Anda di halaman 1dari 98

ANALISIS YURIDIS PASAL 30C HURUF H UNDANG UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS


UNDANG UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DITINJAU
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
33/PUU-XIV/2016 MENGENAI KEWENANGAN JAKSA
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA
PIDANA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum

Oleh:
Muhamad Hanif Renanda
185010100111077

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN


TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS PASAL 30C HURUF H


UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG
UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DITINJAU
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XIV/2016
MENGENAI KEWENANGAN JAKSA
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM
PERKARA PIDANA
Identitas Penulis :
a. Nama : Muhamad Hanif Renanda
b. NIM : 185010100111077

Konsentrasi : Hukum Pidana


Jangka Waktu Penelitian : 4 Bulan

Disetujui pada tanggal :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. Fachrizal Affandi, S.H., M.H Solehuddin, S.H., M.H


NIP. 19810409200812 Mengetahui, NIP. 201607900422100

Ketua Departemen
Hukum Pidana

Eny Harjati, S.H., M.Hum


NIP. 195904061986012001

i
LAMAN PENGESAHAN

ANALISIS YURIDIS PASAL 30C HURUF H UNDANG-UNDANG NOMOR 11


TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR
16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DITINJAU BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
33/PUU-XIV/2016 MENGENAI KEWENANGAN JAKSA MENGAJUKAN
PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA

Oleh :
Muhamad Hanif Renanda
185010100111077

Skripsi ini telah disahkan pada tanggal […] oleh :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. Fachrizal Affandi, S.H., M.H Solehuddin, S.H., M.H


NIP. 19810409200812 NIP. 201607900422100

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum. Dr. Muchammad Ali Safa’at, S.H., M.H.
NIP. 196705031991032002 NIP. 197608151999031003

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena rahmatnya,
saya dapat menyelesaikan penelitian yang saya tuangkan kedalam skripsi
saya, skripsi ini dilakukan dan dikerjakan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat-syarat memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Bahwasannya skripsi ini tidak dapat
terselesaikan tanpa bimbingan, arahan, petunjuk, dan tentunya dukungan
dari berbagai pihak semenjak awal masa perkuliahan sampai dengan
selesainya penelitian skripsi ini. Dengan selesainya penelitian skripsi ini,
penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada:
1. Ayah, Ibu, Adik dan Keluarga Besar saya yang telah selalu
mendoakan serta membantu dalam menjalani segala proses selama
masa perkuliahan.
2. Ibu Eny Harjati, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
3. Bapak Dr. Fachrizal Affandi, S.H., M.H. dan Bapak Solehuddin, S.H.,
M.H. selaku dosen pembimbing penulis yang telah memberikan
pengetahuan, bantuan, kritik, arahan, dan juga saran dalam
penulisan skripsi ini.
4. Partai Mahasiswa Pinggiran Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
yang penulis anggap sebagai keluarga kecil dan tempat berproses
selama masa perkuliahan.
5. Keluarga Besar Asian Law Students’ Association National Chapter
Indonesia, khususnya Local Chapter Universitas Brawijaya, sebagai
tempat yang memberikan banyak pembelajaran, pengalaman,
kebahagiaan, dan warna selama masa perkuliahan bagi penulis.
6. Keluarga Besar Brawijaya Moot Court Community yang telah
menjadi rumah kedua yang paling hangat dan nyaman bagi Penulis

iii
selama menjalani masa perkuliahan, terima kasih atas segala ilmu,
pengalaman, dan pembelajaran yang telah diberikan.
7. Seluruh orang yang ada disekitar penulis yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, terima kasih atas seluruh dukungan, kehangatan, dan
seluruh hal yang mengikatkan kita hingga mencapai titik ini.
Penulis yakin bahwasannya skripsi ini masih sangat jauh dari kata
sempurna, sehingga masukan maupun kritik akan selalu penulis harapkan
dalam rangka memperbaiki skripsi ini. Akhir kata penulis ingin
mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya jika dalam proses
pembuatan skripsi ini terhadap kesalahan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja. Semoga Tuhan yang Maha Esa mengampuni kesalahan kita dan
berkenan menunjukan yang terbaik.

Malang, 3 Agustus 2022

Muhamad Hanif Renanda

iv
DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ..................................................................................... i


Laman Pengesahan ....................................................................................... ii
Kata Pengantar .............................................................................................iii
Daftar Isi ...................................................................................................... v
Daftar Tabel ................................................................................................vii
Ringkasan .................................................................................................. viii
Bab I Pendahuluan ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Orisinalitas Penelitian ...................................................................... 10
C. Rumusan Masalah .......................................................................... 11
D. Tujuan Penelitian............................................................................ 12
E. Manfaat Penelitian .......................................................................... 12
F. Metode Penelitian ........................................................................... 13
Bab II Kajian Pustaka ................................................................................. 18
A. Tinjauan Umum Upaya Hukum Peninjauan Kembali ........................... 18
1. Pengertian Upaya Hukum Peninjauan Kembali ............................ 18
2. Sejarah Upaya Hukum Peninjauan Kembali Di Indonesia.............. 20
3. Pengajuan Peninjauan Kembali .................................................. 24
B. Tinjauan Umum Kejaksaan .............................................................. 27
1. Pengertian Kejaksaan .................................................................... 27
2. Kedudukan Kejaksaan.................................................................... 31
3. Tugas Dan Wewenang Kejaksaan .................................................. 33
C. Tinjauan Umum Teori Finalitas Dan Falibilitas Dalam Hukum Pidana ... 36
1. Prinsip Finalitas Dan Doktrin Ne Bis In Idem.................................. 38
2. Teori Falibilitas Dan Kaitannya Dengan Sistem Revisi Atau Peninjauan
Kembali ......................................................................................... 44
Bab III Pembahasan.................................................................................... 48
A. Analisis Pertimbangan Hukum (Ratio Legis) Pasal 30C huruf h Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. .......... 48
B. Konstitusionalitas Kewenangan Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali
Dalam Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia Dikaitkan Dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 ................................................. 61

v
1. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
XIV/2016 ................................................................................. 61
2. Analisis Konstitusionalitas Kewenangan Jaksa Mengajukan
Peninjauan Kembali Dalam Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan Ditinjau
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016
.............................................................................................. 69
Bab IV Penutup........................................................................................... 79
A. Kesimpulan .................................................................................... 79
B. Saran ............................................................................................ 80
Daftar Pustaka ............................................................................................ 81

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Orisinalitas Penelitian .................................................................. 10

vii
RINGKASAN

Muhamad Hanif Renanda, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas


Brawijaya, Agustus 2022, ANALISIS YURIDIS PASAL 30C HURUF H UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG
NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DITINJAU
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XIV/2016
MENGENAI KEWENANGAN JAKSA MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM
PERKARA PIDANA, Dr. Fachrizal Affandi, S.H., M.H dan Solehuddin, S.H., M.H.
Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan atas ketidaksesuaian
norma mengenai kewenangan Jaksa mengajukan upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali. Dimana dalam hal ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/PUU-XIV/2016 pada tahun 2016 menyatakan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP
inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat selain dimaknai
tersurat, yang berarti memberikan norma bahwa Jaksa tidak dapat mengajukan
Peninjauan Kembali. Bulan Desember 2021, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Jaksa berwenang mengajukan
Peninjauan Kembali sebagaimana termaktub dalam Pasal 30C huruf h Undang-
Undang Kejaksaan. Hal tersebut semakin memperpanjang simpang siur ketentuan
mengenai kewenangan Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali, yang berakibat
terancamnya kepastian hukum dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, Penulis mengangkat 2 (dua) rumusan masalah,
yaitu: (1) Bagaimana pertimbangan hukum (ratio legis) kewenangan jaksa
mengajukan Peninjauan Kembali dalam Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia?, dan (2) Bagaimana konstitusionalitas
kewenangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali dalam Pasal 30C huruf h
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dikaitkan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016?.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan
Pendekatan Undang-Undang (Statutory Approach), Pendekatan Konseptual

viii
(Conseptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Penulis juga
mengupas permasalahan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier yang diperoleh penulis dan akan dianalisis dengan menggunakan
metode interpretasi gramatikal, autentik, dan sistematis.
Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban
atas permasalahan yang ada bahwa Prinsip equality of arms yang dicantumkan
dalam penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan Republik
Indonesia kurang tepat untuk di terapkan di Indonesia, Jaksa mengajukan
peninjauan kembali dalam kapasitasnya semata-mata melindungi kepentingan
umum atau negara dan korban, sehingga dalam hal ini Jaksa dapat mengelaborasi
falibilitas dan finalitas dalam suatu putusan pengadilan demi tercapainya nilai
kepastian hukum dan keadilan. Kewenangan Jaksa mengajukan Peninjauan
Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan
adalah konstitusionalkarena sejalan dengan norma yang diberikan Pasal 263 Ayat
(3) KUHAP. Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan yang dalam penjelasan
pasalnya mengadopsi Pasal 263 Ayat (3) KUHAP dapat dijadikan dasar hukum
Jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali dimasa yang akan datang demi
tegaknya kepastian hukum dan keadilan.

ix
SUMMARY

Muhamad Hanif Renanda, Criminal Law, Faculty of Law, Universitas Brawijaya,


August 2022, JURIDICAL ANALYSIS OF ARTICLE 30C LETTER H OF LAW NUMBER
11 OF 2021 CONCERNING AMENDMENTS TO LAW NUMBER 16 OF 2004
CONCERNING THE PROSECUTORS OF THE REPUBLIC OF INDONESIA REVIEWED
BASED ON THE DECISION OF THE CONSTITUTIONAL COURT NUMBER 33 / PUU-
XIV / 2016 CONCERNING THE AUTHORITY OF PROSECUTORS TO APPLY FOR
REVIEW IN CRIMINAL CASES, Dr. Fachrizal Affandi, S.Psi., S.H., M.H and
Solehuddin, S.H., M.H.

In this thesis, the author raises the issue of the inconsistency of norms
regarding the authority of the Prosecutor to file extraordinary legal remedies for
Peninjauan Kembali. Where in this case, the Constitutional Court Decision No.
33/PUU-XIV/2016 in 2016 stated that Article 263 Section (1) of KUHAP is
unconstitutional and has no binding legal force other than being interpreted
explicitly, which means that it provides a norm that the Prosecutor cannot apply
for Peninjauan Kembali. In December 2021, Law Number 11 of 2021 concerning
Amendments to Law Number 16 of 2004 concerning the Prosecutor of the Republic
of Indonesia stated that the Prosecutor has the authority to apply for Peninjauan
Kembali as stated in Article 30C letter h of the Prosecutor's Law. This further
prolongs the provisions regarding the authority of the Prosecutor to apply for
Peninjauan Kembali, which results in the threat of legal certainty and the values
of justice in society.
Based on that matter, the author appoints 2 (two) problem formulations,
that is: (1) How is the legal consideration (ratio legis) of the prosecutor's authority
to file a Peninjauan Kembali in Article 30C letter h of Law Number 11 of 2021
concerning Amendments to Law Number 16 of 2004 concerning the Prosecutor of
the Republic of Indonesia? and (2) How is the constitutionality of the prosecutor's
authority to file a Peninjauan Kembali in Article 30C letter h of Law Number 11
of 2021 concerning Amendments to Law Number 16 of 2004 concerning the
Prosecutor of the Republic of Indonesia related to the Constitutional Court Decision
No. 33/PUU-XIV/2016?

x
For the type of research used in this study, the author uses the Statutory
Approach, the Conceptual Approach, and the Case Approach. The author resolves
the problem using primary, secondary, and tertiary legal materials obtained by the
author and will be analyzed using grammatical, authentic, and systematic
interpretation methods.
Results of the research using the above method, the authors obtained
answers to the existing problems that the principle of equality of arms in the
explanation of Article 30C letter h of the Law on the Prosecutor of the Republic of
Indonesia is not appropriate to be applied in Indonesia, the Prosecutor submitted
a review in his capacity solely protect the public interest or the state and the victim,
so that in this case the prosecutor can elaborate the fallibility and finality in a court
decision in order to achieve the value of legal certainty and justice. The
prosecutor's authority to file a Peninjauan Kembali as regulated in Article 30C
letter h of the Prosecutor's Law is constitutional because it is in line with the norms
provided for in Article 263 Section (3) of KUHAP. Article 30C letter h of the
Prosecutor's Law which in the explanation of the article adopts Article 263 Section
(3) of the KUHAP can be used as the legal basis for the Prosecutor to submit a
Peninjauan Kembali in the future for the sake of upholding legal certainty and
justice.

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesuai dengan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.”1 negara wajib melindungi setiap warga negaranya, tidak hanya
dari ancaman yang berasal dari luar negeri tetapi juga dari dalam
negeri sendiri. Dalam hal ini, peranan hukum sebagai pranata sosial
yang mengatur kehidupan masyarakat sangatlah penting. Untuk
menjaga dan mengawasi hukum berjalan dengan efektif dan tepat
sasaran maka dibentuklah lembaga peradilan dengan sistem peradilan
yang menunjang penegakan hukum.
Melindungi warga negara berlandaskan hukum di Negara
Indonesia salah satunya adalah dengan adanya upaya hukum,
tercantum dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 (KUHAP): “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut
umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.” dapat diartikan bahwa
upaya hukum merupakan tata cara perlawanan, banding, kasasi, dan
upaya hukum peninjauan kembali suatu putusan pengadilan. Adanya
upaya hukum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak para pelaku tindak pidana

1
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke-4.

1
jika dihadapkan pada putusan yang keliru, tidak memuaskan, atau
putusan yang menyudutkan terdakwa.2
Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum
terakhir yang sejatinya merupakan hak hukum yang dimiliki oleh
terpidana untuk mengajukan pembelaan atas diri terpidana. Menurut
Martiman Prodjokamidjojo, adanya upaya hukum Peninjauan Kembali
oleh terpidana merupakan jalan yang ditempuh guna menghindari
terjadinya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum, karena hakim
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.3 Peninjauan
kembali dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan
Pedoman Pelaksanaan KUHAP, berkekuatan hukum tetap (in kracht
van gewisjde) berarti putusan pengadilan telah melampaui tujuh hari
waktu berfikir-fikir setelah putusan pengadilan tingkat pertama dan
telah melampaui empat belas hari berfikir-fikir setelah putusan
pengadilan tingkat banding.
Pengaturan mengenai Peninjauan Kembali dalam hukum acara
pidana di Indonesia berpayung pada Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), tepatnya dalam Pasal 263 Ayat (1) yang
berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Berdasarkan pasal tersebut, Peninjauan Kembali menjadi hak
terpidana atau ahli warisnya dan Peninjauan Kembali tidak dapat
dilakukan terhadap putusan bebas dan lepas. Melalui keberadaan pasal
tersebut KUHAP seperti mengisyaratkan pengecualian hak jaksa untuk
mengajukan Peninjauan Kembali. Namun, di sisi lain, Pasal 263 Ayat
(3) KUHAP menyatakan bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan

2
Fajar Laksono Soeroso, Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI, 2016, hlm. 82.
3
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1997, hlm. 222.

2
terhadap putusan yang menyatakan suatu perbuatan pidana telah
terbukti tanpa diikuti dengan pemidanaan. Hal ini lah yang kemudian
menimbulkan kerancuan karena Pasal 263 Ayat (3) ini seolah
merupakan alasan Peninjauan Kembali yang diperuntukkan bagi Jaksa
Penuntut Umum.
Ambiguitas norma di atas jadi alasan jaksa tetap mengajukan
Peninjauan Kembali. Setelah diterbitkannya KUHAP, Peninjauan
Kembali pertama kali dimohonkan jaksa pada tahun 1996 dalam
perkara Muchtar Pakpahan. Jaksa berhasil menganulir putusan bebas
Pakpahan di kasasi, hingga dipidana empat tahun penjara oleh Majelis
PK.4 Putusan ini yang kemudian banyak dirujuk oleh putusan yang
menerima dan mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali oleh
Jaksa, seperti pada putusan bebas Ram Gulumal5 tahun 2001 dan
putusan lepas Soetyawati tahun 2006.6 Juga dalam perkara Pollycarpus
Budihariyanto pada tahun 2007, Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh Jaksa dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan memperberat
pidana di kasasi.7
Pertimbangan hakim dalam putusan-putusan tersebut serupa
dengan yang terekam dalam Putusan Mahkamah Agung No. 12
PK/Pid.Sus/2009 yang menganulir putusan bebas Djoko S Tjandra.
Majelis Hakim dalam putusan tersebut memberikan pertimbangan
dalam menerima Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum
antara lain:8
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam
Pasal 263 ayat (1) sudah memastikan bahwa terpidana dan
ahli warisnya tidak akan berkepentingan mengajukan
Peninjauan Kembali karena akan merugikan kepentingan
pihak terpidana sendiri.
2. Penerapan Pasal 263 ayat (2) KUHAP mengenai yang
menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas

4
Putusan Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996.
5
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3PK/Pid/2001.
6
Putusan Mahkamah Agung Nomor 15PK/Pid/2006.
7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 109PK/Pid/2007.
8
Putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009, hlm. 87-90.

3
dasar : a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan
dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada
waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau
keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan
yang lain; c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan
suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat penafsiran
mengenai pihak yang berkepentingan dalam Pasal 263 ayat
(3) KUHAP dimaknai sebagai Jaksa untuk mewakili
kepentingan korban dan masyarakat yang tidak dimungkinkan
secara langsung memperjuangkan kepentingannya dalam
perkara pidana.
3. Pemaknaan Pasal 263 ayat (3) KUHAP diperlukan dalam
rangka menyeimbangkan antara pencarian kebenaran materiil
hukum pidana, penerapan hukum in konkreto untuk
memberikan kepastian hukum, memenuhi rasa keadilan yang
ada dimasyarakat melalui penemuan hukum oleh Hakim.
Menariknya, di beberapa perkara lain Mahkamah Agung
menunjukkan sikap tidak menerima Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh jaksa. Dalam perkara Mulyar bin Samsi9 dan Anggodo Wijoyo10,
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh jaksa ditolak dengan alasan
undang-undang telah secara tegas menentukan Peninjauan Kembali
merupakan hak terpidana atau ahli warisnya, yang mana hal itu
merupakan bentuk due process of law untuk membatasi tindakan
negara pada warga negaranya. Selain itu, Mahkamah Agung juga

9
Putusan Mahkamah Agung Nomor 84PK/Pid/2006.
10
Putusan Mahkamah Agung Nomor 152PK/Pid/2010.

4
menolak Peninjauan Kembali yang diajukan oleh jaksa dalam perkara
Roedyanto11 dan Ahmad Kudri Moekri12 karena jaksa dinyatakan tidak
mampu membuktikan kepentingan public yang harus dilindungi lewat
pengajuan Peninjauan Kembali tersebut.
Marwah upaya hukum peninjauan kembali sebagai pembela
kepentingan dan perlindungan hak-hak warga negara ketika
berhadapan dengan hukum tercoreng dengan maraknya praktek
peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum bukan
oleh terdakwa atau ahli warisnya. Hal ini dinilai berpotensi melanggar
hak asasi terpidana dan ahli warisnya, bahkan terkesan Jaksa (sebagai
alat negara) hanya melindungi kepentingan negara saja dan
mengabaikan kepentingan masyarakat sehingga tujuan pelaksanaan
hukum pidana yang adil tidak akan tercapai.13 Realitas hukum ini
merupakan ciri khas dari penerapan hukum itu sendiri, gejala ini umum
dikenal sebagai logical fallacy atau kesesatan logika/sesat pikir dalam
penerapan hukum, sebagaimana dinyatakan oleh Sumaryono sesat
berfikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya
tidak logis, salah arah dan menyesatkan, suatu gejala berfikir yang
salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa
relevansinya.14
Perbedaan persepsi mengenai pengajuan Peninjauan Kembali
oleh jaksa sebenarnya telah diselesaikan pada tahun 2016, dalam hal
ini Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar15 telah
menguji pasal 263 Ayat (1) KUHAP terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal
28D Ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Nomor Register
Perkara Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016. Pemohon uji materil

11
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57PK/Pid/2009.
12
Putusan Mahkamah Agung Nomor 173PK/Pid/2011.
13
Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis Terhadap Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan
Kembali (PK) Oleh Jaksa Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 4, Nomor 2, 2014, hlm. 6.
14
Sumaryono, Dasar-Dasar Logika, Kanisius, Jakarta, 1999, hlm. 9.
15
Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5
perkara konstitusi ini adalah seorang istri dari suaminya yang lepas
dari tuntutan hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel yang kemudian diajukan
Kasasi oleh Penuntut Umum yang pada putusannya Mahkamah Agung
menolak kasasi tersebut sebagaimana tercantum dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 dan delapan tahun
kemudian Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan kasasi
Mahkamah Agung tersebut. Pada pengajuan peninjauan kembali oleh
Jaksa ini melanggar hukum dan bertentangan dengan Pasal 263 Ayat
(1) KUHAP karena pertama, diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
bukan terpidana atau ahli warisnya. Kedua, peninjauan kembali
diajukan terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Pada pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, terdapat dua
upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu Kasasi Demi
Kepentingan Hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum atau Peninjauan
Kembali yang merupakan hak terpidana ataupun ahli warisnya. Bahwa
sistem hukum pidana yang dibangun dalam KUHAP telah memberikan
kesempatan yang sama kepada Jaksa/Penuntut Umum dengan upaya
hukum banding atau kasasi dan Terpidana atau ahli warisnya melalui
upaya hukum peninjauan kembali. Dapat disimpulkan bahwa hak
pengajuan peninjauan kembali adalah hak terpidana atau ahli
warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Ketika Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum diterima, maka
telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu
sendiri, yakni terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengajuan Peninjauan
Kembali hanya dapat diajukan oleh Terpidana atau ahli warisnya
sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Sehingga
Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali
pula sepatutnya Mahkamah Agung menolak pengajuan Peninjauan
Kembali yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Sejak diputuskan

6
sebagaimana diatas oleh Mahkamah Konstitusi, tidak ditemukan lagi
pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa.
Bulan Desember 2021, revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Terdapat beberapa substansi
yang direvisi, ditambah, ataupun dikuatkan terkait dengan lembaga
Kejaksaan Republik Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan publik
adalah pada Bab III mengenai Tugas dan Wewenang Pasal 30C huruf
h disebutkan bahwa Jaksa/Penuntut Umum berwenang mengajukan
Peninjauan Kembali. Keberadaan Pasal ini menimbulkan polemik
karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/PUU-XIV/2016 dan juga dinilai melanggar esensi keadilan dan
kepastian hukum. Keberadaan pasal ini dapat dimaknai pula sebagai
bagian dari perbaikan dan perluasan norma yang semula limitatif hak
terpidana atau ahli warisnya, namun disatu sisi dinilai menjadi suatu
pembangkangan hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat pertama dan terakhir. Pasal 30C huruf h dalam penjelasan
pasal menyatakan kewenangan jaksa dalam mengajukan Peninjauan
Kembali merupakan bentuk tanggungjawab Jaksa dalam mewakili
kepentingan korban termasuk negara, dengan menempatkan
kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama
dan seimbang (equality of arms pinciple) dengan hak terpidana atau
ahli warisnya, dalam keadaan apabila putusan itu memuat suatu
perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh
suatu pemidanaan.16
Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan sendiri telah dimohonkan uji
materiil ke Mahkamah Konstitusi oleh seorang bernama Ricki Martin
Sidauruk selaku Pemohon dalam Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi
Nomor 9/PUU-XX/2022 yang sidang perdananya di gelar pada tanggal
3 Februari 2022. Meskipun kemudian permohonan tersebut ditarik
kembali oleh Pemohon karena Pemohon yang tidak memperbaiki

16
Penjelasan Pasal 30C Huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.

7
permohonannya dan menyatakan menarik permohonan tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon mengajukan uji materil Pasal 30C
huruf h UU Kejaksaan dengan batu uji Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat
(1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada pokoknya, Pemohon
mendalilkan bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Kejaksaan
mengajukan PK tersebut tidak hanya bertentangan dengan hak
konstitusional Pemohon untuk memperoleh penegakan hukum yang
berkeadilan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum
dalam kerangka konseptual negara hukum Republik Indonesia. Hal
tersebut disampaikan Pemohon dengan mengingat Pasal 30C huruf h
UU Kejaksaan yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk
mengajukan Peninjauan Kembali.
Selain itu, Pemohon juga menyampaikan keberadaan aturan itu
sesungguhnya telah menyimpangi atau mengesampingkan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat secara umum.
Berlakunya pasal a quo berpotensi menimbulkan ketidakpastian atau
ambiguitas dalam pelaksanaan Peninjauan Kembali. Sehingga, hak
Pemohon untuk memperoleh jaminan penegakan hukum yang
berkeadilan dan berkepastian hukum terlanggar akibat berlakunya
Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan. Pemohon juga berpandangan bahwa
pranata Peninjauan Kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan
terpidana atau ahli warisnya, bukan kepentingan negara ataupun
korban. PK dipercaya Pemohon sebagai upaya hukum luar biasa yang
dapat dilakukan seorang terpidana atau ahli warisnya karena
berhadapan dengan kekuasaan negara. Untuk itu, dalam petitum, MK
diminta Pemohon untuk menyatakan Pasal 30C huruf h UU 11/2021
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.17
Kepastian hukum merupakan salah satu asas hukum yang
seharusnya menjadi prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-

17
Risalah Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XX/2022.

8
undangan.18 Secara gramatikal, kepastian hukum dapat dimaknai
sebagai ketentuan atau ketetapan yang dibuat oleh perangkat hukum
negara yang mampu memberikan jaminan atas hak dan kewajiban
setiap warga negara.19 Dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang diatur oleh hukum, kepastian hukum menjadi faktor
yang sangat penting demi tercapainya ketertiban dan pemenuhan hak
setiap warga negara. Menurut Fence M. Wantu, hukum tanpa nilai
kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat
dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang.20
Konflik norma mengenai hak Jaksa mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/PUU-XIV/2016 dengan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebabkan
ketidakpastian norma hukum. Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut dalam bentuk
skripsi dengan judul “ANALISIS YURIDIS PASAL 30C HURUF H
UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DITINJAU
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
33/PUU-XIV/2016 MENGENAI KEWENANGAN JAKSA
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA
PIDANA.”

18
R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil dan Dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-
Undang, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, Dirjen Peraturan Perundang-undangan
Kementrian Hukum dan HAM, 2016, hlm.10.
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1997, hlm. 735.
20
Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Volume 19, Nomor 3, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2007, hlm. 388.

9
B. Orisinalitas Penelitian

Tabel 1. 1.
Orisinalitas Penelitian

No Nama Penelitian Judul dan Tahun Rumusan Masalah


dan Asal Instansi Penelitian
1 Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis 1. Bagaimana kedudukan
(Fakultas Hukum Terhadap Upaya hukum peninjauan
Universitas Sultan Hukum Luar Biasa kembali oleh Jaksa
Ageng Tirtayasa) Peninjauan Kembali dalam hukum acara
(Pk) Oleh Jaksa Dalam pidana?
Sistem Hukum Acara 2. Bagaimana penerapan
Pidana Indonesia, dan akibat hukum
(2014) terhadap peninjauan
kembali oleh Jaksa
dalam hukum acara
pidana?
3. Bagaimana jalan
keluar terhadap
pembatasan terhadap
peninjauan kembali
oleh Jaksa dalam
hukum acara pidana?
2 Mali Diaan, Sri Ayu Kewenangan Jaksa 1. Bagaimana
Astuti, Yenny Penuntut Umum (Jpu) Kewenangan Jaksa
Nuraeni, (Program Dalam Melakukan Penuntut Umum dalam
Studi Ilmu Hukum Upaya Hukum Luar mengajukan Upaya
Pascasarjana Biasa (Peninjauan Hukum Luar Biasa
Universitas Pakuan) Kembali) Ditinjau Dari Peninjauan Kembali
Hukum Pidana (Studi Terhadap Kasus Djoko
Kasus Djoko Chandra), Chandra ?
(2021) 2. Bagaimana Upaya
Hukum Peninjauan

10
Kembali Terhadap
Putusan bebas Oleh
Jaksa Penuntut Umum
?
3. Bagaimana
Pengaturan
Peninjauan Kembali
berdasarkan Hukum
Acara Pidana ?
3 Louis William, Kepastian Hukum 1. Bagaimanakah
(Fakultas Hukum Mengenai Jaksa kepastian hukum
Universitas Penuntut Umum mengenai jaksa
Tarumanagara) Dalam Mengajukan penuntut umum dalam
Peninjauan Kembali, mengajukan
(2021) peninjauan kembali
berdasarkan prinsip
asas legalitas?

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka
permasalahan hukum yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hukum (ratio legis) kewenangan
jaksa mengajukan Peninjauan Kembali dalam Pasal 30C
huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia?
2. Bagaimana konstitusionalitas kewenangan jaksa
mengajukan Peninjauan Kembali dalam Pasal 30C huruf h
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

11
Kejaksaan Republik Indonesia dikaitkan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis dari peneltian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis ratio legis kewenangan jaksa
mengajukan Peninjauan Kembali dalam Pasal 30C huruf h
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
2. Untuk mengidentifiikasi konstitusionalitas kewenangan jaksa
mengajukan Peninjauan Kembali dalam Pasal 30C huruf h
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dikaitkan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian
ini baik secara teoritis maupun praktis adalah:
1. Manfaat Teoritis:
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi, sumbangsih pikiran, serta menambah pengetahuan dan
pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai pengajuan upaya
hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi Masyarakat
Memperkaya wawasan dan pemahaman masyarakat mengenai
hukum secara umum khususnya upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali dan kepastian hukum dalam hal hak
pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.
b. Bagi Pembuat Kebijakan dan Peraturan Perundang-
Undangan

12
Memberikan suatu pendapat yang baru dalam proses
membentuk kebijakan terkait dengan pengajuan upaya hukum
Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.
c. Bagi Akademisi
Menambah referensi pembelajaran dalam pengetahuan,
pemahaman dan penerapan ilmu hukum khususnya mengenai
pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut
Umum.
d. Bagi Praktisi
Menambah pemikiran dan pertimbangan dalam menegakkan
keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat khususnya terkait
dengan pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum.

F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang akan digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif atau
penelitian kepustakaan yang mengacu kepada satu konsep yang
menyatakan hukum sebagai suatu kaidah. Metode penelitian yuridis-
normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka.21
Ditambahkan bahwa penelitian normatif didasarkan kepada bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang penellitiannya akan
mengacu kepada norma yang tedapat dalam peraturan perundang-
undangan.22 Menurut Peter Marzuki, penelitian hukum normatif
merupakan suatu bentuk perjalanan dalam menemukan suatu aturan,
prinsip, dan doktrin hukum yang ada dengan tujuan menjawab isu
hukum yang sedang dihadapi.23 Alasan penulis menggunakan jenis

21
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 13.
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1984, hlm. 20.
23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, 2010, hlm. 35.

13
penelitian ini karena penelitian dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan dan dikarenakan metode ini merupakan suatu
prosedur unutk menemukan kebenaran dari suatu permasalahan yang
didasarkan kepada logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

2. Pendekatan Penelitian
Penulis dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-
normatif, maka tulisan ini akan menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statutory approach), pendekatan konseptual (conseptual
approach), dan pendekatan kasus (case approach) :
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statutory
Approach)
Pendekatan ini pelaksanaannya dilakukan dengan cara
menelaah undang-undang serta regulasi lain yang memiliki
hubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Pendekatan
perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti
untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuian24 antara satu
undang-undang dengan undang-undang yang lain. Pendekatan
perundang-undangan dalam penelitian ini digunakan untuk
menganalisis merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan isu hukum yang
dibahas.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)


Pendekatan konseptual akan memunculkan objek yang
menarik dari sudut pandangan pengetahuan yang praktis
sehingga dapat menentukan maknanya secara tetpat dan dapat
digunakan dalam proses pemikiran dengan mengidentifikasi

24
Ibid, hlm. 93.

14
terhadap prinsip, pandangan, dan doktrin yang sudah ada untuk
kemudian memunculkan gagasan baru.25 Dalam penelitian ini
pendekatan konseptual digunakan untuk meneiliti mengenai
konsep pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum.

c. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus pada penelitian ini dilakukan dengan


tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktik hukum terutama mengenai
kasus-kasus yang telah diputus terhadap perkara yang menjadi
fokus penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016 dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996 untuk menemukan titik
penyelesaian pertentangan kewenangan jaksa dalam pengajuan
Peninjauan Kembali.

3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diinventarisasi
dan diklasifikasikan untuk menentukan bahan hukum yang tepat dalam
memecahkan permasalahan dari isu hukum yang diteliti. Klasifikasi
jenis bahan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim.26 Bahan hukum primer
dalam penilitian hukum normatif diperoleh dari pustaka atau
peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan
hukum primer yang digunakan yaitu:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016;

25
Mulyadi, Riset Desain Dalam Metodologi Penelitian, Jurnal Studi Komunikasi dan Media,
Volume 16, Nomor 1, 2021, hlm. 28.
26
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 181.

15
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
4. Serta peraturan perundang-undangan lain yang
mendukung penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder


Bahan hukum sekunder merupakan penjelas dari bahan
hukum primer yang telah disebutkan. Bahan hukum sekunder
berupa publikasi tentang hukum meliputi buku, teks, jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.27
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah:
1. Buku dan Literatur Hukum;
2. Jurnal Hukum;
3. Artikel Hukum;
4. Skripsi atau Thesis;
5. Hasil penelitian lainnya.

c. Bahan hukum tersier


Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang menjadi
penjelas terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dan lain lain.

4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum


Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan
melalui kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah
penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literature baik
berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu.28
Studi pustaka diperoleh dari Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya,

27
Ibid.
28
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm.
5.

16
Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum (PDIH) Fakultas Hukum, dan
perpustakaan atau toko buku lainnya. Selain studi pustaka, penulis
juga menggunakan penelusuran bahan hukum melalui akses internet,
yakni electronic-book, situs internet resmi, jurnal online, maupun
artikel yang dapat di verifikasi kebenarannya dan berkaitan dengan isu
hukum dalam penelitian ini.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum


Penelitian ini dilakukan dengan cara mesistematika bahan-bahan
hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah. Bahan hukum yang telah
diperoleh kemudian dilakukan pembahasan, pemeriksaan, dan
pengelompokkan ke dalam bagian-bagian tertentu untuk diolah
menjadi data informasi. Sistemasi berarti membuat klasifikasi terhadap
bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis
dan konstruksi.29 Hasil analisa bahan hukum akan diintrepretasikan
menggunakan interpretasi gramatikal, interpretasi autentik, dan
interpretasi sistematis.
a. Interpretasi gramatikal: Menafsirkan makna dari suatu
peraturan perundang-undnagan dengan cara menguraikan
susunan kata dan bahasa dari suatu pasal mengacu pada
makna kata atau istilah tersebut menurut tata Bahasa atau
kebiasaan.
b. Interpretasi autentik: Menafsirkan berdasarkan pengertian
yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang yang
terdapat dalam teks undang-undang.
c. Interpretasi sistematis: Menafsirkan dengan memperhatikan
susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik
dalam satu undang-undang maupun peraturan perundang-
undangan lainnya.30

29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., hlm. 251.
30
Ibid, hlm. 31.

17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Upaya Hukum Peninjauan Kembali


1. Pengertian Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali (Herziening) pada dasarnya adalah
upaya hukum luar biasa yang disediakan untuk semata-mata
melindungi kepentingan terpidana, bukan kepentingan negara atau
korban dalam rangka mencari kebenaran materiil. Peninjauan
Kembali dipakai oleh terpidana untuk memperoleh penarikan
kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada
umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi atau telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Upaya hukum Peninjauan Kembali dapat
dilakukan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewisjde). Sejalan dengan yang dikatakan oleh Yahya Harahap
bahwa selama putusan pemidanaan tersebut belum memiliki
kekuatan hukum tetap, maka upaya hukum peninjauan kembali
tidak dapat digunakan, dan setelah upaya hukum biasa berupa
banding atau kasasi ditempuh dan telah tertutup, maka upaya
hukum Peninjauan Kembali baru bisa dipergunakan, sehingga
upaya hukum Peninjauan Kembali tidak boleh melangkahi upaya
hukum banding dan kasasi.31
Sebagai upaya hukum terakhir, maka pengajuan upaya
hukum Peninjauan Kembali diberikan kepada terpidana atau ahli
warisnya sebagai upaya membela dirinya. Peninjauan kembali tidak
berarti menyimpangi asas praduga tak bersalah karena walaupun
telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap
namun selama masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk

31
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
hlm. 59.

18
membela dirinya maka selama itu pula seorang terpidana berhak
atas asas praduga tak bersalah.32
Alasan Peninjauan Kembali dikategorikan sebagai upaya
hukum luar biasa karena mempunyai keistimewaan, artinya dapat
digunakan untuk membuka kembali (mengungkap) suatu
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Sedangkan suatu putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan untuk menghormati
kepastian hukum. Dengan demikian, lembaga Peninjauan Kembali
adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik
kembali atau menolak putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Penempatan Peninjauan Kembali sebagai
salah satu upaya hukum dalam sistem hukum acara peradilan
dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan atas
hak asasi manusia, tanpa mengorbankan asas kepastian hukum
yang merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum.33
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan walaupun
putusan hakim telah selesai dilaksanakan, apabila ternyata ada
alasan untuk itu dan dirasakan tidak adil jika terus berpegang pada
putusan semacam itu. Peninjauan Kembali itu bukanlah
menghilangkan kepastian hukum dari putusan Hakim, melainkan
justru untuk mempertahankan keadilan itu sendiri dan memberikan
kepastian hukum pada perbuatan yang adil. Peninjauan Kembali
bersifat insidentil saja, terus menerus, tidak selalu ditemukan
mungkin dalam seribu perkara yang diputus Hakim yang telah
memperoleh keputusan hukum tetap, muncullah satu perkara yang
ditemukan oleh yang berkepntingan dengan alasannya bahwa
putusan itu perlu dilaksanakan Peninjauan Kembali.34

32
Zaskia Allika, Kajian Yuridis Upaya Hukum Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali
Terhadap Asas Litis Finiri Oportet Dalam Perkara Pidana, Skripsi diterbitkan, Surakarta,
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hlm. 33.
33
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali Perkara Pidana; Penegakan Hukum
dalam Penyimpangan Praktik dan peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 109.
34
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hlm.
102.

19
2. Sejarah Upaya Hukum Peninjauan Kembali di Indonesia
Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu upaya
hukum yang ada di Indonesia. PK dalam sistem hukum Indonesia
merupakan upaya hukum luar biasa, yaitu upaya hukum yang
dilakukan terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap. PK merupakan bagian dari hukum acara yang berlaku di
Indonesia bahkan sejak zaman Indonesia belum merdeka pada era
Hindia Belanda. Zaman Hindia Belanda Lembaga Peninjauan
Kembali (herzeining) diatur dalam Reglement Op de Strafvordering
( RSv ) Staatblad Nomor 40 jo 57 pada 1847 Khususnya dalam titel
18, Pasal 365 sampai dengan Pasal 360 Reglement Op de
Strafvordering adalah merupakan hukum acara pidana yang
diberlakukan pada Raad Van Justitie dimasa Hindia Belanda yaitu
peradilan yang berlaku bagi golongan Eropa saja dan tidak
didapatkan oleh kaum Bumi Putera. Pasal 356 Reglement Op de
Strafvordering ( RSv ) herziening dapat diajukan terhadap putusan
pemidanaan ( Veroordeling ) yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap dengan beberapa alasan:35
1. Terdapat pertentangan dalam putusan yang saling
bertentangan satu dengan lainnya;
2. pada waktu pemeriksaan di pengadilan, tidak diketahui dan
tidak mungkin diketahui baik berdiri sendiri maupun
sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Apabila
keadaan itu diketahui maka hasil pemeriksaan akan
menimbulkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat
diterima, atau terhatap perkara itu akan ditetapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan.
3. Putusan mengandung pembuktian yang sudah terbukti
namun tidak ada pemidanaan.

35
H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
2007, hlm. 289.

20
Pasal 357 RSv menyatakan bahwa peninjauan kembali dapat
diajukan oleh Jaksa Agung atau seorang terpidana dengan surat
kuasa khusus untuk itu.36 Berdasarkan kepada rumusan RSv pada
hakikatnya proses peninjauan kembali oleh Jaksa ditujukan untuk
melindungi kepentingan terpidana demi memberikan hukuman
yang proporsional melalui pengurangan hukuman hingga pelepasan
terpidana dari segala tuntutan, bukan untuk melindungi
kepentingan korban apalagi Negara. PK dimaksudkan untuk
memenuhi tanggungjawab Negara terhadap hak-hak terpidana atas
pemulihan hak atas keadilan dan nama baik.
Dasar hukum secara konstitusional mengenai Lembaga
Peninjauan kembali dalam hukum acara di Indonesia dimulai pada
tahun 1964. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman
menyatakan bahwa: “Terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon
peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-
keadaan, yang ditentukan dengan Undang- undang”. Pasal tersebut
hanya menyebutkan kemungkinan dilakukannya Peninjauan
Kembali, tetapi pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan undang-
undang. Lain daripada itu, eksistensi Lembaga Peninjauan kembali
juga ditemukan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung yang menyatakan: “Terhadap putusan
Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dapat dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah
Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur Undang-undang.”
Ketentuan tersebut memiliki makna penting yakni hukum
acara di Indonesia mengenal adanya upaya hukum Peninjauan
Kembali terhadap putusan yang telah berkekuaan hukum tetap.
Namun, pada saat itu belum ada peraturan pelaksana sebagaimana
diamanatkan dalam ketentuan diatas, Peninjauan Kembali secara

36
Ibid, hlm. 290.

21
resmi telah diakui oleh Undang-Undang tetapi secara praktik tidak
dapat dilaksanakan karena belum ada ketentuan pelaksananya.
Berangkat dari hal tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1969 tanggal
19 Juli 1969 yang kemudian ditunda keberlakuannya dengan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 18 Tahun 1969 dengan
alasan masih diperlukan peraturan lebih lanjut misalnya mengenai
biaya perkara yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan.
Kemudian, terbitlah PERMA No. 1 Tahun 1971 yang mencabut
PERMA Nomor 1 Tahun 1969 dan SEMA Nomor 18 Tahun 1969
tersebut, PERMA Nomor 1 Tahun 1971 juga memuat mengenai
Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dapat diajukan request
civiel, dengan bercermin kepada Reglement op de Burgerlijke
Rechtsordering, sedangkan mengenai perkara pidana tidak dapat
diajukan karena belum ada undang-undangnya.37 Pada akhirnya hal
ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum di dalam
Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.38
Ditinjau dari sejarah perkembangan Lembaga Peninjauan
Kembali, peristiwa ‘Kasus Sengkon dan Karta’ pada tahun 1977
menyadarkan para ahli hukum maupun praktisi hukum bahwa
Lembaga Peninjauan Kembali mutlak dibutuhkan oleh masyarakat
Indonesia. Semula keduanya dipidana oleh Pengadilan Negeri
Bekasi masing-masing 12 tahun dan 7 tahun karena dakwaan
pembunuhan berencana, kemudian diajukan banding dan putusan
Pengadilan Tinggi Bandung tetap memidana kedua terpidana
seperti telah dijatuhkan oleh pengadilan negeri sebagaimana
diputuskan dalam Putusan Nomor 38/1978/Pid/PTB. Ternyata
kemudian, dalam Putusan Nomor 6/1980/Pid/PN.BKS tanggal 15
Oktober 1980 Gunel bin Kuru, Siih bin Siin, dan Warnita bin Jaam

37
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2019, hlm. 305.
38
Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Herziening di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1982, Hlm. 24.

22
dipidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan perbuatan yang
sama, begitupun dalam Putusan Nomor 7/1980/Pid/PN.BKS tanggal
13 November 1980 Elli bin H. Senam, Nyaman bin Naing, M. Cholid
bin H. Nair, dan Jobing bin H. Paih juga dipidana karena perbuatan
yang sama.39 Dalam kasus tersebut, negara telah salah menerapkan
hukum (miscarriage of justice) yaitu dengan mempidana orang
yang tidak bersalah, sehingga yang terjadi adalah proses peradilan
sesat (rechterlijke dwaling).40
Menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah Agung
menerbitkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur
mengenai pengajuan permohonan upaya hukum Peninjauan
Kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap baik perkara
perdata maupun perkara pidana. Mengenai perkara pidana diatur
dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat
meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan, dengan
alasan:
1. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat
keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu
sama lain bertentangan;
2. apabila terdapat sesuatu keadaan, sehingga menimbulkan
persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan
yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan
terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas
dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat
dipidana, pernyataaan tidak diterimanya tuntutan jaksa
untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan
atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih
ringan.

39
Jarot Digdo Ismoyo, Peradilan yang Berkualitas, Jurnal UNIERA, Volume 3, Nomor 1,
2014, hlm. 2-3.
40
M. Luthfi Chakim, Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum Peninjauan Kembali
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, 2015, hlm. 6.

23
PK setelah kemerdekaan diatur dan di integrasi dalam
sistem pemidanaan di Indonesia melalui Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 1980 maupun Peraturan Mahkamah
Agung sebelumnya yaitu PERMA Nomor 1 tahun 1969.41 Beberapa
PERMA tersebut membawa semangat yang sama dengan ketentuan
dalam RSv dimana PK ditujukan untuk melindungi kepentingan dan
hak terpidana terhadap kesalahan pemidanaan yang dilakukan oleh
negara bukan sebagai alat Jaksa dan Negara untuk mengejar orang
agar dapat dipidana.42
Setahun setelah terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 1980,
konsitensi semangat membela hak-hak terpidana itu terus terbawa
hingga terbitnya Bab XVIII Bagian Kedua, Pasal 263 sampai dengan
Pasal 269 KUHAP yang mengatur mengenai peninjauan kembali
pasca Kasus Peninjauan Kembali Sengkon dan Karta di tahun 1980
dimana dalam kasus tersebut PK yang diajukan Sengkon dan Karta
digunakan untuk membebaskan terpidana dalam hal terjadi salah
pemidanaan terhadap terpidana pembunuhan setelah pelaku
pembunuhan sebenarnya ditemukan.43

3. Pengajuan Peninjauan Kembali


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP,
pemeriksaan Peninjauan Kembali adalah termasuk wewenang
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi sebagai
Judex Juris. Istilah Judex Juris berarti hakim yang memeriksa atas
penerapan hukum yang telah dilakukan oleh pengadilan tingkat
bawahnya. Dalam hal ini, Mahkamah Agung hanya berfokus dalam
pemeriksaan penerapan hukumnya saja tidak lagi memeriksa fakta-
fakta hukum yang terjadi seperti halnya judex facti. Melaksanakan

41
H.Adam Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan
Hukum Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.
14-15.
42
Ibid, hlm. 16.
43
Hadari Djenawi Taher, 1982, Bab Tentang Herzeining Didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, Hal 20.

24
fungsi tersebut, Mahkamah Agung dalam pemeriksaan pada tingkat
Peninjauan Kembali melakukan peninjauan kembali terhadap
putusan judex facti maupun judex jurist yang telah berkekuatan
hukum tetap sebagai upaya hukum luar biasa.44
Peninjauan Kembali tidak terbatas pada waktu, dapat
diajukan kapan saja terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap asalkan pengajuan tersebut atas dasar
terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Ketentuan dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP
mengatur pengajuan Peninjauan Kembali dilakukan secara tertulis
(syarat formil) dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Syarat-syarat Peninjauan Kembali yang ditentukan tersebut telah
diuraikan diatas. Menurut Yahya Harahap, pada dasarnya alasan
pokok yang mendasari pengajuan Peninjauan Kembali adalah45:
a. Apabila terdapat keadaan baru atau novum. Keadaan baru
yang dapat menjadi landasan permintaan adalaha keadaan
baru yang mempunyai sifat dan kualitas yang menimbulkan
dugaan kuat sebagai berikut :

44
A. Mukti Arto, Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata
Agama, Eknomi Syariah, dan Jinayah, Kencana, Depok, 2018, hlm. 75.
45
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, 1985, hlm. 598.

25
1) Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan
dan dikemukakan pada waktu siding berlangsung, dapat
menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum; atau
2) Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu
siding berlangsung dapat menjadi alasan dan factor untuk
menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima; atau
3) Dapat dijadikan alasan dan factor untuk menjatuhkan
putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling
pertentangan yakni apabila:
1) Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti;
2) Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan
itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu
perkara;
3) Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan
yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara
putusan yang satu dengan yang lainnya.
c. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan, hal
ini tentu menunjukkan bahwa hakim hanyalah manusia
biasa ciptaan Allah yang maha Besar, sehingga manalah
mungkin hakim tidak pernah berbuat kesalahan maupun
kekeliruan terkait dalam pengambilan putusna pada
perkara-perkara yang ditanganinya.
Mengenai jumlah pengajuan Peninjauan terhadap suatu
perkara sempat menjadi polemik di berbagai kalangan masyarakat
khususnya akademisi dan praktisi hukum, pasalnya dalam Pasal 268
Ayat (3) KUHAP tercantum bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat
dilakukan satu kali, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi “Terhadap putusan peninjauan kembali
tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.” Dalam

26
perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa
Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari sekali. Putusan ini
dinilai kurang menjamin kepastian hukum, bahkan Mahkamah
Agung menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan
Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu kali) berkaitan
dengan salah satu asas hukum pidana yakni asas litis finiri oportet.
Khusus dalam perkara pidana, pengajuan permohonan
Peninjauan Kembali tersebut dapat diuji dengan dua asas dalam
teori hukum yaitu, “lex posteriory derogate lex priory” dan “lex
superiory derogate lex inferiory”. Menurut asas lex posteriory
derogate lex priory, dalam hirarki peraturan yang sama maka bila
terjadi polemik maka peraturan yang terbarulah yang digunakan.
Artinya, putusan Mahkamah Kontitusi yang memiliki posisi sejajar
dengan Undang-Undang tersebut seharusnya berlaku mengalahkan
Undang-Undang sebelumnya. Begitu juga bila menggunakan asas
lex superiory derogate lex inferiory, yang mengatakan bahwa
peraturan yang lebih rendah dikalahkan oleh peraturan yang lebih
tinggi, maka Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya lebih tinggi
daripada SEMA yang hanya mengikat secara internal.46 Ditinjau dari
kedua asas ini menghasilkan secara hukum sebenarnya polemik
tersebut telah dianggap selesai dan dengan demikian yang diikuti
oleh masyarakat dan aparat penegak hukum adalah Putusan MK
yang menyatakan bahwa permohonan PK dapat diajukan lebih dari
1 (satu) kali.47

B. Tinjauan Umum Kejaksaan


1. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus
Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum,

46
M. Luthfi Chakim, Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Pasa Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, 2015, hlm. 9.
47
Arfan Faiz, Memperebutkan Tafsir Peninjauan Kembali, Jurnal Rechtsvinding, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2015, hlm. 2-3.

27
karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah
suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan
alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping
sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan
satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar).48 Undang-undang No. 11 Tahun 2021 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (“Undang-Undang Kejaksaan”), Pasal
1 ayat (1) menyebutkan bahwa kejaksaan adalah Lembaga
pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan Undang-Undang. Dari rumusan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan,
dengan demikian dalam hal melaksanakan kekuasaan negara maka
kejaksaan merupakan salah satu aparat negara. Dalam sistem
Ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 1 UUD 1945,
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan
lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai
badan- badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-
badan lain yang diatur dengan undang-undang.
Mengacu pada undang-undang tersebut, maka pelaksanaan
kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus
dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, bahwa Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan secara merdeka, dengan kutipan sebagai
berikut:

48
Naskah Akademik Undang-Undang Kejaksaan 2021, hlm. 17

28
“Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara merdeka."49
Oleh karena itu, kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
kekuasaan lainnya.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai penuntut umum
wajib bertanggung jawab atas hasil penelitian berdasarkan alat
bukti yang ditemukan dan berdasarkan keterangan saksi sehingga
menghasilkan suatu tuntutan yang pasti dan mencapai suatu
keadilan bagi korban. Dalam membuat tuntutan jaksa juga harus
memperhatikan norma yang ada dan sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Fungsi dan kewenangan jaksa agung dan kejaksaan saat
ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan,
menentukan bahwa:
“Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum tertinggi dan pengacara
negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia. “
Istilah jaksa maupun nama jabatan yang ada berdasarkan
nama jabatan di Kerajaan masa Majapahit dan kerajaan lainnya.
Menurut H.H Juynboll pada masa kerajaan tersebut terdapat nama
jabatan pemerintah :50
a. Dhyaksa
b. Adhyaksa
c. Dharmadhyaksa
Sehingga pada masa kerajaan telah terbentuk tatanan
hukum yang berlaku pada masa itu untuk mengatur masyarakat
serta untuk melindungi masyarakat sehingga pada dasarnya
Indonesia sudah sejak zaman dahulu sebelum kemerdekaan telah
ada hukum yang mengatur untuk mengikat masyarakat sehingga
dapat mengatur keseimbangan masyarakat. Pimpinan Kejaksaan
Agung yakni Jaksa Agung tidak termasuk anggota kabinet karena
Jaksa Agung bukan menteri tetapi kedudukannya disamakan

49
Suharto Rm, Penuntutan dan Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 18
50
Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
Gramedia, Jakarta 2005, hlm. 7-15.

29
dengan menteri. Jaksa Agung merupakan pembantu presiden tetapi
bukan presiden selaku kepala pemerintahan melainkan selaku
kepala negara.
M. H. Tirtaamidjaja memberikan penjelasan tentang
kejaksaan yang intinya menyatakan kejaksaan itu adalah suatu alat
pemerintahan yang bertindak sebagi penuntut dalam suatu perkara
pidana terhadap pelanggar hukum pidana. Dengan demikian
kejaksaan mempertahankan kepentingan masyarakat, dan yang
mempertimbangkan apakah kepentingan umum mengharuskan
supaya perbuatan yang dapat dihukum itu harus dituntut atau tidak.
Kepada kejaksaan itu pula semata-mata diserahkan penuntutan
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.51 Penyidikan yang
dilakukan oleh instansi kejaksaan, pada umumnya untuk
mengungkap suatu perbuatan kriminal atau kejahatan yaitu sejak
mulai awal sampai diketemukannya cukup bukti bagi pelaku
kejahatan.
Kejaksaan mempertahankan kepentingan masyarakat, dan
yang mempertimbangkan apakah kepentingan umum
mengharuskan supaya perbuatan yang dapat dihukum itu harus
dituntut atau tidak. Sesuai Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-
Undang Kejaksaan, maka di bidang pidana, kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;

51
Marpaung, Leden, 1992, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Jakarta;
Sinar Grafika, hlm. 176

30
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.

2. Kedudukan Kejaksaan
Kejaksaan sebagai aparatur negara merupakan alat untuk
melakukan penegakkan hukum yang menempati posisi sentral,
dalam upaya dan proses penegakkan hukum dalam rangka
mewujudkan fungsi hukum dan supremasi hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Institusi Kejaksaan merupakan penyelenggara
dan pengendali penuntutan atau selaku dominus litis dalam batas
jurisdiksi negara.52 Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Kejaksaan, dengan kutipan sebagai berikut:
“(1) Kejaksaan menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara merdeka.”
Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan
karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap
penyidikan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaksa
melakukan penuntutan untuk dan atas nama negara, sehingga
jaksa merupakan satu-satunya pejabat yang mempunyai
wewenang melakukan penuntutan. 53
Kejaksaan merupakan Lembaga yang bertanggung jawab
pada salah satu tugas penuntutan (public prosecution) dan
penyelidikan serta penyidikan perkara pidana (criminal proceeding).
Oleh karena itu tugas kejaksaan perlu diatur sehingga tercipta
system peradilan pidana terpadu dimana tugas dapat terkoordinasi
demi kepentingan penegakkan hukum secara sistematik. Mengingat
organ atau lembaga penegak hukum tersebut memainkan peranan
yang sangat krusial dalam pelaksanaan kekuasaan negara, maka

52
Kejaksaan Agung Republik Indonesia pusat pendidikan dan pelatihan, Pokok-pokok
Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Platform upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi
Kejaksaan, Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 1999, hlm. 2.
53
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006, hlm. 54.

31
pemberian landasan hukum yang kuat melalui pengaturan secara
eksplisit terhadap tugas pokok, fungsi, dan kewenangan dari setiap
lembaga penegak hukum menjadi hal yang penting. Namun secara
faktual, kondisi tersebut masih seringkali terabaikan dan tidak
diaplikasikan secara tepat, seperti belum diakomodirnya Kejaksaan
RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum dalam UUD NRI
Tahun 1945. Kondisi tersebut menjadi sebuah ironi mengingat
bahwa pada hakikatnya keberadaan Kejaksaan tidak dapat
dipisahkan dari lintas sejarah bangsa Indonesia, bahkan jauh
sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.54
Peranan kejaksaan dalam bantuan hukum berupa pemberian
bantuan hukum kepada instansi negara atau pemerintah atau
badan usaha milik negara atau pejabat tata usaha negara didalam
perkara perdata dan tata usaha negara berdasarkan surat kuasa
khusus. Peranan kejaksaan dalam pertimbangan hukum ialah
memberikan pertimbangan kepada instansi negara atau pemerintah
dibidang perdata dan tata usaha negara, diminta ataupun tidak
melalui kerja sama dan koordinasi. Sedangkan peranan kejaksaan
dalam pelayanan hukum berupa semua bentuk pelayanan yang
diperlukan oleh instansi negara atau pemerintah yang berhubungan
dengan masalah perdata dan tata usaha negara. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan institusi Kejaksaan telah
dikenal dari zaman kerajaan di Indonesia. Meskipun mengalami
pergantian nama dan pemerintah, fungsi dan tugas kejakaksaan
tetap sama yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara
kriminal dan bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam
perkara perdata.55
Dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24
ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman.

54
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm.55-66.
55
Ibid, hlm. 120.

32
Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Ketentuan mengenai badan badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara
RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain yang diatur dengan
undang-undang.

3. Tugas dan wewenang Kejaksaan


Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Kejaksaan
dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga
pemerintahan pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai
tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan
hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Kemudian
Penjelasan Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahpisahkan” adalah
landasan pelaksaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan
yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang
penuntutan.
Kejaksaan sebagai Lembaga Pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, merupakan
salah satu subsistem dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Mengenai tugas dan wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal 30
Undang-Undang tentang Kejaksaan dengan ketentuan sebagai
berikut:
Pasal 30
“(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat;

33
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
(2) Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan
dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun
di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum,
kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik
kriminal.”

Pasal 30A
“Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan
penelusuran, perampasan dan pengembalian aset perolehan tindak
pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.”

Pasal 30B
“Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan
penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;
b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan
pelaksanaan pembangunan;

34
c. melakukan kerja sama intelijen penegakan hukum dengan
lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara
lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme; dan
e. melaksanakan pengawasan multimedia.”

Pasal 30C
“Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan
penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;
b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan
pelaksanaan pembangunan;
c. melakukan kerja sama intelijen penegakan hukum dengan
lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara
lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme; dan
melaksanakan pengawasan multimedia.
e. turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang
melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi,
dan kompensasinya;;
f. melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk
pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi;
g. dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi dan
verifikasi tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum
yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk
menduduki jabatan publik atas permintaan instansi yang
berwenang;
h. menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan
dan/atau bidang publik lainnya sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang;
i. melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan
uang pengganti;
j. mengajukan peninjauan kembali; dan

35
k. melakukan penyadapan berdasarkan Undang- Undang khusus
yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan
pusat pemantauan di bidang tindak pidana.”

Berdasarkan uraian-uraian diatas terlihat bahwa tugas dan


wewenang kejaksaan itu sangat luas yaitu menjangkau area hukum
pidana, perdata dan tata usaha negara yang meliputi sebagai
penuntut umum, penyidik perkara tindak pidana tertentu, mewakili
negara/pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara,
memberi pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah dan
juga mewakili kepentingan umum.

C. Tinjauan Umum Teori Finalitas dan Falibilitas dalam Hukum


Pidana
Permasalahan mengenai putusan akhir dan suatu proses
peradilan dapat dianalisis melalui pendekatan menggunakan teori
finalitas dan teori falibilitas atau kesalahan. Pendekatan melalui dua
teori ini semakin diperlukan dengan munculnya perdebatan
mengenai upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali khususnya
di Indonesia. Finalitas adalah istilah yang diberikan kepada
pernyataan hukum oleh pengadilan terakhir, yang menjadi final
ketika pengadilan mengatakannya.56 Finalitas dianggap sangat
penting dalam proses peradilan dan memiliki korelasi dengan
prinsip justice delayed is justice denied. Ketika suatu putusan
pengadilan terlalu lama untuk menjadi final, itu dianggap gagal.
Falibilitas, di sisi lain, adalah gagasan bahwa hakim dan proses
peradilan dapat salah, atau rentan terhadap kesalahan, asumsi
yang sangat relevan dalam sistem hukum apa pun.57 Pemahaman
mengenai falibilitas menjamin hak para pihak untuk menerima
putusan pengadilan yang adil dan benar, termasuk melalui banding.
Suatu sistem hukum harus memiliki sarana yang memadai untuk

56
Herbert Lionel, The Concept of Law, Clarendon Press, 1994.
57
Stijn Franken, Finding the Truth in Dutch Courtrooms: How Does One Deal with
Miscarriages of Justice, Utrecht Law Review, Volume 4, Issue 3, 2008, hlm. 218

36
meninjau dan memperbaiki kasus jika kesalahan mungkin telah
dibuat, terutama jika ini terjadi di pengadilan pilihan terakhir.58
Pada prinsipnya, suatu putusan dapat diterima secara sosial
setelah dipenuhinya upaya hukum biasa atau berakhirnya jangka
waktu pelaksanaan upaya hukum tersebut sehingga kemudian
dinyatakan suatu putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, ada sarana untuk memastikan bahwa bahkan keputusan
akhir masih dapat dikoreksi dalam kondisi yang ketat dan dengan
alasan yang luar biasa. Untuk memenuhi kebutuhan ini, undang-
undang mengizinkan upaya hukum khusus yang disebut revisi atau
di Indonesia disebut upaya hukum Peninjauan Kembali.59 Argumen-
argumen yang membela adanya Peninjauan Kembali
mencerminkan kekhawatiran tentang falibilitas proses dan
keputusan peradilan, di sisi sebaliknya, dari sudut pandang finalitas,
ada argumen yang menentang Peninjauan Kembali. Pandangan
mengenai dua teori ini terjadi di banyak negara seperti Indonesia
dan Belanda yang menganut sistem civil law dan juga Amerika
Serikat dan Inggris yang menganut common law. Dalam sistem
peradilan Indonesia, fungsi asli dari sistem revisi atau Peninjauan
Kembali adalah untuk memperbaiki kesalahan peradilan dan juga
secara tersirat untuk menjaga finalitas putusan pengadilan. Pranata
Peninjauan Kembali seharusnya diterapkan di Indonesia untuk
mencapai keseimbangan antara gagasan falibilitas dan prinsip
finalitas keputusan dan proses peradilan.60 Fungsi ganda ini
seharusnya sudah tercermin di Indonesia melalui berbagai norma
pada peninjauan kembali, yang meliputi syarat, alasan, dan tata
cara, yang semuanya diatur dalam hukum acara.

58
Lord Hope of Craighead, Decision overruled: Facing Up to Judicial Fallibility, King’s
Law Journal, Volume 14, Issue 2, 2003, hlm. 121–136.
59
Binziad Khadafi, Finality and fallibility in the Indonesian revision system: Forging
the middle ground, Tilburg University, 2019, hlm. 3.
60
Ryan W. Scott, In Defense of the Finality of Criminal Sentences on Collateral Review,
Wake Forest Journal of Law and Policy, Volume 4, Issue 1, 2014, hlm. 192.

37
1. Prinsip Finalitas dan doktrin ne bis in idem
Prinsip finalitas tercermin dalam prinsip lites finiri oportet,
yang menyatakan bahwa proses peradilan harus sampai pada titik
akhir. Setelah upaya hukum biasa dalam proses peradilan telah habis,
kekuatan hukum tetap harus diperoleh, dalam hal ini prinsip finalitas
melindungi putusan pengadilan untuk diperiksa oleh lembaga
peradilan yang sama atau yang lain.61 Gagasan bahwa keputusan
yudisial harus konklusif di antara para pihak adalah prinsip dasar yang
diakui dalam banyak sistem hukum modern, terlepas dari perbedaan
aturannya. Doktrin yang yang mengelaborasi asas finalitas dalam
ranah pidana adalah ne bis in idem, yang koheren dengan konsep
double jeopardy di negara-negara yang menganut common law.
Prinsip finalitas didasarkan pada dua landasan, yaitu kebijakan publik
dan keadilan privat.
Terkait dengan kebijakan publik, pemerintah sangat
berkepentingan dengan finalitas, yang berasal dari kepentingan
negara untuk melindungi suatu putusan dan memastikan bahwa
suatu proses pengadilan akan berakhir berdasarkan putusan
pengadilan yang final dan berkekuatan hukum tetap.62 Negara hukum
menuntut agar suatu negara menghormati hasil dari suatu proses
peradilan yang dihasilkan oleh negara itu sendiri.63 Berdasarkan dalil
ini, sistem hukum akan berfungsi lebih baik jika pengadilan memiliki
kompetensi dalam memutuskan semua kasus dan apabila negara
tidak menghormati finalitas keputusan pengadilan akan berdampak
buruk pada legitimasi negara. Mengenai keadilan privat, putusan
harus dianggap final ketika pengadilan telah mengadili seseorang dan
proses banding (upaya hukum biasa) telah habis.64 Tidak seorang
pun boleh diperberat oleh tuntutan atau penuntutan kedua
terhadapnya. Sebuah keputusan pengadilan memiliki ne bis in idem
yang berarti bahwa seseorang yang telah dipidana atau dibebaskan

61
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 30.
62
Harvard Law Review, Res Judicata, Developments in the Law, Volume 65, 1952, hlm. 821.
63
Andre Klip & Harmen Van Der Wilt, The Netherlands Non Bis In Idem, International
Review of Penal Law, Volume 73, 2002, hlm. 3.
64
Ryan W. Scott, Op.Cit., hlm. 184.

38
di masa lalu berdasarkan putusan akhir tidak dapat dituntut lagi
untuk perbuatan yang sama.
Dalam kaitan antara ne bis in idem dan prinsip finalitas atau
berakhirnya suatu proses peradilan, ne bis in idem melindungi tiga
kepentingan yakni (i) kepentingan finalitas; (ii) kepentingan untuk
tidak dihukum ganda, yang muncul karena pandangan bahwa
seseorang di posisi yang lebih lemah ketika berhadapan dengan
negara; dan (iii) kepentingan untuk membebaskan orang yang tidak
bersalah berdasarkan bukti yang mana hal ini bersifat mutlak.65 Selain
itu, ne bis in idem berperan dalam melindungi perlindungan
kebebasan individu, perlindungan jaminan sosial, dan perlindungan
martabat kekuasaan kehakiman.66 Ketiga hal tersebut dapat dimaknai
sebagai kebutuhan akan perwujudan prinsip finalitas yang sejalan
dengan lites finiri oportet. Keberlakuan ne bis in idem juga berperan
dalam kepentingan legitimasi negara untuk menjunjung tinggi
finalitas putusan pengadilan.67 Menurut de Graaf, sebagaimana diatur
dalam Pasal 68(1) Wetboek Van Strafrecht, ne bis in idem memiliki
dua fungsi. Pertama, adalah fungsi untuk menjamin kepastian hukum
bagi individu bahwa mereka dilindungi dari penuntutan sewenang-
wenang dan berulang jika hakim secara substantif telah menjatuhkan
putusan. Individu tersebut harus meyakini bahwa negara telah
melaksanakan ius puniendi, maka apabila telah diputuskan oleh
hakim, perkara terhadap orang tersebut tidak bisa dituntut atau
dimulai penuntutan kembali.68
Kedua, ne bis in idem juga berfungsi untuk melindungi
kepastian hukum itu sendiri. Suatu putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap tidak boleh diganggu gugat oleh peradilan lain ataupun
badan pemerintahan lainnya. Apabila hal tersebut diganggu gugat,

65
Peter Westen & Richard Drubel, Toward a General Theory of Double Jeopardy, Volume
1978, 1978, hlm. 81.
66
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 33.
67
Willem Bastiaan van Bockel, The Ne Bis In Idem Principle in European Union Law: A
Conceptual and Jurisprudential Analysis, Leiden University, 2009.
68
F. C. W. De Graaf, Meervoudige Aansprakelijkstelling: Een Analyse Van
Rechtsfiguren Die Aansprakelijkstelling Voor Meer Dan Één Strafbaar Feit Normeren,
Vrije Universitiet Amsterdam, 2018.

39
dapat merusak otoritas hakim sebelumnya dan dengan demikian
otoritas negara secara keseluruhan. Pembukaan kembali kasus tanpa
batas dapat menyebabkan keresahan sosial dalam jangka panjang,
dan kehancuran sistem hukum. Inilah sebabnya mengapa suatu
proses hukum harus diakhiri, sesuai prinsip lites finiri oportet.
Kepentingan ini tidak hanya untuk individu warga negara yang
terlibat dalam proses pidana, tetapi juga untuk legitimasi negara.69
Hal penting yang harus diperhatikan adalah unsur-unsur ne bis in
idem, Menurut Zulfa, penuntutan terhadap seseorang dapata
dinyatakan ne bis in idem apabila terpenuhi unsur-unsur berikut:70
a. Putusan hakim yang telah final dan mengikat
(berkekuatan hukum tetap);
b. Terdakwa yang menerima putusan adalah sama dengan
terdakwa yang dilakukan penuntutan kedua
terhadapnya; dan
c. Perbuatan yang dituntut kedua kalinya adalah perbuatan
yang sama dengan perbuatan dalam putusan yang telah
dijatuhkan terhadapnya.
Unsur-unsur tersebut secara umum sesuai dengan apa yang
dijelaskan oleh beberapa ahli dan praktisi ketika menjelaskan
mengenai elemen atau unsur-unsur ne bis in idem. Sejalan pula
dengan Khadafi yang menguraikan unsur-unsur ne bis in idem
sebagai berikut:71
a. Putusan akhir bersifat final
Umumnya, keputusan pengadilan bersifat final ketika tidak ada
kemungkinan banding. Tidak ada kemungkinan banding di mana
tidak ada banding yang diatur dalam undang- undang, semua
banding telah habis, batas waktu untuk mengajukan banding telah
berakhir.72 Di Belanda, seperti halnya di yurisdiksi lain termasuk
Indonesia, kasus yang diadili pada tingkat pertama dan kemudian

69
Ibid.
70
Eva Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringan, Dan Pemberat
Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 15.
71
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 36-39.
72
Andre Klip & Harmen Van Der Wilt, Op. Cit.

40
diadili kembali dalam banding langsung (upaya hukum biasa)
berikutnya tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap ne bis in
idem. Undang-undang menganggap seluruh rangkaian proses
(tingkat pertama, tingkat kedua, dan Mahkamah Agung) sebagai
bagian integral dari satu penuntutan. Menilik hukum acara di
Indonesia, putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap harus
berupa putusan bebas, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 Ayat
(1) KUHAP; putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP; dan putusan
pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 193 Ayat (1)
KUHAP. Putusan perkara pidana ini sudah memuat penetapan
terbukti atau tidaknya suatu tindak pidana atau kesalahan
terdakwa. Ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 76 Ayat (1)
KUHP tidak berlaku terhadap putusan hakim yang tidak berkaitan
dengan pokok perkara, seperti putusan yang berkaitan dengan
kewenangan hakim untuk memeriksa perkara atau tidak dapat
diterimanya tuntutan jaksa.73
b. Orang yang sama
Ne bis in idem bersifat terbatas karena hanya berlaku untuk orang
yang sama. Doktrin yang berkembang di Indonesia juga mengakui
pertanggungjawaban pidana sebagai pertanggungjawaban
individu (werkt personlijk). Misalnya, dalam kasus yang
melibatkan lebih dari satu orang misalnya penyertaan, tidak
adanya tuntutan terhadap seseorang tidak berarti lepasnya
tanggung jawab pelaku lainnya.74 Maka dari itu, penuntutan suatu
perkara pidana ditujukan kepada masing-masing individu.
c. Perbuatan yang sama
Doktrin double jeopardy dan ne bis in idem hanya dapat berlaku
apabila terdakwa atau terpidana telah dipertaruhkan dua kali
berdasarkan perbuatan yang sama. Persoalan dengan unsur
“tindakan yang sama” adalah bahwa hal itu dapat ditafsirkan

73
Eva Zulfa, Op.Cit.
74
Ibid.

41
dalam berbagai cara, mulai dari fakta hukum hingga fakta sejarah.
Untuk menilai apakah ada satu atau lebih tindakan, kita harus
mempertimbangkan sifat fakta, pelaku, waktu, tempat, sarana,
dan korban. Jika semua unsur itu sama untuk perbuatan pertama
dan kedua, maka itu adalah fakta dan penuntutan dan hukuman
hanya dapat dijatuhkan satu kali. Namun, jika ada perbedaan,
maka faktanya dapat dituntut atau dihukum secara terpisah.
Banyak literatur telah membahas apakah arti perbuatan yang
sama dalam Pasal 76(1) KUHP tentang ne bis in idem adalah sama
dengan yang tercantum dalam Pasal 63 KUHP tentang concursus.
Menurut Zulfa, ketika seseorang melakukan beberapa tindak
pidana, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebetulan
ganda atau concursus realis. Dalam hal ini, setiap perbuatan dapat
dituntut secara terpisah dan tidak ada pertanyaan tentangne bis
in idem. Namun, jika seseorang hanya melakukan satu perbuatan
yang melanggar beberapa ketentuan pidana, maka perbuatan itu
akan dikategorikan sebagai kebetulan tunggal atau concursus
idealis. Dalam hal ini, hanya ada satu tuntutan terhadap orang itu,
dan hasil akhirnya akan dilindungi oleh ne bis in idem.75
Menurut Scott, finalitas mengacu pada tiga pertimbangan,
yaitu kerugian dari litigasi ulang, ketidaktepatan proses pengadilan
baru, dan kerusakan reputasi yang timbul dari litigasi ulang suatu
kasus setelah putusan akhir.76 Kepanjangan argumentasi dalam
mempertahankan finalitas proses peradilan serta mengkritisi adanya
sistem revisi berangkat dari ketiga argumentasi utama tersebut. Teori
finalitas hadir menunjang argumen-argumen yang menolak adanya
peninjauan kembali.77 Pertama, pertimbangannya adalah pandangan
modern bahwa pemerintah dan masyarakat pada umumnya memiliki
minat yang besar untuk mempertahankan keputusan akhir karena
pengadilan baru itu memakan biaya dan mungkin tidak efisien, atau
dalam istilah Scott, costly, time-consuming, and duplicative. Aspek

75
Eva Zulfa, Op.Cit.
76
Ryan W. Scott, Op.Cit., hlm. 184.
77
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 64-67.

42
yang lebih luas dan bahkan lebih kritis dari kebijakan public mengenai
res judicata ini adalah demi menjaga perdamaian dan ketertiban
masyarakat dengan menciptakan kepastian hukum dalam hubungan
manusia.78
Pertimbangan kedua, bahwa peninjauan kembali dapat
menghasilkan hasil yang kurang akurat. Hal ini karena seringkali,
revisi terjadi bertahun-tahun setelah putusan tingkat sebelumnya
menjadi final.79 Selain mengenai akurasi, revisi atau peninjauan
kembali, karena berjalannya waktu, tidak dipandang sebagai
pelindung besar hak terdakwa karena gagasan bahwa revisi putusan
akan terlambat untuk membantu terdakwa.80 Misalnya, jika putusan
dalam suatu kasus adalah pidana mati, maka revisi akan sia-sia
karena putusan sudah dilakukan sebelum keputusan dibuat pada
tahap peninjauan kembali. Kalaupun tidak termasuk pidana mati,
terdakwa tetap harus menjalani seluruh atau sebagian pidananya
sebelum putusan diambil pada tahap peninjauan kembali. Ketiga,
bahwa revisi mengancam reputasi sistem peradilan dalam pandangan
publik. Apabila suatu putusan peradilan tidak kunjung bersifat
konklusif dan bersifat final, negara akan dipandang tidak memiliki
legitimasi hukum yang bermuara pada rusaknya kepercayaan publik
terhadap sistem peradilan.81
Pertimbangan terakhir, mengenai akibat dari dilanggarnya
finalitas terhadap putusan pidana akan merugikan korban. Seorang
korban akan mendapatkan kepastian setelah seorang terdakwa yang
bersalah kepadanya telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.
Proses penjatuhan hukuman yang lebih cepat membuat korban
merasa lebih aman karena mengetahui pelaku akan dijerat pidana
untuk beberapa waktu.82 Peninjauan kembali suatu perkara dapat
mengganggu persepsi finalitas dan keamanan khususnya terhadap

78
Robert von Moschzisker, Res Judicata, The Yale Law Journal, Volume 38, 1929, hlm 300.
79
Ryan W. Scott, Op.Cit., hlm. 186.
80
David Rossman, Were There No Appeal: The History of Review in American Criminal
Courts, The Journal Of Criminal Law And Criminology, Volume 81, 1990, hlm. 543.
81
Ryan W. Scott, Op.Cit., hlm. 187.
82
Sarah French Russell, Reluctance to Resentence: Courts, Congress, and Collateral
Review, North Carolina Law Review Rev. 79, Volume 91, Issue 1, 2012, hlm. 150

43
diri korban. Selain itu, proses peninjauan kembali tu sendiri seringkali
mengharuskan korban untuk mengingat kembali peristiwa tersebut,
atau bahkan bersaksi pada sidang tambahan sedangkan ada risiko
bahwa hukuman yang sebelumnya telah dijatuhkan tidak dapat
dipertahankan.83

2. Teori Falibilitas dan kaitannya dengan sistem revisi atau


Peninjauan Kembali
Tidak ada institusi manusia yang bisa bebas dari kesalahan.
Bahkan pengadilan melalui majelis hakim mungkin saja membuat
kesalahan yang pada praktiknya bukan menegakkan hukum, namun
mengeluarkan keputusan yang melanggar hukum.84 Prinsip Falibilitas
berlandaskan pada kenyataan bahwa penilaian manusia bisa salah.
Membuat kesalahan dan menjadi salah adalah manusiawi. Fakta
inilah yang menjadi alasan mengapa manusia terkadang membuat
keputusan yang buruk dibanding keputusan yang baik. Salah satu
aspek falibilitas adalah bahwa biasanya, seorang individu hanya
dapat memaknai sebagian dari informasi yang relevan dari fakta yang
didapatkan. Aspek lain dari falibilitas adalah bahwa manusia itu bias,
yang mungkin saja melakukan kesalahan yang tidak terlihat oleh diri
mereka sendiri atau orang lain.85
Dari perspektif keakuratan putusan pengadilan, hakim
dalam kasus pidana biasanya dapat membuat dua jenis kesalahan
baik dalam bentuk menghukum terdakwa yang tidak bersalah, yang
tentu saja merupakan ketidakadilan bagi individu dan membiarkan
pelaku sebenarnya untuk beresiko tinggi untuk mengulangi kejahatan
atau membebaskan terdakwa yang bersalah, yang tidak adil bagi
korban atau masyarakat, yang juga membuat pelaku yang
sebenarnya berisiko tinggi untuk mengulangi pelanggarannya.86

83
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 67.
84
Everett V. Abbot, The Judicial Correction Of Judicial Errors, The Yale Law Journal,
Volume 26, 1916, hlm. 103.
85
Raaj Saah, Fallibility in Human Organizations and Political Systems, Center Discussion
Paper No. 625, Volume 5, Issue 2, 1991, hlm. 2.
86
Frans Van Dijk, Improved Performance Of The Netherlands Judiciary: Assessment
Of The Gains For Society, International Journal For Court Administration, 2014, hlm. 6.

44
Menurut Abbot, kesalahan yudisial juga dapat muncul di pengadilan
banding, dan bahkan di pengadilan terakhir, meskipun, keputusan
akhir dari pengadilan tertinggi selalu secara ambigu dianggap tidak
mungkin salah.87 Ini karena, dalam sistem hukum apa pun, suatu
putusan dianggap mendekati kesempurnaan ketika dikeluarkan oleh
pengadilan tertinggi. Bukan karena hakim di pengadilan terakhir
memiliki pikiran hukum yang sempurna, tetapi karena seringkali
kasus-kasus yang masuk pada tingkat itu telah menyerap waktu
litigasi yang cukup besar. Dengan demikian, masyarakat menuntut
standar argumen yang lebih tinggi.88
Dalam hal ini, kenyataan bahwa bahkan hakim di pengadilan
terakhir dapat melakukan kesalahan dalam menegakkan hukum
bukanlah masalah kehormatan atau kecerdasan dalam penilaian
mereka. Tapi, hal tersebut harus dimaknai untuk mengakui fakta
yang tak terbantahkan bahwa berbuat salah adalah manusiawi, yang
sejalan dengan gagasan falibilitas.89 Bekaitan dengan hal ini, Berman
menegaskan bahwa lebih banyak perhatian harus ditempatkan pada
kesesuaian dan keadilan hasil daripada finalitas. Untuk melindungi
otoritas dan rasa hormat dari sistem peradilan, kesalahan yang dapat
dibuktikan harus diperbaiki.90 Seperti yang dikatakan oleh Craighead,
jika kesalahan dibuat oleh hakim dalam mengatakan apa hukumnya,
kesalahan mereka harus diperbaiki.91 Dari semua cara untuk
memperbaiki kesalahan peradilan, cara mengadili peradilan itu
sendiri dianggap sebagai cara yang paling bijaksana, efektif, dan adil.
Pengadilan lebih cocok untuk menangani ketidakadilan daripada
lembaga lain mana pun ketika ada fakta yang menunjukkan
kesalahan, yang mengakibatkan ketidakadilan. Oleh karena itu,
pengadilan harus selalu siap untuk menerapkan metode koreksi

87
Everett V. Abbot, Op.Cit. hlm. 104.
88
Lord Hope of Craighead, Op.Cit., hlm. 123.
89
Everett V. Abbot, Op.Cit. hlm. 104.
90
Douglas A. Berman, Re-Balancing Fitness, Fairness, and Finality for Sentences, Ohio
State Public Law Working Paper, 2014, hlm. 155.
91
Lord Hope of Craighead, Op.Cit., hlm. 122.

45
yudisial mereka, bahkan terhadap kesalahan dan ketidakadilan
mereka sendiri.92
Teori falibilitas atau kesalahan dalam proses peradilan
selaras dengan argumen-argumen pendukung keberadaan sistem
revisi atau Peninjauan Kembali.93 Pertama, argumen yang telah
dianggap sebagai alasan paling substansial untuk memperkenalkan
peninjauan kembali, adalah untuk memperbaiki kesalahan. Hukum
harus memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam proses peradilan untuk meningkatkan kesempatan menerima
keputusan yang benar. Terlepas dari kenyataan bahwa koreksi
kesalahan dapat membawa keputusan akhir ke situasi yang tidak
pasti, revisi melakukan fungsi penting lainnya, termasuk pencegahan
pelanggaran konstitusional.94 Koreksi terhadap kesalahan putusan
dalam tahap peninjauan kembali melindungi pihak yang berperkara
dari perampasan hak milik atau kehidupan dan kebebasan yang
dijatuhkan tanpa proses hukum yang semestinya dan akan
menimbulkan validitas yang kuat.95
Argumen kedua yang juga relevan dengan pertama adalah
koreksi kesalahan dalam putusan melalui peninjauan kembali
menguntungkan karena mengembalikan kepercayaan publik
terhadap sistem peradilan. Peninjauan kembali mengembalikan
wibawa dan rasa hormat masyarakat terhadap sistem peradilan
secara luas dengan memberikan kemungkinan untuk mengoreksi
keputusan yang salah dan keguguran keadilan. Sebagaimana
dinyatakan oleh de Hullu, pemeliharaan prestise dan otoritas sistem
peradilan pidana dalam suatu masyarakat membutuhkan prosedur
yang menawarkan kemungkinan untuk menghilangkan
ketidakakuratan yang nyata.96 Ketiga, argumennya adalah bahwa
peninjauan kembali setelah putusan menjadi final akan mampu tidak

92
Everett V. Abbot, Op.Cit. hlm. 104.
93
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 61-64.
94
Ryan W. Scott, Op.Cit., hlm. 188
95
Cassandra Robertson, The Right to Appeal, North Carolina Law Review Rev. 1219, Volume
91, Issue 4, 2012, hlm. 33.
96
J. De Hullu, Over Rechtsmiddelen In Strafzaken, University of Groningen, 1989, hlm.
265.

46
hanya memperbaiki kesalahan, tetapi juga meningkatkan akurasi
dalam putusan.97 Dalam melakukan peninjauan kembali terhadap
suatu kasus, pengadilan perlu melihat secara retrospektif fakta-fakta
seputar suatu tindakan, serta menunjukkan pandangan prospektif
para pihak. Dengan mengkaji kasus tersebut, upaya pengumpulan
fakta tersebut dapat memanfaatkan informasi terkini tentang fakta
tersebut sehingga meningkatkan akurasi putusan pengadilan.
Argumen keempat, adalah kerugian yang mungkin harus
ditanggung negara jika keguguran keadilan dibiarkan berlangsung.
Kemungkinan besar suatu negara akan menderita protes negatif yang
masif, mahal, dan melelahkan jika kegagalan keadilan dibiarkan tidak
ditinjau ulang.98 Terakhir, argumentasi terkait dengan kepedulian
institusional pengadilan terhadap konsistensi atau keseragaman
penafsiran hukum dengan memperkenalkan sistem revisi. Ketika
pengadilan tertinggi mengoreksi kesalahan hakim di tingkat
persidangan, maka akan meningkatkan konsistensi dan keseragaman
penerapan hukum dan penerapan prosedur dalam peradilan.99 Hal Ini
akan membantu meningkatkan kepastian hukum dengan mengurangi
kemungkinan kesalahan dalam putusan di masa depan, yang pada
akhirnya akan menciptakan finalitas. Sebagaimana dinyatakan oleh
Malleson, dengan mengevaluasi malfungsi pengadilan pengadilan
dan kemudian memperbaikinya, pengadilan tingkat lanjutan setelah
pengadilan pertama meningkatkan kesesuaian, yang pada akhirnya
akan mendorong finalitas.100 Dalam pengertian ini, peninjauan
kembali berfungsi sebagai mekanisme untuk mengakomodasi
kekhawatiran akan kesalahan dari proses peradilan dan membantu
mempertahankan finalitas.

97
Ryan W. Scott, Op.Cit., hlm. 206.
98
Kate Malleson, Appeals Against Conviction And The Principle Of Finality, Journal Of
Law And Society, Volume 21, 1994, Hlm. 156.
99
Kate Malleson, Op.Cit., hlm. 160.
100
Ibid.

47
BAB III
PEMBAHASAN

A. Analisis Pertimbangan Hukum (Ratio Legis) Pasal 30C huruf h


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (“Undang-Undang Kejaksaan”) hadir sebagai pembaruan atau
revisi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Terdapat beberapa penguatan tugas, fungsi, dan
wewenang kejaksaan yang diformulasikan dalam undang-undang ini yang
tentunya dengan tetap mempertahankan asas-asas penyusunan norma
dalam institusi kejaksaan. Asas-asas tersebut adalah asas dominus litis,
asas single prosecution system, asas oportunitas, asas independensi
penuntutan, dan juga asas perlindungan terhadap jaksa.101 UUD NRI Tahun
1945 hanya mengatur Kejaksaan secara implisit dalam ketentuan Pasal 24
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang”. Selama ini institusi penegak hukum Kejaksaan
diposisikan, dimana kondisi tersebut membawa implikasi negatif terhadap
landas pijak Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
dinilai menimbulkan ambiguitas, karena di satu sisi Kejaksaan dipandang
sebagai bagian dari salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang
berada dalam ranah yudikatif, sementara pada sisi lain Kejaksaan juga
memiliki tugas dan kewenangan dalam lingkup wilayah kekuasaan
eksekutif.102
Pengaturan Kejaksaan RI secara implisit dalam UUD NRI Tahun 1945
juga dinilai kontradiktif dengan esensialitas Kejaksaan RI yang memiliki
peran sentral dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) di
Indonesia, dimana Kejaksaan berperan menjaga kesinambungan atau

101
Naskah Akademik Undang-Undang Kejaksaan 2021, hlm 51-75.
102
Ibid, hlm. 21.

48
interelasi sekaligus sebagai filter antara proses penyidikan dan proses
pemeriksaan di persidangan sekaligus berperan sebagai executief
ambtenaar.103 Undang-Undang Kejaksaan tentunya berlandaskan landasan
filosofis, sosiologis dan yuridis, secara filosofis pada hakikatnya Kejaksaan
merupakan lembaga peradilan yang menjalankan fungsi eksekutif, yang
juga sebagai penjaga konstitusi dan hak- hak penduduk serta menjaga
kedaulatan negara di bidang penuntutan yang memiliki kedudukan sentral
dalam sistem hukum di Indonesia, karena selain berperan sebagai
pengendali penanganan perkara (dominus litis), Kejaksaan juga memiliki
kewenangan selaku pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (executief ambtenaar). Dengan demikian,
diperlukan berbagai upaya yang melahirkan kembali Kejaksaan sebagai
lembaga peradilan yang menjalankan fungsi eksekutif yang bermartabat,
menjalankan tugas dan kewenangannya secara merdeka, profesional,
berintegritas, dan berorientasi pada penegakan hukum yang berkeadilan,
berkepastian hukum dan bermanfaat, khususnya bagi masyarakat pencari
keadilan.104
Secara sosiologis, hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan
dengan baik dan benar di tengah masyarakat, jika instrumen
pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan yang kuat
dan memadai dalam penegakan hukum yang sarat akan problematika yang
pelik dan dinamis. Untuk itu, Kejaksaan dituntut tidak hanya melaksanakan
fungsinya dengan baik, tetapi juga harus mampu membentuk jati dirinya
sebagai salah satu ”institusi pelaksana kekuasaan negara” yang bebas dan
merdeka, bukan sebagai alat kekuasaan pemerintah.105 Ditinjau
berdasarkan landasan yuridisnya, dalam bidang pidana, Kejaksaan
merupakan pemegang kendali penanganan perkara pidana (dominus litis).
Jaksa Agung adalah Procureur Generaal /Parket Generaal yakni Penyidik,
Penuntut Umum, dan Eksekutor tertinggi di suatu negara. Selain itu, dalam
penerapan penuntutan juga dikenal asas oportunitas yakni suatu

103
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 55-66.
104
Naskah Akademik Undang-Undang Kejaksaan 2021, hlm. 123
105
Ibid, hlm. 124.

49
kewenangan untuk menentukan perkara layak atau tidaknya dilimpahkan
ke pengadilan berdasarkan pertimbangan keadilan dan kepentingan
umum.106
Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan sebagai
Solicitor General, yaitu bahwa Jaksa Agung memiliki kewenangan selaku
Jaksa Pengacara Negara Tertinggi. Untuk itu, Kejaksaan dapat mewakili
negara apabila negara digugat secara perdata, Tata Usaha Negara maupun
untuk perkara konstitusi. Terakhir, Jaksa Agung juga bertindak sebagai
Advocaat Generaal, yakni satu-satunya lembaga yang memberikan konklusi
pendapat/opini terhadap permohonan kasasi yang masuk ke Mahkamah
Agung. Konsep ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam undang-undang tersebut
diatur bahwa dalam pemeriksaan kasasi khusus untuk perkara pidana,
sebelum Mahkamah Agung memberikan putusannya, Jaksa Agung dapat
mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut.107
Dalam hal pembahasan mengenai kewenangan Jaksa dalam
mengajukan Peninjauan Kembali yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Kejaksaan tepatnya pada Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang berbunyi:
“Selain melaksanakan tugas dan wewenang … Kejaksaan: h. Mengajukan
Peninjauan Kembali” dimana dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa
“Peninjauan kembali oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan
tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan
keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan
kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan
seimbang (equality of arms principle) dengan hak terpidana atau ahli
warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali. Peninjauan Kembali yang
diajukan oleh oditurat dikoordinasikan dengan Kejaksaan. Jaksa dapat
melakukan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan
yang di dakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan.” Hal ini tidak dijelaskan dan dikemukakan secara eksplisit

106
Ibid, hlm. 125.
107
Ibid.

50
dalam naskah akademik Undang-Undang Kejaksaan, maupun dalam
pembahasan otoritas terkait yang dalam hal ini adalah DPR sebagai
lembaga legislatif (pembentuk undang-undang) ketika mengesahkan
Undang-Undang Kejaksaan ini. Namun daripada itu, menarik untuk
kemudian membahas mengenai penjelasan pasal 30C huruf h Undang-
Undang Kejaksaan yakni dimana Jaksa ditempatkan secara proporsional
pada kedudukan yang sama dan seimbang dengan hak terpidana atau ahli
warisnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali atau disebut equality of
arms principle.
Equality of arms principle erat kaitannya dengan fair trial atau
peradilan yang adil adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator
terbangunnya masyarakat dan sistem hukum yang adil. Tanpa penerapan
prinsip peradilan yang adil, hukum dan kepercayaa masyarakat terhadap
hukum serta sistem peradilan akan runtuh. Pengadilan yang adil
merupakan suatu usaha perlindungan paling dasar untuk menjamin bahwa
para individu tidak dihukum secara tidak adil. Proses hukum yang demikian
terjadi apabila aparat penegak hukum yang terkait dengan proses tersebut,
tidak hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi
juga memastikan agar semua hak tersangka/terdakwa yang telah
ditentukan diterapkan. Proses hukum adil juga wajib
mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi
proses hukum yang adil tersebut (meskipun asas atau prinsip tersebut tidak
merupakan peraturan hukum positif).108 Jaminan peradilan yang adil yang
paling signifikan dan keberadaannya dijamin dalam instrumen hak asasi
manusia internasional yakni antara lain International Convenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi di Indonesia yakni
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights, The
European Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms (ECHR), dan American Convention on Human Rights (ACHR)
adalah apa yang disebut dengan Equality of arms principle. Asas ini

108
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit UNDIP, Semarang, 1998, hlm.
5.

51
mendasari persamaan kesempatan para pihak dalam proses pidana. Ini
memastikan kesetaraan prosedural para pihak untuk menyampaikan hal-
hal terkait kasus mereka selama persidangan. Dalam proses pidana, setiap
orang yang didakwa melakukan pelanggaran harus memiliki kesempatan
yang sama untuk membela diri dengan penuntutan. Prinsip ini mencakup
hak-hak dan standar-standar tertentu yang menjamin kesempatan yang
sama bagi para pihak.109
Equality of arms principle sebagai prinsip jaminan pengadilan yang
adil memastikan bahwa orang-orang yang dituduh diberi kesempatan yang
cukup untuk membela diri dalam kasus mereka. Prinsip ini mensyaratkan
adanya kesempatan yang sama di antara para pihak yang berpekara.
Prinsip ini mendasari beberapa jaminan prosedural yang keberadaannya
adalah sebagai hak asasi untuk membela diri. Kebanyakan sistem hukum
yang demokratis menjamin prinsip ini. Dalam pengadilan pidana di mana
kebebasan terdakwa atau bahkan kehidupan dapat dirampas, dengan
demikian diperlukan tingkat keadilan yang tinggi dan jaminan perlakuan
yang sama dalam hukum. Dalam kasus pidana di mana Negara terlibat dan
di mana proses penuntutan memungkinkan untuk lebih diuntungkan, hanya
prinsip equality of arms yang membantu terdakwa untuk membela dirinya.
Tidak mungkin dikatakan bahwa keadilan telah ditegakkan jika terdakwa
dihukum secara proporsional dan benar tetapi tidak 'adil' yaitu, tanpa
memberikan kesempatan yang layak untuk mengajukan kasusnya, untuk
membela diri dan menerima informasi dan bantuan hukum yang cukup.110
Pasal 14 Ayat (1) ICCPR secara khusus menyatakan bahwa: “setiap orang
berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum oleh
pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang dibentuk
oleh hukum.” Dapat dimaknai bahwa pasal ini mengisyaratkan suatu
jaminan keadilan prosedural dalam hukum ketika seseorang dihadapkan
dengan suatu kasus hukum yang melibatkan diri orang tersebut.

109
Shajeda Akhter dan Rohaida, Equality Of Arms: A Fundamental Principle Of Fair Trial
Guarantee Developed By International And Regional Human Rights Instruments, Legal
Network Series, 2004, hlm. 1.
110
W.M. Wiaderek, The Principle of “Equality of Arms” in Criminal Procedure Under
Article 6 of the European Convention on Human Rights and its Functions in Criminal
Justice of Selected European Countries: A Comparative View, Leuven University Press, 2000,
hlm. 9.

52
Pada dasarnya, the principle of equality of arms merupakan hal
mendasar bagi sistem peradilan pidana adversary. Equality of arms
principle berkaitan dengan kesetaraan substantif dan juga prosedural antar
kedua pihak yang berpekara dalam peradilan pidana. Kesetaraan substantif
menunjukkan perlakuan yang sama terhadap para pihak selama seluruh
proses persidangan, dari sudut prosedural, yang dimaksud adalah untuk
menjamin hak dan jaminan prosedural yang sama dalam proses peradilan
pidana.111 The Human Rights Committee (HRC) dalam General Comments
32 mengenai kesetaraan dalam proses peradilan menyatakan bahwa: “The
right to equality before courts and tribunals also ensures equality of arms.
This means that the same procedural rights are to be provided to all the
parties unless distinctions are based on law and can be justified on
objective and reasonable grounds, not entailing actual disadvantage or
other unfairness to the defendant.” yang berarti equality of arms principle
dijamin dalam hak kesetaraan di depan pengadilan, pihak dalam peradilan
tersebut memiliki hak prosedural yang sama kecuali perbedaan yang
didasarkan pada hukum dengan alasan yang objektif dan tidak
mengakibatkan kerugian atau ketidakadilan kepada terdakwa. Prinsip ini
berarti semua pihak dalam suatu peradilan harus memiliki kesempatan
yang sama dalam membela kepentingan dirinya dan tidak dirugikan dalam
berhadapan dengan pihak lain.112
Berdasarkan Pasal 14 Ayat (3) huruf d dan e ICCPR jo. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005, Pasal 6 Ayat (3) huruf b dan c ECHR, dan
Pasal 8 Ayat (2) huruf b c d e dan f ACHR, terdapat beberapa komponen
penting dalam pelaksanaan the principle of equality of arms, adalah sebagai
berikut:113
a. Hak untuk hadir di Pengadilan (Right to be present at Trial)
Pasal 14 (3) huruf d ICCPR jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hadir dalam
persidangan ketika dihadapkan dengan dakwaan terhadap dirinya.

111
S. Negri, The Principle of “Equality of Arms” and the Evolving Law of International
Criminal Procedure, International Criminal Law Review 5, 2005, hlm. 523.
112
Shajeda Akthter dan Rohaida, Op.Cit., hlm. 3
113
Shajeda Akthter dan Rohaida, Op.Cit., hlm. 5-17.

53
Kehadiran terdakwa di persidangan bermanfaat bagi penuntut dan
juga terdakwa. Misalnya, kehadiran terdakwa dapat
memungkinkan penuntutan untuk menghadapkan terdakwa
dengan pertanyaan-pertanyaan penting yang relevan dengan
kasus tersebut.114 Hak ini sangat berkaitan dengan equality of
arms principle. Hadirnya terdakwa dalam persidangan juga
diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 154 KUHAP.
b. Hak untuk mengakses pengacara (Right to access to a lawyer)
Hak terdakwa dalam mengakses pengacara dapat diartikan bahwa
terdakwa didampingi oleh pengacara atau penasehat hukum
dalam menjalani proses peradilan. Akses terhadap pengacara
sejak awal perkara juga penting dalam penyusunan pembelaan
terhadap diri terdakwa.115 Sehingga hal ini sejalan dengan equality
of arms principle, Terdakwa yang tidak terwakili akan dirugikan,
bukan hanya karena dia hampir selalu memiliki kekurangan
pengetahuan dan keterampilan hukum, tetapi juga karena
terdakwa dalam posisi seperti itu tidak mampu menilai dan
mengajukan pembelaan kasusnya dengan cara yang sama seperti
jaksa dan dalam hal ini tidak tercipta equality of arms. Komponen
ini juga kemudian diterapkan dalam Pasal 54 KUHAP dalam rangka
memenuhi hak tersangka atau terdakwa untuk melakukan
pembelaan.
c. Hak untuk pembelaan secara pribadi atau melalui penasehat
hukum (Right to defend in person or through legal counsel)
Sebagai perwujudan dari the principle of equality of arms,
terdakwa harus diberi kesempatan untuk diwakili penasihat hukum
yang dipilihnya sendiri. Sejalan dengan apa yang diatur di dalam
Pasal 55 KUHAP. Hak ini didasarkan pada prinsip keadilan yakni

114
C., Marasinghe, The Right to Legal Assistance in International Law, with Special
Reference to the ICCPR, The ECHR and The ACHR, Asian Year Book of International Law, 1995,
hlm. 28.
115
Fair Trial Manual, A Handbook for Judges and Magistrates, prepared by the
Commonwealth Human Rights Initiative and The International Human Rights Clinic,
Cornell Law School, 2010.

54
audi et alteram partem yang secara harfiah berarti 'dengar pihak
lain' dan menyiratkan bahwa tidak seorang pun harus dihukum
tanpa didengar. Hak untuk memilih pengacara oleh terdakwa
penting untuk kepercayaan diri dan kepercayaan pembelaan
antara terdakwa dan pengacaranya. Tujuan dari jaminan ini
adalah untuk memastikan bahwa tidak ada proses yang akan
dilakukan terhadap seorang terdakwa tanpa diwakili pihak yang
berkapasitas dan berkapabilitas dalam kasusnya sesuai dengan
equality of arms principle. Pembelaan terhadap terdakwa dalam
persidangan pidana di Indonesia salah satu bentuk nyatanya
adalah dengan penyampaian nota pembelaan atau pledoi yang
disampaikan setelah mendengar tuntutan dari penuntut umum,
hal ini diatur dalam Pasal 182 Ayat (1) KUHAP.
d. Hak untuk menerima bantuan hukum gratis (Right to receive free
legal assistance)
Pemberian bantuan hukum gratis kepada terdakwa tersedia
dengan dua syarat: pertama adalah bahwa terdakwa tidak
memiliki cukup sarana untuk membayar bantuan hukum dan
kedua adalah bahwa kepentingan keadilan memerlukannya.
Memberikan bantuan hukum gratis kepada terdakwa yang tidak
mampu membela diri terhadap organ negara yang cerdas karena
kurangnya pengetahuan hukum dan daya finansial merupakan
kewajiban Negara. Hal ini pula tercermin diterapkan dalam hukum
acara pidana di Indonesia yakni dalam Pasal 56 KUHAP.
e. Hak untuk menghadirkan dan memeriksa saksi (Right to examine
and have examined witnesses)
Sebagai elemen fundamental yang esensial dari prinsip equality of
arms dan hak terdakwa, jaminan peradilan yang adil memberikan
hak kepada terdakwa untuk memanggil dan memeriksa saksi demi
terciptanya keadilan. Pasal 14 Ayat (3) huruf e ICCPR jo. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005 memberikan jaminan bahwa
“setiap orang berhak memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-
saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan
diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya dengan syarat-

55
syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya.”
Berdasarkan Pasal ini, terdakwa dan penuntut umum memiliki
kedudukan yang sama dalam memanggil dan memeriksa saksi.
Pemeriksaan saksi dari kedua belah pihak memberikan
kesempatan kepada pengadilan untuk mendengar dan
mempertimbangkan bukti, sehingga tercapai keputusan yang adil.
f. Hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang cukup (Right to
have adequate time and facilities)
Hak ini berarti dalam hal seseorang didakwa suatu tindak pidana,
maka dirinya berhak atas waktu dan fasilitas atau sarana yang
memadai untuk menyusun pembelaan terhadap dirinya. Terdakwa
juga berhak untuk berkomunikasi secara bebas dan rahasia
dengan penasehat hukumnya, pemenuhan hak ini dimulai sejak
seseorang dituduhkan melakukan suatu tindak pidana dan telah
mempunyai akses atau dapat berkomunikasi dengan penasehat
hukumnya. Kewajiban berdasarkan Pasal 14 Ayat (3) huruf b
ICCPR untuk memiliki waktu dan fasilitas yang memadai sangat
berkaitan dengan equality of arms principle di mana kedua pihak
dalam proses pidana harus diperlakukan sama dan mereka harus
memiliki kesempatan yang sama untuk mempersiapkan diri dan
mempresentasikan baik penuntutan maupun pembelaan mereka.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sendiri mengenai
waktu dan fasilitas yang cukup bagi tersangka atau terdakwa ini
telah diterapkan melalui pengaturan tentang batas waktu
penyidikan suatu perkara yang diatur dalam Pasal 109 KUHAP dan
ditegaskan dalam Pasal 31 Peraturan Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, hal ini juga
tercermin dari majelis hakim di pengadilan yang menunda sidang
untuk melanjutkan agenda sidang selanjutnya demi kepentingan
sidang, seringkali waktu penundaan sidang tersebut adalah hasil
kesepakatan dari para pihak yang berperkara yakni terdakwa
melalui penasehat hukumnya dan penuntut umum.

56
Dalam proses pidana, pengadilan hanya bisa adil jika tercipta the
principle of equality of arms antara penuntut umum dan terdakwa atau
pembelanya. Demi terciptanya pengadilan yang adil, penuntutan yang
efektif serta pembelaan yang efektif dan keduanya memiliki hak prosedural
yang setara merupakan persyaratan penting. Jadi, untuk menjamin
peradilan yang adil, equality of arms principle harus dilindungi.116
Berdasarkan uraian diatas, prinsip equality of arms sebagai unsur dari
prinsip peradilan yang adil atau fair trail. Fair Trial yang merupakan prinsip
hukum umum telah diterapkan dalam KUHAP sebagai payung hukum acara
pidana di Indonesia. Ditinjau berdasarkan substansi hukum tersebut, hal
ini menandakan Indonesia telah menjunjung tinggi asas perlindungan
terhadap hak asasi manusia dan asas peradilan bebas merdeka117 yang
mana kedua asas ini diharapkan mampu untuk melakukan pengendalian
terhadap perilaku kekuasaan negara. Selayaknya negara hukum, pada satu
sisi negara melindungi hak-hak asasi manusia dari kemungkinan ancaman
atau pelanggaran oleh penguasa, di sisi lain mencegah pemegang
kekuasaan untuk melanggar hak-hak asasi manusia tersebut.
Namun, secara fundamental the principle of equality of arms adalah
prinsip yang berkembang dan berlaku dalam sistem peradilan adversary
system yang mana sistem ini berlaku dalam negara yang menganut
common law. Menurut Romili, penerapan adversary system, dalam
menangani perkara pidana, pihak yang menjadi penggugat adalah negara,
yang mewakili korban dan kepentingan masyarakat, dan tergugat adalah
tertuduh. Si tertuduh biasanya diwakili oleh pembela (defense attorney),
sedang negara diwakili oleh penuntut umum (prosecuting attorney) . Pihak
yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak memihak dan
biasanya diwakili oleh para juri. Dalam hal seorang tertuduh menolak diadili
oleh juri, maka hakim juga bertugas sebagai penemu kebenaran atas fakta
yang diajukan dalam persidangan.118 Beberapa prinsip dalam adversary
system adalah prosedur peradilan pidana harus merupakan sengketa

116
Shajeda Akthter dan Rohaida, Op.Cit., hlm. 19.
117
Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
118
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung, 1983,
hlm. 71.

57
(dispute) antara tertuduh dan Jaksa, penggunaan pengajuan sanggahan
atau pernyataan (pleadings) dimana dalam hal ini dikenal praktik ‘plea
bargaining’, dan peranan hakim sebagai wasit kecuali terjadi keberatan
atas argument yang diajukan antar pihak yang berpekara barulah hakim
bersifat aktif.119 Jelas berbeda dengan apa yang diterapkan di Indonesia
karena sistem peradilan yang dianut oleh Indonesia sendiri adalah sistem
inquisitoir, meskipun kemudian di modifikasi sedemikian rupa hingga
seringkali disebut sistem inquisitoir yang diperlunak dan lebih menjunjung
tinggi hak asasi terdakwa yakni disebut aquisatoir. Sistem aquisitoir
menekankan bahwa setiap tersangka/terdakwa memiliki hak untuk tidak
dijadikan obyek persidangan, melainkan sebagai subjek yang dapat
memberikan keterangan sesuai hati nurani dan beralibi sesuka hati,
meskipun demikian tugas aparat penegak hukum dalam hal ini hakim
bersifat aktif untuk menggali kebenaran yang hakiki dari sebuah peristiwa
hukum. 120
Equality of arms principle yang diterapkan dalam sistem peradilan
adversary merupakan prinsip yang menjamin hak seorang yang tertuduh
suatu tindak pidana untuk ditempatkan pada kedudukan yang sama dan
seimbang baik secara substantive maupun secara prosedural. Seorang
tersebut berhadapan dengan negara yang diwakili jaksa penuntut umum
sehingga perlu untuk dikendalikan agar tidak terjadi penyelewengan
kekuasaan yang berakibat pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Berdasarkan uraian datas, penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang
mengadopsi equality of arms principle dalam artian menempatkan Jaksa
mewakili kepentingan korban termasuk negara ditempatkan pada
kedudukan yang sama dengan terpidana atau ahli warisnya dalam
mengajukan peninjauan kembali adalah kurang tepat. Selain itu, dalam
penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan juga memuat
mengenai jenis putusan yang dapat diajukan peninjauan kembali oleh
Jaksa, yakni apabila putusan tersebut perbuatan yang didakwakan telah

119
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2005, hlm.
81.
120
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

58
terbukti namun tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Hal ini sejalan dengan
apa yang diamanatkan oleh KUHAP dalam Pasal 263 Ayat (3).
Ditinjau berdasarkan teori finalitas putusan dan falibilitas, menurut
Kadafi, relevansi dari teori kontra dan teori pendukung peninjauan kembali
serta perkembangan pengaturan dan praktik revisi di Indonesia, dapat
disimpulkan bahwa peninjauan kembali memiliki dua fungsi yang sah,
yaitu: (i) menjaga keabsahan putusan pengadilan; dan (ii) mengoreksi
kesalahan dalam penilaian akhir. Pranata peninjauan kembali diharapkan
dapat menjadi sarana pemenuhan kedua fungsi tersebut, yaitu mengoreksi
kesalahan dalam penilaian akhir dengan tetap mempertahankan
finalitasnya.121 Oleh karena itu, prosedur peninjauan kembali perlu
ditentukan secara ketat, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara
kedua fungsi tersebut. Dalam suatu perkara pidana harus dilihat tidak
hanya dari sisi terdakwa, tetapi juga dari sisi negara melalui jaksa. Cara ini
dengan tepat mencerminkan sisi kebijakan publik dan keadilan individu dari
ne bis in idem dalam teori finalitas.
Jaksa selain bekerja untuk kepentingan umum atau lebih khusus
untuk kepentingan negara, jaksa juga bekerja untuk mewakili kepentingan
korban. Salah satu norma yang dituangkan dalam putusan Mukhtar
Pakpahan adalah penuntut umum harus mewakili kepentingan umum
dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali suatu perkara
pidana.122 Kemudian, akan lebih adil jika elemen orang yang sama dalam
ne bis in idem diartikan bahwa tidak seorang pun kecuali mantan terdakwa
atau penuntut umum yang berhak membuka kembali putusan akhir atas
suatu tuntutan pidana untuk mengoreksi putusan tersebut berdasarkan
alasan yang kuat sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dalam hal ini,
menilik lebih lanjut mengenai keberadaan penjelasan pasal yang sejalan
dengan Pasal 263 Ayat (3) tersebut adalah demi terciptanya keadilan
substantif dan juga kepastian hukum yang hidup dalam masyarakat, dapat
diartikan sebagai kepentingan umum atau kepentingan negara.
Kepentingan umum tersebut menyatakan bahwa kejaksaan harus

121
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 210.
122
Putusan Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996.

59
bertindak sebagai wakil masyarakat dan negara dalam penyelesaian
perkara pidana, bukan untuk kepentingan pribadi kejaksaan. Permohonan
peninjauan kembali harus mewakili kepentingan bangsa dan negara, serta
masyarakat luas.123
Peninjauan kembali bertujuan untuk memulihkan ketidakadilan
yang mungkin timbul dari putusan terlepas dari pelaksanaannya.
Peninjauan kembali dirancang untuk mencegah atau memperbaiki
kesalahan tertentu pada putusan hakim, bukan sebagai metode untuk
mendapatkan modifikasi putusan apalagi yang memberatkan terpidana.124
Masyarakat dapat memperoleh manfaat dari informasi tentang putusan
yang salah dan juga dapat digunakan untuk mengurangi kemungkinan
kesalahan di masa depan. Menurut Rossman, selain mengoreksi kesalahan,
ada alasan kuat lain menunjang peninjauan kembali hukuman pidana, yaitu
kepentingan institusional daripada kepentingan individu. Kepentingan
institusional yang dimaksud adalah mengenai konsistensi dan keseragaman
putusan pengadilan, serta legitimasi negara dalam menerapkan suatu
putusan terhadap warga negaranya.125 Dalam hal ini, Pasal 30C huruf h UU
Kejaksaan yang mengadopsi Pasal 263 Ayat (3) berisi norma bahwa
putusan yang dimana perbuatan pidana telah terbukti namun tidak diikuti
pemidanaan. Hal ini dapat dimaknai sebagai suatu pembatasan terhadap
kewenangan jaksa itu sendiri sekaligus merupakan penegasan bahwa
ketika Jaksa mengajukan peninjauan kembali, adalah semata-mata ketika
Jaksa mewakili kepentingan umum atau negara dan kepentingan korban
demi nilai kepastian hukum dan keadilan. Jaksa tidak seharusnya
mengajukan Peninjauan Kembali karena kepentingannya sendiri seperti
untuk memperberat hukuman terpidana, pada dasarnya jaksa telah
diberikan kesempatan untuk membuktikan dakwaannya dalam peradilan
pertama (pengadilan negeri) hingga tahap terakhir yakni kasasi di
Mahkamah Agung. Apabila Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali
berlandaskan alasan untuk memperberat hukuman terdakwa, maka tidak
akan tercapai suatu penyelesaian perkara sebagaimana yang dimaksud

123
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 350.
124
Binziad Khadafi, Op.Cit., hlm. 61.
125
David Rossman, Op.Cit., hlm. 549.

60
dalam prinsip lites finiri oportet yang mengelaborasi teori finalitas. Selain
itu, akan berakibat terancamnya hak asasi manusia dan pelanggaran
terhadap finalitas suatu putusan, sehingga tidak tercapai lah tujuan hukum
yakni kepastian hukum dan keadilan.

B. Konstitusionalitas Kewenangan Jaksa Mengajukan Peninjauan


Kembali dalam Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia dikaitkan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016

1. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-


XIV/2016

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 diputuskan


setelah adanya permohonan yang diajukan oleh Anna Boentara (istri
sah/ahli waris Joko Soegiarto Tjandra) pada tanggal 9 Maret 2016 dan
diterima oleh kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 17
Maret 2016 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
55/PAN.MK/2016 tertanggal 21 Maret 2016 yang diperbaiki dengan
perbaikan permohonan tertanggal 4 April 2016.126 Pada pokoknya,
Pemohon mengajukan uji materil (judicial review) Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G,
Pasal 28I Ayat (2) UUD NRI 1945. Pemohon pada petitumnya meminta
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai memberikan hak kepada
Jaska Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpandangan Pasal 263

126
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUU-XIV/2016. hlm
1.

61
Ayat (1) tetap memiliki kekuatan hukum untuk sekiranya Majelis
memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 Ayat (1) tersebut.127
Dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, Pemohon dilatar
belakangi oleh karena adanya permohonan peninjauan kembali terhadap
putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum terhadap suami Pemohon judicial review ketentuan Pasal
263 ayat (1) KUHAP. Judicial review ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP
ini disebabkan karena adanya kerugian dari Pemohon akibat berlakunya
ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang disebabkan karena adanya
permintaan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dengan
mendasarkan pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, meskipun putusan
pengadilan terhadap suami Pemohon adalah lepas dari tuntutan hukum.
Hukum acara pidana salah satu prinsipnya sesuai dengan asas
legalitas yang dalam konteks penegakan hukum memberikan batasan
kewenangan penegak hukum untuk selalu mendasarkan pada undang-
undang. Sejalan dengan adanya pembatasan kewenangan penegak hukum
berdasarkan undang-undang sedemikian rupa dimaksudkan agar dapat
menjamin terlindungi kepentingan hak asasi warga negara yang tersangkut
dalam proses hukum dan masyarakat pada umumnya.128 Hal serupa juga
ditunjukkan oleh MK dalam perkara ini, mengacu pada alasan Pemohon
bahwa Pasal 3 KUHAP yang menyatakan “peradilan dilaksanakan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini” dimana pasal tersebut merujuk
kepada asas legalitas dalam fungsi negatif dan fungsi sekunder hukum
pidana yang mengandung ajaran bahwa aturan hukum pidana berfungsi
untuk membatasi kewenangan penegak hukum, bukan memberikan
kewenangan. Dengan begitu maka segala tindakan yang dilakukan oleh
penegak hukum hanya diperbolehkan meggunakan cara-cara yang telah
diatur oleh undang-undang. Sedangkan cara-cara yang tidak diatur oleh
undang- undang atau tidak disebutkan dalam undang-undang khususnya

127
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUU-XIV/2016. hlm
28.
128
Agus Surono dan Sonyendah Retnaningsih, Akibat Hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 Terhadap Pengajuan Peninjauan Kembali Dalam
Perkara Pidana, Jurnal Prosiding Nasional, 2019, hlm. 17.

62
KUHAP harus juga dipandang sebagai larangan terhadap penegak
hukum.129
Pada pertimbangannya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa dalam praktik acapkali terjadi kesalahan dalam
penjatuhan putusan yang disebabkan oleh kekeliruan dalam hal fakta
hukumnya (feitelijke dwaling) maupun kekeliruan dalam hal hukumnya
sendiri (dwaling omtrent het recht). Kesalahan dalam penjatuhan putusan
ini dapat merugikan terpidana maupun masyarakat pencari keadilan dan
negara. Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mana
oleh terpidana atau ahli warisnya dirasa merugikan terpidana karena
terpidana ataupun ahli warisnya merasa bahwa negara telah salah
mempidana seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah atau
memberatkan terpidana, maka lembaga Peninjauan Kembali bisa menjadi
upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana ataupun ahli
warisnya dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 263 Ayat
(2) KUHAP. Sistem hukum pidana yang dibangun oleh KUHAP telah
memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun
kepada Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara untuk
melakukan upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap.130 Dari rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP,
menurut Mahkamah, ada empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar
dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal
dimaksud, yaitu131:
1. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde zaak);
2. Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
3. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya;

129
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUU-XIV/2016, hlm 15-16.
130
Ibid, hlm 35.
131
Ibid.

63
4. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan
pemidanaan.
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa upaya hukum
Peninjauan Kembali dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan
seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak
berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim, oleh
karena itu hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada
terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa
yang dinamakan dengan Peninjauan Kembali. Dengan kata lain, lembaga
Peninjauan Kembali ditujukan untuk kepentingan terpidana guna
melakukan upaya hukum luar biasa, bukan kepentingan negara maupun
kepentingan korban. Sebagai upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh
terpidana, maka subjek yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali
adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya, sedangkan objek dari
pengajuan Peninjauan Kembali adalah putusan yang menyatakan
perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana.
Pranata Peninjauan Kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan
terpidana atau ahli warisnya dan hal tersebut merupakan esensi dari
lembaga Peninjauan Kembali. Apabila esensi ini ditiadakan maka lembaga
Peninjauan Kembali akan kehilangan maknanya atau menjadi tidak
berarti.132
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat
dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya harus pula dipandang sebagai
bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara, karena dalam
hal ini seorang terpidana yang harus berhadapan dengan kekuasaan
negara yang begitu kuat. Lembaga Peninjauan Kembali sebagai salah satu
bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia yang menjiwai kebijakan sistem
peradilan pidana Indonesia.133 Perlindungan hukum kepada setiap warga
negara yang menjadi korban dalam konteks pidana selama ini didasarkan
pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sumber hukum
materiil dan dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acara. Nyatanya

132 Ibid, hlm. 36.


133 Ibid.

64
dalam KUHAP lebih banyak diatur mengenai tersangka daripada mengenai
korban. Kedudukan korban dalam KUHAP tampaknya belum optimal
dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Dengan pandangan sebagaimana
diuraikan diatas, Majelis Hakim MK menegaskan bahwa Jaksa Penuntut
Umum tidak lagi dapat mewakili korban dalam mengajukan Peninjauan
Kembali.134
Menindak lanjuti timbulnya silang pendapat yang terjadi baik di
kalangan akademisi maupun praktisi hukum tentang apakah
Jaksa/Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, demi kepastian
hukum, Mahkamah memandang penting untuk mengakhiri silang pendapat
dimaksud. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-VI/2008, bertanggal 15 Agustus 2008, dalam salah satu
pertimbangannya telah menyatakan sebagai berikut135:
“.. Pertanyaan timbul apakah Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan PK
jika dilihat dari rumusan Pasal 263 ayat (1). Memang Jaksa/Penuntut
Umum tidak dapat mengajukan permohonan PK, karena falsafah yang
mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi perlindungan hak asasi
terdakwa, untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dalam proses
peradilan yang dihadapinya. Memang ada kemungkinan kesalahan dalam
putusan pembebasan terdakwa atau ditemukannya bukti-bukti baru yang
menunjukkan kesalahan terdakwa, seandainya bukti tersebut diperoleh
sebelumnya. Namun, proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan di peradilan tingkat
pertama, banding, dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan
yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang
dimilikinya untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu,
dipandang adil jikalau pemeriksaan PK tersebut dibatasi hanya bagi
terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala
kewenangannya dalam proses peradilan tingkat pertama, banding, dan
kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup.”

Dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam putusan


Mahkamah Nomor 16/PUU-VI/2008 di atas telah jelas bahwa hak untuk
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau

134
Ajie Ramdan, Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016, JIKH, Volume 11, Nomor 2,
2017, hlm. 7.
135
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUU-XIV/2016, hlm. 37.

65
ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Jika Jaksa/Penuntut
Umum melakukan Peninjauan Kembali, padahal sebelumnya telah
mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi
kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan
kembali hak kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan
Kembali tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak
berkeadilan. Menurut MK, Ketika Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum diterima, maka sesungguhnya telah terjadi dua
pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu sendiri, yaitu pelanggaran
terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali. Dikatakan ada pelanggaran
terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang-
Undang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada
pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek Peninjauan
Kembali.136
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah
memandang penting untuk menegaskan kembali bahwa norma Pasal 263
ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak
dimaknai lain selain bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya, dan tidak boleh diajukan terhadap putusan
bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Pemaknaan yang berbeda
terhadap norma a quo akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan yang justru menjadikannya inkonstitusional. Untuk itu
Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian hukum yang adil
norma Pasal 263 ayat (1) UU KUHAP menjadi inkonstitusional jika dimaknai
lain. Sehingga pada tanggal 12 Maret 2016, Majelis Hakim MK telah
memutus perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 dengan amar sebagai
berikut137:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon:
1.1 Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik

136
Ibid..,hlm. 38.
137
Ibid..,hlm. 39.

66
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD
1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain
yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo;
1.2 Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai
lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 ini bukan semata-mata untuk
membatalkan norma perundang-undangan yang selama ini berlaku
ataupun membuat norma baru, melainkan memberikan penafsiran
konstitusional terhadap norma yang termuat dalam Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP.138 Adapun tafsir Pasal 263 Ayat (1) KUHAP sesuai Putusan MK
Nomor 33/PUU-XIV/2016 adalah secara gramatikal, yang dapat
disimpulkan bahwa PK tidak dapat dimohonkan terhadap putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang amar putusannya bebas
(vrijspract) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag) dan juga
mengenai subjek hukum yang dapat mengajukan permintaan PK adalah
terpidana atau ahli warisnya, bukan penuntut umum. Ketentuan Pasal 263
Ayat (1) KUHAP tersebut sangat jelas secara tersurat, sehingga tidak perlu
ditafsirkan lagi atau disebut interpretation cecat in claris.
Dengan kalimat yang berbeda berdasarkan ketentuan Pasal 263
Ayat (1) KUHAP ini dapat dijelaskan sebagai berikut139:
Pertama, peninjauan kembali (PK) dapat diajukan terhadap semua putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (kracht van

138
Agus Surono dan Sonyendah Retnaningsih, Op.Cit, hlm. 19.
139
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm. 615.

67
gewijsde) peninjauan kembali dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung.
Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya
peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang
demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau
kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya
hukum biasa (banding dan kasasi) telah tertutup.
Kedua, dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan. Upaya
peninjauan kembali dapat diajukan terhadap:
a. Putusan Pengadilan negeri yang telah berkekuatan hukum tetap;
b. Putusan Pengadilan Tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap;
c. Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
Ketiga, kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan
hukum. Sekalipun upaya ini dapat diajukan terhadap semua putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun undang-undang
sendiri telah menentukan pengecualian. Pengecualian itu dijelaskan sendiri
dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) yaitu putusan bebas (vrijspraak) dan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging).
Mengingat sifat putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final
and binding)140, keberadaan Putusan MK No. 33/PUU- XIV/2016 berarti
kedepan segala permohonan Peninjauan Kembali sesuai ketentuan Pasal
263 ayat (1) KUHAP harus tunduk dan patuh pada ketentuan putusan
Mahkamah Konstitusi yang memuat tafsir konstitusional Pasal 263 Ayat (1)
tersebut. Maka, Jaksa tidak dapat mengajukan permintaan Peninjauan
Kembali, apalagi terkait putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Selain itu, mencermati Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi: “Undang-undang yang
diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dapat
dimaknai bahwa ketentuan ini menunjukkan sifat putusan Mahkamah
Konstitusi yang tidak berlaku atau retroaktif. Maka dalam hal ini, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 tidak dapat membatalkan

140
Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

68
putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa terhadap putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, namun daripada itu Putusan
MK No. 33/PUU-XIV/2016 ini dapat dijadikan sebagai keadaan baru atau
novum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP sebagai
salah satu alasan dapat diajukannya PK. Sehingga apabila ditemukan
kerugian atas adanya Putusan PK yang diajukan oleh Jaksa kemudian
didapati merugikan terpidana, maka pasca Putusan MK No. 33/PUU-
XIV/2016, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan upaya hukum
PK dengan alasan adanya novum Putusan Mahkamah Kontitusi tersebut.

2. Analisis konstitusionalitas kewenangan jaksa mengajukan


peninjauan kembali dalam Pasal 30C huruf H UU Kejaksaan ditinjau
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
XIV/2016

Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu uapaya hukum luar


biasa selain upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum. Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali (PK) kepada
Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 263 Ayat (2) KUHAP alasan dapat
diajukannya permohonan PK adalah sebagai berikut: “ 1) Apabila terdapat
keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; 2) Apabila dalam pelbagai
putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal
atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; 3) Apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.”
Ketentuan mengenai peninjauan kembali dalam KUHAP juga
kemudian dilengkapi dengan Pasal 263 Ayat (3): “Atas dasar alasan yang

69
sama sebagaimana tersebut dalam Ayat (2) terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
pemintaan peninjauan kembali, apabila dalam putusan itu suatu perbuatan
yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh
suatu pemidanaan.” Keberadaan Pasal 263 Ayat (3) menimbulkan
perbedaan pendapat di kalangan praktisi hukum. Mengacu pada Pasal 263
Ayat (3) tersebut, dapat dimaknai bahwa selain terpidana atau ahli
warisnya ada pihak lain yang mempunyai kepentingan untuk dapat
mengajukan Peninjauan Kembali. Sejalan dengan hal itu, maka pihak lain
yang mempunyai kepentingan mengajukan Peninjauan Kembali dapat
ditafsirkan yakni Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sangat beralasan karena
kepentingan untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dimana putusan tersebut
menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan,
namun tidak diikuti dengan hukuman pidana merupakan kepentingan Jaksa
Penuntut Umum. Namun demikian, Jaksa tidak dapat mengajukan
Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum.
Pandangan mengenai siapa pihak yang dapat mengajukan
Peninjauan Kembali ini agaknya dapat ditelaah lebih dalam salah satunya
adalah dengan melihat Pasal 263 KUHAP secara sistematis. Menurut
kenyataan yang sebenarnya Pasal 263 KUHAP terdiri dari 3 (tiga) ayat,
yaitu ayat (1) mengatur haknya terpidana atau ahli warisnya untuk
mengajukan Peninjauan Kembali, ayat (2) menganut tentang dasar alasan
atau persyaratan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dan ayat (3) yang
sering dilupakan dan dianggap tidak ada oleh sebagian praktisi, yaitu
mengatur tentang haknya pihak lain yang bukan terpidana atau ahli
warisnya. Pihak yang tidak disebutkan secara eksplisit ini baru mempunyai
hak dalam arti dapat mengajukan Peninjauan Kembali apabila ada putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan dianggap
telah terbukti secara hukum tetapi tidak diikuti dengan penjatuhan pidana.
Oleh karena dalam putusan itu tidak ada penjatuhan pidana, maka putusan
yang yang dimaksud dalam pasal 263 Ayat (3) tersebut sudah jelas bukan
terpidana, melainkan pihak lain yang berhadapan dengan terpidana yaitu

70
Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang
berhak mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan pasal 263 KUHAP ada
dua pihak, yaitu pihak terpidana atau ahli warisnya (pasal 263 Ayat (1)
KUHAP) dan pihak Jaksa Penuntut Umum (Pasal 263 Ayat (3) KUHAP).141
Berdasarkan pemahaman secara sistematikal terhadap Pasal 263
KUHAP tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP:
a. Terpidana atau ahli warisnya mempunyai hak untuk mengajukan
permintaan peninjauan kembali;
b. Bahwa permintaan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli
warisnya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
c. Bahwa permintaan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli
warisnya hanya boleh dilakukan, bukan terhadap putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Kedua, terhadap ketentuan Pasal 263 Ayat (2) KUHAP, mengatur
tentang alasan-alasan dapat diajukannya peninjauan kembali,
sebagaimana uraian tersebut diatas. Ketiga, terhadap ketentuan Pasal 263
Ayat (3) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Bahwa selain terpidana atau ahli warisnya, menurut ketentuan
Pasal 263 ayat (3) dapat ditafsirkan ada pihak lain yang
mempunyai kepentingan terhadap ketentuan Pasal 263 ayat (3)
KUHAP yang merupakan salah satu alasan dapat diajukannya
permintaan peninjauan kembali. Sejalan dengan alasan tersebut,
maka pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap
ketentuan Pasal 263 ayat (3) dapat ditafsirkan “Jaksa Penuntut
Umum”.
b. Bahwa syarat diajukannya permintaan peninjauan kembali
tersebut “apabila terdapat putusan pengadilan yang menyatakan
perbuatan yang didakwakan dianggap terbukti akan tetapi tidak
diikuti dengan penjatuhan pidana.”

141
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2010, hlm.
294-295

71
c. Namun demikian meski Jaksa Penuntut Umum dapat
mengajukan Peninjauan Kembali karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP, tetapi terhadap
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Jaksa
Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali.
Selain daripada itu, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga
tidak memberikan batasan mengenai pihak yang dapat mengajukan
Peninjauan Kembali142: “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang.” Frasa ‘pihak-pihak yang bersangkutan’ tersebut dalam perkara
pidana oleh berbagai kalangan seringkali dimaknai 1) terpidana atau ahli
warisnya; dan juga 2) Jaksa yang mewakili negara. Mencermati pasal
tersebut dalam hal ini juga berarti Jaksa memiliki kedudukan yang sama
dengan terpidana dalam mengajukan Peninjauan Kembali. Menurut Andi
Hamzah, dalam pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut mengatakan bahwa
atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dalam hal ini tujuan PK tersebut
adalah untuk merehabilitasi nama terdakwa.143
Memotret salah satu putusan Mahkamah Agung yang menerima
pengajuan PK oleh Jaksa yang kemudian dijadikan yurisprudensi dalam
beberapa putusan serupa, yakni putusan dalam kasus Muchtar Pakpahan
dengan Nomor Register Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor
55PK/Pid/1996 dimana dalam pertimbangannya Majelis Hakim menuturkan
hal-hal sebagai berikut:

142
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
143
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 306

72
1. Hukum terbentuk antara lain melalui putusan-putusan Hakim, seperti
halnya dalam masalah permohonan kasasi. Pasal 244 KUHAP
menyatakan “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung,
Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Menegasakan
bahwa permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan, kecuali
putusan bebas dapat dimintakan kasasi, atau dengan kata lain putusan
bebas dengan tegas tidak dapat dimintakan kasasi.
2. Melaui penafsiran pasal 244 KUHAP tersebut Hakim menentukan bahwa
terdapat 2 (dua) macam putusan bebas, yakni putusan bebas murni dan
bebas tidak murni, putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi,
sedangak bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. Penafsiran
putusan Hakim ini lama-lama menjadi yurisprudensi tetap.
3. Menurut pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, “Apabila terdapat
hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-
undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang
berkepentingan”. Bahwa dalam perkara pidana terdapat 2 (dua) pihak
yang berkepentingan yakni yang pertama adalah Terdakwa dan yang
lainnya adalah Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan
umum/Negara.
4. Di dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP menjelaskan “Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau
ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung”. Artinya putusan pengadilan yang bukan putusan
bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan permohonan
peninjauan kembali oleh terpidana atau ahliwarisnya, sedang putusan
bebas atau lepas dari tuntutan hukum tidak dengan tegas ditentukan
atau tidak diatur, dengan kata lain tidak ada larangan untuk dimintakan
peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.
5. Bahwa dengan demikian pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah ditujukan
kepada terpidana atau ahli warisnya. Sedangkan pasal 263 ayat (3)
KUHAP menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana
tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan”. Pasal ini ditujuan kepada Jaksa Penuntut Umum karena
sebagai pihak yang paling berkepentingan, Jaksa Penuntut Umum yang
telah berhasil membuktikan dakwaanya di muka sidang dan Hakim
menyatakan dalam putusannya bahwa Terdakwa telah bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi diikuti
oleh pemidanaan dalam putusan Hakim tersebut, sebagaimana
ditentukan oleh undang-undang, jadi Jaksa Penuntut Umum yang paling
berkepentingan agar putusan pengadilan tersebut dirubah sehingga

73
putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tersebut diikuti
dengan pemidanaan atas diri terpidana. 144

Menilik pertimbangan tersebut dapat dilihat bahwa apabila Pasal


263 KUHAP tidak dimaknai secara utuh, maka tercermin suatu pandangan
yang tidak mengedepankan keadilan. Berdasarkan bunyi pasal 263 Ayat (1)
dan (2) KUHAP, secara tersurat memang dinyatakan bahwa yang dapat
mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Akan tetapi,
berdasarkan Pasal 263 Ayat (3) KUHAP ternyata selain “terpidana” atau
“ahli waris” masih ada pihak lain yang dapat mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali yaitu pihak lain walaupun memang secara eksplisit
tidak disebutkan akan tetapi pihak lain tersebut tidak lain adalah jaksa
penuntut umum, terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan inckracht yang dalam diktumnya atau bunyinya
menyatakan “perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak
diikuti suatu pemidanaan”.145 Dengan perkataan lain dalam putusan
tersebut terdakwanya tidak dijatuhi hukum/putusan pidana meskipun
terdakwanya telah dinyatakan telah terbukti atau bersalah, oleh karena itu
dalam hal ini jaksa penuntut umum memiliki hak mengajukan Peninjauan
Kembali, terpidana sudah dinyatakan bersalah namun tetap tidak dihukum.
Penafsiran Mahkamah Agung dalam kasus Dr. Muchtar Pakpahan,
S.H., yang akhirnya menjadi Yurisprudensi untuk menerima Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah bagian dari
pembaharuan hukum yang tidak mengubah makna substantif dari Pasal
244, Pasal 263 ayat (1) KUHAP, Pasal 21 Undang- Undang Nomor 14 Tahun
1970. Oleh karena itu Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 telah
mengesampingkan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang merupakan
pembaharuan hukum tentang Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut
Umum untuk mewakili korban kejahatan dan tidak menjamin hak korban
kejahatan untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.146
Perspektif Hukum Progresif menyebutkan bahwa untuk mendapatkan
tujuan hukum yang maksimal dibangun kepada kemampuan manusia

144
Putusan Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996.
145
HMA Kuffal, Op.Cit., hlm. 233
146
Ajie Ramdan, Op.Cit., hlm. 10

74
dalam menalar serta memahami dan nurani manusia untuk membuat
interprestasi hukum yang mengutamakan nilai moral keadilan pada
masyarakat.147 Permohonan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali
oleh Jaksa Pedalam perspektif Hukum Progresif adalah sebagai terobosan
hukum (rule breaking) terhadap KUHAP. Dalam upaya untuk mewujudkan
tujuan hukum yang maksimal yaitu keadilan substantif, maka Jaksa
membuat interprestasi hukum Pasal 263 KUHAP sehingga yang kemudian
dapat bertindak sebagai pihak pemohon dalam upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali tidak terbatas hanya diberikan kepada Terpidana
dan/atau ahli warisnya, namun juga menjadi hak Jaksa Penuntut Umum.148
Perumusan pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut dapat diketahui
bahwa selain terpidana atau ahli warisnya ternyata masih ada pihak lain
yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali, meski pihak lain itu tidak
disebutkan secara tersurat. Oleh karena dalam proses peradilan perkara
pidana hanya terdapat dua pihak yang saling berhadapan yaitu penuntut
umum dan pihak terdakwa (dengan atau penasehat hukumnya), maka
dapat dengan mudah disimpulkan bahwa pihak lain itu adalah pihak yang
berhadapan dengan terdakwa, yaitu jaksa penuntut umum, maka dari itu
jaksa penuntut umum mempunyai hak yang sama dengan terpidana atau
ahli warinsya dalam mengajukan Peninjauan Kembali atas nama keadilan,
jaksa sebagai wakil negara, korban dan pihak ketiga yang berkepentingan.
Pasal 263 KUHAP yang terdiri dari tiga ayat tersebut seyogyanya dibaca
secara utuh dan dimaknai objektif maka dapat menghasilkan kesimpulan
yang sesuai rasa keadilan dan hak asasi manusia, baik HAM yang dimiliki
terpidana atau ahliwarisnya maupun HAM yang dimiliki korban kejahatan
atau pihak ketiga yang berkepentingan yang dalam proses yang mewakili
oleh jaksa penuntut umum.149
Pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa dengan kapasitasnya
mewakili korban atau negara sejalan dengan amanat konstitusi dan prinsip

147
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adya Bakti, Bandung, 2000.
148
Slamet Prasetyo, Fadjrin Wira, Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Dalam
Prespektif Hukum Progresif, Jurnal Indonesia Sosial Sains, Volume 2, Nomor 12, 2021, hlm. 7.
149
Yading Ariyanto, Hak Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali
Dalam Perspektif Keadilan Hukum Di Indonesia, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum,
2015, hlm. 9.

75
equality before the law dimana semua warga negara memiliki kedudukan
yang sama dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi hukum.150
Peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum bukan saja atas dasar Pasal
263 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP dan beberapa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan malasah PK, saja akan tetapi
berlandaskan “asas keadilan” dan “asas keseimbangan” serta nilai-nilai
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dimana kepastian
hukum selalu berbenturan dengan keadilan oleh karena tujuan Jaksa untuk
mewujudkan keadilan sesuai dengan tujuan dan cita Negara Indonesia
karena Indonesia merupakan Negara hukum sehingga keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum bisa sejalan antara satu sama lain,
bukan yang sebaliknya yang saling bertentangan. Berdasarkan Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman, “Tujuan dari
hukum acara pidana yaitu untuk mencari kebenaran dan untuk
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati suatu kebenaran materiil
sehingga terhadap suatu ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut,
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana yang secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum atau pelaku yang telah
melakukan kejahatan tindak pidana tersebut, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti atau tidak telah melakukan perbuatan hukum atau perbuatan yang
melanggar ketentuan yang berlaku terhadap suatu tindak pidana yang
telah dilakukan atau apakah orang yang didakwakan itu dapat
dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal mungkin digunakan
untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran
ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya pasal demi pasal, dan dalam
hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa
Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali

150
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

76
terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.151
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang
memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP,
bahwasanya Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut inkonstitusional kecuali
dimaknai tersurat yang berarti Jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan
Kembali, dapat dicermati bahwa tafsir konstitusional tersebut adalah tepat
dan benar adanya karena dilakukan terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP
yang memang dirumuskan sebagai perlindungan hukum bagi terpidana
atau ahli warisnya dengan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.
Namun, di sisi lain peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
mengatur acara pidana yakni KUHAP memberikan hak konstitusional
kepada Jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali yakni melalui Pasal
263 Ayat (3) KUHAP. Uraian diatas sejalan dengan wewenang jaksa untuk
mengajukan Peninjauan Kembali sebagaimana termaktub dalam Pasal 30C
huruf h UU Kejaksaan yang mana pada penjelasannya Peninjauan Kembali
oleh Jaksa dapat dilakukan sebagai bentuk perlindungan bagi korban
termasuk bagi negara. Dalam hal ini, Jaksa mewakili kepentingan korban
termasuk negara ditempatkan secara proporsional pada kedudukan yang
sama dan seimbang dengan hak terpidana atau ahli warisnya dalam
mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Maka dari itu, Pasal 263 Ayat
(3) KUHAP juga kemudian diadopsi di dalam rumusan Pasal 30C huruf h
UU Kejaksaan yang menyebutkan: “Jaksa dapat melakukan Peninjauan
Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” 152 Contoh kasus
yang memuat putusan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 263 Ayat (3)
tersebut adalah yang terekam dalam Putusan dalam perkara dengan
Nomor Register 867/Pid.B/2021/PN.Jak.Sel dan 868/Pid.B/2021/PN.Jak.Sel
dimana dalam perkara tersebut kedua terdakwa telah dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain oleh majelis hakim, namun

151
Yading Ariyanto, Op.Cit., hlm. 19.
152
Penjelasan pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.

77
hakim berpendapat perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa
karena melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwer
exces) yang merupakan alasan pemaaf sehingga tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa terbukti namun tidak dijatuhi hukuman pidana.
Pada dasarnya, walaupun secara filosofis pranata Peninjauan
Kembali berpijak bahwa negara telah salah mempidana warga negara yang
tidak bersalah sedangkan tidak dapat lagi diperbaiki dengan upaya hukum
biasa melainkan harus dengan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan
Kembali, akan tetapi kewenangan mengajukan PK bukan saja
dipertuntukan kepada terpidana atau ahli warisnya melainkan juga kepada
jaksa, atas dasar keadilan dan asas keseimbangan. Kalau dicermati isi pasal
263 ayat (3) KUHAP, orang yang sudah terbukti bersalah akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan ini merupakan suatu yang tidak adil, karena
orang yang sudah terbukti bersalah akan tetapi tidak diikuti pemidanaan,
dapat diduga merupakan suatu kekeliruan atau khilafan hakim oleh karena
itu sepatutnya jaksa penuntut umum dapat mengajukan Peninjauan
Kembali. Hal ini sejalan dengan teori falibilitas yang mendalilkan bahwa
hakim mungkin melakukan kesalahan dan kesalahan hakim tersebut dapat
mengakibatkan kerusakan sistem sosial, sistem hukum, dan nilai kepastian
hukum serta keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dilain sisi, Jaksa juga
akan memenuhi prinsip finalitas dengan mengelaborasi antara falibilitas
dan finalitas dalam upaya peninjauan kembali tersebut.

78
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang dilakukan oleh penulis
dalam penelitian ini guna menemukan jawaban atas permasalahan yang ada,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hukum mengenai kewenangan jaksa mengajukan peninjauan
kembali dalam pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia tidak ditemukan dalam Naskah Akademik
maupun risalah pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat saat pengesahannya
menjadi undang-undang. Prinsip equality of arms yang dicantumkan dalam
penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia
adalah kurang tepat karena secara fundamental keberlakuannya adalah di
sistem peradilan dengan adversary system di negara yang menganut
common law, sedangkan Indonesia sebagai negara civil law menganut
sistem inquisitoir yang kemudian dimodifikasi sehingga disebut sistem
aquisitoir. Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan sendiri mengadopsi
Pasal 263 Ayat (3) KUHAP yang menjadi pembatasan sekaligus penegasan
bahwa dalam hal Jaksa mengajukan peninjauan kembali adalah terhadap
suatu putusan dimana perbuatan pidananya telah terbukti tetapi tidak
dijatuhi suatu pemidanaan. Jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam
kapasitasnya semata-mata melindungi kepentingan umum atau negara dan
korban, sehingga dalam hal ini Jaksa dapat mengelaborasi falibilitas dan
finalitas dalam suatu putusan pengadilan demi tercapainya nilai kepastian
hukum dan keadilan.
2. Kewenangan Jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali sebagaimana
diatur dalam Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan adalah
konstitusional. Walaupun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/PUU-XIV/2016 memberikan norma yang menyebutkan bahwa jaksa tidak
bisa mengajukan peninjauan kembali, namun putusan tersebut adalah suatu
tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang memang
diperuntukkan sebagai perlindungan kepada terpidana atau ahli warisnya.

79
Sedangkan kewenangan Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali dalam Pasal
30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan diberikan batasan berupa putusan
yang pidananya terbukti tapi tidak diikuti pemidanaan, sejalan dengan norma
dalam pasal 263 Ayat (3) KUHAP. Pasal 30C huruf h Undang-Undang
Kejaksaan yang dalam penjelasan pasalnya mengadopsi Pasal 263 Ayat (3)
KUHAP dapat dijadikan dasar hukum Jaksa untuk mengajukan Peninjauan
Kembali dimasa yang akan datang demi tegaknya keadilan dan kepastian
hukum.

B. Saran
1. Melakukan revisi terhadap penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang
Kejaksaan dengan menghilangkan equality of arms principle karena
keberlakuannya dalam sistem peradilan di Indonesia tidak tepat. Hal ini akan
menyebabkan suatu persepsi yang salah dalam masyarakat.
2. Merumuskan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali secara spesifik,
rinci, mendetail, dan komprehensif dalam RKUHAP demi terciptanya aturan
hukum yang jelas sehingga dapat tercapainya tujuan hukum yakni kepastian
hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Selain itu, pemerintah melalui
kementrian atau instansi terkait perlu mengeluarkan pedoman peraturan
pelaksanaan prosedural terkait peninjauan kembali dalam perkara pidana,
dimana pedoman tersebut dapat diterapkan dalam masing-masing institusi
penegakan hukum di Indonesia agar tercipta keseragaman pemahaman dan
menghindari simpang siur pendapat yang selama ini acapkali terjadi.
3. Kejaksaan Republik Indonesia perlu memberikan sosialisasi bagi praktisi
hukum dan masyarakat terkait kewenangannya mengajukan peninjauan
kembali sebagaimana terumuskan dalam Pasal 30C huruf h Undang-Undang
Kejaksaan. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman secara
meluas kepada seluruh elemen masyarakat dan mencegah persepsi buruk
terhadap kesewenang-wenangan Kejaksaan yang akan mengancam
legitimasi institusi dan negara.

80
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
A. Mukti Arto, Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara
Perdata Agama, Eknomi Syariah, dan Jinayah, Kencana, Depok, 2018.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung,
1986.
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana
Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan
Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali Perkara Pidana; Penegakan
Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan peradilan Sesat, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2019.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010.
Binziad Khadafi, Finality and fallibility in the Indonesian revision system:
Forging the middle ground, Tilburg University, 2019.
C. Marasinghe, The Right to Legal Assistance in International Law, with
Special Reference to the ICCPR, The ECHR and The ACHR, Asian Year
Book of International Law, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
Douglas A. Berman, Re-Balancing Fitness, Fairness, and Finality for
Sentences, Ohio State Public Law Working Paper, 2014.
Eva Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringan, Dan
Pemberat Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010.
F. C. W. De Graaf, Meervoudige Aansprakelijkstelling: Een Analyse Van
Rechtsfiguren Die Aansprakelijkstelling Voor Meer Dan Één
Strafbaar Feit Normeren, Vrije Universitiet Amsterdam, 2018.
Fair Trial Manual, A Handbook for Judges and Magistrates, prepared by the
Commonwealth Human Rights Initiative and The International
Human Rights Clinic, Cornell Law School, 2010.

81
Frans Van Dijk, Improved Performance Of The Netherlands Judiciary:
Assessment Of The Gains For Society, International Journal For Court
Administration, 2014.
H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2007.
Hadari Djenawi Taher, Bab Tentang Herzeining Didalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1982.
Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Herziening di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1982.
Herbert Lionel, The Concept of Law, Clarendon Press, 1994.
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang,
2010.
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta,
2008.
J. De Hullu, Over Rechtsmiddelen In Strafzaken, University of Groningen,
1989.
Kristiana Yudi, 2006, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika, Jakarta, 1985.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Marpaung Leden, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya,
Jakarta, Sinar Grafika, 1992.
Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum, Gramedia, Jakarta, 2005.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit UNDIP, Semarang,
1998.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, 2010.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1997, hlm.
222.

82
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta,
Bandung, 1983.
S. Negri, The Principle of “Equality of Arms” and the Evolving Law of
International Criminal Procedure, International Criminal Law Review 5,
2005.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adya Bakti, Bandung, 2000.
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang,
2005.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, 1984.
Suharto Rm, Penuntutan dan Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Sumaryono, Dasar-Dasar Logika, Kanisius, Jakarta, 1999.
W.M. Wiaderek, The Principle of “Equality of Arms” in Criminal Procedure
Under Article 6 of the European Convention on Human Rights and
its Functions in Criminal Justice of Selected European Countries: A
Comparative View, Leuven University Press, 2000.
Willem Bastiaan van Bockel, The Ne Bis In Idem Principle in European Union
Law: A Conceptual and Jurisprudential Analysis, Leiden University,
2009.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

JURNAL :
Agus Surono dan Sonyendah Retnaningsih, Akibat Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 Terhadap
Pengajuan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, Jurnal
Prosiding Nasional, 2019.
Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis Terhadap Upaya Hukum Luar Biasa
Peninjauan Kembali (PK) Oleh Jaksa Dalam Sistem Hukum Acara
Pidana Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4, Nomor 2, 2014.

83
Ajie Ramdan, Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan
Kembali Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-
XIV/2016, JIKH, Volume 11, Nomor 2, 2017.
Andre Klip & Harmen Van Der Wilt, The Netherlands Non Bis In Idem,
International Review of Penal Law, Volume 73, 2002.
Arfan Faiz, Memperebutkan Tafsir Peninjauan Kembali, Jurnal
Rechtsvinding, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2015.
Cassandra Robertson, The Right to Appeal, North Carolina Law Review Rev.
1219, Volume 91, Issue 4, 2012.
David Rossman, Were There No Appeal: The History of Review in American
Criminal Courts, The Journal Of Criminal Law And Criminology, Volume
81, 1990.
Everett V. Abbot, The Judicial Correction Of Judicial Errors, The Yale Law
Journal, Volume 26, 1916.
Fajar Laksono Soeroso, Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, Mahkamah
Konstitusi RI, 2016.
Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal
Berkala Mimbar Hukum, Volume 19, Nomor 3, Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, 2007.
Harvard Law Review, Res Judicata, Developments in the Law, Volume 65, 1952.
Jarot Digdo Ismoyo, Peradilan yang Berkualitas, Jurnal UNIERA, Volume 3,
Nomor 1, 2014.
Kate Malleson, Appeals Against Conviction And The Principle Of Finality,
Journal Of Law And Society, Volume 21, 1994.
Lord Hope of Craighead, Decision overruled: Facing Up to Judicial Fallibility,
King’s Law Journal, Volume 14, Issue 2, 2003.
M. Luthfi Chakim, Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum Peninjauan
Kembali pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi,
Volume 12, Nomor 2, 2015.
Mulyadi, Riset Desain Dalam Metodologi Penelitian, Jurnal Studi Komunikasi
dan Media, Volume 16, Nomor 1, 2021.
Peter Westen & Richard Drubel, Toward a General Theory of Double
Jeopardy, Volume 1978, 1978.

84
R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil dan
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal
Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, Dirjen Peraturan Perundang-
undangan Kementrian Hukum dan HAM, 2016.
Raaj Saah, Fallibility in Human Organizations and Political Systems, Center
Discussion Paper No. 625, Volume 5, Issue 2, 1991.
Robert von Moschzisker, Res Judicata, The Yale Law Journal, Volume 38, 1929.
Ryan W. Scott, In Defense of the Finality of Criminal Sentences on
Collateral Review, Wake Forest Journal of Law and Policy, Volume 4, Issue
1, 2014.
Sarah French Russell, Reluctance to Resentence: Courts, Congress, and
Collateral Review, North Carolina Law Review Rev. 79, Volume 91, Issue
1, 2012.
Shajeda Akhter dan Rohaida, Equality Of Arms: A Fundamental Principle Of
Fair Trial Guarantee Developed By International And Regional
Human Rights Instruments, Legal Network Series, 2004.
Slamet Prasetyo, Fadjrin Wira, Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali
Dalam Prespektif Hukum Progresif, Jurnal Indonesia Sosial Sains,
Volume 2, Nomor 12, 2021.
Stijn Franken, Finding the Truth in Dutch Courtrooms: How Does One Deal
with Miscarriages of Justice, Utrecht Law Review, Volume 4, Issue 3,
2008.
Yading Ariyanto, Hak Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan
Kembali Dalam Perspektif Keadilan Hukum Di Indonesia, Kumpulan
Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 2015.

SKRIPSI :
Zaskia Allika, Kajian Yuridis Upaya Hukum Peninjauan Kembali Lebih Dari
Satu Kali Terhadap Asas Litis Finiri Oportet Dalam Perkara Pidana,
Skripsi diterbitkan, Surakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2018.

85
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

LEMBAGA :
Kejaksaan Agung Republik Indonesia pusat pendidikan dan pelatihan, Pokok-
pokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Platform upaya
Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, Kejaksaan Agung RI,
Jakarta, 1999.

LAIN-LAIN :
Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/Pid.Sus/2009.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 109PK/Pid/2007.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 152PK/Pid/2010.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 15PK/Pid/2006.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 173PK/Pid/2011.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3PK/Pid/2001.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57PK/Pid/2009.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 84PK/Pid/2006.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUU-XIV/2016.
Risalah Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XX/2022.

86

Anda mungkin juga menyukai