Anda di halaman 1dari 103

REKONSTRUKSI PENEGAKKAN HUKUM PIDANA BAGI PELAKU

KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG


BERBASIS NILAI KEADILAN

YUSUF HANAFI PASARIBU


10302100129

PROPOSAL DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum


Pada Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Dipertahankan Pada Tanggal Februari 2023


Di Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

PROGRAM DOKTOR (S3) ILMU HUKUM (PDIH)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERTITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG
TAHUN 2023
REKONSTRUKSI PENEGAKKAN HUKUM PIDANA BAGI PELAKU
KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG
BERBASIS NILAI KEADILAN

YUSUF HANAFI PASARIBU


10302100129

PROPOSAL DISERTASI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian
Guna Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum Ini
Telah Disetujui Oleh Promotor dan Co-Promotor Pada Tanggal
Seperti Tertera Dibawah Ini

Semarang, Februari 2023

PROMOTOR CO-PROMOTOR

Prof.. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H.,M.Hum. Prof.. Dr. Hj. Sri Endah. W, S.H.,M.Hum.

Mengetahui/Menyetujui:
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung

Prof.. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H.,M.Hum.

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha
Esa, atas segala karunianya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tugas
Proposal Disertasi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar
Doktoral Ilmu Hukum, khususnya pada Untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu
Hukum Pada Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA).
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin, agar penulisan dan
penyusunan Disertasi ini berhasil dengan baik, dengan menyadari sepenuhnya
bahwa kemampuan Penulis dalam menyusun karya ilmiah ini masih sangat
terbatas, namun demikian Penulis berharap karya ilmiah ini dapat berguna bagi
siapa saja yang ingin mempelajari hukum pidana pada umumnya dan khususnya
untuk Penulis sendiri.
Dalam penyusunan tugas proposal Disertasi ini Penulis berfokus
membahas dengan judul “REKONSTRUKSI PENEGAKKAN HUKUM
PIDANABAGI PELAKU KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG
BERBASIS NILAI KEADILAN”.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya Penulis sampaikan kepada
yang terhormat:
1. Yang Tersayang & Dibanggakan Kedua Orang Tua Penulis Ayah Penulis
Drs. H Parulian Pasaribu, M.Si dan Ibu Hj. Zuraidah, S.Pd ;
2. Yang Terhormat Yayasan Serta Rektorat Universiras Pembinaan
Masyarakat Indonesia (UPMI-Medan);
3. Yang Terhormat Bapak Drs Azhar Combo Selaku Ketua Dewan Pembina
Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung;
4. Yang Terhormat Bapak Hasan Toha Putra MBA Selaku Ketua Yayasan
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA);
5. Yang Terhormat Dan Terpelajar Prof. Dr. H. Gunarto, SH.,M.Hum Selaku
Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA);
6. Yang Terhormat Dan Terpelajar Prof. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun,
S.H.,M.Hum. Selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Islam Sultan Agung (UNISSULA) Serta Promotor;

2
7. Yang Terhormat Dan Terpelajar Prof. Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih,
S.H.,M.Hum. Selaku Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Islam Sultan Agung (UNISSULA) Serta Co-Promotor;
8. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Doktor Ilmu Hukum Pada
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), yang telah banyak
memberikan ilmunya selama Penulis menjadi mahasiswa;
9. Para sahabat angkatan Tahun 2021 Program Doktor Ilmu Hukum Pada
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) yang telah banyak
membantu dan memberikan dorongan, motivasi yang tidak ternilai
harganya bagi Penulis, sehingga terselesainya disertasi ini, serta semua
pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
10. Para Rekan, Sahabat, Kolega, yang telah banyak membantu dan
memberikan dorongan, motivasi yang tidak ternilai harganya bagi Penulis,
sehingga terselesainya Proposal Disertasi ini, serta semua pihak yang tidak
dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan Proposal Disertasi ini tidak terlepas dari berbagai
hambatan, namun berkat usaha yang tidak mengenal kata menyerah, serta dengan
bantuan dari berbagai pihak, akhirnya segala hambatan dapat diatasi, namun
begitu saran dan kritikan yang membangun dari semua pihak akan Penulis terima
demi perbaikan disertasi ini.
Akhir kata semoga dengan tambahan modal yang berbentuk disertasi ini,
Penulis dapat mengabdikan diri dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Semarang, Februari 2023

YUSUF HANAFI PASARIBU


10302100099

3
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN...................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
1. Judul ............................................................................................................. 1
2. Latar Belakang Penelitian ............................................................................ 1
3. Rumusan Masalah ........................................................................................ 16
4. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 16
5. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 16
6. Kerangka Konseptual ................................................................................... 16
7. Kerangka Teoritik ........................................................................................ 38
8. Kerangka Pemikiran .................................................................................... 57
9. Metode Penelitian ........................................................................................ 70
10. Paradigma Konstrukvisme ......................................................................... 79
11. Jenis Penelitian .......................................................................................... 80
12. Metode Pendekatan Social Legal Research ............................................... 83
13. Jenis Dan Sumber Data .............................................................................. 84
14. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 85
15. Analisa Data ............................................................................................... 86
16. Orisinakitas ................................................................................................ 87
17. Daftar Pustaka ............................................................................................ 91

4
BAB I
1. Latar Belakang Masalah

Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah
pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia
masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan
bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan,
realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan
terus mengalami kekerasan.1
Kekerasan terhadap anak seringkali di identikkan dengan kekerasan kasat
mata, seperti kekerasan fisikal dan seksual. Padahal, kekerasan yang bersifat
psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen
terhadap anak. Karenanya, istilah child abuse atau perlakuan salah terhadap anak
bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual
(sexual abuse) dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social
abuse) yang berdimensi kekerasan struktural.
Lemahnya penegakan hukum dan praktik budaya bisa pulak berdampak
pada fenomena kekerasan terhadap anak. Misalnya: famela genital mutilation dan
hukuman badan (corporal punishment) pada masyarkat tertentu adalah bentuk
kekerasan terhadap anak seringkali lepas dari jeratan hukum dan secara budaya
diterima sebagai hal yang wajar dilakukan terhadap anak. Kekerasan terhadap
anak cenderung diturunkan. Anak yang pernah menerima kekerasan akan
melakukan hal sama terhadap anaknya kelak. Suami yang sering melakukan
perlakuan salah terhadap anaknya, cenderung melakukan hal serupa terhadap
istrinya.
Setiap hari kita masih mendengar rintihan anak-anak yang disiksa dan
dianiaya bahkan ada yang terbunuh, baik yang dilakukan keluarganya sendiri
maupun masyarakat. Anak-anak yang disekap, diculik, ditelantarkan, diperkosa,
atau anak-anak yang diperdagangkan itulah anak-anak korban kekerasan, yang
hingga kini belum mendapatkan pelayanan dan bantuan yang memadai, baik yang

1
Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak, 2012. Nuansa Cendikia: Bandung, hlm. 21

5
dari negara dan pemerintah maupun masyarakat. Permasalahan anak di Indonesia
belum dapat ditangani secara serius dan komprehensif.
Penanggulangan permasalahan anak menjadi termarjinalkan di tengah
hiruk pikuk persoalan politik hegemoni kekuasaan. Ironisnya, di satu sisi
permasalahan anak dianggap sesuatu yang penting hingga membutuhkan
perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh, tetapi disisi lain dalam
realitasnya permasalahan dapat tertangani dengan baik. Masih terjadi kesenjangan
antara harapan (das sollen) dan kenyataan (dassein) yang dihadapi anak di
Indonesia.
Sebagai generasi penerus bangsa, anak selayaknya mendapatkan hak-hak
dan kebutuhannya secara memadai. Sebaliknya, mereka bukan objek (sasaran)
tindakan kesewenangan-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari
siapapun atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindak kekerasan
dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, di didik dengan sebaik-baiknya,
agar mereka tumbuh serta berkembang secara sehat dan wajar. Hal itu saja perlu
dilakukan, agar kelak dikemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang (the lost
generation).
Nampaknya kita perlu menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal
yang sederhana. Penanggulangan permasalahan anak sangat menuntut banyak
pihak. Mereka bukan semata-mata tanggung jawab orang tua, melainkan juga
menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah serta masyarakat. Oleh karena itu,
optimalisasi peran orang tua, negara dan pemerintah, serta masyarakat terutama
melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam upaya mensejahterakan
anak perlu diupayakan. Anak-anak adalah harapan masa depan bangsa, anak-anak
Indonesia adalah anak-anak kita sendiri dan tanggung jawab kita bersama.
Kasus kekerasan terhadap anak sulit diungkapkan kepermukaan, meskipun
kasusnya sudah teridentifikasi, proses peyelidikan dan peradilan sering terlambat.
Kesulitan dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap anak bisa disebabkan oleh
faktor internal maupun eksternal dan terstruktural, yakni:

6
a. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkannya karena takut
pada akibat yang kelak diterima baik dari sipelaku (adanya ancaman)
maupun dari kejadian itu sendiri (traumatis, aib).
b. Manipulasi pelaku. Pelaku yang umunya orang lebih besar (dewasa)
dari sang anak yang sering menolak tuduhan (setidaknya diawal proses
penyelidikan) bahwa ia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan
adalah pelaku menuduh anak melakukan kebohongan atau mengalami
wild imagination.
c. Keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa kekerasan
terhadap anak sebagai aib yang memalukan jika diungkap.
d. Anggapan hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga (hubungan
orang tua anak) tidak patut untuk dicampuri oleh masyarakat.
e. Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda pada diri
anak yang mengalami kekerasan, khususnya pada kasus sexual abuse,
karena tidak adanya tanda-tanda fisik yang terlihat jelas.
f. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti dan
jelas oleh masyarakat luas.
Dalam pandangan Soetarso, dampak krisis moneter dan ekonomi dalam
kaitannya dengan anak jalanan, adalah:
a. Orang tua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi
keluarga.
b. Kasus kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak oleh orang tua
semakin meningkat sehingga anak lari ke jalanan.
c. Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu
membayar uang sekolah.
d. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah
atau kamar meningkat.
e. Timbul persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga anak
terpuruk melakukan pekerjaan beresiko tinggi terhadap
keselamatannya dan menyebabkan eksploitasi anak oleh orang dewasa
di jalanan.

7
f. Anak menjadi lebih lama berada dijalanan sehingga mengundang
masalah lain.
g. Anak dijalanan menjadi korban pemerasan serta eksploitasi seksual
terhadap anak jalanan perempuan.
Disamping itu, masalah anak-anak jalanan lainnya yaitu seringkali mereka
dijadikan objek kekerasan. Mereka merupakan kelompok sosial yang rawan dari
berbagai tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, emosional, seksual, maupun
kekerasan social. Karena masa anak dan remaja ini dianggap sebagai masa
persiapan untuk mencapai cita-cita pada masa dewasanya, maka anak jalanan
menjadi berkurang kesempatannya untuk membekali diri dengan pendidikan
formal dan keterampilan khusus lainnya. Padahal di sisi lain, mereka kelak harus
bersaing dengan anak-anak lain seusianya, yang memang tidak memiliki
hambatan dalam mencari hal materi, fasilitas yang dibutuhkan, maupun
kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.
Resiko-resiko tersebut akan tetap menempel pada diri anak, meskipun
mereka tidak meneruskan keberadaannya di jalanan. Pada periode pasca jalanan,
anak menjadi tidak mempunyai keterampilan disektor lain (non jalanan), tidak
memiliki identitas diri yang sempurna, internalisasi perilaku atau subkultur
jalanan, traumatized dan stigmatized, serta reproduksi kekerasan.
Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap
anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang
mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non
diskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup anak dan tumbuh
kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Prinsip-prinsip tersebut juga terdapat di dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak yang dibentuk oleh pemerintah agar hak-hak

8
anak dapat di implementasikan di Indonesia. Kepedulian pemerintah Indonesia
terhadap harkat dan martabat anak sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1979
ketika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesajahteraan Anak.
Akan tetapi, hingga keluarnya Undang-Undang Perlindungan Anak sampai
sekarang, kesejahteraan dan pemenuhan hak anak masih jauh dari yang
diharapkan, hal ini dapat dilihat pada Situasi dan Kondisi Anak Indonesia.
Pada tahun 2017 Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) telah
menangani 9 kasus korban kekerasan fisik, 2 kasus korban kekerasan psikis, dan
17 kasus korban kekerasan seksual. Jika ditotal berarti LPAI telah menangani 28
kasus anak korban kekerasan. Kasus kekerasan ini menjadi salah kasus yang
sangat memprihatinkan dalam upaya perlindungan terhadap anak seperti kasus
yang terjadi pada anak usia umur 2 tahun yang dianiaya oleh orang tuanya, seolah
nurani orang tua tersebut sudah tiada dengan membiarkan penganiayaan terjadi
hingga berujung dengan kematian. Selanjutnya kasus kekerasan yang dilakukan
oleh relawan yayasan sosial terhadap dua anak hingga berakhir dengan kematian.2
Tindak kekerasan terhadap anak bukan lagi hal yang baru di Indonesia.
Kenyataan pahit akan terus dilalui oleh banyak anak-anak terlantar yang tidak
mempunyai orang tua, tidak mempunyai tujuan hidup bahkan tempat berteduh
sekalipun, tak terhitung berapa banyak di luar sana yang membutuhkan kasih
sayang dari orang-orang yang mampu menyalurkan bantuan untuk mereka.
Kondisi anak-anak korban kekerasan semakin memprihatinkan karena
kurangnya kepedulian masyarakat sekitar. Mereka merasa itu bukan urusan
mereka bahkan sebagian orang tua dengan sangat tega menelantarkan buah
hatinya tidak peduli bagaimana kehidupan anaknya, mereka tidak berpikir bahwa
anak mereka juga berhak atas masa depannya.
Berdasarkan uraian ini Indonesia harus mempunyai penegakan hukum
yang kuat agar korban kekerasan terhadap anak tidak ada lagi setidaknya
berkurang. Dampak kekerasan bagi anak tidak hanya jangka yang pendek namun
akan berkepanjangan, sebagaimana disebutkan pada hasil penelitian yang

2
Hambali, Dua Anak di Bawah Umur Relawan Yayasan Sosial Disekap dan Dianiaya,
ttps://metro.sindonews.com/read/1340943/170/dua-anak-di-bawah

9
dilakukan oleh Sternberg dalam disertasinya bahwa, “anak-anak yang menjadi
korban dan penganiaya kekerasan rumah tangga akan memiliki tingkat perilaku
eksternalisasi dan internalisasi tertinggi, karena mereka mengalami kekerasan
dalam dua hubungan penting secara perkembangan. Karena keduanya korban
dan saksi belajar menggunakan agresi sebagai cara memecahkan masalah,
gejala eksternalisasi dianggap sangat mungkin, tetapi beberapa masalah perilaku
internalisasi diharapkan sebagai konsekuensi dari pengalaman keluarga yang
menyimpang, memalukan, dan merendahkan”.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018 menyebutkan
bahwa sejumlah 36,43% anak laki-laki dan 19,35% anak perempuan usia 13-17
tahun pernah mengalami kekerasan fisik selama hidupnya. Selanjutnya, persentase
kekerasan emosional sebesar 52,34% pada anak laki-laki dan 58,51% pada anak
perempuan usia 13-17 tahun.
Selain itu, terdapat anak yang mengalami kekerasan seksual yaitu
sebanyak 6,31% anak laki-laki dan 9,96% anak perempuan usia 13-17 tahun
pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya. World Report on
Violence and Health dalam tahun 2015, menyatakan ada empat bentuk kekerasan,
yakni fisik; seksual; psikologis; dan penelantaran. Krug et al, menyebutkan bahwa
terdapat beberapa tipe kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual,
kekerasan psikologis atau emosional, dan penelantaran (neglect). Kekerasan fisik
adalah tindakan yang menyebabkan kerugian fisik dari interaksi dengan orang tua
atau orang yang bertanggung jawab, dan mempunyai kekuasaan. Bentuk
kekerasan fisik seperti memukul, mendorong, menjambak, melukai dalam bentuk
tindakan fisik. Kekerasan seksual merupakan keterlibatan anak dalam aktivitas
hubungan seksual yang tidak sepenuhnya dipahami anak, tidak disetujui anak,
atau secara perkembangan anak tidak siap dan anak tidak dapat memberikan
persetujuan. Penelantaran (neglect) merupakan kegagalan keluarga atau yang
bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan yang terkait perkembangan
anak di bidang kesehatan, pemberian gizi nutrisi, pendidikan, perkembangan
sosial emosi, tempat tinggal, dan kondisi kehidupan yang aman, pada konteks
keluarga atau pengasuh. Kekerasan psikologis atau emosional merupakan

10
kegagalan keluarga memberikan tumbuh kembang sesuai dengan tahapan
perkembangan anak, kurangnya lingkungan yang mendukung dan kurangnya figur
kelekatan (attachment primer), sehingga kompetensi emosi dan sosial anak tidak
dapat berkembang stabil sesuai dengan potensi diri dan tuntutan masyarakat di
mana anak tinggal.
Apabila seseorang melakukan kekerasan atau ancaman, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul seperti yang
diatur dalam pasal 76 E, ancaman pidananya adalah pidana paling singkat 5 tahun
dan paling lama 15 tahun dan atau denda paling banyak 5 Miliar Rupiah (Pasal
82).
Bagi setiap orang yang memperdagangkan dan menculik anak, maka
ancaman pidananya adalah pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 15
tahun dan atau denda paling banyak 300 Juta Rupiah (Pasal 83). Setiap pelanggar
terhadap hak-hak anak, baik kekerasan, eksploitasi, penelantaran, maupun
perilaku salah lainnya tentu diancam dengan sanksi, baik pelanggaran terhadap
Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, Undang-Undang Perkawinan, maupun Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Anak sebagai generasi penerus bangsa harus memperoleh
perlindungan agar hidup, tumbuh, dan berkembang secara wajar.
Arif Gosita mengatakan bahwa, “Anak wajib dilindungi agar mereka
tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi
swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita kerugian
(mental, fisik, sosial), karena tindakan yang pasif, atau tindakan aktif orang lain
atau kelompok (swasta atau pemerintah) baik langsung maupun tidak langsung.3
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugiaan mental, fisik, sosial dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain

3
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di
Indonesia, 2014. Refika Aditama: Bandung, hlm. 3

11
dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam
pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya.

Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan


perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan
kerugian mental, fisik, dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut
perlindungan hukum yuridis (legal protection).
Sebagaimana diketahui bahwa hukum adalah rangkaian peraturan-
peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota-anggota
masyarakat, dan tujuan hukum itu adalah mengadakan keselamatan, kebahagian,
dan tata tertib di dalam masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat
mempunyai kepentingan, sehingga anggota-anggota masyarakat di dalam
memenuhi kepentingannya tersebut mengadakan hubungan-hubungan, dan
hubungan-hubungan ini diatur oleh hukum untuk menciptakan keseimbangan di
dalam kehidupan masyarakat.
Jika seorang atau beberapa orang melakukan pelanggaran hukum, maka
terjadi keguncangan keseimbangan, karena pelanggaran hukum tersebut dapat
mendatangkan kerugian bagi pihak lain. Untuk menciptakan kembali
keseimbangan di dalam masyarakat, diadakan sanksi, yaitu sanksi administrasi
dalam bidang Hukum Tata Negara, sanksi Perdata dalam bidang Hukum Perdata,
dan sanksi Pidana dalam bidang Hukum Pidana.
Dalam pelaksanaannya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata
belum mencukupi untuk mencapai keseimbangan di dalam masyarakat, maka
sanksi pidana merupakan sanksi terakhir atau ultimatum remedium.
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita
luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai
sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-
luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani
dan sosial. Perlindungan anak merupakan merupakan usaha dan kegiatan seluruh
lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul
pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang

12
pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan
generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan


kondisi agar setiap anak dapat melakasanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.
Perlindungan anak merupakan perwujudan, adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis.
Hukum merupakan jaminan bagi kegiataan perlindungan anak. Arif Gosita
mengemukakan bahwa, “Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan
kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa
akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak”.
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan
dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehinggga usaha
perlindungan yang dilakukan tidak berkibat negatif.
Perlindungan anak dilaksanakan secara rasional, bertanggung jawab, dan
bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha
perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan
hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku
tak terkendali. Sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemaun
menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiaban-kewajibannya.
Peraturan mengenai perlindungan anak karna kekerasan ini diatur khusus
dalam pasal 59 Ayat 2 huruf I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa
perlindungan khusus ini diatur guna untuk diberikan kepada anak korban dari
adanya kekerasan fisik atau psikis. Perlindungan khusus tersebut terbagi sebagai
berikut:

13
1. Penanganan secara cepat dengan pengobatan atau juga rehabilitasi
secara fisik, psikis, dan sosial, dan pencegahan penyakit dari gangguan
kesehatan yang lain.
2. Pendampingan psikolosial saat menjalani pengobatan dan juga sampai
pemulihan korban.
3. Memberikan bantuan sosial bagi anak korban dari keluarga yang tidak
mampu.
4. Memberikan perlindungan dan mendampingi anak pada saat proses
peradilan.4
Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa, “Masalah
perlindungan hukum bagi anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi
anak-anak di Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara
yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya”.
Arif Gosita mengatakan bahwa, “Hukum Perlindungan Anak adalah
hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya”.
Bismar Siregar mengatakan bahwa, “Aspek Hukum Perlindungan Anak,
lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban,
mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban”.
H. De Bie mengatakan bahwa, “Kinderrecht (Aspek Hukum Anak) sebagai
keseluruhan ketentuan hukum yang mengenai perlindungan, bimbingan, dan
peradilan anak dan remaja seperti yang diluar dalam BW, Hukum Acara
Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana serta
peraturan pelaksananya”.
J.E Doek dan Mr. H.M.A. Drewes memberi pengertian, “Jongdrecht
(hukum anak muda) dalam 2 (dua) pengertian, masing-masing pengertian luas
dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas: segala aturan hidup yang
memberi perlindungan kepada mereka untuk berkembang. Dalam pengertian
sempit: meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam: ketentuan hukum

4
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ps. 59A

14
perdata (regels van civiel recht), ketentuan hukum pidan (regels van strafrecht),
ketentuan hukum acara (procesrechtelijke regels)”.
Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali
kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data dan laporan tentang kasus
child abuse memang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih
terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai
persoalan intern keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk diekspos keluar secara
terbuka.
Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo bahwa, “Rendahnya kasus
tindak kekerasan terhadap anak yang diketahui publik salah satunya disebabkan
sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara kekeluargaan
dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang dialami anak-
anak tidak direkam oleh aparat sebagai suatu tindak pidana. Padahal, kalau mau
jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak
pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota
besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon
sering disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat temui di dunia
pendidikan, di kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan
keluarga yang secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi
anak”.

TANDA-TANDA TERJADINYA CHILD ABUSE


Secara teoritis, anak-anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
penganiayaan yaitu:
a. Anak yang merupakan rintangan bagi orang tua atau pengasuhnya
meliputi anak-anak yang hiperaktif sampai gangguan perkembangan.
b. Anak yang tidak dikendaki.
c. Lahir muda (premature).
d. Penderita penyakit kronis atau lama masuk rumah sakit.
e. Retardasi mental.
f. Lahir cacat.

15
g. Gangguan tingkah laku atau kekanakan.
h. Anak-anak yang di asuh oleh keluarga yang bermasalah.5
Anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan perlakuan kasar
dari orang dewasa, dalam banyak hal meraka bersikap pasrah. Seorang anak yang
dipukul orang tuanya, niscaya ia sama sekali tidak akan berani melawan. Bahkan,
seorang anak yang menjadi korban tindak pelecehan seksualpun, umumnya
mereka tidak berani berbuat apa-apa karena diancam orang tua. Biasanya, kasus
semacam ini anak yang diperkosa orang tuanya sendiri baru diketahui publik
setelah anak itu sekian lama memendam rasa takutnya, tak lagi tahan, dan
kemudian melaporkan ke ibunya atau masyarakat sendiri, tidak lagi bisa ditipu
sebab si anak sudah terlanjur hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa
pasangannya yang sah.
Dari apa yang dikemukan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak anak tersebut di atas, maka ada 10 hak-hak anak sebagai berikut:
1) Anak-anak berhak menikmati seluruh hak yang tercantum di dalam
deklarasi ini. Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun
berhak atas hak-hak ini tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat di bidang politik atau di
bidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan sosial, kaya atau
miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari segi dirinya sendiri
maupun dari segi keluarganya.
2) Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus,
dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh
hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental, akhlak rohani
dan sosial, mereka dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam
keadaan bebas dan bermartabat.
3) Sejak dilahirkan, anak-anak harus memiliki nama dan kebangsaan.
4) Anak-anak harus mendapat jaminan. Mereka harus tumbuh dan
berkembang dengan sehat. Untuk maksud ini, baik sebelum maupun
sesudah dilahirkan, harus ada perwatan dan perlindungan khusus bagi

5
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, 2010. Fajar Interpratama Mandiri: Jakarta, hlm. 40

16
si anak dan ibunya. Anak-anak berhak mendapat gizi yang cukup,
perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan.
5) Anak-anak yang cacat tubuh dan mental atau yang mempunyai kondisi
sosial yang lemah akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh
pendididkan, perawatan, dan perlakuan khusus.
6) Agar supaya kepribadiannya tumbuh secara maksimal dan harmonis,
anak-anak memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin
mereka harus dibesarkan dibawah asuhan dan tanggung jawab orang
tua mereka sendiri, dan bagaimanapun meraka harus diasuhkan agar
meraka tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat
jasmani dan rohani. Anak-anak di bawah usia 5 tahun tidak dibenarkan
terpisah dari ibunya. Masyarakat dan penguasa yang berwenang,
berkewajiban memberikan perawatan khusus kepada anak-anak yang
tidak memiliki keluarga dan kepada anaka-anak yang tidak mampu.
Diharapkan pemerintah atau pihak yang lain memberikan bantuan
pembiayaan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga besar.
7) Anak-anak berhak mendapat pendidikan, wajib secara cuma-cuma
sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Meraka harus
mendapatkan pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan
umumnya, dan yang memungkinkan meraka atas dasar kesempatan
yang sama, untuk mengembangkan kemampuannya, pendapat
pribadinya, dan perasaan tanggung jawab moral dan sosialnya,
sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Kepentingan-kepentingan anak haruslah dasar pedoman oleh meraka
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak
yang bersangkutan: pertama tanggung jawab tersebut terletak pada
orang tua mereka. Anak-anak harus mempunyai kesempatan yang
leluasa untuk bermain berkreasi yang harus diarahkan untuk tujuan
pendidikan, masyarakat dan penguasa yang berwenang harus berusaha
meningkatkan pelaksaan hak ini.

17
8) Dalam keadaan apapun anak-anak harus didahulukan dalam menerima
perlindungan dan pertolongan.
9) Anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk penyia-nyiaan,
kekejaman dan penindasan dalam bentuk apa pun mereka tidak boleh
menjadi bahan perdagangan. Tidak dibenarkan mempekerjakan anak
dibawah umur dengan alasan apapun mereka tidak boleh dilibatkan
dalam pekerjan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikan
mereka maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh
mental atau akhlak mereka.
10) Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam
bentuk diskriminasi rasial, agama, maupun bentuk-bentuk diskriminasi
lainnya. Mereka harus dibesarkan di dalam semangat yang penuh
pengertian, tolerensi dan persahabatan antar bangsa, perdamaian serta
persaudaraan semesta dan dengan penuh kesadaran tenaga dan
bakatnya harus diabadikan kepada sesama manusia.6
Sebagai negara yang Pancasilis serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia memiliki banyak peraturan yang secara
tegas memberikan upaya perlindungan anak. Dalam Konstitusi UUD 1945
7
disebutkan bahwa, “Fakir Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Kemudian juga perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi
Manusia, masuk dalam pasal 28 B ayat (2), bahwa, “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”.
Selanjutnya kita pun dapat melihat perlindungan hak anak di Indonesia
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang
bersamaan dengan penetapan tahun 1979 sebagai Tahun Anak International.
Selanjutnya Indonesia aktif terlibat dalam pembahasan Konvensasi Hak Anak
tahun 1989, yang kemudian diratifikasi melalui Keppres 36 Tahun 1990.

6
Muhammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, 2014. Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 20-22
7
Pasal 34 UUD 1945.

18
Dari berbagai macam peraturan yang ada, maka secara yuridis, Indonesia
telah berupaya secara maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap hak
anak. Yang dibutuhkan kemudian adalah implementasi dari berbagai macam
peraturan yang sudah ada yang tentunya menjadi tugas dan kewenangan dari
eksekutif.
Ada 2 kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan
hukum, yaitu:
a. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak
menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.
b. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila di
lakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.8
Namun sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan
oleh anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak
memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan
sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung berindak
mengganggu ketertiban umum.
Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan
yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan sipelaku
belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak.
Pasal 11 (1) Usaha Kesejahteraan Anak terdiri atas usaha pembinaan,
pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi. (2) Usaha kesejahteraan anak
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. (3) Usaha kesejahteraan anak yang
dilakukan pemerintah dan atau masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun
diluar panti. (4) Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan
pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.
(5) Pelaksanaan usaha kesejahteraan sebagai termaktub dalam ayat (1), (2), (3),
dan (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

8
M. Nasir Jamil, Anak Bukan Untuk Dihukum,2013. Sinar Grafika: Jakarta Timur, hlm. 33

19
Tindak kekerasan terhadap anak adalah perilaku dengan sengaja (verbal
dan non verbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa
serangan fisik atau merusak anak, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang
melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma
dalam masyarakat, berdampak trauma psikologis bagi korban. Dampak dari tindak
kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang
susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan-permasalahan
lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.
Yang dimaksud dengan anak ialah individu yang belum mencapai usia 18
tahun. Oleh karena itu, kekerasan pada anak adalah tindakan yang di lakukan
seseorang/individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang
menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu. Seringkali istilah
kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak terpenuhinya
hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi.
Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama dan
kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah
dan ibu) dan keluarga, kekerasan yang disebut terakhir ini di kenal dengan
perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang merupakan bagian dari
kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Banyak teori yang berusaha
menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di antaranya teori yang
berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga
tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi dan kondisi tertentu.

2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak?
b. Bagaimana rekonstruksi penerapan penegakkan hukum bagi pelaku
kekerasan terhadap anak yang berbasis nilai keadailan?
c. Bagaimana upaya pencegahan agar tidak teradinya kekerasan
terhadap anak?

20
3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi maksud dan tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan
terhadap anak.
b. Untuk mengetahui bagaimana rekonstruksi penegakkan hukum
bagi pelaku kekerasan terhadap anak yang berbasis nilai keadailan.
c. Untuk mengetahui upaya pencegahan agar tidak terjadinya
kekerasan terhadap anak.

4. Manfaat Penelitian
Adapaun Kegunaan penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Adalah dari hasil penelitian ini untuk dapat memberi wacana bagi
pengembang ilmu hukum untuk lebih menjaga dan melindungi anak agar
tidak menjadi korban kekerasan dan dapat lebih melindungi anak dari
pelaku kekerasan.
b. Secara Praktisi
Diharapkan menjadi masukan bagi Penegak Hukum untuk kiranya
dapat menjadi pertimbangan penegak hukum untuk memberatkan
hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak sehingga dapat
memberikan rasa keadilan bagi anak yang menjadi korban.

5. Kerangka Konseptual
A. Rekontruksi Penegakkan Hukum Pidana
B.N. Marbun dalam Kamus Politik mengartikan rekonstruksi adalah
pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran
kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya
atau kejadian semula.
Menurut Kamus Thesaurus rekonstruksi (reconstruction) memiliki makna
rebuilding, reform, restoration, remake, remodeling, regeneration, renovation,
reorganization, re-creation.

21
Rekonstruksi yang berarti membangun atau pengembalian kembali
sesuatu berdasarkan kejadian semula, dimana dalam rekonstruksi tersebut
terkandung nilai–nilai primer yang harus tetap ada dalam aktifitas membangun
kembali sesuatu sesuai dengan kondisi semula.
Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas
pokok badan peradilan menurut undang-undang. Peradilan tidak hanya
mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan
anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana Anak.
Untuk kepentingan pembangunan kembali sesuatu, apakah itu peristiwa,
fenomena-fenomena sejarah masa lalu, hingga pada konsepsi pemikiran yang
telah dikeluarkan oleh pemikira-pemikir terdahulu, kewajiban para rekonstruktor
adalah melihat pada segala sisi. Agar kemudian ada sesuatu yang dibangun
kembali sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan terhindar pada subjektifitas
yang berlebihan, dimana nantinya dapat mengaburkan substansi dari sesuatu yang
ingin dibangun tersebut.
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak hanya dipahami bahwa hukum
sebagai alat untuk memaksakan kehendak pemerintah kepada masyarakatnya saja.
Tetapi, sekarang konsep tersebut diperluas maknanya bahwa hukum sebagai
sarana pembaruan masyarakat dan birokrasi. Oleh karena itu, perundang-
undangan suatu negara melukiskan adanya pengaturan, pengendalian serta
pengawasan yang dilakukan oleh negara kepada warga masyarakat umumnya.
Apabila rekonstruksi dikaitkan dengan konsep atau gagasan atau ide
tentang hukum berarti rekonstruksi hukum dimaknai sebagai suatu proses untuk
membangun kembali atau menata ulang gagasan, ide atau konsep tentang hukum.
Setiap rumusan hukum harus diartikan menurut konteksnya sendiri-sendiri. Satu
sama lain berada dalam ruang lingkup satu sistem hukum nasional, yaitu sistem
hukum Indonesia.
Sebagai bagian dari keluarga civil law system, kedudukan dan fungsi
peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum di Indonesia, sangatlah
penting. Analisis peraturan perundang-undangan hanya mungkin dilakukan
apabila tata urutan peraturan perundang-undangan itu dipahami dengan baik.

22
Sistem hukum berarti berbicara tentang sesuatu yang berdimensi sangat
luas. Lawrence M. Friedman salah seorang yang mengajukan gagasan bahwa,
“Sistem hukum secara mudah dapat dibedakan menjadi tiga komponen, yakni
struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Jadi, bisa dibilang bahwa
rekonstruksi hukum ini berarti sebagai proses membangun kembali atau
menciptakan kembali atau melakukan pengorganisasian kembali terhadap
struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum yang sudah ada menjadi
lebih baik dan berfungsi sebagaimana harusnya”.
Upaya membangun melalui rekonstruksi hukum tersebut diarahkan untuk
menemukan kehendak hukum (recht idee), kehendak masyarakat, dan kehendak
moral. Kehendak hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Menurut
Sudigno Mertokusumo, “hukum yang berfungsi sebagai pelindung kepentingan
manusia harus dilaksanakan secara normal dan damai”. Pelanggaran hukum
terjadi ketika subyek hukum Tertentu tidak menjalankan kewajiban yang
seharusnya dijalankan, atau karena melanggar hak-hak subyek hukum lainnya.
Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan
perlindungan hukum. Dua asas penting yang harus diperhatikan adalah asas
memajukan kesehteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile) dan
prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionalitas). Sasaran ini merupakan
fokus utama dalam sistim hukum yang menangani pelanggaran yang dilakukan
oleh anak, khususnya dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan
pidana, yang harus lebih mengutamakan kesejahteraan anak.
Prinsip sasaran pertama berarti menolak, menurut Sudigno Mertokusumo,
“Hukum yang berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia harus
dilaksanakan secara normal dan damai. Pelanggaran hukum terjadi ketika
subyek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan,
atau karena melanggar hak-hak subyek hukum lainnya”.
Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan
perlindungan hukum. Sudarto menambahkan bahwa, “Tujuan utama
perlindungan hukum terhadap anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak

23
disamping kepentingan masyarakat. Namun kepentingan anak tidak boleh
dikorbankan demi kepentingan masyarakat.
Sasaran ini merupakan fokus utama dalam sistim hukum yang menangani
pelanggaran yang dilakukan oleh anak, khususnya dalam sistem hukum yang
mengikuti model peradilan pidana, yang harus lebih mengutamakan kesejahteraan
anak. Prinsip sasaran pertama berarti menolak anak normal yang sehat dan cerdas
seutuhnya”.
Senada dengan M. Nasir Djamil adalah Hadi Supeno bahwa, “Pada masa
tumbuh kembang, anak sedang memenuhi kewajiban dan memperoleh haknya
untuk belajar. Pemenjaraan anak merampas hak belajar anak, karena selama
proses peradilan menuju pemenjaraan dapat dipastikan anak mengalami
gangguan dalam belajar. Walaupun kelak di lapas anak diadakan kegiatan
belajar mengajar, hal itu lebih kepada pengajaran ilmu pengetahuan semata.
Belajar yang sesungguhnya adalah berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman
sebaya dalam suasana gembira untuk saling berimajinasi dan berobsesi merajut
masa depan. Pemenjaraan akan mengganggu tumbuh kembang anak karena ragam
menu makanan di penjara yang tidak memenuhi standar gizi. Isu mengenai
perkembangan anak menjadi salah satu hal yang penting didiskusikan.
Tidak hanya disitu, negara sebagai tempat berlindung warganya harus
memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi anak. Seiring berkembangnya
teknologi informasi yang sulit dibendung, ditambah iklim demokrasi yang
menjamin kebebasan pers, maka berbagai macam isu sangatlah mudah sampai
kepada publik, untuk kemudian ramai-ramai. Sementara itu, Piter Newel, seorang
expert dalam perlindungan anak, mengemukakan beberapa alasan subyektif dari
sisi keberadaan anak, sehingga anak membutuhkan perlindungan, yaitu:
1. Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan
perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari pada biaya
yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;
2. Anak-anak sanga berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas
perbuatan (action) dari pemerintah dan kelompok lainnya;

24
3. Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam
dalam pemberian pelayanan publik;
4. Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai
kekuatan lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;
5. Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat;
6. Mengakses perlindungan dan penataan hak-hak anak;
7. Anak-anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.
Kekerasan terhadap anak di bawah umur karena perbuatan yang melanggar
hukum harus senantiasa dilengkapi dengan organ-organ penegakannya yang
tergantung pada faktor-faktor yang meliputi:
a. Harapan masyarakat, yakni apakah penegakan hukum tersebut sesuai
atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat.
b. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya
perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum
tersebut.
c. Kemampuan dan kewibawaan dari organisasi penegak hukum.9
Banyaknya kasus mengenai kekerasan terhadap anak yang terjadi di
Indonesia dianggap sebagai suatu indikator buruknya kualitas perlindungan anak.
Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat
membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung bagi anak. Rendahnya
kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai sorotan dan kritik dari
berbagai lapisan masyarakat Perlindungan anak ialah, ”suatu usaha yang
mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya”.10
Hukum adalah aturan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Meningkatnya kekerasan terhadap anak juga diakui Ketua Pembina Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi atau yang biasa disapa
Kak Seto. Penyebab utama dari banyaknya kekerasan yang dialami oleh seorang
9
Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum Di Indonesia, 2005. Citra: Aditya Jakarta, hlm.
142
10
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, 2009. Universitas Trisakti: Jakarta, hlm. 312

25
anak adalah masih banyaknya sebuah paradigma lama yang selalu keliru dimana
masih berpegangan untuk mendidik seorang anak harus dengan cara-cara
kekerasan. Misalnya mendidik anak dengan cara dipukul, ditempeleng dan
dijewer, sehingga soal itu menjadi bagian dari tindakan kekerasan dalam mendidik
anak.11
Rincian mengenai tanggung jawab dan kewajiban tersebut ialah suatu
bentuk perlindungan yang harus diberikan kepada anak guna melindungi anak-
anak dari hal-hal yang tidak layak bagi hidupnya ataupun yang dapat merampas
hak-hak anak dikarenakan anak secara jasmani dan rohani sekaligus sosial belum
memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, oleh karena itu merupakan kewajiban
bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan
kepentingan anak.
Perlindungan hukum dalam tindak pidana kekerasan anak di bawah umur
dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung)
maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya
merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara
emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan
yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat
dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi
maupun nonmateri. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian
kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian
perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman,
dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat
perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya Undang-
Undang Perlidungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen
hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidunngan tersebut. Di samping
adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui
pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak.

11
http://depkominfo.go.id, 5 April 2010.

26
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga
belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban
kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya
perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak
korban kekerasan.
Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam penegakkan hukum, yaitu:
a. Kepastian hukum
Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku dan tidak boleh
menyimpang atau seperti sebuah pepatah, meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus). Hukum harus
dapat menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban
masyarakat.
b. Manfaat
Hukum karena untuk manusia, maka pelaksanaan atau penegakan
hukum harus memberi manfaat maupun kegunaan bagi masyarakat.
Hukum jangan karena penerapannya, justru menimbulkan keresahan
masyarakat.
c. Keadilan
Pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil, karena hukum
bersifat umum, menyamaratakan dan berlaku bagi setiap orang.
Hukum akan tetapi tidak identik dengan keadilan. Hal ini karena
keadilan bersifat subjektif, individualistik dan tidak menyamaratakan.

Penegakkan hukum pidana terdiri atas tahap-tahap berikut, yaitu:


1) Penegakkan hukum pidana in abstracto
Merupakan tahap pembuatan atau perumusan (tahap formulasi)
sudah berakhir saat diundangkannya suatu peraturan perundang-
undangan. Tahap legislasi atau formulasi dilanjutkan ke tahap
aplikasi dan eksekusi. Tiga masalah pokok hukum pidana yang
harus diketahui dalam peraturan perundang-undang tersebut, antara
lain berupa:

27
a. Tindak pidana.
b. Kesalahan.
c. Pidana.
Penegakkan hukum pidana merupakan bagian (subsistem) dari
keseluruhan sistem atau kebijakan pembangunan nasional. Proses legislasi atau
formulasi ini merupakan awal yang sangat strategis dari proses penegakkan
hukum in concreto. Sistem penegakkan hukum pidana yang ada saat ini belum
integral secara in abstracto pada tahap proses pembuatan produk perundang-
undangan. Hal ini karena belum adanya jalinan erat atau satu kesatuan dari
subsistem (komponen) sistem norma atau subtansi hukum pidana yang integral,
meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan
pidana. Badan pembuat undang-undang memilih nilai-nilai yang sesuai dengan
situasi masa kini dan akan datang, kemudian merumuskannya menjadi peraturan
perundang-undangan paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan serta daya
guna. Tahap ini disebut juga dengan tahap kebijakan legislatif.
a. Penegakkan hukum pidana in concreto
Penegakan ini terdiri atas:
1. Tahap penerapan atau aplikasi (penyidikan) Tahap
penegakan hukum pidana oleh aparat penegak hukum,
mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan atau
pemeriksaan dihadapan persidangan. Aparat penegak
hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat
undang-undang. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugas ini harus berpegang teguh pada nilai-
nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai
tahap yudikatif.
2. Tahap pelaksanaan undang-undang oleh aparat penegak
hukum atau disebut juga sebagai tahap yudisial dan
eksekusi Tahap penegakkan atau pelaksanaan hukum secara

28
konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Aparat
penegak hukum pada tahap ini bertugas menegakkan
peraturan perundang-undangan dari badan pembentuk
undang-undang melalui penerapan pidana yang ditetapkan
oleh pengadilan. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya harus berpedoman pada peraturan
perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
pembuat undang-undang dan nilai guna serta keadilan.
Penegakkan hukum pidana in concreto pada hakikatnya merupakan proses
penjatuhan pidana atau pemidanaan. Proses pemidanaan itu sendiri adalah
penegakan hukum pidana dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kedua tahap tersebut merupakan aspek atau titik krusial dari penanganan dan
penindakan suatu perkara pidana, karena penegakan hukum umumnya diwarnai
oleh hal-hal berikut ini, yaitu:
a. Masalah uang suap dan perbuatan tercela lainnya.
a. Masalah optimalisasi pendekatan keilmuan dalam penegakan hukum
Penegakkan hukum pidana pada tahap in concreto (tahap aplikasi) juga
masih dipengaruhi oleh kebiasaan atau budaya tidak baik dan jalan pintas yang
dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum korup dan kolutif dengan pelaku
tindak pidana.12
Penegakkan hukum itu kurang lebih merupakan upaya untuk menjadikan
hukum, baik dalam arti formil secara sempit maupun materil yang luas.
Penegakkan hukum juga sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum
oleh para subjek hukum bersangkutan maupun aparatur penegak hukum yang
resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin
berfungsinya norma-norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.

12
Mertokusumo, Mengenal Hukum, 1999 Liberty: Yogyakarta, hlm. 14

29
B. Pelaku Kekerasan Terhadap Anak
Kalau ditilik dari ruang tempat terjadinya tindak kekerasan dan
pelanggaran terhadap hak anak, studi ini menemukan bahwa lingkungan keluarga
ternyata justru menjadi tempat paling rawan bagi anak-anak. Dari 103 kasus yang
berhasil dikumpulkan LPA Jatim dari harian Jawa Pos, 39,8% di antaranya,
menyebutkan bahwa lokasi terjadinya tindak kekerasan terhadap anak-anak adalah
di lingkungan keluarga. Demikan pula yang terjadi di berita-berita yang
dikumpulkan dari harian Memorandum. Dari 230 kasus yang berhasil
diidentifikasi, 53,5% melaporkan bahwa tindak kekerasan yang dialami anak-anak
ternyata terjadi di lingkungan keluarganya sendiri.
Ini berarti, bahaya yang mengancam anak-anak ternyata bukan dari orang
lain atau para penjahat professional yang tidak dikenal korban, tetapi justru
ancaman itu kerap kali muncul dari orang-orang yang semula diharapkan dapat
menjaga tempat berlindung. Ayah atau ibu korban, misalnya mungkin sulit dinalar
dengan akal sehat akan tega menganiaya anak-anaknya. Entah itu menempeleng,
memperkosa atau membunuh darah dagingnya sendiri. Tetapi, karena sedang
kalap, bingung, mengalami tekanan yang bertubi-tubi, malu, atau karena faktor
lain, jangan heran jika kemudian lupa diri menganiaya anak kandung mereka
sendiri. Demikian pula, figur kakek yang biasanya dibayangkan selalu penuh
kasih sayang kepada cucu-cucunya. Tak sekali dua kali media masa memberitakan
peristiwa seorang kakek yang mata gelap, kemudian memerkosa cucunya sendiri
tanpa belas kasihan.
Lokasinya lain yang menjadi tempat rawan bagi anak-anak adalah di
jalanan, di sektor perekonomian, di sekolah, dan di lembga keagamaan. Kisah
tentang anak jalanan yang menjadi korban sodomi, diperkosa, dipalak, atau
diperlakukan keras barang kali tidak mengagetkan kita. Tetapi, yang merisaukan
adalah tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak ternyata juga dapat
ditemui terjadi di sekolah atau lembaga pendidikan dan di lembaga keagamaan
walaupun mungkin secara kuantitatif kasusnya tidak sebanyak yang dialami anak-
anak dilingkungan keluarga atau di jalanan.

30
Di pondok pesantren, misalnya idealnya adalah merupakan tempat bagi
para anak santri untuk menuntut ilmu dan memperoleh pengalaman batin yang
menyejukkan dari guru ngaji atau kiyainya. Tetapi, yang menggusurkan, di tempat
yang seharusnya sarat dengan kesakralan dan pengalaman religious itu ternyata
anak-anak juga tidak terbebas dari ancaman memperoleh perlakuan yang keras
dan bahkan yang tidak senonoh sekalipun.
Di sekolah, pengalaman yang tidak pantas terjadi dan dialami anak-anak
ternyata juga cukup sering diberitakan media massa. Selain ancaman dari teman
sebaya atau teman sekolah, tindak kekerasan yang dialami anak-anak tak jarang
juga dilakukan oleh guru. Secara umum, mungkin benar bahwa guru adalah
pahlawan tanpa tanda jasa, yang selayaknya dihormati dan dikenang sebagai
orang yang paling berjasa mendidik anak-anak kita. Tetapi, tak jarang guru
ternyata berubah menjadi musang berbulu domba: tega-teganya menyakiti anak
didiknya secara kelewatan, dan bahkan mencabuli atau memperkosa muridnya
sendiri yang seharusnya mereka kasihi seperti layaknya seorang ayah atau ibu
yang menyayangi anak-anaknya dengan tulus.13
Di samping itu, kenapa anak mudah dan sering menjadi korban dari
terjadinya tindak kekerasan sesungguhnya juga merupakan ekspresi dari
hubungan antar anak dan orangtua yang bersifat asimetris dan tidak egaliter, yang
pada akhirnya melahirkan sikap orang dewasa yang otoriter.
Dalam hubungan interaksi antar anak dan orangtua, anak dan guru, atau
anak dan orang yang lebih dewasa pada umumnya posisi anak selalu subordinatif.
Anak bukan saja tidak memiliki hak untuk berbicara, tetapi acap kali anak bahkan
menjadi korban dan dirugikan akibat tindakan orang dewasa yang ada
disekitarnya.
Selain dalam bentuk kekerasan psikologis/emosional, kekerasan yang
dialami anak juga bisa berupa fisik dan seksual. Menurut The National
Association of Social Workers, kekerasan dalam keluaraga merupakan siksaan
emosional, fisik dan seksual yang dilakukan secara sadar, sengaja, atau kasar dan
diarahkan kepada anggota keluaraga atau rumah tangga.

13
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, 2010. Fajar Interpratama Mandiri: Jakarta, hlm. 65-67

31
Kekerasan emosional atau kekerasan verbal, misalnya dilakukan dalam
bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara
berlebihan dan merendahkan mertabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata
yang tidak patut didengar oleh anak. Sedangkan kekerasan fisik, bisa meliputi
pemukulan dengan benda tumpul maupun benda keras, menendang, menampar,
menjewer, menyundut dengan api rokok, dena menempelkan setrika pada tubuh,
dan membenturkan kepala anak pada tembok.
Sementara itu, kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan incest. Incest
menurut M. Mc Guire dan L. Getz adalah, “hubungan seksual yang terjadi di
antara anggota kerabat dekat, dan biasanya antar anggota dalam satu keluarga
inti”. Dewasa ini banyak kejadian di mana ayah kandung melakukan hubungan
seksual dengan anak kandungnya sendiri. Kekerasan seksual juga bisa meliputi
eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak untuk tujuan prostitusi dan
pornografi, yang dilakukan orangtua maupun anggota keluarga lainnya.
Selanjutnya, kekerasan dalam bentuk penelantaran pada umumnya
dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam situasi gizi buruk, kurang gizi
(malnutrisi), tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, memaksa
anak menjadi pengemis atau pengamen, memaksa anak menjadi anak jalanan,
buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pemulungdan jenis pekerjaan lainnya yang
membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak. 14
Perhatian secara luas dan serius terhadap bahaya yang mengancam dunia
anak (tindakan kekerasan di sekolah) ini minim sekali. Departemen Pendidikan
Nasional juga lebih sering disibukkan dengan urusan-urusan standar kelulusan.
Pemerintah sama sekali tidak memiliki lembaga khusus yang memberi
perlindungan anak secara menyeluruh. Komisi Nasional Perlindungan Anak tidak
cukup kuat untuk menangani seluruh persoalan tersebut.
Sudah saatnya pemerintah melembagakan kerja perlindungan anak secara
baik dan serius. Kalau Menteri Pemberdayaan Perempuan sudah dibentuk,
mengapa menteri yang menangani dan bertanggung jawab terhadap urusan anak
tidak segera diwujudkan? Padahal, baik permasalahan perempuan maupun

14
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, 2012. Nuansa Cendekia: Bandung, hlm 64-65

32
persoalan anak sama-sama dapat disejajarkan. Keduanya memiliki tingkatan yang
sama, baik dari sisi permasalahan maupun penanganannya. 15
Kekerasan seksual terhadap anak yang dikategorikan sebagai delik aduan
oleh KUHP dianggap dampaknya tidak terlalu merusak pada anak, maka
konsekuensinya adalah para perumus KUHP pun mengancam hukuman bagi
pelaku pemerkosa anak lebih rendah ketimbang ancaman pemerkosaan yang
terjadi pada perempuan dewasa. Pada pasal 285 pemerkosa yang korbannya
adalah orang dewasa pelakunya diancam dengan hukuman 12 tahun, sedangkan
pemerkosaan yang korbanya adalah anak (di bawah 15 tahun dan di atas 12 tahun)
pelakunnya hanya diancam 9 tahun (pasal 287 ayat (1) KUHP). Ketentuan ni
sekali lagi adalah ketentuan yang melukai rasa keadilan anak sebagai korban
pemerkosaan.
Permasalahan lain yang dikandung oleh KUHP terkait dengan
pemerkosaan terhadap anak ini adalah dicantumkannya kalimat “harus patut
disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun (pasal 287 ayat
(1) KUHP).”
Kalimat tersebut adalah kalimat yang tidak tegas dan dapat ditafsirkan
secara karet. Kalimat itu dapat dimaknai dengan kata lain layak/wajar dapat
diduga bahwa umur perempuan korban pemerkosaan belum 15 tahun dan di atas
12 tahun, yang tidak mengakibatkan luka parah atau mati, maka berdasarkan ayat
(2) KUHP, merupakan delik aduan. Pemersalahan yang terkandung dalam kalimat
tersebut adalah bagaimana jika tubuh anak korban pemerkosaan secara fisik
tampak seperti anak di atas usia 15 tahun atau sudah dewasa padahal dalam
kenyataannya usianya masih dibawah 12 tahun?
Untuk melindungi anak dari kekerasan seksual KUHP memberikan
ancaman pidana 7 dan 5 tahun penjara kepada orang dewasa yang berusaha
mengiming-imingi anak dengan sesuatu yang menggiurkan (misalnya berjanji
akan memberikan permen, mainan atau uang) untuk tujuan agar anak bersedia
disetubuhi (diperkosa) atau dicabuli. Ketentuan ini dirumuskan oleh KUHP di
dalam pasal 290 ayat 3e dan pasal 293 ayat (1).

15
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak,2012. Nuansa Cendekia: Bandung, hlm 117-118

33
Pasal 290 ayat 3 E KUHP itu memberitahukan kepada para pencari
keadilan bahwa orang dewasa yang membujuk dan merayu anak untuk berbuat
cabul diancam dengan dengan hukum pidana paling lama 7 tahun. Berbuat cabul
yang yang dimaksud disini adalah merayu si anak untuk bersedia dicabuli oleh
orang dewasa yang merayu atau menyuruh anak untuk melakukan perbuatan cabul
atau mencabuli. Walaupun baru merayu dan tindakan konkret nyata cabul belum
dilakukan. Orang dewasa yang merayu tersebut sudah dapat dipidana. Artinya
tindakan merayu itu oleh KUHP dimasukan ke dalam kategori kekerasan seksual
terhadap anak.
Perbuatan cabul yang dimaksud di sini bukan hanya bersetubuh tetapi
mencakup juga semua perbuatan yang melanggar kesopanan dan kesusilaan atau
perbuatan yang dinilai keji oleh masyarakat, seperti misalnya: menyogokan jari ke
liang vagina, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba
payudara, mempertontonkan kemaluan di hadapan anak, dan berbagai tindakan
lainnya.
Apa yang diatur di pasal 290 ayat 3 E hanya merayu saja, tidak
meyertakan iming-iming berupa hadiah atau perjanjian berbentuk uang maupun
barang. Bila rayuan itu disertai dengan iming-iming hadiah atau janji, maka
tindakan itu telah melanggar selain Pasal 290 ayat 3 E KUHP, juga telah
melanggar Pasal 293 ayat (1) KUHP. Jadi ada dua lapisan hukuman yang
mengancam sipelaku yakni ancaman 7 tahun penjara (Pasal 290 ayat 3 E KUHP)
dan 5 tahun penjara (Pasal 293 ayat (1) KUHP).
Berbagai data dan hasil studi yang telah dipaparkan di atas, selain
mencoba membuat peta awal terjadinya tindak kekerasan anak, sebetulnya tujuan
lain yang ingin dicapai adalah berusaha menggugah nurani dan hati kita semua
untuk lebih serius menaruh perhatian, dan bahkan jika mungakin menyikapi
terjadinya kasus-kasus child abuse di sekitar kita. Meskipun harus diakui bahwa
secara kuantitatif jumlah kasus child abuse yang terekspose di media massa
tergolong kecil terutama bila dibandingkan jumlah anak yang rawan gizi, anak
jalanan, dan sebagainya. Tetapi, dalam kehidupan nyata disinyalir jumlah kasus
child abuse yang terjadi jauh lebih banyak dari pada yang dimuat di media massa.

34
Kisah anak-anak teraniaya biasanya hanya tersimpan di kepala korban, dan
kalaupun dilaporkan ke polisi biasanya kasusnya pun tidak tertngani secara tuntas.
Dalam studi ini, walaupun kasus child abuse yang dilaorkan dan dianalisis hanya
terbatas yang terekspose di Harian Jawa Pos dan Memorandum. Namun yang
lebih penting dari sana kita dapat memetik hikmah yang bermanfaat, bahwa yang
namanya anak-anak tak selalu hidup dalam dunia yang serba berwarna, cerah,
gembira, dan penuh tawa. Sebagai anak-anak kita ternyata kehidupannya
terkadang tak beruntung, dan mereka saat ini benar-benar membutuhkan uluran
tangan kita semua.16
Untuk menumbuhkan minat, perhatian, dan empati seluruh masyarakat
terhadap permaslahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak, langkah awal
yang dibutuhkan adalah bagaimana menyadarkan kepada masyarakat bahwa
masalah ini tidak cukup hanya kita sikapi dengan sekedar berbelaskasihan kepada
anak yang menjadi korban atau mengutuk keras perlakuan orang-orang yang tega
menganiaya anak. Yang benar-benar dibutuhkan saat ini adalah kesedian kita
semua untuk mengambil langkah konkret mencegah agar anak-anak yang menjadi
korban tidak makin bertambah, atau paling tidak bersedia melaporkan kasus child
abuse yang terjadi di sekitar kita kepada lembaga yang memiliki otoritas
mengenai soal ini, baik itu aparat kepolisian maupun lembaga sosial di
masyarakat yang memiliki komitmen untuk memberikan perlindungan sosial
kepada anak-anak, khususnya anak yang menjadi korban dari perlakuan salah
masyarakat termasuk korban perlakuan salah dari orang tua kandungnya
sekalipun.
Jenis-jenis kekerasan terhadap anak terbagi menjadi 3 macam yaitu
kekerasan fisik (pukulan, tamparan, mencubit). Kekerasan Verbal dapat berupa
(mencaci maki, mengejek, mencela, dan mengancam). Kekerasan psikis berupa
(pelecehan seksual, memfitnah dan mengucilkan). Berdasarkan uraian cerita di
atas anak telah mengalami kekerasan berupa kekerasan verbal.

16
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, 2010. Fajar Interpratama Mandir: Jakarta, hlm. 79-80

35
Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak, yang mengatur bahwa anak wajib mendapatkan perlindungan hukum dari
tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan.
Dalam Pasal 76 A Undang-Undang No. 35 tahun 2014 “(Setiap orang
dilarang: a. Memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya atau memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara
diskriminatif)”.
Adapun sanksi untuk pelanggaran tersebut tercantum dalam pasal 80 UU
No. 35 tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak:
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 C, di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh
puluh dua juta rupiah).
2. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan
tersebut orang tuanya.
5. Dalam PERMEN No. 82 Tahun 2015 huruf B sudah dijelaskan bahwa
satuan pendidikan wajib menjamin keamanan dan keselamatan peserta
didik. selain itu pada huruf d disebutkan juga jika terjadi suatu tindak
kekerasan pihak penyelenggara pendidikan wajib memberitahukan hal
tersebut kepada orang tua atau wali. Untuk Sanksi terhadap

36
hal tersebut satuan penyelenggara pendidikan dalam Pasal 11 angka (2)
dapat memberikan teguran kepada tenaga pendidikan berupa teguran
lisan, teguran tertulis, pengurangan hak dan pemberhentian
sementara/tetap dari jabatan sebagai pendidikan atau tenaga
kependidikan atau pemutusan pemberhentian hubungan kerja.
6. Dan dalam pasal 12 ayat (4) sebutkan “(Pemberian sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak menghapus pemberian
sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan)”. Maka
dalam hal ini bagi orang tua korban dapat melaporkan hal tersebut
kepada pihak penyelenggara satuan pendidikan dan pihak berwajib.
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu
tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan
melindungi anak pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi.
Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka
umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu
dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke
sekolah, tukang kebun, dan seterusnya. Banyak teori yang berusaha menerangkan
bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di antaranya teori yang berhubungan
dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa
berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu. Tindak kekerasan terhadap anak
merupakan permasalahan yang cukup kompleks, karena mempunyai dampak
negatif yang serius, baik bagi korban maupun lingkungan sosialnya.
Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa mempunyai peran strategis, ciri juga sifat khusus, sehingga
wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang dapat
mengakibatkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Hal ini sesuai dengan Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, bahwa setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang

37
bertanggung jawab, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan-perlakuan
berikut:
1. Diskriminasi.
2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
3. Penelantaran.
4. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan.
5. Ketidakadilan.
6. Perlakuan salah lainnya
Penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan anak sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdiri dari:
1. Pidana penjara, Pidana penjara dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak mempunyai batas minimal dan maksimal yang
berbeda-beda, tergantung tindak pidananya. Pidana penjara secara
umum minimal tiga tahun sampai lima tahun. Maksimalnya adalah
sampai dengan lima belas tahun.
2. Pidana denda, Pidana denda dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak selalu disertakan dalam setiap tindak pidana, baik secara
sistem perumusan sanksi maupun alternatif kumulatif. Pidana
denda maksimal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah
seratus juta hingga tiga miliar rupiah.

C. Berbasis Nilai Keadilan


Keadilan merupakan salah satu tujuan terpenting dari suatu sistem hukum,
disamping masih ada tujuan hukum yang lainnya yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan dan juga ketertiban. Ada empat nilai baik yang merupakan pondasi
penting yang merupakan pondasi kehidupan manusia yakni keadilan, kebenaran,
hukum dan moral, dan menurut Plato keadilan merupakan nilai kebijakan yang
paling tinggi. 17

17
https://ojs.bdproject.id/index.php/jphi/article/view/48/27

38
Makna keadilan apabila kita berpatokan dengan konsep filusup modern
John Raws dapat disimpulkan bahwa makna keadilan merupakan kesetaraan dan
ketidaksetaraan. Keadilan dalam kesetaraan maksudnya terdapat suatu kebebasan
(liberty) dan hak politik dasar yang sama bagi setiap manusia tanpa memadang
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang dimiliki, dimana kebebasan
(liberty) dan hak politik tidak boleh dikurangi atau dikompensasikan dengan yang
lain. Hal ini merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi Rawls terutama
dalam hal melihat pengalaman hidupnya ketika berkarir di militer selama perang
dunia kedua. Keadilan dalam suatu ketidak setaraan maksudnya terhadap individu
tersebut berada pada posisi yang tidak beruntung akan mendapat keuntungan
(benefit) yang lebih dari pada mereka yang beruntung.
Ketidaksetaraan ini kemudian bukan berarti kesempatan (opportunity)
karena akses terhadap posisi atau jabatan otoritas tersebut terbuka bagi semua.
Lebih lanjut John Rawls mengemukakan bahwa program penegakan keadilan
yang juga berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsif keadilan
yaitu yang pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang dan kedua mampu
mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat
memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefit) bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun yang
tidak beruntung.
Dengan demikian perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prosfek mendapat hal-hal kesejahteraan,
pendapatan, otoritas, diperuntukan bagi keuntungan orang-orang yang paling
kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal
yaitu; Pertama melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan
yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan suatu institusi-institusi sosial,
ekonomi, dan politik yang memberdayakan; Kedua setiap aturan harus
memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan
untuk mengkoreksi ketiadakadilan yang dialami kaum lemah.

39
Demikian juga keadilan sosial menurut Soerjoni Poespowarjojo terletak
pada hakikat keadilan yang mengakui dan memberlakukan orang lain sebagai
seorang sesama manusia. Keadilan yang mencerminkan hubungan antar manusia
terwujud dalam 3 (tiga) bentuk yakni justitia commutativa, justitia distributiva
dan justitia legalis. Keadilan sosial dalam 3 (tiga) bentuk tersebut terwujud bukan
hanya semata-mata karena adanya kesadaran manusia, tetapi karena pengaturan
hukum yang diarahkan dalam struktur proses masyarakat, sehingga terbuka
jalan bagi masyarakat untuk benar-benar mendapatkan keadilan.
Dengan demikian keadilan sosial dapat menjamin terbukanya pemerataan
keadilan dalam memperoleh jaminan kepastian hokum. Pada konteks lebih lanjut
dalam keadilan, kewajiban adalah sesuai dengan pranata yang sudah ditentukan.
Keadilan sosial mau kembali kepada martabat manusia yang asli tanpa dinodai
oleh persaingan bebas dalam ekonomi liberral yang kerap berpangkal pada situasi
yang tidak adil.
Sedangkan yang dimaksud dengan keadilan kumutatif, menurut pandangan
Aristoteles adalah, “keadilan yang tercipta di atas hubungan yang bersifat
koordinatif di antara para pihak, sehingga kedudukan yang sama atau kedudukan
yang diartikan oleh Thomas Aquinas sebagai ekuivalensi/harmoni/keseimbangan,
merupakan sebuah keharusan guna mewujudkan jenis keadilan ini”.18
Untuk mencapai keadilan tersebut maka dibutuhkan implementasi hasil
pengalaman kekerasan terhadap anak sebagai berikut:
1. Integrasi pencegahan kekerasan:
a. Lingkungan pendidikan, menjadikan sekolah sebagai tempat
aman. Guru memahami metode disiplin positif dan tanda-tanda
terjadinya kekerasan antar teman (bullying).
b. Lingkungan keluarga khususnya terhadap orang tua/orang dewasa
lain untuk menggunakan metode disiplin positif, bukan pengasuhan
dengan hukuman fisik dan atau emosional termasuk memahami
dampak kekerasan terhadap anak.

18
file:///C:/Users/User/Downloads/editor_dppm,+5+Benny+K_Pelaksanaan+Eksekusi_Unisma.pdf

40
c. Lingkungan masyarakat, melalui penyadaran dan
mengkomunikasikan dampak kekerasan terutama pada masyarakat
yang memiliki norma dan budaya yang melegitimasi kekerasan
pada anak.
d. Membangun masyarakat atau lingkungan untuk memberikan
perhatian atau peduli terhadap anak-anak yang menjadi korban
kekerasan. maupun pada anggota masyarakat atau keluarga yang
melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
2. Peningkatan koordinasi dan kolaborasi antar kementerian/Lembaga,
untuk merespon semua jenis kekerasan terhadap anak, seperti
penanganan multi sector dengan mengikutsertakan system
kesejahteraan sosial, kepolisian dan hukum, pendidikan, kesehatan
masyarakat, perawat kesehatan dan organisasi atau kelompok kerja
perlindungan anak, kelompok kerja kekerasan gender dan bidang
lain yang terkait baik tingkat nasional, regional dan lokal.
3. Penelitian lanjutan tentang faktor resiko dan pelindung serta konteks
kekerasan. Penelitian tentang kekerasan pada kelompok khusus, seperti
pada anak jalanan, anak dipanti asuhan, termasuk melakukan
penelitian kualitatif untuk melengkapi analisa data survai yang dapat
digunakan sebagai strategi pencegahan dan kebijakan publik.
Melakukan penelitian lanjutan berdasarkan pandangan anak.

6. Kerangka Teoritik
Manusia dalam pencarian kebenaran merupakan suatu proses yang cukup
panjang untuk dipelajari. Manusia mencoba melakukan eksprimen atau penelitian
ilmiah dalam mencari kebenaran atau mencari jawaban, dalam rangka ini para
peneliti mengajukan teori-teori yang dibutuhkan untuk menjelaskan gejala-gejala
sosial, moral, politik, hukum, dan lain-lain.
Oleh karena itu, memahami teori hukum yang dikemukakan oleh pakarnya
memerhatikan latar belakang politik dan kondisi masyarakat tempat ahli tersebut
lahir. Sehingga penelitian dalam menggunakan teori tertentu masih relevan. Hal

41
ini sangat penting, dan merupakan sebuah keharusan bagi peneliti untuk
memahami teori dan kedudukannya dalam penelitian. Dengan menggunakan teori
merupakan usaha manusia memahami dunia yang dijabarkan dalam rumusan
pendek, namun seperti halnya ciptaan manusia terbatas oleh ruang dan waktu.
Ketika diterapkan di daerah lain bahkan negara lain dalam kondisi dan zaman
yang berbeda akan memengaruhi kebenarannya.
Di sisi lain, objek terbentuk teori pun sudah mengalami perubahan atau
pergeseran karena kepentingan manusia pada saat itu. Ini pada ummnya teori-teori
yang berhubungan dengan masyarakat. Sedikit berbeda dengan teori alam atau
matematika walaupun tidak kekal namun cenderung lebih bertahan cukup lama.
Setiap penelitian yang membutuhkan teori yang mendukung atau relevan dengan
topik tulisan yang bersangkutan, serta berkaitan langsung dengan permasalahan.
Dengan demikian, teori bermanfaat untuk mendukung analisis terhadap penelitian.
Teori pun memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis.
Karena hipotesis dalam penelian dapat diigunakan sebagai tolak ukur sekaligus
tujuan penelitian dalam bentuk pembuktian dituangkan dalam simpulan.
Jumlah teori yang digunakan dihindari terlalu sedikit atau terlalu banyak.
Jika terlalu sedikit akan mempersempit ruang analisis dan jika terlalu banyak akan
mempersulit untuk menggunakannya atau penelitian kita dianggap suatu kliping
atau kumpulan kumpulan teori. Oleh karena itu, penentuan teori sesuai dengan
kebutuhan menjawab permasalahan.19
Kerangka pemikiran disusun berdasarkan latar belakang permasalahan,
ditunjang oleh teori-teori yang ada dan bukti-bukti empirik dari hasil-hasil
penelitian terdahulu, maupun jurnal-jurnal yang relevan dengan permasalahan
yang diteliti, kemudian dirumuskan dalam suatu kerangka pemikiran atau
kerangka konseptual. Jika memungkin disusun dalam suatu model yang
menggambarkan keterkaitan antarvariabel, sehingga dapat dirumuskan suatu
hipotesis. Untuk contoh dapat dilihat pada lampiran penelitian non doktrinal.

19
Suteki, Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori Dan Praktik),2012. Raja
Grafindo Persada: Depok, hlm. 81-84.

42
Pada umunya kegunaan Teori/Kerangka Teori/Kerangka Pemikiran, yaitu:
1. Sebagai dasar dalam menyusun kerangka konseptual dan hipotesis
penelitian.
2. Sebagai dasar untuk identifikasi variable penelitian.
3. Sebagai dasar dalam menyusun definisi operasional penelitian.
4. Untuk menentukan apa yang akan diukur dari objek penelitian.
5. Untuk mejelaskan objek penelitian yang akan diteliti.
6. Membatu menerangkan dan menggeneralisasikan.
7. Memberikan landasan yang kuat dalam menjelaskan dan memaknai data
dan fakta.
8. Mendudukkan permasalahan penelitian secara logis dan runtut.
9. Membantu dalam membangun ide-ide yang diproleh dari hasil penelitian.
10. Membantu mendudukkan secara tepat dan rasional
11. Membantu menganalisis, dengan memberikan penilaian terhadap temuan
fakta dari hasil penelitian, dengan demikian apakah sesuai dengan teori
atau tidak.
Kerangka teori adalah landasan teori yang dipergunakan oleh peneliti dalam
suatu penelitian. Menurut Soerjono Soekanto, “teori atau kerangka teoritis
mempunyai beberapa kegunaan seperti untuk lebih mempertajam atau lebih
mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya”. Dalam
penelitian ini yang menjadi kerangka teori adalah Teori Negara Hukum sebagai
Teori Perlindungan Hukum, Pertanggung Jawaban Pidana, Teori Keadilan.20

A. Grend Theory (Teori Perlindungan Hukum)


Perlindungan khusus aadalah suatu bentuk perlindungan yang diterima dan
diberikan kepada anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan
jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam
tumbuh kembangnya, anak yang berhadapan dengan hukum anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak diexploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak

20
http://repository.ubharajaya.ac.id/1353/2/201410115176_Rinda%20Madya%20
Arumdani_BAB%20I.pdf

43
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napzia), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak
korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang meyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran (Pasal 1 butir 15 Undang-undang
No. 23 tahun 2002 dan pasal 15 UU. RI No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan
anak.
Kesjahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara
rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha
kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan
anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak (Pasal 1 Butir 1 Undang-
undang No. 4 tahun 1979 tentang Keejahteraan). 21
Teori yang digunakan dan relevan dengan salah satu prinsip kesejahteraan,
keadilan dan perlindungang anak yaitu “Teori Keadilan” yang dikemukan oleh
Jhon Rawl According to Rawls, justice is fairness. The principle of justice are; (1)
equal and maximum feasible liberty for all, (2) power and wealth to be distributed
equally except where inequalities would work for the advantage of all and where
all would have equal opportunity to attain the higher positions. The first principle
supposeas permanent principle and qath’i, which cannot be interpreted. On the
other hand, the second principle degrades two formulas: (a) everyone’s
advantage, (b) equally open. So forth, from formula (a)can be degraded to
possibilities: principle of efficiency and principle of differention, whereas from
formula (b) also can be degraded two possibilities: equality as careers open to
and equality as equality of fair opportunity. Henceforth, from possibility of (a)
and (b) yielded 4 possibility of justice interpretation: natural freedom, free
equality, free aristocracy and the equality democratize According to Rawls, this
last interpretation fulfill category as a justice”.

21
H. R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, 2016. Jakarta, hlm 6-7.

44
Menurut Rawls, keadilan adalah kejujuran (fairness). Agar hubungan
sosial seperti di atas bisa berjalan secara berkeadilan, ia harus diatur berjalan
sesuai dengan dua prinsip yang dirumuskan. Pertama, kebebasan yang sama
(principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang
sama. Kebebasan dasar ini, antara lain, (1) kebebasan politik, (2) kebebasan
berpikir, (3) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, (4) kebebasan personal,
dan (5) kebebasan untuk memiliki kekayaan. Kedua, prinsip ketidaksamaan (the
principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam
bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidak
samaan tersebut, (1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang
yang secara kodrati tidak beruntung (2) melekat pada kedudukan dan fungsi-
fungsi yang terbuka bagi semua orang. Artinya, Rawls tidak mengharuskan bagian
semua orang adalah sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan, dan lainnya, karena
hal itu tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksamaan tersebut diatur
sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan, kerja sama dan kaitan saling
menguntungkan juga membutuhkan di antara mereka. Dalam hubungan di antara
dua prinsip keadilan tersebut, menurut Rawls, prinsip pertama berlaku lebih
dibandin prinsip kedua. Arinya, prinsip kebebasan dari I tidak dapat diganti oleh
tujuan tujuan untuk kepentingan sosial ekonomi dari prinsip II. Penegasan ini
penting guna menghindari kesalahan dari konsep keadilan utilitarinisme.
Menurut utilitarinisme, kegiatan yang adil adalah kegiatan yang paling
besar menghasilkan keuntungan sosial ekonomi bagi sebanyak mungkin orang
(the greatest happiness for the greatest number). Artinya, keadilan dipahami
sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial ekonomi, sehingga
ruang bagi perjuangan untuk kepentingan dari setiap orang menjadi sempit.
Akibatnya, prinsip kebebabsan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat
dihalalkan.22

22
Prof. Mohammad Taufik Makarao, Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, 2021. Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 4-6.

45
Keadilan senantiasa dipertentangkan dengan istilah ketidakadilan, oleh
karenanya dimana ada konsep keadilan maka disitu pun ada konsep ketidakadilan.
Menurut Susanto, “keadilan secara substansi akan dilahirkan melalui benturan
keadilan itu sendiri dengan keraguan dan ketidakadilan, bahwa sesungguhnya
keadilan tidak akan berdaya tanpa ketidakadilan dan keraguan”.
Hal tersebut secara awam dapat ditarik penyimpulan bahwa orang yang
adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan (fair), sedangkan
orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful,
lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), penempatan Pancasila
(staatsfundamental-norm) pertama kali disampaikan oleh Notonagoro, dimana
konsep (staatsfundamental-norm) norma fundamental negara diambil dari teori
tentang Jenjang Norma Hukum (Die theorie stufenordnung der rechtsnormen)
Hans Nawiasky.
Dengan demikian maka Pancasila merupakan norma tertinggi karena
presupposea atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara
dan merupakan norma yang menjadi rujukan bagi norma-norma hukum di
bawahnya. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam konsep hukum dalam kaidah
hukum positif, nilai keadilan dalam Pancasila harus selaras dan seiring sejalan
dengan Staatgrundgeaetze yang berupa hukum dasar atau juga disebut konstitusi
(vervassung), undang-undang (formelegezetze), maupun aturan lain dibawahnya
(Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum).
Sebagai pokok-pokok pikiran yang mewujudkan cita hukum bangsa
Indonesia, Pancasila berisi tentang gagasan, karsa, cipta dan pikiran, serta asas-
asas fundamental bangsa Indonesia yang terwujud dalam 5 (lima) sila dalam
Pancasila. Dalam konteks hukum atau persepsi tentang makna hukum,
perwujudan nilai keadilan, kehasil-gunaan (doelmatigheid) dan kepastian hukum,
terdapat dalam sila ketuhanan yang maha esa, sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk memahami konsep keadilan sosial dalam sila kelima tersebut kita
dapat melihat pada Alinea IV Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dimana disebutkan: “susunan negara republic Indonesia yang

46
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ketuhanan yang maha esa,
kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang di
pimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam kehidupan bermasyarakat umumnya, konsepsi keadilan sosial ini
didasari oleh prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan egalitarianisme yang
bersumber dari sila pertama, sila kedua dan sila kelima Pancasila. Perwujudan
prinsip HAM ini terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Permasalahan yang muncul dalam memaknai hakekat dari
Pancasila ini merupakan kendala tersendiri dalam membentuk hukum yang baik.
Pancasila bersifat fleksibel, mengikuti perkembangan jaman yang ada.
Beberapa ahli berpendapat berbeda tentang hakekat dari Pancasila,
tergantung dari kebutuhan keilmuan yang mereka gunakan. Akan tetapi, untuk
mengkaji dan meneliti hakekat dari Pancasila tentunya perlu pemahaman yang
sama oleh para ahli, sehingga tidak memunculkan multi tafsir dalam memaknai
hakekat dari Pancasila. Tentunya hakekat keadilan di dalam Pancasila harus
dijabarkan dalam bentuk norma hukum yang bebas dari kepentingan pribadi
maupun golongan. Perwujudan kebenaran dari Pancasila ke dalam norma hukum,
tentunya Pancasila mampu memberikan nilai tersendiri tentang keadilan dalam
mewujudkan keadilan hukum bagi bangsa Indonesia. Keadilan hukum yang
bersumber dari Pancasila, diharapkan mampu memberikan pengertian tentang arti
kebenaran keadilan yang sesungguhnya, yang berasal dari bangsa kita sendiri,
bukan warisan dari bangsa asing. Keadilan berdasarkan Pancasila harus
diwujudkan, dijabarkan, dan direalisasikan ke dalam norma hukum Indonesia agar
terwujud keadilan yang memberikan perlindungan hak dan kewajiban bagi
seluruh rakyat Indoensia dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Peraturan undangan yang baik adalah peraturan undangan yang memenuhi
syarat dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Hal ini harus sesuai dengan keadilan berdasarkan Pancasila,
agar terwujud keadilan hukum yang diakui oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa
meragukan bentuk keadilan hukum yang ada, karena keadilan hukum dibentuk

47
berdasarkan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berdasarkan keadilan Pancasila. Tentunya dasar pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berdasarkan keadilan Pancasila harus ditemukan
dengan pemikiran dan pemahaman mendalam tentang kebenaran Pancasila
sebagai dasar falsafah dan ideologi bangsa. Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir
atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang oleh bangsa
Indonesia yang di anggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan,
norma-norma nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling
baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Selain teori keadilan penulis juga menggunakan asas-asas kepastian
hukum dalam penelitian ini. Asas kepastian Hukum adalah asas yang
mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelengara negara.
Menurut Sudikno Mertukusumo, “Asas kepastian Hukum merupakan
jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya peraturan hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek nyuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaat”.

B. Middle Theory (Pertanggung Jawaban Pidana)


Ilmu hukum pidana mengenal sejak lama pengertian sifat melawan hukum,
kesalahan, tindak pidana, pertanggung jawaban pidana dan pemidanaan yang di
Indonesia banyak mengadopsi dari hukum pidana Belanda yang menganut civil
law system. Berlakunya hukum pidana di Indonesia tidak terlepas dengan
berlakunya hukum pidana (Het Wetboek van Strafrecht) di negara Belanda dengan
adanya asas konkordinasi. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 hukum pidana
yang berlaku di Hindia Belanda menjadi hukum pidana Indonesia (KUHP) yang
dahulu dikenal dengan nama Het Wetboek van Strafrrecht voor Nederlans-Indie.

48
Hukum pidana peninggalan Belanda ini sudah sangat tertinggal jauh
dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya
pengaturan hukum pidana yang lebih baik.
Pertanggung jawaban pidana sangat diperlukan dalam suatu sistem hukum
pidana dalam hubungannya dengan prinsip daad-daderstrafs recht. KUHP
Indonesia sebagai halnya WvS yang berlaku di Negara Belanda tidak mengatur
secara khusus tentang pertanggung jawaban pidana, tetapi hanya mengatur tentang
keadaan-keadaan yang mengakibatkan tidak dipertanggung jawabkannya
pembuat. Tidak dipertanggung jawabkannya pembuat dijelaskan di dalam
Memorie van T oelichting (MvT) bahwa seorang pembuat tidak dipertanggung
jawabkan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Ini menandakan bahwa
bertanggung jawab pidana di dalam KUHP diatur secara negatif, yaitu keadaan-
keadaan tertentu pada diri pembuat atau perbuatan mengakibatkan tidak
dipidananya pembuat.
Syarat tidak dipertanggung jawabkannya pembuat adalah pada saat
pembuat melakukan tindak pidana, karena adanya faktor dalam diri pembuat
maupun faktor diluar diri pembuat. Seseorang yang telah melakukan tindak
pidana tidak akan dipidana apabila dalam keadaan yang sedemikian rupa
sebagaimana yang dijelaskan di dalam MvT. Apabila pada diri seorang pembuat
tidak terdapat keadaan sebagaimana yang diatur dalam MvT tersebut, pembuat
adalah orang yang dipertanggung jawabkan dan dijatuhi pidana. Sifat melawan
hukum dan kesalahan, dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, khususnya
KUHP yang sampai sekarang masih berlaku menganut teori monitis yang
menyatakan bahwa sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan
(schuld) merupakan unsur tindak pidana (strafbaar feit).
Untuk memenuhi suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana, KUHP
mensyaratkan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu melawan hukum
(wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld). Sifat melawan hukum selalu
meliputi suatu tindak pidana, baik sifat melawan hukum tersebut secara eksplisit
tercantum dalam rumusan tindak pidana. Unsur kesalahan selalu meliputi suatu
tindak pidana, baik secara eksplisit tercantum dalam rumusan tindak pidana

49
maupun tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana, kecuali
dalam rumusan tindak pidana terdapat unsur kealpaan.
Agar terpenuhi suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana harus
memenuhi unsur melawan hukum dan kesalahan 23. Teori monistis banyak diikuti
oleh beberapa ahli hukm pidana Belanda, dan beberapa ahli hukum pidana di
Indonesia, misalnya menurut van Hamel bahwa, “Tindak pidana merupakan
kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakuakan dengan kesalahan”.
Menurt Simon, “Tindak pidana memunyai unsur-unsur diancam dengan
pidana oleh hukum, bertentang dengan hukum, dilakukan oleh orang yang
bersalah, dan orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya”.
Vos berpendapat bahwa, “Suatu tindak pidana adalah kelakuan manusia
yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana; jadi suatu kelakuan
manusia pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana”.
Menurut Utrecht, “Tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan
hukum, ada seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuannya
kesalahan (element van schuld) dalam arti kata bertanggung jawab
(strafbaarheid van de dader)”.
Dari beberapa pendapat ahli hukum pidana ini, tindak pidana mempunyai
unsur-unsur yaitu adanya unsur objektif berupa kelakuan yang bertentangan
dengan hukum, dan unsur subjektif berupa kesalahan, dan kesalahan ini juga
merupakan unsur pertanggung jawaban pidana selain merupakan unsur tindak
pidana, kesalahan juga merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. Tampak
sekali antara tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana tidak dapat
dipisahkan. Kesalahan merupakan unsur tindak pidana, seakligus juga sebagai
unsur pertanggung jawaban pidana, seperti Utrecht bahwa kesalahan sebagai
unsur pertanggung jawaban pidana sebagai perwujudan dari asas “tiada pidana
tanpa kesalahan”, tetapi kesalahan ini juga sebagai unsur dari tindak pidana.

23
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi Antara Asas, Teori, Dan Penerapannya, 2016. Fajar Interpratama Mandiri: Jakarta,
hlm. 1-2.

50
Karena kesalahan merupakan unsur tindak pidana maka asas kesalahan
juga tidak dapat dipisahkan dengan tindak pidana. Terpenuhinya tindak pidana,
maka terpenuhi pula pertanggung jawaban pidana, hanya saja orang yang telah
melakukan tindak pidana belum tentu dipidana. Ini merupakan perkecualian yang
biasa disebut dengan peniadaan pidana. Para ahli hukum pidana yang mengikuti
monistis, memandang pertanggung jawaban pidana dilihat dari terpenuhinya
rumusan tindak pidana yang terdiri dari sikap batin pembuat dan sifat melawan
hukumnya perbuatan. Terpenuhinya unsur-unur itu, mengakibatkan pembuat telah
melakukan tindak pidana dan mempunyai pertanggung jawaban pidana. Pembuat
tidak dipidana tergantug pada ada atau tidak adanya alasan pembenar dan alasan
pemaaf sebagai peniadaan pidana.
Pertanggung jawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap
pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan
yang terlarang. Pertanggung jawaban pidana karenanya menyangkut proses
peralihan hukuman yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya.
Mempertanggung jawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan
hukuman yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif
terhadap pembuatnya. Pertanggung jawaban pidana ditentukan berdasarkan pada
kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak
pidana.
Dengan demikian kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu
pertanggung jawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar unsur mental
dalam tindak pidana. Seseorang dinyatakan mempunyai kesalahan merupakan hal
yang menyangkut masalah pertanggung jawaban pidana. Untuk dapat
mengenakan pidana pada pelaku karena melakukan tindak pidana, aturan hukum
mengenai pertanggung jawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat
yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi hukuman.
Pertanggung jawaban pidana yang menyangkut masalah pembuat dari tindak
pidana, aturan mengenai pertanggung jawaban pidana merupakan regulasi
mengenai bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban.

51
Jadi perbuatan yang dilarang oleh masyarakat itu dipertanggung jawabkan
pada sipembuatnya, artinya hukuman yang objektif terhadap hukuman itu
kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Pertanggung jawaban pidana tanpa
adanya kesalahan dari pihak yang melanggar tidak dapat dipertanggung jawaban.
Jadi orang yang tidak mungkin dipertanggung jawabkan dan dijatuhi pidananya
kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan
perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana. Van Hamel mengatakan,
“pertanggung jawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan
psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk:
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.
b. Menyadari bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang
oleh masyarakat.
c. Menentukan kemampuan terhadap perbuatan”.
Selanjutnya dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan
dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti
bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana apabila jika dia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang
dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana. Menurut Simons, “Sebagai dasar pertanggung
jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam
hubungannya (kesalahan itu) dengan kelakukan yang dapat dipidana dan
berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya”.
Untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih
dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu:24
a) Kemampuan bertanggung jawab;
b) Hubungan, kejiwaan antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan
(termasuk pula kelakuan yang tidak bertentangan dalam hukum dalam
kehidupan sehari-hari;

24
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Pidana
Dokter,Erlangga: Jakarta, hlm. 34

52
c) Dolus dan culpa, kesalahan merupakan unsur subjektif dari tindak
pidana. Hal ini sebagai konsekuensi dari pendapatnya yang
menghubungkan (menyatukan) straafbaarfeit dengan kesalahan.
Unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana disebut juga elemen delik
(unsur delik). Elemen delik itu adalah bagian dari delik. Dalam penuntutan sebuah
delik, harus dibuktikan semua elemen delik yang dituduhkan kepada pembuat
delik. Oleh karena itu jika salah satu unsur atau elemen delik tidak terpenuhi,
maka pembuat delik tersebut tidak dapat dipersalahkan melakukan delik yang
dituduhkan, sehingga pembuat delik harus dilepaskan dari segala tuntutan
hukum (onslaag van rechts alle vervologing).
Elemen delik umumnya terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
(1) unsur obyektif, atau yang biasa disebut actus reus, dan
(2) unsur subyektif, atau yang biasa disebut mens rea.
Aturan hukum dalam hukum pidana materil mengenai pertanggung
jawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri
seseorang sehingga sah seseorang akan dijatuhi pidana. Teori dualistis
menekankan tentang kesenjangaan, kesalahan, dan pertanggungjawaban pidana
yang terpisah dengan sifat melawan hukum. Teori ini berpangkal tolak dari
pandangan bahwa kesalahan dibedakan dengan tindak pidana karena kesalahan
merupakan unsur pembentuk dari pertanggung jawban pidana.
Sementara unsur pembentuk tindak pidana hanyalah perbuatan, sehingga
keslahan bukan sebagai unsur dari tindak pidana. Sifat melawan hukum adalah
unsur dari tindak pidana dalam wujudnya sebagai perbuatan yang bersifat
melawan hukum. Kesalahan yang merupakan unsur dari pertanggung jawaban
pidana dan kesalahan harus dibedakan dengan tindak pidana. Apabila membahas
pertanggung jawaban pidana tidak pula membahas tentang sifat melawan hukum
tetapi harus membahas tentang kesalahan. RKUHP tahun 2012 menganut teori
dualistis sebagaimana termuat dalam bab II, buku I tentang Ketentuan Umum
pada konsep tahun 2012, khususnya pada pasal 39 (RKUHP tahun 2012) yang
mengatur bahwa perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja.

53
Unsur kesengajaan tidak lagi termuat dalam rumusan tindak pidana. Pada
pasal 39 RKUHP menegaskan bahwa harus mencantumkan unsur secara tegas
unsur mengetahui, sedangkan ia mengetahuinya yang merupakan bentuk-bentuk
dari kealpaan. Bentuk-bentuk kealpaan inilah yang menjadi perhatian untuk dikaji,
karena terdapat inkonsisten pada teori dualistis antara perumusan unsur
kesengajaan dengan kealpaan dalam pembentukan hukum dan pembuktian oleh
hakim di persidangan maupun dalam pertimbangan hukum dalam putusannya.
Bentuk-bentuk kesengajaan maupun kealpaan dalam bentuk-bentuk yang
dirumuskan sebagaimana tersebut diatas ternyata disebutkan dalam rumusan
tindak pidana. Menurut RKUHP 2012, kesenjangan bukan termasuk unsur tindak
pidana sebagaimana yang dirumuskan secara umum dalam Buku I. perumusan
secara umum dalam bagaian Umum Buku I RKUHP Konsep 2012, telah
dikatakan sebelumnya oleh Hermien Hadiati Koeswadji pada era RKUHPN
(Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional) yang telah
dirancang oleh BPHN beberapa tahun sebelumnya, bahwa tidak dicantumkannya
unsur kesengajaan bertujuan mempermudah dan menyederhanakan prosedur
pemeriksaan agar tidak berbelit-belit karena teruntuk pada pembuktian ada
tidaknya unsur kesengajaan yang berada dalam batin, sehingga alat bukti yang
tersedia menurut undang-undang pun tidak mampu untuk membuktikan ada
tidaknya hubungan kusal antara tindakan dan akibat.

C. Applied Theory (Teori Keadilan)


Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan “the search for justice”.25 Berbagai macam teori mengenai
keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan
kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori
itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics

25
Carl Joachim Friedrich, 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia.
Bandung. Hal. 24

54
dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori
hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya
nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku
nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang,
berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat
hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”.26
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak
persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya
sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai
suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang
atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang
telah dilakukanya. Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi
kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan
“commutatief”.
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir
abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The
Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap
diskursus nilai-nilai keadilan. John Rawls yang dipandang sebagai perspektif
“liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan
tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.27

26
L. J. Van Apeldoorn, 1996. Pengantar Ilmu Hukum, cetakan kedua puluh enam Pradnya
Paramita: Jakarta, hlm. 11-12
27
Pan Mohamad Faiz, 2009. Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6
Nomor 1, hlm. 139-140.

55
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-
prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal
dengan posisi asli (original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of
ignorance). Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan
sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan
status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang
lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang
seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu posisi asli yang bertumpu pada
pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),
kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar
masyarakat (basic structure of society).
Sementara konsep selubung ketidaktahuan diterjemahkan oleh John Rawls
bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan
tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu,
sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang
tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk
memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai
“Justice as fairness”.
Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep posisi asli terdapat prinsip-
prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang
sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan
ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal
liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan
berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan
ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan
sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada
prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle). Lebih lanjut John
Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan
keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip
keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan

56
dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua,
mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.28
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-
orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap
kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-
institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan
harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-
kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah. Hans
Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa,
“Hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat
mengatur perbuatan manusia. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan
sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif”. Walaupun suatu tatanan yang
adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan,
melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam
arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh
penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang
patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-
kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab
dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah
pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktorfaktor emosional dan oleh sebab itu
bersifat subjektif.
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran
positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya
terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum
alam. Menurut Hans Kelsen: “Dualisme antara hukum positif dan hukum alam

28
Hans Kelsen, 2011. General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
Nusa Media: Bandung. Hal. 7

57
menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika
tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat Plato ini
adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam.
Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda: yang pertama adalah dunia
kasat mata yang dapa itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua
dunia ide yang tidak tampak.”
Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen:
pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita
irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu
kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik
kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui
suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan
kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju
suatu perdamaian bagi semua kepentingan. Kedua, konsep keadilan dan legalitas.
Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial
tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian Keadilan bermaknakan legalitas. Suatu
peraturan umum adalah adil jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu
peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak
diterapkan pada kasus lain yang serupa.29
Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum
nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional
dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan
hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu
memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam
peraturan hukum tersebut.30
Menurut Satjipto Rahardjo, “Penegakan hukum progresif adalah
menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan
(according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to
very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya
29
Kahar Masyhur, 1985. Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta. Hal. 68
30
Suhrawardi K. Lunis, 2000. Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika: Jakarta,
hlm.50

58
kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata
lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati,
dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk
mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan”.
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang
surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan
logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde
Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara
kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak
intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat
tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana
terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya,
ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul
Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi
oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan
masyarakat tidak jelas Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak
hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila
seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula,
keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam
sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya.
Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka
tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang
mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut
sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep
keadilan yang telah disepakati bersama. Merumuskan konsep keadilan progresif
ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan
prosedur.

59
Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap
aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar
antara pengadilan yang menekankan Kerusakan dan kemerosotan dalam
perburuan keadilan melalui hukum modren disebabkan permainan prosedur yang
menyebabkan timbulnya pertanyaan, “apakah pengadilan itu mencari keadilan
atau kemenangan?”.
Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly
proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-
galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem
seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.31
Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan, “Perlindungan Hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain
dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hokum”.
Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa, “Perlindungan Hukum
adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-
hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan
hukum dari kesewenangan”.
Menurut CST Kansil, “Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya
hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa
aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman
dari pihak manapun”.
Ada dua tujuan teori keadilan menurut John Rawls yaitu:
a. Teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsif-prinsif umum
keadilan yang mendasari dan meneranglkan berbagai moral
yang sungguh-sungguh dipertibangkan dalam keadaan-
keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan dengan “keputusan
moral” adalah sederet evaluasai moral yang telah kita buat dan
sekiranya menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral

31
http://repository.unissula.ac.id/18417/7/BAB%20I_1.pdf

60
yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi
moraal yang kita buat secara refleksif;
b. Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang
lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls
memaksudkannya “rata-rata” (everage utilitarianisme).
Maksudnya adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika
diabadikan untik memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan.
Sedangkan utilitarianisme rata-rata memuat pandangan bahwa
institusi sosial dikatakan adil jika hanya diadakan untuk
memaksimalisasi keuntungan rata-rata perkapita. Untuk kedua
versi utilitarianisme tersebut “keuntungan: didefinisikan
sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui
pilihan-pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran
teorinya membuat pandangan lebih unggul dibanding kedua
versi utilitarianisme tersebut. Prinsif-prinsif keadilan yang ia
kemukakan lebih unggul dalam menjelaskan keputusan moral
etis atas keadilan sosial.

8. Kerangka Pemikiran
A. Pelaku Kekerasan
Pelaku tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap anak bukanlah negara
sebagaimana terjadi masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh perorangan dan
kelompok mesyarakat atau nonstate actor. Maka, jadilah sebagaimana kita dengan
mudah membaca di sutar kabar, menonton televisi di internet, orang tua dengan
mudahnya menjual bayinya, keluarga dekat memperdagangkan saudara dekatnya,
ayah dan ibu kandung memaksa anak-anaknya mengemis, bahkan melacurkan
diri. Seolah-olah tidak ada lagi cinta dalam hubungan orang tua dengan anak.
Yang ada hanya hubungan kepentingan dan transaksionl. Nilai anak rupanya telah
berubah, dari anak sebagai amanah Allah, menjadi anak sebagai nilai ekonomi.
Memang sebagian besar dari tindak kekerasan dan eksploitasi tersebut karena
faktor ekonomi. Namun, sesungguhnya tidak sedikit yang melakukannya sebagai

61
kultur eksploitatif yang telah melekat dalam benak masyarakat. Dan kultur
eksploitatif itu seperti memperoleh pembenaran ketika arus hedonisme mengalir
deras menawarkan segala kenikmatan hidup, dari mekanan, pakaian, hingga
produk teknologi moderen yang merangsang siapapun untuk memilikinya. Dan
untuk memilikinya, segala cara dilakukan, termasuk dengan melakukan
eksploitasi terhadap anak.
Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan
adalah tindak kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan,
penganiayaan dan bentuk tindakan kriminal lainnya yang berpengaruh negatif
bagi kejiwaan anak. Seharusnya seorang anak diberi pendidikan yang tinggi, serta
didukung dengan kasih sayang keluarga agar jiwanya tidak terganggu.hal ini
terjadi karena Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang
wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak.
Kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan
mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali
anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Kekerasan terhadap anak dapat diartikan sebagai perilaku yang
sengaja maupun tidak sengaja yang ditujukan untuk mencederai atau merusak
anak, baik berupa serangan fisik maupun mental. Tindak pidana kekerasan
terhadap anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang merupakan
contoh kerentanan posisi anak dan berimplikasi jauh pada kehidupan anak,
sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan
penyiksaan fisik serta psikis.
Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana
kekerasan terhadap anak baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui
sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu
dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan kebijakan sosial,
baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-
lembaga sosial yang ada. Ada kelompok masyarakat tertentu yang memandang
kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangganya (khusunya terhadap anak) tidak
termasuk dalam tindak kekerasan yang perlu diberi sanksi hukum karena pelaku

62
dan korban terikat dalam lingkup keluarga. Disebabkan hal tersebut, persoalan ini
sering dianggap sebagai persoalan keluarga/privacy yang tidak dapat dicampuri
pihak luar.
Namun, disisi lain persoalan kekerasan termasuk dalam masalah
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dapat menyengsarakan korban, maka
persoalan ini patut dianggap pelanggaran yang harus mendapat sanksi hukum dan
dapat diancam hukuman pidana. Pada intinya kekerasan terhadap anak bermuara
pada tindakan seseorang/kelompok orang yang mengakibatkan kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psiklogis, penelantaran anak dan rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan seseorang secara melawan hukum. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa tindak kekerasan akan menimbulkan kesengsaraan atau
penderitaan terhadap orang/anak yang menjadi korban. Menurut UU No. 13 tahun
2006 yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental atau kerugian ekonomi akibat suatu tindak pidana atau
kejahatan. Dengan demikian, anak korban kekerasan adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan yang menjadi
korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oran /kelompok
orang/lembaga/negara.
Pada dasarnya seseorang telah merlakukan suatu tindak pidana dapat
dikenai saksi pidana apabila perbuatannya tersebut memenuhi unsur-unsur tindak
pidana. Unsur-unsur tindak pidana yang harus di penuhi antara lain adalah suatu
perbuatan memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang di anggap mampu
bertanggungjawab. Di samping memberikan perlindungan secara tidak langsung,
hukum pidana positif, dalam hal-hal tertentu, juga memberikan perlindungan
secara langsung. Dalam Pasal 14C KUHP ditetapkan bahwa “Dalam hal hakim
menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a), hakim dapat dapat menetapkan
syarat khusus bagi terpidana, yaitu “mengganti semua atau sebagian kerugian”
yang ditimbulkan oleh perbuatannya dalam waktu yang lebih pendek dari masa
percobaannya”.

63
Perlindungan yang langsung ini, di samping jarang diterapkan, masih
mengandung banyak kelemahan, yaitu:
1. Ganti kerugian tidak dapat diberikan secara mandiri, artinya bahwa
ganti kerugian hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan
pidana bersyarat.
2. Pidana bersyarat hanya berkedudukan sebagai pengganti dari pidana
pokok yang dijatuhkan hakim yang berupa pidana penjara paling lama
satu tahun atau pidana kurungan.
3. Pemberian ganti kerugian hanya bersifat fakultatif, bukan bersifat
imperatif. Jadi, pemberian ganti kerugian tidak selalu ada, meski hakim
menjatuhkan pidana bersyarat.
Tindak pidana bagi para pelaku kekerasan terhadap anak dalam KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) didapat beberapa pasal yang mengatur tentang
bentukbentuk kekerasan terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang
secara langsung disebutkan objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung.
Beberapa pasal dalam KUHP yang mengaturnya adalah: tindak pidana (kejahatan)
terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal
278) Bab XV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 285, 287, 289, 290,
291, 292, 293, 294, 295, 297, dan 305 KUHP. Para pelaku kekerasan terhadap
anak secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dibentuk. Mengenai pengaturan pidana kekerasan terhadap
anak secara khusus telah diatur dalam Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002:
1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

64
Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
3) Dalam hal anak mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
Anak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, baik dari
kelangsungan hidup manusia maupun bangsa dan negara. Anak perlu
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal baik fisik, mental maupun sosial agar di kemudian hari mampu
bertanggung jawab serta mempunyai budi pekerti luhur. Upaya perlindungan
perlu dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa adanya perlakuan diskriminatif.
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengatur dan menjamin kesejahteraan
tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang
merupakan Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. UndangUndang tersebut menyatakan, bahwa
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
perlindungan dari kekerasan juga diskriminasi sebagaimana yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengacu pada UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia
delapan belas tahun termasuk dalam kandungan.6 Negara menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia, termasuk di dalamnya Hak Asasi Anak yang ditandai dengan
adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak tersebut dalam Undang-
Undang Dasar 1945 serta beberapa ketentuan peraturan perundangundangan, baik
bersifat nasional maupun internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi
konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu melalui pengesahan Konvensi

65
Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak
Anak).32
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
bagian Kesepuluh mengatur tentang Hak Anak, terlebih khusus mengenai
perlindungan hukum bagi yang mengalami kekerasan sebagaimana termuat dalam
pasal-pasal berikut ini.33
Pasal 58 Ayat (1) yang berbunyi, “Setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan
orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak tersebut)”.
Pasal 66 Ayat (1) yang berbunyi, “Setiap anak berhak untuk tidak
dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi”.
Undang-Undang tersebut tidak menjamin turunnya tingkat kejahatan atau
angka kekerasan terhadap anak. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menunjukkan, bahwa angka
kekerasan terhadap anak naik secara signifikan pada tahun 2016. Kasus kekerasan
terhadap anak yang dilaporkan pada tahun 2015 tercatat sebanyak 1.975 kasus dan
meningkat menjadi 6.820 kasus di tahun 2016. Undang-undang tersebut tidak
menjamin turunnya tingkat kejahatan atau angka kekerasan terhadap anak.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Anak menunjukkan, bahwa angka kekerasan
terhadap anak naik secara signifikan pada tahun 2016. Kasus kekerasan terhadap
anak yang dilaporkan pada tahun 2015 tercatat sebanyak 1.975 kasus dan
meningkat menjadi 6.820 kasus di tahun 2016. 34 Laporan Global Report 2017:

32
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 Tahun
2002
Tentang Perlindungan Anak.
33
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
34
Kamil, I. 2020. Kementerian PPPA Catat Ada 4.116 Kasus Kekerasan Anak dalam 7 Bulan
Terakhir. https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/15410871/k ementerian-pppa-catat-ada

66
Ending Violence in Childhood menunjukkan, bahwa sebanyak 73,7 persen anak-
anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan
(violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah. Hal ini
diperkuat oleh data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2011-2016
yang mencatat, bahwa terdapat 4.294 kasus kekerasan terhadap anak. Pelaku
kasus kekerasan anak umumnya dilakukan oleh keluarga dan pengasuh. Survei
kekerasan tahun 2013 terhadap anak di Indonesia juga menunjukkan, bahwa
sebanyak 41,1 persen anak laki-laki mendapatkan kekerasan fisik dari ayahnya
dan sebanyak 35,6 persen di antaranya bersifat emosional. Mengikuti pola
kesamaan gender, kekerasan fisik dan emosional pada anak perempuan juga
cenderung dilakukan oleh ibu. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan, bahwa
66,34 persen anak perempuan mendapatkan kekerasan fisik dari ibu dan 49,81
persen bersifat emosional.35
Mengambil contoh atau hasil penelitian salah satu kota di Indonesia,
penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang
tua terhadap anak, meliputi faktor internal (faktor dari dalam) seperti sosial,
keluarga (broken home), penyakit parah atau gangguan mental (emosi) dan berasal
dalam diri anak. Faktor eksternal atau yang berasal dari luar, yaitu ekonomi.36
Contoh nyata untuk membedakan kekerasan terhadap anak dalam
keluarga, yaitu seorang ayah memukul anaknya di bagian bokong dengan tangan
karena berperilaku tidak baik. Hal ini sebenarnya sengaja menyebabkan rasa sakit
tetapi perbuatan itu tidak termasuk dalam penganiayaan, karena maksudnya baik
(mengajar dan mendidik anak agar tidak berperilaku buruk). Peristiwa tersebut
apabila dilakukan dengan melewati batas-batas yang diizinkan, maka dapat
dianggap sebagai penganiayaan.37

4116-kasus-kekerasan-anakdalam-7-bulan-terakhir?page=all. Diakses tanggal 20 Juli 2021,


pukul
10.14 WITA.
35
Gelles, J. R. 2004. Child Abouse, Dalam Encyclopedia Article From Encarta. Sinar Grafika:
Jakarta, hlm. 4-6.
36
Patuti, S. Tinjauan Kriminologis Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang Tua
Terhadap Anak (Studi Kasus Kota Palu).
37
Soesilo, R. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor

67
Pemerintah, masyarakat, keluarga, khususnya orang tua, berkewajiban
untuk melindungi Hak Anak sesuai tugas dan pertanggung-jawabannya masing-
masing. Pemerintah sebagai wujud nyata dari tindakan tersebut, mengesahkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut
secara substantif mengatur beberapa persoalan tentang anak berkaitan dengan
hukum, antara lain anak dari kelompok minoritas, korban eksploitasi ekonomi
seksual, yang diperdagangkan, korban kerusuhan, pengungsi dan dalam situasi
konflik bersenjata. Perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
Angka (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat
kemanusiaan, termasuk perlindungan dari kekerasan juga diskriminasi.
Undang-undang tersebut memiliki tujuan utama, antara lain untuk
menjamin perlindungan Hak-hak Anak di dalam berbangsa, bermasyarakat dan
berkeluarga. Keberadaan undang-undang tersebut tidak serta merta melindungi
anak dari berbagai konflik ataupun niat jahat orang dalam bentuk tindak
kekerasan. Situasi ini muncul karena salah satu faktornya, yaitu perbedaan definisi
mengenai batasan tentang anak tersebut.
Kekerasan anak secara khusus diatur dalam Pasal 76 C Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan sanksi pidananya terdapat pada Pasal 80.
Pasal 76 C menegaskan, bahwa, “Setiap Orang dilarang menempatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan
Kekerasan terhadap Anak.”
Penegakkan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum dimaksud
adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan hukum. Rumusan pemikiran-pemikiran pembuat hukum yang

68
dituangkan dalam bentuk peraturan akan turut menentukan bagaimana
penegakkan hukum itu dijalankan.38

B. Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan


Kekerasan terhadap anak menurut Andez, adalah “Segala bentuk tindakan
yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi:
Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual,
serta trafficking/ jual-beli anak”. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk
kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya
bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak
tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat,
dan guru. Sedangkan Nadia memberikan pengertian kekerasan terhadap anak
sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis.
Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan
anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan
penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak.
Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh
orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi
anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut WHO kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan
penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik,
emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan
komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan,
kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan
diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam
perlindungan anak tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian
kekerasan terhadap anak adalah perilaku salah baik dari orangtua, pengasuh dan
lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan fisik, psikis maupun mental yang

38
Raharjo, S. 2009, Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing:
Yogyakarta, hlm. 25

69
termasuk didalamnya adalah penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi,
mengancam dan lain-lain terhadap anak.39
Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah:
“Semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan
seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang
mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan
anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau
kekuasaan Sementara pengertian menurut UU Perlindungan Anak pasal 13 yang
dimaksud kekerasan terhadap anak adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan ketidak
adilan dan perlakuan salah lainnya”.
Menurut WHO ada beberapa jenis kekerasan pada anak, yaitu:
a. Kekerasam Fisik
Kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit
atau potensi menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain,
dapat terjadi sekali atau berulang kali. Kekerasan fisik misalnya;
dipukul, ditendang. dijewer/dicubit, dsb.
b. Kekerasan Seksual
Kekerasan adalah ketertiban anak dalam kegiatan seksual yang
tidak dipahaminya. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan
tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada
pornografi, perkataan-perkataan porno, dan melibatkan anak dalam
bisnis prostitusi, dsb.
c. Kekerasan emosional
Kekerasan emosional adalah segala sesuatu yang dapat
menyebabkan terhambatnya perkembangan emosional anak. Hal ini
dapat berupa kata-kata yang mengancam/ menakut-nakuti anak, dan
lain sebagainya.
d. Tindakan Pengabaian & Penelantaran

39
http://www.psychologymania.com/2012/07/pengertian-kekerasan-terhadap-anak.html

70
Tindakan pengabaian dan penelantaraan adalah ketidakpedulian
orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas anak pada
kebutuhan mereka, seperti: pengabaian kesehatan anak, pendidikan
anak, terlalu mengekang anak, dsb.
e. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi (eksploitasi komersial) adalah
penyalahgunaan tenaga anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya
demi keuntungan orang tuanya atau orang lain, seperti menyuruh
anak bekerja secara seharian dan menjuruskan anak pada pekerjaan-
pekerjaan yang seharusnya belum dijalaninya.
Kekerasan yang dialami anak dapat berakibat langsung pada diri sang
anak. bila seorang anak mengalami kekerasan secara fisik, dampak langsung yang
akan dialaminya diantaranya dapat mengakibatkan kematian, patah tulang dan
luka-luka, dan pertumbuhan fisiknya pun berbeda dengan teman sebayanya.
Sedangkan dampak jangka panjang yang dapat dialami anak yang mendapat
kekerasan adalah akan munculnya perasaan malu/menyalahkan diri sendiri, cemas
atau depresi, kehilangan minat untuk bersekolah, stres pasca-trauma seperti terus-
menerus memikirkan peristiwa traumatis yang dialaminya, dan dapat pula tumbuh
sebagai anak yang mengisolasi diri sendiri dari lingkungan di sekitarnya.
Bermacam jenis Kekerasan Terhadap Anak tersebut harus segera ditangani
bersama, dengan memulai pencegahannya sedini mungkin dari lingkungan
keluarga ataupun kerabat terdekat. Sementara yang dimaksud perlindungan
khusus yaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang diekploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan bagi anak yang menjadi korban
penculikan, korban kekerasan baik fisik maupun mental, anak yang cacat, dan
juga bagi anak-anak yang ditelantarkan.
Anak wajib dilindungi atau mendapatkan perlindungan hukum agar anak
tidak menjadi korban dari tindakan kebijaksanaan siapa saja (individu atau

71
kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupuun
tidak langsung. Yang dimaksud anak menjadi korban adalah anak yang menderita
kerugian (mental, fisik, maupun sosial), oleh sebab tindakan yang aktif atau pasif
orang lain atau kelompok (swasta atau pemerintah), baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Ada juga kemungkinan menjadi korban dari diri sendiri. Situasi dan
kondisi diri sendiri yang merugikan, sebagai akibat sikap dan tindakan orang lain
atau kelompok lain. Perlindungan hukum diberikan agar anak tidak menjadi
korban karena dikorbankan untuk tujuan dan kepentingan tertentu oleh orang atau
kelompok tertentu (swasta dan pemerintah). Anak disebut sebagai korban adalah
karena dia mengalami derita, atau kerugian mental, fisik, atau sosial oleh sebab
orang lain yang melakukan kekerasan pada anak.40
Pelaksanaan perlindungan terhadap anak harus memenuhi syarat antara
lain: merupakan pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak.
Sebagai korban, bagi seorang anak sangat terkait dengan sikap mental dalam
memperoleh perlakuan dari penegak hukum untuk mengoptimalisasikan
pelaksanaan hak-hak yang ada padanya dan tidaklah tepat apabila dipersamakan
dengan orang dewasa, oleh karena itu jaminan atas perlindungan anak mutlak
harus dilaksanakan demi kepentingan terbaik bagi perkembangan dan
pertumbuhan anak tersebut. Mengkaji tentang Hak Asasi Manusia (termasuk
didalamnya adanya hak-hak anak) keberlakuan bersifat universal bahwa yang
memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia, dan bukan karena ciri-ciri
tertentu yang dimilikinya yang wajib diperlakukan dengan cara-cara tertentu yang
tepat.
Landasan HAM manusia dan landasan yang kedua dan yang lebih dalam
yaitu Tuhan sendiri yang menciptakan manusia. Dengan demikian cukup mafhum.
Bahwa HAM menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan
pencerminan hakekat manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat dan makhluk
Tuhan, yang harus dihormati dan mendapat jaminan perlindungan hukum. Jadi
secara a contratio apabila hak-hak dasar manusia termasuk hak-hak yang dimiliki

40
Arif Gosita, 1985. Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo: Jakarta, hlm. 35

72
anak tersebut dilanggar maka yang terjadi adalah masyarakat akan menjadi kurang
baik atau dapat dikatakan bahwa penguasa tidak menjalankan tugasnya dengan
baik. 41
Hal ini memberikan gambaran bahwa hukum harus berorientasi untuk
mewujudkan nilai keadilan guna mencapai ketertiban masyarakat. Hukum
bertujuan untuk mencapai ketertiban masyarakat yang damai dan adil. Ketertiban
umum harus menjadi ketertiban hukum karena mengandung keadilan, sehingga
didukung oleh masyarakat sebagai subyek hukum. Jika ketertiban umum harus
merupakan ketertiban hukum, maka ketertiban umum harus merupakan sesuatu
tertib yang adil. Jadi, keadilan adalah substansi dan tertib hukum maupun
ketertiban umum, sehingga tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa fungsi utama
dari perlindungan hukum pada akhirnya adalah untuk mewujudkan keadilan.
Permasalahan anak di Indonesia belum dapat di tangani secara serius dan
komprehensif. Penanggulangan masalah anak menjadi termarjinalkan di tengah
hiruk pikuk persoalan politik dan hegemoni kekuasaan. Ironisnya, di satu sisi
permasalahan anak dianggap sesuatu yang penting hingga membutuhkan
perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh, tapi disisi lain dalam realitasnya
permasalahan anak, tindak kekerasan dan penelantaran anak masih belum dapat di
tangani dengan baik. Masih terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.42
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menetapkan peringkat pertama
kekerasan anak untuk Sumatera Utara berada di Medan dan disusul Siantar-
Simalungun. Kasus kekerasan tersebut terdiri dari dua macam yakni kekerasan
seksual dan kekerasan fisik seperti pemukulan, penganiayaan, kekerasan psikis.
Untuk Siantar-Simalungun ada 476 kasus kekerasan anak yang tercatat hingga
November 2012. 476 kasus tersebut masih merupakan data yang tercatat di
Komisi Nasional Perlindungan Anak dan berbeda lagi dengan kasus kekerasan

41
Tini Rusmini Gorda, 2017. Hukum Perlindungan Anak korban Pedofilia, Setara Press: Malang,
hlm. 76
42
Manik, Sulaiman Zuhdi, 1999. Kekerasan Terhadap Anak dalam Wacana dan Realita, Pusat
Kajian dan Perlindungan Anak: Medan

73
yang tidak terlaporkan, 62% dari kasus yang terlapor di Siantar-Simalungun
merupakan kekerasan seksual dan sisanya adalah kekerasan fisik.43
Dalam upaya melindungi anak-anak Indonesia, kita sudah memiliki
beberapa instrumen hukum yang bertujuan meberikan perlindungan. Ada
ratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres 39/1990 dan sebagai bentuk
implementasinya juga ada UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Namun
demikian, perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya di pandang sebagai
persoalan politik dan legislasi. Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga
merupakan bagian dari tanggung jawab orangtua, dan kepedulian masyarakat.
Semua pihak harusnya menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal yang
sederhana, penanggulangan permasalahan anak sangat menuntut banyak pihak.
Tanpa partisipasi masyarakat, pendekatan legal formal saja tidak cukup efektif
melindungi anak.
Komunitas lokal memiliki peran penting dalam merancang kebijakan dan
program aksi perlindungan anak. Kekuatannya terletak pada prosesnya yang
partisipatoris sehingga mampu merespon kebutuhan masyarakat setempat lebih
tepat. Oleh karena itu optimalisasi peran orangtua, negara dan pemerintah, serta
masyarakat terutama melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam upaya
mensejahterakan anak perlu diupayakan.44
Hal ini memberikan gambaran bahwa hukum harus berorientasi untuk
mewujudkan nilai keadilan guna mencapai ketertiban masyarakat. Hukum
bertujuan untuk mencapai ketertiban masyarakat yang damai dan adil. Ketertiban
umum harus menjadi ketertiban hukum karena mengandung keadilan, sehingga
didukung oleh masyarakat sebagai subyek hukum. Jika ketertiban umum harus
merupakan ketertiban hukum, maka ketertiban umum harus merupakan sesuatu
tertib yang adil. Jadi, keadilan adalah substansi dan tertib hukum maupun
ketertiban umum, sehingga tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa fungsi utama
dari perlindungan hukum pada akhirnya adalah untuk mewujudkan keadilan.

43
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/09/mjdxor-2013kekerasanseksualpada-
anak -dinilai-memburuk di akses pada 24 April 2013 Pukul 15.54 wib)
44
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak, Prenada Media Grup: Jakarta

74
Di dalam deklarasi Jenewa mengenai Hak-Hak Asasi Anak (The Geneva
Declaration Of The Rights Of The Child) merupakan dokumen internasional
pertama yang menjadikan laki-laki dan perempuan dari segala bangsa menerima
kewajiban yang menuntut bahwa anak-anak harus diberikan sarana yang perlu
untuk perkembangan yang normal, baik secara materi maupun spiritual.
Dalam perkembangan diakhir dekade 1980-an, Kovensi Hak Anak
(International Convention on the Rights of the Child) mengintrodusir adanya 4
hak yang dimiliki oleh anak, yakni hak untuk hidup (survival rights), hak anak
untuk mendapatkan perlindungan (protection rights), hak anak untuk tumbuh dan
berkembang (development rights) dan hak anak untuk ikut berpartisipasi
(participation rights). Konvensi ini kemudian diratifikasi Indonesia melalui
keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990.45

9. Metode Penelitian
Sanksi pada dasarnya adalah penegakan aturan-aturan hukum atau
keputusan-keputusan hukum secara sah. Sesungguhnya hakikat dari penegakan
hukum itu adalah bentuk sah dari penggunan kekerasan yang dikenakan kepada
seseorang yang tidak mau tunduk pada aturan-aturan atau keputusan-keputusan
hukum. Legitimasi yuridis yang dapat dikemukakan untuk pengguna kekerasan itu
adalah fakta bahwa sesungguhnya ketidakpatuhan pada hukum atau pada
keputusan berdasarkan system hukum yang berlaku adalah bentuk pertama dari
kekerasan yang harus ditindak atau ditiadakan, dan jika harus mungkin dicegah.
Tindakan represif dan preventif (pencegahan) terhadap bentuk pertama dari
kekerasan itu adalah dengan menggunakan bentuk kekerasan kedua yang
dinamakan sanksi hukum itu. Tentu saja penggunaan bentuk kekerasan kedua
untuk menindak atau mencegah kekerasan pertama harus dipandang sebagai cara
yang terakhir. Kekerasan kedua ini, yakni dalam bentuk sanksi hukum, harus
ditetapkan atau dirumuskan oleh system hukum itu sendiri.

45
Nyoman Mas Aryani, 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekersan
Seksual Di Provinsi Bali, Jurnal Kertha Patrika, Vol 38/ No. 1, hlm. 24

75
Jadi bentuk formal dan kekerasan kedua itu adalah bentuk formal dan
kekrasan kedua itu adalah berupa aturan hukum atau keputusan hukum. Dalam
kenyataan yang sesungguhnya, hak dan hukum memerlukan adanya sanksi.
Hukum pidana itu disatu pihak bermaksud melindungi kepentingan hukum dan
HAM dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang, namun
dipihak lain hukum pidana menyerang kepentingan hokum adan HAM seseorang
dengan mengenakan sanksi (pidana/tindakan) kepada sipelanggar norma.
Sifat paradogsal dari hukum pidana ini sering digambarkan dengan
ungkapan yang sangat terkenal Rechts guterschutz durch rechtsguterverletzung
(perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum). Sering
dikatakan bahwa ada suatu yang menyedihkan (tragik) dalam hukum pidana,
sehingga hukum pidana sering dinyatakan pula sebagai pedang bermata dua
kualitas pembangunan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan
sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas materil/subtansial.
Strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukumharus ditujukan pada
kualitas subtansif seperti terungkap dalam beberapa isu senral yang dituntun
masyarakat saat ini, yaitu antara lain:
a. Adanya perlindungan HAM.
b. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan lepercayaan antar
sesame.
c. Tidak adanya penyalahan kekuasaaan atau kewenangan.
d. Bersih dari praktif favoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi, nepotisme
dan mafia peradilan.
e. Terujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka
dan tegaknya kode etik/kode profesi.
f. Adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.46

46
Maidin Gultom, 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm 20-21

76
Penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan
kebijakan melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstractooleh badan
pembuat undang-undang.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari kepolisisan sampai pengadilan. Tahap ini
dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit
oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat juga disebut tahap
kebijakan eksekutif atau administrative.
Didalam konsep penegakan hukum, berkembang kesepakatan dan
penegasan-penegasan terhadap:
1. Pemahaman bahwa politik penegkan hukum (law enforcemen policy)
pada dasarnya adalah bagian integral dari kebijakan sosial (social
policy) yang mencakup baik kebijakan kesejahteraan sosial (social
walfare policy) maupun kebijakan keamanan sosial (social defence
policy). Politik kriminal (criminal policy) sendiri merupakan subsistem
dan politik penegakan hukum.
2. Diskresi di dalam penegakan hukum memang tidak dapat hindarkan
mengingat keterbatasan-keterbatasan baik dalam kualitas perundang-
undangan, saran dan prasarana, kualitas penegak hukum maupun
partisipasi masyarakat. Diskresi ini merupakan refleksi pengakuan
bahwa konsep tentang penegakan hukum secara total (total
enforcement) dan penegakan hukum secara penuh (full enforcement)
tidak mungkin dilaksanakan, sehingga penegakan hukum yang actual
(actual enforcement) yang terjadi. Hikmah yang terjadi ialah bahwa
diskresi inilah yang menjadi sumber pembaharuan hukum apabila
direkam dan dipantau dengan baik dan sistematis.
3. Sistem peradilan, dalam hal ini adalah system peradilan pidana
(criminal justice system) baik system abstrak maupun system fisik.
System peradilan pidana merupakan subsistem politik, ekonomi, sosial

77
budaya dan subsistem hankam dan semuanya merupakan subsistem
dari system yang lebih besar yakni, system sosial. Kinerja
(performance) system peradilan pidana tidak akan lepas dari
perkembangan dari sistem yang lebih besar tersebut.
4. Sistem peradilan pidana merupakan system yang terukur. Indikator-
indokator efektifitasnya harus dibakukan. Beberapa standart yang
digunakan ialah: tingkat kemampuan pengungkapan perkara
(clearance rate) yang dilakukan Polri, kemampuan jaksa dalam
membuktikan surat dakwaannya disidang pengadilan (conviction rate),
tingkat kecepatan penanganan perkara didalam system peradilan
pidana (spedy trial) terjadinya pengulangan kembali kejahatan oleh
sipelaku (reconviction rate) tingkat partisipasi masyarakat dalam
system peradilan pidana.
5. Perlu dikembangkan sistem peradilan pidana yang terpadu (Integrated
Criminal Justice Syestem) sebagai model sitem Peradilan Pidana
Indonesia yang menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik
kepentingan Negara, kepentingan masyarakat Maupun kepentingan
individu termasuk kepentingan pelaku pidana tindak pidana dan
kepentingan korban kejahatan. Hal ini merupakan kritik bahwa, model
import seperti model kepentingan kejahatan (crime control model)
yang terlalu mementingkan, baik kepentingan negara dan
mengorbankan hak-hak individual tidak cocok untuk digunakan di
Indonesia. Lebih-lebih apabila diingat bahwa kedua model tersebut
pada dasarnya adalah bagian dari model perlawanan (adversary model)
yang menganggap bahwa Sistem Peradilan pidana merupakan model
peperangan (battle model). Model kekeluargaan (family model) juga
tidak mungkin sepenuhnya diterima, sebab aspek korban kurang
mendapatkan akses perlndungan sebagaimana dianjurkan oleh
masyarakat internasional. Secara ideal, Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia tidak terdapat melepaskan diri dari kecendurungan-
kecenderungan internasional yang sudah diakui oleh masyarakat

78
beradab. Kecenderungan tersebut dapat berupa dokumen-dokumen
internasional seperti rasolusi-resolusi PBB mengenai Sistem Peradilan
Pidana dan sebagainya. Dokumen-dokumen internasional tidak dapat
diabaikan karena akan menyangkut kesan internasional terhadap
Indonesia.
Perumusan hak dan kedudukan warga negara dihadapan hukum
merupakan penjelmaan dari salah satu sila pancasila, yaitu sila keadilan sosial.
Kedudukan seorang warga negara di dalam hukum di Indonesia yang merupakan
Republik yang demoktarik berlainan sekali dengan negara yang berdasar
supremasi rasial maupun berdasarkan agama, negara kerajaan (feodal) negara
kapitalis. Agar hukum berkembang dan dapa berhubungan dengan bangsa lain
sesame masyarakat hukum, perlu dipelihara dan dikembangkan asas-asas dan
konsep hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum yang
universal.
Asas-asas yang merupakan pencerminan dan tekad dan asosiasi sebagai
bangsa yang mencapai bangsa kemerdekaannya dengan perjuangan bangsa
Indonesia yang terkandung dalam UUD 1945dan muqaddimahnya merupakan
pencerminan dari falsafah pancasila. Asas persatuan dan kesatuan dan kebangsaan
yang mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional
yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum nasional berfungsi
mempersatukan bangsa Indonesia asas ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak
boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat
menolak atau bermusuhan terhadap agama. Asas demokrasi mengamanatkan
bahwa hubungan antara hukum dan kekuasaaan, kekuasaan harus tunduk pada
hukum, bukan sebaliknya. Pada analisis terakhir kekuasaan ada pada rakyat dan
wakil-wakilnya.
Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara
mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.
Asas kesatan dan persatuan tidak berarti bahwa kenyataan adanya
keanekaragaman budaya tidak perlu diperhatikan. Bhineka Tunggal Ika
merupakan kenyataan dalam negara yang secara geografis terdiri dari beribu-ribu

79
pulau yang tersebar dalam suatu negara yang terdiri dari darat (pulau) dan laut
(air) yang meliputi tiga zona waktu.
Membangun hukum berdasarkan Wawasan Nusantara, berarti membangun
hukum nasional dengan memadukan tujuan membangun hukum nasional yang
satu atau menyatukan dengan memerhatikan keanekaragaman budaya dari
penduduk yang mendiami suatu Negara kepulauan.
Dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara
terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-
wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.
Inilah apa yang oleh ahli hukum inggris dikenal sebagai rule of law.
Peran hukum dalam masyarakat bangsa yang bebas (The Rule Of Law in
free society) adalah agar:
1. Masyarakat dan individu bebas dari penindasan, baik peindasan dari
luar atau bangsa lain manapun penindasan dari dalam oleh para
penguasa juga penindasan antar sesama anggota masyarakat.
2. Masyarakat tidak memperlukan secara otoriter, penguasa tidak boleh
menjadi alat kekuasaan (instrument of power), penguasa tidak boleh
menjelma atau mempersonitifikasi diri sebagai hukum, kebebasan, dan
kemerdekaan individu tidak boleh ditentukan oleh kehendak atau
keinginan penguasa.
3. Keberadaan dan kedudukan penguasa berdasarkan aturan hukum atau
Rule Of Law, hukum menjadi pancang dan fundamen kekuasaan dan
kewenangan penguasa (under the authority of law), penguasa tidak oleh
melampaui batas kewenangan dan fungsi yang diberikan hukum
kedepannya, tindakan yang seperti itu bertentang dengan hukum
(against the law) dan dapat dikualifikasikan detoernement de pouvoir.
4. Karakteristik peran hukum yang paling esensial dalam free society
hukum anggota masyarakat (to safe quarded and to protect their right)
dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan dalam mengejar
kebahagian dan kesejahteraan spiritual dan material, sebaiknya setiap

80
individu harus taat dan mematuhi hukum dan tidak dibenarkan
bertindak menurut sesuka hati (arbitrary wills).

Hukum mempunyai komponen-komponen yaitu:


a. Komponen substantive, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai
sifat relative konstan.
b. Komponen spiritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi
dinamis.
c. Komponen structural, terdiri dari lapisan-lapisan mulai dari adat,
kebiasaan, hukum dan undang-undang.
d. Komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang
mempunyai sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan. Dalam
kaitan ini, Hukum Acara Pidana berfungsi ganda, yakni di satu sisi
berusaha mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang
terjadinya tindak pidana agar yang bersangkutan dapat dipidana
sebagai imbalan atas perbuatannya, di sisi lain adalah untuk sejauh
mungkin menghindarkan seseorang yang tidak bersalah agar
jangan sampai dijatuhi pidana.
Persamaan di hadapan hukum (equality befor the law) dimaksud bahwa
semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum, penundukan yag
sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan
oleh ordinary court. Hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas
hukum, baik pejabat pemerintahan negara maupun warga negara biasa,
berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. The rule of law dalam pengertian
ini bahwa para pejabat Negara tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum
yang mengatur warga negara biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa. Tidak
dikenal peradilan administrasi negara dalam sistem Anglo Saxon.
Dalam sistem Common Law, seperti Amerika Serikat dan Inggris,
persoalan-persoalan administrasi dihadapkan kepada pengadilan-pengadilan biasa
(ordinary courts), dengan haim-hakim yang independen, untuk mempertahankan

81
salah satu unsur terpenting dari the rule of law. Dalam paham the rule of law,
hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak
individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan. Pandangan Dicey
dikatakan pandangan murni dan sempit, karena dari ketiga pengertian dasar yang
diketengahkannya tentang the rule of law, intinya adalah Common Law sebagai
dasar perlindungan kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
Perlindungan Common Law hanya dapat meluas kepada kebebasan pribadi
tertentu seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat assure the citizen’s
economic or social well being (menjamin kesejahteraan ekonomi atau sosial
warga Negara) seperti perlindungan fisik yang baik, memiliki rumah yang layak,
pendidikan, pemberian jaminan sosial atau lingkungan yang layak, kesemuanya
itu membutuhkan pengaturan yang kompleks. Suatu hal yang penting dari the rule
of law adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah dilarang
menggunakan privilege yang bertentangan dengan aturan hukum.
Paham negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law), menjamin HAM,
mengandung asas legalitas, asas pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas
kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang semuanya bertujuan untuk
mengendalikan negara dari tindakan sewenang-wenangan, tirani, atau
penyalahgunaan kekuasaan.
Keadilan adalah penghargaan terhadap setiap orang menurut harkat dan
martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungan nya dengan segala sesuatu yang
ada diluar pribadinya. Ketertiban umum adalah suatu keadaan penyelenggaraan
kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum
menyiratkan suatu peraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan
minimal, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Ketertiban
umum sering dibahas dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda seperti
keadaan damai, kepastian hukum. Dia memerlukan sesuatu yang mampu
mengakibatkan bahwa keadaan masyarakat secara umum adalah tertib dan bukan
sebaliknya; tata tertib hukum sebenarnya merupakan kepentingan objektif semua

82
pihak dalam semua masyarakat. Artinya bila dibiarkan, keadaan umum
masyarakat umum itu bisa saja tidak tertib.47
Keadilan belum tercapai dengan adanya ketertiban, karena keadilan lebih
dari sekedar ketertiban. Ketertiban umum sebenarnya juga merupakan manifestasi
dari suatu kedaan damai yang dijamin oleh keamanan kolektif, yaitu suatu tatanan
manusia merasa aman secara kolektif. Kebebasan ekstensial yang individual
hanya bisa ada, jika ditempatkan dalam pembatasan koeksistensial yang kolektif.
Ketertiban umum pada akhirnya merupakan manifestasi yang rasional dari
penempatan kebebasan yang eksistensial yang individual dalam pembatasan
koeksistensial yang kolektif. Kebebasan dan pertanggung jawaban pribadi
berkenaan dengan hukum.
Secara analitis, keadilan dapat dibagi dalam komponen procedural dan
substantive, atau keadilan formil dan keadilan materil. Komponen procedural atau
keadilan formil berhubungan dengan gaya suatu system hukum seperti “rule of
law” dan Negara hukum (rechsstaat), sedangkan komponen substantive atau
keadilan materil menyangkut hak-hak sosial, yang menandai penataan politik,
ekonomi didalam masyarakat.
Hukum bertujuan mencapai ketertiban masyarakat yang damai dan adil.
Ketertiban umum menjadi ketertiban hukum karena mengandung keadilan,
sehingga didukung oleh masyarakat sebagai subjek hukum. Jika ketertiban umum
harus merupakan ketertiban hukum, maka ketertiban umum itu haruslah
merupakan suatu keadaan tertib yang adil. Jadi keadilan adalah substansi dari
ketertiban hukum maupun ketertiban umum, sehingga tidak berlebihan jika
ditegaskan bahwa fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk
mewujudkan keadilan.
Persoalannya adalah norma keadilan itu sering ditetapkan atau didapatkan
sebgai hukum positif yang semata-mata bersumber dari akal budi manusia. Dalam
keadaaan itu bisa terjadi risiko bahwa norma keadilan bertentangan dengan
hukum positif. Norma hukum positif dirumuskan berdasarkan akal budi manusia

47
Wahidin Gultom, 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia, Repika Aditama: Bandung, hlm 27- 28

83
semata-mata tidak mungkin mencerminkan kenyataan yang ada (seins-tatsache).
Padahal norma keadilan karena merupakan norma moral tidak mendapatkan
nilainya dari kenyataan yang ada, melainkan dari norma yang tertinggi yang
disebut dengan norma dasar yang berasala dari sesuatu (instanz) yang transenden,
artinya sesuatu yang mengatasi hal ada manusia. Norma dasar itu disebutnya
norma keadilan yang metafisik (Die gerechtigkeitsnorm des metaphysichen typus)
dan sifatnya tidak tergantung dari pengalaman manusia.
Sebaliknya, normal keadilan yang rasional (Die gerechtigkeitnorm des
rationalen typus) tidak mengandalkan suatu instansi yang transcendental,
melainkan bertumpu pada pemahaman akal manusia terhadap dunia pengalaman.
Hans Kelsen memulai analisisnya dengan norma keadilan yang rasional, yang
rumus pertamanya disebut suum cuique (masing-masing memperoleh apa yang
menjadi haknya). Rumus terapannya dalam hubungan antar manusia disebutnya
dengan aturan yang mulia (the golden rule) yang berbunyi: jangan lakukan pada
orang lain, apa yang kamu tidak mau itu dilakukan padamu. Hans Kelsen menilai
bahwa rumus-rumus itu sejajar dengan yang terkenal dengan kategorischer
imperative (keharusan yang mutlak). Adil tidak adilnya ditentukan oleh sikap
yang diambil terhadap hubungan antar hukum dengan keadilan.
Pelaksanaan hukum dan penerapan hukum yang adil artinya yang sama
bagi setiap orang dan yang berjalan sesuai dengan peraturan dan asas-asas hukum,
yang tergantung pada struktur sosial yang adil, yaitu masyarakat yang tidak
terdapat perbedaan. Pada akhirnya tidak dapat dilepaskan persepsi sang subjek
hukum tentang keadilan sebagai suatu gagasan yang pada akhirnya dapat
dirasakan secara subjektif. Dikatakan demikian karena setiap pribadi memiliki
hati nurani yang berperan sebagai instansi moral dan mampu memandang sesuatu
sebagai benar atau tidak benar. Rasa keadilan senantiasa relatif sifatnya, karena
rasa keadilan tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan pribadi sang subjek hukum,
sedangkan sebagai pribadi, manusia senantiasa mendapatkan dirinya berada dlam
suatu kerangka tata nilai, baik tata nilai yang diperolehnya sejak lahir, manapun
tata nilai yang diperolehnya karena belajar.

84
Hakim dapat memainkan peran yang besar dalam mempertegas dan
memberlakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat diacerminkan dalam
keputusan-keputusan pengadilan. Rasa keadilan keadilan yang merata adalah
sosok guru dari konsep the rule of law. Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan
yang berarti antara rasa keadilan yang hidup dalam diri hakim dan rasa keadilan
masyarakat, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat kepada hakim
berkurang. Semakin kesenjangan antara rasa keadilan hakim dan rasa keadilan
masyarakat, semakin besar juga tingkat ketidakperdulian masyarakat terhadap
hukum, dan juga sumber dari berkembangnya kebiasaan untuk main hakim sendiri
yang pada akhsirnya akan bermuara dalam anarki.
Prinsip fundamental keadilan adalah pengakuan bahwa semua manusia
memiliki martabat yang sama, dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
fundamental yang sama, tanpa dibeda-bedakan atas jenis kelamin, warna kulit,
suku, agama, atau status sosialnya.
B. Arif Sidharta mengemukakan bahwa, “Keadlian menuntut bahwa
setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk bertindak sesuai dengan apa yang
diwajibkan kepadanya oleh hukum, pengertian hukum disini tidak selalu berarti
hukum positif”.48
J.P. Plamenatz menyatakan bahwa, “Istilah keadilan dipergunakan dalam
2 arti : a. pemberian kepada setiap orang haknya; b. perbaikan terhadap
kesalahan, baik dengan jalan pemberian ganti rugi kepada korban dari kesalahan
itu ataupun hukuman kepada pelakunya”.49
Arif Gosita menyatakan bahwa, “keadilan adalah suatu kondisi yang
berdasarkannya setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara
rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat. Rasional berarti: masuk akal,
wajar. Bertanggung jawab berarti: dapat dipertanggung jawabkan secara
horizontal (terhadap sesame manusia) dan vertical (terhadap tuhan), dapat

48
Maidin Gultom, 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di Indonesia, Repika Aditama, Bandung, hlm. 31
49
Maidin Gultom, 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di Indonesia, Repika Aditama, Bandung, hlm. 34

85
dipertanggung jawabkan terhadap orang lain dan diri sendiri. Bermanfaat,
berarti : bermanfaat untuk orang lain masyarakat, bangsa dan diri sendiri”.50

10. Paradigma Konstrukvisme


Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata. Cara pandang yang digunakan peneliti di dalam penelitian ini adalah
paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis ialah paradigma yang hampir
merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas
dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.
Paradigma konstruktivis merupakan salah satu prespektif dalam tradisi
sosiokultural. Paradigma ini menyatakan bahwa identitas benda dihasilkan dari
bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan untuk
mengungkap konsep kita, dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada
pengalaman umum mereka. Keberadaan simbol atau bahasa menjadi penting
dalam proses pembentukan realitas. Berbagai kelompok dengan identitas,
pemaknaan, kepentingan, pengalaman, dan sebagainya mencoba mengungkapkan
diri dan selanjutnya akan memberi sumbangan dalam membentuk realitas secara
simbolik.
Menurut Patton dalam Jurnal Sri Hayuningrat para peneliti konstruktivis
mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari
konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka denganyang lain dalam konstruktivis,
setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian
dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu
dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas
pandangan tersebut.
Paradigma konstruktivisme merupakan paradigma yang menganggap
bahwa kebenaran suatu realitas sosial dapat dilihat sebagai hasil konstruksi sosial,
50
Maidin Gultom, 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di Indonesia, Repika Aditama, Bandung, hlm. 35

86
dan kebenaran suatu realitas sosial itu bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme
ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga
jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma
konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis.
Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh
seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa
dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan
oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam
konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara
teori fakta sosial dan defenisi sosial.

11. Jenis Penelitian


Beriku jenis-jenis metode penelitian Kualitatif:
a. Dasar (Basic Research)
Jenis penelitian ini bertujuan mengetahui sesuatu yang
dibuktikan dalam bentuk riset tanpa memerhatikan manfaat bagi
masyarakat. Penelitian ini dikerjakan tanpa memikirkan ujung
praktis. Itulah mengapa penelitian ini tidak untuk digunakan
khalayak umum. Fokus utama jenis penelitian adalah kontinuitas
dan integritas dari ilmu dan filosofi. Penelitian ini tidak
memikirkan ada atau tidaknya hubungan dengan kejadian dalam
masyarakat. Bahkan jalan pemikiran peneliti jenis ini bisa jadi
tanpa memikirkan sudut pandang suatu penelitian.
b. Etnografi
Penelitian ini digunakan untuk mengungkap makna sosio-
kultural dengan cara mempelajari pola hidup dan interaksi antar-
kelompok sosio-kultural (culture-sharing group) tertentu di sebuah
ruang atau konteks yang spesifik. Etnografi menggunakab dua
dasar konsep sebagai landasan penelitian, yaitu aspek budaya
(antropologi) dan bahasa (linguistik). Penelitian ini ditujukan untuk
mengkaji bentuk dan fungsi bahasa dalam budaya dalam kehidupan

87
masyarakat. Menginterpretasikan dalam kelompok sosial, sistem
yang dijalankan, dan interaksi di dalamnya.
c. Terapan (Applied Research)
Pada jenis penelitian ini hasil hasilnya bukan berupa ilmu baru,
namun condong pada aplikasi baru yang merupakan penerapan dari
ilmu murni. Peneliti yang menggunakan jenis ini, memiliki ciri-ciri
yaitu mengaplikasikan penemuan jenis penelitian dasar. Tujuannya
untuk keperluan praktis dalam bidang-bidang tertentu. Biasanya
seorang peneliti terapan punya keinginan supaya hasil
penelitiannya bermanfaat dan berguna bagi khalayak umum.
d. Studi Kasus
Penelitian studi kasus adalah penelitian berdasar kejadian yang
sudah terjadi. Penelitian ini mempelajari interaksi antar variabel
satu dengan lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari
bagaimana suatu kejadian bisa terjadi secara sistematis pada kurun
waktu yang cukup lama. Studi kasus merupakan jenis penelitian
kualitatif yang dilakukan dengan sebuah program, kegiatan,
peristiwa, dan kelompok dalam keadaan tertentu. Penelitian ini
secara kasar digunakan untuk mengamati latar belakang, keadaan,
dan interaksi yang terjadi.
e. Evaluasi (Evaluation Research)
Selanjutnya, penelitian ini dilakukan setelah ada penelitian lain
dan dilaksanakan dalam bentuk penelitian baru. Penelitian ini
adalah jenis turunan dari penelitian terapan. Tujuan jenis penelitian
ini sebagai evaluasi pada sebuah keberhasilan, manfaat, kegunaan,
sumbangan, serta kelayakan suatu program, produk, atau kegiatan
tertentu, yang pada akhirnya bisa mendapatkan perbaikan agar
hasilnya lebih baik.
f. Tindakan
Penelitian tindakan mempraktikkan ilmu dalam tindakan nyata
agar mengetahui respon pada situasi di lapangan. Penelitian ini

88
tujuannya untuk memperbaiki proses dan memahami bagaimana
praktik pendidikan yang baik, professional, serta dapat
meningkatkan hasil dari kegiatan.
g. Naratif
Jenis penelitian naratif adalah jenis penelitian yang dijabarkan
langsung secara lisan dengan mengatakan atau menceritakan
mengenai isi penelitian. Penelitian ini dikumpulkan dengan cara
diskusi, percakapan. Singkatnya, pengalaman individu akan
diceritakan kepada peneliti, dan kemudian akan diceritakan
kembali dengan susunan kata-kata sang peneliti.
h. Historis
Jenis penelitian kualitatif historis lebih menekankan pada
masalah sejarah. Fokusnya ada pada peristiwa yang sudah berlalu
dan direkonstruksi lagi dengan sumber data dan saksi yang masih
ada sampai saat ini. Sumber data dari penelitian historis adalah dari
catatan sejarah, artifak, laporan verbal, dan saksi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sederhananya, melihat suatu fenomena
perkembangan berdasarkan pergeseran waktu.
i. Eksplorasi
Penelitian eksplorasi adalah jenis penelitian yang tujuannya
menemukan ilmu pengetahuan baru atau terapan, serta masalah-
masalah baru dalam bidang pendidikan.
j. Deskriptif
Penelitian Deskriptif adalah jenis penelitian yang
mendeskripsikan atau menggambarkan suatu masalah. Penelitian
deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan suatu populasi, situasi
atau fenomena secara akurat dan sistematis.
k. Verifikasi
Penelitian ini adalah jenis penelitian dengan menguji kebenaran
ilmu-ilmu di dalam bidang pendidikan yang sudah ada, seperti
konsep, prinsip, prosedur, dalil maupun praktek pendidikan.

89
12. Metode Pendekatan Social Legal Research
Menurut Fathoni, sosio legal merupakan pendekatan penelitian ilmu
hukum yang menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial. Karena berasal dari
interdisiplin ilmu, kajian sosio legal kini menjadi tren di kalangan para penstudi
ilmu hukum. Metodologinya sendiri dilakukan dengan cara mengaplikasikan
perspektif keilmuan sosial terhadap studi hukum. Termasuk di antaranya sosiologi
hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, psikologi dan hukum, studi ilmu
politik peradilan, ilmu perbandingan, serta keilmuan lain.
Yakni dengan cara mengupas dan menuntaskan terlebih dahulu soal
kerangka normatif suatu masalah. Penstudi hukum dapat terus mengembangkan
pengetahuan dan kapasitasnya untuk dapat menjawab berbagai perkembangan dan
problematika hukum di masyarakat.
Hukum berperan besar dalam kehidupan manusia khususnya pada masa
transisi menuju pembaharuan hukum, begitupun dengan ilmu hukum yang mampu
menghadirkan perspektif yang baru. Meskipun dalam perkembangannnya ilmu
hukum tidak mampu memberikan data secara lengkap bagi pelaksanaan
kekuasaan, namun keberadaan ilmu hukum yang memiliki metode pendekatan
yang sistematis, kiranya menjadi hal yang berguna dalam perumusan hukum yang
lebih baik.
Interaksi yang terjadi antara ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya
menghadirkan sesuatu yang berbeda dalam konsep hukum dan pada akhirnya
menjadi suatu pemahaman dengan perspektif sosiologis. Sehingga pada tataran
teoritik, hal tersebut memunculkan sociology of law dan pada tataran filsafat
memunculkan sociological jurisprudence. Ilmu hukum yang terus berkembang
pada akhirnya menciptakan berbagai aliran, mulai aliran hukum alam (irasional
dan rasional), aliran hukum positif (analitis dan murni), aliran utilitarianisme,
mazhab sejarah, sociological jurisprudence, pragmatic legal realism, socio legal
studies dan aliran hukum kritis.
Hal ini menunjukkan proses searching the truth tidak pernah berhenti.
Menjelaskan keterkaitan hukum, ilmu hukum, sociological jurisprudence,

90
diperlukan suatu methode research yang tepat dan representatif. Karena melalui
research akan ada temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar (truth,
true, knowledge) dan pada akhirnya digunakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan.51

13. Jenis Dan Sumber Data


Jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data skunder
yang bersumber dari perpustakaan, dalam bentuk bahan-bahan hukum, baik bahan
hukum primer dalam bentuk perundang-undangan, bahan hukum skunder seperti
hasil penelitian maupun bahan tersier dalam bentuk kamus.
Alasan peneliti memilih jenis penelitian hukum normative dengan
pendekatan yuridis empiris adalah bahwa dapat dilihat dari dua aspek. Langkah-
langkah yang di tempuh dalam penelitian ini yaitu:
a. Bahan Hukum Primer,
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat yang terdiri
dari:52
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia 1945.
3. Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
4. Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
5. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
6. Peraturan Kapolri No 10 tahun 2007 Tentang Organisasi dan
Tatanan Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak.
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

51
file:///C:/Users/User/Downloads/ojs_admin,+FUAD+-+261-627-1-RV(1).pdf
52
Soekanto dan Mamudji, 2003. Metode Penelitian Hukum, hlm.12

91
8. Peraturan Pemerintah No 2 tahun 1998 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak bagi anak yang mempunyai masalah.
9. Peraturan Pemerintah No 40 tahun 2011 tentang Pembinaan,
Pendampingan dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban
atau pelaku porngrafi.
10. Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dan penanganan anak yag belum berumur 12
tahun.
11. Peraturan Presiden No 18 tahun 2014 tentang perlindungan anak
dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik sosial.
12. Peraturan Presiden No 175 tahun 2014 tentang pendidikan dan
pelatihan terpadu bagi penegak hukum dan pihak terkait mengenai
peradilan pidana anak.
13. Peraturan Menteri Sosial No 30/HUK/2011 tentang Standart
Nasional Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial anak.
14. Peraturan Mahkama Agung No 4 tahun 2014 tentang pedoman
pelaksanaan diversi dalam system peradilan pidana anak.
15. Keputusan bersama ketua mahkama agung Republik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia tentang Penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum.
16. Kesepakatan bersama antara departemen sosial Republik Hukum
Indonesia, departemen hukum dan ham republik Indonesia,
departemen pendidikan Nasional Republik Indonesia, departemen
kesehatan kepolisiam Negara republik Indonesia tentang
perlindungan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan
hukum.

b. Bahan Hukum Skunder,

92
Bahan hukum skunder adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.53 Yang terdiri dari:
1. Berbagai buku yang berhubungan dengan penelitian desertasi
seperti perlindungan hukum terhadap anak, kriminalisasi anak,
kekrasan sosial anak.
2. Berbagai hasil penelitian, artikel, seminar dan brosur yang
berkaitan dengan penulisan desertasi.
c. Bahan Hukum Tersier,
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder yaitu:
1. Kamus Bahasa Belanda;
2. Kamus Bahasa Inggris.
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian kepustakaan adalah studi
dokumen, dengan mempelajari bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan
penelitian, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum
tersier.

14. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data atau informasi serta fakta pendukung yang ada
di lapangan untuk keperluan penelitian. Teknik pengumpulan data tentu sangat
ditentukan oleh metodologi penelitian yang diambil atau dipilih oleh peneliti.
Penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif maka teknik
pengumpulan data yang digunakan dapat berupa observasi.
Dari beberapa teknik pengumpulan data tersebut, berikut ini merupakan
teknik pengumpulan data secara umum beserta dengan penjelasan lengkap
mengenai masing-masing teknik pengumpulan data yaitu:
a. Observasi (pengamatan)
Teknik pengumpulan data observasi dilakukan dengan pengamatan
langsung. Peneliti melakukan pengamatan di tempat terhadap objek

53
Soekanto dan Mamudji, 2003. Metode Penelitian Hukum, hal.13

93
penelitian untuk diamati menggunakan pancaindra yang kemudian
dikumpulkan dalam catatan atau alat rekam. Observasi terbagi menjadi
tiga yaitu observasi partisipatif, observasi terus terang atau tersamar dan
observasi tak berstruktur.
b. Studi Pustaka
Studi pustaka juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data
yang juga banyak digunakan oleh para peneliti. Teknik pengumpulan data
studi pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang relevan
atau sesuai yang dibutuhkan untuk penelitian dari buku, artikel ilmiah,
berita, maupun sumber kredibel lainnya yang reliabel dan juga sesuai
dengan topik penelitian yang dilakukan.
c. Studi Dokumen
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengandalkan
dokumen sebagai salah satu sumber data yang digunakan untuk
melengkapi penelitian. Dokumen yang digunakan dapat berupa sumber
tertulis, film, dan gambar atau foto.

15. Analisa Data


Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian akan
dianalisis secara kualiltatif, dan ditulis dengan metode deskriptif.
a. Kualitatif
Metode analisa data dengan mengelompokkan dan menyeleksi data
yang diperoleh dari penelitian menurut kuaitas dan kebenarannya.
Kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari study
keperpustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang
diajukan.
b. Deskriptif
Metode penyampaian dari hasil analisis dengan memeilih data yang
digambarkan keadaan yang sebenarnya. Dalam analisis penelitian
menggunakan cara berpikir induktif yaitu menyimpulkan hasil penelitian

94
dari hal yang bersifat khusus kehal yang bersifat umum, sehingga dapat
diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

16. Orisinalitas
Berdasarkan penelusuran pustaka dan sumber informasi lainnya, penelitian
yang memiliki fokus kajian tentang Rekonstruksi Kewajiban Pendaftaran Fidusia
Yang Berbasis Nilai Keadilan sebagai upaya dalam mencari kepastian hukum,
namun demikian terdapat beberapa penelitian yang memiliki relevansi dengan
disertasi ini, karya ilmiah dalam bentuk disertasi sebagai bahan pembanding
orisinalitas disertasi ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
a. Tabel Orisinalitas Penelitian
No Judul Disertasi Penulis Disertasi Temuan Kebaharuan
Disertasi Penemuan
1 REKONSTRUKSI HERWIN
SANKSI PIDANA SULISTYOWATI
KEBIRI PROGRAM
TERHADAP DOKTOR ILMU
PELAKU TINDAK HUKUM
PIDANA FAKULTAS
KEKERASAN HUKUM
SEKSUAL ANAK UNIVERSITAS
DI INDONESIA ISLAM SULTAN
BERDASARKAN AGUNG
NILAI- NILAI SEMARANG
PANCASILA 2019
2 REKONSTRUKSI SARMA
PERLINDUNGAN SIREGAR
HUKUM PROGRAM
TERHADAP ANAK DOKTOR (S 3)
KORBAN ILMU HUKUM
(PDIH)

95
PEDOFILIA DI FAKULTAS
INDONESIA HUKUM
BERBASIS NILAI UNIVERSITAS
KEADILAN ISLAM SULTAN
AGUNG
(UNISSULA)
SEMARANG
2019
3 KONSTRUKSI FATIN
PENGATURAN HAMAMAH
KONVENSASI PROGRAM
DAN RESTITUSI DOKTOR S3
DALAM ILMU HUKUM
MEMBERIKAN FAKULTAS
PERLINDUNGAN HUKUM
ANAK SEBAGAI UNIVERSITAS
KORBAN ISLAM SULTAN
KEJAHATAN AGUNG
SEKSUAL (UNISSULA)
BERBASIS NILAI SEMARANG
KEADILAN 2020

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang Penulis lakukan hingga saat


ini intinya belum ada penelitian yang mengangkat permasalahan tentang
rekonstruksi penegakkan hukum pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak yang
berbasis nilai keadilan yang inti pembahasannya adalah melakukan konstruksi
hukum guna mencapai rasa keadilan hukum dalam tata hukum anak di negara
Indonesia.

b. Sistematika Penulisan Disertasi

96
Dalam penelitian ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam 6
(tujuh) Bab. Masing-masing Bab terdiri dari atas beberapa subbab guna lebih
memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun
urutan dan tata letak masing-masing Bab serta pokok bahasannya adalah sebagai
berikut:
BAB 1 : Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka Teoritik, Kerangka
Pemikiran, Metode Penelitian, Orisinalitas, Sitematika Penulisan Penulisan
Disertasi, Daftar Pustaka.
Bab ini berisi uraian “Rekonstruksi Penegakan Hukum Pidana Bagi
Pelaku Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai Keadilan”.
Menentukan arah penelitian dan ruang lingkup pembahasan, sehingga akan secara
komprehensif memberikan gambaran pembahasan yang menjadi titik tekan
pembahasan. Dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan yang memberikan
gambaran mengenai tujuan dan manfaat dari penulisan sesuai tema yang diambil,
dan yang terakhir di jelaskan tentang metode penelitian, dalam metode penelitian
diuraikan tipe penelitian bagaimana sebuah pendekatan masalah dilakukan
sekaligus sumber bahan hukum, prosedur pengumpulan bahan hukum dan dasar
analisis yang dipakai guna mendukung pembahasan. Dalam bab ini diakhiri
dengan pertanggung jawaban sistematika, yakni gambaran dari masing-masing
bab atau pembahasan.

BAB II : HUKUM EXCITING


Dalam Bab ini pembahasan akan di fokuskan pada jawaban atas
perumusan masalah mengenai Rekonstruksi Penegakan Hukum Pidana Bagi
Pelaku Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai Keadilan. Pada bab ini
akan dijelaskan mengenai Rekonstruksi Penegakan Hukum Pidana Bagi Pelaku
Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai Keadilan. Melalui pembahasan ini
akan mengetahui akar pokok persoalan mengenai Rekonstruksi Penegakan
Hukum Pidana Bagi Pelaku Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai

97
Keadilan. Sehingga dapat memberikan jawaban yang cukup mendasarkan pada
fakta filosofis, yuridis dan sosiologis.

BAB III : REKONSTRUKSI PENEGAKAN HUKUM PIDANA BAGI


PELAKU KEKARASAN TERHADAP ANAK YANG BERBASIS NILAI
KEADILAN
Dalam Bab ini pembahasan akan di fokuskan pada jawaban atas
perumusan masalah mengenai Rekonstruksi Penegakan Hukum Pidana Bagi
Pelaku Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai Keadilan. Setiap orang
dapat memastikan status benda tersebut, sehingga orang dapat mempertimbangkan
apabila akan melakukan tindak dan hukum berkaitan benda yang sama. Salah satu
ketentuan yang penting dalam pengaturan mengenai Penegakan Hukum Pidana
Bagi Pelaku Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai Keadilan

BAB IV : KELEMAHAN-KELEMAHAN REKONSTRUKSI PENEGAKAN


HUKUM PIDANA BAGI PELAKU KEKARASAN TERHADAP ANAK
YANG BERBASIS NILAI KEADILAN
Dalam Bab ini pembahasan akan di fokuskan pada jawaban atas
perumusan masalah mengenai Kelemahan-Kelemahan Rekonstruksi Penegakan
Hukum Pidana Bagi Pelaku Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai
Keadilan Saat Ini, sehingga mendapatkan pendapat baru dapat di pergunakan baik
secara keseluruhan.

BAB V : REKONTRUKSI PENEGAKAN HUKUM PIDANA BAGI


PELAKU KEKARASAN TERHADAP ANAK YANG BERBASIS NILAI
KEADILAN
Dalam Bab ini pembahasan akan di fokuskan pada jawaban atas
perumusan masalah mengenai Rekontruksi Penegakan Hukum Pidana Bagi
Pelaku Kekarasan Terhadap Anak Yang Berbasis Nilai Keadilan, sehingga
mendapatkan pendapat baru dapat di pergunakan baik secara keseluruhan.

98
BAB VI : PENUTUP
Pada Bab ini akan di bagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi kesimpulan
yang merupakan jawaban dari pertanyaan pada rumusan masalah pada Bab I,
jawaban akan di tulis berdasarkan rangkuman analisa pada Bab III dan Bab V
dalam penelitian ini. Sedangkan yang kedua, saran yang berisi gagasan dan ide-
ide konstruktif yang dapat di jadikan masukan tentunya untuk mengatasi
permaslahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembahasan.

99
DAFTAR PUSTAKA
Hurairah, Abu. 2012, Kekerasan Terhadap Anak. Nuansa Cendikia : Bandung.
Dua Anak di Bawah Umur Relawan Yayasan Sosial Disekap dan Dianiaya,
https://metro.sindonews.com/read/1340943/170/dua-anak-di-bawah
Gultom, Maidin. 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Refika Aditama : Bandung.
Undang - Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Suyanto, Bagong. 2010, Masalah Sosisal Anak. Fajar Interpratama Mandiri :
Jakarta.
Makaro Muhammad Taufik, dkk. 2014, Hukum Perlindungan Anak Dan
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rineka Cipta : Jakarta.
Pasal 34 UUD 1945.
Jamil, M. Nasir. 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum. Sinar Grafika : Jakarta
Timur.
Sunarnao, Siswanto. 2005, Wawasan Penegakan Hukum Di Indonesia. Citra
Aditya Bakti : Jakarta.
Gosita, Arif. 2019 Masalah Korban Kejahatan. Universitas Trisakti : Jakarta.
http://depkominfo.go.id, 5 April 2010
S, Mertokusumo. Mengenal Hukum. Liberty Yogyakarta : Yogyakarta.
Suyanto, Bagong. 2010, Masalah Sosial Anak. Fajar Interpratama Mandiri :
Jakarta.
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Nuansa Cendekia : Bandung.
Suyanto, Bagong. 2010, Masalah Sosial Anak. Fajar Interpratama Mandiri :
Jakarta.

100
https://ojs.bdproject.id/index.php/jphi/article/view/48/27
file:///C:/User/Downloads/editor_dppm,
+5+Benny+K_Pelaksanaan+Eksekusi_Unisma.pdf
Taufani, Suteki Galang. 2019, Metedologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan
Praktik). Raja Grafindo Persada : Depok.
http://repository.ubharajaya.ac.id/1353/2/201410115176_Rinda%20Madya
%20Arumdani_BAB%20I.pdf
H. R. Abdussalam, Adri Desas Furyanto. 2016, Hukum Perlindungan Anak. PTIK
: Jakarta.
Makaro, Mohammad Taufik. 2021, Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta.
Rusianto, Agus. 2016, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori dan Penerapannya. Fajar interpratama
Mandiri : Jakarta.
Adji, Oemar Seno. 1991, Etika Profesional Dan Hukum Pertanggung Jawaban
Pidana Dokter. Erlangga : Jakarta.
Friedrich, Carl Joachim. 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan
Nusamedia : Bandung.
Apeldoom, L. J. Van. 1996, Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh enam
Pradnya Paramita : Jakarta.
Faiz, Pan Mohamad. 2009, Teori Keadilan John Rawls. Dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 6 Nomor 1.
Kalsen, Hans. 2011, General Theory of Law and State. Diterjemahkan oleh
Rasisul Muttaqien, Nusa Media : Bandung.
Masyhur, Kahar. 1985, Membina Moral dan Akhlak. Kalam Mulia : Jakarta.
Lunis, Suhrawardi K. 2000, Etika Profesi Hukum. Cetakan Kedua, Sinar Grafika :
Jakarta.
http://repository.unissula.ac.id/18417/7/BAB%20I_1.pdf
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

101
Kamil, I. 2020, Kementerian PPPA Catat Ada 4.116 Kasus Kekerasan Anak
dalam 7 Bulan Terakhir.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/15410871/kementerian-pppa-catat-
ada4116kasus-kekerasan-anakdalam-7-bulan-terakhir?page=all Diakses tanggal
20 Juli 2021, pukul 10.14 wita.
Gelles, J. R. 2004, Child Abouse. Dalam Encyclopedia Article From Encarta.
Sinar Grafika : Jakarta.
S. Patuti, Tinjauan Kriminologis Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang
Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak (Studi Kasus Kota Palu).
R, Soesilo. 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia : Bogor.
S, Raharjo. 2009, Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis. Genta
Publishing : Yogyakarta.
http://www.psychologymania.com/2012/07/pengertian-kekerasan-terhadap-
anak.html
Gosita, Arif. 1985, Masalah Perlindungan Anak. Akademika Presindo : Jakarta.
Gorda, Tini Rusmini. 2017, Hukum Perlindungan Anak korban Pedofilia. Setara
Press : Malang.
Manik, Sulaiman Zuhdi. 1999, Kekerasan Terhadap Anak dalam Wacana dan
Realita, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak : Medan.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/09/mjdxor-
2013kekerasanseksual-pada-anak -dinilai-memburuk di akses pada 24 April 2013
Pukul 15.54 wib
Suyanto, Bagong. 2010, Masalah Sosial Anak. Prenada Media Grup : Jakarta.
Aryani, Nyoman Mas. 2016, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Kekerasan Seksual Di Provinsi Bali, Jurnal Kertha Patrika, Vol 38/ No 1.
Gultom, Maidin. 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Refika Adiatma : Bandung.
file:///C:/Users/User/Downloads/ojs_admin,+FUAD+-+261-627-1-RV(1).pdf
Soekanto, Mamudji. 2003 Metode Penelitian Hukum.

102

Anda mungkin juga menyukai