Anda di halaman 1dari 80

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP DISABILITAS DALAM

MENDAPATKAN PEKERJAAN DIHUBUNGKAN DENGAN


UU NO. 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh

Nama : Meilindasari Mulyana

NPM : 181000128

Program Kekhususan : Hukum Dasar

Dibawah Bimbingan

Dr. Hj. Utari Dewi Fatimah,S.H.,M.Hum

NIP/NIPY : 151.100.78

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

2022
PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP DISABILITAS DALAM
MENDAPATKAN PEKERJAAN DIHUBUNGKAN DENGAN
UU NO. 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

Skripsi

Disusun Oleh :

Meilindasari Mulyana

181000128

Telah Disetujui untuk

Dipertahankan dalam Ujian Sidang Kesarjanaan

Pada Tanggal……………

Pembimbing

Dr. Hj. Utari Dewi Fatimah,S.H.,M.Hum

NIP/NIPY 151.100.78

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

WAKIL DEKAN I FH UNPAS BANDUNG

Dr. Hj. Rd. Dewi Asri Yustia, S.H.,M.H

NIP/NIPY 151.102.08

i
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Meilindasari Mulyana

NPM : 181000128

Program Kekhususan : Hukum Dasar

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah :

a. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen
pembimbing
b. Didalamnya tidak terdapat karya-karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan oleh orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah yang disebutkan nama pengarang
atau dicantumkan dalam daftar Pustaka
c. Naskah ini telah melalui pemeriksaan similarity/Turnitin dengan hasil tidak
lebih dari 50%

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, apabila dikemudian hari
terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan yang berlaku di
Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

Bandung, Mei 2022

Yang membuat pernyataan,

Meilindasari Mulyana

NPM.181000128

ii
ABSTRAK

Sesuai dengan hak konstitusionalnya, penyandang disabilitas memiliki


kedudukan dan keistimewaan yang sama dengan warga negara lainnya, salah
satunya adalah hak internal atas pekerjaan yang layak. Namun, karena diskriminasi
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas, hak atas
pekerjaan ini terancam. Penyandang disabilitas juga menghadapi hambatan untuk
kesempatan kerja, dimana dinyatakan bahwa mereka yang dianggap sehat jasmani
dan rohani bukanlah penyandang disabilitas, maka secara umum dinyatakan bahwa
mereka yang menyandang disabilitas bukanlah individu yang sakit melainkan orang
dengan kebutuhan khusus yang memiliki kesempatan yang sama dengan warga
negara lainnya untuk mendapatkan pekerjaan yang terhormat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
spesifikasi penelitian deskriptif analitis dan metode penelitian yuridis normative,
dan data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer,
sekunder dan tersier yang bersifat kualitatif.
Setelah penulis melakukan analisis terhadap permasalahan mengenai pemenuhan
hak-hak para penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan, maka diperoleh
kesimpulan bahwa pada hakikatnya penyandang disabilitas harus mendapatkan
perlindungan hukum untuk mendapatkan pekerjaan yang layak seperti yang
tercantum dalam pasal 67 ayat (1) undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas. Mengingat bahwa bentuk diskriminasi ini menyulitkan penyandang
disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan dan bahwa ada sejumlah besar penyandang
disabilitas, pemerintah telah menyusun rencana untuk menangani masalah ini dan
memastikan bahwa individu tersebut mendapatkan pekerjaan yang terhormat yang
akan berkontribusi pada kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Kata Kunci : Penyandang Disabilitas, Diskriminasi, Hak Asasi Manusia

iv
ABSTRACK

In accordance with their constitutional rights, persons with disabilities have


the same position and privileges as other citizens, one of which is the internal right
to decent work. However, because discrimination often occurs in the daily lives of
persons with disabilities, this right to work is threatened. Persons with disabilities
also face barriers to employment opportunities, where it is stated that those who are
considered physically and mentally healthy are not persons with disabilities, so in
general it is stated that those with disabilities are not individuals who are sick but
people with special needs who have the same opportunities as other citizens. to get
a respectable job.
The method used in this research is to use analytical descriptive research
specifications and normative juridical research methods, and the data used are
secondary data in the form of qualitative primary, secondary and tertiary legal
materials.
After the authors conducted an analysis of the problems regarding fulfilling
the rights of persons with disabilities to get a job, it was concluded that in essence
persons with disabilities must receive legal protection to obtain decent work as
stated in article 67 paragraph (1) of law number 13 of 2003 concerning
Employment, Law Number 8 of 2016 concerning Persons with Disabilities. Given
that this form of discrimination makes it difficult for persons with disabilities to
find employment and that there are a large number of persons with disabilities, the
government has devised plans to address this problem and ensure that such
individuals find respectable employment that will contribute to their overall well-
being.

Keywords: Persons with Disabilities, Discrimination, Human Rights

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERLAKUAN DISKRIMINASI

TERHADAP DISABILITAS DALAM MENDAPATKAN PEKERJAAN

DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO.8 TAHUN 2016 TENTANG

PENYANDANG DISABILITAS” dengan lancar dan berjalan baik sesuai

dengan yang diharapkan.

Penelitian Skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa

adanya dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada Ibu Dr. Hj. Utari Dewi Fatimah,S.H.,M.Hum yang

senantiasa selalu sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini. Dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu serta

mendukung dalam proses penulisan tugas akhir ini baik secara moril

maupun materil, penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Anthon F Susanto, S.H.,M.Hum., selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Pasundan

2. Ibu Dr. Hj. Rd. Dewi Asri Yustia, S.H.,M.Hum., selaku Wakil

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pasundan

3. Bapak Firdaus Arifin, S.H.,M.H selaku Wakil Dekan II Fakultas

vi
Hukum Universitas Pasundan

4. Bapak Erick Emawan, S.H.,M.H selaku PLT Wakil Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Pasundan

5. Ibu Hj. Nia Kania Winayanti, Dra., S.H.,M.H selaku wali dosen

penulis

6. Ibu Dr. Hj. Utari Dewi Fatimah,S.H.,M.Hum, selaku Kepala

Bagian Hukum Dasar sekaligus Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan waktu, dan perhatian kepada penulis

selama mengerjakan skripsi.

7. Seluruh Dosen dan Staff Civitas Akademik Fakultas Hukum

Universitas Pasundan yang telah mendidik dan membimbing

serta membantu penulis sejak awal sampai bisa menyelesaikan

studi di Fakultas Hukum Universitas Pasundan

8. Orang Tua Tercinta Bapak Endang Mulyana dan Ibu Entin

Kartini yang senantiasa memberikan dorongan dari awal masuk

perkuliahan yang selalu memberikan doa dan motivasi dalam

pengerjaan skripsi ini.

9. Saudara ABG saya Alifia Yasmin, Imas Nurul, dan Herni

Herawati yang selalu mendukung dan memberikan semangat

dalam penyelesaian dalam skripsi ini

10. Teman terdekat saya Anisa Nopianti dan Dea Anisa yang tak

henti hentinya memberikan semangat dan kegembiraan yang

dapat mengurangi beban peneliti selama proses pengerjaan

vii
skripsi.

11. Seluruh pihak yang membantu dalam pengerjaan tugas akhir

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat

dan memberikan kontribusi positif khususnya bagi penulis

sendiri dan umumnya bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bandung, Januari 2023


Penulis

Meilindasari Mulyana
NPM. 181000128

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. i


LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... ii
ABSTRAK......................................................................................................... iv
ABSTRACK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian.................................................................................... 9
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 10
E. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 10
F. Metode Penelitian ................................................................................. 19
1. Spesifikasi Penelitian......................................................................... 20
2. Metode Pendekatan ........................................................................... 20
3. Tahap Penelitian ................................................................................ 21
4. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 22
5. Alat Pengumpulan Data .................................................................. 23
6. Analisis Data ..................................................................................... 24
7. Lokasi Penelitian ............................................................................... 24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI DISKRIMINASI,
DISABILITAS, PEKERJAAN ........................................................................ 25
A. Diskriminasi ............................................................................................ 25
1. Pengertian Diskriminasi ....................................................................... 25
2. Macam-Macam Diskriminasi di Indonesia ............................................ 28
B. Disabilitas ............................................................................................... 31
1. Pengertian Disabilitas ........................................................................... 31
2. Jenis-Jenis Penyandang Disabilitas ....................................................... 33

ix
3. Hak Disabilitas ..................................................................................... 36
C. Pekerjaan ................................................................................................ 37
1. Pengertian Pekerjaan ............................................................................ 37
2. Jenis-Jenis Pekerjaan ............................................................................ 38
BAB III DATA PENELITIAN LAPANGAN PERLAKUAN DISKRIMINASI
TERHADAP DISABILITAS DALAM MENDAPATKAN PEKERJAAN
BERDASARKAN UU NO.8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG
DISABILITAS ................................................................................................. 41
A. Perlindungan Hukum dalam Pemenuhan Hak untuk Mendapatkan
Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas ................................................... 41
B. Kendala Yang Dihadapi dalam Upaya Pemenuhan Hak Bagi Disabilitas . 53
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN PERLAKUAN DISKRIMINASI
TERHADAP DISABILITAS DALAM MENDAPATKAN PEKERJAAN
DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO.8 TAHUN 2016 TENTANG
PENYANDANG DISABILITAS ..................................................................... 57
A. Pengaturan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Mendapatkan Pekerjaan
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ......................................... 57
1. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 .......................... 57
2. Undang-Undang No.19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas ........................................................................ 58
3. Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas...... 59
B. Permasalahan Yang Dihadapi Penyandang Disabilitas Dalam Mendapatkan
Haknya Untuk Mendapatkan Pekerjaan .................................................. 60
C. Upaya Penyelesaian Perlakuan Diskriminasi Terhadap Penyandang
Disabilitas Dalam Hal Mendapatkan Pekerjaan ....................................... 61
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 65
A. Kesimpulan ............................................................................................. 65
B. Saran ....................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 67

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak hanya warga negara yang sempurna lahir dan batin yang perlu

mendapatkan perlindungan dan hak.(Rahayu Repindowaty Harahap 2015)

Diperlukan juga perlindungan terhadap hak-hak kelompok rentan seperti

penyandang disabilitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disabilitas

digambarkan sebagai sesuatu yang mempengaruhi atau membatasi kemampuan

mental dan fisik seseorang (seperti sakit atau cedera). Penyandang disabilitas

juga tergolong sebagai salah satu kalangan yang rentan mendapatkan perilaku

diskriminasi dan hak-haknya sebagai masyarakat kerap kali tidak terwujud.

Diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas tidak hanya berdampak

kepada mental, tetapi juga berdampak pada pemenuhan hak-haknya antara lain

hak dalam memperoleh keadilan, pendidikan, kesehatan bahkan dalam

mendapatkan pekerjaan.

Penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia harus memiliki

status, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara biasa (non

disabilitas) sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan Pancasila. Selain itu, penyandang disabilitas membutuhkan

perlindungan khusus dari berbagai praktik diskriminatif, khususnya berbagai

pelanggaran HAM.(Geminastiti Purinami A 2018)

Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1
2

Tahun 1945menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak. Klausul ini dapat dilihat sebagai

jaminan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan dan pekerjaan yang baik,

tanpa memandang penampilan, warna kulit, ras, suku, atau pandangan

agamanya. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pancasila sila kelima yang

berbunyi “Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia”, sila tersebut

menunjukkan bagaimana pemerintah Indonesia menghormati dan menghargai

setiap warga negaranya.

Jika dalam pelaksanaanya terdapat masyarakat yang tidak memperoleh

haknya atas keadilan, pendidikan, kesehatan bahkan dalam mendapatkan

pekerjaan, maka warga negara tersebut dapat memperjuangkan haknya kepada

pemerintah, disisi lain, jika ada warga negara yang tidak menunaikan

kewajibanya pada negara, maka negara berhak menjatuhkan sanksi kepada

warga negara tersebut. Pada kenyataanya, penyandang disabilitas masih

menghadapi berbagai macam permasalahan saat ini, khusnya dalam mencari

pekerjaan yang mana penerimaan pekerjaan saat ini sering kali membubuhkan

Persyaratan kesehatan, baik fisik maupun mental yang mana syarat tersebut

tidak dapat dipenuhi oleh para penyandang disabilitas bahkan cenderung

mendiskreditkan penyandang disabilitas.

Bersumber pada data Survei Sosial-Ekonomi Nasional di Indonesia

terdapat sekitar 26 juta orang jumlah penyandang disabilitas, angka tersebut

merupakan 9.7 persen dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia (Ade

Nasihudin Al Ansori, 2020). Jumlah ini tidak sedikit, penyandang disabilitas


3

sebagai bagian dari penduduk Indonesia berhak memperoleh perlakuan khusus.

Perlakuan tersebut paling tidak memiliki dua arti. Pertama, perlakuan khusus

ini dirancang untuk melindungi dari perlakuan diskriminasi, terutama dari

pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ini juga merupakan cara untuk melindungi

penyandang disabilitas agar tetap mendapatkan haknya.

Penyandang disabilitas memiliki kondisi yang beragam. Ada yang

memiliki cacat mental, dan beberapa orang memiliki cacat fisik. Kondisi

tersebut mempengaruhi kemampuannya untuk berpartisipasi dalam

masyarakat dan membutuhkan sokongan dari orang lain Penyandang

disabilitas mengalami lebih banyak tantangan dari publik non disabilitas. Dan

dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan.


4

Sumber: InfoDATIN 2018

Berdasarkan data di atas, Indonesia merupakan umah bagi

penyandang disabilitas dalam jumlah yang cukup besar, yang tersebar di

seluruh pelosok negeri.(Arie Purnomosidi 2018) Negara harus lebih

memperhatikan perlunya menawarkan kepada penyandang disabilitas

berbagai pilihan pekerjaan. Hak masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan

dan penghidupan yang baik bagi umat manusia dijamin oleh Pasal 27 ayat

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI 1945). Artinya, tanpa memandang ras, kebangsaan, agama, atau

karakteristik lainnya, setiap warga negara Indonesia diperlakukan secara

adil.
5

Pengusaha penyandang disabilitas harus memberikan perlindungan

kepada penyandang disabilitas yang pantas dengan jenjang kecatatannya,

sesuai dengan Pasal 67 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Meski

dilindungi undang-undang, perusahaan seringkali melakukan diskriminasi

terhadap karyawan penyandang disabilitas bahkan dalam perekrutan dan di

dalam tempat kerja.

Sebagai contoh kasus yang pertama yaitu datang dari Balikpapan.

Nabila merupakan seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang mengalami

gangguan dalam pendengaran yaitu sering disebut juga dengan Tunarungu

sering mendapatkan penolakan dalam hal mendapatkan pekerjaan. Bukan

hanya satu atau dua kali saja, alih alih mendapatkan jawaban manis namun

Nabila sampai mendapatkan penolakan sebanyak 162 kali sejak awal ia

melamar kerja. Menurut Nabila, hal ini menunjukan bagaimana pemberi

kerja seringkali kekurangan pengetahuan yang diperlukan untuk menerima

dan mempekerjakan Penyandang Disabilitas yang sebenarnya orang yang

memiliki gangguan pendengaran atau Tunarungu dapat menggunakan

berbagai macam metode komunikasi di tempat kerja. Lebih lanjut, Nabila

ingin pemerintah dan pelaku usaha mengimplementasikan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2016 mengenai pemenuhan hak-hak Disabilitas dalam

akses mendapatkan pekerjaan.( https://kaltimtoday.co/diskriminasi-halangi-

asa-nabila-untuk-bekerja-uu-disabilitas-tak-dijalankan/ Diakses Pada 11

Oktober 2022, 23.12)


6

Penyandang Disabilitas juga sering diartikan sebagai gangguan medis

yang dianggap selalu membutuhkan pertolongan dan orang yang tidak

terdidik, lebih lagi bekerja seperti manusia pada lazimnya. Bahkan kalangan

konvensional menuturkan bahwa kaum Disabilitas ialah orang yang kurang

beruntung, bukan berarti memandang kaum disabilitas dengan sebelah mata

karena disabilitas haruslah dipandang sebagai ketidakmampuan sosial. Tentu

saja, pendekatan yang paling penting adalah pendekatan sosial sosial.

Konvensi Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the

Rights of Person With Disabilities atau yang disingkat CRPD yang diatur

dalam UU No. 19 Tahun 2011, telah disahkan oleh pemerintah Indonesia.

Pengesahan CRPD menunjukkan dedikasi pemerintah dalam menegakkan,

memajukan, dan melaksanakan hak-hak penyandang disabilitas yang

selanjutnya akan mampu menumbuhkan kemandirian dan

kesejahteraannya.(Alia Harumdani Widjaja 2020) Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak Penyandang Disabilitas menyatakan

bahwa setiap Penyandang Disabilitas tidak boleh disiksa atau diperlakukan

secara kejam, dan mendapat perlakuan sewenang-wenang, karena

Penyandang Disabilitas mempunyai hak mendapatkan integritas intelektual

berdasarkan kesamaan fisik dengan yang lainnya. Maka kewajiban negara

yang bersangkutan dengan CRPD ini adalah merealisasikan tentang

pemenuhan hak-hak tersebut.


7

Menurut Petra W.B. Prakosa, Penyandang Disabilitas mempunyai

ketidak sempurnaan sehingga dikecualikan dari penerimaan sosial yang utuh.

Jauh dari tutur adil, diskriminasi masih saja didapatkan oleh Penyandang

Disabilitas serta mendapatkan kedudukan yang berbeda didepan hukum. Hal

ini menjadikan Penyandang Disabilitas sebagai kalangan yang terpinggirkan

dan seringkali sebagai korban kekerasan serta mendapatkan perlakuan yang

tidak manusiawi. Hal ini disebabkan kurangnya kebijakan dan lemahnya

perlindungan hukum bagi Penyandang Disabilitas. Pada tahun 2015, WHO

menyebutkan terdapat lebih dari 1 miliar penyandang disabilitas atau 15

persen lebih dari total populasi manusia di dunia. Angka ini jauh lebih tinggi

dari yang di perkirakan oleh WHO pada tahun 1970-an yang memperkirakan

persentasenya hanya 10 persen. Sementara itu, Penyandang Disabilitas masih

menghadapi tantangan terutama di bidang kesempatan kerja.

Demi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap para

penyandang disabilitas, seharusnya pemerintah mempunyai seperangkat

peraturan hukum yang seimbang dan tegas dalam mengatur, perlindungan ini

juga diperlukan dalam rangka melindungi para penyandang disabilitas dalam

usahanya guna mencukupi keperluannya atas keadaan yang dapat

memudaratkan penyandang disabilitas tersebut.

Berdasarkan pada hasil analisis di atas, diketahui bahwa Pemerintah

Indonesia telah meratifikasi, selanjutanya disebut CRPD yang diatur dalam

Undang-undang No 19 Tahun 2011Tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang

Disabilitas . Pengesahan CRPD menunjukkan dedikasi pemerintah untuk


8

membela, memajukan, dan menegakkan hak-hak penyandang disabilitas,

yang selanjutnya akan memungkinkan mereka untuk hidup mandiri dan

menikmati kesejahteraan.

Namun dalam prakteknya kebijakan tersebut belum teraplikasikan

secara optimal, penyandang disabilitas seharusnya tetap mendapatkan hak

konstitusionalnya, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No 8

Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mewajibkan Pemerintah,

Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha

Milik Daerah (BUMD) untuk mempekerjakan paling sedikit 2% (Dua Persen)

penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Namun dalam

praktiknya, peraturan tersebut tidak berjalan lancar karena adanya hambatan

dari pemerintah mengenai anggaran dana yang harus dikeluarkan dan harus

adanya pelatihan khusus terlebih dahulu (Muhammad Rijal Al-

Ghazali.2022.Hasil Wawancara Pribadi; 3 Juni 2022, Dinas Sosial

Kabupaten Sumedang). Penyandang disabilitas kerap terpinggirkan karena

kondisi fisik dan psikologis. Posisinyayang mempunyai keperluan berlainan

perlu memperoleh atensi dari semua institusi pemerintah, sehingga keperluan

itu mampu terwujud.(Alia Harumdani Widjaja 2020) Beranjak dari analisis

diatas penulis ingin mengkajinya lebih dalam dengan judul “PERLAKUAN

DISKRIMINASI TERHADAP DISABILITAS DALAM

MENDAPATKAN PEKERJAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO.

8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS”


9

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang sudah dipaparkan, penulis merumuskan pokok

masalah yang akan dibahas, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan Hak Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan

pekerjaan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ?

2. Bagaimana permasalahan yang dihadapi Penyandang Disabilitas dalam

mendapatkan haknya untuk mendapatkan pekerjaan ?

3. Bagaimana upaya penyelesaian perlakuan diskriminasi terhadap Penyandang

Disabilitas dalam hal mendapatkan pekerjaan?

C. Tujuan Penelitian

Dengan terdapatnya rumusan masalah diatas, diharapkan adanya kejelasan

dalam mengetahui bagaimana penyandang disabilitas mendapatkan pemenuhan

hak-haknya, salah satunya di bidang pekerjaan. Tujuan yang ingin dicapai dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaturan Hak Penyandang Disabilitas

dalam mendapatkan pekerjaan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

2. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Penyandang Disabilitas

dalam mendapatkan haknya untuk mendapatkan pekerjaan

3. Untuk mengetahui bagaimana upaya penyelesaian perlakuan diskriminasi

terhadap Penyandang Disabilitas dalam hal mendapatkan pekerjaan


10

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat berguna bagi berbagai pihak baik

secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

a. Dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum terutama mengenai

penyandang disabilitas

b. Dapat menjadi tambahan bahan kepustakaan hukum tentang

perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas yang menjadi

korban diskriminasi

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan refleksi

kepada para pembuat hukum dan dapat memberikan pandangan terkait

pentingnya sebuah kesempatan dan keadilan yang sama bagi warga

negara Non Disabilitas dan warga negara penyandang disabilitas.

E. Kerangka Pemikiran

Penyandang disabilitas adalah orang yang tidak sanggup melaksanakan suatu

kegiatan tertentu sebab situasi fisik maupun sistem biologis yang berlainan dari

rata- rata orang. Penyandang disabilitas fisik memiliki susunan sendi atau tulang

yang berlainam dengan orang normal pada umumnya, kelumpuhan anggota badan

atau ketidaklengkapan anggota badan bagian atas atau bawah.


11

Istilah disabilitas merupakan pengubahan karena sebelumnya istilah yang

digunakan untuk penyandang cacat adalah difabel, istilah difabel sendiri mula-mula

diprakarsai oleh sejumlah aktivis di Yogyakarta yang memulainya di Indonesia.

Penggunaan kata difabel ialah serapan dari kata “difabled people” yang merupakan

singkatan dari different ability people atau dapat diartikan sebagai seseorang dengan

kemahiran berbeda. Kata difabel bersinambungan dengan istilah disabilitas yang

jika diartikan adalah mempunyai kecacatan, dan penggunaan istilah ini memiliki

transformasi yang cukup signifikan sesuai dengan persepsi dan penerimaan

masyarakat luas.(Nursyamsi, Fajri, dkk, 2015, hlm 13)

Penggunaan istilah penyandang disabilitas di Indonesia setelah dilakukan

diskusi oleh Komnas HAM dengan judul “Diskusi Pakar Memilih Terminologi

untuk Mengganti Terminologi Penyandang Disabilitas” pada 19-20 Maret 2010 di

Jakarta.(Lalu Husni, 2007 hlm 4)Para pakar hukum, pakar linguis, pakar

komunikasi, pakar HAM, pakar isu-isu yang mempengaruhi kelompok rentan,

pakar filsafat, dan komisioner dari kementerian sosial dan HAM hadir dalam

diskusi tersebut. Setelah diskusi, diputuskan untuk menggunakan istilah

"penyandang disabilitas" daripada "penyandang cacat."

Pengakuan dan proteksi HAM merupakan tujuan primer negara, hal ini

diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah

direvisi pada tahun 1945, yang mengatur bahwa setiap manusia berhak untuk

memperoleh jaminan perlindungan, pengakuan, serta kejelasan hukum yang

adil dan mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum. Maka dengan

terpenuhinya hak-hak tersebut, diharapkan masyarakat bisa hidup dengan


12

sejahtera.

Berdasarkan teori kesejahteraan diatas, dapat disimpulkan bahwa

kesejahteraan membawa kebahagiaan sesuai dengan teori utulitas yang

dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang merupakan pakar hukum Inggris. Teori

ini menjelaskan bahwa munculnya hukum untuk mewujudkan kebahagiaan yang

terbesar serta jumlah yang terbanyak.

Teori yang berkaitan dengan ini juga yaitu teori HAM yang mana didalamnya

ada Teori Kodrat yang didukung oleh John Locke. Menurut John Locke, hak-hak

dasar untuk hidup, kebebasan, dan properti milik setiap orang dan tidak dapat

dialihkan atau diambil oleh pemerintah tanpa izin pemiliknya. Rakyat berhak

menggulingkan pemerintahannya dan memilih pemerintahan baru yang akan

menegakkan hak-hak ini jika melanggar kontrak sosial dengan melanggar hak-hak

kodrat masyarakat. John Locke percaya bahwa peran negara adalah untuk

melindungi dan mempromosikan pelaksanaan kebebasan dan hak asasi manusia.

Deklarasi Kemerdekaan Amerika didirikan atas gagasan John Locke pada tahun

1776.

Maka dari itu, dengan adanya teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut,

diharapkan pemerintah lebih berupaya atas pemenuhan hak termasuk hak

Penyandang Disabilitas dan juga memiliki tujuan untuk membangun penghidupan

masyarakat yang ter diskriminasi ke arah yang lebih baik.

Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyatakan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang

cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat


13

kecacatannya”. Asas perlindungan tersebut mengandung arti bahwa dalam

mempekerjakaan penyandang disabilitas harus sesuai dengan tingkat

kemampuannya. Pekerja Disabilitas juga memperoleh perlindungan lebih khusus

ketimbang dengan pekerja lain pada lazimnya.

Selanjutnya dalam Pasal 11 (a) menyebutkan “memperoleh pekerjaan yang

diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa

Diskriminasi”. Artinya, penyandang disabilitas mempunyai hak atas profesi yang

diselenggarakan oleh Pemerintah tanpa adanya perbedaan fisik, maupun mental dan

tanpa adanya perbedaan.

John C. Maxwell mendefinisikan seseorang sebagai penyandang disabilitas

memiliki kelainan yang dapat membatasi aktivitas sehari-hari.(Eko Riyadi, 2018,

hlm 24) Sedangkan definisi penyandang disabilitas terbagi menjadi empat kategori

dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas. Pertama, penyandang disabilitas fisik, yaitu mereka yang mengalami

penurunan fungsi gerak, seperti penderita kusta, amputasi, lumpuh atau kaku,

paraplegia, dan cerebral palsy (CP). Penyandang disabilitas intelektual yang sering

disebut dengan slow learner, gangguan jiwa, dan down syndrome ini mengganggu

proses berpikir karena tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata. Ketiga, individu

dengan gangguan jiwa, terutama yang mengalami gangguan mental, emosional, dan

perilaku, seperti: (a) gangguan psikososial seperti skizofrenia, gangguan bipolar,

depresi, kecemasan, dan gangguan kepribadian; (b) cacat perkembangan yang

membatasi kemampuan mereka untuk berinteraksi secara sosial


14

Pada lingkup internasional United Nations Convention on the Rights of Person

With Disabilities (UNCRPD), mendefinisikan bahwa penyandang disabilitas selaku

orang-orang yang mempunyai keterbatasan fisik, psikologis, intelektual, maupun

sensorik dalam periode lama dimana saat berhadapan dengan bermacam gangguan,

hal ini mampu membatasi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat

bersumber pada kesetaraan yang lain. Dalam penjelasan tersebut terlihat bahwa

pendefinisian disabilitas masih amat beraneka ragam karena sifat disabilitas itu

sendiri yang kompleks dan dinamis.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas,

penyandang disabilitas adalah setiap orang yang menderita kondisi fisik atau mental

yang dapat mengganggu atau menghambat kemampuannya untuk melaksanakan

pekerjaannya secara efektif. Sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1997, ada tiga kategori

penyandang cacat yang berbeda: mereka yang cacat fisik, mereka yang cacat

mental, dan mereka yang cacat fisik dan mental. Demikian pula Pasal 1 Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan

Sosial Penyandang Disabilitas menjelaskan apa yang dimaksud dengan

“penyandang disabilitas”. Ada banyak kategori berbeda untuk penyandang

disabilitas, dan daftar berikut mencakup beberapa di antaranya:

a. Cacat Fisik, ialah orang dengan anggota tubuh yang tidak lengkap seperti

cacat tulang, cacat sendi otot, anggota badan, ataupun kelumpuhan

b. Cacat Mata, ialah sebagai orang dengan gangguan penglihatan atau atau

kurang awas.

c. Cacat Rungu Wicara, yakni orang yang tuli bicara, atau yang berjuang untuk
15

mendengar atau memahami apa yang dikatakan orang lain pada jarak lebih

dari satu meter tanpa bantuan perangkat, menghadapi hambatan atau

kesulitan berkomunikasi dengan orang lain atau berinteraksi dengan orang

lain

d. Cacat Mental Eks-psilotik, diartikan seperti ekspenderita penyakit gila,

kadang-kadang masih memiliki kelainan tingkah laku, terkadang mengusik

orang lain pada umumnya. Biasanya orang yang memiliki gangguan ini

kesulitan ketika bersosialisasi serta sulit untuk mengendalikan emosi

sehingga orang yang menjalani stigma ini perlu pengawasan yang lebih

dibandingkan orang yang mengalami gangguan fisik.

e. Cacat Mental atau biasa disebut dengan keterbelakangan mental atau yang

lebih sering disebut idiot memiliki perilaku yang mirip dengan anak usia 2

tahun dan memiliki tingkah laku seperti anak usia 3-7tahun. Orang yang

memiliki gangguan seperti ini mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dan

juga susah dalam mengendalikan emosi sehingga orang yang mengalami

gangguan ini perlu pengawasan yang lebih.(Ismail Shaleh 2018)

Semua negara harus diatur oleh hukum yang relevan karena Indonesia adalah

negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Isi pasal

ini menjadi dasar konstitusional status Indonesia sebagai negara hukum dan

menetapkan kewajiban Negara Indonesia untuk menjamin keamanan, perdamaian,

dan stabilitas. kemakmuran negara dan negara. Selain itu, Pasal 27 Ayat 1 UUD

1945 menyatakan bahwa setiap orang sama di depan hukum, yang menunjukkan

bahwa tidak ada pembedaan, dan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama di
16

mata hukum dan negara, serta kewajiban untuk menghormati hukum dan negara.

Sebagai negara hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat harus

berdasarkan hukum yang berlaku. Aturan hukum dibuat pemerintah untuk

mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan kaidah dan norma yang berlaku.

Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia mempunyai pengaruh

dalam membuat nilai yang terkandung didalam Pancasila menjadi suatu acuan

dalam pengaturan penyelenggara negara, nilai Pancasila tersebut diaplikasikan

dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan

Perundang-undangan.

Pemerintah Indonesia menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar

kesejahteraan manusia serta menjamin pergaulan masyarakat yang layak sesuai

dengan Pasal 27 ayat 2 undang-Undang dasar 1945 yang menjelaskan “Tiap-tiap

warga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Pasal 1 Ayat 3

mendefinisikan diskriminasi sebagai setiap pembedaan, penilaian, atau pengucilan

disabilitas dengan tujuan melemahkan atau menghilangkan hak penyandang

disabilitas untuk diakui, dinikmati, dan dijalankan.

Untuk memberikan perlindungan yang maksimal terhadap Penyandang

Disabilitas termasuk hak dalam memperoleh pekerjaan sesuai dengan Pasal 5 ayat

1 bagian (f) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

dalam Konsiderannya menyebutkan bahwa :

a. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup

seluruh warganya dan memiliki kedudukan hukum dan hak asasi yang
17

sama untuk kelangsungan hidup yang berkembang dan bermartabat.

b. Bahwa Sebagian besar Penyandang Disabilitas di Indonesia hidup

dalam kondisi yang tidak stabil, masih ada Batasan, kesulitan, dan

penghilangan hak -haknya.

c. Bahwa untuk mencapai persamaan hak diperlukan kehidupan yang

sejahtera, mandiri, dan tidak adanya diskriminasi dan perlu adanya

peraturan perundang- undangan untuk menjamin pelaksanaannya.

Negara Indonesia dapat mengakui hak-hak rakyat sebagai warga negara dan

tanpa diskriminasi sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas. Undang-Undang

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki ketentuan mengenai hak

setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan, termasuk penyandang disabilitas.

Karena hak-hak ini dilindungi dan dijamin oleh hukum, perusahaan yang

mempekerjakan penyandang disabilitas harus segera bertindak untuk menegakkan

hak-hak tersebut.

Secara Konstitusional, ada beberapa ketentuan untuk bebas dari Diskriminasi.

Pokok bahasan ketentuan ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, orang yang

tidak memenuhi syarat dan yang kedua adalah warga negara. Hak yang diatur oleh

Kostituonal ini yakni larangan-laragan yang tidak boleh dilangar oleh pemangku

kebijakan dalam menjalankan kekuasaan negara. Dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak-hak yang secara tegas disebut sebagai

Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam BAB XA Undang-Undang dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum


18

yang adil, dan perlakuan yang sama di depan hukum,” menurut Pasal 28D ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang

berhak untuk bebas dari diskriminasi atas dasar apapun dan berhak atas

perlindungan dari diskriminasi tersebut, menurut Pasal 28I ayat 2 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak atas perlakuan yang adil, hak

atas sistem hukum dan keadilan yang jelas, antara lain hak-hak yang merupakan

unsur harkat dan martabat manusia yang tidak dapat dicabut sejak saat dilahirkan.

Hak asasi manusia ini sebenarnya sudah ada sebelum pembentukan negara dan

dirancang untuk ada secara independen darinya.

Setiap orang, termasuk penyandang disabilitas, termasuk dalam ruang lingkup

manusia yang dimaksud. Karena hak asasi manusia sering diabaikan atau dilanggar,

sangat penting untuk mendefinisikan ruang lingkup. Karena kurangnya penerimaan

penyandang disabilitas di masyarakat, terutama sebagai sesama manusia pada

lazimnya.

Situasi ini menghalangi penyandang disabilitas untuk memperoleh

perlindungan yang adil. Alhasil, penyandang disabilitas bisa dijadikan alat produksi

yang murah seperti pekerja anak dan pekerja perempuan yang selalu dibayangi

pelanggaran HAM. Mengingat banyaknya jumlah penyandang disabilitas,

seharusnya memang tidak ada perbedaan perlakuan untuk memenuhi hak antara

masyarakat umum dan penyandang disabilitas. Namun, tidak bisa dielakkan bahwa

banyak karya yang layak mendapatkan pujian dan apresiasi yang telah dihasilkan

oleh para penyandang disabilitas.


19

F. Metode Penelitian

Selanjutnya memasuki tahap penelitian, penelitian ini akan menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif. Metode kualitatif sering juga disebut sebagai

"pendekatan naturalistik" karena penelitian dilakukan dalam kondisi alamiah dan

memakai Ideologi postpositivis sebagai fondasinya. Metode penelitian kualitatif,

sebagai lawan dari eksperimen, menggunakan peneliti sebagai instrumen utama,

metode pengumpulan data triangulasi (gabungan), pengolahan data

induktif/kualitatif, dan hasiil dari penelitian kualitatif. lebih menekankan makna

dari pada generalisasi.(Suteki,Galang Taufani, 2020, hlm 45)

Jenis penelitian kualitatif ini digunakan karena dianggap lebih mudah

beradaptasi dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Hal ini juga sesuai

dengan pendapat yang dikemukakan oleh Moleong (2017:5) bahwa metode

penelitian kualitatif adalah pengumpulan data dalam setting yang alamiah, dengan

menggunakan metode- metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang

berkepentingan secara alamiah.

Berdasarkan sudut pandang tersebut, penelitian kualitatif dapat didefinisikan

sebagai penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena apa yang dialami

seseorang secara holistik, serta melalui deskripsi berupa penjelasan dengan kata-

kata dan bahasa, dalam konteks tertentu yang wajar, dengan menggunakan metode

ilmiah. Oleh karena itu, proses penelitiannya adalah sebagai berikut:


20

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis, yaitu mendeskripsikan data yang diperoleh dari observasi, wawancara,

dokumen, dan catatan lapangan, kemudian dianalisis dalam bentuk skripsi untuk

mendeskripsikan masalah dengan judul Perlakuan Diskriminasi Terhadap

Disabilitas Dalam Mendapatkan Pekerjaan Dihubungkan Dengan UU

No.8Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas , dilihat dari pendekatannya

penelitian ini menggunakan yuridis normatif.(Douglas, 2013, hlm.71)

Penelitian ini diteliti menggunakan bahan pustaka (bahan sekunder) atau

penelitian hukum kepustakaan yang secara garis besar ditujukan kepada :

penelitian asas-asas hukum dan penelitian terhadap sistematika hukum.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan

didukung oleh Yuridis Empiris. Yuridis Normatif yaitu suatu pendekatan

yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan

dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan. Menurut Ronny

Hanitjo Soemitro bahwa

“Pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan dengan

menggunakan sumber data sekunder”. Kemudian menurut Soerjono

Soekanto bahwa:
21

“Pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan Pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar

untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-

peraturan yang literatur berkaitan dengan permasalahan yang diteliti”

Selanjutnya, pedekatan yuridis empiris atau disebut penelitian lapangan

yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam

kenyataannya dalam masyarakat.

Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai

pemberlakuan atau pelaksanaan ketentuan hukum normatif dalam tindakan

pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

Dengan kata lain, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap situasi atau

kondisi nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui

dan menemukan fakta dan data yang diperlukan setelah data yang

diperlukan terkumpul kemudian mengarah pada identifikasi masalah yang

pada akhirnya mengarah pada penyelesaian masalah.

3. Tahap Penelitian

Dalam penelitian ini, tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan merupakan data sekunder, yaitu pada bagian ini

penulis mengkaji berbagai teori melalui bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1) Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari

perundang-undangan, yaitu :
22

a) Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003

b) Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat

c) Undang-Undang No 19 Tahun 2011 tentang Konvensi

Hak-Hak Penyandang Disabilitas

d) Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang mendukung

bahan hukum primer dan bisa digunakan menganalisis dan

memahami bahan hukum primer yang telah ada. Seperti buku,

jurnal,artikel,makalah yang dapat menjadi sumber informasi

mengenai penulisan ini.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Seperti kamus

huku, ensiklopedia, situs internet dan bahan lainnya yang dapat

menjadi sumber informasi mengenai skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan.

Penelitian lapangan ini untuk memperoleh data yang bersifat data primer

sebagai penunjang data sekunder. Penelitian ini dilakukan secara

langsung terhadap objek penelitian yang diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumen

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui telaah terhadap data yang


23

penulis kumpulkan dengan membaca, mencatat, dan mengutip dari buku-

buku, serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan

permasalahan yang dilakukan secara cermat oleh penulis.

b. Studi Lapangan

Dalam studi lapangan, dengan menggunakan pengumpulan data melalui

wawancara. Wawancara adalah percakapan antara dua orang atau lebih yang

berbicara antara sumber informasi atau narasumber dengan pewawancara.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi daripihak yang terpercaya

dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Narasumber.

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini,

dilakukan dengan dua cara :

a. Data Kepustakaan

Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara kepustakaan dengan

menggunakan alat tulis untuk mencatat dan mengumpulkan data yang

diperoleh yang diperlukan.

b. Data Lapangan

Penulis melakukan pengumpulan data dengan penelitian lapangan yang

mendukung identifikasi masalah dengan menggunakan pedoman

wawancara kepada narasumber terkait permasalahan ini yang disampaikan

secara lisan yang berpatokan dengan dokumen daftar pertanyaan yang

penulis buat dan dibantu fasilitas alat perekam dari handphone yang mana

percakapan antara pewawancara dengan narasumber dikumpulkan melalui


24

flashdisk dan disimpan melalui laptopsebagai pelengkap alat pengumpulan

data

6. Analisis Data

Data yang didapat dari studi ini akan dianalisis memanfaatkan metode yuridis

kualitatif, yaitu dengan memberikan kritik serta tidak menggunakan nilai statistik.

Maka dari analisis data itu penulis berkeinginan dapat menjawab permasalahan

yang ada dalam penelitian ini.

7. Lokasi Penelitian

a. Perpustakaan Saleh Adiwinata Fakultas Hukum Universitas Pasundan,

Jalan Lengkong Dalam No.17 Bandung Cikawao Kota Bandung

b. Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumedang, Jl.Mayor Abdurahman Kota

Kaler Sumedang Utara

c. Dinas Sosial Kabupaten Sumedang Jl.Pacuan Kuda No.2 Kota Kaler

Sumedang Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI DISKRIMINASI, DISABILITAS,
PEKERJAAN
A. Diskriminasi

1. Pengertian Diskriminasi

Diskriminasi, atau seperti yang dikenal dalam bahasa Inggris

Discrimination adalah ketika seseorang atau kelompok diperlakukan secara

tidak adil atau berbeda berdasarkan karakteristik individu atau kelompok

tersebut. Orang mungkin diperlakukan tidak adil atas dasar ras, jenis kelamin,

usia, agama atau pandangan dunia, warna kulit, cacat fisik atau mental, orientasi

seksual, atau karakteristik lainnya. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang Undang

NO.8 Tahun 2016 Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian,

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar Disabilitas yang bermaksud

atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau

pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas. Ketika seseorang atau kelompok

diperlakukan berbeda dari yang lain karena keanggotaan aktual atau yang

dirasakan dalam kelompok sosial atau kategori sosial tertentu, diskriminasi telah

terjadi. Membatasi akses kelompok terhadap peluang dan hak istimewa yang

tersedia bagi anggota kelompok lain dapat dianggap sebagai diskriminasi.

Enam kesepakatan hak asasi manusia internasional yang fundamental

melarang diskriminasi, tetapi tetap ada di banyak negara dan institusi di seluruh

dunia, termasuk di mana prevalensi prasangka secara luas dianggap rendah. Di

negara-negara tertentu, tindakan seperti pengenaan kuota tertentu telah

dilakukan untuk membantu orang-orang yang dianggap sebagai korban

25
26

prasangka baik saat ini maupun di masa lalu. Diskriminasi terbalik adalah nama

lain untuk upaya ini, yang sering diperdebatkan.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia diskriminasi didefinisikan sebagai segala

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan langsung atau tidak langsung

berdasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, suku, golongan,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, atau keyakinan

politik yang mengakibatkan pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan

pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan kebebasan dasar baik dalam

kehidupan individu maupun kolektif di bidang politik, ekonomi, dan hukum.

Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan diatas antara

lain yaitu : Teori Kesejahteraan dan Teori Kodrat.

Menurut Bentham, Kesejahteraan kesejahteraan mengacu pada kebahagiaan

atau kesejahteraan sebagai Utulitas dalam tulisannya. Bentham menyatakan

bahwa apapun yang dapat menghasilkan lebih banyak kebahagiaan adalah baik

berdasarkan prinsip Utulitas yang ia ciptakan.

Menurut Teori Kodrat Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki setiap

orang setiap saat dan di semua tempat sejak manusia lahir sebagai manusia,

menurut doktrin hak kodrati. Menurut John Locke, hak-hak tersebut meliputi hak

untuk hidup, kebebasan, dan kemakmuran. Hak asasi manusia tidak memerlukan

pengakuan dari pemerintah atau dari sistem hukum tertentu karena bersifat

universal. Karena itu, sumber pada kenyataannya, hanya manusia yang menjadi

sumber hak asasi manusia.


27

Adapun definisi Diskriminasi menurut para ahli sebagai berikut :

a. Menurut Banton, Diskriminasi, yang didefinisikan sebagai

memperlakukan individu yang termasuk dalam kategori tertentu

secara berbeda, mengarah pada jarak sosial yang jauh (social

distance).

b. Menurut Fulthoni, Istilah "diskriminasi" mengacu pada perlakuan

tidak adil atau tidak merata terhadap seseorang atau kelompok

berdasarkan karakteristik yang biasanya kategoris atau khas, seperti

ras, etnis, agama, atau keanggotaan kelas sosial.

c. Menurut Theodorson &Theodorson, Diskriminasi adalah perlakuan

tidak adil terhadap orang atau kelompok berdasarkan karakteristik

yang biasanya kategoris atau khas, seperti ras, etnis, agama, atau

kelas sosial ekonomi.

d. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Diskriminasi adalah perilaku yang didasarkan pada kategorisasi

yang dihasilkan oleh alam atau masyarakat yang berbeda satu sama

lain dan tidak ada hubungannya dengan kemampuan atau layanan

seseorang.

Jadi, diskriminasi adalah membedakan atau bertindak tidak adil

kepada rasa tau etnis baik itu dalam bentuk aturan, perbuatan,

ataupun perkataan karena perbedaan warna kulit, agama, suku, ras,

dll.(Denny J.A, 2014, hlm.6)


28

2. Macam-Macam Diskriminasi

a. Ras dan Etnis

Diskriminasi ras dan etnis mengacu pada banyak bentuk hukuman etnis dan

memisahkan orang berdasarkan perbedaan ras dan etnis yang sebenarnya dan

dirasakan. Ini juga dapat merujuk pada gagasan bahwa orang dapat

diklasifikasikan ke dalam kelompok ras yang berbeda berdasarkan

keunggulan satu ras di atas yang lain dan fitur perilaku yang berbeda sesuai

dengan penampilan fisik. Ini juga dapat dilihat sebagai permusuhan,

prasangka, atau diskriminasi yang ditujukan terhadap orang-orang karena

latar belakang ras atau etnis mereka. Rasisme di zaman modern sering kali

berakar pada konsepsi sosial tentang keanekaragaman hayati manusia. Sistem

pemerintahan, tindakan sosial, praktik, atau gagasan bahwa satu ras lebih

unggul dari ras lain mungkin termasuk dalam kategori ini.

Dominasi ras ini didasarkan pada karakteristik, keterampilan, atau atribut

yang konon diturunkan dari ayah ke anak. Di beberapa negara, seperti Afrika

Selatan selama era apartheid, sudut pandang ini telah menjadi doktrin resmi

pemerintah. Di Malaysia, kebijakan diskriminatif terhadap etnis termasuk

yang menargetkan populasi etnis Cina dan India. Banyak pengungsi Vietnam

dari Perang Vietnam ke Australia dan Amerika Serikat setelah perang, di

mana mereka menghadapi tingkat diskriminasi rasial yang lebih tinggi

daripada orang lain—semuanya yang melarikan diri masuk ke dalam kategori

ini.
29

b. Jenis Kelamin

Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gender seseorang dikenal

sebagai seksisme. Asumsi bahwa satu jenis kelamin atau gender secara

inheren lebih unggul dari yang lain dapat menjadi bagian dari diskriminasi

ini, yang sering tertanam dalam stereotip dan peran gender. Seksisme ekstrem

dapat mendorong aktivitas seksual, kesukaan, dan jenis kekerasan seksual

lainnya. Seksisme dan prasangka terhadap individu berdasarkan gender,

ekspresi gender, atau perbedaan gender adalah contoh diskriminasi gender.

Ketimpangan di tempat kerja secara khusus disebutkan dalam definisi

diskriminasi gender. Diskriminasi terhadap orang berdasarkan jenis kelamin

atau gender mereka yang mungkin disebabkan oleh norma atau konvensi

sosial atau budaya.(

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/23,18 Januari 2023

diakses pukul 22.49 WIB)

c. Usia

Ageisme, sering dikenal sebagai diskriminasi usia, adalah praktik

diskriminasi terhadap orang atau organisasi hanya berdasarkan usia mereka.

Diskriminasi usia adalah kumpulan ide yang digunakan untuk mendukung

prasangka dan perilaku diskriminatif. Ahli geriatri AS Robert N. Butler

menggunakan frasa pada tahun 1969 untuk merujuk pada prasangka terhadap

orang tua. Ageisme, menurut Butler, terdiri dari tiga komponen yang saling

terkait: kebijakan dan praktik kelembagaan yang memperkuat persepsi

negatif tentang orang tua, praktik diskriminatif, dan prasangka terhadap orang
30

tua, usia tua, dan proses penuaan. Ungkapan ini sering digunakan untuk

merujuk pada prasangka dan diskriminasi terhadap orang muda dan anak-

anak, seperti menolak pendapat mereka sebagai tidak dewasa atau berpikir

bahwa mereka harus bertindak dengan cara tertentu karena usia mereka.(

https://www.merdeka.com/sumut/mengenal-ageisme-diskriminasi-usia-

yang-kerap-terjadi-di-tempat-kerja-kln.html 18 Januari 2021 Diakses pukul

00.11 WIB)

d. Agama atau Kepercayaan

Diskriminasi agama adalah diskriminasi dengan memperlakukan orang atau

kelompok secara berbeda dan merugikan karena apa yang mereka percaya

atau tidak percayai atau karena perasaan mereka terhadap agama tertentu.

e. Disabilitas

Diskriminasi disabilitas memandang orang-orang non-disabilitas sebagai

standar "kehidupan normal," yang mengarah pada pengecualian beberapa

penyandang disabilitas dari layanan publik dan swasta, pengaturan

pendidikan, dan layanan sosial. Menurut penelitian, penyandang disabilitas

perlu bekerja tidak hanya untuk mencari nafkah tetapi juga untuk menjaga

kesehatan mental dan kesejahteraan umum mereka. Pekerjaan memenuhi

berbagai kebutuhan dasar manusia, termasuk yang terkait dengan tujuan

kelompok, koneksi sosial, status, dan aktivitas. Bekerja adalah salah satu

pendekatan untuk mengurangi isolasi sosial yang dialami banyak penyandang

disabilitas.

f. Daerah
31

Diskriminasi berdasarkan tempat lahir atau tempat tinggal seseorang dikenal

sebagai diskriminasi regional atau geografis. Berbeda dengan diskriminasi

berdasarkan kebangsaan, diskriminasi dapat dilatarbelakangi oleh prasangka

terhadap wilayah tertentu dari satu negara atau lebih daripada batas-batas

negara asal atau negara asal korban.

g. Kebangsaan

Undang-undang perburuhan di negara maju sering melarang diskriminasi

berdasarkan kebangsaan. Meskipun bisa juga ada secara terpisah, prasangka

ini terkadang terlihat berpasangan dengan diskriminasi rasial. Aturan yang

mengaturnya bisa bermacam-macam, mulai dari melarang penolakan

rekrutmen atas dasar kewarganegaraan dan mempertanyakan asal-usul hingga

membatasi pemecatan, pensiun paksa, kompensasi dan gaji berdasarkan

kewarganegaraan.

B. Disabilitas

1. Pengertian Disabilitas

Beberapa orang sering menyebut Penyandang Disabilitas dengan sebutan Difabel,

namun ternyata pengertian difabel dengan Penyandang Disabilitas sama saja

hanya penggunaan kata Difabel lebih sopan penyebutannya disbanding

Penyandang Disabilitas. Penyandang Disabilitas adalah orang yang memiliki

keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama

yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat

menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif


32

berdasarkan kesamaan hak.

Istilah Disabilitas berasal dari Bahasa Inggris yaitu Different Ability yang artinya

manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Terdapat beberapa istilah

menyebutkan pada penyandang disabilitas. Kementrian Sosial menyebut dengan

istilah penyandang cacat, Kementrian Pendidikan Nasional menyebut dengan

istilah berkebutuhan khusus dan Kementrian Kesehatan menyebut dengan istilah

Penderita Cacat.

Berikut beberapa pengertian penyandang disabilitas dari beberapa sumber :

a. Sesuai dengan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 61/106 tanggal 13

Desember 2006, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang karena

kecacatannya baik fisik maupun mental atau tidak, tidak dapat memenuhi

seluruh atau Sebagian kebutuhan pribadi atau menjalani kehidupan sosial

yang memuaskan.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan

yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan

dengan kekhususannya.

c. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Sosial, penyandang cacat/disabilitas digolongkan sebagai bagian dari

masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan

dan memiliki kriteria masalah sosial.

d. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,

penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik


33

dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan

hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya yang terdiri dari

penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan

mental.

e. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami

keterbatasan fisik, intelektual mental, dan sensorik dalam jangka waktu lama

yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan

kesulitas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara

lainnya.

2. Jenis-Jenis Penyandang Disabilitas

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas, Penyandang Disabilitas dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu

sebagai berikut :

a. Penyandang Disabilitas Fisik

Disabilitas Fisik adalah suatu kondisi yang mempengaruhi kemampuan untuk

bergerak, mendengar, melihat, atau berbicara serta proses tubuh lainnya.

Selain cacat fisik, ada juga cacat tubuh yang mana ditujukan kepada mereka

yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna.

Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut

1) Menurut sebab, cacat dapat disebabkan sejak lahir, sakit, kecelakaan,

atau konflik, tergantung pada alasannya.

2) Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) seperti : cacat tulang,


34

sendi dan otot, cacat tulang punggung, cacat lain yang termasuk pada

cacat tubuh orthopedi.

b. Penyandang Disabilitas Intelektual

Penyandang Disabilitas Intelektual adalah penyandang penyandang

gangguan perkembangan mental yang secara prinsip ditandai oleh deteriorasi

fungsi kobkrit di setiap tahap perkembangan dan berkontribusi pada seluruh

tingkat intelegensi (kecerdasan). Disabilitas Intelektual dapat dibagi menjadi

tiga ragam, yaitu gangguan kemampuan belajar, tuna grahita, dan down

syndrome.

c. Penyandang Disabilitas mental

Disabilitas mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat

bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi mental, b)

gangguan psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik

dan epilepsi.

Disebut keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.

Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat mengganggu

penyandang cacatnya.

Penyandang Disabilitas ini juga dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1) Disabilitas Mental

a) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual,

dimana selain memiliki kemampuan intelektual diatas rata-rata juga

memiliki kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas.

b) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas


35

intelektual/IQ dibawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok

yaitu anak lamban belajar yang memiliki IQ antara 70-90.

Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 70 dikenal dengan anak

berkebutuhan khusus.

c) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar ini berkaitan

dengan prestasi belajar yang diperoleh.

2) Disabilitas Fisik

Disabilitas Fisik atau kelainan fisik terdiri dari :

a) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tuna daksa adalah individu yang

memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-

muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat

kecelakaan, polio dan lumpuh.

b) Kelainan Indera Penglihatan (Tunanetra). Tunanetra adalah individu

yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat

diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu buta total dan low

vision.

c) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah individu

yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen

maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam

pendengaran individu, tunarungu memiliki hambatan dalam

berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.

d) Kelainan Bicara (Tunawicara). Tunawicara adalah seseorang yang

mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui Bahasa


36

verbal, sehingga sulit dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini

dapat bersifat fungsional dimana kemungkinan disebabkan karena

ketunarunguan yang memang disebabkan adanya

ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada

organ motoric yang berkaitan dengan bicara.

d. Penyandang Disabilitas Sensorik

Disabilitas Sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi panca indera

antara lain Disabilitas Netra, rungu, atau wicara. (

https://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/disabilitas-disabel-pelayanan-

kesehatan-disabilitas-yuk-mengenal-penyandang-disabilitas-lebih-dekat-

bagian-1, diakses pada 8 Februari 2023, pukul 22.05 WIB)

2. Hak Disabilitas Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas

Menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 2016 Penyandang

Disabilitas memiliki hak :

a. Hidup

b. Bebas dari stigma

c. Privasi

d. Keadilan dan perlindungan hukum

e. Pendidikan

f. Pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi

g. Kesehatan

h. Politik
37

i. Keagamaan

j. Keolahragaan

k. Kebudayaan dan Pariwisata

l. Kesejahteraan Sosial

m. Aksebilitas

n. Pelayanan Publik

o. Perlindungan dari Bencana

p. Habilitasi dan Rehabilitasi

q. Konsesi

C. Pekerjaan

1. Pengertian Pekerjaan

Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tenaga Kerja adalah setiap

orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau

jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Sedangkan Pekerjaan adalah kegiatan yang dijalankan oleh buruh untuk

majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Para pekerja

akan mendapatkan upah sebagai balas jasa dari pihak perusahaan atau

pemberi kerja, dan jumlahnya tergantung dari jenis profesi yang dilakukan

berdasarkan kontrak telah disetujui oleh kedua belah pihak. Setiap orang

malakukan pekerjaan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,

karena kebutuhan pokok merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak

bisa di tunda-tunda. Kebutuhan tersebut misalnya seperti makan, minum,

pakaian, pendidikan dan lain-lain. Untuk mendapat memenuhi berbagai


38

kebutuhannya manusia membutuhkan uang, dan umumnya uang di dapatkan

dari bekerja, saat ini banyak sekali pekerjaan yang dilakukan manusia untuk

menghasilkan uang. Jadi pengertian pekerjaan adalah aktivitas utama yang

dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam arti yang

sempit pekerjaan yaitu suatu aktivitas yang dapat menghasilkan uang.

Sedangkan dalam segi ekonomi pekerjaan yaitu semua aktivitas yang

dilakukan manusia, baik itu dilakukan secara individu ataupun secara

organisasi, baik secara tertutup ataupun secara terbuka kemudian dari

pekerjaan tersebut dapat menghasilkan suatu produk atau jasa sehingga dapat

mendapatkan uang dan dijadikan sebagai mata pencarian.

2. Jenis-Jenis Pekerjaan

Jenis Pekerjaan yang ada di Indonesia sangat beragam. Beberapa pekerjaan

di Indonesia yang terkenal adalah guru, dokter, polisi, hingga pilot. Namun

tidak berhenti dari situ, pekerjaan juga mempunyai 2 jenis yaitu pekerjaan

yang menghasilkan barang, dan pekerjaan yang menghasilkan jasa.(

(https://www.sosial79.com/2021/02/pengertian-pekerjaan-tujuan-hal-yang.html.

Diakses pada Kamis 2 September 2022, pukul 22.38 WIB)

a. Pekerjaan Menghasilkan Barang

1) Peternak

Orang-orang yang mengembangbiakan hewan ternak untuk dapat

dijual Kembali. Contohnya seperti hewan ternak kambing, sapi, ayam,

dll. Hewan ternak tersebut dirawat hingga menghasilkan daging, telur,

susu atau kulit yang akan dijual kembali di pasaran.


39

2) Petani

Petani adalah jenis pekerjaan yang mendapatkan hasil dari apa yang

mereka tanam. Contohnya seperti buah dan sayuran yang ditanam

disawah, ladang, hingga area pegunungan.

3) Nelayan

Nelayan bekerja mencari ikan dilaut. Jadi Sebagian besar nelayan

tinggal di daerah dekat pantai. Hasil tangkapan ini akan dijual kembali

ke pasar.

4) Penjahit

Orang yang memiliki keahlian membuat pakaian disebut penjahit.

Pekerjaan ini membutuhkan keahlian untuk memotong kain, membuat

pola, dan mengubah kain menjadi pakaian.

b. Pekerjaan Menghasilkan Jasa

1) TNI dan Polri

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesi

(Polri) termasuk pekerjaan yang menghasilkan jasa. TNI bertugas

untuk menjaga keamanan negara di bidang pertahanan. Sedangkan

Polri menjaga keamanan negara dan masyarakat.

2) Guru

Guru termasuk pekerjaan di bidang jasa. Guru bertugas untuk

mendidik dan mengajarkan pengetahuan pada siswa.

3) Dokter

Dokter termasuk pekerjaan yang menghasilkan jasa. Dokter bertugas


40

mengabdi kepentingan kemanusiaan. Dokter bekerja untuk mencegah,

memeriksa, dan mengobati pasien yang sakit.

4) Pramugari

Parmugari adalah kru pesawat yang bertugas melayani penupang

selama dalam perjalanan sehingga para penumpang dapat merasa

nyaman. Jasa yang diberikan pramugari ini antara lain memberikan

pelayanan berupa menyediakan makanan dan minuman di pesawat,

memberi bantuan dalam pemasangan sabuk pengaman, memberikan

penjelasan mengenai prosedur keamanan dalam pesawat dan lain

sebagainya.
BAB III
PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP HAK
DISABILITAS DALAM MENDAPATKAN PEKERJAAN

A. Perlindungan Hukum dalam Pemenuhan Hak untuk Mendapatkan

Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas

Menurut Soedikno Mertokusumo, perlindungan hukum adalah jaminan hak

dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun

didalam hubungan manusia.

Menurut Soerjono Soekanto, perlindungan hukum adalah segala upaya

pemenuhan hak dan pemberan bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi

dan/atau korban yang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian restitusi,

kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.

Sebagai sarana perlindungan hukum bagi perwujudan Hak Asasi Manusia

di Indonesia termasuk hak atas pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas,

Indonesia harus memiliki perangkat aturan hukum yang adil dan tegas dalam

mengatur apparat negara yang sigap dan pro disabilitas, dan masyarakat yang

inklusif terhadap isu disabilitas.

Pertimbangan tambahan dibuat berdasarkan kebutuhan penyandang

disabilitas.(Suhartoyo 2020) Disabilitas harus memiliki akuntabilitas moral dan

hukum sama seperti

situasi lain yang membutuhkan seperangkat aturan lainnya. Secara moral,

pengaturan harus berpedoman pada sila-sila dalam Pancasila, yaitu; Ketuhanan

41
42

yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,

Kerakyaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakila, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana ssetiap sila

menjiwai sila yang berada diatasnya.

Secara hukum, tentunya system ini tidak bisa dilepaskan dari jaminan yang

diberikan oleh Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaannya. Undang-undang

lain yang melindungi hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak antara lain UU

No.4 Tahun 1998 tentang Penyandang Cacat, UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, UU No.19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi UNCRPD, dan UU

No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut

semuanya mensyaratkan agar penyandang disabilitas mendapatkan kesempatakn

kerja layak yang akan menunjang penghidupan mereka. Semua pengaturan ini

hanya secara singkat merujuk pada hak untuk mencari pekerjaan secara umum

tanpa menjelaskan bagaimana penyandang disabilitas dapat memperoleh hak-hak

pekerjaan.

Menurut data BPS tahun 2014, Indonesia memiliki tingkat pengangguran

yang tinggi, yaitu sebanyak 7,39 juta jiwa. Jumlah ini terdiri dari individu biasa dan

individu yang mengalami gangguan. Peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan bagi penyandang

disabilitas dapat dilihat sebagai salah satu bentuk eksklusif dari ranah hak asasi

manusia yang harus dilindungi di Indonesia yang dikemukakan oleh Sjachran

basah. Artinya, sesuatu yang rentan terhadap disabilitas merupakan sesuatu yang
43

rentan terhadap perlakuan tidak adil akan perlakuan diskriminatif bagi penyandang

disabilitas, oleh karena itu kebijakan afirmasi sangatlah diperlukan.(Putri Ayu

Lestari 2016)

Setiap orang berhak atas perlindungan yang sama. Menurut Pasal 28 I ayat

(2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “setiap

orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

itu”. Kebijakan afirmasi atau diskriminasi positif merupakan kebijakan yang dibuat

untuk melindungi hak kaum yang rawan mendapatkan diskriminasi, dan

penyandang disabilitas merupakan salah satu kaum tersebut. Bentuk pengaturan

tentang hak untuk mendapatkan pekerjaan bagi disabilitas dapat berupa jaminan

maupun perlindungan. Kuota 1% pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS)

merupakan salah satu strategi afirmasi yang disarankan peneliti. Strategi ini dinilai

berpotensi menguntungkan pemerintah, masyarakat, serta penyandang disabilitas

secara langsung. Wajar saja, hal ini memudahkan penyandang disabilitas bersaing

dengan jutaan pekerja lainnya yang juga berlomba-lomba untuk menduduki posisi

PNS idaman. Bagi pemerintah, penetapan kuota kursi PNS dapat menyelesaikan

persoalan kewajiban negara kepada warganya sekaligus menambah sumber daya

manusia (SDM) yang sangat mengurangi angka pengangguran. Hal ini dapat

menarik pengusaha swasta yang akan lebih tertarik untuk memanfaatkan

penyandang disabilitas sebagai sumber daya manusia sebagai hasil reformasi yang

dilakukan oleh pemerintah sebagai agen dalam mempekerjakan mereka sebagai

pegawai negeri. Kuota tersebut akan sangat membantu masyarakat, khususnya


44

mereka yang merupakan kerabat atau teman dari penyandang disabilitas. Keluarga

atau teman mereka yang merupakan penyandang disabilitas selama ini tidak dapat

bekerja untuk keluarganya, akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk

melakukannya yang tentu saja akan meringankan beban keluarga secara finansial.

Masyarakat juga akan lebih perhatian terhadap isu disabilitas, karena kemungkinan

berinteraksi semakin besar yang akan mendorong kebangkitan alami kehidupan

yang inklusi. Penyandang disabilitas yang dianggap sebagai "semua orang" atau

"warga negara" sangat dilindungi undang-undang. Dalam rangka penegakan hak

konstitusionalnya, penyandang disabilitas juga layak menerima tindakan afirmatif

atau diskriminasi positif demi kenyamanan dan perlakuan khusus.

Indonesia juga telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with

Disabilities (selanjutnya disebut CRPD) ke dalam Undang Undang Nomor 19

Tahun 2011 (UU No. 19 Tahun 2011) tentang Ratifikasi CRPD. Implikasi formal

dari ratifikasi tersebut adalah Indonesia harus mengambil segala upaya untuk

mewujudkan secara optimal segala bentuk nilai yang tercantum dalam CRPD

tersebut. Selain itu Indonesia juga memiliki 114 instrumen hukum terkait hak

disabilitas dalam segala aspek kehidupan.

Namun,berbagai instrument hukum tentang hak disabilitas tidak terdapat

korelasi antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak tercipta system yang

terintegrasi untuk menciptakan kehidupan inklusi. Pengaturan yang berkaitan

dengan hak dasar dari Disabilitas seringkali adalah kasihan (charity based).(Husni,

Lulu, 2010 hlm.73)


45

Prospek kerja bagi penyandang disabilitas seringkali mengacu pada syarat

sehat jasmani dan rohani, hal ini merupakan merupakan jenis diskriminasi ringan.

Selain itu, larangan diskiminasi diperkuat dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang

berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa

diskriminasi”.(Jazim Hamidi 2016)

Seperti contoh dalam kasus yang terjadi di Balikpapan dialami oleh seorang

Perempuan Bernama Nabila seorang juru bahasa yang menderita gangguan

pendengaran. Dalam hal mendapatkan pekerjaan, Nabila seringkali mendapatkan

perlakuan yang tidak adil karena keterbatasannya dalam pendengaran. Hal ini

memperlihatkan bahwa para penyedia lapangan kerja cenderung tidak mengerti,

bagaimana cara untuk menerima dan mempekerjakan pekerja disabilitas. Padahal

saat bekerja, orang tuli bisa memakai media komunikasi yang sangat beragam. Hal

ini terjadi karena belum terbukanya pikiran orang-orang dan belum adanya

penerimaan terhadap orang dengan disabilitas. Hal itulah yang menghambat orang

orang disabilitas dalam mendapatkan haknya terutama dalam hal akses bekerja.

Ketika suatu kasus dapat diselesaikan melalui dua tahap yaitu jalur litigasi

dan jalur nonlitigasi, kasus diskriminasi sangat jarang dibawa ke pengadilan di

negeri ini. “Setiap orang berhak mengajukan tuntutan ganti rugi melalui pengadilan

negara atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya, menurut”

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras dan Etnis.


46

Hak atas pekerjaan dan perlindungan hukum yang harus diberikan kepada

pekerja penyandang disabilitas diatur dalam beberapa perangkat hukum, antara lain

1. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menentukan “pengusaha yang mempekerjakan tenaga

kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan

jenis dan derajat kecacatannya”. Perlindungan yang dimaksud dalam

kalimat ini meliputi hal-hal seperti penyediaan aksesibilitas, alat kerja, dan

alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat keparahan

kecacatan. Sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling

lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).

2. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

menentukan “Mempekerjakan penyandang disabilitas di perusahaan

sesuai dengan jenis dan derajat disabilitas, pendidikan, dan

kemampuannya, dengan jumlah yang disesuaikan dengan jumlah pegawai

dan/atau kualifikasi perusahaan, baik organisasi publik maupun swasta

memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi masyarakat

dengan disabilitas”.

Dari beberapa peraturan perundang-undangan diatas, ada beberapa

perlindungan yang bisa didapatkan oleh penyandang Disabilitas yaitu :


47

a) Menerapkan system kuota Penyandang Disabilitas dalam dunia

kerja

Menurut Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, penyandang

disabilitas memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan apa pun

yang mereka inginkan. UU Penyandang Disabilitas selanjutnya

menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk

bekerja tanpa diskriminasi dalam posisi yang diselenggarakan oleh

pemerintah federal, pemerintah daerah, atau sektor swasta.

Tentunya diperlukan suatu sistem untuk penerapan peraturan

tersebut agar penyandang disabilitas dapat mengakses pekerjaan.

Menerapkan sistem kuota untuk mempekerjakan penyandang

disabilitas adalah salah satu pendekatan.

Masalah mendapatkan kuota untuk pekerjaan baik di sektor publik

maupun swasta telah diselesaikan untuk penyandang disabilitas

dengan disahkannya Undang-Undang Penyandang Disabilitas.

Disyaratkan 2 (dua) persen dari seluruh PNS dan pegawai bekerja

pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BUMN/BUMD,

sedangkan 1 (satu) persen dari seluruh pegawai harus bekerja pada

badan usaha swasta.

b) Mewajibkan pemberi kerja memberikan aksesbilitas kepada

penyandang disabilitas dan lingkungan yang inklusif.

Menurut Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, negara

harus menyediakan sumber daya yang dapat diakses sehingga


48

penyandang disabilitas dapat belajar sebanyak mungkin tentang

mencari pekerjaan. Selain itu, disebutkan dalam Undang-Undang

tentang Penyandang Cacat bahwa Pemberi Kerja harus

menawarkan fasilitas yang sederhana untuk diakses oleh pekerja

penyandang disabilitas. Aksesibilitas adalah penyediaan alat yang

memungkinkan penyandang disabilitas untuk mengalami

kesempatan yang sama. Pemberi kerja diharuskan untuk

mempersiapkan aksesibilitas ini setiap saat, termasuk selama

perekrutan, perekrutan, pelatihan kerja, penempatan kerja,

kesinambungan pekerjaan, dan pengembangan karier.

Aksesibilitas disediakan sebelum pekerjaan pada saat

perekrutan dan penerimaan. Langkah paling penting dalam proses

perekrutan adalah menyiapkan tempat seleksi yang dapat diakses

oleh penyandang disabilitas. Proses seleksi harus dilakukan dalam

lingkungan yang menyenangkan bagi penyandang disabilitas.

Selain itu, berfungsi sebagai asisten penting selama proses

pemilihan. Misalnya, bantuan jelas diperlukan saat membacakan

pertanyaan bagi mereka yang tunanetra. Majikan harus

mempertimbangkan hal ini saat membuat keputusan perekrutan.

Selain itu, faktor yang paling krusial adalah setiap penyandang

disabilitas memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam

proses perekrutan tanpa prasangka.


49

Setelah fase perekrutan selesai, fase penempatan dan

pelatihan mengikuti. Pemberi kerja diharuskan menugaskan

penyandang disabilitas untuk pekerjaan yang sesuai dengan

kemampuan mereka selama proses penempatan. Penting juga

untuk digarisbawahi bahwa fasilitas pelatihan bagi penyandang

disabilitas dapat diakses dan menyambut baik lokasi pelatihan

yang memudahkan penyandang disabilitas. Selain itu, anak-anak

menerima pelatihan sesuai dengan bakat dan minat mereka.

Pemerintah wajib mempertimbangkan penyandang disabilitas jika

seseorang yang bermasalah ingin meninggalkan hubungan kerja

untuk mendapatkan pekerjaan lain. Hal ini berkaitan dengan

interupsi yang menyebabkan penyandang disabilitas berhenti

bekerja dan merespon.

c) Mewajibkan pemberi kerja untuk berlaku adil dan tidak

diskriminatif

Memaksa pengusaha untuk bertindak adil dan tanpa

diskriminasi. Pemberi kerja harus memperlakukan setiap orang

secara setara dan tanpa diskriminasi, termasuk penyandang

disabilitas. Semua hukum dan peraturan terkait HAM mengontrol

keadilan dan melarang diskriminasi. Untuk memastikan bahwa

penyandang disabilitas diperlakukan dengan baik dan tidak

mengalami diskriminasi pekerjaan, negara harus memainkan peran

yang sangat penting dalam konvensi hak-hak penyandang


50

disabilitas. Peran negara, khususnya pemerintah federal dan

pemerintah kota, dalam memastikan bahwa pemberi kerja

beroperasi dengan baik dan tidak mendiskriminasikan karyawan

penyandang disabilitas dalam hubungan kerja ditegaskan kembali

dalam Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas.

Pekerja dalam hubungan kerja rentan secara ekonomi.

Kekuatan ekonomi pengusaha memberi mereka keuntungan atas

pekerja, yang merupakan pihak lawan. Bahkan pekerja non-

penyandang disabilitas dapat menerima perlakuan berbeda yang

tidak adil dalam semua situasi termasuk gaji dan peluang karir.

Mereka yang memiliki disabilitas di tempat kerja juga dapat

mengalami hal ini. Diskriminasi dan ketidakadilan lebih mungkin

mempengaruhi pekerja dengan keterbatasan.

Orang dengan disabilitas lebih rentan terhadap diskriminasi

di tempat kerja. Kemampuan penyandang disabilitas masih

dipandang oleh banyak orang kurang realistis dibandingkan

dengan pekerja non disabilitas. Dalam hal membayar pekerja

penyandang disabilitas lebih rendah daripada pekerja tanpa

disabilitas untuk menyelesaikan jumlah pekerjaan yang sama

dengan beban kerja dan tingkat kesulitan yang sama, ini adalah

diskriminasi. Ini jelas melanggar hukum karena membayar gaji

dengan memperhitungkan beban kerja pekerja adalah salah

satunya. Oleh karena itu, tindakan terbaik adalah membayar semua


51

karyawan secara setara yang melakukan tugas pekerjaan yang

sama.

Diskriminasi di tempat kerja mencakup diskriminasi

berdasarkan jenjang karir dan jabatan selain kesulitan terkait upah.

Secara alami, pemberi kerja tetap percaya bahwa penyandang

disabilitas memiliki kemampuan yang sangat terbatas dan akan

merasa sulit untuk mengejar karir di bidangnya. Majikan akan terus

percaya bahwa akan sulit baginya untuk bergerak di tempat kerja

karena keterbatasan fisiknya. Akibatnya, bisnis akan memberikan

prioritas kepada orang normal daripada penyandang disabilitas saat

menawarkan peran kepemimpinan yang strategis.

Pemberi kerja wajib memperhatikan apakah gaji yang telah

dibayarkan kepada pekerja sudah sesuai dengan beban kerja selama

ini guna mewujudkan keadilan dan menghilangkan diskriminasi

bagi seluruh pekerja. Pemberi kerja juga harus memperhatikan

jenjang karir seorang pekerja karena promosi jabatan merupakan

salah satu cara manajemen untuk menunjukkan penghargaan

kepada staf atas kerja kerasnya selama ini.(Putri Ayu Lestari 2016)

d) Melaksanakan Pemberian insentif bagi perusahaan swasta

UU Penyandang Disabilitas kini memasukkan klausul baru

yang memberikan pendanaan intensif kepada usaha swasta yang

mempekerjakan pemilik sebagai selingan. Konvensi tentang hak-

hak penyandang disabilitas tidak membahas hadiah yang diberikan


52

oleh bisnis sebagai insentif perekrutan bagi penyandang disabilitas.

Aturan ini dimaksudkan untuk membujuk perusahaan agar

mempekerjakan beberapa penyandang disabilitas. Pemilik usaha

ini akan mendapatkan insentif yang tentunya akan memangkas

biaya saat bekerja dengan pekerja psikososial. Dalam persyaratan

yang berkaitan dengan insentif ini, disyaratkan adanya peraturan

dan selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk undang-undang.

Kementerian Keuangan adalah organisasi yang membuat peraturan

pemerintah yang sampai saat ini belum diterbitkan. Hal ini agar jika

ketentuan insentif digunakan akan mempengaruhi anggaran

pendapatan dan belanja negara.

e) Melaksanakan Pembentukan Unit Layanan Disabilitas di daerah.

UU Penyandang Disabilitas tidak mengatur tentang

pembentukan unit layanan gangguan di daerah. Menurut klausul

ini, pembentukan unit layanan gangguan di daerah diperlukan

untuk perencanaan, perlindungan hak-hak penyandang disabilitas,

penyebarluasan informasi tentang perekrutan, pelatihan

ketenagakerjaan, penempatan, kelangsungan pekerjaan, dan

peningkatan karir. , serta perusahaan pemberi kerja yang

mempekerjakan penyandang disabilitas dan pendampingan

penyandang disabilitas itu sendiri saat mencari pekerjaan. Adanya

peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah disyaratkan

oleh pasal ini. Kementerian Ketenagakerjaan hingga saat ini masih


53

memproses peraturan pemerintah.

f) Adanya sanksi bagi pemberi kerja yang menghalang-halangi

penyandang disabilitas untuk bekerja

Tanpa adanya konsekuensi bagi mereka yang menghalangi

penyandang disabilitas untuk bekerja, berwirausaha, atau

membentuk koperasi, ketentuan mengenai perlindungan hak

tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Dua (dua) tahun

penjara dan Rp. Denda 200.000.000,- adalah maksimal denda yang

dapat dikenakan (dua ratus juta rupiah). penerapan hukuman ini

Tentu saja, akan berfungsi lebih baik jika insentif ditawarkan

kepada perusahaan yang telah mempekerjakan penyandang

disabilitas di sampingnya.

B. Kendala Yang Dihadapi dalam Upaya Pemenuhan Hak Bagi Disabilitas

Pemerintah berupaya meningkatkan keselarasan terkait jaminan dan

perlindungan hak, salah satunya bagi penyandang disabilitas yang merupakan

syarat mutlak. Tentu saja hak ini dapat diperoleh bagi seluruh rakyat Indonesia

tetapi hanya berlaku bagi mereka yang sempurna lahir dan batin. Terwujudnya

keselarasan tersebut merupakan hasil kerja sama antara pemerintah dengan pihak

yang melakukan peran pengawasan. Mempekerjakan penyandang disabilitas

merupakan tanggung jawab hukum dan sosial bagi perusahaan, terutama bagi

individu yang belum dapat memperoleh pekerjaan. Masyarakat juga membantu

pemerintah dengan turut serta dan bersedia memberikan kesempatan kerja bagi

penyandang disabilitas bagi kelompok warga yang memiliki wiraswasta. Namun


54

pada kenyataannya terdapat kesenjangan atau batasan antara fokus pemerintah

dengan perhatian masyarakat khususnya masyarakat terhadap penyandang

disabilitas. Kemudian tantangan yang pada akhirnya menjadi akar permasalahan

tersebut disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, yang beberapa di

antaranya masih terkadang diabaikan oleh lingkungan sekitar. Hambatan internal

untuk mencapai pemerintahan yang unggul sesuai regulasi terkait minimal 2% dari

seluruh pegawai atau pekerja di lingkungan pemerintah, pemerintah daerah,

BUMD, dan BUMS adalah penyandang disabilitas.(Asrorul Mais, Lailil Flahkul

Yaum 2019) Tugas yang sama juga berlaku untuk bisnis swasta, yaitu

mempekerjakan penyandang disabilitas tidak lebih dari 1% dari seluruh karyawan.

Menurut peraturan tersebut, penyandang disabilitas harus diperlakukan secara adil

berdasarkan hukum.

Namun, masalah ini tidak diatur dalam hal hukuman pidana bagi bisnis yang

gagal mencapai kuota tenaga kerja bagi penyandang disabilitas. Peraturan

perundang-undangan yang seharusnya menjadi landasan pengambilan keputusan,

khususnya bagi suatu perusahaan, tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

Meskipun masih relatif sedikit bisnis yang melakukannya, jelas bahwa jumlah

bisnis yang mengabaikan undang-undang dengan menolak mempekerjakan

penyandang disabilitas jauh lebih tinggi. Namun, bisnis ini kebal dari tindakan

hukum.

Kurangnya pengetahuan tentang kewajiban bisnis untuk mempekerjakan

penyandang disabilitas, kurangnya pemahaman di kalangan bisnis besar dan kecil,

dan menengah tentang perekrutan penyandang disabilitas. Ada perusahaan yang


55

menyadari tanggung jawab mereka untuk mempekerjakan penyandang disabilitas

tetapi belum mengambil tindakan apa pun. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa

masih terdapat beberapa kekurangan dalam informasi yang diterima perusahaan

mengenai pelaksanaan tugas tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan

perusahaan tidak mempekerjakan penyandang disabilitas. Isu ini merupakan

hambatan yang signifikan bagi penyandang disabilitas, terutama bagi mereka yang

kurang memiliki kesempatan bersosialisasi. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

telah mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini. Namun, saat ini sangat

sedikit perusahaan yang bersedia mempekerjakan penyandang disabilitas, seperti

mayoritas perusahaan gagal memenuhi komitmen ini karena berbagai alasan,

termasuk kurangnya kebutuhan akan lebih banyak karyawan, kegagalan memenuhi

kualifikasi untuk pekerjaan, dan kegagalan untuk secara efektif mengakomodasi

karyawan penyandang disabilitas. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

menanggulangi penyebab mendasar situasi ini, dengan cara memberikan sosialisasi

minimal 1 tahun sekali dengan cara pertemuan yang dihadiri oleh perusahaan besar

maupun kecil.

Hal tersebut di atas diselesaikan secara terpadu atau bersamaan dengan

kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan teknis. Pelayanan sosial bekerja

untuk menyediakan kebutuhan dasar dan hak-hak penyandang disabilitas karena

hak-hak fundamental mereka pada dasarnya sama dengan masyarakat tanpa

gangguan. Kendala dalam pelaksanaan hak-hak dasar disabilitas secara keseluruhan

belum sepenuhnya dapat terfasilitasi dengan baik. Hal ini disebabkan karena

beberapa factor yang diantaranya sebagai berikut :


56

1. Tidak adanya Balai Rehabilitas milik pemerintah

2. Terbatasnya anggaran yang tersedia dari pemerintah

3. Basis sumber daya manusia yang sedikit. Pada dasarnya ini hal ini menunjukan

bahwa tidak ada cukup orang untuk mengisi semua pekerjaan dan kurangnya

tenaga ahli yang profesional.


BAB IV
ANALISIS MENGENAI PERLAKUAN DISKRIMINASI
TERHADAP DISABILITAS DALAM MENDAPATKAN
PEKERJAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO.8
TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

A. Pengaturan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Mendapatkan

Pekerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

1. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

Menurut Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

kontrak kerja juga dikenal sebagai perjanjian kerja menetapkan persyaratan

kerja dan hak serta kewajiban masing-masing pihak. Menurut Pasal 89

Undang-Undang Ketenagakerjaan pemerintah harus menetapkan upah

minimum sesuai dengan persyaratan taraf hidup yang wajar dengan tetap

memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum

dapat mencakup upah minimum federal dan upah minimum per provinsi,

wilayah, atau kota.

Karena Penyandang Disabilitas diatur oleh hukum, mereka berhak

mengambil tindakan hukum dalam situasi ini. Oleh karena itu, tidak adil jika

undang-undang atau peraturan melarang Penyandang Disabilitas mengambil

bagian dalam kehidupan sosial, pemerintahan, dan berbangsa. Sesuai dengan

yang dikatakan oleh Satjipto Raharjo, yang menegaskan bahwa perlindungan

hukum bertujuan untuk membela hak asasi manusia (HAM) yang telah

57
58

dilanggar oleh pihak lain dan memberikan perlindungan kepada masyarakat

agar dapat menggunakan semua hak yang sah. Apalagi saat

menempuh jalur hukum, penyandang disabilitas terkadang dipandang tidak cakap

secara hukum. Karena itu penyandang disabilitas tidak dapat memperoleh

pekerjaan yang layak, beresiko kehilangan haknya, dan menghadapi bahaya

diperlakukan tidak adil di masyarakat. Pekerja Penyandang Disabilitas sendiri

mendapatkan perlindungan hukum dalam pasal 86 Ketenagakerjaan yang mengatur

bahwa setiap pekerja berhak untuk :

1. Keselamatan dan Kesehatan kerja

2. Moral dan kesusilaan

3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta niliai-

nilai agama.

Dalam hal mendapatkan pekerjaan, berlaku juga Pasal 14 Undang-Undang

Penyandang Disabilitas dalam menjamin hal itu. Undan`g-Undang menetapkan

bahwa kuota orang dengan disabilitas adalah 1% yang artinya perusahaan

diharuskan mempekerjakan satu orang disabilitas untuk setiap 100 karyawan.

Pasal 5 Undang-Undang tersebut juga mengatur ; pekerja memiliki kesempatan

yang sama untuk mendapatkan pekerjaan tanpa diskriminasi. (Eta Yuni Lestari,

Slamet SUmarto, Noorochmat Isdaryanto 2017)

2. Undang-Undang No.19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak-Hak

Penyandang Disabilitas

Hak-hak penyandang disabilitas diatur dalam Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2011 tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas . Mulai dari


59

kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan

merendahkan lainnya, hingga kebebasan dari eksploitasi, agresi, dan perlakuan

sewenang-wenang. Penyandang disabilitas juga berhak untuk diperlakukan

dengan hormat atas integritas tubuh dan mentalnya atas dasar kesetaraan

dengan orang lain, termasuk hak atas pelayanan dan perlindungan sosial dalam

rangka kemandirian dan dalam keadaan darurat.

Dalam praktik Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2011, negara-

negara peserta harus menerapkan hak-hak yang digariskan dalam konvensi

dengan memodifikasi undang-undang, peraturan, dan praktik mereka untuk

menghapus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, mereka

harus memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki akses ke semua

aspek kehidupan, termasuk pekerjaan, pendidikan, dan perawatan kesehatan.

3. Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas, pemenuhan merupakan upaya yang dilakukan untuk mewujudkan

hak-hak Penyandang Disabilitas. Rumusan pengertian ini memperjelas bahwa

untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak tersebut, pelaksanaannya juga harus

dikendalikan. Undang-Undang ini encakup berbagai aturan, seperti

menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang memadai, menghormati dan

melindungi hak-hak penyandang disabilitas, dan memastikan kesempatan yang

sama bagi mereka di semua aspek administrasi pemerintah negara bagian dan

local. Tingkat penghidupan penyandang disabilitas yang lebih adil, sejahtera

lahir dan batin, serta bermartabat merupakan tujuan pengaturan pelaksanaan


60

dan pemenuhan hak-haknya. Pelaksanaan dan penegakan hak juga bertujuan

untuk melindungi penyandang disabilitas dari penyalahgunaan dan eksploitasu,

pelecehan, dan segala bentuk diskriminasi lainnya, serta dari pelanggaran hak

asasi manusia.

B. Permasalahan Yang Dihadapi Penyandang Disabilitas Dalam Mendapatkan

Haknya Untuk Mendapatkan Pekerjaan

Penyandang Disabilitas merasa sulit mendapatkan pekerjaan karena

diskriminasi yang mereka hadapi seperti diskriminasi ras, suku, agama, maupun

diskriminasi lainnya. Padahal, menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan “Setiap Tenaga Kerja Memiliki Hak dan

Kesempatan yang Sama untuk memilih, mendapatkan, atau mengubah pekerjaan

dan memperoleh penghasilan yang layak didalam maupun luar negeri”. Hak yang

sama berlaku untuk semua orang dan Hak Asasi Manusia bersifat Universal dan

tidak dibatasi oleh penampilan, warna kulit, ras, suku atau keyakinan agama. Semua

individu di seluruh dunia berhak atas hak asasi manusia. Demikian juga mereka

yang cacat berhak atas hak yang sama seperti orang lain. Akibatnya kewajiban lain

yang dimiliki setiap manusia adalah menghormati hak-hak penyandang disabilitas.

Pada kenyataannya prasangka terhadap penyandang disabilitas masih ada. Karena

penyandang disabilitas dipandang sebagai beban masyarakat dan tidak mampu

hidup mandiri.

Penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hambatan ketenagakerjaan bagi

penyandang disabilitas bahkan dalam perusahaan BUMN, termasuk diskriminasi di

berbagai bidang pekerjaan seperti terbatasnya kesempatan kerja karena hanya


61

pekerjaan atau jabatan tertentu yang dirancang untuk penyandang disabilitas,

kesenjangan antar kompetensi yang ditentukan pengguna, dan persyaratan

pekerjaan, informasi yang terbatas tentang pasar kerja, kurangnya Pendidikan dan

pelatihan, dan lingkungan kerja yang menantang karena masalah

aksebilitas.(Zulfah Latuconsina 2014)

C. Upaya Penyelesaian Perlakuan Diskriminasi Terhadap Penyandang

Disabilitas Dalam Hal Mendapatkan Pekerjaan

Perlindungan gangguan untuk pekerjaan berada di bawah bidang hak yang

harus diberikan secara tidak terbatas kepada semua orang. Namun pada

kenyataannya, banyak orang kesulitan mencari pekerjaan karena kurangnya

tekanan pemerintah untuk menerapkan perlindungan pengawasan di Indonesia,

khususnya bagi penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas seringkali menerima perlakuan yang berbeda terkait

dengan hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang terhormat dan dapat

memenuhi kebutuhan dasar mereka. Selain itu, hal ini mungkin disebabkan oleh

pandangan orang yang berbeda tentang kesehatan fisik dan mental penyandang

disabilitas. salah satu faktor yang menimbulkan anggapan bahwa penyandang

disabilitas termasuk dalam kategori defisit kesehatan yang mengecualikan

penyandang disabilitas, khususnya di ranah serikat pekerja. Begitu banyak bisnis

berjuang begitu lama untuk mengabaikan keterampilan atau kualitas seorang

penyandang disabilitas.

Walaupun tidak semua penyandang disabilitas kurang mampu bekerja,

namun banyak yang mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan pemberi


62

kerja tepat waktu dan akurat, yang dapat mendukung perekonomian negara.

Meskipun Republik Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang

selama ini telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan kehidupan modern dan

ekonomi global, pemerintah Indonesia secara aktif berupaya untuk bergerak ke arah

negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia untuk meningkatkan taraf

hidup masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan.

Negara Republik Indonesia telah melakukan upayanya sendiri untuk

memajukan pertumbuhan, dan dia telah berkontribusi dalam meningkatkan

perekonomian untuk memberikan taraf hidup yang tinggi bagi semua orang. Tanpa

sepatah kata pun perlawanan, ekonomi rakyat Indonesia mengarah pada pemerataan

sosial dan kekayaan.

Negara wajib menetapkan dan melaksanakan suatu prinsip yang harus

dianut oleh bangsa itu, yaitu melindungi segenap rakyatnya, karena bangsa itu

menghendaki adanya kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya tanpa

diskriminasi internal untuk memperoleh hak yang sama guna dapat memperoleh

pekerjaan yang terhormat agar dapat memenuhi perekonomian dalam

kehidupannya. Namun, upaya ini juga membutuhkan partisipasi banyak pihak, dan

bantuan dan dukungan dari pemerintah akan selalu dibutuhkan. Selain itu, setiap

masyarakat mulai dari kelas menengah ke bawah hingga kelas atas wajib membantu

memberikan dukungan, dan partisipasi penyandang disabilitas juga sangat penting

untuk pembangunan kesejahteraan.

Oleh karena itu, tidak ada penjelasan tunggal tentang proses pertumbuhan

kesejahteraan sosial di republik Indonesia melalui serikat pekerja. Penyandang


63

disabilitas termasuk di dalamnya. Dan pemerintah Indonesia tentunya harus

memperhatikan langkah-langkah untuk melindungi penyandang disabilitas di

serikat pekerja. karena masih banyak pengangguran dan angka itu terus bertambah.

Sangat jelas dari undang-undang yang berlaku bahwa penyandang disabilitas

memiliki hak atas pekerjaan yang bebas dari diskriminasi. Jika suatu undang-

undang membatasi hak asasi manusia sekaligus membuat pengecualian bagi mereka

yang memiliki kecacatan yang sama.

Temuan studi menunjukkan bahwa, secara umum, individu dengan

disabilitas intelektual dipekerjakan, tergantung pada ketersediaan pelatihan

keterampilan kerja yang sesuai. Penyandang Disabilitas ringan yang mendapatkan

pelatihan yang konsisten dan bantuan individual dapat berfungsi secara mandiri di

lembaga formal. Semua hak dan kewajiban tunduk pada batasan yang sama dan

berlaku untuk orang biasa, tetapi di beberapa organisasi, nilai keadilan ditentukan

oleh bakat yang dimiliki seseorang. Selain kesulitan yang dihadapi penyandang

disabilitas di tempat kerja, diperlukan upaya yang cukup besar dari berbagai pihak

terkait, seperti keluarga dan tempat kerja mereka, agar kemandirian kerja mereka

dapat terus berlanjut tanpa hambatan. Untuk mengembangan optimalisasi

kemandirian penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan diperlukan

adanya perlakuan sebagai berikut :

1. Mengkoordinasikan program pelatihan keterampilan kerja yang ditawarkan

oleh lembaga pendidikan mereka dengan peluang kerja potensial bagi

penyandang disabilitas.

2. Mengembangkan pemahaman mengenai kondisi penyandang disabilitas


64

dengan Teknik pelatihan “taks analysis” pada instruktur pelatihan kerja seperti

pada Lembaga Dinas Sosial atau Lembaga pelatihan lainnya.

3. Sosialisasi Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

pada dunia usaha dan masyarakat sehingga dapat memberi pengakuan yang

semestinya terhadap hak-hak dasar penyandang disabilitas.

4. Akomodasi kerja bagi penyandang Disabilitas.(Nani Nur’aeni 2019)

Cara-cara alternatif ini seharusnya dapat meningkatkan hak-hak sosial warga

penyandang disabilitas dalam hal perlindungan. Pemecahan Masalah tersebut

memberikan perlindungan terbaik bagi penyandang disabilitas intelektual, hal ini

dapat dilakukan melalui kemitraan dan pembinaan antara lembaga pendidikan,

perguruan tinggi, dunia usaha, dan keluarga.


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Adapun hal-hal yang dapat peneliti simpulkan dari pembahasan bab-bab

sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Terkait dengan pengaturan Hak Penyandang Disabilitas, ada banyak jenis

aturan yang dapat digunakan untuk mengatur hak-hak penyandang

disabilitas, mulai dari perjanjian internasional, undang-undang, dan kontrol

kota. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan aksesibilitas

yang sama untuk semua fasilitas umum dan fasilitas sosial, namun peraturan

tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Hak-hak penyandang disabilitas

terkait dengan mencari pekerjaan dan menggunakan fasilitasnya telah diatur

secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas dan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.

2. Penyandang Disabilitas yang mendapatkan pekerjaan harus mendapatkan

perlakuan khusus yang lebih besar dibandingkan dengan mayoritas pegawai

biasa. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan khusus sesuai dengan Pasal 5 ayat

3 (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

yang dimiliki pekerja penyandang, sehingga membutuhkan perlindungan

tambahan.

3. Mengingat jumlah penyandang disabilitas yang signifikan dihampir setiap

lokasi pemerintah wajib menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi

hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya adalah hak atas penghidupan

65
66

dan pekerjaan yang layak. Penyandang disabilitas dalam penghentian

kegiatan karena keberadaannya dan kerentanan terhadap perawatan

perawatan, yang mencegah mereka untuk menggunakan haknya. Menurut

konstitusi, penyandang disabilitas

memiliki hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan.

B. Saran

1. Memberikan perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang yang

berlaku bagi penyandang disabilitas untuk menegakkan hak hak mereka dan

mendorong terciptanya kesejahteraan bagi penyandang disabilitas dengan cara

mensosialisasikan dan mengawasi jalannya undang-undang yang berlaku yang

berkaitan dengan penyandang disabilitas serta pemerintah harus memfasilitasi

kegiatan pelatihan kerja untuk kaum disabilitas melalui instansi atau lembaga

yang bersangkutan.

2. Agar penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai kaum minoritas yang

rentan dari tindakan diskriminasi, maka solusinya adalah membentuk

badan/Lembaga khusus untuk memberikan pelatihan kerja serta

pengembangan bakat dan kemampuan untuk penyandang disabilitas.

3. Pemerintah seharusnya menegakkan Hak Asasi Manusia khususnya bagi

penyandang disabilitas yang rentan terhadap diskriminasi untuk memastikan

bahwa hak-hak penyandang disabilitas dilindungi. Salah satu hak tersebut

adalah kemampuan untuk hidup berkecukupan khususnya dalam memperoleh

pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (2007) cet.


II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Asikin, A. Zainal, (2006), Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:


PT: Raja Grafindo Persada

Eko Riyadi, (2018) Hukum Hak Asasi Manusia, Depok: PT RajaGrafindo


Persada.

Herlina Astri, (2014), Pemenuhan dan Perlindungan HakHak Penyandang


Disabilitas, Jakarta Pusat:P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika.

Lalu Husni, (2007), Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Mahmud Marzuki, Peter, (2011), Penelitian Hukum, Jakarta

Meleong, L (2006), Metode Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosdakarya

Nursyamsi, Fajri, dkk, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju


Indonesia Ramah Disabilitas, (2015), Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia.

Peter, R.Senn, Metode Penelitian Hukum (2003), Jakarta:PT RajaGrafindo


Persada.

Rusli, Hardijan, (2011), Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia,


Bogor

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (2008) cet ke

67
68

5 (Cv.Alfabeta September)

Suteki,Galang Taufani, (2020) Metodologi Penelitian Hukum


(Filsafat,Teori,dan Praktik), Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Soerjono,Soekanto, Penelitian Hukum Normatif , (2013) Jakarta:Raja Wali


Pers.

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (2015), cet 1,
Bandung:Mandar Maju.
B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of

Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak

Penyandang Disabilitas)

Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

C. Sumber Lain

Rahayu Repindowaty Harahap,S.H.,LL.M/Bustanuddin,S.H.,LL.M,2015

“Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut

Convention On The Rights Of Persond With Disabilities (CRPD)”,

Jurnal Inovatif,Vol VIII No.I 2015 Hal.21-22

Ismail Shaleh,2018 “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang

Disabilitas Ketenagakerjaan Di Semarang” , Jurnal Ilmu Hukum,

Vol 20 No.1, Hal 72-74 Suhartoyo, 2014, Perlindungan Hukum

terhadap Pekerja/buruh Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jurnal:


69

MasalahMasalah Hukum Vol 43, No 4

Rahayu Repindowaty Harahap, S.H., LL.M/Bustanuddin, S.H., LL.M,

“Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas

Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities

(CRPD), Jurnal Inovatif, Volume VIII, Nomor 1, Januari 2015

Geminastiti Purinami A, “Penyandang Disabilitas Dalam Dunia Kerja”,

Jurnal Pekerjaan Sosial, Vol 1 Nomor 3, Desember 2018

Arie Purnomosidi, “Konsep Perlindungan Hak Konstitusional Penyandang

Disabilitas Di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum Vol 1 Nomor

2, April 2018

Alia Harumdani Widjaja, Winda Wijayanti, Rizkisyabana Yulistyaputri,

“Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh

Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan”

Jurnal Konstitusi, Volume 17, Nomor 1, Maret 2020

Nursyamsi, Fajri, dkk, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju

Indonesia Ramah Disabilitas, (2015), Pusat Studi dan Kebijakan

Indonesia

Ismail Shaleh, “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang

Disabilitas Ketenagakerjaan Di Semarang”, “Jurnal Ilmu

Hukum”, Vol 20 No 1, April 2018


70

Suhartoyo, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Buruh Penyandang

Disabilitas”

Andayani, “Pemenuhan Hak Pekerjaan : Pemenuhan UU Nomor 8 Tahun

2016 Tentang Penyandang Disabilitas di Samarinda, “Jurnal

Kesejahteraan Sosial”, Vol 44, Nomor 3, Desember 2020

Jazim Hamidi, “Perlindungan Hukum Terhadap Disabilitas Dalam

Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan”,

Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No.4 Vol 23, Oktober 2016

Asrorul Mais, Lailil flahkul Yaum, “Aksesibilitas Dan Partisipasi Politik

Penyandang Disabilitas Di Kabupaten Jember”, Jurnal

Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora, Volume 2,

Nomor 2, Desember 2019

Nani Nur’aeni, “Perlindungan Hak Sosial Kewarganegaraan bagi

Penyandang Disabilitas Intelektual dan Lapangan Kerja”,

Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 4 Nomor 2, Maret

2019.

Anda mungkin juga menyukai