Anda di halaman 1dari 179

PENGALIHAN HAK TAGIH UTANG (CESSIE)

TERHADAP DEBITOR DALAM PROSES


PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(PKPU)
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri
Medan Nomor : 16/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.)

TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh
gelar Magister Hukum

INDRA TARIGAN
NPM: 072316011

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2020
LEMBARAN PERSETUJUAN

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING TESIS

Pembimbing, Pembimbing,

Chairijah, S.H., M.H., Ph.D. Agus Satory, S.H., M.H.

Tanggal............................................. Tanggal.............................................

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA UJIAN MAGISTER

Ketua, 1) Sekretaris, 2)

Prof. Dr. Ing. H. Soewarto Hardhienata Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H.

Tanggal............................................. Tanggal.............................................

Keterangan:
1) Direktur Program Pascasarjana
2) Ketua Program Studi

i
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PENGUJI TESIS

No. Nama Tanda Tangan Tanggal Keterangan

Ketua
1 Chairijah, S.H., M.H., Ph.D. Penguji
Pembimbing

2 Agus Satory, S.H., M.H. Penguji


Pembimbing

3 Prof. Dr. Drs. H. Astim Penguji


Riyanto, S.H., M.H.

4 Dr. Hj. Sri Ayu Astuti, S.H., Penguji


M.Hum.

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya susun

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Pascasarjana

Universitas Pakuan seluruhnya merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis yang saya kutip dari

hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan sebagian atau seluruh isi tesis ini

bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,

maka saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya

sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Bogor, Juli 2020


Yang menyatakan,

Indra Tarigan

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME. karena dengan izin-

Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun guna

memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan stusi pada Program Studi

Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Pakuan.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Bibin Rubini, M.Pd., selaku Rektor Universitas


Pakuan;
2. Bapak Prof. Dr. Ing. H. Soewarto Hardhienata, selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Pakuan;
3. Ibu Dr. Indarini Dwi Pursitasari, M.Si., selaku Wakil Direktur Bidang
Akademik Program Pascasarjana Universitas Pakuan;
4. Ibu Dr. Hj. Eri Sarimanah, M. Pd., selaku Wakil Direktur Bidang
Administrasi Umum Program Pascasarjana Universitas Pakuan;
5. Bapak Dr. A. Muhamad Asrun, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Pakuan;
6. Ibu Chairijah, S.H., M.H., Ph.D. selaku Pembimbing I yang telah
membimbing secara maksimal dengan memberikan arahan yang berharga
sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan dengan baik;
7. Bapak Agus Satory, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah
mendampingi penulis dalam penulisan hukum ini dengan baik, penuh
kesabaran, ketelitian dan kedisiplinan sehingga penulisan hukum ini dapat
selesai dengan baik;
8. Bapak/Ibu Dosen Program Pascasarjana Universitas Pakuan yang telah
memberikan ilmu yang sangat berguna dan baik bagi Penulis;
9. Staf administrasi Program Pascasarjana Universitas Pakuan yang telah
mememberikan pelayanan yang ramah dan baik bagi Penulis;

iv
10. Ibu ...................., Ibunda tercinta, serta anakku ...................................
yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, motivasi dan
semangat kepada Penulis hingga dapat menyelesaikan perkuliahan sampai
penulisan hukum ini selesai dengan baik;
11. Rekan-rekan dari PT. Bank Tabungan Negara Tbk. (Persero) yang telah
dengan ikhlas memberikan bantuan kepada Penulis untuk mendapatkan
data-data, wawancara dengan ikhlas dan dengan pelayanan yang sangat
baik;
12. Rekan-rekan Mahasiswa S 2 Program Studi Ilmu Hukum Pascarasarjana
Universitas Pakuan yang telah mendukung Penulis sehingga dapat
terselesaikannya tesis ini.

Akhirnya, Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak

terutama bagi Penulis sendiri dalam rangka pengembangan pendidikan di masa

kini dan masa-masa yang akan datang.

Bogor, Juni 2020

Penulis

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... i


LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8
E. Kerangka Pemikiran ................................................................ 8
F. Metodelogi Penelitian............................................................... 17
1. Jenis dan Sifat Penelitian .................................................... 17
2. Pendekatan .......................................................................... 18
3. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 19
4. Analisis Data ........................................................................ 20
G. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................. 20
H. Sistematika Penulisan .............................................................. 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN, PENUNDAAN


KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DAN
PENGALIHAN HAK TAGIH UTANG (CESSIE) ................... 23
A. Kepailitan ................................................................................. 23
1. Pengertian Umum Kepailitan............................................... 23
2. Syarat-Syarat Permohonan Kepailitan ................................. 27
3. Permohonan PKPU dan Pernyataan Pailit ........................... 33
4. Akibat Hukum...................................................................... 35
5. Pemberesan Harta Pailit ....................................................... 58
6. Berakhirnya Kepailitan ........................................................ 60
7. Perbedaan antara PKPU dengan Kepailitan......................... 61
8. Pengadilan dan Yurisdiksi ................................................... 63
9. Pembuktian Sederhana......................................................... 66
B. Pengalihan Hak Tagih Utang (Cessie) ..................................... 68
1. Pengertian ............................................................................ 68
2. Cessie Sebagai Perjanjian .................................................... 71
3. Mekanisme Pelaksanaan)..................................................... 74

BAB III PENGALIHAN HAK TAGIH UTANG (CESSIE) TERHADAP


DEBITUR DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (PKPU) .............................................. 82

A. Riwayat Singkat PT. Bank Tabungan Negara (Persero) dan PT.


Pengelolaan Aset Negara (Persero) ......................................... 82

vi
1. PT. Bank Tabungan Negara (Persero) ................................. 82
2. Riwayat Singkat PT. Pengelolaan Aset Negara (Persero) ... 96
B. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
dan Kepailitan Terhadap PT. Batam Island Marina ................. 103
C. Putusan Kepailitan dan Segala Akibat Hukumnya terhadap PT.
Batam Island Marina ................................................................ 111

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................... 127


A. Pengalihan Hak Tagih Utang (Cessie) dari PT. Bank Tabungan
Negara kepada PT. Perusahaan Pengelolaan Aset ................... 127
B. Kedudukan Kreditor Yang Mengambil Alih Piutang Atas
Keikutsertaan Dalam Proses PKPU .......................................... 145
C. Permasalahan Yang Timbul Dalam Pengalihan Hak Tagih Utang
(Cessie) Terhadap Debitor Dalam Proses PKPU dan Upaya
Penyelesaiannya ....................................................................... 151

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 157


A. Kesimpulan ............................................................................ 154
B. Saran....................................................................................... 159

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dengan jelas implementasi Pasal


613 ayat (2) KUH Perdata mengenai pemberitahuan tertulis atau disetujui dan
diakui oleh debitor mengenai adanya pengalihan hak tagih utang (cessie) pada saat
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga mengenai peranan Hakim
Pengawas pada saat cessie dilakukan dalam proses PKPU. Jenis penelitian yang
dipakai dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yang
didukung data empiris. Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini
adalah bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach). Pada saat PT. BIM dalam proses PKPU di Pengadilan Niaga,
Bank BTN sebagai kreditor melakukan pengalihan hak tagih utang (cessie) ke PT.
PPA yang dibuat dengan akta notaris. Kedudukan PT. PPA (Pembeli Piutang /
cesionaris) tidak dapat mengikuti rapat-rapat kreditor dalam proses PKPU karena
tidak diizinkan oleh Hakim Pengawas yang menangani perkara PKPU, sehingga
yang mengikuti rapat-rapat kreditor yaitu Bank BTN (cedent). Hal ini tentunya
sangat merugikan PT. PPA karena tidak bisa melakukan voting untuk menentukan
skema pembayaran atas tagihan-tagihannya terhadap PT. BIM (dalam PKPU).
Pasal 613 ayat 2 KUH Perdata tidak secara nyata mengatur pemberitahuan tertulis
kepada debitor mengenai adanya pengalihan piutang (cessie), keberadaan cessie
belum mengikat atau mempunyai akibat hukum kepada debitor jika tidak
diberitahukan secara tertulis atau tidak diakui atau disetujui debitor. Bahkan ada
putusan Mahkamah Agung yang menyatakan cessie akan menjadi sah jika
disampaikan secara tertulis oleh Jurusita Pengadilan. Idealnya debitor
diikutsertakan dalam perjanjian pengalihan utang, sehingga pemberitahuannya
secara langsung. Tetapi akan menjadi tidak realistis jika debitor dalam keadaan
kredit macet atau bahkan dalam keadaan proses PKPU seperti dalam kasus ini,
tentunya debitor tersebut akan menghambat untuk mempertahankan
kepentingannya supaya tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan. agar tercipta
kepastian hukum bagi Penjual Piutang (cedent) dan Pembeli Piutang
(cessieonaris), akta perjanjian cessie perlu dibuatkan akta notaris dan
pemberitahuannya disampaikan secara tertulis ke debitor di persidangan melalui
Majelis Hakim atau ke Hakim Pengawas, karena suatu pernyataan di muka
persidangan merupakan pernyataan sah secara hukum, sehingga tidak perlu lagi
disampaikan oleh Jurusita Pengadilan.

Kata kunci : Pengalihan, Cessie, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

viii
ABSTRACT

This study aims to clearly identify the implementation of Article 613 paragraph
(2) of the Civil Code regarding written notification or approval and
acknowledgment by the debtor regarding the transfer of the debt collection rights
(cessie) at the time of Delaying Obligations for Debt Payment (PKPU) as well as
the role of the Supervisory Judge at the time cessie is done in the PKPU process.
This type of research used in writing this thesis is a normative legal research
supported by empirical data. The nature of the research used in this paper is
analytical descriptive. The approach used in this study is the statutory approach
and the case approach. At the time of PT. BIM in the PKPU process at the
Commercial Court, Bank BTN as a creditor transferred the debt collection rights
(cessie) to PT. PPA made by notarial deed. Position of PT. PPA (Receivable /
cesionary buyer) cannot participate in the meetings of creditors in the PKPU
process because it is not permitted by the Supervisory Judge who handles the
PKPU case, so the one who follows the creditors' meeting is Bank BTN (cedent).
This is certainly very detrimental to PT. PPA because they could not vote to
determine the payment scheme for their bills against PT. BIM (in PKPU). Article
613 paragraph 2 of the Civil Code does not actually regulate written notification
to the debtor regarding the transfer of receivables (cessie), the existence of the
cessie has not been binding or has legal consequences to the debtor if it is not
notified in writing or is not acknowledged or approved by the debtor. There was
even a Supreme Court ruling stating that a cessie would be valid if it was
submitted in writing by the Court Bailiff. Ideally, debtors are included in the debt
transfer agreement, so that they are notified directly. But it would be unrealistic if
the debtor was in a bad credit condition or even in the PKPU process, as in this
case, of course the debtor would prevent his interests from being declared
bankrupt by the court. in order to create legal certainty for the Receivable Seller
(cedent) and the Receivable Buyer (cessieonaris), the cessie deed needs to be
made a notarial deed and the notification is given in writing to the debtor at the
hearing through the Panel of Judges or to the Supervisory Judge, because a
statement before the court is a valid statement legally, so that it is no longer
necessary to be submitted by the Court Bailiff.

Keywords: Transfer, Cessie, Deferment of Debt Payment Obligations.

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang usaha

pokoknya menghimpun dana dari masyarakat (funding) dan menyalurkan

kembali dana masyarakat (lending). Kegiatan lending atau dikenal juga dengan

perkreditan merupakan kegiatan kepada masyarakat perorangan ataupun badan

usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ataupun untuk meningkatkan

produksi usahanya.1

Dalam kasus ini fungsi bank sebagai perantara, mengingat sumber dana

perbankan yang dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut

bukanlah dana milik bank sendiri karena modal tiap-tiap bank juga sangat

terbatas, melainkan merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan pada

bank tersebut.

Meskipun bank pada umumnya selalu menjalankan asas prudential

(kehati-hatian) akan tetapi kemungkinan terjadinya wanprestasi atau default

selalu ada. Kredit yang telah diberikan tidak selamanya berkualitas lancar.

Pengalihan hak tagih utang atau cessie biasanya terjadi karena kreditor

membutuhkan uang. Sehingga ia menjual piutangnya kepada pihak ketiga yang

akan menerima pembayaran dari debitor pada saat piutang tersebut telah jatuh

1
Widya Padmasari, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Pengalihan Piutang
(Cessie) Melalui Akta Notaris, Junal Hukum dan Kenotariatan, Volume 2 Nomor 2 Agustus 2018,
(Sidoarjo: Lembaga Perlindungan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LP2SDM), 2018),
hlm. 265.

1
tempo.2 Pengalihan hak tagih utang atau yang dikenal juga dengan kata cessie

adalah suatu pengalihan atau pengoperan hak tagih. Cessie mempunyai sifat

yang dualistis, maksudnya ialah cessie dapat dipandang dari dua sudut yang

berbeda, yaitu dari sudut pandang hukum benda dan dari sudut pandang

hukum perikatan. Cessie diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata yang merupakan

bagian dari Buku Kedua KUHPerdata yang mengatur mengenai kebendaan

yang menjelaskan bahwa “ penyerahan piutang-piutang atas nama dan

barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta

otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang

itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang

sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujui secara tertulis

atau diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan

memberikannya; penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan

memberikannya bersama endosemen surat itu” dan dilihat dari sudut pandang

hukum perikatan, cessie dapat dikategorikan sebagai suatu lembaga dan sarana

hukum untuk terjadinya pergantian kreditur.3

Dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk

selanjutnya disingkat PKPU), jika tidak ingin terjebak dan tidak bisa masuk

kamar kreditor, baik preferen maupun konkuren dalam voting usulan

perdamaian, maka yang akan membeli piutang harus memastikan bahwa jual-

beli piutang yang akan dilakukan memiliki bukti yang sah agar piutang tetap

bernilai. Salah satunya menggunakan cessie, hal ini biasa di lakukan di Negara

yang menganut sistim hukum civil law. Berbeda dengan negara yang menganut

2
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 186.
3
Ibid., hlm. 185.

2
sistem hukum common law yang lebih fleksibel dalam jual beli piutang,

mayoritas negara civil law masih menerapkan cessie hingga saat ini termasuk

Indonesia.

Pasal 613 KUHPerdata ayat (1) menegaskan bahwa penyerahan piutang

atas nama harus dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau akta di

bawah tangan yang disebut dengan akta cessie, di mana hak-hak atas keadaan

itu dialihkan kepada pihak ketiga sebagaimana penerima pengalihan. Pada ayat

(2) ditambahkan, bahwa penyerahan tersebut tidak berakibat hukum kepada

debitor melainkan setelah diberitahukan kepadanya atau secara tertulis

disetujui dan diakuinya.4

Lebih lanjut, ayat (2) dari Pasal 613 KUHPerdata mensyaratkan

penyerahan piutang tersebut diberitahukan secara resmi (beteekend) kepada

debitor atau disetujui/diakui oleh debitor. Hal ini dipertegas oleh hasil Rapat

Kamar Perdata Khusus yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah

Agung No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar

Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa kreditor yang menerima

penyerahan tagihan berdasarkan cessie, baru dapat dikatakan sebagai kreditor

dari debitor yang dimohonkan pailit, setelah penyerahan itu diberitahukan

kepada debitor atau secara tertulis disetujui dan diakui oleh debitor

sebagaimana diatur dalam Pasal 613 (2) KUHPerdata.

4
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), Pasal 163 ayat (1).

3
Betapa pentingnya cessie dalam jual-beli piutang di Indonesia, karena

kreditor saat mengetahui piutang yang telah dibeli tidak bernilai karena gagal

untuk ditagihkan kepada debitor di Indonesia.

Dalam proses PKPU, bisa terjadi kreditor yang memegang piutang

belum memberitahukan pengalihannya kepada atau diakui oleh debitor,

sehingga piutangnya dibantah dalam proses PKPU dan mengakibatkan kreditor

tidak memiliki hak suara dalam voting PKPU. Hal ini menyebabkan hak atau

skema pembayaran atas piutangnya menjadi tidak jelas.

Dibantah atau diterimanya tagihan yang diajukan dalam proses PKPU

ditentukan oleh pengurus. Hakim pengawas lalu menentukan apakah kreditor

yang tagihannya dibantah dapat ikut serta dalam voting PKPU, dan apabila

dapat ikut serta, berapa batasan jumlah suara yang dikeluarkan oleh kreditor

tersebut.

Seperti dalam kasus PT. Batam Island Marina yang dinyatakan pailit

oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan dengan register perkara

Nomor 16/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Mdn. Dalam proses PKPU, salah satu

kreditor yaitu PT. Bank Tabungan Negara melakukan pengalihan hak tagih

utang (cessie) terhadap PT. Batam Island Marina kepada PT. Perusahaan

Pengelola Aset (Persero).

Kasus tersebut, PT. Boon Meng Engineering Indonesia dan PT.

Pratama Widya mengajukan permohonan PKPU terhadap PT. Batam Island

Marina ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 3

September 2018. Kemudian Majelis Hakim mengabulkan permohonan PKPU

yang diajukan Pemohon yang kemudian menyatakan PT. Batam Island Marina

4
dalam keadaan PKPU Sementara untuk paling lama 45 (empat puluh lima) hari

sejak putusan diucapkan pada tanggal 22 Oktober 2018 dengan menunjuk

Hakim Pengawas dan mengangkat Pengurus dan atau Kurator dalam hal PT.

Batam Island Marina dinyatakan paiilit.

Pada 31 Desember 2018 PT. Bank Tabungan Negara yang bukan

sebagai pihak dalam perkara tersebut akan tetapi sebagai salah satu Kreditor,

mengalihkan hak tagih utang (cessie) terhadap PT. Batam Island Marina

kepada PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero), cessie tersebut dilakukan

pada saat proses PKPU.

Dalam pelaksanaannya, walaupun PT. Bank Tabungan Negara telah

mengalihkan hak tagihnya kepada PT. Perusahaan Pengelolaan Aset, namun

PT. Perusahaan Pengelolaan Aset tidak bisa ikut serta dalam rapat-rapat

kreditor karena tidak diterima oleh Pengurus maupun Hakim Pengawas.

Padahal prosedur pengalihan hak tagih tersebut telah dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Tidak jelas alasan Pengurus maupun Hakim Pengawas

tidak mengizinkan PT. Perusahaan Pengelolaan Aset sebagai kreditor dalam

PKPU, sehingga PT. Perusahaan Pengelolaan Aset tidak memiliki hak suara

dalam PKPU.

Tidak jelasnya cara pemberitahuan kepada debitor atau secara tertulis

disetujui dan diakui oleh debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 613 (2)

KUHPerdata dan tidak adanya aturan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan PKPU dan mengenai pengalihan hak tagih utang

(cessie) dalam proses PKPU, tentunya sangat merugikan penerima cessie

karena tidak dapat mengikuti proses rapat-rapat kreditor bahkan sampai tidak

5
memiliki hak suara dalam voting PKPU, diterima atau tidaknya kreditor

penerima cessie hanya ditentukan oleh Pengurus dan Hakim Pengawas tanpa

adanya dasar hukum dan tidak adanya kepastian hukum, seperti halnya

kerugian yang dialami oleh PT. Perusahaan Pengelolaan Aset selaku penerima

cessie dari PT. Bank Tabungan Negara yang tidak bisa mengikuti rapat-rapat

kreditor. Ketidakpastian hukum ini bukan hanya merugikan kreditor, tetapi

meliputi juga kepada debitor dan juga kepada Majelis Hakim maupun Hakim

Pengawas jika pengalihan piutang dilakukan pada saat proses PKPU.

Adanya kekosongan hukum dan ketidakjelasan mengenai cessie dalam

proses PKPU tentunya menjadi latar belakang ketertarikan penulis untuk

mengangkat permasalahan ini, karena hal tersebut sudah menjadi kebutuhan

hukum bagi masyarakat khususnya bagi kreditor untuk menjamin kepastian

hukum. Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat permasalahan tersebut

dan menuangkannya dalam penelitian tesis ini dengan judul: ”PENGALIHAN

HAK TAGIH UTANG (CESSIE) TERHADAP DEBITOR DALAM PROSES

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU). (Studi

Kasus Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor:

16/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.).

B. Rumusan Masalah

Pertanyaan penelitian berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengalihan piutang (cessie) kreditor kepada pihak ketiga dari

debitor dalam proses PKPU?

6
2. Bagaimanakah kedudukan kreditor yang mengambil alih piutang terhadap

keikutsertaan dalam proses PKPU?

3. Permasalahan apakah yang timbul dalam pengalihan hak tagih utang

(cessie) terhadap debitor dalam proses PKPU dan bagaimanakah upaya

penyelesaiannya?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini dan berkaitan pula dengan rumusan

masalah yang akan dibahas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai pengalihan piutang (cessie)

kreditor kepada pihak ketiga dari debitor dalam proses PKPU;

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan kreditor yang mengambil

alih piutang terhadap keikutsertaan proses PKPU.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan permasalahan yang timbul dalam

proses PKPU dan bagaimanakah upaya penyelesaiannya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan atau diperoleh dari penelitian ini baik secara

teoritis maupun secara praktis, yakni:

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk pengembangan dalam

mempelajari mengenai perlunya keabsahan pengalihan hak tagih utang

dalam pengalihan piutang;

b. Untuk menambah khasanah kepustakaan di bidang hukum kepalitian.

7
2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan atau pemikiran bagi masyarakat luas khususnya

bagi praktisi (hakim niaga, advokat, kurator) mengenai perkembangan

ilmu hukum, terutama mengenai pengalihan hak tagih utang terhadap

debitor dalam perkara kepailitan;

b. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan dan pengetahuan yang

lebih mendalam kepada masyarakat khususnya kepada legislatif dan

yudikatif mengenai ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengalihan

hak tagih utang (cessie).

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoretis

Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisi proporsi-proporsi

yang telah diuji kebenarannya. Apabila berpedoman pada teori, maka

seorang ilmuwan akan dapat menjelaskan aneka macam gejala sosial yang

dihadapinya, walaupun hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan

terhadap masalah yang dihadapi. Suatu teori juga mungkin memberikan

pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan

taraf pemahaman tertentu.5 Kerangka teoretis digunakan sebagai pisau

analisis.

Teori yang digunakan dalam penelitian hukum ini yaitu

menggunakan teori kausal, teori abstrak dan teori kepastian hukum.

a. Teori Kausal dari Pitlo

5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 6.

8
Menurut teori kausal, hubungan antara peristiwa perdatanya

(rechtstitel) dengan tindakan penyerahannya adalah hubungan sebab

akibat. Antara keduanya ada hubungan yang erat sekali dan untuk

menggambarkannya dikatakan ada hubungan sebab akibat. Karena

merupakan hubungan sebab akibat, maka dikatakan di sana dianut

teori kausal. Dengan itu berarti, bahwa keabsahan dari penyerahan

(akibat) bergantung dari keabsahan peristiwa perdata (sebab) yang

menjadi dasar penyerahan.6 Konsekuaensinya, kalau titelnya

(rechtstitel, sebabnya) batal, maka penyerahannya (akibatnya) batal

juga, dengan akibat objek penyerahan tidak beralih ke dalam

kepemilikan si penerima “penyerahan”. Cessieonaris tidak menjadi

pemilik dari tagihan yang diserahkan. Sebenarnya undang-undang

tidak mengatakan seperti itu. Dalam Pasal 584 KUHPerdata hanya

dikatakan bahwa salah satu cara untuk memperoleh hak milik adalah

melalui penyerahan. Jadi mengenai seberapa eratnya hubungan antara

peristiwa perdatanya dengan penyerahannya, terbuka peluang untuk

menafsirkannya. Teori kausal menafsirkan redaksi itu sebagai

hubungan sebab akibat.7

Menurut teori kausal, keabsahan hubungan obligatoir yang

menjadi dasar penyerahan, menentukan beralih tidaknya objek

perjanjian yang diserahkan. Kalau hubungan obligatoir itu

mengandung cacat maka menjadi tidak sah dan dapat dibatalkan,

sehingga objek penyerahan tidak berpindah kepada si penerima

6
Pitlo, Zakenrecht, Hlm. 210, 224; Hofmann, Zakerecht, 168; Asser-Beekhuis, hlm. 157-
158 dalam J. Satrio, Cessie Tagihan Atas Nama, (Jakarta: Yayasan DNC, 2012) hlm. 67.
7
Ibid. hlm. 68.

9
penyerahan. Berpindah Karena tidak beralih, maka hak milik atas

objek perjanjian masih ada pada pihak yang menyerahkan (debitor),

sehingga hak dari pihak yang menyerahkan (debitor) atas objek

perjanjian tidak berhasil dioperkan. Bukankah sebelum diserahkan,

objek itu milik debitor? Konsekuensinya adalah, sesuai dengan sifat

hak milik dan hak kebendaan pada umumnya hak milik pihak yang

menyerahkan (debitor) mengikuti bendanya ke dalam tangan siapapun

benda itu dan pihak yang menyerahkan dapat merevindikasi benda itu,

di tangan siapapun ia ketemukan bendanya. Jadi termasuk kalau benda

itu sementara telah dialihkan lagi kepada orang lain oleh cessionaris.8

Kita melihat, bahwa batalnya titel dan dengan itu batalnya

penyerahan, mempunyai daya kerja kebendaan.9

b. Teori Abstrak dari Hofmann

Menurut teori abstrak, hubungan obligatoir yang menjadi dasar

penyerahan, hanyalah untuk menentukan adanya kehendak

menyerahkan.10 Dengan

demikian perbedaan antara teori kausal dengan teori abstrak

adalah perbedaan penafsiran kata “peristiwa perdata/rechstitel” dalam

Pasal 584 KUHPerdata. Teori kausal menafsirkan rechtstitel sebagai

“hubungan hukum” yang sah, sedang teori abstrak menafsirkan bahwa

Pasal 584 KUH Perdata mensyaratakan adanya “kehendak” untuk

8
J. Satrio, Hukum Perikatan, Tentang Hapusnya Perikatan, Cet. I, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996) hlm. 7
9
Ibid. hlm. 71
10
Pitlo, Uitleg. hlm. 95; Assr-Beekhuis, hal 161. Dalam J. Satrio. Op. Cit. hlm. 75.

10
menyerahkan. Penafsiran itu membawa dampak dalam akibat lebih

lanjut.11

Penyerahan harus didasarkan atas adanya kehendak untuk

menyerahkan. Kehendak untuk menyerahkan tersebut tampak pada

peristiwa perdata (rechtstitel)-nya. Rechtstitel disini merupakan

peristiwa yang berdiri sendiri dengan penyerahan. Teori abstrak tidak

mensyaratkan titel yang sah, hanya mensyaratkan adanya suatu titel

saja. Jadi dengan telah dilaksanakannya perjanjian obligator dalam hal

ini dicontohkan sama yaitu dengan perjanjian jual beli dan pengalihan

piutang, apabila perjanjian tersebut batal atau dibatalkan maka bisa

saja penyerahannya tetap sah. Hal ini tetap harus mengingat Pasal 584

KUHPerdata tentang cara memperoleh hak milik yang menyatakan

hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan

pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu,

dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut

surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan

suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan

oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.

Penyerahan tersebut harus dilakukan oleh orang yang berhak

atas barang tersebut atau pemilik yang sah. Teori abstrak di sini dalam

praktik memberikan perlindungan kepada pembeli terakhir apabila

ternyata barang atau piutang tersebut telah dialihkan lagi kepada pihak

pembeli terakhir yang beritikad baik.

11
Ibid. hlm. 76.

11
c. Teori Kepastian Hukum dari Gustav Radbruch

Kepastian hukum itu adalah kepastian undang-undang atau

peraturan, segala macam cara, motode dan lain sebagainya harus

berdasarkan undang-undang atau peraturan. Di dalam kepastian

hukum terdapat hukum positif dan hukum tertulis. Hukum tertulis

ditulis oleh lembaga berwenang, mempunyai sanksi yang tegas, sah

dengan sendirinya ditandai dengan diumumkannya di lembaga

Negara.

Di Indonesia, istilah Negara hukum mempunyai perbedaan

antara sesudah dilakukan amandemen dan sebelum dilakukan

amandemen. Sebelum amandemen UUD Tahun 1945, yang berbunyi

bahwa “Indonesia adalah Negara yang berdasar atas Negara hukum”,

sedangkan setelah dilakukannya amandemen UUD Tahun 1945 yaitu

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Istilah Negara tersebut

dimuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.12 Konsekuensi

ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat

Negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum.

Bahkan, ketentuan ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan

dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara

maupun penduduk.13

Maksud tidak dicantumkan istilah rechtsaat supaya Indonesia

bisa menggunakan rechtsaat, bisa juga menggunakan the rule of law.

Dengan demikian Indonesia bisa menganut paham legisme di mana


12
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3).
13
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 88.

12
kebenaran itu ada di undang-undang, tetapi juga menganut paham the

rule of law bahwa hakim bisa mencari keadilan sendiri tanpa

tersandera undang-undang.

Salah satu ciri Negara hukum adalah mempunyai asas

legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki

agar setiap tindakan/pejabat administrasi berdasarkan undang-undang.

Tanpa dasar undang-undang, badan/pejabat administrasi Negara tidak

berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau

mempengaruhi keadaan hukum warga Indonesia.14

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa penegakan hukum

merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan,

kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses

perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan

hukum.15 Perlindungan hukum bagi kepentingan masyarakat dapat

dilihat sebagai bagian penting dari proses penegakan hukum. Namun

menurut Satjipto Rahardjo, dalam kenyataan masyarakat tidak terdiri

dari orang-orang yang sama dalam segalanya, ada perbedaan dalam

status sosial dan ekonomi, ada yang di sebut stratifikasi sosial dan

sebagainya. Keadaan tersebut menyebabkan bahwa hukum yang

dirancang secara adil dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan

situasi yang tidak adil.16

14
Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya, 1992), hlm. 23.
15
Satjipto Rahardjo dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung:
Citra Aditya bakti, 2004, hlm. 181-182.
16
Satjipto Rahardjo, Watak Cultural Hukum Modern, Jakarta: Buku Kompas 2007, hlm.
32.

13
Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum peraturan

perundang-undangan selain memenuhi syarat-syarat formal, harus

pula memenuhi syarat-syarat lain yaitu: jelas dalam perumusannya

(unambiguous); konsisten dalam perumusannya baik secara intern

maupun ekstern; penggunaan bahasa yang tepat dan mudah

dimengerti.17

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa

dijawab secara normatif bukan sosiologis. Kepastian hukum secara

normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara

pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak

menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia

menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang

ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi

norma, reduksi norma atau distorsi norma.18

Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan


19
bahwa: sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi,

hukum dibuat pun ada tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai

yang ingin diwujudkan manusia, tujuan hukum yang utama ada tiga,

yaitu: keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk ketetapan,

kemanfaatan untuk kebahagiaan.

17
Bagir Manan, Pembinaan Dalam Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 2000), hlm.
253 dalam Aswanto, Hukum dan Kekuasaan Relasi Hukum, Politik dan Pemilu, (Yogyakarta:
Rangkang Education, 2013), hlm. 9.
18
Sakhiyatu Sova, Tiga Nilai Dasar Hukum menurut Gustav Radbruch, (Semarang:
Fakultas Hukum Diponegoro, 2013), hlm. 3.
19
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi krisi terhadap hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 123.

14
Pemikiran para pakar hukum, bahwa wujud kepastian hukum

pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan

yang mempunyai otoritas. Kepastian hukum sendiri merupakan salah

satu asas dalam tata pemerintahan yang baik, dengan adanya suatu

kepastian Hukum maka dengan sendirinya warga masyarakat akan

mendapatkan perlindungan hukum. Suatu kepastian hukum

mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum

yang berlaku secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum

umum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan

keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Hal ini dilakukan agar

terciptanya suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat luas

dan ditegakkannya serta dilaksanakan dengan tegas. 20

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual pada hakikatnya merupakan suatu pengarah,

atau pedoman yang lebih konkret dari kerangka teoretis yang seringkali

masih bersifat abstrak. Namun, suatu kerangka konseptual belaka, kadang-

kadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan definisi-definisi

operasional yang akan menjadi pegangan konkret di dalam proses

penelitian.21

Untuk mengetahui maksud dari judul penelitian ini, perlu dipahami

pengertian istilah-istilah sebagai berikut:

20
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), hlm. 15
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 133.

15
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal istilah cessie

atau Pengalihan hak tagih utang, tetapi di dalam Pasal 613 ayat (1)

KUH Perdata disebutkan bahwa:22

1) Penyerahan akan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh

lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik

atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu

dilimpahkan kepada orang lain;

2) Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibat,

melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau

secara tertulis disetujui atau diakui;

3) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan

dengan menyerahkan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang

karena surat-surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat

disertai dengan endosmen.

b. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam

jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang

asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian

hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang

dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak

kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan

debitor;23

22
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), Pasal 163 ayat (1).
23
Indonesia, Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004 LN No. 131 Tahun 2004. TLN No. 4443, Pasal 1 angka 6.

16
c. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan;24

d. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka

pengadilan;25

e. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini;26

f. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang disingkat PKPU)

adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak

kepada setiap debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak

dapat melanjutkan pembayaran utang – yang sudah jatuh tempo, untuk

memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud

untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran

pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren;27

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis

normatif yang didukung data empiris, yaitu penelitian yang mengacu

24
Ibid, Pasal 1 angka 2
25
Ibid, Pasal 1 angka 4.
26
Ibid, Pasal 1 angka 1.
27
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Cet. Pertama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm.
37.

17
kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dan putusan pengadilan. Sumber utama dalam penelitian

adalah banyak menggunakan bahan hukum sekunder, ditambah dengan

bahan hukum primer. Hasil kajian dipaparkan secara lengkap, rinci,

jelas dan sistematis sebagai karya ilmiah.28

b. Sifat Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penulisan ini bersifat deskriptif

analistis, yaitu data hasil penelitian, baik yang berupa data hasil studi

dokumen yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaiku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan

hukum in concreto yang menyangkut permasalahan maupun penelitian

lapangan yang berupa hasil pengamatan dianalisa secara kualitatif.

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan

perundang-undangan dilakukan untuk meneliti ketentuan-ketentuan yang

mengatur tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU) serta tentang pengalihan hak tagih utang (cessie), di mana di dalam

pengaturannya masih terdapat hal-hal penting yang tidak diatur secara tegas

dan jelas. Pendekatan kasus digunakan sebagai referensi bagi suatu isu

hukum. Sehingga dengan 2 (dua) pendekatan tersebut, diharapkan dalam

28
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. Ke-1, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2004), hlm. 191.

18
pengaturan dan pelaksanaannya tidak terjadi hambatan-hambatan yang

dapat mengakibatkan kerugian masyarakat khususnya kreditor.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka, yaitu

mengkaji informasi dan data secara tertulis mengenai hukum yang

berasal dari berbagai sumber dan yang dipublikasikan secara luas serta

dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.29 Analisa dokumen

dengan cara menganalisa pengalihan hak tagih utang (cessie), dikaitkan

dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang KUH

Perdata dan hukum kepailitan. Informasi dan data tertulis dari

kepustakaan ini dapat berupa buku-buku, tesis, disertasi, jurnal, artikel,

hasil seminar, komentar-komentar yang berkaitan dengan judul

penelitian, internet dan lain-lain. Dari penelitian akan didapat data

sekunder.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data

primer yang dilakukan melalui wawancara yang digunakan untuk

memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu,

yaitu untuk mengetahui berbagai pendapat narasumber.30 Wawancara

di sini adalah wawancara non terstruktur berdasarkan purposive

sampling yang dilakukan bebas dengan para pihak, antara lain dengan

29
Ibid, hlm. 81.
30
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
hlm. 95.

19
beberapa akademisi, institusi peradilan, kreditor, debitor, yang dinilai

dapat memberikan keterangan yang berkaitan dengan rencana

penelitian. Dari penelitian ini akan didapat data primer.

4. Analisis Data

Data yang dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan berupa

pertimbangan kreditor mengalihkan piutangnya kepada pihak lain ketika

permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang masih berlangsung

di pengadilan, serta beberapa pendapat yang diperoleh dari wawancara

bebas para narasumber melalui penelitian lapangan, selanjutnya dianalisis

dengan cara menghubungkannya dengan beberapa aturan hukum yang

mengatur tentang cessie dan kepailitan. Analisis data dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara kualitatif, yaitu dengan mempelajari, menganalisis

dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data yang diperoleh sehingga

dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Dalam analisis

kualitatif ini, hasil penelitian hanya menekankan pada bagaimana peristiwa

hukum itu terjadi dan mengapa hal itu terjadi; serta apa yang perlu

diperbaiki dan ditambahkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

G. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian ini

yaitu sejak tanggal diterbitkannya ijin penelitian dalam kurun waktu

kurang lebih 2 (dua) bulan, 1 (satu) bulan digunakan untuk melakukan

pengumpulan data dan 1 (satu) bulan digunakan untuk pengolahan data

20
yang meliputi penyajian dalam bentuk tesis dan proses bimbingan

berlangsung.

2. Tempat Penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Medan di jalan Pengadilan No. 8,

Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan,

Propinsi Sumatera Utara.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang: latar belakang, rumusan


masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran
(kerangka teoretis dan kerangka konseptual), metode penelitian
(jenis dan sifat penelitian, pendekatan, teknik pengumpulan data
dan analisis data), waktu dan tempat penelitian dan sistematika
penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN, PENUNDAAN


KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DAN
PENGALIHAN HAK TAGIH UTANG (CESSIE)

Dalam bab ini akan diuraikan tentang: kepailitan (pengertian,


syarat-syarat, permohonan PKPU dan pernyataan pailit, akibat
hukum, pemberesan harta pailit, berakhirnya kepailitan, pengadilan
dan yurisdiksi dan pembuktian sederhana), pengalihan hak tagih
utang (cessie) (pengertian, cessie sebagai perjanjian, mekanisme
pelaksanaan).

21
BAB III PENGALIHAN HAK TAGIH UTANG (CESSIE) TERHADAP
DEBITUR DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

Dalam bab ini akan diuraikan tentang: riwayat singkat PT. Bank
Tabungan Negara (Persero), PT. Pengelolaan Aset Negara
(Persero) dan PT. Batam Island Marina, permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang terhadap PT. Batam Island Marina
dan putusan kepailitan dan segala akibat hukumnya terhadap PT.
Batam Island Marina.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Dalam bab ini akan diuraikan tentang: pengalihan hak tagih utang
(cessie) dari PT. Bank Tabungan Negara kepada PT. Perusahaan
Pengelolaan Aset, kedudukan kreditor yang mengambil alih
piutang atas keikutsertaan dalam proses PKPU dan permasalahan
yang timbul dalam pengalihan hak tagih utang (cessie) terhadap
debitor dalam proses PKPU dan upaya penyelesaiannya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang: 3 (tiga) kesimpulan sesuai


dengan perumusan masalah dan 2 (dua) saran dari Penulis.

22
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN, PENUNDAAN


KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DAN PENGALIHAN
HAK TAGIH UTANG (CESSIE)

A. Kepailitan

1. Pengertian Umum Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan

dengan “pailit”. Jika dibaca seluruh ketentuan dalam Undang-Undang

Kepailitan, kita tidak akan menemui satu rumusan atau ketentuan dalam

Undang-Undang Kepailitan yang menjelaskan pengertian maupun definisi

dari kepailitan atau pailit.31

31
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: Rajawali
Press, 1999), hlm 11.

23
Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atau seluruh kekayaan

si debitor (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-

kreditornya (orang-orang berpiutang).

Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UU Kepailitan),

yang menyatakan:

1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak


membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya;
2) Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk
kepentingan umum.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut dinyatakan bahwa yang

dimaksud dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren,

kreditor separatis, maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor

separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan

pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang

mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.32

Dasar hukum kepailitan Indonesia tidak hanya yang diatur dalam

UU Kepailitan dan PKPU tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan

kepailitan yang diatur dan tersebar di berbagai peraturan perundang-

undangan.

32
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 24.

24
Asas hukum kepailitan Indonesia secara umum diatur dalam Pasal

1131 KUHPerdata dan asas khusus dimuat dalam UU Kepailitan dan

PKPU.

Dalam hubungan dengan peraturan perundang-undangan

kepailitan, peraturan dimaksud juga berfungsi untuk melindungi

kepentingan pihak-pihak terkait dalam hal ini kreditor dan debitor, atau

juga masyarakat. Mengenai hal ini, Penjelasan Umum UU Kepailitan dan

PKPU menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai

kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Faktor-faktor

dimaksud yaitu:

1) Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu


yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari
debitor;
2) Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang
milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau
para kreditor lainnya;
3) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.
Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada
seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor
lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor
untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud
untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para keditor.33

Kepailitan ini tidak hanya menimpa pada orang perorangan namun

juga pada suatu perusahaan. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada

saat ini akan membawa dampak dan pengaruh buruk, bukan hanya pada

perusahaan itu saja namun juga dapat berakibat global.

Oleh sebab itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu

kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit


33
H.Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Bandung: Alumni, 2006), hlm 72

25
merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila

pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka

dapat keluar dari pasar. Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga

kepailitan itu berperan.34

Hukum kepailitan Indonesia sebagai sub sistem dari hukum perdata

nasional harus merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum

perdata (hukum perdata materiil) dan hukum acara perdata (hukum perdata

formil). Hukum kepailitan Indonesia sebagaimana dimuat dalam UU

Kepailitan dan PKPU serta peraturan perundang-undangan lainnya, selain

memuat hukum materiil juga memuat hukum formil. Namun mengenai

hukum acaranya, tidak diatur secara rinci. Dengan demikian, berdasarkan

asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis berlakulah hukum acara

perdata sebagaimana diatur dalam:

a. Reglemen Indonesia yang diperbarui (Het Herziene Indonesisch

Reglement) S.Tahun 1941-4 disingkat RID/HIR.;

b. Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar jawa dan madura

(Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Biuten Java en

Madura) S. Tahun 1927-227 disingkat RBg.;

c. Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsverordening)

S.Tahun 1847-52 jo S. Tahun 1847-52 jo S.Tahun 1849-63 (RV).

Hukum kepailitan Indonesia tidak membedakan kepailtan orang

perseorangan dengan kepailitan badan hukum. Hukum Kepailitan

Indonesia sebagaimna dieleborasi dalam UU Kepailitan dan PKPU,

34
Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kkepailitan Untuk Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 205.

26
mengatur keduanya, baik kepailitan orang perseorangan maupun kepailitan

badan hukum. Apabila dalam UU Kepailitan dan PKPU tidak cukup diatur

mengenai kepailitan orang perseorangan maupun kepailitan badan hukum,

maka digunakanlah peraturan perundang-undangan yang lain sebagai

dasar hukum.35

Apabila seorang debitor (yang utang) dalam kesulitan keuangan,

tentu saja para kreditor akan berusaha untuk menempuh jalan untuk

menyelamatkan piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan perdata

kepada debitor ke pengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si

debitor atau menempuh jalan yaitu kreditor mengajukan permohonan ke

pengadilan agar si debitor dinyatakan pailit.36

Jika kreditor menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan

perdata, maka hanya kepentingan kreditor/si penggugat saja yang dicukupi

dengan harta si debitor yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan

piutang dari kreditor, kreditor lain yang tidak melakukan gugatan tidak

dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila kreditor-kreditor

memohon agar pengadilan menyatakan debitor pailit, maka dengan

persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta

kekayaan debitor dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan

sebelumnya bila ada menjadi gugur. 37

Dikatakan sita umum, adalah sita yang dilakukan tidak hanya

untuk perorangan atau beberapa kreditor saja, melainkan untuk semua

35
Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Tatanusa, 2012), hlm. 34-35
36
Khairandy, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta: Jurnal Hukum
Bisnis, 2002), hlm. 108.
37
Ibid, hlm. 115.

27
kreditor, atau dengan kata lain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi

yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan. Dalam hal lain,

kepailitan itu hanya berkaitan dengan harta benda debitor, bukan pribadi

debitor, maka debitor tetap dapat menjalankan haknya diluar lingkup harta

benda, seperti hak nya sebagai keluarga, hak sebagai orang tua maupun

hak sebagai kepala keluarga.

2. Syarat-Syarat Permohonan Kepailitan

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Syarat adanya dua kreditor atau lebih (concurcus creditorium)

Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor,

sangat terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Sebagaimana

yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum kepailitan merupakan

realisasi dari Pasal 1132 KUHPerdata. Dengan adanya pranata hukum

kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang debitor kepada kreditor-

kreditor dapat dilakukan secara seimbang dan adil. Setiap kreditor

(konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan

dari harta kekayaan debitor. Jika debitor hanya mempunyai satu

kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi

jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan

pembagian secara pro rata dan pari passu. Dengan demikian, jelas

28
bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor tersebut hanya

mempunyai satu kreditor.38

UU Kepailitan dan PKPU mencantumkan pengertian dari

debitor dalam Pasal 1 angka 3, yaitu: “Debitor adalah orang yang

mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”.

Bagian penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, memberikan

definisi kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah:

Yang dimaksud dengan “kreditor” dalam ayat ini adalah baik


kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen,
mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa
kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.

Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam

KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:

1) Kreditor Konkuren

Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata.

Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan

pro rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh

pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan

pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap

piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan

debitor tersebut. Dengan demikian, para kreditor konkuren

mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta

debitor tanpa ada yang didahulukan.

38
Jono, Hukum Kepailitan, Cet. Ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 5.

29
2) Kreditor Preferen (yang diistimewakan)

Yaitu kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata sifat

piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor

preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu

suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang

berpiutang sehingga tingkatnya lebih tingi daripada orang berpiutang

lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134

KUHPerdata)

3) Kreditor Separatis

Yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan in rem, yang dalam

KUHPerdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Pada saat ini,

sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam

jaminan, antara lain:

a) Hipotek

Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d Pasal 1232 Bab XXI

KUHPerdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal

laut yang berukuran minimal 20m3 dan sudah terdaftar di

Syahbandar serta pesawat terbang.

b) Gadai

Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d Pasal 1160 Bab XX

KUHPerdata yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak.

Dalam sistem jaminan gadai, seorang pemberi gadai (debitor)

wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan

tersebut kepada penerima gadai (kreditor).

30
c) Hak Tanggungan

Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Thaun

1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda

yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas

hak- hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di

atas tanah.

d) Fidusia

Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa

benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai,

hipotek, dan hak tanggungan.39

Penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan tersebut,

berarti memberikan hak kepada kreditor separatis dan kreditor

preferen untuk dapat tampil sebagai kreditor konkuren tanpa harus

melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi

agunan atas piutangya, tetapi dengan catatan bahwa kreditor

separatis dan kreditor preferen dapat membuktikan bahwa benda

yang menjadi agunan tersebut tidak cukup untuk melunasi utang-

utangnya dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan atau

piutang tersebut, haruslah dibuktikan. Beban pembuktian atas

kemungkinan tidak dapat terlunasinya utang debitor dari penjualan

benda tersebut berada di pundak kreditor separatis atau kreditor

preferen.40

39
Ibid, hlm. 4-8.
40
Ibid., hlm. 10.

31
Pengertian debitor dan kreditor juga terbagi terbagi di

dalam 2 bagian, yaitu dalam arti luas dan sempit. Debitor dalam

arti sempit adalah debitor yang memiliki utang yang timbul

semata-mata dari perjanjian utang-piutang saja, sedangkan dalam

arti luas debitor adalah pihak yang memiliki kewajiban membayar

sejumlah uang yang timbul karena sebab apapun, baik karena

perjanjian utang-piutang dan perjanjian lainnya maupun yang

timbul karena undang-undang. Pengertian kreditor dalam arti

sempit adalah pihak yang memiliki tagihan atau hak tagih berupa

pembayaran sejumlah uang yang hak tersebut timbul semata-mata

dari perjanjian utang-piutang.41

b. Syarat Harus Adanya Utang

Pengertian utang telah dicantumkan dalam Pasal 1 angka 6

Undang-Undang Kepailitan, yaitu:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan


dalam jumlah uang, baik dalam mata uang ndonesia maupun
mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”

Melalui definisi utang yang diberikan oleh Undang-Undang

Kepailitan, jelaslah bahwa definisi utang harus ditafsir secara luas, tidak

hanya meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau

perjanjian pinjam-meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena

41
Adrian Sutedi., Op.Cit, hlm. 32.

32
undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah

uang.42

c. Syarat Cukup Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih

meunjukkan bahwa kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut

debitor untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono, syarat ini

menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya

schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir

dari perikatan alamiah (adanya schuld tanpa haftung) tidak dapat

dimajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang

lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah

jatuh waktu hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditor untuk menagih

utang tersebut. Dengan demikian, kreditor tidak mempunyai alas hak

untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditor

tidak berhak memajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari

perjudian.43

3. Permohonan PKPU dan Pernyataan Pailit

Pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU dan pernyataan

pailit ke pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Kepailitan,

adalah sebagai berikut:

a. Debitor Sendiri

Undang-undang memungkinkan seorang debitor untuk

mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika


42
Ibid, hlm 11
43
Jono, Op. Cit., hlm. 13.

33
debitor masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya

dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri yang menjadi

pasangannya (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

b. Seorang Kreditor atau Lebih

Sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan,

kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya

adalah kreditor konkuren, kreditor preferen, ataupun kreditor separatis.

c. Kejaksaan

Permohonan pailit terhadap debitor dapat diajukan oleh

kejaksaan demi kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum

adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan

masyarakat luas, misalnya:

1) Debitor melarikan diri;


2) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
3) Debitor mempunnyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain
yang menghimpun dana dari masyarakat.;
4) Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana
dari masyarakat luas;
5) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
6) Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum.44

d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan yang mengatur tugas OJK, yaitu:

“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:


a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di

44
Ibid., hlm. 12.

34
sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”45

Sejak adanya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, maka

permohonan pernyataan pailit bagi sektor perbankan, Pasar Modal dan

sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan

Lembaga Jasa Keuangan lainnya harus dilakukan oleh Otoritas Jasa

Keuangan.

Sedangkan pihak yang dapat dinyatakan pailit di Pengadilan

Niaga sesuai dengan UU Kepailitan, adalah sebagai berikut:

a. Orang perseorangan baik laki-laki maupun perempuan yang telah


menikah maupun belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit
tersebut diajukan oleh debitor perorangan yang telah menikah, maka
permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan
suami/istrinya, kecuali antara suami-istri tersebut tidak ada
percampuran harta;
b. Perserikaan - perserikatan dan perkumpulan - perkumpulan tidak
berbadan hukum lainnya. Permohonan pernyataan pailit terhadap
suatu “firma” harus memuat nama dan tempat kediaman masing-
masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh
utang firma;
c. Perseroan - perseroan, perkumpulan - perkumpulan, koperasi
maupun yayasan yang berbadan hukum. Dalam hal ini berlakulah
ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan hukum
sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya;
d. Harta peninggalan.46

4. Akibat Hukum

Putusan kepailitan membawa akibat bagi si pailit atau debitor

sendiri maupun harta kekayaannya, sejak dibacakan putusan kepailitan

oleh pengadilan niaga, debitor kehilangan hak pengurusan dan penguasaan

45
Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. UU Nomor 21 Tahun
2011 LN No. 111 Tahun 2011. TLN No. 5253, Pasal 6.
46
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Op.Cit, hlm. 16

35
atas budel. Ia menjadi pemilik dari budel itu, tetapi ia tidak boleh lagi

mengurus dan menguasainya. Pengurusan dan penguasaan itu beralih

kepada hakim pengawas dan kurator yang ditunjuk dari pengadilan niaga,

sementara dalam hal kreditor dan debitor tidak mengajukan usul

pengangkatan kurator lain kepada pengadilan maka Balai Harta

Peninggalan (BHP) bertindak sebagai kurator.47

Pengurusan dan penguasaan harta kekayaan tersebut pindah kepada

Balai Harta Peninggalan (BPH) di mana terhadap seluruh harta kekayaan

yang sudah ada maupun yang diperoleh selama berjalannya kepailitan

kecuali yang dengan undang-undang dengan tegas dikeluarkan dari

kepailitan.

a. Akibat kepailitan pada umumnya.

1) Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitor pailit.

Kepailitan mengkibatkan seluruh kekayaan debitor serta

segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam

sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan,

kecuali :

a) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh

debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya,

alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat

tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitor

dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi

debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;

47
Mohammad Chaidir Ali, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Bandung: Mandar
Maju), hlm. 102.

36
b) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya

sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa,

sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,

sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau

c) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu

kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.48

2) Akibat kepailitan terhadap pasangan (suami/istri) debitor pailit

Akibat pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat

dalam suatu perkawinan yang sah dan adanya persatuan harta,

kepailitannya juga dapat memberikan akibat hukum terhadap

pasangan (suami/istri). Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan

pailit, istri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda

bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari

istri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual

oleh suami atau istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil

penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami

berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut. Pasal 23

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa apabila

seorang dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juga

istri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta.

Ketentuan pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat

terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam persatuan

48
Jono, Op.Cit, hlm. 107.

37
harta. Artinya bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk

dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepailitan dan

otomatis masuk dalam boedel pailit.49

3) Akibat kepailitan terhadap seluruh perikatan yang dibuat debitor

pailit.

Semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan pailit,

tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut

menguntungkan harta pailit ( Pasal 25 UU Kepailitan dan PKPU).

Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta

pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Dalam hal tuntutan

tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit

maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman

terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai

akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 UU Kepailitan dan

PKPU)

4) Akibat Kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitor yang

dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Dalam pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

dinyatakan secara tegas bahwa untuk kepantingan harta pailit,

segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit, yang

merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan

pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada

pengadilan. Kemudian dalam Pasal 42 UU Kepailitan dan PKPU

49
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hlm. 106.

38
diberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitor

tersebut, antara lain:

a) Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka

waktu 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit;

b) Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan

debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;

c) Bahwa debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut

dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui

bahwa perbuatan tersbut akan mengakibatkan kerugian bagi

kreditor;

d) Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa:

 Merupakan perjanjian di mana kewajiban debitor jauh

melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut

dibuat;

 Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk

utang yang belum jatuh tempo dan/ atau belum atau tidak

dapat ditagih ;

 Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor

perorangan, dengan atau untuk kepentingan:

o Suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai

derajat ketiga;

o Suatu badan hukum di mana debitor atau pihak

sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah anggota

direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik

39
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara

langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan

hukum tersebut lebih dari 50% dari modal disetor atau

dalam pengendalian badan hukum tersebut.

 merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor

yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk

kepentingan:

o Anggota direksi atau pengurus dari debitor, suami atau

istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga

dari anggota Direksi atau pengurus tersebut;

o Perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan

suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai

derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung dalam

kepemilikan pada debitor lebih dari 50% dari modal

disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;

o Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau

keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara

langsung aau tidak langsung dalam kepemilikan pada

debitor lebihdari 50% dari modal disetor atau dalam

pengendalian badan hukum tersebut; (2) Perorangan,

baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri,

anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang

ikut serta secara langsung dalam kepemilikan pada

40
debitor lebih dari 50% dari modal disetor atau dalam

pengendalian badan hukum tersebut;

 merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor

yang merupakan badan hukum dengan atau untuk

kepentingan badan hukum lainnya, apabila:

o Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua

badan usaha tersebut adalah orang yang sama;

o Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai

derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau

pengurus debitor juga merupakan anggota direksi atau

pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.

o Perorangan angota direksi atau pengurus, atau anggota

badan pengawas pada debitor, atau suami atau istri,

anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik

sendiri atau bersama-sama ikut serta secara langsung

atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum

lainnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal

yang disetor atau dalam pengendalian badan hukum

tersebut, atau sebaliknya;

o debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada

badan hukum lainnya atau sebaliknya;

o badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama

baik bersama atau tidak dengan suami atau istrinya,

dan/atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai

41
derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak

langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling

kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal

yang disetor.

 dilakukan oleh debitor yang merupakan badan hukum

dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup di

mana debitor adalah anggotanya;

 ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f

berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh debitor

dengan atau untuk kepentingan:

o Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau

istri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga

dari anggota pengurus tersebut;

o Perorangan baik sendiri maupun bersama-sama dengan

suami atau istri. Anak angkat, atau keluarga sampai

derajat ketiga yang ikut serta secara langsung dalam

pengendalian badan hukum tersebut.

Dari ketentuan Pasal 41 dan 42 UU Kepailitan dan PKPU

tersebut, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah

sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap

perbuatan hukum debitor (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut

adalah berada pada pundak debitor pailit dan pihak ketiga yang

melakukan perbuatan hukum dengan debitor apabila perbuatan hukum

debitor tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum

42
putusan pernyataan pailit yang membawa kerugian bagi kepentingan

kreditor. Jadi, apabila kurator menilai bahwa ada perbuatan hukum

tertentu dari debitor dengan pihak ketiga dalam jangka waktu 1 (satu)

tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan

kreditor, maka debitor dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa

perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan

hukum tersebut tidak merugikan harta pailit.

Berbeda apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitor

dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum

putusan pernyataan pailit, dimana kurator menilai bahwa perbuatan

hukum tersebut merugikan kepentingan kreditor atau harta pailit, maka

yang wajib membuktikan adalah kurator.50

b. Akibat kepailitan secara khusus.

1) Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik.

Prof. Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari

Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu “Perjanjian”.

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi perjanjian, yaitu suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan tersebut memberikan

konsekuensi hukum bahwa dalam suatu suatu perjanjian akan selalu

ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib

berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas

prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat

50
Jono, Op.Cit, hlm. 107-111.

43
terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya

ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri atas satu atau lebih

badan hukum.51

Pasal 1314 KUHPerdata berbunyi:

(1) Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban;


(2) Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan
kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi
dirinya sendiri;
(3) Suatu perjanjia atas beban, adalah suatu perjanjian yang
mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Dari rumusan Pasal 1314 KUHPerdata di atas, dapat

diketahui bahwa suatu perjanjian dapat bersifat sepihak dan

perjanjian yang bersifat timbal balik. Perjanjian yang bersifat

sepihak, yaitu suatu perjanjian di mana hanya ada satu pihak yang

mempunyai kewajiban atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya

perjanjian hibah. Adapun perjanjian yang bersifat timbal balik,

yaitu suatu perjanjian dimana kedua belah pihak saling berprestasi.

Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), selalu ada hak dan

kewajiban di satu pihak yang saling berhadapan dengan hak dan

kewajiban pihak lain.52 Contohnya: perjanjian jual beli, perjanjian

sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan lain-lain.

Pasal 36 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan:

(1) Dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan,


terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru
sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan
debitor dapat meminta kepada kurator untuk memberikan

51
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 92.
52
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
1992), hlm. 239.

44
kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut
dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak
tersebut.

Pasal 37 ayat (1), menyatakan :

(1) Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal


36 telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang
harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan
dilaksanakan dinyatakan pailt maka perjanjian menjadi hapus
dengan diucapkannya putusan pernyataan palt dan dalam hal
pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang
bersangkutan dapat mengajukan driri sebagai kreditor
konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.

Apabila dalam perjanjian jual beli barang di mana barang

sudah diserahkan, tetapi harganya belum dibayar sebelum adanya

putusan kepailitan, maka Balai Harta Peninggalan dapat menuntut

pemenuhan harganya atau dapat memecahkan perjanjian dengan

ganti rugi, bilamana dianggap lebih menguntungkan boedel. Jika

yang belum berprestasi itu adalah si debitor, kemudian debitor

jatuh pailit maka pihak lawan dapat tampil dalam rapat verifikasi

atau menuntut pemecahan perjanjian dengan ganti rugi. Jadi dapat

disimpulkan apabila salah satu pihak sudah berprestasi

sepenuhnya, maka tidak menimbulkan kesulitan, lain halnya

bilamana dijatuhkan kepailitan perjanjian itu belum dilaksanakan

sebagian, maka terhadap masalah ini berlaku Pasal 36 ayat (1)

tersebut.53

Pada umumnya kepailitan tidak mempunyai pengaruh khusus

terhadap perjanjian-perjanjian timbal-balik. Terhadap perjanjian-

53
Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 85.

45
perjanjian ini berlaku peraturan-peraturan yang biasanya

diperlakukan atas dasar perjanjian-perjanjian itu bilamana tidak

ada kepailitan, kecuali bila ditentukan peraturan-peraturan yang

menyimpang dengan tegas-tegas. Hal yang demikan ini antara lain

kita jumpai bilamana salah satu pihak dalam perjanjian timbal-

balik itu memenuhi prestasinya sepenuhnya.54

2) Akibat kepailitan terhadap berbagai jenis perjanjian

a) Perjanjian Hibah

Hibah diatur dalam Bab X mulai dari Pasal 1666 s.d Pasal

1693 KUHPerdata. Pasal 1666 KUHPerdata mendefinisikan

hibah sebagai berikut:

Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si


penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan
dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima
penyerahan itu.

Undang-Undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-

hibah di antara orang-orang yang masih hidup.

Menurut pasal di atas, dapat diketahui bahwa hibah

merupakan suatu perjanjian yang bersifat sepihak, yang

prestasinya berupa menyerahkan sesuatu, serta antara penghibah

dan penerima hibah adalah orang-orang yang masih hidup.

Kemudian Pasal 1667 KUHPerdata, menentukan bahwa hibah

hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, dan jika

54
Siti Hartono, Pengantar Hukum Kepaillitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta:
Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1993), hlm. 25.

46
hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian

hari, sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal.

Dalam kaitannya dengan akibat hukum dari kepailitan

terhadap perjanjian hibah diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44

UU Kepailitan dan PKPU, antara lain:

Pasal 43: “Hibah yang dilakukan debitor dapat dimintakan


pembatalan kepada pengadilan, apabila kurator dapat
membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan,
debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.’

Pasal 44: “ kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor


dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah
tersebut merugikan kreditor, apabil hibah tersbebut
dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan.”

Melalui kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa hibah

yang dilakukan oleh debitor (pailit) yang akan mengakibatkan

kerugian bagi kreditor, maka hibah semacam itu dapat dimintai

pembatalan oleh kurator kepada pengadilan. Untuk melakukan

pembatalan perjanjian hibah tersebut, perlu dibuktikan terlebih

dahulu bahwa debitor mengetahui atau patut mengetahui

perjanjian hibah tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

Siapakah yang harus membuktikan bahwa debitor mengetahui

atau patut mengetahui hibah tersebut akan merugikan kreditor?

Dari bunyi Pasal 43 UU Kepailitan tersebut, sepertinya beban

pembuktian berada di pundak kurator, tetapi ternyata kalau

dibaca lebih lanjut Pasal 44 UU Kepailitan, sebenarnya beban

pembuktian berada pada debitor (pailit) dengan catatan bahwa

47
hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun

sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

b) Perjanjian sewa-menyewa

Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Bab VII mulai dari

Pasal 1548 s.d Pasal 1600 KUHPerdata. Pasal 1548

KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sewa-menyewa sebagai

berikut: “sewa-menyewa ialah suatu perjanjain, dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada

pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama

suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga,

yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi

pembayarannya”. Semua jenis barang, baik barang bergerak

maupun barang yang tidak bergerak dapat disewakan.

Dalam kaitannya antara kepailitan dengan perjanjian sewa,

maka dapat dilihat dari Pasal 38 UU Kepailitan dan PKPU,

antara lain:

 Dalam hal debitor telah menyewa suatu benda maka baik


kurator maupun pihak yang menyewakan benda, dapat
menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat
pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum
berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan
setempat;
 Dalam hal melakukan penghentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus pula diindahkan
pemberitahuan penghentian menurut perjanjian atau
menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat
90 (sembilan puluh) hari;
 Dalam hal uang sewa telah dibayar dimuka maka
perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal
sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar
uang sewa tersebut;

48
 Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, uang
sewa merupakan utang harta pailit.

Dalam hal debitor telah menyewa suatu benda (dalam hal

ini debitor bertindak sebagai penyewa), maka baik kurator

maupun pihak yang menyewakan benda (pemilik barang), dapat

menghentikan perjanjian sewa, denan syarat harus adanya

pemberitahuan penghentian yang dilakukan sebelum

berakhirnya perjanjian sewa tersebut sesuai dengan adat

kebiasaan setempat. Jangka waktu pemberitahuan penghentian

tersebut harus menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam

jangka waktu paling singkat 90 (sembilan puluh) hari. Dalam

hal debitor telah membayar uang sewa di muka (lunas) maka

perjanjian sewa tersebut tidak dapat dihentikan lebih awal

sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang

sewa tersebut. Bagaimana nasib orang yang menyewakan benda

tersebut, jika uang sewa belum dibayar atau belum lunas

dibayar? Dalam hal ini, utang sewa dari debitor akan menjadi

utang harta pailit (Pasal 38 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU).

Dalam arti, orang yang menyewakan benda tersebut dapat

tampil sebagai kreditor konkuren. Bagaimana jika dalam hal

debitor bertindak sebagai orang yang menyewakan? Dalam

Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur secara jelas

mengenai hal tersebut.

c) Perjanjian dengan Prestasi Berupa Penyerahan Suatu Benda

Dagangan.

49
Apabila dalam perjanjian timbal balik telah diperjanjikan

penyerahan benda dengan yang biasa diperdagangkan dengan

suatu jangka waktu, kemudian pihak yang harus menyerahkan

benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan

pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya

putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan

karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan

diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.

Akan tetapi, dalam hal harta pailit dirugikan karena

penghapusan perjanjian tersebut, maka pihak lawan wajib

membayar ganti kerugian tersebut.

d) Perjanjian kerja antara debitor pailit dengan pekerja

Penjelasan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan berbunyi:

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, Kurator


tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan.

Apabila terjadi suatu pemutusan hubungan kerja yang

dilakukan debitor pailit kepada pekerjanya, maka pekerja

tersebut berhak mendapatkan penggantian dari hak-hak pekerja

tersebut. Hak-hak yang diperoleh pekerja tersebut akan menjadi

utang harta pailit. Lalu bagaimana kedudukan hukum pekerja

terhadap harta pailit (sebagai kreditor konkuren, kreditor

preferen, atau kreditor separatis)? Hal ini dapat dijawab dengan

melihat Pasal 1149 KUPPerdata poin 4, di mana upah pekerja

merupakan salah satu dari piutang yang diistimewakan. Oleh

50
karena itu, jelas bahwa pekerja yang belum memperoleh bayaran

atas upah dan hak-hak lain (seperti pesangon, uang

penghargaan, dan lain-lain) dari debitor pailit merupakan

kreditor preferen (kreditor yang mempunyai hak istimewa).

3) Akibat kepailitan terhadap hak jaminan dan hak istimewa

Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat)

macam jaminan, yaitu hipotik, gadai, hak tanggungan dan fidusia.

Pihak-pihak yang memegang hak atas jaminan tersebut

berkedudukan sebagai kreditor separatis. Selain kreditor separatis,

dalam KUHPerdata juga dikenal dengan nama kreditor konkuren dan

kreditor preferen seperti telah dijelaskan di atas.

4) Akibat kepailitan terhadap gugatan (tuntutan hukum)

a) Dalam hal debitor pailit sebagai penggugat

Selama dalam proses kepailitan berlangsung, debitor (pailit)

yang mengajukan gugatan/tuntutan hukum terhadap tergugat,

maka atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan

untuk memberikam kesempatan kepada tergugat memanggil

kurator untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang

ditentukan oleh hakim. Dalam hal kurator tidak mengindahkan

panggilan atau menolak mengambil alih perkara tersebut,

tergugat berhak memohon supaya perkaranya digugurkan dan

jika hal ini tidak dimohonkan maka perkara dapat diteruskan

51
antara debitor (pailit) dan tergugat, di luar tanggungan harta

pailit.

b) Dalam hal debitor (pailit) sebagai tergugat

Suatu gugatan (tuntutan hukum) di pengadilan yang diajukan

terhadap debitor (sebagai tergugat) sejauh bertujuan untuk

memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan

perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan

diucapkannya putusan pernyataan pailit. (Pasal UU Kepailitan)

Dalam hal suatu perkara dilanjutkan oleh kurator terhadap pihak

lawan maka kurator dapat mengajukam pembatalan atas segala

perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum yang

bersangkutan dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa

perbuatan debitor tersebut dilakukan dengan maksud untuk

merugikan kreditor dan hal ini diketahui oleh pihak lawannya.

5) Akibat kepailitan terhadap penetapan penyitaan dan eksekusi

pengadilan .

Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan

pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor

yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan

sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk

atau juga dengan menyandera debitor. Debitor yang berada dalam

penahanan (gijzeling) harus dilepaskan seketika setelah putusan

pernyataan pailit diucapkan tanpa mengurangi berlakunya Pasal 93

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Penahanan di sini adalah

52
bukan penahanan dalam kasus pidana, tetapi gijzeling (pesoalan

perdata). Selama kepailitan debitor tidak dikenakan uang paksa,

termasuk uang paksa yang dikenakan sebelum putusan pernyataan

pailit diucapkan. Adapun semua penyitaan yang telah dilakukan

menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus

memerintahkan pencoretan.

6) Akibat kepailitan terhadap perjumpaan utang (kompensasi)

Perjumpaan utang merupakan salah satu cara untuk

menghapuskan suatu perikatan. Perjumpaan utang diatur dalaam

Pasal 1425 s.d Pasal 1435 KUHPerdata. Pengertian perjumpaan

utang dapat dilihat dalam Pasal 1425 KUHPerdata yaitu: “jika dua

orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilan antara

mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua

orang tersebut dihapuskan...”. Pasal 1426 KUHPerdata secara tegas

menyatakan bahwa perjumpaan utang terjadi demi hukum, bahkan

tanpa sepengetahuan orang-orang yang berutang, dan kedua utang itu

menghapuskan yang lain dan sebaliknya.

Semua utang piutang yang diambil alih setelah putusan

pernyataan pailit diucapkan, tidak dapat diperjumpakan (Pasal 52

ayat (2) Undang-Undang Kepailitan). Setiap orang yang mempunyai

utang kepada debitor pailit, yang hendak menjumpakan utangnya

dengan suatu piutang atas tunjuk atau piutang atas pengganti, wajib

membuktikan bahwa pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan,

53
orang tersebut dengan itikad baik sudah menjadi pemilik surat atas

tunjuk atau surat atas pengganti tersebut (Pasal 53 UU Kepailitan);

7) Akibat kepailitan terhadap pengembalian benda yang merupakan

bagian dari harta debitor.

Setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan

bagian dari harta debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum

yang dibatalkan, harus mengembalikan benda tersebut kepada

kurator dan dilaporkan kepada hakim pengawas. Dalam hal orang

yang telah menerima benda tersebut tidak dapat mengembalikan

benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajin membayar

ganti rugi kepada harta pailit. Hak pihak ketiga atas benda yang

diperoleh dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma, harus

dilindungi. Benda yang diterima oleh debitor atau nilai penggantinya

wajib dikembalikan oleh kurator, sejauh harta pailit diuntungkan,

sedangkan untuk kekurangannya, orang terhadap siapa pembatalan

dituntut dapat tampil sebagai kreditor konkuren.

8) Akibat kepailitan terhadap pembayaran kepada debitor pailit.

Pembayaran kepada debitor pailit dilakukan:

a) Sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan tetapi belum

diumumkan. Dalam hal ini, apabila setiap orang membayar

kepada debitor pailit untuk memenuhi perikatan yang terbit

sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, maka orang

tersebut dibebaskan terhadap harta pailit sejauh tidak dibuktikan

54
bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya putusan

pernyataan pailit tersebut.

Dalam hal ini, sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem

pembuktian biasa, artinya jika kurator menduga bahwa orang

yang melakukan pembayaran mengetahui adanya putusan

pernyataan pailit, supaya orang yang membayar tersebut tidak

dibebaskan dari harta pailit, maka kurator yang harus

membuktikan hal tersebut. Jika kurator tidak dapat

membuktikannya, maka orang yang membayar tersebut harus

dibebaskan dari harta pailit.

b) Sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan dan diumumkan.

Dalam hal ini, apabila setiap orang membayar kepada debitor

pailit untuk memenuhi perikatan yang terbit sebelum putusan

pernyataan pailit, maka orang yang membayar tersebut tidak

dibebaskan dari harta pailit kecuali apabila orang yang

membayar tersebut dapat membuktikan bahwa pengumuman

putusan pernyataan pailit yang dilakukan menurut undang-

undang tidak mungkin diketahui di tempat tinggalnya.

Dalam hal ini, sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem

pembuktian terbalik, artinya jika kurator menduga bahwa orang

yang melakukan pembayaran tersebut mengetahui putusan

pernyataan pailit di tempat tinggal, maka untuk membebaskan

orang yang membayar tersebut dari harta pailit, dialah (orang

yang membayar tersebut) yang harus membuktikannya bahwa

55
dia tidak mengetahui putusan pernyataan pailit tersebut. Jika

orang yang tidak membayar tersebut tidak dapat

membuktikannya, maka dia (orang yang membayar tersebut)

tidak dapat dibebaskan dari harta pailit.

9) Akibat kepailitan terhadap pembayaran utang

Pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya

dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa:

a) Penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan

pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan, atau

b) Dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari

persengkongkolan antara debitor dan kreditor dengan maksud

menguntungkan kreditor tersebut melebihi kreditor lainnya.

Dalam Pasal 46 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU ditentukan

bahwa pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat

pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum

dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran,

pembayaran tersebut tidak dapat diminta kembali. Dalam hal

pembayaran tidak dapat diminta kembali, maka orang yang

mendapat keuntungan sebagai akibat diterbitkannya surat pengganti

atau surat atas tunjuk, wajib mengembalikan kepada harta pailit

jumlah uang yang telah dibayar oleh debitor apabila:

56
a) Dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat tersebut,

yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan pernyataan

pailit debitor sudah didaftarkan, atau

b) Penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari

persengkongkolan antara debitor dan pemegang pertama.

10) Akibat kepailitan terhadap warisan

Dalam persoalan warisan, ada 3 (tiga) istilah penting, antara lain:

a) Pewaris;

b) Ahli waris;

c) Harta warisan.

Dalam Undang-Undang Kepailitan mengenai kepailitan harta waris,

telah diatur dalam Pasal 207-211 KUHPerdata

11) Akibat kepailitan terhadap hak retensi (hak menahan)

Hak menahan atau hak retensi pada umumnya adalah hak

untuk tetap memegang benda milik orang lain sampai piutang si

pemegang mengenai benda tersebut telah lunas. Senada dengan

definisi hak retensi juga dikemukakan oleh Prof. Sri Soedewi

Masjchoen Sofwan, yaitu hak retentie adalah hak untuk menahan

sesuatu benda, sampai suatu piutang yang bertalian dengan benda itu

dilunasi. Aturan yang umum dalam KUHPerdata mengenai hak

retensi ini tidak ada, melinkan diatur dalam pasal-pasal yang

tercerai-berai, yaitu dalam Pasal, 567, 575, 576, 579, 834, 715, 1159,

1756, 1616, 1729, 1812 KUHPerdata.

57
Undang-Undang Kepailitan mengakui eksistensi hak retensi

atau hak menahan. Hal ini dapat dilihat dala Pasal 61 Undang-

Undang Kepailitan, antara lain: “Kreditor yang mempunyai hak

untuk menahan benda milik debitor, tidak kehilangan hak karena ada

putusan pernyataan pailit. Kemudian dalam bagian penjelasan Pasal

61 Undang-Undang Kepailitan dikatakan: “Hak untuk menahan atas

benda milik debitor berlangsung sampai utangnya dilunasinya”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun adanya

putusan kepailitan, kreditor yang mempunyai hak retensi atau hak

menahan terhadap benda milik debitor pailit belum dibayar lunas.

Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk menembus

benda yang ditahan oleh kreditor tersebut dengan membayar piutang

kreditor tersebut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 18 ayat

(4) Undang-Undang Kepailitan, antara lain bahwa Kurator

berkewajiban membayar piutang kreditor yang mempunyai hak

untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan

menguntungkan harta pailit.55

5. Pemberesan Harta Pailit

Pemberesan harta pailit dilakukan oleh kurator dengan melalui

pengawasan dari Hakim Pengawas. Pengertian Kurator terdapat dalam

Pasal 1 angka 5 UU Kepailitan dan PKPU, yaitu:

Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan


yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan

55
Jono, Op. Cit., hlm. 107-134.

58
harta debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai
dengan Undang-Undang ini.

Kurator merupakan salah satu pihak yang memegang peranan

sangat penting dalam proses penyelesaian kepailitan. Kurator diangkat

oleh Pengadilan, dengan tugas utama adalah mengurus dan membereskan

harta pailit. Dalam Pasal 70 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang dapat

bertindak menjadi kurator adalah Balai Harta Peninggalan dan Kurator

lainnya.56

Balai Harta Peninggalan adalah instansi pemerintah yang berada

dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang melakukan

pelayanan jasa hukum di bidang kepailitan dan PKPU serta bidang lainnya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BHP dapat diangkat oleh

Pengadilan Niaga dengan putusan untuk melakukan pelayanan jasa hukum

di bidang kepailitan dan PKPU. BHP yang diangkat pengadilan niaga

bertindak sebagai kurator dan/atau pengurus. Apabila BHP menangani

perkara kepailitan disebut Kurator, sedangkan apabila mengurusi harta

debitor bersama-sama dengan debitor PKPU disebut Pengurus. Pengurus

tidak berwenang menjual harta debitor PKPU, sedangkan kurator

mempunyai otoritas untuk menjual aset debitor pailit.57

Untuk jenis Kurator lainnya, dalam Pasal 70 ayat (2) huruf (a) UU

Kepailitan dan PKPU disebutkan, yaitu kurator yang bukan Balai Harta

Peninggalan adalah mereka yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu,

yaitu:

56
Benard Nainggolan, Peranan Kurator Dalam Pemberesan Boedel Pailit, (Bandung:
Alumni, 2014), hlm. 47.
57
Syamsudin M.Sinaga, Op.Cit, hlm. 16.

59
a. Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia,
yang mempunyai keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka
mengurus dan atau membereskan harta pailit.
b. Telah terdaftar pada Kementrian yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.58

Kurator dalam melakukan pemberesan harta pailit diawasi oleh

Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau

putusan penundaan kewajiban pembayaran utang, Pasal 1 angka 8 UU

Kepailitan dan PKPU. Hakim pengawas tersebut ditunjuk oleh Majelis

Hakim Pemeriksa atau Majelis Hakim Pemutus perkara. Pada prinsipnya,

Hakim Pengawas adalah wakil pengadilan yang mengawasi pengurusan

dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator. Penunjukan

Hakim Pengawas dilakukan bersamaan dengan diucapkannya putusan

pernyataan pailit.59

Dalam hal pemberesan dan pengurusan harta pailit tersebut,

Kurator bekerja setelah adanya putusan pernyataan pailit dari hakim,

putusan pailit tersebut terhitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Maka

terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit tersebut diucapkan,

debitor pailit demi hukum tidak mempunyai kewenangan lagi untuk

menguasai dan mengurus harta kekayaan.60

6. Berakhirnya Kepailitan

Dalam kepailitan dimungkinkan adanya suatu perdamaian.

Perdamaian adalah perjanjian antara debitor pailit dengan kreditor di mana


58
Benard Nainggolan, Loc.Cit.
59
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang
(PKPU) Teori Dan Praktik, (Bandung: Alumni, 2013), hlm. 132-133.
60
Indonesia, Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004 LN No. 131 Tahun 2004. TLN No. 4443, Pasal
24 ayat (1) dan (2).

60
menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa

setelah melakukan pembayaran tersebut, ia dibebaskan dari sisa utangnya,

sehingga ia tidak mempunyai utang lagi. Ketentuan tentang perdamaian

sebagaimana diatur dalam Bagian ke VI UU Kepailitan dan PKPU. Pasal

144 menjelaskan bahwa debitor pailit berhak untuk menawarkan suatu

perdamaian kepada semua kreditor.

Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat kreditor

oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam

rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang

mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang

konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor

konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, seperti yang

tercantum dalam Pasal 151 UU Kepailitan dan PKPU. Maka dari itu,

perdamaian dalam kepailitan ini akan mengikat semua kreditor termasuk

kreditor yang tidak memberikan suara termasuk kreditor yang tidak

menyetujui perdamaian tersebut.

Apabila perdamaian dibatalkan, maka kepailitan dibuka kembali

seperti semula. Akibatnya semua perbuatan yang dilakukan oleh debitor

dalam waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali

kepailitan, akan mengikat harta pailit. Setelah kepailitan dibuka kembali,

tidak dapat ditawarkan perdamaian untuk kedua kalinya. 61

61
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 63.

61
7. Perbedaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
dengan Kepailitan

Kepailitan lebih banyak dikenal kalangan masyarakat, meskipun

tidak secara dalam kenapa dan bagaimana sebuah perusahaan itu

dinyatakan pailit secara hukum. Namun lain halnya dengan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), masih banyak masyarakat yang

belum mengerti apa itu PKPU, meskipun kedua hal ini memiliki

keterkaitan dan berada dalam satu peraturan yaitu Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang. Pailit merupakan sebuah keadaan di mana debitor tidak mampu

membayar utang hingga melewati jatuh tempo. Pailit sangat berbeda

dengan bangkrut, bangkrut yaitu keadaan rugi meskipun tidak memiliki

utang. Sedangkan PKPU adalah upaya perdamaian yang ditawarkan

debitor untuk menyelesaikan utang-utang tersebut agar tidak dinyatakan

pailit.

Antara PKPU dengan Kepailitan terdapat beberapa perbedaan yang

prinsipil, yaitu:62

 Dilihat dari segi waktu pemberian penundaan pembayaran dan

kepailitan

Pada PKPU permohonan itu harus diajukan oleh debitor

sebelum ia dinyatakan pailit oleh pengadilan. Jadi debitor tidak

diperkenankan mengajukan PKPU apabila telah ada putusan

kepailitan.

62
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2002), Hlm. 103-104

62
Apabila permohonan kepailitan itu bersamaan masuknya

dengan permohonan PKPU, maka yang diperiksa terlebih dahulu

adalah permohonan PKPU (Pasal 229 ayat 3 UU No. 4 Tahun 1998).

 Keadaan semula

Dalam kepailitan, kedudukan si debitor sedemikian buruknya,

sehingga kewenangan bertindak terhadap harta bendanya akan hilang,

sedangkan dalam PKPU, si tertunda masih berwenang untuk bertindak

terhadap harta bendanya dan bahkan masih berhak atas hartanya itu.

 Pengurus (bewindvoerder)

Berkenaan dengan kedudukan si tertunda yang masih dianggap

cakap dan wenang untuk mengurus harta bendanya, maka untuk

mengawasi tindakannya itu harus mendapatkan izin dari seorang atau

lebih pengurus yang dahulunya disebut dengan pemelihara

(bewindvoerder) yang ditunjuk oleh pengadilan yang dapat menjadi

pengurus adalah perseorangan atau persekutuan perdata yang

berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang

dibutuhkan dalam rangka pengurusan harta debitor. Dan mereke itu

harus telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

 Hakim Pengawas

Dalam PKPU, keberadaan Hakim Pengawas masih sangat

diperlukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 214 UU No. 4 tahun

1998. Hakim Pengawas dapat mengangkat tim ahli untuk melakukan

pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan kekayaan debitor

beserta rekomendasinya (Pasal 224 UU No. 4 tahun 1998). Laporan

63
itu harus diserahkan/disediakan pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga

agar dapat dilihat oleh semua pihak.

8. Pengadilan dan Yurisdiksi

Dalam rumusan ketentuan pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan dan

PKPU dapat diketahui bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus

diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat

kedudukan hukum debitor, dengan ketentuan bahwa:

a. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah hukum Republik

Indonesia, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kedudukan hukum terakhir dari debitor;

b. Dalam hal debitor adalah persero atau suatu firma, pengadilan yang

daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut;

c. Dalam hal debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah

Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam

wilayah Republik Indonesia, maka diajukan ke pengadilan yang

daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor

menjalankan profesi atau usahanya;

d. Dalah hal debitor merupakan badan hukum, pengadilan di mana badan

hukum tersebut memiliki kedudukan hukumnya sebagaimana

dimaksud dalam anggaran dasarnya. 63

Adapun yang pengadilan dimaksud menurut UU Kepailitan ini

adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan

63
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 16.

64
dalam bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkungan pengadilan

umum.

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang dibentuk di

lingkungan peradilan umum yang memeriksa, mengadili dan memutus

terhadap perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Dan Pembayaran

Utang (PKPU). Pengadilan niaga juga berwenang menangani sengketa-

sengketa di bidak hak kekayaan intelektual (HKI) dan sengketa dalam

proses likuidasi bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS).64

Dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan atau PKPU

pada Pengadilan Niaga Tingkat Pertama hanya bisa dilakukan oleh hakim

majelis, sedangkan hal yang menyangkut perkara lain di bidang

perniagaan, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai

perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim

tunggal.

Pengadilan Niaga dibentuk pertama kali di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat yang mana Pengadilan Niaga tersebut berwenang untuk

menerima permohonan kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup di

seluruh wilayah Indonesia. Dalam Pasal 281 ayat (2) Perpu No. 1 Tahun

1998 jo. UU No. 1 Tahun 1998 ditegaskan bahwa pembentukan

Pengadilan Niaga selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan

secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan

kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Kemudian dengan

64
Pengertian Pengadilan Niaga, https://id.wikipedia.org/wiki/PengadilanNiaga, artikel
diakses pada tanggal 24 Maret 2020.

65
Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999, pemerintah membentuk

Pengadilan Niaga pada 4 (empat) wilayah Pengadilan Negeri lainnya,

yaitu Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan,

Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang.

Dengan dibentuknya 4 (empat) Pengadilan Niaga tersebut,

pembagian wilayah yurisdiksi relatif bagi perkara yang diajukan kepada

Pengadilan Niaga menjadi sebagai berikut:

a. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung

Pandang meliputi wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya;

b. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan

meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,

Jambi, Bengkulu dan Daerah Istimewa Aceh;

c. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya

meliputi wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur;

d. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa

Yogyakarta.

9. Pembuktian Sederhana

Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam hukum Inggris sering

menggunakan istilah dengan dua kata, yaitu: proof dan evidence. Adapun

66
dalam hukum Belanda disebut bewijs. Arti membuktikan itu sendiri

banyak sekali, dan karena itu untuk memahami pengertian hukum

pembuktian itu sendiri tentu terlebih dahulu harus memahami arti dari

pembuktian atau membuktikan itu sendiri.65

Menurut R. Subekti, membuktikan adalah meyakinkan hakim

tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan. Pada dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk

menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang

berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang

didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. Pasal 163 HIR

menyatakan:

Barang siapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak,


atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu.

Dalam hukum acara pada pengadilan niaga beban pembuktian dan

alat-alat bukti tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998

jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 kecuali dalam hal gugatan Actio Pauliana.

Pembuktian sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut pembuktian

secara sumir merupakan syarat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU

Kepailitan dan PKPU jo. Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun

1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998, yang menyatakan:

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat


fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa
65
Ahmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-asasHukum Pembuktian Perdata, Cet. Ketiga
(Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 15.

67
persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Terkait yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti

secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta

utang yang telah jatuh tempo dan tidak dapat dibayar. Perbedaan besarnya

jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak

menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.

Jika kita perhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4)

UU Kepailitan dan PKPU tersebut di atas, maka jelas apa yang dimaksud

dengan pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai:

a. Eksistensi dari satu utang debitor yang dimohonkan kepailitan yang


telah jatuh tempo; dan
b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditor dari debitor yang dimohonkan
kepailitan.66

Dalam hal adanya fakta atau keadaan bahwa debitor telah tidak

membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih pemohon

harus bisa membuktikan keadaan tersebut, jikalau pemohon tidak

melakukan pembuktian fakta atau keadaan yang diajukan ini, maka hakim

terpaksa akan menyatakan bahwa fakta atau keadaan tidak terbukti. Alasan

yang layak bagi Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU adalah siapa

yang mengemukakan fakta atau keadaan, maka harus membuktikan.

Hakim akan menentukan apa yang harus dibuktikan dan pihak mana

yang harus memberikan bukti, artinya hakim menentukan pihak mana

yang akan memikul risiko tentang pembuktian. Risiko dalam pembuktian

66
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 141.

68
ini tidak boleh berat sebelah, dalam hal ini hakim harus bertindak adil dan

memperhatikan segala keadaan kongkrit. Hendaknya tidak selalu satu

pihak saja yang diwajibkan memberi bukti, melainkan menurut keadaan

yang konkrit pembuktian terhadap suatu hal hendaknya itu diwajibkan

kepada pihak yang paling sedikit diberatkan.

B. Pengalihan Hak Tagih Utang (Cessie)

1. Pengertian

Istilah cessie berasal dari kata cedere yang artinya melepaskan

suatu hak pada orang lain. KUHPerdata tidak mengenal istilah cessie,

tetapi dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan:

a. Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak

bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat suatu akta

otentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas

kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain;

b. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibat, melainkan

setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis

disetujui atau diakui;

c. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bahwa dilakukan dengan

menyerahkan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-

surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan

endosmen.

Dari Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata di atas dapat dilihat dua hal

bahwa di sana disebutkan dua jenis penyerahan tagihan yaitu tagihan atas

nama dan penyerahan tagihan atas nama.

69
Rachmad Setiawan dan J. Satrio berpendapat bahwa cessie

merupakan istilah yang diciptakan oleh doktrin, untuk menunjukkan

kepada tindakan penyerahan tagihan atas nama, sebagaimana diatur oleh

Pasal 613 KUHPerdata penyerahannya dilakukan dengan membuat akta

penyerahan tagihan piutang atas nama yang disebut akta cessie.67

Beberapa pengertian mengenai cessie menurut pakar hukum, antara

lain: Prof. Mariam Daruz Badrulzaman mengatakan Cessie adalah suatu

perjanjian di mana kreditor mengalihkan piutangnya (atas nama) kepada

pihak lain. Cessie merupakan perjanjian kebendaan yang didahului oleh

suatu “titel” yang merupakan perjanjian obligatoir. Ada hal menarik,

sementara dalam Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata mewajibkan adanya

pemberitahuan pada debitor/cessus, tetapi Prof. Mariam Daruz

Badrulzaman menyebutkan tidak perlu pemberitahuan pada debitor/cessus.

Menurut Subekti, cessie adalah pemindahan hak piutang, yang

sebetulnya merupakan penggantian orang berpiutang lama, yang dalam hal

ini dinamakan cedent, dengan seseorang berpiutang baru, yang dalam

hubungan ini dinamakan cessionaris. Yang mana hubungan hukum utang

piutang tersebut tidak hapus satu detikpun, tetapi keseluruhannya

dipindahkan kepada kreditor baru, jadi tidak pada waktu akta itu

diberitahukan pada si berutang.68

Berdasarkan beberapa pengertian cessie di atas dapat disimpulkan

bahwa cessie merupakan suatu cara untuk mengalihkan piutang atas nama

dari kreditor lama (cedent) kepada kreditor baru (cessionaris) yang mana

67
J. Satrio, Rachmad Setiawan, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: Gramedia,
2010), hlm. 1.
68
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 71.

70
harus dilakukan dengan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal

613 KUHPerdata. Selain itu, dari beberapa pengertian tentang Cessie di

atas dapat pula diketahui unsur-unsur dalam peristiwa cessie, yaitu:

a. Adanya pihak cedent (pihak yang mengalihkan piutangnya atau biasa

disebut sebagai kreditor lama) dan pihak cessionaris (pihak penerima

pengalihan piutang dari cedent biasa disebut sebagai kreditor baru),

serta pihak cessus (pihak yang berutang kepada kreditor lama (cedent)

dan dialihkan oleh Icedent kepada cessionaris);

b. Adanya piutang atau tagihan dengan titel yang sah;

c. Adanya pengalihan piutang atau tagihan;

d. Adanya akta cessie yang otentik atau akta di bawah tangan;

e. Adanya pemberitahuan (betekening) kepada cessus (debitor);

f. Adanya persetujuan dan pengakuan tertulis dari cessus (debitor).

2. Cessie Sebagai Perjanjian

Cessie termasuk bagian dari hukum kebendaan karena cessie

merupakan tagihan dan merupakan benda yang disamakan dengan benda

tidak berwujud yang merupakan tagihan, selain itu juga cessie memiliki

hubungan dengan perjanjian, sebab kebendaan cessie didasari oleh adanya

perjanjian antara debitor dengan kreditor dan juga perjanjian antara

kreditor dengan penerima cessie (jika cessie didasari dengan peristiwa

perdata berupa perjanjian).69 Dengan demikian, walaupun cessie bukanlah

perjanjian, tetapi cessie juga tunduk terhadap ketentuan-ketentuan yang

mengatur mengenai perjanjian.

69
J. Satrio, Rachmad Setiawan, Op. Cit. hlm. 55.

71
Pasal 613 KUHPerdata hanya mengatur cara melakukan cessie

agar sah menurut hukum dan mempunyai akibat hukum. Pasal tersebut

tidak memberikan pengaturan mengenai jenis-jenis cessie maupun

keadaan yang dilarang. Hal ini mengharuskan kita untuk melihat

perjanjian dalam buku III KUHPerdata. Dalam membuat suatu perjanjian,

setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun. Adapun isinya

dan bentuknya, sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian yang ditentukan

Pasal 1230 KUHPerdata, yaitu:

a. Kesepakatan;
b. Kecakapan;
c. Suatu hal tertentu; dan
d. Sebab yang halal.

Ketentuan tersebut dikenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Asas ini merupakan cerminan dari Pasal 1338 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang

mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat

kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja selama

dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah suatu yang

dilarang. Hal ini didukung dengan Pasal 1336 KUHPerdata yang berbunyi:

Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak
dilarang atau jika ada sebab selain daripada yang dinyatakan itu,
perjanjian itu adalah sah.

Pada dasarnya undang-undang tidak mempersoalkan apa yang

terjadi atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu yang ada di antara para

72
pihak. Undang-undang hanya menentukan apakah prestasi yang

disebutkan dalam perjanjian tersebut merupakan prestasi yang tidak

dilarang oleh hukum sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh para

pihak.

Pasal 1337 KUHPerdata memberikan pengertian yang limitatif

mengenai sebab yang halal menjadi sebab yang tidak terlarang, yaitu:

Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,


atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya semua

perjanjian dapat dibuat setiap orang, asal tidak melanggar undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum.70

Mengenai hal yang bertentangan dengan kesusilaan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai perihal susila yang

berkaitan dengan adab dan sopan santun.71 Adab dan sopan santun di

setiap masyarakat berbeda, sehingga tidak dapat dijadikan tolak ukur yang

baku, melainkan dikembalikan kepada persepsi masyarakatnya.

Ketertiban umum dapat diartikan dengan hal dalam mana

kepentingan masyarakat sebagai kebalikan dari kepentingan orang

perorangan, apakah akan terinjak-injak atau tidak oleh suatu persetujuan.72

Hal ini dapat diperoleh pengertian tersebut turut menggunakan penilaian

masyarakat tertentu sebagai tolak ukur adanya ketertiban umum.

70
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Po. Cit., hlm. 56.
71
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pengertian Asusila, http://kbbi.web.id/susila, artikel
diakses pada tanggal 25 Maret 2020.
72
R. Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju,
2011), hlm. 38.

73
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa cessie tidak boleh

melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban

umum. Selain itu cessie juga harus dilandaskan dengan asas-asas yang

terkandung dalam perjanjian, agar kelak cessie yang dilakukan oleh cedent

dengan cessionaris sah menurut hukum.

Menurut Munir Fuady, bahwa di samping cessie untuk seluruh

tagihan yang ada atau cessie dengan akibat hukum yang penuh, terdapat

juga cessie dengan akibat hukum terbatas (cessie parsial). Cessie dengan

akibat hukum terbatas dapat dilakukan untuk sebagian dari tagihan yang

ada dari suatu kontrak. Beliau mendasarkan bahwa cessie parsial ini tidak

dilarang karena memang tidak ada dasar yang kuat untuk melarangnya.

Terkait dengan cessie yang dilarang, Munir Fuady mengatakan

bahwa tidak selamanya cessie dibenarkan oleh hukum. Cessie yang tidak

dapat dibenarkan yaitu:73

a. Cessie yang bertentangan dengan undang-undang;


b. Cessie yang bertentangan dengan ketertiban umum;
c. Cessie yang bertentangan dengan kesusilaan;
d. Cessie yang secara signifikan dapat mengubah kewajiban
dari pihak debitor;
e. Cessie yang dilarang perjanjian yang menimbulkan hak
yang dialihkan.

Cessie yang tidak diperbolehkan tersebut tidak dapat dibenarkan

oleh hukum karena substansi dari objek cessienya, jadi cessie sebagian

tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori cessie yang tidak diperbolehkan.

73
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 160.

74
Hal ini dikarenakan cessie sebagian hanyalah suatu istilah untuk prosedur

cessie. Bukan substansi dari objek cessie tersebut.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan cessie

sebagian yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur Pasal

1230 KUHPerdata haruslah dianggap sah memiliki akibat hukum yang

mengikat bagi para pihak, sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar

undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

3. Mekanisme Pelaksanaan

Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan cessie atas seluruh piutang

atau sebagian piutang adalah sama. Cessie diatur dalam Buku II Pasal 613

ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penyerahan piutang atas

nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat

akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak kebendaan

tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Selanjutnya Pasal 613 ayat (2)

KUHPerdata menyebutkan bahwa supaya penyerahan piutang dari kreditor

lama kepada kreditor baru mempunyai akibat hukum kepda debitor, maka

penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada debitor, atau debitor

secara tertulis telah menyetujui atau mengakuinya. 74

Setelah kreditor memiliki piutang, jika ia ingin mengalihkan

piutangnya tersebut melalui cessie, maka tahapan pelaksanaannya adalah

sebagai berikut:

a. Adanya peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik.

74
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 102.

75
Apabila hak milik kreditor berupa piutang telah ada, maka

selanjutnya harus dilihat peristiwa perdata untuk memindahkan hak

milik dari kreditor, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 584

KUHPerdata, yang menyatakan:

... penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk


memundahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan ini.

Peristiwa perdata (rechtstitel) adalah hubungan hukum

obligatoir yang menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan ke dalam

kepemilikan orang lain,75atau peristiwa yang menimbulkan perikatan-

perikatan di antara dua pihak, di mana pihak yang satu berkedudukan

sebagai debitor. Rechtstitel bisa timbul dari undang-undang, seperti

kewajiban mengganti rugi atas tindakan melawan hukum (Pasal 1356

KUHPerdata), atau berdasarkan perjanjian, seperti jual beli tagihan. 76

Di sini rechtstitel berperan sebagai peristiwa hukum yang mendasari

terjadinya cessie.

Dari pengertian rechtstitel di atas, sebelum melakukan

pengalihan, para pihak harus memiliki perikatan, yang mana bisa

diwujudkan dengan membuat perjanjian jual beli piutang di mana

kreditor menjual piutangnya atas debitor pihak lain.

Perjanjian jual beli piutang ini dilakukan antara kreditor

dengan calon kreditor baru merupakan bentuk perjanjian

obligatoirnya, di mana hanya menimbulkan hak dan kewajiban para

75
Wawan Inawan, Cessie: Piutang Kredit, Hak dan Perlindungan bagi Kreditor Baru,
(Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 33
76
J. Satrio dan Rachmad Setiawan, Op. Cit. hlm. 10.

76
pihak, yaitu kreditor berkewajiban menyerahkan hak milik atas

piutangnya kepada pembeli piutang dan berhak atas pembayaran atas

piutang yang diperjanjikan, sedangkan pembeli piutang berkewajiban

untuk membayar harga piutang yang diperjanjikan dan mendapatkan

hak milik atas piutang tersebut. Namun untuk mendapatkan hak milik

atas piutang, pembeli piutang dan kreditor harus membuat akta

pengalihan piutang seperti yang disyaratkan dalam Pasal 613

KUHPerdata agar memiliki akibat hukum antara kreditor lama,

kreditor baru dan debitor.

Peristiwa perdata yang mendasari terjadinya cessie adalah

berupa perikatan yang didasarkan perjanjian, maka harus tunduk pada

Buku III KUHPerdata tentang perikatan, seperti harus tunduk pada

syarat sah perjanjian, asas-asas perjanjian dan lain-lain, sehingga tidak

ada yang dirugikan dalam perjanjian tersebut berikut juga dengan

nantinya cessie yang dilakukan para pihak.

b. Dituangkan dalam suatu akta otentik atau di bawah tangan;

Pasal 613 KUHPerdata menyatakan bahwa cessie harus

dilakukan dengan membuat suatu akta. Artinya cessie harus dalam

bentuk tertulis, walaupun untuk hubungan obligatoir yang menjadi

dasar cessie tidak disyaratkan suatu bentuk tertentu, jadi bisa lisan

maupun tertulis. Cessie dapat dituangkan dalam suatu akta di bawah

tangan maupun akta otentik, asal di dalamnya tegas-tegas disebutkan

bahwa kreditor lama dengan itu telah menyerahkan hak tagihnya

kepada kreditor baru. Jika cessie tidak dituangkan dalam bentuk akta,

77
maka cessie batal demi hukum karena melanggar ketentuan

perundang-undangan.

Akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan

undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang

berkuasa untuk itu di tempat mana akta dibuatnya, sedangkan akta di

bawah tangan adalah akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan

pejabat yang berwenang, dan hanya ditandatangani oleh para pihak

saja.77 Akta cessie yang dibuat dalam bentuk akta otentik maupun akta

di bawah tangan adalah sah karena Pasal 613 KUHPerdata tidak

mensyaratkan akta cessie dibuat dalam bentuk tertentu.

c. Keharusan adanya pemberitahuan kepada debitor (cessus)

Cessie harus diberitahukan kepada debitor (cessus) agar

mempunyai akibat hukum kepadanya sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan:

Penyerahan yang demikian bagi yang si berhutang tiada


akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan
kepadanya, atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.

Yang perlu diperhatikan dari ketentuan tersebut adalah maksud

dari kata “disetujui atau diakuinya”, maksud dari penggalan kata

tersebut adalah bersifat alternatif seperti pendapat Munir Fuady yang

mengganggap ketentuannya hanya bersifat alternatif, seperti yang

dikemukakannya:

Penyerahan piutang atas nama dan barang-barang lain tidak


bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau
77
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
hlm. 465.

78
akta di bawah tangan, yang disebut akta cessie yang
melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang
lain. Penyerahan itu tidak ada akibatnya bagi berhutang
sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau
disetujui secara tertulis atau diakuinya. 78

Pasal 613 KUHPerdata mengindikasikan cessie tidak

mempunyai akibat hukum kepada cessus, kecuali cessie tersebut telah

diberitahukan kepada cessus atau disetujui dan diakui oleh cessus

secara tertulis.

Akibat hukum dari ketentuan tersebut adalah yang berkaitan

dengan hubungan hukum antara cessus dengan cessionaris. Di sisi

lain, cessie merupakan hubungan hukum langsung antara cedent

dengan cessionaris. Tidak adanya akibat hukum antara cessus tidak

berarti membatalkan cessie yang dilakukan oleh cedent dengan

cessionaris. Pemahaman ini didukung pernyataan dari J. Satrio yaitu

bahwa dengan selesainya akta cessie, maka hak milik sudah berpindah

dari cedent kepada cessionaris.79

Jadi Pasal 613 KUHPerdata tidak mengatur hubungan hukum

antara cedent dengan cessionaris, sehingga pemberitahuan atau

persetujuan cessus bukan merupakan syarat sah dari cessie. Hal ini

berarti cessus dapat menolak untuk membayar utangnya kepada

cessionaris. Akan tetapi penolakannya tidak menghilangkan

kewajiban cessus sebagai debitor untuk membayar utangnya kepada

cedent selaku kreditor yang diakuinya.


78
Munir Fuady, Op. Cit. hlm. 73
79
J. Satrio, Cessie Tagihan Atas Nama, (Jakarta: Yayasan DNC, 2012), hlm. 31.

79
Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata tidak mengatur siapa yang

harus memberitahukan bahwa telah terjadi pengalihan hak secara

cessie kepada cessus. Dengan demikian siapa saja baik cedent maupun

cessionaris bahkan pihak ketiga di luar perjanjian cessie pun dapat

memberitahukan kepada cessus.

Menurut J. Satrio pemberitahuan harus melalui exploit juru

sita. Hal ini disebabkan karena dalam redaksi aslinya Burgerlijk

Wetboek (BW) pemberitahuan itu harus melalui betekening,

maksudnya pemberitahuan resmi melalui exploit juru sita. Namun

dengan semakin berkembangnya zaman di mana tugas juru sita

pengadilan semakin sibuk, sehingga untuk dimintakan pemberitahuan

telah dilakukannya cessie (dan juga masalah biaya), maka dalam

praktiknya pemberitahuan telah berubah menjadi pemberitahuan

secara tertulis saja kepada cessus, yang penting adalah adanya bukti

bahwa pemberitahuan itu telah sampai kepada cessus.80

Jika sudah dilakukan pemberitahuan secara tertulis adanya

cessie, maka sudah mempunyai akibat hukum yang mengikat seluruh

pihak, yaitu cessus, cessionaris dan cedent. Sehingga cessus melunasi

utangnya dengan pembayaran kepada cessionaris.

Dalam cessie sebagian, prosesnya hampir sama dengan cessie

pada umumnya. Cedent hanya mengalihkan sebagian saja dari

piutangnya kepada cessionaris. Hal ini berarti bahwa cedent masih

memiliki hak tagih atas piutang terhadap cessus. Jadi cessus harus

80
Ibid, hlm. 23

80
melunasi piutangnya yang telah dibagi dua, sebagian dibayarnya

kepada cedent dan sebagian lagi dibayar kepada cessionaris sesuai

dengan yang diperjanjikan dalam akta cessie.

Dengan dilakukannnya cessie yang berasal dari suatu kontrak

atau dari perikatan lainnya berdasarkan undang-undang yang bukan

perbuatan melawan hukum, maka akibat hukumnya adalah sebagai

berikut:81

a. Piutang beralih dari cedent ke cessionaris;


b. Setelah terjadi cessie, kedudukan cessionaris menggantikan
kedudukan cedent, yang berarti segala hak yang dimiliki
oleh cedent terhadap cessus dapat digunakan oleh
cessionaris sepenuhnya.

Sejak berlaku efektifnya suatu pengalihan piutang, kreditor

awal (cedent) tidak berhak lagi untuk menerima pembayaran atau

pelunasan utang debitor (cessus) kepadanya. Setiap pembayaran atau

pelunasan utang debitor merupakan hak kreditor baru (cessionaris)

dan dibayarkan oleh debitor kepada kreditor baru.

Untuk mencegah terjadinya kemungkinan khilaf maupun

adanya itikad tidak baik dari para pihak yang terlibat dalam cessie,

diwajibkan adanya pemberitahuan kepada debitor bahwa telah

dilakukan cessie tersebut.82 Dengan demikian, debitor mengetahui

harus membayar atau melunasi utangnya kepada siapa (kreditor baru)

dan tidak melakukan kesalahan pembayaran atau melunasi utangnya

kepada kreditor awal. Pemberitahuan ini juga melindungi kepentingan

kreditor baru karena ia dapat menagih piutangnya kepada debitor.


81
J. Satrio dan Rachmad Setiawan, Op. Cit., hlm. 55.
82
Ibid., hlm. 41.

81
BAB III

PENGALIHAN HAK TAGIH UTANG (CESSIE) TERHADAP DEBITOR


DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(PKPU)

A. Riwayat Singkat PT. Bank Tabungan Negara (Persero) dan PT.

Pengelolaan Aset Negara (Persero)

1. PT. Bank Tabungan Negara (Persero)

PT. Bank Tabungan Negara Tbk. atau biasa dikenal dengan Bank

BTN ini merupakan salah satu perusahaan BUMN yang bergerak di bidang

jasa keuangan. Bank Tabungan Negara sebagai bank milik Negara ini

82
ditetapkan dengan UU No. 20 Tahun 1968 tanggal 19 Desember 1968. PT.

Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau dikenal dengan Bank BTN

merupakan salah satu lembaga keuangan yang juga turut menyalurkan dana

dalam bentuk kredit. Bank BTN memiliki sejarah yang sangat panjang di

industri perbankan di Indonesia. Bank BTN telah berdiri sejak tahun 1897

dengan nama Postpaarbank. Di era kemerdekaan, tepatnya Tahun 1950,

Pemerintah Republik Indonesia mengubah nama Postpaarbank menjadi

Bank Tabungan Pos dan kemudian berganti nama lagi menjadi Bank

Tabungan Negara pada Tahun 1963.83

Pada tahun 1974, Perseroan ditunjuk Pemerintah sebagai satu-

satunya institusi yang menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi

golongan masyarakat menengah ke bawah, sejalan dengan program

Pemerintah yang tengah menggalakkan program perumahan untuk rakyat.

Perseroan mencatatkan saham perdana pada 17 Desember 2009 di Bursa

Efek Indonesia, dan menjadi bank pertama di Indonesia yang melakukan

sekuritisasi aset melalui pencatatan transaksi Kontrak Investasi Kolektif –

Efek Beragun Aset (KIK-EBA). Sebagai Bank yang fokus pada pembiayaan

perumahan, Perseroan berkeinginan untuk membantu masyarakat Indonesia

dalam mewujudkan impian mereka untuk memiliki rumah idaman,

Keinginan ini ditunjukkan dengan konsistensi selama lebih dari 6 (enam)

dekade, dalam menyediakan beragam produk dan layanan di bidang

perumahan, terutama melalui KPR, baik KPR Subsidi untuk segmen

menengah ke bawah maupun KPR Non Subsidi untuk segmen menengah ke

83
http://www.btn.co.id diakses pada tanggal 28 Maret 2020.

83
atas. Sebagai bank yang fokus pada pembiayaan perumahan, Perseroan juga

sukses meningkatkan posisinya menjadi peringkat ke-7 bank terbesar di

Indonesia dari segi aset serta penyaluran kredit.84

Perseroan bercita-cita menjadi the world class company dengan

tujuan memberikan hasil terbaik kepada para pemangku kepentingan.

Perseroan senantiasa konsisten dalam menekankan fokusnya sebagai

pemimpin pembiayaan sektor perumahan melalui tiga produk utama, yaitu

KPR dan Perbankan Konsumer, Perumahan dan Perbankan Komersil, serta

Perbankan Syariah. Setiap bidang menjalankan bisnis lewat pembiayaan,

pendanaan serta jasa yang terkait dengan ruang lingkupnya.85

a. Visi & Misi PT. Bank Tabungan Negara (Persero)

1) Visi, menjadi Bank yang terdepan dalam pembiayaan perumahan.

2) Misi

a) Memberikan pelayanan unggul dalam pembiayaan perumahan

dan industri terkait pembiayaan konsumsi dari usaha kecil

menengah;

b) Meningkatkan keunggulan kompetitif melalui inovasi

pengembangan produk, jasa dan jaringan strategis berbasis

teknologi terkini;

c) Menyiapkan dan mengembangkan human capital yang

berkualitas, profesional dan memiliki integritas tinggi;

84
Ibid
85
Ibid

84
d) Melaksanakan manajemen perbankan yang sesuai dengan

prinsip kehati-hatian dan good corporate governance untuk

meningkatkan shareholder value.

b. Budaya Kerja, Nilai Dasar, Etika dan Pedoman Pegawai

1) Suatu keberhasilan kerja, berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan

perilaku yang menjadi kebiasaanya. Nilai-nilai tersebut bermula dari

adat kebiasaan, agama, norma dan akidah yang menjadi

keyakinannya dan menjadi kebiasaan dalam perilaku kerja atau

organisasi. Nilai-nilai yang telah menjadi kebiasaan tersebut

dinamakan sebagai budaya.

2) Nilai Dasar pada Bank BTN

Untuk mewujudkan misinya, Bank BTN mengamalkan nilai-nilai

dasar yang menjadi pedoman dalam kegiatannya, yaitu :

a) Sebagai orang yang beriman dan bertakwa, pegawai BTN taat

melaksanakan dan mengamalkan ajaran agamanya masing-

masing secara khusuk;

b) Pegawai BTN selalu berusaha menimba ilmu guna

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan demi kemajuan

BTN;

c) Pegawai BTN mengutamakan kerjasama dalam melaksanakan

tugas untuk mencapai tujuan BTN dengan kinerja yang terbaik;

d) Pegawai BTN selalu memberikan yang terbaik secara ikhlas

bagi Bank BTN dan semua stakeholder sebagai perwujudan

85
dari pengabdian yang didasari oleh semangat kesediaan

berkorban tanpa pamrih pribadi;

e) Pegawai BTN selalu bekerja secara profesional yang kompeten

dalam bidangnya

3) Etika Pegawai Bank BTN

a) Patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan

peraturan yang berbeda;

b) Melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi

yang berkaitan dengan kegiatan Bank BTN;

c) Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat;

d) Tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kegiatan pribadi;

e) Menghindarkan diri dari keterlibatannya dalam pengambilan

keputusan yang terdapat pertentangan kepentingan;

f) Menjaga kerahasiaan nasabah dan Bank BTN;

g) Memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap

kebijakan yang diterapkan Bank BTN terhadap keadaan sosial,

ekonomi dan lingkungannya;

h) Tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri

sendiri maupun keluarganya;

i) Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra

profesinya.

4) Pedoman Pegawai Bank BTN

Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai Bank BTN memiliki

pedoman yang harus diterapkan dalam dunia kerja, yaitu :

86
a) Melayani secara ikhlas, sopan, dan santun semua nasabah

Bank BTN dengan senyum, sapa, dan salam;

b) Jangan terlambat dan menunda pekerjaan;

c) Jangan menerima, apalagi meminta dan mengambil sesuatu

yang bukan haknya;

d) Melaksanakan semua tugas dengan baik secara profesional,

agar Bank BTN maju, berkembang, solid, dan sehat sehingga

kesejahteraan pegawai dan keluarga meningkat.

c. Bidang Usaha PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Bank BTN

Secara umum, bidang usaha yang menjadi fokus pada Bank BTN adalah:

1) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Perbankan Konsumer

a) Produk kredit konsumer terbagi menjadi empat, yaitu Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi, Kredit Pemilikan Rumah

Non Subsidi, Kredit Perumahan lainnya dan Kredit Konsumer;

b) Produk simpanan juga terbagi menjadi tiga, yaitu Giro,

Tabungan, dan Deposito.

2) Perumahan dan Perbankan Komersial

a) Produk kredit komersial terbagi menjadi tiga, yaitu Kredit

Konstruksi, Kredit Mikro dan Usaha Kecil Menengah

(UMKM) serta Kredit Korporasi lainnya;

b) Produk simpanan didominasi oleh dua hal, yaitu Giro dan

Deposito.

3) Perbankan Syariah

87
a) Produk pembiayaan terbagi menjadi dua, yaitu Pembiayaan

Konsumer Syariah dan Pembiayaan Komersial Syariah;

b) Produk pendanaan terbagi menjadi tiga, yaitu Giro Syariah,

Tabungan Syariah dan Deposito Syariah.

d. Fasilitas Produk Dana dan Pinjaman Bank BTN

Ada beberapa produk yang ditawarkan oleh Bank BTN, di antaranya:

1) Produk Dana berupa:

a) Deposito terdiri:

 Deposito BTN, yaitu simpanan berjangka dalam mata uang

rupiah dengan bunga yang menarik.

 Deposito BTN Valas, yaitu simpanan berjangka dalam mata

uang USD.

b) Tabungan, terdiri:

 Tabungan BTN Batara, yaitu tabungan dengan berbagai

kemudahan transaksi untuk menunjang aktivitas keuangan

nasabah;

 Tabungan BTN Prima, yaitu tabungan investasi dengan

berbagai keuntungan yang mengantarkan nasabah pada

kehidupan yang lebih baik;

 Tabungan BTN yaitu tabungan batara yang khusus digunakan

bagi nasabah payroll, yang memakai fasilitas payroll Bank

BTN;

 Tabungan BTN Junior, yaitu tabungan edukasi untuk

menabung bagi anak-anak usia sampai dengan 12 tahun;

88
 Tabungan BTN Juara, yaitu tabungan untuk edukasi dan sesuai

dengan kebutuhan generasi muda usia 12 sampai dengan 23

tahun.;

 Tabungan BTN e’Batarapos, yaitu produk tabungan Bank BTN

yang diselenggarakan untuk bekerjasama dengan PT. Pos

Indonesia (Persero) melalui loket kantor pos yang telah

ditentukan;

 TabunganKu, yaitu tabungan perorangan dengan persyaratan

mudah dan ringan untuk menumbuhkan budaya menabung

serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

 Tabungan BTN Haji-Reguler, yaitu tabungan yang

diperuntukkan kepada calon jemaah haji yang akan

mempersiapkan ibadah haji dengan program penyelenggaraan

haji reguler;

 Tabungan BTN Haji-Plus, yaitu tabungan yang khusus

diperuntukkan kepada calon jemaah haji yang akan

menjalankan ibadah haji dengan program penyelenggaraan haji

khusus yang diselenggarakan oleh Kantor Kementerian

Agama;

 Tabungan BTN Batara Pensiunan, yaitu tabungan yang

diperuntukkan bagi para pensiunan sebagai sarana penerimaan

pensiun setiap bulan yang dibayarkan oleh PT. Taspen

(Persero);

89
 Tabungan Simpanan Pelajar (SimPel), yaitu tabungan untuk

siswa yang diterbitkan secara nasional oleh bank-bank di

Indonesia, dengan persyaratan mudah dan sederhana serta fitur

yang menarik dalam rangka edukasi dan inklusi keuangan

untuk mendorong budaya menabung sejak dini;

 Tabungan BTN Perumahan, yaitu produk tabungan dalam

rangka membantu lebih banyak masyarakat di Indonesia untuk

menabung dengan tujuan membeli rumah, khususnya rumah

pertama.

Tabungan ini diharapkan dapat mengatasi tantangan yang

dihadapi oleh masyarakat ketika akan memutuskan untuk

membeli rumah.

c) Giro, terdiri:

 Giro BTN, yaitu produk simpanan dengan fleksibilitas tinggi

yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

menggunakan cek atau Bilyet Giro (BG) dan media lainnya;

 Giro Valas BTN, yaitu produk simpanan dalam denominasi

USD dengan fleksibilitas tinggi yang penarikannya dapat

dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau Bilyer

Giro (BG) dan media lainnya.

2) Produk Kredit berupa:

a) Kredit Konsumer, terdiri dari:

 KPR BTN Subsidi, yaitu kredit pemilikan rumah program

kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan

90
Perumahan Rakyat dengan suku bunga rendah dan cicilan

ringan dan tetap sepanjang jangka waktu kredit, yang terdiri

dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk pembelian rumah

tapak dan rumah susun;

 KPR BTN Platinum, yaitu kredit pemilikan rumah dari Bank

BTN untuk keperluan pembelian rumah dari developer ataupun

non developer, baik untuk pembelian rumah baru atau second,

pembelian rumah belum jadi (indent) maupun take over kredit

dari bank lain;

 KPA BTN, yaitu kredit pemilikan apartemen (KPA) dari Bank

BTN untuk keperluan pembelian apartemen, baik untuk

pembelian baru atau second, pembelian apartemen belum jadi

(indent) dan take over kredit dari bank lain;

 Kredit Agunan Rumah, yaitu kredit yang dapat digunakan

untuk renovasi rumah, pembelian isi rumah, biaya pendidikan,

dan kebutuhan lainnya dengan cara agunan rumah atau

apartemen atau ruko;

 Kredit Ringan BTN (Kring BTN), yaitu kredit yang ditujukan

bagi karyawan perusahaan atau instansi guna memenuhi

kebutuhannya tanpa agunan, cukup hanya memanfaatkan Surat

Keputusan (SK) pegawai;

 Kredit Ruko BTN, yaitu kredit untuk membeli rumah toko,

rumah usaha, rumah kontrak, maupun kios dengan pelayanan

cepat dan mudah;

91
 Kredit Bangun Rumah BTN, yaitu kredit untuk membangun

rumah idaman diatas lahan milik sendiri;

 Kredit Swadana BTN, yaitu kredit yang diberikan kepada

nasabah yang membutuhkan dana cepat tanpa harus

mengurangi deposito atau tabungannya selama jangka waktu

tertentu;

 TBM Bapertarum (Tambahan Sebagian Biaya Membangun),

yaitu bantuan dana yang diberikan kepada Pegawai Negeri

Sipil (PNS) yang memenuhi syarat dan ketentuan, untuk

membantu sebagian biaya membangun rumah diatas tanah

milik sendiri dengan fasilitas Kredit Bangun Rumah (KBR)

melalui Bank BTN;

 TBUM Bapertarum (Tambahan Biaya Uang Muka), yaitu

fasilitas yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS)

golongan I,II,III, dan IV yang mengajukan Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) BTN dengan pilihan bantuan tabungan

perumahan atau tambahan uang muka perumahan.

b) Kredit Komersil, terdiri dari:

 Kredit Yasa Griya atau Kredit Konstruksi, yaitu kredit modal

kerja yang diberikan oleh Bank BTN kepada developer untuk

membantu modal kerja pembiayaan pembangunan proyek

perumahan;

 Kredit Modal Kerja (KMK) – Kontraktor, yaitu kredit modal

kerja yang diberikan oleh Bank BTN kepada kontraktor atau

92
pemborong untuk membantu modal kerja didalam

menyelesaikan pekerjaan borongan sesuai dengan kontrak

kerja-Kredit Modal Kerja (KMK), yaitu pembiayaan usaha

industri perdagangan dan jasa atau yang berhubungan dengan

pengadaan maupun proses produksi sampai dengan barang

tersebut dijual;

 Kredit Investasi (KI), yaitu fasilitas kredit yang diberikan

kepada Perseroan Terbatas (PT), CV, koperasi, yayasan dan

perorangan dalam rangka pembiayaan investasi, baik investasi

baru, perluasan, modernisasi, atau rehabilitasi;

 Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK), yaitu pembiayaan

modal kerja atau investasi sektor usaha kecil, mikro, dan

menengah;

 Kredit Linkage, yaitu kredit yang diberikan kepada koperasi

atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk diteruspinjamkan

kepada anggota dan nasabah.

3) Jasa dan layanan Berupa:

a) Bank Garansi, yaitu pernyataan yang dikeluarkan oleh bank

atas permintaan nasabah untuk menjamin risiko tertentu yang

timbul apabila nasabah tidak dapat menjalankan kewajibannya

dengan baik kepada pihak yang menerima jaminan;

b) BTN Payroll, yaitu layanan Bank BTN bagi pengguna jasa,

baik perseroan, perorangan, maupun lembaga dalam mengelola

pembayaran gaji, Tunjangan Hari Raya (THR), dan bonus serta

93
kebutuhan finansial lainnya yang bersifat rutin bagi karyawan

pengguna jasa;

c) Inkaso, yaitu jasa penagihan warkat atau cek dalam mata uang

asing untuk pencairan atau penguangan warkat dan cek luar

negeri;

d) Kiriman Uang, yaitu fasilitas jasa pelayanan Bank BTN untuk

pengiriman uang dalam bentuk rupiah maupun mata uang

asing yang ditujukan kepada pihak lain di suatu tempat (dalam

atau luar negeri);

e) Money Changer, yaitu pelayanan yang diberikan kepada

masyarakat yang ingin menjual atau membeli mata uang asing

tertentu, yang mempunyai catatan kurs pada Bank Indonesia.

f) Payment Point, yaitu fasilitas layanan bagi nasabah untuk

memudahkan dalam membayar tagihan rutin.

g) Real Time Gross Settlement (RTGS), yaitu sistem transfer dana

online dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya

dilakukan per transaksi secara individual;

h) Safe Deposit Box, yaitu sarana penyimpanan barang atau surat-

surat berharga yang aman dan terjaga dari risiko kebakaran,

kejahatan, dan bencana alam;

i) SPP online BTN, yaitu layanan Bank BTN bagi Perguruan

Tinggi atau sekolah dalam menyediakan delivery channel

menerima setoran biaya-biaya pendidikan secara online

94
j) SKBDN, yaitu Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri yang

berisi janji tertulis dan tidak dapat dibatalkan yang diterbitkan

oleh bank pembuka (issuing bank) atas instruksi dari pemohon

(applicant) untuk membayar sejumlah uang kepada penerima

(beneficiary) sepanjang syarat dan kondisi yang tercantum di

dalam SKBDN.

4) BTN Prioritas berupa:

a) BTN Prioritas Exclusive Lounge, yaitu layanan bagi nasabah

yang dilengkapi dengan exclusive lounge, metting room, mini

bar, cash assistant room, dan personal transaction room, yang

dapat digunakan setiap saat;

b) Kartu Debit BTN Prioritas, yaitu kartu debit yang digunakan

oleh nasabah dengan segmentasi total dana diatas Rp.

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);

c) Layanan Priority Banking Officer, yaitu layanan yang

diberikan oleh tim profesional untuk melayani segala

kebutuhan perbankan dan investasi nasabah secara personal;

d) Layanan Airport Handling, yaitu fasilitas airport special

assistance yang akan membantu nasabah prioritas dalam

melakukan perjalanan;

e) Majalah Eksklusif Prioritas, yaitu majalah yang diberikan

kepada nasabah prioritas selama enam bulan pertama;

95
f) Executive Lounge Bandara, yaitu fasilitas ruang tunggu

eksklusif yang disediakan di beberapa titik bandara baik untuk

keberangkatan rute domestik maupun rute internasional;

g) Executive Merchant, yaitu fasilitas khusus kepada nasabah

prioritas melalui merchants yang bekerjasama dalam bentuk

potongan harga (discount) maupun fasilitas bebas biaya,

seperti klinik, hotel, bioskop, restoran, resort, dan spa;

h) Program Apresiasi dan Loyality, yaitu wujud apresiasi Bank

BTN terhadap loyalitas nasabah, dengan menikmati berbagai

program atau event yang dirancang khusus bagi nasabah

prioritas tersebut.

2. Riwayat Singkat PT. Pengelolaan Aset Negara (Persero)

PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) (“PPA”) didirikan

Pemerintah pada 27 Februari 2004 melalui Peraturan Pemerintah No. 10

Tahun 2004 untuk melaksanakan pengelolaan aset eks Badan Penyehatan

Perbankan Nasional (“BPPN”) yang tidak berperkara hukum. Dalam

melaksanakan tugas pengelolaan dimaksud, Menteri Keuangan RI dan

Direktur Utama PPA menandatangani Perjanjian Pengelolaan Aset tanggal

24 Maret 2004 untuk jangka waktu lima tahun dan untuk selanjutnya dapat

diperpanjang masing-masing untuk jangka waktu satu tahunan.86

86
http://ptppa.com diakses pada tanggal 28 Maret 2020.

96
Melalui Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2008 tanggal 4

September 2008, Pemerintah memperluas maksud dan tujuan PPA dengan

menambah ruang lingkup tugas baru PPA menjadi sebagai berikut:

a. pengelolaan aset eks BPPN;

b. restrukturisasi dan/atau revitalisasi Badan Usaha Milik Negara;

c. kegiatan investasi;

d. kegiatan pengelolaan aset Badan Usaha Milik Negara.

Pemegang Saham kemudian menindaklanjuti perluasan tersebut

dengan menerbitkan keputusan Pemegang Saham Nomor: KEP-

164/MBU/2008 tanggal 5 September 2008 yang mengubah antara lain masa

tugas PPA dari lima tahun menjadi tidak terbatas (going concern).

a. Visi, Misi dan Tujuan Instansi

Visi

Sebagai perusahaan pengelola aset terdepan yang memimpin dalam

setiap bidang usahanya.

Misi

Memberikan kontribusi signifikan dan berkelanjutan kepada pemangku

kepentingan melalui:

1) kegiatan pengelola aset dan investasi yang bertumbuh dan

memberikan tingkat pengembalian yang optimal dengan pendanaan

yang fleksibel dan kompetitif serta kerja sama dengan partner

strategis;

97
2) peran sebagai katalis dalam upaya meningkatkan nilai dan/atau

menyehatkan perusahaan/BUMN agar tumbuh secara

berkesinambungan;

3) dukungan sumber daya manusia yang kompeten, profesional dan

berintegritas tinggi;

4) Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

b. Tujuan Instansi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2008 tanggal 4

September 2008, maksud dan tujuan PPA adalah:

1) pengelolaan Aset Negara yang berasal dari BPPN setelah

pengakhiran tugas dan pembubaran BPPN, untuk dan atas nama

Menteri Keuangan;

2) restrukturisasi dan/atau Revitalisasi Badan Usaha Milik Negara

(BUMN);

3) kegiatan Investasi;

4) kegiatan Pengelolaan Aset BUMN

c. Nilai-nilai Perusahaan

1) Courage. Berani mengambil inisiatif dalam melakukan inovasi;

2) Integrity. Selalu menerapkan standar etika yang tinggi dan

memenuhi setiap komitmen;

3) Learning and Professionalis. Selalu belajar dan menyelesaikan

pekerjaan berdasarkan kompetensi dengan penuh rasa tanggung

jawab;

98
4) Prudence. Menerapkan sikap kehati-hatian yang tinggi dengan

memperhatikan pengelolaan risiko yang terukur dan menjalin usaha

dengan itikad baik;

5) Teamwork. Mengutamakan teamwork dan mendukung kerjasama

yang erat di seluruh unit kerja untuk mencapai efisiensi dan

efektivitas operasi perusahaan;

6) Meritocracy. Pengakuan kontribusi dan kinerja yang adil dan

obyektif;

7) Trust and Respect. Menjaga kepercayaan dan memperlakukan orang

lain seperti kita ingin orang lain tersebut memperlakukan kita.

d. Landasan Pengelolaan

Sebagai perusahaan yang mengemban tugas khusus dalam

pengelolaan aset untuk mencapai nilai yang optimal, PPA selain

memperhatikan lingkungan pasar juga senantiasa melandasi kegiatannya

dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu,

sebagai sebuah perusahaan BUMN (Persero), di dalam melaksanakan

tugasnya selalu berpegang teguh dan mengacu pada Undang-undang

Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Pemerintah dan ketentuan-

ketentuan terkait lainnya serta selalu mengedepankan prinsip – prinsip

tata kelola perusahaan yang baik.

Untuk pengelolaan aset Negara eks BPPN, kegiatan PPA dilandasi

oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.06/2009 tentang

Pengelolaan Aset Yang Berasal Dari Badan Penyehatan Perbankan

Nasional Oleh PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang diubah

99
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.01/2009 tentang

Perubahan Atas Peraturan enteri Keuangan Nomor 92/PMK.06/2009

tentang Pengelolaan Aset Yang Berasal Dari Badan Penyehatan

Perbankan Nasional Oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).

Dalam pelaksanaan restrukturisasi dan/atau revitalisasi BUMN,

alur proses pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Menteri Negara

BUMN Nomor PER-01/MBU/2009 tentang Pedoman Restrukturisasi dan

Revitalisasi Badan Usaha Milik Negara Oleh Perusahaan Perseroan

(Persero) PT Perusahaan Pengelola Aset yang telah diubah dengan PER-

05/MBU/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Badan

Usaha Milik NegaraNomor PER-01/MBU/2009 tentang Pedoman

Restrukturisasi Dan Revitalisasi Badan Usaha Milik Negara Oleh

Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Pengelola Aset.

e. Tata Kelola Perusahaan

Sejak awal berdirinya, sudah merupakan komitmen PPA untuk

menerapkan Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik secara

menyeluruh dan konsisten dalam pelaksanaan tugas dan tanggung–

jawabnya.

Komitmen PPA membentuk etika perusahaan tercermin dari sikap

dan cara seluruh jajarannya dalam melaksanakan tugas, tanggung-jawab,

dan kepercayaan yang diberikan oleh para Pemangku Kepentingan.

Penerapan nilai-nilai etika perusahaan ini menjadi salah satu faktor

100
penentu keberhasilan PPA di dalam menjalankan tugas-tugasnya.Dan

dengan memelihara komitmen yang sama, PPA optimistis akan

mempersembahkan kinerja yang lebih baik lagi di masa yang akan

datang.

Wujud Tata Kelola PPA pada hakekatnya terbentuk dari

pelaksanaan tugas, fungsi dan tanggung jawab dari masing-masing organ

perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”),

Dewan Komisaris, dan Direksi. Sesuai Anggaran Dasar Perusahaan,

Direksi bertugas menjalankan segala tindakan yang berkaitan dengan

pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Pelaksanaan tugas

oleh Direksi diawasi oleh Dewan Komisaris, yang sesuai Anggaran

Dasar Perusahaan, mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan

terhadap kebijakan dan jalannya pengurusan serta memberikan nasihat

kepada Direksi. Dewan Komisaris dan Direksi bertanggung-jawab

kepada Pemegang Saham melalui RUPS.

f. Bisnis Yang Dijalani

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2008 tanggal 4

September 2008, maksud dan tujuan PPA adalah:

1) Pengelolaan Aset Eks Bppn

Pengelolaan aset Negara yang berasal dari BPPN meliputi kegiatan:

a) restrukturisasi aset;

b) kerjasama dengan pihak lain dalam rangka peningkatan nilai

aset;

c) penagihan piutang; dan

101
d) penjualan.

g. Business Advisory

Ruang lingkup business advisory di PPA meliputi kegiatan

restrukturisasi dan/atau revitalisasi, konsultasi dan pendampingan teknis

pada BUMN sesuai dengan penugasan dari Menteri BUMN. Tujuan

restrukturisasi dan/atau revitalisasi (“R/R”) adalah untuk meningkatkan

kinerja dan nilai BUMN secara sustainable jangka panjang dengan

memperhatikan aspek komersial dan kesinambungan BUMN tersebut.

Pelaksanaan R/R BUMN dilakukan berdasarkan penetapan oleh

Menteri Negara BUMN setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri

Keuangan dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Negara BUMN

No. 05/MBU/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara

Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2009 Tentang

Pedoman Retrukturisasi dan Revitalisasi Badan Usaha Milik Negara

Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Pengelola Aset

e. Investasi

Kegiatan investasi berupa kegiatan investasi langsung dan tidak

langsung serta investasi dalam bentuk instrumen surat berharga termasuk

kuasi ekuitas. Jenis kegiatan investasi yang dilakukan PPA antara lain

adalah sebagai berikut:

1) investasi pada saham;

2) investasi pada obligasi; dan

3) penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka.

102
Kegiatan tersebut bertujuan untuk:

1) mengoptimalkan Pengelolaan Dana;

2) mendukung kegiatan Restrukturisasi/Revitalisasi BUMN oleh PPA.

3) Untuk kegiatan investasi pada saham dan obligasi, pelaksanaannya

dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, dengan

jumlah dana dan waktu yang terukur. Dana yang belum digunakan

untuk kegiatan investasi akan di tempatkan didalam bentuk Deposito

Berjangka.

4) Kegiatan investasi juga dilakukan untuk mendukung kegiatan R/R

BUMN berupa pemberian pinjaman dana talangan kepada BUMN

BUMN yang telah memperoleh dana talangan dari PPA adalah PT

Industri Sandang Nusantara dan PT Kertas Kraft Aceh.

B. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan

Kepailitan Terhadap PT. Batam Island Marina

Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

terhadap PT. Batam Island Marina selaku Termohon diajukan oleh PT. Boon

Meng Enginering Indonesia selaku Pemuhon PKPU I dan PT. Pratama Widya

selaku Pemohon II pada tanggal 3 September 2018 kepada Pengadilan Niaga

pada Pengadilan Negeri Medan di bawah register perkara Nomor: 16/Pdt.Sus-

PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.

103
Dalil-dalil permohonan PKPU terhadap PT. Batam Island Marina pada

pokoknya adalah sebagai berikut:87

1. Pemohon I PKPU (PT. Boon Meng Engineering Indonesia)

 Termohon PKPU memiliki hutang yang telah jatuh tempo terhadap

Pemohon PKPU I sebesar Rp. 1.599.082.300,- (satu milyar lima

ratus sembilan puluh sembilan juta delapan puluh dua ribu tiga

ratus rupiah);

 Hutang tersebut terbit dari sewa alat kerja berupa engine generator

500 Kva yang disepakati antara Pemohon I PKPU dengan

Termohon PKPU berdasarkan Rental Agreement 00508 tanggal 18

Desember 2015, dan engine generator 300 Kva berdasarkan Rental

Agreement nomor 00524 tanggal 30 Desember 2015;

 Adapun masing-masing perjanjian sewa (rental agrrement)

disepakati bahwa masing-masing dan tarif sewa kedua mesin

generator tersebut adalah berdasarkan hitungan jam pemakaian

yang tercatat oleh operator, serta waktu standby yakni kondisi di

mana mesin masih dalam penguasaan Termohon PKPU dan belum

dikembalikan (walaupun tidak digunakan) sebagaimana ketentuan

yang disepakati dalam rental agreement, yang setiap bulan

ditagihkan kepada Termohon PKPU;

 Bahwa selama pemakaian sejak Januari 2016 hingga permohonan

ini diajukan, Termohon PKPU telah menggunakan serta menguasai

dalam status standby mesin generator dari Pemohon I PKPU,

87
Putusan, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan, Nomor: 16/Pdt.Sus-
PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.

104
sehingga atas status pemakaian dan status standby tersebut

Termohon PKPU telah menerima tagihan dalam bentuk Invoice

dari Pemohon PKPU tercatat sejak Januari 2016 sampai dengan

Agustus 2018 total keseluruhan senilai Rp. 1.599.082.300,- (satu

milyar lima ratus sembilan puluh sembilan juta delapan puluh dua

ribu tiga ratus rupiah), yang seluruh tagihan tersebut telah jatuh

tempo, namun Termohon PKPU belum juga melaksanakan

pembayaran hingga saat ini.

2. Pemohon II PKPU (PT. Pratama Widya)

 Bahwa Termohon PKPU memiliki hutang yang telah jatuh tempo

kepada Pemohon II PKPU senilai total RP. 121.480.667,- (seratus

dua puluh satu juta empat ratus delapan puluh ribu enam ratus

enam puluh tujuh rupiah) yang timbul dari Surat Perintah Kerja

nomor 031/BIM-SPK/F1/X/2015 tanggal 05 Oktober 2015 untuk

Soil Investigation Corallium Boardwalk di mana Termohon PKPU

sebagai pemberi kerja sedangkan Pemohon PKPU II bertindak

sebagai penerima kerja;

 Bahwa atas pemberian perintah kerja tersebut, Pemohon II PKPU

telah melaksanakan perkerjaan dan melakukan serah terima hasil

kerja dengan baik dibuktikan dengan adanya penandatangan Berita

Acara Serah Terima Pekerjaan Lapangan tanggal 02 Desember

2015;

 Bahwa atas pelaksanaan kerja tersebut, Pemohon II PKPU telah

menerbitkan tagihan dalam bentuk invoice nomor INV-2016/PW-

105
BTM/I/001 dan adanya denda keterlambatan bayar sebesar Rp 1%

(satu perseratus) setiap bulan yang terakumulasi sebesar Rp.

10.200.667,- sepuluh juta dua ratus ribu enam ratus enam puluh

tujuh rupiah) namun hingga saat ini belum juga dibayar oleh

Termohon PKPU.

3. Bahwa selain hutang terhadap Para Pemohon PKPU, ternyata Termohon

PKPU pula memiliki hutang yang telah jatuh tempo dari para kreditor

lain, yakni:

a. PT. Widya Putra Pertama

b. PT. Multi Sistem

c. Serta beberapa kreditor lain yang tergabung dalam Forum Kreditur

dan akan dibuktikan dalam persidangan;

4. Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diterangkan dalam permohonan

ini, maka Termohon PKPU secara nyata telah memiliki kewajiban berupa

utang yang telah jatuh tempo dan belum dibayar terhadap Para Pemohon

PKPU dan para kreditor lain akan tetapi Termohon PKPU tetap tidak

melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya walaupun telah

dilakukan tagihan dan teguran; hal yang demikian menunjukkan dan

memberikan keyakinan bahwa Termohon PKPU selaku debitor tidak

dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo

pembayaran, maka kiranya berdasarkan ketentuan Pasal 222 ayat (3) UU

No. 37 Tahun 2004 cukup beralasan permohonan ini untuk dikabulkan;

5. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 225 ayat (3) dan guna memastikan

pelaksanaan proses PKPU ini berjalan sebagaimana mestinya, maka

106
dengan ini para Pemohon PKPU mengusulkan agar Pengadilan Niaga

pada Pengadilan Negeri Medan mengangkat:

o Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM yakni pengurus yang terdaftar

di Kementrian Hukum dan HAM, beralamat kantor di Jl. Setia Budi

Business Point Blik BB No. 7, Medan, sebagai pengurus dalam hal

permohonan dikabulkan.

6. Bahwa dalam hal pemberian PKPU sementara terhadap Termohon PKPU

tidak dapat dilanjutkan, menjadi PKPU tetap, dan/atau dalam hal usulan

perdamaian yang diajukan Termohon PKPU ditolak sehingga

menyebabkan Termohon PKPU dinyatakan pailit dengan segala

konsekuensi hukumnya, maka Para pemohon PKPU mengusulkan agar

Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan, untuk

mengangkat:

o Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM yakni pengurus yang terdaftar

di Kementrian Hukum dan HAM, beralamat kantor di Jl. Setia Budi

Business Point Blik BB No. 7, Medan, sebagai kurator yang akan

melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

7. Bahwa atas usulan penunjukkan pengurus dan/atau kurator tersebut

sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 225 ayat (3) jo. Pasal 234 ayat

(1), maka dengan ini pula kami lampirkan bukti konfirmasi tidak adanya

konflik kepentingan, serta tidak sedang menangani lebih dari 3 (tiga)

perkara kepailitan.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas maka Para Pemohon PKPU

dengan ini memohon agar Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

107
Medan melalui Majelis Hakim pemeriksa perkara ini berkenan untuk

menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para pemohon PKPU untuk

seluruhnya;

2. Menyatakan memberi PKPU sementara terhadap Termohon PKPU

dengan segala akibat hukumnya;

3. Mengangkat salah seorang hakim yang ditentukan oleh Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Medan selaku hakim pengawas;

4. Mengangkat Bpk. Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM yakni pengurus

yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM, beralamat kantor di Jl.

Setia Budi Business Point Blik BB No. 7, Medan, sebagai pengurus

dalam hal permohonan dikabulkan dan Termohon PKPU diberikan

PKPU sementara, dan/atau mengangkat Bpk. Deni Amsari Purba, SH.,

LLM. Sebagai kurator dalam hal Termohon PKPU dinyatakan pailit;

5. Menghukum Termohon PKPU membayar biaya perkara yang timbul

dalam perkara ini;

Atau bila Majelis Hakim pemeriksa perkara berpendapat lain, mohon

diberikan putusan yang seadil-adilnya.

Atas permohonan PKPU tersebut di atas, Termohon PKPU memberikan

Jawaban yang pada intinya sebagai berikut:

1. Dalam Eksepsi

a. PT. Pratama Widya demi hukum tidak dapat dianggap sebagai pihak

pemohon PKPU karena kuasa yang digunakan Edy Hartono &

108
Warodat Law Firm untuk mewakili PT. Pratama Widya Cacat

Hukum;

b. Tidak terdapat perjanjian sah antara Termohon PKPU dengan

Pemohon I PKPU dan karenanya Termohon PKPU tidak memiliki

utang kepada Pemohon I PKPU;

c. Dalil perjanjian yang digunakan Pemohon I PKPU bukan merupakan

akta otentik dan wajib dibuktikan kekuatan mengikat di Pengadilan

Negeri;

d. Pemohon PKPU II tidak dapat dinilai sebagai kreditor termohon

PKPU dalam perkara aquo karena sebenarnya Pemohon II PKPU

yang telah cidera janji (wanprestasi) kepada Termohon PKPU;

e. PT. Widya Putra Pertama tidak dapat dinilai sebagai kreditor

termohon PKPU dalam perkara aquo karena PT. Widya Putra

Pertama telah terlebih dahulu melakukan cidera janji terhadap

Termohon PKPU;

f. PT. Multi System tidak dapat dinilai sebagai kreditor termohon

PKPU dalam perkara aquo karena berdasarkan putusan PKPU

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan utang tidak

sederhana;

g. Permohonan PKPU dalam perkara aquo tidak dapat dibuktikan

secara sederhana;

h. Permohonan PKPU obscuur libel karena tidak terdapat

ketidaksesuaian dalam dalil pemohon sehingga mengakibatkan

permohonan PKPU menjadi kabur (obscuur libel);

109
i. Perselisihan Termohon PKPU dengan PT. Widya Putra Pertama

harus terlebih dahulu diselesaikan melalui Panitia Perdamaian dan

memilih Forum Penyelesaian Sengketa yaitu Pengadilan Negeri.

2. Dalam Pokok Perkara

a. Pemohon I PKPU tidak memiliki perjanjian dengan Termohon

PKPU;

b. Termohon PKPU tidak memiliki utang kepada Pemohon I PKPU;

c. Pemohon II PKPU telah melakuka cidera janji (wanprestasi) kepada

Termohon PKPU;

d. Pemohon II PKPU tidak memiliki piutang atas Termohon PKPU

karena cidera janji Pemohon II PKPU terhadap Termohon PKPU;

e. Termohon PKPU tidak memiliki utang kepada PT. Widya Putra

Pertama karena PT. Widya Putra Pertama telah cidera janji kepada

Termohon PKPU;

f. Termohon PKPU tidak memiliki utang kepada PT. Multi System

karena PT. Multi System telah cidera janji kepada Termohon PKPU.

Berdasarkan fakta-fakta yang sah, dalil-dalil dan dasar hukum yang telah

diuraikan di atas, maka Termohon PKPU memohon dengan hormat kepada

Yang Mulia majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan

untuk memeriksa, mengadili dan berkenan memutus perkara aquo yang

amarnya berbunyi sebagai berikut ini:

Dalam Eksepsi

110
1. Menerima Eksepsi yang diajukan Termohon PKPU dalam perkara

aquo;

2. Menyatakan Permohonan PKPU yang diajukan oleh Para Pemohon

PKPU dapal perkara aquo tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke

Verklaard);

3. Membebankan seluruh biaya yang timbul dalam perkara aquo

kepada Para pemohon PKPU.

Dalam Pokok Perkara

1. Menolak seluruh Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang untuk seluruhnya;

2. Membebankan seluruh biaya yang timbul dalam perkara aquo

kepada para Pemohon PKPU.

C. Putusan Kepailitan dan Segala Akibat Hukumnya terhadap PT. Batam

Island Marina

Setelah para pihak yang berperkara tersebut di atas yaitu Para Pemohon

PKPU dengan mengajukan permohonannya selanjutnya Termohon PKPU

dengan mengajukan jawabannya, kemudian masing-masing pihak

menyampaikan bukti-bukti tertulis dan kesimpulannya. Maka selanjutnya

Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan yang

memeriksa perkara nomor: 16/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.

memberikan pertimbangan sebagai berikut:

111
Terhadap Eksepsi

Majelis Hakim mempertimbangkan pada Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

maka hukum acara dalam perkara kepailitan dilakukan dengan pemeriksaan

secara sederhana, mengacu pada azas tersebut maka pemeriksaan perkara

menurut hukum acara kepailitan tidak mengenal adanya eksepsi, oleh karena

itu eksepsi Termohon PKPU harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Selain itu, menurut Majelis Hakim materi eksepsi Termohon PKPU adalah

merupakan jawaban mengenai pokok perkara, sehingga oleh karenanya

dipertimbangkan pula bersama-sama dengan pertimbangan pokok perkara

Terhadap Pokok Perkara

Majelis Hakim mempertimbangkan pada Pasal 222 ayat (1) UU Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang yang menyatakan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

dapat diajukan oleh debitor atau kreditor dan sesuai Pasal 1 angka 11 UU

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang bahwa debitor atau kreditor bisa perorangan atau badan

hukum.

Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini

diajukan oleh kreditor berdasarkan ketentuan Pasal 222 ayat (3) UU Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

yang menyebutkan “kreditor yang memperkirakan debitor tidak dapat

melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih,

dapat memohon agar debitor diberi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

112
untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi

tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya”.

Dipertimbangkan pula Pasal 225 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada

pokoknya menyebutkan bahwa permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor

maka pengadilan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak didaftarkannya Surat

Permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU sementara dan menunjuk

Hakim Pengawas serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama

debitor akan mengurus harta debitor.

Oleh karena permohonan Para Pemohon PKPU dalam perkara ini

adalah Badan Hukum dan dalam permohonannya mendalilkan bahwa

Termohon PKPU memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

kepada Para Pemohon PKPU dengan rincian sebagai berikut:

 Terhadap Pemohon I PKPU sebesar Rp. 1.599.082.300,- (satu milyar

lima ratus sembilan puluh sembilan juta delapan puluh dua ribu tiga

ratus rupiah); di mana hutang tersebut terbit dari sewa alat kerja

berupa engine generator 500 Kva yang disepakati antara Pemohon I

PKPU dangan Termohon PKPU berdasarkan Rental Agreement

00508 tanggal 18 Desember 2015, dan engine generator 300 Kva

berdasarkan Rental Agreement nomor 00524 tanggal 30 Desember

2015;

 Terhadap Pemohon II PKPU senilai total Rp. 121.480.667,- (seratus

dua puluh satu juta empat ratus delapan puluh ribu enam ratus senam

puluh enam tujuh rupiah) yang timbul daru Surat Perintah Kerja

113
nomor 031/BIM-SPK/F1/X/2015 tanggal 05 Oktober 2015 untuk

Soil Investigation Corallium Boardwalk di mana Termohon PKPU

sebagai pemberi kerja sedangkan Pemohon II PKPU bertindak

sebagai penerima kerja.

Selain itu, Termohon juga terbukti memiliki utang kepada kreditor

lainnya, yaitu:

 PT. Widya Putra Pertama sejumlah Rp. 15.112.956.232,- (lima belas

milyar seratus dua belas juta sembilan ratus lima puluh enam ribu

dua ratus tiga puluh dua rupiah);

 PT. Multi System sejumlah Rp. 10.638.053.148,- (sepuluh milyar

enam ratus tiga puluh delapan juta lima puluh tiga ribu seratus empat

puluh delapan rupiah);

 CV. Atlantia Karunia Selaras sejumlah Rp. 2.396.015.907,85 (dua

milyar tiga ratus sembilan puluh enam juta lima belas ribu sembilan

ratus tujuh rupiah delapan puluh lima sen);

 PT. Luxindo Perkasa sejumlah Rp. 188.908.830,- (seratus delapan

puluh delapan juta sembilan ratus delapan ribu delapan ratus tiga

puluh rupiah)

Untuk dikabulkannya permohonan PKPU, UU Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

mensyaratkan permohonan tersebut harus memenuhi ketentuan Pasal 222 aya

UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (2) jo. Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang syarat-

114
syaratnya adalah sebaga UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utangi berikut:

1. Debitor memiliki lebih dari satu kreditor;

Majelis Hakim setelah memperhatikan bukti-bukti surat, menilai antara

Para Pemohon PKPU maupun kreditor lainnya dengan Termohon PKPU

mempunyai hubungan pekerjaan (hubungan hukum), di mana Termohon

PKPU mempunyai hutang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Sedangkan dalil-dalil bantahan Termohon PKPU sudah tidak relevan dan

dapat dipergunakan dalam rapat verifikasi pencocokan hutang.

Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa Termohon PKPU

selaku debitor memiliki lebih dari satu kreditor telah terbukti.

2. Kreditor memperkirakan debitor tidak akan melanjutkan membayar

utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Majelis Hakim setelah memperhatikan bukti-bukti surat berupa

invoice/tagihan beberapa kali baik dari Para Pemohon PKPU maupun

kreditur lainnya terhadap Termohon PKPU selaku debitor agar

memenuhi kewajibannya, namun tidak pernah dipenuhi oleh Termohon

PKPU. Oleh karena Termohon PKPU tidak pernah memenuhi

kewajibannya untuk membayar hutang kepada Para Pemohon PKPU

maupun kepada kreditor lainnya, sehingga dengan demikian telah

diperkirakan Termohon PKPU tidak dapat melanjutkan membayar utang-

utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Terbuktinya 2 (dua) syarat tersebut di atas dan dengan memperhatikan

Pasal 222 ayat (1) dan (3), Pasal 224 ayat (1) dan (3), Pasal 225 ayat (3) dan

115
(4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Majelis Hakim memutus permohonan PKPU yang

diucapkan pada tanggal 18 Oktober 20198 dengan amar putusannya yang

berbunyi:

MENGADILI
DALAM EKSEPSI
- Menolak eksepsi Termohon seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) yang diajukan oleh Para Pemohon;
2. Menyatakan Termohon yaitu PT. Batam Island Marina, suatu perseroan
terbatas (badan hukum) yang didirikan menurut hukum Negara Republik
Indonesia, berkedudukan di IBN Executive Longe, Sekupang Ferry
Terminal Jl. RE. Martadinata, Sekupang, Kota Batam Propinsi Kepulauan
Riau, dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Sementara untuk paling lama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak
putusan diucapkan;
3. Menunjuk Sdra. Masrul, SH., MH. Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri
Medan sebagai Hakim Pengawas dalam proses Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU);
4. Mengangkat Bpk. Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM yakni pengurus
yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM, beralamat kantor di Jl.
Setia Budi Business Point Blik BB No. 7, Medan, sebagai pengurus dalam
hal permohonan dikabulkan dan Termohon PKPU diberikan PKPU
sementara, dan/atau mengangkat Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM.
Sebagai kurator dalam hal Termohon PKPU dinyatakan pailit;
5. Menetapkan bahwa sidang permusyawaratan Majelis Hakim tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) ini akan
dilaksanakan pada hari: Kamis, tanggal 6 Desember 2018, pukul 09.00
WIB bertempat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan
Jalan Pengadilan Nomor 8, Kota Medan;
6. Memerintahkan kepada Pengurus untuk memanggil Termohon Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau debitor dan para Kreditor
yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir agar datang pada
hari sidang yang ditetapkan;
7. Menetapkan biaya pengurusan dan imbalan jasa bagi pengurus akan
ditetapkan kemudian setelah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
berakhir;
8. Membebankan biaya perkara permohonan PKPUS kepada Termohon
PKPU sejumlah Rp. 4.981.000,- (empat juta sembilan ratus delapan puluh
satu ribu rupiah).

116
Dalam Sidang Permusyawaratan Majelis Hakim tentang Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara yang dilaksanakan pada hari:

Kamis, tanggal 6 Desember 2018, PT. Batam Island Marina selaku debitor

mengajukan perpanjangan waktu untuk menjadi Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) Tetap. Majelis Hakim mengabulkan permohonan

debitor tersebut, dengan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:

1. Mengabulkan Permohonan Perpanjangan waktu yang diajukan oleh


debitor melalui Hakim Pengawas;
2. Menyatakan Termohon yaitu PT. Batam Island Marina, suatu perseroan
terbatas (badan hukum) yang didirikan menurut hukum Negara Republik
Indonesia, berkedudukan di IBN Executive Longe, Sekupang Ferry
Terminal Jl. RE. Martadinata, Sekupang, Kota Batam Propinsi Kepulauan
Riau, dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Tetap untuk paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak putusan
diucapkan;
3. Menunjuk Sdra. Masrul, SH., MH. Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri
Medan sebagai Hakim Pengawas dalam proses Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU);
4. Mengangkat Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM yakni pengurus yang
terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM, beralamat kantor di Jl. Setia
Budi Business Point Blik BB No. 7, Medan, sebagai pengurus dalam hal
permohonan dikabulkan dan Termohon PKPU diberikan PKPU sementara
dan/atau mengangkat Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM. Sebagai
kurator dalam hal Termohon PKPU dinyatakan pailit;
5. Menetapkan bahwa sidang permusyawaratan Majelis Hakim tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap (PKPUT) ini akan
dilaksanakan pada hari: Senin, tanggal 14 Februari 2019, pukul 09.00
WIB bertempat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan
Jalan Pengadilan Nomor 8, Kota Medan;
6. Memerintahkan kepada Pengurus untuk memanggil Termohon Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau debitor dan para Kreditor
yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir agar datang pada
hari sidang yang ditetapkan;
7. Menetapkan biaya pengurusan dan imbalan jasa bagi pengurus akan
ditetapkan kemudian setelah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
berakhir;
8. Membebankan biaya perkara permohonan PKPUT akan ditetapkan
kemudian setelah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berakhir.

117
Pengurus telah melaksanakan rapat-rapat kreditor yang dipimpin oleh

Hakim Pengawas dan memberikan laporan tertanggal 8 Februari 2019, sebagai

berikut:

1. Bahwa sampai dilaksanakannya agenda Rapat Pembahasan Perdamaian

pada tanggal 3 Desember 2018, telah terverifikasi para kreditur

sebagaimana tercantum dalam Daftar Piutang Tetap;

2. Bahwa telah dan dilakukan Rapat Kreditor tanggal 28 Januari 2019 untuk

membicarakan pembahasan perdamaian dan sebagian kreditor tidak ingin

memperpanjang PKPU Tetap, karena mereka berpendapat bahwa debitor

tidak sungguh-sungguh memiliki investor yang benar-benar menjalankan

pekerjaan due diligent pada Rapat Kreditor tanggal 28 Januari 2019,

investor tidak hadir sehingga beberapa kreditor berkeinginan untuk

melakukan voting untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang PKPU

Tetap. Pengurus meminta agar tidak melakukan voting tetapi memberi

kesempatan kembali kepada debitor untuk negosiasi kepada kreditor

separatis sampai pada tanggal 8 Februari 2019;

3. Bahwa pada Rapat Kreditor pada hari Jumat tanggal 8 Februari 2019

diketahui jumlah hutang:

a. Kreditor Separatis sebanyak 3 (tiga) kreditor dengan jumlah tagihan

sebesar Rp. 337.316.099.878.77,- (tiga ratus tiga puluh tujuh milyar

tiga ratus enam belas juta sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus

tujuh puluh delapan rupiah tujuh puluh tujuh sen)

b. Krditor Konkuren sebanyak 200 (dua ratus) kreditor dengan jumlah

tagihan sebesar Rp. 824.265.602.218.12,- (delapan ratus dua puluh

118
empat milyar dua ratus enam puluh lima juta enam ratus dua ribu dua

ratus delapan belas rupiah dua belas sen);

4. Bahwa terhadap akan berakhirnya perpanjangan PKPU Tetap yang I

(Pertama) pada hari senin tanggal 11 Februari 2019 maka pada Rapat

Kreditor pada hari jumat tanggal 8 Februari 2019 debitor melalui

menyampaikan bahwa debitor PT. Batam Island Marina (dalam PKPU)

Tetap telah menyampaikan permohonan perpanjangan jangka waktu

tambahan 90 (sembilan puluh) hari atas proses permohonan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang melalui surat No. Ref: 92/FKNK/I/2019,

tertanggal 25 Januari 2019;

5. Bahwa terhadap surat yang disampaikan debitor kepada Majelis Hakim

pada Rapat Kreditor pada hari Jumat tanggal 8 Februari 2019 diadakan

Rapat Kreditor dengan agenda Pemungutan Suara / Voting perpanjangan

PKPU Tetap yang ke II (dua) yang akan berakhir pada hari Senin tanggal

11 Februari 2019. Rapat dipimpin oleh Hakim Pengawas dan dibantu oleh

Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Pengurus, masing-masing Kreditor

Separatis diwakili oleh Kuasa sah dan Kreditor Konkuren diwakili oleh

Kuasa sah. Kreditor Separatis PT. Timur Properti Investindo, PT. Bank

tabungan Negara (Persero) Tbk., tidak menyetujui perpanjangan PKPU

Tetap PT. Batam Island marina (dalam PKPU);

Pasal 229 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan:

a. Pesetujuan lebih dari ½ (satu pedua) jumlah kreditor konkuren

yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili

119
yang paling tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari

debitor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut;

dan

b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang

piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, yang hadir dan

mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh

tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut;

Tehadap hasil Pemungutan Suara/Voting Kreditor Konkuren:

Terhadap kreditor konkuren dengan jumlah kehadiran adalah 192 kreditor

telah melakukan pemungutan suara sebanyak 182 kreditor konkuren setuju

untuk perpanjangan PKPU Tetap, dengan hak suara sebanyak 73,471 atau

sebesar 89,13%. Sementara kreditor konkuren yang tidak setuju sebanyak

10 kreditor dengan total hak suara 8,956 atau sebesar 10,87%;

Tehadap hasil Pemungutan Suara/Voting Kreditor Separatis:

Terhadap kreditor separatis dengan jumlah suara kehadiran adalah 3

kreditor telah melakukan pemungutan suara sebanyak 2 kreditor separatis

tidak setuju untuk perpanjangan PKPU Tetap, dengan hak suara sebanyak

33,567 atau sebesar 1 kreditur dengan total hak suara 165 atau 0,49%.

6. Bahwa terhadap hasil pemungutan suara tersebut di atas dengan ini kami

Pengurus PT. Batam Island Marina (dalam PKPU) Tetap menyampaikan

kepada Yth. Hakim Pengawas untuk dapat meneruskannya kepada Majelis

120
Hakim Pemutus guna memberitahukan bahwa Kreditor Separatis menolak

memberikan perpanjangan PKPU Tetap terhadap PT. Batam Island Marina

(dalam PKPU).

Atas dasar tersebut di atas, maka Hakim Pengawas memberikan

laporannya dengan mengemukakan dan merekomendasikannya kepada Majelis

Hakim Pemutus pada tanggal 11 Februari 2019

Dalam persidangan permusyawaratan Majelis Hakim tanggal 14 Februari

2019, setelah mendengar para pihak atas laporan Pengurus dan Hakim Pengawas

disertai keterangan dari kreditor konkuren yang setuju perpanjangan PKPU Tetap

yang menyatakan bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

yang berbunyi: “yang berhak untuk menentukan apakah kepada debitor akan

diberikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tetap adalah kreditur

kongkuren, sedangkan pengadilan hanya berwenang menetapkannya berdasarkan

persetujuan kreditur konkuren”.

Terhadap rekomendasi Pengurus dan Hakim Pengawas tersebut dikaitkan

dengan alasan yang dikemukakan oleh debitor konkuren yang setuju untuk

diberikan lagi perpanjangan PKPU Tetap yang kedua, maka Majelis Hakim

sebelum memberikan putusan akhir, memberikan pertimbangan setelah

mendengar Laporan Hakim Pengawas yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa sampai dilaksanakannya agenda Rapat Verifikasi Pajak dan

Pencocokan Piutang pada hari Senin, tanggal 26 November 2018, dan

setelah melalui bantahan dari debitor terhadap piutang para kreditor, disertai

dengan Penetapan Daftar Tagihan dari Hakim Pengawas No.

121
2/HP/16/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn. tanggal 3 Desember 2018,

telah terverifikasi para kreditor dalam Daftar Piutang Tetap sebagai berikut:

a. Kreditor Konkuren sebanyak 200 (dua ratus) kreditor dengan jumlah

tagihan sebesar Rp. 824.265.602.218.12,- (delapan ratus dua puluh

empat milyar dua ratus enam puluh lima juta enam ratus dua ribu dua

ratus delapan belas rupiah dua belas sen);

b. Kreditor Separatis sebanyak 3 (tiga) kreditor dengan jumlah tagihan

sebesar Rp. 337.316.099.878.77,- (tiga ratus tiga puluh tujuh milyar tiga

ratus enam belas juta sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tujuh

puluh delapan rupiah tujuh puluh tujuh sen)

2. Bahwa pada Rapat Kreditur Pembahasan Rencana Perdamaian tanggal 3

Desember 2018, debitor belum mengajukan proposal perdamaian, akan

tetapi telah memohon perpanjangan PKPU Tetap dan seluruh kreditor secara

aklamasi telah memberikan persetujuan untuk memperpanjang PKPU

Sementara menjadi PKPU Tetap. Selanjutnya pada Rapat Permusyawaratan

Hakim tertanggal 6 Desember 2018, Majelis Hakim telah memperpanjang

PKPU Sementara menjadi PKPU Tetap selama dua bulan dan berakhir

tanggal 11 Februari 2019;

3. Pada Rapat Kreditor Pembahasan Perdamaian pada tanggal 28 januari 2018,

debitor belum mengajukan Proposal Perdamaian kepada para kreditornya

karena masih menunggu proses due diligent dari investor debitor guna

memastikan proses investasi pada proyek debitor. Sehingga pada saat sidang

tersebut, debitor meminta adanya perpanjangan waktu PKPU Tetap,

selanjutnya Pengurus telah meminta persetujuan dari para kreditor, akan

122
tetapi beberapa kreditor tidak menyetujui adanya perpanjangan PKPU Tetap

dan meminta dilakukan pemungutan suara. Alasan dari beberapa kreditor

adalah bahwa debitor tidak sungguh-sungguh mendapatkan investor karena

tidak ada laporan secara terperinci dari proses due diligent tersebut dan

meragukan terhadap kelayakan investor dimaksud. Namun demikian

Pengurus telah meminta agar diberikan kesempatan bagi kreditor untuk

melakukan pertemuan agar perpanjangan yang diajukan dapat disetujui

secara aklamasi sebelum tanggal 11 Februari 2018, Hakim Pengawas

menyetujui usulan tersebut sehingga perlu diadakan Rapat Kreditor kembali

pada tanggal 8 Februari 2019 terhadap permohonan perpanjangan PKPU

yang diusulkan oleh debitor;

4. Pada Rapat Kreditor tanggal 8 Februari 2019, para kreditor tidak secara

aklamasi setuju untuk memberikan perpanjangan PKPU Tetap kepada

debitur. Sebagaian kreditur setuju untuk memberikan perpanjangan PKPU

Tetap, akan tetapi beberapa kreditor tidak setuju untuk memberikan

perpanjangan PKPU Tetap, segingga Hakim Pengawas telah memberikan

penetapan dan meminta kepada Pengurus agar dilakukan pemungutan suara

sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 229 ayat (1) UU Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang;

5. Pengurus telah meminta para krediturnya melakukan pemungutan suara

(voting) dengan hasil sebagai berikut:

a. Terhadap kreditor konkuren dengan jumlah kehadiran adalah 192

kreditor telah melakukan pemungutan suara sebanyak 182 kreditor

123
konkuren setuju untuk perpanjangan PKPU Tetap, dengan hak suara

sebanyak 73,471 atau sebesar 89,13%. Sementara kreditor konkuren

yang tidak setuju sebanyak 10 kreditor dengan total hak suara 8,956

atau sebesar 10,87%;

b. Terhadap kreditor separatis dengan jumlah suara kehadiran adalah 3

kreditor telah melakukan pemungutan suara sebanyak 2 kreditor

separatis tidak setuju untuk perpanjangan PKPU Tetap, dengan hak

suara sebanyak 33,567 atau sebesar 1 kreditur dengan total hak suara

165 atau 0,49%.

Berdasarkan Pasal 229 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “pemberian

penundaan kewajiban pembayaran utang tetap berikut perpanjangannya ditetapkan

oleh pengadilan berdasarkan:

a. Pesetujuan lebih dari ½ (satu pedua) jumlah kreditor konkuren yang

haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili yang paling

tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari debitor konkuren atau

kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan

b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya

dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak

agunan atas kebendaan lainnya, yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3

(dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir

dalam sidang tersebut;

Hasil pemungutan suara pada kreditur separatis tidak memenuhi

kualifikasi Pasal 229 ayat (1), karena sebanyak lebih dari ½ (satu perdua) kreditur

atau sebanyak 2 dari 3 kreditor yang hadir yang mewakili lebih dari 2/3 (dua

124
pertiga) atau sebesar 99,51 % dari seluruh tagihan telah menyatakan tidak setuju

terhadap perpanjangan PKPU Tetap.

Berdasarkan Pasal 230 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa:

“apabila jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara

berakhir, karena kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan kewajiban

pembayaran utang tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetap sampai batas

waktu sebagaimana dalam Pasal 228 ayat (6) belum tercapai persetujuan terhadap

rencana perdamaian, pengurus pada hari terakhirnya waktu tersebut wajib

memberitahukan hal itu melalui Hakim Pengawas kepada Pengadilan yang harus

menyatakan debitor pailit pada hari berikutnya”.

Rekomendasi Hakim Pengawas tanggal 8 Februari 2019 kepada majelis

pemutus berkaitan dengan uraian tersebut di atas yang menyatakan bahwa hasil

pemungutan suara tidak memenuhi ketentuan Pasal 229 ayat (1) untuk

dilakukannya perpanjangan PKPU Tetap. Sehingga hasil pemungutan suara

memiliki konsekuensi sebagaimana ketentuan Pasal 230 ayat (1) UU Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kreditor dan debitor telah diberikan kesempatan untuk mempertahankan

hak-haknya dalam proses PKPU sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka

pengadilan sesuai dengan hasil pemungutan suara dari para kredit UU Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

konkuren dan separatis dan sesuai ketentuan Pasal 229 ayat (1) dan Pasal 230 ayat

(1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

125
Pembayaran Utang haruslah menyatakan debitur PT. Batam Island Marina berada

dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya.

Terhadap kreditur konkuren yang setuju memberikan perpanjangan PKPU

Tetap kepada debitor PKPU harus ditolak, karena berdasarkan Pasal 228 ayat (6)

UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang menjelaskan hanya berlaku dari PKPU Sementara untuk

perpanjangan kepada PKPU Tetap, melainkan bukan dari PKPU Tetap untuk

diperpanjang lagi PKPU Tetap yang kedua dan seterusnya, sehingga dengan

demikian, pendapat Majelis Hakim bahwa alasan yang dikemukakan oleh kreditor

konkuren yang setuju untuk memberikan perpanjangan PKPU Tetap kedua

kepada kreditor tidak beralasan hukum dan oleh karenannya ditolak.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, selanjutnya Majelis Hakim

yang memeriksa perkara memberikan putusan yang diucapkan pada tanggal 14

Februari 2019 yang amarnya berbunyi:

1. Menolak permohonan perpanjangan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang Tetap;
2. Menyatakan Termohon/Debitor PT. Batam Island Marina, suatu
Perseroan Terbatas (badan hukum) yang didirikan menurut hukum
Negara Republik Indonesia, berkedudukan di IBN Executive Lounge,
Sekupang Ferry Terminal, Jl. RE. Martadinata, Sekupang, Kota Batam,
Propinsi Kepulauan Riau, berada dalam keadaan pailit dengan segala
akibat hukumnya;
3. Menunjuk saudara: Masrul, SH., MH. Hakim Niaga pada Pengadilan
Negeri Medan sebagai Hakim Pengawas;
4. Mengangkat Bpk. Deni Amsari Purba, SH., LLM Pengurus dan Kurator
yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM RI., beralamat kantor di
Jl. Setia Budi Business Point Blik BB No. 7, Medan, Sebagai kurator
dalam hal Termohon PKPU dinyatakan pailit;
5. Memerintahkan Kurator untuk segera mendaftarkan Putusan Pailit
tersebut tersebut pada Berita Negara Republik Indonesia dan
mengumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) Surat Kabar Surat Kabar
harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas;

126
6. Menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator akan ditetapkan
kemudian setelah Kurator selesai menjalankan tugasnya dan proses
kepailitan berakhir;
7. Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara yang sampai hari
ini ditetapkan sejumlah Rp. 3.581.00,00 (tiga juta lima ratus delapan
puluh satu ribu rupiah).

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

D. Pengalihan Hak Tagih Utang (Cessie) dari PT. Bank Tabungan Negara

kepada PT. Perusahaan Pengelolaan Aset

127
Berkaitan dengan rumusan masalah yaitu mengenai pengalihan

piutang (cessie) kreditor kepada pihak ketiga dari debitor dalam proses PKPU

hukum. Penulis menyoroti bahwa hal ini akan sangat banyak

kemungkinannya ditemui dalam pratik. Terutama kenyataan yang sering

ditemui dalam bisnis perbankan, apabila ada debitor yang mulai mengalami

kesulitan pengembalian fasilitas kredit kepada bank. Memang masih ada

debitor-debitor yang kooperatif dalam upaya menyelesaikan permasalahan

kreditnya. Akan tetapi banyak ditemui debitor telah mulai masuk ke

kolektibilitas dalam perhatian khusus ataupun macet, sulit untuk melakukan

koordinasi dengan bank bahkan ada kemungkinan debitor tersebut

menghilang karena tidak mampu bayar, di sisi lain bank (kreditor)

memerlukan dana agar lancar dalam menjalankan roda bisnisnya.

Apabila dalam kondisi demikian, dengan penuh pertimbangan kreditor

akan mencari jalan dalam penyelesaian kreditnya. Salah satunya dengan

lembaga cessie, apabila ada calon pembeli piutang yang berminat baik itu

orang pribadi ataupun subyek hukum (badan hukum). Calon pembeli piutang

bisa juga selain bank sebagai badan hukum, yaitu orang pribadi. Dasar

kewenangan pengalihan piutang adalah perjanjian kredit sendiri yang dibuat

oleh debitor dengan bank selaku kreditor awal. Di mana perjanjian kredit

tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya

(Pasal 1338 KUH Perdata).

Dalam kasus ini, diawali adanya perjanjian pemberian fasilitas kredit

dan restrukturisasi dari PT. Bank Tabungan Negara (Bank BTN)/Kreditor

yang diberikan kepada PT Batam Island Marina (PT. BIM)/Debitor yang

128
pokoknya sebesar Rp. 243.000.000.000,- (dua ratus empat puluh tiga miliar

Rupiah) untuk pembiayaan proyek Funtasy Island Resort di Kota Batam.

Kredit tersebut juga telah dijamin dengan agunan yang memadai dan telah

diikat dengan hak tanggungan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pada awalnya Sejak kredit direalisasikan sampai dengan Juli 2018,

menurut Achmad Chaerul selaku Corporate Secretary Bank BTN, debitor

atas nama PT. BIM tercatat lancar dalam membayar kewajiban bunganya.

Namun Menurut catatan perusahaan, kredit PT. BIM mulai bermasalah ketika

terjadi penurunan kemampuan keuangan proyek. 88

Lebih lanjut Achmad Chaerul mengatakan Kredit BIM mulai

bermasalah ketika terjadi penurunan kemampuan keuangan proyek.

Penyebabnya, yakni meningkatnya Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek

dan terlambatnya penerimaan dana dari konsumen. Keterlambatan tersebut

terjadi akibat ketidaksesuaian rencana pembangunan unit dan realisasinya di

lapangan.

Ternyata PT. BIM juga memiliki kreditor-kreditor lain, di mana PT.

BIM tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban

pembayarannya, sehingga kreditor-kreditor lainnya yaitu PT. Boon Meng

Engineering Indonesia dan PT. Pratama Widya mengajukan Permohonan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Medan di bawah register perkara Nomor: 16/Pdt.Sus-

PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn., sampai akhirnya Putusan pengadilan

menyatakan PT. Batam Island Marina dalam keadaan pailit.

88
Wawancara dengan Achmad Chaerul selaku Corporate Secretary PT. Bank Tabungan
Negara, Tbk. (Persero), pada tanggal 10 Juli 2020

129
Guna mencari penyelesaian terbaik agar dalam menjalankan bisnisnya

lancar, maka Bank BTN melakukan pengalihan hak tagih utang (cessie) atas

tagihan-tagihannya kepada PT. BIM, yaitu dengan mengalihkan atau menjual

hak tagih utangnya ke PT. Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA).

Pengalihan hak tagih utang (cessie) Bank BTN ke PT. PPA terhadap

PT. BIM dilakukan dengan Akta Notaris pada tanggal 31 Desember 2018

yang dibuat di hadapan Ashoya Ratam, S.H., M.Kn. Notaris yang

berkedudukan di Kota Administrasi Jakarta Selatan, yang notabene

dilaksanakan pada saat proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU) terhadap PT. Batam Island Marina yang diajukan oleh PT. Boon

Meng Engineering Indonesia dan PT. Pratama Widya kepada Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Medan di bawah register perkara Nomor:

16/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.

Pihak dalam Akta Notaris Nomor 115 tersebut yaitu PT. Bank

Tabungan Negara (Persero) selaku Pihak Penjual Piutang dengan PT.

Perusahaan Pengelola Aset (Persero) selaku Pihak Pembeli Piutang yang

menerangkan bahwa Penjual Piutang (Bank BTN) memiliki piutang kepada

PT. Batam Island Marina (PT. BIM) yang berkedudukan di Batam, beralamat

di Kota Batam, Ruko Seraya Mas Center Blok B nomor 1, Seraya, Batu

Ampar yang merupakan Debitor yang timbul berdasarkan:

- Akta Perjanjian Kredit nomor 54 tanggal 23 Desember 2014

dibuat di hadapan Muhammad Toha, S.H. Notaris Pengganti dari

Gamal Wahudin, S.H. Notaris yang berkedudukan di Jakarta yang

telah diubah dengan:

130
- Akta Addendum I Perjanjian Kredit nomor 25 tanggal 29

September 2015;

- Akta Addendum II Perjanjian Kredit nomor 26 tanggal 24

Februari 2017 yang keduanya dibuat di hadapan Gamal Wahudin,

S.H. Notaris yang berkedudukan di Jakarta, dan yang telah diubah

dengan:

- Akta Addendum III Perjanjian Kredit nomor 39 tanggal 28

Februari 2018 yang dibuat di hadapan Rusnaldy, S.H., Notaris

yang berkedudukan di Jakarta.

Bank BTN sebagai Penjual Piutang menjual piutangnya terhadap

Debitor (PT. BIM) yang timbul berdasarkan Perjanjian Kredit yaitu atas

seluruh kewajiban pembayaran Debitor yang telah jatuh tempo, dan PT.

Perusahaan Pengelola Aset sebagai Pembeli Piutang bermaksud untuk

membeli Piutang dari Penjual Piutang. Selanjutnya Para Pihak tersebut

sepakat untuk melaksanakan jual beli piutang ini dengan syarat-syarat sebagai

berikut:

Pasal 1
DEFINISI
Kecuali secara tegas dinyatakan lain, semua istilah yang didefinisikan dalam
Akta Jual Beli ini mempunyai pengertian sebagai berikut:
1. “Akta Pengalihan Piutang” (Cessie) berarti akta yang akan
ditandatangani oleh Penjual Piutang dan Pembeli Piutang
sehubungan dengan pengalihan piutang pada Tanggal Penyelesaian;
2. “Tanggal Penyelesaian” berarti tanggal penandatanganan Akta
pengalihan Piutang (Cessie) oleh Para Pihak;

131
3. “Daftar Dokumen Piutang” berarti rincian dokumen-dokumen yang
menjadi obyek jual beli Piutang sebagaimana dimuat dalam lampiran
akta ini;
4. Judul-judul dari tiap pasal hanya dimaksudkan untuk kemudahan dan
tidak dipergunakan atau dipertimbangkan di dalam penafsiran setiap
pasal atau ayat dari Akta Jual Beli ini;
5. Setiap dan seluruh lampiran Akta Jual Beli ini merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari Akta Jual Beli ini, yang tanpa
dibuat dan ditandatanganinya lampiran-lampiran dimaksud maka
Akta Jual Beli ini tidak akan pernah dibuat dan ditandatangani;
Pasal 2
JUAL BELI
1. Para Pihak setuju bahwa Penjual Piutang dengan ini menjual
kepada Pembeli Piutang dan Pembeli Piutang dengan ini membeli
dari Penjual Piutang semua hak dan kepemilikan dan manfaat atas
Piutang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Semua hak, kepemilikan dan manfaat yang melekat kepada
Piutang akan dialihkan kepada Pembeli Piutang sejak Tanggal
Penyelesaian; dan
b. Hak Penjual Piutang (baik saat ini atau di kemudian hari, baik
yang aktual atau yang tidak pasti) untuk meminta, mengklaim,
menuntut, mendapatkan kembali, menerima dan memberi
tanda terima, manfaat semua pernyataan, janji-janji dan ganti
rugi dari Debitor berdasarkan atau sehubungan dengan
Piutang akan dialihkan kepada Pembeli Piutang.
2. Jumlah Piutang yang dialihkan kepada Pembeli Piutang
berdasarkan Akta Jual Beli ini senilai Rp. 300.669.553.328,77,-
(tiga ratus miliar enam ratus enam puluh sembilan juta lima ratus
lima puluh tiga ribu tiga ratus dua puluh delapan koma tujuh puluh
tujuh Rupiah) berdasarkan pengajuan Klaim/ tagihan terhadap PT.
Batam Island Marina (dalam PKPUS) bulan Nopember 2018 (dua
ribu delapan belas) tanpa tanggal, yang fotokopinya dilekatkan pada
minuta akta ini;
3. Dengan dipenuhinya hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf a pada tanggal penyelesaian, Piutang akan menjadi
beralihkan beserta seluruh hak yang melekat padanya;
4. Penjual Piutang dan Pembeli Piutang sepakat bahwa jual beli
Piutang berdasarkan Akta Jual Beli ini akan dilakukan dengan
harga Rp. 243.000.000.000,- (dua ratus empat puluh tiga miliar
Rupiah) (untuk selanjutnya disebut “Harga pembelian Piutang”;
5. Para Pihak setuju bahwa Pembeli Piutang akan membayar Harga
Pembelian Piutang pada tanggal ditandatanganinya Akta Jual Beli
dan mentransfer dananya pada Rekening Giro Escrow di PT. Bank
Tanbungan Negara (Persero) Tbk Cabang Harmoni nomor 00014-
01-32-000758-3 atas nama PT PPA (persero). Harga pembelian
piutang akan didebet oleh Penjual Piutang pada Tanggal
Penyelesaian berdasarkan kuasa dari Pembeli Piutang,

132
sebagaimana format kuasa yang akan tertuang sebagaimana
Lampiran 2, yang merupakan satu-kesatuan dalam Akta Jual Beli
Pasal 3
PENYELESAIAN DAN PENGALIHAN
1. Untuk memenuhi ketentuan Pasal 613 KUHPerdata, maka Penjual
Piutang dan Pembeli Piutang akan menandatangani Akta
Pengalihan Piutang (Cessie);
2. Tanpa mengesampingkanketentuan Pasal 3.1 di atas, hak
kepemilikan dan manfaat serta risiko-risiko yang mungkin timbul
atas Piutang secara efektif akan berpindah pada Tanggal
Penyelesaian;
3. Segala keuntungan atau kerugian serta risiko-risiko yang mungkin
timbul yang didapat atas piutang, mulai tanggal penyelesaian akan
berpindah kepada dan menjadi milik serta dipikul oleh Pembeli
Piutang.
Pasal 4
PERNYATAAN DAN JAMINAN
1. Penjual Piutang dengan ini menjamin Pembeli Piutang bahwa:
a. Kekuasaan dan Kewenangan
Penjual Piutang (i) mempunyai kewengangan untuk
menandatangani Akta Jual Beli ini, dan (ii) akan
melaksanakan semua tindakan yang wajib dilaksanakan
menurut Akta Jual Beli ini;
b. Kewajiban Yang Mengikat
Penandatangan dan pelaksanaan Akta Jual Beli ini oleh
Penjual Piutang telah memenuhi ketentuan anggaran dasar,
dan pada saat penandatanganannya, Akta Jual Beli ini sah
menurut hukum dan mengikat Penjual Piutang;
c. Tidak ada Pelanggaran
Pelaksanaan transaksi yang dimaksud dalam Akta Jual Beli ini
serta pemenuhan syarat-syarat di dalamnya oleh Penjual
Piutang tidak akan bertentangan dengan: (i) peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau (ii) syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan berdasarkan perjanjian-perjanjian lain
dengan pihak lain dimana Penjual Piutang terikat;
d. Kekuasaan dan Kewenangan untuk menjual Piutang
Penjual Piutang mempunyai kuasa dan wewenang untuk
menjual dan menyerahkan Piutang kepada Pembeli Piutang;
e. Tidak ada Tuntutan Hukum
Sepanjang diketahui oleh Penjual Piutang pada saat
penandatanganan Akta Jual Beli ini, tidak ada tuntutan hukum
yang sedang berjalan antara Penjual Piutang dengan Debitor,
atau tuntutan oleh Instansi Pemerintah yang mempunyai
wewenang hukum ata Piutang, yang: (i) dapat menyebabkan
ketidakabsahan Akta Jual Beli; atau (ii) meminta pengadilan
mengeluarkan putusan yang mungkin berpengaruh terhadap
pelaksanaan kewajiban debitor terhadap Penjual Piutang atau

133
berpengaruh terhadap keabsahan atau tidak dapat
dilaksanakanya Akta Jual Beli ini.
f. Tidak Diperlukannya Persetujuan Instansi Pemerintah
Tidak ada persetujuan dari, atau tindakan lain oleh, atau
pemberitahuan kepada, atau pendaftaran kepada Instansi
Pemerintah yang diperlukan untuk penandatanganan,
penyerahan dan pelaksanaan oleh Penjual Piutang atas Akta
Jual Beli ini.
2. Pembeli Piutang dengan ini menjamin Penjual Piutang bahwa:
a. Kekuasaan dan Kewenangan
Pembeli Piutang (i) mempunyai kewengangan untuk
menandatangani Akta Jual Beli ini, dan (ii) akan
melaksanakan semua tindakan yang wajib dilaksanakan
menurut Akta Jual Beli ini;
b. Kewajiban yang Mengikat
Sesuai ketentuan dan kewenangan Pembeli Piutang,
Penandatangan dan pelaksanaan Akta Jual Beli ini oleh
Pembeli Piutang telah memenuhi ketentuan anggaran dasar,
dan pada saat penandatanganannya sah menurut hukum dan
mengikat Pembeli Piutang;
c. `Tidak ada Pelanggaran
Pelaksanaan transaksi yang dimaksud dalam Akta Jual Beli ini
serta pemenuhan syarat-syarat di dalamnya oleh Pembeli
Piutang tidak akan bertentangan dengan: (i) peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau (ii) syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan berdasarkan perjanjian-perjanjian lain
dengan pihak lain dimana Pembeli Piutang terikat;
d. Kekuasaan dan Kewenagan untuk membeli Piutang
Pembeli Piutang mempunyai kuasa dan wewenang untuk
membeli Piutang dari penjual Piutang;
e. Tidak Diperlukannya persetujuan Instansi Pemerintah
Tidak ada persetujuan dari, atau tindakan lain oleh, atau
pemberitahuan kepada, atau pendaftaran kepada Instansi
Pemerintah yang diperlukan untuk penandatanganan,
penyerahan dan pelaksanaan oleh Pembeli Piutang atas Akta
Jual Beli ini.
3. Jika terdapat pernyataan dan jaminan yang ternyata tidak benar
oleh salah satu Pihak pada saat pernyataan dan jaminan tersebut
diberikan, maka Pihak tersebut berhak meminta secara tertulis
kepada Pihak yang telah memberika pernyataan dan jaminan yang
keliru tersebut untuk memperbaikinya.
Jika dapat diperbaiki, Pihak tersebut wajib memperbaiki pernyataan
yang tidak benar tersebut dalam waktu 10 (sepuluh) hari Kerja sejak
diterimanya pemberitahuan tersebut. Jika hal tersebut diperbaiki,
dalam batas waktu 10 (sepuluh) Hari Kerja, pihak yang
memperbaiki wajin memberikan pemberitahuan tertulis mengenai
perbaikan yang dilakukannya kepada Pihak yang lain, paling lambat
5 (lima) hari kerja sejak perbaikan tersebut dilakukan.

134
Jika pernyataan dan jaminan tersebut tidak dapat diperbaiki, atau,
jika dapat diperbaiki tetapi tidak diperbaiki dalam 10 (sepuluh) Hari
Kerja sejak tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut di atas,
maka Pihak tersbut wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis
kepada Pihak lainnya pada Hari Kerja pertama segera setelah
lewatnya jangka waktu 10 (sepuluh) Hari Kerja tersebut di atas,
bahwa pelanggaran terhadap pernyataan dan jaminan belum
diperbaiki.
Pasal 5
PELEPASAN TANGGUNG JAWAB
Penjual Piutang setuju untuk membebaskan Pembeli Piutang, setiap dari
direktur, staf, karyawan, agen, perwakilan dan kuasa Pembeli Piutang dari
dan terhadap setiap dan semua tindakan, tuntutan, pengaduan,
tanggungjawab, kerugian, biaya, pengeluaran atau tanggungjawab lainnya
yang mungkin dimintakan kepada atau diderita Pembeli Piutang, atau setiap
masing-masing direktur, staf, karyawan, agen, perwakilan atau kuasa
sebagai akibat dari atau sehubungan dengan pernyataan dan jaminan yang
diberikan Penjual Piutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Akta Jual
Beli ini.
Pasal 6
PEMBERITAHUAN
1. Komunikasi Secara Tertulis
Setiap pemberitahuan dan komunikasi sehubungan Akta jual Beli ini
disampaiakan atau dibuat secara tertulis (termasuk melalui faksimili atau
surat elektronik (email) kepada alamat tersebut di bawah atau pada
alamat sebagaimana akan ditentukan dari waktu ke waktu
2. Alamat...dst.
3. Penyampaian
Setiap komunikasi atau dokumen yang dibuat atau diserahkan kepada
suatu pihak sehubungan dengan Akta Jual Beli ini hanya akan berlaku
....dst.
Pasal 7
HUKUM YANG BERLAKU
Akta Jual beli ini tunduk pada dan dilaksanakan sesuai hukum negara
Republik Indonesia.
Pasal 8
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
1. Setiap perselisihan yang timbul antara Para Pihak dalam Akta Jual
Beli ini wajib diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat dalam
waktu 60 (enam puluh) hari kalender sejak penerimaan
pemberitahuan tertulis mengenai perselisihan oleh salah satu pihak
2. Apabila cara musyawarah tidak dapat diselesaikan dalam waktu 60
(enam puluh) hari kalender sejak timbulnya perselisihan atau
perbedaan pendapat yang diberitahukan secara tertulis dari salah
satu pihak kepada pihak lain, maka Para Pihak sepakat
menyelesaikan perselisihan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

135
Dasar pengalihan piutang (cessie) tersebut di atas sangat terkait

dengan suatu perjanjian yang dilakukan oleh pihak Kreditor (Bank BTN) dan

Debitor (PT. BIM), dimana Bank BTN memberikan pinjaman kredit kepada

PT. BIM yang pokoknya sepesar Rp. 243.000.000.000,- (dua ratus empat

puluh tiga milyar Rupiah), sedangkan jumlah piutang yang dialihkan kepada

Pembeli Piutang (PT. PPA) adalah sebesar Rp. 300.669.553.328,77,- (tiga

ratus miliar enam ratus enam puluh sembilan juta lima ratus lima puluh tiga

ribu tiga ratus dua puluh delapan koma tujuh puluh tujuh Rupiah)

berdasarkan Pengajuan Klaim/Tagihan terhadap PT. Batam Island Marina

yang sedang dalam proses PKPU.

Kedudukan dan perlindungan hukum bagi para pihak khususnya

cessionaris (kreditor baru/PT. PPA) dan cessus (debitor/PT. BIM) dalam hal

pemberitahuan setelah dilakukannya penandatangangan akta cessie yang

dibuat notariil sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata. Istilah

teknis hukum yang berkaitan dengan cessie, orang yang menyerahkan tagihan

atas nama (kreditor asal/Bank BTN) disebut cedent, yang menerima

penyerahan (kreditor baru/PT. PPA) adalah cessionaris, sedangkan cessus

adalah debitor, yang mempunyai utang.

Pasal 613 ayat 1 KUH Perdata berbunyi: “Penyerahan piutang-

piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan

dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan yang melimpahkan

hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain.“

136
Pasal 613 ayat 2 KUH Perdata berbunyi :“Penyerahan ini tidak ada

akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan

kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.”

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyerahan dalam

proses cessie adalah penyerahan tagihan atas nama dari cedent ke cessionaris.

Telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tagihan atas nama adalah

tagihan atau piutang yang jelas atas nama kreditornya (dalam hal ini apabila

cessie belum dilakukan maka tagihan atau piutang masih atas nama kreditor

lama). Dalam tagihan atas nama jelas kepada siapa utang tersebut harus

dibayar.

Dalam proses cessie ini, tindakan penyerahan dari Bank BTN tidak

berdiri sendiri, tindakan tersebut selalu merupakan konsekuensi lebih lanjut

dari suatu peristiwa hukum yang mewajibkan orang untuk menyerahkan

sesuatu yaitu adanya kewajiban PT. BIM selaku debitor, dalam hal ini adalah

karena adanya perjanjian pinjaman kredit yang diberikan Bank BTN

(Kreditor) kepada PT. BIM (Debitor). Hubungan hukum yang mewajibkan

adanya penyerahan dari PT. BIM disini disebut sebagai hubungan hukum

obligatoir, yang bisa timbul dari perjanjian maupun dari undang-undang.

Hubungan hukum obligatoir dalam proses cessie termasuk yang timbul dari

perjanjian karena muncul karena diperjanjikan antara para pihak.

Peristiwa yang menjadi dasar penyerahan yang disebut peristiwa

perdata atau rechtstitel adalah peristiwa yang menimbulkan perikatan-

perikatan di antara dua pihak, di mana yang satu berkedudukan sebagai

137
kreditor dan pihak lain berkedudukan sebagai debitor. Jadi peristiwa perdata

(rechtstitel) tersebut adalah hubungan obligatoir yang menjadi dasar cessie.89

Dalam pembahasan ini, rechtstitel atau peristiwa perdata yang

menjadi dasar cessie dikenal dengan nama perjanjian jual beli dan pengalihan

piutang, yaitu perjanjian Jual Beli Piutang dari Bank BTN (kreditor asal) ke

PT. PPA (kreditor baru). Hubungan antara peristiwa perdata (rechtstitel)

tersebut dengan tindakan penyerahannya sendiri (cessie). Apabila dikaitkan

dengan rumusan teori kausal dan teori abstrak, masih banyak perdebatan

KUH Perdata menganut teori kausal ataukah teori abstrak.

Teori kausal hubungannya adalah sebab akibat sebagaimana

disampaikan oleh J. Satrio, maka atas peristiwa cessie ini parameternya

adalah apakah peristiwa perdata yang mendasari tindakan penyerahan

tersebut sah? Apabila peristiwa perdatanya batal atau dibatalkan maka

demikian juga tindakan penyerahannya adalah batal atau dengan kata lain

pihak penerima piutang (kreditor baru) tidak berhak untuk menerima piutang

tersebut.90

Teori kausal dari Pitlo, hubungan antara titel dengan penyerahan

adalah hubungan sebab akibat, di mana penyerahan baru sah, kalau

didasarkan atas titel yang sah Sebagai akibatnya apabila titelnya batal, maka

penyerahan yang didasarkan atasnya juga tidak sah. Dengan adanya syarat

titel yang sah, maka bila titelnya batal, hak atas tagihan yang diserahkan tidak

beralih kepada cessionaris, dengan demikian hak milik atas tagihan yang

bersangkutan masih ada pada cedent.

89
Rachmad Setiawan, J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Cessie, (Jakarta: National
Legal Reform Program, 2010), hlm. 4
90
Ibid. hlm. 14

138
Dalam praktik, disini apabila terjadi perjanjian jual beli dan

pengalihan piutang yang cacat hukum, batal ataupun dibatalkan, maka

penyerahannya juga batal, dan akibatnya si penerima penyerahan (kreditor

baru) tidak menjadi pemilik atas piutang yang dialihkan tersebut.

Sebagai pertimbangan dari pendapat teori abstrak, bahwa penyerahan

harus didasarkan atas adanya kehendak untuk menyerahkan. Kehendak untuk

menyerahkan tersebut tampak pada peristiwa perdata (rechtstitel) nya.

Rechtstitel disini merupakan peristiwa yang berdiri sendiri dengan

penyerahan. Teori abstrak tidak mensyaratkan titel yang sah, hanya

mensyaratkan adanya suatu titel saja.91 Jadi dengan telah dilaksanakannya

perjanjian obligator dalam hal ini penulis contohkan sama yaitu dengan

perjanjian jual beli dan pengalihan piutang, apabila perjanjian tersebut batal

atau dibatalkan maka bisa saja penyerahannya tetap sah. Hal ini tetap harus

mengingat Pasal 584 KUH Perdata tentang cara memperoleh hak milik yang

berbunyi hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan

pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan

pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan

dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata

untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk

berbuat terhadap barang itu.

Penyerahan tersebut harus dilakukan oleh orang yang berhak atas

barang tersebut atau pemilik yang sah. Teori abstrak disini dalam praktik

memberikan perlindungan kepada pembeli terakhir apabila ternyata barang

91
Ibid. hlm. 15-16

139
atau piutang tersebut telah dialihkan lagi kepada pihak pembeli terakhir yang

beritikad baik.

Seperti telah dijelaskan, bahwa dalam peristiwa cessie ada

kemungkinan debitor (cessus) tidak mengetahui bahwa utangnya telah

dialihkan kepada kreditor lain. Dan sesuai bunyi Pasal 613 angka 2 KUH

Perdata: “…tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu

diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya..”,

maka dapat diartikan bahwa cessie yang telah terjadi antara cedent (kreditor

awal) dengan cessionaris (kreditor baru) adalah tidak mempunyai akibat

hukum bagi cessus (debitor) sebelum kepadanya diberitahukan atau disetujui

secara tertulis atau diakuinya. Tidak ada akibat hukum disini artinya cessus

(debitor) tetap menganggap bahwa kreditornya pada saat itu adalah kreditor

awal, dimana dengan ketidaktahuannya itu cessus (debitor) tetap melakukan

pembayaran angsuran atau pengembalian fasilitas kredit kepada cessionaris

(kreditor awal), meskipun anggapan cessus (debitor) tersebut tidak benar

karena senyata-nyatanya piutang telah beralih menjadi milik cessionaris

(kreditor baru).

Disini ada semacam itikad baik atau tidak baik dari cessus (debitor),

dimana apabila cessus (debitor) tidak atau belum mengetahui adanya

pengalihan piutang tersebut ke cessionaris (kreditor baru) dan dengan itikad

baik tetap membayar kewajiban/angsurannya kepada cedent (kreditor awal)

maka tindakannya masih bisa dibenarkan, akan tetapi apabila cessus (debitor)

sebenarnya sudah mengetahui pengalihan piutang tersebut dan tetap

membayar kepada cedent (kreditor awal) maka tindakannya tersebut bisa

140
tidak memperoleh perlindungan hukum dengan dinyatakan pembayarannya

kepada cedent (kreditor awal) tidak sah, dan perlindungan hukum kepada

cessionaris (kreditor baru) adalah tetap berhak menagih atas pembayaran

yang telah dibayarkan kepada cedent (kreditor awal) tersebut.

Dalam pelaksanaan pemberitahuan ini, selain di Pasal 613 KUH

Perdata tidak diatur mengenai tenggat waktu maksimal harus dilakukannya

pemberitahuan tersebut kepada cessus (debitor), juga tidak diatur siapa yang

harus melakukan pemberitahuan kepada cessus (debitor). Apakah pihak

cedent (kreditor awal) selaku yang mengalihkan piutang, ataukah cessionaris

(kreditor baru) selaku penerima atas pengalihan piutang tersebut, ataukah

pihak Notaris sebagai pihak ketiga yang mempunyai kedudukan netral apabila

akta perjanjian jual beli dan pengalihan piutang tersebut dibuat secara notariil.

Apabila yang memberitahukan kepada cessus (debitor) adalah cedent

(kreditor awal) adalah untuk kepentingan agar cessus (debitor) mengetahui

bahwa kreditor yang bersangkutan saat ini adalah sudah bukan lagi cedent

(kreditor awal) lagi, melainkan sudah berpindah menjadi cessionaris (kreditor

baru) dengan konsekuensinya adalah pembayaran angsuran selanjutnya wajib

dibayarkan kepada cessionaris (kreditor baru) beserta jaminan ataupun

dokumen-dokumen perkreditan yang telah diserahkan kepada cessionaris

(kreditor baru), termasuk apabila akan dilakukan pelunasan kredit konfirmasi

diajukan kepada cessionaris (kreditor baru).

Bagaimana apabila yang memberitahukan telah dilaksanakannya

cessie tersebut adalah cessionaris (kreditor baru) kepada cessus (debitor).

Dengan tidak hadirnya cessus (debitor) saat penandatanganan perjanjian jual

141
beli dan pengalihan piutang, tentu saja cessus (debitor) tidak mengetahui

identitas cessionaris (kreditor baru)nya. Wajar dalam hal ini apabila cessus

(debitor) tidak serta merta percaya apabila ada pihak yang mengaku telah

menerima pengalihan piutang atas namanya dengan tanpa ada dokumen yang

melampirinya sama sekali. Langkah perlindungan hukum yang bisa diberikan

kepada cessus adalah dengan meminta asli salinan akta perjanjian jual beli

dan pengalihan piutang tersebut atau berupa fotocopi legalisasi notaris.

Penyerahan piutang yang dilakukan oleh cedent (kreditor awal)

kepada cessionaris (kreditor baru) tidak mengakibatkan lunasnya perjanjian

kredit sebagai perjanjian pokoknya. Dengan tetap berlakunya perjanjian

pokok, maka tetap berlaku pula perjanjian pengikatan jaminannya sebagai

accessoir. Hak dan kewajiban atau prestasi atas perjanjian pokok yang beralih

dari cedent (kreditor awal) kepada cessionaris (kreditor baru), juga ikut

mengalihkan segala hak dan kewajiban dari perjanjian pengikatan

jaminannya.

Apabila suatu piutang yang timbul dari perjanjian kredit dengan

diberikan jaminan hak tanggungan dialihkan dengan perjanjian cessie, maka

segala hak dan kewajiban dari hak tanggungan ikut beralih kepada

cessionaris (kreditor baru).

Hal ini diatur dalam Pasal 16 Undang-undang No.4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah yang menyebutkan berikut:92

92
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. UU Nomor 4 Tahun 1996 LN No. 42 Tahun 1996. TLN
No. 3632, Pasal 16.

142
1. Jika piutang yang dijamin dengan hak tanggungan beralih karena
cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, hak tanggungan
tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru;
2. Beralihnya hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan;
3. Pendaftaran beralihnya hak tanggungan dilakukan oleh Kantor
Pertanahan dengan mencatatnya pada buku-tanah hak tanggungan dan
buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta
menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak tanggungan dan sertifikat
hak atas tanah yang bersangkutan;
4. Tanggal pencatatan pada buku-tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secaralengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya hak
tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh tempo pada hari libur,
catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya;
5. Beralihnya hak tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari
tanggal pencatatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-undang No.4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah tersebut dan dengan memperhatikan penjelasan pasalnya,

maka peralihan hak tanggungan tersebut terjadi karena hukum.

Oleh karena itu peralihan hak tanggungan sebagai accessoir dari

perjanjian pokok, tidak perlu dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah. Pencatatan beralihnya hak tanggungan itupun cukup

dilakukan di Kantor Pertanahan setempat dengan menyertakan akta

pengalihan piutang (cessie)nya sebagai dasar beralihnya suatu piutang kepada

kreditor yang baru (cesionaris).

Dengan melihat uraian-uraian di atas, jelas bahwa pengalihan piutang

(cessie) mengalihkan segala hak, kewajiban serta wewenang dari cedent

(kreditor awal) kepada cesionaris (kreditor baru). Pengalihan piutang ini

mengakibatkan turut beralihnya segala hak, kewajiban dan wewenang

terhadap perjanjian pengikatan jaminannya dalam hal ini hak tanggungan.

143
Apabila hak tanggungan disini dibebankan untuk menjamin hutang

kepada satu-satunya kreditor berdasarkan perjanjian kredit, maka pengalihan

hak tanggungan disini relatif dapat dilakukan dengan mudah dan cepat karena

tidak melibatkan banyak pihak. Akan lebih kompleks apabila jaminan hak

tanggungan tersebut digunakan untuk menjamin fasilitas kredit yang

diberikan oleh lebih dari satu kreditor seperti yang terjadi pada kredit

sindikasi. Jelas karena melibatkan banyak kreditor maka proses peralihan

piutang maupun hak tanggungannya akan lebih rumit dan memakan waktu

yang lebih lama.

Oleh karena itu lembaga cessie, dalam praktik perbankan masih

menjadi salah satu pilihan untuk proses penyelamatan maupun penyelesaian

kredit. Sebagai penerima hak tagih, cessionaris (kreditor baru) dapat dengan

segera menerima dokumen jaminan yaitu sertipikat hak milik, sertipikat hak

tanggungan dan selanjutnya melakukan pendaftaran sekaligus pencatatan atas

pengalihan hak tanggungan dari cedent (kreditor awal) ke cessionaris

(kreditor baru) di Kantor Pertanahan setempat.

Pendaftaran atas pengalihan hak tanggungan disini wajib dilakukan

untuk memberikan hak preferen kepada cesionaris (kreditor baru) selaku

pemegang hak tanggungan yang baru. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan

di Kantor Pertanahan setempat dengan melihat wilayah hukum dari objek hak

tanggungan itu berada dan terdaftar.

Hak preferen adalah hak yang dimiliki oleh kreditor untuk

didahulukan dalam pemenuhan piutangnya diantara kreditor-kreditor lainnya

dari hasil penjualan agunan, sebagaimana bunyi pasal 6 dan Pasal 20 ayat 1

144
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Dalam proses pendaftaran pengalihan hak tanggungan ini, cessionaris

diwajibkan membawa kelengkapan dokumen-dokumen ke Kantor Pertanahan

setempat, yaitu identitas cedent (kreditor awal) dan cessionaris (kreditor

baru), perjanjian cessie, sertipikat hak milik, sertipikat hak tanggungan,

dokumen-dokumen pendukung agunan seperti IMB, PBB (jika diperlukan).

Dalam setiap pembebanan dan/atau pengalihan Hak Tanggungan

diwajibkan adanya pendaftaran di kantor pertanahan. Kewajiban ini

berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) juncto Pasal 16 ayat (2) Undang-

Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan atas tanah beserta benda-

benda yang berkaitan dengan tanah. Aturan mengenai kewajiban pendaftaran

hak tanggungan yang diatur di dalam undang-undang tersebut sejalan dengan

ketentuan Pasal 616 jucnto Pasal 620 KUH Perdata.

Dengan demikian, Perjanjian jual beli piutang sebagaimana Akta

Notaris nomor 115 tertanggal 31 Desember 2018 antara bank BTN sebagai

Penjual Piutang dengan PT. PPA sebagai Pembeli Piutang merupakan suatu

perjanjian yang sah menurut hukum sebagaimana dimaksud pasal 613 KUH

Perdata dan juga telah memenuhi syarat sah suatu perjanjian sebagaimana

dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga PT. PPA berhak untuk

menerima penyerahan yaitu menerima hak untuk menagih utang kepada PT.

BIM serta berhak pula atas jaminan yang diagunkan maupun atas hak

tanggungan. Walaupun dalam Akta Notaris nomor 115 tersebut tidak

145
disebutkan mengenai pemberitahuan kepada PT. BIM selaku debitor, tidak

mengakibatkan perjanjian jual beli piutang menjadi tidak sah ataupun batal.

E. Kedudukan Kreditor Yang Mengambil Alih Piutang Atas Keikutsertaan

Dalam Proses PKPU

Pengalihan hak tagih utang dari Bank BTN kepada PT. PPA terhadap

Debitor PT. BIM dilakukan melalui Akta Notaris Nomor 115 tanggal 31

Desember 2018 sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dengan demikian

PT. PPA sebagai Pembeli Piutang telah sah secara hukum menjadi Kreditor

yang dapat menagih piutangnya terhadap PT. BIM (dalam proses PKPU).

Akan tetapi PT. PPA tidak dapat melakukan rapat-rapat kreditor

dalam proses PKPU di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan

dengan register perkara Nomor 16/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Mdn., karena

tidak diterima sebagai Kreditor oleh Hakim Pengawas dan Pengurus yang

menangani perkara PKPU. Hal ini tentunya merugikan PT. PPA sebagai

Pembeli Piutang karena tidak memiliki hak suara untuk menentukan skema

pembayaran atas piutangnya dan selanjutnya tidak bisa juga

ikut voting PKPU.

Dibantah atau diterimanya tagihan yang diajukan dalam proses PKPU

ditentukan oleh pengurus. Hakim pengawas lalu menentukan apakah kreditor

yang tagihannya dibantah dapat ikut serta dalam voting PKPU, dan apabila

dapat ikut serta, berapa batasan jumlah suara yang dikeluarkan oleh kreditor

tersebut.

Dalam kasus ini baik Pengurus maupun Hakim Pengawas tidak dapat

memberikan alasan hukum kepada PT. Perusahaan Pengelola Aset untuk dapat

146
ikut dalam rapat-rapat PKPU, namun hanya menolak begitu saja dan hanya

mengizinkan kepada Bank BTN sebagai kreditor untuk ikut dalam rapat-rapat

kreditor dalam kasus ini.

Karena PT. PPA tidak bisa mengikuti penagihan dan rapat-rapat

kreditor, maka rapat-rapat kreditor dan pengajuan klaim/tagihan terhadap PT.

BIM dilakukan oleh Bank BTN berdasarkan Surat Kuasa dari PT. PPA Nomor

Sku-21/PPA/0219 tanggal 25 Februari 2019, padahal Bank BTN sudah bukan

lagi sebagai Kreditor dalam PKPU kasus ini karena hak tagih utangnya sudah

diserahkan/dijual kepada PT. PPA berdasarkan Akta Notaris Nomor 115

tanggal 31 Desember yang dibuat di hadapan Ashoya Ratam, S.H., M.Kn.

Notaris yang berkedudukan di Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan kepada debitor, maka

mempunyai pengaruh bagi debitor dan harta bendanya. Bagi debitor, sejak

diucapkannya putusan kepailitan, ia (debitor) kehilangan hak untuk melakukan

pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standi in inclucio).93

Pasal 1 5 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Piutang menentukan bahwa dalam

putusan pernyataan pailit harus diangkat:

1. Seorang hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim pengadilan;

2. Kurator.

Undang-undang Kepailitan (UUK) mengatur bahwa Hakim Pengawas

bertanggung jawab dalam mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit

yang dilaksanakan kurator agar tidak menyalahgunakan kewenangannya.

93
Zaenal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 63

147
Hakim Pengawas dituntut memiliki kemampuan dan kecermatan serta

integritas moral yang tangguh dalam memahami tugas dan kewenangannya,

selain dapat membina hubungan kerjasama yang baik dengan semua pihak

dalam proses kepailitan pasca putusan.

Tanggung jawab Hakim Pengawas hanya sebatas tugas dan wewenang

yang diatur dalam UUK serta terhadap ketetapan-ketetapan yang dibuatnya

sedangkan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan curator yang dapat

merugikan harta pailit tetap menjadi tanggung jawab kurator.

Terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan, kurator berwenang

melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit meskipun

terhadapnya di ajukan kasasi atau peninjuan kembali. Kurator yang diangkat

oleh pengadilan harus independent dan tidak mempunyai benturan kepentingan

baik dengan pihak kreditur maupun debitor.

Kurator adalah pihak yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus

dan membereskan harta Debitor Pailit. Kurator bisa berasal dari perseorangan,

Balai Harta Peninggalan, advokat, akuntan atau gabungan dari keduanya

dengan syarat harus terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.

Agar kurator menjalankan tugasnya tersebut sesuai dengan aturan dan

tidak sewenang–wenang, maka perlu ada bentuk pengawasan terhadap

tindakan kurator ini. Ini menunjukkan perlunya Hakim Pengawas untuk

mengawasi setiap tindakan kurator. Hal ini dimuat dalam Pasal 65 Undang–

Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.

148
Dalam pasal 1 ayat 8 UU No. 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa

“Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan

pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang”. Kedudukan

Hakim Pengawas sangat penting karena menurut Pasal 66 UU Kepailitan

sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan

dan pemberesan harta pailit, Pengadilan Niaga wajib mendengarkan terlebih

dahulu pendapat hakim pengawas. Adapun tugas dan wewenang hakim

pengawas diantaranya:94

1. Menerima permohonan dari kreditur preferen atau pihak ketiga yang


permohonannya untuk mengangkat penangguhan atas hak eksekusi;
2. Memberikan pendapat kepada pengadilan niaga sebelum memutus
sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan
harta pailit;
3. Mendengarkan keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan
oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal
mengenai kepailitan;
4. Menyampaikan surat panggilan kepada para saksi untuk didengar
keterangannya oleh hakim pengawas;
5. Dalam hal saksi bertempat tinggal diluar daerah hukum yang memutus
pailit, hakim pengawas dapat melimpahkan pemeriksaan saksi kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal saksi;
6. Memberikan persetujuan kepada kurator untuk memperoleh pinjaman
dari pihak ketiga yang dalam melakukan pinjaman tersebut kurator
perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fiducia, hak
tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya;
7. Memberikan izin kepada kurator untuk menghadap di muka
pengadilan kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang;
8. Menerima laporan dari kurator tiap 3 (tiga) bulan sekali mengenai
keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya;
9. Memberikan perpanjangan waktu bagi kurator untuk menyampaikan
laporan kepada hakim pengawas;
10. Menerima keberatan yang diajukan oleh kreditor, panitia kreditor dan
debitor pailit terhadap perbuatan yang dilakukan kurator;
11. Menawarkan kepada kreditor untuk membentuk panitia kreditur
secara tetap setelah pencocokan piutang selesai dilakukan;

94
Sutan Remy Sjahdeni, Op. Cit. hlm. 236-240

149
12. Menentukan waktu diadakan rapat kreditor pertama dalam jangka
waktu 30 hari setelah putusan pernyataan pailit ditetapkan;
13. Dalam jangka waktu 3 hari setelah putusan pernyataan pailit diterima
oleh hakim pengawas dan kurator, hakim pengawas wajib
menyampaikan kepada kurator rencana penyelenggaraan rapat
kreditur pertama;
14. Mengetuai rapat kreditur;
15. Menentukan waktu diadakan rapat kreditur berikutnya bila hakim
pengawas menganggap hal itu perlu;
16. Memberikan izin kepada debitor pailit apabila selama dalam
kepailitan akan meninggalkan domisilinya;
17. Paling lambat 14 hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan,
hakim pengawas harus menetapkan batas akhir pengajuan tagihan,
batas akhir verifikasi pajak, dan menetapkan waktu diadakan
pencocokan piutang;
18. Meminta agar debitor pailit yang hadir dalam rapat pencocokan
piutang memberikan keterangan sebenarnya mengenai sebab
kepailitan dan keadaan harta pailit;
19. Dalam rapat pencocokan piutang, membacakan daftar piutang yang
diakui sementara dan daftar hutang yang dibantah oleh kurator;
20. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa sehubungan dengan
piutang yang terhadapnya dilakukan bantahan atau memeriksa
perselisihan antara pihak-pihak tersebut;
21. Memerintahkan kepada pihak –pihak yang berselisih mengenai
piutang yang terhadapnya dilakukan bantahan untuk menyelesaiakan
perselisihan itu melalui pengadilan.

Dengan adanya hakim pengawas ini menunjukkan transparansi dalam

pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator. Hakim Pengawas tidak

dapat turut serta dalam pengurusan harta pailit.

Tujuan hakim pengawas adalah hanya semata-mata untuk kepentingan

kreditor secara keseluruhan. Bagaimana kalau seandainya ada tindakan-

tindakan hakim pengawas yang tidak sesuai dengan kehendak kreditor (yang

merugikan kreditor)? Apa yang dapat dilakukan oleh kreditor? Dalam hal ini,

Pasal 68 ayat (1) UU Kepailitan menentukan bahwa terhadap semua penetapan

Hakim Pengawas, dalam waktu 5 hari setelah penetapan tersebut di buat, dapat

mengajukan permohonan banding ke pengadilan.

150
Ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU Kepailitan bukan tanpa pengecualian.

Menurut Pasal 68 ayat (2) UU Kepailitan permohonan banding tidak dapat

diajukan terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b,

Pasal 33, Pasal 84 ayat (3), Pasal 104 ayat (2), Pasal 106, Pasal 125 ayat (1),

Pasal 127 ayat (1), Pasal 183 ayat (1), Pasal 184 ayat (3), Pasal 185 ayat (1),

ayat (2) dan ayat (3), Pasal 186, Pasal 188, dan Pasal 189 UU Kepailitan.

Dalam kasus ini Hakim Pengawas tidak mengeluarkan penetapan

apapun terhadap PT. PPA sebagai Kreditor yang berasal dari penyerahan hak

tagih utang dari Bank BTN berdasarkan Akta Notaris Nomor 115 tanggal 31

Desember 2018, sehingga PT. PPA tidak dapat mengajukan keberatan dengan

mengajukan banding ke pengadilan atas tindakan Hakim Pengawas tersebut.

Hal ini tentunya sangat merugikan PT. PPA karena tidak bisa mengikuti rapat-

rapat kreditor untuk mempertahankan hak piutangnya termasuk juga tidak bisa

melakukan voting PKPU. Berbeda jika Hakim Pengawas mengeluarkan

penetapan tentang tidak diizinkannya PT. PPA masuk sebagai pihak kreditor

untuk bisa melakukan rapat-rapat kreditor, tentunya PT. PPA bisa mengajukan

perlawanan banding ke pengadilan.

Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan tugasnya Hakim Pengawas

tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Hendaknya pada

Undang-Undang Kepailitan yang akan datang pengaturan mengenai Hakim

Pengawas disusun dengan batasan yang jelas termasuk dengan

menyesuaikannya dengan tahap-tahap dalam pengurusan dan pemberesan harta

pailit, juga termasuk dapat menetapkan jika ada pengalihan hak tagih utang

dari kreditor lama ke kreditor baru serta jika perlu adanya sanksi bagi Hakim

151
Pengawas apabila terbukti menyimpang dalam tugasnya. Hal ini penting

mengingat Hakim Pengawas memiliki andil yang besar dalam penyelesaian

kepailitan pasca putusan secara adil, cepat, terbuka dan efektif guna

melindungi dan menjamin kepastian hukum bagi kepentingan debitor pailit,

para kreditur dan pihak lain yang terkait.

F. Permasalahan Yang Timbul Dalam Pengalihan Hak Tagih Utang

(Cessie) Terhadap Debitor Dalam Proses PKPU dan Upaya

Penyelesaiannya

Seperti yang telah di uraikan di atas, Pengalihan hak tagih utang

(cessie) dari Bank BTN ke PT. PPA dilakukan dengan Akta Notaris pada

tanggal 31 Desember 2018, yang notabene dilaksanakan pada saat proses

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Akan tetapi PT. PPA

sebagai Pembeli Putang (Kreditor baru) tidak bisa mengikuti rapat-rapat

kreditor dalam perkara tersebut, dikarenakan tidak dizinkan oleh Hakim

Pengawas. Hal ini tentunya sangat merugikan PT. PPA sebagai Kreditor

untuk menentukan skema pembayaran atas tagihan-tagihannya terhadap PT.

BIM. Alasan Hakim Pengawas tidak jelas karena hanya ucapan lisan saja

tidak mengizinkan PT. PPA sebagai Kreditor untuk mengikuti rapat-rapat

kreditor, bukan dengan suatu penetapan pengadilan. Jika Hakim Pengawas

menerbitkan Penetapan, bukan tidak mungkin PT. PPA akan mengajukan

banding ke pengadilan.

Pengalihan hak tagih utang (cessie) Dalam Akta Jual Beli Piutang

Nomor 115 tertanggal 31 Desember 2018 tersebut di atas, tidak ada klausul

152
yang menyebutkan siapa pihak yang harus memberitahukan kepada Debitor

(PT. BIM) mengenai adanya Pengalihan hak tagih utang.

Memang idealnya pengalihan hak tagih utang atau cessie hendaknya

sejak awal sudah mengikutsertakan Debitor (cessus) dalam pembuatan akta

pengalihan piutang, sehingga pemberitahuannya sudah diterima secara

langsung pada saat terjadinya penandatangan akta cessie oleh dan antara

Pembeli Piutang (kreditor baru) serta Penjual Piutang (kreditor lama). Hal

demikian memang ideal akan tetapi menjadi tidak realistis karena terganjal

dan terbentur dengan praktik jika cessie baru ditawarkan atau dijual kepada

kreditor baru ketika debitor telah bersatus kredit macet bahkan dalam proses

PKPU seperti dalam kasus ini, sehingga tentunya debitor akan sangat sulit

untuk kooperatif bahkan akan tidak menyetujui atau pura-pura tidak

diberitahu telah terjadinya pengalihan hak tagih utang terhadapnya. Hal ini

wajar saja karena sudah tentu debitor yang dalam proses PKPU mempunyai

alasan agar tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Akan tetapi kreditor sebagai Pembeli Piutang juga harus mendapatkan

kepastian dan perlindungan hukum, agar hak-haknya tidak dirugikan dengan

tidak jelasnya suatu peraturan yang sumir seperti terdapat dalam Pasal 613

KUH Perdata yang tidak memuat aturan tertulis bagaimana cara dan siapa

yang harus memberitahukan kepada debitor jika terjadi pengalihan hak tagih

utang, akan tetapi dalam praktik ada preseden terkait “syarat formal peralihan

piutang”, yaitu ketika terjadi kepailitan yang menimpa debitor, di mana

piutang kreditornya telah dialihkan kepada kreditor lainnya.

153
Dalam praktik, ternyata ada putusan pengadilan yang menyatakan

perlu adanya kewajiban pemberitahuan peristiwa hukum berupa peralihan hak

tagih utang (cessie), pemberitahuan mana secara resmi kepada debitor lewat

perantara Jurusita Pengadilan, jika syarat formal tidak dipenuhi maka

“Kreditor Baru” pembeli cessie tidak akan dikategorikan sebagai “Kreditor”

ketika debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Hal ini terdapat dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan

Negeri Makasar di bawah register Nomor:

02/Pst.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.Mks. yang telah mengabulkan permohonan

Kreditor Cessionaries yang dikuatkan melalui Putusan Kasasi Nomor 19

K/Pdt.Suspailit/2015, kemudian dianulir melalui Putusan Peninjauan Kembali

Nomor 125 PK/Pdt.Sus-Pailit/2015 yang menyatakan belum terpenuhinya

syarat formil peralihan piutang lewat mekanisme cessie. Yakni belum

diberitahukannya peristiwa peralihan hak tagih utang kepada debitor secara

resmi melalui Jurusita Pengadilan.

Tidak ada salahnya Majelis Hakim yang menyatakan pemberitahuan

tertulis tentang adanya peralihan piutang harus melalui Jurusita Pengadilan,

karena Indonesia bisa menganut paham legisme di mana kebenaran itu ada di

undang-undang, tetapi juga menganut paham the rule of law bahwa hakim

bisa mencari keadilan sendiri tanpa tersandera undang-undang.

Pasal 613 KUHPerdata tidak mengatur kewajiban pemberitahuan

secara resmi melalui Jurusita Pengadilan, namun hanya menyatakan

pemberitahuan cukup diajukan secara tertulis ketika diberitahukan kepada

debitor.

154
Pasal 613 KUHPerdata yang demikian sumir, karena tidak ditegaskan

siapakah yang wajib menyampaikan pemberitahuan kepada sang debitor atas

peristiwa cessie, apakah oleh pihak “Kreditor Lama”, “Kreditor Baru”,

“Kreditor Lama” bersama dengan “Kreditor Baru”, ataukah cukup oleh

Jurusita Pengadilan.

Bahkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2012 tentang

Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai

Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, hanya menyatakan apa yang

sudah dinyatakan seperti yang dimaksud dalam Pasal 613 ayat (2) KUH

Perdata saja, tidak memperjelas bagaimana cara pemberitahuan tentang

adanya pengalihan piutang oleh kreditor dilaksanakan pada saat debitor

sedang dalam proses PKPU.

Rekomendasi berupa debitor (cessus) perlu turut diikutsertakan

sebagai pihak saat penandatangan Akta Cessie, sehingga debitor tidak dapat

lagi membantah tidak sahnya cessie serta pihak Kreditor tidak lagi membuat

pemberitahuan, sehingga keterlibatan jurusita pengadilan tidak lagi

dibutuhkan, karena dengan turut ditandatanganinya akta cessie oleh debitor,

maka debitor akan dianggap seketika itu juga telah mengetahui sekaligus

menyetujui terjadinya peralihan piutang, sebagaimana asas akuntabilitas,

transparansi serta partisipatif.

Rekomendasi tersebut tentunya realistis jika debitor tersebut dalam

keadaan sehat financialnya, lalu bagaimana jika debitor dalam keadaan kredit

macet atau bahkan sedang dalam proses PKPU seperti kasus ini? Menurut

Penulis, suatu pemberitahuan tertulis tentang adanya peralihan piutang bisa

155
disampaikan oleh kreditor lama ataupun kreditor baru kepada debitor melalui

Majelis Hakim atau Hakim Pengawas di muka persidangan yang sedang

menangani perkara tersebut, karena suatu pernyataan atau tindakan di muka

persidangan merupakan hukum. Sama halnya dengan penundaan sidang ke-

hari berikutnya oleh Majelis Hakim, jika pihaknya hadir maka tidak perlu lagi

panggilan sidang (relaas) oleh Jurusita.

Oleh karena itu, dalam kasus ini seharusnya Hakim Pengawas

mengizinkan PT. Perusahaan Pengelola Aset sebagai Pembeli Piutang

berdasarkan Akta Notaris bisa untuk mengikuti rapat-rapat kreditor dalam

PKPU, sehingga hak-haknya tidak dirugikan dan diberikan kepastian hukum.

Penulis memahami tindakan Hakim Pengawas yang tidak

mengizinkan PT. PPA untuk mengikuti rapat-rapat kreditor karena tidak

adanya aturan yang jelas mengenai peralihan piutang (cessie) khususnya yang

dilakukan pada saat proses PKPU, demikian juga tidak adanya aturan bagi

Hakim Pengawas untuk mengizinkan pembeli piutang sebagai kreditor yang

dapat melanjutkan penjual kreditor lama karena adanya peralihan piutang.

Dengan demikian, guna menjamin dan memberikan kepastian

hukum bagi pihak-pihak yang terkait, perlu dibuat aturan hukum tertulis

yang jelas mengenai peralihan piutang (cessie) khususnya mengenai tata

cara pemberitahuan tertulis kepada debitor. seperti yang dikatakan oleh

Gustav Radbruch menyatakan bahwa: sesuatu yang dibuat pasti memiliki


95
cita atau tujuan. Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya, tujuannya ini

merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia, tujuan hukum yang

95
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi krisi terhadap hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 123.

156
utama ada tiga, yaitu: keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk

ketetapan, kemanfaatan untuk kebahagiaan.

Sehingga untuk menjamin kepastian hukum peraturan perundang-

undangan selain memenuhi syarat-syarat formal, harus pula memenuhi

syarat-syarat lain yaitu: jelas dalam perumusannya (unambiguous);

konsisten dalam perumusannya baik secara intern maupun ekstern;

penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti.

157
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian pada Bab-bab sebelumnya, maka Penulis mencoba

mengambil kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Pengalihan piutang (cessie) kreditor kepada pihak ketiga dari debitor

dalam proses PKPU adalah pemindahan hak piutang yang merupakan

penggantian subyek hukum berpiutang lama (cedent) dengan subyek

hukum berpiutang baru (cessionaris), yang pemindahannya harus

dilakukan dengan suatu akta otentik atau di bawah tangan, dan agar

pemindahan berlaku terhadap si berpiutang, akta cessie tersebut harus

diberitahukan kepadanya secara resmi (betekend). Dalam hal cessie

dilakukan dalam proses PKPU harus dibuat dengan akta Notaris, dan

untuk memenuhi syarat formal pemberitahuan kepada si berpiutang cukup

akta cessie tersebut disampaikan oleh kreditor yang lama dan/atau yang

baru kepada si berpiutang di muka persidangan;

2. Kedudukan pembeli piutang/cesionaris yang tidak dapat mengikuti rapat-

rapat kreditor dalam proses PKPU karena tidak diizinkan oleh Hakim

Pengawas yang menangani perkara PKPU, tentunya sangat merugikan

pembeli piutang/cesionaris karena tidak bisa melakukan voting untuk

menentukan skema pembayaran atas tagihan-tagihannya terhadap debitor

(dalam PKPU selanjutnya dinyatakan pailit). Hakim Pengawas tidak

mempunyai kewenangan untuk menerbitkan penetapan tidak dizinkannya

158
pembeli piutang/cesionaris untuk mengikuti rapat-rapat kreditor, karena

bukan tidak mungkin jika Hakim Pengawas mempunyai kewenangan

tersebut, pembeli piutang/cesionaris bisa mengajukan perlawanan banding

ke pengadilan.

3. Pasal 613 ayat 2 KUH Perdata tidak secara nyata mengatur pemberitahuan

tertulis kepada debitor mengenai adanya pengalihan piutang (cessie),

keberadaan cessie belum mengikat atau mempunyai akibat hukum kepada

debitor jika tidak diberitahukan secara tertulis atau tidak diakui atau

disetujui debitor. Bahkan ada putusan Mahkamah Agung yang

menyatakan cessie akan menjadi sah jika disampaikan secara tertulis oleh

Jurusita Pengadilan. Idealnya debitor diikutsertakan dalam perjanjian

pengalihan utang, sehingga pemberitahuannya secara langsung. Tetapi

akan menjadi tidak realistis jika debitor dalam keadaan kredit macet atau

bahkan dalam keadaan proses PKPU seperti dalam kasus ini, tentunya

debitor tersebut akan menghambat untuk mempertahankan

kepentingannya supaya tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan. Menurut

Penulis agar menjamin kepastian hukum bagi Penjual Piutang dan

Pembeli Piutang, akta perjanjian cessie perlu dibuatkan akta notaris dan

pemberitahuannya disampaikan secara tertulis ke debitor di persidangan

melalui Majelis Hakim atau ke Hakim Pengawas, karena suatu pernyataan

di muka persidangan merupakan pernyataan sah secara hukum, sehingga

tidak perlu lagi disampaikan oleh Jurusita Pengadilan.

159
B. Saran

1. Cessie tidak secara tegas diatur dalam KUH Perdata, sehingga perlu

direvisi dengan membuat peraturan baru khususnya mengenai tata cara

pemberitahuan tertulis kepada debitor mengenai adanya peralihan piutang,

hal ini tentunya untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor dan

debitor;

2. Untuk merevisi undang-undang harus melalui proses politik yang

memerlukan waktu yang lama di DPR. Agar tidak terulang seperti kasus

dalam penulisan ini, maka hakim pengawas harus diberi wewenang untuk

dapat mengizinkan/menerima pembeli piutang (cessionaris) sebagai

kreditor dalam proses PKPU, oleh karena itu seyogyanya Mahkamah

Agung menerbikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) agar hakim

pengawas dalam menjalankan tugasnya mempunyai petunjuk teknis

mengenai peralihan hak tagih utang (cessie) dalam proses PKPU.

160
DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

_______. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


UU Nomor 5 Tahun 1960. LN No. 1960. TLN No. 2043.

_______. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta


Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. UU Nomor 4 Tahun
1996 LN No. 42 Tahun 1996. TLN No. 3632.

_______. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1992 tentang Perbankan. UU Nomor 10 Tahun 1998 . LN.
1998. TLN No. 3790.

_______. Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. UU Nomor 42 Tahun


1999. LN. No. 1999. TLN No. 3889.

_______. Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara. UU Nomor 19


Tahun 2003. LN No. 70. TLN No. 4297.

_______. Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004. LN No. 131 Tahun
2004. TLN No. 4443.

_______. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 40 Tahun


2007. LN No. 106. TLN No. 4756.

_______. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. UU Nomor 2 Tahun 2014.
LN No. 2014. TLN No. 5491.

Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan


Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan
Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang. KEPPRES
Nomor 97 Tahun 1999. LN No. 1999.

B. Buku

Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.


Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum
Kepailitan di Indonesia. Yogyakarta: Total Media, 2008

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Cet. Ke-2. Jakarta: Rineka


Cipta, 1992.

Asikin, Zaenal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia,


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan


Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Aswanto, Hukum dan Kekuasaan Relasi Hukum, Politik dan Pemilu,


Yogyakarta: Rangkang Education, 2013.

Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti. Kepailitan di Negeri
Pailit. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan di Indonesia, 2004

Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di


Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010.

Erwin, Muhamad. Filsafat Hukum: Refleksi krisi terhadap hukum, Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2011.

Fuady, Munir. Kepailitan. Bandung: Citra Aditya Sakti, 1999.

_______. Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek). Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.

_______. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2014.

Ginting, Alyta Ras. Hukum Kepailitan, Rapat-Rapat Kreditor, Jakarta: Sinar


Grafika, 2018.

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press, 2007.

_______. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Pranamedia,


2009.

Hartono, Siti Soemarti. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan


Pembayaran. Jakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 1993.

Hikmahanto, Juwana. Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam


Perkara-Perkara Kepailitan. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Hoff, Jerry. UU Kepailitan di Indonesia, Indonesia Bankruptcy Law.
Terjemahan Kartini Mulyadi. Jakarta: Tata Nusa, 2000.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Rajawali Pers, 2005.

Irawan, Bagus. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi.


Bandung: Alumni, 2010.

Jonifianto, Eries, Andika Wijaya. Kompetensi Profesi Kurator & Pengurus.


Panduan Menjadi Kurator & Pengurus Yang Profesional dan
Independen, Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

Jono, Hukum Kepailitan, Cet. Ke-3, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Khairandy, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan. Jakarta: Jurnal


Hukum Bisnis, 2002.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. Ke-1, Bandung:


Citra Aditya Bakti, 2004.

Mulyadi, Lilik. Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU) Teori dan Praktik. Bandung: Alumni, 2010.

Nainggolan, Bernard, Peranan Kurator Dalam Pemberesan Boedel Pailit,


Bandung: Alumni, 2014.

Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda dan Benny K. Harman, Analisa Kritis


Putusan-Putusan Peradilan Niaga. Jakarta: Cinles, 2000.

Prasetya, Rudhi. Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, makalah


Seminar Hukum Kebangkrutan. Jakarta: Badan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI., 1996.

Prodojhamidjojo, Martiman. Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Jakarta: Mandar Maju,
1999.

Puang, Victorianus M.H. Randa. Penerapan Asas Pembuktian Sederhana


Dalam Penjatuhan Putusan pailit, Cet. I. Bandung: Satu Nusa, 2011.
Rahardjo, Satjipto. Watak Cultural Hukum Modern, Jakarta: Buku Kompas
2007.

Sastrawidjaja, Man S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2006.

Satrio, J. Hukum Perikatan, Tentang Hapusnya Perikatan, Cet. I, Bandung:


Citra Aditya Bakti, 1996.

_______. J. Cessie Tagihan Atas Nama, Jakarta: Yayasan DNC, 2012.

Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan


Yang Terkait Dengan Kepailitan. Bandung: Muansa Mulia, 2006.

Sinaga, Syamsudin M. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: Tatanusa, 2012.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami


Failissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998. Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002

_______. Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan, Memahami Undang-


Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran, Ed. Ke-2, Jakarta: Prenada Media Group,
2016.

Soekanto, Soerjono. Penegakan Hukum, Bandung: BinaCipta, 1983.

_______. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.


.
_______. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, Jakarta: UI Press, 2008.

Sova, Sakhiyatu. Tiga Nilai Dasar Hukum menurut Gustav Radbruch,


Semarang: Fakultas Hukum Diponegoro, 2013.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang hukum Perdata


(Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.

Subhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktek di


Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008.

Suharnoko, Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Dalam


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nieuw nederlands burgerlijk
wetboek, code civil perancis dan common law, Cet. Ke-4, Jakarta:
Prenada Media Group, 2012.
Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan, Cet. Pertama, Bogor: Ghalia Indonesia,
2009.

Suyatno, R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:


Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. Jakarta: Kencana, 2012.

Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya


bakti, 2004.

Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2004.

Wijaya, Andika. Penanganan Perkara Kepailitan dan Perkara Penundaan


Pembayaran Secara Praktis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017.

Yunas, Didi Nazmi. Konsepsi Negara Hukum. Padang: Angkasa Raya, 1992.

Yuhassarie, Emmy. Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya.


Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.

C. Lain-lain

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


Balai Pustaka, 2000.

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 16/Pdt.Sus-


PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.

Surat Edaran Mahmakah Agung No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung.

Padmasari. Widya, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Pengalihan


Piutang (Cessie) Melalui Akta Notaris, Junal Hukum dan
Kenotariatan, Volume 2 Nomor 2 Agustus 2018, Sidoarjo: Lembaga
Perlindungan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LP2SDM),
2018.

https://kontan.co.id/news/skandal-cessie-bank-bali-berbau-politik, diakses
pada tanggal 27 Maret 2020.
LAMPIRAN
GLOSARIUM

Actio Paulina = pembatalan segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor
terhadap harta kekayaannya melalui pengadilan berdasarkan permohonan Kreditor
(Kurator apabila dalam Kepailitan) yang diketahui oleh Debitor perbuatan tersebut
merugikan Kreditor.

Boedel Pailit = kekayaan subyek hukum yang telah dinyatakan pailit yang
pengurusannya dilakukan oleh Kurator (Perseorangan atau Balai Harta
Peninggalan).

Cedent = pemilik piutang lama/kreditor lama.

Cessionaris = pembeli piutang/pemilik piutang baru.

Concursus creditorium = syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih


kreditur agar seorang debitor dinyatakan pailit.

Debitor = orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang


yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

Endosemen = pengesahan pemindahan hak milik dengan membubuhkan tanda


tangan dan cap dibalik sekuritas.

F
Funding = kegiatan bank untuk menghimpun dana dari masyarakat.

Hakim Pengawas = hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit
atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Kepailitan = sita umum atas harta kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UUK).

Kreditor = orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang


yang dapat ditagih di muka pengadilan.

Kreditor Konkuren = kreditor yang memiliki hak kebendaan atau keistimewaan


karena undang-undang.

Kreditor Preferen = kreditor istimewa karena diatur oleh undang-undang.

Kreditor Separatis = kreditor yang memiliki hak kebendaan (tanggungan, fidusia,


hipotik dan gadai).

Kurator = Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh
pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit.

Legisme = satu aliran hukum yang berpendapat satu-satunya sumber hukum


adalah undang-undang.

Lending = kegiatan bank menyalurkan kredit kepada masyarakat.

Mutatis Mutandis = dengan perubahan-perubahan yang diperlukan atau penting.

P
Pari passu pro rata parte = harta kekayaan jaminan bersama untuk para kreditor
dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka.

Pengadilan Niaga = pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan


umum yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap
perkara kepailitan dan penundaan kewajiban dan pembayaran utang (PKPU).

Prudential = prinsip kehati-hatian bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Anda mungkin juga menyukai