Anda di halaman 1dari 122

TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAN

DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan


Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ELVIRA FRANSISCA BU’ULOLO

NIM : 110200208

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN
DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan


Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ELVIRA FRANSISCA BU’ULOLO

NIM : 110200208

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh,
Ketua Departemen Hukum Pidana

M. HAMDAN, S.H., M.Hum.


NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

LIZA ERWINA, S.H., M.Hum. Dr. M. EKAPUTRA S.H., M.Hum.


NIP. 196110241989032002 NIP. 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
ABSTRAK
Elvira Fransisca Bu’ulolo* 1
Liza Erwina**
Mohammad Ekaputra***

Skripsi yang berjudul “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat


Perkosaan dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia”, dilatarbelakangi oleh
kebijakan pemerintah yang mengeluarkan aturan tindakan aborsi terhadap
kehamilan akibat perkosaan sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak korban
perkosaan dan meminimalisir tindakan aborsi secara ilegal, namun hal ini
bertentangan dengan hak asasi janin sehingga menimbulkan dilema bagi para
praktisi dalam penerapannya. Adanya kebijakan tersebut disebabkan tingginya
kejahatan perkosaan yang mengakibatkan banyaknya korban perkosaan yang
menderita secara fisik, mental dan sosial, terlebih jika korbannya hamil akibat
perkosaan tersebut, banyak diantaranya yang menginginkan aborsi. Permasalahan
dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Pertama,
bagaimana pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.
Kedua, bagaimana tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dan
kaitannya dengan hak asasi manusia. Ketiga, bagaimana pandangan praktisi
mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan
jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder berupa
buku-buku, tulisan, dokumen resmi, laporan hasil penelitian, dan data pendukung
berupa wawancara dengan para informan terkait.
Dari penulisan skripsi ini maka dapat diketahui bahwa; Pertama, pengaturan
hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan terdapat dalam KUHP yang
melarang segala bentuk tindakan aborsi dengan alasan apapun, terdapat
pengecualian pelaksanaan aborsi dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Kedua,
tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan jika dikaitkan dengan HAM
mencakup hak janin dan hak perempuan korban perkosaan yang tidak dapat
dikesampingkan. Ketiga, pandangan beberapa praktisi mengenai tindakan aborsi
terhadap kehamilan akibat perkosaan adalah tidak setuju serta perlu pengkajian
ulang peraturan tersebut.
Berkenaan dengan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut;
Pertama, hendaknya pengaturan hukum tindakan aborsi terhadap kehamilan
akibat perkosaan dapat disosialisasikan dengan sebaik-baiknya sehingga
pelaksanaan aturan ini kelak dapat semakin efektif. Kedua, sebaiknya pemerintah
membuat suatu undang-undang tentang tata cara penanganan bayi-bayi yang lahir
dari kehamilan akibat perkosaan. Ketiga, hendaknya ada pengkajian ulang
terhadap peraturan tersebut mengenai pengecualian pelaksanaan aborsi.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


** Dosen Pembimbing I, Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan penyertaan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan

Akibat Perkosaan dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia”, dengan lancar dan

tepat waktu sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dewasa ini kejahatan perkosaan marak terjadi dan menimbulkan derita

fisik, mental, dan sosial bagi korban, terlebih jika korbannya hamil akibat

perkosaan tersebut, banyak diantaranya yang memilih melakukan aborsi, termasuk

memilih melakukan aborsi secara ilegal. Untuk menanggulangi hal tersebut

pemerintah mengeluarkan aturan pengecualian tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak korban

perkosaan dan meminimalisir tindakan aborsi secara ilegal, namun disisi lain

aturan ini bertentangan dengan hak asasi janin sehingga menimbulkan dilema bagi

para praktisi dalam penerapannya. Oleh sebab itu, skripsi ini diharapkan dapat

memberikan tambahan pengetahuan dan informasi mengenai pengaturan hukum

tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dan kaitannya dengan hak

asasi manusia.

Dalam penyajian skripsi ini tentu banyak mengandung kekurangan dan

kelemahan. Untuk itu penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun

dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.


Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima

kasih, penghargaan dan rasa hormat kepada semua pihak yang turut baik secara

langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan kepada penulis sejak awal

penulis menjalani perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan

I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M. Hamdan, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku

Dosen Pembimbing I penulis, yang telah mengajar penulis sejak awal

perkuliahan serta bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Dosen

Pembimbing II penulis, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk


membimbing, mengoreksi dan memberikan arahan kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., selaku Dosen

Pembimbing Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kedua orangtua penulis yang tercinta, terkasih dan tersayang, Papa Drs.

Ferdinand Bu’ulolo dan Mama Ratna Juita Marunduri, S.H., terimakasih

karena telah melimpahi penulis dengan cinta dan kasih sayang, dukungan

moril dan materil, serta doa yang tiada hentinya bagi penulis.

10. Raymond Saptahari yang tercinta, selalu menemani, menyemangati,

menguatkan, membawa sukacita, menginspirasi, serta memberikan

dukungan dan masukan kepada penulis dalam keseharian dan dalam

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

11. Bapak dr. Honazaro Marunduri, Sp.Og., selaku Dokter Spesialis Obstetri

Ginekologi pada Rumah Sakit Umum Daerah Gunungsitoli, yang telah

meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan berbagi pengetahuan

dengan penulis.

12. Bapak Fatizaro Zai, S.H., selaku Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan

Negeri Gunungsitoli, yang telah meluangkan waktunya untuk

diwawancarai dan berbagi pengetahuan dengan penulis.

13. Ibu Elisabeth Juniarty Perangin-angin, S.H., selaku Koordinator Bidang

Litigasi Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Pusaka Indonesia, yang telah


meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan berbagi pengetahuan

dengan penulis.

14. Segenap staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang sangat berjasa dalam

mengajar penulis mengenai konsep dan pemahaman yang mendalam dari

ilmu hukum. Tanpa jasa Bapak dan Ibu Dosen, penulis tidak dapat

menyelesaikan studi dan proses penulisan skripsi ini.

15. Staf administrasi dan pendidikan, serta seluruh pegawai perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang begitu berbaik hati dan

ramah dalam melayani mahasiswa.

16. Sahabat-sahabat penulis, Innes Ruth Wahyuni Zega als Booty, Gabriel

Grace Hutahaean, Dian Lestari Hura, Santa Angeline Situmeang, Novriani

Tarigan, Fransisca Kosasih, Dyna Sri Wahyuni Hasibuan, Yulian Astri,

David Sinurat dan Nurul Ayu Rezeki, terimakasih atas kebersamaan dan

dukungan yang diberikan kepada penulis. Juga kepada Winda Sembiring,

Tunggul Sihotang, Lasman Napitupulu, terimakasih telah bersedia

menjawab banyak sekali pertanyaan-pertanyaan penulis sehubungan

dengan penyusunan skripsi ini.

17. Seluruh kader DPC Permahi Medan, seluruh kader GMKI FH USU, serta

seluruh mahasiswa stambuk 2011 yang bersama-sama dengan penulis

berjuang menjalani kehidupan akademik dan kepanitiaan, semoga semua

teman-teman cepat lulus dan kita bersama-sama sukses kedepannya.

18. Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa

perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi, dan yang


juga menguatkan dan mendoakan ketika penulis sempat kehilangan

harapan. Dengan banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf

sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis ucapkan sekali lagi terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada semua pihak, kiranya Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati kita

semua. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap

pembacanya. Amin.

Medan, 17 Maret 2015

Penulis,

Elvira Fransisca Bu’ulolo


DAFTAR ISI

Abstrak ........................................................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ....................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 10
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 11
D. Manfaat Penulisan ..................................................................... 11
E. Keaslian Penulisan ..................................................................... 12
F. Tinjauan Kepustakaan ................................................................ 13
G. Metode Penelitian ....................................................................... 22
H. Sistematika Penulisan ................................................................. 25

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAKAN ABORSI


TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN
A. Sejarah Singkat Aborsi di Beberapa Negara di Dunia .................. 27
B. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat
Perkosaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)........................................................................................ 36
C. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat
Perkosaan Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan ...................................................................... 46
D. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat
Perkosaan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014Tentang Kesehatan Reproduksi ............................... 54

BAB III TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN


AKIBAT PERKOSAAN DAN KAITANNYA DENGAN
HAK ASASI MANUSIA
A. Kaitan Tindakan Aborsi dengan Hak Asasi Manusia ................ 64
B. Hak Janin ................................................................................... 67
C. Hak Wanita Korban Perkosaan .................................................. 71

BAB IV PANDANGAN PRAKTISI MENGENAI TINDAKAN


ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT
PERKOSAAN
A. Efektifitas Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat
Perkosaan ................................................................................... 83
B. Pandangan Praktisi Mengenai Tindakan Aborsi Terhadap
Kehamilan Akibat Perkosaan ................................................... 87
C. Sisi Negatif dan Positif Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan
Akibat Perkosaan ....................................................................... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................... 105
B. Saran ........................................................................................... 107

Daftar Pustaka
Lampiran
A. Surat Permohonan Mengajukan Riset/Wawancara
B. Surat Keterangan Melakukan Riset/Wawancara
C. Hasil Wawancara
ABSTRAK
Elvira Fransisca Bu’ulolo* 1
Liza Erwina**
Mohammad Ekaputra***

Skripsi yang berjudul “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat


Perkosaan dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia”, dilatarbelakangi oleh
kebijakan pemerintah yang mengeluarkan aturan tindakan aborsi terhadap
kehamilan akibat perkosaan sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak korban
perkosaan dan meminimalisir tindakan aborsi secara ilegal, namun hal ini
bertentangan dengan hak asasi janin sehingga menimbulkan dilema bagi para
praktisi dalam penerapannya. Adanya kebijakan tersebut disebabkan tingginya
kejahatan perkosaan yang mengakibatkan banyaknya korban perkosaan yang
menderita secara fisik, mental dan sosial, terlebih jika korbannya hamil akibat
perkosaan tersebut, banyak diantaranya yang menginginkan aborsi. Permasalahan
dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Pertama,
bagaimana pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.
Kedua, bagaimana tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dan
kaitannya dengan hak asasi manusia. Ketiga, bagaimana pandangan praktisi
mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan
jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder berupa
buku-buku, tulisan, dokumen resmi, laporan hasil penelitian, dan data pendukung
berupa wawancara dengan para informan terkait.
Dari penulisan skripsi ini maka dapat diketahui bahwa; Pertama, pengaturan
hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan terdapat dalam KUHP yang
melarang segala bentuk tindakan aborsi dengan alasan apapun, terdapat
pengecualian pelaksanaan aborsi dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Kedua,
tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan jika dikaitkan dengan HAM
mencakup hak janin dan hak perempuan korban perkosaan yang tidak dapat
dikesampingkan. Ketiga, pandangan beberapa praktisi mengenai tindakan aborsi
terhadap kehamilan akibat perkosaan adalah tidak setuju serta perlu pengkajian
ulang peraturan tersebut.
Berkenaan dengan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut;
Pertama, hendaknya pengaturan hukum tindakan aborsi terhadap kehamilan
akibat perkosaan dapat disosialisasikan dengan sebaik-baiknya sehingga
pelaksanaan aturan ini kelak dapat semakin efektif. Kedua, sebaiknya pemerintah
membuat suatu undang-undang tentang tata cara penanganan bayi-bayi yang lahir
dari kehamilan akibat perkosaan. Ketiga, hendaknya ada pengkajian ulang
terhadap peraturan tersebut mengenai pengecualian pelaksanaan aborsi.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


** Dosen Pembimbing I, Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era yang semakin maju dan berkembang secara global seperti sekarang ini

menuntut manusia untuk semakin cerdas. Manusia baik sebagai makhluk individu

maupun secara berkelompok selalu berusaha melakukan inovasi untuk

menciptakan segala sesuatu yang dapat mempermudah kehidupannya.

Pertumbuhan yang pesat dalam perkembangan kehidupan manusia tidak hanya

dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam bidang hukum,

politik, ekonomi, dan sosial, serta sendi-sendi moral dan budaya dalam kehidupan

manusia, yang juga semakin bergeser. Sehingga pada era modernisasi dan

globalisasi seperti sekarang ini, hukum menjadi salah satu kebutuhan pokok untuk

mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks.

Hukum dan aturan semakin banyak diciptakan seiring dan sejalan dengan

semakin beragamnya kejahatan yang terjadi. Salah satunya adalah tindak pidana

perkosaan, yang melanggar norma-norma dan kaidah-kaidah kesusilaan dan

kepatutan didalam masyarakat. Kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi

berupa internet membuat manusia dapat dengan mudah mengakses dan

mengunduh hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi.

Pornografi dan pornoaksi dapat memicu dan merupakan provokator tindakan-

tindakan agresivitas seksual sebagai akibat lepasnya kontrol diri. 2 Oleh karena itu

2
Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi, (Jakarta , Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : 2009), hlm 26-27.
provokasi pornografi dan pornoaksi yang terbuka terus-menerus dan melampaui

batas seperti keadaan dewasa ini dapat berdampak pada salah satunya adalah

kejahatan perkosaan.

Kejahatan perkosaan tidak hanya timbul sebagai akibat dari penyalahgunaan

teknologi dan komunikasi, penyebab lain mulai dari kesenjangan sosial dan

ekonomi, pendidikan moral dan seksual yang kurang, hingga perkosaan yang

terjadi lantaran berbagai hal, salah satunya karena dipicu oleh korban yang

kebanyakan wanita yang menggunakan busana yang minim, busana yang terlalu

ketat dan terbuka, tata rias tebal, pandangan menggoda dan lainnya menjadi

pemicu terjadi kejahatan perkosaan.

Perkosaan pada dasarnya adalah suatu tindakan kekerasan dengan penghinaan,

dan bukan suatu perbuatan seksual yang intim 3. Perkosaan meliputi pula suatu

perbuatan sanggama terhadap korban yang tidak menghendaki secara paksa dan

dengan kekerasan, juga sanggama melalui dubur dan felasio (dengan mulut) dapat

dilakukan dengan kekerasan dan paksaan sehingga dapat disebut perkosaan juga 4.

Sebagian besar dari pemerkosa adalah laki-laki, dan sebagian besar korban

adalah perempuan. Perkosaan yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki

berkisar pada umur 16 (enam belas) hingga 24 (dua puluh empat) tahun,

sedangkan korban perkosaan oleh laki-laki terhadap perempuan antara umur 15

(lima belas) bulan hingga 82 (delapan puluh dua) tahun. Sejumlah sedikit lebih

dari sepertiga semua perkosaan dilakukan oleh pemerkosa yang dikenal oleh

3
Harold I. Kaplan, dan Benjamin J. Sadock, Pocket Handbook of Emergency Psychiatric
Medicine, terjemahan Wicaksono M. Roan, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, (Jakarta, Widya
Medika : 1998), hlm 399.
4
Ibid, hlm 398.
korbannya, 7 % (tujuh persen) oleh anggota keluarga dekat. Seperlima dari semua

perkosaan dilakukan oleh lebih dari satu pemerkosa yang disebut perkosaan

berkelompok (gang rape) 5. Ada juga perkosaan yang terjadi diantara dua orang

yang bertalian darah yang dinamakan perkosaan incest. 6

Anggota divisi statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Enrico Bisogno

menyatakan berdasarkan sebuah survey setidaknya ada 5 (lima) negara didunia

dengan kasus pemerkosaan paling tinggi, antara lain: 7

a. India
Dalam waktu 4 (empat) dekade perkosaan sudah meningkat 10 (sepuluh)
kali lipat. Di New Delhi sendiri setiap minggu ada satu kasus perkosaan
yang dilaporkan, dan diduga masih banyak kasus lain yang belum terlihat
dipermukaan. Hasil survey oleh kelompok Hak Asasi Amnesty
International mengatakan, dalam data 2013, dalam waktu 1 (satu) bulan
sekitar 3.760 kasus terjadi di seantero India. Ini artinya setiap 22 (dua
puluh dua) menit sekali ada perempuan tengah mendapat kekerasan seks.
b. Lesotho
Lesotho adalah sebuah negara kecil di wilayah Afrika Selatan, sekitar
88,6% perkosaan terjadi di tiap 100.000 (seratus ribu) penduduk pada
Tahun 2011 menurut laporan PBB. Korban kekerasan seksual dibungkam,
sekitar 37% laki-laki dewasa melakukan tindakan perkosaan dan sekitar 7
– 9 % melakukan perkosaan beramai-ramai.
c. Swedia
Sekitar 69% kasus terjadi dari 100.000 (seratus ribu) penduduk pada
Tahun 2012, angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya. Selama dua
dekade terakhir perkosaan meningkat 4 (empat) kali lipat dan korbannya
adalah sekitar 4.000 (empat ribu) orang remaja berusia 15 (lima belas)
tahun.
d. Selandia Baru
Sekitar 30% kasus perkosaan terjadi pada 2012, polisi mencatat sekitar
3.466 kasus di tahun yang sama.
e. Belgia
Menurut laporan PBB, dalam rentang Tahun 2009 hingga Tahun 2011
jumlah kasus kekerasan seksual meningkat sekitar 20%. Lebih parah lagi,
sekitar 11.170 kasus perkosaan dilaporkan dalam 2 (dua) tahun namun

5
Ibid, hlm 399.
6
Eva Ellya Sibagariang, dkk, Kesehatan Reproduksi Wanita, (Jakarta, Trans Info Media
: 2010), hlm 204.
7
http://www.pekanbaruexpress.com/kilas-dunia/kilas-dunia/10444-waspada-inilah-5-
negara-paling-banyak-kasus-pemerkosaan-di-dunia diakses tanggal 29 September 2014.
hanya sekitar 2.542 kasus yang ditangani oleh kepolisian Brussels. Dua
tahun lalu PBB juga mencatat 11 (sebelas) kasus perkosaan terjadi setiap
harinya.

Komnas Perempuan mencatat dalam kurun tahun 1998 – 2010, kasus

kekerasan di Indonesia yang dilaporkan mencapai 400.939 kasus. Seperempatnya

adalah kasus kekerasan seksual, yakni 93.960 kasus. Total kasus kekerasan

seksual sebanyak 93.960 kasus, sejumlah 4.845 kasus diantaranya adalah kasus

perkosaan. 8 Lebih dari 3/4 dari total kasus kekerasan seksual, dilakukan oleh

orang-orang terdekat korban, seperti ayah, suami, kakak laki-laki, paman, kakek,

dan pacar. Sejumlah 70.115 kasus dari 93.960 kasus kekerasan seksual tersebut

dialami oleh perempuan sebagai korban. 9

Korban perkosaan di Medan Sumatera Utara pada triwulan pertama tahun

2012 cukup banyak, pada umumnya adalah anak yang beranjak dewasa diusia 12

tahun ke atas. Pada tiga bulan pertama diawal Tahun 2012, Yayasan Pusaka

Indonesia mencatat ada 9 korban perkosaan terhadap anak. Kota Medan

menempati peringkat teratas terjadinya kasus perkosaan tersebut, yaitu sebanyak 3

korban. Kasus perkosaan ini diibaratkan seperti gunung es, yang tampak seolah

mengerucut di atas, tetapi melebar ke bawah. 10

Pengaturan hukum mengenai perkosaan di Indonesia terdapat dalam KUHP

(yang selanjutnya disebut KUHP) dalam Pasal 285 yang menyatakan,

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan

8
http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/02/di-indonesia-perkosaan-terjadi-12-kali-
sehari-607081.html diakses tanggal 29 September 2014.
9
https://id.berita.yahoo.com/komnas-4-845-kasus-perkosaan-terjadi-di-indonesia-
053800795.html diakses tanggal 29 September 2014.
10
http://pusakaindonesia.or.id/news.php?default.0.180 diakses tanggal 29 September
2014.
yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,

dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Ancaman pidana

selama-lamanya dua belas tahun tersebut tidak membuat para pelaku perkosaan

menjadi takut dan jera. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus

perkosaan yang terjadi ditengah masyarakat.

Korban perkosaan didominasi oleh kaum wanita dan banyak diantaranya yang

menyebabkan kehamilan bagi korban, namun tidak semua kejahatan perkosaan

langsung dapat menyebabkan kehamilan. Dapat dikatakan konsepsi hasil

perkosaan tersebut jarang dapat terjadi. Beberapa hal yang menjadi penyebab,

antara lain, yang pertama, wanita tidak sedang dalam masa suburnya. Kedua,

wanita menggunakan alat kontrasepsi atau menjalani sterilisasi. Ketiga, trauma

dan ketakutan serta perlawanan saat perkosaan terjadi mungkin menyebabkan

terjadinya perubahan hormon, pengerutan tuba falopi 11 yang dapat mengagalkan

ovulasi ataupun pembuahan karena perkosaan tidak selalu berupa hubungan intim

yang komplit. Keempat, proses keluarnya sperma pemerkosa tidak terjadi, atau

karena pemerkosa tidak subur, tetapi hal-hal tersebut tidak menutup kemungkinan

adanya kehamilan setelah seorang wanita diperkosa. 12

Korban perkosaan tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga secara mental

terlebih apabila setelah mengalami kejahatan perkosaan tersebut, korban harus

menghadapi kenyataan pahit bahwa ia mengandung janin dari si pemerkosa.

11
Tuba Falopi adalah sepasang saluran yang berada pada rongga panggul, diantara rahim
dan indung telur, panjangnya sekitar 7,5-10 cm. Saluran ini berperan dalam pembuahan.
Pengerutan atau penyumbatan tuba falopi menyebabkan sel telur tidak dapat dibuahi sperma atau
embrio yang terbentuk tidak dapat masuk ke rahim untuk berkembang. Kondisi ini yang membuat
kehamilan sulit terjadi.
12
http://www.aborsi.org/artikel7.html diakses tanggal 29 September 2014.
Opini, sikap, penilaian, dan tekanan dari masyarakat juga menjadi hal yang

seringkali membuat korban sulit untuk memilih kemungkinan lain selain satu-

satunya jalan keluar yaitu dengan melakukan aborsi.

Tidak semua wanita korban perkosaan melakukan aborsi, ada diantaranya

yang memilih untuk melahirkan dan membesarkan bayinya, tetapi sangat sedikit

jika dibandingkan dengan korban yang sebenarnya sangat ingin melakukan aborsi

setelah positif hamil akibat perkosaan. Banyak wanita yang ketika meneruskan

kehamilannya justru menimbulkan masalah. Tidak hanya terkait kondisi

psikologis ibu, tapi juga janin dalam kandungan. Efek trauma berat akibat

perkosaan menjadi salah satu pemicu stres ganda atau bahkan depresi. Keadaan

demikian dapat menjadi potensi membahayakan jiwa ibu yang sedang

mengandung, maupun janin, sangat besar, seperti kemungkinan bunuh diri dan

ketergantungan pada obat-obatan penenang. Kondisi psikologis ibu yang

terganggu akan menyumbang kelainan janin dalam kandungan, dan obat-obatan

penenang sangat berbahaya untuk janin. 13

Banyak wanita yang hamil akibat perkosaan memutuskan melakukan aborsi

secara ilegal sebelum adanya perlindungan hukum dan aturan yang tegas

mengenai pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

memperkirakan ada sekitar 2.000.000 (dua juta) kasus aborsi yang terjadi setiap

tahunnya di Indonesia. 14 Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang angka

13
http://m.inilah.com/read/detail/2128957/banyak-wanita-hamil-akibat-perkosaan-ingin-
aborsi diakses tanggal 29 September 2014
14
http://www.aborsi.org/statistik.html diakses tanggal 29 September 2014.
kematian tertinggi di Asia Tenggara disaat melahirkan, dan dari 100.000 (seratus

ribu) angka kelahiran, 307 orang ibu meninggal akibat aborsi. 15

Pengaturan hukum mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

tidak ada aturannya didalam KUHP. Pasal 346, 347, 348 dan 350 KUHP

menjelaskan dengan tegas bahwa setiap orang tidak dibenarkan melakukan aborsi

dengan alasan apapun. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan mengatur pula mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

yang di atur di dalam Pasal 75, 76, dan 77. Pasal-Pasal tersebut menjelaskan

bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali karena adanya indikasi

medis dan terhadap kehamilan akibat perkosaan, dengan batasan-batasan tertentu

yang tidak boleh dilanggar, misalnya aborsi hanya dapat dilaksanakan terhadap

kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi

korban perkosaan itu sendiri, kondisi kehamilan maksimal 6 (enam) minggu

setelah hari pertama haid terakhir, serta upaya aborsi harus dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan dilakukan

sesuai dengan tanggungjawab profesi serta pertimbangan dari tim ahli. Ketentuan

pidana pada Pasal 194 dalam Undang-Undang Kesehatan tersebut menyatakan,

bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana

penjara paling lama (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

15
http://news.detik.com/surabaya/read/2009/11/24/163720/1247989/466/angka-
kematian-akibat-aborsi-di-indonesia-tertinggi-se-asia-tenggara diakses tanggal 29 September
2014.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

(yang selanjutnya disebut PP) disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Juli 2014 merupakan aturan pelaksanaan

dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Pasal

yang mengatur mengenai pelaksanaan aborsi terhadap wanita korban perkosaan

dalam PP tersebut, antara lain, dalam BAB IV Pasal 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38,

dan 39.

Terkait dengan disahkannya PP tersebut, Nafsiah Mboi, Menteri

Kesehatan yang menjabat saat itu, menyatakan : 16

“Disahkannya PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah


untuk menghormati hak wanita, terutama korban kejahatan seksual seperti
perkosaan. Wanita tidak boleh dikorbankan dua kali, diperkosa dan diharuskan
untuk memelihara bayinya hingga dewasa. Perkosaan adalah kejahatan seksual.
Jika wanita diharuskan untuk hamil dan memelihara anak tersebut hingga dewasa,
hak perempuan itu dilanggar.”

Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tersebut jika dilihat dari

sudut pandang hak asasi manusia, melanggar hak hidup janin, hak untuk

mempertahankan hidup, serta hak untuk tumbuh dan berkembang janin. Tetapi

disisi lain, wanita sebagai korban perkosaan juga memiliki hak asasi manusia

berupa hak atas kesehatan, termasuk didalamnya hak atas kesehatan reproduksi,

yaitu berupa keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak

semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,

fungsi, dan proses reproduksi. Wanita juga berhak untuk mendapatkan keturunan,

termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak

untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan.

16
Harian Analisa, Jumat, 22 Agustus 2014 hlm 27.
Aturan-aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan aborsi terhadap korban

perkosaan ini antara lain terdapat didalam Sumpah Dokter butir (6), dikatakan:

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan”. Kode Etik

Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 1 mengatakan : “Setiap dokter wajib

menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter”,

serta Pasal 11 dikatakan : “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban

dirinya melindungi hidup makhluk insani”. 17 Hal ini menjadi sangat dilematis

mengingat dokter (tim ahli) merupakan pelaku penting dalam menunjang

terlaksananya aborsi yang legal secara hukum, tetapi kemudian aturan mengenai

aborsi itu sendiri bertentangan dengan KODEKI dan Sumpah Dokter itu sendiri.

Peraturan perundang-undangan tentu memiliki tujuan dalam setiap

pembentukan dan pembuatannya. Suatu peraturan perundang-undangan disebut

telah mencapai tujuan pembentukannya apabila peraturan perundang-undangan

tersebut berlaku efektif ditengah-tengah masyarakat. Begitu sebaliknya,

keefektifan suatu peraturan perundang-undangan diukur dari tercapai atau

tidaknya tujuan peraturan perundang-undangan tersebut dibuat. PP yang mengatur

mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dimaksudkan

sebagai dukungan dan perlindungan terhadap kebebasan wanita korban perkosaan

atas tubuhnya dan hak reproduksinya, meskipun disaat yang bersamaan, disisi

lain, PP tersebut juga melanggar hak hidup bagi janin, dan bertentangan dengan

aturan agama tertentu yang melarang aborsi karena menghalangi hak hidup

manusia, namun jika aborsi tersebut dilakukan dengan alasan yang sesuai dengan

17
http://www.idionline.org/2014/08/ diskusi-dan- masukan- tentang- aborsi-di-pb-idi/
diakses tanggal 10 September 2014.
yang di atur dalam peraturan perundangan, dan pelaksanaannya sesuai dengan

aturan perundang-undangan yang berlaku, maka pelaksanaan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan dalam PP tersebut dapat benar-benar dapat

ditempatkan sebagai perlindungan hukum untuk perempuan hamil akibat

perkosaan guna menyelamatkan hidup mereka dalam keadaan darurat dan

pengakuan terhadap hak atas kesehatannya tanpa bermaksud untuk memusnahkan

kehidupan janin yang ada didalam kandungan perempuan tersebut,

mengenyampingkan hak anak, moral dan agama, meskipun dampak dari tindakan

aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan mengakibatkan kematian bagi janin

yang merupakan kekerasan terhadap anak dan pelanggaran terhadap hak hidup

janin. Hal ini lah yang membuat penulis tertarik memilih judul dan membahas

mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan, yang berjudul

“Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan dan Kaitannya

Dengan Hak Asasi Manusia.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan

pokok dalam penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat

Perkosaan ?

2. Bagaimana Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan dan

Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia?


3. Bagaimana Pandangan Praktisi mengenai Tindakan Aborsi Terhadap

Kehamilan Akibat Perkosaan?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan

bahwa tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan.

2. Untuk mengetahui tentang tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan dan kaitannya dengan hak asasi manusia

3. Untuk mengetahui pandangan praktisi mengenai tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dan diketahui dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu hukum

tentang pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

dan kaitannya ditinjau dari hak asasi manusia, dan dapat dijadikan sebagai

bahan kajian lebih lanjut tentang hal tersebut.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi hukum

dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah yang harus diambil

untuk menyelesaikan perkara-perkara yang sedang dihadapi


sehubungan dengan pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan.

b. Sebagai tambahan informasi bagi tenaga medis dan masyarakat

sehubungan dengan pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan.

E. Keaslian Penulisan

Judul tulisan ini adalah “Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat

Perkosaan dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia”. Berdasarkan hasil

pemeriksaan dan penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, belum pernah

dilakukan penelitian sebelumnya yang meninjau pelaksanaan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan dan kaitannya dengan hak asasi manusia secara

menyeluruh. Demikian pula dari segi permasalahan yang diangkat dalam

penulisan skripsi ini belum pernah diangkat oleh skripsi lain. Terdapat judul

skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu yang berjudul “Tinjauan

Yuridis Aborsi dan Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan” serta “Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap

Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia”. Penulisan skripsi ini berbeda dengan

judul skripsi yang tertera di atas, utamanya karena penelitian ini dikaitkan dengan

Hak Asasi Manusia. Proses mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan

aborsi, perkosaan, dan dasar hukumnya, mulai dari buku-buku, literatur-literatur,

serta media massa baik media cetak seperti surat kabar, maupun media elektronik

seperti televisi dan internet, sampai dengan bahan yang diperoleh dari hasil
wawancara, hingga kutipan yang dikutip disertai dengan sumber kutipannya dan

disebutkan dalam daftar pustaka. Penulisan skripsi ini asli dan dapat

dipertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindakan Aborsi

Istilah aborsi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Aborsi

(abortus, abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun

sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, defenisi ini

terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 (dua puluh minggu) didasarkan

pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Defenisi lain yang sering

digunakan adalah keluarnya janin yang beratnya kurang dari 500 (lima ratus)

gram. 18

Didalam Kamus Hukum karangan Sudarsono 19, disebutkan :

ABORTUS (lat), - abortus : terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi


hidup (sebelum habis bulan keempat dari kehamilan); keguguran; keluaran;
keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal (tentang makhluk hidup);
guguran (janin).

ABORTUS PROCURATIO (Lat), pengguguran bayi yang ada dalam


kandungan dengan sengaja ialah, dengan mengusahakan lahirnya bayi
sebelum waktunya tiba.

ABORTUS PROVOCATUS (Lat); keguguran karena kesengajaan,


keguguran kandungan (kehamilan) dikarenakan adanya kesengajaan. Abortus
disebabkan adanya unsur-unsur kesengajaan dari pihak manapun adalah
merupakan tindak pidana yang dapat dituntut.

18
F. Gary Cunningham, Norman F. Gant dkk, Obstetri Williams Edisi 21, (Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran : 2006), hlm 951.
19
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, Asdi Mahasatya : 2007), hlm 9.
Secara medis, abortus adalah penghentian dan pengeluaran hasil

kehamilan dari rahim sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. 20 Sebagai

batasan ialah kehamilan kurang dari 20 (dua puluh minggu) atau berat janin

kurang dari 500 (lima ratus) gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan

disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja

dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. 21 Menurut Saifullah, aborsi

dapat dibagi kedalam dua macam, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan.

Aborsi buatan terbagi dua macam pula yaitu Aborsi Artificialis Therapicus

dan Aborsi Provocatus Criminalis.22

Aborsi (pengguguran) berbeda dengan keguguran. Aborsi atau

pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang

disengaja (abortus provocatus), yakni kehamilan yang diprovokasi dengan

berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Keguguran adalah

kehamilan berhenti karena faktor-faktor alamiah (abortus prontaneous). 23

Abortus provocatus meliputi : 24

a. Abortus Provocatus Medicalis, yakni penghentian kehamilan

(terminasi) yang disengaja karena alasan medik. Praktek ini dapat

20
Mien Rukmini, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat
Perkosaan, (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI :
2002), hlm 18.
21
Sarwono Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, (Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo : 2008), hlm 72.
22
Yang dimaksud dengan Aborsi Artificialis Therapicus adalah penguguran yang
dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis sebagai penyelamatan terhadap nyawa ibu yang
terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan oleh pemeriksaan medis yang menunjukkan
gejala itu. Sedangkan yang dimaksud Aborsi Provocatus Criminalis adalah pengguguran yang
dilakukan tanpa dasar indikasi medis, misalnya untuk meniadakan hasil hubungan seks diluar
perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. Lihat Saifullah dalam Mien
Rukmini, et.al., Op.Cit., hlm 21 – 22.
23
Dadang Hawari, op.cit., hlm 64.
24
Ibid, hlm 64.
dipertimbangkan, dapat dipertanggungjawabkan, dan dibenarkan oleh

hukum.

b. Abortus Provocatus Criminalis, yakni penghentian kehamilan

(terminasi) atau pengguguran kandungan yang melanggar kode etik

kedokteran, melanggar hukum agama, dan melanggar undang-undang

(kriminal). Cara tersebut kasusnya dapat diperkarakan.

Secara umum dan singkat, dapat dirinci bahwa faktor yang mendorong

seseorang melakukan aborsi adalah : 25

a. Kondisi usia masih muda atau menurutnya belum layak memiliki


anak,
b. Malu diketahui oleh orang tua atau keluarga masyarakat,
c. Pria yang menghamilinya tidak bertanggungjawab (kabur),
d. Masih bersekolah,
e. Kondisi ekonomi yang tidak mencukupi,
f. Janin yang dikandung akibat perkosaan,
g. Dorongan dari orangtua atau keluarga.

Metode untuk pelaksanaan aborsi dapat dilakukan dengan menempuh

berbagai cara, diantaranya dengan cara menggunakan jasa ahli medis dirumah

sakit atau kepada para dukun atau bahkan menggugurkan kandungannya

sendiri dengan memakai alat-alat yang kasar. Penggunaan jasa dukun yang

tidak memiliki keahlian dalam pengguguran kandungan biasanya

menggunakan cara-cara yang kasar dan keras seperti memijat beberapa

bagian tertentu, perut atau pinggul misalnya, atau tubuh wanita yang akan

digugurkan kandungannya. Pengguguran kandungan yang dilakukan secara

medis dibeberapa rumah sakit biasanya menggunakan metode antara lain:

25
Mien Rukmini, dkk., Op.Cit., hlm 2.
a. Kuretasi dan Dilatasi 26

b. Mempergunakan alat khusus untuk memperlebar mulut rahim

kemudian janin dikuret dengan alat seperti sendok kecil.

c. Aspirasi, yaitu penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.

d. Operasi

Metode aborsi lain seperti penggunaan pil aborsi atau RU-486 ditemukan

di Perancis dan mulai dipakai disana sejak 1988. Selain di Perancis, pil aborsi

ini juga dipakai di 11 negara lain dan 15 negara UNI Eropa. Di Amerika,

setelah masa pertimbangan yang lama sekali, pil aborsi ini baru disetujui oleh

Food and Drug Administration pada tahun 2000. 27

Melalui Internet pil aborsi ini dijual dengan sangat bebas. Nama kimia

dari pil aborsi ini adalah Mifepristone, namun lebih dikenal dengan nama Pil

Abortus, RU-486, Mifegyn, atau Mifeprex. Ada juga Misoprostol atau yang

lebih dikenal dengan nama Cytotec, Arthrotec, Oxaprost, Cyprostol, Mibetec,

Prostokos, atau Misotrol.28 Cara ini adalah cara yang paling aman bagi wanita

untuk menggugurkan kehamilannya sampai dengan usia 12 minggu.

Beberapa website bahkan menjamin tingkat keberhasilan dari penggunaan pil

aborsi ini lebih dari 97%.

26
Kuretasi dan dilatasi adalah operasi rahim untuk wanita. Dilatasi adalah membuka leher
rahim, kuretasi adalah mengangkat isi rahim. Kuretasi dapat dilakukan dengan cara menggosokkan
alat pada dinding rahim (alat tersebut adalah kuret atau kuretase hisap/aspira vakum yang
berbentuk seperti vakum). Metode ini biasanya dilakukan untuk mengeluarkan jaringan yang
tertinggal didalam rahim.
27
Ibid, hlm 25.
28
http://www.womenonwaves.org/id/page/702/how-to-do-an-abortion-with-pills-
misoprostol-cytotec.html diakses tanggal 30 November 2014.
2. Pengertian Korban

Korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian, baik kerugian

fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu

tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor

timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang

yang telah menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa

keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat pengalamannya

sebagai target atau sasaran tindak pidana. 29

Korban berarti objek yang menderita atau mati akibat suatu kejadian,

perbuatan jahat, dan sebagainya. Tindakan kejahatan yang menimbulkan

korban disebut “korban kejahatan” 30

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban Pasal 1 ayat (2), menyebutkan, “Korban adalah seseorang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran HAM

Yang Berat Pasal 1 ayat (2), menyebutkan, “Korban adalah orang

perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai

akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan

perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan

pihak manapun.”
29
http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/korban-victim.html diakses tanggal 12
September 2014.
30
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Korban/ diakses tanggal 11 September 2014.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Pasal 1 ayat (3), menyebutkan, “Korban adalah orang

yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup

rumah tangga”

Theo Van Boven mencantumkan pengertian korban dari Deklarasi

Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan

Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime

and Abuse of Power), sebagai berikut, korban adalah orang yang secara

individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik

maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan

yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun

karena kelalaian (by omission). 31

Istilah korban didalam penelitian ini berdasarkan pengertian-pengertian

yang dikutip di atas tidak hanya tertuju secara ekslusif kepada perorangan

atau kelompok yang secara langsung menjadi korban tetapi juga mencakup

keluarga korban, orang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya

(relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak

menjadi korban. Jenis penderitaan yang mungkin dialami oleh korban tidak

hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik maupun mental semata,

melainkan mencakup pula derita yang dialami secara emosional oleh para

korban seperti mengalami trauma.

31
Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Yogyakarta : 2002), hlm xii-xiv.
3. Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi

ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain melakukan

hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis,

anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu

secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. 32

Menurut Frans Maramis 33, dalam bukunya Hukum Pidana Umum dan

Tertulis di Indonesia, mengatakan bahwa kejahatan perkosaan merupakan

termasuk dalam delik terhadap kesusilaan. Perkosaan (verkrachting)

merupakan salah satu delik yang berkenaan dengan kehormatan kesusilaan.

Menurut Pasal 285 KUHP, barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,

diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12

tahun. Unsur-unsur Pasal 34 :

1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan


2. Memaksa
3. Seorang wanita
4. Bersetubuh dengan dia. Pengertian bersetubuh berarti terjadi penetrasi,
yaitu penerobosan atau penembusan, dari alat kelamin laki-laki
kedalam alat kelamin perempuan. Untuk pengertian bersetubuh dalam
KUHP tidak disyaratkan sampai terjadi pemencaran benih oleh laki-
laki;
5. Diluar perkawinan. Pengertian diluar perkawinan berarti antara laki-
laki dan perempuan yang bersangkutan tidak sedang dalam ikatan
perkawinan. Pasal 285 KUHP tidak mencakup pemaksaan hubungan
seksual dari suami terhadap istri; tetapi jika disertai pemukulan
misalnya, maka perbuatan pemukulan ini sudah merupakan tindak
pidana yang lain yaitu penganiayaan. Kekerasan seksual dalam rumah

32
http://id.m.wikipedia.org/wiki/perkosaan diakses tanggal 12 September 2014.
33
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta , Rajawali
Press : 2013), hlm 305-306.
34
Ibid.
tangga dapat dituntut pidana berdasarkan Undang-Undang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004)

Seorang ahli kriminologi Mulyana W. Kusuma menyebutkan jenis-jenis

perkosaan sebagai berikut : 35

a. Forcible Rape, yaitu dalam Pasal 285 KUHP, yang berbunyi,


“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
b. Exploitation Rape, yaitu perkosaan yang menunjukkan bahwa pada
setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh
laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan
posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan
sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu
rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan
pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini
kepada pihak yang berwajib.
c. Victim Precipitated Rape, yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung)
dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
d. Angea Rape, yaitu penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas
yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram
dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakan-akan
merupakkan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan
pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan
kekecewaan hidupnya.
e. Domination Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku
mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban.
Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban,
namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
f. Seductive Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi
yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya
korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak
sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai
keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak
mempunyai perasaan bersalah.
g. Sadistic Rape, yaitu perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini
seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku
perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui
hubungan seksnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas
alat kelamin dan tubuh korban.

35
http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/pemerkosaan.html diakses tanggal 12
September 2014.
4. Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia secara khusus di atur didalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu didalam Bab X A, Pasal 28A

sampai Pasal 28J.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,

Pasal 1 ayat (1) menyatakan, “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak

yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap

orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Pengertian Hak Asasi Manusia secara umum adalah hak-hak yang

melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat

hidup layak sebagaimana mestinya. John Locke menyatakan bahwa semua

orang itu diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tak dapat

dilepaskan. Hak-hak alamiah tersebut meliputi hak atas hidup, hak

kemerdekaan, hak milik, dan hak kebahagiaan. 36

Hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan dan juga kehendak.

Dalam hukum, hak selalu dikaitkan dengan orang dan tertuju kepada orang.

Hak ada yang bersifat relatif dan absolut. Pada awalnya, sebagai pribadi,

orang per orang memiliki hak asasi (personal rights) dan berubah menjadi

hak asasi manusia (human rights) ketika antarsesamanya bergumul dalam

36
http://pengertianahli.com/2013/05/pengertian-hak-asasi-manusia-ham.html diakses
tanggal 12 September 2014.
kehidupan bersama. Hal ini sesuai dengan fitrah keberadaan manusia sendiri

sebagai makhluk sosial (zoon politicon). 37

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta

hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 38

1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan. Penelitian ini mengkonsepkan hukum sebagai kaidah atau norma

yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Sumber

datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 39

37
Masyhur Effendi, dkk, HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan
Sosial, (Bogor, Ghalia Indonesia : 2010), hlm 280.
38
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada :
2007), hlm 38.
39
Amiruddin,dkk., Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada : 2004), hlm 134.
2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang mengungkapkan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang

menjadi objek penelitian dan hukum dalam pelaksanaannya didalam

masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian 40. Penelitian yang

bersifat deskripstif menguraikan sifat dan fakta yang sebenarnya dari suatu

objek penelitian untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya

hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 41

3. Sumber Data

Data adalah keterangan yang benar dan nyata, atau bahan yang dapat

dijadikan dasar kajian. 42 Sumber data yang digunakan dalam penelitian

skripsi ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang

dalam keadaan siap dan dapat dipergunakan segera oleh peneliti-peneliti

selanjutnya. Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-

buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Jenis data

sekunder adalah sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa peraturan perundang-

undangan yang bersifat mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak

yang berwenang, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang

40
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika : 2010), hlm 105-
106.
41
Op.Cit., hlm 25.
42
http://www.kbbi.web.id/data diakses tanggal 28 Februari 2015.
terkait dengan objek penelitian, berupa undang-undang, peraturan

pemerintah dan lain-lain.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum

yang merupakan dokumen yang tidak resmi, buku-buku, tulisan

ilmiah hukum, dan semua dokumen yang merupakan hasil kajian

dari berbagai media seperti koran, majalah, artikel-artikel yang

dimuat diberbagai website di internet.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisikan

konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum

primer dan bahan baku sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research)

Metode penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah buku-buku,

karangan ilmiah, artikel-artikel yang dimuat didalam majalah maupun koran

yang dimuat diberbagai media massa maupun dimuat di website-website

internet serta peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan

permasalahan skripsi ini. Metode penelitian lapangan yang dilakukan adalah

dengan melakukan wawancara secara langsung dengan informan-informan

yang relevan dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini. Wawancara adalah

situasi peran antar-pribadi bertatap-muka, ketika pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang telah dirancang. Tujuannya adalah untuk


memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian

kepada seorang responden. 43

5. Analisa Data

Analisa data dalam penulisan skripsi ini menggunakan analisa kualitatif.

Analisa data kualitatif adalah suatu proses untuk menemukan apa yang

penting dan apa yang dipelajari dari data tersebut serta mencari dan

menemukan pola hubungan-hubungan dan temuan-temuan umum sehingga

data tersebut mempunyai makna yang dijadikan rujukan dalam

menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan

penulisan skripsi dan mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi

skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar

isi dari bab per bab diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan

manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP


KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai bagaimana pengaturan

aborsi terhadap wanita korban perkosaan, yaitu berupa sejarah

43
Lihat Fred N. Kerlinger dalam Amiruddin, dkk., Op.Cit., hlm 82.
BAB II

PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT


PERKOSAAN

A. Sejarah Singkat Aborsi di Beberapa Negara di Dunia

Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama,

etika, moral, ilmiah, dan hukum. Aborsi dilakukan karena alasan yang berbeda

dan dengan metode yang beragam. Ada yang dilakukan karena alasan sosial,

ekonomi, maupun kemanusiaan, misalnya jumlah anak yang bertambah banyak,

program keluarga berencana yang gagal, hamil diluar nikah, kemampuan finansial

yang kurang, kehamilan akibat perkosaan, wanita yang akan melahirkan anak

yang cacat, hingga alasan seorang wanita takut kehilangan bentuk tubuhnya.

Metode dalam melakukan aborsi juga dilakukan dengan berbagai macam cara,

mulai dari meminum atau mengoles ramuan obat-obatan tradisional, pil, suntik,

pemijatan, penyedotan, hingga dilatasi atau kerokan.

Aborsi atau pengguguran kandungan sudah dikenal sejak zaman kekaisaran

China kuno, yakni zaman Kaisar Shan Nung, sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi

(SM). 44

Undang-undang tertulis tentang aborsi paling tua hingga saat ini adalah

Undang-Undang Hammurabi 45 yang terdiri atas 282 ayat. Dalam ayat 209 dan 210

dikatakan : “Jika seseorang memukul seorang perempuan yang sedang

mengandung dan menyebabkan perempuan itu mengalami keguguran, ia harus

44
CB. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi, (Jakarta , Gramedia Widiasarana Indonesia :
2002), hlm 19.
45
Hammurabi adalah Raja Babilonia (sekarang Irak) yang berkuasa dari Tahun 1792 –
1750 SM. Undang-Undang Hammurabi tersebut berisikan aturan yang mengatur kehidupan
bermasyarakat dan berpolitik waktu itu.
membayar denda 10 shekels perak oleh karena kematian fetus itu. Jika wanita itu

meninggal, anak perempuan yang memukul itu juga harus dibunuh.” Undang-

undang tersebut dibuat pertama-tama bukan untuk melindungi hak hidup janin

tetapi untuk melindungi hak ayah yang merasa dirugikan oleh karena kematian

janin itu. 46

Sekitar 5 abad sesudah Undang-Undang Hammurabi, muncul Undang-Undang

Assiria yang memberikan hukuman pada pelaku aborsi. Wanita yang melakukan

aborsi dihukum dengan hukum cambuk dan mayatnya tidak boleh dikubur. 47

Salah satu Pasal dalam “Sumpah Asaph” 48 menyebutkan, “Janganlah

membunuh orang dengan getah akar-akaran. Janganlah memberikan obat kepada

wanita yang mengandung anak haram untuk menggugurkannya”. 49

Aborsi dizaman Yunani Kuno berlangsung sangat luas. Orang Yunani tak

memandang perbuatan aborsi sebagai perbuatan yang keji atau sebuah

pembunuhan. Pada zaman ini dikenal pula secara luas metode pengguguran

kandungan atau aborsi dengan menggunakan ramuan dari tanaman pennyroyal,

artemisia, rue, dan silpihium 50. Naskah paling kuno mengenai aborsi yang

tersimpan dari kebudayaan Yunani Kuno berasal dari abad 5 SM, yang

mengatakan bahwa terdapat undang-undang yang menghukum bagi mereka yang

kedapatan bersalah karena melakukan aborsi. 51 Sejumlah filsuf Yunani Kuno pun,

46
CB. Kusmaryanto, Ibid, hlm 20.
47
Ibid, hlm 20.
48
Terdapat pada bagian akhir buku “Buku Asaph, Dokter” yang ditulis oleh Asaph
Judaeus, seorang dokter Yahudi yang berasal dari Syria atau Mesopotamia yang hidup kira-kira
pada abad 6 SM.
49
Mien Rukmini, dkk, Op.Cit., hlm 26.
50
http://iraapriliani.wordpress.com/2014/08/19/aborsi-sejarah-dan-kontroversinya diakses
tgl 19 Oktober 2014.
51
CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 21.
seperti Plato dan Sokrates pada umumnya cukup toleran terhadap perilaku aborsi.

Berbeda hal nya dengan seorang Filsuf bernama Phytagoras yang diyakini

menulis “Sumpah Hyppocrates”. Sumpah itu berbunyi demikian : ”Saya tidak

akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun diminta, atau

menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu. Atas dasar yang sama saya tidak

akan memberikan obat untuk menggugurkan kandungan”. 52 Sumpah tersebut

adalah protes terhadap situasi waktu itu banyak terjadi perbuatan aborsi. Sumpah

Hyppocrates tersebut kemudian diterima sebagai sumpah dokter dan tersebar

keseluruh penjuru dunia, sampai dewasa ini. Sumpah ini diucapkan ketika

mahasiswa kedokteran lulus, sebelum melakukan tugasnya sebagai dokter. Para

dokter di Indonesia juga memakai sumpah ini sebagai sumpah resmi ketika

mereka dilantik sebagai dokter. Aristoteles sendiri, menganjurkan agar aborsi

dipakai sebagai sarana untuk mengontrol jumlah kelahiran, tetapi hanya dapat

dilakukan sebelum nyawa atau jiwa masuk kedalam janin. 53

Hukum sipil yang pertama mengenai aborsi ditulis oleh Henry de Bracton. Ia

menjelaskan bahwa aborsi dilarang bila pelaksanaannya terjadi sesudah adanya

tanda-tanda pergerakan janin. Tentu saja aturan ini sangat longgar karena pada

zaman itu belum ada alat pendeteksi janin. 54

52
M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta,
Buku Kedokteran EGC : 2009), hlm 8.
53
CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 23.
54
Mien Rukmini, dkk., Op.Cit., hlm 27.
Undang-undang yang dikenal dengan sebutan Lord Ellenborough’s Act pada

tahun 1803 di Inggris yang menyatakan bahwa pelaku aborsi dapat dihukum

mati. 55

Kondisi aborsi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada tahun 1800,

tidak satu negara bagian pun di Amerika yang memiliki peraturan yang melarang

aborsi. 56 Sejak sekitar tahun 1900 mulailah diberlakukan larangan aborsi. Hal ini

dikecualikan untuk menyelamatkan hidup ibu atas persetujuan dua dokter atau

lebih. 57 Pada tahun 1952, diadakan suatu konferensi untuk mengganti persyaratan

aborsi. Aborsi sebelumnya dilarang dan hanya dikecualikan dengan alasan

keselamatan nyawa ibu dan kemudian diperluas agar aborsi boleh dilakukan demi

kesehatan jiwa si ibu. Pada tahun 1967 aborsi diperbolehkan demi kesehatan

mental ibu. 58 Tahun 1973 langkah bersejarah lain dalam kasus aborsi di Amerika

ditandai dengan Undang-Undang Roe v. Wade 59, menurut undang-undang ini

aborsi sampai dengan trisemester pertama (3 bulan) dapat dilakukan bebas tanpa

harus ada alasan tertentu. Aborsi pada trisemester kedua dan tiga (lebih dari tiga

bulan) hanya dapat dilakukan jika demi kesehatan ibu si janin. 60 Hal ini kemudian

mendapat reaksi yang hebat dari berbagai pihak. Pada tahun yang sama, mencuat

polarisasi keras dan bengis mengenai legalisasi aborsi yang berdampak cukup

besar terhadap perkembangan politik di negara tersebut. 61 Muncul gerakan pro life

55
CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 23.
56
Mien Rukmini, dkk., Op.Cit., hlm 28.
57
Dadang Hawari, Op.Cit., hlm 60.
58
CB. Kusmaryanto, Op.Cit, hlm 23.
59
Jane Roe adalah nama samaran dari Norma McCorvey, seorang penduduk Dallas
(Texas) , menggugat Negara Bagian Texas yang diwakili oleh pengacara Henry Wade.
60
CB. Kusmaryanto, Ibid, hlm 35.
61
Mien Rukmini, dkk., Op.Cit., hlm 29.
yang menekankan hak janin untuk hidup dan gerakan pro choice yang

mengedepankan hak perempuan untuk melanjutkan kehamilannya atau

mengakhirinya dengan aborsi. Pandangan dari kedua gerakan ini sangat ekstrem,

penuh unjuk rasa dan kekerasan dan tidak jarang terjadi benturan dan penyerangan

yang dilakukan oleh anggota gerakan yang satu terhadap gerakan yang lain. 62

Negara Jepang melegalkan aborsi setelah Perang Dunia II dan disusul banyak

negara komunis lainnya beberapa tahun kemudian, antara lain Uni Sovyet dan
63
Republik Rakyat China. Catatan tertua tentang praktik aborsi di Asia Tenggara

tercatat dalam relief Angkor Wat, Kamboja. 64

Tulisan tertua mengenai praktik aborsi di Indonesia dicatat dalam Sejarah

Melayu (Tahun 1612). 65 Aborsi bukanlah hal yang baru lagi karena telah

dilakukan sejak lama. Pada masa itu praktik aborsi itu dianggap kejadian biasa,

yang dapat dilakukan dengan mudah menggunakan ramuan umbi-umbian atau

dengan pijat tradisional. Aborsi pada dasarnya adalah fenomena yang hidup dalam

masyarakat Indonesia. Aborsi dapat dikatakan sebagai fenomena terselubung

karena praktik aborsi sering tidak tampil ke permukaan, bahkan cenderung

ditutupi oleh pelaku ataupun masyarakat bahkan negara. Ketertutupan ini antara

lain dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, sosial dan agama yang hidup dalam

masyarakat. 66

62
K. Bertens, Aborsi Sebagai Masalah Etika, (Jakarta , Grasindo : 2003), hlm 30.
63
Ibid, hlm 8-9.
64
http://iraapriliani.wordpress.com/2014/08/19/aborsi-sejarah-dan-kontroversinya/
diakses tgl 19 Oktober 2014.
65
Ibid.
66
Masrudi Muchtar, Bidan dan Dinamika Hukum Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta,
Aswaja Pressindo : 2015), hlm 83.
Memasuki abad ke-19 ketika bangsa Eropa menjajah Asia Tenggara termasuk

Indonesia, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1981 mengeluarkan

undang-undang yang didalamnya mengatur mengenai aborsi. Undang-undang ini

menyatakan aborsi menjadi sebuah tindakan kejahatan. Peraturan ini bertahan

hingga setelah masa kemerdekaan dimana pemerintah Indonesia tetap melarang

praktik aborsi dalam bentuk apapun.

KUHP yang merupakan warisan dari jajahan Belanda dan yang hingga saat ini

masih berlaku di Indonesia mengatur beberapa Pasal yang melarang dengan tegas

tindakan aborsi dengan alasan apapun, yaitu terdapat didalam Pasal 299, 346, 347,

348, dan 349 KUHP. Tindakan aborsi tersebut menurut KUHP dikategorikan

sebagai tindakan kriminal dan termasuk dalam kejahatan terhadap nyawa.

Ketentuan dalam KUHP tersebut dilandasi oleh suatu pemikiran atau

paradigma bahwa anak yang masih didalam kandungan merupakan subjek hukum

sehingga berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Apabila ditinjau dari

segi hak asasi manusia yang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup

maupun mempertahankan hidupnya, maka pengguguran kandungan atau aborsi

dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia.

Paradigma yang digunakan mengutamakan hak hidup anak. Oleh karena itu

didalam KUHP tindakan aborsi dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap

nyawa. 67

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1

angka (1), menyebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

67
http://www.tubasmedia.com/berita/tentang-aborsi-kuhp-dengan-uu-kesehatan-berbeda/
diakses tanggal 26 Februari 2015
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Meskipun telah

terjadi perubahan pada Undang-Undang ini yakni Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, pengertian anak yang dimaksudkan dalam Undang-

Undang ini tidak diubah.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan :

Pasal 76C
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak
Pasal 80 ayat (1),
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
Pasal 80 ayat (3),
Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pengguguran anak atau janin mengakibatkan kematian bagi anak atau janin

tersebut. Dengan demikian, setiap tindakan yang merupakan kekerasan terhadap

anak terlebih jika kekerasan tersebut menyebabkan anak itu mati, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Tidak dapat dipungkiri meskipun didalam pengaturan hukum di Indonesia

pengguguran kandungan adalah merupakan bentuk kejahatan dan dapat dipidana,

tetapi kebutuhan untuk dilakukannya praktik aborsi tetap tinggi sehingga praktik
aborsi tetap dilakukan secara ilegal atau diam-diam. Jasa pengguguran kandungan

secara ilegal dapat dengan mudah dijumpai diperoleh di kota-kota besar maupun

di dunia maya sehingga membuat tingginya angka kematian ibu hamil akibat

komplikasi aborsi yang tidak aman. Khususnya di Indonesia sekitar 750.000

(tujuh ratus lima puluh ribu) hingga 1.000.000 (satu juta) pertahun dilakukan

unsafe abortion (aborsi tidak aman), 2.500 (dua ribu lima ratus) diantaranya

menyebabkan kematian. 68 Hal ini mendorong pemerintah untuk menyediakan

pelayanan aborsi yang aman sehingga dapat mengurangi angka kematian ibu.

Pemerintah Indonesia pada tahun 2009 mengeluarkan suatu undang-undang

yang mengatur tentang praktik aborsi selain yang terdapat dalam KUHP yaitu

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Didalam undang-

undang ini dinyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan aborsi,

dikecualikan berdasarkan indikasi medis dan kehamilan akibat kejahatan

perkosaan. Undang-Undang Kesehatan yang baru ini selain mengatur mengenai

aborsi terhadap indikasi kedaruratan medis juga mengatur suatu ketentuan

mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan yang tidak di atur dalam

KUHP. Pada peraturan perundang-undangan demikian berlaku asas Lex specialis

de rogat legi generali, yaitu salah satu asas hukum yang mengandung makna

bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang

umum.

68
Ibid.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis de rogat

legi generali, yaitu 69:

1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap


berlaku, kecuali yang di atur khusus dalam aturan hukum tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan legi generali (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan legi generali.

Dengan demikian, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

mengatur tentang aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan merupakan lex

specialis dari aturan-aturan umum yang di atur dalam KUHP yang melarang

tindakan aborsi dalam bentuk apapun.

Pada Tahun 2014 diundangkan suatu peraturan pelaksana berdasarkan

perintah dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan berupa

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

yakni mengatur beberapa Pasal yang lebih rinci sehubungan dengan aborsi

terhadap wanita korban perkosaan dimulai dari Pasal 31 hingga Pasal 39. Mencuat

banyak pro dan kontra sehubungan dengan dilegalisasinya peraturan pemerintah

ini.

Menurut Bachtiar Agus Salim, munculnya bentuk-bentuk peraturan tentang

legalisasi pelaksanaan aborsi dalam suatu perundang-undangan berhubungan

dengan semakin diakuinya hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

69
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-
specialis-derogat-legi-generalis diakses tanggal 1 Maret 2015
Berdasarkan hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan inilah persoalan boleh

tidaknya perbuatan abortus provocatus ditarik ke arah dekriminalisasi. 70

B. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan


Dalam KUHP (KUHP)
KUHP (KUHP) di Indonesia pada dasarnya merupakan kodifikasi peninggalan

masa Pemerintahan Hindia Belanda. Kitab ini pertama sekali diundangkan dalam

Staatsblads 1915-732 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands

Indie, yang kemudian dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie

dinyatakan tetap berlaku dengan sejumlah perubahan, penambahan dan

pencabutan, dan namanya diubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau KUHP.71

Perbuatan aborsi atau pengguguran kandungan didalam KUHP adalah perbuatan

yang dilarang atau delik. Topik mengenai aborsi terhadap wanita korban

perkosaan belum di atur didalam kitab ini sehingga tidak terdapat dalam KUHP,

yang di atur hanya mengenai aborsi secara umum yaitu dalam Buku Kedua KUHP

tentang kejahatan terhadap jiwa manusia Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349. Pasal

tersebut menyatakan bahwa perbuatan pengguguran kandungan itu merupakan

perbuatan kejahatan yang dapat dipidana. Berikut penjabaran Pasal-Pasal

mengenai aborsi dalam KUHP :

a. Pasal 299 KUHP

(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau


mengerjakan sesuatu perbuatan terhadap seorang perempuan dengan
memberitahukan atau menimbulkan pengharapan, bahwa oleh karena

70
Bachtiar agus salim, Kebebasan Perbuatan Medis dan KUHP, (Medan , Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara : 1979), hlm 11.
71
Frans Maramis, Op.Cit., (Jakarta , Rajawali Press : 2013), hlm 43.
itu dapat gugur kandungannya, dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu
rupiah.
(2) Kalau sitersalah mengerjakan itu karena mengharapkan keuntungan,
dari pekerjaannya atau kebiasaannya dalam melakukan kejahatan itu,
atau kalau ia seorang tabib, dukun beranak (bidan) atau tukang
membuat obat, hukuman itu, dapat ditambah dengan sepertiganya.
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya,
maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

Adami Chazawi menjabarkan unsur-unsur kejahatan yang dirumuskan


72
pada Pasal 299 KUHP ayat (1) sebagai berikut:

Unsur objektif
1. - Perbuatannya mengobati,
- Menyuruh supaya diobati;
2. Objeknya seorang perempuan,
3. - Diberitahukan hamilnya dapat digugurkan.
- Ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan;
Unsur subjektif
1. Dengan sengaja

Adami Chazawi menjelaskan dalam bukunya berjudul Tindak Pidana

Mengenai Kesopanan mengenai unsur objektif pertama yaitu perbuatan

mengobati. Perbuatan mengobati (in behandeling nemen) yang dihubungkan

dengan unsur-unsur lain dalam Pasal ini adalah melakukan perbuatan

mengobati seorang perempuan dengan cara bagaimanapun misalnya dengan

memberi obat, memijat-mijat bagian tubuh korban dengan terlebih dahulu

memberitahukan kepada korban bahwa dengan demikian janin yang

dikandungnya dapat menjadi gugur, atau memberikan harapan pada korban

bahwa kehamilannya dapat digugurkan. 73

72
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta, Raja Grafindo Persada
: 2005), hlm 124.
73
Ibid, hlm 124.
Bachtiar Agus Salim menegaskan dalam pidato beliau pada hari ulang

tahun Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang ke-25

tanggal 12 Januari 1979, jadi yang perlu dibuktikan adalah tentang

‘pemberitahuan’ atau ‘penimbulan harapan’ tersebut. Kejahatan dalam Pasal

ini menjadi selesai, segera sesudah dimulai dengan obat itu telah diberikan,

pemijatan telah dilakukan, jika hal itu telah diberitahukan atau telah

menimbulkan harapan, bahwa kandungan itu “dapat” digugurkan. 74

Pasal 299 KUHP menjelaskan, bahwa dalam Pasal ini yang juga perlu

dibuktikan adalah bahwa perempuan itu betul-betul mengandung, bukan

mengenai masih hidup atau telah matinya si anak sebelum digugurkan. Jika

dalam hal itu salah dikira, bahwa perempuan itu hamil, maka orang yang

mengerjakannya itu tidak dapat dihukum, oleh karena tidak ada kandungan

yang diganggu (obyek yang tidak sempurna sama sekali). Tetapi apabila

seorang dokter berpura-pura memberitahukan obat untuk menggugurkan

kandungan kepada seorang wanita, namun kenyataannya obat tersebut adalah

vitamin yang justru berfungsi untuk memberi nutrisi pada kandungan wanita

itu, dalam hal ini dokter tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal ini akan

tetapi tidak dapat dihukum, oleh karena sifat melawan hukum yang

diperlukan bagi tiap-tiap peristiwa pidana disini tidak ada. Karena maksud

tindakan dokter disini tidak ditujukan untuk melanggar hukum, melainkan

untuk melindungi kandungan itu.

74
Bachtiar agus salim, Op.Cit., hlm 7.
Unsur objektif kedua yaitu menyuruh supaya diobati. Pada perbuatan

menyuruh mengobati, si pembuat tidak melakukannya sendiri pengobatan itu,

tetapi menyuruh orang lain untuk melakukan pengobatan terhadap perempuan

itu, atau menyuruh perempuan itu sendiri untuk melakukan pengobatan

dengan petunjuk dan saran maupun keterangan-keterangan 75.

Perkataan menyuruh mengobati, tidak sama artinya dengan menyuruh

lakukan (doonplegen) dalam Pasal 55 ayat (1) butir 1, karena menyuruh

lakukan pada Pasal 55 ayat (1) terdapat syarat bahwa orang yang disuruh

melakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena itu dia

tidak boleh dipidana, tetapi orang yang disuruh mengobati dalam pengertian

kejahatan ini adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat

dipidana kecuali apabila dalam menyuruh mengobati itu dilakukan sedemikan

rupa sehingga orang yang disuruh mengobati itu menjadi tidak berdaya

sehingga ia tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya dia dipaksa dengan

ancaman kekerasan akan dibunuh jika tidak mau melakukan pengobatan. 76

Apabila perempuan itu sendiri yang disuruh mengobati, tidak penting

apakah dengan cara demikian, masuk akal atau tidak, apakah benar hamilnya

menjadi gugur ataukah tidak. Cukup dengan diberitahukan atau ditimbulkan

harapannya bahwa dengan pengobatan cara itu hamilnya perempuan itu dapat

menjadi gugur. Dengan demikian, tidak diperlukan perempuan itu pada

kenyataan benar-benar hamil, asalkan dia mengira bahwa dirinya hamil.

Perempuan yang disuruh melakukan penguguran kandungannya sendiri

75
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm 124.
76
Ibid, hlm 125.
dengan cara demikian tidak dapat dikenakan Pasal 299 KUHP, melainkan

dikenakan Pasal 346 KUHP. 77

Pihak ketiga yang disuruh melakukan pengobatan dikenakan Pasal 299

sebagai “pembuat (dader) yang mengobati”. Sedangkan pihak kedua (yang

menyuruh) apabila kepada perempuan tersebut memberitahukan atau

menimbulkan harapan padanya itu bahwa dengan cara pengobatan dukun tadi

hamilnya dapat digugurkan, juga dia telah melakukan kejahatan itu sebagai

“pembuat (dader) karena menyuruh mengobati”. Akan tetapi, apabila dia

tidak memberitahukan atau menimbulkan harapan pada si perempuan, karena

yang memberitahukan dan atau menimbulkan harapan adalah si dukun,

namun dia telah membawa perempuan itu ke pihak ketiga dengan telah

menggunakan cara-cara yang disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) butir 2

KUHP, misalnya dengan membayarnya, pihak kedua hanya berkualitas

sebagai pembuat penganjur (uitlokker) dalam hal pihak pertama yang

melakukan pengobatan itu (299 juncto 55 ayat (1) butir 2), sedangkan pihak

pertama berkualitas sebagai pembuat pelaksananya (299 juncto 55 ayat (1)

butir 1), dan bukan sebagai pembuat tunggal (dader). 78

Unsur subyektifnya adalah unsur sengaja yang ditempatkan pada

permulaan rumusan dengan mendahului semua unsur dari Pasal 299 tersebut.

Oleh karena itu, kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur di

belakangnya. Artinya ialah: 79

77
Ibid, hlm 125-126.
78
Ibid, hlm 126-127.
79
Ibid, hlm 128.
1. Si pembuat menghendaki untuk melakukan perbuatan mengobati atau
menyuruh mengobati;
2. Diketahuinya bahwa yang diobatinya itu atau yang disuruh diobatinya itu
adalah seorang perempuan hamil, atau menurut keyakinannya dia hamil;
3. Disadarinya bahwa dengan pengobatan demikian si pembuat telah
memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat
digugurkan .
Kesengajaan seperti itulah yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut

umum di sidang pengadilan.

Ayat (2) merumuskan tentang dasar-dasar pemberatan pidana. Penjelasan

Pasal 299 KUHP mengatakan, menurut ayat (2) maka ancaman hukumannya

diperberat apabila perbuatan itu dilakukan:

a. Karena mencari untung;

b. Sebagai pekerjaannya sehari-hari atau sebagai kebiasaan;

c. Oleh dokter, bidan atau tukang membuat obat.

Pada ayat (3) tentang dapat dijatuhkannya pidana tambahan pada

kejahatan itu yaitu pencabutan hak menjalankan pencarian.

Perbedaan antara “diberitahukan bahwa dengan pengobatan itu hamilnya

dapat digugurkan” dengan “ditimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat

digugurkan” adalah bahwa pemberitahuan itu berupa perkataan atau ucapan

yang isinya bahwa pengobatan itu dapat menggugurkan kandungan sehingga

tidak perlu membuat perempuan itu benar-benar percaya bahwa hamilnya

dapat digugurkan, yang penting pengobatan itu telah dilakukan.

Menimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan maksudnya harapan


itu benar-benar telah timbul dari adanya pengobatan itu, dan tidak penting

apakah benar hamilnya dapat gugur atau tidak. 80

Tindak pidana ini sangat luas. Tidak perlu ada kandungan yang hidup.

Bahkan, tidak perlu bahwa benar-benar ada seorang perempuan yang hamil.

Cukuplah apabila pada seorang perempuan ditimbulkan harapan bahwa

kehamilan yang mungkin ada akan diberhentikan dengan pengobatan ini.81

Dengan demikian Pasal 299 ini sangat bersifat preventif untuk dapat lebih

efektif memberantas abortus.

b. Pasal 346 KUHP

Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati


kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun.
Menurut H.A.K Mochtar 82, unsur-unsur dari Pasal 346 KUHP adalah :
Unsur objektif
1. Perempuan yang :
- Menyebabkan gugur kandungannya ;
- Mati kandungannya ;
2. Menyuruh orang lain menyebabkan :
- Gugur kandungannya ;
- Mati kandungannya ;
Unsur subjektif
1. Dengan sengaja

Menurut Alfred C. Satyo 83 yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah
1. Wanita yang menyebabkan kandungannya menjadi gugur atau mati ;
2. Wanita yang dengan sengaja menyuruh orang lain menyebabkan
kandungannya menjadi gugur atau mati

80
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm 127.
81
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung, Refika
Aditama: 2003), hlm 76.
82
H. A. K. Mochtar Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung ,
Alumni : 1980), hlm 98.
83
Alfred. C. Satyo, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dan Profesi Dokter,
(Medan, USU Press : 2004), hlm 55.
Menurut H.A.K. Mochtar, unsur obyektif pertama terletak dalam

perbuatan orang perempuan terhadap badannya sendiri. Unsur obyektif yang

kedua maksudnya adalah perempuan itu membiarkan orang lain menyebabkan

kandungannya gugur atau mati atas permintaannya sendiri atau atas izinnya.

Perempuan yang menyuruh dapat dihukum berdasarkan membujuk (uitlokken)

Pasal 55 ayat (1) atau menyuruh melakukan tindakan kejahatan sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 347.

Rumusan Pasal 346 tersebut tidak menegaskan bahwa si anak yang

digugurkan masih hidup atau mati. 84 Sesungguhnya harus ditegaskan bahwa

kandungan itu mati sebagai akibat pengguguran. 85 Pengguguran dalam

kandungan hanya dapat dipidana apabila pada waktu perbuatan itu dilakukan

kandungannya hidup. Undang-undang tidak mengenal suatu dugaan menurut

hukum, dapat disimpulkan bahwa ada kehidupan atau kepekaan hidup. 86 Oleh

sebab itu para sarjana hukum berpendapat bahwa untuk pengertian abortus itu

haruslah dibuktikan bahwa si anak sebelum digugurkan atau dibunuh itu

masih hidup. 87 Apabila kandungan itu keluar dan ternyata masih hidup lalu

dibunuh, maka hal ini merupakan pembunuhan yang dipikirkan terlebih

dahulu (moord), disamping percobaan untuk menggugurkan kandungan. 88

Unsur subyektifnya adalah unsur dengan sengaja. Menurut penjelasan

Pasal 346 KUHP, Pasal ini dikenakan bagi perempuan yang dengan sengaja

84
Bachtiar agus salim, Op.Cit., hlm 6.
85
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delichten) didalam KUHP, (Jakarta ,
Sinar Grafika: 2009), hlm 63.
86
Lihat Hoge Raad 1 November 1897 dalam Alfred C. Satyo, Kumpulan Peraturan
Perundang-Undangan dan Profesi Dokter, (Medan, USU Press : 2004), hlm 57.
87
Bachtiar agus salim, Op.Cit., hlm 6.
88
Andi Hamzah,Op.Cit., hlm 62.
menggugurkan atau membunuh kandungannya atau suruhan orang lain untuk

itu. Orang yang dengan sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan

perempuan itu dengan tidak izin perempuan itu dihukum menurut Pasal 347

KUHP., dan apabila dilakukan dengan izin perempuan itu dikenakan Pasal

348 KUHP.

c. Pasal 347 KUHP

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati


kandungannya seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
H. A. K. Mochtar Anwar didalam bukunya Hukum Pidana Bagian Khusus
menjabarkan unsur – unsur dalam Pasal 347 KUHP sebagai berikut: 89
Unsur obyektif :
1. Menyebabkan gugur kandungan seorang perempuan ;
2. Menyebabkan mati kandungan seorang perempuan ;
3. Tanpa izin dari perempuan itu
Unsur subyektif :
1. Dengan sengaja.

H.A.K. Mochtar menambahkan, dalam ayat (1) bahwa perbuatan-

perbuatan itu dilakukan tanpa izin dari perempuan yang hamil itu. Dan dalam

ayat (2) hukuman diperberat, apabila menimbulkan akibat matinya perempuan

itu.

Alfred C. Satyo mengatakan, bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal

ini adalah orang yang dengan sengaja menyebabkan kandungan seorang

wanita menjadi gugur atau mati, tanpa izin dari wanita yang bersangkutan.

89
H. A. K. Mochtar Anwar, Op.Cit., hlm 99.
Sedangkan ayat (2) menetapkan hukuman yang lebih berat, apabila perbuatan

itu mengakibatkan matinya wanita yang bersangkutan. 90

d. Pasal 348 KUHP

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati


kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu,
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, ia dihukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun.

Menurut Andi Hamzah, bagian inti delik (delicts bestanddelen) Pasal 348
KUHP ayat (1) adalah 91 :
1. Sengaja,
2. Menggugurkan kandungan seorang perempuan
3. Dengan persetujuan

Unsur-unsur dalam Pasal 348 hampir sama dengan Pasal 347, yang

membedakannya adalah unsur tanpa izin. Pengguguran atau pembunuhan

kandungan dalam Pasal 348 dilakukan dengan seizin perempuan itu. Pada

ayat (2) ditetapkan hukuman yang lebih berat diancamkan terhadap

pengguguran ini, apabila perempuan itu meninggal dunia. 92 Persamaannya

adalah bahwa Pasal 347 dan 348 sama-sama memiliki keadaan memperberat

pidana yang tercantum dalam ayat (2) nya, yaitu jika perempuan itu mati.

Visum dokter dapat dipakai sebagai bukti hubungan kausalitas antara

perbuatan menggugurkan kandungan yang menyangkut perlakuan terhadap

tubuh perempuan itu dan kematiannya. 93

e. Pasal 349 KUHP

(1) Bila seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam
kejahatan yang tersebut dalam Pasal 346, atau bersalah atau membantu

90
Alfred C. Satyo, Op.Cit., hlm 56.
91
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 65.
92
H. A. K. Mochtar Anwar, Op.Cit., hlm 100.
93
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 65.
dalam salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348,
maka hukuman yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiganya dan dapat ia dipecat dari jabatannya yang
digunakan untuk melakukan kejahatan itu.

Pasal 349 KUHP tidak memuat rumusan delik tersendiri. Menurut Pasal

349 KUHP jika seorang dokter, bidan atau tukang obat, membantu kejahatan

dari Pasal 346 atau bersalah melakukan atau membantu salah satu kejahatan

dari Pasal 347 dan 348, maka hukuman yang ditentukan dalam Pasal itu boleh

ditambah dengan sepertiganya, dan boleh dicabut haknya menjalankan

pekerjaan yang didalamnya ia melakukan kejahatan itu. 94

C. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan


Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan reproduksi.

Pemahaman kesehatan reproduksi tersebut termasuk pula adanya hak-hak setiap

orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif dan

terjangkau. Untuk menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi tersebut

diwujudkan berbagai upaya kesehatan, diantaranya reproduksi dengan bantuan,

aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan

sebagai pengecualian atas larangan aborsi, upaya kesehatan ibu, dan kehamilan

diluar cara alamiah yang di atur didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
95
tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan

perhatian khusus kepada kesehatan reproduksi. Hal ini dikarenakan masalah

94
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm 75.
95
Masrudi Muchtar, Op.Cit., hlm 62.
kesehatan reproduksi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia menjadi

masalah kesehatan yang utama. Akibat rendahnya kesehatan reproduksi, terutama

pada wanita, maka akan berdampak terhadap tingginya angka kematian bayi dan

kematian ibu karena melahirkan. Padahal kedua indikator tersebut merupakan

bagian terpenting dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium. 96

Negara pada prinsipnya melarang aborsi, larangan tersebut ditegaskan kembali

dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tetapi

kenyataannya pada kondisi akibat pemaksaan kehendak pelaku, seorang korban

perkosaan akan menderita secara fisik, mental dan sosial, dan kehamilan akibat

perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah

mengalami trauma berat akibat peritiwa perkosaan tersebut. Oleh sebab itu dalam

tataran bahwa negara harus melindungi warganya dalam hal ini perempuan yang

melakukan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan serta melindungi

tenaga medis yang melakukannya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan memberi pengecualian untuk dilakukannya tindakan aborsi. 97

Aturan mengenai aborsi sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan, terdapat didalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1992. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

lagi.

Ketentuan mengenai aborsi didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992

adalah terkait dengan tindakan aborsi terhadap indikasi kedaruratan medis yang
96
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta, Rineka Cipta : 2010),
hlm 135.
97
Op.Cit., hlm 63.
mengancam nyawa ibu dan bayi lahir cacat sedangkan didalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang baru, selain mengatur mengenai

aborsi terhadap indikasi kedaruratan medis juga di atur suatu ketentuan mengenai

aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan yang tidak di atur dalam KUHP dan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992.

Pasal 75 ayat (2) b

Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi


korban perkosaan.

Penjelasan Pasal Undang-Undang 36 Tahun 2009 tidak menjabarkan lebih

lanjut mengenai trauma psikologis sehubungan dengan aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan karena telah dianggap cukup jelas oleh para pembuat undang-

undang.

Menurut Wiwik Sulistyaningsih dalam bukunya Mengatasi Trauma Psikologis

Upaya Memulihkan Trauma Akibat Konflik dan Kekerasan 98, gangguan stress

pasca trauma atau disingkat dengan trauma psikologis (posttraumatic stress

disorder) adalah gangguan psikologis yang terjadi setelah individu mengalami

peristiwa traumatik yang berat. Gangguan trauma psikologis merupakan gangguan

kejiwaan yang terjadi akibat mengalami atau menyaksikan peristiwa yang

mengancam keselamatan hidup dan serangan terhadap badan seperti peperangan,

bencana alam, serangan teroris, penyiksaan, penganiayaan seksual, dan perkosaan.

Peristiwa yang dapat menimbulkan pengalaman traumatik mempunyai ciri-

ciri antara lain merupakan pengalaman mental yang luar biasa menyakitkan,

melampaui ambang kemampuan rata-rata orang menanggungnya, mengakibatkan


98
Wiwik Sulistyaningsih, Mengatasi Trauma Psikologis Upaya Memulihkan Trauma
Akibat Konflik Kekerasan, (Yogyakarta , Paradigma Indonesia: 2009), hlm 25-26
perubahan drastis dalam kehidupan seseorang, mengubah persepsi seseorang

terhadap kehidupannya, mengubah perilaku seseorang, dan mengubah emosi

seseorang. 99

Trauma psikologis tergolong sebagai salah satu gangguan kecemasan. Bentuk

gangguan kecemasan antara lain gangguan stress akut, gangguan stress pasca

trauma, gangguan depresi, gangguan panik, gangguan fobia, dan gangguan tidur.

Gangguan trauma cenderung lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-

laki. 100

Dampak kejahatan seksual terhadap psikologi korban sangat relatif. Tidak

semua korban mengalami trauma psikologis yang sama. Beberapa hal yang bisa

mempengaruhi psikologis korban, pertama berkaitan dengan usia korban, kedua,

berkaitan dengan tingkat kekerasan seksualnya. Korban yang masih berumur 8

tahun kebawah dengan tingkat kekerasan seksual yang rendah (misalnya

percabulan meraba-raba alat kelamin korban dan tidak sampai menyetubuhi

korban), traumanya mudah hilang dikarenakan sifat dari anak-anak yang masih

polos, tetapi tidak tertutup kemungkinan pula ada anak yang trauma dengan

kondisi demikian. Trauma lebih besar justru dialami oleh orang tua korban

daripada korban itu sendiri. Jika korbannya berumur 10 tahun ke atas dengan

tingkat kekerasan seksual yang parah seperti perkosaan hingga menimbulkan luka

fisik, bentuk trauma dapat berupa rasa takut saat menemui pelaku, histeris dan

menjerit-jerit. 101

99
Ibid, hlm 28
100
Ibid, hlm 29
101
Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015.
Dampak yang dirasakan orang-orang yang mengalami problem psikologis

setelah terjadinya peristiwa traumatik bervasiasi tergantung pada sifat, berat dan

lamanya peristiwa traumatik yang dialami. Dampak peristiwa traumatik akibat

bencana alam biasanya akan dapat di atasi dalam jangka waktu sekitar dua tahun,

sementara trauma yang diakibatkan oleh peran manusia akan berlangsung lebih

lama karena dalam peristiwa traumatik akibat kejahatan manusia terdapat faktor

kebencian yang dapat memperburuk kondisi kesehatan mental dalam hubungan

antar manusia. Dengan demikian perawatan kesehatan mental sangat diperlukan

bagi orang yang mengalami trauma psikologis akibat kejahatan manusia. 102

Pasal-Pasal berikutnya dalam UU Kesehatan mengatur syarat-syarat untuk

dilakukannya aborsi antara lain sebagai berikut :

Pasal 75 ayat (3)

Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.

Penjelasan Pasal 75 ayat (3) menyebutkan, yang dimaksud dengan konselor

adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui

pendidikan dan pelatihan. Konselor yang dimaksud adalah dokter, psikolog, tokoh

masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki

keterampilan untuk itu.

Syarat lain yang ditentukan dalam undang-undang ini mengenai pelaksanaan

aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dalam Pasal 76 adalah bahwa aborsi

dilakukan :

102
Op.Cit., hlm 32-33
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh Menteri.

Para pembuat undang-undang dalam Pasal 77 merumuskan pula aturan yang

diperuntukkan khusus bagi pemerintah agar pemerintah terbeban melindungi dan

mencegah aborsi diluar dari yang dirumuskan didalam undang-undang.

Pasal 77 :

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak
bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan
norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab

adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan

yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional,

tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau

lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.

Aborsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki

keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh

menteri. Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga

Kesehatan, yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan berdasarkan PP tersebut

adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki

pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang

untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.


Keterampilan dan kewenangan yang dimaksud, dinyatakan dengan ijazah dari

lembaga pendidikan dan terkait erat dengan hak dan kewajiban tenaga kesehatan

itu sendiri. Keterampilan dan kewenangan tersebut menunjukkan kemampuan

profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan

tersebut.

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996 menjamin perlindungan hukum bagi

tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesinya dan

perlu digaris bawahi bahwa tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya

kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan itu memiliki izin dari

Menteri.

Ketentuan pidana dalam Pasal 194 Undang-Undang ini merumuskan sanksi

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) maka dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sanksi terkait dengan hukum, oleh karena itu hukum dan sanksi saling

melengkapi. Sebaliknya, sanksi tanpa hukum (kaidah) hanya akan menimbulkan

kesewenang-wenangan penguasa. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 194 adalah sanksi bagi setiap

orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal

75 ayat (2). Merujuk pada Pasal 75 ayat (2), disebutkan setiap orang dilarang

melakukan aborsi, kecuali, berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi

sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat

diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, serta

berdasarkan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan. Setiap orang yang melakukan tindakan aborsi

diluar dari yang di atur dalam Pasal 75 ayat (2) tersebut dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Membandingkan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan Pasal 194 dengan ketentuan pidana yang mengatur

larangan aborsi provocatus criminalis didalam KUHP (Pasal 299, 346, 347, 348,

dan 349), maka ketentuan pidana dalam UU Kesehatan jauh lebih berat.

Kenyataannya kebanyakan korban meminta pelaku untuk dihukum seberat-

beratnya. Hal tersebut dinilai manusiawi apabila korban meminta pelaku untuk

dihukum berat atau dihukum mati dikarenakan oleh kebanyakan korban perkosaan

adalah awam hukum. Padahal dalam kenyataannya jangankan hukuman mati,

hukuman seberat-beratnya saja seperti hukuman maksimal sangat jarang

dijatuhkan bagi pelaku. 103

Ditinjau dari sudut pandang kebijakan hukum pidana, ketentuan pidana

mengenai abortus provocatus criminalis dalam Undang-Undang Kesehatan

mengandung prevensi umum dan prevensi khusus untuk menekan angka

kejahatan abortus criminalis. Dengan mengenakan ancaman pidana yang

demikian beratnya itu diharapkan pelaku-pelaku abortus criminalis menjadi jera

103
Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015.
dan tidak mengulangi perbuatannya, dalam dunia hukum hal ini disebut sebagai

prevensi khusus, yaitu usaha pencegahannya agar pelaku abortus criminalis tidak

mengulangi perbuatannya lagi. Sedangkan prevensi umumnya berlaku bagi warga

masyarakat karena mempertimbangkan baik-baik sebelum melakukan aborsi

karena akan dikenai sanksi yang berat. 104

Sifat daripada pidana merupakan suatu penderitaan meskipun hal tersebut

bukan yang terutama. Pidana yang dijatuhkan bagi setiap orang yang bersalah

merupakan sifat derita yang harus dijalaninya. 105 Pemberian nestapa atau

penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar ketentuan

perundang-undangan tidak lain dimaksudkan agar orang tersebut menjadi jera106,

sehingga meskipun pidana pada hakikatnya merupakan suatu nestapa, namun

pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia. 107

D. Pengaturan Hukum Aborsi Terhadap Wanita Korban Perkosaan Dalam


Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Reproduksi
Pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan

hukum, serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang

mengatur penyelenggaraan reproduksi dengan bantuan, aborsi berdasarkan

indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan

aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan diluar cara

104
Masrudi Muchtar, Op.Cit., hlm.107.
105
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
(Jakarta , Sinar Grafika: 2007), hlm 2.
106
Ibid, hlm 12.
107
Ibid, hlm 3.
alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat

Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral, etika,

serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu mengatur

penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61

Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sebagai peraturan pelaksana dari

ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang

Kesehatan Reproduksi, secara khusus mengatur mengenai Aborsi yaitu pada Bab

IV dengan judul Indikasi Kedaruratan Medis Dan Perkosaan Sebagai

Pengecualian Atas Larangan Aborsi. Bab ini terdiri dari 4 Bagian dan dibagi lagi

kedalam sub-sub bahasan, dimulai dari Pasal 31 sampai Pasal 39.

Pasal 31 PP ini mengatakan bahwa salah satu pengecualian untuk dapat

dilakukannya aborsi adalah terhadap kehamilan akibat perkosaan. Tindakan aborsi

akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama

berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Jika

melihat kembali aturan yang dirumuskan didalam UU Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan, salah satu syarat dalam pelaksanaan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan dalam UU tersebut yaitu bahwa aborsi hanya dapat

dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari

pertama haid terakhir. Yang dimaksud dengan 6 (enam) minggu sama hal nya

dengan 42 (empat puluh dua) hari. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang

jauh apabila membandingkan rumusan aturan mengenai aborsi terhadap


kehamilan akibat perkosaan ini dalam UU Kesehatan dengan PP Kesehatan

Reproduksi.

Salah satu sub bahasan yang dirumuskan dalam PP ini adalah mengenai

Indikasi Perkosaan. Pasal 34 :

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat


(1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya
persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan :
a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan
oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya
dugaan perkosaan.

Peraturan Pemerintah ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan

perkosaan adalah hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak

perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua

hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini yaitu pada frasa : “hubungan seksual

tanpa persetujuan dari perempuan”, dan frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.” Frasa “hubungan seksual tanpa persetujuan pihak

perempuan” tidak dibatasi lebih lanjut dalam peraturan pemerintah ini. Hal ini

berarti bahwa selain perkosaan yang di atur secara umum dalam Pasal 299, 346,

347, 348, dan 349 KUHP, maka hubungan seksual dalam lingkup rumah tangga

yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya (kekerasan seksual dalam rumah

tangga) juga termasuk dalam pengertian ayat ini yaitu merujuk kepada Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga pada Pasal 8 dan Pasal 46. Frasa selanjutnya yaitu frasa “sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”, hal ini setiap berarti merujuk kepada

setiap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana hubungan

seksual tanpa persetujuan pihak perempuan itu sendiri.

Pasal 34 ayat 2 (dua) menyatakan bahwa kehamilan tersebut dibuktikan

dengan surat keterangan dari dokter dan keterangan dari penyidik, psikolog dan

atau ahli lain. Ahli lain yang dimaksud antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter

spesialis forensik, dan pekerja sosial. Wewenang masing-masing profesi dalam

ayat ini berbeda. Dokter yang dimaksud pada huruf a, berwenang mengeluarkan

surat keterangan mengenai usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan.

Yang dimaksud dalam huruf b yaitu penyidik, psikolog dan atau ahli lain,

berwenang memberikan keterangan mengenai adanya dugaan perkosaan. Tidak

dijelaskan lebih rinci dalam ayat ini apakah dokter wajib mensyaratkan korban

membuat laporan pengaduan pidana telah benar terjadi perkosaan terlebih dahulu

baru dapat mengeluarkan visum et repertum, atau hal tersebut dapat dilakukan

secara seiring sejalan, atau bahkan visum et repertum dapat dikeluarkan terlebih

dahulu baru kemudian laporan pengaduan pidana menyusul. Hal lain yang perlu

diperhatikan dalam ayat ini adalah kata “dan” yang artinya bahwa baik surat

keterangan dari dokter maupun keterangan dari penyidik, psikolog dan atau ahli

lain, keduanya wajib ada dan tidak dipilih salah satu. Berdasarkan hal tersebut

tampak koneksitas antara penegak hukum dengan tenaga medis. Keakuratan hasil

pemeriksaan oleh tenaga medis sangat dibutuhkan dalam hal ini.


Pasal 35 :

(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat


perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung
jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh Menteri;
c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil
yang
bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. tidak diskriminatif; dan
f. tidak mengutamakan imbalan materi.
(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat
diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

Pasal 36 :

(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis


dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara
pelatihan yang terakreditasi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota
tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan
usia kehamilan akibat perkosaan.
(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim
kelayakan aborsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di atur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 35 berlaku tidak hanya bagi aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

tetapi juga terhadap indikasi medis. Peraturan Pemerintah ini tidak menjabarkan

lebih lanjut defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan pelaksanaan aborsi

yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab melainkan mencantumkan beberapa


hal yang meliputi pelaksanaan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab

tersebut. Penjelasan Pasal 35 menyebutkan, yang dimaksud dengan “tidak

mengutamakan imbalan materi” dalam Pasal 35 ayat (2) huruf f adalah biaya

pelayanan sesuai dengan perhitungan unit cost.

Pasal 36 ayat (1) menyatakan yang dimaksud dengan dokter dalam Pasal 35

ayat (2) huruf a adalah dokter yang telah mengikuti pelatihan oleh penyelenggara

pelatihan yang terakreditasi. Penjelasan Pasal 36 menyebutkan, yang dimaksud

dengan “pelatihan” adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh penyelenggara

terakreditasi dan dibuktikan dengan sertifikat. Dokter yang dimaksud bukan

merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat

keterangan usia kehamilan akibat perkosaan, hal ini dimaksudkan agar

menghindari konflik kepentingan. Aturan tersebut dapat dikecualikan bagi daerah

yang tidak memiliki dokter yang jumlahnya mencukupi sehingga dapat dilakukan

oleh dokter yang sama.

Pasal 37 mengatakan bahwa tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. Konseling yang

dimaksud adalah meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling

pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor. Konselor adalah setiap orang yang

telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.

Konseling pra tindakan antara lain untuk menjajaki kebutuhan dari perempuan

yang ingin melakukan aborsi, untuk mengetahui aborsi dapat atau tidak dapat

dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang,

untuk menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan


kemungkinan efek samping atau komplikasinya, untuk membantu perempuan

yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk

melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah

mendapatkan informasi mengenai aborsi, dan untuk menilai kesiapan pasien untuk

menjalani aborsi. Konseling pasca tindakan antara lain untuk mengobservasi dan

mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi, untuk membantu pasien

memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi, untuk menjelaskan

perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau

tindakan rujukan bila diperlukan, dan untuk menjelaskan pentingnya penggunaan

alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.

Pasal 38 ayat (1) menyebutkan, apabila setelah mendapatkan informasi

mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau

karena tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan memutuskan membatalkan

keinginan untuk melakukan aborsi, maka korban perkosaan dapat diberikan

pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. Pendampingan yang

dilakukan dapat berupa pendampingan psikologis, pendampingan sosiologis, dan

pendampingan medis. Pasal 38 ayat (2) menambahkan bahwa anak yang

dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat

(1) dapat diasuh oleh keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah orang tua

kandung atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah

sampai dengan derajat ketiga. Apabila keluarga menolak untuk mengasuh anak

yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak tersebut menjadi anak asuh yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk

diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena

keluarganya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

Pasal 39 menegaskan bahwa setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan

kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas

kesehatan provinsi yang dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.

PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi tidak mengatur lebih

rinci mengenai indikasi trauma psikologis bagi korban perkosaan yang timbul dari

kehamilan akibat perkosaan. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa trauma

psikologis bagi korban perkosaan merupakan syarat penting yang harus dipenuhi

dalam UU Kesehatan untuk dapat dilaksanakannya aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan.

Wiwik Sulistyaningsih dalam bukunya Mengatasi Trauma Psikologis

Upaya Memulihkan Trauma Akibat Konflik Kekerasan, menyatakankan

berdasarkan kriteria diagnostik, trauma psikologis dapat dikenali melalui gejala

atau simptom-simptom yang ditunjukkan dalam empat aspek yakni aspek fisik,
108
emosi, kognitif, dan hubungan interpersonal sebagai berikut :

1. Dampak dalam aspek fisik meliputi rasa lelah, letih, sulit tidur, mudah
terkejut, terlalu waspada, badan merasa sakit, gangguan pencernaan,
menurunnya nafsu makan dan nafsu seksual, serta rentan terhadap
penyakit.
2. Dampak dalam bidang emosi seperti misalnya rasa shock, ketakutan,
mudah marah, merasa bersalah, kesedihan, emosi mati rasa, merasa tidak
berdaya, kehilangan minat terhadap aktivitas sehari-hari, sulit merasa
bahagia, dan sulit mengalami perasaan cinta.

108
Wiwik Sulistyaningsih, Op.Cit., hlm 30-31
3. Dampak dalam aspek kognitif dari orang yang mengalami trauma
psikologis menunjukkan gejala kurang konsentrasi, kurang mampu
mengambil keputusan, gangguan ingatan, ketidakpercayaan, kebingungan,
mimpi buruk, penurunan harga diri, merasa kurang mampu, menyalahkan
diri sendiri, terbayang-bayang, dan khawatir.
4. Dampak dalam aspek hubungan interpersonal ditandai dengan adanya
konflik hubungan yang meningkat, menarik diri dari pergaulan, kedekatan
hubungan yang menurun, merasa terasing, prestasi kerja menurun, prestasi
sekolah menurun, merasa tidak puas, ketidakpercayaan diri, pelampiasan
rasa bersalah, merasa ditolak, dan sikap terlalu melindungi.

Trauma psikologis berdampak merugikan terhadap kesehatan mental

karena dapat menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan

interpersonal. Umumnya reaksi orang terhadap trauma psikologis akan berangsur-

angsur membaik dan tidak berlanjut menjadi masalah kronis. Lamanya waktu

yang diperlukan oleh seseorang untuk pulih kembali dari trauma tergantung pada

karakteristik individu dan sifat peristiwa traumatik yang dialami. Pada sebagian

orang stress traumatik yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun

bahkan dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih berat. 109

Perempuan yang mengaku-ngaku menjadi korban perkosaan dapat dipidana

membuat laporan palsu, penipuan, memberikan keterangan palsu dan delik

lainnya sesuai dengan KUHP (KUHP) 110 Pemerintah telah mengatur sedemikian

rupa mengenai prosedur dan syarat-syarat tindakan aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan seperti yang telah ditentukan didalam peraturan perundang-

undangan, namun tidak dapat dipungkiri hingga saat ini belum ada sistem yang

dapat berjalan dengan sempurna, karena pasti masih ada celah yang dapat

dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan

109
Ibid, hlm 32
110
Harian Analisa, Sabtu, 9 Agustus 2014, hlm 11.
aborsi secara ilegal. Oleh karena itu apabila aturan ini tetap diberlakukan,

tentunya harus disertai dengan ditingkatkannya fungsi pengawasan terhadap

pelaksanaannya, dan juga dengan aturan-aturan pelaksana lainnya yang dianggap

perlu untuk diundangkan. 111 Aturan lain tersebut sebagaimana yang disampaikan

oleh Nafsiah Mboi yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan saat

Peraturan Pemerintah ini diundangkan dapat berupa Peraturan Menteri Kesehatan

yang mengatur pelatihan untuk tenaga kesehatan, dan juga sanksi terhadap tenaga

kesehatan dan fasilitas kesehatan yang melanggar aturan terkait, serta aturan

teknis lainnya.

111
Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015.
BAB III

TINDAKAN ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN


DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

A. Kaitan Tindakan Aborsi dengan Hak Asasi Manusia

Wacana mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tidak terlepas

dari pertanyaan apakah pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

tersebut telah sesuai dengan aturan-aturan didalam hak asasi manusia. Dua entitas

yang dipertaruhkan dalam kondisi ini baik ibu maupun janin sama-sama memiliki

hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan. Masing-masing juga memiliki alasan

pendukung dengan latar belakang yang berbeda yang membenarkan posisi-posisi

dalam masing-masing pihak dan pola argumentasinya sendiri. Para pendukung

hak hidup dengan argumentasinya menyatakan bahwa kehidupan lebih penting,

sedangkan disisi yang lain para pendukung hak wanita yang didominasi oleh

kaum feminis menyatakan bahwa wanita juga memiliki hak dan kemerdekaan

terhadap diri pribadinya sendiri termasuk dengan kekhususan yang dimilikinya,

yaitu rahim yang dapat mengandung, oleh sebab itu ia dapat memilih untuk

mengandung atau tidak mengandung karena rahim adalah termasuk dalam

tubuhnya, sehingga ia berhak untuk menentukan apa yang terjadi pada tubuhnya.

Hak Asasi Manusia di atur didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dalam Bab XA Hak Asasi Manusia, dimulai dari Pasal 28A

sampai dengan Pasal 28J. Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (1) dinyatakan yang dimaksud

dengan, “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.” Pada Pasal 9 hingga Pasal 66,

terdapat beberapa bagian dari hak asasi manusia antara lain hak untuk hidup, hak

berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak

memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas

kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.

Pengertian Hak Asasi Manusia secara umum adalah hak-hak yang melekat

dalam diri manusia, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat hidup layak

sebagaimana mestinya. John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah

hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak yang

kodrati. Semua orang itu diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tak

dapat dilepaskan. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan

kehidupan manusia. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun didunia ini yang

dapat mencabutnya. Hak-hak tersebut meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan,

hak milik, dan hak kebahagiaan

Kesimpulan dari beberapa pengertian tersebut di atas yaitu bahwa hakekat dari

hak asasi manusia itu bersifat kodrat atau mutlak sebagai anugerah Tuhan Yang

Maha Esa serta bukan pemberian dari penguasa atau pemimpin. Hak asasi

manusia tidak diberi atau diwarisi melainkan berlaku bagi semua orang tanpa

memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, politik, atau asal usul bangsa dan

bersifat universal, sehingga tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi

atau melanggar hak orang lain. Dalam upaya menghormati, melindungi dan
menuntut hak asasi manusia, tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus

dilaksanakan. Demikian halnya dalam memenuhi kepentingan individu tidak

boleh bertentangan dengan kepentingan orang banyak.

Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tersebut jika dilihat dari

sudut pandang hak asasi manusia, melanggar hak hidup janin, hak untuk

mempertahankan hidup, serta hak untuk tumbuh dan berkembang janin. Tetapi

disisi lain, wanita sebagai korban perkosaan juga memiliki hak asasi manusia

berupa hak atas kesehatan, termasuk didalamnya hak atas kesehatan reproduksi,

yaitu berupa keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak

semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,

fungsi, dan proses reproduksi. Wanita juga berhak untuk mendapatkan keturunan,

termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak

untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan.

Kesehatan termasuk di dalamnya kesehatan reproduksi merupakan hak asasi

manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan

cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan amanat

Pancasila dan UUD 1945, pemerintah menetapkan kebijakan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan menetapkan Peraturan Pemerintah

Nomor 61 Tahun 2014 sebagai aturan pelaksananya. Aturan tersebut melarang

setiap orang melakukan aborsi tetapi dikecualikan berdasarkan kedaruratan medis

dan kehamilan akibat perkosaan.


B. Hak Janin

Perempuan sering membuat pembenaran untuk melakukan aborsi dengan

berpandangan bahwa aborsi adalah hak seorang perempuan untuk mengatur

tubuhnya sendiri, menentukan sendiri apa yang baik dan buruk untuk

tubuhnya, apa yang boleh dan tidak boleh bagi tubuhnya. 112 Sebagian orang

juga sering lupa, sebab bukan saja hanya perempuan yang mempunyai hak,

janin dalam kandunganpun juga mempunyai hak, yaitu hak untuk hidup. 113

Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang

Maha Esa yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan

kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya boleh

dicabut oleh Pemberi kehidupan tersebut. 114

Hak untuk hidup adalah salah satu Hak Asasi Manusia yang

dicantunmkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Pasal 28A, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk

mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28B, “Setiap anak berhak

atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28I, “Hak untuk hidup,

hak untuk disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,

hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan

hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun.”.
112
CB. Kusmaryanto, Op.Cit., hlm 164.
113
K. Bertens, Op.Cit., hlm 28.
114
Masrudi Muchtar, Op.Cit., hlm 81.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dalam Pasal 1 angka (5), menyebutkan, “Anak adalah setiap manusia yang

berada dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak

yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya”. Berdasarkan pengertian ‘anak’ tersebut dapat diambil

kesimpulan bahwa anak yang didalam kandungan (janin) secara hukum sudah

di atur hak nya, sehingga setiap ketentuan yang menyangkut hak anak maka

hal tersebut juga menyangkut hak janin yang ada didalam kandungan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Pasal 52 ayat (2) menyatakan, “Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk

kepentingannya, hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak

dalam kandungan”. Pasal 53 ayat (1), mengatakan, “Setiap anak dalam

kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan

taraf kehidupannya.”. Apabila dikaitkan dengan tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan, meskipun telah berkali-kali ditegaskan bahwa

tujuan utama tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan adalah

untuk melindungi perempuan sebagai korban perkosaan dan tidak

dimaksudkan untuk semata-mata memusnahkan kehidupan janin didalam

kandungan, namun dampak dari dilaksanakannya tindakan aborsi tersebut

adalah kematian bagi janin, hak hidup janin tetap dikesampingkan dan tidak

lain hal nya dengan tidak melindungi, tidak menghormati, tidak

mempertahankan, mengabaikan, mengurangi, dan merampas hak asasi janin

itu sendiri.
Kebijakan hukum di Indonesia mengatur hukuman bagi penghilangan hak

hidup yaitu diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana di atur

didalam KUHP, seperti pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu, atau

karena kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain, demikian juga

penganiayaan yang dapat menyebabkan matinya orang lain. Disamping itu

ada pula ancaman pidana bagi pembunuhan terhadap bayi yang baru

dilahirkan, termasuk bayi yang masih didalam kandungan. 115

Kehadiran janin didalam kandungan bagi ibu yang tidak

menginginkannya dapat menjadi beban mental dan menyebabkan penderitaan

bagi ibunya. Penderitaan si ibu tersebut meskipun sedemikian besarnya tetap

tidak dapat menjadi alasan yang cukup untuk membalas dendam dan

menimbulkan penderitaan yang lebih besar lagi kepada kepada janinnya

sendiri berupa penghilangan hak hidup janin tersebut karena hal ini

merupakan ketidakadilan. 116 Janin tidak ambil bagian dalam kejahatan yang

dahulu pernah dilakukan oleh ayah biologisnya yang telah memperkosa ibu si

janin tersebut. Janin juga tidak bisa memilih dengan cara apa ia hadir didunia

ini karena jika ia dapat memilih tentu ia tidak akan mau lahir sebagai hasil

dari kejahatan perkosaan. Oleh karena itu ia tidak dapat dituntut untuk ikut

bertanggungjawab atas kejahatan yang diperbuat oleh ayah biologisnya

sehingga mengakibatkan ia layak untuk dibunuh. 117 Janin tidak bersalah,

untuk itu tidak akan adil baginya apabila ia harus digugurkan.

115
Ibid, hlm 81.
116
CB. Kusmaryanto, Op.Cit., hlm 166.
117
Ibid, hlm 170.
Pasal 6 ayat (5) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,

menyebutkan “Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan atas kejahatan yang

dilakukan oleh seseorang dibawah usia delapan belas tahun, dan tidak dapat

dilaksanakan pada perempuan yang tengah mengandung.” 118 Terbukti bahwa

suatu kehidupan adalah sangat berharga, sehingga negara memberikan

perlindungan kepada anak yang ada didalam kandungan perempuan. Dapat

kita pahami bahwa anak didalam kandungan merupakan suatu entitas diluar

daripada ibunya sehingga meskipun ibunya dinyatakan bersalah dan dijatuhi

hukuman mati, bayi yang ada didalam kandungan tidak turut serta bersalah,

dan oleh karenanya pelaksanaan hukuman mati atas ibunya tersebut dapat

ditunda sampai 40 hari setelah bayi itu lahir.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Pasal 52 ayat (1) menyebutkan, “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh

orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.” Undang-Undang telah

mengamanatkan kepada orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

negara suatu tanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada anak

dalam segala aspek.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak

memuat sanksi pidana. Undang-Undang ini hanya mengatur hak, kewajiban,

larangan atau pembatasan. Didalam Penjelasan Umum Undang-Undang ini

disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan

118
Masyhur Effendi, dkk, Op.Cit., hlm 280.
tentang hak asasi manusia. Oleh sebab itu pelanggaran baik langsung maupun

tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, atau

administratif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lain yang sesuai

dengan konteks tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

dilakukan, misalnya dengan mengacu pada KUHP (KUHP) atau peraturan

yang lebih khusus. 119

C. Hak Wanita Korban Perkosaan

Korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif yang

menderita kerugian akibat perbuatan yang melanggar hukum pidana yang

berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang

penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian kerugian meliputi kerugian fisik

maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, atau perusakan

substansial dari hak-hak asasi mereka. 120

Akibat dari terjadinya pelanggaran tentu mengakibatkan munculnya

ketidakseimbangan dalam diri korban (termasuk keluarganya), seperti

ketidakseimbangan dari aspek finansial, apabila korban adalah tumpuan hidup

keluarga, aspek fisik yang mengakibatkan korban berhenti beraktivitas, aspek

psikis yang berwujud munculnya kegoncangan atau ketidakstabilan psikis

baik temporer maupun permanen dari korban. Untuk menyeimbangkan

kondisi korban (keluarga) sehingga dapat pulih kembali pada keadaan

119
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51b887f23d74a/apakah-undang-undang-
harus-memuat-sanksi diakses pada tanggal 12 Februari 2015.
120
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti : 2005), hlm 82.
semula, maka harus ditempuh berbagai upaya pemulihan, seperti pemulihan

secara finansial, medis maupun psikis. 121

Secara teoritis bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat

diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan atau kerugian

yang diderita oleh korban. Untuk kerugian yang bersifat mental/psikis bentuk

ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai

dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya apabila korban hanya

menderita kerugian secara materil misalnya harta bendanya hilang, pelayanan

yang bersifat psikis terkesan terlalu berlebihan. 122

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai merupakan bagian dari

perlindungan kepada masyarakat, hal ini dapat diwujudkan dalam berbagai

bentuk antara lain :

1. Ganti rugi

Delik pada umumnya tidak mengenal ganti rugi yang bersifat pidana.

Hal ini terlihat dalam aturan umum KUHP yang tidak mengenal jenis

pidana ganti rugi. Adanya kemungkinan ganti rugi dalam Pasal 14c

KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana melainkan hanya sekedar

syarat/pengganti untuk menghindari menjalani pidana. 123 Kemungkinan

lain pemberian ganti rugi kepada korban dalam perkara pidana dalam

Pasal 98-101 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

memberi kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian

121
Dikdik M. Arief Mansur, dkk, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara
Norma dan Realita, (Jakarta, Grafindo Persada : 2007), hlm 160-161.
122
Ibid, hlm 165-166.
123
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm 89.
dalam perkara pidana. Dalam putusannya hakim berwenang menetapkan

hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang

dirugikan (korban). Patut diperhatikan bahwa hukuman penggantian biaya

yang dimaksud bersifat keperdataan, bukan sebagai sanksi pidana. 124

Konsep ganti kerugian jika dilihat dari sudut kepentingan korban

mengandung dua manfaat yaitu pertama, untuk memenuhi kerugian

material dan segala biaya yang telah dikeluarkan, dan kedua merupakan

pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan

pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk

pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan

langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Tujuan inti

dari pemberian ganti kerugian tidak lain untuk mengembangkan keadilan

dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat, dan tolok ukur

pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban

untuk mengembangkan hak dan kewajibannya sebagai manusia. 125

2. Restitusi

Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008

Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan

Korban menyebutkan, “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan

kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat

berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk

124
Ibid, hlm 86.
125
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan
Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Grahadika Press : 2004), hlm 65.
kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan

tertentu.”

Restitusi lebih diarahkan kepada tanggungjawab pelaku terhadap

akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah

menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolok ukur yang

digunakan dalam menentukan jumlah restitusi yang diberikan tidak

mudah dalam merumuskannya karena tergantung pada status sosial

pelaku dan korban. 126

3. Kompensasi

Pasal 1 Angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008

Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan

Korban menyebutkan, “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan

oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian

sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya.”

Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek

kemanusiaan dan hak-hak asasi. Negara bertanggungjawab dan

berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya, khususnya

mereka yang mengalami musibah sebagai korban kejahatan. Kompensasi

merupakan bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana

berjalannya proses peradilan dan putusan yang dijatuhkan, bahkan sumber

dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum. 127

126
Rena Yulia, Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta, Graha Ilmu : 2010), hlm 60.
127
Ibid.
Kompensasi hanya diberikan bagi korban pelanggaran HAM yang

berat. Tata cara untuk memperoleh kompensasi di atur dalam PP Nomor

44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan

Kepada Saksi dan Korban.

4. Bantuan dan Konseling

Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial, dan psikologis.

Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan atau masyarakat.

Aparat terkait harus mempunyai pengetahuan yang cukup untuk dapat

memenuhi kebutuhan korban. Sehingga bantuan yang diberikan dapat

optimal, profesional dan tepat sasaran. 128

Perlindungan berupa konseling pada umumnya diberikan pada korban

sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu

tindak pidana terutama bagi korban kejahatan yang menyisakan trauma

berkepanjangan pada korban. 129

Praktiknya bentuk perlindungan hukum bagi korban perkosaan berupa

penggabungan antara gugatan pidana dengan ganti kerugian untuk kasus-

kasus pidana umum termasuk kasus kekerasan seksual dalam sistem hukum

kita masih sangat jarang pelaksanaannya. Ini dikarenakan aturan itu tidak

tegas mengatur. 130

Penderitaan yang dialami wanita korban perkosaan tidak hanya derita

secara fisik, tetapi juga mental, dan sosial. Selain itu korban juga mengalami

128
Ibid, hlm 119-120.
129
Dikdik M. Arief Mansur, dkk, Op.Cit., hlm 169.
130
Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015.
tekanan batin karena merasa dirinya kotor, berdosa dan tidak punya masa

depan lagi, pengucilan dari masyarakat karena dianggap membawa aib bagi

keluarga dan masyarakat sekitarnya, 131 terlebih apabila wanita tersebut

ternyata hamil akibat kejahatan perkosaan yang menimpanya itu. Tidak adil

baginya apabila dipaksa untuk memelihara bayi tersebut hingga dewasa.

Pemberian ganti rugi secara materi/uang tidak dapat menghapus penderitaan

yang telah dialaminya. Oleh sebab itu negara memberi pengecualian larangan

aborsi bagi setiap kehamilan akibat perkosaan sebagai bentuk upaya

perlindungan bagi wanita dan kesehatan reproduksinya serta hak-haknya yang

terabaikan.

Prinsip hormat kepada kehidupan menyangkut didalamnya kehidupan ibu

dan kehidupan janin. Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

tidak dimaksudkan untuk membunuh janin tersebut. Tujuan perbuatan itu

adalah menyelamatkan ibu, dan kematian janin hanyalah efek dari perbuatan

tersebut, yang terpaksa terjadi.

Pasal 75 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, dan Pasal 31 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 61

Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi memberi ruang bagi wanita

korban perkosaan untuk melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan. Wanita korban perkosaan berhak untuk memilih melakukan aborsi

atau tidak melakukan aborsi terhadap kehamilannya akibat perkosaan,

131
Op.Cit.
termasuk hak untuk memutuskan atau memberi persetujuan apakah aborsi

dapat dilakukan atau tidak terhadap dirinya.

Pasal 29 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

menyebutkan : “Korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisplin

dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta

kesehatan fisik, mental, dan seksual”. Hal ini berarti korban perkosaan berhak

atas upaya perlindungan hukum dan medis sebagaimana diuraikan dalam

Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) berupa upaya perlindungan dan penyelamatan

korban, upaya forensik untuk pembuktian dan identifikasi pelaku,

pemeriksaan fisik, mental dan penunjang, pengobatan luka atau cidera,

pencegahan atau penanganan penyakit menular seksual, pencegahan atau

penanganan kehamilan, terapi psikiatri dan psikoterapi, serta rehabilitasi

psikososial.

Rehabilitasi psikososial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog

kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk

memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. 132

Hak lain yang juga dimiliki oleh wanita korban perkosaan yang

dicantumkan dalam Pasal 24 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi diluar dari hal-hal yang berkaitan dengan aborsi adalah hak untuk

mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan.

132
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta, Sinar
Grafika : 2014), hlm 42.
Pasal 35 mengatakan, apabila wanita korban perkosaan memutuskan

melakukan aborsi maka ia berhak untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang

dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggungjawab.

Pasal 37 mengatakan, wanita juga berhak untuk mendapatkan informasi,

edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksinya serta penasehatan

pra tindakan aborsi dan konseling pasca tindakan aborsi yang dilakukan oleh

konselor yang kompeten dan berwenang dengan benar dan

bertanggungjawab. Berdasarkan hal tersebut, dapat diperoleh kesimpulan dari

hak-hak wanita korban perkosaan yang akan melakukan aborsi antara lain

adalah hak untuk mendapatkan kejelasan apakah tindakan aborsi dapat atau

tidak dapat dilakukan, hak untuk mendapatkan tahapan tindakan aborsi dan

kemungkinan efek samping atau komplikasinya, hak untuk memutuskan

apakah aborsi dilakukan atau dibatalkan, serta hak untuk dievaluasi

kondisinya setelah melakukan aborsi. 133

Pasal 38 mengatakan, apabila korban perkosaan memutuskan untuk

membatalkan keinginannya melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi

mengenai aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukannya aborsi,

maka korban perkosaan berhak untuk mendapatkan pendampingan oleh

konselor selama masa kehamilannya.

133
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53e83426ce020/legalitas-aborsi-dan-
hak-korban-pemerkosaan diakses tanggal 1 Maret 2015
Apabila wanita korban perkosaan ingin melakukan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan yang dialaminya, maka prosedur dan syarat

pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 134

1. Perempuan korban perkosaan yang hendak melakukan aborsi terlebih

dahulu harus mengajukan permintaan atau memberikan persetujuan

dilakukannya aborsi. Dalam hal perempuan tersebut tidak dapat

memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga

yang bersangkutan.

2. Perempuan korban perkosaan menyampaikan pengaduan/laporan kepada

penyidik mengenai adanya kejahatan perkosaan.

3. Penyidik memberikan surat pengantar untuk dilakukan visum et repertum

yang ditujukan pada rumah sakit tertentu.

4. Dokter mengeluarkan visum et repertum berupa surat keterangan

mengenai tanda-tanda terjadinya perkosaan serta keterangan usia

kehamilan akibat perkosaan. Usia kehamilan tersebut harus sesuai dengan

kejadian perkosaan. Usia kehamilan akibat perkosaan yang dibenarkan

melakukan aborsi paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung

sejak hari pertama haid terakhir.

5. Hasil keterangan dokter/ahli berupa visum tersebut hanya boleh diambil

oleh penyidik dan kemudian disesuaikan dengan keterangan penyidik,

psikolog dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

134
Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015.
6. Setelah semua syarat untuk dilakukannya aborsi dipenuhi, perempuan

korban perkosaan dapat meminta keterangan kepada penyidik untuk

dirujuk kepada konselor tertentu untuk melakukan konseling pra tindakan

aborsi. Konseling pra tindakan aborsi bertujuan untuk menjajaki

kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi, menyampaikan

dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa

tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil

pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, menjelaskan tahapan

tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau

komplikasinya, membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk

mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan

keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi

mengenai aborsi, dan menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.

7. Setelah konseling selesai dilakukan, maka dapat diambil keputusan

apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan. Apabila korban

perkosaan tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukannya aborsi, korban

perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa

kehamilan.

8. Dalam hal perempuan korban perkosaan memenuhi ketentuan untuk

dilakukannya aborsi, perempuan korban perkosaan berhak untuk

memutuskan apakah aborsi tetap dilakukan atau dibatalkan.


9. Dalam hal perempuan korban perkosaan memutuskan membatalkan

aborsi setelah konseling pra tindakan korban perkosaan dapat diberikan

pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.

10. Apabila perempuan korban perkosaan memutuskan untuk tetap

melanjutkan aborsi, perempuan korban perkosaan dapat meminta

petunjuk dari penyidik atau konselor mengenai penyelenggaraan aborsi.

Penyelenggaraan aborsi dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang

memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

11. Penyelenggaraan aborsi dilakukan oleh dokter sesuai dengan standart, dan

dokter tersebut terlebih dahulu harus mendapatkan pelatihan oleh

penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. Dokter yang dimaksud bukan

merupakan dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan

akibat perkosaan.

12. Sebelum menangani tindakan aborsi, dokter yang bersangkutan terlebih

dahulu harus mengadakan Rapat Komite Medik. 135

13. Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan diakhiri dengan

konseling pasca tindakan. Konseling dilakukan oleh konselor. Konseling

pasca tindakan bertujuan untuk mengobservasi dan mengevaluasi kondisi

pasien setelah tindakan aborsi, membantu pasien memahami keadaan atau

kondisi fisik setelah menjalani aborsi, menjelaskan perlunya kunjungan

ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan

135
Hasil Wawancara dengan dr. Honazaro Marunduri, Kamis 19 Februari 2015.
bila diperlukan, dan menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi

untuk mencegah terjadinya kehamilan.

14. Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepada dinas

kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan

provinsi. Laporan tersebut dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan

kesehatan.
BAB IV
PANDANGAN PRAKTISI TERHADAP TINDAKAN ABORSI TERHADAP
KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

A. Efektifitas Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan

Kata “efektifitas” menurut Ensiklopedia Indonesia, menunjukkan taraf

tercapainya suatu tujuan. Suatu usaha dikatakan efektif apabila usaha itu mencapai

tujuannya. Arti kata efektif berasal dari bahasa Inggris yakni effective yaitu baik

hasilnya, mempan, tepat, benar, sedangkan arti kata efektif menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah ada efeknya, ada akibat atau pengaruhnya, manjur atau

mujarab, dapat membawa hasil atau berguna, mulai berlaku.

Kata efektifitas pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dapat

diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya

tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan. Suatu pelaksanaan aborsi

terhadap kehamilan akibat perkosaan itu dikatakan efektif apabila tujuan yang

ingin dicapai dengan adanya pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan itu tercapai.

Tujuan dari dibuatnya suatu aturan yang mengatur mengenai pelaksanaan

aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan sebagaimana sudah diuraikan pada

bab sebelumnya adalah untuk menyediakan payung hukum bagi para korban

perkosaan yang menginginkan aborsi. Korban perkosaan umumnya didominasi

oleh wanita. Tidak sedikit dari kasus kejahatan perkosaan tersebut yang

menyebabkan kehamilan bagi wanita itu, dan jika kehamilan tersebut benar
terjadi, maka korban perkosaan tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga secara

mental dan sosial. Kehamilan akibat perkosaan hanya akan memperparah kondisi

mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa

perkosaan tersebut.

Perkosaan adalah kejahatan seksual, jika wanita diharuskan untuk hamil dan

memelihara anak tersebut hingga dewasa, hak perempuan itu dilanggar. Oleh

karena itu wanita tidak boleh dikorbankan dua kali, yaitu diperkosa dan

diharuskan untuk memelihara bayi hasil perkosaan itu hingga dewasa. Opini, dan

penilaian dari masyarakat menjadikan korban perkosaan sebagai bahan gunjingan

dan cemoohan serta mengucilkannya dari lingkungan sosialnya serta biaya yang

harus dipersiapkan bagi masa depan bayi tersebut juga menjadi beban bagi wanita

tersebut.

Tujuan lain dari dibuatnya aturan mengenai tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan adalah untuk menyediakan layanan kesehatan yang

aman bagi setiap korban perkosaan. Kesehatan bukan hanya terbatas pada keadaan

sehat secara fisik, melainkan juga sehat secara mental, spiritual maupun sosial

yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan reproduksi,

tetapi, justru kesehatan reproduksi lah yang acap kali luput dari perhatian
pemerintah. Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental,

dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang

berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, tetapi juga berkaitan

dengan hak setiap orang untuk mendapatkan keturunan, termasuk juga hak untuk

tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak untuk tidak hamil, dan hak

untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan.

Layanan kesehatan yang aman bagi setiap korban perkosaan yang dimaksud

adalah tidak hanya terbatas pada layanan persalinan yang aman dan bermutu,

melainkan meliputi konseling yang dilakukan baik sebelum maupun sesudah

melakukan aborsi. Konseling yang dimaksud bertujuan antara lain untuk

menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi, menilai

kesiapan pasien untuk aborsi, untuk mengetahui dapat tidaknya aborsi dilakukan

berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, memberikan

penjelasan kepada para korban perkosaan mengenai tahapan-tahapan tindakan

aborsi yang akan dilakukan sehingga mereka memahami akan efek samping serta

komplikasinya, serta membantu korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi

untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau justru

membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi

mengenai aborsi tersebut. Konseling pasca aborsi dilakukan antara lain guna

mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi karena

proses menjalani aborsi tersebut tidaklah mudah, melainkan dapat menyebabkan

kesakitan, sehingga jangan sampai dengan dilaksanakannya aborsi maka semakin

menimbulkan trauma tambahan bagi korban perkosaan itu sendiri.


Tujuan dari pembuatan peraturan pelaksanaan tindakan aborsi oleh pemerintah

berupa jaminan perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang aman,

efektif, terjangkau dan bermutu khususnya bagi setiap korban perkosaan yang

hendak melakukan aborsi diyakini dapat mengurangi bahkan dapat menutup

adanya kemungkinan masyarakat untuk mencari praktik-praktik aborsi ilegal

sehingga praktik-praktik aborsi ilegal yang tidak aman yang dilakukan oleh tenaga

yang tidak berkompeten untuk itu dapat diminimalisir keberadaannya juga dapat

mengurangi masalah-masalah kesehatan perempuan yang hamil dan merupakan

upaya khusus dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang

jumlahnya masih sangat tinggi.

Efektifitas segi pelaksanaan (eksekusi) tindakan aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan, tidak dapat dikaitkan dengan suatu pemikiran bahwa kriteria

efektif atau tidaknya tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

tersebut diukur dari berhasil atau tidaknya janin didalam kandungan digugurkan,

dibunuh atau disingkirkan. Apabila pola pikir demikian yang dijadikan ukuran,

maka efektifitas tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan juga akan

diukur dari sisi usaha penguguran janinnya saja dan bukan dari tercapainya tujuan

dari pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan itu sendiri.

Oleh sebab itu diutarakan bahwa dengan dikeluarkannya aturan tersebut tidak

semata-mata dimaksudkan untuk membunuh janin dalam kandungan, meskipun

demikian kenyataannya janin tersebut harus mati oleh karena perbuatan itu.

Pelaksanaaan aturan mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan ini terdiri dari beberapa langkah-langkah dasar yang harus diperhatikan
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, besar harapan pemerintah

untuk tidak terjadinya pengguguran janin yang ada akibat perkosaan. Tindakan

tersebut bukan merupakan pilihan wajib melainkan pilihan alternatif. Buktinya,

pemerintah mengatur pula kemungkinan-kemungkinan yang terjadi apabila

korban perkosaan yang hendak aborsi membatalkan keinginannya itu setelah

mendapatkan informasi mengenai aborsi pasca melakukan konseling pra tindakan

aborsi berupa pemberian pendamping bagi korban perkosaan oleh konselor

selama masa kehamilannya.

Negara menjamin bagi korban perkosaan yang memutuskan membatalkan

keinginannya untuk melakukan aborsi, yaitu bahwa anak yang dikandungnya

kelak menjadi anak asuh negara apabila keluarga korban menolak untuk

mengasuh anak yang dilahirkan tersebut.

Pemahaman yang perlu ditekankan adalah bahwa tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan ini bertujuan untuk menghormati dan melindungi

hak-hak perempuan yang kerap menerima beban ganda, yakni sebagai korban

kekerasan seksual dan harus menghidupi anak yang dilahirkan.

B. Pandangan Praktisi Terkait Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan

Akibat Perkosaan

Dari hasil beberapa wawancara yang penulis lakukan, ada beberapa hal yang

disampaikan oleh para informan yang terkait dengan tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan.


1. Jaksa Penuntut Umum

Fatizaro Zai, menjelaskan yang dimaksud dengan aborsi adalah suatu

tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Negara Indonesia adalah

negara hukum, dan dalam penerapan hukumnya berdasarkan asas legalitas,

maka tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dihukum apabila tidak ada

undang-undang yang mengaturnya. Sebaliknya suatu perbuatan dapat

dihukum apabila undang-undang berkata demikian. Selama tindakan

aborsi masih dilarang pelaksanaannya oleh undang-undang, maka tindakan

tersebut tidak boleh dilakukan. 136

Anak yang hendak digugurkan didalam kandungan dalam hal tindak

pidana aborsi, keberadaannya dilindungi oleh negara. Selain didalam

KUHP (KUHP), hal ini dapat dibuktikan didalam Undang-Undang

Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

dalam Pasal 1 angka (1) dikatakan bahwa yang dikategorikan anak dalam

undang-undang tersebut adalah yang belum berumur 18 tahun termasuk

anak yang masih berada didalam kandungan. Apabila terdapat kekerasan

dan sejenisnya yang menyebabkan anak tersebut mati, sanksi pidananya

terdapat dalam Pasal 80 ayat (3) yaitu pelaku dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

136
Hasil wawancara dengan Jaksa Fatizaro Zai, Kamis, 29 Januari 2015.
Pada kasus aborsi sebagian praktisi hukum mempergunakan Pasal-

Pasal didalam KUHP, namun sebagian pula menerapkan Pasal-Pasal

didalam Undang-Undang Perlindungan Anak karena beranggapan bahwa

anak didalam kandungan sudah memiliki hak secara hukum untuk

dilindungi. Jadi apabila ada tindakan yang memaksa anak tersebut lahir

sebelum mampu bertahan diluar kandungan maka hal tersebut dianggap

sebagai tindakan kekerasan. Praktiknya, penanganan perkara tidak sekaku

yang dibayangkan. Penuntut umum selalu membuat alternatif dalam

merumuskan dakwaannya. 137

Dakwaan alternatif adalah dakwaan yang disusun secara berlapis,

lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan

dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan apabila

belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat

dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri

dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa

harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka

dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk

surat dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan

kata sambung atau. 138

Apabila dalam suatu kasus perkosaan, korbannya ternyata hamil, maka

kehamilan akibat perkosaan ini dapat dicantumkan sebagai pertimbangan

dalam menentukan tuntutan dan juga sebagai salah satu dasar


137
Hasil wawancara dengan Jaksa Fatizaro Zai, Kamis, 29 Januari 2015.
138
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4c5a4ea3527/bentuk-bentuk-surat-
dakwaan diakses pada tanggal 08 Februari 2015.
pertimbangan penambahan ancaman pidana dalam tuntutan terhadap

pelaku perkosaan tersebut. 139

Setiap pembuatan undang-undang memiliki dasar pertimbangannya

masing-masing. Aturan yang baru dirumuskan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tersebut memang sengaja di atur untuk

lebih mempertimbangkan posisi wanita sebagai korban perkosaan.

Sehingga apabila semua unsur yang tercantum dalam Pasal perkosaan

didalam KUHP sudah terpenuhi, alasan kehamilan akibat perkosaan ini

dapat pula digunakan sebagai dasar meringankan atau memberatkan si

pelaku. Peringanan ataupun pemberatan ancaman hukuman bagi pelaku

perkosaan itu dapat didasarkan pada cara pelaku melakukan, akibat yang

ditimbulkan, kerugian yang dialami korban, serta pengaruhnya kepada

lingkungan. Namun perlu dipahami bahwa pemberatan ancaman hukuman

tersebut tidak berarti menambah ancaman hukuman yang telah di atur

didalam Pasal. Jadi pemberatan ancaman hukuman dapat diberikan

sepanjang tidak melebihi ancaman hukuman dalam Pasal itu. 140

Didalam Pasal 285 KUHP sudah jelas dicantumkan unsur-unsurnya.

Salah satunya adalah cara pelaku melakukan perbuatannya yaitu bukan

hanya kekerasan tetapi juga ancaman kekerasan. Apabila berupa kekerasan

fisik, maka kepada dokter dapat dimintai visum kekerasan dibadan selain

daripada visum alat kelamin. Sedangkan jika perbuatan tersebut dilakukan

dengan ancaman kekerasan, hal tersebut sangat sulit untuk dibuktikan.

139
Hasil wawancara dengan Jaksa Fatizaro Zai, Kamis, 29 Januari 2015.
140
Hasil wawancara dengan Jaksa Fatizaro Zai, Kamis, 29 Januari 2015.
Dalam hal demikian maka salah satu cara untuk mengukur korban benar-

benar diperkosa dibawah ancaman kekerasan adalah dengan melihat

keadaan psikologis korban. Jika mental korban terganggu, maka akan

terlihat dipersidangan. Dapat juga dimintai bantuan kepada ahli yaitu

berupa keterangan dari psikolog. Ancaman kekerasan yang mengakibatkan

tekanan psikologis kepada korban dapat pula dijadikan sebagai

pertimbangan untuk memberatkan pelaku. Biasanya penuntut umum dalam

redaksi kalimatnya merumuskan pemberatan ancaman hukuman bagi

pelaku apabila korbannya mengalami kekerasan psikologis menggunakan

kata ‘trauma’. Apabila korban mengalami tekanan psikologis hanya pada

saat kejadian atau beberapa saat pasca kejadian, maka penuntut umum

lebih fokus melihat kepada kekerasan fisiknya saja. Jadi, misalnya, apabila

pelaku dalam melakukan perbuatannya tidak disertai dengan kesadisan,

maka pelaku dapat dituntut 2 (dua) tahun pidana penjara. Jika pelaku

melakukan perbuatannya dengan sadis, atau kerugian yang dialami korban

sangat besar, atau bahkan mengakibatkan trauma yang fatal seperti

gangguan psikologis, atau hal-hal lain, maka oleh karena ada hal yang

memperberat maka tuntutannya dapat menjadi 3 (tiga) tahun 6 (enam)

bulan, atau 4 (empat) tahun, atau bahkan ancaman hukuman maksimal 12

(dua belas) tahun. Kembali ditekankan bahwa penambahan ancaman

pidana dalam tuntutan tidak boleh melebihi ancaman maksimal dari yang

telah di atur didalam Pasal. 141

141
Hasil wawancara dengan Jaksa Fatizaro Zai, Kamis, 29 Januari 2015.
Aborsi merupakan delik biasa, maksudnya adalah pihak manapun yang

mengetahui telah terjadi tindak pidana aborsi dapat mengajukan laporan

kepada penyidik.

Dasar dari penuntut umum untuk menentukan hal-hal yang

memberatkan dan meringankan tuntutan pidana terdapat dalam Surat

Edaran Jaksa Agung Nomor Se-013/A/JA/12/2011.

Fatizaro Zai, S.H., menyampaikan tidak setuju dengan adanya aturan

mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan yang di

atur dalam UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi ini. Anggapan

bahwa meskipun korbannya adalah korban perkosaan, aborsi tetaplah

bukan merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menghilangkan trauma

akibat perkosaan tersebut, karena meskipun disatu sisi Peraturan

Pemerintah tersebut ditujukan untuk perlindungan bagi korban yang hamil

akibat perkosaan, tetapi disisi lain hak anak dikesampingkan, padahal

didalam Undang-Undang Perlindungan Anak telah disebutkan bahwa janin

didalam kandungan adalah termasuk anak yang keberadaannya harus

dilindungi. Aturan mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan ini sebaiknya dikaji kembali, karena faktanya Peraturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang

baru saja diundangkan tersebut memiliki banyak sekali celah untuk

dimanipulasi, karena korban yang hamil akibat perkosaan sangat sulit

untuk dibuktikan, 142 meskipun pada kasus tersebut telah dilakukan

142
Hasil wawancara dengan Jaksa Fatizaro Zai, Kamis, 29 Januari 2015.
pemeriksaan dan pengumpulan barang bukti yang lengkap. Salah satu

unsur perkosaan dalam Pasal 285 KUHP adalah persetubuhan. Jadi harus

dibuktikan terlebih dahulu adanya suatu persetubuhan. Bila persetubuhan

tidak dapat dibuktikan, maka janggal hal tersebut dapat dikatakan suatu

perkosaan. 143

144
2. Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi

Secara medis yang dimaksud dengan aborsi atau abortus adalah

keluarnya hasil konsepsi sebelum usia kehamilan 20 minggu. Artinya hasil

konsepsi itu tidak mampu hidup diluar kandungan. Pada dasarnya yang

disebut dengan abortus ada dua, ada yang disebut dengan abortus spontan,

ada yang disebut dengan abortus provocatus. Abortus provocatus ada dua,

yang pertama, abortus provocatus medicinalis, dan abortus provocatus

criminalis. Abortus medicinalis artinya abortus sengaja dilakukan karena

ada indikasi medis. Contohnya, apabila kandungan seorang ibu

dilanjutkan, jiwa atau nyawa si ibu tersebut terancam. Sedangkan abortus

provocatus criminalis adalah abortus yang disengaja karena memang tidak

menyukai adanya kehamilan itu. 145

Abortus provocatus criminalis inilah yang sering berkaitan dengan

masalah hukum atau berkaitan dengan orang-orang yang mungkin hamil

143
Abdussalam, Forensik, (Jakarta, Restu Agung : 2006), hlm57.
144
Obstetri dan Ginekologi menyangkut cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan
menangani kesehatan wanita. Peran dokter spesialis Obstetri Ginekologi adalah memberikan
pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi seorang wanita yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksinya saat tidak hamil ataupun dimasa hamil, bersalin, atau nifas. Baik yang bersifat
preventif (pencegahan terhadap penyakit) maupun rehabilitatif (perbaikan kelainan yang timbul)
pada alat reproduksinya. Lihat http://drprima.com/kehamilan/pengertian-obstetri-dan- ginekologi
diakses pada tanggal 08 Februari 2015.
145
Hasil wawancara dengan dr. Honazaro Marunduri Kamis, 19 Februari 2015.
diluar pernikahan atau orang-orang yang tidak menginginkan

kehamilannya. Aborsi semacam ini kebanyakan dilakukan oleh oknum

dukun atau oknum tenaga kesehatan yang tidak profesional untuk itu,

dengan standart kesehatan yang tidak sesuai dengan standart penanganan

aborsi.

Resiko yang dapat terjadi dari abortus provocatus criminalis secara

sembarangan, pertama, pendarahan yang hebat dan terus menerus yang

disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cidera organ panggul atau

usus, kedua, sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap

sehingga sebagian atau seluruh produk pembuahan masih didalam rahim,

ketiga, efek samping jangka panjang berupa sumbatan atau kerusakan

permanen disaluran telur yang menyebabkan kemandulan, keempat bau

bangkai hingga infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Dampak pada

kondisi mental dan psikologis berupa perasaan bersalah, berdosa dan

ketakutan. 146

Penanganan kasus aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan harus

disertai rujukan dari penyidik terlebih dahulu, kemudian pihak rumah sakit

melakukan visum untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda korban

diperkosa. Jika benar ia korban perkosaan, untuk melakukan aborsi nya

maka harus dibicarakan terlebih dahulu dikomite medik. Setiap tindakan

medik harus dibicarakan terlebih dahulu dalam rapat komite medik

terutama setiap tindakan yang berkaitan dengan hukum. Komite medik

146
Masrudi Muchtar, Op.Cit., hlm 88-89.
adalah suatu organisasi dirumah sakit dimana setiap tindakan yang

dilakukan apalagi yang berkaitan dengan hukum wajib di bahas didalam

rapat komite medik agar tindakan medik tersebut sesuai dengan aturan

hukum. Komite medik terdiri dari seluruh dokter yang ada dirumah sakit

baik dokter umum maupun dokter spesialis. Setelah didapatkan

kesimpulan dari hasil musyawarah tersebut, baru kemudian dilaksanakan

aborsi. Pelaksanaan aborsi pun harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati


147
sesuai peraturan perundang-undangan.

Tata cara permintaan visum et repertum oleh polisi atau penyidik

sebagai berikut : 148

a. Permintaan harus secara tertulis menggunakan formulir permintaan


yang sesuai dengan kasus yang ditangani. Apabila kasusnya untuk
korban hidup, dapat terluka, korban perkosaan atau pun kecelakaan
lalulintas dan masih memerlukan perawatan lebih lanjut, maka akan
dibuatkan visum et repertum sementara dan dapat dipakai sebagai
dasar penahanan bagi tersangka/pelaku. Setelah korban sembuh akan
dibuatkan visum et repertum lanjutan dengan syarat mengajukan
kembali permintaan tertulis untuk mendapatkan visum et repertum
lanjutan. Apabila korban luka-luka dan dirawat namun oleh karena
lukanya parah atau karena suatu komplikasi ia meninggal, maka
permintaan visum et repertum berikutnya adalah visum et repertum
jenazah, dimana korban akan dibedah untuk mencari sebab kematian
yang pasti.
b. Tidak dibenarkan meminta visum et repertum tentang kejadian yang
sudah lampau sebab merupakan rahasia jabatan dokter.
c. Pada permintaan visum et repertum harus ditulis mengapa korban
dibawa ke dokter, hal ini untuk memudahkan pemeriksaan.
d. Pada permintaan visum et repertum harus ditulis identitas dari korban
dan identitas dari peminta visum et repertum.
e. Selain dicantumkan tanggal permintaan visum et repertum juga harus
dicatat saat/tanggal surat permintaan visum et repertum diterima
dokter.

147
Hasil wawancara dengan dr. Honazaro Marunduri Kamis, 19 Februari 2015.
148
Abdussalam, Op.Cit., hlm 27-29.
f. Surat permintaan ditandatangani oleh petugas penyidik yang berhak,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Ditujukan kepada dokter dengan prioritas dokter pemerintah ditempat
dinasnya, bukan ditempat praktik.
h. Pada tempat yang terdapat fasilitas Rumah Sakit Umum atau Fakultas
Kedokteran, permintaan ditujukan pada bagian yang sesuai, yaitu :
1) Untuk korban hidup;
a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas ke Bagian Bedah;
b) Kejahatan susila/perkosaan ke Bagian Kebidanan;
2) Untuk korban mati ke Bagian Kedokteran Kehakiman.
i. Pada tempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan
ditujukan pada dokter pemerintah (puskesmas atau dokter Polri). Bila
hal ini tidak memungkinkan dapat ditujukan ke dokter swasta.
j. Korban baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas
Polri disertai surat permintaannya.
k. Sebaliknya petugas yang meminta visum et repertum mengikuti
jalannya pemeriksaan bedah jenazah agar memperoleh gambaran
mengenai luka dan penyebab kematian. Dengan demikian dapat
memperoleh petunjuk yang berharga dalam pencarian barang bukti
material.

Sanksi bagi oknum dokter yang secara ilegal melakukan aborsi, selain

mengikuti proses hukum dipersidangan, ada juga sanksi yang diberikan

oleh komite medik, berupa teguran, atau pembekuan hingga pencabutan

hak klinis. 149

Tujuan pemerintah mengundangkan aturan ini bukan karena semata-

mata ingin menggugurkan janin didalam kandungan si ibu, melainkan

karena pemerintah memikirkan masa depan ibu dan anak. Seperti dampak

psikologisnya bagi korban perkosaan itu sendiri akibat diperkosa dan

langsung hamil, rasa malu menjadi bahan pergunjingan, juga dari segi

pembiayaan untuk membesarkan anaknya kelak, Juga psikologis anak

kelak, seandainya anak yang bersangkutan ketika ia dewasa akhirnya

149
Hasil wawancara dengan dr. Honazaro Marunduri Kamis, 19 Februari 2015.
menyadari bahwa ia sebenarnya tidak menginginkan untuk dilahirkan
150
sebagai anak dari korban perkosaan.

Menurut dr. Honazaro Marunduri, Spog, Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

dan Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) melihat bahwa setiap

sudah terjadi pembuahan itu sudah terjadi proses kehidupan. Karena secara

biologis, sejak terjadinya pembuahan berarti proses kehidupan sudah

dimulai bagi si bayi. Dan sementara di lafal sumpah dokter disebutkan

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”.

Salah satu alasan dan tujuan IDI meminta pemerintah mengkaji ulang

peraturan itu adalah, bahwa jangan dengan diberlakukannya aturan

tersebut, aturan tersebut menjadi sangat mudah diterapkan, sehingga

banyak orang yang mengaku-ngaku diperkosa dapat melakukan aborsi

dengan memanipulasi aturan itu, dan alhasil janin yang sudah ada dan

tidak bersalah digugurkan. Jika memang benar itu yang ditakutkan

pemerintah, seharusnya justru masa depan anak itu yang mulai

dipersiapkan. Aborsi bukanlah jalan keluar yang baik untuk mengatasi

masalah kehamilan akibat perkosaan. Jauh lebih baik apabila pemerintah

memunculkan saja suatu pemikiran untuk membuat suatu undang-undang

tentang bagaimana menangani bayi-bayi yang lahir akibat kehamilan

akibat perkosaan itu. Tetapi dengan syarat, pelaksanaannya harus seketat-

150
Hasil wawancara dengan dr. Honazaro Marunduri Kamis, 19 Februari 2015.
ketatnya, dan harus merupakan bayi yang benar-benar hasil dari korban

perkosaan. 151

3. Koordinator Bidang Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia (Lembaga

Bantuan Hukum)

Istilah “perkosaan” jarang disebutkan, melainkan lebih sering dipakai

istilah “kekerasan seksual” atau “percabulan”.

Prosedur pendampingan kasus kekerasan seksual kepada pihak korban

secara singkat dimulai dari pertama, memberikan konseling. Kedua,

membuat surat kuasa khusus. Ketiga, mendampingi korban atau keluarga

korban untuk membuat laporan, setelah membuat laporan maka akan

diberikan surat pengantar visum oleh penyidik. Keempat, mendampingi

korban untuk mengambil visum dirumah sakit yang dituju. Pada teorinya

penyidik wajib ikut mengantarkan korban untuk visum, tapi pada

praktiknya terkadang penyidik atau polisi tidak ikut lagi mendampingi

proses visum. Hasil visum hanya boleh diambil oleh polisi. Langkah

kelima adalah berkoordinasi dengan polisi, dalam hal polisi masih

membutuhkan korban untuk menambahkan atau menghadirkan saksi-saksi

yang lain. Selanjutnya penyidik akan memberikan Surat Pemberitahuan

Perkembangan Hasil Penyidikan, surat ini adalah hak korban untuk

mengetahui hasil perkembangan penyidikan, apakah tersangka sudah

ditahan atau ditangkap, apakah perkara sudah dikirim ke kejaksaan,

sampai mendapatkan informasi kapan akan dilakukan persidangan. Sampai

151
Hasil wawancara dengan dr. Honazaro Marunduri Kamis, 19 Februari 2015.
pada tahap ini, tugas lembaga bantuan hukum hanya memonitor saja

karena tidak dapat mengintervensi tugas dan wewenang penyidik. 152

Menurut Elisabeth Juniarti Perangin-angin, efektif atau tidaknya

Peraturan Pemerintah itu tergantung pada tujuan pelaksanaannya yang

dilakukan secara cermat dan tegas. Jika aturan tersebut dirasa kurang

memadai maka aturan lain dapat dituangkan dalam bentuk perundang-

undangan baru yang lebih detail. Apabila pemerintah mengatur

melegalkan aborsi tidak perlu ada batasan usia kehamilan, sepanjang di

atur aturan yang sangat ketat bagi pelaksanaannya. 153

C. Sisi Negatif dan Positif Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat

Perkosaan

Adanya aturan mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi menghadirkan pro dan kontra ditengah masyarakat. Peraturan

Pemerintah (PP) tersebut secara umum dikenal dengan ‘PP Aborsi’, padahal

tidaklah semua materi dari PP tersebut mengatur mengenai legalisasi aborsi,

melainkan juga meliputi pelayanan kesehatan ibu serta reproduksi dengan bantuan

atau kehamilan diluar cara alamiah.

Aborsi, khususnya terhadap kehamilan akibat perkosaan terus menuai kritikan.

Di Indonesia, undang-undang mengenai aborsi sudah ada sejak tahun 1918 yang

dikeluarkan pemerintahan penjajahan Belanda. Pemerintahan Kolonial Belanda

152
Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015.
153
Hasil Wawancara dengan Elisabeth Juniarty, Koordinator Bidang Litigasi Yayasan
Pusaka Indonesia, Selasa, 03 Maret 2015.
melihat bahwa praktik-praktik aborsi yang dilakukan tersebut dapat

membahayakan nyawa perempuan hamil karena dilakukan dengan cara pijat

tradisional.

Pada dasarnya, undang-undang produk Belanda ini diteruskan maka oleh

Pemerintah Indonesia melarang praktik aborsi meskipun acap kali praktik aborsi

ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan secara tertutup oleh sejumlah

oknum.

Perdebatan mengenai aborsi masih berlangsung sementara teknik praktik

aborsi berkembang sangat pesat. Ada yang menilai praktik aborsi tidak boleh

dilakukan karena dianggap sebagai pembunuhan manusia, ada pula yang menilai

boleh dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang ketat karena menyangkut

kesehatan ibu hamil dan masa depan bayi yang dikandungnya.

Dan kini, perdebatan tentang aborsi kembali mencuat dengan adanya

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Seperti yang telah dipaparkan penulis dalam bab-bab sebelumnya, maka banyak

sekali sisi negatif dan positif untuk dilakukannya tindakan aborsi bagi korban

yang hamil akibat perkosaan.

Adapun sisi negatif tersebut adalah :

1. Meskipun tujuan utama diperbolehkannya tindakan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan adalah untuk menghormati hak-hak wanita,

namun masalah aborsi pada hakikatnya adalah identik dengan

pembunuhan dan penghilangan hak hidup anak. Janin berhak untuk hidup.

Karena sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan, maka telah terjadi


proses kehidupan pada bayi tersebut. Didalam Undang-Undang

Perlindungan Anak dikatakan pula bahwa yang termasuk didalam kategori

anak adalah yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) serta anak yang

masih didalam kandungan. Hal ini berarti anak didalam kandungan

tersebut sudah dilindungi oleh negara dari segala macam bentuk tindakan

kekerasan, termasuk didalamnya pengguguran kandungan yang

menyebabkan anak tersebut mati. Selain bertentangan dengan hak asasi

manusia dan undang-undang perlindungan anak, hal ini juga bertentangan

dengan moral dan ajaran agama tertentu, sehingga dapat dikatakan

merupakan masalah sensitif keagamaan dan kemanusiaan.

2. Bertentangan dengan Sumpah Dokter butir 6 yang berbunyi, “Saya akan

menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”, dan Kode

etik Kedokteran Pasal 11 yang berbunyi, “Setiap dokter wajib menjunjung

tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dan atau janjinya”. Hal ini

menjadi sangat dilematis mengingat dalam setiap tindakan aborsi wajib

melibatkan dokter, ahli, atau tenaga medis sebagai eksekutor. Disatu sisi

dokter disumpah untuk menghormati setiap hidup insani mulai saat

pembuahan dan berjanji menjaga keluhuran profesinya, disisi lain dokter

diharuskan melanggar sumpahnya itu sendiri karena harus melaksanakan

perintah undang-undang. Dengan demikian, pelaksanaan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan ini kelak berpotensi menimbulkan

pertentangan hati dan nurani kemanusiaan.


3. Istilah dan pengertian ‘kehamilan akibat perkosaan’ dapat dimanipulasi

atau disiasati oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab seperti

pelaku seks bebas dan hasil hubungan gelap yang ingin memanfaatkan

celah tersebut untuk mudah melakukan aborsi.

4. Dengan melegalkan aborsi maka seolah-olah melegalkan kekerasan dan

mendiskriminasi perempuan.

5. Melegalkan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan sangat riskan dan

rawan menumbuhsuburkan tindak kejahatan karena bukan merupakan

jalan keluar untuk mengurangi tindak pidana perkosaan.

6. Meskipun penanganan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

dilakukan oleh tenaga ahli, namun tidak menutup kemungkinan hal

tersebut aman dan nyaman bagi perempuan yang melakukannya,

melainkan terdapat pula kemungkinan untuk terjadinya rasa sakit yang

hebat bagi perempuan itu baik fisik maupun psikologis pasca aborsi.

7. Dengan diterapkannya aborsi terhadap korban yang hamil akibat

perkosaan tidak menjamin pulihnya psikologis dari korban, melainkan

dapat menimbulkan trauma yang lebih mendalam manakala kelak korban

tersebut akhirnya menyadari perbuatan aborsi yang tidak lain hal nya

dengan membunuh anaknya sendiri. Penerapan aborsi terhadap korban

yang hamil akibat perkosaan juga tidak menjamin korban untuk tidak

dicemooh dan diasingkan dari lingkungan sosialnya.

8. Penerapan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini seolah-olah

hanya sebagai jalan pintas yang ditawarkan oleh pemerintah bagi korban
perkosaan. Aborsi tidak merupakan solusi yang baik bagi kehamilan akibat

perkosaan karena mengenyampingkan hak hidup janin dan tidak menjadi

solusi untuk mengurangi kejahatan perkosaan.

Disamping sisi negatif di atas, disisi lain tindakan aborsi terhadap kehamilan

akibat perkosaan mempunyai sisi positif, antara lain :

1. Jika dibaca secara teliti dan menyeluruh, sebenarnya ketentuan dan

prosedur mengenai tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan

ini sangatlah ketat. Dimulai dari pembuktian usia kehamilan berdasarkan

surat keterangan dokter dan dengan pembatasan usia kehamilan yakni

maksimal 40 (empat puluh) hari, selanjutnya keterangan dari penyidik,

keterangan dari psikolog mengenai adanya dugaan perkosaan, konseling

pra dan pasca aborsi. Jadi sebenarnya ketentuan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 sudah cukup rinci mengatur prosedur

tindakan aborsi yang harus dilakukan. Ketentuan mengenai eksekutornya

pun sudah di atur secara terperinci didalam Peraturan Pemerintah tersebut.

Jadi sebenarnya masyarakat tidak perlu takut dengan celah-celah yang

dikhawatirkan dapat dimanipulasi pada Peraturan Pemerintah ini.

2. Perlindungan terhadap hak perempuan terkait kesehatan reproduksi.

Bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan untuk

mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan

berkualitas.

3. Adanya wadah untuk mendapatkan pelayanan yang aman dan nyaman

karena dilakukan oleh tim ahli dan dilakukan berdasarkan standart


penanganan aborsi secara legal. Dengan demikian dapat mengurangi angka

kematian ibu akibat aborsi ilegal yang tidak aman.

4. Sebagai jalan keluar terhadap permasalahan psikologis perempuan yang

hamil akibat perkosaan. Dengan adanya ketentuan aborsi terhadap

kehamilan akibat perkosaan maka menghindarkan perempuan korban

perkosaan dari rasa malu dan rasa trauma yang dapat berdampak bagi

perempuan itu sendiri maupun bagi janin yang sedang dikandungnya.

Seorang ibu yang terguncang akibat trauma psikologis yang hebat

cenderung tidak memperdulikan kesehatannya serta asupan nutrisi bagi

janinnya.

5. Sebagai antisipasi apabila anak hasil perkosaan tersebut lahir kelak

ternyata masyarakat tidak siap menerima kehadirannya. Terlebih apabila

anak tersebut sudah di cap sebagai anak haram yang tidak boleh bergaul

dengan anak-anak lain dilingkungan sekitarnya, serta perlakuan negatif

lainnya.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh

Penulis pada bab-bab sebelumnya mengenai Tindakan Aborsi Terhadap

kehamilan Akibat Perkosaan dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan terdapat

dalam KUHP Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 yang melarang segala bentuk

tindakan aborsi dengan alasan apapun, Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan Pasal 75 ayat (2) huruf b mengecualikan larangan

aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma

psikologis, serta Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang

Kesehatan Reproduksi Pasal 31, 34, 35, 36, 37, 38, dan Pasal 39 sebagai

aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

2. Tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan mencakup hak janin

dan hak perempuan korban perkosaan. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, janin

dikategorikan sebagai anak sehingga setiap ketentuan dalam UUD 1945 Pasal

28A, 28B ayat (2), dan 28I, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia Pasal 1, 52, 53 ayat (1), Kovenan Internasional tentang

Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 6 ayat (5) yang menyangkut hak anak maka
hak tersebut juga menyangkut hak janin yang ada didalam kandungan. Wanita

korban kejahatan perkosaan menderita secara fisik, mental, dan sosial oleh

sebab itu berhak mendapatkan perlindungan hukum secara materil dan

immateril berupa ganti rugi, kompensasi, restitusi, bantuan dan konseling.

Negara memberi pengecualian larangan aborsi bagi setiap kehamilan akibat

perkosaan sebagai bentuk upaya perlindungan bagi wanita dan kesehatan

reproduksinya serta hak-haknya yang terabaikan sesuai Pasal 75 ayat (2)

huruf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal

31 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang

Kesehatan Reproduksi.

3. Para praktisi mempunyai pandangan yang beragam mengenai tindakan aborsi

terhadap kehamilan akibat perkosaan. Pandangan jaksa penuntut umum

Fatizaro Zai, menyampaikan tidak setuju, karena meskipun disatu sisi

Peraturan Pemerintah tersebut ditujukan untuk perlindungan bagi korban

yang hamil akibat perkosaan, tetapi disisi lain hak anak dikesampingkan.

Sama halnya pandangan seorang praktisi dokter obstetri ginekologi Honazaro

Marunduri, menyatakan bahwa, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan

Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) melihat bahwa setiap sudah terjadi

pembuahan itu sudah terjadi proses kehidupan, karena secara biologis, sejak

terjadinya pembuahan berarti proses kehidupan sudah dimulai bagi si bayi.

Berbeda halnya pandangan LBH Yayasan Pusaka Indonesia yang diwakili

Elisabeth Juniarti Perangin-angin, menyatakan bahwa efektif atau tidaknya


Peraturan Pemerintah itu tergantung pada tujuan pelaksanaannya yang

dilakukan secara cermat dan tegas.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas saran yang dapat diberikan mengenai

Tindakan Aborsi Terhadap kehamilan Akibat Perkosaan dan Kaitannya Dengan

Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut:

1. Hendaknya pengaturan hukum tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat

perkosaan kiranya dapat lebih giat disosialisasikan dengan sebaik-baiknya

agar masyarakat lebih mengetahui dan lebih memahaminya sehingga

pelaksanaan aturan ini kelak dapat semakin efektif.

2. Sebaiknya pemerintah membuat suatu undang-undang tentang tata cara

penanganan bayi-bayi yang lahir dari kehamilan akibat perkosaan dengan

syarat pelaksanaannya harus seketat-ketatnya dan harus merupakan bayi yang

benar-benar hasil dari korban perkosaan. Dengan demikian, hak hidup janin

dan hak korban perkosaan tidak dikesampingkan, psikologis korban

perkosaan pun tidak terbebani.

3. Hendaknya adanya pengkajian ulang terhadap aturan ini dikarenakan terlalu

banyak dampak negatif bila dibandingkan dengan dampak positif yang timbul

dari aturan ini, selain itu juga dibutuhkan aturan lebih lanjut dan teknis

mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini yang dituangkan

dalam peraturan perundang-undangan lainnya secara lebih khusus, dan


kemudian perlu ditambahkan fungsi pengawasan dalam pelaksanaannya agar

penerapan aturan ini tepat sasaran.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdussalam, Forensik, Jakarta : Restu Agung, 2006.


Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Amiruddin, dkk, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Anwar, H. A. K. Mochtar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II),
Bandung: Alumni, 1980.
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005.
Bertens, K, Aborsi Sebagai Masalah Etika, Jakarta: Grasindo, 2003.
Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan
Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadika Press, 2004.
Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Cunningham, F. Gary, dkk, Obstetri Williams Edisi 21, Jakarta: Buku Kedokteran,
2006.
Effendi, Masyhur, Taufani S. Evandri, HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum,
Politik, Ekonomi, dan Sosial, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: CV Akademika Pressindo,
1993.
Hamzah, Andi, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delichten) didalam KUHP,
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Hanafiah, M. Jusuf, dkk, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Buku
Kedokteran EGC, 2009.

Hawari, Dadang, Aborsi Dimensi Psikoreligi, Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, 2009.
Kaplan, Harold I., dan Benjamin J. Sadock, Pocket Handbook of Emergency
Psychiatric Medicine, diterjemahkan oleh Wicaksono M. Roan, Ilmu
Kedokteran Jiwa Darurat, Jakarta: Widya Medika, 1998.
Kusmaryanto, CB., Kontroversi Aborsi, Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2002.
Mansur, Dikdik M. Arief, dkk, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara
Norma dan Realita, Jakarta : Grafindo Persada, 2007.
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 2013.
Mien Rukmini, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi
Akibat Perkosaan, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan HAM RI, 2002.
Muchtar, Masrudi, Bidan dan Dinamika Hukum Kesehatan Reproduksi,
Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2015.
Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta,
2010.
Prawirohardjo, Sarwono, Ilmu Kebidanan, Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2008.
Sibagariang, Eva Ellya, dkk, Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta: Trans Info
Media, 2010.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1983.
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama, 2003.
Satyo, Alfred. C., Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dan Profesi
Dokter, Medan: USU Press, 2004.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007.
Sulistyaningsih, Wiwik, Mengatasi Trauma Psikologis Upaya Memulihkan
Trauma Akibat Konflik Kekerasan, Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007.
Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan
Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2002.
Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta : Sinar
Grafika, 2014.
Yulia, Rena, Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan


Terhadap Korban dan Saksi-Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi,


Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Edaran Jaksa Agung Nomor Se-013/A/JA/12/2011.

INTERNET

Godeks, Catatan Triwulan Kekerasan Terhadap Anak Dan Perempuan Di


Sumatera Utara Januari s/d Maret 2012 Yayasan Pusaka Indonesia,
http://pusakaindonesia.or.id/news.php?default.0.180 diakses tanggal 29
September 2014.

Ira Apriliani, Aborsi Sejarah dan Kontroversinya, http://iraapriliani.wordpress.


com/2014/08/19/aborsi-sejarah-dan-kontroversinya diakses tgl 19 Oktober 2014.

Jimmy Tambunan, Tentang Aborsi KUHP dengan UU Kesehatan Berbeda,


http://www.tubasmedia.com/berita/tentang-aborsi-kuhp-dengan-uu-kesehatan-
berbeda/ diakses tanggal 26 Februari 2015.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Data, http://www.kbbi.web.id/data diakses


tanggal 28 Februari 2015.
Letezia Tobing, Mengenai Asas Lex Specialis De Rogat Legi Generalis,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-
specialis-derogat-legi-generalis diakses tanggal 1 Maret 2015.

---------------------------, Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan,


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53e83426ce020/legalitas-aborsi-dan-
hak-korban-pemerkosaan diakses tanggal 1 Maret 2015.

Maman Suherman, Di Indonesia Perkosaan Terjadi 12 Kali Sehari,


http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/02/di-indonesia-perkosaan-terjadi-12-kali-
sehari-607081.html diakses tanggal 29 September 2014.

Marry Margaretha Saragih, Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan,


http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4c5a4ea3527/bentuk-bentuk-surat-
dakwaan diakses pada tanggal 08 Februari 2015.

Pekan Baru Express, Waspada Inilah 5 Negara Paling Banyak Kasus


Pemerkosaan Di Dunia, http://www.pekanbaruexpress.com/kilas-dunia/kilas-
dunia/10444-waspada-inilah-5-negara-paling-banyak-kasus-pemerkosaan-di-
dunia diakses tanggal 29 September 2014.

Prima Progestian, Pengertian Obstetri dan Ginekologi, http://drprima.com/


kehamilan/pengertian-obstetri-dan-ginekologi.html diakses pada tanggal 08
Februari 2015.

Santi Andriani, Banyak Wanita Hamil Akibat Perkosaan Ingin Aborsi,


http://m.inilah.com/read/detail/2128957/banyak-wanita-hamil-akibat-perkosaan-
ingin-aborsi diakses tanggal 29 September 2014.

Tri Jata Ayu Pramesti, Apakah Undang-Undang Harus Memuat Sanksi,


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51b887f23d74a/apakah-undang-
undang-harus-memuat-sanksi diakses pada tanggal 12 Februari 2015.

Wikipedia, Korban, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Korban/ diakses tanggal 11


September 2014.

Wikipedia, Perkosaan, http://id.m.wikipedia.org/wiki/perkosaan diakses tanggal


12 September 2014.

Yuyanti Lalata, Korban (Victim), http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/


korban-victim.html diakses tanggal 12 September 2014.

---------------------, Pemerkosaan, http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/


pemerkosaan.html diakses tanggal 12 September 2014.

Anda mungkin juga menyukai