OLEH :
I DEWA PUTU SURYA WARDANA
NIM. 1814101119
SKRIPSI
DiajukanKepada
Universitas Pendidikan Ganesha
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan
Sidang Skripsi
Oleh:
NIM. 1814101119
i
SKRIPSI
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing
II,
ii
Skripsi oleh I Dewa Putu Surya Wardana
Telah dipertahankan di depan dewan penguji
Pada tanggal 11 Juli 2022
Dewan Penguji
iii
Diterima oleh Panitia Ujian Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha
Guna memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 11 Juli 2022
Mengetahui
Dr. I Nengah Suastika, S.Pd., M.Pd. Ni Putu Rai Yuliartini, S.H., M.H
NIP. 198007202006041001 NIP. 19830716 200812 2 2003
Mengesahkan
Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
NIM : 1814101119
Dengan ini saya nyatakan bahwa karya tulis saya yang berjudul “Impl
enar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan dan pen
gutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai, kecuali yang secara tertuli
s terdapat dalam karya tulis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari apa yang saya nyatakan t
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
berupa moral maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu dalam
2. Bapak Prof. Dr. Sukadi, M.Pd., M.Ed., selaku Dekan Fakultas Hukum
penulis.
3. Bapak Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M., selaku Ketua
4. Ibu Ni Putu Rai Yuliartini, S.H., M.H., selaku Koorprodi Ilmu Hukum
5. Bapak Dr. Made Sugi Hartono., S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan
harapan penulis.
penelitian penulis menjadi sangat baik sehingga skripsi ini dapat selesai
9. Kedua orang tua tercinta penulis I Dewa Putu Suriada dan Wartini yang
vii
10. Saudara-saudara tercinta penulis, I Dewa Made Kusuma Wardana yang
11. Tak lupa juga temen-temen seperjuangan saya hendra, Dwiky, Agus
Yuda dan Parta yang telah banyak membantu penulis dan memberikan
Ganesha.
Hukum.
13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
viii
Penulis
ix
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM PELAKS
ANAAN PERKAWINAN ADAT DI DESA ADAT BULELENG
Oleh :
I Dewa Putu Surya Wardana, NIM. 1814101128
Program Studi Ilmu Hukum
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui tata cara pelaksanaan perkawinan ad
at yang dilakukan menurut hukum adat di Desa Adat Buleleng, dan untuk
mengetahui (2) syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1974
dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Lokasi
penelitian ini dilakukan di Desa Adat Buleleng. Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan teknik studi dokumen dan wawancara. Teknik pengolahan dan
analisis data secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tata cara
pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng adalah
sebagai berikut: Pihak keluarga laki-laki mengadakan penjantosan (menyantosin),
Pihak laki-laki melakukan peminangan, Upacara widhi widana, .Upacara
Mejauman/mebebasan juga disebut dengan “ngabe tipat bantal”. (2) Mengenai
syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1974 dalam Perkawinan
Menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng secara umum dilakukan melalui
pelibatan prajuru desa adat, perangkat desa dinas, dan pegawai pencatat
perkawinan, tetapi tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan belum
menjalankan proses pengumuman, sehingga pemenuhan syarat perkawinan tidak
melibatkan masayarakat banyak/umum.
ix
IMPLEMENTATION OF MARRIAGE LAW IN THE IMPLEMENTATION
OF TRADITIONAL MARRIAGE IN BULELENG TRADITIONAL VILLAGE
By:
ABSTRACT
This study aims to (1) find out the procedures for implementing customary marriages
carried out according to customary law in the Buleleng Traditional Village, and to find
out (2) the requirements for marriage according to Law Number 1974 in Marriage
according to Customary Law in Buleleng Traditional Village. The type of research used
in this research is empirical legal research. The location of this research is in Buleleng
Traditional Village. Data collection techniques using document study techniques and
interviews. Qualitative data processing and analysis techniques. The results of the study
show that (1) The procedure for carrying out marriage according to customary law in the
Buleleng Traditional Village is as follows: The male family holds a penjantosan
(menantosin), the male party proposes, the Widhi Widana ceremony, .Testauman
Ceremony / liberation as well called "ngabe tipat pillow". (2) Regarding the
requirements for marriage according to Law Number 1974 in Marriage according to
Customary Law in the Buleleng Traditional Village in general, it is carried out through
the involvement of customary village officers, village officials, and marriage registrar
employees, but the procedures for implementing marriages have not carried out the
announcement process. , so that the fulfillment of marriage requirements does not involve
the general public.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBINGBING.......................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN.......................................................iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................................................v
PRAKATA..............................................................................................................vi
ABSTRAK..............................................................................................................ix
ABSTRACT...............................................................................................................x
DAFTAR ISI...........................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah..................................................................................15
1.3 Pembatasan Masalah.................................................................................16
1.4 Rumusan Masalah.....................................................................................17
1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................17
1.6 Manfaat Penelitian.....................................................................................18
BAB V PENUTUP.................................................................................................74
5.1 Simpulan......................................................................................................74
5.2 Saran...........................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUPFIX DEWA SURYA (1).docx
xii
BAB I
PENDAHULUAN
undang yang berlaku secara universal bagi seluruh lapisan masyarakat. Hukum
Perdata di Indonesia terdiri dari hukum nasional, hukum agama dan hukum adat.
ditinjau dari latar belakang adat-istiadat dan kebudayaan serta agama. Di bidang
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama Islam
yang telah diresepsi ke dalam Hukum Adat. Pada umumnya bagi orang-orang
1
2
ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita,
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat. Misalnya bagi
orang Bali yang beragama Hindu, di mana adat dan agama dianggap
Adat yang serangkai dengan upacaranya dengan upacara Agama Hindu yang
dianutnya.
1974.
4. Bagi orang-orang timur asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan
5. Bagi orang timur asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan timur
6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negaran Indonesia keturunan Eropa dan
Perdata (BW).
1974 tentang Perkawinan yaitu ide unifikasi hukum dan ide pembaharuan hukum.
yang bersifat nasional dan berlaku untuk semua warga Negara, sedangkan ide
tuntutan masa kini dan menempatkan kedudukan suami dan istri dalam
perkawinan dalam derajat yang sama, baik terhadap hak dan kewajiban antara
suami istri maupun terhadap anak (Wilbert D. Kolkman dkk., 2012: 129).
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dmuat
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
4. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah
dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di samping
Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin,
batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-undang
ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah
Hukum Perdata, sebuah perkawinan hanya dipandang dari sudut perdatanya saja,
dan Pasal 81). Selanjutnya dalam KUH Pidana, juga diatur bahkan petugas agama
dapat diancam pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika
catatan sipil (Pasal 530 ayat (1)) (Wilbert D. Kolkman dkk., 2012: 132).
Manusia sebagai mahluk sosial (homo socius) tidak dapat hidup dan
memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan dan peran orang lain, baik untuk
diberikan kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa akal yang tidak dimiliki
oleh mahluk lain, oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut
21).
hukum lain, karena ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bahwa
keluarga itu merupakan unit terkecil dalam masyarakat, yang minimal terdiri dari
seorang suami dan seorang isteri. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, dan
dengan memaknai adagium “ubi sociates ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ
ada hukum), maka dapat dikatakan bahwa bagian dari hukum keluarga yang
terbentuk hubungan hukum antara isteri dengan suami, termasuk pula hubungan
yang terkait dengan harta dalam perkawinan. Jika dari perkawinan itu lahir anak,
maka terbentuk pula hubungan antara orang tua dengan anak/anak-anak. Secara
6
sederhana maka dapat dikatakan bahwa hukum keluarga merupakan hukum yang
mengatur hubungan suami dengan isteri, hubungan antara orang tua dengan anak-
anak, serta hubungan yang terkait dengan harta benda perkawinan, atau aturan
leluhur yang sama), maupun hubungan keluarga yang terbentuk karena adanya
Erwinsyahbana, 2012).
bagi tiap-tiap individu masuk dalam kerabat ibunya, tidak masuk dalam
3. Prinsip garis keturunan bilateral atau parental (bilateral descent), yaitu sistem
penarikan garis keturunan melalui garis ayah maupun garis ibu. Contohnya
masyarakat Jawa.
hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja untuk sejumlah hak dan
kewajiban tertentu, dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan
tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar
magis adalah perilaku hukum atau kaidah yang ada berkaitan dengan
terhadap Tuhan). Hal ini terlihat pada adanya upacara-upacara adat yang
Corak hukum adat konkrit dan visual, artinya dalam hukum adat itu terang,
c. Corak tradisional. Corak sistem hukum adat tradisional adalah corak adat
yang bersifat turun temurun, dari nenek moyang hingga zaman sekarang
namun ada rasa tidak enak kurang nyaman apabila tidak dilaksanakan apalagi
harus ditinggalkan.
Ada beberapa tahapan tata cara yang harus dipenuhi untuk melaksanakan
1. Pemberitahuan.
bahwa:
dilangsungkan.
perkawinan juga meneliti hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2)
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal
tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat
c. Izin tertulis/ izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2), (3),
Perkawinan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih
mempunyai istri.
undang Perkawinan.
f. Surat kematian istri atau suami terdahulu atau dalam hal perceraian surat
h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai
yang ditetapkan pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang
lainnya.
11
3. Pengumuman.
kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
perundang-undangan lainnya.
4. Pelaksanaan.
Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas
Namun demikian, terdapat keraguan tata cara tersebut sepenuhnya dapat dipenuhi
dalam pelaksanaan perkawinan yang dilakukan secara adat di Bali, antara lain
12
Catatan Sipil, termasuk mekanisme pengumuman, agar jika ada masyarakat yang
mengetahui bahwa perkawinan itu tidak dapat dilakukan karena ada persyaratan
di Kabupaten Buleleng karena berbagai hal, salah satunya dilihat dari komposisi
jumlah usia penduduknya yang ada dalam fase hidup mulai berumahtangga cukup
dilakukan, antara lain dilakukan oleh Kadek Ayuni Jayanti Ningrat tahun 2018,
1974 sebagai dasar hukum kajian, tetapi secara khusus dihubungkan dengan
perkawinan ngerorod yang terjadi di Desa Julah. Berbeda dengan penelitian yang
Adat Buleleng.
Tahun 1974 juga dilakukan oleh Ketut Sudantra dan I Gusti Ngurah Dharma
Nomor 1 Tahun 1974, yang sampai pada simpulan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan umat Hindu di Bali sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) yang menentukan
teori-teori mengenai relasi antara hukum adat dan agama, seperti teori recepitieo
in complexu dan teori receptie), frasa “hukum agama dan kepercayaannya itu”
perkawinan. Banyak pihak mengakui bahwa adat Bali tidak dapat dipisahkan
14
dengan agama Hindu. Dihubungkan dengan penelitian Ketut Sudantra dan I Gusti
materiil, saja tetapi juga syarat formal, seperti kewajiban untuk melakukan
penmgumuman/publikasi.
juga dilakukan Pande Putu Gita Yani, dkk., dengan judul: “Perkawinan yang
antara dua mempelai yang sebenarnya memiliki larangan untuk kawin. Larangan
tersebut mungkin tidak disadari oleh para pihak maupun keluarganya. Dalam hal
keduanya ada hubungan persusuan (pernah diberi susu oleh ibu yang sama), atau
salah satu pihak masih terikat perkawinan, dan hal-hal lain-lainnya. Melalui
tahapan publikasi perkawinan yang terlarang dapat dicegah. Menjadi masalah jika
tahapan ini tidak dilakukan, atau kalau dilakukan justru setelah perkawinan
disahkan.
15
dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, di luar itu hanya
2. Perkawinan yang dilakukan tanpa izin orang tua, untuk calon mempelai yang
yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin
belah pihak, namun diketahui oleh orang/pihak lain. Dalam hal inilah
16
Masalah dalam penelitian ini dibatasi, pada hal-hal yang lebih bersifat
perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng dan
kajian apakah tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut Hukum
Sehubungan dengan syarat publikasi ada beberapa hal yang harus dipenuhi,
yaitu:
pencatatan setelah perkawinan dilakukan tidak sesuai dengan hal ini, karena
lainnya.
Buleleng?
Buleleng
18
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis.
menurut Hukum Adat Bali pada umumnya dan hukum adat yang berlaku di
2. Manfaat praktis.
a. Bagi lembaga terkait, dalam hal ini desa adat di Bali, hasil penelitian
sangat penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat. Perkawinan tidak hanya
berkaitan antara hubungan seorang pria dan wanita saja akan tetapi berkaitan pula dengan
orang tua dan keluarga pasangan pria dan wanita tersebut, bahkan hubungan antara
masyarakat yang satu dengn masyarakat yang lainnya. Hubungan tersebut diawasi oleh
sistem norma Agama Hindu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu (I Putu
Hukum Perkawinan Hindu adalah hukum yang mengatur kepentingan hukum umat
ketentraman, keadilan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat sehingga setiap Umat
Secara singkat Hukum Perkawinan Hindu adalah aturan-aturan yang merupakan pedoman
bertingkah laku bagi umat Hindu dalam bidang perkawinan (I Putu Gelgel dan Ni Luh
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam HOCI, begitu pula peraturan dalam Kitab
lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
19
20
adalah ikatan lahir bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk rumah tanga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 bukan
hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu
perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan
Terdapat beberapa hal dari rumusan perkawinan tersebut di atas yang perlu
1. Digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak
perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat.
itu adalaha bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga,
3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal
perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi
perintah agama.
Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena
adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk
hidup bersama sebagai suami isteri. Ahyani (2016) juga menyatakan bahwa Perkwainan
21
merupakan sunatullah yang mengikat batin antara seorang pria dan Wanita yang ditandai
dengan akad yang pada umumnya berasal dari keluarga yang berbeda, terutama berasal
dari keluarga asalnya, yang kemudian mengikatkan dirinya menjadi satu kesatuan dalam
keluarga, sebagai institusi terkecil dalam sebuah masyarakat memegang peran penting
bagi pembentukan generasi muda yang berkualitas. Dalam tahap permulaan ikatan bathin
ini ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan
perkawinan. Pada dasarnya perkawinan itu dilaksanakan atas dasar suka rela dari kedua
calon mempelai, dan perkawinan tidak sah apabila dilakukan dengan terpaksa atau ada
tekanan dari salah satu calon mempelai atau dari pihak lain (kawin paksa) karena apabila
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal tidak mungkin dapat diwujudkan.
Menurut Dini, dkk (2020) usia ideal menikah pada perempuan yaitu minimal 20 tahun
dan pada laki-laki minimal 25 tahun, karena di usia tersebut organ reproduksi perempuan
secara psikologis sudah berkembang secara baik dan kuat serta siap untuk melahirkan
begitu pula dengan laki-laki umur 25 ke atas siap untuk menopang kehidupan
menanyakan kepada kedua calon mempelai, apakah dalam perkawinan yang akan
dilaksanakan ada paksaan dari pihak lain atau tidak. Hal tersebut untuk memastikan
bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan atas dasar keikhlasan (suka rela) oleh kedua
calon mempelai. Selanjutnya, dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas
bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal itu berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus berdasarkan agama dan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 16
22
Tahun 2019 yang telah penulis uraikan sebelumnya, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) juga
berlaku.
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini , tidak ada perkawinan diluar hukum
agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2019 tersebut tidak mungkin dapat
dilaksanakan perkawinan berbeda agama antara kedua calon mempelai. Karena bagi
orang yang beragama Islam tidak sah melaksanakan perkawinan diluar syariat agama
Islam, begitu juga sebaliknya bagi agama Kristen juga tidak sah apabila dilakukan tidak
sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut Rasyid (2019) perkawinan yang ideal
dalam agama islam adalah perkawinan yang seimbang, baik Ketika proses pencarian
jodoh yang diharapkan terjadinya perkawinan sekutu (sederajat) maupun Ketika resmi
menjadi pasangan suami istri, Dan salah satu ciri dari perkawinan yang Bahagia ialah
didalamnya tidak ada yang lebih diuntungkan, tidak ada yang lebih dirugikan dan
semuanya harus berjalan secara adil. Sehingga di Indonesia tidak dimungkinkan untuk
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan juga tidak boleh
undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah
penting, yaitu :
1. Pertama, Ikatan lahir bathin. Perkawinan terjadi dikarenakan ada ikatan (akad)
lahir dan batin antara seorang pria dan seorang Wanita. Ikatan dalam perkawinan
tidak sekedar ikatan atau perjanjian yang dikenal dalam perjanjian atau kontrak
2. Kedua, Antara pria dan Wanita. Frasa “antara pria dan Wanita” mengandung arti
3. Ketiga, Seorang pria dan seorang Wanita. Hal tersebut memberikan arti bahwa,
(KUHPer). Marzuki (2017: 73) berpendapat bahwa hukum dinamika sosial hanya
4. Keempat, Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
dalam pasal 6 ayat (1) bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua
calon memplai.
24
dalam hal ini mengakui keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut warga
negara Indonesia.
Undang Dasar 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Dari apa yang telah dipaparkan
Dasar 1945 dapat diketahui bahwa harapan dan cita-cita negara Indonesia adalah untuk
melanjutkan keturunan, dan setiap orang mempunyai hak untuk membuat sebuah
keluarga dan hal tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi.
telah memberikan perlindungan terhadap hak anak yang tertera pada UUD 1945 yang
menerangkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi oleh individu
lain. Landasan hukum perkawinan juga termuat di dalam Undang-Undang No.16 Tahun
2019 Tentang Perkawinan diatur pada Bab I tentang Dasar Perkawinan yang terdiri dari 5
Pasal, yaitu dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 5. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.16
bahwa: “Ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
25
agamanya dan kepercayannya itu”. Selain di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan dalam Pasal 7
bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun. Bagi Pegawai Negeri Sipil terdapat pengaturan khusus mengenai
perkawinan dan perceraian sebagaimana yang diatur dalam, Pasal 2 Ayat (1)
wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
seorang yang masih terikat perkawinan, cerai kawin berulang, tidak memenuhi tata cara
1. Menteri;
2. Jaksa Agung;
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang Wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
Pasal 2
berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
seorang suami
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Pasal 5
sebagai berikut :
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
Umat Hindu percaya bahwa pasangan yang menikah tidak boleh berasal dari
keluarga yang sama. Untuk memastikan bahwa pasangan tersebut tidak berasal dari gotra
(garis silsilah atau leluhur) yang sama, merupakan suatu kebiasaan untuk memeriksa
keluarga adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama, dikutuk, dan penuh dengan
Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
berlaku.
2. adanya ijin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun;
3. usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita
4. antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah
6. bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lainnya dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
7. tidak berada dalam jangka waktu tunggubagi calon memeplai wanita yang janda.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari
orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan
kehendaknya.
d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
e. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
Untuk melangsungkan perkawinan, harus dipenuhi dua macam syarat yaitu syarat
materiil dan syarat formil. Syarat materiil iallah syarat yang mengenai pribadi calon
suami istri yang akan melangsungkan perkawinan, sedangkan syarat formil ialah syarat
Syarat materiil terdiri dari dua yaitu syarat materiil umum dan syarat materiil khusus:
1. Syarat materiil umum, syarat materiil umum suatu perkawinan dalam Undang-
b. Pasal 6 Ayat (1), yaitu bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
yang dilakukan orang lain, misalnya paksaan dari orang tua kedua calon
30
mempelai, ataupun atas paksaan salah satu calon mempelai terhadap calon
mempelai lainnya.
c. Pasal 7 Ayat (1), yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah
mencapai usia 19 (semnilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. Di dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (1) dijelaskan
bahwa “Untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan
batas-batas umur untuk perkawinan”. Dalam hal calon suami istri belum
memenuhi syarat batas usia tersebut, dispensasi dapat diberikan oleh presiden,
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada
Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini”. Pasal ini melarang seorang
yang sudah menikah untuk kedua kalinya kecuali ada ijin dari pengadilan. Hal
ini merupakan suatu larangan bagi tiap calon mempelai untuk menikah lagi
e. Pasal 11 mengatur tentang masa tunggu (iddah) bagi seorang wanita yang
2. Syarat materiil khusus, syarat materiil khusus adalah syarat mengenai diri seseorang
perkawinan.
berhubungan dengan tata cara yang harus dilakukan sebelum, pada saat perkawinan
syarat formil yang harus dilaksanakan pada saat perkawinan dilangsungkan adalah
Pencatatan dan dihadiri oleh kedua orang saksi. Syarat-syarat formil yang harus
perkawinan oleh kedua mempelai yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatatan
yang:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/
paman susuan;
5. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam
6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
1. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi. Seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan syarat:
32
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri dalam arti istri
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat
pemerintah.
bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain
d. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk
2. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan lain dan bercerai lagi
33
untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
3. Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu yang diatur
berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
d. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin.
Dalam masyarakat Hindu di Bali, selain merupakan perikatan perdata dan perikatan
agama, juga merupakan perikatan Adat dan keluaraga. Perikatan Adat maksudnya adalah
setiap pasangan suami istri, wajib hukumnya masuk sebagai krama (warga) dalam Desa
Adat. Pasangan tersebut memeliki hak dan kewajiban dalam mengupayakan sukertha tata
kehidupan beragama (hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), sukertha tata
Dimaksud dengan perikatan keluarga adalah pasangan suami istri masuk dan terikat
dalam hubungan yang harmonis dengan keluarga pihak purusa (biasanya keluarga pihak
laki laki). Misalnya seorang wanita dari soroh (kerabat) Gusti kawin dengan laki laki dari
soroh Pasek, maka mempelai wanita harus sepakat masuk ke keluarga soroh Pasek
berstatus purusa maka mempelai laki laki masuk ke dalam soroh (keluarga atau kerabat)
mempelai wanita (I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani, 2020: 45).
sebagai berikut:
pelaksanaan.
3. Upacara perkawinan sebagai tindak lanjut dari penentuan hari tersebut tadi, maka
dipimpin oleh pendeta atau pinandita, disaksikan oleh masyarakat setempat dan
5. Perkawinan dilangsungkan pada hari yang telah ditetapkan (penetapan hari sesuai
6. Bertindak sebagai saksi dalam upacara perkawinan adalah dua orang yang berumur
oleh kedua mempelai kemudian oleh kedua saksi dan terakhir oleh pegawai pencatat
Ada 4 (empat) macam sistem perkawinan yang banyak dipakai oleh kalangan
dipandang baik menurut adat Bali dan agama Hindu. Peminangan dilakukan pihak
keluarga laki – laki atau purusa, yang datang menemui pihak keluarga wanita. Hal ini
dilakukan atas dasar persetujuan putra–putri kedua belah pihak yakni pradana (pihak
wanita) dan purusa (pihak laki–laki). Sebelum peminangan dilakukan, sudah terjadi
Perkawinan ini dilakukan dengan cara lari bersama, di mana laki– laki dan
keluarga lain (pihak ke 3) dan menyatakan dirinya sedang ngerorod/ merangkat. Cara ini
biasanya dilakukan karena orang tua pihak keluarga perempuan tidak menyetujui
hubungan antara anak perempuannya dengan laki – laki calon suaminya atau karena
pihak laki – laki tidak mampu menempuh cara perkawinan secara meminang serta alasan
Menurut arti bahasa Indonesianya, mungkin sama dengan perkawinan ambil anak
yaitu mengawini anak laki–laki untuk masuk menjadi anggota pihak keluarga wanita dan
tinggal pula disana. Nyentana /nyeburin dikenal pula dengan sebutan pekidih atau
diminta, artinya laki-laki tersebut diminta menjadi menantu dan meneruskan keturunan
pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena wanita merupakan anak semata wayang
dan tidak mempunyai saudara pria. Seandaiya wanita melakukan perkawinan secara
biasa, maka keluar dari keluarganya, sehingga tidak ada lagi yang meneruskan keturunan
keluarga tersebut.
4. Sistem ngunggahin.
Dalam sistem perkawinan ini wanita datang ke rumah laki–laki, meminta supaya
dikawini. Biasanya hal ini terjadi dalam keadaan luar biasa, wanita tersebut sudah hamil,
dihamili oleh laki–laki yang didatanginya dan meminta pertanggung jawaban, supaya
keluargannya.
1. Kedudukan Suami dan istri akan sema atau seimbang dalam rumah
3. Saling mencintai
keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga (Nugroho, 2017: 47).
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain
yang berlaku dilarang kawin.
2) Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “Seorang yang
terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-
undang ini”.
dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan
pasangan suami istri menjaga kesetiannya sampai akhir hayatnya. Oleh karenanya
pasangan suami istri harus senantiasa dengan tidak jemu jemunya tidak melakukan
perceraian dan tidak melanggar kesetian masing masing. Namun demikian, perjalan hidup
rumah tangga seseorang adakalanya mengalami nasib buruk, biduk rumah tangganya
oleng. Memang setiap orang, setiap ajaran agama, tidak akan menghendaki adanya
keretakan dalam suatu perkawinan. Tetapi bila segala daya upaya untuk menyatukan
keretakan rumah tangga itu tidak membuahkan hasil, akhirnya terjadilah perceraian (I
dapat putus karena: kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Selanjutnya
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
perundangan tersendiri.
alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
mempunyai dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum maysrakat asli
Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat istiadat,
istiadat yang hidup serta yang berkaitan dengan tradisi rakyat inilah yang
merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat Indonesia. Dari abad-
keabad, adat Indonesia merupakan cerminan dari suatu bangsa, yang mana
smerupakan salah satu jelmaan dari jibwa bangsa Indonesia yang dimiliki oleh
dasar dan sifatnya adalah satu, yakni “se- Indonesia-an”. Maka adat bangsa
bangsanya, dan “Tunggal Ika” yang artinya tetapi tetap satu juga, yakni dasar
Dari hal tersebut itulah dapat dimaknai bahwa hukum adat telah ada yang
hidup dan tumbuh disekitar masyarakat Indonesia. Hukum adat pada sedia kala
benar-benar dipatuhi oleh para masyarakat adat dan mereka sangat takut untuk
Ketentuan-ketentuan hukum adat pada pada masa dahulu, Sebagian besar tidak
Negara yang bersumber berlandaskan falsafah dan konstitusi negara, yang mana
kedua hal tersebut terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia.
Hukum nasional memiliki tujuan sebagai dasar atau acuan berperilaku dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Terdapat beberapa sistem hukum nasional yang
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Peraturan Presiden
Tujuan hukum nasional Indonesia dibentuk yaitu untuk mengatur hak dan
yaitu terlindungi oleh hukum, cerdas, makmur, dan adil dengan berlandaskan
falsafah Pancasila.
Friedman, bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga
unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum
(substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum
struktur hukum dikatakan sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau
tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen.
dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya suatu angan-
aparat penegak hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu
Struktur dalam sistem hukum terdiri dari unsur jumlah dan ukuran
diperiksa, dan tata cara naik banding dari suatu pengadilan ke pengadilan
hukum dan badan, serta proses hukum itu dapat berjalan dan dijalankan sesuai
masyarakat yang berada dalam system hukum tersebut, serta substansi yaitu
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu yang
meliputi keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka telah
diterapkan. Sebagai Negara penganut sistem Eropa Kontinental (Civic law) dan
juga menganut sistem Anglo Saxon (Common law), dikatakan bahawa hukum
44
aspek lain dalam sistem hukum, yang mana substansi tersebut adalah aturan,
norma, dan pola perilaku nyata manusia yang terdapat pada sistem tersebut. jadi
memiliki kekuatan mengikat serta menjadi tuntunan bagi aparat penegak hukum
(Friedman, 2011 : 7)
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
maka akan terciptanya budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir
menjadi dua yaitu Budaya hukum eksternal dan budaya hukum internal. Budaya
hukum eksternal adalah kultur hukum yang ada pada populasi masyarakat
umum. Budaya hukum internal adalah kultur hukum para anggota masyarakat
Indonesia terkait tiga unsur sistem hukum tersebut masih belum berjalan dengan
baik, khususnya pada sistem struktur dan budaya hukumnya. Budaya hukum
terhadap hukum dari sistem hukum yang ada. Sebaik apapun penataan struktur
hukum dan substansi hukum, jika tidak sesuai dengan budaya hukum di
(Friedman, 2011 : 8). Karena budaya hukum adalah aspek penting dan sistem
disalahgunakan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan kata yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris yang disebut
dengan istilah research, yang berarti “memeriksa kembali”. Merujuk pada istilah
tersebut, maka penelitian secara sederhana dapat diartikan sebagai “suatu upaya pencarian
kembali”. Apa yang dicari? yang dicari dalam penelitian tidak lain adalah jawaban-
jawaban atas suatu permasalahan yang belum terpecahkan (Bachtiar, 2019: 7).
dikembangkan untuk memberi kemanfaatan bagi umat manusia agar tercipta tatanan
hidup yang dinamis dan harmonis. Begitu pula dengan Ilmu Hukum, harus dikaji dan
terukur harus selalu dijadikan pegangan bagi para research staff supaya hasil yang
diberikan dapat digunakan dan terus dikembangkan sebagai dasar berpijak kajian dan
Metode penelitian hukum dalam konteks keilmuan hukum dan metode penelitian
hukum dalam konteks penemuan dan penerapan hukum, dalam konteksnya yang pertama,
pada umumnya dilakukan oleh peneliti hukum akademis ini, memiliki dua jenis penelitian
hukum yaitu: penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis. Penelitian
hukum normatif dipengaruhi oleh doktrin hukum murni dan positivisme, sedangkan
penelitian hukum sosiologis dipengaruhi oleh doktrin sosiologi hukum (sosiologi of law)
46
47
maupun ilmu hukum sosilogis (sociological jurisprudence) (Depri Liber Sonata, 2014:
24).
Dalam Ilmu Hukum, cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan dilakukan
dengan dua tipologi, yakni: penelitian hukum normatif/doktrinal, dan (b) penelitian
penalaran, baik secara deduktif maupun secara induktif. Disebut penelitian hukum
normatif, karena objek kajiannya adalah murni normatif hukum, sehingga tidak
Dikatakan demikian karena data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Ketiga bahan
hukum tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif. Disebut penelitian hukum empiris
karena objek kajiannya adalah perilaku hukum dalam kenyataan masyarakat. Mengingat
penelitiannya dilakukan di lapangan (field research), maka data yang digunakan adalah
data primer, sehingga sendirinya metode yang digunakan adalah metode yang umumnya
Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang ditujukan untuk mengkaji hukum
sebagai gejala sosial. Jadi, dalam konteks norma, penelitian hukum empiris adalah
penelitian tentang pelaksanaan norma. Norma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
alat pengumpul data dan teori-teori yang biasa dipergunakan di dalam metode penelitian
ilmu-ilmu sosial, namun di dalam konteks ini lebih dimaksudkan kepada pengertian
bahwa “kebenarannya dapat dibuktikan pada alam kenyataan atau dapat dirasakanoleh
panca indera” atau bukan suatu fiksi bahkan metafisika atau gaib (Depri Liber Sonata,
2014: 27).
Sebagai penelitian hukum empiris, penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa
tidak terdapat permasalahan berkaitan dengan regulasi yang ada, lebih ditujukan untuk
48
juga tata cara pelaksanaan pemgumuman/publikasi sudah diatur secara jelas, antara lain
dilakukan sebelum perkawinan disahkan melalui tahap pelaporan, penelitian oleh petugas
2019:52):
diketahui. Penelitian ini tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu dan
data yang dikumpulkan adalah data primer melalui teknik observasi di lokasi
mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi
menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau menolak teori atau
topik penelitian.
Alasan lain adalah untuk memudahkan proses pencarian data. Kemudahan tersebut
dengan keberhasilan penelitian karena proses konfirmasi data yang meragukan, upaya
melengkapi data yang kurang, dan hal-hal lain yang perlu dapat dilakukan secara lebih
mudah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari sumber data kepustakaan
dan sumber data lapangan. Dari sumber data kepustakaan dikumpulkan data sekunder
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat (hukum
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
50
bahan hukum primer. Dalam hal ini yang digunakan adalah pendapat ahli hukum
Dari sumber data lapangan dikumpulkan data primer yang relevan, yaitu tentang apa
Data dan informasi mengani tata cara perkawinan yang dilaksanakan di Desa Adat
Buleleng dapat diperoleh dari seluruh krama desa, namun untuk kepentingan validitas
dan kecukupan data, dipilih informan secara purposive (dengan tujuan-tujuan tertentu),
yaitu Prajuru Desa Adat Buleleng dan Petugas Pencatat pada Dinas Kependudukan dan
situasi dan kondisi, yang masih ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.
rupa sehingga data penelitian tersebut dapat dibaca (readabel) dan ditafsirkan
dibaca dan dipahami. Data yang mudah dibaca dan dipahami akan membantu peneliti
dalam memaknai dan menafsirkan data yang telah diolah (Bachtiar, 2019: 157).
1. pemeriksaan data (editing), yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul melalui
studi pustaka, dokumen, wawancara, dan kuisioner sudah dianggap relevan, jelas,
2. penandaan data (coding), yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik
berupa penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu yang
analisis data.
mentabulasi secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu dalam
bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan persentase bila data itu kuantitatif,
mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit menurut klasifikasi data
menyusun data dalam cara yang bermakna sehingga dapat dipahami, lebih memudahkan
pembaca dalam memahami hasil penelitian; menjelaskan kesesuaian antara teori dan
temuan peneliti; dan menjelaskan argumentasi hasil temuan (Nanang Martono, 2016: 10).
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan disajikan
secara deskriptif analisis. Metode kualitatif yang dimaksud adalah meneliti obyek
penelitian dalam situasinya yang alamiah. Alur pengolahan data sebagai berikut: data
Dari sembilan kabupaten yang terdapat di Pulau Bali, Kabupaten adalah salah
satunya yang berada di bagian utara Pulau Bali yang memiloki luas wilayah
dibagian utara terdapat Laut Jawa. Dari sembilan kabupaten yang berada di Pulau
25% dari luas Pulau Bali. Panjang pantai Kabupaten Buleleng yaitu kurang lebih
Buleleng, Sawan, Sukasada, Seririt, Banjar, Sangsit, Gerokgarak dan Busung Biu,
dimana dibagian selatan terdiri dari gunung dan bukit yang melintang dari daerah
Kabupaten Jembrana. Selanjutnya di bagian utara yang terdiri dari dataran rendah
di mana Panjang pantainya yaitu kurang lebih 157 km. Hal ini menjadikan
Kabupaten Buleleng mempunyai banyak tempat wisata seperti pantai serta air
Kabupaten buleleng terdapat banyak sekali sungai, baik yang airnya besar maupun
53
54
kecil yang mengalir saat musim hujan saja. Kabupaten Buleleng juga terkenal
karena memiliki danau yaitu Danau Tamblingan dengan luas mencapai 110
Hektar yang berlokasi di daerah kecamatan Banjar. Selain itu ada juga danau yang
lebih luas bernama Danau Buyan dengan luas 360 Hektar yang berlokasi di
merupakan desa adat apanage, yang telah memiliki sejarah panjang. Merupakan
desa adat yang besar jika dilihat dari luas wilayah dan jumlah masyarakat adatnya.
Desa Adat Buleleng terdiri dari 14 banjar adat, yaitu Banjar Liligundi, Banjar
Bale Agung, Banjar Paketan, Banjar Tegal, Banjar Kaliuntu, Banjar Kampung
Anyar, Banjar Kampung Baru, Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Tengah, Banjar
Penelitian ini dilakukan terhadap Prajuru desa adat Buleleng dan Petugas
peneliti anggap cukup memberikan data bagi penelitian ini. Berikut data yang di
Adat Buleleng, beliu mengatakan Di Buleleng perkawinan secara hukum adat ini
cuma ada 3 jenis yaitu mepadik, ngrerorod, dan nyentana. Mepadik itu adalah upa
cara yang dilaksanakan dengan cara kekeluargaan itu dengan cara meminang dari
pihak perempuan atau pradana namanya oleh pihak purusa atau laki-laki jadi kedu
kah benar-benar cinta sama cinta, nanti sudah dikatakan cinta sama cinta maka na
nti ada suatu kesepakatan, baik itu kesepakatan hari, waktu upacara dan sebagainy
a. Lalu kedua yaitu Ngerorod, ngerorod ini istilah hindunya itu ialah memaling, m
emaksa dari pihak perempuan untuk di kawinkan oleh pihak laki laki atau purusa ,
dan setelah itu dicuri tampa sepengetahuan orang tua. Penyebab terjadinya ini mu
ngkin dari pihak orang tua yang perempuan tidak setuju, karena kasta berbeda, seg
i ekonomi yang berbeda dan masalah lainya. Setelah di rorod maka adalah suatu p
ua pihak perempuan) sedang dilarikan oleh pacarnya dan itu ditujukan pertama ke
pada kelihan lingkungan atau kepala lingkungan, tidak boleh langsung kepada pih
ak keluarga perempuan, nanti bisa terjadinya pertengkaran dan amarah bisa terjadi
ngajak petugas klian lingkungan. Setelah adanya pemberitahuan maka dari pihak
a dan pacarnya atau bisa juga langsung disetujui dan menyuruh menyelesaikan. Ji
ka nanti diupacarakan maka akan ada lagi petugas yang datang dalam bahasa balin
leleng , yaitu apabila seorang keluarga tidak punya anak laki-laki cuma memilik a
nak perempuan saja lalu keluarga tersebut mempunyai kekayaan, tanah yang tidak
ada yang mewarisi. Dalam adat Bali seorang laki ia mewarisi. Nyentana ini yang d
ipinang adalah laki-lakinya untuk disentana dijadikan purusa. Nah untuk pada gela
hang di buleleng belum ada, cuma diluar buleleng ada. Terkait tahapannya
menurut beliau pertama kita mengadakan penjantosan (menyantosin) berarti kita menga
dakan suatu perantara untuk menyampaikan dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga
perempuan bahwa tiang lagi tiga hari jagi wenten keluarga pacang meminang. Dan dihadi
56
ri keluarga kecil saja tampa membawa prajuru adat, dalam proses peminangan pihak pere
mpuan juga mepersilakan kepada pihak laki kedatangan pihak laki-laki untuk apa. Jika su
dah diterima meminangnya maka selanjutnya akan dilakukan upacara pawiwahan oleh ke
luarga laki-laki seperti pembebasan tri upasaksi dan serah terima secara sekala dan niskal
angat mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974, karena jika sudah melakukan perkawi
nan dengan jenis perkawinan mepadik, ngrorod maupun nyentana maka itu juga h
arus mengikuti sistem di UU, karena ini akan bisa mendapatkan akta perkawinan,
selain itu perkawinan mepadik, ngrorod dan nyentana dianggap sah. Terkait
syarat-syarat perkawinan Dalam hukum adat di Desa adat buleleng tidak ada syarat khu
sus dalam melakukan perkawinan, cuma dalam pelaksanaan nya harus sudah ber umur 19
tahun dan juga tidak dalam keadaan bermasalah terkait gugat menggugat perceraian. Selai
n hal ini semua sama saja tidak ada syarat yang khusus. Prajuru desa pastinya memastika
n bahwa perkawinan yang dilakukan atas dasar persetujuan kedua mempelai, nantinya ka
n dalam kegiatan meminang nanti ada perwakilan prajuru Desa yang ikut untuk
menjadi saksi bahwa perkawinan ini dipersetujui oleh kedua belah pihak.
dicatatakan kantor dinas pencatatan sipil buleleng itu memiliki two foksi untuk
perkawinan apabila ada pelaporan dari yang bersangkutan, jadi tidak semua
perkawinan terjadi di adat itu di catatkan kalau memang mereka melaporkan kami
catatkan ke jika tidak laporkan kami tidak catatkan jadi system kami itu sesuai
pelaporan dari pada pusaka itu. Kemudia terkait syarat sah beliau mengatakan
57
Menurut undang-undang, Jadi perkawinan itu ada 2 ada perkawinan yang sah
secara agama itu artinya perkwinan sesuai dengan adat, yang kedua ada
perkawinan dengan sah secara hukum berarti dengan sesuai undang-undang jadi
kalau perkawinan yang sah secara agama itu diselesaikan di adat yang perkawinan
itu hanya mencatatkan bagi perkawinan yang sudah sah secara agama terjadi, jadi
kalau memang belum terjadi perkawinan sah secara agama tidak melaporkan ke
dinas pencatatan sipil seperti itu jadi awalnya itu harus kalau itu di laksanakan
dulu secara agama sesuai dengan adat masing-masing Jadi apabila pelaporan
perkawinan masyarakat itu sudah sesuai dengan persyaratan baru akan di catatkan
dalam pengajuan akte perkawinan jadi bukan ke dinas pencatatan sipil tapi di
Terkait koordinasi antara desa adat dan desa dinas kalau koordinasi antara
resmi desa adat dan kami memang tidak ada tapi kami memang ada istilahnya
terjadinya kerjasama dengan desa adat artinya pada saat dilaksanakan perkawinan
secara adat itu mengarahkan desa adat langsung mengesahkan kepada mempelai
jadi tidak 2 kali mereka begitu pada saat mereka mengundang adat untuk
mendatatangani perkawinannya secara adat mungkin karena seperti itu kerja sama
58
kami dengan masing-masing desa adat, tapi kalau intinya mereka apabila melapor
bakal ada perkawinan kita endak ada seperti itu kami hanya perjanjian sebatas
saling membantu supaya perkawinan di adat resmi kemudian secara hukum resmi
di sarankan kepada desa adat bagi mempelai yang ingin mencari hari baik
4.2 Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat
Buleleng
pengakuan. Dalam kenyataannya antara desa adat yang satu dengan yang lain
desa pakraman kedalam tiga tipe yaitu desa bali aga, desa apanage dan desa anyar
Desa bali aga, adalah desa adat yang masih tetap menganut tradisi jaman Bali
pengaruh agama Hindu. Konsep Bali Aga sendiri secara etimologis berarti “bali
pegunungan tanpa atau sedikit sekali kena pengaruh budaya dan agama Hindu
Jawa, khususnya yang berasal dari Majapahit. Tradisi kecil yang menyertainya
adalah tradisi yang didominasi ciri-ciri kebudayaan pra-Hindu seperti: (1) sistem
ekonomi terfokus pada ekonomi sawah dengan irigasi; (2) azas musyawarah
dengan deferensi dan stratifikasi sosial sederhana; (3) bangunan rumah dengan
59
kamar yang berbentuk kecil dan terdiri atas bahan kayu atau bambu; (4) kerajinan
melalui besi, perunggu, celup dan tenun; (5) sistem pura berhubungan dengan
keluarga, desa dan wilayah; (6) pada pura terdapat sistem ritual dan upacara yang
cukup kompleks; (7) bahasa setempat dengan kesusastraan lisan; serta (8) tari dan
tabuh dipakai dalam rangka upacara keagamaan yang terdiri atas: slonding,
angklung, tari sanghyang. Pada desa-desa seperti ini tidak dikenal adanya sistem
desa umumnya menganut pola kembar ataupun kolektif (Wayan Gede Suacana,
2011).
dalam kitab Negarakertagama. Desa ini mengikuti tradisi hukum Hindu yang
enam tahun setelah Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten (1343) berkuasa,
menyerang pulau Bali. Beberapa kali terjadi perlawanan dari masyarakat Bali Aga
Serai. Selain itu ada yang berasal dari Manikliu, Bonyoh, Sukawana, Margatiga,
Ulakan, Datah dan Pasedahan seperti disebutkan dalam Babad Dalem Turun ke
Bali. Setelah terjadi pertempuran yang hebat, orang-orang Bali Aga akhirnya bisa
dan sistem kemasyarakatan, serta kepemimpinan orang Bali Aga. Beberapa aspek
60
keagamaan Hindu Majapahit akhirnya bisa masuk dan berkembang di Bali, berkat
upaya tokoh agama dari Majapahit, yaitu Danghyang Nirarta yang juga bernama
Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rauh. Desa-desa yang intens
terkena pengaruh ini kemudian lazim disebut desa apanage (bali dataran).Ciri-ciri
tradisi besar dalam Desa Apanage sebagai akibat pengaruh Majapahit mencakup
unsur-unsur kehidupan masyarakat Hindu, antara lain: (1) ekonomi sawah dengan
irigasi; (2) kekuasaan terpusat, kedudukan raja sebagai keturunan dewa; (3)
adanya tokoh pedanda ; (4) konsep-konsep kesusastraan dan agama tertulis dalam
lontar; (5) adanya sistem kasta; (6) adanya upacara pembakaran mayat bagi orang-
orang yang meninggal; (7) adanya sistem kalender Hindu-Jawa; (8) pertunjukan
wayang kulit; (9) arsitektur dan kesenian bermotif Hindu dan Budha; dan (10)
tunggal. Desa anyar (desa baru), yaitu desa yang terbentuk relatif baru, sebagai
akibat dari adanya perpindahan penduduk (trasmigrasi lokal) dengan tujuan awal
menjadi dua kelompok utama yaitu Bali mula (Bali mga) dan Bali daratan (Bali
Majapahit mendiami daerah dataran. Perbedaan lain antara masyarakat Bali mula
dan Bali Majapahit adalah pada penggunaan bahasa dan struktur masyarakatnya.
Masyarakat Bali mula menggunakan bahasa yang disebut omong negari dan
61
omong pojol. Semua desa Bali mula tidak mengenal adanya pelapisan masyarakat
atau kasta seperti yang ada pada masyarakat Bali daratan. Pada masyarakat Bali
daratan terdapat pelapisan masyarakat atau kasta yang sekarang dikenal sebagai
wangsa, yaitu wangsa brahmana, kesatria, waisya dan sudra (Made Çri Dwitiari,
2012).
Bali dataran, terdapat perbedaan dalam pelibatan masyarakat adat dalam beberapa
aspek kemasyarakatan. Pada masyarakat Bali aga, desa adat memiliki peranan
sentral, sementara itu, pada masyarakat Bali dataran, umumnya peranan desa adat
terbatas pada masalah adat istiadat dan keagamaan. Adanya perbedaan peranan ini
membawa implikasi pada sikap dan perilaku individu atau masyarakat di dalam
kehidupannya. Peranan desa adat di Desa Bali aga cukup kuat, oleh karena itu,
Sementara itu di desa Bali Dataran, peranan desa adatnya terbatas sehingga sikap
Sejalan dengan hal tersebut, secara tipologis desa adat di Kabupaten Buleleng
1. Desa adat yang tergolong sebagai desa Bali Aga. Desa-desa yang tergolong
desa ini antara lain: Desa Adat Cempaga, Desa Adat Sidatapa, Desa Adat
Pedawa, Desa Adat Sembiran, Desa Adat Julah, dan beberapa desa lainnya.
62
3. Desa pakraman yang tergolong sebagai desa anyar/baru, antara lain Desa
Adat Penyabangan, Desa Adat Sumber Klampok, dan beberapa desa lain,
terlantar.
Desa Adat Buleleng, merupakan desa adat apanage, yang telah memiliki
sejarah panjang. Merupakan desa adat yang besar jika dilihat dari luas wilayah
dan jumlah masyarakat adatnya. Desa Adat Buleleng terdiri dari 14 banjar adat,
yaitu Banjar Liligundi, Banjar Bale Agung, Banjar Paketan, Banjar Tegal,
Banjar Kaliuntu, Banjar Kampung Anyar, Banjar Kampung Baru, Banjar Bali,
Sebagai desa adat yang wilayahnya ada di perkotaan, maka dapat dipastikan
memengaruhi.
yang berorientasi pada nilai uang, persaingan, dan nilai-nilai inovatif lainnya.
formal (hukum nasional), sampai saat ini masih sangat mendukung dan mematuhi
hukum adat, termasuk dalam hal tata cara pelaksanaan perkawinan. Dijelaskan
bahwa jenis (sistem) perkawinan secara hukum adat yang umum dilakukan di
Desa Adat Buleleng ada 3, yaitu: mepadik, ngrerorod, dan nyentana. Mepadik ada
lah upacara yang dilaksanakan dengan cara kekeluargaan dengan cara meminang
pihak perempuan atau pradana oleh pihak purusa atau laki-laki. Jadi kedua pihak
ar-benar cinta sama cinta, nanti sudah dinyatakan di depan keluarga, cinta sama ci
nta maka akan ditindaklanjuti dengan membuat kesepakatan, baik itu kesepakatan
Perkawinan ngerorod, istilah ngerorod ini bersalah dari Bahasa Bali ialah me
maling, memaksa pihak perempuan untuk dikawini oleh pihak laki laki atau purus
a, dan setelah itu dicuri tampa sepengetahuan orang tua. Penyebab terjadinya ini
64
mungkin dari pihak orang tua yang perempuan tidak setuju, karena kasta berbeda,
segi ekonomi yang berbeda dan masalah lainya. Setelah di-rorod maka petugas ad
orang tua pihak perempuan bahwa anaknya sedang dilarikan oleh pihak laki-laki u
kepala lingkungan, tidak langsung kepada pihak keluarga perempuan, untuk meng
hindarkan terjadinya pertengkaran dan amarah yang dapat menyulut timbulnya per
kelahian. Pada saat pemberitahuan kepada pihak keluarga perempuan harus meng
ajak petugas kelian lingkungan. Setelah adanya pemberitahuan maka dari pihak k
pacarnya atau dapat juga langsung disetujui dan diselesaikan secara adat dan agam
a. Jika nanti diupacarakan maka akan ada lagi petugas yang datang dalam bahasa
Sistem ngerorod atau rangkat yang juga disebut cara selarian (sama-sama lari
unya anak laki-laki cuma memilik anak perempuan saja lalu keluarga tersebut me
mpunyai kekayaan, tanah yang tidak ada yang mewarisi. Dalam adat Bali anak lak
65
i-laki yang menjadi ahli waris. Perkawinan nyentana ini yang dipinang adalah lak
I Nyoman Westha menjelaskan bahwa secara garis besar tata cara perkawinan
ntara untuk menyampaikan bahwa pihak keluarga laki-laki akan datang kepad
2. Pihak laki-laki melakukan peminangan, dihadiri keluarga kecil saja tanpa mel
ibatkan prajuru adat, dalam proses peminangan pihak perempuan juga memp
ki. Jika pinangan sudah diterima maka selanjutnya akan dilakukan perencana
3. Upacara widhi widana. Prosesi widhi widana dipimpin oleh seorang pendeta
para leluhur, serta memohon ijin dan restu agar kehidupan berkeluarga
ini, kedua mempelai akan memakai pakaian kebesaran pengantin atau bisa
adat Bali ini, wanita yang mengikuti sang suami datang kembali ke keluarga
wanita didampingi oleh keluarga besar, kerabat dan tetangga dari keluarga
Pelibatan prajuru desa adat atau perangkat desa dinas dapat dilakukan pada saa
t meminang, atau pada saat meserah, berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan kel
uarga. Pelibatan petugas desa adat dan desa dinas ini diperlukan antara lain, untuk
atatan Sipil. Hal inilah menjadi sebuah keunikan perkawinan di Desa Adat Bulele
ng dimana peran prajuru Desa sangat penting dalam prosesi perkawinan. Selain it
U No. 1 Tahun 1974, karena jika sudah melakukan perkawinan dengan jenis perka
winan mepadik, ngrorod maupun nyentana maka itu juga harus mengikuti sistem
di UU, untuk mendapatkan akta perkawinan, selain itu perkawinan mepadik, ngro
67
rod dan nyentana dianggap sah. Dalam hukum adat di Desa adat buleleng tidak ad
a syarat khusus dalam melakukan perkawinan, cuma dalam pelaksanaan nya harus
sudah berumur 19 tahun dan juga tidak dalam keadaan bermasalah terkait gugat m
enggugat perceraian. Selain hal ini semua sama saja tidak ada syarat yang khusus.
disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama
mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan.
petugas desa adat maupun petugas desa dinas, dilakukan setelah ada
Buleleng.
meneliti: kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam
hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat
diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu; keterangan
Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Perkawinan, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun; izin
dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai
undang Perkawinan; surat kematian istri atau suami terdahulu atau dalam hal
lebih; izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan
bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena suatu alasan
69
atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. Dihat dari proses perkawinan di
karena hal itu baru memiliki arti jika dilakukan sebelum perkawinan
kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum, setelah tidak ada halangan. Maksud diadakannya
ditetapkan pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah
perkawinan telah dilaksanakan, maka jika ada larangan yang dilanggar dalam
Dari fakta yang ada, dapat diketahui terdapat ketimpangan antara fakta dilapangan
dengan aturan yang ada atau ketimpangan antara Das Sollen dan Das Sein. Fakta
Adat Buleleng pelibatan petugas desa adat maupun petugas desa dinas, dilakukan
perkawinan, bahkan ada prosesi perkawinan baru melibatkan petugas pada saat
sering tidak dipenuhi dalam perkawinan yang dilakukan di Desa Adat Buleleng.
adapun akibat hukum dari hal tersebut jika dikaji dari PP No 9 Tahun 1975
Jika terjadi seuatu kasus para pengantin tidak melaporkan perkawinannya dan
tidak dicatat, maka akan merugikan posisi dari seorang perempuan. Hal ini
dikarenakan perempuan tidak dianggap istri yang sah sehinga istri tidak berhak
atas nafkah dan warisan abila suami meninggal. Selai itu istri tidak berhak atas
Dalam terjadinya ketimpangan antara fakta dan aturan, maka perlu kiranya
1975 dengan dikaitkan dengan Teori Sistem Hukum M. Friedman. Teori ini
adalah teori yang memuat tiga aspek mengenai iplementasi sebuah aturan. Adapun
tiga aspek tersebut adalah Substansi Hukum (Aturan), Struktur Hukum (Penegak
Dilihat dari Substansi Hukum atau aturan yang berlaku, tidak ada pasal pasal
yang memiliki makna ambigu atau pasal yang bertentangan dengan UU yang lain
72
atau UU yang berada lebih tinggi. Namun penulis hanya menilai mengenai
ketentuan pidana, denda Rp. 7500,- tidaklah relevan lagi jika dilihat dari
perkembangan nilai uang saat ini. Namun mengenai proses pencatatan perkawinan
mengenai bunyi pasal sehingga dapat ditarik sebuah hal dimana struktur hukum
bukan sebuah permasalahan dari ketimpangan antara das sollen dan das sein ini.
menilai bahwa pencatatan perkawinan oleh pihak petugas tidak sesuai PP yang
Mejauman/mebebasan juga disebut dengan “ngabe tipat bantal” atau membawa ketupat
dan kue bantal dan mengenai pencatatan perkawinan dilakukan saat para pengantin sudah
sah atau saat acara mejauman/mebebasan. Sehingga dari ketimpangan antara aturan
dengan fakta dilapangan penulis melihat dikarenakan salah satu faktor yaitu para
penegak hukum dalam hal ini Catatan Sipil telah memaklumi hal ini dimana tidak
ada proses pelaporan diawal sebelum perkawinan dan penelitian mengenai syarat
sahnya perkawinan.
hukum atau penegak hukum, salah satu faktor lainnya penyebab adanya
73
pokok dan fungsi untuk mencatatkan segala jenis permohonan akta yang
diperlukan, salah satunya akta perkawinan apabila ada pelaporan dari yang
bersangkutan. Diakui bahwa tidak semua perkawinan terjadi di desa adat itu di
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Buleleng. Jika tidak ada
ada perkawinan yang sah secara agama itu artinya perkwinan sesuai dengan
agama dan adat. Kedua ada perkawinan dengan sah secara hukum berarti dengan
sesuai undang-undang jadi kalau perkawinan yang sah secara agama itu
diselesaikan di adat yang perkawinan sah secara hukum setelah selesai di adat
mencatatkan bagi perkawinan yang sudah sah secara agama terjadi, jadi kalau
74
memang belum terjadi perkawinan sah secara agama tidak melaporkan ke dinas
pencatatan sipil seperti itu jadi awalnya di laksanakan dulu secara agama sesuai
dalam pengajuan akte perkawinan jadi bukan ke dinas pencatatan sipil tapi di
publikasi itu wajib di kantor desa itu menjadi persyaratan agar dapat mencatatkan
ke kantor dinas pencatatan sipil kalau memang sudah dilakukan secara adat ya
mencantumkan dia pengumuman yang di tanda tangani oleh prebekel atau lurah.
perkawinan.
perkawina sudah jelas antara lain usia perkawian bagi mempelai wanita dan pria
itu 19 tahun. Jadi kalau memang misalnya perkawinan adatnya sudah terjadi pada
saat mempelai di bawah usia tersebut perkawinan tersebut tidak bisa di catatkan
ke kantor dinas pencatatan sipil karena salah satu persyaratan yang wajib di
75
dispensasi dari pengadilan dicatatkan kalau tidak hanya perkawinan yang berlaku
di adat saja.
Jadi kalau kami di dinas pencatatan sipil itu terkait dengan presentase
perkawinan yang di lakukan secara adat itu bukan merupakan two foksi kita ya
jadi yang ada di kami itu adalah dari yang berstatus kawin di kartu keluarga sudah
berapa persen yang mempunyai akte perkawinan itu baru ada tetapi kalau berapa
persen yang sudah melakukan di adat itu tidak ada di kami datanya
Koordinasi resmi antara desa adat dengan Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil memang tidak ada tapi pada dasarnya ada kerjasama dengan desa adat
artinya pada saat dilaksanakan perkawinan secara adat itu mengarahkan desa adat
langsung mengesahkan kepada mempelai jadi tidak 2 kali mereka begitu pada saat
mungkin karena seperti itu kerja sama kami dengan masing-masing desa adat, tapi
kalau intinya mereka apabila melapor bakal ada perkawinan kita endak ada seperti
itu kami hanya perjanjian sebatas saling membantu supaya perkawinan di adat
resmi kemudian secara hukum resmi di sarankan kepada desa adat bagi mempelai
yang ingin mencari hari baik misalnya langsung disarankan mengisi formulir
serta tata cara pencatatan perkawinan yang dilakukan pada Dinas Kependudukan
memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para
dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti sebagai
Dari sisi regulasi, memang ada pendapat bahwa terdapat pemaknaan bersifat
dicatat agar terjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi suami isteri beserta
keharusan yang harus dipenuhi, selain harus memenuhi ketentuan dan syarat-
berlaku. Namun hal ini tidak secara tegas ditentukan dalam UU 1/1974, sehingga
kekuatan hukum. Sahnya pernikahan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-
(tri upasaksi). Tri upasaksi berarti tiga saksi yang hadir menyaksikan proses
pelaksanaan perkawinan, yaitu dewa saksi, bhuta saksi, dan manusa saksi. Dewa
saksi adalah Tuhan yang secara simbolis dihadirkan melalui upacara dan upakara
pelaksanaan perkawinan (I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani, 2020: 63).
dilarang karena adanya hubungan kekeluargaan baik secara pertikal orisontal dan
pertlian semenda yang terdekat, seperti: 1) perkawinan antara ayah atau ibu
dengan anaknya atau antara kakek atau nenek dengan cucunya, 2) perkawinan
anak laki-laki dengan ibu tirinya, atau seorang anak wanita dengan ayah tirinya, 4)
perkawinan antara mertua dan menantu (I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani,
2020: 64).
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Tata cara pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng
untuk menyampaikan bahwa pihak keluarga laki-laki akan datang kepada keluar
b. Pihak laki-laki melakukan peminangan, dihadiri keluarga kecil saja tanpa melib
c. Upacara widhi widana. Prosesi widhi widana dipimpin oleh seorang pendeta
membawa ketupat dan kue bantal. Dalam prosesi pernikahan adat Bali ini,
didampingi oleh keluarga besar, kerabat dan tetangga dari keluarga pria.
dilakukan melalui pelibatan prajuru desa adat, perangkat desa dinas, dan pegawai
74
75
5.2 Saran
pelaksanaan tata cara perkawinan yang dilakukan di Desa Adat Buleleng agar
2. Disarankan kepada Dinas kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng agar
pengumuman perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adon Nasrullah Jamaludin. 2017. Sosiologi Perkotaan. Bandung: C.V. Pustaka Setia.
Anom, Ida Bagus, 2011, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, Denpasar :
CV Kayumas Agung.
I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani. 2020. Hukum Perkawinan dan Waris Hindu.
Denpasar: UNHI Press.
I Ketut Artadi. 2077. Hukum Adat Bali “dengan aneka Masalahnya”. Denpasar: Pustaka
Bali Post.
Mukti Fajar ND, Y. A. 2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prem P. Bhalla,. 2010. Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu. Surabaya: Paramita.
Setiady, Tolib. 2013. inti Sari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian
Kepustakaan). Bandung: Alfabeta.
Situmorang, Victor, 2012, Aspek Akta Catatan Sipil di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika.
Soerjono Soekanto. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wilbert D. Kolkman dkk. 2012. Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum
Waris di Belanda dan Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan.
Adnyani, K.S. 2016. Bentuk Perkawinan Matriarki Pada Masyarakat Hindu Bali
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Adat Dan Kesetaraan Gender: Jurnal
Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(1), 2.
Akhmad Munawar. 2015. “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di
Indonesia”. Al Adil, Volume VII Nomor 13, Juni 2015.
Depri Liber Sonata. 2014. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris:
Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum
Volume 8 No. 1, Januari-Maret 2014.
Dhyatmikawati, Putu. 2011. Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat
Hukum Adat di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan: Jurnal Ilmu Hukum, 7(14), 2.
Faizal, Liky, 2016, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan: eJournal Raden Intan
Lampung.
I Made Rudita. 2015. “Hak Asasi Manusia dan Perkawinan Hindu”. Jurnal Advokasi Vol.
5 No.1 Maret 2015.
Sanger, Juliana Pretty, 2015, Akibat Hukum Perkawinan Yang Sah Didasarkan
Pada Pasal 2 UU. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 3(6), 1.
Tilome. A. A., & Alkatiri. R, 2020. Makna Perkawinan Sedarah Bagi Warga
Suku Polahi di Indonesia: Jurnal Ideas, 6(2), 2.
Wayan Gede Suacana, 2011. “Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di
Bali”, Jurnal Kajian Bali , Volume 01, Nomor 01, April 2011.
Yulianto Bambang Setyadi, “Pariwisata Dan Perubahan Nilai-Nilai Sosial
Budayaberdasarkan Lingkungan Tradisi Pada Masyarakat Bali”, Jurnal Penelitian
Humaniora, Vol. 8, No. 2, 2007: 97-109.
Wiryawan, Perbawa, & Wiasta. 2015. Hukum Adat Bali Di Tengah Modernisasi
Pembangunan Dan Arus Budaya Global: Jurnal Bakti Saraswati, 4(2), 1-2.
Peraturan Perundang-Undangan
INFORMAN/NARA SUMBER:
Nama :……………………………………………….
A. Tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa
Adat Buleleng.
1. Apa saja jenis (sistem) perkawinan secara hukum adat yang dilakukan di Desa
Adat Buleleng?
a. mepadik.
b. ngerorod.
c. nyentana.
d. pada gelahang.
3. Apakah kalau calon pengantin laki-laki, dipastikan sudah ada izin dari
pengadilan?
4. Apakah kalau calon mempelai perempuan sudah pernah kawin dipastikan telah
melewati masa idah (130 hari cerai mati, 90 hari cerai hidup)?
INFORMAN/NARA SUMBER:
Nama :……………………………………………….
A. Tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat
Buleleng.
1. Apakah dalam Proses Perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali di
Desa Adat Buleleng disertai dengan pencatatan?
2. Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai untuk mencatatkan
perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat ?
6. Jika perkawinan telah dilakukan secara adat, baru kemudian dilakukan proses
pencatatan, apakah masih dilakukan pengumuman/publikasi atas perkawinan
tersebut?
7. Jika perkawinan telah dilakukan baru diketahui ada persyaratan yang tidak dipenuhi,
misalnya ada larangan bagi kedua belah pihak untuk menikah, apa yang dapat
dilakukan?
8. Apakah berdasarkan catatan yang ada dapat dibuat prediksi berapa persen
perkawinan yang dilakukan secara adat di Desa Adat Buleleng yang dicatatkan?
9. Apakah ada koordinasi antara desa adat dan/atau desa dinas sehubungan dengan
proses pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat di desa adat
Buleleng?
LAMPIRAN 03
DOKUMENTASI PENELITIAN
RIWAYAT HIDUP
SD Negeri 1 Pelapuan dan lulus pada tahun 2012. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 1 Busungbiu dan lulus pada tahun 2015. Dan pada
tahun 2018 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Busungbiu dan melanjutkan
Bali. Pada semester akhir tahun 2022 penulis telah menyelesaikan tugas akhir
rkawinan Adat Di Desa Adat Buleleng”. Selanjutnya mulai dari tahun 2018
sampai dengan penulisan skripsi ini, penulis masih terdaftar sebagai mahasiswa
Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas
Pendidikan Ganesha.