Anda di halaman 1dari 97

LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLOGI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum


Hidrologi

Dosen Pengampu :Suhadi Purwantara, M.Si dan Arif Ashari M.Sc.

Disusun Oleh:

Nama : Adinta Darmawan

NIM : 18405244001
Kelompok : B1

Asisten Praktikum : Lilis Faizatul Imamah

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Praktikum Hidrologi 2019
Disusun Oleh:

Adinta Darmawan

18405244001

Mengesahkan,

Yogyakarta, 19 Mei 2019


Dosen Pengampu Asisten Dosen

Praktikum

Arif ashari, M.Sc. Lilis Faizatul Imamah


NIK 11310860302467 NIM 17405244011

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan praktikum hidrologi dengan

lancar dan senantiasa diberi kemudahan dalam pengerjaannya.

Dalam penulisan laporan ini saya menyadari bahwa kendala yang saya hadapi,

dan tentunya banyak pihak yang telah membantu kelancaran laporan ini, untuk itu
ucapan terima kasih saya ucapkan kepada bapak Arif Ashari, M.Sc. selaku dosen

pengampu, asisten dosen praktikum selaku pembimbing selama praktikum, orang tua
serta teman-teman jurusan Pendidikan Geografi 2018 yang telah memberikan dukungan

moril berupa semangat dan motivasi selama praktikum berlangsung.

Saya menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan dalam praktikum ini, oleh
sebab itu kritik saran yang membangun saya harapkan untuk menyempurnakan tugas-

tugas sejenis ke depannya agar lebih baik lagi. Akhir kata, semoga laporan ini dapat

bermanfaat bagi pembaca, khususnya masyarakat umum agar mengetahui lingkungan

sekitar dan juga bermanfaat bagi saya pribadi tentunya.

Yogyakarta, 19 Mei 2019

Adinta Darmawan

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. 1

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. 2

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4

ACARA II MENENTUKAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI ....................... 5

ACARA III MENGHITUNG RERATA CURAH HUJAN PADA SUATU WILAYAH


....................................................................................................................... 11

ACARA IV MELENGKAPI DATA CURAH HUJAN YANG HILANG................. 19

ACARA V MENGHITUNG DEBIT ALIRAN DENGAN METODE APUNG ....... 25

ACARA VI MENGUKUR DEBIT DENGAN METODE MANNING ................... 32

ACARA VII MENGUKUR DEBIT MATA AIR DENGAN METODE


VOLUMETRIK ................................................................................................ 39

ACARA VIII MENGANALISIS KUALITAS AIR DENGAN MULTIPARAMETER


METER .......................................................................................................... 43

ACARA IX MENGHITUNG POTENSI AIR TANAH ......................................... 51

ACARA X MENENTUKAN ARAH ALIRAN AIR TANAH DENGAN METODE


THREE POINT PROBLEM ............................................................................. 57

ACARA XI MENGHITUNG LAJU INFILTRASI DENGAN INFILTROMETER .. 61

ACARA XII MENGUKUR RUN OFF DENGAN METODE THRONTHWAITE


MATHER ........................................................................................................ 74

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 88

LAMPIRAN........................................................................................................ 91

4
ACARA II
MENENTUKAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menghitung batas DAS dengan peta topografi.

B. Dasar Teori
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh

pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan

yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut
(Nilda, 2014: 35-36).

Menurut Liamas (1993) dalam Nilda (2004: 35) menjelaskan bahwa DAS

merupakan suatu sistem alami dalam hodrologi dengan sungai sebagai

komponen utama. Aliran sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik curah hujan
dan kondisi biofisik DAS. Karakteristik biofisik mencakup geometri (ukuran,

bentuk, kemiringan DAS). Morfometri (ordo sungai, kerapatan jaringan sungai,

rasio pencabangan, rasio panjang), geologi, serta penutupan lahan.

Lingkup pengelolaan DAS meliputi perencanaan, pengorganisasian,

penerapan dalam rangka pelaksanaan, pemantauan dan evakuasi terhadap

upaya-upaya pokok berikut:

1) Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan (land use)

dan konservasi tanah dalam arti yang luas


2) Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan,

penggunaan dan pengendalian daya rusak air

3) Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis vegetasi

terestrial lainnya yang memiliki fungsi produksi dan perlindungan terhadap

tanah dan air

4) Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk pengembangan


kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara
bijaksana, sehingga ikut berperan dalam upaya pengelolaan DAS (Tresnadi,

2008: 96)

Menurut Asdak (2004) pengelolaan DAS merupakan upaya manusia


dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan

manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina

5
kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber
daya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Aliran permukaan pada daerah tangkapan air (daerah aliran sungai, DAS)

terjadi dalam beberapa bentuk yaitu 1) aliran limpasan pada permukaan tanah, 2)
aliran melalui parit/selokan, 3) aliran melalui sungai-sungai kecil, dan 4) aliran

melalui sungai utama. Aliran limpasan pada permukaan tanah terjadi selama atau
setelah hujan dalam bentuk lapisan air yang mengalir pada permukaan tanah.

Aliran tersebut masuk ke parit/selokan yang kemudian mengalir ke sungai-sungai

kecil dan selanjutnya menjadi aliran di sungai utama. Karakteristik hidrologis dari
daerah tangkapan air dipengruhi oleh luas, bentuk, relief, panjang, sungai, dan

pola drainasi daerah tangkapan (Triatmodjo, 2008: 5-6).

Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-

punggung gunung/pegunungan di mana air hujan yang jatuh di daerah tersebut


akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau. DAS

ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis-

garis kontur. Garis-garis kontur dipelajari untuk menentukan arah dari limpasan

permukaan. Limpasan berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titik-

titik yang lebih rendah dalam arah tegak lurus dengan garis-garis kontur. Daerah

yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan titik-titik tertinggi tersebut adalah

DAS (Triatmodjo, 2008: 7-8).

Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi.
Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin

besar DAS semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar

pula aliran permukaan atau debit sungai (Triatmodjo, 2008: 8).

Asdak (2002) dalam Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya

Air (2008: 8) menjelaskan bahwa pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk

terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah, dan air
sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan
bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai suatu

proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat

manipulasi jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan


tanah, yang dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan,

tanah, dan air, dan keterkaitan daerah hulu dan hilir suatu DAS.

6
DAS bagian hulu mempunyai peranan penting, terutama sebagai tempat
penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS
seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama

untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman.


Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap

kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada


prinsipnya, DAS hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-

aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut

berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang


merangkai rangkaian proses alami daur hidrologi (Direktorat Kehutanan dan

Konservasi Sumberdaya Air, 2008: 8).

C. Alat dan Bahan


Alat

1. Alat tulis, digunakan untuk menentukan batas DAS.

2. Penggaris digunakan untuk menggaris.

3. Kertas Kalkir, digunakan sebagai media hasil dari penentuan batasan

DAS.

4. Penghapus, digunakan untuk menghapus tulisan yang salah.

5. Clipboard, digunakan untuk alas ketika menggambar.

6. Paperclip, berfungsi untuk media pengait supaya kalkir tidak lepas.


7. Milimeter Block, digunakan untuk menentukan luas batas DAS.

8. Kertas Folio, digunakan untuk media contoh.

9. Kalkulator, digunakan untuk menghitung.

Bahan

1. Peta DAS

D. Langkah Kerja
1. Menghitung batas DAS.

2. Menyiapkan alat dan bahan untuk melaksanakan praktikum.

3. Mengidentifikasikan outlet sungai dalam DAS.


4. Menggambar aliran sungai yang diidentifikasi menggunakan drawing pen

0.2 warna biru.

7
5. Mencari garis kontur tertinggi kemudian menghubungkan garis kontur
tersebut menggunakan drawing pen warna merah.
6. Menyusun laporan praktikum.

E. Pembahasan

DAS atau daerah aliran sungai merupakan suatu kawasan yang dibatasi
oleh titik-titik tinggi dimana air yang berasal dari air hujan yang jatuh, terkumpul

dalam kawasan tersebut. Penentuan untuk menentukan batas DAS adalah dengan

menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur. DAS


biasanya dibatasi dengan topografi yang mempunyai kontur yang tinggi, yaitu

daerah dataran tinggi dimana akan mengelilingi aliran sungai sampai ke muara.

Batasan tersebut berupa titik-titik tertinggi yang berada di aliran sungai yang

kemudian dihubungkan sehingga akan membentuk kawasan yang dimana


kawasan tersebut merupakan kawasan perbatasan aliran sungai atau DAS.

Luas DAS ditentukan berdasarkan daerah topografi di daerah aliran

sungai tersebut. Semakin jauh limpasan permukaan atau debit sungai semakin

besar pula batas DAS. Dalam berjalannya waktu, sewaktu-waktu batas DAS dapat

berubah, entah semakin luas, atau semakin sempit. Hal ini dikarenakan faktor

geografis, misalkan didaerah limpasan permukaan atau sungai tersebut terdapat

patahan aktif, tentu hal ini akan mempengaruhi topografi batas DAS dimana

topografi akan berubah semakin tinggi atau semakin rendah.


Sungai terbagi menjadi tiga bagian, yaitu hulu, tengah, dan hilir. Bagian

hulu biasanya merupakan daerah yang terdekat dengan pegunungan. Tengah

yaitu daerah antara hulu dan hilir. Dan hilir merupakan daerah yang dekat dengan

laut. Pembagian bata DAS seperti yang disebutkan tadi berhubungan dengan

ketiga bagian sungai ini. Batas DAS yang dimana merupakan batas daerah

dengan topografi tinggi ini biasanya banyak terdapat hulu. Hingga sampai hilir
yang ketinggiannya lebih rendah dibanding hulu yang kemudian akan dialirkan
ke muara hingga sampai ke laut. Arus dibagian hulu lebih deras dibandingkan di

bagian tengah dan hilir, hal ini dikarenakan letak hulu yang lebih tinggi

dibandingkan bagian tengah dan hilir sungai karena sesungguhnya air itu
mengalir dari daerah yang tinggi ke daerah yang lebih rendah.

Berdasar peta topografi di daerah Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa


Tengah, dapat dibuat suatu batas daerah aliran sungai atau DAS. DAS dapat

8
dibuat dengan cara mencari titik kontur tertinggi di sekitaran sungai. Kemudian
dihubungkan sampai ujungnya di muara.
DAS di Purworejo mempunyai banyak cabang sungai yang berujung ke

muara. Dari percabangan sungai hingga sampai muara, muara sungai mempunyai
ordo 3 di Desa Karangjati Wetan. Biasanya ordo 1 terletak di daerah batasan DAS

seperti Desa Kraguman, Krajan kidul, Krembung, Agawangsan, Tegowoso, Desa


Sudimoro.

Batas DAS sungai Purworejo ini berdasarkan titik-titik daerah tertinggi

yang mengelilingi sungai, yaitu dengan ketinggian 245, 281, 457, 489, 727, 740,
621, 541, 554, 552, 541, 345, 528, dan 396. Titik-titik tersebut kemudian

dihubungkan membentuk kawasan DAS. Hal ini menandakan bahwa di daerah

Jawa Tengah banyak ditemui gunung-gunung tinggi seperti sumbing dan bukit

menoreh. Terdapatnya gunung-gunung tersebut dan dataran tinggi tentu juga


terdapat dataran rendah sebagai lembahnya. Kemudian air muncul di lembah-

lembah cekung dan membuat aliran berasal dari air hujan ataupun mata air dari

gunung-gunung disekitar.

Sungai-sungai ini memiliki percabangan yang relatif renggang. Hal ini

dikarenakan topografi Kabupaten Purworejo ini banyak pegunungan yang

memanjang. Akibatnya jarak antar sungai relatif jauh atau renggang bila dilihat

dari peta topografi.

Daerah DAS dibuat berfungsi untuk sumberdaya vegetasi, tanah, dan air
demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup penduduk. Daerah DAS seringkali di

jadikan untuk kepentingan seperti tataguna lahan, tempat pariwisata, mata

pencahariaan, maupun pemukiman. Dengan hal itu berbagai konflik muncul

akibat kepentingan tersebut melihat bahwa hulu merupakan bagian terpenting

untuk suplai ke hilir. Jika bagian hulu rusak akibat kesalahan dari pemanfaatan

manusia, tentu akan berdampak pada kelangsungan hilir sungai.


Dengan dibentuknya DAS, pemenuhan kebutuhan yang bergantung pada
aliran sungai semakin tertata, seperti pengelolaan sungai, untuk tempat tinggal,

maupun pemanfaatan air sungai. Seperti contohnya penduduk tidak

diperbolehkan membangun pemukiman di sekitar sungai yang berjarak 100


meter jika sungai tersebut luas, dan berjarak 50 meter jika sungai tersebut

cenderung sempit. Contoh lain seperti pemanfaatan air sungai sebagai tempat
mencuci, memancing, bermain di daerah hulu dihimbau agar tidak melakukan

9
aktivitas tersebut dikarenakan daerah hulu mempunyai aliran air yang cukup
deras.

F. Kesimpulan
1. DAS merupakan daerah yang dibatasi oleh dataran yang mempunyai

topografis tinggi yang dapat menampung air sehingga dapat menyalurkan air
sungai ke laut

2. Luas DAS dapat berubah seiring dengan perubahan topografisnya

3. Bagian DAS terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian keompok hulu,
tengah, dan hilir

4. DAS di daerah purworejo mempunyai percabangan yang banyak yang berasal

dari gunung-gunung tinggi sumber mata air maupun air hujan yang

menggenangi sungai
5. DAS dibuat guna dimanfaatkan sumberdaya seperti tanah, air, dan vegetasi

guna memenuhi kelangsungan dan kesejahteraan hidup penduduk seperti

tataguna lahan, pariwisata, mata pencahariaan, maupun pemukiman

6. Adanya DAS pengelolaan sungai semakin tertata dengan berbagai kebijakan

dan aturan-aturan dari pemerintah untuk pemanfaatan penduduk

10
ACARA III
MENGHITUNG RERATA CURAH HUJAN PADA SUATU WILAYAH

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menghitung rerata curah hujan dengan berbagai metode

2. Mahasiswa dapat membandingkan perhitungan berbagai metode dan


menentukan metode yang paling sesuai.

B. Dasar Teori
Uap air dalam Handoko (1995: 101) merupakan sumber presipitasi

seperti hujan dan salju. Jumlah uap air yang terkandung pada massa udara yang

merupakan indikator potensi atmosfer untuk terjadinya presipitasi. Dalam kisaran

suhu atmosfer, air merupakan satu-satunya komponen atmosfer yang dapat hadir
dalam ketiga bentuk zat yaitu cair (air), gas (uap) maupun padat (es). Perubahan

dari satu bentuk menjadi bentuk lain di dalam terjadi dalam suatu siklus yang

dinamakan siklus hidrologi.

Dalam siklus hdrologi, hujan turun tersebut disebut presipitasi. Presipitasi

dalam Asdak (2007: 39) adalah faktor utama yang mengendalikan

berlangsungnya siklus hidrologi dalam suatu wilayah DAS (merupakan elemen

utama yang perlu diketahui mendasari pemahaman tentang kelembaban tanah

proses resapan air tanah, dan debit aliran). Proses terjadinya presipitasi karena
adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya.

Ditempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah

maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya massa air basah tersebut

jatuh sebagai air hujan.

Dalam Khotimah (2018), curah hujan daerah harus diperkirakan dari

beberapa titik pengamatan curah hujan. Cara-cara perhitungan curah hujan


daerah dari pengamatan curah hujan di beberapa titik dapat menggunakan 3
(tiga) metode di bawah ini.

1. Metode Rerata Aljabar

Metode rerata aljabar merupakan metode yang pailing mudah, akan


tetapi mempunyai ketelitian paling rendah. Metode ini cirinya:

a. Pada umunya hanya digunakan untuk daerah dengan variasi hujan


rerata kecil.

11
b. Sesuai untuk kawasan datar/rata.
c. Daerah aliran sungai (DAS) dengan jumlah penakar hujan besar yang
didistribusikan secara merapat pada lokasi-lokasi yang mewakili.

Metode rerata aljabar dilakukan dengan menghitung rata-rata


aritmatika (hitung) dari semua total penakar hujan di suatu

kawasan/daerah, dengan persamaan:


R=1/n (R1+R2=R3...Rn)

Dimana:

R= curah hujan daerah (mm)


n= jumlah titik-titik pengamatan

R1+R2+R3+...Rn= curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)

2. Metode Poligon Thiessen

Metode poligon thiessen dipandang lebih baik dari metode rerata


aljabar karena telah memasukkan faktor daerah pengaruh stasiun hujan,

meskipun faktor topografi tidak tercakup di dalamnya. Metode ini cirinya:

a. Sesuai untuk kawasan dengan jarak penakar hujan yang tidak merata.

b. Memerlukan stasiun-stasiun pengamat di dan dekat kawasan tersebut.

c. Pemidahan atau penambahan stasiun pengamat akan berpengaruh

seluruh jaringan.

Metode ini dilakukan dengan menggambar bisektor tegak

lurus melalui garis-garis lurus yang menghubungkan penakar-penakar


hujan di dekatnya, dengan meninggalkan masing-masing penakar di

tengah-tengah suatu poligon. Rata-rata curah hujan didapat dengan

membagi jumlah hasil kali luas poligon dan hujan (dari penakar di

poligon) dengan laus total (luas daerah penelitian). Berikut ini

persamaan yang digunakan dalam perhitungan metode poligon

thiessen.
𝑨𝟏𝑹𝟏 + 𝑨𝟐𝑹𝟐 + 𝑨𝟑𝑹𝟑 + ⋯ 𝑨𝒏𝑹𝒏
𝑹=
𝑨𝟏 + 𝑨𝟐 + 𝑨𝟑 + ⋯ 𝑨𝒏
𝑨𝟏𝑹𝟏 + 𝑨𝟐𝑹𝟐 + 𝑨𝟑𝑹𝟑 + ⋯ 𝑨𝒏𝑹𝒏
𝑹=
𝑨
𝑹 = 𝑾𝟏𝑹𝟏 + 𝑾𝟐𝑹𝟐 + 𝑾𝟑𝑹𝟑+. . 𝑾𝒏𝑹𝒏
Dimana:
R= curah hujan daerah (mm)
R1,R2,R3,..Rn= curah hujan di tiap pengamatan (mm)

12
A1,A2,A3,...An= luas wilayah yang dibatasi poligon
A= luas daerah penelitian
W1,W2,W3,...Wn= A1/A, A2/A, A3/A,...An/Wn

3. Metode Ihsoyet
Metode iihsoyet merupakan metode yang paling teliti

dibandingkan kedua metode di atas karena telah memasukkan faktor


topografi, akan tetapi subyektivitas yang menyertai hasil analisis cukup

tinggi, apalagi di dalam interpolasi ruangnya akan menganalisis kesalahan

yang cukup tinggi. Metode ini cirinya:


a. Sesuai kawasan-kawasan bergunung.

b. Membutuhkan stasiun-stasiun pengamat di dan dekat kawasan

tersebut.

c. Sangat bermanfaat untuk perhitungan curah hujan yang singkat.


Metode ini dilakukan dengan mneggambar garis yang

menghubungkan jeluk/kedalaman hujan yang sama pada suatu

kawasan/daerah. Rata-rata hujan ditentukan dengan menjumlahkan

hasil kali luas ihsoyet dan hujan, dan dibagi dengan luas total, dengan

persmaan:
𝑨𝟏𝑹𝟏 + 𝑨𝟐𝑹𝟐 + 𝑨𝟑𝑹𝟑 + ⋯ 𝑨𝒏𝑹𝒏
𝑹=
𝑨𝟏 + 𝑨𝟐 + 𝑨𝟑, … 𝑨𝒏
Dimana:

R= curah hujan daerah (mm)


A1,A2,A3,...An= luas bagian antar dua garis ihsoyet

R1,R2,R3,...Rn= curah hujan rata-rata pada bagian A1,A2,A3,...An

C. Alat dan Bahan

Untuk menghitung rerata curah hujan pada suatu wilayah, maka

memerlukan beberapa alat dan bahan-bahan berikut.

Alat
1. Alat tulis, digunakan untuk menulis.

2. Kertas milimeter blok, digunakan untuk menghitung luas DAS.

3. Kertas kalkir, digunakan untuk menggambar deliniasi.


4. Drawing pen berwarna hitam, untuk membuat DAS.

13
5. Kertas folio, digunakan untuk coretan untuk menghitung rata-rata curah
hujan.
6. Penggaris, digunakan untuk mengukur panjang suatu stasiun curah hujan

ke stasiun lainnya.
7. Kalkulator, digunakan untuk menghitung rata-rata curah hujan.

8. Penghapus, digunakan untuk menghapus saat terjadi kesalahan.


9. Clipboard, untuk menjepit kalkir dengan peta dan milimeter blok.

10. Paper clip, untuk alas membuat gambar pada peta.

Bahan
1. Peta DAS, digunakan sebagai acuan untuk menggambar.

D. Langkah Kerja

Untuk menghitung rerata curah hujan pada suatu wilayah, maka berikut
langka kerjanya.

1. Menyiapkan alat dan bahan untuk melaksanakan kegiatan praktikum.

2. Menaruh kalkir di atas peta DAS, untuk memudahkan gunakan penjepit

kertas untuk media pengait.

3. Menggambar batas DAS pada kalkir dengan menggunakan drawing pen

berwarna hitam.

4. Menggambar pembagian polygon dengan cara Thiessen dan Ihsoyet.

5. Menaruh kalkir di atas kertas miimeter blok untuk menghitung luas DAS.
6. Menghitung rata-rata curah hujan dengan cara aritmatika, Thiessen, dan

Ihsoyet.
7. Membuat laporan praktikum.

E. Hasil dan Pembahasan

Hasil
Dari hasil praktikum di Laboratorium Ilmu Sosil Terpadu, diperoleh hasil
sebagai berikut.

Tabel 3.1 Data Curah Hujan dengan Metode Aljabar

No Stasiun Curah Hujan

1 I 183

2 II 279

14
3 III 250

4 IV 176

5 V 225

6 VI 210

Rumus:
𝟏
𝑹= (𝑹𝟏 + 𝑹𝟐 + 𝑹𝟑 + ⋯ 𝑹𝒏)
𝒏
𝟏
𝑹 = (𝟏𝟖𝟑 + 𝟐𝟕𝟗 + 𝟐𝟓𝟎 + 𝟏𝟕𝟔 + 𝟐𝟐𝟓 + 𝟐𝟏𝟎)
𝟔
𝟏
𝑹 = (𝟏𝟑𝟐𝟑) = 𝟐𝟐𝟎, 𝟓 mm
𝒏

Keterangan:
R= curah hujan daerah (mm)

n= jumlah titik-titik pengamatan

R1+R2+R3+...Rn= curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)

Tabel 3.2 Data Curah Hujan dengan Metode Polygon Thiessen

No Stasiun Curah Hujan (mm) Luas Polygon Thiessen

1 I 183 167

2 II 279 89

3 III 250 144

4 IV 176 24

5 V 225 164

6 VI 210 253

Jumlah 841

Rumus:
𝐴1𝑅1 + 𝐴2𝑅2 + 𝐴3𝑅3 + ⋯ 𝐴𝑛𝑅𝑛
𝑅=
𝐴1 + 𝐴2 + 𝐴3 + ⋯ 𝐴𝑛

(167 × 183) + (89 × 279) + (144 × 250) + (24 × 176) + (164 × 225) + (253 × 210)
𝑅=
167 + 89 + 144 + 24 + 164 + 253

185.201
𝑅= = 220,2 𝑚𝑚
841

15
Tabel 3.3 Data Curah Hujan dengan Metode Ihsoyet

No Stasiun Curah Hujan (mm) Luas Ihsoyet

1 I 172 + 176
= 174 193
2
2 II 184 + 187
= 371 229
2
3 III 217 + 203 + 205 + 203
= 207 277
4
4 IV 231 + 228 + 226
= 228,3 198
3
5 V 253 124

6 VI 279 45

Jumlah 1.066

Rumus:
𝐴1𝑅1 + 𝐴2𝑅2 + 𝐴3𝑅3 + ⋯ 𝐴𝑛𝑅𝑛
𝑅=
𝐴1 + 𝐴2 + 𝐴3, … 𝐴𝑛
(193 × 174) + (229 × 371) + (277 × 207) + (198 × 228,3) + (124 × 253) + (45 × 279)
𝑅=
1.066
254.660,4
𝑅= = 238,9 𝑚𝑚
1.066

Pembahasan

Hujan merupakan suatu butiran-butiran air yang jatuh ke permukaan. Hujan


dipengaruhi oleh tekanan udara, kelembaban udara, suhu udara, ketinggian tempat,

penyinaran matahari, keberadaan laut, dan adanya angin musim. Hujan yang turun dengan

volume yang banyak dan debit yang besar akan mengenangi daerah-daerah yang cekung
dimana air akan meresap ataupun mengalir melalui aliran-aliran air seperti sungai maupun

got-got di sekitar rumah.


Dalam hidrologi, hujan merupakan suatu peristiwa yang berpengaruh terhadap

keberlangsungan siklus hidrologi. Hujan akan turun dan akan naik kembali melalui

tahapan-tahapan yang banyak dan dalam waktu yang relatif panjang. Seperti contoh yang
paling sederhana, hujan akan turun mengisi sungai-sungai dan kemudian dialirkan ke laut

dan diuapkan lagi membentuk awan mendung dan terjadi hujan.

Hujan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keberlangsungan DAS


yang berfungsi mengendalikan demi berlangsungnya daur hidrologi. Seperti diketahui

bahwa keberlanjutan proses ekologi, geografi, dan tataguna lahan DAS ditentukan oleh

berlangsungnya daur hidrologi dimana hujan dipandang sebagai faktor pendukung


sekaligus pembatas dalam pengelolaan sumber daya air maupun tanah.

16
Demi keberlangungan daur hidrologi demi kesejahteraan manusia, perlu adanya
penjagaan dan perawatan sistem di daerah DAS dimana hujan sebagai faktor terpenting.

Oleh karena itu demi menjaga kelestarian DAS untuk pemanfaatan sumberdaya air demi

pemenuhan kebutuhan, perlu adanya pengawasan tentang curah hujan tersebut. Dengan
hal ini, upaya preventif mengenai pengamatan curah hujan juga sangat penting demi

menjaga kemanan penduduk ketika ada kemungkinan bahaya bencana banjir. Curah hujan

juga dapat dapat dijadikan proses analisis dalam pengidentifikasian daerah dengan curah
hujan lebat ataupun ringan terutama di daerah DAS.

Untuk mengukur rerata curah hujan di suatu daerah tersebut dapat digunakan
dengan metode perhitungan dimana perhitungan rerata curah hujan berdasar data curah

hujan yang didapatkan dari stasiun-stasiun hujan. Metode yang digunakan mengunakan

metode aljabar, polygon thiessen, dan juga ihsoyet. Metode ini digunakan dengan
mengumpulkan data curah hujan dari setiap stasiun curah hujan maupun membuat garis-

garis atau titik-titik poligon dan ihsoyet dari stasiun-stasiun terdekat sehingga hasil relatif

lebih valid. Metode poligon dan ihsoyet ini digunakan bertujuan untuk mencari curah
hujan di stasiun-stasiun terdekat.

Dalam praktikum pada tanggal 15 Februari 2019 bertujuan untuk menghitung

rerata curah hujan di daerah DAS Purworejo. Dalam pengukuran ini dilakukan dengan
ketiga metode tersebut berdasar data yang telah diberi oleh asisten praktikum pedidikan

geografi. Setelah dilakukan perhitungan dengan ketiga metode tersebut menghasilkan


data seperti yang telah dcantumkan di hasil. Dari hasil tersebut dapat dianalisis bahwa

curah hujan di daerah Purworejo khususnya di daerah DAS, relatif sedang hingga besar.

` Perbedaan hasil perhitungan menggunakan ketiga metode tersebut berbeda-


beda, hal ini disebabkan bahwa ketiga metode mempunyai peran masing-masing dalam

pengukuran curah hujan. Metode aljabar akan lebih cocok dengan daerah DAS yang

mempunyai topografi rata dan penakar-penakar hujan tersebar secara merata. Hal ini
berbeda dengan metode polygon thiessen dan ihsoyet yang daerah-daerah

perhitungannya mempunyai topografi yang tidak rata dan juga penakar-penakar hujan
tidak merata. Hal ini tentu mempengaruhi hasil dari setiap perhitungan menggunakan

ketiga metode tersebut.

F. Kesimpulan

1. Hujan berpengaruh terhadap kelangsungan DAS

2. Untuk menjaga kelangsungan DAS, perlu adanya pengamatan tentang kondisi curah
hujan

3. Untuk mengukur curah hujan, diperlukannya data-data dari stiasiun-stasiun kemudian

dihitung mengunakan metode Aljabar, Polygon Thiessen, dan Ihsoyet

17
4. Pengukuran curah hujan di daerah DAS Purworejo dengan ketiga metode tersebut
berbeda, dikarenakan karena fungsi dari setiap metode berbeda dengan melihat

topografi yang merata atau tidak dan juga penyebaran penakar-penakar hujan yang

merata atau tidak

18
ACARA IV
MELENGKAPI DATA CURAH HUJAN YANG HILANG

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menghitung data curah hujan yang hilang.

B. Dasar Teori

Wesli (2008) dalam Juleha (2016: 1) menyebutkan bahwa intensitas curah

hujan adalah jumlah curah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau
volume hujan tiap satuan waktu, yang terjadi pada satu kurun waktu air hujan

terkonsentrasi. Besarya intensitas curah hujan berbeda-beda tergantung dari

lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya.

Menurut Ramage (1971) dan Tjasyono (2006) dalam Gustari (2009: 29-30)
menyebutkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia termasuk daerah dengan

tipe hujan monsun dan merupakan daerah konvektif paling aktif di dunia. Dengan

hal ini akan berpengaruh pada curah hujan yang tinggi. Haylock dan Mc Bridge

(2001) juga mengatakan bahwa jumlah curah hujan antara satu daerah dengan

daerah lainnya yang ditunjukkan dengan durasi dan intensitasnya tidak sama di

semua daerah, dengan kata lain hal ini memperlihatkan adanya respon yang

berbeda di masing-masing daerah terhadap faktor cuaca global tersebut,

sehingga sangat sulit untuk diprediksi.


Untuk mengetahui hubungan curah hujan dengan faktor cuaca global

yang memiliki periodesitas ulang yang panjang serta mekanisme fisisnya, perlu

dikaji lebih lanjut dengan menggunakan data yang lebih panjang, serta

melibatkan komponen cuaca lain seperti tekanan udara, kelembaban, arah angin,

suhu udara, suhu muka laut, dentitas awan, dan radiasi matahari (Gustari, 2009:

37).
Soewarno (1995) dalam Dwiratna (2013: 29) mengatakan bahwa kendala
umum yang dijumpai dalam menentukan jadwal dan pola tanam adalah

terbatasnya data curah hujan. Untuk itu diperlukan cara untuk memperoleh

rekaman data yang lebih banyak jumlahnya. Dengan menerapkan cara


membangkitkan (generating techniques), maka akan diperoleh data deret berkala

buatan (artificially generating time series) (Salas, 1988) atau juga ada yang
menyebut data sintetik (syntetic data-generating) (Srikanthan, 2004).

19
Pengamatan curah hujan dilakukan dengan sebuah alat ukur curah hujan.
Salah satu alat pengamat curah hujan adalah alat ukur biasa yang diletakkan di
suatu tempat terbuka yang tidak dipengaruhi oleh bangunan atau pepohonan

dengan ketelitian pembacaan sampai 1/10 mm. Pengamatan ini dilaksanakan


satu kali sehari dan dibaca sebagai curah hujan hari sebelumnya dengan waktu

yang sama (Prawaka. dkk, 2016: 397-406).


Stasiun hujan kadang tidak mempunyai data yang lengkap, jika ditemui

data yang kurang, perlu dilengkapi dengan melakukan pengisian data terhadap

stasiun yang tidak lengkap atau kosong dengan metode rasio normal (Juleha,
2006: 3).

Cara I:
1 𝑅. 𝑟𝐴 𝑅. 𝑟𝐵 𝑅. 𝑟𝐶
𝑟= ( +
𝑛 𝑅𝐴 𝑅𝐵 𝑅𝐶

Keterangan:
n = Jumlah stasiu hujan
r = Curah hujan yang dicari (mm)

R = Curah hujan rata-rata setahun di tempat pengamatan R yang datanya

akan dilengkapi

rA = Curah hujan di tempat-tempat pengamatan A

rB = Curah hujan di tempat-tempat pengamatan B


rC = Curah hujan di tempat-tempat pengamatan C

RA = Curah hujan rata-rata setahun di stasiun A


RB = Curah hujan rata-rata setahun di stasiun B

RC = Curah hujan rata-rata setahun di stasiun C

Cara II:
𝑃𝐴 𝑃𝐵 𝑃𝐶
+ +
𝑑𝑥𝐴2 𝑑𝑥𝐵2 𝑑𝑥𝐶2
PX = 1 1 1
+ +
𝑑𝑥𝐴2 𝑑𝑥𝐵2 𝑑𝑥𝐶2

Keterangan:
PX = Curah hujan

PA = Curah hujan A (stasiun setelah stasiun yang dicari)

20
PB = Curah hujan B (stasiun setelah stasiun yang dicari)
PC = Curah hujan C (stasiun setelah stasiun yang dicari)
𝑑𝑥𝐴2 = Jarak antara stasiun yang dicari ke stasiun data A (sudah

ditetapkan, keterangan dilampiran)


𝑑𝑥𝐵2 = Jarak antara stasiun yang dicari ke stasiun data B (sudah

ditetapkan, keterangan dilampiran)


𝑑𝑥𝐶 2 = Jarak antara stasiun yang dicari ke stasiun data C (sudah

ditetapkan, keterangan dilampiran)

C. Alat dan Bahan

Untuk mengisi data curah hujan yang hilang , maka memerlukan

berbagai alat dan bahan seperti berikut:

Alat
1. Alat tulis, digunakan untuk menulis

2. Kertas folio, digunakan untuk coretan untuk menghitung data curah hujan

yang hilang

3. Penggaris, digunakan untuk mengukur panjang suatu stasiun curah hujan ke

stasiun lainnya

4. Kalkulator, digunakan untuk menghitung data curah hujan yang hilang

5. Penghapus, digunakan untuk menghapus saat terjadi kesalahan

Bahan
1. Data curah hujan di suatu wilayah

D. Langkah Kerja

Untuk mengisi data curah hujan yang hilang, maka berikut langkah

kerjanya:

1. Menyiapkan alat dan bahan untuk melaksanakan kegiatan praktikum


2. Menggambar posisi stasiun-stasiun curah hujan
3. Menghitung jarak stasiun hujan yang dihitung dengan stasiun sesuai skala

4. Mencari data yang kosong atau hilang maupun data yang tidak normal di

data curah hujan


5. Menghitung data curah hujan yang hilang dengan menggunakan rumus

6. Membuat laporan praktikum

21
E. Hasil dan Pembahasan
Hasil
Setelah diketahui adanya data curah hujan yang hilang atau tidak normal

pada suatu wilayah dari tahun 2013-2017, dilakukannya perhitungan ulang


dengan rumus curah hujan dan menghasilkan hasil sebagai berikut:

Tabel 3.1 Hasil Perhitungan Data Curah Hujan yang Hilang atau Tidak Normal

No Bulan Tahun Stasiun Hasil

1 Januari 2013 I 248

2 April 2013 4 180

3 Juni 2013 4 26

4 Januari 2014 3 237,67

5 Maret 2014 1 174

6 Oktober 2014 2 53,3

7 Februari 2015 1 153,4

8 Januari 2016 3 270,3

9 Maret 2017 2 233,67

Rumus:
𝑃𝐴 𝑃𝐵 𝑃𝐶
+ +
𝑑𝑥𝐴2 𝑑𝑥𝐵2 𝑑𝑥𝐶2
PX = 1 1 1
+ +
𝑑𝑥𝐴2 𝑑𝑥𝐵2 𝑑𝑥𝐶2

Keterangan:
PX = Curah hujan

PA = Curah hujan A (stasiun setelah stasiun yang dicari)


PB = Curah hujan B (stasiun setelah stasiun yang dicari)

PC = Curah hujan C (stasiun setelah stasiun yang dicari)


𝑑𝑥𝐴 2
= Jarak antara stasiun yang dicari ke stasiun data A (sudah

ditetapkan, keterangan dilampiran)


𝑑𝑥𝐵 2
= Jarak antara stasiun yang dicari ke stasiun data B (sudah
ditetapkan, keterangan dilampiran)
𝑑𝑥𝐶 2 = Jarak antara stasiun yang dicari ke stasiun data C (sudah

ditetapkan, keterangan dilampiran)

22
Pembahasan
Di Indonesia merupakan negara yang diapit dua benua dan dua
samudera. Hal ini dibutikannya dengan peristiwa angin muson, dimana angin ini

berasal dari dua benua yang berbeda dan membawa kandungan air. Adanya
angin muson ini menyebabkan terjadinya hujan, entah itu lebat ataupun jarang.

Curah hujan di Indonesia tidak merata tergantung kondisi geografis


setiap daerah masing-masing. Di dalam daerah tersebut, untuk memperoleh data

curah hujan diperlukannya stasiun hujan yang berfungsi untuk mencatat debit

hujan setiap daerah. Setiap daerah ada yang memiliki 4-5 stasiun, hal ini
berfungsi untuk mencari data yang valid karena turunnya hujan pada suatu

daerah tidak merata dikarenakan adanya awan cumulus yang terjadi hanya pada

suatu daerah saja.

Dengan adanya stasiun, daerah tertentu dapat ditentukan intensitas


curah hujannya. Namun, terkadang dalam prosesnya, alat untuk menghitung

curah hujan tersebut mengalami beberapa kesalahan teknis, entah berhenti

maupun rusak atau juga keliru dalam mencatat. Untuk dapat membuktikan data

tersebut valid atau tidaknya diperlukan perhitungan manual menggunakan

rumus.

Jika setiap stasiun hujan untuk mencari data curah hujan tersebut rusak

atau ada data-data yang tidak tercatat oleh petugas curah hujan, maka untuk

data yang tidak lengkap tiap bulannya tentunya tidak dapat dipakai dan tidak
diikutsertakan dalam mengklasifikasikan data curah hujan tahunan dan dianggap

pada tahun itu curah hujan cacat atau tidak tercatat.

Sebagai contohnya terdapatnya simbol strip (-) yang menandakan bahwa

hujan tidak tercatat oleh alat. Atau data yang tidak normal seperti pada bulan

data curah hujan yang tidak lengkap (dilampirkan) di bulan Januari 2013 yang

datanya tercatat 124, 188, 199, 2197. Hal ini termasuk data tidak normal karena
ada selisih yang cukup jauh antara data stasiun 4 dengan stasiun lainnya. Pada
setiap daerah yang mempunyai 4 stasiun tersebut biasanya hujannya relatif sama

atau tidak mempunyai selisih yang lumayan drastis karena jarak antar stasiun

tidak terlalu jauh. Hal ini perlu dihitung kembali menggunakan rumus.
Diketahui data curah hujan yang belum lengkap (dilampirkan), kemudian

dicari data pada stasiun berapa dan bulan serta tahun berapa yang belum
lengkap dan dihitung menggunakan rumus ke-dua. Dari perhitungan tersebut

23
ditemukannya hasil seperti yang tertera pada tabel 3.1. Rumus kedua ini
merupakan rumus normal ratio atau perbandingan normal antar stasiun. Dalam
perhitungan menggunakan rumus ini, diperlukan minimal 4 stasiun untuk dapat

membandingkan dari satasiun satu ke stasiun lain. Hal ini berfungsi agar tidak
terjadinya ketidaknormalan ketika menghitung data.

Seperti diketahui, setiap daerah mempunyai beberapa stasiun yang


jaraknya tidak terlalu jauh. Hal ini berfungsi untuk mengumpulkan data yang

valid. Data yang dikata tidak valid ketika urutan data dari setiap stasiun berselisih

banyak yang tidak masuk akal. Atau juga dikarenakan karena alat untuk
mengukur data curah hujan terebut rusak dan tidak menghasilkan data apapun.

Data yang telah dihitungkan tersebut dapat dikatakan sebagai data yang

relatif. Karena, kondisi awan ataupun pengaruh angin yang dapat menyebabkan

berbagi peristiwa hujan akan ada kemungkinan diluar perkiraan manusia. Seperti
misalkan ketika awan yang telah mengandung banyak air tersebut dihempas oleh

angin sehingga curah hujan disekitar stasiun yang dijangkau tersebut bergeser

tempatnya walaupun sedikit. Hal itu juga akan menghasilkan data yang berbda

dengan data yang diperhitungkan dengan rumus.

F. Kesimpulan

1. Curah hujan yang tidak merata di Indonesia perlu membuat beberap tempat

stasiun hujan guna mendata debit curah hujan pertahun


2. Data curah hujan seringkali hilang datanya ataupun tidak tercatat oleh alat

karena berbagai faktor seperti kendala teknis

3. Praktikum dilakukan dengan tujuan mencari data curah hujan yang hilang

atau tidak normal

4. Perhitungan untuk mencari data curah hujan yang hilang adalah memakai

rumus normal ratio atau perbandingan normal dari data setiap stasiun
dengan stasiun minimal 4 guna membandingkan data yang sesuai
5. Data yang dihitung menggunakan rumus termasuk data yang relatif karena

ada kemungkinan mungkin dari awan atau angin yang menyebabkan

perubahan curah hujan di sekitar stasiun yang mempunyai data hilang


tersebut

24
ACARA V
MENGHITUNG DEBIT ALIRAN DENGAN METODE APUNG

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran debit aliran dengan metode apung.

2. Mahasiswa dapat menganalisis hasil pengukuran.

B. Dasar Teori

Debit aliran merupakan satuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis


proses yang terjadi di lapangan. Kemampuan pengukuran debit aliran sangat

diperlukan untuk mengetahui potensi sumberdaya air di suatu wilayah DAS. Debit

aliran dapat dijadikan sebuah alat untuk memonitor dan mengevaluasi neraca air

satu kawasan melalui pendekatan sumber daya air permukaan yang ada (Finawan,
2011: 28).

Pengukuran debit air dapat dilakukan dengan mengukur kecepatan aliran

air pada suatu wadah dengan luas penampang area tertentu. Terdapat beberapa

metode yang dapat digunakan untuk pengukuran kecepatan aliran air pada

sungai atau alur antara lain: Area-velocity method, Tracer method, Slope area

method, Weir dan flume, Volumetric method area. Kecepatn aliran dapat diukur
dengan metode: metode current meter dan metode apung. Kemudian distribusi

kecepatan aliran di dalam alur tidak sama pada arah horizontal maupun arah
vertikal (Firnawan, 2011: 28).

Pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat dilkukan dengan

metode apung (floating method). Tempat yang harus dipilih adalah bagian sungai

yang lurus dengan perubahan lebar sungai, didalamnya air dan gradien yag kecil.

Biasanya digunakan 3 buah pelampung yang dialirkan pada satu garis

pangukuran aliran dan diambil kecepatan rata-rata. Caranya menempatkan benda


yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu
dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut dari satu titik ke

titik pengamatan lain yang telah ditentukan. Benda apung yang dapat diunakan

aliran sungai. Pemilihan tempat pengukuran sebaiknya pada bagian sungai yang
relatif lurus. Pengukuran dilakukan beberapa kali sehingga dapat diperoleh angka

kecepatan aliran rata-rata yang memadai (Mori, 2006: 178).

25
Daerah tadah ialah seluruh permukaan darat dan air yang memberi
sumbangan kepada luahan pada irisan sungai, besar atau kecil. Dari sini jelas
bahwa setiap titik pada alur sungai memiliki daerah tadahnya sendiri yang khas,

dan ukurannya terus bertambah dengan bergeraknya titik sukat ke hilir dan
mencapai angka tertinggi bila titik sukat itu terletak di tepi laut (Wilson, 1993:

122).
Kecepatan ailran sungai pada satu penampang saluran tidak sama,

kecepatan aliran sungai ditentukan oleh bentuk aliran geometri saluran dan

faktor-faktor lainnya. Kecepatan aliran sungai diperoleh dari rata-rata kecepatan


aliran pada tiap bagian penampang sungai tersebut (Norhadi, 2015: 7).

Debit aliran adalah jumlah air yang mengalir pada suatu titik keluaran

(outlet) tertentu dalam satuan volume per waktu. Debit aliran dihasilkan dari data

tingi muka air (TMA) dan data kecepatan arus sungai pada suatu penampang di
titik keluaran pada suatu daerah tangkapan air (Nugroho, 2013: 24).

Vertessya (2001) dalam Nugroho (2013: 32) menyatakan bahwa DAS

dengan penutupan tegakan yang berumur tua menghasilkan hasil air tahunan

hampir dua kali dari DAS dengan penutupan tegakan baru berumur 25 tahun.

Meskipun terdapat variasi sesuai dengan kondisi iklim, tanah dan vegetasi, dari

review hasil-hasil penelitian di daerah tropis menunjukkan bahwa deforestasi

secara umum meningkatkan hasil air (direct runoff) dan sebaliknya kegiatan

penanaman berpengaruh terhadap penurunan hasil air yang berpotensi


menimbulkan banjir.

C. Alat dan Bahan

Untuk melakukan pengukuran dengan metode apung, maka memerlukan

beberapa alat dan bahan seperti berikut.

Alat
1. Alat tulis, digunakan untuk menulis.
2. Yalon, untuk mengukur kedalaman sungai.

3. Pelampung, yang berupa botol sebagai benda apung.

4. Roll meter, digunakan untuk mengukur panjang.


5. Stopwatch, untuk mengukur lama waktu.

26
Bahan
1. –

D. Langkah Kerja
Untuk melakukan pengukuran dengan metode apung, maka berikut

langkah kerjanya.
1. Menyiapkan alat dan bahan untuk melaksanakan kegiatan praktikum.

2. Menentukan lokasi pengukuran yang ditandai dengan yalon.

3. Mengukur luas penampang basah.


4. Mengukur kecepatan aliran air dengan pelampung.

5. Menentukan koefisien pelampung.

6. Menghitung debit sungai dengan rumus.

7. Membuat laporan praktikum.

E. Hasil dan Pembahasan

Hasil

Dari hasil praktikum kali ini dapat dihitung aliran dengan metode apung

yang terurai dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5.1 Keterangan Saluran Irigasi Ponjong

Panjang Lebar Kedalaman Kedalaman Waktu penampung


T
penggal aliran aliran penampang

5m 2,98 m 1) 19 cm 18,,5 cm 1) 11,50 s

2) 22 cm 2) 13,93 s

3) 27 cm 3) 10,50 s

Tabel 5.2 Hasil Pengukuran Debit Saluran Irigasi Ponjong

Velocity Area Koefisien Debit

43,47 𝑚⁄𝑠 0,06 𝑚2 0,98 0,27

27
Rumus:
𝑄 =𝑉×𝐴×𝐾

Keterangan:
Q = debit airan
V = velocity/ kecepatan

A = Area
K = Koefisien

𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖


𝑉= 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢
5
𝑉1) = 0,43
11,50
5
V2) = 0,35
13,93
5
𝑉3) = 0,47
10,50

Vrata-rata=
0,43 + 0,35 + 0,47
= 0,416
3

𝐴 = 𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 × 𝑟𝑎𝑡𝑎 −
𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛
19+22+27
𝐴 = 2,98 × ( )
3

𝐴 = 2,98 × 22,67
𝐴 = 0,67

𝐾 = 1 − 0,116(√1 − 𝛼 − 0,1)
𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
𝛼= 𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖
18,5
𝛼= = 0,81
22,67

𝐾 = 1 − 0,116(√1 − 0,81 − 0,1)


𝐾 = 0,98

𝑄 =𝑉×𝐴×𝐾
𝑄 = 0,416 × 0,67 × 0,98
𝑄 = 0,27

28
Pembahasan
Aliran air merupakan aliran dimana air mengalir dari tempat yang tinggi
ke tempat yang lebih rendah seperti sungai. Aliran air sungai berasal dari

tampungan hujan yang berada di hulu dimana mempunyai topografi cekungan.


Kemudian air mengalir karena lokasinya yang lebih tinggi hulu dibandingkan

dengan hilir. Air akan mengalir dari permukaan yang lebih tinggi ke permukaan
yang lebih rendah.

Aliran air dapat berubah kecepatan, volume, bahkan debitnya. Hal ini

disebabkan oleh berbagai faktor yang terjadi di aliran tersebut seperti curah
hujan, adanya bendungan, karakteristik tanah, topografinya, dan pemanfaatan air,

serta penggundulan hutan. Aliran air dapat dijadikan sebagai monitor untuk

kelangsungan tata air di wilayah DAS. Sehingga dapat dijadikan patokan dan

evakuasi ketika aliran air semakin cepat karena akan berakibat banjir.
Untuk memonitor akan dampaknya seperti banjir atau bencana lain yang

datang secara tiba-tiba, sangat perlu dilakukannya pengukuran terhadap debit

aliran air. Debit air adalah volume air yang mengalir dengan sejumlah padatan

(misal pasir), mineral terlarut (misal magnesium klorida), dan bahan biologis

(misal alga) yang ikut bersamanya melalui luas penampang melintang tertentu.

Dengan hal ini debit aliran air dapat ditentukan berdasar perhitungan dengan

metode tertentu.

Sebagai sampelnya, pengukuran debit aliran air dilakukan di daerah


Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta yaitu di aliran saluran irigasi dimana daerah ini

merupakan daerah karst yang mempunyai sumber atau mata air yang

dimanfaatkan penduduk sekitar sebagai sistem irigasi untuk kepentingan

pertanian mereka. Pengukuran dilakukan dengan metode apung dimana metode

ini dilakukan dengan mengambil penggal sungai yang dibatasi dengan yalon

sekitar 5 meter kemudian di lakukan pengapungan oleh penampang diantara


penggal sungai tersebut dan akan menghasilkan debit setelah dihitung. Hal yang
perlu diketahui sebelum pengukuran adalah informasi tentang kedalaman aliran,

panjang saluran, lebar saluran, kedalaman penampang yang digunakan untuk

apungan, dan kecepatan penampang ketika terapung sampai ke ujung penggal.


Metode ini dilakukan karena metode apung merupakan metode yang mempunyai

kevalidan data dan dilakukan dengan cara yang sederhana. Metode ini dilakukan

29
di aliran dibagian yang lurus atau bukan meander guna memperoleh hasil yang
konsisten.
Dengan hasil yang telah ditentukan bahwa debit aliran saluran irigasi

yang berada di Kecamatan Ponjong ini adalah sebesar 0,27. Debit saluran irigasi
ini memang tidak terlalu besar melihat bahwa lebar sungai yang relatif pendek

yaitu 2 meter, dan kedalaman saluran hanya rata-rata sekitar 22,67 cm. Hal ini
berpengaruh pada jumlah air yang mengalir bahwa di saluran ini tidak sederas

sungai yang mempunyai lebar dan kedalaman yang lebih besar sehingga daya

tampung airnya lebih banyak.


Hasil debit air yang diukur ini hasilnya tidak menentu karena ada

beberapa faktor yang mempengaruhinya. Seperti pada pengukuran yang

dilakukan di Ponjong, saat dilakukan pengukuran kondisi daerah Ponjong

cenderung kering dan tidak terjadi hujan, hal ini dapat mempengaruhi volume
aliran air di saluran irigasi tersebut bahwa semakin hujannya lebat maka semakin

bertambahnya volume aliran tersebut dan juga akan berpengaruh terhadap

pertambahan debit aliran begitu pula sebaliknya. Kemudian faktor lain adalah

adanya bendungan. Sistem irigasi selalu mempunyai bendungan yang berfunsi

untuk mengontrol laju aliran supaya tidak terlalu kering ataupun membludak dan

supaya merata sepanjang saluran irigasi daerah Ponjong. Pada pengukuran

tersebut bendungan yang terhubung dengan penggal sungai yang diukur

ternyata masih ditutup, dan laju serta volumenya pun tidak terlalu deras. Hal ini
berdampak pada debit air.

Seperti yang telah disebutkan bahwa aliran air dengan volume yang

memungkinkan akan mempunyai manfaat terhadap daerah-daerah disekitarnya.

Seperti halnya sistem irigasi yang terdapat di Kecamatan Ponjong yang

dimanfaatkan para penduduk untuk kesuburan pertaniannya. Namun juga tidak

dipungkiri bahwa ketika aliran tersebut semakin deras sampai melebihi


tampungan aliran akan berdampak buruk bagi daerah sekitarnya misalkan banjir.
Oleh sebab itu perlunya menjaga kelestarian dan tata air demi kelangsungan

hidup manusia khususnya di Indoneisa yang dimana mempunyai aliran air yang

sangat banyak seperti sungai maupun sistem irigasi tersebut.

30
F. Kesimpulan
1. Jumlah aliran air yang terjadi pada sungi ataupun tampungan air yang
mampu mengalirkan air disebabkan oleh faktor curah hujan, adanya

bendungan, karakteristik tanah, topografinya, dan pemanfaatan air, serta


penggundulan hutan.

2. Aliran air dapat dijadikan sebagai monitor untuk kelangsungan tata air di
wilayah DAS dan dengan hal itu perlu dilakukannya pengukuran debit aliran

air

3. Pengukuran debit aliran air dilakukan di Kecamatan Ponjong Kabupaten


Gunungkidul di saluran irigasi dengan metode apung

4. Pengukuran meghasilkan data debit air sebesar 0,27, hal ini tidak terlalu besar

karena faktor kedalaman dan lebar yang kurang besar yang berbeda pada

sungai-sungai
5. Faktor lain adalah keadaan yang cerah tidak terjadi hujan serta tertutupnya

bendungan yang terhubung dengan penggal saluran yang dihitung

6. Aliran air entah pada sungai ataupun sistem irigasi mempunyai dampak

positif dan negatif

31
ACARA VI
MENGUKUR DEBIT DENGAN METODE MANNING

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran debit aliran dengan metode

manning.
2. Mahasiswa dapat menganalisis hasil pengukuran.

B. Dasar Teori
Aliran pada saluran terbuka merupakan aliran yang mempunyai

permukaan bebas. Permukaan yang bebas itu merupakan pertemuan dua fluida

dengan kerapatan p (density) yang berbeda yaitu udara dan air dimana kerapatan

udara jauh lebih kecil dibanding kerapatan air (Putro, 2013: 141).
Menurut Chow (1988) dalam Putro (2013: 142) menyatakan bahwa

perhitungan aliran di sungai sering memakai anggapan bahwa aliran dalam

keadaan seragam, walaupun dalam prakteknya aliran sungai dan saluran alam

aliran jarang terjadi seragam secara mutlak. Pendekatan umum yang relatif

sederhana dan memuaskan untuk berbagai persoalan teknis.

Aliran seragam (uniform flow) dianggap memiliki ciri-ciri pokok (Chow,

1988):

1. Kedalaman, luas basah, kecepatan dan debit pada setiap penampang pada
bagian saluran yang lurus adalah konstan.

2. Garis energi, muka air dan dasar saluran saling sejajar, berarti kemiringannya

sama atau Sf=Sw=S0=S.

Estimasi debit dengan metode rasional hanya sebatas menggambarkan

debit puncak dalam suatu DAS apabila terjadi intensitas hujan maksimum pada

selang waktu tertentu. Melainkan nilai tersebut belum mampu menggambarkan


kapasitas sungai utama dalam menampung air (Pramono, 2010: 112).
Menurut Lee (1980) dalam Setiyono (2017: 1684) kapasitas sungai suatu

DAS dapat diestimasi dengan melakukan pengukuran di lapangan, salah satunya

dengan menggunakan metode manning. Kapasitas sungai menggambarkan debit


puncak dari suatu aliran sungai utama, yang mana nilai tersebut sebagai nilai

ambang batas untuk menentukan suatu debit puncak dapat menimbulkan banjir
atau tidak.

32
Gunawan (1991) dalam Setiyono (2017: 1684) metode manning
mengestimasi nilai debit puncak dengan tidak harus menggunakan data debit
aliran, melainkan dengan mengidentifikasi bekas banjir puncak untuk mengetahui

penampang sungai utama, gradien hidrolik, dan faktor kekasaran saluran.


Jika hanya terdapat debit-debit yang diukur pada permukaan air rendah

dan sedang atau hanya beberapa debit yang didukur pada permukaan air tinggi,
maka adalah lebih baik menghitung dan jari-jari hidrolis yang sesuai dengan

permukaan air sembarang, dapat diketahui dari penampang melintang

(Sosrodarsono, 2003: 197).


Rumus Manning (Sosrodarsono, 2003: 197):
1
𝑉= × 𝑅2/3 × 𝑖 1/2
𝑛
Jadi
1
𝑄 =𝐴×𝑣= × 𝑅2/3 × 𝑖 1/2 𝐴
𝑛
𝑣 = 𝑘𝑅2/3 𝐴
Keterangan:
n = koefisien kekasaran

i = gradien permukaan air

v = kecepatan aliran rata-rata (m/detik)


A = luas penampang melintang air (𝑚2 )
𝐴
R = (𝑚) = 𝑗𝑎𝑟𝑖 − 𝑗𝑎𝑟𝑖 ℎ𝑖𝑑𝑟𝑜𝑙𝑖𝑠
𝑃

P = keliling basah (m)

K diperoleh dari hubungan antara debit yang diukur Q dan A𝑅2/3 sesuai
dengan permukaan air yang bersangkutan.

C. Alat dan Bahan


Alat

1. Alat tulis, digunakan untuk menulis hasil pengukuran.

2. Tali meteran, untuk mengukur panjang.


3. Selang plastik air, digunakan untuk mengukur beda ketinggian.
4. Abney Level, digunakan untuk mengukur ketinggian.

5. Mistar, digunakan untuk mengukur beda ketinggian air dengan selang.


6. Yalon, digunakan sebagai patokan dalam pengukuran.

33
Bahan
1. –

D. Langkah Kerja
Untuk mengukur debit dengan metode manning, maka berikut langkah

kerjanya.
1. Menyiapkan alat untuk melaksanakan kegiatan praktikum.

2. Menentukan penggal sungai yang akan diukur.

3. Mengisi selang plastik dengan air.


4. Membentangkan atau mengukur selang sesuai kebutuhan, semakin

panjang semakin baik.

5. Meletakkan permukaan air pada selang sama dengan permukaan saluran

bagian hulu.
6. Mengukur beda ketinggian air pada selang di bagian bawah atau hilir

dengan mistar.

7. Mengukur peri-peri basah (P), yaitu lebar bagian saluran yang terkena air.

8. Mencatat kondisi saluran, semua bersemen, berumput, berbatu tanah,

atau berpasir.

9. Mencocokkan tabel konstanta nilai n.

10. Memasukkan dalam rumus manning.

11. Membuat laporan praktikum.

E. Hasil dan Pembahasan

Hasil

Berikut adalah hasil pengukuran debit aliran Sungai dengan metode

manning.

Tabel 6.1. Data Hasil Pengamatan Sungai Code

No Data Hasil

1 Panjang selang 10 m

2 Beda ketinggian air pada selang 9 cm

3 Lebar sungai 11 m

4 Kedalaman sungai Kanan 33 cm Rata-rata=

34
Tengah 49 cm 39,6 cm

Kiri 37 cm

Tabel 6.2. Tetapan Kekasaran Manning menurut Cowan pada Sungai Code

No Keadaan Saluran Harga n

1 Material dasar Batu n0 0,025

2 Tingkat ketidakseragaman Agak halus n1 0,005

saluran

3 Variasi penampang melintang Lambat laun n2 0,000


saluran

4 Pengaruh adanya bangunan, Agak n3 0,010-0,015

penyempitan dan lain-lain pada

penampang melintang

5 Tanaman Rendah n4 0,005-0,010

6 Tingkat meander diabaikan m5 -

Keterangan: n= (n0+n1+n2+n3+n4) m5

Rumus:
Q=𝑽×𝑨 A (Luas Penampang):
𝟏
𝑽 = 𝑹𝟐/𝟑 𝑺𝟏/𝟐 A=𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖 ×
𝒏

Keterangan: 𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖


A = 11𝑚 × 0,39𝑚=4,29𝑚2
V = Kecepatan (manning)

n = koefisien kekasaran
P (Peri-peri Basah):
R = radius hidraulik
P=𝐴 + (2 × 𝑟𝑎𝑡𝑎 −
S = gradien hidraulik
𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖)
P = 4,29 + (2 × 0,39)
S (Gradien Hidraulik):
P = 4,29 + 0,78= 5,07𝑚2
S=
𝐵𝑒𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖 R (Radius Hidraulik):
3
𝑆 = 10= 0,3 R=
𝐴
𝑃

35
4,29 1
R= = 0,85 V= 𝑅2/3 𝑆 1/2
5,07 𝑛
1
V= × 0,852/3 × 0,31/2
0,045

n (Nillai): V= 22,2 × 0,89 × 0,55=


n = (n0+n1+n2+n3+n4) m5 V= 10,87 m/s
n =
(0,025+0,005+0,000+0,010+0, Q (Debit Aliran):
005) Q=𝑉×𝐴
n = 0,045 Q = 10,87 × 4,29

Q = 46,62 𝑚/𝑠 2
V (Rumus Manning)

Pembahasan

Pengukuran debit aliran air menggunakan manning diperlukan ketika

tidak memungkinkannya menggunakan metode apung, seperti misal jika aliran

terlalu deras atau mempunyai dampak yang merugikan seperti banjir. Tentu hal
ini akan membahayakan. Untuk itulah, metode manning dipergunakan.

Metode manning ditentukan bedasarkan pengamatan tingkat koefisien

kekasaran. Yang perlu diamati adalah berhubungan dengan sebab akibat

pengaruh topografi maupun benda disekitar yang mempengaruhi laju aliran air.

Hal yang diamati seperti kemiringan aliran, material dasar, lebar, panjang,
vegetasi, meander, dan lain-lain.

Penggunaan rumus manning biasanya banyak digunakan pada

pengairan di saluran terbuka, dan juga berlaku pada pengaliran di pipa. Hal ini

dipandang efektif dan cepat karena dalam pengukurannya tidak memerlukan


praktek yang sangat banyak. Dengan metode ini, data debit aliran air yang

diperoleh menggunakan variabel koefisien kekasaran permukaan saluran, luas

penampang sungai pada banjir, jari-jari hidrolis dan gradien hidrolik sungai.
Pengukuran debit aliran air yang dilakukan pada tanggal 8 Maret 2019

yang berlokasi di penggal Sungai Code menggunakan metode manning. Untuk

mengukur debit aliran, perlu memperhatikan kondisi aliran yang diukur. Supaya
mendapat hasil yang lebih efektif, pengukuran dilakukan di penggal sungai
yang mempunyai aliran yang lurus atau tidak meander. Untuk mengukur Sungai

36
Code dengan metode manning, diperlukan berbagai alat seperti selang dan
meteran.
Berdasar hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh data seperti yang

tercantum pada data hasil. Data tersebut meliputi panjang penggal sungai, lebar
sungai kedalaman rata-rata sungai, beda ketinggian air pada selang, dan

pengamatan tetapan kekasaran manning menurut Cowan di Sungai Code yang


meliputi material dasar sungai, tingkat keseragaman saluran, variasi penampang

melintang saluran, pengaruh adanya bangunan, penyempitan dan lain-lain pada

penampang melintang, tanaman, dan tingkat meander.


Setelah dilakukannya pengamatan dan dilakukan perhitungan dengan

rumus manning, menghasilkan debit aliran air 46,62 𝑚/𝑠 2 . Hasil tersebut

menunjukan bahwa setiap detik, Sungai Code mengalirkan air sebanyak 46,62

𝑚2 . Dengan hal ini menunjukan bahwa Sungai Code mempuyai debit aliran
yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pengaruh luas area penggal sungai

karena semakin luas areanya debit per detiknya akan semakin tinggi.

Debit aliran air yang diperoleh berdasarkan berbagai macam faktor,

antara lain material dasar. Material dasar di Sungai Code didominasi oleh batu-

batu dan kerikil. Material basar batu dapat mempengaruhi debit lairan Sungai

Code. Karena pada penggal sungai yang diukur, merupakan daerah yang dekat

dengan muara atau hilir yang alirannya tidak sederas di hulu. Sehingga batu-

batu dan kerikil yang berasal dari hulu banyak diendapkan di penggal ini.
Pengaruh lain juga dipengaruhi oleh adanya longsoran pada tepian

sungai. Diperkirakan longsoran terjadi belum sampai puluhan tahun. Hal ini

tentu mempengaruhi kecepatan aliran dikarenakan menghambat arus.

Longsoran tersebut berupa timbunan tanah dan material batuan di sampingan

sungai.

F. Kesimpulan
1. Pengukuran debit aliran air dengan metode manning digunakan
dikarenakan tidak memungkinkan menggunakan metode apung.

2. Metode manning ditentukan bedasarkan pengamatan tingkat koefisien


kekasaran.

3. Metode manning biasanya digunakan pada sistem pengairan terbuka.

37
4. Pengukuran debit aliran menggunakan metode manning dilkukan di Sungai
Code.
5. Pengukkuran debit aliran air di Sungai Code menggunakan metode

manning menghasilkan data debit 46,62 𝑚/𝑠 2 .


6. Debit aliran dipengaruhi antara lain oleh material dasar seperti batu dan

kerikil, juga oleh adanya longsoran di tepian sungai.

38
ACARA VII
MENGUKUR DEBIT MATA AIR DENGAN METODE VOLUMETRIK

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran debit mata air dengan metode

volumetrik.
2. Mahasiswa dapat menganalisis hasil pengukuran.

B. Dasar Teori
Toolman (1937) dalam Said (2014: 2) menjelaskan bahwa mata air

(springs) adalah pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di permukaan


tanah sebagai arus dari aliran air. Mata air dibedakan dengan rembesan

(seepage). Banyak faktor yang mempengaruhi keadaan mata air dari segi
kuantitas dan kualitasnya, yaitu tinggi rendahnya curah hujan wilayah,

karakteristik hidrologi permukaan tanah (terutama permeabilitasnya), topografi,

karakteristik hidrologi formasi akuifer dan struktur geologi.

Purnama (2010) dalam Said (2014: 2) menyatakan bahwa berdasarkan

sifat pengalirannya, mata air dibedakan menjadi mata air menahun (parennial

springs) yaitu mata air yang mengeluarkan air sepanjang tahah dan tidak
dipengaruhi oleh curah hujan. Mata air musiman (intermitten springs) yaitu mata

air yang mengeluarkan airnya pada musim-musim tertentu dan sangat


tergantung pada curah hujan. Mata air periodik (periodic springs) yaitu mata air

yang mengelurkan airnya pada periode tertentu yang disebabkan oleh

berkurangnya evapotranspirasi pada malam hari, perubahan tekanan udara,

pasang surut dan pemanasan air oleh batuan.

While (1988) dalam Widyastuti (2017: 4-5) mengklasifikasikan mata air

atas dasar periode pengalirannya, strutur geologi, dan asal air tanah karst.
Klasifikasi mata air berdasarkan periode penglirannya: parennial, periodic,
intermitent, dan episodic. ent, dan episodic. Klasifikasi mata air atas dasar struktur
geologi: bedding/contact, fracture, descending dan ascending. Atas dasar asal

airtanah, mata air diklasifikasikan: emergence, resurgence, dan exurgence.


Metode volumetrik adalah cara mengukur debit secara langsung dengan

menampung aliran air dalam gelas ukur atau ember yang diketahui volumenya.
Hal yang dilakukan dalam perhitungan debit aliran dengan metode ini adalah

39
mengukur lama pengisian tampungan dalam waktu tertentu. Debit (Q)= volume
air per waktu. Cara ini tidak dapat digunakan untuk aliran besar dan cocok untuk
mengukur debit mata air atau rembesan (Widyastuti, 2017: 10).

Pengelolaan air yang baik dan didukung oleh partisipasi masyarakat


sangat diperlukan untuk menjaga potensi air dari sumber mata air. Pengelolaan

mata air yang baik yaitu dengan melakukan perencanaan, pemantauan dan
evaluasi sumber mata air. Pengelolaan air tersebut harus sesuai dengan standar

yang ditetapkan agar air yang dikonsumsi oleh penduduk layak digunakan untuk

memenuhi kebutuhan air sehari-hari (Sunaryo, 2005: 51).

C. Alat dan Bahan

Alat

1. Wadah air yang telah diketahui volumenya.


2. Stopwatch.

Bahan

1. –

D. Langkah Kerja

Untuk mengukur debit mata air dengan metode volumetrik, maka berikut

langkah kerjanya.

1. Menyiapkan alat
2. Mencari mata air

3. Menampung mata air pada wadah air yang telah diketahui volumenya

4. Mencatat waktu dengan stopwatch

5. Mecatat data

6. Membuat laporan praktikum

E. Hasil dan Pembahasan


Setelah dilakukannya pengukuran terhadap mata air, diperoleh data

sebagai berikut.

Tabel 7.1. Hasil Pengukuran Debit Mata Air Kali Code

No Mata Air Hasil

1 Mata air 1 15,88 detik /10,5 liter

40
16,21 detik/ 10,5 liter Rata-rata=

15,78 detik/ 10,5 liter 15,95 detik/ 10 liter

16,14 detik/ 10,5 liter

15,72 detik/ 10,5 liter

2 Mata air 2 2 menit 18 detik/ 10,5 liter

Pembahasan

Mata air adalah permunculan air ke permukaan bumi yang mempunyai

tali arus. Mata air banyak ditemui pada daerah-daerah sumber air atau juga bisa
dekat dengan sungai. Mata air juga bisa disebabkan oleh tinggi rendahnya curah

hujan wilayah, karakteristik hidrologi permukaan tanah (terutama

permeabilitasnya), topografi, karakteristik hhidrologi formasi akuifer dan struktur

geologi.
Mata air mempunyai berbagai jenis dari segi pengeluarannya, seperti

sepanjang tahun, musiman atupun periodik. Mata air juga dipengaruhi dari debit

alirannya, sehingga banyak ahli yang mengelompokkan mata air dari segi

debitnya.

Debit mata air diukur dengan menggunakan metode voumetrik dimana

memperlukan wadah yang telah diketahui volumenya sebagai tampungan mata ir

tersebut dan juga stopwatch untuk mengukur waktu air yang keluar. Metode ini
banyak digunakan dalam pengukuran debit mata air karena dengan caaranya yan

sederhana dan juga tidak memperlukan alat yang terlalu banyak maupun mahal.
Pengukuran debit mata air dilakukan di sekitar Kali Code yang berlokasi

di Senduadi, Mlati, Sleman. Diketahui di sekitaran sungai Kali Code tersebut


terdapat berbagai mata air yang keluar dari sela-sela pinggiran sungai atau kali.

Mata air tersebut ada yang berasal dari air sungai tersebut dan juga berasal dari
air tanah.

Pengukuran mata air di Kali Code dilakukan di dua mata air yang

berbeda. Pada mata air pertama yang berasal dari air tanah tersebut, diukur
menggunakan metode volumetrik sebanyak 5 kali secara berulang dengan wadah

ember yang mempunyai volume 10 liter. Mata air pertama terletak di dekat

jembatan yang dialirkan menggunakan pipa yang dibuat penduduk. Kemudian


mata air ke dua yang letaknya lebih ke utara keluar dari pinggiran Kali Code.

41
Pengukuran tersebut menghasilkan data seperti yang telah dicantumkan pada
hasil. Dengan hasil yang telah diketahui, hal ini menyatakan bahwa debit mata air
yang keluar dari pinggiran Kali Code tergolong tidak terlalu deras.

Pemanfaatan mata air yang pertama dimana airnya berasal dari air tanah
tersebut dimanfaatkan penduduk sekitar untuk mandi atau mencuci pakaian

karena air ini tergolong air yang bersih, berbeda dengan air yang berada pada
kali yang sudah banyak tercampur berbagai macam material maupun limbah.

F. Kesimpulan
1. Mata air adalah permunculan air ke permukaan bumi yang mempunyai tali

arus

2. Mata air dipengaruhi dari debit alirannya

3. Pengukuran dilakukan di Kali Code yang berlokasi di Senduadi, Mlati, Sleman


4. Pengukuran menggunakan metode volumetrik

5. Pemanfaatan mata air digunakan penduduk sekitar untuk mandi dan mencuci

42
ACARA VIII
MENGANALISIS KUALITAS AIR DENGAN MULTIPARAMETER METER

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui kualitas air dengan multiparameter meter.

2. Mahasiswa dapat menganalisis kualitas air dengan multiparameter meter,

B. Dasar Teori

Air merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi sangat penting


bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya serta sebagai modal dasar

dalam pembangunan. Dengan perannya yang sangat penting, air akan

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi/komponen lainnya. Pemanfaatan air

untuk menunjang seluruh kehidupan manusia jika tidak dibarengi dengan


tindakan bijaksana dalam pengelolaannya akan mengakibatkan kerusakan pada

sumberdaya air (Hendrawan, 2005: 13-19).

WHO (2004) dalam Arthana (2012: 2) menjelaskan bahwa kualitas mata

air akan sangat tergantung dari lapisan mineral tanah yang dilaluinya. Hal ini

menunjukkan karakter-karakter khusus dari mata air tersebut. Kebanyakan air

yang bersumber dari mata air kualitasnya baik sehingga umumnya digunakan

sebagai sumber air minum oleh masyarakat sekitarnya. Sebagai sumber air

minum oleh masyarakat, maka harus memenuhi beberapa aspek yang meliputi
kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Khusus dari segi kualitas harus memenuhi

syarat kualitas fisik., kimia, mikrobiologi dan r adioaktivitas.

Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kualitas air dengan

melakukan uji terhadap parameter-parameter pencemaran air yang dibandingkan

dengan baku mutu air PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air yang meliputi parameter kimia (suhu dan TSS);
parameter kimia (pH, DO, BOD, COD, N, P, Fe dan Cr); dan parameter
mikrobiologi (bakteri coliform total). Penentuan status mutu air dengan

menggunakan metode indeks pencemaran yang dibandingkan dengan baku

mutu air PP No. 82/2001, dimana metode ini terlampir dalam Kepmen LH No.
115/2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Strategi pengendalian

pencemaran air dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Yuliastuti, 2011:


1).

43
C. Alat dan Bahan
Untuk melakukan analisis kualitas air dengan multiparameter meter,

maka memerlukan beberapa alat dan bahan seperti berikut.


Alat

1. Alat tulis, digunakan untuk menulis dan mencatat data pengukuran.


2. Multiparameter meter, digunakan untuk mengukur kualitas air.

Bahan

1. (-)

D. Langkah Kerja

Untuk melakukan analisis kualitas air dengan multiparameter meter, maka

berikut langkah kerjanya.


1. Menyiapkan alat dan bahan untuk melaksanakan kegiatan praktikum.

2. Menentukan lokasi yang akan diukur dan dianalisis.

3. Menyambungkan tiap komponen multiparameter meter.

4. Masukkan alat multiparameter meter pada air yang menggenang

(kolam/bak mandi).

5. Menghidupkan alat multiparameter meter.

6. Melihat hasil pengukuran pada alat.

7. Mencatat hasil pengukuran.


8. Membuat laporan praktikum.

E. Hasil dan Pembahasan

Setelah melakukan praktikum dengan menggunakan multiparameter

meter, didapatkan hasil kualitas air yang terurai dalam tabel di bawah ini.

Tabel 8.1. Hasil Pengukuran Kualitas Air Kelompok B1

No Tempat Suhu TDS DHL pH DO

1 Bak Mandi 26,97 °C 176 ppm 352 µs/cm 6 2,72 ppm

dekat 36,2 %

Geospasial

2 Kolam 30,08 °C 35 ppm 72 µs/cm 7 4,48 ppm

Ganesha 61,5 %

44
3 Kolam 29 °C 32 ppm 65 µs/cm 6 3,43 ppm
Dekanat 46,6 %

4 Pot tanaman 26,57 °C 55 ppm 111 µs/cm 6 1,41 ppm


16,9 %

Tabel 8.2. Hasil Pengukuran Kualitas Air Kelompok B2

No Tempat Suhu TDS DHL pH DO

1 Bak Mandi 27,01 °C 176 ppm 353 µs/cm 7 2,29 ppm

dekat 29,7 %

Geospasial

2 Kolam 28,06 °C 33 ppm 67 µs/cm 6 3,95 ppm

Ganesha 52,2 %

3 Kolam 27,13 °C 32 ppm 63 µs/cm 6 3,055 ppm

Dekanat 40%

4 Pot tanaman 26,37 °C 54 ppm 109 µs/cm 6 1,30 ppm

16,6 %

Gambar 8.1. Grafik Hasil TDS dan DHL Kelompok B1

400
350
300
Axis Title

250
200
150
100
50
0
0 50 100 150 200
Axis Title

Series1 Linear (Series1)

45
Gambar 8.2. Grafik Hasil TDS dan DHL Kelompok B2

400
350 y = 2,0059x + 0,0678
300

Axis Title
250
200
150
100
50
0
0 50 100 150 200
Axis Title

Series1 Linear (Series1)

Gambar 8.3. Grafik Hasil Suhu dan DHL Kelompok B1

400
350
300
250
Axis Title

200
150
100
50 y = -47,928x + 1499,4
0
26 27 28 29 30 31
Axis Title

Series1 Linear (Series1) Linear (Series1)

Gambar 8.4. Grafik Hasil Suhu dan DHL Kelompok B2

400
350
300
Axis Title

250
200
150
100 y = -48,267x + 1458,1
50
0
26 26,5 27 27,5 28 28,5
Axis Title

Series1 Linear (Series1) Linear (Series1)

46
Gambar 8.5. Grafik Hasil Suhu dan DO Kelompok B1

5
y = 0,7275x - 17,472
4

Axis Title
3

0
26 27 28 29 30 31
Axis Title

Series1 Linear (Series1) Linear (Series1)

Gambar 8.6. Grafik Hasil Suhu dan DO Kelompok B2

4 y = 1,5644x - 39,814
Axis Title

0
26 26,5 27 27,5 28 28,5
Axis Title

Series1 Linear (Series1)

Gambar 8.7. Grafik Hasil DO dan DHL Kelompok B1

400
350
300
250
Axis Title

200
150
100 y = -29,417x + 238,55
50
0
0 1 2 3 4 5
Axis Title

Series1 Linear (Series1) Linear (Series1)

47
Gambar 8.8. Grafik DO dan DHL Kelompok B2

400
350
300
250

Axis Title
200 Series1
150 Linear (Series1)
100
y = -42,267x + 259,96 Linear (Series1)
50
0
0 2 4 6
Axis Title

Pembahasan

Air sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Manusia

memanfaatkan air untuk kebutuhan hidupnya, bagi dirinya sendiri maupun orang

lain, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Untuk memenuhi kebutuhan,

manusia juga harus memperhatikan kualitas air tersebut untuk dipillah mana yang

baik bagi kesehatan.

Kualitas yang baik tergantung pada material mineral yang dilalui oleh air

tersebut, dan juga didukung dengan sumber mata air yang baik sehingga dapat

menjadi sumber air minum bagi masyarakat. Kualitas air memperhatikan

kandungan zat-zat kimia maupun fisika.

Air yang dimanfaatkan manusia untuk keperluan air minum biasanya berasal

dari air tanah. Air tanah mempunyai lapisan impermeabel yang dapat menahan
air meresap kedalam. Hal ini membuat adanya aliran di bawah tanah. Air itu yang

kemudian dianfaatkan manusia untuk keperluan air bersih.

Kualitas air dapat ditinjau berdasarkan partikel-partikel yang larut dalam air

tersebut atau TDS (Total Dissolved Solid). Artinya banyaknya kandungan kimia di
dalam air yang menentukan baik atau tidaknya untuk kesehatan manusia. Hal itu
juga termasuk dalam menentukan kejernihan air. Kualitas air juga ditentukan

berdasarkan oksigen yang terarut di dalam air atau DO (Dissolved Oxygen). Hal
itu berpengaruh terhadap kondisi air dimana bahwa jika jumlah kandungan

oksigen didalam air tersebut semakin banyak, maka kualitas air tersebut akan
semakin bagus, sebaliknya jika kandungan oksigen dalam air tersebut sedikit,

maka kualitas air tersebut juga tidak bagus atau tercemar. Air juga mempunyai

48
kemampuan menghantarkan listrik atau DHL (Daya Hantar Listrik). Daha hantar
listrik bertujuan untuk mengukur kemampuan ion-ion dalam air untuk
memprediksi kandungan mineral dalam air. Semakin besar nilai daya hantar listrik,

maka semakin besar ion-ion yang terdapat dalam air. Hal ini mengindikasikan
semakin banyak mineral yang terkandung dalam air.

Pada praktikum yang dilaksanakan pada 27 Maret 2019 yang mengukur


kualitas air dari sampel air daerah FIS UNY. Pengukuran dilakukan menggunakan

alat mutiparameter meter yang mempunyai fungsi kompleks, yaitu untuk

mengukur suhu, TDS, DHL, DO dan pH. Namun untuk pH dilakukan pengukuran
manual menggunakan kertas lakmus. Praktikum menghasilkan hasil seperti pada

tabel hasil.

Pengukuran oleh dua kelompok B1 dan B2 menghasilkan data yang

berbeda-berda. Hal ini dikarenakan pada waktu pengukuran yang berbeda.


Kelompok B2 mengukur pada jam 9 dan B1 mengukur pada jam 10. Pengaruh ini

berdampak pada kenaikan suhu pada air tersebut. Kandungan yang diperoleh

dari pengukuran kelompok B1 dan B2 pun juga berbeda karena juga dipengaruhi

oleh faktor perbedaan waktu pengukuran.

Suhu air yang berada di daerah-daerah pengukuran di sekitar FIS UNY baik

pengukuran oleh kelompok B1 maupun B2 ini mempunyai suhu yang relatif sama

atau tidak mempunyai selisih jauh. Hal ini menandakan bahwa keadaan suhu

normal. Untuk TDS, daerah bak mandi dekat geospasial yang mempunyai
kandungan partikel-partikel yang paling banyak dibandingkan dengan air daerah

pengukuran lainnya. Hal ini bisa dikarenakan adanya pencampuran partikel yang

dibawa oleh air tanah yang terus diganti. Berbeda dengan daerah pengukuran

lainnya yang partikel-partikelnya mengendap karena airnya jarang diganti. Daerah

pengukuran di dekat geospasial FIS UNY juga mempunyai daya hantar listrik

(DHS) yang paling tinggi dibandingkan yang lain, artinya terdapat banyak mineral
yang baik untuk kesehatan manusia walaupun air tersebut masih belum
tergolong jernih. PH dari berbagai tempat pengukuran tersebut juga relatif sama

yaitu 6-7. Hal ini menandakan bahwa kandungannya bersifat netral atau tidak

asam maupaun basa.


Untuk kandungan oksigen (DO) diketahui paling banyak adalah tempat kolam

taman ganesha FIS UNY. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya tanaman air seperti
teratai yang dapat menambah oksigen di dalam air. Namun air ini tidak bagus

49
untuk dikonsumsi dikarenakan banyaknya kandungan partikel yang sukar dan air
nampak tercemar dengan warna kehijauan.

F. Kesimpulan
1. Kualitas yang baik tergantung pada material mineral yang dilalui oleh air

tersebut yang dapat menjadi sumber air minum bagi masyarakat.


2. Kualitas air dapat dianalisis dengan pengukuran seperti suhu, TDS, DHL, pH,

dan DO.

3. Pengukuran dilakukan di sekitar FIS UNY menggunakan alat ukur


multiparameter meter.

4. Pengukuran yang dilakukan baik kelompok B1 maupun B2 berbeda-beda

dikarenakan faktor perbedaan waktu pengukuran.

5. Kualitas air berbeda-beda dikarenakan faktor radiasi matahari dan aktivitas


organisme.

50
ACARA IX
MENGHITUNG POTENSI AIR TANAH

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menghitung debit air tanah.

2. Mahasiswa dapat menganalisis potensi air tanah.

B. Dasar Teori

Dari potensi siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan menjadi


limpasan (run off) dan masuk ke lapisan tanah (infiltrasi), kemudian air infiltrasi

menjadi air tanah (Rolia, 2015: 79).

Pola penyebaran potensi air tanah secara umum dibagi menjadi dua,

yaitu sebaran air tanah dangkal dan sebaran air tanah dalam. Berdasarkan
rekonstruksi data geologi, diketahui bahwa geometri dan pola konfigurasi akuifer

air tanah dangkal mengikuti pola kontur topografi, tetapi kualitasnya tidak

mengikuti pola tersebut, sedangkan pada air tanah dalam geometri dan pola

konfigurasi akuifer tidak mengikuti pola kontur topografi, tetapi mengikuti pola

stratigrafi dan struktur geologi, demikian pula dengan kualitasnya. Berdasarkan

interpolasi kontur, diketahui bahwa pola aliran air tanah dalam umumnya

mengikuti kecenderungan timur-barat daya (Rohaini dkk, 2014).

Menurut Zeffitni (2011) dalam Rohaini (2014: 5) menjelaskan bahwa


potensi (kuantitas) air tanah dipengaruhi oleh jenis dan sifat fisik batuan

(kesarangan dan kelulusan batuan), morfologi, curah hujan, dan tutupan lahan.

Karena adanya perbedaan faktor-faktor inilah, sehingga menyebabkan

penyebaran potensi air tanah di daerah penelitian menjadi tidak merata pada

setiap tempat.

Todd (1980) dalam Jone (2018: 23) menjelaskan bahwa metode yang
digunakan dalam pembuatan wilayah potensi air tanah adalah metode
pengharkatan (scoring) dan overlay. Penentuan debit dilakukan dengan rumus

Darcy (Todd, 1980), yaitu: Q=K×I×A, dengan K adalah konduktivitas hidrolik, I

adalah kemiringan aliran airtanah (gradien hidrolik), dan A adalah luas


penampang akuifer.

Masalah lingkungan dan kebijakan pengembangan suatu wilayah saat ini


dan ke depan merupakan permasalahan yang tidak bisa dilepaskan. Kondisi

51
geografis, ketersediaan faktor pendukung yang berasal dari alam seperti kondisi
geologi, curah hujan, air, tanah, daerah resapan, dan lahan hijau sudah mutlak
harus dipertimbangkan karena akan menjadi penentu kenyamanan hidup

manusia yang berada di dalam dan di sekitar lingkungan tersebut (Rohaini, 2014:
2).

Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,


profil geologi sumur bor di wilayah Kabupaten Bantul, umumnya berada pada

formasi akuifer bebas dan akuifer setengah tertekan. Di daerah Kecamatan

Kasihan pada bagian bawah akuifer ditemui batu gamping Formasi Sentolo.
Ketebalan formasi akuifer di daerah perkotaan Bantul diidentifikasi lebih dari 100

meter. Di Kecamatan Piyungan, Pajangan, sebagian Kecamatan Kasihan, Sedayu,

dan Pandak ketebalan akuifer semakin menipis dikarenakan terdapat singkapan

batugamping Formasi Sentolo yang merupakan basement Cekungan Yogyakarta.


Wilayah Kabupaten Bantul adalah bagian Sistem Akuifer Merapi (SAM), terdiri

atas akuifer berlapis banyak (multiplayer aquifer) memiliki sifat hidrolika relatif

sama dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Secara umum air bawah

tanah mengalir dari utara ke selatan dengan landaian hidrolika bergradasi

semakin kecil. Disekitar Kota Bantul ketebalan SAM diidentifikasi setebal 125

meter (SSK Bantul, 2010).

Morfologi air bawah tanah menyerupai kerucut dan menyebar secara

radial, ini merupakan ciri khas morfologi air bawah tanah daerah gunungapi.
Daerah imbuhan (recharge area) berasal dari lereng atau tubuh Gunung Merapi.

Wilayah Kabupaten Bantul yang merupakan bagian selatan Cekungan Yogyakarta

air tanahnya merupakan pengumpulan (discharge area) termasuk dari Saluran

Mataram. Wilayah Kabupaten Bantul termasuk wilayah yang terjadi penurunan

gradien topografi disertai dengan penurunan gradien hidrolika serta nilai

karakteristik akuifer, sehingga kecepatan aliran air bawah tanah semakin


mengecil. Nilai transmisivitas pada wilayah ini berkisar 894-1.400 m2/hari dengan
spesific yield 22-28,8%. Nilai transmisivitas tersebut menunjukkan potensi air
bawah tanah sangat baik digunakan untuk keperluan domestik dan irigasi (SSK

Bantul, 2010).

52
C. Alat dan Bahan
Untuk melakukan pengukuran debit aliran air tanah dan analisis potensi
air tanah, maka memerlukan beberapa alat dan bahan seperti berikut.

Alat
1. Alat tulis, digunakan untuk menulis atau mencatat data pengukuran

2. Kalkuator, digunakan untuk menghitung


3. Roll meter, digunakan untuk mengukur kedalam muka air tanah

Bahan

1. Data hasil pengukuran

D. Langkah Kerja

Untuk melakukan analisis kualitas air dengan multiparameter meter, maka

berikut langkah kerjanya.


1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Mengukur lebar wilayah yang akan dihitung debitnya

3. Menghitung kemiringan muka air tanah akuifer dengan mengetahui head

kedua titik, lalu membandingkan antar beda tinggi dan jarak

4. Mencari data sekunder mengenai akuifer

5. Menghitung besarnya debit air tanah dengan rumus Q=T×I×L

6. Membuat laporan praktikum

E. Hasil dan Pembahasan

Pada pengukuran debit aliran air tanah untuk dapat menganalisis potensi

air tanah, menghasikan data sebagai berikut.

Tabel 9.1. Data Keterangan Air Tanah Rumah Fitra, Pendowoharjo, Sewon, Bantul,

DIY

No Keterangan Rumah Fitra Rumah tetangga

1 Ketinggian 88 m 86 m

2 Kedalaman muka air tanah 4m 3,5 m

3 Kedalaman sumur 9m 10 m

4 Jarak antar keduanya 5m

5 Impermeabilitas 5,9

6 Lebar Aquifer 10 m

53
7 Tebal Aquifer 30 m

8 Specific yield 35%

Rumus:
✓ Metode Statis
𝑉𝑎𝑡 = 𝑆𝑦 × 𝑉𝑎𝑘 (𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑘𝑢𝑖𝑓𝑒𝑟 × 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑎𝑘𝑢𝑖𝑓𝑒𝑟)
𝑉𝑎𝑡 = 35% × 𝑉𝑎𝑘 (300 × 30)
𝑉𝑎𝑡 = 35% × 9000
𝑉𝑎𝑡 = 3.150𝑚3

✓ Metode Dinamis
𝑄 =𝐾×𝐼×𝐴
Keterangan:
Q : debit

K : impermeabilitas

I : kemiringan tanah
A : luas penampang

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛 𝐴−𝐾𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛 𝐵
1) 𝐼= 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐴−𝐵
88𝑚 − 86𝑚
𝐼= = 0,4
5𝑚

2) 𝐴 = 𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝐴𝑞𝑢𝑖𝑓𝑒𝑟 × 𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝐴𝑞𝑢𝑖𝑓𝑒𝑟


𝐴 = 30𝑚 × 10𝑚 = 300

3) 𝑄 = 𝐾 × 𝐼 × 𝐴
𝑄 = 5,9 × 0,4 × 300 = 125,9 𝑚3 /h

Pembahasan
Air tanah merupakan air yang mempunyai aliran yang berada di bawah

tanah. Hal tersebut dimaksud bukan terdapat pada bawah tanah yang
bersentuhan, namun di tanah paling bawah tersebut terdapatnya banyaknya
batuan yang mempunyai rongga yang dapat mengalirkan air.

54
Air tanah berasal dari hujan yang turun dan menggenangi tanah yang
kemudian mengalami proses infiltrasi dan air hujan pun turun ke dalam tanah.
Proses infiltrasi yang berlangsung belum tentu cepat ataupun lambat tergantung

kondisi tanah yang menjadi tempat infltrasi tersebut, entah adanya vegetasi,
kandungan mangan, jenis tanah, dan lain-lain. Air hujan yang turun biasanya

berada di daerah hulu yang dapat mampu membawa tanah sampai ke dalam
dikarenakan kondisi kemiringan yang berbeda dengan yang di hilir.

Setiap aliran air tentu mempunyai debit. Debit air tanah juga bisa dapat

dihitung menggunakan rumus-rumus yang sudah ditentukan. Dalam menghitung


debit air tanah memerlukan data pengukuran lapangan dan data sekunder. Data

pengukuran lapangan adalah data yang dapat dicari kepada seseorang yang mau

menghitung debit air tanah. Sedangkan data sekunder data yang susah untuk

dicari seseorang dalam menghitung debit air tanah dikarenakan perlu adanya
perhitungan yang mendetail dan berkolaborasi dengan orang yang sudah ahli.

Dengan hal ini, data sekunder juga sangat diperlukan dalam menghitung debit

aliran air tanah.

Pada pengukuran debit air tanah yang berlokasi di rumah Fitra yang

beralamat di Pendowoharjo, Sewon, Bantul, DIY. Pengukuran mengambil data dua

sumur yang berjarak 5 meter. Diketahui juga hasil pengukuran tentang

ketinggian, kedalaman, dan kedalaman muka air tanah. Untuk data sekundernya

meliputi impermeabilitas, tebal akuifer, luas akuifer, dan spesific yield. Dari data
tersebut kemudian dihtung menggunakan dua metode yaitu statis dan dinamin.

Hasil dari pengukuran seperti yang telah dicantumkan dalam tabel hasil.

Debit air tanah menentukan potensi dari air tanah tersebut dari berbagai

aspek. Potensi air tanah mempunyai pola persebaran air tanah dangkal dan

dalam. Pada pola persebaran dangkal, geometri dan konfigurasi akuifer

dipengaruhi oleh topografi kontur daerah air tanah tersebut, namun tidak dengan
kualitas potensi air tanahnya. Dan untuk pola persebaran air tanah dalam,
geometri dan konfigurasi akuifer serta kualitas potensi ar tanah tidak dipengaruhi

oleh topografi kontur, namun mengikuti stratigrafi dan struktur geologi. Dengan

demikian potensi air tanah dipengaruhi oleh topografi kontur dan stratigrafi yang
dipengaruhi oleh struktur geologi.

Kabupaten Bantul mempunyai akuifer yang berlapis, hal ini menunjukkan


bahwa potensi air tanah di daerah Bantul merupakan potensi air tanah dalam.

55
Akuifer berlapis ini dipengaruhi oleh aktivitas Gunung Merapi yang yang
kemudian dinamakan Sistem Akuifer Merapi (SAM). Namun akuifer berlapis
bukan merupakan stratigrafi dari akuifer, dikarenakan hanya ada pengaruh oleh

bahan vulkanik Merapi. Diketahui kedalaman sumur rumah Fitra yaiitu 9 m.


Dengan hal ini akuifer di daerah tersebut merupakan akuifer dangkal.

Debit air tanah di daerah pengukuran berdasarkan data pengukuran


tergolong besar. Hal ini karena lokasi Bantul yang merupakan daerah dengan

akuifer dangkal dan mempunyai topografi kontur yang vertikal.

F. Kesimpulan

1. Air tanah berasal dari hujan yang turun dan menggenangi tanah yang

kemudian mengalami proses infiltrasi dan air hujan pun turun ke dalam

tanah.
2. Debit air tanah juga bisa dapat dihitung menggunakan rumus-rumus yang

sudah ditentukan.

3. Potensi air tanah dipengaruhi oleh topografi kontur dan stratigrafi yang

dipengaruhi oleh struktur geologi.

4. Potensi air tanah di daerah Bantul merupakan potensi air tanah dalam karena

mempuyai akuifer berlapis.

5. Pengukuran debit air tanah di lokasi Bantul mendapatkan hasil debit yang

besar.

56
ACARA X
MENENTUKAN ARAH ALIRAN AIR TANAH DENGAN METODE THREE POINT PROBLEM

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menentukan arus aliran air tanah dengan metode three

point problem.
2. Mahasiswa dapat menganalisis arus aliran air tanah dengan metode three

point problem.

B. Dasar Teori

Air tanah adalah salah satu bentuk air yang berada di sekitar bumi kita

dan terdapat di dalam tanah. Air tanah pada umumnya terdapat dalam lapisan

tanah baik dari yang dekat dengan permukaan tanah sampai dengan yang jauh
dari permukaan tanah. Ait tanah ini merupakan salah satu sumber air, ada saatnya

air tanah ini bersih tetapi terkadang keruh sampai kotor, tetapi pada umumnya

terlihat jernih (Sutandi, 2012: 3).

Air tanah dapat terbentuk atau mengalir terutama secara horisontal, dari

titik atau daerah imbuh atau pengisian, seketika itu juga pada saat hujan turun,

hingga membutuhkan waktu harian, mingguan, bulanan, tahunan, puluhan tahun,

ratusan tahun, bahkan ribuan tahun tinggal di dalam aquifer sebelum muncul

kembali secara alami di titik atau daerah pengeluaran, tergantung dari kedudukan
zona jenuh air, topografi, kondisi iklim dan sifatsifat hidrolika aquifer (Sutandi,

2012: 12).

Air tanah ditemukan pada formasi geologi permeabel (tembus air) yang

dikenal sebagai akuifer (juga disebut reservoir air tanah, formasi pengikat air,

dasar-dasar yang tembus air) yang merupakan formasi pengikat air yang

memungkinkan jumlah air yang cukup besar untuk bergerak melaluinya pada
kondisi lapangan yang biasa. Air tanah juga ditemukan pada aklikud (atau dasar
semi permeabe) yang mengandung air tetapi tidak mampu memindahkan jumlah

air yang nyata (seperti liat). Akuifer ditemukan di sejumlah lokasi. Deposit glasial,

pasir dan kerikil, kipas aluvial dataran banjir dan deposit delta pasir semuanya
merupakan sumber-sumber air yang sangat baik (Seyhan, 1990: 256).

Air yang bergerak dalam tanah adalah air kapiler dan air gravitasi. Melihat
cara pergerakannya, air kapiler itu dapat dibagi dalam air kapiler yang

57
sesungguhnya berhubungan langsung denegan air tanah yang naik ke ruang-
ruang antara butir-butir karena kapilaritas. Mengingat gaya menahan air itu
dianggap sesuai dengan tekanan maksimum air yag naik, maka dalam

penyelidikan pergerakan air kapiler, gaya itu diperhitungkan sebagai tegangan


kapiler atau potensial kapiler. Tinggi kenaikan air yang disebabkan oleh tegangan

kapier adalah berbanding balik terhadap diameter pipa kapiler. Jadi makin banyak
tanah itu mengandung butir-butir yang halus, makin tinggi kenaikan air dan

makin besar butir-butir tanah mak kecil kenaikan airnya. Sebaliknya makin kecil

butir-butir tanah, makin kecil kecepatan airnya, makin besar butir-butirnya makin
besar kecepatan airnya (Sosrodarsono, 1985: 74).

C. Alat dan Bahan

Untuk menentukan arah aliran air dengan metode three point problem,
maka memerlukan beberapa alat dan bahan seperti berikut.

Alat

1. Alat tulis, digunakan untuk menulis dan menggambar aliran air tanah.

2. Drawing pen 0,2 mm warna hitam dan biru.

3. Kalkir A3, sebagai media gambar kontur.

4. Mistar, digunakan untuk membantu membuat garis arah aliran.

Bahan

1. Peta MAT, digunakan sebagai acuan untuk menggambar peta.

D. Langkah Kerja

Untuk menentukan arah aliran air tanah dengan metode three point

problem, maka berikut langkah kerjanya.


1. Menyiapkan alat dan bahan untuk melaksanakan kegiatan praktikum.

2. Melakukan survey MAT.


a) Mencari lokasi pengukuran yang terdapat sumur gali.
b) Menghitung kedalaman sumur.

c) Mencatat koordinat lokasi sumur yang diukur.

3. Membuat peta MAT, yang menggambarkan ketinggian MAT (muka air


tanah).

4. Menggambar kontur air tanah.


a) Menentukan titik tertinggi.

58
b) Menghubungkan tiga sumur terdekat.
c) Menentukan interval kotur (10 meter).
d) Menentukan mula-mula kontur air tanah.

5. Membuat laporan praktikum.

E. Pembahasan
Air tanah merupakan air yang berada di bawah tanah. Air tersebut berasal

dari genangan air hujan yang kemudian mengalami infiltrasi masuk kedalam

tanah. Air tanah tersebut tertahan atau tidak bisa menembus pada lapisan
impermeabel. Dengan hal tersebut, apa bila topografi nya memungkinkan untuk

mengalirkan air, maka air tanah tersebut dapat mengalir sebagai akuifer yang

mengalir sampai ke laut.

Aliran air tanah dipengaruhi oleh topografi dan kontur akuifer. Hal ini
dikarenakan air mengalir dari daerah tinggi ke daerah rendah. Dengan sttruktur

geologi atau topografi akuifer tersebut bervariasi dan beragam, maka tidak

dipungkiri aliran air tanah juga mempunyai aliran yang beragam. Pada aliran yang

deras, biasanya topografi akuifernya mempunyai kemiringan yang relatif besar.

Sedangkan pada aliran yang lumayan tenang topografinya lumayan landai atau

datar sehingga gerak air akan relatif rendah. Aliran juga dipengaruhi oleh dangkal

dan dalamnya air tanah. Air tanah yang dangkal biasanya disebabkan oleh pola

kontur topografi dan air tanah yang dalam dipengauhi oleh stratigrafi dan
struktur geologi. Dengan demikian, jika air tanah semakin dalam, maka aliran

tanah menjadi lebih lambat, dan sebaliknya jika air tanah semakin dangkal, maka

aliran semakin cepat.

Persebaran aliran air tanah dapat dihitung menggunakan data

pengukuran atau data sekunder. Dengan data tersebut, diantaranya memperoleh

data kedalaman sumur. Sumur yang dimaksud adalah sumur bor yang terhubung
langsung dengan air tanah dengan kriteria setiap sumur yang diperoleh
mempunyai jarak minimal 5 m dengan maksud untuk mencegah terkontaminasi

oleh air lainnya seperti air sepiteng rumah tangga. Data kedalaman dari berbagai

sumur tersebut kemudian di plotkan pada suatu kertas dengan skala yang lebih
kecil dari yang asli. Hasil tersebut kemudian dibuat alirannya menggunakan

metode three point problem.

59
Praktikum yang dilakukan di lab. FIS Terpadu FIS UNY bertujuan untuk
menentukan aliran air tanah di wilayah Bantul. Praktikum menggunakan data
sekunder kedalaman berbagai sumur yang sudah tertera pada kertas berukuran

A3. Titik-titik sumur yang telah diketahui kedalamanya tersebut kemudian di


hubungkan dan ditentukan arah aliran air tanah menggunakan metode three

point problem.
Arah aliran tanah ditentukan berdasarkan garis kontur yang telah

ditentukan berdasar perhitungan menggunakan mtode three point problem. Arah

aliran memotong tegak lurus dengan kontur yang telah dibuat. Sehingga, kontur
yang mengarah ke kanan (semisal timur), arah aliran air tanah akan mengarah ke

bawah (semisal selatana). Hal ini kemudian membuat aliran air bermacam-macam

sesuai kontur yang telah dibuat. Pada kontur yang memiliki selisih ketinggian

yang jauh, maka air tanah akan lebih sedikit, begitu pula sebaliknya bahwa
semakin rapat konturnya, maka semakin banyak air tanahnya. Dengan hal ini,

arah aliran tanah dipengaruhi oleh kontur topografi bawah tanah.

F. Kesimpulan

1. Air tanah berasa dari genangan air yang berasal dari air hujan yang kemudian

mengalami infiltrasi masuk kedalam tanah.

2. Aliran air tanah dipengaruhi oleh topografi dan kontur akuifer.

3. Persebaran aliran air tanah dapat dihitung menggunakan data pengukuran


atau data sekunder.

4. Praktikum yang dilakukan di lab. FIS Terpadu FIS UNY bertujuan untuk

menentukan aliran air tanah di wilayah Bantul.

5. Arah aliran tanah ditentukan berdasarkan garis kontur yang telah ditentukan

berdasar perhitungan menggunakan mtode three point problem.

60
ACARA XI
MENGHITUNG LAJU INFILTRASI DENGAN INFILTROMETER

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menghitung laju infiltrasi dengan infiltrometer.

2. Mahasiswa dapat menganalisis laju infiltrasi dengan infiltrometer.

B. Dasar Teori

Air tanah adalah air yang bergerak dalam tanah yang terdapat di dalam
ruang-ruang antara butir-butir tanah yang membentuk itu dan di dalam retak-

retak dari batuan. Lapisan yang dapat dilalui dengan mudah oleh air tanah seperti

lapisan pasir atau lapisan kerikil disebut lapisan permeabel. Lapisan yang sulit

dilalui air tanah seperti lapisan lempung atau lapisan silt disebut lapisan kedap air
(aquiclude) dan lapisan yang menahan air seperti lapisan batuan (rock) disebut
lapisan kebal air (aquifuge). Kedua jenis lapisan ini disebut lapisan impermeabel.

Lapisan permeabel yang jenuh dengan air tanah disebut juga akuifer (lapisan

yang mengandung air) (Takeda, 1985: 93).

Bilamana curah hujan itu mencapai permukaan tanah maka seluruh atau

sebagianya akan diabsorbsi ke dalam tanah. Bagian yang tidak diabsrobsi akan

menjadi limpasan permukaan (surface run off). Kapasitas infiltrasi curah hujan dari

permukaan tanah ke dalam tanah sangat berbeda-beda yang tergantung pada


kondisi tanah di tempat bersangkutan (Takeda, 1985: 71).

Menurut Takeda (1985: 77), faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah

1) Dalamnya genangan diatas permukaan tanah dan tebal lapisan yang jenuh.

2) Kelembaban tanah

3) Pemampatan oleh curah hujan

4) Penyumbatan oleh bahan-bahan yang halus.


5) Pemampatan oleh orang dan hewan.
6) Struktur tanah.

7) Tumbuh-tumbuhan.

8) Udara yang terdapat dalam tanah.


Besarnya laju infiltrasi tergantung pada kandungan air dalam tanah.

Terjadinya infiltrasi bermula ketika air jatuh pada permukaan tanah kering,
permukaan tanah tersebut menjadi basah sedangkan bagian bawahnya relatif

61
kering maka dengan demikian terjadilah gaya kapiler dan terjadi perbedaan antar
gaya kapiler permukaan atas dengan yang ada dibawahnya. Laju infiltrasi
mempunyai klasifikasi tertentu dalam penentuan besarnya laju infiltrasi. Untuk

menentukan klas inflitrasi, dipakai klasifikasi menurut U.S Soil Conservation


(Aidatul, 2015: 6).

Tabel 11.1 Klasifikasi Laju Infiltrasi

Laju Infitrasi
No Klasifikasi
(mm/jam)

0 Sangat Lambat <1

1 Lambat 1-5

2 Agak Lambat 5-20

3 Sedang 20-63

4 Agak cepat 63-127

5 Cepat 127-254

6 Sangat Cepat >254

C. Alat dan Bahan

Alat
Untuk laju infiltrasi dengan infiltrometer, maka memerlukan beberapa

alat dan bahan seperti berikut.

1. Alat tulis, digunakan untuk menulis dan mencatat data.

2. Infiltrometer, digunakan untuk mengukur laju infiltrasi.


Bahan

1. –

D. Langkah Kerja
Untuk menghitung laju infiltrasi menggunakan alat infiltrometer, maka
berikut adalah langkah kerjanya.

1. Menyiapkan alat dan bahan.


2. Menancapkan alat infiltrometer ke dalam tanah yang mau diukur.

3. Mengisi wadah air yang berada pada alat infitrometer.


4. Mencatat hasil pengukuran.

5. Memasukkan data pengukuran ke dalm rumus di exel.

62
6. Membuat grafik.
7. Membuat laporan praktikum.

E. Hasil dan Pembahasan


Tabel 11.2 Data Pengukuran Infiltrasi di FIS UNY

Penurunan air
No Waktu
(cm)

1 5 1,6

2 10 1,6

3 15 1,6

4 20 1,7

5 25 1,4

6 30 1,4

7 35 1,5

8 40 1,5

9 45 1,6

10 50 1,6

11 55 1,3

12 60 1,6

13 65 1,3

14 70 1,3

15 75

16 80

17 85

18 90

19 95

20 100

21 105

63
Gambar 11.1 Grafik Data Pengukuran Infiltrasi FIS UNY

1,8
1,6
1,4

f (cm/menit)
1,2
1
0,8 f ukur
0,6
f duga
0,4
0,2
0
5 10 35 65 105
t (menit)

Tabel 11.3 Data Pengukuran Infilttrasi Kalasan

Penurunan air
No Waktu
(cm)

1 5 0,52

2 10 0,34

3 15 0,28

4 20 0,28

5 25 0,3

6 30 0,3

7 35 0,26

8 40 0,26

9 45 0,26

10 50 0,22

11 55 0,18

12 60 0,16

13 65 0,24

14 70 0,28

15 75 0,26

16 80 0,22

17 85 0,2

18 90 0,2

64
19 95 0,2

20 100

21 105

Gambar 11.2 Grafik Data Pengukuran Infiltrasi Kalasan

0,6
0,5
f (cm/menit)
0,4
0,3
f ukur
0,2
f duga
0,1
0
5 10 35 65 105
t (menit)

Tabel 11.4 Data Revisi Pengukuran Infiltrasi FIS UNY

Penurunan
No Waktu
air (cm)

1 5 1,6

2 10 1,6

3 15 1,6

4 20 1,6

5 25 1,5

6 30 1,5

7 35 1,5

8 40 1,5

9 45 1,4

10 50 1,4

11 55 1,4

12 60 1,4

13 65 1,3

14 70 1,3

15 75

65
16 80

17 85

18 90

19 95

20 100

21 105

Gambar 11.3 Grafik Data Revisi Pengukuran Infiltrasi FIS UNY

1,8
1,6
1,4
f (cm/menit)

1,2
1
0,8 f ukur
0,6
f duga
0,4
0,2
0
5 10 35 65 105
t (menit)

Tabel 11.5 Data Revisi Pengukuran Infiltrasi Kalasan

Penurunan
No Waktu
air (cm)

1 5 0,52

2 10 0,34

3 15 0,3

4 20 0,3

5 25 0,3

6 30 0,3

7 35 0,26

8 40 0,26

9 45 0,26

10 50 0,22

11 55 0,18

66
12 60 0,18

13 65 0,17

14 70 0,16

15 75 0,16

16 80 0,16

17 85 0,16

18 90 0,16

19 95 0,16

20 100

21 105

Gambar 11.4 Grafik Data Revisi Pengukuran Infilttrasi Kalasan

0,6

0,5

0,4
f (cm/menit)

0,3
f ukur
0,2 f duga
0,1

0
5 10 35 65 105
t (menit)

Tabel 11.6 Data Pengukuran Infiltrasi Kulonprogo

Penurunan
No Waktu
air (cm)

1 5 0,3

2 10 0,3

3 15 0,2

4 20 0,2

5 25 0,2

6 30 0,2

7 35 0,2

67
8 40 0,2

9 45 0,2

10 50 0,2

11 55 0,2

12 60 0,2

13 65 0,2

14 70 0,2

15 75 0,2

16 80 0,1

17 85 0,1

18 90 0,1

19 95

20 100

21 105

Gambar 11.5 Grafik Data Pengukuran Infilttrasi Kulonprogo

0,35
0,3
0,25
f (cm/menit)

0,2
0,15 f ukur
0,1 f duga
0,05
0
5 10 35 65 105
t (menit)

Tabel 11.7 Data Pengukuran Infiltrasi Gunungkidul

Penurunan
No Waktu
air (cm)

1 5 2,6

2 10 2,4

3 15 2,2

4 20 2,1

68
5 25 2

6 30 2

7 35 2

8 40 2

9 45 2

10 50 1,9

11 55 1,9

12 60 1,9

13 65 1,8

14 70 1,8

15 75 1,7

16 80 1,7

17 85 1,6

18 90 1,5

19 95

20 100

21 105

Gambar 11.6 Grafik Data Pengukuran Infilttrasi Gunungkidul

3
2,5
f (cm/menit)

2
1,5
f ukur
1
f duga
0,5
0
5 10 35 65 105
t (menit)

Tabel 11.8 Data Pengukuran Infiltrasi Parangtritis

Penurunan
No Waktu
air (cm)

69
1 5 0,4

2 10 0,4

3 15 0,3

4 20 0,3

5 25 0,3

6 30 0,2

7 35 0,2

8 40 0,1

9 45 0,1

10 50 0,1

11 55 0,1

12 60 0,1

13 65 0,1

14 70 0,1

15 75 0,2

16 80 0,1

17 85 0,1

18 90 0,1

19 95

20 100

21 105

Gambar 11.7 Grafik Data Pengukuran Infilttrasi Parangtritis

0,5
0,4
f (cm/menit)

0,3
0,2 f ukur

0,1 f duga

0
5 10 35 65 105
t (menit)

70
Pembahasan
Infiltrasi merupakan salah satu proses siklus hidrologi yang berperan
sebagai suatu proses masuk atau meresapnya air yang turun dari hujan atau

presipitasi ke dalam tanah. Proses yang terjadi dalam infiltrasi ini adalah air yang
turun dari hujan yang kemudian menggenangi tanah dan air akan masuk lewat

pori-pori tanah menuju air bawah tanah.


Proses infiltrasi banyak terjadi di daerah yang mempunyai topografi

datar. Hal ini karena pada topografi datar, air yang turun dari hujan akan

menggenang pada permukaan tanah, yang kemudian dilanjutkan proses


peresapan ke dalam tanah. Berbeda dengan topografi lereng atau miring. Karena

topografi yang miring, air yang jatuh lebih banyak akan mengalami run off

daripada infiltrasi melihat bahwa air akan bergerak ke tempat yang tinggi ke

tempat yang rendah. Pada topografi yang lereng atau miring, air akan lebih susah
untuk menggenang karena dengan topografi miring, air akan mengalir ke tempat

yang lebih rendah.

Proses infiltrasi disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain seperti yang

telah dijelaskan yaitu topografi. Faktor lainnya seperti kelembaban tanah, struktur

tanah, makhuk hidup, pemampatan curah hujan, penyumbatan bahan-bahan

halus, dan udara dalam tanah. Hal ini tentu mempengaruhi dalam proses laju

infiltrasi.

Infiltrasi juga dapat dihitung laju kecepatannya dengan menggunakan


alat infiltrometer. Seperti yang dilakukan pada praktikum pengukuran laju

infiltrasi yang dilaksanakan di sekitaran kampus khususnya FIS UNY dan di

Kecamatan Kalasan tepatnya di rumah Tuffa Yulina (mahasiswa geografi 2018 B

UNY). Pengukuran kemudian menghasilkan data seperti pada bagian hasil.

Diketahui bahwa data pengukuran menggunakan alat infiltrometer

dilakukan proses revisi. Hal ini dikarenakan pengaruh dari pengisian air. Pengisian
air yang terjadi dimaksudkan untuk mencari data yang mempunyai nilai
penurunan air yang konstan karena tampungan air yang terdapat di alat

iniltrometer terbatas, kira-kira hanya sekitar 20 cm. Pengisian air tersebut

mempunyai dampak terhadap proses laju infiltrasi karena mempunyai jeda dalam
peresapan air ke dalam tanah. Dengan hal tersebut, laju infiltrasi pada proses

pengisian air akan lebih cepat dibanding yang pertama. Hal ini yang kemudian
dilakukan revisi dimana revisi dilakukan dengan menyamakan hasil pada proses

71
pengisian ulang air dengan hasil penurunan di awal. Setelah dilakukannya revisi,
data tersebut dibuat grafik untuk dapat memperjelas laju kecepatan infiltrasi
tanah.

Pada tanah yang berada di sekitar kampus FIS UNY, grafik menunjukan
bahwa laju infiltrasi adalah 1,6 cm/s. Dikarenakan banyaknya nilai penurunan

konstan daripada penurunan yang lain. Grafik juga menyatakan bahwa laju
infiltrasi semakin lama semakin lambat proses peresapan airnya. Hal ini

disebabkan salah satunya karena tanah di daerah sekitar FIS UNY merupakan

tanah bergeluh. Artinya partikel-partikel tanah relatif kecil. Ketika partikel tanah
semakin sempit, maka tanah semakin rapat dan banyak terjadi proses

penggenangan salah satunya oleh curah hujan. Diketahui juga bahwa tanah di

daerah ini memiliki nilai pH 7 yaitu konstan atau normal. Nilai pH tersebut

mengakibatkan banyak tanaman yang dapat tumbuh di tanah ini salah satunya
pohon cemara. Banyaknya tanaman pohon cemara tentu memiliki akar yang

berada di dalam tanah. Akar tersebut juga memerlukan air untuk proses

pemenuhan kebutuhannya. Berdasarkan teori, laju infiltrasi sekitaran FIS UNY

dikategorikan agak lambat.

Pada tanah yang diukur di rumah Tuffa, grafik menunjukkan bahwa ada

penurunan laju percepatan infiltrasi tanah. Dalam waktu 5 menit menuju 10

menit, menunjukkan penurunan yang sangat drastis. Hal ini juga dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu salah satunya adalah jenis tanah. DI rumah Tuffa, tanah
merupakan tanah bergeluh. Sama halnya di daerah kampus bahwa tanah ini

mempunyai kerapatan antar partikel tanah yang cukup lekat. Akibatnya, air yang

meresap akan lebih banyak melakukan penggenangan terlebih dahulu dengan

infiltrasi yang rendah. Hasil pengukuran infiltrasi tersebut dikategorikan lambat.

Tingkat laju infiltrasi daerah Kulonprogo tergolong lambat. Hal ini dilihat

dari penurunan air yang dihitung menggunakan alt infiltrometer. Grafik


menunjukkan bahwa ada perlambatan laju infiltrasi. Perlambatan tersebut
diakibatkan juga karena pengisian air. Data pengukuran menunjukkan laju

infiltrasi konstan tercatat pada penurunan air 0,1 cm atau 1 mm per 5 menit. Hal

ini membuktikan bahwa laju infiltrasi daerah Kulonprogo tergolong lambat.


Laju infilttrasi daerah Gunungkidul juga mengealami penurunan laju

infiltrasi dimana infiltrasi lebih cepat pada awal pengisian air daripada pengisian
yang telah dilakukan diatas 30 menit. Grafik menunjukkan bahwa penurunan

72
tercatat pada 2,6 cm hingga sampai 1,5 cm. Hal ini juga disebabkan oleh
pengisian air pada alat infiltrometer. Kondisi infiltrasi konstan tergolong bervariasi
dikarenakan banyak penurunan konstan yang mempunyai nilai berbeda. Seperti

pada penurunan 1,9 cm dan 2. Kondisi tersebut kemungkinan juga diakibatkan


oleh adanya material di daerah pengukuran infiltrasi dimana adanya suatu

pengendapan air yang tiba-tiba akan langsung meresapkan air yang relatif
banyak dibandingkan penurunan awal. Material tersebut dapat berupa batuan,

ataupun adanya sumbatan yang susah dilalui oleh air. Laju keceparan infiltrasi ini

dikatogorikan agak lambat karena rata-rata nilai penurunan menunjukkan 1,5 cm


atau 15 mm sampai 2,0 cm atau 20 mm.

Hal yang sama pada pengukuran laju infiltrasi di daerah Parangtritis

dimana laju infiltrasi mengalami penurunan. Penurunan air pada alat infiltrometer

ini tergolong lambat karena penurunan menunjukkan 1-4 mm. Hal tersebut
dimungkinkan juga karena pengisian air pda alt infiltrometer.

F. Kesimpulan

1. Infiltrasi, merupakan siklus hidrologi yang mempunyai proses peresapan air

hujan ke dalam tanah.

2. Infiltrasi banyak terjadi di daerah datar.

3. Infiltrasi dihitung menggunakan alat infiltrometer.

4. Hasil pengukuran infiltrasi yang dilakukan di kampus FIS UNY dan Kalasan
(rumah Tuffa) dilakukan revisi.

5. Daerah pengukuran laju infiltrasi sekitar FIS UNY dikategorikan agak lambat.

6. Daerah pengukuran laju infiltrasi Kalasan (rumah Tuffa) dikategorikan lambat.

7. Daerah pengukuran laju infiltrasi Kulonprogo dikategorikan lambat.

8. Daerah pengukuran laju infiltrasi Gunungkidul dikategorikan agak lambat.

9. Daerah pengukuran laju infiltrasi Parangtritis dikategorikan lambat.


10. Kelima tempat pengukuran infiltrasi mengalami penurunan kecepatan
infiltrasi yang disebabkan oleh pengisian air.

73
ACARA XII
MENGUKUR RUN OFF DENGAN METODE THRONTHWAITE MATHER

A. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memperkirakan run-off dengan metode Throntwaite-

Mather.
2. Mahasiswa dapat menganalisis run-off dengan metode Throntwaite-Mather.

B. Dasar Teori
Jika intensitas curah hujan maupun laju salju melebihi laju infitrasi maka

kelebihan air mulai berakumulsi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas

cadangan permukakan dilampaui (merupakan fungsi depresi permukaan dan

gaya tegangan muka), limpasan permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan
yang tipis (Ersin, 1990: 182).

Limpasan permukaan atau run off menurut Ersin (1990: 182-183)

merupakan bagian limpasan yang melintas diatas permukaan tanah menuju

saluran sungai.

Menurut Takeda (1985: 135-136), faktor yang mempengaruhi limpasan

permukaan atau run off meliputi elemen meteorologi dan elemen daerah

peralihan.

1) Elemen meteorologi
a. Jenis presipitasi

b. Intesitas curah hujan

c. Lamanya curah hujan

d. Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran

e. Arah pergerakan curah hujan

f. Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah


2) Elemen daerah perealihan
a. Kondisi penggunaan tanah (landuse)

b. Daerah pengaliran

c. Kondisi topografi dalam daerah pengaliran


d. Jenis tanah

e. Faktor-faktor lain yang memberikan pengaruh

74
Widiyono (2016: 12) menjelaskan bahwa metode Thronthwaite Mather
dapat digunakan untuk mengetahui kondisi air secara kuantitas pada tiap
bulannya dalam satu tahun, dalam hal ini kondisi air mengalami surplus atau

defisit air, demikian juga dapat menegetahui run off bulanan, untuk mengetahui
kehilangan air melalui limpasan permukaan.

Perhitungan menggunakan metode Thornthwaite Mather


mempertimbangkan curah hujan, suhu udara, indeks panas bualanan, Water

Holdig Capacity (KAT) dan faktor koreksi lama penyinaran matahari berdasarkan

kondisi lintang. Suhu udara rerata bulanan dihitung menggunakan metode Mock,
karena adanya keterbatasan data (Widiyono. dkk, 2016: 12).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap neraca air menurut

Thornthwaite Mather adalah curahan hujan (dalam hal ini berperan sebagai satu-

satunya input air), suhu udara dan juga letak astronomi suatu wilayah akan
mempengaruhi besarnya evapotranspirasi yang terjadi (berperan sebagai output

air). Faktor topografi dan tangkapan penggunaan lahan akan mempengaruhi luas

daerah tangkapan yang berpengaruh terhadap besarnya infiltrasi dan limpasan

permeukaan (output air). Besarnya input maupun output air tersebut akan

mempengaruhi nilai surplus, defisit, dan run off yanag akan mempengaruhi

ketersediaan air yang ada (Widiyono. dkk, 2016: 14-15).

Hubungan anntara curah hujan dan limpasan tidaklah langsung. Diantara

keduanya, evaporasi, intersepsi, cadangan depresi, cadangan salju dan infiltrasi


bekerja sebeagaimana diatur oleh karakteristik-karakteristik dari ukuran,

kemiringan, bentuk, ketinggian, tata guna lahan, geologi daerah aliran sungai,

dan lain-lain (Ersin, 1990: 182).

C. Alat dan Bahan

Alat
1. Alat tulis, digunakan untuk menulis.
2. Kalkulator, digunakan untuk menghitung.

Bahan

1. Data hujan bulanan, digunakan sebagai acuan untuk perhitungan.


2. Data temperatur udara bulanan, sebagai acuan untuk perhitungan.

75
D. Langkah Kerja
Untuk melakukan menghitung dan menganalisis run-off dengan metode
Throntwaite-Mather, maka berikut langkah kerjanya:

1. Menyiapkan alat dan bahan untuk melaksanakan kegiatan praktikum


2. Menghitung temperatur udara bulanan.

Tx= 0,006 (t-x) ±T


x = temperature yang akan diketahui

T= temperature dari stasiun Klimatologi terdekat

t = keteinggian tempat stasiun klimatologi terdekat


Tx= ketinggian tempat yang akan diukur temperaturnya

3. Menghitung Indeks Panas (I)

i = (T/5)1,514
T= Temperatur bulanan

4. Menghitung Evapotranspirasi Potensial

Epx = 16 ( 10T/ I) 4
I=Ei

a= 0,000000675 x I3- 0,000077 I2 + 0,01792. I + 0,49239


5. Menghitung Selisih Curah Hujan dengan Evapotaranspirasi Potensial.

6. Menghitung Akumulasi Potensi Kehilangan Air (APWL).

7. Menghitung perubahan kelembaban cadangan lengas tanah dengan

mengkalikan prosentase luas penggunaan lahan. Air tersedia, dan kedalaman


zona perakaran.

8. Menghitung ST untuk APWL yang bernilai positif dengan menggunakan

rumus.
𝐶𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑎𝑠 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛
𝑆𝑇 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ (%)𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑧𝑜𝑛𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛
9. Menghitung ST dari APWL negative dengan mencocokkan dengan tabel nilai
APWL.

10. Menghitung evapotranspirasi actual (AE) dengan ketentuan:

P>EP maka AE= EP, P <EP maka AE = EP + (perubahan lengas tanah).


11. Menghitung nilai deficit (D) dari selisih EP-AE.

12. Menghitung nilai surplus (S) dengan rumus : S= (P – EP )- Perubahan ST

13. Menghitung runoff bulanan

76
14. Membuat laporan

E. Hasil dan Pembahasan

Hasil
Hasil dari menghitung dan menganalisis run-off dengan metode

Thronwaite-Mather, yang digunakan adalah data yang berasal dari stasiun


Bronggang dengan ketinggian 408 mdpal, sedangkan daerah yang akan dicari

run-offnya adalah daerah Kawasan Wisata Lava Tour Cangkringan yang berada

pada ketinggian 750 mdpal. Berikut adalah data curah hujan dan suhu bulanan
pada stasiun Bronggang, yang terurai dalam tabel ini:

Tabel 12.1 Data Curah Hujan dan Suhu Bulanan di Stasiun Bronggang

No Bulan Hujan (P) Suhu (T)

1 Januari 331 24,5

2 Februari 313 24,5

3 Maret 206 25,1

4 April 130 25,1

5 Meri 38 25,2

6 Juni 15 24,4

7 Juli 11 24,1

8 Agustus 13 23,8

9 September 13 24,7

10 Oktober 34 25,5

11 November 95 25,2

12 Desember 237 24,8

Dari data di atas, langkah selanjutnya yakni menghitung temperature


udara bulanan, yakni dengan cara:

Tx= 0,006 (t-x) ±T

Tx= 0,006 (408-705) ± suhu bulanan Stasiun Bronggang

Tx= 0,006 (-342) ± suhu bulanan Stasiun Bronggang


Tx= -2,05 + suhu bualanan Stasiun Bronggang

77
Tabel 12.2 Data Temperatur Bulanan Stasiun Bronggang

Temperatur
No Bulan Hujan (P) Suhu (T)
Bulanan (Tx)

1 Januari 331 24,5 22,45

2 Februari 313 24,5 22,45

3 Maret 206 25,1 23,05

4 April 130 25,2 23,05

5 Mei 38 25,2 23,15

6 Juni 15 24,4 22,35

7 Juli 11 24,1 22,05

8 Agustus 13 23,8 21,75

9 September 13 24,7 22,65

10 Oktober 34 25,5 23,45

11 November 95 25,2 23,15

12 Desember 237 24,8 22,75

Dari data diatas, kita dapat menghhitung indeks panas, yakni dengan cara:

I= (Tx/5)1,514

I= (suhu bulanan/5)1,514

Dari perhitungan diatas, maka diperoleh hasil sebagai berikut:


Tabel 12.3 Indeks Panas Bulanan

No Bulan Indeks Panas (i)

1 Januari 9,72

2 Februari 9,72

3 Maret 10,11

4 April 10,11

5 Mei 10,18

6 Juni 9,65

7 Juli 9,46

8 Agustus 9,26

9 September 9,85

10 Oktober 10,38

78
11 November 10,18

12 Desember 9,91

Jumlah (I) 118,53

Kemudian menghiitung evapotranspirasi potensial (Ep) yaitu yang pertama

menentukan Ep sebelum terkoreksi (Epx) dengan menggunakan rumus Epx =


10𝑇 𝑎
16( ) . Untuk menentukan Epx dibutuhkan Indeks Panas (I), Suhu Bulanan (Tx),
𝐼

dan 𝑎. Untuk Tx dan I sudah dihitung sebelum tahap ini, maka tinggal mencari

nilai 𝑎 yaitu dihitung dengan rumus:

𝑎 = 0,000000675 I3 – (0,000077 I2 + 0,01792 I + 0,49239)


𝑎 = 0,000000675 (118,53)3 – (0,000077 (118,53)2 + 0,01792 (118,53) +
0,49239)

𝑎 = 0,000000675 (1.665.270,747477) – (0,000077 (14.049,3609) + 2,1240576

+ 0,49239)

𝑎 = 1,1240577545 – (1,0818007893 + 2,1240576 + 0,49239)

𝑎 = 1,1240577545 – 3,6982483893

𝑎 = – 2,5741906348 = – 2,57
10Tx 𝑎
Epx = 16( )
I

10Tx −2,57
Epx = 16 ( )
118,53

Tabel 11.4 Epx Bulanan

Temperatur
Bulanan
Indeks Panas
No. Bulan Stasiun Epx
Bulanan (i)
Bronggang
(Tx)
1 Januari 22,45 9,72 3,09

2 Februari 22,45 9,72 3,09

3 Maret 23,05 10,11 2,90

4 April 23,05 10,11 2,90

5 Mei 23,15 10,18 2,86

6 Juni 22,35 9,65 3.13

7 Juli 22,05 9,46 3.25

79
8 Agustus 21,75 9,26 3.36

9 September 22,65 9,85 3.03

10 Oktober 23,45 10,38 2,77

11 November 23,15 10,18 2,86

12 Desember 22,75 9,91 3.00

Jumlah Indeks Panas (I) 118,53

Langkah selanjutnya yakni menghitung nilai Ep, nilai Ep dihitung dengan

mengkalikan Epx dengean f. f yakni faktor koreksi letak lintang suatu wilayah,
yang berada pada lintang 9°LS, yang menghasilkan data sebagai berikut:

Tabel 12.5 Hasil Hitungan Ep

No. Bulan Epx f Ep

1. Januari 3,09 32,4 100,12

2. Februari 3,09 29,1 89,92

3. Maret 2,90 31,5 91,35

4. April 2,90 29,7 86,13

5. Mei 2,86 30,3 86,66

6. Juni 3.13 29,1 91,08

7. Juli 3.25 30,0 97,50

8. Agustus 3.36 30,6 102,82

Septem 3.03 90,90


9. 30,0
ber
10. Oktober 2,77 31,8 88,09

Novemb 2,86 89,23


11. 31,2
er
Desemb 3.00 98,10
12. 32,7
er

Selanjutnya yakni mneghitung nilai APWL, dengan cara mencari selisish curah
hujan bulanan dengan nilai Ep bulanan, yang menghasilkan data sebagai berikut:

Tabel 12.6 Nilai APWL tiap Bulanan

No. Bulan Hujan (P) EP P-EP APWL

1. Januari 331 100 231

2. Februari 313 90 223

80
3. Maret 206 91 115

4. April 130 86 44

5. Mei 38 87 -49 – 49

6. Juni 15 91 -76 – 125

7. Juli 11 98 -87 – 212

8. Agustus 13 103 -90 – 302

9. September 13 91 -78 – 380

10. Oktober 34 88 -54 – 434

11. November 95 89 6

12. Desember 237 98 139

Langkah berikutnya yakni cadangan lengas tanah (ST) pada APWL positif yakni

sebagai berikut:

Tabel 12.7 Penghitungan cadangan lengas tanah

Penggunaan Luas (%) Air tersedia Zona ST (mm)

Lahan (mm/m) Perakaran

(mm)

Pemukiman 20 226,1 00 0

Tegalan 40 200 1,00 8.000


jagung

Kebun 10 200 1,50 3.000


campuran

Tegalan 30 1.000 0,75 2.250

tembakau

Jumlah 100 13250

𝐶𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑎𝑠 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛


𝑆𝑇 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ (%)𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑧𝑜𝑛𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛
ST= 13250/ 80%= 16562

Selanjutnya ST untuk APWL negatif, sebagai berikut:

81
Tabel 12. 8 Nilai ST bulanan

No. Bulan APWL ST

1. Januari 166

2. Februari 166

3. Maret 166

4. April 166

5. Mei – 49 60

6. Juni – 125 28

7. Juli – 212 11

8. Agustus – 302 4

9. September – 380 2

10. Oktober – 434 1

11. November 166

12. Desember 166

Langkah selanjutnya yakni menghitung ∆ST, dihitung berdasarkan selisih antara

cadangan tanah bulan sebelumnya dengan cadangan lengas tanah bulan ini,

sebagai berikut:

Tabel 12. 9 Perhitungan nilai ∆ST

No. Bulan ST ∆ST

1 Januari 166 0

2 Februari 166 0

3 Maret 166 0

4 April 166 0

5 Mei 60 -106

6 Juni 28 -32

7 Juli 11 -17

8 Agustus 4 -7

9 September 2 -2

10 Oktober 1 -1

11 November 166 165

82
12 Desember 166 0

Langkah selanjutnya yakni menghitung nilai Evapotranspirasi Aktual (AE), yang


dapat diperoleh dengan ketentuan:

Jika P> EP maka AE= EP

Jika P<EP maka AE = P + (perubahan lengas tanah)

Tabel 12. 10 Hasil Perhitungan Evapotranpirasi Aktual (AE)

No. Bulan Hujan (P) EP AE

1. Januari 331 100 100

2. Februari 313 90 90

3. Maret 206 91 91

4. April 130 86 86

5. Mei 38 87 98
6. Juni 15 91 43
7. Juli 11 98 22
8. Agustus 13 103 17
9. September 13 91 15
10. Oktober 34 88 35
11. November 95 89 89

12. Desember 237 98 98

Kemudian menghitung nilai deficit (D) diperoleh pada selisih antara EP- AE, yang

mengahsilkan data sebagai berikut:

Tabel 11. 11 Hasil Perhitungan Nilai Defisit (D)

No. Bulan EP AE D

1 Januari 100 100 0

2 Februari 90 90 0

3 Maret 91 91 0

4 April 86 86 0

5 Mei 87 98 11

83
6 Juni 91 43 48

7 Juli 98 22 76

8 Agustus 103 17 86

9 September 91 15 76

10 Oktober 88 35 53

11 November 89 89 0

12 Desember 98 98 0

Selanjutnya yakni nilai surplus (S) diperoleh berdasarkan rumus, S= (P- EP)- ∆ST.

Tabel 11. 12 Nilai Surplus (S) Bulanan

No. Bulan P-EP ∆ST S


1. Januari 231 0 231

2. Februari 223 0 223

3. Maret 115 0 115

4. April 44 0 44

5. Mei -49 -106 0

6. Juni -76 -32 0

7. Juli -87 -17 0

8. Agustus -90 -7 0

9. September -78 -2 0

10. Oktober -54 -1 0

11. November 6 165 6

12. Desember 139 0 139

Langkah terakhir dari perhitungan neraca air dengan metode Thornthwaite and

Mather adalah menghitung runoff. Runnoff diperoleh dari surplus air yang
besarnya diamsusikan 50% dan sisanya akan leluar menjadi runoff pada bulan

berikutnya.

84
Tabel 12. 13 Tabel runoff bulanan di wilayah lavatour Cangkringan
Sleman

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah
231 223 115 44 0 0 0 0 0 0 6 139

115,5 111,5 57,5 22 0 0 0 0 0 0 3 69,5

115,5 111,5 57,5 22 0 0 0 0 0 0 3

57,75 55,75 28,75 11 0 0 0 0 0 0

28,89 27,75 14,37 5,5 0 0 0 0 0

14,44 13,93 7,18 2,75 0 0 0 0


Surplus 7,22 6,96 3,59 1,37 0 0 0
50%
3,61 3,48 1,79 0,68 0 0

1,81 1,74 0,95 0,34 0

0,91 0,87 0,475 0,17

0,455 0,435 0,2375

0,2275 0,2175

0,1138

Total 115,5 227 226,75 164,14 92,94 46,52 23,25 11,63 5,81 2,955 4,4775 73,2388 995,2113
Runnoff

Pembahasan
Limpasan atau run off merupakan suatu bagian aliran atau limpasan yang

terjadi pada permukaan tanah menuju saluran sungai. Run off berasal dari hujan
yang turun menggenangi permukaan bumi yang kemudian membentuk suatu

aliran.

Run off ini ada karena pada saat terjadinya hujan, air yang turun ke tanah
sedikit sulit mengalami infiltrasi. Artinya intensitas curah hujan melebihi tingkat
infiltrasi tanah. Sehingga dalam keadaan ini, air yang kelebihan atau belum
meresap sebagai infiltrasi kemudian membuat aliran-aliran kecil yang kemudian

menyatukan aliran-aliran lain. Dengan demikian, aliran tersebut dapat menjadi

besar seperti contohnya parit-parit, selokan, hingga sungai.

Faktor yang menyebabkan limpasan antara lain karena curah hujan,


tingkat infiltrasi tanah, evapotranspirasi, topografi, dan kakrakteristik DAS. Hal ini

85
karena run off berhubungan dengan kondisi fisik dan meteorologi yang terjadi.
Kondisi ini menyebabkan ketidakstabilan dalam waktu singkat (±1 bulan) karena
kondisi mengenai meteorologi selalu berubah-ubah dalam waktu singkat. Dalam

artian ada nilai surplus dan defisit dari limpasan tersebut.


Metode Thronthwaite Mather digunakan untuk mengetahui kondisi air

secara kuantitas setiap bulannya dalam satu tahun. Artinya limpasan ini dapat
berubah-ubah dalam satu tahun. Dalam kondisi ini, air mengalami surplus atau

defisit dalam suatu limpasan atau run off untuk mengetahui berapa kehilangan

air dalam satu bulan.


Air yang berkurang ini disebabkan karena aktivitas evapotranspirasi yaitu

adanya penguapa baik secara langsung dari limpasan tersebut maupun lewat

tanaman. Dengan demikian hal tersebut dihitung menggunakan metode

Thornthwaite Mather yang menjabarkan cara menghitung kondisi air limpasan


berdasarkan proses-proses meteorologi yang mempengaruhinya, salah satunya

evapotranspirasi.

Cara dan langkah menghitung seperti yang telah dijabarkan, memerlukan

data yang valid guna dapat menghitung nilai run off. Diketahui data diambil dari

stasiun iklim Bronggang dengan tempat pengukuran di daerah wisata lava tour

cangkringan. Data yang diperoleh kemudian dihitung dan dibuat tabel-tabel

untuk menentukan run off bulanan di daerah cangkringan tersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel hasil, wisata lava tour


Cangkirngan mempunyai total run off sebesar 995,2113 per tahun. Hasil ini

berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Thornthwaite

Mather. Suhu, indeks panas, dan evapotranspirasi setiap bulan itu berbeda-bed.

Namun, indeks panas dapat dirata-rata menjadi indeks panas tahunan. Selisih

antara CH dengan nilai EP dapat untuk menentukan kelebihan dan kekurangan

periode lembab atau basah.

F. Kesimpulan

1. Limpasan atau run off merupakan suatu bagian aliran atau limpasan yang

terjadi pada permukaan tanah menuju saluran sungai.


2. Run off dipengaruhi oleh curah hujan, tingkat infiltrasi tanah,

evapotranspirasi, topografi, dan karakteristik DAS.


3. Run off dapat diukur menggunakan metode Thornthwaite Mather.

86
4. Metode Thronthwaite Mather mengukur tingkat surplus dan defisit aliran run
off setieap bulannya.
5. Daerah wisata lava tour Cangkringan diketahui total run off menggunakan

metode Thornthwaite Mather sebesar 995,2113 per tahun.

87
DAFTAR PUSTAKA
Aidatul F, Nining. 2015. Pemetaan Laju Infiltrasi Menggunakan Metode Horton di

SUB DAS Tenggarang Kabupaten Bondowoso. Skripsi. Universitas Jember.


Arthana, I Wayan. 2012. Studi Kualitas Air Beberapa Mata Air di Sekitar Bedugul,

Bali (The Studi of Water Quality of Springs Surrounding Bedugul, Bali).


Journal Lingkungan Bumi Lestari. Vol 7. No 1. Hal: 1-9.
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta: UGM

Press.
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air. 2008. Kajian Model

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Bappenas. Jakarta.


Dwiratna, dkk. 2013. Analisis Curah Hujan dan Aplikasinya dalam Penetapan

Jadwal dan Pola Tanam Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bandung.


Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. Vo 15. No 1. Hal 29-34.

Firnawan, Aldi. 2011. Pengukuran Debit Air Berbasis Mikrokontroler. Jurnal Litek.

Vol 8. No 1. Hal: 28-31.

Gustari, Indra. 2009. Analisis Curah Hujan Pantai Barat Sumatera Bagian Utara

Periode 1994-2007. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol 10. No 1. Hal 29-
38.

Handoko, T. Hani. 1995. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.

Yogyakarta: BPFE.
Hendrawan, Diana. 2005. Kualitas Air Sungai dan Situ di DKI Jakarta. Jurnal Teknik

Lingkungan. Vol 9. No 1. Hal: 13-19).


Hermawan, Eddy. 2010. Pengelompokkan Pola Curah Hujan yang Terjadi di

Beberapa Kawasan P. Sumatera Berbasis Hasil Analisis Teknik Spektral.


Jurnal Meteorologi dan Geofisik. Vol 11. No 2. Hal: 75-85.

Jone. Yohanes. 2018. Kajian Potensi Air Tanah dan Pembagian Wilayah Potensi di
Cekungan Air Tnah Maumere. Jurnal Iptek. Vol 22. No 1. Hal: 21-28.
Juleha, dkk. 2016. Analisa Metode Intensitas Hujan pada Stasiun Hujan Rokan IV

Koto, Ujung Batu, dan Tandun Mewakili Ketersediaan Air di Sungai Rokan.
Jurnal Mahasiswa Fakultas Teknik. Vol 2. No 2. Hal 1-8.
Khotimah, Nurul. 2008. Hidrologi. Diktat. Yogyakarta: Universitas Negeri

Yogyakarta.

88
Maulana, Rian Asnul. dkk. 2014. Korelasi Antara Debit Aliran Sungai dan
Konsentrasi Sedimen Melayang pada Muara Sub DAS Padang di Kota
Tebing Tinggi. Jurnal Online Agroekoteknologi. Vol 2. No 4. Hal: 1518-1528.
Mori, Kiyota. 2006. Hidrologi untuk Pengairan. (Diterjemahkan oleh Sosrodarsono,
Suyono). Jakarta: Pradnya Paramita.

Nilda. 2014. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Dampaknya terhadap


Hasil Air di Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu. Tesis. Denpasar.
Universitas Udayana Bali.

Norhadi, Ahmad. dkk. 2015. Studi Debit Aliran Pada Sungai Antasan Kelurahan
Sungai Andai Banjarmasin Utara. Jurnal Poros Teknik. Vol 7. No 1. Hal: 1-53.
Nugroho, Hunggul. 2015. Analisis Debit Aliran DAS Mikro dan Potensi

Pemanfaatannya. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. Vol 4. No 1. Hal 23-


34.
Prawaka, Fanny. dkk. 2016. Analisis Data Curah Hujan yang Hilang dengan

Menggunakan Metode Normal Ratio, Inversed Square Distance, dan Rata-


Rata Aljabar (Studi Kasus Curah Hujan Beberapa Stasiun Hujan Daerah
Bandar Lampung). Jurnal Rekayasa Sipil dan Desain. Vol 4. No 3. Hal 397-
406.

Putro, Haryono. dkk. 2013. Variasi Koefisien Kekasaran Manning (n) pada Flume

Akrilic pada Variasi Kemiringan Saluran dan Debit Aliran. Jurnal Media
Komuniksi Tenik Sipil. Vol 19. No 2. Hal: 141-146.
Rohaini, Gendraya. dkk. Analisis Potensi Air Tanah dan Strategi Pengelolaan yang

Berkelanjutan di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak. Jurnal Kajian

Lingkungan. Vol 2. No 1. Hal: 1-12.


Rolia, Eva. 2015. Analisis Potensi Air Tanah di Kelurahan Imopuro Metro dengan

Menggunakan Perhitungan Metode Resty. Jurnal Tapak. Vol 4. No 2. Hal:

78-86.
Said, Muhammad Firman Nur. 2013. Kajian Ketersediaan dan Penggunaan Air dan
Mataair untuk Kebutuhan Domestik di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.
Jurnal Bumi Indonesia. Vol 3. No 2. Hal: 1-10.

Setiyono, Risky Yanuar. dkk. 2017. Estimasi Debit Puncak Melalui Metode
Manning dan Metode Cook Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografi di Sub DAS Gesing, Kabupaten Purworejo. Seminar
Nasional Kebumian Ke-10. Graha Sabha Pramana.

89
Seyhan, Ersin. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. (Ditejemahkan oleh Soenardi
Prawirohatmodjo0. Yogyakarta: UGM Press.
Sunaryo, T dan Walujo. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Air Konsep dan

Penerapannya. Malang: Bayumedia Publishing.


Sutandi, Maria Christine. 2012. Air Tanah. Penelitian. Bandung. Universitas Kristen

Maranatha.
Takeda, Kensaku. 1985. Hidrologi Untuk Penegairan. (Diterjemahkan oleh Suyono

Sosrodarsono). Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset


Yoyakarta.

Tresnadi, Hidir. 2008. Pengelolaan DAS dengan Pendekatan Ekosistem. Jurnal

Hidrosfir Indonesia. Vol 3. No 2. Halaman : 95-104.

Widyastuti, dkk. 2017. Hidrologi dan Hidrogeologi Karst. Makalah.


10.31227/osf.io/8wcm7.

Widiyono, Mayriau Galih Widiyono. 2016. Analisis Neraca Air Metode


Thornthwaite Mather Kaitannya dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Domestik
di Daerah Potensi Rawan Kekeringan di Kecamatan Trowulan Kabupaten
Mojokerto. Jurnal Swara Bumi. Vol 1. No 1. Hal: 10-17.
Wilson, E.M. 1993. Hidrologi Teknik. Bandung: Penerbit ITB.

Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam

Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Semarang. Universitas


Diponegoro.

90
LAMPIRAN
Gambar 2. 1 Peta DAS

Gambar 2. 2 Peta DAS

91
Gambar 4. 1 Data Curah Hujan Suatu Wilayah

Gambar 4. 2 Perhitungan Curah Hujan yang Hilang

92
Gambar 4. 3 Perhitungan Curah Hujan

Gambar 5. 1 Irigasi Ponjong

Gambar 5. 2 Irigasi Ponjong

93
Gambar 6. 1 Sungai Code

Gambar 6. 2 Sungai Code

94
Gambar 6. 3 Sungai Code

Gambar 6. 4 Material Sungai Code

95
Gambar 6. 5 Longsoran Tepian Sungai Code

Gambar 6. 6 Longsoran Tepian Sungai Code

96
Gambar 7. 1 Mata Air Sungai Code

Gambar 7. 2 Wadah Ember 10 Liter

97

Anda mungkin juga menyukai