Anda di halaman 1dari 88

ANALISIS YURIDIS PENGATURAN TENTANG PERKAWINAN TANPA

IZIN ISTERI PERTAMA MENURUT PASAL 279 KUHP BERDASARKAN


PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 75 K/PID/ 2016 & 168
K/MIL/2016

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan dalam Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum
Universitas Riau

Disusun Oleh :

Nama : Dandy Gilang Mandala Putra Azwan


Nim : 1509116526

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohhim, Alhamdulillah puja-puji dan syukur

penulis ucapakan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta

Karunia-Nya kepada kita semua, dan tak lupa juga mengucapakn Shalawat kepada

Nabi Muhammad SAW. Dengan ini penulisan skripsi yang berjudul “Analisis

Yuridis Terkait Tindak Pidana Perkawinan Tanpa Izin Isteri Pertama

Menurut Pasal 279 KUHP” telah selesai.

Kepada yang teristimewa, penulis mengucapakan rasa

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Papa Azwan Anwar dan Mama Nita

Wati, S.Psi yang telah mengasuh, merawat, membesarkan, mendidik, membiayai

pendidikan dan memberikan doa serta dukungan kepada penulis hingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada ketiga saudari penulis Oliza

Anaesthesia Azwan, B.A in Psychology and Antropology-Sociology, Diva Ayoe

Veronica Azwan, S.Ikom dan Principessa Carina Azwan yang telah memberikan

dukungan kepada penulis.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam

memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Riau.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Aras Mulyadi, DEA., selaku Rektor

Universitas Riau;

2. Kepada Bapak Dr. Mexsasai Indra, SH., MH., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Riau;

i
3. Kepada Ibu Dr. Evi Deliana, HZ, SH, LL.M selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Riau;

4. Kepada Ibu Dr. Dessy Artina, SH., MH., Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Riau;

5. Kepada Bapak Erdiansyah, SH., M.H., Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Riau;

6. Kepada Bapak Dr. Zulfikar Jayakusuma, SH., MH. Selaku Ketua Prodi S1

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau;

7. Kepada Ibu Ferawati, S.H., M.H. Selaku Koordinator Program Kekhususan

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Riau; dan Sekaligus Selaku

Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan,

pengarahan dan hal lain yang berhubungan dengan penulisan dan penyelesaian

skripsi ini;

8. Kepada Bapak Dr. Erdianto Effendi, S.H., M.Hum Selaku Pembimbing I

yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, pengarahan dan hal lain

yang berhubungan dengan penulisan dan penyelesaian skripsi ini;

9. Kepada Bapak Dr. Mukhlis R. S.H., M.H Selaku Ketua Penguji yang telah

memberikan kritikan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini;

10. Kepada Ibu Ledy Diana, S.H., M.H Selaku Penguji I yang telah memberikan

kritikan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini;

11. Kepada Ibu Elmayanti, S.H., M.H Selaku Penguji II yang telah memberikan

kritikan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini;

ii
12. Kepada Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas

Riau yang telah memberikan ilmunya dan membantu memberikan kemudahan

untuk semua urusan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Riau;

Pekanbaru, 18 Oktober 2021

Dandy Gilang Mandala Putra Azwan

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................... iv

ABSTRAK......................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah...................................................................................... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian............................................................... 7

D. Kerangka Teori.......................................................................................... 8

E. Kerangka Konseptual................................................................................. 16

F. Metode Penelitian...................................................................................... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 19

A. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum............................................ 19

1. Pengertian Penegakan Hukum.............................................................. 19

2. Penegakan Pasal 279 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) 25

B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Pidana dan Penanggulangan

Kejahatan................................................................................................... 26

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana................................................... 26

2. Kebijakan Hukum Menurut Para Ahli.................................................. 29

iv
3. Upaya Penanggulangan Kejahatan dengan Tindakan Preventif, Represif,

dan Kuratif............................................................................................ 30

C. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan....................................................... 32

1. Pengertian Perkawinan.......................................................................... 32

2. Asas-Asas Perkawinan.......................................................................... 33

3. Syarat-Syarat Perkawinan..................................................................... 34

4. Nikah Siri.............................................................................................. 36

D. Tinjauan Tentang Pembuktian................................................................... 38

1. Pengertian Pembuktian......................................................................... 38

2. Sistem Pembuktian................................................................................ 41

3. Beban Pembuktian................................................................................ 44

4. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian .................................................. 44

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................ 56

A. Faktor Penghambat Dalam Penegakan Tindak Pidana Perkawinan

Tanpa Izin Isteri Pertama Menurut Pasal 279 KUHP................................ 56

B. Pengaturan Yang Ideal Terkait Tindak Pidana Perkawinan Tanpa Izin

Isteri Pertama Menurut Pasal 279 KUHP.................................................. 63

BAB IV PENUTUP........................................................................................... 72

A. Kesimpulan................................................................................................ 72

B. Saran.......................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA

v
ABSTRAK

Nikah siri pada hakekatnya bagian dari agama islam, dan diperbolehkan
dalam agama islam. Budaya nikah siri ini diadobsi dari budaya arab, tak hanya di
negeri timur saja budaya nikah siri inipun merambah hingga ke Indonesia.
Perihalnya karena masyarkat Indonesia yang mayoritasnya pemeluk agama islam.
Praktik nikah siri sudah lama ada dan masih berjalan, kadangkala pernikahan yang
menjadi suatu lambang kesucian dan bentuk sebuah komitmen dalam berumah
tanggapun bisa jadi dampak dari praktik nikah siri ini. Sebab pernikahan dikotori
dengan perselingkuhan oleh seorang pasangannya dengan menikahi seorang yang
lain atau yang tak asing kita dengar dengan istilah poligami. Acap kali nikah siri
menjadi jalan keluar bagi para pelaku-pelaku poligami. Hal ini membawa pelaku
poligami terjerat keranah hukum pidana, mengenai tindak pidana itu diatur dalam
Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya akan disebut
KUHP) dengan ancaman pidana penjara 5 tahun. Dengan kata lain, seseorang
diancam pidana penjara 5 tahun apabila melangsungkan pernikahan untuk kedua
kalinya tanpa mendapatkan izin dari isteri atau suami pertamanya yang masih sah
secara hukum dan masih hidup. Namun penerapan Pasal ini dinilai masih kurang
dalam penegakan hukumnya, karena penerapan yuriprudensi di Indonesia tidaklah
suatu kewajiban bagi hakim, sehingga hakim bebas menafsirkan Pasal-pasal yang
ada menurut keyakinannya.
Jenis penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian hukum
Normatif, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Pendekatan yang
dilakukan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dengan mencari data baik
dalam buku, jurnal dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun sumber data yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder.
Kesimpulan yang bisa diperoleh dari hasil penelitian adalah Pertama,
Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Perkawinan Tanpa Izin Isteri Pertama Menurut Pasal 279 KUHP ini masih
memiliki simpang siur mengenai regulasinya dan alat bukti yang digunakan dalam
proses persidangan sehingga penegakannya ternilai kurang cukup. Kedua,
Pengaturan Yang Ideal Terkait Tindak Pidana Perkawinan Tanpa Izin Isteri
Pertama Menurut Pasal 279 KUHP memang telah diatur didalam KUHP. Namun
sangat disayangkan tindak pidana ini tidak diatur atau dibuat dalam suatu
pertauran perundang-undangan yang khusus dan spesifik mengenai tindak pidana
ini. Agar kekosongan hukum mengenai regulasi tindak pidana ini tak lagi menjadi
ruang yang kosong.

Kata Kunci: Nikah Siri, Tindak Pidana, Perkawinan, Pasal 279 KUHP.

vi
ABSTRACT

Unregistered marriage is essentially part of the religion of Islam, and


allowed in the Islamic religion. The culture of siri marriage is adopted from
Arabic culture, not only in the east, the culture of siri marriage is extended to
Indonesia. The thing is because the majority of Indonesian people are Muslim.
The practice of unregistered marriage has been around for a long time and is still
running, sometimes marriage which is a symbol of purity and the form of a
commitment in household marriage can be an impact of the practice of
unregistered marriage. Because marriage is littered with infidelity by a spouse by
marrying someone else or we are familiar with the term polygamy. Often
unregistered marriage becomes a way out for polygamists. This led to polygamy
perpetrators being ensnared by the existence of criminal law, regarding criminal
acts regulated in Article 279 of the Criminal Code (hereinafter referred to as the
Criminal Code) with the threat of imprisonment of 5 years. In other words, a
person is punishable by a five-year prison sentence for a second marriage without
permission from his wife or first husband who is still legally and still alive.
However, the application of this Article is still considered lacking in law
enforcement, because the application of juriprudence in Indonesia is not an
obligation for judges, so judges are free to interpret the Articles according to
their beliefs.
This type of research can be classified in the type of Normative legal
research, which reveals legislation relating to legal theories that are the object of
research. The approach taken uses a qualitative analysis approach by looking for
data both in books, journals and other scientific works related to this research.
The data sources used are primary and secondary legal materials.
The conclusions that can be obtained from the results of the study are the
First, Inhibiting Factors in Law Enforcement Against Criminal Acts of Marriage
Without First Wife Permission According to Article 279 of the Criminal Code this
still has a confusion regarding its regulation and the evidence used in the trial
process so that the enforcement is considered insufficient. Second, the Ideal
Arrangement Regarding Criminal Acts of Marriage Without the Permission of the
First Wife According to Article 279 of the Criminal Code is already regulated in
the Criminal Code. However, it is unfortunate that this crime has not been
regulated or made in a specific and specific legal regulation regarding this crime.
So that the legal vacuum regarding the regulation of criminal acts will no longer
be an empty space.

Keywords: Siri Marriage, Criminal Acts, Marriage, Article 279 of the Criminal
Code.

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Didalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Perubahan

atas Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud

dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.1

Indonesia telah mengatur syarat-syarat sah suatu perkawinan dan juga

syarat-syarat bagi seorang laki-laki apabila ingin memiliki istri lebih dari satu.

Syarat-syarat untuk melakukan poligami diatur secara lengkap pada Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 sampai dengan Pasal 5. Adapun

asas-asas yang dijadikan sebagai fondasi atau batang tubuh terbentuknya

undang-undang perkawinan yang dihayati oleh bangsa Indonesia, yaitu tujuan

perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,

perkawinan dianggap sah kalau diselenggerakan berdasarkan hukum agama

dan kepercayaannya, untuk kemudian dilakukan pencatatan sesuai aturan,

asas monogami pada dasarnya dipergunakan sebagai landasan, calon

mempelai hendaknya sudah matang jiwa dan raga saat melangsungkan

perkawinan. Mengingat tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga


1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1
yang bahagia dan kekal sejahtera, maka dianutlah prinsip untuk mempersulit

terjadinya perceraian, ada keseimbangan kedudukan hukum antara suami dan

istri.2

Sedangkan sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.3

Jelas bahwa sebuah perkawinan itu sudah sah apabila dilakukan

berdasarkan menurut agama, kebiasaan atau hal-hal yang dipercayai oleh para

pihak yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi ada satu hal yang tidak

boleh terlewatkan sebuah perkawinan haruslah tercatatkan menurut peraturan

perundang-undangan, sebab pernikahan itu harus diakui oleh negara agar

negara dapat memberikan perlindungan bagi perkawinan tersebut. Karna

perkawinan yang tidak terdaftarkan berarti perkawinan tersebut tidak di akui

oleh negara secara administratif tetapi perkawinan itu tetap ada tanpa adanya

pengakuan oleh negara atas perkawinan tersebut.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah diatur dengan lengkap dan runtut

mengenai perkawinan, namun ada saja penyimpangan- penyimpangan yang

dilakukan oleh masyarakat. Salah satu penyimpangan yang dilakukan adalah


2
Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, Refika Aditama, Bandung:
2016, hlm. 22.
3
Ibid, pasal 2.

2
kejahatan asal-usul perkawinan. Kejahatan terhadap asal-usul perkawinan di

Indonesia merupakan suatu kejahatan yang jarang didengar namun banyak

terjadi pada masyarakat yang berada di kota-kota tertentu yang memiliki

jumlah penduduk padat. Kejahatan ini merupakan kejahatan yang kurang

diminati untuk diperbincangkan karena hal ini merupakan hal yang berkaitan

dengan urusan pribadi orang yang bersangkutan, selain itu, juga menimbulkan

rasa malu pada korban dan keluarga korban/pelaku.

Di Indonesia asas perkawinan yang berlaku pada hukum perkawinan

di Indonesia adalah Asas Monogami. Dalam bahasa yunani monogami

memiliki arti satu pernikahan, mono yang berati satu atau sendiri, sedangkan

gamos yang berarti pernikahan. Yang berarti dimana seorang pria hanya

diperbolehkan memiliki seorang isteri dan begitupun sebaliknya. Namun,

monogami yang diterapkan di Indonesia merupakan monogami relatif yang

artinya memberi peluang bagi seseorang untuk melakukan poligami dengan

syarat dan ketentuan yang berlaku pada perundang-undangan yaitu syarat

alternatif dan kumulatif. Poligami itu sendiri diambil dari bahasa yunani yang

berati perinakahan lebih dari satu suami atau isteri, atau di Indonesia lebih

popular dengan istlah Nikah Siri. Menurut ajaran agama islam poligami itu

boleh dilakukan atau terapkan dalam perkawinan dan tidak bertentangan

dengan ajaran islam, selama seorang suami dapat berlaku adil terhadap

isterinya. Alasan ini yang membuat negara Indonesia memperbolehkan

praktik poligami yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Undang-

3
Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Nikah siri adalah proses pernikahan yang telah memenuhi syarat

rukun nikah seperti pernikahan yang lengkap seperti adanya calon pengantin,

adanya wali, ada prosesi ijab kabul, adanya saksi dan syarat-syarat lain yang

tidak berbeda dengan pernikahan biasa. Hanya, suatu pernikahan dikatakan

siri apabila tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama sehingga pernikahan

tersebut tidak memiliki dokumen resmi pada lembaga negara yang

berwenang.4

Sebuah data yang dikutip oleh website Di Indonesia mengatakan,

“terjadi 813 kasus perceraian akibat poligami pada tahun 2004 dan meningkat

pada tahun 2006 sebanyak 983 kasus di pengadilan agama” kasus poligami Di

Indonesia ternilai banyak namun, dari sekian kasus poligami yang ada hakim

tidak menjerat pelaku poligami dengan Pasal 279 KUHP.

Dalam beberapa kasus di Indonesia, yang lebih spesifiknya kasus

nikah siri, pada Putusan Mahkamah Agung Nomor:168 K/MIL/2016

mengenai kasus Andi Baharudin dan Juwita R dengan isteri pertama saksin

korban Hasrani (yang berikutnya akan disebut dengan Kasus 1) dan

Nomor:75 K/PID/2016 mengenai kasus seorang kapten diangkatan militer

melakukan poligami dengan Sdri. Hartini (yang berikutnya akan disebut

dengan Kasus 2). Seorang pria tidak dapat dijerat Pasal 279 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut dengan KUHP) karena alat

bukti yang dinilai oleh Hakim tidak memenuhi syarat dalam proses
4
Dr Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Kencana, 2016, hlm. 95.

4
persidangan, yang tertuang didalam Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut dengan KUHAP). Adapun isi

dari Pasal 184 ayat 1 KUHAP adalah:

Alat bukti yang sah ialah:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Pada kasus 1 hasil dari putusan ini Terdakwa 1 Andi dan Terdakwa 2

Juwita telah melakukan pernikahan yang kedua kalinya padahal ada

pernikahan sah yang menjadi penghalang yang sah, saksi korban yaitu Sdri.

Hasrani melaporkan Terdakwa 1 dan Terdakwa 2 dengan dakwaan Pasal 279

KUHP, setelah melakukan beberapa proses hukum hingga Terdakwa 1 dan

Terdakwa 2 mengajukan permohonan Kasai. Dalam kasus ini Hakim

mengambil langkah untuk membebaskan pria tersebut atas dasar Pasal 185

ayat 2 KUHAP yaitu “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya.” Dan Pasal 185 ayat 3 KUHAP yaitu “Ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti

yang sah lainya.” Kalau perkawinan yang dilakukan pria tersebut adalah

perkawinan yang kedua kalinya atau nikah siri setelah perkawinan

pertamanya dengan isteri yang sah, maka perkawinan yang keduanya tidak

5
sah karena nikah siri tidak diakui oleh Negara dan tidak memiliki bukti surat

perkawian atau buku nikah, namun perkawinan itu tetap ada hanya saja bukti

otentiknya yang tidak ada. Tidak hanya itu hakim juga menyatakan bahwa

putusan majelis hakim pengadilan tinggi negeri makasar dinilai keliru karena

tidak mempertimbangkan Pasal 74 ayat 1 KUHAP, menerangkan

bahwasannya Pasal 279 KUHP ini menupakan delik aduan, sementara itu

pengaduan yang dilakukan oleh saksi pelapor/korban dalam perkara ini sudah

kadaluwarsa. “Pengaduan hanya boleh dilakukan dalam waktu enam bulan

sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika

bertempat di Indonesia atau dalam kurun waktu Sembilan bulan jika

bertempat tinggal diluar Indonesia”. saksi korban pernah mendatangi rumah

Terdakwa 2 dan bertemu dengan anak dari Terdakwa 1 dan Terdakwa 2 yang

saat itu berumur 9 (sembilan) bulan. Hakim menganggap saksi korban telah

mengetahui bahwasannya pernikahan itu sudah terjadi lebih dari masa waktu

unsur delik aduan yaitu enam bulan.

Pada Kasus 2 seorang anggota Angkatan militer telah dinyatakan

bebas dari dakwaan awal pasal 279 KUHP, Terdakwa 1 dilaporkan saksi

korban telah melakukan poligami sedangkan saksi korban tidak pernah

memberikan izin baik secara tertulis maupun lisan. Membaca tuntutan pidana

Oditur Militer pada Oditurat Militer I-01, Mahkamah Agung menerima

permohonan kasasi meskipun pada putusan sebelumnya Terdakwa 1

dinyatakan bebas. Menarik tolak ukur pada Pasal 244 KUHAP, Terdakwa

atau Penutut Umum/Oditur dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah

6
Agung kecuali terhadap putusan bebas. Hakim Mahkamah Agung menerima

permohonan kasasi yang diajukan Oditur Militer, karena Pasal 244 KUHAP

menggunakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” Pasal tersebut tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat maka Mahkamah Agung berwenang

memeriksa permohonan kasasi terhadap putusan bebas. Pada tingkat kasasi

dari permohonan kasasi Oditur Militer tersebut Mahkamah Agung

berpendapat, bahwa alasan kasasi Oditur Militer tidak dapat dibenarkan

karena sifatnya penghargaan atas hasil pembuktian yang tidak tunduk pada

pemeriksaan kasasi. Hakim juga berpendapat bahwa ketentuan Menteri

Agama RI Nomor 2 Tahun 1987 Pasal 1 huruf b tentang Wali Hakim, bahwa

penghulu Sdr, Muhammad A in casu. tidak memiliki kapasitas untuk

menikahkan Terdakwa dengan Saksi 5 in casu. Dapat disimpulkan bahwa

Sdr. Muhammad A tidak sah bertindak untuk menikahkan Terdakwa dengan

Saksi 5 in casu dan karenanya perkawinan kedua antara Terdakwa dengan

Saksi 5 Sdri. Hartini in casu harus dinyatakan tidak ada karena tidak

memenuhi rukun nikah sebagaimana dimaksud dalam Kompilasi Hukum

Isalam.

Mengenai asal-usul pernikahan ini juga ditegaskan didalam surat

edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan

Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung 2016 Sebagai

Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan yang menyatakan sebagai berikut;

“Bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang

suami dengan perempuan lain sedangkan sumai tersebut

7
tidak mendapat izin isteri pertamanya untuk melangsungkan

perkawinan yang lain, maka pasal 279 KUHP Pidana dapat

diterapkan“

Kejahatan terhadap asal usul perkawinan diatur dalam Pasal 279

KUHP yaitu:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun :

a. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi

penghalang yang sah untuk itu;

b. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi

penghalang untuk itu.

(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1

menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada

menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara

paling lama tujuh tahun.

(3) Pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 nomor 1-5 dapat dinyatakan. Selain

itu juga diatur dalam Pasal 280 KUHP: “Barangsiapa mengadakan

perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahukan kepada pihak lain

bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling

lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut,

perkawinan lalu dinyatakan tidak sah.”

8
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah dan kasus diatas, jelas

yang senyatanya (das sein) pelanggaran pada Pasal 279 KUHP mengenai

Asal-Usul Perkawinan yang seharusnya (das sollen) seorang suami itu dapat

dimintain pertanggungjawabannya menurut Pasal 279 KUHP, namun tidak

dapat diadili atas dasar alasan kurangnya alat bukti. Penulis melihat terdapat

masalah mengenai hak seorang isteri yang menjadi korban dalam perkawinan,

sehingga isteri tidak dapat menerima hak nya sebagai korban. Oleh karena itu

penulis menarik untuk mengangkat judul mengenai “Anlisis Yuridis

Pengaturan Tentang Perkawinan Tanpa Izin Isteri Pertama Menurut Pasal

2779 KUHP Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 75

K/PID/2016 & 168 K/MIL/2016”

B. Rumusan Masalah

1. Apakah faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap tindak

pidana perkawinan tanpa izin isteri pertama menurut Pasal 279 KUHP?

2. Bagaimanakah pengaturan yang ideal terkait tindak pidana perkawinan

tanpa izin isteri pertama menurut Pasal 279 KUHP?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penegakan hukum

perkawinan tanpa izin isteri pertama menurut Pasal 279 KUHP

b. Untuk mengetahui bentuk pengaturan hukum yang ideal dalam tindak

pidana perkawinan tanpa izin isteri pertama menurut Pasal 279

KUHP.

9
2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai persyaratan penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

di Fakultas Hukum Universitas Riau. Juga sebagai sumbangsi

pemikiran terhadap pemecahan permasalahan mengenai analisis

yuridis pengaturan tentang perkawinan tanpa izin isteri pertama

menurut Pasal 279 KUHP.

b. Untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan bagi para

peneliti maupun bagi yang lainnya dalam melakukan penelitian

mengenai analisis yuridis pengaturan tentang perkawinan tanpa izin

isteri pertama menurut Pasal 279 KUHP.

c. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dapat dijadikan sebagai

referensi bahan penelitian dan bahan kajian bagi kalangan akademis

lainnya yang akan melakukan penelitian dalam kasus yang sama.

D. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Bila berbicara mengenai penegakan hukum, maka tidak akan

terlepas pula untuk berbicara masalah hukum. Hukum merupakan tumpuan

harapan dan kenyataan masyarakat untuk mengatur pergaulan hidup

bersama. Hukum merupakan perwujudan atau manifestasi dari nilai

kepercayaan. Oleh karena itu, wajar apabila penegak hukum diharapkan

sebagai orang yang sepatutnya dipercaya, dan menegakan wibawa hukum

10
pada hakikatnya berarti menegakan nilai kepercayaan di dalam

masyarakat.5

Dari pengertian tentang hukum tersebut, maka semuanya akan

mengarah kepada penegakan hukm, yaitu merupakan kegiata penyerasian

hubungan nilai-nilai yang ada di dalam kaidah atau pandangan menilai

yang baik untuk menciptakan sebagai social engineering, memelihara dan

mempertahankan sebagai social control untuk medamaian pergaulan

hidup.6

Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement,

bahasa Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa

Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum

selalu dengan force sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan

hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini

diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa

dan hakim.7 Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha

melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya

agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan

hukum yang dilaranggar itu supaya ditegakkan kembali.8

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari

sudut tertantu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum

5
Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 55.
6
Purnadi Purbacaraka, Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, penegakan hukum dalam
Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 77.
7
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.48.
8
Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.115.

11
tersebut. Di dalam bagian ini, diketengahkan secara garis besar perihal

pendapat-pendapat masayarakat mengenai hukum, yang sangat

mempengaruhi keputusan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti

ada kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu undang-undang,

penegakan hukum, dan sarana atau fasilitas.9

Penegakan hukum diyakini untuk menjamin dan melindungi

kepentingan masyarakat. Jaminan yang harus ada agar nilai nilai dan asas-

asas dari penegakan hukum dapat diterapkan fungsinya yakni harus ada

pengawasan terhadap kemungkinan penegak hukum penyalahgunaan

kekuasaannya, selain itu harus pula ada jaminan perlindungan agar

penegak hukum secara bebas, tanpa rasa takut melaksanakan nilai-nilai

dan asas-asas penegakan hukum.10

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaedah-kaedah

yang mantap dan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap

akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.11 Dalam berlakunya penegakan hukum juga memerlukan

adanya kesadaran masyarakat. Yang dimana pengertian dari kesadaran

masyarakat tersebut merupakan tentang diri kita sendiri, didalam mana kita

melihat diri kita sendiri yang berhadapan dengan hukum. Orang yang

memiliki kesadaran hukum berarti orang tersebut yakin akan cita-cita

9
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja
Grafindo, Jakarta, 2013, hlm.45.
10
Ibid, hlm.124.
11
Ibid, hlm.5.

12
kebaikan yang setinggi tingginya. Keyakinan itulah yang menjadi tempat

bagi jalinan nilai-nilai berkumpul dalam benak dan sanubari manusia.12

Manusia dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai

pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang

buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud dalam

pasangan, misalnya pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman,

pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi,

pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme dan seterusnya.

Didalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan;

umpamanya, perlu menyelesaikan antara nilai ketertiban dengan nilai

ketentraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan,

sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan. Didalam

kehidupan, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan

didalam wujud kebahagiaan.

Sama halnya dengan kesadaran hukum yang berkaitan dengan

nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan

demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan

karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu

sendiri. Dalam hal ini terjadilah internalisasi hukum dalam masyarakat

yang diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap dalam

diri masyarakat. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti

pelaksanaan perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan di

Indonesia kecendrungannya adalah demikian, sehingga pengertian law


12
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011,hlm.135.

13
enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecendrungan yang kuat untuk

mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan

hakim.13

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy

(Inggris) atau Politiek (Belanda). bertolak dari kedua istilah asing ini,

istilah “Kebijakan hukum pidana” dapat disebut dengan istilah “Politik

Hukum Pidana”. Dalam istilah asing, politik hukum pidana sering dikenal

dengan “Penal policy, Criminal Law Policy, atau Strafrechtspolitiek”14,

Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan cara bertindak

atau kebijkan dari negara atau pemerintah untuk menggunakan hukum

pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi

kejahatan.15

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap

istilah politik dalam 3 (tiga) batasan pengertian, yaitu:

a. Pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan,

dasar-dasar pemerintahan.

b. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya)

mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

c. Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah)

kebijakan.
13
Ibid, hlm.7-8.
14
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, PT
Grasindo, Jakarta, 2008, hlm .57.
15
Samuel James Jhonson, “Supreme Court of the United States”, U.S Government Works,
2007, Jurnal Westlaw, Thomson Reuters, diakses melalui http://1.next.westlaw.com/Document/,
pada tanggal 28 Januari 2019 dan diterjemahkan oleh Google Translate.

14
Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan

apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya

sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum membuat suatu Ius

contituendum (hukum yang akan berlaku) dan berusaha agar Ius

constituendum itu pada suatu hari berlaku sebagai Ius constitutum (hukum

yang berlaku yang baru).16

Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah

aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan

sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Secara substansial politik

hukum diarahkan pada hukum yang seharusnya berlaku (Ius

constituendum). Sedangkan pengertian politik hukum menurut Muchtar

Kusumatmadja, adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam

rangka pembaruan hukum.17

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari

politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik

Hukum” adalah:18

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkiran bisa

16
Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 22-23.
17
Ibid, hlm. 24.
18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 26.

15
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Dalam RUU-KUHP, poltik hukum pidana yang tengah digunakan

terlalu memberatkan kepada kepentingan politik negara (Staate’s Policy)

dan kepentingan hak-hak masyarakat (Cumunal rights) sehingga

mengancam kebebasan individual (Civil liberties). Hal ini terlihat dengan

gamblangnya dari kriminalisasi atas perbuatan yang berada pada ranah

privat (hak-hak individu), yang cendrung berlebihan atau

“Overcriminalization” karena jauh memasuki wilayah paling personal

seseorang kriminalisasi ini berdampak menghidupkan begitu banyak delik

yang bercorak “Victimless crime” yang sudah banyak ditinggalkan

negara-negara Demokratis. Kalau hampir semua perbuatan di wilayah

privat ini dikriminalisasikan, tidak berlebihan apabila kita katakan akan

terjadi gejala “more laws but less justice”.19

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian

dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial termasuk kedalamnya

kesusilaan, pada dasarnya setiap delik atau tindak-tindak pidana

mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaaan,

bahkan dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan

nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das Recht ist das ethische

Minimum).20

19
Yesmil Anwar dan Adang, Op cit, hlm.64.
20
Barda Nabawi Arief, Op.cit, hlm. 248.

16
Dengan demikian, dilihat dari sebagai bagian dari politik hukum,

maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan

atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang

baik.21 Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni

yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan

secara lebih baik.22 Melihat dari uraian di atas yang dimaksud dengan

“peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel

itu jelas adalah peraturan perundang-undangan dengan hukum pidana.

Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama

dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” yang dikemukakan

oleh Sudarto.23

E. Kerangka Konseptual

1. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan yang mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu, meliputi

pelanggaran dan kejahatan.24

21
Ibid, hlm. 26-27.
22
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis, Dan Praktik, P.T.
Alumni, Bandung, 2012, hlm. 390.
23
Barda Nawawi Arief, Op.cit. hlm. 27.
24
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidan, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 62.

17
2. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.25

3. Perkawinan Berlapis atau Poligami adalah sistem perkawinan yang salah

satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu

yg bersamaan. Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik

pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis

kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik

monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.26

4. Monogami adalah satu atau sendiri dalam istilah pernikahan yang dimana

kondisi hanya memiliki satu pasangan pada pernikahan.27

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitain yuridis normatif,

yaitu jenis penelitian yang membahas tentang sistematika hukum.

Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder yang berupa perundang-undangan dan buku-buku yang tertulis

oleh para ahli hukum yang berhubungan dengan judul yang penulis angkat.

Yang menjadi pokok masalah tentang perkawinan tanpa izin isteri pertama

menurut Pasal 279 KUHP.

2. Sumber Data

25
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
26
W.J.S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balal Pustaka, Jakarta, 2010, hlm.
904.
27
W.J.S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balal Pustaka, Jakarta, 2010, hlm.
774.

18
Adapun jenis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah

bersumber dari data sekunder. Sumber data sekunder adalah data yang

diperoleh peneliti melalui penelitian kepustakaan guna mendapatkan

landasan teoritis berupa pendapat-pendapat, tulisan para ahli atau pihak-

pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik

dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang

ada. berupa bacaan yang relevan dengan materi yang sedang diteliti.

Adapun sumber data sekunder dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan-bahan ilmu hukum

yang berhubungan erat dengan penelitian ini, yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana

3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Berupa buku-buku yang berupa tulisan-tulisan atau karya-karya

akademisi, ilmuwan atau praktisi hukum dan disiplin hukum lain yang

relevan serta berkaitan dengan masalah yang diteliti. Selain itu juga

19
dapat berupa artikel hukum yang telah diseminarkan dan berkaitan

dalam penulisan.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan kamus hukum dan kamus umum dalam hal ini yang

dipergunakan adalah KBBI , itambah dari internet yang diakses melalui

website.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data untuk penelitian hukum normatif

digunakan metode kajian kepustakaan. Dalam penelitian hukum normatif

ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan asas-asas

hukum dan teori-teori hukum yang dilakukan dengan cara mengadakan

identifikasi terlebih dahulu terhadap analisis terhadap tindak pidana

perkawinan tanpa izin isteri pertama menurut Pasal 279 KUHP.

4. Analisis Data

Analisis yang digunakan penulis adalah analisis kualitatif. Analisis

kualitatif data dianalisis dengan tidak menggunakan statistik atau

matematika ataupun yang sejenisnya, namun cukup dengan menguraikan

secara deskriptif dari data yang diperoleh. Analisis yang dilakukan secara

kualitatif yaitu bertujuan memahami, menjabarkan, meninjau,

menginterprestasikan, mendeskripsikan suatu realitas. Penulis menarik

suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal

20
yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat khusus, dimana kedua

fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori yang ada.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

21
A. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Bila berbicara mengenai penegakan hukum, maka tidak akan

terlepas pula untuk berbicara masalah hukum. Hukum merupakan tumpuan

harapan dan kenyataan masyarakat untuk mengatur pergaulan hidup

bersama. Hukum merupakan perwujudan atau manifestasi dari nilai

kepercayaan. Oleh karena itu, wajar apabila penegak hukum diharapkan

sebagai orang yang sepatutnya dipercaya, dan menegakan wibawa hukum

pada hakikatnya berarti menegakan nilai kepercayaan di dalam kehidupan

berbangsa bernegara berdemokrasi serta bermasyarakat

Dari pengertian tentang hukum tersebut, maka semuanya akan

mengarah kepada penegakan hukm, yaitu merupakan kegiata penyerasian

hubungan nilai-nilai yang ada di dalam kaidah atau pandangan menilai yang

baik untuk menciptakan sebagai social engineering, memelihara dan

mempertahankan sebagai social control untuk medamaian pergaulan

hidup.28

Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement,

bahasa Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa

Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu

dengan force sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan hukum

hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat

28
Purnadi Purbacaraka, Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, penegakan hukum dalam
Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 77.

22
dengan kebiasaan kita menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa dan

hakim.29

Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha

melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya

agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan

hukum yang dilaranggar itu supaya ditegakkan kembali. Penegakan hukum

dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan berikut:30

a. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan terbuat

lagi (percobaan);

b. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);

c. Penyisihan atau pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu);

d. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati).

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari

sudut tertantu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum

tersebut. Di dalam bagian ini, diketengahkan secara garis besar perihal

pendapat-pendapat masayarakat mengenai hukum, yang sangat

mempengaruhi keputusan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada

kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu undang-undang, penegakan

hukum, dan sarana atau fasilitas.31

29
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.48.
30
Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.115.
31
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja
Grafindo, Jakarta, 2013, hlm.45.

23
Penegakan hukum diyakini untuk menjamin dan melindungi

kepentingan masyarakat. Jaminan yang harus ada agar nilai nilai dan asas-

asas dari penegakan hukum dapat diterapkan fungsinya yakni harus ada

pengawasan terhadap kemungkinan penegak hukum penyalahgunaan

kekuasaannya, selain itu harus pula ada jaminan perlindungan agar penegak

hukum secara bebas, tanpa rasa takut melaksanakan nilai-nilai dan asas-asas

penegakan hukum.32

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaedah-kaedah yang

mantap dan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir

untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup.33 Dalam berlakunya penegakan hukum juga memerlukan adanya

kesadaran masyarakat. Yang dimana pengertian dari kesadaran masyarakat

tersebut merupakan tentang diri kita sendiri, didalam mana kita melihat diri

kita sendiri yang berhadapan dengan hukum. Orang yang memiliki

kesadaran hukum berarti orang tersebut yakin akan cita-cita kebaikan yang

setinggi tingginya. Keyakinan itulah yang menjadi tempat bagi jalinan nilai-

nilai bergumul dalam benak dan sanubari manusia.34

Sama halnya dengan kesadaran hukum yang berkaitan dengan nilai-

nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian

masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena

hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
32
Ibid, hlm.124.
33
Ibid, hlm.5.
34
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011,hlm.135.

24
Dalam hal ini terjadilah internalisasi hukum dalam masyarakat yang

diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap dalam diri

masyarakat. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan

perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan di Indonesia

kecendrungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement

begitu populer. Selain itu, ada kecendrungan yang kuat untuk mengartikan

penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.35

Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, penegak hukum

wajib menaati norma-norma yang ditetapkan. Notohamidjojo

mengemukakan beberapa norma yaitu: 36

1) Keadilan

Menurut Thomas Aquinas, keadilan adalah kebiasaan untuk memberikan

kepada orang lain apa yang menjadi haknya berdasarkan kebebasan

kehendak. Kebebasan kehendak itu ada pada setiap manusia. Hak dan

keadilan mempunyai hubungan yang sangat erat. Adanya hak

mendahului adanya keadilan. Hak yang dimiliki setiap manusia melekat

pada kodrat manusia itu sendiri, bukan semata-mata berasal dari luar diri

manusia.

Jadi, adanya hak itu dapat diketahui dari dua sisi. Pada satu sisi hak itu

melekat pada diri karena kodrat manusia, sedangkan pada sisi lain hak itu

merupakan akibat hubungan dengan pihak lain melalui kontrak,

35
Ibid, hlm.7-8.
36
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
hlm.116.

25
keputusan hukum. Hak karena kodrat bersifat mutlak, sedangkan hak

karena kontrak, keputusan hukum bersifat relatif.

Keadilan merupakan salah satu bentuk kebaikan yang menuntut manusia

dalam berhubungan sesama manusia. Seseorang disebut adil bila

mengakui orang lain sebagai orang yang mempunyai hak yang

seharusnya dipertahankan atau diperolehnya. Seorang hakim dapat

disebut adil apabila memberi sanksi kepada orang yang diketahuinya

melanggar hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa

yang menjadi haknya melalui keputusan yang dibuatnya. Hakim yang

baik adalah hakim yang memenuhi tuntutan keadilan, biak secara hukum

maupun secara moral.

2) Kepatutan

Pada dasarnya kepatuhan merupakan koreksi terhadap keadilan ilegal.

Keadaan ilegal adalah keadilan yang menertibkan hubungan antara

individu dan masyarakat atau negara. Yang diperlukan oleh manusia

adalah korelasi atau perhatian kasus terhadap dirinya. Kepatutan

memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadaan manusia

individu dalam penerapan keadilan. Kepatutan merupakan kebaikan yang

menggerakkan manusia untuk bersifat secara rasional dalam

menggunakan keadilan.

3) Kejujuran

Penegak hukum harus jujur dalam menegakkan hukum atau melayani

pencarian keadilan dan menjatuhkan diri dari perbuatan curang.

26
Kejujuran berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kepatutan dan

semuanya itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang

yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak

boleh dilakukan. Kejujuran mengarahkan penegak hukum agar bertindak

benar, adil, dan patut. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut

apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati

nurani. Benar menurut akal, baik menurut akal diterima oleh hati nurani.

Kejujuran adalah salah satu segi kebaikan. Segi lain dari kebaikan adalah

benar, patut, senonoh, sopan, beradab, taat, yang mengarahkan perilaku

manusia menuju kepada pelaksanaan dan penegakan hukum. Pelaksanaan

da pnegakan hukum itudapat dijelmakan dalam berbagai perbuatan yang

mengandung sifat-sifat itu tadi. Semua perbuatan yang menyatakan

ketaatan atau kepatuhan pada hukum adalah baik dalam arti benar, patut,

senonoh, sopan, beradab, dan jujur.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang

mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa

yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada

dasarnya tidak diperbolehkan, fiat justitia et pereat mundus (meskipun

langit akan runtuh,hukum harus di tegakkan). Itulah yang diinginkan oleh

kepastian hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum

atau penegakkan hukum haruslah memberi manfaat atau kegunaan bagi

masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau

ditegakkan malah timbul keresahan dalam masyarakat. Unsur ketiga adalah

27
keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau

penegakkan hukum, Keadilan diperhatikan. Artinya, dalam penegakkan

hukum haruslah mempertimbangkan faktor keadilan.37

2. Penegakan Hukum Pasal 279 KUHP

Penjelasan mengenai isi dari Pasal 279 KUHP ditafsirkan berbeda-

beda oleh hakim dikarenakan Indonesia tidak menganut yurisprudensi

sehingga hakim dapat menafsirkan suatu Pasal berbeda-beda. Acap kali

dalam kasus-kasus mengenai Asal-Usul Perkawinan pada Pasal 279 KUHP,

hakim memutuskan perkara berbeda-beda. Unsur dalam Pasal 279 ini

merupakan delik aduan, yang berarti Pasal ini dilaporkan oleh orang yang

menjadi korban atau keluarga korban, berdasarkan permintaan, dan dapat

dicabut. Namun delik aduan ini juga memilik masa waktu pengajuan diatur

pada Pasal 74 Ayat (1) KUHAP.

Dalam kasus nikah siri yang menjadi tinjauan dalam penelitian ini,

pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 75 K/PID/2016 & 168

K/MIL/2016. Tertulis pada paragraf amar putusan, menyatakan terdakwa

pada kasus poligami yang didakwakan kepadanya, diduga telah melakukan

penikahan tanpa izin isteri pertama atau melakukan pernikahan untuk kedua

kalinya (nikah siri) tanpa di setai izin tertulis maupun tidak tertulis,

dinyatakan bebas dari dakwaan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum

dan memulikan semua hak terdakwa dalam harkat, martabat dan

kedudukannya.
37
Ferawati, “Urgensi Rechtsvinding dan Rechtsverfijning Sebelum Hakim Menjatuhkan
Pidana Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Terhadap Perempuan Pengedar Narkotika” Jurnal
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol.6, No.1, Januari, 2016.

28
B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Pidana

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy

(Inggris) atau Politiek (Belanda). bertolak dari kedua istilah asing ini, istilah

“Kebijakan hukum pidana” dapat disebut dengan istilah “Politik Hukum

Pidana”. Dalam istilah asing, politik hukum pidana sering dikenal dengan

“Penal policy, Criminal Law Policy, atau Strafrechtspolitiek”38, Dengan

demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan cara bertindak atau

kebijkan dari negara atau pemerintah untuk menggunakan hukum pidana

dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan.39

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap

istilah politik dalam 3 (tiga) batasan pengertian, yaitu:

d. Pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan,

dasar-dasar pemerintahan.

e. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai

pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

f. Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah)

kebijakan.

38
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, PT
Grasindo, Jakarta, 2008, hlm .57.
39
Samuel James Jhonson, “Supreme Court of the United States”, U.S Government Works,
2007, Jurnal Westlaw, Thomson Reuters, diakses melalui http://1.next.westlaw.com/Document/,
pada tanggal 28 Januari 2019 dan diterjemahkan oleh Google Translate.

29
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari

politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik

Hukum” adalah:40

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkiran

bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Dalam RUU-KUHP, poltik hukum pidana yang tengah digunakan

terlalu memberatkan kepada kepentingan politik negara (Staate’s Policy)

dan kepentingan hak-hak masyarakat (Cumunal rights) sehingga

mengancam kebebasan individual (Civil liberties). Hal ini terlihat dengan

gamblangnya dari kriminalisasi atas perbuatan yang berada pada ranah

privat (hak-hak individu), yang cendrung berlebihan atau

“Overcriminalization” karena jauh memasuki wilayah paling personal

seseorang kriminalisasi ini berdampak menghidupkan begitu banyak delik

yang bercorak “Victimless crime” yang sudah banyak ditinggalkan negara-

negara Demokratis. Sebab perbuatan-perbuatan itu berada pada tataran

moralitas dan kesopanan, yang tidak semestinya dihadapi dengan hukum

pidana. Kalau hampir semua perbuatan di wilayah privat ini

40
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 26.

30
dikriminalisasikan, tidak berlebihan apabila kita katakan akan terjadi gejala

“more laws but less justice”.41

Bidang hukum pidana merupakan salah satu yang meneruskan

sistem hukum penjajah di dalam Negara yang merdeka, meskipun di sana-

sini telah diselaraskan sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai Negara

yang telah merdeka. Akan tetapi, usaha yang dilakukan belum dapat

dimaknai sebagai pembaruan hukum pidana dalam arti sebenarnya dan

dilakukan secara menyeluruh. Kebijakan hukum pidana dalam bahasa

Belanda diungkapkan dengan istilah strafrecht politiek oleh A. Mulder

dinyatakan garis kebijakan.42

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari

upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial termasuk kedalamnya

kesusilaan, pada dasarnya setiap delik atau tindak-tindak pidana

mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaaan,

bahkan dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan

nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das Recht ist das ethische Minimum).43

Dengan demikian, dilihat dari sebagai bagian dari politik hukum,

maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan

atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang

baik.44 Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni

yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan

41
Yesmil Anwar dan Adang, Op cit, hlm.64.
42
M. Ali Zaidan, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm.125.
43
Barda Nabawi Arief, Op.cit, hlm. 248.
44
Ibid, hlm. 26-27.

31
secara lebih baik.45 Melihat dari uraian di atas yang dimaksud dengan

“peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu

jelas adalah peraturan perundang-undangan dengan hukum pidana. Dengan

demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan

istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” yang dikemukakan oleh

Sudarto.46

2. Kebijakan Hukum Menurut Para Ahli

Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan

apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai

dengan kenyataan sosial. Politik hukum membuat suatu Ius contituendum

(hukum yang akan berlaku) dan berusaha agar Ius constituendum itu pada

suatu hari berlaku sebagai Ius constitutum (hukum yang berlaku yang

baru).47

Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah

aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan

sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Secara substansial politik

hukum diarahkan pada hukum yang seharusnya berlaku (Ius

constituendum). Sedangkan pengertian politik hukum menurut Muchtar

Kusumatmadja, adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam

rangka pembaruan hukum. Proses pembentukan hukum harus dapat

menampung semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang

45
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis, Dan Praktik, P.T.
Alumni, Bandung, 2012, hlm. 390.
46
Barda Nawawi Arief, Op.cit. hlm. 27.
47
Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 22-23.

32
hendak diatur dalam undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu

merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif.48

Menurut Bryan A. Garner, dalam buku Black Law Dictionary

menyatakan kebijakan hukum pidana (criminal policy) merupakan cabang

dari ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan perlindungan terhadap

kejahatan (the branch of criminal science concerned eith protecting against

crime).49

3. Upaya Penanggulangan Kejahatan dengan Tindakan Preventif,

Represif, dan Kuratif

Jika Barda Nawawi Arief mengemukakan konsep penanggulangan

kejahatan dengan dua model kebijakan, yaitu dengan pidana (penal), dan

tanpa pidana (non penal), maka Soedarto, mengemukakan konsep upaya

penanggulangan kejahatan melalui tiga tindakan, yaitu tindakan preventif,

represif, dan kuratif:50

a. Tindakan Preventif, yaitu usaha mencegah kejahatan yang merupakan

bagian dari politik kriminil. Politik kriminil dapat diberi arti sempit,

lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit politik kriminil itu

digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti

lebih luas, politik kriminil merupakan keseluruhan fungsi dari para

penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari Pengadilan dan

Polisi. Sedangkan dalam arti yang paling luas, politik kriminil

48
Ibid, hlm. 24.
49
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, New York, 1999.
50
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 113-116.

33
merupakan keseluruhan kegiatan yang dilakukan melalui perundang-

undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan

norma-norma sentral dari masyarakat. Penegakkan norma-norma sentral

ini dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Usaha-usaha

penanggulangan secara preventif sebenarnya bukan hanya bidang dari

Kepolisian saja. Penanggulangan kejahatan dalam arti yang umum

secara tidak langsung juga dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana

(hukum pidana). Misalnya, kegiatan bakti sosial dapat menghindarkan

para pemuda dari perbuatan jahat. Penggarapan kejahatan jiwa

masyarakat dengan pendidikan agama, pemberian tempat atau rumah

singgah bagi anak jalanan dan gelandangan akan mempunyai pengaruh

baik untuk pengendalian kejahatan.

b. Tindakan Represif, yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan (tindak pidana). Yang

termasuk tindakan represif adalah penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, sampai dilaksanakannya pidana. Ini semua merupakan

bagian- bagian dari politik kriminil sehingga harus dipandang sebagai

suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan yang

bersangkutan dalam menanggulangi kejahatan.

c. Tindakan Kuratif, yaitu pada hakikatnya merupakan usaha preventif

dalam arti yang seluasluasnya ialah dalam usaha penanggulangan

kejahatan, maka untuk mengadakan pembedaan sebenarnya tindakan

kuratif itu merupakan segi lain dari tindakan represif dan lebih

dititikberatkan kepada tindakan terhadap orang yang melakukan

34
kejahatan. Tindakan kuratif dalam arti nyata hanya dilakukan oleh

aparatur eksekusi pidana, misalnya para pejabat lembaga

pemasyarakatan atau pejabat dari Bimbingan Kemasyarakatan dan

Pengentasan Anak (BISPA). Mereka ini secara nyata terlepas dari

berhasil atau tidaknya melakukan pembinaan terhadap para terhukum

pidana pencabutan kemerdekaan.

C. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah sebuah proses di mana seorang laki-laki dengan

seorang perempuan bersatu dalam satu ikatan sakral yang mengikatakan

diri, dengan tujuan menciptakan keluarga yang harmonis serta melanjutkan

kehidupan dan melahirkan keturunan. Indonesia mengatur tentang

perkawinan yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974

Tentang Perkawinan.

Isi dari peraturan PerUndang-Undangan tersebut menjelaskan

mengenai syarat-syarat sahnya perkawinan, asas perkawinan dan lain

sebagainya. Proses perkawinan di Indonesia harus dilakukan secara ke

agamaan, tidaklah boleh keluar dari konsep agama. Namun, dalam agama

Islam perkawinan sah apabila adanya dua orang saksi, adanya calon

pengantin pria dan wanita, adanya mahar dan mengucapkan Ijab Qobul, dan

Islam juga menhalalkan poligami atau memiliki isteri lebih dari satu,.

Begitu juga halnya dengan peraturan perkawinan di Indonesia

35
membolehkan seorang memiliki lebih dari satu isteri atau suami. Akan

tetapi, harus disertai dengan izin dari salah seorang isteri atau suami.

Pertanyaan yang berputar dalam stigma masyarakat setelah

mengetahui adanya regulasi perkawinan ini adalah:

1. Bagaimana jika salah seorang suami atau isteri menikah lagi tanpa

diketahui oleh suami atau isterinya untuk kedua kali secara diam-diam,

sedangkan statusnya tidak cerai hidup atau cerai mati?

2. Apakah hal tersebut dapat di hukum dengan peraturan yang ada di negara

ini, sedangkan dalam agama diperbolehkan?

2. Asas-Asas Perkawinan

a. Asas Monogami

Monogami Dalam bahasa yunani monogami memiliki arti satu

pernikahan, mono yang berati satu atau sendiri, sedangkan gamos yang

berarti pernikahan. Yang berarti dimana seorang pria hanya diperbolehkan

memiliki seorang isteri dan begitupun sebaliknya. Namun, monogami yang

diterapkan di Indonesia merupakan monogami relatif yang artinya

memberi peluang bagi seseorang untuk melakukan poligami dengan syarat

dan ketentuan yang berlaku pada perundang-undangan yaitu syarat

alternatif dan kumulatif.

b. Asas Poligami

Poligami itu sendiri diambil dari bahasa yunani yang berati

perinakahan lebih dari satu suami atau isteri. Menurut ajaran agama islam

poligami itu boleh dilakukan atau terapkan dalam perkawinan dan tidak

36
bertentangan dengan ajaran islam, selama seorang suami dapat berlaku adil

terhadap isterinya. Alasan ini yang membuat negara Indonesia

memperbolehkan praktik poligami. Perlu dijelaskan poligami dengan

nikah siri itu merupakan dua hal yang berbeda, nikah siri itu adalah

pernikahan yang sah secara agama namun tidak tercatat pada catatan sipil

namun kebanyakan orang dalam melakukan praktik poligami melakukan

proses nikah siri, karena nikah siri tidak perlu mendapatkan izin dari isteri

pertama yang sah, sehingga prosesi nikah siri tidak ada halangan dengan

ada atau tidaknya izin itu sendiri.

3. Syarat-Syarat Perkawinan

a. Syarat Materil

Syarat materil artinya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua

belah pihak yang hendak melakukan perkawinan, syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan adalah:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujua kedua calon mempelai

(Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan)

2) Bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun terlebih dahulu

harus mendapat izin dari kedua orang tua atau wali (Pasal 6 ayat 2

Undang-Undang Perkawinan)

3) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai umur 19

tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat 1

Undang-Undang Perkawinan)

37
4) Bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun terlebih dahulu harus

mempeoleh dispensasi dari pengadilan oleh pejabat lain, yang

ditunjukkan oleh kedua orang tua atau wali (Pasal 7 ayat 2 Undang-

Undang Perkawinan)

5) Kedua mempelai tidak ada larangan melangsungkan perkawinan (Pasal

8 ayat (2) UU Perkawinan)

6) Bagi seorang yang akan melangsungkan perkawinan untuk kedua,

ketiga dan keempat (berpoligami) harus tunduk pada Pasal 3 ayat (2)

dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan (Pasal 9 ayat (2) Undang-

Undang Perkawinan)

7) Bsgi cslon isteri tersebut bukan merupakan perkawinan untuk ketiga

kalinya, artinya setelah kawin lalu cerai kemudian kawin lagi dan

setelah itu cerai lagi, maka untuk melangsungkan perkawinan yang

ketiga kalinya dilarang sepanjang hukum masing-masing agama atau

kepercayaan itu dari bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 ayat

(2) Undang-Undang Perkawinan)

8) Bagi wanita berlaku jangka waktu tunggu, apabila dia hendak

melangsungkan perkawinan setelah diceraikan suaminya maka terlebih

dahulu harus berakhir dulu jangka waktu tunggunya (Pasal 11 ayat (2)

Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 39 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 51

51
Syawali Husni, Pengurusan(Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan Menurut KUH
Perdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm.18.

38
b. Syarat Formil

Syarat formalitas adalah syarat yang berhubungan dengan

pelaksanaan perkawinan itu sendiri. Syarat pekawinan secara formil

menurut Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan direalisasikan dalam Pasal

3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1975.

Dapat disimpulkan:52

1) Pemberitahuan dari yang akan melangsungkan perkawinan kepada

pegawai yang pencatat perkawinan.

2) Penelitian dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah

pencatatan perkawinan menerima pemberitahuan tersebut, dan dalam

melakukan penelitian pegawai pencatatan harus bertindak aktif.

3) Pengumuman kehendak melakukan perkawinan oleh pegawai

pencatatat perkawinan. Tujuannya adakah memberi kesempatan kepada

umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi

dilanngsungkan perkawinan itu, jika bertentangan dengan hukum,

agama atau bertentangan dengan peraturan PerUndang-Undangan

lainya.

4) Perlangsungan perkawinan

a) Dilaksanakan oleh pegawai pencatatan perkawinan setelah hari

kesepuluh sejak pengumuman.

b) Perkawinan tercatat secara resmi, jika perkawinan ditanda tangani

oleh kedua belah pihak, kedua orang saksi dan pegawai pencatatan

perkawinan.
52
Ibid. hlm.19.

39
c) Pemberitahuan kutipan akta perkawinan kedapa suami isteri.

4. Nikah Siri

Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri nerasal

dari kata assirru yang mempunyai arti ”rahasia”. Menurut Zuhdi dalam

terminology Fiqih Maliki, nikah siri ialah nikah yang atas pesan suami, para

saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jamaahnya sekalipun keluarga

setempat. Menurut terminologi ini nikah siri adalah tidak sah, sebab nikah

siri dapat mengundang fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, nikah siri dalam

presfektif fiqih adalah nikah yang tidak dihadiri dua orang saksi laki-laki

atau dihadiri saksi tapi jumlahnya belum mencukupi.

Nikah semacam ini tidak sah hukumnya, kalau terjadi nikah siri

harus difasakh oleh hakim. Anak yang lahir dari nikah siri nasabnya

dihubungkan kepada ibunya. Para ulama besar seperti Abu Hanifah, Imam

Malik dan Imam Syafi’I tidak memperbolehkan nikah siri. Sehingga nikah

siri menurut pada ukama tersebut harus dihapuskan. Sedangkan para saksi

yang dipesan oleh wali nikah utuk merahasiakan pernikahan yang mereka

saksikan, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik memandang

pernikahan semacam itu termasuk nikah siri dan harus difasakh. Namun

Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Abu Hanafi’I dan Ibnu Mundzir berpendapat

bahwa, nikah tersebut sah-sah saja. 53

Nikah siri disebut juga nikah bawah tangan. Nikah siri cukup dengan

adanya wali dari mempelai perempuan, ijab-qabul, mahar dan dua orang

53
M. Sujari Dahlan, Fenomena Nikah Siri (Bagaimana kedudukannya Menurut Agama Islam),
Surabaya, Pustaka Progressif, 1996, hlm.31.

40
saksi laki-laki serta tidak perlu melibatkan petugas dari kantor urusan agama

setempat. Nikah siri biasanya dilaksanakan karena kedua belah pihak belum

siap meresmikan atau meramaikannya dengan resepsi. Selain itu, biasa

alasannya untuk menjaga agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang

agama.54

Setelah memperhatikan pendapat-pendapat tersebut, dapat ditarik

suatu pengertian bahwa nikah siri itu bersangkut-paut dengan kedudukan

saksi nikah dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri. Dengan memperhatikan

syarat sahnya nikah, maka saksi itu berkedudukan sebagai syarat sahnya

nikah, bukan syarat tamam (penyempurna). Maka waktu berlangsungnya

akad nikah tersebut minimal harus disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki

muslim. Dalam akad nikah, kurang tepat kalu saksi nikah dicukukan dengan

seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan kecuali dalam keadaan

sangat darurat. Dengan mengambil saksi alternative dan dua orang laki-laki

beralih kepada saksi seorang laki-laki dan dua orang perempuan berarti

menurunkan derjat akad nikah.55

Dalam Komplikasi Hukum Islam, saksi nikah pada Pasal 24 ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan menerangkan bahwa saksi dalam perkawinan

merupakan rukum pelaksanaan akad nikah. Ayat (2) menerangkan bahwa

setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.56

D. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

54
Lukman A. Irfan, Nikah, PT> Pustaka Insani Madani, Yogyakarta, 2007, hlm.84.
55
Ibid, hlm.34.
56
Komplikasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Waris, Perwakafan, Karya Anda, Surabaya,
hlm.29.

41
1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting

dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian inilah

nasib terdakwa ditentukan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti

yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan

terdakwa yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan.57

Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-

alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, terdakwa dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, Hakim harus cermat,

hati-hati, dan teliti dalam menilai dan mempertimbangkan nilai dari

pembuktian itu sendiri.58

Menurut Nasir Farid Washil, pembuktian merupakan upaya atau

kegiatan menampilkan alat-alat bukti yang sah berdasarkan hukum pada

Hakim yang memeriksa suatu perkara guna menetapkan apakah seseorang

bersalah atau tidak.59 Pembuktian secara hukum menyangkut tidak hanya

benda-benda mati sebagai alat bukti, tetapi menyangkut tingkah laku

manusia yang harus dinilai termasuk proses. Oleh karena itu, pembuktian

bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang ada dalam kemungkinan yang

paling besar.60

57
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 257.
58
Ibid.
59
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 2013, hlm. 1.
60
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012, hlm. 102.

42
Arti penting dari pembuktian sendiri jika ditinjau dari segi hukum

acara pidana adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam

usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, Penuntut Umum,

terdakwa maupun Penasihat Hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara

dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak boleh

leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian.

Kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan

kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.61

Dalam proses pembuktian apakah seseorang bersalah atau tidak

melakukan suatu tindak pidana, sekalipun terdakwa mengakui bahwa

terdakwa melakukan suatu tindak pidana yang disangkakan padanya namun

Penuntut Umum dan Hakim dalam persidangan tetap berkewajiban

membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain atau secara

singkat dapat dipahami bahwa walaupun terdakwa mengakui bahwa ia

melakukan suatu tindak pidana, itu bukan merupakan alasan untuk

melenyapkan kewajiban pembuktian.62

Hal ini sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam Pasal 189

Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menerangkan

bahwa keterangan terdakwa tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan padanya, melainkan harus

disertai alat bukti yang lain.63 Perlu diketahui bahwa dalam hukum acara

61
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana: Penyelidikan dan Penyidikan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 202.
62
Ibid. hlm. 213.
63
Ibid. hlm. 216.

43
pidana dikenal yang namanya “hal yang secara umum diketahui tidak perlu

dibuktikan kebenarannya”.64 Hal tersebut sesuai dengan yang diatur dalam

Pasal 184 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Biasanya hal tersebut sering diistilahkan dengan istilah notoire

feiten notorious atau generally known. Mengenai hal tersebut, ditinjau dari

segi hukum, tiada lain daripada keadaan yakni peristiwa yang diketahui

secara umum bahwa peristiwa itu memang sudah demikian hal yang

sebenarnya. Namun “hal yang secara umum diketahui” tidak dapat berdiri

sendiri tanpa didukung dengan alat bukti yang lain.65

2. Sistem Pembuktian

a. Conviction-In Time

Teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu,

menempatkan fungsi Hakim sebagai pejabat yang memiliki wewenang

mutlak dalam memutus perkara. Putusan Hakim semata-mata didasarkan

pada keyakinan Hakim. Teori ini diterapkan pada sistem juri di Prancis

yang menghasilkan putusan-putusan yang dinilai aneh.66 Sistem

pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengadung kelemahan.

Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-

mata atas dasar keyakinan hakim tanpa alat bukti yang cukup. Sebaliknya

Hakim pun leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang

dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti.67

64
Ibid.
65
Ibid. hlm. 223.
66
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni, Surabaya, 2011,
hlm.39.
67
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 240.

44
b. Conviction-Rasionee

Dalam teori ini, Hakim dapat memutuskan terdakwa bersalah

berdasarkan keyakinannya. Namun, tidak semata-mata keyakinan yang

diciptakan oleh Hakim sendiri, tetapi keyakinan yang didasarkan dengan

suatu kesimpulan yang berlandaskan ketentuan pembuktian tertentu.

Dalam teori ini, kesimpulan Hakim tidak didasarkan pada undang-undang

tetapi didasarkan menurut ilmu pengetahuan Hakim sendiri dan Hakim

bebas memilih tentang pelaksanaan pembuktian.68

c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Keyakinan Hakim dalam sistem pembuktian ini, tidak ikut berperan

menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada

prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang.

Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata

digantungkan pada alat-alat bukti yang sah.69

Menurut D. Simons teori pembuktian berdasar undang-undang

secara positif berusaha menyingkirkan semua pertimbangan subjektif

Hakim dan mengikat Hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan

pembuktian yang keras.70 Dalam sistem ini, Hakim seolah-olah “robot

pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani.71

d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

68
Hendar Soetarna, Op.cit, hlm. 41.
69
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 245.
70
Ibid.
71
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 259.

45
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

merupakan penggabungan teori antara sistem pembuktian menurut

undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan Hakim semata. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang

saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif.72

Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan

yang didakwakan padanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian

kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan Hakim. Dengan demikian,

sistem ini memadukan unsur objektif dan unsur subjektif dalam

menentukan salah atau tidaknya terdakwa.73

Sistem pembuktian yang dianut dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat isi Pasal 183 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi “hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.74

72
Ibid. hlm. 262.
73
Ibid. hlm. 283.
74
Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana, Total Media, Jakarta,
2009, hlm. 43.

46
Untuk menjejaki alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal

183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, barangkali ditujukan

untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat

menjamin tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya keadilan dan kepastian

hukum. Kemudian perlu diketahui bahwa dalam sistem pembuktian ini

berlaku asas minimum pembuktian. Yang mana asas minimum

pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi

membuktikan kesalahan terdakwa.75

3. Beban Pembuktian

Pada dasarnya yang mengajukan alat bukti dalam persidangan adalah

Penuntut Umum (alat bukti yang memberatkan) dan terdakwa atau penasihat

hukum (alat bukti yang meringankan). Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana tidak secara jelas menunjuk siapakah yang dibebani kewajiban

pembuktian dalam perkara pidana.76

Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hal ini merupakan

penjelmaan asas praduga tidak bersalah. Jadi, pada prinsipnya yang

membuktikan kesalahan terdakwa adalah Penuntut Umum. Hal ini karena

Hakim dalam proses persidangan pidana bersifat aktif. Oleh karena itu,

Hakim dapat memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi

tambahan maupun sebaliknya apabila keterangan saksi yang telah

didengarkan dirasa cukup.77

75
Ibid. hlm. 56.
76
Hendar Soetarna, Op.Cit, hlm. 15.
77
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia,
Raih Asa Sukses, Jakarta, 2018, hlm. 50.

47
4. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

a. Keterangan Saksi

Ruang lingkup pemeriksaan saksi, titik berat sebagai alat bukti,

ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian.

Alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang paling penting dan

utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari

pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara pidana

selalu bersandar pada alat bukti keterangan saksi.78

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi,

agar keterangan yang diberikan mengandung nilai pembuktian:79

1) Harus mengucap sumpah atau janji. Pasal 160 Ayat (3) dan Pasal 160

Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberi

kemungkinan untuk mengucap sumpah atau janji setelah memberikan

keterangan. Berkaitan dengan pelaksanaan sumpah, hukum memberikan

kesempatan sumpah dilakukan diluar tempat sidang sebagaimana diatur

dalam Pasal 223 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Keterangan saksi yang

mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang

dijelaskan Pasal 1 Angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Agar supaya

saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang

78
Syaiful Bakhri, Op.Cit, hlm. 47.
79
Ibid.

48
“dinyatakan” disidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 185

Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4) Keterangan saksi saja tidak dianggap cukup. Hal ini berkaitan dengan

asas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, dimana Hakim dalam menjatuhkan

putusan harus mempunyai dua alat bukti disertai dengan keyakinannya.

Jadi “kesaksian tunggal” tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.

5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Sering terjadi

kekeliruan pendapat yang beranggapan bahwa dengan adanya beberapa

orang saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup

membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian keliru,

karena keterangan yang bernilai sebagai bukti adalah keterangan yang

baik secara “kualitatif”, bukan secara “kuantitatif”.

Berbicara mengenai sumpah dalam memberikan keterangan saksi,

sebenarnya sumpah yang diberikan mempunyai tujuan untuk mendorong

atau memotivasi seorang saksi untuk berkata benar. Oleh karena itu,

sebaiknya sumpah dilakukan sebelum memberikan keterangan. Bagi

seseorang yang agamanya tidak memperbolehkan bersumpah, sumpah

tersebut diganti dengan berjanji.80

Sumpah berfungsi amat penting dalam menemukan kebenaran.

Disamping penyumpahan penerapannya berlaku mutlak, hukum pidana

mengatur akibat yang bertalian dengan sumpah yang dikualifikasikan

sebagai keterangan palsu. Hukum pidana mengancam kepada mereka yang


80
Alfitra, Op.cit, hlm. 78.

49
berbuat demikian dengan ancaman pidana yang merujuk Pasal 242 Ayat

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan “jika

keterangan palsu diatas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan

merugikan tersangka atau terdakwa, yang bersalah dikenakan pidana

penjara paling lama sembilan tahun”.81

Dalam memberikan keterangan, seorang saksi harus mendengar,

melihat dan mengalami sendiri. Namun, dalam praktik ada suatu

keterangan tetapi keterangan tersebut didengar dari orang lain atau

testimonium de auditu. Berkaitan dengan hal ini, hukum acara pidana

Indonesia dengan tegas menolak hal tersebut sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 185 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, Wirjono Prodjodikoro menyatakan

“...hakim dilarang memakai keterangan saksi de auditu...keterangan

semacam ini baik, namun tidak dapat dikesampingkan begitu saja”.82

Hukum acara pidana juga memberlakukan asas unus testis nullus

testis yang artinya satu saksi bukan merupakan saksi. Ketentuan ini diatur

dalam Pasal 185 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

namun disimpangi Pasal 185 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Berdasarkan tafsir acontrario, keterangan saksi sudah cukup

membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila diserta dengan alat bukti

lain misalnya alat bukti keterangan saksi ditambah alat bukti keterangan

terdakwa.83
81
Hendar Soetarna, Op.cit, hlm. 55.
82
Hendar Soetarna, Op.Cit, hlm. 58.
83
Alfitra, Op.cit, hlm. 91.

50
Ketentuan Pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

menyatakan bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan

kepada saksi. Pertanyaan yang bersifat menjerat adalah pertanyaan

mengenai suatu perbuatan atau tindak pidana yang tidak dinyatakan oleh

saksi tetapi dianggap seolah-olah dinyatakan oleh saksi. Ketentuan

tersebut sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 153 Ayat (2) Huruf B

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana saksi didalam

memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan haruslah bebas.84

Agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka

harus memenuhi syarat sebagai berikut:85

1) Syarat Objektif

a) Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa.

b) Tidak boleh ada hubungan keluarga.

c) Mampu bertanggungjawab.

2) Syarat Subjektif

a) Saksi menerangkan apa yang ia dengar, ia lihat dan alami sendiri.

b) Menyebut alasan mengapa saksi tersebut mendegar, melihat dan

mengalami.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli atau expert testimony, disebut sebagai alat bukti

urutan kedua oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal ini

berbeda dengan herzeine inlands reglement yang tidak mencantumkan

84
Ibid. hlm. 81.
85
Ibid. hlm. 104.

51
keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai alat bukti

dikenal dalam hukum acara modern dibanyak negara.86 Dalam Pasal 1

Angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan

“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak

menyebutkan siapa orang atau subjek yang dapat dikatakan memiliki

keahlian khusus tapi jika melihat substansi Pasal 133 Ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka yang dikatakan ahli adalah

“dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena merupakan

peristiwa pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli

kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.

Apa yang diterangkan seorang ahli adalah merupakan kesimpulan-

kesimpulan dari suatu keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya.

Kekuatan alat bukti keterangan ahli pada prinsipnya tidak mempunyai nilai

kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Oleh karena itu,

nilai kekuatan pembuktian pada alat bukti keterangan ahli:87

1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Artinya, didalam dirinya

tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan

menentukan. Hakim bebas menilai dan tidak terikat padanya. Tidak ada

86
Syaiful Bakhri, Op.cit, hlm. 63.
87
Alfitra, Op.cit, hlm. 116.

52
keharusan bagi Hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli

dimaksud.

2) Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam pasal

183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, keterangan ahli yang

berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, tidak

cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar

keterangan ahli dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan

terdakwa harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Keterangan ahli sebagi alat bukti sebenarnya tidak menyangkut

pokok perkara yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan

suatu hal yang masih kurang terang tentang suatu keadaan. Dalam keadaan

tertentu keterangan beberapa orang ahli dapat dinilai sebagai dua atau

beberapa alat bukti yang dapat dianggap memenuhi prinsip minimum

pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Oleh karena itu secara kasuistis, dua atau beberapa alat

bukti keterangan ahli dapat dinilai merupakan dua atau lebih alat bukti,

yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa.88

c. Surat

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang

dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan digunakan sebagai bahan pembuktian. Mahkamah

Agung Republik Indonesia dalam suratnya yang ditujukan kepada Menteri

Kehakiman Republik Indonesia tanggal 14 januari 1988 Nomor


88
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 306.

53
39/TU/88/102/PID, berpendapat microfilm atau microfiche dapat

dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana

menggantikan alat bukti surat.89

Menurut Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-

undang ialah:90

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang;

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan;

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai suatu hal;

4) Surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi

dari alat pembuktian yang lain.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana nilai kekuatan

pembuktian alat bukti surat sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat ditinjau

dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip

pembuktian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana:91

1) Ditinjau dari segi formal

Alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 Huruf a, b, dan c

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah alat bukti yang

sempurna. Sebab bentuk surat yang disebut didalamnya dibuat secara


89
Alfitra, Op.cit, hlm. 118.
90
Hendar Soetarna, Op.cit, hlm. 74.
91
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 311.

54
resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-

undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal didalamnya surat

berisi keterangan resmi seorang pejabat yang berwenang, dan

pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas

sumpah jabatan maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat adalah

alat bukti yang bernilai sempurna.

2) Ditinjau dari segi materil

Alat bukti surat yang diatur dalam Pasal 187 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana bukan merupakan alat bukti yang

mempunyai kekuatan mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti

surat, sama halnya nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan

keterangan ahli, yang sama-sama mempunyai nilai kekuatan

pembuktian yang bersifat bebas. Hakim bebas untuk menilai kekuatan

pembuktiannya.

d. Petunjuk

Nilai kekuatan pembuktian pada alat bukti petunjuk serupa sifat dan

kekuatannya dengan alat bukti yang telah dibahas sebelumnya, yang

mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas, dimana Hakim tidak

terikat secara sempurna oleh alat bukti petunjuk karena Hakim bebas

mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. Kemudian, petunjuk

sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan

terdakwa, karena bukti petunjuk tetap terikat pada prinsip batas minimum

pembuktian.92
92
Ibid, hlm. 314.

55
e. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa tidak boleh dianggap sebagai alat bukti yang

sempurna, menentukan dan mengikat. Jika undang-undang menetapkan

nilai pembuktian dari keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang

sempurna, menentukan dan mengikat, ketentuan seperti itu memaksa

Hakim untuk tidak boleh beranjak dari alat bukti tersebut. Hakim secara

mutlak harus memutuskan perkara atas alasan pembuktian keterangan

terdakwa. Ketentuan ini sangat berbahaya.93

Didalam perkara pidana, tersangkut kepentingan individu pada satu

pihak, dengan kepentingan masyarakat pada lain pihak. Individu dan

masyarakat atau negara sama-sama mempunyai kepentingan yang

seimbang dalam menegakkan dan terciptanya tertib hukum. Oleh karena

itu, kebenaran yang harus ditegakkan adalah kebenaran sejati. Maka dari

hal tersebutlah, undang-undang tidak dapat menilai keterangan terdakwa

sebagai alat bukti yang sempurna, mengikat dan menentukan.94

Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan

terdakwa adalah sebagai berikut:95

1) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat

bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang

93
Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: dalam Perspektif Pembaharuan, Teori,
dan Praktek Peradilan, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2014, hlm. 65.
94
Ibid.
95
Ibid. hlm. 72.

56
terkandung didalamnya. Hakim dapat menerima dan menyingkirkan

sebagai alat bukti dengan alasan-alasan yang logis;

2) Harus memenuhi batas minimum pembuktian

Sebagaimana telah diuraikan pada asas-asas penilaian alat bukti

keterangan terdakwa, sudah dijelaskan salah satu asas penilaian yang

harus diperhatikan Hakim yakni ketentuan yang dirumuskan pada Pasal

189 Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

menentukan “keterangan terdakwa tidak saja cukup untuk membuktikan

bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan padanya,

melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

3) Harus memenuhi asas keyakinan Hakim

Sekalipun terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas

minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan keyakinan

Hakim, bahwa terdakwa memang bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan padanya. Asas keyakinan Hakim harus melekat pada

putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut.

Tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang

sah, untuk itu diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak antara

lain:96

a) Keterangan itu dinyatakan dalam sidang pengadilan

b) Tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa, diketahui sendiri oleh

terdakwa, di alami sendiri oleh terdakwa, dan keterangan terdakwa

merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri.


96
Ibid. hlm. 68.

57
Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah

merupakan alat bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa

tentang apa yang ia perbuat, apa yang ia lakukan dan apa yang ia alami.

Keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya

sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 189 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana. Dari ketentuan tersebut, bisa ditarik kesimpulan

bahwa sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

melarang sesama terdakwa dijadikan sebagai saksi antara yang satu

terhadap yang lainnya.97

97
Alfitra, Op.cit, hlm. 153.

58
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak

Pidana Perkawinan tanpa Izin Isteri Pertama Menurut Pasal 279 KUHP

Roslen Saleh, menyatakan bahwa Hukum Pidana dan Hukum Acara

Pidana lahir guna untuk mengatur tentang bagaimana mempertahankan

ketertiban masyarakat, dan dengan sengaja boleh menimpakan derita dalam

kepada warga yang dipidana.98 Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau

instrument untuk mengatur hak-hak atau kewajiban subjek hukum agar subjek

hukum bisa mejalankan kewajiban dengan baik serta medapatkan haknya

secara wajar. Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum

dalam masyarakat dan hukum itu harus bersendikan pada keadilan, yaitu asas

keadilan dalam masyarakat itu.99

Hukum adalah kajian ilmu yang selalu berubah dengan perubahan-

perubahan itu mengharuskan hukum harus selalu eksis menyesuaikan diri

dengan bergesernya paradigma kehidupan manusia, walaupun dalam

kenyataan hukum (peraturan perundang-undangan) dalam perkembangannya

selalu mengikuti yang berarti bahwa akan bergerak satu langkah dibelakang

dari kenyataan kehidupan manusia.100

98
M. Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.
354.
99
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hlm. 41.
100
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 13.

59
Pandangan demikian itu apabila hukum hanya diartikan sebagai

manifestasi rumusan peraturan perundang-undangan saja yang dibuat oleh

politisi disuatu Negara, maka hukum dapat saja dikatan tertinggal, satu lagkah

dari kehiudpan manusia. Tetapi apabila hukum diartikan sebagai perwujudan

perikehidupan manusia, perilaku manusia yang baik, hukum tidak perlu

ditempatkan pada posisi yang selalu harus dibelakang dari setiap langkah

manusia yang beradab.101 Hal ini karena hukum itu berkembang selalu

berdasarkan mindset, yang artinya bahwa setiap subjek hukum itu selalu akan

melakukan penataan-penataan, menemukan formulasi-formulasi,

mengeksplorasi misteri alam pikiran manusia yang diwujudkan dalam norma

kehidupan manusia dan alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan dan

keseimbangan.102

Tindak pidana asal-usul perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP) dijelaskan

pada Pasal 279 KUHP. Tindak pidana ini berkaitan dengan pernikahan,

poligami dan juga nikah siri. Pernikahan dilambangkan dengan sesuatu yang

suci, namum apa jadinya bila pernikahan yang kedua kalinya malah menjadi

penghancur hubungan suami isteri didalam rumah tangga.

Tak hanya masyarakat awam, dikalangan kepolisian, militer, pejabat

negeri sipil hingga aparat penegak hukumpun terjerat dengan tindak pidana

ini. Hal ini dikarenakan dorongan hawa nafsu seseorang untuk mendapatkan

101
Ibid.
102
Ibid.

60
kepuasan yang ia ingginkan sengga acap kali melenceng dari koridor-koridor

yang telah ditentukan oleh hukum.

Isi dari Pasal 279 KUHP ini menjelaskan tentang larangan untuk

menikahi seseorang yang bila pernikahannya sebelumnya menjadi

penghalang yang sah, tak main-main tindak pidana ini di ancam dengan

pidana kurungan selama 5 tahun penjara. Yang berisi sebagai berikut;

(4) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun :

c. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan – perkawinan yang telah ada menjadi

penghalang yang sah untuk itu;

d. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan – perkawinan pihak lain menjadi

penghalang untuk itu.

Didalam Pasal ini jelas ada penekanan kalimat “perkawinan yang

telah ada menjadi penghalang yang sah” artinya dapat kita tarik kesimpulan

bahwasannya pernikahannya untuk kedua kalinya atau poligami jelas dilarang

apabila pelaku poligami tidak mengantongi izin dari pasangannya yang masih

sah secara hukum dan masih hidup.

Jika berbicara poligami, di Indonesia memanglah diperbolehkan

berpoligami, namum kembali lagi ada Undang-Undang yang mengaturnya.

Sehingga peraktik poligami tidak jadi bumerang bagi para pelaku praktiknya.

Bila kita berbicara mengenai izin untuk melakukan poligami, kembali lagi hal

ini tidaklah mudah dikarenakan terlibatnya perasaan seseorang yang sejatinya

61
telah melekat di diri kita semua, sehingga sering kali bertolak belakang

dengan aturan-aturan hukum yang bersifat mengikat. Tak sedikit para pelaku

terjerat oleh Pasal ini dikarenakan kehendak hawa nafsunya, keinginan untuk

memiliki isteri lebih dari satu ataupun suami. Banyak yang mengambil jalan

pintas dengan nikah dibawah tangan atau nikah siri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pada Pasal 3 ayat 1, bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang

isteri, dan seorang perempuan hanya boleh memiliki seorang suami. Namun,

pada Pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa pengadilan dapat memberi izin

kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari satu jika dikehendaki oleh

pihak-pihak terkait. Didalam Pasal ini menunjukan asas perkawinan di

Indonesia adalah asas monogami relatif yang membolehkan seorang suami

memiliki isteri lebih dari satu.

Nikah siri, bila kita memandang dari kaca mata agama islam hal ini

bukanlah sesuatu yang baru dan tabu untuk didengar. Karena nikah siri

memanglah diperbolehkan dan tidak dilarang. Hanya saja di Indonesia

keberadaan nikah siri memang diakui keberadaannya, hanya saja akta nikah

siri tidak diakui oleh Negara karena tidak tercatat oleh catatan sipil. Mengenai

boleh atau tidak bolehnya, sah atau tidak sahnya bila di perbincangkan dari

kedua aspek antara hukum islam dan hukum nasional, ini akan menjadi topik

perbincangan yang amat panjang. Kembali lagi selaku warga Negara

62
Indonesia kita harus patuh, tunduk dan taat kepada aturan hukum yang ada

dan mengatur.

Didalam penelitian ini saya mengambil dua sampel putusan

pengadilan terkait tindak pidana asal-usul perkawinan, yaitu pada kasus Andi

Bahrudi dan kasus Kapten Rusli Legino. Kedua pelaku ini didakwa telah

melakukan pernikahan untuk kedua kalinya atau poligami dengan melakukan

nikah siri dan tidak memiliki izin atas pernikahannya dari isteri selaku korban

para pelaku. Hakim ketua dari masing-masing kasus ini memutuskan para

terdakwa dibebaskan dari segala dakwaaan yang didakwakan kepadanya dan

memulihkan seluruh hak-haknya seperti semula, dikarenakan dalam

permohonan kasasi, pemohon kasasi atau pihak terdakwa menyatakan

“perbuatan terdakwa tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) dan

pada terdakwa tidak memiliki akta nikah sebagai alat bukti otentik yang sah

dimuka pengadilan” dan tidak hanya itu alasan lain hakim dalam memutuskan

perkara ini pada tingkat kasasi antara lain kurangnya saksi dalam proses

pernikahan yang melanggar ketentuan Menteri Agama, dan juga

kadaluwarsanya masa tenggat sebuah delik aduan. oleh karena itu terdakwa

tidak dapat dituntut sebagimana diatur didalam Pasal 279 huruf b KUHP.

Saat pemeriksaan saksi yang juga seorang isteri dari terdakwa, saksi

memberikan kesaksiannya kepada hakim, bahwasannya terdakwa memang

benar telah menikah lagi sedangan terdakwa tidak mendapatkan izin darinya.

Saksi menjelaskan mengenai bukti-bukti berupa pesan singkat dan juga

kecurigaan-kecurigaan yang ia rasakan selaku isteri dari terdakwa. Putusan

63
hakim merujuk pada Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(yang selanjutnya disebut KUHAP); “Keterangan seorang saksi saja tidak

cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya.” Dan juga kurangnya alat bukti yang dihadirkan

dimuka persidangan, mengenai alat bukti diatur pada Pasal 184 KUHAP.

Merujuk pada Pasal 74 Ayat (1) KUHAP pada Kasus 1 serta Ketentuan

Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1987 Pasal 1 huruf b pada Kasus 2.

Mendasari Pasal-Pasal tersebut Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa

seluruh dakwaan para Jaksa Penuntut Umun dan juga Oditur Militer ditolak

dan dinilai keliru.

Kekuatan alat bukti dipertaruhkan dalam suatu putusan perkara, baik

itu saksi, keterangan ahli, petunjuk dan surat harus dibuktikan hubungannya

degan kasus yang diadili. Dikarenakan hakim mempunyai keyakinan atas

kebenaran alat bukti yang ada, maksudnya alat bukti yang ada berupa

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk maupun keterangan

terdakwa harus diyakini hakim berkaitan dengan peristiwa kejahatan atau

pelangaran yang sudah terjadi atau berkas-berkas perkara yang ada, dengan

kata lain harus sesuai dengan fakta bukan rekayasa. Sedangkan surat nikah

siri memanglah alat bukti namun, bukan akta otentik yang keabsahannya

perlu dipertanyakan.

Apakah putusan hakim dapat dikatakan menjadi faktor penghalang

dalam menegakan tindak pidana asal-usul perkawinan? Atau ada faktor-faktor

yang lainnya? Hakim adalah perwujudan Tuhan di dunia, ia adalah

64
perwakilan dan bentuk keadilan di dunia ini. Hakim diberi wewenang oleh

negara dalam mengadili suatu perkara kasus yang menyangkut rasa keadilan

bagi para pelaku dan korban. Menurut saya, hakim telah menjalankan

tugasnya sesuai dengan porsinya pula, kita selaku masyarakat harus

menghormati putusan yang telah diambil oleh hakim dan menganggap

putusan itu benar. Hal ini juga terdapat pada asas hukum Res Judicata Pro

Veritate Habetur yang berarti bahwa putusan hakim harus dianggap benar,

jika saksi palsu diajukan dan hakim memutuskan perkaranya berdasarkan

saksi palsu tersebut, jelas pututusannya tidak berdasarkan kesaksian yang

benar, tetapi harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum

yang tetap atau diputuskan oleh pengadilan yang lebih tinggi.103 Akan tetapi

hakim haruslah cermat dalam setiap perkara-perkara pidana meskipun hakim

telah bekerja semaksimal mungkin dalam memutuskan perkara peristiwa

pidana, menurut saya hakim juga harus mempertimbangkan nilai-nilai yang

tubuh didalam masyarakat sehingga hakim dapat lebih bijak dalam

mengambil putusan, menurut hemat saya hakim sepatutnya mengakui alat-

alat bukti yang berkaitan dengan perkara tindak pidana meskipun alat bukti

tersebut tidak otentik maupun otentik, selama itu berkaitan dengan tindak

pidana hakim haruslah mempertimbangkannya.

Faktor-faktor lain dalam penghambatan tindak pidana ini adalah:

1. Dalam proses pembuktian; yaitu surat-surat nikah yang tidak tianggap

sebagai alat bukti yang sah

103
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukuam: Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, hlm.9

65
2. Kadaluwarsa masa tuntutan delik aduan

3. Sudut padang hakim; hakim dapat menafsirkan Pasal berbeda-beda

4. Pemahaman hukum bagi masyrakat; tak semua masyrakat paham akan

tiap-tiap tindak pidana

Setelah hakim memulihkan hak-hak terdakwa dan membebaskan

terdakwa dari dakwaan yang didakwakan kepadanya, hakim tidak

mempertimbangkan derita psikis yang diterima seorang isteri yang telah

menjadi korban dalam rumah tangga. Apakah korban hanya bisa dianggap

korban apabila terdakwa telah ditetapkan bersalah oleh hakim? Apakah

keadilan telah tercapai? Menurut saya belum, tegaknya hukum dianggap

benar-benar tercapai apabila keadilan telah sama-sama didapatkan oleh kedua

pihak. Keadilan dibagi menjadi dua:

1. Dibagi sama rata;

2. Dibagi sesuai porsinya.

Mengapa? Karena Summum Ius, Summa Injuria, yang berarti “keadilan

tertinggi dapat berarti ketidakadilan yang tertinggi.”

Hukum merupakan perwujudan atau manifestasi dari nilai

kepercayaan. Oleh karena itu, wajar apabila penegak hukum diharapkan

sebagai orang yang sepatutnya dipercaya, dan menegakan wibawa hukum,

pada hakikatnya berarti menegakan nilai kepercayaan di dalam masyarakat. 104

Kekosongan pengaturan hukum yang lebih konret dan spesifik dibidang

poligami dan nikah siri menciptakan kekosongan hukum yang ada dan

104
Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 55.

66
beriringan dengan pudarnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu

sendiri.

B. Pengaturan Yang Ideal Terkait Tindak Pidana Perkawina Tanpa Izin

Isteri Pertama Menurut Pasal 279 KUHP

Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain

hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yurisprudensi, hukum

adat dan hukum doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya

tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara

perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang

dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan

pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu.

Dalam suatu penegakan hukum, sesuai kerangka Friedman, hukum harus

diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum

(structure of law), dan budaya hukum (culture of law).105

Hukum adalah sebagai perlindungan kepentingan dari berbagai

kegiatan manusia, dimana hukum harus dilaksanakan. Pelaksanakan hukum

dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat juga terjadi berbagai

pelanggaran terhadap hukum. Dalam hal ini hukum harus ditegakkan.

Penegakan hukum atau yang dikenal dengan istilah law enforcement

merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan suatu perlindungan dan

kepastian hukum. Sebelum mengartikan apa itu tindak pidana, terlebih dahulu

kita harus mengetahui apa itu pidana. Menurut R. Soesilo berarti hukuman,

105
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa dan
Praktisi, Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm.26.

67
yaitu suatu tindakan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim

dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, pidana adalah hal-hal yang dipidanakan oleh

instusi berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang

tidak enak dirasakannya dan juga hal yang sehari-hari dilimpahkan.106

Mengenai istilah tindak pidana, menurut Moeljatno adalah perbuatan

yang dilarang oleh aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa

pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga

dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum

dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan

ditunjukkan pada perbuatan.107 Pantas atau tidak seseorang dikriminalisasi

atas pelanggaran hukum yang diduga telah dilanggarnya diputuskan oleh

kekuasaan hakim dan kebijakan hukum yang hal ini menyangkut dengan

Criminal Policy. Hal yang menentukan dari kriminalisasi adalah oportunisme

politik dan kekuasaan. Keduanya berhubungan dan mendukung budaya

politik di suatu negara. Kriteria objektif seperti kerugian atau pelanggaran

cenderung untuk mencair ke dalam waktu dari idologis politik.

MacCormick berpendapat bahwa secara alami, hukum yang

dibenarkan oleh prinsip kerugian (harm principle) dalam sebuah pemberian

interpretasi dari kerugian (harm) memang bertepatan dengan ajaran yang

dipegang luas terhadap perilaku berbahaya. Hukum pidana sejauh yang

106
Adelia Yunia, “Konsekuensi Hukum Tindak Pidana Narkotika Jenis Baru Berdasarkan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” Skripsi, 2014, Fakultas Hukum
Universitas Riau, Pekanbaru.
107
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.7.

68
terkait dengan menangkis perilaku berbahaya yang diarahkan untuk

melindungi legitimasi kepentingan berdsarkan politik moral tertentu. Dalam

melakukan kriminalisasi maka prinsip kerugian (harm principle) menjadi

perbincangan atau pun pertanyaan seperti dalam pelanggaran kekerasan dan

konsep baru dari pelanggaran masuk tanpa izin (trespass). Sebagai tambahan,

prinsip demokrasi dan politik terkait reperensasi demokrasi juga dipertanyaan

mengenai teori dan praktek dalam pembenaran dalam menerapkan hukum

pidana.

Terdapat perdebatan mengenai autonomi prinsip atau kebebasan

positif, kombinasi dengan minimalis versi dari prinsip kesejahteraan (walfare)

seharusnya menyediakan pondasi bersama dengan European Convention on

Human Right. Terdapat beberapa tipe perbuatan yang seharusnya

dikriminalisasi untuk memastikan bahwa individu tidak memiliki autonomi

yang dilanggar oleh perbuatan paksaan dari yang lain dan kondisi autonomi

tersebut diabadikan. Akan tetapi secara umum prinsip autonomi menyarankan

bahwa hukum pidana seharusnya minimum. Dengan perkataan lain sarana

peraturan seharusnya sedapat mungkin diadopsi. Hal ini kemudian akan

bertentangan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Kriminalisasi pelanggaran perilaku kecuali kriteria lebih lanjut dipenuhi;

2. Penggunaan alasan paternalistic untuk membenarkan krimialisasi, kecuali

untuk melindungi yang rentan;

3. Kewajiban pidana (criminal liability) untuk kelalian (omission) kecuali

untuk kasus yang kuat;

69
4. Memperluas sanksi pidana untuk kerugian minor (minor harm);

5. Kewajiban pidana (criminal liability) berdasarkan bahwa jarak

jauh (remote harm); dan

6. Pembuatan dari apa yang disebut sebagai kejahatan tanpa korban

(victimless crimes).

Di sisi lain prinsip kesejahteraan (walfare principle) mendukung

argumen yang sebaliknya dalam kasus dimana konsekuensi dari individual

terlibat mungkin sangat serius sebagai ancaman terhadap autonomi mereka.

Argumen dasar mengenai kriminalisasi dan dekriminalisasi terletak pada

permasalahan bukti di mana kadangkala bukti empiris dan lainnya harus

disediakan. Contohnya perdebatan mengenai asal-usul perkawinan dan sanksi

pidana harus berkaitan dengan bukti empiris terkait akibat yang timbul pada

korban dibandingkan dengan akibat serupa terkait dengan jumlah pelangaran

asal-usul perkawinan itu sendiri.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang

baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan

kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian

dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian

“kebijakan penanggulngan kejahatan dengan hukum pidana”.108 Usaha

Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan

hukum pidana). Oleh karna itu sering pula dikatakan politik atau kebijakan

108
Barda Nawawi Arief, Bunga Rempai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep
Penyusunan KUHP Baru, Prenamedia Group, Jakarta, 2008, hlm. 28.

70
hukum pidana merupkan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum ( law

enforcement policy).109

Disamping itu, usaha penanggulangan kejatahatan lewat pembuatan

undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian

integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu

wajar pula apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan

bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial policy).110

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan

cara yang paling tua pada suatu peradaban manusia itu sendiri . Ada pula

yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”.111 Menurut

Barda Nawawi Arief, hakikatnya adanya pembaharuan hukum pidana

menuntut adanya penelitian dan pemkirian terhadap masalah sentral yang

sangat fundamental dan strategis. Termasuk dalam klasifikasi masalah yang

demikian antara lain yang masalah kebijakan dalam menetapkan/

merumuskan suatu perbuatan yang merupakan pidana dan sanksi yang dapat

dikenakan.112

Pada hakikatnya pendekatan kebijakan hukum bukan hanya

beriorentasi pada kebijakan hukum pidananya saja tetapi juga melalui

pendekatan kebijakan kebijakan sosial yang sasaran utamanya adalah

pembangunan dan perwujudan hukum nasional kearah yang lebih baik.

109
Ibid.
110
Ibid.
111
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana , Alumni, Bandung,
1984, hlm. 149.
112
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara” Balai Penerbitan Undip, Semarang, 1996, hlm. 3.

71
Pendekatan kebijakan hukum pidana sangat penting terutama terhadap

persoalan-persoalan sentral mengenai pernentuan perbuatan pidana sehingga

atas perbuatan pidana tersebut dapat dikenakan sanksi kepadanya.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lebih spesifiknya pada

Pasal 279 ayat (1) sangat jelas menjelaskan mengenai tindak pidana asal-usul

perkawinan, pernikahan kedua kalinya tanpa disetai izin isteri pertama.

Kebijakn pada pasal ini sampai pada pelanggaran tindak pidana pemalsuan

surat dan dokumen. Namun tidak mencangkup keranah pernikahan siri, hal

ini karna negara tidak mengakui keberaan nikah siri itu meskipun, praktik

nikah siri tetap dibolehkan oleh agama islam dan masih belangsung dan

dipakai di Indonesia. Karena kebijakan criminal (criminal policy) negara

tidak tersentuh hingga kesana, menyebabkan tidak adanya kepastian hukum

yang ada terkait tindak pindana ini. Lantas kebijakan apa yang mesti diambil

oleh negara mengenai penyelesaian tindak pidana asal-usul perkawinan yang

ideal agar hal serupa tidak terulang kembali.

Melakukan perubahan perundang-undangan Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 dan spesifik mengenai proses penyelesaian tindak pidana nikah siri

dengan memuat point-point penting baik itu alat-alat bukti yang berlaku

dalam tindak pidana ini dan lain sebagainya adalah solusi dari kebijakan yang

harus diambil, menurut saya. Tak hanya mengisi kekosongan hukum yang

ada akan tetapi menumbahkan kembali kepercayan manusia akan kepastian

hukum yang menjamin kesejahteraan mereka dan serta cita-cita yang

72
diharapkan. Memberikan bimbingan konseling terhadap korban yang telah

menderita luka psikis dan mentalnya pula, karena jiwa manusia adalah hal

yang paling rentan dan proses penyembuhannya yang memakan waktu yang

lama, meskipun memerlukan anggaran dana untuk menyelesaikan itu.

Undang-undang dasar tahun 1945 mewajibkan negara memenuhi hak-hak

setiap orang tertuang pada Pasal 28H ayat (1) undang-undang dasar 1945;

“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan”

Dan Pasal 28H ayat (3) undang-undang dasar 1945;

“setiap orang berhak atas jaminal sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagi manusia yang bermartabat.”

Analisa penulis menggunakan teori kebijakan hukum pidana maka

dari itu usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi

bahkan mengatur pengaturan ideal tentang sebuah kejahatan (politik kriminal)

perkawinan tanpa izin isteri pertama tidak hanya menggunakan sarana

“penal” (hukum pidana), tetapi dapat juga menggunakan sarana-sarana “non-

penal”. Usaha penanggulangan kejahatan secara penal, yang dilakukan

melalui langkah-langkah perumusan norma-norma hukum pidana, yang di

dalamnya terkandung unsur-unsur substantif, struktural dan kultural

masyarakat tempat sistem hukum hukum tersebut diberlakukan. Usaha

penanggulangan kejahatan melalui sarana penal tersebut dalam

operasionalnya dijalankan melalui suatu sistem peradilan pidana yang di

73
dalamnya bergerak secara harmonis dari subsistem-subsistem pendukungnya

yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta

Advokat.113

Apabila dikaitkan dengan teori penegakan hukum, menjadi pertanyaan

apa faktor yang menghalangi agar terwujudnya sarana preventif dan represif

dalam penanggulangan kejahatan terutama dalam konteks Pasal 279? Analisa

penulis yaitu ada beberapa faktor:

1. Faktor hukumnya sendiri. Karena dalam konteks Pasal 279 belum adanya

keselarasan dalam hukum acara pidana seperti contoh mengedepankan

tindakan preventif agar sesuai dengan keadilan restorarif yang

mengedepankan hal musyawarah terlebih dahulu sebelum sampai pada

tahap peradilan tingkat awal.

2. Faktor Penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum. Karena pemikiran antara pembentuk dan pelaksana

belum menemui kesatuan dalam menanggulangi kejahatan dalam Pasal

279, sarana seperti apakah yang akan dilaksanakan sehingga potensi

konflik bisa teratasi baik dari segi vertical maupun horizontal.

3. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan. Menjadi faktor sulitnya proses preventif maupun represif

dikarenakan masyarakat masih minim pengetahuan terhadap Pasal 279

yang sering terjadi, akibatnya mereka abai dalam mentaati peraturan yang

menyebabkan mereka berkaitan langsung dengan konflik tersebut.114


113
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2010), hlm 158.
114
Ibid., hlm. 24

74
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor yang menjadi penghabat dalam proses penegakan hukum

terkait tindak pidana asal-usul perkawinan atau tentang perkawinan tanpa

izin isteri pertama untuk kedua kalinya ini tak hanya dari satu sisi dalam

proses penegakan hukumnya saja. Ada dari berbagai aspek-aspek yang

lainnya juga, seperti regulasi pengaturan yang lebih spesifik mengenai

tindak pidana ini. Dan dari sisi lain seperti; pengaturan mengenai alat-alat

bukti dalam tindak pidana ini, pemahaman hakim terhadap tindak pidana

tersebut, pengetahuan masyarakat akan aturan hukum yang ada.

2. Bila berbicarakan bagaimana idealnya suatu peraturan itu diterapkan agar

tidak terjadi rasa ketidak adilan terhadap pihak-pihak yang merasa

dirugikan. Negara harus memperhatikan hak-hak setiap korban dan pelaku

inginkan, meskipun hak setiap orang dibatasi oleh hak orang lain. Namun

tidak menutup kemungkinan setiap orang, baik itu pelaku maupun korban,

mereka menginginkan sebuah perlakuan khusus utnuk membantu proses

penyembuhan mentalnya yang tengah tidak stabil setelah menerima

keputusan hakim dalam persidangan. Karena kasus pernikahan adalah

kasus yang menyangkut dengan perasaan seseorang didalamnya, derita

psikis (jiwa atau mental) seseorang menjadi target yang sangat rawan dan

membutuhkan penanggulanan khusus serta memakn waktu yang cukup

75
lama. Sehingga disini peran negaralah yang harus mengambil sikap untuk

membuat suatu tatanan regulasi dan fasilitas itu sendiri.

B. Saran

1. Saran saya sebagai penulis dalam penelitian Tindak Pidana Perkawinan

Tanpa Izin Isteri Pertama Menurut Pasal 279 KUHP, membentuk suatu

peraturan perundang-undangan yang baru dan konkret terkait proses

pelaksaan pembuktian tindak pidana ini lebih spesifik lagi. Sehingga

kekosongan hukum ini tidak lagi kosong serta mengembalikan rasa

kepercayaan masyarakat kepada proses penegakan hukum yang ada di

Indonesia. Pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai proses

penegakan tindak pidana ini memenuhi hukum formil dari tindak pidana

tersebut, sehingga hakim bisa menjadikan peraturan perundang-undangan

itu sebagai acuan dalam menyelesaikan tindak pindana ini dan tak hanya

berpatokan pada Pasal 279 KUHP.

2. Regulasi yang dinilai kurang cukup memadai dalam tindak pidana ini

harus segera cepat diselesaikan. Karena aaturan hukum mengenai

pelaksanaan tindak pisana asal-usul perkawinan ini belum ada terkait

dalam proses pembuktiannya. Supaya hakim tidak lagi ragu-ragu dalam

memutus perkara. Negara jangan hanya memperhatikan gejala-gelaja

kejahatan yang akan timbul dan berkembang ditengah-tengah lingkungan

kehidupan masyarakat, dan bukan hanya berfokus pada. Proses pembinaan

bagi para narapidana, negara juga harus memperhatikan bagaimana

mengembalikan Kesehatan-kesehatan mental para korban yang telah

76
mereka derita selama mereka menjadi korban hingga setelah proses

penegakan proses hukum itu selesai.

77
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pembaruan Hukum Pidana Reformasi


Hukum Pidana, PT Grasindo, Jakarta.

Arief, Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana ,
Alumni, Bandung.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan


Kejahatan dengan Pidana Penjara” Balai Penerbitan Undip,
Semarang.

Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum


Pidana,Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada
Media Group, Jakarta.

Djamali, R.Abdoel, 2005, Pengantar Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Erwin, Muhamad, 2015, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum dan
Hukum Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Farid. A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, 2006, Bentuk-Bentuk Khusus


Perwujdan Delik. Jakarta. Rajawali Pers.

Gunawan, T.J, 2018, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi


Edisi Revisi. Kencana, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, sinar Grafika, Jakarta.

Hadiati, Hermin, Asas-Asas Hukum Pidana. Ujung Pandang. Lembaga


Percetakan dan Penerbitan Universitas Muslim Indonesia.

Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui


Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Isnaeni, Moch, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, Refika Aditama,


Bandung.

Kartanegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta.

Kadir, Abdul, 2001, Etika Profesi Hukum, PT Cahaya Aditya Bakti,


Bandung.
Kansil, C.S.T, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta

Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Panintensir Indonesia,


Jakarta, Sinar Grafika.

Latif, Abdul dan Hasbi Ali, 2011, Politik Hukum, PT Sinar Grafika, Jakarta.

Mardani, 2016, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep


Diversi dan Restorative Justice, Cet I, Refika Aditama, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 2014, Penemuan Hukuam: Sebuah Pengantar,


Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

Mulyadi, Lilik, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis,


Dan Praktik, P.T. Alumni, Bandung.

Purbacaraka, Purnadi, 1977, Penegakan dalam Meneruskan Pembangunan


Alumni, PT Alumni, Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.

Sasangka, Hari, 2005, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk


Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung.

Setiadi, Tolib, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penentisier Indonesia,Bandung,


Alfabeta.

Soekanto, Soerjono, 1981, Pengntar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Sudarto dalam M.Sholehuddin,2002, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana


(Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya). PT. Raja
Grafindo Persada .Jakarta.

________________, 2013, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta.

Syamsudin, Aziz, 2011, Tindak Pidan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

Yunia, Adelia, 2014, “Konsekuensi Hukum Tindak Pidana Narkotika Jenis


Baru Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Riau, Pekanbaru.
Zaidan, M. Ali, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta.

B. Jurnal/Kamus
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, New York : WW.
Norton and Company, 1984,Westlaw.

Pelaintiff-Appellee, America Country, v. JamesWELLS, Defendant Appelle,


Westlaw.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2014, Kamus Umum Bahasa


Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Samuel James Jhonson, Supreme Court of the United States, U.S Government
Works, 2007, Westlaw.

W.J.S Poerwadarmita, 2010, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,


Jakarta.

C. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1660.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.

D. Website
https://www.dictio.id. diakses tanggal 4 Juli 2019

http://rusman-pattiwel.blogspot.co.id/p/pengaturan-sanksi-double-track-
system.html diakses Minggu 15 Desember 2019.

http://www.nationaljournal.com/domesticpolicy/can-public-shaming-be-
good-criminal-punishment-20130909. diakses tanggal 17
desember 2019

Anda mungkin juga menyukai