Anda di halaman 1dari 28

PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN OLEH

ANAK DENGAN DIVERSI (STUDI KASUS LEMBAGA SWADAYA


MASYARAKAT SAPMA PEMUDA PANCASILA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Hukum


Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Disusun Oleh:

MARSEKAL WANGTA CAHYADI ALAM

02011281722119

Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya

PALEMBANG

2023
NAMA : MARSEKAL WANGTA CAHYADI ALAM

NIM : 02011281722119

PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PIDANA

JUDUL

PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN OLEH


ANAK DENGAN DIVERSI (STUDI KASUS LEMBAGA SWADAYA
MASYARAKAT SAPMA PEMUDA PANCASILA

Secara Substansi Telah Disetujui untuk Mengikuti Ujian seminar proposal

Palembang, 2023

Disetujui Oleh :

Pembimbing Utama Pembimbing Pembantu

Rd.Muhammad Ikhsan S.H.,M.H. Neisa Angrum Adisti S.H.,M.H.


NIP. 196802211995121001 NIP. 198812032011012008

Mengetahui

Ketua Bagian Hukum Pidana

Rd.Muhammad Ikhsan S.H.,M.H.

NIP. 196802211995121001
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 13
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian......................................................................................... 14
E. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 15
F. Kerangka Teori.............................................................................................. 15
1. Teori Pertimbangan Hakim............................................................................ 15
2. Teori Pembuktian .......................................................................................... 18
3. Teori Kepastian Hukum................................................................................. 27
G. Metode Penelitian.......................................................................................... 30
1. Jenis Penelitian............................................................................................... 30
2. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 31
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .................................................................. 32
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum............................................................. 34
5. Analisis Bahan Hukum................................................................................... 34
6. Penarikan Kesimpulan.................................................................................... 34
H. Sistematika Penulisan ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana pada saat ini sangat beragam motifnya seperti kekerasan fisik

atau penganiayaan, kekerasan terhadap psikis, dan masih banyak lagi motif tindak

pidana yang lainnya. Tindak pidana dapat dikatakan sebagai bentuk tingkah laku

seseorang yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum dan norma-norma hukum

yang berlaku di dalam masyarakat. Belakangan ini tindak pidana bisa terjadi

terhadap setiap kalangan baik dewasa maupun anakanak, terlebih terhadap anak-

anak sangat riskan karena anak merupakan generasi penerus bangsa yang

membutuhkan perlindungan hukum khusus yang berbeda dari orang dewasa,

dikarenakan alasan fisik dan mental anak yang belum dewasa dan matang.1

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, tidak menutup kemungkinan bahkan

sudah menjadi hal yang biasa apabila anak-anak melakukan tindak pidana.

Kenakalan anak sering disebut dengan junevile deliquency, yang diartikan dengan

anak cacat sosial.2 Banyaknya kasus tindak pidana yang melibatkan anak di

bawah umur, seperti kasus perkelahian dan minumminumann keras, kasus

pencurian, perusakan, penghinaan, kekerasaan pengeroyokan disebabkan karena

pada masa ini seorang anak berada dalam transisi perubahan, sehingga

menyebabkan emosi yang tak terkontrol.


1
Akala Fikta Jaya, “Penegakan Hukum Pidana terhadap Anak yang Terjerat Perkara
Pidana melalui Diversi (Studi Di Polrestabes Medan)” Journal of Education, Humaniora and
Social Sciences (JEHSS) (Agustus,2020) Vol 3, No. 1, hlm. 79
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,2014), hlm. 67
Salah satu tindak pidana yang perlu diperhatikan secara khusus pada saat ini

adalah kasus pengeroyokan dan penganiayaan yang dilakukan oleh anak anak

yang tergolong masih muda. Seperti yang terjadi pada bulan Maret tahun 2022

telah terjadi kasus pengeroyokan yang terjadi di depan rumah makan Pesta Perak

jalan Pangeran Antasari Lrg. Terusan Darat Kel.14 Ilir Kec. Ilir Timur I,

Palembang yang dilakukan oleh 5 orang anak dan 1 Tertangkap. Pengeroyokan

tersebut terjadi karena korban yang tidak sengaja menumbur salah satu teman

terdakwa mengabarkan bahwa telah terjadi penabrakan oleh korban, dan Teman

terdakwa yang merasa temannya butuh bantuan mengabarkan akan menyusul ke

tempat dan menunggu korban melewati jalan yang sudah diketahui sebagai jalan

pulang korban, Salah satu terdawa menyiapkan senjata untuk nantinya digunakan

melukai korban, setelah bertemu korban, Ke 5 Terdakwa tadi lansung

mengeroyok korban menggunakan pedang yang dibawa oleh salah satu terdakwa

hingga menyebabkan salah satu jari terdakwa hingga putus dan beberapa luka

dalam lainnya akibat pengeroyokan tersebut, dan kasus ini tidak dapat

diselesaikan dengan diversi lantaran dalam proses diversi ada syarat-syarat yag

belum dapat terpenuhi.3

Agar pertumbuhan psikis anak yang pernah melakukan suatu tindak pidana

dapat berlangsung dengan baik, maka dalam Undang Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak mengenal adanya Keadilan Restoratif dan diversi yang

dapat meringankan hukuman bagi pidana anak.4 Keadilan restoratif adalah

3
Pengadilan Negeri Palembang, Putusan No. 1065/Pid.B/2022/PN.Plg, hlm.3
4
Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, (Bandung: PT. Alumni,
2014), hlm. 113
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan

semula, bukan pembalasan5 Sedangkan yang dimaksud diversi adalah pengalihan

penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan

pidana, dengan adanya tindakan diversi ini, maka diharapkan akan mengurangi

dampak negatif akibat keterlibatan anak dalam proses pengadilan tersebut.6

Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

memberikan definisi anak ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk

anak yang masih di dalam kandungan. Anak juga wajib diberikan perlindungan

agar dapat menjamin serta melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.7 Peraturan perundang-undangan di Indonesia, anak memiliki batasan

usia yang berbeda-beda. Sebagai contoh Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dalam pasal 47 menyatakan bahwa anak adalah setiap orang

yang belum berusia 18 tahun.8 Merurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak ialah seseorang yang

belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Hal ini

menunjukan bahwa setiap orang termasuk anak juga diatur secara jelas dalam

5
M. Nasir Djamil. Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sisitem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), hlm. 26.
6
Lilik Mulyadi, loc.cit
7
Undang Undang Nomor 35 Tahun Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
LN.2014/No. 297, TLN No. 5606, LL SETNEG: 48 HLM
8
M. Nasir Djamil. Op.cit hlm. 34
perundang-undangan yang berlaku Seorang anak dalam melakukan suatu

kejahatan sebenarnya terlalu ekstrim apabila disebut sebagai tindak pidana. 9

Hal ini dikarenakan anak dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang labil,

proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, serta agresif yang dapat

mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum bisa dikatakan sebagai kejahatan

melainkan sebuah kenakalan. Karena anak belum sadar sepenuhnya dalam

bertindak dan kondisi psikologis yang tidak seimbang. 10 Pada kasus ini, anak

belum sadar sepenuhnya dalam melakukan suatu tindakan, oleh karenanya

penanganan terhadap tindak pidana anak berbeda dengan tindak pidana dewasa.

Secara paradigma model penanganan pidana anak yang berlaku menurut Undang

Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah sama

sebagaimana penanganan kejahatan orang dewasa, dengan model retributive

justice, yaitu penghukuman sebagai pilihan utama atau sebagai pembalasan atas

suatu tindak pidana. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini dianggap tidak

sesuai karena dinilai belum memberikan perlindungan kepada anak yang

berhadapan dengan hukum.11 Karena penanganan kejahatan anak tentunya

berbeda dengan yang dilakukan oleh orang dewasa karena dalam hal ini anak

masih sangat rentan baik secara fisik dan psikisnya 12 Proses peradilan pidana anak

menimbulkan efek negatif yaitu dapat berupa penderitaan fisik dan emosional

seperti ketakutan, kegelisahan,dan lainnya. Begitu juga efek negatif adanya

9
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 9
10
Nasir Djamil, Loc.cit
11
Ibid, hlm.35
12
Kartini, Kartono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
67
putusan hakim pemidanaan terhadap anak maka stigma yang berkelanjutan, rasa

bersalah pada diri anak dan sampai pada kemarahan dari pihak keluarga13

Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan

setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut

meminta.14 Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on

the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga

dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(selanjutnya disingkat UU SPPA) yang kesemuanya mengemukakan prinsip-

prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik

bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang serta menghargai partisipasi

anak. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 juga

mengatur jelas hak-hak anak yang salah satunya adalah berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.15

13
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 3.
14
Nashriana, Perlindungan hukum bagi anak di Indonesia, (Jakarta: Raja grafindo
Persada, 2011), hlm.13
15
Tim Pustaka Setia, Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen Keempat Tahun
2002, (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2005), hlm.23
Prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang

mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan

hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan terhadap

anak, termasuk terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu,

maka diperlukan suatu sistem peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat

proses penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional.

Muncul suatu pemikiran atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan

atau biasa disebut Diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk

menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan

rawan terjadi pelanggaran- pelanggaran terhadap hak anak. Hal inilah yang

mendorong ide Diversi khususnya melalui konsep Restoratif Justice menjadi

suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana

yang dilakukan oleh anak.16

Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan

hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap

anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan

anak. Perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan

tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai

pelaku, namun mencakup juga anak sebagai korban dan saksi. Aparat penegak

hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang

16
Sigit Angger Pramukti & Primarharsya Fuadi, Sistem Peradilan Pidana Anak,
(Yogyakarta: Madpress 2002), hlm.38
berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian dari

pada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan atau mulai berlaku pada

tanggal 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak).17

Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan

formal dengan memasukan anak kedalam penjara ternyata tidak berhasil

memberikan efek jera dan tidak tentu menjadikan pribadi anak lebih baik untuk

proses tumbuh kembangnya. Penjara justru sering kali membuat anak semakin

profesional dalam melakukan tindak pidana, oleh karena itu negara harus

memberikan perlindungan terhadap anak apabila anak tersebut menjadi pelaku

tindak pidana. Perlindungan anak ini dapat dilakukan dari segala aspek, mulai dari

pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak, sampai

penanganan yang tepat melalui peraturan-peraturan yang baik. Oleh karena itu

terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana sangat tepat jika diterapkan

Restorative Justice terhadap penyelesaiannya, karena lebih menitik beratkan pada

kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban, dengan

mengedepankan proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas

penyelesaiaan perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak pelaku dan

korban.18

17
Ridwan Mansyur, “Keadilan Restoratif sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi pada
Sistem Peradilan Pidana Anak”, Law Enforcement & Justice Magazine REQUISITOIRE, Vol.
3:9, 2014, hlm. 58
18
Ibid, hlm.59
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, di dalam anak melakukan perbuatan pidana wajib mengutamakan

pendekatan Restorative Justice. Kepentingan seorang anaklah yang menjadi faktor

penting yang harus didahulukan, maka dari itu terhadap seorang anak wajib

menggunakan pendekatan Restorative Justice karena sanksi pidana dalam hal

seorang anak melakukan tindak pidana merupakan upaya terakhir (Ultimum

Remedium) apabila pendekatan Restorative Justice ini tidak dapat memberikan

hasil, tetapi Dalam prakteknya, kasus yang terkait dengan perbuatan pidana anak

masih belum begitu menerapkan diversi dalam penyelesaian tindak pidana yang

dilakukan oleh anak. Dikarenakan praktek restorative justice yang kurang begitu

maksimal dalam penerapan di setiap tingkatan, baik dalam kepolisian maupun

pengadilan, yang membuat masih banyaknya anak di bawah umur yang harus

dihukum penjara badan, sehingga dikhawatirkan hal seperti ini akan terus

berulang karena diversi belum begitu maksimal dilakukan.

Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengkaji

lebih jauh bagaimana penyelesaian kasus Anak yang berhadapan dengan hukum

menggunakan pendekatan restorative justice berjudul “PENYELESAIAN

KASUS TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN OLEH ANAK DENGAN

DIVERSI (STUDI KASUS LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT

SAPMA PEMUDA PANCASILA)”


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Apakah penerapan diversi terhadap tindak pidana anak di Indonesia sudah

sesuai dengan sistem peradilan pidana di Indonesia ?

2. Bagaimana prosedur penyelesaian kasus tindak pidana pengeroyokan

yang dilakukan oleh anak dengan Restorative Justice ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini, sebagai

berikut :

1. Mengetahui bagaimana penerapan diversi pada tindak pidana anak dalam

prakteknya di Indonesia

2. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana mekanisme penyelesaian

kasus tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan oleh anak dengan

Restorative Justice.

D. Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat yang diharapkan dalam penulisian skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoritis
Dalam penulisan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai

penambah ilmu penegetahuan maupun masukan terhadap pemahaman

masyarakat yakni memberikan informasi mengenai bagaimana sistem

penyelesaian pidana melalui diversi yang dilakukan oleh anak menurut

hukum yang berlaku sampai saat ini, serta memberikan penjelasan akibat

hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini memberi manfaat positif bagi para

pembaca, terutama dalam bidang penyelesaian tindak pidana yang

dilakukan anak, serta dapat digunakan sebagai acuan atau perbandingan

bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini akan memfokuskan pada ruang lingkup sebatas pada tindak

pidana

anak yang dikenakan diversi, yaitu anak yang telah berumur 12 tahun tetapi

belum berusia 18 tahun yang saat ini dikenakan penyelesaian tindak pidana

melalui diversi seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (7) Undang Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi

diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan

pidana

ke proses di luar peradilan pidana yaitu lembaga swadaya masyarakat.

F. Kerangka Teori

1. Teori Diversi
Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaiaan kasus-kasus anak dari proses

pidana formal ke penyelesaiaan damai antara antara tersangka/terdakwa/pelaku

tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat

pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim. 19 Pasal 1 butir 7

menjelaskan bahwa diversi adalah pengalihan perkara anak dari proses peradilan

pidana ke proses diluar peradilan pidana. Oleh karena itu, setiap anak yang

berhadapan dengan hukum tidak selalu harus diselesaikan secara formal melalui

pengadilan, terhadap seorang anak yang melakukan perbuatan melawan hukum

dapat diselesaikan dengan jalan Restorative Justice, mengingat kepentingan

seorang anaklah yang menjadi tujuan utama, Di dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa

diversi hanya dapat diterapkan terhadap seorang anak yang melakukan tindak

pidana dan sanksi yang diancam tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun dan perbuatan

yang dilakukan anak tersebut bukan merupakan suatu pengulangan.20

Pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi antara lain:21

1) Mencapai perdamaiaan antara korban dan anak;

2) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

3) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

4) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

5) Menanamkan rasa tanggung jawab terhadap anak.

19
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2014) hlm. 137
20
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak N.2012/No.
153, TLN No. 5332, LL SETNEG: 48 HLM
21
Ibid
Tujuan dari diversi adalah untuk mengembalikan kepada keadaan semula dengan cara

bermusyawarah antara para-pihak yang bersengketa maupun tidak. Diversi merupakan

wujud dari implementasi Restorative Justice. Setelah adanya Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Nomor 11 Tahun 2012, setiap penegak hukum baik dalam

tahapan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan wajib menerapkan adanya

diversi. Proses diversi yang wajib di perhatikan yaitu :22

1) Kepentingan korban;

2) Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

3) Menghindarkan stagma negatif;

4) Menghindarkan pembalasan;

5) Keharmonisan masyarakat;

6) Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam melaksanaakan atau menerapkan tujuan dari diversi haruslah penegak

hukum mempertimbankan kategori tindak pidananya, umur anak tersebut, dan

hasil penelitian ke BAPAS.

2. Teori Pemidaan

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada umumnya. Hukum

pidana ada untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan kejahatan.

Berbicara mengenai hukum pidana tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan

pemidanaan. Arti kata pidana pada umumnya adalah hukum sedangkan pemidanaan

diartikan sebagai penghukuman.

Moeljatno membedakan istilah pidana dan hukuman. Beliau tidak setuju terhadap

istilah-istilah konvensional yang menentukan bahwa istilah hukuman berasal dari kata
22
Ibid
straf dan istilah dihukum berasal dari perkataan word gestraft. Beliau menggunakan

istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk kata straf dan diancam dengan pidana

untuk kata word gestraft. Hal ini disebabkan apabila kata straf diartikan hukuman, maka

kata straf recht berarti hukum-hukuman. Menurut Moeljatno, dihukum berarti diterapi

hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana. Hukuman adalah hasil atau akibat

dari penerapan hukum tadi yang mempunyai arti lebih luas, sebab dalam hal ini tercakup

juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.23

Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana hal tersebut dikatakan

demikian karena pemidanaan merupakan puncak dari seluruh proses

mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. ”A

criminal law without sentencing would morely be a declaratory system pronouncing

people guilty without any formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana

tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti

terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses

pelalsanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ”dapat dicela”, maka di sini

pemidanaan merupakan ”perwujudan dari celaan” tersebut.24

Sedangkan W.A. Bonger menyatakan bahwa pemidanaan adalah sebagai

berikut :25

“Menghukum adalah mengenakan penderitaan. Menghukum sama artinya dengan


“celaan kesusilaan” yang timbul terhadap tindak pidana itu, yang juga merupakan
penderitaan. Hukuman pada hakikatnya merupakan perbuatan yang dilakukan
23
Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, Jakarta, 1985), hlm. 40
24
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm.
125
25
oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dengan sadar. Hukuman tidak keluar dari
satu atau beberapa orang, tapi harus suatu kelompok, suatu kolektivitas yang
berbuat dengan sadar dan menurut perhitungan akal. Jasi “unsur pokok” baru
hukuman , ialah “tentangan yang dinyatakan oleh kolektivitas dengan sadar”.

Pemidanaan merupakan suatu tindakan terhadap seseorang yang melakukan

tindak pidana, dapat dibenarkan secara normal bukan karena pemidanaan itu

mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si pelaku pidana, korban atau

masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana

dijatuhkan bukan karena seseorang telah berbuat jahat tetapi pidana dijatuhkan

agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut untuk

melakukan kejahatan. Pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai

upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seseorang yang

melakukan tindak pidana sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya

kejahatan serupa.

M. Sholehuddin menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus sesuai dengan

politik hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat

dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dengan

memperhatikan kepentingan negara, masyarakat, korban, dan pelaku. M.

Sholehuddin mengemukakan sifat-sifat dari unsur pidana berdasarkan atas tujuan

pemidanaan tersebut, yaitu:26

a. Kemanusiaan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi

harkat dan martabat seseorang.

26
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Doble Track System
& Implementasinya, (Jakarta:Rajawali Pers, 2004), hlm. 59.
b. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang

sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia

mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha

penanggulangan kejahatan.

c. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik

oleh terhukum maupun oleh korban ataupun masyarakat).

3. Teori Tindak Pidana Anak

Istilah tindak pidana adalah istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda

sebagai Strafbaarfeit. Dalam peraturan perundangundangan Indonesia tidak

ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama

ini merupakan kreasi para ahli ilmu hukum. Para ahli hukum pidana umumnya

masih merumuskan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana.

Demikian pula dengan apa yang didefinisikan Simons dan Van Hamel. Dua ahli

hukum pidana Belanda tersebut, pandangan-pandangannya mewarnai pendapat

para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia hingga saat ini. 27 Simons

mengatakan bahwa Strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan

pidana, bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.28

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung

makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur,

yaitu :

27
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.25
28
Ibid, hlm.26
a. adanya perbuatan manusia;

b. perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;

c. adanya kesalahan;

d. orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.29

Batasan-batasan tersebut belum berarti sama dengan batas usia pemidanaan

anak. apalagi dalam KUHPidana ditegaskan bahwa seseorang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya diisyaratkan adanya kesadaran diri

yang bersangkutan. Ia harus mengetahui perbuatan itu terlarang menurut hukum

yang berlaku, sedangkan predikat anak disini menggambarkan usia tertentu,

dimana ia belum mampu dikatagorikan orang dewasa yang karakteristiknya

memiliki cara berpikir normal akibat dari kehidupan rohani yang sempurna,

pribadi yang mantap menampakkan rasa tanggung jawab sehingga dapat

mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dipilihnya karena ia berada

pada posisi dewasa.30

Tetapi Anak dalam hal ini adalah anak yang dikenal dengan istilah juvenille

delinquent, memiliki kejiwaan yang labil, kritis, agresif dan menunjukkan

kebengalan yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini

tidak bisa dikatakan sebagai psikologis yang tidak seimbang, di samping itu

pelakunya pun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakannya

merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang

lain sebagai apa yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan (KUHPidana)

29
Ibid
30
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung, PT. Refika Aditama,
2017), hlm.12
yaitu menyadari akibat dari perbuatannya dan pelakukan mampu

bertanggungjawab.31

Berdasarkan Pasal 1 UU SPPA, yang dimaksud dengan Anak yang Berhadapan

dengan Hukum adalah :32

- anak yang berkonflik dengan hukum, adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan tindak pidana.

- anak yang menjadi korban tindak pidana, adalah anak yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana

- dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. anak yang belum berumur 18

(delapan

belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

31
Ibid
32
Ibid, hlm.16
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian data

yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Penelitian

normatif dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum

sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta

bagaimana baiknya peristiwa itu menurut hukum.33 Jenis penelitian dalam

penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Menurut

Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan

bahwa penelitian hukum doktrinal adalah sebagai berikut : “doctrinal research:

research wich provides a systematic exposition of the rules goverming a

particular legal kategory, analyses the relationship between rules, explain areas

of difficullty and, perhaps, predicts future development.” (Penelitian doktrinal

adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur

suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan

menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa

depan).34

Penelitian hukum normatif yang nama lainnya adalah penelitian hukum

doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen

karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan

yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.35

2. Pendekatan Penelitian

33
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) hlm. 153
34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), hlm.35

35
Soerjono Soekanto Dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Cetakan ke-8, PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 13
Dalam penelitian hukum kita dapat menemukan berbagai macam

pendekatan yang dapat kita pergunakan untuk membantu mengelola dan

menafsirkan bahan hukum. Namun dalam studi ini pendekatan yang dipergunakan

adalah :

a. Pendekatan Undang Undang (Statue Apporach)

Pendekatan perundang-undangan. Penulisan hukum ini dimaksudkan untuk

memahami sekaligus menganalisis secara komprehensif hirarki peraturan

perundang-undangan dan asas-asas dalam peraturan perundang- undangan.

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah

semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani.36

b. Pendekatan kasus (case approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-

kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Kasus itu dapat berupa

kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain.37

3. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sumbersumber data

sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau

36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), hlm 133
37
Ibid
penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan

masalah atau materi penelitianyang sering disebut sebagai bahan hukum. Data

sekunder diperoleh dari 2 (dua) bahan hukum, baik bahan hukum sekunder

maupun primer

a. Bahan Hukum Primer

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak;

4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan Hukum Sekunder

1) Buku-buku yang membahas tentang Restorative Justice

2) Skripsi, Tesis, Jurnal dan Disertasi Hukum.38

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakan

atau disebut dengan penelitan normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan

nama bahan acuan dalam bidang hukum atau rujukan bidang hukum.39

Metode library research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan- bahan

tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan
38
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), hlm.196
39
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 119
beberapa buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarja hukum yang

sudah mempunyai nama besar dibidangnya, koran dan majalah.40

5. Analisis Bahan Hukum

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diaturkan,

kemudian diorganisir dalam suatu satu pola, kategori dan uraian dasar. Analisis

data dan skripsi ini adalah analisis dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis secra

lengkap dan komperhensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga

dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. 41 Data

kemudian di analisis dengan metode induktif, yaitu suatu cara berpikir yang

didasarkan pada fakta fakta yang bersifat umum dilanjutkan dengan penarikan

kesimpulan yang berubah menjadi bersifat khusus untuk nantinya diajukan saran

saran, serta data data itu nantinya akan disampaikan dengan gaya Bahasa penulis

sendiri sehingga mudah untuk dimengerti dan juga nantinya akan menjawab

permasalahan permasalahan pada bab bab selanjutnya.42

6. Teknik Penarikan Kesimpulan

Teknink penarikan kesimpulan dalam penulisan Penelitian ini untuk

memberikan Pemikiran yang secara dedukatif mampu memberikan penjelasan

dari permasalahan yang telah dirumuskan dari pembahasan yang terlihat umum

menjadi pembahasan yang khusus, dengan demikian pada kesimpulan penulisan

skrispsi ini akan memberikan kejesalan bagaimana penyelesaian dari

40
Ibid
41
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian hukum dan jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm. 93
42
Ibid
permasalaham yang menjadi persoalan masyarakat yang diwakilkan dalam

penelitian ini.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memperoleh pembahasan dalam penelitian yang lebih terarah dan

sistematis, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis akan mengemukakan secara garis besar latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, ruang lingkup

penulisan, kerangka teori, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan mengulas tinjauan pustaka mengenai penjelasan secara

spesifik penjelasan bagaimana penegakan hukum terkait penyalahgunaan ITE

yang berhubungan dengan tindak pidana asusila pornografi yang terjadi pada

bidang teknologi, serta Bagaimana Pihak yang berwenang menanggulangi

permasalahan terkait penyelahgunaan teknologi di masa modern seperti sekarang

ini.

BAB III PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan mengemukakan pembahasan mengenai dan

menjelaskan bagaimana pembahasan terkait rumusan masalah yang sudah peneliti

sampaikan terkait bagaimana Pihak berwenang seperti kepolisian,kejaksaan dan


pihak kehakiman menegakkan dan menyelenggarakan Hukum terhadap tindak

pidana pornografi melalui media .

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran yang membangun

mengenai topik permasalahan pada skripsi yang akan berguna bagi pembaca

maupun penulis sendiri.

DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

BUKU

Adam Chazawi ,Pelajaran Hukum Pidana bagan I, Raja Grafindo Persada,


Jakarta,2002

Ali, Zainudin. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan.Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.103.


Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice Di Pengadilan

Anak Indonesia. Bandung: Indi Publishing, 2011


Herlina, Apong. Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2008

Nasir Djamil, M. Anak Bukan Untuk Dihukum(Catatan Pembahasan UU Sisitem


Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia., Ed. 1; Jakarta:


Rajawali Pers, 2011

Nawawi Arief, Barda. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan.


Semarang: Pustaka Magister, 2012

Setya Wahyudi dalam M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum; Catatan
Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA).

Wahyudi, Setya, Implementasi ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan


Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011

JURNAL

Bambang Purnomo , Gunarto, Amin Purnawan “Penegakan Hukum Tindak


Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi
Kasus Di Polres Tegal)” Khaira Ummah Vol. 13. No. 1 Maret 2018.

Pradityo, Randy “Garis Lurus Diversi Sebagai Pendekatan Non-Penal,” Jurnal


RechtsVinding Online Vol. 3 Jakarta, Tahun 2016.

Raihana,”Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency Dan Upaya


Penanggulangannya”. Sisi Lain Realita, Jurnal Kriminologi Vol 1. No.1,
Juni 2016

I Made Sepud. “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak


Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” Jurnal
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawidjaya Vol 2. No 3 Tahun
2013

PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, PERMA Nomor 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan


Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ,

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tantang Sistem


Peradilan Pidana Anak, Pasal 6

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 Angka 7

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan
Anak, Pasal 1 Ayat 1

Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Anda mungkin juga menyukai