Anda di halaman 1dari 77

SKRIPSI

PENGAWASAN OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN


PRODUK HALAL (BPJPH) TERHADAP PELAKU USAHA COFFEE
SHOP DI KOTA PADANG YANG TIDAK MEMILIKI SERTIFIKAT
HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33
TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Oleh :
ADIB HAZMI
1910113017

Program Kekhususan : Hukum Perdata Murni (PK 1)

Pembimbing :

Prof. Dr. H. Yaswirman, M.A.


Dr. Yasniwati, S.H.,M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2023

No.Reg : 13/PK-I/I/2023
i
ii
iii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis

berikan hanya kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya, shalawat beriring salam tidak lupa penulis tuturkan kepada junjungan

dan tauladan Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu

syarat dalam memperoleh gelar sarjana progam studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Andalas.

Skripsi ini diberi judul Pengawasan Oleh Badan Penyelenggara Jaminan

Produk Halal (BPJPH) Terhadap Pelaku Usaha Coffee Shop Di Kota Padang Yang

Tidak Memiliki Sertifikat Halal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Fakultas Hukum Universitas

Andalas. Selama proses penyusunan skripsi dari awal hingga akhir tidak lepas dari

peranan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan

ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. H. Yaswirman,

M.A. selaku Pembimbing I dan Ibu Dr. Yasniwati, S.H.,M.H. selaku Pembimbing

II yang telah membimbing penulis, memberikan ide, kritik, saran dan waktu yang

bermanfaat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Linda Elmis,

S.H.,M.H. dan Ibu Shafira Hijriya, S.H.,M.H. selaku tim penguji yang telah

memberikan saran serta arahan kepada penulis agar skripsi ini semakin baik.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof Dr. Yuliandri, S.H, M.H. selaku Rektor Universitas Andalas.

iv
2. Bapak Dr. Ferdi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Andalas, Ibu Dr. Nani Mulyati, S.H., MCL. selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Andalas, Bapak Dr. Khairul Fahmi, S.H.,M.H. selaku

Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Andalas.

3. Ibu Dr. Devianty Fitri, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata,

dan Bapak Almaududi, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Andalas, serta kak Aprina Wardhani, S.H. yang

telah membantu penulis dalam urusan administrasi.

4. Ibu Dr. Siska Elvandari, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik selama

saya menuntut ilmu di Fakultas Hukum Univesitas Andalas.

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas umumnya, dan dosen

bagian Hukum Perdata khususnya, yang telah memberikan ilmu dan

pengajaran kepada penulis baik di dalam maupun diluar kelas.

6. Seluruh Staf Biro dan karyawan/karyawati Fakultas Hukum Universitas

Andalas atas bantuan yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa

di Fakultas Hukum Universitas Andalas.

7. Seluruh Tenaga Kependidikan dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Andalas yang telah memberikan pelayanan akademis kepada penulis demi

tercapai nya penyelesaian skripsi ini dengan lancar.

8. Kepada Kepala Kantor Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu

Pintu Kota Padang karena telah mengeluarkan surat izin penelitian penulis

guna untuk kelancaran dari penelitian penulis sendiri.

9. Kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Barat, Kepala

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika-Majelis Ulama

v
Indonesia (LPPOM-MUI) Sumatera Barat dan Kepala Dinas Kesehatan Kota

Padang yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan

wawancara dan memperoleh semua data dan informasi yang penulis butuhkan.

10. Kepada orang tua tercinta yang selalu memberikan dukungan baik moril

maupun materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis, Papa dan

Mama tercinta Indra Yulhasmi dan Noriza, serta adik tersayang Faiz Hazmi,

yang telah memberi dukungan untuk segera lulus kuliah.

11. Kepada keluarga besar dari Papa dan Mama, Nenek, Kakek, Ibu Reni, Ibu

Rita, Pak Rudi, Pak Epi, Tante Dhany, Kak Ziah, Kak Nafah, Bang Radhi,

Luthfi, Hanni, Dzaka, Hanif, Alesha, Sheza, Shanum, Syafiq, Mak Uwo, Ma

Cii, Om Jek, Teta, Om Wen, Om Peh, Meme, Metek On, Mas Danu, Bagas,

Hana, Bang Arya, Bang Rafi, Uni, Abel, David, Humaira, Febri, Syifa, Farel,

Aurel, Noah, El, Dicka, Dicki, Lea dan Azel tersayang yang telah memberi

dukungan untuk segera lulus kuliah.

12. Kepada teman-teman Yoga, Nanda, Muthia, Angga, Alan, Dion, Triananda,

Figo, Rian, Zen, Tosu, Teo, Ferdian, Ibra, Fauzan, Tengku yang telah

memberikan dukungan dalam proses perkuliahan dan proses pembuatan

skripsi ini.

13. Kepada Sanak Inau Aan, Rafiq, Rara dan Afi yang telah menemani proses

perkuliahan hingga dukungan selama proses pembuatan skripsi ini.

14. Kepada Fahe Family Fadli, Arif, Alfy, Ica, Dina, Ezi, Devy yang telah

memberikan dukungan selama proses pembuatan skripsi ini.

Penulis berharap dengan selesainya skripsi ini dapat memeberikan

manfaat, khususnya bagi penulis sendiri serta bagi perkembangan ilmu

vi
pengetahuan khususnya dalam Hukum Perdata. Semoga Allah SWT membalas

amal baik semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penyusunan

skripsi ini. Aamiin Yaa Rabbalalaamiin.

Padang, 01 Februari 2023

Penulis

Adib Hazmi

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

BAB I: PENDAHULUAN.............................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian................................................................................. 9

E. Metode Penelitian .................................................................................. 10

BAB II: TINJAUAN KEPUSTAKAAN ....................................................... 16

A. Tinjauan Umum Tentang Konsumen, Pelaku Usaha dan Pangan ......... 16

1. Konsumen......................................................................................... 16

2. Pelaku Usaha .................................................................................... 25

3. Pangan .............................................................................................. 30

B. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Produk Halal .................................. 31

1. Dasar Hukum Pengaturan Jaminan Produk Halal ............................ 31

2. Definisi Halal ................................................................................... 33

3. Lembaga Sertifikasi Produk Halal ................................................... 35

4. Prosedur Sertifikat Halal .................................................................. 40

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 43

A. Alasan Diperlukannya Pengawasan Terhadap Pelaku Usaha Coffee Shop

Yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal.................................................. 43

viii
B. Upaya Dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Dalam

Mengatasi Banyaknya Pelaku Usaha Coffee Shop Yang Tidak Memiliki

Sertifikat Halal ..................................................................................... 53

BAB IV: PENUTUP ....................................................................................... 64

A. Kesimpulan............................................................................................ 64

B. Saran ...................................................................................................... 65

DAFTAR KEPUSTAKAAN

LAMPIRAN

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan merupakan hal pokok yang mempunyai nilai tinggi bagi

kehidupan manusia. Manusia sebagai pihak konsumen mempunyai sikap yang

instan. Terlebih dalam konsumsinya terhadap pangan, misalnya adalah

penyajian makanan yang dirasa dapat menghemat waktu itulah yang dipilih.

Dilihat dari perkembangan zaman dan teknologi sekarang ini, banyak pelaku

usaha dan bisnis memanfaatkannya untuk peluang-peluang usaha yang dikira

dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

Minuman berasal dari air baik itu diolah maupun tidak, yang

diperuntukan sebagai minuman bagi konsumsi manusia, yang digunakan

dalam proses pembuatan, pengolaan dan menyiapkan makanan dan minuman.

Perlindungan konsumen adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan

bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang baik terdapat keseimbangan

perlindungan hukum antara konsumen dan produsen. Masalah perlindungan

konsumen tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan

perundingan dalam masyarakat. Oleh karena itu, masalah perlindungan

konsumen perlu diperhatikan. Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku

usaha perlu dicermati secara seksama. Di era globalisasi ini perkembangan

perekonomian terutama dibidang pendistribusian dan perdagangan nasional

sekarang, telah menghasilkan berbagai bentuk barang dan jasa yang dapat

dikonsumsi. Kondisi ini pada satu pihak menguntungkan konsumen, karena

kebutuhan konsumen akan barang dan jasa yang diinginkan dapat dipenuhi,

1
serta semakin lebar kebebasan konsumen untuk memilih aneka jenis, kualitas

barag dan jasa sesuai dengan kemampuan konsumen. Di lain pihak, kondisi

tersebut mengakibatkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha tidak

seimbang dan konsumen berada di posisi yang lemah. Konsumen hanya

menjadi objek yang tidak mempunyai kekuatan mandiri untuk menimbang

suatu barang dan jasa. Ketika mendapati masalah, biasanya pembeli hanya

diam. Sementara itu pelaku usaha lebih tau secara pasti keadaan, kondisi dan

kualitas barang yang dihasilkan.1

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 memberi

amanat kepada negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap masyarakat untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya

dan kepercayaannya, oleh karena itu negara berkewajiban memberikan

perlindungan kepada masyarakat dan jaminan tentang kehalalan produk yang

dikonsumsi dan digunakan oleh masyarakat, dan karena produk yang tersebar

dimasyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Oleh karena itu,

dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan mengenai kehalalan suatu

produk, dan lahirnya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Halal bukan lagi

merupakan pilihan atau gaya hidup, melaikan sudah menjadi bagian dari

proses bisnis.2

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal, kini tiap pelaku usaha khususnya pelaku usaha

1
N.H.T. Siahaan, 2005, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Pantai
Rei, Jakarta, hlm.36-37.
2
“Artikel Wawasan Bisnis”, http://www.ukmindonesia.id, dikunjungi pada tanggal 18
Maret 2022 Jam 20:00.

2
pada bidang pangan diwajibkan memiliki label halal pada produk pangan yang

diperdagangkannya. Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal berbunyi, “Produk yang masuk, beredar, dan

diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal” serta pada

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal.

Isi pasal tersebut secara jelas ditujukan pada seluruh pelaku usaha

khususnya pelaku usaha pada bidang pangan untuk wajib memiliki label halal,

namun bagi para pelaku usaha yang menjual produk tidak halal dikecualikan

untuk mengurus kepemilikan sertifikat halal seperti yang tercantum pada Pasal

26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal yaitu “Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal

dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal

20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal” dan pada Pasal

26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal berbunyi, “Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk”, hal tersebut ditujukan

agar konsumen muslim tidak ragu dan merasa khawatir atas jaminan kehalalan

pangan yang dikonsumsinya.

Sertifikasi halal ialah dokumentasi non-perizinan berupa sertifikasi

yang menyatakan bahwa suatu produk sudah menggunakan bahan baku serta

diolah dengan menggunakan metode produksi yang sudah diketahui dan

memenuhi kriteria syariat Islam.3

3
Suhrawardi, 2012, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika Offset, Jakarta Timur, hlm.4.

3
Berdasarkan Peraturan Pemerintahan Nomor 69 Tahun 1999 tentang

Label Halal dan Iklan Pangan menyebutkan label adalah setiap keterangan

mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya

(gambar dan tulisan), atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,

dimasukkan kedalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan

pangan.

Pencantuman label tidak mudah lepas dari kemasan, tidak luntur atau

rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat

dan dibaca. Serta dibuat dengan semenarik mungkin dari bentuk tulisan serta

gambar yang digunakan. Biasanya pencantuman label ini terletak di bagian

atas kanan kemasan maupun kiri atas kemasan. Untuk pernyataan halal

tersebut, wajib memeriksa terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga

pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.4

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan dan Menteri Agama R.I

NOMOR 427/MENKES//VIII/1985NOMOR: 68 Tahun 1985 Tentang

Pencantuman Tulisan Halal pada Label makanan pada Pasal 2 “Produsen yang

mencantumkan tulisan halal pada label/penandaan makanan produknya

bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk Agama

Islam”.

Label halal merupakan hal yang sangat penting bagi konsumen

khususnya konsumen yang beragama Islam, tentunya label halal Majelis

4
http://disperindag.sumbarprov.go.id/details/news/4699, dikunjungi pada tanggal 19
Maret 2022 Jam 14:00.

4
Ulama Indonesia (MUI) yang resmi diterbitkan oleh BPJPH pada produk

pangan yang akan dikonsumsi para konsumen muslim di Indonesia sangatlah

berpengaruh, sehingga dapat membedakan mana produk pangan yang dapat

dikonsumsi dan mana yang tidak dapat dikonsumsi. Pasal 8 ayat (1) huruf h

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

“Pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,

sebagaimana pernyataan „halal‟ yang dicantumkan dalam label”.

Sertifikat halal memiliki jangka waktu masa berlaku sebagaimana yang

telah ditentukan pada Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal yang berbunyi, “Sertifikat Halal berlaku

selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat

perubahan komposisi Bahan”, serta pada Pasal 48 angka 19 dan Pasal 42 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berbunyi,

“Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan

perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa

berlaku Sertifikat Halal berakhir”. Tujuannya agar konsumen muslim di

Indonesia merasa nyaman dan tidak timbul keraguan untuk mengonsumsi

pangan yang dibelinya. Pada Pasal 4 huruf a dan c Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi, “Hak konsumen

adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang dan/atau jasa; serta hak atas informasi yang benar, jelas,

dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Dalam hal ini

5
sangat ditekankan hak atas kenyamanan yang perlu diperhatikan bagi

konsumen muslim pada saat mengonsumsi pangan yang halal.

Lebel halal mengandung aspek yuridis untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen. Artinya secara hukum mencantumkan label

halal berarti melindungi konsumen dan melaksanakan undang-undang

perlindungan konsumen.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian

Agama menetapkan label halal yang berlaku secara nasional. Penetapan label

halal tersebut dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun

2022 tentang Penetapan Label Halal. Keputusan tersebut berlaku sejak 1

Maret 2022. Dengan berlakunya aturan ini, ada perpindahan otoritas lembaga

yang mengeluarkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI kepada BPJPH

dibawah Kemenag. Penetapan Label Halal tersebut, dilakukan untuk

melaksanakan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Penetapan ini juga bagian dari

pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang

Penyelenggara Bidang JPH. Pada masa transisi penerapan logo halal ini, logo

halal MUI masih bisa digunakan hingga masa berlaku sertifikat halal pada

sebuah produknya habis. Untuk logo halal MUI hanya berlaku hingga tahun

2026, selama masih terdapat stok produk lama yang menggunakannya. Sama

seperti sertifikat halal yang dikeluarkan MUI, sertifikat halal yang dikeluarkan

BPJPH berlaku selama 4 tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH. Jika masa

berlaku sertifikat halal telah habis maka wajib diperpanjang oleh Pelaku

Usaha dengan mengajukan pembaruan sertifikat halal paling lambat 3 bulan

6
sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir. Selanjutnya di waktu yang

akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama

Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi. Sertifikat halal, sebagaimana

ketentuan dalam Undang-Undang, diselenggarakan oleh pemerintah bukan

lagi organisasi masyarakat.

Tabel 1
Logo Halal
Logo Halal MUI Logo Halal Kemenag

Banyaknya usaha coffee shop yang muncul pada kurun waktu lebih

kurang satu atau dua tahun terakhir di Kota Padang menjadikannya salah satu

tempat favorit bagi anak-anak maupun remaja untuk berkumpul atau

nongkrong bersama teman-teman, saudara maupun kerabat. Coffee shop

tersebut mempunyai desain dan konsep tempat yang bagus dan menarik untuk

berfoto, mempunyai berbagai fasilitas berupa koneksi jaringan internet atau

wi-fi gratis, sumber daya listrik gratis yang digunakan untuk melakukan

pengisian daya pada ponsel maupun perangkat elektronik lainnya serta hiburan

berupa live music berupa acoustic maupun disk jockey yang membuat

7
konsumen coffee shop tersebut ramai dan betah berlama-lama untuk

berkumpul atau nongkrong di coffee shop tersebut.

Usaha coffee shop tersebut menjual berbagai macam varian minuman

olahan dari kopi, bahkan ada menu dari coffee shop tersebut yang

menggunakan rum (rhum). Salah satu coffee shop tersebut mengklaim secara

sepihak bahwa rum(rhum) yang mereka gunakan tersebut halal dan tidak

mengandung alkohol tanpa memiliki sertifikat halal dari lembaga yang

berwenang. Dari beberapa coffee shop yang telah penulis kunjungi, semua

coffee shop tersebut tidak memiliki sertifikat halal dan tidak adanya

keterangan terhadap bahan-bahan yang secara umum digunakan dalam proses

pembuatan, sehingga membuat penulis maupun konsumen lainnya merasa

ragu dan tidak nyaman dalam mengonsumsi minuman tersebut. Hal tersebut

jelas melanggar hak-hak konsumen yaitu hak atas kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa serta hak atas

informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, dapat penulis

kemukakan beberapa rumusan masalah yang meliputi:

1. Apa yang menjadi alasan diperlukannya pengawasan terhadap

pelaku usaha coffee shop yang tidak memiliki sertifikat halal?

2. Bagaimana upaya dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

(BPJPH) dalam mengatasi banyaknya pelaku usaha coffee shop

yang tidak memiliki sertifikat halal?

8
A. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka tujuan yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui alasan diperlukannya pengawasan terhadap

pelaku usaha coffee shop yang tidak memiliki sertifikat halal.

2. Untuk mengetahui bagaimana upaya dari Badan Penyelenggara

Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam mengatasi banyaknya

pelaku usaha coffee shop yang tidak memiliki sertifikat halal.

B. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian ini menurut penulis terdapat beberapa

manfaat yang diperoleh antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum, serta

dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi para pihak yang

ingin mengetahui dan memahami perlindungan konsumen terhadap

pencantuman label halal pada produk pangan yang dikaitkan

dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari kajian ini diharapkan akan bermanfaat bagi

praktisi, akademisi, dan seluruh masyarakat, agar tidak hanya

mengetahui akan tetapi juga mengerti dan memahami terkait

perlindungan konsumen terhadap sertifikat halal dan pencantuman

9
label halal pada produk pangan, adapun manfaat secara rinci

sebagai berikut:

a. Bagi Masyarakat

Memberi kontribusi keilmuan pada bidang

hukum kepada masyarakat dan pihak terkait dalam

menghadapi persoalan yang berhubungan dengan

perlindungan konsumen terhadap sertifikat halal dan

pencantuman label halal pada produk pangan yaitu pada

konsumen khususnya konsumen Muslim serta pelaku

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

khususnya pada bidang pangan.

b. Bagi Pemerintah

Sebagai kontribusi teknis yang berkaitan secara

langsung dengan perlindungan konsumen terhadap

sertifikat halal dan pencantuman label halal pada

produk pangan.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan

bahan referensi serta rujukan untuk penelitian yang

akan datang.

C. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu metode penelitian hukum empiris, metode penelitian hukum empiris

10
merupakan penelitian dengan mengumpulkan data-data lapangan sebagai

sumber data utama, seperti hasil wawancara dan juga observasi. Penelitian

empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai

perilaku masyarakat yang berpola pada kehidupan masyarakat yang selalu

berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakat.5

Penelitian yuridis empiris dalam penulisan skripsi ini dilakukan

melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak BPJPH Kantor Wilayah

Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini bersifat deskriptif yakni merupakan penelitian

yang memberikan suatu gambaran secara sistematis terhadap objek yang

akan diteliti. Menurut Bambang Sunggono, penelitian deskriptif ini

bertujuan guna mendiskripsikan secara akurat, faktual, serta sistematis

pada suatu daerah atau populasi tertentu, yakni mengenai karakteristik,

atau faktor-faktor, serta sifat-sifat tertentu.6

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diambil dalam penelitian ini berdasarkan jenisnya

dibedakan, menjadi:

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung

dari penelitian lapangan. Data tersebut diperoleh melalui

wawancara kepada pihak-pihak yang dianggap berkaitan

langsung dengan persoalan dalam suatu penelitian.


5
Bambang Sunggono, 2003, “Metodologi Penelitian Hukum”, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.43.
6
Ibid., hlm.36.

11
b. Data Sekunder

Data sekunder ini didapatkan melalui penelitian

terhadap berbagai dokumen dan literatur yang berkaitan dengan

topik penelitian.

1) Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah peraturan

perundang-undangan yang mana tata urutannya

sesuai dengan hierarki peraturan perundang-

undangan. Dalam hal ini penulis menggunakan

bahan hukum primer antara lain:

a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

b) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan.

c) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012

tentang Pangan.

d) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal.

e) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun

1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

f) Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40

Tahun 2022 tentang Penetapan Label

Halal.

12
2) Bahan Hukum Sekunder

Pendapat hukum ini diperoleh melalui buku,

hasil penelitian, internet, doktrin, asas-asas hukum,

narasumber, dan juga sumber hukum lainnya yang

relevan dengan permasalahan hukum pada

penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini dikumpulkan melalui cara:

a. Wawancara yang mana merupakan cara mengumpulan data dengan

mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber yaitu kepada

BPJPH Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Barat.

b. Studi Kepustakaan yang mana mempelajari bahan hukum primer dan

juga bahan hukum sekunder dengan cara mempelajari regulasi-regulasi

yang terkait, buku-buku literatur yang terkait, asas-asas hukum yang

terkait serta fakta-fakta hukum yang terkait dengan perlindungan

konsumen dan jaminan produk halal.

5. Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengolahan Data

Data primer dan sekunder dalam hal ini yang diperoleh dan

dikumpulkan serta diolah dengan pengolahan data editing, yakni

dengan cara memeriksa dan merapikan data yang telah dikumpulkan

berupa hasil wawancara, catatan-catatan dan juga informasi yang

didapat dari hasil penelitian, yang bertujuan untuk mendapat ringkasan

atau poin inti dan mempermudah untuk melakukan analisa data.

13
b. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dalam penelitian selanjutnya

dideskripsikan dengan pokok-pokok permasalahan yang dikaji secara

yuridis empiris. Deskripsi yang dilakukan terhadap isi maupun struktur

hukum positif yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen dan

Jaminan Produk Halal.

6. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi merupakan seluruh objek penelitian yang memberikan

suatu data dan menjadi dasar pengambilan sampel. Objek penelitian

yang dimaksud bukan hanya orang atau manusia saja, akan tetapi dapat

berupa hewan, tumbuhan, benda dan lain-lain yang memiliki

karakteristik khusus dalam suatu penelitian.7 Pada penelitian ini,

penulis melakukan penelitian pada coffee shop di Kota Padang dan

memperoleh data mengenai kepemilikan sertifikat halal

b. Sampel

Sampel merupakan bagian atau sebagian dari populasi. Sampel sebagai

suatu contoh, diperoleh menggunakan cara tertentu.8 Dalam penelitian

ini, pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sample,

artinya terhadap semua sampel yang akan diambil sudah ditentukan

sebelumnya berdasarkan suatu pertimbangan dan kriteria tertentu.

Sampel yang diperoleh ialah 10 coffee shop di Kota Padang yang tidak

memiliki sertifikat halal sehingga dijadikan sebagai sampel dalam


7
Nurul Zuriah, 2009, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, PT. Bumi Aksara,
Jakarta, hlm.116.
8
Ibid., hlm.119.

14
penelitian skripsi ini. Coffee shop tersebut di antaranya ialah Parewa

Coffee, Laranja Garden, Menza Coffee, Flamboo Coffee, Jiwani, Situ

Koffie, Sideway Coffee, Takana Kopi, Heyya Coffee dan Show Koffie.

15
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Tinjauan Umum Tentang Konsumen, Pelaku Usaha dan Pangan

1. Konsumen

a. Pengertian Konsumen

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari

produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap

orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk

diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.9 Istilah lain yang agak

dekat dengan konsumen adalah “pembeli”. Pengertian konsumen jelas

lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan

secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F.

Kennedy dengan mengatakan, “Consumers by definition include us

all”10 yang artinya konsumen menurut definisi termasuk kita semua.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah

“konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK). Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

9
Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Medan, hlm.14.
10
Shidarta Gautama, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo,
Jakarta, hlm.2.

16
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.

Pengertian dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:11

1) Konsumen adalah setiap orang

Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk

juga badan usaha (badan hukum atau non hukum).

2) Konsumen sebagai pemakai

Pasal 1 angka 2 UUPK menegaskan bahwa UUPK

menggunakan kata “pemakai” untuk pengertian konsumen

akhir. Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih

luas yaitu semua orang mengonsumsi barang dan/atau jasa

untuk diri sendiri.

3) Barang dan/atau jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan

sifatnya untuk diperdagangkan) dan dipergunakan oleh

konsumen. Jasa yaitu layanan berupa pekerjaan atau

prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh konsumen.

4) Barang dan/atau jasa tersebut tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang akan diperdagangkan

telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak

mengalami kesulitan untuk mengonsumsinya.

11
Janus Sidabalok., 2014, Op. cit., hlm.14-15.

17
5) Barang dan/atau jasa digunakan digunakan untuk

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau makhluk

hidup

Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan

pribadi terhadap pemakaian suatu barang dan/atau jasa.

6) Barang dan/atau jasa tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yaitu

hanya konsumen akhir, sehingga maksud dari pengertian ini

adalah konsumen tidak memperdagangkan barang dan/atau

jasa yang telah diperolehnya. Namun untuk dikonsumsi

sendiri.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut bahwa

konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah

konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk

mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun

untuk memelihara/merawat harta bendanya.

b. Hak dan Kewajiban Konsumen

1) Hak Konsumen

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan

hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum.

Kepentingan sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk

18
dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu

tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.12

Pada dasarnya hak bersumber dari tiga hal, yaitu :

a) Hak manusia karena kodratnya;

Yaitu hak yang kita peroleh sejak lahir. Seperti hak

untuk hidup dan hak untuk bernafas. Hak ini tidak boleh

diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib

menjamin pemenuhannya. Hak inilah yang disebut hak asasi.

b) Hak yang lahir dari hukum; dan

Yaitu hak-hak yang diberikan oleh hukum negara

kepada manusia dalam kedudukannya sebagai warga

negara/warga masyarakat.

c) Hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang dan

orang lain melalui sebuah kontrak/perjanjian.

Yaitu hak yang didasarkan pada perjanjian/ kontrak

antara orang yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian, hak-hak konsumen itu terdiri dari:13

a) Hak konsumen sebagai manusia (yang perlu hidup);

b) Hak konsumen sebagai subjek hukum dan warga negara (yang

bersumber dari undang-undang/hukum); dan

c) Hak konsumen sebagai pihak pihak dalam kontrak (dalam

hubungan kontrak dengan konsumen-pelaku usaha).

12
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, hlm.40.
13
Janus Sidabalok., 2014, Op. cit., hlm.30.

19
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hak

konsumen adalah:

a) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan

dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

Konsumen berhak mendapatkan produk yang

nyaman, aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh

karena itu, konsumen harus dilindungi dari segala

bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa dan harta

bendanya karena memakai atau mengonsumsi produk.

Dengan demikian, setiap produk baik dari segi

komposisi bahan, kontruksi, maupun kualitasnya harus

diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan konsumen.

b) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau

jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk

memberikan kebebasan kepada konsumen untuk

memilih produk-produk tertentu sesuai dengan

kebutuhannya, kebebasan memilih ini berarti tidak ada

unsur paksaan atau tipu daya dari pelaku usaha.

c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

20
Hak atas informasi yang jelas dan benar

dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh

gambaran yang benar tentang suatu produk, karena

dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih

produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta

terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam

penggunaan produk.

d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas

barang dan/atau jasa yang digunakan;

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari

konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak

untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat

berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan

dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang

diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai,

ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang

telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau

yang berupa pernyataan/ pendapat tentang suatu

kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan

kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik

secara perorangan, maupun secara kolektif, baik yang

disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh

suatu lembaga tertentu, misalnya melalui YLKI

(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia).

21
e) Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara

patut;

Pelaku usaha tentu memahami mengenai barang

dan/atau jasa, sedangkan di sisi lain, konsumen sama

sekali tidak memahami proses yang dilakukan oleh

pelaku usaha. Sehingga posisi konsumen lebih lemah

dibanding pelaku usaha. Oleh karena itu, konsumen

perlu mendapat advokasi, perlindungan, serta upaya

penyelesaian sengketa secara patut.

f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan

konsumen;

Konsumen berhak mendapatkan pembinaan dan

pendidikan mengenai mengonsumsi barang dan/atau

jasa yang baik. Produsen atau pelaku usaha wajib

memberi informasi yang benar dan mendidik sehingga

konsumen makin dewasa bertindak dalam memenuhi

kebutuhannya, bukan sebaliknya mengeksploitasi

kelemahan-kelemahan konsumen terutama wanita dan

anak-anak.

g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

Sudah merupakan hak asasi manusia untuk

diperlakukan sama. Pelaku usaha harus memberikan

22
pelayanan yang sama kepada semua konsumennya,

tanpa memandang perbedaan ideologi, agama, suku,

kekayaan, maupun status sosial.

h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang

diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya; dan

Hak atas ganti kerugian dimaksudkan untuk

memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat

adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang tidak

memenuhi harapan konsumen. Untuk merealisasikan

hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik

yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan)

maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Sesuai dengan kedudukannya sebagai konsumen

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Adanya ketentuan ini membuka kemungkinan

berkembangnya pemikiran tentang hak-hak baru dari

konsumen di masa yang akan datang, sesuai dengan

perkembangan zaman.

23
2) Kewajiban Konsumen

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban

konsumen adalah:

a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan

prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau

jasa demi keamanan dan keselamatan;

Adapun kewajiban konsumen membaca atau

mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan

dan keselamatan merupakan hal penting mendapat

pengaturan. Adapun pentingnya kewajiban ini karena

sering pelaku usaha menyampaikan peringatan secara

jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak

membaca peringatan yang telah disampaikan

kepadanya.

b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian

barang dan/atau jasa;

Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik

hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau

jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi

konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan

produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan

produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan

24
terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).

c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

dan

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan

nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha, adalah

hal yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.

d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut.

Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelesan

lebih lanjut adalah kewajiban mengikuti upaya

penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru,

sebab sebelum diundangkannya UUPK hampir tidak

dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini

dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana

tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh

aparat kepolisian dan/atau kejaksaan. Adanya kewajiban

seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab

kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen

untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut.14

14
Ahmad di Miru, 2015, Hukum Perlindungan Konsumen, Grafindo Persada, Jakarta,
hlm.50.

25
2. Pelaku Usaha

a. Pengertian Pelaku Usaha

Produsen atau pelaku usaha diartikan sebagai pengusaha yang

menghasilkan barang dan/atau jasa. Dalam pengertian ini, termasuk di

dalamnya pembuat, grosir, dan pengecer. Produsen tidak hanya

diartikan sebagai pelaku usaha pembuat/pabrik yang menghasilkan

produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan

penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.15

Dalam konteks perlindungan konsumen, produsen atau pelaku

usaha diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya

dengan produk makanan hasil industri (pangan olahan), maka

produsennya adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan

makanan hasil industri (pangan olahan) itu hingga sampai ke tangan

konsumen. Mereka itu adalah pabrik (pembuat), distributor, eksportir,

importir, dan pengecer.16

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha

adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.

15
Janus Sidabalok., 2014, Op. cit., hlm.13.
16
Ibid.

26
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

1) Hak Pelaku Usaha

Dalam Pasal 6 UUPK, hak pelaku usaha adalah:

a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa

yang diperdagangkan;

b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik;

c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukun sengketa konsumen;

d) Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau

jasa yang diperdagangkan; dan

e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

2) Kewajiban Pelaku Usaha

Menurut Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban

pelaku usaha adalah:

a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan

pemeliharaan;

27
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar

dan jujur serta tidak diskriminatif;

d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi

dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar

mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji

dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta

memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang

dibuat dan/atau diperdagangkan; dan

f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau

dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

c. Larangan Pelaku Usaha

Menurut Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, larangan bagi pelaku

usaha adalah:

1) Larangan sehubungan dengan berproduksi dan

memperdagangkan barang dan/ atau jasa:

a) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

b) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto,

dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang

dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

28
c) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan

jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang

sebenarnya;

d) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan,

atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,

etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses

pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu

sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan

barang dan/atau jasa tersebut;

f) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,

etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang

dan/atau jasa tersebut;

g) Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka

waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atau

barang tertentu;

h) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,

sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan

label;

i) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang

yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau

netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,

akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta

29
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut

ketentuan harus dipasang/dibuat; dan

j) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk

penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang

rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud;

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi

dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar,

dengan atau tanpa memberi informasi secara lengkap dan

benar; dan

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1)

dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau

jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

3. Pangan

a. Pengertian Pangan

Secara definitif, menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pangan adalah segala sesuatu

yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak

diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi

konsumsi manusia. Termasuk didalamnya adalah Bahan Tambahan

Pangan (BTP), bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan

dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan

30
atau minuman. Sedangkan pangan olahan adalah makanan atau

minuman hasil proses dengan cara tertentu atau metode tertentu,

dengan atau tanpa bahan tambahan.17 Sedangkan menurut Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,

pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk

pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan

air, makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan

tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang

digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan

makanan atau minuman.

Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan

untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,

dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan

membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan

agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk

dikonsumsi.

b. Pengertian Makanan dan Minuman

Secara etimologi makan berarti memasukkan sesuatu melalui

mulut, sedangkan makanan ialah segala sesuatu yang boleh dimakan.

Sedangkan minum secara etimologi berarti meneguk barang cair

dengan mulut, sedangkan minuman adalah segala sesuatu yang boleh

diminum.

17
Tejasari, 2005, Nilai Gizi dan Pangan, Graha Ilmu, Jember, hlm.1.

31
B. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Produk Halal

1. Dasar Hukum Pengaturan Jaminan Produk Halal

Ada banyak peraturan perundang-undangan yang membahas dan

menjadi landasan hukum produk halal sebelum Undang-Undang Nomor

33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disahkan, antara lain:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor

69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Instruksi Presiden (Inpres)

Tahun 1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi

dan Peredaran Makanan Olahan, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan

dan Menteri Agama RI Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985, Nomor 68

Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Lebel Makanan,

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

82/MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label

Makanan, yang diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:

924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes RI

Nomor 82/ Menkes/SK/1996. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri

Agama dan Menteri Kesehatan Nomor 472/MENKES/SKB/VIII/1985 dan

Nomor 68/1985 tentang Pengaturan Tulisan “Halal” pada Label Makanan,

Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label

Halal.18

18
Musataklima, 2021, “Self Declare Produk Halal Usaha Kecil Mikro: Antara
Kemudahan Berusaha dan Jaminan Hak Spiritual Konsumen”, Jurnal Hukum dan Syariah Vol.
13, No. 1, 2021, hlm.32-52.

32
Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal adalah sebagai bentuk penegasan terhadap peraturan

perundang-undangan yang telah berlaku sebelumnya, untuk memberikan

jaminan perlindungan hukum kepada konsumen, yang lebih spesifiknya

mengatur perlindungan hukum terhadap umat muslim yang memiliki

kepentingan terhadap produk halal. Hal tersebut dibuktikan dalam salah

satu ketentuan pada Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan bahwa “Produk

Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat

Islam”.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal (UU-JPH) memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang

selama ini tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Di sisi lain

UUJPH dapat disebut sebagai payung hukum (umbrella act) bagi

pengaturan produk halal. Jaminan Produk Halal (JPH) dalam undang-

undang ini mencakup berbagai aspek tidak hanya obat, makanan, dan

kosmetik akan tetapi lebih luas dari itu menjangkau produk kimiawi,

produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang

dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

2. Definisi Halal

Kata halal (halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama

Islam yang berarti “diizinkan” atau “boleh”. Secara etimologi, halal berarti

hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat

33
dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.19 Istilah halal dalam

kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk makanan ataupun minuman

yang diperbolehkan untuk dikonsumsi menurut syariat Islam. Sedangkan

dalam konteks luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu baik itu

tingkah laku, aktivitas, maupun cara berpakaian dan lain sebagainya yang

diperbolehkan atau diizinkan oleh hukum Islam.

Pengertian produk makanan dan minuman halal dalam Pasal 1

angka 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal menyebutkan bahwa “Produk halal merupakan produk yang telah

dinyatakan halal, berdasarkan ketentuan syariat Islam”.

Agama Islam merupakan agama yang saangat teliti dalam

mengatur umatnya agar tidak memakan makanan yang haram dengan

menjelaskan semua yang halal dimakan maupun yang diharamkan. Allah

telah menciptakan bumi lengkap dengan isinya agar manusia dapat

memilih dan tidak mengikuti langkah-langkah syaitan yang selalu

menggoda umat manusia untuk mengikuti jalanya.20

Kata halal berasal dari akar kata yang berarti lepas atau tidak

terikat. Sesuatu yang halal artinya sesuatu yang terlepas dari ikatan bahaya

duniawi dan ukhrawi. Dalam bahasa hukum, kata halal juga berarti boleh.

Kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menentramkan dan

yang paling utama. Dalam konteks makanan, thayyib artinya makanan

19
Yusuf Qardhawi, 2007, Halal dan Haram Dalam Islam, Era Intermedia, Surakarta,
hlm.5.
20
Muhammad Yusuf Qardhawi, 1993, Halal dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu,
Semarang, hlm.53.

34
yang tidak kotor dari segi dzatnya atau kedaluarsa (rusak) atau dicampuri

benda najis.21

Secara singkat dapat dikatakan bahwa makanan thayyib adalah

makanan yang sehat, proporsional dan aman (halal). Untuk dapat menilai

suatu makanan itu thayyib (bergizi) atau tidak harus terlebih dahulu

diketahui komposisinya. Bahan makanan yang thayyib bagi umat Islam

harus terlebih dahulu memenuhi syarat halal, karena bahan makanan yang

menurut ilmu pengetahuan tergolong baik, belum tentu termasuk makanan

yang halal.22

Berdasarkan panduan Sertifikat Halal Departemen Agama Tahun

2003, produk Halal memiliki kriteria:

a. Tidak mengandung babi dan bahan makanan yang berasal dari

babi;

b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan, seperti

bahan-bahan dari organ manusia, darah, kotoran, dan

sebagainya;

c. Semua bahan yang berasal dan disembelih melalui syariat

Islam; dan

d. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung

khamar.

3. Lembaga Sertifikasi Produk Halal

Spesifikasi sertifikasi halal di Indonesia terbatas pada bahan-bahan

yang berasal dari hewan, tumbuhan, mikroba, dan bahan yang dihasilkan

21
Ahsin W, 2007, Fiqih Kesehatan, Amzah, Jakarta, hlm.165.
22
Ibid., hlm.166.

35
melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik dalam

proses produksi pembuatan produk halal baik itu nantinya dijadikan

sebagai bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, maupun bahan

penolong harus halal menurut syariat agama. Jika bahan tersebut berasal

dari hewan maka diharamkan.

Spesifikasi bahan-bahan dan tata cara pengelolaan akan diproses

oleh lembaga-lembaga yang berwenang antara lain:

a. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

BPJPH dibentuk berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BPJPH

setidaknya dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11,

Pasal 16, Pasal 21 ayat (3), Pasal 44 ayat (3), Pasal 46 ayat (3),

Pasal 47 ayat (4), Pasal 52, dan Pasal 67 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk perlu

menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal. Sesuai dengan amanat pasal 4 UUJPH,

lalu Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang

Kementrian Agama Pasal 45 sampai dengan pasal 48 tentang

BPJPH, dan terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 42

Tahun 2016 yang memuat tentang struktur BPJPH, maka secara

resmi berdirilah BPJPH. BPJPH merupakan lembaga negara

dibawah Kementrian Agama yang resmi berdiri pada 11

Oktober 2017. BPJPH sebagai Lembaga Eselon 1/Dirjen,

36
dipimpin oleh kepala badan JPH atau kepala BPJPH pada 02

Agustus 2017. Bertugas untuk mempersiapkan pelaksanaan

atas amanat pasal 4 UUJPH, yakni produk yang masuk,

beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib

bersertifikat halal karena untuk sebelumnya sertifikat halal

adalah sukarela atau voluntary.

b. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)

Mengacu pada Pasal 7 UU JPH, Lembaga Pemeriksa

Halal (LPH) adalah lembaga yang melakukan kegiatan

pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk.

LPH dapat didirikan oleh pemerintah pusat maupun daerah,

kementrian/lembaga, didirikan oleh perguruan tinggi negeri

(PTN), BUMN maupun BUMD dan/atau masyarakat (diajukan

oleh lembaga keagamaan islam berbadan hukum terbatas pada

yayasan/perkumpulan saja) dengan keharusan memenuhi 4

syarat, yakni: (1) memiliki kantor sendiri dan segala

perlengapannya; (2) memiliki akreditasi dari BPJPH; (3)

memiliki auditor halal sedikitnya 3 (tiga) orang; (4) memiliki

laboratorium/ kesepakatan kejasama dengan lembaga lain yang

memiliki laboratorium.

Auditor mempunyai peran yang urgent, auditor halal

diperlukan untuk memeriksa dan mengkaji bahan, proses

pengolahan produk, sistem penyembelihan, meneliti lokasi

produk, berbagai peralatan produksi, ruang produksi,

37
penyimpanan, dan memeriksa pendistribusian dan penyajian

produk. Itulah yang menjadikan sebab auditor halal harus

berpendidikan minimal sarjana strata-1 bidang kimia/ biokimia/

biologi/ teknik industri/ farmasi dan yang terpenting ia harus

mempunyai pengetahuan yang mumpuni tentang kehalalan

menurut syariat islam.

c. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika-

Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)

MUI dalam sistem ketatanegaraan bukan merupakan

badan, lembaga, komisi negara yang atas dasar undang-undang,

atau pemerintah atas perintah undang-undang sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Meskipun MUI

disebutkan dalam beberapa Pasal UU Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal, namun itu tidak berarti MUI

dibentuk ataupun diperintahkan pembentukannya dengan

undang-undang ataupun peraturan daerah. MUI sendiri

berperan terhadap hasil pengujian yang disampaikan oleh

Auditor kepada BPJPH karena nantinya akan diteruskan kepada

MUI untuk ditetapkan status kehalalannya melalui Sidang

Fatwa Halal (Pasal 32 UU JPH). Hasil keputusan mengenai

produk diproses paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung

sejak hasil pemeriksaan diserahkan kepada MUI. Sidang ini

tidak hanya dihadiri oleh anggota MUI, namun juga melibatkan

38
pakar, instansi terkait, dan perwakilan kementerian atau

kelembagaan. Keputusan dalam Sidang Fatwa Halal

ditandatangani MUI kemudian diserahkan kepada BPJPH

untuk bisa dikeluarkan sertifikat halal (Pasal 33 UU JPH). 23

Diterbitkannya UU JPH membawa perubahan terutama terkait

kelembagaan penyelenggara sertifikasi halal. BPJPH bekerjasama dengan

beberapa kelembagaan seperti Kementerian, LPH, dan MUI dalam

merealisasikan UU JPH. BPJPH bekerjasama dengan Lembaga Pemeriksa

Halal (LPH) untuk melakukan audit terhadap produk. Sedangkan dalam

penetapan fatwa, BPJPH bekerjasama dengan MUI dengan mengeluarkan

Keputusan Penetapan Halal Produk melalui Sidang Fatwa Halal.24

Lembaga Pemeriksa Halal dapat didirikan oleh Pemerintah maupun

lembaga keagamaan Islam berbadan hukum. LPH yang didirikan oleh

Pemerintah misalnya adalah LPH yang berdiri dibawah Perguruan Tinggi

Negeri (Pasal 12 UU JPH). LPH setidaknya memiliki paling sedikit tiga

auditor halal yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap bahan

yang digunakan, proses pengolahan, proses penyembelihan, peralatan dan

ruang produksi, penyajian, penyimpanan, distribusi, dan Sistem Jaminan

Halal (SJH) perusahaan (Pasal 15 UU JPH).25

23
Mutiara Fajrin Maulidya Mohammad, 2021, “Pengaturan Sertifikasi Jaminan Produk
Halal Di Indonesia”, Kertha Wicaksana, Vol. 15, No. 2, 2021, hlm.153.
24
Hayyun Durrotul Faridah, 2019, “Sertifikasi Halal di Indonesia Sejarah,
Perkembangan dan Implementasi”, Journal of Halal Product and Research, Vol. 2, No. 2, 2019,
hlm.74.
25
Ibid., hlm.75.

39
BPJPH memiliki beberapa tugas diantaranya mengawasi kehalalan

produk, mengawasi Lembaga Pemeriksa Halal, keberadaan penyelia halal

di perusahaan, pemasangan logo halal dan tidak halal, masa berlaku

sertifikat halal, pemisahan antara produksi bahan halal dan tidak halal,

pengemasan, penyimpanan, penyajian, pendistribusian, penjualan, dan

kegiatan lain tentang jaminan produk halal.

Lembaga yang berkompeten untuk menguji kehalalan suatu

peroduk yang diperdagangkan diwilayah Indonesia, baik ditingkat pusat

maupun daerah, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan

Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Penunjukan lembaga

ini berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor

519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal

dimana pada Pasal 1 menyebutkan bahwa “menunjuk Majelis Ulama

Indonesia sebagai pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal,

yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia”. Hal ini kemudian

diperkuat lagi dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924 Tahun

1996 yang menunjuk LPPOM MUI sebagai lembaga yang berhak untuk

menguji dan mengeluarkan sertifikat halal.26

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian

Agama menetapkan label halal yang berlaku secara nasional. Penetapan

label halal tersebut dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40

Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Keputusan tersebut berlaku

sejak 1 Maret 2022. Dengan berlakunya aturan ini,ada perpindahan

26
Ibid., hlm.16.

40
otoritas lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI

kepada BPJPH dibawah Kemenag. Penetapan Label Halal tersebut,

dilakukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Penetapan ini

juga bagian dari pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 39

Tahun 2021 tentang Penyelenggara Bidang JPH.

4. Prosedur Sertifikat Halal

a. Menyiapkan dokumen pelengkap

Pelaku usaha harus menyiapkan dokumen pelengkap untuk

melakukan permohonan sertifikat halal, antara lain:

1) Data pelaku usaha berupa Nomor Induk Berusaha (NIB)

dan data Penyelia Halal;

2) Nama dan jenis produk;

3) Daftar produk dan bahan yang digunakan berupa bahan

baku, bahan tambahan dan bahan penolong;

4) Proses pengolahan produk, mulai dari proses pembelian,

penerimaan, penyimpanan bahan yang digunakan,

pengolahan, pengemasan, penyimpanan produk jadi

distribusi; dan

5) Dokumen sistem jaminan produk halal, merupakan sistem

manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh

perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga

kesinambungan proses produksi halal.

41
b. Melakukan pendaftaran

Pendaftaran dilakukan secara online di https://ptsp.halal.go.id.

c. Memeriksa kelengkapan dokumen

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) akan

memeriksa kelengkapan dokumen pelaku usaha dan menetapkan

Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang akan memeriksa dan/atau

menguji kehalalan produk.

d. Memeriksa dan/atau menguji kehalalan produk

Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) akan melakukan pemeriksaan

dan menguji terhadap kehalalan produk yang didaftarkan.

e. Menetapkan kehalalan produk

Setelah lolos pemeriksaan dan pengujian produk, Majelis

Ulama Indonesia (MUI) akan menetapkan kehalalan produk melalui

sidang fatwa halal.

f. Menerbitkan sertifikat halal

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

menerbitkan sertifikat halal.

42
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Diperlukannya Pengawasan Terhadap Pelaku Usaha Coffee Shop

Yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal

Pengawasan merupakan salah satu pilar penting dalam

penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH). Pengawasan merupakan salah

satu amar dan amanat regulasi Jaminan Produk Halal yang wajib

dilaksanakan, yang memiliki urgensi mendasar dalam mewujudkan

keterjaminan produk halal melalui sertifikasi halal bagi produk yang masuk,

beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Sesuai ketentuan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun

2021, pengawasan JPH dilakukan terhadap sejumlah area yang terkait

langsung dengan penyelenggaraan JPH. Yaitu, Lembaga Pemeriksa Halal

(LPH), masa berlaku sertifikat halal, kehalalan produk, pencantuman label

halal, serta pencantuman keterangan tidak halal, pemisahan lokasi, tempat, dan

alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,

penjualan, serta penyajian antara produk halal dan tidak halal. Pengawasan

juga dilakukan terhadap keberadaan penyelia halal, dan/atau kegiatan lain

yang berkaitan dengan JPH. Dengan cakupan tersebut, maka pengawasan

Jaminan Produk Halal ini menjalankan fungsi penting dalam memastikan

berjalannya dengan baik seluruh sektor jaminan produk halal sehingga

terwujud pengendalian keterjaminan kehalalan atas produk yang beredar,

dikonsumsi serta digunakan oleh masyarakat.

43
Jika dikelompokkan, maka objek pengawasan dapat terbagi menjadi

tiga, yaitu produk, pelaku usaha, dan LPH. Pengawasan pada produk

difokuskan pada masa berlaku sertifikat halal, pencantuman label halal,

pencantuman keterangan tidak halal, serta kehalalan produk. Pada pelaku

usaha, pengawasan dilakukan dengan fokus pada penerapan Sistem Jaminan

Produk Halal (SJPH), keberadaan penyelia halal di perusahaan, serta

penggunaan bahan dan proses produk halal (PPH) yang di dalamnya terdapat

pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara produk halal

dan produk tidak halal. Sedangkan pada LPH, pengawasan JPH difokuskan

pada sistem manajemen halal, auditor halal dan mekanisme audit halal, serta

laboratorium.

Sesuai ketentuan regulasi, dijelaskan bahwa pengawasan JPH

dilaksanakan oleh pengawas JPH pada BPJPH, kementerian terkait, lembaga

terkait, dan/atau pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, yang diangkat

oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang_undangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31

Tahun 2019 pasal 75, tugas pengawasan JPH dilakukan oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) secara sendiri-sendiri atau

bersama-sama dengan kementerian terkait, lembaga terkait, dan/ atau

pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pengawasan terhadap

JPH oleh BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah

daerah tersebut dilaksanakan oleh pengawas JPH. Tak hanya pengawas JPH,

pengawasan JPH dapat juga diperankan oleh masyarakat. Hal ini diatur oleh

44
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH yang

menyatakan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan

JPH. Peran ini dapat berupa melakukan sosialisasi mengenai JPH dan

mengawasi produk dan produk halal yang beredar. aksanakan oleh pengawas

JPH. Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan Produk Halal

yang beredar tersebut berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH. Hal

tersebut penting untuk mewujudkan good governance dan penyelenggaraan

layanan yang baik bagi masyarakat dalam bentuk penyelenggaraan jaminan

produk halal yang optimal. Terlebih, lanjutnya, hal ini akan ikut mendorong

kemajuan industri halal Indonesia yang diharapkan berkontribusi bagi

pembangunan nasional.

Pangan, obat-obatan, kosmetika dan produk guna pakai merupakan

bagian dari kebutuhan hidup. Semua kebutuhan tersebut harus terpenuhi

secara baik, cukup, aman, bermutu, dan bergizi. Dari aspek harga, produk

kebutuhan juga harus terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selain itu produk-

produk kebutuhan tidak boleh bertentangan dengan agama, keyakinan, dan

budaya masyarakat. Untuk memenuhi semua hal tersebut perlu adanya suatu

sistem produksi yang memberikan jaminan dan perlindungan, baik bagi

produsen maupun konsumen.27

Di sisi lain, para pelaku usaha di bidang produk kebutuhan hidup juga

harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap produk-produk yang disebar-

luaskan. Baik itu berkaitan dengan kesehatan maupun kehalalan produk.

Masyarakat juga berhak mengetahui dan mendapatkan informasi yang jelas

27
Celina Tri Siwi Kristanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.57.

45
mengenai setiap komposisi produk yang disajikan sebelum membeli dan

mengkonsumsi. Informasi tersebut terkait dengan asal bahan, keamanan,

mutu, kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan sehingga

masyarakat dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar dan

akurat. Akses informasi adalah bagian terpenting dalam memenuhi prinsip

keterbukaan informasi bagi konsumen yang di dalamnya mengandung makna

adanya kepastian hukum sebagaimana tujuan yang digariskan dalam

penyelenggaraan perlindungan terhadap konsumen.28

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang industri

pengolahan produk telah berkembang dengan sangat cepat. Dengan

memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengolahan produk

kebutuhan hidup telah menggunakan berbagai bahan, baik yang berasal dari

bahan halal maupun haram, baik disengaja maupun tidak disengaja. Adanya

bahan tambahan produk dari berbagai bahan dasar terutama berupa ekstrasi

dari bahan hewani telah mengakibatkan percampuran antara bahan halal dan

yang tidak halal. Adanya percampuran bahan dalam produk mengakibatkan

produk kebutuhan berubah menjadi tidak halal. Dengan adanya pemanfaatan

bahan-bahan tidak halal dalam berbagai produk kebutuhan hidup maka

produk-produk yang beredar di masyarakat belum terjamin kehalalannya

meskipun pelaku usaha sudah menyatakan halal pada produk yang dipasarkan.

Hal ini karena untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu produk olahan

diperlukan kajian dan pengetahuan khusus multidisiplin, seperti pengetahuan

28
Ibid., hlm.64.

46
di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan

pemahaman tentang syariat.

Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di

dunia yang tentu saja berkepentingan dengan peredaran produk yang aman

dan berstandar halal. Sebab secara otomatis kaum muslim menjadi konsumen

terbesar di negeri ini di samping menjadi incaran dan target impor negara-

negara lain. Maka itu sepatutnya konsumen dalam negeri mendapatkan

perlindungan dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk pangan

yang beredar.

Kedudukan konsumen dihadapan para pelaku usaha pada umumnya

memang sangat lemah. Konsumen menjadi objek dari aktivitas bisnis para

pelaku usaha melalui promosi, iklan dan cara penjualan serta penerapan

perjanjian-perjanjian standar yang acapkali secara sengaja merugikan

konsumen. Lemahnya posisi konsumen menjadi sasaran empuk bagi para

pebisnis yang acapkali mengelabuhi konsumen melalui produk- produk yang

ditawarkan. Dengan proses peredaran produk yang cepat disinyalir para

pebisnis memiliki ruang gerak yang bebas dalam memberikan produk yang

tidak sepatutnya. Oleh karena itu, pemerintahan harus turun tangan

memberikan perlindungan kepada masyarakat konsumen.

Memenuhi kebutuhan hidup halal merupakan hak dasar bagi setiap

muslim. Hal ini bukan saja berhubungan dengan keyakinan beragama, tetapi

juga berkaitan dengan dimensi kesehatan, ekonomi, keamanan dan kebutuhan

ibadah. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, tanpa diminta sudah

semestinya negara hadir melindungi warganya dalam pemenuhan hak-hak

47
mendasar warganya. Selaras dengan itu pelaku usaha (produsen) juga sudah

seharusnya memberikan perlindungan kepada konsumen. Untuk kepentingan

tersebut, maka dituntut peran yang lebih aktif negara dalam pengaturan sistem

ekonomi yang dijabarkan dalam strategi yang dilakukan negara dalam

menjalankan instrumen bisnis di antaranya melalui regulasi. 29

Menyediakan pangan halal dan aman adalah bisnis yang sangat

prospektif, karena dengan melalui sertifikasi dan label halal dapat

mengundang pelanggan loyal yang bukan saja diminati oleh muslim tetapi

juga masyarakat non muslim. Sebaliknya bagi produsen yang tidak

memberikan keterangan halal yang memasarkan produknya di negara seperti

Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim, produknya kurang diminati

sehingga merugikan pelaku usaha sendiri. Pangan halal bagi muslim itu

terbukti berkualitas dan sangat baik untuk kesehatan tubuh manusia. Adanya

sertifikasi-labelisasi halal bukan saja bertujuan memberi ketentraman batin

pada umat Islam tetapi juga ketenangan berproduksi bagi pelaku usaha.

Apalagi dalam konteks globalisasi ekonomi dan pasar global, sertifikasi-

labelisasi halal pangan makin diperlukan. Oleh karenanya, mengapa industri

halal ini memiliki peluang besar untuk ikut bersanding dalam memberikan

pangan yang aman, bermutu, bergizi, dan sehat. Industri halal pun sudah

banyak diterapkan di negara islam lainnya, dan ada beberapa negara non islam

yang telah melaksanakan industri halal ini. Karena industri halal tak hanya

diberikan kepada konsumen muslim tetapi juga kepada non muslim.30

29
Ali Mustafa Yaqub, 2009, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetik Menurut
Al-Quran dan Hadist, Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm.76.
30
Ibid., hlm.88.

48
Coffee shop pada mulanya hanya menyediakan dan menjual kopi dan

dengan cepat. Para konsumennya juga berasal dari segelintir orang yang

benar-benar suka dan mengerti tentang kopi. Tapi dengan seiring

berjalanannya waktu, kini coffee shop tidak hanya menjual atau mengandalkan

rasa yang enak dan nikmat, melainkan coffee shop pada era sekarang mulai

berinovasi dengan memunculkan dan membuat inovasi baru seperti konsep

bangunan dan juga hiburan. Sebagai contoh mulai dari tahun 2018-2022 ini

banyak coffee shop yang membuat bangunannya atau tokonya berkonsep semi

industrial, selain itu banyak coffee shop yang mulai menjual hiburan seperti

live music di coffee shopnya. Dengan beberapa inovasi dari coffee shop ini

para konsumen yang datang bukan lagi berasal dari orang-orang yang

mengerti tentang kopi, melainkan para remajapun mulai berdatangan dan juga

mulai memenuhi bahkan mendominasi menjadi konsumen di coffee shop yang

ada di Kota Padang. Apalagi adanya fasilitas wi-fi yang membuat para remaja

ini untuk datang dan mengonsumsi menu yang ada di coffee shop.

Tidak hanya menikmati kopi yang ada di coffee shop, para remaja ini

juga bisa memesan menu-menu lain selain kopi, misalnya green tea, coklat

dan berbagai macam minuman lain. Selain itu coffee shop sekarang juga

menjual makanan, mulai dari cemilan hingga makanan berat seperti ayam

geprek, mi goreng dan masih banyak lagi. Inilah yang membuat coffee shop

mulai menjadi fenomena konsumen dikalangan remaja.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti telah melakukan survei

di 10 coffee shop yang ada di Kota Padang tentang kepemilikan sertifikat

halal. Survei ini dilakukan dengan cara memberikan beberapa pertanyaan

49
melalui kuesioner yang diberikan kepada owner atau manager coffee shop

tersebut. Berdasarkan kuesioner tersebut 10 coffee shop tersebut tidak

memiliki sertifikat halal.

Tabel 2
Data Coffee Shop Yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal di Kota Padang

Kepemilikan Sertifikat Halal

Nama Coffee Shop Sudah Belum

Parewa Coffee - Belum

Laranja Garden - Belum

Menza Coffee - Belum

Flamboo Coffee - Belum

Jiwani - Belum

Situ Koffie - Belum

Sideway Coffee - Belum

Takana Kopi - Belum

Heyya Coffee - Belum

Show Koffie - Belum

Sumber: Kuesioner Penelitian Terhadap Pelaku Usaha Coffee Shop


Yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal di Kota Padang
(https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSfQGGWKM)
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal disebutkan, produk yang wajib memiliki sertifikat halal

adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat,

50
kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta

barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kewajiban untuk memiliki sertifikat halal ini dilakukan secara

bertahap yang dimulai dari produk makanan dan minuman. Tahapan

selanjutnya adalah untuk produk selain makanan dan minuman, serta jasa.

Sertifikat halal ini harus dimiliki setiap produk yang masuk, beredar

dan diperdagangkan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, produk-

produk dari UMKM juga wajib memiliki sertifikat halal.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur LPPOM-MUI Sumatera

Barat, sertifikat halal tidak hanya untuk bahan bakunya saja. Memang, ada

kecenderungan masyarakat menganggap kopi bubuk itu sudah pasti halal.

Bahan bakunya saja pada dasarnya sudah halal. Begitu pula dengan proses

pengolahannya, cuma disangrai saja. Tidak ada bahan tambahan apapun,

kecuali produsennya sengaja menambahkan, seperti produk kopi susu atau

kopi dengan berbagai aroma dan rasa.31

Namun, banyak yang belum memahami bahwa halalnya sebuah produk

itu tidak terbatas pada bahan bakunya saja. Proses pengolahannya juga harus

halal. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal disebutkan, Proses Produk Halal yang selanjutnya

disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk

mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

31
Wawancara dengan Bapak Syaifullah, Direktur LPPOM-MUI Sumatera Barat, Tanggal
18 Oktober 2022.

51
Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal, Proses Produk Halal meliputi:

1. Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi,

tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk

tidak halal.

2. Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib:

a. Dijaga kebersihan dan higienitasnya;

b. Bebas dari najis; dan

c. Bebas dari bahan tidak halal.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

Dari penjelasaan di atas sudah menjawab pertanyaan tentang titik kritis

halal pada produk kopi bubuk, yakni terletak pada Proses Produk Halal-nya.

Bahan baku kopi bubuk itu zatnya memang sudah halal, tapi belum ada

jaminan proses pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,

penjualan, dan penyajiannya juga halal. Inilah yang sering tidak diperhatikan

para pelaku UMKM.

Selama ini, pelaku UMKM makanan dan minuman sudah cukup puas

dengan sertifikat P-IRT (Produk Industri Rumah Tangga) dan sertifikat LHS

52
(Laik Higiene Sanitasi) yang dikeluarkan Dinas Kesehatan setempat.32 Namun

sertifikat halal juga mutlak diperlukan. Hal ini karena dalam proses

sertifikasinya lebih ketat dari proses sertifikasi P-IRT. Jika sertifikat P-IRT

hanya menyoroti masalah higienitas (bersih dan aman untuk dikonsumsi),

Jaminan Produk Halal lebih kompleks. Selain bersih dan aman bagi kesehatan

konsumen, setiap bahan dan proses produksi dari makanan dan minuman

tersebut juga dipastikan halal.

Jika kopi bubuknya harus bersertifikat halal, maka minuman kopinya

juga harus memiliki sertifikat halal. Sekarang ini sedang populer minuman

kopi yang dalam proses pembuatannya dicampur dengan berbagai macam

bahan tambahan. Salah satunya adalah dengan menambahkan krim atau yang

disebut kopi susu. Dalam hal ini, konsumen harus tahu apakah krim yang

ditambahkan tersebut halal atau tidak.

Satu cara untuk meyakinkan konsumen bahwa minuman kopi tersebut

halal sudah tentu dengan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan BPJPH.

Karena dalam proses sertifikasinya, yang disertifikasi bukan hanya bahan

baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong saja. Melainkan

juga seluruh rangkaian proses produksi mulai dari lokasi, tempat dan alatnya.

Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha coffee

shop tersebut agar mereka mendaftarkan sertifikat halal.

32
Wawancara dengan Ibu Guswenny, Fungsional Sanitarian Muda Dinas Kesehatan Kota
Padang, Tanggal 01 November 2022.

53
B. Upaya Dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

Dalam Mengatasi Banyaknya Pelaku Usaha Coffee Shop Yang Tidak

Memiliki Sertifikat Halal di Kota Padang

Doktrin halalan thayyiban (halal dan baik) sangat perlu untuk

diinformasikan dan diformulasikan secara efektif dan operasional kepada

masyarakat disertai dengan tercukupinya sarana dan prasarana. Salah satu

sarana penting untuk mengawal doktrin halalan thayyiban adalah dengan

hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progresif, akamodatif

dan tidak diskriminatif yakni dengan hadirnya Undang- Undang Nomor 33

Tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH).33

Beberapa faktor yang mendasari pentingnya UUJPH antara lain,

pertama perbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada yang

mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum memberikan

kepastian hukum dan jaminan hukum bagi konsumen untuk dapat

mengonsumsi produk halal. Sehingga masyarakat mengalami kesulitan dalam

membedakan antara produk yang halal dan haram. Selain itu pengaturan

produknya masih sangat terbatas hanya soal pangan belum mencakup obat-

obatan, kosmetik, produk kimia biologis dan rekayasa genetik. Kedua, tidak

ada kepastian hukum kepada institusi mana keterlibatan negara secara jelas di

dalam jaminan produk halal. Sistem yang ada belum secara jelas memberikan

kepastian wewenang, tugas dan fungsi dalam kaitan implementasi JPH,

termasuk koordinasinya. Ketiga, peredaran dan produk di pasar domestik

makin sulit dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa

33
Sofyan Hasan, 2014, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan Implementasinya di
Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, hlm.351.

54
teknologi, bioteknologi dan proses kimia biologis. Keempat, produk halal

Indonesia belum memiliki standar dan tanda halal resmi (standar halal

nasional) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana di Singapura,

Amerika Serikat, dan Malaysia. Kelima, sistem informasi produk halal belum

sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan masyarakat tentang produk-

produk yang halal.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

(UUJPH) memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang selama ini

tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, di sisi lain UUJPH dapat

disebut sebagai payung hukum bagi pengaturan produk halal. Jaminan Produk

Halal (JPH) dalam undang-undang ini mencakup berbagai aspek tidak hanya

obat, makanan dan kosmetik akan tetapi lebih luas dari itu menjangkau produk

kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang

dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengaturannya pun

menjangkau kehalalan produk dari hulu sampai hilir. Proses Produk Halal

(PPH) didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan

produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.34

Tujuan dari UUJPH adalah untuk menjamin setiap pemeluk agama

beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, memberikan pelindungan dan

jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat

sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan

transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Selain itu,

34
Ibid., hlm.356

55
penyelenggaraan sistem produk halal bertujuan memberikan kenyamanan,

keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi

masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta

meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan

menjual produk halal.

Jaminan produk halal secara teknis kemudian dijabarkan melalui proses

sertifikasi. Sebelumnya sertifikasi halal bersifat voluntary (sukarela), dalam

UUJPH menjadi mandatory (keharusan). Karena itu, semua produk yang

masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat

halal. Hal inilah yang menjadi pembeda utama dengan produk perundang-

undangan sebelumnya yang lebih dahulu terbit. Nantinya sebagai penanggung

jawab sistem jaminan halal dilakukan oleh pemerintah yang diselenggarakan

Menteri Agama dengan membentuk Badan Penyelenggara JPH (BPJPH) yang

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama.

BPJPH memiliki kewenangan sebagai berikut, merumuskan dan

menetapkan kebijakan JPH; menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria

JPH; menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada

Produk; melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;

melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; melakukan

akreditasi terhadap LPH (Lembaga Penjamin Halal); melakukan registrasi

Auditor Halal; melakukan pengawasan terhadap JPH; melakukan pembinaan

Auditor Halal; dan melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar

negeri di bidang penyelenggaraan JPH. 35

35
Wawancara dengan Bapak Ikrar Abdi, Satgas Halal Kementerian Agama Sumatera Barat,
Tanggal 27 Oktober 2022.

56
Dalam melaksanakan wewenangnya BPJPH bekerja sama dengan

Kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan

Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan

untuk pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan

MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi Auditor Halal, penetapan kehalalan

produk, akreditasi LPH.

Untuk menjamin kelancaran proses produksi halal pelaku usaha berhak

memperoleh beberapa hal yaitu informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai

sistem JPH; pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan pelayanan

untuk mendapatkan Sertifikat Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau,

dan tidak diskriminatif. Selain itu, pelaku usaha yang mengajukan

permohonan Sertifikat Halal wajib, memberikan informasi secara benar, jelas,

dan jujur; memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara

Produk Halal dan tidak halal; memiliki Penyelia Halal; dan melaporkan

perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Bagi pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal ada beberapa

kewajiban yang harus dilakukan yaitu: mencantumkan Label Halal terhadap

Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal; menjaga kehalalan Produk yang

telah memperoleh Sertifikat Halal; memisahkan lokasi, tempat dan

penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,

penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; memperbarui

Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan melaporkan

perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.

57
Terhadap pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang

berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan

permohonan Sertifikat Halal. Pelaku Usaha semacam ini wajib mencantumkan

keterangan tidak halal pada produk. Pengaturan semacam itu sangat penting

mengingat penduduk Indonesia terdiri dari masyarakat yang memiliki

kepercayaan, agama dan keyakinan yang begitu plural. Oleh karena itu,

terhadap produk atau makanan yang berasal dari daging babi, anjing dan

hewan lainnya yang dinyatakan tidak halal untuk golongan masyarakat

tertentu tidak adanya label maupun sertifikat halal pun tidak menghalangi

mereka untuk memakan produk tersebut.

Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan

permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya,

BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/

atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus

memperoleh akreditasi dari BPJH yang berkerja sama dengan MUI. Penetapan

kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam

bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI.

BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal

Produk dari MUI tersebut. Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun

sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.

Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan

pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku

Sertifikat Halal berakhir.

58
Terkait biaya, sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang

mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar

pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-Undang ini memberikan peran

bagi pihak lain seperti pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja

negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,

perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas

untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Sertifikasi halal adalah sertifkasi yang perlu dilakukan terutama pada

produk makanan guna menjamin kehalalan produknya. Hal ini dikarenakan

Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi muslim terbesar

sehingga permintaan pasar untuk produk-produk Islam yang sangat besar.

Halal juga menjadi isu yang paling sensitif di Indonesia. Oleh karena itu,

sertifikasi halal ini penting dilakukan oleh pelaku usaha. Selain halal menurut

syariat Islam, produk yang dikonsumsi oleh masyarakat harus dipastikan

“Thayyib” yakni aman, baik, bersih, dan tidak berbahaya bagi kesehatan.36

Sertifikasi halal terdapat dua jenis, yakni bisa berupa Self Declare dan

Sertifikasi Halal Resmi oleh MUI. Self Declare juga sebenarnya juga

mengharuskan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengaju ketika

ingin mendeklarasikan produknya sebagai produk yang halal dan hanya

berbiaya Rp300.000,- (tiga ratus ribu Rupiah) prosedur sertifikasi melalui

BPJPH. Namun berbeda dengan sertifikasi halal yang mengikuti serangkaian

prosedur yang lengkap.

36
Wawancara dengan Bapak Syaifullah, Direktur LPPOM-MUI Sumatera Barat, Tanggal
18 Oktober 2022.

59
Sebagai lembaga yang diberi amanah Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Badan Penyelenggara Jaminan

Produk Halal (BPJPH) menandai era baru jaminan produk halal di Indonesia.

Jika sebelumnya jaminan produk halal (JPH) dilaksanakan oleh masyarakat

dan bersifat voluntary, melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal, tugas JPH beralih dan menjadi tanggung jawab

negara (pemerintah) dan bersifat mandatory. Sebelum Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, penjaminan produk

halal dilaksanakan atas kesadaran individual atau organisasional, saat ini

menjadi tanggung jawab kolektif.37

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian

Agama terus melakukan penyiapan pendamping Proses Produk Halal (PPH)

guna mendukung percepatan pelaksanaan kewajiban sertifikasi halal. Upaya

penyiapan Pendamping PPH tersebut merupakan perwujudan dari amanat

regulasi Jaminan Produk Halal (JPH). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39

Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (JPH)

dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2021 mengatur secara

khusus mekanisme Sertifikasi Halal bagi Pelaku UMK. Hal itu sejalan dengan

semangat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja untuk memberi kesempatan dan

berbagai kemudahan bagi para pelaku UMK dalam mengembangkan

usahanya.

Sebagaimana ketentuan regulasi, PPH atau Proses Produk Halal itu

sendiri adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang

37
Wawancara dengan Bapak Ikrar Abdi, Satgas Halal Kementerian Agama Sumatera
Barat, Tanggal 27 Oktober 2022.

60
meliputi penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Pendampingan PPH

merupakan kegiatan mendampingi pelaku UMK dalam memenuhi persyaratan

kehalalan produk, dalam rangka melaksanakan kewajiban sertifikasi halal.

Pendampingan PPH dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam atau

lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi.

Kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku UMK dengan mekanisme self

declare artinya mereka cukup membuat pernyataan dari mereka sendiri yang

sudah memenuhi standar Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

(BPJPH) untuk disertifikasi, dimana hal ini dilaksanakan dengan wajib

memenuhi kriteria, seperti produk tidak berisiko atau menggunakan bahan

yang sudah dipastikan kehalalannya, dan proses produksi yang dipastikan

kehalalannya dan sederhana.

Mengawali tahun 2023, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

(BPJPH) kembali membuka program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). Berbeda

dengan tahun sebelumnya, Sehati 2023 akan dibuka sepanjang tahun. Pada

program ini terdapat 1 juta kuota sertifikasi halal gratis dengan mekanisme

pernyataan pelaku usaha (self declare). Untuk mendaftar Sehati 2023 pelaku

usaha dapat mengakses ptsp.halal.go.id. Selain melalui laman ptsp.halal.go.id,

pendaftaran sertifikasi halal juga dapat dilakukan melalui aplikasi Pusaka.

Pusaka merupakan aplikasi yang menghadirkan berbagai fitur layanan online

Kementerian Agama untuk masyarakat. Misalnya, pendaftaran haji,

pendaftaran nikah, sertifikasi halal, dan lain-lain. Aplikasi ini sudah dapat

diunduh di Playstore bagi pengguna android atau di Appstore bagi pengguna

61
iOS. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha,

menguatkan UMK, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memberi nilai

tambah produk UMK sehingga mampu bersaing di pasar lokal dan

internasional.38

Adapun syarat-syarat pendaftaran Sehati 2023 mengacu kepada

Keputusan Kepala BPJPH (Kepkaban) Nomor 150 tahun 2022, sebagai

berikut:

1. Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah

dipastikan kehalalannya;

2. Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana;

3. Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);

4. Memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp500 juta

yang dibuktikan dengan pernyataan mandiri;

5. Memiliki lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) yang

terpisah dengan lokasi, tempat dan alat proses produk tidak halal;

6. Memiliki atau tidak memiliki surat izin edar

(PIRT/MD/UMOT/UKOT), Sertifikat Laik Higiene Sanitasi

(SLHS) untuk produk makanan/minuman dengan daya simpan

kurang dari 7 (tujuh) hari, atau izin industri lainnya atas produk

yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait;

7. Produk yang dihasilkan berupa barang sebagaimana rincian jenis

produk dalam lampiran keputusan ini;

8. Bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya;

38
Wawancara dengan Bapak Ikrar Abdi, Satgas Halal Kementerian Agama Sumatera
Barat, Tanggal 27 Oktober 2022.

62
9. Tidak menggunakan bahan berbahaya;

10. Telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk

halal;

11. Jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak

mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari

produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang

sudah bersertifikat halal;

12. Menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau

dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis (usaha rumahan

bukan usaha pabrik);

13. Proses pengawetan produk sederhana dan tidak menggunakan

kombinasi lebih dari satu metode pengawetan;

14. Bersedia melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan

mekanisme pernyataan mandiri secara online melalui SIHALAL.

Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha coffee shop

terhadap pentingnya sertifikasi halal, BPJPH perlu memberikan pembinaan

berupa sosialisasi tentang pentingnya halal terhadap produk makanan dan

minuman kepada pelaku usaha tersebut, sehingga apa yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

terlaksana dengan baik.

BPJPH akan fokus melakukan pembinaan bagi produsen yang tertarik

mendaftar sertifikasi halal. Melalui pembinaan itu, BPJPH akan mengarahkan

para produsen untuk memenuhi berbagai persyarataan dan ketentuan untuk

mendapatkan sertifikat halal. Pembinaan itu akan berisi sosialisasi bagi

63
produsen makanan dan minuman, yang memang menjadi fokus BPJPH.

Pembinaan ini bertujuan agar para produsen dan UMK menyadari pentingnya

sertifikat halal karena kesadaran mereka tentang pentingnya sertifikat halal

sangat rendah.

64
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan dapat

disimpulkan:

1. Pada dasarnya kopi merupakan pangan halal, namun halalnya

sebuah produk tidak terbatas pada bahan bakunya saja, tetapi

proses pengolahnnya juga harus halal. Proses Produk Halal (PPH)

adalah serangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk

mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian produk.

Dari penjelasan tersebut telah menjawab pertanyaan tentang titik

kritis halal pada produk kopi bubuk, yakni terletak pada proses

produk halalnya. Bahan baku kopi bubuk itu zatnya memang sudah

halal, tetapi belum ada jaminan proses pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajiannya juga

halal. Inilah yang sering tidak diperhatikan oleh para pelaku usaha

coffee shop, sehingga diperlukan pengawasan terhadap pelaku

usaha coffee shop tersebut.

2. Upaya dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

dalam mengatasi banyaknya pelaku usaha coffee shop yang tidak

memiliki sertifikat halal adalah dengan mengadakan program

sertifikasi halal gratis yang diberi nama program Sehati pada tahun

2023 ini. Kuota yang diberikan pada program ini berjumlah 1 juta

65
sertifikasi halal yang akan diberikan secara gratis kepada para

pelaku usaha sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pelaku

usaha, menguatkan UMK, meningkatkan kesadaran masyarakat

dan memberi nilai tambah produk UMK sehingga mampu bersaing

di pasar lokal maupun internasional.

B. Saran

Berdasarkan dari hasil pembahasan hingga kesimpulan yang telah

penulis jabarkan diatas, maka pada akhir dari kepenulisan ini akan penulis

sampaikan beberapa saran yaitu:

1. Bagi pelaku usaha hendaknya menyadari akan pentingnya produk

halal bagi konsumen, mengingat mayoritas penduduk di Indonesia

beragama islam, sehingga dengan adanya sertifikat halal dapat

memberi jaminan serta memberi rasa aman dan nyaman kepada

konsumen dalam mengonsumsi produk makanan dan minuman.

2. Bagi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

hendaknya memberikan pemahaman tentang produk halal dan juga

sertifikat halal kepada para pelaku usaha UMKM melalui

sosialisasi, sehingga produk yang di jual sudah terjamin

kualitasnya dan tidak ada keragu-raguan serta memberi rasa aman

dan nyaman kepada konsumen dalam mengonsumsi makanan dan

minuman tersebut.

66
DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. BUKU

Gautama, Shidarta, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta,


PT. Grasindo.

Hasan, Sofyan, 2014, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan
Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta, Aswaja Pressindo.

Kristanti, Celina Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta,


Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,


Yogyakarta, Liberty.

Miru, Ahmad di, 2015, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Grafindo


Persada.

Nasution, Az., 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,


Jakarta, Diadit Media.

Qardhawi, Muhammad Yusuf, 1993, Halal dan Haram Dalam Islam,


Semarang, Bina Ilmu.

Qardhawi, Yusuf, 2007, Halal dan Haram Dalam Islam, Surakarta, Era
Intermedia.

Rajugukguk, Erman, Et.Al., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung,


Mandar Maju.

Sasongko, Wahyu, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Perlindungan


Konsumen, Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Siahaan, N.H.T., 2005, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,


Jakarta, Pantai Rei.

Sidabalok, Janus, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Medan,


Citra Aditya Bakti.

Suhrawardi, 2012, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta Timur, Sinar Grafika Offset.

Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja


Grafindo Persada.

Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung, Mandar Maju.
Tejasari, 2005, Nilai Gizi dan Pangan, Jember, Graha Ilmu.

W, Ahsin, 2007, Fiqih Kesehatan, Jakarta, Amzah.

Yaqub, Ali Mustafa, 2009, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan
Kosmetik Menurut Al-Quran dan Hadist, Jakarta, Pustaka Firdaus.

Zulham, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta,


Kencana Prenada Media Group.

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Halal dan Iklan
Pangan.

Keputusan Menteri Kesehatan dan Menteri Agama R.I No.


427/MENKES//VIII/1985NOMOR: 68 Tahun 1985 Tentang
Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan.

C. JURNAL

Faridah, Hayyun Durrotul, 2019, “Sertifikasi Halal di Indonesia Sejarah,


Perkembangan dan Implementasi”, Journal of Halal Product and
Research, Vol. 2, No. 2, 2019.

Mohammad, Mutiara Fajrin Maulidya, 2021, “Pengaturan Sertifikasi Jaminan


Produk Halal Di Indonesia”, Kertha Wicaksana, Vol. 15, No. 2, 2021.

Musataklima, 2021, “Self Declare Produk Halal Usaha Kecil Mikro: Antara
Kemudahan Berusaha dan Jaminan Hak Spiritual Konsumen”, Jurnal
Hukum dan Syariah Vol. 13, No. 1, 2021.

D. INTERNET

“Artikel Wawasan Bisnis”, http://www.ukmindonesia.id, dikunjungi pada


tanggal 18 Maret 2022 Jam 20:00.

http://disperindag.sumbarprov.go.id/details/news/4699, dikunjungi pada


tanggal 19 Maret 2022 Jam 14:00.

Anda mungkin juga menyukai