Anda di halaman 1dari 123

TINJAUN YURIDIS PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PRA DAN PASCA AMENDEMEN UNDANG – UNDANG DASAR 1945

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

M.Haikal Rizky Nst


160200375

Departemen Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : M.Haikal Rizky Nst

NIM : 160200375

Departemen : Hukum Tata Negara

Judul Skripsi : Tinjaun Yuridis Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pra dan

Pasca Perubahan Undang – Undang Dasar Tahunn 1945.

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil

karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat

oleh orang lain;

2. Apabila terbukti di kemudian hari Skripsi tersebut adalah jiplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, 3 September 2020

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa

atas setiap rahmat, hidayah dan taufiknya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, yang telah menuntun kita semua hingga saat ini dan semoga

kita mendapatkan pertolongannya di hari kiamat nanti.

Skripsi ini berjudul “Tinjaun Yuridis Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden Pra dan Pasca Amandemen Undang – Undang Dasar Tahun 1945”

yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana

Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari masih terdapat banyak keterbatasan dan kekurangan

dalam penulisan skripsi ini, semoga kedepannya penulis dapat lebih memperbaiki

karya ilmiah penulis, baik dari segi substansi maupun metodologi penulisan.

Alhamdullilah, Penulis mendapat banyak doa, semangat, motivasi, saran, dan

dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu

pada kesempatan ini, izinkan penulis menyebutkan beberapa nama, dengan

setulus hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak. Prof. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum. selaku Ketua

Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

6. Ibu Dr. Afnila S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Armansyah, S.H., M.Hum. selaku Dosen Departemen Hukum Tata

Negara sekaligus selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam memberikan bimbingan

selama proses penyusunan skripsi ini;

8. Bapak Yusrin Nazief, S.H., M.Hum. selaku Dosen Departemen Hukum

Tata Negara sekaligus selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam memberikan bimbingan

selama proses penyusunan skripsi ini;

9. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., MA., dan Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H.,

M.Hum. selaku Dosen Departemen Hukum Tata Negara yang telah

memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum, khususnya dibidang Hukum

Tata Negara dan mendidik kepribadian penulis;

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan

mendidik kepribadian penulis;

11. Teristimewa kedua orang tua Penulis, Ayahanda H.Khairun Nasution

dan Ibunda Hj.Nurhayani Sagala, yang telah membesarkan, mendidik, dan

mencurahkan kasih sayang serta setiap harapan yang dilafaskan dalam do’a

agar penulis menjadi orang yang bermanfaat bagi agama, keluarga, bangsa,

dan sesama manusia lainnya;

12. Saudara kandung Penulis Adinda M.Alfin Arya Nst dan Adinda Aisyah

Humairah Nst, serta seluruh keluarga besar Penulis, terimakasih atas

dukungan dan doa yang diberikan selama ini;

13. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang tak bisa Penulis

sebutkan satu-persatu stambuk 2016 baik dalam organisasi-organisasi

kemahasiswaaan maupun di kelas, terkhusus teman-teman Mahasiswa

Departemen Hukum Tata Negara FH USU yang tergabung dalam Persatuan

Mahasiswa Hukum Tata Negara (PERMATA) FH USU, yang telah

memberikan banyak pelajaran nilai-nilai kehidupan dan bertukar pemikiran-

pemikiran kepada Penulis;

14. Seluruh senior-senior dan alumni mahasiswa yang tak bisa Penulis

sebutkan satu persatu yang telah banyak memberi pemahaman akademik

dan non akademik kepada penulis dan seluruh adik-adik mahasiswa Penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang tak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak berkerjasama

dan terus menstimulus pemikiran serta ide Penulis;

15. Organisasi BTM Aladdinsyah, S.H. FH USU berserta seluruh anggota

dan alumni, khususnya jajaran Presidium BTM Aladdinsyah S.H. Periode

2018/2019 dan seluruh pengurus, yang telah lebih mengenalkan kepada

Penulis nikmatnya beriman,bertakwa, dan bersilaturahim;

16. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

17. Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Hukum seluruh Indonesia

yang pernah berjumpa dengan Penulis untuk dapat bertukar pemikiran dan

pengalaman melalui kompetisi ilmiah antar Universitas di Indonesia.

Medan, 3 September 2020

Penulis

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK
M.Haikal Rizky Nst *
Armansyah, SH., M.Hum **
Yusrin Nazief, SH., M.Hum***

Indonesia adalah negara demokrasi dan nomokrasi, yang artinya


menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Hal ini merupakan
amanat konstitusi yang merupakan dokumen hukum tertinggi, atau dapat
dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi konstitusional. Sejak
kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, telah ada beberapa periodisasi konstitusi
yang berlaku, kurun waktu berlakunya konstitusi di Indonesia dapat dibagi
menjadi dua periode besar, yaitu berlakunya UUD 1945 sebelum amandemen dan
sesudah amandemen.
Adanya periodiasi konstitusi menyebabkan terjadinya perbedaan pengaturan
mengenai pemilihan umum (pemilu) khususnya pemilu presiden dan wakil
presiden (pilpres). Sebagai negara dengan sistem pemerintahan presidensiil sangat
penting untuk memperhatikan bagaimana pengaturan mengenai pengisian jabatan
lembaga kepresidenan dalam bingkai negara demokrasi konstitusional. Dalam
perjalananya, penerapan sistem presidensiil sebelum amandemen konstitusi tidak
murni, melainkan campuran dengan sistem pemerintahan parlementer. Adapun
rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan
pilpres sebelum amandemen UUD 1945, bagaimana pengaturan pilpres sesudah
amandemen UUD 1945, dan bagaimana pengaturan peran partai politik dan
permasalahannya yang dialami dalam pilpres di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
menggunakan metode penelitian hukum yuridis normative. Penelitian ini
menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Adapun teknik pengumpulan data
dengan menggunakan penelitian kepustakaan atatu library research.
Salah satu gagasan sentral dibalik amandemen UUD 1945 adalah pemurnian
atau purifikasi sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia, dengan cara
pelaksanaan pilpres secara langsung. Hal ini berbeda ketika sebelum amandemen
UUD 1945, dimana presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain pemilu yang bebas, pilar penting negara
demokrasi adalah adanya partai politik yang sehat, yang mampu berperan sebagai
infrastruktur politik.

Kata Kunci : Demokrasi konstitusional; Periodisasi konstitusi; Amendemen;


Pemillihan Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik.

*
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................... ii

KATA PENGANTAR........................................................................................... iii

ABSTRAK.............................................................................................................vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................viii

BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan................................................................7

D.Keaslian Penulisan...................................................................................8

E. Tinjauan Pustaka......................................................................................9

F. Metode Penelitian..................................................................................20

G. Sistematika Penulisan............................................................................22

BAB II : PENGATURAN PEMILIHAN PRESIDEN dan WAKIL PRESIDEN

SEBELUM AMENDEMEN UUD 1945...............................................................24

A. Periodisasi Konstitusi Indonesia.............................................................24

B. Periode Pertama.......................................................................................25

1. Dasar Hukum.......................................................................................27

2. Syarat Jabatan......................................................................................28

3. Masa Jabatan .......................................................................................28

C. Periode Kedua..........................................................................................29

1. Dasar Hukum.......................................................................................30

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Syarat Jabatan......................................................................................31

3. Masa Jabatan .......................................................................................32

D. Periode Ketiga..........................................................................................32

1. Dasar Hukum.......................................................................................33

2. Syarat Jabatan......................................................................................35

3. Masa Jabatan .......................................................................................36

E. Periode Keempat......................................................................................36

1. Dasar Hukum.......................................................................................37

2. Syarat Jabatan......................................................................................41

3. Masa Jabatan .......................................................................................43

F. Periode Peralihan......................................................................................45

1. Dasar Hukum.......................................................................................45

2. Syarat Jabatan......................................................................................46

3. Masa Jabatan .......................................................................................49

BAB III : PENGATURAN PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

SETELAH AMENDEMEN UUD 1945................................................................50

A. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2004.............................50

1. Dasar Hukum.......................................................................................50

2. Syarat Jabatan......................................................................................52

3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu.......................................................53

B. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2009.............................56

1. Dasar Hukum.......................................................................................56

2. Syarat Jabatan......................................................................................60

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu.......................................................61

C. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2014.............................63

1. Dasar Hukum.......................................................................................63

2. Syarat Jabatan......................................................................................64

3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu.......................................................64

D. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2019.............................66

1. Dasar Hukum.......................................................................................66

2. Syarat Jabatan......................................................................................68

3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu.......................................................69

BAB IV: PENGATURAN PERAN PARTAI POLITIK DAN

PERMASALAHANNYA DALAM PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL

PRESIDEN.............................................................................................................71

A. Partai Politik dan Demokrasi...................................................................71

B. Perkembangan Partai Politik di Indonesia...............................................76

C. Permasalahan Partai Politik di Indonesia.................................................80

1. Lemahnya Ideologi dan Platform Partai Politik...................................81

1.1 Dampak lemahnya Ideologi dan Platform Parpol terhadap Pilpres di

Indonesia..................................................................................................84

2. Lemahnya Sistem Rekrutmen, Pola Kaderisasi dan Krisis Pendanaan

Partai Politik.............................................................................................87

2.1. Dampak Lemahnya Sistem Rekrutmen, Pola Kaderisasi dan Krisis

Pendanaan Partai Politik terhadap Pilpres...............................................89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Dampak Presidential Treshold Terhadap Partai Politik dalam

Pengusungan Calon Presiden dan Wakil Presiden...................................90

3.1. Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Pilpres

dan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Presidential Threshold.........93

3.2. Dampak Presidential Threshold di Pemilu serentak Terhadap Partai

Politik.......................................................................................................96

3.3. Penerapan Presidential Threshold di Negara Lain yang Menganut

Sistem Presidensiil.................................................................................101

BAB V : PENUTUP.............................................................................................104

A. Kesimpulan............................................................................................104

B. Saran.......................................................................................................105

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................107

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI Tahun 1945) telah mengatur mengenai susunan negara, bentuk negara, dan

sistem pemerintahan negara Indonesia. Susunan negara dan bentuk negara

Indonesia diatur didalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang

menyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk

Republik”. Ketentuan pasal 1 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa susunan atau

bentuk negara Indonesia adalah Kesatuan dan bentuk Pemerintahan Indonesia

adalah Republik. Sedangkan sistem pemerintahan negara Indonesia diatur didalam

Pasal 4 dan Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 yang menunjukkan bahwa

pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensil, dimana presiden menjadi

kepala eksekutif yaitu memegang kekuasaan pemerintahan dan mengangkat serta

memberhentikan para menteri yang bertanggung jawab kepadanya.

Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945

sampai sekarang, dapat dikatakan bahwa Republik Indonesia telah memiliki

beberapa naskah Undang - Undang Dasar (UUD) sebagai dokumen hukum

tertinggi (de hoogste wet) dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. UUD yang

pernah berlaku secara resmi di Indonesia adalah (i) UUD 1945, (ii) UUD

Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) Tahun 1949, (iii) UUD Sementara

1950, (iv) UUD 1945 beserta penjelasannya, dan (v) UUD NRI Tahun 1945 hasil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perubahan I-IV.1Seiring dengan perubahahan UUD 1945, negara Indonesia

mengalami perbaikan sistem pemerintahan, dan berusaha menemukan sistem

pemerintahan terbaik untuk negara Indonesia.

Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen menurut Jimmly

Ashiddiqie menganut sistem campuran, pada pokoknya, sistem yang dianut

adalah sistem presidensil, tetapi Presiden ditentukan tunduk dan bertanggung

jawab kepada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri atas

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan daerah dan

utusan fungsional.2

Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum

amandemen yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan pasal 2 ayat (1) yang

berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah

dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-

undang”. Sri Somantri menyatakan bahwa sistem pemerintahan Republik

Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen memperlihatkan sekaligus

segi-segi sistem pemerintahan presidensil dan sistem pemerintahan parlementer

atau sistem campuran.3

1
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT
Bhuana Ilmu Populer, 2008, hlm. 72.
2
Ibid, hlm.320.
3
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta : Gama Media dan PSH UII , 1999, hlm. 40.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Perubahan UUD 1945 yang terjadi sebanyak empat tahap, yaitu tahun

1999, 2000, 2001, dan 2002 telah mengubah sistem pemerintahan Indonesia.

Adanya perubahan ini Indonesia mempertegas sistem pemerintahan Presidensil

dan mengubah beberapa ketentuan mengenai Presiden. Perubahan konstitusi

tersebut telah mengubah kedudukan dan kewenangan Presiden yang semula

sangat kuat dalam UUD 1945 sebelum perubahan (executive heavy) menjadi lebih

seimbang dengan kedudukan dan kewenangan dengan lembaga-lembaga negara

lain.4

Salah satu hasil monumental dan fundamental dalam reformasi konstitusi

terkait dengan Presiden adalah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)

secara langsung oleh rakyat dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang mengubah

pemilihan Presiden sebelumnya yang dilakukan oleh MPR.5 Pemilu merupakan

bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi, dimana rakyat dapat memilih

pemimpin negara atau wakil-wakilnya yang berhak membuat suatu kebijakan

berdasarkan kehendak rakyat yang digariskan oleh pemimpin negara atau wakil-

wakil rakyat tersebut.

Indonesia adalah negara demokrasi, sejak awal kemerdekaan sampai dengan

era reformasi. Praktik demokrasi mengalami perkembangan dan bervariasi,

Miriam Budiarjo memaparkan perkembangan demokrasi kedalam tiga masa:

a. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi yang menonjolkan


peran parlemen serta partai-partai yang pada masa itu dinamai demokrasi
parlementer;

4
Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta : Sinar
Grafika, 2013, hlm. 26.
5
Ibid, hlm.27.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Masa Republik II, yaitu demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek
telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formil
merupakan landasannya dan menunjukkan aspek demokrasi rakyat;
c. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang
merupakan demokrasi konstitusional menonjolkan sistem presidensiil. Masa
ini berakhir bersamaan dengan jatuhnya rezim Orde Baru yang kemudian
demokrasi di Indonesia memasuki era baru yang disebut era reformasi, yang
diawali dengan adanya perubahan UUD 1945 dengan menonjolkan
kebebasan berpolitik yang lebih nyata dan penguatan sistem presidensiil. 6

Pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan mekanisme demokrasi ini dalam

sejarah kenegaraan harus didasarkan kepada dasar negara sehingga timbul sebutan

demokrasi Pancasila. Dalam hal ini Padmo Wahjono menyatakan bahwa

Demokrasi Pancasila ialah kegiatan bernegara di Indonesia, dan Pemilu dengan

segala bentuk ragamnya salah satu manifestasi dari Demokrasi Pancasila. 7

Hal ini berkonsekuensi pada bentuk pemerintahan yang menganut model

demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi yang ada di Indonesia salah satunya

adalah yang berkaitan dengan partisipasi rakyat secara langsung dalam

mekanisme pemerintahan. Dalam prosesnya, sistem kedaulatan rakyat ini

diimplementasikan melalui sistem yang langsung (direct democracy) dan sistem

perwakilan (indirect democracy/representative democracy). Mekanisme ini

terwujud dalam suatu sistem pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden

sebagai bentuk sistem yang langsung atau direct democracy. Sedangkan

representative democracy di implementasikan melalui DPR dan Dewan

Perwakilan Daerah (DPD).

6
Sulardi, Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Malang: Setara Press, 2012,
hlm. 37-38.
7
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan

untuk rakyat, karena itulah rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Dimana Partai

politik (Parpol) memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara

proses-proses pemerintahan dengan warga negara. UUD NRI 1945 yang telah

mengatur mengenai Pemilihan Umum pada BAB VIIB Pasal 22E yang

menyatakan bahwa:

(1). Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,


jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
(2). Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3). Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4). Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.
(5). Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6). Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.

Dalam pelaksanaannya, ketentuan Pemilu di UUD NRI tahun 1945

didelegasikan lebih lanjut di dalam Undang-Undang. Sejak Pilpres dilaksanakan

secara langsung untuk pertama kalinya pada tahun 2004, pengaturan lebih lanjut

mengenai Pilpres diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 (UU

No.23/2003). Pilpres berikutnya yaitu pada tahun 2009, diatur di dalam UU

No.42/2008 yang digunakan juga pada Pilpres pada tahun 2014. Terakhir pada

Pilpres tahun 2019 yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak

antara Pemilu Eksekutif dan Pemilu Legislatif (Pileg) menggunakan dasar hukum

UU No.7/2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam suatu negara demokrasi, Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil

Presiden (Cawapres) pada umumnya ditentukan melalui seleksi yang dilakukan

oleh Parpol. Seperti yang dikatakan oleh Radbruch, kekuasaan rakyat berarti

kekuasaan Parpol. Menentang eksistensi partai berarti menentang demokrasi. Jadi,

Parpol merupakan unsur penting dalam melakukan pemilihan dalam negara

demokrasi. Tidak terkecuali pada pemilihan presiden. Memamg salah satu fungsi

Parpol mencetak calon pemimpin negara.8

Melihat adanya perbedaan Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil di

Indonesia seiring dengan perubahan yang terjadi pada Konstitusi yaitu UUD 1945

baik perubahan secara keseluruhan menjadi bentuk Konstitusi baru seperti

Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 maupun perubahan dalam bentuk

Amendemen yang terjadi sebanyak empat tahap, pada tahun 1999, 2000, 2001 dan

2002, dan juga mempengaruhi terhadap pengaturan Pilpres di Indonesia dan peran

Parpol serta problematika yang dihadapi dalam Pilpres yang merupakan

perwujudan dari nilai demokrasi yang terkandung dalam UUD NRI Tahun 1945,

hal ini yang melatar belakangi ketertarikan penulis untuk mengkaji hal ini lebih

mendalam, adapun judul yang dipilih yaitu :

“TINJAUN YURIDIS PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PRA DAN PASCA AMANDEMEN UNDANG – UNDANG DASAR TAHUN

1945”

8
Harun Alrasid, Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti,
1999, hlm. 24.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelum

amendemen UUD Tahun 1945?

2. Bagaimana pengaturan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden setelah

amendemen UUD Tahun 1945?

3. Bagaimana peran Partai Politik dan permasalahan yang dialami Partai Politik

dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Menjelaskan bagaimana pengaturan Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden sebelum Amandemen Undang – Undang Dasar Tahun 1945 yang

meliputi dasar hukum pemilihan, syarat jabatan dan masa jabatan;

b. Menjelaskan bagaimana pengaturan Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden setelah Amandemen Undang – Undang Dasar Tahun 1945 yang

meliputi dasar hukum pemilihan, syarat jabatan dan masa jabatan;

c. Menjelaskan bagaimana peran Partai Politik dan permasalahan yang

dialami Partai Politik dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di

Indonesia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan,

menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi

pemikiran mengenai pengaturan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di

Indonesia serta peran Partai Politik dan permasalahan yang dialami Partai

Politik dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.

b. Secara praktis hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang,

terutama untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk

sumbangan pemikiran ilmiah hukum Indonesia. Penulisan ini juga

diharapkan mampu menggambarkan pelaksanaan pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden sebelum dan setelah amandemen Undang – Undang Dasar

Tahun 1945 serta menjabarkan peran Partai Politik dan permasalahan yang

dihadapi Partai Politik dalam pelaksanaan pilpres.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan Tinjaun Yuridis Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden Pra dan Pasca Amandemen Undang – Undang Dasar

1945 dan dari informasi yang diperoleh dari perpustakaan, judul ini belum pernah

ditulis sebagai Skripsi. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam

penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Dalam skripsi ini,

penulis mencoba untuk mengarahkan, kurun waktu berlakunya beberapa

konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia dan pengaruhnya terhadap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pelaksanaan sistem pemerintahan presidensil di Indonesia dan dampaknya

terhadap pilpres di Indonesia serta peran parpol dan permasalahan yang dialami

parpol dalam pelaksanaan pilpres. Oleh karena itu, keaslian dari tulisan ini dapat

dijamin oleh penulis.

E. Tinjaun Pustaka

1. Bentuk Negara

Bentuk negara menyatakan susunan atau organisasi negara secara

keseluruhan, mengenai struktur negara yang meliputi segenap unsur – unsurnya,

yaitu daerah, bangsa, dan pemerintahannya. Bentuk – bentuk negara melukiskan

dasar – dasar negara susunan dan tata tertib suatu negara berhubungan dengan

organ tertinggi dalam negara itu dan kedudukan masing–masing organ itu dalam

kekuasaan negara.9Menurut Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim untuk

mencegah terjadinya salah pengertian maka perlu dibedakan secara tegas

penggunaan istilah mengenai “bentuk” yang ditujukan kepada pengertian republik

atau monarki, sedangkan istilah susunan ditujukan kepada pengertian kesatuan

atau federasi.10

Dalam bukunya II Principle, Macchiavelli mengatakan bahwa bentuk

negara ialah kerajaan (monarchie) dan republik. Disamping itu ada lagi

pembagian atas tiga yaitu: monarhie, oligarchie dan democratie, pembagi tigaan

9
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm.139.
10
Ibid, hlm. 139-140.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ini didasarkan pada jumlah orang yang memegang pimpinan untuk

menyelenggarakan kepentingan bersama dalam negara.11

a. Bentuk Negara Monarchie

Monarchie ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara dipegang oleh

“satu” orang yang menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan semua orang. 12

Bersifat turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Selain raja, kepala

negara monarchie dapat berupa kaisar (Kaisar Jepang atau Cina sebelum dijajah

Inggris), Syah (Syah Iran) dan Sultan (Sultan Brunei).13

b. Bentuk negara Republik

Republik adalah berasal dari “Res Publika”, yang berarti organisasi

kenegaraan yang mengurus kepentingan bersama.14 Negara dengan pemerintahan

rakyat yang dikepalai oleh seorang Presiden sebagai kepala negara yang dipilih

dari rakyat dan oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu.15

2. Susunan Negara Kesatuan dan Negara Federasi

a. Susunan Negara Kesatuan

Negara kesatuan disebut juga dengan uniterisme dan eenheistaan ialah suatu

negara yang merdeka dan berdaulat, di mana diseluruh negara yang berkuasa

hanya satu Pemerintah pusat yang mengatur seluruh daerah, jadi tidak terdiri dari

11
M. Solly Lubis, Ilmu Negara Edisi Revisi, Bandung : CV Mandar Maju, 2014, hlm.63.
12
Ibid.
13
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit. hlm.141.
14
M. Solly Lubis, Op.cit, hlm. 59
15
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, hlm. 142

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


beberapa daerah yang berstatus negara bagian atau deelstaat atau negara dalam

negara.16

Beberapa macam negara kesatuan antara lain : pertama, negara kesatuan

dengan sistem sentralisasi, dimana segala urusan diatur oleh pemerintah pusat.

Pemerintah daerah tidak mempunyai hak untuk mengurus sendiri daerahnya.

Kedua, negara kesatuan dengan sistem desentralisasi (gedecentraliseerde

eenheidsstaat), dimana kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan

kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah).17

b. Susunan negara Federasi

Federasi berasal dari bahasa latin foedus, yang berarti perjanjian atau

persetujuan. Dalam federasi atau negara serikat (federasi; bondstaat bundesstaat),

merupakan dua atau lebih kekuasaan politik yang sudah atau belum berstatus

negara berjanji untuk bersatu dalam suatu ikatan politik, ikatan mana akan

mewakili mereka secara keseluruhan, jadi merupakan suatu negara bagian

masing-masing yang tidak berdaulat. Yang berdaulat adalah persatuan negara

serikat.18

3. Sistem Pemerintahan

Sri Soemantri memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan sistem

hubungan antara eksekutif dan legislatif. Adanya dan tidak adanya hubungan

antara eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan

16
Ibid, hlm.144.
17
Ibid, hlm.144-145.
18
Ibid, hlm. 145.

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.19 Menurut Jimly Asshiddiqie

sistem pemerintahan berkaitan dengan regeringsdaad penyelenggaraan

pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Sistem

pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga

macam yaitu: (i) sistem pemerintahan presidensil (presidential system); (ii) sistem

parlementer (parliamentary system); dan (iii) sistem campuran (mixed system atau

hybrid system).20

Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada

jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan (head of goverment), sekaligus

sebagai kepala negara (head of state). Dalam sistem parlementer, jabatan kepala

negara (head of satate) dan kepala pemerintahan (head of government) itu

dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Kedua jabatan itu pada hakikatnya,

sama-sama merupakan cabang kekuasaan eksekutif.21C.F. Strong dalam Jimly

Asshiddiqie membedakan kedua jabatan eksekutif ini antara pengertian nominal

executive dan real executive. Kepala negara disebut oleh C.F. Strong sebagai

nominal executive, sedangkan kepala pemerintahan disebutnya real executive.

Sementara itu, dalam sistem campuran, unsur-unsur kedua sistem itu

tercampur di mana ciri-ciri kedua sistem tersebut diatas sama-sama dianut. Oleh

karena itu, kedua sistem pemerintahan tersebut pada pokonya dibedakan atas

dasar kriteria:

19
Ibid, hlm. 148.
20
Jimly Asshidiqie, Op.Cit, hlm.311.
21
Ibid.

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1) ada tidaknya perbedaan antara real executive dan nominal executive
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
2) ada tidaknya hubungan pertanggungjawaban amtara cabang eksekutif dan
cabang legislatif.22
a. Sistem Pemerintahan Presidensil

Pemerintahan sistem presidensiil adalah suatu pemerintahan dimana

kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat,

kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen.23 Dalam

sistem pemerintahan presidensil terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat

universal, yaitu:

1). Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan


eksekutif dan legislatif;
2). Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden
tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3). Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya,
kepala negara adalah kepala pemerintahan;
4). Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai
bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;
5). Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan
demikian pula sebaliknya;
6). Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen;
7). Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka
dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu,
pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi;
8). Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;
9). Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem
parlementer yang terpusat pada parlemen.24

22
Ibid, hlm.312.
23
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit hlm.151.
24
Jimly Asshiddiqie, Op.cit. hlm.316.

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem Parlementer merupakan sistem pemerinthan dimana hubungan

anatara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan

adanya pertanggungjawaban para menteri terhadap parlemen. Kebijakan

pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh

parlemen.25 Dalam berbagai sistem pemerintahan parlementer yang dipraktikkan

itu, selalu terdapat sejumlah prinsip pokok yaitu:

1). Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni


terpisahkan;
2). Fungsi eksekutif dibagi kedalam dua bagian, yaitu seperti yang
diistilahkan oleh C.F. Strong diatas antara “the real executive” pada kepala
pemerintahan dan “the nominal executive” pada kepala negara;
3). Kepala pemerintahan diangkat oleh Kepala Negara;
4). Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan
institusi yang bersifat kolektif;
5). Menteri adalah atau biasanya merupakan anggota parlemen;
6). Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, tidak kepada rakyat
pemilih. Karena, pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung,
sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat pemilih juga bersifat tidak
langsung yaitu melalui parlemen;
7). Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara
untuk membubarkan parlemen;
8). Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen
dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan;
9). Sistem kekuasaan negara terpusat pada parlemen.26

3. Sistem Pemerintahan Campuran

Sistem pemerintahan quasi pada hakikatnya merupakan bentuk variasi dari

sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini

disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk bentuk-

25
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit. hlm.149.
26
Jimly Asshiddiqie, hlm 315-316

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bentuk semuanya.27 Dalam berbagai literatur sistem ini disebut juga sebagai

hybrid system. Dilingkungan negara-negara yang menganut sistem campuran ini,

ada yang lebih menonjol sifat presidensilnya, sehingga dapat dinamakan quasi

presidensil, sedangkan yang lebih menonjol parlementernya sehingga lebih tepat

disebut quasi parlementer.28

4. Demokrasi dan Nomokrasi

Secara etimologis, kata demokrasi dari bahasa Yunani merupakan

bentukan dari dua kata demos yaitu rakyat dan cratein atau cratos (kekuasaan dan

kedaulatan). Perpaduan kata demos dan cratein atau cratos membentuk kata

demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai bentuk pemerintahan rakyat

(goverment of the people) dimana kekuasaan tertinggi terletak ditangan rakyat dan

dilakukan secara langsung oleh rakyat atau melalui para wakil mereka melalui

mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas.29

Sedangkan Nomokrasi secara etimologi berasal dari kata nomos yang

berarti norma dan cratos atau cratein yang berarti kekuasaan/kedaulatan.

Nomokrasi diartikan sebuah sistem dimana norma atau hukum berdaulat dalam

suatu negara. Berjalannya demokrasi di dalam bingkai nomokrasi dapat dikatakan

sebagai demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional diberikan landasan

normatif oleh Friedrich Julius Stahl dalam bentuk unsur-unsur dari rechstaat,

dalam arti klasik meliputi hak-hak manusia, pemisahan atau pembagian

27
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, hlm.153.
28
Jimly ashiddiqie, Op.Cit, hlm 319.
29
A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi, dan
Pencegahan Korupsi, Jakarta : Kencana, 2015, hlm. 81.

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan dan peradilan

administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan menurut A.V.Dicey memberikan landasan normatif demokrasi

konstitusional dalam bentuk unsur-unsur dari rule of law dalam arti klasik

meliputi supermasi aturan-aturan hukum, kedudukan yang sama dihadapan hukum

atau equality before the law, dan terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-

undang serta keputusan pengadilan. Menurut Miriam Budiarjo, diantara sekian

banyak aliran pikiran yang dinamakan demokrasi, ada dua kelompok aliran yang

paling penting, salah satunya adalah demokrasi konstitusional. Ciri khas dari

demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis

adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak

sewenang-wenang terhadap warga negaranya. 30

Perkembangan konsep negara demokrasi, oleh International Commission

of Jurist dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965, menetapkan Pemilu

merupakan salah satu syarata dasar terselenggaranya pemerintah demokratis.

Demokrasi yang dikemukan dalam konferensi ini adalah demokrasi berdasarkan

perwakilan (representative democracy), dimana wakil-wakil rakyat dipilih melalui

Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Menurut Sri Soemantri, bahwa seluruh Konstitusi yang pernah berlaku di

Indonesia (UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950) menganut demokrasi

Pancasila, karena ketiga konstitusi tersebut menjadikan Pancasila sebagai dasar

30
Topo Santoso dan Ida Budhiati, Pemilu di Indonesia Kelembagaan Pelaksanaan dan
Pengawasan, Jakarta : Sinar Grafika, 2019, hlm. 5.

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


negara, sehingga secara materiil berarti demokrasi yang dianut juga demokrasi

Pancasila.31

5. Perubahan Konstitusi

Sistem ketatanegaraan modern mengisyaratkan dua model perubahan

konstitusi, yaitu renewal (pembaruan) dan amendemen (perubahan). Renewal

adalah sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan konstitusi konstitusi

secara keseluruhan, sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru

secara keseluruhan.32

Sedangkan amendemen adalah perubahan konstitusi yang apabila suatu

konstitusi diubah, konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, perubahan

pada model amandemen tidak terjadi secara keseluruhan bagian dalam konstitusi

asli sehingga hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang

menyertai konstitusi awal. Negara yang menganut sistem ini adalah Amerika

termasuk Indonesia dengan pengalaman empat tahap melakukan amandemen

UUD.33

6. Partai Politik

Menurut Carl J. Friedrich, Parpol (Political Party) adalah “a group of

human beings, stably organized with the objectives of securing or maintaning for

its leader the control of a government, with the further objective of giving to

members of the party, through such control ideal and material benefits and

31
Sulardi, Op.Cit, hlm.39.
32
A. Ubaedillah, Op.cit, hlm.114-115.
33
Ibid.

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


advantages”34. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Partai Politik (Parpol)

merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya

mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini

adalah memperoleh kekuasaan politik dalam merebut kedudukan politik, biasanya

dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.35

7. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia

Seiiring dengan Amendemen UUD 1945, tentunya mempengaruhi

pengaturan kekuasaan dan pengisian jabatan presidena di Indonesia, adapun

perubahan kekuasaan presiden sebelum dan setelah perubahan UUD 1945

menurut Sulardi antara lain :

1). Semula Presiden dipilih oleh MPR (Pasal 6 UUD 1945), menjadi dipilih
oleh rakyat secara langsung (Pasal 6A UUD Negara RI tahun 1945);
2). Semula Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
Pasal 5 ayat (1), menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-
undang (Pasal 5 ayat (1));
3). Mekanisme pemberhentian Presiden pada masa jabatannya diatur dalam
pasal 7A dan 7B UUD Negara RI tahun 1945, sebelumnya tidak diatur
dalam UUD 1945, cara-cara ini lebih accountable dan fair;
4). Beberapa kekuasaan presiden yang semula tanpa persetujuan DPR,
menjadi dengan persetujuan DPR;
5). Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR. 36

Pengisian jabatan Presiden sebelum amandemen UUD 1945 diatur dalam

Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Menurut

Harun Alrasid dari ketentuan tersebut dapat diketahui tiga hal:

34
Kuswanto, Konstitusionalitas Penyederhanaan Partai Politik, Malang : Setara Press, 2016, hlm.
57.
35
Ibid.
36
Sulardi, Op.cit, hlm. 9.

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1). Jabatan Presiden diisi dengan pemilihan;
2). Sistem yang dipakai ialah sistem pemilihan tidak langsung, rakyat
memilih dahulu wakil-wakilnya yang akan duduk dalam suatu badan, yaitu
MPR. Kemudian barulah badan ini melakukan pemilihan presiden. Majelis
itu bukan merupakan badan ad hoc, melainkan badan tetap yang selain
memilih presiden dan wakil presiden, juga masih memiliki kewenangan
lain, yaitu menetapkan undang-undang dasar, menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN), dan mengubah undang-undang dasar.
3). Pengambilan keputusan dilakukan dengan menggunakan azas suara
terbanyak. Dengan kata lain, melalui pemungutan suara. Ini berarti, pembuat
UUD 1945 mengantisipasi lebih dari satu orang calon presiden. Yang
terpilih ialah calon yang mendapat suara terbanyak, maksudnya suara
terbanyak mutlak.37

Setelah amendemen UDD 1945, terjadi perubahan, Pasal 6A UUD NRI

Tahun 1945 yang menyatakan :

(1). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
(2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.
(3). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden.
(4). Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan
pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
(5). Tata cara pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih
lanjut diatur dalam undang-undang.

37
Harun Alrasid, Op.cit, hlm. 28-29

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


F. Metode Penelitian

1. Pengertian Penelitian Hukum

Penelitian hukum terdiri dari dua kata, yakni “penelitian” dan “hukum”.

Asal kata “penelitian” adalah “teliti” yang berarti suatu tindakan yang penuh

kehati-hatian dan kecermatan. Sementara, “hukum” diartikan sangat beragam

sesuai dengan sudut padang masing-masing aliran filsafat hukum. Objek kajian

ilmu hukum sesungguhnya adalah norma dan bukan sikap prilaku manusia.38

Dengan demikian, penelitian hukum atau legal “legal research” berarti

penemuan kembali secara teliti dan cermat bahan hukum atau data hukum untuk

memecahkan permasalahan hukum, karena sebelum penulisan proposal, skripsi,

tesis disertasi dan lain-lain, bahan-bahan hukum itu sudah ada diberbagai tempat

baik di perpustakaan maupun di lapangan.39

2. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode penelitian

hukum normatif yang meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek

penelitiannya adalah norma hukum. Penelitian hukum normatif berfungsi untuk

memberi argumentasi yuridis ketika terjadi kekosongan, kekaburan dan konflik

norma. Dan berperan untuk mempertahankan aspek kritis dari keilmuan

hukumnya.40

38
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum,
Jakarta : Kencana, 2016, hlm.1.
39
Ibid
40
Ibid

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Sumber data dan metode pengumpulan data

Data yang disajikan dalam skripsi ini diambil dari data sekunder, antara

lain :

a) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang

mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer

dalam tulisan ini diantaranya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950,

UUD NRI 1945, UU No.7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante

dan Anggota DPR yang menjadi dasar hukum Pemilu tahun 1955,

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS)

No.XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukkan Wakil Presiden dan

Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, Tap MPRS No.

XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara

dari Presiden Soekarno, Tap MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang

Pengakatan Pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden

Republik Indonesia, Tap MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara

Pemilihan Presiden dan Wapres Republik Indonesia, UU No.3/1999 tentang

Pemilu yang menjadi dasar Pemilu 1999, TAP MPR No.VI/MPR/1999

tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wapres Republik

Indonesia, UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

yang digunakan dalam Pilpres 2004, UU No.42/2008 Tentang Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden yang digunakan dalam Pilpres Tahun 2009,

UU No.7/2017 tentang Pemilu yang digunakan dalam Pilpres 2019, UU

No.2/2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


No.2/2011 tentang Perubahan atas UU No.2/2008, Peraturan perundang-

undangan lain, serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.56/PUU-

VI/2008, No.51-52-59/PUU-VI/2008 dan No.14/PUU-XI/2013 tentang Uji

Materi UU No.42/2008, Putusan MK No.53/PUU-XV/2017 tentang Uji

Materi UU No. 7/2017.

b) Bahan hukum sekunder, dokumen yang merupakan informasi, atau kajian

yang berkaitan dengan sistem pemerintahan negara, sistem Pemerintahan

Presidensil, Pemilihan Presiden, seperti: jurnal-jurnal hukum, karya tulis

ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan

di atas.

c) Bahan hukum tersier yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah

dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus dan

ensiklopedia. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut

dengan data sekunder.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan Bab Pendahuluan. Bab ini akan membahas

mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II : Bab ini akan membahas mengenai pengaturan Pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden sebelum perubahan UUD 1945 yang terdiri

dari dasar hukum pemilihan, syarat jabatan dan masa jabatan.

BAB III: Bab ini akan membahas mengenai pengaturan Pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden setelah perubahan UUD 1945 yang terdiri dari

dasar hukum pemilihan, syarat jabatan dan pasangan calon serta

hasil pemilihan.

BAB IV: Bab ini akan membahas mengenai peran Partai Politik dan

permasalahan yang dialami Partai Politik dalam pelaksanaan

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.

BAB V : Bab ini merupakan Bab penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran

mengenai pembahasan yang telah dikemukakan.

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

PENGATURAN PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

SEBELUM AMENDEMEN UUD 1945

A. Periodisasi Konstitusi Indonesia

Sejak Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus sampai sekarang,

Republik Indonesia telah memiliki beberapa naskah Undang-undang dasar sebagai

dokumen hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Jimly

Asshidiqie membagi enam Periodisasi tahap perkembangan Konstitusi Indonesia,

yaitu :41

1. Republik pertama berlaku UUD 1945, tanggal 18 Agustus 1945 –


27 Desember 1949;
2. Republik kedua berlaku UUD RIS, tanggal 27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950;
3. Republik ketiga berlaku UUD Sementara 1950, tanggal 17 Agustus
– 5 Juli 1959;
4. Republik Keempat kembali kepada UUD 1945, tanggal 5 Juli 1959
– 19 Oktober 1999;
5. Konstitusi Peralihan, tanggal 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002;
6. Republik kelima pasca perubahan UUD 1945, tanggal 10 Agustus
2002 – sekarang.

Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim,42 dan Achmad Ubaedillah membagi


empat perjalanan sejarah konstitusi Indonesia, antara lain:
1. UUD 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945 – 27
Desember 1949;

41
Jimly Asshidiqie, Op.Cit, hlm.73.
42
Mohammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti,
2017, hlm.86.

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Konstitusi RIS yang masa berlakunya 27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950;
3. UUD Sementara 1950 yang masa berlakunya sejak 17 Agustus 1950
– 5 Juli 1959;
4. UUD 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi
pertama Indonesia dengan masa berlakunya sejak Dekrit Presiden 5 Juli
1959 – sekarang, dan telah mengalami perubahan empat tahap sejak
tahun 1999 – 2002.43
Periodisasi tahap perkembangan konstitusi di Indonesia tentunya

mempengaruhi pengaturan hukum mengenai Pilpres di Indonesia, sebelum

amendemen konstitusi dilakukan telah ada lima periodesasi konstitusi yang

pernah berlaku di Inonesia. Untuk melihat perbedaan pengaturan hukum

mengenai Pilpres di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945, akan dijabarkan

berdasarkan Periode berlakunya konstitusi di Indonesia.

Negara Indonesia sejak tahun 1945 mempunyai tujuh Presiden, yakni ; Ir

Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati

Soekarnopoetri, Susilo Bambang Yudhono, dan Joko Widodo. Ketujuh presiden

tersebut ternyata cara pemilihannya dilakukan dengan cara-cara yang berbeda dan

dasar hukum yang tidak sama sesuai dengan konstitusi dan undang-undang, atau

peraturan teknis lainnya yang berlaku di periode masing-masing.

B. Periode Pertama

Sebagai negara demokrasi, Indonesia sejak awal-awal kemerdekaan telah

mengupayakan terselenggaranya Pemilu, yang merupakan ciri negara demokrasi.

43
A.Ubaedillah, Op.Cit, hlm.114.

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Rencana untuk mengadakan Pemilu nasional sudah diumumkan pada 5 Oktober

1945 dan pada tahun 1946 diadakan Pemilu di karesidenan Kediri dan Surakarta.44

Agar terselenggara Pemilu, maka dibentuklah sebuah lembaga yang

bertugas menyelenggarakan Pemilu. Lembaga tersebut didirikan untuk mengisi

keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP ialah badan

perwakilan rakyat pertama yang dimiliki Indonesia sejak kemerdekaan. KNIP

dibentuk atas dasar Maklumat Wakil Presiden No.X tertanggal 16 Oktober 1945.

Pada tahun 1948, Badan Pekerja KNIP menyetujui UU No.27/1948 yang

mengatur mengenai Susunan DPR. Selain mengatur tentang susunan keanggotaan

DPR, juga mengatur penentuan daerah pemilihan, asas pemilihan dan

penghitungan hasil pemilihan.45

Pemilu yang telah direncanakan tidak jadi diselenggarakan, karena kondisi

politik nasional tidak kondusif dan tengah menghadapi revolusi fisik. Sehingga

KNIP mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembaruan

Susunan KNIP, menjadi undang-undang, yakni UU No.12/1946 tentang

Pembaruan Susunan KNIP. Dalam undang-undang ini bahwa akan dibentuk badan

penyelenggara pemilihan dari pusat sampai daerah.46

Masa yang bermula dengan saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17

Agustus 1945 sampai kepada saat berlakunya Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia, yang ditetapkan oleh MPR menurut Mr. Assat ialah masa peralihan.

44
Topo Santoso dan Ida Budhiati, Op.Cit, hlm.15.
45
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan sistem Pemilihan Umum di Indonesia:
Teori, Konsep dan Isu Strategis, Jakarta:PT RajaGrafindo, 201, hlm.108.
46
Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila,
Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999, hlm.221.

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Selama masa peralihan, Pemilihan Presiden terjadi dua kali, pertama kali tanggal

18 Agustus 1945, kedua kali tanggal 16 Desember 1949.47

1. Dasar Hukum

Soal pengisian jabatan presiden diatur dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945,

yang bunyinya : “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak”. Namun, prakteknya Pada

sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus

1945, atas usul Otto Iskandardinata, Soekarno dipilih sebagai presiden secara

aklamasi dan jabatan Wapres diduduki oleh Muhammad Hatta, hal ini berdasar

pada Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945 yang berbunyi: “Untuk pertama kali

Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Kemerdekaan Indonesia”.

Jadi, tidak melalui pemilihan dengan mengadakan pemungutan suara, karena

terdapat calon tunggal.48

Kedudukan sebagai Presiden yang dipilih oleh PPKI ini hanya bertahan

selama empat tahun. Pada saat terjadi perubahan negara Indonesia dari negara

kesatuan menjadi negara serikat dari tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan

17 Agustus 1950.

47
Harun Alrasid, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam hukum positif di Indonesia,
Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997, hlm. 24.
48
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1999, hlm. 29.

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Syarat Jabatan

Pada masa Periode Konstitusi Pertama, syarat jabatan presiden diatur dalam

pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden ialah orang Indonesia

asli”. Nyatalah bahwa pembuat UUD 1945 hanya menetapkan dua syarat :49

1. Presiden adalah orang Indonesia. Dengan menggunakan tafsir


gramatikal, maksudnya presiden ialah warga negara Indonesia.
2. Presiden ialah orang Indonesia asli, maksudnya ialah presiden harus
termasuk golongan Indonesia asli. Syarat ini menunjuk pada politik ras-
diskriminasi pemerintah kolonial Belanda yang mengadakan perbedaan
antara golongan Eropa (Europeanen), golongan timur asing (Vreemde
Oosterlingen), dan golongan bumi putera (Inlander), suatu azas
penggolongan penduduk yang bersarang dalam pasal 163 Indische
Staatsregeling. Jadi asli disini bukan dalam arti tidak melalui
naturalisasi.
3. Masa Jabatan
Pada masa Periode Pertama Konstitusi, pengaturan masa jabatan presiden

dijumpai dalam pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden dan Wakil Presiden

memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih

kembali”. Setelah PPKI memilih Ir. Soekarno sebagai presiden Republik

Indonesia yang pertama pada 18 Agustus 1945, beliau terus memegang jabatan

presiden sampai terbentuknya negara federal Republik Indonesia Serikat pada

tanggal 27 Desember 1949. Antisipasi pembuat UUD 1945 dengan membuat

ketentuan Aturan Tambahan, dalam waktu enam bulan setelah berakhirnya Perang

Asia Timur Raya (Perang Dunia II), segala ketentuan UUD 1945 sudah dapat

dilaksanakan ternyata merupakan wishful thiking (angan-angan). Situasi politik

49
Ibid, hlm.36

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


setelah proklamasi kemerdekaan tidak memungkinkan dilangsungkannya pemilu

karena ditengah masa revolusi fisik.50

C. Periode Kedua

Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, Republik Indonesia

bergabung dalam negara Federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan

sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya dua konstitusi secara

bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945.

Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Sokarno telah menyerahkan secara resmi

kekuasaan pemerintahan RI kepada Assat sebagai Pemangku Jabatan Presiden. 51

Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal

terdiri atas seorang Presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral

College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat

tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, Presiden bersumpah dihadapan Dewan

Pemilih.52Lembaga Kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat

pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke

bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan

Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia

menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. 53

50
Ibid, hlm.54
51
Indarja, Perkembangan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Jurnal Masalah-
Masalah Hukum Jilid 47 No.1, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2018, hlm.
65.
52
Ibid, hlm.66.
53
Ibid.

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Konstitusi RIS diubah menjadi UUDS berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun

1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan

secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden

Republik Indonesia.54

1. Dasar Hukum

Pada masa Republik kedua yang berlandaskan Konstitusi RIS, soal

pemilihan presiden diatur dalam pasal 69 ayat (2) yang berbunyi: “Beliau dipilih

oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang

tersebut dalam Pasal 2. Dalam memilih presiden, orang-orang dikuasakan itu

berusaha mencapai kata sepakat”.

Menurut Harun Alrasid, dari ketentuan tersebut nyatalah bahwa sistem

pemilihan yang digunakan tidak dilakukan oleh rakyat, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Pemilihan dilakukan oleh sebuah badan yang terdiri atas

orang-orang yang mendapat mandat dari pemerintah daerah-daerah bagian. Badan

ini bersifat ad hoc, yang berarti tugasnya memilih presiden. Setelah tugasnya

selesai badan itu bubar. Pada pemilihan Presiden yang kedua kali itu (16

Desember 1949), Ir. Soekarno juga terpilih secara aklamasi. Jadi, presiden calon

tunggal terulang kembali.55

Pemilihan presiden seperti yang diatur dalam pasal 69 ayat (2) itu bersifat

einmalig atau sekali terjadi karena dalam pasal 72 ayat (2) dikatakan bahwa

pemilihan presiden baru, yaitu dalam hal presiden berhalangan tetap, atau

54
Ibid.
55
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, hlm.30.

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


meninggal dunia atau meletakkan jabatanya, akan diatur dengan undang-undang

federal. Sedangkan untuk pemilihan selanjutnya, yaitu diluar ketiga kemungkinan

tersebut di atas, akan diatur oleh konstituante yang selekasnya akan membuat

undang-undang baru. Dalam prakteknya ternyata baik undang-undang federal

maupun konstituante tidak pernah terbentuk.56

2. Syarat Jabatan

Dalam konstitusi RIS 1949, persyaratan Capres tercantum dalam Pasal 69

ayat (3) yang berbunyi “Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30

tahun, beliau tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau

menjalankan hak pilih atau orang –orang yang telah dicabut haknya untuk

dipilih”.

Nyatalah bahwa syarat golongan penduduk sudah ditinggalkan, karena tidak

lagi terdapat kata “asli”. Dari ketentuan konstitusi RIS tersebut menunjukkan

bahwa kata “asli” telah dihilangkan dan secara eksplisit juga tidak menyebutkan

WNI. namun dari frasa “tidak boleh yang tidak diperkenankan serta dalam atau

menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk memilih”

menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah WNI, karena menurut Pasal 22

Konstitusi RIS 1949 yang punya hak pilih hanyalah WNI. Selain itu, terdapat

syarat umur, yaitu presiden harus berumur minimal 30 tahun. Juga ada syarat

tambahan yang berkaitan dengan pemilihan umum.

56
Ibid.

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Masa Jabatan

Pada masa Republik Kedua, Konstitusi RIS tidak mengatur soal masa

jabatan presiden dan menyerahkannya kepada Konstituante yang baru akan

dibentuk. Soekarno yang memangku jabatan presiden RIS mulai 27 Desember

1949, terus memangku jabatannya sampai berakhirnya masa federal pada 17

Agustus 1950.57

D. Periode Ketiga

Rencana pelaksanaan Pemilu baru mendekati kenyataan setelah Presiden

Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tertanggal 7

November 1953 tentang Pembentukan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). PPI

dilantik dan diangkat sumpahnya oleh kepala negara pada tanggal 28 November

1953. Upaya ini kemudian dilanjutkan pada Kabinet Wilopo, yang berhasil

merumuskan dan mensahkan UU No.7/1953 tentang Pemilihan Anggota

Konstituante dan Anggota DPR, yang menjadi dasar hukum Pemilu 1955.

Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya UUDS 1950. Dari

segi materi, UUDS 1950 ini merupakan perpaduan antara Konstitusi RIS milik

negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan UUD 1945 yang disahkan oleh

PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19

Mei 1950. Lembaga Kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik.

Tokoh yang memangku jabatan Presiden pada periode ini merupakan hasil

persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 (Penjelasan Konstitusi), sedangkan

57
Harun Alrasid, Op.Cit, hlm.54.

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tokoh Wapres untuk pertama kalinya diangkat oleh Presiden dari tokoh yang

diajukan oleh DPR, Pasal 45 ayat (4) UUDS 1950 menyatakan bahwa: “Untuk

pertama kali Wakil-Presiden diangkat oleh Presiden dari andjuran jang

dimadjukan oleh Dewan Perwakilan Rakjat” . Dari hal-hal tersebut jelas bahwa

lembaga kepresidenan (Presiden dan Wapres) hanya bersifat sementara seiring

pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan lembaga

kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat.58

Dalam perjalanannya jabatan wapres mengalami kekosongan per 1

Desember 1956 karena wakil Presiden Mohammad Hatta mengundurkan diri.

Aturan Pasal 45 ayat (4) UUDS 1950 tidak lagi dapat digunakan untuk mengisi

lowongan tersebut, karena ketentuan ini hanya berlaku untuk pengisian jabatan

Wakil Presiden yang pertama kali, dan hal ini sudah dilaksanakan ketika

Mohammad Hatta diangkat sebagai Wakil Presiden, sedangkan konstitusi tetap

maupun Undang-Undang pemilihan Presiden dan wakil Presiden belum ada. Pada

1958, Presiden sempat berhalangan dan digantikan oleh pejabat Presiden.

Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis berakhir seiring munculnya dekrit

Presiden 5 Juli 1959 dan digantikan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD

1945 yang diberlakukan kembali.

1. Dasar Hukum

Pada masa Republik Ketiga (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), yang

berlandaskan UUDS 1950, Indonesia menjadi negara kesatuan berdasarkan pada

UUDS tahun 1950, Ir. Soekarno tetap memangku jabatan presiden berdasarkan
58
Indarja, Op.Cit, hlm.66.

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 141 ayat (3) UUDS 1950

menyatakan bahwa “Alat-alat perlengkapan berkuasa jang sudah ada dan

peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan jang berlaku pada saat suatu

perubahan dalam Undang-undang Dasar mulai berlaku, dilandjutkan sampai

diganti dengan jang lain menurut Undang-undang Dasar, ketjuali djika

melandjutkannja itu berlawanan dengan ketentuan-ketentuan baru dalam

Undang-undang Dasar jang tidak memerlukan peraturan undang-undang atau

tindakan-tindakan penglaksanaan jang lebih landjut”. Soal pemilihan presiden

didelegasikan oleh pembuat undang-undang dasar kepada pembuat undang-

undang seperti yang tertuang dalam pasal 45 ayat (3) UUDS 1950 yang berbunyi:

“Presiden dan wakil presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan

undang-undang”. Hanya saja kedudukan presiden pada periode ini hanya sebagai

kepala negara, kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri. Pada masa

ini sistem pemerintahan menggunakan sistem parlementer.

Dalam prakteknya, menurut A.K Pringgodigdo, undang-undang yang

mengatur Pemilihan Presiden yang diamanatkan oleh Pasal 45 ayat (3) UUDS

1950 tersebut tidak pernah dapat diwujudkan, maka berdasarkan piagam

persetujuan antara pemerintah RI dan pemerintah RIS tanggal 19 Mei 1950

disepakati bahwa Presiden Negara kesatuan RI ialah Presiden Soekarno yang

ternyata sesuai dengan ketentuan Pasal 141 UUDS 1950 yang antara lain

menentukan bahwa pejabat-pejabat yang sudah ada sebelum UUD RIS diubah,

akan tetap memegang jabatannya sampai diganti yang lain menurut UUD baru

dan itulah sebabnya tidak ada pemilihan Presiden saat berlakunya UUDS 1950.

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Presiden sebagai unsur kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan menurut

Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat dan UUDS 1950 berbeda

dengan kedudukan presiden menurut UUD 1945. Dalam Konstitusi Sementara

Republik Indonesia Serikat Presiden berkedudukan sebagai nominal executive,

sedang real executive ada dalam pengkuan kabinet.59

Soal pengaturan pemilihan presiden didelegasikan oleh pembuat undang-

undang dasar kepada pembuat undang-undang biasa, seperti ternyata dalam pasal

45 ayat (3) berbunyi: “Presiden dan wakil presiden dipilih menurut aturan yang

ditetapkan dengan undang-undang”.

Namun, sampai berakhirnya masa Republik Ketiga, undang-undang yang

dimaksud tidak pernah terbentuk. Demikian pula Konstituante hasil Pemilu 1955,

tidak berhasil membentuk undang-undang dasar baru yang diharapkan akan

mengatur soal pemilihan presiden. Badan tersebut dibubarkan oleh Presiden

Soekarno sebelum tugasnya selesai.

2. Syarat Jabatan

Dalam UUDS 1950, persyaratan Presiden dan Wapres tercantum dalam

Pasal 45 ayat (5) yang berbunyi “Presiden dan wakil Presiden harus warga

Negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang yang tidak

diperkenankan serta dalam suatu menjalankan hak pilih ataupun orang yang

telah dicabut haknya untuk dipilih “. Istilah “orang” telah diganti dengan “warga

negara” dan syarat umum tetap dipertahankan. Selain itu, seperti juga halnya

59
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, 1997, hlm. 2-3.

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan Konstitusi RIS, ditambah dengan syarat memiliki hak pilih aktif dan hak

pilih pasif seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum.

Ketentuan dalam UUDS 1950 nampaknya sudah lebih jelas, yaitu bahwa

persyaratan tersebut berlaku untuk Presiden dan Wakil Presiden, syarat harus

WNI, usia sudah 30 tahun, dan mempunyai hak pilih (hak memilih dan hak untuk

dipilih).

3. Masa Jabatan

Pada masa Republik Ketiga, pembuat UUD 1950 tidak mengatur soal masa

jabatan presiden. Soekarno yang berdasarkan ketentuan peralihan terus memegang

jabatan presiden, tidak perlu melepaskan jabatannya sampai konstituante

membentuk undang-undang dasar yang tetap dan dilakukan pemilihan presiden

baru. Konstituante itu memang berhasil dibentuk, tetapi telah dibubarkan sebelum

selesai tugasnya melalui dekrit Presiden Soekarno.

E. Periode Keempat

Ketika UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden

tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian diikuti dengan pembentukan MPR Sementara

(MPRS). MPRS melalui ketetapan No.III/MPRS/1963 tanggal 18 Mei 1963 telah

menetapkan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, yang berarti

menyimpangi ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 bahwa masa jabatan Presiden ada

lima tahun.

Menurut Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, Presiden dipilih oleh MPR. Namun,

pasal tersebut belum bisa diterapkan, karena MPR hasil Pemilu belum terbentuk.

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hal ini merupakan berkat yang tersembunyi (blessing in disguise), andai kata

pemilu diadakan pada masa Orde Lama (Orla), kemungkinan besar MPR akan

didominasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), karena Masyumi dan Partai

Sosialis Indonesia (PSI) telah dibubarkan, sedangkan Partai Nasional Indonesia

sudah retak. Situasi politik berubah setelah perebutan kekuasaan (kudeta) yang

dilakukan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 mengalami kegagalan.

Peristiwa ini merupakan the beginning of the end bagi Presiden Soekarno yang

tidak mengambil sikap tegas terhadap PKI. Untuk menyelesaikan situasi konflik

antara kekuatan Orde lama dan kekuatan Orde baru.60

1. Dasar Hukum

MPRS yang anggotanya telah diganti dengan langkah pemurnian

keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam UU No.4/1966 bahwa

sebelum terbentuknya MPR yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan

tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilu

terbentuk. Terbentuklah susunan MPRS baru dengan diketuai oleh

Dr.A.H.Nasution.61

MPRS mengadakan Sidang umum IV dari 20 Juni sampai dengan 5 Juli

1966, dalam sidang ini telah dikeluarkan, antara lain ketetapan MPRS

No.XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukkan Wakil Presiden dan Tata

Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.62 Pasal 3 ketetapan MPRS tersebut

berbunyi: “Dalam hal terjadi yang disebut dalam pasal 8 Undang-undang Dasar

60
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, hlm.31.
61
Indarja, Op.Cit, hlm.66.
62
Ibid.

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1945, maka MPRS segera memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai

dengan terbentuknya MPR hasil Pemilihan Umum.” Sedangkan Pasal 8 UUD

1945 berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai

habis waktunya”. Namun ketentuan Pasal 8 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan

karena sesudah Wapres Mohammad Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember

1956 atau masa berakhirnya dwitunggal, jabatan wakil presiden menjadi lowong

dan tidak pernah diisi lagi selama kepemimpinan Presiden Soekarno, sehingga

ketika Presiden Soekarno dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS, tidak

ada Wakil Presiden yang dapat menggantikannya sesuai ketentuan Pasal 8 UUD

1945.

Seperti diketahui bahwa sejak tahun 1956 tidak ada Wakil Presiden, maka

MPRS melalui Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang

Pemilihan/Penunjukan Wapres dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden

telah menetapkan, Pasal 1 berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara tidak mengadakan pemilihan Wakil Presiden”, Pasal 2 ayat (1) dan (2)

masing-masing menyatakan “Apabila Presiden berhalangan, maka Pemegang

Surat Perintah 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden” dan

“Pemanfaatannya dilakukan dengan didampingi oleh Pimpinan MPRS dan

Pimpinan DPR-GR”, dan Pasal 3 yang berbunyi “Dalam hal terjadi keadaan

yang disebut dalam Pasal 8 UUD NRI 1945 maka MPRS segera memilih pejabat

Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil Pemilihan

Umum”. Sedangkan ketetapan MPRS No.III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, dicabut dengan Ketetapan MPRS

No.XVIII/MPRS/1966.

MPRS yang pembentukannya menyalahi ketentuan pasal IV Aturan

Peralihan UUD 1945, ternyata menjadi bumerang bagi Presiden Soekarno. Dalam

Sidang Istimewa MPRS yang dilaksanakan pada tanggal 7-12 Maret 1967

dikeluarkan ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan

Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.63 Pasal 4 ketetapan MPRS

tersebut berbunyi: “Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (Sementara) NO.XV/MPRS/1966, dan mengangkat

Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 sebagai

pejabat presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945 hingga dipilihnya presiden oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.”

Berakhirlah era Presiden Soekarno sebagai Presiden pertama Republik

Indonesia dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yang memangku jabatan

presiden secara terus-menerus sejak 18 Agustus 1945 sampai dengan 21 Februari

1967, sehingga Presiden Soekarno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia

dalam jangka waktu 21 tahun 6 bulan 3 hari. Dalam sidang umum MPRS V

(terakhir) yang berlangsung dari 21 sampai dengan 27 Maret 1968, dengan

Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, kedudukan hukum Jenderal Soeharto

diubah dari pejabat Presiden menjadi presiden penuh.

Pemilu dalam era Orde Baru pertama kali diadakan pada tanggal 5 juli

1971 dan MPR hasil Pemilu baru terbentuk pada tahun 1973. Sesuai dengan
63
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, hlm.32.

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ketentuan mekanisme pemilihan Presiden dan Wapres pada era Orde Baru adalah

mengacu kepada ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum mengalami

perubahan, yaitu dipilih secara tidak langsung, dalam hal ini dipilih oleh MPR

dengan suara terbanyak, maka MPR melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1973

menjabarkan mekanisme pemilihan di MPR tersebut sebagai berikut:

1) Pilpres dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR yang khusus untuk


itu dengan Korum minimal 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota MPR .
Jika korum belum terpenuhi, rapat ditunda sampai ditunda tiga kali
berturut-turut setiap satu jam. Apabila belum juga tercapai korum,
ditunda lagi dalam waktu 2 X 24 jam, namun jika belum juga tercapai
korum. korum menjadi minimal lebih dari separuh jumlah anggota
MPR dan jika belum juga terpenuhi korum dimaksud. Pimpinan MPR
wajib mencari jalan keluarnya untuk diajukan ke Rapat Paripurna
MPR. (Pasal 3 sampai Pasal 7);
2) Pemilihan dilakukan secara terpisah, yaitu lebih dahulu dilakukan
pemilihan Presiden, baru kemudian dilakukan pemilihan Wakil
Presiden (Pasal 8);
3) Calon Presiden diusulkan oleh Pimpinan Fraksi-fraksi MPR secara
tertulis kepada Pimpinan MPR dengan Persetujuan calon yang
bersangkutan (Pasal 9);
4) Penyampaian usulan calon Presiden dilakukan paling lambat 24
jam sebelum Rapat Paripurna dibuka dan kemudian diteliti
persyaratannya oleh Pimpinan MPR (Pasal 10);
5) Pimpinan MPR mengumumkan nama calon Presiden yang telah
memenuhi persyaratan kepada Rapat Paripurna MPR (Pasal 11);
6) Calon yang bersangkutan melalui fraksi pengusul dapat menarik
kembali pengusulannya (Pasal 12);
7) Apabila calon yang diusulkan oleh fraksi-fraksi. pemilihan
dilakukan dengan pemungutan suara secara rahasia, namun jika hanya
ada satu calon. maka calon tersebut oleh Rapat Paripurna MPR
disahkan sebagai Presiden (Pasal 13);
8) Dalam hal dilakukan pemungutan suara. calon terpilih harus
didukung oleh minimal lebih dari separuh jumlah anggota MPR yang
hadir (Pasal 14). Apabila tidak ada calon yang memenuhinya, maka
dua orang calon dengan suara terbanyak berurutan dilakukan
pemungutan suara ulang (Pasal 15) dan apabila masih juga belum ada

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


calon memperoleh minimal lebih dari separuh, maka yang terpilih
adalah yang mendapatkan suara terbanyak dari keduanya (Pasal 16).
Jika keduanya memperoleh suara sama, dilakukan pemilihan ulang
(Pasal 17).64
MPR melakukan pemungutan suara untuk memilih Presiden dan Wakil

Presiden dan hasilnya Presiden Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden RI.

Selanjutnya Pemilu diadakan setiap lima tahun sekali, yaitu tahun 1977, tahun

1982, tahun 1987, tahun 1992, dan tahun 1997 dalam hal mana MPR hasil

Pemilu-pemilu tersebut juga memilih kembali Soeharto sebagai Presiden RI, yang

merupakan calon tunggal.

2. Syarat Jabatan

Yang patut dicatat dari Pilpres era Orde Baru adalah mengenai ketentuan

hukum yang mengaturnya sebagai penjabaran ketentuan Pasal 6 UUD 1945,

khususnya setelah Pemilu 1971, yaitu diterbitkannya Tap MPR No. II/MPR/1973

tentang Tata Cara Pilpres Republik Indonesia bertanggal 19 Maret 1973 yang

memuat antara lain:

1) Syarat-syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden;


2) Tata Cara Pemilihan Presiden;
3) Tata Cara Pemilihan Wakil Presiden.

Persyaratan yang harus dipenuhi calon presiden dan calon wakil presiden,

untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dibuat dalam

ketentuan hukum secara rinci, yang dapat dikelompokkan dalam tiga persyaratan,

yaitu persyaratan objektif yang dapat diukur, persyaratan subjektif yang tidak

64
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.II/MPR/1973 Tentang Tata Cara Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terukur, keduanya dinyatakan secara tertulis, dalam TAP MPR No.II/MPR/1973

yang menambahkan syarat jabatan presiden sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia;


b. Telah berusia 40 tahun;
c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan
Umum;
d. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
e. Setia kepada Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945;
f. Bersedia menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang
telah ditetapkan oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis;
g. Berwibawa;
h. Jujur;
i. Cakap;
j. Adil;
k. Dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam Majelis;
l. Tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam
setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945,
seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang lainnya;
m. Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan Keputusan Pengadilan
yang tidak dapat dirubah lagi karena tindak pidana yang di ancam
pidana sekurang-kurangnya 5 tahun;
n. Tidak terganggu jiwa/ingatannya. 65

Persyaratan-persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut diatas

dipakai untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 1973, 1978, 1983,

1988, 1993, dan 1998 yang baru mengalami revisi pada Pilpres tahun 1999 yang

65
Pasal 1 ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1973 Tahun 1973 Tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia.

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


nampaknya disesuaikan dengan semangat reformasi, yakni proses demokratisasi

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3. Masa Jabatan

Pada masa Republik keempat, yang kembali berlandaskan UUD 1945,

Presiden Soekarno tetap memangku jabatanya berdasrkan pasal II Aturan

Peralihan sampai terpilihnya presiden baru oleh MPR hasil Pemilu. Sementara itu

terjadi perubahan politik yang penting setelah PKI melancarkan perebutan

kekuasaan (kudeta) yang gagal pada 30 September 1965. Timbul Rezim Orde

Baru yang akhirnya berhasil meruntuhkan Rezim Orde Lama.

Selanjutnya berlaku ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan

sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dalam lima kali Pemilihan presiden pada

masa orde baru MPR hasil Pemilu orde baru terus menerus memilih Soeharto.

Berdasarkan Tap MPRS No.XI/MPRS/1966 yang mengamanatkan agar

Pemilu bisa diselenggarakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968 yang tercantum

dalam Pasal 1, juga ditetapkan perlu segera dibentuknya segenap perangkat

pelaksanaan Pemilu.66 Pada kenyataannya TAP MPRS No.XI/MPRS/1966 tidak

mungkin dijalankan, sebab undang-undang terkait Pemilu seperti undang-undang

Parpol, undang-undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD belum

66
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Op.Cit, hlm. 126.

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berhasil diselesaikan karena terjadinya perdebatan antara Pemerintah dan Militer

di satu sisi dengan partai-partai yang ada di Parlemen di sisi lain.67

Pada tahun 1968 MPRS mengeluarkan Tap MPRS XLII/MPRS/1968 yang

mengamanatkan Pemilu selambat-lambatnya pada 5 Juli 1971. Pengaturan lebih

lanjut tentang pelaksanaan Pemilu, lahirlah UU No.15/1969 tentang Pemilu

Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Dalam undang-

undang ini pelaksana Pemilu adalah Pemerintah dibawah pimpinan Presiden.

Presiden kemudian menetapkan pembentukan anggota Lembaga Pemilihan

Umum (LPU).

Golkar berhasil memenagkan Pemilu 1971 dengan suara terbanyak sebesar

62,82% suara. Melihat perolehan suara yang didapat Golkar sepanjang masa Orde

Baru, menempatkan Golkar sebagai pemilik kursi terbanyak di Parlemen.

Sehingga tidak mengherankan Presiden Soeharto selalu terpilih sebanyak lima

periode dan merupakan calon tunggal yang diusung fraksi-fraksi di MPR untuk

diangakat sebagai Presiden, berikut periodisasi Presiden Soeharto sebagai

Presiden :

1. Periode Pertama : 23 Maret 1973 – 23 Maret 1978


2. Periode Kedua : 23 Maret 1978 – 11 Maret 1983
3. Periode Ketiga : 11 Maret 1983 – 11 Maret 1988
4. Periode Keempat : 11 Maret 1988 – 11 Maret 1993
5. Periode Kelima : 11 Maret 1993 – Mei 1998.

Perlu dicatat bahwa dalam UUD 1945 terdapat kekosongan hukum

mengenai soal kapan masa jabatan presiden mulai dihitung. Hal ini diatasi oleh

67
Topo Santoso dan Ida Budhiati, Op.Cit, hlm.50.

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


MPR dengan jalan mengatur soal tersebut sekaligus didalam ketetapan mengenai

Pengangkatan Presiden. Yang terakhir ialah di dalam Tap MPR No.IV/MPR/1993

tanggal 10 Maret 1993 pasal 2 yang menyatakan bahwa masa jabatan Presiden

adalah lima tahun terhitung sejak diucapkannya sumpah atau janji di hadapan

Rapat Paripurna MPR, jadi tidak diatur secara tetap dalam sebuah ketetapan yang

tersendiri, tetaapi diatur secara berulang-ulang setiap lima tahun sekali.68

F. Periode Peralihan

Soeharto mengakhiri jabatannya sebagai Presiden RI. Setelah Soeharto

mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah Baharuddin Jusuf

Habibie sebagai Presiden yang sebelumnya menjabat sebagai wakil Presiden.

Pengalihan kekuasaan tersebut sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi

"Jika Presiden Mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya

dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil Presiden sampai habis

waktunya".

Masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie berlangsung dari tanggal 21 Mei

1998 sampai 20 Oktober 1999. Pengangkatan Habibie sebagai Presiden ini

memunculkan kontroversi di masyarakat. Pihak yang pro menganggap

pengangkatan Habibie sudah konstitusional, sedangkan pihak kontra menganggap

bahwa Habibie sebagai kelanjutan dari era Soeharto dan pengangkatannya

dianggap tidak konstitusional. Pada masa Pemerintahan Presiden Habibie terjadi

perubahan Ketetapan MPR. Untuk mengatasi krisis politik berkepanjangan, maka

68
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1999, hlm. 55-
56.

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diadakan sidang istimewa MPR yang berlangsung dari tanggal 10-13 November

1998.

1. Dasar Hukum

Pemilihan Presiden tahun 1999 berlangsung dibawah UUD 1945 sebelum

mengalami perubahan, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) masih

menjadi wewenang MPR untuk melaksanakannnya. dalam hal ini adalah MPR

hasil Pemilu Legislatif 1999. Sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres.

MPR menerbitkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara

Pencalonan dan Pemilihan Presiden tanggal 19 Oktober 1999 (selanjutnya disebut

Tap MPR No.VI/MPR/1999) untuk menggantikan Tap MPR No. II/MPR/1973.

2. Syarat Jabatan

Pada dasarnya persyaratan Capres dan Wapres yang diatur dalam Tap

MPR No. VI/MPR/1999 tidak banyak berbeda dengan ketentuan dalam Tap MPR

No. II/MPR/1973, hanya dengan penambahan syarat bahwa calon harus memiliki

visi kenegarawanan yang berdasar pada komitmen yang kuat terhadap persatuan

dan kesatuan bangsa dan melaporkan daftar seluruh kekayaannya.

Penambahan kedua syarat tersebut nampaknya didasarkan atas kondisi

politik saat itu yang rawan konflik dan terancam disintegrasi, serta komitmen

reformasi untuk memberantas segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(KKN). Selain itu adalah dihapuskannya syarat bahwa calon Presiden dan Wakil

Presdien harus dapat bekerja sama dan keharusan calon Wakil Presiden harus

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dimintakan persetujuan dulu dari Presiden Terpilih sebagaimana dipraktikkan

pada era Orde Baru.

Dalam ketentuan Tap MPR No. VI/MPR/ 1999, yang menyatakan

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara terpisah, sehingga

mekanisme pencalonannya juga dilakukan secara terpisah. Mekanisme

pencalonan dan Pemilihan Presiden tahun 1999 tidak jauh berbeda dengan diatur

dan dilaksanakan pada era Orde baru, kecuali ada penambahan dan perubahan

bahwa pencalonan selain dilakukan oleh Fraksi di MPR, juga dimungkinkannnya

sejumlah anggota MPR minimal tujuh puluh orang untuk mengajukan calon,

sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) Tap MPR No.VI/MPR/1999 yang menyatakan

“Calon Presiden dapat juga diajukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh orang

Anggota Majelis yang terdiri atas satu Fraksi atau lebih”. Selain itu juga

dihapuskan mekanisme konsultasi dengan Presiden terpilih sebelum dilakukan

pemilihan Wakil Presiden, yang sebelumnya diatur dalam Tap MPR

No.II/MPR/1973 pada Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan “Calon Wakil Presiden

selain memenuhi persyaratan yang ditentukan pada pasal 1 Ketetapan ini, harus

juga menyatakan sanggup dan dapat bekerja sama dengan Presiden”, dan Pasal

22 yang berbunyi “Calon Wakil Presiden diusulkan oleh Fraksi-fraksi secara

tertulis. dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis dengan persetujuan calon

yang bersangkutan untuk dicalonkan dan pernyataan tertulis tentang

kesanggupan bekerja sama dengan Presiden”.

Berbeda dengan era Orde Baru yang selalu hanya memunculkan calon

tunggal ( Soeharto), praktek ketatanegaraan tahun 1999 telah memunculkan tradisi

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


baru yaitu ada dua calon Presiden bersaing, yakni Abdurrahman Wahid dan

Megawati Soekarnoputri. Abdurrahman Wahid didukung oleh Poros Tengah,

koalisi partai partai politik Islam dan Nasionalis, sementara Megawati

Soekarnoputri didukung oleh PDI Perjuangan. Munculnya Abdurrahman Wahid

menjadi calon dari Poros Tengah sebagai pengganti BJ Habibie yang didukung

Poros Tengah tetapi tidak bersedia maju setelah laporan pertanggungjawabannya

ditolak oleh MPR-RI. Hal ini tidak terlepas dari hasil Pemilu 1999 yang diikuti

oleh 48 Parpol dan 20 Parpol berhasil mendapat kursi Parlemen, hal ini sesuai

dengan dasar hukum pelaksanaan Pemilu 1999 yaitu UU No2/1999 tentang Partai

Politik, UU No.3/1999 tentang Pemilu dan UU No.4/1999 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.69

Setelah melalui pemungutan suara secara tertutup yang dramatis dan

disiarkan langsung oleh berbagai stasiun TV, akhirnya Abdurrahman Wahid

memenangkan pemilihan. Abdurrahman Wahid memperoleh suara sebanyak 373,

sedangkan Megawati Soekarnoputri mendapat dukungan 313 suara. 70 Megawati

Soekarnoputri akhirnya dilantik menjadi Wapres setelah berhasil memenangkan

pemilihan tahap kedua yaitu pemilihan wapres saat menghadapi Hamza Haz,

Megawati memperoleh 396 suara sedangkan Hamzah Haz memperoleh 284

suara.71

69
Indarja, Op.Cit, hlm.67-68.
70
Ibid, hlm.68.
71
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Presiden_Indonesia_1999, diakses tanggal 2 Mei 2020.

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Masa Jabatan

Pada masa Konstitusi Peralihan, tetap berlaku ketentuan Pasal 7 UUD 1945.

Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan

berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,

kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu

menjabat sebagai wapres setelah mandat Abdurrahman Wahid dicabut oleh MPR,

hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UUD 1945.

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

PENGATURAN PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

SETELAH AMENDEMEN UUD 1945

A. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2004

Pemilu tahun 2004 merupakan Pemilu kedua di era reformasi. Pemilihan

ini berbeda dengan pemilu yang diadakan pada tahun 1999, sebab Komisi

Pemilihan Umum (KPU) dalam Pemilu tahun 2004 dijalankan secara independen

seperti yang termaktub dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.4/2000 tentang Perubahan

atas UU No.3/1999 tentang Pemilu yang berbunyi “Penyelenggaraan Pemilihan

Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan non

partai”.72

1. Dasar Hukum

Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan norma –

norma konstitusi. Oleh karena itu, agar tetap demokrasi dapat berputar sesuai

sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Pelaksanaan demokrasi

konstitusi terlihat dalam kegiatan pemilu, pembentukan aturan dan pelaksanaan

kewenangan lembaga negara.73Selanjutnya, untuk menyelenggarakan Pemilu

secara demokratis pada negara hukum ini, dibentuklah sebuah aturan atau undang-

undang yang mencakup segala hal mengenai persyaratan maupun tekhnis

72
Topo Santoso dan Ida Budiati, Op.Cit hlm, 181
73
Ahmad Farhan Subhi, Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai
Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Pilpres, Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jurnal Cita Hukum. Vol. 3 No. 2, 2015,
hlm.340-341.

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pelaksanaan pemilu, sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 pasal 6A ayat (5).

Dalam pilpres 2004, dibentuk UU No.23/2003 tentang Pilpres dan terdapat UU

No.31/2002 tentang Partai Politik serta UU No.12/2003 tentang Pemilu anggota

DPR, DPD dan DPRD sebagai dasar hukum pelaksanaan Pemilu tahun 2004.

Pasal 5 ayat (4) UU No.23/2003 tentang Pilpres, menyebutkan bahwa:

“Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan

oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-

kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh

persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR”.

Ketentuan besaran persentase ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres

dalam Pasal 5 ayat (4) UU No.23/2003 tersebut, tidak diterapkan untuk Pilpres

tahun 2004, karena ada Ketentuan Peralihan pada UU No.23/2003 yaitu Pasal

101, yang mengatur jumlah persentase ambang batas pencalonan Presiden dan

Wapres yang khusus digunakan pada Pilpres tahun 2004.

Pasal 101 UU No.23/2003, yang menyatakan bahwa “Khusus untuk

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 partai politik atau gabungan

partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota

DPR sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah kursi DPR atau 5% (lima

persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR

tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon”, dengan demikian ketentuan

Pasal 5 ayat (4) UU No.23/2003, tidak diterapkan dalam Pilpres tahun 2004.

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ketentuan Peralihan Pasal 101 UU 23/2003 tersebut, membuka peluang

besar bagi partai-partai politik yang mempunyai persentase kecil untuk

mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Adapun mekanisme

pencalonan presiden dan wakil presiden sesuai dengan yang ditentukan dalam

pasal 26 yaitu secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal

partai politik bersangkutan. Partai politik tersebut hanya dapat mencalonkan satu

Paslon sesuai dengan mekanisme internal partai politik dan/atau musyawarah

gabungan partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka melalui

kesepakatan.

Mekanisme koalisi partai politik dalam mengusung pasangan calon

presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam Pasal 26 UU No. 23/2003,

yang menentukan bahwa, Partai politik dapat melakukan kesepakatan dengan

partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan pasangan

calon sesuai dengan mekanisme internal partai politik dan/atau musyawarah

gabungan partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka serta partai

politik atau gabungan Partai Politik tersebut hanya dapat mencalonkan satu

pasangan calon.

2. Syarat Jabatan

Dalam UU No.23/2003 tentang Pilpres, ditentukan syarat yang harus

dipenuhi calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pasal 6 yang

menyatakan bahwa :

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;
c. tidak pernah mengkhianati negara;
d. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
e. bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
f. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan kekayaan penyelenggara negara;
g. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara;
h. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
i. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. terdaftar sebagai pemilih;
l. memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban
pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi;
m. memiliki daftar riwayat hidup;
n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali
masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o. setia kepada Pancasil a sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
p. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana makar
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
q. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;
r. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau yang sederajat;
s. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI;
t. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu


Sebanyak enam pasangan calon mendaftar ke KPU dari keenam pasangan

calon tersebut, pasangan Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim tidak

lolos karena berdasarkan tes kesehatan, Abdurrahman Wahid dinilai tidak

memenuhi kesehatan. Maka secara resmi, ada lima pasangan calon Presiden dan

Wakil Presiden dengan nomor urut dan partai pengusung, dan perolehan suara

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Paslon dalam table berikut ini :74

Nomor Pasangan Calon Parpol Perolehan Persentase


Urut Pengusung Suara
1 H. Wiranto, SH dan Partai Golongan Karya 26.286.788 22,15 %
Ir. H. Salahuddin (Golkar), Partai
Wahid (Wiranto- Persatuan Demokrasi
Salahuddin) Kebangsaan (PDK),
Partai Patriot Pancasila
(PP), dan Partai
Persatuan Nahdlatul
Ummah
Indonesia(PPNUI)
2 Hj. Megawati Partai Demokrasi 31.569.104 26,61%
Soekarno Putri dan Indonesia Perjuangan
K.H.Ahmad Hasyim (PDIP) dan Partai
Muzadi (Mega- Damai Sejahtera (PDS)
Hasyim)
3 Prof.Dr.H.M.Amien Partai Amanat 17.392.931 14,66%
Rais dan Nasional (PAN), Partai
Dr.Ir.H.Siswono Keadilan Sejahtera
Yudo Husodo (Amin- (PKS), Partai Bintang
Siswono) Reformasi (PBR),
Partai Nasional
Banteng Kemerdekaan
(PNBK), Partai
Nasional Indonesia
Marhaenisme (PNIM),
Partai Penegak
Demokrasi Indonesia
(PPDI), Partai Sarikat
Indonesia (PSI) dan
Partai Buruh Sosial
Demokrat (PBSD)
4 H.Susilo Bambang Partai Demokrat 39.838.184 33,57%
Yudhoyono dan (Demokrat), Partai
Drs.H.Muhammad Bulan Bintang (PBB),
Jusuf Kalla (SBY-JK) dan Partai Keadilan
dan Persatuan
Indonesia (PKPI)
5 Dr.H.Hamzah Haz Partai Persatuan 3.569.861 3,01%
dan H.Agum Pembangunan (PPP)
Gumelar, M.sc
(Hamzah-Agum)

74
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2004, diakses pada tanggal
8 Mei 2020.

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pemilu putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004, dan

diikuti oleh 5 paslon. Berdasarkan hasil pemilu yang diumumkan pada tanggal 26

Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar, 122.293.844 orang (79,76%)

menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 119.656.868 suara (97,84%)

dinyatakan sah, kelima pasangan tersebut tidak ada yang memenuhi ketentuan

yang terdapat didalam ketentuan pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945, maka berlaku

ketentuan pasal 6A ayat (4), maka diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang

diikuti oleh 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan

kedua, yakni Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim.

Pemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004 dan

diikuti oleh 2 paslon, dengan nomor urut dan partai politik pengusung serta

perolehan suara Paslon dalam tabel berikut ini:75

Nomor Paslon Parpol Pengusung Perolehan Persentase


Urut Suara
2 Mega-Hasyim PDIP, Golkar, PPP, 44.990.704 39,38%
PBR, PDS.
4 SBY-JK Demokrat, PKB, 69.266.350 60,62%
PKS, PAN, PBB,
PKPI

Berdasarkan hasil pemilu yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004,

dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%)

menggunakan hak pilihnya. Maka berdasarkan hasil pemilu, Paslon Susilo

Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden

75
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2004, diakses tanggal 8 Mei
2020.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan Wakil Presiden Indonesia terpilih. Pelantikannya diselenggarakan pada

tanggal 20 Oktober 2004 dalam Sidang Paripurna MPR.76

B. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2009

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009

diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode

2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Penyelenggaran

pemilu pada tahun 2009 memiliki persamaan dengan pemilu pada tahun 2004.

Yaitu diselenggarakan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Selain

badan penyelenggaraan pemilu tersebut, terdapat tambahan beberapa kepanitiaan

bersifat sementara (adhoc) yang ikut serta dalam menyelenggarakan pemilu, yaitu

Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk

tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

untuk di TPS. Untuk diluar negeri, dibentuk Panitia Pemungutan Luar Negeri

(PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri

(KPPSLN).77

1. Dasar Hukum

Landasan hukum pelaksanaan Pemilu 2009, terdiri dari empat Undang-

Undang yaitu, UU No.22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, UU

No.2/2008 tentang Partai Politik, UU No.10/2008 Tentang Pemilu Anggota DPR,

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD), dan UU No.42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

76
Ibid.
77
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Op.Cit, hlm.162.

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pengaturan mengenai penyelenggara Pemilu untuk Pemilu 2009 memuat

pengaturan yang memiliki perubahan penting dibandingkan dengan periode

sebelumnya. Apabila pada periode sebelumnya terdapat perubahan keanggotaan

KPU dari partai politik untuk Pemilu 1999 menjadi usulan presiden untuk

kemudian mendapat persetujuan DPR pada Pemilu 2004, ketentuan dalam UU

No.22/2007 mengubah metode rekrutmen anggota menjadi terbuka melalui oleh

Tim Seleksi. Perubahan lain yang penting pada periode ini adanya lembaga

pengawas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dalam konstruksi awal UU

No.22/2007 adalah bagian dari KPU sebelum kemudian menjadi lembaga

pengawas yang bersifat mandiri melalui Putusan MK No.11/PUU-VIII/2010 yang

memberikan penafsiran “mandiri” dan juga KPU yang kemudian memberikan

kedudukan yang setara bagi Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu.78

Pada tanggal 17 Februari 2009, MK mengeluarkan Putusan No.56/PUU-

VI/2008 atas uji materi UU No.42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden yang dimohonkan oleh Fadjroel Rachman, dkk. Materi Pasal yang diuji

adalah Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1), Pasal-pasal

tersebut mengatur mengenai tekhnis pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Terdapat ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat

(1) UU Pilpres yang apabila dibaca secara bersamaan dapat memberikan

pemahaman bahwa satu-satunya mekanisme atau jalur untuk menjadi Capres dan

Cawapres adalah melalui usulan Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu.

Dengan kata lain, hak untuk mengajukan Paslon Presiden dan Wapres adalah hak

78
Topo Santoso dan Ida Budhiati, Op.Cit, hlm189.

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


eksklusif partai peserta pemilu dan tidak diperkenankan atau tidak ada

kemungkinan sama sekali bagi Paslon Presiden dan Wapres perseorangan atau

independen di luar dari yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik

tersebut, dan yang diusulkan oleh organisasi non-partai.79

MK menolak secara keseluruhan permohonan Fadjroel Rachman dkk,

dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa Pasangan Calon

Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan didaftarkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan sebelum

pelaksanaan pemilu. Rumusan demikian menurut Mahkamah tidak diskriminatif

karena siapa saja yang memenuhi syarat demikian dapat diusulkan dan

didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menjadi

Presiden dan/atau Wakil Presiden tanpa harus menjadi Pengurus atau Anggota

Partai Politik. Lebih lanjut Mahkamah menyatakan bahwa untuk menjadi Presiden

atau Wakil Presiden adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi

sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945

sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A

UUD NRI 1945. Sedangkan dalam melaksanakan hak termaksud Pasal 6A ayat

(2) UUD NRI 1945 menentukan tata caranya yaitu harus diajukan oleh partai

politik atau gabungan partai politik dan rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI,

menurut Mahkamah tidak dapat ditafsirkan lain dan lebih luas. Terhadap putusan

tersebut, terdapat tiga hakim yang mempunyai alasan berbeda (dissenting

opinions) yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan dan M. Akil Mochtar,

79
Hanta Yuda A. R., Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke Kompromi, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama,2010, hlm 94.

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang pada pokoknya menyatakan perlu diakomodirnya calon Presiden dan Wakil

Presiden jalur non partai atau independen, karena merupakan hak konstitusional

setiap warga negara. 80

Ketentuan dalam Pasal 9 UU Pilpres, bahwa Paslon Presiden dan Wapres

diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu yang memenuhi

persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI

atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-

RI, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ini berarti bahwa

berdasarkan hukum positif Presidential Threshold di Indonesia sebesar 25 persen

suara sah nasional dari hasil pemilu legislatif atau 20 persen kursi parlemen yang

terpilih.

Apabila dibandingkan, ketentuan dalam UU No.23/2003 berkonsekuensi

terhadap hasil Pilpres 2004, dimana dari 24 partai politik yang lolos pada Pileg,

berdasarkan ketentuan 3% persentase ambang batas perolehan kursi di DPR atau

5% suara sah nasional dalam Pileg, didapatkan 5 Paslon presiden dan Wapres,

sementara itu berdasarkan ketentuan dalam UU No. 42/2008, diketahui bahwa

dari 38 partai politik peserta pemilu legislatif, 9 Parpol memperoleh kursi di DPR,

sementara itu diperoleh tiga Paslon Presiden dan Wapres. Ketentuan persentase

ambang batas perolehan kursi DPR 20% dan 25% suara sah nasional dalam Pileg

2009, membawa konsekuensi pengurangan jumlah Paslon Presiden dan Wapres

yang diusulkan oleh Parpol dan gabungannya. Mekanisme koalisi Parpol dalam

80
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 17 Februari 2009.

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengusung Paslon Presiden dan Wapres lebih lanjut diatur dalam Pasal 10 UU

No.42/2008, yang menentukan bahwa:

1.Dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai melalui mekanisme


internal Partai Politik bersangkutan;
2.Dapat dilakukan dengan kesepakatan antar Partai Politik lain untuk
melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon;
3.Partai politik atau Gabungan Partai Politik tersebut hanya dapat
mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal
Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan
secara demokratis dan terbuka;
4.Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam
satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak boleh
dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya.

2. Syarat Jabatan

Syarat yang harus dipenuhi oleh Capres dan Wapres didalam UU

No.42/2008 diatur dalam pasal 5, persyaratan menjadi Capres dan calon Wapres

adalah:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


b. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;
c. tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana
korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
d. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
e. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
f. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan kekayaan penyelenggara negara;
g. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara;
h. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
j. terdaftar sebagai Pemilih;
k. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan
kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan
dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi;

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


l. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua)
kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
m. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
n. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
o. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;
p. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
q. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI;
dan
r. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara
Republik Indonesia.

3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu

Pemilu presiden dan wapres tahun 2009 dilaksanakan pada tanggal 8 Juli

2009 dan diikuti tiga Paslon presiden dan wapres. Pemilu Presiden dan Wapres

tahun 2009 ini berlangsung hanya satu putaran saja, karena salah satu paslon

sudah memperoleh suara lebih dari 50%. Berikut ini Paslon presiden dan wapres

berdasarkan nomor urut dan Parpol pengusung serta perolehan suara Paslon dalam

tabel:81

Nom Paslon Parpol Pengusung Perolehan Persentase


or Suara
Urut
1 Mega-Prabowo PDIP, Partai Gerakan 32.548.105 26,79%
Subiyanto Indonesia Raya
(Gerindra)
2 SBY-Boediono Demokrat, PKS, PAN, 73.874.562 60,80%
PPP, PKB
3 JK-Wiranto Golkar, Partai Hati 15.081.814 12,41%
Nurani Rakyat (Hanura)

81
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2009, diakses tanggal 8 Mei
2020.

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada hari Sabtu, 25 Juli 2009, KPU menetapkan hasil rekapitulasi perolehan

suara nasional Pilpres 2009 yang telah diselenggarakan pada 22 - 23 Juli 2009.

Pasangan nomor urut dua Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono

memperoleh 73.874.562 atau dalam persentase sebesar 60.80% dari suara sah

nasional, dengan demikian sesuai pasal 6A ayat (3) UUDNRI 1945 pasangan

nomor urut dua dapat ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih,

namun Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati-Prabowo mengajukan

keberatan terhadap hasil rekapitulasi perolehan suara Pilpres 2009 yang telah

ditetapkan KPU ke Mahkamah Konstitusi masing-masing dengan perkara nomor

108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009. Pada tanggal 12 Agustus

2009, majelis hakim konstitusi membacakan putusannya, dimana dalam amar

putusan menyatakan bahwa permohonan ditolak seluruhnya. Putusan ini diambil

secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, tanpa dissenting opinion.82

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2009-2014 berlangsung

hari Selasa, 20 Oktober 2009 pukul 10.00 WIB di Gedung Nusantara, Senayan

dalam sidang Paripurna MPR. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono selaku

Presiden dan Wakil Presiden terpilih mengucapkan sumpah/janjinya di depan

Pimpinan dan Anggota MPR. Jumlah Anggota MPR yang hadir sejumlah 647

orang dari 692 orang.83

82
Ibid.
83
Ibid.

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


C. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2014

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014

dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil

Presiden Indonesia untuk masa bakti 2014-2019. Pemilihan ini menjadi pemilihan

presiden langsung ketiga di Indonesia. Presiden petahana Susilo Bambang

Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh

UUDNRI 1945 pasal 7 yang melarang periode ketiga untuk seorang Presiden,

menurut UU No.42/2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di

DPR atau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan kandidatnya.

Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi, tetapi pada

bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut tetap

berlaku. Pemilu ini akhirnya dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla

dengan memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo

Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan

keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014. Presiden dan Wakil Presiden terpilih

dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, menggantikan Susilo Bambang

Yudhoyono.

1. Dasar Hukum

Untuk penyelenggaraan Pemilu tahun 2014, terdapat beberapa perubahan

penting dibandingkan dengan periode sebelumnya, antara lain tekanan mengenai

KPU sebagai lembaga yang independen dan dapat mengurus rumah tangganya

sendiri yang ditunjukkan dalam jenjang pengaturan yang lebih hierarkis. Dalam

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hal pengawasan, terdapat pula perubahan pengaturan berupa penguatan Bawaslu

apabila dibandingkan dengan pengaturan dalam UU No.22/2007 tentang

Penyelenggaraan Pemilu yang kemudian dicabut dengan lahirnya UU No.15/2011

tentang Penyelenggaran Pemilu yang digunakan untuk pemilu 2014. Kemudian

pada aspek penegakan etika melalui UU No.15/2011 dibentuklah Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berdiri sendiri pada tahun 2012.

2. Syarat Jabatan

Syarat yang harus dipenuhi Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden

pada Pemilihan Presiden tahun 2014 sama dengan ketentuan syarat calon Presiden

dan Wakil Presiden pada pemilihan tahun 2009, karena dasar hukum Undang-

Undang yang digunakan sama yaitu UU No.42/2008 tentang Pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden.

3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu

Pemilu ini diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden

yaitu Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, serta pasangan

calon Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Pada tanggal

31 Mei 2014 KPU menetapkan 2 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, serta

melakukan pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014. Berikut adalah kandidat

resmi beserta nomor urutnya, Partai pengusung, seta perolehan suara Paslon yang

telah ditetapkan KPU dalam tabel:84

84
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014, diakses tanggal 9 Mei
2020

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Nomor Paslon Parpol Pengusung Perolehan Persentase
Urut Suara
1 Prabowo-Hatta Golkar, Gerindra, 62.576.444 46,85%
Rajasa PAN, PKS, PPP,
PBB,
2 Joko Widodo-JK PDIP, PKB, 70.997.833 53,15%
Nasdem, Hanura

Hasil resmi memperlihatkan kemenangan pasangan Jokowi - Jusuf Kalla,

sekaligus mengkonfirmasi beberapa lembaga yang mengadakan survei, exit poll,

dan quick count, serta kelompok-kelompok relawan yang membantu

penghitungan real count dengan angka kemenangan 53,15% dan Prabowo - Hatta

Rajasa sebesar 46,85%. Selain itu angka golput tercatat sebesar 30,42%.85

Kubu Prabowo-Hatta Rajasa mengajukan beberapa gugatan atas hasil

pemilihan ini, yaitu ke DKPP dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, koalisi merah

putih di DPR juga berencana meluncurkan pansus pilpres yang akan memanggil

KPU. Namun Kubu Prabowo-Hatta Rajasa membantah bahwa pansus ini

digunakan untuk membatalkan hasil pemilu, melainkan memperjuangkan

pelaksanaan Pemilu yang lebih baik pada masa depan. Selain itu juga ada rencana

mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah

Agung (MA) jika gugatan ke MK tidak dikabulkan. Gugatan ke MK dimasukkan

pada tanggal 25 Juli 2014 dengan klaim kemenangan seharusnya ada di pihak

Prabowo dengan 67.139.153 atau 50,25 persen suara dan 66.435.124 atau 49,75

persen suara untuk pasangan nomor urut 2. Pada tanggal 21 Agustus 2014, MK

memutuskan "menolak secara keseluruhan" seluruh gugatan tim hukum Prabowo -

85
Ibid

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hatta. Kubu Prabowo juga mendaftarkan gugatan kepada DKPP pada tanggal 1

Agustus 2014, dengan mempermasalahkan pembukaan kotak suara oleh KPU

pada 30 Juli 2014 sebelum keluarnya persetujuan MK. Namun Ketua DKPP,

Jimly Asshiddiqie menyatakan gugatan ini hanya terkait masalah etika individu di

KPU, sehingga tak akan mempengaruhi hasil pilpres.86

D. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2019

Sebelum pelaksanaan pemilu 2014, MK telah mengeluarkan Putusan

No.14/PUU-XI/2013 tentang uji materi Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1)

dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU No.42/2008 tentang Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden. Putusan MK tersebut mengamanatkan pelaksanaan

pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada pemilu 2019 dan pemilu seterusnya,

sehingga pada tahun 2019 Indonesia menyelenggarakan serentak antara pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu legislatif untuk memilih anggota

DPR,DPD,DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

1. Dasar Hukum

Pemilu yang sebelumnya pada 2004, 2009 dan 2014 dilaksanakan secara

dua kali yaitu pemilihan legsilatif dan pemilihan presiden, mengalami perubahan

pasca Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014. Putusan yang

diajukan oleh Effendi Gazali untuk penyelenggaraan pemilu serentak dikabulkan

sebagian oleh majelis hakim MK. 87 Majelis hakim konstitusi menyatakan Pasal 3

86
Ibid.
87
Muhammad Mukhtarrija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Agus Riwanto, Inefektifitas
Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ayat (5) UU No.42/2008 yang berbunyi “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan

DPRD”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK juga menyatakan Pasal

12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, tidak

memiliki kekuatan mengikat karena pasal-pasal tersebut merupakan prosedur

lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 maka seluruh pertimbangan mengenai

Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula

terhadap pasal-pasal tersebut.

Konsep pemilu serentak adalah suatu kebijakkan politik untuk melakukan

penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari

pelaksanaan pemungutan suara. Secara teori, konsep pemilihan umum serentak

berlaku pada negara yang menganut sistem presidensial. Berbeda dengan sistem

pemerintahan parlementer, di mana pemilu legislatif dengan sendirinya akan

menghasilkan pejabat eksekutif. Sebab partai politik atau koalisi partai politik

yang memenangi pemilu yang menguasai mayoritas kursi parlemen sehingga bisa

membentuk pemerintahan.88

Sejalan dengan amanat putusan MK No.14/PUU-XI/2013, DPR dan

Presiden mengesahkan UU No.7/2017 tentang Pemilu, dimana pemilu tahun 2019

akan diselenggarakan secara serentak. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal

167 Ayat (1) UU No.7/2017 berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan setiap 5

tahun sekali.” UU No.7/2017 terdiri atas 573 Pasal, penjelasan dan 4 lampiran.

Pemilihan Umum, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No.4 Vol.24, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2017, hlm.651.
88
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Op.Cit, hlm.248.

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ditegaskan dalam undang-undang ini, Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas

langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil. Jika dibandingkan dengan dasar

hukum untuk pemilu-pemilu sebelumnya, maka ada yang berbeda pada pemilu

2019 dimana UU No.7/2017 yang menjadi landasannya telah mencakup subtansi

dari tiga undang-undang yakni Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden, Undang-Undang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD,

serta Undang-Undang Penyelenggara Pemilu kedalam satu naskah secara

terkodifikasi menjadi UU No.7 tahun 2017.

2. Syarat Jabatan

Persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden diatur pada Pasal 169 UU

No.7 tahun 2017, yaitu :

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


b. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri;
c. suami atau istri calon Presiden dan suami atau istri calon Wakil Presiden
adalah Warga Negara Indonesia;
d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
e. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta bebas dari
penyalahgunaan narkotika;
f. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
g. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang
memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
h. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan
keuangan negara;
i. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD;
l. terdaftar sebagai Pemilih;

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


m. memiliki nomor pokok wajib pajak dan telah melaksanakan kewajiban
membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan
surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2
(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika;
p. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
r. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah
aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah
lain yang sederajat;
s. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung
dalam G.30.S/PKI; dan
t. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan
negara Republik Indonesia.

3. Pasangan Calon dan Hasil Pemilu

Pemilu Presiden Indonesia 2019 adalah sebuah proses demokrasi untuk

memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Pemilu ini dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dengan

perolehan suara 55,50%, diikuti oleh Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan

perolehan suara 44,50%. Berikut ini nomor urut resmi paslon, Partai pengusung

dan perelohan suara dalam tabel berikut ini:89

89
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2019, diakses tanggal 10
Mei 2020.

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Nomor Paslon Parpol Pengusung Perolehan Persentase
Urut
1 Jokowi- PDIP, Golkar, PKB, 85.607.362 55,5%
Ma’ruf Amin Nasdem, PPP, Hanura,
PKPI, PBB, Partai
Solidaritas Indonesia
(PSI), Perindo.
2 Prabowo- Gerindra, Demokrat, 68.650.239 44,5%
Sandiaga Uno PAN, PKS, Partai
Berkarya.

Hasil dari pemilu ini telah secara resmi diumumkan oleh KPU pada Selasa,

21 Mei 2019 dini hari. Namun hasil dari Pilpres ini tidak diterima oleh Badan

Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi karena dianggap penuh dengan

ketidakadilan, kecurangan, dan kesewenang-sewenangan. Prabowo-Sandi

mengajukan gugatan sengketa hasil Pilpres kepada MK.Pada Rabu 26 Juni 2019,

Majelis Hakim MK membacakan putusannya terhadap gugatan Perselisihan Hasil

Pemilu (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang diajukan oleh Paslon

Prabowo-Sandi. Dalam Amar Putusannya Majelis Hakim MK, menolak

keseluruhan permohonan Paslon Prabowo-Sandi dengan simpulan semua dalil

hukum tidak beralasan. Maka pada tanggal 20 Oktober 2019 Paslon Jokowi dan

Ma’ruf Amin resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia

periode 2019-2024.90

90
Ibid.

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

PENGATURAN PERAN PARTAI POLITIK DAN PERMASALAHANNYA

DALAM PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

A. Partai Politik dan Demokrasi

Parpol itu pada pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role)

yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Parpol biasa disebut

sebagai pilar demokrasi, karena memainkan peran yang penting sebagai

penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the

citizens). Bahkan menurut Schattscheider, “Political parties created democracy”,

partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu,

penting untuk diperkuat derajat perlembagaannya dalam sistem politik yang

demokratis.91

Menurut Miriam Budiardjo menyatakan bahwa adanya empat fungsi partai

politik meliputi: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik, (iii) sarana

rekruitmen politik, dan (iv) pengaturan konflik. Sedangkan menurut Yves Meny

dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan

integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap prilaku memilih, (iii) sarana

rekruitmen politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.

Sedangkan dalam UU No.2/2008 tentang Parpol sebagaimana telah diubah

dengan UU No.2/2011, ditentukan dengan jelas bahwa Parpol mempunyai fungsi

sebagai sarana:92

91
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta:
PT.Bhuana Ilmu Populer, 2008, hlm.710.
92
Pasal 11 ayat (1) UU No.2/2008 Tentang Partai Politik.

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.

Adapun tujuan didirikannya parpol diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU

No.2/2008 tentang Parpol sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.2/2011,

adalah sebagai berikut :

a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud


dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Disamping tujuan yang bersifat umum, parpol juga mempunyai tujuan

khusus. Tujuan khusus itu adalah untuk meningkat partisipasi politik anggota dan

masyarakat dalam rangka kegiatan politik dan pemerintahan, memperjuangkan

cita-cita parpol dan membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tujuan-tujuan parpol tersebut

diwujudkan secara konstitusional.93

Keempat fungsi Parpol yang disebutkan oleh Miriam Budiardjo tersebut

sama-sama terkait satu sama lain. Sebagai sarana komunikasi politik, partai

berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interest

articulation) atau political interest yang terdapat atau terkadang tersembunyi

dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai

politik, setelah itu kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga

diharapkan dapat mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan

kenegaraan yang resmi.

Disisi lain informasi juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengetahui

sejauh mana pemerintah dalam menjalankan fungsinya, dengan cara seperti apa

dan bagaimana capaian yang dikehendaki. Partai politik ini berada diantara

pemerintah dan masyarakat, sehingga sangat strategis posisinya dalam hubungan

ini. Dalam hubunga ini tentunya akan sangat tergantung di pihak mana partai

politik berada, apakah di pihak pemerintah ataukah oposisi, tentunya hal ini akan

mempengaruhi isi dari pemberian informasi yang diberikan kepada masyarakat

terkait dengan sudut pandang atau nilai-nilai yang diperjuangkan.94

Terkait fungsi sosialisasi politik, Sosialisasi politik ialah proses

pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat, melalui proses

sosialisasi politik inilah masyarakat mengetahuinya arti pentingnya politik beserta

93
Pasal 10 ayat (2) UU No.2/2008 tentang Partai Politik.
94
Imam Yudhi Prasetya, Pergeseran Peran Ideologi Dalam Partai Politik, Jurnal Ilmu Politik dan
Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.1, Tanjung Pinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji, 2011, hlm.34.

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


instumen-instumennya. Sosialisasi politik kemudian menghasilkan budaya politik

politik dalam bentuk perilaku politik yang tidak destruktif, mengutamakan

konsensus dibanding menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik,

mempunyai pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan atau membuat

keputusan yang kemudian perilaku seperti akan menjadi modal untuk pelaksanaan

demokrasi (kedewasaan demokrasi).95

Parpol berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik. Ide, visi dan

kebijakan strategis yang menjadi pilihan Parpol dimasyarakatkan kepada

konstituen untuk mendapatkan umpan balik (feedback) berupa dukungan dari

masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi poltik ini, partai juga sangat berperan

penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi struktur-antara

(intermediate structur) yang harus memainkan peran membumikan cita-cita

kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.

Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political

recruitment). Pembentukan partai memang dimaksudkan untuk menjadi

kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada

jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara

langsung oleh rakyat ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung

seperti oleh DPR atau melalui cara-cara tidak langsung lainnya. Tentu tidak

semua jabatan dapat diisi oleh peranan partai politik, partai hanya boleh terlibat

dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu pengangkatan

pejabatnya juga membutuhkan prosedur politik.

95
Ibid, hlm.33.

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari Parpol lah diharapakan ada proses kaderisasi pemimpin-pemimpin

ataupun individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk menjalankan

tugasnya dengan baik sesuai dengan jabatan yang mereka pegang. Dalam alam

demokrasi walaupun individu disini diberikan kesempatan sama untuk mencapai

derajat tertentu, untuk mendapatkan suatu hal tetapi ada aturan bagaimana cara

individu tersebut mencapai hal tersebut melalui undang-undang atau peraturan

yang ada. Dengan adanya partai politik maka individu-individu tadi akan lebih

mudah untuk mendapatkan keinginya di bidang politik, dalam artian walaupun

tanpa partai politikpun bisa mendapatkannya tetapi tentunya akan lebih sulit. 96

Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam

masyarakat, Parpol dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional

antara warga negara dengan pemerintahnya. Selain itu partai juga melakukan

konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di

berbagai kelompok masyarakat. Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat

yang bersifat heterogen, dari segi etnis, sosial-ekonomi ataupun agama. Disinilah

peran Parpol diperlukan untuk mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat

diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal

mungkin.97

Nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang tumbuh didalam masyarkat

sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu

sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka

ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang


96
Imam Yudhi Prasetya, Loc.Cit, hlm.33.
97
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008,
hlm.409.

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menawarkan ideologi, program dan alternatif kebijakan yang berbeda satu sama

lain. Sebagai pengatur atau pengelola konflik partai berperan sebagai sarana

agregasi kepentingan yang menyalurkan melalui saluran kelembagaan Parpol.

B. Perkembangan Partai Politik di Indonesia

Bangsa Indonesia, sesungguhnya telah akrab dengan kehidupan partai-

partai politik. Sebelum “Republik Indonesia” berdiri, Parpol telah berfungsi dan

berperanan tampil sebagai wadah perjuangan yang menggelorakan semangat

nasionalisme. Demikian pula halnya, setelah Proklamasi Kemerdekaan

keberadaan partai politik semakin marak dengan lahirnya banyak partai politik

sesuai maksud Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang menyatakan bahwa

pemerintah menyukai lahirnya partai-partai politik agar segala aliran paham yang

ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Meskipun demikian,

ternyata fungsi dan peranan partai politik mengalami dinamika atau pasang surut

sesuai perkembangan sistem politik lndonesia.98

Sejak keluar maklumat itu maka berdirilah partai-partai politik. Umumnya

partai-partai politik yang didirikan adalah kelanjutan dari organisasi-organisasi

sosial dan partai politik yang sudah dibentuk pada masa kekuasaan kolonial

Belanda dan kekuasaan pendudukan Jepang. Diantara partai politik yang berdiri

adalah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia

(PKI) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dalam pembentukan partai-partai

politik pengaruh ikatan primordial tampak jelas dalam pengoranisasian partai-

partai politik. Pengaruh ikatan-ikatan primordial seperti agama suku dan

98
A. Gau Kadir, Dinamika Partai Politik di Indonesia, Jurnal Sosiohumaniora, Volume 16 No. 2
Juli 2014: 132 -136, Makassar: Universitas Hasanuddin, 2014, hlm.134.

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kedaerahan semakin kentara dalam memengaruhi pengorganisasian partai politik.

Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mencari dukungan massa.99

Pada periode sistem politik Demokrasi Parlementer, partai politik

menunjukkan fungsi dan peranan yang kuat. Partai politik dan parlemen (DPR)

merupakan kerangka pokok mekanisme sistem politik. Stabilitas politik dan

pemerintahan sangat tergantung pada dukungan partai-partai politik dalam

parlemen. Sistem politik ini diterapkan dalam sistem multi partai. Betapa sulit

membangun pola-pola kerja sama (koalisi) antar partai-partai politik dalam

membentuk kabinet. Tidak ada satupun kabinet yang dapat menyelesaikan masa

tugasnya.100

Jatuh bangunnya kabinet, menunjukkan tidak stabilnya politik dan

pemerintahan pada masa itu. Itulah sebabnya, pada periode Demokrasi Terpimpin

muncul kebijaksanaan untuk menyederhanakan partai politik dengan mengurangi

jumlah partai politik melalui penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 tentang Syarat-

syarat Penyederhanaan Kepartaian. Di sini Maklumat Pemerintah 3 Nopember

1945 yang menganjurkan pendirian partaipartai politik tersebut dicabut. Meskipun

kebijakan itu disisi lain menyebabkan kekuasaan terpusat di tangan presiden yakni

Soekarno semua kekuasaan berada digenggamannya. Partai-partai politik tidak

99
Lili Romli, Masalah Kelembagaan Partai Politik Pasca di Indonesia Pasca Orde-Baru, Jurnal
Penelitian Politik Vol.5 No.1, Jakarta: Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), 2008, hlm.22.
100
A. Gau Kadir, Op.Cit, hlm.134.

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berfungsi bahkan jumlahnya dikurangi, dari 28 partai politik hanya tinggal 10

partai.101

Periode Demokrasi Terpimpin kemudian digantikan dengan Demokrasi

Pancasila dibawah Pemerintahan Orde Baru. Upaya penyederhanaan partai politik

berlangsung pula dalam masa sistem politik Demokrasi Pancasila. Pada awal

masa ini, terdapat sembilan partai politik yaitu; PNI, Partai Nahdlatul Ummah

(PNU), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) ,Partai Katolik, Partai Syarikat Islam

Indonesia (PSII), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak

(Murba), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan Golongan Karya (Golkar). 102

Tahun 1970 pemerintah menghimbau agar kesembilan partai politik itu

mengambil langkah-langkah nyata ke arah penyederhanaan sistem kepartaian.

Atas dasar himbauan tersebut tahun 1971 di DPR muncul kelompok “Persatuan

Pembangunan” yang merupakan wadah kerjasama partai-partai NU, Parmusi, PSII

dan Perti yang beraliran “Islam”. Juga muncul kelompok “Demokrasi

Pembangunan” sebagai tempat bernaung partai-partai PNI, Parkindo, Partai

Katolik, IPKI dan Partai Murba yang beraliran “nasional/demokrasi”. Kedua

kelompok ini selanjutnya melakukan fusi tahun 1973 sehingga lahir Partai PPP

sebagai fusi dari partai-partai politik Islam dan Partai PDI sebagai fusi dari

partaipartai politik nasional/demokrasi. Dengan demikian, tampil tiga organisasi

kekuatan sosial politik yakni PPP, Golkar dan PDI, sebagai infra struktur sistem

101
Ibid.
102
Ibid.

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


politik Demokrasi Pancasila di era orde baru. Hal ini diatur dalam UU No. 3/1975

tentang Partai Politik dan Golongan Karya.103

Pada era ini, fungsi dan peranan partai politik melemah. Hal ini antara lain

disebabkan diterapkannya sistem massa mengambang atau floating mass, dimana

UU No.3/1975 menyatakan bahwa Parpol tidak dibolehkan membentuk

kepengurusan di kecamatan dan desa. Hal ini tidak memungkinkan partai politik

melakukan kegiatan politik di pedesaan, dimana sebagian besar rakyat Indonesia

bermukim. Tetapi Golkar bisa melalui jalur birokrasi pedesaan, sehingga ia

mampu menampilkan fungsi dan peranan yang dominan.104

Pada masa reformasi banyak muncul partai politik, ditandai dengan

dikeluarkannya kebijakan pemerintahan interregnum B.J. Habibie untuk

menerapkan kembali sistem multipartai. Dengan kebijakan ini, euforia politik,

demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban partai

politik untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti ditetapkan

pada Undang-Undang Keormasan tahun 1985.105 Maka lahirlah UndangUndang

No. 2 tahun 1999 tentang partai politik memberikan peluang bagi seluruh warga

negara Republik Indonesia untuk membentuk partai politik. Hal ini dipandang

sejalan dengan pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul.

Tercatat ada 141 partai politik dan 48 diantaranya dinyatakan memenuhi syarat

untuk dapat mengikuti Pemilu tahun 1999. Tumbuhnya partai-partai politik baru,

maka pada pemilu legislatif tahun 1999 tampil 48 partai politik yang bersaing,
103
Ibid, hlm.135.
104
Ibid.
105
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Penerbit Kompas, 2002,
hlm.60.

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pemilu legislatif tahun 2004 tampil 24 partai politik. Jumlah partai politik peserta

pemilu turun 50% dari pemilu sebelumnya.106

Pada pemilu legislatif tahun 2009 naik lagi menjadi 38 partai politik

ditambah 6 partai politik lokal Aceh sebagai konsekuensi Undang-Undang

Keistimewaan Aceh, peserta pemilu yang bersaing dan pemilu legislatif 2014

tampil 12 partai politik ditambah 3 parpol lokal Aceh. Sedangkan pada pemilu

2019 tampil 16 partai politik sebagai peserta Pemilu ditambah 4 partai lokal Aceh.

Nampaknya sistem multi partai memungkinkan jumlah partai politik tidak stabil,

dimana partai politik baru bisa saja muncul dari adanya tuntutan perubahan dalam

masyarakat.

C. Permasalahan Partai Politik di Indonesia

Parpol di Indonesia masih mengalami masalah serius dari sisi institusi atau

kelembagaan dan pengaruh faktor eksternal kelembagaan. Dalam konteks ini

paling tidak ada tiga masalah terkait masalah kelembagaan Parpol. Ketiga masalah

tersebut yaitu ideologi dan platform serta rekrutmen dan kaderisasi partai politik

dan Pendanaan Parpol. Sedangkan faktor eksternal parpol adalah adanya

persyaratan ambang batas pengusungan calon presiden dan wapres atau

presidential treshold, yang kehadirannya telah menghilangkan hak konstitusional

parpol peserta pemilu. Problematika atau permasalahan parpol akan diuraikan

dibawah ini.

106
A.Gau Kadir, Op.Cit, hlm.135.

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1. Lemahnya Ideologi dan Platform Partai Politik

Ideologi memegang peranan penting dalam dunia perpolitikan karena

Ideologi merupakan ciri paling utama yang membedakan suatu partai dengan

partai lain karena setiap partai memiliki ideologi yang berbeda-beda. Ideologi

yang berasal dari dua kata idea yang berarti gagasan atau ide dan logos yang

berarti ilmu dapat diartikan secara istilah sebagai suatu sistem sebara ide,

kepercayaan (beliefs), yang membentuk sistem nilai dan norma serta sistem

peraturan (regulation) ideal yang diterima sebagai fakta dan kebenaran oleh

kelompok tertentu.107

Ideologi yang merupakan sistem nilai dan norma tentu masih bersifat

abstrak. Perlu ada penjabarannya lebih lanjut. Ideologi yang dianut oleh suatu

partai politik perlu diterjemahkan ke dalam hal-hal yang rill dan langsung

dirasakan oleh masyarakat. Dengan cara ini akan membantu masyarakat

memahami dan mengerti tentang ideologi yang dianut oleh suatu partai politik.

Cara untuk menerjemahkan ideologi yang dimiliki oleh suatu partai politik ke

dalam hal-hal yang riil dan konkret dirumuskan dalam bentuk platform partai

politik.

Platform partai berisikan panduan umum dan garis besar arah kebijakan

partai dalam kontribusinya terhadap permasalahan bangsa dan negara. Platform

partai memuat hal-hal penting dan mendasar yang digunakan sebagi acuan dasar

bagi penyusunan hal-hal yang harus dilakukan, seperti program kerja dan isu

politik. Platform partai merupakan cetak biru, dimana sistem nilai dan norma
107
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Op.Cit, hlm.185.

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(ideologi) diterjemahkan dan menjadi landasan bagi penyusunan hal-hal yang

bersifat lebih konkret.108

Persoalan yang muncul, ideologi yang dimiliki oleh masing-masing partai

politik tersebut belum dirumuskan dan diterjemahkan ke dalam bentuk yang riil

dan konkret. Umumnya partai partai politik yang ada masih terpaku pada ideologi

abstrak yang mereka anut tersebut, dan ideologi yang mereka miliki belum sampai

dikonkretkan dalam bentuk cetak biru (platform) berupa program dan kebijakan-

kebijakan yang riil. Kalaupun ada program dan kebijakan yang mereka rumuskan

itu masih tetap bersifat umum.

Memasuki dekade 1970-an hubungan ideologis anggota dengan partai

politik mulai luruh karena pertarungan ideologi di masyarakat mulai memudar.

Hal ini karena menguatnya korporatisasi negara atas partai politik. Pada masa

Orde Baru, Pemerintah memaksakan untuk menyederhanakan jumlah partai

dengan cara fusi. Pemerintah menentukan dua kluster Parpol, PPP mewakili partai

Islam dan PDI mewakili Partai Nasionalis, serta satu Golongan Karya. Tidak

hanya ideologi, Platform partai pun tidak luput dari upaya penyeragaman. Kondisi

seperti itu yang terjadi dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun membuat

ideologi partai menjadi luntur, ketika Orde Baru runtuh dan demokrasi yang

diwujudkan melalui Pemilu secara langsung dimulai, terlihat bagaimana Parpol

108
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm.119.

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mulai meniggalkan sekat-sekat Ideologi dalam menggalang dukungan sehingga

karakter partai berubah menjadi partai lintas kelompok, atau catch-all party.109

Kaburnya ideologi partai diakibatkan kuatnya iklim kompetisi antar partai

sehingga membuat parpol begitu mudahnya terjebak politik kartel. Menurut

Kuskridho, politik kartel adalah politik dimana partai dan aktivitasnya tidak lagi

mengusung kepentingan konstituen atau kepentingan publik, tetapi mengurus diri

sendiri dan politik menjadi profesi dalam dirinya. Ciri-ciri politik kartel adalah

partai tidak lagi mengusung atau mewakili segmen masyarakat tertentu yang

ekslusif tetapi mengutamakan program partai yang efektif, efisien dan pragmatis.

Firmanzah mendefinisikan Pragmatisme sebagai orientasi jangka pendek dari para

aktor politik untuk dapat memenagkan persaingan politik. Parpol lebih

mementingkan tujuan untuk berkuasa ketimbang apa saja yang akan dilakukan

setelah berkuasa.110

Melalui analisinya, Asep Nurjaman mengelompokkan ideologi parpol di

Indonesia kedalam empat kategori, yaitu partai yang berideologi Islam, partai

yang berideologi Nasionalisis Sekuler, Partai yang berideologi Nasionalis

Relegius, serta partai yang berideologi Kristen dalam tabel berikut ini: 111

109
Didik Supriyanto, Kebijakan Keuangan Partai Politik: Review Terhadap PP No. 5/2009 dalam
Rangka Penyusunan Peraturan Pemerintah Baru Berdasar UU No. 2/2011, Jurnal Pemilu dan
Demokrasi Vol.3, Jakarta: Perludem, 2012, hlm154.
110
Firmanzah, Op.Cit, hlm 22.
111
Imam Yudhi Prasetya, Op.Cit, hlm.37.

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


No Ideologi Partai Politik
1 Islam PBR, PPP, PPNUI, PKS, PBB
2 Nasionalis Relegius PKB, PAN, Partai Serikat Indonesia, Golkar,
Partai Karya Peduli Bangsa, PKPI, Patrai
Patriot Pancasila, Demokrat, Partai Persatuan
Daerah, Partai Merdeka, Partai Indonesia
Baru, Partai Persatuan Demokrasi
Kebangsaan.
3 Nasionalis Sekuler PDIP, PNBK, Partai Pelopor, PNI
Marhaenisme, PPDI, PBSD.
4 Kristen PDS

Berdasarkan penggolongan ideologi menurut Asep Nurjaman, ideologi

Islam digunakan ketika suatu partai menggunakan istilah-istilah Islam dalam

anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (AD/ART), sedangkan

nasionalisme religius walaupun tidak menyebutkan Islam secara eksplisit tetapi

dalam AD/ARTmencantumkan nilai-nilai agama dan moral. Sedangkan

Nasionalis Sekuler, ketika AD/ART tidak menyebutkan istilah-istilah Islam,

moral, nilai-nilai ajaran agama. Dan terakhir Kristen ketika di dalam AD/ART-

nya secara eksplisit mencantumkan nilai-nilai, istilah atau ajaran-ajaran dalam

Agama Kristen.112

1.1 Dampak lemahnya Ideologi dan Platform Parpol terhadap Pilpres di

Indonesia

Lemahnya Ideologi dan Platform Parpol di Indonesia dapat dilihat dari

aktivitas Parpol pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, saat pembentukan

koalisi Parpol untuk mengusung Paslon Presiden dan Wakil Presiden terlihat

adanya koalisi Parpol yang berideologi berbeda namun berada dalam satua koalisi

Parpol pengusung.
112
Ibid.

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada Pilpres 2004 masing-masing Paslon Presiden dan Wakil Presiden

sama-sama diusung perpaduan antara Parpol yang berideologi Nasionalis Sekuler

dengan Islam. Pada putaran kedua, Paslon Megawati dan Hasyim Muzadi yang

diusung terdiri dari lima partai, yaitu PDIP, PDS, Golkar, PPP, PBR. PDIP yang

merupakan partai Nasionalis Sekuler berhasil mengajak bergabung PPP dan PBR

yang notabene merupakan Partai berideologi Islam. Koalisi kebangsaan ini dinilai

aneh karena Ideologi PDIP, PDS, dan Golkar jarak ideologinya berbeda jauh

dengan PPP dan PBR. Bahkan sebelum dilaksanakannya Pemilu, PPP menyatakan

sikap untuk menolak perempuan untuk menjadi Presiden. Namun, ketika PDIP

meminang Hasyim Muzadi untuk bergabung membentuk kabinet baru, PPP malah

menerimanya.113

Tidak jauh berbeda dengan Koalisi Kebangsaan, Kubu SBY dan JK yang

dinamai dengan Koalisi Kerakyatan juga tidak memetingkan Ideologi ketika

merekrut anggotanya. Dalam Koalisi tersebut tergabung Partai Demokrat dan

PKPI yang berideologi Nasionalis dengan PKB dan PKS yang berideologi Islam.

Dari koalisi yang mengikuti putaran kedua Pilpres pada 2004 dapat disimpulkan

bahwa kedua koalisi tersebut tidak menjadikan ideologi sebagai dasar

pembentukan koalisi. 114

Pada Pilpres 2009 yang diikuti oleh 3 pasangan calon, yaitu Megawati-

Prabowo Subianto, SBY Boediono, dan JK-Wiranto. Jika dilihat dari komposisi

partai pendukungnya, maka bisa dinilai bahwa kesamaan Ideologi belum

113
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Op.Cit, hlm.194.
114
Ibid, hlm.195.

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dijadikan sebagai dasar pemberian dukungan. Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden ini dimenangkan oleh Pasangan SBY-Boediono. Koalisi yang dibangun

oleh pemerintahan SBY jilid II ini ternyata dalam perjalanannya juga menuai

masalah. PKS yang notabene dari awal menyatakan diri sebagai bagian koalisi

malahan sering sekali tampil seperti oposisi. Banyak sekali perbedaan pendapat

antara PKS dengan anggota Koalisi yang lain. Mulai dari masalah kenaikan harga

Bahan Bakar Minyak hingga masalah Bantuan Lansung Sementara Masyarakat. 115

Pada Pilpres 2014 koalisi partai lintas Ideologi juga terjadi. Parpol

mainstream berideologi Islam seperti PKS, PPP, dan PBB memilih berkoalisi

bersama Golkar, Gerindra, dan PAN yang berideologi Nasionalis Relegius untuk

mengusung Paslon Prabowo-Hatta. Sedangkan disisi lain Paslon Jokowi-JK juga

diusung oleh Parpol lintas Ideologi, yaitu PDIP bersama PKB, Hanura dan

Nasdem.

Sedangkan pada tahun 2019 dengan calon Presiden yang sama dengan

masing-masing calon Wakil Presiden yang baru, yaitu Paslon Prabowo-Sandi

diusung oleh Parpol Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS. Dipihak Jokowi-Amin

diusung Parpol PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, dan PKPI, berkoalisi dengan PPP,

PBB, dan PKB. Koalisi Parpol lintas Ideologi masih terjadi pada Pemilu 2019.

115
Ibid, hlm.195-196.

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Lemahnya Sistem Rekrutmen, Pola Kaderisasi dan Krisis Pendanaan

Partai Politik

Dalam setiap organisasi anggota merupakan sumber dukungan utama.

Dalam organisasi politik peran anggota signifikan karena para anggota ini akan

berperan sebagai juru bicara untuk menyuarakan dan menyebarluaskan platform

dan program partai kepada masyarakat. Selain itu, anggota merupakan sumber

kaderisasi yang dapat melahirkan calon-calon pemimpin partai politik dan

jabatan-jabatan politik yang akan diraih hasil dari Pemilu. Untuk mengisi

keanggotaan tersebut partai politik melakukan rekrutmen anggota. Parpol yang

baik tentu memiliki sistem rekrutmen yang baik. Sistem rekrutmen itu mencakup

pola seleksi penjenjangan dan pendidikan bagi para anggotanya. Dengan demikian

tidak sembarangan seseorang dapat secara otomatis memperoleh keanggotaan

tanpa melalui seleksi terlebih dahulu.

Sebagai sarana dalam melaksanakan rekrutmen politik, partai politik

memiliki kewajiban dalam beberapa hal: (1) Menyiapkan kader-kader pimpinan

politik; (2) Selanjutnya melakukan seleksi terhadap kader-kader yang

dipersiapkan; serta (3) Perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas,

berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari

masyarakat pada jabatan-jabatan politik yang bersifat strategis. Makin besar andil

parpol dalam memperjuangkan dan berhasil memanfaatkan posisi tawarnya untuk

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memenangkan perjuangan dalam ketiga hal tersebut, merupakan indikasi bahwa

peran Parpol sebagai sarana rekrutmen politik berjalan secara efektif.116

Selain rekrutmen anggota, partai politik yang melembaga dengan baik akan

melakukan kaderisasi dan pendidikan politik bagi anggota-anggotanya secara

terus menerus. Tujuan dari kaderisasi dan pendidikan politik untuk meningkatkan

kualitas anggota sehingga nantinya mereka (para anggota) mampu menghadapi

persoalan dan tantangan yang selalu berkembang dalam kehidupan politik

masyarakat bangsa dan negara.

Persoalan yang umumnya muncul pada partai-partai politik saat ini adalah

kurang melembaganya proses rekrutmen anggota. Pola seleksi, penjenjangan, dan

pendidikan bagi para anggota kurang dilakukan secara lebih memadai. Memang

ada beberapa partai politik yang sudah melakukan seperti itu, namun sebagian

partai politik yang lain belum melakukan secara melembaga. Fenomena

munculnya “kader instan”, ketidaksiapan parpol dalam mengajukan calon anggota

legislatif atau eksekutif, semua itu menunjukkan bahwa partai politik belum

melakukan pola rekrutmen secara sistematik dan ajeg. 117

Jika ditelusuri lebih dalam, maka akan menemukan garis merah antara

lunturnya ideologi Parpol dengan permasalahan lemahnya sistem rekrutmen dan

pola kaderisasi Parpol. Idealnya, jika sistem rekrutmen dan pola kaderisasi

116
Bijah Subijanto, Penguatan Peran Partai Politik dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat,
diunduh pada tanggal 7 Juni 2020 di
https://bappenas.go.id/files/2513/4986/1926/bijah__20091015142354__2381__0.pdf
117
Lili Romli, Masalah Kelembagaan Partai Politik Pasca di Indonesia Pasca Orde-Baru, Jurnal
Penelitian Politik Vol.5 No.1, Jakarta: Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), 2008, hlm.29.

88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dilakukan dengan baik oleh setiap Parpol maka tidak akan ditemukannya lagi

fenomena berpindahnya kader Parpol dari satu partai ke partai lain. Fenomena

tersebut telah menunjukkan Parpol telah mengalami disfungsi dalam rekrutmen

politik dan pola kaderisasi dan gagal dalam menanamkan ideologi partai pada

kadernya.118

Muhadam Labolo mengajukan hipotesis bahwa “kemalasan” Parpol dalam

mengembangkan sistem rekrutmen dan pola kaderisasi yang handal dikarenakan

terbenturnya partai dalam hal finansial. Dapat dipahami bahwa saat ini Parpol

cenderung sulit untuk mengumpulkan dana yang berasal dari iuran anggotanya.

Akibatnya Parpol telah berubah dari organisasi politik yang berperan dalam

melakukan rekrutmen politik untuk kemudian mengkaderkan para calon politisi

yang handal berubah menjadi agen penyedia “tiket” bagi orang-orang berduit

untuk dapat menjadi para pejabat politik dalam waktu singkat.119

2.1. Dampak Lemahnya Sistem Rekrutmen, Pola Kaderisasi dan Krisis

Pendanaan Partai Politik terhadap Pilpres di Indonesia

Dampak lemahnya sistem rekrutmen dan pola kaderisasi serta krisis

pendanaan Parpol terhadap Pilpres adalah gagalnya Parpol menyiapkan kader-

kader terbaiknya untuk dicalonkan sebagai Capres dan Cawapres, hal ini dapat

dilihat dari beberapa perhelatan Pilpres yang telah dilaksanakan Capres maupun

Cawapres masih didominasi oleh elit-elit Parpol dan penyandang dana yang besar

atau didukung oleh pemilik modal. Hasilnya masyarakat tidak mendapatkan

118
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Op.cit, hlm.197.
119
Ibid.

89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pilihan-pilihan yang beragam, bahkan di Pilres 2014 dan 2019 hanya diikuti oleh

dua Paslon dan membuat masyarakat terbelah cukup ekstrim. Seandainya ada

pilihan-pilihan alternatif akan membuat Pilpres lebih demokratis.

Kenyataannya pada Pilpres 2014 dan 2019 Parpol terbelah menjadi dua

koalisi besar, karena tidak ada satu Parpol pun yang dapat mengusung sendiri

tanpa berkoalisi untuk mencalonkan Capres dan Cawapres karena tidak memenuhi

syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau Presidential

Threshold sebesar 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Koalisi

tersebut bukan tidak mungkin terjadi karena adanya politik transaksional dan

kartel politik dan menjadi sumber mula kejahatan korupsi yang hingga saat ini

masih didominasi oleh politikus baik anggota DPR, kepala daerah, menteri

maupun anggota Parpol.

3. Dampak Presidential Treshold terhadap Partai Politik dalam Pengusung

Calon Presiden dan Wakil Presiden

Terminologi ambang batas (threshold) dalam pemilu sudah lazim didengar

di negara-negara dengan sistem demokrasi. Threshold bisa dipahami juga sebagai

sistem perwakilan proporsional, angka dan proporsi minimum, dari jumlah

pemilih untuk menjadi perwakilan/utusan di Parlemen. Istilah Threshold juga

diistilahkan dengan minimum barrier atau batas minimum. Istilah ini sering

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


digunakan untuk mengatur ambang batas parlemen (Parliamentary threshold) dan

ambang batas Presiden untuk bisa ikut Pemilu (Presidential Threshold).120

Pengertian Presidential Threshold (PT) adalah pengaturan tingkat ambang

batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau

jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu

agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan

gabungan partai politik.121 Atau dapat dikatakan PT merupakan ambang batas

minimal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden berdasarkan jumlah kursi

suara yang ada di parlemen atau jumlah suara sah secara nasional yang di dapat

dari partai politik atau gabungan partai politik melalui Pemilu.

Di Indonesia, argumen-argumen justifikasi PT yang dibangun selama ini

adalah PT ini menjadi salah satu cara penguatan sistem Presidensil melalui

penyederhanaan Parpol. Tujuannya menciptakan pemerintahan yang stabil dan

tidak menyebabkan pemerintahan yang berjalan mengalami kesulitan di dalam

mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif.

Namun menurut Refly Harun, pernyataan yang menyatakan bahwa

penerapan PT dilakukan untuk memperkuat sistem presidensil juga tidak bisa

dibuktikan, karena UUD 1945 telah mengatur bahwa Presiden terpilih

berdasarkan perolehan suara 50% plus satu dan tersebar di 20% provinsi. Apabila

120
Muhammad Sidiq Armia, Penghapusan Presidential Threshold Sebagai Upaya Pemulihan Hak-
Hak Konstitusional, Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah Vol.1 No.2, Aceh: Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry, 2016, hlm.85.
121
Lutfil Ansori, Telaah Terhadapa Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019, Jurnal
Yuridis Vol.4 No.1, Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel, 2017, hlm.16.

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Presiden yang terpilih berasal dari partai kecil, pembentukan kabinet juga pasti

akan dilakukan secara koalisi. Contohnya adalah Partai Demokrat dengan suara

minoritas pada tahun 2009 akhirnya mengajak partai Golkar masuk dalam kabinet

meski dalam pemilihan Presiden harus berkompetisi.122 Menurut Syamsuddin

Harris, secara teoritis basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem

presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif.

Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua intitusi

terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. 123

Dengan demikian, sistem presidensial akan tetap efektif dan kuat dalam

pemerintahan, meskipun pemilu serentak dilaksanakan tanpa harus ada

persyaratan ambang batas bagi partai politik pengusung calon Presiden dan Wakil

Presiden. Alasan ambang batas untuk menciptakan efektifnya pemerintahan oleh

Presiden terpilih, penyederhanaan kepartaian dan menyeleksi calon Presiden dan

Wapres juga tidak sepenuhnya tepat. Hal ini karena Parpol sebagai peserta Pemilu

sudah diseleksi secara ketat oleh KPU, sehingga Parpol yang lolos verifikasi yang

ketat sebagai Parpol peserta pemilu yang kemudian mengusulkan calon Presiden

dan Wakil Presiden. Penyeleksian partai politik peserta pemilu yang dilakukan

oleh KPU dan masih berlaku Parliementary Threshold atau ambang batas

Parlemen sebesar 4% yang diatur dalam Pasal 414 ayat (1) UU No.7/2017,

sebagai bentuk penyederhanaan sistem kepartaian.

122
Sabrina Asril, Pengamat: Presidential Threshold Konspirasi Jahat Partai Besar,
https://nasional.kompas.com/read/2014/01/25/1115549/Pengamat.Presidential.Threshold.Konspira
si.Jahat.Partai.Besar, diakses Pada tanggal 29 Juni 2020.
123
Syamsuddin Haris, Salah Kaprah Presidential Threshold, http://nasional.sindonews
.com/read/683795/18/salah-kaprah-presidential-threshold-1351561633,diakses pada 29 Juni 2020.

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Persyaratan PT dalam pengajuan pasangan Capres dan Wapres, dianggap

tidak sejalan dengan prinsip sistem pemerintahan presidensial yang

sesungguhnya, karena seharusnya Pilpres tidak memerlukan prasyarat

ketercapaian kuota kursi di parlemen. Karakteristik dasar sistem presidensial

adalah keterpisahan antara eksekutif dan legislatif (executive is not depend on

legislative). Praktik yang lazim di negara-negara yang menganut sistem

presidensial adalah pemberlakuan ambang batas minimum bagi keterpilihan

Presiden. Dengan kata lain, PT bukanlah untuk membatasi pencalonan Presiden,

melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk

keterpilihan Presiden.124

3.1. Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Pilpres dan

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Presidential Threshold

Ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau PT pertama

kali dirumuskan sejak Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara

langsung atau setelah Amandemen UUD 1945 yaitu pada Pemilu 2004. Dalam

UU No.23/2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, PT untuk Pilpres

2004 dirumuskan pada Aturan Peralihan Pasal 101 yang mensyaratkan Parpol atau

gabungan Parpol hanya dapat mengusulkan Paslon jika memperoleh sekurang-

kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau 5% dari perolehan suara sah nasional dalam

Pemilu anggota DPR.

Sedangkan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009 dan

2014 yang menggunakan UU No.42/2008 sebagai dasar hukum Pemilu, pada


124
Lutfil Ansori, Op.Cit, hlm.23.

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pasal 9 menentukan jumlah PT sebesar 20% jumlah kursi DPR atau 25% jumlah

perolehan suara sah nasional.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan pada tahun 2004,

2009, dan 2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional

pada hasil Pemilu Legislatif yang telah dilaksanakan sebelumnya sebagai ambang

batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, karena Pemilu Legislatif

dilakukan sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tentu

berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No.7/2017 tentang Pemilu,

karena pelaksanaan Pilpres dan Pileg dilaksanakan secara serentak, sehingga PT

yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi atau suara sah nasional Pileg 2014.

Pengaturan PT dalam UU No.7/2017 diatur dalam Pasal 222 yang

menyatakan bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau

Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan

kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau

memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada

Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Pengaturan terkait dengan PT sebagaimana

diatur dalam UU No.7/2017 Tentang Pemilu maupun Undang-Undang tentang

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berlaku pada Pemilu 2004, 2009 dan

2014, merupakan penjabaran dari UUD NRI 1945 Pasal 6A ayat (2) yang

menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh

partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum

pelaksanaan pemilihan umum”.

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ketentuan yang terdapat dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 6A ayat

(2) mempunyai perbedaan dengan Pasal 222 UU No.7/2017. UUD NRI 1945

Pasal 6A ayat (2) tidak menentukan berapa jumlah suara sebagai syarat

pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 222 Undang-Undang No.7/2017

Tentang Pemilu menentukan secara eksplisit jumlah suara sebagai syarat

pencalonan Presiden dan Wapres.

Setelah adanya Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU

No.42/2008 tentang Pilpres, lahir konsep Pemilu serentak. Pemilu serentak adalah

pelaksanaan Pileg dan Pemilu Presiden dan Pilpres yang dilaksanakan secara

bersamaan. Pengaturan mengenai Pemilu serentak merupakan hasil uji materi

(judicial review) atas UU No. 42/2008. MK dalam putusannya menyatakan bahwa

penyelenggaraan Pileg dan Pilpres diselenggarakan secara bersamaan yang

berlaku pada pemilu 2019 dan pemilu seterusnya. MK mengabulkan sebagian uji

materi Undang-Undang No. 42 Tahun 2008, yaitu Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat

(1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112, tetapi MK tidak mengabulkan uji

materi Pasal 9, yang mengatur tentang PT.125

Setidaknya ada tiga Putusan MK yang penting terkait PT, Putusan MK

No.51-52-59/PUU-VI/2008 tertanggal 18 Februari 2009, Putusan MK

No.14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014, Putusan MK

No.108/PUUXI/2013 tertanggal 11 Februari 2014, Putusan MK No.53/PUU-

XV/2017 tertanggal 19 Desember 2017 merupakan putusan hasil uji materiil

terkait dengan pasal yang mengatur tentang PT. Semua putusan tersebut dalam

125
Lutfil Ansori, Op.Cit, hlm.17.

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kenyataanya menyatakan bahwa PT sah dan konstitusional. MK menyatakan

bahwa PT dapat diterapkan (Putusan MK No 53/PUU-XV/2017). MK beralasan

bahwa PT merupakan kebijakan hukum terbuka atau dapat disebut sebagai open

legal policy. Open Legal Policy merupakan kewenangan yang diberikan secara

bebas kepada pembuat undang-undang dalam hal ini DPR dan Presiden untuk

menentukan terkait dengan pengaturan PT (Putusan MK No. 108/PUU-XI/2013).

3.2. Dampak Presidential Threshold di Pemilu Serentak Terhadap Partai

Politik

Dampak dari adanya PT adalah terhadap Parpol. Parpol dapat dikatakan

paling besar terkena imbas dari adanya PT. UU No.7/2017 pada intinya telah

menyatakan bahwa PT adalah 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional

yang dimiliki Parpol atau gabungan Parpol. PT tersebut diambil dari Pileg yang

diselenggarakan pada tahun 2014 dan untuk Pilpres tahun 2024 mendatang akan

menggunakan perolehan kursi atau suara sah nasional Pileg 2019.

Melihat hasil Pemilu legislatif tahun 2019 tidak ada satu Parpol yang

mendapatkan suara 20% suara DPR atau 25% suara sah secara nasional, PDIP

sebagai pemenang Pemilu hanya memperoleh 19,5% suara. Artinya tidak ada satu

Parpol yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wapres. Kondisi tersebut

jelas sekali merugikan Parpol. Parpol dirugikan secara konstitusi karena

sesungguhnya partai politik dijamin oleh konstitusi dapat mengajukan pasangan

Calon Presiden dan Wakil Presiden (UUD 1945 Pasal 6A ayat (2)). Adanya PT

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


membuat hak konstitusional Parpol untuk mencalonkan Presiden dan Wakil

Presiden terciderai. PT juga dianggap mendiskriminasikan Parpol.126

Bahkan dalam Putusan MK No.53/PUU-XV/2017, Hakim Konstitusi

Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat berbeda atau

dissenting opinion, dengan menyampaikan bahwa MK seharusnya menempatkan

atau lebih memberi prioritas pada pemenuhan hak konstitusional (constitusional

rights) dari Parpol peserta Pemilu untuk mengusulkan Paslon Presiden dan

Wapres yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2), yang berdasarkan

ketentuan itu seluruh Parpol yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu dalam

satu periode pemilu memiliki hak untuk mengusulkan paslon Presiden dan

Wapres. Dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian desain konstitusi yang

menginginkan penyederhanaan jumlah parpol peserta pemilu yang tidak diatur

dan lebih berada dalam wilayah pemaknaan atau tafsir.

Lebih lanjut Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra dalam dissenting

opinion nya menyatakan bahwa dalam sistem presidensial, melalui pemilu

langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada

pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif

(presiden). Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang

diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan

sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang

diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif. Menggunakan hasil pemilu

126
Ayon Diniyanto, Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di Pemilu Serentak
Tahun 2019 Jurnal Indonesian State Law Review Vol.1 No.1, Semarang: Universitas Negeri
Semarang, 2018, hlm.87

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika

dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem

parlementer. Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan

ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas

memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem

parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal, salah satu gagasan sentral di

balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem

pemerintahan presidensial Indonesia.

Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil

presiden menurut Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra juga potensial

mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi

calon pemimpin masa depan. Disadari atau tidak, dengan rezim presidential

threshold, masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan

menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta

pemilu. Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta pemilu

mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat dapat

melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan. Selain itu, masyarakat

juga disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran

eksekutif. Hakim Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat pengaturan PT dalam

pasal 222 UU No.7/2017 adalah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan

mengikat dan seharusnya MK mengabukan permohonan pemohon.

Dampak PT terhadap Parpol tidak berhenti sampai distu saja. Parpol baru

peserta Pemilu ditahun 2019 maupun dimasa mendatang yaitu Pilpres 2024

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dipastikan tidak bisa mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Parpol baru

hanya dapat berkampanye terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang

didukung. Parpol baru tidak bisa mencalonkan calon Presiden dan Wakil Presiden

karena Parpol baru belum mempunyai suara di DPR. Hal tersebut berbeda dengan

Parpol lama yang telah mempunyai suara di DPR. Parpol lama yang mempunyai

suara di DPR dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun Parpol

lama harus berkoalisi terlebih dahulu karena kekuarangan suara.

Adanya perbedaan antara Parpol lama dengan Parpol baru peserta Pemilu

dapat menyebabkan adanya ketidakadilan dalam kontestasi politik. Pembedaan

perlakuan terhadap Parpol lama dan baru jelas sekali tidak sesuai dengan amanat

konstitusi. Konstitusi telah secara jelas menyatakan bahwa setiap Parpol atau

gabungan Parpol dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Konstitusi

tidak membedakan antara Parpol lama dengan Parpol baru dalam pencalonan

Presiden dan Wakil Presiden.127

Artinya Parpol baru dirugikan dua hal dalam waktu yang bersamaan.

Pertama Parpol baru tidak bisa secara sendiri mencalonkan Presiden dan Wakil

Presiden. Kedua Parpol baru tidak bisa mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden

walaupun berkoalisi dan memenuhi syarat PT. Kerugian Parpol baru juga

diperparah dengan gambar Parpol yang tidak dicantumkan sebagai pengusul calon

Presiden dan Wakil Presiden. Jumlah batasan sumbangan dana kampanye Parpol

baru terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden juga berbeda dengan Parpol

127
Ayon Diniyanto, Ibid, hlm.88

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lama. Hal itu karena kedudukan Parpol baru bukan mencalonkan calon Presiden

dan Wakil Presiden.128

Ada satu hal yang prinsip dan merupakan kerugian bagi Parpol lama.

Parpol yang dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh

absen atau netral dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mereka harus

ikut mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden walaupun harus dengan

berkoalisi dengan partai lain. Jika Parpol lama yang dapat mengusulkan calon

Presiden dan Wakil Presiden tetapi tidak ikut mengusulkan maka konsekuensi

yang didapat adalah Parpol tersebut tidak dapat mengikuti Pemilu lima tahun

mendatang. Ketentuan itu diatur dalam pasal 235 ayat (5) UU No.7/2017 yang

berbunyi "Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi

syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon,

partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya".

Ketentuan Pasal 235 ayat (5) disatu sisi dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya pencalonan tunggal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,

namun disisi lain memaksa Parpol yang tidak memenuhi ambang batas

pencalonan untuk melakukan koalisi dengan Parpol lain, hal tersebut merupakan

kerugian bagi partai politik. Dikatakan kerugian karena tidak semua Parpol

mempunyai kesamaan visi dalam berkoalisi untuk mengusulkan calon Presiden

dan Wakil Presiden. Adanya koalisi Parpol dalam kondisi ini juga sangat rentan

terjadi tukar menukar kepentingan atau politik transaksional. Dalam derajat

128
Glery Lazuardy, Parpol Baru Belum Dapat Mengusung Capres, Ini Konsekuensinya,
http://www.tribunnews.com/nasional/2018/05/24/parpol-baru-belumdapat-mengusung-capres-ini-
konsekuensinya, diakses pada tanggal 29 Juni 2020.

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tertentu koalisi partai politik yang seperti ini justru akan memperlemah sistem

presidensial, karena Presiden tersandera oleh partai politik dalam koalisinya. 129

3.3.Penerapan Presidential Threshold di Negara Lain yang Menganut Sistem

Presidensiil

Sebagai studi komparasi atau perbandingan, dalam negara yang menganut

sistem presidensil seperti Indonesia, tidak gampang mencari contoh negara-negara

yang menerapkan ambang batas atau PT dalam persyaratan Capres dan

Cawapresnya. Yang ada justru sebaliknya. Jutsru yang muncul adalah negara-

negara yang dengan sistem pemerintahan presidensiil tidak menerapkan ambang

batas. Berikut ini akan disampaikan beberapa contoh, negara-negara dengan

sistem pemerintahan presidensiil yang tidak menerapkan PT:130

1. Amerika Serikat

Sebagai sebuah negara yang sangat besar dengan sistem presidensial

yang paling mapan, Amerika tidak menerapkan ambang batas. Pada Pilpres

2016, misalnya, selain Hillary Clinton dan Tim Kaine dari Partai Demokrat,

serta Donald Trump dan Mike Pence dari Partai Republik. Selain itu juga

terdapat banyak pasangan dari Partai Ketiga (sebutan untuk partai-partai

kecil dan independen). Misalnya, pasangan Gary Johnson dan Bill Weld dari

Partai Liberal (Libertarian Party), pasangan Jill Stein dan Ajamu Baraka

129
Liputan6.com, Golkar: Tidak Ada Istilah Partai Abstain di Pilpres,
https://www.liputan6.com/pilpres/read/3608506/golkar-tidak-ada-istilahpartai-abstain-di-pilpres,
pada tanggal 29 Juni 2020.
130
Abdul Ghoffar, Problematika Presidential Threshold: Putusan Mahkamah Konstitusi dan
Pengalaman di Negara lain, Jurnal Konstitusi Vol.15 No.3, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2018,
hlm.490-492.

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dari Partai Hijau (Green Party), serta kandidat dari partai-partai lain dan

independen yang total terdapat sekitar 24 calon yang terdaftar di surat suara

di beberapa negara bagian atau menjadi calon tertulis. Meski demikian, tidak

ada calon dari partai ketiga tersebut, yang mendominasi sebuah negara

bagian pada pemilihan presiden tahun 2016 maupun pemilihan presiden

apapun sejak tahun 1968.

2. Brazil

Tidak ada pengaturan mengenai ambang batas dalam sistem

ketatanegaraan Brazil. Pasal 77 Konstitusi Brazil menjelaskan bagaimana

mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Disebutkan bahwa

Presiden dan dan Wakil Presiden Republik akan dipilih secara bersamaan

pada hari Minggu pertama bulan Oktober, dan jika harus ada putaran

kedua maka akan dilakukan pada hari minggu terakhir bulan Oktober

sebelum berakhirnya tahun masa jabatan Presiden yang sedang menjabat

saat itu.

Dalam Bab V yang mengatur khusus soal Parpol, juga tidak menyebut

sama sekali soal ambang batas pengajuan calon presiden. dalam bab

tersebut hanya mengatur soal pendirian, peleburan, penggabungan,

pembubaran partai politik adalah gratis dengan mendasarkan pada

kedaulatan nasional, pemerintahan demokratis, keberagaman politik dan

hak asasi manusia. Atas dasar itu, maka setiap partai memiliki kebebasan

untuk mengajukan calon presiden-nya. Pada Pilpres tahun 2014, misalnya,

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diikuti oleh sebelas (11) Paslon presiden dan wakil presiden. Bukan hanya

tidak memberlakukan ambang batas pencalonan presiden, Brazil

membolehkan calon independen untuk bertarung dalam pilpres.

3. Peru

Berdasarkan Pasal 111 Konstitusi Peru, dikatakan bahwa Presiden

Republik dipilih melalui hak pilih langsung. Calon yang mendapat suara

lebih dari separuh suara pemilih dinyatakan sebagai calon terpilih. Suara

yang tidak sah atau kosong tidak dihitung. Dalam hal tidak ada calon

yang mendapatkan suara mayoritas mutlak, pemilihan dilakukan dengan

putaran kedua dalam waktu tiga puluh hari sejak pengumuman hasil

pemilihan secara resmi. Putaran kedua diikuti oleh dua calon yang

mendapatkan suara tertinggi pertama dan kedua. Sementara dua Wakil

Presiden dipilih bersama dengan pemilihan Presiden, dengan cara yang

sama. Masa jabatan presiden selama lima (5) tahun. Presiden petahana

bisa mencalonkan diri lagi untuk satu kali masa jabatan.

Pada tahun 2016, tepatnya pada tanggal 10 April, Peru

menyelenggarakan pemilihan presiden putaran pertama. dalam ajang

demokrasi itu diikuti oleh 10 calon Presiden.

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sebelum Amendemen UUD 1945 yang dilakukan secara bertahap sejak tahun

1999 sampai tahun 2002, telah berlaku setidaknya empat periodisasi Konstitusi

yang berbeda-beda, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS1950, dan

kembali kepada UUD 1945. Perubahan Konstitusi yang terjadi tentunya

mempengaruhi pengaturan mengenai pemilihan Presiden dan Wapres yang

pengaturannya ada di dalam konstitusi.

2. Salah satu gagasan sentral amendemen UUD 1945 adalah penguatan Sistem

Pemerintahan Presidensiil, dan hal yang paling fundamental yaitu Pemilihan

Presiden dan Wapres secara langsung sekaligus mengubah kedudukan MPR yang

tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Terjadinya Seperation of Powers atau

Pemisahan Kekuasaan membuat jelas pemisahan kekuasaan Eksekutif, Legislatif

dan Yudikatif.

3. Parpol sebagai pilar demokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam

Pemilu Presiden dan Wapres, peran Parpol bahkan langsung diamanatkan dalam

Konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, yaitu satu-satunya lembaga

yang dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Parpol

merupakan lembaga yang berfungsi untuk mempersiapkan orang-orang terbaik

dan memberikan pilihan-pilihan terbaik kepada masyarakat, untuk mengisi

jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan fungsi-fungsinya,

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Parpol di Indonesia masih memiliki problematika baik dari internal institusi

Parpol sendiri seperti lemahnya Ideologi dan platform, lemahnya rekrutmen dan

pengkaderan, serta krisis pendanaan Parpol. Sedangkan faktor eksternal Parpol

yaitu adanya Presidential Threshold yang melanggar hak konstitusional Parpol itu

sendiri. Sehingga dibutuhkan perbaikan tentang pengaturan Parpol dengan tujuan

agar fungsi-fungsi Parpol tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip

negara demokrasi konstitusional.

B. Saran

1. Perlunya pengaturan dan pelaksanaan Sistem Pemerintahan Presidensiil secara

konsisten, sesuai semangat Amandemen UUD 1945 dan prinsip negara hukum

dan demokrasi yaitu dengan pengaturan dan pelaksanaan, serta perbaikan Pemilu

Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.

2. Agar Parpol-Parpol yang ada, untuk melakukan fungsi-fungsinya dengan baik

sesuai dengan Ideologi Parpol masing-masing dan menjunjung nilai-nilai

demokrasi konstiusional, perlunya perbaikan internal institusi Parpol sendiri

seperti pengutan Ideologi Parpol, perbaikan rekrutmen dan pengkaderan anggota

Parpol, dan skema pendanaan Parpol yang sehat dan terbuka sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Beberapa Putusan MK yang menyatakan bahwa Presidential Threshold (PT)

merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-

undang, maka DPR dan Presiden (Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945) harus

melakukan perubahan UU No.7/2017 untuk menghapus ketentuan PT, sehingga

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 dan periode Pemilu

seterusnya tidak menerapkan PT, karena pengaturan tentang PT jelas merugikan

Parpol dan Prinsip negara demokrasi. Dengan studi komparasi atau perbandingan

terbukti PT tidak diterapkan di negara lain dengan Sistem Pemerintahan

Presidensiil dengan sistem multi partai seperti Indonesia.

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Akbar, Patrialis, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun


1945, Sinar Grafika, Jakarta.
Alrasid, Harun, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam hukum positif di
Indonesia, 1997, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

____________, Pengisian Jabatan Presiden, 1999, PT Pustaka Utama Grafiti,


Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Azra, Azyum ardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, 2002, Penerbit
Kompas, Jakarta.

Budiardjo, Miriam, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan


Demokrasi Pancasila, 1999, Gramedia Pustaka, Jakarta.

________________, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008, PT Gramedia Pustaka


Utama, 2008, Jakarta.

Diantha, I Made Pasek, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi


Teori Hukum, 2016, Kencana, Jakarta.

Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi


Politik di Era Demokrasi, 2008, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Kuswanto, Konstitusionalitas Penyederhanaan Partai Politik, 2016, Setara Press,


Malang.

Kusnardi, Mohammad dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara


Indonesia, 2017, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta.

Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham, 2017, Partai Politik dan sistem Pemilihan
Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis, PT RajaGrafindo,
Jakarta.

Lubis, M. Solly Ilmu Negara Edisi Revisi, 2014, CV Mandar Maju, Bandung.

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, 1999, Gama Media dan PSH UII,
Yogyakarta.

___________, dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara


Indonesia, 1997, Alumni, 1997, Bandung.

Santoso, Topo dan Ida Budhiati, Pemilu di Indonesia Kelembagaan Pelaksanaan


dan Pengawasan, 2019, Sinar Grafika, Jakarta.

Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, 2012, Setara Press,


Malang.

Tutik, Titik Triwulan Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Amandemen UUD 1945, 2010, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ubaedillah, A., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila,


Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi, 2015, Kencana, Jakarta.

Yuda A.R, Hanta, Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke Kompromi,


2010, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante
dan Anggota DPR.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS)
No.XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukkan Wakil Presiden dan Tata
Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah
Negara dari Presiden Soekarno.
Tap MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengakatan Pengemban Tap MPRS
No. IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tap MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wapres
Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu.

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


TAP MPR No.VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan
Presiden dan Wapres Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
C. Putusan
Putusan MK No.56/PUU-VI/2008.
Putusan MK No.51-52-59/PUU-VI/2008.
Putusan MK No.14/PUU-XI/2013.
Putusan MK No.53/PUU-XV/2017.
D. Jurnal
Ansori, Lutfil, “Telaah Terhadapa Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak
2019”, Jurnal Yuridis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel, Vol.4 No.1, 2017.
Armia, Muhammad Sidiq, “Penghapusan Presidential Threshold Sebagai Upaya
Pemulihan Hak-Hak Konstitusional”, Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan
Syariah, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Vol.1 No.2, 2016.
Diniyanto, Ayon, “Mengukur Dampak Penerapan Presidential Threshold di
Pemilu Serentak Tahun 2019”, Jurnal Indonesian State Law Review,
Universitas Negeri Semarang, Vol.1 No.1, 2018.
Ghoffar, Abdul, “Problematika Presidential Threshold: Putusan Mahkamah
Konstitusi dan Pengalaman di Negara lain”, Jurnal Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi, Vol.15 No.3, 2018.
Indarja, “Perkembangan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia”,
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Jilid 47 No.1, 2018.
Kadir, A. Gau, “Dinamika Partai Politik di Indonesia”, Jurnal Sosiohumaniora,
Universitas Hasanuddin, Vol.16 No.2, 2014.
Mukhtarrija, Muhammad dkk, “Inefektifitas Pengaturan Presidential Threshold
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”,

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, No.4 Vol.24, 2017.
Prasetya, Imam Yudhi, “Pergeseran Peran Ideologi Dalam Partai Politik”, Jurnal
Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Universitas Maritim Raja Ali Haji,
Vol.1 No.1, 2011.
Romli, Lili, “Masalah Kelembagaan Partai Politik Pasca di Indonesia Pasca Orde-
Baru”, Jurnal Penelitian Politik, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Vol.5 No.1, 2008.
Subhi, Ahmad Farhan, “Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Sebagai Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Pilpres”, Jurnal Cita
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Vol.3 No.2, 2015.
Supriyanto, Didik, “Kebijakan Keuangan Partai Politik: Review Terhadap PP No.
5/2009 dalam Rangka Penyusunan Peraturan Pemerintah Baru Berdasar
Undang-Undang No. 2/2011 tentang Partai Politik”, Jurnal Pemilu dan
Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Vol.3,
2012.
E. Dokumen Internet
Asril, Sabrina, Pengamat: Presidential Threshold Konspirasi Jahat Partai Besar,
diakses di
https://nasional.kompas.com/read/2014/01/25/1115549/Pengamat.Presidenti
al.Threshold.Konspirasi.Jahat.Partai.Besar, pada tanggal 29 Juni 2020.
Haris, Syamsuddin, “Salah Kaprah Presidential Threshold”, diakses di
http://nasional.sindonews .com/read/683795/18/salah-kaprah-presidential-
threshold-1351561633, pada tanggal 29 Juni 2020.
Lazuardi, Glery, Parpol Baru Belum Dapat Mengusung Capres, Ini
Konsekuensinya, diakses di
http://www.tribunnews.com/nasional/2018/05/24/parpol-baru-belumdapat-
mengusung-capres-ini-konsekuensinya, pada tanggal 29 Juni 2020.
Liputan6.com, Golkar: Tidak Ada Istilah Partai Abstain di Pilpres, diakses di
https://www.liputan6.com/pilpres/read/3608506/golkar-tidak-ada-
istilahpartai-abstain-di-pilpres, pada tanggal 29 Juni 2020.
Subijanto, Bijah, Penguatan Peran Partai Politik dalam Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat, diakses di
https://bappenas.go.id/files/2513/4986/1926/bijah__20091015142354__238
1__0.pdf, pada tanggal 7 Juni 2020
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Presiden_Indonesia_1999, diakses
tanggal 2 Mei 2020.

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2004, diakses
pada tanggal 8 Mei 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2009, diakses
pada tanggal 8 Mei 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014, diakses
pada tanggal 9 Mei 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2019, diakses
pada tanggal 10 Mei 2020.

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai