Anda di halaman 1dari 123

TESIS

TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PEMBAGIAN


WARIS TERHADAP ANAK ASTRA DI BALI

LEGAL REVIEW IMPLEMENTATION OF INHERITANCE


DIVISION OF “ANAK ASTRA” IN BALI

I MADE SUDARMAWAN SRIYANA

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PEMBAGIAN
WARIS TERHADAP ANAK ASTRA DI BALI

LEGAL REVIEW IMPLEMENTATION OF INHERITANCE


DIVISION OF “ANAK ASTRA” IN BALI

Oleh

I MADE SUDARMAWAN SRIYANA


P3600211061

TESIS

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi


Sarjana
Dalam Program Pascasarjana

Pada

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : I Made Sudarmawan Sriyana

NIM : P3600211061

Program : Magister (S2)

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang

berjudul

“TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS

TERHADAP ANAK ASTRA DI BALI“ adalah benar-benar karya

saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau

pemikiran orang lain. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis

tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan

pernyataan saya di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima

sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang

saya telah peroleh dari tesis tersebut.

Makassar, 25 Mei 2013.

Yang menyatakan,

I MADE SUDARMAWAN SRIYANA


BSTRAK

I MADE SUDARMAWAN SRIYANA. Tinjauan Hukum Pelaksanaan


Pembagian Waris Terhadap Anak Astra di Bali (dibimbing oleh Sri
Susyanti Nur dan I Made Suwitra)

Penelitian ini dilakukan untuk: 1) mendeskripsikan


pelaksanaan pembagian waris anak astra di Bali dan 2)
menganalisis implikasi hukum terhadap pembagian waris anak astra
dalam masyarakat di Bali pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari
2012.
Penelitian dilakukan di Bali, berbentuk normatif empiris, yaitu
selain mengkaji hukum dalam pelaksanaan, juga mengkaji secara
teoritik dan normatif. Data yang diperoleh kemudian dianalisis
secara kualitatif yang disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian: 1) Pembagian waris anak astra di Bali, tidak
mewaris terhadap harta peninggalan ayah biologisnya walaupun
anak astra diberikan harta berupa jiwa dana dan tatadan, tetapi
anak astra mewaris dan menerima wasiat dari garis ibunya untuk
memberikan perlindungan hukum bilamana ibunya melakukan
perkawinan. Pembagian waris anak astra di masing-masing daerah
berbeda-beda tergantung dari hasil putusan rapat lembaga adatnya ;
2) Implikasi hukum terhadap pembagian waris anak astra dalam
masyarakat di Bali pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010, adalah memberikan penegasan
atas pengakuan terhadap tanggung jawab bapak biologis anak astra
dan sebagai dasar pertimbangan dalam pembetukan hukum
menurut hukum adat yaitu melalui musyawarah keluarga adat
dengan pemuka-pemuka adat dalam pengambilan keputusan
pemberian kedudukan anak astra sebagai ahli waris dari ayah
biologisnya dalam pelaksanaan pembagian waris.

Kata Kunci: Pembagian Waris, Anak Astra, Hukum Adat Bali.


ABSTRACT

I MADE SUDARMAWAN SRIYANA. Legal Review Implementation


Of Inheritance Division Of “Anak Astra” In Bali (guided by Sri
Susyanti Nur and I Made Suwitra)
The research was conducted to: 1) describe the implementation of
the division of inheritance anak astra in Bali and 2) analysis the
implementation of the division of inheritance anak astra in Bali after the
ruling of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number
46/PUU-VIII/2010, dated February 13rd, 2012.
The research was conducted in Bali, empirical normative form, in
addition to reviewing the implementation of the law, also examines the
theoretical and normative. The data obtained and analyzed qualitatively
presented descriptively.
The results: 1) The division of inheritance anak astra in Bali, is not
heir to the legacy child's biological father although anak astra given
property in the form of jiwa dana and tatadan, but anak astra and heir of
the line will receive her mother to give her legal protection when marriage.
Division of inheritance anak astra in each region varies of domistic
regulation; 2) The legal implications of the division of inheritance anak
astra in the community in Bali after the verdict of the Constitutional Court
of the Republic of Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010, was confirmed as the
recognition of the responsibilities of the biological father of the anak astra
and as a basis anak astra in the development of customary law according
to which indigenous families through consultation with indigenous leaders
in decision making to give anak astra as heir of the biological father in the
implementation of the division of inheritance.

Keywords: Division of Waris, Anaj Astra, Bali Adat Law.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tesis berjudul “TINJAUAN HUKUM

PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS TERHADAP ANAK ASTRA

DI BALI”.

Proses penyusunan tesis ini terdapat berbagai hambatan

yang dihadapi penulis. Namun atas bantuan, bimbingan dan

kerjasama dari berbagai pihak sehingga tesis ini dap at diselesaikan.

Oleh karena itu, perkenankan penulis dengan segala kerendahan

hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima

kasih penulis haturkan kepada:

1. Orang Tua (I Wayan Mandra & Ni Nyoman Karni), kakak (Ni

Wayan Sri Murthini), Adik (Ni Nyoman Ayu Puspawati), Istri (Ni

Wayan Puspa Dewi) dan anak-anak (I Putu Aditya Yoga dan Ni

Made Ishana Laksmi) yang tiada henti-hentinya memberikan

semangat dan dukungan baik moral maupun spiritual.

2. Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO., selaku Rektor Universitas

Hasanuddin yang telah memberikan saya kesempatan menuntut

ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar.


3. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., D.F.M selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Dekan I, Prof. Dr.

Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., Wakil Dekan II, Dr. Anshori, S.H.,

M.H., Wakil Dekan III, Romi Librayanto, S.H., M.H.

4. Dr. Nurfaidah Said, S.H.,M.H, M.Si. selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan, dan Kahar Lahae, S.H., M.H., selaku

Sekteraris Program studi Magister Kenotariatan, beserta staf, ibu

Eppy dan Pak Aksa atas segala bantuan selama menempuh

pendidikan di Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

5. Dr. Sri Susyanti Nur, S.H, M.H selaku pembimbing utama yang

telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini tepat

waktu.

6. Dr. I Made Suwitra, S.H., M.H, selaku pembimbing pendamping

yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu.

7. Prof. Dr. H. Aminuddin Sale, S.H., M.H., Prof. Dr. Farida

Patittingi, S.H., M.H., Prof. Dr. A Suryaman Mustari Pide, S.H.,

M.H., selaku anggota Komisi Penguji, atas saran, kritik dan

waktu yang telah diberikan kepada penulis.


8. Para Bapak Ibu Guru Besar Universitas Hasanuddin Makasar

yang telah membantu dalam perkuliahan maupun penyelesaian

tesis ini.

9. Para Bapak dan Ibu Dosen Pengajar pada Program Magister

Kenotariatan Universitas Darmadewa Bali, beserta staf, atas

segala bantuannya dan arahannya selama menempuh

pendidikan

10. Teman-teman mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Angkatan 2010 dan

Angkatan 2011, atas saran, masukan, dan bantuannya dalam

penyelesaian penulisan tesis ini.

11. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan

tesis ini.

Akhirnya dengan kerendahan hati, tugas akhir yang jauh dari

sempurna ini dapat diajukan kepada Tim Penguji yang terhormat,

oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran

dan kritik yang membangun, serta kiranya tesis ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua.

Denpasar, 25 Mei 2013

Penulis

I MADE SUDARMAWAN SRIYANA


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................ I


HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................... II
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................................... III
ABSTRAK .................................................................................. IV
ABSTRACT ................................................................................. V
KATA PENGANTAR .................................................................... VI
DAFTAR ISI ................................................................................ IX

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………1
A. Latar Belakang .................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................9
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ........................................................ 10
E. Orisinalitas..................................................................... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………… 16

A. Pengertian Hukum Waris adat ................................................. 16

B. Pengertian Hukum Keluarga ..................................................... 21

C. Prinsip-prinsip Keturunan Dalam Hukum Keluarga ...... ………...22

1. Unsur-unsur Pewarisan ......................................................... 22

2. Syarat-syarat Sebagai Ahli Waris .......................................... 27

D. Pembagian Harta Warisan Menurut HukumAdat Bali ..... ………30

E. Anak Astra Menurut Hukum Adat Bali ...…………………………33

1. Pengertian Anak Astra .......................................................... 33

2. Kedudukan Anak Astra ……………………………………… 34

F. Putusam MK RI Nomor 46/PUU-VIII/2010……………………… 36

G. Kerangka Teoritis...................................................................... 37

H. Kerangka Pikir……………………………………………………... 44

I. Definisi Operasional ................................................................... 45


BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………….. 47

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian .............................................. 47

B. Lokasi Penelitian ...................................................................... 47

C. Populasi dan Sampel ............................................................... 48

D. Sumber Data dan Bahan Hukum ............................................. 49

E. Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum ........................ 51

F. Analisis .................................................................................... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pembagian Waris Anak Astra di Bali ......... 54

1. Pengakuan Ayah Biologisnya ................................... 56

2. Perkawinan Orangtua Anak Astra. ............................. 56

3. Agama dan Kepercayaan ………………………………. .. 60

4. Hak Dan Kewajiban Anak Astra ................................. 61

a. Hak Waris Anak Astra………………………………… .. 61

b. Kewajiban Anak Astra ……………………………… ... 79

5. Putusan Lembaga Adat …………………………………... 81

B. Implikasi Hukum Terhadap Pembagian Waris Anak

Astra dalam masyarakat di Bali karena berlakunya

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012 ...... 83


BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................. 105

B. Saran .......................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan sebagai wujud menyatunya dua insan ke dalam satu

tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin

yang langgeng bersama pasangan hidupnya. Tujuan perkawinan juga

dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik

Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur bahwa:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan


seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya kebahagiaan dari suatu

perkawinan akan lebih lengkap bilamana ada anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut. Hal ini juga dikarenakan salah satu hakikat dari

perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi melalui anak sebagai

penerus keturunan.

Anak yang lahir dari perkawinan antara seorang pria dan seorang

wanita, akan beribu pada wanita yang melahirkannya dan berayah pada

suami dari wanita itu. Keadaan tersebut merupakan suatu peristiwa yang

normal. Tapi pada kenyataannya tidak semua peristiwa atas kelahiran

seorang anak berjalan normal, karena dalam kehidupan nyata suatu

masyarakat, ditemukan adanya peristiwa-peristiwa di luar keadaan yang


normal, seperti adanya anak yang lahir dari wanita yang belum berada

dalam ikatan perkawinan yang sah.

Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut

masing-masing agama dan kepercayaannya, seperti di atur dalam Pasal 2

ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang mengatur bahwa :

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Selanjutnya menurut kepercayaan masyarakat di Bali, suatu

Perkawinan adalah sah bilamana telah melalui 3 (tiga) tahapan upacara

perkawinan, yaitu:

a. Upacara pendahuluan; dengan tujuan untuk


menghilangkan sebel kendelnya mempelai yang
bersangkutan sehingga bisa melakukan tahapan upacara
berikutnya.

b. Upacara pokok; merupakan upacara pemuput baik secara


adat, agama maupun kemasyarakatan, dimana
kesuciannya dan kesahannya tidak diragukan lagi,
walaupun misalnya tahapan upacara berikutnya seperti
tersebut dibawah ini pada huruf (c) tidak diadakan lagi.

c. Upacara lanjutannya; merupakan upacara yang secara


keagamaan bertujuan untuk lebih meningkatkan nilai
kesucian, atau meningkatkan kesusilaan hubungan
perbesanan. 1

Tahapan-tahapan tersebut di atas bila telah dilakukan maka

pasangan suami istri dinyatakan telah melakukan perkawinan yang sah

1
I Gst. Ketut Kaler, Cudami Perkawinan Dalam Masyarakat Hindu di Bali,
Percetakan Bali (offset), 1990, hal 16
menurut kepercayaan dalam hukum adat Bali sehingga anak-anak yang

terlahir nantinya merupakan anak sah.

Ketentuan mengenai anak sah antara lain diatur dalam Pasal 42

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang menyatakan bahwa :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat dari perkawinan yang sah”.

Apabila seorang anak telah lahir sebelum upacara perkawinan

diselenggarakan, maka anak tersebut dinamakan anak luar kawin, di Bali

dikenal dengan sebutan anak astra, implikasinya lebih lanjut telah diatur

dalam Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :

“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai


hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya”.

Bunyi Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan

ibu dan dengan keluarga ibunya, tetapi tidak termasuk hak warisnya

terhadap keluarga ibu, ia hanya berhak atas warisan yang dimiliki oleh

ibunya saja.

Menurut Hukum Adat di Bali, seorang anak yang dilahirkan

sebelum dilaksanakannya suatu upacara perkawinan dapat digolongkan

menjadi 2 (dua), yaitu anak bebinjat dan anak astra. Perbedaan anak

bebinjat dan anak astra ini adalah :

a. Anak bebinjat : anak luar kawin yang tidak diketahui


ayahnya.
b. Anak astra : anak luar kawin, dimana kasta si laki-laki yang
menurunkan anak tersebut, lebih tinggi daripada kasta
ibunya. Dalam hal ini ayah dari anak ini diketahui, tetapi
tidak dilaksanakan perkawinan sah. 2

Perbedaan antara anak bebinjat dengan anak astra terletak pada

siapa ayah biologis si anak tersebut. Bilamana ayah biologis si anak tidak

diketahui maka anak tersebut dikatakan anak bebinjat sedangkan jika

diketahui siapa ayah biologisnya maka dapat dikatakan sebagai anak

astra. Dengan catatan kasta laki-laki yang membenihi lebih tinggi dari

kasta ibunya.

Bilamana anak terlahir setelah perkawinan yang sah meskipun

sebelumnya seorang gadis telah hamil lebih dulu, dimana kehamilannya

diakui oleh laki-laki yang merupakan ayah biologisnya, maka anak yang

lahir dapat dikatakan sebagai anak sah.3 Sedangkan jika perkawinan

dilakukan oleh kedua orang tuanya setelah anak tersebut terlahir maka

anak tersebut dinyatakan sebagai anak luar kawin yang hanya memiliki

hubungan perdata dengan ibunya serta keluarga ibunya. Ketentuan

tersebut juga berlaku pada masyararakat hukum adat yang menganut

sistem kekeluargaan patrilinial dimana kedudukan pihak ayah (laki-laki)

mempunyai fungsi lebih penting dibandingkan pihak wanita (ibu), dalam

hal ini maka kedudukan hukum dari anak yang dilahirkan di luar

2
K.M.R.H. Soeripto, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris Bali, UNEJ,
Jember, 1973, hal 33
3
Ibid, hal. 30-33
perkawinan yang sah adalah sama dengan seorang anak sah dalam

hubungannya dengan ibunya atau terhadap keluarga ibunya.4

Berbeda dengan masyarakat hukum adat Bali meskipun seorang

gadis yang telah hamil terlebih dahulu dan diakui oleh seorang laki-laki

yang merupakan ayah biologisnya serta hendak melangsungkan

perkawinan secara sah, namun diketahui oleh sesepuh adat di

masyarakat adat Bali ternyata usia kehamilan sang calon pengantin

wanita sudah memasuki lebih dari lima bulan, maka kedua mempelai

tersebut tidak diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan.

Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah si jabang bayi lahir dengan

status sebagai anak astra atau dinamakan anak astra . Anak astra

tersebut tidak diperkenankan untuk diakui dan disahkan sebagai anak

sah, sehingga tidak ada hubungan perdata antara anak astra tersebut

dengan keluarga sedarah, yaitu ayah yang telah kawin sah dengan ibunya

dan adik-adik yang terlahir kemudian. Dengan tidak adanya hubungan

perdata dengan ayah biologisnya dan saudara sedarahnya, maka akan

berpengaruh terhadap kedudukan anak astra tersebut dari sisi pewarisan.

Pewarisan adalah mengatur cara bagaimana harta peninggalan

atau harta warisan diteruskan kepada generasi berikutnya. Sedangkan

hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur

tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau

dibagi dari pewaris kepada para ahli waris dari generasi ke generasi
4
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Edisi II, Tarsito, Bandung,
1984, hal. 14
berikutnya. Dengan demikian pewarisan itu mengandung tiga unsur yaitu

adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang

meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris yang akan

meneruskan pengurusan atau yang akan menerima bagiannya.5

Dalam hukum waris yang menjadi subjek adalah pewaris dan ahli

waris, demikian pula halnya dalam hukum waris adat. Pewaris adalah

seseorang yang menyerahkan atau meninggalkan harta warisan,

sedangkan yang dimaksudkan ahli waris adalah orang-orang yang

berdasarkan hukum yang berhak menerima warisan.

Penerima warisan dalam hukum adat Bali adalah sentana yaitu

anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Sentana adalah anak laki-laki

yang terlahir dari perkawinan yang sah, dimana dalam ajaran Hindu

disebut sebagai kepurusan,6 yaitu kedudukan seorang laki-laki lebih

penting dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang wanita.

Dikatakan penting karena Sentana selaku pemikul Dharma (kewajiban)

menunaikan pitra puja yaitu pemujaan dan tanggung jawab kepada

leluhur, yang diiringi dengan hak mendapat warisan, mempergunakan dan

mengemong (menjaga) barang-barang pusaka.

Sesuai dengan status anak astra sebagai anak astra yaitu anak

yang lahir diluar perkawinan yang sah menurut hukum adat Bali tentu

5
Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1992,
hal. 211
6
Korn, VE, Hukum Adat Waris di Bali, diterjemahkan serta diberi catatan oleh I
Gde Wajan Pangkat, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Udayana, 1972, h. 7
kedudukannya tidak dapat disamakan dengan sentana. Anak astra

tersebut kedudukannya menurut hukum adat Bali hanya memiliki

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga tidak

memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga

ayahnya, walaupun kemudian setelah kelahiran anak astra tersebut kedua

orang tuanya melakukan perkawinan yang sah, akan tetapi anak astra

tersebut tetap tidak bisa diakui kedudukannya sebagai anak sah.

Tidak dapat diakuinya anak astra sebagai anak sah akan

berpengaruh terhadap pewarisannya, yaitu bahwa anak astra bukan

merupakan ahli waris dari ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan

demikian anak astra tidak akan memperoleh bagian warisan dari

ayahnya.

Anak astra yang tidak diakui sebagai anak sah dalam keluarga

yang mengakibatkan kedudukannya tidak sebagai ahli waris atau tidak

mendapatkan bagian warisan menurut hukum adat Bali, akan

menimbulkan suatu permasalahan karena tidak memberikan kepastian

hukum, rasa keadilan dan perlindungan hukum kepada anak astra,

sehingga dalam pelaksanaan pembagian waris perlu adanya perhatian

terhadap anak astra.

Perkembangan kedudukan anak luar kawin dalam pewarisan

direfleksikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012 tentang pengakuan

anak luar kawin yang mengatur:


“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”.

Pengakuan tersebut memberi format hukum baru tentang

pengakuan terhadap kedudukan anak tersebut, berkaitan dengan

pengakuan dan atau pengesahan oleh orang tuanya (ayah biologisnya).

Dengan dilakukan pengakuan dan pengesahan oleh ayah biologisnya

maka terhadap anak astra tersebut akan memiliki hubungan perdata

dengan ayahnya. Bilamana nantinya terdapat hubungan perdata antara

anak astra dengan ayah biologisnya maka berpengaruh pula terhadap

bagian warisnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-

VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012 tersebut nantinya dimungkinkan akan

menjadi dasar acuan dalam pengaturan pembagian waris terhadap anak

luar kawin. Sebagai wujud pemberian kepastian hukum, perlindungan

hukum dan rasa keadilan terhadap anak dalam memperoleh hak sebagai

ahli waris

Mengingat perkembangan masyarakat di Indonesia dewasa ini

semakin banyak anggapan bahwa hubungan di luar ikatan perkawinan

yang sah tidaklah merupakan suatu masalah yang luar biasa, sehingga

sering kali terjadi kelahiran seorang anak di luar suatu ikatan perkawinan

yang sah. Anak astra yang lahir di luar suatu ikatan perkawinan sah dan

lahir dari hubungan orang tua yang berbeda kasta, dalam kehidupan
sehari-hari pada masyarakat adat Bali di sebut sebagai anak haram, yaitu

anak tak menentu siapa ayahnya. Artinya anak yang lahir tersebut hanya

mempunyai status serta hubungan biologis dan yuridis dengan ibu

kandungnya saja, tidak mempunyai hubungan yuridis dengan seorang

ayah, walaupun anak astra diketahui siapa ayah biologisnya dari golongan

berkasta di Bali.

Dalam kaitannya dengan hak mewaris anak astra, maka diperlukan

suatu peraturan atau hukum yang lebih memperjelas mengenai

pelaksanaan dan implikasi hukum pembagian waris terhadap anak astra.

Agar nantinya masyarakat adat Bali bisa memahami dan mengetahui

bagaimana sebenarnya hak seorang anak astra dalam hal mewaris,

khususnya setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012, sehingga

apa yang menjadi hak-hak seorang anak , yang dalam hal ini mengenai

pewarisan harta kekayaan menjadi lebih jelas, terutama pewarisan

kepada anak astra di Bali.

Mencermati persoalan tersebut diatas maka dipandang perlu

melakukan suatu penelitian tentang pelaksanaan pembagian waris

terhadap anak astra di Bali.

B. Rumusan Masalah

A. Bagaimana pelaksanaan pembagian waris anak astra di Bali?

B. Bagaimana implikasi hukum terhadap pembagian waris anak astra

dalam masyarakat di Bali pasca lahirnya Putusan Mahkamah


Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13

Februari 2012?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mendeskripsikan, mengkritisi, dan menganalisis hak ahli

waris anak astra terhadap warisan yang ditinggalkan pewaris

menurut hukum adat Bali, serta mengetahui implikasi hukum

terhadap pembagian waris anak astra dalam masyarakat di Bali

karena lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.

2. Tujuan Khusus

(1) Mendeskripsikan pelaksanaan pembagian waris anak astra

di Bali.

(2) Menganalisis implikasi hukum terhadap pembagian waris

anak astra dalam masyarakat di Bali pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-

VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan kaedah ilmiah

diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi untuk

pembahasan mengenai pelaksanaan dan implikasi hukum


terhadap anak astra di Bali setelah lahirnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal

13 Februari 2012, serta dapat dijadikan sebagai referensi oleh

mahasiswa terhadap penulisan-penulisan yang terkait selanjutnya.

b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat yaitu para teoritisi

dan praktisi termasuk pemuka-pemuka adat untuk pengembangan

studi tentang hukum adat waris Bali dalam hukum nasional

terutama dalam pelaksanaan dan implikasi hukum pembagian

waris terhadap anak astra di Bali setelah lahirnya Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010,

Tanggal 13 Februari 2012.

2. Manfaat Praktis

a. Secara Praktis dapat memberikan sumbangan pikiran bagi

masyarakat adat di Bali berkaitan dengan pelaksanaan dan

implikasi hukum terhadap anak astra dalam masyarakat

hukum adat di Bali setelah lahirnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010,

Tanggal 13 Februari 2012, serta memberikan kepastian

hukum dan perlindungan hukum terhadap pewarisan akibat

dari adanya anak astra sehingga ketika muncul kembali

permasalahan serupa di masyarakat, hasil penelitian ini

dapat menjadi solusi yang tentunya tidak bertentangan

dengan hukum adat Bali.


b. Bagi Hakim dan aparat penegak hukum lainnya, diharapkan

hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan

pertimbangan dalam penyelesaian gugatan warisan yang

muncul akibat adanya anak astra .

E. Orisinalitas

Untuk menjamin orisinalitas, maka penelitian ini mengkaji dan

menganalisis pada perspektif yang berbeda dengan berbagai penelitian

yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dimana dalam

uraian berikut dikemukakan hasil penelitian dan perbandingan dengan

penelitian ini antara lain:

Pertama, dilakukan oleh Ida Made Widyantha pada tahun 2010,

Tesis dengan judul Kedudukan Hukum Anak Astra Dalam Hukum Waris

Adat Bali Setelah Orang Tua Biologisnya Kawin Sah. Pokok

permasalahan dalam penelitian tersebut yaitu: 1) Bagaimana kedudukan

hukum anak dalam hukum kekeluargaan di Lombok setelah orang tua

biologisnya kawin sah?; 2) Bagaimana kedudukan hukum anak dalam

hukum waris adat Bali di Lombok setelah orang tua biologisnya kawin

sah?; 3) Bagaimana kedudukan hukum anak setelah berlakunya Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?;

Penelitian ini menyimpulkan bahwa anak di Lingkungan Monjok Griya

tidak dapat dilakukan pengakuan maupun pengesahan untuk menjadi

anak sah, anak yang kedua orang tua biologisnya kawin sah tidak berhak

mewaris dari kedua orang tuanya tersebut, karena tidak mempunyai


hubungan hukum dengan kedua orang tua biologisnya yang telah kawin

sah, walaupun ia mendapat tunjangan hidup dari ayah biologisnya.

Kedudukan anak sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 akan mempunyai hubungan perdata dengan ayah atau ibunya

secara biologis apabila ia diakui oleh mereka sedang kedudukan anak

setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1974 demi hukum hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya.

Kedua, dilakukan oleh I Gusti Made Darmayana pada tahun 2003,

Tesis dengan judul Kedudukan Anak astra Akibat Delik Adat Lokika

Sangraha Dalam Hukum Adat Waris Bali Di Kabupaten Tabanan Propinsi

Bali. Pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu: 1). Bagaimanakah

pola penyelesaian pelanggaran delik adat lokika sanggraha?; 2)

Bagaimanakah kedudukan anak yang lahir karena delik lokika sangraha

menurut hukum adat Bali?; Penelitian ini menyimpulkan bahwa anak yang

lahir sebagai akibat delik adat lokika sanggraha secara garis besarnya

tidak mempunyai suatu hubungan terhadap keluarga laki-laki pelaku delik

tersebut, tetapi hanya mempunyai hubungan dengan ibu yang

melahirkannya. Bahwa di dalam pewarisannya anak tersebut hanya

berhak mewarisi kepunyaan ibunya saja. Selain itu setelah upacara adat

yaitu di nikahkan dengan sebilah keris maka anak yang lahir karena delik

lokika sanggraha ini akan mewaris atas harta kakeknya sama dengan

ibunya tersebut.
Ketiga, dilakukan oleh Cokorda Gede Sri Narebdra 2008, tesis

dengan judul Status Anak Astra Dalam Hukum Adat Keluarga Dan Waris

Di Bali Dalam Perspektif Hukum Nasinal. Pokok permasalahan penelitian

ini yaitu: 1).Bagaimana status anak astra dalam hukum adat keluarga dan

waris di Bali?; 2) Apakah ada sinkronisasi (kesesuaian) antara Hukum

Adat Bali yang mengatur tentang status anak astra dengan hukum

nasional? Penelitian ini menyimpulkan bahwa status anak astra adalah

tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah geneologisnya, hanya

mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja. Hubungan hukum

inipun hilang pada saat si ibu kawin secara sah dengan ayah

geneologisnya. Hasil penelitian ini juga menyimpukan bahwa adanya

insinkronisasi norma hukum adat yang mengatur anak astra dengan

hukum nasional.

Hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan tersebut diatas,

tampak berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan walaupun ada

persamaan dari beberapa sumber data atau teori yang dipergunakan

tetapi yang ingin dikaji tidak sama, yaitu yang menyangkut pengaturan

pembagian waris anak di Bali, serta bagaimana pelaksanaan pembagian

waris anak astra dalam masyarakat di Bali setelah berlakunya Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010,

Tanggal 13 Februari 2012. Penyimpangan terhadap pewarisan yang

diakibatkan adanya anak rawan memicu konflik yang berujung pada

gugatan dari ahli waris lainnya. Dengan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan solusi dan kepastian hukum dalam penyelesaian masalah in

concreto sehingga kenyamanan dan keharmonisan masyarakat hukum

adat Bali bisa terjaga keberlangsungannya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata

secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum

kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup

kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami

peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang

dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang

yang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia

itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat

meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian

hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di

dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman

pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam.

Sehubungan dengan Hukum Waris Adat, akan dikemukakan

beberapa pendapat sarjana antara lain, R. Soepomo berpendapat bahwa;

Hukum Waris Adat memuat peraturan-peraturan yang (mengatur proses

meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-


barang yang tidak berwujud (immateriele goederen) dari suatu angkatan

manusia (generatis) pada turunannya.7

Sedangkan menurut Ter Haar Bzn hukum Waris Adat adalah,

Aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad

yang menarik perhatian adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan

materiil dan immateriil dari turunan ke turunan.8

Hukum Waris Adat memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur

cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak

berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan

peralihan harta kekayaan itu dapat berlangsung sejak pewaris masih

hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

Pendapat Soerojo Wignjodipoero mengatakan Hukum Waris Adat

adalah, Norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang

materiil maupun yang immateriil yang manakah dari seseorang yang dapat

diserahkan kepada keterunannya serta yang sekaligus juga mengatur

saat, cara dan proses peralihannya.9

Kemudian Bushar Muhammad menyatakan bahwa Hukum Waris

Adat meliputi, Aturan-aturan yang bertalian dengan proses yang terus

menerus dari abad ke abad, ialah suatu penerusan dan peralihan

7
Soepomo,.R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986,
hal.79.
8
Ter Haar Bzn, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng.
Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. hal. 202
9
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1988, hal. 161.
kekayaan baik materiil maupun immateriil dari suatu angkatan ke

angkatan berikutnya.10

Hukum Waris Adat mempunyai arti yang luas berupa

penyelenggaraan pemindahan dan peralihan kekayaan dari suatu

generasi ke generasi berikutnya baik mengenai benda materiil maupun

benda immateriil.

Namun demikian pengertian Hukum Waris Adat Bali menurut Ayu

Putu Nantri adalah: Suatu proses penerusan dari pewaris kepada ahli

waris tentang barang-barang materiil maupun barang-barang immateril

yang mana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban.11

Proses penerusan ini dilakukan oleh pewaris kepada ahli warisnya,

dimana penerusan atau pengalihan atas harta yang berwujud benda dan

tidak berwujud benda, yang kesemuanya itu menyangkut hak dan

kewajiban berupa kewajiban keagamaan.

Beberapa pengertian Hukum Waris Adat tersebut di atas, maka

dapatlah dikemukakan bahwa hukum Waris Adat itu mengandung

beberapa unsur yaitu :

a. Hukum Waris Adat adalah merupakan aturan hukum.

10
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1981, hal. 35.
11
Ayu Putu Nantri, Kedudukan Ahli Waris Adat yang beralih Agama Menurut
Hukum Adat Waris di Kabupaten Badung, Laporan Penelitian. Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, 1982, hal. 35
b. Aturan hukum tersebut mengandung proses penerusan harta

warisan.

c. Harta Warisan yang diperoleh atau diteruskan dapat berupa

harta benda yang berwujud dan yang tak berwujud.

d. Penerusan atau pengoperan harta warisan ini berlangsu ng

antara satu generasi atau pewaris kepada generasi berikutnya

atau ahli waris.

Adapun kriteria atau hal-hal yang menyebabkan ahli waris dapat

kehilangan haknya sebagai ahli waris karena beberapa hal seperti:

1. Pewaris atau ahli waris melakukan perkawinan nyeburin atau

“nyentana”.

2. Pewaris atau ahli waris melakukan tindakan beralih agama atau

“nilar kawitan”.

3. Sikap yaitu pewaris atau ahli waris melakukan tindakan durhaka

terhadap orang tua atau leluhur.

Ada macam-mcam anak yang tidak berhak mewaris yaitu :

1. Anak yang tidak diketahui siapa ayahnya.

2. Anak campuran orang (laki) banyak.

3. Anak seorang istri yang diceraikan, kemudian kawin lagi dengan

laki-laki lain dan hidup bercampur, setelah laki -laki yang kedua

itu meninggal, kembali kepada suami yang dahulu melan jutkan

isi kandungan.

4. Anak yang diperoleh karena pembelian.


5. Anak orang lain yang diminta agar diakui anak.

Menawadarmasastra menentukan anak tersebut di atas, dapat

menjadi ahli waris tetapi kedudukan tiap-tiap anak tersebut diatas tidak

sama dan dinyatakan sebagai kedudukan pengganti, yaitu anak berikut

setelah berturut-turut mengganti anak terdahulu bila anak terdahulu gagal

menduduki tempat itu. Selain dari anak tersebut di atas disebutkan pula

yang berhak sebagai ahli waris pada masyarakat hukum adat di Bali

adalah anak astra yaitu anak bebinjat dan anak astra, yang mempunyai

kedudukan sebagai ahli waris terhadap harta ibunya.

Bilamana ada pengesahan perkawinan, maka anak astra tersebut

berkedudukan sebagai anak kandung, sehingga anak tersebut berhak

mewaris apabila anak tersebut seorang anak laki-laki, jika seorang anak

perempuan maka hanya mempunyai hak untuk menikmati/menguasai.

Selain itu hukum Hindu juga menentukan pengaruh tingkah laku ahli

warisnya sebagai perbuatan yang dapat mempengaruhi kedudukannya.

Dalam praktik hukum Adat di Bali dijumpai seorang anak dikeluarkan

sebagai ahli waris karena melakukan pelanggaran yang dapat

mengancam kedudukan pewaris. Dengan kata lain seperti yang

disimpulkan dalam diskusi hukum adat waris di Bali bahwa seorang anak

laki yang berstatus ahli waris tidak akan menjadi ahli waris (mewaris)

karena durhaka terhadap leluhur dan orang tua. Semua ini karena

pengaruh dari perbuatan pribadi si ahli waris sendiri, akan tetapi

kenyataan dalam masyarakat, tentang hal tersebut di atas jarang penulis


temukan karena kenyataan dalam masyarakat adat Hindu ada suatu

anggapan bahwa bagaimanapun juga ia adalah anak sendiri (dalam

bahasa Balinya buah basang pedidi) sehingga muncullah istilah yang

dalam bahasa Balinya “kudiang nyepeg yeh” yang maksudnya bagaimana

bisa memotong air pada akhirnya tetap menjadi satu kembali.

B. Pengertian Hukum Keluarga

Belum adanya keseragaman tentang istilah hukum kekeluargaan,

sehingga para sarjana memakai istilah yang berbeda.

Hilman Hadikusuma menggunakan istilah Hukum Kekerabatan yakni

: Hukum yang menunjukkan hubungan-hubungan hukum dalam

ikatan kekerabatan termasuk kedudukan orang seorang sebagai

anggota warga kerabat (warga adat kekerabatan). 12

Menurut Djaren Saragih menyatakan Hukum Kekeluargaan adalah:

Kumpulan kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan-hubungan

hukum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis.13

Hubungan-hubungan hukum antara orang seorang sebagai warga

adat dalam ikatan kekerabatan meliputi hubungan hukum antara orang tua

dengan anak, antara anak dengan anggota keluarga pihak ayah dan ibu

serta tanggungjawab mereka secara timbal balik dengan orang tua dan

keluarga.

12
Hilman Hadikusuma, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni , Bandung,
1980 (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma II), hal. 140
13
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984,
hal.113
Menurut Gede Panetje, Hukum Kekeluargaan di Bali adalah:

Berdasarkan patriarchaat yakni hubungan seorang anak dengan

keluarga (clan) ayahnya menjadi dasar tunggal bagi susunan

keluarganya. 14

Hubungan seorang anak dengan keluarga ayahnya adalah paling

penting dalam kehidupannya, keluarga dari pancer laki-laki ini harus

mendapat perhatian lebih dahulu daripada keluarga dari pihak ibunya.

Tetapi disini bukan berarti hubungan si anak dengan keluarga ibunya tidak

ada artinya sama sekali.

C. Prinsip-prinsip Keturunan Dalam Hukum Keluarga

Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia terdapat

keanekaragaman sifat sistem kekeluargaan yang dianut. Sistem

kekeluargaan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

a. Sistem kekeluargaan patrilineal

b. Sistem kekeluargaan matrilineal

c. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral 15

Dalam sistem kekeluargaan patrilineal yaitu suatu masyarakat

hukum adat dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas

melalui garis ayah, ayah dari ayah terus ke atas sehingga kemudian

14
Gde Penetje, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayumas Agung,
Denpasar, 1990, hal.23
15
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro), 2005, hal. 8.
dijumpai seorang laki-laki sebagai moyang. (contoh ; Batak, Bali, Seram,

Nias dan Ambon).

Sistem kekeluargaan matrilineal yaitu sistem dimana para

anggotanya menarik garis ke atas melalui ibu, ibu dari ibu terus ke atas

sehingga kemudian dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya.

(contoh : Minangkabau dan Enggano). Pada sistem kekeluargaan parental

atau bilateral yakni suatu sistem dimana para anggotanya menarik garis

keturunannya ke atas melalui garis ayah dan ibu, terus ke atas sehingga

kemudian dijumpai seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai

moyangnya. (contoh ; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura,

Aceh, Sulawesi dan Kalimantan).

Pada masyarakat adat Bali umumnya anak laki-laki mempunyai

kedudukan lebih utama karena semua kewajiban dari orang tuanya akan

beralih kepada anaknya, dan anak laki-laki itu akan mendapatkan harta

warisan yang ditinggalkan pewaris.

1 . Unsur-unsur Pewarisan

Menurut Hukum Adat, untuk dapat berlangsungnya suatu proses

pewarisan harus memenuhi tiga (3) unsur, yaitu :

a. Adanya pewaris

b. Adanya harta warisan

c. Adanya ahli waris

Menurut Hilman Hadikusuma, pengertian pewaris di dalam Hukum

Waris Adat adalah : Orang yang mempunyai harta peninggalan selagi ia


masih hidup atau sudah wafat, harta peninggalan mana (akan) diteruskan

penguasaannya atau pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau

terbagi-bagi.16

Kedudukan seorang pewaris itu bisa ayah, ibu, paman, kakek dan

nenek. Orang itu disebut pewaris karena ketika hidupnya atau wafatnya

mempunyai harta warisan, dimana harta warisan tersebut akan dialihkan

atau diteruskan kepada ahli warisnya.

Menurut Cokorde Istri Putra Astiti dkk, menyatakan pengertian

Pewaris adalah: Orang ketika meninggalnya meninggalkan harta warisan

atau harta peninggalan yang akan beralih atau diteruskan kepada ahli

warisnya.17 Selaras dengan pendapat tersebut di atas, I Ketut Artadi

mengatakan pewaris adalah : Orang yang akan meninggalkan harta

warisannya di kemudian hari.18

Pada masyarakat adat Bali, umumnya yang dipandang sebagai

pewaris adalah laki-laki yang telah meninggal dunia. Dengan demikian

persoalan pewarisan baru akan muncul dalam satu keluarga apabila si

ayah yang meninggal dunia sedangkan jika si ibu yang meninggal dunia

tidaklah timbul persoalan pewarisan karena selama ayah masih hidup

16
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan,
Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991
(selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma III), hal. 9-10.
17
Cokorde Istri Putra Astiti, I Wayan Beni, Ni Nyoman Sukerti, Hukum Adat Dua
(Bagian Dua), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, 1984, hal. 50.
18
I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi
Yurisprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, 1987, hal.33.
kekuasaan atas harta kekayaan keluarga ada di tangannya. Hal ini sesuai

susunan kekeluargaan patrilineal yang umumnya dianut oleh masyarakat

Bali.

Harta warisan atau disebut juga harta peninggalan menurut Hilman

Hadikusuma adalah: Semua harta berupa hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang beralih penguasaan atau pemilikannya stelah pewaris

meninggal dunia kepada ahli waris.19

Wujud harta warisan menurut Hukum Waris Adat di Bali sesuai

dengan hasil-hasil Diskusi Hukum Waris Adat di Bali adalah :

1. Harta pusaka :

a. Harta pusaka yang tidak dapat dibagi -bagi ialah warisan yang
mempunyai nilai magis religius.

Contoh : keris yang bertuah dan lain-lain.

b. Harta pusaka yang dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang


tidak mempunyai nilai magis religius.

Contoh : sawah, ladang dan lain-lain.

2. Harta bawaan :

Yaitu harta yang dibawa oleh mempelai wanita maupun pria ke


dalam perkawinan.

a. Tetap menjadi hal masing-masing (suami/istri)

b. Setelah lampau beberapa waktu (3 tahun) menjadi milik


bersama.

3. Harta perkawinan :

Yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan (guna kaya)

19
Hilman Hadikusuma II, Op.cit, hal. 33.
4. Hak yang didapat dari masyarakat, seperti: mempergunakan
kuburan 20

Dalam wujud harta warisan seperti tersebut di atas ada harta

yang memang tidak dapat dibagi-bagikan karena penguasaan dan

pemilikannya, sifat benda serta kegunaannya. Sehingga harta

warisan itu dipelihara, digunakan dan menjadi milik bersama

diantara para ahli warisnya dalam suatu keturunan.

Pengertian ahli waris menurut Hilman Hadikusuma adalah,

Orang-orang yang berhak mewarisi harta warisan. 21 Artinya bahwa

orang tersebut berhak untuk meneruskan penguasaan dan

pemilikan harta warisan atau berhak memiliki bagian -bagian yang

telah ditentukan dalam pembagian harta warisan diantara ahli waris

tersebut. Ahli waris itu bisa anak, cucu, ayah, ibu, paman, kakek

dan nenek. Pada dasarnya semua ahli waris berhak mewaris kecuali

karena tingkah laku atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh ahli

waris sangat merugikan si pewaris.

Menurut hasil-hasil diskusi Hukum Waris Adat di Bali yang

ditetapkan sebagai ahli waris, yakni :

a. Setiap laki-laki dalam hubungan purusa selama tidak terputus

haknya untuk menerima warisan.

20
Lembaga Pembinaan hukum Nasional, Kedudukan Wanita Dalam Hukum
Waris Menurut Hukum Adat Bali, Hasil-hasil Diskusi Hukum Adat Waris di Bali,
Sekretariat Panitia Diskusi Hukum Adat Waris di Denpasar, 1997, hal. 4.
21
Hilman Hadikusuma III, Op.cit, hal. 53
b. Setiap sentana rajeg selama tidak terputus haknya untuk

menerima warisan. 22

Anak yang dikatakan sebagai ahli waris adalah anak kandung dan

anak angkat. Anak kandung pada prinsipnya mempunyai hak penuh

terhadap harta warisan orang tuanya, anak kandung disini adalah anak

kandung laki-laki yakni anak yang lahir dari perkawinan sah orang tuanya.

Anak laki-laki itu berhak mewaris apabila anak laki-laki itu :

1. Tidak melakukan perkawinan nyeburin.

2. Melaksanakan dharmanya sebagai anak atau tidak durhaka

terhadap orang tua dan leluhurnya.

Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa

ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya

sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan nyeburin

yang dianut pada masyarakat adat di Bali. Sehingga anak perempuan

tersebut dapat sebagai ahli waris dari harta warisan orang tuanya. Anak

angkat berdasarkan hukum adat waris di Bali dilakukan bilamana suatu

keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu

sebagai penerus generasi atau keturunan. Sebagai penerus keturunan

agar mantap dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini

haruslah diadakan upacara “pemerasan” dan diumumkan dihadapan

masyarakat. Upacara pengangkatan anak ini dimaksudkan untuk

melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua

22
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Op.cit, hal.2.
kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang

mengangkatnya. Anak angkat di Bali mempunyai hak penuh sama seperti

anak kandung terhadap harta warisan orang tuanya, dan mempunyai

kewajiban yang sama sebagaimana berlaku sebagai anak kandung

sendiri.

2. Syarat-syarat Sebagai Ahli Waris

Dalam hukum adat waris, anak-anak dari si peninggal warisan

merupakan golongan ahli waris yang terpenting dibandingkan dengan

golongan ahli waris pengganti lainnya, karena apabila si peninggal harta

warisan meninggalkan anak maka anaknya itulah sebagai ahli waris

utama.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa untuk menentukan siapa-

siapa yang menjadi ahli waris digunakan 4 (empat) macam kelompok

keutamaan, yakni :23

a. Kelompok Keutamaan I : keturunan pewaris

b. Kelompok Keutamaan II : orang tua pewaris

c. Kelompok Keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan

keturunannya

d. Kelompok Keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris

Sebagai ahli waris utama adalah keturunan pewaris sedangkan ahli

waris lainnya baru berhak atas harta warisan, apabila yang meninggal itu

tidak mempunyai anak, artinya jika seorang anak lebih dulu meninggal
23
Soerjono Soekanto dan Sulaiman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, CV.
Rajawali, Jakarta, 1994, hal. 287.
dunia daripada si peninggal warisan dan anak tersebut meninggalkan

anak-anak maka cucu dari si peninggal warisan ini menggantikan

kedudukan orang tuanya. Apabila keturunan pewaris ke bawah sudah

tidak ada lagi maka sebagai ahli waris adalah orang tua pewaris (ayah

dan ibu) sebagai kelompok keutamaan II, kemudian kalau orang tua

pewaris sudah meninggal dunia maka sebagai ahli waris adalah kelompok

keutamaan III yakni saudara-saudara pewaris dan keturunannya.

Demikian seterusnya jika saudara-saudara pewaris dan keturunannya

sudah tidak ada lagi sehingga ahli waris penggantinya adalah kakek dan

nenek dari si pewaris tersebut.

Di dalam pelaksanaan penentuan ahliwaris dengan menggunakan

kelompok keutamaan maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan

yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pada umumnya masyarakat

Bali menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam hukum

adat di Bali, menurut I Gde Pudja, mengadakan persyaratan-persyaratan

sebagai ahli waris adalah :

a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu


misalnya anak pewaris sendiri.

b. Anak itu harus laki-laki.

c. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan
sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris
misalnya anak angkat.

d. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum
Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian
melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak
keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian
lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu. 24

Sedangkan I Gusti Ketut Sutha menyebutkan bahwa : Pada

Prinsipnya yang menjadi ahli waris adalah yang terdekat dengan pewaris

melalui garis keturunannya ke purusa (laki-laki).25

Dengan demikian, tampak jelas bahwa anak laki-lakilah yang merupakan

ahli waris di dalam hukum adat di Bali. Jika tak ada anak laki-laki dan anak

angkat laki-laki maka dimungkinkan adanya penggantian ahli waris.

D. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Bali

Menurut Hukum Adat Waris menyebutkan bahwa sistem kewarisan

ada tiga yaitu :

1. Sistem kewarisan individual, dalam sistem kewarisan


harta peninggalan akan diwarisi bersama-sama dibagi-
bagi kepada semua ahli waris (individual). Sistem ini
dapat dilihat pada masyarakat bilateral di Jawa.

2. Sistem kewarisan kolektif, dimana harta peninggalan akan


diwarisi secara kolektif (bersama-sama) oleh sekumpulan
ahli waris, dimana harta warisan tersebut tidak akan
dibagi-bagi seperti pada sistem kewarisan individual.
Pada sistem ini harta warisan akan dinikmati secara
bersama-sama. Ahli waris hanya mempunyai hak pakai
atau boleh menikmati saja dari harta warisan dan tidak
mempunyai atau tidak dapat memiliki harta warisan
tersebut. Hal seperti ini dapat dilihat pada pewarisan ha rta
pusaka.

24
I Gde Pudja , Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran
Hindu Dharma, Cet. IV, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha
Departemen Agama Republik Indonesia, 1982 (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I), hal.
42.
25
I Gusti Ketut Sutha, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, Liberty,
Yogyakarta, 1987, hal. 60-61
3. Sistem kewarisan mayorat, dalam sistem kewarisan ini,
harta peninggalan secara keseluruhan atau sebagian
besar akan diwarisi oleh seorang ahli waris misalnya
dapat dijumpai pada pewarisan terhadap karang desa
dalam masyarakat adat Bali.

Pada masyarakat adat Bali, umumnya menganut sistem

kekeluargaan patrilinial, di dalam sistem kewarisannya menganut sistem

kewarisan individual, dimana ahli waris akan mewarisi secara perorangan

harta warisan berupa tanah, sawah dan ladang setelah orang tuanya

wafat. Tetapi dalam kewarisan mayorat anak laki-laki tertualah yang diberi

kuasa oleh saudara-saudara lainnya untuk mengatur harta peninggalan

sebab dalam kaitannya dengan kepemimpinan anak laki-laki tertua inilah

yang akan menguasai harta warisan dengan kewajiban mengasuh adik-

adiknya sampai dewasa. Kemudian terhadap harta pusaka seperti keris

bertuah, sanggah/merajan dan alat-alat persembahyangan yang berlaku

adalah sistem kewarisan kolektif yakni ahli waris akan mendapat warisan

secara bersama-sama dan harta warisan tersebut tidak dibagi-bagikan

diantara para ahli warisnya.

Sistem kewarisan yang dianut oleh masyarakat adat Bali, menurut

Cokorde Istri Putra Astiti, umumnya menganut susunan kekeluargaan

patrilinial, akan berlaku ketiga sistem kewarisan yakni individual, kolektif

dan mayorat.26

Ketiga sistem kewarisan tersebut dalam pembagian harta

warisannya sering menimbulkan sengketa, dimana sengketa itu terjadi

26
Cokorde Istri Putra Astiti, I Wayan Beni, Ni Nyoman Sukerti, Op.cit, hal. 51.
setelah pewaris meninggal dunia, tidak saja di kalangan masyarakat yang

parental tetapi juga terjadi pada masyarakat patrilinial dan matrilinial. Hal

mana dikarenakan masyarakat adat sudah lebih banyak dipengaruhi alam

pikiran serba kebendaan sebagai akibat kemajuan jaman dan timbulnya

banyak kebutuhan hidup sehingga rasa malu, kekeluargaan dan tolong

menolong sudah semakin surut. Dalam mencapai penyelesaian sengketa

pembagian warisan pada umumnya masyarakat hukum adat menghendaki

adanya penyelesaian yang rukun dan damai tidak saja terbatas pada para

pihak yang berselisih tetapi juga termasuk semua anggota keluarga

almarhum pewaris. Jadi masyarakat bukan menghendaki adanya suatu

keputusan menang atau kalah sehingga salah satu pihak tidak merasakan

bahwa keputusan itu tidak adil dan hubungan kekeluargaan menjadi

renggang atau putus karena perselisihan tidak menemukan penyelesaian.

Yang dikehendaki ialah penyelesaian perselisihan dengan damai

sehingga gangguan keseimbangan yang merusak kerukunan keluarga itu

dapat dikembalikan. Jalan penyelesaian atau cara pembagian harta

warisan menurut Hilman Hadikusuma adalah :

“Dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah


terbatas dalam lingkungan anggota keluarga sendiri yakni antara
anak-anak pewaris yang sebagai ahli waris, atau dapat juga
dengan musyawarah keluarga. Jika perselisihan pembagian itu tak
juga dapat diselesaikan maka dipandang perlu dimusyawarahkan di
dalam musyawarah perjanjian adat yang disaksikan oleh petua-
petua adat. Apabila segala usaha telah ditempuh dengan jalan
damai di muka keluarga dan peradilan adat mengalami kegagalan
maka barulah perkara itu dibawa ke pengadilan”.27

27
Hilman Hadikusuma I, Op.cit, hal. 116-117
Selaras dengan pendapat Hilman Hadikusuma, maka Soerojo

Wignjodipoero, mengatakan cara pembagian harta warisan yakni,

“Pembagian harta peninggalan merupakan suatu perbuatan


daripada pada ahli waris bersama, dimana pembagian ini
diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak
bersama para ahli warisnya. Pembagian itu biasanya dilaksanakan
dengan kerukunan diantara ahli waris, apabila tidak terdapat
permufakatan dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan
ini, maka hakim (hakim adat/hakim perdamaian desa atau hakim
pengadilan negeri) berwenang atas permohonan ahli waris untuk
menetapkan cara pembagiannya”.28

Berdasarkan penelitian tentang masalah warisan terhadap adanya

anak astra penyelesaian sementara dapat dilakukan dengan musyawarah

diantara ahli waris di dalam keluarganya. Bilamana terjadi perbedaan

pendapat karena ketidak rukunan dalam keluarga maka musyawarah itu

dapat diajukan kepada kepala adat (Bendesa).

Apabila usaha kepala adat tidak mendatangkan hasil maka

perselisihan pembagian harta warisan dapat dimusyawarahkan dengan

kepala desa untuk dapat dimintakan petuah-petuah sesuai dengan aturan-

aturan atau hukum adat yang berlaku. Jika masih juga terdapat

perdebatan maka langkah terakhir adalah mengajukan ke pengadilan.

E. Anak Astra Menurut Hukum Adat Bali

1. Pengertian Anak Astra

Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah dengan catatan

kasta laki-laki yang membenihi lebih tinggi dari kasta ibunya disebut anak

astra. Dalam hukum adat Bali anak astra tersebut dikenal dua istialah

28
Soerojo Wignjodipoero, Op.cit, hal. 181.
yaitu anak bebinjat dan anak astra. Anak bebinjat adalah anak astra,

biasanya tidak diakui karena tidak diketahui siapa ayah biologisnya atau

tidak ada laki-laki yang mengakui anak tersebut adalah dari benihnya,

sedangkan anak astra merupakan anak astra, dimana kasta laki-laki

sebagai ayah biologis dari anak tersebut lebih tinggi dari kasta ibunya. 29

Perbedaan dari kedua anak astra tersebut yaitu mengenai diketahui dan

tidaknya ayah biologisnya dari anak astra tersebut dimana anak bebinjat

tidak diketahui siapa ayah biologisnya sedangkan anak astra diketahui

siapa ayah bilogis

Mengenai pengertian anak astra juga dapat ditemukan pada kamus

bahasa Bali yang disusun oleh J. Kresten, yang benyatakan anak astra

adalah anak yang ayah biologisnya adalah dari golongan bangsawan

sedang ibunya dari golongan biasa dari hubungan yang tidak di sahkan

dalam suatu perkawinan. Dengan demikian pengertian dari anak astra

yang dimaksud merupakan anak dari hasil hubungan yang belum di

sahkan dalam suatu perkawinan dimana ada perbedaan kasta antara ibu

dari anak astra tersebut yang berasal dari golongan Sudra sedangkan

ayah biologisnya dari golongan Tri Wangsa atau bangsawan.

Dari beberapa pengertian tersebut diatas jelas termakna perbedaan

antara anak bebinjat dangan anak astra untuk membedakan status,

kedudukan dan fungsi anak astra dalam hukum keluarga dan hukum waris

adat Bali. Dengan diketahuinya status anak astra tersebut, maka akan
29
K.R.M.H, Soeripto, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris Bali, UNEJ,
Jember,1973, hal.33
diketahui pula bagaimana kedudukan anak astra tersebut dalam

pewarisan menurut hukum adat Bali.

2. Kedudukan Anak Astra Menurut Hukum Adat Bali

Menurut hukum adat anak yang lahir diluar perkawinan yang sah

hanya dapat mewaris terhadap harta peninggalan ibunya dan dari

keluarga ibunya, begitu pula bila anak itu meninggal dunia dan

meninggalkan warisan maka harta peninggalan tersebut juga akan

diwariskan kepada ibunya atau keluarga ibunya.

Untuk mengatasi agar anak tidak terlahir tanpa ada ayahnya maka

menurut hukum adat dapat dilakukan usaha-usaha sedapat mungkin

mengawinkan ibu dari anak. Usaha-usaha itu menurut Tamakiran adalah

dengan menyediakan lembaga-lembaga yang dimaksudkan agar anak

dari hubungan diluar perkawinan menjadi anak sah. Lembaga-lembaga

yang dimaksud adalah:

a. Kawin paksa, disini laki-laki dan wanita yang berbuat tersebut


dipaksa untuk kawin. Misalnya Kawin Kerapatan Marga
(Palembang).
b. Kawin darurat, bila laki-laki yang berbuat tersebut tidak diketahui
atau menghilang, maka wanita tersebut dikawinkan dengan
sembarang orang yang mau mengawininya dan apabila ini tidak
ada, maka kepala adatlah yang mengawininya. Jadi fungsi kawin
darurat disini adalah untuk menutup malu. Misalnya Kawin
Tambelan (Jawa)
c. Lembaga Lelikur, lembaga ini terdapat di Minahasa, artinya
seorang laki-laki memberikan sesuatu yang bersifat magis
religius kepada wanita tersebut sebagai pengakuan bahwa anak
yang akan dilahirkan itu adalah anaknya. Sesuatu itu dapat
berupa apa saja, misalnya: keris, pedang, rambut dan
sebagainya. 30

30
Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya,
Dengan disediakannya lembaga-lembaga ini menyebabkan tidak banyak

terdapat anak luar kawin yang tidak disahkan.

Berbeda dengan anak astra dimana kedua orangtuanya berasal

dari kasta yang berbeda dan jika orang tuanya menikah menurut hukum

adat Bali meskipun anak tersebut terlahir sebelum maupun setelah

perkawinan yang sah kedudukannya tetap dipersamakan dengan anak

astra sebagai anak astra menurut hukum adat pada umumnya. Anak astra

tersebut hanya memperoleh waris dari ibunya atau pihak keluarga

ibunya. Seorang anak demikain, menurut hukum adat Bali tidak

mempunyai ayah atau diturunkan dari garis leluhur ibunya dan kedudukan

anak tersebut tidak mewaris dari pihak ayahnya.

F. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-

VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-

VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan dari hubungan diluar perkawinan

yang sah menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 tahun 1974 status hukumnya sama dengan anak astra yakni

hanya punya hubungan hukum dengan ibunya ketentuan tersebut

tertuang dalam Pasal 43 ayat (1) UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi, anak yang lahir dari

perkawinan yang tidak disahkan menurut hukum negara tidak mempunyai

hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat

Bandung, 1992, hal. 77


dari akta kelahiran si anak. Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari

perkawinan tersebut tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak

bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan

tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama

ayah si anak). Demikian diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37

Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU RI No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan.

Setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan

mengatur anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum

dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.

Dengan demikian menurut putusan tersebut anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya.

Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah

dan anak secara hukum juga berakibat anak astra tidak mendapat warisan

dari ayah biologisnya. Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK)

melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang

pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengatur anak yang lahir di

luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi
hanya kepada ibu dan keluarga ibu dan memiliki kedudukan sebagai ahli

waris dari kedua orang tuanya.

G. Kerangka Teoritis

Adapun teori yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam

penelitian ini adalah teori-teori seperti teori Aliran Mazhab sejarah yang

dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny, Teori keputusan yang

dikemukan oleh Ter Har, teori social engineering oleh Roscoe Pound,

Teori receptio in complexu dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg.

Selain teori-teori tersebut teori-teori dari para ahli hukum Indonesia juga

dijadikan dasar menganalisa permasalahan dalam penelitian ini.

Teori Aliran Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Friedrich Carl von

Savigny (Volk geist) menyatakan bahwa hukum kebiasaan merupakan

sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan

berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Pandangannya bertitik

tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa

memiliki volksgeist (jiwa rakyat). Dia berpendapat hukum semua hukum

berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari

pembentukan undang undang.31

Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan

beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya

adalah proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu

31
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hal. 69
perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan

adat kebiasaan.

2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang

mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih

kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih

lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh

para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara

teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran

umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia

temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh

Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan

menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat

undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal.

Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena

mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny

menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat

diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist

dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk

mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang

sejarah. 32

32
W. Friedmann, Legal Teori, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat
Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I, CV. Rajawali, Jakarta,1990,
hal. 61
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia,

pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan

peranan yang penting dalam mempertahankan (preservation) hukum adat

sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan asli penduduk pribumi

dan mencegah terjadinya "pembaratan" (westernisasi) yang terlalu cepat,

kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya sama sekali, kecuali

bagi sebagian kecil golongan pribumi.33

Teori keputusan Ter Haar, hanya dari penetapan-penetapan yang

dinyatakan oleh para petugas hukum dapat diketahui peraturan-peraturan

hukum yang berlaku. Pada saat penetapan itu suatu peraturan

adat/kebiasaan mendapat sifat hukum. Saat penetapan itu adalah

existential moment (saat lahirnya) hukum itu.34 Hukum adat mencakup

seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-

keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan

pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan

dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan

tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan

tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Ter Haar

juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga

masyarakat.

33
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Penerbit Binacipta, Bandung,
1976, hal. 4
34
Surojo Wignjodipuro, Op.Cit, hal 9-10
Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan

pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.

1 Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan

warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang

berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang

membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan

hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan

para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang

keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau

kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum

rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran

tersebut, diterima, diakui atau setidaknya-tidaknya ditoleransi.

2 Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan

dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris

hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja,

eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidah hanya

keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga

diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan

ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan

alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota

persekutuan tersebut.

Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik

beratkan pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social


engineering”, artinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui atau

merekayasa masyarakat. Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi

kepentingan yang ada dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound ada

tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu public interest,

individual interest, dan interest of personality. Rincian dari tiap-tiap

kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi

berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat. Jadi, sangat

dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila kepentingan-

kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah,

maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi

merupakan pernyataan politik (manifesto politik). 35

Tugas utama hukum menurut Roscoe Pound adalah rekayasa

sosial. Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat

tetapi juga harus ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai

upaya sosial kontrol dalam arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan

kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki. Oleh karena itu, sangat

dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para penegak

hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara

benar logika, sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku yang benar agar

keadilan dapat ditegakkan.

35
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 66
Keputusan hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk

mengembangkan masyarakat. Tugas utama adalah sarana pembaharuan

masyarakat dalam pembangunan.

Teori receptio in complexu oleh Mr. Van den berg Intinya adalah

“selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum

pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti

hukum-hukum agama itu dengan setia. Jadi tegasnya, kalau suatu

masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat

masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.

Kalau ada hal-hal yang menyimpang daripada hukum agama yang

bersangkutan, maka hal-hal ini dianggap sebagai

perkecualian/penyimpangan” daripada hukum agama yang diterima dalam

keseluruhan itu. 36

Teori receptio in complexu, teori keputusan dan teori aliran mazab

sejarah dipakai dasar untuk menganalisa permasalahan mengenai

pelaksanan pembagian waris anak astra di Bali. Sedangkan teori social

engenering dipakai dasar untuk menganalisa permasalahan pengaturan

pembagian waris anak astra dalam masyarakat di Bali setelah berlakunya

36
Surojo Wignjodipuro, Op.Cit., 1990, hal. 21
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-

VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.


H. Kerangka Pikir

Dasar Hukum
F. Kerangka Pikir
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bab XII tentang Pewarisan Karna Kematian
Awig-awig

Pelaksanaan Pembagian Waris


Terhadap Anak Astra di Bali

Pelaksanaan Pembagian Implikasi Hukum Terhadap


Hak Waris Anak Astra anak astra di Bali pasca
dalam Hukum Adat di lahirnya Putusan MK RI
Bali: No.46/PUU-VIII/2010:
1. Pengakuan Ayah Biologis 1. Pengakuan terhadap anak astra
2. Perkawinan Orang tua 2. Hak mewaris dari garis ayah biologis
3.Agama dan Kepercayaan
Masyarakat
4. Hak dan kewajiban Anak astra
5. Putusan lembaga adat

Kepastian dan perlindungan


hukum terhadap hak waris anak
astra
I. Definisi Operasional

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional

merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan

konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang

menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,37

yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah

yang dipakai. selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan

kepada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini,

dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional

sebagai berikut :

a. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dimana dalam masyarakat

adat Bali dibukukan dalam bentuk buku yang mengatur tingkah laku

manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan

keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar

hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh

anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan

keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan

yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.

b. Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus

terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia,

37
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1998,
hal.3
dengan kata lain mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan

seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris

c. Hukum waris adat adalah peraturan yang mengatur proses meneruskan

barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud

dari suatu angkatan manusia kepada turunannya

d. Harta Warisan adalah harta kekayaan yang akan diteruskan pewaris

ketika masih hidup atau setelah ia meninggal dunia untuk dikuasai atau

dimiliki oleh para ahli waris.

e. Sistem kewarisan masyarakat adat Bali menganut susunan

kekeluargaan patrilinial, akan berlaku sistem kewarisan individual,

kolektif dan mayorat.

f. Anak astra adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah

menurut hukum adat Bali (anak astra) dimana ibunya berasal dari

kasta biasa dan ayahnya berasal dari kasta yang lebih tinggi .

e. Masyarakat adat di Buleleng, Karang Asem dan Denpasar adalah suatu

kelompok masyarakat yang berada di wilayah Provinsi Bali. Daerah

tersebut merupakan tempat yang dapat ditemukan kasus-kasus

mengenai anak astra.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan berupa penelitian hukum empiris

(sosio yuridis) yaitu menggali pola prilaku yang hidup dalam masyarakat

sebagai gejala yuridis. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi

hukum dan pendekatan analisis (analytical approach) yang disebut

penelitian hukum normatif. Pendekatan sosiologis yaitu ilmu yang

mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala

sosial lainnya secara empiris analistis.38 Penelitian ini dilakukan karena

terhadap kedudukan anak astra, hak mewaris dan pelaksanaan

pembagian harta warisan di dalam hukum adat di Bali. Sedangkan

pendekatan analitis yaitu dalam arti untuk mengetahui pengaturan

pembagian waris anak astra dalam masyarakat di Bali setelah berlakunya

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-

VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kodya Denpasar, Kabupaten Badung,

Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng. Lokasi-lokasi tersebut

dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa di lokasi

tersebut terdapat kasus-kasus anak astra. Lokasi-lokasi tersebut memiliki

38
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Surabaya, 2011, hal 34
beberapa pemahaman yang berbeda mengenai konsep persepsi apa

yang dimaksud dengan anak astra serta beberapa perbedaan mengenai

kedudukan hukum bagi anak astra yang berimplikasi terhadap hubungan

hukum antara anak dengan ayah, keluarga ayah, dan keluarga ibu dari

anak astra tersebut terhadap kedua orang tua dan keluarga orang tuanya.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau

seluruh gejala/kejadian atau seluruh unit yang diteliti tidak hanya

mengungkap definisi tetapi dirumuskan sedemikian rupa yang

mengarah pada populasi dan sampel,39 dalam permasalahan ini yaitu

masyarakat dimana pada suatu wilayah yang dapat ditemukan kasus-

kasus anak astra. Populasi dalam penelitian ini dipilih dari beberapa

wilayah yang memang terdapat kasus anak astra dan pemuka-

pemuka adat dalam masyarakat adat tersebut yang memahami

mengenai anak astra, dimana wilayah yang dimaksud adalah Kodya

Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Karangasem dan

Kabupaten Buleleng.

2. Teknik Sampel

Sampel adalah himpunan sebagian dari populasi yang merupakan

obyek penelitian.40 Bagian dari populasi tersebut diharapkan mampu

39
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukumdan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, Cetakan ke-V, 1999, h.34
40
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grop,
mewakili populasi dalam penelitian. Dalam penelitian teknik pengambilan

sampel yang digunakan Nonprobability dimana jenis sampel ini tidak

dipilih secara acak. Bagian tenik sampel Nonprobability yang digunakan

adalah purposive sampling dimana sesuai dengan namanya, sampel

diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Jenis purposive sampling

yang digunakan adalah judgment sampling yaitu sampel dipilih

berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling tepat

untuk dijadikan sampel penelitian dimana dalam penelitian ini akan dipilih

pelaku sendiri yaitu seseorang yang berkedudukan sebagai anak astra,

kepala-kepala adat yang memahami mengenai permasalahan anak astra

serta orang-orang dalam suatu lembaga masyarakat adat yang

memahami tentang sejarah maupun mengenai keberadaan anak astra

tersebut.

D. Sumber Data dan Bahan Hukum

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data

primer (primary data) dan data sekunder (secondary data). Data primer

ialah data yang diperoleh langsung dari masyarakat,41 yaitu bersumber

dari informan dan responden. Sedangkan yang dimaksud data sekunder

adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan

dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain,

Jakarta, 2010, hal. 97


41
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 13
yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang

biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi.42

Informan adalah orang yang memberikan informasi mengenai kondisi

orang lain, seperti: Prajuru Adat, tokoh-tokoh masyarakat adat.

Sedangkan Responden adalah orang yang memberikan informasi tentang

kondisi dirinya sendiri, seperti: seseorang yang merupakan anak astra

serta keluarganya.

Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,43

berupa peraturan perundang-undangan, yaitu; Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Bab XII tentang Pewarisan Karna

Kematian; dan Awig-awig desa.

b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer,44 seperti: buku-

buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah hasil

seminar.

42
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 65.
43
Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, Universitas Indonesia (UI)
Press, 1986, hal.52
44
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit. 1999, hal. 12
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,45 berupa

kamus-kamus.

E. Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang dikenal adalah studi kepustakaan,

pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan daftar pertanyaan

(kuesioner).46 Sesuai dengan sumber data seperti yang dijelaskan di atas,

maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan yaitu terhadap data sekunder dikumpulkan

dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu dengan mencari dan

mengumpulkan serta mengkaji peraturan perundang-undangan,

hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah seminar

yang berhubungan dengan pelaksanaan pembagian waris bagi

anak astra.

b. Wawancara (interview) yaitu terhadap data lapangan (primer)

dikumpulkan dengan teknik wawancara terarah (directive

interview)47 atau terstruktur (flowing interview) yaitu dengan

mengadakan komunikasi langsung kepada informan, dengan

menggunakan pedoman wawancara (interview guide) guna

45
Ronny Hanitijo Soemitro, Loc.Cit.
46
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit. 1999, hal.51
47
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan
Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal.59
mencari jawaban atas pelaksanaan pembagian waris bagi anak

astra.

Data sekunder dalam bentuk bahan hukum, baik primer, sekunder,

dan tersier akan dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan pencatatan

melalui studi dokumen. Sedangkan Data yang diperoleh dari sumber

pertama baik dari informan maupun dari responden akan dikumpulkan

dengan teknik wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan

sebagai pedoman, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya

masukan baru yang diperlukan dalam wawancara tersebut.. Proses

wawancara dalam bentuk tatap muka secara langsung telah dilakukan

dengan beberapa tokoh masyarakat yang berkedudukan sebagai Prajuru

adat, tokoh-tokoh masyarakat adat, masyarakat yang merupakan anak

astra beserta keluarganya.

F. Analisis

Analisa yang dilakukan menggunakan metode analisis deskriptif,

yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati. Penelitian mengenai pelaksanaan pembagian waris bagi

anak astra, setelah diperoleh data sekunder yang diperoleh melalui

penelitian kepustakaan yaitu bahan hukum berupa buku-buku dan

peraturan-peraturan, maka disusun secara sistematis. Tujuannya adalah

untuk dapat menentukan bagaimana pelaksanaan dan implementasi anak

astra di Bali, serta bagaimana pengaturan pembagian waris anak astra


dalam masyarakat di Bali setelah berlakunya Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13

Februari 2012. Kemudian dianalisis sehingga dapat diteliti apakah

seorang anak astra di Bali dapat memperoleh pembagian waris.

Data primer yang diperoleh dari hasil penelitian melalui wawancara

yang telah dilakukan kepada responden, untuk pertama kalinya

dikumpulkan, dikelompokan dan diseleksi yang selanjutnya dianalisis dan

Interpretasikan atau ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan

menggunakan metode kwalitatif sebagai hasil penelitian kepustakaan dan

penelitian lapangan. Terhadap hasil olahan data secara kualitatif ini

ditunjukan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan berdasarkan

kategori untuk memperoleh kesimpulan. Selanjutnya hasil analisis inilah

yang menjadi jawaban dari permasalahan yang diajukan.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pembagian Waris Anak Astra di Bali

Anak astra pada masyarakat adat Bali sudah sejak dahulu dikenal

dan kedudukannya di dalam hukum waris menurut hukum adat Bali telah

pula di atur. Menurut keterangan informan di Karangasem bahwa pada

jaman kerajaan di Karangasem, anak astra tersebut terlahir dari selir-selir

raja/isteri penawing yang berasal tidak dari kasta triwangsa melainkan dari

kasta biasa atau sudra. Pada masa itu menyandang status sebagai anak

astra tidaklah menjadikan anak astra merasa dikucilkan dalam pergaulan

sosial seperti anak bebinjat atau anak luar kawin dari ayah biologisnya

yang berasal dari kasta biasa. Menyandang sebagai anak astra bahkan

memberikan kebangaan tersendiri bagi anak astra pada masa tersebut.

Hal ini dikarenakan untuk dapat dijadikan selir/isteri penawing oleh raja

tidaklah mudah, karena harus memenuhi kreteria yang telah ditentukan

olah raja. Selain itu anak astra pada masa itu pada umumnya akan

mendapat kedudukan yang baik dalam status sosial masyarakat dan juga

akan memperoleh penghidupan yang baik dari raja atau keluarga raja

yang kaya.

Dalam perkembangannya anak astra tidak saja terlahir dari ibu

yang berkasta biasa atau sudra dengan ayah dari kalangan kerajaan atau

kasta ksatria melainkan juga dari kasta triwangsa yaitu kasta brahmana
dan wesya. Pada umumnya kasta triwangsa pada masa itu merupakan

orang yang terpandang dan kaya raya sehingga akan memberikan

penghidupan yang layak bagi ibu dan anak astra tersebut.

Keadaan itu bertolak belakang pada masa sekarang ini karena

berstatus sebagai anak astra tidaklah menjadikan kebanggaan lagi,

disebabkan karena pada saat ini anak astra belum tentu memperoleh

kedudukan yang baik dalam kehidupan sosial masyarakat bahkan

menjadikan si anak astra merasa disamakan dengan anak luar kawin.

Dengan disamakannya anak astra dengan anak luar kawin maka akibat

hukumnya adalah tidak mewaris dari ayah biologisnya dan keluarga

ayahnya, melainkan hanya memiliki hak perdata atau mewaris terhadap

harta ibunya dan keluarga ibunya.

Pada masa dahulu, anak-anak yang lahir dari isteri-isteri

selir/penawing di dalam mewarisnya dibedakan dengan anak-anak yang

terlahir dari isteri utama/padmi, yang memperoleh bagian yang lebih

besar, sehingga anak astra bergantung kepada kemauan baik dari

saudara-saudara tirinya.

Kedudukan anak astra dan hak warisnya dalam hukum adat Bali

pada umumnya terdapat kesamaan, namun terdapat beberapa posisi

kasus yang berbeda-beda mengenai anak astra sesuai lokasi penelitian,

yakni kasus anak astra di Kota Denpasar, Kabupaten Karangasem dan

Kabupaten Buleleng. Ada beberapa indikator yang dapat

membedakannya, yakni:
1. Pengakuan Ayah Biologis

2. Perkawinan Orang Tuanya

3. Faktor Agama dan Kepercayaan Masyarakat

4. Hak dan Kewajiban Anak sebagai ahli waris,

5. Harta warisan, dan

6. Putusan Lembaga Adat

Pada masyarakat Hindu di Bali mengenal 2 (dua) macam istilah

untuk menyebut anak luar kawin yaitu anak bebinjat dan anak astra, yang

mana perbedaannya terletak pada diketahui atau tidaknya ayahnya dan

masalah kasta.

1. Pengakuan Ayah Biologis

Terhadap kelahiran anak astra itu sering terjadi pengakuan dan

atau pengesahan oleh orang tuanya (ayah biologisnya). Dengan

dilakukannya pengakuan dan pengesahan oleh ayah biologisnya terhadap

anak astra tersebut, maka anak yang bersangkutan menjadi anak sah.

2. Perkawinan Orang Tuanya

Kedudukan anak astra berbeda-beda jika di tinjau dari orang

tuanya melakukan perkawinan sah atau jika orang tuanya tidak melakukan

perkawinan yang sah. Ditinjau dari orang tua anak astra yang melakukan

perkawinan sah dapat dibedakan dari waktu kelahirannya yaitu:

a. Lahir sebelum orang tuanya melakukan perkawinan sah

b. Lahir setelah orang tuanya melakukan perkawinan sah

dimana ibunya telah hamil lebih dari 5 (lima) bula n.


c. Lahir setelah perceraian orang tuanya

Hasil penelitian di beberapa Desa Adat di Bali seperti di Sanur,

Kota Denpasar, pengakuan terhadap seorang anak astra tidaklah serta

merta sebagai anak sah. Hal ini berkaitan pula dengan masalah kasta

walaupun kedua orang tua biologisnya melangsungkan perkawinan

secara sah, namun setelah diketahui oleh sesepuh adat Sanur ternyata

usia kehamilan sang calon pengantin wanita sudah memasuki lebih dari

lima bulan, maka kedua mempelai tersebut tidak dapat untuk

melangsungkan perkawinan dan perkawinan baru dapat dilaksanakan

setelah jabang bayi lahir dengan status sebagai anak astra dan tidak

diperkenankan disahkan sebagai anak sah, sehingga tidak ada hubungan

hukum kekeluargaan secara hukum adat antara anak astra tersebut

dengan keluarga sedarah yaitu adik-adiknya yang terlahir kemudian dari

ibunya yang telah kawin sah menurut hukum adat Bali dengan ayah

biologisnya.

Kedudukan Anak Astra yang orang tua biologisnya kawin sah tidak

dapat diterima sebagai bagian dari keluarga besar ayah biologisnya,

karena ia telah berada dalam kandungan ibunya lebih dari lima bulan

pada saat akan dilangsungkannya upacara pengesahan perkawinan dari

kedua orang tua biologisnya tersebut sehingga upacara perkawinan

tersebut tidak dapat dilaksanakan, baru setelah anak astra itu lahir

perkawinan antara kedua orang tua biologisnya dapat dilaksanakan, hal


ini sesuai dengan peraturan yang berlaku di Griya Abian Buruwan

Sanur.48

Di Kabupaten Buleleng tepatnya di Kota Singaraja, posisi kasus

anak astra yaitu seorang anak yang bernama Gede Bagus Djodi adalah

merupakan anak astra. Beliau anak astra dari hasil hubungan luar nikah

antara ayahnya yang telah memiliki istri sah dan dari kasta brahmana

dengan ibunya yang berkasta sudra. Pada saat kelahirannya tidak diakui

sebagai anak sah meskipun pada saat ini ayahnya mengakui secara de

facto sebagai darah daging dari ayahnya. Ia dalam melakukan

persembahyangan di Merajan keluarganya masih diijinkan berdasarkan

keputusan keluarga merajan namun persembahyangan di dadia maupun

merajan kawitan belum diijinkan karena belum mendapat persetujuan atau

belum ada keputusan dari keluarga dadia kawitannya . Hal ini

berpengaruh terhadap kedudukan anak astra tersebut dari sisi pewarisan

terutama terhadap harta pusaka.49

Di Kabupaten Karangasem ada dua posisi kasus anak astra yang

berbeda yaitu posisi kasus pertama, I Made Pice berasal dari Kecamatan

Agung Amlapura Desa Karangasem Banjar Adat Pekandelan Kabupaten

Karangasem merupakan anak astra. Beliau adalah anak astra yang dalam

pernikahannya antara ayahnya dari kasta brahmana dengan ibunya yang

48
Wawancara tanggal 1 Maret 2013 dengan tokoh agama di Griya Abian
Buruwan Sanur, Kodya Denpasar..
49
Wawancara tanggal 2 Maret 2013 dengan tokoh agama di Kecamatan Agung
Amlapura, Desa Karangasem Banjar Adat Pekandelan, Kabupaten Karangasem.
berkasta sudra. Pada saat hamil lima bulan karena ada perselisihan

dengan ayahnya, si ibu pulang kerumah orang tuanya. Dan karena dalam

jangka waktu tuju belas hari tidak kembali kerumah ayahnya maka

diceraikanlah ibunya tersebut. I Made Pice ini lahir setelah orang tuanya

bercerai dan merupakan anak ketiga dari orang tuanya. Dia tidak diakui

sebagai anak sah seperti kedua kakak kandungnya yang berkasta

brahmana dan tidak memperoleh warisan, namun pada saat ini ayahnya

mengakui secara de facto sebagai darah dagingnya serta diijinkan

melakukan persembahyangan di tempat suci keluarga baik di merajan

keluarga, dadia dan merajan kawitan.

Sedangkan posisi kasus anak astra kedua terjadi di Kabupaten

Karangasem Kecamatan Agung Amlapura Desa Karangasem Banjar Adat

Pekandelan adalah merupakan anak astra. Beliau adalah anak astra

dalam pernikahan antara ayahnya dari kasta brahmana dengan ibunya

yang berkasta sudra. Karena kelahirannya diusia perkawinannya baru tiga

bulan, maka dianggap sebagai anak astra. Untuk memberikan rasa

keadilan terhadap anak astra tersebut maka terhadap adik-adiknya yang

berikutnya pihak orang tuanya meminta anak-anak tersebut tidak

menggunakan nama kasta brahmana yaitu Ida Bagus dalam nama

mereka sehingga seolah-olah seluruh anak mereka merupakan anak

astra. Kemudian selajutnya mereka semua atas kesepakatan keluarga

diakui sebagai anak sah yang berkasta brahmana dan memperoleh

warisan sesuai adat yang berlaku serta di ijinkan melakukan


persembahyangan di tempat suci keluarga baik di merajan keluarga, di

dadia dan merajan kawitan.50

Keputusan yang diambil oleh orang tua dari anak astra tersebut

diatas adalah sangat bijak dan sesuai dengan Hak Asasi Manusia dimana

hak untuk diperlakukan sama dimuka hukum akan terpenuhi. Dengan

disamakannya status terhadap seluruh anak-anaknya dapat mencegah

perbedaan status sosial diantara mereka di dalam kehidupan

bermasyarakat serta memberikan rasa keadilan.

Kasus-kasus diatas memberikan gambaran bahwa ada perbedaan

pemahaman terhadap anak astra dari beberapa lokasi yang diteliti.

Perbedaan itu ada bukan saja karena si anak astra itu lahir diluar

perkawinan yang sah tetapi sangat erat pengaruhnya dengan

kepercayaan yang dianut masing-masing tempat.

3. Agama dan Kepercayaan Masyarakat

Agama dan kepercayaan juga sangat mempengaruhi kedudukan

anak astra. Menurut informan yaitu pemuka adat di Buleleng mengatakan

bahwa bila seorang wanita berkasta biasa hamil lebih dari 5 (lima) bulan

dan diketahui ayah si anak tersebut berasal dari kasta yang lebih tinggi,

maka upacara perkawinan menurut agama dan kepercayaan di Bali akan

di tunda. Hal ini menurut kepercayaan masyarakat Bali terkait dengan

leluhur siapa yang bereingkarnasi kedalam diri si anak tersebut. Keadaan

demikian yang menimbulkan keraguan bahwa yang bereingkarnasi bukan

50
Ibid.
dari leluhur ayah biologisnya, sehinggga anak tersebut tetap dinyatakan

sebagai anak astra. Begitu pula juga anak dari ibu yang berkasta biasa

dengan ayah biologisnya berkasta lebih tinggi terlahir anak yang diketahui

pada saat perkawinan sah kedua orang tuanya usia kandungan melebihi 5

(lima) bulan, maka anak tersebut juga di sebut sebagai anak astra seperti

pada kasus di Sanur dan di Karangasem. Anak yang terlahir demikian

tetap dianggap sebagai anak astra menurut hukum adat di daerah tertentu

di Bali sehingga kedudukannya tidak sebagai ahli waris dari ayah

biologisnya.

4. Hak Dan Kewajiban Anak Astra

a. Hak Waris Anak Astra

Membahas tentang waris bukan merupakan kata yang asing lagi

dalam kehidupan bermasyarakat, karena dalam kehidupan seseorang

yang meninggal dunia sudah pasti akan meninggalkan harta benda yang

dimilikinya dan juga meninggalkan keturunan maupun sanak saudara

yang masih hidup. Harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang yang

meninggal dunia itulah kemudian disebut dengan warisan. Warisan yang

ditinggalkan seseorang yang sudah meninggal dunia tersebut nantinya

akan diwariskan kepada keturunannya maupun sanak saudaranya yang

berhak untuk mendapatkan warisan tersebut. Dengan kata lain, semua

keturunan maupun sanak saudaranya yang masih hidup merupakan

sebagai calon ahli waris dari harta benda yang ditinggalkan oleh si

pewaris.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama di Buleleng,

Karangasem dan Denpasar dimana pada prinsipnya memiliki pendapat

yang sama mengenai kewarisan anak luar kawin. Pendapat tersebut yaitu

bahwa menurut hukum adat Bali, anak yang lahir di luar perkawinan yang

sah yang disebut anak luar kawin yang hanya dapat mewaris terhadap

harta peninggalan ibunya dan dari keluarga ibunya, begitupula bila anak

luar kawin tersebut meninggal dunia dan meninggalkan warisan, maka

harta peninggalan tersebut juga akan diwariskan kepada ibunya dan

keluarga ibunya ketentuan ini juga berlaku bagi anak astra.51

Pengaturan mengenai warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris,

maka dari itu diperlukanlah suatu peraturan yang mengatur tentang

warisan, sehingga pada saat warisan tersebut sudah terbuka dan bisa

diberikan kepada calon ahli warisnya, dalam pembagiannya bisa

diselesaikan dengan benar dan adil.52

Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terhadap

rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya

penulis sependapat dengan Andasasmita bahwa Hukum Waris itu

merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses

peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli warisnya.53

51
Wawancara tanggal 13 Maret 2013.
52
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Indonesia , Cetakan Pertama,
Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hal. 275
53
Andasasmita, Pokok-Pokok Hukum Waris, Catatan Pertama, IMNO Unpad,
Bandung, 1984, hal. 3
Di Indonesia pada umumnya dan pada khususnya di Bali tentang

sistem hukum waris belum dapat disimpulkan secara jelas hukum waris

mana yang dipergunakan. Hal ini disebabkan karena sistem kewarisan

dalam masyarakat masih kuat dipengaruhi oleh hukum adat dan agama

yang dianutnya. Tampaknya sampai kapanpun usaha ke arah unifikasi

hukum waris di Indonesia merupakan suatu upaya yang dapat dipastikan

sulit untuk diwujudkan. Satu di antaranya seperti yang dikemukakan

Mochtar Kusumaatmaja, bahwa “bidang hukum waris dianggap sebagai

salah satu bidang hukum yang berada di luar,” bidang-bidang yang

bersifat netral” seperti hukum perseorangan, hukum kontrak, dan hukum

lalu-lintas (darat, air, dan udara).54

Di samping itu Mochtar Kusumaatmaja juga menyadari bahwa

terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan konsepsi “hukum sebagai

sarana pembaharuan masyarakat”. Di Indonesia dimana undang-undang

merupakan cara pengaturan hukum yang utama, pembaharuan

masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama

melalui perundang-undangan. Hukum waris sebagai salah satu bidang

hukum yang berada di luar bidang yang bersifat netral kiranya sulit untuk

diperbaharui dengan jalan perundang-undangan atau kodifikasi guna

mencapai suatu unifikasi hukum. Hal itu disebabkan upaya ke arah

membuat hukum waris yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran

masyarakat akan senantiasa mendapat kesulitan, mengingat beraneka


54
Notopuro Hardjito,Masalah-Masalah Dalam Hukum Waris di Indonesia, Catatan
Pertama, TP Jakarta, 1971,hal. 21
ragamnya corak budaya, agama, sosial dan adat istiadat serta sistem

kekeluargaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Hal ini sejalan dengan teori aliran mazhab sejarah yang dipelopori oleh

Friedrich Carl Von Savgny (Volk Geist) menyatakan kebiasaan merupakan

sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan

berkembang bersama-sama dengan masyarakat, bahwa hukum semua

berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari

pembentuk undang-undang. Hal ini memberikan makna bahwa apabila

seseorang memeluk suatu agama harus juga mengikuti hukum-hukum

agama itu dengan setia, jadi secara tegas kalau suatu masyarakat itu

memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang

bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya (hal ini sesuai

dengan teori receptio in complexu oleh Mr.Van den berg).

Bedasarkan hasil wawancara dengan Rohaniawan di Griye Sanur

Kota Denpasar, mengatakan bahwa sebagai akibat dari keadaan

masyarakat seperti dikemukakan di atas, hukum waris adat bali yang

berlaku dewasa ini masih tergantung pada hukumnya si pewaris.55 Yang

dimaksud dengan hukumnya si pewaris adalah “hukum waris mana yang

berlaku bagi orang yang meninggal dunia.”56 Keragaman corak budaya,

agama, sosial, dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup

dan berkembang dalam hidup masyarakat adat menyebabkan hukum

55
Wawancara tanggal 3 Maret 2013 dengan Rohaniawan di Griye Sanur
Kabupaten Badung
56
Notopuro Hardjito, 1971, Op.Cit., hal. 24.
waris di Indonesia pun beragam. Mengenai hukum yang mengatur tentang

warisan, di Indonesia terdapat tiga jenis hukum waris yang berlaku. Ketiga

jenis hukum waris tersebut yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris

Burgerlijk Wetboek ( untuk selanjutnya disebut BW) dan Hukum Waris

Islam.

Seperti telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan salah

satu bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh

karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak

dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia

menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam

masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang

satu sama lain berbeda-beda.

Hukum waris adat diperuntukkan bagi warga negara Indonesia asli,

yaitu suku-suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia.57 Sifat dan

sistem hukum waris adat di Indonesia cukup beraneka ragam karena

dipengaruhi oleh sifat etnis yang ada. Secara umum sifat dan sistem

hukum waris adat tersebut terbagi atas tiga sistem besar yaitu Sistem

Patrilineal, Sistem matrilineal dan Sistem parental atau bilateral.

Berdasarkan dari garis keturunan di atas, bahwa hukum waris adat

khususnya di Bali sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang

57
Titik Triwulan Tutik, Op.cit, hal. 282.
berlaku pada masyarakat yang bersangkutan yakni garis keturunan nenek

moyang laki-laki atau sistem patrilineal.58

Hukum waris adat di Bali memiliki unsur-unsur penting yang perlu

diperhatikan. Unsur-unsur hukum waris adat tersebut yaitu :

1. Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan

meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang

masih hidup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan

maupun keluarga melalui persekutuan dalam rumah tangga. Pengalihan

harta kepada keluarga yang disebutkan terakhir, biasanya bersifat jaminan

keluarga yang diberikan oleh ahli waris melalui pembagiannya. Oleh

karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah:

a. Orang tua (ayah dan ibu)

b. Saudara-saudara yang belum atau yang sudah berkeluarga


tetapi tidak mempunyai keturunan, dan

c. Suami atau istri yang meninggal dunia.

Pada masyarakat adat Bali, umumnya yang dipandang sebagai

pewaris adalah laki-laki yang telah meninggal dunia. Dengan demikian

persoalan pewarisan dari hasil wawancara dengan tokoh adat

berpendapat bahwa pewarisan baru akan muncul dalam satu keluarga

apabila si ayah yang meninggal dunia sedangkan jika si ibu yang

meninggal dunia tidaklah timbul persoalan pewarisan karena selama ayah

58
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Cetakan Kedua, Refika Aditama,
Bandung, 2007, hal. 41-42.
masih hidup kekuasaan atas harta kekayaan keluarga ada di tangannya.

Hal ini sesuai susunan kekeluargaan patrilineal yang umumnya dianut

oleh masyarakat Bali.59

2. Harta warisan

Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh

seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu

terdiri dari :

a. Harta bawaan atau harta asal

Adalah harta yang dimiliki seseorang sebelum kawin dan harta

itu akan kembali kepada keluarganya bila ia meninggal tanpa

anak.

b. Harta perkawinan

Adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha suami-istri

selama dalam ikatan perkawinan.

c. Harta pusaka adalah harta warisan yang hanya diwariskan

kepada ahli waris tertentu karena sifatnya tidak terbagi,

melainkan hanya dinikmati bersama oleh semua ahli waris dan

keturunannya.

d. Harta yang menunggu.

Adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi karena

satu-satunya ahli waris yang akan menerima harta itu tidak

diketahui dimana ia berada.

59
Wawancara tanggal 7 Maret 2013 dengan tokoh adat di Kabupaten Badung.
Pada masyarakat hukum adat Bali harta warisan tersebut dapat

berupa:

a. Harta Jiwa dana adalah harta pemberian secara tulus ikhlas

oleh orang tua kepada anak sah maupun anak angkatnya atau

oleh suami kepada istrinya semasa masih hidup,

b. Harta tatadan adalah pemberian berupa hadiah perkawinan

kepada anak wanitanya,

c. Harta guna kaya adalah harta yang diperoleh masing-masing

suami istri sebelum perkawinannya dan

d. Harta drue gabro adalah harta suami istri yang diperoleh

dalam perkawinan.

Selanjutnya harta kekayaan semasih pewaris masih hidup dalam

hukum waris adat di Bali dapat berupa:

a. Jiwa Dana adalah harta pemberian secara tulus ikhlas oleh orang

tua kepada anak sah maupun anak angkatnya atau oleh suami

kepada istrinya semasa masih hidup, harta tatadan adalah

pemberian berupa hadiah perkawinan kepada anak wanitanya, harta

guna kaya adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri

sebelum perkawinannya dan harta drue gabro adalah harta suami

istri yang diperoleh dalam perkawinan.

b. Pengupa Jiwa adalah pemberian yang bersifat sementara dari

pewaris kepada ahli warisnya, hanya untuk dinikmati hasilnya saja.


c. Pedum Pamong adalah pembagian harta kekayaan yang bersifat

sementara antara para ahli waris, sampai diadakan pembagian

waris secara tetap.

Selain harta tersebut diatas dalam masyarakat hukum adat Bali

juga mengenal harta pusaka baik yang tidak dapat dibagi-bagi berupa

harta warisan yang mempunyai nilai magis maupun harta yang dapat

dibagi-bagi berupa sawah, ladang dan lain-lain yang diwariskan secara

turun temurun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama di

Kabupaten Buleleng, berkaitan dengan kedudukan anak astra jika

dihubungkan dengan harta warisan yang berupa hak-hak dan

kewajiban yang beralih penguasaan atau pemilikannya setelah

pewaris meninggal dunia kepada ahli waris adalah hanya berhak

mewaris harta warisan ibunya saja termasuk harta asal, harta

perkawinan, dan harta pusaka ibunya. Anak astra tidak mewaris dari

ayah biologisnya namun pada umumnya anak astra diberikan harta

jiwa dana dan harta tatadan oleh ayah biologisnya sebagai

tanggung jawab atas pengakuan orang tua kepada anaknya 60

3. Ahli waris

Adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris,

yakni anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei),

dan orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda


60
Wawancara tanggal 5 Maret 2013 dengan tokoh agama di Kabupaten
Buleleng.
atau duda). Selain itu dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar

kawin yang diakui sah, yang biasanya diberikan bagian harta warisan dari

ahli waris bila para ahli waris membagi harta warisan di antara mereka.

Selain itu, bisa juga diberikan harta dari pewaris baik melalui wasiat

maupun melalui hibah”.61

Berdasarkan hasil wawancara dengan Rohanian di kabupaten

Buleleng mengatakan, bahwa kedudukan anak astra karena termasuk

anak luar kawin maka tidak merupakan ahli waris dari ayah biologisnya

tetapi hanya berhak mewaris harta warisan dari ibunya, hal ini dipertegas

dalam pasal 43 UU RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang

mengatur bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

Artinya anak astra hanya sebagai ahli waris dari harta warisan ibunya, dan

anak astra hanya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ibu dan

keluarga ibunya tetapi tidak termasuk hak warisnya terhadap keluarga

ibunya.62

Hukum waris adat khususnya hukum adat Bali jika dibandingkan

dengan hukum waris yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dapat

dilihat perbedaanya yakni mengenai anak astra yang kedudukannya

dalam hukum waris adat Bali disamakan dengan anak luar kawin yang

61
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Catatan Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hal. 2-6.
62
Wawancara tanggal 5 Maret 2013 dengan tokoh agama di Kabupaten
Buleleng.
tidak mewaris dari ayah biologisnya. Meskipun anak astra tersebut diakui

oleh ayah biologisnya namun dalam pelaksanaan pembagian waris tidak

dapat disamakan dengan anak luar kawin yang diakui berdasarkan BW

sehingga bukan merupakan ahli waris dan tidak mendapat bagian harta

warisan sesuai porsi anak luar kawin yang diakui berdasarkan BW.

Berkaitan dengan ahli waris tidak semua calon ahli waris dianggap

patut menerima warisan dari si pewaris. Berdasarkan Pasal 838 BW

menyebutkan ada empat hal yang menyebabkan seseorang ahli waris

menjadi tidak patut atau tidak cakap mewaris karena kematian, yaitu

sebagai berikut :

a. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana

karena dipersalahkan membunuh atau setidak-tidaknya

mencoba membunuh pewaris.

b. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana

karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewaris

bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam

pidana penjara empat tahun atau lebih.

c. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata

menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau

menarik kembali surat wasiat.

d. Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan,

dan memalsukan surat wasiat. 63

63
Eman Suparman, Op.cit, hal. 39
Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut itu menguasai sebagian

atau seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahli waris, ia

wajib mengembalikan semua yang dikuasainya termasuk hasil-hasil yang

telah dinikmatinya.

Ketetentuan berdasarkan BW mengenai terputusnya hak sebagai

ahli waris di tempat asalnya yang disebutkan diatas dalam hukum adat

Bali keadaan tersebut dikatakan sebagai anak yang durhaka dan tidak

melaksanakan dhamaning anak terhadap orangtuanya. Selain itu ada

faktor lain dalam hukum adat Bali yang mengakibatkan ahli waris terputus

haknya sebagai ahli waris yaitu jika melakukan kawin nyeburin. Keadaan

ini juga berlaku bagi anak astra yang merupakan ahli waris dari ibunya

dan keluarga ibunya.

Menurut hukum waris BW (Burgerlijk Wetboek), disebutkan dua

dasar hukum bagi ahli waris untuk mewaris sejumlah harta warisan yang

ditinggalkan oleh si pewaris, yaitu :

a. Menurut ketentuan Undang-Undang ( ab intestato )

b. Mewaris berdasarkan surat wasiat ( testament ).64

Undang-Undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan

kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin

disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal dunia itu.

Undang-Undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan

kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.

64
Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 85.
Akan tetapi apabila ternyata seseorang tidak menentukan sendiri ketika ia

hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka

dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal

pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.65

Mewaris berdasarkan ketentuan undang-undang, si pewaris selama

masih hidup tidak perlu melakukan tindakan apapun terhadap harta

warisan yang akan ditinggalkannya. Begitu pula kepada ahli warisnya,

karena dengan sendirinya para ahli waris akan menerima harta warisan

yang ditinggalkan oleh si pewaris sesuai dengan yang diatur dalam

undang-undang.

Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewaris

harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat.

Surat wasiat (testament) berdasarkan pasal 875 BW adalah “suatu

pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia dan

olehnya dapat ditarik kembali”.66 Sifat utama surat wasiat adalah

mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuatan surat wasiat meninggal

dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Surat wasiat tersebut dapat diubah

atau dicabut selama pembuat surat wasiat masih hidup.

Seseorang dalam hal ini seorang ibu pada masyarakat hukum adat

Bali terhadap anak astra dapat mewariskan sebagian atau seluruh

hartanya dengan surat wasiat. Tindakan tersebut dalam hukum adat Bali

65
Eman Suparman, Op.cit, hal. 29
66
Eman Suparman, Op.cit, hal. 32
diatur dalam awig-awig desa. Apabila seseorang hanya menetapkan

sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan

bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato).67

Jadi, pemberian seorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak

bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris menurut undang-

undang (ab intestato).

Pemberian wasiat menurut wawancara dengan kelian adat di

Denpasar dapat diberikan oleh ibu kepada kepada anak astranya untuk

memberi perlindungan hak kepada anak astra tersebut. Hal ini biasa

dilakukan jika si ibu akan melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan

ada kemungkinan memiliki anak dari perkawinan tersebut. Selain itu pula

pemberian wasiat ini dilakukan karena harta bawaan seorang wanita

dalam perkawinan menurut hukum adat Bali akan membaur menjadi harta

persatuan setelah usia perkawinannya menginjak 3 (tiga) tahun. Sehingga

dengan pemberian wasiat inilah anak astra akan memperoleh

perlindungan dan keadilan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam hal ini BW

mengatur bahwa yang menjadi ahli waris yaitu suami atau istri yang

ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris

menurut peraturan perundang-undangan atau ahli waris ab intestato

berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan sebagai berikut :

a. Golongan Pertama

67
Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 85
Golongan Pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah,

meliputi anak-anak beserta keturunannya, serta suami dan atau

istri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama, suami atau

istri yang hidup paling lama ini diakui sebagai ahli waris pada

tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami atau istri tidak saling

mewarisi.

b. Golongan Kedua

Golongan Kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas,

meliputi orang tua dan saudara, baik laki -laki maupun

perempuan, serta keturunannya. Bagi orang tua ada peraturan

khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang

¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka

menjadi ahli waris bersama saudara pewaris.

c. Golongan Ketiga

Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek

dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan

ketiga terdiri atas keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah

dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus ke atas tanpa batas

dari pewaris.

d. Golongan Keempat

Golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke

samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajad ke enam.

Hal dimaksud terdiri atas keluarga garis samping yaitu, paman


dan bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun

garis dari pihak ibu.

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan

perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada

ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan

menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun

ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup

yang lebih rendah derajatnya.68

Ahli waris menurut surat wasiat atau testament, jumlahnya tidak

tentu sebab ahli waris seperti ini tergantung pada kehendak si pembuat

wasiat. Si pembuat surat wasiat dapat memberikan surat wasiat kepada

satu orang maupun beberapa orang tanpa dibatasi oleh golongan

berdasarkan hubungan darah.

Dalam hukum adat Bali pelaksanaan penentuan ahli waris

menggunakan kelompok Keutaman yaitu Kautaman I adalah anak sah

pewaris, Kautaman II adalah orang tua pewaris, Keutaman III adalah

saudara kandung pewaris dan Kautaman IV adalah kakek dan nenek

pewaris. Keberadaan kelompok Keutaman tersebut dapat menggatikan

kedudukan kelompok keutaman diatasnya jika kelompok Keutaman

diatasnya sudah tidak ada. Bila mana seluruh kelompok Keutamaan

tersebut tidak ada maka anak astra dapat menggantikan sebagai ahli

waris.
68
Oemarsalim,Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cetakan Keempat, Rineka
Cipta, Jakarta, 2006, hal. 69
Hasil wawancara dengan kelian adat di kota Denpasar mengenai

anak astra sebagai pengganti ahli waris dalam hukum adat Bali tidaklah

semata-mata dikarenakan tidak adanya lagi kelompok Keutamanan I

sampai IV dalam keluarga tersebut. Anak astra bisa saja menjadi ahli

waris bila dikehendaki oleh ayah biologisnya terutama dalam

perkawinannya si ayah biologis dari anak astra tersebut tidak memiliki

sentana atau penerus keturunan dari panjer laki-laki. Perubahan status

anak astra sebagai ahli waris dalam keluarga ayah biologisnya didasarkan

keputusan keluarga dan pemuka adat dalam keluarga tersebut dan telah

menjalani prosesi upacara pengesahan anak (peperasan) secara agama

Hindu dan menurut hukum adat Bali.

Proses pengesahan anak astra sebagai anak sah tersebut

dilaksanakan mengingat bahwa tiap-tiap tindakan atau bukan tindakan

terhadap sesuatu hal dalam mencegah adanya pelanggaran hukum adat

waris Bali serta dalam hal memulihkan hukum melalui suatu keputusan

atau suatu ketetapan dari pejabat yang berwenang. Dari keadaan tersebut

dapat ditarik kesimpulan tentang berlakunya pelaksananaan pembagian

waris anak astra menurut hukum adat Bali sesuai dengan teori keputusan

dari Ter Haar dimana akhirnya keputusan oleh tokoh masyarakat adat

yang dilakukan secara konkret, memberi bentuk konkret kepada apa yang

hidup di dalam msyarakat adat sebagai rasa keadilan.69

69
Ibid.
Hasil keputusan tersebut nantinya akan dijadikan dasar dalam

pelaksanaan pembagian waris dalam hukum adat Bali dan selanjutnya

dapat dikuti dalam keadaan yang serupa. Hal ini sejalan dengan teori dari

Roscoe Pound mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada

kedisiplinan dengan teorinya yaitu “law as a tool of social engineering,

artinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa

masyarakat. Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan

yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian tugas hukum menurut

Roscoe Pound adalah rekayasa sosial. Hukum tidak saja dibentuk

berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus ditegakkan

sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial control dalam arti

luas yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh perubahan-perubahan yang

dikehendaki. Oleh karena itu sangat dipengaruhi oleh komponen-

komponen di luar hukum, maka penegak hukum dalam mewujudkan tugas

utama hukum harus memahami secara benar, sejarah, adat, istiadat,

pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat ditegakkan. Dengan

demikian berdasarkan teori keputusan, bahwa keputusan hukum yang adil

dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat.

Tugas utama adalah sarana pembaharuan masyarakat dalam

pembangunan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para klian adat di Kota

Denpasar, Buleleng dan Kabupaten Karangasem, bahwa dalam

pelaksanaan pemberian waris terhadap anak astra khususnya benda tidak


bergerak yaitu tanah dan bangunannya, jika telah ada kesepakatan

keluarga maka klian adat akan bersedia mengesahkan silsilah yang

mencantumkan anak astra dalam keluarga tersebut sebagai anak sah dari

keluarga tersebut. Dimana dokumen tersebut nantinya akan digunakan

untuk proses balik nama bagi pihak penerima waris.70 Keterangan

tersebut mempertegas bahwa dengan adanya suatu keputusan dari

kesapakatan keluarga dan pemuka adat yang kemudian ditindak lajuti

sebagai hukum dalam masyarakan adat tersebut. Hukum yang terbentuk

tersebut sebagai kontrol social dan sarana pembaharuan masyarakat

dalam pembangunan.

b. Kewajiban Anak Astra

Pewarisan dalam hukum adat Bali tidak semata-mata ahli waris

hanya menerima bagian waris terhadap harta peninggalan pewaris namun

melekat pula kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban

tersebut sebagai konsekwensi ahli waris dari hak yang diterimaya. Anak

astra yang juga merupakan ahli waris dari ibunya dan keluarga ibunya

ataupun sebagai ahli waris dari ayah biologisnya jika ia disahkan sebagai

anak sah oleh ayah biologisnya mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu,

yaitu:

a. Memelihara peewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak


mampu;

b. Menguburkan jenazah pewaris dan atau menyelenggarakan


upacara pembakaran jenazah (pengabenan) bagi pewaris dan

70
Wawancara tanggal 8 Maret 2013, dengan klian adat.
menyemayamkan arwahnya di tempat persembahyangan
keluarga (sangah/merajan);

c. Menyembah arwah leluhur yang bersemayam di


sangah/merajan;

d. Melaksanakan kewajiban-kewajiban (ayah-ayahan) terhadap


banjar ataupun desa.71

Menyembah arwah leluhur dimasudkan bahwa anak astra berhak

dan berkewajiban untuk melakukan kegiatan upacara keagamaan dan

persembahyangan di merajan, dadia maupun kawitan pewaris dimana ia

berkedudukan sebagai ahli waris. Kewajiban ayah-ayahan di banjar

ataupun di desa dimaksudkan bahwa anak astra wajib melaksanakan

kewajiban sosial dalam komunitasnya mewakili pewaris dimana ia

berkedudukan sebagai ahli waris.

Anak astra yang belum disahkan sebagi ahli waris oleh ayah

biologisnya hanya memperoleh hak waris dari harta peninggalan ibunya

dan keluarga ibunya. Anak astra juga berhak menerima hibah wasiat dari

ibunya jika ibunya kawin keluar, serta berhak menerima harta jiwa dana

maupun harta tatadan dari ayah biologisnya. Konsekwensi dari hak yang

diberikan terhadap anak astra yaitu harus melaksanakan kewajiban-

kewajiban sebagai ahli waris menurut hukum adat bali baik kewajiban

pemeliharaan terhadap pewaris dalam hal ini ibunya dan keluarga ibunya

serta kewajiban-kewajiban keagamaan dan adat di tempat asal ibunya,

71
P. Windia Wayan dan Sudantra ketut , Penganantar Hukum Adat Bali, Cetakan
Pertama, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar, 2006, hal. 120
sedangkan kewajiban-kewajiban keagamaan dan adat di tempat ayah

biologisnya tidak diwajibkan.

Anak astra bisa saja mewakili ayah biologisnya dalam melakukan

ayah-ayahan atau kewajiban sosial di komunitas ayah biologisnya, namun

dalam hal ini hanya sebagai wakil ayah-ayahan (penyeledihi) bukan

sebagai wakil waris (sentana penyelidihi) seperti pada saat menghadiri

undangan adat untuk mewakili ayah biologisnya. Tanggung jawab

mewakili keluarga dalam undangan adat hanya dapat diwakili oleh anak

kandung atau ahli waris dari ayah biologisnya.

Anak astra jika telah disahkan sebagai anak sah dikeluarga ayah

biologisnya maka ia berkedudukan sebagai ahli waris dalam keluarga

tersebut. Anak astra yang demikian berhak atas bagian waris terhadap

harta peninggalan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya.

Disahkannya anak astra sebagai ahli waris di keluarga ayah biologisnya

maka konsekwensinya ia wajib melaksanakan kewajiban-keawaiban

pemeliharaan terhadap ayah biologisnya serta kewajiban-kewajiban

keagamaan dan adat di tempat asal ayah biologisnya.

5. Putusan Lembaga Adat

Lembaga adat dalam masyarakat hukum adat di Bali

mempengaruhi kedudukan anak astra dalah hukum kekeluargaan dan

hukum waris adat Bali. Lembaga adat yang dimaksud adalah suatu

lembaga yang dibentuk oleh masyarakat adat yang terdiri dari anggota

keluarga dan pemuka adat dalam mengambil suatu keputusan untuk


penyelesaian suatu permasalahan ataupun sengketa adat. Lembaga ini

memiliki peran untuk mengambil suatu keputusan dalam suatu

musyawarah mengenai kedudukan anak astra, apakah sebagai anak luar

kawin atau untuk dapat disahkan sebagai anak sah yang bisa menjadi ahli

waris terhadap harta ayah biologisnya dan di keluarga ayah biologisnya.

Ketiga faktor tersebut secara umum berpengaruh terhadap

kedudukan anak astra, namun yang paling berpengaruh adalah faktor

orang tua atau kasta ayah biologis karena faktor tersebut bersifat kumulatif

yaitu berlaku secara umum dan sama di banyak daerah di Bali, dibanding

kedua faktor lainnya yaitu faktor agama atau kepercayaan masyarakat

juga faktor lembaga adat yang hanya bersifat alternatif yaitu dalam

pelaksanaannya berbeda di masing-masing daerah.

Anak astra yang telah ditetapkan sebagai anak sah dalam

keputusan suatu musyawarah adat oleh lembaga adat yang dibentuk,

kemudian akan dilaksanakan upacara pengesahan secara adat. Upacara

yang dilakukan pada umumnya dengan upacara pengangkatan anak,

yang dalam mayarakat Bali disebut meras pianak atau meras sentana.

Selain melakukan upacara meras yang bertujuan memasukan si anak

dalam kerabat maupun leluhur ayah biologisnya, juga dilakukan siar

dalam keluarga besar dan banjar agar masyarakat tahu bahwa sianak

telah masuk sebagai ahli waris keluarga tersebut. Hal tersebut penting

dilakukan agar jelas tanggung jawab kepada anak tersebut untuk memikul

kewajiban-kewajiban orang tuanya ke banjar dan ke desa Adat. Kegiatan


ini merupakan suatu solusi terhadap anak astra agar dapat menjadi ahli

waris dari ayah biologisnya.

B. Implikasi Hukum Terhadap Pembagian Waris Anak Astra


dalam masyarakat di Bali pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010,
Tanggal 13 Februari 2012

Pengaturan mengenai kedudukan anak luar kawin yang diatur

dalam ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1974 selama ini dianggap tidak cukup memadai dalam memberikan

perlindungan hukum dan cenderung diskriminatif, status anak yang

dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan

keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa adanya

tanggungjawab dari ayah biologisnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga mencerminkan prinsip

persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi :

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.

Pasa Pasal 28D ayat (1) tersebut dikuatkan dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010,

yang menyatakan hubungan antara anak luar kawin dengan

ayahnya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang

dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Putusan Mahkamah

Konstitusi ini membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya


subyek hukum yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar

kawin untuk bertindak sebagai ayahnya melalui mekanisme hukum

dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan

dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama di

Karangasem72, adanya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

No. 46/PUU-VIII/2010 mempertegas pengakuan terhadap anak astra akan

tanggung jawab ayah biologis dari anak astra. Karena dalam

perkembangannya pada kehidupan masyarakat adat Bali ayah biologis

anak astra cenderung telah memberikan penghidupan yang layak atau

pemeliharaan kepada si anak astra dengan memberikan harta jiwa dana,

meskipun dalam kedudukan kasta dan sebagai ahli waris sah dalam

keluarga purusa mereka masih belum mendapatkan pengakuan yang

kuat.

Pemeliharaan atau pemberian penghidupan tersebut dapat

diartikan sebagai suatu hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak

dan orang tua untuk melakukan pemeliharaan dan pemberian

penghidupan yang layak dan wajar sesuai dengan kemampuan yang

dimilikinya. Hak dan kewajiban (alimentasi) merupakan bagian dari

kekuasaan orang tua terhadap anaknya.73 Hak dan kewajiban orang tua

diatur dalam Bab x Pasal 45 sampai dengan pasal 49 Undang-Undang

72
Wawancara tanggal 16 Maret 2013, di Karangasem.
73
Soeripto, Op.Cit, hal. 270
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mana dirumuskan

selengkapnya sebagaimana diuraikan di bawah ini :

Pasal 45

(1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-


anak mereka sebaik-baiknya.
(2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdir i
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46

(1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati


kehendak mereka yang baik.
(2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis
lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47

(1). Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum


pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya.
(2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang
belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1). Setelah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut


kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang
tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-
hal :

a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.


b. ia berkelakuan buruk sekali.
(2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih
tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut. 74

Sedangkan dalam Burgerlijk Wetboek (yang selanjutnya disebut

BW) mengatur tentang kekuasaan orang tua yang mencakup hak dan

kewajiban orang tua terhadap anaknya. Mengenai kekuasaan orang tua

diatur dalam Bab XIV yang diawali dari Pasal 329 huruf b, dimana

kekuasaan orang tua pada prinsipnya dibagi menjadi 3 bagian antara lain:

1. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi si anak.

Setiap anak tanpa memandang berapapun usianya


berkewajiban untuk menghormati dan menghargai orang
tua dan sebaliknya orang tua berkewajiban untuk
memelihara dan memberikan nafkah kepada anaknya,
sekalipun ia telah kehilangan kekuasaan sebagai orang tua
atau wali berdasarkan besarnya penghasilan yang
dimilikinya. Kewajiban pemberian nafkah tersebut meliputi
biaya hidup sehari-hari dan biaya pendidikan bagi si anak.

2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda milik si anak.

Kekuasaan orang tua terhadap harta benda milik anak


meliputi dua hal antara lain:
a. Pengurusan
Tindak pengurusan harta benda milik si anak adalah
untuk tujuan mewakili segala tindakan hukum terhadap
harta benda untuk kepentingan si anak, seorang anak
merupakan subjek hukum yang tidak cakap bertindak
sehingga ia tidak bisa menjadi pihak di tahapan hukum.
b. Menikmati hasil.
Ketentuan tentang hak orang tua untuk menikmati hasil
dari harta benda yang dimiliki anaknya diatur dalam
pasal 311 ayat (1) BW. Jika salah seorang dari orang tua
tersebut meninggal dunia atau dicabut kekuasaan orang
tua yang berikutnya melakukan kekuasaan orang tua
dihentikan dan dibebaskan, maka penghentian atau
pembebasan itu tidak mempengaruhi hak untuk
menikmati hasil dari harta benda milik si anak.
74
Soeripto, Op.Cit, hal. 273
3. Hak dan kewajiban orang tua yang tidak dibatasi waktu
antara orang tua dan kerabat lainnya dengan anak.

Pasal 298 ayat (1) BW mengatur bahwa:

Seorang anak berapa pun usianya wajib untuk menghormati dan


menghargai orang tuanya

Sedangkan ayat (2) mengatur bahwa:

Orang tua berkewajiban untuk mendidik dan memelihara anak-anak


mereka yang masih di bawah umur, kehilangan kekuasaan orang
tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari
kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan
mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
mereka tersebut.75

Adapun kewajiban orang tua, antara lain :

a. Kewajiban Pemeliharaan (Alimentasi) Ayah Biologis Terhadap

anak luar kawin.

Berkaitan dengan seorang anak lahir di luar perkawinan maka

perwalian akan dipegang oleh pihak ibu hal ini sebagai akibat dari pasal

43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

mengatur bahwa anak astra hanya memiliki hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya. Dengan keluarnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010, maka timbul

hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya yang

nyata dan terbukti bahwa antara anak dan si ayah memiliki hubungan

darah atau si ayah adalah orang yang telah membenihkan si anak di

rahim ibunya, sehingga dengan terbuktinya hubungan perdata tersebut,

75
Soeripto, Op.Cit., hal. 14
maka hak alimentasi antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya

menjadi terjalin.76

Sejak keluarnya putusan mahkamah konstitusi tersebut seorang

anak melalui putusan pengadilan ia berhak untuk mendapatkan biaya

pemeliharaan dan pendidikan dari ayah biologisnya seperti halnya ia juga

memiliki kewajiban itu terhadap anak sahnya.

Seorang anak dan ibunya berhak dan terbuka peluang untuk

membuktikan seorang laki-laki yang mereka tunjuk adalah ayah yang telah

membenihkannya. Jika berdasarkan putusan pengadilan seorang laki-laki

dinyatakan terbukti sebagai ayah biologis si anak, maka secara hukum si

laki-laki tersebut sejak saat keluarnya putusan pengadilan itu akan

memiliki kewajiban untuk memberikan alimentasi kepada anak biologisnya


77
dalam bentuk biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan.

Penerapan tentang kewajiban pemeliharaan (alimentasi) kepada

ayah biologis juga menimbulkan kewajiban bagi si anak untuk

menghormati dan menghargai si ayah sebagai orang tuanya, termasuk

kewajiban untuk melakukan pengurusan kepada si ayah jika si anak telah

tumbuh dewasa dan si ayah membutuhkan pemeliharaan dari anaknya,

karena hak dan kewajiban alimentasi tidak mungkin diterapkan secara

separuh-separuh, bahkan jika hak keperdataan itu termasuk dalam ruang

lingkup hukum waris, maka hak mewaris dari anak anak luar kawin

76
Ibid, hal. 269
77
Andy Hartono, Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut BW, Cetakan Ketiga,
Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2012, hal. 20
terhadap ayah biologisnya juga meliputi hak mewaris ayah biologis

terhadap anak luar kawin, jika si anak meninggal lebih dulu daripada ayah

biologisnya dan tidak meninggalkan ahli waris dalam peringkat yang lebih

tinggi.

Penerapan prinsip hak keperdataan bagi anak luar kawin terhadap

ayah biologisnya dapat dianalogikan dengan anak luar kawin yang telah

mendapat pengakuan oleh orang tua biologisnya sebagaimana diatur

dalam pasal 280 BW. Karena ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan hal ini didasarkan pada tidak

adanya fasilitas hukum yang dapat digunakan untuk menindaklanjuti

keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Berdasarkan BW

seorang anak yang telah diakui oleh orang tuanya memiliki hubungan

keperdataan dengan ayah dan ibu biologisnya, sedangkan pengertian hak

keperdataan itu termasuk menyangkut hak pewarisan walaupun

kedudukan waris anak astra tetap tidak sama dengan kedudukan waris

yang sah.78 “Yang diatur dalam pasal 863 BW, bila pewaris meninggal

dengan meninggalkan keturunan yang sah dan/atau suami, maka anak

luar kawin yang diakuinya mewaris hanya sepertiga bagian, dari yang

mereka sediakan”.79

78
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga, Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin,
Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka, Publisher, Jakarta, 2012, hal. 273
79
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut KUH
Perdata (BW), Catatan Pertama, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 156
b. Kewajiban pemeliharaan (alimentasi) dari anak luar kawin

terhadap ayah biologisnya.

Hubungan keperdataan bukan hanya timbul bagi kepentingan si

anak namun juga secara berbanding terbalik akan menimbulkan hak bagi

si ayah biologis untuk mendapatkan pemeliharaan dari si anak luar kawin

jika si anak telah dewasa. Hal itu sebagai bentuk timbal balik yang bersifat

mutlak, bahwa seorang anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan

pendidikan dari orang tuanya sampai dengan si anak menginjak masa

dewasa dan si anak juga berkewajiban untuk mengurus dan memelihara

si ayah biologis pada saat ia telah menjelang tua, sebagaimana orang

tuanya yang sah.80

Dengan terbukanya hak keperdataan anak dengan ayah

biologisnya, maka timbul pula kewajiban bagi si anak untuk memelihara si

ayah pada saat si anak telah dewasa. Bentuk kewajiban pemeliharaan

tersebut bersama-sama dengan anak-anak yang lain yang dilahirkan

dalam perkawinan yang sah, meskipun berdasarkan BW hak waris anak

luar kawin tidak sebesar hak waris dari anak yang sah, namun terhadap

kewajiban pemeliharaan tidak di dasarkan pada hak dan kedudukan si

anak sebagai ahli waris, namun karena kewajiban pemeliharaan terhadap

orang tua lebih bersifat kemanusiaan dari pada sifat hubungan hukumnya.

80
D.Y. Witanto, Op.cit, hal. 281
Kewajiban pemeliharaan yang akan ditanggung oleh si anak adalah

sampai si ayah meninggal, baik biaya hidup selama si ayah hidup sampai

dengan meninggal, biaya perawatan jika dimana tuanya si ayah menderita

penyakit dan beban itu akan ditanggung bersama dengan anak-anak dan

ahli warisnya yang lain.

c. Tata cara pelaksanaan kewajiban pemeliharaan (alimentasi) dari

ayah biologis terhadap anak luar kawin.

Dalam hal pengadilan telah menyatakan seorang laki-laki adalah

ayah biologis dari seorang anak luar kawin dan hakim telah menjatuhkan

hukuman kepada si anak laki-laki untuk memberikan biaya pemeliharaan

dan biaya pendidikan kepada si anak, lalu bagaimana pelaksanaannya?

Prosedur dan tata cara pelaksanaan kewajiban ayah biologis

terhadap anak luar kawin yang telah dinyatakan melalui putusan hakim

sebagai anaknya, akan lebih mudah jika dianalogikan dengan proses

pelaksanaan kewajiban-kewajiban nafkah dari seorang mantan suami

kepada anak dan istri yang telah diceraikannya. 81

Pelaksanaan kewajiban pemberian nafkah terhadap seorang anak

memang sering menghadapi persoalan walaupun hal itu telah

mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

(inkracht), hal ini banyak dipengaruhi oleh keadaan pihak si suami jika ia

telah menikah lagi dan memiliki anak-anak dari perkawinan berikutnya,

81
Andy Hartono, Op.cit, hal. 45
sehingga pada umumnya kewajiban-kewajiban terhadap mantan istri dan

anak dari pernikahan terdahulu sering terabaikan.

Seperti yang diuraikan di atas bahwa mekanisme yang paling

mungkin digunakan untuk melaksanakan kewajiban pemeliharaan adalah

mempersamakan dengan prosedur pelaksanaan putusan dalam perkara

perceraian sehingga tidak ada salahnya kita meninjau tentang amar

putusan dan proses eksekusi perkara perceraian yang mengandung

kewajiban pemberian nafkah hadhanah di pengadilan agama.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui putusan No.

46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43

ayat (1) UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan

dengan UUD 1945 bila tidak dibaca:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai


hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Tujuan dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menegaskan bahwa

anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Menurut

pertimbangan Mahkamah Konstitusi, hukum harus memberi perlindungan

dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang

dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang

dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.82

82
Soeryono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2009, hal. 57
Penting untuk dicatat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut soal akta

kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut

terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan Mahkamah

Konstitusi ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul

anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena

pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran

otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang

diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Hasil wawancara dengan Bagian Pencatatan Kantor Catatan Sipil

Kotamadya Denpasar mengatakan mengenai konsekuensi hukum dengan

dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap anak luar kawin ialah di

dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama ibunya.

Karena pada saat pembuatan akta kelahiran, status sang anak masih

sebagai anak luar kawin yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan

hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. 83

Dalam akta kelahiran anak luar kawin tercantum bahwa telah

dilahirkan seorang anak dengan tercantum nama, hari dan tanggal

kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu menyebut

nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak. Demikian

ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang

83
Wawancara tanggal 15 Maret 2013.
Pelaksanaan UU RI No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

Ada dua cara untuk dapat menjadikan anak luar kawin memiliki

hubungan darah dan juga hubungan perdata dengan ayah biologisnya

dan keluarga ayahnya, yaitu;

1. Pengakuan oleh sang ayah biologis.

2. Pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak luar kawin

tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi hanya menguatkan kedudukan ibu

dari si anak luar kawin dalam memintakan pengakuan terhadap ayah

biologis dari si anak luar kawin tersebut, apabila si ayah tidak mau

melakukan pengakuan secara sukarela terhadap anak luar kawin, maka

anak tersebut status menjadi anak luar kawin, dalam hukum adat Bali

disebut dengan anak bebinjat. Dengan diakuinya anak luar kawin oleh

ayah biologisnya, maka pada saat itulah timbul hubungan perdata dengan

si ayah biologis dan keluarga ayahnya. Dengan demikian, setelah adanya

proses pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut, maka anak luar

kawin tersebut terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dengan

ayahnya sebagaimana diatur Pasal 280 BW yang berbunyi:

Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah


hubungan perdata antara anak itu dan ayah atau ibunya.

Dari putusan tersebut sesungguhnya mengandung makna bahwa

hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu terjadi secara

otomatis (demi hukum). Namun hubungan keperdataan dengan pihak


ayah tetap tidak terjadi dengan sendirinya, karena pihak-pihak yang

berkepentingan yang dalam hal ini si ibu atau si anak harus membuktikan

terlebih dahulu bahwa si laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah biologis

itu benar-benar adalah ayahnya.

Argumentasi dalam pertimbangan hukum putusan mahkamah

konstitusi sebenarnya cukup sederhana dan tidak terlalu sulit untuk

dipahami oleh logika umum, yaitu bahwa mahkamah konstitusi

menganggap tidak adil jika kehamilan yang merupakan akibat dari

hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang

perempuan akibatnya hanya ditimpakan kepada pihak ibu dan anak yang

dilahirkannya sedangkan si ayah biologis yang telah turut berperan dalam

menimbulkan kehamilan dan kelahiran si anak terbebas dari segala

tanggungjawab yang timbul di hadapan hukum.

Memang harus diakui bahwa jika ditelaah dari dua sudut pandang

yang berbeda, maka makna putusan tersebut dapat menjadi dua

pengertian sebagai berikut :

a. Jika dilihat dari sudut pandang pihak laki-laki, putusan


mahkamah Konstitusi tersebut akan dapat menekan tingkat
persetubuhan di luar kawin, karena setiap laki -laki akan
berpikir panjang untuk melakukan persetubuhan di luar
kawin, jika dari perbuatan itu kemudian melahirkan anak,
dirinya tidak akan bebas dari pertanggungjawaban secara
perdata kepada si anak dan ibunya.
b. Dari sudut pandang si perempuan, putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut bisa menjadi kontra produktif karena
seorang perempuan tidak akan merasa khawatir lagi untuk
berhubungan seks sebelum nikah, dengan anggapan
bahwa suatu saat jika lahir seorang anak tetap ia akan
memiliki hubungan perdata dengan laki -laki yang
menghamilinya. 84

Dua sudut pandang tersebut bukan tidak mustahil akan terbangun

dalam paradigma masyarakat, namun terlepas dari dua kemungkinan itu,

sebenarnya putusan mahkamah konstitusi tidak menempatkan diri pada

posisi pihak laki-laki maupun pihak perempuan, putusan tersebut

dibangun atas dasar kepentingan si anak, sehingga tidak menjadi hal

yang penting bagi mahkamah konstitusi menyangkut perbedaan

pandangan akan hal itu, sepanjang hak-hak anak yang lahir di luar

perkawinan yang sah bisa mendapatkan kedudukan yang layak di mata

hukum atau setidaknya dapat hidup dan tumbuh layaknya anak-anak pada

umumnya, yang terlepas dari stigma buruk dalam pergaulan masyarakat.

Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus

memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun

kenyataannya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai

alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima

masyarakat, perkawinan sering kali tidak dihargai kesakralannya.

Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua

insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satu-satunya ritual

pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan

maupun hukum agama.

84
Soeryono Soekanto, Op.Cit., hal. 201
Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan

suami istri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan

kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta

keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/ayah alami (genetiknya), kecuali

ayahnya tetap mau bertanggungjawab dan tetap mendasarkan hak dan

kewajibannya menurut hukum Islam. Perkawinan siri tidak. dapat

mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis

dan si anak itu sendiri. Begitu juga ayah/ayah alami (genetik) tidak sah

menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya). Jika anak yang

lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak

melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah

wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.85

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

No. 46/PUU-VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah siri

status hukumnya sama dengan anak luar kawin hasil zina yakni hanya

punya hubungan hukum dengan ibunya.86 Hal ini membawa konsekuensi,

anak yang lahir dari kawin siri dan juga zina, secara hukum negara tidak

mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain

akan terlihat dari akta kelahiran si anak. Dalam akta kelahiran anak yang

lahir dari perkawinan siri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak

bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan

85
Soeryono Soekanto, Op.Cit., hal. 224
86
Wawancara tanggal 18 Maret 2013 dengan tokoh agama di Kabupaten
Karangasem.
tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama

ayah si anak). Demikian diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP RI No.

37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU RI No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan. 87

Konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak

secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat warisan dari

ayah biologisnya. Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK)

melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-

VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan

anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah

biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibunya.88

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya memiliki dampak

positif dan negatif. Positif ketika para pelaku nikah siri dan zina

mendapatkan haknya untuk mewaris, sisi buruknya hal ini merusak

tatanan hukum yang telah lama dilaksanakan. Untuk mengkaji hal tersebut

lebih lanjut, maka selain digunakan sebagai tugas terstruktur, kajian ini

juga ditujukan untuk menggambarkan dampak positif dan negatif Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010.89

Sedangkan di lain pihak Eka N.A.M Sihombing memiliki pendapat

yang berbeda, bahwa kekhawatiran pihak yang kontra terhadap putusan

87
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cetakan Pertama,
Hidakarya Agung, Jakarta, 1979, hal. 176.
88
Hasil wawancara tanggal 17 Maret 2013 di Buleleng.
89
Mahmud Yunus, Op.Cit. hal. 179.
mahkamah konstitusi sebenarnya tidak beralasan karena putusan

mahkamah tersebut justru memberikan pesan moral kepada laki-laki untuk

tidak sembarangan melakukan hubungan seks di luar pernikahan karena

ada implikasi yang akan dipertanggungjawabkan akibat perbuatannya

tersebut. Mahkamah konstitusi bermaksud agar anak yang dilahirkan di

luar pernikahan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai karena

pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa dan kelahiran itu di luar

kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah

seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-

tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian

yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang

ada padanya termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun

keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Terlepas dari semua pendapat di atas, maka terhadap persoalan

status anak luar kawin dari pandangan hukum harus dilihat dari dua aspek

antara lain:

1. Dari aspek perkawinan orang tuanya.

2. Dari aspek kepentingan si anak.

Jika penulis menggunakan aspek yang pertama dalam melihat

kandungan isi putusan Mahkamah Konstitusi, maka jelas akan

menghasilkan kesimpulan bahwa putusan mahkamah konstitusi

bertentangan dengan nilai-nilai luhur dalam sebuah perkawinan apalagi

jika argumen tersebut kemudian dijadikan ukuran untuk menjastifikasi


persoalan anak luar kawin, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kelahiran

seorang anak merupakan akibat dari adanya hubungan antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan yang seharusnya menurut hukum

terikat dalam suatu hubungan perkawinan.90

Jika penulis menggunakan aspek yang kedua, penulis mencoba

melepaskan sejenak tentang persoalan keabsahan perkawinan yang

dilakukan oleh kedua orang tua si anak atau mungkin yang sama sekali

tidak pernah ada perkawinan, maka penulis akan dapat melihat beberapa

hal antara lain :

1. Terjadinya kelahiran bukan lah kehendak si anak.

2. Si anak tidak pernah diberikan hak untuk dilahirkan dari

rahim milik siapa.

3. Si anak tidak memiliki kepentingan terhadap sah dan

tidaknya perkawinan orang tuanya karena dia tidak turut

terlibat dalam perbuatan dan kesalahan yang dilahirkan oleh

kedua orang tuanya.

4. Tidak ada satu pun dosa yang dapat diwariskan kepada

keturunannya sehingga si anak tidak boleh menanggung

akibat dari dosa yang dibuat oleh orang tuanya.

5. Melepaskan tanggungjawab si ayah terhadap anaknya hanya

semata-mata karena tidak terjadi perkawinan atau

perkawinannya tidak sah merupakan bentuk ketidakadilan

90
D.Y. Witanto, Op cit, hal. 274
karena ia memiliki peran yang besar atas kelahiran anak

tersebut.

Secara prinsip penulis tidak boleh mengubah pandangan

bahwa setiap hubungan seksual harus didahului oleh sebuah

perkawinan yang sah menurut agama dan memenuhi perintah

hukum negara, namun terhadap kasus-kasus yang terlanjur lahir

anak-anak dari hubungan yang tidak sah, maka hukum juga tidak

boleh menutup mata terhadap kenyataan tersebut. Bukankah

sebuah solusi yang tepat jika anak-anak itu menjadi objek

penelantaran dengan adanya status dan pengakuan secara hukum.

Pemberian hak-hak keperdataan bagi si anak tidak akan menjadikan

hubungan yang dilakukan oleh orang tuanya menjadi sah di mata

hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-

VIII/2010 jika dikaitkan dengan keberadaan anak astra di Bali adalah

memberi kekuatan bagi anak astra yang belum mendapatkan pengakuan

dari ayah biologisnya untuk menutut pengakuan tersebut. Keadaan ini

dapat terjadi seperti anak astra pada kasus di Buleleng yang mana ibunya

tidak dikawinkan oleh ayah biologisnya dan kasus di Karang asem anak

astra yang terlahir dari ibu yang telah diceraikan oleh ayah biologisnya.

Bagi anak astra yang telah memperoleh pengakuan oleh ayah

biologisnya, putusan mahkamah konstitusi tersebut memberi ketegasan

akan tanggung jawab ayah terhadap anaknya dalam memberikan


penghidupan yang layak. Contoh kasus anak astra tersebut diatas adalah

pada responden dari Karangasem yaitu I Wayan Karta Alit.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak responden yang

bernama I Wayan Karta Alit91 yang berasal dari kabupaten Karangasem

kecamatan Agung Amlapura desa Karangasem Banjar Adat Pandem

adalah merupakan anak astra. Beliau adalah anak astra dalam pernikahan

antara ayahnya dari kasta brahmana dengan ibunya yang berkasta sudra.

Karena kelahirannya diusia perkawinannya baru 3 (tiga) bulan maka

dianggap sebagai anak astra. Terhadap adik adiknya yang berikutnya

pihak orang tuanya meminta anak-anak tersebut sebagai anak astra agar

sama dengan anak pertamanya serta tidak menggunakan nama Ida

Bagus dalam nama mereka. Kemudian mereka semua atas kesepakatan

keluarga diakui sebagai anak sah yang berkasta brahmana dan

memperoleh warisan dan diijinkan melakukan persembahyangan di

tempat suci keluarga baik di merajan keluarga, di dadia dan merajan

Kawitannya.

Dari hasil wawancara terkait dengan pembagian waris anak astra

dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012 adalah :

a. Keputusan ini masih belum dapat diterapkan dalam

masyarakat adat di Bali karena ada perbedaan mengenai

pelaksanaan pembagian waris antara hukum nasional

91
Wawancara tanggal 15 Maret 2013.
dengan hukum adat Bali. Menurut hukum adat Bali

terutama terhadap anak luar kawin tidak dapat sebagai ahli

waris yang memperoleh porsi bagian waris seperti

ketentuan dalam hukum nasional meskipun ayah

biologisnya mengakui sebagai anaknya. Ketentuan tersebut

juga berlaku terhadap anak astra yang kedudukan

hukumnya dalam hukum waris hanya memiliki hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (informan)

b. Hukum nasional dalam hal ini keputusan MK RI No. 46

Tahun 2010 tidak bisa dijadikan dasar bagi anak astra

untuk menuntut hak perdatanya dalam pembagian waris

kepada ayah biologisnya. Namun kedudukan anak astra

bisa memperoleh hak perdatanya dalam pelaksanaan

pembagian waris melalui musyawarah dalam mengadakan

kesepakatan dengan keluarga dan pemuka adat untuk

memperoleh keputusan sebagai ahli waris dalam keluarga

ayah biologisnya.

c. Masyarakat generasi sekarang pada umumnya bisa

mengakui keberadaan hukum nasional seperti keputusan

MK RI No. 46 Tahun 2010.

d. Keputusan MK RI No. 46 Tahun 2010 tersebut bisa

dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan

keputusan pada musyawarah keluarga dalam pengesahan


anak astra sebagai ahli waris dalam keluarga ayah

biologisnya.

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa implikasi

hukum terhadap pembagian waris anak astra dalam masyarakat di Bali

pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012 adalah memberikan

penegasan atas pengakuan ayah biologis terhadap astra dalam tanggung

jawabnya untuk memberi penghidupan yang layak terutama bagi anak

astra yang belum mendapat pengakuan oleh ayah biologisnya.

Sedangkan implikasi hukum putusan MK RI No 46 tahun 2010 terhadap

pembagian waris anak astra adalah sebagai dasar pertimbangan dalam

pembetukan hukum menurut hukum adat yaitu melalui musyawarah

keluarga adat dengan pemuka-pemuka adat dalam pengambilan

keputusan pemberian kedudukan anak astra sebagai ahli waris dari ayah

biologisnya dalam pelaksanaan pembagian waris.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan pembagian waris anak astra di Bali, tidak mewaris

terhadap harta peninggalan ayah biologisnya walaupun anak astra

diberikan harta berupa jiwa dana dan tatadan namun itu bukan

merupakan pemberian waris dari ayah biologisnya, tetapi anak

astra mewaris terhadap harta peninggalan ibunya dan dari keluarga

ibunya. Anak astra dapat menerima wasiat dari ibunya untuk

memberikan perlindungan hukum bila mana ibunya melakukan

perkawinan. Pembagian waris anak astra di masing-masing daerah

berbeda-beda tergantung dari hasil putusan rapat lembaga

adatnya.

2. Implikasi hukum terhadap pembagian waris anak astra dalam

masyarakat di Bali pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010, adalah menguatkan kembali dan

memberikan penegasan atas pengakuan terhadap tanggung jawab

ayah biologis anak astra dan sebagai dasar pertimbangan dalam

pembentukan hukum menurut hukum adat melalui lembaga adat

dalam pengambilan keputusan pelaksanaan pembagian waris anak

astra sebagai ahli waris dari ayah biologisnya.


B. Saran

1. Saran Untuk Pemerintah

Hakim sebagai instrument yang punya hak memutus, d engan

adanya putusan mahkamah konstitusi Republik Indonesia No.

46/PUU-VIII/2010 perlu adanya sinkronisasi antara Undang-

Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 dengan putusan

mahkamah konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010

supaya dalam masyarakat tidak terjadi kesalahan dalam

pelaksanaan hukum khususnya dalam kedudukan hukum anak

astra, serta Pemerintah wajib mensosialisasikan keputusan

Mahkamah konstitusi ini kepada masyarakat luas dan apabila

ada kasus anak astra, anak ini akan jelas kedudukan hak dan

kewajibannya, agar tidak terlantar.

2. Saran Untuk Masyarakat

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 46/PUU-

VIII/2010 hendaknya dapat dijadikan dasar agar masyarakat

dapat mencegah terlahirnya anak astra yaitu dengan

mengesahkan segera perkawinan ibu dan ayahnya sebelum

kelahiran si anak astra melalui pengangkatan anak dan

peperasan sehingga anak astra tersebut memperoleh

perlindungan hukum dalam pelaksanaan pembagian waris yang


layak serta penghidupan yang layak dan pengakuan sah bagi

anak luar kawin lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Afandi, Ali, 1986, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum


Pembuktian Menurut KUH Perdata (BW), Cetakan Pertama,
Bina Aksara, Jakarta.

Andasasmita, 1984, Pokok-Pokok Hukum Waris, Cetakan Pertama,


IMNO Unpad, Bandung.

Andy Hartono, 2012, Hak Waris Anak astra Menurut BW, Cetakan
Ketiga, Laksbang Presindo, Yogyakarta.

Artadi I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya


Dilengkapi Yurisprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan.

Astiti Cokorde Istri Putra , I Wayan Beni, Ni Nyoman Sukerti,1984, Hukum


Adat Dua (Bagian Dua), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Ayu Putu Nantri, 1982, Kedudukan Ahli Waris Adat yang beralih Agama
Menurut Hukum Adat Waris di Kabupaten Badung, Laporan
Penelitian. Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Bushar Muhammad, 1981, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,


Jakarta.

Djaren Saragih, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito,


Bandung.

Effandi Prangin, 1997, Hukum Waris, Cetakan Kedua, Rajawali


Pers, Jakarta.
Eman Suparman, 2007, Hukum Waris Indonesia, Cetakan Kedua,
Refika Aditama, Bandung.

Friedmann W, 1990, Legal Teori, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori


dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet.
I, CV. Rajawali, Jakarta.

Hilman Hadikusuma, 1980, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni,


Bandung (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma II).

___________, 1991, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-


undangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma III).
___________, 1992, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung.

___________, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu


Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Kaler I Gst. Ketut, 1990, Cudami Perkawinan Dalam Masyarakat Hindu di


Bali, Percetakan Bali (offset), TT

Korn, VE, 1972, Hukum Adat Waris di Bali, diterjemahkan serta diberi
catatan oleh I Gde Wajan Pangkat, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana.

Lexy Mooleong, 1990, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,


Bandung.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori
Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

___________, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII, Citra Aditya


Bakti, Bandung.

Mahmud Yunus, 1979, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Catatan


Pertama, Hidakarya Agung, Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan


Hukum Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD,
Penerbit Binacipta, Bandung.

Mulyadi, 2005, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Fakultas Hukum Universitas


Diponogoro Semarang.

Notopuro Hardjito, 1971, Masalah-Masalah Dalam Hukum Waris di


Indonesia, Catatan Pertama, TP Jakarta.

Oemarsalim , 2006, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia,


Cetakan Keempat, Rineka Cipta, Jakarta.

Penetje Gde, 1999, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV.
Kayumas Agung, Denpasar.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Grop, Jakarta.

Pudja I Gde, 1982, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila


dan Ajaran Hindu Dharma, Cet. IV, Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Republik
Indonesia, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I).
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soepomo, R, 1986, Bab-bab Tentang Hukum ADat, Pradnya Paramita,


Jakarta.

Soeripto, K.M.R.H, 1973, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Waris Bali,
UNEJ, Jember.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif


(Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sulaiman B. Taneko, 1994, Hukum Adat


Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Peneltian Hukum, Universitas


Indonesia (UI) Press.

Soerjono, 2009, Penelitian Hukum Normatif, Catatan kedua, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Soerojo Wignjodipoero, 1988, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, CV.


Haji Masagung, Jakarta.

Subekti, R, 2005, dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, TP. Pradnya


Paramita, Jakarta.

Sugangga, I.G.N., 2005, Hukum Waris Adat (Magister Kenotariatan


Universitas Diponegoro).

Sumadi Suryabrata,1998, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Surojo Wignjodiputro, 1990, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat,


Alumni, Bandung.

Ter Haar Bzn, 1985, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan
oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Indonesia,


Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Windia, P. Wayan dan Sudantra ketut, 2006, Penganantar Hukum


Adat Bali, Cetakan Pertama, Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Witanto D.Y, 2012, Hukum Keluarga, Hak dan Kedudukan Anak
Luar Kawin, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka, Publisher,
Jakarta.

Zainuddin Ali, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia ,


Catatan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan:

Burgerlijk Wetboek, Terjemahan Subekti R, dan Tjitrosudibio, Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,
2000.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1

Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang


Status Anak Luar Kawin

Anda mungkin juga menyukai