Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN
PENULISAN HUKUM
Oleh:
11010116140302
Penulisan Hukum dengan judul di atas telah disahkan dan disetujui untuk
diperbanyak
Dr. Amalia Diamantina, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.H
NIP 196308201989032001 NIP. 196711191993032002
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
( Al Baqarah ayat 152)
“ You only live once, but if you do it right, once is enough.” — Mae West.
ABSTRAK
Ketentuan perjanjian perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 telah mengatur secara tegas, bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat dibuat
maupun diubah setelah perkawinan berlangsung, hal ini guna menghindari
penyalahgunaan oleh pihak ketiga. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK)
Nomor 69/PUU-XIII/2015, hukum perkawinan di Indonesia mengalami
perubahan, yang mulanya perjanjian perkawinan hanya dilakukan sebelum atau
pada saat perkawinan, namun kini dapat dilakukan selama masa perkawinan, dan
berlaku sejak perkawinan diselenggarakan serta perjanjian perkawinan tersebut
juga dapat dirubah/diperbarui selama masa perkawinan. Permasalahan yang
dibahas di dalam penelitian hukum ini adalah latar belakang permohonan yang
diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 69/PUU-
XIII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
implikasi PMK Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap praktik Perjanjian
Perkawinan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang
permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan
Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan implikasi PMK Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap praktik
Perjanjian Perkawinan di Indonesia.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis.
Penulis menggunakan jenis data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dengan metode pengumpulan
data menggunakan studi kepustakaan dan menggunakan analisis kualitatif dalam
menganalisis data.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa, latar belakang
permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan
Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang pertama terletak pada frasa “Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan;
seluruh kalimat pada Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan; dan frasa “selama
perkawinan berlangsung” pada Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan karena telah
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya”. Latar belakang yang kedua terletak pada frasa
“harta bersama” dalam Pasal 35 UU Perkawinan karena frasa “harta bersama”
pada pada Pasal tersebut telah merampas dan menghilangkan hak Pemohon untuk
mempunyai hak milik dan hak guna bangunan karena harta tersebut dimaknai
sepenuhnya merupakan milik orang asing karena telah menikah dengan Warga
Negara Asing.
Implikasi dari Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 mengakibatkan
perubahan bahwa pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan kapan saja,
dan setelah perkawinan pun masih diperbolehkan untuk membuat perjanjian
perkawinan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Penyayang, atas segala berkat dan cinta kasih-Nya sehingga penulis dapat
Penulisan hukum ini disusun sebagai tugas dan syarat yang harus dipenuhi untuk
penulisan hukum ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari pihak – pihak lain. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis
masukan serta koreksi yang baik dan benar dalam penyusunan penulisan
hukum ini;
6. Ibu Dr. Ratna Herawati,S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji yang telah
memberi masukan dan koreksi guna mengembangkan penulisan hukum
ini;
7. Ibu Dr. Fifiana Wisnaeni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali yang telah
memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis selama menjadi
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
dan segenap Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, serta Dosen bagian Hukum Tata Negara yang telah banyak
membantu dan memberikan ilmu bagi penulis selama perkuliahan;
9. Kedua Orang Tua penulis, Papa dan Mamah yang selalu memberikan
Support dalam berbagai bentuk, Doa serta kasih sayang yang tiada
hentinya.
10. Kakak kandung saya Fahrani Aisyah beserta keluarga besar Terimakasih
atas doa, semangat, dan dukungannya.
11. Support system saya selama berkuliah, Tita Nadira yang selalu
menemani, menasehati dan memberikan support dari awal perkuliahan
hingga saya mendapatkan gelar Sarjana serta dia juga yang selalu menjadi
motivasi untuk mendapatkan gelar Sarjana secepatnya.
12. Sahabat terdekat sejak SMA Hafiyyan Cahyo dan Habil Rai yang selalu
ada sejak saya dibangku SMA sampai dengan saya mendapatkan gelar
Sarjana.
13. Sahabat setiap hari, Nadim Iqbal dan Wahyu Yapari yang selalu
memberikan waktu dan nasehatnya untuk saya secepatnya menyelesaikan
skripsi
14. Sahabat 24/7 Reza Farizi yang selalu memberikan waktunya selama 10
semester disemarang dan selalu memberikan support moral untuk saya
menyelesaikan skripsi.
15. Sahabat Gacor, Nitya dan Haifa Merupakan sahabat yang selalu mengisi
waktu kekosongan saya dan merupakan mentor saya dalam mengerjakan
Skripsi, Aini yang selalu memberikan wejangan. Serta Henrikus , Rega
dan Abdillah merupakan sahabat yang selalu memberikan saya
kesenangan dalam mengerjakan skripsi, tanpa kehadiran mereka mungkin
waktu mengerjakan skripsi saya akan jauh lebih lama. See u on top
Gacor!
16. SKWAD, Cahya Nafisa, Annisa Rizqy, Hanif Julianto, Mega Bintang, dan
Reza Farizi yang sudah menjadi teman pertama di semester 1 dan ditengah
huru-hara sampai selesai, terimakasih atas semangat, drama, dan semua
waktunya.
17. Temanteman ALSA LC Undip 2016, Terima kasih atas Ilmu, manfaat dan
dedikasi yang telah kalian berikan untuk organisasi dan khususnya untuk
diri saya selama berkuliah di Universitas Diponegoro.
18. Abang-Kakak Alumni Relation Division 2014, Terima kasih atas ilmu
yang sudah diberikan kepada saya sehingga dapat menjadi masukan untuk
saya menempuh fase kehidupan berikutnya.
19. Abang-Kakak Alumni ALSA Undip, Terima kasih untuk segala bentuk
support dan sharingnya selama saya berkuliah di Universitas diponegoro,
Semoga apa yang telah dibagikan kepada saya dapat bermanfaat untuk
fase kehidupan berikutnya.
20. Abang-Kakak Alumni Relation Division 2015, Terima Kasih atas segala
bentuk support serta ilmu yang diberikan kepada saya.
21. Temanteman Alumni Relation Division 2017-2018, Terima Kasih atas
dedikasi kalian dan dukungan kalian kepada saya pribadi sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir saya.
22. Untuk temanteman dan para pihak lain yang telah banyak membantu, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan hukum ini masih
jauh dari kata sempurna semoga Allah SWT memberikan balasan yang
berlipat ganda kepada semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan ini diharapkan dapat berguna
bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang,
Penulis
DAFTAR ISI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................. 49
A. LATAR BELAKANG PERMOHONAN YANG DIAJUKAN PEMOHON
KE MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PUTUSAN NOMOR
69/PUU-XIII/2015 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ............................................................. 49
1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing) para Pemohon pada Permohonan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ........................ 51
2. Alasan-alasan Pengajuan Permohonan dalam Putusan MK Nomor
69/PUU-XIII/2015 ................................................................................................. 56
3. Pokok Permohonan Pemohon ................................................................................ 59
B. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
69/PUU-XIII/2015 TERHADAP PRAKTIK PERJANJIAN
PERKAWINAN DI INDONESIA ............................................................................. 61
1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 .................................... 61
2. Keabsahan Perjanjian perkawinan yang Dibuat sebelum Keluarnya
Putusan Mahkamah Agung Nomor 69/PUU-XIII/2015 .......................................... 71
3. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015................................................................................................... 81
a. Pengesahan Perjanjian Perkawinan................................................................. 82
b. Masa Waktu Berlakunya Perjanjian Perkawinan yang Dibuat
Sepanjang Perkawinan .................................................................................... 84
C. Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. ....................................................................... 94
BAB V PENUTUP ............................................................................................................. 101
A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 101
B. SARAN…….. ............................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 103
10
DAFTAR TABEL
TABEL 4.1………………………………………………………………………92
11
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar
pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan
suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar
pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai
dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan
dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan
tujuannya bisa berbeda-beda juga tetapi umumnya perkawinan itu bersifat
ekslusif. Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk
suatu hubungan keluarga.
12
Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu,
menjadi harta bersama. Di dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata disebutkan:
13
menyolok, atau memiliki harta kekayaan pribadi yang seimbang, atau
pemberi hadiah tidak ingin sesuatu yang dihadiakan kepada salah seorang
suami istri berpindah tangan kepada pihak lain, atau masing-masing suami
istri tunduk pada hukum berbeda seperti yang terjadi pada perkawinan
campuran.
Ditinjau berdasarkan aspek kepastian hukum, maka ketentuan
perjanjian perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
telah mengatur secara tegas, bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat
dibuat maupun diubah setelah perkawinan berlangsung, hal tersebut untuk
menghindari terjadinya penyalahgunaan oleh pihak ketiga.
Rumusan yang mengatur perjanjian perkawinan tersebut
memunculkan permasalahan tersendiri. Sehingga dalam praktik hukum
terdapat pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukan uji materi
melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi yang dimaksud adalah
terhadap Pasal 29 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP 1974).
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015,
tersebut hukum perkawinan di Indonesia mengalami perkembangan
signifikan, yang mulanya perjanjian perkawinan hanya dilakukan sebelum
atau pada saat perkawinan, namun kini dapat dilakukan selama masa
perkawinan, dan berlaku sejak perkawinan diselenggarakan serta
perjanjian perkawinan tersebut juga dapat dirubah/diperbarui selama masa
perkawinan. Ketentuan ini bukan berlaku secara khusus bagi pelaku
perkawinan campur, namun kepada semua perkawinan secara umum.
Putusan MK mengenai uji materi pasal 29 mengenai Perjanjian
Perkawinan di Indonesia telah membuat sebuah kemajuan. Dengan adanya
putusan tersebut merupakan sebuah contoh pemikiran maju mengenai
perkembangan hukum, sosial, dan budaya. Putusan tersebut dapat
membuat para pihak dalam perjanjian perkawinan dilindungi hak-hak nya
serta ada kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pasangan yang
terikat suatu hubungan dengan perjanjian perkawinan.
14
Dengan diajukannya uji materi Pasal 29 UndangUndang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP 1974) melalui Mahkamah
Konstitusi, Perjanjian perkawinan menimbulkan adanya polemik negatif.
Perjanjian perkawinan dapat disalahgunakan sebagai alat atau usaha
masing-masing suami istri untuk menyimpang dari ketentuan hukum
perundang-undangan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU/XIII/2015 terkait Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan telah memberikan tafsir konstitusionil sehingga
mengubah rumusan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974,
khususnya tentang pembuatan perjanjian perkawinan. Implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 terhadap Pasal 29
Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 berindikasi pada adanya
ketidakpastian hukum dan tidak memberikan perlindungan hukum. Oleh
sebab itu penulis ingin melakukan penelitian dengan judul skripsi
“Analisis Yuridis Tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU/XIII/2015 Terhadap Pasal 29 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa Latar Belakang permohonan yang diajukan pemohon ke Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 69/PUU/XIII/2015 terkait Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?
2. Apa Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015
terhadap praktik Perjanjian Perkawinan di Indonesia ?
C. TUJUAN PENELTIAN
Adapun tujuan penelitian yang ingin diperoleh dari hasil penelitian ini
sebagai berikut:
15
1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang pemohon dalam
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor
69/PUU/XIII/2015 terkait Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 terhadap praktik Perjanjian
Perkawinan di Indonesia.
Apabila tujuan penelitian dalam rangka menyusun penulisan hukum ini
dapat dicapai, maka penelitian ini diharapkan akan mempunyai kontiribusi
baik secara teoritis maupun secara praktis.
D. MANFAAT PENELITIAN
a. Secara Teoritis
Diharapkan penelitian ini untuk pengembangan ilmu Hukum Tata Negara
pada khususnya terkait dengan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU/XIII/2015 tentang Perkawinan.
b. Secara praktis
1. Memberikan masukan terkait dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada pembentuk
Undang-Undang.
2. Memberikan masukan terkait praktik Perjanjian
Perkawinan kepada Kementrian Agama.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
16
jelas mengenai skripsi ini akan di uraikan dengan sistematika sebagai
berikut :
Bab I Pendahuluan
Dalam Bab I ini membahas mengenai alasan pemilihan judul penulisan
penelitian hukum ini, kemudian dilanjutkan masalah-masalah yang timbul
dalam praktik, tujuan dilaksanakannya penelitian, manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.
17
Bab V Penutup
Dalam Bab V merupakan bab terakhir dalam penelitian skripsi yang
tersusun atas kesimpulan yang merupakan benang merah atas semua yang
telah dituangkan dalam masing masing bab dan saran atas hasil penelitian
dan penulisan skrispi ini.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
Hukum Dasar tertulis Tertinggi
Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, UUD NRI 1945 kita
memiliki kedudukan tertinggi. Sebagai hukum dasar tertulis, Undang-Undang
Dasar dalam kerangka tata aturan atau tata tingkatan norma hukum yang
berlaku, menempati kedudukan yang tinggi, yang mempunyai fungsi sebagai
alat pengontrol bagi norma hukum yang kedudukanya lebih rendah, apakah
sesuai atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar1 .
Hal ini dibuktikan pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjelaskan
bahwa :
“(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
1 H. Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, (Jakarta : PT
R
aja Grafindo Persada, 2003), Halaman 129-130.
19
a. Pasal-pasal yang mengatur adanya jaminan terhadap Hak Asasi
Manusia terdapat pada: Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 A – Pasal 28 J,
Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 34 ayat
(1).
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental di dalam UUD 1945 susunan ketatanegaraan yang
fundamental terdiri dari 8 kelembagaan, yaitu:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat, diatur di dalam Pasal 2;
b. Dewan Perwakilan Rakyat, diatur di dalam Pasal 19, Pasal 20A
ayat (2) – ayat (4), dan Pasal 22B;
c. Dewan Perwakilan Daerah, diatur di dalam Pasal 22C dan Pasal
22D ayat (5)
d. Presiden dan Wakil Presiden, diatur di dalam Pasal 4 ayat (2),
Pasal 6, Pasal 6A dan Pasal 7; dalam kelembagaan ini termasuk
juga lembaga Kementerian yang keberadaaannya diatur di dalam
Pasal 17 ayat (1) dan ayat (4);
e. Badan Pemeriksa Keuangan, diatur di dalam Pasal 23E ayat (1)
Pasal 23F dan Pasal 23G;
f. Mahkamah Agung, diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) Pasal 24A
ayat (2) – ayat (5);
g. Mahkamah Konstitusi, diatur di dalam Pasal 24C ayat (3) – ayat
(6);
h. Komisi Yudisial, diatur di dalam Pasal 24 B ayat (2) – ayat (4).\
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental
4. Pengaturan mengenai pembatasan dan pembagian kekuasaan lembaga-
lembaga negara dalam susunan ketatanegaraan yang terdapat dalam UUD
1945:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat, diatur Pasal 3, Pasal 7A, Pasal
7B ayat (6) dan ayat (7), Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3);
20
b. Dewan Perwakilan Rakyat, diatur dalam Pasal 7B ayat (1) – ayat
(3), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat
(2), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22
ayat (2), Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat
(2), Pasal 23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3),
Pasal 24C ayat (3)
c. Dewan Perwakilan Daerah, diatur dalam Pasal 22D ayat (1) – ayat
(3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F
d. Presiden, diatur dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A,
Pasal 7, Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal
17 ayat (2), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 22 ayat (1), Pasal
23 ayat (2), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3), Pasal 24C ayat
(3). Sedangkan kewenangan menteri diatur di dalam Pasal 17 ayat
(3)
e. Badan Pemeriksa Keuangan, diatur dalam Pasal 23 E ayat (1) dan
ayat (2)
f. Mahkamah Agung, diatur dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 24A ayat
(1)
g. Mahkamah Konstitusi, diatur dalam Pasal 7B ayat (4) dan ayat (5),
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
h. Komisi Yudisial, diatur dalam Pasal 24B ayat (1)
Selain memuat tiga materi pokok diatas, UUD 1945 juga mengatur hal-hal
lainnya, yaitu:
1. Pembukaan,
2. Sistem Pemerintahan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
3. Sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden, ketentuan ini diatur
dalam Pasal 9
4. Pemerintahan Daerah, ketentuan ini diatur dalam Pasal 9
5. Pemilihan Umum, ketentuan ini diatur dalam Pasal 22E
6. Sistem Peradilan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 24 ayat (1)
21
7. Wilayah Negara, ketentuan ini diatur dalam Pasal 25A
8. Kewarganegaraan dan Kependudukan, ketentuan ini diatur dalam Pasal
26
9. Agama, ketentuan ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
10. Pertahanan dan Keamanan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 30 ayat
(2)
11. Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial, ketentuan ini diatur dalam
Pasal 33 ayat (1) – ayat (5)
12. Pendidikan dan Kebudayaan, ketentuan tentang Pendidikan diatur
dalam pasal 31 ayat (2) – ayat (5). Ketentuan tentang Kebudayaan
diatur dalam Pasal 32.
13. Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,
ketentuan tentang Bendera diatur dalam Pasal 35. Ketentuan tentang
Bahasa diatur dalam Pasal 36. Ketentuan tentang Lambang Negara
diatur dalam Pasal 36A.Ketentuan tentang lagu kebangsaan diatur
dalam Pasal 36B. Ketentuan lebih lanjut tentang Bendera, Bahasa, dan
Lamabang Negara serta Lagu Kebangsaan diatur dalam Pasal 36 C.
14. Perubahan UUD, ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) – ayat
(4)
15. Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan. Aturan peralihan terdiri dari 3
(tiga) pasal, sedangkan aturan tambahan terdiri dari 2 pasal.
B. Mahkamah Konstitusi
1. Dasar Hukum terbentuknya Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan lembaga
tinggi Negara Republik Indonesia yang diamanatkan oleh UUD NRI
1945 pasca amandemen ke-3. Dalam UUD NRI 1945 UU Mahkamah
Konstitusi diatur pada Pasal 24 C yang berbunyi :
22
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
23
arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar
adanya.2
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru
dalam dunia ketatanegaraan, dan kedudukan Mahkamah Konstitusi ini
sejajar atau sederajat dengan lembaga negara lain, yang mana Mahkamah
Konstitusi ini merupakan lembaga negara yang baru dibentuk.
Wewenang Mahkamah Konstitusi itu sendiri berawal diatur pada UUD
NRI 1945 Pasca amandemen ke-3. Wewenang Mahkamah Konstitusi
diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa :
2 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Edisi Revisi ,
(Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 11.
24
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar
3. Memutus pembubaran partai politik
4. Memutus perselisihan tentang pemilihan umum.
3 Maruarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
25
Konstitusi sebagai dokumen yang berisi perlindungan hak asasi manusia
merupakan dokumen yang harus dihormati. Konstitusi menjamin hak-hak
tertentu milik rakyat. Apabila legislatif maupun eksekutif secara
inkonstitusional telah mencederai konstitusi maka MK dapat berperan
memecahkan masalah tersebut.
c. Sebagai Pengawal Konstitusi.
Istilah penjaga konstitusi tercatat dalam penjelasan Undang- Undang No
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang biasa disebut dengan
the guardian of constitution. Menjaga konstitusi dengan kesadaran hebat
yang menggunakan kecerdasan, kreativitas, dan wawasan ilmu yang luas,
serta kearifan yang tinggi sebagai seorang negarawan.
d. Sebagai Penegak Demokrasi.
Demokrasi ditegakkan melalui penyelenggaraan pemilu yang berlaku
jujur dan adil. MK sebagai penegak demokrasi bertugas menjaga agar
tercitanya pemilu yang adil dan jujur melalui kewenangan mengadili
sengketa pemilihan umum. Sehingga peran MK tak hanya sebagai
lembaga pengadil melainkan juga sebagai lembaga yang mengawal
tegaknya demokrasi di Indonesia.
dalam tulisanPutusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, dari
buku Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010)
26
lebih lanjut lagi pada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Didalam
Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri terdapat alasan pemohon yang
didasarkan dari alat bukti yang ada. Tidak hanya alasan pemohon, ada
pula pertimbangan hakim dalam memutus perkara itu sendiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri memiliki sifat yang
berbeda dari putusan pada lembaga peradilan yang lain. Dalam Pasal 24C
UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya
bersifat final. Hal ini dipertegas kembali di dalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa makna sifat
final putusan Mahkamah Konstitusi juga mencakup di dalamnya
kekuatan mengikat. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh.5
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi juga terdapat amar yang
berbeda dari lembaga peradilan lainya. Jenis-jenis amar Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara, terdapat jenis-jenis amar
putusan itu sendiri yaitu:
1. Permohonan Tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard)
Dalam hal ini permohonan yang dimohonkan oleh pemohon tidak
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang. Syarat yang
dimaksud dalam hal ini ialah, syarat-syarat yang berkaitan dengan
permohonan yang dimohonkan pemohon tidak memenuhi syarat dalam
Undang-Undang. Sehingga apa bila permohonan tidak memenuhi syarat,
amar putusanya haruslah tidak dapat diterima.
2. Permohonan ditolak
Dalam hal ini, putusan mahkamah konstitusi menggunakan amar
permohonan ditolak apabila permohonan yang diajukan tidak terbukti
5 Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 VOL.
24 , 2017, hlm. 536.
27
3. Permohonan dikabulkan
Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi menggunakan amar ini
apabila dalil permohonan terbukti, sehingga Mahkamah Konstitusi harus
mengabulkan permohonan pemohon. Dalam amar putusan ini terdapat
model-model tambahanya dalam hal perkara pengujian Undang-Undang
terhadap UUD NRI 1945 lagi, seperti :
C. Sejarah Perkawinan
1. Sejarah Perkawinan dalam Hukum Nasional
Hukum perkawinan sesungguhnya bagian integral dari syari’at Islam
yang mana tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islami. Atas
6 Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Model
dan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi
Putusan
Tahun 2003-2012)”, (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi
Informasi
dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2013), Hlm. 9-17
28
dasar konsepsi inilah hukum perkawinan dimaksudkan sebagai acuan
untuk mewujudkan perkawinan dikalangan orang muslim yang diharapkan
memiliki nilai-nilai transendental dan sakral dalam mencapai hidup yang
tentram sesuai dengan tujuan perkawinan yang sejalan dengan tujuan
syari’at Islam.syari’at Islam tak ubahnya merupakan sistem normatif Ilahi
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya disebut dengan
kaidah ibadah, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya serta
hubungan manusia dengan alam lainnya yang disebut dengan kaidah
7
mu’amalah. Hal terpenting dari kaidah muamalah dan sekaligus
mencakup kaidah ibadah yaitu hukum yang berkaitan dengan hukum
keluarga (al-ahwalus syakhshiyah), yang muatannya antara lain mengenai
perkawinan/munakahat.
Aturan-aturan perkawianan dalam perspektif syari’at Islam mengikat
bagi setiap muslim, dan setiap muslim harus menyadari bahwa di dalam
perkawinan terdapat nilai-nilai ubudiyah, oleh karenanya dalam al-Qur’an
di istilahkan dengan sebutan “mitsaaqan ghalidza”, yakni suatu ikatan
yang kokoh. Sebagai konsekuensi atas suatu ikatan yang memiliki nilai
ubudiyah tersebut, maka memperhatikan keabsahan dalam perkawinan
menjadi hal yang sangat prinsipil.
Bagi umat Islam, negara telah memberikan peluang yang seluas-
luasnya kepada umat Islam untuk memperjuangkan nilai-nilai yang
terkandung di dalam al-Qur’an, Hadits, dan bahkan fikih-fikih hasil ijtihad
para ulama untuk dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia Negara
Indonesia disebut sebagai negara pancasila, yang artinya bahwa negara
yang bukan berdasarkan satu agama bukan pula negara sekuler dalam arti
memisahkan diri dari agama dan negara. Negara Indonesia tidak identik
dengan satu agama tertentu akan tetapi negara juga tidak melepaskan
agama dari urusan negara. Dalam konteks ini negara bertanggungjawab
atas keberadaan agama, kehidupan beragama, dan kerukunan hidup
7 M. Anshary, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia,Putaka Pelajar, Yogyakarta, h. 10
29
beragama bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama dalam
pembinaan hukum nasional.
Hukum perkawinan termasuk ke dalam bagian hukum Islam yang
tentunya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya, bahwa dalam
rangka pelaksanaannya dan atau pemberlakuannya, negara harus terlebih
dahulu memberikan landasan hukum karena negara tidak lain merupakan
lembaga kekuasaan yang memiliki legalitas dan kekuatan. Di dalam
Undang-Undang No 1 tahun 1974 materinya merupakan kumpulan tentang
hukum mukahat yang terkandung di dalam al-Qur’an, Hadits, dan kitab
fikih-fikih klasik maupun fikih kontemporer yang berhasil diangkat ke
dalam sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi
hukum tertulis dan hukum positif yang memiliki kekuatan mengikat dan
memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk umat muslim.Kendati
telah di berlakukan puluhan tahun yang lalu tetapi dalam pelaksanaanya
hukum perkawinan di Indonesia masih menyisakan beragam masalah
terkait dengan masalah-masalah perkawinan.
Terciptanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan tuntutan dan
sekaligus jawaban atas segala keresahan dan ketidakpastian yang dihadapi
masyarakat muslim untuk menjadi landasan dan atau rujukan dalam
mengatasi permasalahan terkait hukum keluarga. Kebijakan ini sebagai
bentuk respon atas desakan dari organisasi-organisasi perempuan saat itu,
dan luar biasanya ordonansi ini menetapkan aturan monogami serta
memberi hak cerai yang sama pada perempuan dan laki-laki meskipun
ordonansi tersebut hanya diberlakukan terhadap masyarakat yang memilih
aturan pencatatan atas pernikahannya. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan
merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari kedua
30
konsepsi hukum agama dan negara tersebut sesungguhnya berorientasi
pada kemaslahatan manusia8.
Dalam hal perkawinan, Hukum merupakan pedoman yang lebih
banyak mengatur mengenai persoalan-persoalan hukum yang dihadapi
masyarakat, maka hukum perkawinan merupakan landasan yang dapat
memberi jawaban atas persoalan tersebut. Untuk itu, hukum seharusnya
berkembang sesuai dengan perubahan zaman sehingga mampu
mengakomodir nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat termasuk dalam hal
ini nilai adat, tradisi dan agama. Hukum seharusnya tidak menutup diri
dari upaya pembaruan yang sesuai dengan kebutuhan dan kesejahteraan
bersama. Baiknya sebuah hukum harus menjunjung tinggi asas-asas Islam
dan nilai-nilai hak asasi manusia di antaranya kesejahteraan, keadilan,
perbedaan, kesetaraan terlebih kesetaraan di antara laki-laki dan
perempuan9.
2. Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah hubungan yang sah antara seorang
perempuan dan seorang lelaki dalam waktu yang lama10. UU 1 tahun
1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai
dengan pembinaan hukum nasional, perlu terciptanya Undang-undang
tentang Perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara.
Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal
dijelaskan bahwa Perkawinan sangat dekat hubungannya dengan
Agama dan kerohanian. Dijelaskan didalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa sebagai Negara yang
berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke
8 Aristoni dan Junaidi Abdullah, 4 Dekade hukum perkawinan di indonesia: menelisik
31
Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi
hak dan kewajiban orang tua.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
memiliki prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas
atau prinsip-prinsip dalam UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah:
32
pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu
harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri
yang masih dibawah umur.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta
harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh
suami-isteri.
33
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kompilasi hukum
Islam, bahwa yang dikatakan perkawinan yaitu akad yang sangat kuat
(mitsaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi yang dimaksud oleh perundangan ini perkawinan merupakan
ikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita sehingga dengan
istilah lain dipersepsikan perkawinan disamakan dengan perikatan
(verbindtenis). Namun hal ini berbeda sebagaimana dalam konsep
KUHPerdata dimana memandang bahwa soal perkawinan hanya dalam
hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUHPerdata bahwa tidak ada
upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua belah
pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawianan
dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung. Pasal 81 tersebut
diperkuat oleh Pasal 530 ayat (1) KUHPidana, yang menyatakan bahwa
seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan yang
hanya dapat dilangsungkan dihadapan Pejabat Catatan Sipil,
sebelumnya dinyatakan kepadanya bahwa pelangsungan dihadapan
pejabat itu sudah dilakukan diancam dengan pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.12
Dari pengertian kalimat yang hanya dapat dilaksanakan didepan
Pejabat Catatan Sipil tersebut, menunjukkan bahwa peraturan tersebut
tidak berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum Budha-
Hindu atau Hukum Adat (pribumi dan timur asing) tertentu diluar orang
Cina. Dengan demikian konsep tentang perkawinan dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dengan KUHPerdata jelas perbedaannya, hal
ini bisa kita lihat substansi hukumnya yaitu KUH Perdata memandang
bahwa perkawinan sebagai perikatan keperdataan, sementara Undang-
12 Sanjaya Yasin, Pengertian Perkawinan Makalah, Masalah, Tujuan, Definisi, Perkawinan
Menurut Para Ahli, 25 Maret 2017, http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian-
perkawinanmakalah-masalah.html, (diakses pada tanggal 8 Mei 2020 Pukul 00.57.
34
Undang No. 1 Tahun 1974 memandang bahwa perkawinan merupakan
perikatan keagamaan, sehingga perkawianan tidak hanya memiliki
unsur lahir atau jasmani tetapi juga unsur bathin atau rohani
sebagaimana dapat dilihat dari tujuan perkawinan yaitu dimaksudkan
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
13 Soekanto, 1958, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, hal. 158.
35
harapan dan tujuan supaya kehidupan berkeluarga dan berumah tangga
serta berkerabat tetangga dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Dari konsepsi tersebut dapat pula
dipahami bahwa perkawinan, jika dilihat dari perspektif keagamaan
yaitu suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum
terhadap agama yang dianut kedua pihak calon mempelai beserta
keluarga kerabatnya.14
Hukum agama telah menetapkan kedudukan seseorang dengan
iman dan taqwanya, jadi apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
tidak seharusnya dilakukan. Oleh sebab itu pada dasarnya setiap agama
tidak membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak se-agama.
Menurut hukum Islam, secara bahasa perkawinan atau pernikahan
berasal dari kata nikaahun yang merupakan masdar atau asal kata dari
nakaha sinonimnya tazawwaja yang kemudian diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia yang disebut perkawinan.15 Menurut hukum Islam,
perkawinan yaitu suatu akad atau perikatan antara wali wanita calon
istri dengan pria calon suaminya.
Akad harus dilakukan oleh wali si wanita secara jelas berupa ijab
dan kabul oleh calon suami yang dilakukan didepan dua orang saksi
yang telah memenuhi persyaratan. Apabila tidak dilakukan dengan
benar, maka perkawinan dianggap tidak sah karena bertentangan
dengan hadits Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang
menyatakan tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil. 16 Golongan Syafi’iyah memberikan definisi nikah lebih
melihat pada hakikat dari akat itu bila dihubungan dengan kehiduan
suami istri yang berlaku sesudahnya, yakni boleh bergaul sedang
sebelum akad berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.
14 Gde Puja, 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir ke Dalam Hukum Adat diBali dan
Lombok, Junasco, Jakarta, hal.99.
15 Rahmat Hakim, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, hal.11.
16 Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan di Indonesia; Menurut Perundangan,
36
Menurut golongan Syafi’iyah ini bahwa perkawinan ialah akad atau
perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin
dengan menggunakan lafadz nakaha atau zawaja atau yang semakna
dengan keduanya. Sejalan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah
juga mendefinisikan perkawinan adalah akad yang ditentukan untuk
memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan
seorang perempuan secara sengaja.17 nikah dalam artian hukum adalah
perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri
antara seorang pria dan seorang wanita. Sementara itu, menurut hukum
Kristen Katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan
wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang tulus dengan persetujuan
bebas dari keduanya yang tidak dapat kembalikan. Menurut agama
Kristen Katolik perkawinan merupakan sebuah perbuatan yang bukan
saja merupakan perikatan cinta antara suami istri, akan tetapi juga harus
mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak
dapat dipisahkan.
Menurut hukum agama kristen katolik, perkawinan dapat
dinyatakan sah apabila kedua calon mempelai telah dibaptis. Menurut
hukum Hindu, perkawinan merupakan ikatan antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak
guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan
arwah orang tuanya dari neraka Put, dimana dilangsungkan dengan
upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. Apabila suatu
perkawinan tersebut tidak dilangsungkan dengan upacara menurut
hukum hindu maka perkawinan dikatakan tidak sah. Selanjutnya,
menurut hukum perkawinan agama Budha, bahwa perkawinan adalah
suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang
wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (Metta), kasih sayang
(Karuna) dan rasa sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk
17 Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fikih Munakahat
37
membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahai oleh
Sanghyang Adi Budha atau Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan
para Bodhisatwa-Mahasatwa. Terkait hal ini perkawinan dikatakan sah
dilakukan apabila sesuai dengan prosedur hukum perkawinan agama
Budha Indonesia.18
18 Hilman Hadikusuma, op.cit., h. 11-12
38
dalam konteks ini merupakan budaya bagi orang Indonesia yang
beragama Islam hingga sampai saat ini;
39
kaidah-kaidah hukum yang berkaitan perkawinan dalam garis besarnya
secara pokok yang berisi 14 Bab dan 67 Pasal. Di dalamnya diatur tentang
dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,
batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami
istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya,
kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian,
dan ketentuan-ketentuan lain. Dengan demikian Undang-undang
Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum
perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara
Indonesia.19
Undang-Undang No. Tahun 1974 yang sebelumnya diorientasikan
untuk mengkodifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional, di
samping mengunifikasikan hukum perkawinan akan tetapi setelah
disahkan bukan hukum nasional yang bersifat nasional yang dicapai,
melainkan kompilasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang
belum tuntas dan menyeluruh sebab undang-undang perkawinan masih
merujuk dan memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan
yang lama yang ada sebelumnya termasuk ketentuan hukum adat dan
hukum agama atau kepercayaan masing-masing yang mengatur terkait
perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Di
dalam rumusan-rumusan ketentuan dalam pasal-pasal undang-undang
perkawinan mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi
pelaksanaan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional. Seiring
dengan adanya budaya unifikasi dalam hukum negara Indonesia, maka
terdapat banyak golongan yang memperjuangkan produk hukum menjadi
hukum unifikasi dan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa
melihat agama, suku maupun golongan masing-masing. Sebenarnya
Undang-Undang Perkawinan bertujuan mengadakan unifikasi dalam
19 Rachmad Usaman, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
40
bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan yang masih
dipertahankan karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan
yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia.
Dengan sendirinya Undang-undang Perkawinan mengadakan
perbedaan kebutuhan hukum perkawinan yang berlaku secara khusus bagi
golongan penduduk warga negara Indonesia tertentu yang didasarkan pada
hukum masing-masing agamanya tersebut.Bagi umat beragama selain
tunduk pada undang-undang perkawinan juga tunduk pada ketentuan
hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing sepanjang
belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Hal-hal yang diatur
dalam undang-undang perkawinan terbatas pada permasalahan-
permasalahan perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing
agamanya atau kepercayaan agamanya tersebut. Untuk mendukung
kelancaran Undang-Undang No. Tahun 1974 yang diterbitkan pada
tanggal 2 januari 1974 agar berjalan secara efektif, maka pemerintah saat
itu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksana Undang-Undang No. Tahun 1974.Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050. Peraturan pemerintah tersebut
memuat 10 bab dan 49 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum,
pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, akta
perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu,
beristri lebih dari seorang (poligami), ketentuan pidana dan penutup.
4. Perjanjian Perkawinan
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan mempunyai arti di dalam UU No. 1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam berupa suatu kesepakatan bersama
bagi calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka
sudah menikah, tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun
melanggar perjanjian perkawinan tersebut maka salah satunya bisa
41
menuntut meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga
sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian
perkawinan tersebut. Perjanjian ini juga bisa disebut sebagai perjanjian
pra-nikah karena perjanjian tersebut dilaksanakan secara tertulis pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus disahkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah. Dalam perjanjian perkawinan tidak dapat di
sahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Mengenai perjanjian taklik talak, perjanjian taklik talak bukan salah
satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali
taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I
Tahun 1974. Isi pasal tersebut yaitu :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.20
20 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, h.100.
42
terjadi dimasa yang akan datang), harta kekayaan atau harta bersama,
poligami ataupun perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Isi perjanjian perkawinan menurut pada Pasal 34 UU No.1 tahun 1974
yang berbunyi :
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
di hadapan pegawai pencatat nikah. Selama perkawinan berlangsung,
perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah
pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.
Pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan
harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1 dan 2 KHI). Begitu
juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta
syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan
kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut
KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan
baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali
ada perjanjian perkawinan.21
21 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1992)
43
UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta
perkawinan, yaitu:
1. Harta asal/harta bawaan
2. Harta bersama (Pasal 35)
Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke
dalam perkawinan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-
masing pihak. Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama
perkawinan. Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU
Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak
bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama. Dengan
adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah
dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang
didapat masing-masing selama perkawinan. Dalam penjelasan pasal 29
disebutkan bahwa taklik-talak tidak termasuk dalam perjanjian
perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum
perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara
tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat
Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan,
maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku
sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas
persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak
ketiga yang tersangkut.22
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan bahwa
perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas
hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan
dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian
tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau
22 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Semarang: Seksi
44
setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama,
pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan
melakukan kekerasan, marginalisasi, pembakuan peran.
Begitu juga yang jelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam,
perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi,
pemisahan harta pencarian masing-masing, menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan
harta bersama. Perjanjian perkawinan hanya dapat dirubah jika ada
kesepakatan kedua belah pihak. Apabila keinginan untuk merubah suatu
perjanjian itu hanya dari satu pihak, dan satu pihak lainnya tidak setuju,
maka perubahannya dianggap tidak sah yang berarti perjanjian yang
telah disepakati, tidak/belum mengalami perubahan.
45
yang diatur di dalam Perjanjian Kawin tergantung pada pihak-pihak
calon suami-calon isteri, asal tidak bertentangan dengan undang-
undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi Perjanjian
Kawin, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, kepada
kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-
luasnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
atau tidak melanggar ketertiban umum. Perjanjian Kawin ini mulai
berlaku antara suami-isteri pada saat perkawinan selesai dilakukan di
depan Pegawai pencatatat nikah dan mulai berlaku terhadap para pihak
ketiga sejak dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan
negeri atau agama setempat, di mana dilangsungkannya perkawinan dan
23
telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil.
23 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 38.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
24 Soerjono Soekanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif. ( Jakarta: Rajawali 1985),
hal.20.
25 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,( Bandung : Alumni,1986), hal. 4
47
masyarakat yang nyata. 26 Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan
yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-perundangan yang
berlaku. Faktor – faktor yuridisnya adalah peraturan - peraturan atau
norma-norma hukum yang berhubungan dengan buku - buku atau literatur
- literatur yang digunakan untuk menyusun skripsi ini terfokus pada
hukum tata negara sebagai disiplin ilmu hukum.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan
sesuatu permasalahan yang ada pada daerah tertentu atau pada waktu
tertentu dengan dikaitkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta dikaitkan juga dengan teori hukum dan pelaksanaan hukum
positif. 27 Peneliti akan melakukan penjabaran fakta seakurat mungkin
tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya dengan adanya suatu
hipotesis.
Suatu penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya utamanya adalah data tersebut akan digunakan untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam
memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori
baru.28
Istilah analitis mengandung sebuah upaya yang dilakukan oleh
peneliti untuk mengumpulkan, mengelompokkan, menghubungkan dan
membandingkan serta memberi makna aspek-aspek, memecahkan
problematika menjadi subproblema-subproblema dan mencari karakteristik
dari setiap subproblema dan keterkaitan antar subproblema yang sedang
dibahas.
26 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
48
Penelitian yang dilakukan secara deskriptif analitis juga mencoba
menggambarkan teori-teori dan praktik-praktik hukum mengenai objek
permasalahan yang diteliti. Dengan demikian, penelitian ini akan
menggambarkan bagaimana bekerjanya Undang-Undang Perkawinan
pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU/XIII/2015 serta implikasinya terhadap pengesahan perjanjian
Perkawinan. Analisa penelitian ini diharapkan dapat mengetahui keadaan
yang ada pada teori dan praktek, sehingga diharapkan pada akhir kegiatan
dapat memecahkan masalah yang ada.
29 Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), (
49
D. Jenis dan Spesifikasi Bahan Hukum
Data yang dipakai dalam penelitian ini ialah data sekunder yaitu data yang
diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari sumbernya (Objek
Penelitian), tetapi melalui sumber lain. Peneliti mendapatkan data yang
sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau
metode baik secara komersial maupun non komersial. Untuk penelitian
hukum normatif sumber data dapat diperinci menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut30 :
1. Bahan Hukum Primer
30 Ibid, hlm. 215-216
31Ibid,hal.216.
50
c. Jurnal-jurnal hukum; dan
d. bahan rujukan lainnya.
51
BAB IV
Legal standing berasal dari istilah personae standi in judicio yang artinya
Dalam Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum atau yang sering disebut dengan
Legal Standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan
memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
Konstitusi33.
32 Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
52
b.kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
d. lembaga negara.”
Ketentuan diatas menjelaskan bahwa terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi
dimaksud adalah Kualifikasi pemohon apakah sebagai; (i) perorangan warga negara
Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii)
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau; (iv) lembaga
negara. dan. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau
undang.34
juga kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya berkaitan
dengan Badan Hukum Privat dan Badan Hukum Publik Undang-Undang Mahkamah
hal tersebut dibutuhkanya pendapat ahli. Menurut Manaan, Dinamakan badan hukum
publik, bukan karena ada penyertaan modal negara atau pemerintah. Disebut badan
34 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Op.cit, hlm. 95-96
53
hukum publik karena merupakan badan pemerintahan yang menjalankan fungsi atau
badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum perdata
yang menyangkut kepentingan pribadi di dalam badan hukum itu. Adapun organisasi
yang dapat atau bisa mewakili kepentingan publik (umum) adalah organisasi yang
yurisprudensi, yaitu:
3. Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah diamantkan oleh AD/ART nya
tersebut.36
a. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI 1945;
c. Bahwa kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
35 Keterangan yang disampaikan di hadapan Sidang Majelis Mahkamah Konstitusi RI tanggal 3 Juli 2013 dalam
perkara No. 33/PUU-XI/2013 perihal permohonan terhadap UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
36 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
54
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
2. Beralamat di Perum.Gd. Asri nomor A-6/1, Jalan Rayah Tengah Gedung Jakarta
Timur
3. Visa Kunjungan Orang Asing dengan nomor DA 3078438 (yang dikeluarkan oleh
pemerintah Jepang)
Kantor Urusan Agama Kecamatan Makasar Kota Madya Jakarta Timur Nomor
3948/VIII/1995, dan telah dicatatkan juga pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI
Pemohon tidak memiliki perjanjian perkawinan pisah harta, tidak pernah melepaskan
tinggal di Indonesia. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang bertanggal 24 Juni 2015,
55
1. Yahya Tulis Nami, S.H.,
5. Ismayati, S.H.,
Selaku Advokat Magang dan Konsultan Hukum yang beralamat di Jalan H.R.
Rauna Said Kav. C-5 Jakarta 12940. Nama-nama yang diberi kuasa khusus tersebut
yang bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa dalam perkara ini.
Pemohon pada tanggal 26 Mei 2012 telah membeli 1 (satu) unit rumah susun,
tetapi setelah membayar lunas rumah susun tersebut tidak kunjung di serahkan.
suami Pemohon adalah warga negara asing, dan Pemohon tidak memiliki Perjanjian
“Bahwa sesuai padal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan,
seorang perempuan yang kawin dengan warga negara asing dilarang untuk membeli
tanah dan atau bangunan dengan status Hak Guna Bangunan. Oleh karenanya
(PPJB) ataupun Akta Jual Beli (AJB) dengan Pemohon, karena hal tersebut akan
56
“Bahwa berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan) yang mengatur sebagai berikut: “Harta benda yang
seorang suami atau isteri membeli benda tidak bergerak (dalam hal ini adalah rumah
harta bersama/gono gini suami isteri yang bersangkutan. Termasuk juga jika
dan WNA) yang dilangsungkan tanpa membuat perjanjian kawin harta terpisah,
maka demi hukum apartemen yang dibeli oleh seorang suami/isteri WNI dengan
kemudian di kuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Penetapan Nomor
batalnya surat pesanan sebagai akibat dari tidak terpenuhinya syarat obyektif sahnya
Sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK terkait syarat kerugian hak dan/atau
sama dengan WNI lainnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 27
57
ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”.
(1)“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.
(4)”setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
(2)“setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
58
Kemudian, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, Pemohon memiliki
Hukum (Legal Standing) dan hubungan hukum (causal verband) untuk mengajukan
permohonan pemeriksaan Pengujian Materiil (judicial review) atas Pasal 29 ayat (1),
ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD
1945.
XIII/2015
Alasan utama pengajuan permohonan uji materil yang diajukan oleh pemohon
ialah berkaitan dengan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1)
Alasan yang akan dibahas pada penulisan hukum ini ialah alasan pengajuan
1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang didalilkan melanggar UUD 1945.
Alasan pertama terletak pada frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan; seluruh kalimat pada Pasal
29 ayat (3) UU Perkawinan; dan frasa “selama perkawinan berlangsung” pada Pasal
Frasa ini telah membatasi kebebasan pihak yang melakukan perjanjian dalam
59
menentukan waktu dan isi dari perjanjian. Karena salah satu pihak tidak dapat
membuat perjanjian kawin jika tidak dilakukan ada saat atau sebelum perkawinan
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
Frasa dan bunyi pada Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan
sebelum adanya PMK No. 69/PUU-XIII/2015 yang menjadi alasan utama pengajuan
kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan
berkontrak (Freedom of contract) yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dalam
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
60
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik.”
kebebasan kepada para pihak dalam melakukan perjanjian dalam membuat atau tidak
(2)”Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
dijelaskan bahwa “apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur
masing menurut saksi ahli adalah hukum adat, hukum agama (islam) bagi orang islam
di Indonesia, antara lain terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan
Perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh suami dan/atau isteri atas ketiga
38 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
61
(1)”mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
Saksi ahli menjelaskan bahwa maksud dari Pasal 35 ayat (2) mengenai harta
i. Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri bersangkutan;
ii. Harta masing-masing suami atau isteri yang diterima atau diperoleh pada masa
Frasa “harta bersama” pada pada Pasal tersebut telah merampas dan
menghilangkan hak Pemohon untuk mempunyai hak milik dan hak guna bangunan
karena harta tersebut dimaknai sepenuhnya merupakan milik orang asing karena telah
menikah dengan warga Negara asing. Sedangkan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat
(1) UUPA melarang warga Negara asing mempunyai hak milik dan hak guna
bangunan sebagaimana yang telah di tetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur
September 2012.
Pasal tersebut didalilkan telah bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal
28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 33
62
“setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
“setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak adak kecualinya”.
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Dengan adanya perjanjian kawin atau perjanjian pisah harta, maka tidak ada
percampuran harta antara suami dan isteri yang masing-masing memiliki harta
63
terpisah. Namun, apabila tidak terdapat perjanjian perkawinan atau perjanjian pisah
harta, maka warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan warga
Negara asing (perkawinan campur) akan kehilangan hak dan kesempatannya untuk
Pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena
perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1
dan 2 KHI). Begitu juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan
dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun
harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.40
dimaknai dengan “harta bersama kecuali harta benda berupa hak milik dan hak guna
bangunan yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia yang kawin dengan warga
Negara asing”. Sehingga dapat mewujudkan asas nasionalitas yang mencegah warga
Negara asing untuk mempunyai hak milik dan hak guna bangunan dan untuk
melindungi warga Negara Indonesia pada perkawinan campuran agar tetap dapat
40 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1992)
64
3. Pokok Permohonan Pemohon
berikut :
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
a) Frasa “warga negara indonesia” pada Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1)
yang tidak kawin, warga Negara Indonesia yang kawin dengan sesame
warga Negara Indonesia, dan warga Negara Indonesia yang kawin dengan
b) Frasa “sejak diperoleh hak” pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5
Perkawinan);
(UU Perkawinan);
65
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan);
sebagai “harta bersama kecuali harta benda berupa hak milik dan hak guna
bangunan yang dimiliki oleh warga negara indonesia yang kawin dengan
sebagaimana mestinya. 41
Sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a
Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
materiil. (2) Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945. (3) Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan
proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil
66
Dalam hal ini Permohonan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
tersebut berkenaan dengan materi muatan dalam pasal dan ayat yang didalilkan
Permohonan yang diajukan oleh pemohon sudah sesuai syarat yang ditentukan
dalam Pasal 31 (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pasal 31 ayat (1) huruf b
Dalam pokok permohonan yang dimohonkan oleh pemohon, sudah sesuai dengan
Undang-Undang yang tertera pada Pasal 5 ayat (1) Huruf d yang berbunyi :
− menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud
− menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud
untuk sahnya suatu perjanjian sudah tercermin dalam pasal tersebut. Pasal 1320 KUH
Perdata dan Pasal 45-46 Kompilasi Hukum Islam. Namun, dalam KUH Perdata
67
subyektif dan obyektif. Dimana tidak terpenuhinya syarat subyektif akan berakibat
akan berakibat batal demi hukum. KUH Perdata sudah dengan jelas mencerminkan
asas-asas dalam perjanjian seperti asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1337, asas
konsensualisme yaitu kesepakatan para pihak dan sebagainya. Maka dapat dikatakan
jika perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh suami isteri tidak dilaksanakan atau
terjadi suatu pelanggaran terhadap perjanjian tersebut, secara otomatis memberi hak
Perkawinan di Indonesia.
ketentuan mengenai sifat final dan mengikat putusan MK. Berdasarkan faktisitas
hukum tersebut putusan MK dapat dikatakan erga omnes yang menurut Bargir
Manan adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang
mengandung persamaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang, jadi
dengan UUD NRI 1945, maka menjadi batal dan tidak sah untuk semua orang.
68
diterima, dan dikabulkan bertambah menjadi putusan konstitusional bersyarat,
baru membuat keberlakuan putusannya tidak hanya sebagai putusan yang langsung
dahulu (Non-SelfImplemnting).42
perkara a quo.
a. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
42 Salsabilla Akbar dkk, Faktisitas Sifat Final dan Mengikat Putusan MK Dengan Menambah Instrumen
Hukum Judicial Order Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar. Diponegoro Law
Journal, Volume 8, Nomor 3, Tahun 2019, hlm. 2338
43 Ibid. hlm. 156-157
69
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah
b. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
c. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,
kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut
sebagaimana mestinya.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri memiliki sifat yang berbeda dari
putusan pada lembaga peradilan yang lain. Dalam Pasal 24 C UUD NRI 1945
44 Sebelumnya berbunyi sebagai berikut “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”.
45 Sebelumnya berbunyi sebagai berikut “Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan”
46 Sebelumnya berbunyi sebagai berikut, “Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga”.
70
dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final. Hal ini dipertegas kembali di dalam
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa makna sifat final
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.47
Permohonan. Hal tersebut sesuai dengan Amar Mahkamah Konstitusi yang diatur
bersifat final dan mengikat, maka penafisran yang dilakukan Mahkamah Konstitusi
(rechtvinding), sebab metode ini merupakan sarana atau alat untuk mengetahui makna
47 Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat Mahkamah
Konstitusi Perspektif Negara Hukum,Op.cit, 2017, hlm. 536.
48 Muchamad Ali Safaat, dkk, Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Periode 2003 –
2008 dan 2009 – 2013, Jurnal Konstitusi Volume 14, 2017, hlm.235.
71
menyelidiki dan menilai isi peraturan perundang-undangan yang menjadi baru
pengujinya, jadi suatu undang-undang yang isinya sesuai atau dinyatakan bertentangan
dengan derajat yang lebih tinggi oleh penguji telah dilakukan penafsiran.49 Intinya
process of discovering and expounding the meaning of the articles of law and the
50
constitution (proses penemuan dan penguraian norma konstitusi. Pengujian
Menurut Pemohon berlakunya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 36 ayat
(1) UUPA dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 35 ayat (1) UU
Hak konstitusional Pemohon tersebut ialah hak untuk bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Setiap orang (warga Negara) yang ingin
memiliki atau memberikan bekal bagi dirinya dan anak-anaknya untuk masa depan
yang salah satunya dengan membeli tanah dan bangunan yang bertujuan sebagai
tempat tinggal, tempat berlindung, dan juga sebagai tabungan atau bekal di masa
depan.52
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir
49 A. Pitlo dan Sudikno Merto Kusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 13
50 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar llmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1998),
hlm. 47
51 Abdul Latif, dkk., Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta : Total Media, 2009), hlm. 323-324.
52 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
72
batin antara suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga sebagai ikatan
lahir batin, pasangan suami dan isteri harus saling membantu dan melengkapi demi
kedudukan isteri adalah seimbang dengan kedudukan suami, baik dalam kehidupan
berumah tangga maupun bersosial. Segala keputusan dalam hubungan rumah tangga
kekal. Oleh itu suami isteri harus saling membantu dan melengkapi, agar
agama dan kepercayaannya itu; disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang dimuat
73
dapat beristeri lebihd ari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang isteri, mesikipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak
g. Asas calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat;
perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
i. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
74
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku
frasa “selama dalam ikatan perkawinan”, namun juga mengubah kata “mengadakan”
Perkawinan yaitu:
ikatan perkawinan” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Dengan makna bahwa
suami/isteri yang baru membuat perjanjian perkawinan setelah menikah dan tidak
mengatur waktu berlakunya perjanjian mereka. Sehingga perjanjian yang dibuat demi
1. Memisahkan harta kekayaan antara antara pihak suami dengan pihak isteri,
sehingga kekayaan mereka tidak campur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka
54 Damian Agata Yuvens, Analisis kritis terhadap perjanjian perkawinan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, (Jakarta:Jurnal Konstitusi Vol. 14 No. 4, 2017), hlm. 806
55 Ibid. hlm. 807
56 Mahkamah Konstitusi,Salinan Putusan…,hlm. 153-154
75
2. Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan
3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta
4. Begitu juga dalam fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta
izin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya dalam hal menjaminkan asset yang
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ketentuan yang ada saat ini hanya
mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan, padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami isteri yang karena
perjanjian tersebut harus diadakan sebelum perkawinan dan harus diletakkan dalam
akta notaris. Sehingga perjanjian perkawinan berlaku untuk suami atau isteri sejak
kesepakatan para pihak calon suami maupun calon isteri dan tidak bertentangan
perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut. Kecuali bila dari kedua belah
Dalam hal diatas, ada 2 frasa yang ditambahkan oleh MKRI, yaitu “dapat
76
Munculan beberapa pertanyaan apakah maksud dalam frasa “selama perkawinan
berlangsung” berubah menjadi “selama dalam ikatan perkawinan” dimana kedua frasa
tersebut memiliki makna yang sama. Lalu pertanyaan selanjutnya, mengapa hal yang
dipertimbangkan tidak Nampak dari hasil tafsir yang diberikan? Mengapa justru hal-
1) Para Pihak
Untuk bisa membuat perjanjian perkawinan, para pihaknya harus laki-laki dan
dengan perempuan. Selain itu, pihak dalam perjanjian perkawinan hanya terdiri
dari 2 orang saja: 1 laki-laki dan 1 perempuan. Perjanjian perkawinan tidak bisa
perempuan yang menjadi pihak dalam perjanjian perkawinan, bisa saja belum
2) Masa Pembuatannya
Perjanjian perkawinan hanya bisa dibuat pada masa tertentu saja, yaitu pada saat
3. Isi Perjanjian
Isi dari perjanjian perkawinan bisa sangat variatif. Batasannya hanyalah hukum,
77
mengesampingkan ketentuan mengenai percampuran harta dalam UU
Perkawinan.
4. Mulai Berlakunya
5. Sebab Berakhirnya
tidak bisa dibuat tanpa adanya perkawinan. Namun demkian, tidak ada
mengenai asas-asas perkawinan dalam hukum islam yang harus dimuatkan dalam
UU Perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, antara lain mengenai
2) Asas-asas perkawinan:
78
b) Pada prinsipnya perkawinan adalah monogami tanpa menutup pintu bagi
undangan
semua agama
percampuran harta, mempertimbangkan bahwa hal tersebut tidak lagi relevan untuk
79
pemisahan harta, bisa dibuat kapanpun selama dalam ikatan perkawinan.59 MKRI
Hanya saja bagi para pihak yang membuat pejanjian perkawinan, terdapat harta
ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan Pasal 35 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak beralasan demi hukum.
berlangsung, maka kekayaan tersebut merupakan milik bersama dari suami dan
isteri. Apabila dikaitkan dengan Pasal 139 KUH Perdata, isi dari perjanjian
bersama dikarenakan isi dari perjanjian perkawinan dapat berupa pemisahan harta
benda. Dimana harta milik suami dan isteri menjadi hak masing-masing tanpa
adanya percampuran harta. Dengan itu, dapat dikatakan bahwa perjanjian kawin
perkawinan. Menurut hemat penulis, pertimbangan Hakim ini dirasa kurang tepat
80
Implementasi “putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”
sebelum, pada saat, dan selama ikatan perkawinan. yang mana dalam hal ini pihak
pihak yang terkait adalah Notaris, Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama.
Pencatatan dilakukan untuk melindungi kepentingan para pihak baik suami, istri
yang melakukan perkawinan secara sah dan tercatat, sementara pada perkawinan
siri perjanjian perkawinan tidak dapat dilakukan. Sehingga bagi para pembuat
hendaknya harus ada konsistensi antara peraturan yang terdahulu dengan peraturan
yang baru terutama mengenai perjanjian perkawinan. Hal ini karena terdapat
perbedaan tata cara pembuatan perjanjian ”Perkawinan dalam KUH. Perdata, UUP,
lanjut dari keluarnya putusan tersebut sehingga lebih dapat diketahui oleh
60 Herni Widanarti, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Terhadap Hukum
Perkawinan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Law, Development and Justice Review,
Vol. 3, Juni 2020, Hlm. 138
81
masyarakat luas. Bagi Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam pembuatan
semua pihak dan kepentingan pihak ketiga agar tidak dilanggar hak-haknya.61
calon suami isteri sebelum maupun ketika perkawinan dilangsungkan dengan tujuan
untuk mengatur akibat-akibat yang akan timbul dari suatu perkawinan tersebut
mereka dibuat dengan perjanjian kawin tergantung kesepakatan kedua belah pihak
harta bersama ke Pengadilan Negeri tidak dapat dilakukan karena Pasal 29 Undang-
perjanjian perkawinan calon pasangan dapat membuat perjanjian pada saat perkawinan
Grup,2011), hlm. 34
63 Ade Nurhidayat dkk, Analisis Yuridis Perkawinan Campuran Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah
Dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI) Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Diponegoro
Law Journal, Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, hlm. 11
82
menghendaki suatu perubahan terhadap perjanjian tersebut, maka harus ada
persetujuan bersama serta tidak merugikan pihak ketiga yang bersangkutan. Akan
bahwa pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan kapan saja, dan setelah
berlakunya PMK No. 69/PUU-XIII/2015, adalah perjanjian perkawinan yang sah dan
berlaku bagi para pihak (suami/isteri) yang mengadakan dan membuat perjanjian
XIII/2015.
dengan suatu persetujuan antara suami dan isteri. Sehingga harta kekayaan itu
83
menjadi harta bersama mereka dan apabila mereka bercerai (meskipun baru satu
bulan melangsungkan perkawinan) maka kekayaan bersama itu harus dibagi dua
KUHPerdata:64
antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan
pernikahan ditutup dan harus diletakkan dalam akta notaris. Isi perjanjian
perkawinan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan satu sama
perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak memiliki akta nikah, dianggap tidak
64 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
84
ada oleh Negara dan tidak mendapatkan kepastian hukum. Hal ini lah yang
memberi dampak terhadap akibat hukum yang timbul sehingga para pihak tidak
yang salah satunya terhadap harta benda dalam perkawinan yang sebagaimana
berlaku.
KUHPer dengan menganut sistem kesatuan harta suami isteri. Apabila suami
1) Apabila harta kekayaan salah satu pihak (suami atau siteri) lebih besar
65 Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan
di Indonesia, Jurnal Legilasi Indonesia, Volume 14 No. 3, September 2017, hlm. 254
66 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
85
2) Kedua pihak (suami dan isteri) membawa masuk harta yang cukup besar
Dengan kata lain, tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan antara lain untuk
memisahkan harta kekayaan antara kedua pihak sehingga harta kekayaan mereka
tidak tercamput. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari
masing. Kemudian, jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka
tidak perlu meminta ijin dari pasangannya serta jika ada fasilitas kredit yang
mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu kepada pasangannya
terkait jaminan asset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.
setelah mana isinya berlaku pula terhadarp pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
86
pembenaran. Menurut hukum, pengesahan merupakan tindakan hukum oleh
instansi yang berwenang untuk mengubah status “tidak sah”. Dalam hal perjanjian
disahkan oleh pihak yang berwenang berarti telah terjamin bahwa isi dari
dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja, setelah PMK No 69/PUU-
secara tertulis dan kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau
Dalam hal ini, notaris tidak hanya memberikan bantuan untuk membuat perjanjian
bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut tidak merugikan pihak ketiga
tidak hanya dapat disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan saja, namun
87
dengan adanya penambahan frasa perjanjian perkawinan tertulis, perlu dengan
bantuan notaris karena sifatnya yang berlaku jangka panjang dan baru berakhir
jika perkawinan berakhir karena sebab kematian atau perceraian. Harus ada
kepastian hukum terkait perjanjian perkawinan tersebut tidak mudah untuk diubah
dan dicabut oleh para pihak apabila perjanjian perkawinan tersebut dibuat dengan
akta notaris, ditandatangani para pihak sehingga Notaris menjamin isi dari
Perkawinan
UU Perkawinan yang telah dijelaskan diatas, tidak hanya berlaku bagi pasangan
Konstitusi saja, namun berlaku pula bagi pasangan perkawinan warga Negara
yang memberikan makna bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja,
baik sebelum perkawinan menurut hukum dan kepercayaan para pihak sebelum
Jika para pihak tidak menentukan masa berlaku perjanjian perkawinan, maka
88
perjanjian tersebut akan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Hal ini akan
menimbulkan suatu pertanyaan mengenai harta benda yang telah ada sebelum
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sehingga
Perkawinan untuk memenuhi asas publisitas guna mengikat pihak ketiga. Dapat
dikatakan, tidak menjadi penentu untuk sah atau tidaknya suatu perjanjian
perkawinan. Karena penentu sah atau tidak sahnya suatu perjanjian perkawinan
agama dan kesusilaan. Serta harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab
perjanjian, yaitu :
Pihak yang melakukan atau terlibat dalam suatu perjanjian harus atas dasar
89
untuk membuat perjanjian, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-
a. Belum dewasa
Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah. Sebagai
contoh seorang anak yang masih berusia 10 tahun tidak dapat membuat
tidak mampu, maka dikatakan orang yang belum dewasa. Diatur dalam
tidak hanya berupa barang dalam bentuk fisik, namun bisa berbentuk jasa
Sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian itu sendiri, bilamana
dengan hukum atau norma yang berlaku. Sebab yang tidak halal yaitu
90
kesusilaan atau ketertiban umum. Nilai-nilai kesusilaan dan ketertiban
harta. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti ketidaktahuan bahwa tanpa
perkawinan campur tidak dapat memperoleh hak milik atau hak guna bangunan.
Kemudian ada pula faktor berupa budaya timur yang memandang bahwa
harta. Faktor yang dapat terjadi kemudian juga berupa kendala usia subyek yang
masih muda dan belum mempunyai harta pada saat melangsungkan perkawinan,
perjanjian pisah harta dan akhirnya ketika akan melakukan transaksi pembelian
tanahh/bangunan dengan hak milik dan hak guna bangunan akan menimbulkan
permasalahan.67
memberi perintah terhadap kantor catatan sipil atau kantor urusan agama untuk
67 Nirmala, Dampak Putusan MK No. 69/PUU/XIII/2015 Bagi Subjek Perkawinan Cmpuran, Universitas
91
mendaftarkan atau mencatatkan. 68 Pencatatan perjanjian perkawinan setelah
Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil (Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) atau Kantor
memenuhi sifat publisitas dan dapat berlaku mengikat terhadap pihak ketiga
Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT). Pengesahan atau pelaporan hanya
perkawinan, isinya akan berlaku mengikat pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
68 Habib Adjie, Perjanjian Kawin Pasca Putusan MK, dalam Notaris Majalahnya Notaris, Edisi Perdana,
92
Tabel yang menggambarkan perbedaan ketentuan mengenai Perjanjian
93
bilah pihak untuk melakukan perkawinan
perubahan dengan ketentuan berlangsung dengan
tidak merugikan pihak ke tiga. adanya persetujuan
untuk merubah atau
mencabut perjanjian
dengan tidak
merugikan pihak ke
tiga.
Tabel 4.1
94
C. Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
XIII/2015, pada tanggal 19 Mei 2017 telah dikeluarkan pula Surat Kementerian
dan Pencatatan Sipil kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
merupakan ketentuan umum (Regel). Akibat hukum yang muncul dari isi
95
1) Harta bersama yang telah terjadi ebelum perjanjian perkawinan dibagi dan
Adanya pemisahan harta tersebut akan terjadi suatu pergeseran harta berupa
19 Mei 2017 yang ditujukan kepada seluruh kepala dinas kependudukan dan
bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau unit pelaksana teknis dimana
akan dibuatnya catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan,
sedangkan akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian
perkawinan saja, namun juga berlaku untuk perubahan dan pencabutan perjanjian
perkawinan.
perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, kini dapat
96
dibuat selama masa perkawinan, dan berlaku sejak perkawinan diselenggarakan
perkawinan. Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk perkawinan campur, namun
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitan dan pembahasan yang telah diuraikan pada BAB IV,
1974 Tentang Perkawinan ialah berkaitan dengan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat
(4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang didalilkan bertentangan dengan UUD
1945. Alasan pertama terletak pada frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan; seluruh kalimat pada Pasal
29 ayat (3) UU Perkawinan; dan frasa “selama perkawinan berlangsung” pada Pasal
Frasa ini telah membatasi kebebasan pihak yang melakukan perjanjian dalam
menentukan waktu dan isi dari perjanjian. Karena salah satu pihak tidak dapat
membuat perjanjian kawin jika tidak dilakukan ada saat atau sebelum perkawinan
dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”.
Alasan pengajuan permohonan kedua terletak pada frasa “harta bersama” dalam
Pasal 35 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut: “(1) Harta benda yang
98
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Frasa “harta bersama” pada pada
Pasal tersebut telah merampas dan menghilangkan hak Pemohon untuk mempunyai
hak milik dan hak guna bangunan karena harta tersebut dimaknai sepenuhnya
merupakan milik orang asing karena telah menikah dengan warga Negara asing.
Sedangkan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA melarang warga Negara
asing mempunyai hak milik dan hak guna bangunan sebagaimana yang telah di
tersebut didalilkan telah bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4),
Pasal 28I ayat (2), Pasal 28D ayat (1) , Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945.
pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan kapan saja, dan setelah perkawinan
pun masih diperbolehkan untuk membuat perjanjian perkawinan. Selain itu, perjanjian
perkawinan dapat dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka. Kedua belah
pihak dapat membuat perjanjian perkawinan secara tertulis dan kemudian disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan atau dengan bantuan notaris untuk membuat akta
perjanjian perkawinan tersebut. Dalam hal ini, notaris tidak hanya memberikan
99
bantuan untuk membuat perjanjian perkawinan tersebut, tetapi notaris juga harus
tidak merugikan pihak ketiga yang bersangkutan. Perjanjian perkawinan yang dibuat
B. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian yang telah dilakukan, maka penulis
Undang Perkawinan supaya tidak ada dalih tidak tahu akan ketentuan perjanjian
perkawinan, disamping itu supaya ada perencanaan yang matang sebelum memulai
sebuah keluarga, tidak hanya memandang kebutuhan yang timbul dikemudian hari,
terutama dalam hal membuat perjanjian perkawinan, disamping itu supaya semakin
berlangsung perlu dilakukan dengan prinsip kehati- hatian, baik dalam hal
pengesahan perjanjian perkawinan supaya hak yang telah terikat kepada suatu
kontrak tidak dimasukkan dalam pemisahan harta karena akan merugikan pihak
100
ketiga, supaya kebebasan membuat perjanjian perkawinan tidak disalahgunakan oleh
101
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
A. Pitlo dan Sudikno Merto Kusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Citra Aditya
Abdul Latif, dkk., Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Total Media, Yogyakarta, 2009)
Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fikih Munakahat
Gde Puja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir ke Dalam Hukum Adat diBali dan
Habib Adjie, Perjanjian Kawin Pasca Putusan MK, dalam Notaris Majalahnya Notaris, Edisi
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Seksi Perdata
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press,
2005
102
Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat
Diponegoro, 1992)
Prof. H. M Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,PT
RajaGrafindo,Jakarta: 2009
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Alumni, Bandung, 2004.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988.
Soerjono Soekanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif. ( Jakarta: Rajawali 1985).
Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), (PT.
103
Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup,2011).
Jurnal :
Ade Nurhidayat dkk, Analisis Yuridis Perkawinan Campuran Pria Warga Negara Asing
(WNA) menikah Dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI) Menurut Undang-
2016.
Damian Agata Yuvens, Analisis kritis terhadap perjanjian perkawinan dalam Putusan
No. 4, 2017).
Muchamad Ali Safaat, dkk, Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Periode 2003 – 2008 dan 2009 – 2013, Jurnal Konstitusi Volume 14, 2017.
Muhammad Agus Maulidi, Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM
104
Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
2017.
Tautan Media :
105