Anda di halaman 1dari 105

ANALISIS YURIDIS TENTANG IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015 TERHADAP PASAL 29 UNDANG-


UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
PENULISAN HUKUM
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna
menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum

Oleh :

MUHAMMAD HAFIZ DIANTO


NIM 11010116140302

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Analisis Yuridis Tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


69/PUU-XIII/2015 Terhadap Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan

PENULISAN HUKUM

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna

Menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum

Oleh:

MUHAMMAD HAFIZ DIANTO

11010116140302

Penulisan Hukum dengan judul di atas telah disahkan dan disetujui untuk

diperbanyak

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Amalia Diamantina, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.H
NIP 196308201989032001 NIP. 196711191993032002
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

‫ﷲُ ﯾُ َﻜﻠﱢﻒُ َﻻ‬ ً ‫ﺳ َﻌ َﮭﺎ إِ ﱠﻻ ﻧَ ْﻔ‬


‫ﺴﺎ ﱠ‬ ْ ‫ُو‬

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya."


(Al Baqarah ayat 286)

‫ﭑذ ُﻛ ُﺮوﻧِ ٓﻰ‬ ۟ ‫ﺷ ُﻜ ُﺮ‬


ْ َ‫وا أَ ْذ ُﻛ ْﺮ ُﻛ ْﻢ ﻓ‬ ِ ‫ﺗَ ْﻜﻔُ ُﺮ‬
ْ ‫ون َو َﻻ ﻟِﻰ َوٱ‬

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
( Al Baqarah ayat 152)

“ You only live once, but if you do it right, once is enough.” — Mae West.

“Life is not a problem to be solved, but a reality to be experienced.”– Soren


Kierkegaard


ABSTRAK


Ketentuan perjanjian perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 telah mengatur secara tegas, bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat dibuat
maupun diubah setelah perkawinan berlangsung, hal ini guna menghindari
penyalahgunaan oleh pihak ketiga. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK)
Nomor 69/PUU-XIII/2015, hukum perkawinan di Indonesia mengalami
perubahan, yang mulanya perjanjian perkawinan hanya dilakukan sebelum atau
pada saat perkawinan, namun kini dapat dilakukan selama masa perkawinan, dan
berlaku sejak perkawinan diselenggarakan serta perjanjian perkawinan tersebut
juga dapat dirubah/diperbarui selama masa perkawinan. Permasalahan yang
dibahas di dalam penelitian hukum ini adalah latar belakang permohonan yang
diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 69/PUU-
XIII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
implikasi PMK Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap praktik Perjanjian
Perkawinan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang
permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan
Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan implikasi PMK Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap praktik
Perjanjian Perkawinan di Indonesia.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis.
Penulis menggunakan jenis data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dengan metode pengumpulan
data menggunakan studi kepustakaan dan menggunakan analisis kualitatif dalam
menganalisis data.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa, latar belakang
permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan
Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang pertama terletak pada frasa “Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan;
seluruh kalimat pada Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan; dan frasa “selama
perkawinan berlangsung” pada Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan karena telah
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya”. Latar belakang yang kedua terletak pada frasa
“harta bersama” dalam Pasal 35 UU Perkawinan karena frasa “harta bersama”
pada pada Pasal tersebut telah merampas dan menghilangkan hak Pemohon untuk
mempunyai hak milik dan hak guna bangunan karena harta tersebut dimaknai
sepenuhnya merupakan milik orang asing karena telah menikah dengan Warga
Negara Asing.
Implikasi dari Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 mengakibatkan
perubahan bahwa pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan kapan saja,
dan setelah perkawinan pun masih diperbolehkan untuk membuat perjanjian
perkawinan.

Kata Kunci: PMK Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian perkawinan,


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan

Penyayang, atas segala berkat dan cinta kasih-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul “ANALISIS YURIDIS

TENTANG IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

69/PUU-XIII/2015 TERHADAP PASAL 29 UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN” ini dengan baik.

Penulisan hukum ini disusun sebagai tugas dan syarat yang harus dipenuhi untuk

menyelesaikan pendidikan S-1 (Strata 1) pada Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro. Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis menyadari bahwa

penulisan hukum ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dan

dukungan dari pihak – pihak lain. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis

mengaturkan ucapan terima kasih kepada :

1. Allah SWT yang selalu memberikan kemudahan, kelancaran, bantuan,


pertolongan, bimbingan dan petunjuk di setiap waktu sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
2. Bapak Prof. Dr. Yos Johan Utama S.H., M.H, selaku Rektor Universitas
Diponegoro;
3. Ibu Prof. Dr. Retno Sarasawati, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro;
4. Ibu Dr. Amalia Diamantina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I
yang telah dengan sabar mengarahkan dan memberikan masukan serta
koreksi yang baik dan benar dalam penyusunan penulisan hukum ini;
5. Ibu Prof. Dr. Retno Sarasawati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing
II yang juga telah membantu dengan sabar dan teliti, memberikan


masukan serta koreksi yang baik dan benar dalam penyusunan penulisan
hukum ini;
6. Ibu Dr. Ratna Herawati,S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji yang telah
memberi masukan dan koreksi guna mengembangkan penulisan hukum
ini;
7. Ibu Dr. Fifiana Wisnaeni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali yang telah
memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis selama menjadi
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
dan segenap Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, serta Dosen bagian Hukum Tata Negara yang telah banyak
membantu dan memberikan ilmu bagi penulis selama perkuliahan;
9. Kedua Orang Tua penulis, Papa dan Mamah yang selalu memberikan
Support dalam berbagai bentuk, Doa serta kasih sayang yang tiada
hentinya.
10. Kakak kandung saya Fahrani Aisyah beserta keluarga besar Terimakasih
atas doa, semangat, dan dukungannya.
11. Support system saya selama berkuliah, Tita Nadira yang selalu
menemani, menasehati dan memberikan support dari awal perkuliahan
hingga saya mendapatkan gelar Sarjana serta dia juga yang selalu menjadi
motivasi untuk mendapatkan gelar Sarjana secepatnya.
12. Sahabat terdekat sejak SMA Hafiyyan Cahyo dan Habil Rai yang selalu
ada sejak saya dibangku SMA sampai dengan saya mendapatkan gelar
Sarjana.
13. Sahabat setiap hari, Nadim Iqbal dan Wahyu Yapari yang selalu
memberikan waktu dan nasehatnya untuk saya secepatnya menyelesaikan
skripsi
14. Sahabat 24/7 Reza Farizi yang selalu memberikan waktunya selama 10
semester disemarang dan selalu memberikan support moral untuk saya
menyelesaikan skripsi.


15. Sahabat Gacor, Nitya dan Haifa Merupakan sahabat yang selalu mengisi
waktu kekosongan saya dan merupakan mentor saya dalam mengerjakan
Skripsi, Aini yang selalu memberikan wejangan. Serta Henrikus , Rega
dan Abdillah merupakan sahabat yang selalu memberikan saya
kesenangan dalam mengerjakan skripsi, tanpa kehadiran mereka mungkin
waktu mengerjakan skripsi saya akan jauh lebih lama. See u on top
Gacor!
16. SKWAD, Cahya Nafisa, Annisa Rizqy, Hanif Julianto, Mega Bintang, dan
Reza Farizi yang sudah menjadi teman pertama di semester 1 dan ditengah
huru-hara sampai selesai, terimakasih atas semangat, drama, dan semua
waktunya.
17. Temanteman ALSA LC Undip 2016, Terima kasih atas Ilmu, manfaat dan
dedikasi yang telah kalian berikan untuk organisasi dan khususnya untuk
diri saya selama berkuliah di Universitas Diponegoro.
18. Abang-Kakak Alumni Relation Division 2014, Terima kasih atas ilmu
yang sudah diberikan kepada saya sehingga dapat menjadi masukan untuk
saya menempuh fase kehidupan berikutnya.
19. Abang-Kakak Alumni ALSA Undip, Terima kasih untuk segala bentuk
support dan sharingnya selama saya berkuliah di Universitas diponegoro,
Semoga apa yang telah dibagikan kepada saya dapat bermanfaat untuk
fase kehidupan berikutnya.
20. Abang-Kakak Alumni Relation Division 2015, Terima Kasih atas segala
bentuk support serta ilmu yang diberikan kepada saya.
21. Temanteman Alumni Relation Division 2017-2018, Terima Kasih atas
dedikasi kalian dan dukungan kalian kepada saya pribadi sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir saya.
22. Untuk temanteman dan para pihak lain yang telah banyak membantu, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan hukum ini masih
jauh dari kata sempurna semoga Allah SWT memberikan balasan yang
berlipat ganda kepada semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan ini diharapkan dapat berguna
bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang,
Penulis

MUHAMMAD HAFIZ DIANTO


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... ........................... i


LEMBAR PENGUJIAN ................................................................................................... ii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.............................................................. iii
ABSTRAK................................................................................................................ ......... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................... ........... v
DAFTAR TABEL.............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 11
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................. 11
B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................................. 14
C. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................... 14
D. MANFAAT PENELITIAN ........................................................................................... 15
E. SISTEMATIKA PENULISAN ..................................................................................... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 17
A. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
SEBAGAI HUKUM DASAR TERTULIS TERTINGGI ........................................ 17
B. MAHKAMAH KONSTITUSI ................................................................................... 19
1. Dasar Hukum terbentuknya Mahkamah Konstitusi ................................................ 22
2. Kedudukan, Kewenangan, dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi ......................... 22
3. Putusan Mahkamah Konstitusi ................................................................................ 23
C. PERKAWINAN........................................................................................................... 27
1. Sejarah Perkawinan dalam Hukum Nasional .......................................................... 27
2. Pengertian Perkawinan ............................................................................................ 32
3. Hukum Perkawinan sebagai Produk Unifikasi Hukum .......................................... 34
4. Perjanjian Perkawinan ............................................................................................. 39
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 44
A. METODE PENDEKATAN .......................................................................................... 46
B. SPESIFIKASI PENELITIAN ....................................................................................... 47
C. METODE PENGUMPULAN BAHAN HUKUM........................................................ 47
D. JENIS DAN SPESIFIKASI BAHAN HUKUM ........................................................... 48
E. METODE ANALISIS DATA ....................................................................................... 48


BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................. 49
A. LATAR BELAKANG PERMOHONAN YANG DIAJUKAN PEMOHON
KE MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PUTUSAN NOMOR
69/PUU-XIII/2015 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ............................................................. 49
1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing) para Pemohon pada Permohonan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ........................ 51
2. Alasan-alasan Pengajuan Permohonan dalam Putusan MK Nomor
69/PUU-XIII/2015 ................................................................................................. 56
3. Pokok Permohonan Pemohon ................................................................................ 59
B. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
69/PUU-XIII/2015 TERHADAP PRAKTIK PERJANJIAN
PERKAWINAN DI INDONESIA ............................................................................. 61
1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 .................................... 61
2. Keabsahan Perjanjian perkawinan yang Dibuat sebelum Keluarnya
Putusan Mahkamah Agung Nomor 69/PUU-XIII/2015 .......................................... 71
3. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015................................................................................................... 81
a. Pengesahan Perjanjian Perkawinan................................................................. 82
b. Masa Waktu Berlakunya Perjanjian Perkawinan yang Dibuat
Sepanjang Perkawinan .................................................................................... 84
C. Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. ....................................................................... 94
BAB V PENUTUP ............................................................................................................. 101
A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 101
B. SARAN…….. ............................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 103

10


DAFTAR TABEL

TABEL 4.1………………………………………………………………………92

11


BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar
pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan
suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar
pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai
dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan
dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan
tujuannya bisa berbeda-beda juga tetapi umumnya perkawinan itu bersifat
ekslusif. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk
suatu hubungan keluarga.

Definisi perkawinan secara normatif dapat kita temukan dalam


Undang-Undang No 1 tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian Perkawinan menurut Pasal 2 (ayat
1 dan 2) UU No 1 Tahun 1974 adalah Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Lalu tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974. Undang-undang ini berisikan materi yang berasal dari hukum
adat, hukum Islam, dan hukum barat. Salah satu yang diatur dalam
undang-undang ini adalah Perjanjian Perkawinan, yakni dalam Pasal 29
yang terdiri atas 4 ayat.

12


Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu,
menjadi harta bersama. Di dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata disebutkan:

“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum


terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal
itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan
atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. “

Perjanjian perkawinan berasal dari hukum barat, di Indonesia sendiri


masih menjunjung tinggi adat ketimuran, masyarakat menggangap
perjanjian ini menjadi persoalan yang sensitif tidak lazim dan dianggap
tidak biasa, materialistik, tidak etis, tidak sesuai dengan adat Islam dan
ketimuran dan lain sebagainya. Kemunculan Pasal 29 ayat (1) pada UU
Perkawinan tentang perjanjian perkawinan dikehendaki sebagai pengiring
tuntutan zaman akan persamaan hak asasi manusia dan kebebasan untuk
menentukan kebutuhan rakyat sendiri.
Perjanjian perkawinan ini diharapkan akan lebih mencegah dan
mengurangi konflik terutama yang terjadi di dalam perkawinan. Perjanjian
perkawinan antara suami dan istri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi
yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan
pihak-pihak calon suami dan isteri, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Adapun terhadap
bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan
kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya.
Latar belakang dibuatnya perjanjian perkawinan adalah untuk
melindungi akibat hukum dari ketentuan hukum perundang-undangan,
yang mengatur bahwa kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada
dasarnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat. Alasan lain yang
dijadikan latar belakang diadakannya perjanjian perkawinan adalah jika
diantara pasangan calon suami istri terdapat perbedaan status sosial yang

13


menyolok, atau memiliki harta kekayaan pribadi yang seimbang, atau
pemberi hadiah tidak ingin sesuatu yang dihadiakan kepada salah seorang
suami istri berpindah tangan kepada pihak lain, atau masing-masing suami
istri tunduk pada hukum berbeda seperti yang terjadi pada perkawinan
campuran.
Ditinjau berdasarkan aspek kepastian hukum, maka ketentuan
perjanjian perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
telah mengatur secara tegas, bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat
dibuat maupun diubah setelah perkawinan berlangsung, hal tersebut untuk
menghindari terjadinya penyalahgunaan oleh pihak ketiga.
Rumusan yang mengatur perjanjian perkawinan tersebut
memunculkan permasalahan tersendiri. Sehingga dalam praktik hukum
terdapat pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukan uji materi
melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi yang dimaksud adalah
terhadap Pasal 29 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP 1974).
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015,
tersebut hukum perkawinan di Indonesia mengalami perkembangan
signifikan, yang mulanya perjanjian perkawinan hanya dilakukan sebelum
atau pada saat perkawinan, namun kini dapat dilakukan selama masa
perkawinan, dan berlaku sejak perkawinan diselenggarakan serta
perjanjian perkawinan tersebut juga dapat dirubah/diperbarui selama masa
perkawinan. Ketentuan ini bukan berlaku secara khusus bagi pelaku
perkawinan campur, namun kepada semua perkawinan secara umum.
Putusan MK mengenai uji materi pasal 29 mengenai Perjanjian
Perkawinan di Indonesia telah membuat sebuah kemajuan. Dengan adanya
putusan tersebut merupakan sebuah contoh pemikiran maju mengenai
perkembangan hukum, sosial, dan budaya. Putusan tersebut dapat
membuat para pihak dalam perjanjian perkawinan dilindungi hak-hak nya
serta ada kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pasangan yang
terikat suatu hubungan dengan perjanjian perkawinan.

14


Dengan diajukannya uji materi Pasal 29 UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP 1974) melalui Mahkamah
Konstitusi, Perjanjian perkawinan menimbulkan adanya polemik negatif.
Perjanjian perkawinan dapat disalahgunakan sebagai alat atau usaha
masing-masing suami istri untuk menyimpang dari ketentuan hukum
perundang-undangan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU/XIII/2015 terkait Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan telah memberikan tafsir konstitusionil sehingga
mengubah rumusan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974,
khususnya tentang pembuatan perjanjian perkawinan. Implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 terhadap Pasal 29
Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 berindikasi pada adanya
ketidakpastian hukum dan tidak memberikan perlindungan hukum. Oleh
sebab itu penulis ingin melakukan penelitian dengan judul skripsi
“Analisis Yuridis Tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU/XIII/2015 Terhadap Pasal 29 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa Latar Belakang permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 69/PUU/XIII/2015 terkait Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?
2. Apa Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015
terhadap praktik Perjanjian Perkawinan di Indonesia ?

C. TUJUAN PENELTIAN

Adapun tujuan penelitian yang ingin diperoleh dari hasil penelitian ini
sebagai berikut:

15


1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang pemohon dalam
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor
69/PUU/XIII/2015 terkait Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 terhadap praktik Perjanjian
Perkawinan di Indonesia.
Apabila tujuan penelitian dalam rangka menyusun penulisan hukum ini
dapat dicapai, maka penelitian ini diharapkan akan mempunyai kontiribusi
baik secara teoritis maupun secara praktis.

D. MANFAAT PENELITIAN

a. Secara Teoritis
Diharapkan penelitian ini untuk pengembangan ilmu Hukum Tata Negara
pada khususnya terkait dengan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU/XIII/2015 tentang Perkawinan.

b. Secara praktis
1. Memberikan masukan terkait dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada pembentuk
Undang-Undang.
2. Memberikan masukan terkait praktik Perjanjian
Perkawinan kepada Kementrian Agama.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini sistematika mengacu pada buku pedoman penulisan


karya ilmiah (skripsi) program sarjana (S-1) Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro.
Skripsi ini terbagi dalam 5 Bab, dimana masing-masing bab ada
keterkaitannya antara satu dengan yang lainnya. Adapun gambaran yang

16


jelas mengenai skripsi ini akan di uraikan dengan sistematika sebagai
berikut :
Bab I Pendahuluan
Dalam Bab I ini membahas mengenai alasan pemilihan judul penulisan
penelitian hukum ini, kemudian dilanjutkan masalah-masalah yang timbul
dalam praktik, tujuan dilaksanakannya penelitian, manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka


Dalam Bab II memaparkan tentang peraturan, norma-norma hukum, teori-
teori hukum dan pendapat para ahli yang berhubungan baik dengan UUD
NRI 1945, Mahkamah Konstitusi, dan Hukum Perkawinan.

Bab III Metode Penelitian


Dalam Bab III menguraikan mengenai cara penelitian skripsi secara
sistematis, yang berdasarkan pada Metode Pendekatan, Spesifikasi
Penelitian, Jenis dan Metode Pengumpulan Data serta Metode Analisis
Data.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dalam Bab IV memaparkan mengenai uraian dan bahasan hasil penelitian
tersebut yang didasari rumusan masalah yang sudah ditentukan, data dan
informasi hasil penelitian diolah dan dianalisis, ditafsirkan dan dikaitkan
dengan kerangka teoritik atau kerangka analisis, serta mengaitkan pada
kerangka teoritik yang dituangkan dalam bab II, sehingga jelas mengenai
teori teori yang telah dikemukakan pada bab II guna untuk menjawab
rumusan masalah yang ada.

17


Bab V Penutup
Dalam Bab V merupakan bab terakhir dalam penelitian skripsi yang
tersusun atas kesimpulan yang merupakan benang merah atas semua yang
telah dituangkan dalam masing masing bab dan saran atas hasil penelitian
dan penulisan skrispi ini.

18


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
Hukum Dasar tertulis Tertinggi
Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, UUD NRI 1945 kita
memiliki kedudukan tertinggi. Sebagai hukum dasar tertulis, Undang-Undang
Dasar dalam kerangka tata aturan atau tata tingkatan norma hukum yang
berlaku, menempati kedudukan yang tinggi, yang mempunyai fungsi sebagai
alat pengontrol bagi norma hukum yang kedudukanya lebih rendah, apakah
sesuai atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar1 .
Hal ini dibuktikan pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan
bahwa :
“(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Berdasarkan pasal tersebut, sudah terlihat jelas bahwa kedudukan UUD


NRI 1945 merupakan hukum tertinggi yang ada dalam sistem perundang-
undangan di Indonesia. Materi pokok yang diatur oleh konstitusi yang
dianggap komprehensif untuk menjelaskan materi muatan yang terdapat
dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara


1 H. Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, (Jakarta : PT

R
aja Grafindo Persada, 2003), Halaman 129-130.

19


a. Pasal-pasal yang mengatur adanya jaminan terhadap Hak Asasi
Manusia terdapat pada: Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 A – Pasal 28 J,
Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 34 ayat
(1).
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental di dalam UUD 1945 susunan ketatanegaraan yang
fundamental terdiri dari 8 kelembagaan, yaitu:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat, diatur di dalam Pasal 2;
b. Dewan Perwakilan Rakyat, diatur di dalam Pasal 19, Pasal 20A
ayat (2) – ayat (4), dan Pasal 22B;
c. Dewan Perwakilan Daerah, diatur di dalam Pasal 22C dan Pasal
22D ayat (5)
d. Presiden dan Wakil Presiden, diatur di dalam Pasal 4 ayat (2),
Pasal 6, Pasal 6A dan Pasal 7; dalam kelembagaan ini termasuk
juga lembaga Kementerian yang keberadaaannya diatur di dalam
Pasal 17 ayat (1) dan ayat (4);
e. Badan Pemeriksa Keuangan, diatur di dalam Pasal 23E ayat (1)
Pasal 23F dan Pasal 23G;
f. Mahkamah Agung, diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) Pasal 24A
ayat (2) – ayat (5);
g. Mahkamah Konstitusi, diatur di dalam Pasal 24C ayat (3) – ayat
(6);
h. Komisi Yudisial, diatur di dalam Pasal 24 B ayat (2) – ayat (4).\
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental
4. Pengaturan mengenai pembatasan dan pembagian kekuasaan lembaga-
lembaga negara dalam susunan ketatanegaraan yang terdapat dalam UUD
1945:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat, diatur Pasal 3, Pasal 7A, Pasal
7B ayat (6) dan ayat (7), Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3);

20


b. Dewan Perwakilan Rakyat, diatur dalam Pasal 7B ayat (1) – ayat
(3), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat
(2), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22
ayat (2), Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat
(2), Pasal 23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3),
Pasal 24C ayat (3)
c. Dewan Perwakilan Daerah, diatur dalam Pasal 22D ayat (1) – ayat
(3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F
d. Presiden, diatur dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A,
Pasal 7, Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal
17 ayat (2), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 22 ayat (1), Pasal
23 ayat (2), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3), Pasal 24C ayat
(3). Sedangkan kewenangan menteri diatur di dalam Pasal 17 ayat
(3)
e. Badan Pemeriksa Keuangan, diatur dalam Pasal 23 E ayat (1) dan
ayat (2)
f. Mahkamah Agung, diatur dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 24A ayat
(1)
g. Mahkamah Konstitusi, diatur dalam Pasal 7B ayat (4) dan ayat (5),
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
h. Komisi Yudisial, diatur dalam Pasal 24B ayat (1)
Selain memuat tiga materi pokok diatas, UUD 1945 juga mengatur hal-hal
lainnya, yaitu:
1. Pembukaan,
2. Sistem Pemerintahan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
3. Sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden, ketentuan ini diatur
dalam Pasal 9
4. Pemerintahan Daerah, ketentuan ini diatur dalam Pasal 9
5. Pemilihan Umum, ketentuan ini diatur dalam Pasal 22E
6. Sistem Peradilan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 24 ayat (1)

21


7. Wilayah Negara, ketentuan ini diatur dalam Pasal 25A
8. Kewarganegaraan dan Kependudukan, ketentuan ini diatur dalam Pasal
26
9. Agama, ketentuan ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
10. Pertahanan dan Keamanan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 30 ayat
(2)
11. Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial, ketentuan ini diatur dalam
Pasal 33 ayat (1) – ayat (5)
12. Pendidikan dan Kebudayaan, ketentuan tentang Pendidikan diatur
dalam pasal 31 ayat (2) – ayat (5). Ketentuan tentang Kebudayaan
diatur dalam Pasal 32.
13. Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,
ketentuan tentang Bendera diatur dalam Pasal 35. Ketentuan tentang
Bahasa diatur dalam Pasal 36. Ketentuan tentang Lambang Negara
diatur dalam Pasal 36A.Ketentuan tentang lagu kebangsaan diatur
dalam Pasal 36B. Ketentuan lebih lanjut tentang Bendera, Bahasa, dan
Lamabang Negara serta Lagu Kebangsaan diatur dalam Pasal 36 C.
14. Perubahan UUD, ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) – ayat
(4)
15. Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan. Aturan peralihan terdiri dari 3
(tiga) pasal, sedangkan aturan tambahan terdiri dari 2 pasal.

B. Mahkamah Konstitusi
1. Dasar Hukum terbentuknya Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan lembaga
tinggi Negara Republik Indonesia yang diamanatkan oleh UUD NRI
1945 pasca amandemen ke-3. Dalam UUD NRI 1945 UU Mahkamah
Konstitusi diatur pada Pasal 24 C yang berbunyi :

“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama


dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

22


lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR


yang mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”

Kemudian selain diatur dalam UUD NRI 1945, Pengaturan Mahkamah


Konstitusi diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 berwenang untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

2. Kedudukan, Kewenangan, dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi


Salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengawal
konstitusi agar dilaksanakan dan di hormati baik penyelenggara
kekuasaan negara maupun warga negara. Selain itu juga Mahkamah
Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Bahkan di berbagai
Negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector)
konstitusi. Sejak diinkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam

23


arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar
adanya.2
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru
dalam dunia ketatanegaraan, dan kedudukan Mahkamah Konstitusi ini
sejajar atau sederajat dengan lembaga negara lain, yang mana Mahkamah
Konstitusi ini merupakan lembaga negara yang baru dibentuk.
Wewenang Mahkamah Konstitusi itu sendiri berawal diatur pada UUD
NRI 1945 Pasca amandemen ke-3. Wewenang Mahkamah Konstitusi
diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
tentang pemilihan umum”

Kemudian diatur lebih lanjut pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi) bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
b. Republik Indonesia Tahun 1945
c. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
d. memutus pembubaran partai politik; dan
e. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Dalam Pasal tersebut diatas pada intinya bahwa kewenangan


Mahkamah Konstitusi ialah :
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar


2 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Edisi Revisi ,

(Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 11.

24


2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar
3. Memutus pembubaran partai politik
4. Memutus perselisihan tentang pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi itu sendiri tidak hanya memiliki kewenangan,


namun juga memiliki kewajiban. Kewajiban Mahkamah Konstitusi diatur
Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 dijelaskan pula bahwa :

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas Pendapat Dewan


Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdasarkan pasal diatas, dapat dijelaskan bahwa Kewajiban Mahkamah


Konstitusi ialah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
Sebagai sebuah lembaga yang dijadikan sebagai pelindung konstitusi
MK mempunyai beberapa fungsi yang meliputi:3
a. Sebagai Penafsir Konstitusi
KC Wheare menyatakan bahwa fungsi seorang hakim adalah
memutus perkara apakah hukum itu. Konstitusi tak lain merupakan
sebuah aturan hukum. Sehingga konstitusi merupakan wilayah kerja
seorang hakim. Hakim MK dalam menjalankan kewenangannya dapat
melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Hakim dapat menjelaskan
makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau melengkapi,
bahkan membatalkan sebuah Undang-Undang jika dianggap
bertentangan dengan konstitusi.
b. Sebagai Penjaga Hak Asasi Manusia


3 Maruarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 5

25


Konstitusi sebagai dokumen yang berisi perlindungan hak asasi manusia
merupakan dokumen yang harus dihormati. Konstitusi menjamin hak-hak
tertentu milik rakyat. Apabila legislatif maupun eksekutif secara
inkonstitusional telah mencederai konstitusi maka MK dapat berperan
memecahkan masalah tersebut.
c. Sebagai Pengawal Konstitusi.
Istilah penjaga konstitusi tercatat dalam penjelasan Undang- Undang No
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang biasa disebut dengan
the guardian of constitution. Menjaga konstitusi dengan kesadaran hebat
yang menggunakan kecerdasan, kreativitas, dan wawasan ilmu yang luas,
serta kearifan yang tinggi sebagai seorang negarawan.
d. Sebagai Penegak Demokrasi.
Demokrasi ditegakkan melalui penyelenggaraan pemilu yang berlaku
jujur dan adil. MK sebagai penegak demokrasi bertugas menjaga agar
tercitanya pemilu yang adil dan jujur melalui kewenangan mengadili
sengketa pemilihan umum. Sehingga peran MK tak hanya sebagai
lembaga pengadil melainkan juga sebagai lembaga yang mengawal
tegaknya demokrasi di Indonesia.

3. Putusan Makamah Konstitusi


Putusan Hakim merupakan bentuk implementasi dari kepastian
hukum bagi orang yang berperkara dalam pengadilan. Menurut Gustaav
Radbruch, suatu putusan seharusnya menganut tiga nilai dasar hukum
yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan4. Hakim dalam memutuskan
secara objektif memberikan dengan selalu menemukan penemuan-
penemuan hukum baru (recht vinding).
Pada Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dasar hakim berwenang
mengadili perkara ialah pada UUD NRI 1945 yang tertera pada pasal
24C. Kemudian, dasar memutus perkara Mahkamah Konstitusi diatur

4 Gustav Radbruch:Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, Zweckmaβigkeit,dikutip oleh Shidarta

dalam tulisanPutusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, dari
buku Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010)

26


lebih lanjut lagi pada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Didalam
Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri terdapat alasan pemohon yang
didasarkan dari alat bukti yang ada. Tidak hanya alasan pemohon, ada
pula pertimbangan hakim dalam memutus perkara itu sendiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri memiliki sifat yang
berbeda dari putusan pada lembaga peradilan yang lain. Dalam Pasal 24C
UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya
bersifat final. Hal ini dipertegas kembali di dalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa makna sifat
final putusan Mahkamah Konstitusi juga mencakup di dalamnya
kekuatan mengikat. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh.5
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi juga terdapat amar yang
berbeda dari lembaga peradilan lainya. Jenis-jenis amar Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara, terdapat jenis-jenis amar
putusan itu sendiri yaitu:
1. Permohonan Tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard)
Dalam hal ini permohonan yang dimohonkan oleh pemohon tidak
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang. Syarat yang
dimaksud dalam hal ini ialah, syarat-syarat yang berkaitan dengan
permohonan yang dimohonkan pemohon tidak memenuhi syarat dalam
Undang-Undang. Sehingga apa bila permohonan tidak memenuhi syarat,
amar putusanya haruslah tidak dapat diterima.
2. Permohonan ditolak
Dalam hal ini, putusan mahkamah konstitusi menggunakan amar
permohonan ditolak apabila permohonan yang diajukan tidak terbukti

5 Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat

Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 VOL.
24 , 2017, hlm. 536.

27


3. Permohonan dikabulkan
Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi menggunakan amar ini
apabila dalil permohonan terbukti, sehingga Mahkamah Konstitusi harus
mengabulkan permohonan pemohon. Dalam amar putusan ini terdapat
model-model tambahanya dalam hal perkara pengujian Undang-Undang
terhadap UUD NRI 1945 lagi, seperti :

a. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)


b. Jenis putusan dengan amar ini memiliki beberapa karakteristik.
Tujuan dengan adanya amar ini ialah untuk mempertahankan
konstitusionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang
ditentukan Mahkamah Konstitusi.
c. Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional)
d. Putusan dengan amar seperti ini merupaan kebalikan dari putusan
dengan amar Konstitusional Bersyarat yang berarti pasal yang
dimohonkan untuk diuji, dinyatakan berentangan secara bersyarat
dengan UUD NRI 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji
tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi.
e. Pemberlakuanya Ditunda (Limited Constitutional)
f. Putusan yang merumuskan norma baru.6

C. Sejarah Perkawinan
1. Sejarah Perkawinan dalam Hukum Nasional
Hukum perkawinan sesungguhnya bagian integral dari syari’at Islam
yang mana tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islami. Atas


6 Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Model

dan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi
Putusan
Tahun 2003-2012)”, (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi
Informasi
dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2013), Hlm. 9-17

28


dasar konsepsi inilah hukum perkawinan dimaksudkan sebagai acuan
untuk mewujudkan perkawinan dikalangan orang muslim yang diharapkan
memiliki nilai-nilai transendental dan sakral dalam mencapai hidup yang
tentram sesuai dengan tujuan perkawinan yang sejalan dengan tujuan
syari’at Islam.syari’at Islam tak ubahnya merupakan sistem normatif Ilahi
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya disebut dengan
kaidah ibadah, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya serta
hubungan manusia dengan alam lainnya yang disebut dengan kaidah
7
mu’amalah. Hal terpenting dari kaidah muamalah dan sekaligus
mencakup kaidah ibadah yaitu hukum yang berkaitan dengan hukum
keluarga (al-ahwalus syakhshiyah), yang muatannya antara lain mengenai
perkawinan/munakahat.
Aturan-aturan perkawianan dalam perspektif syari’at Islam mengikat
bagi setiap muslim, dan setiap muslim harus menyadari bahwa di dalam
perkawinan terdapat nilai-nilai ubudiyah, oleh karenanya dalam al-Qur’an
di istilahkan dengan sebutan “mitsaaqan ghalidza”, yakni suatu ikatan
yang kokoh. Sebagai konsekuensi atas suatu ikatan yang memiliki nilai
ubudiyah tersebut, maka memperhatikan keabsahan dalam perkawinan
menjadi hal yang sangat prinsipil.
Bagi umat Islam, negara telah memberikan peluang yang seluas-
luasnya kepada umat Islam untuk memperjuangkan nilai-nilai yang
terkandung di dalam al-Qur’an, Hadits, dan bahkan fikih-fikih hasil ijtihad
para ulama untuk dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia Negara
Indonesia disebut sebagai negara pancasila, yang artinya bahwa negara
yang bukan berdasarkan satu agama bukan pula negara sekuler dalam arti
memisahkan diri dari agama dan negara. Negara Indonesia tidak identik
dengan satu agama tertentu akan tetapi negara juga tidak melepaskan
agama dari urusan negara. Dalam konteks ini negara bertanggungjawab
atas keberadaan agama, kehidupan beragama, dan kerukunan hidup


7 M. Anshary, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia,Putaka Pelajar, Yogyakarta, h. 10

29


beragama bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama dalam
pembinaan hukum nasional.
Hukum perkawinan termasuk ke dalam bagian hukum Islam yang
tentunya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya, bahwa dalam
rangka pelaksanaannya dan atau pemberlakuannya, negara harus terlebih
dahulu memberikan landasan hukum karena negara tidak lain merupakan
lembaga kekuasaan yang memiliki legalitas dan kekuatan. Di dalam
Undang-Undang No 1 tahun 1974 materinya merupakan kumpulan tentang
hukum mukahat yang terkandung di dalam al-Qur’an, Hadits, dan kitab
fikih-fikih klasik maupun fikih kontemporer yang berhasil diangkat ke
dalam sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi
hukum tertulis dan hukum positif yang memiliki kekuatan mengikat dan
memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk umat muslim.Kendati
telah di berlakukan puluhan tahun yang lalu tetapi dalam pelaksanaanya
hukum perkawinan di Indonesia masih menyisakan beragam masalah
terkait dengan masalah-masalah perkawinan.
Terciptanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan tuntutan dan
sekaligus jawaban atas segala keresahan dan ketidakpastian yang dihadapi
masyarakat muslim untuk menjadi landasan dan atau rujukan dalam
mengatasi permasalahan terkait hukum keluarga. Kebijakan ini sebagai
bentuk respon atas desakan dari organisasi-organisasi perempuan saat itu,
dan luar biasanya ordonansi ini menetapkan aturan monogami serta
memberi hak cerai yang sama pada perempuan dan laki-laki meskipun
ordonansi tersebut hanya diberlakukan terhadap masyarakat yang memilih
aturan pencatatan atas pernikahannya. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan
merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari kedua

30


konsepsi hukum agama dan negara tersebut sesungguhnya berorientasi
pada kemaslahatan manusia8.
Dalam hal perkawinan, Hukum merupakan pedoman yang lebih
banyak mengatur mengenai persoalan-persoalan hukum yang dihadapi
masyarakat, maka hukum perkawinan merupakan landasan yang dapat
memberi jawaban atas persoalan tersebut. Untuk itu, hukum seharusnya
berkembang sesuai dengan perubahan zaman sehingga mampu
mengakomodir nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat termasuk dalam hal
ini nilai adat, tradisi dan agama. Hukum seharusnya tidak menutup diri
dari upaya pembaruan yang sesuai dengan kebutuhan dan kesejahteraan
bersama. Baiknya sebuah hukum harus menjunjung tinggi asas-asas Islam
dan nilai-nilai hak asasi manusia di antaranya kesejahteraan, keadilan,
perbedaan, kesetaraan terlebih kesetaraan di antara laki-laki dan
perempuan9.

2. Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah hubungan yang sah antara seorang
perempuan dan seorang lelaki dalam waktu yang lama10. UU 1 tahun
1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai
dengan pembinaan hukum nasional, perlu terciptanya Undang-undang
tentang Perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara.
Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal
dijelaskan bahwa Perkawinan sangat dekat hubungannya dengan
Agama dan kerohanian. Dijelaskan didalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa sebagai Negara yang
berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke


8 Aristoni dan Junaidi Abdullah, 4 Dekade hukum perkawinan di indonesia: menelisik

problematika hukum dalam perkawinan di era modernisasi , Vol.7 no 1


9 Ibid,Hal.77.
10 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,ctk. Tiga puluh

Sembilan, PT. Dnya Paramita, Jakarta, 2008.

31


Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi
hak dan kewajiban orang tua.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
memiliki prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas
atau prinsip-prinsip dalam UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan


kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,
aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya
dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
Surat- surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam
daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri
lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh

32


pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu
harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri
yang masih dibawah umur.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta
harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh
suami-isteri.

b. Perkawinan Menurut Perundang-undangan


Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh. Berasal dari kata “an-nikah” yang menurut
bahasa adalah mengumpulkan saling memasukkan, wathi atau
bersetubuh11.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suani istri

11 Ibid,Hal.78.

33


dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kompilasi hukum
Islam, bahwa yang dikatakan perkawinan yaitu akad yang sangat kuat
(mitsaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi yang dimaksud oleh perundangan ini perkawinan merupakan
ikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita sehingga dengan
istilah lain dipersepsikan perkawinan disamakan dengan perikatan
(verbindtenis). Namun hal ini berbeda sebagaimana dalam konsep
KUHPerdata dimana memandang bahwa soal perkawinan hanya dalam
hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUHPerdata bahwa tidak ada
upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua belah
pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawianan
dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung. Pasal 81 tersebut
diperkuat oleh Pasal 530 ayat (1) KUHPidana, yang menyatakan bahwa
seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan yang
hanya dapat dilangsungkan dihadapan Pejabat Catatan Sipil,
sebelumnya dinyatakan kepadanya bahwa pelangsungan dihadapan
pejabat itu sudah dilakukan diancam dengan pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.12
Dari pengertian kalimat yang hanya dapat dilaksanakan didepan
Pejabat Catatan Sipil tersebut, menunjukkan bahwa peraturan tersebut
tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum Budha-
Hindu atau Hukum Adat (pribumi dan timur asing) tertentu diluar orang
Cina. Dengan demikian konsep tentang perkawinan dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dengan KUHPerdata jelas perbedaannya, hal
ini bisa kita lihat substansi hukumnya yaitu KUH Perdata memandang
bahwa perkawinan sebagai perikatan keperdataan, sementara Undang-

12 Sanjaya Yasin, Pengertian Perkawinan Makalah, Masalah, Tujuan, Definisi, Perkawinan
Menurut Para Ahli, 25 Maret 2017, http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-
perkawinanmakalah-masalah.html, (diakses pada tanggal 8 Mei 2020 Pukul 00.57.

34


Undang No. 1 Tahun 1974 memandang bahwa perkawinan merupakan
perikatan keagamaan, sehingga perkawianan tidak hanya memiliki
unsur lahir atau jasmani tetapi juga unsur bathin atau rohani
sebagaimana dapat dilihat dari tujuan perkawinan yaitu dimaksudkan
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

c. Perkawinan Menurut Adat


Di Indonesia, Pandangan adat tentang perkawinan memiliki
makna yang luas, tidak hanya perikatan perdata saja, namun memiliki
makna luas sekaligus seperti perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.
Dengan maksud lain menurut hukum adat ini bahwa suatu ikatan
perkawinan bukan hanya membawa akibat hukum terhadap hubungan-
hubungan keperdataan misalnya hak dan kewajiban suami-istri,
kedudukan anak, harta bersama, hak dan kewajiban orang tua,
melainkan lebih dari itu menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan,
kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-
upacara adat dan keagamaan.13 Menurut pendapat Van Vollenhoven,
menjelaskan bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga
hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan tatanan dunia
luar dan di atas kemampuan manusia. Artinya bahwa dalam perkawinan
itu adalah urusan keluarga, urusan kerabat, urusan masyarakat, urusan
martabat.

d. Perkawinan Menurut Agama


Dalam pandangan hukum agama secara umum, bahwa
perkawinan merupakan perbuatan yang suci dengan istilah lain
“sakramen atau samskara” yang berarti sutau perikatan antara dua pihak
dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa dengan


13 Soekanto, 1958, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, hal. 158.

35


harapan dan tujuan supaya kehidupan berkeluarga dan berumah tangga
serta berkerabat tetangga dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Dari konsepsi tersebut dapat pula
dipahami bahwa perkawinan, jika dilihat dari perspektif keagamaan
yaitu suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum
terhadap agama yang dianut kedua pihak calon mempelai beserta
keluarga kerabatnya.14
Hukum agama telah menetapkan kedudukan seseorang dengan
iman dan taqwanya, jadi apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
tidak seharusnya dilakukan. Oleh sebab itu pada dasarnya setiap agama
tidak membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak se-agama.
Menurut hukum Islam, secara bahasa perkawinan atau pernikahan
berasal dari kata nikaahun yang merupakan masdar atau asal kata dari
nakaha sinonimnya tazawwaja yang kemudian diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia yang disebut perkawinan.15 Menurut hukum Islam,
perkawinan yaitu suatu akad atau perikatan antara wali wanita calon
istri dengan pria calon suaminya.
Akad harus dilakukan oleh wali si wanita secara jelas berupa ijab
dan kabul oleh calon suami yang dilakukan didepan dua orang saksi
yang telah memenuhi persyaratan. Apabila tidak dilakukan dengan
benar, maka perkawinan dianggap tidak sah karena bertentangan
dengan hadits Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang
menyatakan tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil. 16 Golongan Syafi’iyah memberikan definisi nikah lebih
melihat pada hakikat dari akat itu bila dihubungan dengan kehiduan
suami istri yang berlaku sesudahnya, yakni boleh bergaul sedang
sebelum akad berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.


14 Gde Puja, 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir ke Dalam Hukum Adat diBali dan
Lombok, Junasco, Jakarta, hal.99.
15 Rahmat Hakim, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, hal.11.
16 Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan di Indonesia; Menurut Perundangan,

Hukum Adat, dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, hal.11.

36


Menurut golongan Syafi’iyah ini bahwa perkawinan ialah akad atau
perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin
dengan menggunakan lafadz nakaha atau zawaja atau yang semakna
dengan keduanya. Sejalan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah
juga mendefinisikan perkawinan adalah akad yang ditentukan untuk
memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan
seorang perempuan secara sengaja.17 nikah dalam artian hukum adalah
perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri
antara seorang pria dan seorang wanita. Sementara itu, menurut hukum
Kristen Katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan
wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang tulus dengan persetujuan
bebas dari keduanya yang tidak dapat kembalikan. Menurut agama
Kristen Katolik perkawinan merupakan sebuah perbuatan yang bukan
saja merupakan perikatan cinta antara suami istri, akan tetapi juga harus
mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak
dapat dipisahkan.
Menurut hukum agama kristen katolik, perkawinan dapat
dinyatakan sah apabila kedua calon mempelai telah dibaptis. Menurut
hukum Hindu, perkawinan merupakan ikatan antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak
guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan
arwah orang tuanya dari neraka Put, dimana dilangsungkan dengan
upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. Apabila suatu
perkawinan tersebut tidak dilangsungkan dengan upacara menurut
hukum hindu maka perkawinan dikatakan tidak sah. Selanjutnya,
menurut hukum perkawinan agama Budha, bahwa perkawinan adalah
suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang
wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (Metta), kasih sayang
(Karuna) dan rasa sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk

17 Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fikih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan), Prenada Media, Jakarta, hal.37.


37


membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahai oleh
Sanghyang Adi Budha atau Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan
para Bodhisatwa-Mahasatwa. Terkait hal ini perkawinan dikatakan sah
dilakukan apabila sesuai dengan prosedur hukum perkawinan agama
Budha Indonesia.18

3. Hukum Perkawinan Sebagai Produk Unifikasi Hukum


Didalam sejarah Undang-undang Perkawinan, sesungguhnya
undang-undang tersebut tercipta karena adanya ketidakpuasan terhadap
setiap sistem hukum yang ada, dimana setiap golongan maupun unsur-
unsur yang ada di Indonesia mulai tersadar bahwa selama ini mereka telah
dikelompokan dengan sistem hukum peninggalan kolonial Belanda yang
mana mereka ingin memisahkan setiap unsur dari masyarakat Indonesia.
Sebelum terciptanya Undang-Undang No.Tahun 1974, di Indonesia
berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara
dan berbagai daerah. di dalam Indieche Staats Regeling (ISR) yaitu
peraturan Ketatanegaraan Hindia Pasal 163 yang membedakan golongan
penduduk dalam tiga macam di antaranya golongan Eropa (termasuk
Jepang), golongan pribumi (Indonesia) dan golongan Timur Asing kecuali
yang beragama Kristen.
Adapun berbagai hukum perkawinan yang berlaku saat itu sebelum
lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bagi berbagai golongan warga
negara dan berbagai daerah sebagai berikut :
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan
perkawinan berlaku ijab Kabul antara mempelai pria dengan wali dari
mempelai wanita. Hal ini sebagaimana diatur dalam hukum Islam.


18 Hilman Hadikusuma, op.cit., h. 11-12

38


dalam konteks ini merupakan budaya bagi orang Indonesia yang
beragama Islam hingga sampai saat ini;

b. Bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat;


c. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (HOCI) S. 1933 nomor 74. Namun
aturan ini sudah di atur di dalam Undang-Undang No. Tahun 1974
sehingga sekarang tidak berlaku lagi;
d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia
keturunan Cina berlaku ketentuan hukum dalam KUH Perdata dengan
sedikit perubahan aturan ini sudah tidak berlaku semenjak
dikeluarkannya UndangUndang No. Tahun 1974;
e. Bagi orang timur asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan
asing lainnya berlaku hukum adat mereka. Jadi bagi keturunan India,
Pakistan, Arab dan lain yang sama, berlaku hukum adat mereka
masingmasing yang biasanya tidak terlepas dari agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa
(Indo) dan yang disamkan dengan mereka, berlaku KUH Perdata, yaitu
BurgerlijkWetboek (BW). Termasuk dalam golongan ini adalah orang
Jepang atau orang-oran lain yang menganut asas-asas hukum keluarga
yang sama dengan asas-asas hukum keluarga Belanda.

Dengan berlakunya Undang-Undang No.Tahun 1974 tentang


Perkawinan, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi
hukum barat.Karena undangundang ini menyatakan bahwa ketentuan-
ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) / KUH
Perdata tidak berlaku lagi.Pernyataan tersebut memberikan pengaruh
terhadap dimana sebagian ketentuan dalam pasalpasal dari Buku 1
BurgerlijkWetboek (BW) yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-Undang No. Tahun 1974 memuat

39


kaidah-kaidah hukum yang berkaitan perkawinan dalam garis besarnya
secara pokok yang berisi 14 Bab dan 67 Pasal. Di dalamnya diatur tentang
dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,
batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami
istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya,
kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian,
dan ketentuan-ketentuan lain. Dengan demikian Undang-undang
Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum
perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara
Indonesia.19
Undang-Undang No. Tahun 1974 yang sebelumnya diorientasikan
untuk mengkodifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional, di
samping mengunifikasikan hukum perkawinan akan tetapi setelah
disahkan bukan hukum nasional yang bersifat nasional yang dicapai,
melainkan kompilasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang
belum tuntas dan menyeluruh sebab undang-undang perkawinan masih
merujuk dan memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan
yang lama yang ada sebelumnya termasuk ketentuan hukum adat dan
hukum agama atau kepercayaan masing-masing yang mengatur terkait
perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Di
dalam rumusan-rumusan ketentuan dalam pasal-pasal undang-undang
perkawinan mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi
pelaksanaan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional. Seiring
dengan adanya budaya unifikasi dalam hukum negara Indonesia, maka
terdapat banyak golongan yang memperjuangkan produk hukum menjadi
hukum unifikasi dan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa
melihat agama, suku maupun golongan masing-masing. Sebenarnya
Undang-Undang Perkawinan bertujuan mengadakan unifikasi dalam

19 Rachmad Usaman, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

Sinar Grafika, Jakarta, h. 245



40


bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan yang masih
dipertahankan karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan
yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia.
Dengan sendirinya Undang-undang Perkawinan mengadakan
perbedaan kebutuhan hukum perkawinan yang berlaku secara khusus bagi
golongan penduduk warga negara Indonesia tertentu yang didasarkan pada
hukum masing-masing agamanya tersebut.Bagi umat beragama selain
tunduk pada undang-undang perkawinan juga tunduk pada ketentuan
hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing sepanjang
belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Hal-hal yang diatur
dalam undang-undang perkawinan terbatas pada permasalahan-
permasalahan perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing
agamanya atau kepercayaan agamanya tersebut. Untuk mendukung
kelancaran Undang-Undang No. Tahun 1974 yang diterbitkan pada
tanggal 2 januari 1974 agar berjalan secara efektif, maka pemerintah saat
itu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksana Undang-Undang No. Tahun 1974.Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050. Peraturan pemerintah tersebut
memuat 10 bab dan 49 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum,
pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, akta
perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu,
beristri lebih dari seorang (poligami), ketentuan pidana dan penutup.

4. Perjanjian Perkawinan
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan mempunyai arti di dalam UU No. 1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam berupa suatu kesepakatan bersama
bagi calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka
sudah menikah, tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun
melanggar perjanjian perkawinan tersebut maka salah satunya bisa

41


menuntut meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga
sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian
perkawinan tersebut. Perjanjian ini juga bisa disebut sebagai perjanjian
pra-nikah karena perjanjian tersebut dilaksanakan secara tertulis pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus disahkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah. Dalam perjanjian perkawinan tidak dapat di
sahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Mengenai perjanjian taklik talak, perjanjian taklik talak bukan salah
satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali
taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I
Tahun 1974. Isi pasal tersebut yaitu :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.20

B. Bentuk Perjanjian Perkawinan


Seorang calon suami atau istri yang ingin mengajukan perjanjian
perkawinan bisa bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik
talak (taklik talak yaitu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji
talak yang di gantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin


20 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, h.100.

42


terjadi dimasa yang akan datang), harta kekayaan atau harta bersama,
poligami ataupun perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Isi perjanjian perkawinan menurut pada Pasal 34 UU No.1 tahun 1974
yang berbunyi :
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
di hadapan pegawai pencatat nikah. Selama perkawinan berlangsung,
perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah
pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.
Pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan
harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1 dan 2 KHI). Begitu
juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta
syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan
kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut
KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan
baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali
ada perjanjian perkawinan.21


21 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, 1992)

43


UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta
perkawinan, yaitu:
1. Harta asal/harta bawaan
2. Harta bersama (Pasal 35)
Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke
dalam perkawinan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-
masing pihak. Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama
perkawinan. Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU
Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak
bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama. Dengan
adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah
dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang
didapat masing-masing selama perkawinan. Dalam penjelasan pasal 29
disebutkan bahwa taklik-talak tidak termasuk dalam perjanjian
perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum
perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara
tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat
Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan,
maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku
sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas
persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak
ketiga yang tersangkut.22
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan bahwa
perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas
hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan
dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian
tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau


22 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Semarang: Seksi

Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981), h. 182.


44


setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama,
pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan
melakukan kekerasan, marginalisasi, pembakuan peran.
Begitu juga yang jelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam,
perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi,
pemisahan harta pencarian masing-masing, menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan
harta bersama. Perjanjian perkawinan hanya dapat dirubah jika ada
kesepakatan kedua belah pihak. Apabila keinginan untuk merubah suatu
perjanjian itu hanya dari satu pihak, dan satu pihak lainnya tidak setuju,
maka perubahannya dianggap tidak sah yang berarti perjanjian yang
telah disepakati, tidak/belum mengalami perubahan.

C. Batalnya Perjanjian Perkawinan


Pasal 51 dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan, bahwa jika
perjanjian perkawinan atau Taklik Talak dilanggar, maka berhak
meminta pembatalan nikah atau mengajukan gugatan perceraian dengan
alasan tersebut ke Pengadilan Agama.
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dan KHI, batalnya atau terhapusnya
suatu perjanjian perkawinan yaitu karena:
1. Suami/istri melanggar apa yang sudah diperjanjikan
2. Suami/istri tidak memenuhi salah satu syarat dalam perjanjian
perkawinan

Mengenai perjanjian ini diatur di dalam Pasal 29 Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akte Notaris, maupun dengan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Petugas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan
itu berlangsung atau pada saat perkawinan berlangsung dan Perjanjian
Kawin tersebut mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Isi

45


yang diatur di dalam Perjanjian Kawin tergantung pada pihak-pihak
calon suami-calon isteri, asal tidak bertentangan dengan undang-
undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi Perjanjian
Kawin, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, kepada
kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-
luasnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
atau tidak melanggar ketertiban umum. Perjanjian Kawin ini mulai
berlaku antara suami-isteri pada saat perkawinan selesai dilakukan di
depan Pegawai pencatatat nikah dan mulai berlaku terhadap para pihak
ketiga sejak dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan
negeri atau agama setempat, di mana dilangsungkannya perkawinan dan
23
telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil.


23 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 38.

46


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah


pendekatan hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang berdasarkan pada
kaidah-kaidah hukum yang ada dan juga dengan melihat kenyataan-kenyataan
yang terjadi. Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang mengacu pada
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Faktor-faktor yuridisnya
adalah peraturan-peraturan atau norma-norma hukum yang berhubungan dengan
buku atau literatur-literatur yang digunakan untuk menyusun skripsi ini berkisar
pada hukum perdata sebagai disiplin ilmu hukum, sedangkan pendekatan normatif
adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder terhadap asas-asas hukum serta studi kasus yang dengan kata lain sering
disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan.

A. Metode Pendekatan

Penelitian hukum ini menggunakan penelitian yang berjenis


doctrinal, menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif, yaitu suatu
penelitian yang berusaha mensinkronisasikan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam
perlindungan hukum terhadap norma atau peraturan-peraturan hukum itu
pada praktik nyata di lapangan. 24 yang digunakan adalah pendekatan
normatif analitis karena pembahasannya bersifat analitis. 25 Konsep ini
merupakan pandangan yang membuat hukum identik dengan norma-
norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem
normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan


24 Soerjono Soekanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif. ( Jakarta: Rajawali 1985),

hal.20.
25 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,( Bandung : Alumni,1986), hal. 4

47


masyarakat yang nyata. 26 Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan
yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-perundangan yang
berlaku. Faktor – faktor yuridisnya adalah peraturan - peraturan atau
norma-norma hukum yang berhubungan dengan buku - buku atau literatur
- literatur yang digunakan untuk menyusun skripsi ini terfokus pada
hukum tata negara sebagai disiplin ilmu hukum.

B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan
sesuatu permasalahan yang ada pada daerah tertentu atau pada waktu
tertentu dengan dikaitkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta dikaitkan juga dengan teori hukum dan pelaksanaan hukum
positif. 27 Peneliti akan melakukan penjabaran fakta seakurat mungkin
tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya dengan adanya suatu
hipotesis.
Suatu penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya utamanya adalah data tersebut akan digunakan untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam
memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori
baru.28
Istilah analitis mengandung sebuah upaya yang dilakukan oleh
peneliti untuk mengumpulkan, mengelompokkan, menghubungkan dan
membandingkan serta memberi makna aspek-aspek, memecahkan
problematika menjadi subproblema-subproblema dan mencari karakteristik
dari setiap subproblema dan keterkaitan antar subproblema yang sedang
dibahas.

26 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:

Ghalia Indonesia, hal. 13-14


27
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hlm. 67.
28
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 97.

48


Penelitian yang dilakukan secara deskriptif analitis juga mencoba
menggambarkan teori-teori dan praktik-praktik hukum mengenai objek
permasalahan yang diteliti. Dengan demikian, penelitian ini akan
menggambarkan bagaimana bekerjanya Undang-Undang Perkawinan
pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU/XIII/2015 serta implikasinya terhadap pengesahan perjanjian
Perkawinan. Analisa penelitian ini diharapkan dapat mengetahui keadaan
yang ada pada teori dan praktek, sehingga diharapkan pada akhir kegiatan
dapat memecahkan masalah yang ada.

C. Metode Pengumpulan Bahan Hukum


Metode Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Studi Pustaka/Dokumen, yaitu mencari dan
menginventarisasi dokumen perundang-undangan dan dokumen yang
berhubungan dengan pengaturan dan proses pembuatan perjanjian
perkawinan.
Dokumen menurut para ahli dalam dua pengertian, yaitu pertama,
berarti sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai kebalikan daripada
kesaksian lisan, artefak, peninggalan-peninggalan terlukis, dan petilasan-
petilasan arkeologis. Pengertian Kedua, diperuntukkan bagi surat-surat
resmi dan surat-surat negara seperti surat perjanjian, undang- undang,
hibah, konsesi, dan lainnya.29
Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan teori-teori hukum dan
doktrin hukum, asas-asas hukum, dan pemikiran konseptual serta
penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini
yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, literature dan karya
tulis ilmiah lainnya.


29 Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), (

Depok : PT. Raja Grafindo Persada, 2018), hal.215.

49


D. Jenis dan Spesifikasi Bahan Hukum
Data yang dipakai dalam penelitian ini ialah data sekunder yaitu data yang
diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari sumbernya (Objek
Penelitian), tetapi melalui sumber lain. Peneliti mendapatkan data yang
sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau
metode baik secara komersial maupun non komersial. Untuk penelitian
hukum normatif sumber data dapat diperinci menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut30 :
1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara


yuridis31, antara lain:
Ketentuan Peraturan Nasional :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119-198
e. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
f. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 tentang
Perkawinan

2. Data Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan-bahan yang membantu dalam mengalanisa dan memahami,


meliputi :
a. Makalah dan artikel, yang berkaitan dengan Perkawinan,
Perundang-undangan, Keputusan Mk dan sebagainya;
b. Buku-buku teks yang berisi mengenai Perkawinan, Perundang-
undangan, Keputusan Mk dan sebagainya;


30 Ibid, hlm. 215-216
31Ibid,hal.216.

50


c. Jurnal-jurnal hukum; dan
d. bahan rujukan lainnya.

3. Bahan Hukum Tersier

yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap


bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari :
a. Kamus Hukum
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia
c. Ensiklopedia dan;
d. bahan rujukan lainnya.

E. Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses pengolahan data ke dalam bentuk yang


lebih mudah dimengerti dan diinterpretasikan. Dalam penelitian ini,
metode analisis yang digunakan adalah metode analisi kualitatif, dengan
tujuan untuk memperoleh pemahaman pengembangan teori yang dalam hal
ini analisis dilakukan secara terus menerus sejak awal sampai akhir dengan
melakukan pendekatan secara umum dari tujuan penelitian. Setelah bahan
dan data diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data
yang diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman
bahan dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya
dilakukan analisis secara kualitatif terhadap Tinjauan Yuridis mengenai
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
Terhadap Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan

51


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi

dalam putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon pada Permohonan dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

Legal standing berasal dari istilah personae standi in judicio yang artinya

adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. 32

Dalam Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum atau yang sering disebut dengan

Legal Standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan

memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan

penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah

Konstitusi33.

Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Legal Standing Pemohon dalam

mengajukan Permohonan diatur pada Pasal 51 Undang-Undang No 24 Tahun 2003

Mahkamah Konstitusi yang berbunyi :

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a.perorangan warga negara Indonesia;


32 Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi, 2008) , hlm 176.


33 Ibid, hlm 177.

52

b.kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang;

c.badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.”

Ketentuan diatas menjelaskan bahwa terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi

dimaksud adalah Kualifikasi pemohon apakah sebagai; (i) perorangan warga negara

Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii)

kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau; (iv) lembaga

negara. dan. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau

kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-

undang.34

Terkait Kualifikasi Pemohon, terdapat beberapa penjelasan berkaitan dengan

kualifikasi pemohon. Dalam penjelasan 51 ayat (1) huruf a Undang – Undang

Mahkamah Konstitusi dijelaskan juga yang dimaksud dengan perorangan termasuk

juga kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya berkaitan

dengan Badan Hukum Privat dan Badan Hukum Publik Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi tidak memberikan penjelasan mengehai itu. Sehingga untuk menafsirkan

hal tersebut dibutuhkanya pendapat ahli. Menurut Manaan, Dinamakan badan hukum

publik, bukan karena ada penyertaan modal negara atau pemerintah. Disebut badan

34 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Op.cit, hlm. 95-96

53

hukum publik karena merupakan badan pemerintahan yang menjalankan fungsi atau

tugas-tugas pemerintahan, tetapi diberi status sebagai badan hukum.35 Sedangkan

badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum perdata

yang menyangkut kepentingan pribadi di dalam badan hukum itu. Adapun organisasi

yang dapat atau bisa mewakili kepentingan publik (umum) adalah organisasi yang

telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh berbagai undang-undang maupun

yurisprudensi, yaitu:

1. Berbentuk Badan Hukum;

2. Dalam AD/ART secara tegas menyebutkan tujuan didirikan organisasi tersebut;

3. Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah diamantkan oleh AD/ART nya

tersebut.36

Berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak dan wewenang

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Mahkamah

Konstitusi dalam putusan perkara No. 006/PUU-III/2005 dan 11/PUU-V/2007 telah

menentukan 5 syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK sebagai berikut:

a. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI 1945;

b. Bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah

dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

c. Bahwa kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau

setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi;


35 Keterangan yang disampaikan di hadapan Sidang Majelis Mahkamah Konstitusi RI tanggal 3 Juli 2013 dalam

perkara No. 33/PUU-XI/2013 perihal permohonan terhadap UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
36 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

54

d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya

undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian

konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.37

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 (PMK No.

69/PUU-XIII/2015), Pemohon I adalah Ny. Ike Farida perorangan warga negara

Indonesia berdasarkan bukti:

1. Kartu Tanda Penduduk WNI dengan nomor 3175054101700023

2. Beralamat di Perum.Gd. Asri nomor A-6/1, Jalan Rayah Tengah Gedung Jakarta

Timur

3. Visa Kunjungan Orang Asing dengan nomor DA 3078438 (yang dikeluarkan oleh

pemerintah Jepang)

4. Kartu Keluarga dengan nomor 3175051201093850

Pemohon adalah seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki

berkewarganegaraan Jepang berdasarkan perkawinan yang sah dan telah dicatatkan di

Kantor Urusan Agama Kecamatan Makasar Kota Madya Jakarta Timur Nomor

3948/VIII/1995, dan telah dicatatkan juga pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI

Jakarta sebagaimana dimaksud dalam Tanda Bukti Laporan Perkawinan Nomor

36/KHS/AI/1849/1995/1999, tertanggal 24 Mei 1999. Terkait pernikahannya,

Pemohon tidak memiliki perjanjian perkawinan pisah harta, tidak pernah melepaskan

kewarganegaraannya dan tetap memilih kewarganegaraan Indonesia dan bertempat

tinggal di Indonesia. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang bertanggal 24 Juni 2015,

Ny. Ike Farida memberikan kuasa kepada:



37 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Op.cit, hlm 95-96.

55

1. Yahya Tulis Nami, S.H.,

2. Ahmad Basrafi, S.H.,

3. Stanley Gunadi, S.H.,

4. Edwin Reynold, S.H.,

5. Ismayati, S.H.,

Selaku Advokat Magang dan Konsultan Hukum yang beralamat di Jalan H.R.

Rauna Said Kav. C-5 Jakarta 12940. Nama-nama yang diberi kuasa khusus tersebut

yang bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa dalam perkara ini.

Pemohon pada tanggal 26 Mei 2012 telah membeli 1 (satu) unit rumah susun,

tetapi setelah membayar lunas rumah susun tersebut tidak kunjung di serahkan.

Perjanjian pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pengembang dengan alasan

suami Pemohon adalah warga negara asing, dan Pemohon tidak memiliki Perjanjian

Perkawinan. Berdasarkan surat nomor 267/S/LNC/X/2014/IP, tertanggal 8 Oktober

2014 pada angka 4, pada pokoknya pengembang menyatakan:

“Bahwa sesuai padal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan,

seorang perempuan yang kawin dengan warga negara asing dilarang untuk membeli

tanah dan atau bangunan dengan status Hak Guna Bangunan. Oleh karenanya

pengembang memutuskan untuk tidak melakukan perjanjian pengikatan jual beli

(PPJB) ataupun Akta Jual Beli (AJB) dengan Pemohon, karena hal tersebut akan

melanggar pasal tersebut.”

Kemudian berdasarkan Surat Pengembang Nomor Ref. 214/LGL/CG-

EPH/IX/2012, tertanggal 17 September 2012 angka 4 menyatakan:

56

“Bahwa berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (UU Perkawinan) yang mengatur sebagai berikut: “Harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila

seorang suami atau isteri membeli benda tidak bergerak (dalam hal ini adalah rumah

susun/apartemen) sepanjang perkawinan maka apartemen tersebut akan menjadi

harta bersama/gono gini suami isteri yang bersangkutan. Termasuk juga jika

perkawinan tersebut adalah perkawinan campuran (perkawinan antara seorang WNI

dan WNA) yang dilangsungkan tanpa membuat perjanjian kawin harta terpisah,

maka demi hukum apartemen yang dibeli oleh seorang suami/isteri WNI dengan

sendirinya menjadi milik isteri/suami yang WNA juga”.

Pemohon juga kecewa terkait penolakan pembelian dari pengembang yang

kemudian di kuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Penetapan Nomor

04/CONS/2014/PN.JKT.Tim, tertanggal 12 November 2014, yang berbunyi:

“Memerintahkan kepada Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Timur…

untuk melakukan penawaran uang…kepada: IKE FARIDA, S.H., LL.M, Beralamat

di… selanjutnya disebut sebagai TERMOHON CONSIGNATIE.

Sebagai Uang Titipan consignatie untuk pembayaran kepada Termohon akibat

batalnya surat pesanan sebagai akibat dari tidak terpenuhinya syarat obyektif sahnya

suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata”.

Sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK terkait syarat kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional, Pemohon juga memiliki hak-hak konstitusional yang

sama dengan WNI lainnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 27

57

ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang berbunyi sebagai berikut:

1. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

2. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

ada kecualinya”.

3. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945

“Setiap orang bebas…, memilih tempat tinggal di wilayah negara…”

4. Pasal 28H UUD 1945

(1)“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan”.

(4)”setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

5. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

(2)“setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

bersifat diskriminatif itu.”

(4)”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

58

Kemudian, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, Pemohon memiliki

kapasitas hukum dan kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga

negara Indonesia. Berdasarkan penjelasan diatas, Pemohon memiliki Kedudukan

Hukum (Legal Standing) dan hubungan hukum (causal verband) untuk mengajukan

permohonan pemeriksaan Pengujian Materiil (judicial review) atas Pasal 29 ayat (1),

ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD

1945.

2. Alasan-alasan Pengajuan Permohonan dalam Putusan MK Nomor 69/PUU-

XIII/2015

Alasan utama pengajuan permohonan uji materil yang diajukan oleh pemohon

ialah berkaitan dengan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 36 ayat (1) Undang-

Undang Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1)

UU Perkawinan yang didalilkan bertentangan dengan UUD 1945.

Alasan yang akan dibahas pada penulisan hukum ini ialah alasan pengajuan

permohonan uji materiil yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang didalilkan melanggar UUD 1945.

Alasan pertama terletak pada frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan; seluruh kalimat pada Pasal

29 ayat (3) UU Perkawinan; dan frasa “selama perkawinan berlangsung” pada Pasal

29 ayat (4) UU Perkawinan ternyata telah mengekang hak kebebasan berkontrak.

Frasa ini telah membatasi kebebasan pihak yang melakukan perjanjian dalam

59

menentukan waktu dan isi dari perjanjian. Karena salah satu pihak tidak dapat

membuat perjanjian kawin jika tidak dilakukan ada saat atau sebelum perkawinan

dilangsungkan”. Frasa pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan telah bertentangan

dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan

sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Frasa dan bunyi pada Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan

sebelum adanya PMK No. 69/PUU-XIII/2015 yang menjadi alasan utama pengajuan

permohonan uji materiil yaitu:

(1)”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap

pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;”

(3)”Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”

(4)”Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.”

Sebagaimana prinsip utama dalam membuat suatu perjanjian yaitu kebebasan

berkontrak (Freedom of contract) yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dalam

KUHPerdata yang berbunyi:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik

kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan

60

yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad

baik.”

Asas freedom of contract ini merupakan suatu asas yang memberikan

kebebasan kepada para pihak dalam melakukan perjanjian dalam membuat atau tidak

membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi

perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjiannya

(Lisan atau Tertulis).

Alasan pengajuan permohonan kedua terletak pada frasa “harta bersama”

dalam Pasal 35 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:

(1)”Harta benta yang diperoleh se;a,a perkawinan menjadi harta bersama”

(2)”Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan

masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”

Apabila perkawinan putus, menurut penjelasan Pasal 35 UU Perkawinan

dijelaskan bahwa “apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur

menurut hukumnya masing-masing” yang dimaksud dengan hukumnya masing-

masing menurut saksi ahli adalah hukum adat, hukum agama (islam) bagi orang islam

di Indonesia, antara lain terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan

ketentuan hukum yang terdapat dalam KUHPerdata.38

Perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh suami dan/atau isteri atas ketiga

macam harta benda dalam perkawinan menurut UU Perkawinan ditentukan dan

dijelaskan dalam Pasal 36 UU Perkawinan yang berbunyi:


38 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

61

(1)”mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak”;

(2)”mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.

Saksi ahli menjelaskan bahwa maksud dari Pasal 35 ayat (2) mengenai harta

bawaan masing-masing suami isteri adalah:39

i. Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri bersangkutan;

ii. Harta masing-masing suami atau isteri yang diterima atau diperoleh pada masa

perkawinan berlangsung melalui warisan, hibah, hadiah, atau mahar (sebagai

hak isteri menurut hukum islam).

Frasa “harta bersama” pada pada Pasal tersebut telah merampas dan

menghilangkan hak Pemohon untuk mempunyai hak milik dan hak guna bangunan

karena harta tersebut dimaknai sepenuhnya merupakan milik orang asing karena telah

menikah dengan warga Negara asing. Sedangkan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat

(1) UUPA melarang warga Negara asing mempunyai hak milik dan hak guna

bangunan sebagaimana yang telah di tetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur

dengan Penetapan Nomor 04/CONS/2014 PN.JKT.Tim tertanggal 12 Novermber

2014 dan Surat Pengembang Nomor Ref. 214/LGL/CG-EPH/IX/2012, tertanggal 17

September 2012.

Pasal tersebut didalilkan telah bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal

28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 33

ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945:



39 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

62

“setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman

dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

yang merupakan hak asasi”

Pasal 28H ayat (4) :

“setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 :

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 :

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak adak kecualinya”.

Psal 33 ayat (3) UUD 1945 :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dengan adanya perjanjian kawin atau perjanjian pisah harta, maka tidak ada

harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan, dimana tidak ada terjadinya

percampuran harta antara suami dan isteri yang masing-masing memiliki harta

63

terpisah. Namun, apabila tidak terdapat perjanjian perkawinan atau perjanjian pisah

harta, maka warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan warga

Negara asing (perkawinan campur) akan kehilangan hak dan kesempatannya untuk

mempunya hak milik dan hak guna bangunan seumur hidup.

Pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena

perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian

juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1

dan 2 KHI). Begitu juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan

harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah

penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam

perjanjian perkawinan. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta

bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan

kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut KUHPerdata

dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun

harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.40

Frasa “harta bersama” dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan harus

dimaknai dengan “harta bersama kecuali harta benda berupa hak milik dan hak guna

bangunan yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia yang kawin dengan warga

Negara asing”. Sehingga dapat mewujudkan asas nasionalitas yang mencegah warga

Negara asing untuk mempunyai hak milik dan hak guna bangunan dan untuk

melindungi warga Negara Indonesia pada perkawinan campuran agar tetap dapat

mempunyai hak milik dan hak guna bangunan.


40 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1992)

64

3. Pokok Permohonan Pemohon

Berdasarkan Pertimbangan diatas Pihak Pemohon mengajukan permohonan sebagai

berikut :

1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini;

2. Menyatakan seluruh permohonan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat dengan segala akibat hukumnya :

a) Frasa “warga negara indonesia” pada Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) sepanjang tidak dimaknai “warga Negara Indonesia tanpa

terkecuali dalam segala status perkawinan, baik warga Negara Indonesia

yang tidak kawin, warga Negara Indonesia yang kawin dengan sesame

warga Negara Indonesia, dan warga Negara Indonesia yang kawin dengan

warga Negara asing”

b) Frasa “sejak diperoleh hak” pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

sepanjang tidak dimaknai “sejak kepemilikan hak beralih” ;

c) Frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” pada Pasal 29

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU

Perkawinan);

d) Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(UU Perkawinan);

e) Frasa “selama perkawinan berlangsung” pada Pasal 29 ayat (4) Undang-

65

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan);

f) Frasa “harta bersama” pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sepanjang tidak dimaknai

sebagai “harta bersama kecuali harta benda berupa hak milik dan hak guna

bangunan yang dimiliki oleh warga negara indonesia yang kawin dengan

warga Negara asing”;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya. 41

Sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi

ialah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Dalam Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut

Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang) dijelaskan lebih lanjut terkait pengujian Undang-Undang. Pada

Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara

Pengujian Undang-Undang dijelaskan bahwa :

“(1) Permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian

materiil. (2) Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi

muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan

UUD 1945. (3) Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan

proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”



41 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

66

Dalam hal ini Permohonan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU-XIII/2015 merupakan pengujian materil. Karena permohonan dalam putusan

tersebut berkenaan dengan materi muatan dalam pasal dan ayat yang didalilkan

bertentangan dengan UUD 1945.

Permohonan yang diajukan oleh pemohon sudah sesuai syarat yang ditentukan

dalam Pasal 31 (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pasal 31 ayat (1) huruf b

dan c Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menjelaskan:

“b.uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30; dan c.hal-hal yang diminta untuk diputus.”

Dalam pokok permohonan yang dimohonkan oleh pemohon, sudah sesuai dengan

Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang yang tertera pada Pasal 5 ayat (1) Huruf d yang berbunyi :

Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil

sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3), yaitu:

− mengabulkan permohonan Pemohon;

− menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud

bertentangan dengan UUD 1945;

− menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Apabila dikaitkan dengan Pasal 1320 KUH Perdata, sesungguhnya persyaratan

untuk sahnya suatu perjanjian sudah tercermin dalam pasal tersebut. Pasal 1320 KUH

Perdata dan Pasal 45-46 Kompilasi Hukum Islam. Namun, dalam KUH Perdata

terdapat pemisahan yang cukup tajam antara pelanggaran terhadap persyaratan

67

subyektif dan obyektif. Dimana tidak terpenuhinya syarat subyektif akan berakibat

perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan apabila tidak terpenuhinya syarat obyektif

akan berakibat batal demi hukum. KUH Perdata sudah dengan jelas mencerminkan

asas-asas dalam perjanjian seperti asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1337, asas

konsensualisme yaitu kesepakatan para pihak dan sebagainya. Maka dapat dikatakan

jika perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh suami isteri tidak dilaksanakan atau

terjadi suatu pelanggaran terhadap perjanjian tersebut, secara otomatis memberi hak

kepada istri untuk meminta pembatalan.

B. Implikasi Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap praktik Pejanjian

Perkawinan di Indonesia.

1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus Permohonan dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

Mahkamah Konstitusi melalui pasal 24 C ayat (1) UUDNRI 1945 dan

ditegaskan kembalidalam pasal 10 ayat (1) huruf a sampai d UU Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK

,memiliki faktisitas hukum yang memuat kewenangan-kewenangannya beserta

ketentuan mengenai sifat final dan mengikat putusan MK. Berdasarkan faktisitas

hukum tersebut putusan MK dapat dikatakan erga omnes yang menurut Bargir

Manan adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang

mengandung persamaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang, jadi

ketika peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan

dengan UUD NRI 1945, maka menjadi batal dan tidak sah untuk semua orang.

Terjadinya perkembagan putusan MK yaitu dari putusan tolak, tidak dapat

68

diterima, dan dikabulkan bertambah menjadi putusan konstitusional bersyarat,

tidak konstitusional bersyarat, penundaan keberlakuan, hingga perumusan norma

baru membuat keberlakuan putusannya tidak hanya sebagai putusan yang langsung

dapat dilaksanakan tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan

(SelfImplmenting) dan adapula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih

dahulu (Non-SelfImplemnting).42

Mahkamah Konstitusi pada akhirnya memberikan kesimpulan berdasarkan

penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah

Konstitusi diatas dalam permohonan pengujian, sebagai berikut:

a. Mahkamah Konstutusi berwenang mengadili permohonan Pemohon.

b. Permohon memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk mengajukan

perkara a quo.

c. Permohonan Pemohon beralasan hukum untuk sebagian.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Mahkamah Konstitusi mengadili dan menyatakan:43

1. Mengabulkan permohonan Permohon untuk sebagian, antara lain:

a. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

42 Salsabilla Akbar dkk, Faktisitas Sifat Final dan Mengikat Putusan MK Dengan Menambah Instrumen

Hukum Judicial Order Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar. Diponegoro Law
Journal, Volume 8, Nomor 3, Tahun 2019, hlm. 2338
43 Ibid. hlm. 156-157

69

memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan

kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian

tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah

mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”.44

b. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

“perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali

ditentukan lain dalam perjanjian”.45

c. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

“Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai

harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,

kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut

dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.46

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.

3. Menolak Permohonan Permohon untuk selain dan selebihnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri memiliki sifat yang berbeda dari

putusan pada lembaga peradilan yang lain. Dalam Pasal 24 C UUD NRI 1945

44 Sebelumnya berbunyi sebagai berikut “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua

belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”.
45 Sebelumnya berbunyi sebagai berikut “Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan

dilangsungkan”
46 Sebelumnya berbunyi sebagai berikut, “Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak

dapat diubah, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga”.

70

dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final. Hal ini dipertegas kembali di dalam

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa makna sifat final

putusan Mahkamah Konstitusi juga mencakup di dalamnya kekuatan mengikat.

Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap

sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.47

Dalam Amar tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian

Permohonan. Hal tersebut sesuai dengan Amar Mahkamah Konstitusi yang diatur

dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan :

Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar

putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

Sebagai lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili,

dan memutus perkara tentu melakukan penafsiran, baik terhadap Undang-Undang

tertentu maupun terhadap UUD 1945. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat final dan mengikat, maka penafisran yang dilakukan Mahkamah Konstitusi

melalui putusannya merupakan penafsiran akhir sehingga Mahkamah Konstitusi

disebut memiliki fungsi sebagai the final interpreter of the constitution.48

Penafsiran atau interpretasi merupakan metode penemuan hukum

(rechtvinding), sebab metode ini merupakan sarana atau alat untuk mengetahui makna

undang-undang dalam pengujian materiil tersimpul adanya wewenang untuk


47 Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat Mahkamah
Konstitusi Perspektif Negara Hukum,Op.cit, 2017, hlm. 536.
48 Muchamad Ali Safaat, dkk, Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Periode 2003 –

2008 dan 2009 – 2013, Jurnal Konstitusi Volume 14, 2017, hlm.235.

71

menyelidiki dan menilai isi peraturan perundang-undangan yang menjadi baru

pengujinya, jadi suatu undang-undang yang isinya sesuai atau dinyatakan bertentangan

dengan derajat yang lebih tinggi oleh penguji telah dilakukan penafsiran.49 Intinya

bahwa menguji isi undang-undang berarti membandingkan dan di dalamnya termasuk

process of discovering and expounding the meaning of the articles of law and the
50
constitution (proses penemuan dan penguraian norma konstitusi. Pengujian

konstitusionalitas (pengujian materiil) tidak dapat dilaksanakan tanpa kewenangan

menafsirkan pasal-pasal dalam konstitusi yang memiliki kekuatan hukum. 51

Menurut Pemohon berlakunya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 36 ayat

(1) UUPA dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 35 ayat (1) UU

Perkawinan, telah merampas hak konstitusionalnya sebagai warga Negara Indonesia.

Hak konstitusional Pemohon tersebut ialah hak untuk bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Setiap orang (warga Negara) yang ingin

memiliki atau memberikan bekal bagi dirinya dan anak-anaknya untuk masa depan

yang salah satunya dengan membeli tanah dan bangunan yang bertujuan sebagai

tempat tinggal, tempat berlindung, dan juga sebagai tabungan atau bekal di masa

depan.52

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Mahkamah

Konstitusi mempertimbangkan bahwa perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir

49 A. Pitlo dan Sudikno Merto Kusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 13
50 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar llmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1998),

hlm. 47
51 Abdul Latif, dkk., Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta : Total Media, 2009), hlm. 323-324.
52 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

72

batin antara suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga sebagai ikatan

lahir batin, pasangan suami dan isteri harus saling membantu dan melengkapi demi

mewujudkan kesejahteraan spiritual dan material. Bahwa sesungguhnya hak dan

kedudukan isteri adalah seimbang dengan kedudukan suami, baik dalam kehidupan

berumah tangga maupun bersosial. Segala keputusan dalam hubungan rumah tangga

adalah berdasarkan kesepakatan antara suami dan isteri.

Berdasarkan keterangan ahli pemohon yaitu Dr. Neng Djubaedah, S.H.,M.H

yang mencantumkan asas-asas dalam penjelasan UU Perkawinan dalam pertimbangan

hukum sebagai berikut:

d. Asas/prinsip tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Oleh itu suami isteri harus saling membantu dan melengkapi, agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materiil53.

e. Asas perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu; disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian

yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang dimuat

dalam daftar pencatatan;

f. Asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena

hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Seorang suami



53 Prof. H. M Daud Ali: asas untuk selama-lamanya

73

dapat beristeri lebihd ari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami

dengan lebih dari seorang isteri, mesikipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak

yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai

persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan;

g. Asas calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat

dilangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik

dan sehat;

h. Prinsip mempersukar terjadinya perceraian, sesuai dengan prinsip tujuan

perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

Karena itu perceraian harus berdasarkan alasan-alasan perceraian tertentu dan

harus dilakukan di depan sidang pengadilan.;

i. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,

sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan

dan diputuskan bersama suami isteri.

Sedangkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, pengertian dari perkawinan campuran adalah perkawinan

antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarga-negaraan Indonesia.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Mahkamah

Konstitusi terlebih dahulu menafsirkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yaitu

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua

belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang

74

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku

pula terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”54

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) tidak hanya menambahkan

frasa “selama dalam ikatan perkawinan”, namun juga mengubah kata “mengadakan”

menjadi “mengajukan” serta menambahkan frasa “akta notaris”.

Selanjutnya, MKRI memberikan penafsiran terhadap Pasal 29 ayat (3) UU

Perkawinan yaitu:

“Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali

ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”.55

MKRI Menambahkan frasa “kecuali ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan” yang digunakan untuk mengakomodir penambahan frasa “selama dalam

ikatan perkawinan” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Dengan makna bahwa

suami/isteri yang baru membuat perjanjian perkawinan setelah menikah dan tidak

mengatur waktu berlakunya perjanjian mereka. Sehingga perjanjian yang dibuat demi

hukum berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan tersebut

berlaku surut (retroaktif).

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tujuan Perjanjian Perkawinan adalah:56

1. Memisahkan harta kekayaan antara antara pihak suami dengan pihak isteri,

sehingga kekayaan mereka tidak campur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka

bercerai, harta masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta

kekayaan bersama atau gono-gini.


54 Damian Agata Yuvens, Analisis kritis terhadap perjanjian perkawinan dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, (Jakarta:Jurnal Konstitusi Vol. 14 No. 4, 2017), hlm. 806
55 Ibid. hlm. 807
56 Mahkamah Konstitusi,Salinan Putusan…,hlm. 153-154

75

2. Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan

mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta

ijin dari pasangannya.

4. Begitu juga dalam fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta

izin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya dalam hal menjaminkan asset yang

terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ketentuan yang ada saat ini hanya

mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan

dilangsungkan, padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami isteri yang karena

alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat perjanjian

perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. Berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan,

perjanjian tersebut harus diadakan sebelum perkawinan dan harus diletakkan dalam

akta notaris. Sehingga perjanjian perkawinan berlaku untuk suami atau isteri sejak

perkawinan berlangsung. Isi yang diatur dalam perjanjian perkawinan berdasarkan

kesepakatan para pihak calon suami maupun calon isteri dan tidak bertentangan

dengan undang-undang, agama dan kesusilaan.

Penafsiran MKRI terhadap Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan yaitu “selama

perkawinan berlangsung, perjanjian dapat mengenai harta perkawinan atau

perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut. Kecuali bila dari kedua belah

pihak mengadakan persetujuan untuk mengubah atau mencabut perjanjian tersebut

dan perubahan atau pencabutan tersebut tidak merugikan pihak ketiga”.

Dalam hal diatas, ada 2 frasa yang ditambahkan oleh MKRI, yaitu “dapat

mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya” dan “atau mencabut/merubag”.

76

Munculan beberapa pertanyaan apakah maksud dalam frasa “selama perkawinan

berlangsung” berubah menjadi “selama dalam ikatan perkawinan” dimana kedua frasa

tersebut memiliki makna yang sama. Lalu pertanyaan selanjutnya, mengapa hal yang

dipertimbangkan tidak Nampak dari hasil tafsir yang diberikan? Mengapa justru hal-

hal yang tidak dipertimbangkan yang malah timbul dalam penafsiran?.

Perjajian perkawinan merupakan salah satu bentuk dari perjanjian, seperti

halnya perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, atau perjanjian lainnya.

Ketentuan dan karakteristik mengenai perjanjian perkawinan sebelum adanya PMK

No. 69/PUU-XIII/2015, adalah:57

1) Para Pihak

Untuk bisa membuat perjanjian perkawinan, para pihaknya harus laki-laki dan

perempuan. Pihaknya tidak antara laki-laki dengan laki-laki, maupun perempuan

dengan perempuan. Selain itu, pihak dalam perjanjian perkawinan hanya terdiri

dari 2 orang saja: 1 laki-laki dan 1 perempuan. Perjanjian perkawinan tidak bisa

dibuat antarai 1 laki-laki dengan 2 perempuan, maupun sebaliknya. Bahkan

perempuan yang menjadi pihak dalam perjanjian perkawinan, bisa saja belum

dewasa dimata huku.

2) Masa Pembuatannya

Perjanjian perkawinan hanya bisa dibuat pada masa tertentu saja, yaitu pada saat

atau sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Isi Perjanjian

Isi dari perjanjian perkawinan bisa sangat variatif. Batasannya hanyalah hukum,

agama dan kesusilaan. Bahkan isi dari perjanjian perkawinan, bisa



57 Damian Agata Yuvens, Loc.cit, hlm. 813

77

mengesampingkan ketentuan mengenai percampuran harta dalam UU

Perkawinan.

4. Mulai Berlakunya

Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Meski

perjanjian tersebut dibuat sebelum perkawinan, namun masa berlakunya dimulai

sejak perkawinan dilangsungkan.

5. Sebab Berakhirnya

Perjanjian perkawinan ada dalam rangka perkawinan. Perjanjian perkawinan

tidak bisa dibuat tanpa adanya perkawinan. Namun demkian, tidak ada

ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan menjadi

hapus/berakhir ketika perkawinan berakhir. Bahkan tidak ada ketentuan yang

mengatur mengenai pengakhiran perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan.

Hal yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, misalnya mengenai

pengasuhan anak pasca percertaian maupun hak untuk melakukan kunjungan

kepada anak, bisa saja justru berlaku setelah perceraian.

Sebelum diundangkannya UU Perkawinan, telah dikaji terlebih dahulu

mengenai asas-asas perkawinan dalam hukum islam yang harus dimuatkan dalam

UU Perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, antara lain mengenai

perjanjian perkawinan yang tidak boleh melanggar asas-asas pokok ketentuan-

ketentuan agama di Indonesia sebagai berikut:58

1) Harus ada pencatatan resmi dari semua perkawinan

2) Asas-asas perkawinan:

a) Perkawinan bertujuan untuk membentuk brayat (keluarga)



58 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

78

b) Pada prinsipnya perkawinan adalah monogami tanpa menutup pintu bagi

poligami yang harus diatur sebaik-baiknya dalam peraturan perundang-

undangan

c) Tanggung jawab suami isteri dalam brayat adalah seimbang

d) Perkawinan harus berdasarkan persetujuan untuk kedua mempelai

e) Kedua mempelai harus sudah mencapai umur yang minumumnya

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

f) Agar dimungkinkan kepada suami isteri, membuat perjanjian

tersendiri yang mereka anggap perlu

g) Agar dijamin jangan ada perceraian sewenang-wenang

h) Akibat perceraian diatur seadil-adilnya

i) Pelanggaran hukum dalam hal perkawinan dan perceraian harus

ditentukan sanksinya, bilamana perlu dengan sanksi pidana

j) Agar Badan Penasihan Perkawinan dan Penyelesaian (BP4) diperluas

adanya dan diikut sertakan dalam segala kesulitan perkawinan serta

diberik kedudukan hukum

k) Peraturan perkawinan tidak boleh melanggar asas-asas pokok daripada

semua agama

3) Supaya selekas mungkin diadakan Undang-Undang Perkawinan.

Selanjutnya, MKRI terhadap permohonan pemohon terkait inkonstitusionalitas

pada Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan mengenai ketentuan yang mengatur

percampuran harta, mempertimbangkan bahwa hal tersebut tidak lagi relevan untuk

dibahas kerena perjanjian perkawinan yang dapat menimbulkan terjadinya

79

pemisahan harta, bisa dibuat kapanpun selama dalam ikatan perkawinan.59 MKRI

menggunakan argumentum a contrario guna mencapai kesimpulan terkait

konstitusionalitas percampuran harta tanpa perkecualian dalam perkawinan.

Hanya saja bagi para pihak yang membuat pejanjian perkawinan, terdapat harta

bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan berlaku

ketentuan perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Maka

berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 29 ayat (1),

ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan Pasal 35 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak beralasan demi hukum.

Undang-Undang mengenai harta bersama sebelumnya diatur didalam Pasal 35

UU Perkawinan yang mengatur bahwa jika terdapat harta selama perkawinan

berlangsung, maka kekayaan tersebut merupakan milik bersama dari suami dan

isteri. Apabila dikaitkan dengan Pasal 139 KUH Perdata, isi dari perjanjian

perkawinan dapat keluar dari peraturan undang-undang mengenai ketentuan harta

bersama dikarenakan isi dari perjanjian perkawinan dapat berupa pemisahan harta

benda. Dimana harta milik suami dan isteri menjadi hak masing-masing tanpa

adanya percampuran harta. Dengan itu, dapat dikatakan bahwa perjanjian kawin

dapat menyimpang dari ketentuan UU mengenai perngaturan harta bersama didalam

perkawinan. Menurut hemat penulis, pertimbangan Hakim ini dirasa kurang tepat

untuk dijadikan dalil dalam pengesahan penetapan perjanjian perkawinan setelah

perkawinan berlangsung tersebut.



59 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

80

Implementasi “putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”

dilaksanakan dengan dikeluarkannya “Surat Edaran Direktur Jenderal

Kependudukan dan Pencatatan Sipil – Departemen Dalam Negeri RI No.

472.2/5857/DUKCAPIL” bagi yang beragama selain Islam dan “Surat Edaran

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam – Kementerian Agama RI Nomor

B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017” bagi yang beragama Islam, yang pada pokoknya

mengatur teknis pencatatan dan pelaporan Perjanjian Perkawinan yang dibuat

sebelum, pada saat, dan selama ikatan perkawinan. yang mana dalam hal ini pihak

pihak yang terkait adalah Notaris, Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama.

Pencatatan dilakukan untuk melindungi kepentingan para pihak baik suami, istri

maupun pihak ketiga.60

Perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan terhadap pasangan suami isteri

yang melakukan perkawinan secara sah dan tercatat, sementara pada perkawinan

siri perjanjian perkawinan tidak dapat dilakukan. Sehingga bagi para pembuat

Undang-Undang yang memiliki kewenangan dalam membuat suatu peraturan

hendaknya harus ada konsistensi antara peraturan yang terdahulu dengan peraturan

yang baru terutama mengenai perjanjian perkawinan. Hal ini karena terdapat

perbedaan tata cara pembuatan perjanjian ”Perkawinan dalam KUH. Perdata, UUP,

maupun setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015”. Bagi para pembuat peraturan perundang-undangan dan pemerintah

semestinya membuat aturan pelaksana seperti peraturan pemerintah sebagai tindak

lanjut dari keluarnya putusan tersebut sehingga lebih dapat diketahui oleh


60 Herni Widanarti, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Terhadap Hukum

Perkawinan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Law, Development and Justice Review,
Vol. 3, Juni 2020, Hlm. 138

81

masyarakat luas. Bagi Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam pembuatan

akta perjanjian perkawinan hendaknya berhati-hati untuk melindungi kepentingan

semua pihak dan kepentingan pihak ketiga agar tidak dilanggar hak-haknya.61

2. Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Dibuat sebelum Keluarnya Putusan

Mahkamah Agung Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pasangan

calon suami isteri sebelum maupun ketika perkawinan dilangsungkan dengan tujuan

untuk mengatur akibat-akibat yang akan timbul dari suatu perkawinan tersebut

terhadap harta kekayaan dari pasangan suami isteri tersebut.62

Dalam pelaksanaan perkawinan canpuran ada yang menghendaki perkawinan

mereka dibuat dengan perjanjian kawin tergantung kesepakatan kedua belah pihak

yang akan melangsungkan perkawinan campuran. Dalam halnya perkawinan sudah

dilangsungkan, sepasang suami isteri tidak dapat membuat perjanjian perkawinan

untuk memisahkan harta bersama. Namun, untuk pengajuan permohonan pemisahan

harta bersama ke Pengadilan Negeri tidak dapat dilakukan karena Pasal 29 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan hanya

dapat dilakukan sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan.63

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 UU Perkawinan, dalam pembuatan

perjanjian perkawinan calon pasangan dapat membuat perjanjian pada saat perkawinan

maupun sebelum perkawinan dilangsungkan. Ketika calon pasangan suami isteri



61 Ibid, hlm. 139
62 Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Grup,2011), hlm. 34
63 Ade Nurhidayat dkk, Analisis Yuridis Perkawinan Campuran Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah

Dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI) Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Diponegoro
Law Journal, Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, hlm. 11

82

menghendaki suatu perubahan terhadap perjanjian tersebut, maka harus ada

persetujuan bersama serta tidak merugikan pihak ketiga yang bersangkutan. Akan

tetapi, setelah dikeluarkannya PMK No.69/PUU-XIII/2015, mengakibatkan perubahan

bahwa pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan kapan saja, dan setelah

perkawinan pun masih diperbolehkan untuk membuat perjanjian perkawinan.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kawin yang dibuat sebelum

berlakunya PMK No. 69/PUU-XIII/2015, adalah perjanjian perkawinan yang sah dan

berlaku bagi para pihak (suami/isteri) yang mengadakan dan membuat perjanjian

tersebut dengan ketentuan yang tidak melanggar batas-batas

3. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memiliki dampak

terhadap Pembuatan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan.

Dengan ditetapkannya PMK No. 69/PUU-XIII/2015, memperluas makna dari

perjanjian perkawinan dan menimbulkan perubahan terhadap praktik pembuatan

perjanjian perkawinan yang menjawab beberapa pertanyaan di kalangan publik.

a. Pengesahan Perjanjian Perkawinan

Prof. R. Subekti mengemukakan bahwa KUHPerdata menganut asas

percampuran harta sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 119 KUHPerdata,

bahwa kekayaan masing-masing yang dibawanya dalam perkawinan itu dicampur

menjadi satu/ persatuam harta sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan

dengan suatu persetujuan antara suami dan isteri. Sehingga harta kekayaan itu

83

menjadi harta bersama mereka dan apabila mereka bercerai (meskipun baru satu

bulan melangsungkan perkawinan) maka kekayaan bersama itu harus dibagi dua

sehingga masing-masing dapat separuh. Sebagaimana bunyi Pasal 119

KUHPerdata:64

“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan

antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan

perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain;

Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah

dengan suatu persetujuan suami isteri”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila seorang suami/isteri ingin

menyimpang dari peraturan umum diatas maka ia (calon mempelai) harus

menentukan keinginannya dalam suatu perjanjian perkawinan

(huwelijksvoorwarden). Perjanjian yang demikian itu harus diadakan sebelumnya

pernikahan ditutup dan harus diletakkan dalam akta notaris. Isi perjanjian

tersebut tidak dapat diubah selama perkawinan.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan (UU Perkawinan), telah mengatur bahwa seluruh perkawinan harus

dicatatakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga

setiap perkawinan harus diikuti dengan pencatatan perkawinan. Pencatatan

perkawinan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan satu sama

lain. Suatu pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif untuk

menentukan dan menbuktikan telah terjadinya suatu perkawinan, sehingga

perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak memiliki akta nikah, dianggap tidak

64 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

84

ada oleh Negara dan tidak mendapatkan kepastian hukum. Hal ini lah yang

memberi dampak terhadap akibat hukum yang timbul sehingga para pihak tidak

mendapatkan perlindungan hukum.65

Perkawinan memiliki akibat hukum terhadap timbulnya hak dan kewajiban

yang salah satunya terhadap harta benda dalam perkawinan yang sebagaimana

telah diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan dengan adanya perjanjian tertulis

berupa perjanjian perkawinan. Perkawinan yang dapat menimbulkan akibat

hukum yang sah harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Syarat sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan

yang menyebutkan bahwa :

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam

KUHPer dengan menganut sistem kesatuan harta suami isteri. Apabila suami

isteri ingin membatasi atau menutup kebersamaan harta kekayaan dalam

perkawinan, maka dibuatlah perjanjian perkawinan. Adapun tujuan dari

dibuatnya perjanjian perkawinan adalah:66

1) Apabila harta kekayaan salah satu pihak (suami atau siteri) lebih besar

dibanding harta kekayaan pihak lainnya.


65 Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan

di Indonesia, Jurnal Legilasi Indonesia, Volume 14 No. 3, September 2017, hlm. 254
66 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia,(Airlangga University Press, 1988), hlm. 58

85

2) Kedua pihak (suami dan isteri) membawa masuk harta yang cukup besar

ke dalam harta perkawinan.

3) Masing-masing memiliki usaha sendiri. Sehingga apabila salah satu jatuh

bangkrut (pailit), maka yang lain tidak ikut pailit.

4) Terhadap hutang-hutang yang dibuat sebelum perkawinan, masing-masing

akan menanggung dan melunasi hutangnya sendiri.

Dengan kata lain, tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan antara lain untuk

memisahkan harta kekayaan antara kedua pihak sehingga harta kekayaan mereka

tidak tercamput. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari

masing-masing pihak terlindungi dan bertanggung jawab atas utangnya masing-

masing. Kemudian, jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka

tidak perlu meminta ijin dari pasangannya serta jika ada fasilitas kredit yang

mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu kepada pasangannya

terkait jaminan asset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menjelaskan bahwa pada waktu sebelum

perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas dasar kesepakatan bersama dapat

mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,

setelah mana isinya berlaku pula terhadarp pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersangkut. Kemudian, perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan

berlangsung kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan serta selama

perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah atau dicabut,

kecuali kedua belah pihak mengadakan persetujuan.

Pengesahan dalam hubungannya dengan perjanjian perkawinan adalah

perbuatan mengesahkan, pengakuan berdasarkan hukum, peresmian atau

86

pembenaran. Menurut hukum, pengesahan merupakan tindakan hukum oleh

instansi yang berwenang untuk mengubah status “tidak sah”. Dalam hal perjanjian

perkawinan, pengesahan yang dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan

harus benar-benar yakin dan meneliti apakah perjanjian perkawinan tersebut

mengandung hal-hal yang melanggar peraturan yang berlaku, agama, dan

kesusilaan. Sebagaimana penjelasan dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan,

bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan oleh pegawai pencatatan

perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas (hukum, agama,

kesusilaan). Sehingga secara a contrario, dapat disimpulkan bahwa setelah

disahkan oleh pihak yang berwenang berarti telah terjamin bahwa isi dari

perjanjian perkawinan tersebut tidak melanggar batas-batas terkait.

Dengan adanya PMK No. 69/PUU-XIII/2015, terjadi perubahan yang

berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan. Sebelumnya, berdasarkan

pasal 29 UU Perkawinan mengatur bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat

dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja, setelah PMK No 69/PUU-

XIII/2015, perjanjian perkawinan dapat dibuat oleh suami isteri sepanjang

perkawinan mereka. Kedua belah pihak dapat membuat perjanjian perkawinan

secara tertulis dan kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau

dengan bantuan notaris untuk membuat akta perjanjian perkawinan tersebut.

Dalam hal ini, notaris tidak hanya memberikan bantuan untuk membuat perjanjian

perkawinan tersebut, tetapi notaris juga harus memperoleh kepastian hukum

bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut tidak merugikan pihak ketiga

yang bersangkutan. Sehingga perubahan terkait pengesahan perjanjian perkawinan

tidak hanya dapat disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan saja, namun

87

dengan adanya penambahan frasa perjanjian perkawinan tertulis, perlu dengan

bantuan notaris karena sifatnya yang berlaku jangka panjang dan baru berakhir

jika perkawinan berakhir karena sebab kematian atau perceraian. Harus ada

kepastian hukum terkait perjanjian perkawinan tersebut tidak mudah untuk diubah

dan dicabut oleh para pihak apabila perjanjian perkawinan tersebut dibuat dengan

akta notaris, ditandatangani para pihak sehingga Notaris menjamin isi dari

perjanjian perkawinan tersebut.

b. Masa Waktu Berlakunya Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Sepanjang

Perkawinan

Pasca terbitnya PMK No.69/PUU-XIII/2015 terdapat perubahan terkait

ketentuan dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29

UU Perkawinan. Perubahan ini terletak pada waktu terkait dibuatnya maupun

diubahnya atau dicabutnya suatu perjanjian perkawinan. Perubahan atas Pasal 29

UU Perkawinan yang telah dijelaskan diatas, tidak hanya berlaku bagi pasangan

perkawinan campuran yang telah mengajukan permohon ke Mahkamah

Konstitusi saja, namun berlaku pula bagi pasangan perkawinan warga Negara

Indonesia dengan warga Negara Indonesia. Pembuatan perjanjian yang dapat

dilakukan pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama ikatan perkawinan

yang memberikan makna bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja,

baik sebelum perkawinan menurut hukum dan kepercayaan para pihak sebelum

adanya pencatatan perkawinan atau selama perkawinan.

Perjanjian perkawinan setelah keluarnya PMK No. 69/PUU-XIII/2015

dapat dibuat sepanjang perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Jika para pihak tidak menentukan masa berlaku perjanjian perkawinan, maka

88

perjanjian tersebut akan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Hal ini akan

menimbulkan suatu pertanyaan mengenai harta benda yang telah ada sebelum

perkawinan berlangsung menurut hukum sebagai harta bersama suami isteri

karena diperoleh sepanjang perkawinan.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa

harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sehingga

para pihak menghendaki adanya pemisahan harta benda dalam perkawinan

melalui suatu perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan

Perkawinan untuk memenuhi asas publisitas guna mengikat pihak ketiga. Dapat

dikatakan, tidak menjadi penentu untuk sah atau tidaknya suatu perjanjian

perkawinan. Karena penentu sah atau tidak sahnya suatu perjanjian perkawinan

diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa

perjanjian tersebut tidak dapat disahkan apabila melanggar batasan hukum,

agama dan kesusilaan. Serta harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai syarat sahnya

perjanjian, yaitu :

1. Kesepakatan Para Pihak

Pihak yang melakukan atau terlibat dalam suatu perjanjian harus atas dasar

kesepakatan atau setuju mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Pasal

1321 KUHPerdata menjelaskan bahwa kata sepakat tidak sah apabila

diberikan karena adanya unsur kekhilafan, paksaan dan penipuan.

2. Kecakapan Para Pihak

Dalam hal ini merupakan kewenangan para pihak untuk melakukan

perjanjian. KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang dinyatakan cakap

89

untuk membuat perjanjian, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-

undang. Menurut Pasal 1330 KUHperdata, orang-orang yang dinyatakan

tidak cakap adalah mereka yang:

a. Belum dewasa

Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah. Sebagai

contoh seorang anak yang masih berusia 10 tahun tidak dapat membuat

perjanjian untuk dirinya sendiri.

b. Berada di bawah pengampuan

Seseorang dianggap berada di bawah pengampuan apabila ia sudah

dewasa, namun karena keadaan mental atau pikirannya yang dianggap

tidak mampu, maka dikatakan orang yang belum dewasa. Diatur dalam

Pasal 433 KUHPerdata, seseorang dianggap berada di bawah

pengampuan apabila orang tersebut sakit jiwa, memiliki daya piker

yang rendah, serta orang yang tidak mampu mengatur keuangannya

sehingga menyebabkan keborosan yang berlebih.

3. Adanya Objek Perjanjian

Suatu perjanjian harus memiliki objek yang diperjanjikan. Objek tersebut

tidak hanya berupa barang dalam bentuk fisik, namun bisa berbentuk jasa

yang dapat ditentukan jenisnya.

4. Sebab yang Halal

Sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian itu sendiri, bilamana

perjanjian tersebut dibuat berdasarkan tujuan yang tidak bertentangan

dengan hukum atau norma yang berlaku. Sebab yang tidak halal yaitu

sebab yang dilarang oleh Undang-Undang yang berlaku, norma dan

90

kesusilaan atau ketertiban umum. Nilai-nilai kesusilaan dan ketertiban

umum sendiri ditentukan berdasarkan kebiasaan masyarakat.

Pada kenyataannya, banyak sekali bahkan sebagian besar subyek

perkawinan campur tidak melakukan perjanjian perkawinan atau perjanjian pisah

harta. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti ketidaktahuan bahwa tanpa

adanya perjanjian perkawinan/pisah harta, maka warga Negara Indonesia subyek

perkawinan campur tidak dapat memperoleh hak milik atau hak guna bangunan.

Kemudian ada pula faktor berupa budaya timur yang memandang bahwa

perkawinan adalah proses bersatunya dua pribadi tanpa mempermasalahkan

harta. Faktor yang dapat terjadi kemudian juga berupa kendala usia subyek yang

masih muda dan belum mempunyai harta pada saat melangsungkan perkawinan,

sehingga dianggap belum perlu untuk membuat perjanjian perkawinan atau

perjanjian pisah harta. Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan banyaknya

subyek perkawinan campuran yang tidak membuat perjanjian perkawinan atau

perjanjian pisah harta dan akhirnya ketika akan melakukan transaksi pembelian

tanahh/bangunan dengan hak milik dan hak guna bangunan akan menimbulkan

permasalahan.67

Pada awalnya, Perjanjian perkawinan yang dapat mengikat pihak

ketiga harus didaftarkan di Kantor Catatan Sipil atau Pengadilan Agama.

Perjanjian perkawinan yang dibuat pasca dikeluarkannya PMK No. 69/PUU-

XIII/2015, dilakukan pengajuan permohonan penetapan ke pengadilan untuk

memberi perintah terhadap kantor catatan sipil atau kantor urusan agama untuk


67 Nirmala, Dampak Putusan MK No. 69/PUU/XIII/2015 Bagi Subjek Perkawinan Cmpuran, Universitas

Bina Usaha, 2017.

91

mendaftarkan atau mencatatkan. 68 Pencatatan perjanjian perkawinan setelah

berlakunya UU Perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan

Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor

Catatan Sipil (Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) atau Kantor

Urusan Agama. Perjanjian perkawinan pasca PMK No.69/PUU-XIII/2015 juga

telah melibatkan notaris terkait akta perjanjian perkawinan tersebut agar

memenuhi sifat publisitas dan dapat berlaku mengikat terhadap pihak ketiga

sepanjang pihak ketiga bersangkutan, serta harus disahkan kepada Instansi

Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT). Pengesahan atau pelaporan hanya

terkait administrasi dan pembuktian adanya perjanjian perkawinan bagi pihak

ketiga. Sehingga apabila terdapat perubahan dan pencabutan terhadap perjanjian

perkawinan, isinya akan berlaku mengikat pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

bersangkutan. Pasangan suami isteri terbebas dari beban pembuktian apabila

pihak ketiga tidak mengetahui adanya pengesahan atau pembuktian apabila

perjanjian perkawinan telah disahkan.


68 Habib Adjie, Perjanjian Kawin Pasca Putusan MK, dalam Notaris Majalahnya Notaris, Edisi Perdana,

Ferbruari 2017, hlm. 53

92

Tabel yang menggambarkan perbedaan ketentuan mengenai Perjanjian

Perkawinan pasca PMK RI No. 69/PUU-XIII/2015. Adalah sebagai berikut:

No Perbedaan Sebelum PMKRI No. 69/PU- Pasca PMKRI No.


XIII/2015 69/PUU-XIII/2015

1. Pengesahan Perjanjian Saat atau sebelum perkawinan Pada saat


Perkawinan. dilangsungkan, kedua pihak dilangsungkannya,
atas persetujuan bersama dapat sebelum atau selama
mengadakan perjanjian tertulis perkawinan, atas
yang disahkan oleh pegawai persetujuan bersama
pencatat perkawinan, setelah kedua pihak dapat
isinya berlaku terhadap pihak mengajukan perjanjian
ketiga (sepanjang pihak ke tiga tertulis yang di sahkan
bersangkutan). oleh pegawai pencatat
perkawinan atau
notaris, setelah isinya
berlaku pula terhadap
pihak ke tiga (apabila
pihak ke tiga
bersangkutan).
2. Masa berlaku Perjanjian Perjanjian berlaku sejak Perjanjian berlaku sejak
Perkawinan. perkawinan dilangsungkan. perkawinan
dilangsungkan, kecuali
dientukan lain oleh
perjanjian.
3. Ketentuan perubahan Perjanjian tidak dapat diubah Perjanjian mengenai
Perjanjian Perkawinan. selama perkawinan harta perkawinan atau
berlangsung. Kecuali perjanjian lainnyadapat
berdasarkan persetujuan kedua diubah selama

93

bilah pihak untuk melakukan perkawinan
perubahan dengan ketentuan berlangsung dengan
tidak merugikan pihak ke tiga. adanya persetujuan
untuk merubah atau
mencabut perjanjian
dengan tidak
merugikan pihak ke
tiga.

Tabel 4.1

Perbedaan Perjanjian Perkawinan

94

C. Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Pasca diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015, pada tanggal 19 Mei 2017 telah dikeluarkan pula Surat Kementerian

Dalam Negeri RI Nomor 472.2/5876/Dukcapil Direktorat Jenderal Kependudukan

dan Pencatatan Sipil kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia yang menyatakan bahwa:

1) Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama

perkawinan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada

Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Instansi Pelaksana

2) Persyaratan dan tata cara pencatatan atas pelaporan perjanjian perkawinan

serta perubahan perjanjian perkawinan atau pencabutan perjanjian

perkawinan, sebagaimana dimaksud pada Lampiran I.

Dalam Lampiran I tersebut, tertulis persyaratan-persyaratan dan tata cara atau

prosedur dalam pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan beserta dengan

contoh format catatan pinggir perjanjian pada register akta.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan yang

menyatakan bahwa perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan

berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan menyimpulkan

bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan yang

merupakan ketentuan umum (Regel). Akibat hukum yang muncul dari isi

perjanjian perkawinan terhadap harta bersama yang telah terbentuk ialah :

95

1) Harta bersama yang telah terjadi ebelum perjanjian perkawinan dibagi dan

dipisahkan diantara suami isteri, atau;

2) Harta bersama sebelum perjanjian perkawinan tetap merupakan

percampuran harta, sedangkan sejak dibuatnya perjanjian perkawinan

terjadi perpisahan harta bersama, apabila perjanjian perkawinan dibuat

sepanjang perkawinan berlangsung

Adanya pemisahan harta tersebut akan terjadi suatu pergeseran harta berupa

peralihan atas bagian masing-masing dari suami/isteri. Sehingga tidak dapat

dilakukan pemisahan dan pembagian atas harta camur tersebut.

Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan

Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL Tanggal

19 Mei 2017 yang ditujukan kepada seluruh kepala dinas kependudukan dan

catatan sipil (DUKCAPIL) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, menyatakan

bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau unit pelaksana teknis dimana

akan dibuatnya catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan,

sedangkan akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian

perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat

keterangan. Pengaturan ini tidak hanya berlaku terhadap pembuatan perjanjian

perkawinan saja, namun juga berlaku untuk perubahan dan pencabutan perjanjian

perkawinan.

Pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/XPUU-XIII/2015,

hukum perkawinan di Indonesia terkait perjanjian pekawinan mengalami

perubahan dan perkembangan yang signifikan. Yang awalnya perjanjian

perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, kini dapat

96

dibuat selama masa perkawinan, dan berlaku sejak perkawinan diselenggarakan

serta perjanjian perwakinan dapat diubah atau diperbaharui selama masa

perkawinan. Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk perkawinan campur, namun

berlaku terhadap seluruh perkawinan secara umum di Indonesia.

Setelah melihat perbandingan dari perjanjian perkawinan sebelum dan setelah

adanya PMK No.69/PUU-XIII/2015, menurut hemat penulis dapat dikatakan

bahwa Putusan MK tersebut memberikan perubahan dan perkembangan yang baik

dalam hukum perkawinan terkait dengan perjanjian perkawinan. Putusan ini

tentunya memberi kemudahan terhadap pasangan suami isteri yang membutuhkan

peran perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung. Karena sebelum

adanya PMK No.69/PUU-XIII/2015, menurut UU Perkawinan, perjanjian

perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu perkawinan dilangsungkan atau

bahkan sebelum perkawinan berlangsung. Dengan demikian, pembuatan

perjanjian kawin selama ikatan perkawinan tidak lagi bertentangan

97

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitan dan pembahasan yang telah diuraikan pada BAB IV,

maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Latar belakang utama permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi

dalam putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan ialah berkaitan dengan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat

(4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang didalilkan bertentangan dengan UUD

1945. Alasan pertama terletak pada frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan; seluruh kalimat pada Pasal

29 ayat (3) UU Perkawinan; dan frasa “selama perkawinan berlangsung” pada Pasal

29 ayat (4) UU Perkawinan ternyata telah mengekang hak kebebasan berkontrak.

Frasa ini telah membatasi kebebasan pihak yang melakukan perjanjian dalam

menentukan waktu dan isi dari perjanjian. Karena salah satu pihak tidak dapat

membuat perjanjian kawin jika tidak dilakukan ada saat atau sebelum perkawinan

dilangsungkan”. Frasa pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan telah bertentangan

dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya”.

Alasan pengajuan permohonan kedua terletak pada frasa “harta bersama” dalam

Pasal 35 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut: “(1) Harta benda yang

98

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari

masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing

sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Frasa “harta bersama” pada pada

Pasal tersebut telah merampas dan menghilangkan hak Pemohon untuk mempunyai

hak milik dan hak guna bangunan karena harta tersebut dimaknai sepenuhnya

merupakan milik orang asing karena telah menikah dengan warga Negara asing.

Sedangkan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA melarang warga Negara

asing mempunyai hak milik dan hak guna bangunan sebagaimana yang telah di

tetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan Penetapan Nomor

04/CONS/2014 PN.JKT.Tim tertanggal 12 Novermber 2014 dan Surat Pengembang

Nomor Ref. 214/LGL/CG-EPH/IX/2012, tertanggal 17 September 2012. Pasal

tersebut didalilkan telah bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4),

Pasal 28I ayat (2), Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) UUD

1945.

2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/XPUU-XIII/2015, tentang hukum

perkawinan di Indonesia terkait perjanjian pekawinan mengalami perubahan dan

perkembangan yang signifikan. Yang pertama, mengakibatkan perubahan bahwa

pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan kapan saja, dan setelah perkawinan

pun masih diperbolehkan untuk membuat perjanjian perkawinan. Selain itu, perjanjian

perkawinan dapat dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka. Kedua belah

pihak dapat membuat perjanjian perkawinan secara tertulis dan kemudian disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan atau dengan bantuan notaris untuk membuat akta

perjanjian perkawinan tersebut. Dalam hal ini, notaris tidak hanya memberikan

99

bantuan untuk membuat perjanjian perkawinan tersebut, tetapi notaris juga harus

memperoleh kepastian hukum bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut

tidak merugikan pihak ketiga yang bersangkutan. Perjanjian perkawinan yang dibuat

pasca dikeluarkannya PMK No. 69/PUU-XIII/2015, dilakukan pengajuan

permohonan penetapan ke pengadilan untuk memberi perintah terhadap kantor catatan

sipil atau kantor urusan agama untuk mendaftarkan atau mencatatkan.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian yang telah dilakukan, maka penulis

bermaksud memberikan saran sebagai berikut:

1. Pemerintah perlu untuk melakukan sosialisasi tentang perjanjian perkawinan kepada

masyarakat yang masih kurang pengetahuannya akan perjanjian perkawinan supaya

masyarakat dapat mengetahui ketentuan perjanjian perkawinan dalam Undang-

Undang Perkawinan supaya tidak ada dalih tidak tahu akan ketentuan perjanjian

perkawinan, disamping itu supaya ada perencanaan yang matang sebelum memulai

sebuah keluarga, tidak hanya memandang kebutuhan yang timbul dikemudian hari,

terutama dalam hal membuat perjanjian perkawinan, disamping itu supaya semakin

banyak masyarakat yang mengadakan perjanjian perkawinan

2. Pembuatan perjanjian perkawinan baik sebelum atau saat perkawinan telah

berlangsung perlu dilakukan dengan prinsip kehati- hatian, baik dalam hal

administrasi, persyaratan melangsungkan perkawinan, kehati- hatian dalam

pengesahan perjanjian perkawinan supaya hak yang telah terikat kepada suatu

kontrak tidak dimasukkan dalam pemisahan harta karena akan merugikan pihak

100

ketiga, supaya kebebasan membuat perjanjian perkawinan tidak disalahgunakan oleh

pihak yang tidak bertanggung jawab.

101

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

A. Pitlo dan Sudikno Merto Kusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1993)

Abdul Latif, dkk., Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Total Media, Yogyakarta, 2009)

Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fikih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan), Prenada Media, Jakarta.

Gde Puja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir ke Dalam Hukum Adat diBali dan

Lombok, Junasco, Jakarta, 1977.

Habib Adjie, Perjanjian Kawin Pasca Putusan MK, dalam Notaris Majalahnya Notaris, Edisi

Perdana, Ferbruari 2017

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi, 2008).

H. Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, (PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003).

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia; Menurut Perundangan, Hukum Adat,

dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Seksi Perdata

Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1981).

M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia,Putaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press,

2005

102

Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat

Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum, 2017.

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, 1992)

Nirmala, Dampak Putusan MK No. 69/PUU/XIII/2015 Bagi Subjek Perkawinan Cmpuran,

Universitas Bina Usaha, 2017

Prof. H. M Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,PT

RajaGrafindo,Jakarta: 2009

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia,(Airlangga University Press, 1988)

Rachmad Usaman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, 2006.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Alumni, Bandung, 2004.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1988.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,( Alumni, Bandung,1986).

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1958.

Soerjono Soekanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif. ( Jakarta: Rajawali 1985).

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,ctk. Tiga puluh

Sembilan, PT. Dnya Paramita, Jakarta, 2008.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Intermasa, Jakarta 1989).

Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), (PT.

Raja Grafindo Persada, Depok, 2018).

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

103

Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Grup,2011).

Jurnal :

Ade Nurhidayat dkk, Analisis Yuridis Perkawinan Campuran Pria Warga Negara Asing

(WNA) menikah Dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI) Menurut Undang-

Undang No 1 Tahun 1974, Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 4, Tahun

2016.

Aristoni dan Junaidi Abdullah, 4 Dekade hukum perkawinan di indonesia: menelisik

problematika hukum dalam perkawinan di era modernisasi , Vol.7 no 1

Damian Agata Yuvens, Analisis kritis terhadap perjanjian perkawinan dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, (Jakarta:Jurnal Konstitusi Vol. 14

No. 4, 2017).

Herni Widanarti, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

Terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,

Law, Development and Justice Review, Vol. 3, Juni 2020.

Muchamad Ali Safaat, dkk, Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Periode 2003 – 2008 dan 2009 – 2013, Jurnal Konstitusi Volume 14, 2017.

Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat

Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM

NO. 4 VOL. 24 , 2017.

104

Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan

Perkawinan di Indonesia, Jurnal Legilasi Indonesia, Volume 14 No. 3, September

2017.

Tautan Media :

Sanjaya Yasin, Pengertian Perkawinan Makalah, Masalah, Tujuan, Definisi, Perkawinan

Menurut Para Ahli, 25 Maret 2017, http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-

perkawinanmakalah-masalah.html, (diakses pada tanggal 8 Mei 2020 Pukul 00.57)

105

Anda mungkin juga menyukai