Anda di halaman 1dari 67

ANALISIS YURIDIS PEMAKSAAN PERSETUBUHAN OLEH

SUAMI KEPADA ISTRI MENURUT HUKUM POSITIF

INDONESIA

SKRIPSI

Oleh:
Sena Putri Bengi (201710110311442)

Dosen Pembimbing

Pembimbing I : Dr. Haris, S.H.,M.Hum

Pembimbing II : Nu’man Aunuh, S.H.,M.Hum

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH MALANG


FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
2022
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS AKHIR

ANALISIS YURIDIS PEMAKSAAN PERSETUBUHAN OLEH SUAMI


KEPADA ISTRI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

Disusun dan diajukan oleh:

Sena Putri Bengi


NIM: 201710110311442

Telah disetujui oleh Pembimbing untuk dilakukan


Ujian Tugas Akhir
Pada tanggal: 2022

DOSEN PEMBIMBING

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Haris, S.H.,M.Hum Nu’man Aunuh S.H., M.Hum

Mengetahui
Dekan Fak. Hukum UMM

Dr. Tongat, S.H., M.Hum.


SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Sena Putri Bengi
Nim : 201710110311442
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:
1. Tugas Akhir Penulisan Hukum dengan judul:
“ANALISIS YURIDIS PEMAKSAAN PERSETUBUHAN OLEH
SUAMI KEPADA ISTRI MENURUT HUKUM POSITIF
INDONESIA”
Adalah benar hasil karya saya dan didalam naskah Tugas Akhir Penulisan
Hukum ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan orang lain
untuk memperoleh gelar akademik disuatu perguruan tinggi, dan tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, baik sebagian atau keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip
dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
2. Apabila ternyata di dalam Tugas Akhir Penulis Hukum ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia Tugas Akhir Penulisan
Hukum ini DIGUGURKAN dan GELAR AKADEMIK YANG TELAH
SAYA PEROLEH DIBATALKAN, serta diproses sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
3. Tugas Akhir Penulisan Hukum ini dapat dijadikan sumber pustaka yang
merupakan HAK BEBAS ROYALTY NON EKSKLUSIF Demikian
pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Malang,………..........2022
Yang Menyatakan,

Sena Putri Bengi

i
UNGKAPAN PRIBADI :

ii
ABSTRAKSI

Nama : Sena Putri Bengi


Nim : 201710110311442
Judul : ANALISIS YURIDIS PEMAKSAAN PERSETUBUHAN
OLEH SUAMI KEPADA ISTRI MENURUT HUKUM POSITIF
INDONESIA
Pembimbing : Dr. Haris, S.H.,M.Hum
Nu’man Aunuh S.H., M.Hum
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika pengendalian
diri dari salahsatu atau kedua belah pihak tidak dapat dikontrol, dan pada akhirnya
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan ketidakamanan dan
ketidakadilan terhadap pihak yang menjalani rumah tangga tersebut. Maka dari
pada itu pada kehidupan berumah tangga menunjukkan bahwa jika ada tindak
kekerasan fisik, seksualitas serta penelantaran rumah tangga sering terjadi kepada
perempuan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pandangan
hukum positif di Indonesia mengenai perbuatan pemaksaan persetubuhan oleh
suami kepada istri dan perlindungan hukum terhadap korban pemaksaan
persetubuhan menurut hukum positif Indonesia. Adapun metode yang digunakan
dalam penulisan ini ialah yuridis normatif dengan tekhnik pengumpulan bahan studi
kepustakaan. Kesimpulan dan saran dalam penulisan ini yakni perkosaan dalam
perkawinan (marital rape) dalam KUHP belum diatur, KUHP hanya mengatur
mengenai perkosaan yang dikenal secara umum, yakni perkosaan yang terjadi di
luar ikatan perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 285 KUHP. Perlindungan
hukum terhadap korban pemaksaan persetubuhan diatur melalui Pasal 5 huruf c dan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah tangga menjadikan landasan hukum bagi adanya pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah
tangga tersebut, serta sanksi dari perbuatan tersebut dipidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000.000 (tiga puluh enam
juta rupiah). Disarankan agar perkosaan dalam perkawinan (marital rape)
dirumuskan dalam KUHP serta dijelaskan secara rinci istilah perkosaan dalam
perkawinan melalui Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga.

Kata Kunci : Pemaksaan, Persetubuhan, Suami Istri.

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................


SURAT PERNYATAAN ........................................................................................
Motto: .......................................................................................................................
ABSTRAKSI............................................................................................................
ABSTRACT .............................................................................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 10
E. Kegunaan Penelitian .......................................................................................... 11
F. Metode Penelitian .............................................................................................. 11
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………...…...16
A. Tinjauan tentang Perkawinan ............................................................................ 16
1. Pengertian Perkawinan ................................................................................. 16
2. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga ............................... 17
3. Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Hukum Positif Indonesia .......... 20
B. Tinjauan mengenai Pemaksaan Persetubuhan Suami kepada Istri (Marital
Rape)…………………………………………………………………….……. 24
1. Pengertian Pemaksaan, Persetubuhan dan Pemerkosaan (Marital Rape) .... 24
2. Pengertian Pemaksaan Persetubuhan (Marital Rape) .................................. 27
3. Bentuk Marital Rape……………………………………………………….29
4. Penyebab terjadinya Pemaksaan Persetubuhan oleh Suami terhadap
Istri………………………………………………………………………….30
C. Tinjauan Teoritis dan Yuridis tentang Perlindungan Hukum ............................ 32
1. Pengertian Perlindungan Hukum.................................................................. 32
2. Pengertian Korban ........................................................................................ 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 36
A. Pandangan Hukum Positif Indonesia mengenai Pemaksaan Persetubuhan oleh
Suami terhadap Istri ........................................................................................... 36
B. Perlindungan Hukum terhadap Korban Pemaksaan Persetubuhan menurut
Hukum Positif Indonesia ................................................................................... 43

iv
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 52
B. Saran .................................................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum positif disebut juga sebagai ius constitutum yang berarti kumpulan

asas dan kaidah hukum tertulis yang sedang berlaku pada saat ini dan mengikat

secara umum maupun khusus dan ditegakkan melalui pemerintah dalam Negara

Indonesia.1 Hukum positif dapat diklasifikasi kedalam berbagai macam

pengelompokan, yaitu antara lain dilihat dari sumbernya, bentuknya, isi materinya

dan lain sebagainya.2 Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa “Hukum positif

disebut juga: ius constitutum sebagai lawan dari pada ius constituendum, yaitu

kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi akibat peristiwa-

peristiwa dalam sesuatu pergaulan hidup yang tertentu”. Beberapa unsur dari

hukum positif hukum positif, yaitu:

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat


b. Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.3

Setiap warga Negara memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas

dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang

didasari oleh Pasal 28 beserta perubahannya. Melalui Pasal 28 G ayat (1) Undang-

1
I. Gede Pantja Astawa, 2008. Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di
Indonesia. Bandung. Penerbit PT. Alumni. Hal. 56
2
http://perpustakaan.mahkamah.agung.go.id/, diakses pada tanggal 19 Maret 2021, pukul
10.21 wib.
3
B. S. Pramono, 2006. Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum. Surabaya. Penerbit Usaha
Nasional. Hal. 101

1
2

undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan


bahwa:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi “.4
Pasal 28 H ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945 berbunyi:

“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk


memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”.5
Dalam hubungan perkawinan adanya hak dan kewajiban atas istri kepada

suami maupun sebaliknya. Terkait dengan hubungan seksual suami dan istri,

pandangan tentang status keduanya didasari oleh hubungan perkawinan. Pada

sebuah perkawinan diartikan sebagai kontrak pemilikan (aqad tamlik), yakni

dengan pernikahan seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat

seks sebagai alat melanjutkan keturunan, dan pihak perempuan yang dinikahinya.

Dalam konsep pernikahan yang seperti ini, pihak laki-laki adalah pemilik sekaligus

penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh istri. Dengan begitu, kapan, di mana,

dan bagaimana hubungan seks dilakukan sepenuhnya tergantung kepada pihak

suami dan istri tidak punya pilihan lain kecuali melayani.6 Hak dan kewajiban yang

didapat oleh istri dari suami harus seimbang dengan yang diperbuat istri kepada

suami dalam ruang lingkup perkawinan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

4
UUD tahun 1945 Pasal 28 G ayat (1)
5
UUD tahun 1945 Pasal 28 H ayat (2)
6
Ken Suratiyah, 1997. Pengorbanan Wanita Pekerja Industri, dalam Irwan Abdullah (Ed),
Sangkan Paran Gender, Cet. I, Yogyakarta. Penerbit Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Hal. 20.
3

tentang Perkawinan telah menjelaskan beberapa aturan di antaranya yang telah di

atur pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34.

Hubungan rumah tangga baik suami maupun istri mempunyai rasa aman

dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi, maka rumah

tangga yang dijalani akan utuh serta rukun. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga

dapat terganggu jika pengendalian diri dari salah satu atau kedua belah pihak tidak

dapat dikontrol, dan pada akhirnya timbulnya kekerasan dalam rumah tangga

sehingga timbulnya ketidakamanan dan ketidakadilan terhadap pihak yang

menjalani rumah tangga tersebut. Oleh dikarenakan itu dapat dilihat pada

kehidupan berumah tangga menunjukkan bahwa jika ada tindak kekerasan fisik,

psikis, seksualitas serta penelantaran rumah tangga sering terjadi kepada

perempuan.7

Kekerasan yang biasa terjadi kepada perempuan adalah pemerkosaan,

termasuk pula pemerkosaan dalam perkawinan. Pemerkosaan terjadi jika seseorang

memaksa pelayanan seksual tanpa kerelaan dari yang bersangkutan. Ketidakrelaan

ini disebabkan oleh beberapa faktor misalnya seperti: ketakutan, malu, merasa

kelelahan, sakit, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural atau

dikarenakan tidak ada pilihan dan lain sebagainya.8 Didalam Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 angka 1 berbunyi:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat


timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

7
Guse Prayudi. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Yogyakarta. Penerbit Merkid Press. Hal. 15.
8
Ahmad Suaedy. 2000. Kekerasan dalam Perspektif Pesantren, Jakarta. Penerbit Grasindo.
Hal. 79.
4

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,


pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.”9
Indonesia sudah sangat sering terjadinya kekerasan dalam rumah tangga

tetapi pada dasarnya sulit ditemukan bahwa istri ingin memberi tahu kepada orang-

orang tentang hubungan dibalik itu semua dikarenakan istri berfikir hal tersebut

adalah aib yang harus ditutup, tetapi seorang istri tidak sadar akan hal yang dapat

membuat dirinya merasakan kesengsaraan atau tekanan bathin. Pasal 8 huruf a

Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga berbunyi: “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 5

huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan di lingkup rumah

tangga tersebut”.10 Dijelaskan juga dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor

23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksud dengan kekerasan

seksual dalam ketentuan ini adalah: “Setiap perbuatan yang berupa pemaksaan

hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan atau tujuan tertentu”.11

Orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga menurut Pasal 2 Undang-

undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga meliputi:

1. Suami, istri dan anak

9
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang P-KDRT Pasal 1 Angka 1
10
Pasal 5 Huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga
11
Abdul Muqsit Ghozi dkk. 2002. Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan (Bunga
Rampai Pemikiran Ulama Muda), Jakarta. Penerbit Rahima Cet. 1, Hal. 105.
5

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang


sebagaimana dimaksud pada huruf a dikarenakan hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga; dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.12
Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana jika suami ingin melakukan

hubungan intim tetapi istri menolak dan suami tetap melakukan hubungan itu,

apakah bisa di sebut pemerkosaan, pemaksaan, penganiayaan atau itu salah satu hal

yang lumrah dilakukan bagi seorang suami. Komnas perempuan memberikan

pandangannya terhadap pemaksaan istri dalam melakukan hubungan seksual:

“Memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual adalah bentuk


pemerkosaan terhadap istri atau lebih tepatnya marital rape. Marital rape sering
disebut kekerasan seksual. Marital Rape adalah hubungan seksual antara pasangan
suami istri dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak
dikehendaki pasangannya masing-masing.”13
Cinta kasih, mawaddah warrahmah yang dianugerahkan Allah kepada

sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tapi mulia, namun sering

sekali pihak suami mengabaikan hak istri untuk memutuskan kapankah dan

akankah mempunyai anak dengan memaksakan agar istrinya memiliki anak.

Bahkan bila istri tidak siap untuk memiliki anak atau diberi karunia Tuhan untuk

tidak bisa memberikan anak, suami justru mengancam dengan ancaman perceraian.

Secara sepintas nampaknya posisi suami yang demikian benar, namun disisi yang

lain menurut pemahaman kebanyakan masyarakat awam seorang suami dikatakan

memiliki hak penuh menuntut istrinya untuk memiliki anak apapun alasannya.14

12
Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
13
Kompas.com dengan judul "Komnas Perempuan: Memaksa Istri Berhubungan Badan
Termasuk Pemerkosaan", selasa 9 juli 2019, 06:54. Diakses pada 19 maret 2021, 19:31
14
Syafiq Hasyim. 2000. Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta. Penerbit The Asia
Foundation. Hal. 83.
6

Menurut penulis pendapat diatas tidak sesuai dengan reproduksi perempuan.

Apabila dipaksakan juga hal ini akan melanggar ketentuan Pasal 8 huruf a Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang

dinyatakan bahwa: “Larangan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan

terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.”15

Pemaksaan hubungan seksual terhadap istri tidak dibolehkan oleh agama

dengan beberapa alasan; Pertama, membolehkan hubungan suami-istri secara paksa

sama saja dengan mengizinkan seorang suami mengejar kenikmatan atas

penderitaan orang lain (istri), ini tidak bermoral. Kedua, dalam hubungan suami

istri yang dipaksakan, terdapat pengingkaran nyata terhadap prinsip mu’ayarah bil

ma’ruf (memperlakukan istri dengan cara yang ma’ruf.16 Tetapi didalam ajaran

agama islam suami istri tidak diperbolehkan bersifat egois, mengikuti kemauan

sendiri tanpa memikirkan perasaan serta kebutuhan pasangan. Terkait dengan

hubungan suami istri, diantara kedua belah pihak akan menimbulkan akibat hukum

yang harus dipenuhi, yaitu hak dan kewajiban.

Dalam penelitian skripsi ini sudah dijelaskan dalam latar belakang masalah

diatas kemudian penulis merasa perlu mengkaji tentang “Analisis Yuridis

Pemaksaan Persetubuhan Oleh Suami Kepada Istri Menurut Hukum Positif

Indonesia” yang dituangkan melalui skripsi ini.

15
Pasal 8 huruf a Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga
16
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta. Penerbit PT. LKiS
Pelangi Aksara. Hal. 6-7
7

Menurut ajaran agama islam, Islam memperingatkan istri yang menolak

melayani ajakan seksual suaminya, dikarenakan hal itu berakibat buruk terhadap

terhadap keutuhan rumah tangganya, yaitu keretakan atau runtuhanya serta akan

mendapat dosa. Rasulullah SAW bersabda: “Demi jiwaku berada dalam kekuasaan-

Nya, tiada seorang suami yang mengajak istrinya dan ditolaknya kecuali yang

dilangit murka kepada istrinya sampai sang suami ridho terhadapnya”. (HR. Asy-

syaikhan).

Hak suami merupakan kewajiban bagi istri begipula sebaliknya kewajiban

suami merupakan hak bagi istri. Salah satu kewajiban bathin antara suami dan istri

adalah menggauli istrinya secara layak sesuai dengan kodratnya, hal ini dapat

dipahami dari ayat yang menutut suami menggauli istrinya secara baik. Tetapi

dalam agama islam juga tidak pernah membenarkan seorang suami bertindak kejam

terhadap istrinya baik secara lahir maupun bathin. Melihat penjelasan tersebut

menyatakan bahwa istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk melakukan

persetubuhan kecuali suami melakukannya dengan berbagai cara yaitu seperti,

memukul, memaki, membentak dan bahkan mengancam. Didalam Al-Qur’an

dijelaskan bahwa suami harus menggauli istrinya dengan ma’ruf, tentunya tidak

dibolehkan adanya kekerasan baik pemukulan, penganiayaan, dan kekerasan

lainnya. Meskipun pada dasarnya istri wajib melayani permintaan suami, akan

tetapi jika memang tidak teransang untuk melayaninya, ia boleh menawarnya atau

menangguhkannya, dan bagi istri yang sakit atau tidak enak badan, maka tidak

wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang. Jika suami
8

tetap memaksa pada hakekatnya ia telah melanggar prinsip mu’asyaroh bil ma’ruf

dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru seharusnya ia dilindungi.17

Dalam hukum positif Indonesia pada dasarnya tidak memperbolehkan

seorang istri menolak ajakan suami untuk bersetubuh dikarenakan hal tersebut

adalah bagian dari hak dan kewajiban bagi suami maupun istri. Tetapi jika dikaitkan

dengan pemaksaan persetubuhan yang dilakukan suami kepada istri dapat dikatakan

sebagai kekerasan seksual dalam berumah tangga.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya mengatur terkait pemaksaan

bersetubuh dalam luar perkawinan dan korban persetubuhan dibawah umur melalui

Pasal 285 sampai dengan Pasal 287 Pasal 288 KUHP membahas apabila korban

dibawah umur dan menyebabkan luka-luka. Didalam KUHP tidak ada pengaturan

mengenai pemerkosaan atau pemaksaan persetubuhan dalam perkawinan secara

luas hanya di bahas apabila korban di bawah umur dan menyebabkan luka-luka.

Maka daripada itu, dikarenakan pengaturan pemaksaan persetubuhan hanya di atur

diluar perkawinan, maka pemaksaan hubungan di dalam perkawinan tidak di

pidana. Bagi KUHP, yang disebut pemerkosaan hanyalah pemaksaan hubungan

seksual pada perempuan bukan istri. dikarenakan hal tersebut maka istri tidak bisa

mengadukan sang suami ke pengadilan dengan alasan pemerkosaan. Jikapun ada,

perkaranya akan dianggap dan di proses sebagai penganiyaan bukan pemerkosaan.

Pemaksaan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri seolah-olah

dianggap bukanlah kejahatan. Hanya dianggap sebagai sebuah pelakuan yang biasa

17
Masdar F. Mas’udi. 1997. Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan Cet II. Bandung.
Penerbit PT. Mizan Hazanah Ilmu-ilmu Islam. Hal. 113.
9

saja. Maka daripada itu, berbagai upaya untuk mempermasalahkan dianggap

sebagai sesuatu yang mengada-ada, berlebihan, dan terlalu dicari-cari

permasalahannya. Setiap upaya untuk mempertanyakan apalagi

mempermasalahkan dan menggugat kebiasaan, tentu saja akan dapat memunculkan

kotroversi. Namun upaya itu harus tetap dilakukan dikarenakan berbagai bentuk

perlakuan dianggap biasa dan kebiasaan itu telah menimbulkan efek luka pada

pihak korban baik luka fisik maupun psikis. Istilah korban selama ini hanya

dikenakan pada pihak yang secara fisik terlukai dan melihat bekas luka tersebut,

dikarenakan pemahaman atas manusia hanyalah pada melihat pada fisik semata.

Unsur-unsur lain yang ada dibalik tubuh manusia sering terabaikan. Seakan-

akan tidak ada hati yang terluka dan tidak ada jiwa yang tergores yang diakibatkan

perlakuan tidak adil kepada perempuan dikarenakan perempuan hanya dapat diam

atau bahkan menangis. Pelecehan seks adalah penyalahgunaan hubungan

perempuan dan laki-laki yang merugikan salah satu pihak, tetapi pemahaman ini

sering ditolak oleh masyarakat dikarenakan pemahaman tersebut dianggap terlalu

berlebihan. Masyarakat menganggap yang dilakukan dalam peristiwa pelecehan

seks itu adalah sesuatu yang biasa saja, sudah lumrah dan tidak perlu diperdebatkan,

dikarenakan tidak ada yang berkurang akibat pelecehan tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan hukum positif di Indonesia mengenai perbuatan

pemaksaan persetubuhan oleh suami kepada istri?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pemaksaan persetubuhan

menurut hukum positif Indonesia?


10

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami pandangan hukum positif di Indonesia

mengenai perbuatan pemaksaan persetubuhan oleh suami kepada istri.

2. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap korban

pemaksaan persetubuhan menurut hukum positif Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat, baik bagi

penulis, masyarakat, dan juga pemerintah sebgaimana berikut:

1. Bagi Penulis

Penelitian ini penulis harapkan dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri

dalam mengkaji masalah pemaksaan persetubuhan oleh suami kepada istri menurut

hukum positif di Indonesia dan untuk menambah kepustakaan di bidang ilmu

hukum, juga dapat dijadikan referensi bagi penelitian yang sejenis.

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan prilaku bagi seorang suami

dalam mengemban tanggungjawab sebagai seorang suami dalam menjalani lingkup

rumah tangga. Serta dapat menambah wawasan bagi masyarakat mengenai

pemaksaan hubungan seksual dalam hukum positif dapat dikategorikan sebagai

kekerasan dalam rumah tangga.


11

3. Bagi Pemerintah

Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

Pemerintah dalam membuat peraturan terkait Pemaksaan Persetubuhan oleh suami

kepada istri yang lebih spesifik.

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pada tujuan yang telah penulis kemukakan maka penelitian ini

diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum

khususnya hukum pidana dan menjadi tambahan ilmu mengenai kekerasan dalam

rumah tangga dilihat dari segi pemaksaan persetubuhan oleh suami kepada istri, dan

diharapkan penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada

masyarakat, dan dapat memberikan input bagi para penegak hukum khususnya bagi

pemerintah untuk membuat peraturan lebih spesifik lagi dalam menanggulangi

kekerasan dalam rumah tangga dilihat dari pemaksaan persetubuhan yang

dilakukan oleh suami kepada istri menurut hukum positif Indonesia.

F. Metode penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh peneliti, maka

peneliti menggunakan jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah
12

yuridis normatif, yaitu penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas

dalam ilmu hukum.18

1. Jenis Pendekatan

a. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approach)

pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah semua undang undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Pendekatan ini dilakukan salahsatunya dengan cara mempelajari Undang-

Undang.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) pendekatan ini dilakukan

dengan mencermati pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada

dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, Peneliti akan menemukan ide-ide

yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

2. Jenis Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer: Berasal dari tindakan yang dilakukan oleh lembaga

yang berwenang. Bahan hukum yang bersumber dari analisa perundang-

undangan yang di peroleh dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga, Kitab Undang-

undang Hukum Pidana dan perundang-undangan yang terkait dengan

penelitian ini.

18
Zainuddin, 2016. Metode Penelitian Hukum, Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 24
13

b. Bahan Hukum Sekunder: Berasal dari buku-buku, jurnal ilmiah, artikel-

artikel yang berkaitan dengan pemaksaan persetubuhan oleh suami kepada

istri menurut hukum positif Indonesia

c. Bahan Hukum Tersier: Bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan skunder seperti

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Ensiklopedia, dan lain-

lain.

3. Teknik Pengumpulan bahan hukum

Alat pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

kepustakaan adalah berupa catatan-catatan, mempelajari dan mencatat mengenai

hal-hal yang penting dari buku-buku kepustakaan, dokumen-dokumen serta

instrumen-instrumen hukum yang ada hubungannya dengan Pemaksaan

Persetubuhan oleh Suami Kepada Istri menurut Hukum Posotif Indonesia. Guna

memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini maka penulis melakukan

beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulan

bahan-bahan pustaka (melalui buku-buku, makalah, jurnal dan lain-lain) yang

berkaitan dengan masalah penelitian, serta dianggap perlu untuk memperkaya

hasil penelitian.

b. Internet
14

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara pengambilan file pada

internet guna memperoleh data berupa artikel, jurnal dan lain sebagainya,

sehingga dapat dijadikan bahan penunjang dalam penelitian.

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Mengingat jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa

jenis data primer yang diperoleh dari bahan hukum yaitu perundang-undangan,

serta data sekunder yang diperoleh dari berbagai Artikel, Jurnal ilmuah dan juga

buku-buku, maka cara yang akan digunakan dalam menganalisa data adalah dengan

cara melakukan telaah peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya.

Analisa data ini juga akan dilakukan sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa pengumpulan kata tertulis maupun lisan dari

pihak-pihak yang bersangkutan dengan penelitian dan perilaku yang diamati.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun secara sistematis yang terdiri atas 4 (empat) bab sebagai

berikut:

BAB I, merupakan pendahuluan yang berisi tentang uraian singkat dari isi

tulisan guna memberikan gambaran kepada pembaca tentang topik apa yang akan

dibahas. Dalam bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang permasalahan,

rumusan masalah. Tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian,

metode penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan

sistematika penulisan.

BAB II, merupakan tinjauan pustaka, yang berisi tentang tinjauan tentang

perkawinan yaitu pengertian perkawinan, hak dan kewajiban dalam rumah tangga
15

dan kekerasan dalam rumah tangga yang berisi bentuk-bentuk kekerasan dalam

rumah tangga, tinjauan mengenai pemaksaan persetubuhan suami kepada istri yang

berisi pengertian pemaksaan, persetubuhan, pemerkosaan, pengertian marital rape,

bentuk marital rape dan penyebab marital rape.

BAB III, merupakan isi dari hasil penelitian yang menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang menjadi identifikasi masalah, membahas pemaksaan persetubuhan

oleh suami kepada istri sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga dilihat dari

pengertian, faktor dan dampak yang ditimbulkan dan membahas bagaimana

perlindungan hukum pemaksaan persetubuhan oleh suami kepada istri dilihat dari

Hukum Positif Indonesia.

BAB IV, merupakan bab penutup yang memuat beberapa kesimpulan

berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya. Kemudian dikemukakan juga

beberapa saran yang dapat bermanfaat untuk memberikan solusi penyelesaian

permasalahan yang dibahas.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perkawinan

1) Pengertian Perkawinan

Istilah kawin dalam Kamus Besar Bahas Indonesia, diartikan dengan

membentuk keluarga dengan lawan jenis (laki-laki dan perempuan), bersuami atau

beristri, dan menikah. Kata kawin lebih umum daripada dengan kata nikah yang

berarti ikatan (aqad) perkawinan, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum

dan ajaran agama.19 Maka daripada itu dapat diartikan bahwa perkawinan adalah

perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menempuh kehidupan rumah

tangga, sejak mengadakan perjanjian melalui akad kedua belah pihak telah terikat

dan sejak saat itu mereka mempunyai kewajiban dan hak yang tidak dimiliki

sebelumnya.20

Hukum positif Indonesia mengatur terkait perkawinan melalui Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.21 Disamping itu terkait

dengan sahnya suatu perkawinan dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang

19
WJS Poerwadarminta, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Penerbit Balai
Pustaka. Hal. 18.
20
Beni Ahmad Saebani, 2010. Fiqh Munakahat 2, Bandung. Penerbit CV Pustaka Setia,
Hal. 11.
21
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

16
17

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menjelaskan bahwa: “Perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsᾱqan

ghalīdhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah”.

Dalam KUHPerdata, tidak dijumpai sebuah Pasalpun yang menyebutkan tentang

pengertian dan tujuan perkawinan. Melalui Pasal 26 BW yang menyebutkan bahwa,

“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan

perdata”. Hal ini menunjukkan bahwa BW memiliki pandangan bahwa perkawinan

hanya sekedar ikatan keperdataan yang tidak berbeda dengan perjanjian pada

umumnya sedangkan Hukum Islam memandang perkawinan adalah suatu ikatan

yang kuat (mitsᾱqan ghalizīn) dan berdimensi ibadah.22

2) Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga

Pengertian hak adalah suatu hal yang diterima oleh seseorang dari orang

lain, sedangkan kewajiban adalah suatu hal yang memiliki keharusan untuk

dilakukan seseorang terhadap orang lain. Kewajiban timbul dikarenakan hak yang

melekat pada subyek hukum.23 Setelah dilangsungkan pernikahan kedua belah

pihak suami istri harus memahami hak dan kewajiban masing-masing. Hak bagi

istri menjadi kewajiban bagi suami. Begitu pula sebaliknya, kewajiban suami

menjadi hak bagi istri. Suatu hak belum pantas diterima sebelum kewajiban

22
Indah Purbasari, 2017. Hukum Islam sebagai Hukum Positif di Indonesia, Malang
Penerbit Setara Press. Hal. 77.
23
Amir Syarifuddin, 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Prenada Media. Hal. 159.
18

dilaksanakan.24 Hak beserta kewajiban suami istri diatur melalui Pasal 30 hingga

Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 30 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menegaskan bahwa: “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk

menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat”.25 Pasal

31 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa:

(1) Hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama didalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.26

Pasal 32 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

ditegaskan bahwa:

(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.


(2) Rumah tempat kediaman yang di maksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan
oleh suami istri bersama.27

Pasal 33 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

berbunyi: “Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. 28


Selanjutnya melalui

Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi:

(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.29

24
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i, Bandung, Penerbit
Pustaka Setia. Hal. 313.
25
Pasal 30 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
26
Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
27
Pasal 32 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
28
Pasal 33 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
29
Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
19

Prinsip perkawinan yang diatur melalui Pasal 31 Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan sangat jelas disebutkan bahwa kedudukan suami

istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan berumah tangga ataupun

dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dalam kaitannya dengan hak dan

kewajiban suami istri harus sesuai dengan prinsip perkawinan yang telah dijelaskan

dalam Undang-Undang tersebut. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan, Sayuti Thalib menerangkan bahwa ada lima hal yang

sangat penting yang berhubungan dengan keseimbangan dan keharmonisan

hubungan suami istri di antaranya:

Pertama, pergaulan hidup suami istri yang baik dan tentram dengan rasa

sesame mencintai dan santun-menyantuni, hal ini berarti, masing-masing pihak

wajib mewujudkan pergaulan yang ma’ruf ke dalam rumah tangga. Kedua, suami

memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala keluarga dan istri juga

memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, rumah

kediaman yang disediakan oleh suami, maka suami istri tersebut wajib tinggal

dalam satu kediaman tersebut. Keempat, belanja kehidupan menjadi

tanggungjawab suami, sedangkan istri wajib membantu suami mencukupi biaya

hidup tersebut. Terakhir, istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan

membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara

yang benar, wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.30

30
Sayuti Thalib, 1982. Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta,
Penerbit UI press. Hal. 73-78.
20

3) Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif Indonesia

a. Pengertian KDRT

Istilah kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau

matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau badan orang lain.

Pengertian kekerasan lainnya yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang

yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang yang berposisi lemah

(dipandang lemah/dilemahkan) yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik

maupun non-fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan

kepada objek kekerasan.31 Kekerasan merupakan wujud perbuatan yang acapkali

mengakibatkan luka fisik, misalnya seperti luka, cacat, sakit, atau penderitaan pada

orang lain dengan unsur berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya

persetujuan pihak lain yang dilukai.32

Pengertian kekerasan dapat ditemukan dalam Pasal 89 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Membuat orang pingsan atau

tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Dalam Pasal tersebut

tidak menjelaskan bagaimana cara kekerasan dilakukan begitu pula bagaimana

bentuk kekerasan tersebut. Namun, pengertian tidak berdaya yaitu tidak

mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat melakukan

perlawanan sedikitpun. Disamping itu, Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang

31
Mufidah Cholidah Dkk, 2006. Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan Malang
Penerbit Pilar Media. Hal. 2.
32
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Bandung, Penerbit Refika Aditama. Hal.30
21

Hukum Pidana acapkali mengaitkan kekerasan dengan ancaman. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa kekerasan dapat berbentuk fisik dan non fisik.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa:

“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap


seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.33

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salahsatu bentuk pelanggaran

hak asasi manusia yang harus ditanggulangi. Kekerasan yang utamanya perempuan

yang menjadi korban terjadi dalam bebrabagai aspek hubungan antar manusia, yaitu

dalam hubungan keluarga dan orang orang terdekat lainnya, dalam hubungan kerja

maupun dalam hubungan sosial kemasyarakatan secara umum.

b. Bentuk- bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Keberadaan beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga secara yuridis

telah ditetapkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang menyebutkan bahwa: “Setiap

orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam

lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan

seksual atau penelantaran rumah tangga”.34

33
UU No. 23 tentang PKDRT Pasal 1 Butir 1
34
La Jamaa dan Hadidjah, 2008. Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Surabaya. Penerbit Bina Ilmu Cet. ke-1. Hal. 69-70.
22

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bahwa bentuk-bentuk kekerasan

dalam rumah tangga mencakup sebagai berikut:

a) Kekerasan Fisik;
b) Kekerasan Psikis;
c) Kekerasan Seksual, dan
d) Penelantaran Rumah Tangga (Kekerasan Ekonomi).

Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit,

cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, atau menyebabkan kematian. Bentuk-

bentuk perbuatan yang tergolong kekerasan fisik tersebut mencakup pukulan

dengan menggunakan anggota tubuh, pukulan dengan tangan kosong, ditinju,

pukulan dengan menggunakan benda atau alat dan sebagainya.35

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,

dan atau penderitaan psikis pada seseorang. Kekerasan psikologis yaitu penyiksaan

secara emosional dan verbal terhadap korban, sehingga melukai kesehatan mental

dan konsep diri perempuan, diantaranya berupa ucapan yang menyakitkan, marah-

marah dengan tidak memiliki alasan yang jelas, pergi berhari-hari dari rumah tanpa

pamit dan tidak mengacuhkan yang di tujukan kepada korban. Kekerasan psikis

yang berlangsung secara terus-menerus dapat menimbulkan seorang istri merasa

tidak dihargai, dikarenakan haknya untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari

suaminya tidak terpenuhi bahkan jika dibiarkan menyebabkan terancam putusnya

tali perkawinan.

35
Fathul Djannah, 2007. Kekerasan Terhadap Istri, Yogyakarta. Penerbit LkiS. Hal. 14.
23

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan

seksual, memaksa istri, baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual dan

atau melakukan hubungan seksual tanpa persetujuanya disaat istri tidak

menghendaki melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau

tidak disukai istri, maupun menjauhkan atau tidak memenuhi kebutuhan seksual

istri.36 Penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi) di jelaskan lebih lanjut

dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang menjelaskan bahwa:

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau dikarenakan persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang-orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.37
Prinsip dari Penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi) ini adalah

tindakan-tindakan dimana akses korban secara ekonomi di halangi dengan cara

tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan, kekayaan korban dimanfaatkan tanpa seizin

korban, atau korban dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan materi, dalam

kekerasan ini, ekonomi digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan korban.

36
Fathul Djannah, Ibid. Hal. 15.
37
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
24

B. Tinjauan Mengenai Pemaksaan Persetubuhan Suami kepada Istri (Marital

Rape)

1) Pengertian Pemaksaan, Persetubuhan, dan Pemerkosaan (Marital

Rape)

a. Pengertian Pemaksaan

Pemaksaan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain

untuk melakukan sesuatu walaupun tidak mau harus menerima dengan cara

mendesak maupun menggunakan ancaman. Paksaan adalah praktik memaksa pihak

lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak)

dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau bentuk lain dari

tekanan atau kekuatan. Dalam istilah hukum, pemaksaan diartikan sebagai

kejahatan paksaan. Tindakan tersebut digunakan sebagai pengaruh, memaksa

korban untuk bertindak dengan cara yang diinginkan. Paksaan melibatkan

penderitaan rasa sakit fisik/cedera atau kerusakan psikologis dalam rangka

meningkatkan kredibilitas ancaman. Ancaman kerusakan lebih lanjut dapat

menyebabkan kerja sama atau kepatuhan dari orang yang dipaksa. Penyiksaan

adalah salah satu contoh yang paling ekstrim dari sakit parah adalah pemaksaan

yaitu ditimbulkan sampai korban memberikan informasi yang dikehendaki.38

b. Pengertian Persetubuhan

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia kata “Bersetubuh” artinya adalah:

“Berhubungan badan, hubungan intim, kontak badan (hubungan suami istri,

38
https://id.wikipedia.org/wiki/Paksaan, diakses pada tanggal 26 april 2021, pukul 12.08
wib
25

hubungan sepasang manusia)”.39 Disamping itu, R.Soesilo didalam bukunya

menerangkan bahwa persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki

dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak,

dimana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan yang

kemudian mengeluarkan air mani.40

Pasal 287 ayat (1) KUHP menerangkan bahwa: “Persetubuhan adalah

barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, yang

diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun

atau jika umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk kawin, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Dalam Pasal 287 ayat (1)

KUHP tersebut, syarat persetubuhan harus dilakukan diluar perkawinan, sehingga

apabila persetubuhan tersebut dilakukan terhadap istri sah maka tidak dapat dituntut

dengan Pasal tersebut, melainkan dengan Pasal yang lain. Jika dikaitkan dalam

Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga yang menegaskan bahwa: Kekerasan Seksual

adalah larangan kekerasan dalam berumah tangga dengan cara salahsatunya

kekerasan seksual. Persetubuhan atau hubungan seksual berarti kegiatan yang

dilakukan oleh seorang pasangan yang dapat dimulai dengan tindakan tindakan

mesra seperti berciuman, merangsang anggota-anggota tubuh yang sensitif maupun

tindakan-tindakan lain yang dapat membangkitkan gairah, dan pada akhirnya akan

melakukan penetrasi (masuknya penis ke dalam vagina) dengan tujuan memperoleh

39
https://id.wikipedia.org/wiki/Bersetubuh , diakses pada tanggal 26 april 2021, pukul
12.08 wib
40
R.Soesilo, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Penerbit Politeia, Hal. 181.
26

kepuasan pada kedua belahpihak dan memperoleh atau mendapatkan kehamilan

apabila tidak menggunakan alat kontrasepsi dan keduanya berada dalam kondisi

subur dan normal.41

c. Pengertian Pemerkosaan

Soetandyo Wignjosoebroto dalam bukunya menjelaskan terkait pengertian

pemerkosaan. “Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh

seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan

atau hukum yang berlaku melanggar”. Senada dengan itu Menurut R. Sugandhi,

menjelaskan pengertian pemerkosaan adalah “Seorang pria yang memaksa kepada

seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan

ancaman kekerasan, yangmana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam

lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”. Adapun

unsur-unsur selengkapnya tentang pemerkosaan menurut R.Sugandhi adalah

pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki kepada wanita yang bukan menjadi istrinya,

pemaksaan bersetubuh tersebut disertai dengan tindakan atau ancaman kekerasan,

kemaluan laki-laki harus masuk pada lubang kemaluan wanita dan mengeluarkan

mani. Pendapat R.Sugandhi ini jelas tidak mengenal istilah yang dipopulerkan ahli

belakangan ini, terutama kaum wanita “maritel rape” yang artinya pemerkosaan

terhadap istrinya sendiri. Suami yang memaksa istrinya untuk bersetubuh

(berhubungan seksual) tidak dapat dikatakan sebagai pemerkosaan.

41
https://www.alodokter.com/komunitas/topic/apakah-akan-hamil-2, Diakses pada tanggal
26 April 2021, Pukul 01.10 wib
27

Pasal 285 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan

dia, dihukum, dikarenakan memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya

dua belas tahun”.42 Salah satu unsur dalam tindak pidana Pasal 285 KUHP ini

diartikan sebagai pemerkosaan adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang

dilakukan pelaku kepada korban yang bukan istrinya atau bukan dalam hubungan

perkawinan.

Dapat disimpulkan bahwa jika perbuatan dilakukan dengan kekerasaan atau

ancaman kekerasan, maka perbuatan tersebut adalah pemerkosaan, tetapi apabila

perbuatan tersebut disertai dengan bujuk rayu sehingga membuat korban

melakukan hubungan intim, maka perbuatan tersebut dinamakan persetubuhan.

Namun jika persetubuhan tersebut dilandasi oleh adanya pemaksaan maka dapat

disebut dengan pemerkosaan atau lebih dikenal dengan istilah Marital Rape.

2) Pengertian Pemaksaan Persetubuhan (Marital Rape)

Pemaksaan persetubuhan yang dilakukan oleh suami kepada istri

dikategorikan sebagai tindakan marital rape. Marital rape berasal dari bahasa

Inggris yang terdiri dari dua kata: marital yang berarti berhubungan dengan

perkawinan, rape yang berarti perkosaan.43 Ditinjau dari sudut pandang terminologi

ada beberapa pendapat dalam mendefiniskan marital rape, seperti Bergen

mendefinisikan sebagai hubungan seksual yang dilakukan baik vaginal, oral

maupun anal dengan paksaan, ancaman atau dilakukan saat istri dalam keadaan

42
Pasal 285 KUHP
43
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1993. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Penerbit
Gramedia Pustaka Utama. Hal. 373.
28

tidak sadar.44 Secara bahasa, marital rape di artikan sebagai “Rape committed by

the person to whom the victim is married” yaitu perkosaan yang dilakukan oleh

seseorang kepada korban yang sudah dinikahinya.45

Menurut Elli N. Hasbianto, marital rape sebagai pemaksaan dalam

melakukan hubungan seksual, pemaksaan seksual tanpa memperhatikan kepuasan

istri.46 Menurut Nurul Ilmi Idrus, dalam laporan penelitiannya mendefinisikan

bahwa marital rape hubungan seksual yang disertai paksaan, ancaman, pemaksaan

selera sendiri, dan penggunaan obat-obat terlarang atau minuman beralkohol.47

Sedangkan Farha Ciciek mengelompokannya kedalam 3 bagian, yaitu pemaksaan

hubungan seksual ketika istri tidak siap, hubungan seksual yang diiringi

penyiksaan, dan pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki

istri.48

Berdasarkan pengertian tentang marital rape maka dapat disimpulkan

bahwa Marital rape adalah perbuatan pemerkosaan yang dilakukan suami terhadap

istri dikarenakan adanya unsur unsur pemaksaan, ancaman, kekerasan fisik maupun

Bergen dalam Siti A’isyah, 2001. Marital Rape Dalam KUHP dan Hukum Pidana Islam,
44

Skripsi. Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Hal. 52


45
Riskyanti Juniver Siburian,Marital rape sebagai tindak pidana dalam RUU-
Penghapusan Kekerasan Seksual, Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 1, Juni 2020. Hal. 159
46
Elli N. Hasbianto, Potret Muram Kehidupan Perempuan dalam Perkawinan, Makalah
Seminar Nasional: Perlindungan Perempuan dari Pelecehan dan Kekerasan Seksual,
diselenggarakan PPK UGM bekerjasama dengan Ford Foundation, Yogyakarta tanggal 6
November 1996.
47
Nurul Ilmi Idrus, 1999. Marital rape: Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan
Yogyakarta. Penerbit Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM dan Ford Foundation. Hal. 25-
38.
48
Farha Ciciek, 1998. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Belajar Dan
Kehidupan Rasul, Jakarta, Penerbit LKAJ, Solidaritas Perempuan dan The Ford Foundation. Hal.
24-25.
29

psikis. Perbedaan antara pemerkosaaan di dalam dan di luar perkawinan terletak

pada ada tidaknya status perkawinan antara pelaku dan korban.

3) Bentuk Marital Rape

Husein Muhammad didalam bukunya menjelaskan terkait bentuk-bentuk

marital rape yang terbagi kedalam beberapa bagian. Pertama, hubungan seksual

yang tidak dikehendaki oleh istri, dikarenakan adanya ketidaksiapan istri dalam

bentuk fisik dan psikis. Kedua, hubungan seksual dengan cara yang tidak

dikehendaki oleh istri dengan oral, anal, dan sebagainya. Terakhir, hubungan

seksual dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang mengakibatkan

istri mengalami luka ringan ataupun luka berat. Ketiga jenis tersebut tidak mutlak

adanya artinya dalam waktu kewaktu akan semakin varian sifatnya.49

Diantara bentuk bentuk marital rape adalah sebagai berikut:


a. Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami. Istri dipaksa
melakukan anal seks, oral seks dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya
yang tidak dikehendaki istri.
b. Pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur.
c. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama
sementara istri tidak menyanggupi.
d. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau
menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan intim
tanpa persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya.
e. Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah
seksual.
Dapat dirumuskan bahwa yang termasuk katagori tindakan marital rape adalah:
a. Hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri dikarenakan ketidak siapan
istri dalam bentuk fisik dan psikis;
b. Hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehehendaki istri, misalnya
dengan oral dan anal;

49
Husein Muhammad, 2001. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta, Penerbit Lkis Pelangi Aksara. Hal. 52.
30

c. Hubungan seksual disertai anacaman kekerasan dengan kekerasan yang


mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat. 50

4) Penyebab Terjadinya Pemaksaan Persetubuhan Suami Terhadap Istri

Cicik Farkha dalam bukunya menyebutkan penyebab dilakukannya marital

rape oleh suami kepada istri antara lain sebagai berikut:51

a. Penyebab langsung

Libido yang tidak berimbang. Dorongan seksual dimiliki oleh setiap individu,

akan tetapi dorongan ini berbeda-beda antar individu, baik individu laki-laki

maupun perempuan. Kulturnya laki-laki cenderung dapat mengekspresikan

keinginannya dibanding perempuan. Berdasarkan hal tersebut seorang istri

dalam keluarga cenderung pasif dalam mengimplementasikan libidonya.

Kepasitan ini sebenarnya dapat dijembatani dengan foreplaying, tetapi metode

ini tidak banyak diketahui oleh pelaku marital rape, akibatnya banyak hubungan

seksual dilakukan tanpa kesepakatan alias terpaksa sehingga istri seringkali

merasakan sakit dan tersiksa. Apabila tidak dilakukan, maka istri dianggap

melakukan penolakan atau bahkan tidak mampu melayani suami.

b. Penolakan istri

Penolakan dapat dilakukan oleh istri dikarenakan cara suami memperlakukan

istri dalam hubungan seksual, seperti hubungan seksual yang disertai dengan

kekerasan, sehingga istri enggan melakukannya dan juga ketika istri sedang

tidak bergairah pada saat berhubungan intim. Penolakan ini diartikan sebagai

50
Aida Berlian Cahyaningrum, 2017. Tinjauan Hukum Marital Rape Dalam UU
Perkawinan dan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Skripsi. Penerbit Salatiga: IAIN Salatiga. Hal. 11.
51
Farha Ciciek, Loc.Cit. Hal. 43-59.
31

penolakan oleh suami dikarenakan adanya keyakinan bahwa perempuan atau

istri berkewajiban melayani suami sehingga suami berhak untuk memaksanya.

c. Penyebab tak langsung

Kurangnya komunikasi. Salah satu kunci kebahagiaan suami istri adalah apabila

keduanya saling terbuka. Namun tradisi membicarakan seks dalam rumah tangga

sekalipun dianggap tabu menjadikan suami enggan memperbincangkan secara

terbuka, disamping adanya kebiasaan yang tidak menganggap perempuan hanya

berkewajiban untuk melayani suami. Hal ini yang menyebabkan istri merasa

malu untuk mengambil inisiatif dalam hubungan seksual, meskipun istri sedang

menginginkannya, sehingga menerimanya sebagai obyek seks semata.

d. Terjadinya perselingkuhan

Perselingkuhan suami dengan wanita lain secara tidak langsung menjadi salah

satu penyebab terjadinya kekerasan seksual dalam perkawinan. Istri cenderung

menolak hubungan seksual setelah mengetahui suaminya memiliki pasangan

selingkuh dikarenakan terbayang suaminya melakukannya dengan wanita lain.

Atau suami cenderung meminta cara hubungan seksual yang bervariasai yang

tidak biasa dilakukannya dengan istri.

e. Ketergantungan dan kesulitan ekonomi

Istri secara ekonomi tidak mandiri tetapi tergantung pada suami. Hal ini

mengakibatkan istri tidak memiliki bargaining position dalam hubungan seksual

meskipun sedang tidak menghendakinya. Istri akan semakin terpojok posisinya

apabila menolak ajakan suami. Mengenai ketergantungan ini tidak hanya istri

pada suami, dapat juga terjadi pada suami yang tidak bekerja sehingga
32

bergantung secara ekonomis pada istri. Suami yang secara budaya memiliki

persepsi sebagai pemilik otoritas yang lebih tinggi dari istri, merasa kurang

berharga di mata istri dikarenakan tidak mampu melaksanakan kewajibannya

sebagai kepala rumah tangga. Kekurangan yang ada pada suami seringkali

ditutupi dengan perwujudan dalam bentuk kekerasan baik secara fisik maupun

psikis termasuk di dalamnya kekerasan seksual.

f. Kawin paksa.

Kawin paksa seringkali mengakibatkan proses komunikasi antara suami istri

menjadi sulit, sehingga persoalan-persoalan dalam rumah tangga jarang

dibicarakan secara terbuka, termasuk dalam persoalan seksualitas.

C. Tinjauan Teoritis Dan Yuridis Tentang Perlindungan Hukum

1) Pengertian Perlindungan Hukum

Harjono dalam bukunya memberikan pengertian pelindungan hukum

sebagai perlindungan dengan menggunaan sarana hukum dan atau perlindungan

yang diberikan hukum, yang ditujukan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu,

yaitu dengan menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut dalam sebuah

hak hukum.52 Senada dengan itu, Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa

perlindungan hukum adalah pemberian pengayoman terhadap hak asasi manusia

yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar

dapat menikmati semu hak-hak yang diberikan oleh hukum.53 Hukum juga dapat

digunakan untuk untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar

52
Harjono, 2008, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Jakarta. Penerbit Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Hal. 357.
53
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung. Penerbit Citra Aditya Bakti. Hal.54
33

adaptif dan fleksibel, malainkan prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan bagi

masyarakat yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk

memperoleh keadilan sosial.

Perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia dapat ditemukan

didalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,

maka daripada itu setiap produk yang dihasilkan oleh pembuat undang-undang

harus mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang bahkan

harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang

dimasyarakat, dikarenakan hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur

tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara.

Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagain upaya untuk melindungi setiap

warga negara dari perbuatan sewenang-wenang dari penguasa yang tidak sesuai

dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini diharpkan menciptakan ketertiban dan

ketentraman sehingga memungkinkan masyarakat menikmati hak-haknya.54

Sebagai negara hukum, Indonesia wajib melakukan perlindungan hukum

kepada semua warga negaranya tanpa terkecuali. Sebab perlindungan hukum

merupakan hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.

Hak setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh perlindungan hukum telah

diatur melalui Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia yang menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

54
Setiono, 2004. Rule of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hal. 3.
34

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum”.55

2) Pengertian Korban

Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya

korban tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana, dalam terjadinya suatu tindak

pidana tentunya yang sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut.

Menurut Romli Atmasasmita, korban adalah orang yang disakiti dan

penderitaannya itu diabaikan oleh Negara. Sementara korban telah berusaha untuk

menuntut dan menghukum pelaku kekerasan tersebut.56 Pengertian korban menurut

beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban menegaskan bahwa: “Korban adalah orang yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana”.57

b. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbunyi “Korban

adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan

dalam lingkup rumah tangga”.58

55
Pasal 28D Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
56
Romli Atmasasmita, 1992. Masalah santunan korban kejahatan. Jakarta. Penerbit
BPHN. Hal. 9.
57
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
58
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga
35

c. Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi, menegaskan bahwa:

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami


penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau
mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai
akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban
adalah juga ahli warisnya.59

59
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pandangan Hukum Positif di Indonesia mengenai Perbuatan Pemaksaan


Persetubuhan oleh Suami terhadap Istri

Perkawinan diatur melalui Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa:

“Perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan


merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban
antara suami dan istri. Adanya anggapan bahwa akad perkawinan merupakan akad
kepemilikan yang menyebabkan seorang laki-laki (suami) memiliki hak penuh atas
seorang perempuan (istri).”
Dalam perkawinan, terdapat ajaran-ajaran tentang hak dan kewajiban antara

suami dan istri. Suami memiliki hak dan kewajiban atas istrinya, demikian pula

sebaliknya. Mahar dan nafkah misalnya, merupakan kewajiban yang harus dibayar

suami yang dikarenakan hal itu adalah hak istri. Sedangkan sebagai imbangan dari

kewajiban yang telah dilakukan suami, istri berkewajiban taat dan hormat kepada

suami. Dalam soal hubungan seks suami istri, pandangan tentang status keduanya

dipengaruhi oleh konsep dasar perkawinan itu sendiri. Jika sebuah perkawinan

didefinisikan sebagai aqad tamlik (kontrak pemilikan), yakni bahwa dengan

pernikahan seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat seks

sebagai alat melanjutkan keturunan, dan pihak perempuan yang dinikahinya. Dalam

konsep pernikahan yang seperti ini, pihak laki-laki adalah pemilik sekaligus

penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh istri. Dengan begitu, kapan, di mana,

dan bagaimana hubungan seks dilakukan, sepenuhnya tergantung kepada pihak

36
37

suami, dan istri tidak punya pilihan lain kecuali melayani.60 Dalam perkawinan

terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan.

Pemenuhan hak oleh laki-laki dan perempuan setara dan sebanding dengan beban

kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki- laki dan perempuan (suami dan istri).

Dengan masing-masing pasangan tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam

kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban. Keseimbangan ini sebagi modal

dalam menselaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang

dijalani oleh suami dan istri (laki-laki dan perempuan). Menjalani hubungan suami

dan istri atau hubungan berkeluarga tidak jauh dikaitkan dalam permasalahan

kekerasan dalam rumah tangga.

1) Pandangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Korban

Pemerkosaan

Kekerasan seksual dalam berbagai bentuk termasuk pemerkosaan

merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat dan

martabat manusia sehingga dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kekerasan seksual telah diatur dalam KUHP BAB XIV BUKU II KUHP tentang

kejahatan terhadap tubuh. Kekerasan seksual telah diatur dalam Kitab Undang

Undang Hukum Pidana BAB XIV BUKU II KUHP mengenai kejahatan terhadap

badan. Pemerkosaan berkaitan erat dengan kesusilaan dikarenakan pemerkosaan

merupakan bagian dari kejahatan kesusilaan yang terdapat dalam Pasal 285, 286,

dan 287 KUHP menegaskan, yang disebut pemerkosaan adalah pemaksaan

hubungan seksual pada perempuan bukan istri yang sedang sadar, pingsan, maupun

60
Ken Suratiyah, Loc.Cit. Hal 45.
38

yang belum genap 15 tahun. Pasal 288 KUHP menyebutkan pemerkosaan terhadap

istri namun terbatas pada istri yang belum waktunya dikawin atau belum berusia 15

tahun. dengan demikian didalam KUHP tidak mengenal pemerkosaan dalam

perkawinan. Bagi KUHP, yang disebut pemerkosaan hanyalah pemaksaan

hubungan seksual pada perempuan bukan istri.

Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa, delik kesusilaan adalah delik

yang berkaitan dengan (masalah) kesusilaan. Sedangkan pengertian dan batasan

kesusilaan cukup luas dan dapat berbeda-beda sesuai dengan pandangan nilai-nilai

yang berlaku di masyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana

mengandung pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan

bahwa hukum merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist das

ethische minimum).61

Pemerkosaan dalam rumah tangga dalam pengertian KUHP adalah

persetubuhan yang dilakukan suami terhadap istrinya yang belum cukup umur.

Dalam KUHP yang disebut sebagai pemerkosaan hanya pemaksaan hubungan

seksual pada perempuan yang belum memiliki hubungan suami dan istri. Maka

daripada itu istri tidak dapat mengadukan suami ke pengadilan dengan alasan

pemerkosaan. Jikapun ada, perkaranya akan dianggap dan diproses sebagai

penganiayaan bukan pemerkosaan.62 Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan

memiliki hukuman yang lebih ringan daripada pemerkosaan, yang hanya dapat

mendapatkan hukuman penjara 2 tahun untuk korban luka ringan, 5 tahun untuk

61
Abdul Wahid dan Mohammad Irfan, Op. Cit, Hal. 57.
62
Maria Milda. 2007. Marital Rape, Kekerasan Suami Terhadap Istri Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. Hal. 35.
39

korban luka berat, dan penjara 7 tahun jika korban meninggal dunia. Peluang suami

untuk diadukan berdasarkan KUHP sangat tidak memungkinkan. Pemerkosaan

tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral semata (moral offence). Didalamnya juga

mencakup masalah anger and violence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan

pengingkaran terhadap hak asasi manusia khususnya hak perempuan. Maka

daripada itu, perkosaan pada saat ini tidak lagi difokuskan pada pemaksaan dan

hubungan seksual namun diperluas sehingga mencakup beberapa hal yaitu:

1) Forcible rape, yakni persetubuhan yang bertentangan dengan kehendak

wanita yang disetubuhi;

2) Persetubuhan tanpa persetujuan wanita (wanita dalam keadaan tidak sadar);

3) Persetubuhan dengan persetujuan wanita, tetapi persetujuan itu dicapai

melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan;

4) Rape by fraud, persetubuhan yang terjadi dikarenakan wanita percaya

bahwa laki laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disini ada

unsure penipuan atau penyesatan;

5) Statutory rape, yaitu persetubuhan dengan wanita berusia dibawah empat

belas tahun meskipun atas dasar suka sama suka.63

Penguraian peraturan yang terkait dengan kesusilaan tersebut diantaranya:

1. Pasal 285 KUHP menegaskan bahwa: “Barang siapa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya

bersetubuh dengan dia, dihukum dikarenakan memperkosa dengan hukuman

63
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit. Hal. 115
40

penjara selama lamanya dua belas tahun”.64 Dalam hal ini yang dimaksud

dengan melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan

jasmani secara tidak sah misalnya seperti memukul dengan tangan atau dengan

segala macam senjata, menyepak, menendang dsb. Konsekuensi dalam Pasal ini

ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang

bukan istrinya bersetubuh dengan pelaku. Pada dasarnya pembentuk undang-

undang menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan

yang memaksa untuk bersetubuh, bukankah semata-mata dikarenakan terjadinya

paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki laki dipandang tidak mungkin,

akan tetapi dikarenakan perbuatan tersebut bagi laki-laki dipandang tidak

mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Namun berbeda

halnya pada seorang perempuan yang memiliki konsekuensi akibat hubungan

tersebut misalnya seperti dapat melahirkan anak, maka daripada itu seorang

perempuan yang dipaksa sedemikian rupa, sehingga tidak mampu untuk

melawan dan terpaksa harus melakukan persetubuhan tersebut, masuk kedalam

unsur-unsur yang ada didalam Pasal ini “persetubuhan” harus benar benar

melakukan persetubuhan. Yang dimaksud dengan persetubuhan adalah suatu

kejadian antar kemaluan laki-laki dengan kemaluan perempuan yang

berdasarkan hubungan untuk tersebut dapat melahirkan seorang anak. Namun

disamping itu, jika tidak melahirkan seorang anak, maka akan dapat dikenakan

Pasal 289 KUHP yang menegaskan bahwa:

“Barang siapa dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang


berkaitan dengan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan

64
Pasal 285 KUHP
41

dilakukan perbuatan cabul, diancam dikarenakan melakukan perbuatan yang


menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.65

2. Pasal 286 KUHP “Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan

istrinya, sedang diketahui perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Dalam hal ini pingsan

berarti dalam kondisi tidak sadar akan dirinya, atau dapat dikatakan seseorang

yang pingsan tersebut tidak dapat mengetahui apa yang sedang terjadi akan

dirinya.66 Tidak Berdaya yang berarti tidak memiliki kekuatan yang

mengakibatkan tidak dapat membuat perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat

dengan tali kaki dan tangannya, memberikan suntikan, sehingga orang tersebut

lumpuh. Namun seseorang yang sedang tidak berdaya tersebut masih dapat

mengetahui apa yang sedang terjadi atas dirinya. Perlu diingat bahwa

mengancam orang dengan ataupun akan membuat orang tersebut pingsan atau

tidak berdaya tidak dapat disamakan dengan mengancam kekerasan,

dikarenakan dalam Pasal ini hanya menegaskan terkait melakukan kekerasan

bukan membicarakan tentang kekerasan ataupun ancaman kekerasan.

3. Pasal 287 KUHP Ayat (1) menegaskan bahwa: “Barangsiapa bersetubuh dengan

perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut

disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak

nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin,

dihukum penjara selama lamanya sembilan tahun.”67

65
Pasal 289 KUHP
66
Pasal 286 KUHP
67
Pasal 287 KUHP Ayat (2)
42

Pasal 287 KUHP Ayat (2) juga menegaskan bahwa: “Penuntutan hanya akan

dilakukan bila ada pengaduan, kecuali jika umur perempuan tersebut belum

sampai 12 tahun ataupun jika ada salah satu hal tersebut pada Pasal 291 dan 294

KUHP.” Dalam Pasal ini, perempuan tersebut harus bukan istrinya, jika terhadap

istrinya sendiri mungkin dapat dikenakan Pasal 288 KUHP yang akan

dikemukakan dibagian setelah ini, namun yang perlu diingat bahwa

persetubuhan tersebut harus mengakibatkan luka pada perempuan tersebut.

Pelaku harus mengetahui atau dapat menyangka, bahwa perempuan tersebut

belum sampai 15 tahun, atau bila umur ini tidak nyata, bahwa perempuan itu

belum waktunya untuk kawin. Peristiwa ini adalah delik aduan, kecuali jika

umur perempuan tersebut belum sampai 12 tahun, ataupun peristiwa tersebut

berakibat luka berat atau mati. Dalam hal ini tidak dinyatakan siapa yang berhak

mengajukan pengaduan tersebut. Dianggap bahwa yang berhak untuk

mengadukan perbuatan itu adalah perempuan yang mengalami peristiwa tersebut

4. Pasal 288 KUHP Ayat (1) menegaskan bahwa: “Barangsiapa bersetubuh dengan

istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu

belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama lamanya empat

tahun, kalau perbuatan itu membuat badan perempuan itu mendapat luka.”

Pasal 288 KUHP Ayat (2) menjelaskan bahwa: “Jika perbuatan tersebut

meneyebabkan perempuan mendapat luka berat dijatuhkan hukuman penjara

selama lamanya delapan tahun.68

68
Pasal 288 KUHP
43

Pasal 288 KUHP Ayat (3) menyebutkan bahwa: “Jika perbuatan mengakibatkan

kematian perempuan itu dijatuhkan hukuman penjara selama laamanya dua belas

tahun. Di Indonesia banyak terjadi perkawinan yang dilakukan antara laki laki

dan perempuan ketika masih dibawah umur (belum saatnya kawin). Pernikahan

dilakukan, namun dikemudian hari mereka diperbolehkan hidup dan tidur

bersama. Persetubuhan antar mereka ini jika tidak berakibat luka, luka berat atau

mati perempuan itu, tidak dihukum. Namun jika persetubuhan tersebut

mengakibatkan luka dan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, maka laki-laki

tersebut dapat dikenakan Pasal ini.69

Pasal 285, 286, 287, dan 288 KUHP yang disebut pemerkosaan adalah

pemaksaan hubungan seksual pada perempuan yang bukan istrinya baik yang

sedang sadar, pingsan, maupun belum genap 15 tahun. Pasal 288 KUHP pada

dasarnya sudah menyebutkan pemerkosaan terhadap istri yang belum genap berusia

15 tahun. KUHP hanya memfokuskan pada larangan menyetubuhi bukan tentang

menikahi seperti pada Pasal 288 KUHP. Aturan pemerkosaan dalam KUHP masih

menunjukkan kukuhnya dominasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki

dimungkinkan menghindari dari kejahatan perkosaan terhadap istri. Suami tidak

pernah bisa dipersalahkan dan diajukan ke pengadilan, dikarenakan pemerkosaan

yang dilakukan terhadap istrinya. Bahkan, istilah marital rape atau pemerkosaan

dalam perkawinan, suami-istri telah sama-sama menyerahkan diri dan menyatakan

persetujuan untuk bersetubuh. Maka dari pada itu dapat ditegaskan bahwa

69
Ismantoro Dwi Yuyono, 2011. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Jakarta: Pustaka Yustisia. Hal. 31.
44

Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dalam hukum pidana umum Indonesia,

yakni KUHP belum ada pengaturannya. KUHP yang berlaku sekarang hanya

mengatur megenai perkosaan yang dikenal secara umum, yakni perkosaan yang

terjadi di luar ikatan perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 285 KUHP.

Didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga, menjelaskan terkait dengan marital rape, melalui

Pasal 1 angka 1 ditegaskan bahwa:

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap-tiap perbuatan terhadap


seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan ataupun
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga
yang termasuk dalam ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Dalam Pasal 4 ditegaskan terkait tujuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu:

a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;


b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang dijelaskan melalui Pasal

1 angka 1 diatas, dipertegas kembali didalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan

bahwa:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangganya


dengan cara:
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.”
Melalui Pasal 8 disebutkan bahwa kekerasan seksual sebagaimana yang

dimaksud didalam Pasal 5 huruf c meliputi:


45

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap


dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan oranglain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Terkait dengan sanksi jika melakukan perbuatan kekerasan seksual

sebagaimana yang telah dijelaskan melalui Pasal 8 diatas, diatur melalui Pasal 46

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga, yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana


yang dimaksud didalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000.000 (tiga puluh enam
juta rupiah).”
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak secara khusus mengatur

terkait kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri, namun jika menilik

dari semangat lahirnya undang-undang ini, diadakan untuk melindungi hak-hak

perempuan termasuk istri dalam rumah tangga sehingga yang diharapkan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga ini dapat menjadi lex specialis bagi penegakan hukum di Indonesia jika

terdapat pemerkosaan dalam rumah tangga atau sering disebut marital rape.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pemaksaan Persetubuhan

Menurut Hukum Positif Indonesia

Perkosa atau memerkosa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,

merogol, melanggar (menyerang dan sebagainya) dengan kekerasan. Pemerkosaan

berkaitan dengan proses, perbuatan, cara memperkosa dan pelanggaran dengan


46

kekerasan.70 PAF Lamintang dan Djisman Samosir berpendapat bahwa perkosaan

adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar ikatan perkawinan

dengan dirinya.71 Pemerkosaan sebagai delik kesusilaan diartikan bahwa: Pertama,

kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan untuk bersetubuh

di luar perkawinan. Kedua, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa

perempuan yang bukan istrinya untuk melakukan hubungan seksual sebagaimana

dalam Pasal 285 KUHP. Maka daripada itu suatu perbuatan dikatakan sebagai

pemerkosaan jika didalamnya terdapat unsur kekerasan dengan ancaman yang

membuat perempuan tidak mampu menolak, keterpaksaan perempuan dalam

melakukan hubungan biologis dan hubungan biologis terjadi secara nyata.

Markom didalam buku Abdul Wahid mengemukakan terkait pengertian

perkosaan adalah suatu keadaan darurat baik secara psikologis maupun secara

medis. Yang dimaksudkan secara psikologis maupun medis diuraikan dalam

beberapa bagian dibawah ini:

a. Penderitaan secara psikologis, yang berarti merasa tidak lagi berharga yang

diakibatkan oleh kehilangan keperawanan dimata masyarakat, dimata suami,

calon suami ataupun pihak-pihak lain yang terkait dengan korban. Penderitaan

psikologis ini juga dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa kepercayaan diri,

sering menutup diri dari oranglain dan curiga terhadap oranglain yang memiliki

niat baik pada korban.

70
Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/perkosa) Diakses pada tanggal 19
Juni 2022, pukul 15.06.
71
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit. Hal. 41.
47

b. Kehamilan yang memiliki kemungkinan dapat terjadi, yang berarti bilamana

janin yang ada tumbuh menjadi besar, artinya anak yang dilahirkan akibat dari

perkosaan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma

keagamaan.

c. Penderitaan fisik, yang berarti akibat dari adanya perkosaan itu yang

mengakibatkan timbulnya luka pada diri korban. Luka yang dimaksudkan

disini adalah bukan hanya luka yang terkait pada alat kelamin perempuan yang

robek, tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka jika

korban terlebih dahulu melakukan perlawanan dengan keras yang secara tidak

langsung membuat pelaku untuk berbuat lebih kasar untuk memberikan

perlawanan dari korban atas perilaku korban.

d. Menumbuhkan rasa kurang percayanya pada penanganan aparat penegak

hukum. Dalam hal ini korban merasa diperlakukan secara diskriminasi atau

lemah mentalnya yang diakibatkan tekanan secara terus menerus didalam

proses penyelesaian perkara yang cukup panjang.

e. Korban merasa tidak dihargai ditengah-tengah masyarakat, keluarga, suami

bahkan calon suami.72

Pemaksaan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah suatu

bagian dari kekerasan seksual hal ini seperti yang tertuang melalui Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Disamping itu, dikenal Marital rape, marital rape ini adalah gabungan dari marital

yang berarti segala hal yang berkaitan dengan perkawinan, serta rape adalah

72
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Loc.cit, Hal. 82.
48

pemerkosaan. Perkosaan dalam perkawinan atau kerap disebut Marital Rape dapat

didefinisikan sebagai salahsatu jenis kekerasan dalam bentuk pemaksaan dalam

hubungan seksual oleh suami terhadap istri tanpa mempertimbangkan kondisi

istri.73 Senada dengan itu, Elli N. Hasbianto mengemukakan bahwa marital rape

adalah pemaksaan hubungan seksual ataupun secara sukarela melakukan perbuatan

seksual tanpa memperhatikan kepuasaan seorang istri. Nurul Ilmi Idrus,

mengemukakan terkait marital rape yaitu hubungan seksual yang disertai dengan

pemaksaan dengan selera sendiri, pengancaman, dan penggunaan oleh alkohol

terlarang ataupun minuman beralkohol. Farha Ciciek mengelompokkan marital

rape kedalam 3 bagian. Pertama, pemaksaan hubungan sesual diwaktu istri tidak

siap, hubungan seksual ini diiringi oleh penyiksaan dan pemaksaan secara

hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan oleh istri.74

Milda Marlia dalam bukunya, mengemukakan kekerasan terhadap

perempuan kedalam beberapa bagian. Pertama, Kekerasan terhadap perempuan

adalah tiap-tiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan,

dan pengabaian hak asasi perempuan yang didasari oleh gender. Tindakan tersebut

mengakibatkan kerugian dan penderitaan terhadap perempuan, baik secara psikis,

fisik maupun secara seksual, didalamnya juga termasuk ancaman, pemaksaan atau

pengambilan secara kemerdekaan yang sewenang-wenang, baik dalam individu,

berkeluarga, bermasayarakat maupun secara bernegara. Kedua, Kekerasan terhadap

73
Aldira Arumita Sari, Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual terhadap Istri (Marital
Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 1,
No.1, 2019. Hal. 120.
74
Milda Marlia, 2007. Marital Rape, Kekuasaan Seksual Terhadap Istri, Yogyakarta,
Penerbit Lkis Pelangi Aksara. Hal. 11.
49

perempuan yakni setiap perbuatan yang didasari oleh perbedaan jenis kelamin yang

diakibatkan oleh penderitaan perempuan secara fisik, seksual maupun psikologis.

Termasuk adanya ancaman tindakan tertentu, pemaksaan maupun perampasan

kemerdekaannya yang dilakukan secara sewenang-sewenang baik dalam kehidupan

secara pribadi maupun secara publik.75

Ketiga, kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindakan sosial yang

harus dipertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat. Terakhir,

Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindakan pelaku yang muncul dan

mengakibatkan adanya bayangan tentang peran identitas yang didasari oleh jenis

kelamin. Tindakan kekerasan terhadap perempuan yang pada dasarnya dibagi

menjadi dua bagian, yaitu kekerasan yang mengakibatkan fisik dan nonfisik.

Kekerasan secara fisik berupa pelecehan seksual, colekan yang tidak diinginkan,

pemukulan, penganiayaan, serta pemerkosaan. Dalam bagian ini, terror dan

intimidasi, kawin secara paksa, kawin dibawah tangan, pelacuran paksa, dan

pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi. Sedangkan kekerasan nonfisik adalah

pelecehan seksual, seperti sapaan, siulan, colekan ataupun bentuk perhatian yang

tidak diinginkan, direndahkan. Perilaku-perilaku ini bertujuan untuk mengontrol,

memperlemah, bahkan sampai kepada menyakiti pihak lain. Kedua tindakan

kekerasan ini disebabkan oleh implikasi yang serius bagi kesehatan dan mental

seseorang.76

75
Ibid, Milda Marlia, Hal.17.
76
Ibid, Milda Marlia, Hal.18.
50

Kriminolog Mulyana mengemukakan bahwa terdapat 6 (enam) jenis

perkosaan yaitu:

a. Sadistic Rape

Sadistic Rape memiliki sifat yang merusak didalam jenis perkosaan ini.

Kesenangan yang didapat pelaku bukan dari berhubungan seksual dengan

korban, tetapi didapatkan dengan serangan secara fisik terhadap korban baik

dalam serangan terhadap alat kelamin maupun tubuh korban.

b. Ange Rape

Ange Rape ialah suatu sifat penganiayaan terhadap seksualitas korban yang

dijadikan cara untuk melakukan pelampiasan perasan marah si pelak. Dalam

sifat pemerkosaan yang ini, korban dijadikan sebagai objek yangmana tubuh

korban dianggap sebagai musuhnya.

c. Dononation Rape

Dononation Rape adalah suatu jenis perkosaan yang menitikberatkan terhadap

pelaku yang merasa bahwa pelaku merupakan sosok yang lebih kuat dari korban,

pelaku juga merasa mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari korban,

perbuatanya juga bertujuan untuk menaklukkan korban secara seksual, dan

untuk menyakiti korban dengan kekuatannya dalam berhubungan seksual.

d. Seduktive rape

Seduktive rape adalah jenis perkosaan yang terjadi dikarenakan situasi

merangsang yang diciptakan oleh pelaku maupun korban yangmana pada

akhirnya korban merasa bahwa keintiman personal tidak harus melewati batas

serta tidak harus sampai melakukan perbuatan kesenggamaan sehinga pelaku


51

yang sudah terangsang dan korban yang mulai menolak mengakibatkan pelaku

melakukan paksaan agar dapat melakukan hubungan seksual dengan korban

tanpa rasa bersalah.

e. Victim Precipitatied Rape

Victim Precipitatied Rape adalah perbuatan perkosaan yang terjadi dikarenakan

sikap korban sendiri.

f. Exploitation Rape

Exploitation Rape adalah sikap perkosaan pelaku yang mengambil keuntungan

dengan posisi yang didapatkannya, yangmana pelaku melakukan perkosaan

kepada wanita yang bergantung padanya baik secara ekonomi maupun secara

sosial. 77

Jika dikaitkan dengan 6 (enam) macam jenis perkosaan seperti yang telah

disebutkan diatas, maka perkosaan dalam perkawinan dapat dikategorikan kedalam

exploitation rape, dalam hal ini berkaitan dengan status seorang istri yang

bergantung kepada suami baik secara sosial maupun secara ekonomi, peran suami

dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga dan memiliki kewajiban untuk

menafkahi istri maupun anaknya.

Perlindungan hukum terhadap korban pemaksaan persetubuhan diuraikan

kedalam beberapa aturan dibawah ini:

1) Perlindungan Hukum terhadap Korban Pemerkosaan dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

77
Abdul Wahid, 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas
Hak Asasi Perempuan, PT Refika Aditama, Bandung, Hal. 40.
52

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap

orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.

Pasal 8 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa “Kekerasan

seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang


menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau
tujuan tertentu

Rodliyah dan salim dalam bukunya menguraikan orang yang menetap

dalam lingkup rumah tangga meliputi:

a. Suami, istri dan anak;

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud pada huruf a dikarenakan memiliki hubungan

darah, perkawinan, persusuan dan perwalian yang menetap dalap rumah

tangga;

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam

lingkup rumah tangga tersebut.78

78
Rodliyah dan Salim, 2017. Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya, Depok,
Penerbit Raja Grafindo Persada. Hal. 241.
53

Sanksi bagi setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual

ditegaskan melalui Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga, yang menegaskan bahwa: “Setiap

orang yang melakukan kekerasan seksual sebagai dimaksud dalam pasal 8 huruf a

dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp.

36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).”

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan terkait hak-hak yang

didapatkan oleh korban, dijelaskan bahwa:

“Korban berhak mendapatkan:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,


advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.”

2) Perlindungan Hukum terhadap Korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban selanjutnya disebut Undang-Undang LPSK menyebutkan bahwa:


54

(1) Saksi dan korban berhak:


a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan identitasnya;
j. mendapat identitas baru;
k. mendapat tempat kediaman sementara;
l. mendapat tempat kediaman baru;
m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n. mendapat nasihat hukum;
o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
Perlindungan berakhir; dan/atau
p. mendapat pendampingan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau
Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi
Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan
keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak
ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang
keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang LPSK yang telah disebutkan diatas,

maka korban dari pemaksaan persetubuhan didalam lingkup rumah tangga akan

banyak sekali mendapat hak-haknya, sehingga yang diharapkan dengan adanya

perlindungan hukum baik Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Undang-Undang LPSK

terlindungnya korban dalam melaporkan tindak pidana yang menimpanya.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dalam hukum pidana umum

Indonesia, yakni KUHP belum diatur, KUHP hanya mengatur megenai

perkosaan yang dikenal secara umum, yakni perkosaan yang terjadi di luar

ikatan perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 285 KUHP, namun

berbeda halnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur terkait dengan

pemaksaan persetubuhan yang terjadi dilingkup rumah tangga, hingga

mengatur sanksi yang didapatkan jika melakukan pemaksaan persetubuhan.

2. Perlindungan hukum terhadap korban pemaksaan persetubuhan telah diatur

melalui Pasal 5 huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga menjadikan landasan

hukum bagi adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap

orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut, serta sanksi dari

perbuatan tersebut dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan

denda paling banyak Rp. 36.000.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).

B. Saran

Disarankan agar perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dirumuskan

dalam KUHP serta dijelaskan secara rinci istilah perkosaan dalam perkawinan

melalui Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah tangga.

55
56

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Muqsit Ghozi dkk. 2002. Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan

(Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda), Jakarta, Rahima Cet. 1.

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001. Perlindungan Terhadap Korban

Kekerasan Seksual, Bandung, Refika Aditama.

Ahmad Suaedy, 2000. Kekerasan dalam Perspektif Pesantren, Jakarta. Grassindo.

Amir Syarifuddin, 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada

Media.

B. S. Pramono, 2006. Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum. Surabaya. Usaha

Nasional.

Beni Ahmad Saebani, 2010. Fiqh Munakahat 2, Bandung. CV Pustaka Setia.

Farha Ciciek, 1998. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga: Belajar

dari kehidupan Rasul, Jakarta. LKAJ, Solidaritas Perempuan dan Ford

Foundation.

Fathul Djannah, 2007. Kekerasan Terhadap Istri, Yogyakarta. LkiS.

Guse Prayudi. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, Yogyakarta. Merkid Press.

Harjono, 2008, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Jakarta. Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.


57

Husein Muhammad, 2001. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender. Yogyakarta. Lkis Pelangi Aksara.

I. Gede Pantja Astawa. 2008. Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di

Indonesia. Bandung. PT. Alumni

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i, Bandung, Penerbit

Pustaka Setia.

Indah Purbasari, 2017. Hukum Islam sebagai Hukum Positif di Indonesia, Malang,

Setara Press.

Ismantoro Dwi Yuyono, 2011. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual

Terhadap Anak. Jakarta, Pustaka Yustisia.

John M. Echols dan Hassan Shadily, 1993. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta,

Gramedia Pustaka Utama.

Ken Suratiyah, 1997. Pengorbanan Wanita Pekerja Industri, dalam Irwan

Abdullah (Ed), Sangkan Paran Gender, Cet. I, Yogyakarta, Pusat Penelitian

Kependudukan UGM.

La Jamaa dan Hadidjah, 2008. Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan

dalam Rumah Tangga, Surabaya, Bina Ilmu Cet. ke-1.

Masdar F. Mas’udi. 1997. Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan Cet II.

Bandung, PT. Mizan Hazanah Ilmu-ilmu Islam.

Milda Marlia, 2007. Marital Rape, Kekuasaan Seksual Terhadap Istri, Yogyakarta,

PT. Lkis Pelangi Aksara.

Mufidah Cholidah Dkk, 2006. Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan

Malang, Pilar Media.


58

Nurul Ilmi Idrus, 1999. Marital rape: Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan

Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM dan Ford

Foundation.

R.Soesilo, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-

Komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia.

Romli Atmasasmita, 1992. Masalah santunan korban kejahatan. Jakarta, BPHN.

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Sayuti Thalib, 1982. Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta,

UI press.

Syafiq Hasyim. 2000. Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, The Asia

Foundation.

WJS Poerwadarminta, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai

Pustaka.

Zainuddin, 2016. Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika.

Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta, PT. LKiS Pelangi

Aksara.

B. Jurnal/Skripsi

Aida Berlian Cahyaningrum, 2017. Tinjauan Hukum Marital Rape Dalam UU

Perkawinan dan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Skripsi. IAIN Salatiga.

Aldira Arumita Sari, 2019. Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual terhadap Istri

(Marital Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia, Jurnal Pembangunan

Hukum Indonesia, Vol. 1, No.1.


59

Bergen dalam Siti A’isyah, 2001. Marital Rape Dalam KUHP dan Hukum Pidana

Islam, Skripsi. Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Elli N. Hasbianto, 1996. Potret Muram Kehidupan Perempuan dalam Perkawinan,

Makalah Seminar Nasional: Perlindungan Perempuan dari Pelecehan dan

Kekerasan Seksual, diselenggarakan PPK UGM bekerjasama dengan Ford

Foundation, Yogyakarta.

Johan Runtu, 2012. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana

Perkosaan dalam Peradilan Pidana, Lex Crimen Vol.I/No.2.

Riskyanti Juniver Siburian, 2020. Marital rape sebagai tindak pidana dalam RUU-

Penghapusan Kekerasan Seksual, Jurnal Yuridis Vol. 7 No. 1.

Setiono, 2004. Rule of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

C. Undang-Undang

Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

D. Website
60

http://perpustakaan.mahkamah.agung.go.id/ diakses pada tanggal 19 Maret 2021,

pukul 10.21 wib.

https://id.wikipedia.org/wiki/Bersetubuh diakses pada tanggal 26 april 2021, pukul

12.08 wib

https://id.wikipedia.org/wiki/Paksaan, diakses pada tanggal 26 april 2021, pukul

12.08 wib

https://www.alodokter.com/komunitas/topic/apakah-akan-hamil-2 Diakses pada

tanggal 26 April 2021, Pukul 01.10 wib

Kamus Besar Bahasa Indonesia http://kbbi.web.id/perkosa Diakses pada tanggal 19

Juni 2022, pukul 15.06.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online http://kbbi.web.id/kesusilaan Diakses pada

tanggal 05 Juni 2022 pukul 16.00.

Kompas.com dengan judul "Komnas Perempuan: Memaksa Istri Berhubungan

Badan Termasuk Pemerkosaan", selasa 9 juli 2019, 06:54. Diakses pada 19

maret 2021, 19:31

Anda mungkin juga menyukai