Anda di halaman 1dari 314

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS HUKUM

Terkakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA DALAM MENCIPTAKAN


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAUT
OLEH

WINNY SANJAYA
NPM: 2013 200 054

PEMBIMBING
DR. IDA SUSANTI, S.H., LL.M., CN

Penulisan Hukum
Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan
Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana
Program Studi Ilmu Hukum
2016
Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang
Ujian Penulisan Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan

Pembimbing

(Dr. Ida Susanti, S.H., LL.M., CN)

Dekan

(Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M)


PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK

Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang
setinggi-tingginya, maka Saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Winny Sanjaya
No.Pokok : 2013200054
Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan
pikiran, bahwa karya ilmiah/ karya penulisan hukum yang berjudul:
Pembangunan Hukum Indonesia Dalam Menciptakan Perlindungan Hukum
Bagi Pelaut

adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah/Karya Penulisan Hukum yang


telah Saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan
akademik Saya pribadi, dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan atau
mengandung hasil dari tindakan-tindakan yang:
a. Secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-
hak atas kekayaan intelektual orang lain, dan/atau
b. Dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai
integritas akademik dan itikad baik;
Seandainya di kemudian hari ternyata Saya telah menyalahi dan atau melanggar
pernyataan Saya di atas, maka Saya sanggup untuk menerima akibat-akibat dan atau
sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan Universitas
Katolik Parahyangan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernyataan ini Saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukaraelaan, tanpa
paksaan dalam bentuk apapun juga.
Bandung, 12 Desember 2016
Mahasiswa Penyusul Karya Ilmiah/Karya Penulisan Hukum

Winny Sanjaya
2013 200 054
ABSTRAK
Pelaut merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki tanggung jawab besar
dan berisiko tinggi. Untuk mencegah risiko maka pelaut membutuhkan proteksi dan
kualifikasi yang tinggi supaya dapat bekerja dengan baik. Proteksi dan kualifikasi
bagi pelaut dapat diwujudkan melalui perlindungan hukum yang komprehensif bagi
pelaut. Di Indonesia perlindungan hukum bagi pelaut masih rendah dan belum
sesuai dengan standar internasional, hal ini dibuktikan dengan banyak kapal
Indonesia yang ditahan oleh Port State Control negara-negara lain karena belum
memenuhi standar internasional. Dalam menanggapi hal tersebut, pemerintah
Indonesia meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 pada tanggal 6 Oktober
2016 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan
Maritime Labour Convention, 2006. Berdasarkan fakta ini akan dikaji konsekuensi
masuknya MLC 2006 sebagai hukum positif Indonesia.

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis normatif. Pertama
akan dibahas terlebih dahulu hak-hak para pelaut berdasarkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang
Kepelautan. Selanjutnya akan dikaji muatan MLC 2006 yang mengatur pelaut
sebagai hukum positif Indonesia, dari kajian tersebut akan dianalisa apa saja
kekurangan dan kelebihan MLC 2006 sebagai hukum positif Indonesia termasuk
timbulnya konsekuensi, diembannya kewajiban baru bagi Indonesia serta
pengaturan MLC 2006 apa saja yang berbenturan satu sama lain dengan aturan yang
lain beserta solusinya.

Berdasarkan pembahasan di atas, akan ditarik sebuah kesimpulan bahwa


ratifikasi MLC 2006 banyak memberikan kontribusi positif bagi perlindungan
hukum pelaut Indonesia sebagai negara berkembang. Namun hal tersebut harus
dijalankan dengan konsekuen baik terhadap pelaksanaannya, pemenuhan
kewajiban baru yang diterima serta perlunya pembangunan hukum Indonesia bagi
carut-marut peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaut. Dengan
demikian diharapkan ratifikasi MLC 2006 tidak hanya sebatas hanya peraturan baru

i
yang hitam di atas putih semata namun juga mampu memberikan perlindungan
hukum maksimal bagi pelaut Indonesia yang berujung kepada kesejahteraan.

Kata Kunci: Maritime Labour Convention 2006, perlindungan hukum, pelaut,


pembangunan hukum, ketenagakerjaan.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
yang berjudul “PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA DALAM
MENCIPTAKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAUT”. Penulisan
hukum ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan
Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang telah
memberikan bimbingan, saran, dukungan dan doa selama Penulis mengerjakan
penulisan hukum ini. Adapun ucapan terima kasih diberikan kepada:

1. Sanfo Sanjaya dan Novianti Ng selaku orang tua penulis tercinta serta
Winston Sanjaya selaku saudara penulis yang selalu memberikan doa,
dukungan moral serta fasilitas bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan
hukum ini;
2. Dr. Ida Susanti, S.H., LL.M., CN selaku dosen pembimbing penulis dalam
membimbing penulisan hukum ini serta selaku dosen yang selama
perjalanan kuliah penulis sangat banyak memberikan kontribusi dalam
memberikan pengalaman hidup dan berbagai kegiatan kampus, project serta
ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis;
3. Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M dan Dr. Sentosa
Sembiring, S.H., M.H selaku ketua sidang dan penguji sidang penulisan
hukum penulis yang telah memberikan banyak masukan dan kontribusi
dalam penulisan ini;
4. Dewi Sukma Kristianti, S.H., M.H, Wurianalya Maria Novenanty, S.H.,
LL.M dan Maria Ulfah, S.H., M.H selaku dosen pembimbing yang tidak
pernah kenal lelah dalam memberikan dukungan kepada penulis selama
perjalanan kuliah dan aktivitas komunitas penulis;
5. Imanuel Alvin Harijanto, Marissa Sanjaya, Saida Rachel Nathasia
Siagian, Rani Melani Aldina Wijaya, Alyssa Angelina, Arini Diah
Sarasvati, Regina Cindy, Haneke Rani, Calvin Hyes Budianto, Anthony
Reysando, Felicia Putri Tjiasaka, David Esteven dan Cindy Putri selaku
orang terdekat, sahabat, teman kecil dan rekan seperjuangan kuliah Penulis
yang tidak pernah henti-hentinya memberikan dukungan, motivasi dan doa
kepada penulis (I love you guys! Thank you for all the support, courage,
cheers and prays, they are so meaningful for me. When I fall you rise me up,
when I am down, you keep me in faith, when I feel upset you give me smile,
for all the happiness, adventure, stupidity, for all the exciting moment ever,

iii
you brighten my days, you brighten my life, I am so grateful to know you all
❤);
6. Segenap anggota Parahyangan Law Debate Community dan ilumni
selaku komunitas dan keluarga besar penulis selama di fakultas hukum
UNPAR, yang turut serta memberikan semangat, ilmu, pengalaman dan
kesempatan yang tidak ternilai untuk turun kompetisi debat kepada penulis
sehingga penulis menjadi pribadi yang lebih baik;
7. Segenap rekan-rekan International Student Conference 2016-2017
selaku perkumpulan mahasiswa yang diakui terambisius di UNPAR, yang
selalu memberikan dukungan, sokongan semangat ‘ambi’ tanpa batas
kepada penulis serta project luar biasa di sela-sela masa skripsi dan penutup
kuliah penulis;
8. Segenap anggota Keluarga Mahasiswa Budhis Parahyangan dan
jajaran pengurus 2015-2016 selaku keluarga penulis di UNPAR yang
memberikan semangat dan doa dalam menyelesaikan penulisan hukum ini;
9. Hendriek Hassan, segenap anggota Santu Petrus Linguists dan alumni
selaku komunitas debat bahasa Inggris penulis semasa SMA, keluarga besar
penulis yang selalu mendukung setiap langkah Penulis membangun karir
sejak SMA dan hingga saat ini.
10. Pihak lainnya yang turut serta memberikan kontribusi dalam penulisan
hukum ini dan membangun pribadi penulis hingga menjadi pribadi seperti
sekarang, yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.

Akhir kata penulis ucapkan terimakasih, penulis menyadari penulisan hukum


ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya sangat dibuka bagi siapa saja untuk
memberikan kritik dan saran yang konstruktif sehingga penulis bisa berkembang
dan belajar lebih baik lagi. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat dan
memperluas ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Bandung, 23 Juni 2016

Winny Sanjaya
2013 200 054

iv
DAFTAR SINGKATAN

ABK : Anak Buah Kapal


AMSA : Australian Maritime Safety Authority
BKKP : Balai Kesehatan Kerja Pelayaran
BNP2TKI : Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia
BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
ILO : International Labour Organization
IMO : International Maritime Organization
JHT : Jaminan Hari Tua
JKK : Jaminan Kecelakaan Kerja
JKM : Jaminan Kematian
KKM : Kepala Kamar Mesin
KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
MLC 2006 : Maritime Labour Convention 2006
MV : Motor Vessel
Permen KHL : Peraturan Menteri tentang Kebutuhan Hidup Layak
PHK : Pemutusan Hubungan Kerja
PM : Peraturan Menteri
PP : Peraturan Pemerintah
PPHI : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
PPTKIS : Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
PSC : Port State Control
PT PANN : Perseoran Terbatas Pengembangan Armada Niaga Nasional

v
RUU : Rancangan Undang-Undang
SISKESPI : Sistem Informasi Sertifikasi Kesehatan Pelaut Indonesia
SISKOTKLN : Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri
SIUPPAK : Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal
SMC : Safe Manning Certificate
SMD : Safe Manning Document
STCW : The International Convention On Standards of Trainning,
Certification and Watchkeeping for Seafarers
TFP : Tenaga Fungsional Pelayaran
UMK : Upah Minimum Kota/Kabupaten
UMP : Upah Minimum Provinsi
UMSK : Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten
UPT : Unit Pelaksana Teknis
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG .........................................................................1


1.2 PEMBATASAN PEMBAHASAN .....................................................7
1.3 IDENTIFIKASI MASALAH .............................................................8
1.4 TUJUAN PENELITIAN .....................................................................8
1.5 METODE PENELITIAN ...................................................................9

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP PELAUT MENURUT HUKUM


POSITIF INDONESIA ........................................................................................11

2.1 PERAN PELAUT DI INDONESIA .................................................11


2.1.1 DEFINISI PEMBANGUNAN HUKUM, PERLINDUNGAN
HUKUM DAN PELAUT ........................................................13
2.1.2 RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN TERHADAP
PELAUT DI INDONESIA ......................................................17

2.1.3 RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN TERHADAP HAK


PELAUT DI INDONESIA BERDASARKAN UU
KETENAGAKERJAAN, UU PELAYARAN DAN PP
KEPELAUTAN.......................................................................18

2.1.3.1 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA ......................20


2.1.3.1.1 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA
BERDASARKAN UU PELAYARAN .......20
2.1.3.1.2 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA
BERDASARKAN PP KEPELAUTAN ......21

vii
2.1.3.1.3 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA
BERDASARKAN UU
KETENAGAKERJAAN ...............................46

2.1.3.2 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS DAN DI


LUAR KAPAL ............................................................85

2.1.3.2.1 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS


DAN DI LUAR KAPAL BERDASARKAN
UU PELAYARAN ........................................86
2.1.3.2.2 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS
DAN DI LUAR KAPAL BERDASARKAN PP
KEPELAUTAN...........................................100
2.1.3.2.3 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS
DAN DI LUAR KAPAL BERDASARKAN
UU KETENAGAKERJAAN ......................115

2.1.3.3 HAK PELAUT SETELAH BEKERJA .....................118

2.1.3.3.1 HAK PELAUT SETELAH BEKERJA


BERDASARKAN PP KEPELAUTAN ....118
2.1.3.3.2 HAK PELAUT SETELAH BEKERJA
BERDASARKAN UU
KETENAGAKERJAAN ...........................121
2.1.4 RUANG LINGKUP HAK PELAUT BERDASARKAN MLC
2006 ........................................................................................124
2.1.4.1 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 1 MLC 2006
.................................................................................129
2.1.4.2 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 2 MLC 2006
.................................................................................146
2.1.4.3 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 3 MLC
2006 .........................................................................175
2.1.4.4 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 4 MLC 2006

viii
.................................................................................197
2.1.5 KEUNGGULAN, KELEMAHAN, TANTANGAN DAN
BEBAN YANG MUNCUL ATAS PENGATURAN HAK
PELAUT MENURUT MARITIME LABOUR CONVENTION
2006 SEBAGAI HUKUM POSITIF INDONESIA ...............220

BAB III KONSEKUENSI INDONESIA YANG TELAH MERATIFIKASI


MARITIME LABOUR CONVENTION 2006 TERHADAP PEMBANGUNAN
HUKUM INDONESIA DALAM MEMBERIKAN PROTEKSI HAK
PELAUT .............................................................................................................229

3.1 PERBANDINGAN DEFINISI LINGKUP KAPAL, PELAUT,


PEMILIK KAPAL ATAU OPERATOR KAPAL ........................229

3.1.1 DEFINISI KAPAL ....................................................................229

3.1.2 DEFINISI PELAUT ..................................................................233

3.1.3 DEFINISI PEMILIK KAPAL ATAU OPERATOR KAPAL ........

.................................................................................................237

3.2 PERBANDINGAN PROTEKSI TERHADAP KETENTUAN


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBELUM
DIRATIFIKASINYA MLC 2016 DAN SETELAH
DIRATIFIKASINYA MLC 2006 ....................................................242

3.2.1 PERBANDINGAN TERHADAP SYARAT MINIMUM KERJA


PELAUT DI ATAS KAPAL ....................................................242
3.2.1.1 USIA MINIMUM KERJA ...........................................242
3.2.1.2 SERTIFIKAT KESEHATAN ......................................246
3.2.1.3 KUALIFIKASI PELATIHAN .....................................251
3.2.1.4 REKRUTMEN DAN PENEMPATAN KERJA PELAUT
......................................................................................254
3.2.2 PERBANDINGAN PROTEKSI TERHADAP KONDISI KERJA
PELAUT ....................................................................................260

ix
3.2.2.1 PERBANDINGAN PENGATURAN PERJANJIAN
KERJA .........................................................................260
3.2.2.2 PERBANDINGAN PENGATURAN UPAH ..............263
3.2.2.3 PERBANDINGAN PENGATURAN WAKTU KERJA
DAN ISTIRAHAT .......................................................265
3.2.2.4 PERBANDINGAN PENGATURAN HAK CUTI ......268
3.2.2.5 PERBANDINGAN PENGATURAN HAK
REPATRIASI ..............................................................269
3.2.2.6 PERBANDINGAN PENGATURAN KOMPENSASI
BAGI PELAUT UNTUK KAPAL YANG HILANG
ATAU TENGGELAM.................................................271
3.2.2.7 PERBANDINGAN PENGATURAN STANDAR
PENGAWAKAN KAPAL...........................................272
3.2.2.8 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP
KARIR DAN JENJANG KARIR DAN KESEMPATAN
KERJA BAGI PELAUT ..............................................274

3.3 PERBANDINGAN PROTEKSI TERHADAP AKOMODASI,


FASILITAS REKREASI, MAKANAN DAN KATERING
PELAUT ..................................................................................................275

3.3.1 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP AKOMODASI


DAN FASILITAS REKREASI ....................................................275
3.3.2 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP MAKANAN
DAN KATERING PELAUT ........................................................277
3.4 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP PROTEKSI
KESEHATAN, PERLINDUNGAN MEDIS, KESEJAHTERAAN DAN
PERLINDUNGAN KEAMANAN SOSIAL.........................................278

3.4.1 PERBANDINGAN PENGATURAN PERAWATAN MEDIS


SAAT KAPAL BERLAYAR DAN MENDARAT .....................279

3.4.2 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP TANGGUNG


JAWAB PEMILIK KAPAL .........................................................280

x
3.4.3 PERBANDINGAN PENGATURAN PERLINDUNGAN
KESEHATAN DAN KEAMANAN DAN PERLINDUNGAN
TERHADAP KECELAKAAN ....................................................281

3.4.4 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP AKSES


FASILITAS KESEJAHTERAAN SAAT MENDARAT ............282

3.4.5 PERBANDINGAN PENGATURAN KEAMANAN SOSIAL ...283

3.5 LANGKAH PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA TERHADAP


PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAUT…….. 284
3.5.1 PEMBANGUNAN HUKUM POSITIF INDONESIA MELALUI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BAIK
DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PELAUT………………………………………………………. 285
3.5.2 PEMBANGUNAN STRUKTUR HUKUM POSITIF
INDONESIA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI PELAUT……………………………………. 287

BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................290

4.1 SOLUSI DAN REKOMENDASI BERUPA PEMBANGUNAN HUKUM


INDONESIA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PELAUT .........................................................................................290

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... xii

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pelaut merupakan salah satu profesi sektor maritim yang memiliki peran
penting bagi setiap kapal yang berlayar di wilayah Indonesia. Setiap kapal yang
berlayar memegang tanggung jawab yang besar baik terhadap awak kapal,
penumpang dan muatan barang yang dibawa. Di samping itu, medan lautan
yang luas (bahkan ada pula kapal yang berlayar antar samudera), tantangan
perubahan cuaca saat berlayar dan berbagai faktor ekstrim lainnya menjadikan
profesi seorang pelaut sangat berisiko, oleh karena itu tidak jarang pekerjaan
sebagai seorang pelaut harus bertaruhan dengan nyawa.
Risiko pekerjaan pelaut saat berlayar tentu saja dapat diminimalisir dengan
berbagai pencegahan dini dan proteksi yang maksimal saat pelaut bekerja baik
di luar dan/atau di atas kapal. Oleh karena itu sangat penting bagi pemerintah
untuk menyediakan suatu standardisasi tertentu bagi pelaut supaya dapat
bekerja dengan kondusif1, aman2 dan terjamin3. Kondusif dalam arti tersedia
lingkungan yang baik bagi pelaut sehingga pelaut dapat fokus berlayar, aman
berarti adanya proteksi bagi pelaut dan kapal supaya dapat berlayar dengan
bebas tanpa gangguan sehingga selamat sampai ke tempat tujuan, sedangkan
terjamin berarti adanya perlindungan secara utuh berupa jaminan dapat
kembalinya pelaut ke tempat asal setelah melaksanakan tugasnya berlayar
sampai ke tempat tujuan.

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id) diakses pada tanggal 12 Agustus 2016 pukul
10.12 WIB http://kbbi.web.id/kondusif. Kondusif berarti memberi peluang pada hasil yang
diinginkan yang bersifat mendukung.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id) diakses pada tanggal 12 Agustus 2016 pukul
10.14 WIB http://kbbi.web.id/aman. Aman berarti bebas dari gangguan; bebas dari bahaya.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id) diakses pada tanggal 12 Agustus 2016 pukul
10.16 WIB http://kbbi.web.id/terjamin. Terjamin berarti ditanggung (keselamatannya,
keamanannya, dan sebagainya).

1
Bekerja dengan kondusif, aman dan terjamin merupakan hak 4 para pelaut.
Perwujudan hak pelaut sangat penting dan berkaitan erat dengan kesejahteraan
para pelaut sebab semakin komprehensif standar yang diatur bagi pelaut maka
semakin banyak perwujudan terhadap hak-hak pelaut yang akan terpenuhi.
Kesejahteraan pelaut juga berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas pelaut di
Indonesia. Kondisi kerja yang kondusif, aman dan terjamin saat berlayar akan
berbanding lurus dengan kualitas kerja pelaut yang semakin baik. Semakin
tinggi kualitas kerja pelaut maka tingkat minat masyarakat untuk menjadi pelaut
juga akan semakin tinggi sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi kuantitas
pelaut di Indonesia yang semakin banyak.
Untuk meningkatkan kesejahteraan pelaut maka pemerintah, pemilik atau
operator kapal harus menyediakan dan memenuhi proteksi serta kualifikasi
yang cukup demi menunjang kualitas kinerja pelaut dan kapal untuk berlayar.
Peran pemerintah yang menyediakan proteksi dan kualifikasi bagi pelaut
sehingga dapat dipenuhi oleh pemilik atau operator kapal sejalan dengan
amanat dari dasar negara Indonesia, Pancasila yang dalam sila kelimanya
berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sila ini mengandung
makna bahwa negara harus mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya
(dalam hal ini termasuk pelaut). Lebih lanjut dalam Undang-Undang Dasar
1945 (Selanjutnya disingkat UUD 1945) pasal 27 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”, oleh karenanya telah jelas bahwa pemerintah wajib
menggunakan kewenangannya untuk mengakomodir hak-hak pekerja termasuk
pelaut untuk dipekerjakan secara layak dan manusiawi.
Kewajiban pemerintah untuk mengatur hak para pelaut dapat diatur dalam
berbagai instrumen hukum. Untuk memenuhi kewajiban negara di atas,

4
Tim Pengajar PIH Fakutas Hukum UNPAR, Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Katolik
Parahyangan. 2013. Hlm 78. Hak adalah hukum yang dikaitkan dengan seseorang manusia atau
subyek hukum tertentu, dan karena itu mewujudkan diri menjadi “kekuasaan” “kemampuan”
atau “kewenangan” tertentu untuk atau atas sesuatu. Maka yang dimaksud dengan hak pelaut di
tulisan ini adalah adanya kewenangan yang sepatutnya diterima oleh pelaut supaya dapat bekerja
dengan kondusif, aman dan terjamin berdasarkan standar-standar yang diatur pemerintah
melalui hukum obyektif.

2
pemerintah berwenang untuk membuat undang-undang, kebijakan (policy), dan
regulasi sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan tersebut. 5 Kewenangan
pemerintah yang sedemikian rupa bertujuan untuk menyediakan pembangunan
hukum yang baik. Pembangunan hukum merupakan upaya sadar, sistematis,
dan berkesinambungan untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang semakin maju, sejahtera, aman, dan tenteram di
dalam bingkai dan landasan hukum yang adil dan pasti.6
Pada faktanya instrumen hukum yang tersedia saat ini belum mampu
mengatur secara komprehensif terhadap hak pelaut, baik melalui hukum positif
yang mengatur mengenai ketenagakerjaan (melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan peraturan
perundang-undangan pelaksana di bawahnya) dan pelayaran (melalui Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran beserta
peraturan perundang-undangan pelaksana di bawahnya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan). Masih pula terdapat
kekosongan hukum terhadap hak pelaut jika dibandingkan dengan standar
internasional pelaut (dalam hal ini merujuk ke Maritime Labour Convention
2006), misalnya tidak diaturnya hak repatriasi dan standar fasilitas dapur di atas
kapal.
Kekosongan hukum dan peraturan perundang-undangan yang belum
komprehensif menyebabkan banyaknya kasus kapal Indonesia yang ditahan
oleh Port State Control (selanjutnya disingkat PSC) negara-negara lain. Hanafi
sebagai Presiden Eksekutif Kesatuan Pelaut Indonesia merinci beberapa kapal
Indonesia yang terkena sanksi oleh PSC di pelabuhan asing akibat tidak
diimplementasikannya ketentuan-ketentuan Maritime Labour Convention 7

5
Elly Erawaty, Ke Mana Arah Hukum Ekonomi Indonesia? : Meninjau Kembali Pemikiran Sunaryati
Hartono tentang Hukum Ekonomi, Liber Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono. Hlm
251.
6
Wicipto Setiadi, Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum, Jurnal
Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 1, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI. Hlm 5-6.
7
MLC atau Maritime Labour Convention 2006 adalah sebuah konvensi yang dibentuk oleh badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui International labour Organization (ILO). Dalam
konvensi ini memuat berbagai ketentuan standardisasi terhadap sektor pekerja maritim secara

3
sebagai standar internasional bagi pelaut. Misalnya kapal MV. Meratus
Sangatta yang telah ditahan di pelabuhan Alma, Queensland - Australia, MV.
Ocean Sparkle di pelabuhan Algeciras-Spanyol, MV. Kayu Ramin di pelabuhan
Magdalla-India dan MV. Kayu Putih di pelabuhan Qinhuangdao-Cina. 8 MV
Meratus Sanggata telah ditahan sebanyak tiga kali pada tahun 2012 dan dua kali
sejak November 2014 oleh PSC Australian Maritime Safety Authority (AMSA).
Hasil inspeksi menyatakan penahanan kapal dilakukan karena ditemukan
berbagai ketidaklayakan kapal yang dianggap dapat mengancam kehidupan
pelaut Indonesia untuk perjalanan selanjutnya. AMSA menemukan tidak adanya
makanan dan air minum yang cukup di kapal bagi pelaut, sedikitnya jumlah
tempat penyimpanan untuk makanan segar, fasilitas laundry yang tidak layak,
sanitasi dan fasilitas memasak yang buruk, bahkan ditemukan pula pelaut yang
kontrak kerjanya sudah daluwarsa.9
Permasalahan selanjutnya yaitu masih rendahnya pengawasan dari
pemerintah terhadap sektor pelayaran terutama terhadap kapal-kapal yang
berlayar di sepanjang wilayah Indonesia baik kapal nasional maupun kapal asing.
Berdasarkan pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran (selanjutnya disingkat UU Pelayaran), semua kapal berbendera
Indonesia wajib menggunakan pelaut yang berkewarnegaraan Indonesia,
terutama untuk posisi penting seperti nakhoda, KKM 10 dan perwira. Pada
faktanya terdapat kasus kapal MV Kayu Putih milik PT PANN (Persero)
Indonesia, kapal berbendera Indonesia ini diawaki 22 orang, namun sebagian

universal yang berlaku bagi negara-negara yang meratifikasinya, misalnya ketentuan tentang
perlindungan kesehatan minimum pelaut, standardisasi akomodasi di kapal bagi pelaut, status
repatriasi, perlindungan keamanan dan lain-lain.
8
Kesatuan Pelaut Indonesia dan International Transport Workers’ Federation, Kapal Indonesia
Target Inspeksi PSC di LN, 8 Juni 2015, (kpiunion.org) diakses pada tanggal 13/6/2016 pukul 9.56
WIBhttp://www.kpiunion.org/news.php?section=NEW&id=c399862d3b9d6b76c8436e924a68c4
5b
9
Rob Almeida, Three Strikes and You’re Out: Australia Bans Another Ship from PT. Meratus Line, 9
Januari 2015 (gcaptain.com) diakses pada tanggal 13/6/2016 pukul 10.15
WIBhttp://gcaptain.com/three-strikes-youre-australia-bans-another-ship-pt-meratus-line/
Lihat pernyataan Chief Executive Officer Mick Kinley, AMSA atas hasil inspeksi terhadap kapal
Meratus Sanggata Indonesia.
10
KKM atau kepala kamar mesin adalah salah satu posisi pelaut yang bertugas dan bertanggung
jawab atas mesin kapal.

4
besar merupakan orang asing. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya dari
Filipina dan India (masing-masing 6 orang) sebagai 11 perwira (termasuk
nakhoda & KKM) dan 1 oiler, sedangkan 10 orang dari Indonesia hanya sebagai
bawahan. 11 MV Kayu Putih hanya salah satu contoh kapal Indonesia yang
melanggar ketentuan nasional, masih banyak kapal-kapal Indonesia lain yang
lebih percaya mempekerjakan pelaut yang berasal dari luar negeri dibandingkan
pelaut kelautan nasional. Melihat lemahnya pengawasan pemerintah serta
kurangnya koordinasi dengan negara lain yang mempekerjakan pelautnya di
Indonesia membuat munculnya kebutuhan akan koordinasi sistem satu pintu
informasi mengenai pelaut terdaftar yang bekerja dan berlayar dari satu negara
ke negara lain. Sistem ini menjadi sangat penting bagi setiap negara terutama
apabila menyangkut yurisdiksi wilayah masing-masing negara serta adanya
konsekuensi ketentuan kualifikasi dan standar bagi kapal dan pelaut yang
berbeda-beda di setiap negara.
Melihat berbagai permasalahan hukum di atas dengan adanya perlindungan
terhadap pelaut di Indonesia yang belum komprehensif, adanya berbagai
kualifikasi yang berbeda terhadap kelayakan kapal dan pelaut yang boleh
berlayar dari satu negara ke negara lain, serta dirasakan perlu suatu sistem
informasi satu pintu terhadap identitas pelaut yang berlayar dari satu negara ke
negara lain supaya dapat menjamin hak-hak para pelaut di mana pun mereka
berlayar, maka sangat penting bagi Indonesia dan berbagai negara untuk
menyediakan instrumen hukum yang mampu mengakomodir segala
permasalahan hukum di atas.
Salah satu instrumen hukum internasional yang memuat standardisasi kerja
pelaut adalah MLC 2006. MLC 2006 adalah sebuah konvensi internasional yang
mengatur secara komprehensif mengenai pelaut secara internasional. Moira. L
McConnel di dalam bukunya mengutip bahwa MLC 2006 adalah:

11
Akhmad Mabrori, Ironis, “Kapal Merah Putih” Pilih Pekerjakan Kru Asing, ABK Lokal Hanya Kroco,
9 Maret 2015, (industri.bisnis.com) diakses pada tanggal 14/6/16 pukul 11.27 WIB
http://industri.bisnis.com/read/20150309/98/410026/ironis-kapal-merah-putih-pilih-
pekerjakan-kru-asing-abk-lokal-hanya-kroco

5
“The MLC, 2006 has a bold agenda aimed at creating change at both the level of the
workplace and international practice. It was strategically designed to place minimum
international labour and social standards for seafarers—the essential human element—on
the same footing as the increasingly effective international regulatory regime to ensure
ship safety, security and protection of the marine environment from ship-source pollution.
When the MLC, 2006 enters in force it is clear that it will have a major impact on the
maritime sector.”12
MLC 2006 memuat agenda yang menitikberatkan fokus untuk mencapai
perubahan pengaturan terhadap tempat kerja bagi pelaut dan praktek-praktek
pelayaran secara internasional. Konvesi ini memuat standardisasi minimum
bagi pelaut saat bekerja baik di kapal dan/atau saat di luar kapal, pengaturan
atas jaminan keamanan dan kenyamanan pelaut termasuk lingkungan di
sekitarnya bahkan hingga polusi yang ditimbulkan kapal tempat pelaut bekerja.
Oleh karena pengaturan yang begitu komprehensif, seperti yang dikemukakan
Nguyen Thanh Le dalam tulisannya bahwa MLC diibaratkan pilar ke empat
konvensi inti dari International Maritime Organization (selanjutnya disingkat
IMO) untuk melengkapi tiga konvensi internasional lainnya yang melindungi
pelaut yaitu pertama mengenai keamanan dan keselamatan kapal melalui
Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 SOLAS 74, kedua mengenai
komeptensi kru kapal Convention on Standards of Training, Certification and
Watchkeeping for Seafarers, 1978 STCW 78 yang telah diamandemen dan
ketiga perlindungan lingkungan laut melalui International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships 73/78 MARPOL 73/78,13 maka MLC 2006
dianggap mampu memberikan dampak yang besar bagi sektor maritim dunia
khususnya bagi Indonesia yang masih memiliki banyak kekosongan hukum
yang telah disebutkan sebelumnya di sektor ketenagakerjaan maritim.
Melihat permasalahan-permasalahan yang timbul di sektor pekerja maritim
(menyangkut pengaturan bagi pelaut saat bekerja) di Indonesia, muncul urgensi

12
Moira Lynne McConnell, et.al., The Maritime Labour Convention, 2006 A Legal Primer to an
Emerging International Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Boston, Leiden, 2011, Chapter 1,
page 4.
13
Nguyen Thanh Le, Approving Maritime Labour Convention 2006 in Vietnam-The Duties
Challenges, International Journal of Humanities and Manangement Volume 1, Issue 1, Dailan
Maritime University, China, 2013, Introduction, page 132.

6
untuk meratifikasi sebuah konvensi internasional yang menjamin hak pelaut
yaitu MLC 2006 dan memuat berbagai ketentuan standar bagi sektor pekerja
maritim dunia. Untuk menanggapi kebutuhan tersebut, Dewan Perwakilan
Rakyat (selanjutnya disingkat DPR) telah menyetujui Rancangan Undang-
Undang (selanjutnya disingkat RUU) untuk meratifikasi MLC 2006 pada Rapat
Paripurna DPR hari Kamis, 8 September 201614, setelah itu MLC kemudian
diratifikasi sebagai hukum positif Indonesia pada tanggal 6 Oktober 2016
melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime
Labour Convention, 2006.
Dengan diratifikasinya MLC, melalui tulisan ini akan dikaji apa saja
pengaturan yang termuat dalam MLC 2006 serta dampak ratifikasi MLC 2006
ke dalam hukum di Indonesia supaya mewujudkan pembangunan hukum bagi
pelaut yang lebih baik. Terakhir tulisan ini juga akan memberikan rekomendasi
15
terhadap politik hukum Indonesia dalam mendukung terwujudnya
perlindungan hukum bagi pelaut.

1.2 PEMBATASAN PEMBAHASAN


Penulis melakukan pembatasan pembangunan hukum dalam tulisan ini dengan
maksud untuk mengkaji seluruh hukum positif Indonesia yang mengatur
tentang hak pelaut. Kajian tersebut nantinya akan dibandingkan dengan standar
hukum internasional yang telah disetujui dan diratifikasi oleh Indonesia yaitu
MLC 2006. Dengan masuknya MLC 2006 ke dalam hukum positif Indonesia
maka akan dianalisa apa saja standar dan kualifikasi hak pelaut yang
terakomodir MLC 2006, analisa tulisan ini akan mencakup kelemahan dan
keunggulan MLC 2006 dalam mengatur hak pelaut Indonesia. Dari kekurangan

14
Biro Humas Kemnaker, MLC 2006 Disahkan DPR, 570.000 Pelaut Indonesia Makin Terlindungi,
(http://kemnaker.go.id) diakses 24/11/2016 pukul 08.42 WIB
http://kemnaker.go.id/berita/berita-kemnaker/mlc-2006-disahkan-dpr-570000-pelaut-
indonesia-makin-terlindungi
15
Politik hukum dalam hal ini mengutip pendapat mantan kepala BPHN, T.M. Radhie didefinisikan
sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Definisi ini mencakup ius
constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius constituendum
atau hukum yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang.

7
dan kelebihan tersebut akan diambil rekomendasi kebijakan apa saja yang dapat
diambil pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi melakukan pembangunan
hukum dengan meratifikasi MLC 2006 sebagai upaya perlindungan hak pelaut
Indonesia.

1.3 IDENTIFIKASI MASALAH


Dalam melakukan penulisan hukum ini penulis merumuskan beberapa
identifikasi masalah yang terdiri dari:
1. Indonesia telah mengatur hak-hak dasar pelaut melalui Undang-Undang
Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, Undang-Undang No. 12 tahun 2008
tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2000 tentang
Kepelautan. Dengan diratifikasinya Konvensi ILO 2006 tentang Maritime
Labour, hak-hak atau perlindungan baru apakah yang akan dimiliki oleh
pelaut?
2. Apakah substansi dari MLC 2006 ini telah komprehensif dalam melindungi
pelaut dan sesuai untuk kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang?

1.4 TUJUAN PENELITIAN


Sehubungan dengan latar belakang dan perumusan masalah yang
dipaparkan di atas, tujuan dari penelitian hukum ini adalah:
1. Untuk mengetahui hak-hak pelaut apa saja yang telah diatur di berbagai
hukum positif Indonesia (Undang tentang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan), serta
hak-hak dasar atau perlindungan baru pelaut yang terakomodir setelah
meratifikasi konvensi internasional MLC 2006.
2. Untuk mengetahui keunggulan yang diberikan setelah meratifikasi MLC
2006 terhadap hukum positif Indonesia, kemudian dari keunggulan
tersebut akan dianalisa apa yang menjadi kewajiban Indonesia sehingga
mampu mewujudkan perlindungan terhadap hak pelaut secara efektif.

8
1.5 METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan suatu penelitian yuridis-normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan menelaah
bahan-bahan pustaka atau data sekunder. 16 Penelitian ini menggunakan
bahan berupa sumber hukum primer dan sekunder. Pertama, sumber hukum
primer berupa sumber hukum materil dan formil. Sumber hukum materil
terkait nilai-nilai ideologi Indonesia, Pancasila. Sedangkan sumber hukum
formil terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang
tentang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
2000 tentang Kepelautan dan Maritime Labour Convention 2006. Kedua,
sumber hukum sekunder berupa buku teks hukum, jurnal hukum, tulisan
ilmiah hukum, hasil penelitian dan bahan-bahan bacaan lainnya yang
relevan. Ketiga, kamus hukum, ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Black’s Law Dictionary sebagai pedoman definisi dan istilah
hukum yang digunakan dalam penelitian ini.
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis berupa studi
kepustakaan (library research).17 Metode pengumpulan data berupa studi
kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan sumber hukum primer dan
sekunder untuk penelitian ini. Studi kepustakaan akan difokuskan terhadap
pembahasan tataran filosofis hak pekerja (khususnya pelaut), peran negara
dalam melindungi dan mengakomodir kebutuhan sektor pekerja maritim,
pengaturan atas sektor pekerja maritim nasional mau pun internasional
khususnya yang memuat standardisasi bagi pelaut saat bekerja,
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam sektor pekerja maritim,

16
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 13
17
HLWIKI International, Research Method, updated 2ndof December 2014.
(http://hlwiki.slais.ubc.ca) diakses pada tanggal 15/6/16 pukul 9.55 WIB
http://hlwiki.slais.ubc.ca/index.php/Research_methods#Academic_library_research
Lihat pengertian library research bahwa successful library research is defined as the systematic
study and investigation of some aspect of library and information science where conclusions are
based on the analysis of data collected in accordance with pre-established research designs and
methodologies.

9
perbandingan dengan pengaturan atas sektor pekerja maritim negara-negara
lain serta pembahasan-pembahasan lainnya yang relevan. Seluruh sumber
hukum primer dan sekunder yang diperoleh akan dikumpulkan, dilakukan
penelitian, pengkajian dan analisa lebih lanjut sehingga melalui metode
yang sedemikian rupa dapat menunjuang penulisan hukum sesuai tujuan
dari penulisan hukum.

10
BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP PELAUT MENURUT

HUKUM POSITIF DI INDONESIA

2.1 PERAN PELAUT DI INDONESIA


18
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dikelilingi wilayah
perairan yang sangat luas, dengan banyaknya pulau yang ada maka perlu suatu
penyelenggaraan transportasi dari satu pulau ke pulau lain sehingga dapat
mempermudah mobilitas masyarakat terutama untuk melakukan perdagangan.
Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa peran transportasi sangat penting
bagi kelancaran aktivitas ekonomi, Hal ini didukung dengan pendapat J.
Rachbini yang dikutip oleh Sentosa Sembiring bahwa:

“Dampak yang sangat terasakan terjadinya globalisasi yakni arus


informasi begitu cepat sampai di tangan masyarakat. Jadi tidaklah
mengherankan, jika berbagai pihak khususnya di kalangan pebisnis sangat
memburu informasi, sebab siapa yang menguasai informasi dialah yang
terdepan. Demikian juga halnya arus transportasi dari satu negara ke
negara lain begitu cepat dan mudah diakses oleh masyarakat.”19
Salah satu jenis transportasi yang dapat mempermudah mobilitas masyarakat
adalah melalui transportasi perairan yaitu dengan kapal 20. Kapal tidak hanya
terbatas membawa penumpang saja namun juga barang muatan. Di Indonesia
peran yang sedemikian rupa diselenggarakan oleh perusahaan kapal atau

18
Johanis Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah kepulauan, MIMBAR HUKUM, Volume 23, Nomor
3, Oktober 2011, Hlm. 630.
Negara Kepulauan menurut UNCLOS adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain (Pasal 46 ayat (1) Konvensi Hukum Laut
1982).
19
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Bandung: Nuansa Aulia, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, 2007,
hlm. 1
20
Lihat pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan. Kapal
dalam pembahasan tulisan ini dibatasi oleh Penulis yaitu kapal yang memiliki ukuran lebih dari
35 GT (tonase kotor). Sehingga tidak termasuk kapal layar motor, kapal layar, kapal pesisir
pribadi yang tidak untuk berniaga, kapal-kapal khusus seperti kapal perang dan kapal terapung
yang tidak berpindah.

11
operator kapal dengan mempekerjakan pelaut sebagai penggerak transportasi
kapal yang segala ketentuannya diatur pemerintah berdasarkan hukum positif
Indonesia.

Seiring dengan perkembangan globalisasi, pengangkutan penumpang dan


permintaan pengiriman barang melalui kapal laut dari berbagai wilayah di
Indonesia ke wilayah lain semakin banyak dan bervariasi, bahkan tidak hanya
terbatas dari wilayah di Indonesia saja, tetapi juga ke berbagai negara di dunia.
Hal ini juga merupakan konsekuensi bahwa transportasi laut merupakan
transportasi yang paling esensial, sebab menurut International Maritime
Organization hampir 90% perdagangan dunia dilakukan dengan kapal dan juga
merupakan transportasi yang berbiaya paling murah dalam mengangkut barang
jadi dan barang mentah secara masal di dunia.21 Jarak yang harus ditempuh
oleh pelaut Indonesia juga tidak tanggung-tanggung, ada yang antar pulau
dengan melewati laut bahkan ada pula yang di luar yurisdiksi Indonesia
(menuju negara lain dengan menyeberangi lautan bahkan samudera). Hal ini
menjadi tantangan besar bagi para pelaut sebab menurut salah satu ahli hukum
ketenagakerjaan maritim internasional, Laura Carballo Piñeiro menyatakan
bahwa bekerja di laut biasanya menjadikan pelaut lama jauh dari rumah dan
harus tinggal di kapal, pergi bekerja untuk berlayar jauh dari negara asal, dan
bahkan di luar yurisdiksi negara asal pelaut untuk bekerja maupun saat
beristirahat. Dengan kondisi kerja dan tempat tinggal sementara yang
sedemikian rupa, menjadikan pelaut sebagai pekerjaan yang membutuhkan
banyak prasyarat, kualifikasi dan latihan khusus yang rumit sehingga tidak
seperti pekerjaan kebanyakan lainnya.22

21
International Maritime Organization, IMO Profile, Overview. (https://business.un.org) diakses
pada tanggal 15/6/16 pukul 08.55 WIB https://business.un.org/en/entities/13
Maritime transport is essential to the world’s economy as over 90% of the world’s trade is carried
by sea and it is, by far, the most cost-effective way to move en masse goods and raw materials
around the world.
22
Laura Carballo Piñeiro., International Maritime Labour Law, Hamburg Studies on Maritime
Affairs 34, Springer, Verlag Berlin Heidelberg, 2015, Chapter 2, page 11. Kutipan diparafrase dan
diterjemahkan penulis.

12
Melalui perkembangan globalisasi yang mengakibatkan tingginya mobilitas
orang dan barang dengan transportasi kapal, maka peran pelaut dirasa semakin
penting terutama sebagai penggerak mobilitas arus perdagangan nasional
dan/atau internasional, fakta tersebut juga dilekatkan dengan resiko yang
begitu besar bagi pelaut saat menjalankan pekerjaanya baik di atas dan/atau di
luar kapal. Maka dari itu sangat penting bagi pemerintah untuk mengatur dan
mengakomodir hak-hak pelaut dengan baik supaya dapat bekerja dengan
kondusif, aman dan terjamin.

2.1.1 DEFINISI PEMBANGUNAN HUKUM, PERLINDUNGAN


HUKUM DAN PELAUT

Di dalam bagian ini akan dijelaskan berbagai definisi terkait


terminologi dan subjek hukum dari penulisan ini. Pertama, definisi
pembangunan hukum dapat dimengerti melalui definisi-definis berikut:

Menurut Legal Thesaurus oleh William C.Burton, pembangunan,


dalam hal ini yaitu “reform means to ameliorate, amend, change,
convert (change use), convert (persuade), correction (change),
development (progression), emend, fix (repair), meliorate, modify
(alter), progress, reconstitute, reconstruct, recreate, rectify, redeem
(satisfy debts), repair, repent, reproduce, restore (renew), revision
(process of correcting), transform.” 23 Berdasarkan pengertian di
atas, pembangunan hukum dapat diartikan secara sangat luas, berarti
untuk memperbaiki, mengubah, mengkonversi (merubah suatu
penggunaan), mengkonversi (mendesak suatu perubahan),
mengkoreksi (mengganti sesuatu yang salah menjadi benar),
pengembangan (melakukan suatu perkembangan), memperbaiki,
menjadi ke arah yang lebih baik, memodifikasi (mengubah),

23
William C. Burton. Legal Thesaurus, Second Edition, Macmillan Publishing Company, New York,
Maxwell Macmillan Canada, Toronto, Maxwell Macmillan International New York, Oxford,
Singapore, Sydney, 1992, Page 889.

13
melakukan suatu kemajuan, menyusun kembali, merekonstruksi,
menciptakan, memenuhi suatu syarat, menobatkan, mereproduksi,
mengembalikan ke semula, memperbaharui, merevisi, melakukan
transformasi terhadap hukum.

Pembangunan hukum menurut M. Busyro Muqoddas dkk


adalah upaya untuk membangun suatu tata hukum nasional yang
berlandaskan kepada jiwa dan kepribadian bangsa. Dalam
kongkritisasinya pembangunan hukum nasional itu berarti
pembentukan kaidah-kaidah hukum baru untuk mengatur berbagai
bidang kehidupan masyarakat.24

Pembangunan hukum menurut Wicipto Setiadi adalah upaya


sadar, sistematis, dan berkesinambungan untuk membangun
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang semakin
maju, sejahtera, aman, dan tenteram di dalam bingkai dan landasan
hukum yang adil dan pasti.25

Pembaharuan/pembangunan hukum menurut Barda Nawawi


Arief pada hakikatnya merupakan pembaharuan/pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable reform/sustainable development). Di
dalam pembaharuan/ pembangunan hukum selalu terkait dengan
perkembangan/pembangunan masyarakat yang berkelanjutan
maupun perkembangan yang berkelanjutan dari kegiatan/ aktivitas
ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide dasar/ konsepsi
intelektual. Jadi “law reform” terkait erat dengan sustainable
society/development, sustainable intellectual activity, sustainable
intellectual phylosophy, sustainable intellectual conceptions/basic

24
Catharina Dewi Wulansari, Oratio Dies Pembangunan Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia,
Disampaikan pada Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan ke-47, Bandung,
2005, Hlm. 3.
25
Wicipto Setiadi, Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum, Jurnal
Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 1, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, Cililitan, Jakarta Timur, 2012, Hlm 5.

14
ideas. Kajian terhadap masalah ini tentunya merupakan kajian yang
bergenerasi.26

Menurut Rabiatul Syariah, pembangunan hukum merupakan


suatu tindakan politik. Sebagai satu tindakan politik, maka
pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada
kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang
kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya.
Arah pembangunan hukum bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya
yang memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan
hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD
1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan
masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan.27

Pembangunan hukum menurut Badan Pembinaan Hukum


Nasional (selanjutnya disingkat BPHN) merupakan tindakan atau
kegiatan yang dimaksudkan untuk membentuk kehidupan hukum ke
arah yang lebih baik dan kondusif. Sebagai bagian dari
pembangunan nasional, pembangunan hukum harus terintegrasi dan
bersinergi dengan pembangunan bidang lain, serta memerlukan
proses yang berkelanjutan. Pelaksanaan pembangunan hukum tidak
hanya ditujukan untuk hukum dalam arti positif yang identik dengan
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hukum dalam arti yang
luas yang menunjuk pada sebuah sistem, yang meliputi
pembangunan materi hukum, pembangunan kelembagaan dan

26
Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, 24 Desember, 2009,
(https://bardanawawi.wordpress.com) diakses pada 9/7/16 pukul 12.50
https://bardanawawi.wordpress.com/2009/12/24/38/
Alamat situs merupakan situs resmi Barda Nawawi Arief, tulisan yang dikutip berasal dari pidato
pengukuhannya yang berjudul Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), 1994, hlm. 15.
27
Rabiatul Syariah. Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional. Jurnal
Equality Vol 13 No. 1 Februari 2008. Hlm. 35.

15
penegakan hukum, pembangunan pelayanan hukum dan
pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Karena unsur-unsur
tersebut saling mempengaruhi, hukum harus dibangun secara
simultan, sinkron, dan terpadu.28

Kedua, perlindungan hukum dapat dimengerti melalui definisi-definisi


berikut ini:

Menurut Satjipto Rahardjo perlindungan hukum adalah memberikan


pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain
perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan
oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara
pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak
manapun.29

Menurut CST Kansil, perlindungan hukum adalah penyempitan arti


dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.
Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak
dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek
hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.
Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan hukum.30

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk


melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau

28
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional.
(http://bphn.go.id) diakses pada 9/8/2016 pukul 13.46 WIB
http://bphn.go.id/data/documents/pphn_2014_bab_i_pendahuluan.pdf
29
Pengertian Perlindungan Hukum, (http://digilib.unila.ac.id), diakses pada 13/9/16 pukul 20.44
http://digilib.unila.ac.id/6225/13/BAB%20II.pdf
30
Supra Note 31.

16
kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan
adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.31

Ketiga, pelaut dapat dimengerti melalui definisi-definisi berikut ini, yaitu:

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang


Kepelautan, pasal 1 angka 3, pelaut adalah setiap orang yang mempunyai
kualifikasi keahlian atau keterampilan sebagai awak kapal. Yang dimaksud
sebagai awak kapal dijelaskan pada pasal 1 angka 2, awak kapal adalah orang
yang bekerja atau diperkerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal
untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum
dalam buku sijil;
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelaut adalah orang yang
pekerjaannya berlayar di laut.32

2.1.2 RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN TERHADAP PELAUT DI


INDONESIA

Pada umumnya pembahasan mengenai hak pelaut terdapat di tiga


sumber hukum positif Indonesia, pertama yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (selanjutnya disingkat KUHD) kedua yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata)
dan ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tidak
berbentuk kodifikasi (UU Pelayaran, UU Ketenagakerjaan, PP Kelautan
dan peraturan perundang-undangan di bawahnya). Tiga sumber hukum
tersebut mengatur dua hubungan yang berbeda, sifat pengaturan bagi
pelaut di KUHPerdata dan KUHD bersifat privat, artinya baik
KUHPerdata dan KUHD mengatur hak dan kewajiban yang timbul
antara pemilik kapal atau operator kapal dan awak kapal saat bekerja

31
Supra Note 31.
32
KBBI, Definisi Laut, (http://kbbi.web.id) diakses pada 12/9/16 pukul 21.25 WIB
http://kbbi.web.id/laut

17
(misalnya mengenai timbulnya hak dan kewajiban akibat perjanjian
kerja antara operator kapal dan pelaut, hubungan antara subjek hukum
pelayaran yang memuat hak dan kewajiban pelaut terhadap syahbandar
dan lain sebagainya), sedangkan di peraturan perundang-undangan yang
tidak berbentuk kodifikasi bersifat publik, yaitu bentuk pengaturan oleh
pemerintah bagi pelaut (termasuk hak pelaut). Sifat isi kaidah hukum
yang demikian sejalan dengan pendapat van Apeldoorn yang
membedakan hukum publik dan privat berdasarkan kepentingan apa
yang hendak dilindungi oleh suatu kaidah/peraturan hukum, maka
hukum publik adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur kepentingan
umum (publik) sedangkan hukum privat adalah kaidah-kaidah hukum
yang mengatur kepentingan-kepentingan khusus/istimewa.33

Dengan adanya perbedaan penggolongan berdasarkan isi kaidah


hukum yang mengatur pelaut seperti yang telah dikemukakan di atas,
penulis membatasi yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah
hanya perlindungan pelaut yang bersifat publik saja yang timbul berasal
dari peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, hukum positif
yang dimaksud dalam tulisan ini terdapat dalam UU Ketenagakerjaan,
UU Pelayaran, PP Kepelautan beserta peraturan perundang-undangan di
bawahnya dan MLC 2006.

2.1.3 RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN TERHADAP HAK


PELAUT DI INDONESIA BERDASARKAN UU
KETENAGAKERJAAN, UU PELAYARAN DAN PP
KEPELAUTAN

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa hak adalah hukum yang


dikaitkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu, dan
karena itu mewujudkan diri menjadi “kekuasaan” “kemampuan” atau

33
Supra Note 4, Hlm 70.

18
“kewenangan” tertentu untuk atau atas sesuatu34. Maka yang dimaksud
dengan hak pelaut di tulisan ini adalah adanya kewenangan yang
sepatutnya diterima oleh pelaut supaya dapat bekerja dengan kondusif,
aman dan terjamin berdasarkan standar-standar yang diatur pemerintah
melalui hukum obyektif. Pembahasan hak pelaut akan dibagi
berdasarkan saat munculnya hak pelaut, yaitu sebelum bekerja, saat
bekerja (misalnya hak memperoleh fasilitas yang layak) dan setelah
bekerja (misalnya hak untuk berhenti, hak untuk dipulangkan ke tempat
asal). Munculnya hak pelaut saat bekerja dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
saat pelaut bekerja di atas kapal (misalnya hak memperoleh makanan
yang layak, penerangan yang cukup di atas kapal) dan di luar kapal (hak
untuk tidak berlayar). Lebih jelasnya pembagian hak dapat dilihat
berdasarkan tabel di bawah ini.

Tabel 1. Pembagian Hak Pelaut Berdasarkan Saat Munculnya Hak

SEBELUM BEKERJA

KATEGORI
HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI LUAR

BERDASARKAN SAAT KAPAL

SAAT BEKERJA
MUNCULNYA
SAAT BEKERJA DI ATAS
HAK
KAPAL

SETELAH BEKERJA

34
Supra Note 4.

19
2.1.3.1 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA

Hak pelaut sebelum bekerja berarti ketentuan hak pelaut


pada saat sebelum melakukan pekerjaannya di atas kapal.
Ketentuannya secara umum diatur berdasarkan UU Pelayaran,
PP Kepelautan dan UU Ketenagakerjaan.

2.1.3.1.1 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA BERDASARKAN


UU PELAYARAN

Pertama, berdasarkan UU Pelayaran hak pelaut yang diatur


antara lain:

 Berdasarkan Pasal 138 ayat (3) mengatur bahwa “Nakhoda


(pemimpin seluruh pelaut di kapal) berhak menolak untuk
melayarkan kapalnya apabila mengetahui kapal tersebut
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).” Pasal ini memperbolehkan pelaut untuk tidak
melakukan pelayaran apabila mengetahui kapal tidak
memenuhi syarat. Pada Ayat (2) dijelaskan bahwa “setiap
kapal wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan yang
berdasarkan pasal 1 nomor 33”. Pasal 1 nomor 33
menyatakan “Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal
yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal,
pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan,
garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan
kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen
keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan
manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan
tertentu.” Tujuan dari ketentuan pasal ini adalah untuk
menjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanan dari
penumpang dan/atau muatan barang supaya dapat sampai

20
ke tempat tujuan, termasuk pula pelaut sebagai pekerja.
Apabila kapal bermasalah atau tidak memenuhi standar laik
berlayar maka sudah semestinya pelaut (dalam hal ini
nakhkoda sebagai pemimpin kapal) tidak boleh mengambil
risiko berlayar dan menyatakan penolakan berlayar kepada
pemilik kapal.

2.1.3.1.2 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA


BERDASARKAN PP KEPELAUTAN

Kedua, berdasarkan PP Kepelautan hak pelaut yang diatur


antara lain:

 Sebelum pelaut berlayar pasal 18 ayat (2) menyatakan


“Perjanjian Kerja Laut sebagaimana dimaksud ayat (1)
yang diterima oleh pelaut harus memuat hak-hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak dan memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 18 ayat (2) mengatur mengenai standar muatan
perjanjian kerja pelaut antara pemilik kapal dan pelaut.
Lebih lanjut dalam ayat (3), hak-hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) sekurang-kurangnya adalah memuat:

a. Hak pelaut;
Menerima gaji, upah lembur, uang pengganti hari-hari
libur, uang delegasi, biaya pengangkutan dan upah saat
diakhirinya pengerjaan, pertanggungan untuk barang-
barang milik pribadi yang dibawa serta kecelakaan
pribadi serta perlengkapan untuk musim dingin untuk
yang bekerja di wilayah yang suhunya 15 derajat celcius

21
atau kurang yang berupa pakaian dan peralatan musim
dingin;
b. Kewajiban pelaut;
Melaksanakan tugas sesuai dengan jam kerja yang
ditetapkan sesuai dengan perjanjian, menanggung biaya
yang timbul karena kelebihan barang bawaan di atas
batas ketentuan yang ditetapkan perusahaan, menaati
perintah perusahaan dan bekerja sesuai dengan jangka
waktu perjanjian;
c. Hak pemilik/operator yaitu memperkerjakan pelaut;
d. Kewajiban pemilik/operator;
Memenuhi semua kewajian yang merupakan hak-hak
pelaut sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”
Dalam bagian penjelasannya disebutkan bahwa pasal 18
Ayat (2) menyebutkan “Perjanjian kerja laut memuat
sekurang-kurangnya:
a. nama lengkap pelaut serta tempat dan tanggal lahir;
b. tempat dan tanggal perjanjian dibuat;
c. nama kapal atau kapal-kapal dimana pelaut akan
dipekerjakan;
d. daerah pelayaran kapal dimana pelaut dipekerjakan;
e. gaji, upah lembur dan tunjangan lainnya;
f. jangka waktu pelaut dipekerjakan;
g. pemutusan hubungan kerja;
h. asuransi dan pemulangan, cuti, jaminan kerja serta
pesangon;
i. penyelesaian perselisihan.”
Berdasarkan PP Kepelautan yang mengatur ketentuan
minimum muatan perjanjian kerja pelaut, perjanjian
kerja pelaut berisi identitas pelaut, tempat dan tanggal
perjanjian dibuat, nama kapal, nama perusahaan kapal

22
dan rute kapal tempat pelaut bekerja beserta daerah
perjalanan dan destinasinya. Hal ini bertujuan untuk
menjamin di mana pelaut ditempatkan dan kepada siapa
ia bekerja.

Kemudian perjanjian kerja juga harus memuat jumlah


upah, ketentuan upah lembur dan tunjangan yang ada.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai upah, dalam
ketentuan PP Kepelautan membedakan antara pemakaian
kata upah dan gaji padahal jika dikaji lebih mendalam tidak
ada perbedaan definisi yang signifikan dalam ketentuan PP
Kepelautan. Hal ini menunjukkan pembuat PP Kepelautan
tidak konsisten dalam menentukan istilah seperti apa yang
ingin dipergunakan, semestinya pendapatan bagi pelaut
disebut sesuai dengan istilah dalam hukum ketenagakerjaan
yaitu upah.

PP kelautan tidak menjelaskan apa definisi dari upah


oleh karena itu pengertian upah diambil menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan
(Selanjutnya disingkat PP Pengupahan) pasal 1 nomor 1
adalah ”hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.” Upah
diperoleh guna untuk mewujudkan penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Mengingat bahwa upah adalah untuk mewujudkan

23
pemenuhan kehidupan pekerja tentu perlu diatur berapa
parameter jumlah upah dapat mencapai kebutuhan tersebut.

Lantas siapa yang menentukan parameter minimum


upah yang diberikan kepada pekerja? Kebijakan
pengupahan harus diatur oleh pemerintah guna melindungi
pekerja dari kesewenang-wenangan pemberi kerja.
Berdasarkan pasal 22 ayat (1) PP Kepelautan, upah
minimum bagi awak kapal dengan jabatan terendah
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, berdasarkan ketentuan upah minimum
tenaga kerja sesuai peratuan perundang-undangan yang
berlaku. Setelah ditelusuri dalam Jaringan Dokumentasi
dan Informasi Hukum Kementerian Ketenagakerjaan
35
Republik Indonesia , tidak ditemukan regulasi yang
dikeluarkan menteri mengenai upah minimum yang
spesifik bagi pelaut. Oleh karena itu upah pelaut harus
mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak
(selanjutnya disingkat Permen KHL). Dalam pasal 1 nomor
2 disebutkan bahwa “Upah Minimum adalah upah bulanan
terendah berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok
termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur
sebagai jaring pengaman.” Bagaimana menentukan upah
minimum? Upah minimum berdasasrkan pasal 2 ayat (1)
Permen KHL dilakukan dengan menggunakan formula
perhitungan upah minimum. Formula perhitungan upah
minimum adalah upah minimum tahun berjalan (saat ini)
ditambah dengan hasil perkalian antara upah minimum

35
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
(http://jdih.kemnaker.go.id) diakses 1/11/2016 pukul 20.13 WIB
http://jdih.kemnaker.go.id/pengupahan.html

24
tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional
tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan produk domestik
bruto tahun berjalan. Tujuan ditentukannya upah minimum
supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan pemberi kerja
terhadap pekerja dalam membayar hasil kerja pekerja serta
untuk menjamin tercapainya kebutuhan hidup layak
(selanjutnya disingkat KHL) pekerja.

Pasal 45-50 PP Pengupahan mengatur mengenai


penetapan upah minimum. Upah minimum ditetapkan
berdasarkan per provinsi (UMP) oleh gubernur sehingga
disebut sebagai upah minimum provinsi. Namun dalam satu
provinsi dapat pula terdapat upah minimum kota/kabupaten
(UMK) oleh gubernur atas rekomendasi bupati/walikota.
Adapun apabila upah minimum merupakan hasil
kesepakatan organisasi perusahaan dengan serikat
pekerja/serikat buruh di sektor tertentu maka dapat
diberlakukan upah minimum sektoral provinsi (UMSP)
atau upah minimum sektoral Kabupaten/Kota (UMSK)
sepanjang tidak lebih kecil jumlahnya dari upah minimum
provinsi dan upah minimum kabupaten/kota. Mengingat
bahwa belum ada peraturan menteri yang mengatur
mengenai upah minimum pelaut secara spesifik 36 maka
pelaut selaku pekerja akan mengikuti ketentuan PP
pengupahan.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, kebijakan


pengupahan yang melindungi pekerja meliputi
perlindungan terhadap upah minimum (yang ditentukan

36
Dermaga SDM, Besaran Upah Minimum Pelaut Kapan Ditentukan? (http://beritatrans.com)
diakses pada 2/11/2016 pukul 14.36, http://beritatrans.com/2016/04/19/besaran-upah-
minimum-pelaut-kapan-ditentukan/

25
dengan memperhatikan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi);
upah kerja lembur; upah tidak masuk karena berhalangan;
upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di
luar pekerjaanya; upah karena menjalankan waktu istirahat
kerjanya; bentuk dan cara pembayaran upah; denda dan
potongan upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan
upah; struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
upah untuk pembayaran pesangon dan upah untuk
perhitungan pajak penghasilan.37

Dalam PP Kepelautan hanya memuat upah pekerja dan


upah lembur saja. Upah lembur diatur dalam pasal 22 ayat
(2) PP Kepelautan bahwa upah lembur per jam pelaut
dihitung dengan rumus upah Minimum x 1,25/190.
Penetapan angka 190 adalah jumlah jam kerja dalam 1
(satu) bulan. Sedangkan penetapan angka 1,25 adalah
sesuai ketentuan International Labour Organization
(selanjutnya disingkat ILO). Upah lembur tidak berlaku
bagi pekerjaan yang timbul akibat keadaan darurat, namun
pekerja berhak atas waktu isitrahat tambahan setelah
keadaan darurat tersebut. Semestinya perjanjian kerja
pelaut juga wajib memuat upah tidak masuk karena
berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan
kegiatan lain di luar pekerjaanya, upah karena menjalankan
waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah,
denda dan potongan upah hal-hal yang dapat
diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala
pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran

37
Ida Susanti, Diktat Hukum Ketenagakerjaan Fakutas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Bandung, Pembahasan Nomor 26 Tentang Perlindungan Upah, Tidak ada tahun, Halaman 15.

26
pesangon dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut maka
semestinya PP Kepelautan harus mengacu pada UU
Ketenagakerjaan. Hal ini akan dibahas dalam sub bab
selanjutnya yaitu hak pelaut sebelum bekerja menurut UU
Ketenagakerjaan.

Selanjutnya mengenai tunjangan, dalam PP Kepelautan


disebutkan bahwa wajib mencantumkan upah dan
tunjangan. Tidak ada definisi mengenai tunjangan apa yang
dimaksud dalam PP Kepelautan. Oleh karenanya tunjangan
yang dimaksud mencakup pasal 94 UU Ketenagakerjaan
bahwa “dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok
dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-
sedikitnya 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah
upah pokok dan tunjangan tetap.”

Pengaturan tersebut juga ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1)


PP Pengupahan Nomor 78 Tahun 2015 bahwa komponen
upah adalah sebagai berikut:

a. Upah pokok tanpa tunjangan;

Adalah sejumlah uang yang diterima pekerja/buruh


tetap. Upah tersebut dihitung sebagai clean wages,
besaran upah tersebut digunakan sebagai dasar
perhitungan hal-hal yang terkait dengan upah, seperti
tunjangan hari raya keagamaan, upah lembur,
pesangon, iuran jaminan sosial dan lain-lain.

b. Upah pokok dan tunjangan tetap;

Tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja


yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan

27
dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian
prestasi tertentu. Tunjangan tetap dibayar beserta
dengan upah pokok. Contoh tunjangan tetap seperti
seperti tunjangan isteri; tunjangan anak; tunjangan
perumahan; tunjangan kematian, dan lain-lain.
Tunjangan makan dan tunjangan transport dapat
dimasukan dalam komponen tunjangan tetap apabila
pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan
kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja
menurut satuan waktu, harian atau bulanan.

c. Upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak


tetap;

Tunjangan tidak tetap adalah suatu pembayaran yang


secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
pekerja/buruh, yang diberikan secara tidak tetap
untuk pekerja/buruh dan keluarganya serta
dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama
dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti
tunjangan transport dan/atau tunjangan makan yang
didasarkan pada kehadiran.

Dengan demikian dapat disimpulkan


pembentuk PP Kepelautan bermaksud
mengharuskan pemilik kapal untuk memberikan
upah kepada pelaut dengan komponen upah, dengan
tunjangan tetap atau upah beserta tunjangan tetap dan
tunjangan tidak tetap. Untuk pembahasan tunjangan
akan dijelaskan dalam sub bab hak pelaut sebelum
bekerja menurut UU Ketenagakerjaan.

28
Ada beberapa hal yang dapat dikritisi dari PP
Kepelautan, pertama semestinya pengupahan bagi pelaut
diatur dengan mengacu ke UU Ketenagakerjaan, PP
Kepelautan jelas mengatur mengenai ketenagakerjaan
maritim (dalam hal ini pelaut), sehingga terlihat kekurangan
bahwa PP Kepelautan dibentuk dengan pola pikir sektoral,
tidak didiskusikan dan dikoordinasikan dengan
kementerian ketenagakerjaan, hal ini terbukti dalam bagian
mengingat PP Kepelautan tidak mengacu ke UU
Ketenagakerjaan dan banyak istilah dalam hukum
ketenagakerjaan yang tidak digunakan dalam PP
Kepelautan.

Kedua, PP Kepelautan sesungguhnya memerintahkan


untuk membentuk regulasi menteri ketenagakerjaan
terhadap upah minimum pelaut, namun hingga saat ini
belum ada regulasi yang dimaksud. Upah pelaut saat ini
didasarkan dengan upah minimum pada umumnya, hal ini
perlu menjadi pertimbangan pemerintah mengatur upah
secara spesifik bagi pelaut mengingat bahwa resiko kerja
pelaut sangat tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Ida
Susanti dalam salah satu kuliah umumnya tentang hukum
ketenagakerjaan bahwa semestinya upah minimum diatur
tidak hanya berdasarkan kebutuhan minimum saja tetapi
juga mempertimbangkan tingkat risiko jenis
pekerjaannya.38

Sehubungan dengan itu, pembuat instrumen hukum


harus mempertimbangkan tanggung jawab pelaut yang
begitu besar, yang harus berlayar jauh dan menjamin

38
Ida Susanti, Dalam kuliah umum Hukum Ketenagakerjaan, Basic Wage and Fixed Allowance of
Workers, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 26 Oktober 2016, Pukul 11.00-12.50.

29
seluruh keselamatan dan kenyamanan penumpang serta
muatan yang dibawa. Belum lagi mengingat faktor cuaca
ekstrim yang semakin hari semakin sulit diprediksi. Kondisi
alam lautan yang tidak menentu bahkan dapat mengancam
nyawa pelaut apabila tidak dibekali kompetensi yang
semestinya dan tidak terproteksi dengan baik dalam
menjalankan tugasnya.

Pada dasarnya ketentuan upah pelaut dapat


dikategorikan berdasarkan tingkat risiko yang telah
diklasifikasikan dalam PP tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (akan dibahas lebih lanjut di bawah, bahwa
sektor pengangkutan orang dan barang di laut termasuk
sektor sangat beresiko). Atas pertimbangan tersebut pelaut
semestinya diberikan kelebihan khusus terutama dari segi
pengaturan dan penentuan upah minimum yang berbeda.

Ketiga, PP Kepelautan tidak menjelaskan jenis


tunjangan seperti apa yang harus diakomodir pemilik kapal
bagi pelaut. Dalam UU Ketenagakerjaan komponen upah
dapat berupa upah saja, upah dengan tunjangan tetap atau
upah, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Apabila PP
Kepelautan bertujuan mengharuskan dalam perjanjian kerja
mencantumkan tunjangan maka semestinya dijabarkan
tunjangan apa yang dimaksud sehingga terdapat
pemerataan perlakuan bagi pelaut dalam memenuhi
kebutuhannya.

Selanjutnya, perjanjian kerja juga wajib memuat


jangka waktu pelaut dipekerjakan. Penjelasan pasal 18 ayat
(2) PP Kepelautan seakan-akan mengindikasikan perjanjian
kerja pelaut harus ditentukan dan disepakati antara pelaut
dan pemilik kapal dengan waktu tertentu. Lain hal dengan

30
pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan, ketentuan
mengenai jangka waktu kerja diatur dalam klausul mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja. Menurut
Lalu Husni jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat
untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi
jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi
hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu
berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu. Perjanjian
kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut
dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak
tetap. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau
pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang
dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan
perjanjian kerja tetap dan status pekerjaannya adalah
pekerja tetap.39 Apabila perjanjian kerja wajib dicantumkan
jangka waktu bekerja maka akan sangat merugikan pelaut
karena tidak dapat menjadi pekerja tetap. Berdasarkan UU
Ketenagakerjaan maksimal perjanjian kerja tidak tetap
adalah 3 tahun.

Walaupun demikian, ketentuan mengenai klausul


wajib dalam perjanjian kerja tentang jangka waktu kerja
harus dibaca dengan utuh sebagai pasal 18 dari ayat (1)
sampai (5) sebagai satu kesatuan, bahwa dalam pasal 18
ayat (3) dikemukakan bahwa kewajiban pelaut adalah untuk
bekerja sesuai dengan jangka waktu perjanjian kerja. Oleh
karenanya jangka waktu perjanjian kerja dapat ditafsir
mengacu kepada konsep UU Ketenagakerjaan sebagai dua
yaitu jangka waktu perjanjian kerja yang meliputi

39
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan ke IV,
2000, Halaman 60.

31
perjanjian kerja dengan waktu tertentu dan perjanjian kerja
dengan waktu tidak tertentu. Dengan demikian tidak
menutup kemungkinan untuk pelaut dipekerjakan secara
tetap atau tidak tetap.

Perjanjian kerja juga harus memuat mekanisme


pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disingkat PHK),
hal ini untuk menjamin ada alasan yang jelas jika suatu hari
dilakukan pemutusan kerja bagi pelaut. Berdasarkan PP
Kepelautan terdapat 3 alasan pemutusan kerja dilakukan:

1. Atas kehendak sendiri pelaut (Pasal 26 ayat (2))


Dalam pasal 26 ayat (2) diatur bahwa apabila pelaut
memutuskan hubungan kerja karena alasan kehendak
sendiri maka pengusaha bebas dari kewajiban
pembiayaan untuk pemulangan pelaut. Hal ini
merupakan ketentuan yang tidak adil, semestinya
pemilik kapal tetap bertanggung jawab untuk
memulangkan pelaut minimal mengembalikan pelaut
ke domisili pemilik kapal atau pelabuhan pertama
pelaut direkrut, sebab dalam ketentuan wajib
perjanjian kerja pelaut adalah ketentuan hak
pemulangan sehingga sifat hak pemulangan adalah
normatif dan tidak bisa dikesampingkan
pelaksanaanya walaupun pelaut telah memilih untuk
tidak bekerja lagi. Bisa dibayangkan jika pelaut
memutuskan hubungan kerja di tengah pelayaran,
lantas apakah ia ditinggal begitu saja di tempat
terakhir ia didaratkan? Ketentuan ini sangat
menderogasi hak pelaut untuk kembali ke tempat
asalnya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bagian
PHK pelaut.

32
2. Kapal musnah atau tenggelam (Pasal 27 ayat (1))

Dalam ketentuan pasal 27 (1) berbunyi, “Apabila


pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha angkutan
di perairan karena kapal musnah atau tenggelam,
pengusaha angkutan di perairan wajib membayar
pesangon kepada awak kapal yang bersangkutan
sebesar 2 (dua) kali penghasilan bulan terakhir dan
hak lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”
Pasal 27 ayat (1) megatur bahwa apabila kapal
musnah atau tenggelam sehingga menyebabkan harus
dilakukannya pemutusan hubungan kerja
(selanjutnya disingkat PHK) kepada pelaut maka
pemilik kapal wajib membayar upah pekerja
ditambah pesangon berupa dua kali upah bulan
terakhir ditambah hak-hak lainnya. Ketentuan ini
memberikan perlindungan dan penghargaan kepada
pelaut yang terkena dampak PHK, bahwa biaya hidup
mereka diakomodir upah dua bulan secara cuma-
cuma selama 2 bulan sebelum mendapatkan
pekerjaan baru. Ada pun yang perlu dikritisi dalam
pasal ini adalah penggunaan istilah penghasilan.
Pembuat PP Kepelautan untuk kesekian kalinya tidak
konsisten dalam menggunakan isitilah “upah”, “gaji”
dan “penghasilan”.

3. Kapal dianggurkan, atau dijual (pasal 27 ayat (2))

Pasal 27 ayat (2) berbunyi “Apabila terjadi


pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha di
perairan karena kapal dianggurkan, atau dijual,
pengusaha di perairan wajib membayar pesangon
kepada awak kapal sesuai peraturan perundang-

33
undangan yang berlaku.” Pasal 27 ayat (2) mengatur
bahwa jika pemutusan kerja dilakukan karena kapal
dianggurkan atau dijual maka pemilik kapal wajib
membayar pesangon sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ada pun pengaturan
mengenai pesangon berdasarkan UU
Ketenagakerjaan, berdasarkan pasal 156 ayat (1)
disebutkan “dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Dalam UU Ketenagakerjaan kompensasi pemutusan
hubungan kerja berupa uang pesangon, uang jasa,
uang ganti rugi, serta jaminan kesehatan dan
keselamatan kerja. Pengaturan pesangon berdasarkan
UU Ketenagakerjaan akan dijelaskan lebih lanjut
dalam sub bab hak pelaut sebelum bekerja menurut
UU Ketenagakerjaan.
Permasalahan yang cukup penting dibahas adalah
apakah dapat dibenarkan untuk melakukan PHK karena
kapal telah dijual atau sengaja dianggurkan oleh pemilik
kapal? Mengutip pendapat Marwan Arhas dalam tulisannya
mengenai PHK, ia membenarkan adanya pilihan PHK
dilakukan pemilik kapal (pemberi kerja) dengan alasan:
“Adalah dapat dimengerti, karena majikan itu bertanggung jawab
atas jalannya baik dan efektif dari perusahaannya, dia itu ingin
mempertahankan kekuasaannya, kebebasannya sebanyak-
banyaknya untuk mengambil keputusan tentang soal-soal yang
mempengaruhi jalannya perusahaan itu. Dia ingin mengelakkan tiap
kewajiban untuk menuruti suatu negara cara yang akan merugikan
jalan baik perusahaannya. Hal itu tidak hanya mengenai soal
rencana produksi, permodalan penjualan dan sebagainya, tetapi juga
mengenai jumlah buruh yang dipekerjakan dan soal memilih satu
per satu. Berdasarkan alam ekonomis itu, majikan menghendaki
kebebasan yang maksimum dalam memperhatikan buruh, jika ia
tidak puas dengan pekerjaan buruh itu atau keadaan perusahaannya

34
membenarkan pengurangan buruh. Adalah jelas bahwa jika majikan
diharuskan untuk menahan sejumlah buruh yang lebih besar dari
seperlunya, dia mungkin tidak lagi mampu untuk mempertahankan
keseimbangan keuangan dalam perusahaannya.”40
Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik benang merah
bahwa PHK terhadap pekerja berhubungan erat dengan
ekspektasi pemberi kerja terhadap pekerja dan/atau
kemampuan perusahaan membayar pekerja. Terkait kedua
hal tersebut tentu saja besar potensi dengan alasan-alasan
di atas, dapat menjadikan pemberi kerja dengan sewenang-
wenang dan sewaktu-waktu melakukan PHK, akibatnya
hal ini tentu saja akan sangat merugikan pekerja, pekerja
ibaratnya akan selalu dihantui dengan perasaan kapan saja
dapat dilakukan PHK oleh pemberi pekerja. Oleh
karenanya perlu suatu prosedur dan alasan jelas yang
membenarkan pemberi kerja dapat melakukan PHK. Pada
prinsipnya, PHK harus merupakan tindakan yang benar-
benar akhir. PHK hanya dapat dipergunakan apabila segala
upaya lain (perundingan) telah dilakukan dan pada akhirnya
tidak dapat menghasilkan kesepakatan bersama.41 Ada pun
alasan pemberi kerja untuk dibenarkan melakukan PHK
menurut UU Ketenagakerjaan yaitu:
 PHK karena perubahan status, penggabungan, peleburan
atau perubahan kepemilikan perusahaan (pasal 163);
Dalam hal adanya perubahan status, penggabungan,
peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan maka
terdapat 2 kemungkinan yaitu PHK dilakukan karena
pekerja tidak bersedia bekerja di perusahaan baru akibat
alasan di atas atau pengusaha baru tidak bersedia
mempekerjakan pekerja lama di perusahaan baru. Jika

40
Marwan Arhas, Pemutusan Hubungan Kerja, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, USU
Digital Library, 2004, halaman 3.
41
Supra Note 39, sub Bab 55.

35
pekerja tidak bersedia melanjutkan pekerjaan maka
pekerja berhak atas uang pesangon (pesangon sebesar
masa kerja upahnya ditambah 1 tahun upah, maksimal 9
bulan upah jika telah bekerja 8 hingga 9 tahun lebih42),
uang penghargaan masa kerja satu kali dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan UU
Ketenagakerjaan. 43 Sedangkan jika pengusaha yang
tidak bersedia mempekerjakan pekerja, maka pekerja
berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali sesuai
ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya ditambah
uang penghargaan masa kerja satu kali dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan.
 PHK karena perusahaan ditutup (pasal 164);
Terdapat 2 alasan mengapa perusahaan ditutup yaitu
pertama karena perusahaan mengalami kerugian selama
2 tahun terus menerus dengan bukti adanya laporan
keuangan 2 tahun terakhir oleh akuntan publik atau
karena faktor force majure. Pekerja berhak atas uang
pesangon sebesar 1 kali pesangon (pesangon sebesar
masa kerja upahnya ditambah 1 tahun upah, maksimal 9
bulan upah jika telah bekerja 8 hingga 9 tahun lebih44)
dan uang penggantian hak. Kedua karena adanya
efisiensi perusahaan, pekerja yang di PHK berhak atas
pesangon 2 kali (pesangon sebesar masa kerja upahnya
ditambah 1 tahun upah, maksimal 9 bulan upah jika telah
bekerja 8 hingga 9 tahun lebih 45 ), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 kali dan uang penggantian hak
sesuai UU Ketenagakerjaan. Mengapa ketentuan PHK

42
Lihat ketentuan pasal 156 ayat (2)
43
Lihat ketentuan pasal pasal 156 ayat (3) dan (4)
44
Lihat ketentuan pasal 156 ayat (2)
45
Lihat ketentuan pasal 156 ayat (2)

36
karena efisiensi perusahaan mengharuskan membayar
pesangon lebih besar dari pada karena pemberi kerja
merugi atau terkena force majeur? Hal ini disebabkan
karena dalam keadaan merugi dan force majuere adalah
penyebab yang tak terhindarkan sehingga apabila
semakin dipertahankan maka perusahaan tersebut akan
semakin tidak mampu membayar kompensasi bagi
pekerjanya.
 PHK karena Perusahaan Pailit (pasal 166);
Perusahaan pailit karena terlilit utang dan utang tersebut
tidak sebanding dengan penghasilan perusahaan dan aset
yang dimilikinya. Akibatnya perusahaan sebagai kreditur
mengajukan permohonan kepailitan. Pekerja yang di PHK
berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali (pesangon sebesar
masa kerja upahnya ditambah 1 tahun upah, maksimal 9
bulan upah jika telah bekerja 8 hingga 9 tahun lebih46), uang
penghargaan masa kerja satu kali dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan.47
Kembali ke alasan pengaturan dalam PP Kepelautan,
apakah dengan kapal dianggurkan atau dijual pengusaha
maka dapat membenarkan PHK pelaut? Jika mengacu ke
alasan dapat diPHKnya pekerja berdasarkan UU
Ketenagakerjaan, kapal dapat saja dianggurkan pemilik
kapal karena perusahaan ditutup. Sedangkan biasanya
alasan kapal dijual misalnya pertama, karena alasan
pemindahan kepemilikan sehingga terjadi perubahan status
pemilik kapal, kedua, karena perusahaan pailit sehingga
kapal terpaksa harus dijual untuk membayar utang ke

46
Lihat ketentuan pasal 156 ayat (2)
47
Lihat ketentuan pasal pasal 156 ayat (3) dan (4)

37
kreditor preferen 48 . Alasan-alasan tersebut dapat saja
menjadi alasan untuk melakukan PHK pekerja, namun
ketentuan ini juga dapat ditafsirkan terlalu dangkal oleh
para pengemban hukum untuk dengan sewenang-wenang
digunakan pemilik kapal melakukan PHK terhadap pelaut.
Misalnya saja seorang pemilik kapal sengaja
menganggurkan kapalnya karena merasa kapal tersebut
menghasilkan untung kecil atau pemilik kapal menjual
kapalnya karena kapal termasuk harta warisan yang akan
dibagi para ahli waris, sehingga kapal dijual dan pekerjanya
sudah tidak diperlukan oleh ahli waris. Apakah hal tersebut
dimungkinkan? Tentu saja. Hal-hal seperti ini yang
merugikan pekerja patut dihindari, oleh karenanya alasan-
alasan berdasarkan pasal 27 ayat (2) PP kepelautan harus
tetap dibatasi yaitu dianggurkan atau dijual pengusaha
karena sesuai alasan yang berlaku.
Dalam pasal 27 ayat (2) harus dilakukan penghalusan
hukum (Rechtsverfijning) oleh pengemban hukum,
penghalusan hukum adalah mempersempit lingkup berlaku
suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif). 49
Pasal 27 ayat (2) perlu dihaluskan dan hanya meliputi
menjual atau menganggurkan kapal apabila terbatas
berdasarkan alasan penafsiran sistematis peraturan
perundang-undangan lain yaitu melalui UU
Ketenagakerjaan (pasal 163-166), sehingga pekerja baru
dapat dilakukan PHK apabila kapal dianggurkan atau dijual

48
Perbedaan Kreditur Separatis dan Kreditur Konkuren. Nien Rafles Siregar,
(http://www.hukumonline.com) diakses pada 17/11/2016 pukul 19.47 WIB
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1998/perbedaan-antara-kreditur-separatis-
dengan-kreditur-konkuren
Kreditor Preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh
undang-undang diberi kedudukan istimewa.
49
Supra Note 4, Halaman 107.

38
karena adanya peleburan perusahaan atau karena
perusahaan ditutup atau karena perusahaan kapal
dinyatakan pailit. Dengan di PHKnya pelaut maka pelaut
berhak diberi pesangon oleh pemberi kerja. Pemberi kerja
tidak boleh menjual atau menganggurkan kapal dengan
tujuan tidak beritikad baik. Apa tolak ukur tidak beritikad
baik? Apabila pemberi kerja menganggurkan atau menjual
kapal dengan tujuan tidak menyebabkan lapangan
pekerjaan pekerja menghilang atau musnah. Misalnya A
menjual kapalnya dengan alasan mau memperbaharui
kapalnya. A kemudian melakukan PHK pada pekerja yang
tidak disenanginya dan setelah itu membeli kapal baru dan
mepekerjakan pelaut baru. Hal ini harus dilarang dalam PP
Kepelautan.
Apa akibat hukum apabila pemilik kapal melanggar
ketentuan ini? Dalam PP kepelautan tidak mengatur hal
tersebut, namun berdasarkan penafsiran sistematis, maka
dapat dilihat ketentuan berdasarkan pasal 52 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Apabila pemilik kapal melakukan PHK tidak sesuai dengan
ketentuan dan prosedur PHK yang ditentukan peraturan
perundang-undangan, maka pemilik kapal telah melanggar
huruf d terkait melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, oleh karenanya perjanjian kerja

39
dianggap batal demi hukum. Perjanjian tidak dapat
dilaksanakan karena melanggar Undang-Undang dan jika
muncul sengketa, sengketa harus diajukan ke pengadilan
untuk mendapatkan putusan deklaratif atas perjanjian kerja
sehingga menyebabkan perjanjian kerja menjadi batal demi
hukum. Penyelesaian seperti ini dalam hukum tenaga kerja
wajib diselesaikan dalam pengadilan hubungan industrial.
Di samping itu, selain perlu diatur alasan pemilik
kerja dapat melakukan PHK ke pekerja, pemerintah juga
harus mengakomodir prosedur yang baik sebelum
dilakukan PHK kepada pekerja, baik berupa peringatan,
pemberitahuan dan lain sebagainya. Prosedur yang
dimaksud adalah tenggang waktu pernyataan pengakhiran
(opzeggingstermijin, perious of notice) dasar-dasar untuk
memilih buruh manakah yang akan diberhentikan atau
diterima atau dihemat atau cara-cara mendapatkan
pertimbangan atau perundingan sebelum pemutusan boleh
50
dilakukan. Apa tujuan tenggang waktu pernyataan
pengakhiran hubungan kerja pekerja? Relevansinya
terhadap pekerja adalah bagaimana pemberi kerja dapat
menjamin income security pekerja. Pekerja harus diberikan
pemberitahuan sesegera mungkin sehingga pekerja dapat
mempersiapkan diri untuk setidaknya mencari pekerjaan
baru dan menginformasikan kepada keluarga atau
tanggungan pekerja bahwa telah dilakukan pemutusan
hubungan kerja. PHK juga wajib memperoleh penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Apabila tidak sesuai penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan maka PHK dinyatakan batal demi hukum.

50
Supra Note 42, halaman 4.

40
Kemudian adanya kewajiban pemilik kapal
memberikan asuransi bagi pekerjanya. Mengingat bahwa
pelaut merupakan pekerjaan yang berisiko tinggi, maka
akan menjadi suatu bentuk proteksi preventif apabila
pemilik kapal diwajibkan memberikan asuransi kepada
pekerja. Asuransi dalam hal ini dapat terdiri dari asuransi
jiwa dan/atau asuransi keamanan kerja. Asuransi untuk
pelaut adalah sebagai proteksi lapis ke dua di samping
adanya kewajiban memberikan jaminan sosial bagi pelaut.
Jika mengacu pada UU Pelayaran, asuransi diatur dalam
pasal 151 ayat (1) bahwa ada kewajiban pemilik kapal
memberikan asuransi kecelakaan kerja bagi pekerja.
Dengan demikian terdapat dua proteksi bagi pelaut, baik
lewat asuransi dan BPJS.

Jaminan pelaut lainnya yang tidak kalah penting


adalah dapat kembalinya pelaut ke tempat asalnya,
mendapat waktu cuti dan jaminan-jaminan kerja serta
pesangon apabila di PHK. Jaminan kembalinya pelaut tidak
dijelaskan lebih mendalam di PP Kepelautan.

Ada pun alasan pekerja dapat dipulangkan pemilik kapal


berdasarkan PP Kepelautan:

 Awak kapal yang habis masa kontrak kerjanya harus


dikembalikan ke tempat domisilinya atau ke pelabuhan
di tempat perjanjian kerja laut ditandatangani. (Pasal
26 ayat (1))
 Bila pelaut sakit dan dirawat di luar negeri (Pasal 28
ayat (4))
Setelah perawatan dan biaya pengobatan dilakukan,
pemilik kapal wajib menanggung biaya pemulangan
sampai ke tempat domisilinya.

41
 Jika pelaut meninggal dunia (Pasal 31)
Pengusaha angkutan di perairan wajib menanggung
biaya pemulangan dan penguburan jenazahnya ke
tempat yang dikehendaki oleh keluarga yang
bersangkutan sepanjang keadaan memungkinkan.
Bagaimana dengan pekerja yang memutuskan
hubungan kerja sendiri? Pasal 26 ayat (2) mengatur bahwa
jika awak kapal memutuskan hubungan kerja atas kehendak
sendiri, pengusaha angkutan dibebaskan dari kewajiban
pembiayaan untuk pemulangan yang bersangkutan. Pasal
ini adalah pasal yang buruk karena meninggalkan tanggung
jawab pemberi kerja terhadap pekerja. Semestinya pekerja
harus dikembalikan ke tempat asalnya minimal ke tempat
domisili pemberi kerja pertama kali merekrut pekerja, hal
ini merupakan konsekuensi dalam syarat minimum hak
pelaut dalam perjanjian kerja bahwa pelaut berhak untuk
dipulangkan apabila sudah tidak bekerja lagi terlepas dari
apapun alasannya sehingga direpatriasinya pekerja
merupakan tanggung jawab pemberi kerja.
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah terkait
penyelesaian perselisihan. Mengapa penyelesaian
perselisihan penting untuk diatur? Lalu Husni menjabarkan
pendapatnya bahwa:

“Perselisihan atau disebut pula sengketa atau dalam bahasa Inggris


disebut dengan conflict atau dispute merupakan suatu akibat yang
terjadi dari hubungan antar manusia. Menurut Ronny Hanitijo
Soemitro (1984:22) yang dimaksud dengan konflik adalah situasi
atau keadaan di mana ada dua atau lebih pihak memperjuangkan
tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan
di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai
kebenaran tujuannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial
yang selalu berinteraksi dengan dengan manusia lain, maka
merupakan suatu hal yang wajar jika dalam interaksi tersebut
terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan konflik antara satu
dengan yang lain. Karena merupakan sesuatu yang lumrah, maka
yang penting adalah bagaimana meminimalisir atau mencari

42
penyelesaian dari konflik tersebut, sehingga konflik yang terjadi
tidak menimbulkan ekses-ekses negatif. Demikian halnya dalam
bidang perburuhan/ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang
terlibat di dalamnya sudah diikat dengan perjanjian kerja namun
terjadi konflik tetap tidak dapat dihindari.”51

Perselisihan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari karena


merupakan konsekuensi dari interaksi sosial manusia oleh
karenanya untuk mengakomodir penyelesaiannya, maka
harus diatur ketentuan mengenai metode penyelesaian
perselisihan. Dalam hukum ketenagakerjaan, perselisihan
antara pekerja dan pemberi kerja disebut sebagai
perselisihan hubungan industri. Perselisihan Hubungan
Industrial menurut pasal 1 nomor 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industri (selanjutnya disingkat UU PPHI) adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan;

PP Kepelautan pada dasarnya tidak mengatur secara


spesifik penyelesaian perselisihan seperti apa yang
dimaksud, di samping itu PP Kepelautan di bagian
mengingat juga tidak mengacu terhadap UU
Ketenagakerjaan dan/atau UU PPHI. Hal ini sangat
membuktikan pemerintah dalam mengatur aspek
ketenagakerjaan pelaut dengan pola pikir yang sektoral

51
Supra Note 41, halaman 131-132.

43
tanpa menghadirkan dan melakukan koordinasi dengan
kementerian terkait dan pihak lain yang berkepentingan.

Berdasarkan UU PPHI, dalam hukum


ketenagakerjaan dikenal 4 jenis perselisihan yakni:

a. Perselisihan hak;
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak
normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
atau peraturan perundang-undangan.
b. Perselisihan kepentingan;
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang
timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah
perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam
satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan.

44
Penyelesaiannya perselisihan harus dilakukan dengan
menggunakan tata cara khusus yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.52

Pada dasarnya terdapat 4 cara penyelesaian perselisihan


yaitu:

1. Mediasi hubungan industrial, yaitu penyelesaian


perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang lebih mediator yang netral;
2. Konsiliasi hubungan industrial yaitu penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih konsiliator netral;
3. Arbitrase hubungan industrial yaitu penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di
luar pengadilan hubungan industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih
untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada
arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final;
4. Pengadilan hubungan industrial yaitu pengadilan khusus
di bawah pengadilan negeri yang berwenang memeriksa,

52
Ida Susanti, Sengketa Buruh Dan Majikan, Diktat Hukum Ketenagakerjaan Fakutas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Slide 1-2, Tidak ada tahun.

45
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial.53

Pada dasarnya apabila tejadi perselisihan pekerja dan


pemberi kerja maka pekerja dan pemberi kerja dapat
menyepakati mau menempuh jalur hukum seperti apa
sesuai dengan jenis sengketa apa yang diajukan. Bentuk
penyelesaian perselisihan bertujuan untuk melindungi hak
dari subjek hukum yang dirugikan.

2.1.3.1.3 HAK PELAUT SEBELUM BEKERJA


BERDASARKAN UU KETENAGAKERJAAN

Ketiga, berdasarkan UU Ketenagakerjaan hak


pelaut54 yang diatur antara lain:

 Pertama, sebelumnya telah dijelaskan dalam sub


bab 2.1.3.1.2 PP Kepelautan hanya mengatur
mengenai upah dan upah lembur pelaut saja.
Ketentuan upah lebih lanjut juga diatur dalam pasal
88-90 UU Ketenagakerjaan. Dalam UU
Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
kesepakatan serikat pekerja wajib mengatur
mengenai ketentuan pengupahan. Ketentuan
pengupahan ini tidak boleh diatur oleh perusahaan
lebih rendah daripada ketentuan upah minimum

53
Supra Note 54, slide 4-5.
54
Perlu diingat bahwa hak pelaut yang diatur dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003 adalah hak ketenagakerjaan yang diatur secara umum bagi pekerja,
pengaturan tersebut berlaku bagi pelaut sepanjang tidak diatur secara spesifik di UU Pelayaran
Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Tentang Kepelautan Nomor 7 Tahun 2000.

46
pemerintah. Berdasarkan kebijakan pemerintah
perusahaan setidaknya harus mengatur mengenai:
a. upah minimum
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan
kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat
kerjanya;
f. bentuk dan acara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk membayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Berikut adalah penjabaran pengaturan
mengenai pengupahan yang terdiri dari:
e. Upah minimum

Diatur dalam pasal 41-50 PP Nomor 78


Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Pengupahan
ditentukan oleh gubernur setiap provinsi baik
berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok
ditambah tunjangan tetap. Dalam penjelasan
pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa penetapan
upah minimum berfungsi sebagai jaring
pengaman (safety net) agar upah tidak dibayar
lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan
oleh pemerintah dan juga agar upah tidak
merosot sampai pada tingkat yang
membahayakan gizi pekerja/buruh sehingga
tidak mengganggu kemampuan kerja. Upah

47
minimum hanya berlaku bagi pekerja yang masa
kerjanya kurang dari 1 tahun saja dalam suatu
perusahaan. Upah bagi pekerja dengan masa 1
tahun lebih akan ditentukan berdasarkan
kesepakatan pekerja dan pemberi kerja atau
dengan peraturan perusahaan atau berdasarkan
kesepakatan dengan serikat pekerja sepanjang
tidak kurang dari upah minimum nominalnya.
Penetapan upah minimum oleh gubernur
harus dilakukan setiap tahun berdasarkan
kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi. Kebutuhan hidup layak dihitung
berdasarkan standar kebutuhan seorang
pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak
secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
Komponen kehidupan layak harus selalu dikaji
pemerintah setiap 5 tahun sekali melalui menteri
ketenagakerjaan dengan pertimbangan Dewan
Pengupahan Nasional yang memperoleh data
dari lembaga statistik yang berwenang.
Berdasarkan penjelasan pasal 44 ayat (2),
“formulasi perhitungan upah minimum
didasarkan pada ketentuan:
UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % Δ PDBt)}
- Umn : Upah minimum yang akan
ditetapkan.
- Umt : Upah minimum tahun berjalan.
- Inflasit: Inflasi yang dihitung dari periode
September tahun yang lalu sampai
dengan periode September tahun berjalan.

48
- Δ PDBt : Pertumbuhan Produk Domestik
Bruto yang dihitung dari pertumbuhan
Produk Domestik Bruto yang mencakup
periode kwartal III dan IV tahun
sebelumnya dan periode kwartal I dan II
tahun berjalan.
Formula perhitungan upah minimum adalah
upah minimum tahun berjalan ditambah dengan
hasil perkalian antara upah minimum tahun
berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi
nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan
Produk Domestik Bruto tahun berjalan.
Dalam bagian penjelasan dijabarkan
mengenai contoh perhitungannya pula
berdasarkan penjelasan pasal 44 ayat (2) yaitu:
UMt : Rp. 2.000.000,00
Inflasit : 5%
Δ PDBt : 6%
UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % Δ PDBt)}
UMn = Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00
x (5% + 6%)}
= Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x
11%}
= Rp. 2.000.000,00 + Rp. 220.000,00
= Rp. 2.220.000,00
Upah minimum tahun berjalan sebagai dasar
perhitungan upah minimum yang akan
ditetapkan dalam formula perhitungan upah
minimum, sudah berdasarkan kebutuhan
hidup layak.”

49
Selanjutnya apa saja jenis upah? Sebelumnya
telah dijelaskan pula jenis upah minimum
menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang
upah minimum, upah minimum dapat
berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP)
dalam satu provinsi, dapat pula terdapat Upah
minimum Kota/Kabupaten (UMK) oleh
gubernur atas rekomendasi bupati/walikota.
Adapun apabila upah minimum merupakan
hasil kesepakatan organisasi perusahaan
dengan serikat pekerja/serikat buruh di sektor
tertentu maka dapat diberlakukan upah
minimum sektoral provinsi (UMSP) atau upah
minimum sektoral Kabupaten/Kota (UMSK)
sepanjang tidak lebih kecil jumlahnya dari
upah minimum provinsi dan upah minimum
kabupaten/kota. Dengan demikian upah
pelaut akan ditentukan berdasarkan di mana
usaha pemilik kapal berkedudukan hukum,
maka di daerah tersebut upah minimum yang
diberlakukan bagi pelautnya selaku pekerja.
b. Upah kerja lembur
Diatur dalam pasal 33 PP Nomor 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan. Upah kerja lembur wajib
dibayar oleh pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja atau pada
istirahat mingguan atau dipekerjakan pada hari libur
resmi sebagai kompensasi kepada pekerja/buruh
yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini juga

50
telah dijabarkan dalam PP Kepelautan pasal 21 ayat
(1) dinyatakan bahwa “Jam kerja bagi awak kapal
ditetapkan 8 (delapan) jam setiap hari dengan 1 (satu)
hari libur setiap minggu dan hari-hari libur resmi.
Untuk perhitungan jam kerja bagi awak kapal
ditetapkan 44 (empat puluh empat) jam setiap
minggu.” Apabila terdapat kelebihan jam kerja maka
dianggap sebagai lembur dan berhak mendapat upah
lembur. Sedangkan untuk waktu istirahat, setiap
awak kapal harus diberikan waktu istirahat paling
sedikit 10 jam dalam jangka waktu 24 jam yang
dapat dibagi 2 periode, yang salah satu diantaranya
tidak kurang dari 6 (enam) jam kecuali dalam
keadaan darurat. Dalam hal apabila ada pelaksanaan
tugas darurat demi keselamatan berlayar dan muatan
termasuk latihan-latihan di kapal atau untuk
memberikan pertolongan dalam bahaya sesuai
peraturan keselamatan pelayaran maka tidak dihitung
lembur.
c. Upah tidak masuk keja karena berhalangan

Pada dasarnya seluruh peraturan perundang-


undangan tentang tenaga kerja Indonesia menganut
prinsip no work no pay, tidak ada pekerjaan maka
tidak ada upah pembayaran. Pasal 24 ayat (2)
menyatakan pekerja/buruh yang tidak masuk kerja
dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan
berhalangan maka upahnya tetap dibayar.
Berhalangan dalam hal ini memiliki ketentuan
limitatif yang diatur dalam pasal 24 ayat (3). Pasal 24
ayat (3) menyatakan “alasan Pekerja/Buruh tidak
masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan

51
karena berhalangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a meliputi:

a. Pekerja/Buruh sakit sehingga tidak dapat


melakukan pekerjaan;
Ada pun apabila sakit untuk 4 bulan
pertama, pekerja tetap dibayar 100% dari
upah, untuk 4 bulan kedua 75% dan 4 bulan
ketiga 50% dan bulan selanjutnya 25%
sebelum pemutusan hubungan kerja oleh
pengusaha.
b. Pekerja/Buruh perempuan yang sakit pada
hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
Untuk pekerja yang memasuki masa haid
hanya akan dibayar penuh apabila paling
lama 2 hari untuk masa haid hari pertama
dan hari kedua.
c. Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja
karena:
1) Menikah;

Pekerja/Buruh menikah, dibayar


penuh selama menghabiskan
maksimal 3 (tiga) hari;

2) Menikahkan anaknya;

Menikahkan anaknya, dibayar penuh


selama menghabiskan maksimal 2
(dua) hari;

3) Mengkhitankan anaknya;

52
Mengkhitankan anaknya, dibayar
penuh selama menghabiskan
maksimal 2 (dua) hari;

4) Membaptiskan anaknya;

Membaptiskan anaknya, dibayar


penuh selama menghabiskan
maksimal 2 (dua) hari;

5) Istri melahirkan atau keguguran


kandungan;

Istri melahirkan atau keguguran


kandungan, dibayar penuh selama
menghabiskan maksimal 2 (dua) hari;

6) Suami, istri, orang tua, mertua, anak,


dan/atau menantu meninggal dunia;
atau

Suami, istri, orang tua, mertua, anak,


dan/atau menantu meninggal dunia,
dibayar penuh selama menghabiskan
maksimal 2 (dua) hari.

7) Anggota keluarga selain


sebagaimana dimaksud pada angka 6)
yang tinggal dalam satu rumah
meninggal dunia.”
Anggota keluarga selain angka 6
yang tinggal dalam 1 (satu) rumah
meninggal dunia, dibayar penuh
selama menghabiskan maksimal 1
(satu) hari.

53
Ketentuan selanjutnya adalah
berdasarkan pasal 25 menyatakan
“Pengusaha wajib membayar Upah apabila
Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan
yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri
atau kendala yang seharusnya dapat dihindari
Pengusaha.” Apa maksud dari pasal ini?
Dalam penjelasannya dijabarkan bahwa
misalnya apabila pekerja diperintahkan untuk
membongkar muatan kapal namun kapal
tersebut ternyata tidak kunjung datang, maka
pengusaha harus membayar upah pekerja.
Hal ini memberikan proteksi bagi pekerja
supaya diberikan kepastian untuk tetap
mendapatkan upah walaupun dalam keadaan
tidak bekerja, mengingat keadaan tidak
bekerja tersebut terjadi karena kesalahan dari
pemberi kerja. Pekerja juga mendapatkan
perlindungan dari ketidakpastian melakukan
pekerjaan yang seharusnya dapat diantisipasi
pengusaha.
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan
kegiatan lain di luar pekerjaannya;

Pasal 24 ayat (2) menyatakan pekerja/buruh yang


tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan
pekerjaan karena alasan melakukan kegiatan lain
di luar pekerjaannya maka upahnya tetap dibayar.
Alasan melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya berlaku secara limitatif
berdasarkan pasal 24 ayat (4) yaitu “alasan

54
Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak
melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan
lain di luar pekerjaannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b meliputi:

1) Menjalankan kewajiban terhadap negara;

Apabila kewajiban terhadap negara


tidak lebih dari 1 tahun maka pemberi kerja
wajib membayar upah pekerja apabila yang
diberikan oleh negara kurang dari upahnya
saat bekerja. Hal ini harus dibuktikan oleh
pekerja dengan keterangan tertulis dari
instansi pemerintah. Sebenarnya ketentuan
ini tidak adil bagi pemberi kerja berhubung
ketika menjalankan kewajiban terhadap
negara misalnya menjadi delegasi di luar
negeri sebagai duta pekerja atau hal-hal
serupa, semestinya pekerja pasti dibayar
oleh negara. Mengingat bahwa dalam
penjelasannya tidak dijabarkan lebih lanjut
mengapa pemberi kerja harus membayar,
kemungkinan besar konsekuensi logisnya
adalah upah tersebut untuk memastikan
pekerja akan kembali ke tempat kerjanya
terdahulu dan juga sebagai bentuk dorongan
moral bagi pekerja bahwa pemberi kerja
mendukung peran pekerja dalam
menjalankan kewajiban terhadap negara
(bentuk sokongan moral berupa finansial
sebagai bentuk membela negara).

55
2) Menjalankan kewajiban ibadah yang
diperintahkan agamanya;

Ketentuan ini hanya berlaku berdasarkan


pasal 28, bahwa pemberi kerja akan
memberikan upah penuh selama kali
pertama saja bagi pekerja tidak dapat bekerja
karena menjalankan kewajiban ibadah.
Dalam penjelasan PP Pengupahan tidak
dijelaskan lebih rinci namun dapat
dimengerti bahwa ketentuan ini merupakan
pelaksana dari pasal 28 E ayat (1) UUD 1945
bahwa setiap orang berhak untuk memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya,
beribadat dalam hal ini juga termasuk
menjalankan ritual atau kewajiban
ibadahnya, sehingga ketentuan ini
mengindikasikan adanya toleransi terhadap
penghormatan agama pekerja.

3) Melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat


buruh atas persetujuan pengusaha dan dapat
dibuktikan dengan adanya pemberitahuan
tertulis;

Pengusaha wajib memberikan upah


penuh kepada pekerja walaupun pekerja
tidak dapat hadir karena melaksanakan tugas
serikat pekerja/serikat buruh. Ketentuan ini
adalah bentuk penghormatan terhadap
demokrasi pekerja untuk berkontribusi
dalam memperjuangkan haknya selaku
pekerja, selama pelaksanaan tugas tersebut

56
digunakan dengan waktu yang rasional maka
tentunya tidak masalah bagi pengusaha.
Dalam PP Pengupahan tidak mengatur
maksimal hari yang dimaksud, sebaiknya hal
tersebut diatur untuk mencegah pekerja yang
memanfaatkan celah hukum ini untuk tidak
bekerja dan ikut-ikutan mendemo saja
misalnya. Hal ini juga sebagai bentuk
pembatasan demokrasi yang seluas-luasnya,
mengingat bahwa negara Indonesia
menganut demokrasi hukum, seperti yang
tertuang dalam pasal 28J ayat (2) bahwa
“dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat
demokratis.” Bahwa adanya kebebasan
berdemokrasi tetap harus menaati dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
ada maka menjadi konsekuensi yang logis
untuk membatasi hak pekerja dalam
melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat
buruh dalam rentang waktu tertentu supaya
menjalankan tugasnya dengan baik selaku

57
pekerja sekaligus dapat mengaspirasikan
hak berdemokrasinya dalam serikat pekerja.

4) Melaksanakan tugas pendidikan dari


perusahaan;

Dalam hal pekerja menempuh pendidikan


yang diberikan oleh perusahaan, maka sudah
menjadi kewajiban perusahaan untuk
membiayai pekerja baik berupa biaya
pendidikan dan biaya hidupya berupa upah
kerjanya. Upah tersebut memastikan bahwa
pekerja dapat memberikan bantuan finansial
kepada keluarga atau tanggungannya selain
dirinya sendiri. Tujuan dari upah tidak hanya
untuk mencapai kehidupan yang layak,
namun begitu pula untuk menghidupi orang
lain. Oleh karenanya selama pekerja
menempuh pendidikan dari perusahaan,
pekerja tetap harus diberi upah supaya
bantuan finansial yang diberikan kepada
orang lain tidak berakhir begitu saja dan
keluarga dan/atau tanggungan pekerja tetap
dapat menghidupi dirinya.

e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat


kerjanya;
Pasal 24 ayat (2) menyatakan
“pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau
tidak melakukan pekerjaan karena alasan
menjalankan hak waktu istirahat kerjanya maka
upahnya tetap dibayar. Alasan menjalankan hak

58
waktu istirahat kerjanya berlaku secara limitatif
berdasarkan pasal 24 ayat (5) yaitu:

a. hak istirahat mingguan;

b. cuti tahunan;

c. istirahat panjang;

d. cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau

e. cuti keguguran kandungan.”


Pasal 31 menyatakan “Pengusaha wajib
membayar upah kepada pekerja/buruh yang tidak
masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan
karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (5),
sebesar upah yang biasa diterima oleh
pekerja/buruh.” Sebelumnya telah dijelaskan
mengenai jenis waktu istirahat kerja, hak istirahat
mingguan adalah hak yang diberikan UU bahwa
waktu kerja pekerja dibatasi lima atau enam hari
kerja sehingga pekerja wajib mendapatkan hak
istirahat mingguannya begitu pula untuk cuti
tahunan. Sedangkan untuk istirahat panjang adalah
bentuk apresiasi bagi pekerja yang mengabdi
selama 6 tahun maka di tahun ke tujuh dan delapan
ia berhak cuti 1 bulan setiap tahunnya dan berlaku
untuk selanjutnya dengan kelipatan 6 tahun. Cuti
sebelum dan sesudah melahirkan adalah bentuk
penghormatan terhadap pekerja perempuan yang
wajib menjalankan kewajibannya sebagai ibu untuk
melahirkan dan merawat anaknya dengan baik.
Sedangkan cuti keguguran kandungan adalah hak
pekerja untuk diberikan ruang waktu berkabung dan

59
menenangkan diri setelah mengalami keguguran
kandungan. Untuk rentang waktunya dapat dilihat di
penjelasan sebelumnya.
f. Bentuk dan cara pembayaran upah;
Berdasarkan PP Pengupahan cara
pembayaran upah diatur daalam pasal 17-22. Upah
wajib dibayarkan kepada pekerja langsung kecuali
apabila diwakilkan maka harus ada surat kuasa dari
pekerja. Surat kuasa hanya berlaku bagi 1 kali
pembayaran upah. Hal ini untuk menjamin legalitas
penerima upah setiap kali mengambil upah pekerja.
Pasal 18 mengatur pengusaha wajib membayar upah
pada waktu yang diperjanjikan, jika jatuh pada hari
libur maka ditentukan berdasarkan kesepakatan
dengan pemberi kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Upah dapat diberikan paling cepat secara
mingguan dan paling lambat bulanan kecuali
perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu
minggu. Hal ini untuk menjamin adanya kewajiban
pemberi kerja untuk segera membayar upah pekerja
dan tidak menunggaknya lebih dari 1 bulan.
Pembayaran upah harus dibayarkan
seluruhnya, tidak boleh kurang dari nominal yang
telah disepakati dan dalam bentuk uang rupiah
Republik Indonesia. Pembayaran dilakukan sesuai
dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama. Dalam hal tempat
pembayaran tidak diatur maka diberikan langsung
di tempat pekerja biasanya bekerja. Upah dalam PP
Pengupahan diberikan opsi baik melalui bank atau

60
tunai, apabila melalui transfer bank, maka di hari
jatuh tempo upah diberikan sudah harus dapat
diambil oleh pekerja. Secara keseluruhan pasal 17-
22 PP Pengupahan bertujuan supaya terdapat
kepastian pekerja memperoleh upahnya tepat waktu
dan diterima baik secara tunai atau melalui transfer
bank dengan dibayar secara penuh.
g. Denda dan potongan upah;
Denda dan potongan upah diatur dalam pasal 53-
58 PP Pengupahan. Denda dapat berlaku bagi
pekerja apabila diatur secara tegas dalam Perjanjian
Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja
Bersama bahwa pekerja dikategorikan telah lalai
atau sengaja terhadap pekerjaanya sehingga
melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja
Bersama. Jenis-jenis pelanggaran yang dapat
dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan
uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Denda juga berlaku bagi pemberi kerja atau
pengusaha apabila terlambat membayar upah, dari
hari keempat hingga hari kedelapan terhitung
tanggal seharusnya upah dibayar maka dikenakan
denda 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah
yang seharusnya. Setelah hari kedelapan apabila
belum kunjung dibayar maka ditambah 1% untuk
setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 bulan
tidak boleh melebihi 50% dari upah yang
seharusnya dibayarkan. Apabila melewati 1 bulan
dikenakan denda 5% ditambah 1% yang tidak

61
melebihi 50% upah ditambah bunga sebesar suku
bunga yang berlaku pada bank pemerintah. Dengan
adanya ketentuan denda ini bermaksud untuk
memastikan adanya resiko jika pemberi kerja tidak
segera membayar upah pekerja dan pengenaan
denda dimaksud tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha untuk tetap membayar upah kepada
pekerja.
Apabila pengusaha terlambat membayar
tunjangan hari raya yang wajib diberikan kepada
setiap pekerja maka akan dikenakan denda 5% dari
total tunjangan hari raya keagamaan. Keterlambatan
yang dimaksud adalah sesuai UU Ketenagakerjaan
bahwa tunjangan hari raya maksimal diberikan
paling lambat 1 minggu sebelum hari raya.
Untuk ketentuan pemotongan upah diatur dalam
pasal 57 dan 58. Ayat (1) menyatakan pemotongan
upah oleh pengusaha dapat dilakukan untuk denda,
ganti rugi dan/atau uang muka upah. Ketentuan
tersebut harus diatur sesuai dengan Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Peraturan Kerja
Bersama. Pemotongan upah oleh pengusaha untuk
pihak ketiga yang mengambil upah hanya dapat
dilakukan apabila ada surat kuasa dari
Pekerja/Buruh. Pemotongan upah tidak termasuk
semua kewajiban pembayaran oleh pekerja/buruh
terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada
suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial
yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hal ini sebagai bentuk
jaminan bahwa walaupun upah pekerja dipotong

62
namun jaminan sosial pekerja yang diterima tetap
berjalan.
Alasan pemotongan upah oleh pengusaha dapat
dilakukan dalam hal:
1. Pembayaran hutang atau cicilan hutang
pekerja
2. Sewa rumah dan/atau sewa barang-barang
milik Perusahaan yang disewakan oleh
Pengusaha kepada Pekerja/Buruh berdasarkan
kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.
Pemotongan upah dapat juga karena adanya
kelebihan pemberian upah, terhadap hal ini dapat
dilakukan pemberi kerja tanpa persetujuan pekerja.
Jumlah maksimal pemotongan upah setiap
kali pekerja menerima upah maksimal hanya 50%
dari setiap pembayaran upah pekerja. Ketentuan ini
menjamin supaya pekerja tetap mendapatkan upah
walaupun terjadi pemotongan upah.
h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
Diatur dalam pasal 51 ayat (1) dan (2) yang terdiri
dari denda, ganti rugi, pemotongan upah untuk
pihak ketiga, uang muka upah, sewa rumah dan/atau
sewa barang-barang milik perusahaan yang
disewakan oleh pengusaha kepada pekerja, hutang
atau cicilan kepada pengusaha dan/atau kelebihan
pembayaran upah. Semua ketentuan tersebut harus
dilaksanakan dan dijabarkan sesuai dengan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
i. Struktur dan Skala Pengupahan yang Proporsional;

63
Struktur upah adalah susunan tingkat upah
(dari yang terendah sampai yang tertinggi atau
sebaliknya dari yang tertinggi sampai yang
terendah). Sedangkan skala upah adalah kisaran
nilai nominal upah menurut kelompok jabatan
(pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 49/Men/IV/2004 tentang
Struktur dan Skala Upah (Selanjutnya disingkat
Kepmen 49).55
Penyusunan struktur dan skala upah dilaksanakan
melalui :
1. Analisa jabatan;
Analisa jabatan harus dapat menghasilakan
uraian jabatan dalam organisasi perusahaaan
yang meliputi :
a. identifikasi jabatan;
b. ringkasan tugas;
c. rincian tugas;
d. spesifikasi jabatan termasuk didalamnya :
d.1. pendidikan;
d.2. pelatihan/kursus;
d.3. pengalaman kerja;
d.4. psikologi (bakat kerja, tempramen
kerja dan minat kerja);
d.5. masa kerja;
e. hasil kerja;
f. tanggung jawab.

55
Umar Kasim, Struktur dan Skala Upah, (http://www.hukumonline.com), 23 Februari 2010, Diakses
pada 31/10/2016 pukul 02.20 WIB, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6087/struktur-
dan-skala-upah

64
2. Uraian jabatan (Dihasilkan melalui analisa
jabatan);
3. Evaluasi jabatan;

Evaluasi jabatan berfungsi untuk mengukur


dan menilai jabatan yang tertulis dalam uraian
jabatan dengan metoda tertentu. Ada pun
faktor-faktor yang diukur dan dinilai dalam
evaluasi jabatan antara lain:

a. tanggung jawab;
b. andil jabatan terhadap perusahaan;
c. resiko jabatan;
d. tingkat kesulitan jabatan;
Hasil evaluasi jabatan digunakan untuk:
i. penetapan upah;
ii. penilaian pekerjaan;
iii.Penetapan kebijakan pengembangan
sumber daya manusia perusahaan.

Dalam melakukan analisa, uraian dan evaluasi


jabatan diperlukan data/informasi:
a. bidang usaha dari perusahaan yang
bersangkutan;
b. tingkat teknologi yang digunakan;
c. struktur organisasi;
d. manajemen perusahaan.

Penyusunan skala upah dapat dilakukan


melalui :
a. Skala tunggal;

65
Dalam skala tunggal setiap jabatan
pada golongan jabatan yang sama
mempunyai upah yang sama.
b. Skala ganda.
Upah tertinggi pada golongan jabatan
dibawahnya lebih kecil dari upah
terendah pada golongan jabatan di
atasnya.

Berdasarkan Kepmen 49, dapat disimpulkan


dari ketentuan di atas, penyusunan struktur dan
skala upah dilakukan dengan memperhatikan
golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan
kompetensi dan mempertimbangkan kondisi
perusahaan.
j. Upah untuk pembayaran pesangon;
Diatur dalam pasal 34 dan 35 PP Pengupahan
bahwa komponen upah yang digunakan sebagai
dasar perhitungan uang pesangon terdiri atas:
1. Upah pokok; dan

2. Tunjangan tetap yang diberikan kepada


pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk
harga pembelian dari jatah yang diberikan
kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma,
yang apabila jatah tersebut harus dibayar
pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai
upah dianggap selisih antara harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh
pekerja/buruh.

Apabila upah pekerja tanpa tunjangan maka


pesangon dihitung berdasarkan upah pekerja.

66
Apabila upah dihitung per hari maka penghaslan
sebulan adalah sama dengan 30 hari kali
penghasilan sehari, sedangkan apabila upah
pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan
satuan hasil, maka potongan/borongan atau komisi,
penghasilan seharinya adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas)
bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh
kurang dari ketentuan upah minimum provinsi
atau kabupaten/kota atau jika pekerjaan tergantung
pada keadaan cuaca dan upahnya berupa upah
borongan, maka perhitungan upah sebulan
dihitung dari upah rata-rata 12 bulan terakhir.
Ketentuan ini menjamin diterimanya upah terakhir
bagi pekerja setelah pekerja berhenti bekerja
karena berakhirnya masa kerja atau dilakukan
pemutusan hubungan kerja. Uang pesangon sering
kali disebut sebagai bentuk uang penghargaan
masa kerja pekerja dan uang penggantian
hak pekerja.

k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.


Diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai (3). Upah
untuk perhitungan pajak penghasilan yang
dibayarkan untuk pajak penghasilan dihitung dari
seluruh penghasilan yang diterima oleh
pekerja/buruh. Pajak penghasilan dapat
dibebankan kepada pengusaha atau pekerja/buruh
jika diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Ketentuan ini bermaksud agar pekerja dan pemberi
kerja taat pajak dan menjalankan kewajibannya

67
untuk berkontribusi kepada negara melalui
pembayaran pajak.

 Kedua, pasal 99 ayat (1) menyatakan “setiap


pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.” Ayat (2)
menyatakan “Jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Dalam sub bab 2.1.3.1 dan 2.1.3.2
sebelumnya telah dijabarkan bahwa UU Pelayaran
dan PP Kepelautan tidak mengatur mengenai adanya
jaminan sosial spesifik bagi pelaut, untuk itu
semestinya ketentuan ini juga berlaku mengingat
pelaut juga merupakan pekerja.
Jaminan sosial tenaga kerja (workers’ social
security) adalah suatu bentuk perlindungan yang
diberikan kepada pekerja dan keluarganya terhadap
berbagai risiko pasar tenaga kerja (labor market
risks), misalnya: risiko kehilangan pekerjaan,
penurunan upah, kecelakaan kerja, sakit, cacat, lanjut
usia, meninggal dunia, dan lain-lain. Jaminan sosial
tenaga kerja merupakan bagian dari sistem
perlindungan sosial (social protection) yang
memberikan perlindungan tidak hanya kepada
mereka yang bekerja saja, tetapi juga kepada seluruh
masyarakat.56 Jaminan sosial sekarang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang

56
Daniel Perwira, dkk, SMERU Kertas Kerja, Perlindungan Tenaga Kerja Melalui Sistem Jaminan
Sosial: Pengalaman Indonesia, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta, 2003, Halaman 1.

68
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya
disingkat UU BPJS).
Pasal 1 angka 2 UU BPJS mendefinisikan
“Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.” Peserta dari BPJS adalah setiap orang
termasuk pekerja asing yang bekerja paling singkat 6
bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. BPJS
dibagi menjadi 2 yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Mengingat akan dibahas mengenai
ketenagakerjaan maritim maka akan dibahas secara
spesifik mengenai BPJS Ketenagakerjaan. Seluruh
pemberi kerja memiliki kewajiban secara bertahap
untuk mendaftarkan dirinya dan pekerja sebagai
peserta BPJS sesuai dengan program jaminan sosial
yang diikuti. Pasal 6 ayat (2) membagi BPJS
Ketenagakerjaan menjadi 4, yaitu:
a. Jaminan kecelakaan kerja;
Jaminan kecelakaan kerja diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
(selanjutnya disingkat PP JKK dan JKM),
dalam pasal 1 Angka 1 dan angka 6
mendefinisikan jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian dan kecelakaan kerja.
Jaminan Kecelakaan Kerja (yang selanjutnya
disingkat JKK) adalah manfaat berupa uang
tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang
diberikan pada saat peserta mengalami

69
kecelakaan kerja atau penyakit yang
disebabkan oleh lingkungan kerja. Dalam pasal
3 menyebutkan bahwa “Hak atas JKK dan JKM
tidak dapat dipindahtangankan, digadaikan,
atau disita sebagai pelaksana putusan
pengadilan.” Ketentuan ini menunjukkan
bahwa jaminan sosial yang telah terdaftar tidak
dapat dipindahkan atau dihilangkan dalam
keadaan apapun, hal ini artinya jaminan sosial
benar-benar menjamin perlindungan bagi
pekerja dalam kondisi apapun dan tidak boleh
dikesampingkan oleh pemberi kerja. Kemudian
iuran JKK merupakan kewajiban pemberi kerja
untuk membayar baik untuk dirinya sendiri dan
pekerjanya.
Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa
peserta program JKK dan JKM terdiri dari:
a) Peserta penerima upah yang bekerja pada
Pemberi kerja selain penyelenggara negara;
dan
b) Peserta bukan penerima upah.
Ayat (2) menyatakan “Peserta penerima
upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a) Pekerja pada perusahaan;
b) Pekerja pada orang perseorangan; dan
c) Orang asing yang bekerja di Indonesia
paling singkat 6 (enam) bulan.
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan “Pemberi
Kerja selain penyelenggara negara dalam
mendaftarkan dirinya dan seluruh

70
pekerjaanya wajib menyerahkan formulir
pendaftaran yang telah diisi secara lengkap
yang meliputi data dirinya dan data pekerja
beserta anggota keluarganya kepada BPJS
Ketenagakerjaan, paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak formulir pendaftaran
diterima dari BPJS Ketenagakerjaan.” Pasal
ini mengindikasikan bahwa yang
mendaftarkan BPJS harus pemberi kerja,
termasuk untuk mendaftarkan dirinya
sendiri dan pekerjanya. Hal ini sangat wajar
mengingat bahwa tanggung jawab pekerja
ada di tangan pemberi kerja.

Pasal 16 ayat (1) menyebutkan “Iuran JKK


bagi peserta penerima upah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 ayat (2),
dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok
tingkat risiko lingkungan kerja, meliputi:
a) Tingkat risiko sangat rendah : 0,24%
(nol koma dua puluh empat persen)
dari upah sebulan;
b) Tingkat risiko rendah : 0,54% (nol
koma lima puluh empat persen) dari
upah sebulan;
c) Tingkat risiko sedang : 0,89% (nol
koma delapan puluh sembilan persen)
dari upah sebulan;
d) Tingkat risiko tinggi : 1,27% (satu
koma dua puluh tujuh persen) dari
upah sebulan; dan

71
e) Tingkat risiko sangat tinggi : 1,74%
(satu koma tujuh puluh empat persen)
dari upah sebulan.”
Berdasarkan lampiran PP JKK dan JPM,
untuk pekerja sektor pengangkutan barang
dan penumpang laut tergolong dalam
kelompok V yaitu tingkat lingkungan kerja
dengan risiko sangat tinggi. Hal ini tentu
berdasar mengingat bahwa lingkungan
kerja pelaut hanya terbatas di atas kapal
saat berlayar. Saat berlayar ada begitu
banyak rintagan yang dihadapi termasuk
perubahan cuaca dan kondisi laut dengan
rintangan tubrukan karang laut dan lain
sebagainya apabila tidak hati-hati, oleh
karena itu pelaut memiliki risiko sangat
tinggi dalam pekerjaannya dan tanggung
jawab yang sangat besar baik terhadap
kapal, penumpang dan muatan di dalamnya.
a) Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan
medis yang meliputi:
1. Pemeriksaan dasar dan penunjang;
2. Perawatan tingkat pertama dan
lanjutan;
3. Rawat inap kelas i rumah sakit
pemerintah, rumah sakit
pemerintah daerah, atau rumah
sakit swasta yang setara;
4. Perawatan intensif;
5. Penunjang diagnostik;
6. Pengobatan;

72
7. Pelayanan khusus;
8. Alat kesehatan dan implan;
9. Jasa dokter/medis;
10. Operasi;
11. Transfusi darah; dan/atau
12. Rehabilitasi medik.
b) santunan berupa uang meliputi:
1. Penggantian biaya pengangkutan
peserta yang mengalami
kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja, ke rumah sakit
dan/atau ke rumahnya, termasuk
biaya pertolongan pertama pada
kecelakaan;
2. Santunan sementara tidak mampu
bekerja;
3. Santunan cacat sebagian anatomis,
cacat sebagian fungsi, dan cacat
total tetap;
4. Santunan kematian dan biaya
pemakaman;
5. Santunan berkala yang
dibayarkan sekaligus apabila
peserta meninggal dunia atau
cacat total tetap akibat kecelakaan
kerja atau penyakit akibat kerja;
6. Biaya rehabilitasi berupa
penggantian alat bantu (orthose)
dan/atau alat pengganti (prothese);
7. Penggantian biaya gigi tiruan;
dan/atau

73
8. Beasiswa pendidikan anak bagi
setiap Peserta yang meninggal
dunia atau cacat total tetap akibat
kecelakaan kerja.
b. Jaminan hari tua;
Jaminan hari tua diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua j.o.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Hari Tua (selanjutnya
disingkat PP JHT). JHT dalam pasal 1 angka 1
PP JHT didefinisikan sebagai “JHT adalah
manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus
pada saat peserta memasuki usia pensiun,
meninggal dunia, atau mengalami cacat total
tetap.”

Peserta JHT berlaku bagi pemberi kerja, pekerja


Indonesia dan pekerja asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia dan telah
membayar iuran. Untuk pekerja dan pemberi
kerja adalah kewajiban untuk menjadi peserta
sedangkan pekerja asing adalah opsional.

Pasal 4 ayat 1 dan 2 PP JHT menyebutkan


bahwa:

(1) Peserta program JHT terdiri atas:

a. Peserta penerima upah yang


bekerja pada pemberi kerja

74
selain penyelenggara negara;
dan

b. Peserta bukan penerima upah.

(2) Peserta penerima upah yang bekerja


pada pemberi kerja selain
penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:

a. Pekerja pada perusahaan;

b. Pekerja pada orang


perseorangan; dan

c. Orang asing yang bekerja di


Indonesia paling singkat 6
(enam) bulan.

Iuran JHT bagi peserta penerima upah


yang bekerja pada pemberi kerja selain
penyelenggara negara sebesar 5,7%
dari upah, dengan ketentuan:

a. 2% (dua persen) ditanggung


oleh pekerja; dan

b. 3,7% (tiga koma tujuh persen)


ditanggung oleh pemberi kerja.

Semua perhitungan persentase di


atas berdasarkan upah per bulan.
Bagaimana jika pembayaran upah
berdasarkan harian? Atau upah
diberikan dengan cara borongan?
Pasal 17 ayat (3), (4) dan (5)
menyebutkan bahwa apabila upah

75
dibayarkan secara harian, upah
sebulan sebagai dasar pembayaran
iuran JHT akan dihitung dari upah
sehari dikalikan 25 (dua puluh lima
hari kerja dalam 1 bulan). Apabila
upah dibayarkan secara borongan atau
satuan hasil, upah sebulan sebagai
dasar pembayaran Iuran JHT dihitung
dari upah rata-rata 3 (tiga) bulan
terakhir. Sedangkan apabila pekerjaan
tergantung pada keadaan cuaca yang
upahnya didasarkan pada upah
borongan, Upah sebulan sebagai dasar
pembayaran iuran JHT dihitung dari
Upah rata-rata 12 (dua belas) bulan
terakhir.

Apa saja manfaat dari JHT? Manfaat


JHT adalah berupa uang tunai yang
dibayarkan apabila peserta berusia 56
(lima puluh enam) tahun, meninggal
dunia, atau mengalami cacat total
tetap. Besarnya manfaat JHT adalah
sebesar nilai akumulasi seluruh iuran
yang telah disetor ditambah hasil
pengembangannya yang tercatat
dalam rekening perorangan peserta
dan dibayar sekaligus. Dengan
demikian JHT wajib dibayarkan
kepada peserta apabila:

76
a. Peserta mencapai usia pensiun 
diberikan ke peserta;

b. Peserta mengalami cacat total


tetap  diberikan kepada peserta;
atau

c. Peserta meninggal dunia 


diberikan kepada ahli waris.

Jika peserta masih bekerja pada


usia pensiun dan memilih untuk
menunda menerima pembayaran
manfaat JHT pada usia 56 (lima
enam) tahun serta tetap menjadi
peserta dan membayar iuran,
pembayaran manfaat JHT dapat
dilakukan pada saat peserta berhenti
bekerja.
c. Jaminan pensiun
Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
45 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Pensiun (selanjutnya disingkat PP Pensiun).
Pasal 1 PP Pensiun mendefinisikan “Jaminan
pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan
untuk mempertahankan derajat kehidupan yang
layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan
memberikan penghasilan setelah peserta
memasuki usia pensiun, mengalami cacat total
tetap, atau meninggal dunia.”

Kepesertaan pada program Jaminan Pensiun


akan mulai berlaku sejak pekerja terdaftar di
BPJS dan iuran pertama telah dibayarkan dan

77
disetor oleh pemberi kerja (tidak termasuk
penyelenggara negara) kepada BPJS
Ketenagakerjaan. Pasal 4 PP Pensiun bersifat
mandatory, dalam ayat (1) disebutkan bahwa
“Pemberi Kerja selain penyelenggara negara
wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya kepada
BPJS Ketenagakerjaan sebagai peserta sesuai
penahapan kepesertaan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.” Adapun batas
waktu maksmimalnya adalah 30 hari terhitung
sejak tanggal pekerja mulai bekerja. Jika tidak
didaftarkan oleh pemberi kerja maka pekerja
berhak untuk mendaftarkan dirinya sendiri ke
BPJS.

Penerima manfaat pensiun terdiri atas:

a. Peserta;
b. 1 (satu) orang istri atau suami yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;

c. Paling banyak 2 (dua) orang anak; atau

Anak hanya ditanggung 2 orang sejalan


dengan program keluarga berencana
pemerintah yang menganjurkan pasangan
memiliki 2 anak saja. Dengan hanya
mengakomodir 2 anak saja diharapkan
pasangan pekerja mempertimbangkan
masa depan bahwa hanya 2 anaknya saja
yang akan dibiayai.
Anak dalam hal ini juga termasuk anak
yang lahir paling lama 300 (tiga ratus)

78
hari setelah terputusnya hubungan
pernikahan istri atau suami yang telah
terdaftar dinyatakan sah atau setelah
pekerja meninggal dunia maka dapat
didaftarkan sebagai penerima manfaat
pensiun.
d. 1 (satu) orang tua
Mengapa hanya 1 orang tua saja yang
menjadi tanggungan? Tidak jelas apa
pertimbangan pemerintah. Besar
kemungkinan pemerintah berasumsi di
usia 57 tahun pensiun pekerja maka
setidaknya orang tua pekerja akan kisaran
80an tahun sehingga kecil kemungkinan
masih hidup keduanya. Namun tidak
menutup kemungkinan pula apabila
semakin baik taraf hidup masyrakat
Indonesia maka angka harapan hidup
tinggi. Semestinya pengaturan ini tidak
memberikan perlakuan yang berbeda
terhadap orang tua pekerja yang pensiun.
Jaminan pensiun pada awalnya berlaku
bagi pekerja usia pensiun 56 tahun,
namun mulai 1 Januari 2019 angka usia
pensiun menjadi 57 tahun. Usia Pensiun
bertambah 1 tahun untuk setiap 3 tahun
berikutnya sampai mencapai Usia
pensiun 65 tahun. Mengapa terdapat
kebijakan yang demikian? Pemerintah
terlihat di sini berusaha supaya para
pekerja dan pemberi kerja mau

79
mendaftarkan pekerjanya sesegera
mungkin saat dikeluarkannya PP ini.
Semakin cepat mendaftar maka semakin
cepat pekerja menerima manfaat pensiun
sebelum usia pensiun menjadi 65 tahun.
Jika peserta telah memasuki usia pensiun
tetapi masih memilih bekerja maka ia
dapat memilih menerima manfaat
pensiun pada usia 65 tahun atau pada saat
berhenti kerja maksmial 3 tahun setelah
usia pensiunnya.
Lantas berapa besar manfaat pensiun
yang akan diterima peserta? Manfaat
pensiun hari tua diterima peserta yang
telah mencapai usia pensiun dan telah
memiliki masa iur paling singkat 15 (lima
belas) tahun yang setara dengan 180
(seratus delapan puluh) bulan, sedangkan
jika peserta telah mencapai usia pensiun
sebelum memenuhi masa iur 15 (lima
belas) tahun maka peserta berhak
mendapatkan seluruh akumulasi iurannya
ditambah hasil pengembangannya.
Berdasarkan pasal 28 ayat (1) hingga
(3), iuran jaminan pensiun wajib
dibayarkan setiap bulan sebesar 3% (tiga
persen) dari upah per bulan dengan batas
paling tinggi upah yang digunakan
sebagai dasar perhitungan iuran jaminan
pensiun tahun 2015 sebesar Rp 7.000.000.
Iuran tersebut wajib ditanggung bersama

80
oleh pemberi kerja selain penyelenggara
negara dan peserta dengan ketentuan:
- 2% (dua persen) dari upah
ditanggung oleh pemberi kerja selain
penyelenggara negara; dan
- 1% (satu persen) dari upah
ditanggung oleh peserta.
d. Jaminan Kematian
Pasal 1 angka 2 PP JKK dan JKM mendefinsikan
“Jaminan kematian (selanjutnya disingkat JKM)
adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada
ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan
akibat kecelakaan kerja.” Pasal 18 Ayat (1)
menyatakan bahwa “Iuran JKM bagi peserta
penerima upah sebesar 0,30% (nol koma tiga
puluh persen) dari upah sebulan.” Bagaimana jika
pembayaran upah berdasarkan harian? Atau upah
diberikan dengan cara borongan? Pasal 19 PP JKK
dan JKM mengatur dalam ayat (1) hingga (3)
bahwa “Apabila upah dibayarkan secara harian
maka upah sebulan sebagai dasar pembayaran
Iuran dihitung dari upah sehari dikalikan 25 (dua
puluh lima). Apabila Upah dibayarkan secara
borongan atau satuan hasil, maka upah sebulan
sebagai dasar pembayaran iuran dihitung dari upah
rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir. Sedangkan apabila
pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca yang
upahnya didasarkan pada upah borongan maka
upah sebulan sebagai dasar pembayaran iuran
dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan
terakhir.”

81
Pengaturan ini untuk menjamin dalam bentuk
apa saja upah diberikan oleh pemberi kerja maka
pekerja tetap berhak mendapatkan jaminan sosial.
JKM akan memberikan santunan bagi ahli waris
pekerja yang meninggal. Dalam pasal 34 ayat (1)
mengatur:
“Manfaat JKM dibayarkan kepada ahli waris
peserta, apabila peserta meninggal dunia dalam
masa aktif, terdiri atas:
a) Santunan sekaligus Rp 16.200.000,00
(enam belas juta dua ratus ribu rupiah);
b) Santunan berkala 24 x Rp200.000,00 =
Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus
ribu rupiah) yang dibayar sekaligus;
c) Biaya pemakaman sebesar Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah); dan
d) Beasiswa pendidikan anak diberikan
kepada setiap Peserta yang meninggal
dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja dan
telah memiliki masa iur paling singkat 5
(lima) tahun.
Pengaturan terhadap JKM pekerja juga memiliki
konsekuensi bagi pemberi pekerja apabila tidak
didaftarkan, berdasarkan pasal 35 ayat (1) PP JKK
dan JKM “Pemberi kerja selain penyelenggara
negara yang belum mengikutsertakan pekerjanya
dalam program JKM kepada BPJS
Ketenagakerjaan, bila terjadi resiko terhadap
pekerjanya, pemberi kerja selain penyelenggara
negara wajib membayar hak pekerja sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.”

82
Dengan demikian, apabila pemberi kerja tidak
mau menaggung beban santunan yang
terakumulasikan sesuai PP ini maka sebaiknya
pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya ke BPJS.

Jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,


jaminan pensiun dan kematian secara keseluruhan
wajib diberikan kepada pekerja termasuk pelaut,
oleh karenanya seluruh peraturan perundang-
undangan yang telah dijabarkan di atas turut serta
berlaku bagi pelaut sebagai pekerja. Jaminan
sosial juga merupakan salah satu bentuk tunjangan
tetap dalam komponen upah. Tunjangan-
tunjangan di atas sangat baik dan bermanfaat bagi
pelaut yang memiliki pekerjaan dengan risiko
tinggi, oleh karenanya dalam keadaan apa pun
yang mencakup ketentuan di atas, pelaut berhak
mendapat tanggungan tunjangan walaupun sudah
tidak bekerja.

 Ketiga, pasal 100 ayat (1) UU Ketenagakerjaan


menyatakan “Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.” Lebih lanjut
dalam ayat (2) mengatur bahwa “penyediaan fasilitas
kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “yang
dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain
pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak,
perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas

83
olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan
fasilitas rekreasi.”

Dalam hukum ketenagakerjaan pasal ini


termasuk pasal yang tidak bersifat normatif, artinya
kepesertaannya tidak wajib (not compulsory) karena
ketentuan ini akan disesuaikan dengan kemampuan
finansial pemberi kerja. Namun pada dasarnya klausul
kata “wajib” dalam ketentuan ini menimbulkan
masalah. Ada pun permasalahannya seperti yang
dikemukakan oleh Laurentius Benediktus
Rachmatsaleh Sutrisno,dkk dalam tulisannya57:
“Permasalahannya adalah terdapat suatu kekaburan
hukum atau ketidakjelasan, dimana pada ayat (1) dikatakan
pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan serta
pada ayat (3) dikatakan bahwa mengenai jenis dan kriteria
fasilitas kesejahteraan tersebut diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah yang
dimaksud pada ayat (3) tersebut dari mulai dibentuknya
Undang-undang Ketenagakerjaan pada tahun 2003 sampai
saat ini tahun 2015 masih belum dibentuk, sehingga secara
tidak langsung peraturan tersebut dapat dikatakan hanya
sebatas wacana tanpa adanya paksaan. Hal tersebut
menyebabkan pula tidak berjalannya sifat mengikat dan
memaksa pada peraturan tersebut, karena bentuk pelimpahan
aturan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan
serta kemampuan perusahaan tidak terdapat peraturan
pemerintah yang mengatur lebih lanjut. Selain itu, juga tidak
dicantumkannya sanksi (baik administrasi maupun pidana)
pada bagian bab XVI mengenai ketentuan pidana dan sanksi
administratif, apabila terdapat perusahaan tidak menjalankan
peraturan sesuai pasal 100 Undang-undang Ketenagakerjaan

57
Laurentius Benediktus Rachmatsaleh Sutrisno,dkk, Jenis Dan Kriteria Fasilitas Kesejahteraan
Untuk Pekerja/buruh Dalam Pasal 100 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2015, Halaman 5.

84
tersebut mengenai penyediaan fasilitas kesejahteraan untuk
pekerja/buruh.”
Lebih lanjut, dengan peraturan pelaksana
mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan
tersebut belum juga terbentuk, pada tataran praktik
penyediaan fasilitas kesejahteraan pekerja/buruh
disesuaikan dengan melihat 2 (dua) unsur yaitu,
kemampuan perusahaan dan kebutuhan pekerja/buruh
semata. Jenis dan kriteria penyediaan fasilitas
kesejahteraan dalam suatu perusahaan biasanya hanya
disesuaikan dengan ukuran kemampuan perusahaan
yang terbagi menjadi 3 (tiga) kriteria yaitu perusahaan
besar, sedang, dan kecil. Sedangkan apabila
disesuaikan dengan kebutuhan pekerja/buruh, hal
tersebut tidak dapat menjadi salah satu acuan atau
58
unsur yang pasti. Oleh karenanya pada
pelaksanaannya pun sering menimbulkan masalah
sehingga banyak perusahaan lebih memilih untuk tidak
memberikan fasilitas kesejahteraan yang dimaksud
atau memberikan seadanya. Pembahasan ini dapat
menjadi kajian yang menarik dan patut ditelusuri lebih
mendalam sebagai salah satu aspek ketenagakerjaan.

2.1.3.2 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS DAN DI


LUAR KAPAL

Hak pelaut saat bekerja berarti ketentuan hak pelaut pada


saat berada di atas kapal atau pun di luar kapal saat melakukan

85
pekerjaannya. Ketentuannya diatur berdasarkan UU Pelayaran,
PP Kepelautan dan UU Ketenagakerjaan.

2.1.3.2.1 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS


DAN DI LUAR KAPAL BERDASARKAN UU
PELAYARAN

Berdasarkan UU Pelayaran hak pelaut yang


diatur antara lain:

 Pertama, pasal 139 menyatakan “untuk


tindakan penyelamatan, nakhoda berhak
menyimpang dari rute yang telah ditetapkan
dan mengambil tindakan lainnya yang
diperlukan.” Dalam penjelasan pasal 139 UU
Pelayaran disebutkan bahwa “Yang dimaksud
dengan “menyimpang dari rute” adalah
tindakan yang dilakukan oleh nakhoda dalam
rangka penyelamatan dalam hal terjadinya
gangguan cuaca seperti badai tropis (tropical
cyclone) atau taifun (hurricane). Yang
dimaksud dengan “tindakan lainnya yang
diperlukan” yaitu tindakan yang harus
dilakukan nakhoda untuk melakukan
pertolongan setelah mendengar isyarat bahaya
(distress signal) dari kapal lain yang
menyatakan “I’m in danger and required
immediate assitance” (Convention on the
International Regulations for Preventing
Collisions at Sea, 1972/COLREGs).”
Penyimpangan dari rute bermaksud

86
memberikan tindakan preventif dari resiko
bahaya yang diterima kapal baik terhadap cuaca
dan keadaan bahaya yang telah dapat
diprediksi, sehingga kapal dapat berlayar
dengan aman dan nyaman, terhindar dari
tabrakan atau terkena bencana alam. Ketentuan
penyimpangan rute berdasarkan Convention on
the International Regulations for Preventing
Collisions at Sea, 1972/COLREGs, kapal yang
dimaksud boleh melakukan penyimpangan rute
hanya termasuk kapal yang dapat dideteksi
berdasarkan trayek tertentu (navigable). Oleh
karenanya kapal yang dimaksud hanya berlaku
bagi transportasi umum pengangkut
penumpang dan barang, tidak berlaku untuk
kapal perang dan sejenisnya.
 Kedua, pasal 142 ayat (2) menyatakan “dalam
hal Anak Buah Kapal mengetahui bahwa
perintah yang diterimanya tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka yang
bersangkutan berhak mengadukan kepada
pejabat pemerintah yang berwenang.” Dalam
penjelasannya tidak dijelaskan ketentuan yang
berlaku seperti apa yang dimaksud, oleh
karenanya apabila ditafsirkan secara utuh
berdasarkan seluruh pasal UU Pelayaran maka
tolak ukur ketentuan dalam prosedur pelayaran
adalah kelaiklautan kapal. Kelaiklautan kapal
menurut pasal 1 nomor 33 UU Pelayaran adalah
keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
keselamatan kapal, pencegahan pencemaran

87
perairan dari kapal, pengawakan, garis muat,
pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan
kesehatan penumpang, status hukum kapal,
manajemen keselamatan dan pencegahan
pencemaran dari kapal, dan manajemen
keamanan kapal untuk berlayar di perairan
tertentu. Oleh karena itu prosedur yang
dimaksud mencakup:
a. Keselamatan kapal;
Terdiri dari keadaan kapal yang
memenuhi persyaratan material,
konstruksi, bangunan, permesinan dan
perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta
perlengkapan termasuk perlengkapan alat
penolong dan radio, elektronik kapal, yang
dibuktikan dengan sertifikat setelah
dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
b. Pencegahan pencemaran perairan dari
kapal;
Dilakukan melalui perlindungan
maritim. Perlindungan maritim adalah
kondisi terpenuhinya proseedur dan
persyaratan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran dari kegiatan
kepelabuhanan, pengoperasian kapal,
pengangkutan limbah, bahan berbahaya
dan beracun di perairan, pembuangan
limbah di perairan dan penutupan kapal.
c. Pengawakan;
Mengatur mengenai nakhoda dan awak
kapal. Berdasarkan pasal 136 UU

88
Pelayaran disebutkan bahwa setiap awak
kapal wajib memenuhi persyaratan dan
kompetensi sesuai ketentuan nasional dan
internasional. Untuk nakhoda dan anak
buah kapal untuk kapal berbendera
Indonesia harus warga negara Indonesia.
Hal ini merupakan konsekuensi
diberlakukannya asas cabotage di
Indonesia.
Berdasarkan bagian penjelasan UU
pelayaran disebutkan bahwa “asas
cabotage adalah cara pemberdayaan
angkutan laut nasional yang memberikan
iklim kondusif guna memajukan industri
angkutan di perairan, antara lain adanya
kemudahan di bidang perpajakan, dan
permodalan dalam pengadaan kapal serta
adanya kontrak jangka panjang untuk
angkutan.”
Asas cabotage hanya berlaku bagi
pelayaran dalam negeri saja, bahwa semua
awak kapal harus berkewarnegraan
Indonesia dan kapal berbendera Indonesia,
sedangkan untuk pelayaran luar negeri
diperbolehkan menggunakan tenaga kerja
berupa pelaut asing. Pada dasarnya asas
cabotage adalah perlindungan atau
proteksi terhadap tenaga kerja maritim
Indonesia. Terdapat banyak argumentasi
mengapa asas cabotage sangat diperlukan.
Asas cabotage merupakan strategi

89
Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan
negara dalam menghadapi kebebasan pasar
tenaga kerja akibat meratifikasi konvensi
World Trade Organization (selanjutnya
disingkat WTO) pada tahun 1994,
kebebasan pasar tenaga kerja
dikhawatirkan mempersulit dan
menderogasi tenaga kerja maritim
Indonesia yang pada saat itu masih
memiliki kualitas yang belum memadahi.

Mengingat bahwa negara memiliki


kekuasaan tertinggi untuk mengatur
wilayahnya, salah satu pengaturan tersebut
adalah terhadap rakyatnya (dalam hal ini
pelaut), bahwa berdasarkan pasal 27 ayat
(2) UUD 1945 menyatakan “Setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.” Oleh karenanya negara
wajib hadir dan mengakomodir hal tersebut
termasuk memastikan bahwa warga
negaranya dapat memperoleh lapangan
kerja di tanah sendiri. Lantas apakah asas
cabotage ini mendiskriminasi kesempatan
kerja pelaut asing? Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, cabotage principle
merupakan asas yang diakui dalam hukum
dan praktek pelayaran seluruh dunia serta
merupakan penjelmaan kedaulatan suatu
negara untuk mengurus dirinya sendiri,
dalam hal ini pengangkutan dalam negeri,

90
sehingga tidak begitu saja dianggap
sebagai proteksi, yaitu perlindungan atau
perlakuan istimewa yang kurang wajar
bagi perusahaan domestik sehingga
menimbulkan persaingan yang tidak
59
sehat. Di samping itu, berdasarkan
Konvensi ILO terhadap pengaturan
Placement & Protection of Migrant
Workers, berlaku prinsip to efficiently use
national workers, bahwa dalam
penempatan pekerja nasional, negara
berhak untuk memprioritaskan pekerja
Indonesia sehingga terdapat pemerataan
pekerja berdasarkan kemampuannya.
Faktanya kondisi saat sebelum
diberlakukan asas cabotage, banyak pelaut
Indonesia menganggur, akibatnya
penempatan kerja bagi pekerja Indonesia
tidak merata, mengingat bahwa Indonesia
merupakan negara maritim yang sangat
lekat dengan laut kehidupannya, maka
pemerintah mengupayakan secara
maksimal melindungi pelaut Indonesia
supaya dapat mendapatkan pekerjaan di
dalam negeri sendiri berdasarkan asas
cabotage. Sepanjang pelayaran luar negeri
masih diperbolehkan bagi pelaut asing
begitu pula untuk investor asing
mendirikan badan hukum Indonesia

59
MI Asnawi, Bab II Eksistensi Asas Cabotage Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Pengangkutan Laut di Indonesia, Universitas Sumatera Utara, 2012, Halaman 18.

91
sebagai pemilik kapal, maka tidak menutup
kemungkinan bagi pelaut asing berkarir di
luar negeri pula.
d. garis muat kapal;
Yaitu adanya keharusan setiap kapal
mencantumkan garis muat kapal di dalam
Sertifikat Garis Muat sesuai dengan jenis,
ukuran dan daerah pelayaran kapal
termasuk peti kemas yang akan
dipergunakan sebagai bagian dari alat
angkut wajib, harus memenuhi kelaikan
peti kemas, pengaturan lebih teknis dapat
dilihat dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 39 Tahun 2016
Tentang Garis Muat Kapal dan Pemuatan.
 Ketiga, pasal 151 ayat (1) UU Pelayaran menyatakan
setiap Awak Kapal berhak mendapatkan
kesejahteraan. Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa
kesejahteraan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan dalam perjanjian kerja antara awak
kapal dengan pemilik atau operator kapal sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Ada pun hak
pelaut yang dimaksud adalah:
a. gaji;
Istilah gaji yang digunakan tidak koheren dengan
UU Ketenagakerjaan, misalnya terhadap istilah
gaji sebagai pendapatan pelaut semestinya adalah
upah karena pelaut juga merupakan golongan
pekerja dalam UU Ketenagakerjaan sehingga
pendapatannya adalah berupa upah. Mengingat
UU Pelayaran tidak mengatur secara khusus

92
mengenai upah pelaut maka pengupahan mengacu
pada konsep dalam UU Ketenagakerjaan dan upah
lembur berdasarkan PP Kepelautan (lihat sub bab
2.1.3.1.3 poin pertama mengenai upah). Mengenai
pengupahan telah dijabarkan sebelumnya bahwa
upah pelaut minimal harus didasarkan UMK atau
UMR atau UMSP atau UMSK yang ditentukan
gubernur setiap tahunnya.
b. Jam kerja dan jam istirahat;
Ketentuan jam kerja PP Kepelautan sudah sesuai
dengan pasal 79 UU Ketenagakerjaan dengan
ketentuan 8 jam setiap hari dengan 1 hari libur.
Namun kerja maksimum dalam 1 minggu diatur
dalam PP Kepelautan sebanyak 44 jam sehingga
lebih 4 jam bagi pelaut bekerja jika dibandingkan
dengan standar UU Ketenagakerjaan yang
maksmial 40 jam. Walaupun demikian ketentuan
lebih dari 40 jam diperbolehkan sepanjang
terhadap sektor usaha tertentu (dalam hal ini yaitu
sektor maritim), hal ini diatur dalam pasal 79 ayat
(3). Di samping itu, pasal 79 ayat (4)
mengharuskan untuk membentuk keputusan
menteri terhadap sektor tertentu yang jam kerja
maksimumnya berbeda dari standar UU
Ketenagakerjaan. Sayangnya tidak ditemukan
keputusan Menteri yang dimaksud namun PP
mengatur jam kerja pelaut.
Dalam PP Kepelautan pasal 21 ayat (1)
dinyatakan bahwa “Jam kerja bagi awak kapal
ditetapkan 8 (delapan) jam setiap hari dengan 1
(satu) hari libur setiap minggu dan hari-hari libur

93
resmi. Untuk perhitungan jam kerja bagi awak
kapal ditetapkan 44 (empat puluh empat) jam
setiap minggu.” Apabila terdapat kelebihan jam
kerja maka dianggap sebagai lembur dan berhak
mendapat upah lembur. Sedangkan untuk waktu
istirahat, setiap awak kapal harus diberikan waktu
istirahat paling sedikit 10 jam dalam jangka waktu
24 jam yang dapat dibagi 2 periode, yang salah
satu diantaranya tidak kurang dari 6 (enam) jam
kecuali dalam keadaan darurat. Dalam hal apabila
ada pelaksanaan tugas darurat demi keselamatan
berlayar dan muatan termasuk latihan-latihan di
kapal atau untuk memberikan pertolongan dalam
bahaya sesuai peraturan keselamatan pelayaran
maka tidak dihitung lembur.
Semestinya ketentuan tersebut harus
diakomodir dalam bentuk keputusan menteri demi
memberikan kepastian hukum dan sistematis
sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan. Di samping
itu, PP Kepelautan juga semestinya di bagian
mengingat harus sejalan dengan standar hukum
ketenagakerjaan yang ada karena mengatur
mengenai hak dan kewajiban pekerja (dalam hal
ini pemilik kapal dan pelaut).
Selanjutnya waktu istirahat, setiap awak
kapal harus diberikan waktu istirahat paling sedikit
10 jam dalam jangka waktu 24 jam yang dapat
dibagi 2 periode, yang salah satu diantaranya tidak
kurang dari 6 (enam) jam kecuali dalam keadaan
darurat. Dalam hal apabila ada pelaksanaan tugas
darurat demi keselamatan berlayar dan muatan

94
termasuk latihan-latihan di kapal atau untuk
memberikan pertolongan dalam bahaya sesuai
peraturan keselamatan pelayaran maka tidak
dihitung lembur.
Tidak kalah penting, PP Kepelautan juga mengatur
jam kerja bagi pelaut di bawah umur. Pelaut muda
atau pelaut yang berumur antara 16 tahun sampai 18
tahun dan dipekerjakan sebagai apapun diatas kapal
tidak diperbolehkan untuk:
- Dipekerjakan melebihi 8 (delapan) jam kerja
sehari dan 40 jam seminggu;
- Dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam
hal-hal darurat.
c. jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan
pemulangan ke tempat asal;
Selanjutnya pengaturan mengenai prosedur
keberangkatan dan pemulangan pelaut. UU
Pelayaran tidak mengatur keduanya, sama halnya
dengan PP Kepelautan. Namun PP Kelautan
mengatur kondisi apa saja sehingga dapat
dilakukan pemulangan terhadap pelaut. Ada pun
pengaturannya yaitu:
- Pasal 26 ayat (1) jika awak kapal habis masa
kontraknya maka wajib dipulangkan.
- Pasal 26 ayat (3) apabila masa kontrak dari
awak kapal habis masa berlakunya pada saat
kapal dalam pelayaran maka merupakan
tanggungan pengusaha angkutan di perairan
yang meliputi biaya-biaya pemulangan,
penginapan dan makanan sejak diturunkan dari
kapal sampai tiba ditempat domisilinya.

95
- Pasal 28 ayat (1) jika pelaut sakit atau cidera,
kemudian harus dirawat di luar negeri, selain
biaya perawatan dan pengobatan, pemilik kapal
juga harus menanggung biaya pemulangan
kembali ke tempat asal.
- Pasal 31 ayat (1) Jika awak kapal meninggal
dunia di atas kapal, pengusaha angkutan di
perairan wajib menanggung biaya pemulangan
dan penguburan jenasahnya ke tampat yang
dikehendaki oleh keluarga yang bersangkutan
sepanjang keadaan memungkinkan.
d. Kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi
karena mengalami kecelakaan;
Kompensasi adalah bentuk imbalan ganti rugi dari
pemilik kapal kepada pekerja karena kapal tidak
dapat beroperasi akibat kecelakaan. Kompensasi
diberikan sebagai bentuk imbalan dan kepastian
adanya bayaran bagi pekerja walaupun tidak
melakukan pekerjaan. Ketentuan ini sejalan dengan
pasal 25 PP Kepelautan yang menyatakan
“Pengusaha wajib membayar upah apabila
pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang
telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri atau
kendala yang seharusnya dapat dihindari
Pengusaha.” Apa maksud dari pasal ini? Dalam
penjelasan PP Kepelautan dijabarkan contoh
kondisinya, misalnya apabila pekerja diperintahkan
untuk membongkar muatan kapal namun kapal
tersebut ternyata tidak kunjung datang, maka
pengusaha harus membayar upah pekerja. Hal ini

96
memberikan proteksi bagi pekerja supaya diberikan
kepastian diberi upah walaupun terhadap kesalahan
dari pemberi kerja atau ketidakpastian melakukan
pekerjaan yang seharusnya dapat diantisipasi
pengusaha.
e. Kesempatan mengembangkan karier;
Tidak dijelaskan dalam peraturan perundang-
undangan terkait. Seharusnya ketentuan ini
diakomodir masing-masing perusahaan dengan
menyesuiakan struktur upah yang proposional yang
telah ditentukan pemerintah, terutama mengenai
tingkat jabatan dan jenjang karir pelaut yang jelas
(lihat ketentuan struktur upah di sub bab 2.1.3.1.3).
f. Pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan
atau minuman;
Dalam ketentuan ini tidak dijabarkan lebih
mengenai ketentuan pemberian akomodasi, fasilitas
rekreasi, makanan atau minuman seperti apa yang
dimaksud. Ketentuan yang tersedia hanya mengatur
mengenai ketersediaan air dan akomodasi makanan
pelaut. Pasal 25 ayat (1) mengatur hak pelaut untuk
memperoleh makanan dan alat-alat pelayaran yang
cukup di atas kapal. Dalam pasalnya menyatakan
pengusaha angkutan di perairan wajib menyediakan
makanan dan alat-alat pelayanan dalam jumlah yang
cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap
awak kapal di atas kapal. Sedangkan ayat (2)
dijelaskan bahwa makanan harus memenuhi jumlah,
ragam serta nilai gizi dengan jumlah minimum 3600
kalori per hari yang diperlukan awak kapal untuk
tetap sehat dalam melakukan tugas-tugasnya di

97
kapal. Di samping itu, makanan termasuk air, diatur
dalam ayat (3) air tawar harus tetap tersedia di kapal
dengan jumlah yang cukup dan memenuhi standar
kesehatan. Kemudian pada ayat (4) mengatur alat-
alat pelayanan seperti peralatan dapur dan atau
peralatan memasak, serta perlengkapan ruang
makan harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan
baik. Seharusnya ketentuan ini harus lebih spesifik.
g. Pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta
pemberian asuransi kecelakaan kerja.

Ketentuan ini mewajibkan seluruh pemilik kapal


untuk memberikan jaminan asuransi kepada pekerja
yang bekerja di atas kapalnya. Mengingat bahwa
risiko kerja di atas kapal sangat riskan, baik karena
perubahan cuaca, medan lautan yang tidak menentu
dan tanggung jawab yang begitu besar terhadap
penumpang dan barang yang dibawa, kecelakaan
dapat sewatu-waktu terjadi dan mengancam jiwa
pelaut, oleh karenanya asuransi bagi pelaut dan
kapal sangat penting sebagai bentuk pencegahan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Subekti dalam
bukunya mengenai Pokok-pokok Hukum Perdata
dinyatakan bahwa asuransi atau pertanggungan
sebagai suatu perjanjian yang termasuk dalam
golongan perjanjian untung-untungan
(kansovereenkomst). Suatu perjanjian untung-
untungan ialah suatu perjanjian yang dengan
sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang
belum tentu terjadi, kejadian mana akan

98
menentukan untung ruginya salah satu pihak. 60
Dengan demikian asuransi ditujukan untuk kejadian
yang belum terjadi, asuransi hadir untuk menaggung
kerugian sebagai bentuk pencegahan dini.
(ketentuan mengenai asuransi juga dapat dilihat
dalam sub bab 2.1.3.1.2 menurut PP Kepelautan).
Sedangkan untuk pemeliharaan kesehatan
dalam hal ini UU Pelayaran dan PP Kepelautan juga
tidak mengatur lebih rinci namun menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia dapat diberikan
dengan tunjangan kesehatan dari BPJS serta
proteksi-proteksi yang diperjanjikan para pihak.
Secara holistik, pada dasarnya ketentuan
pasal 151 ayat (1) dan (2) merupakan pasal yang
kabur. Sama halnya dengan penjelasan dalam PP
Kepelautan, terdapat inkonsistensi pembuat UU
dalam pengunaan istilah ketenagakerjaan. Pasal 151
dimuat dalam bagian kelima mengenai
kesejahteraan awak kapal dan kesehatan
penumpang. Jika dikonfrontasikan dengan istilah
dalam UU Ketenagakerjaan, upah dan jam kerja
adalah hak normatif, artinya hak tersebut mucul
berdasarkan perintah Undang-Undang sehingga
wajib untuk dilaksanakan. Sementara kesejahteraan
adalah bukan hak normatif, artinya ketentuan
tersebut adalah hak yang muncul karena perjanjian
berdasarkan kesepakatan para pihak. Isi
kesejahteraan sudah melampaui hak normatif,
sehingga tidak bersifat memaksa. Pasal 151 terlihat

60
F R Nasution, Bab II Asuransi Pada Umumnya, Universitas Sumatera Utara Institutional
Repository, 2013, Halaman 24.

99
mencampuradukkan dua jenis hak tersebut. Hal ini
sangat menunjukkan pembuat UU tidak melibatkan
stake holder dari kementerian ketenagakerjaan yang
ada dan pembuat UU hanya memikirkan secara
sektoral dalam pembuatan UU saja yang berkaitan
dengan sektor maritim. Semestinya ketentuan di
atas dipisahkan sesuai dengan jenis haknya, kalau
pun harus digabung maka perlu penjabaran yang
lebih lanjut mengapa ketentuan-ketentuan
kesejahteraan terkait diperlukan.

2.1.3.2.2 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS


DAN DI LUAR KAPAL BERDASARKAN PP
KEPELAUTAN

Berdasarkan PP Kepelautan hak pelaut yang


diatur antara lain:

 Pertama, Pasal 22 ayat (1) mengatur upah


minimum bagi awak kapal dengan jabatan
terendah ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,
berdasarkan ketentuan upah minimum tenaga
kerja sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan untuk ketentuan
lembur, dalam ayat (2) mengatur bahwa upah
lembur per jam dihitung dengan rumus upah
Minimum x 1,25/190. Penetapan angka 190
adalah jumlah jam kerja dalam 1 (satu) bulan.
Sedangkan penetapan angka 1,25 adalah
sesuai ketentuan International Labour
Organization. Namun hingga saat ini belum

100
ada peraturan menteri terkait yang mengatur
upah minimum pelaut berdasarkan jabatan
terendahnya. (Lebih rici telah dijelaskan
dalam sub bab 2.1.3.1.3).
 Kedua, pasal 23 mengatur tentang upah di
Hari libur, upah di hari libur yang dibayar
dihitung untuk setiap bulan 4 (empat) hari
kerja, yang besarnya setiap hari 1/30
(sepertigapuluh) dari gaji minimum bulanan.
Pekerja pada dasarnya tidak diwajibkan
bekerja selama hari libur. Namun, pengusaha
boleh saja meminta pekerjanya untuk tetap
bekerja selama hari libur apabila jenis dan
sifat pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang
berlangsung terus menerus tanpa henti atau di
bawah berbagai kondisi yang berdasarkan
kesepakatan antara pekerja dan pengusaha
maka pekerjaan tetap dilakukan. Dalam PP
Kepeluatan membatasi bahwa upah di hari
libur dalam 1 bulan maksimal 4 hari kerja
sama dengan pembayaran minimal 1/30 dari
gaji minimum bulanan. Apabila A bekerja di
hari libur selama 4 hari dan gajinya selama 1
bulan adalah Rp 10.000.000 maka ia akan
mendapat upah di hari libur sebesar 4/30 x
10.000.0000 sehingga upah di hari liburnya
sebesar Rp1.333.333. Ketentuan ini
memberikan proteksi bagi pelaut supaya tidak
melebihi 4 hari kerja di hari libur juga
memastikan tidak diperlakukan secara

101
sewenang-wenang pemberi kerja yang
memaksa pelaut untuk bekerja di hari libur.
 Ketiga, pasal 25 ayat (1) mengatur hak pelaut
untuk memperoleh makanan dan alat-alat
pelayaran yang cukup di atas kapal. Dalam
pasalnya menyatakan pengusaha angkutan di
perairan wajib menyediakan makanan dan
alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup
dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap
awak kapal di atas kapal. Dalam ayat (2)
dijelaskan bahwa makanan harus memenuhi
jumlah, ragam serta nilai gizi dengan jumlah
minimum 3600 kalori per hari yang
diperlukan awak kapal untuk tetap sehat
dalam melakukan tugas-tugasnya di kapal. Di
samping itu, makanan termasuk air, diatur
dalam ayat (3) air tawar harus tetap tersedia di
kapal dengan jumlah yang cukup dam
memenuhi standar kesehatan. Kemudian pada
ayat (4) mengatur alat-alat pelayanan seperti
peralatan dapur dan atau peralatan memasak,
serta perlengkapan ruang makan harus
tersedia dalam jumlah yang cukup dan baik.
Dalam hal pengaturan mengenai
makanan pelaut di atas kapal, tidak dijelaskan
siapa yang semestinya bertanggung jawab
atas kelayakan makanan. Padahal makanan
merupakan unsur yang penting bagi pelaut
selama di atas kapal. Di samping itu, tidak
dijelaskan secara rinci dalam peraturan
perundang-undangan di bawah PP

102
Kepelautan tolak ukur makanan yang cukup
dan baik seperti apa yang dimaksud, sebab
dengan hanya diberi ketentuan minimum
kalori saja tidak dapat menentukan kelayakan
makanan dan pemenuhan nutrisi. Oleh
karenanya semestinya perlu diatur lebih rinci
terhadap ketentuan mengenai makanan pelaut.
 Keempat, pasal 28 ayat (1) mengatur tentang
hak pelaut untuk dirawat apabila sakit atau
cidera akibat kecelakaan kapal. Dalam
pasalnya dijelaskan bahwa “pengusaha
angkutan di perairan wajib menanggung biaya
perawatan dan pengobatan bagi awak kapal
yang sakit atau cidera selama berada di atas
kapal.” Ayat (2) menyatakan “awak kapal
yang sakit atau cidera akibat kecelakaan
sehingga tidak dapat bekerja atau harus
dirawat, pengusaha angkutan di perairan
selain wajib membiayai perawatan dan
pengobatan juga wajib membayar gaji penuh
jika awak kapal tetap berada atau dirawat di
kapal.” Ayat (3) menyatakan “jika awak kapal
sebagaimana dalam ayat (2) harus diturunkan
dari kapal untuk perawatan di darat,
pengusaha angkutan di perairan selain wajib
membiayai perawatan dan pengobatan, juga
wajib membayar sebesar 100% dari gaji
minimumnya setiap bulan pada bulan pertama
dan sebesar 80% dari gaji minimumnya setiap
bulan pada bulan berikutnya sampai yang
bersangkutan sembuh sesuai surat keterangan

103
petugas medis, dengan ketentuan tidak lebih
dari 6 (enam) bulan untuk yang sakit dan tidak
lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk yang
cidera akibat kecelakaan.”
Lebih lanjut, dalam ayat (4) dikatakan
bahwa “bila awak kapal diturunkan dan
dirawat di luar negeri, selain biaya perawatan
dan pengobatan, pengusaha angkutan di
perairan juga menanggung biaya pemulangan
kembali ke tempat domisilinya.” Ketentuan
ini jelas mengatur bahwa merupakan
kewajiban pengusaha kapal terhadap pekerja
apabila sakit atau cidera akibat kecelakaan
kapal. Pemberi kerja wajib menanggung baik
terhadap perawatannya di dalam dan/atau luar
negeri. Pemberi kerja juga wajib membayar
upah pekerja secara penuh saat dirawat di atas
kapal supaya kewajiban pekerja untuk
menghidupi keluarga dan/atau tanggungannya
tidak terputus begitu saja akibat sakit dan
cideranya pekerja.
Untuk pekerja yang sakit, pada bulan
pertama pemberi kerja wajib membayar 100%
pada bulan pertama, dan 80% di bulan
seterusnya sampai pulih namun tidak melebihi
6 bulan lamanya, sedangkan untuk cidera
tidak melebihi 12 bulan. Ketentuan ini apabila
dikonfrontasikan dengan PP Pengupahan
sangat diskriminan sebab berdasarkan pasal
26 ayat (1) PP Pengupahan menyebutkan
bahwa upah yang dibayar kepada

104
pekerja/buruh yang tidak masuk kerja
dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
sakit akan dibayar 100% untuk 4 bulan
pertama, 4 bulan kedua sebesar 75% dari upah
dan empat bulan ketiga dibayar 50% dari upah
dan 25% untuk bulan selanjutnya sebelum
dilakukan pemutusan hubungan kerja.
Perbedaan tersebut terjadi karena PP
Kepelautan belum sinkron dengan ketentuan
PP Pengupahan yang baru (walaupun PP
Kepelautan juga tidak mengingat UU
Ketenagakerjaan dan PP Kepelautan).
Semestinya PP Kepeluatan harus direvisi dan
disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan baik secara vertikal dan horizontal
supaya memberikan keadilan dan perlakuan
yang sama bagi pekerja termasuk pelaut.
 Kelima, pasal 29 mengatur tentang hak atas
barang milik awak kapal apabila hilang,
dalam pasalnya dinyatakan besarnya ganti
rugi atas kehilangan barang-barang milik
awak kapal akibat tenggelam atau terbakarnya
kapal, sesuai dengan nilai barang-barang
wajar dimilikinya yang hilang atau terbakar.
Pasal ini mengakomodir perlindungan
terhadap hak kebendaan para pelaut di atas
kapal. Namun tidak dijelaskan siapa yang
harus mengganti ganti rugi tersebut, apakah
pemilik kapal? Asuransi? Tidak dicantumkan
pula barang apa yang dimaksud. Semestinya
terdapat pengaturan yang lebih rinci dari ini.

105
 Keenam, pasal 30 ayat (1) menyatakan jika
awak kapal setelah dirawat akibat kecelakaan
kerja menderita cacat tetap yang
mempengaruhi kemampuan kerja besarnya
santunan ditentukan :
a. Cacat tetap yang mengakibatkan
kemampuan kerja hilang 100% besarnya
santunan minimal Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah);
b. Cacat tetap yang mengakibatkan
kemampuan kerja berkurang besarnya
santunan ditetapkan persentase dari
jumlah sebagaimana ditetapkan dalam
huruf a sebagai berikut :
1) Kehilangan satu lengan : 40%;
2) Kehilangan dua lengan : 100%;
3) Kehilangan satu telapak tangan :
30%;
4) Kehilangan kedua telapak
tangan : 80%;
5) Kehilangaan satu kaki dari paha :
40%;
6) Kehilangan dua kaki dari paha :
100%;
7) Kehilangan satu telapak kaki :
30%;
8) Kehilangan dua telapak kaki :
80%;
9) Kehilangan satu mata : 30%;
10) Kehilangan dua mata : 100%;

106
11) Kehilangan pendengaran satu
telinga : 15%;
12) Kehilangan pendengaran dua
telinga : 40%;
13) Kehilangan satu jari tangan :
10%;
14) Kehilangan satu jari kaki : 5%;
Ayat (2) mengatur jika awak kapal kehilangan
beberapa anggota badan sekaligus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
besarnya santunan ditentukan dengan
menjumlahkan persentase dengan ketentuan
tidak melebihi jumlah sebagaimana
ditetapkan dalam ayat (1) huruf a.
Bentuk pengaturan santunan oleh pemilik
kapal memiliki jumlah yang lebih besar
apabila dibandingkan dengan pengaturan
jaminan sosial ketenagakerjaan terhadap
jaminan kecelakaan kerja. Hal ini menujukkan
pemerintah berusaha untuk memberikan
proteksi yang lebih tinggi bagi pelaut supaya
pemilik kapal dapat lebih memperhatikan
maintainance kapal supaya laik dan berhati-
hati dalam pengelolaan kapal saat dilayarkan
oleh pekerja. Pengaturan ini juga spesifik
terhadap organ-organ tubuh vital tertentu
yang diklasifikasi dengan dikali presentase
santunan terhadap nilai upah pekerja. Namun
kekurangan dari pengaturan ini adalah tidak
dijelaskan apakah santunan yang dimaksud
diberikan berkala atau hanya satu kali saja

107
setelah pekerja mengalami cidera dan/atau
cacat.
 Ketujuh, pasal 31 ayat (1) mengatur hak
pelaut jika meninggal dunia di atas kapal. Jika
awak kapal meninggal dunia di atas kapal,
pengusaha angkutan di perairan wajib
menanggung biaya pemulangan dan
penguburan jenazahnya ke tampat yang
dikehendaki oleh keluarga yang bersangkutan
sepanjang keadaan memungkinkan. Ayat (2)
mengatur jika awak kapal meninggal dunia,
pengusaha angkutan di perairan wajib
membayar santunan :
a. Untuk meninggal karena sakit besarnya
santunan minimal Rp.100.000.000
(seratus juta rupiah);
b. Untuk meninggal dunia akibat
kecelakaan kerja besarnya santunan
minimal Rp150.000.000 (seratus lima
puluh juta rupiah).
Lebih lanjut dalam ayat (3) menyatakan
santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diberikan kepada ahli warisnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan
mengenai santunan bagi pelaut nyatanya lebih
besar jumlahnya dari pada santunan pekerja
pada umumnya berdasarkan UU BPJS.
Pengaturan santunan ini merupakan bentuk
penghargaan yang lebih besar kepada pelaut.
 Kedelapan, pasal 32 ayat (1) mengatur tentang
hak akomodasi pelaut. Dalam pasalnya

108
dinyatakan bahwa “Akomodasi awak kapal di
atas kapal harus memenuhi persyaratan
keamanan dan kesejahteraan awak kapal.”
Ayat (2) mengatur bahwa “penempatan, tata
susunan dan pengaturan serta hubungan
dengan ruangan lain dari akomodasi awak
kapal harus sedemikian rupa sehingga
menjamin keselamatan awak kapal yang
cukup, perlindungan terhadap cuaca dan air
laut dan disekat dari panas dan dingin serta
kebisingan dari ruangan-ruangan mesin dan
ruangan-ruangan lainnya serta tidak ada
pintu-pintu langsung ke kamar tidur dari
ruang muatan, ruangan mesin atau dari
ruangan dapur dan ruangan–ruangan
penyimpanan.” Ayat (3) mengatakaan bagian
dari sekat harus memisahkan ruangan-
ruangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dari
kamar tidur dan sekat luar harus dibuat dari
baja atau bahan sejenis yang diakui dan kedap
air dan kedap gas. Ayat (4) bahwa semua
kamar tidur harus terletak lebih tinggi dari
garis muat di lambung kapal; Ayat (5) bahwa
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) dapat dikecualikan bagi kapal-kapal
tertentu atau kapal-kapal penumpang tertentu;
Ayat (6) semua ruangan tempat tinggal awak
harus dilengkapi dengan pencegah masuknya
serangga melalui pintu-pintu, jendela-jendela
dan lubang-lubang ke dalam ruangan; Ayat (7)
mengatur bahwa semua ruangan tempat

109
tinggal awak kapal harus tetap dirawat dan
dijaga dalam keadaan bersih dan baik dan
tidak boleh diisi dan digunakan untuk
menyimpan barang-barang lainnya.
 Kesembilan, pasal 33 ayat (1) mengatur
tentang ketentuan luas lantai ruang tidur untuk
awak kapal yaitu :
a. Paling sedikit 2.00 m2 untuk kapal-kapal
kecil dari GT.500;
b. Paling sedikit 2.35 m2 untuk kapal-kapal
dengan ukuran GT.500 keatas;
c. Paling sedikit 2.78 m2 untuk kapal-kapal
dengan ukuran GT. 3000 ke atas.
Sedangkan untuk perwira, menurut ayat (2),
setiap perwira harus mempunyai satu kamar
tidur untuk sendiri, sedangkan untuk rating
satu kamar tidur 2 (dua) orang, kecuali di
kapal-kapal penumpang; Ayat (3), untuk
kamar tidur rating di kapal-kapal penumpang
yang satu kamar tidur terdapat 4 (empat)
tempat tidur, maka luas lantai per orang
minimal 2,22 m2. Ayat (4), luas lantai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
termasuk luas lantai untuk menempatkan
tempat tidur, meja, lemari, laci tempat
menyimpan dan kursi. Ayat (5), bagi setiap
awak kapal diharuskan disediakan sebuah
tempat tidur yang layak tidak boleh diletakkan
rapat satu sama lain. Ayat (6), tinggi langit-
langit kamar tidur minimal 190 cm dari lantai.
Ayat (7) menyatakan jika suatu kamar tidur

110
dilengkapi tempat tidur bertingkat, tempat
tidur terbawah tingginya minimal 30 cm dari
lantai, dan tempat tidur atas, di pertengahan
tinggi antara tempat tidur bawah dan sisi
bawah langit-langit. Ayat (8) mengatur bahwa
semua kamar tidur yang telah dilengkapi
dengan tempat tidur, lemari, laci tempat
menyimpan, meja dan kursi harus mempunyai
kenyamanan yang layak. Pengaturan ini
mengharuskan pemilik kapal untuk
mengakomodir tempat yang aman dan
nyaman di dalam kapal bagi pekerja. Seluruh
ketentuan tersebut juga harus mengacu ke
Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1989
tentang Ratifikasi International Convention
on Tonnage Measurement of Ships, 1969 dan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 8
Tahun 2013 Tentang Pengukuran Kapal.
 Kesepuluh, pasal 34 mengatur tentang
fasilitas kapal bagi pelaut, bahwa setiap kapal
harus dilengkapi dengan ruang makan baik
untuk perwira maupun rating yang dilengkapi
dengan pantry, meja dan kursi makan yang
layak.
Ketentuan ini mengatur mengenai
standar kenyamanan bagi pelaut selama
berada di atas kapal. Pemilik kapal dituntut
untuk mengkondisikan kapal senyaman
mungkin supaya pelaut tercukupi
kebutuhannya termasuk ketersediaan perabot
dan ruang makan yang layak. Namun

111
sayangnya dalam PP Kepelautan tidak
memerintahkan peraturan perundang-
undangan dibawahnya untuk mengatur lebih
spesifik terkait ukuran ruang makan dan
pantry yang dimaksud, sehingga tidak ada
tolak ukur sebagai kenyamanan standar.
 Kesebelas, pasal 35 ayat (1) bahwa setiap
kapal harus dilengkapi ruangan atau ruangan-
ruangan untuk bersantai bagi awak kapal jika
tidak sedang bertugas yang cukup luas
disesuaikan dengan ukuran kapal dan jumlah
awak kapal. Ayat (2) juga mengatur bahwa
setiap kapal dengan ukuran lebih besar dari
GT.3000 harus mempunyai ruangan rekreasi
yang terpisah dari ruang makan untuk perwira
dan rating yang baik letaknya dan dilengkapi
dengan peralatan dan perabotan yang cukup
untuk fasilitas rekreasi, dan ayat (3) mengatur
bahwa ruangan untuk bersantai dan rekreasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) di tempat yang terbuka harus
dilengkapi dengan atap tenda tetap pencegah
sinar matahari. Ketentuan ini mengatur
standar ruangan rekreasi untuk pelaut
berdasarkan ukuran kapal.
 Keduabelas, pasal 36 ayat (1) mengatur
mengenai standar hak fasilitas sanitasi kapal
bagi pelaut. Dalam pasalnya dinyatakan bahwa
setiap kapal harus dilengkapi dengan fasilitas
sanitasi yang cukup dan layak untuk seluruh
awak kapal. Lebih lanjut, dalam ayat (2)

112
mengatur bahwa fasilitas sanitasi berupa
jamban untuk setiap kapal, selain kapal
penumpang adalah:
a. Kapal lebih kecil daei GT.800 minimum
sebanyak 3 (tiga) buah;
b. Kapal dengan ukuran GT.800 keatas
minimum 4 (empat) buah;
c. Kapal dengan ukuran GT.3000 keatas
minimum sebanyak 6 (enam) buah.
Lebih lanjut, ayat (3) mengatur bahwa fasilitas
sanitasi berupa kamar mandi dan tempat cuci
untuk setiap kapal selain kapal penumpang
diluar fasilitas kamar mandi yang ada
ditentukan:
a. Minimum 1 (satu) kamar mandi untuk 8
(delapan) orang awak kapal;
b. Minimum 1 (satu) tempat cuci untuk 8
(delapan) orang awak kapal.
Ayat (4) mengatur untuk kapal-kapal
penumpang dengan jumlah awak kapal lebih
dari 100 (seratus) orang jumlah fasilitas sanitasi
ditentukan sesuai keperluan. Ayat (5) mengatur
bahwa setiap kapal harus dilengkapi dengan
fasilitas air tawar yang cukup yang bersuhu
dingin maupun panas yang disesuaikan dengan
daerah pelayaran kapal dan ayat (6) mengatur
bahwa semua ruangan sanitasi harus dilengkapi
dengan ventilasi ke udara luar. Ketentuan ini
adalah pengaturan teknis terhadap ruangan
dalam kapal yang mengakomodir kenyamanan

113
pelaut dalam hal sanitasi yang bersih dan
nyaman.

 Ketigabelas, pasal 37 ayat (1) mengatur tentang


fasilitas ruang perawatan kesehatan di kapal,
dalam pasalnya dinyatakan bahwa setiap kapal
dengan jumlah awak kapal 15 (lima belas) orang
atau lebih harus dilengkapi dengan ruang
perawatan kesehatan yang layak dan memiliki
kamar mandi dan jamban tersendiri; Ayat (2)
menyatakan fasilitas ruang perawatan kesehatan
tidak boleh dipergunakan untuk keperlua-
keperluan lain selain untuk perawatan orang sakit.
Ayat (3), pada setiap kapal harus tersedia obat-
obatan dan bahan-bahan pembalut dalam jumlah
yang banyak. Ayat (4), untuk pemberian
pelayanan kesehatan dikapal, Nahkoda dalam
keadaan tertentu dapat meminta bantuan nasehat
dari tenaga medis di darat. Dalam ayat (5)
mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai jenis
obat-obatan dan tata cara permintaan bantuan
nasehat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan (4) diatur dalam Keputusan Menteri.
Ketentuan ini bertujuan untuk memproteksi
pelaut untuk menunjang kesehatannya selama
dalam perjalanan di atas kapal, terutama untuk
kapal besar yang berlayar jauh. Namun masih
terdapat kekurangan adanya kemungkinan terjadi
keadaan darurat pada saat berlayar dan ternyata
tidak ada yang bisa melakukan pertolongan
tertentu. Semestinya diberikan mekanisme
bagaimana supaya kapal dapat menghubungi

114
orang di luar kapal sehingga dapat memperoleh
informasi/bantuan dari interaksi luar. Keputusan
Menteri terkait juga belum mengatur hal tersebut.

2.1.3.2.3 HAK PELAUT SAAT BEKERJA DI ATAS DAN DI


LUAR KAPAL BERDASARKAN UU
KETENAGAKERJAAN
61
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan hak pelaut yang
diatur antara lain:

 Pertama, pasal 80 mengatur hak melaksanakan


ibadah pekerja, bahwa pengusaha wajib
memberikan kesempatan yang secukupnya kepada
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang
diwajibkan oleh agamanya. Pasal 80 adalah
representasi dari pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Oleh karenanya untuk
mewujudkan kebebasan atas melaksanakan ibadah
pelaut, di dalam kapal pengusaha kapal wajib
menyediakan tempat khusus dan kesempatan bagi
pelaut untuk melaksanakan ibadah sesuai
agamanya.
 Kedua, pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa
pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid
merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama

61
Supra Note 39.

115
dan kedua pada waktu haid. Ayat (2) menyatakan
bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Mengacu ke PP Pengupahan pasal 24 ayat
(3), rasa sakit haid dapat dijadikan alasan pekerja
tidak dapat bekerja karena sakit, waktu maksimal
yang diatur hanya berlaku selama 2 hari untuk haid
hari pertama dan kedua pekerja. Walaupun tidak
bekerja selama 2 hari, pekerja perempuan tetap
berhak atas upahnya secara penuh sehingga gajinya
tidak dapat dipotong atau dikenai denda jika ia tidak
hadir kerja. Ketentuan ini adalah bentuk toleransi
terhadap kondisi fisik perempuan yang harus
menghadapi masa haid setiap bulannya dan
cenderung mengalami rasa sakit.
 Ketiga, pasal 82 ayat (1) Pekerja/buruh perempuan
berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak
dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Ayat (2) mengatur bahwa pekerja/buruh perempuan
yang mengalami keguguran berhak memperoleh
istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau
bidan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
memberikan proteksi kepada pekerja perempuan
termasuk pelaut perempuan supaya dapat
melahirkan anak dengan aman dan selamat. Dengan
istirahat 1,5 bulan sebelum waktu melahirkan
diharapkan pekerja dapat dengan tenang

116
merencanakan masa bersalinnya. Begitu pula 1,5
bulan setelah bersalin, pekerja diberikan
kesempatan untuk mengurus anaknya di bulan
pertama terutama anak yang sangat membutuhkan
perhatian air susu ibu (ASI) eksklusif di awal
kelahiran sebagai masa-masa pembentukan sistem
daya tahan tubuh anak. Aturan ini juga termasuk
apabila ibu mengalami keguguran, pekerja
diberikan waktu untuk menenangkan diri selama 1,5
bulan sebelum dapat bekerja kembali.
 pasal 83 mengatur bahwa Pekerja/buruh perempuan
yang anaknya masih menyusui harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya
jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal ini mengakomodir dan memberikan hak bagi
pelaut perempuan supaya dapat memperhatikan
anaknya walaupun sibuk bekerja. Namun perlu
diingat dalam hal ini sangat tidak
memungkinkan/riskan untuk membawa anak ke
dalam kapal. Walaupun tidak ada ketentuan khusus
yang tidak memperbolehkan anak pekerja untuk
dibawa di atas kapal, namun menurut penulis harus
ada ketentuan yang jelas tidak diperbolehkan anak
usia dini dibawa ke atas kapal saat ibunya bekerja
hal ini disebabkan kondisi di atas kapal dan di atas
daratan jauh berbeda, apa lagi terhadap anak dalam
batas usia menyusui, sangat rentan dan
membutuhkan penanganan cepat apabila terjadi
sesuatu dan lain hal, sedangkan patut dipahami
fasilitas di atas kapal sangat terbatas. Pengecualian
dalam hal pekerja (pelaut perempuan) harus

117
menyusui saat mendarat kapal walaupun masih
dalam tugas kerja, pekerja harus diberikan waktu
untuk dapat menyusui anaknya.

2.1.3.3 HAK PELAUT SETELAH BEKERJA

Hak pelaut setelah bekerja berarti ketentuan hak pelaut pada


saat selesai melakukan pekerjaannya. Ketentuannya diatur
berdasarkan UU Pelayaran, PP Kepelautan dan UU
Ketenagakerjaan.

2.1.3.3.1 HAK PELAUT SETELAH BEKERJA


BERDASARKAN PP KEPELAUTAN

Berdasarkan PP Kepelautan hak pelaut yang


diatur antara lain:

 Pertama, pasal 24 ayat (1) menyatakan setiap


awak kapal berhak mendapatkan cuti tahunan
yang lamanya paling sedikit 20 (dua puluh) hari
kalender untuk setiap jangka waktu 1 (satu) tahun
bekerja; Lebih lanjut dalam ayat (2) menyatakan
atas permintaan pengusaha angkutan di perairan,
awak kapal yang mendapatkan hak cuti tahunan
dapat mengganti hak cutinya dengan imbalan
upah sejumlah hari cuti yang tidak dinikmatinya.
Ketentuan ini mengindikasikan dimungkinkan
pelaut untuk istilahnya menggadaikan waktu
cutinya dengan uang. Pasal ini adalah pasal yang
buruk sebab memungkinkan pelaut untuk
menggadaikan haknya menjadi uang. Pasal ini
sangat lekat dengan ciri khas negara-negara

118
berkembang bahwa hak seseorang seakan-akan
dapat diminimalisir dan diganti dengan uang.
Seharusnya pasal ini dirumuskan untuk menutup
kemungkinan dilakukannya pemberian imbalan
uang jika pelaut tidak menggunakan hak cutinya.
PP Kepelautan adalah instrumen hukum yang
semestinya melindungi hak pelaut (salah satunya
untuk mendapatkan cuti), bukan justru membuka
celah alternatif istilahnya melakukan “penjualan”
atas hak pelaut, pasal ini semestinya dihapus dan
diganti dengan rumusan larangan membayar
imbalan bagi pelaut jika tidak menggunakan cuti.
Mengenai ketentuan ini akan dibahas lebih lanjut
dalam bab III.
 Kedua mengenai pemulangan pekerja.
Sebelumnya telah dijelaskan ada 3 alasan
mengapa pelaut dapat dipulangkan. Pertama
karena kontrak kerjanya telah habis, kedua
karena pelaut selesai menjalani perawatan dan
pengobatan di luar negeri dan karena pelaut
meninggal.
Berdasarkan pasal 26 ayat (1) diatur tentang
hak pelaut saat masa kontraknya telah habis.
Awak kapal yang habis masa kontrak kerjanya
harus dikembalikan ke tempat domisilinya atau
ke pelabuhan di tempat perjanjian kerja laut
ditandatangani. Dalam ayat (2) diatur bahwa jika
awak kapal memutuskan hubungan kerja atas
kehendak sendiri, pengusaha angkutan
dibebaskan dari kewajiban pembiayaan untuk
pemulangan yang bersangkutan. Lebih lanjut,

119
dalam ayat (3) apabila masa kontrak dari awak
kapal habis masa berlakunya pada saat kapal
dalam pelayaran, awak kapal yang bersangkutan
diwajibkan meneruskan pelayaran sampai di
pelabuhan pertama yang disinggahi dengan
mendapat imbalan upah dan kesejahteraan
sejumlah hari kelebihan dari masa kontrak.
Pengaturan atas biaya pemulangan pelaut diatur
dalam ayat (4) yang berbunyi biaya-biaya
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3),
merupakan tanggungan pengusaha angkutan di
perairan yang meliputi biaya-biaya pemulangan,
penginapan dan makanan sejak diturunkan dari
kapal sampai tiba ditempat domisilinya.
Ketentuan dalam pasal 26 ayat (1) hingga ayat (4)
memberikan potensi perlakuan yang buruk bagi
pelaut, terutama bagi pelaut yang melakukan
pemutusan hubungan kerja atas dasar
keinginannya sendiri. Bayangkan jika PHK
dilakukan saat di tengah-tengah pelayaran dan
jauh dari domisilinya. Semestinya pemulangan
pekerja harus ditanggung pemilik kapal karena
merupakan hak normatif yang diperintahkan UU
Pelayaran. Selebihnya hak pemulangan dengan
alasan lainnya sudah baik.
 Ketiga, pasal 27 ayat (1) menyatakan apabila
pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
angkutan di perairan karena kapal musnah atau
tenggelam, pengusaha angkutan di perairan
wajib membayar pesangon kepada awak kapal
yang bersangkutan sebesar 2 (dua) kali

120
penghasilan bulan terakhir dan hak lainnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(ketentuan ini telah di bahas dalam sub bab
2.1.3.1.2 dan 2.1.3.1.3).

2.1.3.3.2 HAK PELAUT SETELAH BEKERJA


BERDASARKAN UU KETENAGAKERJAAN

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan hak pelaut yang


diatur antara lain:

 Pertama, pasal 156 ayat (1) mengatur dalam hal


terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.
Ayat (2) Perhitungan uanga pesangon
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling
sedikit sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu)
bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan
upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
upah;

121
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
g. masa kerja 6 (enam) atau lebih tetapi kurang
dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi
kurang darai 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9
(sembilan) bulan upah.
Ayat (3) mengatur perhitungan uang
penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5
(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

122
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau
lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
Ayat (4) mengatur bahwa uang penggantian hak
yang seharusnya diterima sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum
gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. pengganti perumahan serta pengobatan dan
perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Seluruh ketentuan ini dimaksudkan untuk
memberikan penghargaaan kepada pekerja yang
di-PHK dan untuk memberikan sejumlah uang
untuk menunjang hidup pekerja dan keluarga
untuk beberapa bulan ke depan sebelum pensiun
atau mencari pekerjaan lain.
 Kedua, pasal 158 ayat (4) mengatur bagi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung, selain

123
uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan
pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian keja bersama. Uang pisah dalam hal
ini diberikan kepada pekerja yang resign atau
mengundurkan diri dan uang pisah adalah
sebagai penggantian tidak memperoleh
pesangon. Uang pisah biasanya diberikan
khusus kepada karyawan yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili pengusaha secara
langsung (non-management committee).

2.1.4 RUANG LINGKUP HAK PELAUT BERDASARKAN MLC 2006

Sebelum membahas mengenai ruang lingkup pengaturan hak pelaut


berdasarkan MLC 2006, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja bagian-
bagian MLC 2006. Pengaturan dalam MLC terdiri dari 5 bab yaitu:

Bab 1 : Prasyarat minimum untuk pelaut dapat bekerja di


kapal (minimum requirements for seafarer to work
on a ship).

Bab 2 : Kondisi Kerja (condition of employment).

Bab 3 : Akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan dan katering


(accomodation, recreatioal facilities, food and
catering)

Bab 4 : Perlindungan kesehatan, perawatan medis,


perlindungan keamanan dan kesejahteraan sosial
(health protection, medical care, welfare and social
security protection)

124
Bab 5 : Penerapan dan penegakkan hukum (compliance and
enforcement)

Berdasarkan Handbook resmi petunjuk penerapan MLC 2006


disebutkan bahwa setiap pasal dalam MLC 2006 berkaitan langsung
dengan hak pelaut atau prinsip-prinsip tertentu yang menggunakan tolak
ukur dan pelaksanaan dalam bab 5. Tulisan ini hanya akan membahas
lebih spesifik pengaturan terhadap hak pelaut yang termuat dalam bab
2,3 dan 4. Bab 1 mengenai prasyarat sebagai pelaut sebagai bentuk
kewajiban pelaut tidak akan dibahas secara mendalam karena tidak
membahas mengenai hak pelaut, hanya beberapa ketentuan umum saja
yang relevan akan dibahas dalam tulisan ini. Sedangkan bab 5 MLC 2006
merupakan bab yang membahas penerapan dan penegakkan dari bab 2,3
dan 4 melalui inspeksi PSC dan lembaga otoritas pemerintah, bagian ini
tidak akan dibahas secara mendalam karena merupakan bagian yang
lebih mengatur tataran praktis dan tidak membahas hak pelaut. Oleh
karenanya penulis akan lebih mengedepankan bab 2,3 dan 4 sebagai
fokus utama pembahasan tentang hak pelaut.

Konvensi ini memiliki 3 tujuan pokok, yaitu:

(a) Untuk memberlakukan pasal dan pengaturan yang memuat


serangkaian hak dan prinsip yang tetap bagi perlindungan
pelaut (to lay down, in its Articles and Regulations, a firm set
of rights and principles);
(b) Memperkenankan bagi para negara anggota mendapat
fleksibilitas pada tingkat tertentu untuk mengimplementasi
hak-hak dan prinsip dalam konvensi (to allow, through the
Code, a considerable degree of flexibility in the way Members
implement those rights and principles); dan
(c) Untuk menjamin hak-hak pelaut dan prinsip yang ada supaya
dilakukan penerapan dan penegakkan dengan baik
berdasarkan bab 5 konvensi (to ensure, through Title 5, that

125
the rights and principles are properly complied with and
enforced).62
Fleksibilitas apa yang dimaksud dalam tujuan MLC 2016? Pertama, perlu
dimengerti bahwa terdapat ketentuan dalam MLC 2016 yang bersifat
wajib ditaati/ mandatory dan bersifat tidak wajib/non-mandatory. Hal
tersebut dibedakan dengan kode bagian A dan B. Kode A dalam konvensi
memuat klausul yang bersifat wajib ditaati dan harus diakomodir oleh
hukum nasional negara anggota sedangkan bagian B berisikan
rekomendasi berupa petunjuk untuk mengimplementasi bagian A yang
sifatnya opsional. Hal ini juga ditegaskan dalam Handbook MLC 2006
bahwa:

“Members which have ratified this Convention are not bound by the guidance
concerned and, as indicated in the provisions in Title 5 on port State control,
inspections would deal only with the relevant requirements of this Convention
(Articles, Regulations and the Standards in Part A). However, Members are
required under paragraph 2 of Article VI to give due consideration to
implementing their responsibilities under Part A of the Code in the manner
provided for in Part B. If, having duly considered the relevant Guidelines, a
Member decides to provide for different arrangements which ensure the proper
storage, use and maintenance of the contents of the medicine chest, to take the
example given above, as required by the Standard in Part A, then that is
acceptable.”63

Berdasarkan penjelasan dalam ketentuan di atas, poin terpenting dari


MLC 2006 adalah kode A, hal ini disebabkan ketentuan kode A
merupakan standar yang akan dijadikan tolak ukur minimum setiap Port
State Control (PSC) negara anggota MLC 2006, yang pengaturannya
diatur dalam bab 5 MLC 2006, untuk memperbolehkan kapal-kapal
negara lain masuk ke negaranya. Oleh karenanya sebagai negara yang
meratifikasi MLC 2006 wajib hukumnya untuk memenuhi seluruh
ketentuan kode A supaya dapat memenuhi kualifikasi setiap PSC dan
dapat berlayar di negara-negara lain. Sedangkan ketentuan kode B dapat
dijadikan pertimbangan bagi negara yang meratifikasi MLC 2006 sebagai

62
ILO, Handbook Guidance on implementing the Maritime Labour Convention, 2006 Model National
Provisions,Geneva, 2012, Page 2.
63
Supra Note 65, page 2.

126
ketentuan pedoman yang dapat diikuti atau dilaksanakan negara
berdasarkan ketentuan nasionalnya yang ekuivalen dengan kode B.
Penulis dalam tulisan ini akan membahas lebih spesifik mengenai
konsekuensi Indonesia meratifikasi MLC 2006 terutama terhadap
dampak berlakunya pengaturan Kode A terhadap hukum nasional
(termasuk kekurangan dan kelebihannya).
Kedua, fleksibilitas bagi negara anggota untuk memberlakukan
hukum yang ketentuannya setara dengan pasal VI, ayat 4 yang
menyatakan bahwa untuk mewujudkan ayat 3 apabila negara anggota
belum mampu menerapkan hak dan prinsip sesuai ketentuan bagian A di
konvensi maka penerapan bagian A dapat dilakukan melalui hukum atau
peraturan atau tolak ukur lainnya yang secara substansial ekuivalen/sama
dengan ketentuan di bagian kode A. Instrumen hukum yang ekuivalen
tersebut harus: (a) kondusif untuk terwujud secara penuh terhadap semua
lingkup dan tujuan dari bagian A konvensi; (b) instrumen hukum tersebut
mampu memberikan dampak yang sama dengan bagian A konvensi.
Fleksibilitas tersebut juga harus sejalan dengan bagian pengantar
Handbook MLC 2006 yang menyatakan bahwa:

“These model provisions cover all subjects in the MLC, 2006, but this is only for the
sake of completeness in implementing that Convention: it should not be understood
as necessarily recommending that a single law or legislation is the most appropriate
way of dealing with a particular subject, especially as in each country the situation
will differ depending on its legal system and other factors”.64
Apabila diartikan maka secara garis besar dinyatakan bahwa segala
bentuk ketentuan di dalam MLC 2006 ditujukan untuk melindungi subjek
dalam MLC 2006 secara penuh, hal ini untuk kepentingan kelengkapan
pengaturan terhadap perwujudan dari tujuan konvensi ini semata.
Konvensi ini tidak bertujuan untuk menciptakan satu hukum atau satu
produk legislasi tunggal yang diterapkan bagi setiap negara anggota
untuk mengatur pelaut secara keseluruhan, hal tersebut karena seluruh

64
Supra Note 65, page 1.

127
negara memiliki situasi dan sistem hukum serta faktor yang berbeda.
Oleh karenanya negara-negara anggota tetap diberikan fleksibilitas untuk
menyesuaikan ketentuan seperti apa yang dibutuhkan negara selama
setara dengan tujuan dan dampak dari MLC 2006. Ketentuan fleksibilitas
bagi negara anggota akan berlaku bagi pasal-pasal dalam Bab 1 hingga
Bab 4, pengecualian untuk Bab 5 tentang penerapan dan penegakan
merupakan kewajiban bagi semua negara anggota.

Ruang lingkup subjek dan objek hukum berdasarkan MLC 2006


pada umumnya terdiri dari satu objek dan tiga stakeholder utama, yaitu
kapal (ships) sebagai objek; Pelaut (seafarer), pemerintah (competent
authority) dan pemilik/operator kapal (shipowners) selaku stakeholder.
Pengeritan dari stakeholder utama dalam MLC 2006 dimuat dalam pasal
2 bagian ketentuan umum.
Berdasarkan pasal 2 huruf (a) MLC 2006 pemerintah berarti perdana
menteri, departemen pemerintah atau pihak yang memiliki otoritas dalam
menjalankan peraturan perundang-undangan, perintah atau pun
menjalankan instruksi dari yang berwenang sehingga memiliki kekuatan
hukum terhadap subjek dan aspek dalam ketentuan konvensi ini
(competent authority means the minister, government department or
other authority having power to issue and enforce regulations, orders or
other instructions having the force of law in respect of the subject matter
of the provision concerned). Selanjutnya pasal 2 huruf (f) mendefinisikan
pelaut adalah orang perseorangan yang dipekerjakan oleh pemberi kerja
atau terlibat langsung dalam kerja atau bekerja di atas kapal dalam bentuk
dan kapasitas apapun sesuai ketentuan konvensi ini (seafarer means any
person who is employed or engaged or works in any capacity on board a
ship to which this Convention applies). Kapal berdasarkan pasal 2 huruf
(i) didefinisikan sebagai semua jenis kapal yang berlayar di laut, tidak
termasuk kapal yang berlayar di perairan daratan, perairan pedalaman,
atau yang serupa atau mendekati perairan dalam (contohnya teluk, sungai,
danau) atau wilayah sekitar pelabuhan yang berlaku peraturan pelabuhan

128
(ship means a ship other than one which navigates exclusively in inland
waters or waters within, or closely adjacent to, sheltered waters or areas
where port regulations apply); Sedangkan berdasarkan pasal 2 huruf (j)
pemilik/operator kapal didefinisikan sebagai pengusaha kapal atau
organisasi atau orang perseorangan, seperti manajer kapal, agen atau
penyewa kapal, yang memiliki tanggung jawab untuk pengoperasian
kapal dari pemilik dan yang dianggap memiliki tanggung jawab terhadap
kapal, yang telah setuju untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab
yang dikenakan pada pemilik kapal sesuai dengan konvensi ini, terlepas
dari apakah organisasi atau orang tersebut telah memenuhi tugas atau
tanggung jawab atas kepentingan pemilik kapal (shipowner means the
owner of the ship or another organization or person, such as the manager,
agent or bareboat charterer, who has assumed the responsibility for the
operation of the ship from the owner and who, on assuming such
responsibility, has agreed to take over the duties and responsibilities
imposed on shipowners in accordance with this Convention, regardless
of whether any other organization or persons fulfil certain of the duties
or responsibilities on behalf of the shipowner). Dalam pengertian subjek
dan objek MLC 2006, terdapat perbedaan yang kontras dengan hukum
positif Indonesia (salah satunya terhadap ketentuan pemilik kapal
termasuk penyewa kapal, sedangkan berdasarkan KUHD Indonesia,
pemilik kapal tidak termasuk penyewa kapal). Konsekuensi yuridis dari
tindakan pemerintah meratifikasi MLC 2006 terkait dengan definisi di
atas akan dibahas lebih rinci di bab 3.

2.1.4.1 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 1 MLC 2006


Dalam Bab 1 mengatur tentang kondisi kerja bagi pelaut.
Dalam bab ini terdapat 4 subbab/Regulation yang meliputi:
Regulation 1.1 : Umur Minimum Pelaut (Minimum
Age)

129
Regulation 1.2 : Sertifikat Kesehatan (Medical
Certificate)
Regulation 1.3 : Pelatihan dan Kualifikasi
(Trainning and Qualifications)
Regulation 1.4 : Rekrutmen dan Penempatan
(Recruitment and Placement)

Tujuan dari Regulation 1.1 adalah menjamin tidak ada pelaut


di bawah umur yang bekerja di atas kapal. Umur minimum
pekerja pelaut muda adalah 16 tahun. Setiap negara bebas
untuk memberlakukan standar umur yang lebih tua namun
tidak boleh lebih muda dari pada 16 tahun.

Regulation 1.1-Standard A1.1

Umur : Diatur dalam pasal 1-4 Standar A1.1


minimum konvensi MLC yaitu:
pelaut Pasal 1 menyatakan hubungan kerja di atas
kapal dengan pekerja di bawah usia 16
tahun adalah dilarang.

Pasal 2 menyatakan pekerjaan di malam


hari oleh pekerja di bawah 18 tahun adalah
dilarang. Pengertian “malam” dalam
konvensi ini didefinisikan berdasarkan
masing-masing hukum nasional negara
anggota dan berdasarkan tataran praktek.
Malam dalam hal ini setidaknya periode
waktu di atas 9 jam kerja dan tidak lebih
awal dari jam 5 pagi.

130
Pasal 3 menyatakan pengecualian terhadap
larangan kerja malam dapat ditentukan
pihak yang berwenang apabila:
(a) Berhubungan dengan efektivitas
pelatihan pelaut, termasuk adaya
program tertentu atau jadwal tertentu
yang apabila tidak dilakukan di malam
hari akan sangat menggangu; atau
(b)Pekerjaan tertentu yang berdasarkan
program yang ada harus dilakukan
malam hari dan diatur oleh pihak yang
berwenang (negara) setelah
berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha kapal dan pelaut, bahwa
pekerjaan tersebut tidak akan
menyebabkan kerusakan pada
kesehatan dan kesejahteraan pekerja.

Pasal 4, hubungan kerja yang melibatkan


pekerja di bawah umur 18 tahun pada
dasarnya adalah dilarang ketika pekerjaan
tersebut dapat merusak kesehatan dan
keselamatan pekerja. Pekerjaan yang
demikian harus ditentukan oleh hukum
nasional atau pihak yang berwenang setelah
berkonsultasi dengan organisasi pengusaha
kapal dan pelaut, yang turut serta
mempertimbangkan standar internasional
yang berkaitan lainnya.

Pasal 1-4 Regulation 1.1-Standar A1.1 pada dasarnya


mengatur ketentuan usia minimum pelaut. Pelaut muda wajib

131
minimal berusia 16 tahun dan dilarang bekerja di malam hari
kecuali terdapat pelatihan tertentu yang diselenggarakan
kapal harus dilaksanakan di malam hari, misalnya latihan
inspeksi ruangan di atas kapal pada saat malam hari, pelatihan
seperti ini tidak mungkin di lakukan siang hari karena dapat
menggangu aktivitas di atas kapal. Sedangkan untuk pekerja
di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan di bagian yang dapat
merusak kesehatan pelaut muda, misalnya pelaut navigator
yang harus siap sedia setiap waktu. Posisi seperti ini tidak
boleh diberikan kepada pelaut usia muda. Pengaturan ini
sangat baik supaya semakin memperketat pengaturan
terhadap pekerja muda agar tidak dieksploitasi oleh pekerja
dan menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan pelaut muda.

Tujuan dari Regulation 1.2 adalah untuk menjamin seluruh pelaut


saat bekerja dinyatakan sehat sehingga dapat menjalankan tugasnya
dengan baik. Seluruh pelaut diwajibkan untuk memiliki sertifikat
kesehatan yang menyatakan mereka layak untuk bekerja dan sehat.
Ada pun pengecualian-pengecualian tertentu juga diatur dalam bagian
ini.

Regulation 1.2-Standard A1.2


Sertifikat : Pasal 1 mengatur bahwa setiap negara
Kesehatan anggota harus melakukan prasyarat bagi
pelaut sebelum bekerja di atas kapal, pelaut
wajib memiliki sertifikat kesehatan yang
valid, yang di dalamnya menyatakan bahwa
pekerja secara medis dinyatakan sehat untuk
melakukan pekerjaan di atas kapal laut.

132
Pasal 2, untuk menjamin sertifikat kesehatan
yang dimaksud dapat dibuktikan merupakan
sertifikat yang asli dan mendeskripsikan
kesehatan pelaut yang senyata-nyatanya,
sehingga pekerja dianggap mampu
melakukan tugasnya dengan baik, pihak
yang berwenang, setelah berkonsultasi
dengan organisasi pengusaha kapal dan
organisasi pelaut, dan memberikan
pertimbangan pada Guideline dalam bagian
kode B Regulation 1.2, wajib menentukan
mekanisme pemeriksaan kesehatan dan
pemberian sertifikat bagi pelaut.

Pasal 3, dalam standar ini, tanpa


mengesampingkan International Convention
on Standards of Training, Certification and
Watchkeeping for Seafarers, 1978 beserta
hasil amandemen (STCW). Sertifikat
kesehatan yang telah dikeluarkan
berdasarkan syarat dalam STCW tetap
berlaku bagi setiap negara anggota, dengan
tujuan untuk memenuhi ketentuan
Regulation 1.2 kode A, sebaliknya apabila
tidak sesuai STCW dan berdasarkan
ketentuan dalam konvensi ini maka dapat
diterima pula.

Pasal 4, sertifikat kesehatan yang dimaksud


harus diterbitkan oleh pihak yang sesuai dan
terkualifikasi sebagai praktisi medis atau

133
dalam hal terhadap sertifikat yang
berhubungan dengan penglihatan mata,
harus diperiksa oleh pihak yang
berkompeten sehingga dapat menerbitkan
sertifikat kesehatan yang dimaksud. Praktisi
kesehatan dalam hal ini harus berasal dari
kalangan profesional yang independen
dalam memberikan, menyelenggarakan
pemeriksaan dan menyatakan hasil prosedur
pemeriksaan medis.

Pasal 5, pelaut yang sebelumnya pernah


ditolak atau memiliki keterbatasan tertentu
dalam melakukan pekerjaan sebagai pelaut,
dalam hal waktu tertentu, pekerjaan tertentu
atau pada bagian trading area (kawasan
perdagangan), pelaut tersebut harus
diberikan kesempatan untuk dicek kembali
oleh praktisi kesehatan independen atau
praktisi kesehatan yang ditunjuk.

Pasal 6, setiap sertifikat kesehatan harus


mencantumkan:
1. Kemampuan mendengar dan melihat
dari pelaut, penglihatan dan pewarnaan
pelaut apabila ditempatkan dalam
pekerjaan yang mengutamakan
kejelasan penglihatan pelaut, dan segala
ketentuan lainnya yang harus dicapai;
dan

134
2. Pelaut yang dapat bekerja adalah pelaut
yang dinyatakan tidak menderita
penyakit yang dapat memperburuk
kondisinya apabila bekerja di laut,
mengurangi ketsabilan kesehatannya
atau bahkan membahayakan kesehatan
orang lain di atas kapal.
Pasal 7, kecuali terdapat periode waktu yang
lebih singkat yang dibutuhkan sehingga
menjadi alasan tugas tertentu dapat
dilakukan suatu pekerjaan oleh pelaut atau
berdasarkan ketentuan STCW:
(a) Sertifikat kesehatan harus valid
maksimum selama periode 2 tahun
kecuali apabila pelaut di bawah 18
tahun maka sertifikatnya hanya berlaku
1 tahun;
(b) Sertifikat penglihatan warna dianggap
valid selama periode waktu 6 tahun;
Pasal 8, dalam keadaan mendesak, pihak
yang berwenang dapat meminta izin atas
kesediaan pelaut untuk bekerja tanpa
sertifikat kesehatan yang valid hingga ke
pelabuhan selanjutnya di mana pelaut dapat
memperoleh sertifikat yang dimaksud dari
praktisi medis, yang menyediakan ketentuan
bahwa:
(a) Periode dari dispensasi diberikan
tidak lebih dari 3 bulan;
(b) Waktu saat sertifikat pelaut telah
habis waktu.

135
Pasal 9, apabila di tengah perjalanan
sertifikasi kesehatan telah habis jangka
waktu, sertifikasi kesehatan dianggap tetap
berlaku hingga pelabuhan selanjutnya di
mana yang menyediakan sertifikat kesehatan
dari praktisi medis yang terkualifikasi degan
waktu tidak lebih dari 3 bulan perpanjangan.
Pasal 10, sertifikat kesehatan yang diberikan
kepada pelaut dengan pelayaran
internasional harus dibuat dalam bahasa
Inggris.

Ketentuan dalam Regulation 1.2-Standard A1.2 mengatur


mengenai ketentuan sertifikat kesehatan bagi pelaut. Untuk
menghindari resiko yang begitu besar saat bekerja di laut, maka
pelaut harus memiliki kapasitas kesehatan yang baik sejak sebelum
bekerja. Salah satu tolak ukur kesehatan pelaut adalah dengan
adanya sertifikasi terhadap kesehatannya, terutama meliputi
penglihatan, pendengaran. Sertifikasi harus diberi jangka waktu,
terutama lebih singkat untuk pelaut muda karena kesehatan mereka
masih dalam tahap pertumbuhan sehingga harus selalu diperiksa
lebih rutin dari pada pelaut dewasa. Adanya sertifikasi kesehatan
akan semakin menjamin performa kerja pelaut saat bekerja di atas
kapal.
Ada pun ketentuan konvensi internasional beserta standar lainnya
yang perlu diperhatikan dapat dilihat berdasarkan kode B1.2
mengenai pedoman internasional. Bahwa dalam seluruh pengaturan
mengenai sertifikasi kesehatan harus turut serta memperhatikan
ketentuan ILO/WHO Guidelines for Conducting Pre-sea and
Periodic Medical Fitness Examinations for Seafarers, termasuk
ketentuan baru lainnya, dan seluruh ketentuan internasional lainnya

136
yang dikeluarkan oleh International Labour Organization,
International Maritime Organization dan World Health
Organization.

Tujuan dari Regulation 1.365 adalah menjamin pelaut telah terlatih


dan terkualifikasi saat melaksanakan pekerjaannya di atas kapal.
Ketentuan ini menjamin tidak ada pelaut yang tidak terlatih dan
tersertifikasi dapat bekerja di atas kapal. Begitu pula dengan pekerja
yang belum berhasil menempuh pelatihan hingga tuntas, tidak
diperkenankan unuk dipekerjakan di atas kapal demi keselamatan
kerja pelaut. Ada pun pengecualian terhadap ketentuan ini apabila
setiap negara anggota yang pada saat ratifikasi Konvensi ini, masih
terikat dengan Certification of Able Seamen Convention, 1946 (No.
74), tetap akan tunduk untuk melaksanakan kewajibannya
berdasarkan Konvensi tersebut kecuali dan sampai ketentuan wajib
dalam konvensi tersebut telah diadopsi oleh International Maritime
Organization mulai berlaku, atau sampai lima tahun telah berlalu
sejak mulai berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ayat 3 Pasal VIII,
atau pun apabila pada tanggal yang lebih awal.
Tujuan dari Regulation 1.4 adalah untuk menjamin setiap pelaut
memiliki akses dalam rekrutmen dan penempatan kerja berdasarkan
sistem yang efisien dan teratur. Maksud dari aturan ini adalah setiap
negara harus mampu menyediakan prosedur dan mekanisme
rekrutmen dan penempatan kerja yang efisien, memadai, akuntabel
dalam menyediakan lapangan pekerjaan di atas kapal, terutama sistem
tersebut tidak memungut biaya apapun bagi pelaut. Ada pun standar
sistem yang dimaksud adalah jasa rekrutmen dan penempatan pekerja

65
Dalam Regulation 1.3 tidak diatur mengenai standar tertentu, nampaknya hal tersebut
dimengerti oleh pembuat MLC bahwa setiap negara memiliki kualifikasi tersendiri terhadap
pelatihan dan kualifikasi pelaut nasional. Ada pun standar sertifikasi yang dirasa masih dapat
mengakomodir yaitu berdasarkan ketentuan Certification of Able Seamen Convention, 1946 (No.
74).

137
pelaut harus mengikuti standar dalam kode A. ketentuan ini juga
bertujuan bagi negara yang tidak meratifikasi MLC 2006 dapat
memberlakukan rekrutmen dan penempatan kerja yang serupa.
Dengan dimulainya rekrutmen dan penempatan kerja yang sistematis
dan bebas dari biaya, akan ada banyak pelaut yang akan mendaftar
untuk mencari kerja, negara yang memberlakukan sistem yang tidak
sama dengan negara anggota MLC pada akhirnya mau tidak mau akan
melakukan hal yang sama supaya tidak kehilangan pekerja pelaut di
dalam negeri sendiri, mereka akan memberlakukan sistem yang
serupa supaya pelaut lokal tetap mau bekerja di bawah naungan
pengusaha kapal nasional. Dampak seperti ini yang diharapkan ingin
diwujudkan MLC.

Regulation 1.4-Standard A1.4


Rekrutmen dan : Pasal 1, setiap negara anggota yang
penempatan menyelenggarakan rekrutmen dan
pelaut penempatan kerja pelaut harus menjamin jasa
yang dilakukan dapat melindungi dan
mempromosikan hak pelaut yang diatur
dalam MLC.

Pasal 2, apabila negara anggota memiliki


sistem rekrutmen dan penempatan kerja
pelaut yang memperbolehkan pengelola
swasta demi peluang rekrutmen dan
penempatan kerja yang lebih banyak, pihak
swasta tersebut harus dioperasikan
berdasarkan sistem dan lisensi yang
terstandardisasi, tersertifikasi berdasarkan
ketentuan aturan yang ada. Sistem tersebut
harus dibangun atau termodifikasi atau

138
diganti dengan turut melibatkan konsultasi
dengan organisasi pengusaha kapal dan
pelaut. Apabila muncul keraguan apakah
MLC memperbolehkan adanya pihak swasta
sebagai pengelola rekrutmen dan
penempatan pelaut, hal tersebut akan
dikembalikan kepada kebijakan setiap negara
anggota. Pada dasarnya MLC melarang
adanya penyebaran dan perkembangan
pengelola rekrutmen dan penempatan kerja
pelaut swasta yang tidak melaksanakan
prosedur sepantasnya.

Pasal 3, ketentuan dalam pasal 2 dalam


standar ini wajib dilaksanakan disertai
dengan konsultasi terhadap organisasi
pengusaha kapal dan pelaut, dalam hal
apabila rekrutmen dan penempatan pekerja
dilaksanakan oleh organisasi pelaut di
teritorial negara anggota yang merekrut
pelaut nasional di bawah kapal nasional,
maka berlaku ketentuan:
(a) Rekrutmen dan penempatan pelaut
dioperasikan berdasarkan perjanjian
kolektif antara organisasi pelaut dan
pemilik kapal;
(b) Organisasi kapal dan pemilik kapal
berada di bawah teritorial negara
anggota;
(c) Negara anggota harus memiliki
hukum nasional dan aturan lainnya

139
yang memberikan kewenangan dan
izin terhadap perjanjian kolektif
antara organisasi pelaut dan pemilik
kapal terhadap rekrutmen dan
penempatan pelaut; dan
(d) Jasa rekrutmen dan penempatan
pekerja dioperasikan dengan tujuan
menjadi tempat tolak ukur
perlindungan dan media promosi
terhadap hak dipekerjakan pelaut
yang dapat diukur dalam pasal 5
ketentuan ini.

Pasal 4, berdasarkan standar ketentuan ini,


tidak dimaksudkan untuk:

(a) Mencegah negara anggota untuk


menyediakan rekrutmen dan
penempatan pelaut publik yang gratis
dengan berlandaskan aturan yang
jelas supaya memenuhi kebutuhan
dan kepentingan pelaut dan
pengusaha kapal, baik jasa tersebut
merupakan sebagian diselenggarakan
pemerintah atau diselenggarakan
pemerintah sepenuhnya untuk
pekerja pelaut;
(b) Membebani negara anggota terhadap
kewajiban untuk membangun suatu
sistem untuk pengoperasian

140
rekrutmen dan penempatan pelaut
swasta di wilayah teritorialnya.

Pasal 5, negara anggota yang mengadopsi


sebuah sistem seperti yang dimaksud dalam
pasal 2 standar ini, harus memberlakukan
tolak ukur minimum dalam hukumnya
berupa:
(a) Melarang adanya tindakan
penyelenggaraan rekrutmen dan
penempatan pekerja yang bertujuan
untuk mencegah atau menghalangi
pelaut yang terkualifikasi untuk
bekerja;
(b) Memberlakukan prasyarat rekrutmen
dan penempatan kerja bebas biaya
baik untuk pelaut yang ditanggung
secara langsung atau tidak langsung,
baik secara keseluruhan atau
sebagian, kecuali dalam hal biaya
untuk memperoleh sertifikat
kesehatan nasional, buku siijil dan
paspor serta dokumen perjalanan
lainnya, yang termasuk visa harus
ditanggung oleh pemilik kapal; dan
(c) Menjamin rekrutmen dan
penempatan pelaut di teritorial negara
anggota:
(i) Menyediakan mekanisme
registrasi pelaut yang up-to-
date sehingga mempermudah

141
dilakukannya inspeksi oleh
pihak yang berwenang;
(ii) Memastikan bahwa pelaut
diinformasikan mengenai hak
dan kewajibannya sebelum
berlakunya perjanjian kerja
atau pada saat kesepakatan
tercapai, bahwa terdapat
jangka waktu dalam sebelum
dan setelah perjanjian
dilakukan pelaut diberi
kesempatan untuk memeriksa
perjanjian kerjanya, dan pada
saat telah ditandatangani
perjanjian tersebut maka
mereka berhak untuk
memperoleh copy dari
perjanjian tersebut;
(iii) Memberlakukan verifikasi
pelaut yang terkualifikasi
bahwa mereka telah direkrut
dan ditempatkan kerjanya
dengan bukti dokumen
penting yang diprasyaratkan
dalam pekerjaannya,
perjanjian kerja berdasarkan
ketentuan peraturan
perundang-undangan nasional
yang ada dan termasuk
perjanjian kolektif yang

142
menjadi bagian dari
perjanjian kerja pelaut;
(iv) Memastikan, sepanjang dapat
diterapkan, semua pemilik
kapal dapat menjamin untuk
melindungi seluruh pelaut
untuk tidak terdampar di
pelabuhan asing;
(v) Memeriksa dan menanggapi
berbagai keluhan terhadap
segala bentuk aktivitas pelaut
dan memberikan
pertimbangan kepada pihak
yang berwenang dalam
menyelesaikan permasalahan
yang ada;
(vi) Membangun suatu sistem
proteksi, dengan cara asuransi
atau cara lainnya yang
ekuivalen, sebagai bentuk
kompensasi kepada pelaut
terhadap kerugiaan yang akan
muncul akibat hasil
rekrutmen dan penempatan
kerja yang gagal atau terhadap
kerugian akibat melanggar
hak dan kewajiban lainnya
berdasarkan perjanjian kerja
dengan pemilik kapal dan
pelaut;

143
Pasal 6, pihak yang berwenang wajib
melakukan pengawasan dan kontrol terhadap
seluruh rekrutmen dan penempatan kerja
pelaut yang diselenggarakan di teritorialnya.
Segala bentuk lisensi, sertifikat atau bentuk
kebijakan lainnya baik termasuk
operasionnal yang dilakukan swasta, izin
perpanjangan hanya dapat diberikan oleh
pemerintah apabila pihak pengelola
rekrutmen dan penempatan pelaut telah
terbukti dapat mencapai prasyarat yang telah
ada sesuai hukum nasional dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7, pihak yang berwenang harus dapat


menjamin terdapat perlengkapan dan
prosedur yang cukup dalam investigasi
terhadap, apabila dibutuhkan, setiap keluhan
yang berkaitan dengan aktivitas rekrutmen
dan penempatan pelaut, termasuk melibatkan
perwakilan pemilik kapal dan pelaut.

Pasal 8, setiap negara anggota yang telah


meratifikasi konvensi ini harus, sepanjang
dapat diterapkan, memberikan masukan
terhadap otoritas nasional terhadap segala
bentuk permasalahan terkait pendaftaran
kapal yang berlayar dengan bendera negara
yang tidak meratifikasi konvensi ini,

144
penyelesaian dilakukan semaksimal mungkin
setara dengan penyelesaian berdasarkan
ketentuan konvensi ini atau yang ekuivalen
dengan konvensi ini. Penyelesaian yang
ekuivalen dapat dilakukan sepanjang tidak
melanggar prinsip kebebasan berlayar bagi
seluruh pelaut yang telah ditetapkan dalam
perjanjian internasional antara para pihak.

Pasal 9, setiap negara anggota yang telah


meratifikasi konvensi ini harus
mengupayakan setiap rekrutmen dan
penempatan kerja yang diselenggarakan
secara nasional, apabila dapat diterapkan,
harus memastikan jasa tersebut sesuai
dengan standar konvensi ini.

Pasal 10, segala ketentuan dalam standar ini


tidak bermaksud untuk mengurangi segala
bentuk kewajiban dan tanggung jawab
terhadap pemilik kapal yang berlayar dengan
bendera negara anggota.

Regulation 1.4-Standard mengatur mengenai prosedur dan tata cara


rekrutmen dan penempatan kerja pelaut. Standar ini mengharuskan
adanya sistem dan kontrol terhadap rekrutmen dan tata cara
penempatan pelaut yang sistematis. Hal ini untuk menjamin supaya
baik pengelola rekrutmen dan penempatan pelaut baik swasta atau
pun pemerintah tidak ada yang melakukan penyimpangan sehingga
merugikan hak pelaut. Ada pun kerugian yang dimaksud misalnya
dipungutnya biaya bagi setiap rekrutmen dan penempatan kerja

145
pelaut, eksploitasi terhadap pelaut dengan bekerja melewati jasa
rekrutmen dan penempatan kerja yang tidak baik, pengawasan yang
rendah, sistem yang buruk dalam registrasi pelaut dan lain
sebagainya. Standar-standar yang diakomodir dalam regulasi ini
pada dasarnya ingin menjamin supaya pelaut dapat memperoleh
kerja secara adil, dengan mekanisme yang jelas, sistematis,
berlandaskan hukum, mengutamakan proteksi terhadap pekerja dan
memberikan pekerjaan sesuai dengan kualifikasi pelaut. Regulasi
ini juga bermaksud dilakukannya penyelerasan standar rekrutmen
dan penempatan kerja pelaut yang seragam, maksudnya adalah
segala bentuk rekrutmen dan penempatan kerja pelaut diusahakan
supaya minimal sesuai dengan standar MLC, sehingga pada
nantinya diharapkan tidak ada lagi prosedur rekrutmen dan
penempatan kerja pelaut yang merugikan hak pelaut.

2.1.4.2 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 2 MLC 2006


Dalam Bab 2 mengatur tentang kondisi kerja bagi pelaut.
Dalam bab ini terdapat 8 subbab/Regulation yang meliputi:
Regulation 2.1 : Perjanjian Kerja Bagi Pelaut
(Seafarers’ Employment Agreements)

Regulation 2.2 : Upah (Wages)

Regulation 2.3 : Jam Kerja dan Jam Istirahat (Hours of


Work And Hours of Rest)

Regulation 2.4 : Hak Untuk Cuti (Entitlement to


Leave)

Regulation 2.5 : Hak Repatriasi (Repatriation)

Regulation 2.6 : Kompensasi Bagi Pelaut untuk Kapal


yang Hilang atau Tenggelam

146
(Seafarer compensation for the ship’s
loss or foundering)

Regulation 2.7 : Kemampuan Berlayar (Manning


Levels)

Reglation 2.8 : Karir dan Jenjang Karir dan


Kesempatan Kerja Bagi Pelaut
(Career and skill development and
opportunities for seafarers’
employment)

Tujuan dari Regulation 2.1 adalah untuk menjamin setiap


pelaut memiliki perjanjian kerja yang adil. Seluruh perjanjian
kerja bagi pelaut diwajibkan untuk konsisten terhadap
pengaturan dalam konvensi MLC 2006, perjanjian kerja wajib
tertuang dalam bentuk tertulis dan dapat dilaksanakan.
Adapaun perjanjian kerja pelaut harus disepakati oleh pelaut
dan pelaut diberikan hak untuk melihat dan berkonsultasi,
bertanya terhadap ketentuan kerja yang berlaku dan pada saat
menyepakati dan menandatangani perjanjian kerja tidak ada
unsur paksaan atau tidak ada unsur ketidakbebasan dari pelaut
untuk menentukan. Adapun ketentuan yang diatur dalam
konvensi ini yaitu:

Regulation 2.1-Standard A2.1

Perjanjian Kerja : Diatur dalam pasal 1-6 Standar A2.1


bagi Pelaut Konvensi ini yaitu:
Pasal 1, Setiap Anggota harus menerapkan
undang-undang atau peraturan yang
mengharuskan kapal-kapal yang berlayar

147
sesuai bendera negara anggota untuk
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(a) pelaut yang bekerja di kapal yang
mengibarkan bendera negara
anggota harus memiliki perjanjian
kerja pelaut. Perjanjian ini harus
ditandatangani oleh pelaut dan
pemilik kapal atau perwakilan dari
pemilik kapal (atau, bila mereka
bukan pekerja harus terdapat bukti
kontrak atau pengaturan serupa)
pemilik kapal wajib menyediakan
mereka dengan kondisi kerja yang
layak saat berlayar seperti yang
dipersyaratkan oleh Konvensi ini;
(b) pelaut yang ingin menandatangani
perjanjian kerja pelaut harus diberi
kesempatan untuk memeriksa dan
meminta pertimbangan sebelum
sepakat dan melakukan
penandatanganan, termasuk untuk
menyepakati dan menjamin fasilitas
lainnya yang diperlukan dan untuk
memastikan bahwa pelaut telah
bebas menandatangani perjanjian
kerja tersebut dengan pemahaman
yang cukup dan penuh dengan
tanggung jawab;
(c) pemilik kapal dan pelaut wajib
memiliki kontrak asli dari perjanjian
pekerja;

148
(d) langkah-langkah harus diambil
untuk memastikan bahwa informasi
yang jelas mengenai kondisi
pekerjaan mereka dapat dengan
mudah diperoleh di atas kapal oleh
pelaut, termasuk siapa kepala kapal
di dalam kapal, dan bahwa informasi
tersebut, termasuk salinan perjanjian
kerja pelaut, juga harus dapat
diakses untuk dapat diperiksa oleh
petugas yang kompeten ketika tiba
di pelabuhan yang dikunjungi; dan
(e) pelaut harus diberikan sebuah
dokumen yang berisi catatan
terhadap riwayat pekerjaan mereka
di atas kapal.

Pasal 2, penyediaan peraturan kerja sesuai


dengan kesepakatan kerja bersama juga
harus terdapat di atas kapal dan mudah
diakses bagi pelaut, apabila bahasa asal dari
para pelaut tidak sama dengan perjanjian
kerja bersama maka harus disediakan dalam
bahasa Inggris (kecuali untuk kapal yang
hanya berlayar dalam perjalanan domestik)
dalam bentuk:
(a) satu rangkap fotokopi perjanjian
standar; dan
(b) kesepakatan kerja bersama yang
keduanya digunakan untuk inspeksi

149
setiap pelabuhan sesuai Regulation
5.2.
Pasal 3, dokumen berdasarkan pasal 1 (e)
dari standar ini tidak boleh memuat
pernyataan apapun terkait kualitas kerja dan
upah dari pelaut. Isi dari dokumen tersebut
serta ketentuan daftar riwayat kerja wajib
ditentukan oleh hukum nasional.

Pasal 4, setiap anggota yang meratifikasi


MLC 2006 wajib menerapkan undang-
undang dan peraturan yang menentukan isi
atau ketentuan dalam perjanjian kerja semua
pelaut yang diatur dalam hukum nasional.
perjanjian kerja pelaut harus memuat:
(a) nama lengkap pelaut, tanggal lahir
atau usia, dan kelahiran;
(b) nama pemilik kapal dan alamatnya;
(c) tempat di mana dan tanggal
perjanjian kerja pelaut disepakati;
(d) kapasitas di mana pelaut tersebut
akan dipekerjakan;
(e) jumlah upah pelaut atau rumus apa
yang digunakan untuk menghitung
jumlah upah yang diberikan;
(f) jumlah cuti tahunan atau, mana yang
berlaku, rumus yang digunakan
untuk menghitung jumlah cuti yang
diberikan;
(g) penghentian perjanjian dan kondisi
daripadanya, termasuk:

150
(i) jika kesepakatan telah dibuat
untuk jangka waktu tidak tertentu,
apabila salah satu pihak mengakhiri
perjanjian, serta berdasarkan periode
pemberitahuan yang diperlukan,
yang tidak kurang untuk pemilik
kapal daripada pelaut;
(ii) jika kesepakatan telah dibuat
untuk jangka waktu tertentu, maka
sesuai tanggal tetap untuk perjanjian
tersebut berakhir; dan
(iii) jika kesepakatan telah dibuat
untuk sebuah perjalanan hingga
sampai ke pelabuhan tujuan
sehingga perjanjian tersebut
berakhir setiba pelaut tersebut di
pelabuhan;
(h) ketentuan terhadap proteksi
kesehatan dan perlindungan
jaminan sosial yang akan diberikan
kepada pelaut dari pemilik kapal;
(i) hak pelaut untuk repatriasi;
(j) ketentuan yang mengacu pada
kesepakatan tawar-menawar
kolektif, jika berlaku; dan
(k) setiap keterangan lain yang diatur
dalam hukum nasional yang
berlaku.

Pasal 5, setiap negara anggota harus


mengadopsi undang-undang atau peraturan

151
yan mengatur pemberitahuan minimum
waktu yang akan diberikan oleh pelaut dan
pemilik kapal untuk melakukan
pemberhentian perjanjian kerja pelaut.
Lamanya periode minimum tersebut akan
ditentukan setelah berkonsultasi dengan
pemilik kapal dan pelaut organisasi yang
bersangkutan, tetapi tidak boleh kurang dari
tujuh hari.
Pasal 6, jangka waktu pemberitahuan
minimum dapat diatur berdasarkan hukum
nasional atau regulasi yang berlaku atau
diatur pula dalam perjanjian kerja bersama,
bahwa diatur ketentuan tentang
pemberhentian perjanjian kerja melalui
waktu pemberitahuan atau pun tanpa
pemberitahuan sama sekali. Dalam
menentukan hal tersebut, setiap negara
anggota harus menjamin saat pelaut
diberhentikan, tidak ada denda yang
dikenakan, dan ada alasan yang menjadi
tolak ukur diberikannya pemberitahuan
dengan jangka watu, tanpa pemberitahuan
atau karena alasan yang memaksa sehingga
pelaut tersebut diberhentikan.

Bagian pasal 1-6 Regulation 2.1 Standar A2.1 mengatur


adanya keharusan negara yang meratifikasi MLC 2006
menyediakan minimal prasyarat terhadap perjanjian kerja
pelaut. Dalam pasal 1 huruf (a) perjanjian kerja pelaut
wajib tertulis, ditandatangani para pihak, perjanjian kerja

152
yang tertulis dalam hal ini berfungsi sebagai bukti
kesepakatan bahwa pemberi kerja wajib menyediakan
kondisi kerja dan fasilitas kerja yang layak saat berlayar
seperti yang telah dipersyaratkan. Di samping itu, setiap
pihak wajib memiliki dan memegang kontrak asli yang
nantinya harus dibuktikan saat dicek PSC setiap berlabuh.
Informasi-informasi penting sesuai perjanjian kerja asli
juga harus tersedia di atas kapal, termasuk riwayat
pekerjaan pelaut di atas kapal, peraturan kerja kapal yang
sesuai dengan bahasa asal pelaut dan bahasa Inggris.

Sebelum melakukan kesepakatan, pelaut harus diberikan


kebebasan dan kesempatan untuk melihat klausul dalam perjanjian
dan tanpa paksaan dari pihak mana pun saat menyepakati
perjanjian. Ada pun standar minimal perjanjian kerja pelaut
menurut MLC adalah:

a) nama lengkap pelaut, tanggal lahir atau usia, dan kelahiran;


b) nama pemilik kapal dan alamatnya;
c) tempat di mana dan tanggal perjanjian kerja pelaut disepakati;
d) kapasitas di mana pelaut tersebut akan dipekerjakan;
e) jumlah upah pelaut atau rumus apa yang digunakan untuk
menghitung jumlah upah yang diberikan;
f) jumlah cuti tahunan atau, mana yang berlaku, rumus yang
digunakan untuk menghitung jumlah cuti yang diberikan;
g) penghentian perjanjian dan kondisi daripadanya, termasuk:
(ii) jika kesepakatan telah dibuat untuk jangka waktu
tidak tertentu, apabila salah satu pihak mengakhiri
perjanjian, serta berdasarkan periode pemberitahuan yang
diperlukan, yang tidak kurang untuk pemilik kapal
daripada pelaut;

153
(iii) jika kesepakatan telah dibuat untuk jangka waktu
tertentu, maka sesuai tanggal tetap untuk perjanjian
tersebut berakhir; dan
(iv) jika kesepakatan telah dibuat untuk sebuah perjalanan
hingga sampai ke pelabuhan tujuan sehingga perjanjian
tersebut berakhir setiba pelaut tersebut di pelabuhan;
h) ketentuan terhadap proteksi kesehatan dan perlindungan
jaminan sosial yang akan diberikan kepada pelaut dari pemilik
kapal;
i) hak pelaut untuk repatriasi;
j) ketentuan yang mengacu pada kesepakatan tawar-menawar
kolektif, jika berlaku; dan
k) setiap keterangan lain yang diatur dalam hukum nasional yang
berlaku.

Dalam pasal 6 disebutkan bahwa negara juga harus menyediakan


suatu prosedur minimum waktu apabila akan dilakukan pemutusah
hubungan kerja pelaut berdasarkan alasan-alasan yang diatur
pemerintah dan tidak boleh kurang dari 7 hari. Namun terdapat
inkonsistensi antara pasal 6 dan pasal 7 MLC 2006. Pasal 7 justru
memperbolehkan apabila dalam keadaan tertentu berdasarkan
hukum nasional atau perjanjian kolektif, pekerja dapat tidak
diberitahukan telah diberhentikan oleh pemberi kerja.

“A notice period shorter than the minimum may be given in


circumstances which are recognized under national law or regulations
or applicable collective bargaining agreements as justifying
termination of the employment agreement at shorter notice or without
notice...”
Dalam pasal 7 tidak dijelaskan dalam keadaan seperti apa pelaut
tidak perlu diberitahukan apabila dilakukan pemberhentian atau

154
pemutusan hubungan kerja. Ketentuan seperti ini sebaiknya perlu
dikaji lebih lanjut oleh hukum nasional.

Tujuan dari Regulation 2.2 adalah untuk menjamin pelaut


medapatkan upah secara berkala, dalam jumlah penuh dan sesuai
dengan perjanjian kerja. Adapun ketentuan yang diatur dalam
konvensi ini yaitu:

Regulation 2.2-Standard A2.2

Upah Pelaut : Pengaturan upah pelaut diatur dalam pasal


1-6 Standar A2.2. Pasal 1 menyatakan setiap
negara wajib menyediakan pengaturan
terhadap pembayaran upah pelaut dalam
jangka waktu tidak lebih dari per 1 bulan dan
harus berlaku bagi semua peraturan kerja
kolektif.
Setiap pelaut wajib disediakan akun atau
metode pembayaran terhadap jumlah upah
yang menjadi haknya, upah tambahan, dan
penukaran kurs yang berlaku sesuai dengan
yang telah diperjanjikan.
Setiap negara wajib menyediakan tolak ukur
bagi pemilik kapal sesuai pasal 4 untuk
menyalurkan pendapatan pelaut kepada
keluarganya atau tanggungan pelaut atau
ahli warisnya.
Tolak ukur yang dimaksud adalah negara
wajib menyediakan:
(a) Sebuah sistem yang membuat pelaut
dapat menyalurkan uangnya kepada

155
keluarganya lewat transfer bank atau
metode yang serupa lainnya; dan
(b) Memastikan uang dari upah pelaut
tersebut dapat sampai, diterima dan
sesuai waktu yang ditentukan kepada
keluarga pelaut;
Segala bentuk biaya yang diakibatkan dari
transaksi berdasarkan pasal 3 dan 4 harus
memiliki angka yang beralasan dan dapat
ditanggung pelaut, sesuai dengan kurs atau
setidaknya sesuai dengan pengaturan hukum
nasional yang sesuai dengan harga pasar
yang berlaku, atau berdasarkan harga resmi
publik dan tidak merugikan pelaut.

Regulation 2.2-Standard A2.2 mengatur tentang peungupahan


pelaut, metode pembayaran dan jangka waktu pembayaran. Dalam
pasal 1 dijelaskan adanya kewajiban negara anggota untuk
menyediakan aturan pengupahan dengan sistem pembayaran tidak
lebih dari 1 bulan. Setiap pelaut harus diakomodir metode
pembayaran upah yang menjadi hak pelaut supaya upah yang
diperoleh dapat tersalurkan ke keluarga, tanggungan atau ahli
waris pelaut. Akses tersebut dapat melalui transfer atau metode
sejenisnya dengan nilai kurs yang adil, tidak merugikan pelaut dan
upah harus dapat dipastikan dapat tepat waktu diterima sesuai
dengan waktu perjanjian pembayaran upah. Pasal 3 dan 4
ketentuan ini sangat baik dalam menjamin pelaut supaya tidak
dibohongi oleh pemberi kerja dengan menawarkan kurs yang
rendah (hal ini sangat penting terutama bagi pelaut Indonesia yang
bekerja di luar negeri begitu pula sebaliknya bagi pelaut WNA
yang bekerja di Indonesia). Dengan adanya harga resmi publik

156
khusus untuk pembayaran upah pelaut maka akan semakin
memberikann kepastian terhadap jumlah upah pelaut.

Tujuan dari Regulation 2.3 adalah untuk menjamin pelaut


memiliki jam kerja dan jam istirahat yang teratur. Setiap negara
anggota wajib untuk menjamin adanya pengaturan terhadap jam kerja
dan jam istirahat bagi pelaut dengan menentukan maksimum waktu
kerja dan waktu minimum istirahat berdasarkan konvensi ini. Adap
ketentuan yang diatur dalam konvensi ini yaitu:

Regulation 2.3-Standard A2.3

Jam Kerja dan : Dalam pasal 1 disebutkan bahwa jam kerja


jam istirahat adalah waktu selama pelaut dituntut untuk
bekerja di kapal, sedangkan jam istirahat
adalah waktu di luar jam kerja, ketentuan jam
istirahat tidak termasuk istirahat singkat
pelaut.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa standar
minimum kerja pelaut adalah 8 jam per hari
dengan 1 hari istirahat per minggu dan libur di
hari libur nasioal. Segala ketentuan baik
berdasarkan perjanjian kerja bersama dan
ketentuan lain tidak boleh melanggar
minimum ketentuan ini.
Dalam pasal 4 menyatakan bahwa dalam
menentukan standar nasional, setiap negara
anggota wajib memperhatikan kapasitas pelaut
terutama yang beerja di bidang navigasi dan
operasional kapal.

157
Dalam pasal 5 ditentukan maksimal waktu
kerja pelaut, bahwa jam kerja pelaut tidak lebih
dari:
(i) 14 jam untuk periode 24 jam;
dan
(ii) 72 jam untuk periode 1 minggu;
Atau
(b) Minimum waktu istirahat tidak kurang
dari:
(i) 10 jam dalam periode 24 jam;
(ii) 77 jam dalam periode 1
minggu;
Pasal 6, waktu istirahat tidak boleh dibagi
dalam periode lebih dari 2 kali, setiap 1 kali
istirahat maka harus mencakup selama 6 jam
istirahat dan dengan selang waktu istirahat
yang tidak lebih dari 14 jam.
Pasal 7, tim penghimpun masa, pemadam
kebakaran, pengayuh kapal penyelamat dan
pengayuh yang diatur dalam hukum nasional
harus dilindungi pula dengan waktu istirahat
yang tidak mengurangi kapasitas kerja mereka
saat dibutuhkan.
Pasal 8, ketika pelaut terpaksa dibutuhkan,
misalnya apabila dalam keadaan mesin kapal
bermasalah, maka pelaut tersebut harus
mendapatkan kompensasi untuk beristirahat
lebih.
Pasal 9, apabila tidak ada perjanjian kerja
kolektif tersedia atau penyelesaian perkara
melalui arbitrase yang tersedia sehingga

158
ketentuan pasal 7 dan 8 tidak dapat diatur atau
terselesaikan, pihak yang berwenang wajib
menentukan ketentuant tersebut sehingga
dapat menjamin jam istirahat yang cukup bagi
pelaut.
Pasal 10, setiap negara anggota harus
menyebarluaskan, di tempat yang mudah
diakses, dalam sebuah tabel kerja khusus di
dalam kapal yang memuat minimal:
(a) Jadwal kerja baik saat berlayar atau di
pelabuhan;
(b) Maksimum jam kerja dan minimum
waktu istirahat sesuai dengan hukum
nasional atau perjanjian kerja bersama;
Pasal 11, dalam tabel khusus tersebut
sebagaimana diatur dalam pasal 10 harus
ditulis dengan bahasa sehari-hari saat bekerja
dan dalam bahasa Inggris.
Pasal 12, setiap negara anggota wajib
melakukan pendataan jam kerja sehari-hari
pelaut dan jam istirahat yang diperoleh pelaut
sesuai dengan ketentuan pasal 5 hingga 11.
Ketentuan riwayat pendataan harus
berdasarkan aturan nasional yang telah
ditentukan oleh pihak yang berwenang dan
segala bentuk pengaturan dari International
Labour Organization. Pendataan tersebut
harus dilakukan dengan bahasa yang sesuai
dengan pasal 11 dari standar ini dan pelaut
wajib memiliki copy data tersebut yang telah

159
disetujui oleh kepala kapal, seorang kepala
dari pihak yang berwenang dan pelaut.
Pasal 13, ketentuan pasal 5 dan 6 tidak dapat
dikesampingkan dengan alasan apapun sesuai
standar minimum.
Pasal 14, segala ketentuan ini tidak menjadi
alasan bagi pelaut untuk mengurangi kinerja
kerjanya dan tidak patuh terhadap hak kepala
kapal untuk meminta pelaut bekerja di jam
kerja terutama sehubungan dengan keamanan
dan keselamatan kapal, terhadap penumpang
dan barang yang diangkut, atau pun dalam
memberikan bantuan kepada siapapa pun baik
kapal lain atau orang lain yang dalam bahaya
di lautan. Oleh karena alasan tersebut, kepala
kapal berhak untuk menunda waktu istirahat
dan menambah waktu kerja pelaut hingga
situasi di kapal pulih ke keadaan semula.
Setelah itu maka kepala kapal wajib menjamin
diberikannya waktu istirahat yang cukup bagi
pelaut.

Regulation 2.3-Standard A2.3 mengatur tentang jam kerja dan


jam istirahat pelaut. Jam kerja pelaut diatur dalam pasal 3
minimum 8 jam per hari dan maksimal waktu kerja 14 jam dengan
total 72 jam kerja per minggu, dengan 1 hari istirahat per minggu
dan libur di hari libur nasional.

Sedangkan untuk waktu istirahat 10 jam dalam periode 24 jam


dengan total tidak boleh kurang dari 77 jam per 1 minggu, tidak
termasuk istirahat singkat. waktu istirahat tidak boleh dibagi dalam
periode lebih dari 2 kali, setiap 1 kali istirahat maka harus

160
mencakup selama 6 jam istirahat dan dengan selang waktu istirahat
yang tidak lebih dari 14 jam. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh
pekerja termasuk pelaut yang bekerja di bidang penyelamatan dan
pengayuh kapal (walaupun pekerjaan pelaut ini membutuhkan
kehadiran waktu yang selalu harus diperhatikan karena
menyangkut keselamatan kapal, mereka tetap berhak atas waktu
istirahat yang dimaksud).

Dalam hal apabila ada keadaan darurat sehingga dibutuhkan kerja


pelaut secara maksimal, setelah keadaan darurat tersebut, pelaut
berhak atas kompensasi untuk beristirahat lebih.

Setiap negara harus mewajibkan setiap pemilik kapal untuk


menampilkan sebuah tabel kerja khusus di dalam kapal yang
memuat minimal Jadwal kerja baik saat berlayar atau di pelabuhan
pelaut dan maksimum jam kerja dan minimum waktu istirahat
sesuai dengan hukum nasional atau perjanjian kerja bersama. Hal
ini untuk mempemudah PSC mengontrol dan memastikan hak
bekerja dan istirahat pelaut sesuai dengan pengaturan MLC 2006
dan di tataran pelaksanaannya. Regulation 2.3-Standard A2.3
memuat ketentuan pasal yang sangat baik, di samping menjamin
jam kerja dan jam istirahat minimum pelaut, MLC 2006 juga ingin
menjamin adanya pengawasan dan kontribusi PSC setiap negara
untuk saling mengawasi kapal-kapal apakah telah patuh terhadap
ketentuan MLC atau tidak dengan mengecek daftar jam kerja da
istirahat pekerja, hal ini akan semakin menjamin hak pelaut di atas
kapal.

Tujuan dari Regulation 2.4 adalah untuk menjamin pelaut dapat


cuti dari pekerjaanya. Setiap negara anggota wajib mengatur bagi
pelaut yang dipekerjakan di kapal yang mengibarkan benderanya
diberikan cuti tahunan di bawah kondisi yang tepat, sesuai dengan

161
ketentuan dalam Kode ini. Pelaut diberikan kesempatan untuk
kembali ke darat sebagai manfaat untuk kesehatan mereka dan
kesejahteraannya sesuai dengan persyaratan operasional dan posisi
jabatan mereka. Adapun ketentuan yang diatur dalam konvensi ini
yaitu:

Regulation 2.4-Standard A2.4

Hak Cuti Bagi : Pasal 1-3 Standar A2.4 mengatur tentang


Pelaut hak cuti bagi pelaut. Pasal 1 menyatakan
setiap negara anggota wajib menerapkan
undang-undang dan peraturan yang
menentukan standar minimum untuk cuti
tahunan bagi pelaut yang melayani di kapal
sesuai dengan kapal yang mengibarkan
bendera negara anggota, serta menentukan
ketentuan yang tepat dari kebutuhan khusus
pelaut sehubungan dengan cuti tersebut.

Pasal 2, untuk perjanjian kerja bersama atau


hukum atau peraturan lainnya yang
menyediakan metode perhitungan yang
memperhitungkan kebutuhan khusus pelaut
dalam hal ini, cuti tahunan dan hak
menerima upah dihitung atas dasar minimal
2,5 hari kalender per bulan kerja. Lama kerja
pelaut akan ditentukan oleh pihak yang
berwenang atau melalui sistem yang sesuai
di setiap negara. Sedangkan absensi yang
dengan alasan dibenarkan dari pekerjaan
tidak dianggap sebagai cuti tahunan.

162
Pasal 3, Setiap perjanjian untuk meniadakan
cuti tahunan minimum dengan membayar
hak cuti tersebut seperti yang disebutkan
Standar ini, kecuali dalam ketentuan tertentu
yang diatur oleh pihak yang berwenang,
adalah dilarang.

Regulation 2.4-Standard A2.4 mengatur mengenai hak cuti bagi


pelaut. Setiap negara wajib untuk mengatur tentang standar
minimum cuti tahunan bag pelaut nasisonal. Cuti minimum
dihitung berdasarkan dalam 1 bulan dihitung atas dasar minimal
2,5 hari kalender per bulan kerja. Artinya minimal pelaut harus
memiliki 2,5 hari x 12 bulan kerja= 30 hari cuti dalam 1 tahun.
Pasal 3 menyatakan cuti tidak boleh ditiadakan dengan membayar
hak cuti tersebut dengan imbalan tertentu kecuali diatur dalam
keadaan tertentu oleh masing-masing negara. Pada dasrnya
pengaturan ini memberikan hak cuti bagi pelaut, setiap pekerja
pasti akan jenuh terhadap masa kerja dan membutuhkan waktu
bagi keluarga dan orang-orang terdekat tanpa harus dikurangi
upahnya, standar MLC terhadap cuti ini sangat baik dan berusaha
untuk menutup segala kemungkinan supaya hak cuti pelaut
dilarang diperjualbelikan.

Tujuan dari Regulation 2.5 adalah untuk menjamin para pelaut


dapat kembali tempat asalnya. Bahwa semua pelaut memiliki hak
untuk direpatriasi sesuai dengan kondisi yang telah diatur dalam Code
konvensi ini. Setiap negara anggota wajib menyediakan alokasi
keuangan untuk keamanan sebagai jaminan semua pelaut dapat
direaptriasi secara patut dan sesuai dengan ketentuan Code dalam
konvensi ini. Adapun yang diatur dalam konvensi ini yaitu:

163
Regulation 2.5-Standard A2.5

Hak repatriasi : Dalam pasal 1-9 Standar A2.5 mengatur


pelaut hak repatriasi. Pasal 1 disebutkan bahwa
setiap negara anggota wajib menjamin
hak repatriasi setiap pelaut dengan kapal
yang berlayar dengan bendera negaranya
dalam hal:
(a) Jika perjanjian kerja pelaut telah
berakhir saat pelaut masih
berlayar;
(b) Ketika perjanjian kerja pelaut
diakhiri oleh:
(i) Pemilik kapal; atau
(ii) Oleh pelaut sendiri karena
alasan yang dapat
dibenarkan; dan atau
(c) Ketika pelaut tersebut sudah tidak
mampu melanjutkan tugasnya
sesuai dengan perjanjian kerja
atau tidak dapat diharapkan untuk
melaksanakan tugasnya dalam
keadaan tertentu.
Setiap negara anggota wajib untuk
memastikan bahwa setiap peraturan atau
perjanjian kerja bersama menetapkan:
(a) Kondisi dapat direpatriasinya pelaut
sesuai pasal 1 (b) dan (c);

164
(b) Durasi maksimum bagi seorang
pelaut untuk dapat direpatriasi-kurang
dari 12 bulan; dan
(c) Jenis hak yang harus diterima pelaut
saat direpatriasi yang disediakan oleh
pemilik kapal misalnya bentuk
transportasi bagi pelaut untuk sampai
ke tempat asal, hal apa saja yang
ditanggung pemilik kapal dan
pengaturan ketentuan lainnya yang
ditentukan pemilik kapal;

Pasal 3, setiap negara anggota harus


memberlakukan larangan bagi pemilik
kapal untuk memungut biaya tertentu
sebagai dana repatriasi saat awal pelaut
bekerja, termasuk mengambil dana
repatriasi pada saat pelaut menerima upah
ataupun berasalkan dari hak lain kecuali
jika didapati bahwa pelaut tersebut
berdasarkan hukum nasional atau aturan
tertentu atau berdasarkan perjanjian kerja
bersama telah melakukan kelalaian yang
dikategorikan serius melanggar
kewajibannya sebagai pekerja.

Pasal 4, hukum nasional dan aturan


lainnya tidak boleh memungkinkan bagi
pemilik kapal untuk melakukan
pengelolaan dan pertanggungjawaban

165
dana repatriasi pelaut ke pihak ketiga
berdasarkan kontrak.

Pasal 5, jika pemilik kapal tidak mampu


dan tidak membayar dana repatriasi
sebagaimana mestinya yang seharusnya
diperoleh pelaut maka:
(a) Pihak yang berwenang yang kapal
tersebut berlayar sesuai dengan
bendera negara anggota wajib
bertanggungjawab atas repatriasi
pelaut tersebut; apabila gagal,
negara tempat pelaut semestinya
direpatriasi atau negara
kewarnegaraan pelaut berhak
melakukan repatriasi kepada
pelautnya dan berhak meminta
kembali dana repatriasi tersebut
kepada negara sesuai bendera
kapal pelaut bekerja;
(b) Biaya yang dikeluarkan untuk
repatriasi dapat diperoleh kembali
dari pemilik kapal yang ada di
negara tempat kapal tersebut
berlayar dengan benderanya;
(c) Segala bentuk pengeluaran dari
repatriasi tidak boleh dipungut
kepada pelaut dalam bentuk
apapun, kecuali diatur sesuai pasal
3 standar ini.

166
Pasal 6, Mempertimbangkan instrumen
internasional yang berlaku, termasuk
Konvensi Internasional Penangkapan
Kapal, 1999, Anggota yang telah
membayar biaya repatriasi berdasarkan
Kode ini dapat menahan, atau meminta
penahanan, kapal-kapal pemilik kapal
yang bersangkutan sampai penggantian
telah dibuat sesuai dengan ayat 5 Standar
ini.

Pasal 7, setiap anggota wajib


memfasilitasi pemulangan pelaut
termasuk melayani di kapal, ketika
mendapat panggilan di pelabuhan, atau
saat melewati perairan teritorial atau
internal, serta saat pelaut dipindahkan dari
kapal.

Pasal 8, Secara khusus, setiap negara


Aanggota tidak boleh menolak hak
repatriasi karena pemilik kapal tidak
mampu secara finansial atau karena
pemilik kapal tidak mampu atau adanya
keengganan pemilik kapal untuk
menggantikan seorang pelaut.

Pasal 9, setiap anggota harus


mensyaratkan bahwa kapal-kapal yang
mengibarkan benderanya wajib
menyediakan pelaut salinan ketentuan

167
nasional yang berlaku mengenai repatriasi
yang ditulis dalam bahasa yang
dimengerti pelaut.

Regulation 2.5-Standard A2.5 mengatur mengenai hak repatriasi


pelaut. Repatrasi pelaut wajib diatur dalam perjanjian kerja pelaut,
MLC 2006 mengatur standar kondisi apa saja pelaut harus
dipulangkan oleh pemilik kapal, yaitu:
(a) Jika perjanjian kerja pelaut telah berakhir saat pelaut masih
berlayar;
(b) Ketika perjanjian kerja pelaut diakhiri oleh:
(iii) Pemilik kapal; atau
(iv) Oleh pelaut sendiri karena alasan yang dapat
dibenarkan; dan atau
(c) Ketika pelaut tersebut sudah tidak mampu melanjutkan
tugasnya sesuai dengan perjanjian kerja atau tidak dapat
diharapkan untuk melaksanakan tugasnya dalam keadaan
tertentu.
Khusus untuk ketentuan (b) dan (c) harus diatur alasan-alasan
yang jelas sehingga menjadi tolak ukur dapat dipulangkannya
pelaut oleh pemilik kapal. Pelaut yang dapat direpatriasi adalah
pelaut yang bekerja minimal telah bekerja kurang dari 12 bulan.
Repatriasi harus disertai dengan biaya lainnya yang mendukung
repatriasi, misalnya uang transportasi, biaya makan pelaut selama
dipulangkan dan lain sebagainya sesuai pengaturan nasional.
Dalam Ketentuan MLC 2006 juga mengatur adanya larangan bagi
pemilik kapal untuk memungut sejumlah biaya untuk repatriasi
pekerja, oleh karena itu, repatriasi wajib ditanggung oleh pemilik
kapal, kecuali dalam kondisi tertentu terbukti pekerja lalai dan
dikategorikan serius melanggar kewajibannya sebagai pekerja,
misalnya melakukan tindak pidana. Repatrasi berdasarkan MLC

168
2006 juga dilarang untuk dilimpahkan ke pihak ketiga, hal ini
untuk menjamin tanggung jawab pemilik kapal tetap melekat
dengan pekerja dan mencegah pekerja melepaskan kewajibannya
untuk memberikan repatriasi.
MLC juga mengatur dalam kondisi apabila pemilik kapal tidak
mampu untuk melakukan repatriasi terhadap pelaut maka
tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan oleh negara bendera
kapal. Berdasarkan Guidebook MLC 2006, apabila negara yang
bersangkutan juga gagal, maka negara kewarnegaraan pelaut dapat
melakukan repatriasi paksa terhadap warga negaranya dan negara
tersebut berhak menagih dana repatriasi dengan cara
remiburshment bersangkutan kepada negara bendera kapal
sewaktu-waktu. Negara bendera kapal juga dapat meminta biaya
yang dikeluarkan untuk repatriasi pelaut kepada pemilik kapal,
yang terpenting adalah seluruh dana repatriasi tidak boleh
dipungut sedikit pun dari pelaut yang bersangkutan. Ketentuan ini
terlihat “perhitungan” terhadap pemilik kapal nasional, hal ini
wajar karena semangat dari konvensi ini berasal dari negara
liberal, sehingga sangat terkesan individualistis dan kalkulatif.
Masalah akan muncul seandainya pemilik kapal yang tidak
mampu melakukan repatriasi bisa saja karena mengalami pailit.
Apabila pemilik kapal pailit dan ternyata pertanggung jawabannya
sudah sampai seluruh aset perusahaan dan jumlahnya tidak cukup
untuk membayar dana repatriasi pelaut yang dilakukan negara,
lantas bagaimana pertanggung jawaban selanjutnya? Apakah
posisi negara dapat didahulukna dari pada kreditor preferen?
Ketentuan ini akan memunculkan permasalahan-permasalahan
hukum baru di hukum pengangkutan dan kepailitan nasional yang
dapat menjadi pembahasan lebih lanjut.

169
Selanjutnya, dengan Indonesia meratifikasi MLC 2006, sekaligus
memberikan kewajiban baru kepada Indonesia untuk tunduk
kepada ketentuan International Convention of Arrest of Ships
1999. Konvensi ini mengatur mengenai pengumpulan sejumlah
uang oleh negara yang meratifikasi konvensi ini sebagai Maritime
Claim untuk menyediakan dana bagi kapal-kapal yang ditangkap
di wilayahnya, supaya mendapat perlakuan yang sama. Salah satu
alokasi dananya adalah dana pemulangan pelaut dan kapal yang
ditangkap. Berdasarkan ketentuan International Convention of
Arrest of Ships 1999 pasal 1 huruf (o), salah satu alokasi dana
adalah dana repatriasi bagi pelaut dalam kapal yang ditangkap
negara wajib direpatriasi ke negara asalnya.66

Tujuan dari Regulation 2.6 adalah untuk menjamin adanya ganti rugi
bagi pelaut apabila kapal hilang atau tenggelam. Ganti rugi tersebut
diberikan dalam hal terdapat luka dan/atau cacat yang ditumbulkan,
kerugian dan kehilangan pekerjaan akibat kapal yang hilang atau
tenggelam.

Regulation 2.6-Standard A2.6

Kompensasi bagi : Ketentuan ini diatur dalam Standar Kode


pelaut A2.6 dalam pasal 1 dan 2, bahwa:
Setiap negara anggota wajib mengatur
pemberian kompensasi bagi setiap pelaut
apabila kapal hilang atau tenggelam
sehingga dapat memberikan ganti rugi
terhadap akibat kerugian dan kehilangan
pekerjaan yang ditimbulkan. Dalam pasal
2 lebih lanjut diatur bahwa kompensasi

66
Lihat lebih lanjut dalam International Convention On Arrest of Ships, 1999

170
yang dimaksud dalam pasal 1 tidak boleh
merugikan hak pelaut lainnya berdasarkan
ketentuan hukum nasional.

Ketentuan Regulation 2.6-Standard A2.6 ini memberikan jaminan


kepada pelaut walaupun kapal tenggelam atau mengalami
kecelakaan dan tenggelam, pelaut tetap berhak memperoleh
haknya berupa upah dan termasuk kompensasi atas ganti rugi
akibat kerugian yang timbul termasuk apabila pekerja harus
kehilangan pekerjaan. Ketentuan ini memberikan proteksi bagi
pelaut supaya tidak mengalami ibarat jatuh tertimpa tangga pula.
Misalnya akibat kecelakaan kerja atau kapal tenggelam, pelaut
disalahkan dan tidak berhak memperoleh upah dan di-PHK. Hal-
hal seperti ini yang diupayakan dilindungi oleh MLC 2006. MLC
juga memiliki prinsip mewajibkan setiap negara untuk tidak
menderogasi hak pekerja lainnya dengan adanya pemberian
kompensasi. Kompensasi bukan pengganti hak lainnya, tetapi
kompensasi justru bentuk imbalan dan penghargaan bagi pelaut
akibat hal-hal buruk yang telah terjadi kepada pelaut.

Tujuan dari Regulation 2.7 adalah untuk menjamin pelaut yang


bekerja di kapal memiliki kemampuan untuk mengoperasikan kapal
secara aman, efisien dan sesuai ketentuan operasional yang berlaku.

Regulation 2.7-Standard A2.7

Standar : Dalam pasal 1-3 Standard A2.7,


Pengawakan disebutkan bahwa setiap kapal yang
Kapal berlayar dengan bendera negara anggota
tersebut wajib memiliki jumlah pelaut
yang cukup di dalam kapal sehingga dapat

171
menjamin kapal berlayar dengan aman,
efisien dan sesuai standar operasional
keamanan. Setiap kapal wajib diawaki
oleh pelaut yang jumlahnya sesuai dan
kualitasnya baik dalam keadaan apapun
sesuai dengan dokumen minimum
pengawakan kapal yang aman di mana
dokumen tersebut dikeluarkan oleh pihak
yang berwenang dan melekat dengan
standar dalam konvensi ini. Ketika pihak
yang berwenang memutuskan untuk
merevisi dan menerima ketentuan standar
minimum pengawakan yang baru, pihak
yang berwenang wajib memperhatikan
jam kerja pelaut supaya tidak melebihi
maksimum jam kerja, batas kemampuan
pelaut pada umumnya dan segala prinsip
dalam hukum internasional terhadap
ketenagakerjaan maritim, terutama oleh
International Maritime Organization
yang mengatur tentang tingkat
pengawakan kapal;
Dalam mengganti ketentuan standar
tingkat pengawakan kapal, ketentuan
tersebut harus sejalan dengan Regulation
3.2 dan Standard A3.2 mengenai makanan
dan katering.

Regulation 2.7-Standard A2.7 mewajibkan setiap negara


mengatur standar pengawakan kapal. Pengawakan kapal tetap
harus memperhatikan jam kerja dan istirahat pelaut serta seluruh

172
jabatan yang ada di dalam kapal (termasuk siapa yang bertanggung
jawab terhadap makanan dan catering). MLC 2006 pada dasarnya
tidak menyediakan prosedur pengawakan yang baik seperti apa
dan pengaturan terterntu yang harus diberlakukan setiap negara
namun MLC 2006 mengembalikan kembali ke negara masing-
masing memberikan aturan masing-masing terkait pengawakan
sepanjang tidak melanggar ketentuan jam kerja, jam istirahat dan
jenis jabatan pekerja. Apa bukti seorang pelaut telah dianggap
hatam dalam mengawaki kapal? Menurut Guide Book MLC 2006,
setiap pelaut harus memiliki Safe Manning Document (SMD)
sebagai bukti pelaut telah lolos atau layak mengawaki kapal.
Untuk tingkat pengawakan kapal, kriterianya harus sesuai seluruh
instrumen hukum dalam International Maritime Organization.

Tujuan dari Regulation 2.8 adalah untuk mempromosikan


jenjang karir dan perkembangan kemampuan dan kesempatan kerja
pelaut. Salah satu caranya adalah dengan mengharuskan setiap negara
anggota wajib untuk memiliki instrumen hukum nasional yang dapat
mempromosikan pekerjaan sektor maritim dan meningkatkan kualitas
setiap jenjang karir dan perkembangan kemampuan pelaut dan
kesempatan kerja yang lebih besar bagi pelaut yang berdomisili di
teritorial negaranya.

Regulation 2.8-Standard A2.8

Kompetensi, : Pasal 1-3 Standar A2.8 mengatur


kualifikasi dan bahwa setiap negara anggota wajib
kesempatan kerja memiliki instrumen hukum nasional
bagi pelaut yang mampu mengatur jenjang karir
pelaut, perkembangan kemampuan

173
pelaut demi menunjang dan
menyediakan tenaga kerja yang lebih
stabil dan kompeten.
Tujuan dari ketentuan ini adalah demi
memperkuat kompetensi, kualifikasi
dan kesempatan kerja sebagai pelaut.
Peraturan tersebut harus
dikonsultasikan terlebih dahulu
kepada pemilik kapal dan organisasi
pelaut sehingga mampu
menyediakan tujuan yang objektif
untuk mengatur ketentuan pedoman
kejuruan kepelautan, pendidikan dan
pelatihan bagi pelaut terutama yang
berkaitan dengan pengoperasian
kapal secara aman, navigasi kapal
dan termasuk pelatihan-pelatihan
yang diberikan secara berkelanjutan.

Regulation 2.8-Standard A2.8 mengatur mengenai kompetensi,


kualifikasi dan kesempatan kerja bagi pelaut. Setiap negara
anggota wajib memiliki instrumen hukum nasional yang mampu
mengatur jenjang karir pelaut, perkembangan kemampuan pelaut
demi menunjang dan menyediakan tenaga kerja yang lebih stabil
dan kompeten. Dengan adanya pengaturan terhadap jenjang karir
pelaut maka negara akan semakin menjamin kepastian jenjang
karir bagi pelaut dan meningkatkan kualitas pelaut sesuai dengan
kemampuannya. Pengaturan ini juga harus beriringan dengan
jenjang pengupahan pelaut berdasarkan jabatannya supaya dapat
lebih mensejahterakan pelaut.

174
2.1.4.3 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 3 MLC 2006
Pengaturan hak pelaut berdasarkan bab 3 MLC 2006
terdiri dari 2 subbab yang meliputi:
Regulation 3.1 : Akomodasi dan fasilitas rekreasi
(Accomodation and Recreational
Faclities)

Reglation 3.2 : Makanan dan katering (Food and


Catering)

Regulation 3.1 bertujuan untuk menjamin para pelaut


mendapatkan akomodasi dan fasilitas rekreasi saat berlayar
dengan cukup. Jaminan berdasarkan ketentuan ini wajib
dipenuhi oleh seluruh negara anggota yang meratifikasi
MLC 2006 terhadap seluruh kapal yang berbendera
negaranya.
Pasal 1-2 Regulation 3.1 MLC 2006, kewajiban
negara untuk menjamin para pelaut mendapatkan akomodasi
dan fasilitas rekreasi saat berlayar dengan cukup hanya
berlaku pada kapal-kapal yang sedang dalam masa
dikonstruksikan (ship construction) atau baru dibangun
setelah konvensi diratifikasi. Sebuah kapal dianggap sedang
dalam masa konstruksi apabila telah dilakukan peletakan
kerangka baja kapal (ship keel), sedangkan untuk kapal yang
dikonstruksi sebelum konvensi diratifikasi namun sedang
dilakukan perbaikan atau penambahan rakitan kapal
(equipment apply) tidak wajib mengikuti ketentuan bab 3.
Kapal-kapal lainnya yang dikonstruksikan sebelum
konvensi MLC 2006 diratifikasi akan tunduk dengan standar
konvensi yang telah ada sebelumnya yaitu konvensi tentang
Akomodasi Kru Kapal versi revisi (Accommodation of

175
Crews Convention (Revised) 1949) (Nomor 92) dan
konvensi (Accommodation of Crews (Supplementary
Provisions) Convention), 1970 (Nomor 133). Apabila negara
anggota ingin memberlakukan standar ini terhadap semua
kapal yang berbendera negara nasionalnya, maka negara
tersebut dapat membuat ketentuan tersendiri melalui hukum
nasional negara masing-masing.
Standar yang wajib diakomodir negara diatur dalam
Code A3.1 dan A3.2. Berdasarkan Code A3.1 pihak yang
berwenang dalam negara wajib mengakomodir kebutuhan
pelaut sehubungan dengan akomodasi yang meliputi:

Regulation 3.1-Code A3.1

Ukuran : Ketentuaan ini diatur dalam pasal 6 Standar


ruangan dan A3.1 yang mengatur ketentuan umum untuk
akomodasi akomodasi ruangan kapal:
lainnya (a) Ruangan wajib tidak lebih kecil dari ukuran
203 centimeter tanpa barang dan pelaut dapat
bebas bergerak di dalamnya. Pengecualian
pihak yang berwenang dalam negara dapat
memperkecil ukuran tersebut dengan alasan
yang jelas dan ukuran tersebut tidak
menyebabkan ketidaknyamanan bagi pelaut
saat berlayar.
(b) Akomodasi dalam kapal harus dapat diberi
sekat (insulated);
(c) Letak tempat tidur harus berada di atas garis
load line amidships atau aft67, kecuali dalam

67
Load Line, 16th of Jan 2013. (http://www.gard.no) diakses pada 29/9/16 pukul 12.50 WIB
http://www.gard.no/web/updates/content/20734108/load-lines INSIGHT 209

176
kondisi tertentu, ukuran kapal, atau tipe kapal
tersebut tidak dimungkinkan, maka letak
ruangan tempat tidur dapat berada di bagian
depan kapal atau di bagian depan sekat
bulkhead;
(d) Untuk kapal khusus pengangkut penumpang,
dan kapal khusus lainnya sesuai ketentuan
IMO Code of Safety for Special Purpose Ships
1983, pihak yang berwenang boleh
memberikan ketentuan di luar itu sesuai
konvensi ini terkait ventilasi dan penerangan,
memperbolehkan letak ruang tidur di bawah
garis load line, sepanjang letaknya tetap
berada langsung di bawah lorong-lorong
bekerja kapal.
(e) Tidak boleh ada akses langsung dari ruang
kargo ke ruang tidur, begitu pula dengan
ruang mesin, dapur kapal, ruang gudang,
ruang pengeringan, wilayah sanitari
komunal; Bagian sekat pemisah kapal harus
secara efisien dikonstruksikan dengan bahan
baja atau bahan lainnya yang terbukti dapat
kedap air dan gas;
(f) Bahan yang digunakan untuk konstruksi
sekat pemisah kapal internal, panel dan
terpal, lantai dan penghubungnya harus dapat

A load line, also called Plimsoll mark is a marking indicating the extent to which the weight of
a load may safely submerge a ship, by way of a waterline limit. It is positioned amidships on
both sides of a vessel’s hull and indicates the draft of the ship and the legal limit to which a ship
may be loaded for specific geographical areas and seasons of the year. The purpose of the load
line is to ensure that a ship has sufficient freeboard (the height from the waterline to the main
deck) and thus sufficient reserve buoyancy (volume of ship above the waterline).

177
menghasilkan lingkungan yang kondusif dan
menjamin kesehatan pelaut saat berlayar;
(g) Kapal harus diakomodir dengan
pencahayaan yang cukup dan dilenkapi
drainase penyerap uap; dan
(h) Akomodasi rekreasi dan katering harus
memenuhi ketentuan dalam Regulation 4.3
dan ketentuan lainnya dalam kode, terkait
kesehatan dan perlindungan keselamatan dan
pencegahan kecelakaan kapal, dengan tujuan
mencegah resiko paparan keributan dan
getaran yang dapat menyebabkan bahaya dan
faktor lainnya dan bahan kimia yang terletak
di dalam kapal demi mengakomodir
lingkungan kerja dan lingkungan tempat
tinggal yang dapat diterima pelaut;
Ketentuaan kamar tidur kapal diatur dalam pasal
9 Standar A3.1, meliputi:
(a) Untuk kapal selain kapal penumpang,
setiap pelaut harus disediakan sebuah
ruang tidur individual; untuk kapal yang
kurang dari 3,000 gross tonase atau
kapal dengan tujuan khusus,
pengecualian dapat dilakukan oleh pihak
yang berwenang dengan pertimbangan
hasil konsultasi ahli perkapalan dan
organisasi pelaut;
(b) Ruang tidur dalam kapal harus
dipisahkan berdasarkan gender untuk
laki-laki dan perempuan;

178
(c) Ruang tidur harus memiliki ukuran yang
cukup sesuai ketentuan konvensi ini dan
dilengkapi dengan perabotan yang
cukup untuk menjamin kenyamanan dan
fasilitas yang rapi;
(d) Tempat tidur tingkat harus disediakan
secara terpisah bagi setiap pelaut;
(e) Minimum dimensi untuk sebuah tempat
tidur tingkat minimal 198 centimeter x
80 centimeter;
(f) Dalam sebuah tempat tidur bertingkat pelaut,
ruangannya harus memiliki luas lantai yang
tidak kurang dari:
(i) 4,5 meter persegi untuk kapal yang
kurang dari 3,000 GT;
(ii) 5,5 meter persegi untuk kapal yang lebih
dari dari 3,000 GT atau kurang dari
10,000 GT;
(iii) 7 meter persegi di kapal 10,000 GT atau
lebih;
(g) Untuk ketentuan kapal kurang dari 3,000
GT, bagi kapal penumpang dan kapal
khusus, pihak yang berwenang bisa membuat
ketentuan lain yang lebih kecil terhadap luas
lantai ruang tidur kapal;
(h) Untuk ketentuan kapal kurang dari 3,000 GT,
bagi kapal penumpang dan kapal khusus,
diperbolehkan penempatan ruangan
maksimal 2 (dua) orang pelaut; dan luas
wilayah lantai kamar tidak kurang dari 7
meter persegi;

179
(i) Untuk ketentuan kapal kurang dari 3,000 GT,
bagi kapal penumpang dan kapal khusus,
ruang tidur bagi pelaut yang tidak bertugas
tidak boleh kurang dari:
(i) 7,5 meter persegi untuk ruang tidur
berisi 2 orang;
(ii) 11,5 meter persegi untuk ruang tidur
berisi 3 orang;
(iii) 14,5 meter persegi untuk ruang tidur
berisi 4 orang.
(j) untuk kapal tujuan khusus kamar tidur dapat
menampung lebih dari empat orang; luas
lantai kamar tidur tersebut tidak boleh
kurang dari 3,6 meter persegi per orang;
(k) pada kapal selain kapal penumpang dan
kapal tujuan khusus, kamar tidur untuk
pelaut yang melakukan tugas sebagai
petugas kapal, di mana tidak disediakan
ruang duduk pribadi atau kamar harian, luas
lantai tempat tidur per orang tidak kurang
dari:
(i) 7,5 meter persegi di kapal kurang dari
3.000 GT;
(ii) 8,5 meter persegi di kapal lebih dari
3.000 GT atau kurang dari 10.000
GT;
(iii) 10 meter persegi di kapal 10.000 GT
atau lebih;
(l) pada kapal penumpang dan kapal tujuan
khusus area lantai untuk pelaut melakukan
tugas sebagai petugas kapal di mana tidak

180
ada ruang duduk pribadi atau kamar harian
yang disediakan, luas lantai per orang untuk
petugas junior tidak kurang dari 7,5 meter
persegi dan untuk petugas senior tidak
kurang dari 8,5 meter persegi; petugas junior
yang dipahami dalam konvensi ini adalah
yang bekerja di tingkat operasional, dan
petugas senior bekerja di tingkat
manajemen;
(m) kepala kapal, kepala teknisi dan kepala
petugas navigasi harus memiliki, selain
kamar tidur, ruang duduk yag berdampingan,
ruang hari atau setara dengan wilayah
tambahan; kapal kurang dari 3.000 GT dapat
dibebaskan oleh pihak berwenang dari
persyaratan ini setelah berkonsultasi dengan
pemilik kapal dan organisasi pelaut yang
bersangkutan;
(n) untuk setiap penghuni kapal, harus
disediakan perabotan meliputi ruang ganti
pakaian yang cukup (Minimal berukuran 475
liter) dan laci atau setara dengan ruangan
yang tidak kurang dari 56 liter; jika laci yang
tergabung dalam ruang ganti pakaian maka
minimum gabungan volume ruangan
tersebut harus 500 liter; dengan dilengkapi
rak dan dapat dikunci oleh penghuni
sehingga sebagai bentuk privasi;
(o) Setiap kamar tidur harus dilengkapi dengan
meja atau bangku, baik dalam bentuk kaku

181
atau lipat, atau slide serta tempat duduk yang
nyaman.
Ketentuaan ruang makan diatur dalam pasal 10
Standar A3.1, meliputi:
(a) Ruang makan terletak terpisah dari kamar
tidur dan sedekat mungkin dengan dapur;
pengecualian untuk kapal kurang dari 3.000
GT dapat dibebaskan oleh pihak yang
berwenang dari persyaratan ini setelah
berkonsultasi dengan pemilik kapal dan
organisasi pelaut yang bersangkutan; dan
(b) Ruang makan harus mmiliki ukuran dan
kenyamanan yang memadai dengan perabot
dan dilengkapi (termasuk fasilitas yang
berkelanjutan untuk penyegaran), dengan
mempertimbangkan seluruh jumlah pelaut
dapat menggunakannya pada satu waktu;
ketentuan ini harus beriringan dengan
penyediaan fasilitas ruang makan yang
terpisah atau umum yang sesuai.

Ketentuaan ruang laundry diatur dalam pasal 13


Standar A3.1, meliputi:
Di dalam kapal wajib menyediakan fasilitas
laundry yang telah dilengkapi perabot.

Ketentuaan ruang komunal diatur dalam pasal


14 Standar A3.1, meliputi:
Semua kapal harus memiliki ruang atau ruang di
dek terbuka dimana pelaut dapat memiliki akses
berkumpul saat tidak tugas, dengan wilayah

182
memadai dan dengan memperhatikan ukuran
kapal dan jumlah pelaut di kapal.

Ketentuaan ruang kerja kantor diatur dalam


pasal 15 Standar A3.1, meliputi:
Semua kapal harus dilengkapi dengan kantor
yang terpisah atau kantor kapal umum untuk
digunakan oleh departemen dek dan mesin;
kapal kurang dari 3.000 GT dapat dibebaskan
oleh pihak yang berwenang dari persyaratan ini
setelah berkonsultasi dengan pemilik kapal dan
pelaut organisasi yang bersangkutan.
Ketentuaan pemeriksaan nyamuk dalam kapal
(mosquito infested port) diatur dalam pasal 16
Standar A3.1, meliputi:
Kapal wajib secara teratur memeriksa intensitas
nyamuk dalam kapal di mosquito infested port
setiap berlabuh dan kapal harus dilengkapi
dengan perangkat yang dibutuhkan untuk
mengusir nyamuk yang disediakan oleh pihak
yang berwenang.

Ketentuaan fasilitas rekreasi diatur dalam pasal


17 Standar A3.1, meliputi:
Pelaut wajib mendapat fasilitas rekreasi,
fasilitas dan layanan yang telah disesuaikan
untuk memenuhi kebutuhan khusus dari pelaut
yang harus hidup dan bekerja di dalam kapal,
kepentingan tersebut mengacu ke Regulation
4.3 dan Kode ketentuan yang terkait pada

183
kesehatan dan perlindungan keselamatan dan
pencegahan kecelakaan.

Ketentuaan inspeksi berkala diatur dalam pasal


18 Standar A3.1, meliputi:
Pihak yang berwenang harus memerlukan
inspeksi berkala terhadap kapal, dengan atau di
bawah otoritas ahli, untuk memastikan bahwa
akomodasi bagi pelaut bersih, layak dihuni dan
dijaga dalam keadaan baik beserta segala
perbaikan. Hasil setiap pemeriksaan tersebut
harus dicatat dan dibuat ulasan.

Ketentuaan akomodasi sosial diatur dalam pasal


19 Standar A3.1, meliputi:
Dalam hal apabila ada kebutuhan lainnya di
kapal, untuk dipertimbangkan, tanpa
diskriminasi, apabila pelaut memiliki praktik
keagamaan dan sosial yang berbeda-beda dan
khas, pihak yang berwenang dapat, setelah
berkonsultasi dengan pemilik kapal dan pelaut
organisasi yang bersangkutan, memberikan izin
sesuai dengan variasi dalam hal Standar ini
dengan syarat bahwa variasi tersebut tidak
mengakibatkan fasilitas keseluruhan kurang
menguntungkan bagi para pelaut yang diatur
dalam Standar konvensi ini.

Ketentuaan pengecualian akomodasi tertentu


diatur dalam pasal 20-21 Standar A3.1,
meliputi:

184
Setiap Anggota dapat, setelah berkonsultasi
dengan pemilik kapal dan organisasi pelaut
bersangkutan, pengecualian dapat dilakukan
bagi kapal yang kurang dari 200 GT, sedangkan
apabila dimungkinkan untuk memberlakukan
standar konvensi ini maka dapat melaksankan
ketentuan dalam konvensi ini, dengan tetap
mempertimbangkan ukuran kapal dan jumlah
orang saat berlayar. Standar tersebut terkait
dengan ketentuan:
(a) Paragraf 7 (b), 11 (d) dan 13, dan
(b) Paragraf 9 (f) dan (h) hingga (i) secara
inklusif, hanya terkait luas lantai saja.
Sedangkan pasal 21 menyatakan segala bentuk
pengecualian terhadap persyaratan Standar ini
dapat dibuat hanya dalam hal secara tegas
diizinkan dalam Standar ini dan hanya untuk
keadaan tertentu di mana pengecualian tersebut
dapat dengan jelas dibenarkan atas dasar yang
kuat dan bertujuan demi melindungi kesehatan
dan keselamatan para pelaut.

Regulation 3.1-Code A3.1 mengatur mengenai kebutuhan


akomodasi pelaut di dalam kapal. Ketentuan ini mengatur
secara teknis ukuran kapal begitu pula ukuran minimalnya
untuk menunjang keamanan dan kenyamanan pelaut saat
bekerja. Ada pun ruangan yang perlu diatur seperti kamar
pelaut, dapur kapal, ruang tidur, ruang komunal, ruang kerja
kantor yang terpisah dengan ruang mesin, fasilitas rekreasi
dan bila perlu hingga ruang ibadat. Code A3.1 juga
memisahkan fasilitas minimal kapal berdasarkan berat kapal.

185
Ketentuan ini juga mengatur secara detail mengenai
peletakan ruangan dalam kapal. Misalnya tidak ada akses
ruang muatan dengan pelaut, hal ini disebabkan apabila
kamar tidur bersebelahan langsung dengan ruang muatan,
tentu saja akan sangat berisik untuk beristirahat, di samping
itu, untuk kapal yang mengangkut zat kimia misalnya, tentu
saja akan sangat berbahaya jika kontak dan berdekatan
langsung dengan kapal pekerja. Kemudian diatur pula
mengenai ruang laundry untuk menjaga higenitas pakaian
pelaut, termasuk mosquito infested port yang merupakan
perangkap dan penampungan nyamuk dalam kapal yang akan
diserahkan saat kapal berlayar, pengaturan MLC 2006 sangat
detail dan mencakup seluruh aspek kenyamanan pelaut saat
bekerja. Seluruh ketentuan ini diatur pula dalam IMO Code
of Safety for Special Purpose Ships 1983.
Pada dasarnya ketentuan standar akomodasi kapal bertujuan
untuk mewujudkan kapal yang aman, nyaman dan sehat.
Dengan luas gerak yang baik dan penataan ruang yang
direncanakan, diharapkan dapat meminimalisir kecelakaan
kapal. Inspeksi terhadap akomodasi kapal juga akan selalu
dilakukan oleh otoritas ahli terutama setiap PSC negara
anggota. Pihak yang berotoritas harus memastikan bahwa
kapal yang dinaiki pelaut bersih, layak huni dan dijaga dalam
keadaan baik berdasarkan catatan atau ulasan yang dibuat.

Pemanas dan : Ketentuaan ini diatur dalam pasal 7 Standar


ventilasi A3.1 yang mengatur ketentuan ventilasi dan
pemanas ruangan:
(a) Ruang tidur dan ruang makan harus diberi
ventilasi yang cukup dan alat pemanas
ruangan yang memadahi;

186
(b) Kapal, kecuali kapal niaga yang berlayar di
wilayah panas tidak memerlukan pemanas
ruangan namun harus dilengkapi dengan
pendingin ruangan, dan juga disediakan di
ruang kontrol radio dan seluruh ruang
mesin kontrol terpusat;
(c) Seluruh ruangan sanitasi harus memiliki
ventilasi ke udara terbuka dalam bentuk
apapun;
(d) Sistem pemanas yang cukup harus tersedia
dalam ruang sanitasi kecuali bagi kapal
yang secara eksklusif ditujukan untuk
perjalanan ke wilayah tropis;

Regulation 3.1-Code A3.1 juga mengatur mengenai teknis


pembangunan dan penempatan pemanas dan ventilasi kapal. Setiap
negara harus memastikan kapal di bawah bendera negaranya harus
memiliki ventilasi yang cukup dan alat pemanas yang memadahi jika
kapal berlayar di wilayah dengan iklim dingin termasuk untuk ruang
sanitasi atau kamar mandi kapal. Di samping itu, harus tersedia
pendingin udara wajib ada di ruang kontrol mesin, hal ini untuk
menjamin supaya tidak terjadi over heat mesin kapal sewaktu-waktu.
Ketentuan ini untuk menjamin keberlangsungan kapal supaya dapat
bekerja dengan baik dan memiliki sirkulasi udara yang sehat dan
nyaman ditinggali pelaut saat bekerja maupun istirahat.

Faktor getaran : (Diatur secara eksplisit dalam ketentuan


dan keributan akomodasi, pasal 6 Standar A3.1 huruf (h)).
dan faktor
yang
mempengaruhi

187
kenyamanan
lainnya

Dalam ketentuan sebelumnya telah dijabarkan bahwa untuk


melindungi pelaut dari keadaan darurat, tidak boleh ada ruangan
yang berada dekat dengan ruang mesin kapal. Hal ini untuk
mencegah dan meminimalisir gangguan keributan dalam kapal. Jika
ruangan kapal berada di sebelah ruang mesin misalnya, apabila
terdapat keadaan darurat untuk segera evakuasi namun karena suara
keributan mesin sebelah sehingga pelaut tidak mendengarnya,
kondisi ini akan sangat membahayakan jiwa pelaut. Sama halnya jika
ada ruangan pelaut yang terletak di sebelah ruang muatan. Jika
barang muatan kapal misalnya berupa gas kimia beracun, ternyata
terjadi kebocoran di dalam kapal, ruangan pelaut terdekat akan
terkontaminasi dan sangat membahayakan nyawa pelaut. Oleh
karenanya pengaturan dan penataan ruangan dalam kapal sangat
perlu diperhatikan demi kenyamanan dan keselamatan pelaut.

Fasilitas : Ketentuaan ini diatur dalam pasal 11 Standar


sanitasi A3.1 yang mengatur ketentuan fasilitas sanitasi
yang meliputi:
(a) semua pelaut harus memiliki akses yang
mudah di kapal untuk mendapat fasilitas
sanitasi standar minimum kesehatan dan
kebersihan dan standar kenyamanan yang
wajar, dengan fasilitas sanitasi yang terpisah
yang disediakan untuk pria dan wanita;
(b) harus ada fasilitas sanitasi yang mudah
sekitar ruang navigasi dan ruang mesin atau
dekat pusat mesin ruang kontrol; kapal
kurang dari 3.000 GT dapat dibebaskan oleh

188
pihak yang berwenang dari persyaratan ini
setelah berkonsultasi dengan pemilik kapal
dan organisasi pelaut yang bersangkutan;
(c) dalam semua jenis kapal harus tersedia
minimal satu toilet, satu wastafel dan satu
bak mandi atau shower yang fasilitas tersebut
harus memuat untuk enam orang atau
kurang, sedangkan yang tidak memiliki
fasilitas sanitasi pribadi seperti di atas harus
disediakan di lokasi lain yang juga nyaman;
(d) pengecualian bagi kapal pengangkut
penumpang, setiap kamar tidur harus
dilengkapi dengan wastafel yang
menyediakan air tawar panas dan dingin,
kecuali wastafel tersebut telah terletak di
kamar mandi pribadi yang disediakan;
(e) Untuk kapal penumpang yang biasanya
melakukan pelayaran tidak lebih dari durasi
empat jam, pertimbangan pengecualian
dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang
untuk khusus melakukan pengaturan atau
pengurangan jumlah fasilitas yang
diperlukan; dan
(f) Air panas dan air dingin tawar harus tersedia
di semua tempat mencuci.

Regulation 3.1-Code A3.1 juga mengatur ruang sanitasi. Ruang


sanitasi harus tersedia cukup bagi pelaut baik untuk perempuan dan
laki-laki. Untuk kapal ukuran besar 3.000 GT dan ke atasnya, fasilitas
sanitasi harus mudah diakses disekitar ruang navigasi dan ruang
mesin atau dekat pusat mesin ruang kontrol, tujuannya mengingat

189
bahwa tugas pelaut di bagian ini sangat krusial dan tidak bisa
ditinggal lama, harus selalu dipantau karena menayangkut kendali
kapal, maka sebaiknya ruang sanitasi memiliki jarak yang dekat bagi
pelaut navigasi dan operator. Semua jenis kapal harus tersedia
minimal satu toilet yang dapat diakses minimal 6 orang dalam 1
lokasi, hal ini bertujuan untuk mencegah penumpukan pekerja yang
mengantri di kamar mandi. Pada dasarnya pengaturan ini sangat baik,
hanya saja pemilik kapal perlu mengeluarkan biaya extra untuk
maintanance dan menyediakan fasilitas-fasilitas ruang sanitasi
tersebut.

Pencahayaan : Ketentuaan ini diatur dalam pasal 8 standar


A3.1 yang mengatur:
Penambahan cahaya sesuai konsep ruangan
hanya diperbolehkan untuk kapal pengangkut
penumpang, ruang tidur, ruang makan harus
mendapat akses penerangan alami dan
dilengkapi dengan pencahayaan buatan yang
cukup;

Regulation 3.1-Code A3.1 juga memberikan ketentuan standar


terhadap pencahayaan di dalam kapal. Konsep ruangan dengan latar
cahaya hanya boleh diberikan untuk kapal pengangkut penumpang,
latar ruang tidur dan ruang makan. Selebihnya harus mendapat akses
penerangan alami dan dilengkapi pencahayaan buatan yang cukup.
Cahaya buatan sama sekali tidak boleh ditempatkan di bawah lorong-
lorong kerja dalam kapal, hal ini supaya tidak menggangu
penglihatan pelaut saat bekerja terutama saat menggunakan alat
navigasi.

190
Akomodasi : Ketentuaan ini diatur dalam pasal 12 Standar
rumah sakit A3.1 yang mengatur ketentuan akomodasi
rumah sakit:
Kapal yang membawa 15 atau lebih pelaut dan
terlibat dalam pelayaran durasi lebih dari tiga
hari harus menyediakan akomodasi rumah sakit
terpisah untuk digunakan secara eksklusif untuk
tujuan medis; Pihak yang berwenang dapat
mengurangi persyaratan ini untuk kapal yang
terlibat dalam perdagangan pesisir; dalam
menyetujui akomodasi rumah sakit dalam kapal
(on-board), pihak yang berwenang harus
memastikan bahwa akomodasi akan, dalam
segala cuaca, mudah diakses, menyediakan
perumahan yang nyaman bagi penghuni dan
kondusif untuk cepat menerima penanganan
medis dan perhatian yang layak.

Penyediaan rumah sakit di dalam kapal diwajibkan dalam kapal yang


memiliki durasi 3 hari atau lebih pelayaran. Rumah sakit berdasarkan
Guide Book MLC 2006 yang dimaksud setidaknya harus memuat:
1. Ruangan untuk berkonsultasi antara pasien dan dokter;
2. Penanganan cepat bagi penyakit menular;
3. Ruang sanitasi terpisah untuk pasien (minimal terdapat 1 toilet, 1
bak mandi dan 1 wastafel);
4. Tersedia tempat tidur terpisah untuk pasien dengan pencahayaan
dan ventilasi yang cukup.

Ketentuan penyediaan rumah sakit di atas kapal sangat penting


terutama bagi pelaut yang sakit saat bekerja di atas kapal atau
mengalami kecelakaan sehingga membutuhkan penanganan khusus.
Hambatan dari pelaksanaan ini adalah kerja sama antara pihak rumah

191
sakit dan pemilik kapal yang bisa saja memakan biaya yang cukup
besar.

Berdasarkan Code A3.2 pihak yang berwenang dalam negara


wajib mengakomodir kebutuhan pelaut sehubungan dengan
makanan dan katering. Tujuannya adalah untuk menjamin
pelaut mendapatkan akses makanan yang berkualitas dan
persediaan air yang sesuai dengan standar higenis. Secara garis
besar, setiap Anggota harus memastikan bahwa kapal-kapal
yang mengibarkan benderanya menyediakan makanan dan
minum air kualitas yang tepat, nilai gizi dan kuantitas yang
memadai meliputi persyaratan kapal dan memperhitungkan latar
belakang budaya dan agama yang berbeda dari penghuninya.
Kapal harus tersedia makanan gratis bagi seluruh pelaut selama
terikat dengan perjanjian kerja. Pelaut yang bekerja sebagai koki
kapal bertanggung jawab untuk persiapan makanan, koki kapal
harus dilatih dan memenuhi syarat untuk posisi koki di kapal
sesuai konvensi MLC 2006. Berikut adalah standar yang wajib
dipenuhi setiap negara yang meliputi:

Regulation 3.2-Code A3.2

Makanan dan : Ketentuaan ini diatur dalam pasal 1 Standar


katering A3.2 yang mengatur:
Setiap anggota wajib membuat undang-
undang dan peraturan di bawahnya atau
tindakan lain untuk memberikan standar
minimum untuk kuantitas dan kualitas
makanan dan air minum dan untuk standar
katering yang berlaku untuk makanan yang
disediakan untuk pelaut di kapal yang

192
mengibarkan benderanya, dan negara juga
turut serta akan melakukan kegiatan
pendidikan untuk meningkatkan kesadaran
dan implementasi standar sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini.
Pasal 2, setiap negara anggota wajib
memastikan bahwa kapal-kapal yang
mengibarkan benderanya memenuhi
minimum sebagai berikut standar:
(a) makanan dan air minum pasokan, dengan
memperhatikan jumlah pelaut yang berlayar,
kebutuhan agama mereka dan praktek
budaya yang berhubungan dengan makanan,
dan durasi dari pelayaran yang sesuai secara
kuantitas, nilai gizi, kualitas dan
keanekaragaman makanan;
(b) Departemen yang mengurus peralatan
dan pelengkapan dari katering kapal harus
memberlakukan ketentuan untuk menjamin
makanan yang cukup, bervariasi, bernutrisi
dan disajikan secara higenis; dan
(c) staf katering harus terlatih dan siap
menjalankan instruksi sesuai posisi yang
diberikan.
Pasal 3, pemilik kapal harus memastikan
bahwa pelaut yang terlibat sebagai juru
masak kapal yang terlatih, berkualitas dan
menemukan kompetensi untuk posisi sesuai
dengan persyaratan berdasarkan ketentuan
yang dibuat negara anggota.

193
Pasal 4, persyaratan berdasarkan ayat 3
Standar ini termasuk kursus pelatihan yang
disetujui negara anggota atau diakui oleh
pihak yang berwenang, yang meliputi
masakan praktis, makanan dan kebersihan
pribadi, penyimpanan makanan,
pengendalian stok makanan, dan
perlindungan terhadap lingkungan dan
kesehatan dan keamanan katering.
Pasal 5, apabila kapal yang beroperasi
dengan awak yang ditentukan kurang dari
sepuluh orang, berdasarkan dari jumlah kru
atau pola perdagangan yang dilakukan kapal,
sehingga tidak memungkinkan membawa
juru masak yang kompeten dan memenuhi
syarat, maka tdak perlu menggunakan koki
pelaut sesuai standar namun siapa pun yang
mengolah makanan di dapur harus mampu
terlatih atau diinstruksikan dalam bidang
makanan dan kebersihan pribadi serta
penanganan dan penyimpanan makanan di
kapal.

Pasal 6, dalam hal terdapat keadaan yang luar


biasa, pejabat yang berwenang dapat
mengeluarkan dispensasi untuk
memungkinkan seorang juru masak yang
tidak memenuhi syarat untuk melayani di
sebuah kapal yang ditentukan dengan jangka
waktu terbatas, hingga kapal dapat berlabuh
dengan nyaman di pelabuhan berikutnya

194
yang jangka waktunya tidak melebihi satu
bulan, sepanjang orang yang mendapat
dispensasi yang dikeluarkan tersebut terlatih
atau dapat diperintahkan dalam bidang
termasuk makanan dan kebersihan pribadi
serta penanganan dan penyimpanan
makanan di kapal.
Pasal 7, sesuai dengan prosedur Bab 5
konvensi ini, yang berwenang harus
melakukan inspeksi dan
mendokumentasikan keadaan kapal, yang
dilakukan oleh kepala kapal yang meliputi:
(a) persediaan makanan dan air minum;
(b) mengecek semua ruang dan peralatan
yang digunakan untuk penyimpanan dan
penanganan makanan dan air minnum;
dan
(c) keadaan dapur dan peralatan lainnya
untuk persiapan dan pelayanan
makanan.
Pasal 8, tidak ada pelaut di bawah usia 18
tahun yang akan dipekerjakan atau terlibat
atau bekerja sebagai koki kapal.

Berdasarkan Regulation 3.2-Code A3.2 mengatur mengenai


ketentuan makanan dan catering dalam kapal. Negara anggota wajib
memberikan aturan terhadap standar minimum untuk kuantitas dan
kualitas makanan dan air minum dan untuk standar katering yang
berlaku. Negara juga turut serta harus melakukan kegiatan pendidikan
(dalam hal ini terhadap koki kapal dan pelaut lainnya yang
bertanggung jawab terhadap dapur). Makanan yang diberikan harus

195
memperhatikan ketersediaan air minum, jumlah pelaut yang berlayar
dan kebutuhan agama pelaut, di samping itu makanan pelaut juga
harus menyesuaikan dengan nilai gizi, keanekaragaman makanan dan
durasi pelayaran. Negara juga harus mengatur ada divisi tertentu yang
harus bertanggung jawab terhadap makanan kapal, tanggung jawab
meliputi variasi, nutrisi, jumlah makanan yang cukup dan higenisitas
makanan. Ketentuan ini semakin menjamin makanan yang ada di
kapal, dengan demikian pelaut dapat berlayar dengan baik karena
telah diberi asupan yang cukup dan tinggi.

Pemilik kapal juga diharuskan untuk memastikan bahwa pelaut yang


terlibat sebagai juru masak kapal terlatih, berkualitas dan kompeten
untuk posisi sesuai dengan persyaratan berdasarkan ketentuan yang
dibuat negara anggota. Negara anggota dapat meningkatkan
kemampuan koki kapal dengan menyediakan pelatihan dan
sertifikasi. Koki kapal minimal harus memiliki kemampuan dapat
menyajikan masakan praktis, menjamin kebersihan makanan dan
pribadi koki, menjamin penyimpanan makanan yang baik, melakukan
pengendalian stok makanan, dan perlindungan terhadap lingkungan
dan kesehatan dan keamanan katering. Ketentuan ini menjamin setiap
kapal memperoleh koki kapal yang berkualitas, hal ini juga menjamin
keberlangsungan kesehatan seluruh kapal pelaut terhadap asupan
makanan yang dikelola dengan baik oleh koki kapal.
Koki kapal wajib ada di dalam kapal yang terdiri dari 10 pelaut di
dalamnya, apabila kurang dari 10 maka dapat menggunakan pelaut
biasa yang memasak namun tetap harus memiliki standar yang serupa
dengan koki kapal dan tidak merangkap jabatan sebagai pelaut bidang
lain. Koki kapal dilarang melibatkan pelaut di bawah umur. Hal ini
untuk menjamin tidak terjadinya kesalahan-kesalahan fatal di atas
kapal karena pelaut di bawah umur yang masih belum dapat bekerja
dengan stabil, misalnya terjadi kebakaran di dalam kapal.

196
MLC juga memerintahkan adanya pengaturan terhadap inspeksi
makanan dan catering kapal secara berkala oleh kepala kapal untuk
menjamin konsistensi kualitas dan kuantitas makanan di atas kapal.

2.1.4.4 HAK PELAUT BERDASARKAN BAB 4 MLC 2006


Dalam Bab 4 diatur tentang proteksi kesehatan, perawatan
medis, kesejahteraan dan keamanan sosial pelaut. Dalam bab
ini terdapat 5 subbab/Regulation yang meliputi:

Regulation 4.1 : Perawatan Medis Saat Kapal Berlayar


dan Mendarat (Medical Care on Board
Ship and Ashore)

Regulation 4.2 : Tanggung Jawab Pemilik Kapal


(Shipowners’ liability)

Regulation 4.3 : Perlindungan Kesehatan dan Keamanan


dan Perlindungan Terhadap Kecelakaan
(Health and Safety Protection and
Accident Prevention)

Regulation 4.4 : Akses Terhadap Fasilitas Kesejahteraan


Saat Mendarat (Access to Shore-based
Welfare Facilities)

Regulation 4.5 : Keamanan Sosial (Social security)

Tujuan dari Regulation 4.1 adalah untuk melindungi kesehatan


pelaut dan untuk menjamin pelaut dapat memperoleh perawatan
medis yang dapat diakses segera baik saat melaut atau pun saat
di daratan. Adapun pengaturan dalam konvensi ini yaitu:

197
Regulation 4.1 -Code A4.1

Perlindungan : Pasal 1 menyebutkan setiap pelaut wajib


Kesehatan mendapatkan akses kesehatan termasuk
bagi pelaut kesehatan gigi dan perlindungan kesehatan
lainnya yang relevan dengan pekerjaan
mereka, baik saat berlayar ataupun saat
mendarat. Pelaut harus diberikan akses
terhadap obat-obatan, peralatan medis,
fasilitas dan jasa diagnosa dan perawatan
medis, memperoleh informasi kesehatan dari
para ahli, semua pelaut memiliki hak untuk
mengunjungi dokter dan/atau dokter gigi
tanpa penundaan apapun apabila dimintakan
oleh pihak pelabuhan, begitu pula apabila
tiba di pelabuhan asing dan mendapat
perawatan yang gratis tanpa biaya dan
berlaku pula apabila pelaut sakit, terluka dan
termasuk perlunya diberikan sebuah
pencegahan terhadap suatu penyakit untuk
menunjang kesehatan pelaut termasuk
mendapatkan program pendidikan kesehatan
dan program promosi kesehatan.

Pasal 2, pihak yang berwenang wajib


mengadopsi standar laporan kesehatan yang
akan digunakan kepala kapal sehingga dapat
ditentukan untuk mendapatkan penanganan
medis baik saat berlayar atau pada saat kapal
telah mendarat. Formulir laporan apabila
telah terisi maka penggunaannya harus

198
terbatas untuk medis saja dan harus bersifat
rahasia.

Pasal 3, setiap negara anggota wajib


mengadopsi hukum atau regulasi yang
mengatur mengenai penanganan rumah sakit
saat berlayar dan fasilitas perawatan medis
dan peralatan medis dan pelatihan kesehatan
di dalam kapal yang berlayar sesuai dengan
bendera negara anggota.

Pasal 4, hukum nasional minimal harus


memuat:
(a) Kotak yang berisi obat-obatan,
peralatan medis dan pedoman
kesehatan yang setiap di pelabuhan
dilakukan inspeksi atas
ketersediaanya dengan
memperhatikan ukuran kapal, tipe
kapal dan jenis perjalanan yang
dilakukan kapal dan ketentuan
nasional dan internasional terhadap
standar medis;
(b) Kapal yang membawa 100
penumpang atau lebih dan melakukan
perjalanan internasional dan lebih
dari 3 hari wajib memiliki dokter
yang berkualitas yang
bertanggungjawab untuk
menyediakan perawatan medis;
Hukum nasional dan regulasi lainnya

199
harus menspesifikasi jenis kapal apa
saja yang wajib memilki dokter medis
dan turut mempertimbangkan antara
lain faktor yang mempengaruhi
perlunya dokter, durasi perjalanan,
kondisi alamiah perjalanan dan
jumlah pelaut yang berlayar;
(c) Kapal yang tidak memiliki dokter
medis minimal harus memilki
seorang pelaut yang bertugas dalam
perawatan medis dan melakukan
pendataan terhadap obat-obatan
sebagai bagian dari tugasnya atau
setidaknya seorang pelaut yang
kompeten dalam memberikan
pertolongan pertama; Pelaut yang
melakukan tugas dalam memberikan
perawatan medis tersebut harus telah
melewati pelatihan sesuai dengan
International Convention on
Standards of Training, Certification
and Watchkeeping for Seafarers,
1978, yang telah diamandemen
(STCW). Hukum nasional atau
melalui regulasi lainnya harus
melakukan spesifikasi terhadap
tingkat pelatihan yang telah dikuasai
oleh pelaut dengan memperhatikan
antara lain terhadap durasi perjalanan,
kondisi alamiah perjalanan dan
jumlah pelaut yang berlayar;

200
(d) Pihak yang berwajib harus menjamin
telah tersedia sistem yang telah
dibangun sebelumnya melalui radio
atau satelit untuk berkomunikasi di
dalam kapal saat kapal berlayar,
termasuk memberikan saran dari para
ahli spesialis, jika memungkinkan
tersedia dalam waktu 24 jam; saran
medis dilakukan melalui media
transmisi radio atau satelit untuk
menyampaikan saran dokter ke kapal
dan apabila memungkinkan diberikan
secara gratis tanpa memandang dari
mana kapal tersebut berasal.

Regulation 4.1 -Code A4.1 mengatur mengenai perlindungan


kesehatan bagi pelaut. Dalam MLC 2006 diatur bahwa pelaut
memilik hak atas kesehatannya termasuk perawatan gigi sekali
pun. Pelaut harus diberikan akses terhadap obat-obatan,
peralatan medis, fasilitas dan jasa diagnosa dan perawatan
medis, memperoleh informasi kesehatan dari para ahli, semua
pelaut memiliki hak untuk mengunjungi dokter dan/atau dokter
gigi baik di atas kapal atau di luar kapal tanpa penundaan apapun
terutama jika diperintahkan oleh pihak pelabuhan, begitu pula
apabila tiba di pelabuhan asing dan diberikan perawatan
kesehatan, maka perawatan harus diberikan gratis tanpa biaya
bagi pelaut terutama saat sakit, terluka dan termasuk perlunya
diberikan sebuah pencegahan terhadap suatu penyakit untuk
menunjang kesehatan pelaut (misalnya imunisasi dan lain
sebagainya). Semua hal tersebut harus direkap oleh dokter kapal

201
ke dalam formulir laporan kesehatan seluruh pelaut sebagai
rekam medis.
Untuk penunjang perawatan kesehatan, di dalam kapal wajib
harus memuat kotak obat-obatan sesuai pengaturan MLC 2006,
kewajiban kapal dengan durasi pelayaran lebih dari 3 hari dan
membawa penumpang 100 orang maka harus ada minimal 1
orang dokter yang kompeten ikut berlayar. Mengingat bahwa
untuk menyediakan dokter di atas kapal membutuhkan biaya
yang mahal, kehadiran dokter dapat digantikan dengan pelaut
yang khusus melakukan tugas dalam memberikan perawatan
medis dengan ketentuan telah lulus pelatihan sesuai dengan
standar International Convention on Standards of Training,
Certification and Watchkeeping for Seafarers, 1978, yang telah
diamandemen (STCW). Setiap kapal juga dituntut harus
memiliki sistem radio komunikasi yang tersambung dengan
dokter spesialis 24 jam di setiap wilayah terdekat untuk
mendapatkan saran dan konsultasi apabila terjadi keadaan yang
tidak dapat ditangani dokter umum atau pelaut medis. Secara
holistik ketentuan pasal ini sangat baik dalam mengupayakan
secara maksimal proteksi secara preventif mau pun langsung bagi
pelaut apabila terjadi insiden sakit pelaut dan/atau penumpang.
Hal ini adalah sebagai bentuk upaya maksimal pemerintah dan
pemilik kapal untuk memberikan perawatan dan penanganan
kesehatan terbaik bagi pelaut.

Tujuan dari Regulation 4.2 adalah untuk menjamin seluruh


pelaut terlindungi dari segala konsekuensi keuangan yang
ditimbulkan karena sakit, terluka atau menyebabkan kematian
yang ditimbulkan akibat pekerjaan yang dijalani.

202
Regulation 4.2 -Code A4.2

Pertanggungja : Setiap negara anggota wajib membuat


waban pemilik hukum nasional atau dalam bentuk
kapal regulasi lainnya yang memuat standar
pertanggungjawaban pemilik kapal
yang berupa:
(a) Pemilik kapal wajib
menanggung biaya pelaut
apabila sakit, kecelakaan kerja
selama hal tersebut terjadi pada
tanggal dimulainya pekerjaan
hingga pelaut tersebut dianggap
akan direpatriasi, atau selama
muncul di masa kerja pelaut
sesuai kesepakatan;
(b) Pemilik kapal harus
menyediakan bentuk jaminan
keuangan untuk menjamin
kompensasi bagi pelaut dalam
hal kematian pelaut, cacat
pelaut karena pekerjaannya,
dampak bahaya, luka, penyakit
yang diderita yang semua hal
tersebut diatur dalam hukum
nasional, perjanjian kerja pelaut
atau perjanjian kerja bersama
pelaut;
(c) Pemilik kapal wajib membiayai
perawatan medis bagi pelaut,
termasuk perawatan

203
berkelanjutan dan persediaan
obat-obatan dan perlengkapan
terapis dan tempat tinggal yang
jauh dari rumah hingga sakit
dan luka pelaut tersebut
sembuh, atau hingga sakit atau
inkapabilitas pelaut tersebut
dinyatakan sembuh atau
permanen tidak dapat
disembuhkan; dan
(d) Pemilik kapal wajib
menanggung biaya pemakaman
pelaut selama penyebab
kematian terjadi di kapal atau di
daratan selama masih di bawah
perjanjian kerja.

Pasal 2, hukum nasional dapat


mengecualikan pertanggungjawaban
pemilik kapal di atas terkait biaya
perawatan kesehatan dan penyediaan
tempat tinggal selama sakit setidaknya
minimal tidak kurang dari 16 minggu;

Pasal 3, Apabila sakit yang diderita


pelaut menyebabkan inkapabilitas
pelaut untuk bekerja maka pemilik
kapal bertanggungjawab:
(a) Membayar upah pekerja pelaut
yang ada di atas kapal secara
penuh selama pekerja tersebut

204
sakit atau hingga dilakukan
repatriasi sesuai ketentuan
konvensi ini; dan
(b) Membayar upah pekerja pelaut
secara penuh atau setengah
sesuai dengan ketentuan hukum
nasional, atau yang disediakan
dalam perjanjian kerja bersama
sejak pelaut direpatriasi atau
mendarat hingga sembuh atau
jika lebih awal, maka pelaut
tersebut berhak atas dana
tertentu sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 4, hukum nasional atau


regulasi lain berhak membatasi
pertanggungjawaban pemilik
kapal untuk membayar pelaut
secara penuh dalam hal apabila
pelaut tersebut sudah tidak
berlayar selama minimal 16
minggu dihitung sejak hari
ketika pelaut sakit atau
mengalami kecelakaan atau
hari di mana pernyataan vonis
penyakit diberitahukan.

Pasal 5, hukum nasional dan


atau regulasi lainnya dapat

205
mengecualikan pertanggung
jawaban pemilik kapal dalam
hal:
(a) Cidera timbul selain
disebabkan pada saat
menjalankan tugas di kapal;
(b) Cidera atau sakit
karena kesalahan yang
disengaja pelaut sehingga
menyebabkan terluka atau
meninggalnya pelaut; dan
(c) penyakit dan kelemahan
tubuh yang sengaja
disembunyikan ketika
perjanjian kerja berlaku;
Pasal 6, hukum nasional atau peraturan
nasional lainnya dapat membebaskan
pemilik kapal dari kewajiban untuk
membiayai perawatan medis dan
penginapan dan biaya pemakaman
apabila hukum nasional mengatur
ketentuan tersebut sebagai kewajiban
pemerintah.
Pasal 7, Pemilik kapal atau
perwakilannya harus mengambil
langkah-langkah antisipasi untuk
melindungi pelaut yang sakit dengan
menyediakan properti yang ditinggali
pelaut sakit, pelaut terluka atau
meninggal secara aman dan untuk
wajib untuk mengembalikannya

206
kepada tempat asalnya atau keluarga
terdekat.

Regulation 4.2-Code A4.2 mengatur mengenai


pertanggungjawaban pemilik kapal. Setiap negara anggota
wajib membuat hukum nasional yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban pemilik kapal minimal dalam hal:

(a) Pemilik kapal wajib menanggung biaya pelaut


apabila sakit, kecelakaan;
(b) Pemilik kapal harus menyediakan bentuk jaminan
keuangan untuk menjamin kompensasi bagi pelaut
dalam hal kematian pelaut, cacat pelaut karena
pekerjaannya, dampak bahaya, luka, penyakit yang
diderita;
(c) Pemilik kapal wajib membiayai perawatan medik
bagi pelaut, termasuk perawatan berkelanjutan dan
persediaan obat-obatan dan perlengkapan terapis dan
tempat tinggal yang jauh dari rumah hingga sakit dan
luka pelaut tersebut sembuh, atau hingga sakit atau
inkapabilitas pelaut tersebut dinyatakan sembuh atau
permanen tidak dapat disembuhkan; dan
(d) Pemilik kapal wajib menanggung biaya pemakaman
pelaut selama penyebab kematian terjadi di kapal
atau di daratan selama masih di bawah perjanjian
kerja.

Pengecualian pertanggungjawaban dari pemilik kapal dalam


hal cidera sakit tidak timbul dari pekerjaan pelaut, cidera
yang disengaja saat kerja, penyakit bawaan yang
disembunyikan sebelum bekerja. Ketentuan ini untuk
membatasi pertanggung jawaban pelaut supaya sebab

207
terjadinya cidera tidak dimanipulasi atau dimanfaatkan
secara berlebihan oleh pelaut.

Sebagai bentuk proteksi dan antisipasi, pemilik kapal


dituntut untuk melakukan tindakan preventif dan upaya
maksimal supaya tidak terjadi cidera atau kecelakaan pada
pelaut.

Tujuan dari Regulation 4.3 adalah untuk menjamin lingkungan


kerja pelaut saat berlayar sesuai dengan ketentuan standar
berlayar yang aman dan sehat. Adapun pengaturan dalam
konvensi ini yaitu:

Regulation 4.3 -Code A4.3

Perlindungan : Ketentuan terhadap perlindungan


kesehatan dan kesehatan dan keamanan dan
keamanan dan pencegahan kecelakaan kerja diatur
pencegahan dalam Code A4.3 pasal 1-8.
kecelakaan Pasal 1 menyatakan bahwa dalam
hukum nasional yang mengatur tentang
perlindungan kesehatan dan keamanan
dan pencegahan kecelakaan setidaknya
harus memuat:
(a) Implementasi efektif, promosi
keamanan kerja yang baik,
pengaturan kesehatan, program
yang harus disediakan kapal
termasuk program untuk
mengevaluasi resiko dan
pelatihan tertentu bagi pelaut;

208
(b) Tindakan pencegahan
kecelakaan kerja, luka dan
penyakit yang biasanya diderita
di kapal termasuk menyediakan
ketentuan bagaiman cara
melakukan pencegahan dan
mengurangi resiko terhadap
ketidaknyamanan yang
ditimbulkan termasuk yang
berasal dari faktor lain, terhadap
reaksi zat kimia yang ada di
dalam kapal termasuk pula yang
berasal dari akibat penggunaan
peralatan dan mesin kapal.
(c) Mengatur program saat kapal
berlayar terkait pencegahan
kecelakaan kerja, luka dan
sebagai bentuk mengembangkan
keterlibatan berbagai pihak
supaya dapat mengembangkan
perlindungan keamanan dan
kesehatan kerja pelaut yang
dapat melibatkan siapapun,
dengan mempertimbangkan pula
jenis mesin dan desain kontrol
mesin kapal, menentukan tolak
ukur bentuk pencegahan,
pembagian kerja dan prosedur
kerja yang berbeda antar pelaut
dan penggunaan alat kerja yang
berbeda; dan

209
(d) Menyediakan adanya ketentuan
untuk dilakukannya inspeksi
rutin untuk menentukan
keamanan kerja dan
dilakukannya investigasi berkala
bagi kapal sebagai bentuk
pencegahan kecelakaan kerja;
Pasal 2, ketentuan dalam pasal satu
harus:
(a) Mempertimbangkan instrumen
hukum nasional yang berkaitan
dengan Perlindungan kesehatan
dan keamanan dan pencegahan
kecelakaan;
(b) Mencantunkan kewajiban
pemilik kapal dan pelaut dan
pihak lainnya demi mewujudkan
perlindungan kesehatan dan
keamanan dan pencegahan
kecelakaan;
(c) Mencantumkan tugas dan fungsi
kepala kapal atau seseorang yang
ditugaskan oleh kepala kapal
untuk bertanggungjawab dan
mengimplementasikan
Perlindungan kesehatan dan
keamanan dan pencegahan
kecelakaan;
(d) Mencantumkan kewenangan
pelaut yang dipilih atau ditunjuk
sebagai perwakilan kapal untuk

210
menghadiri pertemuan kelompok
keselamatan kapal yang mana
pertemuan tersebut digagas oleh
organisasi pelaut yang terdiri dari
minimal 5 orang pelaut atau
lebih.

Hukum nasional yang mengatur


mengenai Perlindungan kesehatan dan
keamanan dan pencegahan kecelakaan
wajib dikonsultasikan terlebih dahulu
kepada perwakilan pemilik kapal,
organisasi pelaut dan apabila perlu juga
mempertimbangkan revisi dengan
mempertimbangkan adanya
perkembangan teknologi sehingga harus
diiringi riset terhadap dampak peralatan
dan mesin yang digunakan di dalam
kapal sehingga lebih menjamin
perlindungan kesehatan dan keamanan
dan pencegahan kecelakaan pelaut di
kapal berbendera negara anggota.
Pasal 4, semua bentuk pertemuan dan
pembahasan yang digagas organsisasi
pelaut harus demi terwujudnya
Perlindungan kesehatan dan keamanan
dan pencegahan kecelakaan pelaut
sesuai dengan konvensi ini.

Pasal 5, pihak yang berwenang wajib:

211
(a) Menerima segala bentuk laporan
akibat kecelakaan kerja, dengan
mempertimbangkan pedoman
dari International Labour
Organization dengan tujuan
untuk mendata laporan
terjadinya kecelakaan dan sakit
yang terjadi di dalam kapal;
(b) Membentuk dan menganalisa
statistik terhadap penyakit,
kecelakaan kerja dan
mempublikasikan hasil analisa
tersebut secara umum; dan
diiringi dengan riset terhadap
tren dan hasil identifikasi dari
bahaya yang terjadi;

Pasal 6, hasil laporan dan investigasi atas


kesehatan dan keamanan kerja pelaut
juga harus menjamin data pribadi pelaut
dengan mempertimbangkan ketentuan
sebagaimana telah disediakan dan diatur
ILO.

Pasal 7, pihak yang berwenang wajib


bekerja sama dengan pemilik kapal dan
organisasi pelaut untuk
mempertimbangkan, memberikan
perhatian terhadap informasi terkait
bahaya dalam kapal, misalnya dengan

212
mempublikasikan peringatan resmi
terhadap informasi terkait;

Pasal 8, pihak yang berwenang berhak


mengharuskan setiap pemilik kapal
untuk melakukan evaluasi resiko
terhadap kapal dalam kaitan terhadap
pengaturan Perlindungan kesehatan dan
keamanan dan pencegahan kecelakaan
dari kapal dan dikaitkan pula dengan
hasil statistik yang ada yang disediakan
oleh pihak yang berwenang.

Regulation 4.3 -Code A4.3 mengatur mengenai perlindungan


kesehatan, keamanan dan pencegahan kecelakaan kapal.
Pengaturan ini pada dasarnya mengatur 4 unsur, pertama
pembentukan peraturan nasional terhadap bentuk
perlindungan kesehatan dan keamanan dan pencegahan
kecelakaan, kedua inspeksi berkala terhadap pelaksanaannya,
ketiga investigasi terhadap pelaksanaan yang telah tidak
sesuai atau menyimpang oleh pemilik kapal dan terakhir
evaluasi berkala terhadap pengaturan yang ada termasuk
dalam hal menerima masukan dan mempertimbangkan
laporan yang ada.

Pada dasarnya aturan ini mewajibkan setiap negara anggota


untuk mengawasi ketentuan perlindungan kesehatan,
keamanan dan pencegahan kecelakaan kapal melalui suatu
lembaga. Lembaga ini juga nantinya memiliki fungsi untuk
mempromosikan implementasi yang efektif dalam
mewujudkan perlindungan yang dimaksud.

213
Adapun menurut Guide Book MLC 2006 tolak ukur
perlindungan dan pencegahan yang dimaksud diatur menurut
ketentuan ILO code of practice entitled Accident prevention
on board ship at sea and in port, 1996 minimal harus memuat:

(a) fitur struktural kapal, termasuk sarana akses dan risiko


yang berhubungan dengan asbes (structural features
of the ship, including means of access and asbestos-
related risks);
(b) Mesin kapal (machinery);
(c) Dampak akibat suhu yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah yang akan dihadapi pelaut (the effects of the
extremely low or high temperature of any surfaces
with which seafarers may be in contact);
(d) Dampak keributan di tempat kerja dan di beberapa
wilayah akomodasi yang ada di atas kapal (the effects
of noise in the workplace and in shipboard
accommodation);
(e) Dampak getaran di tempat kerja dan di beberapa
wilayah akomodasi yang ada di atas kapal (the effects
of vibration in the workplace and in shipboard
accommodation);
(f) Dampak lainnya di tempat kerja dan di beberapa
wilayah akomodasi yang ada di atas kapal, termasuk
terhadap asap rokok (the effects of ambient factors,
other than those referred to in subparagraphs (d) and
(e), in the workplace and in shipboard
accommodation, including tobacco smoke);
(g) Perlindungan khusus terhadap akses ke atas atau
bawah dek kapal (special safety measures on and
below deck);

214
(h) Perlengkapan yang harus digunakan saat bongkar
muat (loading and unloading equipment);
(i) Pencegahan kebakaran dan cara mematikan api di
kapal (fire prevention and fire-fighting);
(j) Ketentuan terhadap jangkar kapal, rantai dan lini garis
batas kapal (anchors, chains and lines);
(k) Ketentuan mengenai muatan berbahaya dan alat berat
(dangerous cargo and ballast);
(l) Perangkat pelindung pribadi pelaut (personal
protective equipment for seafarers);
(m) Bekerja di ruang terbatas (work in enclosed spaces);
(n) Dampak fisik dan mental dalam kejenuhan bekerja
(physical and mental effects of fatigue);
(o) Dampak ketergantungan dengan obat-obatan tetentu
dan alkohol (the effects of drug and alcohol
dependency);
(p) Pencegahan dan perlindungan terhadap HIV/AIDS
(HIV/AIDS protection and prevention);
(q) Ketentuan reaksi terhadap keadaan darurat dan terjadi
kecelakaan (emergency and accident response).68

Semua ketentuan tersebut harus diajarkan, disosialisasikan


dan dilaksanakan oleh perusahaan kapal kepada para pelaut
yang akan bekerja di kapal. Sedangkan untuk standar
ketentuan di atas harus di atur oleh pemerintah negara
anggota.

Tujuan dari Regulation 4.4 adalah untuk menjamin pelaut yang


bekerja di kapal memiliki akses untuk segala bentuk fasilitas
kesejahteraan saat mendarat dan pelayanan kesehatan yang

68

215
menjamin keberlangsungan kesehatan pelaut. Fasilitas
kesejahteraan meliputi fasilitas kebudayaan, rekreasi, informasi
dan servis lainnya sesuai pengaturan dalam konvensi.
Adapun pengaturan dalam konvensi ini yaitu:

Regulation 4.4 -Code A4.4

Akses untuk : Pasal 1 menyatakan setiap negara


memperoleh wajib menyediakan fasilitas
fasilitas kesejahteraan di teritorialnya untuk
kesejahteraan pelaut tanpa memandang negara asal,
di daratan nasionalitas, ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, pendapat politik
ataupun tempat asal dan tanpa
memandang negara asal kapal di mana
pelaut bekerja.

Pasal 2, setiap negara anggota wajib


mempromosikan perkembangan
terhadap fasilitas kesejahteraan bagi
pelaut di setiap pelabuhan yang
terpilih dan telah ditentukan di setiap
negara, setelah berkonsultasi dengan
pemilik kapal dan organisasi pelaut
terkait pelabuhan mana yang dianggap
cocok ditempati fasilitas ini.

Pasal 3, setiap negara anggota wajib


memberikan dorongan untuk
membangun organisasi pelaut yang
secara rutin dapat mengecek dan
meninjau dan memberikan aspirasi

216
terhadap fasilitas dan pelayanan bagi
pelaut sehingga apabila dirasakan
perlu diberikan suatu perubahan bagi
pelaut baik secara teknis, operasional
dan perkembangan lainnya di industri
perkapalan.

Regulation 4.4-Code A4.4 pada dasarnya mengatur


mengenai prinsip dalam pemberian fasilitas kesejahteraan
bagi pelaut. Prinsip pertama adalah fasilitas kesejahteraan
bersifat non-diskriminasi, artinya baik pelaut asing dan
pelaut nasional harus diperlakukan sama ketika mendarat di
daratan Indonesia untuk berlabuh. Kedua, fasilitas
kesejahteraan yang disediakan negara bagi pelaut harus
disosialisasikan dan dipromosikan dengan baik oleh negara,
supaya dapat diakses pelaut sesuai dengan kebutuhan.
Ketiga, fasilitas kesejahteraan bagi pelaut harus terbuka,
artinya tersedia fasilitas pelayanan untuk menerima feedback
atau saran dari setiap pelaut, terhadap keluhan, aspirasi,
masukan yang diperlukan sehingga mengakomodir
kebutuhan pembangunan fasilitas kesejahteraan yang lebih
baik berdasarkan pertimbangan dan masukan konstruktif
dari pelaut selaku pekerja dan penikmat fasilitas
kesejahteraan.

Selanjutnya, tujuan dari Regulation 4.5 adalah untuk menjamin


adanya tolak ukur tertentu supaya pelaut dapat memperoleh
akses proteksi keamanan sosial. Adapun pengaturan dalam
konvensi ini yaitu:

217
Regulation 4.5 -Code A4.5

Keamanan : Pasal 1-11 Code A4-5 mengatur


Sosial pelaut tentang perwujudan, jenis dan
ketentuan bagi keamanan sosial pelaut.

Pasal 1 menyatakan bahwa setiap


negara anggota wajib mengakomodir
keamanan sosial pelaut melalui
jaminan yang mencakup perawatan
medis, tunjangan sakit, jaminan
pemutusan kerja, jaminan pensiun,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan
keluarga, jaminan melahirkan, jaminan
pelaut yang hilang, jaminan pelaut yang
selamat, dengan melengkapi
ketentuaan regulation 4.1 mengenai
perawatan medik dan 4.2 tentang
pertanggungjawaban pemilik kapal
berdasarkan konvensi ini.

Setiap negara anggota wajib memilih 3


dari 9 kategori di atas sebagai
perlindungan wajib bagi keamanan
sosial pelaut, untuk melengkapi
berbagai kebutuhan tersebut negara
dapat bekerja sama dengan dengan lain
baik secara bilateral atau pun
multilateral. Ketentuan ini harus
dicantumkan dalam hukum nasional

218
atau regulasi lainnya atau perjanjian
kerja bersama.

Pasal 9, setiap negara anggota wajib


menyediakan suatu prosedur
penyelesaian sengketa yang adil dan
efektif.

Pasal 10, apabila suatu negara


menemukan kategori baru terhadap
perlindungan keamanan sosial bagi
pelaut lainnya, maka negara tersebut
wajib melaporkan atau
memberitahukan hal tersebut kepada
kantor International Labour
Organization sehingga pilihan baru
tersebut dapat menjadi pedoman dan
acuan baru bagi negara-negara lainnya.

Pasal 11, laporan yang dimaksud dalam


pasal 10 sesuai dengan prosedur pasal
22 Konstitusi ILO, termasuk
dilaporkan pula rangkaian cara
bagaimana mewujudkan keamanan
sosial tersebut sebagai cabang baru
dalam melindungi keamanan sosial
pelaut.

Regulation 4.5-Code A4.5 mengatur mengenai


jaminan keamanan sosial pelaut. Setiap negara wajib
mengatur dan memberikan jaminan keamanan sosial

219
(setidaknya 3 jenis dari 9 kategori jaminan) pelaut berupa
perawatan medis, jaminan sakit, jaminan pemutusan kerja,
jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan bagi
keluarga, jaminan melahirkan, jaminan pelaut yang hilang,
jaminan pelaut yang selamat.

Dalam ketentuan MLC 2006 dimungkinkan


pemberian jaminan diberikan kepada pelaut berdasarkan
perjanjian kerja sama bilateral atau multilateral negara
anggota MLC 2006. Ketentuan ini semakin membuka
potensi kerja sama antara Indonesia dengan negara anggota
lainnya untuk lebih melengkapi berbagai jaminan bagi
pelaut Indonesia mau pun pelaut warga negara asing yang
bekerja di Indonesia. MLC 2006 juga tidak membatasi
jaminan tertentu saja yang harus diakomodir, setiap negara
dibebaskan untuk menciptakan jenis-jenis jaminan yang
dirasa perlu sepanjang jaminan tersebut melindungi
keamanan sosial pelaut, ketentuan ini memberikan
kreativitas negara anggota untuk semakin mengembangkan
proteksi bagi pelaut melalui instrumen hukum nasional atau
pun berdasarkan kerja sama antar negara. Pada akhirnya,
ketentuan ini bermaksud semakin memproteksi
perlindungan keamanan dan kesejahteraan pelaut.

2.1.5 KEUNGGULAN, KELEMAHAN, TANTANGAN DAN BEBAN


YANG MUNCUL ATAS PENGATURAN HAK PELAUT
MENURUT MARITIME LABOUR CONVENTION 2006 SEBAGAI
HUKUM POSITIF INDONESIA
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai pengaturan apa saja yang
tersedia dalam MLC 2006. Lantas apa pengaturan penting yang menjadi
keunggulan MLC setelah diratifikasi oleh Indonesia dalam melindungi hak

220
pelaut? Dari segi definisi, definisi yang disediakan MLC tergolong lebih
luas, terutama terhadap pengusaha kapal dan pelaut. Pemilik kapal
termasuk bagi siapa saja yang menyewa kapal maka ia disebut sebagai
pemilik kapal sehingga ia harus bertanggung jawab terhadap pekerja kapal.
Sedangkan pelaut berlaku bagi siapa saja yang bekerja di atas kapal
terlepas dari apapun jabatannya. Namun dalam definisi kapal, pengaturan
MLC tergolong lebih sempit karena tidak mencakup pelayaran dalam
negeri (inland waters), standar MLC hanya berlaku bagi pelayaran antar
negara. Hal ini akan menjadi tantangan Indonesia bagaimana nantinya
mampu menyesuaikan standar internasional terhadap standar nasional
yang ada. Ketentuan ini akan dibahas lebih lanjut di bab 3.
Pertama, bab 1 pada dasarnya tidak membahas mengenai
perwujudan hak pelaut, namun lebih kepada peningkatan kualifikasi bagi
pelaut muda. Pada Regulation 1.1 MLC memberikan bentuk proteksi yang
lebih tinggi bagi pelaut muda (pelaut yang berumur 16-18 tahun), MLC
memberikan keunggulan terhadap proteksi berupa batas jam kerja yang
lebih spesifik yaitu pelaut muda untuk tidak boleh dipekerjakan pada
malam hari dan sebelum pukul 5 pagi. MLC juga mengamanatkan supaya
negara anggota mengakomodir posisi pekerjaan tertentu saja yang boleh
dilakukan pelaut muda. Hal ini untuk menjamin pelaut muda supaya tidak
tereksploitasi oleh pemberi kerja dan memperoleh pekerjaan yang tidak
sesuai dengan kapasitasnya baik secara fisik dan psikis serta mendapat
waktu tidur yang cukup. Hal yang berbeda adalah akan berlaku waktu kerja
maksimal yang lebih lama 1 jam bagi pelaut muda sesuai ketentuan MLC.
Regulation 1.2 mengenai sertifikat kesehatan. Ketentuan MLC ini
semakin meningkatkan kualifikasi pelaut untuk dapat bekerja.
Berdasarkan ketentuan STCW pelaut dapat bekerja apabila pelaut tersebut
telah menjalani pelatihan dasar atau pelatihan atas keselamatan kerja
sebagai pelaut dan memperoleh sertifikasi kesehatan, sedangkan MLC
memprasyaratkan seluruh pelaut dapat bekerja apabila telah memperoleh
sarangkaian pemeriksaan medis, memperoleh sertifikat kesehatan sesuai

221
Regulation 1.2, serta telah lolos pelatihan keselamaatan kerja di atas kapal
sesuai dengan jenis karir yang diemban. Ketentuan ini semakin
meningkatkan kualifikasi standar kerja pelaut supaya dapat menjamin
pelaut dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik tanpa kendala kesehatan
dan memiliki pengetahuan keselamatan kerja sesuai karirnya.
Regulation 1.3 mengenai pelatihan dan kualifikasi bagi pelaut. MLC
memberikan tolak ukur pelatihan dan kualifikasi yang baik. Adanya
kewajiban memiliki sistem sertifikasi pekerja, pelatihan keselamatan kerja
bagi pelaut dan tolak ukur pelatihan dan kualifikasi yang baik adalah
berdasarkan STCW. Mengingat Indonesia telah meratifikasi ILO’s
Certification of Able Seaman Convention 1946 yang telah ditransfer ke
dalam konvensi STCW maka berlaku ketentuan pada saaat telah
meratifikasi MLC 2006, kewajiban berdasarkan ILO’s Certification of
Able Seaman Convention 1946 akan berakhir sehingga berlaku ketentuan
STCW. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab 3.
Regulation 1.4 mengenai rekrutmen dan penempatan pelaut. MLC
memberikan pengaturan untuk membatasi perusahaan pengelolaan
rekrutmen dan penempatan pelaut terutama yang dikelola swasta, supaya
tidak terjadi penyelewengan rekrutmen dan penempatan pelaut karena
pihak swasta yang cenderung profit-oriented. MLC menyajikan suatu tolak
ukur bahwa sistem registrasi rekrutmen dan penempatan pelaut harus
sebisa mungkin up to date sehingga mempermudah pemerintah melakukan
inspeksi kapan saja. Pengelola rekrutmen dan penempatan pelaut
diharuskan secara aktif melakukan verifikasi terhadap data pelaut,
verifikasi berupa pernyataan pelaut telah ditempatkan di perusahan kapal
mana dan dalam rute apa ia ditugaskan berlayar. Hal ini penting untuk
memberikan kepastian terhadap kondisi pelaut sesuai dengan perjanjian
kerja laut yang telah disepakati dan tidak melanggar hak pelaut.
Perusahaan juga dituntut untuk mendapat sertifikasi dan lisensi yang
terstandardisasi, sehingga menjamin diberlakukannya international
quality standard system, yang bertujuan memberikan proteksi bagi pelaut

222
saat direkrut dan ditempatkan kerja. Keunggulan lainnya adalah pengelola
juga dituntut harus secara aktif memeriksa dan menanggapi berbagai
keluhan terhadap segala bentuk aktivitas pelaut dan memberikan
pertimbangan kepada pihak yang berwenang dalam menyelesaikan
permasalahan pelaut yang ada. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam
bab 3.
Kedua, bab 2 membahas mengenai minimum hak pekerja.
Regulation 2.1 mengatur mengenai perjanjian kerja pelaut. Adapun
keunggulan yang diakomodir MLC adalah adanya syarat minimum dalam
perjanjian kerja yang lebih spesifik dan terdapat hak pelaut untuk
direpatriasi. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab 3.
Regulation 2.2 mengatur mengenai upah pelaut. MLC menghadirkan
beberapa tolak ukur pembayaran upah pelaut yang baik. MLC
mengharuskan adanya standar minimum pengupahan bagi pelaut sesuai
jabatan yang diembannya di atas kapal. Keunggulan ini akan dibahas
dalam bab 3.
Regulation 2.3 mengatur mengenai jam kerja dan jam istirahat. MLC
memberikan pengaturan-pengaturan teknis bagi setiap negara anggota
supaya jam kerja dan jam istirahat pelaut dapat dipantau setiap saat oleh
PSC. Berbagai informasi jam kerja dan istirahat bagi pelaut di atas kapal
harus ditampilkan di atas kapal dengan papan khusus yang memuat
informasi sesuai bahasa sehari-hari pelaut dan bahasa Inggris sehingga
tidak terjadi eksploitasi waktu kerja berlebihan bagi pelaut yang tidak
menguasai bahasa asing. Di samping itu, pengaturan terhadap kewajiban
kerja pelaut dalam keadaan darurat atau mendesak dalam pengaturan MLC
bersifat lebih manusiawi. Hal ini karena imbalan yang diberikan bukan
hanya berupa upah tambahan saja namun beserta waktu istirahat pengganti
bagi pelaut (recovery system).
Regulation 2.4 megatur mengenai hak cuti bagi pelaut. MLC
memberikan waktu yang tergolong lebih panjang bagi pelaut yaitu
dihitung berdasarkan 2,5 hari per bulan, sehingga dalam 1 tahun

223
setidaknya pelaut dapat cuti selama 1 bulan. Tidak hanya itu, MLC juga
memberikan proteksi untuk tidak memperjualbelikan hak cuti pekerja
dengan upah tambahan, hal ini terutama untuk memberikan proteksi bagi
pelaut dari negara berkembang yang cenderung memilih upah yang lebih
besar dibandingkan memanfaatkan waktu cuti. Pengaturan ini memberikan
proteksi bagi pelaut supaya tidak dieksploitasi pemberi kerja untuk
mempekerjakan pekerja secara optimal dengan menggantikan waktu cuti
sebagai upah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab 3.
Regulation 2.5 mengatur mengenai hak repatriasi pelaut. Dalam
pengaturan ini MLC memberikan ketentuan yang lebih detail terhadap
repatriasi pekerja, tidak sekedar hanya dipulangkan, namun bagaimana
cara pekerja akan direpatriasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dibahas
lebih lanjut dalam bab 3. Adapun kelemahan dari Regulation 2.5 adalah
tidak diaturnya repatriasi bagi pelaut yang tertinggal (abandonment), hal
ini akan dibahas pula dalam bab 3.
Regulation 2.6 memberikan pengaturan terhadap kompensasi bagi
pelaut. Pengaturan kompensasi MLC tergolong lebih minim dibandingkan
pengaturan kompensasi di Indonesia sebelum masuknya MLC (hanya
mengakomodir kapal tenggelam dan mengalami kecelakaan saja). Hal ini
akan dibahas lebih lanjut dalam bab 3.
Regulation 2.8 mengatur mengenai jenjang karir dan kesempatan
pelaut dalam bekerja. MLC mengharuskan adanya instrumen hukum
khusus yang mengatur mengenai jenjang karir pelaut yang harus selaras
pula dengan tingkat upah minimum pelaut. Hal ini penting untuk
menjamin hak pelaut untuk dibayar selayaknya dengan turut serta
mempertimbangkan risiko kerja pelaut.
Ketiga, bab 3 mengatur mengenai hak pelaut untuk mendapatkan
fasilitas rekreasi dan makanan yang layak dan terjamin saat bekerja (dalam
hal ini diatur pula standar kebersihan dapur, koki pelaut dan makanan yang
disediakan bagi pelaut). Regulation 3.1 mengharuskan bagi kapal yang
baru dibentuk sejak diratifikasinya MLC ke hukum positif negara anggota

224
wajib menyediakan fasilitas rekreasi bagi pelaut, di samping itu diatur pula
ketentuan-ketentuan teknis ukuran ruangan yang layak tinggal bagi pelaut
selama berlayar dan kewajiban-kewajiban penyediaan ruangan lainnya
seperti ruang laundry, ruaang komunal, ruang kantor, mosquito infested
port, akomodasi ruang sosial dan inspeksi ruang kapal rutin baik secara
internal mau pun melalui PSC. Pengaturan demikian bertujuan untuk
semakin meningkatkan kenyamanan dan keselamatan pelaut saat bekerja.
Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab 3.
Regulation 3.2 mengharuskan penyediaan makanan dan minuman
yang cukup bagi pelaut selama berlayar. Makanan dalam hal ini tidak
hanya sebatas dari jumlah saja namun MLC mengamanatkan adanya
kewajiban pemberi kerja untuk menyediakan makanan yang bervariasi,
bernutrisi dan higenis, wajib dikelola oleh staf katering dan koki pelaut
terlatih yang mampu memasak makanan praktis, menjaga kebersihan
pribadi, memiliki kemampuan mengelola stok makanan dan bertanggung
jawab atas perlindungan lingkungan, kesehatan dan keamanan katering.
Ketentuan ini semakin memberikan proteksi terhadap hak atas hidup layak
pekerja dalam hal pemenuhan makanan sehari-hari.
Keempat, proteksi terhadap kesehatan, perlindungan medis,
kesejahteraan dan perlindungan sosial pelaut diatur dalam bab 4 konvensi
MLC 2006. Regulation 4.1 memperluas kewajiban seluruh kapal untuk
menyediakan fasilitas medis dan akses obat-obatan di atas kapal supaya
ada penanganan cepat saat pekerja sakit. Tidak hanya itu, untuk kapal yang
berlayar lebih dari 3 hari juga diwajibkan untuk membawa dokter yang
bertanggung jawab dan menyediakan tenaga medis, hal ini untuk
memberikan proteksi berupa penanganan kesehatan yang baik bagi pekerja
dan penumpang. Di samping itu, ada pula kewajiban penyediaan sistem
melalui radio atau satelit yang menghubungkan komunikasi antara kapal
dan dokter ahli spesialis di daratan, hal ini sebagai media untuk
menyampaikan saran dokter ke kapal apabila terdapat pasien sakit.

225
Regulation 4.3 mengatur mengenai perlindungan kesehatan,
keamanan dan pencegahan kecelakaan kapal. MLC dalam hal ini menuntut
adanya peran yang lebih spesifik dan aktif oleh syahbandar atau Port State
Control setiap negara anggota, bukan hanya melakukan investigasi semata
terhadap insiden kecelakaan kapal atau pelanggaran hak pelaut, tetapi turut
serta melakukan promosi dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
keselamatan dan keamanan kerja pelaut selama di atas kapal. Syahbandar
berkewajiban melakukan riset untuk menghadirkan perlindungan
kesehatan dan keamanan dan perlindungan terhadap kecelakaan paling
ideal bagi pelaut.
Regulation 4.4 mengatur mengenai kewajiban negara anggota
menyediakan fasilitas kesejahteraan. Fasilitas kesejahteraan mencakup
fasilitas kesejahteraan pelaut dan fasilitas operasional bagi kapal sehingga
bisa disinggahi baik kapal lokal dan kapal mancanegara untuk
maintanance kapal. Fasilitas-fasilitas ini ditujukan supaya pelaut dapat
memperoleh kenyamanan di daratan setelah berlayar serta kepastian
keselamatan operasional kapal saat berlayar kembali. Keunggulan standar
ini akan di bahas dalam bab 3.
Untuk merangkum keunggulan, kelemahan, tantangan dan beban
yang akan muncul dengan masuknya MLC sebagai hukum positif
Indonesia, penulis akan merangkum melalui metode SWOT analysis 69
sehingga dapat dipetakan sebagai berikut:

Strengths Weakness
 Definisi pengusaha kapal dan  Definisi kapal yang lebih sempit,
pelaut yang lebih luas; pengaturan MLC tidak mencakup
 Diatur hak repatriasi; dan mengakomodir pelaut inland

69
SWOT analysis merupakan metode analis bidang manajemen yang mengkaji keunggulan,
kelemahan, tantangan dan ancaman dalam sebuah perencanaan bisnis. Metode ini ditemukan
oleh Albert S Humphrey pada tahun 1960an. SWOT analysis kini tidak hanya terbatas mengkaji
bidang manajemen saja namun dapat pula digunakan untuk memetakan perencanaan strategis
berbagai bidang secara luas.

226
 Akomodasi kondisi kerja waters or within (pelaut yang
yang lebih lengkap bekerja di perairan dalam).
(kewajiban pengusaha kapal Akibatnya proteksi pelaut inland
menyediakan ruang komunal, dan outland tidak sama;
ruang laundry, mosquito  Terdapat celah hukum hak
invested port, dll); repatriasi tidak berlaku bagi
 Sistem informasi pelaut satu pelaut yang tertinggal
pintu bagi negara anggota; (abandonment);
 Proteksi keamanan kerja lebih  Faktor pemberian kompensasi
tinggi; bagi pelaut tidak lengkap, hanya
 Kompensasi lembur dalam berlaku untuk kapal yang hilang
keadaan darurat yang lebih atau tenggelam saja.
manusiawi;  Maksimal jam kerja pelaut muda
 Kewajiban tersedianya papan lebih lama yaitu 9 jam.
porsi kerja pelaut di atas
kapal;
 Peran aktif PSC (sosialisasi
dan promosi);
 Larangan jual beli hak cuti;
 Pengaturan pelaut muda lebih
spesifik;
 Makanan pelaut lebih sehat;
 Sistem komunikasi radio atau
satelit bagi pasien di atas
kapal;
 Pengaturan upah tersendiri
dan jenjang karir pelaut;
 Penyediaan fasilitas
kesejahteraan dan
maintenance operasional

227
kapal di setiap pelabuhan
strategis.
Opportunities/challenges Threats
 Pembentukan peraturan  Muncul kewajiban alokasi
hukum yang melindungi dana repatriasi rutin bagi
pelaut inland dan outland pelaut yang tertangkap atau
yang setara; ditahan di negara lain.
 Pengaturan secara nasional  Penyesuaian yang cepat
perlindungan bagi pelaut yang dengan ketentuan MLC baik
tertinggal (abandonment); terhadap teknologi dan
 Semakin ramai kapal melintas standar yang digunakan akan
di Indonesia, potensi meningkatkan kompetisi
pendorong perekonomian pengusaha antar kapal dan
negara; pelaut Indonesia.
 Kewajiban setiap pengusaha
kapal untuk memiliki
maritime claims bagi
pekerjanya.

228
BAB III

KONSEKUENSI INDONESIA YANG TELAH MERATIFIKASI


MARITIME LABOUR CONVENTION 2006 TERHADAP PEMBANGUNAN
HUKUM INDONESIA DALAM MEMBERIKAN PROTEKSI HAK
PELAUT

3.1 PERBANDINGAN DEFINISI LINGKUP KAPAL, PELAUT,


PEMILIK KAPAL ATAU OPERATOR KAPAL

Setelah membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang


mengatur mengenai hak pelaut serta peraturan apa saja yang diakomodir
MLC 2006 setelah diratifikasi, dalam bab ini akan membahas ketentuan apa
saja yang perlu menjadi pertimbangan pengemban hukum dalam menata
dan melakukan pembangunan hukum Indonesia terhadap hak pelaut,
terutama sejak diratifikasinya MLC 2006 oleh Indonesia. Adapun
permasalahan hukum dan konsekuensi (baik akibat positif yang
menguntungkan Indonesia atau pun akibat negatif yang membebani negara)
yang akan timbul setelah meratifikasi MLC 2006 akan dijabarkan dengan
rinci di bab ini. 70

3.1.1 DEFINISI KAPAL

Pasal 309 KUHD mendefinisikan “kapal adalah semua perahu,


dengan nama apapun, dan dari macam apapun. Kecuali apabila
ditentukan atau diperjanjikan lain, maka kapal itu dianggap meliputi
segala alat perlengkapannya.” Yang dimaksud dengan alat
perlengkapan kapal ialah segala benda yang bukan suatu bagian

70
Perbandingan dalam bab ini diatur berdasarkan Title 1-4 Maritime Labour Convention 2006 dan
hukum positif sebelum diratifikasinya MLC 2006 sehingga nantinya akan terlihat kontras apa
perbedaan dan konsekuensinya dengan meratifikasi MLC 2006.

229
daripada kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya
dipakai tetap dengan kapal itu. Seiring berkembangnya waktu, dengan
adanya pengaturan yang lebih baru dan lebih spesifik berdasarkan UU
Pelayaran maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali71 dan
lex posteriori derogat legi priori 72 sehingga definisi kapal yang
berlaku adalah berdasarkan pasal 1 angka 36 UU Pelayaran, kapal
adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang
digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya,
ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung
dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan
bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.Ketentuan
kualifikasi kapal berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 2000 tentang
Kepelautan, pasal 2 ayat (2) menyatakan kualifikasi kapal yang
berlaku bagi pelaut sesuai dengan keahlian dan keterampilannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap pelaut
yang bekerja pada :

a. Kapal layar motor;

b. Kapal layar;

c. Kapal motor dengan ukuran kurang dari GT 35;

d. Kapal pesiar pribadi yang dipergunakan tidak untuk berniaga;

e. Kapal-kapal khusus.

Apabila dibandingkan dengan ketentuan MLC 2006, kapal


berdasarkan pasal II huruf (i) bagian ketentuan umum atau General
Obligation, MLC 2006 mendefinisikan “kapal adalah semua jenis
kapal yang berlayar di laut, tidak termasuk kapal yang berlayar di
perairan daratan, perairan pedalaman, atau yang serupa atau

71
Artinya hukum yang mengatur secara khusus mengatur mengesampingkan hukum yang
mengatur secara umum.
72
Artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.

230
mendekati perairan dalam (contohnya teluk, sungai, danau) atau
wilayah sekitar pelabuhan yang berlaku peraturan pelabuhan (ship
means a ship other than one which navigates exclusively in inland
waters or waters within, or closely adjacent to, sheltered waters or
areas where port regulations apply);”

Berdasarkan pasal II, ayat 1(i) dan 4, MLC 2006 memiliki


kualifikasi untuk kapal jenis apapun, baik dimiliki secara publik atau
privat, yang sehari-harinya bergerak di bidang komersil. MLC 2006
tidak berlaku pada:

 Kapal yang berlayar di perairan pedalaman atau perairan dalam,


atau erat berdekatan dengan, perairan terlindung atau daerah di
mana peraturan pelabuhan berlaku;

 Kapal yang tidak terlibat dalam kegiatan komersial;

 kapal yang terlibat dalam penangkapan ikan atau kegiatan


serupa dan kapal tradisional;

 Kapal perang angkatan laut.

Selain itu, MLC 2006 tidak secara spesifik mengatur berapa


jumlah minimum ukuran kapal yang pekerja di dalamnya
terakomodir oleh pengaturan MLC. Lebih lanjut, MLC menyebutkan
di dalam salah satu footnote nya bahwa ketentuan terhadap tonase
ukuran kapal mengacu pada kolom REMARKS berdasarkan
International Convention on Tonnage Measurement of Ships,
1969. 73 Berdasarkan konvensi tersebut, dalam pasal 4 ayat (1)
disebutkan bahwa kapal yang dikecualikan dalam pengaturan
konvensi ini adalah:

(a) Kapal perang angkatan laut; dan

73
MLC halaman 92.

231
(b) Kapal yang memiliki ukuran kurang dari 24 meter atau tinggi
(79 kaki);74
Melihat perbadingan di atas, terdapat persamaan dan perbedaan
pengaturan kualifikasi definisi kapal antara ketentuan UU Pelayaran,
PP Kepelautan dan MLC 2006 yang dianggap mencakup pengaturan
terhadap perlindungan pelaut. Dalam PP Kepelautan kapal layar
motor dan kapal layar dapat dikategorikan sebagai kapal tradisional
yang tidak bisa digunakan di laut, sehingga termasuk kapal di perairan
dalam di ketentuan MLC, sedangkan kapal motor dengan ukuran
kurang dari GT 35 adalah kapal yang tidak bisa melaut bila diterjang
ombak lautan sehingga termasuk kapal perairan dalam di MLC,
sedangkan kapal pesiar pribadi yang dipergunakan tidak untuk
berniaga dikategorikan sebagai bukan kapal komersil, terakhir adalah
ketentuan kapal-kapal khusus dalam PP Kepelautan dapat diambil
contoh spesifiknya adalah kapal perang. Melalui ratifikasi MLC 2006,
ketentuan kapal menjadi lebih spesifik dan melengkapi kapal-kapal
apa saja yang dapat dikategorikan kapal pelaut saat berlayar.
Selanjutnya mengenai isu proteksi pelaut yang bekerja di kapal di
perairan pedalaman, lantas muncul pertanyaan bagaimana dengan
proteksi terhadap pelaut yang bekerja di kapal yang tidak tergolong
dalam tonase atau ukuran minimum MLC? Proteksi pelaut
berdasarkan UU Pelayaran dan PP Kepelautan yang juga megatur
berbagai hak pelaut dan berbagai proteksi pekerja yang bekerja tidak
di laut (inland waters or within) misalnya untuk pelaut di kapal danau,
kapal penangkapan ikan dan lain sebagainya akan menerima proteksi
yang berbeda dengan kapal laut yang diakomodir MLC. Walaupun
nantinya akan timbul proteksi yang berbeda antara kapal perairan
dalam (inland waters or within) dan kapal laut, akan semakin baik
apabila terdapat wacana untuk membentuk hukum positif baru yang

74
International Convention on Tonnage Measurement of Ships, 1969, page 2.

232
memberikan proteksi hak pelaut yang sama dan ekuivalen dengan
pelaut yang telah diakomodir melalui MLC 2006, hukum positif yang
demikian akan menjadi ius constituendum 75 yang menurut Sudarto
muncul karena:
“Perkembangan masyarakat dan perubahan masyarakat
membutuhkan pembaharuan hukum. Ini menyangkut politik hukum, yang
diartikan sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Ia memberi petunjuk
apakah perlu ada pembaharuan hukum, sampai berapa jauh pembaharuan
hukum itu harus dilaksanakan dan bagaimana bentuk pembaharuan itu? Ia
menyangkut ius constituendum, ialah hukum yang akan datang yang dicita-
citakan.”
Oleh karenanya melihat adanya situasi atau keadaan perbedaan
proteksi yang timbul akibat meratifikasi MLC 2006, maka sudah
sepantasnya legislator Indonesia mulai membentuk proteksi yang
sama bagi pelaut inland waters or within Indonesia.

3.1.2 DEFINISI PELAUT

Pasal 1 nomor 3 PP Kepelautan mendefinisikan “pelaut adalah


setiap orang yang mempunyai kualifikasi keahlian atau keterampilan
sebagai awak kapal.” Lebih lanjut, pasal 1 nomor 2 mendefinisikan
“awak kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal
oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal
sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.”

Dari definisi di atas, maka semua pelaut adalah awak kapal, awak
kapal orang yang dipekerjakan oleh pemilik kapal atau operator kapal
sesuai jabatannya. Pengawakkan kapal menurut PP Kepelautan terdiri
dari 2 jenis, awak kapal niaga dan awak kapal penangkapan ikan.
Berdasarkan sertifikasi pelaut, sertifikasi diatur dalam pasal 3 ayat (1)

75
Puteri Hikmawati, Penyadapan Dalam Hukum Di Indonesia: Perspektif Ius Constitutum Dan Ius
Constituendum, P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika, 2015, halaman 31.

233
dan pasal 6 ayat (2). Pasal 3 ayat (1) mengatur pelaut yang
bersertifikat dalam keahlian:

a. Sertifikat Keahlian Pelaut Nautika;


b. Sertifikat Keahlian Pelaut Teknik Permesinan;
c. Sertifikat Keahlian Pelaut Radio Elektronika.

Sedangkan pasal 6 ayat (2) mengatur pelaut yang bersertifikat


dalam keterampilan:

a. Sertifikat Keselamatan Kapal Tanki (Tanker safer);


b. Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang Roro;
c. Sertifikat Keterampilan Penggunaan Pesawat Luput Maut
dan Sekoci Penyelamat (Survival Craft dan Rescue Boats );
d. Sertifikat Keterampilan Sekoci Penyelamat Cepat (Fast
Rescue Boats);
e. Sertifikat Keterampilan Pemadaman Kebakaran Tingkat
Lanjut (Advance Fire Fighting);
f. Sertifikat Keterampilan Pertolongan Pertama (Medical
Emergency First Aid);
g. Sertifikat Keterampilan Perawatan Medis di atas kapal
(Medical Care on Boat)
h. Sertifikat Radar Simulator;
i. Sertifikat ARPA Simulator.

Seluruh kapasitas bagi awak kapal hanya terbatas terkait


penggerak mesin, operator kapal dan medis saja, kemampuan dan
ketrampilan pelaut tidak mencakup kapasitas pelaut yang bekerja
untuk kepentingan hayat hidup pelaut (kecuali medis kapal), misalnya
sebagai kepala koki kapal. Bagaimana jika terdapat pekerja yang
dipekerjakan dengan perjanjian kerja tetap sebagai koki kapal pelaut,
bendahara kapal atau tukang bersih-bersih kapal? Apakah karena
tidak termasuk dalam cakupan awak kapal maka pekerja tersebut tidak

234
dapat memperoleh hak yang sama seperti pelaut? Hal ini akan
memunculkan permasalahan bagi orang-orang yang bekerja di atas
kapal namun tidak termasuk kapasitas dalam cakupan sertifikasi
sebagai awak kapal.

Berdasarkan MLC 2006 pasal 2 huruf (f) mendefinisikan pelaut


adalah orang perseorangan yang dipekerjakan oleh pemberi kerja atau
terlibat langsung dalam kerja atau bekerja di atas kapal dalam bentuk
dan kapasitas apapun sesuai ketentuan konvensi ini (seafarer means
any person who is employed or engaged or works in any capacity on
board a ship to which this Convention applies).

Hal ini juga ditegaskan dalam Handbook Guidance on


implementing The Maritime Labour Convention, 2006 Model
National Provisions yang menyatakan:

“The MLC, 2006, applies to seafarers on all ships covered by the MLC,
2006. Under Article II, paragraph 1(f) a seafarer is any person who is
employed or engaged or works in any capacity on board a ship to which the
MLC, 2006 applies. National legislators must therefore make sure that the
working and living conditions of all persons who are employed or engaged
or work on a ship covered by the MLC, 2006 – whatever those persons are
called under the national law (e.g. “seafarers”, “crew”, “ratings”,
“officers”, “masters”, “catering staff”) – comply with the minimum
requirements for “seafarers” as set out in the MLC, 2006.”

Singkat kata, MLC 2006 mendefinisikan pelaut sebagai setiap pekerja


dalam kapasitas apapun dengan sebutan apapun berdasarkan hukum
nasional baik pelaut, kru kapal, penanggung jawab disiplin kapal,
petugas, pemimpin, staf katering dan lain sebagainya. Semua orang
yang bekerja di atas kapal dianggap dan disebut sebagai pelaut.

Lebih lanjut, pengaturan kapasitas kerja sebagai pelaut dalam


MLC 2006 mengacu ke The International Convention on Standards of
Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers 1978
(selanjutnya disingkat STCW). Berdasarkan konvensi STCW 1978
hasil amandemen 1995 dan 2010 telah diatur berbagai jabatan dan

235
pekerjaan di atas kapal dan termasuk seorang juru masak (cook) dan
bendahara kapal (purser) yang dikategorikan sebagai pelaut.

Setelah dikaji lebih lanjut, nyatanya STCW telah diratifikasi


Indonesia. STCW 1978 telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui
Keppres Nomor 60 Tahun 1986. Perubahan pada tahun 1995 dituang
secara teknis dalam Keputusan Menteri (KEPMEN) Menteri
Perhubungan RI No. 70 tahun 1998 tanggal 21 Oktober 1998
sedangkan perubahan pada tahun 2010 sebagai konsekuensi Indonesia
meratifikasi STCW berlaku pada tahun 2012. Dengan diratifikasinya
STCW semestinya ketentuan pelaut tidak hanya sebatas awak kapal
yang mampu menggerakan kapal saja namun juga termasuk bagi
pelaut yang menjalankan tugasnya di atas kapal.

Lantas mengapa UU Pelayaran dan PP kepelautan Indonesia


justru tidak mengacu ke standar jabatan pelaut dalam STCW? Hal ini
sangat membuktikan pada saat pembuatan peraturan perundang-
undangan tersebut pemerintah tidak mengkaji secara holistik
konvensi-konvensi apa saja yang telah diratifikasi terdahulu sehingga
peraturan perundang-undangan yang ada tidak bersinergi dengan
konvensi-konvensi terkait yang telah diratifikasi. Semestinya dengan
berlakunya STCW di Indonesia, jabatan-jabatan pelaut telah
terakomodir berdasarkan kategori yang telah ada dan tidak hanya
mencakup kategori-kategori yang tercantum dalam PP Kepelautan.

Jabatan-jabatan yang diatur dalam STCW justru diatur secara


lepas di berbagai peraturan menteri. Misalnya terhadap koki kapal
diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013
Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal serta beberapa
jabatan operasionil lainnya di Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
70 Tahun 2013 tentang Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi serta
Dinas Jaga Pelaut. Isu esensial lainnya adalah semestinya ketentuan
jabatan kerja pelaut diatur di bawah peraturan kementerian

236
ketenagakerjaan bukan kementerian perhubungan. Hal ini semakin
menunjukkan inkonsistensi pembuat peraturan perundang-undangan
dalam mengatur jabatan pelaut.

Lantas apa konsekuensi setelah meratifikasi MLC 2006? Pertama,


dengan meratifikasi MLC 2006, Indonesia wajib menjalankan
ketentuan MLC dengan konsekuen. Indonesia wajib mengatur
berbagai ketentuan teknis terhadap sertifikasi bagi pelaut yang telah
diatur dalam STCW.

Kedua, dengan adanya ketentuan MLC 2006 bahwa semua


pekerja di atas kapal adalah pelaut, maka setiap pelaut dituntut utuk
memiliki jabatan tertentu di atas kapal kecuali penumpang (hal ini
berarti juga berlaku bagi pelaut out sourcing yang apabila dikaji akan
menjadi pembahasan tersendiri yang menarik dari perspektif hukum
ketenagakerjaan), oleh karenanya dengan diratifikasinya MLC ke
dalam hukum positif Indonesia maka sudah tidak ada pembedaan
antara pengertian awak kapal yang memiliki kemampuan dan
ketrampilan tertentu dengan pengertian pelaut, dengan demikian
pengertian awak kapal dalam PP Kepelautan dianggap sudah tidak
berlaku lagi.

3.1.3 DEFINISI PEMILIK KAPAL ATAU OPERATOR KAPAL

Hukum pengangkutan kapal di Indonesia membagi subjek pemberi


kerja pelaut sebagai 2 yaitu pertama sebagai pemilik kapal atau
operator kapal dan kedua sebagai bukan pemilik kapal. Pasal 320
KUHD menyatakan “pengusaha adalah dia, yang memakai sebuah
kapal guna pelayaran di laut dan mengemudikannya sendiri atau suruh
mengemudikannya oleh seorang nakhoda yang bekerja padanya.”
Dalam pasal 321 KUHD menyatakan “pengusaha adalah terikat oleh
segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka, yang bekerja

237
tetap atau sementara pada kapalnya, di dalam jabatan mereka dalam
lingkungan kekuasaan mereka. Dia adalah bertanggung jawab untuk
segala kerugian yang diterbitkan pada pihak ketiga, oleh sesuatu
perbuatan melanggar hukum dari mereka yang bekerja tetap atau
sementara pada kapalnya atau yang melakukan suatu pekerjaan di
kapal guna kepentingan kapal atau muatannya, asal perbuatan
melanggar hukum tadi dilakukan dalam jabatan mereka atau pada
waktu itu sedang melakukan pekerjaan mereka.” Dari ketentuan ini
dapat disimpulkan bahwa pemilik kapal adalah pengusaha kapal yang
memberi pekerjaan kepada pelaut dan bertanggung jawab atas
pekerjaan pelaut, penumpang dan muatan di dalamnya.

Sedangkan bukan pemilik kapal dibagi menjadi 2 jenis, pertama


sewa kapal (pemilik kapal dengan cara sewa) dan kedua charter kapal
(bukan pengusaha kapal). Berdasarkan Bab V tentang mencarterkan
dan mencarter kapal, Pasal 453 KUHD, yang diartikan dengan
mencarterkan (vervrachten) dan mencarter (bevrachten) ialah
pencarteran menurut waktu (carter waktu) dan pencarteran menurut
perjalanan (carter perjalanan). Percarteran menurut waktu ialah
perjanjian di mana pihak yang satu (yang mencarterkan) mengikatkan
diri untuk menyediakan penggunaan sebuah kapal yang ditunjuk bagi
pihak lainnya (pencarter), agar digunakan untuk keperluannya guna
pelayaran di laut, dengan membayar suatu harga yang dihitung
menurut lamanya waktu. Sedangkan pencarteran menurut perjalanan
adalah perjanjian di mana pihak yang satu (yang mencarterkan)
mengikatkan diri untuk menyediakan penggunaan sebuah kapal yang
ditunjuk untuk seluruhnya atau untuk sebagian bagi pihak lainnya
(pencarter), agar baginya dapat diangkut orang atau barang melalui
laut dengan satu perjalanan atau lebih dengan membayar harga
tertentu untuk pengangkutan ini. Perbedaan yang paling mendasar dari
pemilik kapal dan bukan pemilik kapal adalah tanggung jawab pekerja

238
tidak pada bukan pemilik kapal (sewa kapal dan charter kapal), tetapi
di pemilik kapal.

Berbeda dengan pengaturan dalam MLC 2006, pasal 2 huruf (j)


pemilik/operator kapal didefinisikan sebagai “pengusaha kapal atau
organisasi atau orang perseorangan, seperti manajer kapal, agen atau
penyewa kapal, yang memiliki tanggung jawab untuk pengoperasian
kapal dari pemilik dan yang dianggap memiliki tanggung jawab
terhadap kapal, yang telah setuju untuk mengambil alih tugas dan
tanggung jawab yang dikenakan pada pemilik kapal sesuai dengan
konvensi ini, terlepas dari apakah organisasi atau orang tersebut telah
memenuhi tugas atau tanggung jawab atas kepentingan pemilik kapal
(shipowner means the owner of the ship or another organization or
person, such as the manager, agent or bareboat charterer, who has
assumed the responsibility for the operation of the ship from the owner
and who, on assuming such responsibility, has agreed to take over the
duties and responsibilities imposed on shipowners in accordance with
this Convention, regardless of whether any other organization or
persons fulfil certain of the duties or responsibilities on behalf of the
shipowner).” Dari definisi di atas MLC 2006 terlihat menyatukan
ketentuan pemilik kapal mencakup penyewa dan charter kapal, hal ini
akan berdampak pada keseragaman tanggung jawab berdasarkan
hukum positif Indonesia sebelum diratifikasinya MLC 2006 dan
ketentuan dalam MLC 2006. Misalnya saja untuk pencharter kapal
berdasarkan perjalanan, semestinya pihak yang melakukan charter
hanya bertanggung jawab terhadap biaya perjalanan dan bahan bakar
kendaraan saja, ia tidak bertanggung jawab terhadap apapun yang
terjadi terhadap pekerja dalam hal ini pelaut di atas kapal yang dicarter,
begitu pula bagi penyewa kapal dan pencharter kapal berdasarkan
waktu, kewajiban tersebut semestinya merupakan tanggung jawab
pemilik kapal.

239
Apabila dikaji lebih dalam berdasarkan MLC 2006,
pertanggungjawaban baik pemilik kapal dan bukan pemilik kapal
akan sama dan diatur dalam Regulation 4.2 tentang pertanggung
jawaban pemilik kapal (Shipowner Liability). Namun berdasarkan
ketentuan dalam penjelasan dalam Handbook Guidance on
implementing The Maritime Labour Convention, 2006 Model
National Provisions, disebutkan bahwa dalam ketentuan Regulation
4.276 dapat diberikan ketentuan:
“The Convention requires that laws and regulations be adopted to implement
this requirement. National laws or regulations may allow certain limitations
on shipowners’ liabilty as well as the exculsion of liabilty in some cases. Flag
states must require financial security from shipowners’ with respect to their
liability to assure compensation in the event of the death or long-term
disabilty of seafarers due to an occupational injury, illness or hazard. The
particular for of this security is not specified and could take various forms
(e.g, insurance or a bond).”
Dalam Handbook dijelaskan bahwa negara dapat mengatur
berdasarkan hukum nasional atau peraturan lainnya untuk
memberikan pembatasan terhadap pertanggung jawaban pemilik
kapal termasuk pengecualian dalam hal dan kasus tertentu sepanjang
tetap memperhatikan jaminan sosial pelaut. Negara bendera kapal
wajib menyediakan perlindungan finansial sebagai pertanggung
jawaban dan jaminan kompensasi bagi kematian atau cacat permanen
pelaut akibat kecelakaan kerja, sakit atau risiko bahaya. Bentuk
perlindungan tidak akan diatur secara spesifik oleh MLC namun dapat
dalam bentuk apapun (misalnya asuransi atau surat tanggungan).
Pembatasan yang diperbolehkan berdasarkan Handbook MLC 2006
merupakan pembatasan tanggung jawab pemilik kapal artinya tidak
dapat serta merta menghilangkan tanggung jawab terhadap pekerja
seperti yang terdapat dalam tanggung jawab pencarter kapal dalam
hukum pengangkutan. Menurut Ida Susanti, konsep pencarter kapal
pada hukum pengangkutan dan hukum ketenagakerjaan pada
nyatanya memang memiliki ketentuan yang berbeda. Namun dengan

76
Lihat halaman 161.

240
diratifikasinya MLC 2006, tanggung jawab pelaut sebagai pekerja
tetap harus ada pada pencarter kapal ssehingga perbedaan konsep
tanggung jawab pencarter kapal yang menurut hukum pengangkutan
dianggap tidak berlaku lagi dan mengikuti konsep dalam hukum
ketenagakerjaan. Selain itu, Sentosa Sembiring dalam salah satu
77
kuliah umumnya tentang hukum pengangkutan menyatakan
pendapatnya bahwa pencarter kapal harus ditafsir dan dianggap
sebagai operator kapal pada saat ia menggunakan atau mengendarai
kapal yang dicarter, seketika pada saat itu juga ia akan disebut sebagai
operator kapal/pemilik kapal karena ia memiliki hak atas kapal
tersebut berdasarkan sewa, ia disebut sebagai pencarter saat dilakukan
sewa penyewa antara pemilik kapal dan pencater saja, ia akan menjadi
pemilik kapal (dalam hal ini sebagai operator kapal) saat ia
menggunakan kapal carter tersebut sesuai dengan perjanjian dengan
pemilik kapal, sehingga tidak hanya statusnya yang berubah namun
begitu pula dengan tanggung jawab yang ia peroleh juga berlaku.
Tanggung jawab dalam hal ini adalah terhadap pelaut sebagai pekerja
akan berlaku pada dirinya. Oleh karenanya dengan diratifikasi MLC
2006 ke dalam hukum positif Indonesia, konsekuensinya adalah
ketentuan pertanggungjawaban menurut KUHD dan hukum
Pengangkutan tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah konsep
berdasarkan MLC 2006 yang menyeragamkan pertanggung jawaban
atas pekerja ke segala bentuk jenis pemilik kapal.

77
Sentosa Sembiring, dalam salah satu kuliah umumnya di fakultas hukum Universitas Katolik
Parahyangan tentang Hukum Pengangkutan Laut, Bandung, 2016. Dikutip pada tanggal
11/12/2016, pukul 07.40 WIB.

241
3.2 PERBANDINGAN PROTEKSI TERHADAP KETENTUAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBELUM
DIRATIFIKASINYA MLC 2016 DAN SETELAH
DIRATIFIKASINYA MLC 2016

Setelah membahas pemberlakuan definisi baru dengan masuknya


MLC 2006 sebagai hukum positif Indonesia dalam melindungi hak
pelaut, bab ini akan membahas lebih lanjut konsekuensi diratifikasinya
ketentuan dalam MLC 2006 secara spesifik dengan tolak ukur setiap
bab yang mengandung standar dalam konvensi MLC 2006.

3.2.1 PERBANDINGAN TERHADAP PRASYARAT


MINIMUM UNTUK PELAUT DAPAT BEKERJA DI
KAPAL
Syarat minimum kerja pelaut diatur dalam bab 1
konvensi MLC 2006. Adapun pengaturan terhadap syarat
minimum kerja pelaut meliputi 4 aspek yaitu usia minimum
kerja pelaut, sertifikat kesehatan sebelum bekerja, kualifikasi
pelatihan yang harus diselesaikan pelaut sebelum diterima
bekerja dan mengenai prosedur rekrutmen dan penempatan
kerja pelaut.
3.2.1.1 USIA MINIMUM KERJA
Usia minimum kerja pelaut berdasarkan MLC
adalah 18 tahun. Pada dasarnya mempekerjakan
pelaut di bawah 18 tahun adalah dilarang. Namun
mengingat banyak praktek yang terjadi di negara
berkembang maka diberikan ketentuan bagi pelaut
muda minimal 16 tahun. Ketentuan ini sama dengan
ketentuan dengan PP Kepelautan, hal ini disebabkan
kedua instrumen hukum mengacu ke ILO
Convention yang mengatur umur minimum pekerja
di bawah umur adalah maksimal 16 tahun. Ada pun

242
perbedaan di antara kedua instrumen adalah PP
Kepelautan mengatur bahwa maksimal jam kerja
pelaut muda adalah 8 jam, sedangkan MLC
mengatur dalam Regulation 1.1 Standard A1.1
pasal 2, setidaknya maksimal jam kerja pelaut muda
adalah 9 jam. Dengan demikian konsekuensinya
pelaut muda akan bekerja lebih lama 1 jam setelah
diratifikasinya MLC 2006.
Pengaturan selanjutnya yang tidak kalah
penting adalah mengenai pembatasan kerja pelaut
muda. Berdasarkan PP Kepelautan, pelaut muda
atau pelaut yang berumur antara 16 tahun sampai 18
tahun dipekerjakan sebagai apapun diatas kapal
namun tidak diperbolehkan untuk:
- Dipekerjakan melebihi 8 (delapan) jam kerja
sehari dan 40 jam seminggu;
- Dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam
hal-hal darurat.
MLC mengatur hal yang sama dengan ketentuan
dalam PP Kepelautan. Perbedaannya adalah dengan
diratifikasinya MLC 2006, pelaut usia 16-18 tahun
juga berlaku bagi pelaut selain statusnya magang
saja. Dalam bagian penjelasan pasal 21 ayat (6) PP
Kepelautan menyebutkan bahwa pelaut muda usia
16-18 tahun adalah pelaut magang. Dalam konteks
hukum Indonesia, magang adalah bagian dari
pendidikan, yaitu praktek kerja nyata dalam aspek
pendidikan. Sedangkan maksud dalam MLC, pelaut
muda adalah pekerja sebagai pelaut yang usianya
antara 16-18 tahun, sehingga semestinya pelaut
yang berusia muda tersebut diproteksi berdasarkan

243
78
ketentuan MLC. Oleh karenanya dengan
diratifikasinya MLC 2006 ke dalam hukum positif
Indonesia, proteksi diberikan kepada pelaut di
bawah umur sesuai dengan hak atas jam kerja
maksimal dan waktu istirahat sebagaimana diatur
dalam MLC 2006. Pengecualian yang ditentukan
berdasarkan MLC terhadap dapat dilakukannya
pekerjaan di malam hari yaitu apabila terdapat suatu
kegiatan tertentu yang berhubungan dengan
efektivitas kerja pelaut jika dilakukan di malam hari
atau pekerjaan tertentu yang berdasarkan program
yang ada harus dilakukan malam hari. Adapun
ketentuan atas jenis-jenis pekerjaan yang
semestinya dilakukan di malam hari harus diatur
dalam peraturan perundang-undangan nasional
dalam hal ini dalam bentuk peraturan menteri,
misalnya terhadap tugas inspeksi penumpang dan
muatan kapal di malam hari, pelatihan pekerjaan
seperti ini harus dilakukan di malam hari karena
dapat menggangu kenyamanan aktivitas di atas
kapal jika dilakukan di siang hari.
Kedua, pembatasan ketentuan usia minimum
pelaut menjadi lebih spesifik, MLC mengatur bahwa
setiap pelaut muda umur 16 hingga 18 tahun
dilarang dipekerjakan pada waktu tengah malam
dan sebelum jam 5 pagi. Ketentuan definisi tengah
malam wajib didefinisikan oleh hukum nasional
setiap negara anggota. Jika mengacu kepada

78
Catatan penting adalah MLC 2006 tidak mengatur mengenai pelaut yang magang, oleh
karenanya konteks pasal 21 ayat (6) PP Kepelautan masih dapat digunakan untuk pelaut yang
berstatus magang.

244
peraturan perundang-undangan yang ada, di dalam
UU Ketenagakerjaan tidak dijelaskan definisi
malam, namun didefinisikan pengertian siang.
Untuk itu sebagai solusinya, hendaklah dilakukan
penafsiran hukum sistematis yaitu melihat kepada
UU Ketenagakerjaan. Dalam pasal 1 nomor 27
disebutkan bahwa “Siang hari adalah waktu antara
pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.” Oleh
karena tidak diatur pengertian malam sehingga
menimbulkan kekosongan hukum, maka digunakan
konstruksi hukum Argumentum a contrario.
Apabila disebutkan dalam UU Ketenagakerjaan
bahwa siang adalah pukul 06.00 hingga 18.00 maka
sebaliknya, malam adalah di luar pukul 06.00
hingga 18.00. Artinya malam bermula di atas 18.00-
05.00. Dengan menggunakan metode konstruksi
hukum Argumentum a contrario ini maka ketentuan
UU Ketenagakerjaan dan MLC 2006 akan koheren
terhadap jam kerja pelaut umur 16-18 tahun yaitu
mereka berhak untuk tidak dipekerjakan di atas
pukul 18.00 hingga 05.00 pagi.
Permasalahan selanjutnya adalah ketentuan
mengenai pekerja perempuan berusia di bawah 18
tahun. Menurut pasal 76 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan menyebutkan “Pekerja/buruh
perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00.” Pada dasarnya
pembuat UU ingin melindungi pekerja perempuan
di bawah umur supaya tidak dipekerjakan di malam
hari, namun nampaknya dengan berlakunya MLC,

245
pelaut perempuan akan lebih baik diakomodir
berdasarkan ketentuan MLC untuk tidak
dipekerjakan malam hari yaitu mulai di atas pukul
18.00 hingga 05.00 pagi. Dengan adanya
perbenturan aturan antara MLC dan UU
Ketenagakerjaan, penyeragaman harus dilakukan
supaya tidak terjadi tumpang tindih perlakuan
antara pelaut laki-laki dan perempuan di bawah
umur. Solusinya adalah ketentuan maksimum waktu
kerja dalam MLC harus dimengerti menjadi lex
specialis baik bagi pelaut perempuan dan laki-laki
di bawah umur sehingga mereka tidak boleh
dipekerjakan di atas pukul 18.00-05.00 pagi.

3.2.1.2 SERTIFIKAT KESEHATAN


Pasal 17 PP Kepelautan mengatur bahwa
untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib
memenuhi persyaratan salah satunya dalam huruf c
yaitu sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan
untuk itu. Ada pun hal tersebut diakomodir oleh
Balai Kesehatan Kerja Pelayaran (selanjutnya
disingkat BKKP) latar belakang dilakukannya
pemeriksaan kesehatan bagi pelaut sebelum bekerja
adalah:
“Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 73 mengenai
The Medical Examination (Seafarers) Convention,
1946 dan Konvensi ILO Nomor 16 mengenai Medical
Examination of Young Persons (Sea) Convention,
1921 yang menyatakan bahwa sertifikat kesehatan
untuk pelaut/ pekerja lepas-pantai harus diperbaharui
setiap 2 tahun, dan untuk pelaut usia kurang dari 18

246
tahun, 1 tahun. Bila serifikat kesehatan habis masa
berlakunya ketika kapal di laut, sertifikat tetap
berlaku sampai akhir perjalanan dimana penggantian
sertifikat bisa didapat, atau sampai 3 bulan setelah
habis masa berlakunya – mana yang lebih dulu.
Perpanjangan sertifikat tanpa pemeriksaan ulang
tidak dibolehkan.”79
Penerapan sertifikat kesehatan bagi pelaut sebelum
berlayar telah diakomodir oleh hukum positif
Indonesia berdasarkan pengaturan Konvensi ILO
Nomor 73 mengenai The Medical Examination
(Seafarers) Convention, 1946 dan Konvensi ILO
Nomor 16 mengenai Medical Examination of Young
Persons (Sea) Convention. Di Indonesia
penyelenggara sertifikasi kesehatan pelaut dilakukan
oleh Balai Kesehatan Kerja Pelayaran (selanjutnya
disingkat BKKP). BKKP adalah salah satu Unit
Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia. Tugas utama BKKP adalah
melakukan sertifikasi kesehatan pelaut di mana hanya
pelaut yang dinyatakan sehat oleh BKKP dapat
bekerja. Visi dan misi BKKP adalah:

1. Memberikan pelayanan pengujian dan


pemeliharaan kesehatan terhadap Tenaga
Fungsional Pelayaran (TFP);
2. Memberikan pelayanan penilikan dan penilaian
lingkungan kerja pelayaran;

79
Pertanyaan Yang Sering Muncul Ketika Harus Periksa Kesehatan Pelaut,
(http://bkkp.dephub.go.id) diakses pada tanggal 1/11/2016 WIB
http://bkkp.dephub.go.id/index.php/news/read/pertanyaan-pertanyaan-yang-sering-muncul-
ketika-harus-periksa-kesehatan-pelaut

247
3. Memberikan bimbingan teknis medis dan
administratif terhadap RS / Institusi penguji
kesehatan yang telah ditetapkan;
4. Memberikan pelayanan informasi mengenai
aturan / kebijakan yang berhubungan dengan
pengujian dan pemeliharaan kesehatan,
keselamatan, dan lingkungan kerja pelayaran;
5. Menyebarluaskan informasi tentang tugas
pokok dan fungsi Balai Kesehatan Kerja
Pelayaran kepada masyarakat luas pada
umumnya dan masyarakat maritim pada
khususnya.80

Adapun uraian dan jenis kegiatan yang


diselenggarakan BKKP dapat dilihat dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia
Nomor PM 78 Tahun 2013 Tentang Peta Jabatan
Dan Uraian Jenis Kegiatan Organisasi Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut Kementerian Perhubungan. Walaupun
tampaknya pengaturan mengenai sertifikat
kesehatan telah diatur dengan baik dan sejalan
dengan MLC 2006, namun pada faktanya di
masyarakat masih banyak terjadi pungutan liar
terhadap terbitnya sertifikat hasil medical check up
pelaut, praktik kolusi, korupsi dan nepotisme.
Misalnya pada tahun 2014 di salah satu Rumah
Sakit di Tanjung Perak, Surabaya, nakhoda per
orang dikenai biaya Rp. 1.000.000, dan Rumah

80
Visi dan Misi BKKP, (http://bkkp.dephub.go.id/) diakses pada tanggal 11/11/2016 WIB
http://bkkp.dephub.go.id/index.php/article/visi-dan-misi.html Visi dan Misi BKKP

248
Sakit yang ditunjuk hanya terbatas RS – PHC
Pelabuhan Tanjung Perak yang terletak di Jl. Prapat
Kurung Surabaya. Berbeda dengan di Jakarta, setiap
pelaut hanya dikenai biaya Rp. 20.000 saja. 81
Pengaturan terhadap tarif yang seragam untuk
medical check up pelaut di rumah sakit terlihat
dibutuhkan dalam masyarakat. Tidak hanya itu,
melihat kenyataan banyak praktik pungutan liar dan
birokrasi sulit bagi pelaut untuk memperoleh
sertifikat kesehatan, kementerian perhubungan telah
melakukan langkah cepat dengan memberlakukan
Sistem Informasi Sertifikasi Kesehatan Pelaut
Indonesia (SISKESPI) online sejak 2 tahun terakhir.
Dengan adanya sistem satu pintu sertifikasi melalui
media online, seluruh data yang masuk akan
tersinkronisasi dengan BKKP Jakarta. Pelaut
nantinya akan dipermudah dalam hal registrasi
untuk melakukan check up di rumah sakit yang telah
ditunjuk, yang lokasinya paling dekat dengan
domisili pekerja, beserta jadwal check up pekerja.
Dengan adanya SISKESPI, pelaut akan lebih
terhindar dari birokrasi yang berbelit-belit dan
pungutan-pungutan liar yang merugikan pekerja.
Setelah itu, pelaut juga dapat melihat secara online
hasil check up pelaut sebagai database rekam medis
pelaut.

81
Pungutan Liar Terkait Medical Check Up di Rumah Sakit PHC Pelabuhan,
(http://intelijenpost.com/), diakses pada tanggal 11/13/2016 pukul 16.49 WIB,
http://intelijenpost.com/berita-172-pungutan--liar--terkait--medical--check--up--di-rs-phc--
pelabuhan-.html

249
Adapun pemeriksaan yang dilakukan berupa:

1. Pemeriksaan Fisik;
2. Pemeriksaan Audiometri ;
3. Pemeriksaan mata;
4. Pemeriksaan rekam jantung;
5. Pemeriksaan radiologis.rontgen foto;
6. Pemeriksaan gigi dan mulut;
7. Pemeriksaan laboratorium klinik (darah dan
urine);
8. Pemeriksaan psikologi (bagi yang pertama kali
MCU);
9. Pemeriksaan Siprometri (bagi penyelam).
Ketentuan pemeriksaan yang diakomodir di RS
Jenis pemeriksaan yang diberikan sebagai medical
check up pelaut berdasarkan MLC minimal harus
meliputi penglihatan dan pendengaran. Di Indonesia
varian medical check up lebih banyak, hal ini tentu
akan semakin bertujuan untuk memberikan proteksi
terhadap pelaut untuk memastikan kesehatan mereka
stabil sebelum bekerja sesuai dengan jabatan yang
diembani.
Hal penting selanjutnya adalah ketentuan di
Indonesia mengenai sertifikat kesehatan pelaut telah
diatur berdasarkan STCW. Namun perlu diperhatikan
bahwa terdapat perbedaan pengaturan STCW dan
MLC 2006, hal ini tercantum dalam Guide Book
STCW bahwa:
“Note: Whilst the STCW Convention only requires
medical certificates and basic training for seafarers
certified under the convention or carrying out safety
duties, the 2006 ILO MLC requires all seafarers have
medicals, Reg 1.2 and successfully completed training
for personal safety on board ship, Reg 1.3.”

250
Berdasarkan ketentuan STCW, seorang pelaut dapat
bekerja apabila pelaut tersebut telah memiliki
sertifikat kesehatan dan telah lolos pelatihan dasar
dalam hal melaksanakan tugas sesuai standar
keamanan sedangkan MLC mensyaratkan pelaut
dapat bekerja apabila pelaut telah memperoleh
tindakan medis, mendapat sertifikat kesehatan
berdasarkan ketentuan Regulation 1.2 dan telah lulus
dan berhasil dari pelatihan untuk keselamatan pribadi
di atas kapal sesuai Regulation 1.3. Perbedaan ini
menunjukkan pada dasarnya MLC memberikan
proteksi yang lebih tinggi karena mengharuskan
setiap pelaut untuk lulus pelatihan keselamatan
pribadi di atas kapal sesuai dengan jabatan-jabatan di
kapal dan tidak hanya latihan keamanan dasar semata.
Oleh karenanya dengan diratifikasi MLC akan
memberikan proteksi yang lebih tinggi bagi pelaut
sebelum bekerja. Mengenai kualifikasi pelatihan akan
di bahas lebih lanjut di bab 3.2.1.3.

3.2.1.3 KUALIFIKASI PELATIHAN


Dalam ketentuan MLC 2006 tidak mengatur
standar tertentu terhadap pelatihan pelaut, namun
standar pelatihan di masing-masing negara harus dan
wajib ada di setiap negara anggota MLC, sedangkan
jenis dan bentuk pelatihan dikembalikan kepada
hukum nasional sesuai dengan kebutuhan negara.
Ada pun alasannya dijelaskan dalam Handbook
Guidance on Implementing the Maritime Labour
Convention 2006 bahwa:

251
“The MLC, 2006 does not specify the legal form to
implement these provisions, however the form would
need to be mandatory under the national legal system.
The MLC, 2006 also does not establish any specific
training requirements for the duties that a seafarer may
undertake, other than the requirement that all seafarers
must have training for personal safety on board ship.
This is also a requirement under the IMO’s STCW
Convention. The MLC, 2006 requires flag States to
address the following:
 seafarers must be trained or certified as
competent or otherwise qualified to perform their
duties in accordance with flag State requirements;
 seafarers must have successfully completed
training for personal safety on board ship;
 seafarers that are trained and certified in
accordance with the mandatory instruments
adopted by the IMO (STCW) are to be considered
as meeting these requirements.”82
Pertama, MLC nampaknya mengerti bahwa
setiap negara paling mengetahui teritorialnya dan
sumber daya manusia yang ada termasuk apa yang
dibutuhkan oleh pelaut saat berlayar, sehingga
pengelolaan pelatihan pelaut adalah kewenangan
dari negara anggota. Kedua, ketentuan terhadap
standar pelatihan wajib ada di setiap negara anggota
setidaknya mengatur mengenai standar keamanan
kerja, ada pun tolak ukur bagi pelaut yang dianggap
telah terlatih harus dapat dibuktikan dengan adanya
sertifikasi oleh pihak yang berwenang dan sesuai
dengan jabatan pelaut sesuai konvensi STCW.
Mengingat bahwa STCW telah diratifikasi
oleh Indonesia maka semestinya berbagai pelatihan
sesuai dengan jabatan pelaut telah terakomodir. Saat
ini pendidikan dan pelatihan pelaut diatur
berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Sertifikasi serta Dinas Jaga Pelaut

82
Supra Note 65, page 10.

252
(selanjutnya disingkat Permenhub 70). Dalam
Permenhub 70 sertifikasi atas pelatihan diberikan
kepada pelaut dengan jabatan:
 Sertifikat Keahlian Pelaut Nautika;
 Sertifikasi Rating Dinas Jaga Navigasi dan
Kemudi (Juru Mudi);
 Sertifikasi Pelaut Terampil bagian Dek;
 Sertifikat Keahlian Pelaut Teknik Permesinan;
 Sertifikat Rating DInas Jaga Mesin (Juru
Minyak);
 Sertifikat Pelaut Terampil Bagian Mesin (Able
saefarer Engine);
 Sertifikat Electro-Technical Officer;
 Sertifikat Rating Teknik Elektro (Electro
Technical Rating);
 Sertifikat Keahlian Pelaut Operator Radio
GMDSS;
 Sertifikat Nakhoda, Perwira, dan Rating Pada
Kapal Tangki Gas Cair;
 Sertifikat Nakhoda, Perwira, dan Rating Pada
Kapal Penumpang.
Sedangkan untuk koki pelaut diatur dalam
Peraturan Menteri perhubungan dalam pasal 13 ayat
(1) huruf c Peraturan Menteri Perubungan Nomor
84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan
Awak Kapal bahwa “yang ditempatkan di bagian
food and catering wajib memiliki ship's cook
certificate yang dikeluarkan oleh lembaga
sertifikasi profesi di bidang pendidikan pariwisata
atau maritim.” Dengan demikian pelatihan koki

253
pelaut berada di bawah pendidikan pelatihan
pariwisata dan maritim. Pengaturan yang terpisah-
pisah ini menunjukkan carut-marutnya peraturan
perundang-undangan Indonesia yang mengatur
jabatan pelaut kapal. Tidak hanya itu, semestinya
ketentuan jabatan pelaut merupakan kewenangan
kementerian ketenagakerjaan bukan kementerian
perhubungan.
Pada dasarnya pelatihan-pelatihan berdasarkan
STCW telah diatur hanya saja pengaturannya
terpisah-pisah sehingga menimbulkan kebingungan
bagi pekerja siapa saja yang termasuk pelaut
terutama terhadap proteksi haknya apakah diberikan
sama seperti pelaut atau tidak. Oleh karenannya,
sebaiknya dilakukan restrukturisasi kewenangan
dan koordinasi antara kementerian ketenagakerjaan
dan perhubungan terlebih dahulu, sehingga tidak
terjadi tumpang tindih kewenangan dalam mengatur
pelaut.

3.2.1.4 REKRUTMEN DAN PENEMPATAN KERJA


PELAUT

Pasal 28 Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia Di Luar Negeri (selanjutnya disingkat
sebagai UU PPTKILN) menyebutkan bahwa
penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan
tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri. Dalam penjelasannya pekerjaan dan
jabatan tertentu dimaksud adalah mengenai pelaut.

254
Pasal 1 angka 17 UU PPTKILN menyebutkan
bahwa Menteri dalam hal ini adalah Menteri yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Permasalahan rekrutmen dan penempatan kerja
pelaut cukup pelik di Indonesia. Pertama,
pengaturan terhadap rekrutmen dan penempatan
kerja pelaut justru diatur oleh Peraturan Menteri
Perhubungan melalui Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 84 Tahun 2013 Tentang
Perekrutan Dan Penempatan Awak Kapal; di
samping itu ada pula Peraturan Kepala BNP2TKI
Tata Cara Perekrutan, Penempatan dan
Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing
Nomor PER-12/KA/IV/2013 yang di bagian
memperhatikannya mengacu pada MLC 2006
padahal MLC belum diratifikasi pada tahun 2013.
Ironisnya instrumen hukum berupa peraturan
kementerian ketenagakerjaan sampai saat ini belum
ada sehingga memunculkan kebingungan bagi
pengemban hukum dan khsususnya pengusaha
pengelola rekrutmen dan penempatan kerja pelaut.
Ada pun kebingungan yang terjadi yaitu
adanya perbedaan pengaturan terhadap perizinan
bagi manning agent pelaut akan diperlihatkan dalam
tabel dan penjelasan di bawah. Ada beberapa aturan
dari beberapa instansi pemerintah yaitu:
1. Pengelola usaha perekrutan dan penempatan
pekerja memerlukan Surat Izin Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI)
dari Kementerian Ketengakerjaan sesuai Pasal
12 UU PPTKILN;

255
2. Pendaftaran sebagai Perusahaan Pengawakan
Kapal (P2K) memerlukan izin usaha
pengawakan kapal dari Menteri Perhubungan
barulah dapat melakukan perekrutan dan
penempatan pelaut sedangkan Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS) memerlukan izin usaha dari Menteri
Tenagakerja dan transmigrasi dan terdaftar di
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
TKI (BNP2TKI) sesuai Peraturan Kepala
BNP2TKI No: PER.12/KA/IV/2013 tentang
Tata Cara Perekrutan, Penempatan dan
Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera
Asing. Selain itu keduanya memerlukan Surat
Izin Perekrutan dan Penempatan (SIPP) Pelaut
dari Kementerian Ketenagakerjaan sesuai UU
PPTKILN dan terdaftar di BNP2TKI;
3. Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan
Awak Kapal (SIUPPAK) diberikan kepada
Badan Usaha yang didirikan khusus untuk
keagenan awak kapal dan/atau perusahaan
angkutan nasional yang melakukan jasa
perekrutan dan penempatan pelaut dari
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,
Kementerian Perhubungan sesuai dengan
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 84
Tahun 2013 tentang Perekrutan dan
Penempatan Awak Kapal.

256
Instansi Kementerian
Pemerintah Ketenagakerjaan BNP2TKI
Kementerian
dan
Peraturan Kepala Perhubungan
Transmigrasi
BNP2TKI No:
PM 84 Tahun 2013
Jenis Izin UU 39 Tahun PER.12/KA/IV/2013
2004 PPTKILN

keagenan awak
kapal/PPTKIS/manning
PPTKIS = izin agency = SIUPPAK
Menteri (Surat Izin Usaha
Ketenagakerjaan Perekrutan Dan
Izin Usaha Penempatan Awak
Perekrutan Kapal)
dan
perusahaan angkutan
Penempatan
nasional/P2K
Pelaut
=SIUPPAK
P2K = izin Menteri
(Surat Izin Usaha
Perhubungan
Perekrutan Dan
Penempatan Awak
Kapal)

SIPP
Izin SIPPTKI
(Surat Izin
Perekrutan (Surat Izin
Perekrutan dan
dan Pelaksana
penempatan) =
Penempatan Penempatan
Menteri
Pelaut TKI)
Ketenagakerjaan

257
dan Terdaftar di
BNP2TKI

Mengutip dari pendapat Charles Himawan yang menyatakan bahwa


peraturan itu kadang-kadang demikian banyaknya sehingga menimbulkan
kekaburan akan hukum yang berlaku. 83 Kutipan tersebut sangat tepat
menggambarkan kondisi peraturan perundang-undangan Indonesia terhadap
rerkrutmen dan penempatan pelaut saat ini. Carut-marut peraturan
perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan rekrutmen dan
penempatan pelaut nasional sebelum masuknya MLC 2006 sejak awal sudah
bermasalah. Hal ini sangat menunjukkan tidak ada koordinasi yang baik
antar instansi pemerintah sebelum membentuk peraturan perundang-
undangan yang ada. Peraturan yang tidak jelas seperti ini akan menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pengelola rekrutmen dan penempatan pelaut
termasuk nantinya akan berdampak pada pelaut. Misalnya apabila terdapat
PPTKIS yang telah memperoleh izin usaha dari Kementerian
Ketenagakerjaan ternyata didapati tidak memiliki izin usaha dari menteri
perhubungan sehingga akibatnya izin usahanya dicabut dan pelaut yang
belum ditempatkan harus mengalami kerugian, hal ini bisa saja sewaktu-
waktu dapat terjadi.
Di lain pihak ada tuntutan baru dengan masuknya MLC 2006 sebagai
hukum positif Indonesia yang mengharuskan adanya sistem yang baik
dalam mengakomodir rekrutmen dan penempatan pelaut. Apabila mengacu
ke peraturan perundang-undangan secara hirarkis, Pasal 337 UU Pelayaran
menyebutkan bahwa “ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan”. Dengan demikian, semestinya peraturan terhadap
perizinan baik usaha pelayaran mau pun izin rekrutmen dan penempatan

83
Supra Note 21, halaman 16.

258
pelaut harus diatur melalui peraturan menteri ketenagakerjaan dan
transmigrasi. Solusi yang terbaik adalah dengan melakukan deregulasi
terhadap peraturan kementerian perhubungan terkait perekrutan dan
penempatan awak kapal baik dalam bentuk pencabutan peraturan
perundang-undangan terkait dan pemindahan kewenangan secara bertahap
ke kementerian ketenagakerjaan supaya tidak terjadi burden shocked dan
penumpukkan pemindahan data izin usaha rekrutmen dan penempatan
pelaut di kementerian ketenagakerjaan. Tidak hanya itu, perlu pula
dilakukan pencabutan terhadap Peraturan Kepala BNP2TKI No:
PER.12/KA/IV/2013, kemudian dilakukan sinkronisasi antara peraturan
kementerian ketenagakerjaan dengan peraturan BNP2TKI sehingga dapat
tercipta pembangunan hukum yang lebih baik. Sebaiknya bagi izin usaha
dan izin perekrutan dan penempatan pelaut dilakukan di bawah pengaturan
kementerian ketenagakerjaan dan untuk perekrutan dan penempatan pelaut
sebagai TKI dilakukan BNP2TKI, untuk pengaturan terhadap kompetensi
dan sertifikasi pelaut dilakukan kementerian perhubungan.
Penulis menyarankan untuk melakukan deregulasi dalam waktu
dekat supaya kewajiban-kewajiban yang diemban negara dengan
meratifikasi MLC 2006 dapat segera terlaksana. MLC mengakomodir sistem
rekrutmen dan penempatan pelaut yang up-to-date, terverifikasi dan aktif
menanggapi keluhan dan permasalahan pelaut saat bekerja. Untuk sistem
yang up-to-date, sesungguhnya Indonesia sudah mulai diberlakukan sejak
tahun 2013 dengan menyediakan Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar
Negeri (SISKOTKLN) sebagai pusat sistem pelaut Indonesia yang ke luar
negeri, data akan terverifikasi berdasarkan nomor paspor pelaut. Sistem ini
semestinya harus pula mengakomodir pelaut nasional yang bekerja di
perusahaan kapal nasional, dengan demikian pengawasan secara holistik
akan lebih mudah dilakukan pemerintah karena data pelaut terkumpul dalam
sistem yang sama. Sistem verifikasi dapat dilakukan dengan identitas nomor
buku sijil pelaut. MLC juga menuntut supaya perusahaan rekrutmen dan
penempatan pelaut tidak hanya berfungsi sebagai penyedia jasa rekrutmen

259
dan penempatan kerja pelaut saja, tetapi turut serta mempromosikan
pekerjaan yang tersedia dan melindungi pelaut saat bekerja. Oleh karenanya
perusahaan rekrutmen dan penempatan pelaut memiliki kewajiban untuk
melakukan sosialisasi terhadap jabatan-jabatan pelaut yang tersedia bagi
pekerja dan turut serta menerima keluhan pelaut saat bekerja dan
berkoordinasi dengan pihak yang berwenang apabila terdapat
penyimpangan dan eksploitasi pekerja di lapangan. Salah satu kelemahan
pengaturan dalam MLC ini adalah apabila perusahaan rekrutmen dan
penempatan pelaut dilakukan oleh perusahaan kapal atau dalam bentuk P2K,
tentu akan sulit untuk menerima keluhan karena penerima keluhan dan
pemberi kerja merupakan perusahaan yang sama. Oleh karenanya besar
kemungkinan keluhan pelaut tidak akan terlalu teredeteksi apabila
rekrutmen dan penempatan pelaut dilakukan perusahaan kapal.

3.2.2 PERBANDINGAN PROTEKSI TERHADAP KONDISI


KERJA PELAUT
Proteksi terhadap kondisi kerja pelaut diatur dalam bab 2
konvensi MLC 2006. Adapun pengaturan terhadap syarat minimum
kerja pelaut meliputi 8 aspek yaitu perjanjian kerja pelaut, upah
pelaut, jam kerja dan jam istirahat pelaut, hak cuti pelaut, hak
repatriasi pelaut, kompensasi bagi pelaut karena kapal hilang atau
tenggelam, kemampuan berlayar pelaut serta karir dan jenjang karir
dan kesempatan kerja bagi pelaut.

3.2.2.1 PERBANDINGAN PENGATURAN PERJANJIAN


KERJA

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan dalam pasal 54 ayat


(1) dinyatakan bahwa Perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis sekurang kurangnya memuat:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

260
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat
pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Dalam ayat (2) dinyatakan ketentuan dalam perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f,
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan
yang berlaku.
Lebih sepsifik lagi, muatan perjanjian kerja diatur dalam
pasal 18 ayat (3) PP Kepelautan. Perjanjian kerja pelaut
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. hak pelaut :
menerima gaji, upah lembur, uang pengganti hari-hari
libur, uang delegasi, biaya pengangkutan dan upah saat
diakhirinya pengerjaan, pertanggungan untuk barang-barang
milik pribadi yang dibawa dan kecelakaan pribadi serta
perlengkapan untuk musim dingin untuk yang bekerja di
daerah yang iklimnya dingin dan di musim dingin di wilayah
yang suhunya 15 derajat celcius atau kurang yang berupa
pakaian dan peralatan musim dingin.
b. kewajiban pelaut :
melaksanakan tugas sesuai dengan jam kerja yang
ditetapkan sesuai dengan perjanjian, menanggung biaya yang
timbul karena kelebihan barang bawaan di atas batas

261
ketentuan yang ditetapkan oleh perusahaan, menaati perintah
perusahaan dan bekerja sesuai dengan jangka waktu
perjanjian.
c. hak pemilik/operator:
mempekerjakan pelaut.
d. kewajiban pemilik/operator:
Memenuhi semua kewajiban yang merupakan hak-hak
pelaut sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan MLC 2006
Regulation 2.1, pasal 4, terdapat 1 ketentuan yang belum
tersedia di pengaturan hukum nasional yaitu adanya
kewajiban hak repatriasi bagi pelaut. Repatriasi tidak dapat
ditemukan di peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan namun justru diatur dalam Peratuan Menteri
Perhubungan PM 84 Tahun 2013. Pasal 21 ayat (3) PM 84
Tahun 2013 justru mengatur mengenai syarat minimum
perjanjian kerja laut dengan salah satu syaratnya adalah
adanya repatriasi. Lebih lanjut, pelaut dapat direpatriasi
apabila berdasarkan 2 alasan, yaitu pasal 18 ayat (1) dalam
hal perusahaan keagenan awak kapal dicabut izinnya,
perusahaan berkewajiban memulangkan awak kapal ke
tempat awal direkrut dan pasal 18 ayat (1) apabila awak kapal
meninggal. Dalam PM 84 Tahun 2013 nampaknya
terminologi repatriasi disamakan dengan hak pemulangan
pelaut, padahal dua terminologi tersebut merupakan dua hal
yang berbeda.84 Di samping itu tidak semestinya ketentuan
mengenai ketenagakerjaan diatur oleh menteri perhubungan,
hal ini sangat menunjukkan adanya ego sentris antar
kementerian untuk memiliki kewenangan mengatur pelaut,

84
Ketentuan ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab 3.2.7 tentang repatriasi.

262
akibatnya terjadi carut-marut pengaturan terhadap pelaut.
Semestinya PM 84 Tahun 2013 dicabut dan ketentuan teknis
perjanjian kerja dikembalikan untuk diatur kementerian
ketenagakerjaan dan transmigrasi.
Kembali ke MLC, dengan meratifikasi MLC 2006 maka
semakin melengkapi ketentuan aturan minimum dari
perjanjian kerja pelaut sehingga lebih memberi kepastian
perlindungan hukum bagi pelaut untuk direpatriasi.
Repatriasi menurut Ida Susanti bersifat lebih luas dari pada
hak pemulangan pelaut. Hak pemulangan adalah hak pelaut
untuk dipulangkan ke domisilinya atau pelabuhan pertama
tempat pelaut direkrut. Sedangkan repatriasi bersifat lebih
luas, repatriasi mengharuskan pemilik kapal tidak hanya
mengembalikan pelaut ke tempat asalnya namun turut serta
membantu pelaut supaya dapat kembali ke dalam
masyrakatnya. Oleh karenanya pemilik kapal tidak hanya
wajib mengembalikan pelaut ke tempat asalnnya saja
melainkan turut serta bertanggung jawab atas akulturasi
pelaut untuk kembali ke masyarakat tempat asalnya.
Ketentuan ini bisa diatur lebih lanjut dengan merevisi PP
Kepelautan.

3.2.2.2 PERBANDINGAN PENGATURAN UPAH

Upah pelaut diatur dalam PP Kepelautan dalam pasal 22


ayat (1) bahwa upah minimum bagi awak kapal dengan
jabatan terendah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan, berdasarkan ketentuan
upah minimum tenaga kerja sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kemudian ayat (2) menyatakan
bahwa upah lembur per jam dihitung dengan rumus upah
minimum/190 x 1,25. Berdasarkan penjelasan PP Kepelautan

263
penetapan angka 190 adalah jumlah jam kerja dalam 1 (satu)
bulan. Sedangkan penetapan angka 1.25 adalah sesuai
ketentuan ILO Convention. Sedangkan untuk hari libur
pelaut akan dibayar dihitung untuk setiap bulan 4 (empat)
hari kerja, yang besarnya setiap hari 1/30 (sepertigapuluh)
dari gaji minimum bulanan.
Dalam MLC 2006 tidak diatur secara spesifik rumusan
perhitungan upah pelaut, namun setiap negara diwajibkan
untuk menyediakan metode perhitungan pembayaran upah
pelaut setidaknya dibayar tidak boleh lebih lama dari per satu
bulan. Hal tersebut telah diakomodir dalam PP Kepelautan.
Mengenai cara pembayaran upah, pada dasarnya jika
mengacu ke PP Pengupahan pasal 22 ayat (1) menyatakan
“Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat
dibayarkan secara langsung atau melalui bank.” Ayat (2)
“dalam hal upah dibayarkan melalui bank, maka upah harus
sudah dapat diuangkan oleh Pekerja/Buruh pada tanggal
pembayaran upah yang disepakati kedua belah pihak.”
Pengaturan ini menunjukkan dapat dipilih dua opsi
pembayaran bagi pekerja oleh pemberi kerja. Lebih lanjut
dalam PM 84 Tahun 2013 pasal 15 huruf e menyatakan
“perusahaan keagenan kapal bertanggung jawab untuk
membantu pengiriman sebagian gaji sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak kepada keluarga pelaut.”
Pada dasarnya secara peraturan perundang-undangan
semestinya cara pembayaran upah tidak diatur oleh
Kementerian Perhubungan, seharusnya pengaturan demikian
diatur di bawah kementerian ketenagakerjaan dan
transmigrasi. Walaupun demikian dapat terlihat bahwa
metode pengiriman upah pada dasarnya telah diberlakukan,
hanya saja akan lebih baik apabila diatur dengan instrumen

264
hukum yang lebih tepat. Akan lebih baik lagi dengan
masuknya MLC ke dalam hukum positif Indonesia, maka
setiap pelaut wajib disediakan akun atau metode pembayaran
terhadap jumlah upah yang menjadi haknya, upah tambahan,
dan penukaran kurs yang berlaku sesuai dengan yang telah
diperjanjikan. Hal ini menjadi amanat MLC bahwa negara
anggota wajib menyediakan sistem yang membuat pelaut
dapat menyalurkan uangnya kepada keluarganya lewat
transfer bank atau metode yang serupa lainnya sehingga upah
tersebut dapat segera sampai ke keluarga pelaut. Sistem ini
bertujuan supaya ada kepastian penyaluran terhadap upah
pelaut kepada keluarganya. Oleh karenannya, dengan
meratifikasi MLC 2006, upah pelaut dapat lebih aman,
terjamin dalam pengelolaan upahnya.

3.2.2.3 PERBANDINGAN PENGATURAN WAKTU KERJA


DAN ISTIRAHAT

PP Kepelautan mengatur secara khusus jam kerja bagi


pelaut. Pasal 21 ayat (1) menyatakan jam kerja bagi awak
kapal ditetapkan 8 (delapan) jam setiap hari dengan 1 (satu)
hari libur setiap minggu dan hari-hari libur resmi. Ayat (2)
perhitungan gaji jam kerja bagi awak kapal ditetapkan 44
(empat puluh empat) jam setiap minggu. Apabila jam kerja
melebihi ketentuan dan dipekerjakan pada hari libur maka
dihitung lembur. Ayat (4) menyatakan setiap awak kapal
harus diberikan waktu istirahat paling sedikit 10 (sepuluh)
jam dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam yang
dapat dibagi 2 (dua), yang salah satu diantaranya tidak
kurang dari 6 (enam) jam kecuali dalam keadaan darurat.
Ayat (5) menyatakan pelaksanaan tugas tugas darurat demi
keselamatan berlayar dan muatan termasuk latihan-latihan di

265
kapal atau untuk memberikan pertolongan dalam bahaya
sesuai peraturan keselamatan pelayaran tidak dihitung
lembur.
MLC dalam hal ini mengatur berdasarkan Regulation 2.3
dalam pasal 5 ditentukan maksimal waktu kerja pelaut,
bahwa jam kerja pelaut tidak lebih dari:
(iii) 14 jam untuk periode 24 jam; dan
(iv) 72 jam untuk periode 1 minggu; Atau
Minimum waktu istirahat tidak kurang dari:
(iii) 10 jam dalam periode 24 jam;
(iv) 77 jam dalam periode 1 minggu;

Ketentuan waktu kerja dalam PP Kepelautan pada dasarnya


sudah baik, walaupun MLC mengatur jam kerja yang lebih
tinggi yaitu 14 jam, pengaturan ini adalah tolak ukur
maksimum, apabila negara anggota mengatur waktu yang
lebih rendah maka tidak menjadi sebuah pelanggaran oleh
negara anggota.

Untuk pelaut muda, dalam pasal 21 ayat (6) menyatakan


pelaut muda atau pelaut yang berumur antara 16 tahun
sampai 18 tahun dan dipekerjakan sebagai apapun diatas
kapal tidak diperbolehkan untuk:
a. Dipekerjakan melebihi 8 (delapan) jam kerja sehari dan 40
jam seminggu;
b. Dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
MLC dalam hal ini membatasi waktu kerja maksimal bagi
pelaut muda adalah 9 jam, dengan ketentuan tidak
dipekerjakan di malam hari dan sebelum pukul 5 pagi.
Dengan demikian waktu kerja bagi pelaut muda menjadi
bertambah 1 jam. Pada dasarnya proteksi peraturan PP

266
Kepelautan lebih baik bagi kesehatan pelaut muda,
mengingat bahwa klausul dalam MLC adalah maksimum 9
jam, maka pengaturan dalam PP kepelautan masih dapat
tetap berlaku.
Ketentuan MLC 2006 pada dasarnya semakin melengkapi
ketentuan dalam PP Kepelautan. Dalam pasal 8 Regulation
2.3 MLC 2006, apabila ketika pelaut terpaksa dibutuhkan,
misalnya apabila dalam keadaan mesin kapal bermasalah,
maka pelaut tersebut harus mendapatkan kompensasi untuk
beristirahat lebih setelah itu. Apabila dibandingkan dengan
PP Kepelautan, maka kompensasi yang diberikan adalah
dalam bentuk upah lembur bukan istirahat. Pengaturan ini
lebih memberikan proteksi pelaut secara fisik dan
mengisyaratkan bahwa penambahan kerja bukan hanya
sebatas penambahan upah namun juga penambahan waktu
istirahat (rest recovery).
Tidak hanya itu, pasal 10 MLC 2006 juga mengatur
secara teknis bahwa setiap negara anggota harus
menyebarluaskan, di tempat yang mudah diakses, sebuah
tabel kerja khusus di dalam kapal yang memuat minimal:
a) Jadwal kerja baik saat berlayar atau di pelabuhan;
b) Maksimum jam kerja dan minimum waktu istirahat sesuai
dengan hukum nasional atau perjanjian kerja bersama;
Tujuan dari penempatan tabel di atas kapal adalah supaya ada
porsi kerja yang jelas bagi setiap pelaut dan tidak
dieksploitasi oleh pemilik kapal secara sewenang-wenang.
Tabel tersebut nantinya akan dicek di PSC setiap kapal
berlabuh. Di samping itu, tabel khusus yang dimaksud harus
ditulis dengan bahasa sehari-hari pelaut saat bekerja dan
dalam bahasa Inggris. Dengan meratifikasi MLC 2006,
ketentuan ini menjadi kewajiban pemilik kapal dan

267
pemerintah (khsusunya melalui PSC) untuk meyediakan dan
mengecek tabel kerja pelaut di setiap kapal.

3.2.2.4 PERBANDINGAN PENGATURAN HAK CUTI

Hak cuti pelaut diatur dalam pasal 24 ayat (1) PP


Kepelautan, bahwa setiap awak kapal berhak mendapatkan
cuti tahunan yang lamanya paling sedikit 20 (dua puluh)
hari kalender untuk setiap jangka waktu 1 (satu) tahun
bekerja. Kemudian ayat (2), atas permintaan pengusaha
angkutan di perairan, awak kapal yang mendapatkan hak
cuti tahunan dapat mengganti hak cutinya dengan imbalan
upah sejumlah hari cuti yang tidak dinikmatinya.
Dalam MLC 2006, Regulation 2.4 pasal 2
dinyatakan bahwa cuti tahunan minimal dihitung atas dasar
2,5 hari kalender per bulan kerja. Maka dalam 1 tahun,
pelaut memiliki hak cuti selama 2,5 hari x 12 bulan = 30
hari cuti, dengan ketentuan cuti tidak termasuk absen atau
ketidakhadiran kerja pelaut. Dengan meratifikasi MLC
2006, Ketentuan MLC memberikan waktu yang lebih
panjang sebagai cuti bagi pelaut dibandingkan PP
Kepelautan.
Tidak hanya itu, pasal 3 menyatakan bahwa setiap
perjanjian kerja untuk meniadakan cuti tahunan minimum
dengan membayar hak cuti, kecuali dalam ketentuan
tertentu yang diatur oleh pihak yang berwenang, adalah
dilarang. Pada dasarnya hak cuti pelaut tidak boleh
istilahnya ‘diperjual belikan dengan pembayaran upah lebih.
Namun dalam PP Kepelautan mengatur dalam pasal 24 ayat
(2) memperbolehkan hubungan transaksional yang
demikian. Pengecualian diberikan oleh rumusan pasal MLC
2006 apabila diatur lebih lanjut oleh pemerintah negara

268
anggota masing-masing, maka diperbolehkan. Dengan
pengaturan yang demikian, ketentuan PP Kepelautan tetap
berlaku.

3.2.2.5 PERBANDINGAN PENGATURAN HAK


REPATRIASI

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia


mengenai ketenagakerjaan sebelum diratifikasinya MLC
2006 tidak mengatur mengenai apa yang disebut sebagai
repatriasi. Ada pun dikenal hak pemulangan. Hal ini telah
dijelaskan dalam sub bab 3.2.3.

Ada pun kelemahan MLC 2006 terhadap pengaturan


repatriasi menurut Moira Lynne McConnell adalah adanya
kekosongan hukum apabila terjadi peninggalan pelaut
(abandonment).
“Regulation 2(5) stipulates that member states are
required to demand financial security from their flag vessels
to ensure seafarers’ repatriation. Despite this provision, MLC,
2006 does not go deeper into the issue of the abandonment of
seafarers, as it does not require financial guarantees to cover
any expenses that may occur during the period of
abandonment, or compensation due to seafarers. For this
reason, and given the extent of the problem, the ILO and IMO
agreed to continue their negotiations to find a solution, and
the outcome was an amendment to MLC, 2006, pursuing the
inclusion of the mandatory requirement that all shipowners
have financial security, either in the form of an insurance
policy or as an instrument included within the social security
system, covering not only repatriation but also other costs in
addition to unpaid wages. The Special Tripartite Committee
has approved the amendment on April 11, 2014, and it is
expected it entering into force in 2017.”85
Pelaut yang tertinggal tidak terproteksi adanya jaminan
supaya ia dapat direpatriasi begitu pula terhadap haknya
untuk memperoleh kompensasi. Oleh kareanya untuk

85
Supra Note 24, Page 52.

269
menutupi kelemaha itu, dalam amandemen MLC pada
tanggal 11 April 2014 mengharuskan adanya ketentuan
baru bahwa setiap pemilik kapal wajib memiliki jaminan
keuangan baik dalam bentuk asuransi yang dipadukan
dengan sistem jaminan sosial, sehingga dalam keadaan
apapun pemilik kapal tetap dapat membayar biaya
repatriasi pelaut dan begitu pula terhadap upah yang
tertunda. Ketentuan ini mulai berlaku pada tahun 2017 bagi
seluruh negara anggota MLC 2006. Sebaiknya sebagai
bentuk penataan pembangunan hukum nasional bagi hak
pelaut di sektor ketenagakerjaan, pembuat Undang-Undang
wajib memasukkan ketentuan apabila terjadi peninggalan
pelaut (abandonment) maka pemberi kerja bertanggung
jawab untuk melakukan repatriasi pelaut supaya tidak
timbul celah pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab
dan lebih menjamin hak repatriasi pelaut dalam keadaan
apapun.
Selanjutnya konsekuensi Indonesia meratifikasi MLC
adalah masuknya ketentuan baru dengan adanya kewajiban
baru bagi Indonesia untuk tunduk pada International
Convention of Arrest of Ships 1999. Konvensi ini mengatur
mengenai pengumpulan sejumlah dana oleh negara yang
meratifikasi konvensi ini sebagai Maritime Claim untuk
menyediakan dana bagi kapal-kapal yang ditangkap di
wilayahnya, Maritime Claim ini nantinya untuk mengurus
kapal-kapal yang tertangkap supaya mendapat perlakuan
yang sama. Salah satu alokasi dananya adalah dana
pemulangan pelaut dari kapal yang ditangkap.

270
3.2.2.6 PERBANDINGAN PENGATURAN KOMPENSASI
BAGI PELAUT UNTUK KAPAL YANG HILANG
ATAU TENGGELAM

MLC mengamanatkan untuk memberikan


kompensasi dan hak atas upah pelaut apabila kapal
hilang/musnah atau tenggelam. Pada dasarnya PP
Kepelautan telah mengatur berdasarkan pasal 27 ayat (1)
apabila kapal musnah atau tenggelam sehingga
menyebabkan harus dilakukannya pemutusan hubungan
kerja (selanjutnya disingkat PHK) kepada pelaut maka
pemilik kapal wajib membayar upah pekerja ditambah
pesangon berupa dua kali upah bulan terakhir ditambah
hak-hak lainnya. Di samping itu, pasal 29 juga mengatur
bahwa pelaut juga berhak atas ganti rugi hak atas barang
milik awak kapal apabila hilang atau terbakar saat kapal
hilang atau tenggelam. Peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan juga telah memberikan proteksi
dan jaminan kecelakaan melalui BPJS apabila pelaut
mengalami kecelakaan atau cacat akibat kecelakaan kerja
dalam hal kapal hilang atau tenggelam. Dengan demikian
pemenuhan atas standar Regulation 2.6-Standard A2.6
dapat dikatakan telah terakomodir di Indonesia bahkan
sebelum MLC diratifikasi.

Standar Regulation 2.6 menurut penulis masih


cenderung tidak lengkap sebab ada banyak kemungkinan-
kemungkinan lain pemberi kerja patut memberikan ganti
rugi kepada pelaut. Faktor yang diakomodir oleh MLC
cenderung bersifat eksternal, yaitu karena faktor kondisi
kerja terhadap cuaca atau mesin rusak atau apapun itu
menyebabkan kapal tenggelam. Bagaimana dengan faktor

271
internal? Misalnya dalam kondisi kapal terpaksa
dianggurkan, atau dijual karena pemilik kapal pailit
misalnya. Hal ini sangat perlu menjadi pertimbangan
negara-negara anggota untuk memberikan kompensasi bagi
pelaut apabila hal demikian terjadi.

3.2.2.7 PERBANDINGAN PENGATURAN STANDAR


PENGAWAKAN KAPAL

MLC 2006 pada dasarnya tidak menyediakan


prosedur pengawakan yang baik seperti apa dan pengaturan
terterntu yang harus diberlakukan setiap negara, namun
MLC 2006 mengembalikan kembali ke negara masing-
masing untuk mengatur terkait standar pengawakan
sepanjang tidak melanggar ketentuan jam kerja, jam
istirahat dan jenis jabatan pekerja. Apa bukti seorang pelaut
telah dianggap hatam dalam mengawaki kapal? Menurut
Guide Book MLC 2006, setiap pelaut harus memiliki Safe
Manning Document (SMD) sebagai bukti pelaut telah lolos
atau layak mengawaki kapal.

Berdasasrkan ketentuan UU Pelayaran Pasal 338


menyebutkan ketentuan mengenai pendidikan dan
pelatihan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 263 dan Pasal 264 berlaku secara mutatis
mutandis untuk bidang transportasi. Dengan demikian
kementerian di bidang transportasi (Kementerian
Perhubungan) berhak untuk mengatur SMD yang
merupakan salah satu prasyarat seorang pelaut dianggap
layak mengawaki kapal.

272
Berdasarkan PM 70 Tahun 2013, di Indonesia
Sertifikat Pengawakan atau Safe Manning Certificate
(selanjutnya disingkat SMC) adalah sertifikat yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
untuk awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi
dan kompetensi sesuai dengan ketentuan nasional dan
internasional yang menerangkan jumlah awak kapal yang
diwajibkan dan sertifikat keahlian. Ada pun persyaratan
untuk mengajukan SMC diperlukan: surat permohonan dari
perusahaan; sertifikat keselamatan; surat ukur kapal; surat
laut; crew list dan foto copy sertifikat COC & COE.86

Tidak hanya itu, standar pengawakan kapal sangat


berkaitan erat dengan standar STCW, Indonesia telah
meratifikasi STCW yang mengatur dan memuat jabatan-
jabatan beserta pelatihan apa saja yang ada di atas kapal dan
sertifikasi-sertifikasi sesuai jabatan yang harus dimiliki
pelaut. Untuk jabatan-jabatan dan sertifikasi sudah diatur
dalam peraturan menteri perhubungan yang telah
disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, pada dasarnya
pengaturan mengenai standar pengawakan kapal telah
diatur dengan baik sebelum masuknya MLC ke dalam
hukum positif Indonesia, dengan demikian perwujudan
standar Regulation 2.7 sudah tercapai.

86
Penerbitan Sertifikat Pengawakan (Safe Manning Certificate), (http://hubla.dephub.go.id) diakses
21/11/2016, pukul 10.35 WIB, http://hubla.dephub.go.id/pelayanan/Pages/Penerbitan-Sertifikat-
Pengawakan-(Safe-Manning-Certificate).aspx

273
3.2.2.8 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP
KARIR DAN JENJANG KARIR DAN KESEMPATAN
KERJA BAGI PELAUT

MLC mengamanatkaan setiap negara anggota wajib


memiliki instrumen hukum nasional yang mampu mengatur
jenjang karir pelaut, perkembangan kemampuan pelaut
demi menunjang dan menyediakan tenaga kerja yang lebih
stabil dan kompeten. Dengan adanya pengaturan terhadap
jenjang karir pelaut maka negara akan semakin menjamin
kepastian jenjang karir bagi pelaut dan meningkatkan
kualitas pelaut sesuai dengan kemampuannya. Pengaturan
ini juga dituntut harus beriringan dengan jenjang
pengupahan pelaut berdasarkan jabatannya supaya dapat
lebih mensejahterakan pelaut. Di Indonesia sebelum
masuknya MLC tidak mengatur sama sekali mengenai
jenjang karir pelaut beserta dengan pengaturan upah
tersendiri bagi pelaut. Upah pelaut disamaratakan dengan
pengaturan upah minimum regional pekerja pada umumnya,
padahal pelaut memiliki risiko kerja yang sangat tinggi,
semestinya hal tersebut patut menjadi pertimbangan perlu
diatur upah minimum tersendiri. Oleh karenanya, dengan
masuknya MLC ke dalam hukum positif Indonesia,
pembuat peraturan perundang-undang diharuskan untuk
membentuk instrumen hukum yang memuat jenjang karir
pelaut beserta jumlah upah minimum pelaut sesuai dengan
jabatannya. Pengaturan upah minimum bagi pelaut dapat
dibentuk berdasarkan upah sektoral tertentu setiap daerah
sesuai dengan ketentuan PP Pengupahan.

274
3.3 PERBANDINGAN PROTEKSI TERHADAP AKOMODASI,
FASILITAS REKREASI, MAKANAN DAN KATERING PELAUT

Proteksi terhadap akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan dan


katering pelaut diatur dalam bab 3 konvensi MLC 2006. Adapun pengaturan
terhadap syarat minimum kerja pelaut meliputi 2 aspek yaitu akomodasi dan
fasilitas rekreasi dan makanan serta katering pelaut.

3.3.1 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP


AKOMODASI DAN FASILITAS REKREASI
Yang dimaksud dengan akomodasi adalah akomodasi ruangan
dan layanan-layanan lainnya yang menyangkut kenyamanan pelaut di
atas kapal. Dengan diratifikasinya MLC ke dalam hukum positif
Indonesia pada dasarnya ketentuan mengenai akomodasi ruangan dan
fasilitas rekreasi semakin melengkapi ketentuan peraturan perundang-
undangan Indonesia sebelum diratifikasinya MLC. Ada pun
keuggulan secara garis besar tersebut dapat terlihat di tabel di bawah
ini:

Akomodasi PUU
Akomodasi
Kategori Pengaturan Indonesia sebelum
MLC 2006
ratifikasi MLC
Pengaturan Ruangan
Biasa ✔ ✔
Ruang Tidur ✔ ✔
Ruang santai/rekreasi ✔ ✔
Ruang Makan dan
Pantry ✔ ✔
Ruang Sanitasi ✔ ✔
Ruang Kesehatan ✔ ✔
Ruang Laundry ✘ ✔
Ruaang Komunal ✘ ✔
Ruang Kantor ✘ ✔
mosquito infested port ✘ ✔

275
Akomodasi ruang
sosial ✘ ✔
Inspeksi Ruangan ✘ ✔

Dengan diratifikasinya MLC pemilik kapal berkewajiban untuk


menyediakan ruangan laundry, ruang komunal pekerja, ruang
kantor, mosquito infested port, akomodasi ruang sosial (misalnya
mushola atau chapel di atas kapal untuk umat beragama Islam dan
Katolik) serta melakukan inspeksi kapal internal secara rutin untuk
menjaga kebersihan, keselamatan dan keamanan akomodasi yang
ada.
Untuk akomdasi ruangan yang telah ada, ada beberapa
perubahan penting dalam pemenuhan kenyamanan pelaut, yaitu:
 Ruang kapal
Pengaturan ukuran ruangan tidak ada ruangan yang boleh
lebih kecil dari 203 cm.
 Ruang tidur
Setiap ruang kamar pelaut tidak boleh kurang dari 3,6 m2
per orang (sebelum diratifikasinya MLC, berlaku ketentuan
luas kamar pelaut adalah 2,22 m2).
 Ruang makan
untuk ruang makan harus terletak terpisah dari kamar tidur
dan sedekat mungkin dengan dapur (pengecualian hanya
dapat dilakukan untuk kapal berukuran 3,000 GT). Ruang
makan harus memiliki ukuran dan kenyamanan yang
memadai dengan perabot dan dilengkapi (termasuk fasilitas
yang berkelanjutan untuk penyegaran misalnya kulkas, box
beku, dan lain sebagainya), dengan mempertimbangkan
seluruh jumlah pelaut dapat menggunakannya pada satu
waktu. Fasilitas ruang makan pelaut harus terpisah dengan
ruang makan umum.

276
Di samping mengenai ruangan, MLC juga mengatur hal-hal detil
seperti ventilasi, pemanas ruangan, faktor getaran dan keributan
pencahayaan dan akomodasi rumah sakit di atas kapal yang
sebelumnya tidak diatur. Ketentuan-ketentuan ini menjadi
standar internasional yang bertujuan supaya pelaut dapat
bekerja dengan nyaman dan merasa aman selama di kapal. Oleh
karenannya, dengan diratifikasinya MLC harus ada
penyesuaian-penyesuaian baru bagi pemilik kapal supaya
mengakomodir ketentuan standar yang adabagi kenyamanan
akomodasi pelaut.

3.3.2 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP MAKANAN


DAN KATERING PELAUT
Makanan pada dasarnya merupakan kebutuhan manusia
yang tidak bisa dihindari karena menyangkut hayat hidup manusia,
hal tersebut tentu juga berlaku bagi pelaut sebagai pekerja. Makanan
merupakan bagian dari hak atas hidup layak, oleh karenanya selaku
pemberi kerja harus mengakomodir makanan pekerja sebaik
mungkin. PP Kepelautan mengatur bahwa pengusaha kapal wajib
menyediakan makanan dan alat-alat pelayanan makanan yang cukup
dan layak bagi setiap pelayaran yang dilakukan. Makanan harus
memenuhi jumlah, ragam serta nilai gizi dengan jumlah minimum
3600 kalori per hari yang diperlukan awak kapal untuk tetap sehat
dalam melakukan tugas-tugasnya di kapal. Makanan yang dimaksud
harus diakomodir sejak berlayar, diturunkan dari kapal sampai tiba
di tempat domisilinya saat direpatriasi. Sayangnya pengaturan
demikian tidak cukup. Pada faktanya banyak kasus pelaut Indonesia
yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha kapal
terhadap akomodasi makanan pelaut. Banyak di antaranya diberi
makanan seadanya yang penting memenuhi kalori saja atau

277
mengenyangkan tanpa memperhatikan gizi, mutu dan varian
makanan.
Dengan masuknya MLC ke dalam hukum positif Indonesia,
pengaturan terhadap makanan pelaut kini semakin lebih spesifik dan
semakin menjamin hak atas hidup layak pelaut. Makanan harus
bervariasi, bernutrisi dan higenis, wajib dikelola oleh staf katering
dan koki pelaut terlatih yang mampu memasak makanan praktis,
menjaga kebersihan pribadi, memiliki kemampuan mengelola stok
makanan dan bertanggung jawab atas perlindungan lingkungan,
kesehatan dan keamanan katering. Di samping itu, PSC setiap
negara berkewajiban untuk mengecek persediaan makanan dan air
minum kapal sebelum berlayar, mengecek ruangan dan alat makan
layak pakai, termasuk keadaan dapur dan peralatan di dalamnya siap
melayani makanan pelaut. Di samping itu, MLC juga
memberlakukan larangan bagi koki pelaut berasal dari pelaut muda
di bawah 18 tahun, hal ini untuk mencegah timbulnya kelalaian
pelaut muda yang tergolong belum berpengalaman terhadap
makanan maupun penggunaan peralatan masak kapal.

3.4 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP PROTEKSI


KESEHATAN, PERLINDUNGAN MEDIS, KESEJAHTERAAN DAN
PERLINDUNGAN KEAMANAN SOSIAL

Proteksi terhadap kesehatan, perlindungan medis, kesejahteraan dan


perlindungan sosial pelaut diatur dalam bab 4 konvensi MLC 2006. Adapun
pengaturan terhadap syarat minimum kerja pelaut meliputi 5 aspek yaitu
perawatan medis di atas kapal dan saat mendarat, tanggung jawab pemilik
kapal, perlindungan kesehatan dan keamanan dan perlindungan terhadap
kecelakaan, akses terhadap fasilitas kesejahteraan saat mendarat dan
keamanan sosial.

278
3.4.1 PERBANDINGAN PENGATURAN PERAWATAN MEDIS
SAAT KAPAL BERLAYAR DAN MENDARAT

Dalam UU Pelayaran pada pasal 152 ayat (1) disebutkan


bahwa “Setiap kapal yang mengangkut penumpang wajib
menyediakan fasilitas kesehatan bagi penumpang.” Ayat (2)
menyebutkan bahwa “Fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. ruang pengobatan atau perawatan; b.
peralatan medis dan obat-obatan; dan c. tenaga medis.” Dalam
ketentuan MLC, MLC memperluas penyediaan jasa medis dan akses
obat-obatan tidak terbatas hanya pada kapal penumpang saja, namun
terhadap segala jenis kapal yang tercakup dalam MLC (termasuk
kapal muatan barang dan lain-lain). Jasa medis dan akes obat-obatan
adalah bentuk proteksi dan tindakan preventif bagi pelaut sewaktu-
waktu apabila sakit, terluka atau kecelakaan.
Lebih lanjut, dalam PP Kepelautan dinyatakan bahwa setiap
kapal dengan jumlah awak kapal 15 (lima belas) orang atau lebih
harus dilengkapi dengan ruang perawatan kesehatan yang layak dan
memiliki kamar mandi dan jamban tersendiri. Fasilitas ruang
perawatan kesehatan tidak boleh dipergunakan untuk keperlua-
keperluan lain selain untuk perawatan orang sakit. Pada setiap kapal
harus tersedia obat-obatan dan bahan-bahan pembalut dalam jumlah
yang banyak. Untuk pemberian pelayanan kesehatan di kapal,
nahkoda dalam keadaan tertentu dapat meminta bantuan nasehat dari
tenaga medis di darat dengan media radio.
MLC pada dasarnya mewajibkan negara anggota membentuk
hukum atau regulasi yang mengatur mengenai penanganan rumah
sakit saat berlayar dan fasilitas perawatan medis dan peralatan medis
dan pelatihan kesehatan di dalam kapal yang berlayar. Mengingat
bahwa pengaturan demikian sudah ada di Indonesia maka MLC
dalam hal ini lebih bersifat melengkapi ketentuan yang ada. Lantas
ketentuan seperti apa yang diakomodir MLC? MLC mewajibkan

279
bagi kapal yang membawa 100 penumpang atau lebih dan
melakukan perjalanan internasional dan lebih dari 3 hari wajib
memiliki dokter yang berkualitas yang bertanggungjawab untuk
menyediakan perawatan medis, hal ini untuk mencegah apabila
ternyata terdapat penumpang atau pelaut yang sakit dan sulit untuk
mengakses daratan karena perjalanan memakan waktu lebih dari 1
hari. Sedangkan untuk kapal yang mengangkut di bawah 100
penumpang dan perjalanan tergolong singkat dapat memanfaatkan
pelaut yang bersertifikasi medis sesuai ketentuan STCW untuk
berjaga-jaga di atas kapal. MLC juga mengharuskan adanya sistem
komunikasi melalui radio atau satelit untuk berkomunikasi di dalam
kapal saat terdapat pasien yang sakit, komunikasi dilakukan ke
daratan terdekat dengan tujuan memberikan saran dari para ahli
spesialis terhadap penanganan pasien dan jika memungkinkan
tersedia dalam waktu 24 jam dan biaya ringan. Ketentuan ini sangat
menjamin kesehatan dan keselamatan pelaut terutama apabila saat
sakit, dengan adanya akses obat-obatan dan tenaga medis yang
kompeten akan ada penanaganan segera di atas kapal bagi siapa saja
yang sakit, hal ini semakin menjamin pekerja dapat bekerja dengan
tenang dan selamat.

3.4.2 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP


TANGGUNG JAWAB PEMILIK KAPAL

Regulation 4.2 mengatur mengenai pertanggung jawaban


pemilik kapal, ada pun pertanggung jawaban diberikan pemberi
kerja kepada pelaut dalam hal apabila pelaut sakit, megalami
kecelakaan saat bekerja, menyediakan jaminan keuangan serta
kompensasi terhadap kematian pelaut, cacat karena melakukan
pekerjaannya, mengalami dampak bahaya, luka dan penyakit yang
diderita. Ada pun pengecualiannya apabila diketahui sakit, cacat,

280
cidera atau luka yang dialami bukan terjadi karena melakukan
pekerjaan sebagai pelaut; sakit, cacat, cidera atau luka merupakan
sakit bawaan yang disembunyikan saat sebelum bekerja; dan sakit,
cacat, cidera atau luka merupakan bentuk kesengajaan manipulasi
pelaut demi memperoleh kompensasi.

Sebelum masuknya MLC ke dalam hukum positif Indonesia,


pertanggung jawaban demikian telah diakomodir oleh UU BPJS dan
kewajiban pemberi kerja memberikan asuransi bagi pelaut.
Sayangnya pengaturan MLC menurut hemat penulis belum terlalu
lengkap karena tidak mencakup perlindungan bagi pelaut apabila
dilakukan PHK. Di samping itu ada pula tindakan preventif yang
harus diberikan oleh pemberi kerja dengan menyediakan pelatihan
keselamatan dan keamanan kerja bagi pelaut supaya dapat
melakukan performa kerja yang terminimalisir dari kecelakaan.
Oleh karenanya dapat disimpulkan regulation 4.2 sudah
terakomodir peraturan perundang-undangan Indonesia jauh sebelum
diratifkasinya MLC.

3.4.3 PERBANDINGAN PENGATURAN PERLINDUNGAN


KESEHATAN DAN KEAMANAN DAN PERLINDUNGAN
TERHADAP KECELAKAAN

Berdasarkan pengaturan pasal 79 dan pasal 80 UU Pelayaran,


dalam ayat (1) disebutkan kegiatan keselamatan dan keamanan
pelayaran dilakukan secara terpadu dan koordinasi antara
pemerintah dan pengusaha kapal. Yang dimaksud pemerintah dalam
hal ini adalah syahbandar atau yang lebih dikenal dengan Port State
Control atau Port Security Committee. Pada dasarnya syahbandar
melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran yang
mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di

281
bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan
lingkungan maritim di pelabuhan.
Dengan masuknya MLC ke dalam hukum positif Indonesia
menuntut peran yang lebih besar dan spesifik bagi syahbandar,
syahbandar harus melakukan promosi secara akif terhadap kemanan
dan keselamantan kerja di atas kapal serta melakukan evaluasi risiko
terhadap pekerjaan di atas kapal. Peran sosialisasi dari syahbandar
merupakan poin yang sangat baik dalam pengaturan MLC.
Sebaiknya ketentuan ini dijalankan oleh syahbandar secara
konsekuen untuk semakin memberikan informasi yang penting bagi
pelaut dan menjadi bagian edukasi bagi setiap pelaut. Adapun
promosi dan hasil evaluasi yang dimaksud harus dilakukan
berdasarkan pembagian kerja pelaut sesuai jabatannya sehingga
syahbandar tidak hanya melakukan sosialisasi secara umum saja
namun sesuai dengan spesifikasi jabatan pelaut.
Syahbandar juga berfungsi untuk melakukan inspeksi
berkala, inspeksi dalam hal ini tidak hanya sekedar melakukan
investigasi semata tetapi juga berperan aktif menganalisa statistik
kecelakaan, aktif menerima keluhan dan pelaporan terhadap
pelanggaran hukum di atas kapal atau pelanggaran hak pelaut oleh
pemberi kerja dan melakukan riset terhadap tren dan fenomena pada
kapal dan pelaut yang sering terjadi.

3.4.4 PERBANDINGAN PENGATURAN TERHADAP AKSES


FASILITAS KESEJAHTERAAN SAAT MENDARAT

MLC sebagai hukum positif Indonesia berusaha menjamin


pelaut yang bekerja di kapal memiliki akses untuk segala bentuk
fasilitas kesejahteraan saat mendarat dan pelayanan kesehatan yang
menjamin keberlangsungan kesehatan pelaut. Fasilitas
kesejahteraan meliputi fasilitas kebudayaan, rekreasi, informasi dan

282
servis lainnya sesuai pengaturan dalam konvensi. Hal ini bertujuan
supaya setiap kapal yang berlabuh baik kapal lokal atau pun kapal
internasional dapat memperoleh fasilitas yang cukup sebelum
kembali berlayar. Fasilitas tersebut tidak boleh membeda-bedakan
negara asal, nasionalitas, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama,
pendapat politik ataupun tempat asal dan tanpa memandang negara
asal kapal di mana pelaut bekerja. Fasilitas yang dimaksud juga
termasuk fasilitas yang bersifat teknis operasional seperti tempat
perbaikan atau perawatan kapal dan perkembangan lainnya di
industri perkapalan. Fasilitas kesejahteraan yang dimaksud juga
harus menerima feedback atau saran dari setiap pelaut, termasuk
keluhan, aspirasi dan masukkan sehingga menjadi masukkan bagi
penyedia fasilitas untuk selalu mengembangkan fasilitasnya.
Ketentuan ini pada dasarnya sangat menguntungkan Indonesia
karena memberikan peluang ekonomi pada setiap pelabuhan untuk
menjadi tempat persinggahan. Tempat persinggahan juga bisa
memanfaatkan potensi masyrakat sekitar sehingga membuka
lapangan kerja dan ekonomi masyarakat sekitar pelabuhan.
Sebaiknya dari teknis operasionalnya dibentuk Peraturan
Pemerintah tentang pengelolaan fasilitas kapal dan pelaut di setiap
pelabuhan.

3.4.5 PERBANDINGAN PENGATURAN KEAMANAN SOSIAL

Regulation 4.5-Code A4.5 mengatur mengenai jaminan


keamanan sosial pelaut. Setiap negara wajib mengatur dan
memberikan jaminan keamanan sosial (setidaknya 3 jenis dari 9
kategori tunjangan) pelaut berupa perawatan medis, tunjangan sakit,
tunjangan pemutusan kerja, tunjangan pensiun, tunjangan
kecelakaan kerja, tunjangan keluarga, tunjangan melahirkan,
tunjangan pelaut yang hilang, tunjangan pelaut yang selamat. Di

283
Indonesia jaminan-jaminan kesejahteraan tersebut telah diakomodir
dengan BPJS sebagi bentuk jaminan sosial pekerja. Jaminan terdiri
dari jaminan kerja dan jaminan kesehatan. Jaminan kerja terdiri dari
kecelakaan kerja, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Paling
tidak di Indonesia sudah lebih dari 3 kategori yang diakomodir oleh
peraturan perundang-undangan dan jaminan tunjangan tersebut
bersifat wajib didaftarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja
termasuk pelaut. Dengan demikian dapat dikatakan pengaturan
terhadap pengaturan keamanan sosial pelaut sudah baik di Indonesia.

3.5 LANGKAH PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA TERHADAP


PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAUT
Setelah dijelaskan mengenai peraturan perundang-undangan terhadap
berbagai perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaut di bab 2,
termasuk masuknya MLC 2006 ke dalam hukum positif Indonesia beserta
konsekuensinya di bab III sub bab 3.1 hingga 3.4.6, nampak jelas bahwa
masih terdapat banyak permasalahan hukum yang terjadi antara satu peraturan
terhadap peraturan lainnya serta perlunya penyesuaian peraturan sebagai
konsekuensi diberlakukannya MLC 2006 sebagai hukum positif Indonesia.
Oleh karena itu penting untuk dilakukan suatu pembangunan hukum yang
mampu memberikan perlindungan hukum bagi pelaut.
Pembangunan hukum seperti yang telah didefinisikan dalam berbagai
pendapat di bab 2 dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Upaya dalam hal
ini dibatasi penulis menacakup substansi hukum dan struktur hukum yang ada.
Adapun upaya yang diperlukan dalam mengatur perlindungan hukum bagi
pelaut akan dijabarkan sebagai berikut.

284
3.5.1 PEMBANGUNAN HUKUM POSITIF INDONESIA MELALUI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BAIK
DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PELAUT
Suatu peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Lantas apa itu asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan? Asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah pedoman atau suatu rambu-rambu dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.87 Sehubungan
dengan itu akan dijabarkan permasalahan peraturan perundang-
undangan di Indonesia terhadap perlindungan hukum pelaut yang
nantinya akan dikaitkan penyelesaiannya dengan mengacu pada asas-
asas peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun permasalahan
utama peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur
perlindungan hukum bagi pelaut meliputi:
a. Tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pelaut dalam memberikan perlindungan hukum bagi
pelaut;
Pertama, contoh tidak sinkronnya PUU Indonesia yang
mengatur mengenai pelaut, misalnya tidak sinkronnya PP
kepelautan terhadap ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Hal ini
terlihat dalam bentuk muatan yang berbenturan satu sama lain,
misalnya terhadap konsep kesejahteraan pekerja, dalam UU
Ketenagakerjaan kesejahteraan bukan merupakan hak normatif
sedangkan dalam PP Kepelautan ketentuan kesejahteraan termasuk
hak normatif sebagai kewajiban pengusaha kapal. Dari perspektif
asas peraturan perundang-undangan yang baik, PP Kepelautan
bukan merupakan PUU yang baik karena melanggar pasal 5 huruf c

87
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, halaman 252.

285
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disingkat UU PUU)
mengenai asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan.
Asas ini menyatakan bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan muatan,
jenis dan hierarki yang tepat. Maksudnya tepat dalam hal ini dapat
diartikan termasuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan lainnya yang relevan. Banyak pengaturan dalam PP
Kepelautan yang tidak jelas apabila tidak mengacu terhadap UU
Ketenagakerjaan. Misalnya terhadap ketentuan penyelesaian
sengketa, jenis waktu perjanjian kerja pelaut yang semestinya
mengikuti ketentuan UU Ketenagakerjaan. Oleh karenanya di
bagian mengingat PP Kepelautan baru harus mengacu ke UU
ketenagakerjaan.
Kedua, menurut I.C Van der Vlies peraturan perundang-
undangan yang baik adalah memenuhi asas-asas material yang salah
satunya meliputi asas terminologi yang benar.88 Tidak sinkronnya
PP Kepelautan terhadap UU Pelayaran dan UU Ketenagakerjaan
terjadi dalam hal terminologi. Banyak terminologi yang tidak sesuai
dengan UU Ketenagakerjaan misalnya penggunaan kata gaji dan
penghasilan di PP Kepelautan, padahal semestinya apabila mengacu
ke UU ketenagakerjaan semestinya yang digunakana adalah
terminologi upah.
Ketiga, peraturan perundang-undangan yang baik harus
mengacu pada asas tujuan yang jelas. Menurut A. Hamid S.
Attamimi peraturan perundang-undangan yang patut harus memiliki
tujuan yang jelas.89 PP kepelautan pada dasarnya bertujuan untuk
melindungi pelaut sebagai pekerja, namun dalam muatan
rumusannya justru tidak mencerminkan tujuannya yang

88
Supra Note 89, halaman 254.
89
Supra Note 89, 255.

286
sesungguhnya. Misalnya terhadap pengaturan apabila pekerja di
PHK karena alasan keinginan pelaut sendiri maka pengusaha kapal
tidak wajib melakukan pemulangan pelaut. Atau pelaut dapat
sewaktu-waktu di PHK apabila kapal dijual oleh pengusaha kapal.
Hal-hal semacam ini justru sebaliknya tidak memberikan
perlindungan bagi pelaut dan tidak mencerminkan perlindungan
hukum yang semestinya diterima pelaut.
Melihat inkonsistensi PP Kepelautan dari segi muatan aturan,
terminologi, sistematika dan tujuannya, maka penulis
merekomendasikan untuk mencabut PP Kepelautan yang saat ini
dan membentuk PP Kepelautan baru yang disinkronisasikan dengan
ketentuan dalam UU Pelayaran, UU Ketenagakerjaan serta termasuk
MLC 2006 yang telah menjadi hukum positif Indonesia.

3.5.2 PEMBANGUNAN STRUKTUR HUKUM POSITIF INDONESIA


DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PELAUT
Suatu peraturan perundang-undangan yang baik tidak lengkap tanpa
organ /instansi pelaksana yang baik dan tepat serta dengan tugas dan
wewenang tepat yang diemban. Adapun permasalahan yang dihadapi
Indonesia dalam melakukan perlindungan bagi pelaut adalah:
a. Miskoordinasi dan tumpang tindih kewenangan antar instansi
pemerintah;
Sebelumnya telah dijabarkan berbagai bentuk miskoordinasi
antar instansi pemerintah dalam mengatur perlindungan hukum
pelaut. Misalnya miskoordinasi dalam pembuatan peraturan menteri
yang mengatur tentang perizinan manning agency pelaut di
Indonesia, terdapat tiga instansi pemerintah yang mengatur perizinan
usaha dan perekrutan dan penempatan pelaut. Hal ini membuktikan
terdapat miskoordinasi atau bahkan tidak ada koordinasi yang baik
antara stakeholder instansi pemerintah yang berwenang sebelum

287
membentuk peraturan perundang-undangan, terdapat ego sektoral
masing-masing kementerian untuk mengatur secara mandiri
terhadap suatu pengaturan tentang pelaut. Misalnya terhadap izin
usaha perekrutan dan penempatan pelaut serta izin perekrutan dan
penempatan pelaut antara kementerian perhubungan, BNP2TKI dan
kementerian ketenagakerjaan. Semestinya perlu penataan
kewenangan pengaturan pelaut bagi masing-masing instansi, apabila
pengaturan terkait ketenagakerjaan maka diatur oleh kementerian
ketenagakerjaan, apabila pengaturan terkait kompetensi pelaut dan
sertifikasi pelaut maka diserahkan kepada kementerian perhubungan
sedangkan untuk hubungan perekrutan dan penempatan pelaut antar
negara dilakukan BNP2TKI. Apabila terhadap sektor yang tidak
dapat dipisahkan antar keterlibatan berbagai jenis kementerian,
maka dapat dibuat peraturan bersama antar kementerian.
Penyelarasan kepengurusan terhadap pelaut akan membantu
efisiensi dan efektivitas penanganan dan perlindungan pelaut, serta
memberikan kepastian hukum bagi pengusaha untuk mengurus
segala bentuk izin untuk pengusaha kapal.
b. Pelaksanaan tugas instansi negara yang belum dilaksanakan;
Dalam peraturan perundang-undangan yang ada, terdapat
beberapa rumusan pasal yang memberikan tugas dalam bentuk
atribusi yaitu melalui peraturan perundang-undangan. Misalnya
dalam PP pengupahan dan UU Pelayaran yang memerintahkan
dibentuknya pengaturan upah khusus bagi pelaut namun hingga kini
belum terealisasikan, atau terhadap pembentukan sistem komunikasi
lewat radio atau satelit untuk mengakomodir akses informasi pelaut
dengan dokter di daratan dalam memberikan konsultasi kesehatan
atau bantuan penanganan dalam keadaan darurat, contoh-contoh
seperti ini semestinya harus direalisasikan oleh pemerintah supaya
proteksi perlindungan hukum pelaut tidak hanya sebatas hitam di

288
atas putih tertulis saja namun berlaku secara nyata dan konsekuen
dalam kehidupan dan aktivitas pelaut.

289
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 SOLUSI DAN REKOMENDASI BERUPA PEMBANGUNAN HUKUM


INDONESIA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PELAUT

Dengan masuknya MLC 2006 ke dalam hukum positif Indonesia pada


dasarnya membuka babak baru terhadap peraturan perundang-undangan
Indonesia dalam mengatur pelaut. Di satu sisi proteksi yang disediakan
semakin tinggi dan spesifik bagi pelaut, hal ini memberikan tantangan
tersendiri bagi Indonesia sebagai negara berkembang dan kemampuan
perusahaan kapal untuk dapat menyesuaikan standar-standar yang ada.

Pada dasarnya MLC 2006 merupakan standar perlindungan bagi pelaut yang
menyesuaikan keadaan baik negara berkembang maupun negara maju, hal ini
dibuktikan dengan terdapatnya ketentuan fleksibilitas bagi negara anggota
untuk mengatur sendiri beberapa ketentuan yang a da bagi pelaut sepanjang
tanpa melanggar standar wajib kode A, oleh karena itu dengan masuknya MLC
2006 harus ditanggapi oleh pemerintah Indonesia dengan optimisme tinggi
supaya dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pelaut.

Tidak hanya menyediakan standar, MLC 2006 turut serta memberikan


kewajiban-kewajiban baru bagi pemerintah Indonesia misalnya dalam hal
mengikuti sistem reimburshment setiap negara anggota untuk memberikan
sejumlah dana repatriasi pelaut yang ditahan, kewajiban memiliki maritime
claims bagi pengusaha kapal, penyediaan fasilitas rekreasi di daratan yang
sesuai standar internasional hingga pembentukan instrumen hukum baru
seperti pengaturan upah tersendiri bagi pelaut serta pembentukan peraturan
teknis lainnya dalam mewujudkan standar dan kualifikasi yang lebih baik bagi
pelaut.

290
Di balik keunggulan-keunggulan proteksi dan kualifikasi yang disediakan
oleh MLC, perlu disadari pula dengan adanya kondisi carut-marut peraturan
perundang-undangan Indonesia sebelum diratifikasinya MLC 2006 yang
mengatur pelaut. Dari tidak sinkronnya pengaturan ketenagakerjaan pelaut
melalui PP Kepelautan dengan UU Ketenagakerjaan, tumpang tindih antar
peraturan teknis mengenai izin perusahaan keagaenan awak kapal hingga
pengaturan yang tidak semestinya diatur instansi tertentu justru diakomodir
instansi lain, serta pelaksanaan-pelaksanaan teknis perintah peraturan
perundang-undangan yang belum dilaksanakan pemerintah. Kondisi ini
memberikan kebingungan di dalam masyarakat sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi berbagai stake holder terutama pelaut. Hal ini
menunjukkan perlunya pembangunan hukum yang lebih baik berupa penataan
kembali peraturan perundang-undangan yang ada serta mempertajam
koordinasi yang lebih baik dari berbagai instansi pemerintah dalam mengatur
pelaut di kemudian hari.

Adapun solusi yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah adalah


mencabut PP Kepelautan saat ini dan membentuk PP Kepelautan yang baru
dengan muatan yang telah tersinkronisasi dan mengacu kepada PUU
Ketenagakerjaan serta MLC 2006 selaku hukum positif baru Indonesia,
mencabut PM 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak
Kapal yang semestinya bukan kewenangan Kementerian Perhubungan,
peraturan ini harus daitur di bawah kementerian ketenagakerjaan,
memberlakukan sistem satu pintu terhadap proses perizinan keagenan
rekrutmen dan penempatan pelaut di bawah kementerian ketenagakerjaan,
mengintegrasikan seluruh peraturan terkait kompetensi dan sertifikasi pelaut di
bawah kementerian perhubungan, membentuk peraturan bersama antar
kementerian terkait sektor yang melibatkan banyak kewenangan kementerian,
meningkatan kinerja syahbandar atau Port State Control dalam melakukan
investigasi, promosi, sosialisasi dan riset terhadap kebutuhan pelaut dan
fenomena-fenomena yang terjadi dalam industri perkapalan, penyediaan
fasilitas-fasilitas baru sesuai standar konvensi MLC 2006, memperketat

291
kualifikasi-kualifikasi bagi pelaut baik sebelum bekerja, saat bekerja dan
setelah bekerja sesuai ketentuan MLC 2006, membentuk pengaturan standar
pengupahan khusus bagi pelaut sesuai ketentuan PP Pengupahan serta
meningatkan koordinasi antara kementerian perhubungan, kementerian
ketenagakerjaan, BNP2TKI dan kementerian kelautan dan perikanan terhadap
pengaturan bagi pelaut. Dengan menerapkan hal-hal tersebut diharapkan dapat
terwujud perlindungan hukum bagi pelaut yang lebih baik di masa mendatang
sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaut yang berujung pada
kesejahteraan pelaut di Indonesia.

292
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

International Labour Office,Handbook Guidance on Implementing the


Maritime Labour Convention, 2006 Model National Provisions, Geneva, 2006.

Jennifer Lavelle (ed), The Maritime Labour Convention 2006


International Labour Law Redefined, Informa law from Routledge. New York,
First Published, 2014.

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers,


Jakarta, Cetakan ke IV, 2000.

Laura Carballo Piñeiro, International Maritime Labour Law, International


Max Planck Research School for Maritime Affairs at the University of Hamburg,
Springer, Verlag Berlin Heidelberg, 2015.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,


Rajawali Pers, Cetakan Ketiga, Oktober,2013.

Moira Lynne McConnell, et.al., The Maritime Labour Convention, 2006 A


Legal Primer to an Emerging International Rights, Martinus Nijhoff Publishers,
Boston, Leiden, 2011.

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, Edisi Revisi,


Cetakan Kedua, 2007.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat,


PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

William C. Burton, Legal Thesaurus, Second Edition, Macmillan


Publishing Company, New York, Maxwell Macmillan Canada, Toronto, Maxwell
Macmillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. 1992.

Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta,


1998.

xii
Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor


Indonesie) S.184-23

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 5256)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang


Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising The Seafarers’
Identity Documents Convention, 1958 (Konvensi Ilo No. 185 Mengenai Konvensi
Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958), (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia
Nomor 4800)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4279)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2016 Tentang


Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara RepubIik
Indonesia Nomor 5931)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang


Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4849)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia
Nomor 4356)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 Tentang


Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri,

xiii
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4445)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2000 tentang


Kepelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 3929)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang


Pengupahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2015 Nomor 237,
Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 5747)
Peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan Dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia Nomor PER-12/KA/IV/2013 Tentang Tata Cara Perekrutan,
Penempatan dan Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 70 Tahun 2013 Tentang
Pendidikan dan Pelatihan, Sertifikasi Serta Dinas Jaga Pelaut (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1089)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 8 Tahun 2013 Tentang
Pengukuran Kapal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 283)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 84 Tahun 2013 Tentang
Perekrutan Dan Penempatan Awak Kapal (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 1200)
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 39 Tahun
2016 Tentang Garis Muat Kapal Dan Pemuatan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 524)
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 78 Tahun
2013 Tentang Peta Jabatan Dan Uraian Jenis Kegiatan Organisasi Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1157)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013
Tentang Upah Minimum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
1239)

xiv
Dokumen Hukum International:

Maritime Labour Convention 2006 (23 Februari 2006)

Tulisan Hukum (Jurnal, artikel, thesis, skripsi, opini, diktat hukum):

Catharina Dewi Wulansari, Oratio Dies Pembangunan Hukum


Ketenagakerjaan Di Indonesia, Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan ke-47, Bandung, 2005.

Daniel Perwira, dkk, SMERU Kertas Kerja, Perlindungan Tenaga Kerja


Melalui Sistem Jaminan Sosial: Pengalaman Indonesia, Lembaga Penelitian
SMERU, Jakarta, 2003.

Elly Erawaty, Ke Mana Arah Hukum Ekonomi Indonesia? : Meninjau


Kembali Pemikiran Sunaryati Hartono tentang Hukum Ekonomi, Liber
Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono, tanpa tanggal.

F R Nasution, Bab II Asuransi Pada Umumnya, Universitas Sumatera


Utara Institutional Repository, 2013.
Ida Susanti, Diktat Hukum Ketenagakerjaan Fakutas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan Bandung, Pembahasan Nomor 26 Tentang Perlindungan
Upah, tidak ada tahun.

Ida Susanti, Sengketa Buruh Dan Majikan, Diktat Hukum


Ketenagakerjaan Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Slide 1-2, Tidak
ada tahun.

Johanis Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah kepulauan, MIMBAR


HUKUM, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011.
Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2014,
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2014.
Laurentius Benediktus Rachmatsaleh Sutrisno,dkk, Jenis Dan Kriteria
Fasilitas Kesejahteraan Untuk Pekerja/buruh Dalam Pasal 100 Undang-Undang

xv
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya, 2015.

Lloyd Cameron, The Maritime Labour Convention 2006: A Frozen


Revolution in the Realisation of Social Justice for Seafarers?, Faculty of Law
Lund University, Sweden, Spring 2013.

Marwan Arhas, Pemutusan Hubungan Kerja, Fakultas Hukum Universitas


Sumatera Utara, USU Digital Library, 2004.

MI Asnawi, Bab II Eksistensi Asas Cabotage Dalam Peraturan


Perundang-Undangan Pengangkutan Laut di Indonesia, Universitas Sumatera
Utara, 2012.
Nguyen Thanh Le, Approving Maritime Labour Convention 2006 in
Vietnam-the Duties and Challenges, International Journal of Humanities and
Management Sciences (IJHMS) Volume 1, Issue 1. Dalian University, China. 2013.
Rabiatul Syariah. Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan
Hukum Nasional. Jurnal Equality Vol 13 No. 1 Februari 2008.

Tim Pengajar PIH Fakutas Hukum UNPAR, Pengantar Ilmu Hukum.


Universitas Katolik Parahyangan, 2013.

Wicipto Setiadi, Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan


Supremasi Hukum, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional,
Volume 1 Nomor 1, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan
HAM RI, Cililitan, Jakarta Timur, 2012.

Kuliah Umum:

Ida Susanti, kuliah umum Hukum Ketenagakerjaan, Basic Wage and Fixed
Allowance of Workers, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 26
Oktober 2016, Pukul 11.00-12.50 WIB.

xvi
Sentosa Sembiring, kuliah umum Hukum Pengangkutan, Hukum
Pengangkutan Laut, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2016. Dikutip
pada tanggal 11/12/2016, pukul 07.40 WIB.

Website:

Akhmad Mabrori, Ironis, “Kapal Merah Putih” Pilih Pekerjakan Kru


Asing, ABK Lokal Hanya Kroco,
http://industri.bisnis.com/read/20150309/98/410026/ironis-kapal-merah-putih-
pilih-pekerjakan-kru-asing-abk-lokal-hanya-kroco

Anwar Iqbal, Indonesia Kekurangan 83.000 pelaut,


http://jurnalmaritim.com/2014/12/indonesia-kekurangan-83-000-pelaut/

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum


Nasional, http://bphn.go.id/data/documents/pphn_2014_bab_i_pendahuluan.pdf

Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia,


https://bardanawawi.wordpress.com/2009/12/24/38/

Biro Humas Kemnaker, MLC 2006 Disahkan DPR, 570.000 Pelaut


Indonesia Makin Terlindungi, http://kemnaker.go.id/berita/berita-kemnaker/mlc-
2006-disahkan-dpr-570000-pelaut-indonesia-makin-terlindungi

Dermaga SDM, Besaran Upah Minimum Pelaut Kapan Ditentukan?


http://beritatrans.com/2016/04/19/besaran-upah-minimum-pelaut-kapan
ditentukan/

HLWIKI International, Research Method,


http://hlwiki.slais.ubc.ca/index.php/Research_methods#Academic_library_researc
h
International Maritime Organization, IMO Profile, Overview,
https://business.un.org/en/entities/13

xvii
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id

Kantor Staf Presiden, Kementerian Sekretariat Negara RI, Indonesia


Sebagai Poros Maritim Dunia, http://www.presidenri.go.id/maritim/indonesia-
sebagai-poros-maritim-dunia.html.
Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia, Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
http://jdih.kemnaker.go.id/pengupahan.html

Kesatuan Pelaut Indonesia dan International Transport Workers’ Federation,


Kapal IndonesiaTarget Inspeksi PSC di
LNhttp://www.kpiunion.org/news.php?section=NEW&id=c399862d3b9d6b76c84
36e924a68c45b

Without author, Load Line,


http://www.gard.no/web/updates/content/20734108/load-lines INSIGHT 209

Nien Rafles Siregar, Perbedaan Kreditur Separatis dan Kreditur


Konkuren, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1998/perbedaan-antara-
kreditur separatis-dengan-kreditur-konkuren

Pengertian Perlindungan Hukum, (http://digilib.unila.ac.id),


http://digilib.unila.ac.id/6225/13/BAB%20II.pdf

Rob Almeida, Three Strikes and You’re Out: Australia Bans Another Ship
from PT. Meratus Line, http://gcaptain.com/three-strikes-youre-australia-bans-
another-ship-pt-meratus-line/

Umar Kasim, Struktur dan Skala Upah,


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6087/struktur-dan-skala-upah

xviii
UN-Business Action Hub, United Nations, IMO Profile Overview,
https://business.un.org/en/entities/13

LA, Pungutan Liar Terkait Medical Check Up di Rumah Sakit PHC


Pelabuhan, http://intelijenpost.com/berita-172-pungutan--liar--terkait--medical--
check--up--di-rs-phc--pelabuhan-.html

Penerbitan Sertifikat Pengawakan (Safe Manning Certificate),


http://hubla.dephub.go.id/pelayanan/Pages/Penerbitan-Sertifikat-Pengawakan-
(Safe-Manning-Certificate).aspx

xix

Anda mungkin juga menyukai