Anda di halaman 1dari 98

UNIVERSITAS BENGKULU

FAKULTAS HUKUM

PERBANDINGAN HUKUM TERHADAP ALAT


UJI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) DALAM
HUKUM POSITIF INDONESIA DAN
AMERIKA SERIKAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Dan Memenuhi


Persyaratan Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum

Oleh:
Muhammad
Iqbal B1A019298

BENGKUL
U 2024
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak luput dari bantuan dan dukungan

yang diberikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti sampaikan rasa terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr Yamani, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Bengkulu.

2. Ibu Susi Ramadhani, S.H., M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

3. Bapak Prof. Dr. Iskandar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang senantiasa membantu kelancaran di sepanjang masa

perkuliahan peneliti.

4. Ibu Lidia Br. Karo, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi

yang telah dan memberikan bimbingan serta masukan yang berarti

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Bapak Asep Suherman, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, meluangkan waktu, memberi saran,

motivasi, serta berbagi ilmu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Bapak Prof. Dr. Herlambang, S.H., M.H, selaku dosen penguji skripsi

yang telah memberikan masukan yang baik terhadap bermanfaatnya

penulisan skripsi ini.

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

“Maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu (QS Fatir: 5)”

"you’re gonna have everything u prayed for. Believe it."

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Allah Swt. Tuhan alam semesta, zat yang maha baik, terima kasih atas

segala cinta, kebahagiaan, dan kehidupan yang Engkau berikan kepada

kami.

2. Nabi Muhammad SAW yang telah memperjuangkan kelayakan hidup

umat manusia dan membawa kesejukan di dalam kehidupan, semoga

Allah membalas atas kebaikanmu kepada kami dengan sesuatu yang

sesuai kedudukannya.

2. Kedua Orang tua tercinta, terima kasih Bapak Mugiharto (Alm) yang

semasa hidup telah 101% mencurahkan tenaga dan ketulusan untuk

kebahagiaanku, yang tidak sempat menyaksikan anakmu mendapatkan

hasil atas usahanya, Allah lebih tau mana yang terbaik, aku yakin kau

tenang di sisi-Nya, do’a ku tulus menyertaimu. Terima kasih Ibu

Sunarsih, hidupku, sudah selalu mendoakan, karna sebaik- baik do’a

vii
adalah do’a seorang ibu kepada anaknya. Terima kasih kepada Mbah

yang telah mendoakan dan mendukung penulis selama penulisan skripsi

2. Saudaraku, Bimo Wahyudi, terima kasih telah menjadi inspirasi dan

alasan ku untuk berusaha. Terima Kasih kedua adikku, Intan Triana dan

Carissa Alvina Zahira atas do’a dan dukungannya. Terima Kasih juga

kepada Mbak Annisa Rizky dan Cierra Ailee yang telah memberi

dukungan secara moral kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

4. Teman sekaligus Partner Skripsi. Terima kasih telah menjadi bagian

dari perjalanan hebat ini.

5. Teman-teman selama masa kuliah, teman-teman Tibersa, dan teman-

teman Teladan atas hiburan selama masa penulisan skripsi ini.

6. Almamater Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI....................................iv
KATA PENGANTAR.........................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL................................................................................................xi
ABSTRAK............................................................................................................xii
ABSTRACT........................................................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Identifikasi Masalah...........................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.........................................................7
D. Kerangka Pemikiran..........................................................................7
E. Keaslian Penelitian..............................................................................13
F. Metode Penelitian................................................................................14

BAB II KAJIAN PUSTAKA..............................................................................19


A. Perbandingan Hukum........................................................................19
B. Alat Bukti.............................................................................................24
C. Lie Detector..........................................................................................26

BAB III PENGATURAN PENGGUNAAN LIE DETECTOR SEBAGAI


ALAT BUKTI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN
AMERIKA SERIKAT
...............................................................................................................................
38
ix
A. Pengaturan Penggunaan Lie Detector Dalam Hukum Positif di
Indonesia
.................................................................................................................
38
B. Pengaturan Penggunaan Lie Detector Dalam Hukum Positif di
Amerika Serikat
.................................................................................................................
45

BAB IV PENGATURAN LIE DETECTOR DALAM


PROSES PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PIDANA DI
INDONESIA DI MASA
YANG AKAN DATANG............................................................................................ 62
A. Pengaturan Lie Detector Dalam Proses Pembuktian Hukum
Acara Pidana Di Indonesia Berdasarkan Teori Pembuktian.........63
B. Pengaturan Lie Detector Dalam Pembuktian Hukum Acara
Pidana Di Indonesia Berdasarkan KUHAP.....................................64

BAB V PENUTUP.............................................................................................74
A. Kesimpulan..........................................................................................74
B. Saran....................................................................................................75

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................76
x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian.............................................................................13

xi
ABSTRAK

Lie Detector merupakan salah satu alat bantu dalam pembuktian tindak
pidana yang merupakan hasil dari pengembangan dan pendalaman dari metode
pendekatan penyidikan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, atau yang lebih
dikenal dengan scientific investigation. Penggunaan alat bantu Lie Detector pada
proses beracara pidana di Indonesia masih menjadi topik yang kontroversial
karena belum adanya aturan yang mengatur secara eksplisit. Berbeda dengan
Amerika Serikat yang telah memiliki aturan secara detail mengenai penggunaan
Lie Detector, baik pada undang-undang federal maupun undang-undang negara
bagian. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perbedaan
pengaturan mengenai penggunaan Lie Detector antara Indonesia dan Amerika
Serikat, serta bagaimana seharusnya ketentuan mengenai Lie Detector dalam
proses pembuktian pidana di Indonesia di masa depan. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau
kepustakaan. Penulisan ini menggunakan metode pendekatan undang-undang
(statue approach), serta metode pendekatan komparatif (comparative approach).
Di Indonesia hasil tes Lie Detector dikategorikan sebagai barang bukti menjadi
alat bukti agar bisa menjadi bukti sah yang diterima di pengadilan. Berbeda
dengan Indonesia, Amerika Serikat sudah secara eksplisit mengatur mengenai
detail penggunaan Lie Detector, baik pada Undang-Undang federal maupun
Undang-Undang negara bagian.
Kata Kunci: Lie Detector, Polygraph, Alat Bukti

xii
ABSTRACT

Lie Detector is one of the assistive tools in proving criminal acts which is
the result of the development and deepening of investigative approach methods
involving various scientific disciplines, or what is better known as scientific
investigation. Use of assistive devices Lie Detector The criminal procedure
process in Indonesia is still a controversial topic because there are no regulations
that explicitly regulate it. This is different from the United States which has
detailed regulations regarding use Lie Detector, both in federal law and state law.
The aim of this research is to find out how different settings regarding use are Lie
Detector between Indonesia and the United States, as well as what the provisions
regarding Lie Detector in the criminal evidence process in Indonesia in the future.
The type of research used in this research is normative legal research or
literature. This writing uses the statutory approach method (statue approach), as
well as the comparative approach method (comparative approach). In Indonesia
test results Lie Detector categorized as evidence becomes evidence so that it can
become valid evidence that is accepted in court. In contrast to Indonesia, the
United States has explicitly regulated the details of use Lie Detector, both in
federal law and state law.
Keywords: Lie Detector, Polygraph, Evidence

xiii
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang

Perkembangan pembuktian di berbagai belahan dunia merupakan suatu

topik yang sangat luas dan menjadi objek yang mengalami kemajuan yang

signifikan. Perkembangan pembuktian tidak hanya berkaitan dengan

perkembangan hukum, namun juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Scientific Investigation adalah salah satu metode ilmiah yang dihasilkan

dari perkembangan tersebut.

Pada proses pembuktian secara scientific investigation tersebut, peran ilmu

pengetahuan sangatlah besar dalam membantu pengungkapan dan proses

penyidikan tindak pidana tersebut. “Salah satu yang berperan adalah ilmu

forensik, yang merupakan suatu ilmu pengetahuan yang menggunakan multi

disiplin ilmu untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran,

biologi, psikologi, dan kriminologi”.1

Ilmu forensik mengembangkan berbagai ilmu bantu dalam mengungkap

perkara pidana. Adapun ilmu bantu yang digunakan untuk mempermudah proses

pembuktian perkara pidana yaitu Ilmu Psikologi dan Psikiatri, Ilmu Kriminalistik,

Ilmu Kedokteran Kehakiman (IKK), Forensik Molekuler: DNA, Finger Print,

PCR (Polymerase Chain Reaction).2 Salah satu alat yang dihasilkan dari

pendalaman dan

1
Riza Sativa, “Scientific Investigation dalam Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan”,
Jurnal Ilmu Kepolisian, Vol. 15 No. 1 April 2021, hal. 59.
2
I Ketut Sudjana. Buku Ajar Hukum Acara Pidana Dan Praktek Peradilan Pidana.
Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana Pers, Bali, 2016, hal, 10-11.
1
2

pengembangan ilmu bantu yaitu alat uji kebohongan, atau yang lebih dikenal

dengan Lie Detector.

“Latar belakang diciptakannya suatu alat untuk mendeteksi kebohongan

ialah karena pelaku suatu tindak kejahatan seringkali tidak mengakui kejahatan

yang telah dilakukannya”.3 Kemudian muncul sebuah alat yang bernama Lie

Detector. Dikutip dari Lie Detector UK, Lie Detector memiliki tingkat

keakurasian mencapai 95-98 persen.4

Teori di balik Lie Detector adalah ketika seseorang berbohong, mereka

mengalami respon fisiologis seperti detak jantung yang meningkat atau

berkeringat, yang dapat dideteksi oleh mesin. Terkadang, orang yang tidak

bersalah dihadapkan dengan hasil bahwa mereka gagal dalam melakukan tes

poligraf dan menjadi yakin bahwa pilihan terbaik adalah memberikan keterangan

palsu.5 Di sisi lain, seseorang yang berkata jujur bisa dideteksi bohong jika detak

jantungnya berubah, hanya karena sifatnya yang temperamen.6 “Orang sering

salah mengira bentuk manifesatasi dari reaksi fisik yang menunjukkan stres

sebagai indikator seseorang berbohong. Hal ini terkadang terjadi pada orang yang

tidak bersalah yang diadili atas kejahatan yang tidak mereka lakukan”.7 Oleh

karena itu, keakuratan dan

3
Putu Tissya Poppy Aristiani, dan I Wayan Bela Siki Layang. “Pengaturan Alat Bantu
Pendeteksi Kebohongan (Lie Detector) di Pengadilan Dalam Pembuktian Perkara Pidana”, Jurnal
Kertha Semaya, Vol. 10 No. 3 Tahun 2022, hal. 508.
4
LieDetectorTest.UK, “Lie Detector Test Accuracy”, Artikel, diakses pada 11 September
2023 dari https://liedetectortest.uk/lie-detector-test-accuracy
5
George W. Maschke and Gino J. Scalabrini. The Lie Behind the Lie Detector, 5th ed.
U.S.: AntiPolygraph.org, 2018, hal. 85.
6
Lovina. “Kedudukan dan Keabsahan Hasil Pemeriksaan Poligraf dalam Sistem
Pembuktian Pidana di Indonesia: Tinjauan Prinsip Keadilan yang Adil (Fair Trial)”. Jurnal
Jentera, Vol 3 No 1 Tahun 2020, hal. 176-177.
7
Martin Soorjoo. The Black Book of Lie Detection. 2009, hal, 5.
3

keandalan poligraf sering diperdebatkan, namun penggunaannya diatur oleh

Undang-Undang di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.

Penggunaan alat pendeteksi kebohongan di Indonesia belum diatur di

dalam sistem perundang-undangan, namun penggunaan alat bantu berupa

pendeteksi kebohongan ini sendiri sudah mulai dikenal dan dipertimbangkan

penggunaannya sejak Tahun 1996 terkait kasus pembunuhan wartawan Bernas

dan sudah mulai diterapkan dalam beberapa kasus pidana, namun belum

digunakan secara eksplisit

Berdasarkan jurnal Jentera Volume 3 Nomor 1 (2020):

Hakim pernah menjadikan hasil dari alat bukti uji kebohongan ini pada
setidaknya 3 putusan pada tahun 2014. Pertama kasus Ziman yang
melakukan pencabulan terhadap bayi umur 9 bulan, kemudian kasus
pembunuhan Engeline oleh Margriet Christina Megawe dan Agustay
Handamay, serta kasus Neil Bentleman yang merupakan terpidana kasus
pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS).8

“Selain itu, Lie Detector juga digunakan pada kasus dengan mutilasi yang

dilakukan oleh Ryan Jombang Tahun 2008 dan pembunuhan Mirna Salihin yang

dilakukan dengan Zat Sianida pada Tahun 2016”. 9 Serta yang terbaru adalah kasus

pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. 10 “Dalam kasus lain

seperti kasus penembakan Pamudji, penyidik menggunakan bantuan Lie Detector

terhadap tersangka, dan hasil dari penggunaannya sudah sama dengan yang ada di

8
Jentera: Jurnal Hukum, Vol. 3. No. 1, 2020.
9
Dani Ramadhan Syam, Bambang Dwi Baskoro, Sukinta. ”Peranan Psikologi Forensik
dalam Mengungkapkan Kasus-Kasus Pembunuhan Berencana (Relevansi "Metode Lie Detection"
dalam Sistem Pembuktian Menurut KUHAP)”. vol 6 no 4. 2017. hal. 3.
10
Rini Friastuti dan Ahmad Romadhoni, “Deretan Kasus Pidana yang Menggunakan Lie
Detector saat Penyelidikan”, diakses pada 28 Mei 2023 dari
https://kumparan.com/kumparannews/deretan-kasus-pidana-yang-menggunakan-lie-detector-saat-
penyelidikan-1yolFlkp2kH
4

11
Berita Acara Pemerikasaan (BAP)”. Fungsi Lie Detector dalam kasus tersebut

hanya untuk menguatkan BAP yang telah ada.

Lie Detector di Indonesia hanya didasarkan pada Peraturan Kapolri

Nomor 10 Tahun 2009 yang pada hakikatnya merupakan upaya pembuktian

secara ilmiah baik dalam rangka membantu proses penyidikan tindak pidana

maupun pelayanan publik lainnya di bidang forensik. “Aturan ini didasarkan pada

prinsip bahwa penggunaan alat pendeteksi kebohongan berdasarkan kebutuhan.

Lie Detector digunakan saat penyidik memintanya, dan penggunaannya

ditentukan oleh permintaan penyidik”.12 Ketika penyidik kesulitan mendapatkan

pernyataan dari tersangka, pendeteksi kebohongan harus digunakan.

“Konsep penggunaan Lie Detector dalam tingkat penyidikan ini sesuai

dengan konsep penyidikan Polri yang saat ini telah berbasis scientific

investigation”.13 Penggunaannya juga telah sesuai amanat Kepolisian Republik

Indonesia berdasarkan Peraturan Kapolri yaitu Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun

2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis

Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang

Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak

Pidana.

Jauh sebelum Indonesia, Amerika Serikat sudah lebih dulu menggunakan

Lie Detector selama hampir satu abad. “Pada 1921, John Larson, petugas polisi

11
Yahdi Miftah Huddin, Op. Cit.,
12
Putu Tissya Poppy Aristiani, dan I Wayan Bela Siki Layang. Op. Cit., hal. 509
13
Ibid. hal, 12.
5

Barkeley, California, mengembangkan sebuah instrumen untuk mendeteksi

kebohongan yang diberi nama sphygmomanometer”.14 Instrumen tersebut lalu

digunakan selama 15 tahun setelah pengembangannya untuk memecahkan kasus

pembunuhan, pencurian, dan kejahatan seksual.

Penggunaan Lie Detector di Amerika Serikat telah diatur di dalam sistem

perundang-undangannya. Salah satu contoh negara bagian di Amerika Serikat

yang mengizinkan penggunaan hasil Lie Detector yaitu New Mexico. “New

Mexico mengacu pada Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence yang mengatur

mengenai detail pemeriksaan Lie Detector”.15 “Para profesional dilatih dan

disertifikasi oleh berbagai lembaga pelatihan, termasuk lembaga swasta dan yang

terpenting oleh U.S. Department of Defense Polygraph Institute”.16

Kedudukan Lie Detector di sistem perundang-undangan di Indonesia

masih dipertanyakan. “Sistem pembuktian pidana di Indonesia bersandar pada

pengkategorian barang bukti menjadi alat bukti agar bisa menjadi bukti yang sah

dan diterima di pengadilan”.17 Sehingga, apabila suatu hasil pemeriksaan Lie

Detector bisa diterima di pengadilan, maka laporan pemeriksaannya harus

dikonversi terlebih dahulu menjadi alat bukti surat melalui sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah.18 Berbeda dengan New Mexico yang sudah memiliki

14
“The Polygraph Museum, John Larson’s Breadboard Polygraph”, liet2me.net, diakses
28 Mei 2023, http://www.lie2me.net/thepolygraphmuseum/id16.html
15
New Mexico Rules of Evidence, “Rule 11-707-Polygraph Examinations”, 31 Desember
2013, diakses 29 Mei 2023, https://swrtc.nmsu.edu/files/2014/12/New-Mexico-Rules-of-
Evidence.pdf
16
National Research Council. The Polygraph and Lie Detection. Washington, DC: The
National Academies Press, 2003, hal. 19.
17
Lovina. Op. Cit., hal. 187.
18
Ibid
6

Rules of Evidence 11-707 untuk mengukur standar agar hasil pemeriksaan poligraf

dapat diterima sebagai bukti ilmiah di pengadilan.

Melihat belum adanya pengaturan secara lengkap dan khusus mengenai

bukti hasil dari alat uji kebohongan (Lie Detector) dalam sistem perundang-

undangan di Indonesia dan kedudukannya juga masih dipertanyakan, hal ini akan

mempengaruhi tingkat validitas yang kemudian berpengaruh pula terhadap

penggunaan hasil pemeriksaannya sebagai bukti ilmiah di pengadilan. Sehingga

perlu adanya suatu aturan yang secara khusus mengatur mengenai penggunaan

dan kedudukan Lie Detector sebagai bukti ilmiah di pengadilan. “Sebagai

perbandingan, negara bagian New Mexico yang juga mengakui hasil pemeriksaan

Lie Detector sebagai bukti ilmiah di pengadilan, sudah memiliki peraturan terkait

pemeriksaan Lie Detector”.19

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terdapat perbedaan ketentuan dan

pengaturan dari Lie Detector antara Indonesia dan Amerika Serikat. Oleh karena

itu, pemilihan akan Indonesia dan Amerika Serikat sebagai bahan perbandingan

aturan dan fungsi mengenai alat uji kebohongan (Lie Detector) amatlah tepat.

Fungsi utama dari perbandingan hukum secara deskriptif ini adalah untuk

menemukan perbedaan aturan dan ketentuan dari Lie Detector.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang sudah dijelaskan sehingga yang perlu dibahas dan

diteliti dalam penulisan ini adalah:

19
Lovina. Op. Cit., hal. 198.
7

1. Bagaimana ketentuan penggunaan Lie Detector sebagai alat bukti dalam

hukum positif di Indonesia dan Amerika Serikat?

2. Bagaimana seharusnya pengaturan penggunaan Lie Detector dalam proses

pembuktian hukum acara pidana di Indonesia di masa yang akan datang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan ketentuan penggunaan Lie

Detector sebagai alat bukti dalam hukum positif di Indonesia dan Amerika

Serikat.

b. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pengaturan penggunaan Lie

Detector dalam pembuktian hukum acara pidana di Indonesia di masa

yang akan datang.

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat yang luas, baik

secara teoritis dan praktis.

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

pemikiran dalam bidang ilmu hukum khususnya dalam bidang

perbandingan hukum mengenai alat bantu uji kebohongan (Lie Detector).

b. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi aparat

dan praktisi hukum dalam penegakan hukum.

D. Kerangka Pemikiran

1. Perbandingan Hukum

“Black’s Law Dictionary mengemukakan Comparative Jurisprudence


8

ialah studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan

perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of principles of legal

science by the comparison of various systems of law)”.20

Rudolf D. Schlessinger dalam bukunya (Comparative Law)

mengemukakan antara lain:

a. Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk


memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum
tertentu.
b. Comparitive Law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas
hukum, bukan suatu cabang hukum (law is not a body of rules and
principles). Comparative law adalah teknik atau cara menggarap unsur
hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum (is the technique
of dealing with actual foreign law elements of a legal problem).21

Munir Fuardy mendefinisikan perbandingan hukum sebagai:

Perbandingan hukum ialah suatu pengetahuan dan metode mempelajari


ilmu hukum dengan meninjau lebih dari satu sistem hukum, dengan
meninjau kaidah atau aturan hukum dan yurisprudensi serta pendapat
ahli yang kompeten dalam berbagai sistem hukum tersebut, untuk
menemukan persamaan dan atau perbedaan, sehingga dapat ditarik
kesimpulan dan konsep tertentu, dan kemudian dicari sebab timbulnya
persamaan dan perbedaan secara historis, sosiologis, analitis dan
normatif.22

Van Apeldorn membedakan tujuan perbandingan hukum dalam tujuan

yang bersifat teoritis dan praktis. “Tujuan yang bersifat teoritis menjelaskan

hukum sebagai gejala dunia dan oleh karena itu ilmu pengetahuan hukum harus

dapat memahami gejala dunia tersebut dan untuk itu harus dipahami hukum di

masa lampau dan di masa sekarang”.23

20
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2011, hal. 3.
21
Ibid. hal. 5.
22
Munir Fuardy, Perbandingan Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 3.
23
Romli Atsasmita, Perbandingan Hukum Pidana, cet. II, Mandar Maju, Bandung, 2000,
hal. 12.
9

“Tujuan yang bersifat praktis dari perbandingan hukum merupakan alat

pertolongan untuk tertib masyarakat dan pembaharuan hukum nasional serta

memberikan pengetahuan mengenai berbagai peraturan dan pikiran hukum

kepada pembentuk Undang-Undang dan hakim”.24

2. Alat Bukti

Alat bukti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) terdiri dari lima jenis, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara

pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah

menurut Undang-Undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.25 Hal ini

berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai

alat bukti yang sah.

a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu. 26
Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat
bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Pasal 160
ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa sebelum memberi
keterangan saksi wajib bersumpah atau berjanji menurut cara
agama nya masing-masing.
b. Keterangan Ahli
Keterangan Ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP merupakan
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari keterangan
tersebut, maka jelas bahwa keterangan ahli tidak hanya harus
datang dari disiplin ilmu pendidikan formal tertentu, namun juga
meliputi

24
Ibid.
25
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983, hal. 19.
26
H. Agus Takariawan, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana di Indonesia, Pustaka
Reka Cipta, Bandung, 2019, hal. 112.
10

seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa


pendidikan khusus.
c. Surat
Surat yang dimaksud dengan surat sebagai alat bukti yang sah
menurut Undang-Undang adalah surat yang dibuat atas sumpah
jabatan, atau surat yang dikuatkan dengan jabatan. 27 Atau dengan
kata lain, alat bukti surat yang mempunyai kekuatan pembuktian
yang berkualitas adalah semua surat yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang atau ditunjuk untuk membuat surat tersebut.
d. Petunjuk
Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan yang karena penyesuainnya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
e. Keterangan Terdakwa
Keterangan Terdakwa menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP ialah
apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
3. Lie Detector

“Lie Detector, umumnya dikenal sebagai poligraf, adalah mesin untuk

mendeteksi perubahan fisiologis pada target. Dengan asumsi bahwa seseorang

yang berbohong akan mengalami perubahan berupa peningkatan respirasi,

denyut nadi, tekanan darah, dan konduktansi kulit”.28

Selama tes pendeteksi kebohongan, orang yang diuji dihubungkan ke

mesin melalui sensor yang mengukur respon fisiologis. Orang tersebut

kemudian ditanyai serangkaian pertanyaan, baik yang relevan maupun yang

tidak relevan, sementara respon fisiologisnya dicatat. Pemeriksa kemudian

meninjau hasilnya untuk menentukan apakah ada respon fisiologis yang

signifikan dan

27
Mahkamah Agung RI, “Alat bukti Dalam Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)”, Artikel, https://www.pn-jantho.go.id/index.php/2022/07/05/alat-
bukti-dalam-perkara-pidana-menurut-kitab-undang-undang-hukum-acara-pidana-kuhap/. Diakses
pada 11 September 2023.
28
Yanita Nur Indah Sari. “Seberapa Ampuh Lie Detector, alias alat pendeteksi
kebohongan?”, Artikel, https://www.sehatq.com. Diakses pada 12 Mei 2023.
11

mengindikasikan penipuan.

Lie Detector belum banyak digunakan di Indonesia, dan biasanya tidak

dipandang sebagai cara yang sah untuk menegakkan kebenaran dalam proses

hukum. Namun, ada situasi khusus di mana pendeteksi kebohongan dapat

digunakan sebagai bagian dari proses investigasi seperti dalam penyelidikan

polisi atau militer.

Tidak ada Undang-Undang khusus di Indonesia yang mengatur

penggunaan poligraf atau alat pendeteksi kebohongan lainnya. Namun,

penggunaan alat tersebut untuk penegakan hukum atau investigasi kriminal

diatur oleh sejumlah Undang-Undang. Salah satu Undang-Undang yang terkait

adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.29

Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan bahwa penyidik dapat

menggunakan alat bantu dalam proses penyidikan, asalkan alat bantu tersebut

tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan hak asasi manusia.

Namun, Undang-Undang ini tidak secara khusus menyebutkan tentang

penggunaan poligraf atau alat pendeteksi kebohongan lainnya.

Poligraf juga diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009

tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis

Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang

Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Peraturan Kepala Kepolisian itu mendudukkan poligraf sebagai salah satu

jenis barang bukti yang dapat diperiksa di laboratorium forensik, serta

mengatur

29
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
12

syarat formal dan teknis pemeriksaannya terhadap tersangka atau saksi”.30

“Pada negara maju, khususnya Amerika Serikat, alat pendeteksi

kebohongan sering digunakan untuk membantu menggungkapkan kasus

kriminal. Pelaksanaannya dilakukan oleh pihak independen (independent

examiner), biasanya seorang psikolog”.31 Di Amerika Serikat, penggunaan tes

atau poligraf pendeteksi kebohongan diatur oleh Undang-Undang federal, serta

Undang-Undang negara bagian.

Employee Polygraph Protection Act (selanjutnya disebut EPPA)

melarang sebagian besar pemberi kerja swasta untuk meminta atau

menggunakan tes pendeteksi kebohongan untuk pemeriksaan pra-kerja atau

selama masa kerja, dengan pengecualian tertentu bagi pemberi kerja yang

menyediakan layanan keamanan, menangani obat-obatan, atau menyelidiki

pelanggaran. “EPPA juga melarang pemberi kerja mengambil tindakan

ketenagakerjaan yang merugikan terhadap karyawan atau pelamar kerja yang

menolak mengikuti tes pendeteksi kebohongan, atau yang menggunakan hak

lain berdasarkan Undang-Undang”.32

30
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara
dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Pasal 12.
31
Yahdi Miftah Huddin, Op. cit., hal. 48.
32
American Polygraph Association. “Employee Polygraph Protection Act (EPPA)”, 2022,
diakses pada 11 Mei 2023 dari https://www.polygraph.org/employee-polygraph-protection-act-
eppa-.
13

E. Keaslian Penelitian

Berikut ini beberapa penelitian sebelumnya yang telah ada mengenai pembahasan

penelitian ini:

Tabel 1.1
Keaslian
Penelitian

Nama
No Permasalahan Perbedaan
dan Judul
Penelitian
1. Yahdi Miftah Apa Fokus kajian
Huddin Fakultas pentingnya penelitian ini lebih
Hukum penggunaan mengarah pada
Universitas Lie Detector
penggunaan Lie
Pasundan, 2018. pada tahap
Penggunaan Lie penyidikan? Detector ditinjau
Detector Sebagai Apakah dari UU No. 8
Alat Pendukung keterangan Tahun 1981
Dalam yang Tentang Kitab
Pengungkapan dihasilkan pada Undang-Undang
Perkara Pidana saat Hukum Acara
Pada Tahap pemeriksaan
Pidana, dan kajian
Penyidikan Lie Detector
Dihubungkan bisa dijadikan ini hanya berfokus
dengan UU No. sebagai alat pada negara
8 Tahun 1981 bukti di tingkat Indonesia saja.
Tentang Kitab penyidikan?
Undang-Undang Apakah
Hukum Acara penggunaan
Pidana.33 Lie Detector
diatur dalam
Kitab Undang-
Undang
Hukum Acara
Pidana?

33
Asep Ridwan Murtado I, “Akurasi Penggunaan polygraph Sebagai Alat Bantu
Pembuktian Menurut Hukum Acara Peradilan Agama”, diunduh tanggal 21 Maret 2023 dari
http://etheses.uin-malang.ac.id/1432/.
14

2 Ridwan Murtado Bagaimana Fokus kajian


Illah Fakultas penggunaan penelitian ini lebih
Hukum UIN dan mengarah pada
Maulana Malik keakurasian
penggunaan
Ibrahim, Malang, alat bantu
2011.34 polygraph polygraph dan
Akurasi dalam proses keakurasiannya
Penggunaan pembuktian? sebagai alat bantu
polygraph Sebagai Bagaimana pembuktian dalam
Alat Bantu penggunaan perspektif Hukum
Pembuktian polygraph Acara Peradilan
Menurut Hukum sebagai alat
Islam di
Acara Peradilan bantu
Agama Pembuktian Indonesia.
menurut
perspektif
Hukum Acara
Peradilan
Agama?

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dari segi sifatnya menurut Soerjono Soekanto ada dua,

yaitu:

Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas


hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian
perbandingan hukum, dan yang kedua yaitu penelitian empiris yakni
mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian
efektivitas hukum..35

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif atau kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian

34
Yahdi Miftah Huddin, “Penggunaan Lie Detector Sebagai Alat Pendukung Dalam
Pengungkapan Perkara Pidana Pada Tahap Penyidikan Dihubungkan dengan UU No. 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, diunduh tanggal 21 Maret 2023 dari
http://repository.unpas.ac.id/33579/.
35
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2010, Hal. 153.
15

hukum yang digunakan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

Artinya dalam penelitian hukum ini, tidak perlu melakukan penelitian langsung

di lapangan, melainkan menggunakan literatur serta penelitian yang ada.

Penelitian hukum normatif bisa juga disebut sebagai penelitian doktrinal.

“Hukum sering dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah

atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang

dianggap pantas”.36

2. Pendekatan Penelitian

“Penulisan ini menggunakan metode pendekatan undang-undang (statue

approach), serta metode pendekatan komparatif (comparative approach)”.37

Pendekatan Undang-Undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah

Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isi hukum yang

sedang ditangani. Dalam pendekatan perundang-undangan bukan saja melihat

kepada bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan juga menelaah

materi muatannya.

Pendekatan yang akan digunakan selanjutnya ialah pendekatan

komparatif (comparative approach).

Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan Undang-Undang suatu


negara dengan Undang-Undang dari satu atau lebih negara lain mengenai
hal yang sama. Dapat juga diperbandingkan antara putusan pengadilan di
beberapa negara untuk kasus yang sama. Kegunaan pendekatan
komparatif adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara
Undang- Undang tersebut.38
36
Jonaedi Efendi & Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Kencana, Jakarta, 2016, hal. 124.
37
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hal. 133.
38
ibid. hal. 135.
16

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ialah:

a. Bahan Hukum Primer

1) Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan

Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat

Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada

Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan

Tindak Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU

No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

5) Employee Polygraph Protection Act- EPPA- 29 U.S Code Chapter 22

6) Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence

7) Serta Peraturan perundang-undangan yang relevan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder

1) Buku-buku mengenai perbandingan hukum dan buku-buku mengenai Lie

Detetector (Polygraph).

2) Jurnal online yang berkaitan

3) Referensi online

c. Bahan Hukum Tersier

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


17

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan data secara

studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian

terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat para sarjana,

surat kabar, artikel, kamus dan juga data-data yang penulis peroleh dari

internet. Teknik pengumpulan ini dilakukan agar mendapatkan data-data yang

nantinya berguna untuk melengkapi penulisan dalam skripsi ini.

5. Pengolahan Bahan Hukum

Pengolahan bahan dilakukan untuk mempermudah analisis bahan

hukum yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.

Bahan hukum yang telah diperoleh kemudian diolah melalui tahapan

pemerikasaan data (editing), penandaan data (coding).39 “Pemeriksaan data

(editing), adalah memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk

menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan

kenyataan”.40 Jika sudah mencukupi maka selanjutnya dilakukan coding atau

yang sering dikenal dengan klasifikasi bahan hukum yang disesuaikan dengan

permasalahan yang ada. Coding yaitu memberi kode atau tanda dan

memisahkan data mana yang akan digunakan dalam menjawab permasalahan.41

39
Asri Pekerti, “Perbandingan Ketentuan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Antara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia Dengan Independent Comission Against Corruption
(ICAC) Australia”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Bengkulu, hlm. 20.
40
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990. hal. 64.
41
Ibid. hal. 65.
18

6. Analisis Bahan Hukum

Metode analisis yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini

ialah dengan cara terlebih dahulu mencari bahan hukum primer,

sekunder,maupun tersier untuk kemudian dianalisis dan diolah secara kualitatif

dengan memakai metode deduktif-induktif. Analisis deduktif-induktif yaitu

menjelaskan suatu hal yang sifat umum kemudian menariknya menjadi

kesimpulan yang lebih khusus. Hasil analisis kemudian akan disajikan sebagai

jawaban atas perbandingan hukum terhadap alat bantu uji kebohongan (Lie

Detector) dalam hukum positif Indonesia dan Amerika Serikat.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perbandingan Hukum

1. Sejarah Perbandingan Hukum

Perkembangan Perbandingan Hukum yaitu terjadi pada abad ke-19

terutama di Eropa (khususnya Jerman, Prancis, Inggris), dan Amerika. Pada

mulanya minat terhadap perkembangan hukum hanya bersifat perseorangan,

dan kemudian berkembang dalam bentuk kelembagaan. Khusus perbandingan

hukum pidana, karya yang pertama muncul yaitu berasal dari orang Jerman

yang terdiri dari 15 jilid dengan judul Vergleichende Darstellung des deutschen

und des auslandischen Stafrechts pada Tahun 1905-1909.42

Sejak awal abad ke-20, perbandingan hukum mengalami perkembangan

yang sangat pesat.

Pada waktu itu terjadi konferensi-konferensi internasional di Den Haag


mengenai hukum internasional yang menghasilkan traktat-traktat di
lapangan transpor kereta api, pos, hak cipta, hak milik industri, dan
sebagainya, pekerjaan itu dipersiapkan oleh studi perbandingan
hukum.43

Perbandingan hukum dapat disimpulkan sebagai ilmu pengetahuan

yang berdiri sendiri. Hal ini sangat berhubungan dengan pernyataan Rene

David yang menyatakan bahwa saat ini perbandingan hukum menjadi bagian

yang sangat

42
Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Cet. 3, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012, hal. 1.
43
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,
hlm. 2.
19
20

diperlukan dalam ilmu hukum dan pendidikan hukum (today comparative law

studies are admitted to be a necessary part of any legal science and training).44

2. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum

Comparative law, Comparative Jurisprudence, Foreign law, Droit

Compare Rechtsvergelijking, merupakan beberapa contoh istilah asing yang

sehubungan dengan perbandingan hukum.

Ada pendapat yang membedakan antara Comparative Law dengan

Foreign Law, yaitu:

Comparative law:
Mempelajari berbagai sistem hukum asing untuk membandingkannya;
Foreign Law:
Mempelajari hukum asing dengan tujuan semata-mata untuk
mengetahui sistem hukum asing itu sendiri tanpa bermaksud
membandingkannya dengan sistem hukum lain.45

Black’s Law Dictionary mengemukakan Comparative Jurisprudence


ialah studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan
perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of principles of
legal science by the comparison of various systems of law).46

Rudolf D. Schlessinger dalam bukunya (Comparative Law)

mengemukakan antara lain:

a. Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan


untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentangbahan
hukum tertentu.
b. Comparitive Law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas
hukum, bukan suatu cabang hukum (law is not a body of rules and
principles). Comparative law adalah teknik atau cara menggarap unsur
hukum asing yang aktual dalam suatu masalahhukum (is the technique
of dealing with actual foreign law elements of a legal problem).47

44
Ibid.
45
Ibid, hal. 3.
46
Ibid, hal.
47
Ibid. hal. 5.
21

Munir Fuardy mendefinisikan perbandingan hukum sebagai:

Perbandingan hukum ialah suatu pengetahuan dan metode mempelajari


ilmu hukum dengan meninjau lebih dari satu sistem hukum, dengan
meninjau kaidah atau aturan hukum dan yurisprudensi sertapendapat
ahli yang kompeten dalam berbagai sistem hukum tersebut, untuk
menemukan persamaan dan atau perbedaan, sehingga dapat ditarik
kesimpulan dan konsep tertentu, dan kemudian dicari sebab timbulnya
persamaan dan perbedaan secara historis, sosiologis, analitis dan
normatif.48

Definisi Perbandingan hukum menurut beberapa pakar hukum yang

terkenal.

Menurut Rudolf B.Schlesinger:

Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan


untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum
tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-
asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan
merupakanteknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu
masalah hukum.49

Menurut Gutterdige:

Perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu metode yaitu metode


perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum.
Gutterdige membedakan antara comparative law dan foreign law
(hukum asing).50

Menurut Hessel Yutema:

Perbandingan hukum hanya satu nama lain untuk ilmu hukum dan
merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti
cabang ilmu lainnya. Perbandingan hukum memiliki wawasan yang
universal; sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya
sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia.51

48
Munir Fuardy, Perbandingan Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 3.
49
Djoni Sumardi Gozali, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law, Common Law,
dan Hukum adat), Nusa Media, Bandung 2018, hal. 1
50
Ibid.
51
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta 2014. hal. 9.
22

Menurut Orucu:

Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang


bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula
hubungan-hubungan erat antara berbagai hal sistem-sistem hukum;
melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum dan konsep-konsep
serta mencoba menemukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah
tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti
pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain.52

Menurut Sardjono:

Perbandingan hukum sebagai ilmu pengetahuan disamping meneliti


ada/tidaknya persamaan atau perbedaan juga menyelidiki sebab-
sebabnya, yang menjadi background dari pada persamaan atau
perbedaan-perbedaan tersebut, pengetahuan akan background yang
dimaksud akan memberikan kepada kita pengertian yang lebih
mendalam dan lebih luas mengenai intisari, perkembangan suatu sistem
hukum tertentu beserta lembaga-lembaga hukumnya.53

3. Tujuan dan Manfaat Perbandingan Hukum


Sebagaimana dikutip dari buku karangan Andi Hamzah, Kokkini-

latridou menyatakan tujuan dari perbandingan hukum pada umumnya:

a. Menguntungkan persahabatan antar negara


b. Menguntungkan terciptanya pengetahuan hukum sipil (juga termasuk
hukum pidana)
c. Perkembangan hukum privat Eropa Umum (juga hukum pidana
Eropa)
d. Memberi tambahan perkembangan bagian perbandingan umum
untuk setiap bagian disiplin ilmu hukum
e. Perkembangan hukum baru Internasional
f. Perbandingan hukum mempunyai nilai pendidikan yang penting
g. Memberi kontribusi perundang-undangan, interpretasi peraturan dan
memperluas organisasi internasional
h. Bantuan perkebangan yuridis sebagai tujuan pada umumnya.54

52
Djoni Sumardi Gozali, Op.cit., hal. 3-4
53
Ibid, hal.7-8.
54
Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
2009, hlm. 5.
23

Menurut Thomas Weigned, sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief,

tujuan mempelajari perbandingan hukum lebih mengandung tujuan pendidikan

daripada tujuan praktis, namun dapat menunjukkan solusi hukum dengan

berbagai masalah sosial.55

Menurut Rene David dan Brierly mempelajari perbandingan hukum

memiliki manfaat sebagai berikut:

a. Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat historis dan filosofis


b. Penting untuk memahami lebih baik dan untuk mengembangkan
hukum nasional kita sendiri.
c. Membantu mengembangkan pemahaman terhadap bangsa-bangsa
lain dan karena itu memberikan sumbangan untuk menciptakan
hubungan yang baik bagi perkembangan hubungan- hubungan
internasional.56

Menurut Soerjono Soekanto, perbandingan hukum memiliki berbagai

manfaat, yaitu:

a. Memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara


berbagai bidang tata hukum dan pengertian-pengertian dasarnya
b. Pengetahuan tentang persamaan tersebut akan mempermudah
mengadakan: 1) keseragaman hukum (unifikasi); 2) kepastian
hukum; dan 3) kesederhanaan hukum.
c. Pengetahuan tentang perbedaan yang ada memberikan pegangan atau
pedoman yang lebih mantap, bahwa dalam hal tertentu
keanekaragaman hukum merupakan kenyataan dan hal yang harus
diterapkan.
d. Dapat memberi bahan bahan tantang faktor-faktor hukum apakah
yang perlu dikembangkan atau dihapuskan secara berangsur-angsur
demi integritas masyarakat, terutama pada masyarakat majemuk.
e. Dapat memberikan bahan-bahan untuk pengembangan hukum antar
tata hukum pada bidang-bidang di mana kodifikasi dan unifikasi
terlalu sulit untuk diwujudkan.
f. Dapat dijadikan sebagai pemecahan masalah-masala hukum secara
adil dan cepat

55
Barda Nawawi Arief. Op. Cit., hal. 28.
56
Ibid. hal. 26.
24

g. Mengetahui motif-motif politis, ekonomis, sosial, dan psikologis


yang menjdi latar belakang dari perundang-undangan, yurisprudensi,
hukum kebiasaan, traktat, dan doktrin yang berlaku di suatu negara.
h. Perbandingan Hukum tidak terikat pada kekakuan dogma
i. Dapat digunakan untuk lebih mempertajam dan mengerahkan proses
penelitian hukum
j. Dapat memperluas kemampuan untuk memahami sistem-sistem
hukum yang ada serta penegakannya yang tepat dan adil.57

B. Alat Bukti

Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang berkaitan

dengan suatu perbuatan, dimana dengan adanya alat bukti tersebut dapat dijadikan

sebagai bahan pembuktian untuk membangkitkan keyakinan hakim akan

kebenaran adanya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.58

Alat bukti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

diatur pada Pasal 184 ayat (1), yaitu terdiri dari lima jenis, yaitu keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

a. Keterangan Saksi
Keterangan Saksi adalah keterangan yang diberikan saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu.59
Dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidangpengadilan. Serta pada Pasal 160 ayat (1) KUHAP
menyatakan bahwasebelum memberi keterangan, saksi wajib
bersumpah atau berjanji menurut cara agama nya masing-masing.
b. Keterangan Ahli
Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan bahwa Keterangan Ahli
merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari
keterangan tersebut, maka jelas bahwa keterangan ahli tidak hanya
harus datang

57
Ibid, hlm.27.
58
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia,
Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, 2018, hal. 50.
59
H. Agus Takariawan, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana di Indonesia, Pustaka
Reka Cipta, Bandung, 2019, hal. 112.
25

dari disiplin ilmu pendidikan formal tertentu, namun juga meliputi


seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa
pendidikan khusus.
c. Surat
Surat yang dimaksud dengan surat sebagai alat bukti yang sah
menurut Undang-Undang adalah surat yang dibuat atas sumpah
jabatan, atau surat yang dikuatkan dengan jabatan.60 Atau dengan
kata lain, alat bukti surat yang mempunyai kekuatan pembuktian
yang berkualitas adalah semua surat yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang atau ditunjuk untuk membuat surat tersebut.
d. Petunjuk
Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan yang karena penyesuainnya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
e. Keterangan Terdakwa
Pasal 189 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa Keterangan
Terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Melihat urutan penyebutan alat bukti, pembuktian perkara pidana lebih

dititikberatkan pada keterangan saksi. Sedangkan, keterangan ahli merupakan hal

yang baru dalam hukum acara pidana Indonesia. Hal tersebut bentuk pengakuan

bahwa adanya kemajuan teknologi.61 Hakim tidak selalu bisa mengetahui segala

hal, oleh karenanya dibutuhkan bantuan seorang ahli.

Keterangan terdakwa merupakan bentuk baru dari pengakuan terdakwa

yang telah ditiadakan di dalam KUHAP. Keterangan terdakwa dianggap lebih luas

daripada pengakuan terdakwa, karena di dalam keterangan terdakwa

memungkinkan adanya pengakuan dari terdakwa.62

60
Mahkamah Agung RI, “Alat bukti Dalam Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)”, Artikel, https://www.pn-jantho.go.id/index.php/2022/07/05/alat-
bukti-dalam-perkara-pidana-menurut-kitab-undang-undang-hukum-acara-pidana-kuhap/. Diakses
pada 11 September 2023.
61
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar
Maju, Bandung, 2003, hal. 19.
62
Ibid.
26

Pengakuan terdakwa dahulu dijadikan sebagai tekanan dan

kedudukannya dianggap paling tinggi diantara alat bukti lainnya. Karena yang

paling mengetahui mengenai suatu tindak pidana yaitu terdakwa sendiri.

Sehingga, dalam praktik pemeriksaan penyidikan sering terjadi penekanan secara

fisik maupun psikis yang dialami oleh tersangka.63

C. Lie Detector

1. Pengertian dan Perkembangan Lie Detector

a) Pengertian Lie Detector

Lie Detector adalah sebuah alat yang merekam perubahan

fisiologis seseorang, apabila seseorang tersebut berbohong maka detak

jantungnya akan meningkat, tekanan darahnya akan naik, ritme

pernapasannya akan berubah, dan bulir keringatnya akan meningkat. 64

Sekecil apapun perubahan fisiologis tersebut dapat diukur oleh sensor

yang terpasang di berbagai bagian tubuh melalui sinyal dan

divisualisasikan dalam bentuk grafik tinta pena pada komputer.65

Mulanya Lie Detector memiliki keluaran seperti jarum dan dapat

dilakukannya penulisan grafik di gulungan yang berbentuk kertas,

kemudian dapat diganti dengan monitor komputer. 66 “Monitor digunakan

untuk menguji otak manusia dengan menggunakan pendekatan

63
Ibid.
64
“The Polygraph Museum, John Larson’s Breadboard Polygraph”. liet2me.net, diakses 28
Mei 2023, http://www.lie2me.net/thepolygraphmuseum/id16.html
65
Aldert Vrij, Detecting Lies and Deceit: Pitfalls and Opportunities, (UK: John Wiley &
Sons, Ltd, 2008), hlm. 293.
66
Asep Ridwan Murtado I, “Akurasi Penggunaan polygraph Sebagai Alat Bantu
Pembuktian Menurut Hukum Acara Peradilan Agama”, diunduh tanggal 21 Maret 2023 dari
http://etheses.uin- malang.ac.id/1432/, hal. 16.
27

Neurobiological”.67 Lie Detector termasuk kedalam salah satu

pemeriksaan di bidang fisika forensik dengan menggunakan scientific

investigation.68

Seluruh aktivitas otak dapat terpantau, dan kesadaran untuk


berbohong sukar dilakukan karena dapat terdeteksi dengan alat
ini, hal ini dimungkinkan karena manusia menggunakan bagian
berbeda dari otaknya saat tengah mencoba bertipu muslihat, tapi
dengan Lie Detector Computerized Systems suatu kebohongan
yang dapat dilacak.69

David W Martin dari North Carolina State University

berpendapat, bahwa:

Lie Detector merupakan alat untuk mengukur tingkat emosi


sesorang. Tingkat emosi sesorang dapat dideteksi melalui
pengukuran laju pernafasan, volume darah, denyut nadi dan
respon kulit. Manusia tidak bisa dipercaya dan tidak mampu
untuk mengukur tingkat emosi seseorang.70

Lie Detector memiliki metode tanya jawab disertai suatu

teknologi yang berguna untuk merekam fungsi fisiologis untuk

memastikan apakah seseorang yang sedang diuji terindikasi berbohong.71

Cara kerja Lie Detector yaitu dengan memasang sensor di tubuh


seseorang, lalu orang tersebut diberi pertanyaan oleh penguji
(examineer), dan hasil dari alat uji kebohongan tersebut
diperiksa oleh ahlinya (dokter dan psikolog) serta penyidik, serta
hasil pemeriksaan tersebut akan disandingkan dengan alat bukti
lain guna memperkuat proses penyidikan.72

67
Andi Thahir, Psikologi Kriminal, www.aura-publishing.com,
Bandar Lampung, 2018. hal. 2.
68
Vinca Fransisca Yusevin dan Sri Mulyani Chalil. Op. Cit., hal. 79.
69
Asep Ridwan Murtado I, Op. Cit.,
70
Dani Ramadhan Syam; Bambang Dwi Baskoro; Sukinta, “Peranan Psikologi Forensik
Dalam Mengungkapkan Kasus- Kasus Pembunuhan Berencana (Relevansi “Metode Lie
Detection” dalam Sistem Pembuktian Menurut KUHP)”, Diponegoro Law Journal, Vol 6 No. 4,
2017, hal. 3. 71 Ibid.
72
Imam Yunianto, ”Perancangan Lie Detector Menggunakan Arduino”, Jurnal Teknologi
Informatika & Komputer, Vol. 3 No. 1 Februari 2022, hal. 42.
28

b) Perkembangan Lie Detector

Jauh sebelum mesin Lie Detector dikembangkan, banyak cara

yang digunakan dalam mendeteksi kebohongan. Suku Badui Arab

menggunakan metode dengan memerintahkan para penulis pernyataan

yang saling bertentangan untuk menjilat besi panas dan sesorang yang

lidahnya tidak terbakar dianggap jujur.73 Hingga pada Tahun 1985,

muncul bentuk modifikasi dari alat tekanan darah (hydrospymograph)

oleh seorang dokter, psikiater, dan kriminolog Italia, Cesare Lambroso. 74

Serta pada Tahun 1914, seorang Italia lainnya, Vittorio Benussi,

menggunakan pneumograph (alat perekam pola pernapasan) untuk

menghitung waktu menarik dan menghembuskan napas sebagai cara

mendeteksi kebohongan.75

Lie Detector merupakan hasil dari interaksi antara hukum


dengan psikologi, dan pada awal perkembangannya pada Tahun
1902 masih menggunakan cara manual dengan hanya
memperhatikan gestur tubuh, cara bicara, maupun bentuk tulisan
dari subyek yang diperiksa tanpa bantuan mesin.76

Berawal dari kedua warga Italia, mesin pendeteksi kebohongan

kemudian dikembangkan oleh pengacara dan psikolog asal Amerika

73
Lovina. Op. Cit., hal. 179-180.
74
Jack Kitaef, Forensic Psychology, (College Park: University of Maryland, 2011),
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini
Soetjipto, Psikologi Forensik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 439
75
Ibid.
76
I Gede Aris Gunadi & Agus Harjoko. “Telaah Metode-Metode Pendeteksi Kebohongan”,
IJCCS, Vol 6, No 2, 2012, hal. 35-36.
29

Serikat, William Moulton Marston, dengan mengembangkan tes tekanan

darah.77

Selama periode 1960-an hingga 1980-an, alat pendekteksi


kebohongan menjadi bisnis yang menguntungkan di Amerika
Serikat karena banyaknya permintaan untuk mendeteksi
kebohongan, hingga banyak sekolah-sekolah didirikan Lie
Detector di berbagai wilayah di Amerika Serikat.78

Lie Detector mengalami perkembangan, dan terus

dikembangkan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti fisiologi,

kedokteran, teknik, dan disiplin ilmu lainnya.

Hasil pemeriksaan Lie Detector di Amerika Serikat setidaknya


digunakan untuk empat tujuan: (1) investigasi kasus kriminal,
(2) tahapan seleksi di lembaga penegak hukum maupun lembaga
keamanan nasional, (3) seleksi karyawan, terutama pekerjaan di
bidang keamanan negara (4) mengetes tersangka kejahatan
seksual.79

Gordon H. Barland sebagaimana dikutip oleh Mark Constanzo

memperkirakan bahwa sekitar 40.000 Lie Detector test dilakukan setiap

tahun di Amerika Serikat.80 Namun, hasil alat uji kebohongan di Amerika

Serikat masih menjadi topik yang kontroversial. Keakurasiannya menjadi

bahan kritisi oleh berbagai pihak.

Para ahli berpendapat Lie Detector banyak dioperasikan oleh

orang awam, tanpa melibatkan ahli menjadi faktor utama kelemahan

akurasi dari Lie Detector tersebut. Checks-and-balances sangat

diperlukan

77
Ibid. hal. 439
78
Mark Constanzo, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008, hlm. 50-51.
79
Aldert Vrij, Op. Cit., hal. 295
80
Mark Constanzo, Op. Cit., hlm.74
30

dalam metode Lie Detector sehingga hasil pemeriksaan dapat mencapai

hasil yang optimal.81

2. Teknik Pendeteksi Kebohongan (Lie Detector)

a) Teknik relevant-irrelevant

Teknik ini dikembangan pada Tahun 1932 oleh Larson

berdasarkan temuan Marson pada 1917.82 Teknik ini menggunakan

metode tanya jawab dengan tiga macam pertanyaan.

The questions are of three general types: (a) Relevant questions . .


. “Did you do it?” . . . (b) Control questions – focusing on
general, non-specific 8 Torture, technology and truth
misconducts, of a nature as similar as possible to the issue under
investigation (e.g., “Have you ever taken something that did not
belong to you?”). (c) Irrelevant questions – focusing on
completely neutral issues (e.g., “are you sitting on a chair?”)
Typically, the whole question series is repeated three or four
times . . . [then there is] a comparison of the responses evoked by
the relevant and the control questions. Deceptive individuals are
expected to show more pronounced responses to the relevant
questions, whereas truthful individuals are expected to show the
opposite pattern of responsivity (i.e., more pronounced responses
to the control questions).

Terjemahan bebas; Ada tiga kategori pertanyaan yang berbeda:


(a) Pertanyaan relevan, seperti "Apakah Anda melakukannya?"
(b) Pertanyaan kontrol, yang berpusat pada hal-hal umum, bukan
pelanggaran tertentu, namun memiliki kemiripan dengan
permasalahan yang sedang diselidiki (misalnya, "Apakah Anda
pernah mengambil sesuatu yang bukan milik Anda?"). (c)
Pertanyaan yang tidak relevan, memusatkan perhatian pada subjek
yang sama sekali tidak berhubungan (misalnya, “Apakah Anda
sedang duduk di kursi?”). Seluruh rangkaian pertanyaan sering
kali ditanyakan tiga atau empat kali. Setelah itu, jawaban yang
diperoleh dari pertanyaan relevan dan pertanyaan kontrol
dibandingkan. Orang yang jujur diperkirakan akan menunjukkan
81
Lawrence S. Wrightsman dan Solomon M. Fulero, Forensic Psychology, Thomson
Wadsworth, Belmont, 2005, hal. 95-101.
82
Aledert vrij. Op. Cit., hal. 296
31

pola respons yang berlawanan (yaitu, reaksi yang lebih jelas


terhadap pertanyaan kontrol), sedangkan orang yang tidak jujur
diperkirakan akan menunjukkan tanggapan yang lebih jelas
terhadap pertanyaan terkait. 83

b) Teknik Comparison Question dan Guilty Knowledge

Comparison Question dan Guilty Knowledge adalah dua teknik

lain yang dikenal di Amerika Serikat untuk melakukan pemeriksaan Lie

Detector. Ketika diberikan pertanyaan tekait tentang kasus yang sedang

ditangani, metode Comparison Question memungkinkan seseorang untuk

membandingkan tanggapan fisiologis mereka terhadap kasus lain yang

sebanding.84 Dengan teknik guilty knowledge, hal yang sama juga

dilakukan pada seseorang yang diperiksa, namun pertanyaan dalam

teknik ini diberikan secara acak antara pertanyaan yang berkaitan dengan

kasus yang ditangani dan pertanyaan yang berkaitan dengan kasus lain

yang serupa.85 Kedua pendekatan di atas menunjukkan bahwa seseorang

menunjukkan respon fisiologis yang lebih kuat terhadap kasus yang

sedang ditangani daripada kasus yang serupa.

3. Metode- Metode Pendeteksi Kebohongan (Lie Detector)

Metode dalam mendeteksi kebohongan memiliki berbagai macam,

diantaranya pendeteksi kebohongan berdasarkan kondiktivitas kulit, isi

tulisan, bentuk tulisan tangan, analisis suara, termography, dan gesture.

83
Andrew Balmer, Lie Detection and the Law: Torture, Technology, and Truth. UK:
Routledge, 2018, hal. 7-8.
84
Jennifer M. Brown and Elizabeth A. Campbell, The Cambridge Handbook of Forensic
Psychology, (UK: Cambridge University Press, 2010), hlm. 277.
85
Jack Kitaef, Op., Cit. hal. 442.
32

a) Pendeteksi Kebohongan Berdasarkan Konduktivitas Kulit

Pendeteksi kebohongan EDR (Electroderma Respon) adalah

pendeteksi kebohongan yang menggunakan daya hantar listrik pada kulit

manusia.

Sebagian besar orang percaya bahwa kulit manusia memiliki


kemampuan untuk menghantarkan arus listrik dengan resistansi
tertentu. Resistansi kulit manusia bervariasi tergantung pada
jumlah keringat yang ada padanya. Berbohong akan menyebabkan
lebih banyak keringat daripada orang yang tidak berbohong.
Keringat adalah larutan garam, atau elektrolit, yang memiliki sifat
kelistrikkan untuk menahan listrik. 86

Pada bagian kulit tertentu yang dianggap memiliki kelenjar

keringat yang paling sensitif atau konsentrasi keringat yang paling tinggi,

konektor dipasang langsung ke telapak tangan, atau bagian kulit yang

dianggap memiliki kelenjar keringat yang paling sensitif. 87 Tujuannya

adalah untuk mendapatkan respons yang optimal.

GSR (Galvanic Skin Respon) adalah detektor EDR yang sangat


peka terhadap perubahan konduktivitas atau resistansi kulit.
Pertanyaan tertentu digunakan untuk mengamati perubahan
respon skin conduktivitas level (SCL) orang yang diinvestigasi
untuk mengetahui apakah mereka berbohong atau tidak.88

Tiga jenis pertanyaan dikenal sebagai pertanyaan penstimulus


respons SCL: (1) pertanyaan yang relevan, yaitu pertanyaan yang
langsung terkait dengan masalah; (2) pertanyaan kontrol, yaitu
pertanyaan yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai
pembanding dari pertanyaan yang relevan; dan (3) pertanyaan
netral, yaitu pertanyaan yang tidak terkait dengan masalah. Uji

86
I Gede Aris Gunadi & Agus Harjoko, Op. Cit., hal. 37.
87
Mark H, Raymond N, Donal K, Charles H R, “ An EDA Primer Polygraph Examiner” ,
2010, hal. 70.
88
Westeyn T, Presti P, Starner T, “Action GSR: A Combination Galvani Skin Response –
Accelerometer for Physiological Measurement in Active Environment”, Georgia Institute of
Technology, 2006, hal. 1.
33

kebohongan pertanyaan tersebut dikenal sebagai CQT (Control


Question Test).89

b) Pendeteksi Kebohongan Berdasarkan Isi Tulisan

Selain melihat respons fisiologi seseorang, mendeteksi

kebohongan juga dapat dilihat dengan menganalisis isi tulisannya.

Metode ini meminta subjek yang akan dipelajari untuk menulis sebuah

karya yang menceritakan kisahnya. Salah satu cara untuk melihat

bagaimana menganalisis cerita yaitu dengan mengamati kata dan gaya

bahasa digunakan dalam tulisan tersebut.

Salah satu aplikasi untuk menganalisis isi tulisan adalah LIWC

(Linguistic Inquery and Word Count).

LIWC adalah program komputer yang digunakan untuk


menganalisis teks mengenai penggunaan kata-kata tertentu yang
terkait dengan katagori tertentu, seperti kategori emosi negatif
(misalnya, sedih, marah), kategori emosi positif
(misalnya,bahagia, tertawa), kategori fungsi kata standar, katagori
religius, dan lain- lain. LIWC menghitung presentase penggunaan
kata-katatertentu, yang kemudian digunakan untuk menentukan
kebenaran cerita.90

Untuk menentukan apakah sebuah tulisan mengandung

kebohongan, analisis gaya bahasa, pronoun, negasi, konjungsi, preposisi,

dan kata-kata yang memiliki makna khusus dapat digunakan untuk

mengidentifikasi kebohongan. Beberapa kata khusus yang dimaksud

89
I Gede Aris Gunadi & Agus Harjoko, Op. Cit.,
90
Newman, M.L, Et all, “Lying words: Predicting deception from linguistic styles”.
Personality and Social Psychology, Vol 29 No 5, 2003, hal 665-675.
34

antara lain adalah "but", "except", "without", dan "exclude", yang masing-

masing memiliki arti negatif atau sangkalan.91

c) Pendeteks Kebohongan Berdasarkan Bentuk Tulisan Tangan

Salah satu ilmu yang mempelajari kepribadian, watak, kondisi

mental seseorang berdasarkan bentuk tulisan tangan dikenal dengan

grafologi.

Dengan tulisan tangan dapat diketahui beberapa hal diantaranya:


social skill, gaya berpikir (thingking style), prestasi
(achievements), kebiasaan kerja (work habits), kejujuran. Analisis
tulisan tangan dewasa ini sudah dilakukan dengan mengunakan
program komputer, dengan menganalisis beberapa fitur
diantaranya: (1) ukuran huruf, (2) kemiringan tulisan, (3)
Baseline, (4) Spasi antar kata maupun antar huruf dalam sebuah
kata, (5) tekanan pena.92

d) Pendeteksi Kebohongan Berdasarkan Analisis Suara

Dengan prinsip yang sama seperti tes poligraf lainnya, analisis

suara dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendeteksi kebohongan.

Suara seseorang dapat menunjukkan keadaan mental seseorang. VSA

(Voice Stress Analyser) adalah alat yang berbasis suara yang digunakan

untuk mendeteksi kebohongan. Dikatakan bahwa alat ini dapat

mendeteksi kebohongan dan stres.

Analisis suara guna mengetahui keadaan mental seseorang

dikaitkan dengan perubahan microtremor pada otot-otot yang berkaitan

dengan produksi suara.

91
Pennebaker, J. W., & King, L. A, “Linguistic styles: Language use as an individual
difference”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol 6,1999, hal. 1299.
92
Prasad S; Singh V.K; Sapre A., “Handwriting Analysis Based on Segmentation Method
for Prediction of Human Personality Using Support Vector Machine”, International Journal of
Computer Application (0975-8887), No. 12 Vol 8, hal. 25-29.
35

Microtremor adalah amplitudo rendah yang terjadi ketika


beberapa otot osilasi, termasuk otot yang menghasilkan suara.
Frekuensi microtremor biasanya berkisar antara 8 Hz dan 14 Hz.
Namun, ketika tubuh stres, frekuensinya akan meningkat dan
amplitudonya turun. Karakter microtremor ini membantu kita
memahami stres pada manusia, yang menunjukkan kebohongan.93

e) Pendeteksi Kebohongan Berdasarkan Image Infrared (Termograpy)

Teknologi Infrared Image, juga dikenal sebagai IR Image, bekerja

berdasarkan prinsip dasar observasi suatu benda.

Seperti yang kita ketahui, semua benda memancarkan gelombang


elektromagnetik, dan gelombang elektromagnetik ini selalu
dikaitkan dengan suhu benda, yang merupakan representasi energi
dalam benda tersebut. Oleh karena itu, analisis IR Image
memungkinkan kita untuk mengidentifikasi panas permukaan
suatu benda melalui citra inframerah.94

Infrared image memiliki manfaat untuk mendeteksi kebohongan

dan perubahan kondisi mental (tingkat stres), yang digambarkan dengan

perubahan panas pada kulit wajah.95 Jika ditampilkan pada orang yang

berbohong, mereka otomatis akan mengalami tekanan mental dan tingkat

stres yang lebih tinggi. Ada hubungan antara perubahan kecepatan

sirkulasi darah dan perubahan panas pada kulit. Perubahan kecepatan

sirkulasi darah menunjukkan peningkatan stres.

f) Pendeteksi Kebohongan Berdasarkan Gesture/ Bahasa Tubuh

Bahasa tubuh erat kaitannya dengan emosi, membaca bahasa

tubuh juga dapat menentukan apakah seseorang berbohong atau tidak.

Manusia

93
I Gede Aris Gunadi & Agus Harjoko. Op., Cit. hal. 40.
94
Brent Griffith B; Daniel Türle; Howdy Goudey H; “Infrared
Thermografic System”,Lawrence Barkeley National Laboratory, 2001, hal. 1-2.
95
Pavlidis I, Levine J, “Thermal Image Analysis for Polygraph Test”, IEEE Engineering in
Medecine and Biologi, Vol 21,2002, hal, 56-64.
36

tidak dapat berkomunikasi tanpa perasaan, baik secara sadar atau tidak.

Perasaan ini ditunjukkan dengan gerak tubuh. Pola gerak tubuh tertentu

memiliki makna khusus.

Berikut ini adalah beberapa contoh gesture atau bahasa tubuh

yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebohongan dalam hal deteksi

kebohongan berdasarkan gesture:

1) Menunjukkan kecenderungan untuk mengangguk atau


mengerakan kepala dengan pola atau irama yang
tidakkonsisten. Sebagai contoh, ketika seorang pencuri ditanya,
"Apakah Anda yang telah mengambil tas?", dia mungkin
menjawab "tidak" secara lisan, tetapi kepalanya bergerak turun
seolah-olah dia mengakui "ya, saya mengambilnya".
2) Suspect, cendrung mengosok gosok dahi atau cendrung
memukul lehernya sendiri.
3) Suspect, cenderung menggangukan kepala tetapi menunda atau
memperlambat setelah ditanya tentang sesuatu. Orang yang
tidak bersalah akan mengangguk kepala dengan cepat sebagai
tanda mereka setuju dengan sebuah pernyataan. Namun, orang
yang berbohong juga akan mengangguk, tetapi tidak secara
otomatis.
4) Suspect memegang hidung berkali-kali, seperti dalam kasus di
mana dua psikolog Hirsch dan Wolfe menyaksikan keterangan
presiden Bill Clinton tentang hubungannya dengan Monica
Lewinski. Dalam waktu empat menit, Presiden Clinton
dianggap bohong karena dia memegang hidung dua puluh
enam kali.
5) Meletakan tangan pada daerah sekitar mulut.96

Gesture mengacu pada ekspresi emosi wajah, termasuk makro,

mikro, dan ekspresi halus. Ekspresi ini berlaku untuk semua orang, tidak

peduli kebudayaan, etika, kebangsaan, jenis kelamin, agama, umur, atau

faktor demografi lainnya.

96
Matsumoto D, Et all, “Evaluating Truthfulness and Detecting Deception”, FBI Law
Enforcement Bulletin, Vol 80,2011. Hal. 1-25.
37

Untuk mengenali ekspresi mikro dan makro wajah, menggunakan

spotting otomatis (temporal segmentasi) pada ekspresi wajah yang

diambil dari rekaman video. Metode yang digunakan juga melibatkan

pengukuran kerutan pada kulit wajah, menyebabkan ekpresi wajah yang

berbeda.97 Dengan demikian, penerapan aplikasi pengenalan gesture

komputer vision untuk mendeteksi kebohongan sangat memungkinkan.

97
I Gede Aris Gunadi & Agus Harjoko, Op. Cit, hal. 43.
BAB III

KETENTUAN PENGGUNAAN LIE DETECTOR SEBAGAI ALAT BUKTI


DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT

Sistem pembuktian merupakan cara untuk mengatur dan menjelaskan jenis

bukti yang dapat digunakan, bagaimana bukti tersebut digunakan, dan bagaimana

hakim harus membuat keyakinannya di depan pengadilan. 98 Alat bukti adalah

komponen penting dari pembuktian di persidangan. Sistem ini mengatur

bagaimana alat bukti digunakan dan akan disesuaikan dengan bagaimana

perbuatan terdakwa untuk membuat kesimpulan apakah terdakwa benar-benar

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Mengenai hal ini Pasal 183 KUHAP menyatakan:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila


dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.

A. Ketentuan Penggunaan Lie Detector Dalam Hukum Positif di Indonesia

Secara filosofis tentang jenis barang bukti yang dapat diperiksa oleh

Laboratorium Forensik Kepolisian sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Peraturan

Kapolri No. 10 Tahun 2009, salah satunya mencantumkan deteksi kebohongan

(polygraph) atau Lie Detector.

(2) Jenis barang bukti yang dapat dilakukan pemeriksaan oleh Labfor
Polri meliputi:
a. pemeriksaan bidang fisika forensik, antara lain:
1. deteksi kebohongan (Polygraph);
2. analisis suara (Voice Analyzer);
3. perangkat elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital),
dan penyebab proses elektrostatis;
98
Raihana; Sukrizal;William Alfred, “Penerapan Pendeteksi Kebohongan (Lie Detector)
dalam Pembuktian Tindak Pidana di Indonesia”, INNOVATIVE: Journal Of Social Science
Research, Volume 3 Nomor 2, 2023. hal. 5.

38
39

4. perlengkapan listrik, pemanfaatan energi listrik, dan pencurian


listrik;
5. pesawat pembangkit tenaga dan pesawat mekanis;
6. peralatan produksi;
7. konstruksi bangunan dan struktur bangunan;
8. kebakaran/pembakaran;
9. peralatan/bahan radioaktif/nuklir;
10. bekas jejak, bekas alat, rumah/anak kunci, dan pecahan
kaca/keramik; dan
11. kecelakaan kendaraan bermotor, kereta api, kendaraan air, dan
pesawat udara;

Pada pasal ini alat uji kebohongan (polygraph) atau Lie Detector

dikategorikan sebagai jenis barang bukti yang diperiksa melalui Laboratorium

Forensik. Hasil pemeriksaan menggunakan deteksi kebohongan dapat dianggap

sebagai bukti tertulis. Namun, hanya surat yang memuat pernyataan hasil

pemeriksaan dan keterangan ahli laboratorium forensik komputer yang

diperlukan oleh pihak lain serta pembuktian di pengadilan, bukan sebagai akta.

Laboratorium forensik merupakan tempat dilakukannya pemeriksaan

hasil dari penggunaan Lie Detector yang mana diatur pada Pasal 1 butir 2

Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009.

2. Laboratorium Forensik Polri yang selanjutnya disingkat Labfor Polri


adalah satuan kerja Polri meliputi Pusat Laboratorium Forensik dan
Laboratorium Forensik Cabang yang bertugas membina dan
menyelenggarakan fungsi Laboratorium Forensik/ Kriminalistik
dalam rangka mendukung penyidikan yang dilakukan oleh Satuan
kewilayahan, dengan pembagian wilayah pelayanan (area service)
sebagaimana ditentukan dengan Keputusan Kapolri.

Pasal ini mengemukakan bahwa Labfor Polri merupakan salah satu

aspek pendukung dalam penyidikan. Dalam hal ini metode penyidikan

dikaitkan dengan konsep scientific investigation. Hasil pemeriksaan suatu

bukti di
40

Laboratorium Forensik dikategorikan sebagai dukungan penyidikan secara

ilmiah.

Pada Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009 pengaturan mengenai

pemeriksaan barang bukti Polygraph (Lie Detector) secara implisit diatur

dalam ketentuan Pasal 12 dan 13 Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009, yang

berbunyi:

Pasal 12 Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009, menyatakan:

Pemeriksaan barang bukti Polygraph (deteksi kebohongan) terhadap


tersangka/saksi dilaksanakan di Labfor Polri dan/atau di satuan
kewilayahan.

Pengaturan mengenai detail persyaratan, baik persayaratan formal

maupun persyaratan teknis diatur dalam Pasal 13 Peraturan Kapolri No. 10

Tahun 2009, yaitu:

(1) Pemeriksaan barang bukti Polygraph (deteksi kebohongan)


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib memenuhi
persyaratan formal, sebagai berikut:
a. permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau
kepala/pimpinan instansi;
b. laporan polisi;
c. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi/tersangka atau laporan
kemajuan; dan
d. surat persetujuan untuk diperiksa dari saksi/tersangka, bila
saksi/tersangka didampingi oleh penasihat hukum maka surat
persetujuan diketahui oleh penasihat hukumnya.
(2) Pemeriksaan barang bukti Polygraph (deteksi kebohongan)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib memenuhi
persyaratan teknis sebagai berikut:
a. tersedianya ruang pemeriksaan yang bebas dari kebisingan;
b. tersedianya tenaga listrik imtuk penerangan dan 3 buah
stop kontak untuk peralatan;
c. tersedianya meja dan kursi yang stabil/tidak goyang;
d. kondisi terperiksa harus:
1. sudah dewasa menurut ketentuan Undang-Undang;
2. sehat jasmani dan rohani;
3. apabila terperiksa perempuan, tidak dalam kondisi hamil
atau menstruasi; dan
4. kondisi terperiksa tidak dalam keadaan tertekan;
41

e. untuk memastikan kondisi kesehatan terperiksa, dapat dilengkapi


dengan:
1. riwayat kesehatan saksi/tersangka; dan
2. laporan hasil pemeriksaan psikologi;
f. untuk pendalaman kasus:
1. penyidik harus selalu berkoordinasi dengan pemeriksa; dan
2. apabila diperlukan dalam rangka pemeriksaan, pemeriksa
Polygraph dapat mendatangi TKP.

Pasal 13 butir 1 Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009 menjelaskan

mengenai persyaratan formal yang wajib dipenuhi apabila pihak penyidik ingin

mengajukan pemeriksaan mengenai alat uji kebohongan. Dalam Pasal 13 butir

1 disebutkan bahwa “permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau

kepala/pimpinan instansi;”, pasal ini menunjukkan bahwa bagi siapapun atau

intansi manapun yang ingin mengajukan pemeriksaan hasil Lie Detector harus

menyiapkan permintaan tertulis dari setiap kepala kesatuan atau intansi secara

resmi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan Lie Detector tidak

bisa digunakan oleh pihak swasta atau perorangan, yang mana dalam hal ini

menjamin bahwa seseorang yang diuji, penguji, dan hasil dari Lie Detector

berstatus resmi dan legal.

Pada poin berikutnya juga disebutkan bahwa perlu adanya laporan

polisi dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang mana dalam hal ini

penggunaan Lie Detector hanya digunakan dalam situasi yang berkaitan

dengan ruang lingkup “hukum”. Kemudian pada poin terakhir, disebutkan

bahwa “surat persetujuan untuk diperiksa dari saksi/tersangka, bila

saksi/tersangka didampingi oleh penasihat hukum maka surat persetujuan

diketahui oleh penasihat hukumnya”, hal ini membuktikan bahwa setiap

saksi/tersangka yang sedang berperkara dijamin haknya dalam melakukan

pemeriksaan Lie Detector ini, tanpa ada


42

paksaan. Persetujuan kedua belah pihak dijadikan syarat wajib agar tidak ada

pihak yang dirugikan dalam pemeriksaan ini.

Pasal 13 butir 2 Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009 mengatur

mengenai persyaratan teknis yang wajib dipenuhi oleh setiap pihak yang

terlibat, terutama pihak intansi. Pada pasal ini mengatur mengenai persyaratan

secara fasilitas dan individual. Dalam hal fasilitas, pemeriksa wajib

menyediakan ruang pemeriksaan yang terbebas dari kebisingan, menyediakan

kelistrikan untuk alat uji, dan menyediakan meja dan kursi yang berkualitas.

Terlepas subjek yang terlibat, fasilitas yang nyaman dan berkualitas dapat

mendukung lancarnya pemeriksaan. Tingkat kelayakan fasilitas dapat

menunjang kenyamanan dan rasa aman yang dirasakan oleh terperiksa.

Pada pasal ini juga mengatur mengenai kondisi sesorang yang hendak

diperiksa/terperiksa. Terperiksa harus sudah dikategorikan sebagai seseorang

yang telah dewasa menurut Undang-Undang, sehat jasmani dan rohani, tidak

dalam kondisi hamil/menstruasi, dan tidak dalam kondisi tertekan. Hal-hal

tersebut menjadi poin utama dalam pelaksaan pemeriksaan ini. Karena pada

hakikatnya Lie Detector merupakan alat uji yang menjadikan respon fisiologis

dan kondisi fisik sebagai tolak ukur hasil akhir. Apabila sesorang yang

diperiksa dalam kondisi sakit, kondisi mental yang buruk, kondisi tertekan,

atau kondisi yang membuat tubuhnya tidak stabil, maka pemeriksaan ini

dianggap tidak valid dan akan merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu,

persyaratan-persyaratan sebagaimana yang telah disebutkan harus diatur secara

eksplisit.
43

Peranan Laboratorium Forensik Polri sebagai pendukung penyidikan

secara ilmiah dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah:

1) Pada tahap penyelidikan turut mengolah TKP untuk


menentukan perkara tersebut merupakan tindak pidana atau
bukan.
2) Pada tahap penyidikan, jika dalam penyelidikan peristiwa tersebut
merupakan tindak pidana, maka peristiwa/kasus tersebut
ditingkatkan menjadi penyidikan. Dalam proses penyidikan peranan
Labfor turut mendukung upaya pencarian dan pengumpulan BB di
TKP. Setelah BB terkumpul maka proses selanjutnya diperiksa
secara ilmiah sehingga BB mati tersebut bicara melalui surat/BA
hasil pemeriksaan.
3) Hasil pemeriksaan Labfor dapat dipakai sebagai pengembangan kasus.
4) Hasil pemeriksaan Labfor dapat dipakai sebagai alat bukti yaitu
surat/ keterangan ahli.99

Alat bukti yang sah dalam proses peradilan menurut Pasal 184 ayat (1)

KUHAP adalah:

a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa

Pada pasal 184 ayat (1) KUHAP diketahui bahwa alat bukti merupakan

segala sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa, dan dapat

dilakukannya pembuktian berdasarkan alat bukti tersebut. Sejalan dengan

bunyi pasal 184 ayat 1 KUHAP, hasil pemeriksaan Lie Detector yang

dikeluarkan oleh Laboratorium Forensik tergolong alat bukti yang sah karena

berbentuk surat.

Mulanya hasil pemeriksaan Lie Detector dapat dikategorikan sebagai

keterangan terdakwa karena pemeriksaan tersebut pada dasarnya dilakukan

dengan komponen utama keterangan dan jawaban dari tersangka. Selanjutnya,

99
Teguh Prihmono; Umar Ma’ruf; Sri Endah Wahyuningsih, “Peran Laboratorium Forensik
Polri Sebagai Pendukung Penyidikan Secara Ilmiah Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”,
Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol 15, No 4, 2020, hal. 187.
44

hasil tersebut diserahkan pada Laboratorium Forensik untuk diuji dan diperiksa

oleh ahli yang akan dibawa ke tahap pengadilan. Di pengadilan, ahli akan

membawa hasil uji laboratorium tersebut sebagai keterangan ahli. Hasil uji

kebohongan berbentuk surat atau keluaran berbentuk cetakan.

Kemajuan teknologi membawa perundang-undangan negara Indonesia

menuju sistem elektronik, dan pengaturan alat bukti dapat mengacu pada Pasal

5 butir 1 UU No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU No 11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memuat:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil


cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

UU No. 1 Tahun 2024 juga membawa inovasi berupa perluasan makna

informasi sebagai alat bukti yang sah. Hal tersebut dapat dilihat melalui Pasal 5

butir 2 UU No. 1 Tahun 2024, yang berbunyi:

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil


cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan acuan tersebut, sehingga hasil dari alat uji kebohongan

(Lie Detector) ialah jenis alat bantu yang mengukur perubahan reaksi fisiologis

misalnya denyut nadi, pernafasaan dan detak jantung berdasarkan tipuan

pikiran yang melibatkan faktor kecemasan.

Alat bukti informasi atau dokumen elektronik adalah bukti baru yang

dapat digunakan untuk membuktikan suatu perkara pidana jika dapat diakses,

dijamin keaslian dan keutuhannya, serta mampu diperoleh dan dibuktikan

dalam persidangan.
45

Lie Detector di dalam hukum positif di Indonesia berkedudukan sebagai

Corpus Delicti atau sebagai barang bukti. Dalam sistem peradilan di Indonesia,

agar hasil pemeriksaan poligraf dapat diterima sebagai bukti ilmiah, maka

laporan hasil pemeriksaannya harus dikonversi terlebih dahulu menjadi alat

bukti surat melalui sumpah jabatan atau perlunya dikuatkan dengan sumpah.

Dalam kasus lain, hasil pemeriksaan poligraf dipaparkan oleh ahli yang

disumpah sehingga keterangan tentang hasil pemeriksaan poligraf tersebut

dapat diterima oleh pengadilan dan dapat dikategorikan menjadi alat bukti

berupa keterangan ahli.

B. Ketentuan Penggunaan Lie Detector Dalam Hukum Positif di

Amerika Serikat

Bukti ilmiah dalam lingkup internasional dikelompokkan menjadi dua

bagian, yaitu bukti ilmiah yang sudah diterima secara umum dan bukti ilmiah

yang belum diterima secara umum.100 Bukti ilmiah yang sudah diterima secara

umum, antara lain visum et repertum, tes Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), dan

sidik jari.

Sementara itu, bukti ilmiah yang belum diterima secara umum biasanya

disebabkan oleh teori-teori yang masih diragukan, seperti voiceprints dan

hypnotically refreshed memory (hipnotis).101 Selain itu, hasil pemeriksaan

poligraf juga termasuk dalam kategori ini, meskipun telah digunakan selama

hampir satu abad, banyak pengadilan masih menolaknya.102

100
Judy Hails, Criminal Evidence, USA: Cengage Learning, 6th ed, 2009, hal. 158.
101 Ibid.
102 Ibid.
46

Ada tiga alasan untuk penolakan: (1) validitasnya diragukan dan tidak

dapat dipercaya, (2) penegak hukum terlalu bergantung pada laporan pemeriksa

poligraf, dan (3) ketidakmampuan pengadilan untuk mengevaluasi kompetensi

pemeriksa poligraf.103

Penggunaan Lie Detector di Amerika Serikat sebagai bukti ilmiah di

pengadilan mulanya didasarkan oleh Frye v. United States, yang menyatakan

bahwa suatu “scientific technique” dapat diterima di pengadilan hanya jika

teknik tersebut diterima secara umum sebagai teknik yang dapat diandalkan

dalam relevant scientific community atau jaringan yang berisi beragam

ilmuwan. Dalam banyak kasus, hal ini memiliki pedoman pada organisasi

profesional, seperti American Academy of Forensic Medicine.

Pada Tahun 1993, The Supreme Court in Daubert v. Merrell Dow

Pharmaceuticals, mengadopsi standar baru untuk digunakan dalam Federal

rules of Evidence atau Aturan Pembuktian Federal.

The judge must make a preliminary assessment that the reasoning or


methodology underlying the testimony is scientifically valid and that the
reasoning or methodology can properly be applied to the facts in issue.
This allows new tests to be used at trials that have not become
established in the scientific community. The trial judge makes the key
ruling on whether the test provides relevant information.

Terjemahan bebas: Hakim harus membuat penilaian awal bahwa alasan


atau metodologi yang mendasari kesaksian tersebut valid secara ilmiah
dan bahwa kesaksian tersebut sah secara ilmiah. penalaran atau
metodologi dapat diterapkan dengan tepat terhadap fakta-fakta yang
ada. Hal ini memungkinkan pengujian baru untuk digunakan pada uji
coba yang belum ditetapkan dalam scientific community. Hakim
pengadilan membuat keputusan penting apakah tes tersebut
memberikaninformasi yang relevan.104

103
Lovina, Op. Cit., hal. 185.
104
Judy Hails, Op. Cit., hal. 126.
47

Pada praktiknya, sidang biasanya diadakan tanpa juri. Pengacara dari

kedua belah pihak memanggil saksi untuk bersaksi tentang pemeriksaan baru

tersebut. Setelah mendengarkan para ahli dari kedua belah pihak dan membaca

kesimpulan yang ditulis oleh pengacara mereka, hakim membuat keputusan

apakah pemeriksaan baru tersebut diterima atau tidak. Pengadilan pada setiap

negara bagian bebas menentukan apakah akan mengadopsi Daubert rule, atau

menggunakan standard Frye.

Undang-Undang Federal Amerika Serikat mengatur secara detail

mengenai kesaksian dari saksi ahli dalam Rule 702. Testimony by Expert

Witnesses.

Rule 702. Testimony by Expert Witnesses menyebutkan:

A witness who is qualified as an expert by knowledge, skill, experience,


training, or education may testify in the form of an opinion or otherwise
if:
(a) the expert’s scientific, technical, or other specialized knowledge will
help the trier of fact to understand the evidence or to determine a
fact in issue;
(b) the testimony is based on sufficient facts or data;
(c) the testimony is the product of reliable principles and methods; and
(d) the expert has reliably applied the principles and methods to the
facts of the case.

Terjemahan bebas:
Seorang saksi yang memenuhi syarat sebagai ahli berdasarkan
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pelatihan, atau pendidikan
dapat memberikan kesaksian dalam bentuk pendapat atau sebaliknya
jika:
(a) pengetahuan ilmiah, teknis, atau pengetahuan khusus lainnya yang
dimiliki pakar akan membantu pengadilan fakta memahami bukti
atau menentukan fakta yang dipermasalahkan;
(b) kesaksian tersebut didasarkan pada fakta atau data yang cukup;
(c) kesaksian tersebut merupakan produk dari prinsip dan metode yang
dapat diandalkan; dan
48

(d) pakar tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip dan metode-metode


tersebut secara andal terhadap fakta-fakta kasusnya.105

1. Ketentuan Lie Detector Berdasarkan Rule 11-707 New Mexico Rules of

Evidence

Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence adalah aturan yang

mengatur mengenai detail penggunaan Lie Detector di negara bagian New

Mexico mulai dari definisi grafik, pemeriksaan poligraf, pemeriksa poligraf,

dan pertanyaan relevan, kualifikasi minimum dari pemeriksa poligraf, syarat

diterimanya hasil pemeriksaan poligraf, aturan tentang persetujuan dalam

melakukan pemeriksaan poligraf, standar penerimaan hasil pemeriksaan

poligraf oleh pengadilan, hingga aturan soal pemeriksaan poligraf jika

dilakukan melalui paksaan.

Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence dibuat pada Tahun

1983, namun baru efektif berlaku sejak Tahun 2013. Sebelum 2013,

Supreme Court of New Mexico membuat keputusan yang berbeda tentang

penggunaan hasil pemeriksaan poligraf di pengadilan.

Tahun 1973, Supreme Court of New Mexico memutuskan bahwa

hasil pemeriksaan poligraf dapat digunakan sebagai bukti ilmiah di

pengadilan jika:

(1) kedua pihak setuju untuk menggunakan pemeriksaan poligraf;


(2) tidak ada keberatan dalam persidangan;
(3) operator poligraf berpengalaman;
(4) prosedur yang digunakan dapat diandalkan; dan
105
Cornell Law School. “Rule 702. Testimony by Expert Witnesses”. Legal Information
Institute,https://www.law.cornell.edu/rules/fre/rule_702#:~:text=For%20this%20kind%20of%20g
eneralized,the%20facts%20of%20the%20case,diakses pada 2 Oktober 2023.
49

(5) pemeriksaan yang dilakukan kepada subjek adalah valid.106

Sampai 2004, Pengadilan Tinggi New Mexico menganggap hasil

pemeriksaan poligraf tidak cukup teruji untuk diterima sebagai bukti ilmiah.

Namun, dengan mengacu pada Rule of Evidence 11-707, hasil pemeriksaan

poligraf diterima oleh New Mexico di pengadilan pada tahun 2013.107

Aturan ini dimulai dengan menjelaskan definisi-definisi mengenai

istilah yang ada pada proses pemeriksaan.

A. Definitions. As used in this rule:


(1) "chart" means the record of bodily reactions by a polygraph
instrument that is attached to the human body during a
series of questions;
(2) "polygraph examination" means a test using a polygraph
instrument which at a minimum simultaneously graphically
records on a chart the physiological changes in human
respiration, cardiovascular activity, galvanic
skinresistance, or reflex for the purpose of lie detection;
(3) "polygraph examiner" means any person who is qualified to
administer or interpret a polygraph examination; and
(4) "relevant question" means a clear and concise question
which refers to specific objective facts directly related to the
purpose of the examination and does not allow
rationalization in the answer.

Terjemahan bebas;
A. Definisi. Sebagaimana yang digunakan dalam aturan ini:
(1) "Grafik" berarti catatan reaksi tubuh dengan alat poligraf
yang ditempelkan pada tubuh manusia selama serangkaian
pertanyaan;
(2) “pemeriksaan poligraf” berarti pemeriksaan dengan
menggunakan alat poligraf yang sekurang-kurangnya secara
simultan mencatat pada suatu grafik perubahan fisiologis
pernapasan manusia, aktivitas kardiovaskular, ketahanan
kulit galvanik, atau refleks untuk tujuan deteksi
kebohongan;

106
New Mexico Supreme Court, State v. Dorsey, 539 P.2d 204 (N.M. 1975), 1975, diakses
13 Juli 2019, https://www. courtlistener.com/opinion/1143182/state-v-dorsey/.
107
New Mexico Supreme Court, Lee v. Martinez, 96 P.3d 291 (N.M. 2004), 2004, diakses
13 Juli 2019, https://www. courtlistener.com/opinion/2623542/lee-v-martinez/.
50

(3) "pemeriksa poligraf" berarti setiap orang yang mempunyai


kualifikasi untuk menyelenggarakan atau menafsirkan
pemeriksaan poligraf; dan
(4) Pertanyaan yang relevan adalah pertanyaan yang jelas dan
ringkas yang mengacu pada fakta obyektif tertentu yang
berkaitan langsung dengan tujuan pemeriksaan dan tidak
memungkinkan adanya rasionalisasi dalam jawabannya.

Pada poin selanjutnya, Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence

menjelaskan secara detail mengenai kualifikasi seorang ahli yang layak

dilibatkan dalam pemeriksaan Lie Detector.

B. Minimum qualifications of polygraph examiner. A polygraph


examiner must have the following minimum qualifications prior
to administering or interpreting a polygraph examination to be
admitted as evidence:
(1) at least five (5) years' experience in administration or
interpretation of polygraph examinations or equivalent
academic training; and
(2) possess a current, active polygraph examiner license,
ingood standing, in New Mexico or in another jurisdiction
with licensure standards that are equal to or greater than
those in New Mexico.

Terjemahan bebas:
B. Kualifikasi minimal pemeriksa poligraf. Seorang pemeriksa
poligraf harus mempunyai kualifikasi minimal sebagai berikut
sebelum melakukan atau menafsirkan pemeriksaan poligraf agar
dapat diterima sebagai alat bukti:
(1) pengalaman minimal lima (5) tahun dalam administrasi atau
interpretasi ujian poligraf atau pelatihan akademik setara;
dan
(2) memiliki izin pemeriksa poligraf aktif yang masih berlaku,
yang bereputasi baik, di New Mexico atau di yurisdiksi lain
dengan standar izin yang setara atau lebih tinggi daripada
standar izin di New Mexico.

Pada poin di atas, diuraikan secara detail mengenai kualifikasi

seorang pemeriksa untuk layak sebagai penafsir atau pemeriksa hasil uji Lie

Detector. Disebutkan bahwaseorang pemeriksa harus setidaknya memiliki

lima tahun pengalaman pada administrasi atau penerjemah poligraf, atau

pada
51

pelatihan yang serupa. Kemudian dijelaskan bahwa seorang yang

dikategorikan layak sebagai “polygraph examiner” wajib memiliki lisensi

sebagai pemeriksa poligraf dan memiliki reputasi yang bagus, baik setara

yurisidiksi New Mexico itu sendiri atau atau memiliki standar yang lebih

tinggi daripada standar izin New Mexico.

Kemudian pada poin lain, Rule 11-707 New Mexico Rules of

Evidence bagaimana hasil dari pemeriksaan Lie Detector dapat diterima.

C. Admissibility of results. A polygraph examiner's opinion as to


the truthfulness of a person's answers in a polygraph
examination may be admitted if:
(1) the polygraph examination was administered by a
qualified polygraph examiner;
(2) the polygraph examination was quantitatively scored in a
manner that is generally accepted as reliable by polygraph
experts;
(3) the polygraph examiner was informed as to the
examinee's background, health, education, and other
relevant information prior to conducting the
polygraphexamination;
(4) at least two (2) relevant questions were asked during the
examination;
(5) at least three (3) charts were taken of the examinee; and
(6) the entire examination was recorded in full on an audio or
video recording device, including the pretest interview
and, if conducted, the post-test interview.

Terjemahan bebas:
C. Penerimaan hasil. Pendapat pemeriksa poligraf mengenai
kebenaran jawaban seseorang dalam pemeriksaan poligraf
dapat diterima apabila:
(1) pemeriksaan poligraf dilakukan oleh pemeriksa poligraf
yang berkualifikasi;
(2) pemeriksaan poligraf dinilai secara kuantitatif dengan cara
yang secara umum dianggap dapat diandalkan oleh para
ahli poligraf;
(3) pemeriksa poligraf diberitahu mengenai latar belakang,
kesehatan, pendidikan, dan informasi terkait lainnya yang
diperiksa sebelum melakukan pemeriksaan poligraf;
52

(4) paling sedikit dua (2) pertanyaan relevan diajukan selama


pemeriksaan;
(5) diambil sekurang-kurangnya tiga (3) grafik peserta ujian;
dan
(6) Keseluruhan ujian direkam secara lengkap pada alat
perekam audio atau video, termasuk wawancara pra-tes
dan jika dilakukan wawancara pasca-tes.

Hasil pemeriksaan Lie Detector dapat diterima di pengadilan

apabila pemeriksaan tersebut dilakukan oleh ahli yang memiliki kualifikasi,

sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya. Pemeriksa harus

diberitahu mengenai latar belakang seseorang yang akan diperiksa, baik

kesehatan, pendidikan, dan informasi terkait lainnya yang berguna sebagai

“celah” yang dapat dimanfaatkan oleh pemeriksa dalam menggali

keterangan dari seseorang yang sedang diperiksa. Pemeriksa akan

memberikan sekurang- kurangnya 2 pertanyaan yang relevan dengan kasus

yang sedang diperiksa pada seseorang yang diperiksa. Kemudian, selama

pemeriksaan direkam secara penuh, baik secara audio maupun video.

Poin berikutnya pada Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence

menjelaskan mengenai atau cara penggunaan alat bukti yang akan diajukan

dalam persidangan oleh seseorang yang diperiksa.

D. Notice of examination. A party who wishes to use polygraph


evidence at trial must provide written notice no less than thirty
(30) days before trial or within such other time as the district
court may direct. Such notice must include these reports:
(1) a copy of the polygraph examiner's report, if any;
(2) a copy of each chart;
(3) a copy of the audio or video recording of the entire
examination, including the pretest interview, and, if
conducted, the post-test interview; and
(4) a list of any other polygraph examinations taken by the
examinee in the matter under question, including the
names
53

of all persons administering such examinations, the dates,


and the results of the examinations.

Terjemahan bebas:
D. Pemberitahuan pemeriksaan. Pihak yang ingin menggunakan
alat bukti poligraf dalam persidangan wajib memberikan
pemberitahuan tertulis paling lambat tiga puluh (30) hari
sebelum persidangan atau dalam waktu lain yang ditentukan
oleh pengadilan negeri. Pemberitahuan tersebut
harusmencakup laporan-laporan berikut:
(1) fotokopi berita acara pemeriksa poligraf, jika ada;
(2) salinan setiap bagan;
(3) salinan rekaman audio atau video keseluruhan ujian,
termasuk wawancara prates, dan jika dilakukan,
wawancara pascates; dan
(4) daftar pemeriksaan poligraf lain yang dilakukan oleh
pemeriksa pada soal yang bersangkutan, termasuk nama
semua penyelenggara pemeriksaan, tanggal, dan hasil
pemeriksaan.

Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence mengizinkan seseorang

yang sedang terlibat dalam sebuah perkara untuk mengajukan bukti ke

pengadilan secara individu berupa hasil pemeriksaan Lie Detector. Penyidik

atau hakim bukan menjadi pihak yang meminta atau mengajukan, melainkan

terdakwa itu sendiri yang mengajukan bukti berupa hasil Lie Detector guna

menguatkan bukti lain atau untuk membuktikan bahwa mereka tidak

bersalah. Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence juga mengatur

mengenai bagaimana hasil pemeriksaan Lie Detector dapat diterima dan

mengatur mengenai hak setiap terperiksa untuk menerima atau menolak

melakukan tes

Lie Detector.

E. Determination of admissibility. The court shall make any


determination as to the admissibility of a polygraph
examination outside the presence of the jury.

Terjemahan bebas:
54

E. Penentuan penerimaan. Pengadilan harus membuat keputusan


apapun mengenai penerimaan pemeriksaan poligraf di luar
kehadiran juri.

F. Compelled polygraph examinations. No witness shall be


compelled to take a polygraph examination. If notice to use a
polygraph examination of a witness has been given under
Paragraph D by one party, the court may, for good cause
shown, compel a second polygraph examination of that witness
by the other party. The results of the second polygraph
examination may be admitted if the second polygraph
examination is conducted as required under this rule. Should
the witness refuse to take a second polygraph examination,
thenthe results of the first polygraph are inadmissible.

Terjemahan bebas:
F. Pemaksaan tes Poligraf. Saksi tidak boleh dipaksa untuk
melakukan pemeriksaan poligraf. Jika pemberitahuan untuk
menggunakan pemeriksaan poligraf terhadap seorang saksi
telah diberikan berdasarkan Ayat D oleh salah satu pihak,
pengadilan dapat, atas alasan yang baik, memaksa pihak lain
untuk melakukan pemeriksaan poligraf kedua terhadap saksi
tersebut. Hasil pemeriksaan poligraf kedua dapat diterima
apabila pemeriksaan poligraf kedua dilakukan sebagaimana
dipersyaratkan dalam peraturan ini. Apabila saksi menolak
untuk melakukan pemeriksaan poligraf yang kedua, maka hasil
poligraf yang pertama tidak dapat diterima.

Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence menjamin hak

terperiksa untuk terbebas dari paksaan dan tindakan ilegal selama proses

pemeriksaan. Setiap terperiksa akan diberi suatu pemberitahuan sebelum

melakukan tes, dan apabila mereka menyetujui, maka tes akan dilaksanakan.

Proses pemeriksaan harus dilandaskan atas persetujuan bersama. Apabila

terjadi pemaksaan selama proses pemeriksaan, atau terjadi tindakan ilegal

lainnya, maka hasil tes Lie Detector dianggap tidak sah dan tidak dapat

diterima di pengadilan.
55

2. Ketentuan Lie Detector Berdasarkan Employee Polygraph Protection Act

(selanjutnya disebut EPPA)

EPPA merupakan Undang-Undang federal Amerika Serikat yang

mengatur mengenai Lie Detector dalam ruang lingkup hak-hak pekerja.

Section 801.1 huruf a Part 801-Applicaton of The Employee Polygraph

Protection Act of 1988 menyebutkan:

Effective December 27, 1988, the Employee Polygraph Protection


Act of 1988 (EPPA or the Act) prohibits most private employers
(Federal, State, and local government employers are exempted
from the Act) from using any Lie Detector tests either for pre-
employment screening or during the course of employment.
Polygraph tests, but no other types of Lie Detector tests, are
permitted under limited circumstances subject to certain
restrictions. The purpose of this part is to set forth the
regulations to carry out the provisions of EPPA.

Terjemahan bebas: Efektif tanggal 27 Desember 1988, Undang-


Undang Perlindungan Poligraf Karyawan tahun 1988 (EPPA atau
Undang-Undang) melarang sebagian besar pemberi kerja swasta
(pekerja pemerintah federal, negara bagian, dan lokal dikecualikan
dari Undang-Undang tersebut) untuk menggunakan tes pendeteksi
kebohongan apa pun, baik untuk pemeriksaan pra-kerja. atau
selama masa kerja. Tes poligraf, namun tidak ada jenis tes
pendeteksi kebohongan lainnya, diizinkan dalam keadaan terbatas
dan tunduk pada batasan tertentu. Tujuan bagian ini adalah untuk
menguraikan peraturan untuk melaksanakan ketentuan EPPA.

Section 801.1 huruf a Part 801-Applicaton of The Employee

Polygraph Protection Act of 1988 ini menjelaskan mengenai tujuan dari

Undang-Undang ini dibentuk. EPPA berusaha menjamin hak-hak para

karayawan dari para pemberi kerja yang memasukkan hasil uji Lie Detector

dalam penerimaan karyawan baru. Para karyawan yang aka melamar pada

suatu perusahaan memiliki hak untuk menolak apabila diminta untuk

melakukan tes Lie Detector.


56

Section 801.3 huruf b Part 801-Applicaton of The Employee

Polygraph Protection Act of 1988 menyebutkan bahwa:

The Act also extends to all employees of covered employers


regardless of their citizenship status, and to foreign corporations
operating in the United States. Moreover, the provisions of the Act
extend to any actions relating to the administration of Lie Detector,
including polygraph, tests which occur within the territorial
jurisdiction of the United States, e.g., the preparation of paperwork
by a foreign corporation in a Miami office relating to a polygraph
test that is to be administered on the high seas or in some foreign
location.

Terjemahan bebas: Undang-Undang ini juga berlaku untuk semua


karyawan dari perusahaan yang dilindungi terlepas dari status
kewarganegaraan mereka, dan juga untuk perusahaan asing yang
beroperasi di Amerika Serikat. Selain itu, ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang ini mencakup segala tindakan yang
berkaitan dengan penggunaan alat pendeteksi kebohongan,
termasuk tes poligraf, yang dilakukan dalam yurisdiksi teritorial
Amerika Serikat, misalnya, persiapan dokumen oleh perusahaan
asing di kantor Miami yang berkaitan dengan tes poligraf yang
akan dilakukan di laut lepas atau di lokasi asing.

Section 801.3 huruf b Part 801-Applicaton of The Employee

Polygraph Protection Act of 1988 menjelaskan bahwa EPPA yang semula

hanya melindungi karyawan, meluas menjadi “semua karyawan dari

perusahaan yang dilindungi terlepas dari status kewarganegaraan mereka,

dan juga untuk perusahaan asing yang beroperasi di Amerika Serikat”. Hal

ini mengindikasikan bahwa EPPA menganggap bahwa fungsi Lie Detector

pada penerimaan karyawan merupakan permasalahan yang serius bagi

seluruh tenaga kerja, baik warga lokal maupun warga asing.

Section 801.4 Part 801-Applicaton of The Employee Polygraph

Protection Act of 1988 menyebutkan bahwa:


57

(1) Requiring, requesting, suggesting or causing, directly or


indirectly, any employee or prospective employee to take or
submit to a Lie Detector test;
(2) Using, accepting, or inquiring about the results of a Lie
Detector test of any employee or prospective employee; and
(3) Discharging, disciplining, discriminating against, denying
employment or promotion, or threatening any employee or
prospective employee to take such action for refusal or failure
to take or submit to such test, on the basis of the results of a
test, for filing a complaint, for testifying in any proceeding, or
for exercising any rights afforded by the Act.

Terjemahan bebas:
(1) Mewajibkan, meminta, menyarankan atau menyebabkan, baik
langsung maupun tidak langsung, setiap pegawai atau calon
pegawai untuk mengikuti atau mengikuti tes pendeteksi
kebohongan;
(2) Menggunakan, menerima, atau menanyakan hasil tes
pendeteksi kebohongan terhadap pegawai atau calon pegawai;
Dan
(3) Memberhentikan, mendisiplinkan, melakukan diskriminasi,
menolak pekerjaan atau promosi, atau mengancam pegawai
atau calon pegawai untuk melakukan tindakan tersebut karena
menolak atau tidak mengikuti atau mengikuti ujian tersebut,
berdasarkan hasil ujian, untuk diajukan pengaduan, untuk
memberikan kesaksian dalam persidangan apa pun, atau untuk
melaksanakan hak apa pun yang diberikan oleh Undang-
Undang.

Section 801.4 Part 801-Applicaton of The Employee Polygraph

Protection Act of 1988 menjelaskan bahwa setiap pemberi kerja dilarang

untuk mewajibkan, meminta, menyarankan para pegawai untuk melakukan

tes Lie Detector. Pemberi kerja juga dilarang untuk menggunakan atau

menerima hasil tes Lie Detector dari pegawai. Serta, pemberi kerja juga

dilarang untuk mendisiplinkan para pegawai yang menolak untuk mengikuti

tes Lie Detector.

Section 801.8 huruf c Part 801-Applicaton of The Employee

Polygraph Protection Act of 1988 menyebutkan bahwa:


58

(c) EPPA prohibitions against discrimination apply to former


employees of an employer. For example, an employee may quit
rather than take a Lie Detector test. The employer cannot
discriminate or threaten to discriminate in any manner against that
person (such as by providing bad references in the future) because
of that person's refusal to be tested, or because that person files a
complaint, institutes a proceeding, testifies in a proceeding, or
exercises any right under EPPA.

Terjemahan bebas:
(c) Larangan EPPA terhadap diskriminasi berlaku bagi mantan
pekerja di suatu perusahaan. Misalnya, seorang karyawan mungkin
berhenti daripada mengikuti tes pendeteksi kebohongan. Majikan
tidak boleh melakukan diskriminasi atau mengancam untuk
melakukan diskriminasi dengan cara apa pun terhadap orang
tersebut (misalnya dengan memberikan referensi yang buruk di
kemudian hari) karena orang tersebut menolak untuk diuji, atau
karena orang tersebut mengajukan pengaduan, memulai proses
hukum, memberikan kesaksian dalam suatu proses persidangan,
atau menjalankan hak apa pun berdasarkan EPPA.

Section 801.8 huruf c Part 801-Applicaton of The Employee

Polygraph Protection Act of 1988 ini menjelaskan bahwa EPPA tetap

melindungi seorang karyawan bahkan setelah ia tidak bekerja pada suatu

perusahaan. Walaupun sudah bukan pada masa kerjanya, karyawan tersebut

tetap terjamin haknya untuk terhindar dari ancaman ataupun pencemaran

nama baik di kemudian hari.

Section 801.12 Part 801-Applicaton of The Employee Polygraph

Protection Act of 1988 menyebutkan bahwa:

(1) The test is administered in connection with an ongoing


investigation involving economic loss or injury to the
employer's business, such as theft, embezzlement,
misappropriation or an act of unlawful industrial espionage or
sabotage;
(2) The employee had access to the property that is the subject of
the investigation;
(3) The employer has a reasonable suspicion that the employee was
involved in the incident or activity
under investigation;
59

(4) The employer provides the examinee with a statement, in a


language understood by the examinee, prior to the test which
fully explains with particularity the specific incident or activity
being investigated and the basis for testing particular
employees and which contains, at a minimum:
(i) An identification with particularity of the specific economic
loss or injury to the business of the employer;
(ii) A description of the employee's access to the property that is
the subject of the investigation;
(iii) A description in detail of the basis of the employer's
reasonable suspicion that the employee was involved in the
incident or activity under investigation; and
(iv) Signature of a person (other than a polygraph examiner)
authorized to legally bind the employer; and
(5) The employer retains a copy of the statement and proof of
service described in paragraph (a)(4) of this section for at
least 3 years and makes it available for inspection by the Wage
and Hour Division on request.

Terjemahan bebas:
(1) Tes ini dilakukan sehubungan dengan penyelidikan yang
sedang berlangsung yang melibatkan kerugian ekonomi atau
kerugian terhadap bisnis pemberi kerja, seperti pencurian,
penggelapan, penyelewengan atau tindakan spionase atau
sabotase industri yang melanggar hukum;
(2) Pekerja mempunyai akses terhadap harta benda yang menjadi
obyek penyidikan;
(3) Majikan mempunyai kecurigaan yang beralasan bahwa
pekerjanya terlibat dalam kejadian atau kegiatan tersebut
sedang dalam investigasi;
(4) Majikan memberikan pernyataan kepada peserta ujian, dalam
bahasa yang dimengerti oleh peserta ujian, sebelum ujian yang
menjelaskan secara lengkap dan khusus kejadian atau kegiatan
tertentu yang sedang diselidiki dan dasar untuk menguji
pekerja tertentu dan yang memuat, sekurang-kurangnya :
(i) Suatu identifikasi khusus mengenai kerugian atau kerugian
ekonomi tertentu terhadap usaha pemberi kerja;
(ii) Penjelasan mengenai akses karyawan terhadap properti
yang menjadi subjek penyelidikan;
(iii) Uraian secara rinci mengenai dasar kecurigaan yang wajar
dari pemberi kerja terhadap pekerjanya
terlibat dalam insiden atau kegiatan yang sedang diselidiki;
Dan
(iv) Tanda tangan seseorang (selain pemeriksa poligraf) yang
berwenang mengikat pemberi kerja secara hukum; Dan
60

(5) Majikan menyimpan salinan pernyataan dan bukti kerja


sebagaimana dimaksud dalam paragraf (a)(4) pasal ini selama
minimal 3 tahun dan menyediakannya untuk diperiksa oleh
Divisi Upah dan Jam jika diminta.

Section 801.12 Part 801-Applicaton of The Employee Polygraph

Protection Act of 1988 ini menjelaskan bahwa terdapat pengecualian

terbatas yang diberikan kepada para pemberi kerja yang sedang melakukan

investigasi atas kerugian ekonomi atau kerugian pada bisnis pemberi

kerja. Majikan dapat meminta seorang karyawan, sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan. Section 801.14 Part 801-Applicaton of The Employee

Polygraph Protection Act of 1988 mengizinkan pengecualian umum dari

tes poligraf untuk personel mobil lapis baja, alarm keamanan, dan

petugas keamanan tertentu, namun hanya jika pemberi kerja tersebut

memiliki tujuan bisnis utama untuk menyediakan personel mobil lapis

baja, personel yang terlibat dalam perancangan, pemasangan, dan

pemeliharaan sistem alarm keamanan, atau personel keamanan berseragam

atau berpakaian preman lainnya.

Asalkan fungsi pemberi kerja mencakup perlindungan terhadap:

(1) Facilities, materials, or operations having a significant impact


on the health or safety of any State or political
subdivisionthereof, or the national security of the United States,
such as—
(i) Facilities engaged in the production, transmission, or
distribution of electric or nuclear power,
(ii) Public water supply facilities,
(iii) Shipments or storage of radioactive or other toxic waste
materials, and
(iv) Public transportation; or
(2) Currency, negotiable securities, precious commodities
or instruments, or proprietary information.

Terjemahan bebas:
(1) Fasilitas, bahan, atau operasi yang mempunyai dampak
signifikan terhadap kesehatan atau keselamatan suatu Negara
61

Bagian atau bagian politiknya, atau keamanan nasional Amerika


Serikat, seperti:
(i) Fasilitas yang terlibat dalam produksi, transmisi, atau
distribusi tenaga listrik atau nuklir,
(ii) Fasilitas penyediaan air umum,
(iii) Pengiriman atau penyimpanan bahan limbah radioaktif atau
beracun lainnya, dan
(iv) Transportasi umum; atau
(2)Mata uang, surat berharga yang dapat dinegosiasikan, komoditas
atau instrumen berharga, atau informasi kepemilikan.
BAB IV

PENGATURAN LIE DETECTOR DALAM PROSES


PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
DI MASA YANG AKAN DATANG

Lie Detector semakin penting untuk digunakan, terutama dalam konteks

penyidikan kasus tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pendeteksi

kebohongan memiliki keakuratan 90 persen dan beberapa kasus kontroversialyang

sulit untuk diselesaikan. Di Indonesia, Lie Detector telah digunakan dalam

beberapa kasus, dan semuanya memiliki kesamaan, yaitu kasus pembunuhan

berencana. Meskipun demikian, peraturan perundang-undangan di Indonesia

belum ada yang mengatur mengenai penggunaan Lie Detector secara eksplisit.

Kepentingan penegakan hukum (law enforcment) yang sesuai dengan

prosedur harus diawasi melalui aturan yang menjamin pelaksanaan penegakan

hukum yang benar dan mencegah aparat penegak hukum bertindak sewenang-

wenang terhadap subjek yang sedang menghadapi proses hukum. Ini akan

membatasi kekuatan negara untuk bertindak terhadap setiap anggota masyarakat

yang terlibat dalam proses peradilan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang tahapan sistem peradilan

pidana, salah satunya adalah proses penyidikan sebagaimana yang dicantumkan

dalam Pasal 1 butir 2, yang menyebutkan bahwa:

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut


tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta

62
63

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang


tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.108

A. Pengaturan Lie Detector Dalam Proses Pembuktian Hukum Acara Pidana

Di Indonesia Berdasarkan Teori Pembuktian

Hukum acara pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian

berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief weteljk stelsel), yang

artinya bahwa salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan

hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah

menurut Undang-Undang.

Pasal 183 KUHAP menyatakan:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila


dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Lie Detector tidak termasuk dalam salah satu kategori alat bukti

sebagaimana menurut Undang-Undang di Indonesia. Jika Lie Detector

dimasukkan ke dalam pertimbangan hakim saat memutuskan, maka hasil Lie

Detector tidak dapat mempengaruhi keputusan hakim, karena keyakinan hakim

hanya dapat didasarkan pada dua alat bukti yang sah.

Oleh karena itu, sangat diperlukan pengaturan mengenai Lie Detector di

dalam perundang-undangan di Indonesia. Dengan menggunakan data ilmiah

dan objektif, Lie Detector dapat membantu hakim membuat keyakinan yang

kuat dan rasional atas kesalahan terdakwa. Jika memenuhi syarat-syarat ini,

pendeteksi kebohongan dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah menurut

108
Pasal 1 butir 2 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
64

Undang-Undang. Pengaturan memenuhi syarat-syarat berikut: diperkenankan

Undang-Undang, reliable (dapat dipercaya keabsahannya), necessary

(diperlukan untuk membuktikan suatu fakta), dan relevant (berkaitan dengan

fakta yang akan dibuktikan).

Pengaturan ini juga harus mempertimbangkan hak-hak para pihak yang

terlibat dalam pemeriksaan Lie Detector, seperti hak untuk menolak atau

menyetujui pemeriksaan, hak untuk mendapatkan informasi dan bantuan

hukum, serta hak untuk mendapatkan perlindungan privasi dan keamanan.

Pengaturan Lie Detector di Indonesia berdasarkan teori pembuktianakan

menguntungkan penegakan hukum pidana di Indonesia. Lie Detector akan

meningkatkan kualitas alat bukti yang digunakan dalam proses peradilan

pidana, dan juga akan membantu mempercepat proses peradilan pidana, serta

mencegah atau mengurangi kesalahan yang dilakukan dalam penegakan

hukumpidana.

B. Pengaturan Lie Detector Dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana Di

Indonesia Berdasarkan KUHAP

Alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah keterangan saksi, ahli,

surat, petunjuk, dan terdakwa. Lie Detector dapat digunakan sebagai

buktitambahan atau pendukung untuk mendukung bukti lain, terutama

keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Mereka dapat

menguji kredibilitas atau keandalan keterangan saksi, keterangan ahli, dan

keterangan terdakwa dengan menentukan apakah mereka berbohong saat

memberikan keterangan mereka.


65

Fungsi utama penggunaan Lie Detector di Indonesia adalah untuk

menjamin serta mencapai keadilan dalam proses penyidikan maupun

persidangan terhadap tindak pidana. Lie Detector dapat membantu penyidik

dan hakim dalam menemukan fakta sebenarnya dan memudahkan dalam

melaksanakan tugasnya. Namun, penggunaan Lie Detector harus diatur secara

tegas dalam KUHAP agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam

persidangan. Selain itu, penggunaan Lie Detector harus dilakukan dengan hati-

hati dan tidak boleh digunakan secara ilegal. Oleh karena itu, perlu adanya

pengaturan yang jelas dan ketat mengenai penggunaan Lie Detector di

Indonesia di masa depan agar dapat mencapai keadilan dalam prosespenyidikan

tindak pidana. Setidaknya ada tiga aturan penting yang harus diatur secara

eksplisit dalam KUHAP di Indonesia.

1. Pengaturan Mengenai Kedudukan Hasil Lie Detector

Hasil dari alat uji kebohongan dalam proses hukum acara pidana di

Indonesia dikategorikan sebagai keterangan ahli maupun alat bukti surat.

Pada beberapa kasus di Indonesia, agar hasil Lie Detector dapat diterima

dalam pengadilan, maka laporan hasil Lie Detector harus dikonversi menjadi

alat bukti surat melalui sumpah jabatan atau perlunya dikuatkan dengan

sumpah. Hal ini berdasar pada sistem pembuktian pidana di Indonesia yang

berlandaskan pada pengkategorian barang bukti menjadi alatbukti agar dapat

menjadi bukti yang sah dan diterima di pengadilan.


66

Berdasarkan Pasal 187 KUHAP, surat yang dimaksud dalam Pasal

184 ayat (1) huruf c KUHAP dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan

dengan sumpah adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.

Berbeda dengan negara bagian New Mexico yang mana telah

memiliki Rules of Evidence 11-707 untuk mengukur standar agar hasil

pemeriksaan Lie Detector dapat diterima sebagai bukti ilmiah di pengadilan.

C. Admissibility of results. A polygraph examiner's opinion as to


the truthfulness of a person's answers in a polygraph
examination may be admitted if:
(1) the polygraph examination was administered by a
qualified polygraph examiner;
(2) the polygraph examination was quantitatively scored in a
manner that is generally accepted as reliable by
polygraph experts;
(3) the polygraph examiner was informed as to the
examinee's background, health, education, and other
relevant information prior to conducting the
polygraphexamination;
(4) at least two (2) relevant questions were asked during the
examination;
(5) at least three (3) charts were taken of the examinee; and
(6) the entire examination was recorded in full on an audio or
video recording device, including the pretest interview
and, if conducted, the post-test interview.
67

Terjemahan bebas:
C. Penerimaan hasil. Pendapat pemeriksa poligraf mengenai
kebenaran jawaban seseorang dalam pemeriksaan poligraf
dapat diterima apabila:
(1) pemeriksaan poligraf dilakukan oleh pemeriksa poligraf
yang berkualifikasi;
(2) pemeriksaan poligraf dinilai secara kuantitatif dengan cara
yang secara umum dianggap dapat diandalkan oleh para
ahli poligraf;
(3) pemeriksa poligraf diberitahu mengenai latar belakang,
kesehatan, pendidikan, dan informasi terkait lainnya yang
diperiksa sebelum melakukan pemeriksaan poligraf;
(4) paling sedikit dua (2) pertanyaan relevan diajukan selama
pemeriksaan;
(5) diambil sekurang-kurangnya tiga (3) grafik peserta ujian;
dan
(6) Keseluruhan ujian direkam secara lengkap pada alat
perekam audio atau video, termasuk wawancara pra-tes
dan jika dilakukan wawancara pasca-tes.

Hal di atas menjelaskan detail mengenai bagaimana hasil uji

kebohongan dapat diterima di pengadilan. Aturan seperti di atas sangat perlu

dituliskan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia agar Lie

Detector sebagai alat bukti yang sah dan dapat diterima dalam proses

beracara pidana di Indonesia memiliki kekuatan hukum.

2. Pengaturan Mengenai Keabsahan Hasil Lie Detector

Apabila hasil dari uji Lie Detector dapat diterima di persidangan,

maka hal tersebut dapat melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa,

termasuk hak untuk diam dan hak untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Hak

ini telah dijamin di dalam Pasal 14 ayat (3) huruf g International Covenant

on Civil and Political Rights (ICCCPR).


68

(g) Not to be compelled to testify against himself or to confessguilt.109

Terjemahan bebas:
(g) Tidak dipaksa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau
mengaku bersalah

Pasal di atas menjelaskan bahwa terdakwa berhak untukmenghindari

dipaksa memberikan keterangan yang memberatkan atau merugikan dirinya

sendiri saat menghadapi tuduhan tindak pidana. Mereka juga berhak untuk

menghindari mengaku bersalah, sekalipin dipaksa.

Hal ini juga sejalan dengan aturan yang tertulis pada New Mexico

Rules of Evidence 11-707 yang menyatakan bahwa:

F. Compelled polygraph examinations. No witness shall be


compelled to take a polygraph examination. If notice to use a
polygraph examination of a witness has been given under
Paragraph D by one party, the court may, for good cause
shown, compel a second polygraph examination of that witness
by the other party. The results of the second polygraph
examination may be admitted if the second polygraph
examination is conducted as required under this rule. Should
thewitness refuse to take a second polygraph examination, then
the results of the first polygraph are inadmissible.

Terjemahan bebas:
F. Pemaksaan tes Poligraf. Saksi tidak boleh dipaksa untuk
melakukan pemeriksaan poligraf. Jika pemberitahuan untuk
menggunakan pemeriksaan poligraf terhadap seorang saksi telah
diberikan berdasarkan Ayat D oleh salah satu pihak, pengadilan
dapat, atas alasan yang baik, memaksa pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan poligraf kedua terhadap saksi tersebut.
Hasil pemeriksaan poligraf kedua dapat diterima apabila
pemeriksaan poligraf kedua dilakukan sebagaimana
dipersyaratkan dalam peraturan ini. Apabila saksi menolak
untuk melakukan pemeriksaan poligraf yang kedua, maka hasil
poligraf yang pertama tidak dapat diterima.

109
International Covenant on Civil and Political Rights, UN General Assembly resolution
2200A (XXI), 16 December 1966, entry into force 23 March 1976
69

Penjelasan di atas tidak berarti penyidik, penuntut umum, atau

majelis hakim di pengadilan tidak bisa sama sekali untuk

mendapatkanketerangan dari terdakwa. Hal yang ditekankan dalam masalah

ini adalah keterangan terdakwa harus berasal dari kehendak bebas (freewill)

atau secara sukarela. Keterangan yang diperoleh secara sukarela juga

termasuk dalam pemeriksaan Lie Detector.

Oleh karenanya, diperlukan pengaturan secara eksplisit dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai hal ini. Agar

keabsahan hasil Lie Detector terjamin, pemeriksaan Lie Detector harus

dilakukan dengan persetujuan orang yang diperiksa. Jika pemeriksaan Lie

Detector tidak dilakukan secara sukarela, persetujuan tersebut tidak sah. Hal

ini dapat terjadi karena orang yang diperiksa merasa takut akan konsekuensi

yang akan mereka hadapi jika mereka tidak melakukannya.

3. Pengaturan Mengenai Implementasi Hasil Lie Detector

Implementasi atau penerapan hasil uji kebohongan (Lie Detector) di

Indonesia terkesan belum fleksibel dan kaku. Berbeda dengan Amerika

Serikat yang mana di dalam aturannya telah mengatur mengenai seberapa

fleksibel Lie Detector digunakan pada negara tersebut. Masyarakat lebih

leluasa untuk menggunakan Lie Detector, tentunya secara legal.

Peraturan di Indonesia hanya mengatur penggunaan Lie Detector

apabila pihak penyidik atau instansi hukum yang meminta, seperti tertulis

pada Pasal 10 ayat (1) huruf a dan b Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan


70

Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian

Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium

Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan:

(1) Tata cara permintaan pemeriksaan laboratoris kriminalistik


barang bukti adalah sebagai berikut:
a. Kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi,
mengajukan permintaan pemeriksaan laboratoriskriminalistik
barang bukti secara tertulis kepada Kalabfor Polri, dengan
menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan; dan
b. permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, wajib dilengkapi persyaratan formal dan teknis sesuai
dengan jenis pemeriksaan.

Pada penjelasan pasal di atas, dapat dilihat bahwa peraturan di

Indonesia hanya mengizinkan pemeriksaan menggunakan Lie Detector

apabila terdapat permintaan tertulis dari pihak instansi atau penyidik saja. Isi

dari peraturan tersebut terkesan kaku karna hanya mengizinkan satu pihak

saja yang diperbolehkan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan Lie

Detector.

Berbeda dengan peraturan di Amerika serikat, yang mana pada New

Mexico Rules of Evidence 11-707 telah mengatur bahwa setiap individu

yang sedang berperkara dapat mengajukan bukti bahwa dirinya tidak

bersalah berupa hasil dari tes pendeteksi kebohongan atau Lie Detector.

D. Notice of examination. A party who wishes to use polygraph


evidence at trial must provide written notice no less than thirty
(30) days before trial or within such other time as the district
court may direct. Such notice must include these reports:
(1) a copy of the polygraph examiner's report, if any;
(2) a copy of each chart;
(3) a copy of the audio or video recording of the entire
examination, including the pretest interview, and, if
conducted, the post-test interview; and
71

(4) a list of any other polygraph examinations taken by the


examinee in the matter under question, including the
names of all persons administering such examinations,
thedates, and the results of the examinations.

Terjemahan bebas:
D. Pemberitahuan pemeriksaan. Pihak yang ingin menggunakan
alat bukti poligraf dalam persidangan wajib memberikan
pemberitahuan tertulis paling lambat tiga puluh (30) hari
sebelum persidangan atau dalam waktu lain yang ditentukan
oleh pengadilan negeri. Pemberitahuan tersebut
harusmencakup laporan-laporan berikut:
(1) fotokopi berita acara pemeriksa poligraf, jika ada;
(2) salinan setiap bagan;
(3) salinan rekaman audio atau video keseluruhan ujian,
termasuk wawancara prates, dan jika dilakukan,
wawancara pascates; dan
(4) daftar pemeriksaan poligraf lain yang dilakukan oleh
pemeriksa pada soal yang bersangkutan, termasuk nama
semua penyelenggara pemeriksaan, tanggal, dan hasil
pemeriksaan.

Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence mengizinkan seseorang

yang sedang terlibat dalam sebuah perkara untuk mengajukan bukti ke

pengadilan secara individu berupa hasil pemeriksaan Lie Detector. Penyidik

atau hakim bukan menjadi pihak yang meminta atau mengajukan, melainkan

terdakwa itu sendiri yang mengajukan bukti berupa hasil Lie Detector guna

menguatkan bukti lain atau untuk membuktikan bahwa mereka tidak

bersalah. Akan tetapi, apabila diteliti lebih dalam, hasil pemeriksaan alat uji

kebohongan, baik sebagai alat bukti surat maupun alat bukti keterangan ahli,

keduanya merupakan hasil analisis pemeriksa alat uji kebohongan atau ahli

dalam bidang forensik dan hasil analisisnya dituangkan dalam bentuk

laporan. Print out (kertas yang dicetak) hasil pemeriksaan alat uji
72

kebohongan dapat dijadikan pelengkap berkas penyidikan yang diperkuat

oleh keterangan ahli forensik.

Kredibilitas hasil pemeriksaan alat uji kebohongan (Lie Detector) ini

sudah diakui oleh masyarakat dunia karena tingkat keakurasiannya

mencapai 95-98 persen. Selain itu, sistem teknologi dan informasi yang

semakin berkembang, juga berdampak pada perkembangan dalam bidang

hukum. Salah satunya yaitu Scientific Investigation atau metode

pengungkapan suatu tindak pidana yang didasarkan pada kecerdasan buatan

(Artificial Intelligent). Namun, tidak semua kasus pidana harus

diselesaikan dengan menggunakan metode Scientific Investigation.

Terdapat kasus-kasus tertentu yang dinilai perlu bantuan metode tersebut,

salah satunya yaitu tindak pidana pembunuhan berencana. Para pelaku

tindak pidana pembunuhan berencana telah merencanakan secara baik

tindakan yang akan dilakukandan telah

mempelajari mengenai konsekuensi hukum yang akan diterima. Oleh karena

itu, disini Lie Detector berfungsi mendeteksi segala upaya yangdilakukan

secara sadar oleh para pelaku saat dimintai keterangan. Lie Detector akan

menangkap respon fisiolgis sekecil apapun pada tubuh pelaku ketika

diindikasikan berbohong.

Oleh karena itu, sudah selayaknya Lie Detector diatur di dalam

hukum acara pidana di Indonesia di masa yang akan datang.

Sehinggapengaturan mengenai hasil pemeriksaan alat uji kebohongan (Lie

Detector) di Indonesia di masa yang akan datang dapat dikategorikan

menjadi alat
73

bukti surat. Alat bukti surat merupakan alat bukti yang sah dan dapat

diterima di dalam persidangan sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP.


BAB V

PENUTU

A. Kesimpulan

1. Ketentuan Lie Detector di Indonesia diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor

10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan

Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris

Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Kedudukannya sebagai Corpus Delicti atau

sebagai barang bukti. Sedangkan di Amerika Serikat, Lie Detector diatur di

dalam Federal Rules dan State Rules. Federal Rules mengau pada Employee

Polygraph Protection Act of 1998 (EPPA) dan State Rules mengacu pada

Rule 11-707 New Mexico Rules of Evidence.

2. Pengaturan Lie Detector di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia

di masa yang akan datang dapat diatur dan dikategorikan menjadi alat bukti

surat. Alat bukti surat merupakan alat bukti yang sah dan dapat diterima di

dalam persidangan sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hasil pemeriksaan

alat uji kebohongan telah diterima masyarakat dunia dan tingkat

keakurasiannya mencapai 95-98 persen, serta kemajuan teknologi dan

informasi yang semakin pesat termasuk pada bidang hukum, maka sudah

selayaknya Lie Detector diatur di dalam hukum acara pidana di Indonesia di

masa yang akan datang.

74
75

B. Saran

1. Studi banding harus dilakukan untuk mempelajari Undang-Undang negara

lain karena Undang-Undang yang diterapkan di negara lain dapat digunakan

sebagai referensi untuk kebijakan di masa yang akan datang. Selain itu,

perlu dikoreksi kembali apakah Undang-Undang saat ini di Indonesia cukup

untuk mengatur dan mengedukasi para aparat yang terlibat, karena jika

melihat masa sekarang kecanggihan teknologi dan Artificial Intelligent (AI)

yang semakin berkembang harus diimbangi dengan sumber daya yang

kompeten.

2. Pembentuk Undang-Undang di Indonesia perlu melakukan inovasi dan

penetapan secara jelas mengenai pengaturan penggunaan Lie Detector

dalam sistem hukum di Indonesia. Sebagai bagian dari pembaharuan

penegakan hukum di Indonesia, penggunaan Lie Detector harus terus

disempurnakan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Aldert Vrij, Detecting Lies and Deceit: Pitfalls and Opportunities, (UK: John
Wiley & Sons, Ltd), 2008.

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di


Indonesia, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, 2018.

Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Cet. 3, Sinar


Grafika, Jakarta, 2012.

Andrew Balmer, Lie Detection and the Law: Torture, Technology, and Truth.
UK: Routledge, 2018.

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Rajagrafindo Persada,


Semarang, 2002.

Djoni Sumardi Gozali, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law,


Common Law, dan Hukum adat), Nusa Media, Bandung 2018.

George W. Maschke and Gino J. Scalabrini, The Lie Behind the Lie Detector,
5th ed. U.S.: AntiPolygraph.org, 2018.

H. Agus Takariawan, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana di Indonesia,


Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2019.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung, 2003.

I Ketut Sudjana, Buku Ajar Hukum Acara Pidana Dan Praktek Peradilan
Pidana. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana Pers, Bali,
2016.

Jack Kitaef, Forensic Psychology, (College Park: University of Maryland,


2011), diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Helly Prajitno
Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Psikologi Forensik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2017.

Jennifer M. Brown and Elizabeth A. Campbell, The Cambridge Handbook of


Forensic Psychology, (UK: Cambridge University Press), 2010.

Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Prenadamedia Group, Jakarta, 2018.

76
77

Judy Hails, Criminal Evidence, USA: Cengage Learning, 6th ed, 2009.

Lawrence S. Wrightsman dan Solomon M. Fulero, Forensic Psychology,


Thomson Wadsworth, Belmont, 2005.

Mark Constanzo, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2008.

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1983.

Martin Soorjoo, The Black Book of Lie Detection. I-Sight, 2009.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2010.

Munir Fuardy, Perbandingan Ilmu Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta,


2011.

National Research Council, The Polygraph and Lie Detection. Washington,


DC: The National Academies Press, 2003.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Cet. 17, Jakarta, 2022.

Romli Atsasmita, Perbandingan Hukum Pidana, cet. II, Mandar Maju,


Bandung, 2000.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,


Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

B. Jurnal

Brent Griffith B; Daniel Türle; Howdy Goudey H; “Infrared Thermografic


System”,Lawrence Barkeley National Laboratory, 2001.

Dani Ramadhan Syam, Bambang Dwi Baskoro, Sukinta. ”Peranan Psikologi


Forensik dalam Mengungkapkan Kasus-Kasus Pembunuhan
Berencana (Relevansi "Metode Lie Detection" dalam Sistem
Pembuktian Menurut KUHAP)”. vol 6 no 4. 2017.

I Gede Aris Gunadi & Agus Harjoko. “Telaah Metode-metode Pendeteksi


Kebohongan”, IJCCS, Vol 6 No 2, 2012, diunduh pada tanggal 10
Maret 2023
dari
https://jurnal.ugm.ac.id/index.php/ijccs/article/view/2150.
78

Imam Yunianto. ”Perancangan Lie Detector Menggunakan Arduino”, Jurnal


Teknologi Informatika & Komputer, Vol. 3 No. 1 Februari 2022.

Jentera: Jurnal Hukum. Vol. 3 No. 1, 2020, diunduh pada 28 Mei 2023 dari
https://jurnal.jentera.ac.id/index.php/jentera/issue/view/3/3

Lovina. “Kedudukan dan Keabsahan Hasil Pemeriksaan Poligraf dalam


Sistem Pembuktian Pidana di Indonesia: Tinjauan Prinsip Keadilan
yang Adil (Fair Trial)”, diunduh pada 11 Maret 2023 dari
https://jurnal.jentera.ac.id/index.php/jentera/article/download/14/14/8
5.pdf.

Mark H, Raymond N, Donal K, Charles H R, “An EDA Primer Polygraph


Examiner”, 2010.

Matsumoto D, Et all, “Evaluating Truthfulness and Detecting Deception”,


FBI Law Enforcement Bulletin, Vol 80, 2011.

Newman, M.L, Et all, “Lying words: Predicting deception from linguistic


styles”. Personality and Social Psychology, Vol 29 No 5, 2003.

Pavlidis I, Levine J, “Thermal Image Analysis for Polygraph Test”, IEEE


Engineering in Medecine and Biologi, Vol 21, 2002.

Pennebaker, J. W., & King, L. A, “Linguistic styles: Language use as an


individual difference”, Journal of Personality and Social Psychology,
Vol 6, 1999.

Prasad S; Singh V.K; Sapre A., “Handwriting Analysis Based on


Segmentation Method for Prediction of Human Personality Using
Support Vector Machine”, International Journal of Computer
Application (0975- 8887), No. 12 Vol 8.

Putu Tissya Poppy Aristiani & I Wayan Bela Siki Layang. “Pengaturan Alat
Bantu Pendetteksi Kebohongan (Lie Detector) di Pengadilan Dalam
Pembuktian Perkara Pidana”, diunduh pada tanggal 30 Januari 2023
dari
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/73425.

Raihana; Sukrizal;William Alfred, “Penerapan Pendeteksi Kebohongan (Lie


Detector) dalam Pembuktian Tindak Pidana di Indonesia”,
INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, Volume 3
Nomor 2, 2023.

Riza Sativa, “Scientific Investigation dalam Penyidikan Tindak Pidana


Pembunuhan”, Jurnal Ilmu Kepolisian, Vol. 15 No. 1 April 2021.
79

Teguh Prihmono; Umar Ma’ruf; Sri Endah Wahyuningsih, “Peran


Laboratorium Forensik Polri Sebagai Pendukung Penyidikan Secara
Ilmiah Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, Jurnal Hukum
Khaira Ummah, Vol 15, No 4, 2020.

Vinca Fransisca Yusevin & Sri Mulyati Chalil. “Penggunaan Lie Detector
(Alat Pendeteksi Kebohongan) dalam Proses Penyidikan terhadap
Tindak Pidana Dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”,
diunduh pada
17 April 2023
dari
https://www.neliti.com/publications/547645/penggunaan-lie-
detector-alat-pendeteksi-kebohongan-dalam-proses-penyidikan-terha.

Westeyn T, Presti P, Starner T, “Action GSR: A Combination Galvani Skin


Response – Accelerometer for Physiological Measurement in Active
Environment”, Georgia Institute of Technology, 2006.

C. Skripsi

Asep Ridwan Murtado. “Akurasi Penggunaan Polygraph Sebagai Alat Bantu


Pembuktian Menurut Hukum Acara Peradilan Agama”, Fakultas
Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2011.

Asri Pekerti. ”Perbandingan Ketentuan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi


Antara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia Dengan Independent
Comission Against Corruption
(ICAC) Australia”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu,
Bengkulu, hlm. 20

Yahdi Miftah Huddin. “Penggunaan Lie Detector Sebagai Alat Pendukung


Dalam Pengungkapan Perkara Pidana Pada Tahap Penyidikan
Dihubungkan dengan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana”, Fakultas Hukum Universitas
Pasundan, Bandung, 2018.
D. Website

American Polygraph Association. “Employee Polygraph Protection Act


(EPPA)”, 2022, diakses pada 11 Mei 2023 dari
https://www.polygraph.org/employee -polygraph-protection-act-
eppa-.

Cornell Law School. “Rule 702. Testimony by Expert Witnesses”. Legal


InformationInstitute,https://www.law.cornell.edu/rules/fre/rule_702#
:~:text=For%20this%20kind%20of%20generalized,the%20facts%20 of
%20the%20case, diakses pada 2 Oktober 2023.
80

FindUSlaw. “Employee Polygraph Protection Act- EPPA- 29 U.S Code


Chapter 22”, diakses pada tanggal 24 Maret 2023
dari https://finduslaw.com/employee-polygraph-
protection-epp-29-us- code-chapter-22.

LieDetectorTest.UK, “Lie Detector Test Accuracy”, Artikel, diakses pada 11


September 2023 dari https://liedetectortest.uk/lie-detector-test-
accuracy

Mahkamah Agung RI, “Alat bukti Dalam Perkara Pidana Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)”,
Artikel,
https://www.pn-jantho.go.id/index.php/2022/07/05/alat-bukti-dalam-
perkara-pidana-menurut-kitab-undang-undang-hukum-acara-pidana-
kuhap/. Diakses pada 11 September 2023.

New Mexico Supreme Court, Lee v. Martinez, 96 P.3d 291 (N.M. 2004), 2004,
diakses 13 Juli 2019, https://www.
courtlistener.com/opinion/2623542/lee-v-martinez/.

New Mexico Supreme Court, State v. Dorsey, 539 P.2d 204 (N.M. 1975), 1975,
diakses 13 Juli 2019, https://www.
courtlistener.com/opinion/1143182/state-v-dorsey/.

Rini Friastuti dan Ahmad Romadhoni. “Deretan Kasus Pidana yang


Menggunakan Lie Detector saat Penyelidikan”, diakses pada 28 Mei
2023 dari https://kumparan.com/kumparannews/deretan-
kasus- pidana-yang-menggunakan-lie-detector-saat-penyelidikan-
1yolFlkp2kH.

Saiful Anam & Partners. “Pendekatan Perundang- Undangan (Statue


Approach) Dalam Penelitian Hukum”, diakses pada 21 Juni dari
https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-undangan-
statute- approach-dalam-penelitian-hukum/

“The Polygraph Museum, John Larson’s Breadboard Polygraph”. liet2me.net,


diakses 28 Mei 2023, http://www.lie2me.
net/thepolygraphmuseum/id16.html

U.S. Departement of Labor. “Employee Polygraph Protection Act”, diakses


pada tanggal 24 Maret 2023
dari https://www.dol.gov/agencies/whd/polygraph.

Yahdi Miftah Huddin. “Penggunaan Lie Detector Sebagai Alat Pendukung


Dalam Pengungkapan Perkara Pidana Pada Tahap Penyidikan
Dihubungkan dengan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
81

Undang Hukum Acara Pidana”, diunduh tanggal 21 Maret 2023 dari


http://repository.unpas.ac.id/33579/.

Yanita Nur Indah Sari. “Seberapa Ampuh Lie Detector, alias alat pendeteksi
kebohongan?”, Artikel, https://www.sehatq.com. Diakses pada 12
Mei 2023.

E. Peraturan Perundang-Undangan

Employee Polygraph Protection Act- EPPA- 29 U.S Code Chapter 22.

Federal Rules of Evidence, Rule 702- Testimony by Expert Witness

International Covenant on Civil and Political Rights, UN General Assembly


resolution 2200A (XXI), 16 December 1966, entry into force 23
March 1976

New Mexico Rules of Evidence. Rule 11-707-Polygraph Examinations,

Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian
Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada
Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan


Tindak Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU No 11


Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Anda mungkin juga menyukai