Anda di halaman 1dari 107

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS


DALAM RANGKA PENDAYAGUNAAN KESEMPATAN
KERJA DI KABUPATEN KARAWANG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana


(S-1) pada pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Singaperbangsa Karawang

Oleh :

NAMA : JOSHUA REINHARD

NPM : 1610631010104
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG


2020

MOTTO

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan

gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang

berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau

dan tidak akan meninggalkan engkau. - Ulangan 31:6”

i
HALAMAN PENGESAHAN

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN


2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS DALAM
RANGKA PENDAYAGUNAAN KESEMPATAN KERJA

DI KABUPATEN KARAWANG

SKRIPSI

Telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing Skripsi untuk


diajukan ke hadapan Tim Penguji dalam Ujian Sidang Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing
II

Dr. Imam Budi Santoso, SH., MH. Pamungkas Satya Putra, SH., MH.
NIDN.0424037702 NIDN.0005059001

Mengetahui
Dekan Koordinator Program Studi

Ir. Bastaman Syah, M.Si. H. Deni Nuryadi, S.H., M.H.


NIP.196205021989031027 NIDN. 041116001

ii
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN
2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS DALAM
RANGKA PENDAYAGUNAAN KESEMPATAN KERJA

DI KABUPATEN KARAWANG

SKRIPSI

Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Fakultas Hukum


Dalam Sidang Skripsi pada Tanggal , dan dinyatakan Lulus.

Tim Penguji :
1. :

2. :

3. :

Disahkan oleh Fakultas Hukum


Dekan

Ir. Bastamansyah, M.SI


NIP.196205021989031027

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya


bahwa isi atau materi Skripsi saya yang berjudul:

“IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016


TENTANG PENYANDANG DISABILITAS DALAM RANGKA
PENDAYAGUNAAN KESEMPATAN KERJA DI KABUPATEN
KARAWANG”

Seluruhnya merupakan tanggung jawab ilmiah dan tanggung jawab moral


saya. Demikian pernyataan ini saya buat untuk pertanggungjawabkan.

Bekasi, 20 Oktober 2020


Penulis

JOSHUA REINHARD
NPM.1610631010104

iv
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016
TENTANG PENYANDANG DISABILITAS DALAM RANGKA
PENDAYAGUNAAN KESEMPATAN KERJA DI
KABUPATEN KARAWANG

JOSHUA REINHARD
1610631010104

ABSTRAK

Setiap Penyandang Disabilitas di Indonesia berhak memperoleh


kesempatan dan perlakuan yang sama seperti yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, kususnya
dalam rangka kesempetan kerja. Ini berarti siapapun berhak mendapatkan
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan termasuk dari kalangan penyandang
disabilitas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu
pendekatan penelitian dengan cara meneliti dan mengkaji objek penelitian
melalui asas-asas hukum, perundang-undangan untuk mempertajam analisis
penelitian untuk dapat mengetahui latar belakang hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan Penyandang Disabilitas
dalam pendayagunaan kesempatan kerja.
Dari hasil penelitian penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
belum dapat terpenuhinya dari faktor hukum yaitu belum adanya Regulasi dan
Payung Hukum yang ditetapkan. Di Kabupaten Karawang, para penegak
hukum juga belum berperan dengan maksimal dikarenakan Dinas terkait
tersebut belum memiliki Unit layanan dan program yang terstruktur untuk
penyandang disabilitas dalam mendapatkan haknya dalam bekerja.
Kata Kunci : Penyandang Disabilitas, Kesempatan Kerja,
Ketenagakerjaan

v
KATA PENGANTAR

Puji Tuhan, berkat penyertaan Tuhan Yesus Kristus, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini merupakan tugas akhir

penulis untuk memenuhi sebahagian persyaratan guna mencapai Program

Strata 1 (S1) dengan judul “IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

DALAM RANGKA PENDAYAGUNAAN KESEMPATAN KERJA DI

KABUPATEN KARAWANG.”

Terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi Garam dan

Terang Dunia dan yang selalu menjadi sumber semangat bagi penulis. Tidak

lupa jasa, tenaga dan doa-doa dari pahlawan hidup penulis yaitu kedua orang

tua Horasman Simbolon (Bapak) dan Monaria Rospita Pasaribu (Ibu)

karenanya telah dengan sepenuh hati dan cintanya membesarkan dan

membimbing demi kesuksesan anak- anaknya terima kasih banyak. Serta team

support dan penyemangat hidup penulis yaitu saudara-saudara kandung

Zefanya Angelina, Agnes Theresia Magdalena, Samuel Mirakel yang tak

henti-henti memberikan semangat yang menjadi pemicu penulis

menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih yang sangat dihaturkan kepada Dosen Pembimbing I

Bapak Dr. Imam Budi Santoso, S.H., M.H. dan Dosen Pembimbing II Bapak

Pamungkas Satya Putra, SH., MH. karena atas bimbingannya segala urusan

vi
untuk memperlancar penulisan skripsi sampai skripsi ini rampung sampai

sidang skripsi selesai dan meraih gelar Sarjana.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak

terima kasih yang setinggi-tingginya dan tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Sri Mulyani, AK., CA., selaku Rektor

Universitas Singaperbangsa Karawang;

2. Ir. Bastamansyah, M.Si., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Singaperbangsa Karawang;

3. Dr. Imam Budi Santoso, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan 1 Fakultas

Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang;

4. Grasia Kurniati, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan 2 Fakultas Hukum

Universitas Singaperbangsa Karawang;

5. H. Deni Nuryadi, S.H., M.H., selaku Koordinator Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang;

6. Para dosen penguji sidang proposal, sidang komprehensif dan

sidang skripsi dalam rangkaian sidang mencapai gelar Strata 1

(S1);

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa

Karawang yang telah banyak memberikan ilmu baik secara teori

maupun praktik kepada penulis selama di bangku kuliah;

8. Para Tata Usha Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa

vii
Karawang yang telah banyak membantu penulis dalam jalannya

perkuliahan;

9. Bapak Andreas Kusderi, S.SOS, M.Pd. selaku Narasumber di dalam

memberikan data sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

10. Rekan sekaligus sahabat penulis yang banyak memberikan sumbangsih

menelan pahit manis kehidupan selama kuliah di Fakultas Hukum

Universitas Singaperbangsa karawang yaitu Adam, Adit, Samuel, Zio,

Lady, Nola, Kiran, Risquita, Oppie;

11. Kepada Haneen Seeman yang berada di Israel, penulis sangat

berterimakasih karena selalu mendukung saya dalam kondisi apapun;

12. Kepada teman-teman Gereja Gpi Kota Pujian yang senantiasa

memberikan dorongan dan support bagi penulis;

13. Saudara-saudara penulis selama KKN di Desa Sukamaju, Purwakarta

yang menambah pengetahuan penulis mengenai bahasa Sunda dan

memberikan banyak pelajaran bagi penulis selama kuliah di

Universitas Singaperbangsa Karawang yang akan menjadi memori

pengalaman penulis semasa kuliah;

14. Kepada Ribka Simaremare yang selalu menanyakan kapan kerjain

skripsinya;

15. Kepada PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) yang telah menjadi

saudara dan rekan pelayanan bagi penulis di Kampus;

viii
16. Kepada orang-orang yang menanyakan kapan lulusnya dan kapan

wisudanya kepada penulis;

Semua orang-orang yang tidak penulis sebutkan satu persatu namun atas jasa

dan bantuannya dapat membantu meringankan beban penulis selama kuliah 4 tahun

ini dan menyelesaikan skripsi ini. Karena jika tanpa bantuan dari orang-orang

tersebut maka penulis pasti akan mendapat kendala yang berarti. Rasa syukur ini

terus mengalir untuk sekeliling penulis karena mereka semua mensupport tanpa

henti dan tanpa kata pamrih maupun lelah. Suatu penghargaan yang sangat tinggi

dan tidak dapat dibalas dengan materil dan apapun di dunia ini.

Semoga Tuhan Yesus senantiasa berkenan membalas kebaikan yang telah

diberikan dengan balasan yang setimpal. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi

ini masih banyak kekurangan, karenanya penulis sangat mengharapkan saran

maupun kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Tidak lupa penulis

mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata atau kalimat. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bekasi, 20 Oktober 2020


Penulis

JOSHUA REINHARD
NPM.1610631010104

ix
DAFTAR ISI

SKRIPSI........................................................................................................................ii
MOTTO.........................................................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................iii
SKRIPSI....................................................................................................................iv
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................................v
ABSTRAK...................................................................................................................vi
KATA PENGANTAR..................................................................................................vii
DAFTAR ISI.................................................................................................................xi
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................7
C. Tujuan Penelitian................................................................................................7
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................8
1. Manfaat Teoritis..............................................................................................8
2. Manfaat praktis...............................................................................................8
E. Kerangka Pemikiran...........................................................................................8
F. Metode Penelitian.............................................................................................11
1. Jenis dan Metode Penelitian..........................................................................11
2. Sumber Data..................................................................................................13
3. Teknik Pengumpulan Data............................................................................14
4. Metode Analisis Data....................................................................................14
G. Lokasi Penelitian...........................................................................................15
BAB II.........................................................................................................................16
TINJAUAN TEORITIS DAN YURIDIS HUKUM KETENAGAKERJAAN BAGI
PENYANDANG DISABILITAS.................................................................................16
A. Ketenagakerjaan Pada Umumnya.................................................................16

x
1. Pengertian Tenaga Kerja...............................................................................16
2. Hakikat Hukum Ketenagakerjaan.................................................................18
3. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja................................................................19
4. Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja.....................................................27
B. Penyandang Disabilitas.....................................................................................29
1. Pengertian Penyandang Disabilitas...............................................................29
2. Penyandang Hak-Hak Disabilitas.................................................................34
C. Tugas dan Tanggungjawab Pemerintah............................................................41
BAB III........................................................................................................................50
GAMBARAN UMUM IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM MENDAPATKAN
PEKERJAAN..............................................................................................................50
A. Hak Asasi Manusia.......................................................................................51
1. Pengertian Hak Asasi Manusia.....................................................................51
2. Hak Asasi Manusia Bagi Penyandang Disabilitas........................................57
B. Hak Penyandang Disabilitas Dalam Memperoleh dan Meningkatkan
Kesempatan Kerja....................................................................................................60
C. Hak Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Dalam meningkatkan Kerja..........61
D. Reward bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas......64
BAB IV........................................................................................................................67
PEMBAHASAN..........................................................................................................67
A. Faktor yang mempengaruhi perusahaan di Kabupaten Karawang
mengabaikan peraturan pemerintahan.....................................................................67
B. Akibat apabila perusahaan tidak mematuhi peraturan tenaga kerja disabilitas di
Kabupaten Karawang...............................................................................................80
C. Cara pemerintah dalam menangani perusahaan yang mengabaikan tenaga kerja
disabilitas.................................................................................................................84
BAB V.........................................................................................................................89
PENUTUP...................................................................................................................89
A. Simpulan.......................................................................................................89
B. Saran.................................................................................................................90

xi
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................92
LAMPIRAN................................................................................................................96
A. Hasil wawancara dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Karawang.................................................................................................................96

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pemerintah merupakan instrumen penting dalam mewujudkan tujuan

bernegara diantaranya mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan bangsa,

tujuan tersebut sejatinya dapat terwujud apabila pondasi bernegara dapat dijaga

dan dijalankan dengan baik, sesuai yang telah diatur oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia. Pemerintah mengatur jalannya proses

berkehidupan sesuai dengan amanat konstitusi yang ada tanpa membeda-

bedakan hak-hak warga negara yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut

berimplikasi pada kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar

dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu,

perlu perencanaan matang di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan

kewajiban negara tersebut.

1
1

Setiap tenaga kerja di Indonesia berhak memperoleh kesempatan dan perlakuan yang

sama seperti yang tertuang dalam Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyatakan “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama

tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” 1Ini berarti siapapun berhak

mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan termasuk dari kalangan

penyandang disabilitas

Suatu kebijakan akan dipahami benar, bahwa bukan persoalan yang

mudah untuk melahirkan satu kebijakan bahkan untuk kebijakan pada tingkatan

lokal, apalagi kebijakan yang memiliki cakupan serta pengaruh luas,

menyangkut kelompok sasaran serta daerah atau wilayah yang besar. Persoalan

pada tatanan implementasi pun sama terjadi, bahkan menjadi lebih rumit lagi

karena dalam melaksanakan satu kebijakan selalu terkait dengan kelompok

sasaran dan birokrat itu sendiri, dengan kompleksitasnya masing-masing. Tidak

saja dalam proses implementasi, dalam realitas ditemukan juga walaupun

kebijakan dengan tujuan yang jelas telah dikeluarkan tetapi mengalami

Hambatan dalam implementasi (tidak atau belum dapat diimplementasikan)

karena dihadapkan dengan berbagai kesulitan atau Hambatan. Pelaksanaan

kebijakan yang sama pun ditemukan dalam merealisasikan hak-hak.

Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada

diri manusia bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan,

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2

sehingga Pelindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan,

khususnya Penyandang Disabilitas. Penghormatan, Pelindungan, dan

Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas merupakan kewajiban negara.

Salah satu upaya untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan

bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan

tanpa diskriminasi diperlukan peraturan perundang undangan yang dapat

menjamin pelaksanaannya, ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat mempunyai tanggung

jawab untuk menghormati hak Penyandang Disabilitas. Penyandang Disabilitas

selama ini mengalami banyak Diskriminasi yang berakibat belum terpenuhinya

pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Penyandang Disabilitas adalah

setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau

sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan

dapat mengalami Hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan

efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.2 Perlu

diketahui bahwa penyandang disabilitas itu mempunyai hak pekerjaan,

kewirausahaan, dan koperasi.

Salah satu hak penyandang disabilitas adalah hak mendapatkan

pekerjaan, pemerintah telah membuat peraturan tentang hak tenaga kerja


2
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
3

3
penyandang disabilitas yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang

penyandang disabilitas bahwa: (1). Didasarkan pada hak (human right); (2).

Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan

penyandang disabilitas 2 % dari total pegawai; (3). Swasta wajib

mempekerjakan penyandang disabilitas 1 % dari total pegawai; (4). Terdapat

insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas. Dalam

hal penyandang disabilitas ingin bekerja mandiri, Undang-Undang nomor 8

Tahun 2016 mengatur bahwa: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

memberikan jaminan, perlindungan dan pendampingan kepada penyandang

disabilitas untuk berwirausaha dan mendirikan badan usaha sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Unsur lain yang mempunyai kewajiban dalam pemenuhan hak-hak

Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang yakni Pemerintah pusat,

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/kota, lembaga-lembaga

masyarakat, perusahaan swasta dan kelompok-kelompok masyarakat, dalam

bentuk kerjasama dan kemitraan guna mencapai tujuan pemenuhan hak-hak

Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang. Namun dalam realisasinya

masih ditemukan beberapa permasalahan seperti pada sektor pemberdayaan

penyandang disabilitas, isu disabilitas sangat jarang untuk menjadi pembahasan

3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Konsideran
Menimbang dan Konsideran Mengingat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
4

di setiap lini penghidupan, penyandang disabilitas hanya dipandang melalui

sudut pandang proyek bantuan dan pemberian jaminan bukan pada

pemberdayaan potensi-potensi yang dimilikinya, hal ini yang menyebabkan

penyandang disabilitas sangat tergantung pada orang lain.

Jumlah Penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang sebanyak 2.939

jiwa (Data Dinas Sosial Kabupaten Karawang, Tahun 2020) mayoritas

menggantungkan hidupnya dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak

seperti fenomena pengemis eks-kusta dan penjual kaki lima yang tunanetra,

mata pencaharian tersebut bahkan hanya menambah masalah sosial dan

permasalahan terhadap penyandang disabilitas tersebut.

Minimnya tingkat penyerapan kerja bagi penyandang disabilitas

merupakan salah satu bukti kurangnya perhatian baik dari pemerintah maupun

kalangan pengusaha untuk memperkerjakan tenaga kerja penyandang

disabilitas. Jumlah Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang berjumlah

2.939 Jiwa.4 Hanya sebagian kecil saja yang mendapatkan kesempatan kerja di

perusahaan. Masalah pelaksanaan pemberian kesempatan kerja bagi

penyandang disabilitas merupakan persoalan yang kompleks serta

membutuhkan perhatian dan partisipasi secara menyeluruh, khususnya bagi

pemerintah ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.

Salah satu contoh kasus yang terjadi di PT Chang Shin, Klari Kabupaten

Karawang yaitu pengusaha mengabaikan peraturan pemerintah yang telah

4
Data Rekapitulasi PMKS di Kabupaten Karawang.
5

dibuat enggan merekrut pekerja yang berkebutuhan khusus padahal dalam

aturan pemerintah, sudah jelas, setiap perusahaan swasta wajib mempekerjakan

penyandang disabilitas 1 persen dari total pegawainya. Kasus tersebut

merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah tentang perlindungan

penyandang disabilitas.

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di

Kabupaten Karawang tersebut mencerminkan belum terlaksananya Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Surat Edaran Menteri

Nomor 01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang

Disabilitas di Perusahaan secara optimal, khususnya berkaitan dengan hak

memperoleh kesempatan kerja di perusahaan bagi penyandang disabilitas.

Tindakan hukum dalam hukum publik dapat dilakukan dengan memberikan

sanksi pidana dan sanksi administratif, sedangkan tindakan hukum dalam

hukum privat dengan meminta ganti rugi terhadap perusahaan yang tidak

mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerja

berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Penyandang Disabilitas.

Realitas ini menunjukkan bahwa ada persoalan hukum yang menarik

untuk dikaji yaitu mengenai pelaksaan pemberian kesempatan kerja bagi

penyandang disabilitas tidak berjalan atau tidak ada tindakan nyata dari pihak–

pihak terkait sesuai dengan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Keadaan ini menunjukkan bentuk inkonsistensi


6

pemerintah dalam melindungan hak–hak asasi seluruh masyarakatnya dengan

konsep rule of law yang dianut oleh negara kita, dimana pemerintahan

diselenggarakan berdasarkan hukum tetapi pemerintah sendiri tidak taat pada

hukum atau aturan yang dibuatnya. Melihat kondisi tersebut, maka penelitian

ini bermaksud untuk menguraikan secara komprehensif tentang pelaksaan

pemberian kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas netra di daerah

Kabupaten Karawang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis dapat merumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Faktor apa yang mempengaruhi perusahaan di Kabupaten Karawang tidak

menerapkan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas di Kabupaten

Karawang?

2. Akibat Hukum apabila perusahaan tidak mematuhi peraturan tenaga kerja

disabilitas di Kabupaten Karawang?

3. Bagaimana peran pemerintah dalam menangani perusahaan yang

mengabaikan tenaga kerja disabilitas?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
7

1. Untuk dapat memahami faktor apa saja yang membuat perusahaan tidak

mempekerjakan disabilitas

2. Untuk memahami akibat hukum jika melanggar peraturan pemerintah

tentang tenaga kerja disabilitas

3. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam menangani perusahaan yang

mengabaikan tenaga kerja disabilitas

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu Selain itu

penelitian ini juga dapat menjadi referensi tambahan bagi kepentingan

yang bersifat akademis maupun bagi tambahan wawasan untuk kebutuhan

kepustakaan khususnya berkaitan dengan hak tenaga kerja disabilitas

2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

kepada pemerintah/ dinas yang ada di Karawang untuk menangani terkait

ketenagakerjaan terhadap penyandang disabilitas.

E. Kerangka Pemikiran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan

dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas

merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa

Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau


8

ketidakmampuan.5

Menurut World Health Organization (WHO), Penyandang Disabilitas

adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis

maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis.6

Menurut Pakar John C. Maxwell, Penyandang Disabilitas adalah yang

mempunyai kelainan fisik dan mental yang dapat menggangu atau merupakan

suatu rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara layak

atau normal.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016

Tentang Penyandang Disabilitas Pasal 1 Angka 1 yaitu, Penyandang

Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,

intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam

berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami Hambatan dan kesulitan

untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya

berdasarkan kesamaan hak.7

Dan Hak-Hak penyandang Disabilitas juga diatur dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan

Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai

Hak-Hak Penyandang Disabilitas), dikatakan dalam isi pokok-pokok

konvensi Hak-hak penyandang disabilitas setiap penyandang disabilitas


5
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa ,Edisi Keempat, Departemen Pendidikan Nasional:
Gramedia, Jakarta, 2008.
6
WHO.int / World Health Organization
7
Ibid., hlm. 2
9

harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,

merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan

perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan

penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan

dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan

perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam

keadaan darurat. 8

Artinya penyandang disabilitas sama seperti layaknya manusia pada

umumnya bahwa umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang

Maha Esa dan umat manusia, dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang

sama dalam mendapatkan hidup, dan mendapatkan pekerjaan tanpa adanya

Diskriminasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikatakan, Setiap tenaga

kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh

pekerjaan. 9

Selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang

Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah

Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib

mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari

jumlah pegawai atau pekerja. (2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan


8
Pokok-pokok isi konvensi Nomor 4 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Convetion On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas).
9
Ibid., hlm. 1
10

paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai

atau pekerja.10

F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka peneliti

memprgunakan beberapa metode sebagai berikut :

1. Jenis dan Metode Penelitian


Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang

ada dalam skripsi ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif (normative

legal resealiterch).11 Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian hukum

kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau

data sekunder.12 Penelitian tersebut difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-

kaidah atau norma-norma dalam hukum positif khususnya aksesibilitas

perlindungan hukum bagi tenaga kerja di Kabupaten Karawang. Sifat penelitian

yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan

untuk memberikan gambaran atau penjelasan13 secara konkret tentang keadaan

objek atau masalah yang diteliti tanpa mengambil kesimpulan secara umum. 14

Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang

mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan, peraturan


10
Pasal 53 Angka (1) dan Ayat (2) UU tentang Penyandang Disabilitas.
11
Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 56.
12
Soerjono Soekanto, et al., Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2011,hlm. 13.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hlm. 10.
14
Soerjono Soekanto, et al., Op.cit., hlm. 12.
11

perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan

dengan materi penelitian.15 Teknik pengumpulan data penelitian hukum ini adalah

melalui studi kepustakaan. Penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara

dengan beberapa narasumber yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Hasil

wawancara merupakan data tambahan dalam penelitian yuridis normatif ini. 16

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis

kualitatif.17

a. Studi Pustaka (Library Research)

Metode pustaka ini yang sering dilakukan adalah dengan melakukan

pengumpulan data yang berasal dari sumber-sumber buku, literatur

maupun dokumen-dokumen resmi lainnya yang masih mempunyai

keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Metode ini banyak dilakukan dengan mengadakan langsung di

lapangan atau lokasi yang dipergunakan untuk mengumpulkan data-data

yang sifatnya nyata dengan cara mengadakan pengamatan langsung

terhadap objek yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang

diteliti. Hal ini dilakukan dengan mengadakan komunikasi langsung

maupun tidak langsung melalui data primer, sekunder maupun tersier.

15
Ibid., hlm. 13.
16
Fajlurrahman Jurdi, Logika Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 187.
17
Hadjon, Philipus M., et al., Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2016,
hlm. 30.
12

c. Wawancara (Interview)

Dalam pembuatan proposal skripsi ini, metode pengumpulan data

dengan cara menjalin hubungan (interaksi) baik langsung maupun tidak

langsung dengan beberapa pihak yang terkait dalam suatu perkara,

khususnya dalam hal peninjauan hukum pidana pada kasus perusahaan

yang tidak menjadikan penyandang disabilitas untuk bekerja padahal

sudah di atur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2016.

2. Sumber Data
Data merupakan hal yang paling penting dalam suatu penelitian, karena

dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi

aturan-aturan yang bersifat normatif. 4 Data yang diperoleh dan diolah dalam

penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal dari sumber

kepustakaan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier

dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu dari data bahan hukum primer,

sekunder dan tersier.

a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan hukum mengkikat,18 terdiri dari Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia 1945, dan perundang-undangan lainnya.

18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2007,
hlm. 52.
13

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer19, antara lain buku-buku literatur

ilmu hukum, karya ilmiah dari kalangan hukum, serta bahan

lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

misalnya kamus, seminar, internet, lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara studi

dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini. Perpustakaan dan melakukan

identifikasi data. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara

induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang

ditelaah penelitian skripsi ini akan dapat dijawab.

4. Metode Analisis Data


Data yang diperoleh dikelompokan menurut permasalahan yang selanjutnya

dilakukan analisis secara kualitatif.Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa

analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data

yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat serta pada analisis

kualitatif memiliki pola-pola, dimana pola-pola tersebut dianalisis lagi dengan

menggunakan teori obyektif seperti melalui pengamatan, studi kasus maupun

19
Ibid., hlm 52.
14

pedoman wawancara (Interview Guide)20.Pendekatan yuridis normatif artinya data

penelitian dianalisis menurut norma-norma hukum tertentu dalam peraturan

perundang-undangan, yang kemudian dimasukan dalam pembahasan skripsi.

G. Lokasi Penelitian

20
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hlm. 21.
Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian

tersebut akan dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis

mengambil lokasi di Kabupaten Karawang tepatnya di Dinas ketenagakerjaan,

dan akan menganalisis beberapa perusahaan di Karawang agar mengetahui

sejauh mana pengimplementasian Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 tentang

pendayagunaan tentang disabilitas di KarawangBAB II

TINJAUAN TEORITIS DAN YURIDIS HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAGI PENYANDANG DISABILITAS

A. Ketenagakerjaan Pada Umumnya

1. Pengertian Tenaga Kerja


Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan

dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. teMenurut

Imam Sopomo, perburuhan atau ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan, baik

tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian saat seseorang bekerja

pada orang lain dengan menerima upah.21 Hukum ketenagakerjaan jika dipelajari

lebih jauh cakupannya cukup luas. Hukum ketenagakerjaan bukan hanya mengatur

hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam pelaksanaan hubungan kerja

tetapi juga termasuk seorang yang akan mencari kerja melalui proses yang benar

21
http://tesishukum.com/pengertian-hukum-ketenagakerjaan-menurut-para-ahli/ Diunduh pada
tanggal 20 Oktober 2020
2

ataupun lembaga-lembaga pelaksana yang terkait, serta menyangkut pekerja yang

purna atau selesai bekerja.

Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Pengertian tenaga kerja dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut telah

menyempurnakan pengertian tentang tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan. 22

Menurut Dr. Payaman Simanjuntak, pengertian tenaga kerja disini mencakup

tenaga kerja/buruh yang sedang tertkait dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja

yang belum bekerja, sedangkan pengertian dari pekerja/buruh adalah setiap orang

yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata

lain, pekerja/buruh adalah tenaga kerja yang sedang dalam ikatan hubungan kerja.23

Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok,

yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Menurut Dumairy yang tergolong sebagai

tenaga kerja adalah penduduk yang mempunyai umur didalam batas usia kerja.

Tujuan dari pemilihan batas umur tersebut, supaya definisi yang diberikan sedapat

mungkin menggambarkan kenyataan yang sebenarnya, setiap negara memilih batas

22
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2016, hlm. 27.
23
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 12-13.
3

umur yang berbeda karena situasi tenaga kerja yang pada masing-masing negara juga

berbeda, sehingga batasan usia kerja antar negara menjadi tidak sama. Di Indonesia

batas umur minimal untuk tenaga kerja yaitu 15 (lima belas) tahun tanpa batas

maksimal.24

2. Hakikat Hukum Ketenagakerjaan


Hakikat hukum ketenagakerjaan adalah melindungi pekerja dari tindakan

sewenang-wenang pihak pengusaha.Secara yuridis, kedudukan pekerja dan

pengusaha itu sama.Tenaga kerja memiliki kebebasan yang dilindungi oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku, artinya tenaga kerja memiliki kedudukan yang

sama di depan hukum dengan majikan. Namun secara sosial ekonomi, kedudukan

buruh tersubordinasi oleh majikan, artinya majikan memiliki kewenangan untuk

memerintah buruh dalam hubungan kerja.25

Dengan demikian, kedudukan pengusaha lebih dominan daripada pekerja atau

buruh, tetapi bukan berarti pengusaha bebas memperlakukan pekerja sebagaimana

melakukan perbudakan dan memeras tenaganya tanpa mengikuti peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Maka, tujuan pokok hukum ketenagakerjaan

adalah melaksanakan keadilan sosial dalam ketenagakerjaan dengan melindungi

24
Ibid,
25
R.Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm.67.
4

pekerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak pengusaha agar bertindak

sesuai dengan kemanusiaan.Pekerja dan pengusaha diberi kebebasan untuk

mengadakan perjanjian kerja, tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan

pemerintah yang bermaksud untuk memberikan perlindungan terhadap buruh.

3. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja


Dengan adanya perjanjian kerja secara otomatis telah terjadi hubungan kerja

antara pekerja dan pengusaha yang melahirkan hak dan kewajiban dari kedua belah

pihak, Hubungan kerja sendiri dapat diartikan suatu hubungan hukum yang dilakukan

oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan.26 Menurut Hartono

Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan

tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang

memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah


27
disepakati. Hak dan Kewajiban para tenaga kerja didalam ruang lingkup Undang–

Undang Nomor 13 Tahun 2003 terdiri dari:

a. Hak tenaga kerja

1) Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

2) Pasal 6 Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa

diskriminasi dari pengusaha.


26
Astri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
hlm. 36.
27
Hartono Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta,
1992, hlm. 10.
5

3) Pasal 11 Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau

meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan

bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.

4) Pasal 12 Ayat (3) Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk

mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

5) Pasal 18 Ayat (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi

kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga

pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan

ditempat kerja.

6) Pasal 23 Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak

atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga

sertifikasi.

7) Pasal 31 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama

untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh

penghasilan yang layak didalam atau diluar negeri.

8) Pasal 67 Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat

wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat

kecacatannya.

9) Pasal 78 Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu

kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1) wajib membayar upah
6

kerja lembur. 10) Pasal 79 Ayat (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat

dan cuti kepada pekerja.

11) Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya

kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

12) Pasal 82 Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selam 1,5 (satu

setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (Satu setengah)

bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

13) Pasal 84 Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 80 dan

Pasal 82 berhak mendapatkan upah penuh.

14) Pasal 85 Ayat (1) Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.

15) Pasal 86 Ayat (1) Setiap pekerja mempunyai Hak untuk memperoleh

perlindungan atas: Keselamatan dan kesehatan kerja, Moral dan kesusilaan

dan, Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-

nilai agama.

16) Pasal 88 Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

17) Pasal 90 Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah

minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.


7

18) Pasal 99 Ayat (1) Setiap pekerja dan keluarganya berHak untuk

memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.

19) Pasal 104 Ayat (1) Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota

serikat pekerja.

20) Pasal 137 Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja

dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

21) Pasal 156 Ayat (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,

pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan uang penghargaan masa

kerja serta uang pengganti hak yang seharusnya diterima.

Selain diataur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Hak pekerja/Buruh

juga terdapat dalam Pasal 29 Ayat (3) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan

Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang SyaratSyarat Penyerahan Sebagian

Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Hak dan kewajiban pekerja/buruh

yaitu sebagai berikut:

a. Hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;

b. Hak atas jaminan sosial;

c. Hak atas tunjangan hari raya;

d. Hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;


8

e. Hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja

waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan pekerja

f. Hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi

masa kerja yang telah dilalui; dan

g. Hak-hak lain yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-

undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

Adapun Kewajiban Tenaga kerja menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003

tentang ketenagakerjaan sebagai berikut :

a. Pasal 102 Ayat (2) Dalam melaksanakan Hubungan Industrial,

pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan

pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi

kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi,

mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut

memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan

anggota beserta keluarganya.

b. Pasal 126 Ayat (1) Pengusaha, Serikat Pekerja dan Pekerja wajib

melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

Pengusaha dan serikat pekerja wajib memberitahukan isi perjanjian

kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja.


9

c. Pasal 136 Ayat (1) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat

pekerja secara musyawarah untuk mufakat.

d. Pasal 140 Ayat (1) Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (Tujuh)

hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat

pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha

dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan

setempat.

e. Hak dan Kewajiban Perusahaan/Pemberi Kerja

1) Hak Perusahaan

a) Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja. (Pasal 22).

b) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota

organisasi pengusaha. (Pasal 105 Ayat (1))

c) Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh

pengusaha. (Pasal 111 Ayat (1))

2) Kewajiban perusahaan

a) Mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib

memberikan perlindungan sesuai dengan garis dan derajat

kecacatan nya. (Pasal 67 Ayat (1))


10

b) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan

antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :

· Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

· Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan

perempuan. (Pasal 76 Ayat (3))

c) Pengusaha wajib memberikan/ menyediakan angkutan antar

Jemput Bagi Pekerja /Buruh Perempuan yang berangkat dan

pulang pekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00 (Pasal 76 Ayat

(4))

d) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

(Pasal 77 ayat (1) s.d (4)

e) Pengusaha wajib Memberi Waktu Istirahat Dan Cuti Kepada

Pekerja/Buruh (Pasal 79)

f) Pengusaha Wajib memberikan Kesempatan Secukupnya

Kepada Pekerja Untuk Melaksanakan Ibadah yang diwajibkan

Oleh Agamanya (Pasal 80)

g) Pengusaha yang Memperkerjakan Pekerja/Buruh yang

melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagai mana di

maksud pada ayat (2) Wajib membayar Upah kerja lembur (Pasal

85 (3))
11

h) Pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut

peraturan Perundang-Undangan yang berlaku (Pasal 91)

i) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang

pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama

bipartit. (Pasal 106 Ayat (1))

j) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh

sekurangkurang nya 10 (Sepuluh orang wajib membuat peraturan

perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh mentri atau

pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 (1))

k) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat

pekerja/serikat buruh di perusahaan meng hendaki perundingan

pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib

melayani (Pasal 111 Ayat (4))

l) Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta

memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya

kepada pekerja/buruh. (Pasal 114)

m)Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada

pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurang nya 7 (tujuh)

hari kerja (Pasal 148)


12

n) Dalam Hal terjadi pemutusan Kerja pengusah di wajib kan

membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja

dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156

Ayat (1))

o) Dalam hal pekerja /buruh di tahan pihak yang berwajib

karena di duga melakukan tindak pidana bukan bukan atas

pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib memberikan

bantuan kepada keluarga pekerja, buruh yang menjadi

tanggungannya. (Pasal 160 Ayat (1))

p) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja, buruh yang

mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana di maksud

pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1(satu)

kali ketentuan (Pasal 156 Ayat (4)).

4. Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja


Perlindungan hukum bagi tenaga kerja merupakan perwujudan dari usaha

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi,

dasar filosofi yang ditetapkan oleh pembuat Undang- Undang Ketenagakerjaan,

ternyata tidak konsisten. Hal ini tampak dalam konsideran huruf d Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, yaitu perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk

menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dan menjamin kesamaan, kesempatan,

serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan


13

kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan

perkembangan kemajuan dunia usaha.

Menyadari pentingnya pekerja bagi perusahaan, maka perusahaan diwajibkan

memberikan perlindungan/jaminan terhadap hak-hak pekerja/buruh. Masalah

perlindungan kerja merupakan masalah yang sangat komplek karena berkaitan

dengan kesehatan kerja, keselamatan kerja, upah, kesejahteraan, dan jamsostek.

Perlindungan kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.Perlindungan terhadap pekerja/buruh menurut Zaeni Asyhadie yaitu:

“Dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan tuntunan, santunan, maupun

dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan

sosial ekonomi melalui norma yang berlaku dalam perusahaan”.28

Perlindungan tenaga kerja bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem

hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat

kepada pihak yang lemah. Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan perlindungan

tersebut sesuai peraturan Perundang-Undangan yang berlaku secara teoritis ada tiga

jenis perlindungan kerja yaitu :

a. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha

kemasyarakatan, yang memnungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan

mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya,

28
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 78.
14

dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga

Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja.

b. Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya

kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang

dikerjakan Perlindungan ini disebut juga sebagai keselamatan kerja.

c. Perlindungan ekonomis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan

yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan

keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja

karena suatu di luar kehendaknya Perlindungan jenis ini biasanya disebut

dengan jaminan sosial.29

B. Penyandang Disabilitas

1. Pengertian Penyandang Disabilitas


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang

yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas yang berarti cacat atau

ketidakmampuan. 30

Istilah disabilitas berasal dari bahasa inggris dengan asal kata different ability,

yang bermakna manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah tersebut

29
R Joni Bambang, Op.cit, hlm.265
30
Kamus Besar Bahasa Indonesia.2008.Edisi Ke empat.Jakarta
15

digunakan sebagai pengganti istilah penyandang cacat yang mempunyai nilai rasa

negatif dan terkesan diskriminatif. Istilah disabilitas didasarkan pada realita bahwa

setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah

perbedaan bukan kecacatan maupun keabnormalan31. Menurut pendapat ahli

John C. Maxwell, penyandang disabilitas merupakan seseorang

yang mempunyai kelainan dan/atau yang dapat mengganggu

aktivitas.32

Menurut Goffman sebagaimana dikemukakan oleh Johnson,

mengungkapkan bahwa masalah sosial utama yang dihadapi

penyandang cacat “disabilitas” adalah bahwa mereka abnormal

dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain

tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya.

Lingkungan sekitar telah memberikan stigma kepada

penyandang cacat, bahwa mereka dipandang tidak mampu dalam

segala hal merupakan penyebab dari berbagai masalah. Dalam

keadaan yang serba terbatas dan asumsi negatif dari orang lain,

ada sebagian dari mereka yang terus berusaha untuk tidak selalu

bergantung pada orang lain.33


31
Sugi Rahayu,Utami Dewi dan Marita Ahdiyana.2013.Pelayanan Publik Bidang Transportasi Bagi
Difabel Di Daerah Istimewa Yogyakarta.Yogyakarta.Hal 110
32
Sugiono, IlHak Asasi Manusiauddin, dan Arief Rahmawan, ‘Klasterisasi Mahasiswa Difabel
Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance‟ (2014) 1 Indonesia Journal
of Disability Studies 20, 21
33
Rosalyn Benjamin Darling, 2013, Disability and Identity : Negotiating self in a Changing Society,
USA, Lynne Rienner Publishers, hlm. 2
16

IG.A.K Wardani anak berkebutuhan khusus adalah anak yang

mempunyai sesuatu yang luar biasa yang secara signifikan

memebedakan nya dengan anak-anak seusia pada umumnya.

Keluarbiasaaan yang dimiliki anak tersebut dapat merupakan

sesuatu yang keluarbiasaan yang dimiliki anak tersebut dapat

merupakan sesuatu yang positif, dapat pula yang negatif.34

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 dalam

Pasal 1 angka 1 Tentang Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami

keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama

yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami Hambatan dan

kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya

berdasarkan kesamaan hak35

Penyandang disabilitas di Indonesia dahulu disebut juga dengan penyandang

cacat, namun dengan digantinya UU No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat

dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, maka diubah

penyebutannya menjadi penyandang disabilitas. Beberapa jenis atau ragam

penyandang disabilitas adalah:

a. . Disabilitas fisik yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain

amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP),

akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.


34
Igak Wardani, Pengantar pendidikan luar biasa, Jakarta, 2008 : Universitas Terbuka.
35
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 1
17

b. Disabilitas intelektual yaitu terganggunya fungsi pikir karena tingkat

kecerdasan dibawah rata-rata antara lain, lambat belajar, disabilitas

grahita, dan down syndrome.

c. Disabilitas mental yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku

antara lain :

a. Psikososial seperti bipolar, depresi, dan gangguan kepribadian.

b. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan

interaksi sosial seperti autis dan hiperaktif.

d. Disabilitas sensorik yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca

indera seperti disabilitas netra (tunanetra), disabilitas runggu

(tunarunggu), dan/atau disabilitas wicara (tunawicara atau bisu).

e. Selain itu ada yang disebut disabilitas ganda atau multi yaitu

penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam

disabilitas seperti disabilitas rungu dan tuli.36

Dengan demikian disabilitas ada yang bersifat fisik dan ada yang mentalnya

terganggu, bahkan bisa pula gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Kondisi

penyandang disabilitas tersebut ada yang hanya sedikit berdampak pada kemampuan

untuk berpartisipasi di tengah masyarakat, namun ada pula yang berdampak besar

sehingga memerlukan dukungan dan bantuan dari orang lain.37

36
Lihat penjelasan Pasal 4 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
37
International Labour Office, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di Tempat Kerja,
ILO Publication, Jakarta, 2006, hlm. 3.
18

2. Penyandang Hak-Hak Disabilitas


Penyandang disabilitas juga merupakan warga negara Indonesia yang

mempunyai hak yang sama, termasuk juga harus diakui dan tidak mendapatkan

diskriminasi. Secara substansial Hak Asasi Manusia mengandung nilai-nilai

universal, yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga

perlindungan serta perhatian untuk mendapatkan kesejahteraan dan pemajuan

terhadap kelompok rentan perlu ditingkatkan, termasuk untuk penyandang disabilitas.

Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAK ASASI MANUSIA),

dimana dalam Pasal 41 ayat (2) menyebutkan bahwa : “Setiap penyandang cacat,

orang yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak anak, berhak memperoleh

kemudahan dan perlakuan khusus”. Selanjutnya dalam Pasal 42 juga disebutkan

bahwa : “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental

berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya

negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat

kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Sebagai warga negara, penyandang disabilitas selain mempunyai hak asasi

manusia, juga memiliki hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan budaya

yang terdapat dalam kovenan hak sipil dan politik. Hak sipil dan politik dipandang

sebagai hak-hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang
19

dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati

hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya

menjadi tanggung jawab negara. Hak sipil dan politik ini meliputi : Hak hidup, Hak

bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, Hak bebas dari perbudakan

dan kerja paksa, Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, Hak atas kebebasan

bergerak dan berpindah, Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan

hukum, Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama, Hak untuk bebas

berpendapat dan berekspresi, Hak untuk berkumpul dan berserikat, dan Hak untuk

turut serta dalam pemerintahan.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya, dipandang sebagai hak dasar manusia yang

harus dilindungi dan dipenuhi agar manusia terlindungi martabat dan

kesejahteraannya. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic,

Social, and Cultural Right) pada bulan Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan

terbitnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang

Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Hak-hak sipil dan politik ini dapat dikatakan

sebagai hak negatif, dimana negara tidak mempunyai kewajiban melakukan sesuatu,

tetapi tidak boleh melakukan sesuatu kepada penduduknya agar mereka dapat

menikmati haknya38. Contoh hak “negative” ini adalah tidak melakukan diskriminasi,
38
Arif Havas Oegroseno, “Expert Commentary Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights”, International Journal of
International Law, Vol. 4, No. 1, Oktober 2006, hlm. 170.
20

tidak melakukan penahanan secara semena-mena, tidak menyiksa, tidak melakukan

extrajudicial killing, dan tidak menghilangkan orang. Hak dari penyandang disabilitas

sama dengan hak warga negara lainnya terutama dalam hak asasinya, dimana saat ini

masyarakat sangat menyadari hak apa yang wajib diperolehnya.

Upaya untuk meningkatkan komitmen menghormati dan melaksanakan

penegakan Hak asasi manusia ternyata telah mengalami kemajuan pesat dalam

beberapa dasawarsa terakhir ini. Partisipasi masyarakat luas untuk ikut memantau

aspek -aspek kehidupan di mana Hak asasi manusia dipertaruhkan tak pula dapat

diabaikan, lebih-lebih manakala diingat kenyataan bahwa taraf keterpelajaran dan

daya kritis warga masyarakat yang telah menyadari hakhaknya telah kian meningkat

pula dengan pesatnya.” 39 Di Indonesia masalah penyandang disabilitas termasuk juga

untuk memperoleh pekerjaannya, ditangani oleh Kementerian Sosial yang masuk ke

dalam Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas. Hal ini karena pada

awalnya penyandang disabilitas masuk ke dalam masalah sosial, namun tentu saja

harus bekerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian

perindustrian serta Kementerian Pendidikan, untuk mengadakan pelatihan dan

pendidikan khusus. Didalam Pengaturan tentang Penyandang Disabilitas dalam

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 pasal 5 tentang Penyandang Disabilitas

disebutkan tentang berbagai hak antara lain hak dari Penyandang Disabilitas yaitu hak

terhadap pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi. Lebih lanjut dalam Pasal 11


39
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak -Hak Asasi Manusia: Perkembangan Pengertiannya yang
Merefleksikan Dinamika Sosial -Politik,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4, Oktober
1999, hlm 8.
21

disebutkan bahwa : “Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk Penyandang

Disabilitas meliputi hak:

a. memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi;

b. memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang

Disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama;

c. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam pekerjaan;

d. tidak diberhentikan karena alasan disabilitas;

e. mendapatkan program kembali bekerja;

f. penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat;

g. memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala

hak normatif yang melekat di dalamnya; dan

memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan

koperasi, dan memulai usaha sendiri.


22

Selain itu ada pula beberapa Konvensi dari pihak terkait dalam memperkuat hak-hak

penyandang disabilitas, antara lain:

1. Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas Tahun 2006

a. Secara internasional masalah penyandang disabilitas diatur dalam

Convention on the Rights of Persons with Disabilities, Indonesia telah

meratifikasi konvensi ini dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2011,

beberapa prinsip dasar yang ada dalam konvensi ini adalah sebagai

berikut: Respect for inherent dignity, individual autonomy including the

freedom to make one’s own choices, and independence of persons;

b. Non-discrimination;

c. Full and effective participation and inclusion in society;

d. Respect for difference and acceptance of persons with disabilities as part

of human diversity and humanity;

e. Equality of opportunity;

f. Accessibility;

g. Equality between men and women;

h. Respect for the evolving capacities of children with disabilities and

respect for the right of children with disabilities to preserve their

identities.40

40
Article 3 of UNCRPD
23

Pengertian equality of opportunity, termasuk juga peluang untuk mengikuti

seleksi penerimaan pegawai dan dipekerjakan baik di kantor pemerintahan maupun

swasta. Selanjutnya dalam Pasal konvensi ini menyebutkan tentang kewajiban dasar

yang harus dilakukan negara peserta yaitu: “States Parties undertake to ensure and

promote the full realization of all human rights and fundamental freedoms for all

persons with disabilities without discrimination of any kind on the basis of

disability”.

Dengan demikian Indonesia sebagai negara peserta UNCRPD dimana

Indonesia telah meratifikasi konvensi ini, harus menjamin hak asasi dan kebebasan

dasar dari penyandang disabilitas tanpa adanya diskriminasi. Untuk hak tentang

pekerjaan, juga terdapat dalam konvensi ini yang menyebutkan bahwa : “States

Parties recognize the right of persons with disabilities to work, on an equal basis

with others; this includes the right to the opportunity to gain a living by work freely

chosen or accepted in a labour market and work environment that is open, inclusive

and accessible to persons with disabilities. States Parties shall safeguard and

promote the realization of the right to work, including for those who acquire a

disability during the course of employment, by taking appropriate steps, including

through legislation”. 41

2. Konvensi ILO No. 159 Tahun 1983 tentang Vocational Rehabilitation and

Employment (Disabled Person)

41
Article 27 of UNCPRD.
24

International Labour Organization atau ILO adalah organisasi

internasional di bawah PBB yang menangani masalah ketenagakerjaan. ILO

telah mengatur tentang pekerja disabilitas sejak tahun 1955. Dalam aturan

ILO ini disebutkan tentang equality goals atau tujuan untuk kesetaraan yang

tercantum dalam Pasal 4 bahwa : “The said policy shall be based on the

principle of equal opportunity between disabled workers and workers

generally. Equality of opportunity and treatments for disabled man and

women workers shall be respected. Special positive measure aimed at

effective equality of opportunity and treatmentbetween disabled workers and

other workers shall not be regarded as dicriminating againts other workers.”

Dalam hal ini ILO menyebutkan bahwa harus ada kesetaraan kesempatan

untuk memperoleh pekerjaan, baik untuk penyandang disabilitas maupun

pekerja lainnya. ILO juga mempunyai komite yang khusus mengawasi dan

menerima laporan tentang kegiatan di masing masing Negara peserta. “The

ILO Committee of Experts on the Application of Conventions and

Recommendations (CEACR) is one of two supervisory bodies with

responsibility for the regular supervision of the observance by member States

of their standards-related obligations”.42

42
Lihat Arthur O’Reilly, The Right to Decent Work of Persons with Disabilities Building, IFP/SKILLS
WORKING PAPER NO. 14, ILO, 2003, hlm 3 “ Building on the ‘full participation and equality’ theme
of the International Year and goal of the World Programme of Action, and conscious that
developments since its seminal Recommendation No. 99 in 1955 had made it appropriate to adopt new
25

Secara umum dalam konvensi ini disebutkan pula kewajiban Negara yaitu :

requires member States, in accordance with national conditions, practice and

possibilities, to formulate, implement and periodically review a national policy on

vocational rehabilitation and employment of disabled persons.43

C. Tugas dan Tanggungjawab Pemerintah


Negara atau pemerintah juga mempunyai peran dimana untuk mewujudkan

tingkat kesejahteraan dan kemakmuran serta kemajuan yang lebih tinggi pada setiap

warganegara, sebagian besar ditentukan oleh tata kelola pemerintahannya. Dalam

penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya berorientasi pada tiga elemen utama

yakni, pemerintahan atau negara (state), sektor swasta (private sector), dan

masyarakat (society) serta ditambah lagi dengan interaksi antar ketiga elemen

tersebut. Ketiga elemen tersebut di atas masing-masing memiliki fungsinya sendiri

yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan mempunyai hubungan yang saling

bersinergi.

Fungsi dari masing-masing elemen tersebut antara lain: negara berfungsi

menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta berfungsi

menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan dan masyarakat ikut

berperan positif dalam interaksi sosialnya, baik di bidang sosial, ekonomi maupun

politik. 44

43
international labour standards concerning vocational rehabilitation and employment, the ILO
adopted landmark Convention No. 159 in 1983.
44
Sedarmayanti, Good Governance, (Pemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah, Upaya
Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Rekonstruksi dan Pemberdayaan, Bandung:
26

Selain Undang-undang tentang Penyandang Disabilitas, perlu dilihat juga

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dalam Pasal 5

menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

adanya diskriminasi. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 5 ini disebutkan bahwa :

“Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh

pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras,

agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang

bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat”.

Dengan demikian penyandang disabilitas, menurut aturan ini mendapatkan

kesempatan dan perlakuan yang sama dalam memperoleh pekerjaan.

Dalam hal ini pemerintah dan pemerintah daerah juga harus memberikan

fasilitas pelatihan kerja atau keterampilan bagi para penyandang disabilitas, hal ini

tercantum dalam Pasal 46 Undang-Undang No.8 tahun 2016. Terkait dengan

pekerjaan untuk penyandang disabilitas ada beberapa pasal yang mengatur tentang

hal ini, mulai dari tes masuk sampai dengan menjalankan pekerjaan dari penyandang

disabilitas. Beberapa hal yang diatur antara lain tentang kewajiban dari pemberi kerja:

1. Penyedia kerja memberikan kesempatan untuk penyandang disabilitas

mengikuti test.45

Mandar Maju, 2003, hlm 28


45
Pasal 47 UU No. 8 Tahun 2016.
27

2. Memberikan pengarahan, dan masa orientasi untuk dapat menjalankan

pekerjaannya. 46

3. Menyediakan ruang kerja dan fasilitas yang sesuai dengan jenis disabilitas

yang disandang agar penyandang disabilitas dapat bekerja dengan

maksimal.

4. Memberikan upah yang sama dengan pekerja lainnya dengan pekerjaan

yang sama. 47

5. Membuka mekanisme pengaduan atas tidak terpenuhi hak Penyandang

Disabilitas.

6. Memberi kesempatan penyandang Disabilitas untuk melaksanakan hak

berserikat dan berkumpul dalam lingkungan pekerjaan.

7. Memberikan program dalam sistem jaminan sosial nasional di bidang

ketenagakerjaan.

Dengan aturan baru ini, terlihat perhatian pemerintah untuk lebih

memperhatikan penyandang disabilitas dibanding dengan aturan sebelumnya yaitu

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dimana dalam

aturan yang lama hanya mengatur secara global atau umum, dimana disebutkan

bahwa : “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk

mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”.

46
Ibid., Pasal 48.
47
Ibid., Pasal 49.
28

“Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang

sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di

perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan

kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau

kualifikasi perusahaan”.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal ini dijelaskan pula bahwa : Perusahaan

harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang

memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100

(seratus) orang karyawan. Perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi harus

mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang

memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan walaupun jumlah

karyawannya kurang dari 100 (seratus) orang.

Dalam Undang-undang yang baru disebutkan tentang jumlah minimal pekerja

dengan penyandang disabilitas dimana disebutkan : Pemerintah, Pemerintah Daerah,

Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan

paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau

pekerja, sedangkan untuk perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1%

(satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Selain kewajiban yang dibebankan pada pengusaha atau pemberi kerja, aturan ini

juga memberikan kewajiban bagi pemerintah baik pusat maupun daerah terkait
29

dengan pekerjaan penyandang disabilitas. Beberapa kewajiban pemerintah

antara lain :

1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses yang setara bagi

Penyandang Disabilitas terhadap manfaat dan program dalam sistem jaminan sosial

nasional di bidang ketenagakerjaan.48

2. Pemda atau Pemerintah Daerah wajib memiliki Unit Layanan Disabilitas antara

lain juga untuk membantu dalam mencari pekerjaan

3. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen,

penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan

pengembangan karier yang adil dan tanpa Diskriminasi kepada Penyandang

Disabilitas.

4. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan jaminan, perlindungan, dan

pendampingan kepada Penyandang Disabilitas untuk berwirausaha dan mendirikan

badan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain

kewajiban yang telah disebutkan di atas, pemerintah juga dapat memberikan sanksi

administratif bagi pemberi kerja yang tidak menyediakan akomodasi yang layak dan

fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja Penyandang Disabilitas. Sanksi

administrative berupa:

a. teguran tertulis

48
Ibid., Pasal 52.
30

b. penghentian kegiatan operasional

c. pembekuan izin usaha; dan

d. pencabutan izin usaha.

Sebaliknya untuk mendukung perusahaan swasta yang mempekerjakan penyandang

disabilitas, maka pemerintah akan memberikan insentif bagi perusahaan yang

mempekerjakan penyandang disabilitas, namun apa dan bagaimana teknis pemberian

insentif tersebut, harus diatur dalam Peraturan Pemerintah.49

Negara atau pemerintah juga mempunyai peran dimana untuk mewujudkan

tingkat kesejahteraan dan kemakmuran serta kemajuan yang lebih tinggi pada setiap

warganegara, sebagian besar ditentukan oleh tata kelola pemerintahannya. Dalam

penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya berorientasi pada tiga elemen utama

yakni, pemerintahan atau negara (state), sektor swasta (private sector), dan

masyarakat (society) serta ditambah lagi dengan interaksi antar ketiga elemen

tersebut. Ketiga elemen tersebut di atas masing-masing memiliki fungsinya sendiri

yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan mempunyai hubungan yang saling

bersinergi.

Fungsi dari masing-masing elemen tersebut antara lain: negara berfungsi

menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta berfungsi

menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan dan masyarakat ikut

49
Lihat penjelasan Pasal 54, Insentif kepada perusahaan swasta yang mempekerjakan Penyandang
Disabilitas, antara lain kemudahan perizinan, penghargaan, dan bantuan penyediaan fasilitas kerja
yang mudah diakses.
31

berperan positif dalam interaksi sosialnya, baik di bidang sosial, ekonomi maupun

politik.50 Selain Undang-undang tentang Penyandang Disabilitas, perlu dilihat juga

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dalam Pasal 5

menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

adanya diskriminasi.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 5 ini disebutkan bahwa : “Setiap tenaga

kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan

penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan

aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan,

termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang disabilitas”.

Dengan demikian penyandang disabilitas, atau penyandang disabilitas

menurut aturan ini mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam

memperoleh pekerjaan. Namun seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa belum

banyak penyandang disabilitas yang bekerja di perusahaan, baik perusahaan

Pemerintah maupun perusahaan swasta. Ada beberapa penyebab mengapa belum

banyak pekerja disabilitas yang bekerja di sektor formal yaitu:

1. Para pekerja disabilitas lebih suka untuk bekerja di sektor informal antara lain

wirausaha seperti membuka toko/warung, panti pijat, dan bekerja di home

industry (tas, sepatu, souvenir dll). Hasil Penelitian dari LPEM Universitas

50
Sedarmayanti, Good Governance, (Pemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah,
Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Rekonstruksi dan Pemberdayaan,
Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm 28
32

Indonesia menyebutkan bahwa Rendahnya persentase penyandang disabilitas

yang tidak masuk ke pasar kerja dikarenakan banyak diantara mereka tidak

cukup bersemangat untuk masuk ke pasar kerja (discourage worker), ditandai

dengan tingginya tingkat inaktivitas.51

2. Masih sedikitnya peluang dari perusahaan untuk mempekerjakan penyandang

disabilitas, menurut Tendy Gunawan, Staf ILO untuk Kesetaraan Peluang bagi

Disabilitas, “Banyak perusahaan masih tidak menyadari manfaat

mempekerjakan penyandang disabilitas”. 52

3. Kendala lain yang dihadapi penyandang disabilitas untuk bekerja di

perusahaan adalah cara mengakses tempat bekerja tersebut yang harus

menggunakan transportasi, masalah transportasi di Indonesia terutama di

daerah masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas, selain itu juga

masalah akses di gedung tempat mereka bekerja menjadi kendala lain untuk

bekerja di perusahaan, karena tidak semua perusahaan mau memberikan

fasilitas khusus bagi pekerja disabilitas seperti ruang kerja dan toilet yang

lebih luas untuk yang menggunakan kursi roda, fasilitas lift, dll.

51
LPEM UI. loc.cit
52
Disampaikan dalam Talkshow “Peluang Kerja Penyandang disabilitas”, Unika Atma Jaya, 22-23
Agustus 2019.
Penyandang disabilitas kebanyakan hanya menempuh pendidikan formal sampai
tingkat SMA bahkan mungkin SMP, karena mereka seringkali kesulitan untuk menuju
sekolah atau fasilitas sekolah tidak memadai. Mereka lebih banyak mengambil
sekolah kejuruan atau pendidikan khusus, sehingga persyaratan bekerja di sektor
formal yang biasanya mensyaratkan ijasah Sarjana sulit dipenuhi

BAB III

GAMBARAN UMUM IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM MENDAPATKAN

PEKERJAAN

Jumlah Penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang sebanyak 2.939 jiwa

(Data Dinas Sosial Kabupaten Karawang, Tahun 2020) mayoritas menggantungkan

hidupnya dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak seperti fenomena pengemis

eks-kusta dan penjual kaki lima yang tunanetra, mata pencaharian tersebut bahkan

hanya menambah masalah sosial dan permasalahan terhadap penyandang disabilitas

tersebut.

Minimnya tingkat penyerapan kerja bagi penyandang disabilitas merupakan

salah satu bukti kurangnya perhatian baik dari pemerintah maupun kalangan

pengusaha untuk memperkerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas. Jumlah

Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang berjumlah 2.939 Jiwa. 53 Hanya

sebagian kecil saja yang mendapatkan kesempatan kerja di perusahaan. Masalah

pelaksanaan pemberian kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas merupakan

53
Data Rekapitulasi PMKS di Kabupaten Karawang.
2

persoalan yang kompleks serta membutuhkan perhatian dan partisipasi secara

menyeluruh, khususnya bagi pemerintah ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.

A. Hak Asasi Manusia

1. Pengertian Hak Asasi Manusia


Istilah hak asasi lahir secara monumental sejak terjadinya revolusi Perancis

pada tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’hommeet du Citoyen” (hak-hak

asasi manusia dan warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte (Kemerdekaan),

Egalite (Persamaan) dan Fraternite (Persaudaraan).54

Salah satu Indikator negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan Hak

Asasi Manusia. Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari Droits de

L’homme (Perancis), Human Rights (Inggris), dan mensekelije rechten (Belanda). Di

Indonesia, hak asasi lebih dikenal dengan istilah hak-hak asasi atau juga dapat disebut

sebagai hak fundamental.55

Secara etimologi, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai

pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang

bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabat. Adapun asasi berarti yang bersifat

paling mendasar atau fundamental. Dengan demikian hak asasi berarti hak yang

paling mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun

makhluk dapat mengintervensinya apalagi mencabutnya. Misalnya, hak hidup, yang

54
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, 2002, hlm.57
55
Ibid
3

mana tak satupun manusia ini memiliki kewenangan untuk mencabut kehidupan

manusia yang lain.

Jika Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa hak

adalah (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk

berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu;

(6) derajat atau martabat; (7) (hukum); wewenang menurut hukum. Sedangkan hak

asasi sendiri adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Pengertian

yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa, hak

adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki keabsahan untuk

menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang

memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu

tersebut sebagaimana dikehendaki, atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya56.

Pada dasarnya terdapat dua hak dasar pada manusia yaitu pertama, hak

manusia (human rights) yaitu hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada

sejak manusia itu dilahirkan.Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat

tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada atau tidak adanya

orang lain disekitarnya. Dalam skala lebih besar hak asasi menjadi asas undang-

undang.Wujud hak ini diantaranya berupa :

a. kebebasan batin;

b. kebebasan beragama;
56
Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditana, Bandung, 2009, hlm.228
4

c. kebebasan hidup pribadi;

d. atas nama baik;

e. melakukan pernikahan;

f. kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Kedua, hak undang-undang (Legal Rights) yaitu hak yang diberikan oleh

undang-undang secara khusus pada pribadi manusia.Oleh karena diberikan, maka

sifat pengaturannya harus jelas tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-

undangan.Barang siapa yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang maka

kepadanya dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.57

Hendarmin Ranadireksa memberikan definisi tentang hak asasi manusia pada

hakikatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan unutuk melindungi warga

negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak

warga negara oleh negara.Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang

diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindung dari

kesewenang-wenangan kekuasaan. Menurut Mahfud MD, Hak Asasi Manusia itu

diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan

Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak

tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.58

57
Ibid, hlm.229.
58
Ibid, hlm.39.
5

Dari dua pendapat tersebut bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang

melekat pada setiap individu sejak dilahirkan ke muka bumi dan bukan merupakan

pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan

mengenai pengertian hak asasi manusia, bahwa :

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan

anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh

negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Dari bunyi undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya kewajiban dari

setiap individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban tersebut dengan

tegas dituangkan dalam undang-undang sebagai seperangkat kewajiban sehingga

apabila tidak dilaksanakan maka tidak mungkin akan terlaksana dan tegaknya

perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Undang-undang ini memandang kewajiban dasar manusia merupakan sisi lain

dari hak asasi manusia. Tanpa menjalankan kewajiban dasar manusia, adalah tidak

mungkin terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia, sehingga dalam pelaksanaannya,

hak asasi seseorang harus dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang

lain.
6

Pada tahun 1946 Commision on Human Rights of United Nation Perserikatan

Bangsa-Bangsa menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial serta

hak politik. Kemudian penetapan dilanjutkan dengan disusunya pernyataan sedunia

tentang hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10

Desember 1948.59

Universal Declaration of Human Rights merupakan pernyataan sedunia

tentang hak-hak asasi manusia yang terdiri dari 30 pasal. Piagam tersebut menyatakan

kepada semua anggota dan bangsa di dunia untuk menjamin dan mengakui hak asasi

manusia yang dimuat dalam konstitusi negara masing-masing.

Keberhasilan diterimanya Universal Declaration of Human Rights diikuti oleh

keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convenant) yang diakui oleh Hukum

Internasional dan diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB seperti:

a. The International on Civil and Political Rights Yaitu memuat tentang hak-

hak sipil dan hak-hak politik (persamaan antara hak pria dan wanita).

b. Optional Protocol yaitu adanya kemungkinan seorang warga negara yang

mengadukan pelanggaran hak asasi kepada The Human Right Committee

PBB setelah melalui upaya pengadilan di negaranya.

c. The International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights

yaitu berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi, ekonomi,

sosial dan budaya.60


59
Budiyanto, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Jakarta, 2000,hlm.268.
60
Ibid,hlm.58.
7

Dengan adanya Universal Declaration of Human Rights maka diharapkan agar

para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut mencantumkannya dalam Undang-

Undang Dasarnya atau peraturan yang lainnya yang berlaku di negara tersebut.

Di Indonesia, semua peraturan perundang-undangan yang berlaku mengacu

pada hukum dasar atau konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Hukum dasar yang tertulis yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun setelah adanya amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2000 dan dikeluarkannya ketetapan MPR

No.XVII/MPR/998 tentang Hak Asasi Manusia, maka perkembangan mengenai hak

asasi manusia mengalami peningkatan yang pesat.Terlebih lagi setelah

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat penyataan mengenai

hak asasi manusia yaitu yang dinyatakan sebagai berikut:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh

sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”

Bunyi paragraf pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

menunjukkan bahwa hak asasi manusia terutama hak kemerdekaan bagi semua

bangsa mendapatkan jaminan dan di junjung tinggi oleh seluruh bangsa di dunia.
8

Setelah perubahan kedua Undang-Undang 1945, jaminan tentang hak asasi manusia

dinyatakan secara khusus pada bab tersendiri yaitu Bab XA tentang Hak Asasi

Manusia yang meliputi Pasal 28A sampai 28 J.

2. Hak Asasi Manusia Bagi Penyandang Disabilitas


Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amendemen mencantumkan Bab XA yang

membahas perihal Hak Asasi Manusia. Ketentuan dalam Bab tersebut menjadi bentuk

dari perlindungan hak konstitusional 1945 terdapat 10 pasal, yaitu Pasal 28A sampai

Pasal 28J, yang mencakup 26 ketentuan yang tersebar dalam ayat-ayat dalam Pasal-

Pasal yang ada. Keseluruhan ketentuan itu dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu

perlindungan Hak asasi manusia khusus bagi warga negara dan perlindungan Hak

asasi manusia bagi setiap orang, yang berarti tidak hanya warga negara Indonesia.

Dalam dua jenis kelompok itu tidak ada lagi klasifikasi lain, yang berarti, baik dalam

jenis perlindungan terhadap warga negara atau terhadap setiap orang, kelompok

penyandang disabilitas masuk di dalam keduanya.

Dari 26 ketentuan yang ada dalam Bab XA, terdapat satu pasal yang mengatur

perihal perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas, yaitu Pasal 28H ayat (2)

yang menyatakan bahwa, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan.”Ketentuan Pasal tersebut memang sangat umum karena

menggunakan terminologi “setiap orang”, atau dengan kata lain berarti tidak ada

batasan siapa saja yang masuk dalam kelompok yang dituju oleh Pasal tersebut.
9

Mahkamah Konstitusi sudah pernah memberikan tafsir atas pengertian “setiap

orang” dalam Pasal tersebut. Ada tiga Putusan yang menyatakan tafsir tersebut, yaitu

Putusan MK Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009; Putusan MK Nomor 143/PUU-

VII/2009; dan Putusan MK No. 16/PUU-VIII/2010. Dalam ketiga Putusan itu, MK

menyatakan bahwa, Pemaknaan itu menegaskan bahwa kelompok penyandang

disabilitas termasuk dalam terminologi “setiap orang” dalam ketentuan Pasal 28H

ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, dalam penafsiran tersebut juga disebutkan bahwa

makna dari “kemudahan” dan “perlakuan khusus” bukanlah dipahami dalam makna

perlakuan yang diskriminatif, tetapi tetap dalam lingkup pemenuhan hak

konstitusional.Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang

Disabilitas merupakan kewajiban negara. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat

mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak Penyandang Disabilitas.

Penyandang Disabilitas selama ini mengalami banyak Diskriminasi yang berakibat

belum terpenuhinya pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Disabilitas menunjukkan komitmen dan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk

menghormati, melindungi, dan memenuhi hak Penyandang Disabilitas yang pada

akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan Penyandang Disabilitas.

Dengan demikian, Penyandang Disabilitas berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
10

perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari

eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta berhak untuk mendapatkan

Penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan

orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan Pelindungan dan pelayanan

sosial, menjamin Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dalam segala aspek

kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik dan pemerintahan,

kebudayaan dan kepariwisataan, serta pemanfaatan teknologi, informasi, dan

komunikasi.Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk merealisasikan hak yang

termuat dalam undang-undang tersebut.

B. Hak Penyandang Disabilitas Dalam Memperoleh dan Meningkatkan


Kesempatan Kerja
Penyandang Disabilitas merupakan subjek dari tenaga kerja yang berhak

untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak yang di jelaskan pada Pasal 27

ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.Artinya penyandang disabilitas berhak untuk

memperoleh dan meningkatkan kesempatan kerja nya tanpa diskriminasi dari pemberi

kerja.Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau

menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam

segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.


11

Pasal 53 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas menjelaskan bahwa :

“(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan

Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen)

Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

(2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen)

Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.”

Maka seharusnya jika mengacu pada peraturan ini baik pemerintahan, badan

usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta wajib

meperkerjakan penyandang disabilitas dalam perusahaan maupun dalam

pemerintahan dari total presentase yang telah ditentukan yaitu 2% untuk tingkatan

pemerintahan, badan usaha milik negara maupun badan usaha milik daerah dan 1%

untuk perusahaan swasta dari seluruh jumlah pegawai atau pekerja dari perusahaan

yang bersangkutan.

Selanjutnya Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas yaitu

“Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib menjamin proses rekrutmen,

penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan

pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang

disabilitas.”
12

Artinya pemerintah berkewajiban menjamin dari proses rekruitmen,

penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja dan

pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang

disabilitas.

C. Hak Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Dalam meningkatkan Kerja.


Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib

memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya sesuai

dengan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan.Bentuk perlindungan tersebut seperti penyediaan aksesibilitas,

pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri.61

Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang

Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan. instansi atau perusahaan yang

mempekerjakan penyandang disabilitas berkewajiban menyediakan aksesibilitas bagi

penyandang disabilitas untuk mempermudah dalam bekerja. Kemudahan akses

tersebut diimplementasikan pada bangunan Gedung. Bangunan yang dimaksud

memberikan keselamatan, kemudahan, kegunaan dan kemandirian bagi pengguna,

sehingga tidak hanya bagi nondisabilitas, tapi juga bagi penyandang disabilitas yang

dijelaskan pada Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

penyandang disabilitas yaitu :

61
R Joni Bambang, Op.cit, hlm.274.
13

“Pemberi kerja wajib menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas yang

mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas.”

Syarat bangunan gedung dan fasilitas untuk penyandang disabilitas untuk

mendapatkan aksesibilitas diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

No.30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada

Bangunan Gedung dan Lingkungan yaitu :

“(1) Dalam merencakan, dan melaksanakan pembangunan bangunan gedung

dan lingkungan harus dilengkapi dengan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas

(2) Setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam

penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas

yang diatur dalam peraturan ini.”

Persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan

lingkungan diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

No.30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada

Bangunan Gedung dan Lingkungan yaitu :

Persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan

lingkungan meliputi :

a. Ukuran dasar ruang


14

b. Jalur pedestrian

c. Jalur pemandu

d. Akses parkir

e. Pintu

f. Ram

g. Tangga

h. Lift

i. Lift tangga

j. Toilet

k. Pancuran

l. Wastafel

m.Telepon

n. Perlengkapan dan peralatan kantor

o. Perabot

p. Rambu dan marka.”


15

D. Reward bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas


Hak atas pekerjaan merupakan suatu hak asasi manusia yang menjadi bagian

dari kehidupan penyandang disabilitas. Salah satu bentuk aktualisasi dari kemampuan

yang berada dalam diri penyandang disabilitas ialah dengan cara bekerja. Melalui

pekerjaan yang layak, penyandang disabilitas dapat membangun hidup dan

lingkungan sosial di sekitarnya menjadi lebih sejahtera dan manusiawi. Maka dari itu,

negara memiliki tanggung jawab untuk melakukan perlindungan (protect),

pemenuhan (fulfill) dan penegakan (enforced) terhadap hak fundamental dari

penyandang disabilitas tersebut (Harianto, 2016).

Negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

pihak yang terlibat dalam dunia kerja. Berbagai bentuk intervensi dapat dilakukan

dengan mengadakan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk

melindungi pihak yang lemah dan menempatkannya pada kedudukan yang layak bagi

kemanusiaan. Hal itu memang seharusnya dilakukan, mengingat ketidak seimbangan

kedudukan yang terjadi antar pihak-pihak yang terlibat langsung dalam dunia kerja,

khususnya buruh sebagai pihak yang bekerja dan majikan sebagai pihak yang

memberi kerja. Dengan demikian, seluruh pihak yang terlibat secara langsung

maupun tidak langsung akan merasakan bahwa keadilan sosial dalam dunia kerja

benar-benar nyata adanya, sebagaimana tujuan yang sebenarnya dari perburuhan itu

sendiri (Soepomo, 1974).


16

Reward and punishment menjadi salah satu pendekatan yang digunakan

pemerintah untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja.

Berdasarkan pasal 54 ayat (1) Undang Undang Penyandang Disabilitas diterangkan

bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan insentif kepada

perusahaan swasta yang mempekerjakan Penyandang Disabilitas, dimana dalam

penjelasan pasal tersebut diterangkan mengenai insentif yang diberikan kepada

perusahaan swasta yang menjalankan ketentuan tersebut, antara lain berupa

kemudahan perizinan, penghargaan, dan bantuan penyediaan fasilitas kerja yang

mudah diakses.

Begitu pula sebaliknya, berdasarkan pasal 143 undang-undang yang sama

ditegaskan bahwa Setiap Orang dilarang menghalang-halangi dan/atau melarang

Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan hak pekerjaan, kewirausahaan, dan

koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

Ketentuan tersebut diperkuat dengan pemberlakuan sanksi pidana

sebagaimana yang tertera pada pasal 145, dimana pasal tersebut menegaskan bahwa

Setiap Orang yang menghalang-halangi dan/ atau melarang Penyandang Disabilitas

untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah).


Keberadaan Komisi Nasional Disabilitas (KND) menjadi inti dari penerapan

seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyandang

disabilitas. 62Ketentuan mengenai pembentukan KND telah tertuang secara

eksplisit dalam pasal 131 Undang Undang Penyandang Disabilitas. Pada pasal

tersebut, diterangkan bahwa Dalam rangka pelaksanaan Penghormatan,

Perlindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, dibentuk KND

sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat independen. Tugas dari KND itu

sendiri ialah melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan

Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas

sebagaimana yang tercantum pada pasal 132 ayat (1).BAB IV

62
Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 3 (2020) hal 4
2

PEMBAHASAN

A. Faktor yang mempengaruhi perusahaan di Kabupaten Karawang


mengabaikan peraturan pemerintahan
Penyandang disabilitas merupakan bagian dari warga Negara Indonesia, setiap

manusia berpotensi menjadi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas tersebut

juga memiliki seperangkat hak sebagai manusia seutuhnya, khususnya juga hak

dalam memperoleh pekerjaan, memiliki kesempatan yang sama dalam bekerja.


63
Pemberian kesempatan yang sama adalah sebuah kondisi yang di mana pemerintah

sebagai penanggung jawab dalam memberikan perlindungan hak tersebut

memberikan peluang dan atau menyediakan akses yang sama juga bagi penyandang

disabilitas dalam menyalurkan kemampuan dan potensinya dalam berbagai bidang

termasuk juga dalam hal bekerja.

Hal ini juga dipertegas dengan dalam Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, bahwa tujuan dari pembangunan ketenagakerjaan adalah

memberikan pemerataan kesempatan bagi setiap warga negara dalam memperoleh

pekerjaan dan memberikan perlindungan bagi para tenaga kerja dalam hal pemenuhan

tenaga kerja atas hak memperoleh kesejahteraan.

Berikut merupakan jumlah penyandang disabilitas Tahun 2019 berdasarkan

Kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang. Data berikut diambil dari Buku

Statistik Sektoral Kabupaten Karawang Tahun 2020 Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kabupaten.
63
H.R. Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), 3rd ed. (Jakarta: Restu Agung,
2009), 17.
3

NO KODE KECAMATAN CACAT TUNA TUNA GANGGUA CACAT CACAT TOTAL

KEC. FISIK NETRA RUNGU N MENTAL/ FISIK DAN LAINNYA

JIWA MENTAL
1 32150 Karawang Barat 16 3 11 7 2 5 44

1
2 32150 Pangkalan 5 6 10 2 1 2 26

2
3 32150 Telukjambe 5 4 1 2 3 2 17

3 Timur
4 32150 Ciampel 1 0 0 0 0 0 1

4
5 32150 Klari 9 3 3 3 4 3 26

5
6 32150 Rengasdengklok 13 14 11 7 2 0 47

6
7 32150 Kutawaluya 2 4 3 14 2 0 25

7
8 32150 Batujaya 5 1 5 0 1 4 16

8
9 32150 Tirtajaya 3 2 1 0 0 3 9

9
10 32151 Pedes 5 3 6 10 2 1 31

0
11 32151 Cibuaya 7 4 5 0 3 3 22

1
12 32151 Pakis Jaya 8 2 9 4 0 2 25

2
13 32151 Cikampek 6 3 3 4 0 2 18

3
4

14 32151 Jatisari 8 2 4 9 1 1 25

4
15 32151 Cilamaya Wetan 30 6 1 1 0 5 43

5
16 32151 Tirtamulya 3 2 1 3 1 1 11

6
17 32151 Telagasari 2 5 2 2 0 1 12

7
18 32151 Rawamerta 4 4 4 12 0 2 24

8
19 32151 Lemah Abang 8 9 7 2 0 1 27

9
20 32152 Tempuran 6 3 2 16 3 0 30

0
21 32152 Majalaya 4 4 2 7 1 2 20

1
22 32152 Jayakerta 1 0 1 0 0 0 2

2
23 32152 Cilamaya Kulon 2 3 4 4 1 1 15

3
24 32152 Banyusari 1 0 1 4 0 0 6

4
25 32152 Kota Baru 10 5 8 3 2 3 31

5
26 32152 Karawang 4 1 6 2 1 3 17

6 Timur
27 32152 Telukjambe 3 4 1 0 0 0 8

7 Barat
5

28 32152 Tegalwaru 0 2 2 7 0 0 11

8
29 32152 Purwasari 3 0 0 1 2 1 7

9
30 32153 Cilebar 2 3 6 4 0 0 15

0
JUMLAH 178 103 120 130 32 48 611
Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Karawang, 2020.

Namun berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa secara empirisnya

terdapat berbagai faktor dalam pemenuhan hak bekerja bagi penyandang disabilitas

yaitu sebagai berikut:

Pertama, Belum adanya regulasi di tingkat daerah yang mengatur secara

khusus dalam pelaksanaan terkait dengan pemberdayaan penyandang disabilitas di

Kabupaten Karawang. Didalam Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Pasal 5 ayat (2) hanya

mengatur tentang penyandang disabilitas sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS). Hal tersebut dapat ditandai dengan tidak adanya Peraturan Daerah

yang khusus mengenai Pemberdayaan Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten

Karawang seharusnya dimulai dari hak memperoleh kesempatan kerja tanpa

diskriminasi, proses rekrutmen, penempatan tenaga kerja, dan perlindungan kerja.


6

Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintahan

Kabupaten Karawang dalam memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya

hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan karena sebagaimana

amanat dalam Pasal 152 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa

setalah 2 (dua) tahun Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 ditetapkan, sudah harus ada

peraturan pelaksananya.

Kedua, Belum tersedianya Unit Layanan Disabilitas. Berdasarkan hasil

wawancara bersama bapak Andreas Kusderi selaku kepala divisi hubungan industrial

dan persyaratan kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang,

ditemukan bahwa Kabupaten Karawang sendiri belum menyediakan Unit Layanan

Disabilitas karena regulasinya baru disusun dan baru disahkan pada tanggal 15

Desember 2020 oleh Kementrian Tenaga Kerja. Hal ini tentunya belum selaras

dengan amanat dalam Pasal 55 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 yang secara tegas

menyatakan bahwa pemerintah daerah “wajib” menyediakan unit layanan disabilitas

di bidang ketenagakerjaan. Terdapat kata “wajib” dalam klausul tersebut. Artinya

adalah hal ini merupakan sebuah keharusan dan kewajiban bagi setiap pemerintahan

daerah termasuk pemerintahan Kabupaten Karawang.

Ketiga, Belum adanya Upaya Penyaluran Tenaga Kerja Bagi Penyandang

Disabilitas. Berdasarkan hasil wawancara dengan Andreas Kusderi selaku kepala

divisi hubungan industrial dan persyaratan kerja Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kabupaten Karawang, bahwa hingga saat ini belum ada upaya dari
7

pemerintah dalam penyaluran tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten

Karawang, padahal upaya dalam penyaluran kerja ini cukup penting dalam

pemenuhan hak bekerja bagi penyandang disabilitas.

Keempat, Belum adanya Penyediaan Pelatihan Kerja Bagi Penyandang

Disabilitas yang terprogram. Pelatihan kerja dalam hal meningkatkan kompetensi

pekerja juga merupakan sebuah hak bagi para pekerja sebagaimana ditegaskan dalam

pasal 42 Undang-Undang No. 39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

berbunyi: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental

berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya

negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat

kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”. Kemudian juga

ditegaskan kembali dalam Pasal 9 hingga Pasal 30 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun

2003 terkait pemberian pelatihan kerja. Dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan

bahwa pelatihan kerja diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan

kompetensi pekerja dan setiap pekerja berhak memperoleh pelatihan kerja tersebut.

Namun, pelatihan yang diselenggarakan terbatas dan belum terprogram dengan baik.

Hal ini juga diungkapkan oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang yang

menyatakan bahwa dari Dinas Tenaga Kerja sendiri belum terprogram adanya

pelatihan kerja yang secara rutin diselenggarakan untuk penyandang disabilitas.


8

Kelima, Belum adanya penyediaan Data Tentang Penyandang Disabilitas yang

Dilakukan Secara Berkelanjutan. Penyediaan pendataan tentang penyandang

disabilitas ini sangat penting, hal ini ditegaskan pada pasal 117 Undang-Undang

Nomor Tahun 2016 yang menyatakan bahwa penyediaan data tentang penyandang

disabilitas yang akurat tersebut digunakan untuk mengidentifikasi dan mengatasi

Hambatan yang dihadapi oleh Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan hak

Penyandang Disabilitas; dan membantu perumusan dan implementasi kebijakan

Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Pendataan

data salah satu syarat pemenuhan hak disabilitas dari segala aspek kehidupan baik

dalam bidang pendidikan atau pun pekerjaan. Khususnya bidang pekerjaan yang

merupakan sebagai fungsi untuk keberlangsungan hidup. Data penyandang disabilitas

dewasa yang cakap untuk bekerja berdasarkan data dari dinas sosial bahwa rata-rata

penyandang disabilitas masih belum banyak memiliki pekerjaan, namun penyandang

disabilitas berpenghasilan dari usaha yang mereka tekuni seperti usaha makanan ,

usaha warung dan lainnya.64

Keenam, Peneliti menganalisis sejauh mana nilai-nilai kepastian serta

kemanfaatan terhadap perintah mempekerjakan penyandang disabilitas. Pada

dasarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena

64
Wawancara dengan bapak Andreas Kusderi selaku kepala divisi hubungan industrial dan persyaratan
kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang
9

menjunjung tinggi nilai keadilan serta persamaan hak bagi setiap warga negara.

Undang-Undang ini melegistimasi hak-hak dasar penyandang disabilitas agar dapat

memiliki pekerjaan yang layak. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah

membagi tanggung jawab kepada pihak terkait untuk turut serta berkontribusi

memberikan pekerjaan yang layak bagi para penyandang disabilitas. hal ini tentu

positif sebab tidak melulu mengandalkan pihak pemerintah saja untuk menyediakan

pekerjaan yang layak bagi para penyandang disabilitas, dan akan berdampak pada

pembukaan lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan bagi penyandang

disabilitas. Peneliti berpandangan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2016 Tentang Penyandang Disabilitas terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan

sehingga tidak menjadi celah yang akan berdampak pada tercederainya hak-hak para

penyandang disabilitas, khususnya hak atas pekerjaan yang layak. hal-hal tersebut

akan dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, Undang-undang ini menjelaskan kategori penyandang disabilitas

sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-undang tersebut, namun Undang-

undang ini tidak menjelaskan secara jelas kategori penyandang disabilitas seperti apa

yang dapat bekerja pada perusahaan. Hal ini sebenarnya memberikan kebebasan

kepada perusahaan swasta untuk memilih kategori penyandang disabilitas untuk

bekerja pada perusahaannya, namun disisi lain ini merupakan ancaman bagi para

penyandang disabilitas berat. Secara harfiah perusahaan akan lebih memilih

mempekerjakan penyandang disabilitas ringan daripada penyandang disabilitas berat,


10

karena penyandang disabilitas ringan cenderung lebih produktif serta tidak terlalu

banyak membutuhkan alat bantu sebagaimana penyandang disabilitas berat. Hal

tersebutlah yang berpotensi menimbulkan ancaman bagi para penyandang disabilitas

berat untuk mendapatkan haknya atas pekerjaan yang layak. Dalam situasi seperti ini

perlu adanya pengaturan secara jelas tentang kategori disabilitas seperti apa yang

wajib direkrut oleh perusahaan, serta pemerintah pun bertanggung jawab terhadap

penyandang disabilitas yang tidak tergolong kategori tersebut. Misalnya Undang-

Undang mengatur mewajibkan perusahaan mempekerjakan penyandang disabilitas

yang tergolong sebagai kategori disabilitas ringan dan memberikan tanggung jawab

kepada pemerintah atas pemberian pekerjaan yang layak bagi para penyandang

disabilitas berat. Pengkategorian seperti ini semata-mata untuk memberikan jaminan

kepada semua penyandang disabilitas untuk mendapatkan haknya atas pekerjaan yang

layak, jangan sampai hal ini menjadi celah hukum yang dapat mencederai hak para

penyandang disabilitas.

Kedua, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjelaskan bahwa

perusahaan swasta wajib mempekerjakan 1% penyandang disabilitas dari jumlah

pekerjanya. Yang menjadi perhatian peneliti adalah jika suatu perusahaan memiliki

jumlah pekerja kurang dari 100 pekerja sehingga jika dihitung jumlah 1% dari

keseluruhan jumlah pekerjanya maka hasilnya akan kurang dari 1 (satu), lalu apakah

perusahaan tersebut tetap memiliki kewajiban untuk mempekerjakan penyandang

disabilitas ataukah kewajiban tersebut menjadi gugur dikarenakan jumlah pekerjanya


11

kurang dari 100 pekerja. Jika melihat Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Republik Indonesia Nomor: KEP-205/MEN/1999 Tentang Pelatihan Kerja dan

Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, yang berbunyi “Untuk setiap 100

(seratus) orang pekerja, maka pengusaha wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya

1 (satu) orang tenaga kerja penyandang cacat sesuai dengan persyaratan jabatan dan

kualifikasi pekerjaan. Pengusaha yang menggunakan teknologi tinggi dan

mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 100 (seratus) orang wajib mempekerjakan

satu atau lebih tenaga kerja penyandang cacat”. Dalam ketentuan ini dijelaskan secara

eksplisit jika jumlah pekerja pada suatu perusahaan kurang dari 100 pekerja, maka

perusahaan tersebut tetap berkewajiban kan minimal 1 penyandang disabilitas pada

perusahaannya. Namun ketentuan seperti ini tidak ditemukan dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Melihat beberapa kekurangan

di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat celah hukum yang dimana tidak

melambangkan nilai kepastian hukum, yang dimana seharusnya suatu aturan harus

jelas dan tidak menimbulkan kebingungan bagi subjek hukum terhadap ketentuan

tersebut sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berpotensi menjadi celah

hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak ingin menjalankan

kewajibannya, padahal teori kepastian hukum menghendaki bahwa yang berhak

menurut hukum dapat memperoleh haknya serta yang memiliki kewajiban menurut

hukum, harus melaksanakan kewajiban tersebut.


12

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, jika diukur dengan teori efektivitas

oleh Soejono Soekanto yang melihat efektivitas hukum yang ditentukan oleh 5 (lima)

faktor, yaitu sebagai berikut (Soekanto, 2008):

a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Dari faktor hukumnya sendiri,

Pemerintah Indonesia telah memiliki seperangkat peraturan undang-undang

yang mengatur terkait pemenuhan hak bekerja bagi penyandang disabilitas.

Namun, belum tersedia peraturan daerah di Kabupaten Karawang yang

mengatur dan memberikan perlindungan hak bekerja bagi pekerja penyandang

disabilitas di Kabupaten Karawang, sedangkan dengan tegas dicantumkan

dalam Pasal 152 UU No. 8 Tahun 2016 bahwa Peraturan Pelaksanaan dari

undang-undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-

undang ini diudangkan. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten Karawang

belum memiliki aturan pelaksana sejak 2 tahun undang-undang diundangkan

yang seharusnya aturan tersebut sudah ada sejak April 2018.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum. Penegak hukum yang dimaksud di sini adalah pihak yang

berkewajiban dalam memberikan pemenuhan hak bekerja bagi penyandang

disabilitas di Kabupaten Karawang, yaitu Dinas Tenaga Kerja Kabupaten

Karawang, Dinas Sosial Kabupaten Karawang. Menurut hasil penelitian,

kedua dinas tersebut belum memiliki program yang terstruktur untuk

penyandang disabilitas dalam mendapatkan haknya dalam bekerja. Contohnya


13

belum adanya pelatihan yang terprogram secara rutin untuk penyandang

disabilitas.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana dan

fasilitas yang mendukung dalam pemenuhan hak bekerja bagi penyandang

disabilitas adalah perlu adanya Unit Layanan Disabilitas. Namun, berdasarkan

hasil penelitian yang telah dilakukan, belum tersedia Unit Layanan Disabilitas

tersebut di Kabupaten Karawang. Kemudian, minimnya anggaran dana yang

dialokasi untuk penyandang disabilitas dalam melakukan pemenuhan hak

yang seharusnya mereka miliki.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pandangan

masyarakat Kabupaten Karawang dalam memandang dan menanggapi

keberadaan penyandang disabilitas masih negatif, khususnya perusahaan-

perusahaan yang seharusnya menyediakan kuota bagi pekerja penyandang

disabilitas, karena kebanyakan calon pekerja penyandang disabilitas sudah

digugurkan tidak lolos saat tahap wawancara karena kondisi yang dimiliki

tidak sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan, padahal jika

semisal ada penyandang disabilitas fisik yang melamar, mereka hanyalah

terhalang karena fisiknya namun mereka juga memiliki potensi dan

kesempatan untuk bekerja yang sama dengan lainnya.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Berdasarkan hasil penelitian,


14

budaya yang hidup di Kabupaten Karawang dalam memandang dan

menanggapi keberadaan penyandang disabilitas masih sangat minim.

Kebiasaannya adalah masyarakat di Kabupaten Karawang, khususnya

perusahaan di Kabupaten Karawang menilai penyandang disabilitas adalah

orang yang memiliki keterbatasan dan akan kesulitan dalam bekerja.

B. Akibat apabila perusahaan tidak mematuhi peraturan tenaga kerja


disabilitas di Kabupaten Karawang

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan terutama

perlindungan hukum untuk pekerja. Berbicara mengenai perlindungan hukum tidak

terlepas dari landasan ideologi dan falsafah Negara Indonesia yaitu Pancasila. Prinsip

perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip

perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari

konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak- hak dasar

pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa

diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan

keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas disebutkan dalam UU No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67 ayat (1) yaitu, (1) Pengusaha yang

mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan


15

sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. (2) Pemberian perlindungan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.65

Kemudian dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang disabilitas

dalam Pasal 6 ayat 2 disebutkan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh

pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatann,

pendidikan, dan kemampuannya. Pasal 13 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

disabilitas menyatakan bahwa setiap penyandang disabilitas mempunyai kesamaan

kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat

kecacatannya. Kemudian dalam Pasal 14 disebutkan bahwa perusahaan negara dan

swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang

disabilitas dengan mempekerjakan penyandang disabilitas di perusahaannya sesuai

dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuan, yang jumlahnya

disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan. Disebutkan

dalam penjelasan Pasal 14 bahwa perusahaan harus mempekerjakan sekurang-

kurangnya 1 (satu) orang penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan dan

kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan.

Perusahan yang menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-

kurangnya 1 (satu) orang penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan dan

kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari

100 (seratus) orang. Perlakuan yang sama diartikan sebagai perlakuan yang tidak
65
Pasal 67 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
16

diskriminatif termasuk di dalamnya kesamaan pengupahan untuk pekerjaan dan

jabatan yang sama. Secara normatif ketentuan untuk mempekerjakan tenaga kerja

penyandang disabilitas memang sudah ada, namun sosialisasi mengenai aturan

tersebut masih sangat minim, banyak dari pengusaha yang tidak mengetahui atau

tidak memahami isi dari UU NO. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang disabilitas

tersebut. Sehingga pengusaha masih belum memahami ketentuan kuota 1% harus

mempekerjakan penyandang disabilitas dari jumlah pekerja yang ada di

perusahaannya sempatan.13 Pengawasan pemerintah kepada pengusaha yang belum

memenuhi kuota 1% masih sangat lemah. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas

ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan juga dapat berperan sebagai

penyidik.

Membina dan mengawasi. Misalnya masalah upah, perusahaan

memberikannya dibawah upah standar yang telah ditentukan, maka pegawai

pengawas ketenagakerjaan dapat memberikan pembinaan secara lisan, atau dapat

memberikan teguran secara tertulis. Pengawasan yang dilakukan meliputi hak-hak

pekerja termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja penyandang disabilitas. Jika secara

normatif tidak dilaksanakan maka pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat

memberikan teguran berupa nota pemeriksaan, nota pemeriksaan terdiri dari nota

pemeriksaan I, apabila nota pemeriksaan I tidak dilaksanakan maka diberikan nota

pemeriksaan II. Apabila nota pemeriksaan II tidak dilaksanakan oleh Pengusaha,


17

Pengawas Ketenagakerjaan yang melakukan Pemeriksaan melaporkan kepada


66
Pimpinan Unit Kerja Pengawasan Ketenagakerjaan.

Selain membina dan mengawasi, pegawai pengawas ketenagakerjaan juga

dapat melakukan penyidikan kepada perusahaan-perusahaan. Dan setiap tahun

perusahaan wajib melaporkan perusahaannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, apabila

perusahaan tidak menjalankan kewajibannya untuk melapor atau melakukan

pelanggaran maka sesuai dengan Pasal 10 UU No 7 Tahun 1981 maka pengusaha atau

pengurus dapat diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau

denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Namun selama ini belum

pernah ada perusahaan di Kabupaten Karawang yang dikenai sanksi administrasi

maupun sanksi pidana karena belum mempekerjakan tenaga kerja Penyandang

Disabilitas atau telah mempekerjakan tapi belum memenuhi sesuai dengan ketentuan

yang telah ditetapkan.

66
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2016 tentang Tata cara pengawasan ketenagakerjaan Pasal 31
sampai pasal 33
18

C. Cara pemerintah dalam menangani perusahaan yang mengabaikan


tenaga kerja disabilitas.

Banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan saat menjalankan regulasi yang

ada mengenai pemberian hak bekerja bagi disabilitas, maka dari itu pemerintah harus

memastikan bahwa peraturan tersebut benar-benar bisa diterapkan oleh masyarakat di

dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam hal ini peneliti akan menganalisis mengenai penerapan Pasal 53

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang memerintahkan perusahaan swasta untuk

mempekerjakan minimal 1% penyandang disabilitas dari jumlah pekerjanya dan

untuk perusahaan BUMN diharuskan untuk mempekerjakan 2% penyandang

disabilitas dari jumlah pekerjanya.67 Perusahaan yang terdapat di Kabupaten

Karawang sebagai badan hukum yang menjalankan kegiatan ekonominya guna

memperoleh keuntungan sehingga meningkatkan kegiatan produksi guna

memaksimalkan keuntungan. Dengan demikian perusahaan mencari pekerja yang

produktif serta sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Hal ini

lah yang peneliti yakini sebagai salah satu kesulitan perusahaan di Kabupaten

Karawang untuk mempekerjakan penyandang disabilitas, sebab pada umumnya

penyandang disabilitas tidak seproduktif orang yang bukan penyandang disabilitas,

karena mereka memiliki Hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

67
Pasal 53 Undang-Undang tentang penyandang disabilitas
19

Sedangkan perusahaan membutuhkan pekerja yang memiliki produktifitas

tinggi guna memaksimalkan proses produksi. Namun meskipun demikian, perusahaan

tidak dapat begitu saja mengabaikan perintah tersebut. Perusahaan harus melakukan

penyesuaian-penyesuaian pada perusahaannya baik secara penempatan kerja maupun

aksebilitas kepada para penyandang disabilitas agar dapat melaksanakan kewajiban

untuk mempekerjakan penyandang disabilitas sebagai bentuk tanggung perusahaan.

Penyesuaian-penyesuaian mengenai penempatan kerja serta aksebilitas bagi

penyandang disabilitas harus dilakukan sebab dengan begitu dapat memberikan

manfaat terhadap kedua belah pihak, karena dengan adanya penempatan kerja yang

sesuai dengan kondisi serta keterampilan penyandang disabilitas dan juga aksebilitas

yang memadai, akan memudahkan pekerja penyandang disabilitas untuk melakukan

pekerjaannya, dengan begitu produktifitas pekerja tersebut akan maksimal dan akan

berpengaruh terhadap peningkatan kinerja perusahaan sehingga hal tersebut akan

memberikan manfaat bagi perusahaan. Maka dari itu, jika perusahaan melaksanakan

perintah untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dengan penerapan yang tepat,

maka akan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, baik dari pihak penyandang

disabilitas maupun dari pihak perusahaan.

Penegakan hukum berdampak langsung pada kepatuhan masyarakat terhadap

hukum itu sendiri dan juga merupakan cerminan daripada kepastian hukum yang

dimana menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang

diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya, dalam hal ini ketegasan penegakan


20

hukum terhadap aturan mengenai perintah mempekerjakan penyandang disabilitas

akan berdampak pada kepatuhan perusahaan-perusahaan untuk mempekerjakan

penyandang disabilitas. ketegasan yang dimaksud yaitu pemberian sanksi yang sesuai

sebagaimana diatur oleh Undang-undang. Sanksi terhadap pelanggaran ini terdapat

pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang menjelaskan bahwa

“Setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang Disabilitas

untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).68 Untuk lebih memahami sanksi tersebut maka

perlu diketahui Pasal 143 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang

berbunyi “Setiap orang dilarang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang

Disabilitas untuk mendapatkan Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi”.

Merujuk pada aturan tersebut, perusahaan-perusahaan yang tidak menjalankan

kewajibannya untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dapat dikenakan sanksi

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) kepada direktur perusahaan tersebut sebagai

perwakilan dari perusahaan karena tidak memberikan hak atas pekerjaan kepada

penyandang disabilitas untuk bekerja di perusahaannya69. Perusahaan-perusahaan

baik swasta maupun bumn yang belum mempekerjakan pekerja penyandang

disabilitas sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh peraturan tersebut sudah

68
Pasal 145 Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas
69
Pasar 143 Huruf b Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas
21

selayaknya dikenakan sanksi. Selain itu menurut hasil wawancara dengan bapak

Andreas Kusderi selaku kepala divisi hubungan industrial dan persyaratan kerja

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang memang sudah hampir

semua perusahaan di Kabupaten Karawang menyediakan fasilitas yang ramah

terhadap penyandang disabilitas namun tidak menutup kemungkinan jika ternyata

masih ada perusahaan yang tidak menyediakan fasilitas perusahaan yang ramah

terhadap penyandang disabilitas, 70yang dimana merujuk pada Pasal 50 Angka 4 yang

berbunyi “Pemberi kerja yang tidak menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas

yang mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas dikenakan sanksi

administratif berupa:

a. teguran tertulis,

b. penghentian kegiatan operasional,

c.pembekuan izin usaha, dan

d. pencabutan izin usaha.71

70
Wawancara dengan bapak Andreas Kusderi selaku kepala divisi hubungan industrial dan persyaratan
kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang
71
Pasal 50 angka 4 Undang-Undang tentang penyandang disabilitas.
Ketidakpastian pendataan dari pemerintah setempat membuat data perusahaan yang
belum menyediakan fasilitas perusahaan yang ramah penyandang disabilitas jadi
tidak transparan dan terkesan mengabaikan sanksi bagi perusahaan yang belum
menyediakan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Indonesia sebagai
negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum tidak sepantasnya terjadi hal
demikian. Hal ini dapat merusak citra hukum dimasyarakat, sehingga berdampak
pada turunnya wibawa hukum dimasyarakat. Serta sangat berpotensi terjadi
pelanggaran-pelanggaran yang serupa. Dengan demikian pemberian sanksi kepada
perusahaan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 menjadi keharusan agar terwujudnya kepastian hukum terhadap hak-hak
penyandang disabilitas, sehingga tidak menciderai nilai-nilai kepastian hukum yang
seharusnya dijunjung tinggi dalam suatu proses penegakkan hukum. Melihat
penjabaran di atas kita dapat melihat sejauh mana nilai kepastian dan kemanfaatan
terhadap ketiga aspek di atas, serta dapat melihat seberapa berpengaruhnya nilai-nilai
kepastian dan kemanfaatan terhadap ketiga aspek tersebut

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya maka

dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

1. Yang menyebabkan perusahaan di Kabupaten Karawang mengabaikan

peraturan pemerintah adalah belum adanya mekanisme selama ini, dan

regulasinya baru disusun oleh Kementrian Ketenagakerjaan Republik

Indonesia atau Kemnaker per Tanggal 15 Desember 2020.

2. Perusahaan yang tidak menerapkan peraturan yang sudah ditetapkan akan

dikenakan teguran atau nota pemeriksaan oleh pegawai pengawas


2

ketenagakerjaan berupa nota pemeriksaan, nota pemeriksaan terdiri dari nota

pemeriksaan I, apabila nota pemeriksaan I tidak dilaksanakan maka diberikan

nota pemeriksaan II. Apabila nota pemeriksaan II tidak dilaksanakan oleh

Pengusaha, Pengawas Ketenagakerjaan yang melakukan Pemeriksaan

melaporkan kepada Pimpinan Unit Kerja Pengawasan Ketenagakerjaan. Dan

setiap tahun perusahaan wajib melaporkan perusahaannya sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan

di Perusahaan, apabila perusahaan tidak menjalankan kewajibannya untuk

melapor atau melakukan pelanggaran maka sesuai dengan Pasal 10 UU No 7

Tahun 1981 maka pengusaha atau pengurus dapat diancam dengan pidana

kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp

1.000.000,00 (satu juta rupiah). Namun selama ini belum pernah ada

perusahaan di Kabupaten Karawang yang dikenai sanksi administrasi maupun

sanksi pidana karena belum mempekerjakan tenaga kerja Penyandang

Disabilitas atau telah mempekerjakan tapi belum memenuhi sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan alasan Regulasi dan Mekanisme

yang belum ada dan jelas selama ini.

3. Cara pemerintah menangani perusahaan yang mengabaikan tenaga kerja

Penyandang Disabilitas adalah dengan memperkuat sanksi administrasi dan

pidana. Seperti perusahaan yang tidak menyediakan Akomodasi yang layak

dan Fasilitas yang mudah diakses oleh pihak Penyandang Disabilitas akan
3

dikenakan sanksi administratif berupa : teguran tertulis, penghentian kegiatan

operasional, pembekuan izin usaha, dan pencabutan izin usaha.

B. Saran

Berdasarkan dari pembahasan diatas maka penulis mempunyai saran, sebagai

berikut:

1. Perlu adanya wadah untuk Penyandang Disabilitas yang berisi program

kerja yang rutin dan terarah di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang

dalam memberikan pelatihan kerja juga kepada penyandang disabilitas.

2. Perlu adanya pelatihan kerja untuk penyandang disabilitas. Hal ini harus

dan wajib dilakukan untuk setiap pengusaha.

3. Perlu segara disusun Peraturan Daerah Kabupaten Karawang dengan jelas

tentang Penyandang Disabilitas.

4. Perlu segera dibuatkannya Unit Penyandang Disabilitas di Kabupaten

Karawang dalam bidang tenaga kerja.


Dan Pemerintah Kabupaten Karawang harus mempunyai gagasan-gagasan untuk

Penyandang Disabilitas dalam memperoleh hak dalam bekerja

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku :

Astri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika,

Jakarta, 2009.

Budiyanto, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Jakarta, 2000.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2013.

Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Metode Penelitian Hukum, PT. Refika Aditama,

Bandung, 2018.

Fajlurrahman Jurdi, Logika Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2017.

H.R. Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), 3rd ed. (Jakarta:

Restu Agung, 2009)

Hadjon, Philipus M., et al., Argumentasi Hukum, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, 2016.

Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003.

Hartono Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali

Pers, Jakarta, 1992.

Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi

Manusia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2002.

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo


2

Persada, Jakarta, 2016.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditana, Bandung, 2009.

R.Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013.

Rosalyn Benjamin Darling, 2013, Disability and Identity : Negotiating self in a

Changing Society, USA, Lynne Rienner Publishers.

Sedarmayanti, Good Governance, (Pemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi

Daerah, Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui

Rekonstruksi dan Pemberdayaan, Bandung: Mandar Maju, 2003

Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka

Cipta, 2003.

Soerjono Soekanto, et al., Penelitian Hukum Normatif, Suatuc

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Universitas

Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2007.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta 2010.

Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak -Hak Asasi Manusia: Perkembangan

Pengertiannya yang Merefleksikan Dinamika Sosial -Politik,” Masyarakat,

Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999

Sugi Rahayu,Utami Dewi dan Marita Ahdiyana.2013.Pelayanan Publik Bidang

Transportasi Bagi Difabel Di Daerah Istimewa Yogyakarta.Yogyakarta.

Sugiono, Hak Asasi Manusiauddin, dan Arief Rahmawan, ‘Klasterisasi Mahasiswa

Difabel.
3

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

B. Perundang-Undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

Undang-Undang nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan

Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2016 tentang Tata cara

pengawasan ketenagakerjaan.

C. Sumber Lain

Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 3 (2020).

Convetion On The Rights Of Persons With Disabilities Konvensi Mengenai Hak-

Data Rekapitulasi PMKS di Kabupaten Karawang.

Departemen Pendidikan Nasional: Gramedia, Jakarta,2008 kerja-bagi-penyandang

disabilitas/ WHO.int / World Health Organization.

Disampaikan dalam Talkshow “Peluang Kerja Penyandang disabilitas”, Unika Atma

Jaya, 2019.

https://alexanews.id/daerah/soal-tenaga-kerja-disabilitas-pt-chang-shin-abaikan-
4

aturan-pemerintah/.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b8cf8abc7dc4/kesempatan-Kamus

Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa ,Edisi Ke empat.

Iinternational labour standards concerning vocational rehabilitation and

employment, the ILO adopted landmark Convention No. 159 in 1983.

Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance.

International Labour Office, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di

Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, 2006.

Lihat Arthur O’Reilly, The Right to Decent Work of Persons with Disabilities

Building, IFP/SKILLS WORKING PAPER NO. 14, ILO, 2003.

Wawancara dengan bapak Andreas Kusderi selaku kepala divisi hubungan industrial

dan persyaratan kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten

Karawang.
LAMPIRAN

A. Hasil wawancara dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kabupaten Karawang

- Bagaimana sistem pengrekrutan untuk penyandang disabilitas selama ini di

kabupaten Karawang ?

Untuk mekanisme selama ini belum ada dan regulasinya baru disusun pada

tanggal 15 Desember 2020 oleh Kementrian Ketenagakerjaan Republik

Indonesia atau Kemnaker dan Unit layanannya baru mau dilaksanakan. Untuk

Rekrutmen belum ada untuk Penyandang disabilitas tapi untuk sarana dan

Prasarananya sudah ada.

- Apakah selama ini sudah ada Penyandang Disabilitas yang sudah bekerja di

Perusahaan BUMN maupun Perusahaan Swasta ?

Hanya ada 1 yaitu PT Chang sin

- Menurut Bapak apakah selama ini belum ada Penyandang Disabilitas yang

bekerja di Perusahaan Kabupaten Karawang.

Belum ada, karena perusahaan pun takut mempekerjakannya jika belum ada

payung hukum yang jelas.

- Kenapa Undang-Undang no. 8 tahun 2016 belum terlaksanakan di Kabupaten

Karawang?
2

Undang-Undang no. 8 tahun 2016 belum dijalankan karena masih menunggu

Kementrian dalam menyusun Regulasi dan Payung Hukumnya.

- Jadi selama ini sektor mana yang sudah memperkejakan Pihak Penyandang

Disabilitas ?

Hanya UMKM saja yang sudah mempekerjakan Pihak Penyandang

Disabilitas

- Apa yang menjadi kendala selama ini dalam ketidak terlaksananya Undang-

undang no. 8 tahun 2016 ?

Kendala selama ini belum ada terlaksana karena Payung Hukum yang belum

jelas.

- Apakah di Kab. Karawang sudah tersedia Unit Layanan Disabilitas?

Kabupaten Karawang sendiri belum menyediakan Unit Layanan Disabilitas

karena regulasinya baru disusun dan baru disahkan pada tanggal 15 Desember

2020 oleh Kementrian Tenaga Kerja.


3

Anda mungkin juga menyukai