Anda di halaman 1dari 105

1

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK

MELAKUKAN PERBUATAN CABUL SECARA BERLANJUT

(Studi Implementasi dalam Perkara Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:

RIZKIANA HIDAYAT

E1A109010

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013
2

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK


MELAKUKAN PERBUATAN CABUL SECARA BERLANJUT
(Studi Implementasi dalam Perkara Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

Di susun Oleh:

Rizkiana Hidayat
E1A109010

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan disahkan

Pada tanggal Mei 2013

Pembimbing I Pembimbing II Penguji

Haryanto Dwiatmodjo, S.H.,M.Hum Sunaryo S.H.,M.Hum Dr. Setya Wahyudi, S.H.,MH.


NIP. 19570225 198702 1 001 NIP. 19531224 198601 1 001 NIP. 19610527 198702 1 001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum
NIP.19640923 198901 1 001

ii
3

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya ,

Nama : RIZKIANA HIDAYAT

NIM : E1A109010

Judul Skripsi : PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA MEMBUJUK

ANAK MELAKUKAN PERBUATAN CABUL SECARA

BERLANJUT (Studi Implementasi dalam Perkara Putusan

Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta

informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenaranya.

Bila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk

pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Purwokerto, Mei 2013

Rizkiana Hidayat

iii
4

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulisan skripsi dengan judul

“Perlindungan Korban Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Perbuatan

Cabul Secara Berlanjut (Studi Implementasi dalam Perkara Putusan Nomor:

20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada

waktunya.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai

kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun

berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka

skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:

1. Penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua orangtua, Bapak Kuat Hidayat

dan Ibu Nani yang telah mendidik, menyekolahkan hingga pendidikan

tertinggi. Serta doa dan dukungan yang tidak pernah berhenti dalam

menyertai langkah penulis dalam menapaki jenjang pendidikan hingga

penulis bisa menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1) di Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

2. Dr. Angkasa,SH,M.Hum,selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

vi
5

3. Bapak Haryanto Dwiatmodjo S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I

Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan, menyediakan waktu dan

kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.

4. Bapak Sunaryo S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II skripsi atas segala

bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang

telah diberikan selama penulisan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Setya Wahyudi S.H., M.H selaku Dosen Penguji atas segala arahan

dan masukan untuk skripsi ini.

6. Adik-adik penulis Diyana Puspa Rini dan Agung Sadewo yang selalu

memberi dukungan dan doa pada penulis untuk dapat segera menyelesaikan

studi dan mendapatkan hasil yang terbaik.

7. Kawan-kawan yang selalu menyemangati saya abangku bang o’ot, Tante Tri,

Mba Singa, Obod, Mba Desca, Etcha, Yank Shishi, Tante Andi, Arind, Pak

Gono, Bang kirr, Mas Dimas yang selalu menghibur dan menemani saat saya

terpuruk dan membantu saya “move on”.

8. Teman-teman seperjuangan Angkatan 2009 baik Pararel maupun Reguler

yang bersama-sama menjalani suka dan duka selama menempuh pendidikan

di Kampus Merah, Universitas Jenderal Soedirman. Good Luck.

9. Bapak Budi Setyawan S.H.,M.H, selaku Hakim Pengadilan Negeri

Purwokerto.

10. Ibu Sutarni, selaku staf divisi anak pada Balai Permasyarakatan kelas II

Purwokerto.

v
6

11. Ibu Dra. Tri Wuryani, M.Si, selaku kepala Pusat Pelayanan Terpadu

Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak

Kabupaten Banyumas.

12. Kurniawan Setiadi atas motivasinya sehingga penulis termotivasi untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna walaupun telah

penulis usahakan semaksimal mungkin. Untuk itu, demi kesempurnaan skripsi ini,

saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas jasa-

jasa, kebaikan serta bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Akhirnya

penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan

bagi pembaca. Aamiin.

Purwokerto, Mei 2013

Rizkiana Hidayat

vi
7

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

SURAT PERNYATAAN ............................................................................ iii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iv

DAFTAR ISI ................................................................................................ vii

ABSTRAK ................................................................................................... x

ABSTRACT .................................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

D. Kegunaan Penelitian................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Korban dan Tipologi Korban

1. Pengertian Korban ............................................................ 8

2. Tipologi Korban ................................................................ 9

B. Perlindungan Hukum

1. Perlindungan Hukum terhadap Korban ............................. 13

2. Perlindungan terhadap Anak.............................................. 18

C. Tindak Pidana kesusilaan ....................................................... 27

D. Perbuatan Cabul ...................................................................... 29

vii
8

E. Membujuk Anak Melakukan Tindak Pidana (Uitlokking) ..... 32

F. Perbuatan Berlanjut ................................................................ 34

BAB III METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan ................................................................. 37

2. Metode Penelitian ................................................................... 38

3. Spesifikasi Penelitian .............................................................. 38

4. Lokasi Penelitian .................................................................... 38

5. Instrumen Penelitian ............................................................... 39

6. Responden ............................................................................... 39

7. Teknik Pengambilan Sampel .................................................. 40

8. Sumber Data

a. Sumber Data Primer ......................................................... 41

b. Sumber Data Sekunder ...................................................... 41

9. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara ....................................................................... 42

b. Observasi .......................................................................... 42

10. Teknik Pengolahan Data ......................................................... 43

11. Teknik Penyajian Data ............................................................ 44

12. Teknik Pengujian Data ........................................................... 44

13. Metode Analisis Data ............................................................. 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian......................................................................... 46

B. Pembahasan .............................................................................. 75

viii
9

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................. 89

B. Saran ........................................................................................ 91

DAFTAR PUSTAKA

xi
10

ABSTRAK

Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu bentuk tindak pidana terhadap
anak yang merupakan contoh kerentanan posisi anak, terutama terhadap
kepentingan seksual laki-laki. Ketidakmampuan anak untuk melawan dan rasa
takut yang dimiliki membuat anak rentan menerima perbuatan cabul dari laki-laki.
perlindungan yang diberikan untuk melindungi hak-hak anak merupakan salah
satu hal yang menarik untuk diperhatikan, seperti pada perkara dengan nomor
putusan 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap


korban tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul secara berlanjut
pada perkara nomor putusan 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt ; mengetahui faktor yang
mendorong dan menghambat pemberian perlindungan hukum kepada korban
tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul secara berlanjut pada
perkara nomor putusan 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
yuridis sosiologis dengan spesifikasi penelitian deskriptif. Data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder.

Hasil penelitian mengungkapkan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap


Korban Tindak Pidana Membujuk Anak melakukan Perbuatan Cabul Secara
Berlanjut pada Perkara Nomor 20/Pid.Sus/2012/PN. Pwt adalah perlindungan
langsung yang meliputi upaya rehabilitasi, mencangkup pelayanan medis dan
bantuan hukum serta adanya konseling, dan Perlindungan tidak langsung yang
diberikan kepada korban adalah hakim menutup dan mengisolir terdakwa ke
dalam penjara selama tujuh tahun melalui putusannya. Faktor Penghambat
pemberian perlindungan antara lain peraturan perundang-undangan, sumber daya
manusia, kesadaran korban, kurangnya fasilitas dan faktor pendorong pemberian
perlindungan antara lain peraturan perundang-undangan yang mendukung dan
dukungan pemerintah daerah.

Kata Kunci : Perlindungan, korban, tindak pidana

x
11

ABSTRACT

The criminal act of abuse is one form of crime against children is an example of a
position of vulnerability of children, especially the sexual interests of men. The
inability of children to fight and fear possessed makes children vulnerable receive
obscene acts of men. protection provided to protect the rights of children is one
interesting thing to note, as in the case with decision a number
20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
The purpose of this study to determine the form of legal protection for victims of
crime to persuade children perform obscene acts continuously on the case number
20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt decision; know the factors that drive and inhibit the
provision of legal protection to victims of crime to persuade young perform
obscene acts continuously on the case number 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt decision.

The method used in this study is the socio-juridical approach to the specification
of a descriptive study. The data used are primary data and secondary data.

The results reveal a form of protection provided to the Crime Victims Wooing
Kids doing Lewd Acts In Continues in Case Number 20/Pid.Sus/2012/PN. PWT is
a direct protective covering rehabilitation, covers medical care and legal
assistance as well as the counseling, and indirect protection given to the victim is
a judge shut down and isolate the defendant to prison for seven years through its
decisions. Obstacles such as providing protection legislation, human resources,
victim awareness, lack of facilities and the driving factors giving shelter among
other legislation that supports and local government support.

Keywords: protection, victim, crime

xi
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia (HAM) pada dasarnya merupakan hak yang

dimiliki oleh manusia yang diperoleh sejak lahirnya ke dunia sampai

meninggal dunia, oleh karenanya hak ini perlu dihargai dengan sungguh-

sungguh. Indonesia sebagai Negara hukum turut menjunjung tinggi hak yang

dimiliki manusia sejak lahir tersebut sebagimana tercermin dalam Bab XA

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. HAM yang

seharusnya dijunjung tinggi dan dihargai itu pada kenyataannya belum

demikian karena masih banyak perbuatan-perbuatan yang secara langsung

ataupun tidak langsung telah melanggar HAM. Seiring dengan

berkembangnya zaman yang modern ini maka semakin beragam tindak

kejahatan yang berkembang dalam masyarakat. Dari kejahatan-kejahatan

yang berkembang dalam masyarakat salah satunya yang paling sering terjadi

adalah tindak pidana yang bertentangan dengan norma kesusilaan. Jika

melihat sejarah, jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat

dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti

perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, yang akan selalu ada dan

berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan

sebelumnya. Tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan yang paling

banyak terjadi antara lain tindak pidana perkosaan dan pencabulan. Tindak

pidana ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju
2

kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di

pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. 1 Dalam

tindak pidana ini yang sering menjadi korban adalah perempuan dan anak-

anak, mengingat bangsa Indonesia memandang perempuan dan anak sebagai

makhluk yang lemah, oleh karenanya perlu adanya suatu perlindungan bagi

korban tindak pidana perkosaan dan pencabulan.

Masalah perlindungan terhadap korban perkosaan dan pencabulan

selalu menjadi permasalahan yang menarik untuk dicermati, karena masalah

perlindungan terhadap korban tidak hanya berkaitan dengan pemberian

perlindungannya saja, akan tetapi berkaitan dengan hambatan yang dihadapi.

Tidak mudah untuk memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan

dan pencabulan karena ada beberapa faktor yang jadi penghambat. Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sangat memperhatikan hak-

hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan

putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka (offender) maupun

korban kejahatan (victim of crime) menghendaki keadilan. Bagi Offender

menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-

haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi Victim of Crime

juga menghendaki agar offender diadili dan kalau perlu dihukum seberat-

beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan.

Kepentingan dan hak-hak offender lebih diperhatikan dan diutamakan dari


1
Bedi Setiawan Al Fahmi, Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam
Proses Peradilan Pidana Perspektif Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia, 2011,
Tersedia: http://www.hukum berbicara.com (diakses tanggal 9 juli 2012).
3

pada kepentingan dan hak-hak Victim of Crime itu sendiri. Bagaimana tidak,

sejak awal proses pemerikasaan hak-hak offender dilindungi, pelaku

kejahatan berhak memperoleh bantuan hukum, memperoleh perlakuan yang

baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang

disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara manusiawi,

bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam

proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada

offender sebagai manusia dikemas dalam KUHAP. Adapun hak victim of

crime dikemas sangat minim, bahkan tidak diakomudir oleh KUHAP,

walaupun diketahui bahwa, derita yang dialaminya sudah dirasakan ketika

terjadinya kejahatan, saat melapor hingga mengikuti proses persidangan

karena pada dasarnya korban kejahatan merupakan pihak yang paling

menderita. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri

sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi

yang menderita.2

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mempunyai

ketertarikan terhadap bentuk perlindungan yang diberikan kepada korban

tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul yang dilakukan

secara berlanjut. Alasan yang melatarbelakangi ketertarikan penulis adalah:

1. Meningkatnya angka tindak pidana, tentu membawa kerugian bagi

korbannya yang notabene adalah perempuan dan anak-anak, dianutnya

2
Dikdik Arif Mansyur dan Elisataris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 27.
4

budaya masyarakat patrilineal oleh masyarakat Indonesia dimana

perempuan ditempatkan pada nomor dua sedangkan laki-laki

ditempatkan pada nomor satu membawa ketidakseimbangan dalam

berbagai hal, salah satunya adalah sikap pasrah menurut pada laki-laki

karena sebagian besar perempuan Indonesia belum memiliki keberanian

untuk melawan laki-laki apabila laki-laki tersebut melanggar haknya.

Apalagi jika yang menjadi korban adalah anak-anak maka si anak ini

cenderung merasa takut untuk melawan.

2. Adanya hak asasi manusia yang harus dilindungi membuat pemerintah

memunculkan peraturan-peraturan baru yang bertujuan untuk

memberikan perlindungan, banyak peraturan-peraturan yang menyerukan

perlindungan terhadap korban tindak pindana, munculnya lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban adalah salah satu perwujudan dari

peraturan perundangan yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun lembaga ini tidak

melindungi korban-korban tindak pidana yang ”kecil”. Adanya Undnag-

undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang pada

kenyataannya undang-undang ini masih kurang efektif di dalam

permberian perlindungan terhadap anak.

3. Fungsi negara yang asli dan tertua menurut Lipton adalah perlindungan

karena negara dibentuk oleh individu-individu untuk memperoleh

perlindungan dan negara terus dipertahankan untuk memelihara tujuan

tersebut.3 Pada hakekatnya masyarakatlah yang memberikan mandat

kepada para pemimpinnya untuk menjalankan pemerintahan, sebagai

3
Ibid., Hal. 9
5

hubungan timbal balik sudah sepantasnya apabila pemerintah

memberikan perlindungan secara maksimal terhadap kesejahteraan

masyrakatnya. Untuk melindungi seluruh warga negara sudah sewajarnya

pemerintah memberikan perhatian lebih kepada korban kejahatan yang

mengalami penderitaan baik fisik, psikis maupun ekonomi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini timbul dari

ketertarikan penulis untuk mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan

kepada korban tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul

yang dilakukan secara berlanjut. Atas dasar itulah penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul

“PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK

MELAKUKAN PERBUATAN CABUL SECARA BERLANJUT (Studi

Implementasi dalam Perkara Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat diambil pemersalahan:

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum kepada korban Tindak Pidana

Membujuk Anak Melakukan Perbuatan Cabul Secara Berlanjut pada

perkara Putusan Nomor: 20/Pid. Sus/ 2012/ PN. Pwt?

2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong dan menghambat pemberian

perlindungan hukum kepada korban Tindak Pidana Membujuk Anak

Melakukan Perbuatan Cabul Secara Berlanjut pada perkara Putusan

Nomor: 20/ Pid. Sus/ 2012/ PN. Pwt?


6

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan karya tulis

ini adalah:

1. Mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap korban Tindak Pidana

Membujuk Anak Melakukan Perbuatan Cabul Secara Berlanjut pada

perkara Putusan Nomor: 20/ Pid. Sus/ 2012/ PN. Pwt.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pemberian

perlindungan hukum kepada korban Tindak Pidana Membujuk Anak

Melakukan Perbuatan Cabul Dengannya Yang Dilakukan Secara Berlanjut

pada perkara Putusan Nomor: 20/ Pid. Sus/ 2012/ PN. Pwt.

D. Kegunaan

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dilakukan guna memberikan sumbangan pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana, yang

menyangkut tentang pemberian perlindungan terhadap koban tindak

pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul yang dilakukan secara

berlanjut dan faktor-faktor yang mendorong dan menghambat dalam

pemberian perlindungan tersebut.

2. Kegunaan Praktis

Berguna secara praktis bagi penegak hukum dalam dasar

pertimbangan pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana.

Hal ini berguna secara praktis dalam upaya mengevaluasi dan

menganalisis tentang masalah pemberian perlindungan hukum terhadap


7

korban dan dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai pengetahuan

mengenai perlindungan yang dapat diperoleh ketika menjadi korban tindak

pidana karena setiap korban tindak pidana mempunyai hak untuk

memperoleh perlindungan.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN KORBAN DAN TIPOLOGI KORBAN

1. Pengertian Korban

Korban merupakan individu atau kelompok yang menderita secara

fisik, mental, dan sosial karena tindakan kejahatan. Pengertian korban

menurut :

1) Arief Gosita

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai

akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri

sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak

asasi yang menderita. 4

2) Ralph de Sola

Korban (victim) adalah ... person who has injured mental or physical

suffering, loss of property or death resulting from an actual or

attempted criminal offense committed by another...5.

3) Muladi

Korban (Victim) adalah orang-orang yang baik secara individual

maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau

mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-

haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang

4
Ibid., Hal. 46
5
Loc.cit
9

melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk

penyalahgunaan kekuasaan.6

2. Tipologi Korban

Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat suatu

tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi 6 tipe. Tipologi yang

dimaksud adalah sebagai berikut:7

a. The completly innocent victim. Korban sama sekali tidak bersalah oleh

Medenlsohn disebut bentuk korban yang ideal;

b. The victim with minor guilt and the victim due to his ignorance. Korban

dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan karena

kelalaiannya;

c. The victim as guilty as the offender and voluntary victim. Korban sama

salahnya dengan pelaku dan korban suka rela ini oleh Mendelsohn

dibagi menjadi beberapa sub tipe:

1) Bunuh Diri “Dengan melempar uang logam”

2) Bunuh diri dengan adhesi

3) Euthanasia

4) Bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri (misalnya pasangan

suami istri yang putus asa karena salah satu pasangannya sakit);

d. The victim more Guilty than the offender. Dalam hal ini korban

kesalahannya lebih besar daripada pelaku;

6
Ibid., Hal. 47
7
Yazid Effendi, 2001, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku
Kejahatan, Penerbit Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hal. 30-31.
10

e. The most guilty victim and the victim as is gulty alone. Korban yang

sangat salah dan korban yang salah sendirian;

f. The simulating victim and the imagine as victim. Korban pura-pura dan

korban imajinasi. Contoh orang yang menderita paranoid, histeria, serta

pikun.

Hentig dalam diktat kuliah victimologi iswanto dan angkasa

membagi tipe korban menjadi 13 macam sebagai berikut:8

1) The young. Anak-anak mempunyai resiko menjadi korban berbagai

macam tindak pidana, disebakan karena lemah secara fisik dan mental

kepribadiannya belum matang serta belum mempunyai ketahanan

yang cukup apabila menghadapi serangan terutama serangan dari

orang dewsa;

2) The female. Oleh Henting dikatakan bahwa wanita merupakan korban

dengan bentuk kelemahan lain, maksudnya adalah disamping lemah

jasmaninya (apabila dibandingkan dengan pria dan pelakunya juga

biasanya pria) wanita juga diasumsikan mempunyai dan memakai

barang-barang seperti perhiasan yang mempunyai nilai ekonomis

tinggi;

3) The Old. Orang tua mempunyai resiko atas tindak pidana terhadap

harta kekayaan;

8
Iswanto dan Angkasa, 2011, Diktat Kuliah Viktimologi, Fakutas Hukum UNSOED,
Purwokerto, hal. 30-34
11

4) The mentally defective and the other mentally deranged. Orang yang

cacat jiwa, orang gila, peminum, pecandu obat bius, psikopat, oleh

Hentig disebut sebut sebagai korban yang potensial dan aktual;

5) Immigrants. Golongan imigran mempunyai resiko untuk menjadi

korban berbagai macam tindak pidana seperti pemerasan, penipuan;

6) Minorities. Golongan Minoritas;

7) Dull normal. Orang yang normal tetapi bodoh, merupakan korban

sejak lahir. Artinya orang bodoh mempunyai resiko menjadi korban

sejak ia dilahirkan dikarenakan tingkat intelegensinya kurang;

8) The depressed. Orang yang ditekan perasaannya akan menjadi lemah.

Dengan tertekannya seseorang akan menyebabkan merosotnya

kekuatan fisik maupun mental. Dalam resiko ini rentan menjadi

korban karena mereka cenderung apatis dan menyerah serta tidak

mempunyai sifat untuk berjuang melawan pelaku;

9) The quisitive. Orang serakah, mempunyai resiko untuk menjadi

korban penipuan. Para pelaku kejahatan memanfaatkan sifat

keserakahan dan ketamakan dalam mencari pendapatan yang

berlimpah dengan cara yang mudah;

10) The wanton. Orang yang ceroboh cenderung menjadi korban karena

kelalaiannya dalam berbagai hal. Contoh orang lupa mengunci pintu,

mobil, rumah sehingga ia menjadi koban pencurian;

11) The lesome and heartbroken. Orang yang kesepian dan patah hati

mempunyai resiko yang potensial menjadi korban;


12

12) Tormentors. Orang yang suka menyiksa mempunyai resiko untuk

menjadi korban, sering dialami dalam tragedi keluarga;

13) The blocked, exempted, and fighting. Orang yang terhalang, bebas dan

suka berkelahi mempunyai resiko untuk menjadi korban, akan tetapi

resikonya berbeda.

Sellin dan Wolf membuat klasifikasi korban menjadi lima

golongan yaitu:9

1) Primary victimization, yaitu korban berupa individual atau perorangan

(bukan kelompok);

2) Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan

hukum;

3) Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas;

4) No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya

konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.

Menurut keadaan dan status korban, korban dibagi manjadi enam

tipe, yaitu:10

1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama

sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat.

Dalam hal ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku;

2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong

dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, di mana

korban juga sebagai pelaku;

9
Dikdik M. Arif Mansyur dan Elisataris Gultom, Op. Cit, Hal. 50
10
Loc. Cit
13

3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi

dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban;

4. Biologically victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki

kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban;

5. Socially weak victims, yaitu mereka yang mempunyai kedudukan

sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban;

6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena

kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi,

aborsi, prostitusi.

B. PERLINDUNGAN HUKUM

1. Perlindungan Hukum terhadap Korban

Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,

Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan


pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan
atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya sesuai sengan
ketentuan Undang-undang ini.

Pengertian perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna:

1) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan ini berarti

perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang.

2) Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas

penderitaan atau kerugian orang yang menjadi korban hal ini biasanya

identik dengan penyantunan korban dapat berupa pemulihan nama baik


14

atau rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin (pemaafan). Pemberian

ganti rugi seperti restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan

sosial dan sebagainya.11

Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang

bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung).

Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan

yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti

rasa puas. Sedangkan perlindungan konkret pada dasarnya merupakan

bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian

yang berupa atau bersifat materi maupun non-materi. Pemberian yang

bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi,

pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang

bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman dari

pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Korban Tindak pidana mempunyai hak-hak sebagimana diatur

dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan


harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

11
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni,
Bandung, Hal. 78
15

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;


h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.

Selain ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur

mengenai hak-hak korban, ada beberapa hak umum yang disediakan bagi

korban atau keluarga korban kejahatan yang meliputi:12

a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang

dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku

atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk

untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan;

b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;

c. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;

d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

e. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta)miliknya;

f. Hak untuk memperoleh akses pelayanan medis;

g. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari

tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;

h. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan

dangan kejahatan yang menimpa korban;

12
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisataris Gultom, Op.cit., Hal. 53
16

i. Hak atas kebebasan pribadi atau kerahasiaan pribadi, seperti

merahasiakan nomor telpon atau identitas korban lainnya.

Dasar dari perlindungan korban kejahatan menurut Dikdik M.

Arif Mansyur dan Elisatris Gultom dapat dilihat dari beberapa teori

antara lain:

1) Teori utilitas

Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi

jumlah yang tersebar. Konsep pemberian perlindungan pada korban

kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang

lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut,

tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakan

hukum pidana secara keseluruhan.

2) Teori tanggung jawab

Pada hakekatnya subyek hukum bertanggung jawab terhadap

segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang

melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain

menderita kerugian, orang tersebut harus bertanggung jawab atas

kerugian yang ditimbulkannya kecuali ada alasan yang

membebaskannya.

3) Teori ganti kerugian

Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya

terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk

memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.


17

Terhadap perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,

menurut Dikdik M. Arif Mansyur dan Elisatris Gultom terkandung

juga beberapa asas hukum, asas-asas yang dimaksud adalah:13

a) Asas manfaat

Asas ini mempunyai arti bahwa perlindungan korban tidak

hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun

sepiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi

masyarakat luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak

pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

b) Asas keadilan

Asas ini mempunyai arti bahwa penerapan asas keadilan

dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak

karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga

diberikan pada pelaku kejahatan.

c) Asas keseimbangan

Tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan

perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan

keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada

keadaan yang semula (restitution in integrum), asas keseimbangan

memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak

korban.

13
Ibid., Hal. 164
18

d) Asas kepastian hukum

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat

bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam

upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.

2. Perlindungan terhadap Anak

Pengertian anak menurut:

1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak

yang masih di dalam kandungan.

2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa dalam menuntut orang

yang belum cukup umur (minderjaring) karena melakukan perbuatan

sebelum umur enam belas tahun.

3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Pasal 330 KUHPerdata orang belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur genap 21(dua puluh satu) tahun dan tidak

lebih dulu telah kawin.


19

4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan kawin

apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dengan pihak

wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika terjadi

penyimpangan atas hal tersebut maka dapat dimintakan dispensasi ke

Pengadilan Negeri.

5) Convention on the Rights of the Child Adopted and opened for

signature, ratification and accession by General Assembly resolution

44/25 of 20 November 1989.

Dalam article 1 disebutkan bahwa For the purposes of the

present Convention, a child means every human being below the age of

eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is

attained earlier.

Pentingnya persoalan anak mendorong masyarakat di dunia

memberikan perlindungan terhadap anak. Hal ini diawali dengan

adanya deklarasi Jenewa tahun 1924 tentang Hak-hak anak yang

diakui dalam deklarasi PBB tentang universal Declaratiobn of Human

Right (UDHR) tahun 1948. Deklarasi tersebut mendasari disahkannya

deklarasi hak-hak anak (Declaration of the Right of the Children) oleh

majelis umum PBB pada tanggal 20 November 1989.

Selain itu pada Convention on the Rights of the Child Adopted

and opened for signature, ratification and accession by General


20

Assembly resolution 44/25 of 20 November 1989 diatur mengenai

prinsip-prinsip dasar pemberian perlindungan terhadap anak yaitu:

1) Prinsip non diskriminasi, diatur dalam artikel 2 yang merumuskan:

a) States Parties shall respect and ensure the rights set forth in the
present Convention to each child within their jurisdiction
without discrimination of any kind, irrespective of the child's or
his or her parent's or legal guardian's race, colour, sex,
language, religion, political or other opinion, national, ethnic
or social origin, property, disability, birth or other status.
b) States Parties shall take all appropriate measures to ensure that
the child is protected against all forms of discrimination or
punishment on the basis of the status, activities, expressed
opinions, or beliefs of the child's parents, legal guardians, or
family members.

Dalam United Nations Standard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice yang dikenal dengan “Beijing

Rules”, juga memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan

anak, yakni dalam artikel 2.1 yang merumuskan:

The following Standard Minimum Rules shall be applied to


juvenile offenders impartially, without distinction of any kind, for
example as to race, colour, sex, language, religion, political or
other opinions, national or social origin, property, birth or other
status.

2) Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak, diatur dalam artikel 3.1

yang merumuskan:

In all actions concerning children, whether undertaken by


public or private social welfare institutions, courts of law,
administrative authorities or legislative bodies, the best interests of
the child shall be a primary consideration.

Dalam artikel itu disebutkan bahwa negara dan pemerintah,

serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap


21

anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya, memberikan

prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun

masyarakat yang ramah anak. Dalam artikel 3.2 Convention on the

Rights of the Child Adopted and opened for signature, ratification

and accession by General Assembly resolution 44/25 of 20

November 1989 disebutkan:

“States Parties undertake to ensure the child such protection and


care as is necessary for his or her well-being, taking into account the
rights and duties of his or her parents, legal guardians, or other
individuals legally responsible for him or her, and, to this end, shall
take all appropriate legislative and administrative measures.”

Pasal tersebut memberikan penegasan bahwa negara peserta

menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak

dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk

memungkinkan orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya,

demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya. Dalam United

Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice yang dikenal dengan “Beijing Rules”, juga memuat prinsip

kepentingan terbaik bagi anak, yakni dalam artikel 1.1 yang

berbunyi Member States shall seek, in conformity with their

respective general interests, to further the well-being of the juvenile

and her or his family. Dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa

negara anggota berusaha mendorong kesejahteraan anak beserta

keluarganya.
22

3) Hak untuk hidup, Kelangsungan hidup, dan Perkembangan, diatur

dalam artikel 6 yang merumuskan:

a) States Parties recognize that every child has the inherent right to
life.
b) States Parties shall ensure to the maximum extent possible the
survival and development of the child.

4) Penghargaan terhadap Pendapat Anak, diatur dalam artikel 12 yang

merumuskan:

a) States Parties shall assure to the child who is capable of


forming his or her own views the right to express those views
freely in all matters affecting the child, the views of the child
being given due weight in accordance with the age and maturity
of the child.
b) For this purpose, the child shall in particular be provided the
opportunity to be heard in any judicial and administrative
proceedings affecting the child, either directly, or through a
representative or an appropriate body, in a manner consistent
with the procedural rules of national law.

Prinsip-prinsip tersebut diadopsi oleh Indonesia dalam Undang-

undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 2 yang

merumuskan:

Penyelenggaraan Perlindungan Anak berasaskan Pancasila dan


berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan terhadap anak sebagai mana disebutkan dalam

Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak menyebutkan bahwa yang berkewajiban dan bertanggung jawab

terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara,


23

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Bahkan dalam Pasal

28 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur tentang

perlindungan anak bertujuan untuk memberikan jaminan dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi. Dalam artikel 39 Convention on the Rights of the

Child Adopted and opened for signature, ratification and accession by

General Assembly resolution 44/25 of 20 November 1989 disebutkan

bahwa:

States Parties shall take all appropriate measures to promote


physical and psychological recovery and social reintegration of a child
victim of: any form of neglect, exploitation, or abuse; torture or any
other form of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment; or
armed conflicts. Such recovery and reintegration shall take place in an
environment which fosters the health, self-respect and dignity of the
child.

Menurut artikel tersebut negara diharuskan mengambil langkah

yang tepat untuk meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis dan

integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk

penelantarana apa pun, eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan

atau bentuk perlakuan kejam yang lain apa pun, tidak manusiawi atau

hukuman yang menghinakan, atau konflik bersenjata. Selain itu negara


24

juga bertanggung jawab terhadap penyembuhan dan integrasi kembali

tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan

kesehatan, harga diri dan martabat si anak. Sedangkan di dalam Pasal

59 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga

negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;


b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas;
d. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang diperdagangkan;
f. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza);
g. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan;
h. Anak korban kekerasan, baik fisik dan/ atau mental;
i. Anak yang menyandang cacat; dan
j. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Negara juga memberikan jaminan kepada anak antara lain agar

tidak memperoleh siksaan atau kekerasan yang tidak manusiawi, tidak

akan kehilangan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Dalam artikel

37 Convention on the Rights of the Child Adopted and opened for

signature, ratification and accession by General Assembly resolution

44/25 of 20 November 1989 disebutkan bahwa:

States Parties shall ensure that:


a. No child shall be subjected to torture or other cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment. Neither capital punishment nor
life imprisonment without possibility of release shall be imposed for
offences committed by persons below eighteen years of age;
b. No child shall be deprived of his or her liberty unlawfully or
arbitrarily. The arrest, detention or imprisonment of a child shall be
in conformity with the law and shall be used only as a measure of
last resort and for the shortest appropriate period of time;
25

c. Every child deprived of liberty shall be treated with humanity and


respect for the inherent dignity of the human person, and in a
manner which takes into account the needs of persons of his or her
age. In particular, every child deprived of liberty shall be separated
from adults unless it is considered in the child's best interest not to
do so and shall have the right to maintain contact with his or her
family through correspondence and visits, save in exceptional
circumstances;
d. Every child deprived of his or her liberty shall have the right to
prompt access to legal and other appropriate assistance, as well as
the right to challenge the legality of the deprivation of his or her
liberty before a court or other competent, independent and
impartial authority, and to a prompt decision on any such action.

Artinya:

a. Tak seorang anakpun boleh menjalani siksaan atau kekerasan lain,

perlakuan atau hukuman tidak manusiawi atau menurunkan

martabat. Hukuman mati maupun seumur hidup tanpa kemungkinan

pembebasan tidak dapat dijatuhi untuk kejahatan-kejahatan yang

dilakukan oleh orang yang berusia dibawah delapan belas tahun.

b. Tidak seorang anakpun akan kehilangan kemerdekaan secara tidak

sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau

penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya

akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu

yang singkat dan layak.

c. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya dan diperlakukan

secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiannya, dan

dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya

secara khusus, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan

akan dipisahkan dan orang-orang dewasa kecuali bila dianggap


26

bahwa tidak melakukan hal ini merupakan kepentingan terbaik dan

anak yang bersangkutan, dan ia berhak mengadakan surat-menyurat

atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan khusus.

d. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak segera

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, dan juga

berhak untuk menggugat keabsahan perampasan kemerdekaan itu di

depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, independen,

dan tidak memihak dan berhak atas suatu keputusan yang cepat

mengenai hal tersebut.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 64 ayat (1) anak yang

berhadapan dengan hukum diarahkan pada anak-anak yang berkonflik

dengan hukum dan anak korban tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) Undang-undang Perlindungan

Anak, Perlindungan Anak bagi yang berhadapan dengan hukum

dikasanakan melalui:

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan


hak-hak anak;
b. Penyediaan sarana dan pra sarana khusus;
c. Penyediaan petugas pendampingan khusus bagi anak sejak dini;
d. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadaapan dengan hukum;
e. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang
tua atau keluarga; dan
f. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.

Sementara itu untuk perlindungan khusus bagi anak yang

menjadi korban tindak pidana dilaksanakan melalui:


27

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media

massa dan untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli,

baik fisik, mental maupun social; dan

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.

C. TINDAK PIDANA KESUSILAAN

Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan

dengan masalah norma atau adat mengenai lingkungan kehidupan seksualnya.

Tindak pidana kesusilaan diatur dalam Pasal 281 sampai Pasal 299 KUHP.

Menurut Oemar Seno Adji, delik susila menjadi ketentuan universal

apabila:14

1. Apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan

2. Yang menjadi korban adalah orang di bawah umur

3. Apabila delik tersebut dilakukan di muka umum

4. Apabila korban dalam keadaan tidak berdaya dan sebagainya.

5. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan objek delik, misalnya guru

terhadap muridnya.

14
http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/04/pengertian-tindak-pidana-kesusilaan.html
(diakses tanggal 20 November 2012)
28

Jadi kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan

yang berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan

pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa

malu seksual. Simon misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid

(kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukkan mengenai kehidupan

seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu

atau kesusilaan orang lain. Kesusilaan dalam kamus hukum diartikan sebagai

tingkah laku, perbuatan, percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan

dengan norma-norma kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi

terwujudnya tata tertib dalam tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.

Melanggar kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan, yang

menyerang rasa kesusilaan masyarakat, namun perbuatan yang menyerang

kesusilaan ini adalah suatu rumusan yang bersifat abstrak, tidak konkret.

Perbuatan abstrak adalah suatu perbuatan yang dirumuskan sedemikian rupa

oleh pembentuk undang-undang, yang isinya atau wujud konkretnya tidak

dapat ditentukan, karena wujud konkretnya itu ada sekian banyak jumlahnya,

bahkan tidak terbatas, dan wujudnya perbuatannya dapat diketahui pada saat

perbuatan itu terjadi secara sempurna, karena tidak ada wujud konkretnya

maka perbuatan tersebut melanggar kesusilaan atau tidak sepenuhnya

diserahkan kepada penilaian hakim.15

15
Adam Chasawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai kesopanan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Hal. 16-17
29

D. PERBUATAN CABUL

Perbuatan cabul (ontuchtige handeling) adalah segala macam wujud

perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun yang dilakukan pada

orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh

lainnya yang merangsang nafsu seksual, seperti mengelus-elus penis atau

vagina, mencium mulut seseorang dan sebagainya.

Bila melihat definisi pencabulan yang diambil dari Amerika Serikat,

maka definisi pencabulan yang diambil dari The National Center on Child

Abuse and Neglect US, ’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara

anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi

seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki

kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas,

membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan

seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital

orang dewasa kepada anak. Belanda memberikan pengertian yang lebih

umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang

dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian

kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Bila mengambil definisi dari buku

Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka

definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk

mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan

kesusilaan16.

16
www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/definisi.htm (diakses tanggal 2 Desember
2012)
30

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi pencabulan

sebagai berikut:17

Pencabulan adalah berasal dari kata dasar cabul yaitu kotor dan
keji sifatnya, tidak sesuai dengan abad sopan santun (tidak senonoh)
tidak susila, bercabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila,
mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan,
film cabul: film porno, keji, tidak senonoh (melanggar kesusilaan,
kesopanan)

Mochamad Anwar memberikan definisi perbuatan cabul:18

Perbuatan cabul adalah semua perbuatan yang melanggar


kesopanan dan kesusilaan tetapi juga setiap perbuatan terhadap badan
atau dengan badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar
kesopanan, perbuatan cabul merupakan nama kelompok berbagai jenis
perbuatan melanggar kesopanan atau kesusilaan, juga termasuk
perbuatan persetubuhan di luar perkawinan.

R. Soesilo memberikan definisi perbuatan cabul:19

Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar


kesusilaan (Kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba
anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.
Persetubuhan masuk pula pada perbuatan cabul akan tatapi dalam
undang-undang disebutkan tersendiri.

Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul dirumuskan

dalam Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295, dan 296 KUHP.

1. Pasal 289, mengenai perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,

dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun;

17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, Hal. 142.
18
Moch. Anwar, 1986, Hukum Pidana bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1, Citra
Aditya Bakti, Bandung, Hal. 231.
19
R. Soesilo, 1974, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap Pasal-demi Pasal,
Politea, Bogor. Hal 183.
31

2. Pasal 290, mengenai kejahatan perbuatan cabul pada orang pingsan atau

tidak berdaya, umurnya belum 15 (lima belas) tahun dan lain-lain, dengan

ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun;

3. Pasal 292, mengenai perbuatan cabul sesama kelamin (homo seksual),

dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;

4. Pasal 293, mengenai menggerakkan orang belum dewasa untuk melakukan

atau dilakukan perbuatan cabul, dengan ancaman dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun;

5. Pasal 294, mengenai perbuatan cabul dengan anak tirinya, anak di bawah

pengawasannya yang belum dewasa, dan lain-lain, dengan ancaman pidana

penjara paling lama tujuh tahun;

6. Pasal 295, mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak

tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa, dan lain-lain, dengan

ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;

7. Pasal 296, mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan

orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan, dengan ancaman pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda paling

banyak Rp. 1.000,00 seribu rupiah.

Selain dalam aturan di dalam KUHP, mengenai pencabulan juga

diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak yakni di dalam Pasal 82 mengenai sengaja melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan


32

dilakukan perbuatan cabul, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15

(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

E. MEMBUJUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA (UITLOKKING)

Membujuk melakukan tindak pidana merupakan bagian dari

penyertaan (deelneming), yang dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2)

KUHP.

Pasal 55

(1) Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum :


Ke-1 mereka, yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut
melakukan perbuatan itu.
Ke-2 mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalah-
gunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau
penipuan atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau
keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
(2) Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke 2) hanya perbuatan-
perbuatann yang hanya oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta
akibat-akibatnya dapat diperhatikan.

Tidak semua pembujukan tindak pidana dikenakan hukuman,

melainkan hanya membujukan dengan cara-cara yang disebutkan dalam Pasal

55 ayat 1 Nomor 2. Mula-mula yang disebutkan hanya: pemberian

kesanggupan, penyalahgunan kekuasaan atau martabat, paksaan ancaman atau

penipuan. Kemudian cara-cara ini ditambah dengan: memberi kesempatan,

sarana atau keterangan.


33

Dengan demikian seorang peserta (deelnemer) tindak pidana yang

memberi kesempatan, sarana atau keterangan, dapat merupakan seorang

“pembujuk” atau seorang “pembantu”.

Seorang pembujuk, apabila “initiatief” ke arah tindak pidana datang

dari si pembujuk, sedang ia adalah seorang “pembantu”, apabila initiatif itu

datang dari si pelaku utama.

Menurut kata-kata dari Pasal 55 ayat (1) nomor 2, yang dengan

sengaja dibujuk itu, adalah perbuatannya, bukan orangnya. Dari ini dapat

disimpulkan, bahwa syarat mutlak untuk menganggap adanya pembujukan

yang dapat dikenakan hukuman, ialah, bahwa perbuatan dari tindak-pidana

harus sudah tercapai suatan percobaan yang dapat dikenakan hukuman

menurut Pasal 53 KUHP.

Dalam Pasal 55 ayat (1) nomor 2 disebutkan bahwa pembujukan harus

dilakukan dengan sengaja namun hal ini tidak berarti bahwa kesengajaan

harus meliputi semua bagian dari tindak pidana. Penyebutan cara-cara

membujuk dalam Pasal 55 ayat (1) nomor 2 adalah limitative, tidak dapat

ditambah, sehingga tidak masuk membujuk melakukan tindak pidana yang

dapat dikenakan hukuman apabila misalnya oleh pembujuk hanya

dipergunakan kata-kata yang hanya melayakkan tindak pidana, atau hanya

memuji yang dibujuk.20

20
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, PT. Eresco
Jakarta, Hal. 109-112.
34

F. PERBUATAN BERLANJUT

Perbuatan berlanjut (Voortgesette Handeling) yang diatur dalam Pasal

64 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

“staan meerdere feiten, ofschoon elk op zich zelf misdrijf of


overtrending opleverende, in zoodaning verband, dat zij, moeten
worden beschouwd als eene voorgezette handeling, dan wordt
slechts eene starfbepaling toegepast, bij verschil die waarbij de
zwaarste hoofdstraf is gesteld.”
Artinya:

Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan yang


sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus
dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap
perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran,
maka diberlakukanlah hanya satu ketentuan pidana saja dan apabila
terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan
pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat.21

Hoge Raad dalam suatu perkara mempertimbangkan:

Bahwa syarat untuk dapat menganggap perbuatan yang dilakukan

sebagai suatu tindakan berlanjut ialah bahwa perbuatan itu seharusnya sejenis

dan merupakan pernyataan dari keputusan yang tidak diizinkan, akan tetapi

tidak bahwa perbuatan itu dilakukan tidak dalam waktu-waktu yang berbeda

dalam jangka waktu tertentu dan tidak dipisahkan oleh beberapa tindakan

atau kejadian lain.22

Menurut Memorie Van Toelighting (M.V.T.) mengenai hal ini

menentukan syarat-syarat mengenai perbuatan berlanjut, yaitu:

1. Harus ada satu keputusan kehendak yang terlarang

21
Lamintang dan Samosir Djisman, 1997, Dasar-dasar Hukum pidana Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, Hal. 706.
22
Van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina cipta,
Bandung, Hal.319
35

Satu kehendak yang dimaksud adalah satu tujuan yang hendak

dicapai dilarang untuk melaksanakan kejahatan yang jelas-jelas dilarang

oleh Undang-undang. Dalam hal ini dicontohkan: seorang pelayan yang

mencuri uang majikannya, berpikir, kalau ia mencuri uang sekaligus

dalam jumlah yang banyak, akan ketahuan, tapi kalau ia ambil secara

berangsur-angsur maka majikannya tidak akan mengetahuinya karena

jumlah uang itu demikian banyaknya. Keinginan untuk mencuri uang itu

sudah merupakan satu keputusan kehendak yang mempunyai satu tujuan

yang mana untuk memiliki uang tersebut yang dilakukan dengan cara

mencurinya dengan secara berangsur-angsur dari hari ke hari agar tidak

dapat diketahui oleh yang punya uang tersebut. Hal inilah yang dinamakan

dengan perbuatan berlanjut.

2. Perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sejenis

Artinya perbuatan-perbuatan itu terdapat persamaan bentuk

ataupun jenisnya, seperti kejahatan dengan kejahatan atau pelanggaran

dengan pelanggaran. Adanya kejahatan dalam bentuk biasa juga terdapat

kejahatan yang sama tapi dalam keadaan yang hukumannya lebih berat

ataupun lebih ringan. Seperti pencurian yang diikuti dengan perusakan,

pembunuhan dengan pembunuhan yang tidak disengaja, dan lain-lain.

Pasal 64 ayat (2) ini terdapat sedikit pengecualian dalam masalah

ini, adanya seseorang yang dipersalahkan telah memalsukan uang dan juga

merusak uang dan memakai benda maka hal ini termasuk dalam perbuatan

berlanjut meskipun jenis perbuatannya tidak sama bentuk atau jenisnya. Di


36

samping itu ayat-ayat dari Pasal 64 memberikan kesan, bahwa pembuat

Undang-undang tidak juga lekas memandang gampang akan adanya

persamaan macam di antara perbuatan-perbuatan itu. Oleh karena itu,

pembuat Undang-undang perlu memandang secara sengaja menyamakan

dua rupa perbuatan yang sifatnya agak berlainan dengan menetapkan

bahwa terhadap kejahatan pemalsuan dan kerusakan mata uang dan

terhadap menggunakan perabot untuk melakukan kejahatan tersebut,

hanyalah dikenakan satu macam ketentuan hukuman.

3. Jangka waktu antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya tidak boleh

terlalu lama, artinya perbuatannya itu berjalan secara terus menerus

bahkan dapat sampai bertahun-tahun, tapi jarak antara perbuatan yang

satu dengan yang lainnya itu tidak terlalu jauh, syarat ini sesuai dengan

faham “lanjutan”. Adanya ketiga syarat tersebut di atas, sampai saat ini

masih dipertahankan oleh yurisprudensi Indonesia.

Munculnya perbuatan berlanjut maka tak lepas dari akibat-akibat yang

ditimbulkan oleh adanya perbuatan ini. Akibat-akibat itu terwujud dalam

penentuan ukuran hukuman yakni hanya satu saja hukuman yang dijatuhkan

yakni hukuman yang terberat. Dari sini pula dapat diketahui bahwa perbuatan

berlanjut tiap-tiap perbuatan merupakan tindak pidana masing-masing, hanya

untuk menjatuhkan hukumannya saja dianggap satu. Sedangkan di dalam hal

perbuatan yang berlangsung terus menerus, hanya terdapat satu perbuatan

pidana.
37

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis sosiologis atau

penelitian hukum non doktrinal atau Yuridis empiris karena mempelajari dan

mempelajari hubungan timbal balik antar hukum dengan lembaga-lembaga

sosial yang lain.23

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menitik

beratkan hukum sebagai suatu kenyataan (law in action), merupakan ilmu

sosial yang doktrinal dan bersifat empiris. Pendekatan kualitatif adalah

penelitian yang berlatar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang

terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada.24

Penelitian Yuridis sosiologis dengan pendekatan kualitatif

dimaksudkan untuk menemukan penjelasan terhadap suatu fakta. Dalam

penelitian ini, perhatian penulis terfokus pada bentuk perlindungan yang

diberikan kepada korban tindak pidana dengan sengaja membujuk anak

melakukan perbuatan cabul secara berlanjut, dan faktor yang menghambat dan

mendorong pemberian perlindungan tersebut.

23
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi penelitian hukum dan jurimetri, PT. Ghalia
Indonesia, Jakarta, Hal. 34.
24
Lexy J. Moleong, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
Hal. 5.
38

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian survai lapangan dan

studi pustaka. Survai lapangan merupakan prosedur penentuan informan

melalui wawancara. Survai lapangan dimaksudkan untuk mengetahui keadaan

nyata objek penelitian. Studi pustaka merupakan cara memperoleh data-data

dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustaka-pustaka baik yang

terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari

data-data sekunder yang dibutuhkan guna memperjelas data-data primer.

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif, yaitu peraturan ini menggambarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan

hukum positif yang menyangkut permasalahan yang relevan dengan tujuan

dari penelitian ini. Bertujuan untuk memperoleh diskipsi tentang bentuk

perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana membujuk anak

melakukan perbuatan cabul secara berlanjut dan fator yang menghambat dan

mendorong perlindungan hukum kepada korban tindak pidana membujuk anak

melakukan perbuatan cabul secara belanjut.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto, Balai

Permasyarakatan kelas II, Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan

Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Kabupaten


39

Banyumas (PPT-PKBGA), tempat tinggal korban dan Pusat Informasi Ilmiah

(PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Lokasi penelitian ini

penulis pilih karena lokasi kejadian yang penulis teliti berlokasi di Purwokerto

dan juga untuk memudahkan penulis melakukan penelitian karena penulis

lahir, besar dan tinggal di kota Purwokerto, selain itu untuk melengkapi dan

memperoleh data yang lebih lengkap penulis mengambil lokasi di Pusat

Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian penelitian.

5. Instrument penelitian

a. Instrument penelitian dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan

Negeri Purwokerto, perwakilan divisi anak pada Balai

Permasyarakatan Kelas II Purwokerto, Kepala Pusat Pelayanan

Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis

Gender dan Anak Kabupaten Banyumas, Korban pencabulan pada

perkara Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/Pn.Pwt, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,

Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/Pn.Pwt, buku tulis, pulpen,

handphone.
40

6. Responden

Dalam penelitian ini yang berstatus sebagai informan adalah hakim

Pengadilan Negeri Purwokerto perwakilan divisi anak pada Balai

Permasyarakatan Kelas II Purwokerto, Kepala Pusat Pelayanan Terpadu

Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak

Kabupaten Banyumas dan korban tindak pidana membujuk anak melakukan

perbuatan cabul secara berlanjut pada Putusan Nomor:

20/Pid.Sus/2012/Pn.Pwt.

7. Teknik Pengambilan Sempel

Metode pemilihan informan pada pemilihan ini pada awalnya adalah

Purposive Sampling yang menunjuk pada hakim pengadilan dan korban.

Purposive sampling (sampling bertujuan) dirumuskan sebagai tehnik

pemilihan sumber di lapangan sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian

dan dianggap cukup jika semua data yang diperlukan sudah terhimpun.

Pemilihan informan selanjutnya menggunakan snowball sampling. Pemilihan

informan dengan metode ini baru berhenti manakala sudah tidak ditemukan

informasi baru.25 Penggunaan Snowball Samping diperlukan agar penggalian

data secara mendalam dan maksimal dapat diperoleh, mengingat bahwa

permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan perlindungan korban.

25
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. cit., Hal. 224
41

8. Sumber Data

a. Sumber data primer

Data primer adalah data yang bersumber pada ucapan informan

dalam menjawab pertanyaan yang bersumber pada individu, materi

penelitian adalah pihak korban dan pihak yang berwenang.26 Data primer

ini berupa:

a. Interview

b. Observasi

c. Studi pustaka

d. Studi dokumentasi

e. Studi perundang-undangan

b. Sumber data sekunder

Data sekunder adalah data dalam bentuk tulisan-tulisan yang

bersumber pada dokumen-dokumen resmi, peraturan perundang-

undangan, buku-buku kepustakaan, karya ilmiah, artikel-artikel serta

dokumen-dokumen yang terkait dengan materi penelitian.27 Kegunaan dari

data sekunder adalah sebagai berikut:

a. Untuk mencari data awal atau informasi

b. Untuk mengetahui landasan teori hukum

c. Untuk mendapatkan batasan atau definisi atau istilah.

26
Ibid., Hal. 157
27
Ibid., Hal. 159
42

9. Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini data diambil dengan metode:

a. Wawancara (interview)

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data

dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi

antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data

(responden).28 Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung

maupun tidak langsung. Secara tidak langsung menggunakan daftar

pertanyaan yang dikirim kepada responden dan responden menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti secara tertulis, dan

kemudian mengirimkannya kembali daftar pertanyaan yang telah dijawab

kepada peneliti. Secara langsung wawancara diajukan secara face to face

artinya peneliti berhadapan langsung dengan responden untuk

menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan, dan jawaban

responden dijawab oleh pewawancara.29 Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan metode wawancara secara langsung.

b. Observasi (Pengamatan)

Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan

menggunakan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap

gejala yang tampak pada objek penelitian. Dalam penelitian ini posisi

peneliti hanya sebagai pengamat tanpa terlibat kegiatan apapun. Moleong

28
Rianto Adi, 2005, Metodelogi penelitian sosial dan hokum, Granit, Jakarta, Hal. 72
29
Loc.cit
43

mengatakan bahwa pada pengamatan tanpa peran serta pengamat hanya

melakukan satu fungsi yaitu mengadakan pengamatan.

c. Studi Dokumen atau Bahan Pustaka

Jika data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian

dicari dalamdokumen atau bahan pustaka, maka kegiatan pengumpulan

data itu disebut sebagai studi dokumen atau “literature study”. Data yang

diperlukan sudah tertulis atau diolah oleh orang lain atau suatu lembaga;

dengan kata lain datanya sudah “mateng” (jadi), dan disebut data

sekunder. Surat-surat, catatan harian, laporan, dan sebagainya merupakan

data yang berbentuk tulisan, disebut dokumen dalam arti sempit.

Dokumen dalam arti luas meliputi monumen, foto, tape, dan sebaginya.30

10. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini data yang telah terkumpul akan diolah dengan

menggunakan metode reduksi data yaitu proses analisis data yang dimulai

dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.31 Pada

langkah ini peneliti berusaha menyusun data yang relevan, sehingga menjadi

informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu dengan cara

menampilakan dan membuat hubungan antar variabel atau fenomena agar

peneliti lain atau pembaca laporan penelitian mengerti apa yang telah terjadi

dan apa yang perlu ditindak lanjuti untuk mencapai tujuan penelitian.

30
Ibid. Hal. 61
31
Ronny Hanitiyo Soemitro, Op.cit., Hal. 288.
44

11. Teknik Penyajian Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk uraian teks naratif dan

tabelisasi yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional sesuai dengan

sistematika, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang

masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan

dengan analisis data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.

12. Teknik Pengujian Data

Penelitian ini pengujian data/uji kredibilitas data untuk mendapatkan

data yang valid dan bermutu maka dilakukan dengan cara Triangulasi.

Metode Triangulasi yang digunakan ialah jenis:

a. Triangulasi sumber, yaitu untuk menguji kredibilitas data dilakukan

dengan cara mengecek kembali data dengan sumber yang berlainan;

b. Triangulasi Metode, yaitu untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan

dengan cara mengecek kembali data dengan menggunakan tehnik

pengumpulan data yang berbeda;

c. Triangulasi waktu, yaitu untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan

dengan cara mengecek kembali data dengan menggunakan waktu

pengumpulan data yang berbeda.32

13. Metode Analisis Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pengumpulan data yang diperoleh, kemudian dianalisa secara kualitatif, yaitu

menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun

32
Sugiono, 2008, Memahami penilitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, Hal. 125.
45

dan logis, tidak tumpang tindih dan efektif, dan dilakukan pembahasan.

Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai

jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.33

Analisis data dilakukan melalui reduksi data, yang dilakukan dengan

cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti,

proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada

didalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan,

stuan-satuan itu kemudian di katagorisasikan pada langkah berikutnya.

Katagori-katagori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari

analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data.34

33
Noeng Muhadjir, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, Rake sarasin, Yogjakarta Hal.49
34
Lexy J. Moleong, Op. Cit., Hal. 190.
46

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan terhadap putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

dalam perkara Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt tentang membujuk

anak melakukan persetubuhan dengannya secara berlanjut, sebagaimana diatur

dan diancam pidana Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, hasil penelitian pada

pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Identitas pelaku/Terdakwa:

Nama lengkap : Ayat Naruta Restu Bin Raharjo Kusumo

Tempat Lahir : Jakarta

Umur/Tgl.lahir : 25 tahun/ 30 Juli 1986

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Desa Banjarsari, kecamatan Bobotsari, Kabuaten

Purbalingga

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan : SMA (Kelas satu)


47

2. Duduk Perkara

Terdakwa Ayat Naruta Restu bin Raharjo Kusumo mengenal

korban Krisnawati binti Kasmudi melalui telepon, pada tanggal 30

Desember 2011 Terdakwa meminta korban menemuinya di Terminal Bus

Purwokerto. Setelah Terdakwa bertemu dengan korban, Terdakwa

mengajak korban ke Hotel Agung Purwokerto, setelah memesan satu

kamar Terdakwa mengajak korban masuk dan membujuk korban agar mau

berhubungan dengan Terdakwa. Terdakwa melakukan hubungan badan

dengan korban sebanyak sembilan kali, yakni pada tanggal 30 Desember

2011 dan 31 Desember 2011 bertempat di Hotel Agung Purwokerto,

tangga 1 Januari 2012, 2 Januari 2012, 3 Januari 2012, 4 Januari 2012, dan

5 Januari 2012 bertempat di rumah Terdakwa di Desa Banjarsari,

Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, tanggal 6 Januari 2012

bertempat di Hotel Mukti Jaya Purwokerto. Pada tangal 7 Januari 2012

Terdakwa menanyakan kepada korban apakah korban keluar kamar,

merasa tidak puas dengan jawaban korban Terdakwa memukul korban dan

saat Terdakwa tidur, korban melarikan diri dengan menggunakan becak

menuju pos polisi hingga akhirnya Terdakwa ditangkap dan dibawa ke

Polsek Purwokerto Selatan.


48

3. Dakwaan

Penuntut umum mendakwa tersangka dengan dakwaan alternatif yaitu:

Kesatu:

Terdakwa AYAT NARUTA RESTU bin RAHARJO KUSUMO pada

tanggal 30 Desember 2011, 31 Desember 2011 bertempat di Hotel Agung

Purwokerto, tanggal 1 Januari 2012, 2 Januari 2012, 3 Januari 2012, 4

Januari 2012, 5 Januari 2012 bertempat di rumah Terdakwa Desa

Banjarsari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, tanggal 6

Januari 2012 bertempat di Hotel Mukti Jaya Purwokerto atau setidak-

tidaknya di tempat lain yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan

Negeri Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,

berdasarkan Pasal 84 Ayat (2) KUHAP di tempat ia ditentukan atau

ditahan, hanya berwenang mengadili perkara Terdakwa, apabila tempat

kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat

Pengadilan Negeri itu dari pada tempat kedudukan Pengadilan Negeri

yang di dalam daerah tindak pidana itu dilakukan, melakukan beberapa

perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang

sebagai satu perbuatan yang diteruskan, dengan sengaja melakukan

tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,

perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa dengan cara:

Tanggal 30 Desember 2011 jam 08.00 WIB Terdakwa menelpon

Korban mengajak bertemu di Terminal Purwokerto, kemudian Terdakwa


49

mengajak Korban ke Hotel Agung Purwokerto, setelah memesan satu

kamar, kemudian Terdakwa dan Korban masuk ke kamar hotel, di dalam

kamar hotel Terdakwa mencium bibir saksi Krisnawati, lalu Terdakwa

merayu Korban “Kowe ayu loh, aku pengin duwe anak karo kowe,

kowe gelem ora dadi bojone aku, aku pengin hubungan karo, iya nek

kowe meteng aku gelem tanggung jawab”, kemudian Terdakwa

membuka jaket dan pakaiannya Korban hingga telanjang, lalu Terdakwa

membuka celananya sendiri sampai telanjang, kemudian Terdakwa

menyuruh Korban untuk mengulum alat kelaminnya, setelah terangsang

Terdakwa memasukan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam

kemaluan Korban dengan posisi Korban berada di bawah dan Terdakwa di

atas sambil digerakkan naik turun hingga Terdakwa puas dan

mengeluarkan sperma, kemudian tanggal 31 Desember 2011 Terdakwa

menyetubuhi korban lagi dengan cara yang sama;

Kemudian tanggal 01 Januari 2012 jam 09.00 WIB Terdakwa dan Korban

meninggalkan Hotel Agung dan mengajak Korban ke rumah Terdakwa di

Desa Banjarsari Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, selama

berada di rumah Terdakwa yaitu tanggal 1 Januari 2012, 2 januari 2012, 3

Januari 2012, 4 Januari 2012, dan 5 Januari 2102 Terdakwa setiap hari

melakukan persetubuhan dengan Korban, kemudian tanggal 6 Januari

2012 jam 10.00 WIB Terdakwa bersama Korban pergi jalan-jalan ke

Purwokerto, sekitar pukul 19.00 WIB Terdakwa Chek in di Hotel Mukti

Jaya Purwokerto, setelah memesan kamar lalu Terdakwa dan Korban


50

masuk dalam satu kamar, setelah berada di dalam kamar, Terdakwa

melakukan persetubuhan, kemudian keesokan harinya setelah bangun tidur

Terdakwa menanyai Korban apa semalam keluar kamar dan dijawab oleh

Korban tidak, mendengar jawaban Korban tersebut, Terdakwa merasa

tidak puas, lalu memukul Korban dan saat Terdakwa tidur Korban pergi

dari Hotel Mukti Jaya Purwokerto dan lapor ke pos polisi hingga akhirnya

Terdakwa ditangkap dan dibawa ke Polsek Purwokerto Selatan;

Sesuai Visum et Repertum pada RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

Purwokerto diperoleh hasil:

a) Wajah : tampak 4 buah luka tertutup di wajah:

Luka pertama terletak di tengah dahi, 2 cm. Dari garis mendatar yang

melewati alis;

Luka ke dua terletak mengelilingi mata kiri, bentuk lingkaran dengan

diameter kurang lebih 2 cm;

Luka ke tiga di atas bibir, 1 cm arah kiri dari garis tengah tubuh,

bentuk lingkaran dengan diameter kurang lebih 2 cm;

Luka keempat terletak di bawah mata kanan, terletak 2 cm arah kanan

dari garis tengah tubuh;

b) Kemaluan Wanita:

Tampak robekan pada selaput dara pada jam dua, lima dan sembilan,

robekan warna sama dengan sekitar;

Tampak robekan pada Perineum pada jam enam yang telah

mengalami penyembuhan;
51

Kesimpulan:

Pada pemeriksaan ditemukan luka memar pada wajah akibat

trauma tumpul. Ditemukan pula robekan lama pada selaput dara dan

Perineum akibat trauma tumpul. Akibat luka tersebut korban tidak bisa

melakukan aktivitas selama beberapa hari;

Perbuatan Terdakwa akhirnya dilaporkan oleh saksi Kasmudi

Kasman bin Martaji ke Pihak yang berwajib untuk diproses sesuai hukum

yang berlaku;

Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 81 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP;

atau

Kedua:

Terdakwa AYAT NARUTA RESTU bin RAHARJO KUSUMO

pada tanggal 30 Desember 2011, 31 Desember 2011 bertempat di Hotel

Agung Purwokerto, tanggal 1 Januari 2012, 2 Januari 2012, 3 Januari

2012, 4 Januari 2012, 5 Januari 2012 bertempat di rumah Terdakwa Desa

Banjarsari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, tanggal 6

Januari 2012 bertempat di Hotel Mukti Jaya Purwokerto atau setidak-

tidaknya di tempat lain yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan

Negeri Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,

berdasarkan Pasal 84 Ayat (2) KUHAP di tempat ia ditentukan atau

ditahan, hanya berwenang mengadili perkara Terdakwa, apabila tempat


52

kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat

Pengadilan Negeri itu dari pada tempat kedudukan Pengadilan Negeri

yang di dalam daerah tindak pidana itu dilakukan, melakukan beberapa

perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang

sebagai satu perbuatan yang diteruskan, melakukan persetubuhan

dengan wanita di luar perkawinan yang diketahuinya atau secara

patut harus dapat diduganya, bahwa wanita tersebut belum mencapai

lima belas tahun, atau jika tidak dapat diketahui dari usianya, wanita

itu belum dapat dikawini, perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa

dengan cara:

Tanggal 30 Desember 2011 jam 08.00 WIB Terdakwa menelpon Korban

mengajak bertemu di Terminal Purwokerto, kemudian Terdakwa mengajak

Korban ke Hotel Agung Purwokerto, setelah memesan satu kamar,

kemudian Terdakwa dan Korban masuk ke kamar hotel, di dalam kamar

hotel Terdakwa mencium bibir saksi Krisnawati, lalu Terdakwa merayu

Korban “Kowe ayu loh, aku pengin duwe anak karo kowe, kowe gelem

ora dadi bojone aku, aku pengin hubungan karo, iya nek kowe meteng

aku gelem tanggung jawab”, kemudian Terdakwa membuka jaket dan

pakaiannya Korban hingga telanjang, lalu Terdakwa membuka celananya

sendiri sampai telanjang, kemudian Terdakwa menyuruh Korban untuk

mengulum alat kelaminnya, setelah terangsang Terdakwa memasukan alat

kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan Korban dengan posisi

Korban berada di bawah dan Terdakwa di atas sambil digerakkan naik


53

turun hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma, kemudian tanggal

31 Desember 2011 Terdakwa menyetubuhi Korban lagi dengan cara yang

sama;

Kemudian tanggal 01 Januari 2012 jam 09.00 WIB Terdakwa dan Korban

meninggalkan Hotel Agung dan mengajak Korban ke rumah Terdakwa di

Desa Banjarsari Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, selama

berada di rumah Terdakwa yaitu tanggal 1 Januari 2012, 2 januari 2012, 3

Januari 2012, 4 Januari 2012, dan 5 Januari 2102 Terdakwa setiap hari

melakukan persetubuhan dengan Korban, kemudian tanggal 6 Januari

2012 jam 10.00 WIB Terdakwa bersama Korban pergi jalan-jalan ke

Purwokerto, sekitar pukul 19.00 WIB Terdakwa Chek in di Hotel Mukti

Jaya Purwokerto, setelah memesan kamar lalu Terdakwa dan Korban

masuk dalam satu kamar, setelah berada di dalam kamar, Terdakwa

melakukan persetubuhan, kemudian keesokan harinya setelah bangun tidur

Terdakwa menanyai Korban apa semalam keluar kamar dan dijawab oleh

Korban tidak, mendengar jawaban Korban tersebut, Terdakwa merasa

tidak puas, lalu memukul Korban dan saat Terdakwa tidur Korban pergi

dari Hotel Mukti Jaya Purwokerto dan lapor ke pos polisi hingga akhirnya

Terdakwa ditangkap dan dibawa ke Polsek Purwokerto Selatan;

Sesuai Visum et Repertum pada RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

Purwokerto diperoleh hasil:


54

a) Wajah : tampak 4 buah luka tertutup di wajah:

Luka pertama terletak di tengah dahi, 2 cm. Dari garis mendatar yang

melewati alis;

Luka ke dua terletak mengelilingi mata kiri, bentuk lingkaran dengan

diameter kurang lebih 2 cm;

Luka ke tiga di atas bibir, 1 cm arah kiri dari garis tengah tubuh, bentuk

lingkaran dengan diameter kurang lebih 2 cm;

Luka keempat terletak di bawah mata kanan, terletak 2 cm arah kanan

dari garis tengah tubuh;

b) Kemaluan Wanita:

Tampak robekan pada selaput dara pada jam dua, lima dan sembilan,

robekan warna sama dengan sekitar;

Tampak robekan pada Perineum pada jam enam yang telah mengalami

penyembuhan;

Kesimpulan:

Pada pemeriksaan ditemukan luka memar pada wajah akibat

trauma tumpul. Ditemukan pula robekan lama pada selaput dara dan

Perineum akibat trauma tumpul. Akibat luka tersebut korban tidak bisa

melakukan aktivitas selama beberapa hari;

Perbuatan Terdakwa akhirnya dilaporkan oleh saksi

Kasmudi Kasman bin Martaji ke Pihak yang berwajib untuk

diproses sesuai hukum yang berlaku;


55

Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 287 Ayat (1) KUHP jo Pasal 64 Ayat (1)

KUHP;

4. Keterangan saksi korban

Keterangan saksi korban pada pokoknya menyatakan bahwa saksi

mengenal Terdakwa tiga hari sebelum Terdakwa mencabuli saksi, saksi

menemui Terdakwa pada tanggal 30 desember 2011 di Terminal Bus

Purwokerto Terdakwa menunggu saksi di tempat parkir sebelumnya saksi

sudah memberikan ciri-ciri, setelah bertemu Terdakwa mengajak korban

ke Hotel Agung, saat berada di dalam kamar Terdakwa menarik tangan

korban, mencium pipi saksi dan menyuruh saksi membuka baju, saksi

sempat berteriak tetapi tidak ada yang mendengar dan saksi sempat

melakukan perlawanan dengan mendorong Terdakwa. Saksi menginap di

Hotel Agung selama tiga hari karena tidak diperbolehkan pulang, dari

Hotel Agung saksi diajak Terdakwa pergi ke Bobotsari ke rumah

Terdakwa. Saksi sempat bertemu dengan orang tua Terdakwa, saksi

menginap di rumah Terdakwa selama lima hari dan selama menginap saksi

selalu melakukan persetubuhan dengan Terdakwa. Dari rumah saksi diajak

oleh Terdakwa kembali ke Purwokerto tapi tidak untuk pulang melainkan

diajak menginap di Hotel Mukti Jaya dan saksi juga melakukan

persetubuhan. Saksi bisa lepas dari Terdakwa karena saksi lari saat

Terdakwa masih tidur dan naik becak menuju Terminal, di Terminal saksi

lapor Polisi dan oleh polisi diajak kembali ke Hotel Muktijaya. Alasan
56

saksi melapor adalah karena dipukuli, saksi dipukul dibagian dada

sebanyak dua kali saat di Hotel Agung, saat di rumah Terdakwa dipukul

dengan gayung mengenai pangkal hidung dan dengan batu mengenai

kepala, saat di Mukti Jaya dijedotkan ke tembok. Terdakwa melakukan

pemukulan di Bobotsari gara-gara pepsoden hilang, dan di Mukti Jaya

gara-gara saksi dituduh dengan laki-laki lain. Terdakwa juga memotong

rambut saksi acak-acakan dengan pisau jenggot. Saksi tidak dipulangkan

tetapi saksi diopname di Rumah Sakit Margono selama tiga hari, dan

setelah sembuh saksi dibawa ke Rumah Aman selama dua minggu dengan

tujuan untuk penyembuhan trauma.

5. Tuntutan

1) Menyatakan AYAT NARUTA RESTU bin RAHARJO KUSUMO

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah “Dengan sengaja

membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan

secara berlanjut” sebagaimana dalam dakwaan kesatu JPU;

2) Menjatuhkan pidana da daterhadap Terdakwa tersebut di atas dengan

pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dikurangi selama Terdakwa

beralam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda

sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh jua rupiah) subsidair 6 (enam)

bulan kurungan;

3) Menetapkan barang bukti berupa:

Satu buah jamper bertutup kepala warna merah muda motif garis-garis

hitam putih;
57

Satu buah kaos oblong lengan panjang warna putih;

Satu buah celana panjang jeans warna biru motif kembang;

Satu buah celana pendek kolor warna biru;

Satu buah celana dalam warna merah;

Dikembalikan kepada pemiliknya Krisnawati binti Kasmudi;

4) Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sebesar RP

2.500,00 (Dua ribu lima ratus rupiah)

6. Pertimbangan hakim

Berdasarkan keterangan saksi dan keterangan Terdakwa serta

dikaitkan dengan alat bukti lain dan barang bukti yang saling bersesuaian

dihubungkan dengan surat dakwaan, surat tuntutan Penuntut Umum dan

pembelaan Terdakwa maka majelis hakim langsung mempertimbangkan

dakwaan kesatu yaitu melakukan tindak pidana “dengan sengaja

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang

dilakukan secara berlanjut melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-undang

nomor 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya

sebagai berikut:

a) Setiap orang

Dimaksud setiap orang adalah siapa saja sebagai subjek hukum

yang mampu untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, baik sendiri-

sendiri atau bersama-sama; Dalam persidangan perkara ini Penuntut

Umum telah mengajukan Terdakwa AYAT NARUTA RESTU bin


58

RAHARJO KUSUMO, dan setelah diperiksa membenarkan

identitasnya sebagaimana terurai dalam surat dakwaan sehingga tidak

terjadi error in persona, dengan maka setiap orang telah terpenuhi

menurut hukum.

b) Dengan sengaja

Dimaksud dengan sengaja dalam unsur ini mempunyai arti yaitu

adanya niat atau maksud yang timbul dari diri si pelaku yang dalam

keadaan sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang sudah diketahui

akibat yang akan terjadi, dan niat itu dapat dilihat atau ketahui dengan

adanya perbuatan pelaku;

Korban binti Kasmudi Kasman menerangkan, saat berada di

Hotel Agung selama tiga hari, di rumah Terdakwa di Bobotsari,

Purbalingga dan di Hotel Mukti Jaya Purwokerto telah diajak Terdakwa

Terdakwa untuk melakukan hubungan badan, dan Terdakwa

mengatakan akan bertanggung jawab jika saksi korban hamil;

Terdakwa sendiri juga menerangkan saat bertemu saksi korban

di Terminal Purwokerto sudah mempunyai niat untuk berhubungan

badan dengan saksi korban sehingga saksi korban langsung diajak ke

Hotel Agung Purwokerto, dilanjutkan di rumah Terdakwa di

Purbalingga dan di Hotel Mukti Jaya Purwokerto, dengan demikian

maka unsur dengan sengaja terpenuhi.


59

c) Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain

Unsur ini bersifat alternatif sehingga apabila salah satu

perbuatan terbukti maka semua unsur ini terpenuhi. Anak berdasarkan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak

dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan yang dimaksudkan anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak

yang masih dalam kandungan;

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa

dihubungkan dengan alat bukti yang diajukan di persidangan telah

terbukti pada hari jumat, tanggal 30 Desember 2011 Korban bertemu

dengan Terdakwa yang baru dikenalnya beberapa hari, di Terminal Bus

Purwokerto setelahnya sebelumnya janjian lewat handphone;

Terdakwa mengajak korban jalan-jalan dan menuju Hotel

Agung Purwokerto. Sesampainya di hotel agung Terdakwa memesan

kamar kepada saksi Sartono dan saat sudah berada di dalam kamar

Terdakwa mengajak saksi korban untuk melakukan persetubuhan. Pada

awalnya Korban menolak, akan tetapi Terdakwa menyatakan akan

bertanggung jawab apabila saksi korban hamil dan jika tidak mau akan

ditinggal. Akhirnya Terdakwa berhasil membujuk saksi korban dan

menyetubuhi saksi korban. Perbuatan tersebut dilakukan sebanyak


60

empat kali sejak tanggal 30 Desember 2011 sampai dengan tanggal 1

Januari 2012;

Tanggal 1 januari 2012 setelah check out dari Hotel Agung,

Terdakwa mengajak korban ke rumahnya di Bobotsari Purbalingga dan

tinggal selama lima hari dan menginap di Hotel Mukti Jaya Purwokerto

selama satu malam. Selama tinggal di rumah Terdakwa dan di hotel

mukti jaya, saksi korban telah beberapa kali disetubuhi Terdakwa;

Keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa tersebut

bersesuaian pula dengan bukti Visum Et Repertum yang kesimpulannya

menyebutkan pada korban ditemukan robekan lama pada selaput dara

dan perineum akibat trauma tumpul;

Berdasarkan keterangan saksi Kamsudi kasman, saksi

Krisnawati dihbungkan dengan surat kelahiran No. 145/09/2012 dari

Kepala Desa Losari, tanggal 17 Januari 2012 dan ijazah Madrasah

Ibtidaiyah Muhammadiyah Curug Losari Rawalo atas nama Krisnawati

dan kartu keluarga Nomor 3302040302051773, yang sama-sama

menyebutkan Krisnawati lahir di Bnayumas tanggal 20 April 1998,

telah terbukti saat melakukan persetubuhan dengan Terdakwa saksi

korban usianya belum genap 15 tahun, dengan demikian maka unsur ini

telah terpenuhi oleh Terdakwa.


61

d) Beberapa perbuatan yang karena perhubungannya dipandang sebagai

perbuataan berlanjut

Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, telah terbukti

Terdakwa menyetubuhi Korban bertempat di Hotel Agung Purwokerto,

di rumah Terdakwa di Bobotsari Purbalingga dan Hotel Mukti Jaya

Puwrokerto;

Berdasarkan keterangan saksi-saksi semuanya menerangkan

bahwa Korban telah pergi meninggalkan rumah sejak tanggal 30

Desember 2011 dan baru ditemukan pada tanggal 7 Januari 2012 di

Hotel Mukti Jaya Purwokerto;

Meskipun persetubuhan yang dilakukan oleh Terdakwa terhadap

Korban dilakukan pada waktu dan tempat berbeda, akan tetapi satu

dengan yang lain mempunyai hubungan yang erat, sehingga perbuatan

Terdakwa adalah merupakan perbuatan berlanjut, dengan demikian

maka unsur ini telah terpenuhi. Oleh karena selain unsur kesatu “setiap

orang” tersebut telah terbukti dilakukan oleh terakwa sendiri bukan

oleh orang lain, sedangkan dari hasil pemeriksaan dipersidangan tidak

ditemukan bukti yang menunjukan bahwa Terdakwa tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan dan tidak

diketemukan alasan pengecualian penuntutan, alasan pemaaf atau

hapusnya kesalahan dengan demikian maka unsur kesatu juga telah

terbukti;
62

Terhdap pembelaan Terdakwa dan penasehat hukumnya, oleh

karena bukan merupakan bantahan terhadap perbuatan Terdakwa dan

hanya merupakan permohonan untuk mendapatkan permohonan untuk

mendapat hukuman yang adil maka akan dipertimbangkan sebagai hal-

hal yang meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada

Terdakwa;

Berdasarkan uraian perimbnagan tersebut diatas maka semua

unsur dari Pasal 81 ayat (2) Undnag-undang Nomor 23 Tahun 2002 jo

Pasal 64 Ayat (1) KUHP telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa.

7. Putusan

a. Menyatakan Terdakwa Ayat Naruta Restu bin Raharjo Kusumo terbukti

secara sah dan menyakinkan beralah melakukan tindak pidana dengan

sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang

dilakukan secara berlanjut;

b. Menjatuhkan pidana Terdakwa oleh karena dengan pidana penjara

selama 7 (Tujuh) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam

puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak

dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan;

c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;

d. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

e. Menetapkan barang bukti berupa:

a) Satu buah jamper bertutup kepala warna merah muda motif garis-

garis hitam putih;


63

b) Satu buah kaos oblong lengan panjang warna putih;

c) Satu buah celana panjang jeans warna biru motif kembang;

d) Satu buah celana pendek kolor warna biru;

e) Satu buah celana dalam warna merah;

Dikembalikan kepada pemiliknya Krisnawati binti Kasmudi;

f. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

2.500,00.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis tentang

Perlindungan Korban Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan

Perbuatan Cabul Secara Berlanjut (Studi Putusan Nomor:

20/Pid.Sus/2012/PN.PWT), telah diperoleh data primer dan data

sekunder yang disajikan secara sistematis.

1) Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari

lapangan, dalam hal ini merupakan sumber utama dalam penelitian. Data

primer ini diperoleh penulis melalui wawancara dengan para responden

dan pengamatan terhadap perlindungan yang diberikan kepada korban

tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul (studi putusan

nomor 20/Pid.sus/2012/PN.Pwt). Teknik pemilihan responden yang

dilakukan dalam penelitian ini bersifat Purposive yaitu penelitian dengan

tehnik pemilihan sumber di lapangan sesuai dengan tujuan dan masalah

penelitian dan dianggap cukup jika semua data yang diperlukan sudah

terhimpun. Dalam penelitian ini responden adalah Hakim Pengadilan

Negeri Purwokerto, Kepala Badan Permasyarakatan Kelas II Purwokerto,

Orang Tua Korban.


64

Untuk menyajikan data hasil penelitian dari penulisan ini, penulis

sajikan dalam bentuk matriks (tabel). Maksud dari penyajian data hasil

penelitian ini adalah untuk memudahkan bagi penulis di dalam

mendeskripsikan data yang telah diolah ini dimaksudkan untuk menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan.

Dari data hasil wawancara penulis memilih beberapa variabel yang

bisa membantu menjawab masalah yang diajukan, sebagaimana diuraikan

di bawah ini.
65

Matriks 1. Perlindungan Korban Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Perbuatan Cabul Secara Berlanjut (Studi

Putusan Nomor 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

Responden Hasil Wawancara Substansi Implikasi

Hakim Pada perkara ini tidak ada perlindungan yang  Sidang dilakukan secara  Sidang dilakukan secara

diberikan oleh pengadilan. Hakim hanya tertutup. tertutup.

menyelenggarakan sidang secara tertutup hal ini  Hakim dapat  Terdakwa tidak

secara tidak langsung telah memberikan mengeluarkan terdakwa dikeluarkan dari

perlindungan terhadap korban. apabila saksi merasa persidangan.

Hakim dapat saja mengeluarkan terdakwa jika tertekan, takut,  Tidak ada pemberian
hakim melihat korban dalam memberikan terancam. ganti kerugian dari
keterangan merasa tertekan, takut atau terancam.  Hakim hanya dapat pengadilan.
Namun, dalam kasus ini korban tidak merasa memberikan penetapan  Terdakwa diisolir ke
tertekan, takut akatu terancam, sehingga terdakwa ganti kerugian, upaya dalam penjara.
tidak dikeluarkan dari sidang pengadilan. rehabilitasi maupun

65
Mengenai ganti kerugian, upaya rehabilitasi,
66

maupun bantuan hukum pengadilan tidak dapat bantuan hukum jika ada

memberikan penetapan, karena pada konsepnya tuntutan dari korban

hakim hanya memeriksa perkara sehingga hakim melalui penuntut umum.

tidak bisa mengambil langkah untuk  Hak-hak korban dalam

memeberikan penetapan untuk ganti rugi, upaya Undang-undang Nomor

rehabilitasi maupun bantuan hukum. Namun 23 tahun 2002 tentang

apabila dalam tuntutannya penuntut umum Perlindungan Anak bagi

meminta untuk diberikan ganti kerugian atau korban tidak terlalu

upaya rehabilitasi atau bantuan hukum maka mendapat.

hakim baru bisa memberikan penetapan tersebut.  Adanya lembaga

Adanya hak-hak korban dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Korban cenderung

Anak pada esensinya bagi korban tidak terlalu untuk kasus yang

mendapat karena toh ancaman yang diberikan melibatkan orang yang

hanya menambah, pada KUHP pencabulan hanya mempunyai kedudukan

66
67

kurungan dengan ancaman maksimal sedangkan khusus.

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak ada ancaman minimal

dan ditambah denda, namun denda ini juga tidak

diberikan kepada korban, melainkan diberikan

kepada negara, korban tidak diberikan

kompensasi secara riil akibat penderitaan yang

dialami. Perlindungan yang diberikan hanya

sebatas mengisolir pelaku ke dalam penjara

melalui sisem penjaraan bukan melalui sistem

pemulihan keseimbangan.

Adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) merupakan lembaga yang terpisah dari

pengadilan. Saksi dan korban yang merasa

terancam dapat mengajukan permohonan

67
68

perlindungan, namun lembaga ini cenderung

untuk kasus yang melibatkan orang-orang yang

mempunyai kedudukan khusus baik secara

ekonomi maupun politik, hanya orang-orang yang

kasusunya di “Blow-Up” oleh media

Perwakilan Balai Permasyarakatan (BAPAS) kelas II tidak  Dapat memberikan  BAPAS tidak

divisis anak memberikan perlindungan kepada korban tindak rekomendasi kepada memberikan

BAPAS pidana tetapi memberikan perlindungan kepada keluarga korban agar rekomendasi karena tidak

terdakwa yang masih di bawah umur yakni korban mendapat mendampingi tersangka

memberikan pendampingan selama proses pemulihan psikis maupun korban

persidangan. Bagi korban tindak pidana BAPAS maupun fisik.

tidak memberikan perlindungan berupa

pendampingan atau pemberian ganti rugi, BAPAS

hanya melakukan wawancara dengan korban

tindak pidana untuk melengkapi data dan apabila

68
69

BAPAS melihat korban mengalami trauma psikis

maupun fisik BAPAS dapat memberi

rekomendasi kepada keluarga korban untuk upaya

pemulihan korban.

Kepala PPT- Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan  Bekerja sama dengan  Korban memperoleh

PKBGA Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender instansi pemerintah perawatan Cuma-Cuma

dan Anak Kabupaten Banyumas merupakan seperti Kepolisian, untuk pemulihan luka

lembaga di bawah pemerintah daerah yang Kejaksaan, Pengadilan fisik di Rumah Sakit

melindung korban tindak pidana khususnya Negeri, Rumah Sakit Margono dan mendapat

perempuan dan anak. Dalam menjalankan Dan Sasana petirahan pemulihan trauma psikis

tugasnya PPT-PKBGA berkoordinasi dengan Dinas Sosial di di Rumah Aman.

instansi-instansi seperti Kepolisian, Kejaksaan, Baturaden.

Pengadilan Negeri, Rumah Sakit, Pondok  Adanya pendampingan

Pesantrean dan Sasana Dinas Sosial Di Baturaden. dan pemulihan trauma

Korban yang mengalami trauma fisik biasanya baik psikis maupun fisik

69
70

akan dirujuk ke Rumah Sakit untuk pemulihan yang dialamu oleh

luka fisiknya sedangkan apabila korban korban.

mengalami trauma psikis maka korban dirujuk ke

“Rumah Aman” untuk pemulihan trauma psikis.

Tidak semua korban diberikan perlindungan

karena dalam pemberian perlindungan harus ada

persetujuan dari keluarga baik orang tua maupun

walinya.

Keluarga Krisnawati (korban) dirawat di Rumah Sakit  Perlindungan yang  Korban mendapat

korban Margono selama tiga hari tanpa dibebani dengan diberikan berupa perlindungan pemulihan

biaya pengobatan, juga dirawat di Rumah Aman pemulihan trauma fisik trauma fisik selama tiga

selama 14 hari tanpa dibebani biaya sedikitpun. dan psikis. hari di Rumah Sakit

Mendapat tawaran untuk sekolah di Baturaden margono dan pemulihan

namun ditolak oleh korban dengan alasan jauh trauma psikis selama

empat belas hari di

70
dari orang tua, selama tinggal di Rumah Aman
71

korban mendapat berbagai kegiatan untuk Rumah Aman.

pemulihan psikis seperti permainan dan

ketrampilan.

Sumber : Data Primer diolah

71
72

Matriks 2. Faktor yang mendorong Perlindungan Korban Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Perbuatan Cabul

Secara Berlanjut (Studi Putusan Nomor 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

Responden Faktor Pendorong

Hakim Sebenarnya dengan adanya undang-undang perlindungan anak, undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak secara khusus mengatur tentang perlindungan anak dapat mendorong terpenuhinya hak-hak

korban. Undang-undang tersebut memberikan titik terang bahwa anak perlu dilindungi.

Perwakilan Adanya undang-undang perlindungan anak sebenarnya memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk dapat

Divisi Anak menikmati perlindungan yang telah dijaminn dengan undang-undang.

BAPAS

Kepala PPT- Adanya dukungan dari pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana yanng

PKBGA dialami oleh perempuan dan anak.

Keluarga Adanya kepedulian dari pemerintah melalui lembaga PPT-PKBGA yang memeberi tahu keluarga korban mengenai

korban putusan yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa dan juga kepedulian untuk memberikan perlindungan kepada

korban untuk memulihkan trauma yang diderita baik fisik maupun psikis.

72
Sumber: Data diolah
73

Matriks 3. Faktor yang menghambat Perlindungan Korban Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Perbuatan Cabul

Secara Berlanjut (Studi Putusan Nomor 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

Responden Faktor penghambat

Hakim Yang menjadi penghambat dalam pemberian perlindungan adalah undang-undangnya sendiri. Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana yang merupakan pedoman hakim dalam menjalankan persidangan tidak mengatur mengenai

pemberian ganti rugi kepada korban. Sehingga hakim tidak bisa memberi penetapan pemberian ganti kerugian untuk

korban, karena hakim hanya menjalankan saja, KUHAP tidak memberikan kesempatan untuk hakim berkreasi.

Korban itu sendiri juga merupakan penghambat dalam arti banyak korban kejahatan yang masih tidak punya

kesadaran untuk melaporkan tindak pidana yang dialaminya, korban juga masih banyak yang tidak tahu mengenai

cara untuk meminta ganti rugi yang sebenarnya bisa diajukan melalui penggabunngan perkara yaitu secara

keperdataan namn digabung dengan pidana

Perwakilan Adanya ketidaktahuan korban mengenai adanya lembaga yang ada untuk memberikan perlindungan bagi korban.

Divisi Anank Kurangnya keberanian korban untuk meminta perlindungan kepada instansi yang ada. BAPAS sering kali dalam

BAPAS meminta keterangan korban melihat korban mengalami trauma namun korban takut untuk meminta perlindungan.

73
74

Belum efektifnya undang-undang nomor 11 tahun 2012 yang memberikan kewenangan kepada BAPAS untuk

mendampingi korban tindak pidana.

Kepala PPT- Dalam pemberian perlindungan terkadang terkendala oleh sumber daya manusia sendiri, jumlah aparat maupun

PKBGA pegawai yang mempunyai dedikasi tinggi untuk bergerak di bidang-bidang sosial masih jarang.

Kurangnya fasilitas yang memadai seperti sekarang ini PPT-PKBGA belum mempunyai kantor sendiri

Keluarga Tidak ada inisiatif dari keluarga terdakwa untuk memberikan ganti kerugian kepada korban maupun untuk meminta

Korban maaf. Keluarga korban juga terkendala biaya untuk transportasi mengurus hal-hal yang terkait dengan perkara ini

karena untuk sampai di Purwokerto dibutuhkan biaya yang tidaksedikit, dan ketidaktahuan keluarga korban mengenai

cara-cara meminta ganti tugi menurut hukum.

Sumber : Data Primer diolah

74
75

2) Data Sekunder

Hasil penelitian dari data sekunder berupa peraturan perundang-

undangan tentang perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi

korban tindak pidana. Perundang-undangan yang terkait antara lain:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

c. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

e. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

dan Korban;

f. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

g. Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/Pn.Pwt

B. PEMBAHASAN

1. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana

Membujuk Anak melakukan Perbuatan Cabul Secara Berlanjut pada

Perkara Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN. Pwt.

Untuk menjawab permasalahan di atas, penulis mendasarkan pada

hasil penelitian yang kemudian dihubungkan dengan landasan teori yang

sudah ada.

Perlindungan hukum secara gramatikal dibedakan menjadi kata

perlindungan dan hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata


76

perlindungan berasal dari kata dasar lindung yang mendapat awalan per-

dan akhiran –an yang memiliki makna:

a) Tempat berlindung

b) Hal (perbuatan dsb) melindungi.

Hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

1) Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang

dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;

2) Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan

hidup masyarakat;

3) Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya)

yang terentu;

4) Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di

pengadilan), vonis.

Pengertian perlindungan hukum ialah hal/perbuatan yang

melindungi secara hukum.

Bentuk perlindungan yang lazim diberikan kepada korban adalah:35

a. Pemberian restitusi dan kompensasi

Iswanto dan Angkasa dalam diktat kuliah viktimologi

menerangkan bahwa kompensasi dalam viktimologi adalah berkaitan

dengan keseimbangan korban akibat dari perbuatan jahat. Perbuatan

jahat tersebut merugikan korban, oleh karena itu dapat disebut

kompensasi atas kerugian baik fisik, moral maupun harta benda yang

35
Dikdik Arif Masyur dan Elisataris Gultom. Op. Cit., Hal. 166
77

diderita korban atas suatu tindak pidana. Kompensasi korban diminta

oleh korban atas dasar bentuk permohonan dan apabila dikabulkan

dibayar oleh masyarakat (negara). Restitusi dalam viktimologi adalah

berkaitan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian baik fisik,

moral maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas

serangan penjahat. Restitusi dituntut oleh korban agar diputus oleh

pengadilan dengan proses peradilan pidana dan apabila diterima

tuntutannya dibayar oleh penjahat atau pembuatnya.36

b. Konseling

Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban

sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifanya psikis dari

suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling

sangat cocok diberikan pada korban kejahatan yang menyisakan

trrauma berkepanjangan seperti kasus yang menyangkut kesusilaan.37

c. Pelayanan/bantuan medis

Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat

suatu tindak pidana. Dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan

tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan

hukum yang sama sengan alat bukti).38

36
Iswanto. Op.Cit., Hal. 37
37
Dikdik Arif Mansyur dan Elisatris Gultom. Op.cit., Hal. 171
38
Loc. Cit
78

d. Bantuan hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan

terhadap korban kejahatan.39

e. Pemberian informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan

dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang

dialami oleh koban.40

Dalam Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 tentang Perlindungan Anak yakni disebutkan bahwa:

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak


pidana sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Upaya rehabilitasi, baik di dalam lembaga maupun di luar
lembaga;
b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi
ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.

Bentuk perlindungan yang diberikan kepada korban pada perkara

dengan Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt adalah:

a. Upaya rehabilitasi, yakni adanya pemulihan trauma fisik maupun

psikis yang diberikan kepada korban melalui lembaga yang berada di

bawah Pemerintah Banyumas yakni Pusat Pelayanan Terpadu

Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender

dan Anak (PPT-PKBGA). Pemulihan trauma fisik dilakukan dengan

39
Loc. Cit
40
Loc. Cit
79

bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto, dalam perkara ini korban yang mengalami

luka-luka akibat penganiayaan yang dilakuan oleh Terdakwa, korban

mendapatkan perawatan selama tiga hari di Rumah Sakit Margono

secara cuma-cuma tanpa dipungut biaya apapun, karena dalam hal ini

seluruh biaya perawatan ditanggung oleh Pemerintah Daerah.

Pemulihan Psikis yang diterima oleh korban yakni setelah korban

mendapatkan perawatan di Rumah Sakit, korban tidak dibawa pulang,

namun korban dipulihkan terlebih dahulu trauma psikisnya di “Rumah

Aman” selama dua minggu. Rumah Aman merupakan sebuah istilah

yang diberikan untuk sebuah rumah yang khusus diperuntukan untuk

korban tindak pidana yang mengalami trauma psikis, keberadaan

rumah aman sendiri sangat dirahasikan kepada pihak umum hal ini

bertujuan agar korban tidak merasa terancam. Bahkan jika penyidik

memerlukan keterangan korban, penyidik tidak bisa langsung

menjemput korban, namun penyidik menghubungi pihak PPT-

PKBGA, kemudian pihak PPT-PKBGA yang menjemput korban dan

mendampingi korban selama korban memberikan keterangan kepada

pihak penyidik. Kegiatan yang dilakukan pada Rumah Aman

bertujuan untuk pemulian trauma psikis untuk mengembalikan rasa

percaya diri, rasa takut, dan menghilangkan trauma yang dialami

seperti konseling, bermain, mengaji dan kegiatan-kegiatan positif

lainnya. Dalam perkara dengan Putusan Nomor:


80

20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt korban mendapat pemulihan di Rumah

Aman selama 14 Hari. Lamanya waktu unuk mendapatkan pemulihan

di Rumah Aman tidak berpatok pada suatu peraturan melainkan

melihat apakah korban sudah pulih atau masih perlu ada pemulihan.

b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa

dan untuk menghindari labelisasi;

Dengan adanya Rumah Aman yang merupakan tempat khusus yang

diperuntukan bagi korban tindak pidana yang mengalami trauma

psikis, yang keberadaannya tidak diketahui oleh publik bertujuan

untuk mengamankan korban dari gangguan maupun ancaman dari

luar, baik dari media maupun dari pihak terdakwa, atau pihak-pihak

yang berkepentingan. Dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di

rumah aman yang akan memulihkan rasa percaya diri bagi korban

sedikit banyak akan berpengaruh terhadap tingkah laku korban,

maupun mental korban sehingga diharapkan korban akan dengan

mudah bersosialisai kembali dengan masyaratak lain sehingga

mengurangi resiko labelisasi yang sering dilakuakan oleh masyarakat.

Selain dengan ditempatkannya korban pada Rumah Aman, proses

persidangan juga dilakukan secara tertutup. Hal ini juga bertujuan

untuk melindungi korban dari pihak-pihak luar. Sehingga korban akan

merasa aman, dan keterangan yang diberikan dapat diceritakan secara

benar.
81

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik

fisik, mental, maupun sosial;

Dalam hal ini korban diberikan jaminan kesehatan secara fisik yakni

dengan dilakukannya perawatan pada rumah sakit Margono Soekardjo

Purwokerto selama tiga hari dan tanpa dipungut biaya. Sedangkan

jaminan keselamatan mental yakni dengan korban dirawat di rumah

aman yang merupakan tempat untuk memulihkan trauma yang dialami

oleh korban, korban dirawan hingga 14 hari, setelah korban pulih baru

dikembalikan kepada keluarganya. Sedangkan jaminan keselamatan

sosial yakni dengan diisolirnya terdakwa kedalam penjara secara tidak

langsung memberikan jaminan kepada korban bahwa korban akan

aman dari terdakwa hal ini juga akan menimbulkan dampak kepada

korban, yakni dengan adanya perasaan aman yang dirasakan oleh

korban karena terdakwa telah dipenjara.

d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara

Dengan pembacaan putusan yang dilakukan terbuka untuk umum,

secara langsung merupakan pemberitahuan kepada seluruh pihak

mengenai pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa. Korban

maupun keluarga mempunyai hak untuk hadir dalam agenda

pembacaan putusan agar mengetahui hukuman apa yang diberikan

kepada terdakwa. Selain sidang dilakukan secara terbuka untuk


82

umum, keluarga korban juga mendapatkan informasi melalui telepon

mengenai putusan hukum terhadap terdakwa.

Prinsip-prinsip dasar Convention on the Right of Child

Adopted and opened for signature, ratification by General

Assembly resulution 44/25 November 1989 yang diadopsi oleh

Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 2 menyebutkan bahwa:

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila


dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak
meliputi:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Pemberian perlindungan yang diberikan kepada korban tindak

pidana pada putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt sesuai dengan

prinsip-prinsip yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-undang

perlindungan anak. Pemberian perlindungan yang diberikan kepada korban

tindak pidana pada perkara putusan tersebut tanpa adanya diskriminasi.

Hakim pengadilan negeri tetap melangsungkan sidang secara tertutup

karena merupakan perkara kesusilaan tanpa memandang suku, agama, ras

dari korban. Pihak PPT-PKBGA tetap memberikan perndampingan yang

sama kepada korban tanpa ada diskriminasi. Siapapun itu jika anak dan

masih belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun maka akan mendapat

pendampingan dan juga pemulihan fisik maupun psikis. Dalam hal ini
83

Korban mendapat perlindungan berupa pemulihan trauma fisik maupun

trauma psikis, tanpa dipungut biaya karena ditanggung oleh pemerintah

daerah. Kepentingan yang terbaik bagi anak, adalah bahwa dalam semua

tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,

masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang

terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Pemerintah melalui

lembaga PPT-PKBGA menempatkan korban ke dalam Rumah Aman

selama dua minggu tanpa adanya pemberitahuan kepada aparat penegak

hukum lainnya, sehinngga apabila penegak hukum memerlukan korban

untuk memberikan keterangan, penegak hukum tersebut menghubungi

PPT-PKBGA selanjutnya pihak PPT-PKBGA yanng akan menjemput si

korban dan mendampingi korban selama korban dimintai keterangan.

2. Faktor yang mendorong dan menghambat pemberian perlindungan

hukum kepada korban tindak pidana membujuk anak melakukan

perbuatan cabul secara berlanjut pada perkara Putusan Nomor:

20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt

A. Faktor Pendorong

1. Peraturan Perundang-undangan

Adanya peraturan-peraturan yang secara khusus mengatur

mengenai pemberian perlindungan kepada korban akan

mendorong terpenuhinya hak-hak korban. Seperti adanya

Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, memberikan satu titik terang bahwa pada dasarnya anak


84

memang perlu dilindungi mengingat anak merupakan generasi

penerus bangsa.

2. Dukungan Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah berperan aktif dalam memberikan

partisipasi untuk melindungi korban. Hal ini dibuktikan dengan

adanya lembaga khusus yang berada dibabawah pemerintah

daerah dan menangani masalah perlindungan korban yakni

lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan

Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak

(PPT-PKBGA) yang bekerja sama dengan instansi seperti

kejaksaan, kepolisian, pengadilan, rumah sakit, pondok

pesantren dan dinas sosial guna menjamin pelayanan yang

maksimal untuk korban tindak pidana. Hal ini berdasarkan

dengan Surat Keputusan Bupati Banyumas Nomor 44 Tahun

2013 Tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Banyumas

Nomor 154 Tahun 2012 Tentang Tim Pusat Pelayanan Terpadu

dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak

Kabupaten Banyumas Periode 2012/2015.

B. Faktor Penghambat

1. Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di

Indonesia yang merupakan pedoman bagi hakim dalam menjalankan


85

sidang tidak memberikan pengaturan untuk hakim menetapkan upaya

ganti rugi baik kompensasi maupun rehabilitasi. Tidak ada satu

Pasalpun yang mengatur pemberian ganti kerugian terhadap korban,

karena hakim dalam menjalankan sidang harus tunduk dengan KUHAP

seperti disebutkan dalam Pasal 3 KUHAP bahwa peradian dilakukan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan pada

Pasal 3 KUHAP memberi batasan bahwa hakim tidak bisa berkreatif

untuk menetapkan suatu ganti kerugian bagi korban, sifat aktif hakim

hanya terbatas pada saat pemeriksaan saja, namun ketika harus

memutus hakim mendasarkan pada tuntutan penuntut umum. Adanya

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

selanjutnya disebut RUU KUHAP telah memberikan pengaturan ganti

kerugian terhadap korban yakni pada Pasal 133 dan 134. Pada Pasal

133 disebutkan bahwa:

Apabila Terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yang

menderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang dilakukan oleh

Terdakwa, hakim mengharuskan terpidana membayar ganti kerugian

kepada korban yang besarnya ditentukan dalam putusannya.

a) Apabila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang untuk
membayar ganti kerugian kepada korban.
b) Apabila terpidana berupaya menghindar untuk membayar kompensasi
kepada korban, terpidana tidak berhak mendapatkan pengurangan masa
pidana dan tidak mendapatkan pembebasan bersyarat.
c) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat khusus
berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti kerugian kepada
korban.
d) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan dan
pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
86

Pada Pasal 134 disebutkan bahwa Putusan mengenai ganti kerugian

dengan sendirinya memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila putusan

pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Adanya peraturan

mengenai pemberian ganti kerugian kepada korban memberikan titik

terang bagi hakim agar dapat menetapkan pemberian ganti kerugaian

kepada Korban, namun ini masih rancangan yang belum disahkan dengan

demikian hakim dalam menjalankan persidangan tetap mengacu pada

KUHAP yang didalamnya belum diatur pemberian ganti kerugian kepada

korban.

Adanya Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang belum berlaku secara efektif belum bisa

memberikan kesempatan kepada Balai Permasyarakatan (BAPAS) untuk

turut serta memberikan pendampingan kepada korban ketika persidangan.

2. Sumber Daya Manusia

Adanya keterbatasan Sumber Daya Manusia baik secara Kuantitas

maupun Kualitas menjadi faktor penghambat dalam pemberian

perlindungan bagi korban tindak pidana. Secara kuantitas jumlah aparat

maupun pegawai yang memiliki dedikasi tinggi untuk bergerak dibidang-

bidang sosial masih sangat jarang, sumber daya manusia yang memiliki

kualitas dalam hal pemenuhan kebutuhan korban dalam hal ini adalah yang

berada dibawah umur juga masih sangat terbatas seperti misalnya terkait

dengan perkara-perkara yang berkenaan dengan kesusilaan dibutuhkan

orang-orang yang memiliki kemampuan khusus untuk memulihkan trauma

yang dialami oleh korban dengan kata lain psikiater atau psikolog.
87

Tentunya aparat penegak hukum seperti polisi, penuntut umum, maupun

jaksa juga harus menguasai ilmu psikiater agar dalam memberikan

keterangan dapat mengetahui bagaimana kondisi kejiwaan dari si korban.

3. Kesadaran Korban

Tingkat kesadaran korban untuk melaporkan peristiwa pidana yang

dialami masih sangat rendah khususnya yang berkaitan dengan kesusilaan.

Hal ini dikarenakan umumnya korban adalah anak-anak dan perempuan

yang biasanya merasa enggan, malu ataupun takut untuk melapor,

keengganan korban merasa takut untuk melapor karena sering ada

ancaman-ancaman dan adanya anggapan bahwa apabila melapor akan

menimbulkan aib bagi keluarga. Ketidaktahuan korban untuk melapor juga

merupakan penghambat pemberian perlindungan, seringkali korban tindak

pidana tidak mengetahui kemana harus meminta perlindungan.

Ketidaktahuan ini disebabkan kebanyakan yang menjadi korban adalah

yang masih tinggal di pedesaan dan berasal dari ekonomi lemah, sehingga

sering kali tidak mengetahui kemana harus meminta perlindungan.

4. Kurangnya fasilitas

Kurang tersedianya fasilitas-fasilitas menjadi salah satu faktor

penghambat dalam pemberian perlindungan seperti kondisi maupun

suasana di dalam ruang pelayanan yang tertutup, dari pengamatan penulis

baik dalam unit PPA di Kepolisian maupun kantor PPT-PKBGA tidak ada

ruangan khusus untuk konsultasi sehingga korban dalam memberikan

keterangan atau menceritakan sesuatu yang telah menimpanya dapat

didengar oleh seluruh orang yang berada diruangan itu, hal ini dapat
88

membuat korban dalam memberikan keterangan merasa malu sehingga

keterangan yang diberikan kurang lengkap. Perlunya suatu ruangan yang

familiar, nyaman dan terpisah akan memberikan dampak yang lebih baik

terhadap korban dalam memberikan ketrangannya karena korban akan

merasa lebih nyaman.

Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan mengenai

perlindungan korban tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan

cabul secara berlanjut pada Putusan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN. Pwt,

korban tindak pidana yang terkait dengan kejahatan kesusilaan khususnya

korban yang masih dibawah umur memperoleh perlindungan berupa

pendampingan, konseling serta rehabilitasi yakni pemulihan fisik maupun

pemulihan psikis. Dengan adanya pemberian perlindungan kepada korban

tindak pidana maka korban tersebut, diharapkan tidak mengalami

gangguan secara psikis seperti rasa malu, rasa takut, tidak percaya diri

untuk kembali menjalani hidup bermasyarakat. Instansi yang memberikan

perlindungan kepada korban tindak pidana dalam perkara Putusan Nomor:

20/Pid.Sus/2012/PN. Pwt antara lain adalah Pengadilan Negeri, Pusat

Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan

Berbasis Gender dan Anak Kabupaten Banyumas dengan adanya

perlindungan yang diberikan kepada korban oleh instansi tersebut, baik

perlindungan langsung maupun perlindungan tidak langsung mendukung

pemulihan korban baik fisik maupun psikis selain itu dengan adanya

perlindunga yang diberikan kepada korban akan menambah kepercayaan

masyarakat terhadap instansi-instansi, secara tidak langsung dengan

adanya perlindungan tersebut membuat masyarakat merasa tenang.


89

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Membujuk

Anak melakukan Perbuatan Cabul Secara Berlanjut pada Perkara Nomor

20/Pid.Sus/2012/PN. Pwt telah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku yakni sesuai dengan Pasal 64 ayat (3) Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adanya upaya

rehabilitasi, yakni pemulihan trauma fisik dan pemulihan trauma psikis.

Selain itu ketika proses persidangan hakim menutup sidang karena sidang

kesusilaan hal ini secara tidak langsung memberikan perlindungan

terhadap korban selain sidang tertutup hakim juga memberikan

perlindungan dengan “mengisolir” terdakwa ke dalam penjara selama

tujuh tahun melalui putusannya.

2. Faktor yang mendorong dan menghambat pemberian perlindungan hukum

kepada korban tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul

secara berlanjut pada perkara Putusan Nomor 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt

yang menjadi faktor pendorong dalam pemberian perlindungan terhadap

korban dalam perkara ini adalah Peraturan Perundang-undangan yang

mengatur secara khusus mengenai perlindungan anak yakni Undang-

undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, adanya


90

dukungan Pemerintah Daerah dalam permberian perlindungan terhadap

korban tindak pidana khususnya perempuan dan anak yakni dengan

dibentuknya lembaga PPT-PKBGA. Sedangkan Faktor Penghambat dalam

pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana membujuk anak

melakukan perbuatan cabul secara berlanjut antara lain, Peraturan

perundang-undangan yakni Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

yang berlaku di Indonesia tidak mengatur mengenai pemberian

perlindungan kepada korban tindak pidana sehingga hakim tidak bisa

memberikan penetapan mengenai ganti kerugian kepada korban, belum

efektifnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak sehingga Balai Permasyarakatan tidak bisa memberikan

perlindungan pada korban Tindak Pidana, Sumber Daya Manusia yakni

jumlah aparat yang mempunyai dedikasi tinggi untuk bergerak dibidang

sosial masih jarang dan aparat penegak hukum kurang menguasai ilmu

psikiater yang bisa dijadikan acuan dalam meminta keterangan korban

tindak pidana, Kesadaran Korban untuk melapor apa yang telah dialami

masih sangat rendah khususnya jika terkait dengan masalah kesusilaan

selain hal tersebut korban tindak pidana tidak mengetahui cara pengajuan

ganti kerugian, Kurangnya fasilitas yang ada dalam lembaga-lembaga

perlindungan seperti dalam Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan dan

Penanganan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA)

dan unit Perlindungan Perempuan dan Anak tidak ada ruangan khusus

yang disediakan untuk meminta keterangan dari korban.


91

B. Saran

Berdasarkan simpulan tersebut maka dapat diberikan beberapa saran

sebagai rekomendasi terhadap pihak-pihak yang terkait dengan perlindungan

terhadap anak korban tindak pidana membujuk anak melakukan pencabulan,

yakni:

1. Pemerintah

Pemerintah pusat supaya segera mengesahkan rancangan Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana agar hakim bisa menjatuhkan atau

memberikan penetapan ganti kerugian, karena hakim hanya menjalankan

tugas dan fungsinya sesuai dengan hukum formilnya yakni berdasarkan

KUHAP.

Alangkah lebih baiknya jika lembaga PPT-PKBGA mempunyai

gedung atau tempat yang lebih memadai dan dapat terlihat oleh umum, hal

ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mencari perlindungan

selain itu perlu adanya sosialisi dari berbagai pihak mengenai keberadaan

lembaga-lembaga yang dapat memberikan perlindungan kepada

masyarakat khususnya yang menjadi korban tindak pidana kekerasan baik

itu anak maupun perempuan.

2. Instrumen Penegak Hukum

Polisi, Jaksa maupun Hakim perlu dibekali dengan pengetahuan

mengenai ilmu psikiater sehingga lebih bisa memahami kondisi kejiwaan

si korban itu sendiri.

3. Masyarakat

Masyarakat sebaiknya lebih meningkatkan kesadaran untuk segera

melaporkan suatu tindak pidana karena dengan adanya partisipasi dari


92

masyarakat sendiri akan lebih memudahkan dalam pemberian

perlindungaan.

4. Keluarga

Alangkah lebih baik jika keluarga sebagai suatu unit terkecil dalam

masyarakat membekali anggota keluarga terutama yang masih anak-anak

dengan pengetahuan keagamaan, pengetahuan mengenai seks, serta

memberikan perhatian dan kasih sayang agar anaknya tidak terjerumus

dengan perbuatan-perbuatan yang salah seperti pergaulan bebas dan seks

bebas.
93

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur
Adi, Riyanto. 2005. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.

Bemmelen, Van. 1987. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum.
Bandung: Binacipta

Chazawi, Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Effendi, Yazid.2001. Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku


Kejahatan. Puwokerto: Penerbit Universitas Jenderal Soedirman

Hanitijo Soemitro, Ronny. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentasi.


Jakarta: PT.Ghalia Indonesia.

Iswanto dan Angkasa. 2011. Diktat kuliah Victimologi. Purwokerto: Fakultas


Hukum Unsoed.

Lamintang, P.A.F dan Samosir Djisman. 1977. Dasar-dasar Hukum Pidana


Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti

M.Arif Mansyur, Dikdik dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi perlindungan


korban kejahatan antara norma dan realita. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.

Muhadjir, Noeng .1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogjakarta: Rake Sarasin.

Muladi Dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:
PT Alumni.

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka

Sugiono. 2008. Memahami penilitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Wirjono Prodjodikoro. 1981. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung:


PT. Eresco Jakarta.
94

Perundang-undangan:

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan


Korban.

Konvensi Internasional:

Convention on the Rights of the Child Adopted and opened for signature,
ratification and accession by General Assembly resolution 44/25 of 20
November 1989

United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile


Justice “Beijing Rules”

Yurisprudensi:

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dengan Nomor: 20/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

Sumber lain:

Bedi Setiawan Al Fahmi, Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam


Proses Peradilan Pidana Perspektif Pembaharuan Hukum Acara Pidana
Indonesia, 2011. Tersedia: http://www.hukum berbicara.com (diakses
tanggal 9 juli 2012).

http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/04/pengertian-tindak-pidana-
kesusilaan.html (diakses tanggal 20 November 2012)

www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/definisi.htm (diakses tanggal 2


Desember 2012)

Anda mungkin juga menyukai