Anda di halaman 1dari 163

PENERAPAN PIDANA MATI DALAM HUKUM POSITIF

DI INDONESIA KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA


(DALAM PERKARA NOMOR 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdnjo PERKARA
NOMOR 395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn)

TESIS

OLEH:

RICA GUSMARANI
157005013/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITASSUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


PENERAPAN PIDANA MATI DALAM HUKUM POSITIF
DI INDONESIA KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA
(DALAM PERKARA NOMOR 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdnjo PERKARA
NOMOR 395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum
Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

OLEH

RICA GUSMARANI
157005013/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada
Tanggal 20 Juli 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum


Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., MH
2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum
3. Dr. Marlina, S.H., M.Hum
4. Dr. Eka M.Putra, S.H., M.Hum

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Kondisi darurat narkoba menjadi dasar pertimbangan Pemerintah Indonesia


untuk menjatuhkan pidana mati bagi tersangka kasus narkoba dalam hal ini adalah
Bandar dan Pengedar yang nyatanya memberikan efek destruktif terhadap masa
depan pemuda Indonesia. Penerapan pidana mati, baik di Indonesia maupun negara-
negara di dunia masih banyak terdapat pendapat yang pro dan kontra. Perdebatan
mengenai penjatuhan pidana mati dari perspektif hak asasi manusia menghasilkan
berbagai pendapat, baik dikalangan akademis maupun dari pakar hukum. Ada yang
setuju diberlakukannya penjatuhan pidana mati dan ada pula yang tidak setuju
diberlakukan pidana mati tersebut, bahkan meminta agar dihapuskan dari hukum di
Indonesia dengan alasan yang berbeda-beda.Bila dilihat dari hukum positif, pelaksanaan
pidana mati memang sangat mencemaskan, karena setelah pidana mati dijatuhkan maka
tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Pidana mati
merupakan hukuman yang paling berat, yang merampas hak hidup seseorang,
sebagaimana diketahui yang berhak mengambil hak hidup seseorang adalah Tuhan
YME. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimana aturan
pidana mati, pandangan HAM terhadap pidana mati, serta pertimbangan hakim
menjatuhkan pidana mati di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat
deskriptif analitis,yang secara deduktif dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang
mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan diatas yang
menitikberatkankepadaundang-undangdankasus, yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder(library research). Di mana tahap pengumpulan data,
penilaian data, penafsiran dan penyimpulan data utama didukung dengan field research
berdasarkan data resmi arsip yang bersifat publik berupa putusan dari Pengadilan
Negeri Medan guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai pidana mati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati dalam hukum positif pidana
di Indonesia masih relevan diterapkan bahwa di masa yang akan datang perumusan,
penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal
penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan
sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati
dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana
berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum
dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang
yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan
terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Di sisi lain, pidana mati tersebut juga
dimaksudkan sebagai penjeraan atau pencegahan (detterence/prevention) bagi para
penjahat khususnya pengedar dan bandar narkotika yang akibat perbuatannya bisa
merusak fisik dan mental generasi muda yang merupakan tunas bangsa sehingga bisa
mengancam ketahanan Nasional Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat harus

Universitas Sumatera Utara


mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan dan ketertiban, karena
dengan tertibnya hokum dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman.

Kata Kunci: Pidana Mati, Kejahatan Narkotika, Hak Asasi Manusia.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The state of emergency of narcotics becomes the basis of the Indonesian


Government's consideration to impose capital punishment on drug suspects in this
case are narcotics dealers and dealers which in fact have a destructive effect on the
future of Indonesian youth. Implementation of capital punishment, both in Indonesia
and countries in the world there are still many opinions that are pros and contra. The
debate on the imposition of capital punishment from the perspective of human rights
generates various opinions, both academically and by legal experts. There are those
who agree to the imposition of death penalty and some who disagree with the
imposition of capital punishment, even requesting to be abolished from law in
Indonesia for different reasons. When viewed from the positive law, the execution of
capital punishment is very worrying, because after the death penalty is dropped there
is no more legal efforts that can be done to fix it. The death penalty is the most severe
punishment, which robs a person's right to life, as it is known that those who are
entitled to take the right to life are God. The issues raised in this study, namely how
the rules of capital punishment, the views of human rights to capital punishment, and
judge consideration to impose capital punishment in Indonesia.
The research method used is a normative juridical research that is
descriptive analytical, which deductively begins analysis of the articles that regulate
the matters that become the problems above that focuses on the law and the case,
which is done by examining the library materials or secondary data (library
research). Where data collection, data assessment, interpretation and inferences are
supported by field research based on official archive data which is public in the form
of decision of Medan District Court to obtain more accurate data about capital
punishment.
The results of the study indicate that the death penalty in the positive
criminal law in Indonesia is still relevant applied that in the future the formulation,
implementation, and implementation of capital punishment should pay attention to
four important matters. First, capital punishment is no longer a principal
punishment, but as a special and alternative criminal act. Secondly, capital
punishment may be imposed with ten years probation which if the prisoner is liable
can be changed with life imprisonment or for 20 years. Third, capital punishment can
not be imposed on immature children. Fourth, the execution of capital punishment on
pregnant women and a mentally insured person is suspended until the pregnant
woman gives birth and the mentally ill prisoner is recover. On the other hand, the
death penalty is also intended as a deterrence or detention for criminals, especially
narcotics dealers and dealers whose actions can damage the physical and mental
generation of young people who are the national buds that can threaten the National
Resilience of the Indonesian Nation. Therefore, the people must obey the law that
aims to achieve justice and order, because with law order can create a comfortable
condition.
Keywords: Death Penalty, Narcotics Crime, Human Rights.

Universitas Sumatera Utara


KATA PEGANTAR

Bismillahirahmanirahim, Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis yang berjudul “Penerapan Pidana Mati Dalam Hukum Positif Di Indonesia

Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor

271/Pid.Sus/2016/PN. Mdn Jo Perkara Nomor 395/Pid.Sus/2016/PT.

Mdn)”.Shalawat beriring salam mudah-mudahan Allah limpahkan keharibaan

junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari

alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Dalam penyelesaian tesis ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi,

tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak yang

terkait, sehingga tesis ini dapat dapat diselesaikan secara efektif dan efesien, sesuai

dengan waktu yang direncanakan. Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari

bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan yang disebabkan

keterbatasan-keterbatasan yang dimilki. Untuk itu, penulis tidak menutup diri dan

akan sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bermanfaat dan mebangun di

masa yang akan datang.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasihyang sebesar-

besarnya atas bimbingan, bantuan, motivasi dan kerja sama yang telah penulis terima

selama ini. Kepada yang terhormat:

Universitas Sumatera Utara


1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing

yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam

penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum, selaku Anggota Komisi

Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan

sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sesuai dengan target yang direncanakan.

7. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum, selaku Penguji I saya di Universitas Sumatera

Utara.

8. Bapak Dr. Eka M.Putra, S.H., M.Hum, selaku Penguji II saya di Universitas

Sumatera Utara.

9. Para Dosen yang telah bersusah payah memberikan khazanah ilmu pengetahuan

dan membuka cakrawala berpikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam

menghadapikehidupan di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara


10. Seluruh Staff Pegawai Biro Administrasi pada Program Sttudi Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Teristimewa penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Kedua orang tua yang tercinta: Razali I dan Sumarni, yang telah memberikan

kasih sayang selama ini, baik nasehat, bimbingan, motivasi maupun doa tulus

ikhlasnya hingga saat ini.

2. Buat temen-temen yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, dan semua

pihak yang terkait lainnya yang telah banyak mebantu selama ini, terima kasih

atas semua kebaikan, motivasi dan doanya. Semoga persaudaraan kita tetap abadi

selamanya, dan kesuksesan menyertai kita semuanya.

Akhirul kalam kepada allah SWT jualah dimohon petunjuk, karena hanya

dengan hidayah-Nya kita dapat menemukan kebenaran, dan hanya dengan karunia-

Nya pula kita mampu menegakkannya. Penulis berharap semoga tesis yang berjudul

“Penerapan Pidana Mati Dalam Hukum Positif Di Indonesia Kaitannya Dengan

Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor 271/Pid.Sus/2016/PN. Mdn Jo

Perkara Nomor 395/Pid.Sus/2016/PT. Mdn)”, ini dapat bermanfaat sebagai

sumbang saran pemikiran ke depan.

Medan,Juli 2017
Penulis

Rica Gusmarani
157005013

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Nama : Rica Gusmarani


Tempat / Tgl Lahir : Medan / 31 Agustus 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Cempaka Gg. Sahabat No. 3 Kelurahan Sari Rejo
Kecamatan Medan Polonia, Medan, 20157
Pendidikan : 1. TK Arafah Medan (1997-1998)
2. SD Karang Sari, Sari Rejo Polonia Medan (1998-2004)
3. SMP Negeri 28 Medan (2004-2007)
4. SMA Negeri 13 Medan (2007-2010)
5. S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara (2010-2014)
6. S2 Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (2015-2017)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................... i

ABSTRACT .............................................................................................................. iii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv

RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii

BAB I:PENDAHULUAN ................................................................................... 1


A. LatarBelakang ..................................................................................... 1

B. PerumusanMasalah............................................................................ 18

C. TujuanPenelitian................................................................................ 18

D. ManfaatPenelitian.............................................................................. 19

E. KeaslianPenelitian ............................................................................... 20

F. KerangkaTeoridanKerangkaKonsep ................................................. 22

1. KerangkaTeori ............................................................................. 22

2. KerangkaKonsep ......................................................................... 37

G. MetodePenelitian ............................................................................... 41

1. SpesifikasiPenelitian ..................................................................... 42

2. MetodePendekatan ........................................................................ 42

3. LokasiPenelitiandanPopulasi....................................................... 43

4. AlatPengumpul Data .............................................................. 43

Universitas Sumatera Utara


5. ProsedurPengambilandanPengumpulan Data ......................... 44

6. Analisis Data .......................................................................... 45

BAB II:ATURAN PIDANA MATIDALAM HUKUM POSITIF DI


INDONESIA .................................................................................. 46

A. Pidana Mati Di Dalam KUHP .................................................... 46

B. Pidana Mati Di Luar KUHP ....................................................... 59

C. Pidana Mati Di Dalam Rancangan KUHP Nasional Di Indonesia 68

D. Pidana Mati Dalam Pengaturan Hak Asasi Manusia ................. 78

BAB III:PANDANGAN HAM TERHADAP PIDANA MATI DALAM


HUKUM POSITIF DI INDONESIA .............................................. 83

A. Sejarah Pidana Mati dan Pelaksanaannya ................................... 83

B. Pandangan HAM Terhadap Pidana Mati .................................. 104

BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA


MATI DALAM PERKARA NOMOR 271/Pid.Sus/2016/PN. Mdn
Jo PERKARA NOMOR 395/Pid.Sus/2016/PT. Mdn .................. 116

A. Kasus Posisi ............................................................................. 116

1. Kronologis ......................................................................... 116

2. Dakwaan dan Tuntutan ..................................................... 125

3. Fakta-Fakta Hukum ........................................................... 128

4. Putusan .............................................................................. 133

Universitas Sumatera Utara


B. Analisis Hukum Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Perkara

Nomor 271/Pid.Sus/2016/PN. Mdn Jo Perkara Nomor 395/Pid.Sus/

2016/PT. Mdn ........................................................................... 134

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 142

A. Kesimpulan ..................................................................................... 142

B. Saran .......................................................................................... 143

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 144

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sepanjang hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan

hukum, apabila manusia ingin hidup aman, tentram, adil dan makmur. Karena hukum

dalam arti luas menerobos masuk ke dalam seluruh kehidupan manusia, baik dalam

hal-hal yang paling elementer, sederhana, maupun ke dalam hal-hal yang paling

kompleks dan rumit. Makna hukum yang demikian itu seajalan dengan watak

(karakter) norma hukum yang berbeda-beda, terkadang tampak lembut dan terkadang

tampak keras, bergantung pada aspek dan tujuan hukum yang hendak dicapai.

Kelembutan norma hukum tampak dalam aturan terkait dengan penyelesaian

perkara perdata, yang antara lain dirumuskan dengan istilah “berdasarkan

musyawarah”, “kesepakatan para pihak”, “dengan itikad baik”, dan lain-lain.

Sebaliknya, watak hukum tampak garang dan keras antara lain tampak pada norma

hukum pidana, misalnya “hukuman mati”, hukuman penjara seumur hidup, dan lain-

lain. Namun demikian, yang pasti bahwa dalam masyarakat atau negara yang

bagaimanapun bentuknya, tidak akan lepas dari hukum, karena hukum bertujuan

untuk menertibkan dan mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat tanpa kecuali,

termasuk dengan ancaman hukuman mati, apabila dipandang perlu. 1

1
Abdur Rahim, Asruddin Azwar, Muhammad Hafiz dan Satrio Wirataru, Hukuman Mati
Problem Legalitas dan Kemanusiaan, Intrans Institue, Marjosari, Malang, Jatim, Edisi No.10/2015,
halaman 21.

Universitas Sumatera Utara


Hukum dapat didefenisikan sebagai ketentuan yang timbul dari pergaulan

hidup manusia, dia timbul berdasarkan rasa kesadaran manusia itu sendiri. Sebagai

norma hukum mempunyai ciri kekhususan, yaitu hendak melindungi, mengatur, dan

memberikan keseimbanagan dalam menjaga kepentingan umum. Pelanggrana

ketentuan hukum dalam artii merugikan, melalaikan atau mengganggu keseimbangan

kepentingan umum dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat. Reaksi yang

diberikan dapat berupa pengembalian ketidakseimbangan yang dilakukan dengan

mengambil tindakan terhadap pelanggaranya. Aturan hukum yang berlaku merupakan

hukum positif yang sering disebut ius constitutum.

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian

kekhususan kelembagaan. Ia berupaya menghindarkan dari penyalahgunaan

kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan

bertindak, sebagai perantara hukum utama dalam hubungan sosial antar masyarakat

terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana hukum pidana sendiri didefenisikan

sebagai peraturan hukum mengenai pidana. Ia merupakan ketentuan yang mengatur

dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan

umum. Sebagai hukum publik, hukum pidana mengandung banyak norma, yaitu

larangan, dan suruhan yang disertai ancaman hukuman pidana atas pelanggarannya. 2

2
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika
Aditama, Agustus 2013, halaman 1-3.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan utama dari hukum pidana adalah mencegah gejala sosial yang kurang

sehat. Jika dijelaskan lebih lanjut, maka hal tersebut diuraikan menjadi dua poin,

yakni: 3

1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang

tidak baik;

2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik

menjadi baik dan dapat diterima kembali kedalam kehidupan lingkungannya.

Hukum pidana yang tergambar ini dapat berwujud tiga macam, yaitu: 4

1. Dengan cara dikumpulkan dalam satu kitab kodifikasi, yaitu KUHP;

2. Secara tersebar dalam berbagai Undang-undang tentang hal tertentu yang

dalam bagian penghabisan memuat ancaman hukuman pidana atas

pelanggarannya;

3. Secara ancaman hukuman pidana “kosong” (blancostrafbepaling) yaitu

penentuan hukuman pidana pelanggar suatu jenis larangan yang mungkin

sudah ada atau yang masih akan diadakan dalam Undang-Undang lain.

Sifat dari hukum pidana terlihat pada terlaksananya hukum pidana yang

hakekatnya tidak tergantung pada kehendak individu yang in concreto langsung

dirugikan, tetapi terserah kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentingan umum.

Ini terjadi karena pada perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat sanksi

yang dikenakan kerap kali tidak sepadan dengan akibat yang diderita oleh korban.

3
R. Abdul Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, edisi revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, cetakan ke-17 September 2011, halaman 173.
4
Wirjono Prodjodikoro, op.cit., halaman 4.

Universitas Sumatera Utara


Oleh karenanya sifat subjektifitas yang dirasakan ketika hukum pidana masih bersifat

perdata berubah menjadi sifat objektif.

Tujuan pokok diadakannya hukuman pidana ialah melindungi kepentingan-

kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektivitas dari perbuatan-perbuatan yang

mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun

kelompok orang (organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut

antara lain ketentraman, ketenangan, dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk sosial

defence yaitu untuk perlindungan masyarakat. 5

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis,

terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan

pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari

proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Pemidanaan

mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori

pemidanaan teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat

ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.

Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang

masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni

pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).

Pandangan retributif mangandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap

5
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, cetakan ke-
1, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri Juni 2014, halaman 11.

Universitas Sumatera Utara


perilaku menyimpang yang dilakukan oleh oleh warga masyarakat sehingga

pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan

ynag dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini

dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian

melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah

situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu

pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku

terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang

lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan

berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan

(detterence). 6

Seiring dengan perkembangan zaman jumlah populasi manusia semakin

meningkat hal ini juga selaras dengan perkembangan dari pola-pola masyarakat yang

ada di dalamnya salah satunya terkait dengan masalah yang dihadapi. Berdasarkan

hasil pengamatanseiring perkembangan zaman kedunia modern saat ini

permasalahanyang dihadapi masyarakat juga semakin kompleks, hal ini menunjukkan

jika diperlukan aturan-aturanyang mengatur kehidupanpara warga atau masyarakat,

terlebihdengan adanya perubahan-perubahan kondisi sosial dalam masyarakat, dapat

dimungkinkan terjadinyatindak kejahatan-kejahatan semakinbanyak jumlahnya dan

beragambentuknya, oleh karena itu hendaklahharus pula ditangani dengan segera dan

sungguh-sungguh oleh aparat penegak hukum. Narnun, secarasosiologis masyarakat


6
Abdur Rahim, Asruddin azwar, Muhammad Hafiz dan Satrio Wirataru, op.cit., hlm 23.

Universitas Sumatera Utara


pun jugaharus ikut bertanggung jawab pulaatas timbulnya kejahatan tersebut,sebab

masyarakat itu juga merupakankorban dari kejahatan, denganpengertian bahwa tidak

mungkinterjadi kejahatan jika tidakmenimbulkan korban di pihak lain (crime without

victim) sepertiperjudian, prostitusi, danpenyalahgunaan obat-obat terlarang. 7

Adanya ancaman pidana mati adalah sebagai suatu social defence, menurut

Hartawi A.M “Pidana mati merupakan suatu alat pertahanan sosial untuk

menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya

besar yang mungkin terjadi dan yang akan menimpa masyarakat yang telah atau

mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu kehidupan bermasyarakat, beragama,

dan bernegara”. 8 Dalam hubungan antara HAM, dan Sanksi (pidana dan tindakan),

nampak beberapa perkembangan tentang pemidanaan antara lain:

a. Perumusan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus. Pidana ini

hanya dijatuhkan terhadap tindak pidana yang berat. Pengaturan semacam ini

juga terdapat di dalam International Covenant on Civil and Political Rights,

Pasal 6 ayat (2) dinyatakan tetap dimungkinkan untuk “the most serious crime”.

Bahkan diatur dalam berbagai dokumen internasional mengenai “pedoman

pelaksanaan pidana mati” (resolusi Ecosoc PBB 1984/50 jo. Resolusi 1989/64

dan Resolusi 1996/15 yang mengatur “The Safeguards Guaranteeing Protection

of the Rights of Those Facing the Death Penalty”). Dalam Resolusi Commision

7
Ochaerudin, Victimologi, Beberapa Aspek Korban Kejahatan, 1977, Fakultas Hukum
Universitaslslam As-Syafi'iyah.
8
Hartawi. A.M, dalam Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983, halaman 29.

Universitas Sumatera Utara


on Human Right (Komisi Ham PBB) 1996/61 juga masih ada penegasan bahwa

pidana mati jangan dijatuhkan kecuali untuk “the most serious crimes” (dengan

pembatasan/rambu-rambu: “intentional crimes with lethal or extremely grave

consequences”) 9.

b. Usaha untuk selalu mengembangkan alternative to imprison-ment. Hal ini sesuai

dengan UN Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures dan in line

dengan perkembangan di berbagai negara di dunia, sebagaimana terungkap di

dalam UN Congress on Crime Prevention an the Treatment of Offenders.

c. Penegasan tujuan pemidanaan, baik atas dasar tujuan prevensi sosial, prevensi

general, penyelesaian konflik maupun pembebasan rasa bersalah. Pernyataan

bahwa pidana tidak boleh menderitakan dan tidak boleh merendahkan martabat

manusia, konform dengan UN Declaration Against Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading of Punishment.

Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan dari masalah nilai, terlebih bagi

Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana

untuk tujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan humanistik

tentu sangat diperlukan. Hal ini penting tidak hanya karena tindak pidana narkoba itu

pada hakikatnya masalah kemanusiaan, tetapi juga karena hakikatnya pidana itu

9
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam perspektif kajian
perbandingan,Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, halaman 291-292.

Universitas Sumatera Utara


sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai

yang paling berharga bagi kehidupan manusia. 10

Menurut Barda Nawawi Arief, pendekatan humanistik dalam penggunaan

sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan pada si pelanggar

harus sesuai dengan nillai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab; tetapi juga harus

membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai

pergaulan hidup bermasyarakat. 11

Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana tertua dan paling

kontroversial di dunia. Pidana mati adalah salah satu pidana yang tepat untuk

dijatuhkan terhadap kejahatan yang berat dan luar biasa (extra ordinary crime) yang

tidak dapat diampuni. Dalam penerapan hukuman mati baik di Indonesia maupun di

negara-negara di dunia, masih banyak pendapat yang pro dan kontra.

Dari segi kelompok yang pro terhadap pemberlakuan hukuman mati ini

mengemukakan beberapa alasan, antara lain yaitu:

1. pidana mati menjamin bahwa penjahat tidak akan berkutik lagi, masyarakat tidak

akan diganggu lagi oleh orang tersebut sebab mayatnya telah terkubur sehingga

tidak perlu lagi takut kepada terpidana .

2. Pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah, terutama

dalam memerintah Hinda Belanda.

10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005, halaman. 37.
11
Loc, cit.

Universitas Sumatera Utara


3. Dengan alat yang represi yang kuat ini, maka kepentingan masyarakat dapat

dijamin sehingga suasana ketentraman dan ketertiban di masyarakat dapat

tercapai.

4. Dengan adanya alat represi yang kuat ini sekaligus berfungsi sebagai prevensi

umum, sehingga diharapkan calon penjahat akan mengurungkan niatnya untuk

melakukan kejahatan.

5. Terutama dengan pelaksaan eksekusi di depan umum, diharapkan timbulnya rasa

takut yang lebih besar untuk melakukan kejahatan.

6. Dengan dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati itu, diharapkan adanya seleksi

buatan, sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat dan buruk, dan

diharapkan agar terciptnya warga-warga yang baik saja. 12

Sedangkan dari segi kelompok yang kontra terhadap pemberlakukan pidana

mati ini, mengemukakan beberapa alasan, antara lain: 13

1. Bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM. Sejumlah

ketentuan perundang-undangan nasional, khususnya UUD 1945 sebagai hukum

dasar tertinggi, serta UU UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

menyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Indonesia juga telah meratifikasi

Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12

12
Eliza Oktaliana Sari , Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam
Perkara Nomor 176K/Pid/1998), Fakutas Hukum USU, 2009, halaman 4.
13
Pendidikanmu, Aturan Hukuman Mati di Indonesia Dan Alasannya,
http://www.pendidikanmu.com, diunggah pada 26 Mei 205, diakses pada tanggal 22 Maret 2017.

Universitas Sumatera Utara


Tahun 2005, yang dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan hak hidup adalah suatu

hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status

kewarganegaraan.

2. Hukuman mati salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi.

Hukum internasional hak asasi manusia, termasuk juga yurisprudensi pengadilan

di beberapa negara dan kawasan telah berulangkali menegaskan bahwa praktik

eksekusi hukuman mati merupakan suatu tindakan penghukuman yang kejam,

tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat seseorang. Oleh

karenanya, selain bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM dan Kovenan

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR, praktik eksekusi hukuman mati

juga bertentangan dengan Kovensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah

diratifikasi Indonesia dalam hukum nasionalnya melalui UU No. 5 Tahun 1998.

3. Rapuhnya sistem peradilan pidana, sehinggga sangat terbuka peluang kesalahan

penghukuman. Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan

penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang seringkali tak-

terhindarkan dalam praktik hukum pidana.Kombinasi dari kurangnya kontrol

peradilan yang efektif, khususnya terhadap panjangnya masa penahanan pra-

persidangan, tiadanya suara bulat untuk suatu putusan hukuman mati, kurangnya

mekanisme banding yang efektif, serta kebutuhan atas suatu proses peradilan

yang fair trial, telah membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman.

Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin

lagi dapat dikoreksi (irreversible).

Universitas Sumatera Utara


4. Tidak sejalan dengan arah pembaruan hukum pidana. Pemberlakuan pidana mati

cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive). Padahal di sisi lain,

paradigma dalam tatanan hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah

keadilan restoratif (restorative justice). Secara formal hal ini seperti mengemuka

di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA),

maupun penegasan-penegasan rumusan di dalam Rancangan KUHP dan

Rancangan KUHAP yang akan segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.

5. Efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos belaka. Menurut

pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah

seseorang agar tidak melakukan kejahatan. Sebaliknya, survey komprehensif

yang dilakukan oleh PBB, pada 1988 dan 1996, menemukan fakta tiadanya bukti

ilmiah yang menunjukan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang

lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Mayoritas panulis dan hadirin

pada OHCHR Event on Abolishing the Death Penalty 2012 bahkan mengatakan,

alasan efek jera adalah sebagai suatu hal yang dibesar-besarkan selama beberapa

dekade terakhir.

6. Penderitaan mendalam yang dialami keluarga korban akibat eksekusi.

Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami

korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh

keluarganya (co-victims). Penderitaan tersebut terjadi dalam beberapa tahapan,

mulai dari shock, emosi, depresi dan kesepian, gejala fisik distress, panik,

Universitas Sumatera Utara


bersalah, permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan untuk kembali ke

kegiatan biasa, harapan, dan penegasan realitas baru mereka.

7. Mengancam perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri. Laporan resmi

Kementerian Luar Negeri mencatat sedikitnya 229 WNI terancam hukuman mati

di luar negeri. Dari jumlah tersebut 131 orang diantaranya terjerat kasus

narkotika, dan 77 orang lainnya didakwa kejahatan menghilangkan nyawa. Sikap

keras pemerintah Indonesia untuk terus melanjutkan praktik eksekusi hukuman

mati, tentu akan berdampak besar dan mempengaruhi upaya advokasi untuk

menyelematkan ratusan WNI yang terancam hukuman mati tersebut.

8. Merugikan Indonesia dalam pergaulan dunia internasional. Dalam kaitannya

dengan hubungan bilateral, pelaksanaan eksekusi pidana mati kepada warga

negara Brasil dan Belanda mengakibatkan penarikan diri Duta Besar Brasil dan

Belanda untuk Indonesia, yang diikuti dengan penundaan penerimaan surat

kepercayaan Duta Besar Designate Indonesia untuk Brasil oleh Presiden Brasil.

Tidak hanya itu, pemberian predikat “E” sebagai predikat terburuk dari Komite

HAM PBB juga menjadi bukti konkrit bahwa komunitas internasional memiliki

sentimen negatif atas kebijakan pemerintah Indonesia ini.

9. Kecenderungan internasional yang semakin meninggalkan praktik hukuman

mati. Laporan Amnesty International menyebutkan, sampai dengan April 2015,

sedikitnya 140 negara telah menerapkan kebijakan abolisionis terhadap hukuman

mati, baik secara hukum (de jure) maupun secara praktik (de facto). Sedangkan

Universitas Sumatera Utara


yang masih menerapkan dan menjalankan praktik hukuman mati, tinggal 55

negara.

Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam

instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori

hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable

rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak

sama sekali melarang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.

Hal itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan dalam Putusan MK No 2-

3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan,

penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal

penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan

sebagai pidana yangbersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati

dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana

berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama

20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum

dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang

yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan

terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.14

Bila dilihat dari hukum positif, pelaksanaan pidana mati memang sangat

mencemaskan, karena setelah pidana mati dijatuhkan maka tidak ada lagi upaya hukum

14
Eko Budi, Efektifitas Hukuman Mati, http://ditpolairdajambi.blogspot.co.id, diunggah pada
04 Juli 2011, diakses pada 22 Maret 2017.

Universitas Sumatera Utara


yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Apabila pidana mati ditinjau dari sudut

pandang hak asasi manusia, maka hal ini bertolak belakang dengan UUD 1945 yang telah

diamandemen, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Dalam UUD 1945

mengenai hak asasi manusia telah dituangkan dalam batang tubuh yang dijabarkan dalam

pasal 27, pasal 28A s/d 28J, pasal 29, 30 dan 34.15

Hak hidup dijamin dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 yang

berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya”. Dasar hukum yang menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga

terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang berbunyi:

1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan


taraf kehidupannya
2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan
batin
3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dikatakan bahwa setiap

orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf

kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum

lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa

yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan

pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam

hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut

15
Makalah: Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia.

Universitas Sumatera Utara


itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Dari penjelasan Pasal 9 UU HAM di atas dapat

diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat

dibatasi.

Telah diakui bahwahak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang

paling mendasar. Bahkan dapat dikatakan hak untuk hidup merupakan sumber dari

hak asasi manusia lainnya, dan karena itu patut menjadi hak yang paling dihormati.

Berkaitan dengan masalah penghargaan terhadap hak asasi manusia, hal itu dapat

dilihat dengan semakin banyaknya tindak pidana yang mencakup sebagian besar

aspek kehidupan, mulai dari pencurian, penggelapan dana, penganiayaan, kejahatan

narkotika yang dapat merusak generasi bangsa hingga perampasan hak hidup

seseorang atau pembunuhan. Oleh karena itu perlu, perlu adanya hukum yang jelas

dan tegas untuk mengatsai masalah tersebut. Meskipun demikian, tetap saja kadang

kala hukum yang tegas justru malah ditentang karena dianggap tidak manusiawi dan

bertentangan dengan HAM. Sebagai contoh ialah hukuman mati. 16

Salah satu tindak pidanayang belakangan ramai diperbincangkan di tanah air

adalah tindak pidana narkoba. Data dari BNN menyebutkan bahwa dari tahun ke

tahun jumlah pengguna narkoba meningkat seiring dengan meningkatnya

pengungkapan tindak pidana narkoba oleh polisi . Berdasarkan data BNN di tahun

2015, kenaikan persentase pengguna narkoba di Indonesia mencapai 40%. Malahan

‎angka penggunaan narkoba menurut Kepala BNN justru meningkat signifikan dalam

periode Juni hingga November 2015 sebesar 1,7 juta jiwa. Di bulan Juni 2015 angka
16
Eliza Oktaliana Sari, op.cit., halaman 12.

Universitas Sumatera Utara


pengguna sebesar 4.2 juta dan di bulan November 2015 sebesar 5,9 juta. 17 Bahkan di

tahun 2016 BNN masih menangkap para penyelundup kakap yang coba

menyembunyikan narkoba bahkan di dalam kemasan coklat. Persentase prevelensi

pengguna narkoba di Indonesia dapat digambarkan dengan data berikut:

sumber: http//:hukum.kompasiana.com

Pernyataan tegas pemerintah terhadap kejahatan narkoba sebagai tindak

kejahatan yang paling serius (the most serious crime) didasarkan atas masifnya angka

transaksi peredaran narkotika di wilayah ASEAN yang mencapai sekitar Rp. 110

triliun dan di Indonesia sendiri berkisar Rp. 48 Triliun. Posisi Indonesia menduduki

peringkat teratas dalam peredaran narkotika juga tidak lepas dari jumlah pecandu

yang mencapai empat juta jiwa, ditambah lagi per tahun jumlah pecandu yang

meninggal dunia mencapai sekitar 15 ribu orang per tahun atau berkisar 40-50 korban

17
Coconut Indonesia, Data BNN Menunjukkan Peningkatan Besar Pengguna Narkotika Pasca
Eksekusi Mati Pengedar Tahun lalu, http://indonesia.coconuts.co/2016/04/19/data-bnn-menunjukkan-
peningkatan-besar-pengguna-narkoba-pasca-eksekusi-mati-pengedar, diunggah pada tanggal 19 april
2016, diakses pada tanggal 31 januari 2017.

Universitas Sumatera Utara


meninggal per hari. Hal itulah yang menjadi dasar pertimbangan Presiden Joko

Widodo menyatakan negara dalam kondisi darurat narkoba dan perang terhadap

narkoba.

Kondisi darurat narkoba menjadi dasar pertimbangan Pemerintah Indonesia

untuk menjatuhkan hukuman pidana mati bagi tersangka kasus narkoba dalam hal ini

adalah Bandar dan Pengedar yang nyatanya memberikan efek destruktif terhadap

masa depan pemuda Indonesia. Interprestasi tersebut tentunya sesuai dengan hukum

internasional, terutama International Convenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) atau perjanjian internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, tertuang

dalam Paal 6 ayat (2) sebagaimana telah diratifikasi ke dalam hukum nasional melalui

UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR, yang membolehkan penerapan

hukuman mati untuk kejahatan yang serius atau memberikan efek destruktif . Pidana

mati, sebagai pilihan sanksi terakhir dengan maksud pemberian efek jera (deterren

effect) dan sebagai sarana menjaga ketentraman secara normatif masih legal dalam

hukum positif (ius cinstitutum) di Indonesia. 18

Penyalahgunaan obat-obatterlarang tersebut telah diaturdalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Disamping mengatur penggunaan

narkotika, juga menetapkan perbuatan-perbuatan yang dilarang berhubungan dengan

narkotika. Beberapa pasal di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang

mencantumkan sanksi-sanksi pidana yang dapat diberikan kepada para pelaku tindak

18
Abdur Rahim, Asruddin azwar, Muhammad Hafiz dan Satrio Wirataru, op.cit., halaman 8-9.

Universitas Sumatera Utara


pidana narkotika, antara lain yaitu Pasal 111 sampaiPasal 127. 19 Berdasarkan

penjabaran pasal diatas penerapan pidana mati masih ada dalam produk hukum

terutama dalam Undang-Undang Narkotika, sejalan dengan asas lex specialis de

rogaat lex generalis yaitu ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuanumum,

maka demikian halnya dengan ketentuan pidana tentang narkotika yang ada dalam

Kitab Undang-UndangHukumPidana tidak berlaku lagi sepanjang yang sudah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang

akan menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana aturan pidana mati dalam hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana pandangan HAM terhadap pidana mati dalam hukum positif di

Indonesia?

3. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana mati dalam perkara

nomor 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn jo perkara nomor 395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok-pokok permasalahan yang telah

dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini ialah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji aturan pidana mati dalam hukum positif di

Indonesia.

19
Soedjono Dirdjosisworo, Segi Hukum Tentang Narkotika di lndonesia, 1976, Bandung: PT.
Karya Nusantara, halaman 14.

Universitas Sumatera Utara


2. Untuk mengetahui dan mengkaji pandangan HAM terhadap pidana mati dalam

hukum positif di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan mengkaji pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana

mati dalam perkara nomor 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn jo perkara nomor

395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diteliti maka diharapkan penelitian ini dapat

memberikan kontribusi baik teoritis kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh

peneliti maupun praktis kepada praktisi hukum. Disini dapat dijelaskan kegunaan

secara teoritis dan praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun praktek.

1. Manfaat yang besifat teoritis adalah mengharapkan bahwa hasil penelitian ini

dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan

disiplin ilmu hukum serta dapat menjadi kajian lebih lanjut untuk melahirkan

konsep-konsep ilmiah tentang “Penerapan Pidana Mati Dalam Hukum Positif Di

Indonesia Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia dalam perkara nomor

271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn jo perkara nomor 395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn ” sebagai

upaya deternce yang bersifat publik untuk menimbulkan rasa takut terhadap

masyarakat luas sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi terjadinya

kejahatan serupa.

2. Manfaat yang bersifat praktis adalah hasil penilitian ini nantinya dapat

mengembangkan kemampuan individu peneliti dan dapat dijadikan sebagai

pengetahuan bagi masyarakat untuk melihat formulasi tentang penerapan pidana

Universitas Sumatera Utara


mati terhadap kejahatan narkotika perspektif hak asasi manusia sudah relevan

diterapkan atau tidak dan disamping itu hasil penelitian ini dapat mengungkapkan

teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada. 20

E. Keaslian Penelitian

Seperti diketahui kegiatan hidup manusia itu berkembang dengan pesat yang

seiring diikuti oleh perkembangan hukum, oleh karena itu diperlukan penelitian

hukum. Dari hasil penelusuran keperpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU),

ada beberapa judul yang berkaitan dengan “Penerapan Pidana Mati Dalam Hukum

Positif Di Indonesia Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia dalam perkara nomor

271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn jo perkara nomor 395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn”, antara lain:

1. Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor

176K/PID/1998) oleh Eliza Oktaliana Sari.

Adapun Rumusan Masalah adalah:

a. Bagaimana ratio dan pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap

hukuman mati?

b. Mengapa hukuman mati tetap dipertahankan di Indonesia?

c. Bagaimana pertimbangan Hakim di dalam penjatuhan hukuman mati terhadap

kasus Ahmad Suradji (dalam perkara nomor 176/K/Pid/1998)?

20
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum Panduan Penulisan Skripsi. Tesis
Dan Disertasi, Cetakan Ketiga, Yogyakarta: GENTA Publishing, 2016, halaman 63.

Universitas Sumatera Utara


2. Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan

Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan) oleh Agustina Wati

Nainggolan.

Adapun Rumusan Masalah adalah:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam membuat putusan

tentang tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Medan?

b. Mengapa putusan Hakim tidak membuat efek jera terhadap pelaku tindak

pidana narkoba?

c. Apakah putusan hakim dalam tindak pidana narkoba telah mencapai tujuan

hukum taitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan?

3. Analisis Tentang Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum

Pidana Islam Oleh Mardia Pulungan

Adapun Rumusan Masalah adalah:

a. Bagaimana aspek filosofis pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan

hukum pidana islam?

b. Bagaimana pengaturan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan

hukum pidana islam?

c. Bagaimana perspektif pengaturan pidana mati kedepan?

Sedangkan judul penelitian yang akan dikaji “Penerapan Pidana Mati Dalam

Hukum Positif Di Indonesia Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia dalam perkara

nomor 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn jo perkara nomor 395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn ”

dengan masalahnya adalah:

Universitas Sumatera Utara


a. Bagaimana aturan pidana mati dalam hukum positif di Indonesia?

b. Bagaimana pandangan HAM terhadap pidana mati dalam hukum positif di

Indonesia?

c. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana mati dalam

perkara nomor 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn jo perkara nomor

395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn?

Jadi dilihat dari judul penelitian yang ditemukan di perpustakaan dengan judul

penelitian yang akan diteliti belum pernah dilakukan. Maka penelitian ini dapat

dikategorikan sebagai penelitian yang baru, keasliannyapun dapat

dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuwan, kejujuran,

rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat

dimaklumi, karena batasan dan sifat hakikat suatu teori adalah seperangkat konstruk

(konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang

fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan

menjelaskan dan memprediksikan gejala itu.

Rumusan di atas mengandung tiga hal, pertama teori merupakan seperangkat

proposisi yang terdiri atas variabel-variabel yang terdefenisikan dan saling

berhubungan. Kedua, teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel dan

dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena-

Universitas Sumatera Utara


fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu. Akhirnya, suatu teori

menjelaskan fenomena. Penjelasan itu diajukan dengan cara menunjuk secara rinci

variabel-variabel tertentu yang berkait dengan variabel-variabel tertentu lainnya.

Rumusan teori yang dikemukakan oleh Karlinger di atas masih terlalu abstrak,

demikian Soerjono Soekanto, agar lebih konkret, beliau mengajukan kriteria teori

yang ideal seperti yang dikemukakan oleh James S. Black dan Dean J. Champion,

sebagai berikut: 21

1. Suatu teori secara logis harus konsisten, artinya tidak ada hal-hal yang saling

bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan;

2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala tertentu,

penyataan-pernyataan mana mempunyai interrelasi yang serasi;

3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori, harus dapat mencakup semua unsur

gejala yang menjadi ruang lingkupnya, dan masing-masing bersifat tuntas;

4. Tidak ada pengulangan ataupun duplikasi di dalam pernyataan-pernyataan

tersebut;

5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian. Mengenai hal ini ada asumsi-

asumsi tertentu, yang membatasi diri pada pernyataan, bahwa pengujian tersebut

senantiasa harus besifat empiris.

Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan

hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. Kalau orang

21
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi 1, Cetakan ke-,
7, Jakarta:Rajawali Pers, 2013, halaman 42-44.

Universitas Sumatera Utara


mendengar kata “hukuman”, biasanya yang dimaksud adalah penderitaan yang

diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana. Pemidanaan atau pengenaan

pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama

apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan

di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya. 22

a. Teori Sistem Hukum

Guna menganalisis data yang dikumpulkan dan menjawab pertanyaan

sebagaimana yang sudah disusun pada rumusan masalah. Maka penelitian ini akan

menggunakan teori dari Lawrence M.Friedmen tentang tiga unsur sistem hukum

(Three elements of Legal System). Pada teori ini disampaikan bahwa sistem hukum

terdiri dati tiga unsur yaitu legal structure (struktur hukum), legal substance

(substansi hukum), legal culture (budaya hukum). Ketiganya menentukan apakah

sistem yang ada akan bisa berjalan dengan baik atau justru sebaliknya. 23 Aparatur

penegak hukum juga merupakan salah satu pembaharuan sistem hukum di

Indonesia 24 yang merupakan alat-alat negara yang menjalankan sistem hukum akan

berjalan dengan baik atau sebaliknya.

22
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini,Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan Kedua Februari 1985,
halaman 13.
23
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2004, halaman 7.Apai oleh hukum itu sendiri.
24
Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2004, halaman 48.

Universitas Sumatera Utara


1) Struktur hukum (legal structure) 25

Struktur hukum itu menurut Lawrence M. Rriedman menyatakan: “The

structure of a system is its skeletal frame work it is the permanent shape, the

institutional body of system”. Struktur dari suatu sistem adalah rancangan

kerangkanya itu adalah bentuk yang tetap, badan lembaga dari suatu sistem, struktur

hukum ini meliputi organisasi dan tata laksana serta personalia aparatur hukum serta

kelembagaan hukum.

Jika pendapat Lawrence M. Friedman tersebut dikaitkan dengan konsep

pidana mati setelah UUD 1945 diamandemen, maka lembaga legislatif sebagai

pembuat undang-undang perlu melakukan perubahan secara mendasar mengenai

pidana mati yang ada dalam undang-undang yang sudah dibuat maupun undang-

undang yang akan dibuat degan menghapuskan ancaman pidana mati di dalam

undang-undang yang ada berlandsrkan kepada payung hukum tertinggi di Indonesia

yaitu UUD 1945 dan Pancasila.

Demikian juga di dalam lembaga eksekutif yang menjalankan kebijakan-

kebijakan hukum perlu ditata kembali dengan adanya perubahan UUD 1945 tersebut

serta lembaga yudikatif dalam melaksanakan undang-undang, maka setiap keputusan

hukum yang dijatuhkan oleh hakim harus bersumber kepada hukum yang tertinggi,

sehingga pidana mati tersebut tidak mutlak dijatuhkan kepada seseorang yang

25
Makalah: Ediwarman, Analisis Hukum Mengenai Pidana Mati Dalam Perspektif HAM Di
Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


melakukan kejahatan, sebab pidana mati sudah bertentangan dengan tujuan yang

ingin dicapai oleh hukum itu sendiri.

2) Substansi hukum (legal substance) 26

Substansi hukum ini meliputi 3 (tiga) bidang terpenting dalam perjalanan

sejarah bangsa Indonesia yaitu Politik, Ekonomi dan HAM. Di dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang ancaman pidana mati baik yang diatur

di dalam KUHPidana maupun diliar KUHPidana substansi dari hukum tersebut perlu

diadakan perubahan dengan meniadakan pidana mati tersebut.

Perubahan ancaman pidana mati tersebut mutlak untuk dilakukan, karena

UUD 1945 tersebut merupakan payung hukum tetringgi di Indonesia, jika para ahli

hukum pidana masih mempertahankan pidana mati yang merupakan pidana yang

bersifat khusus dalam konsep KUHP yang baru, jelas tidak sesuai lagi dengan ide

dasar dari UUD 1945 setelah amandemen karena dalam konsep KUHP ysng baru

masih mencantumkan hukuman mati, tetapi dalam kejahatan khusus yang sangat

membahayakan kepada negara.

3) Budaya hukum (legalculture) 27

Budaya hukum adalah unsur dari sikap sosial dan nilai. Budaya hukum ini

merupakan sebagai budaya masyarakat anglo-saxon yang kemudian ditransformasi

ke dalam bentuk hukum kebiasaan (customary law) atau kebiasaan hukum (legal

customs). Dalam perkembangannya budaya hukum anglo-saxon menjadi tradisi

26
Ibid.
27
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


commom law, sedangkan hukum kebiasaan tetap ada dan berkembang dalam

masyarakat sederhana. Kebiasaan hukum merupakan aturan yang tidak dibentuk oleh

legislatif atau hakim, melainkan lahir dari opini-opini populer dan diperkuat oleh

sanksi yang bersifat kebiasaan yang telah berkembang lama. Selanjutnya menurut M.

Solly Lubis, pendekatan kultur memegang peranan dalam strategi pengendalian

sosial. Perubahan sosial perlu ditafsirkan melalui pendekatan budaya, apalagi dalam

hal-hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan dan nilai-nilai luhur

masyarakat setempat.

Dengan demikian pidana mati yang ada dalam stelsel KUHPidana meupun

yang berada di luar KUHPidana tidak sesuai lagi untuk diterapkan di Indonesia

sebagai budaya masyarakat yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong

sebagaimana diatur dalam butir-butir dari Pancasila itu sendiri.

4) Aparatur hukum (legal apparatus) 28

Dari sistem hukum yang dikemukan Lawrence M. Friedman tersebut diatas

aparatur hukum yang merupakan alat-alat negara yang menjalankan sistem hukum

tersebut di atas yang memerlukan suatu skill yang profesional sehingga dalam

memberikan suatu keputusan pidana mati kepada orang yang melanggar hukum itu

benar-benar dirasakan adil oleh kedua belah pihak yang mencari keadilan dan tidak

melanggar HAM.

Keempat lingkup sistem hukum tersebut di atas harus diperbaharui dan

dijalankan secara seimbang dan tidak bisa satu sistem hukum saja yang diperbaharui
28
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


sedangkan sistem yang lain tidak dilakukan perubahan, maka sistem tidak akan

berjalan dengan baik. Maka dalam perubahan sistem pidana mati dalam sistem

peraturan perundang-undangan di Indonesia baik yang ada dalam KUHP dan yang

ada diluar KUHP perlu pembaharuan secara komperehensif sesuai dengan amanat

UUD 1945 setelah di Amandemen dan Pancasila.

b. Teori Pemidanaan

Apa hakekat dan apa tujuan pemidanaan itu, menimbulkan beberapa teori.

Diantara para penulis barat dianut pelbagai teori hukum pidana atau Strafrechts

Theorien yang dasar pikirannya berkisar pada persoalan-persoalan mengapa suatu

kejahatan dikenakan suatun hukum pidana.

Teori-teori hukum pidana ini ada hubungan erat dengan subjecttief strafrecht

(jus puniendi), sebagai hak strafrecht atau wewenang untuk menentukan dan

menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht (jus punale), sebagai

peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana.Adanya pengertian

subjectief strafrecht dan objectief strafrecht ini dapat dimungkinkan, oleh karena

recht mempunyai dua arti. Kesatu sebagai “hak” atau “wewenang” dan kedua

sebagai “peraturan hukum”. Dengan adanya pengertian subjectief strafrecht atau hak

memidana ini lebih menonjol persoalan tersebut yang menjadi dasar pikiran dari

teori-teori hukum pidana, yaitu bergeser pada persoalan: Mengapa alat-alat Negara

mempunyai hak untuk memidana seseorang melakukan kejahatan. 29 Para ahli

29
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
Edisi pertama, cetakan pertama, Jakarta akdemika Pressindo, Nopember 1983, halaman 24-25.

Universitas Sumatera Utara


berbeda pandangannya tentang penggolonga teori pemidanaan. Ada ahli yang

membaginya menjadi dua teori dan ada juga yang membaginya menjadi tiga teori

pemidanaan. 30

Algra membagi teori tujuan pemidanaan menjadi tiga jenis, yaitu: 31

1. Teori absolut atau teori pembalasan;

2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorie); dan

3. Teori gabungan (gemengdetheorie).

L.J. van Apeldoorn membagi teori pemidanaan menjadi tiga golongan, yang

meliputi: 32

1. Teori yang mutlak (absolute theorieen);

2. Teori yang relatif (doeltheorieen); dan

3. Teori persatuan (vereenegingstheorie).

Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi tiga

kelompok, yakni: 33

1. Teori Absolut (retributif);

2. Teori teleologis; dan

3. Teori retributif teleologis.

30
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan
Tesis, ed.1, cet.1, Jakarta: Rajawali Pers, Mei 2016, halaman 140.
31
N.E. Algra, dkk, Mula Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983, halaman 303.
32
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, halaman
343-344.
33
Muladi, Lembaga Pidana Masyarakat, Bandung: Alumni, 2002, halaman 29-32.

Universitas Sumatera Utara


Teori-teori tentang dasar hukum dari pidana itu amat banyak. Namun

demikian, teori-teori pidana ini dapat digolongkan kedalam 3 golongan atau aliran,

yaitu sebagai berikut:

1. Teori absolut atau Pembalasan

Teori-teori ini dikenal sejak lahir abad ke-18 yang sebagian besar dianut oleh

ahli-ahli filsafat Jerman. Pokoknya, dianggap sebagai dasar hukum pidana itu adalah

pembalasan. Pidana itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap perbuatan pidana

yang dilakukan seeorang. 34

Menurut teori-teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,

tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana oleh karena telah

melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul

dengan dijatuhkannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan

dirugikan. Hanya dilihat kemasa lampau, tidak dilihat ke masa depan.

Pembalasan (vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan

untuk memidana suatu kejahatan. Kepuasan hatilah yang dikejar lain tidak. Apabila

ada seseorang oknum yang langsung kena atau menderita karena kejahatan itu, maka

kepuasan hati itu terutama pada si oknum itu. Dalam hal pembunuhan kepuasan hati

ada pada keluargasi korban khususnya dan masyarakat umumnya. Dengan

meluasnya kepuasan hati pada sekumpulan orang, maka akan mudah juga meluapkan

sasaran dari pembalasan pada orang-orang lain dari pada si penjahat, yaitu pada

34
M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Maret 2015, halaman
53.

Universitas Sumatera Utara


sanak keluarga atau kawan-kawan karib. Maka unsur pembalasan, meskipun dapat

dimengerti tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana.

Teori pembalasan ini membenarkan hukuman mati karena pemidanaan

tersebut telah melakukan kejahatan-kejahatan berat, oleh karena itu terhadap

pemidanaan mutlak harus diadakan pembalasan berupa penghukuman yang setimpal

dengan perbuatan yang dilakukannya. Hakikat penghukuman didalam teori

pembalasan ini adalah merupakan tuntutan mutlak.

2. Teori Relatif atau Tujuan

Jika teori absolut menyatakan bahwa tujuan pidana sebagaimana pembalasan,

maka teori relatif mencari dasar pemidanaan adalah penegakan ketertiban

masyarakat dan tujuan pidana untuk mencegah kejahatan. Teori relatif juga disebut

sebagai teori relasi atau teori tujuan. Hal ini karena relasi antara keadilan dan pidana

bukanlah hubungan secara apriori. Hubungan antara keduanya dikaitkan dengan

tujuan yang hendak dicapai pidana, yaitu perlindungan kebendaan hukum dan

penangkal ketidakadilan. 35

Menurut teori-teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan

suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus

dipersoalkan pula dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi sipenjahat

itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga masa depan. Maka

35
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2014, halaman 33.

Universitas Sumatera Utara


harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan

demikian teori-teori ini juga dinamakan teori-teori tujuan (doel-therorien).

Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari

kejahatan yang telah dilakukan itu, tidak terulang lagi (prevensi). Adapun tentang

bagaimana caranya mencegah kejahatan itu dengan mempergunakan pidana tersebut,

tidaklah ada kesepakatan ahli-ahli teori ini. Teori-teori ini dinamakan teori

pencegahan (Preventie Theorie). Teori-teori ini bervariasi pula sebagai berikut: 36

a) Teori-teori Pencegahan Kejahatan Umum (algemene/generale preventie)

Teori-teori ini berusaha agar pencegahan itu ditujukan kepada khalayak

ramai/umum. Bagaimana caranya? Disinipun timbul pendapat-pendapat:

a. Menitikberatkan kepada eksekusi pidana (strafuitvoerin)

Menurut teori ini eksekusi pidana itu hendaklah dilakukan secara

ganas di depan umum (openbaar) untuk menakuti masyarakat berbuat jahat.

Teori ini adalah teori yang paling tua, dan telah dianut sejak zaman Romawi,

antara lain oleh Seneca.

b. Menitikberatkan kepada ancaman pidana (strafbedreiging)

Teori ini timbul pada zaman Aufklarung. Menurut teori ini untuk

mencegah kejahatan maka ancaman pidana harus dibuat untuk menakuti

umum, oleh karena itu ancaman pidana itu harus diketahui oleh orang banyak

dengan menempatkan dalam Undang-Undang. Demikianlah rumus Feuerbach

yang terkenal “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” (tidak
36
M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, op.cit., halaman 54-56.

Universitas Sumatera Utara


sebuah perbuatan boleh dipidana kecuali sudah diancam pidana lebih dulu

dalam Undang-Undang).

Bila setiap orang telah mengehatui akan diancam pidana berat, maka

akibatnya secara psikologi orang akan takut berbuat jahat, karena ancaman

pidana itu merupakan penekan jiwa. Penganjur teori ini ialah Anselm von

Feuerbach. Teorinya terkenal dengan nama: teori “Psychologische Zwang”

(tekanan jiwa).

b) Menitikberatkan pada penjatuhan pidana (strafoplegging)

Orang berkeberatan teori terhadap teori Feuerbach karena suatu ancaman

pidana hanyalah suatu yang abstrak, sedangkan yang terpenting haruslah

ancaman konkrit. Apalah gunanya suatu ancaman yang berat, jika hakim

mempidana ringan. Maka justru penjatuhan pidana itulah yang terpenting untuk

menakuti umum. Pidana yang dijatuhkan haruslah berat dan menakutkan.

Penganjur teori ini: Muller.

c) Teori-teori Pencegahan Kejahatan Khusus (Bijzondere/Speciale Preventie)

Menurut teori ini-teori ini, tujuan pidana ialah menahan niat buruk si

pembuat. Pidana bertujuan agar si pelanggar tidak mengulangi kejahatannya.

Cara-caranya adalah:

1. Menakuti si penjahat.

2. Memperbaiki si penjahat.

3. Kalau perlu, menyingkirkan si penjahat dengan pidana penjara atau pidana

mati.

Universitas Sumatera Utara


Teori-teori prevensi khusus ini kadang-kadang sangat berlebihan

menekankan unsur memperbaiki si penjahat, sehingga menggelapkan batas

antara “pidana” (straf) dengan “tindakan” (maatgeral). Dalam hukum pidana,

disamping pidana dikenal juga tindakan yang juga untuk menjamin agar

ketentuan-ketentuan ditaati. Perbedaan antara pidana dengan tindakan adalah:

pidana semata-mata bertujuan memberi siksaan/nestapa, sedang tindakan lebih

ditujukan melindungi masyarakat, walaupun mungkin dirasakan juga oleh yang

bersangkutan sebagai siksaan. Contoh tindakan adalah: pendidikan negara

menurut Pasal 45.

3. Teori Gabungan

Aliran ini menggabungkan aliran absolut dan aliran relatif diatas. Menurut

aliran ini kedua aliran diatas, masing-masing mempunyai kekurangan, yaitu: 37

a. Teori-teori Pembalasan/Vergeldingstheori:

1) Dapat menimbulkan ketidakadilan. Het recht van talio (hukum balas-

membalas: nyawa dibalas nyawa, gigi dibalas gigi) tidak selamanya adil.

Motif orang berbuat tidaklah sama.

2) Bila alasannya semata-mata untuk membalas, maka mengapa negara yang

hanya berhak melaksanakannya.

b. Teori-teori tujuan/doeltheorieen

1) Juga menimbulkan ketidakadilan. Jadi hanya untuk menakut-nakuti, orang

yang berbuat kesalahan kecil, dipidana berat.


37
Ibid, halaman 56.

Universitas Sumatera Utara


2) Kepuasan masyarakat sangat diabaikan. Masyarakat sering tidak puas,

karena merasa si penjahat dimanjakan.

3) Sukar dicapai dalam praktik apa yang dikategorikan sering tidak

benar.

c. Teori Keadilan

Dalam hal pemidanaan “Model Keadilan” yang dikatakan Sue Titus Reid

sebagai Justifikasi modern untuk pemidanaan. Model ini disebut pendekatan keadilan

atau model just desert (ganjaran setimpal) yang didasarkan atas dua teori (tujuan)

pemidanaan, yaitu pencegahan (preventif) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi

menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh

mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Juga dianggap

bahwa sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal itu melakukan tindakan-

tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.

Sehubungan dengan model keadilan yang di dasarkan pada tujuan pencegahan

dan retribusi itu, Gerry A. Ferguson mengatakan bahwa pencegahan bertujuan

mencegah pengulangan pelanggaran dikemudian hari. Sedangkan retribusi

memusatkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan kriminal pelanggar dan

dimaksudkan untuk memastikan si pelanggar membayar tindak pidana yang

dilakukannya. Ganjaran yang setimpal (just desert) menjelaskan konsepsi bahwa

alasan retribusi yang mendasari bukan balas dendam, namun lebih tepatnya adalah

beratnya sanksi seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan si pelanggar. Dengan

demikian, sanksi ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan si

Universitas Sumatera Utara


pelanggar dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. David Fogel

menegaskan bahwa pemidanaan diperlukan untuk mengimplementasikan hukum

pidana yang didasarkan atas keyakinan bahwa orang-orang yang bertindak sebagai

akibat dari kehendak bebas bertanggung jawab, berkemauan dan bercita-cita. Seluruh

proses agen sistem peradilan pidana akan dilakukan dalam bidang keadilan. 38

Penetapan sanksi dalam hukum pidana, apa pun jenis dan bentuk sanksinya

harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan

pemidanaan ditetapkan, barulah jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi

pelaku kejahatan ditentukan. Penetapan sanksi pada tahap kebijakan legislasi ini

menurut Barda Nawawi Arief dalam Teguh Prasetya harus merupakan tahap

perencanaan strategis dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah

pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan

pidana.

Penetapan sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana dan

perumusan tujuan pemidanaan, maka tampak jelas adanya keterkaitan yang sangat

erat dengan landasan filsafat pemidanaan, teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran

hukum pidana yang dianut mendominasi pemikiran dan kebijakan kriminal (criminal

policy) dan kebijakan penal (penal policy). 39

Penerapan pidana mati bagi pelaku kejahatan narkotika yang diputuskan oleh

hakim, berarti hakim telah mengambil hak hidup manusia. Dalam konsepsi HAM,

38
Teguh Prasetya, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan II, Bandung:Nusa Dua,
Oktober 2011, halaman 105-106.
39
Ibid, halaman 84-85.

Universitas Sumatera Utara


hak hidup merupakan HAM yang bersifat tidak dapat dibatasi (nonderogable),

dimana hak ini tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Bahkan negara harus

menjamin keberlangsungan hak ini. Dalam ketentuan tersebut, dinyatakan bahwa bagi

negara yang belum menghapuskan pidana mati, masih dapat menerapkan hukuman

mati tetapi hanya dapat diberlakukan terhadap kejahatan yang paling serius (most

serious crime) dan hukuman dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang

berwenang. 40Walaupun demikian penjatuhan pidana mati bukanlah hukuman terakhir

dalam penjatuhan tindak pidana tetapi ada pidana seumur hidup, pidana 20 tahun.

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsepsional merupakan gambaran bagaimana hubungan antra

konsep-konsep yang akan diteliti. Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan

abstraksi yang digenarilisikan dari gejala-gejala tertentu. Salah satu cara untuk

menjelaskan kosep adalah defenisi. Defenisi merupakan suatu pengertian yang relatif

lengkap tentang suatu istilah, dan biasanya defenisi bertitik tolak pada referensi.

Dengan demikian, defenisi harus mempunyai ruang lingkup yang tegas, sehingga

tidak boleh ada kekurangan-kekurangan atau kelebihan-kelebihan. 41Adapun defenisi

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

40
Warih anjari, Penjatuhan Pidana Mati Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
E-Journal WIDYA YustisiaFH UTA 45 Jakarta, Volume 1 Nomor 2 Maret 2015.
41
Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit., halaman 47-48.

Universitas Sumatera Utara


a. Penerapan

Penerapan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan baik secara individu

maupun kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. 42

b. Pidana mati

Pidana mati adalah pidana yang merampas satu kepentingan hukum, yakni

jiwa atau nyawa manusia. Pidana ini sepanjang sejarahnya, ada yang setuju dan ada

yang tidak, artinya banyak dipersoalkan. 43

Pidana mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, sehingga diancam

kepada kejahatan-kejahatan yang amat berat saja. Tentang perlu atau tidaknya pidana

mati diancam kepada pembuat kejahatan menimbulkan banayak perdebatan. 44

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan hukuman mati sebagai hukuman

yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah. 45

c. Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 46

42
K Maria, Pengertian Penerapan, http://eprints.uny.ac.id, diunggah pada Maret 2012, diakses
pada tanggal 29 Maret 2017.
43
M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, op.cit., halaman 295.
44
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, op.cit., halaman 32.
45
Yon Artiono Arbai’i, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan Pidana Mati,
Jakarta:KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Cetakan Pertama, Mei 2012, halaman 66.
46
Amiee43Diksatrasia, Tindak Pidana Narkotika,
http://amiee43.blogspot.co.id/2013/05/tindak-pidana-narkotika.html, diunggah pada tanggal 18 Mei
2015, diakses pada tanggal 31 Januari 2017.

Universitas Sumatera Utara


Dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang

dimaksud dengan:

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini. 47

Dapat diartikan dengan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum

Narkotika. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika

dalam Pasal 1 ayat (15) dijelaskan bahwa “penyalahguna adalah orang

menggunakan narkotika tidak hanya pengedar dan produksi narkotika, akan tetapi

semua pihak yang terlibat dan berperan dalam kegiatan tersebut termasuk kedalam

kejahatan narkotika. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (18) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika bahwa pemufakatan jahat adalah

perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat unyuk

melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,

menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu

organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana

narkotika. 48 Adapun jenis-jenis tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut:

1. Tindak pidana menyangkut penyalahgunaan narkotika. Tindak pidana

penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua macam yaitu perbuatannya

untuk orang lain dan untuk diri sendiri.

47
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
48
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara


2. Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli narkotika tindak pidana

yang menyangkut produksi dan jual beli disini bukan hanya dalam arti sempit,

akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor impor dan tukar menukar narkotika.

3. Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan narkotika tindak pidana dalam

arti luas termasuk perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, dan mentrasito

narkotika. Selain itu, ada juga tindak pidana di bidang pengangkutan narkotika

yang khusus ditujukan kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak

melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar diatur dalam Pasal 139 UU

Narkotika.

4. Tindak pidana yang menyangkut penguasaan narkotika.

5. Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika orang tua

atau wali mewakili kewajiban untuk melaporkan pecandu narkotika.

d. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimilki setiap individu

sejak lahir, dan hak tersebut telah diakui oleh dunia dan agamanya. 49

Hak asasi manusia adalah hak hak-hak yang melekat pada setiap manusia

yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Miriam Budiarjo

mengemukakan: “hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah

49
Yon Artiono Arba’i, op.cit., halaman 49-50.

Universitas Sumatera Utara


diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam

kehidupan masyarakat”. 50

Sedangkan menurut John Locke menyatakan bahwa: “hak asasi manusia

adalah hak-hak yang bdiberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak

yang kodrati”. 51

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa: 52

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan marwah dan martabat manusia”.

Hak asasi manusia menurut Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa:

“sesungguhnya untuk menelaah totalitas kehidupan, sejauhmana kehidupan kita

memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan, adanya hak pada seseorang berarti

ia mempunyai keitimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlukan

sesuai dengan keistimewaan yang dimilikinya. Adanya suatu kewajiban pad

seseorang bahwa diminta dari padanya suatu sikap yang sesuai dengan keitimewaan

yang ada pada orang lain”. 53

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan salah satu faktor suatu permasalahan yang

akan dibahas, dimana metode penelitian merupakan cara utama yang bertujuan untuk
50
Nelvita Purba dan Sri Sulistyawati, Pelaksanaan Hukuman Mati Perspektif Hak Asasi
manusia dan Hukum Pidana Di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, Cetakan pertama, 2015, halaman
106.
51
Ibid, halaman 106.
52
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
53
Nelvita Purba dan Sri Sulistyawati, loc.cit., halaman 106.

Universitas Sumatera Utara


mencapai tingkat penelitian ilmiah. Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan

peneltian yang dilakukan meliputi:

1. Spesifikasi Penelitian

Tipe penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif.

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder (bahan keperpustakaan). Penelitian ini

mencakup atas:

1) Penelitian terhadap asas-asas hukum.

2) Penelitian terhadap sistematika hukum.

3) Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

4) Penelitian terhadap sejarah hukum.

5) Penelitian perbandingan hukum. 54

Penelitian hukum ini lebih menitikberatkan terhadap penelitian terhadap asas-

asas hukum dan sejarah hukum yang ternyata masih ada pelaksanaan pidana mati

diterapkan.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang akan diterapkan dalam penelitian hukum yang akan

dilakukan oleh peneliti ialah metode pendekatan yuridis normatif, yang secara

deduktif dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi

54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta:Rajawali, 1985, halaman 17.

Universitas Sumatera Utara


permasalahan di atas, metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat

permasalahan yang diteliti menitikberatkan kepada undang-undang dan kasus.

3. Lokasi Penelitian dan Populasi

Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan penelitian

(tempat/daerah/kota), dengan disertai penjelasan mengenai alasan mengapa lokasi itu

dijadikan sample penelitian. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah

Pengadilan Negeri Medan.

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah mengenai kasus hukum yang

sudah ingkrah menjatuhkan pidana mati khususnya kejahatan narkotika dalam

perkara nomor 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn jo perkara nomor

395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn.

4. Alat Pengumpulan Data

Adapun yang penulis gunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum

normatif yang merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data

sekunder. Data sekunder yang peneliti gunakan ialah data yang bersifat publik yaitu

data resmi arsip berupa putusan dari Pengadilan Negeri Medan. Pada penelitian

normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Universitas Sumatera Utara


a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian tesis diperoleh

melalui studi lapangan (field research) yang dilakukan untuk memperoleh data

yang akurat. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Medan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, yang diperoleh dari buku teks, rancangan KUHP,

rancangan undang-undang, kasus-kasus hukum, hasil karya ilmiah dari kalangan

hukum serta artikel hukum.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,

ensiklopedia, internet serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan

dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahan,

maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir. 55

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data dalam penelitian ini, data dan

informasi yang diperlukan bersifat kualitatif. Hal itu sejalan dengan arah penelitian

yang bertujuan untuk mencari dan menemukan konsep-konsep hukum dalam

55
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996,
halaman 113.

Universitas Sumatera Utara


konteksnya dalam kebenaran hukum. 56Upaya ini dilakukan secara terencana,

sistematis dan konsisten dengan menggunakan tekhnik pengumpulan data dan analisis

data. Karena bentuk penelitian ini library reserach, maka dalam pengumpulan data

yang diperlukan, digunakan tekhnik dokumentasi berupa penelusuran dan pengkajian

terhadap berbagai sumber melalui tahap pengumpulan data, penilaian data, penafsiran

dan penyimpulan.

Tahap pengumpulan data, penilaian data, penafsiran dan penyimpulan ini

didukung dengan field research dengan melakukan studi kasus ke Pengadilan Negeri

Medan guna memperoleh data yang lebih baik mengenai hukuman mati terhadap

kejahatan narkotika.

6. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif

yang menitikberatkan dalam rumusan masalah yang akan diuraikan secara deskriptif

analitis, yaitu pendapat dan tanggapan para informan, serta hasil dari studi

kepustakaan diteliti dan dipelajari secara universal. Kemudian hasil analisis data ini

dideskripsikan secara detail dari aspek-aspek tertentu, dikaji dengan memakai metode

induktif dalam hal ini konklusi dengan menghasilkan dari hal yang khusus ke hal

yang umum dan menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana.

56
Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke III, Jakarta:Rineka Cipta, 2001,
halaman 12.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
ATURAN PIDANA MATI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Pidana Mati Di Dalam KUHP

Hukuman mati tercantum di dalam KUHP yang diwariskan pemerintah

kolonial Belanda, dan tetap dinasionalisasi dengan Undang-Undang Nomor 1Tahun

1946 bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang dikeluarkan

kemudian ternyata juga mencantumkan ancaman hukuman mati di dalamnya. Dengan

demikian, alasan bahwa hukuman mati tercantum dalam KUHP pada waktu

diberlakukan oleh pemerintah kolonial, didasarkan antara lain berdasarkan faktor

rasial. 57

Perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang diancam hukuman mati dalam

KUHP, antara lain: 58

a. Makar dengan membunuh kepala negara. Pasal 104 menyebutkan makar dengan

maksud membunuh presiden atau wakil presiden atau dengan maksud merampas

kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah,

diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana

selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

b. Mengajak/ menghasut negara lain menyerang Indonesia (Pasal 111 ayat 2).

c. Melindungi atau menolong musush yang berperang melawan Indonesia (Pasal

124 ayat 3).

57
J.E Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007,
halaman 38.
58
Yon Artiono Arba’i, op.cit., halaman 105-107.

46

Universitas Sumatera Utara


d. Membunuh kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat 3).

e. Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (Pasal 140 ayat 3 dan Pasal 340).

f. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu

malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati

(Pasal 365 ayat 4).

g. Pembajakan di laut, di tepi laut, di pantai, di sungai sehingga ada orang yang

mati (Pasal 444).

h. Menganjurkan pemberontakan atau huru-hara para buruh terhadap perusahaan

pertahanan negara pada waktu terang (Pasal 124 bis).

i. Pada waktu perang melakukan penipuan dalam penyerahan barang-barang

keperluan angkatan perang (Pasal 127 dan Pasal 129),

j. Pemerasan dengan kekerasan (Pasal 368 ayat 2).

Pasal-pasal dalam KUHP tentang ancaman pidana mati menyitir pendapat

para pakar terdahulu, yaitu Andi Hamzah, Indriyanto Seno Adji, Rudy Satryo, Daud

Rasyid, dan Adi Suyatno. Sejumlah pakar tersebut menilai Ketentuan yang diatur

dalam Pasal 140 dan Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2), khususnya Pasal 110 ayat (1)

dan ayat (2), perlu diberi perhatian besar karena tidak menutup kemungkinan

ancaman pidana matinya terlalu tinggi apabila dianalisis dari sisi kekuatan hukum

pidana. Dasar pertimbangannya adalah:

a. Tindakan makar dipandang telah terjadi (selesai atau sempurna) selagi ancaman

pidana masih dalam kondisi diperingan 1/3, namun dalam Pasal 104 KUHP

justru menjadi pidana mati.

Universitas Sumatera Utara


b. Pemufakatan sanksi tindak pidana dalam Pasal 104 adalah pidana mati, padahal

pemufakatan merupakan tindakan yang masih sangat jauh dari permulaan

pelaksaan, namun pidananya sama dengan apabila telah masuk dalam tahap

permulaan pelaksanaan.

c. Menyediakan atau memudahkan konstruksi hukum pidana juga dalam masuk

penyertaan(deelneming) pada bagian perbantuan. Pemidanaan untuk peran

tersebut justru diperingan 1/3, sedangkan tindak pidana yang diatur dalam Pasal

104 pidananya sama dengan perbuatan pelakunya.

d. Terakhir, presiden tentu layak mendapat perlakuan lebih dibandingkan rakyat

biasa. Oleh karena itu, Pasal 104 dan pasal-pasal lainnya dalam KUHP bisa saja

menjadi perangkat hukum yang diorientasikan untuk kepentingan pihak yang

sedang memegang kekuasan (pemerintah), bukan kepentinga umum. Artinya,

tindak pidana tampaknya lebih ditujukan untuk menyingkirkan lawan-lawan

politik pihak yang sedang berkuasa sebagai upaya untuk mempertahankan

kekuasaan. Tidak menutup kemungkinan penegakan hukum menjadi penghalang

kehidupan demokrasi suatu negara.

Roeslan Saleh di dalam bukunya yang berjudul “Stelsel Pidana Indonesia”

dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas

Universitas Sumatera Utara


beberapa kejahatan-kejahatan yang berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-

kejahatan berat itu ialah: 59

1) Kejahatan terhadap negara (Pasal-Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3), 140 ayat

(3) KUHP. 60

Bab I dan buku II KUHP yang berjudul Kejahatan Terhadap Keamanan

Negara, memuat tindak pidana yang bersifat mengganggu kedudukan negara sebagai

suatu kesatuan yang berdiri ditengah-tengah masyarakat internasional yang terdiri

dari pelbagai negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat.

Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid,

menyebutkan adanya dua macam pengkhianatan terhadap negara ialah sebagai

berikut:

a. Pengkhianatan intern (hoogverraad), yang ditujukan untuk mengubah struktur

kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana

terhadap kepala negara, jadi mengenai kemanan intern (invendige veiligheid) dari

negara.

b. Pengkhianatan ekstern (landvorraad), yang ditujukan untuk membahayakan

kemanan negara terhadap serangan dari luar negeri, jadi mengenai keamanan

ektern (uitwondige veiligheid) dari negara misalnya hal memberi pertolongan

kepada negara asing, yang bermusuhan kepada negara awak.

59
Djoko Prakoso dan Nurwachid, op.cit., halaman 27.
60
Ibid, halaman 28-29.

Universitas Sumatera Utara


Dalam bab I buku II itu terkumpul dua macam pengkhianatan seperti yang diuraikan

di atas, seolah-olah tidak diadakan perbedaan antara dua macam tindak pidana itu.

Akan tetapi ternyata, “Oleh pembentuk KUHP diadakan sekedar perbedaan yaitu

dalam Pasal 4 ke-1 yang menyatakan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang

berlaku di Indonesia, berlaku juga pada setiap orang, jadi tidak hanya warga negara

Indonesia, yang di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu dari kejahatan-

kejahatan yang termuat dalam Pasal-Pasal 104,106,107, 108, 110. Sedang Pasal-Pasal

121, 124, dan 126 yang terang mengenai pengkhianatan ekstern menurut Pasal 5 ke-1

hanya juga berlaku bagi warga negara Indonesia, yang melakukan tindak pidana di

luar negeri.

Kejahatan-kejahatan terhadap negara dan pemerintah, oleh Dadali Mutiara

dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid diantaranya yang terpenting ialah:

a. Kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden,

b. Kejahatan terhadap pemerintah atau badan-badan pemerintahan,

c. Kejahatan terhadap negara sahabat, kepala negaranya atau wakil kepala negara

sahabat,

d. Memberontak,

e. Menjadi mata-mata atau kaki tangan negara asing,

f. Melawan pegawai pemerintah,

g. Mengacaun waktu pemilihan umum,

h. Menyembunyikan penjahat atau menghilangkan bukti kejahatan,

i. Memberikan laporan palsu kepada pegawai pemerintah yang berwajib,

Universitas Sumatera Utara


j. Menyiarkan kabar bohong,

k. Menjadi saksi dan sumpah palsu,

l. Perkara perkumpulan rahasia.

Pasal 104 sebagai Pasal pertama bab I buku II KUHP berbunyi:

“ Makar dengan maksud membunuh presiden atau wakil presiden, atau


dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka
tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Jadi tindak pidana yang termuat di dalam pasal tersebut di atas, ialah makar

yang dilakukan dengan tujuan akan menghilangkan nyawa atau kemerdekaan

presiden atau wakil presiden Republik Indonesia, atau dengan tujuan akan

menjadikan mereka tidak dapat menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya.

Dari uraian Pasal 104 KUHP tersebut, kini ada tiga macam tindak pidana,

ialah:

a. Makar yang dilakukan dengan tujuan (oogmerk) untuk membunuh keoala negara;

b. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kemerdekaan kepala

negara;

c. Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan kepala negara, tidak

dapat menjalankan pemerintahan.

Selanjutnya bunyi Pasal 111 KUHP adalah sebagai berikut:

“ (1) Barangsiapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan


seorangraja atau suku bangsa dengan maksud menggerakkannya untuk
melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap nega, atau
memperkuat niatnya untuk, atau menjanjikan bantuan untuk perbuatan itu,
atau membantu mempersiapkan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.

Universitas Sumatera Utara


(2) jadi permusuhan atau perang sungguh terjadi, diancam dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.

Jadi, tindak pidana dari Pasal 111 KUHP berupa mengadakan perubungan

negara asing, dengan niat:

a. Akan membujuk supaya negara asing itu melakukan perbuatan permusuhan atau

berperang dengan negara kita, atau

b. Akan memperkuat kehendak negara asing untuk berbuat demikian, atau

c. Akan menyanggupkan bantuan dalam hal ini kepada negara asing, atau

d. Akan memberikan bantuan dalam hal mempersiapkan hal-hal tersebut diatas.

Mengenai kejahatan-kejahatan yang biasnya dilakukan oleh mata-mata msush,

diantaranya ialah diatur di dalam Pasal 124 KUHP.

Pasal 124 KUHP berbunyi sebagai berikut:

“ (1) Barangsiapa dalam masa perang dengan sengaja memberi bantuan kepada
musuh atau merugikan negara terhadap musuh, diancam dengan pidana
penjara lima belas tahun.
(2) Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun jika si pembuat:
Ke-1: memberikan atau menyerahkan kepada musuh peta, rencana, gambar
ataupun penulisan mengenai bangunan-bangunan tentara;
Ke-2: menjadi mata-mata musuh, atau memberi pemondokan kepadanya.
(3) pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun dijatuhkan jika si pembuat:
Ke-1: memberitahu atau menyerahkan kepada musuh, menghancurka atau
merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu
alat penghubung, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun
angkatan laut, angkatan darat, atau bagian dari padanya, merintangi,
menghalang-halangi atau menggagalkan suatu usaha untuk
menggenangi air atau usaha tentara lainnya yang direncanakan atau
dielenggarakan untuk menangkis atau menyerang.
Ke-2: menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara pemberontakan
atau desersi dikalangan angkatan perang.

Universitas Sumatera Utara


Jadi, Pasal 124 ayat (1) KUHP mengenai seorang yang dalam masa perang

sengaja memberi bantuan kepada negara musuh atau merugikan negara Indonesia

terhadap musuh. Pidana maksimum lima belas tahun penjara pada tindak pidana ini,

menurut ayat (2) dinaikkan menjadi pidana penjara seumur hidup atau selama dua

puluh tahun apabila si pelaku:

a. Memberi kepada musuh peta, rencana, gambar dan sebagainya dari bangunan

militer atau keterangan sebagaimana gerak tentara Indonesia,

b. Bekerja sebagai mata-mata dari musuh atau menerima di rumah atau menolong

seorang mata-mata musuh.

Dalam ayat (3) pidananya dinaikkan lagi menjadi pidana mati atau pidana

seumur hidup atau selama dua puluh tahun, apabila sipelaku:

a. Mengkhianatkankepada musuh, menyerahkan kepada kekuasaan musuh,

membinasakan, merusakkan atau menjadikan takdapat dipakai; suatu tempat

penjagaan yang diperkuat atau diduduki, atau gudang atas suatu simpanan

makanan atau uang untuk keperluan uang,

b. Menghalang-halangi atau menggagalkan pekerjaan mengenangkan air untuk

menangkis atau menyerang musuh atau pekerjaan kemiliteran lain,

c. Mengadakan atau memudahkan pemberontakan diantara para prajurit.

Tindak pidana yang termuat dalam Pasal 140, adalah senada dengan tindak

pidana dari Pasal 104, hanya kini dilakukan terhadap kepala suatu negara

bersahabat.Ada perbedaan mengenai hukuman yang tidak menyolok dengan Pasal

104. Kini beratnya hukuman digantungkan pada beberapa hal. Menurut ayat (1)

Universitas Sumatera Utara


hukuman ini adalah maksimum lima belas tahun penjara, menurut ayat (2) menjadi

penjara sumur hidup atau selama dua puluh tahun, apabila berakibat matinya si

korban atau apabila perbuatan dilakukan dengan dirancang lebih dulu

(voorbedechteraad), menurut ayat (3) menjadi hukuman mati atau penjara seumur

hidup atau selama dua puluh tahun apabila perbuatan dilakukan dengan dirancang

lebih dulu dan lagi mengakibatkan matinya korban atau apabila perbuatan dilakukan

dengan:

Untuk lebih jelasnya di bawah ini penulis kutipkan rumusan dari Pasal 140

KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“ (1) makar terhadap atau kemerdekaan raja yang memerintahkan atau kepala
negara lainnya dari negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun,
(2) jika makar tehadap nyawa dilakukan dengan rencana atau berakibat maut
diancam dengan pidana penjara paling lama dua puluh tahun,
(3) jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana serta berakibat maut,
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

2) Pembunuhan dengan berencana (Pasal 340 KUHP).

Adapun bunyi Pasal 340 KUHP mengancam dengan pidana yang sebelumnya

peristiwa itu terjadi atau sesudah ada iat itu, terdakwa dengan tenang telah

memikirkan cara-cara untuk membunuh. Penyuluhan ini dinamakan pembunuhan

dengan berencana atau (moord).

Adapun bunyi Pasal 340 KUHP adalah sebagai berikut: “ Barangsiapa dengan

sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena

Universitas Sumatera Utara


pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup atau selama waktu rertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Jadi pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dilakukan oleh si

terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu, misalnya, dengan berunding dengan

orang lain atau setelah memikirkan siasat-siasat yang akan dipakai untuk

melaksanakan niat jahatnya itu dengan sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum

tindakan yang kejam itu dimulainya. 61

3) Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan

sebagai yang disebut dalam Pasal 369 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.

Di dalam KUHP tindak pidana pencurian adalah masuk dalam bab XXII buku

II, ialah tentang kejahatan-kejahatan terhadap harta benda orang.

Pasal 365 KUHP, ialah tentang pidana bagi pencurian berat, yang bunyi

perumusannya adalah sebagai berikut:

“ (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicurinya.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
Ke-1: jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau perkaranya tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau
dalam kereta api atau tren yang sedang berjalan;
Ke-2: jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;

61
Ibid, halaman 34.

Universitas Sumatera Utara


Ke-3: jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak
atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu;
Ke-4: jika perbuatan mengakibatkanluka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun,
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatannya
mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diteangkan
dalam Nomor 1 dan 3”. 62
Selanjutnya, mengenai tindak pidana pemerasan seperti yang diatur dalam

Pasal 368 KUHP adalah hampir sama dengan tindak pidana pencurian dengan

kekerasan yang diatur dalam Pasal 365.

Adapun perbedaannya ialah, bahwa dalam hal pencurian si pelaku sendiri

mengambil barang yang dicuri, sedang dalam hal pemerasan, si korban, setelah

dipaksa dengan kekerasan, menyerahkan barangnya kepada si pemeras, misalnya di

tengah jalan raya seorang A di todong dengan pistol oleh B, yang kemudian

mengambil sendiri dompet berisi uang dari saku si A, maka yang terjadi ialah

pencurian dengan kekerasan dari Pasal 365 KUHP.

Apabila A ditodong oleh B dan kemudian atas permintaan B, si A

menyerahkan dompetnya yang berisi kepada B, maka yang terjadi ialah perampasan

dari Pasal 368 KUHP.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kutipan rumusan dari Pasal 368 KUHP,

ialah sebagai berikut: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

62
Ibid, halaman 34-35.

Universitas Sumatera Utara


atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau

sebagian adalah kepunyaan orang itu ada orang lain, atau supaya memberi hutang

maupun menghapus piutang, diancam karena kekerasan dengan pidana penjara paling

lama semibilan tahun.

Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan

ini. Pasal 368 ayat (1) KUHP menentukan, bahwa pemerasan itu dapat dipidana yang

lebih berat lagi, apabila si terdakwa dalam melakukan pemerasan itu juga disertai

dengan satu syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang dapat menambah berat

pidananya, seperti yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, atau masuknya terdakwa

ke tempat pemerasan itu dilakukan dengan jalan membongkar, atau memanjat

memakai kunci palsu, surat perintah palsu, atau pakaian seragam palsu, atau apabila

pemerasan itu telah mengakibatkan orang lain mendapatkan luka berat atau mati. Di

sini dinyatakan dengan tegas ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi

kejahatan pemeasan tersebut. 63

4) Pembajakan dilaut, di pantai, di pesisir dan di sungai yang dilakukan dalam

keadaan seperti tersebut dalam Pasal 444 KUHP.

Di dalam KUHP kejahatan pelayaran diatur dalam bab XXIX buku II dan

menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang ada hubungannya dengan pelayaran,

terutama pelayaran di laut, dan bersifat berat yaitu hampir semua merupakan

perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang.


63
Ibid, halaman 38-39.

Universitas Sumatera Utara


Pasal pertama dari bab XXIX, yaitu Pasal 438 memuat suatu tindak pidana

yang diklasifikasikan sebagai pembajakan laut (zeeroof) dan dirumuskan sebagai dua

macam perbuatan, yaitu:

a. Masuk bekerja atau bekerja sebagai nahkoda pada suatu kapal, dengan diketahui,

bahwa kapal itu ditujukan atau dipergunakan untuk ditengah laut melakukan

perbuatan kekerasan terhadap kapal-kapal lain atau terhadap orang-orang atau

barang yang ada di kapal-kapal itu, tanpa untuk itu diberi kuasa oleh suatu negara

yang sedang berperang atau dengan tidak turut masuk angkatan laut dari suatu

negara yang telah diakui,

b. Masuk bekerja menjadi anak kapal pada suatu kapal dengan diketahui tujuan atau

penggunaan kapal itu seperti tersebut di atas, atau setelah diketahuinya, tetap

bekerja pada kapal itu atau termasuk awak kapal itu.

Pidana maksimum untuk tindak pidana pada sub a adalah penjara lima belas

tahun dan untuk tindak pidana sub b adalah penjara dua belas tahun.

Kejahatan yang kini dinamakan pembajakan laut (zeeroof) tetapi dirumuskan

seperti di atas, sebenarnya baru merupakan persiapan untuk melakukan perampokan

dalam arti biasa berupa melakukan kekerasan di tengah laut.

Lain halnya dengan tiga tindak pidana lain yang termuat dalam Pasal-Pasal

439, 440 dan 441 KUHP, yang tiga-tiganya dirumuskan sebagai perbuatan kekerasan

dan tiga-tiganya masing-masing diancam dengan pidana maksimum lima belas tahun

penjara.

Universitas Sumatera Utara


Pidana-pidana dari Pasal 438 sampai dengan Pasal 441 KUHP menurut Pasal

444 KUHP dinaikkan menjadi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara selama dua puluh tahu, apabila perbuatan-perbuatan kekerasan

tersebut mengakibatkan matinya orang yang diserang atau yang ada pada kapal yang

diserang. Untuk lebih jelasnya perumusan bunyi Pasal 444 KUHP adalah sebagai

berikut:

“ Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam Pasal 438-441mengakibatkan

seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka

nahkoda panglima atau pimpinan kapal mereka yang turut serta melakukan perbuatan

kekerasan diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. 64

B. Pidana Mati Di Luar KUHP

Selain dalam KUHP, masih ada tindak pidana yang diancam dengan hukuman

mati, yaitu peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Peraturan perundang-

undangan tersebut diantaranya:

1. UU Darurat No. 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api

Yang diundangkan pada 4 September 1951 Pasal 1 ayat 1. Bunyinya:


“Barangsiapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya
menyimpan, menyangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, diancam
pidana mati”.

64
Ibid, halaman 39-41.

Universitas Sumatera Utara


2. UU No. 7/Drt/1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi

“ Barang siapa melakukan tindak pidana sebagaimana termaksud dalam Undang-


Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1955 No. 27), tindak
pidana seperti termaksud dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi (Peraturan
Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perpu/013/1958) dan tindak pidana yang termuat
dalam itel I dan II KUHP, dengan mengetahu atau patut harus menduga, bahwa
tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, yaitu:
a) Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya
b) Menyelnggarakan keamanan rakyat dan negara
c) Melanjutkan perjuanagn menentang imperialisme ekonomi dan politik (Irian
Barat) dihukum dengan hukuman penjara selama sekurangkurangnya satu tahun
dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup atau
hukuman mati”.

3. UU No. 11 (PNPS) Tahun 1963 Pasal 13 Tentang Pemberantasan Kegiatan


Subversi.

a. Barangsiapa melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam pasal


1 ayat (1) 1,2,3,4 dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
b. Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam
pasal 1 ayat (1) angka 5 dipidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga
puluh juta rupiah).

4. UU No. 31 Tahun 1964 Pasal 23 Tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom.


“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22,
dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara sementara selama-lamanya
lima belas tahun dengan tidak dipecat, atau dipecat dari hak jabatan tersebut
dalam pasal 35 KUHP” 65

65
Wawasan Pendidikan, Pidana Mati Dalam KUHP dan Diluar KUHP,
http://www.wawasanpendidikan.com, diunggahpada tanggal 0-01-2016, diakses pada tanggal 9-04-
2017.

Universitas Sumatera Utara


5. UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal

Dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-

undangan pidana, kejahatan penerbangan, dan kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan. Diundangkan pada 27 April 1976 dalam

Lembaran Negara Tahun 1976 No. 26.

6. UU No. 5 Tahun 1997 Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Tentang Psikotropika

1) Barang siapa:
a. Menggunakan Psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2); atau
b. Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. Mengendarkan Psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (3); atau
d. Mengimpor Psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan; atau
e. Secara tanpa hak milik, menyimpan dan/atau membawa Psikotropika
golongan I
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.
750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terorganisir dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda
sebesar Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

7. UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No.

20 Tahun 2001 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara


Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 2o Tahun 2001, Tentang revisi atas UU

No. 31 Tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, disebutkan

bahwa: “setiap orang baik pejabat pemerintahmaupun swasta yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan atau denda paling sdikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 tentang revisi atas UU No. 31 Tahun

1999 menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukan terhadap

dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana

alam nasional, penanggulangan akibat kerusushan sosial yang meluas, dan

penanggulangan tindak pidana korupsi maka para pelaku tersebut dapat dipidana

mati.

8. UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU

No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi

Undang-Undang jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

a. Pasal 6 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau


ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital

Universitas Sumatera Utara


yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun”.

b. Pasal 8, Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana


yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:

a) menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan


untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk
pengamanan bangunan tersebut.
b) menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan
untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk
pengamanan bangunan tersebut;
c) dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,
mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan
penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau
memasang tanda atau alat yang keliru;
d) karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan
penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan
terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
e) dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak
dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain;
f) dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan,
membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g) karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak
dapat dipakai, atau rusak;
h) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau
ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat
dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau
yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk
pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut
telah diterima uang tanggungan;

Universitas Sumatera Utara


i) dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas
atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam
penerbangan;
j) dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau
ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan
perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam
penerbangan;
k) melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat
seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat
membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk
merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan
seseorang;
l) dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan
terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika
perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;
m) dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas
atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang
menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan
penerbangan;
n) dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan
ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun,
alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang
membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat
udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o) melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai
kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih
dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;
p) memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena
perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam
penerbangan;
q) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan
keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
r) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam
penerbangan.

Universitas Sumatera Utara


c. Pasal 9 “Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau
mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan
padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari
Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-
bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana
terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

d. Pasal 14 “Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain


untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

e. Pasal 15 “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau


pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.

f. Pasal 16 “Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang


memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

g. Pasal 19,Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai
penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Universitas Sumatera Utara


9. UU No. 35 Tahun 2009 Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 118 ayat (2),

Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2) Tentang Narkotika

a. Pasal 113 ayat (2)Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,


mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

b. Pasal 114ayat (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5
(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).

c. Pasal 116ayat (2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).

d. Pasal 118ayat (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,


mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).

Universitas Sumatera Utara


e. Pasal 119ayat (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

f. Pasal 121ayat (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).

10. Penpres No. 5 Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/ Jaksa Tentara

Agung

Memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang

membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan dalam Pasal 2.

Penpres ini diundangkan pada 27 Juli 1959 dalam Lembaran Negara 1959 No.

80.

11. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 21 Tahun 1959 Tentang Memperberat

Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi.

Diundangkan pada 16 November 1959 dalam Lembaran Negara Tahun

1959 No. 130. Adapun bunyi Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun

1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.

Yang berbunyi:

Universitas Sumatera Utara


“Jika tindak pidana yang dilakukan itu dapat menimbulkan kekacauan dibidang
perekonomian dalam masyarakat , maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati
atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun hukuman denda
yang besarnya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam undang-undang darurat
tersebut dalam ayat (1)”
Ini artinya delik ekonomi yang dapat memperberat pidana sehingga

menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian diancam dengan pidana mati.

12. Penpres RI No. 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang

dijatuhkan oleh pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. 66

C. Pidana Mati Di Dalam Rancangan KUHP Nasional Di Indonesia

1. RUU KUHP Tahun 2004

Rancangan KUHP tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan rancangan-

rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968, Rancangan KUHP

1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Rancangan KUHP

1979, Rancangan KUHP 1982/1983, Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan

KUHP 1986/1987, Rancangan KUHP 1987/1988, Rancangan KUHP 1989/1990,

Rancangan KUHP 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998, dan Rancangan

KUHP 1999/2000. Sampai saat ini (tahun 2006) Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI telah mengeluarkan RUU KUHP tahun 2004 sebagai revisi RUU KUHP

1999/2000. Dengan demikian dapat dilihat bahwa para pakar hukum di Indonesia

paling tidak telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 13 kali (termasuk revisinya)

selama 40 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2004).

66
Yon Artino Arba’i, loc.cit., halaman 107-108.

Universitas Sumatera Utara


Sebagaimana konsep pendahulunya, RUU KUHP 2004 merupakan hasil

kajian akademis dari tim pakar hukum. Pakar hukum yang tergabung dalam Tim

Perumus RUU KUHP Tahun 2004 ini diketuai oleh Muladi, seorang guru besar

hukum pidana dan mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang serta mantan

Menteri Kehakiman pada masa pemerintahan Habibie. Tim Perumus ini dibawah

koordinasi Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia. 67

Pidana pokok dalam naskah RKUHP yang dikeluarkan oleh departemen

Hukum dan Perundang-Undangan sampai sekarang Kemnetrian Hukum dan HAM

Tahun 1999-2000 pada bagian kedua pidana paragraf I. Jenis pidana Pasal 60 ayat (1)

terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan

pidana kerja sosial. Dari Pasal 60 ayat (1) tersebut tidak ditemukan pidana mati

sebagai pidana pokok. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan KUHP Bab II Pasal

10. Jenis-jenis hukuma dalam Undang-Undang itu terdiri dari hukuman-hukuman

pokok. KUHP ini dengan tegas menyebut pidana mati sebagai salah satu pidana

pokok. Fenomena meraik dari pentas pengadilan yang banyak menyita perhatian

publik akhir-akhir ini adalah meningkatnya jumlah vonis hukuman mati yang

diputuskan pengadilan. Pada 2003, misalnya, para pelaku Bom Bali I (Amrozi CS)

dijatuhi hukuman mati. Sebelumnya Fabianus Tibo, Domingus da Silva dan Marinus

67
RUU KUHP Tahun 2004 Diserahkan Pada Departemen Hukum dan HAM Pada
pertengahan bulan Mei 2005.

Universitas Sumatera Utara


Riwu divonis hukuman mati pada 2001 karena dianggap sebagai otak dan pelaku

kerusuhan Poso yang menyebabkan banyak nyawa melakayang.

Pengadilan menjatuhkan putusan demi putusan, namum persoalan yang masih

tersisa adalah layak atau tidak mempertahankan hukuman mati ditengah gencarnya

isu penegakan HAM. Eksistensi dan efektivitas penerapan hukuman mati sebagai

salah satu bentuk pemidanaan sering menjadi perdebadatan yang makin ramai seiring

menguatnya isu HAM yang makin berpengaruh pula terhadap kebijakan pemidanaan

yang berlaku di berbagai negara.

Berdasarkan catatan berbagai Lembaga HAM Internasional, Indonesia

termasuk salah satu negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati dalam

sistem hukum pidananya. Jumlah terpidana yang dihukum mati pun terbilang cukup

tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi dan Iran. Menurut data yang

diberoleh dari Kasubdit Statistik dan dokumentasi pada Dirjen Lembaga

Kemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, terpidana mati diseluruh

Indonesia pada Maret 2007 sejumlah 93 orang. Kenyataan ini mengandung perhatian

dunia internasional diantaranya Amnesti Internasional Lembaga Hak Asasi yang

bermarkas di London yang meminta pemerintah Indonesia untuk membatalkan

hukuman mati terhadap beberapa orang yang grasinya ditolak Presiden. Lembaga

tersebut menentang hukuman mati dan maminta otoritas untuk mencari jalan yang

lebih manusiawi.

Dalam pembahasan RUU KUHP yang dilakukan oleh Departemen Hukum

dan HAM beserta para pakar hukum, penerapan ancaman hukuman mati

Universitas Sumatera Utara


dipertahankan. Namun, indikator penetapan ancaman pidana mati terhadap tindak

pidana tidak jelas, apakah berdasarkan dampak kejahatan atau lebih melihat tindak

tingkat keseriusan kejahatan. Disamping itu, penentuan kategori penetapan ancaman

hukuman matipun tidak konsisten. Misalnya, pembunuhan berencana diancam

dengan hukuman mati, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan

genosida hanya diancam dengan hukuman minimum khusus dan maksimum 3-15

tahun. Jika dilihat dari tingkat kejahatan dan dampaknya, kejahatan ini lebih berat.

Dalam Statuta Roma pun kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida

dinyatakan sebagai kejahatan paling serius. 68

Pemidanaan dalam RUU KUHP pada Tahun 1999-2002 yang diancam dengan

hukuman mati antara lain: 69

a) Pasal 242 Tindak Pidana Terorisme berbunyi sebagai berikut:

“setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau

menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan

atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan

atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup

atau fasilitas umum atau fasilitas internasional, diancam dengan pidana mati atau

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

68
Yon Artiono Arba’i, lo.cit., halaman 111-112.
69
Ibid, halaman 113.

Universitas Sumatera Utara


b) Pasal 244 yang berbunyi sebagai berikut:

“setiap orang yang menggunakan bahan-bahan kimia, senjata biologis, radiologi,

mikro-organisme, radio aktif, atau komponennya untuk melakukan terorisme,

diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”.

c) Pasal 247 yang berbunyi sebagai berikut:

“setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk

melakukan tindak pidana terorisme, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 s/d

246, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”.

d) Pasal 249 yang berbunyi sebagai berikut:

“setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan

bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana

terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pembuat tindak pidana,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sampai dengan Pasal 246 RUU KUHP”.

e) Pasal 250 ayat (1) mengenai perluasan pidana terorisme yang mana dipidana

karena terorisme setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 258 dengan pidana mati. Pasal 258 adalah Pasal tentang

Perusakan Pesawat Udara Yang Mengakibatkan Matinya atau Hancurnya

Pesawat.

f) Pasal 251 mengenai tindak pidana terorisme mengenai pemufakatan jahat,

persiapan atau percobaan, dan pembantuan mealakukan terorisme sebagaimana

Universitas Sumatera Utara


dimaksud dalam Pasal 242, Pasal 243, dan Pasal 244, dan Pasal 250 RUU KUHP

dipidana sesuai dengan ketentuan pasal-apsal tersebut.

g) Pasal 262 ayat (2) mengenai tindak pidana perbuatan yang membahayakan

keselamatan penerbangan bahwa tindak pidana Pasal 262 ayat (1) mengakibatkan

matinya orang atau hancurnya pesawat udara.

h) Pasal 269 ayat (2) mengenai tindak pidana makar terhadap kepala negara sahabat

bahwa makar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu melakukan makar

dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan kepala negara sahabat

sehingga mengakibatkan kepala negara mati.

i) Pasal 505 mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika yaitu bahwa tanpa

hak dan melawan hukum memproduksi atau menyediakan narkotika.

j) Pasal 506 tindak pidana penyalahgunaan narkotik yaitu tanpa hak dan melawan

hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,

menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli

atau menukar narkotika.

k) Pasal 511 tindak pidana penyalahgunaan narkotik di luar wilayah Indonesia yaitu

setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 503 ayat (1), Pasal 504 sampai dengan Pasal 506 di luar wilayah

Indonesia diberlakukan pula ketentuan UU ini.

l) Pasal 513 tindak pidana penyalahgunaan psikotropika yaitu memproduksi

dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika, mengedarkan,

mengimpor, atau mengekspor psikotropika.

Universitas Sumatera Utara


m) Pasal 518 mengenai tindak pidana penyalahgunaan psikotropika di luar wilayah

negara Indonesia bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana psikotropika

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 513 ayat (1) dan Pasal 514 di luar wilayah

Indonesia diberlakukan pula UU ini.

n) Pasal 521 mengenai tindak pidana penyalahgunaan psikotropika bahwa

pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 514 sampai dengan Pasal 519 dipidana .

o) Pasal 574 mengenai tindak pidana pembunuhan berencana yaitu dengan rencana

terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

berencana dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, atau pidana

penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun.

Adapun konsep KUHP pidana mati pada tahun 2004 diancamkan pada 16

pasal perbuatan pidana (Naskah Akademik RUU KUHP)antara lain adalah: Pasal 244

RUU KUHP Terorisme Menggunakan Bahan-Bahan Kimia, Pasal 247 RUU KUHP

Penggerakan, Pemberian Bantuan dan Kemudahan untuk Terorisme, Pasal 249 RUU

KUHP Terorisme, Pasal 250 RUU KUHP Perluasan Pidana Terorisme, Pasal 251

RUU KUHP Terorisme, Pasal 262 ayat (2) RUU KUHP Perbuatan yang

Membahayakan Keselamatan Penerbangan, Pasal 269 ayat (2) RUU KUHP Makar

terhadap Kepala Negara Sahabat, Pasal396-399 RUU KUHP Kejahatan Perang dan

Konflik Bersenjata, Pasal 506 RUU KUHP Penyalahgunaan Narkotika, Pasal508

RUU KUHP Penyalahgunaan Narkotika, Pasal 513 RUU KUHP Penyalahgunaan

Narkotika di luar Wilayah Negara Indonesia, Pasal 515 RUU KUHP Penyalahgunaan

Universitas Sumatera Utara


Psikotropika, Pasal 520 RUU KUHP Penyalahgunaan Psikotropika di luar Wilayah

Negara Indonesia, Pasal 572 RUU KUHP Pembunuhan Berencana. 70

Ketentuan pidana mati dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 87, 88, 89, dan

90 RUU KUHP. Pasal 87 RUU KUHP mengatur pidana mati merupakan pidana

pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif'. Hukuman mati

sebagai klausul hukuman alternatif adalah menjadi hukuman seumur hidup atau

pidana 20 tahun apabila terpidana berkelakuan baik.

Pasal 88 RUU KUHP mengatur tata cara pelaksanaan pidana mati. Pidana

mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampaimati oleh regu tembak.

Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yangsakit jiwa ditunda

sampai wanita tersebut melahirkan atau orangyang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana

mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasibagi terpidana ditolak

Presiden.

Pasal 89 RUU KUHP menegaskan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda

dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Syaratnya, reaksi masyarakat

terhadap terpidana tidak terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada

harapan untuk diperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak

terlalu penting, dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa

percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat

diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)

70
Trisno Raharjo, Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, https://hukum.ump.ac.id, diakses pada tanggal 10 April 2017.

Universitas Sumatera Utara


tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum dan hak asasi manusia.

Sebaliknya, jika terpidana tak berubah, maka pidana mati dapat dilaksanakan

atas perintah Jaksa Agung. Pasal 90 RUU KUHP menegaskan jika permohonan grasi

terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun

bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah

menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

2. Pidana Mati dalam RUU KUHP Tahun 2015

Adapun konsep KUHP pidana mati pada tahun 2015 diancamkan pada 19

pasal perbuatan pidana (Naskah Akademik RUU KUHP) antara lain adalah:Pasal

223 RUU KUHP Makar Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 235

ayat (2) RUU KUHP Pengkhinatan Terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia

Negara, Pasal 249 RUU KUHP Terorisme, Pasal 252 RUU KUHP Terorisme dengan

Menggunakan Bahan Kimia, Pasal 254, Pasal 256 RUU KUHP Pendanaan untuk

Terorisme, Pasal 258 RUU KUHP Penggerakan, Pemberian Bantuan, dan

Kemudahan untuk Terorisme, Pasal 267 ayat (2) RUU KUHP Makar Terhadap

Kepala Negara Sahabat, Pasal 400 RUU KUHP Genosida, Pasal 401 RUU KUHP

Tindak Pidana Terhadap Kemanusiaan, Pasal 402 RUU KUHP Tindak Pidana dalam

Masa Perang atau Konflik Bersenjata, Pasal 403 RUU KUHP Tindak Pidana dalam

Masa Perang atau Konflik Bersenjata, Pasal 507, Pasal 510 ayat (2), Pasal 512 ayat

(2), Pasal 514 ayat (2), Pasal 515 ayat (2), Pasal 517 ayat (2) RUU KUHP Tindak

Universitas Sumatera Utara


Pidana Penyalahgunaan Narkotika, Pasal 687 ayat (2) RUU KUHP Tindak Pidana

Korupsi. 71

Ketentuan pidana mati dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 14 ayat (3)

RUU KUHP Pemufakatan Jahat, Pasal 67 RUU KUHP, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91,

Pasal 92 RUU KUHP Pidana Mati. Pasal 14 ayat (3) mengenai pemufakatan jahat

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur

hidup, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 67 RUU KUHP mengenai

pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancam secara

alternatif. Pasal 89 RUU KUHP menegaskan pidana mati secara alternatif dijatuhkan

sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Pasal 90 RUU KUHP ayat (1) mengenai pidana mati dapat dilaksanakan

setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Ayat (2) mengenai

pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di

muka umum. Ayat (3) pidana mati dilaksankan dengan menembak terpidana sampai

mati oleh regu tembak. Ayat (4) pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau

orag yang sakit jiwaditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit

jiwa tersebut sembuh.

Pasal 91 RUU KUHP ayat (1) pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan

masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika reaksi masyarakat terhadap

terpidana tidak terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan

71
RUU KUHP Tahun 2015, Jakarta 05 Juni 2015.

Universitas Sumatera Utara


untuk diperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu

penting, dan ada alasan yang meringankan. Ayat (2) mengenai jika terpidana selama

masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan

perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup

atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi

manusia. ayat (3) jika terpidana selama masa pecobaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan

untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 92 RUU KUHP menegaskan jika permohonan grasi terpidana mati

ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena

terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana

seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

D. Pidana Mati Dalam Pengaturan Hak Asasi Manusia

1. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a,b,c,d,e atau j dihukum

dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau hukuman penjara paling lama

25 tahun dan paling singkat 10 tahun. 72

72
Nelvita Purba dan Sri Sulistyawati, Pelaksanaan Hukuman Mati Perspektif Hak Asasi
manusia dan Hukum Pidana Di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, Cetakan pertama, 2015, halaman
139.

Universitas Sumatera Utara


Kejahatan genosida dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf a adalah: setiap

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan

seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama

dengan cara:

a) Membunuh kelompok.

b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-

anggota kelompok.

c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagainya.

d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam

kelompok atau;

e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok

lain.

2. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia mengenai kejahatan kemanusiaan. 73 Kejahataan kemanusiaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang

dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk

sipil berupa: 74

a) Pembunuhan

73
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Penadilan Hak Asasi Manusia.
74
Ibid, halaman 140.

Universitas Sumatera Utara


b) Pemusnahan

c) Perbudakan

d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

Internasional.

f) Penyiksaan

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemkasaan kehamilan,

pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasanseksual

lain yang setara.

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang

didasari persamaan paham politi, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis

kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang

dilarang menurut hukum internasional.

i) Penghilangan orang secara paksa

j) Kejahatan apartheid.

Pidana mati masih tetap digunakan dalam sistem hukum pidana Indonesia: 75

1. Dilihat sebagai satu kesatuan, Pancasila mengandung nilai keseimbangan antara

sila yang satu dengan sila lainnya. Namun apabila Pancasila dilihat secara parsial

(menitikberatkan pada salah satu sila), maka ada pendapat yang menyatakan

75
Inspirasi Hukum, Eksistensi Pidana Mati Dalam Rancangan KUHP Nasional Ditinjau Dari
Pasal 28I, http://pembaharuan-hukum.blogspot.co.id, diunggah pada tanggal 19 Desember 2008,
diakses pada tanggal 22 Maret 2017.

Universitas Sumatera Utara


bahwa pidana mati bertentangan dengan Pancasila dan ada pula yang

menyatakan tidak bertentangan dengan Pancasila. Jadi pendapat yang menolak

dan menerima pidana mati, sama-sama mendasarkan pada Pancasila. Bahwa “ada

kecenderungan di antara mereka yang pro dan kontra (terhadap pidana mati),

untuk menjadikan Pancasila sebagai “justification”.

2. Hak untuk hidup (Pasal 28A jo Pasal 28 I UUD1945 dan Pasal 9 ayat 1 jo Pasal 4

UU HAM) dan hak untuk bebas dari penghilangan nyawa (Pasal 33 UU HAM)

tidak dapat dihadapkan secara diametral (samasekali bertentangan) dengan

“pidana mati”. Hal ini sama dengan hak kebebasan pribadi (Pasal 4 UU HAM)

atau hak atas kemerdekaan (Pembukaan UUD 1945) yang juga tidak dapat

dihadapkan secara diametral dengan pidana penjara. Apabila dihadapkan secara

diametral, berarti pidana penjara pun bertentangan dengan UUD1945 dan

UUHAM karena pidana penjara pada hakikatnya adalah “perampasan

kemerdekaan/kebebasan”.

3. Pernyataan dalam UUD 1945 dan UU HAM bahwa “setiap orang berhak untuk

hidup”, identik dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang menyatakan, bahwa “every

human being has the right to life”. Namun di dalam Pasal 6 (1) ICCPR,

pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas, bahwa “No one shall be

arbitrarily deprived of his life”. Jadi walaupun Pasal 6 ayat (1) ICCPR

menyatakan, bahwa “setiap manusia mempunyai hak untuk hidup”, tetapi tidak

berarti hak hidupnya itu tidak dapat dirampas. Yang tidak boleh adalah

“perampasan hak hidupnya secara sewenangwenang” (arbitrarily deprived of his

Universitas Sumatera Utara


life). Bahkan dalam Pasal 6 ayat (2) dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan

untuk “the most serious crimes”. Selanjutnya bahkan diatur pula dalam berbagai

dokumen internasional mengenai “pedoman pelaksanaan pidana mati” (Lihat

Resolusi Ecosoc PBB 1984/50 jo Resolusi 1989/64 dan Resolusi 1996/15 yang

mengatur “the Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing

the Death Penalty”). Dalam Resolusi Commission on Human Rights (Komisi

HAM PBB) 1999/61 juga masih ada penegasan, bahwa pidana mati jangan

dijatuhkan kecuali untuk “the most serious crimes” (dengan pembatasan/rambu-

rambu: “intentional crimes with lethal or extremely grave consequences”).

4. Demikian pula dalam UU HAM ada pembatasan dalam Pasal 73 yang

menyatakan: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya

dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang, semata-mata untuk

menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta

kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan

bangsa. Pasal 73 UU HAM identik dengan Pasal 28J UUD 1945 amandemen ke-

2 Tahun 2000.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PANDANGAN HAM TERHADAP PIDANA MATI DALAM HUKUM


POSITIF DI INDONESIA

A. Sejarah Pidana Mati dan Cara Pelaksanaannya

1. Sejarah Pidana Mati

Penjatuhan hukuman, terlebih hukuman mati merupakan hal penting dalam

hukum pidana dan peradilan hukuman.Oleh karena itu, proses, aktivitas, dan

penjatuhan putusan harus ditetapkan secara bijak dan objektif.Penjatuhan hukuman

bukan saja harus sesuai hukum acara, namun juga berkaitan dengan keadilan,

kepastian hukum, HAM, tujuan pemidanaan, dan politik kriminal serta kebijakan

sosial suatu Negara. Menurut Muladi, dalam penjatuhan sanksi hukuman terdapat

beberapa indicator yang harus dikembangkan. Namun, sebenarnya ada lima hal yang

harus menjadi perhatian, yaitu hal-hal objektif yang berkaitan dengan perbuatan,

faktor-faktor subjektif, besar kecilnya kerugian atau korban kejahatan, dan prediksi

hakim dalam penjatuhan hukuman. 76

Aspek penting lain dalam penerapan hukuman mati terletak pada hakikat dan

tujuan pemidanaan, yang tidak lepas dari lingkup teori-teori yang berkembang seperti

teori klasik, teori pembalasan, teori relatif atau teori gabungan. Di samping itu,

pemberlakuannya juga tidak boleh mengesampingkan konsep modern masyarakat di

76
Muladi, Hak Azasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, halaman 157.

83

Universitas Sumatera Utara


dunia berdasarkan teori utilitas yang bersifat inkonvensional dari Jeremy Betham dan

Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menurut Bambang Poernomo, sesudah teori pembalasan yang hanya bertujuan

memidana orang yang bersalah tanpa mempertimbangkan akibat yang mungkin

timbul dari dijatuhkannya hukuman tersebut mulai ditinggalkannya, teori relative

yang lebih bersifat preventif dan teori gabungan antara pembalasan dan prevensilah

yang lebih banyak dijadikan dasar dalam penerapan hukuman mati. Teori ini paling

relevan karena ternyata perkembangan teori-teori baru lain tidak dapat menghindari

unsur-unsur pembalasan dalam hal tertentu. 77

Muladi mengemukakan bahwa ke depannya pandangan hukum pidana mati di

Indonesia dapat dirumuskan sebagai pidana perkecualian yang bersifat khusus, sesuai

dengan sistem pemasyarakatan.Perlu diatur pula hukuman mati bersyarat dengan

beberapa modifikasi. 78

Dalam realitas hukum, eksistensi sanksi pidana mati dipertahankan dalam

sejumlah perundang-undangan.Gagasan pidana mati sebagai sanksi alternative

memerlukan penelitian kembali eksistensi dan urgensinya dalam berbagai perundang-

undangan dan dinamika masyarakat.Pidana mati sebagai ancaman pidana terberat

patu memperoleh kajian dengan meninjau kembali unsur-unsur yang termuat dalam

pasal-pasal yang mengancam pidana mati diselaraskan dengan pandangan mayarakat

mengenai keadilan, yang notabene menimbulkan pro dan kontra yang tidak mungkin

77
Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara,
1982, halaman 9.
78
Muladi, loc.cit.,halaman 156.

Universitas Sumatera Utara


dapat dipadukan, mengingat perbedaan prinsip tatanan sosial, budaya, dan struktur

serta kepercayaan ikut mewarnai perdebatan.

Ditinjau dari sejarah pemidanaan, hukuman mati lahir bersama dengan lahirya

manusia di muka bumi, dengan budaya hukum retaliasi hukuman berdasarkan teori

pembalasan mutlak.Penerapan hukuman mati bagaikan serigala memakan

serigala.Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu pidana tertua, disamping

pidana ganti kerugian (denda) dan pidana fisik (dicambuk, anggota tubuh dipotong,

dan dicap bakar).

Pidana mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam

hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 kasus

kejahatan yang dijatuhi pidana mati. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga

diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet).

Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam

pandangan modern seperti: penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas,

dibakar, dan lain-lain.

Pada abad ke-10, hukuman mati dengan cara digantung menjadi metode yang

digunakan di dataran Inggris. Pada abad berikutnya, Raja William tidak mengizinkan

hukuman mati kecuali dalam kondisi perang. Akan tetapi, pada abad ke-16 kondisi ini

kemudian berbalik. Dibawah rezim Raja Henry ke-16, diperkirakan sekitar 72 ribu

orang dihukum dengan cara direbus (dimasak), dibakar, digantung, dipenggal,

dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik dan lain-lain. Hukuman ini

Universitas Sumatera Utara


dijatuhkan dengan alasan pelanggaran hukum seperti menikahi orang Yahudi, tidak

mengakui kejahatannya, dan pengkhianatan,

Pada saat yang sama, kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi saat terjadi

gerakan Pencerahan di Perancis. Titik awal berkembangnya pemikiran modern

ditandai dengan tragedi.Alih-alih memperjuangkan kebebasan warga (Habeas

Corpus), banyak kaum oposisi yang dianggap sebagai penentang revolusi Perancis

terutama kalangan bangsawan dan kalangan gereja dihukum mati dengan cara

dipenggal di guillotine. Salah satu cara yang masih digunakan sampai saat ini adalah

dengan hukum gantung. hukuman ini masih dijalankan atau diberlakukan di Irak,

Arab Saudi, Indonesia dan Malaysia. Dengan alasan untuk mengurangi rasa sakit

yang dialami oleh mereka yang menjalaninya, pidana mati kemudian dilakukan

berbagai cara yang dianggap lebih manusiawi.

Pidana dengan regu penembak masih menjadi cara dibeberapa negara

termasuk Indonesia. Pada tahun 1890, Negara bagian New York, Amerika Serikat

mengembangkan kursi listrik dan awalnya dilakukan di pada tahun 1890 untuk

mengeksekusi Raja William. Sampai saat ini, hanya negara bagian Nebraska yang

memberlakukan kursi listrik sebagai metode. Pada tahun 1924, negara bagian Nevada

kemudian menggunakan kamar gas dengan sianida. Terakhir, hukuman ini digunakan

pada tahun 1999. Terakhir adalah dengan suntik mati. Negara bagian Oklahoma

adalah wilayah yang pertama memberlakukan hukuman mati dan melaksanakan

hukuman tersebut pada tahun 1982 kepada Charles Brooks. Cara terakhir ini

kemudian mulai dijadikan oleh beberapa negara sebagai metode hukuman mati.

Universitas Sumatera Utara


Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati

hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya.

Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut: “Walaupun hukuman mati

belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan

tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional

terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan

hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional

terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan

keseluruhan”. 79

Sejak awal abad ke-20 banyak Negara yang menghapuskannya. Ada pula

Negara yang tidak menghapus hukuman mati, namun tidak pernah melaksanakannya,

misalnya penghapusan hukuman mati secara de facto di Belgia.Ada juga Negara yang

berusaha membatasi penerapan pidana mati dengan memperkenalkan pidana mati

yang ditunda, seperti yang dilakukan Cina. Pada umumnya Negara-negara maju,

seperti Belanda, Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swiss, dan Negara-negara

Skandinavia, telah menghapus hukuman mati sedangkan Negara-negara berkembang,

seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Muangthai, Filipina, Pakistan, RRC, dan

Vietnam masih mempertahankannya.

Sejarah hukuman mati di Indonesia sebelum 17 Agustus 1945 tiap daerah

membentuk kerajaan-kerajaan kecil dengan membentuk undang-undangnya sendiri

79
Jurnal hukum, Penelitian Hukuman Mati dan Hak, http://jurnalhukum.blangspot.com,
diunggah pada tanggal 11 Mei 2007, diakses pada tanggal 19 Aptil 2017.

Universitas Sumatera Utara


antara daerah yang satu dengan daerah lainnya berbeda hukumnya. Salah satu

kerajaan yang terkenal pada waktu itu adalah kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit

ini memberikan perlindungan keamanan kepada rakyatnya menetapkan jenis-jenis

hukuman antara lain:

1) Hukuman pokok terdiri dari:

a. Hukuman mati

b. Hukuman potong anggota badan yang bersalah

c. Hukuman denda

d. Hukuman ganti kerugian/panglicawa/patukucawa.

2) Hukuman tambahan terdiri dari:

a. Tebusan

b. Penyitaan

Dari beberapa bentuk-bentuk hukuman perbutan kejahatan yang dapat dijatuhi

hukuman mati adalah: pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah

kepada raja, perbuatan-perbuatan perusahaan yaitu: pencurian, mrmbrgsl, mrnculik,

kahwin sumbang (kawin semarga), meracuni dan menenung. Alasan-alasan

melaksanakan hukuman pada masa penjajahan adalah:

a. Sistem-sistem pada hukum adat tidak memadai untuk memaksakan rakyat

mematuhi peraturan;

b. Hukum adat ada kalanya tidak mampu untuk menyelesaikan suatu perkara

persoalan pembuktian;

Universitas Sumatera Utara


c. Adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut Hukum Adat bukan merupakan

suatu kejahatan, menurut hukum yang berlaku merupakan kejahatan yang harus

diberikan hukuman.

Membicarakan hukuman mati dalam hukum adat maka harus kedudukan

hukum pidana adat dalam hukum pidana masa kini. Hukuman mati sudah lama

dikenakan bagi masyarakat di Indonesia hal ini dibuktikan dengan adanya

peninggalan-peninggalan yang bersifat tertulis diantaranya plakat (batu bertulis)

tertanggal 22 April 1808, mahkamah diperkenankan menjatuhkan hukuman antara

lain:

a. Dibakar hidup pada suatu tiang

b. Dimatikan dengan menggunakan keris

c. Dicap bakar

d. Dipukul

e. Kerja paksa pada pekerjaan umum

Hukum adat dahulu, mengenakan hukuman mati dengan pelaksanaan yang

kejam seperti di Aceh, seorang istri yang berzinah dibunuh. Ketika Sultan berkuasa

disana, boleh dijatuhkan lima jenis hukuman yang utama antara lain:

1) Tangan dipotong (pencuri)

2) Dibunuh dengan lembing

3) Dipalang di pohon

4) Dipotong daging dari badan penjahat (sajab)

Universitas Sumatera Utara


5) Ditumbuk kepala penjahat di lesung. 80

Setelah tanggal 1 Januari 1918 Wetboek van Strafrecht (WvS) berlaku hukum

pidana bagi golongan Eropa maupun yang bukan. Sejak itu terdapat unifikasi hukum

pidana di Indonesia walaupun belum dapat terleksana. Tiga macam lingkungan

Hukum atau Lingkungan Pengadilan antara lain:

a. Peradilan Pemerintah (Umum) yang berlaku untuk setia orang;

b. Peradilan Swapraja;

c. Peradilan Pribumi.

Peradilan pemerintah digunakan hukum pidana dari Belanda, sedangkan

peradilan Swapaja pribumi hukum Adat.Indonesia kemudian telah beralih dari

penjajahan Belanda ke penjajahan Jepang. Dimasa Undang-Undang No. 1 Tahun

1942 berlaku bahwa undang-undang ini zaman penjajahan Belanda masih tetap

berkuasa sepanjang ia tidak bertentangan dengan bela tentara Jepang.

Indonesia mengumunkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada

tanggal 18 Agustus 1945 diumumkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

berdasarkan Pasal II aturan peralihan, semua perundang-undangan yang ada masih

digunakan untuk menghindarkan kekosongan hukum. Berdasarkan pada Pasal 1

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1947 tertanggal 26 Februari 1946 Berita Negara

Republik Indonesia Nomor 9 menegaskan bahwa dengan menyimpang dari Peraturan

Presiden Nomor 2 Tahun 1945 peraturan-peraturan pidana yang berwenang pada saat

itu adalah undang-undang yang pada tanggal 8 Maret 1942. Di dalam kitab Undang-
80
Nelvita Purba dan Sri Sulistyawati, op.cit.,halaman 21-24.

Universitas Sumatera Utara


Undang Hukum Pidana dikenakan bentuk-bentuk hukuman berdasar pada Pasal 10

yaitu, hukuman pokok terdiri dari:

a. Hukuman Mati

b. Hukuman Penjara

c. Hukuman Kurungan

d. Hukuman Denda

Sedangkan hukuman tambahan terdiri dari:

a. Pencabutan beberapa hak tertentu

b. Perampasan barang tertentu pengumuman kepastian hakim.

Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Pasal 11 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana yaitu hukuman mati dijalankan oleh algojo (orang yang menjalankan

hukuman mati) di tempat pergantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher

terhukum dan meningkatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan di

tenpat pelaku hukuman mati berdiri. Pada tahun 1964 berdasarkan Penetapan

Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang pelaksanaan pidana mati Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana di Indonesia dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu

tempat dalam daerah undang-undang pengadilan yang menjatuhkan keputusan pada

tingkat pertama. 81

Pelaksanaan hukuman berbeda di tiap masyarakat.Cara umum dilakukan pada

abad pertengahan, misalnya memasukkan terhukum dalam minyak mendidih,

menggilasnya dengan roda, memasukkannya dalam peti besi, menenggelamkannya,


81
Ibid, halaman 31-33.

Universitas Sumatera Utara


maupun menusuknya dengan tombak. Di Swiss sampai sekitar tahun 1400, hukuman

mati dengan cara mengurung terhukum dalam peti besi dan menusuknya dengan

tombak masih dilakukan. Kemudian, tahun 1600 para terpidana mati

ditenggelamkan.Di Inggris hukuman mati juga sering dijatuhkan dalam kasus

pelanggaran agama.Kemudian, pada 1814 tiga anak laki-laki yang berusia sekitar 8-

11 tahun dijatuhi hukuman mti hanya karena melakukan pelanggaran hak milik

mencuri sepasang sepatu. Masi di Inggris, menurut Marvin Hume Bovee dalam

bukunya, Reasons for Abolishing Capital Punishment (1873), 72.000 tindak pidana

pencurian kecil dan berat dihukum mati pada zaman Henry VIII. Bahkan, pada 1533

Henry VIII menghukum mati 37 warga Protestan hanya karena tidak mau

mengakuinya sebagai pemimpin gereja.

Pada 1497 sebanyak 18 orang Yahudi dibakar sampai mati di Bukit Yahudi

karena membunuh 4 anak pemeluk agama Kristen. Pada akhir abad ke-18 dan

permulaan abad ke-19 hukuman mati dilaksanakan dengan cara menggantung

terhukum dan membiarkan mayatnya tetap tergantung, terkadang juga

mencelupkannya ke dalam ter sebagagai peringatan kepada mereka yang berbuat

jahat. Menyembelih, mengeluarkan isi perut, memenggal kepala, dan merobek tubuh

menjadi empat bagian juga merupakan cara eksekusi hukuman mati yang digunakan

pada abad lampau. Sementara terhukum kasus-kasus pidana perkosaan,

penyeraangan, perbuatan cabul dan asusila, perzinahan, serta inses umunya dikirm ke

tiang gantung dan dieksekusi di muka umum.Pencuri-pencuri wanita atau pencuri

barang/uang yang nilainya lebih dari satu guldenpun dikirm ke tiang gantung,

Universitas Sumatera Utara


meskioun permohonan untuk diganti dengan tusukan pedang diperbolehkan untuk

mengurangi rasa malu.

Zaman modern hingga abad ke-20 sejalan 1888 pemerintah Amerika Serikat

menggunakan kursi listrik untuk mengeksekusi terpidana mati. Sampai tahun 1925

cara ini digunakan di 24 negara bagian, sedangkan 11 negara bagian lainnya

menggunakan gas maut. Menurut data tahun 1985, dari 42 terpidana mati 24

dilakukan dengan listrik, 11 dengan kamar gas, 6 digantung dan 1 ditembak.

Pemerintah Federal mengizinkan pelaksanaan hukuman mati dilakukan sesuai dengan

cara-cara yang dianut oleh negara bagian tempat hukuman mati diputuskan.

Saat ini hukuman mati dilaksanakan dengan lebih manusiawi. Proses

kematiannya berlangsung cepat tabpa kesulitan. Pelaksanaan hukuman mati pun

tertutup bagi publik, hanya dilihat para saksi.hukuman mati di Cina dilakukan dengan

menembak terpidana.Hukuman mati tersebut tidak dilaksanakan bagi mereka yang

berumur 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan atau pada wanita hamil pada saat

putusan hakim. Jika tindak pidana yang dilakukan termasuk kasus berat, terpidana

yang telah mencapai usia 16 tahun tetapi belum genap 18 tahun dapat dipidana mati

dengan penundaan eksekusi selama dua tahun. Hal ini tercantum dalam Pasal 44 dan

Pasal 45 The Criminal Law of China.

Sering berkembangnya zaman, ada kecenderungan untuk menghapus

hukuman mati. Pada 8 Desember 1977, Sidang Manjelis Umum PBB mendorong

Negara-negara untuk membatasi hukuman mati, yakni untuk kasus-kasus khusus saja.

Amnesti Internasional melalui Deklarasi Stockholm pada 11 Desember 1977

Universitas Sumatera Utara


mengimbau negara-negara di dunia untuk menghapus penerapan hukuman

mati.Kemudian pada 1995, Konvensi PBB tentang Hak Anak mulai berlaku yang

pada Pasal 37 (a) melarang penjatuhan hukuman mati terhadap orang yang berusia di

bawah 18 tahun pada saat dilakukannya kejahatan. Selanjutnya, pada Februari 2002

Konsul Komite Para Menteri Eropa mengadopsi Protokol 13 ke dalam Konvensi

Eropa tentang HAM. Protocol 13 adalah perjanjian internasional (pakta) pertama

yang secara resmi mengikat untuk dilakukannya penghapusan hukuman mati dalam

bentuk apa pun tanpa terkecuali. Sejak perjanjian ini diresmikan pada Mei 2002,

sudah 37 negara meratifikasinya. Satochid Kartaegara menyebutkan beberapa alasan

penghapusan hukuman mati, yaitu:

1. Hukuman mati merupakan hukuman yang mutlak, sehingga tidak mungkin

memperbaiki kekeliruan hakim pada waktu memeriksa perkara dan menjatuhkan

putusannya dengan pengertian hakim juga manusa biasa yang tidak lepas dari

kekeliruan.

2. Hukuman mati bertentangan dengan perikemanusiaan, atau tidak berlandaskan

asas kemanusiaan.

3. Ukuran ini bertentangan dengan kesusilaan.

4. Dengan dijatuhkannya hukuman mati, usaha untuk memperbaiki si terhukum

tidak dimungkinkan.

5. Bila hukuman itu dipandang dari sudut tujuan hukuman, yaitu untuk menakut-

nakuti, maka tujuan itu tidak dapat dilaksanakan.

6. Hukuman mati justru menimbulkan belas kasihan masyarakat terhadap terhukum.

Universitas Sumatera Utara


7. Kenyataannya, apabila hakim menjatuhkan hukuman mati, maka hukuman mati

itu oleh beberapa negara sering diubah menjadi hukuman seumur hidup atau

hukuman penjara sementara. 82

2. Pelaksanaan Hukuman Mati

Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia bukan semata-mata bertujuan untuk

mengurangi atau menghilangkan sama sekali hak–hak asasi manusia. Namun didalam

pelaksanaannya lebih kepada tanggung jawab Negara melindungi warga negaranya.

Setiap tindakan yang diperbuat oleh warga negaranya, apabila perbuatan itu

melenceng dari undang-undang yang berlaku maka orang itu akan menerima hukuman

seperti yang tertera didalam undang-undang yang berlaku.

Secara yuridis penerapan hukuman mati di Indonesia dibenarkan dan tidak

merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena didalam pelaksanaannya terhadap

sistem hukum mati melalui ekstra hati-hati dan tidak boleh dilakukan dengan sesuka

hati, namun harus melalui tahap-tahap yang cukup ketat dan penuh hati-hati

sebagaimana yang disebutkan dibawah ini:

1) Pelaku kejahatan tersebut telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan yaitu

berakal sehat dan telah dewasa.

2) Ada unsur sengaja kepada pelaku ketika melakukan kejahatan tersebut.

3) Dalam melakukan kejahatan tersebut, bebas dari pada unsur paksaan.

82
Yon Artiono Arba’I, op.cit.,halaman 8-11.

Universitas Sumatera Utara


4) Hal ini menunjukkan bahwa segala perbuatan yang dilakukan karena salah, lupa

dan terpaksa tidak akan dipertanggung jawabkan sebagai perbuatan kejahatan dan

merupakan pelanggaran dosa.

5) Harus terhindar dari pada masalah-masalah yang meragukan.

6) Telah mendapat keputusan Hakim dari Pengadilan yang berwibawa.

Bila lima unsur di atas telah dipenuhi oleh setiap pelaku kejahatan, maka

hukuman matipun harus dilaksanakan secara konstisten demi terciptanya keamanan,

ketertiban dan jaminan keselamatan hidup manusia, bila lima unsur diatas tidak

dipenuhi, maka pelaksanaan hukuman mati tidak dapat dilaksanakan terhadap pelaku

kejahatan, namun hukuman tetap dijatuhkan setimpal dengan perbuatan yang

dilakukannya.Tujuan pemberlakuan hukuman mati untuk memberikan efek jera bagi

pelaki kejahatan.Dari aspek kemanusiaan hukuman mati diperlukan guna melindungi

masyarakat dari perbuatan orang jahat.Penjatuhan hukuman mati merupakan salah

satu wujud dari ajaran Islam yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi

kehidupan manusia.Di Negara-negara yang mayoritasmuslim, pidana mati tidak

pernah diperdebatkan karena sepenuhnya diyakini berasal dari Tuhan.

Apabila dianalogikan dengan kejahatan narkoba yang membunuh bukan

hanya satu orang-perorangan tapi membunuh ribuan bahkan ratusan ribu

manusia.Bahkan sebenarnya hukuman mati tersebut masih kurang setimpal apabla

dibandingkan dengan kerusakan yang demikian dahsyat yang diakibatkan oleh

kejahatan narkoba.Oleh karena itu pelaksanaan hukuman mati terdapat pelaku

kejahatan-kejatan yang berat dapat dikemukakan merupakan preventif umum. Di

Universitas Sumatera Utara


dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang berat ini

mengaitkan bahwa merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan

“hak untuk hidup” berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Universal

Declaration Of Human Rights (UUDHR).

Para penjahat narkotika yang merupakan salah satu jenis kejahatan-kejahatan

yang berat dan merupakan kejahatan yang membahayakan generasi bangsa untuk itu

harus dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan dan harus dilihat sebagai orang yang

membahayakan “hak untuk hidup orang lain dan masyarakat”. Karena hukum harus

melindungi kepentingan orang banyak yaitu “kepentingan untuk meindungi dari hak

untuk hidup” tersebut. Dengan memperhatikan semakin banyakya manusia Indonesia

terutama generasi penerus bangsa yang telah menjadi korban dari pelaku kejahatan

narkotika, karena kejahatan narkotika ini merupakan suatu hal menakutkan dan

sangat meresahkan orangtua yang mempunyai anak-anak usia sekolah dan masih

remaja. Para pelaku pengedar narkotika pada dasarnya telah menghilangkan “hak

untuk hidup dari pada masyarakat”, karena dengan tindakannya mengedarkan

narkotika mengakibatkan hilangnya kehidupan bagi korbannya dan kematian pasti

ada di depan matanya.

Para pelaku pengedar narkotika tersebut dengan perbuatannya tersebut telah

melakukan penyiksaan yang luar biasa kepada korban dari pengedar narkotika

tersebut, korban dari narkotika tersebut akanmengalami ketergantungan dan

ketagihan akibat dari telah memakai/konsumen narkotika yang pada gilirannya fapat

menghilangkan hak kemerdekaan berpikir, hak untuk menjalankan agama dan

Universitas Sumatera Utara


sebagainya. Oleh karena itu penerapan hukuman matikepada para pelaku kejahatan-

kejahatan berat seperti pengedar narkotika, pelaku tindak pidana korupsi,

pembunuhan berencana bukanlah merupakan pelanggaran hak asasi manusia namun

para pengedar narkotika (pelaku kejahatan-kejahatan berat) tersebut yang telah

melanggar hak asasi manusia orang lain, karena dampak perbuatannya telah

menghancurkan generasi muda yang akan datang. 83

Pengertian Pidana Mati dapat diartikan bahwa suatu permasalahan yang

sangat mendasar dan seyogianya jangan dikaitkan dengan jenis kejahatan yang

dilakukan oleh si pelaku. Sekali dikaitkan pidana mati berdasarkan apakah perbuatan

itu sangat kejam, kurang, atau tidak sadis, kurang, atau tidak berperi-kemanusiaan,

kurang atau tidak dan sebagainya. 84Pidana Mati Dalam Hukum Adat dan Hukum

Islam Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai

macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati.

Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam-macam: ditusuk dengan keris,

ditenggelamkan,dijemur dibawah matahari hingga matiditumbuk kepalanya dengan

palu dan lain-lain. Berdasarkan UndangUndang Nomor 2 Pnps Tahun 1964 diatur

ketentuan sebagai berikut:

a) Dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu

dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan

83
Nelvita Purba dan Sri Sulistyawati, op.cit, halaman 162-163.
84
J.E.Sahetapy, op.cit., halaman 119- 120.

Universitas Sumatera Utara


kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila

terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau

pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau oleh jaksa tersebut.

b) Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka

pelaksanaan dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya

telah lahir.

c) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman (sekarang

berganti nama menjadi Menteri Hukum dan Ham), yakni di daerah hukum dari

pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang

bersangkutan.

d) Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai

pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi atau

dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati atau peradilan tingkat

pertama.

e) Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah

pimpinan seorang perwira polisi.

f) Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus

menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela dari teridana atas

permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya.

g) Pelaksanaan pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum.

h) Penguburan jenasah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat-

sahabat terpidana, dann harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang sifat

Universitas Sumatera Utara


demonstratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang

bersangkutan dapat menenntukan lain.

i) Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi

atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan

dari pidana mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut kemudian harus

dicantumkan di dalam surat keputusan dari pengadilan yang bersangkutan. 85

Menurut The Indonesian Human Rights Watch, terdapat tiga alasan utama

mengapa penjatuhan hukuman mati seringkali di gunakan oleh pengadilan, antara

lain: 86

1. Hasil penerapan ancaman hukuman mati digunakan oleh rezim kolonial Belanda,

kemudian dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim orde baru untuk

memberikan rasa takut bahkan menghabiskan lwan politik. Hal ini dapat dilihat

pada penerapan kejahatan politik Pasal 104 KUHP.

2. Upaya menerbitkan beberapa katentuan hukum baru yang mencantumkan

ancaman pidana mati sebagai langkah kopensasi politik akibat ketidakmampuan

membenahi sistem hukum yang korup. Padahal ancaman pidana mati tidak

pernah bisa membuktikan efektifitasnya mengurangi angka kejahatan termasuk

narkotika.

85
Effendi Erdianto, Hukum Pidana Indonesia- Suatu Pengantar, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2011, halaman 153-154.
86
Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Halaman 57-58.

Universitas Sumatera Utara


3. Meningkatnya angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab individu

pelaku.

Dipilihnya atau ditetapkannya pidana mati sebagai salah satu sarana untuk

menanggulangi kejahatan pada hakikatnya merupakan suatu pilihan kebijakan. Dalam

menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang berpendapat pro atau kontra terhadap

pidana mati. Namun, setelah kebijakan diambil/diputuskan dan kemudian dirumuskan

(diformulasikan) dalam suatu undang-undang, maka dilihat dari sudut

kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal (criminal

policy), kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya diharapkan dapat diterapkan

pada tahap aplikasi. 87

Isi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUUV/2007 menyatakan bahwa

hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi karena hak untuk hidup dalam

semangat UUD 1945 dan sejarah konstitusi Indonesia tidak dimaksudkan sebagai hak

yang mutlak dan underogable atau hak yang bisa dibatasi. Meski demikian, MK

kemudian dalam putusan tersebut memberikan arahan agar konstruksi pidana mati.

Dalam hal ini pemeberian sanksi pidana mati dalam UU Nomor 35 Tahun 2009

tentang tindak pidana narkotika, sudah amat cukup jelas bahwa pidana mati adalah

jalan akhir karena dalam penerapannya sanksi pidana mati amat sangan menakutkan

bagi siapapun, dengan tujuan memberi efek jera pada si calon pelaku agar

memperbaiki diri bila tidak ingin bernasip sama pada terpidana mati lain.

87
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011, halaman 306.

Universitas Sumatera Utara


2. Kejahatan Genosida 88

Hal ini diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi sebagai berikut: “setiap

orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf

a,b,c,d,e atau j dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau

hukuman penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun.

Kejahatan genosida dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf a adalah: setiap

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau

memusnahkan seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,

kelompok agama dengan cara:

a) Membunuh kelompok.

b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-

anggota kelompok.

c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagainya.

d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam

kelompok atau

e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok

lain.

3. Kejahatan Kemanusiaan 89

88
Nelvita dan Sri Sulisyawati, op.cit., halaman 139.
89
Ibid, halaman 140.

Universitas Sumatera Utara


Kejahatan kemanusiaan, hal ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kejahataan

kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu

perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau

sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung

terhadap penduduk sipil berupa:

a. Pembunuhan

b. Pemusnahan

c. Perbudakan

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

Internasional.

f. Penyiksaan

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemkasaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk

kekerasanseksual lain yang setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang

didasari persamaan paham politi, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis

kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang

dilarang menurut hukum internasional.

i. Penghilangan orang secara paksa

Universitas Sumatera Utara


j. Kejahatan apartheid.

B. Pandangan HAM Terhadap Pidana Mati

Mengenai eksistensi pidana mati di Indonesia sampai saat sekarang ini

merupakan suatu pembicaraan yang bersifat pro dan kontra, karena masih banyak

diantara para pakar yang mempersoalkannya dengan berpangkal tolak dari pandangan

yang berbeda. Para ahli hukum meninjau masalah pidana mati ini dari segi yuridis

dogmatis dan dari perkembangan hukum pidana yang berorientasi pada berbagai

aspek ilmu pengetahuan kemasyarakatan, di antaranya tujuan dari segi agama, hak

asasi manusia dan aliran kepercayaan hidup.

Ada beberapa kalangan yang tidak setuju dengan adanya hukuman mati ada

pula yang masih setuju dengan penerapan hukuman mati. Mereka yang setuju

mengajukan pendapat bahwa hanya Allah yang berhak menyabut nyawa orang dan

agar hukuman mati dihapuskan. Sebagian berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu,

dapat dibenarkan adanya hukuman mati itu, yaitu apabila si pelaku telah

memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya

bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan

dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup.

Beberapa ahli filsafat yang lain memandang tujuan penghukuman atau pidana

sebagai bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent

effect) bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di

sisi lain, ada pula yang memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan

Universitas Sumatera Utara


memberi efek jera bagi si pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan

serupa di kemudian hari.

Menurut J.E Jonkers dalam bukunya Het Nederlandsch-Indie Strafstelsel,

dalam surat penjelasan atas rancangan KUHP Indonesia di hadapan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), hukuman mati bagi Indonesia masih dianggap perlu

dengan mengutip kata dari Menteri Kehakiman Belanda Modderman di depan

Parlemen Belanda (Tweede Kamer) pada waktu membicarakan rancangan KUHP

Belanda bahwa ”negara mempunyai segala hak, yang tanpa itu negara tidak dapat

memenuhi kewajiban-kewajibanya, termasuk pertama-tama mempertahankan tertib

hukum”. 90 Untuk memenuhi semua kewajiban tersebut, Indonesia perlu mempunyai

komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi yang terdapat di dalam setiap peraturan

yang dibuat demi ketertiban hukum.

Menurut Yap Thian Hien salah satu pakar yang setuju pidana mati dihapuskan

mengatakan bahwa: 91

“Saya gembira kalau hukuman mati dikeluarkan dari semua undang-undang


baik KUHP maupun pidana khusus” Allah melarang membunuh manusia.
Dan hukuman mati adalah tidak lain daripada pembunuhan yang dilegalisir.
Pemidanaan menurut falsafah hukum modern, tidak untuk membalas dendam,
tetapi untuk mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak.

Sangat menarik ketika pro kontra atas eksistensi pidana mati dikaitkan dengan

hak asasi manusia. Sebagaimana diketahui bahwa di satu sisi setiap manusia memiliki

hak untuk hidup, sedangkan di sisi lain manusia harus dihadapkan dengan adanya

90
Wirjono Projodikoro, op.cit.,halaman176.
91
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, halaman 79.

Universitas Sumatera Utara


ancaman pidana mati atas suatu tindak pidana yang ketentuannya sudah ditetapkan di

dalam peraturan perundang-undangan. Hak untuk hidup sebagaimana termuat di

dalam pernyataan umum hak asasi manusia yaitu Universal Declaration of Human

Rights yang telah ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 yang

kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 oleh RI pada

tanggal 28 Oktober 1998, dikatakan bahwa hak hidup merupakan salah satu hak asasi

manusia.

Berbagai macam peraturan yang melindungi hak asasi manusia bukan berarti

menjadikan hak asasi manusia menjadi alat untuk bisa melakukan apa saja dengan

semena-mena. Walaupun hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun

juga. Di Indonesia, sampai saat ini pidana mati masih diterapkan dengan acuan utama

adalah KUHP, akan tetapi Indonesia juga sudah mengeluarkan Undang-undang yang

mengatur masalah hak asasi manusia yaitu dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan Hak Asasi

Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan

setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Sedangkan dalam Pasal 4 disebutkan Hak untuk hidup, hak untuk tidak

disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,

Universitas Sumatera Utara


dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat

beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara

lain:

a. Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan

keamanan pribadi”.Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk

hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmani atau rohani dari seseorang

ataupun dari kelompok. Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana

orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya,

kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati

adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai

makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman

mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun

seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar

dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman

modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada

beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti

digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap

saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.

b. Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil

politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup.

Universitas Sumatera Utara


Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang

secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada

Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat

(1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya

hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1)

ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan

hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan

hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan

pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu

dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di

persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law

dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di

muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang

berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka.

c. Pasal 6 ayat (2) Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan

bahwa Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya

dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-

undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa

melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan

Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya

boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang.

Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik

Universitas Sumatera Utara


mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak

untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti,

pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab.

Dalam hal ini menurut uraian diatas memperhatikan beberapa aspek, karena

dalam memahami suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis,

sosiologis, dan yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati,

meskipun dalam HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3

DUHAM dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman

mati.

Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur

dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati,

terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya

pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang

pertama ”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar

untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa

kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi

(be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif.

Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak

Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat

umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut

telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat

mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka

Universitas Sumatera Utara


berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan

ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-

negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi

berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial,

sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan

Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan

memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR. Dalam hal ini hakim telah mengambil hak

hidup seseorang yang mana hakim dapat mempertangung jawabkan putusan yang

diambil tersebut sesuai dengan keyakinan yang ia miliki, walaupun sebagaimana

yang kita tahu bahwa hak hidup seseoang hanya bisa di ambil oleh Tuhan. Hak untuk

hidup merupakan hak yang paling utama dan hak lain berada di bawah hak tersebut.

Hak ini diatur khusus dalam UDHR 1948 dan ICCPR 1966. Perampasan terhadap

hak untuk hidup merupakan pengingkaran utama dari martabat kemanusiaan. 92

Jika dari cara pelaksanaan pidana mati ternyata terpidana masih tersiksa,

meregang dan bahkan mengeram karena kesakitan sebelum menemui ajalnya maka

sudah barang tentu tata cara itu melanggar hak asasi manusia untuk tidak disiksa.

a. Ditembak sampai Mati

Pengertian ditembak sampai mati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 2/Pnps/1964 adalah ditembak tepat pada jantung terpidana mati. Hal ini

berdasarkan asumsi bahwa jantung sebagai tanda hidup yang utama dalam kehidupan

manusia, maka tembakkan tepat pada jantung manusia adalah sasaran yang sangat
92
Muladi, op.cit., halaman 105.

Universitas Sumatera Utara


mematikan dan dapat mempercepat proses kematian. Akan tetapi jika ternyata

setelah ditembak jantungnya, terpidana masih memperlihatkan tenda-tanda belum

mati, baru kemudian ditembak pada bagian kepalanya. Tembakkan pada bagian

kepala ini sebagai tembakkan pengakhir (pamungkas) karena itu, Pemerintah

memaknai tembakan di kepala terpidana mati dengan:

1) Tembakan tepat pada jantung terpidana mati adalah dipastikan mematikan.

2) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati tidak diperlukan, apabila tembakkan

jantung langsung mematikan terpidana mati.

3) Tembakkan tepat pada kepala terpidana mati dilakukan sebagai tembakan

pengakhir dan hanya dilakukan apabila tembakkan pada jantung tidak langsug

mematikan (atau masih ada tanda-tanda belum mati).

4) Tembakkan tepat pada kepala terpidana mati sebagai tembakkan pengakhir

tersebut, dimaksudkan agar terpidana mati tidak mengalami proses sakit yang

terlalu lama. 93

b. Suntik Mati 94

Suntik mati sudah banyak dipakai di negara di dunia ini dan menurut ahli ada

beberapa yang harus dikritisi. Di Amerika Serikat yang melakukan bukan dokter dan

bukan perawat. Oleh karena dokter dan perawat terikat oleh etika, sehingga yang

melakukan adalah orang-orang yang terlatih. Hal demikian merupakan kelemahan

93
Penjelasan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia”, Majalah Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008), halaman. 53
94
Sun Sunatrio, ”Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah
Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008).

Universitas Sumatera Utara


tetapi andaikata hal tersebut benar, prosesnya adalah terpidana mati dipasang dua

infus melalui vena, satu bagian sebagai cadangan (back up) kemungkinan satu

sebelah kiri dan satu sebelah kanan. Setelah dipasang infus dengan Na Sl fisiologis

kemudian dimasukkan obat bius yang namanya Topental sebanyak 5 gram. Perlu

diketahui, kalau ahli membius hanya untuk sekedar membuat tidur maka hanya

membutuhkna dosis kira-kira ¼ (seperempat) gram sampai 0,3 gram. Dengan

demikian dosis 5 (lima) gram hampir dipastikan akan terbius, apalagi dosisnya toxic

artinya orang yang diberikan dosis 5 (lima) gram tersebut langsung pingsan dan

langsung nafasnya berhenti.

Setelah nafasnya berhenti dan pingsan dimasukkan obat kedua yaitu obat

yang melemaskan otot-otot yang namanya Pavulon, diberikan sebanyak 8 (delapan)

miligram yang biasanya dosis yang dipakai adalah 4 milligram untuk orang dewasa.

Dengan 8 (delapan) milligram sudah pasti semua otot rangkanya berhenti. Otot

rangka adalah otot lurik yaitu otot yang diperintah tetapi otot polos dan otot jantung

tidak berhenti. Andaikata terjadi kesalahan oleh karena yang menyuntik bukan

ahlinya maka obatnya bisa keluar.

Kalau obatnya keluar dan menembus otot bisa sakit sekali tetapi dalam waktu

beberapa menit terpidana akan lemas, tidak kelihatan sakitnya walaupun mungkin

dia masih sadar karena dosisnya kurang. Sebab orang yang menjelang kematian

sangat tegang sekali dan dosis adrenalin yang dikeluarkan tubuh tinggi sekali,

sehingga susah ditidurkan dibandingkan orang biasa. Jadi, ada kemungkinan orang

tersebut masih sadar dan menurut penelitian di Amerika ada beberapa yang

Universitas Sumatera Utara


kemungkinan masih sadar. Kalau orang tersebut belum terbius maka akan merasakan

pada waktu otot 65 menjadi lemas, tidak bisa bernafas, perasaannya tercekik

sehingga mengakibatkan tersiksanya terpidana mati. Obat ketiga yang disuntikkan

adalah potassium chloride (potasium klorida) dengan dosis 50 (lima puluh) cc,

maksudnya supaya jantung berhenti.

Jika pada waktu disuntikkan potasium klorida terpidana belum tertidur maka

akan dirasakan sakit sekali seperti serangan jantung karena mekanismenya sama

yaitu tidak adanya oksigen dalam jantung. Mengenai adanya orang yang masih sadar

ketika disuntik potasium klorida juga diyakini oleh majalah Land Health di Amerika

Serikat bahwa setelah memeriksa kadar benetol dalam darah diyakini ada beberapa

yang mungkin sekali sadar. Dibandingkan dengan tata cara hukuman mati yang

lainnya, disuntik mati kelihatannya lebih elegan. Asal benar caranya. Akan tetapi

agak sulit oleh karena dokter dan perawat tidak boleh terlibat dalam proses tersebut,

kecuali jika nanti ada perubahan.

c. Pancung atau dipenggal leher

Dipenggal leher memiliki rasa sakit hanya sebentar yaitu dalam hitungan

detik antara 7 (tujuh) sanpai 12 (dua belas) detik. Kalau ditembak mati memiliki

waktu bervariasi. Jika tidak terkena jantung bias setengah jam tetapi kalau tepat

terkena jantungnya dalam waktu 7 (tujuh) 66 sampai 11 (sebelas) detik. Dengan

Universitas Sumatera Utara


demikian ditembak mati yang terkena jantung dan dipenggal leher memiliki waktu

yang sama. 95

d. Gantung (Hanging)

Merupakan keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan

tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. 96Cara digantung kalau

dilakukan secara benar yaitu posisi tinggi rendahnya dan talinya juga harus diukur

ketepatannya sehingga mengakibatkan patah leher. Maka waktu yang dibutuhkan

sama dengan dipenggal leher, tetapi kenyataannya jarang terjadi oleh karena

mungkin ototnya kuat sehingga tidak langsung patah dan akhirnya hanya seperti

orang dicekik.

Kalau orang dicekik, maka akan tetap sadar kira-kira sampai 5 (lima) menit

kemudian pingsan sehingga bisa merasakan dan merontaronta serta mungkin

membuang air besar, mata melotot, lidah terjulur dan sebagainya. 97Pada pelaksanaan

hukuman gantung, kematian terjadi dengan seketika. Pada korban yang dihukum

gantung, keadaanya tali yang menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya

secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1, 5 – 2 m. Maka akan mengakibatkan

fraktur atau diskolasi vertebrata servikalis yang akan menekan medull oblongata dan

mengakibatkan terhentinya pernafasan. Biasanya yang terkena adalah vertebrata

servikalis ke-2 dan ke-3.

95
Ibid.
96
P. Vijay Chada, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta: Widya Medika,
1995, halaman 103.
97
Sun Sunatrio,op.cit.,halaman 57.

Universitas Sumatera Utara


e. Strum Listrik (Electrocution atau The Electric Chair)

Metode seperti ini dilakukan dengan cara terpidana didudukan pada alat

pengalir listrik, diikat dan kemudian di aliri listrik. Metode seperti ini berlaku

sebagai opsi hukuman mati di Amerika Serikat untuk beberapa Negara bagian saja,

yaitu Albama, Florida, South Carolina, Kentucky, Tennessee dan Virginia.

f. Ruang Gas (Gas Chamber)

Tata caranya dilaksanakan dengan cara terpidana di masukkan dalam Ruang

Gas beracun hingga mati. Lama proses kematiannya tergantung ketahanan tubuh

terpidana. Metode seperti ini berlaku di Negara Mexico, Negara bagian Colorado,

North Carolina. 98

98
Karya Ilmiah: Fuad Hasan, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tata CaraPelaksanaan
Pidana Mati Di Indonesia, Fakultas Syari’ah Institut agama Islam Negeri Walisongo, Semarang,
2010.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM


PERKARA NOMOR 271/Pid.Sus/2016/PN. Mdn jo PERKARA NOMOR
395/Pid.Sus/2016/PT.Mdn

A. Kasus Posisi

Bahwa Ayau pada tanggal 28 Oktober 2015 ditangkap oleh petugas BNN

karena Ayau bersalah melakukan tindak pidana pemufakatan jahat untuk menerima

Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima)

gram, sebagaimana telah melanggar Pasal 114ayat (2) jo 132 ayat (1) UU RI no. 35

Tahun 2009. Atas perbuatannya tersebut, Ayau dihukum dengan pidana mati. Hal ini

berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 271/Pid.Sus/2016/PN.Mdn

tanggal 22 Juni 2016.

Kemudian Ayau melakukan upaya hukum banding, dan Pengadilan Tinggi di

Medan mengeluarkan putusannya tanggal 5 September 2016 Nomor

395/Pid.Sus/2016/PT.MDN, yang amar putusannya menguatkan Putusan Pengadilan

Negeri Medan dalam hal ini menghukum terpidana dengan pidana mati.

1. Kronologis

Identitas Terpidana:

Nama Lengkap : Ayau;

Tempat Lahir : Sungai Cingam Pulau Rupat, Riau;

Umur/Tanggal lahir : 39 Tahun/ 02 Maret 1976;

Jenis Kelamin : Laki-Laki;

116

Universitas Sumatera Utara


Kebangsaan : Indonesia;

Tempat Tinggal : Jalan Gajah Mada, Rt. 007/004, Desa Makeruh,

Pulau Rupat, Kecamatan Rupat, Kabupaten

Bengkalis, Propinsi Riau;

Agama : Budha;

Pekerjaan : Wiraswasta

Terdakwa ditangkap oleh:

Penyidik BNN pada tanggal 28 Oktober 2015, berdasarkan Surat Perintah

Penangkapan Nomor : Sp.Kap/121-INTD/X/2015/BNN., tertanggal 28 Oktober 2015;

Terdakwa ditahan dalam tahanan Tumah Tahanan Negara oleh:

1. Penyidik sejak tanggal 31 Oktober 2015 sampai dengan tanggal 19 November

2015;

2. Perpanjangan Penuntutan Umum sejak tanggal 20 Nopember 2015 sampai

dengan tanggal 29 Desember 2015;

3. Perpanjangan pertama Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 30 Desember 2015

sampai dengan tanggal 28 Januari 2016;

4. Penuntut Umum sejakn tanggal 21 Januari 2016 sampai dengan tanggal 09

Februari 2016;

5. Majelis Hakim sejak tanggal 01 Februari 2016 sampai dengan tanggal 01 Maret

2016;

6. Perpanjangan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan sejak tanggal 02 Maret

2016 sampai dengan tanggal 30 April 2016;

Universitas Sumatera Utara


7. Perpanjangan pertama Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan sejak tanggal 01

Mei 2016 sampai dengan tanggal 30 Mei 2016;

8. Perpanjangan kedua Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan sejak tanggal 31 Mei

2016 sampai dengan tanggal 29 Juni 2016;

9. Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Medan sejak tanggal 27 Juni 2016

sampai dengan tanggal 26 Juli 2016;

10. Perpanjangan penahanan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan sejak

tanggal 27 Juli 2016 sampai dengan tanggal 24 September 2016.

Awalnya sekitar 2 bulan sebelum penangkapan sekitar 17 Agustus 2015 saksi

Daud als Athiam (dilakukan penuntutan terpisah) mengadakan pertemuan dengan Lau

Lai An als Aan als Mr. Jecky (DPO) di Hotel Ck Malaka. Pada pertemuan tersebut

Lau Lai An als Aan als Mr. Jecky menyampaikan kepada saksi Daud als Athiam

bahwa akan ada pengiriman Narkotika jenis sabu dari Tiongkok (China) ke Medan

dan untuk pengiriman narkotika jenis sabu tersebut Lau Lai An als Aan al Mr. Jecky

telah mentrasfer uang sebesar Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dan

selanjutnya saksi Daud als Athiam bertemu dengan terdakwa Ayau dan Irwan Toni

(DPO) untuk mencari importir dan gudang di Medan dan saksi Daud als Athiam

mentransfer uang sebesar Rp. 114.000..000 (seratus empat belas juta rupiah) rekening

BCA saksi Daud als Athiam ke rekening BCA Irwan Toni setelah mengirim uang

kemudian saksi Daud als Athiam mentransfer kembali uang sebesar rp. 55.000.000

(lima puluh lima juta) ke rekening Jimi Saputra untuk membeli mobil Cerry Pik up

dan mobil tersebut digunakan untuk mengangkit narkotika jenis sabu kristal dan saksi

Universitas Sumatera Utara


Daud als Athiam mentransfer lagi uang sebesar Rp, 40.000.000 (empat puluh juta

rupiah) ke rekening terdakwa Ayau untuk membeli mobil untuk mengangkut

narkotika jenis sabu dan uangnya sudah terdakwa transfer ke rekening Irawan Toni

dan oleh Irawan Toni telah dibelikan mobil Cerry.

Pada bulan September 2015 saksi Lukmansyah (dilakukan penuntutan secara

terpisah) diberitahukan oleh saudara Irawan Toni barang berupa narkotika jenis

kristal (sabu) akan masuk dari Malaysia menuju ke Medan lalu Irwan Toni, saksi

Lukmansyah dan terdakwa Ayau pergi ke Medan dengan mengendarai mobil kijak

kapsul warna hijau dengan nopol BM 1439 JL, untuk melihat gudang yang akan

dijadikan tempat menyimpan barang berupa narkotika jenis sabu pada hari minggu

tanggal 27 September 2015 sekitar jam 13.00 WIB saksi Jimi Saputra dilakukan

penuntutan secara terpisah menjemput saksi Lukmansyah dan Irwan Toni berangkat

menuju gudang di daerah Belawan Medan dan bertemu dengan saksi Muhammad

Taufik kemudian berangkat menuju Notaris untuk menandatangani perjanjian sewa

kontrak gudang pada saat di notaris saksi Lukmansyah melihat sdr Muhammad

Taufik yang menandatangani sutrat perjanian lalu sdr Irwan Toni memberikan uang

ke saksi Lukmansyah sebesar rp. 70.000.000 (tujuh pulu juts rupiah) lalu uang

tersebut diberikan ke saksi Muhammad Taufik untuk pembayaran sewa gudang

selama 1 Tahun yang berlamat di komplek Pergudangan JADE CITY SQUARE Jl.

Yos Sudarso Km. 11,5 Kel. Titipapan Kec. Medan Deli Kodya Medan Sumatera

Utara.

Universitas Sumatera Utara


Bahwa tugas terdakwa dalam peredaran narkotika jenis sabu kristal adalah

membawa dari Dumai ke Medan dan setiap membawa narkotika jenis sabu untuk

operasionalnya tersangka diberi uang sebesar Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

dan ditansfer dari rekening Daud als Athiam ke rekening tersangka selanjutnya

setelah di mEdan tersangka memasukan barang ke dalam motor maupun mobil yang

sudah dipersiapkan dan barang tersebut tersangka bawa ketempat tujuan atau

ketempat pembeli yang sudah disepakati yang untuk mendapat pembelinya Daud als

Athiam mengirim no. Telpon kepada tersangka dan selanjutnya tersangka

menghubungi no. Telpon tersebut dan jangan mengatakan kunci dan mobil disimpan

di tempat lain dan orang tersebut mengambilnya dan tersangka tidak beretmu dan

untuk pembayarannya tersangka tidak tahu hanya Daud als Athiam yang tahu.

Untuk Daud als Athiam dalam peredaran narkotika jenis shabu kristal adalah

sebagai atasan tersangka orang yang memerintahkan tersangka dan yang memberikan

uang kepada tersangka secara langsung dengan cara transfer.

Untuk Irwan Toni (belum tertangkap)ndalam peredaran narkotika jenis shabu

kristal adalah dibawah kendali tersangka tugasnya dilapangan mencari importir

mencari gudang dan ikut mengantar barang berupa narkotika jenis shabu kristal dan

tersangka yang memberi uang operasional kepada Irwan Toni.

Untuk Lukmansyah dalam peredaran narkotika jenis shabu kristal adalah

sebagai penyapu jalan yang mana apabila tersangka bersama dengan Irwan Toni

membawa narkotika jenis shabu kristal dalam satu mobil maka Lukmansyah berada

di mobil yang lainnya di depan mobil tersangka. Tugasnya apabila ada razia dari

Universitas Sumatera Utara


kepolisian maka yang berada di mobil depan dapat mengabari mobil yang

dibelakangnya dan ikut juga mencari gudang serta mencari mobil untuk mengangkut

narkotika jenis shabu kristal.

Untuk Jimi Saputra dalam peredaran narkotika jenis sabu kristal tugasnya

mencari motor dan mobil untuk membawa narkotika jenis sabu kristal hotel menjadi

petunjuk jalan di medan serta mencari gudang di Medan.

Bahwa pada bulan Oktober 2015 ada informasi dari masyarakat, akan ada

pengiriman barang berupa narkotika di daerah Medan Sumatera Utara dan Dumai

Riau selanjutnya informasi tersebut ditindaklanjuti dengan cara mengirim beberapa

anggota ke Medan dan Dumai untuk melakukan penyelidikan.

Bahwa kemudian pada hari Jumat tanggal 16 Oktober 2015 sekitar 20.00

WIB, saksi Jimi Saputra dihubungi oleh sdr Irwan Toni bahwa besok pagi (sabtunya)

ada barang kiriman dari Dumai datang dan agar saksi Jimi Saputra dan saksi

Muhammad Taufik menunggu digudang untuk menerima barang milik Irwan Toni,

dan yang memerintahkan Truck mengangkut narkotika jenis shabu adalah Irwan Toni

dan Terdakwa Ayau, pada hari sabtu tanggal 17 Oktober 2015sekitar jam 10.00 WIB

saksi mengajak saksi Dicky Nugraha Syahputra datang ke Gudang JADE CITY

SQUARE. Selanjutnya saksi Jimi Saputra menghubungi saksi Muhammad Taufik,

dan sekitar jam 12.00 WIB.

Saksi Muhammad Taufik datang ke gudang, kemudian Truk Fuso engkel

masuk ke area gudang, dan saksi Jimi Saputra mengawasi dari pintu gerbang, sedang

saksi Muhammad Taufik sedang membicarakan dengan tukang bongkar muat, sedang

Universitas Sumatera Utara


Dicky Nugraha Saputra berdiri didekat mobil, karena Saksi Jimi Saputra melihat ada

beberapa orang yang seperti petugas maka saksi Jimi Saputra membilang kepada

saksi Dicky Nugraha Syahputra menyuruh masuk ke dalam mobil soluna dan

menyalakan mesin, dan ada orang yang mendekati Dicky Nugraha Saputra, saksi Jimi

saputra langsung keluar pintu Gudang lari kejalan raya dan dikejar oleh pihak

beberapa petugas hingga akhirnya saksi Jimmi Saputra ditangkapoleh petugas BNN

RI saksi Jimi Saputra dibawa masuk ke gudang untuk menyaksikan Truk Fuso

membongkar muatannya dan terdapat 8 tengki air stanlis, 45 dus yang didalamnya

berisi 265 (dua rattus enam puluh lima ) tabung filter air warna biru, yang didalmnya

berisi narkotika jenis shabu dengan berat brutto 270.227,8 gram untuk memasukkan

narkotika jenis shabu ke Indonesia operasionalnya sebesar Rp. 120.000.000 (seratus

dua puluh juta rupiah) uang tersebut dari saksi Daud als athiam, apabila jenis

narkotika jenis shabu tersebut berhasil dikerjakan, imbalan yang dijanjikan Daut als

Athiam sebesar Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dan akan dibagikan

bersama-sama, terdakwa pernah mengirim narkotika jenis shabu setidaknya lebih dari

sekali.

Pada tanggal 10 Oktober 2015 saksi Aji Supangkat petugas bea cukai Dumai

kedatangan petugas ekspedisi Muatan Kapal laut yang memuat barang import dari

Malaysia Dumai ke Medan yang melaporkan bahwa ada sebuah gudang yang

dikelolanya dicurigai adanya barang import berupa saringan filter air kemudian

setelah pengecekan ada 45 karton kemudian diambul satu kardus ditemukan di dalam

filter air warna biru setelah dibuka berisi kristal dalam bungkus plastik bening dan

Universitas Sumatera Utara


diambil sampelnya dan dilakukan uji Narkotest hasilnya postif Narkotika Golongan I

kemudian melaporkan kepada pihak BNN RI di Jakarta saksi Anton Siagiaan dan

Saksi Ari Risdiyanto berikut BNN RI.

Selanjtnya pada tanggal 14 Oktober 2015 saksi Aji Supangat memerintahkan

saksi Edward MP petugas Bea Cukai bersama dengan petugas BNN RI melakukan

pemeriksaan sengan X Ray di Pelanuhan Terminal Feri Dumai terhadap 45 kardus

masing-masing berisi 6 buah tabung filter air hingga total ada 265 tabung setelah

dibuka biasanya berisi kertas dan karbon aktif yang digubakab sebagai penyaring air

diganti isinya kristal bening dalam kemasan plastik setelah diambil sampelnya dan

dilakukan Narcotic Identifikasi system dengan jenis Marquest tes benar mengandung

narkotika. Selanjutnya dilakukan control delivery ke alamat penerima barang import

tersebut atas nama Toni di Komplek Blok DD No. 88 Jade Square Jl. Yos Sudarso

Km 11.5 Medan.

Pada hari Juamt tanggal 16 Oktober 2015 sekitar jam 1.00 WIB. Jasa

pengiriman Ekspedisi muatan kapal laut yang menangani barang impor yang dikirim

dari Malaysia Dumai Ke Medan segera dimuat dalam truk dengan pengawasan Tim

Controle Delevery BNN saksi Anton Siagiaan untuk ikut menumpang truk serta

didampingi petugas Bea Cukai untuk disampaikan kepada penerima sesuai alamat

tersebut.

Dan pada tanggal 17 Oktober 2015 saksi Ady Suryono mendapat kabar dari

petugas BNN yang ada di Medan Sumatera Utara telah menangkap saksi Jimi Saputra

(dilakukan penuntutan secara terpisah) tepatnya di komplek pergudangan JADE

Universitas Sumatera Utara


CITY SQUARE Jl. Yos Sudarso Km. 11,5 Kel. Titipapan Kec. Medan Deli Kodya

Medan Sumatera Utara, karena telah menerima barang bukti berupa narkotika jenis

shabu kristal dengan berat brutto 270.227,8 gram, didalam maenerima narkotika jenis

shabu tersebut saksi Jimi Saputra tidak sendiri bersama Lukmansyah (dilakukan

penuntutan secara terpisah) , Irwan Toni (DPO), terdakwa Ayau dan Saksi Daud als

Athiam.

Kemudian pada hari rabu tanggal 28 Oktober 2015 sekitar jam 14.00 WIB,

sewaktu saksi Ady Suryono sedang dinas di Polsek Merbau mendapat telepon dari

Bripka Irdian anggota Res Narkoba Polres Dumai bahwa ada DPO yang diterbitkan

dari BNN RI Jakarta, bahwa seorang laki-laki yang bernama Ayau Saat itu sedang

berada di Selat Akar Kec. Tasik Putri Puyu kab. Kep. Meranti Riau. Sekitar jam

16.00 WIB saksi Ady Suryono mendaptkan informasi bahwa terdakwa ada di rumah

mertua terdakwa Ayau di Selat akar Kec. Tasik Putri Puyu Kab. Kep. Meranti Riau,

kemudian saksi Ady Suryono bersama rekannya menuju ketempat tinggal mertua

Ayau, selanjutnya sekitar jam 17.30 WIB saksi Ady Suryono melihat terdakwa Ayau

lalu mengamankan terdakwa dan membawa terdakwa dan barang bukti berupa 1

(satu) unit mobil Daihatsu Xenia warna silver BG 1349 QA, 1 (satu) lembar STNK

mobil Xenia warna silver BG 1349 QA berikut kunci kontaknya dan 1 (satu) buah

SIM C atas nama Ayau ke Polsek Merbau Jl. Yosudarso Teluk Belitung Kec. Merbau

Kab. Kep Meranti.

Pada hari kamis tanggal 29 Oktober 2015, sekitar jam 07.00 WIB Ady

Suryono membawa terdakwa Ayau ke Polres Kep. Meranti di Jl. Pembangunan Selat

Universitas Sumatera Utara


panjang, selanjutnya sekitar jam 11.00 WIB anggota sat Narkoba Polres Dumai

langsung melakukan serah terima DPO atas nama terdakwa Ayau dan langsung

dibawa ke Polres Dumai untuk diserahkan ke BNN Jakarta. Dan terdakwa telah

melakukan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana

Narkotika dan Presekutor Narkotika, sebagaimana Pasal 114 ayat (2), secara tanpa

hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Naarkotika Golongan I

sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dalam bentuk bukan tanaman jenis shabu

beratnya melebihi 5 (lima) gram tidak ada ijin dari pihak yang berwenang.

2. Dakwaan dan Tuntutan

Terdakwa Ayau, pada tanggal 22 Juni 2015 di hadapkan ke muka persidangan

Pengadilan Negeri Medan dengan dakwaan sebagai berikut:

Primair:

perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (2)

jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Subsidair:

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 113 ayat (2)

jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara


Lebih Subsidair:

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 ayat (2)

jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Atas dakwaan tersebut, surat tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri

Medan, terdakwa telah dituntut sebagai berikut:

a. Menyatakan terdakwa Ayau bersalah melakukan tindak pidana melakukan

pemufakatan jahat untuk menerima narkotika Golongan I dalam bentuk bukan

tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram sebagaimana dalam dakwaan

Primair melanggar Pasal 114 ayat (2) jo pasal 132 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun

2009 tentang narkotika

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ayau dengan PIDANA MATI

c. Menyatakan barang bukti berupa:

1. 265 filter air warna biru yang didalamnya terdapat masing-masing 1 bungkus

plastik diduga narkotika dengan berat total brutto 270.227,8 gram

2. 1 buah HP Nokia warna hitam

3. 1 buah HP Samsung warna hitam

4. 1 (satu) buah HP Nokia warna hitam No. Sim 082189509534

5. 1 (satu) buah HP samsung warna hitam milik Irwan toni

6. 1 (satu) buah HP Oppo warna biru No. Sim 082213085181

7. 1 (satu) buah HP Nokia warna hitam No. Sim 082282837275

8. 1 (satu) buah HP Samsung warna putih

Universitas Sumatera Utara


9. 1 (satu) buah HP Nokia warna putih

10. 1 (satu) buah HP Nokia warna biru

11. 1 (satu) buah tiket Ferry Indomal Exspress 2

12. 45 Kardus Pembungkus

13. 1 buah KTP an Jimi Saputra

14. 1 buah STNK mobil toyota Soluna warna coklat metalik No Pol BK 1826 XH

an Jodi Candra

15. 1 buah buku tabungan Bank BRI No Rek 3346-01-036166-53-8 an Jimi

Saputra

16. 1 buah buku ATM BRI Nomor 6013 0103 8186 4892

17. 1 (satu) buah kartu Uji KIR Nomor MDN 37289 A

18. 1 (satu) buah kwitansi an Bapak Jimmi 1826 XH an Joni Candra

19. 1 (satu) KTP atas nama Lukmansyah No. 3374063010800003

20. 1 (satu) buah buku tabungan BRI Simpedes an. Lukmasnyah No. Rek 5444-

01-01-1893-53-6 kantor 5444 Unit Sukajadi Dumai

21. 1 (satu) buah SIM C an. Ayau

22. 1 (satu) buah KTP an. Daud no. 1472010101690061

23. 1 (satu) buah Pasport No. B0428197 an. Daud

24. Uang tunai 2 (dua) lembar 1 RM, 1 (satu) lembar 10 RM, 2 (dua) lembar 20

RM, 6 (enam) 50 RM, 3 (tiga) lembar Rp. 100.000,-

25. 1 buah mobil toyota soluna warna coklat metalik No Pol BK 1654 RI berikut

kunci kontak

Universitas Sumatera Utara


26. 1 buah STNK mobil toyota soluna warna coklat metalik No Pol BK 1654 RI

an. Indah Sari

27. 1 (satu) unit mobil suzuki Pick up BK 9102 DY

28. 1 (satu) buah BPKB mobil suzuki Pick up BK 9102 DY

29. 1 (satu) buah fotocopy STNK mobil suuki Pick up BK 9102 DY

30. 1 (satu) unit sepeda motor honda beat warna putih No.Pol BM 3364 HF dan

kunci kontak

31. 1 (satu) buah STNK sepeda motor honda beat warna putih No. Pol BM 3364

HF an. Irwan Toni

32. 1 (satu) unit mobil Daihatsu Xenia warna silver metalik No.Pol BG 1349 QA,

Nomor Rangka MHKV1B2J7K009636 dan nomor mesin DC 20539

33. 1 (satu) buah STNK mobil daihatsu Xenia warna silver metalik No. Pol BG

1349 QA berikut kunci kontaknya.

Dipergunakan dalam perkara an. Daud als Athiam.

3. Fakta-Fakta Hukum

a. Bahwa berdasarkan keterangan para saksi penangkap, para saksi verbalisaan

maupun keterangan terdakwa (baik dalam posisi sebagai saksi bagi terdakwa

lainnya maupun dalam posisi untuk dirinya sendiri) yang termuat dalam BAP

penyidik, diketahui bahwa terdakwa Ayau bersama Daud alias Athiam dan

Irwan Toni alias Toni, bertempat di kedai nkopi di Mall Ramayana Dumai,

merencanakan untuk menerima kiriman narkotika, dan yang untuk biaya

operasional adalah Rp. 120.000.000 di berikan oleh Daud als Athiam, dan

Universitas Sumatera Utara


sebagai imbalan yang akan diberikan jika pengiriman tersebut berhasil,

adalah sejumlah Rp. 600.000.000,00;

b. Terdakwa mengakui bahwa sebelumnya, terdakwa Daud als Athiam bersama

Irwan Toni, Jimi Saputra Bin Rusli dan Lukmansyah Bin Nasrul, pernah

melakukan pengiriman narkotika, dari Dumai menuju Medan, sebanyak 4

kali, masing-masing sebanyak 40 kg, dan untuk setiap pengiriman terdakwa

Ayau memperoleh imbalan sebesar p. 40.000.000 sampai dengan Rp.

60.000.000 juta rupiah dan uang tersebut telah digunakan oleh terdakwa

Ayau untuk membeli 1 (satu) unit mobil Daihatsu Xenia, warna silver

metalik, No. Pol BG 1349 QA;

c. Tugas terdakwa Ayau dalam peredaran narkotika yang dikenal dengan

sebutan shabu, adalah membawa dari Dumai ke Medan dan setiap membawa

narkotika tersebut, untuk operasionalnya terdakwa Ayau diberi uang

sejumlah Rp. 300.000.000 juta rupiah yang ditransfer dari rekening Daud

alias Athiam ke rekening terdakwa dan selanjutnya setelah di Medan,

terdakwa memasukkan barang kedalam motor maupun mobil yang

dipersiapkan dan barang tesebut dibawa sampai ke tempat tujuan atau ke

tempat pembeli yang sudah disepakati, Daud als Athiam mengirim no.

Telepon pembeli tersebut kepada Ayau.

d. Dari rekening koran Bank BCA atas nama Daud terdapat transaksi

pentransferan uang ke dalam rekening BCA atas nama Ayau sekitar bulan

September 2015 samapai dengan Oktober 2015, dengan nilai berkisar Rp.

Universitas Sumatera Utara


10.000.000,00 sampai dengan Rp. 55.000.000 juta rupiah yang diakui oleh

terdakwa Ayau bahwa uang tersebut digunakan untuk biaya operasional

pendistribusian narkotika dari Dumai menuju Medan;

e. Barang bukti berupa 265 bungkus plastik berisi kristal diduga Narkotika

dengan berat brutto 270.227,8 gram;

f. Barang bukti yang diterima satu buah amplop warna coklat berlak segel

lengkap yang didalamnya terdapat 1 (satu) bungkus plastik bening kode 1A

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,6817 gram, 1 (satu) bungkus

plastik benig kode 2F berisikan kristal putih dengan berat netto 1,7004 gram,

1 (satu) bungkus plastik bening kode 3C berisikan kristal putih dengan berat

netto 0,6700 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 4A berisikan kristal

putih dengan berat netto 0,7015 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode

5F berisikan kristal putih dengan berat netto 0,8102 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 6F berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7901

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 7D berisikan kristal putih dengan

berat netto 0,7893 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 8B berisikan

kristal putih dengan berat netto 0,7981 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening

kode 9D berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7810 gram, 1 (satu)

bungkus plastik bening kode 10 E berisikan kristal putih dengan berat netto

0,7909 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 11B berisikan kristal

putih dengan berat netto 0,8047 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode

12D berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7394 gram, 1 (satu) bungkus

Universitas Sumatera Utara


plastik bening kode 14D berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7653

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 15C berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,8632 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 16A

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7770 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 17D berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7364

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 18A berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,7785 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 19D

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7702 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 20C berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7770

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 21F berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,8431 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 22C

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7479 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 23E berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7964

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 24F berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,8016 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 25F

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7310 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 26A berisikan kristal putih dengan berat netto 0,8229

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 27F berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,7571 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 28F

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7674 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 29F berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7811

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 30E berisikan kristal putih

Universitas Sumatera Utara


dengan berat netto 0,7158 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 31D

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7479 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 32B berisikan kristal putih dengan berat netto 0,8126

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 33A berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,7475 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 34F

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,8010 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 35C berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7418

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 36B berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,6207 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 37D

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7739 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 38C berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7584

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 39C berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,7669 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 40C

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7902 gram, 1 (satu) bungkus

plastik bening kode 41B berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7695

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 42F berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,8346 gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 43F

berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7663 gram,1 (satu) bungkus

plastik bening kode 44E berisikan kristal putih dengan berat netto 0,7542

gram, 1 (satu) bungkus plastik bening kode 45E berisikan kristal putih

dengan berat netto 0,7136 gram, tersbut benar mengandung

Metamfetaminadan terdaftar dalam Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika;

g. Terdakwa tidak dapat mem[erlihatkan adanya izin baginya terhadap

keberasaan barang bukti narkotika tersebut hingga putusan diucapkan.

4. Putusan

Sebelum hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, terlebih dahulu

memperhatikan Pasal 114 ayat (2) jo pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, dan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta Peraturan Perundang-Undangan lain

yang bersangkutan;

MENGADILI

1. Menerima Permintaan Banding dari Penasihat Hukum Terdakwa dan Jaksa

Penuntut Umum;

2. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Tanggal 22 Juni 2016 Nomor:

271/PID.Sus/2016/PN.Mdn, yang dimintakan banding tersebut;

3. Memerintah terakwa tetap ditahan;

4. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara di kedua tingkat

peradilan yang dalam tingkat Banding sebesar Rp. 2.500,; (dua ribu lima ratus

ribu rupiah).

Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi Medan pada hari Senin tanggal 29 Agustus 2016 oleh kami:

SABAR TARIGAN SIBERO, SH., MH Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan

Universitas Sumatera Utara


Selaku Hakim Ketua Majelis, BATU GINTING, SH dan DHARMA E.

DAMANIK, SH., MH masing-masing sebagaiHakim Tinggi pada Pengadilan

Tinggi Medan selaku Hakim Anggota, berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan

Tinggi Medan tanggal 9 Agustus 2016 Nomor: 395/PID.Sus/2016/PT.MDN, putusan

tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin tanggal 5

September 2016 oleh Ketua Majelis didampingi Hakim Anggota, serta dibantu oleh

RAMADHAN TARIGANsebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Tinggi

Medan, tanpa dihadiri oleh Penuntut Umum dan Terdakwa.

B. Analisis Hukum Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Nomor

271/Pid.Sus/2016/PN. Mdn jo Perkara Nomor 395/Pid.Sus/2016/PT. Mdn

Berbicara tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bertolak

ukur dari hakikat filsafat pemidanaan yang juga berorientasi pada “model keadilan”

yang ingin dicapai dalam suatu sistem peradilan pidana. Konkritnya, bagaimana

hakim sebagai pengendali kebijakan aplikatif dalam hal menjatuhkan putusan juga

berorientasi kepada dimensi secara teoritik serta pula harus mengacu kepada nilai-

nilai keadilan yang ingin dicapai oleh semua pihak.

Putusan dari Hakim merupakan sebuah hukum bagi terdakwa pada khususnya

dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah yurisprudensi

yang akan diikuti oleh para hakim dalam memutus suatu perkara yang sama. Apabila

suatu perkara yang diputus sudah keliru dan pada akhirnya menjadi sebuah

yurisprudensi, maka yang terjadi adalah tidak terciptanya keadilan berdasarkan

Universitas Sumatera Utara


Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang dicantumkan dalam setiap hira-hira putusan

pengadilan. 99

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penjatuhan

hukuman mati pada seseorang bukanlah sesuatu yang luar biasa. Sebab, hukuman

tersebut hanyalah merupakan pidana pokok di samping pidana tambahan

sebagaimana halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda

(Pasal 10 KUHP). Namun yang perlu digarisbawahi adalah, pada saat sebagian

negara di dunia menghendaki agar hukuman mati dihapuskan semua pihak

menjunjung tinggi hak asasi manusia, adanya pendapat pro dan kontra dalam

hubungan dengan kemanusiaan berdasarkan pancasila. 100

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimasukkan dalam urutan

pertama dalam jenis pidana pokok yang dalam praktiknya Undang-Undang masih

memberikan alternatif dengan hukuman seumur hidup atau penjara selama-lamanya

dua puluh tahun (Pasal 340 KUHP). 101

Hubungan Pancasila dan Pidana mati ini juga diuraikan olehBambang

PoernomoSebagai berikut: 102

99
Jurnal: Syaiful Asmi, Ediwarman, Marlina, Edy Ikhsan, Formulasi TentangPerlindungan
Negara Terhadap anak Yang Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di
Pengadilan negeri Medan), USU Law JournalVol. 4 No. 2, Maret 2016.
100
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2000, halaman 186.
101
Ibid, halaman 179.
102
Bambang Poernomo, op.cit., halaman 17.

Universitas Sumatera Utara


1. Baik dalam hal pelaksanaan pidana mati maupun pidana penjara,apabila terjadi

kekeliruan putusan hakim pada kenyaatannyaternyata tidaklah mudah untuk

memperbaikinya.

2. Berdasarkan landasan Pancasila yang dikaitkan denganperkembangan ilmu

pengetahuan hukum harus ditarik garispemikiran kemanfaatannya demi

kepentingan umumbagimasyarakat harus didahulukan, baru kemudian

kepentinganindividu. Manakala ada pertentangan atas dua pola

kepentingan,maka memakai sandaran cara berfikir bahwa bekerjanya

tertibhukum yang efesien lebih baik mulai bertolak pada kepentinganmasyarakat

yang menjadi dasar di atas kepentingan-kepentinganlain, dalam arti tidak

terdapat ketertiban hukum, maka kepentingan yang lain tidak dapat dilaksanakan.

Dan disamping itu dasarpembenaran untuk pencegahan ketidakadilan yang

ditimbulkanoleh kejahatan adalah alasan subsociale mempunyai

kepentinganumum bagi masyarakat yang mempunyai sifat lebih tinggi.

3. Dalam hal berbicara tentang budaya dan peradaban BangsaIndonesia tidaklah

mungkin berslogan melambung tinggimelampui kenyataan dan beradaban

bangsa-bangsa terutamaterhadap negara tetangga yang dalam kenyataannya

peradabannyatidak menjadi rendah karena masih mengancam dan

menjatuhkanpidana mati.

4. ilmu pengetahuan tentang tujuan hukum pidana mati danpemidanaan tidak dapat

melepaskan sama sekali alternatif pidanadari unsur-unsur yang berupa

pembalasan, tujuan umum, tujuankhusus, pendidikan, menakutkan dan

Universitas Sumatera Utara


membinasakan bagikejahatan-kejahatan tertentu, dimana masing-masing tujuan

itudipergunakan secara selektif dan efektif menurut keperluan sesuaidenagn

peristiwanya.

Bambang Poernomo juga berpendapat sebagai berikut: 103”Pidana mati dapat

dipertanggungjawabkan dalam negara Pancasilayang diwujudkan sebagai

perlindungan individu sekaligus jugamelindungi masyarakat demi tercapainya

keadilan dan kebenaranhukum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan

demikian maka pidana mati pada hakekatnya tidak bertentangan dengan Pancasila.

Tindak pidana narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka

ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan

dua jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau

pidana mati dan pidana denda. Dalam KUHP, penjatuhan dua hukuman pokok

sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan

berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah

satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat

khusus, maka untuk tindak pidana narkoba dan psikotropika, hakim diperbolehkan

untuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus yang pada

umumnya berupa pidana badan (berupa pidana mati, pidana seumur hidup atau

pidana penjara) dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya agar

tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat. Dalam sistem pemidanaan di

Indonesia pidana mati merupakan hukuman yang paling berat dari sekian banyak
103
Ibid, halaman 23.

Universitas Sumatera Utara


hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena hukuman ini

menyangkut jiwa manusia.

Penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa sebagaimana dalam amar

putusan di atas didasarkan kepada pertimbangan hakim yang melihat aspek

kepentingan kehidupan berbangsa dimana menurut hakim perbuatan terdakwa yang

mengedarkan 270 Kg narkoba jenis shabu dapat merusak segala aspek kehidupan

masyarakat jika diedarkan. Dimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

hukuman mati tersebut diletakkan kepada akibat yang dapat menimbulkan dari

pengaruh narkoba. Dalam hal ini yang dilakukan oleh terdakwa sebagai pemufakatan

jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk

melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,

menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi

kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.

Jika dilihat berdasarkan teori pemidanaan, sesungguhnya penjatuhan pidana

mati kepada terdakwa dilakukan dengan menggunakan teori gabungan dimana disatu

sisi hakim menjatuhkan hukuman mati meletakkan aspek pembalasan kepada

terdakwa karena memiliki dan mengedarkan narkoba jenis shabu seberat 270 Kg

dalam bentuk hukuman mati dan disatu sisi hukuman mati yang dijatuhkan kepada

terdakwa tersebut semata-mata dilakukan sebagai pencegahan dan perlindungan

kepada masyarakat.

Menurut Prof. Dr. Roeslan Saleh dalam bukunya “Suatu Reorientasi dalam

Hukum Pidana” dalam Waluyadi mengemukakan bahwa pada hakekatnya pidana itu

Universitas Sumatera Utara


dimaksudkan sebagai upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama

dengan melakukan pencegahan kejahatan dan sebagai koreksi serta reaksi atas suatu

yang bersifat tindak hukum. Bahwa untuk terpidana mati, maka sangat tidak

mungkin akan tercapai tujuan dan maksud dari pemidanaan bagi seseorang. Yang

mungkin adalah efek bagi pihak lain yang mungkin akan membuat manusia lain

berfikir dua kali untuk melakukan kejahatan yang sama, ssementara kemungkinanan

yang lebih besar yang mungkin berguna bagi masyarakat adalah tercapainya rasa

aman sehingga keseimbangan hidupnya akan sedia kala. Oleh karena itu, untuk

sementara dapat disimpulkan bahwa maksud dan tujuan pemidanaan akan sangat

tidak berpengaruh kepada pidana. 104

Beberapa pertimbangan hakim yang menyatakan mengenai bahaya narkoba

tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya narkoba tersebut menurut hakim sangat

berbahaya jika diedarkan ditengah-tengah masyarakat karena dapat menimbulkan

kecanduan, mengganggu kesehatan fisik, psikologis mental, emosional, beban sosial

bahkan kematian kepada penggunanya. Dimana atas akibat-akibat yang dimunculkan

oleh narkoba tersebut sudah sepantasnya si pelaku dibalas dengan hukuman mati.

Jadi dalam hal ini ada keseimbangan antara akibat yang timbul dari perbuatan

terdakwa dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Disisi lain, selain mempertimbangkan aspek akibat yang dimunculkan oleh

narkoba tersebut hakim juga mempertimbangkan perihal pentingnya pencegahan

terhadap peredaran narkoba tersebut. Sebagaimana dalam pertimbangan hakim yang


104
Waluyadi, op.cit., halaman 189.

Universitas Sumatera Utara


menyatakan narkoba juga mempunyai dampak terhadap lingkungan sosial

masyarakat seperti gangguan mental, anti sosial, dan asusila serta pendidikan

menjadi terganggu dan masa depan suram dan kelam bila tidak dilakukan

pencegahan penyalahgunaan narkoba tersebut.

Berdasarkan putusan di atas terdakwa yang dihukum mati oleh hakim, ialah

bahwa hakim telah mengambil hak hidup seseorang yang mana hakim dapat

mempertangung jawabkan putusan yang diambil tersebut sesuai dengan keyakinan

yang ia miliki, walaupun sebagaimana yang kita tahu bahwa hak hidup seseoang

hanya bisa di ambil oleh Tuhan. Hak untuk hidp merupakan hak yang paling utama

dan hak lain berada di bawah hak tersebut. Hak ini diatur khusus dalam UDHR 1948

dan ICCPR 1966. Perampasan terhadap hak untuk hidup merupakan pengingkaran

utama dari martabat kemanusiaan. 105

Apabila ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan yang mengatur

masalah HAM di Indonesia, pengaturan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu

yang termasuk kategori kejahatan paling serius dalam undang-undang jelas bukan

merupakan pelanggaran HAM. Karena baik UUD 1945 maupun Undang-Undang

No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengakui ada pembatasan dalam

pelaksanaan HAM. Dipidananya para pelaku kejahatan serius, misalnya kejahatan

narkoba dengan pidana mati merupakan bentuk impelemntasi dari pembatasan

tersebut. Hak hidup mereka dibatasi karena dalam melakukan aksi kejahatan mereka

105
Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, Bandung: PT. Refika Aditaman, cetakan ketiga, Maret 2009, halaman 105.

Universitas Sumatera Utara


telah melanggar HAM orang lain, khususnya melanggar hak hidup orang lain.

Pembatasan itu dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan

penghormatan atas hak-hak dan kebebasan orang lain. 106

106
Abdur Rahim, Asruddin Azwar, Muhammad Hafiz dan Satrio Wirataru, op.cit., halaman
33.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah penulis meneliti, mendalami dan menganalisis tentang “Penerapan

Pidana Mati Dalam Hukum Positif Di Indonesia Kaitannya Dengan Hak Asasi

Manusia (Dalam Perkara Nomor 271/Pid.Sus/2016/PN. Mdn jo Perkara Nomor

395/Pid.Sus/2016/PT. Mdn)”, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukuman mati tercantum di dalam KUHP yang diwariskan pemerintah kolonial

Belanda, dan tetap dinasionalisasi dengan Undang-Undang Nomor 1Tahun 1946

bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang dikeluarkan

kemudian ternyata juga mencantumkan ancaman hukuman mati didalamnya,

antara lain tindakan makar, pembunuhan berencana, kejahatan terhadap

keamanan negara, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia,

begitu juga pengaturan pidana mati diluar KUHP seperti tindak pidana ekonomi,

ketentuan pokok tenaga atom, serta dalam Rancangan KUHP dan dalam

pengaturan undang-undang hak asasi manusia juga terdapat pengaturan pidana

mati.

2. Hukuman mati lahir bersama dengan lahirya manusia di muka bumi, dengan

budaya hukum berdasarkan teori pembalasan mutlak. Pidana mati dapat

dikatakan sebagai salah satu pidana tertua. Pidana mati dalam pandangan HAM

bertentangan dengan ketentuan DUHAM terutama Pasal 3yaitu hak untuk hidup,

namun terdapat pengecualian dari pasal tersebut yaitu Pasal 4 ayat (1) ICCPR

Universitas Sumatera Utara


mengenai derogable right yang mana pidana mati dilaksanakan terhadap

kejahatan yang dapat membahayakan masyarakat luas atau publik.

3. Pertimbangan hakim dalam tesisi ini bahwa sesungguhnya narkoba tersebut

sangat berbahaya jika diedarkan ditengah-tengah masyarakat karena dapat

menimbulkan kecanduan, mengganggu kesehatan fisik, psikologis mental,

emosional, beban sosial bahkan kematian kepada penggunanya. Dimana atas

akibat-akibat yang dimunculkan oleh narkoba tersebut sudah sepantasnya si

pelaku dibalas dengan hukuman mati.

B. Saran

1. Pidana mati relevan di terapkan walaupun pidana mati merupakan pidana

alternatif untuk kedepannya, misalnya kejahatan Narkotika karena dampak dari

kejahatan ini sangat luar biasa yang bisa merusak fisik dan mental generasi muda

yang merupakan tunas bangsa sehingga bisa mengancam ketahanan Nasional

Bangsa Indonesia.

2. Masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai

keadilan dan ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta suatu

kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak asasi

manusia dalam penerapan pidana mati.

3. Hukuman mati akan tetap menjadi pro dan kontra selama masih adanya

perbedaan-perbedaan pendapat. Dalam hal menentukan layak atau tidaknya

terdakwa dihukum mati sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Algra, N.E, dkk, Mula Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983.

A.M. Hartawi, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Apeldorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi 1,


Cetakan ke- 7, Jakarta:Rajawali Pers, 2013.

Arbai’I, Yon Artiono, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan
Pidana Mati, Jakarta:KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Cetakan
Pertama, Mei 2012.

Ariman, M. Rasyid dan Raghib, Fahmi, Hukum Pidana, Setara Press, Maret 2015.

Arief, Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian


Perbandingan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

_____________________, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian


Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011.

__________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT.


Citra Aditya Bakti 2005.

Ashsofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke III, Jakarta: Rineka


Cipta, 2001.

Chada, P Vijay, Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksiologi, Jakarta: Widya
Medika, 1995.

Dirdjosisworo, Soedjono, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Bandung: PT.


Karya Nusantara, 1976.

Djamali, R.Abdul, Pengantar Hukum Indonesia,edisi revisi, Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada, cetakan ke-17 September 2011.

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi,


Yogyakarta: Genta Publishing, 2004.

Universitas Sumatera Utara


__________, Monograf Metodologi Penelitian Hukum Panduan Penulisan
Skripsi. Tesis Dan Disertasi, Cetakan Ketiga, Yogyakarta:GENTA
Publishing, 2016.

Erdianto, Effendi, Hukum Pidana Indonesia- Suatu Pengantar, Bandung: PT. Refika
Aditama,2011.

Gunadi, Ismu dan Efendi, Jonaedi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
cetakan ke-1, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, Juni, 2014.

Hamzah, Andi dan Rahayu, Siti, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di
Indonesia, Edisi pertama, Cetakan pertama, Jakarta Akademika Pressindo,
Nopember 1983.

Hiariej, Eddy O.S, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma


Pustaka, 2014.

Muladi,Lembaga Pidana Masyarakat, Bandung: Alumni, 2002.

Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum
danMasyarakat, Bandung: PT. Refika Aditaman, cetakan ketiga, Maret 2009.

_______________, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam


Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: PT. Refika Aditaman,
cetakan ketiga, Maret 2009.

Ochaerudin, Victimologi, Beberapa Aspek Korban Kejahatan, Fakultas Hukum


Universitas Islam As-Syafi’iyah, 1977.

Poernomo Bambang, Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Bina


Aksara, 1982.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai


Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia,
cetakan kedua Februari, 1985.

Prasetya, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan II, Bandung:Nusa


Dua, Oktober 2011.

Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT.


Refika Aditama, Agustus 2013.

Universitas Sumatera Utara


Purba, Nelvitadan Sulistyawati, Sri,Pelaksanaan Hukuman Mati Perspektif Hak
Asasi manusia dan Hukum Pidana Di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu,
Cetakan pertama, 2015.

Rahim, Abdur, Azwar, Asruddin,dkk,Hukuman Mati Problem Legalitas dan


Kemanusiaan, Intrans Institue, Marjosari, Malang, jatim, Edisi No. 10/2015.

Sakidjo, Aruan dan Poernomo Bambang, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum
Hukum PidanaKodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Sahetapy, J.E, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007.

Salim dan Nurbani, Erlies Septiana, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, ed.1, cet.1, Jakarta: Rajawali Pers, Mei, 2016.

Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.

Sokanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004.

_____________, dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


Singkat, Jakarta: Rajawali, 1985.

Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju,


2009.

___________, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2000.

Widjaya, A.W, Mengutip Gerakan Blamia Dalam Masalah Kenakalan Remaja


dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung: Armico, 1985.

B. Peraturan Perundang-undangan:

UUD RI Tahun 1945 Hasil Amandemen.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Universitas Sumatera Utara


RUU KUHP Tahun 2004.

RUU KUHP Tahun 2015.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Obat-Obatan


Terlarang.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Putusan No. 271/PID.Sus/ 2016/PN. Mdn jo Putusan No.


395/PID.Sus/2016/PT.MDN

Penjelasan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor


2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ”Kutipan Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah Konstitusi, XXV
(Oktober-November, 2008).

C. Jurnal dan Karya Ilmiah

Eliza Oktaliana Sari, Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia
(Dalam Perkara Nomor 176K/Pid/1998), Fakultas Hukum USU, 2009.

Fuad Hasan, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tata CaraPelaksanaan Pidana Mati
Di Indonesia, Fakultas Syari’ah Institut agama Islam Negeri Walisongo,
Semarang, 2010.

Syaiful Asmi, Ediwarman, Marlina, Edy Ikhsan, Formulasi TentangPerlindungan


Negara Terhadapanak Yang Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Studi Kasus di Pengadilan negeri Medan), USU Law Journal Vol. 4 No. 2,
Maret 2016.

Warih anjari, Penjatuhan Pidana Mati Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia, E-Journal WIDYA YustisiaFH UTA 45 Jakarta, Volume 1
Nomor 2 Maret 2015.

Universitas Sumatera Utara


D. Makalah

Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia.

____________, Analisis Hukum Mengenai Pidana Mati Dalam Perspektif HAM Di


Indonesia.

Sun Sunatrio, “Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Majalah


Konstitusi, XXV (Oktober-November, 2008).

E. Internet:

Amiee43Diksatrasia, Tindak Pidana Narkotika,


http://amiee43.blogspot.co.id/2013/05/tindak-pidana-narkotika.html,
diunggah pada tanggal 18 Mei 2015, diakses pada tanggal 31 Januari
2017.

Eko Budi, Efektifitas Hukuman Mati, http://ditpolairdajambi.blogspot.co.id,


diunggah pada 04 Juli 2011, diakses pada 22 Maret 2017.

Coconut Indonesia, Data BNN Menunjukkan Peningkatan Besar Pengguna


Narkotika Pasca Eksekusi Mati Pengedar Tahun lalu,
http://indonesia.coconuts.co/2016/04/19/data-bnnmenunjukkanpeningkatan-
besar-pengguna-narkoba-pasca-eksekusi-mati pengedar,diunggah pada
tanggal 19 April 2016, diakses pada tanggal 31 Januari 2017

Inspirasi Hukum, Eksistensi Pidana Mati Dalam Rancangan KUHP Nasional


Ditinjau Dari Pasal 28I http://pembaharuan-hukum.blogspot.co.id,
diunggah pada tanggal 19 Desember 2008, diakses pada tanggal 22 Maret
2017.

Jurnal hukum, Penelitian Hukuman Mati dan Hak, http://jurnalhukum.blangspot.com,


diunggahpada tanggal 11 Mei 2007, diakses pada tanggal 19 Aptil 2017.

K Maria, Pengertian Penerapan, http://eprints.uny.ac.id, diunggah pada Maret


2012, diakses pada tanggal 29 Maret 2017.

Pendidikanmu, Aturan Hukuman Mati di Indonesia Dan Alasannya,


http://www.pendidikanmu.com, diunggah pada 26 Mei 205, diakses pada
tanggal 22 Maret 2017.

Universitas Sumatera Utara


Trisno Raharjo, Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, https://hukum.ump.ac.id, diakses pada tanggal 10 April
2017.

Wawasan Pendidikan, Pidana Mati Dalam KUHP dan Diluar KUHP


http://www.wawasanpendidikan.com, diunggah pada tanggal 0-01-2016,
diakses pada tanggal 9-04-2017.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai