daerah dalam
pengembangan dan pengelolaan DAS yang didukung dan difasilitasi
oleh pemerintah daerah.

2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:


“Pasal 7
(1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a, dilakukan dengan tahapan kegiatan:
a. Inventarisasi Hutan Tingkat DAS ;
b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan
c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS;
(2) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
(3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kajian
kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi,
investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah.

3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:


“Pasal 8
(1) Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan tingkat DAS dalam wilayah provinsi
sebagaimana Pasal 7 ayat (1) mengacu pedoman Inventarisasi Hutan dan hasil
Inventarisasi Hutan tingkat nasional dan provinsi.
(2) Penyelenggaraan kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana
ayat (1) dilaksanakan oleh OPD dengan berkoordinasi dengan unit kerja
Kementerian DAS.
(3) Kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
(4) Dalam hal OPD tidak memiliki kemampuan teknis melaksanakan kegiatan
Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2), selanjutnya dilaksanakan
sesuai peraturan perundang-undangan

4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:


Pasal 9
(1) Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana Pasal 7 ayat (1)
mengacu pedoman Inventarisasi Hutan dan hasil Inventarisasi Hutan tingkat
nasional dan provinsi.
(2) Penyelenggaraan kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana
ayat (1) dilaksanakan oleh OPD dengan berkoordinasi dengan unit kerja
Kementerian DAS.
(3) Kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
(4) Dalam hal OPD tidak memiliki kemampuan teknis melaksanakan kegiatan
Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2), selanjutnya dilaksanakan
sesuai peraturan perundang-undangan

5. Ketentuan Pasal 10 Dihapus


6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 11
(1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS.
(2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Gubernur.
(3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari OPD terkait dan melibatkan
perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya.

7. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:


“Pasal 42
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi
pengelolaan DAS
(3) Peran serta masyarakat dilakukan dengan tidak membangun rumah di
bantaran sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota
(4) Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
membantu dalam mendukung keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan
DAS

8. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:


“Pasal 48

(1) Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup:
a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus mempertimbangkan
aspek kelestarian DAS, membuka kesempatan kerja, dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan DAS;
c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam
akibat kegiatan usaha yang dilakukan;
d. terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait
kegiatan pengelolaan DAS;dan
e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan
DAS.
(2) Pihak swasta yang melanggar ketentuan ayat (1) dapat dikenai sanksi
administratif sesuai perundang-undangan yang berlaku.
9. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 56
Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun sistem
informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh Dinas
Komunikasi dan Informatika dengan mengikutsertakan instansi terkait.
10. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 65
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS
di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini,
dinyatakan tetap berlaku.
(2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai
dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
(3)Peraturan Gubernur sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat
(3),Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat
(5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor: 1 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
perubahannya, harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun setelah
Peraturan Daerah ini diundangkan perubahannya.

Pasal II

Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Tenggara.

Ditetapkan di Kendari
Pada tanggal ……………..
GUBENRNUR SULAWESI TENGGARA
TTD

H. ALI MAZI, S.H.

Diundangkan di Kendari
Pada tanggal …………….
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

TTD

Dr. Hj. NUR ENDANG ABBAS, SE., M.Si.

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN


2021
NOMOR…………
NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA : (…/
…/…)
Lampiran 2
Outline

GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

NOMOR -- TAHUN 2O21

TENTANG

RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA


TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SULAWESI TENGGARA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal


9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46
ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pengelolaan DAS perlu menetapkan Peraturan
Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pengelolaan DAS.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I
Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang
Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah
Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2687);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 38881) sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
3. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2013 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5432) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
7. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah Dan Air (Lembaran Negara Repulik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5608);
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) sebagimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 6573);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik indonesia Nomor 4453) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5056);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 2012 Nomor 62 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5292);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6635);
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 60/Menhut-
II/2013 tentang Tata Cara Penyusunan Dan Penetapan
Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu;
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 61/Menhut-
II/2013 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai;
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 17/Menhut-
II/2014 tentang tata cara pemberdayaan masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 67/Menhut-
II/2014 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Sistem
Informasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Provinsi;
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah (Berita Negara Republik lndonesia Tahun
2015 Nomor 2036);
18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2
Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034;
19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1
Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun (1/2015)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA
TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara
3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara
4. Instansi Terkait adalah Perangkat Daerah Provinsi dan Instansi Vertikal
di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pengelolaan sumber daya Daerah Aliran Sungai, serta perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut
Bappeda adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi
Sulawesi Tenggara.
6. Daerah Aliran Sungai selanjutnya disingkat dengan DAS adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-
anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan.
7. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan
mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama.
8. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan
timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan
segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem
serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara
berkelanjutan dan dilakukan secara terpadu.
9. Pengelolaan DAS Provinsi Sulawesi Tenggara yang selanjutnya disebut
Pengelolaan DAS Provinsi adalah pengeloiaan DAS yang secara
geografis berada di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara.
10. Daya Dukung DAS adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan
kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan
sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara
berkelanjutan.
11. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adatah DAS yang kondisi lahan
serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi
bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
12. DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi
lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi
bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana
meshnya.
13. Konservasi Tanah dan Air adalah upaya pelindungan, pemulihan,
peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan
kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.
14. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang
mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan
hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.
15. Penyuluh kehutanan pegawai negeri sipil yang selanjutnya disingkat
penrrluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang
pada satuan organisasi lingkup kehutanan untuk melakukan kegiatan
penyuluhan kehutanan.
16. Pendampingan adalah aktivitas penyuluhan yang dilakukan secara terus
menerus pada kegiatan pembangunan kehutanan untuk meningkatkan
keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan kehutanan serta
keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.
17. Para pihak adalah pihak pihak terkait yang terdiri dari unsur pemerintah
dan bukan pemerintah yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS.
18. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya
disebut Forum DAS adalah wadah koordinasi antar instansi
penyeienggara Pengelolaan DAS.
19. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
20. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

BAB II

MAKSUD, ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Gubernur ini meliputi :


a. Tata Cara Penetapan Batas, Klasifikasi dan Rencana Pengelolaan
DAS
b. Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan dan DAS yang
Dipertahankan
c. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS
d. Tata Cara Pembinaan, Pengawasan dan Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan DAS
e. Tata Cara dan Keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS
f. Tata Cara Penetapan dan Pemberian Penghargaan Dalam
Pengelolaan dan Mempertahankan Kelestarian DAS
BAB III
TATA CARA PENETAPAN BATAS
DAN PENETAPAN KLASIFIKASI DAS

Bagian Kesatu
Tata Cara Penetapan Batas DAS
Pasal …dst

Bagian Kedua
Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS
Pasal…dst

Bagian Ketiga
Tata Cara Penetapan Rencana Pengelolaan DAS
Pasal…dst

BAB IV
TATA CARA PENGELOLAAN DAS YANG DIPULIHKAN
DAN YANG DIPERTAHANKAN

Bagian Kesatu
Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan
Pasal…dst

Bagian Kedua
Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipertahankan
Pasal…dst

BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN DAS

Bagian Kesatu
Monitoring Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS
Pasal…dst.

Bagian Kedua
Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS
Pasal…dst.

BAB VI
TATA CARA PEMBINAAN, PENGAWASAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM KEGIATAN PENGELOLAAN DAS

Bagian Kesatu
Tata Cara Pembinaan Kegiatan Pengelolaan DAS
Pasal…dst.

Bagian Kedua
Tata Cara Pengawasan Kegiatan Pengelolaan DAS
Pasal…dst.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan DAS
Pasal…dst.

BAB VII
TATA CARA DAN KEANGGOTAAN
FORUM KOORDINASI PENGELOLAAN DAS
Pasal…dst.
BAB VIII
TATA CARA PENETAPAN DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM
PENGELOLAAN DAN MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN DAS
Pasal…dst.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal…
Peraturan Gubernur ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara.

Ditetapkan di Kendari
pada tanggal 2021

GUBERNUR SULAWESI
TENGGARA

H. ALI MAZI, S.H.

Diundangkan di Bandung
pada tanggal ……..2021
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
SULAWESI TENGGARA,

Dr. Hj. NUR ENDANG ABBAS, SE., M.Si.

BERITA DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2O21


NOMOR
Lampiran 3

GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

PERATURAN DAERAH
PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR: 1 TAHUN 2015
TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


GUBERNUR SULAWESI TENGGARA,

Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan kesatuan


ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir yang terdiri
dari unsure-unsur utama tanah, vegetasi, air maupun
udara dan memiliki fungsi penting dalam pembangunan
ekonomi masyarakat yang berkelanjutan;
b. bahwa kerusakan Daerah Aliran Sungai di Sulawesi
Tenggara semakin memprihatinkan, sehingga menjadi
salah satu penyebab terjadinyabanjir, tanah longsor,
penurunan kualitas air, krisis air dam/atau kekeringan,
erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada
perekonomian dan tata kehidupan masyarakat;
c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka
pelaksanaan Pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota,
menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang_Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat
I Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang
Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan
Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor
94,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2687);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3064);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5432);
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5657)
11. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608);
12. Peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
13. Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
14. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang
Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5230);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5285);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292);
18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2
Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5292).
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
dan
GUBERNUR SULAWESI TENGGARA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara
2. Pemerintah daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara
3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara
4. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air
yang beraasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.
5. Instansi terkait adalah Kementerian/Lembaga Pemerintah non kementerian
di bidang sumber daya air, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
6. Karakteristik DAS adalah kekhasan yang dimiliki oleh suatu DAS yang
ditentukan berdasarkan besaran dan sifatnya dengan indikator biofisik,
sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
7. Permasalahan DAS adalah kesenjangan antara kondisi yang terjadi dengan
kondisi yang seharusnya dalam suatu DAS yang meliputi aspek biofisik,
sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
8. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal
balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala
aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagimanusia secara
berkelanjutan.
9. Bagian hulu daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan
daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi bergelombang, berbukit
dan/atau bergunung, dengan kerapatan drainase relative tinggi, merupakan
sumber air yang masuk langsung ke sungai utama dan/atau melalui anak-
anak sungai, serta sumber erosi yang sebagiannya tersangkut ke daerah
hilir sungai menjadi sedimen.
10. Bagian tengah daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan
DAS yang membentang mulai dari daerah hulu sampai hilir termasuk
sempadan sungai, merupakan sumber sumber penghidupan manusia dan
satwa lainnya.
11. Bagian hilir daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan
daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi datar sampai landai,
merupakan daerah endapan sedimen atau alluvial.
12. Sumberdaya Daerah Aliran Sungai adalah seluruh sumber daya dalam
kawasan DAS yang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan
pembengunan sosial, ekonomi dan penopang system penyengga kehidupan
manusia maupun satwa lainnya.
13. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan, dan
pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan
peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan
kehidupan yang lestari.
14. Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat yang tinggal dan
memiliki ketergantungan terhadap daerah aliran sungai atau sekitarnya
yakni tokoh adat, tokoh agama dan lain-lain dengan sejumlah pengalaman
dan kearifannya dalam menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber
daya alam pada masing-masing kawasan daerah lairan sungai.
15. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Provinsi yang
selanjutnya disebut Forum DAS adalah lembaga koordinatif yang
beranggotakan berbagai pihak dan bersifat lintas sektor dalam mengelola
DAS regional.
16. Mekanisme Insentif dan Disinsentif adalah pengaturan tentang pemberian
penghargaan/kompensasi terhadap semua bentuk dorongan spesifik atau
rangsangan untuk mempengaruhi atau memotivasi semua pihak terutama
masyarakat, baik secara individu atau kelompok untuk bertindak atau
melaksanakan kegiatan dengan tujuan memperbaiki atau menjaga kondisi
DAS serta pemberian sanksi terhadap semua bentuk tindakan yang
mengakibatkan kerusakan DAS.
17. Penyelesaian sengketa adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
sistemayis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada
saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik,
penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS.
18. Pengarustamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan,
program dan kegiatan pembangunan daerah.
19. Kerjasama antar daerah adalah kesepakatan antara daerah dalam
pengembangan dan pengelolaan DAS yang didukung dan difasilitasi oleh
pemerintah daerah.
BAB II
MAKSUD, ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Pengelolaan DAS disusun dengan maksud untuk mengkoordinasikan,


mengintegrasikan, mensingkronisasikan dan mensinergikan pengelolaan DAS
dalam rangka meningkatkan daya dukung DAS
Pasal 3

Pengelolaan DAS dilakukan berdasarkan asas:


a. kemanfaatan dan kelestarian;
b. keseimbangan;
c. keterpaduan;
d. keadilan;
e. kemadirian;
f. pemberdayaan masyarakat;
g. kesetaraan dan keadilan gender;
h. akuntabel dan transparan; dan
i. pengakuan terhadap kearifan lokal.
Pasal 4

Pengelolaan DAS bertujuan untuk:


a. mewujudkan koordinasi, integritas, singkronisasi dan sinergi antar berbagai
pihak dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan DAS;
b. mewujudkan kondisi tata air di DAS yang optimal meliputi jumlah, kualitas
dan distribusinya;
c. mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung dan daya
tamping lingkungan DAS;
d. mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
e. kesetaraan dan keadilan gender memberikan ruang kepada perempuan
untuk berperan dalammenikmati manfaat kegiatan pembangunan DAS serta
kesejajaran kedudukan pada situasi konflik.
BAB III
RUANG LINGKUP

Pasal 5
(1) Ruang lingkup DAS meliputi pengelolaan seluruh DAS di wilayah
Sulawesi Tenggara.
(2) Nama-nama DAS dan peta DAS Sulawesi Tenggara tercantum dalam
lampiran dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah.
Pasal 6
(1)Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi tahapan
kegiatan sebagai berikut:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan;
c. monitoring dan evaluasi;
d. pembinaan dan pengawasan.
(2)Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air
Provinsi Sulawesi Tenggara.
(3)Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) diselenggarakan
secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait, kabupaten/kota
maupun lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat.
BAB IV
PERENCANAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 7
(1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a, dilakukan dengan tahapan kegiatan:
a. Inventarisasi karakteristik DAS;
b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan
c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS;
(2) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
(3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
kajian kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial
ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah.
Bagian Kedua
Inventarisasi Karakteristik DAS

Pasal 8
(1) Inventarisasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat(1) huruf a
meliputi:
a. Proses penetapan batas DAS;dan
b. Penyusunan klasifikasi DAS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas DAS diatur
dengan Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Ketiga
Penyusunan Kalsifikasi DAS

Pasal 9
(1) Berdasarkan hasil proses penetapan batas DAS yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan klasifikasi
DAS.
(2) Penyusunan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk menetukan:
a. DAS dipulihkan;dan
b. DAS yang dipertahankan daya dukungnya.
(3) Persatuan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan berdasarkan kriteria:
a. kondisi lahan;
b. kulitas,kuantitas dan kontinuitas air;
c. sosial ekonomi;
d. inventarisasi bangunan air;dan
e. pemanfaatan ruang wilayah.
(4) Penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Gubernur berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
Pasal 10
(1) Klasifikasi DAS dievaluasi sekali dalam 5 (lima) tahun sejak ditetapkan.
(2) Dalam hal tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar
klasifikasi DAS dapat ditinjau kembali kurang dari 5 (lima) tahun.
Bagian Keempat
Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS

Pasal 11
(1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS.
(2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Gubernur.
(3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari dinas terkait dan melibatkan
perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya.
Pasal 12
Penyusunan rencana pengelolaan DAS meliputi:
a. penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipulihkan daya
dukungnya; dan
b. penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipertahankan daya
dukungnya
Pasal 13
Penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipulihkan daya dukiugnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasdal 12 huruf a dilakukan dengan
perumusan :
a. permasalahan DAS;
b. tujuan pemulihan daya dukung DAS;
c. strategi pemulihan daya dukung DAS;dan
d. monitoring dan evaluasi DAS.
Pasal 14
Perumusan permasalahan DAS yang dipulihkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf a, dilakukan melalui:
a. identifikasi dan analisis masalah;dan
b. rumusan masalah.
Pasal 15
(1) Perumusan tujuan pemulihan daya dukung DAS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b dilakukan dengan mengacu pada hasil
perumusan masalah.
(2) Perumusan tujuan pemulihan daya dukung DAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara mendapatkan keterpaduan
kepentingan antar dan di dalam sektor serta wilayah administrasi.
Pasal 16
(1) Hasil perumusan tujuan pemulihan daya dukung DAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 dijadikan dasar dalam perumusan monitoring
dan evaluasi pengelolaan DAS.
(2) Perumusan strategi pemulihan daya dukung DAS sebagaimana
dimaksud pada ayat(1) meliputi perumusan kebijakan, program dan
kegiatan.
Pasal 17
(1) Berdasarkan hasil perumusan strategi pemulihan daya dukung DAS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan perumusan
monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) harus
memperhatikan faktor-faktor antara lain:
a. sistim analisis;
b. kriteria indikator kinerja;
c. pelaksana; dan
d. capaian hasil.
Pasal 18
Penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipertahankan daya
dukungnya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 huruf b, dilakukan
dengan perumusan:
a. permasalahan DAS;
b. tujuan mempertahankan daya dukung DAS;
c. strategi mempertahankan daya dukung DAS; dan
d. monitoring dan evaluasi DAS.
Pasal 19

Perumusan permasalahan DAS yang dipertahankan daya dukungnya


sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 huruf a, dilakukan melalui:
a. identifikasi dan analisis masalah;dan
b. rumusan masalah.
Pasal 20

(1) Perumusan tujuan mempertahankan daya dukung DAS sebagaimana


dimaksudkan dalam Pasal 18 huruf b dilakukan dengan cara mengacu
pada hasil perumusan masalah.
(2) Perumusan tujuan mempertahankan daya dukung DAS sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengedepankan
keterpaduan kepentingan antar dan di dalam sektor dan wilayah
administrasi.
Pasal 21
(1) Hasil perumusan tujuan mempertahankan daya dukung DAS
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20 dijadikan dasar dalam
perumusan strategi pengelolaan DAS yang dipertahankan daya
dukungnya.
(2) Perumusan strategi mempertahankan daya dukung DAS sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (1) meliputi perumusan kebijakan, program dan
kegiatan.
Pasal 22
(1) Berdasarkan hasil perumusan strategi mempertahankan daya dukung
DAS sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 huruf c dilakukan
perumusan menitoring dan evaluasi pengelolaan DAS.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) herus
mempertahitikan faktor-faktor antara lain:
a. sistem analisis;
b. kriteria indikator kinerja;
c. pelaksana;dan
d. capaian hasil.
Bagian Kelima
Penetapan Rencana Pengelolaan DAS

Pasal 23
(1) Berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 18 , dilakukan penetapan Rencana Pengelolaan DAS untuk
yang dipulihkan daya dukungnya dan/atau yang dipertahankan daya
dukungnya.
(2) Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
menjadi salah satu dasar dalam penyusunan rencana pembangunan
sektor dan wilayah di tiap-tiap kabupaten/kota yang masuk dalam ruang
lingkup DAS.
Pasal 24
(1) Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18
ditetapkan untuk jangka waktu 15 (lima belas) tahun.
(2) Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
dievaluasi dan ditinjau kembali minimal 5 (lima) tahun sekali.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Rencana Pengelolaan
DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diatur dengan Peraturan
Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PELAKSANAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 26
Kegiatan Pengelolaan DAS dilakukan berdasarkan rencana pengelolaan
DAS untuk yang telah ditetapkan menjadi acuan dalam menyusun rencana
pembangunan sektor dan rencana pembangunan wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
Pasal 27
Kegiatan Pengelolaan DAS dilakukan sebagaiman dimaksud dalam Pasal
26 dilaksanakan pada:
a. DAS yang dipulihkan daya dukungnya;dan
b. DAS yang dipertahankan daya dukungnya.
Pasal 28
(1) Pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang akan dipulihkan daya
dukungnya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 27 huruf a meliputi:
a. Optimalisasi penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya
dukung wilayah;
b. Penerapan teknik konservasi tanah dan air dilakukan dalam
rangka pemeliharaan kelangsungan daerah tangkapan air,
menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air;
c. Pengelolaan vegetasi dilakukan dalam rangka pelestarian
keanekaragaman hayati, peningkatan peroduktivitas lahan,
restorasi ekosistem, rehabilitasi dan reklamasi lahan;
d. Peningkatan kepedulian dan peran serta instansi terkait dalam
pengelolaan DAS ; dan/atau
e. Pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS untuk
meningkatkan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi
lintas sektor dan wilayah administrasi.
(2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai persyaratan teknis masing-masing kegiatan.
Pasal 29
(1) Pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang dipertahankan daya
dukungnya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 27 huruf b meliputi:
a. Menjaga dan memelihara produktifitas dan keutuhan ekosistem
dalam DAS secara berkelanjutan;
b. Bimbingan teknis dan fasilitasi dalam rangka penerapan teknik
konservasi tanah dan air demi kelangsungan daerah tangkapan
air, untuk menjaga kualitas, konstinuitas dan distribusi air;
c. Peningkatan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi antar
sektor dan wilayah administrasi dalam rangka mempertahankan
kelestarian vegetasi, keanekaragaman hayati dan produktifitas
lahan; dan/atau
d. Peningkatan kapasistas kelembagaan pengelolaan DAS untuk
meningkatkan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi
antar sektor dan wilayah administrasi.
(2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai persyaratan teknis masing-masing kegiatan.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan DAS yang
dipulihkan dan DAS yang dipertahankan diatur dengan Peraturan Gubernur
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 31
Monitoring dan evaluasi wajib dilakukan dalam Pengelolaan DAS baik
dalam pemulihan maupun mempertahankan Daya Dukung DAS
Pasal 32
(1) Monitoring dilakukan dalamuntuk mendapatkan data indikator kinerja
DAS
(2) Indikator kinerja DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan indikator dari kriteria biofisik, sosial, ekonomi, budaya,
kelembagaan.
(3) Kriteria biofisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Kondisi lahan, yang terdiri dari luas lahan kritis, penutupan
vegetasi, tingkat erosi, dan kesesuaian penggunaan lahan dengan
kelas kesesuaian dan kemampuan lahan.
b. Kondisi hidrologi, yang terdiri atas kualitas, kuantitas,
kontinuitas, dan distribusi air.
(4) Kriteria sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi tingkat
partisipasi masyarakat, tingkat kepedulian masyarakat, tingkat
pendidikan masyarakat, dan tekanan penduduk terhadap DAS.
(5) Kriteria ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
Tingkatan dan distribusi pendapatan masyarakat.
(6) Kriteria kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
keberadaan lembaga kearifan lokal dan keberadaan lembaga sesuai
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan DAS serta
penegakan hukum.
Pasal 33
(1) Monitoring terhadap indikator kinerja DAS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 dilakukan secara periodik paling sedikit sekali dalam
setahun.
(2) Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar
untuk melakukan evaluasi kinerja pengelolaan DAS.
Pasal 34
(1) Evaluasi kinerja pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (2) dilakukan untuk memperoleh gambaran perubahan kondisi
DAS.
(2) Evaluasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup evaluasi sebelum, sedang dan setelah kegiatan berjalan.
(3) Evaluasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara periodik paling sedikit sekali dalam 2 (dua) setahun.
Pasal 35
Hasil evaluasi kinerja pengelolaan DAS digunakan untuk:
a. Penyempurnaan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
dan;
b. Pelaksanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26.
Pasal 36
Gubernur melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
pengelolaan DAS
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi pelaksanaan
kegiatan pengelolaan DAS, diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 38
(1) Pembinaan kegiatan Pengelolaan DAS dilakukan oleh Gubernur
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada
kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi.
Pasal 39
Pembinaan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 38 dilakukan dengan
kegiatan:
a. Koordinasi;
b. Pemebrian pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis;
c. Pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi;
d. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan;
e. Pemberian bantuan teknis;
f. Fasilitasi;
g. Sosialisasi dan diseminasi; dan/atau
h. Penyediaan sarana dan prasarana.
Bagian Kesdua
Pengawasan

Pasal 40
(1) Pengawasan bertujuan untuk mewujudkan efektifitas serta singkronisasi
pelaksanaan Pengelolaan DAS Provinsi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Pengelolaan DAS dilakukan oleh
Gubernur
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut menegnai tata cara pembinaan dan pengawasan
kegiatan Pengelolaan DAS diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB VIII
PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Peran Serta

Pasal 42
(4) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS
(5) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi
pengelolaan DAS
(6) Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) membantu dalam mendukung keterpaduan penyelenggaraan
pengelolaan DAS
Bagian Kedua
Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 44
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kapasitas,
kapabilitas, kepedulian dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
DAS
Pasal 45

(1) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan DAS


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan oleh Pemerintah
Daerah.
(2) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan DAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh BUMN,
BUMD, BUMS, BUMDes, Koperasi, dan organisasi masyarakat.
Pasal 46
(1) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan DAS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilakukan melalui:
a. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan;
b. Pendampingan;
c. Pemberian bantuan modal;
d. Sosialisasi dan diseminasi; dan/atau
e. Penyediaan sarana dan prasarana
(2) Ketentuan lebih lanjut menegnai tata cara pemberdayaan masyarakat
dalam kegiatan Pengelolaan DAS diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB IX
PERAN SERTA SWASTA

Pasal 47
(1) Pihak swasta wajib berperan serta dalam pengelolaan DAS sesuai
dengan bidang usaha/kegiatan.
(2) Pihak swasta dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS secara
individu, kelompok, perkumpulan atau melalui Forum Koordimasi
Pengelolaan DAS.
Pasal 48
Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup:
a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus mempertimbangkan
aspek kelestarian DAS, membuka kesempatan kerja, dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan DAS;
c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam akibat
kegiatan usaha yang dilakukan;
d. terlibat dalam kegiatanpemberdayaan masyarakat terkait kegiatan
pengelolaan DAS;dan
e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan DAS.
BAB X
PERAN SERTA AKADEMISI

Pasal 49
(1) Akademisi dapat dilibatkan untuk beroeran serta dalam pengelolaan
DAS.
(2) Peran serta akademisi dalam pengelolaan DAS bersifat konsultatif dan
aksi sesuai dengan kompetensi keilmuannya.
(3) Peran serta akademisi dalam pengelolaan DAS dapat dilakukan secara
perorangan atau kelompok seperti Pusat Studi atau Forum Koordimasi
Pengelolaan DAS.
Pasal 50
Peran serta akademisi dalam pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2) dapat dilakukan melalui:
a. pemberian informasi atau rekomendasi berdasarkan hasil penelitian
dan pemikiran yang berkaitan dengan pengelolaan DAS;
b. pemberian informasi teknologi ramah lingkungan yang dapat
diterapkan dalam pengelolaan DAS;
c. keterlibatan dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS,
monitoring dan evaluasi, penyusunan system informasi pengelolaan
DAS, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat;dan
d. ikut aktif menggerakan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS.
BAB XI
FORUM KOORDINASI PENGELOLAAN DAS

Pasal 51
(1) Guna terciptanya keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan DAS,
Gubernur membentuk Forum Koordimasi Pengelolaan DAS.
(2) Forum Koordimasi Pengelolaan DAS mempunyai fungsi untuk:
a. menampung dan menyakurkan aspirasi masyarakat terkait
pengelolaan DAS;
b. memberikan sumbangan pemikiran dalam pengelolaan DAS; dan
c. menumbuhkan dan mengembangkan peran pengawasan
masyarakat dalam pengelolaan DAS.
d. memfasilitasi terselenggaranya Koordinasi, Integrasi,
Singkronisasi dan Sinergi Pengelolaan DAS
(3) Forum Koordimasi Pengelolaan DAS sebagaiman dimaksud pada ayat
(1) terdiri dari unsure pemerintah, pemerintah daerah, swasta,
akademisi, Organisasi Masyarakat Sipil dan masyarakat.
(4) Masa kerja dan kepengurusan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS
adalah selama 3 (tiga) tahun.
(5) Tata Cara dan keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS diatur
melalui Peraturan Gubernur.
(6) Forum Koordimasi Pengelolaan DAS setiap tahun melaporkan
pelaksanaan fungsi kepada Gubernur melalui Sekretariat Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara dan ditembuskan ke DPRD Provinsi
Sulawesi Tenggara.
(7) Pembiayaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS dibebankan kepada
APBN, APBD dan sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat.
BAB XII
KERJASAMA PENGELOLAAN DAS

Pasal 52
Guna menunjang kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan DAS dari hulu
sampai ke hilir, maka dilaksanakan kerjasama antar Kabupaten/Kota atau
pihak ketiga.
Pasal 53
Kerjasama dengan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan DAS sebagaiman
dimaksud pada Pasal 52 adalah kerjasama antara Gubernur dengan
Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota lain atau antara pemerintah
daerah dengan pihak ketiga yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan
hak dan kewajiban.
Pasal 54
Kerjasama antar daerah dalam pengelolaan DAS bertujuan untuk:
a. Memantapkan hubungan dan keterkaitan antar daerah dalam
pengelolaan DAS;
b. Menyerasikan dan mensinergikan pelaksanaan pembangunan antar
daerah dan/atau dengan pihak ketiga;
c. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan teknologi untuk
penguatan ekonomi masyarakat d sekitar kawasan DAS;
d. Mengurangi kesenjangan antar daerah hulu dan hilir dalam DAS ,
khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah
dan daerah tertinggal; dan
e. Meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan asli daerah.
Pasal 55
(1) Kerjasama antar daerah dalam pengelolaan DAS dilakukan dalam
bentuk perjanjian kerjasama.
(2) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
BAB XIII
SISTIM INFORMASI PENGELOLAAN DAS

Pasal 56
Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun system
informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dengan mengikutsertakan instansi
terkait.
Pasal 57
(1) Sistem informasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 harus dapat diakses oleh seluruh pihak yang berkepntingan dengan
pengelolaan DAS.
(2) Sistem informasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. data pokok DAS baik secara spasial maupun non spasial; dan
b. sistem pendukung pengambilan keputusan dalam pengelolaan
DAS.
(3) Sistem informasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dijabarkan secara makro dalam pola umum kriteria dan standar
pengelolaan DAS
BAB XIV
PEMBIAYAAN

Pasal 58
Pembiayaan yang dibutuhkan untuk Pengelolaan DAS dapat dibebankan
pada:
a. APBN
b. APBD, dan
c. Sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.
BAB XV
LARANGAN

Pasal 59
Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang
mengakibatkan rusaknya DAS dan/atau menyebabkan kesrusakan sumber
daya DAS.
BAB XVI
SENGKETA PENGELOLAAN DAS

Bagian Kesatu
Subyek dan Obyek Sengketa
Pasal 60
(1) Subyek sengketa pengelolaan DAS meliputi:
a. Pemerintah daerah;
b. Swasta;
c. Masyarakat
(2) Obyek sengekta pengelolaan DAS meliputi:
a. Air;
b. Pemanfaatan ruang.
Bagian Kdua
Penyelesaian Sengketa DAS

Pasal 61
(1) Penyelesaian sengketa dalam pengelolaan DAS dilakukan dengan cara
musyawarah dan mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah dan mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui
pengadilan.
BAB XVII
PENGHARGAAN

Pasal 62
(1) Gubernur dapat memberikan penghargaan kepada pihak yang berperan
aktif dalam kegiatan pengelolaan dan mempertahankan kelestarian
DAS.
(2) Pihak yang berhak menerima penghargaan ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penetapan dan pemberian
penghargaan diatur dengan Paraturan Gubernur.
BAB XVIII
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 63
(1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia , Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah, diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima laporan atau pengadian dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
f. memanggil seseorang untuk dijadikan tersangka atau saksi;
g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan
dengan pemeriksaan perkara;
h. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
penyidik Polri bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan selanjutnya
melalui penyidik Polri memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum, tersangka dan keluarganya;
i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tugasnya di bawah
koordinasi penyidik Polri.
BAB XIX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 64
Setiap orang atau badan usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan
DAS di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah
ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai
dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.

BAB XX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara.

Ditetapkan di Kendari
Pada tanggal 10-6- 2015
GUBERNUR SULAWESI TENGGARA

TTD

NUR ALAM

Diundangkan di Kendari
Pada tanggal 10-6-2015
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
TTD

LUKMAN ABUNAWAS
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN
2015
NOMOR

NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA


TAHUN (1/2015)

Anda mungkin juga menyukai