Anda di halaman 1dari 194

TESIS

PENGATURAN
AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)
DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM
YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA







I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA








PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS



PENGATURAN
AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)
DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM
YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA







I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA
NIM : 1190561045






PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013


ii
PENGATURAN
AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)
DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM
YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA







Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana







I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA
NIM. 1190561045














PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013


iii
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL .




Pembimbing I Pembimbing II




Prof. Dr. Ibrahim, R, SH., MH. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum.
NIP. 19551128 198303 1 003 NIP. 19611224 198803 1 001


Mengetahui,


Ketua Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana







Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH, M.Hum, LL.M Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)
NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001




TTD
TTD
TTD
TTD


iv
TESIS INI TELAH DIUJI
PADA 21 AGUSTUS 2013





Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1544/UN14.4/HK/2013 Tanggal : 1 Agustus 2013








Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH.
Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.
Anggota : 1. Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS.
2. Dr. I Gede Yusa, SH., MH.
3. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H.














v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT



Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya
NIM : 1190561045
Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda/12 Oktober 1990
Alamat : Jl. Kertanegara IX/4, Br. Anyar-Anyar,
Ubung Kaja, Denpasar-Bali, 80116
Program Studi : Magister Ilmu Hukum (Hukum
Pemerintahan)
Judul Tesis : Pengaturan Ambang Batas Formal
(Formal Threshold) Dalam Konteks
Sistem Pemilihan Umum Yang
Demokratis di Indonesia
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku



Denpasar, 21 Agustus 2013
Hormat saya,






I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya









vi
UCAPAN TERIMA KASIH

OM SWASTIASTU,
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkah dan anugrah-Nya, maka
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pengaturan Ambang Batas
Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang
Demokratis di Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
setulusnya atas semua bantuan, arahan, dan bimbingan kepada semua pihak:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. Dekan Fakultas hukum
Universitas Udayana.
4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.LL.M, Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
5. Prof. Dr. Ibrahim R, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah banyak
membimbing dan memberi masukan yang membangun dalam penyusunan
tesis ini.
6. Dr. I Dewa Gede Palguna,SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing II yang penuh
kesabaran dalam membimbing dan memberi masukan ilmu pengetahuan
yang berguna bagi penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.


vii
7. Dosen Penguji Tesis, Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH, selaku Ketua, Dr. I
Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum selaku Sekretaris, Prof.Dr. I Made Pasek
Diantha,SH.,MS., Dr. I Gede Yusa, SH., MH., dan Dr. Putu Gede Arya
Sumerthayasa, S.H., M.H selaku Anggota, yang telah berkenan meluangkan
waktunya untuk menguji, memberikan penilaian, dan masukan yang
maksimal demi penyusunan tesis yang lebih baik.
8. Guru-Guru Besar dan segenap Dosen Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan
selama perkuliahan dan mendukung penyusunan tesis ini.
9. Segenap Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi.
10. Keluarga penulis, Bapak I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH, Mamah Sri
Sudarwati, dan Adik I Gusti Ayu Putri Astari Yogiswari yang tidak henti-
hentinya memberikan penulis doa, semangat, dan cintanya selama penulisan
tesis ini.
11. Keluarga Besar Universitas Mahendradatta yang telah memberikan
dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
12. Sahabat dari penulis, Agus Pradana, S.Si., Pande Tunik,S.Sn., Ngurah
Yudi,SE., dan teman-teman dari SONE Bali, Zumi, S.Kom., Ferdy, Octa,
Agus, Buchel, Kiki, Lukman, Bli Kadek, Anga, Yerdi.
13. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis.


viii
14. Segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, semoga buah karya intelektual ini dapat memberikan manfaat
bagi seluruh umat manusia di dunia.
OM SANTI, SANTI, SANTI, OM
Denpasar, 21 Agustus 2013


Penulis






























ix
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang permasalahan pengaturan ambang batas
formal dalam pemilihan umum dengan fokus pembahasan pada kerangka prinsip
demokrasi konstitusional dan indikator yang dapat digunakan dalam legislasinya.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konseptual
hukum, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filsafat.
Sementara teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah teori
negara hukum dan teori demokrasi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan ambang batas formal
pemilihan umum memenuhi prinsip demokrasi konstitusional berdasarkan empat
aspek : kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR-RI; tujuan menstabilkan
lembaga negara (legislatif dan eksekutif); tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia; konsistensi dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menguji
konstitusionalitas materi ambang batas formal. Pengaturan ambang batas formal
juga mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia, terutama pada prinsip
demokrasi permusyawaratan/perwakilan Indonesia. Perbandingan hukum dengan
negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak hanya
mengatur perihal persentase, melainkan juga pengaturan yang bersifat mengurangi
disproporsionalitas. Pengaturan yang lebih komprehensif terkait dengan hal
tersebut perlu dilakukan ke depannya dalam undang-undang pemilihan umum
Indonesia untuk menciptakan pengaturan yang berkeadilan dan pembentukan
hukum yang berkelanjutan.

Kata Kunci : ambang batas formal, sistem pemilu, demokrasi konstitusional,
pembentukan hukum yang berkelanjutan












x
ABSTRACT

This thesis discusses the problems of formal threshold provision in the
electoral system which is focused on constitutional democratic principles
framework and indicators that can be used in the legislation. This research is a
normative legal research that uses statute, analytical and conceptual, historical,
comparative, and philosophical approach. Meanwhile, the theories that be used
to analyze the problem are Rule of Law Theory (Rechtstaat) and Theory of
Democracy.
The result repeals that the formal threshold provision fulfils constitutional
democratic principle based on four aspects : the legislation authority of DPR-RI ;
the purpose to stabilizing the state institutions (legislative and executive); has no
conflict to fundamental human rights; the consistency of ruling from of the
Constitutional Court of The Republic of Indonesia that reviews formal threshold.
Formal threshold also reflects the idea of the law of Indonesia, especially on
Indonesian consensus/representative democracy principle. A legal comparison
showed that the substance of formal threshold is not only about the percentages,
but also the provision for reducing disproportionality. The provision of formal
threshold should be more comprehensive in the future to ensure the legal justice
and sustainable law making.

Key Words : formal threshold, electoral system, constitutional democracy,
sustainable law-making

























xi
RINGKASAN

Tesis ini diberi judul Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal
Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di
Indonesia. Adapun tesis ini disusun dalam lima bab dan menguraikan bagaimana
pemenuhan prinsip demokrasi konstitusional dan indikator-indikator yang dapat
digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pemilihan umum sebagai
bentuk reformasi perundang-undangan pemilu yang demokratis di Indonesia.
BAB I sebagai bab pendahuluan memuat latar belakang yang menjelaskan
isu hukum yang diangkat sebagai permasalahan yakni adanya konflik norma, baik
secara formil maupun materiil. Pengaturan ambang batas formal memiliki
ketidaksinkronan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana yang menjadi syarat
formil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (vide Pasal 5 huruf
a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),
yaitu perihal tujuan menciptakan sistem multipartai sederhana yang nantinya akan
menghasilkan sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini tujuan pengaturan
ambang batas formal tidak jelas menjabarkan definisi sistem multipartai
sederhana yang dimaksud serta relevansi antara sistem multipartai dan sistem
presidensial. Kemudian secara materiil, konflik norma terjadi antara pengaturan
ambang batas formal dengan peraturan perundang-undangan lain yang
memberikan dasar perlindungan hak asasi manusia, khususnya perihal jaminan
perlindungan atas suara sah dari pemilih. Selain itu perihal indikator yang tidak
jelas dan kebutuhan untuk menciptakan desain hukum ambang batas formal yang
baku menyebabkan permasalahan ini dianggap menarik dan penting untuk dikaji.
Kemudian dalam Bab I juga menempatkan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, menjabarkan landasan teori sebagai
sarana untuk menjawab permasalahan, serta menentukan metode penelitian yang
digunakan dengan uraian berupa jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan
hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.
BAB II menguraikan mengenai tinjauan umum berupa pemikiran tentang
konsepsi demokrasi konstitusional sebagai uraian lebih lanjut perihal teori yang
digunakan yakni teori negara hukum dan teori demokrasi. Selain itu dalam bab ini
juga diuraikan tiga konsep dasar, yaitu sistem pemilihan umum (electoral system),
lembaga perwakilan, dan partai politik, disertai dengan dasar hukum yang berlaku
di Indonesia. Bab ini juga memberikan tinjauan umum perihal konsep dari
ambang batas pemilu (electoral threshold).
BAB III membahas mengenai pemenuhan pengaturan ambang batas formal
pemilihan umum terhadap prinsip demokrasi konstitusional yang dikaji dalam
empat konsentrasi, yakni perihal legislasi dari ambang batas formal, upaya
penataan lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara, kesesuaian
pengaturannya dengan norma hak asasi manusia, dan konsistensi pengujian
undang-undang yang menguji ketentuan ambang batas formal pemilihan umum
oleh Mahkamah Konstitusi.




xii
BAB IV membahas mengenai indikator-indikator yang digunakan dalam
penormaan ambang batas formal dengan cita hukum (recht idea) Indonesia
sebagai landasan fundamental. Bab ini juga membahas perbandingan hukum
dengan Jerman, Turki, Polandia, dan Denmark yang memberikan gambaran
perbedaan substansil pengaturan ambang batas formal, terutama perihal
ketentuan-ketentuan yang berfungsi untuk mengurangi disproporsionalitas. Selain
itu dibahas pula perihal konsep tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan) sebagai indikator pengaturan ambang batas formal yang
berkelanjutan dengan dielaborasikan dengan prinsip justice as fairness dari John
Rawls.
BAB V merupakan bagian penutup yang memberikan simpulan terhadap
pembahasan permasalahan yang diuraikan. Selain itu pada Bab ini juga disampaikan
yang menjadi saran-saran terkait dengan pembentukan hukum ambang batas formal
pemilihan umum yang lebih komprehensif di masa mendatang.
























xiii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Dalam .................................................................................................... i
Halaman Persyaratan Gelar Magister ............................................................................... ii
Halaman Pengesahan Tesis .............................................................................................. iii
Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ....................................................................... iv
Surat Pernyataan Bebas Plagiat ....................................................................................... v
Halaman Ucapan Terima Kasih ....................................................................................... vi
Halaman Abstrak ............................................................................................................. ix
Halaman Abstract ............................................................................................................. x
Ringkasan ........................................................................................................................ xi
Halaman Daftar Isi ......................................................................................................... xiii
Halaman Daftar Tabel ................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 9
1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................................... 9
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10
1.4.1. Tujuan Umum ............................................................................... 10
1.4.2. Tujuan Khusus .............................................................................. 11
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 11
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 11
1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................................. 12


xiv
1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 12
1.7. Landasan Teori .......................................................................................... 14
1.7.1. Teori Negara Hukum .................................................................. 15
1.7.2. Teori Demokrasi ......................................................................... 19
1.8. Metode Penelitian .................................................................................... 23
1.8.1. Jenis Penelitian.............................................................................. 23
1.8.2. Jenis Pendekatan ........................................................................... 24
1.8.3. Sumber Bahan Hukum ................................................................. 25
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................... 27
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................................... 28
BAB II DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM ........... 30
2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional ...................................................... 30
2.2. Sistem Pemilihan Umum ....................................................................... 36
2.2.1. Definisi Sistem Hukum ................................................................ 36
2.2.2. Pemilihan Umum .......................................................................... 41
2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum ..................................................... 44
2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia ...................................................................... 54
2.3. Lembaga Perwakilan ............................................................................... 58
2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan ................................................. 62
2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia .................................................... 68
2.4. Partai Politik ........................................................................................... 72
2.4.1. Definisi Partai Politik ................................................................... 72


xv
2.4.2. Fungsi Partai Politik ..................................................................... 73
2.4.3. Sistem Partai Politik ..................................................................... 76
2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia .................................................... 78
2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold) .......... 81
BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM
DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA ................................. 85
3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia ..................................... 85
3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca
Pengaturan Ambang Batas Formal ......................................................... 96
3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ........... 96
3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap
Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia .............................. 108
3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik ............................... 117
3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis
Ambang Batas Formal ................................................................ 118
3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas
Formal ......................................................................................... 123
3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal ...................................... 127
BAB IV INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL
DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM
INDONESIA ........................................................................................... 136
4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan
Ambang Batas Formal ......................................................................... 137


xvi
4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia
Dalam Pengaturan Ambang Batas Formal ................................ 139
4.2. Indikator Proporsionalitas Pemilu ......................................................... 144
4.2.1. Jerman ......................................................................................... 145
4.2.2. Turki ........................................................................................... 147
4.2.3. Polandia ....................................................................................... 149
4.2.4. Denmark ..................................................................................... 151
4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum sebagai Indikator Ambang Batas
Formal yang Berkelanjutan .................................................................. 155
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 164
5.1. Simpulan ............................................................................................... 164
5.2. Saran ..................................................................................................... 165
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 166












xvii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. : Perolehan Suara dan Persentase Suara Partai Politik Peserta Pemilu
2009 .............................................................................................................. 97
Tabel 3.2. : Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 2009 .................................................... 100




1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, undang-undang pemilihan umum
mengalami regenerasi sebagai upaya pemulihan atas pengingkaran demokrasi
yang terjadi selama masa tersebut. Demokratisasi yang diselenggarakan sejak
tahun 1999 hingga sekarang menempatkan pengaturan ambang batas pemilu, atau
lebih dikenal dengan istilah electoral threshold, dalam penyelenggaraan pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bagian reformasi
perundang-undangan pemilihan umum.
Ambang batas pemilu atau electoral threshold adalah pengaturan tingkat
minimal dukungan, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau
jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu
agar dapat menempatkan perwakilannya dalam lembaga perwakilan.
1
Ambang
batas yang diatur secara formal (formal threshold) diperlihatkan dengan adanya
pencantuman sejumlah persentase tertentu secara langsung dan tegas dipaksakan.
2

Adapun bentuk pengaturan ambang batas formal diwujudkan dalam Pasal 208
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) yang mengatur bahwa Partai


1
Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, hal 19.

2
Kacung Marijan, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru.
Kencana, Jakarta, hal. 72.
2



Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-
kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus
dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan
pemilu di era reformasi.
Pembatasan keterwakilan jumlah partai politik secara yuridis di dalam
lembaga perwakilan melalui ambang batas formal menjadi salah satu konsentrasi
pembangunan hukum pada masa reformasi dalam rangka visualisasi demokrasi
yang lebih baik. Demokratisasi pemilihan umum pada hakikatnya menempatkan
keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar penting bagi suatu negara
modern, terlebih pada negara dengan masyarakat yang majemuk (plural society).
3

Namun seiring dengan pembelajaran proses berdemokrasi, timbul satu
pemahaman bahwa sistem multipartai yang diterapkan dalam penyelenggaraan
pemilihan umum dianggap menjadi salah satu kesalahan yang paling mendasar.
Dewan Perwakilan Rakyat yang diisi dengan kepartaian majemuk dipersepsikan
tidak dapat memaksimalkan fungsi eksekutif dan menjaga kestabilan sistem
presidensial, terutama dalam hal konsensus pengambilan kebijakan.
4
Dalam upaya
menyikapi hal tersebut, arah pembentukan undang-undang terkait dengan sistem
kepartaian diupayakan mampu menyeimbangkan antara unsur kemajemukan


3
ibid. hal. 59-61.

4
Radiman Salman, 2010, Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan Pembaharuan
Parpol, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi
Daerah dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk Sang Penggembala Prof. A. Mukthie
Fadjar, SH., MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In Trans Publishing, Malang, hal.143.
3



partai politik dan stabilitas pemerintahan melalui pengaturan ambang batas formal
pemilihan umum.
Mekanisme konversi jumlah perolehan suara menjadi kursi mengalami
regenerasi yang tidak sederhana, terutama sejak diberlakukannya persentase
ambang batas formal yang dianggap memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam
perancangan undang-undang pemilihan umum. Persentase ambang batas formal
sebesar 3,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012
diberlakukan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai upaya memperkuat lembaga
perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana,
yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensial.
5
Upaya
penciptaan sistem multipartai sederhana tersebut seakan bertentangan dengan
Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang menentukan bahwa dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik wajib memenuhi salah satu asas formal, yaitu asas
kejelasan tujuan.
6
Pengaturan ambang batas formal tidak menentukan batasan
tujuan yang ingin dicapai secara jelas perihal sistem multipartai seperti apakah
yang dimaksud dengan sederhana serta bagaimana relevansinya dengan sistem
pemerintahan presidensial secara nyata dengan adanya pengaturan tersebut. Hal
ini menimbulkan implikasi sumirnya tujuan pembentukan perundang-undangan
yang baik dalam pengaturan ambang batas formal.


5
Lihat Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 2012.

6
Bahwa yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No.
12 Tahun 2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
4



Penyelenggaraan pemilu yang demokratis juga wajib menempatkan
perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan
dijamin keberadaannya secara tegas di dalam kerangka hukum. Fenomena
pelaksanaan demokrasi yang tidak demokratis di era Orde Baru memberikan andil
terjadinya perubahan substansil yang menghasilkan jaminan perlindungan hak
asasi manusia secara konstitusional berdasarkan Pasal 28A-28J Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dibentuknya dua perundang-
undangan organis, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights.
7
Pengaturan ambang batas
formal turut memperlihatkan adanya suatu problematik berupa konflik norma
(conflict of norm), terutama dengan peraturan perundang-undangan yang
memberikan jaminan perlindungan hak hukum, baik bagi warga negara dan partai
politik.
Pengaturan ambang batas formal menimbulkan konsekuensi yuridis
terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian (sistem multipartai sederhana)
dengan hilangnya sejumlah suara pada partai politik tertentu yang tidak memenuhi
persentase yang ditentukan.
8
Konsekuensi hilangnya suara tersebut menjadi
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 3 ayat
(2) UU No. 39 Tahun 1999 yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian


7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights merupakan hasil ratifikasi dari The International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 16
Desember 1966.

8
Janedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 33-34.
5



hukum, termasuk dalam hal ini perlindungan akan suara-suara pemilih yang
diberikan secara sah kepada partai politik peserta pemilu.
9
Hal tersebut juga
sejalan dengan konsideran menimbang UU No. 8 Tahun 2012 yang
mengamanatkan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara
rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adanya suara yang
hilang dengan diaturnya ambang batas formal menimbulkan inkonsistensi perihal
bagaimana menterjemahkan jaminan perlindungan suara rakyat dalam sistem
pemilu langsung yang demokratis sesuai dengan kerangka ketatanegaraan
Indonesia. Pertentangan norma, baik dengan peraturan perundang-undangan lain
maupun dengan konsideran UU No. 8 Tahun 2012 sebagai dasar validitas,
menjadikan pengaturan ambang batas formal menarik untuk dikaji secara holistik
di dalam kerangka hukum dan demokrasi bangsa Indonesia.
Keberadaan ambang batas formal rentan mengalami resistensi dari warga
negara, terutama pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Fenomena
hukum tersebut setidaknya diperlihatkan dengan tingginya intensitas pengujian
konstitusionalitas materi undang-undang pemilu kepada Mahkamah Konstitusi
berkenaan dengan substansi ambang batas formal pemilihan umum. Meskipun
Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menegaskan konstitusionalitas
ambang batas dalam pemilihan umum (tanpa atau dengan disertai dissenting


9
Rumusan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Sementara rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
6



opinion
10
), penulis menganggap pengaturan ambang batas formal ini masih
menyisakan sejumlah permasalahan yang elementer sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, yaitu terkait dengan bagaimana legitimasi penghilangan suara
pemilih dan tujuan penciptaan sistem multipartai sederhana yang riil.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menegaskan
justifikasi pengaturan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 sebagai
legal policy (politik hukum) dari pembentuk undang-undang yang tidak dapat
diganggu gugat oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang sejalan dengan prinsip-
prinsip hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
11
Justifikasi tersebut
menurut penulis masih menyisakan permasalahan perihal seperti apakah
penormaan persentase ambang batas formal yang dikatakan tidak bertentangan
dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas sehingga Mahkamah
Konstitusi tidak dapat menggangu gugatnya. Tolak ukur legitimasi ambang batas
formal yang tidak bertentangan dengan ketiga aspek tersebut menjadi wajib untuk


10
Perbedaan pendapat atau dissenting opinion terjadi dalam dua putusan Mahkamah
Konstitusi yang menguji substansi ambang batas formal dalam undang-undang pemilu, yakni
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 perihal pengajuan ambang batas formal
dalam dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, serta
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang pengujian ketentuan ambang batas
formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

11
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 79. Mahkamah
Konstitusi memaparkan ratio decidendi ...bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai
Politik baik berbentuk ET maupun PT. kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai
politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem
Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat
pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya
angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk
menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak
politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas
7



dijabarkan sebagai upaya menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang konsisten dan
konstitusionalitas pengaturannya.
Segenap permasalahan dan pertentangan norma tersebut pada akhirnya
bermuara pada titik ketidakjelasan parameter hukum yang digunakan dalam
menentukan pengaturan persentase ambang batas formal. Setidaknya terdapat tiga
hal yang menjadi pertanyaan dasar, yakni berapa persen angka ambang batas yang
akan diterapkan; bagaimana cara menentukannya; atau apakah peningkatan
persentase sesungguhnya diperlukan atau tidak dalam setiap penyelenggaraan
pemilihan umum? Penentuan persentase ambang batas yang terkesan rumit
menjadi permasalahan yang sering mengakibatkan berlarutnya pembahasan
undang-undang pemilu. Setidaknya kerumitan tersebut tampak secara nyata dari
adanya diferensiasi pandangan antar fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat
dalam menentukan jumlah persentase ambang batas serta perihal ruang lingkup
keberlakuannya.
12
Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa penormaan ambang
batas formal seakan tidak memiliki indikator-indikator yang jelas, sehingga rentan
mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan pertentangan dengan norma-
norma lainnya.



12
9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu,
http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-dpr-gagal-sepakati-ruu-
pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012 dan Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih
suara nasional 3,5 persen, partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD
http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-untuk-dpr, diakses tanggal
tanggal 17 Oktober 2012. Lihat pula Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
52/PUU-X/2012, hal. 98-99 yang membatalkan ketentuan ambang batas formal di daerah untuk
penentuan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
8



Indikator-indikator secara teoritis hukum di dalam penciptaan suatu norma
merupakan aspek yang wajib untuk dicermati oleh para yuris, termasuk dalam hal
menentukan ambang batas formal guna melimitasi jumlah partai politik di Dewan
Perwakilan Rakyat. Mahkamah Konstitusi sendiri di dalam putusannya menyadari
bahwa perancangan perundangan-undangan pemilihan umum seakan tidak
memiliki konsep yang jelas perihal bagaimana desain pemilihan umum Indonesia
yang demokratis, sehingga kenyataan hukum yang terjadi adalah berkembanganya
paradigma kebiasaan melakukan perubahan maupun pergantian undang-undang
pemilu menjelang penyelenggaraannya.
13
Penciptaan suatu norma hukum yang
tidak jelas indikatornya rentan melanggar hak asasi manusia serta bertentangan
dengan konstitusi dan norma-norma hukum lainnya. Oleh karena itu, kejelasan
dasar pemberlakuan ambang batas formal perolehan suara dalam penyelenggaraan
pemilihan umum dan parameter hukum dalam menentukan persentase yang akan
diterapkan menjadi penting untuk dikaji secara teoritis.
Pengaturan ambang batas formal memberikan pengaruh signifikan dalam
upaya penciptaan sistem pemilihan umum yang memenuhi nilai-nilai demokrasi
bangsa Indonesia. Pengaturan ambang batas formal secara faktual masih
menyisakan sejumlah permasalahan demokrasi yang mendasar, walaupun
Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan berkekuatan hukum tetap
terhadap pasal yang digugat. Adanya pertentangan dengan norma-norma hak
politik, kejelasan tujuan penormaan, bagaimana menentukan persentase, serta
konsekuensi-konsekuensi yuridis lain yang timbul secara sistemis menjadi hal


13
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal 130-131.
9



yang penting untuk dibahas dalam kerangka teori-teori hukum dalam rangka
menegakkan supremasi negara hukum dan demokrasi Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut, maka penulis berpendapat merupakan hal yang menarik dan urgen untuk
mengkaji pengaturan ambang batas formal secara teoritis hukum.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan
tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :
(1) Apakah pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Indonesia?
(2) Apakah indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas
formal pada undang-undang pemilu di Indonesia?

1.3. Ruang lingkup Masalah
Agar tetap fokus dengan rumusan masalah, maka perlu ditentukan batasan-
batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan di dalam penelitian ini.
Lingkup permasalahan pertama adalah perihal kajian pengaturan ambang batas
formal dalam perspektif prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dengan fokus
pada analisis ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, penataan lembaga
dan hubungan antar lembaga negara, serta elaborasi prinsip dan peraturan tentang
hak asasi politik. Selain itu, kajian Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji
ambang batas formal juga termasuk dalam lingkup bahasan ini, terutama dari
aspek konsistensi pertimbangan hukumnya.
10



Lingkup permasalahan kedua akan dibahas mengenai dasar pemberlakuan
dan indikator yang dapat digunakan sebagai justifikasi dalam menentukan
pengaturan dan persentase ambang batas formal yang ideal dalam pembangunan
sistem pemilihan umum di Indonesia. Kajian dasar pemberlakuan berada pada
lingkup aspek cita hukum Indonesia dengan menekankan pada aspek nilai
demokrasi dan keadilan sosial. Sementara bahasan indikator ambang batas formal
difokuskan pada aspek tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan utilitas hukum)
serta perbandingan dengan peraturan-peraturan hukum negara lain.

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum disusunnya penelitian ini adalah dalam rangka memberikan
sumbangsih pemikiran teoritis perihal pengaturan ambang batas formal sebagai
politik hukum pembatasan keterwakilan partai politik dalam kelembagaan DPR-
RI. Penelitian ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan
ambang batas formal dalam perspektif teori hukum sebagai upaya penguatan
perancangan perundang-undangan pemilihan umum. Selain itu, penelitian hukum
ini juga dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji secara komprehensif perihal
harmonisasi konseptual demokrasi konstitusional dalam pembangunan sistem
pemilihan umum Indonesia.



11



1.4.2. Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
a. Dari aspek akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui justifikasi
pembatasan keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dengan
diaturnya ambang batas formal dalam perundang-undangan pemilihan
umum berdasarkan kerangka demokrasi konstitusional Indonesia.
b. Dari aspek praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar
keberlakuan dan indikator secara teoritis hukum yang dapat digunakan
dalam merumuskan undang-undang pemilihan umum, khususnya substansi
ambang batas formal, dalam rangka penguatan sistem pemilihan umum di
Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
kontribusi pemikiran bagi pengaturan tentang pemilihan umum, terutama terkait
dengan pengaturan ambang batas formal dalam konsepsi demokrasi Indonesia.
Hasil dari penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai referensi bagi
peneliti-peneliti hukum (legal researcher) berikutnya dan bagi segenap civitas
akademika Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana untuk lebih mendalami
perihal pengaturan ambang batas formal, serta pengembangan ilmu hukum pada
umumnya.

12



1.5.2. Manfaat Praktis
Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
referensi teoritis hukum bagi perancang perundang-undangan (legislative drafter)
dalam membentuk perundangan-undangan pemilu berikutnya, terutama terkait
penentuan substansi ambang batas formal yang ideal. Bagi organisasi atau
lembaga partai politik, penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan
teoritis dalam mengontrol kebijakan hukum ambang batas formal yang diatur oleh
pembentuk undang-undang di Indonesia. Sementara bagi masyarakat umum,
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membuka pemahaman konsepsi
demokrasi Indonesia dan relevansi pengaturan ambang batas formal di Indonesia.

1.6 Orisinalitas Penelitian
Penelitian hukum ini merupakan hasil dari gagasan dan pemikian murni
penulis dengan berdasar pada sudut pandang hukum bahwa pengaturan ambang
batas formal di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang aktual. Dalam
penelitian hukum ini, penulis bekerja secara mandiri dengan menggunakan bahan
hukum yang dikumpulkan untuk dianalisis, baik berdasarkan peraturan
perundangan maupun literatur hukum.
Berdasarkan pra-penelitian yang telah dilakukan, sepanjang pengetahuan
penulis tidak terdapat penulisan tesis atau karya ilmiah komprehensif lainnya yang
memiliki topik serta bahasan serupa mengenai ambang batas formal. Namun
dalam hal ini terdapat beberapa tesis yang memiliki ruang lingkup bahasan identik
dengan topik yang diangkat oleh penulis, yaitu sebagai berikut :
13



(1) Tesis Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era
Reformasi oleh Muhammad Aziz Hakim, dari Fakultas Hukum Program
Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, pada tahun 2012.
(2) Tesis Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial
Indonesia oleh M. Ilham Habibie, dari Program Magister Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2009.
Perihal tesis pertama dengan judul Politik Hukum Sistem Pemilihan
Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi, Muhammad Aziz Hakim mengkaji
konfigurasi politik dan implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan Pemilihan Umum pada era reformasi. Adapun
Muhamad Azis Hakim menggunakan metode penelitian normatif sekaligus
metode penelitian empiris dalam penelitiannya dengan mayoritas substansi
membahas bagaimana politik hukum dari perundang-undangan pemilu pada masa
reformasi serta pelaksanaannya, terutama pada fokus isu-isu yang mengandung
hal kontroversi.
14

Kemudian untuk tesis kedua dengan judul Pengaruh Konstelasi Politik
Terhadap Sistem Presidensial Indonesia, M. Ilham Habibie mengkaji hubungan
konstelasi politik di DPR-RI terhadap sistem Presidensial Indonesia dengan
terfokus pada masa pemerintahan tahun 2004-2009. Pembahasan juga dilakukan
terhadap pengaruh pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berperan dalam
mempengaruhi sistem presidensial Indonesia. M. Ilham Habibie juga mengkaji


14
Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada
Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 22-23.
14



penerapan sistem Presidensial yang ideal dalam sistem multipartai Indonesia
dengan fokus perhatian pada aspek penyederhanaan partai, koalisi, dan pengaturan
oposisi secara melembaga.
15

Orisinalitas yang ditekankan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah
berada pada variabel terikatnya, yakni pengaturan ambang batas formal yang
dikaji dari aspek mewujudkan sistem pemilihan umum yang demokratis di
Indonesia. Penelitian hukum ini menekankan bagaimana legitimasi pengaturan
ambang batas formal yang membatasi keterwakilan partai politik pada
kelembagaan DPR-RI dalam kerangka demokrasi konstitusional. Selain itu
penekanan yang menjadi unsur orisinalitas dalam penelitian hukum ini adalah
pada aspek kajian parameter-parameter teori hukum yang menjadi dasar
pemberlakuan ambang batas perolehan suara dalam penyelengggaraan pemilu di
Indonesia, perbandingan aturan-aturan hukum di berbagai negara, serta bagaimana
mewujudkan ambang batas formal yang berkelanjutan.

1.7. Landasan Teori
Di dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai landasan untuk
mengkaji permasalahan perihal pengaturan ambang batas formal adalah teori
negara hukum dan teori demokrasi.




15
M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial
Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang, hal 90-145.
15



1.7.1. Teori Negara Hukum
Negara hukum memiliki beragam terminologi dengan masing-masing
definisi serta karakteristik yang menjadi formulasi pembentuknya. Negara yang
menganut sistem Common Law menggunakan istilah Rule of Law dengan arti
bahwa pemerintah berdasarkan atas hukum bukan berdasar atas manusia
(government based on rule of law, not rule of man), sementara negara yang
menganut sistem Civil Law menganut konsep negara hukum dalam istilah
Rechtsstaat (negara hukum).
16

Frederich Julius Stahl memaparkan empat prinsip yang terdapat dalam
Rechtsstaat yakni sebagai berikut:
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2. Negara didasarkan pada teori trias politica;
3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang
(Wetmatig bestuur);
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad.).
17


Sementara dalam konsep Rule of Law, Albert Venn Dicey menempatkan tiga
unsur dalam negara hukum, yaitu :
1. Supremasi hukum (supremacy of law), dimana tidak ada seorang pun yang
dapat dihukum kecuali atas adanya pelanggaran hukum yang telah
ditentukan aturan hukumnya (that no man is punishable or can be lawfully
made to suffer in body or goods except for a distinct breach of law


16
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama,
Bandung, hal. 2.

17
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Kencana, Jakarta, hal. 61.
16



established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the
land).
18

2. Persamaan hukum (legal equality) dengan karakteristik tidak ada
seorangpun yang berada di atas hukum (no man is above the law) dan
semua orang tunduk pada hukum yang sama apapun kelas dan kondisinya
(whatever be his rank or condition is subject to the ordinary law of the
realm).
19

3. Perlindungan atas hak-hak individu (rights of individuals). Dicey
berpendapat bahwa tidak seperti di negara lain, di Inggris hak-hak individu
tidak bersumber dari konstitusi yang dikodifikasikan. Perlindungan atas
hak-hak individu timbul sebagai konsekuensi dari penegasan putusan-
putusan pengadilan (the consequence of the rights of individuals, as
defined and enforced by the courts) yang merupakan hasil induksi atau
generalisasi dari prinsip-prinsip hukum privat yang memberikan
perlindungan atas hak-hak orang secara pribadi
20

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa persamaan yang
mengemuka di dalam konsepsi umum negara hukum, baik Rechtsstaat maupun
Rule of Law, menempatkan posisi hukum yang berdaulat (supremacy of law) di
dalam pemerintahan. Krabbe menterjemahkannya sebagai souvereiniteit van het
recht, yang berarti bahwa baik yang memerintah maupun yang diperintah


18
Albert Venn Dicey, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Eighth
Edition), Macmillan and Co., Limited, London, hal. 183-184.

19
ibid, hal. 189.

20
Ibid, hal. 199.
17



keduanya tunduk pada hukum.
21
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hukum
berada pada kedudukannya yang tertinggi (supreme) dan tidak ada kekuasaan
negara yang dapat bertindak sewenang-wenang di atas hukum. Pencegahaan
kesewenang-wenangan negara dengan menempatkan kedaulatan hukum salah
satunya ditujukan demi perlindungan kepentingan dan hak-hak asasi manusia
(fundamental human right).
Dalam perkembangannya, terdapat dua tipe negara hukum, yaitu tipe
negara hukum formil dan tipe negara hukum materiil. Negara hukum formil atau
Nachtwachter Staat merupakan bagian dari sejarah perkembangan paham
liberalisme, dimana tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar tidak
dilanggar (menjaga pelanggaran terhadap undang-undang) dan negara tidak boleh
ikut terlibat secara aktif dalam hal urusan kemakmuran rakyat.
22

Keberlangsungan konsep negara hukum formil mengalami pergesaran menjadi
negara hukum materiil sebagai upaya mengurangi ketimpangan sosial (social
injustice), dimana tugas negara tidak hanya berada pada kerangka pelaksanaan
undang-undang, melainkan secara aktif turut serta dalam menyelenggarakan
upaya kesejahteraan umum (Welvaars Staat).
23

Perkembangan paradigma negara hukum pada akhirnya mengarah kepada
konsep negara hukum modern yang demokratis dengan menempatkan negara


21
Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78.

22
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.156. Lihat
pula Yohanes Usfunan, 1986, Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan Ayu
Sarana Cerdas, Denpasar, hal. 18.

23
SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal. 44-45.
18



dalam fungsinya memberikan pelayanan demi kesejahteraan masyarakatnya
(social service state). Lebih lanjut dipaparkan aspek yang harus dipenuhi dalam
negara hukum modern berdasarkan International Commision of Jurist adalah
sebagai berikut :
1. Perlindungan konstitusional (constitutional proctection of human
rights). Lebih lanjut dijabarkan bahwa selain menjamin hak-hak
individual (substansil), konstitusi harus pula menentukan teknis-
prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin;
2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak (an
independent and impartial judiciary);
3. Pemilihan umum yang bebas (fair and free general elections);
4. Kebebasan menyatakan pendapat (recognition of the right to express
an opinion);
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (freedom to
organize, freedom to dissent);
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
24


Berdasarkan keseluruhan pemaparan perihal teori negara hukum tersebut
di atas, pemahaman yang dapat dibentuk adalah bahwa sistem kenegaraan pada
dasarnya harus dibangun dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku, tersusun
dalam peraturan perundang-undangan, dan yang berkeadilan demi kesejahteraan.
Bagi penulis, teori negara hukum dipandang relevan untuk mengkaji rumusan
masalah pertama perihal legitimasi aturan ambang batas formal di dalam prinsip
demokrasi konstitusional. Beberapa domain konsep seperti pemahaman supremasi
hukum, pembatasan kekuasaan melalui trias politica, dan konsep negara hukum
modern yang demokratis dipandang relevan untuk digunakan. Kajian teoritis
ambang batas formal pada akhirnya bermuara pada aspek perlindungan hak-hak
asasi manusia secara konstitusional.


24
Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945
Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Kencana, Jakarta, hal. 29.
19



1.7.2. Teori Demokrasi
Pemahaman klasik perihal demokrasi tidak lepas dari aspek etimologinya
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos (rakyat) dan kratein/kratos
(kekuasaan/berkuasa) yang berarti rakyat yang berkuasa atau government by the
people.
25
Secara sederhana demokrasi dapat diterjemahkan sebagai suatu kondisi
kenegaraan dimana dalam sistem pemerintahannya kekuasaan tertinggi berada
pada kendali rakyat. Demokrasi secara singkat juga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat.
Hakikat demokrasi erat kaitannya dengan ajaran teori kedaulatan rakyat
dimana esensi kekuasaan tertinggi terletak pada keberadaan dan kedudukan
rakyat. Jean Jacques Rousseau memaparkan adanya suatu perjanjian masyarakat
atau kontrak sosial dalam peletakkan kekuasaan suatu negara, dimana keadaan
alami atau primitif dari manusia (seperti hak bagi yang terkuat, perbudakan, homo
homini lupus) merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan keberadaannya.
Oleh karena itu, manusia menyatukan kekuatan bersama yang ada, dimana
kekuasaan yang ada untuk kepentingan bersama tersebut berada di bawah
kehendak umum dalam sebuah pakta sosial dengan menerima setiap anggota
sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
26
Teori klasik dari J.J. Rousseau turut
menjadi cikal bakal dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi modern perihal
tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dimana rakyat dianggap sebagai


25
Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal 105.

26
Jean-Jacques Rousseau, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik
(Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat), Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, hal. 14-16.
20



subyek yang paling mengerti dan memahami bagaimana negara harus bertindak
untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
27

Dalam perkembangannya, teori kedaulatan rakyat sebagai benih
kristalisasi demokrasi berintegrasi dengan teori kedaulatan hukum dalam
membentuk supremasi kekuasaan. Terjadinya konvergensi antara teori
keadaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum merupakan konsekuensi logis
dimana prinsip demokrasi membutuhkan kerangka yuridis agar demokrasi dapat
berjalan dalam kehidupan bernegara dan hukum dapat berdaulat atas nama rakyat
untuk mencapai keadilan.
28
Korelasi yang terbangun adalah bahwa prinsip-prinsip
negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan, sehingga
lebih lanjut dikenal dengan negara hukum demokratis.
29

Koentjoro Poerbopranoto memaparkan bahwa adalah hal yang sulit untuk
menjalankan demokrasi secara langsung dikarenakan adanya faktor-faktor seperti
jumlah penduduk, luas daerah dan kompleksitas susunan masyarakat sehingga
dibutuhkan adanya proses perwakilan dengan salah satu persoalan pokok adalah
bagaimana cara melaksanakan perwakilan itu.
30
Sejalan dengan hal tersebut, John
Stuart Mill menjelaskan tipe ideal dari pemerintahan yang sempurna adalah
perwakilan (that the ideal type of a perfect government must be representative),
meskipun ia berpendapat bahwa pemerintahan yang sepenuhnya dapat memenuhi


27
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco Jakarta,
Bandung, hal. 41.

28
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 41.

29
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 8.

30
Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung,
hal. 33-34.
21



semua tuntutan adalah dimana apabila di dalam pemerintahan tersebut masyarakat
secara keseluruhan dapat berpartisipasi bahkan dalam fungsinya yang terkecil
(that the only government which can fully satisfy all the exigencies of the social
state is one in which the whole people participate; that any participation, even in
the smalles public function, is useful).
31

Proses keterlibatan masyarakat di dalam konsep demokrasi membutuhkan
sistem perwakilan dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan. Lyman Tower
Sargent memaparkan bahwa semua prinsip demokrasi berhubungan satu sama lain
dan timbul dari prinsip demokrasi yang paling mendasar yaitu keterlibatan warga
negara (the principles of democracy all relate to each other and all stem from the
most fundamental democratic principle citizen involvement). Sistem pemilihan
umum menjadi sarana perwujudan yang utama keterlibatan warga negara yang
akhirnya bermuara pada aspek demokrasi perwakilan.
32
Lebih lanjut Lyman
Tower Sargent memaparkan bahwa dewasa ini sistem pemilu menjadi jalan utama
untuk pengekspresian keterlibatan warga negara, dan sistem perwakilan
merupakan tujuan dan hasil dari sistem pemilu (today the electoral system is the
major avenue for the expression of citizen involvement, and of course, the system
of representation is the purpose and result of the electoral system).
33




31
John Stuart Mill, 1862, Consideration on Representative Government, Harper & Brothers
Publisher, New York, hal. 80.

32
Lyman Tower Sargent, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition), The
Dorsey Press, Chicago, hal.54.

33
ibid.
22



Demokrasi perwakilan yang diwujudkan melalui pemilihan umum
menempatkan pemahaman adanya pemberian legitimasi pada sejumlah
perwakilan yang representatif guna dapat mengambil kebijakan hukum atas nama
masyarakat secara umum. Robert A. Dahl memaparkan bahwa dominasi elit
dalam demokrasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari disebabkan
ketidaksamaan politik, seperti sumber-sumber daya politik atau pengaruh
terhadap kebijakan dan tingkah laku pemerintah negara, itu terdapat dalam
tingkatan yang penting di semua masyarakat.
34
Dahl menterjemahkan sebagai
demokrasi poliarki dengan prinsip egalitarianisme dimana negara dengan skala
besar diatur oleh banyak pejabat berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk
membuat kebijakan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan
berkala.
35
Perkembangan demokrasi perwakilan mengaktualisasi kedaulatan
seluruh masyarakat (umum) diserahkan kepada sejumlah elit yang dipilih melalui
mekanisme pemilihan sebagai suatu kompetisi.
Keseluruhan uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa kedaulatan rakyat
dan kedaulatan hukum, pemilihan umum, serta perwakilan repesentatif menjadi
unsur-unsur integral dalam teori demokrasi. Bagi penulis, teori demokrasi
dipandang relevan untuk mengkaji dasar keberlakuan ambang batas formal. Teori
demokrasi digunakan sebagai dasar untuk menganalisis nilai-nilai demokrasi yang
terkandung dalam pengaturan ambang batas formal Indonesia. Selain itu, dalam


34
Robert A. Dahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A. Rahman
Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 99.

35
Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi
Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 118-
127. Lihat pula SP. Varma, 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta, hal. 214-215.
23



hal teori demokrasi perwakilan juga dianggap relevan digunakan untuk
menganalisis indikator penentuan ambang batas formal perihal tingkat
representatif dari lembaga perwakilan yang dibentuk pasca pengaturan ambang
batas formal.

1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative
legal research) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji hukum tertulis dari
berbagai aspek, seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan
komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi
pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa
hukum yang digunakan.
36
Penelitian hukum normatif pada umumnya mencakup :
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
2. Penelitian terhadap sistematik hukum;
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;
4. Perbandingan hukum;
5. Sejarah hukum.
37

Adapun penelitian hukum normatif pada penelitian ini menitikberatkan
pada isu konflik norma sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang
masalah, yaitu adanya ketidaksinkronan antara substansi ambang batas formal


36
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 101.

37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
24



dengan peraturan perundangan-undangan lain yang sederajat, disharmonisasi
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi sebagai
dasar pernormaan, serta konsideran UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi landasan
validitas.

1.8.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
analisis dan konseptual hukum (analitical & conceptual approach), pendekatan
sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)
dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Adapun masing-masing
pendekatan menenkankan pada fokus kajian yang berbeda yakni sebagai berikut :
1. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai
peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini,
pendekatan perundang-undangan beranjak pada peraturan perundang-
undangan yang memiliki korelasi dan koherensi perihal pemilihan umum
khususnya yang memuat pengaturan ambang batas formal, serta materi
terkait lainnya yang menjadi bagian kajian penelitian ini.
2. Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan menelaah
teori-teori hukum maupun pandangan dari para sarjana, yang kemudian
dianalisis relevansinya terkait dengan permasalahan pengaturan ambang
batas formal.
25



3. Pendekatan sejarah dilakukan dengan menilik dari sejarah penormaan
hukum penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilihan umum sebelum
maupun sesudah diberlakukannya pengaturan ambang batas formal.
4. Pendekatan perbandingan merupakan elaborasi dari pendekatan
perundangan-undangan dengan memperbandingkan dengan undang-
undang yang berlaku di berbagai negara, khususnya yang mengatur
ambang batas formal.
5. Pendekatan filsafat beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis
Pancasila dan UUD 1945, serta rasio hukum dari ketentuan-ketentuan
tertentu dalam UUD 1945, khususnya tentang Demokrasi, Pemilihan
Umum, dan Hak Asasi Manusia.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan untuk memecahkan masalah sebagaimana
yang telah dirumuskan dalam penelitian hukum ini adalah bersumber dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer (primary law material) terdiri dari peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang
digunakan terkait dengan lingkup permasalahan adalah sebagai berikut :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya;
3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum;
4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

26



5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights;
7) Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
8) Undang Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden;
9) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD;
10) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
11) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
12) Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959
tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas
Pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
14) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas
Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Bahan hukum sekunder (secondary law material) yang digunakan dalam
penelitian hukum umumnya adalah seperti buku-buku teks ilmu hukum dan jurnal
ilmiah terpublikasi. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian hukum normatif ini antara lain berupa : buku-buku, maupun literatur-
literatur, termasuk literatur asing yang memuat teori-teori hukum, asas-asas, dan
konsep hukum yang dipandang relevan dengan permasalahan yang diteliti untuk
dikutip dan menjadi landasan pembenaran dalam menjawab permasalahan.

27



Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdapat pula
bahan hukum tertier (tertiary law material) untuk menunjang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Adapun bahan hukum tertier
yang digunakan sebagai penunjang adalah kamus hukum, kamus besar bahasa
Indonesia, kamus bahasa inggris, ensiklopedia, serta situs internet sebagai media
online yang memuat berita terkait dengan permasalahan yang diteliti.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum ini, bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan
menggunakan teknik studi pustaka atau library research. Penelitian ini dilakukan
dengan memeriksa pustaka atau literatur hukum yang memiliki relevansi dengan
materi kajian dan telah terpublikasi, seperti peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, buku-buku ilmu hukum. Adapun literatur-literatur hukum
yang dimaksud kemudian digunakan dalam hal menginventaris pandangan
maupun doktrin hukum dari para sarjana hukum untuk dikritisi ataupun sebagai
dasar pembenar dalam bahasan penelitian.
Gorys Keraf memaparkan bahwa terdapat tiga golongan bahan bacaan
dalam penelitian kepustakaan, yaitu sebagai berikut :
1. buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum
mengenai persoalan yang akan digarap. Tidak perlu dibuat catatan-
catatan dari buku-buku semacam ini
2. buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat, karena
bahan-bahan yang diperlukan untuk karya tulis terdapat di situ, Dari
bahan-bahan semacam inilah pengarang harus membuat kutipan-
kutipan yang diperlukan.
28



3. bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk mengisi
yang masih kurang untuk melengkapi karya tulis itu.
38


1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik
penafsiran atau interpretasi dan teknik argumentasi. Von Savigny sebagaimana
dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa interpretasi
merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam
undang-undang.
39
Kegiatan interpretasi merupakan suatu upaya menemukan
kebenaran yang utuh atas suatu pemikiran yang telah ada dengan berpijak pada
satu bentuk perspektif dan memecahkan masalah yang belum terselesaikan.
Pemahaman hukum secara teoritik terkait dengan permasalahan, dianalisis
dengan interpretasi yang memiliki karakter hermeneutik hukum. Hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan atau
menginterpretasikan.
40
Metode penafsiran dalam lingkaran hermeneutik
berlangsung dalam hubungan bolak balik antara bagian dan keseluruhan, antara
teks, konteks, dan kontekstualisasi, dalam rangka membentuk suatu pemahaman
yang utuh atas suatu permasalahan.
41
Jimly Asshidiqie kemudian menyebutkan
bahwa aspek yang menjadi pedoman dalam melakukan interpretasi hermeneutika
hukum adalah keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.
42



38
Gorys Keraf, 1994, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa,, Penerbit Nusa
Indah, Flores, hal. 166.

39
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 106.

40
I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk Apa Ilmu
Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita, Surabaya, hal. 175.

41
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.247. Lihat pula dalam I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, op.cit, hal. 178.

42
ibid, hal. 247.
29



Teknik interpretasi dapat digolongkan seperti penafsiran gramatikal,
historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Adapun bahan bahan
hukum yang telah diolah melalui teknik interpretasi, akan dielaborasikan dengan
teknik argumentasi. Teknik argumentasi merupakan teknik penilaian yang
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Penilaian yang
dimaksud berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,
sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap bahan-bahan hukum.
43


43
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal 61.
30

BAB II
DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM

2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional
Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk
perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai
pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote,
one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara
kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang
ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip-prinsip umum yang
mencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan
konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan
cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak
seluruh warga negaranya.
44

Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional
(constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan
kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang
ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan
bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara
kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu


44
Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 184-185. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa demokrasi yang lebih mencerminkan kehendak mayoritas terkadang bertentangan dengan
prinsip kedaulatan rakyat menurut UUD. UUD mempertegas keberadaan Pasal 1 ayat (3) dimana
negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga demokrasi menjadi dibatasi oleh hukum dengan
puncaknya pada UUD 1945 untuk mengatasi kelemahan dalam demokrasi tersebut.
31



dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam
pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society).
45

Demokrasi konstitusional pada hakikatnya sangat diperlukan bila dibandingkan
dengan rezim totaliter atau otoriter yang telah tergantikan keberadaan pada paruh
kedua Abad Keduapuluh (constitutional democracy is virtually indispensable
when contrasted with the totalitarian or authoritarian regimes that it replaced in
the second half of the twentieth century).
46

Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede
Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi
konstitusional sebagai berikut :
1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga negara
dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis
2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah
3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana, dan
menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah
4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama
kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan
berkumpul.
47


Undang-undang dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas, yang anggotanya
dipilih dengan cara-cara yang demokratis, dengan tujuan agar masyarakat dapat
turut serta mengontrol jalannya fungsi negara dan menghindarkan terjadinya
praktek penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau kesewenang-


45
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 58.

46
Michel Rosenfeld, 2001, The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional
Democracy, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of
Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://www-
bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18 Maret 2013, hal. 1310.

47
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian
Kenegaraan), Setara Press, Malang, hal. 92-93.
32



wenangan (wilikeur). Jaminan akan hal tersebut dapat terwujud apabila setiap
lembaga peradilan, terlebih pada lembaga peradilan yang berwenang untuk
mengontrol setiap keputusan dan produk hukum yang dibuat oleh negara, dapat
berfungsi secara bebas dan mandiri.
Sementara konsepsi demokrasi konstitusional dari Adnan Buyung
Nasution yang dibangun dari pemikiran Herbert Feith ditandai dengan adanya
enam ciri, yaitu :
1. warga sipil memainkan peranan dominan;
2. partai politik memegang peranan yang sangat penting;
3. para pesaing politik menuju kekuasaan memperlihatkan rasa hormat
kepada rules of game, yang berhubungan rapat dengan konstitusi
yang berlaku;
4. kebanyakan anggota elite politik sedikit-banyak mempunyai rasa
komitmen terhadap lambang yang bertalian dengan demokrasi
konstitusional;
5. kebebasan sipil jarang dilanggar;
6. pemerintah jarang menggunakan paksaan (coercion).
48


Lebih lanjut Adnan Buyung Nasution memaparkan dua ciri yang menjadi prinsip
umum di dalam suatu negara konstitusional (constitutional state) adalah adanya
pengakuan dan jaminan hak-hak warga negara, serta pembatasan dan pengaturan
kekuasaan negara secara hukum.
49
Adapun kedua unsur tersebut mengarahkan
konsep negara konstitusional yang dimaksud kepada konsep negara konstitusional
yang demokratis.


48
Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional,
Kompas, Jakarta, hal. 70-71. Dijelaskan bahwa Herbert Feith merumuskan enam ciri tersebut
sebagai tanda masa tumbuhnya sistem demokrasi konstitusional pada dunia perpolitikan di
Indonesia.

49
Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta,
hal. 35.
33



Demokrasi konstitusional terwujud salah satunya dari adanya
perlindungan hak asasi secara individual dan kebebasan (liberty) sehingga konsep
ini sering dipersepsikan dengan prinsip demokrasi liberal.
50
Pentingnya
perlindungan hak asasi manusia dalam konsepsi demokrasi konstitusional
merupakan wujud konsekuensi dari tipologi negara hukum modern yang
melindungi kepentingan dasar warga negaranya. Hak asasi manusia adalah hak
yang bersifat mendasar (grounded) dan berhubungan erat dengan jati diri manusia
secara universal.
51
Hak asasi dimiliki oleh warga negara secara dasariah dan yang
patut dilaksanakan pemerintah secara konstitusional.
52
Hukum memberikan
jaminan perlindungan hak asasi, dalam arti hak hukum (legal right), kepada
seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum yang secara sah tercantum
dalam hukum yang berlaku.
53
Pengaturan hak-hak asasi secara konstitusional
ditujukan dalam rangka formalisasi hak-hak tersebut yang mengatur bagaimana
tentang perlindungan hak, termasuk pembatasan hak-hak tersebut secara hukum.
Pembatasan kekuasaan negara melalui supremasi hukum sebagaimana
yang menjadi unsur demokrasi konstitusional merupakan konkretisasi dari prinsip
konstitusionalisme. Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich
sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalahan institutionalized system of
effective, regularized restraints upon governmental action. Persoalan yang
diangap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai


50
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu ..., op.cit, hal. 92.

51
Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 47.

52
Ramly Hutabarat, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25.

53
Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 48-49.
34



pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham
konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu
membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam
hal ini melalui konstitusi.
54
Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua
pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut
dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power), dan
adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.
55
Perihal cara
yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham
konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan,
dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias
Politica), yaitu:
a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);
b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);
c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang).
56

Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat, bahwa
terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme, yaitu :
a. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara;
b. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan
pemerintahan;
c. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan tersebut.
57



54
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara..., op.cit, hal.93

55
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang, hal. 18-19.

56
Ismail Sunny, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hal. 2.
35



Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi
konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam
penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara
konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional, yaitu :
1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek
pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum, serta perihal pembatasan
kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat
menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan
dan check and balances).
2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara
demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat, serta perwujudan
dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi.
3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi dan
nomokrasi guna menegakkan supremasi konstritusi melalui pengujian
konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan.
58

Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi
konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka
pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila
kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak
secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib
dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka


57
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, op.cit. hal. 19.

58
Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional..., op.cit, hal. 13-14.
36



memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap hak-
haknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana
hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang-undang dasar
merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang
demokratis.

2.2. Sistem Pemilihan Umum
2.2.1. Definisi Sistem Hukum
Secara etimologis, sistem berasal dari Bahasa Inggris yaitu system yang
berarti sistem, susunan, jaringan, dan cara.
59
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan sistem sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas ; susunan yang teratur dari
pandangan, teori, asas.
60
Sistem sebagai suatu kesatuan terbentuk dari beberapa
unsur atau elemen dimana antara satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan
secara fungsional, berpola, konsisten, dan diterapkan pada hal yang bersifat
immaterial maupun material.
61
Sistem menandakan adanya suatu kombinasi
teratur di antara bagian dan keseluruhan dengan diiringi adanya hubungan dan
koneksi sehingga menyebabkan dapat berfungsi.



59
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English
Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta, hal. 575.

60
Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
(Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1320.

61
Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar), Penerbit
Sinar Baru, Bandung, hal. 7.
37



Kamus Blacks Law memberikan definisi system sebagai orderly
combination or arrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole;
especially such combination according to some rational principle; any methodic
arrangement of parts.
62
Terminologi sistem yang dipadankan dengan hukum
memberikan konsekuensi terhadap definisi dari hukum itu sendiri. Ludwig von
Bertalanffy mendefinisikan sistem di dalam hukum sebagai ...complexes of
elements in interaction, to which certain law can be applied (sistem adalah
himpunan unsur atau elemen yang saling mempengaruhi, dimana hukum tertentu
menjadi berlaku).
63
Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa sistem hukum
merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi, terstruktur, yang terdiri dari unsur-
unsur atau bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan
mengadakan kerja sama untuk kepentingan tujuan kesatuan.
64
Keseluruhan
definisi tersebut menyiratkan bahwa konsekuensi logis yang terbentuk dalam
sistem hukum menempatkan tiga aspek yang menjadi cirinya, yakni adanya unsur
hukum, interaksi hukum, dan tujuan hukum.
Bruggink yang mengutip teori dari Kees Schuit menggolongkan unsur-
unsur yang mewujudkan suatu sistem hukum menjadi tiga, yaitu unsur idiil
(aturan-aturan, kaidah-kaidah, asas-asas), unsur operasional (organisasi atau
lembaga yang didirikan termasuk pejabat), dan unsur aktual (putusan-putusan dan


62
Henry Campbell Black, 1968, Blacks Law Dictionary - Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern (Revised Fourth Edition),
West Publishing Co, St. Paul Minn, hal. 1621.

63
Bachsan Mustafa, 2001 Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 10.

64
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hal. 51.
38



perbuatan perbuatan konkret, baik dari para pejabat maupun masyarakat).
65

Hukum di dalam suatu sistem menjadi sarat akan nilai karena tidak hanya berpijak
dari aspek normatifnya semata, namun juga melekat unsur-unsur non-yuridis yang
memberikan pengaruh keberlakuan hukum secara utuh. Unsur-unsur hukum
tersebut saling terikat secara integral sehingga menyebabkan hukum dapat berlaku
dan berfungsi.
Secara teoritik, sistem hukum atau legal system berkaitan pula dengan
doktrin konsep hukum (the concept of law) dari H.L.A. Hart. Hart menempatkan
kedudukan primary rules dan secondary rules dimana kesatuannya merupakan
pusat dari sistem hukum walaupun bukan secara keseluruhan (the union of
primary and secondary rules is at the centre of a legal system; but it is not the
whole).
66
Primary rules berada pada aspek kewajiban-kewajiban dan hak-hak
seluruh warga negara, sementara perihal secondary rules diperinci dalam tiga
aspek, yakni aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dianggap sah
(rules of recognition), bagaimana dan oleh siapa aturan tersebut dapat diubah
(rules of change), serta bagaimana dan oleh siapa aturan tersebut dapat memaksa
dan penegakan dalam hal terjadi konflik (rules of adjudication).
67



65
JJ.H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian Pengertian Dasar dalam
Teori Hukum) terjemahan B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 140.

66
H.L.A. Hart, 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford, hal 96.

67
B. Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, hal. 42. Lihat pula Otje Salman dan Anthon F.
Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika
Aditama, Bandung, hal. 91
39



Penjabaran perihal sistem hukum berkorelasi dengan doktrin legal system
dari Lawrence M. Friedman, dimana hukum agar dapat berjalan dengan efektif di
dalam sebuah sistem (Legal System) dapat dilihat dari 3 (tiga) unsur yaitu :
1. Legal Substance, merupakan aturan substantif dan aturan tentang
bagaimana lembaga-lembaga harus bersikap (the substance is composed of
substantive rules and rules about how institutions should behave).
Friedman mengaitkan unsur legal substance dengan pendapat dari Hart
perihal primary rules dan secondary rules.
2. Legal Structure : merupakan kelembagaan institusional yang berbentuk
permanen yang menjaga proses berjalannya sistem hukum (the structure of
system is its skeletal framework, it is permanent shape, the institutional
body of system, the tough, rigid, bones, that keep the process flowing
within bounds)
3. Legal Culture : merupakan elemen nilai dan perilaku sosial (element of
social attitude and value).
68

Penggolongan sistem hukum secara umum dapat dibedakan pada dua
karakteristik utama yaitu sistem common law dan civil law.
69
Perihal kedua sistem
hukum tersebut Peter Mahmud Marzuki memaparkan bahwasistem common law


68
Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System (A Social Science Perspective), Russel
Sage Foundation, New York, hal. 14-15.

69
Lihat dalam The Common Law and Civil Law Traditions, The Robbins Collection, School
of Law (Boalt Hall), University of California, Berkeley, diakses dari
http://www.law.berkeley.edu/library/robbins/pdf/CommonLawCivilLawTraditions.pdf pada
tanggal 30 April 2013, hal. 1. Terminologi lain memaparkan bahwa civil law dan common law
bukan menggunakan istilah sistem hukum (legal system), melainkan tradisi hukum (legal
traditions) yang salah satunya diikuti oleh sebagian besar negara dewasa ini. Dalam hal ini penulis
menggunakan istilah sistem hukum didasarkan dari 3 unsur yang dipaparkan oleh Lawrence M.
Friedman yang melihat baik civil law system maupun common law system dari dari aspek
substansi, struktur, dan budaya hukum.
40



sebagai sistem yang dikembangkan oleh Inggris dan bekas koloninya, sementara
sistem civil law diikuti oleh negara-negara Eropa dan bekas koloni mereka
(common law system is shared by Great Britain and its former colonies; which
civil law system is followed by European countries and their former colonies).
Sistem common law sering disebut sebagai Sistem Anglo Saxon, dan di sisi lain
sistem civil law juga disebut Sistem Eropa Kontinental.
70

Sistem Eropa Kontinental dari aspek substansi hukum menekankan pada
aturan-aturan hukum yang tertuang dalam perundang-undangan. Hal ini
disebabkan karena budaya hukum yang terbangun dalam negara eropa adalah
menganut hukum secara tertulis atau kodifikasi, sehingga perundangan-undangan
menjadi penting sebagai media dalam mewujudkan legalitas hukum secara formal.
Adapun secara historis kodifikasi hukum tertulis Romawi memberikan pengaruh
dalam karakter legal formal Sistem Eropa Kontinental, dimana Corpus Iuris
Civilis dapat diklasifikasikan menjadi 4 buku sebagai berikut :
1. Code, sebagai kompilasi keputusan dari Kekaisaran Romawi yang
dikeluarkan sebelum masa Yustinianus dan masih diberlakukan dengan
mengatur secara sistematis sesuai dengan subyek / materi.
2. Novellae atau Novels, merupakan kompilasi keputusan kekaisaran baru
yang dikeluarkan oleh Yustinianus sendiri.
3. Institues, adalah teks penjelasan yang disediakan sebagai pengantar dari
digest yang didasarkan pada tulisan ahli hukum Gaius dengan judul
yang sama.


70
Peter Mahmud Marzuki, 2011, An Introduction to Indonesia Law Setara Press, Malang,
hal.26.
41



4. Digest atau pandects, adalah fragmen dari teks klasik hukum Romawi.
71

Keberadaan hukum yang dikodifikasikan dalam sistem hukum eropa kontinental
akhirnya menjadikan keberadaan perancang undang-undang (legislative drafter)
secara struktur memiliki peranan yang esensial perihal pembentukan aturan
hukum tertulis.
Perbedaan yang mengemuka antara Sistem Anglo Saxon dengan Sistem
Eropa Kontinental adalah secara figur hukum dimana Sistem Anglo Saxon lebih
merujuk pada keberadaam putusan hakim/jurisprudensi. Hal ini dikarenakan
budaya hukum yang dibangun dalam negara Anglo Saxon adalah hukum tidak
tertulis (unwritten law) dan penyelesaian perkara yang beranjak pada aspek case
law study. Secara struktur hukum, peranan hakim menjadi sangat besar dalam
Sistem Anglo Saxon, dikarenakan hukum yang dibuat adalah berdasarkan oleh
putusan hakim (judge-made-law).

2.2.2. Pemilihan Umum
Pemilihan umum merupakan salah satu media perwujudan demokrasi yang
diselenggarakan dengan tujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan
pemerintahan secara aman dan tertib, melaksanakan kedaulatan rakyat, serta
dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.
72
Sinergi antara
pemilihan umum dan ilmu hukum menimbulkan konsekuensi karakteristik sui
generis dari ilmu hukum yang melekat pada penyelenggaraan pemilihan umum.


71
Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Press,
Jakarta, hal. 57.

72
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hal. 330.
42



Pemilihan umum yang terikat di dalam kerangka hukum memberikan nilai
normatif di dalam prosesnya tersebut guna menjamin penegakan setiap aturannya
dan merealisasikan tujuan sebagaimana yang dimaksud.
Pemahaman pemilihan umum di dalam kerangka ilmu hukum adalah
dengan melihat kedudukan pemilihan umum dalam sifatnya yang merupakan
bagian dari ranah hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang isinya
mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau
hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).
73
Hans Kelsen
menjelaskan bahwa di dalam pembentukan hukum publik, sistem hukum
memberikan otoritas kepada warga negara yang memiliki kualifikasi sebagai
organ dari negara untuk membuat dan memaksakan hukum yang mengatur
kewajiban warga negara (the legal system empowers those human beings who are
qualified as organs of the state to impose obligation on citizens).
74
Hukum
pemilihan umum diatur secara formil dan materiil guna melindungi kepentingan
umum, dalam hal ini hubungan hukum antara warga negara dengan negara yang
menguasai tertib hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Kamus Black Law mendefinisikan pemilihan umum atau general election
dalam definisi perspektif hukum sebagai berikut :
One at which the officers to be elected are such as belong to the
general government,that is, the general and central political
organization of the whole state; as distinguished from an election of
officers for a particular locality only. Also, one held for the


73
CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hal. 75.

74
Hans Kelsen, 2002, Introduction to the Problems of Legal Theory (A Translation of the
First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law - translated by Bonnie Litschewski
Paulson and Stanley L. Paulson), Clarendon Press, Oxford, hal. 93.
43



selection of an officer after the expiration of the full term of the
former officer; thus distinguished from a special election, which is
one held to supply a vacancy in office occurring before the
expiration of the full term for which the incumbent was elected.
75


Dari segi struktur, definisi tersebut menjelaskan bagaimana adanya pemilihan
guna memilih pejabat yang tergolong sebagai pemerintah publik. Pemilihan
pejabat tersebut digolongkan menjadi dua, yaitu untuk pengisian pejabat pada
lembaga politik pusat negara (dalam arti pemerintah pusat) dan untuk pemilihan
pejabat di wilayah tertentu (dalam arti pejabat pemerintah daerah). Adapun
pemilihan umum tersebut dapat digolongkan lagi tujuannya untuk menggantikan
pejabat yang telah berakhir masa jabatan politiknya secara penuh maupun yang
sebelum berakhirnya masa jabatannya.
Pemilihan umum di dalam kerangka yuridis ilmu hukum menempatkan
kedudukan segenap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat
yang memilki otoritas dan mengatur perihal substansi pemilihan umum sebagai
sumber-sumber hukum dalam pemilihan umum tersebut, baik dari konstitusi,
perundang-undangan, putusan pengadilan, dan lain sebagainya. Dengan
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas-asas yang
menjadi dasar dalam pelaksanaan pemilihan umum dapat ditelusuri. Adapun yang
menjadi asas-asas umum pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilihan umum
sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2012 adalah sebagai berikut :
a. Langsung; adalah rakyat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya, tanpa perantara.


75
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 609.
44



b. Umum; mengandung makna adanya jaminan kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan
status sosial.
c. Bebas; setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam
melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh
negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani.
d. Rahasia; dalam memberikan suaranya, Pemilih dijamin bahwa pilihannya
tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya
pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam
penyelenggaraan Pemilu ini, penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah,
e. Adil; peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, Pemilih, serta
semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap Pemilih dan Peserta
Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
mana pun.

2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan umum bekerja di dalam suatu sistem yang terintegrasi layaknya
suatu proses. Pemilu sebagai mekanisme guna menjabarkan demokrasi secara
konkret memiliki banyak ragam metode dalam penyelenggaraannya. Terdapat
45



banyak versi jenis sistem pemilihan umum yang dapat ditelusuri dalam kajian
hukum dan politik dengan sistemisasi karakteristik masing-masing
C.F. Strong membagi sistem pemilihan lembaga perwakilan ke dalam dua
jenis, yakni daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member constituency) dan
daerah pemilihan berwakil jamak (multi-member constituency). Strong
mengkonjugasikan single-member constituency pada dua aspek yakni perihal
teritori dan konstituen. Strong berpendapat bahwa pada umumnya susunan daerah
pemilihan secara normal merupakan hasil dari pembagian teritori-teritori dimana
masing-masing diwakili oleh satu anggota (division of a country into a number of
electoral areas, urban, rural, each returning a single member). Namun
pembagian teritorial tersebut hanya kemudahan sesaat karena adanya flutuktuasi
dan variasi populasi, dan adalah hal yang sulit untuk mengimbanginya, sementara
distribusi kursi secara tetap adalah dibutuhkan (constant redistributing of seats
was necessary). Sehingga hal ini menyebabkan sistem yang diawal hanya sebatas
pembagian teritorial (system of territorial division), dimana sistem ini
diidentikkan sebagai sistem distrik, berubah menjadi sistem dengan daerah
pemilihan berwakil tunggal (single-member constituencies) dengan fokus utama
pada jumlah keterwakilan.
76

Sistem daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member constituency)
memiliki karakteristik pembagian geografi politik negara ke dalam beberapa
wilayah atau distrik, dimana nantinya hanya ada satu wakil yang dapat terpilih
dari setiap wilayahnya. Meskipun banyak tersebar suara-suara pemilihan dari para


76
C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions (An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing Form), Sidgwick & Jackson Limited, London, hal. 171-172.
46



pemilih dan banyak calon atau partai politik yang memiliki kemungkinan
mendapatkan suara, namun hanya akan terdapat satu calon atau partai yang
memenanganinya secara keseluruhan (winner takes all).
77
Esensi dari sistem
daerah pemilihan berwakil tunggal menempatkan hanya calon tunggal yang
memenangkan kursi dalam pemilihan umum. Berapapun suara yang masuk pada
suatu calon, selama ia memiliki suara tertinggi di antara calon yang lain walaupun
dengan selisih suara yang tidak besar, maka ia akan menjadi satu-satunya wakil
yang terpilih dikarenakan tiap-tiap distrik atau daerah pemilihan yang hanya
mencari satu orang perwakilan.
Sistem daerah pemilihan berwakil tunggal menyebabkan suara-suara yang
ditujukan kepada calon-calon lain dalam daerah pemilihan dianggap hilang dan
tidak diperhitungkan lagi.
78
Adapun CF Strong berpendapat bahwa sistem single
member constituency yang umum diterapkan di Amerika dan Britania Raya ini
menimbulkan adanya ketidakadilan dan bagaimana mereka mengatasinya hanya
sebatas pertanyaan yang semu (all the parties in both countries are alive to the
injustices of this system, but how they are to be overcome is a moot question).
79

Sistem pemilihan umum dengan tipologi single member constituency dianggap
tidak representatif karena tidak memperhitungkan bagaimana keseimbangan
diantara suara yang masuk dengan konversi jumlah kursi di antara partai-partai,
terutama bagi partai minoritas yang merasa berada pada lingkaran ketidakadilan
tersebut.


77
Carlton Clymer Rodee et.al, 2011, Pengantar Ilmu Politik (Terjemahan Zulkifly Hamid),
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 220.

78
Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 177.

79
C.F. Strong, op.cit, hal. 174.
47



Kemudian mengenai sistem daerah pemilihan berwakiljamak (multi-
member constituency), Strong mengidentikan sistem ini sebagai sistem perwakilan
proportional (proportional representation) yang keberadaannya banyak
diterapkan oleh negara dengan sistem politik, baik yang ada sekarang maupun
yang dibuat sebagai bagian integral dari konstitusi yang baru.
80
Di dalam sistem
perwakilan proporsional, kursi legislatif dimenangkan atas dasar persentase suara
yang diberikan untuk partai (the seats in the legislature are won on the basis of
the percentage of the votes cast for a party). Jadi apabila di dalam lembaga
legislatif terdapat 100 kursi seperti pada Senat Amerika Serikat, jika partai kecil
mendapat 10 persen suara maka ia akan mendapatkan 10 kursi, sedangkan
biasanya pada sistem daerah pemilihan berwakil tunggal akan hampir pasti tidak
mendapatkan kursi (whereas in the usual winner take all system it would
almost certainly get no seats).
81
Sistem ini dianggap lebih representatif dan
memperhatikan keberadaan minoritas karena peluang mereka untuk terpilih dan
mendapatkan kursi lebih terbuka.
Seiring dengan perkembangan, kompleksitas sistem pemilihan umum
melahirkan banyak varian-varian sesuai dengan metode perhitungan suara
maupun kursi yang digunakan. Pippa Noris mengklasifikasikan empat tipe umum
formula dalam pemilihan umum perihal bagaimana suara pemilih dihitung dan
mengalokasikan kursi, yaitu sebagai berikut :
a. Perhitungan mayoritas (majoritarian formulas), dengan digolongkan
menjadi pluralitas, second ballot, dan sistem alternative vote.


80
ibid.

81
Lyman Tower Sargent, op.cit, hal. 52.
48



b. Sistem semi-proporsional (semi-proportional systems), seperti single
transferable vote, cumulative vote, dan limited vote).
c. Perwakilan proporsional (proportional representation), yang dibedakan
menjadi dua yakni daftar terbuka (open party list) dan daftar tertutup
(closed party list) dengan menggunakan teknik sisa suara terbesar (largest
remainders) dan teknik perhitungan rata-rata tertinggi (highest averages
formula).
d. Sistem campuran (mixed systems), seperti sistem penambahan anggota (the
additional member system) yang menggabungkan unsur mayoritas dan
proporsional.
82

Andrew Reynolds menggolongkan keluarga sistem pemilihan umum (The
Electoral System Families) menjadi empat kategori, yaitu :
1. Sistem Pluralitas/Mayoritas (Plurality/Majority System)
2. Sistem Perwakilan Proporsional (Proportional Representation System).
3. Sistem Campuran (Mixed System)
4. Sistem Lainnya (Other System).
83

Andrew Reynolds menjabarkan Sistem Pluralitas/Mayoritas ke dalam 5
klasifikasi yakni First Past The Post, Two Round System (Majority Run-off /
Double Ballot / Second Ballot), Alternative Vote dengan menambahkan Block


82
Pippa Norris, 1997, Choosing Electoral Systems : Proportional, Majoritatian and Mixed
System, dalam International Political Science Review Vol 18 (3) July 1997, Sage Publications.
Ltd, London, diakses dari
http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Choosing%20Electoral%20Systems.pdf, tanggal
31 Mei 2013, hal 2.

83
Andrews Reynlods et al, 2005, Electoral System Design : The New International IDEA
Handbook, International IDEA, Stockholm, hal. 28.
49



Vote dan Party Block Vote. Adapun karakteristik yang melekat dari masing-
masing sistem tersebut adalah sebagai berikut :
1. First Past The Post (FPTP) : merupakan sistem paling sederhana dalam
klasifikasi ini yang mencari satu calon terpilih diantara para kandidat yang
mendapat suara terbanyak pada daerah pemilihan tersebut (plurality
single-member district) walaupun kurang dari 50%+1 dikarenakan tidak
membutuhkan perolehan suara mayoritas absolut.
2. Block Vote (BV) : merupakan perkembangan dari sistem plurality/majority
yang tidak lagi hanya memilih satu calon, melainkan sekaligus memilih
beberapa anggota perwakilan sebanyak jumlah kursi yang diperebutkan
dalam distrik tersebut (plurality multi-member district).
3. Party Block Vote (PBV) : adalah variasi dari sistem BV dengan perbedaan
terletak bukan pada pemilihan calon secara individual, melainkan memilih
partai dan partai yang meraih suara terbanyak akan memenangkan semua
suara dan kursi di distrik tersebut.
4. Two Round System (TRS) : sistem ini merupakan bentuk dari sistem
mayoritas dimana pemilih hanya memilih satu calon dan setiap distrik
hanya menempatkan satu perwakilan dengan perolehan suara mayoritas
absolut.
84
Faktor perolehan suara absolut menyebabkan kemungkinan
pemilu yang tidak dapat diselenggarakan dalam satu putaran dalam rangka


84
Lihat dalam Toni Andrianus et.al, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik (Dari Sistem Politik
Sampai Korupsi), Nuansa, Bandung, hal. 322 dijelaskan bahwa sistem pemilu mayoritas
menentukan bahwa setiap calon dari setiap distrik harus memenangkan jumlah tertinggi dari suara
sah atau dalam beberapa varian adalah mayoritas dari suara yang sah dalam distrik tersebut (dalam
arti absolut / 50%+1),.
50



mencari calon yang akan mewakili tiap distrik dengan suara mayoritas.
Pemilu putaran kedua dilakukan apabila pada putaran pertama tidak ada
kandidat yang mendapat suara mayoritas.
5. Alternative Vote (AV) : varian sistem ini dilakukan untuk memilih satu
wakil dengan cara merangking calon anggota perwakailan sesuai dengan
pilihan pemilih, dan calon terpilih adalah yang mendapatkan suara
mayoritas absolut (50%+1). Apabila tidak terdapat kandidat yang
memperoleh suara mayoritas absolut maka preferensi pertama dieliminasi
dari daftar dan kartu suara akan dilihat lagi pada preferensi kedua
85

Perihal jenis sistem yang kedua yaitu sistem perwakilan proporsional
(proportional representation system), secara umum terbagi menjadi dua yakni, list
proportional representation (List PR) dan single transferable vote (STV). List
proportional representation merupakan sistem yang diterapkan pada daerah
pemilihan berwakil jamak, dimana masing-masing partai menyediakan daftar (list)
calon anggota perwakilan untuk dipilih oleh pemilih dan partai meraih kursi
seimbang dengan berbagi sisa suara secara keseluruhan.
86
Pemenang dari kandidat
dipilih berdasarkan daftar yang disediakan dalam sistem List PR yang
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :
1. daftar tertutup (close list), dimana pemilih hanya dapat memilih
partai saja;
2. daftar terbuka (open list), dimana pemilih dapat memilih partai
sekaligus satu atau bahkan lebih calon anggota pada partai yang
sama;


85
Andrews Reynlods et al, loc.cit. Lihat pula Sigit Pamungkas, op.cit, hal 27-29.

86
ibid, hal. 60
51



3. daftar bebas (free list), dimana pemilih dapat memilih partai
sekaligus satu atau bahkan lebih calon anggota apakah ia berasal
dari partai tersebut atau tidak.
87


Kemudian pada sistem single transferable vote (STV) dilakukan dengan
cara merangking kandidat berdasarkan urutan pilihan (pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya), disertai dengan adanya redistribusi suara antar calon dengan tujuan
untuk perimbangan suara. Calon yang telah melampaui kuota sebagaimana yang
ditentukan maka akan dinyatakan sebagai calon terpilih. Terhadap calon yang
mengalami kelebihan suara dari kuota yang ditentukan, maka sisa suara yang ada
akan diredistribusikan kepada calon berikutnya.

Apabila tidak ada calon yang
mampu mencapai atau melebihi kuota, maka calon dengan suara paling sedikit
dihilangkan dan suara mereka diredistribusikan kepada calon lainnya. Proses ini
terus berlanjut sampai semua calon terpilih dinyatakan cukup dan semua kursi
telah terisi.
88

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mekanisme penentuan
alokasi kursi pada sistem pemilihan proporsional disertai dua formula, yaitu
teknik sisa suara terbesar (largest remainders) atau juga disebut dengan teknik
kuota, serta teknik perhitungan rata-rata tertinggi (highest averages formula) atau
teknik divisor. Adapun teknik kuota digolongkan lagi menjadi varian Hare dan
Droop. Varian Hare dilakukan dengan membagi total jumlah suara sah dengan
total jumlah kursi yang tersedia di setiap distrik untuk menentukan jumlah
bilangan pembagi pemilih (BPP), sementara pada varian Droop, BPP ditentukan


87
ibid, hal. 173-178.

88
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 184. Bandingkan dengan Sigit
Pamungkas, op.cit, hal. 35.
52



dengan membagi jumlah suara sah dengan jumlah kursi yang tersedia ditambah
satu. Teknik kuota menentukan adanya perimbangan suara, dimana apabila
terdapat kelebihan suara pada salah satu calon yang telah memenuhi kuota, maka
suara tersebut akan dialihkan kepada calon berikutnya. Penentuan kursi pada
teknik kuota dilakukan dengan membagi suara perolehan partai dengan bilangan
pembagi tersebut.
89

Sementara teknik divisor merupakan teknik perhitungan yang
menggunakan rata-rata angka tertinggi dengan ciri bilangan pembagi yang tetap,
dan tidak tergantung pada jumlah pemilih dan perolehan suara. Teknik divisor
dibagi menjadi dua varian yakni D Hondt yang menggunakan bilangin pembagi
berangka utuh (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan seterusnya) dan Sainte Lague yang
menggunakan bilangan pembagi berangka ganjil (1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya).
90

Keseluruhan mekanisme tersebut di atas memperlihatkan bahwa sistem
perwakilan proporsional merupakan sistem pemilihan yang rumit dikarenakan
adanya metode-metode penghitungan yang digunakan dalam konversi suara
menjadi kursi.
Jenis sistem pemilihan umum berikutnya adalah sistem campuran (mixed
system), yang merupakan kombinasi dari sistem pluralitas/mayoritas dengan
sistem perwakilan proporsional. Lijphart berpendapat bahwa di beberapa sistem
campuran, komponen perwakilan proporsional tampak mendominasi daripada
komponen pluralitas (in some of the mixed systems the PR component overrides
the plurality component), meskipun dalam hasilnya tidak sepenuhnya


89
Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 32.

90
ibid, hal. 33-34.
53



proporsional dikarenakan kurang akuratnya dalam menjamin representasi
minoritas (the results will necessarily be less than fully proportional and
minority representation less accurate and secure).
91

Sistem campuran digolongkan menjadi dua yakni Mixed Member
Proportional (MMP) dan Parallel Systems. Sistem mixed member proportional
merupakan sistem yang digunakan untuk mengurangi disproporsionalitas dari
sistem distrik dengan melakukan kompensasi suara yang diperoleh dari sistem
proporsional. Partai yang meraih suara nasional tetapi tidak mendapat satupun
kursi dari daerah pemilihan, maka partai akan dihadiahi kursi yang cukup dari
sistem proporsional sampai mencukupi total keanggotaan parlemen sesuai dengan
persentase suara yang diperoleh. Sementara berbeda dengan sistem paralel, yang
walaupun menggabungkan sistem pluralitas/mayoritas dan sistem proporsional
namun kedua sistem ini terlepas satu dengan yang lain dan tidak terdapat
kompensasi dalam alokasi kursi apabila terjadi disproposionalistas.
92

Jenis yang terakhir adalah sistem lainnya (other system) sebagai sistem
yang tidak dapat terklasifikasi ke dalam tiga sistem sebelumnya. Terdapat tiga
sistem yang berada di luar tiga klasifikasi sistem tersebut, yakni single non
transferable vote (SNTV), limited vote, dan borda count. Sistem single non
transferable vote (SNTV) serupa dengan sistem STV dengan perbedaan karakter
tidak ada penghapusan kandidat dengan suara preferensi paling sedikit dan


91
Arend Lijphart, 2004, "Constitutional Design For Divided Societies", dalam Journal of
Democracy Volume 15 Number 12, diakses dari
http://www.clas.ufl.edu/users/bmoraski/democratization/lijphart04_jod.pdf, tanggal 31 Maret
2013, The Johns Hopkins University Press, Baltimore - Maryland, hal. 100.

92
Lihat Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 91 dan Sigit Pamungkas, op.cit, hal 36.
54



redistribusi suara. Sistem limited vote merupakan sistem pemilu berwakil jamak
(multi member constituence) dimana pemilih dapat memberikan suara lebih
sedikit dari jumlah kursi yang harus diisi dengan kandidat yang mendapat total
suara tertinggi yang akan mendapatkan kursi. Sementara sistem borda count, yang
diterapkan baik dalam daerah pemilihan berwakil tunggal maupun daerah
pemilihan berwakil jamak, merupakan variasi dari sistem alternative vote yang
merangking kandidat sesuai preferensi dengan karakter pembeda tanpa disertai
eliminasi kandidat dengan preferensi terendah.
93


2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012, pemilihan umum DPR-
RI pada tahun 2014 adalah menggunakan sistem pemilihan umum proporsional.
Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh)
dimana setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan
paling banyak 10 (sepuluh) kursi (vide Pasal 21 jo Pasal 22 (2) UU No. 8 Tahun
2012). Hal ini menandakan sistem pemilihan umum Indonesia berkarakter multi
member constituency dimana setiap daerah pemilihan menentukan wakil terpilih
lebih dari satu kandidat.
Penegasan sistem pemilu proporsional dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) UU
No. 8 Tahun 2012 yang menentukan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem


93
Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 37.
55



proporsional terbuka. Secara terminologi sistem proporsional terbuka yang
digunakan dalam UU No. 8 Tahun 2012 dianggap kurang tepat mengingat
kategorisasi sistem pemilu, yakni sistem perwakilan proporsional berada pada 2
lingkup umum, yakni List Proportional Representation (List PR) dan Single
Transferable Vote (STV). Pada sistem list proportional representation kemudian
dapat digolongkan karakteristik daftar yang digunakan dimana salah satunya
adalah daftar terbuka (open list) Secara konseptual, sistem perwakilan
proporsional dengan daftar terbuka adalah bahasa hukum yang tepat terkait
dengan jenis sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu tahun 2014.
Konsekuensi dari sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka
adalah berkorelasi dengan bagaimana cara calon legislatif dipilih serta cara
menentukan calon legislatif terpilih. Pada sistem daftar terbuka, pemilih sah
berhak untuk memilih tidak hanya tanda gambar partai politiknya, melainkan
dapat pula memilih nama caleg secara langsung. Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012
mengatur bahawa pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali
pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat
suara. Perihal karakter sistem proporsional terbuka yang didasarkan dengan cara
menentukan calon legislatif terpilih, Pasal 215 menentukan bahwa penetapan
calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari
Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik
Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut :
56



a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak.
b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama,
penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan
suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan
keterwakilan perempuan.
b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh Partai Politik
Peserta Pemilu, kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon
berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya.
Sistem ini merupakan sistem perwakilan proporsional terbuka murni dimana calon
terpilih ditetapkan hanya dengan berdasarkan suara terbanyak,
94
termasuk dalam
hal pembagian sisa kursi. Penggunaan sistem perwakilan proporsional terbuka
murni ini dianggap merepresentasikan bagaimana kedaulatan rakyat dalam
memilih calon legislatif di atas partai politik.
Adapun perihal formula perhitungan kursi sistem perwakilan proporsional
Indonesia menggunakan varian Hare dengan menentukan bilangan pembagi
pemilu.
95
Pasal 211 menentukan sebagai berikut :


94
Rozali Abdullah, 2009, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (Pemilu Legislatif), Rajawali
Press, Jakarta, hal. 157.

95
Pasal 1 angka 31 UU No 8 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bilangan
pembagi pemilihan adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai
Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah secara nasional di satu
daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
57



(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil
penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu
yang memenuhi ketentuan Pasal 209 di daerah pemilihan yang
bersangkutan.
(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD provinsi, dan BPP DPRD
kabupaten/kota
Perihal metode alokasi pembagian kursi kepada partai politik diatur dalam
pasal 212 sebagai berikut :
a. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan
atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama
diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang
akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua;
b. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil
daripada BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh
kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang
akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat
sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan;
c. penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih
terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama,
dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada
Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis,
58



dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara
terbanyak.
Pasal tersebut memperlihatkan bahwa ketentuan alokasi kursi pada varian
Hare ini dilakukan dengan dua tahap. Alokasi kursi tahap pertama diberikan
kepada partai yang yang mendapat kuota penuh dalam arti memenuhi atau lebih
besar dari BPP. Sementara tahap kedua, alokasi sisa kursi yang belum habis
dilakukan secara berturur berdasarkan perolehan sisa suara terbanyak (largest
remainder).

2.3. Lembaga Perwakilan
Konsepsi penyelenggaraan pemilihan umum akan bermuara pada satu
tujuan perihal pembentukan lembaga-lembaga negara, dalam hal ini salah satunya
adalah lembaga perwakilan. Pada negara demokrasi dewasa ini, hampir secara
keseluruhan menggunakan metode pemilihan umum dalam penentuan lembaga-
lembaga perwakilannya.
Secara terminologi banyak peristilahan yang digunakan oleh berbagai
negara untuk menamakan lembaga perwakilannya. Lembaga perwakilan dapat
disebut sebagai parlemen yang berasal dari bahasa Prancis yakni parler
(berbicara).
96
Lembaga perwakilan secara fungsional juga diistilahkan sebagai
legislatif yang berasal dari kata legislate dengan fokus pada fungsinya dalam


96
PT. Cipta Adi Pustaka, 1990, Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12, PT. Cipta Adi
Pustaka, Jakarta, hal 191.
59



membuat undang-undang, dan ada pula yang menggunakan istilah assembly yang
berarti berkumpul (untuk membicarakan masalah publik.
97

Lembaga perwakilan dalam arti legislatif secara teoritis berada pada
kerangka pemahaman trias politica dari John Locke yang menggolongkan
kekuasaan negara pada tiga domain, yaitu legislatif (kekuasaan membentuk
hukum), eksekutif (kekuasaan menjalankan hukum), dan federatif (kekuasaan
perihal perang, perdamaian, liga dan aliansi, dan semua transaksi, dengan semua
orang dan masyarakat diluar persemakmuran). John Locke memaparkan sebagai
berikut dimana pada hakikatnya legislatif harus terpisah dengan fungsi eksekutif :
But because the laws, that are at once, and in a short time made,
have a constant and lasting force, and need a perpetual execution,
or an attendance thereunto : therefore it is necessary there should
be a power always in being, which should see to the execution of the
laws that are made, and remain in force. And thus the legislative
and executive power come often to be separated (Tetapi karena
undang-undang, yang sekaligus, dan dalam waktu singkat dibuat,
memiliki kekuatan yang konstan dan awet, dan membutuhkan
pelaksanaan secara terus menerus, atau suatu kehadiran tambahan
lagi: oleh karena itu membutuhkan keharusan adanya kekuasaan
yang selalu ada, yang harus melihat kepada pelaksanaan undang-
undang yang dibuat, dan tetap berlaku. Dengan demikian kekuasaan
legislatif dan eksekutif sering dipisahkan).
98


Pemahaman John Locke perihal pengklasifikasian kekuasaan tersebut
dikembangkan lebih lanjut oleh Montesquieu yang menjabarkan kekuasaan
menjadi tiga, yaitu legislatif (legislative power), eksekutif (executive power), dan
yudisial (judiciary power). Konsep Trias politica dari Montesquieu menegaskan
bahwa apabila legislatif, eksekutif, dan eksekutif berada pada tangan yang sama,
maka tidak akan terdapat kebebasan (when the legislative and executive powers


97
Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 315.

98
John Locke, 1824, Two Treatises of Government, C. Baldwin Printer, London, hal. 217.
60



are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no
liberty). Di antara masing-masing kekuasaan tersebut harus terpisah antara satu
dengan yang lainnya untuk menghindari praktik pembuatan hukum tirana (enact
tyrannical law) dan pelaksanaan hukum secara tirani (execute them in a tyrannical
manne.).
99

Montesquieu berpandangan bahwa kemerdekaan atas suatu kekuasaan akan
hilang dan mengarah kepada praktik hukum tirani apabila suatu kekuasan ada
pada satu orang atau ada di dalam organ yang sama perihal ketiga fungsi tersebut.
Kemerdekaan hanya akan dapat dijamin apabila ketiga fungsi tersebut berada
pada tiga orang atau organ yang terpisah. Konsep trias politica ini berkembang
dalam paradigma separation of power (pemisahan kekuasaan), dimana masing-
masing kekuasaan tersebut harus terpisah antara satu dengan yang lain, baik dari
tugas maupun alat kelengkapan yang melaksanakan.
100
Adapun dalam hal ini
doktrin Montesquieu pada hakikatnya tidak menuntut adanya pemisahan
kekuasaan secara mutlak dalam arti tindakan antara masing-masing kekuasaan
(that the doctrine did not demand absolute separation provided the basis for
preservation of separation of powers in action), melainkan penekanan pada aspek
kebebasan masing-masing fungsi agar tidak berada pada satu tangan yang
memegang secara keseluruhan.
101



99
Charles de Secondat Baron de Montesquieu, 1900, The Spirit of Laws (Translated from the
French by Thomas Nugent.), The Colonial Press, New York, hal. 152.

100
Ismail Sunny, loc.cit.

101
http://www.law.cornell.edu/anncon/html/art1frag1_user.html#art1_sec1, Artikel perihal
adanya elaborasi antara teori dan implementasi separation of power dan check and balance dalam
Konstitusi Amerika, diakses pada tanggal 27 Pebruari 2013.
61



Dalam praktik sistem ketatanegaraan modern, adanya kedudukan abadi
yang membuat fungsi legislatif tidak berhubungan dengan fungsi lainnya
dipandang sudah tidak relevan. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa adalah tidak
mungkin mempertahankan ketiga kekuasaan tersebut hanya berurusan secara
ekskusif dengan salah satu dari ketiga fungsi tersebut dikarenakan adanya prinsip
check and balances.
102
Pemahaman tersebut memperlihatkan pergeseran secara
konseptual dari pemisahan kekuasaan (separation of power) menjadi pembagian
kekuasaan (division of power atau distribution of power).
Lembaga perwakilan memiliki fungsi-fungsi yang menyebabkan lembaga
dapat berjalan dan menegakan tujuan kedaulatan rakyat. Jimly Asshiddiqie
menggolongkan empat fungsi lembaga perwakilan, yaitu :
1. fungsi legislasi: adalah fungsi pembentukan undang-undang;
2. fungsi pengawasan: adalah fungsi untuk mengontrol yang meliputi 3
aspek, yaitu kontrol terhadap (kebijakan) pemerintahan, kontrol atas
pengeluaran, dan kontrol atas pajak. Bahkan lebih jauh terkait dengan
kontrol terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik
3. fungsi representasi / perwakilan
4. fungsi deliberatif dan resolusi konflik.
103

Fungsi anggaran menurut Jimly bukan merupakan fungsi yang terpisah secara
layaknya fungsi lainnya, namun berada dalam ruang lingkup fungsi legislasi


102
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 35.

103
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, op.cit, hal. 298-308.
62



karena penganggaran dtuangkan dalam undang-undang serta ruang lingkup fungsi
pengawasan terhadap kegiatan pelaksanaan anggaran tersebut.
104

2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan
Djokosutono memaparkan bahwa ukuran lembaga perwakilan secara
kuantitas umumnya dibagi menjadi dua, yaitu: sistem satu majelis/unikameral
(eenkamer-stelsel) dan sistem dua majelis/bikameral (tweekamer-stelsel).
105

Pemahaman perihal penggolongan lembaga perwakilan berada pada aspek jumlah
kamar yang dimiliki oleh lembaga perwakilan suatu negara dengan karakteristik-
karakteristik yang melekat padanya.
1. Sistem Unikameral
Sistem unikameral merupakan sietem lembaga perwakilan yang
menggunakan kamar tunggal dalam pelaksanaan fungsi legislatif. Contoh negara
yang menganut majelis satu kamar adalah sebagaimana terdapat dalam sistem
ketatanegaraan Timor Leste. Pasal 92 Konstitusi Timor Leste mengatur The
National Parliament is the organ of sovereignty of the Democratic Republic of
East Timor that represents all Timorese citizens and is vested with legislative
supervisory and political decision making powers (Parlemen Nasional adalah
lembaga kedaulatan Republik Demokratik Timor Leste, perwakilan dari seluruh
warga negara Timor Leste dengan wewenang legislatif, pengawasan dan


104
ibid, hal. 301. Bandingkan dengan Solly Lubis, 2008, Hukum Tata Negara, CV. Mandar
Maju, Bandung, hal 63 yang mengklasifikasikan fungsi dewan perwakilan rakyat ke dalam dua
tugas pokok, yaitu tugas perundang-undangan (wetgeving/law making) dan tugas pengawasan
(kontrol terhadap eksekutif).

105
Djokosutono, op.cit, hal. 66.
63



pengambilan keputusan politik.).
106
Secara sederhana dapat dibentuk pemahaman
bahwa dalam kelembagaan sistem unikameral menempatkan lembaga perwakilan
secara tunggal beserta kewenangan konstitusional yang hanya diberikan
kepadanya.

2. Sistem Bikameral
Sistem bikameral secara umum menempatkan keberadaan lembaga
perwakilan pada dua badan, dalam hal ini adanya kamar pertama dan kamar kedua
dengan kedudukan dan porsi kewenangan yang dimilikinya masing-masing. Jimly
Asshiddiqie memaparkan bahwa penerapan lembaga perwakilan dua kamar dalam
suatu negara dikarenakan alasan kebutuhan untuk menjamin kestabilan dan
keseimbangan, baik eksekutif dan legislatif, serta keinginan untuk membuat
sistem pemerintahan berjalan efisien melalui apa yang disebut revising chamber
dalam rangka perihal kehati-hatian pemeriksaan terhadap keputusan-keputusan
yang terkadang gegabah oleh kamar pertama (a careful check on the sometimes
hasty decisions of the first chamber).
107
Bahwa optimalisasi fungsi legislatif dan
check and balances di antara lembaga negara menjadi tujuan umum yang ingin
dicapai oleh suatu negara yang menerapkan sistem dua kamar.


106
Diolah dari http://www.constitution.org/cons/east_timor/constitution-eng.htm, tanggal 2
Maret 2013.

107
Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta, hal 22. Bahwa Jimly
Asshiddiqie memamparkan sistem lembaga perwakilan dua kamar erat dikaitkan dengan negara
yang menganut sistem pemerintahan federal, walaupun dalam perkembangannya banyak negara
kesatuan yang juga menggunakan sistem ini dalam rangka desentralisasi kekuasan.
64



Reni Dwi Purnomowati berdasarkan konstruksi pemikiran Arend Lijphart
membagi sistem parlemen bikameral menjadi tiga kategori yaitu Strong
bicameralism, Medium-Strenght bicameralism, dan Weak bicameralism. Strong
bicameralism dicirikan dengan karakternya yang simetris dan inkongruen,
kemudian medium-strenght bicameralism dengan ciri salah satu dari simetris dan
inkongruen tidak dimiliki, dan weak bicameralism dengan ciri asimetris dan
kongruen.
108

Lijphart menentukan karakter simetris atau asimetris dari lembaga
perwakilan ditentukan berdasarkan kekuasaan konstitusional dan legitimasi
demokrasi yang dimiliki. Kamar yang simetris ditandai dengan dua aspek, yakni
memiliki kekuasaan konstitusional yang sama atau setara dan adanya legitimasi
demokratis, sementara ruang asimetris sangat tidak berimbang dalam aspek
tersebut.
109
Konstitusi dalam hal ini memegang peranan dalam menentukan pola
dan porsi kekuasaan formal yang diberikan kepada masing-masing kamar.
Kekuasaan formal pada karakter simetris secara umum ditandai dengan kekuasaan
dalam hal pembuatan undang-undang, dimana kedua kamar masing-masing dapat
mengajukan rancangan serta harus dipertimbangkan oleh kedua majelis dalam
forum yang sama guna mendapat kesepakatan bersama sebelum disahkan.
Faktor legitimasi demokrasi dalam sifat kamar yang simetris berkorelasi
dengan bagaimana metode seleksi anggotanya, terutama seleksi anggota pada
kamar kedua (the actual political importance of second chambers depends not


108
Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta, hal. 23.

109
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer
Dalam Sistem presidensial Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 237.
65



only on their formal power but also their method of selection).
110
Sri Soemantri
Martosoewignjo menjelaskan bahwa apabila keanggotaan lembaga dipilih secara
demokratis, maka kekuasaan majelis adalah besar, sedangkan apabila tidak dipilih
kekuasaannya adalah kecil.
111
Metode pemilihan anggota untuk pengisian
lembaga perwakilan tersebut berimplikasi secara lurus dengan bagaimana
kekuasaan yang dimiliki dari lembaga tersebut. Kamar lembaga perwakilan yang
anggotanya dipilih secara langsung berpengaruh pada besarnya kekuasaan formal
yang dimiliki, sementara yang tidak dipilih secara langsung berakibat pada
rendahnya legitimasi demokrasi.
Perbedaan yang tampak pada kekuasaan formal asimetris apabila
diterjemahkan secara a contrario ditandai dengan kewenangan yang tidak
seimbang di antara kedua kamar, dimana salah satu kamar secara fungsional
berada di bawah dibandingkan kamar yang lainnya, baik dalam hal pengajuan
RUU yang terbatas untuk hal tertentu, kewenangan dalam pembahasan yang
terbatas, atau mengenai keterlibatan dalam hal pengesahan suatu rancangan
undang-undang. Kemudian perihal metode pemilihan kamar apabila dilakukan
dengan pemilihan tidak secara langsung, sehingga tidak memiliki legitimasi
demokrasi yang kuat.
Karakter simetris atau asimetris dari lembaga perwakilan bikameral juga
ditentukan dari karakter kongruen atau inkongruen, dalam arti komposisi
keterwakilan dari masing-masing kamar. Arend Lijphart menegaskan perbedaan


110
ibid.

111
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata
Negara, Rajawali Press, Jakarta, hal. 73.
66



penting antara dua kamar bikameral legislatif adalah bahwa kamar kedua dapat
dipilih dengan metode yang berbeda (elected by different methods) atau dirancang
sehingga mewakili minoritas tertentu (overrepresant certain minorities).
Komposisi keterwakilan kongruen atau inkongruen dapat timbul dari desain
perwakilan dari kamar kedua yang dapat dipilih melalui metode yang berbeda
sehingga mewakili golongan tertentu, dimana dalam hal ini apabila salah satu
kamar mewakili golongan minoritas tertentu atau khusus, maka disebut sebagai
inkongruen karena komposisinya yang berbeda.
112

Adapun sebagai contoh negara yang menganut sistem bikameral secara
konstitusional adalah Amerika Serikat.
113
Article 1 Section 1 Konstitusi Amerika
menentukan bahwa semua kekuasaan legislatif berada pada Senat dan Dewan
Perwakilan Rakyat (All legislative Powers herein granted shall be vested in a
Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of
Representatives). Karakter bikameral Amerika di dalam konstitusinya mengatur
bahwa setiap pembahasan RUU harus melewati kedua kamar tersebut sebelum
diajukan kepada Presiden (article 1 section 7 clause 2 All Bills for raising
Revenue shall originate in the House of Representatives; but the Senate may
propose or concur with Amendments as on other Bills). Pembahasan RUU hanya
dilakukan dalam Kongres yang terdiri dari Senat dan House of Representatives,
sedangkan Presiden dan kabinetnya tidak dilibatkan. Hal ini menyebabkan
konsensus dalam perumusan RUU sebelum diajukan ke Presiden ada pada Senat
dan House of Representatives. Senat dan House of Representatives memiliki


112
Saldi Isra, loc.cit.

113
Diolah dari http://www.law.cornell.edu/constitution/ tanggal 22 Maret 2013.
67



kewenangan yang sama kuat dalam hal pembahasan, termasuk menolak untuk
sepakat terhadap RUU yang diajukan oleh kamar lain menandakan sifat parlemen
bikameral yang simetris.
Konsekuensi kewenangan formal yang sama kuat dalam pembentukan
undang-undang juga akibat dari pengaruh dalam metode pemilihannya, dimana
masing-masing kamar dalam lembaga perwakilan Amerika Serikat dipilih secara
langsung oleh rakyat yang cakap untuk memilih. Berikut kutipan Article 1 Section
2 dan section 3 dari Konstitusi Amerika :
US Constitution, Article 1 Section 2 : The House of
Representatives shall be composed of Members chosen every second
Year by the People of the several States, and the Electors in each
State shall have the Qualifications requisite for Electors of the most
numerous Branch of the State Legislature. (Dewan Perwakilan
Rakyat akan terdiri dari para anggota yang dipilih setiap Tahun
kedua oleh Rakyat di beberapa Negara Bagian, dan para Pemilih di
setiap Negara Bagian harus memenuhi Persyaratan yang diperlukan
untuk menjadi Pemilih bagi Cabang dari Bagan Legislatif Negara
Bagian yang terbanyak).

US Constitution, Amandemen 17 Article I, section 3 : The Senate
of the United States shall be composed of two Senators from each
State, elected by the people thereof, for six years; and each Senator
shall have one vote. The electors in each State shall have the
qualifications requisite for electors of the most numerous branch of
the State legislatures. (Senat Amerika Serikat akan terdiri dari 2
senator dari tiap negara bagian, dipilih oleh rakyat untuk masa
jabatan 6 Tahun, dan masing-masing senator akan memiliki satu
suara. Pemilih dari masing-masing negara bagian harus memiliki
kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pemilih bagi Cabang dari
Bagan Legislatif Negara Bagian yang terbanyak).

Article 1 section 3 Konstitusi Amerika juga memperlihatkan bagaimana
komposisi keterwakilan yang inkongkuren dimana desain komposisi kamar senat
digunakan untuk mewakili negara bagian dalam jumlah yang lebih kecil dari
House of Representative (dua perwakilan untuk masing-masing negara bagian).
68



Dari penjelasan karakter sistem bikameral diatas, maka dapat dikonklusikan
bahwa Amerika menggunakan tipologi sistem strong bicameral (simetris
inkongruen), dengan sama kuatnya kewenangan formal masing-masing kamar,
dan komposisi keterwakilan yang tidak sederajat di dalam lembaga perwakilan.

2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara legal formal
menentukan terdapat tiga lembaga perwakilan dengan masing-masing
kewenangan konstitusional yang dimilikinya, yakni Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Adapun
kewenangan konstitusional yang dimiliki berdasarkan UUD 1945 adalah sebagai
berikut :
a) Kewenangan MPR tercantum dalam Pasal 3 yaitu :
(1) berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
(2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3) hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
b) Kewenangan DPR tercantum dalam pasal 20 ayat (1) Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. .
c) Kewenangan DPD ditentukan secara limitatif terkait dengan daerahnya
yang diatur dalam Pasal 22D.
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
69



otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.

70



Keberadaan MPR, DPR, dan DPD sebagai lembaga negara menimbulkan
ambiguitas pemikiran perihal sistem lembaga perwakilan Indonesia yang berada
di dalam kerangka bikameral atau trikameral.
114
MPR pasca perubahan UUD 1945
tidak bisa dikatakan sama dengan sistem bikameral seperti Kongres di Amerika
Serikat yang merupakan hasil joint session, dimana MPR dalam hal ini disusun
oleh anggota DPR dan DPD bukan lembaga.
115
Secara teoritik penentuan jumlah
kamar tidak hanya ditentukan secara kuantitas, melainkan juga kualitas dalam arti
bagaimana kewenangan konstitusionalnya. MPR pasca perubahan UUD 1945
meskipun merupakan salah satu bentuk lembaga perwakilan, namun tidak
mempunyai kewenangan konstitusional yang dimaksudkan untuk mengimbangi
kewenangan kamar lainnya, seperti dalam hal pembentukan undang-undang yang
prosesnya tidak melewati kamar MPR. Berdasarkan hal tersebut, lembaga
perwakilan Indonesia dapat dikatakan hanya menganut dua kamar, yaitu DPR dan
DPD, apabila melihat hubungan fungsi legislatif yang dimiliki. Adapun karakter
bikameral yang dianut oleh sistem lembaga perwakilan Indonesia, apabila
menggunakan landasan teori dari Arend Lijphart, maka dalam hal ini penulis
berpendapat Indonesia menganut sistem medium-strenght bicameral dengan
karakter asimetris-inkongruen.


114
Lihat dalam Denny Indrayana, 2007, Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945
(Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi), dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.4
No. 3 September 2007. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum
dan HAM RI, Jakarta, hal.82. Dijelaskan bahwa argumentasi trikameral sistem lembaga
perwakilan Indonesia dikarenakan adanya kewenangan yang masih dimiliki oleh MPR disamping
kewenangan kontitusional yang dimiliki DPR dan DPD. Lembaga perwakilan Indonesia dikatakan
sebagai trikameral dengan dominasi kekuatan DPR.

115
Dahlan Thaib et.al, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hal.165-
169.
71



Karakter asimetris timbul dari ketidakseimbangan kewenangan legislatif
yang dimiliki antara DPR dan DPD. Pasal 22D UUD 1945 memperlihatkan
bagaimana kewenangan legislasi DPD yang diatur secara limitatif dalam
konstitusi mengakibatkan adanya ketidakseimbangan fungsi antar kamar.
Sementara dalam hal model pemilihannya, baik DPR dan DPD memiliki
legitimasi demokrasi yang kuat sehingga seharusnya memenuhi karakter simetris
karena dipilih secara langsung. Pemilihan anggota DPR tercantum dalam Pasal 19
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum, dan
pemilihan anggota DPD tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. DPD
menyebabkan tipe bikameral Indonesia menjadi tak lazim dikarenakan sebagai
gabungan dengan kamar atau lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas
namun dengan legitimasi yang tinggi (represent the odd combination of limited
and high legitimacy).
116
Meskipun dalam hal ini anggota DPD dipilih secara
langsung, namun karena ketidakseimbangan kewenangan formil yang dimiliki,
ciri asimetris lebih menonjol tampak dalam karakter DPD.
Selanjutnya perihal karakter inkongruen yang ditunjukkan oleh bikameral
Indonesia, desain keberadaan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah tempat
pemilihannya untuk membawa aspirasi dari daerahnya tersebut agar dapat
terakomodir pula dalam isu-isu pembahasan di pusat dengan jumlah anggota yang
lebih kecil dari DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari kewenangan konstitusional
yang dimiliki DPD sebagai wakil-wakil daerah serta jumlah seluruh anggota DPD


116
Saldi Isra, op.cit. hal. 257.
72



yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (vide Pasal 22C ayat (2) UUD
1945). Berdasarkan hal tersebut, maka rasionalisasi yang terbangun perihal sistem
bikameral Indonesia adalah medium strength bicameral dengan karakter
asimetris-inkongruen.

2.4. Partai Politik
2.4.1. Definisi Partai Politik
Di dalam negara demokrasi yang menempatkan pemilihan umum sebagai
sarana peralihan kekuasaan, partai politik memegang peranan dalam hal
perwujudan bagaimana proses peralihan kekuasaan secara aman dan demokratis.
Sigmund Neumann sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo memaparkan
pada intinya partai politik sebagai suatu organisasi politik betujuan untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan (control of government polity power) dan
merebut dukungan rakyat (popular support) melalui persaingan dengan pihak-
pihak yang memiliki pandangan (politik) berbeda.
117
Peralihan suatu kekuasaan
pemerintah secara aman terjadi terjadi apabila masyarakat memberikan dukungan
kepada partai politik atas pandangan yang dimilikinya.
Kamus Black Law memberikan definisi partai politik (political party)
dalam arti a number of persons united in opinion and organized in the manner
usual to the then existing political parties. Partai politik diterjemahkan sebagai
sejumlah orang yang bersatu dalam kesepahaman pendapat dan biasanya secara
terorganisir untuk kemudian membentuk partai politik. Definisi lainnya adalah


117
Miriam Budiardjo, op.cit, hal 404.
73



an unincorporated, voluntary association of persons sponsoring certain ideas of
government or maintaining certain political principles or beliefs in public policies
of government, not a governmental agency or instrumentality.
118
Partai politik
diidentikkan sebagai asosiasi yang bersifat sukarela dari orang-orang yang
mendukung ide-ide tertentu dari pemerintah atau mempertahankan prinsip atau
keyakinan politik tertentu dalam kebijakan publik dari pemerintah, dan terlepas
dari instansi atau perangkat pemerintah.
Edmund Burke sebagaimana dikutip oleh Solly Lubis menterjemahkan
partai sebagai suatu badan dari orang-orang yang bersatu untuk memajukan
dengan usahanya bersama kepentingan nasional berdasarkan pada suatu asas
tertentu yang disetujui oleh mereka sekalian
119
. Asas tertentu tersebut merupakan
sebagai bentuk kesepahaman atas ide, pendapat, atau yang lebih tepat disebut
sebagai ideologi politik yang menjadi cara bagi suatu partai politik dalam
menterjemahkan aspirasi maupun kepentingan yang berkembang dari masyarakat
untuk dirasionalisasikan secara konkret.

2.4.2. Fungsi Partai Politik
Partai politik di dalam suatu negara demokrasi, termasuk negara modern
yang menganut demokrasi konstitusional, memiliki fungsi yang penting dalam
rangka menjamin kebebasan berfikir dan berekspresi. Dari perspektif ilmu politik,
James Penny Boyd berpendapat bahwa fungsi partai politik diibaratkan sebagai
dua sisi mata uang yang bertolak belakang, dimana keberhasilan manfaat suatu


118
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 1319.

119
Solly Lubis, op.cit, hal. 66.
74



partai politik bergantung dari berbagai karakter atau ideologi yang dimilikinya.
Adapun pendapat James Penny Boyd adalah sebagai berikut :
Keberadaan partai politik tidak dapat dipisahkan pada institusi
republik. Partai politik lahir dari kebebasan berfikir dan berekspresi.
Jika setiap kelahirannya dengan perasaan baik dan mulia serta
memiliki suatu tujuan yang pasti dan berguna, makanya kedua hal
tersebut adalah suatu kebutuhan dan berkat. Sebaliknya, jika
kelahirannya dalam kebodohan, fanatisme atau kesewenang -
wenangan belaka, dan pada pelaksanaan kekuasaan digunakan
secara rendah dan kasar, mereka menjadi unsur yang bahaya, dan
tidak dapat digolongkan sebagai salah satu energi politik yang dapat
diterima (Political parties are inseparable from republican
institutions. They are the birth of free thought and expression. If at
all times they are the birth of high and noble sentiment and have for
a purpose something definite and useful, they are both a necessity
and blessing. If, on the contrary, they find birth in ignorance,
fanaticism or sheer arbitrariness, and in their exercise of power use
only low and brutish forces, they become elements of danger, and
are not to be classed as among the welcome political energies).
120


Secara teoritis keberadaan partai politik terlepas dari ideologi yang
dimiliki oleh partai tersebut umumnya memiliki empat fungsi yaitu sebagai
berikut :
1. komunikasi politik : fungsi menyerap dan mengartikulasikan kepentingan
politik dalam masyarakat;
2. sosialisasi politik (political socialization) : fungsi dalam memasyarakatkan
ide, visi, dan kebijakan guna mendapatkan dukungan, termasuk fungsi
pendidikan politik bagi masyarakat;
3. rekrutmen politik : fungsi terkait dengan tujuan keberadaan partai politik
sebagai media untuk menyeleksi kader pemimpin guna dipilih oleh rakyat
untuk mengisi jabatan-jabatan politik (sebagai contoh jabatan politik yaitu


120
James P. Boyd, 1896, Parties, Problems and Leaders of 1896, Publishers Union
Philadelphia, hal. 49.
75



pemilihan Kepala Daerah Provinsi yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur,
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I dan Tingkat II)
4. pengatur konflik ; terkait dengan banyaknya kepentingan masyarakat yang
beraneka ragam dan partai politik mengaturnya dengan mengagregasi
kepentingan tersebut
121

Koentjoro Poerbopranoto menggolongkan fungsi partai politik dalam
sistem pemerintahan demokratis (democratic government system) terbagi pada
dua bidang yang saling memiliki hubungan, yakni :
1. fungsi partai politik terhadap masyarakat (mempengaruhi dan membentuk
pendapat umum ; memperoleh hasil dalam pemilihan umum);
2. fungsi partai politik terhadap jalannya kenegaraan (terhadap badan
perwakilan ; terhadap jalannya pemerintahan).
Fungsi partai politik terhadap masyarakat dalam hal mempengaruhi dan
membentuk pendapat umum (public opinion) adalah ditujukan guna
mengeluarkan suara atau aspirasi yang menjadi kehendak rakyat kepada seorang
calon, baik yang dilakukan secara langsung (menemui dan mendengar kehendak
rakyat) ataupun tidak langsung (melalui media). Adapun fungsi tersebut akan
berlanjut pada fungsi memperoleh hasil dalam pemilihan umum dengan maksud
menarik sebanyak mungkin suara pemilih atas calon yang diajukan oleh partai.
Kemudian perihal fungsi partai politik terhadap jalannya kenegaraan dari aspek
badan perwakilan adalah terkait dengan bagaimana pembentukan badan


121
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, op.cit, hal. 159-163.
76



perwakilan tersebut dan pengaruhnya dalam penetapan sikap parlemen atas
permasalahan kenegaran. Partai politik juga berfungsi terhadap jalannya
pemerintahan terutama dalam pembentukan kabinet yang umumnya direkrut dari
pemimpin partai yang berkedudukan kuat dalam parlemen.
122


2.4.3. Sistem Partai Politik
Sistem partai politik secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
tipologi, yakni sistem satu partai, sistem dua partai, dan sistem multipartai.
Adapun dalam hal penentuan sistem partai politik yang digunakan oleh suatu
negara tidak hanya melihat sebatas berapa jumlah partai politik yang ada (dalam
arti kuantitas), namun juga berdasarkan dominasi yang terdapat di dalam lembaga
perwakilan tersebut (dalam arti kualitatif).
Terdapat dua pandangan terkait dengan definisi dari sistem satu partai (one
party system). Pandangan pertama mendeskripsikan bahwa sistem satu partai
menempatkan keadaan negara yang hanya dikuasai oleh satu partai yang
mempunyai kedudukan dominan (dengan kemungkinan terdapat partai-partai
lainnya dengan kekuatan yang tidak signifikan. Sementara pandangan kedua
berada pada pemahaman dimana dalam suatu negara benar-benar hanya terdapat
satu partai dan melarang pembentukan partai lain.
123
Kelsen memaparkan bahwa


122
Koentjoro Poerbopranoto, op.cit. hal. 50-55.

123
Muchamad Ali Safaat, 2012, Pembubaran Partai Politik (Pengaturan dan Praktik
Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik), Rajawali Press, Jakarta, hal. 59
77



sistem satu partai mengarah pada bentuk baru autokrasi yang mengarah pada
kediktatoran partai tipe bolshevisme (Rusia) dan fasisme (Italia).
124

Kemudian perihal sistem dua partai (two party system) ditandai dengan
adanya mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan yang selalu dikuasai oleh
salah satu dari dua partai poltik terbesar yang secara bergiliran terpilih dalam
pemilihan umum. Dengan kata lain, sesungguhnya terdapat lebih dari dua partai
yang ada pada sistem dua partai, namun dalam hal kekuatan politik lebih dikuasai
oleh dua partai politik dominan. Sifat eksekutif yang terbentuk dalam sistem dua
partai akan menjadi homogen yang berimplikasi pada jaminan kestabilan
pemerintahan.
125

Kemudian perihal sistem multipartai (multiparty system), adapun
karakteristik umum yang dapat dijabarkan adalah sebagai berikut :
1. tidak terdapat partai dominan yang dapat menguasai lembaga perwakilan;
2. strukturnya bersifat heterogen terutama pada masyarakatnya yang plural
(plural society)
3. pemerintahan yang dihasilkan cenderung tidak stabil
4. biasa dipadukan dengan sistem perwakilan proporsional yang memberi
peluang pertumbuhan partai-partai kecil.
126

Dikarenakan tidak terdapat partai dominan di dalam lembaga perwakilan,
menyebabkan di dalam sistem multipartai umumnya di dalam praktik terjadi
penyatuan kekuatan politik, baik antara dua partai politik atau lebih dengan tujuan


124
Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State / Hans Kelsen : with a new
Introduction by A. Javier Trevino, Transaction Publishers, New Jersey, hal. 301-302.

125
Rusadi Kantaprawira, op.cit. hal. 69.

126
Muchamad Ali Safaat, op.cit, hal. 62.
78



untuk menjaga kestabilan eksekutif (walaupun umumnya penyatuan kekuatan atau
koalisi tersebut sifatnya tidak permanen).
Sistem partai politik yang digunakan oleh suatu negara umumnya
tergantung dari bagaimana sistem pemilihan umum yang digunakan. Di dalam
negara yang menggunakan sistem dua partai umumnya diimbangi dengan sistem
pemilihan pluralitas / mayoritas dengan prinsipnya pemenang mengambil semua
(winner takes all), sementara dalam negara yang menggunakan sistem multi partai
lazim menggunakan sistem perwakilan proporsional yang memperhitungkan
pembagian sisa-sisa suara.
127


2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia
Secara yuridis, aturan tentang kepartaian Indonesia yang berlaku saat ini
tidak menegaskan corak sistem apa yang digunakan. Pemaknaan bahwa Indonesia
menganut sistem multipartai setidaknya ditunjukkan secara implisit dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Ketentuan gabungan
partai politik menyiratkan adanya jumlah partai yang lebih dari dua, sehingga
secara kuantitas Indonesia menganut sistem multipartai. Selain itu faktor
sosiologis juga menentukan sistem multipartai yang digunakan dimana
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural (plural society)


127
Deden Faturohman dan Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang, hal. 82.
79



sehingga memberikan pengaruh lahirnya berbagai partai politik dengan latar
belakang ideologi yang bervariasi.
Pembentukan partai politik di Indonesia memiliki tiga tahapan mekanisme
hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 2 menentukan bahwa
tahap pertama dalam pembentukan partai politik memerlukan adanya akta notaris
yang didaftarkan berdasarkan susunan AD/ART Partai Politik, jumlah mnimal
keanggotaan, dan syarat keterwakilan perempuan. Adapun ketentuan Pasal 2 ayat
(1) sampai (5) UU No. 2 Tahun 2011 mengatur sebagai berikut :
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh)
orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun
atau sudah menikah dari setiap provinsi.
(1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling
sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai
Politik dengan akta notaris.
(1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota
Partai Politik lain.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan
ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:
a. asas dan ciri Partai Politik;
b. visi dan misi Partai Politik;
c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d. tujuan dan fungsi Partai Politik;
e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. kepengurusan Partai Politik;
g. mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik;
h. sistem kaderisasi;
i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik;
j. peraturan dan keputusan Partai Politik;
k. pendidikan politik;
l. keuangan Partai Politik; dan
m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.
80



(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 3 menentukan tahap kedua dalam pembentukan suatu partai poltik
adalah wajib untuk didaftarkan sebagai badan hukum melalui Kementerian
dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi. Berikut detil ketentuan dalam
Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2011 :
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan
hukum.
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai
Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar
yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang
bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai
tahapan terakhir pemilihan umum; dan e. rekening atas nama Partai
Politik.

Kemudian tahap ketiga pembentukan partai politik di Indonesia dimana
Pasal 4 menentukan syarat verifikasi dan pemeriksaan kelayakan suatu partai
politik sebagai badan hukum. Berikut ketentuan yang termaktub dalam Pasal 4
ayat (1) hingga (4) UU No. 2 Tahun 2011.
(1) Kementerian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau
verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3 ayat (2).
(2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya
dokumen persyaratan secara lengkap.
(3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan
Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya
proses penelitian dan/atau verifikasi.
81



(4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

Terkait dengan fungsi keberadaan partai politik di Indonesia, layaknya
konsep partai politik pada umumnya, adalah sebagai sarana pendidikan politik,
pengatur konflik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik, dimana fungsi-fungsi
tersebut dijamin secara konstitusional. Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No, 2 Tahun
2011 menyebutkan sebagai berikut :
(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.
(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
secara konstitusional.

2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold)
Ambang batas di dalam pemilihan umum secara terminologi disebut
dengan istilah electoral threshold. Electoral diterjemahkan sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan pemilih atau pemilihan umum (pertaining to electors or
elections; composed or consisting of electors),
128
sementara threshold berasal dari
Bahasa Inggris yang berarti ambang pintu/ambang batas,
129
dimana di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan ambang batas


128
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 611.

129
John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit, hal. 589.
82



adalah tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi.
130
Konsep
threshold atau ambang batas diadopsi di dalam sistem pemilihan umum, terutama
sebagai rangkaian kesatuan formulasi perhitungan suara dan kursi pada sistem
perwakilan proporsional.
Ambang batas pemilihan umum (electoral threshold) umumnya dibagi ke
dalam dua klasifikasi, yaitu ambang batas efektif (effective theshold) dan ambang
batas formal (formal threshold). Andrew Reynolds menjelaskan bahwa ambang
batas efektif merupakan pengaturan yang lahir dari perhitungan matematis di
dalam sistem pemilihan umum (mathematical by product of features of electoral
systems). Ambang batas efektif diterjemahkan pula sebagai ambang batas
terselubung (hidden threshold) atau ambang batas alami (natural threshold)
dikarenakan undang-undang tidak mencantumkan secara tegas persentase suara
minimal yang harus dipenuhi. Ambang batas efektif menempatkan besaran daerah
pemilihan (district magnitude) sebagai aspek matematis yang penting dalam
penentuan peroleahan kursi.
131
Arend Lijphart memberikan rumusan konkret
ambang batas efektif dengan formulasi sebagai berikut :
75%
Teff =
(m + 1)
Ket : Teff = persentase ambang batas efektif.
m = besaran daerah pemilihan.
132



130
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. hal.48

131
Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 84.

132
Didik Supriyanto dan August Mellaz, 2011, Ambang Batas Perwakilan Pengaruh
Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas
Hasil Pemilu, Perludem, Jakarta, hal. 14.
83



Sebagai contoh, jika besaran daerah pemilihan adalah sebanyak 4 kursi di dalam
sistem pemilu perwakilan proporsional, maka ambang batas efektif adalah 15%
suara. Kemudian dengan logika bahwa partai politik yang mendapatkan suara
lebih dari 20% akan berpeluang besar untuk terpilih mendapatkan kursi yang
tersedia pada daerah pemilihan tersebut, sementara yang mendapatkan suara
kurang dari sekitar 10% tidak mungkin akan dapat terpilih.
133
Hal ini
memperlihatkan besaran daerah pemilihan sebagai fitur matematis yang secara
alami mengkalkulasi perolehan suara dan keberadaannya menjadi sangat penting
dalam menentukan ambang batas efektif.
Berbeda dengan ambang batas efektif, bahwa ambang batas formal timbul
dengan adanya pencantuman persentase secara tegas di dalam penormaan
hukumnya. Ambang batas formal merupakan ambang batas yang dipaksakan
secara hukum (legally imposed) berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ambang batas formal diatur secara tertulis secara konstitusional atau dalam
ketentuan perundang-undangan yang digunakan untuk membatasi sistem
perwakilan proporsional (formal threshold are written into the constitutional or
legal provisions which define the Proportional Representative System).
134
.
Ambang batas formal yang ditentukan secara formal menegaskan secara baku
berapa minimal persentase yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik.
Rasionalisasi dari hal tersebut partai politik yang tidak dapat memenuhi ambang
batas tidak dapat diikutsertakan dalam perhitungan kursi apabila tidak memenuhi
angka yang dipersyaratkan.


133
Andrews Reynlods et al, loc.cit

134
Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 83.
84



Pengaturan ambang batas formal diyakini dapat mengurangi tingkat
fragmentasi dan polarisasi yang terjadi dalam lembaga perwakilan.
135
Tracy
Quinlan memaparkan perihal adanya relevansi di antara ambang batas formal,
sistem perwakilan proporsional, dan terjadinya fragmentasi dalam lembaga
perwakilan. Bahwa ambang batas formal merupakan variasi dari sistem
perwakilan proporsional yang memiliki kemampuan untuk mengubah tingkat
representasi (electoral thresholds are a variation to PR systems that have the
ability to change representation). Jika ambang batas tinggi, maka dapat
mengurangi jumlah partai yang mendapatkan akses ke legislatif, sehingga
menyebabkan besaran partai meningkat dengan mengurangi fragmentasi sistem
kepartaian (if a threshold is high, it can reduce the number of parties that gain
access to the legislature causing party magnitude to increase by reducing party
system fragmentation).
136
Hal ini memperlihatkan bahwa fragementasi dalam
lembaga legislatif hanya dapat dikurangi apabila jumlah partai yang berada dalam
lembaga legislatif tersebut juga berkurang.



135
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan fragmentasi
adalah terbagi-bagi; terpecah-pecah; terbelah (Departemen Pendidikan Nasional, 2004 : 399),
sementara polarisasi adalah pembagian atas dua bagian yg berlawanan (Departemen Pendidikan
Nasional, 2004 : 1089). Dalam konteks ini, fragmentasi mengarah pada keberadaan partai-partai
politik terpecah (dalam arti aspirasi ataupun ideologinya) dalam jumlah tertentu, yang kemudian
berlanjut pada keadaan timbulnya pertentangan (polaritas) antar partai-partai politik tersebut.
Naskah akademik RUU Partai Politik yang diajukan oleh Pemerintah tertanggal 14 Mei 2007
memberikan terjemahan fragmentasi sebagai keadaan banyaknya jumlah partai yang menjadi
faktor dalam menentukan struktur persaingan antarpartai, interaksi dan stabilitas pemerintahan.
Sementara itu polarisasi diartikan sebagai jarak ideologis antarpartai yang menentukan kualitas
stabilitas politik, konflik, atau loyalitas pemilih terhadap partai.

136
Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the
Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9,
diakses dari http://digitalcommons.iwu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1060&context=respublica
tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois, hal, 20.
85

BAB III
PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM
DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA

3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia
Keberlakuan ambang batas formal dalam sistem pemilihan umum
Indonesia telah membuka paradigma baru perihal arah demokratisasi dalam
rangka mewujudkan hasil positif reformasi. Pengembalian hakikat sistem
perwakilan proporsional dalam rangka menjaga eksistensi keterwakilan minoritas
yang mengalami pengingkaran selama pemerintahan Orde Baru telah
menempatkan sistem multipartai kepada posisi yang semestinya. Pemilihan umum
Indonesia yang menggunakan sistem perwakilan proporsional dengan tujuan
untuk menciptakan keseimbangan jumlah perolehan kursi dan perolehan suara
ternyata memberikan konsekuensi yang tidak sederhana dengan besarnya
fragmentasi dan polarisasi yang terjadi di dalam kelembagaan Dewan Perwakilan
Rakyat yang diisi oleh banyak partai politik.
Demokrasi konstitusional menempatkan pentingnya keberadaan undang-
undang yang dibentuk oleh lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih secara
demokratis sebagai salah satu unsur konkret dalam rangka mewujudkan
keseimbangan antara hukum dan demokrasi. Dalam konteks pemilihan umum,
undang-undang pemilihan umum yang dibentuk oleh DPR-RI yang dipilih secara
langsung oleh rakyat merepresentasikan unsur demokrasi konstitusional dalam
rangka menjawab kompleksitas sistem pemilihan umum yang digunakan. Perihal
86



konsekuensi dari sistem pemilihan umum perwakilan proporsional sebagaimana
yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, pengaturan ambang batas formal
merupakan salah satu alternatif hukum dalam undang-undang pemilu yang
digunakan untuk mendegradasi fragmentasi partai politik dalam lembaga
perwakilan.
Ketentuan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 untuk
penyelenggaraan pemilu tahun 2014 diatur berdasarkan Pasal 208 UU No. 8
Tahun 2012 bahwa Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional
untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota. Jumlah perolehan suara sah nasional calon anggota
DPR diperoleh pasca berakhirnya perhitungan dan rekapitulasi suara secara
nasional dan ditetapkan oleh KPU paling lambat 30 hari. Setelah tahapan tersebut
dilalui, baru dapat dilihat jumlah perolehan suara yang memenuhi ambang batas
formal, sehingga dapat ditentukan partai politik yang berhak mengikuti
perhitungan perolehan kursi.
Ketentuan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 merupakan pergantian dari
aturan ambang batas formal dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD untuk penyelenggaraan
pemilihan anggota DPR-RI pada tahun 2009. Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun
2008 mangatur bahwa partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah
suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
87



Perbedaan substansi ambang batas formal dalam UU No. 8 tahun 2012
dengan UU No. 10 Tahun 2008 adalah terletak pada dua aspek, yaitu jumlah
persentase dan ruang lingkup keberlakuan ambang batas. Ambang batas
mengalami peningkatan sebesar 1% menjadi 3,5% dari sebelumnya 2,5%, serta
keberlakuan ambang batas formal yang tidak hanya untuk menentukan kursi di
DPR, namun juga berlaku pada penentuan kursi DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Pasal 209 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 menentukan bahwa
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan
perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah
pemilihan. Konsekuensi yuridis yang timbul dari pengaturan tersebut
menyebabkan partai politik yang tidak memperoleh persentase total suara secara
nasional minimal sebesar 3,5%, dengan serta merta tidak dapat mengikuti
perhitungan kursi di seluruh lembaga perwakilan, baik di pusat maupun daerah.
Suara partai politik yang tidak memenuhi ambang batas akan dihilangkan dan
suara yang akan digunakan untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara
sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik
Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5 % (vide
Pasal 209 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012).
Terkait dengan perubahan substansi pengaturan ambang batas formal
tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa pengujian konstitusionalitas
terhadap UU No. 8 Tahun 2012 yang telah diajukan. Putusan Mahkamah
88



Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian UU No. 8 Tahun 2012
memutuskan bahwa Pasal 208 dan Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota bertentangan dengan UUD 1945. Adapun pertimbangan yang
digunakan adalah dalam rangka menjaga proporsionalitas dikarenakan
kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah yang
memenuhi ambang batas atau kemungkinan hanya terdapat satu partai politik
yang dapat memenuhi persentase tersebut.
137
Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut menyebabkan setiap pasal yang terkait dengan keberlakuan ambang batas
ambang batas formal di daerah, dalam hal ini frasa DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, menjadi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi.
Perhitungan perolehan kursi di daerah, dalam hal ini DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/kota tidak mengalami pengurangan total suara. Keberlakuan ambang
batas formal untuk pemilu 2014 kembali hanya berlaku secara yuridis untuk
penentuan kursi DPR-RI.
Hal yang turut membedakan antara pengaturan ambang batas pada pemilu
tahun 2014 dengan pemilu tahun 2009 adalah bahwa ambang batas formal selain
untuk menentukan keterwakilan di DPR, juga berfungsi ganda untuk menentukan
peserta pemilu untuk pemilu tahun 2014. Pasal 8 ayat (1) UU No. 8 tahun 2012
menerapkan ambang batas formal sebagai bagian dari syarat verifikatif untuk
mengikuti pemilu berikutnya. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan Partai Politik Peserta
Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari


137
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 99.
89



jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu
pada Pemilu berikutnya. Dalam penjelasan pasal 8 ayat (1) tersebut bahwa yang
dimaksud dengan pemilu terakhir adalah pemilu untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota terakhir. Adapun yang dimaksud
pemilu terakhir adalah pemilu tahun 2009, dimana partai politik yang
memenuhi ambang batas pada pemilu tahun 2009 ditetapkan secara langsung
sebagai peserta pemilu untuk pemilu 2014. Pengaturan ini merupakan suatu hal
yang tidak lazim, dimana ambang batas formal selain berfungsi dalam penentuan
jumlah perolehan kursi juga difungsikan secara ganda sebagai dasar hukum dalam
menetapkan peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Sementara bagi partai politik
yang tidak memenuhi persentase ambang batas pada pemilu sebelumnya atau
partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), yaitu sebagai berikut:
138

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;


138
Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan partai politik baru adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu.
90



e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan
kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU;
dan
i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai
politik kepada KPU.
Apabila merunut ke belakang perihal ambang batas formal yang pernah
diterapkan sebelumnya, persentase ambang batas dalam undang-undang pemilu
pada penyelenggaraan pemilu tahun 2004 dan 2009 ditujukan sebagai syarat untuk
dapat mengikuti pemilu pada pemilu berikutnya. Dasar yuridis pengaturan
ambang batas formal pada penyelenggaraan pemilu tahun 2004 tercantum dalam
Pasal 142 Ketentuan Peralihan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 39 ayat (3) Undang-
Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang mengatur sebagai
berikut :

91



Partai Politik Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% (dua
persen) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-
kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah)
jumlah provinsi dan di 1/2 (setengah) kabupaten/kota seluruh
Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah
Pemilu tahun 1999.

Kemudian pengaturan ambang batas formal ini berlanjut pada penyelenggaraan
pemilu tahun 2009 dimana Pasal 315 ketentuan peralihan UU No. 10 Tahun 2008
juncto Pasal 9 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2003 mengatur sebagai berikut :
Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2004 yang memperoleh
sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR, atau
memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah
kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2
(setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau memperoleh
sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik
Peserta Pemilu setelah Pemilu Tahun 2004.

Ambang batas formal untuk menentukan keikusertaan pada pemilu tahun
2004 dan 2009 menjadikan kursi (seat) sebagai elemen yang harus dipenuhi
secara alternatif, yaitu persentase perolehan kursi DPR, persentase perolehan kursi
DPRD Provinsi, atau persentase perolehan kursi DPRD Kabupaten/Kota.
Perbedaan substansi hukum ambang batas formal pada kedua penyelenggaraan
pemilihan umum tersebut hanya berada pada aspek besaran angka ambang batas
formal masing-masing yang diterapkan dengan kenaikan sebesar satu persen.
Meskipun terdapat perubahan, namun ketentuan ambang batas formal tersebut
hanya ditujukan dalam menentukan syarat sebagai kontestasi dalam mengikuti
pemilu berikutnya dan tidak dimaksudnya secara ganda terhadap penentuan kursi
dalam lembaga perwakilan.
92



Ketentuan yang berkesan diskriminatif dalam Pasal 8 ayat (1) serta
penjelasannya mengalami pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi
dengan putusan yang menyatakan ketentuan tersebut. bertentangan dengan UUD
1945. Begitu pula dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 bahwa ketentuan
Pasal tersebut sepanjang frasa yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru, serta penjelasan pasal 8
ayat (2) sepanjang frasa yang dimaksud dengan partai politik baru adalah
partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ratio decidendi yang
dibangun oleh Mahkamah Konstitusi adalah bahwa pengaturan tersebut tidak
mencerminkan prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi
pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama.
139

Hakikat ambang batas formal guna menentukan representasi anggota
perwakilan diterapkan pada penyelenggaraan pemilu DPR-RI tahun 2009 dan
2014. Istilah parliamentary threshold kerap digunakan untuk menamakan
ketentuan ambang batas formal tersebut, meskipun undang-undang tidak
menegaskan terminologi yang dimaksud secara eksplisit dalam undang-undang
dan hanya menempatkan istilah ambang batas parlemen dalam bagian Penjelasan
Umum UU No. 8 Tahun 2012. Adanya penggunaan istilah parliamentary
threshold sebagai akibat telah digunakannya terminologi electoral threshold untuk


139
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal 89-91. Syarat verifikatif
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2012 berbeda dengan syarat yang
ditentukan dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2010. Apabila Partai Politik yang lolos ambang batas
formal tahun 2009 tidak diwajibkan untuk memenuhi syarat verifikatif, hal tersebut diangggap
menimbulkan ketidakadilan karena persyaratan yang ditentukan pada pemilu tahun 2009 dan
pemilu 2014 adalah berbeda.
93



mendefinisikan ambang batas formal pada keikutsertaan pemilu berikutnya.
Pembedaan secara nomenklatur tersebut menimbulkan ambiguitas dikarenakan
secara teoritis ambang batas pemilu atau electoral threshold lazimnya tidak
dimaksudkan sebagai aturan hukum untuk menentukan peserta pemilu pada
pemilu berikutnya, melainkan ditujukan untuk menentukan keterwakilan dalam
lembaga perwakilan. Sebagai perbandingan, Pasal 2 angka 27 UU Pemilu
Rumania No. 35 Tahun 2008 (Law No. 35/2008 for the election to the Chamber of
Deputies and the Senate) menggunakan terminologi electoral threshold yang
secara tegas diartikan sebagai the minimum percentage of the separately validly
cast votes for the Chamber of Deputies and the Senate, or the minimum number of
uninominal colleges in which it is situated on the first place in the order of the
number of validly cast votes, for a political party, a political or electoral alliance,
necessary for entering in the process of distribution of mandates.
Penyimpangan yang terjadi selama ini dalam sistem pemilu Indonesia
mengkorelasikan konsep electoral threshold tidak sebagaimana mestinya.
Terminologi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen digunakan
meskipun secara nomenklatur tidak terdapat penamaan tersebut dalam bagian isi
perundang-undangan pemilu Indonesia. Terminologi ambang batas parlemen
dianggap tidak tepat mengingat peraturan perundang-undangan Indonesia tidak
menggunakan penamaan parlemen untuk sistem lembaga perwakilan. Kamus
Black Law mendefinisikan parliamentary adalah relating or belonging to,
connected with, enacted by or proceeding from, or characteristic of, the English
94



parliament in particular, or any legislative body in general.
140
Terminologi
parlemen lebih identik dengan karakteristik khususnya pada lembaga perwakilan
di Inggris dan persemakmurannya, seperti Malaysia, Australia, serta negara-
negara lain yang menganut sistem parlementer seperti Italia, Polandia, Belanda.
Segenap perubahan dan pergantian ketentuan ambang batas formal di
Indonesia timbul dari akibat esensialitas kekuasaan membentuk undang-undang
yang dimiliki oleh DPR-RI. Prinsip demokrasi konstitusional menentukan bahwa
pembentukan undang-undang wajib diselenggarakan oleh lembaga perwakilan
dimana anggota-anggotanya dipilih secara demokratis. Pasal 19 ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Ambang batas formal yang
termuat dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang kemudian diganti dengan UU No. 8
Tahun 2012, dibentuk oleh DPR-RI yang anggotanya dipilih secara langsung oleh
rakyat, sehingga mewujudkan pencerminan bahwa hukum yang dibuat
berdasarkan kedaulatan di tangan rakyat. Adanya kelemahan dalam suatu
substansi undang-undang yang dibuat, termasuk substansi ambang batas formal,
adalah hal yang lumrah mengingat undang-undang sebagai produk politik
bergantung dari bagaimana konstelasi politik yang terjadi dalam DPR-RI.
Disinilah pengujian undang-undang secara konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi memegang peranan dalam penegakan demokrasi yang berlandaskan
konstitusi.


140
Henry Campbell Black, op.cit, hal. 1272.
95



Adapun perihal ambang batas formal yang kerap berubah sebagaimana
dikarenakan faktor konsensus yang terjadi di antara anggota-anggota DPR-RI
menentukan model dan persentase yang akan digunakan. Tracy Quinlan
berpendapat bahwa ...electoral thresholds are institutional mechanisms that are
relatively easy to change...
141
Disadari secara konseptual bahwa ambang batas
formal sebagai suatu mekanisme penyederhanaan partai politik merupakan
pengaturan yang secara institusional tidak stabil karena dapat berubah-ubah
dengan sangat mudah dan relatif. Relativitas dalam pengaturan ambang batas
formal berdasar pada asumsi yang dibangun oleh Mahfud MD bahwa keberadaan
suatu hukum merupakan wujud dari produk politik yang timbul dari konsensus
anggota lembaga perwakilan. Lebih lanjut pengaturan ambang batas formal dapat
diinterpretasikan sebagai produk hukum responsif berdasarkan konfigurasi politik
demokratis dengan rumusannya yang cukup rinci guna memenuhi kehendak
masyarakat yang dirumuskan melalui demokrasi perwakilan.
142

Konsensus atas relativitas penentuan ambang batas formal dari aspek teori
hukum disebabkan posisi dari pengaturannya dalam undang-undang pemilu
sebagai delegated legislation dari ketentuan UUD 1945. Jimly Asshiddiqie
memaparkan bahwa delegated legislation timbul dari proses pemberian atau
pelimpahan kekuasaan (transfer of power) untuk membentuk suatu peraturan
perundang-undangan (the power of rule-making).
143
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


141
Tracy Quinlan, op.cit, hal. 18.

142
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali
Press, Jakarta, hal. 66-67 (selanjutnya disebut Moh. Mahfud MD I).

143
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, hal. 264.
96



menentukan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang
berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Penegasan kata harus dalam rumusan tersebut
menunjukkan adanya suatu perintah untuk melakukan sesuatu.
144
Dalam konteks
ini, Pasal 22E ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan adanya suatu penormaan lebih lanjut dimana ketentuan mengenai
pemilihan umum diserahkan untuk diatur dengan undang-undang. DPR-RI
sebagai penerima penyerahan kekuasaan dari konstitusi harus menentukan setiap
substansi hukum dalam undang-undang pemilu, termasuk pengaturan ambang
batas formal, sepanjang memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan
konstitusional.

3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca
Pengaturan Ambang Batas Formal
3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Pengaturan ambang batas formal berkorelasi langsung dengan konteks
penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia secara kelembagaan.
Jumlah partai politik dalam lembaga perwakilan yang mengalami pengerucutan
dikarenakan hanya yang memenuhi persentase ambang batas minimal yang dapat
mengikuti perhitungan kursi diharapkan dapat menata secara institusional fungsi
lembaga perwakilan. Penataan hubungan internal antar anggota DPR dilakukan


144
Rival Gulam Ahmad et.al. 2007, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk Transformasi Sosial
(Sebuah Manual untuk Praktisi), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta,
hal. 263.
97



dengan menyederhanakan secara kuantitas persebaran partai politik melalui
pengaturan ambang batas formal sebagai upaya realistis dalam pencapaian tujuan
negara demokrasi yang belandaskan hukum.
Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa Indonesia
adalah negara yang menggunakan sistem perwakilan proporsional (dengan
konsekuensi dibarengi sistem multipartai) dalam penyelenggaraan pemilihan
umumnya. Ambang batas formal yang dikombinasikan dalam sistem perwakilan
proporsional menjadi sarana hukum tambahan bagi partai politik selain adanya
ambang batas alami dalam mekanisme konversi kursi agar mendapakan kursi
dalam lembaga perwakilan. Patut ditelaah pada pemilihan umum tahun 2009 yang
menggunakan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5% dihasilkan sembilan
partai politik yang berhak mengikuti perhitungan kursi di DPR-RI, yakni Partai
Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan
Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.
145
Berikut rekapitulasi
suara nasional yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan UMum.
Tabel 3.1.
Perolehan Suara dan Persentase Suara
Partai Politik Peserta Pemilu 2009
No Nama Partai (Nomor Urut) Perolehan Suara Persentase Suara
1 Demokrat (31) 21.703.137 20,85%
2 Golkar (23) 15.037.757 14,45%
3 PDIP (28) 14.600.091 14,03%
4 PKS (8) 8.206.955 7,88%
5 PAN (9) 6.254.580 6,01%
6 PPP (24) 5.533.214 5,32%
7 PKB (13) 5.146.122 4,94%


145
Partai Gerindra dan Partai Hanura adalah dua partai baru atau pertama kali mengikuti
pemilihan umum yang lolos pengaturan ambang batas formal 2,5%.
98



8 Gerindra (5) 4.646.406 4,46%
9 Hanura (1) 3.922.870 3,77%
10 PBB (27) 1.864.752 1,79%
11 PDS (25) 1.541.592 1,48%
12 PKNU (34) 1.527.593 1,47%
13 PKPB (2) 1.461.182 1,40%
14 PBR (29) 1.264.333 1,21%
15 PPRN (4) 1.260.794 1,21%
16 PKPI (7) 934.892 0,90%
17 PDP (16) 896.660 0,86%
18 Barnas (6) 761.086 0,73%
19 PPPI (3) 745.625 0,72%
20 PDK (20) 671.244 0,64%
21 RepublikaN (21) 630.780 0,61%
22 PPD (12) 550.581 0,53%
23 Patriot (30) 547.351 0,53%
24 PNBK (26) 468.696 0,45%
25 Kedaulatan (11) 437.121 0,42%
26 PMB (18) 414.750 0,40%
27 PPI (14) 414.043 0,40%
28 Pakar Pangan (17) 351.440 0,34%
29 Pelopor (22) 342.914 0,33%
30 PKDI (32) 324.553 0,31%
31 PIS (33) 320.665 0,31%
32 PNI M (15) 316.752 0,30%
33 Partai Buruh (44) 265.203 0,25%
34 PPIB (10) 197.371 0,19%
35 PPNUI (42) 142.841 0,14%
36 PSI (43) 140.551 0,14%
37 PPDI (19) 137.727 0,13%
38 Merdeka (41) 0 0,11%
39 PDA (36) 0 0,00%
40 Partai SIRA (37) 0 0,00%
41 PRA (38) 0 0,00%
42 Partai Aceh (39) 0 0,00%
43 PBA (40) 0 0,00%
44 PAAS (35) 0 0,00%
JUMLAH 104.099.785 100%
(diakses dari : Hasil Akhir Pemilu 2009, http://www.detiknews.com/jumlahsuara 16 April 2013)


99



Kemudian perihal konversi perolehan suara dari partai politik yang memenuhi
persentase ambang batas menjadi perolehan kursi, KPU melakukan penetapan
akhir untuk pemilu 2009 adalah sebagai berikut :
1. Partai Demokrat 150 kursi (sebelumnya 148)
2. Partai Golkar 107 kursi (sebelumnya 108)
3. PDIP 95 kursi (sebelumnya 93)
4. PKS 57 kursi (sebelumnya 59)
5. PAN 43 kursi (sebelumnya 42)
6. PPP 37 kursi (sebelumnya 39)
7. PKB 27 kursi (sebelumnya 26)
8. Gerindra 26 kursi (sebelumnya 30)
9. Hanura 18 kursi (sebelumnya 15).
146


Konsekuensi diberlakukannya ambang batas formal dalam pemilihan
umum mengakibatkan hilangnya sejumlah suara pemilih yang memilih partai
politik dengan total perolehan suara tidak mencapai persentase minimal ambang
batas.
147
Hilangnya sejumlah suara tersebut dikarenakan adanya proses
pengurangan antara suara yang berhasil melampaui ambang batas dengan yang
gagal. Pasal 203 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 juncto Pasal 209 ayat (2) UU
No. 8 Tahun 2012 menentukan bahwa suara yang digunakan untuk penghitungan
perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh
Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi dengan jumlah suara sah Partai Politik
Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara. Apabila
dikalkulasikan terdapat 19.048.653 atau 18,30% suara yang hilang akibat
pengurangan jumlah suara tersebut pada hasil pemilihan umum tahun 2009.



146
KPU Ubah Perolehan Kursi Parpol di DPR http://mediacenter.kpu.go.id/berita/472-kpu-
rubah-perolehan-kursi-parpol-di-dpr.html. KPU melakukan revisi terhadap penetapan kursi yang
telah ditetapkan sebelumnya pada tanggal 9 Mei 2009, diakses tanggal 21 April 2013.

147
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu..., op.cit, hal. 34.
100



Tabel 3.2.
Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 2009
No Keterangan Jumlah Suara Persentase Suara
1 Jumlah total suara nasional 104.099.785 100%
2
Jumlah total perolehan suara
partai politik lolos ambang
batas
85.051.132 81,7 %
Jumlah pengurangan suara 19.048.653 18,30 %
(diolah oleh penulis berdasarkan data dari Hasil Akhir Pemilu 2009,
http://www.detiknews.com/jumlahsuara, diakses tanggal 16 April 2013)

Adanya suara hilang dalam jumlah yang relatif besar dalam pelaksanaan
pemilu yang menerapkan pengaturan ambang batas secara formal memperlihatkan
telah terjadi suatu pergeseran paradigma di dalam sistem perwakilan proporsional
yang digunakan. Sistem perwakilan proporsional pada hakikatnya menentukan
proporsi suara setiap kontestan dalam menentukan pemenang pemilu berlaku
prinsip tidak ada suara yang hilang.
148
Keberadaan sistem perwakilan
proporsional merupakan sebagai sandingan dari sistem pluralitas-mayoritas yang
dianggap disproporsional dan tidak representatif karena mengenyampingkan
suara-suara minoritas. Tidak terakomodirnya perolehan suara dari partai-partai
politik yang mendapatkan suara minim menyebabkan sistem perwakilan
proporsional digunakan untuk memenuhi nilai representatif suatu
penyelenggaraan pemilihan umum. Hal tersebut seharusnya menjadi faktor
keunggulan sistem perwakilan proporsional dibandingkan dengan sistem
pluralitas-mayoritas.



148
Tim LIP FISIP UI, 1998, Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat : Reformasi UU
Pemilihan Umum, Kompilasi Tulisan Mengubur Sistem Politik Orde Baru, Penerbit Mizan,
Bandung, hal. 58
101



Pengaturan ambang batas formal menempatkan pemahaman bahwa di
dalam sistem perwakilan proporsional juga berlaku prinsip pluralitas-mayoritas.
Hal tersebut dikarenakan bagi partai-partai politik yang mampu meraih suara
mayoritas relatif dengan menembus persentase ambang batas, maka akan
mendapatkan kursi dalam lembaga perwakilan. Sebaliknya bagi partai yang tidak
memenuhi ambang batas, maka dipastikan suara yang disalurkan pada mereka
akan tidak berlaku, sehingga prinsip yang dianut identik sebagaimana yang
diterapkan dalam sistem pluralitas-mayoritas.
149
Namun dalam konteks ini,
pengaturan ambang batas formal tidak menjadikan adanya perubahan sistem,
dikarenakan ambang batas formal merupakan substansi hukum yang dianut secara
eksklusif dalam sistem perwakilan proporsional dan sebagian sistem campuran.
150

Hilangnya sejumlah suara akibat proses pengurangan yang dilakukan
secara teleologis ditujukan untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana.
Terminologi sistem multipartai sederhana hanya terdapat dalam penjelasan umum
UU No. 10 Tahun 2008 dan kembali ditegaskan dalam penjelasan umum UU No.
8 Tahun 2012. Secara teoritik sistem multipartai sederhana tidak dibahas secara
spesifik dalam literatur tentang sistem kepartaian. Namun apabila merujuk pada


149
Hal ini sejalan dengan pendapat Mahfud MD yang memaparkan kelemahan dari sistem
pluralitas dengan memunculkan kecenderungan terjadinya over-representation (perolehan kursi
lebih besar dari suara yang diperoleh) atau under-representation (perolehan kursi lebih kecil dari
perolehan suara). Lihat dalam Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi),
Rajawali Press, Jakarta, hal 78.

150
Lihat dalam Tracy Quinlan, op.cit, hal 21 yang berpendapat since electoral thresholds
are tools employed exclusively in proportional representation elections, majoritarian systems were
not included. Mixed systems are included, but the competitive party, district magnitude, and party
magnitude data represents only results from the PR proportion of the legislature. Ambang batas
formal merupakan pengaturan ekslusif dalam sistem pemilu perwakilan proporsional dan tidak
termasuk dalam sistem mayoritas. Sistem campuran juga mengatur ambang batas formal, namun
dalam hal partai kompetitif, besaran distrik, dan data besaran partai merupakan hasil daripada
bagian yang mencerminkan sistem perwakilan proposional.
102



konsekuensi dari sistem multipartai yang tidak mampu menempatkan partai
politik dominan dalam lembaga perwakilan, sistem multipartai sederhana dapat
diinterpretasikan sebagai sistem yang mencoba untuk mereduksi kelemahan
tersebut.
Apabila mengacu pada hasil penyelenggaraan pemilu tahun 2009, sistem
multipartai sederhana yang dicapai memiliki rasio perbandingan yang ekstrim
dimana partai politik yang memperoleh kursi dalam lembaga perwakilan
berjumlah jauh lebih sedikit dari jumlah partai politik yang menjadi peserta
pemilihan umum. Rasio perbandingan ekstrim tersebut menghasilkan sistem
kepartaian dengan jumlah yang moderat di dalam lembaga perwakilan, dalam arti
jumlah yang tidak terlalu banyak namun juga tidak terlalu sedikit. Sistem
multipartai sederhana tidak berada pada domain kuantitas partai politik dalam arti
sebagai peserta pemilihan umum, melainkan dalam hal jumlah partai politik yang
akan berada pada lembaga perwakilan untuk menciptakan kekuatan politik yang
lebih dominan, sebagaimana konsekuensi yang harus diatasi pada negara yang
menganut sistem multipartai.
Pemahaman perihal bagaimana kebijakan hukum ambang batas formal
yang proporsional guna mewujudkan jumlah partai yang moderat masih
merupakan suatu perdebatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
proporsional yaitu sesuai dengan proporsi; sebanding; seimbang; berimbang.
151

Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya memberikan salah
satu batasan yang digunakan dalam menentukan ambang batas formal sehingga


151
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. hal.1106.
103



keseimbangan atau proporsionalitas lembaga perwakilan terjaga yakni melalui
pemenuhan aspek rasionalitas. Mengkaji rasionalitas pengaturan ambang batas
perolehan suara dalam undang-undang pemilihan umum apabila beranjak dari
teori model rasional komprehensif sebagai salah satu model dalam perumusan
kebijakan, menempatkan lima elemen dalam mengukur rasionalitas suatu
kebijakan, yaitu sebagai berikut :
1. Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.
Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau
paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila
dibandingkan dengan masalah masalah lain.
2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan
pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari
setiap pemilihan alternatif diteliti.
5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat
dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan
memiliki alternatif beserta konsekuensi-konsekuensinya yang
memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai, atau sasaran-sasaran yang
hendak dicapai.
152


Masalah yang menjadi salah satu fokus penataan hubungan kelembagaan
DPR-RI adalah dalam konteks pembahasan suatu rancangan undang-undang.
Struktur hukum Indonesia memperlihatkan bagaimana pembahasan rancangan
undang-undang yang melibatkan anggota-anggota DPR dengan positional
bargaining-nya masing-masing bersama dengan Pemerintah, hingga akhinya
tercapai kata mufakat antara keduanya dalam menghasilkan sebuah undang-
undang.
153
DPR merupakan lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional


152
Budi Winarno, 2012, Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus (Edisi Revisi),
Penerbit Caps, Yogyakarta, hal. 103-104.

153
Lihat dalam Roger Fisher et.al, 2011, Getting to Yes, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal.28. Bahwa positiional bargaining diterjemahkan sebagai suatu keadaan dimana
masing-masing pihak mengambil posisi tertentu, memperdebatkannya, dan memberikan konsesi
104



untuk membentuk undang-undang dengan salah satu alat kelengkapannya yakni
Komisi yang bertugas mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan
penyempurnaan rancangan undang-undang (vide Pasal 96 ayat (1) UU No. 27
Tahun 2009). Keanggotaan Komisi dibentuk dari perimbangan dan pemerataan
jumlah anggota tiap-tiap fraksi (vide Pasal 94 ayat 2 UU No. 27 Tahun 2009),
dimana setiap komisi akan terdiri dari beberapa fraksi yang berbeda-beda serta
berasal dari anggota DPR dari partai-partai politik yang berbeda pula. Komisi
yang dibentuk secara tidak berimbang atau tidak merata secara kuantitas akan
menghasilkan proses pembahasan rancangan undang-undang yang tidak efektif.
Ambang batas formal digunakan untuk menciptakan keseimbangan dan
pemerataan kekuatan partai politik, sehingga diharapkan masalah ketimpangan
secara kuantitas dalam perancangan suatu undang-undang dapat teratasi.
Pembentuk undang-undang pada hakikatnya memiliki banyak alternatif-
alternatif hukum untuk menciptakan sistem kepartaian yang sederhana dalam
rangka menata kelembagaan DPR-RI. Sejarah memperlihatkan bahwa dalam
setiap rezim pemerintahan memiliki kesepahaman secara fundamental bahwa
penyederhanaan kepartaian menjadi suatu hal yang harus dilakukan secara
hukum. Politik hukum pada pemerintahan era Orde Lama tampak dengan
diterbitkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959
tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang diberlakukan pada

demi tercapainya kompromi. Positional bargaining yang ada di antara para pihak dapat
memperburuk suatu negosiasi. Pembahasan suatu RUU dimana perhatian yang lebih banyak
diarahkan pada posisi, dan minimnya perhatian untuk menangani pokok permasalahan akan
menimbulkan jauhnya tercapai kata sepakat.
105



masa demokrasi terpimpin.
154
PNPS ini menentukan syarat ketat dalam
pembentukan partai sebagai berikut :
Pasal 2 : Partai harus menerima dan mempertahankan azas dan
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-
undang Dasar 1945.

Pasal 3 (ayat 1) : Untuk dapat diakui sebagai partai maka dalam
anggaran dasar organisasi harus dicantumkan dengan tegas, bahwa
organisasi itu menerima dan mempertahankan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia yang memuat dasar-dasar Negara,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat,
Perikemanusiaan dan Keadilan Sosial, dan bertujuan membangun
suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian
bangsa Indonesia, serta mendasarkan program kerjanya masing-
masing atas Manifesto Politik Presiden tertanggal 17 Agustus 1959,
yang telah dinyatakan menjadi haluan Negara.
Pasal 3 (ayat 2) : Dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga partai termaksud pada ayat (1) pasal ini harus dicantumkan
pula dengan tegas organisasi-organisasi lain yang mendukung
dan/atau bernaung di bawah partai itu.

Pasal 4 : Dalam memperjuangkan tujuannya, partai-partai
diharuskan menggunakan jalan-jalan damai dan demokratis.
Pasal 5 : Partai, harus, mempunyai cabang-cabang yang tersebar
paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah
cabang-cabang itu seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pasal 6 ayat (1) : Partai tidak dibolehkan mempunyai seorang asing
pun baik dalam pengurus dan pengurus penghormatan maupun
sebagai anggota biasa.
Pasal 6 ayat (2) : Partai tidak diperbolehkan tanpa idzin dari
Pemerintah menerima bantuan dari fihak asing dan/atau memberi
bantuan kepada fihak asing dalam bentuk dan dengan cara apapun
juga.

Pasal 7 : Yang berhak menjadi anggota partai ialah warga-negara
Indonesia yang telah berumur 18 tahun atau lebih.


154
Penjelesan Umum PNPS Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan
Kepartaian menjelaskan bahwa keberadaannya dilatarbelakangi timbulnya ketidakstabilan politik
dari Maklumat Pemerintah tertanggal 3 Nopember 1945 yang menganjurkan pendirian parta
politik dengan tidak terbatas pada masa demokrasi parlementer.
106



Kebijakan hukum penyederhanaan partai politik juga diterapkan pada era
Orde Baru dimana Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya menggabungkan partai-partai politik menjadi dua, yakni Partai
Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, serta satu Golongan
Karya sebagai organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil
pembaharuan, dan penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia (vide Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975). Legitimasi politik hukum untuk
penyederhanaan partai politik tersebut ditegaskan landasan keberlakuannya dalam
konsideran menimbang sebagai berikut :
a. bahwa dalam rangka penyederhanaan dan pendayagunaan
kehidupan politik, dewasa ini organisasi-organisasi kekuatan sosial
politik yang telah ada telah mengelompokkan diri menjadi dua
Partai Politik dan satu Golongan Karya, seperti yang telah
dinyatakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara;
b. bahwa dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik
tersebut, diharapkan agar Partai-partai Politik dan Golongan Karya
benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan
Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan
pembangunan;
c. bahwa agar supaya kenyataan-kenyataan yang positif itu dapat
tumbuh semakin kuat dan mantap, perlu diatur tata kehidupan
Partai-partai Politik dan Golongan Karya tersebut, yang sekaligus
memberikan kepastian tentang kedudukan, fungsi, hak dan
kewajiban yang sama dan sederajat dari organisasi-organisasi
kekuatan sosial politik yang bersangkutan yang memadai serta
sesuai dengan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila serta
pelaksanaan pembangunan Bangsa.

Kedua pengaturan dari rezim yang berbeda tersebut memperlihatkan
bahwa terdapat pilihan-pilihan hukum yang dapat diambil dalam rangka
mengurangi fragmentasi lembaga perwakilan dan menciptakan kestablian politik.
Dibandingkan pada era Orde Baru, pengaturan fusi partai politik tersebut
dianggap tidak rasional karena menghilangkan nilai-nilai kebebasan setiap orang
107



untuk berserikat dan berkumpul dengan tidak dimungkinkannya untuk mendirikan
partai selain dari yang ditentukan. Alternatif hukum yang dipilih pada era
reformasi adalah bagaimana agar kebebasan-kebebasan tersebut tidak berkurang
namun tetap sejalan pada tujuan penyederhanaan sistem kepartaian sebagai upaya
penciptaan proporsionalitas lembaga perwakilan. Pengaturan ambang batas
formal dianggap sebagai bentuk alternatif hukum yang rasional dalam undang-
undang pemilu untuk mengatasi fragmentasi lembaga perwakilan.
Pengaturan ambang batas formal juga harus memperhatikan setiap
konsekuensi yang melekat dalam menjaga tingkat rasionalitasnya. Rasionalitas
ilmu hukum tidak dapat diterjemahkan sebagai hal universal yang mutlak/penuh
dimana semua orang harus setuju (pragmatis-konsensus).
155
Pilihan hukum antara
menyelamatkan suara pemilih dengan penyederhanaan sistem kepartaian
diibaratkan sebagai dua sisi mata koin yang harus dipilih salah satunya. Secara
teoritik, rasionalitas di dalam demokrasi adalah ketika tujuan yang ingin dicapai
harus dinikmati oleh orang sebanyak-banyaknya (the greatest number).
156

Pengaturan ambang batas formal yang rasional harus dengan cermat
memperhatikan keuntungan maupun kerugian yang timbul dalam setiap
pengaturannya bagi seluruh masyarakat, dimana penyederhanaan sistem
kepartaian sebagai kebijakan hukum yang dipilih harus mampu menyeimbangkan
setiap konsekuensinya. Besarnya jumlah suara yang hilang akibat proses


155
Theo Huijbers, 2012, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 137.

156
M. Hutauruk, 1983, Kadar Demokrasi dan Rasionalitas dalam Kebijaksanaan
Pemerintah, dalam Kompilasi Karangan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia -
Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 59.
108



pengurangan yang dilakukan seharusnya mampu diupayakan untuk diminimalisir
dengan cara-cara yang sah menurut hukum dalam rangka membentuk lembaga
perwakilan yang berlegitimasi dan mampu membawa hasil positif seluas-luasnya.

3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap Sistem
Pemerintahan Presidensial Indonesia
UUD Negara Republik Indonesia 1945 mengatur secara konstitusional
bagaimana upaya pencegahan penumpukan kekuasaan dilakukan secara yuridis
sebagaimana penerapan prinsip konstitusionalisme. Penumpukan kekuasaan
tersebut dilakukan dengan menata hubungan antar lembaga negara, dimana dalam
hal ini salah satunya terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh kekuasaan
eksekutif dan legislatif.
Salah satu tujuan pokok yang mengemuka ketika ambang batas formal
hendak diterapkan dalam undang-undang pemilihan umum adalah dalam rangka
mendukung penguatan dan efektifitas sistem presidensial. Naskah Akademik
RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjabarkan sebagai
berikut : pengaturan yang ketat seperti ini (electoral threshold) diperlukan
dengan harapan akan terciptanya penguatan sistem kepartaian di satu pihak dan
efektititas sistem presidensial di pihak lain.
157
Secara gramatikal dapat
diinterpretasikan bahwa korelasi yang terbangun dengan diaturnya ambang batas
formal terhadap sistem presidensial adalah bersifat tidak langsung. Hal ini
dikarenakan konsekuensi yuridis yang melekat pada pengaturan ambang batas


157
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2007, Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. CETRO, hal. 18.
109



formal sesungguhnya ada terkait dengan sistem kepartaian. Dengan kata lain,
efektivitas sistem presidensial melalui pengaturan ambang batas formal adalah
bergantung dari bagaimana penguatan sistem kepartaian yang terjadi. Lebih jauh
bahkan penafsiran yang dapat dibangun disini adalah bahwa sistem presidensial
Indonesia adalah sistem yang bergantung pada lembaga perwakilan yang dibentuk
dari partai-partai politik.
Secara teoritik, sistem presidensial dapat diterjemahkan dari tiga
pemahaman dasar berikut :
1. Jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden (the president must
be the head of government).
2. Jabatan Presiden adalah dipilih untuk suatu periode yang tetap (the
president is elected for a fixed time period).
3. Presiden tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri karena mosi tidak
percaya oleh legislatif (the president cannot be forced to resign because of
a no-confidence vote by the legislature). Kebanyakan sistem presidensial
menerapkan impeachment namun merupakan suatu hal yang langka
diterapkan dalam praktiknya.
158

Sistem presidensial pada hakikatnya memposisikan jabatan eksekutif yang
tidak bergantung pada legislatif. Tidak seperti pada sistem parlementer dimana
kepala pemerintahan ditentukan oleh legislatif sehingga menimbulkan
ketergantungan kepada lembaga legislatif. UUD Negara Republik Indonesia


158
Scott Mainwaring, 2003, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult
Combination, dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose
Antonio Cheibub, The MIT Press, London, hal. 265-266.
110



Tahun 1945 sendiri menentukan jabatan yang tetap untuk kepala pemerintahan
yang dipilih secara langsung oleh rakyat (vide Pasal 7 jo Pasal 6A ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945), serta rumitnya metode dalam
melakukan pemberhentian Presiden di luar masa jabatannya (vide Pasal 7B UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Hal ini menandakan bahwa instabilitas
sistem presidensial yang memiliki ketergantungan dengan lembaga perwakilan
sehingga urgensi mengadakan pengaturan ambang batas formal merupakan suatu
alasan yang rapuh.
Terkait dengan korelasi antara sistem presidensial, stabilitas, dan
kelemahan sistem multipartai, sebagaimana yang menjadi tujuan diaturnya
ambang batas formal, Scott Mainwaring memaparkan antitesis bahwa sistem
presidensial yang dikombinasikan di dalam lembaga perwakilan yang terdiri dari
sistem multipartai akan menyebabkan terjadinya instabilitas. Sistem multipartai,
baik yang diterapkan pada sistem presidensial atau sistem parlementer,
membutuhkan adanya koalisi atau gabungan partai politik guna mencapai lembaga
legislatif yang mayoritas (in multiparty systems, interparty coalition building is
essential for attaining a legislative majority), dan membangun koalisi adalah hal
yang lebih sulit untuk dilakukan bagi sistem presidensial (make building stable
interparty legislative coalitions more difficult in presidential democracies than in
parliamentary systems).
159
Tiga argumentasi yang dibangun adalah sebagai
berikut :


159
ibid, hal. 270.
111



1. Dukungan partai politik bagi pemerintah cenderung lebih aman dalam
sistem parlementer karena cara pembentukan dan pembubaran kekuasaan
eksekutif melalui perjanjian pasca pemilu di antara partai partai.
Sedangkan pada sistem presidensial, penentuan kabinet pemerintahan ada
pada kewenangan Presiden (bukan lembaga legislatif dan partai-partai),
sehingga walaupun Presiden dapat membuat kesepakatan sebelumnya
dengan pihak-pihak yang mendukungnya, namun kesepakatan tersebut
tidak mengikat seperti pada sistem parlementer (The president may make
prior deals with the parties that support him or her, but these deals are not
as binding as they are in a parliamentary system).
2. Dalam sistem presidensial, komitmen legislator secara individu untuk
mendukung kesepakatan yang dinegosiasikan oleh pimpinan partai politik
sering kurang terjamin (the commitment of individual legislators to
support an agreement negotiated by the party leadership is often less
secure).
3. Dorongan yang kuat untuk memecah koalisi (incentives for parties to
break coalitions) lebih besar terjadi pada sistem presidensial dibandingkan
sistem parlementer, terutama menjelang pemilihan umum, dalam hal
apabila terjadi kegagalan pada pemerintahan atau tidak menuai
keuntungan berarti terhadap prestasi yang diraih (share the blame for
government mistakes, and not reap the benefits of its accomplishments).
160



160
ibid, hal. 270-271
112



Dari argumentasi Scott Mainwaring tersebut dapat dibentuk pemahaman,
bahwa sistem multipartai yang menyebabkan sistem presidensial menjadi
ketergantungan pada keberadaan lembaga legislatif. Tidak adanya jaminan
komitmen dalam membentuk hubungan yang langgeng di antara eksekutif dan
legislatif dikarenakan koalisi dalam sistem multipartai adalah hal yang tidak
permanen. Oleh karena banyaknya partai politik yang berada pada lembaga
legislatif akan semakin mempersulit hubungan eksekutif dan legislatif, maka
penyederhanaan partai politik secara tegas perlu untuk dilakukan. Ambang batas
formal menjadi alternatif solusi hukum untuk menggantikan metode koalisi partai
politik.
Sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia secara sistemis tidak
tegas apakah menganut sistem presidensil atau parlementer. Peter Mahmud
Marzuki berpendapat bahwa UUD 1945 tidak menganut sistem parlementer
maupun presidensial dengan pemisahan kekuasaan (the original version of the
1945 Constitution indicates that Indonesia neither adopts parliamentary system
nor government with separation of power system).
161
Meskipun UUD 1945
menentukan bahwa jabatan kepala pemerintah yang tetap dipegang oleh Presiden,
namun Pemilihan Presiden sendiri bergantung pada keberadaan partai politik dan
lembaga perwakilan. Ketentuan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden mengatur bahwa Pasangan Calon diusulkan
oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah


161
Peter Mahmud Marzuki, An Introduction , op.cit, hal.75
113



kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menempatkan salah satu
syarat ambang batas minimum berupa persentase perolehan kursi di DPR oleh
partai politik atau gabungan partai politik, sehingga pengaturan ambang batas
pemilu turut memberikan pengaruh di dalam penyelenggaraan pemilihan umum
eksekutif. Partai politik yang tidak mampu menembus ambang batas pemilu
menjadi tidak dapat (atau setidaknya sulit) mengusulkan Calon Presiden dan
Wakil Presiden dikarenakan tidak dapat mengikuti perhitungan kursi di DPR.
Meskipun terdapat alternatif ambang batas lain yakni 25% suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, namun hal tersebut secara rasional adalah sulit untuk
dipenuhi bagi partai politik yang tidak mampu meraih kursi di DPR. Sistem
Presidensial Indonesia memperlihatkan adanya hubungan secara yuridis dengan
partai politik dan lembaga perwakilan dalam menentukan kepala pemerintahan.
Perihal stabilitas sistem presidensial dan penggunaan sistem multipartai
akhirnya menempatkan ambang batas formal pada satu titik temu dimana
kekuasaan eksekutif membutuhkan lembaga perwakilan yang tersusun oleh partai
politik dengan kekuatan dominan. UUD 1945 sebelum amandemen menunjukkan
bagaimana peran sentral figur Presiden dalam Pemerintahan, seperti halnya
bagaimana Presiden lebih memiliki peran dominan dalam pembuatan undang-
undang dibandingkan dengan DPR-RI. Dominasi eksekutif pada fungsi legislasi
menjadikan Indonesia tidak menganut teori pemisahan kekuasaan. Pun halnya
setelah diadakannya amandemen UUD 1945 yang mereduksi fungsi Presiden,
114



ternyata hak untuk mengajukan RUU tetap dipertahankan sehingga amandemen
tidak menjadikan timbulnya separation of power secara mutlak (such a right
signifies that the amendment of the 1945 Constitution does not turn to separation
of power system).
162

Secara normatif, DPR merupakan lembaga negara yang memegang
kekuasaan konsitusional dalam menjabarkan arah politik hukum melalui undang-
undang. Kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif diperoleh
secara atribusi berdasarkan ketentuan pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
163
Namun demikian UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjabarkan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi adalah memperlihatkan adanya
interaksi antara lembaga legislatif bersama dengan eksekutif. Terkait dengan
adanya bentuk konsensus cermat antara lembaga legislatif dan Presiden dalam
pembentukan undang-undang merupakan sebagai suatu aspek filsafat demokrasi
presidensial Indonesia yang ditanamkan oleh pendiri bangsa sejak awal
ditetapkannya UUD 1945. Demokrasi Indonesia menempatkan bagaimana
mufakat antara DPR bersama eksekutif dalam menghasilkan sebuah undang-


162
Peter Mahmud Marzuki, An Introduction..., op.cit, hal.77.

163
Lihat dalam Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah
(Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
Hukum dan Kesatuan), Setara Press, Malang hal. 126. Bahwa Van Wijk sebagaimana dikutip
Lukman Hakim mendefinisikan Atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada pemerintah (attributie : toekening van een bestuurbevoegheid
door een wetgever aan een bestuursogaan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembuat undang-
undang yang dimaksud tersebut baik pembentuk undang-undang orisinil (orginaire wetgever)
maupun pembentuk undang-undang yang diwakilkan (gedelegeerde wetgevers). Atribusi
merupakan kewenangan yang bersifat asli karena langsung bersumber dari pembentuk undang-
undang, yang tidak berasal dari kewenangan yang ada sebelumnya ataupun bukan perluasan dari
kewenangan sebelumnya.
115



undang dapat merepresentasikan baik kepentingan rakyat maupun kepentingan
negara.
Apabila kewenangan legislasi hanya berada pada tangan DPR-RI serta
tidak ada pengimbangan dalam pembuatan undang-undang, maka hal tersebut
akan mengarah pada perubahan tatanan demokrasi konstitusional Indonesia.
Bahwa selain konsensus yang dibentuk dalam lembaga legislatif, pembentukan
dan pembaruan hukum juga melibatkan badan eksekuif (dalam hal pembahasan)
dan judisial (dalam hal uji materi). Lembaga perwakilan merupakan lembaga yang
diisi oleh bervariasi aspirasi sehingga akan sangat sulit untuk menemukan kata
mufakat. Kondisi ini menimbulkan implikasi bagaimana voting menjadi lumrah
untuk dipraktikkan dalam pembahasan undang-undang dan menyebabkan
substansi dari suatu undang-undang tersebut rentan akan kelemahan, sehingga
perlu diimbangi oleh lembaga negara lain. Adanya check and balances yang
terjadi dalam proses jalannya fungsi lembaga negara tidak lain adalah didasarkan
pada konsep negara kesejahteraan sebagai politik hukum, dimana negara berhak
turut campur dalam setiap aspek kehidupan demi terwujudnya masyarakat yang
sejahtera.
Secara fungsional permasalahan dan kebutuhan negara adalah lebih
banyak dipahami oleh eksekutif. Sebagai perbandingan, bahwa dipaparkan oleh
Allan R. Ball & B. Guy Peters sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra dimana
sebesar 80% RUU yang diciptakan di Amerika adalah berasal dari eksekutif.
164

Paradigma Amerika yang dianggap sebagai penganut konsep pemisahan


164
Saldi Isra, op.cit. hal. 97
116



kekuasaan paling konsisten dalam pemerintahannya sebagaimana termaktub
dalam Konstitusi Amerika Serikat tentu menjadi terbantah. Article I - Legislative
Department, Section 1: All legislative Powers herein granted shall be vested in
a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of
Representatives (Semua kekuasaan legislatif yang ditetapkan di sini akan
diberikan kepada sebuah Kongres Amerika Serikat, yang akan terdiri dari sebuah
Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat). Apabila Amerika konsisten dengan konsep
pemisahan kekuasaan dan sistem presidensial murni, maka tentu presiden tidak
akan terlibat secara dominan dalam pengajuan RUU. Satu-satunya alasan
mengapa Amerika melakukan praktik kenegaraan demikian adalah tidak lain
adalah demi suatu efektivitas jalannya pemerintahan. Teori meligitimasi bahwa
efeketifitas hanya dapat timbul apabila terdapat suatu hubungan atau relationship
antar lembaga negara, dan kekuasaan yang satu dan yang lain tidak benar-benar
terpisah.
Argumentasi-argumentasi di atas memperlihatkan bahwa adanya
hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif sekalipun di dalam sistem
pemerintahan presidensial menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Perihal
efektivitas jalannya fungsi pemerintahan apapun rezim atau doktrin yang dianut
suatu negara adalah tujuan yang harus dicapai dalam keadaan apapun. Pengaturan
ambang batas formal yang menyederhanakan sistem kepartaian dalam lembaga
perwakilan memiliki tujuan yang sejalan dengan hal tersebut. Hubungan antara
DPR-RI dan Presiden dalam hal perumusan RUU tidak akan berjalan maksimal
apabila partai-partai politik yang ada di dalam lembaga perwakalian berada dalam
117



fragmentasi kepentingan yang terlalu bervariasi. Ambang batas formal
mengupayakan bagaimana hubungan antara legislatif dan eksekutif dapat tertata
secara yuridis dan demokratis dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem
pemerintahan presidensial multipartai (multiparty presidential government
system).

3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik
Hak politik secara teoritis berada pada Generasi HAM Pertama bersama
dengan hak sipil.
165
Hak politik atau political right merupakan hak keikutsertaan
dalam pemerintahan, seperti hak pilih (hak untuk memilih dan dipilih dalam
pemilu), hak mendirikan partai politik, organisasi masyarakat, dan sebagainya.
166

Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa hak politik erat berkaitan dengan
bagaimana keterlibatan seseorang di dalam pemerintahan, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Hak politik merupakan jenis dari hak derivatif.
167
Hak politik harus
dituangkan ke dalam konstitusi, yang kemudian dituangkan lebih lanjut ke dalam
undang-undang agar dapat terlihat batas-batas daripada haknya dan apabila terjadi
suatu permasalahan dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memutusnya.
168



165
Lihat dalam Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 212, yang menjelaskan bahwa Generasi HAM
Pertama berada pada aspek hak-hak sipil dan politik yang berdasarkan pemikiran negara-negara
barat dengan kerangka ideologi individualisme liberal

166
Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD45 Dalam Paradigma Reformasi (Edisi
Revisi), Rajawali Press, Jakarta, hal. 98.

167
Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 162. Peter
Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa hak derivatif adalah hak yang timbul karena dibentuk oleh
hukum (undang-undang), dipraktikan dalam hukum kebiasaan, dan dituangkan di dalam
perjanjian.

168
ibid, hal. 171.
118



Hak politik membutuhkan peraturan perundang-undangan dalam rangka
memberikan legitimasi akan keberadaannya dan justifikasi perihal penegakan
hukumnya dalam rangka menjaga keutuhan perlindungan hak-hak politik tersebut
(protection of the political rights).
Perlindungan hak-hak asasi secara konstitusional adalah unsur yang esensi
dalam prinsip demokrasi konstitusional. Pengaturan ambang batas formal
berkorelasi secara langsung dengan hak warga negara di dalam pemerintahan,
dalam hal ini hak-hak politik warga negara untuk menduduki jabatan politik
dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
169
Reformasi demokratisasi Indonesia
memberikan jaminan akan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk hak
politik, secara konstitusional dalam amandemen UUD 1945, sehingga penempatan
materi-materi hukum dalam setiap perundang-undangan harus memperhatikan
pemenuhannya, termasuk perihal ambang batas formal.
3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis Ambang Batas
Formal
Secara normatif, pasal-pasal yang secara substansil mengatur tentang hak-
hak politik tercantum baik di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
maupun perundang-undangan organis lain yang ada di bawahnya. Ketentuan
normatif perihal hak politik dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945


169
Lihat dalam Solly Lubis, op.cit. hal. 109-110. Solly Lubis mengutip pendapat Utrecth yang
menjelaskan bahwa yang dimaksud pemerintah umumnya terdapat tiga definisi. Pemerintah dalam
arti luas sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan yang berkuasa memerintah (meliputi
badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif) ; Pemerintah sebagai gabungan badan-badan
kenegaraan yang tertinggi ataupun satu badan kenegaraan yang tertinggi yang berkuasa
memerintah di wilayah suatu Negara, misalnya Raja atau Presiden ; Pemerintah dalam arti Kepala
Negara bersama-sama dengan menterinya (dalam arti sebagai organ eksekutif).
119



sebagai aturan yang berada di puncak tata urutan peraturan perundangan-
undangan adalah berdasakan Pasal 28D ayat (3) dimana setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Perihal
kesempatan yang sama tersebut hanya dapat dijamin melalui aturan hukum,
sehingga pasal tersebut berkorelasi dengan Pasal 28D ayat (1) dimana setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan sama di hadapan hukum. Kedua pasal dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut memberikan jaminan kepada setiap
negara akan hak-hak politiknya yang dilindungi secara hukum.
Kemudian UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai
perundang-undangan organis di bawah undang-undang dasar turut memberikan
kepastian perihal jaminan hak politik warga negara. Beranjak dari Pasal 43 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 telah diatur mengenai hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang taat asas, hak turut serta dalam
pemerintahan (perwakilan), dan hak atas jabatan pemerintahan, yaitu sebagai
berikut:
1. Pasal 43 ayat (1) : Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan
suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pasal 43 ayat (2) : Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang
120



dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Pasal 43 ayat (3) : Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap
jabatan pemerintahan.
Selain hukum nasional, Indonesia juga meratifikasi ketentuan dari hukum
internasional perihal hak politik yakni ratifikasi The International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum
PBB tertanggal 16 Desember 1966. Apabila beranjak dari pemahaman yang
dituangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia merupakan negara yang
menganut paham dualisme yang memandang hukum nasional dan hukum
internasional sebagai dua hal yang berbeda (baik dari sumber, subjek, dan tata
hukum). Hal ini menyebabkan ketentuan dalam hukum internasional memerlukan
transformasi menjadi hukum nasional sehingga hukum internasional tersebut
dapat berlaku menjadi hukum nasional.
170
UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang merupakan hasil ratifikasi
menimbulkan konsekuensi pengaturan hak politik internasional menjadi berlaku
di Indonesia.
Pasal 25 Kovenan Sipil dan politik mengatur hak politik warga negara
pihak kovenan dalam hal hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum, serta mempunyai akses yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik.


170
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, hal. 57-58.
121



Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the
distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions (setiap
warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak
layak:)
(a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely
chosen representatives (untuk ikut serta dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang
dipilih secara bebas);
(b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by
universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot,
guaranteeing the free expression of the will of the electors (untuk memilih
dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak
pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara
secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para
pemilih);
(c) To have access, on general terms of equality, to public service in his
country (untuk memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya
atas dasar persamaan dalam arti umum).
Ambang batas formal merupakan pengaturan yang berkorelasi secara
langsung terhadap sistem kepartaian dalam lembaga perwakilan, sehingga partai
politik merupakan subyek hukum yang terikat di dalamnya. Namun apabila
ditafsirkan secara ekstensif, pengaturan ambang batas formal sesungguhnya
122



mengarah pada dua subyek hukum, yakni selain terhadap partai politik, juga
melekat pada individu calon anggota legislatif yang diusung oleh partai politik.
Adapun dalam hal ini ambang batas formal berakibat secara langsung terhadap
hak-hak individu warga negara perihal keterlibatannya di pemerintahan. Calon
anggota DPR-RI yang diusung oleh partai politik peserta pemilu menjadi tidak
berhak mengisi jabatan politik dalam lembaga perwakilan apabila partai politik
pengusungnya memiliki persentase kurang dari persentase minimal yang
dipersyaratkan, walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya calon anggota DPR-
RI yang memperoleh suara yang mencukupi. Secara normatif, hal ini
menimbulkan adanya pengurangan hak setiap warga negara untuk turut serta
dalam pemerintahan, dalam arti hak secara aktif.
Pengaturan ambang batas formal bahkan secara tidak langsung berdampak
pada hak-hak politik warga negara secara pasif. Pengaturan ambang batas formal
memiliki konsekuensi secara langsung (direct consequence) terjadinya
pengurangan suara. Suara-suara dari pemilih yang berhak untuk memilih akan
hilang secara otomatis apabila partai politik pengusung calon anggota DPR yang
dipilihnya tidak memenuhi ambang batas pemilihan umum. Berdasarkan
pemahaman tersebut, konsekuensi yang ditimbulkan dari adanya pengaturan
ambang batas formal berdampak kepada hak politik, baik secara aktif maupun
pasif.



123



3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas Formal
Bahwa perdebatan pengaturan ambang batas formal yang membatasi hak
politik menghasilkan fenomena substansial perihal bagaimana cara yang sah
secara hukum guna melegitimasi pembatasan hak-hak politik tersebut. Secara
normatif, pembatasan hak-hak politik dari warga negara sebagaimana
konsekuensi yang timbul dari pengaturan ambang batas formal hanya dapat
dilegitimasi secara formal apabila terdapat suatu dasar mengikat yang menjaga
keberlakuannya. UUD 1945 secara konstitusional memaktubkan bahwa
pembatasan hak asasi manusia melalui undang-undang adalah dapat dilakukan
tanpa terkecuali pada hak politik. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan bahwa : "Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis". Pembatasan terhadap hak politik hanya dapat dilakukan melalui
perundang-undangan, dimana dalam hal ini ambang batas formal merupakan
substansi hukum yang diatur di dalam undang-undang pemilu, sebagaimana apa
yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Adapun ketentuan pembatasan hak tersebut
juga ditegaskan dalam Pasal 70 UU Nomor 39 Tahun 1999.

124



Sejalan dengan hal tersebut Kovenan sipil dan politik menentukan pula
secara limitatif hak-hak asasi yang boleh dikurangi atau dibatasi (derogable
rights) pemenuhannya. Pasal 4 Kovenan Sipil dan Politik menentukan bahwa no
derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 and 18 may be
made under this provision. Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18
merupakan pasal-pasal yang tidak boleh dikurangi (non derogable) sebagaimana
ditentukan dalam Kovenan. Apabila ditafsirkan secara pertentangan, maka selain
pasal-pasal yang ditentukan tersebut adalah bersifat derogable, termasuk dalam
hal hak-hak politik setiap partai politik dan individu yang terikat ketentuan
ambang batas formal.
Secara teoritik, Hans Kelsen memaparkan bahwa proses derogasi atau
pengurangan suatu ketentuan hukum diperlukan jika terdapat norma-norma yang
saling berkonflik antara yang satu dengan yang lainnya, dimana konflik tersebut
terjadi jika dalam menerapkan norma yang satu, maka norma yang lainnya
terlanggar.
171
Norma yang mengalami konflik, dimana pada satu sisi UUD 1945
menentukan perlindungan hak politik individu namun disisi lain UUD 1945 juga
mengatur pembatasan hak melalui ketentuan dalam undang-undang,
membutuhkan proses derogasi norma untuk menyelesaikan konflik pada tindakan
kemauan dari pihak yang mempunyai kewenangan hukum (legal authority).
172

Disinilah peranan dari pembentuk undang-undang dalam menjabarkan ketentuan
hukum yang memenuhi aspek moral untuk melakukan pembatasan hak asasi


171
Hans Kelsen, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli Hans Kelsen Essays in Legal and
Moral Philosophy terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, hal 114.

172
ibid, hal. 44.
125



manusia, dalam hal ini pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Perihal legitimasi hak asasi manusia atas pengaturan ambang batas formal
yang termuat dalam undang-undang pemilu, Mahkamah Konstitusi telah
menegaskan kedudukan pengaturan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menguji Pasal 202 ayat (1) UU No. 10
Tahun 2008, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, memuat pendapat hukum perihal korelasi
antara ambang batas formal dan hak asasi politik adalah sebagai berikut :
...kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali
tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang,
setiap warga negara, dan setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan
sama dan mendapat kesempatan yang sama melalui kompetisi
secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada
yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu
kompetisi yang bernama Pemilu, namun peluang dan
kesempatannya tetap sama

Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi merasionalisasi bahwa
pengaturan ambang batas formal yang disusun oleh pembentuk undang-undang
tidak bertentangan dengan hak asasi politik. Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya membangun logika hukum bahwa hak untuk terlibat di dalam
pemerintahan dan kesempatan memenangkan pemilu adalah dua hal yang tidak
dapat dipersamakan. Robert A. Dahl memaparkan bahwa di dalam demokrasi
terdapat prinsip-prinsip persamaan intrisik dengan pertimbangan moral, dimana
dalam mencapai suatu tujuan, pemerintah harus memberikan pertimbangan yang
126



sama terhadap hak dan kepentingan setiap orang yang terikat pada keputusan-
keputusan tersebut.
173
Mahkamah Konstitusi menyandarkan keabsahan ambang
batas formal dalam kerangka hak politik adalah bahwa kesempatan yang dimiliki
oleh setiap peserta pemilu pada hakikatnya adalah sama. Fungsi rekrutmen yang
dimiliki oleh partai politik untuk menyaring individu-individu guna menjadi
perwakilan dalam pemerintahan tidak dapat diterjemahkan secara mutlak bahwa
setiap partai politik akan terlibat nantinya di dalam pemerintahan. Hal ini juga
sejalan dengan laporan dari Freedom House bahwa pada dasarnya hak politik
memungkinkan kebebasan bagi setiap orang dalam berpartisipasi secara bebas
dalam proses politik, namun untuk pengisian jabatan ditentukan dengan adanya
persaingan.
174

Undang-undang pemilu memuat berbagai politik-politik hukum untuk
menentukan sistem pemilu yang digunakan agar setiap warga negara dapat
berkompetisi secara adil. Bahwa setiap kompetisi memiliki persyaratan, begitu
pula dengan pemilu yang memiliki syarat-syarat hukum guna memenangkan
pemilihan umum tersebut. Pertimbangan moral dimana pada hakikatnya hak
politik setiap orang diberikan secara sama dan bebas, namun harus
memperhatikan porsi dari tiap-tiap hak tersebut.





173
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi..., op.cit, hal. 90-91.

174
Sabine C. Carey et.al, 2010, The Politics of Human Rights The Quest for Dignity,
Cambridge University Press, New York, hal. 105-106.
127



3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal
Pengujian yang dilakukan terhadap ambang batas formal yang termuat
dalam undang-undang pemilu terhadap UUD 1945 merealisasikan prinsip
supremasi demokrasi konstitusional dalam sistem pemilu Indonesia. Bahwa
Mahkamah Konstitusi Indonesia telah beberapa kali melakukan pengujian
terhadap ambang batas formal dan memperlihatkan adanya suatu konsistensi, baik
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menguji
ketentuan ambang batas formal dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian ambang batas
formal dalam UU No. 8 Tahun 2012. Konsistensi tersebut dapat dilihat berada
pada 3 aspek, yakni penentuan besaran persentase ambang batas, keberlakuannya
hanya untuk pemilu DPR-RI, dan dissenting opinion.
Mahkamah Konstitusi memperlihatkan adanya konsistensi dengan
mengukuhkan bahwa dalam hal menentukan ambang batas formal yang akan
diterapkan adalah tergantung pada kebijakan hukum (legal policy) yang diambil
oleh pembentuk undang-undang. Kebijakan ambang batas formal juga ditegaskan
tidak bertentangan dengan konstitusi karena tidak bertentangan dengan hak-hak
politik. Berikut kutipan pertimbangan putusan Mahkamah atas pengujian pasal
202 ayat (1) UU No 10 tahun 2008 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
3/PUU-VII/2009, dimana pertimbangan tersebut diterapkan secara mutatis
mutandis dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.
...lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal
policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT.
Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik
penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya
128



Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang
Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat
pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi.
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi
kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya
tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan
dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan
demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya
PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak
melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah
memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk
partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional
melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana
pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada
pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan
dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik
rakyat.
175


Edger Bodenheimer sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja
memaparkan terdapat 2 teori dalam penafsiran konstitusi yaitu teori penafsiran
historis (theory of historical interpretation) dan teori penafsiran kontemporer
(theory of contemporaneous interpretation).
176
Secara teoritis, penafsiran
konstitusi menurut teori historis dilakukan dengan cara memberi makna atau arti
pada ketentuan-ketentuan konstitusi seperti pada waktu ditetapkan (original
intent), sementara penafisran konstitusi menurut teori kontemporer dilakukan
dengan cara memberi makna ketentuan dalam konstitusi untuk memenuhi dan
meliputi perubahan-perubahan kondisi sosial dan ekonomi. Perbedaan implikasi
yuridis yang ditimbulkan dari kedua penafsiran tersebut adalah adanya
kemungkinan di antara salah satu penafsiran yang memberikan kerugian kepada
masyarakat, apakah pada aspek sosial dan ekonomi, atau aspek politik.
177



175
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 99.

176
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi..., op.cit, hal.89.

177
Ibid, h.90-91.
129



Salah satu perihal menimbang menyebutkan alasan mengapa ambang batas
formal adalah konstitusional ditunjukkan dari kalimat sebagai berikut :
...mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan
pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh
Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan
rasionalitas... Dari pertimbangan hakim tersebut penulis berpendapat bahwa
putusan pengujian ambang batas formal dikaji menggunakan penafsiran teori
historis dengan sifat original intent. Pertimbangan putusan tersebut merupakan
bentuk rasionalisasi bahwa UUD secara original intent yang dibentuk oleh pendiri
bangsa adalah bersifat singkat, supel, dan tidak kaku (unrigid). Hal tersebut dapat
ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945 poin IV paragraf ketiga dijelaskan
sebagai berikut:
Kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat
dan Negara Indonesia. Masyarakat dan Negara Indonesia tumbuh,
zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang
ini. Oleh karena itu kita harus hidup secara dinamis harus melihat
segala gerak gerik kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia.
Berhubung dengan itu janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi,
memberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih
mudah berubah

Pendiri bangsa di dalam merumuskan Undang Undang Dasar menyadari
suatu hal bahwa Undang Undang Dasar yang dibentuk adalah sifatnya diupayakan
dapat mengikuti perkembangan zaman yang dengan menjadikan pengaturannya
yang bersifat sederhana, dan mendelegasikan pengaturannya kepada undang-
undang sepanjang sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar. Bahwa
Djokosoetono kemudian berpendapat undang-undang dasar memuat garis-garis
besar saja, maka hal ini memberkan kesempatan kepada organieke wetgever untuk
130



menyesuaikan aturan-aturan pokok itu dengan keadaan istimewa pada suatu
tempat dan pada suatu saat Dynamisch dus.
178
UUD 1945 dari aspek filosofis pada
waktu ditetapkan tidak bermaksud untuk menjadi undang-undang dasar yang kaku
atau rigid, sehingga ambang batas formal sebagai bentuk delegasi pengaturan oleh
UUD 1945 untuk ditentukan oleh pembentukan undang-undang walaupun tidak
diatur dalam konstitusi bukan berarti menjadi hal yang dilarang.
Kemudian perihal ambang batas formal yang diatur dalam pemilihan
lembaga perwakilan di daerah, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
52/PUU-X/2012 menyatakan frasa DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pengaturan ambang batas formal di
daerah menjadi tidak berlaku. Berikut adalah petikan pertimbangan hukum dari
Mahkamah Konstitusi :
...Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik
di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai
politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak
mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat
provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh
suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga
perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim
dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak
memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal
demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya
duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika
merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon
anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak
merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan
Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan
kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah.
179





178
Djokosoetono, op.cit, hal.146.

179
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 98.
131



Dasar pertimbangan yang digunakan adalah bagaimana pengaturan ambang batas
formal tetap harus memperhatikan tingkat proporsionalitas di daerah dan
beragamnya kepentingan di daerah. Aspek kebhinekaan juga menjadi dasar
filosofis dimana hal tersebut sejalan dengan ketentuan dari Pasal 6 ayat (1) huruf f
UU No. 12 Tahun 2011 yang menentukan setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan asas salah satunya adalah asas
bhinneka tunggal ika. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf f menjelaskan yang
dimaksud dengan asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan
peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa tidak diaturnya ambang
batas formal di daerah adalah guna menghindari kemungkinan terjadinya
kemenangan tunggal suatu partai politik yang duduk di DPRD. Adapun
pertimbangan hukum dari Mahkamah adalah sebagai berikut :
...sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing
3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat
menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta
Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang
memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai
politik yang dapat menduduki kursi DPRD...
180


Adapun putusan tersebut didasari pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
3/PUU-VII/2009, dimana pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi berpendapat
pengaturan ambang batas formal secara formal tidak diberlakukan untuk di daerah


180
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 99.
132



sebagai upaya untuk menjaga proporsionalitas lembaga perwakilan. Berikut
kutipannya :
Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008
melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945,
karena menurut para Pemohon ada perlakuan yang berbeda bagi
calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk
menempatkan wakilnya di DPR, sedangkan ketentuan tersebut tidak
diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota. Terhadap dalil para Pemohon tersebut,
Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah tepat,
karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan memang
berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20 ayat (1) UUD
1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan Presiden dalam sistem
checks and balances, lagipula kekuasaan DPRD sebagai bagian dari
pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat).
Dalam hal ini, Mahkamah juga sependapat dengan argumentasi
DPR, Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT
yang hanya berlaku bagi penentuan kursi DPR dan tidak berlaku
bagi penentuan kursi DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif,
melainkan justru kebijakan yang proporsional.
181


Putusan Mahkamah Konstitusi konsisten dengan peranannya sebagai pengawal
konstitusi dengan memperlihatkan walaupun UUD 1945 memberikan delegasi
kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan substansi undang-undang
pemilu, namun terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan. Unsur persatuan
dan kebhinekaan serta pertimbangan proporsionalitas menjadi kerangka dalam
rangka membatasi substansi ambang batas formal, sehingga pembentuk undang-
undang tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam mengatur
penyelenggaraan pemilu di Indonesia.



181
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal.128-129.
133



Konsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berada pada
domain ratio decidendi yang memberikan legitimasi atas keberlakuan ambang
batas formal, namun juga pada perbedaan pandangan atau dissenting opinion yang
diberikan dalam putusan-putusan tersebut. Akil Mochtar dalam kedua putusan
pengujian undang-undang pemilu mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan
penerapan model pengaturan ambang batas secara formal yang menimbulkan
ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi
anggota partai politik yang lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi
partainya terhambat untuk memperoleh kursi di DPR-RI.
182
Akil Mochtar kembali
menekankan bahwa dengan diaturnya ambang batas formal sesungguhnya
bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan prinsip-prinsip demokrasi
dimana setiap peraturan dalam pelaksanaan pemilu seharusnya lebih
menempatkan rakyat pemegang kedaulatan tertinggi, bukan sebagai obyek untuk
memperoleh kepentingan yang bersifat politis.
183

Di tengah adanya perbedaan pandangan antara hakim-hakim konstitusi,
bahwa secara eksplisit terdapat suatu kesepahaman antara pertimbangan hukum
putusan Mahkamah Konstitusi yang melegitimasi pengaturan ambang batas
formal dengan dissenting opinion yang ada, terlepas dari konten
konstitusionalnya. Pandangan hukum tersebut yakni perihal ketidakjelasan desain
pengaturan ambang batas formal yang hendak diciptakan. Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum penutup sebagai berikut :


182
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 106.

183
Lihat dalam Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal.
106.
134



...meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang tercantum
dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya
dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU 3/1999 dan UU
12/2003, namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang
tidak konsisten dengan kebijakan kebijakannya yang terkait Pemilu
dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain
yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian
sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang
Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di
bidang politik...
184


Adapun Maruarar Siahaan memberikan pandangan yang sejalan dengan
pertimbangan putusan tersebut dalam bagian dissenting opinion-nya, dimana
pengaturan ambang batas formal di dalam sistem pemilu yang berubah-ubah
menurut kehendak pembentuk undang-undang harus dihindarkan dalam rangka
menjaga hak warga negara dan menciptakan sistem pemerintahan yang efektif.
...penjabarannya dalam desain pemerintahan dan desain Pemilu
dalam kerangka demokrasi dan konstitusi yang diharapkan
menciptakan sistem pemerintahan yang efektif melalui seluruh
peraturan perundang-undangan yang diperlukan, harus dalam rangka
melindungi, menjamin, dan merupakan pemenuhan hak-hak dasar
warga negara, yang hanya dapat dicapai jikalau memperhatikan dan
memperhitungkan norma norma konstitusi secara cermat. Haruslah
dielakkan sikap pragmatis yang amat situasional, dan menghalalkan
semua sistem yang dirasakan cocok, yang berakibat gonta-ganti-nya
kebijakan sesuai selera decision makers.
185


Sejalan dengan hal tersebut Akil Mochtar menempatkan pemahaman bahwa
adanya inkonsistensi dalam pengaturan ambang batas formal tersebut
sesungguhnya memberikan suatu gambaran bahwa telah terjadi kegagalan dalam
menciptakan sistem kepartaian sederhana dan pemerintahan yang stabil.



184
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 130-131.

185
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 134.
135



...dengan memanfaatkan legal policy sebagai pilihan pembentuk
Undang-Undang, namun hal tersebut tidak dilaksanakan dengan
benar dan konsisten, ketika menerapkan kebijakan ambang batas
perolehan kursi dengan model electoral threshold yang selalu
berubah dari setiap siklus lima tahunan penyelenggaraan Pemilu
Legislatif. Akibatnya, sikap tidak konsisten tersebut telah
memberikan kontribusi yang besar pula untuk tidak tercapainya
sistem kepartaian sederhana dan pemerintahan yang kuat
sebagaimana keinginan yang hendak diwujudkan oleh pembentuk
Undang-Undang itu sendiri
186


Walaupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan
konstitusionalitas ambang batas formal terdapat perbedaan pandangan di antara
para hakim yang memutus, namun adanya kebulatan suara perihal ketidakjelasan
dan inkonsistensi dari pengaturan ambang batas formal tersebut patut menjadi
catatan bagi pembentuk undang-undang. Tidak tertutup kemungkinan di
kemudian hari terjadinya pengoreksian oleh Mahkamah, seperti halnya yang
terjadi pada substansi ambang batas formal pada pemilihan umum lembaga
perwakilan di daerah, selama desain sistem kepartaian sederhana dan pengaturan
ambang batas formal yang dimaksud belum jelas. Aspek proporsionalitas
pengaturan ambang batas formal menjadi dasar pertimbangan yang patut
diperhatikan.


186
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 138.
136

BAB IV
INDIKATOR
PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL
DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM INDONESIA

Pengaturan ambang batas formal merupakan salah satu alternatif hukum
yang dipilih oleh pembentuk undang-undang untuk mengatasi permasalahan
timbulnya fragmentasi pada lembaga perwakilan. Alternatif hukum menyiratkan
bahwa sesungguhnya pembentuk undang-undang memiliki beberapa solusi yang
dapat digunakan sebagai upaya mengatasi suatu permasalahan, dimana pilihan
hukum tersebut bergantung pada politik hukum yang dianut pada suatu rezim
pemerintahan.
187
Ambang batas formal menjadi politik hukum dalam undang-
undang pemilu di era reformasi untuk mencapai suatu tujuan sebagaimana yang
telah ditentukan.
Keadaan riil yang dihadapi oleh pembentuk undang-undang dalam
pengaturan ambang batas formal adalah ketidakjelasan dalam menentukan pilihan
hukum yang sesuai untuk mengatasi permasalahan. Pergantian undang-undang
pemilu yang diiringi dengan metamorfosis pengaturan ambang batas formal
meninggalkan catatan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi akan pentingnya
desain hukum pemilu yang konsisten dan proporsional untuk diterapkan. Oleh


187
Lihat dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 8-
9. Dijelaskan bahwa inti sari dari politik hukum adalah suatu tindakan untuk memilih (act to
choice) dalam dua arti, yaitu etik dan teknis. Etik berarti memilih dan menentukan tujuan
kehidupan bermasyarakat yang harus diperjuangkan, sementara teknis berarti memilih dan
menentukan cara dan sarana untuk mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang telah dipilih
dan ditentukan oleh politik sebagai etik tersebut.
137



karena itu, kebutuhan akan indikator yang jelas dalam penormaannya menjadi
upaya solutif dalam menentukan pengaturan ambang batas formal yang sesuai
untuk diterapkan. Indikator menyiratkan adanya suatu parameter yang dapat
digunakan sebagai petunjuk. Secara konseptual hukum, indikator yang dapat
digunakan dalam pengaturan ambang batas formal oleh penulis berada pada tiga
fokus kajian, yakni pemenuhan cita hukum, rancangan aturan untuk mengurangi
disproporsionalitas pemilu, dan pemenuhan tujuan hukum.

4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan
Ambang Batas Formal
A. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa Cita hukum merupakan
terjemahan dari Rechtsidee yang berisi gagasan, rasa, cipta pikiran.
188
Cita Hukum
merupakan pemandu dalam semua kegiatan, memberi isi kepada tiap peraturan
perundang-undangan, dan juga membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-
undangan tersebut.
189
A. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa Pancasila
menjadi cita hukum Indonesia yang menguasai hukum dasar negara, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.
190
Lebih lanjut, Pancasila mempunya fungsi
konstitutif untuk menentukan tata hukum yang benar, dan fungsi regulatif untuk
menentukan ukuran hukum positif yang adil atau tidak.
191
Hal ini memperlihatkan


188
A. Hamid S. Attamimi, 1992, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa
Indonesia, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa, dan Bernegara (Disunting oleh Oetojo Oesman dan Alfian), Bp-7 Pusat, Jakarta,
hal.68.

189
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 59

190
A. Hamid S. Attamimi, op.cit, hal.67.

191
ibid, hal. 69.
138



bagaimana peranan dari cita hukum untuk dapat memberikan legitimasi secara
fundamental dari pengaturan ambang batas formal.
Mengutip dalil kelima tentang filsafat hukum oleh DHM Meuwissen,
dimana Meuwissen menjelaskan filsafat hukum sebagai refleksi ide hukum atau
cita hukum yang harus diwujudkan. Lebih lanjut Meuwissen menjelaskan sebagai
berikut.
Filsafat Hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang
kenyataan dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan
sebagai realisasi (perwujudan) dari ide-hukum (cita hukum). Dalam
hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk : aturan
hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum), lembaga
hukum. Lembaga hukum terpenting adalah Negara. Tetapi tidak
hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara
sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah sistem terbuka yang di
dalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya
192


Dalam pendapat Meuwissen tersebut, secara eksplisit ia menekankan
bagaimana pentingnya peranan cita hukum (recht idea) yang terintegrasi dalam
hukum positif. Cita hukum tidak hanya menjadi suatu hal yang abstrak, namun
berkembang sebagai konsep yang dapat direalisasikan secara sistematis. Integrasi
cita hukum di dalam pengaturan ambang batas formal secara konkret tampak dari
bagaimana adanya kesatuan utuh antara segenap peraturan perundangan-undangan
yang relevan (mulai UUD 1945, UU Pemilihan Umum, UU HAM, dan
sebagainya), keberadaan Mahkamah Konstitusi untuk mengontrol ambang batas
formal secara konstitusional melalui putusan-putusannya, serta eksistensinya yang
ditujukan untuk menata hubungan lembaga negara, baik antar internal DPR
maupun hubungan DPR bersama Presiden.


192
B. Arief Sidharta, op.cit, hal. 19.
139



Pembentukan hukum nasional yang baik tidak akan dapat terwujud dengan
bercermin pada asas-asas dan pemahaman hukum barat yang sangat kental dengan
paham-paham individualis, kapitalis dan liberal. Penempatan ambang batas formal
dalam substansi hukum nasional harus mampu dielaborasikan dalam cita hukum
Indonesia sebagai dasar mengikat hukum pada umumnya dan konstitusi pada
khususnya adalah hal yang tidak dapat terbantahkan
4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia Dalam
Pengaturan Ambang Batas Formal
Pelaksanaan demokrasi tidak hanya terkait dengan bagaimana proses
tersebut dapat dilaksanakan, namun bagaimana demokrasi tersebut secara materiil
dapat diselenggarakan berdasarkan falsafah atau ideologi yang dianut oleh suatu
bangsa atau negara.
193
Benih-benih nilai demokrasi Bangsa Indonesia yang
berlandaskan Pancasila timbul dari Pidato Soekarno yang menguraikan bahwa
dasar falsafah negara Indonesia yang merdeka (philosofische grondslag) salah
satunya adalah prinsip mufakat atau demokrasi.
194
Bahwa idealisasi yang
ditanamkan oleh founding fathers atas konsep demokrasi Indonesia adalah
demokrasi konsensus (demokrasi permusyawaratan) sebagaimana dimaksud sila
keempat Pancasila dengan lebih menekankan pada daya-daya konsensus
(mufakat) dalam semangat kekeluargaan masyarakat plural.
195
Pengaturan ambang
batas formal yang diatur di Indonesia seyogyanya membutuhkan harmonisasi


193
Lihat penjelasan tentang Demokrasi Materiil dalam Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992,
Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 9.

194
Dahlan Thaib et al, op.cit, hal. 96.

195
Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 463.
140



bagaimana prinsip-prinsip demokrasi di dalam suatu negara yang majemuk dapat
mencapai suatu konsensus.
Pluralisme dalam demokrasi akan mengarahkan kepada dua keadaan,
yakni terjadinya konflik dan konsensus.
196
Bahwa praktek demokrasi sebagai
suatu proses yang bersifat dinamis memiliki kerentanan yang sangat
memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan, persaingan, dan pertentangan
dikarenakan pluralnya aktor atau pelaku yang terlibat di dalamnya. Demokrasi
mensyaratkan adanya suatu keseimbangan yang harmonis di antara konflik dan
bagaimana penyelesaiannya.
197
Adanya harmonisasi di antara konflik dan
penyelesaiannya dalam bentuk kesepakatan (konsensus) ditujukan sebagai bentuk
persatuan dalam perbedaan dan kemajemukan. Konflik yang terjadi merupakan
bentuk dari adanya perbedaan, dan konsensus merupakan wujud dari persatuan.
Secara aksiologis, pemahaman demokrasi yang tersirat di dalamnya memiliki nilai
tujuan kemanfaatan untuk menyatukan perbedaan di dalam kemajemukan
(pluralisme), dalam hal ini Bhinneka Tunggal Ika.
Mohammad Hatta berpendapat bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa
Indonesia bukan hanya kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi
kerakyatan yang mengutamakan permusyawaratan, menempatkan pemungutan
suara (voting) sebagai pilihan terakhir, dan harus menjunjung tinggi semangat
kekeluargaan yang saling menghormati.
198
Berdasarkan hal tersebut, dapat
dipahami bahwa konsep demokrasi yang ideal dianut Indonesia adalah


196
Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Pers, Malang, hal. 87.

197
Ramlan Surbakti, 1999, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, hal.228.

198
Yudi Latif, op.cit, hal. 477-480.
141



permusyawaratan yang seharusnya tidak mengenal siapa mayoritas ataupun
minoritas (setidaknya mempertimbangkan pendapat semua pihak). Namun sebagai
suatu hal yang disadari secara teoritis bahwa corak demokrasi ideal yang
melibatkan semua orang tersebut bahkan pada aspek terkecil sebagaimana yang
diidealisasi oleh John Stuart Mill, tidak sepenuhnya dapat diterapkan. Suatu
negara yang plural dengan segenap permasalahan yang kompleks menyebabkan
mufakat memang sangat sulit untuk dibulatkan. Hatta sendiri berpendapat bahwa
mufakat yang dipaksakan sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter
tidaklah sesuai dengan paham demokrasi Indonesia.
199
Demokrasi langsung
(direct democracy) layaknya di negara polis tidaklah mungkin dapat diterapkan di
Indonesia yang memiliki ragam kepentingan dan aspirasi. Pemilihan suara dengan
suara terbanyak harus tetap dimungkinkan dalam rangka menghindari
kemungkinan rekayasa mufakat dalam pembentukan pemerintahan.
Pengaturan ambang batas formal timbul sebagai refleksi atas upaya
mengurangi konflik dalam demokrasi dan menghindari rekayasa konsensus atas
nama mufakat yang semu. Konsensus yang terbangun melalui pengaturan ambang
batas formal mengupayakan terbangunnya permusyawaratan/perwakilan yang
dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspirasi semua pihak (baik mayoritas
dan minoritas), dimana rezim reformasi memberikan kebebasan pada setiap
elemen masyarakat dalam hal membentuk partai politik dan berpeluang untuk
mengikuti pemilu dengan syarat yang sama, namun eksistensinya dalam lembaga


199
ibid, hal. 478.
142



perwakilan dapat dibatasi oleh rakyat sendiri melalui pemilihan umum dan
pemberlakuan ambang batas formal.
200

Demokrasi materiil Indonesia juga menempatkan bagaimana aturan-aturan
dalam menciptakan perwakilan tersebut dapat diselenggarakan secara adil. Pada
hakikatnya bahwa yang menjadi sumber hukum secara universal sebagaimana
dipaparkan oleh G.W. Paton tidak lain adalah keadilan (the term source of law
is justice and fairness), dimana hukum akan menentukan kriteria-kriterianya
sehingga suatu pengaturan dapat diuji apakah mencerminkan atau tidak keadilan
tersebut (the source of law, then, sets up a criterion, upon which applicable law
can be tested whether or not it reflects justice and fairness).
201
Keadilan menjadi
unsur yang harus dipenuhi sebagai landasan fundamental dalam pembentukan
hukum.
Pancasila menempatkan keadilan sosial (social justice) sebagai salah satu
prinsip dasar dalam pembangunan hukum nasional secara luas.
202
Terdapat dua
hal fundamental yang dipaparkan oleh Soekarno tentang visi keadilan sosial
Indonesia yaitu, tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka dan tidak
akan dibiarkan kaum kapitalis merajalela. Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia tidak hanya menerapkan secara praktis bagaimana distribusi
kesejahteraan atau keadilan yang ada dalam seluruh masyarakat, namun juga


200
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum..., op.cit, hal. 374.

201
Peter Mahmud Marzuki, An Introduction..., op.cit, hal.37.

202
Jimly Asshidiqqie memaparkan bahwa pembangunan hukum dapat dilihat dari dua arti,
yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pembangunan hukum dalam arti sempit hanya terkait
dengan aspek pembentukan dan pembaruan peraturan tertulis, sementara pembangunan hukum
dalam arti luas lebih mengarah kepada upaya untuk mewujudkan kedamaian dan ketertiban yang
adil dalam kehidupan bersama. Lihat dalam Jimly Asshidiqqie, 2009, Menuju Negara Hukum
Yang Demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 185-187.
143



menegaskan bahwa di dalam Negara Indonesia yang merdeka, seyogyanya tidak
ada lagi kemiskinan di dalamnya.
203
Apabila ditafsirkan secara ekstensif, keadilan
sosial dalam demokrasi tidak hanya berhubungan dengan persamaan politik, tetapi
juga dalam hal ekonomi. Paham keadilan sosial dalam pembangunan hukum
memperlihatkan adanya tanggung jawab negara dalam mengusahakan persamaan
kesejahteraan di bidang ekonomi dan tidak hanya sebatas berkutat pada hak-hak
politik. Pun demikian dengan ukuran keadilan sosial pada pengaturan ambang
batas formal seyogyanya tidak hanya dilihat dari aspek kepentingan-kepentingan
politik individu semata, namun meliputi seluruh sektor sehingga tujuan nasional
dapat terpenuhi.
Pengaturan ambang batas formal berusaha memaktubkan nilai demokrasi
perwakilan secara komprehensif dalam kerangka keadilan sosial demi
menyempurnakan sistem perwakilan proporsional. Keadilan sosial akan mengarah
kepada konsep beban dan tanggung jawab, dimana Mohammad Hatta berpendapat
bahwa di dalam suatu keadilan dan kesejahteraan sosial dalam Pancasila
diimbangi dengan adanya rasa tolong menolong sebagai solusi atas kelemahan
sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme dan etatisme.
204
Konsep tolong menolong
yang ada dalam Pancasila menunjukkan bagaimana kehidupan bangsa Indonesia
yang penuh dengan rasa gotong royong, toleransi, dan kekeluargaan. Dengan
membebankan prinsip tolong menolong dalam masyarakat, maka akan
memberikan kewajiban bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
sosial.


203
Yudi Latif, op.cit, hal. 531.

204
ibid, hal. 535 & 580
144



Disini terlihat bagaimana grand design pemilu dengan pondasi cita hukum
yang dibentuk oleh founding fathers menempatkan adanya keseimbangan antara
peran negara dan peran masyarakat. Diberlakukannya ambang batas formal
dikarenakan adanya peran negara dalam mengupayakan terwujudnya
kesejahteraan sosial sebagai hak masyarakat yang hidup dalam sebuah negara
yang merdeka. Kemudian sebagai refleksi dari hal tersebut, masyarakat
berkewajiban untuk mendukung dengan mengenyampingkan kepentingan pribadi
semata sebagai beban dalam mewujudkan kebaikan yang kolektif. Pengaturan
ambang batas formal dalam sistem perwakilan proporsional Indonesia pada
akhirnya sejalan dengan pendapat dari Soekarno tentang keadilan sosial sebagai
bentuk penolakan atas paham individualisme.
205
Ambang batas formal yang
digunakan dalam rangka menyeimbangkan kepentingan mewujudkan tujuan
negara dengan kepentingan tiap-tiap warga negara, serta menjauhkan prinsip-
prinsip liberalisme yang berkutat pada kepentingan politik individu, merupakan
resonansi dari cita hukum Indonesia.

4.2. Indikator Proporsionalitas Pemilu
Pengaturan ambang batas formal yang diterapkan di Indonesia
meninggalkan satu kelemahan yakni terjadinya disproporsionalitas hasil pemilu
akibat pengurangan suara yang terjadi. Oleh karena hal tersebut masih menjadi
suatu permasalahan, maka diperlukan aturan-aturan hukum yang mampu untuk
menekan terjadinya hal tersebut. Perbandingan hukum dilakukan guna


205
ibid, hal. 539.
145



menemukan variasi aturan dan dalam hal ini penulis mengambil pengaturan
ambang batas formal dari beberapa negara yakni Jerman, Turki, Polandia, dan
Denmark.
Adapun pemilihan empat negara yang mengatur pengaturan ambang batas
formal tersebut didasarkan pada aspek kemampuan aturan hukum yang
diberlakukan pada tiap-tiap negara tersebut dalam mengurangi disproporsionalitas
yang terjadi. Selain itu, dasar pertimbangan yang juga digunakan adalah bahwa
tujuan pengaturan ambang batas formal pada negara-negara tersebut serupa
dengan yang diterapkan di Indonesia, dimana ambang batas formal ditujukan
untuk mendegradasi terjadinya fragmentasi sistem multipartai dalam pemilihan
umum yang menggunakan sistem perwakilan proporsional.
4.2.1. Jerman
Jerman merupakan negara federal yang menggunakan sistem pemilu
mixed member proportional representation dengan berdasarkan Undang-Undang
Pemilihan Umum Federal (Federal Election Act).
206
Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu
Federal Jerman menentukan bahwa sistem pemilu dilakukan sesuai dengan
prinsip perwakilan proporsional yang dikombinasikan dengan suara uninominal
(...in accordance with the principles of proportional representation combined
with uninominal voting).
207
Pemilu Jerman diadakan untuk memilih 598 anggota


206
Teks asli Federal Elections Act Version As Promulgated On 23 July 1993 (Federal Law
Gazette I pp. 1288, 1594), As Last Amended By Article 1 of The Act of 12 July 2012 (Federal Law
Gazette I p. 5181501).

207
Uninominal dapat diterjemahkan sebagai sistem untuk memiliki satu anggota per legislatif
yang dipilih dari setiap daerah pemilihan. Terminologi ini mengarah pada sistem single member
constituency sehingga menjadi salah satu komponen dalam sistem pemilu Jerman yang
menggunakan sistem perwakilan proporsional campuran (Mixed Member Proportional
Representation).
146



Bundestag dengan cara memberikan dua suara oleh setiap pemilih, dimana suara
pertama (first vote) untuk memilih secara langsung anggota parlemen dari daerah-
daerah pemilihan sebanyak 299 anggota, sementara sisanya dipilih melalui suara
kedua (second vote) pada daftar-daftar nominasi negara bagian / land lists (vide
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 4 UU Pemilu Federal Jerman)
Bahwa sistem mixed member proportional representation sebagai salah
satu jenis dari sistem pemilu campuran yang diterapkan Jerman menyertakan
ambang batas formal dalam pengaturannya. Pasal 6 ayat (6) UU Pemilu Federal
Jerman mengatur bahwa : Only parties that have obtained at least five per cent
of the valid second votes cast in the electoral area or have won a seat in at least
three constituencies shall be taken into consideration when the seats are
distributed among the Land lists. The first sentence shall not apply to the lists
submitted by parties representing national minorities. Pemilu Federal Jerman
menentukan dalam pemilihan anggota perwakilan untuk mengisi Bundestag setiap
partai harus memperoleh suara sekurangnya 5% dari suara kedua yang sah
diberikan di daerah pemilihan kepada daftar-daftar negara bagian. Adapun bagi
kandidat yang memenangkan minimal tiga kursi pada daerah pemilihan secara
langsung dalam suara pertama (first vote), ambang batas tersebut menjadi tidak
berlaku. Selain itu ambang batas formal tersebut juga tidak diberlakukan pada
daftar-daftar yang diajukan oleh partai yang mewakili minoritas nasional
(national minorities).

147



Pengaturan ambang batas formal Jerman dalam UU Pemilu Federal
Jerman dapat diklasifikasikan sebagai pengaturan yang bersifat fleksibel
dikarenakan adanya katentuan-ketentuan tambahan yang dapat mengeliminir
persyaratan ambang batas formal. Adapun keberadaan pengaturan tersebut tidak
lain untuk menjaga proporsionalitas dari sistem campuran yang digunakan. Dua
aturan substantif perihal syarat minimal tiga kursi dan perwakilan minoritas
nasional tersebut digunakan sebagai penyeimbang dari berlakunya ambang batas
formal dalam mendistribusikan kursi yang representatif.

4.2.2. Turki
Turki di dalam sistem pemilunya menggunakan sistem perwakilan
proporsional dengan teknik divisor varian DHondt (vide Pasal 2 jo Pasal 34
Undang-Undang No. 2839 tentang Hukum Pemilu Parlemen Turki).
208
Sistem
pemilu Turki menggunakan dua saluran dalam pencalonan kandidat parlemennya,
yakni melalui partai politik dan calon independen atau perseorangan. Pasal 16 UU
Pemilu Turki mengatur sebagai berikut :
No agreement between political parties to stand for elections with
joint lists of candidates shall be allowed. Non party members can be
presented by a political party as a candidate only if such non party
member has given written consent. It is not allowed to stand for
elections as the candidate of more than one political party or at
more than one election district for the same elections. Independent
candidates cannot stand for elections in more than one election
district. (Tidak ada kesepakatan di antara partai politik untuk
mencalonkan diri dalam pemilihan dengan daftar kandidat bersama
yang akan diizinkan. Anggota non-partai dapat disertakan oleh
partai politik sebagai calon hanya jika anggota non-partai tersebut


208
Teks asli Statute No: 2839 Parliamentary Elections Law Enacted on 10 June 1983
Published in The Official Gazette No.: 18076 on 13 June 1983 5.T. Code, C.22 - S.
148



telah memberikan persetujuan tertulis. Tidak diperbolehkan untuk
mencalonkan diri dalam pemilihan sebagai kandidat lebih dari satu
partai politik atau di lebih dari satu daerah pemilihan untuk
pemilihan yang sama. Calon independen tidak dapat mencalonkan
diri dalam pemilihan di lebih dari satu daerah pemilihan).

Sistem perwakilan proporsional Turki mengkombinasikan pengaturannya
dengan ambang batas formal dalam Pasal 33 sebagai berikut : No candidates of
a political party which has not obtained more than 10% of all of the valid votes in
Turkey as a whole or, in the case of mid-term elections, in all of the mid-term
election districts shall enter the parliament... Pasal tersebut mengatur bahwa
ambang batas formal yang berlaku bagi partai politik untuk menempatkan
perwakilan dalam parlemen adalah sebesar minimal 10% suara secara nasional.
Adapun pengaturan ambang batas formal tidak berlaku bagi peserta pemilu yang
berasal dari calon pemilihan independen. Independents do not have to qualify the
national threshold but must simply gain enough support in their respective
provinces to enter the parliament.
209
Kandidat independen tidak harus memenuhi
syarat ambang batas nasional tetapi hanya harus mendapatkan dukungan yang
cukup di masing-masing provinsi untuk masuk parlemen.
Turki termasuk dalam salah satu negara yang menggunakan ambang batas
formal dengan persentase yang sangat tinggi guna menentukan komposisi
lembaga perwakilan. Adanya pengaturan calon independen tersebut
sesungguhnya digunakan untuk menyeimbangkan pengaturan ambang batas
formal tersebut. Adapun ambang batas formal sebesar 10% yang diberlakukan di


209
Turkeys Threshold diakses dari
http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=turkey8217s-threshold-2011-05-
08 tanggal 3 Mei 2013.
149



Turki tersebut banyak mendapatkan kritikan oleh Dewan Eropa hingga adanya
rekomendasi untuk menurunkan persentase yang digunakan.
210


4.2.3. Polandia
Pemilu di Polandia diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang 12
April 2001 tentang Pemilihan Umum Sejm Republik Polandia dan Senat Republik
Polandia.
211
Sistem pemilu Polandia menggunakan sistem perwakilan proporsioal
dengan kombinasi sistem daftar (List Proportional Representation). Pasal 132
menentukan bahwa sebanyak 460 perwakilan untuk pengisian Sejm ditentukan
dalam pemilihan daerah perwakilan berwakil jamak dari daftar calon pemilihan
(460 deputies shall be elected to the Sejm in multi-member electoral
constituencies from constituency lists of candidates).
212

Ambang batas formal di dalam pemilu anggota Sejm Polandia diatur
dalam Pasal 133 ayat (1) dan (2) sebagai berikut :
1. Only those constituency lists of candidates for deputies of election
committees that have gained at least five per cent of valid votes cast
throughout the entire country shall take part in the allocation of seats.
(Hanya mereka dari daftar pemilih kandidat untuk perwakilan dari komite


210
Europe remains critical of Turkeys 10 percent election threshold diakses dari
http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=europe-critical-of-10-percent-
election-threshold-2011-06-10 tanggal 3 Mei 2013.

211
Teks asli The Act of 12 April 2001 on Elections to the SEJM of The Republic of Poland
and to the Senate of The Republic of Poland (Journal of Laws of the Republic of Poland No 46,
item 499, of 16 May, 2001 and No.154, item 1802 of 29 December, 2001)

212
Polandia menggunakan sistem bikameral dimana lembaga perwakilannya terdiri dari Sejm
sebagai majelis rendah dan Senat sebagai majelis tinggi. Adapun kewenangan yang dimiliki tidak
simetris dimana kewenangan Sejm lebih dominan dalam proses legislasii. Lihat dalamSejm of the
Republic of Poland Sejm in the system of power diakses dari
http://www.sejm.gov.pl/english/sejm/sejm.htm tanggal 2 Mei 2013.
150



pemilihan yang telah mendapatkan setidaknya lima persen dari suara sah
di seluruh negeri dapat diikutkan dalam alokasi kursi).
2. The constituency lists of candidates for deputies of coalition election
committees shall take part in the allocation of seats in election
constituencies if those lists have gained at least eight per cent of valid
votes cast throughout the entire country. (Daftar pemilih calon perwakilan
dari koalisi komite pemilihan dapat diikutkan dalam alokasi kursi di
daerah pemilihan pemilu jika daftar tersebut telah mendapatkan setidaknya
delapan persen dari suara sah di seluruh negeri).
Polandia menerapkan dua tipe ambang batas formal, yakni ambang batas
untuk tiap-tiap kandidat pada umumnya sebesar 5%, dan ambang batas untuk
gabungan kandidat atau koalisi sebesar 8%. Selain kedua pengaturan tersebut, UU
Pemilu Polandia juga menentukan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak
berlaku bagi partai politik atau organisasi politik yang mewakili minoritas
nasional. Pasal 134 ayat (1) menentukan sebagai berikut : The lists of election
committees created by electors associated as registered organisations of national
minorities are exempt from the requirement referred to in Article 133, paragraph
1, if they submit to the National Electoral Commission a relevant declaration no
later than five days before the poll (Daftar komite pemilu dibuat oleh pemilih
diasosiasikan sebagai organisasi terdaftar dari minoritas nasional dikecualikan
dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, ayat 1, jika mereka
menyerahkan pernyatan relevan kepada Komisi Pemilihan Nasional selambat-
lambatnya lima hari sebelum poling).
151



Pengaturan ambang batas formal Polandia tampak lebih fleksibel dengan
diberlakukannya ambang batas untuk koalisi dan tidak diberlakukannya ambang
batas untuk perwakilan minoritas nasional. Pilihan untuk melakukan koalisi
menjadi alternatif bagi partai-partai politik di Polandia mengingat ambang batas
sebesar 8% dengan kemungkinan lebih mudah untuk dipenuhi dibanding ambang
batas sebesar 5% yang harus dipenuhi apabila partai politik mengikuti pemilu
individual. Selain itu tidak diberlakukannya ambang batas formal bagi minoritas
secara hakikat serupa dengan apa yang diterapkan di Jerman.

4.2.4. Denmark
Landasan yuridis penyelenggaraan pemilu di Denmark adalah berdasarkan
UU Pemilihan Umum Parlementer Denmark (Parliamentary Election Act of
Denmark) untuk memilih lembaga parlemen nasional yang dinamakan
Folketing. Denmark menggunakan sistem pemilu perwakilan proporsional
dengan daftar terbuka. Pasal 20 ayat (2) UU Pemilu Parlemen Denmark mengatur
sebagai berikut : The candidates shall be listed in alphabetical order on the
ballot paper. The party may, however, announce that a particular candidate shall
take first place on the ballot paper (nomination), cf. section 41(2). Below the
candidates of the nomination district shall be listed, in alphabetical order, any
other candidates (of the party in question) in the multi member constituency.
Kandidat-kandidat dalam pemilu Denmark akan didaftar dan tercantum di dalam
surat suara berdasarkan alfabet.
152



Dalam hal daerah pemilihan, Denmark terbagi menjadi tiga daerah atau
provinsi dan kemudian terbagi lagi menjadi sepuluh daerah pemilihan beranggota
jamak. Pasal 8 ayat (1) dan (2) mengatur sebagai berikut :
(1) Denmark falls into three provinces: Metropolitan Copenhagen, Sealand-
Southern Denmark and Northern and Central Jutland, cf the Schedule to
the Act (List of Electoral Districts). (Denmark dibagi menjadi tiga
provinsi: Metropolitan Copenhagen, Sealand-Southern Denmark dan
Northern and Central Jutland)
(2) The regions are subdivided into multimember constituencies, cf the List of
Electoral Districts. Metropolitan Copenhagen encompasses four
multimember constituencies. Sealand-Southern Denmark and Northern
and Central Jutland are each made up of three multimember
constituencies. (Daerah dibagi lagi menjadi daerah pemilihan beranggota
jamak, lihat Daftar Daerah Pemilihan. Metropolitan Kopenhagen meliputi
empat daerah pemilihan beranggota jamak. Sealand-Southern Denmark
dan Northern and Central Jutland masing-masing terdiri dari tiga daerah
pemilihan beranggota jamak.)
Pasal 7 ayat (1) menentukan bahwa total anggota Folketing adalah
sebanyak 179 anggota, dengan tambahan dua dari Kepulauan Faroe dan dua dari
Greendland (a total of 179 members, two of which in the Faroe Islands and two
of which in Greenland, are to be elected for the Folketing), sehingga pemilihan
nasional di Denmark adalah guna menentukan perwakilan sebanyak 175 kursi.
UU Pemilu Parlemen Denmark membagi distribusi 175 kursi tersebut menjadi
153



dua jenis, yakni kursi konstituen dan kursi kompensasi.
213
Pasal 10 ayat (1)
menyebutkan sebagai berikut Of the nationwide 175 seats, 135 are constituency
seats and 40 are compensatory seats. The distribution of seats among regions and
among multimember constituencies are determined and announced by the
Minister for Social Welfare following publication of the population figure as at
January 1st 2010, 2015, 2020, etc., and the distribution subsequently applies to
the following elections. Dari sebanyak 175 kursi yang tersedia untuk perwakilan
nasional dalam Folketing, adalah sebesar 135 ditentukan untuk kursi pemilihan
dan 40 untuk kursi kompensasi, dimana distribusi kursi diantara provinsi dan
daerah pemilihan beranggota jamak tersebut ditentukan dan diumumkan oleh
Menteri Kesejahteraan Sosial.
Perihal ambang batas formal yang ditentukan untuk menetukan perolehan
kursi Folketing, UU Parlemen Denmark hanya menentukan keberlakuannya untuk
kursi kompensasi. Pasal 77 ayat (1) mengatur bahwa Compensatory seats shall be
allocated to parties which have either :
(i) obtained at least one constituency seat; or,
(ii) in two of the three regions specified in section 8 (1) obtained at least a
number of votes equivalent to the average number of valid votes per
constituency seat in the region; or,
(iii) obtained at least two per cent of the valid votes cast in all Denmark.


213
Kursi kompensasi (Compensatory seat) umumnya diberikan dalam pemilu yang
menggunakan sistem pemilu perwakilan proporsional campuran (Mixed Member Proportional
Representation) yang diadakan untuk mengkompensasi terjadinya disproporsionalitas dalam
representasi yang dihasilkan dari single-member constituency. Lihat dalam Glossary of Terms
https://www.mtholyoke.edu/acad/polit/damy/BeginnningReading/glossary_of_terms.htm diakses
tanggal 3 Mei 2013.
154



Kursi kompensasi diberikan kepada partai apabila memenuhi syarat yang
salah satunya apabila memperoleh 2% suara sah nasional. Namun dikarenakan
pengaturan tersebut bersifat opsional, pengaturan ambang batas formal menjadi
tidak mutlak. Meskipun partai politik tidak memenuhi ambang batas sebesar 2%,
namun peluang untuk mendapat kursi kompensasi masih terbuka, yakni dengan
ketentuan apabila perolehan suara partai mencukupi untuk memenangkan
sekurang-kurangnya satu kursi secara langsung di salah satu daerah pemilihan,
atau pada dua dari tiga provinsi (di antara Metropolitan Copenhagen, Sealand-
Southern Denmark dan Northern and Central Jutland) mampu memperoleh
setidaknya sejumlah suara yang sesuai dengan jumlah rata-rata suara sah per kursi
daerah pemilihan di provinsi.
Dari penelusuran berbagai undang-undang pemilu yang berlaku di
beberapa negara tersebut, dapat ditarik satu pemahaman bahwa pengaturan
ambang batas formal dalam sistem pemilu bukanlah menjadi hal yang baru.
Ambang batas formal secara umum digunakan oleh negara-negara yang menganut
sistem pemilu perwakilan proporsional dengan tujuan untuk mengurangi
fragmentasi sistem multipartai. Namun pengaturan ambang batas formal yang
diterapkan tersebut tidak hanya mengatur tentang persentase semata, melainkan
adanya aturan-aturan tambahan yang digunakan untuk menyeimbangkan
konsekuensi yang timbul akibat pengaturan ambang batas formal.


155



4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum Sebagai Indikator Ambang Batas Formal
yang Berkelanjutan.
Pengaturan ambang batas formal menjadi suatu kebutuhan dalam
penguatan sistem pemilihan umum Indonesia sehingga perlu dilakukan
pemantapan agar dapat diberlakukan secara keberlanjutan. Yuliandri memaparkan
bahwa konsep berkelanjutan terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) dimana pembentukan suatu peraturan perundang-
undangan mengarah kepada kehidupan masyarakat yang mempersyaratkan
adanya kepastian, konsistensi, dan kepercayaan.
214
Penulis berpendapat dalam
rangka mewujudkan pembentukan peraturan perundangan-undangan yang
berkelanjutan tidak lain berpegang pada tujuan hukum yang akan dicapai sebagai
indikatornya, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Oleh
karena kepastian hukum yang mencerminkan keadilan akan mengarah kepada
konsistensi dari suatu aturan hukum dan aturan hukum yang dapat memberikan
manfaat akan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakat, maka pengaturan
ambang batas formal yang berkelanjutan di Indonesia harus mampu mengarah
kepada tiga aspek ini.
Pengaturan ambang batas formal telah diterapkan dalam penentuan
lembaga perwakilan periode 2009-2014. Evaluasi atas kebijakan hukum yang
diterapkan dilakukan untuk menggambarkan nilai kemanfaatan yang telah


214
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik
(Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali Press, Jakarta, hal.167.
156



diwujudkan atas suatu aturan norma hukum.
215
Dalam menjalankan fungsi
legislasi, lembaga perwakilan yang dihuni oleh multipartai sederhana berdasarkan
pengaturan ambang batas formal secara teleologis mengarah pada peningkatan,
baik secara kuantitas dan kualitas undang-undang yang dihasilkan. Berdasarkan
Keputusan DPR RI No.41A/DPR-RI/1/2009-2010 dan Keputusan DPR RI
No.41B/ DPR-RI/1/2009-2010, terdapat sebanyak 247 RUU yang disepakati
dalam prolegnas 2009-2014 untuk disusun dan beberapa RUU kumulatif
terbuka.
216
Adapun dari sekian perundang-undangan yang menjadi target tersebut,
DPR-RI periode 2009-2014 hingga semester pertama tahun 2013 hanya mampu
menyelesaikan sebanyak 42 undang-undang yang menjadi program legislasi
nasional (per-tanggal 3 Mei 2013).
217
Hal tersebut menandakan bahwa fungsi
legislasi sesungguhnya masih tidak berjalan dengan maksimal. Pengaturan
ambang batas formal yang diharapkan dapat meminimalisir fragmentasi dan
menambah kualitas pembahasan RUU dengan minimnya jumlah partai politik,
ternyata belum memberikan pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas fungsi legislasi.
Ketika persentase ambang batas formal yang menyebabkan tingginya
disproporsionalitas dalam lembaga perwakilan namun ternyata tidak efektif untuk
mencapai tujuan yang diharapkan, maka seharusnya kelemahan yang ditunjukkan


215
Budi Winarno memaparkan bahwa tahap evaluasi diperlukan sebab suatu kebijakan tidak
semua meraih hasil yang dinginkan atau bahkan gagal meraih tujuan yang ditetapkan. Tahap
evaluasi dilakukan agar dapat memberikan perubahan-perubahan atau perbaikan-perbaikan agar
suatu kebijakan berhasil. Lihat dalam Budi Winarno, op.cit, hal. 228.

216
Aliamsyah, 2010, Politik Perundang-undangan, diakses dari
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/480-politik-perundang-undangan.html tanggal 18
April 2013.

217
Diolah dari : http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/undang-undang.html
dan http://www.djpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html) tanggal 3 Mei 2013.
157



atas akibat pengaturan tersebut harus dapat diminimalisir. Mengacu pada
pendapat hukum yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa urgensi untuk
menentukan desain ambang batas formal yang ideal adalah menjadi hal yang
prioritas. Oleh karena itu, pembahasan dalam substansinya seharusnya tidak lagi
hanya mengarah kepada kenaikan persentase ambang batas formal, melainkan
pada format baku pengaturan ambang batas formal tersebut. Setidaknya fokus
pembaruan pengaturan persentase ambang batas formal berada pada dua domain,
yakni :
1. desain hukum persentase ambang batas yang tetap dan konsisten.
2. formulasi aturan untuk menekan terjadinya disproporsionalitas akibat
pengaturan ambang batas formal.
Pengaturan persentase ambang batas formal yang tetap dan konsisten
menjadi suatu hal yang wajib untuk menjamin kepastian hukumnya, meskipun di
sisi lain besaran persentase merupakan pengaturan yang bersifat relatif sehingga
sulit untuk ditentukan idealitasnya. Ilmu hukum bukan merupakan ilmu yang
dapat diwujudkan secara matematis dalam mengukur kelayakan suatu norma
hukum. Namun apabila berangkat dari perbandingan hukum, bahwa aturan
hukum negara-negara yang menerapkan pengaturan ambang batas formal pada
umumnya adalah berada pada kisaran normal tidak melebihi 5%, sehingga patut
untuk menjadi dasar pertimbangan komparatif sebagai ambang batas yang masih
dapat ditoleransi.

158



Kemudian perihal pengaturan ambang batas formal yang menimbulkan
disproporsionalitas pada sistem perwakilan proporsional, menyebabkan perlunya
keberadaan aturan tambahan sebagai kompensasi dalam rangka menjaga prinsip
keadilan hukum. Secara umum, praktik kompensasi yuridis atas
disproporsionalitas ambang batas formal setidaknya dapat dilihat dari beberapa
bentuk pengaturan, yakni :
1. pengaturan ambang batas formal untuk koalisi partai;
2. adanya kursi kompensasi (compensatory seat);
3. keterwakilan calon independen dan kelompok minoritas tanpa melalui
pengaturan ambang batas formal.
Secara normatif, pengaturan ambang batas formal untuk koalisi partai
politik merupakan pengaturan yang paling umum diterapkan di negara-negara
yang menganut ambang batas formal dalam sistem perwakilan proporsional atau
sistem campuran. Partai-partai politik dapat memutuskan apakah akan mengikuti
pemilu sebagai partai politik individu ataukah secara koalisi dengan pertimbangan
persentase ambang batas yang diterapkan untuk koalisi partai tidak terlalu jauh
dari ambang batas formal individu. Kemungkinan bagi partai kecil/baru untuk
mendapatkan kursi dengan melakukan koalisi menjadi lebih terbuka dan kualitas
koalisi yang dilakukan menjadi lebih stabil dan jelas.
Koalisi yang dibangun di Indonesia selama ini didasarkan atas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat yang
kuat terhadap lembaga perwakilan. I Dewa Gede Palguna berpandangan bahwa
kekuatan mengikat (binding power) hanya dimiliki oleh hukum dengan derajat
159



kekuatan mengikat yang berbeda sesuai dengan hierarkinya.
218
Berdasarkan hal
tersebut koalisi permanen dalam lembaga perwakilan hanya dapat tercipta apabila
hukum mengaturnya secara tegas. Pengaturan ambang batas formal yang selama
ini ditujukan untuk menciptakan sistem multipartai sederhana dengan harapan
koalisi yang terbangun dapat lebih awet berlangsung tidak memiliki kekuatan
yang tegas, dikarenakan secara substansil tidak menyentuh materi koalisi,
sehingga perpecahan koalisi masih dapat terjadi meskipun jumlah partai yang
terdapat di dalam lembaga perwakilan tidak terlalu banyak. Apabila melihat
penyelenggaraan pemilu di Polandia, koalisi dapat diupayakan permanen ketika
partai politik sebagai peserta pemilu dari koalisi partai politik, dengan
konsekuensi ambang batas formal yang diterapkan adalah berbeda antara peserta
pemilu dari partai politik individual dan partai koalisi. Pengaturan semacam ini
menghasilkan koalisi yang lebih awet, stabil, dan tegas karena dilakukan oleh
partai politik sebelum mengikuti pemilu legislatif.
Sementara perihal calon independen, kursi kompensasi, dan perwakilan
minoritas untuk mengimbangi pengaturan ambang batas formal dalam penentuan
kursi lembaga perwakilan adalah lebih sulit diterapkan di Indonesia karena
pengaturan tersebut memang tidak dikenal dalam sistem yang umum diterapkan di
Indonesia. Turki di dalam sistem pemilunya menerapkan ambang batas yang
sangat tinggi (10%), namun untuk mengurangi disproporsionalitas ketentuan
tersebut tidak diberlakukan dalam hal calon anggota perwakilan adalah berasal
dari calon independen. Sistem ketatanegaraan Indonesia lebih menempatkan peran


218
I Dewa Gede Palguna, 2000, Sebuah Pertanyaan Untuk Pemilu, dalam Parlemen Literer
Antologi Pemikiran Dewa Palguna (Disunting oleh Andrianto Kurniadi, et.al), Bali Mangsi
Press, Denpasar, hal. 50-51.
160



sentral partai politik dalam pengisian lembaga perwakilan. DPR-RI terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan
umum. Partai politik menjadi satu-satunya media untuk menjadi peserta dalam
pemilihan umum DPR (vide Pasal 67 UU No. 27 Tahun 2009 juncto Pasal 7 UU
No. 8 Tahun 2012). Namun apabila merujuk pada ketentuan UUD 1945 bahwa
Pasal 19 ayat (1) menentukan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui
pemilihan umum, kemungkinan untuk mengatur calon independen dalam format
pemilihan umum DPR-RI tidak menjadi suatu hal yang dilarang. Hal ini
dikarenakan pada dasarnya UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
menentukan secara limitatif subyek hukum yang berhak menjadi peserta dalam
pemilihan anggota DPR.
Keadaan tersebut juga berlaku perihal pengaturan ambang batas formal
dalam kursi kompensasi sebagaimana diterapkan dalam sistem ketatanegaraan
Denmark. Pada dasarnya format ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia tidak
melimitasi jenis-jenis kursi yang disediakan dalam lembaga perwakilan. Pasal 21
UU No. 8 Tahun 2012 juncto Pasal 74 UU No. 29 Tahun 2009 hanya menentukan
jumlah kursi untuk anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam
puluh). Bahwa secara teleologis keberadaan kursi kompensasi memang ditujukan
untuk mengurangi disproporsionalitas yang terjadi dalam sistem pemilihan umum
yang digunakan.
Sementara perihal pengaturan ambang batas formal yang mengurangi nilai
representatif sistem perwakilan proporsional, beberapa negara menentukan bahwa
aturan tersebut tidak diberlakukan untuk peserta pemilu yang mewakili kaum
161



minoritas. Politik hukum tersebut merupakan bentuk dari kebijakan afirmatif atau
diskriminatif positif yang memberikan perlakuan khusus untuk menciptakan
kesamaan dengan berpegang pada tiga tolok ukur, yakni representativness,
proportional, dan perlindungan pada kelompok marginal.
219
Kebijakan afirmatif
sendiri sesungguhnya telah diatur dalam undang-undang pemilu Indonesia yang
wajib menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam daftar bakal
calon anggota perwakilan (vide Pasl 55 UU No. 8 Tahun 2012) dengan Pasal
28H ayat 2 UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya, sehingga bukan
menjadi hal yang baru lagi dalam undang-undang pemilu Indonesia.
Bahwa definisi dari perwakilan minoritas adalah suatu hal yang belum
jelas untuk diterapkan dalam sistem pemilu Indonesia dan membutuhkan kajian
lebih mendalam lagi. Namun apabila merujuk pada pasal 28I ayat (3) UUD 1945
yang mengatur bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, keberadaan kaum
masyarakat tradisional dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk dari
kaum minoritas. Peluang untuk diaturnya keberadaan kaum minoritas secara
eksklusif dalam sistem pemilu Indonesia bukan menjadi suatu hal yang tidak
mungkin. Sebagai contoh diakuinya keberadaan partai politik lokal dalam sistem
pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, meskipun hanya diakomodir secara lokal dalam lembaga perwakilan


219
Tri Lisiani Prihatinah, 2010, Perspektif Jender Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Tentang Dihapuskannya Kebijakan Afirmati Perempuan Di Parlemen Pada Pemilu Tahun 2009,
dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No.2 Mei 2010, Fakultas Hukum Universitas Jendral
Soedirman, Purwokerto, (diakses dari :
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/V10M2010 Tri Lisiani Prihatinah.pdf)
tanggal 13 Mei 2013 hal. 159-160.
162



Aceh.
220
Sistem perwakilan proporsional yang digunakan harus tetap menjaga
proporsionalitas setiap suara dan derajat keterwakilannya dari golongan minoritas
walaupun penyederhanaan partai politik diberlakukan melalui pengaturan ambang
batas formal.
Dari pembahasan tersebut di atas, bahwa penentuan persentase ambang
batas yang baku dan mengurangi konsekuensi disproporsionalitas adalah dua hal
yang harus dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam rangka mewujudkan
kepastian dan keadilan hukum. Dengan adanya pengaturan-pengaturan yang
bersifat kompensasi tersebut, maka pemulihan atas kerugian-kerugian yang
timbul akibat pengaturan ambang batas formal setidaknya dapat diupayakan.
Secara teori hukum hal tersebut tidak lain sesuai dengan pemikiran John Rawls
perihal bagaimana mewujudkan justice as fairness atau keadilan yang paling fair.
Pada intinya John Rawls memaparkan dua prinsip keadilan sebagai berikut :
1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of
greatest equal liberty) yang mendasarkan bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat,
dengan kondisi lebih baik semua mendapat untung daripada tidak
ada sama sekali.
2. Prinsip ketidaksamaan, dimana situasi perbedaan sosial-ekonomi
harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling
menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah
(setidaknya terdapat peluang dan kesempatan untuk mencapai
kesejahteraan).
221



220
Pasal 1 angka 14 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjelaskan bahwa
Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara
Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan
anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota.

221
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.
162-163. Lihat pula dalam Achmad Ali, 2009 Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
163



Berdasarkan teori tersebut, pada hakikatnya pemilu memberikan
kebebasan kepada setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi adanya keadaan yang membedakan, baik dari aspek sosial maupun
ekonomi, yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelaksanaan pemilu yang
disertai dengan pengaturan ambang batas formal, sehingga adanya aturan yang
tetap memperhitungkan elemen masyarakat minoritas tetap harus tersedia.
Mengaktualisasikan ambang batas formal dalam pembangunan hukum pemilu
harus memungkinkan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang
sama, dengan memperhatikan peluang dan kesempatan dari struktur yang sudah
berada dalam posisi lemah atau marginal. Tujuan nasional dengan fokus
kebijakan hukum yang tidak hanya mementingkan kepentingan elit semata,
namun lebih jauh untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dengan aturan-aturan
hukum yang strategis. Aturan-aturan hukum yang dapat menyeimbangkan
pengaturan ambang batas formal menjadi penting keberadaannya dalam rangka
memenuhi unsur kepastian dan keadilan hukum. Pembangunan hukum pemilu
secara nasional harus tetap berada para kerangka aktualisasi cara berfikir
solidaritasisme bangsa dan menjauhkan bagaimana paham-paham yang bersifat
individual egosentris.

Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Volume I
Pemahaman Awal, Kencanam Jakarta, Jakarta, hal 281.
164

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan prinsip
demokrasi konstitusional dengan berdasar pada empat aspek, yakni :
keberadaan pengaturannya yang didasarkan pada kewenangan legislasi
DPR-RI untuk mengatur lebih lanjut perihal pemilihan umum; tujuan
stabilisasi lembaga negara; tidak bertentangan dengan hak asasi politik;
adanya konsistensi dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah
Konstitusi. Namun pengaturan ambang batas formal di Indonesia
mengakibatkan pengurangan sejumlah suara sah dari pemilih sehingga
mengurangi tingkat proporsionalitas hasil pemilu.
2. Pengaturan ambang batas formal wajib memenuhi tiga indikator, yakni
Cita Hukum Indonesia, proporsionalitas hasil pemilu, dan pemenuhan
tujuan hukum. Pengaturan ambang batas formal memenuhi Cita Hukum
Indonesia yang mengupayakan demokrasi permusyawaratan/perwakilan
dapat dilaksanakan secara konsisten dengan memperhatikan nilai keadilan
sosial. Perbandingan hukum dengan negara lain memperlihatkan bahwa
pengaturan ambang batas formal merupkan substansi hukum yang lazim
diterapkan dalam negara yang menganut sistem pemilu perwakilan
proporsional. Adapun dalam pengaturan ambang batas formal yang
165



berkelanjutan tidak hanya mencantumkan persentase minimal yang harus
dipenuhi, namun disertai dengan adanya aturan tambahan yang mampu
mengurangi disproporsionalitas hasil pemilu dalam rangka memenuhi
kepastian dan keadilan hukum.

5.2. Saran
Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut :
1. Pembentuk undang-undang hendaknya memperhatikan setiap Putusan
Mahkamah Konstitusi yang menguji ketentuan ambang batas formal
secara komprehensif, terutama perihal syarat proporsional. Kecermatan
pembentuk undang-undang seharusnya lebih diperhatikan dalam memilih
desain hukum ambang batas formal.
2. Hendaknya terdapat pembaruan hukum atas pengaturan ambang batas
formal yang lebih bersifat komprehensif dan permanen. Penentuan
persentase ambang batas yang konsisten sebaiknya berada pada kisaran
yang tidak melebihi angka 5%. Kemudian perihal aturan-aturan hukum
tambahan guna mengurangi konsekuensi disproporsionalitas sebaiknya
lebih diarahkan pada ketentuan ambang batas formal untuk koalisi partai
politik agar dapat menciptakan koalisi yang permanen di DPR-RI.
166
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
Abdullah, Rozali, 2009, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (Pemilu
Legislatif), Rajawali Press, Jakarta.
Ahmad, Rival Gulam, et.al. 2007, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk
Transformasi Sosial (Sebuah Manual untuk Praktisi), Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta.
Ali, Achmad, 2009 Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencanam Jakarta, Jakarta.
Andrianus, Toni, et.al, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik (Dari Sistem Politik
Sampai Korupsi), Nuansa, Bandung.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta.
, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta.
, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT. Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta.
, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta.
Atmadja, I Dewa Gede, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi
Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang.
, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian
Kenegaraan), Setara Press, Malang.




167
Azhary, Muhammad Tahir, 2010, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada
Periode Negara Madinah Dan Masa Kini), Kencana, Jakarta.
Boyd, James P., 1896, Parties, Problems and Leaders of 1896, Publishers Union
Philadelphia.
Budiardjo, Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Bruggink, JJ.H., 2011, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian Pengertian Dasar
dalam Teori Hukum) terjemahan B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Dahl, Robert A., 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A.
Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
, 2001, Perihal Demokrasi Menjelajah Teori dan Praktek
Demokrasi Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Darmodiharjo, Darji, Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Dicey, Albert Venn, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
(Eighth Edition), Macmillan and Co., Limited, London.
Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Donder, I Ketut, I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk
Apa Ilmu Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita,
Surabaya.
El-Muhtaj, Majda, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari
UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002),
Kencana, Jakarta.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar.
Faturohman, Deden, Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang.
Fisher, Roger, et.al, 2011, Getting to Yes, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.




168
Friedman, Lawrence M., 1969, The Legal System ( A Social Science Perspective),
Russel Sage Foundation, New York.
Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika
Aditama, Bandung.
Gaffar, Janedjri M., 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta.
, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press,
Jakarta.
Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah
(Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan), Setara Press, Malang.
Hart, H.L.A., 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford.
Hidajat, Imam, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Pers, Malang.
Huijbers, Theo, 2012, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Hutabarat, Ramly, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The
Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta
Kansil, CST, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Kantaprawira, Rusadi, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar),
Penerbit Sinar Baru, Bandung.
Kelsen, Hans, 2002, Introduction to the Problems of Legal Theory (A Translation
of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law -
translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson),
Clarendon Press, Oxford.
, 2006, General Theory of Law and State / Hans Kelsen : with a
new Introduction by A. Javier Trevino, Transaction Publishers, New
Brunswick, New Jersey.
, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli Hans Kelsen Essays in
Legal and Moral Philosophy Terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni,
Bandung,




169
Keraf, Gorys, 1994, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Penerbit
Nusa Indah, Flores.
Kusnardi Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum
Internasional, PT. Alumni, Bandung.
Latif, Abdul, dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lubis, Solly, 2008, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung.
Locke, John, 1824, Two Treatises of Government, C. Baldwin Printer, London.
Marbun, SF, dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi
Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru. Kencana. Jakarta.
Marsudi, Subandi Al, 2001, Pancasila dan UUD45 Dalam Paradigma Reformasi
(Edisi Revisi), Rajawali Press, Jakarta.
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum
Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta.
, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit
Alumni, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, An Introduction to Indonesia Law, Setara Press,
Malang.
, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta.
MD, Moh. Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali
Press, Jakarta.
, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Rajawali Press, Jakarta.




170
Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta.
Mill, John Stuart, 1862, Consideration on Representative Government, Harper &
Brothers Publisher, New York.
Montesquieu, Charles de Secondat Baron de. 1900, The Spirit of Laws (Translated
from the French by Thomas Nugent.), The Colonial Press, New York.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Mustafa, Bachsan, 2001 Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Nasution, Adnan Buyung, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional,
Kompas, Jakarta.
Nurtjahjo, Hendra, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta.
Palguna, I Dewa Gede, 2000, Sebuah Pertanyaan Untuk Pemilu, dalam
Parlemen Literer Antologi Pemikiran Dewa Palguna (Disunting oleh
Andrianto Kurniadi, et.al), Bali Mangsi Press, Denpasar.
Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta.
Poerbopranoto, Koentjoro, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco,
Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco
Jakarta, Bandung.
Purnomowati, Reni Dwi, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen
Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Reynlods, Andrews, et al, 2005, Electoral System Design : The New International
IDEA Handbook, International IDEA, Stockholm.
Rodee, Carlton Clymer, et.al, 2011, Pengantar Ilmu Politik (Terjemahan Zulkifly
Hamid), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Rousseau, Jean-Jacques, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Prinsip
Hukum Politik (Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat),
Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.




171
Safaat, Muchamad Ali, 2012, Pembubaran Partai Politik (Pengaturan dan
Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik), Rajawali
Press, Jakarta.
Salman, Otje, dan Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung.
Sargent, Lyman Tower, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition),
The Dorsey Press, Chicago.
Sidharta, B. Arief, 2009, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.
Strong, C.F., 1952, Modern Political Constitutions (An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Existing Form), Sidgwick &
Jackson Limited, London.
Suherman, Ade Maman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sunny, Ismail, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta.
Supriyanto, Didik, dan August Mellaz, 2011, Ambang Batas Perwakilan
Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem
Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu, Perludem, Jakarta.
Surbakti, Ramlan, 1999, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta.
Syahuri, Taufiqurrohman, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,
Kencana, Jakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta.
Usfunan, Yohanes, 1986 Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan
Ayu Sarana Cerdas, Denpasar.
Varma, SP., 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta.




172
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik (Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali
Press, Jakarta.

2. Jurnal
A. Hamid S. Attamimi, 1992, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum
Bangsa Indonesia, dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (Disunting
oleh Oetojo Oesman dan Alfian) Bp-7 Pusat, Jakarta.
Arend Lijphart, 2004, "Constitutional Design For Divided Societies", dalam
Journal of Democracy Volume 15 Number 12, diakses dari
http://www.clas.ufl.edu/users/bmoraski/democratization/lijphart04_jod.pdf
, The Johns Hopkins University Press, Baltimore-Maryland, diakses
tanggal 31 Maret 2013.
Michel Rosenfeld, 2001, The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional
Democracy, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001),
Publisher University of Southern California; School of Law; Gould School
of Law, California, diakses dari http://www-
bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, diakses tanggal 18 Maret 2013.
M. Hutauruk, 1983, Kadar Demokrasi dan Rasionalitas dalam Kebijaksanaan
Pemerintah, dalam Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era
Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Pippa Norris, 1997, Choosing Electoral Systems : Proportional, Majoritarian and
Mixed System, dalam International Political Science Review Vol 18 (3)
July 1997, Sage Publications. Ltd, London, diakses dari
http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Choosing%20Electoral%2
0Systems.pdf, tanggal 31 Mei 2013.
Radiman Salman, 2010, Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan
Pembaharuan Parpol, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah
Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi
Sebagai Kado Untuk Sang Penggembala Prof. A. Mukthie Fadjar, SH.,
MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In Trans Publishing, Malang.
Scott Mainwaring, 2003, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The
Difficult Combination, dalam The Democracy SourceBook - edited by
Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose Antonio Cheibub, The MIT Press,
London.




173
Tim LIP FISIP UI, 1998, Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat : Reformasi
UU Pemilihan Umum, dalam Mengubur Sistem Politik Orde Baru,
Penerbit Mizan, Bandung.
Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the
Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of
Undergraduate Research: Vol. 9, diakses dari
http://digitalcommons.iwu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1060&context
=respublica tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois.
Tri Lisiani Prihatinah, 2010, Perspektif Jender Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Tentang Dihapuskannya Kebijakan Afirmati Perempuan Di
Parlemen Pada Pemilu Tahun 2009, dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol.
10 No.2 Mei 2010, diakses dari :
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/V10M2010 Tri
Lisiani Prihatinah.pdf) tanggal 13 Mei 2013, Fakultas Hukum Universitas
Jendral Soedirman, Purwokerto.

3. Tesis
Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di
Indonesia Pada Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca
Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Jakarta.
M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem
Presidensial Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

4. Peraturan Perundang undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3062);
Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3810);
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886);




174
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277);
Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 119 ; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4558);
Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836);
Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4924);
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
Undangan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5316);
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-
Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.

5. Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas Pengujian Undang
Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas Pengujian Undang
Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan




175
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

6. Peraturan Perundang-undangan Asing
Federal Elections Act Version As Promulgated On 23 July 1993 (Federal Law
Gazette I pp. 1288, 1594), As Last Amended By Article 1 of The Act of 12
July 2012 (Federal Law Gazette I p. 5181501)
Parliamentary Election Act of Denmark (published by Ministry of Social Welfare and
Folketinget, The Parliament of Denmark 24 February 2009)
Romania - Law No. 35/2008 for the election to the Chamber of Deputies and the
Senate
Statute No: 2839 Parliamentary Elections Law Enacted on 10 June 1983
Published in The Official Gazette No.: 18076 on 13 June 1983 5.T. Code,
C.22 - S.
The Act Of 12 April 2001 on Elections to the Sejm of The Republic of Poland and
to the Senate of The Republic of Poland (Journal of Laws of The Republic of
Poland No 46, Item 499, of 16 May, 2001 And No.154, item 1802 of 29
December, 2001)

7. Kamus dan Ensikplodi
Black, Henry Campbell, 1968, Blacks Law Dictionary - Definitions of the Terms
and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern
(Revised Fourth Edition),West Publishing Co, St. Paul Minn.
Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Echols, John M., dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An
English-Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta.
PT. Cipta Adi Pustaka, 1990, Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12, PT. Cipta
Adi Pustaka, Jakarta.

8. Internet
9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu
http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-
dpr-gagal-sepakati-ruu-pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012.




176
Aliamsyah, 2010, Politik Perundang-undangan, diakses dari
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/480-politik-perundang-
undangan.html tanggal 18 April 2013.
Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih suara nasional 3,5 persen,
partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD
http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-
untuk-dpr, diakses tanggal 17 Oktober 2012.
Europe remains critical of Turkeys 10 percent election threshold diakses dari
http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=europe-
critical-of-10-percent-election-threshold-2011-06-10 tanggal 3 Mei 2013.
Glossary of Terms
https://www.mtholyoke.edu/acad/polit/damy/BeginnningReading/glossary
_of_terms.htm diakses tanggal 3 Mei 2013
Hasil Akhir Pemilu 2009, diakses dari http://www.detiknews.com/jumlahsuara
tanggal 16 April 2013.
http://www.djpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html tanggal 3 Mei
2013.
http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/undang-undang.html
diakses tanggal 3 Mei 2012.
http://www.law.cornell.edu/anncon/html/art1frag1_user.html#art1_sec1, diakses
pada tanggal 27 Pebruari 2013.
http://www.law.cornell.edu/constitution/ diakses tanggal 22 Maret 2013.
KPU Ubah Perolehan Kursi Parpol di DPR
http://mediacenter.kpu.go.id/berita/472-kpu-rubah-perolehan-kursi-parpol-
di-dpr.html, diakses tanggal 21 April 2013.
Sejm of the Republic of Poland Sejm in the system of power diakses dari
http://www.sejm.gov.pl/english/sejm/sejm.htm tanggal 2 Mei 2013.
Turkeys Threshold diakses dari
http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=turkey82
17s-threshold-2011-05-08 tanggal 3 Mei 2013.

Anda mungkin juga menyukai