Anda di halaman 1dari 111

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN ADAT DI D


ESA ADAT BULELENG

OLEH :
I DEWA PUTU SURYA WARDANA
NIM. 1814101119

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2022
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN ADAT DI D
ESA ADAT BULELENG

SKRIPSI

DiajukanKepada
Universitas Pendidikan Ganesha
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan
Sidang Skripsi

Oleh:

I DEWA PUTU SURYA WARDANA

NIM. 1814101119

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2022

i
SKRIPSI

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS


DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK
SIDANG SKRIPSI

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing

II,

Dr. I Nengah Suastika, S.Pd.,M.Pd. Dr. Dewa Bagus Sanjaya, M.Si


NIP. 198007202006041001 NIP. 196112311987031013

ii
Skripsi oleh I Dewa Putu Surya Wardana
Telah dipertahankan di depan dewan penguji
Pada tanggal 11 Juli 2022

Dewan Penguji

Dr. I Nengah Suastika, S.Pd.,M.Pd. (Ketua)


NIP. 198007202006041001

Dr. Dewa Bagus Sanjaya, M.Si (Anggota)


NIP. 196112311987031013

(Ni Putu Rai Yuliartini, S.H., M.H.) (Anggota)


NIP. 198307162008122003

iii
Diterima oleh Panitia Ujian Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha
Guna memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 11 Juli 2022

Mengetahui

Ketua Ujian, Sekretaris


Ujian,

Dr. I Nengah Suastika, S.Pd., M.Pd. Ni Putu Rai Yuliartini, S.H., M.H
NIP. 198007202006041001 NIP. 19830716 200812 2 2003

Mengesahkan
Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Prof. Dr. Sukadi, M.Pd., M.Ed


NIP. 19630310 198803 1 003

iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Nama : I Dewa Putu Surya Wardana

Tempat dan Tanggal Lahir : Mataram, 17 Maret 2000

NIM : 1814101119

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum dan Ilmu Sosial

Dengan ini saya nyatakan bahwa karya tulis saya yang berjudul “Impl

ementasi Undang-Undang Perkawinan Dalam Pelaksanaan Perka

winan Adat Di Desa Adat Buleleng” beserta seluruh isinya adalah b

enar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan dan pen

gutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai, kecuali yang secara tertuli

s terdapat dalam karya tulis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari apa yang saya nyatakan t

idak sebenarnya maka saya bersedia menanggung sanksi berdasarkan

aturan hukum yang berlaku.

Singaraja, 30 Juni 2022

Yang Membuat Pernyataan

I Dewa Putu Surya Wardana


NIM 17114101063

v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa

karena berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Implementasi Undang-Undang Perkawinan Dalam Pel

aksanaan Perkawinan Adat Di Desa Adat Buleleng" Skripsi ini

disusun guna memenuhi persyaratan mencapai gelar sarjana dalam

bidang ilmu hukum di Universitas Pendidikan Ganesha. Dalam

menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan baik

berupa moral maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu dalam

kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Nyoman Jampel, M.Pd., selaku Rektor Universitas

Pendidikan Ganesha beserta stafnya yang telah memberikan motivasi

dan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan

melaksanakan penelitian ini sesuai dengan rencana penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Sukadi, M.Pd., M.Ed., selaku Dekan Fakultas Hukum

dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha atas fasilitas yang

diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan studi sesuai rencana

penulis.

3. Bapak Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M., selaku Ketua

Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Ganesha

yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis bisa menyelesaikan

skripsi sesuai dengan rencana penulis.

4. Ibu Ni Putu Rai Yuliartini, S.H., M.H., selaku Koorprodi Ilmu Hukum

Universitas Pendidikan Ganesha yang telah memberikan fasilitas yang


vi
dibutuhkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

sesuai dengan harapan penulis.

5. Bapak Dr. Made Sugi Hartono., S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan

Hukum dan Kewarganegaraan sekaligus sebagai pembimbing akademik

penulis yang telah memberikan motivasi, memberi semangat, diberikan

kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan

harapan penulis.

6. Bapak Dr. I Nengah Suastika, S.Pd.,M.Pd, selaku Pembimbing I penulis

yang telah banyak memberikan motivasi, semangat, arahan serta

bimbingannya yang penuh kesabaran kepada penulis, sehingga

penelitian dan tulisan penulis menjadi baik dan dapat menyelesaikan

skripsi ini tepat pada waktunya.

7. Bapak Dr. Dewa Bagus Sanjaya, M.Si selaku Pembimbing II penulis

yang telah memberikan motivasi, semangat dan bimbingan yang penuh

kesabaran kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian penulis menjadi sangat baik sehingga skripsi ini dapat selesai

tepat pada waktunya.

8. Seluruh staf dosen di lingkungan Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

memberikan ilmu pengetahuan, motivasi, serta semangat yang sangat

berarti selama menjalani studi di Universitas Pendidikan Ganesha.

9. Kedua orang tua tercinta penulis I Dewa Putu Suriada dan Wartini yang

selalu memberikan semangat, bimbingan, motivasi, dan cinta kasih

kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada

waktunya yang khusus penulis persembahkan kepada Bapak dan Ibu.

vii
10. Saudara-saudara tercinta penulis, I Dewa Made Kusuma Wardana yang

selalu memberikan semangat dan motivasi.

11. Tak lupa juga temen-temen seperjuangan saya hendra, Dwiky, Agus

Yuda dan Parta yang telah banyak membantu penulis dan memberikan

semangat menyelesaikan skripsi ini, dan rekan-rekan kelas D tahun

angkatan 2018 Prodi Ilmu Hukum, terima kasih sudah banyak

memberikan semangat, menghibur dan memberikan pengalaman dan

kenangan dalam menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan

Ganesha.

12. Seluruh teman-teman konsentrasi perdata angakatan 2018 Prodi Ilmu

Hukum.

13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan senantiasa memberikan karunia atas budi baik

dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang tersaji

dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan

kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu demi kesempurnaan skripsi

ini, penulis mengharapkan segala kritik ataupun saran yang sifatnya

membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca khususnya bagi dunia

pada bidang ilmu hukum.

Singaraja, 14 Juni 2022

viii
Penulis

ix
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM PELAKS
ANAAN PERKAWINAN ADAT DI DESA ADAT BULELENG

Oleh :
I Dewa Putu Surya Wardana, NIM. 1814101128
Program Studi Ilmu Hukum

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui tata cara pelaksanaan perkawinan ad
at yang dilakukan menurut hukum adat di Desa Adat Buleleng, dan untuk
mengetahui (2) syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1974
dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Lokasi
penelitian ini dilakukan di Desa Adat Buleleng. Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan teknik studi dokumen dan wawancara. Teknik pengolahan dan
analisis data secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tata cara
pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng adalah
sebagai berikut: Pihak keluarga laki-laki mengadakan penjantosan (menyantosin),
Pihak laki-laki melakukan peminangan, Upacara widhi widana, .Upacara
Mejauman/mebebasan juga disebut dengan “ngabe tipat bantal”. (2) Mengenai
syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1974 dalam Perkawinan
Menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng secara umum dilakukan melalui
pelibatan prajuru desa adat, perangkat desa dinas, dan pegawai pencatat
perkawinan, tetapi tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan belum
menjalankan proses pengumuman, sehingga pemenuhan syarat perkawinan tidak
melibatkan masayarakat banyak/umum.

Kata Kunci : Perkawinan, Pencatatan, Tata Cara

ix
IMPLEMENTATION OF MARRIAGE LAW IN THE IMPLEMENTATION
OF TRADITIONAL MARRIAGE IN BULELENG TRADITIONAL VILLAGE

By:

I Dewa Putu Surya Wardana, NIM. 1814101119


Law Department

ABSTRACT
This study aims to (1) find out the procedures for implementing customary marriages
carried out according to customary law in the Buleleng Traditional Village, and to find
out (2) the requirements for marriage according to Law Number 1974 in Marriage
according to Customary Law in Buleleng Traditional Village. The type of research used
in this research is empirical legal research. The location of this research is in Buleleng
Traditional Village. Data collection techniques using document study techniques and
interviews. Qualitative data processing and analysis techniques. The results of the study
show that (1) The procedure for carrying out marriage according to customary law in the
Buleleng Traditional Village is as follows: The male family holds a penjantosan
(menantosin), the male party proposes, the Widhi Widana ceremony, .Testauman
Ceremony / liberation as well called "ngabe tipat pillow". (2) Regarding the
requirements for marriage according to Law Number 1974 in Marriage according to
Customary Law in the Buleleng Traditional Village in general, it is carried out through
the involvement of customary village officers, village officials, and marriage registrar
employees, but the procedures for implementing marriages have not carried out the
announcement process. , so that the fulfillment of marriage requirements does not involve
the general public.

Keyword : Marriage, Recording, Ordinance

x
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBINGBING.......................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN.......................................................iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................................................v
PRAKATA..............................................................................................................vi
ABSTRAK..............................................................................................................ix
ABSTRACT...............................................................................................................x
DAFTAR ISI...........................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah..................................................................................15
1.3 Pembatasan Masalah.................................................................................16
1.4 Rumusan Masalah.....................................................................................17
1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................17
1.6 Manfaat Penelitian.....................................................................................18

BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................19


2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan..........................................................19
2.2 Tinjauan Umum Tentang Hukum Adat........................................................40
2.3 Tinjauan Umum Tentang Hukum Nasional.................................................41
2.4 Tinjauan Umum Teori Sistem Hukum.........................................................42

BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................46


3.1 Jenis Penelitian.............................................................................................46
3.2 Sifat Penelitian.............................................................................................48
3.3 Lokasi Penelitian.........................................................................................49
3.4 Sumber dan Jenis Data.................................................................................49
xi
3.5 Populasi dan Informan..................................................................................50
3.6 Teknik Pengumpulan data............................................................................50
3.7 Pengolahan dan Analisis Data......................................................................51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................53


4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian............................................................53
4.2 Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat
Buleleng........................................................................................................54
4.3 Pemenuhan Syarat Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1974
dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng...............69

BAB V PENUTUP.................................................................................................74
5.1 Simpulan......................................................................................................74
5.2 Saran...........................................................................................................75

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUPFIX DEWA SURYA (1).docx

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hukum Perdata di Indonesia beraneka ragam. Tidak ada satu undang-

undang yang berlaku secara universal bagi seluruh lapisan masyarakat. Hukum

Perdata di Indonesia terdiri dari hukum nasional, hukum agama dan hukum adat.

Keadaan ini didasarkan pada sejarah perkembangan hukum di Indonesia dan

sebagai konsekuensi dari komposisi masyarakat yang beraneka ragam, baik

ditinjau dari latar belakang adat-istiadat dan kebudayaan serta agama. Di bidang

hukum perkawinan, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401) (selanjutnya

dalam penelitian ini disebut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), berlaku

beberapa ketentuan hukum bagi berbagai golongan penduduk di Indonesia

(Wilbert D. Kolkman dkk., 2016: 129).

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Indonesia

berlaku berbagai hukum perkawinan sebagai berikut (Aristoni dan Junaidi

Abdullah, 1986: 83-84):

1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama Islam

yang telah diresepsi ke dalam Hukum Adat. Pada umumnya bagi orang-orang

1
2

Indonesia asli yang beragama Islam jika melangsungkan perkawinan berlaku

ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita,

sebagaimana diatur dalam Hukum Islam.

2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat. Misalnya bagi

orang Bali yang beragama Hindu, di mana adat dan agama dianggap

menyatu, maka pelaksanaan perkawinannya dilaksanakan menurut Hukum

Adat yang serangkai dengan upacaranya dengan upacara Agama Hindu yang

dianutnya.

3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks

Ordonantie Christen Indonesie (HOCI) sesuai Staatsblaad 1931 Nomor

1974.

4. Bagi orang-orang timur asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan

Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata dengan sedikit perubahan.

5. Bagi orang timur asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan timur

asing lainnya berlaku Hukum Adat mereka.

6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negaran Indonesia keturunan Eropa dan

yang disamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (BW).

Ide dasar yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yaitu ide unifikasi hukum dan ide pembaharuan hukum.

Ide unifikasi hukum merupakan upaya memberlakukan satu ketentuan hukum

yang bersifat nasional dan berlaku untuk semua warga Negara, sedangkan ide

pembaharuan hukum pada dasarnya berusaha menampung aspirasi emansipasi


3

tuntutan masa kini dan menempatkan kedudukan suami dan istri dalam

perkawinan dalam derajat yang sama, baik terhadap hak dan kewajiban antara

suami istri maupun terhadap anak (Wilbert D. Kolkman dkk., 2012: 129).

Dalam Penjelasan Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa Undang-

Undang Perkawinan menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadianya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan material.

2. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-periatiwa

penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang

dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dmuat

dalam daftar pencatatan.

3. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki

oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun

demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,

meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya

dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan

diputuskan oleh pengadilan.


4

4. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah

masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian

dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di samping

itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.

Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin,

mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan

batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-undang

ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah

19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia

kekal sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus

ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan.

Hal yang merupakan perubahan fundamental terhadap hukum perkawinan

dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah tiap-tiap

perkawinan hanya dianggap sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu. Sementara menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, sebuah perkawinan hanya dipandang dari sudut perdatanya saja,

artinya perkawinan sah bila sudah dipenuhinya syarat-syarat menurut undang-

undang . Menurut KUH Perdata, upacara keagamaan juga tidak boleh

diselenggarakan, sebelum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat agama,

bahwa perkawinan telah dilakukan dihadapan pejabat pencatatan sipil (Pasal 26


5

dan Pasal 81). Selanjutnya dalam KUH Pidana, juga diatur bahkan petugas agama

dapat diancam pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika

melakukan upacara perkawinan sebelum para pihak menikah di hadapan pejabat

catatan sipil (Pasal 530 ayat (1)) (Wilbert D. Kolkman dkk., 2012: 132).

Manusia sebagai mahluk sosial (homo socius) tidak dapat hidup dan

memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan dan peran orang lain, baik untuk

memenuhi kebutuhan materi maupun non materi (psikis/biologis). Manusia

diberikan kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa akal yang tidak dimiliki

oleh mahluk lain, oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut

diperlukan aturan hukum, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan dan

tercipta keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat (Akhmad Munawar, 2016:

21).

Hukum keluarga merupakan hukum yang paling tua dibandingkan jenis

hukum lain, karena ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bahwa

keluarga itu merupakan unit terkecil dalam masyarakat, yang minimal terdiri dari

seorang suami dan seorang isteri. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, dan

dengan memaknai adagium “ubi sociates ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ

ada hukum), maka dapat dikatakan bahwa bagian dari hukum keluarga yang

paling tua adalah hukum perkawinan (Tengku Erwinsyahbana, 2012).

Hukum keluarga tidak terlepas dari persoalan hukum perkawinan, sebab

keluarga terbentuk melalui perkawinan. Setelah terjadinya perkawinan maka

terbentuk hubungan hukum antara isteri dengan suami, termasuk pula hubungan

yang terkait dengan harta dalam perkawinan. Jika dari perkawinan itu lahir anak,

maka terbentuk pula hubungan antara orang tua dengan anak/anak-anak. Secara
6

sederhana maka dapat dikatakan bahwa hukum keluarga merupakan hukum yang

mengatur hubungan suami dengan isteri, hubungan antara orang tua dengan anak-

anak, serta hubungan yang terkait dengan harta benda perkawinan, atau aturan

hukum mengenai hubungan hukum yang terjadi karena adanya hubungan

kekeluargaan, baik karena hubungan keluarga sedarah (pertalian keluarga dari

leluhur yang sama), maupun hubungan keluarga yang terbentuk karena adanya

ikatan perkawinan antara suami isteri (hubungan semenda) (Tengku

Erwinsyahbana, 2012).

Hal yang sangat penting hubungannya dengan perkawinan dan pewarisan

adalah sistem kekerabatan/ penarikan garis keturunan. Lazimnya dibedakan 4

macam prinsip garis keturunan, yakni (Soerjono Soekanto, 2010: 49):

1. Prinsip garis keturunan patrilineal atau patrileneal descent yang secara

sederhana adalah sistem kekerabatan yang menghitung hubungan

kekerabatan melalui laki-laki saja. Contohnya masyarakat Batak. Menurut

Hazairin selain patrilineal murni ada dikenal patrilineal beralih-alih atau

patrileneal alterend, yaitu masyarakat yang menarik garis keturunan

memungkinkan penarikan garis melalui seorang perempuan tergantung pada

bentuk perkawinan penyalur atau penghubung itu.

2. Prinsip garis keturunan matrilineal atau matrilineal descent adalah

penghitungan hubungan kekerabatan melalui pihak wanita saja, karena itu

bagi tiap-tiap individu masuk dalam kerabat ibunya, tidak masuk dalam

kerabat bapaknya. Contohnya masyarakat Minagkabau.


7

3. Prinsip garis keturunan bilateral atau parental (bilateral descent), yaitu sistem

penarikan garis keturunan melalui garis ayah maupun garis ibu. Contohnya

masyarakat Jawa.

4. Prinsip garis keturunan bilineal atau bilineal descend, yaitu penarikan

hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja untuk sejumlah hak dan

kewajiban tertentu, dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan

kewajiban yang lain. Contohnya masyarakat Aceh.

Corak perkawinan dalam masing-masing sifat susunan kekeluargaan

berbeda-beda, sebagai berikut (Sutrisno Purwohadi Mulyono, 2013: 257-258):

a. Corak adat religio magis (kepercayaan). Menurut kepercayaan tradisional,

tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar

masyarakat itu tetap aman tentram bahagia. Corak adat keagamaan/religio

magis adalah perilaku hukum atau kaidah yang ada berkaitan dengan

kepercayaan terhadap hal-hal ghaib/magis (animisme dinamisme-kepercayaan

terhadap Tuhan). Hal ini terlihat pada adanya upacara-upacara adat yang

lazimnya diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan pada roh-roh leluhur yang

ingin diminta restu/ pertolongan.

b. Corak adat komunal hukum adat yang mempunyai corak kebersamaan

(komunal), adalah perilaku hukum yang lebih mengutamakan kepentingan

bersama, di mana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama.

Corak hukum adat konkrit dan visual, artinya dalam hukum adat itu terang,

tunai, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat, dan didengar

serta nampak terjadi ijab-kabul serah terimanya nyata.


8

c. Corak tradisional. Corak sistem hukum adat tradisional adalah corak adat

yang bersifat turun temurun, dari nenek moyang hingga zaman sekarang

keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang

bersangkutan. Perilaku turun temurun dan tradisional cenderung mewarnai

kehidupan masyarakat hukum adat. Kehidupan sudah berjalan sejak nenek

moyang. Berbagai tatanan kebiasaan telah ada bahkan tetap dipertahankan

namun ada rasa tidak enak kurang nyaman apabila tidak dilaksanakan apalagi

harus ditinggalkan.

Ada beberapa tahapan tata cara yang harus dipenuhi untuk melaksanakan

suatu perkawinan. Tata cara pelaksanaan perkawinan antara lain:

1. Pemberitahuan.

Dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan

bahwa:

a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

b. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari

kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

c. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan

yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati.

d. Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai

atau orang tua atau wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan.


9

2. Penelitian syarat-syarat perkawinan.

Setelah pegawai pencatat menerima pemberitahuan, dilakukan penelitian

apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat

halangan perkawinan menurut undang-undang. Selain itu pegawai pencatat

perkawinan juga meneliti hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal

tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat

keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang

diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.

b. Keterangan mengenai nama, agama/ kepercayaan, pekerjaan, dan tempat

tinggal orang tua calon mempelai.

c. Izin tertulis/ izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2), (3),

(4), dan (5) Undang-undang Perkawinan, apabila salah seorang calon

mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.

d. Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-undang

Perkawinan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih

mempunyai istri.

e. Dispensasi pengadilan/ pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 Undang-

undang Perkawinan.

f. Surat kematian istri atau suami terdahulu atau dalam hal perceraian surat

keterangan perceraian, bagi perkawinan kedua kalinya atau lebih.


10

g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan

Keamanan/ Panglima ABRI, apabila salah seorang calon mempelai atau

kedua-keduanya anggota Angkata Bersenjata.

h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai

pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak

dapat hadir sendiri karena suatu alasan yang penting, sehingga

mewakilkan kepada orang lain.

Apabila ternyata hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai

dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya semua persyaratan

untuk melangsungkan perkawinan, maka pegawai pencatat harus segera

memberitahukan hal itu kepada calon mempelai yang bersangkutan atau

kepada orang tua atau kepada wakilnya.

Setelah tidak ada halangan pegawai pencatat menyelenggarakan

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan

tersebut dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir

yang ditetapkan pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang

sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Maksud diadakannya pengumuman adalah untuk memberikan kesempatan

kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi

dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya

bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya yang

bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

lainnya.
11

3. Pengumuman.

Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa

setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai pencatat

menyelenggarakan pengumuman. Pengumuman dilakukan setelah tidak ada

halangan pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang

pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan tersebut dengan cara

menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada

kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan

mudah dibaca oleh umum. Maksud diadakannya pengumuman adalah untuk

memberikan kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan

keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang

demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan

kepercayaannya yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya.

4. Pelaksanaan.

Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas

rencana perkawinan tersebut maka perkawinan dapat dilangsungkan oleh

pegawai pencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai

pencatat perkawinan hanya sebagai pengawas saja.

Dilihat dari tata cara tersebut proses publikasi dalam pelaksanaan

perkawinan sangat penting untuk mencegah terlaksananya perkawinan yang tidak

sesuai dengan perundang-undangan, khususnya mengenai larangan perkawinan.

Namun demikian, terdapat keraguan tata cara tersebut sepenuhnya dapat dipenuhi

dalam pelaksanaan perkawinan yang dilakukan secara adat di Bali, antara lain
12

berkenaan dengan mekanisme penelitian syarat-syarat materil dan formil oleh

Catatan Sipil, termasuk mekanisme pengumuman, agar jika ada masyarakat yang

mengetahui bahwa perkawinan itu tidak dapat dilakukan karena ada persyaratan

dan/atau larangan yang akan dilanggar, dapat menyampaikan kepada petugas.

Kajian mengenai perkawinan, termasuk aspek hukumnya penting dilakukan

di Kabupaten Buleleng karena berbagai hal, salah satunya dilihat dari komposisi

jumlah usia penduduknya yang ada dalam fase hidup mulai berumahtangga cukup

besar, sebagaimana tampak dari tabel berikut:

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah


1 2 3 4
0-4 29574 28391 57965
5-9 31012 29541 60553
10-14 32817 30748 63565
15-19 33516 31585 65101
20-24 32006 30420 62426
25-29 32633 31129 63762
30-34 32965 31641 64606
35-39 31586 29747 61333
1 2 3 4
40-44 29248 28017 57265
45-49 25378 24132 49510
50-54 22932 24415 47347
55-59 20387 21713 42100
60-64 16642 17941 34583
65-69 12262 13439 25701
70-74 7542 9389 16931
75+ 8635 11394 20029
Jumlah seluruhnya 399139
Sumber: Kabupaten Buleleng Dalam Angka 2021: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Buleleng
Jika diasumsikan bahwa usia siap memasuki perkawinan antara 19 sampai 24

tahun, maka dilihat dari komposisi usia penduduk di Kabupaten Buleleng,

jumlahnya cukup besar.


13

Kajian tentang perkawinan menurut hukum adat Bali sudah banyak

dilakukan, antara lain dilakukan oleh Kadek Ayuni Jayanti Ningrat tahun 2018,

dengan judul “Perawinan Ngerorod Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 (Studi Kasus Di Desa Julah Kecamatan Tejakula Kabupate

Buleleng)”. Meskipun penelitian ini menjadikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 sebagai dasar hukum kajian, tetapi secara khusus dihubungkan dengan

perkawinan ngerorod yang terjadi di Desa Julah. Berbeda dengan penelitian yang

dilakukan lebih pada pemenuhan persyaratan perkawinan sebagaimana dinyatakan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, khususnya berkaitan dengan

persyaratan publikasi/pengumuman pada perkawinan yang dilaksanakan di Desa

Adat Buleleng.

Kajian mengenai perkawinan adat Bali dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 juga dilakukan oleh Ketut Sudantra dan I Gusti Ngurah Dharma

Laksana dengan judul “Pluralisme Hukum Yang Berlaku Dalam Perkawinan

Umat Hindu Di Bali” tahun 2017. Penelitian ini mengaitkan keabsahan

perkawinan yang dilaksanakan umat Hindu di Bali dengan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, yang sampai pada simpulan bahwa perkawinan yang

dilaksanakan umat Hindu di Bali sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) yang menentukan

bahwa: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dinyatakan bahwa dari perspektif

teori-teori mengenai relasi antara hukum adat dan agama, seperti teori recepitieo

in complexu dan teori receptie), frasa “hukum agama dan kepercayaannya itu”

dapat ditafsirkan sebagai berlakunya hukum adat Bali dalam pengesahan

perkawinan. Banyak pihak mengakui bahwa adat Bali tidak dapat dipisahkan
14

dengan agama Hindu. Dihubungkan dengan penelitian Ketut Sudantra dan I Gusti

Ngurah Dharma Laksana, penelitian ini tidak hanya menghubungkan syarat

materiil, saja tetapi juga syarat formal, seperti kewajiban untuk melakukan

pendaftaran, termasuk di dalamnya kewajiban untuk melakukan tahapan

penmgumuman/publikasi.

Penelitian mengenai shanya perkawinan dalam masayarakat Hindu di bali

juga dilakukan Pande Putu Gita Yani, dkk., dengan judul: “Perkawinan yang

Tidak Dicatatkan dalam Masyarakat Hindu di Bali”. Penelitian ini, meneliti

pencatatan perkawinan dihubungkan dengan pentingnya alat bukti jika terjadi

perceraian. Jadi berbeda dengan penelitian mengenai pemenuhan syarat

perkawinan secara umum, meskipun juga membahas mengani proses pencatatan

perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat Bali.

Menurut peneliti penelitian ini memiliki urgensi untuk dilakukan.

sebagaimana telah disebutkan di depan, ada perkawinan yang mungkin terjadi di

antara dua mempelai yang sebenarnya memiliki larangan untuk kawin. Larangan

tersebut mungkin tidak disadari oleh para pihak maupun keluarganya. Dalam hal

ini penting untuk dilakukan tahapan pengumuman kepada masyarakat, agar

masyarakat yang memiliki informasi bahwa sebenarnya kedua calon mempelai

memiliki halangan untuk kawin dapat menyampaikannya, mislanya di antara

keduanya ada hubungan persusuan (pernah diberi susu oleh ibu yang sama), atau

salah satu pihak masih terikat perkawinan, dan hal-hal lain-lainnya. Melalui

tahapan publikasi perkawinan yang terlarang dapat dicegah. Menjadi masalah jika

tahapan ini tidak dilakukan, atau kalau dilakukan justru setelah perkawinan

disahkan.
15

1.2 Identifikasi Masalah

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada beberapa masalah

yang di masyarakat dalam pelaksanaan perkawinan di antaranya:

1. perkawinan yang tidak memenuhi syarat usia. Dalam Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2019 dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria

dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, di luar itu hanya

dapat dilakukan dengan dispensasi dari pengadilan dengan alasan sangat

mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

2. Perkawinan yang dilakukan tanpa izin orang tua, untuk calon mempelai yang

berumur kurang dari 21 tahun. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang

yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin

kedua orang tua.

3. perkawinan yang melanggar larangan perkawinan, misalnya berkaitan dengan

hubungan darah, berkaitan dengan poligami yang dapat dilaksanakan dengan

persyaratan tertentu, berkaitan dengan poliandri yang dilarang.

4. Perkawinan yang tidak dicatatkan. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Tidak dipenuhinya syarat publikasi, sehingga dapat terjadi perkawinan antara

dua mempelai yang memeiliki halangan untuk kawin. Terkadang halangan

tersebut tidak disadari/diketahui oleh mempelai, maupun keluarga kedua

belah pihak, namun diketahui oleh orang/pihak lain. Dalam hal inilah
16

publikasi rencana perkawinan menjadi penting, untuk mencegah perkawinan

yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan.

1.3 Pembatasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dibatasi, pada hal-hal yang lebih bersifat

pelaksanaan di lapangan (empiris), berkaitan dengan tata cara pelaksanaan

perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng dan

kajian apakah tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut Hukum

Adat di Desa Adat Buleleng memenuhi syarat publikasi sebagaimana ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan.

Sehubungan dengan syarat publikasi ada beberapa hal yang harus dipenuhi,

yaitu:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan. sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan. Pelaksanaan proses ini sebagai bagian dari

pencatatan setelah perkawinan dilakukan tidak sesuai dengan hal ini, karena

perkawinan tersebut sudah disahkan, sebelum ada pemberitahuan kepada

pegawai pencatat perkwinan.

2. Pegawai pencatat perkawinan melakukan penelitian apakah syarat-syarat

perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan

menurut undang-undang. Penelitian syarat-syarat ini urgen dilakukan

sebelum perkawinan diselenggarakan.


17

3. Dilakukan pengumuman/ publikasi akan diselenggarakannya perkawinan.

Maksud diadakannya pengumuman adalah untuk memberikan kesempatan

kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi

dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya

bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya yang

bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

lainnya.

1.4 Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan, masalah-masalah

yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut

Hukum Adat di Desa Adat Buleleng?

2. Bagaimana pemenuhan syarat perkawinan menurut Undang-Undang

Nomor 1974 dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat

Buleleng?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut

Hukum Adat di Desa Adat Buleleng.

2. Untuk mengetahui pemenuhan syarat perkawinan menurut Undang-Undang

Nomor 1974 dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat

Buleleng
18

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai

berikut:

1. Manfaat teoritis.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian

mengenai pemenuhan syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 khususnya syarat publikasi dalam perkawinan yang dilakukan

menurut Hukum Adat Bali pada umumnya dan hukum adat yang berlaku di

Desa Adat Buleleng pada khususnya.

2. Manfaat praktis.

a. Bagi lembaga terkait, dalam hal ini desa adat di Bali, hasil penelitian

ini diharapkan menjadi masukan yang bermanfaat dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya.

b. Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini diharapkan menambah

wawasan tentang pemenuhan syarat publikasi dalam perkawinan yang

dilakukan menurut Hukum Adat Bali.

c. Bagi penulis, selain menambah wawasan tentang pelaksanaan

perkawinan menurut hukum adat, penyusunan skripsi ini mnejadi

bagian dari tugas-tugas yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi

pada program sarjana.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

Perkawinan dalam masyarakat penganut Agama Hindu, merupakan suatu yang

sangat penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat. Perkawinan tidak hanya

berkaitan antara hubungan seorang pria dan wanita saja akan tetapi berkaitan pula dengan

orang tua dan keluarga pasangan pria dan wanita tersebut, bahkan hubungan antara

masyarakat yang satu dengn masyarakat yang lainnya. Hubungan tersebut diawasi oleh

sistem norma Agama Hindu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu (I Putu

Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani, 2020: 2).

Hukum Perkawinan Hindu adalah hukum yang mengatur kepentingan hukum umat

Hindu dalam bidang perkawinan. Namun dalam implementasinya disesuaikan dengan

kebutuhan, situasi dan kondisi masyarakat pendukungnya dalam rangka mengatur

ketentraman, keadilan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat sehingga setiap Umat

Hindu dalam melangsungkan perkawinan mendapat suatu keamanan dan kedamaian.

Secara singkat Hukum Perkawinan Hindu adalah aturan-aturan yang merupakan pedoman

bertingkah laku bagi umat Hindu dalam bidang perkawinan (I Putu Gelgel dan Ni Luh

Gede Hadriani, 2020: 9).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membawa perubahan fundamental dalam

Hukum Perkawinan Indonesia. Berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Perkawinan,

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam HOCI, begitu pula peraturan dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perkawinan atau peraturan

lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang

Perkawinan, bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dinyatakan

tidak berlaku lagi.

19
20

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan

adalah ikatan lahir bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk rumah tanga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 bukan

hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu

perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan

digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang

dianut oleh rakyat indonesia.

Terdapat beberapa hal dari rumusan perkawinan tersebut di atas yang perlu

diperhatikan (Amir Syarifuddin, 2014: 40):

1. Digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa

perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak

perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat.

2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan

itu adalaha bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga,

bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah

tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal

sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.

4. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa

perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi

perintah agama.

Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena

adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk

hidup bersama sebagai suami isteri. Ahyani (2016) juga menyatakan bahwa Perkwainan
21

merupakan sunatullah yang mengikat batin antara seorang pria dan Wanita yang ditandai

dengan akad yang pada umumnya berasal dari keluarga yang berbeda, terutama berasal

dari keluarga asalnya, yang kemudian mengikatkan dirinya menjadi satu kesatuan dalam

keluarga, sebagai institusi terkecil dalam sebuah masyarakat memegang peran penting

bagi pembentukan generasi muda yang berkualitas. Dalam tahap permulaan ikatan bathin

ini ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan

perkawinan. Pada dasarnya perkawinan itu dilaksanakan atas dasar suka rela dari kedua

calon mempelai, dan perkawinan tidak sah apabila dilakukan dengan terpaksa atau ada

tekanan dari salah satu calon mempelai atau dari pihak lain (kawin paksa) karena apabila

perkawinan yang demikian dilaksanakan maka tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yaitu membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal tidak mungkin dapat diwujudkan.

Menurut Dini, dkk (2020) usia ideal menikah pada perempuan yaitu minimal 20 tahun

dan pada laki-laki minimal 25 tahun, karena di usia tersebut organ reproduksi perempuan

secara psikologis sudah berkembang secara baik dan kuat serta siap untuk melahirkan

begitu pula dengan laki-laki umur 25 ke atas siap untuk menopang kehidupan

keluarganya. Sebelum akad nikah petugas pencatat nikah (naib/penghulu) selalu

menanyakan kepada kedua calon mempelai, apakah dalam perkawinan yang akan

dilaksanakan ada paksaan dari pihak lain atau tidak. Hal tersebut untuk memastikan

bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan atas dasar keikhlasan (suka rela) oleh kedua

calon mempelai. Selanjutnya, dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas

bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal itu berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus berdasarkan agama dan

kepercayaan masing-masing. Oleh karena perkawinan tersebut harus didasarkan pada

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 16
22

Tahun 2019 yang telah penulis uraikan sebelumnya, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) juga

mempertegas mengenai sahnya perkawinan.yaitu :

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing

agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini , tidak ada perkawinan diluar hukum

masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang

Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masingmasing agamanya dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku bagi golongan

agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain

dalam undang-undang ini.

Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2019 tersebut tidak mungkin dapat

dilaksanakan perkawinan berbeda agama antara kedua calon mempelai. Karena bagi

orang yang beragama Islam tidak sah melaksanakan perkawinan diluar syariat agama

Islam, begitu juga sebaliknya bagi agama Kristen juga tidak sah apabila dilakukan tidak

sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut Rasyid (2019) perkawinan yang ideal

dalam agama islam adalah perkawinan yang seimbang, baik Ketika proses pencarian

jodoh yang diharapkan terjadinya perkawinan sekutu (sederajat) maupun Ketika resmi

menjadi pasangan suami istri, Dan salah satu ciri dari perkawinan yang Bahagia ialah

didalamnya tidak ada yang lebih diuntungkan, tidak ada yang lebih dirugikan dan

semuanya harus berjalan secara adil. Sehingga di Indonesia tidak dimungkinkan untuk

dilakukan perkawinan berbeda agama. Selain perkawinan harus dilasanakan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan juga tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang ini, yaitu UU No. 16 Tahun 2019 tentang


23

Perkawinan. Dengan demikian meskipun perkawinan tersebut dilaksanakan menurut

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu apabila bertentangan dengan Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah

menurut hukum positif di Indonesia.

Wafa (2018), berpendapat juga bahwa pengertian perkawinan sebagaimana

disebutkan dalam Undang-undang perkawinan setidaknya mengandung 5 komponen

penting, yaitu :

1. Pertama, Ikatan lahir bathin. Perkawinan terjadi dikarenakan ada ikatan (akad)

lahir dan batin antara seorang pria dan seorang Wanita. Ikatan dalam perkawinan

tidak sekedar ikatan atau perjanjian yang dikenal dalam perjanjian atau kontrak

biasa yang hanya mengikat secara lahiriah semata.

2. Kedua, Antara pria dan Wanita. Frasa “antara pria dan Wanita” mengandung arti

bahwa perkawinan hanya diizinkan bagi mereka yang berlawan jenis.

3. Ketiga, Seorang pria dan seorang Wanita. Hal tersebut memberikan arti bahwa,

walaupun, Undang-undang perkawinan di Indonesia menganut asas poligami

terbuka, namun juga masih mengutamakan monogami meskipun tidak mutlak

seperti yang dianut sebelumnyaoleh kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPer). Marzuki (2017: 73) berpendapat bahwa hukum dinamika sosial hanya

dapat dinyatakan dalam kerangka berbagai bentuk kekuasaan.

4. Keempat, Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal. Frasa “bahagia” memberi arti bahwa perkawinan bertujuan untuk

mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga. Hal tersebut dijawantahkan dalam

dalam pasal 6 ayat (1) bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua

calon memplai.
24

5. Kelima, Berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Hukum perkawinan di Indonesia

dalam hal ini mengakui keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut warga

negara Indonesia.

2.1.1 Dasar Hukum Perkawinan

Dasar-dasar hukum perkawinan termuat di dalam Pasal 28 B Ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Dari apa yang telah dipaparkan

dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 B Ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 dapat diketahui bahwa harapan dan cita-cita negara Indonesia adalah untuk

merealisasikan kesejahteraaan rakyatnya dengan memberikan hak kepada setiap

rakyatnya untuk mempertahankan kehidupannya yang berarti memiliki hak untuk

melanjutkan keturunan, dan setiap orang mempunyai hak untuk membuat sebuah

keluarga dan hal tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi.

Menurut Octaviani (2020), berpendapat juga bahwa Di Indonesia, pemerintah

telah memberikan perlindungan terhadap hak anak yang tertera pada UUD 1945 yang

menerangkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi oleh individu

lain. Landasan hukum perkawinan juga termuat di dalam Undang-Undang No.16 Tahun

2019 Tentang Perkawinan diatur pada Bab I tentang Dasar Perkawinan yang terdiri dari 5

Pasal, yaitu dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 5. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.16

Tahun 2019 tentang Perkawinan mengenai perngertian perkawinan yang menyebutkan

bahwa: “Ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
25

Tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang menyebutkan

bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayannya itu”. Selain di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019

Tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan dalam Pasal 7

bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19

(Sembilan belas) tahun. Bagi Pegawai Negeri Sipil terdapat pengaturan khusus mengenai

perkawinan dan perceraian sebagaimana yang diatur dalam, Pasal 2 Ayat (1)

menyebutkan bahwa: “Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama,

wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam

waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan.” Dalam

Pasal 1 huruf b disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat ialah:

Menurut Hadikusumua (2013), Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh

menjalankan perkawinan atau membantu melangsungkan perkawinan, jika dia

mengetahui adanya pelanggaran tentang batas umur perkawinan, larangan perkawinan,

seorang yang masih terikat perkawinan, cerai kawin berulang, tidak memenuhi tata cara

pelaksanaan perkawinan (Pasal 20)

1. Menteri;

2. Jaksa Agung;

3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;

4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;

5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;

6. Pimpinan Bank milik Negara;

7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;

8. Pimpinan Bank milik Daerah;


26

9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah;

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang Wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 3

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri. Seorang Wanita hanya boleh mempunyai

seorang suami

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih

dari seorang apabila dikenhendaki oleh pihak yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini makai a wajib

mengajubkan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada

seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan


27

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang harus dipenuhi syarat-syarat

sebagai berikut :

a. Ada persetujuan dari istri/ istri-istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-

istri dan anak-anak mereka

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi

seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya

dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar

dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2(dua) tahun, atau karena sebab-sebab

lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

2.1.2 Tujuan dan Syarat Sahnya Perkawinan

Umat Hindu percaya bahwa pasangan yang menikah tidak boleh berasal dari

keluarga yang sama. Untuk memastikan bahwa pasangan tersebut tidak berasal dari gotra

(garis silsilah atau leluhur) yang sama, merupakan suatu kebiasaan untuk memeriksa

gotra sebelum melakukan pernikahan. Susastra mengatakan bahwa pernikahan dengan

keluarga adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama, dikutuk, dan penuh dengan

dosa (Prem P. Bhalla, 2010: 131).

Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan. Dalam Pasal 2, dinyatakan sebagai berikut:


28

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. adanya persetujuan kedua calon mempelai;

2. adanya ijin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun;

3. usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita

sudah mencapai 16 tahun;

4. antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah

yang tidak boleh kawin;

5. tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;

6. bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lainnya dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka

kawin untuk ketiga kalinya;

7. tidak berada dalam jangka waktu tunggubagi calon memeplai wanita yang janda.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan syarat-syarat

perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.


29

c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari

orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan

kehendaknya.

d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan

lurus ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya.

e. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih tidak menyatakan

pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin

setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin.

f. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Untuk melangsungkan perkawinan, harus dipenuhi dua macam syarat yaitu syarat

materiil dan syarat formil. Syarat materiil iallah syarat yang mengenai pribadi calon

suami istri yang akan melangsungkan perkawinan, sedangkan syarat formil ialah syarat

yang mengenai formalitas-formalitas yang harus dipenuhi atau dilakukan.

Syarat materiil terdiri dari dua yaitu syarat materiil umum dan syarat materiil khusus:

1. Syarat materiil umum, syarat materiil umum suatu perkawinan dalam Undang-

Undang Perkawinan tercantum dalam:

b. Pasal 6 Ayat (1), yaitu bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan

kedua calon mempelai. Artinya perkawinan bukan didasarkan atas paksaan

yang dilakukan orang lain, misalnya paksaan dari orang tua kedua calon
30

mempelai, ataupun atas paksaan salah satu calon mempelai terhadap calon

mempelai lainnya.

c. Pasal 7 Ayat (1), yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah

mencapai usia 19 (semnilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai

umur 16 (enam belas) tahun. Di dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (1) dijelaskan

bahwa “Untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan

batas-batas umur untuk perkawinan”. Dalam hal calon suami istri belum

memenuhi syarat batas usia tersebut, dispensasi dapat diberikan oleh presiden,

jika didapat suatu alasan yang penting.

d. Pasal 9 menyatakan bahwa “Seorang yang masih terikat tali perkawinan

dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada

Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini”. Pasal ini melarang seorang

yang sudah menikah untuk kedua kalinya kecuali ada ijin dari pengadilan. Hal

ini merupakan suatu larangan bagi tiap calon mempelai untuk menikah lagi

tanpa ijin pengadilan sehingga terbina rumah tangga yang monogami.

e. Pasal 11 mengatur tentang masa tunggu (iddah) bagi seorang wanita yang

perkawinannya putus dan peraturan pelaksanaannya terdapat dalam Pasal 39

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

2. Syarat materiil khusus, syarat materiil khusus adalah syarat mengenai diri seseorang

yang mengatur ijin kawin dan larangan-larangan tertentu untuk melangsungkan

perkawinan.

3. Syarat-syarat formil, syarat-syarat formil merupakan syarat-syarat yang

berhubungan dengan tata cara yang harus dilakukan sebelum, pada saat perkawinan

dilangsungkan dan setelah perkawinan dilangsungkan. Syarat-syarat formil ini diatur

lebih lanjut didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahhun 1975 tentang


31

pelaksnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat-

syarat formil yang harus dilaksanakan pada saat perkawinan dilangsungkan adalah

melakukan perkawinan sesuai tata cara perkawinan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan calon mempelai dan dilakukan dihadapan Pegawai

Pencatatan dan dihadiri oleh kedua orang saksi. Syarat-syarat formil yang harus

dilakukan setelah dilangsungkan perkawinan yaitu penanda tanganan akta

perkawinan oleh kedua mempelai yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatatan

berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, yang kemudian ditanda tangani oleh

kedua saksi dan Petugas Pencatatan yang menghadiri perkawinan.

Undang-undang Perkawinan dalam Pasal 8 melarang perkawinan antara 2 orang

yang:

1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas;

2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara

seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri;

4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/

paman susuan;

5. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam

hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,

dilarang kawin.

Berkenaan dengan larangan perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan juga

ditentukan hal-hal berikut:

1. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin

lagi. Seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan syarat:
32

a. diizinkan oleh pengadilan atas permohonan suami tersebut dengan alasan-

alasan berikut secara alternatif:

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri dalam arti istri

mendapat penyakit jasmaniah atau rokhaniah sedemikian rupa, sehingga

tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri, baik kewajiban secara

biologis maupun kewajiban lainnya, yang dibuktikan dengan surat

keterangan dokter pemerintah.

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat

disembuhkan, dalam arti bahwa istri menderita penyakit badan yang

menyeluruh yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pemerintah.

3) istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah menikah sekurang-

kurangnya 10 tahun, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter

pemerintah.

b. adanya persetujuan istri/ istri-istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,

apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan maka harus diucapkan di

depan sidang pengadilan;

c. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

istri-istri dan anak-anak mereka, dengan menunjukkan surat ketarngan

mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat

bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain

yang dapat diterima oleh pengadilan;

d. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-

anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk

yang ditetapkan untuk itu..

2. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan lain dan bercerai lagi
33

untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan

lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain.

3. Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu yang diatur

berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih

berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan

bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu

tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

d. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi

hubungan kelamin.

2.1.3 Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Menurut Agama Hindu

Dalam masyarakat Hindu di Bali, selain merupakan perikatan perdata dan perikatan

agama, juga merupakan perikatan Adat dan keluaraga. Perikatan Adat maksudnya adalah

setiap pasangan suami istri, wajib hukumnya masuk sebagai krama (warga) dalam Desa

Adat. Pasangan tersebut memeliki hak dan kewajiban dalam mengupayakan sukertha tata

parhyangan yaitu mengupayakan ketentraman, kedamaian dan keharmonisan dalam

kehidupan beragama (hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), sukertha tata

pawongan adalah mengupayakan ketentraman, kedamaian dan keharmonisan dalam

kehidupan bermasyarakat (hubungan manusia dengan manusia) , dan sukerta tata

palemahan adalah mengupayakan ketentraman, kedamaian dan keharmonisan dalam


34

menjaga lingkungan alamnya (hubungan manusia dengan alam lingkungannya).

Dimaksud dengan perikatan keluarga adalah pasangan suami istri masuk dan terikat

dalam hubungan yang harmonis dengan keluarga pihak purusa (biasanya keluarga pihak

laki laki). Misalnya seorang wanita dari soroh (kerabat) Gusti kawin dengan laki laki dari

soroh Pasek, maka mempelai wanita harus sepakat masuk ke keluarga soroh Pasek

(kerabat/keluarga suaminya). Demikian pula sebaliknya jika mempelai wanita yang

berstatus purusa maka mempelai laki laki masuk ke dalam soroh (keluarga atau kerabat)

mempelai wanita (I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani, 2020: 45).

Pelaksanaan wiwaha secara Agama Hindu dilaksanakan dengan pokok acara

sebagai berikut:

1. Meminang yaitu keluarga laki-laki (purusa) meminta anak gadis keluarga

perempuan (pradhana) untuk diperistri oleh putra keluarga laki-laki.

2. Penentukan waktu setelah keluarga perempuan memenuhi atau menerima

permintaan keluarga laki-laki maka biasanya dilanjutkan dengan menentukan dari

pelaksanaan.

3. Upacara perkawinan sebagai tindak lanjut dari penentuan hari tersebut tadi, maka

diadakanlah upacara perkawinan menurut tradisi setempat. Upacara perkawinan

dipimpin oleh pendeta atau pinandita, disaksikan oleh masyarakat setempat dan

dilanjutkan dengan penandatanganan akta perkawinan secara agama oleh kedua

mempelai, pandita/pinandita dan saksi.

4. Memindahkan status keluarga akhirnya diadakan upacara menurut tradisinya

masing-masing untuk dimasukkan pada pihak purusa.

5. Perkawinan dilangsungkan pada hari yang telah ditetapkan (penetapan hari sesuai

dengan desa, kala, patra).


35

6. Bertindak sebagai saksi dalam upacara perkawinan adalah dua orang yang berumur

diatas 21 tahun dan berbadan sehat.

7. Tempat upacara pelaksanaan perkawinan dapat dilaksanakan di rumah mempelai

laki-laki maupun perempuan.

8. Setelah pelaksanaan upacara perkawinan dilanjutkan dengan penandatanganan akta

perkawinan yang disediakan oleh petugas. Penandatanganan ini dilakukan pertama

oleh kedua mempelai kemudian oleh kedua saksi dan terakhir oleh pegawai pencatat

perkawinan yang hadir.

9. Dengan ditandatangani akta perkawinan berarti perkawinan tersebut syah dan

tercatat resmi secara agama Hindu.

2.1.4 Bentuk Perkawinan Dalam Hukum Adat Bali

Ada 4 (empat) macam sistem perkawinan yang banyak dipakai oleh kalangan

masyarakat di Bali ialah (I Ketut Artadi. 2017, 170):

1. Sistem mapadik (meminta).

Perkawinan dalam bentuk mepadik (meminta) adalah bentuk perkawinan yang

dipandang baik menurut adat Bali dan agama Hindu. Peminangan dilakukan pihak

keluarga laki – laki atau purusa, yang datang menemui pihak keluarga wanita. Hal ini

dilakukan atas dasar persetujuan putra–putri kedua belah pihak yakni pradana (pihak

wanita) dan purusa (pihak laki–laki). Sebelum peminangan dilakukan, sudah terjadi

jalinan dan janji saling mencintai kedua calon mempelai.

2. Sistem ngerorod/ merangkat (kawin lari).

Perkawinan ini dilakukan dengan cara lari bersama, di mana laki– laki dan

perempuan yang akan melakukan perkawinan, pergi bersamaan (biasanya secara

sembunyi–sembunyi) meninggalkan rumahnya masing–masing dan bersembunyi pada


36

keluarga lain (pihak ke 3) dan menyatakan dirinya sedang ngerorod/ merangkat. Cara ini

biasanya dilakukan karena orang tua pihak keluarga perempuan tidak menyetujui

hubungan antara anak perempuannya dengan laki – laki calon suaminya atau karena

pihak laki – laki tidak mampu menempuh cara perkawinan secara meminang serta alasan

perbedaan wangsa atau kasta.

3. Sistem nyentana/ nyeburin.

Menurut arti bahasa Indonesianya, mungkin sama dengan perkawinan ambil anak

yaitu mengawini anak laki–laki untuk masuk menjadi anggota pihak keluarga wanita dan

tinggal pula disana. Nyentana /nyeburin dikenal pula dengan sebutan pekidih atau

diminta, artinya laki-laki tersebut diminta menjadi menantu dan meneruskan keturunan

pihak wanita.

Perkawinan ini umumnya dilakukan karena wanita merupakan anak semata wayang

dan tidak mempunyai saudara pria. Seandaiya wanita melakukan perkawinan secara

biasa, maka keluar dari keluarganya, sehingga tidak ada lagi yang meneruskan keturunan

keluarga tersebut.

4. Sistem ngunggahin.

Dalam sistem perkawinan ini wanita datang ke rumah laki–laki, meminta supaya

dikawini. Biasanya hal ini terjadi dalam keadaan luar biasa, wanita tersebut sudah hamil,

dihamili oleh laki–laki yang didatanginya dan meminta pertanggung jawaban, supaya

dikawini. Perkawinan semacam ini merupakan penghinaan terhadap wanita maupun

keluargannya.

2.1.5 Akibat Hukum Dari Sebuah Perkawinan

Setelah terlaksanannya perkawinan, maka akibat dari pelaksanaan


37

perkawinan bagi suami istri yaitu sebagai berikut:

1. Kedudukan Suami dan istri akan sema atau seimbang dalam rumah

tangga maupun pergaulan

2. Mempunyai kewajiban yang sama dalam menjaga keluarga

3. Saling mencintai

4. Tinggal di tempat kediaman yang tidak berbeda

5. Suami istri sama-sama dapat menjalankan perbuatan hukumnya sendiri

6. Memilki kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan

7. Terdapat pembagian kerja sesuai dengan kodratnya masing-masing,

terdapat pada Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan, suami sebagai kepala

keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga (Nugroho, 2017: 47).

2.1.6 Larangan Perkawinan

Mengenai larangan perkawinan telah tertuang pada Pasal 8 sampai

dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan,

Pasal yaitu Perkawinan dilarang yaitu sebagai berikut

1) Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan

a. Berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke


atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua
dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi atau paman
susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
38

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain
yang berlaku dilarang kawin.
2) Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “Seorang yang

terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali

dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-

undang ini”.

3) Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “Apabila suami

dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan

perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan

kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.

2.1.7 Putusnya Perkawinan

Dalam Hukum Hindu sebenarnya perceraian tidak dikehendaki, hendaknya

pasangan suami istri menjaga kesetiannya sampai akhir hayatnya. Oleh karenanya

pasangan suami istri harus senantiasa dengan tidak jemu jemunya tidak melakukan

perceraian dan tidak melanggar kesetian masing masing. Namun demikian, perjalan hidup

rumah tangga seseorang adakalanya mengalami nasib buruk, biduk rumah tangganya

oleng. Memang setiap orang, setiap ajaran agama, tidak akan menghendaki adanya

keretakan dalam suatu perkawinan. Tetapi bila segala daya upaya untuk menyatukan

keretakan rumah tangga itu tidak membuahkan hasil, akhirnya terjadilah perceraian (I

Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani, 2020: 84).


39

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan

dapat putus karena: kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Selanjutnya

dalam Pasal 39 dinyatakan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan tersendiri.

Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-

alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin

pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat

setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


40

2.2 Tinjauan Umum Tentang Hukum Adat

Sebagaimana diterangkan oleh Van Vollenhoven dalam penelitian

pustakanya pernah menerangkan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup

di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah

mempunyai dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum maysrakat asli

tersebut dikenal dengan sebutan “hukum adat”.

Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat istiadat,

yakni norma-norma sosial yang diciptakan dan dipertahankan oleh para

fungsionalis (penguasa yang berwibawa) dan berlaku serta dimaksudkan untuk

mengatur hubungan-hubungan hukum di masyarakat. Oleh karenannya adat-

istiadat yang hidup serta yang berkaitan dengan tradisi rakyat inilah yang

merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat Indonesia. Dari abad-

keabad, adat Indonesia merupakan cerminan dari suatu bangsa, yang mana

smerupakan salah satu jelmaan dari jibwa bangsa Indonesia yang dimiliki oleh

daerah-daerah, suku maupun bangsa Indonesia yang berbeda-beda, walaupun

dasar dan sifatnya adalah satu, yakni “se- Indonesia-an”. Maka adat bangsa

Indonesia dikatakan “Bhineka” yang artinya berbeda-beda di daerah suku-suku

bangsanya, dan “Tunggal Ika” yang artinya tetapi tetap satu juga, yakni dasar

dan sifatnya keIndonesiaannya.

Dari hal tersebut itulah dapat dimaknai bahwa hukum adat telah ada yang

hidup dan tumbuh disekitar masyarakat Indonesia. Hukum adat pada sedia kala

benar-benar dipatuhi oleh para masyarakat adat dan mereka sangat takut untuk

melanggar ketentuan-ketentuan adat tersebut, karena terdapat sanksinya.


41

Ketentuan-ketentuan hukum adat pada pada masa dahulu, Sebagian besar tidak

tertulis, sehingga para masyarakat mentaatinya secara turun-temurun (Najih &

Soimin, 2016: 297-298).

2.3 Tinjauan Umum Tentang Hukum Nasional

Hukum Nasional merupakan satu kesatuan hukum guna mencapai tujuan

Negara yang bersumber berlandaskan falsafah dan konstitusi negara, yang mana

kedua hal tersebut terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia.

Hukum nasional memiliki tujuan sebagai dasar atau acuan berperilaku dalam

hidup berbangsa dan bernegara. Terdapat beberapa sistem hukum nasional yang

tersusun berdasarkan hierarki perundang-undang, yakni sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

5. Peraturan Pemerintah

6. Peraturan Presiden

7. Peraturan Daerah Provinsi

8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Tujuan hukum nasional Indonesia dibentuk yaitu untuk mengatur hak dan

kewajiban suatu Lembaga negara, para pejabat negara, setiap individu

masyarakat Indonesia, agar dapat menjalankan kebijakan-kebijakan dan


42

tindakan-tindakan yang bertujuan untuk terwujudnya tujuan nasional Indonesia

yaitu terlindungi oleh hukum, cerdas, makmur, dan adil dengan berlandaskan

falsafah Pancasila.

2.4 Tinjauan Umum Teori Sistem Hukum

Sistem hukum adalah suatu peraturan yang mempunyai sifat memaksa

demi tercapai keharmonisan dan keselarasan norma. Menurut Lawrence M.

Friedman, bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga

unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum

(substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum

menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat

perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living

law) yang dianut dalam suatu masyarakat (Friedman, 2011 : 3).

Struktur Hukum (Struktur of law)

Teori yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman disebutkan bahwa

struktur hukum dikatakan sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau

tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Menurut UU Nomor 8 Tahun

1981, struktur hukum yaitu mencakup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak

hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan

tanggung jawabnya tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah maupun

pengaruh-pengaruh lainnya. Hukum tidak dapat ditegakkan dan berjalan apabila


43

tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen.

Seberapa baiknya suatu peraturan perundang-undangan jika tidak didukung

dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya suatu angan-

angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan

hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya (Wahyudi, 2012 : 10-11). Sehingga

aparat penegak hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu

penegakan hukum di masyarakat.

Struktur dalam sistem hukum terdiri dari unsur jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinya yang mana termasuk jenis kasus yang berwenang

diperiksa, dan tata cara naik banding dari suatu pengadilan ke pengadilan

lainnya. Kemudian struktur hukum juga meliputi bagaimana badan legislatif

ditata. Jadi struktur hukum menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat

hukum dan badan, serta proses hukum itu dapat berjalan dan dijalankan sesuai

dengan ketentuan-ketentuan formalnya (Friedman, 2011 : 5-6).

Substansi Hukum (Substance of the law)

Teori Lawrence M. Friedman, mengatakan bahwa substansi hukum

merupakan sistem substansial yang menentukan apakah hukum tersebut dapat

dijalankan atau tidak. Substansi merupakan aturan norma dan perilaku

masyarakat yang berada dalam system hukum tersebut, serta substansi yaitu

produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu yang

meliputi keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka telah

diterapkan. Sebagai Negara penganut sistem Eropa Kontinental (Civic law) dan

juga menganut sistem Anglo Saxon (Common law), dikatakan bahawa hukum
44

adalah peraturan-peraturan yang tertuang bentuk tertulis. Substansi merupakan

aspek lain dalam sistem hukum, yang mana substansi tersebut adalah aturan,

norma, dan pola perilaku nyata manusia yang terdapat pada sistem tersebut. jadi

substansi hukum mencakup peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

memiliki kekuatan mengikat serta menjadi tuntunan bagi aparat penegak hukum

(Friedman, 2011 : 7)

Budaya Hukum (living law)

Budaya atau kultur hukum menurut Lawrence M Friedman adalah sikap

manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta

harapannya. Kultur hukum merupakan suasana pemikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, maupun

disalahgunakan. Budaya hukum memiliki kaitan yang sangat erat dengan

kesadaran hukum di masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat

maka akan terciptanya budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir

masyarakat mengenai hukum yang telah berlaku Secara sederhana, tingkat

kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator

berfungsinya hukum (Wahyudi, 2012 : 12). Budaya hukum dikelompokan

menjadi dua yaitu Budaya hukum eksternal dan budaya hukum internal. Budaya

hukum eksternal adalah kultur hukum yang ada pada populasi masyarakat

umum. Budaya hukum internal adalah kultur hukum para anggota masyarakat

yang menjalankan tugas hukum.

Tegaknya hukum tidak ditentukan dari kuatnya struktur, namun juga

terkait dengan budaya hukum yang terdapat di dalam masyarakat. Lawrence M.


45

Friedman mengemukakan bahwa jika melihat fenomena penegakkan hukum di

Indonesia terkait tiga unsur sistem hukum tersebut masih belum berjalan dengan

baik, khususnya pada sistem struktur dan budaya hukumnya. Budaya hukum

mencangkup mengenai budaya yang mana merupakan sikap dari manusia

terhadap hukum dari sistem hukum yang ada. Sebaik apapun penataan struktur

hukum dan substansi hukum, jika tidak sesuai dengan budaya hukum di

masyarakat, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan secara efektif

(Friedman, 2011 : 8). Karena budaya hukum adalah aspek penting dan sistem

hukum, di mana budaya hukum merupakan keadaan pemikiran sosial dan

kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum ditaati, dihindari, atau

disalahgunakan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian merupakan kata yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris yang disebut

dengan istilah research, yang berarti “memeriksa kembali”. Merujuk pada istilah

tersebut, maka penelitian secara sederhana dapat diartikan sebagai “suatu upaya pencarian

kembali”. Apa yang dicari? yang dicari dalam penelitian tidak lain adalah jawaban-

jawaban atas suatu permasalahan yang belum terpecahkan (Bachtiar, 2019: 7).

Penelitian sebagai aktivitas ilmiah merupakan bagian dari proses pengembangan

ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan pada hakikatnya dibangun, dipelajari serta

dikembangkan untuk memberi kemanfaatan bagi umat manusia agar tercipta tatanan

hidup yang dinamis dan harmonis. Begitu pula dengan Ilmu Hukum, harus dikaji dan

didayagunakan melalui proses penelitian agar memberikan sumbangsih bagi ilmu

pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk membangun ilmu pengetahuan,

menuntut proses penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan

parameter kebenaran ilmiah. Prinsip-prinsip penelitian seperti konsistensi, sistematis dan

terukur harus selalu dijadikan pegangan bagi para research staff supaya hasil yang

diberikan dapat digunakan dan terus dikembangkan sebagai dasar berpijak kajian dan

penelitian selanjutnya (Mukti Fajar ND, Y. A., 2013: 2).

Metode penelitian hukum dalam konteks keilmuan hukum dan metode penelitian

hukum dalam konteks penemuan dan penerapan hukum, dalam konteksnya yang pertama,

pada umumnya dilakukan oleh peneliti hukum akademis ini, memiliki dua jenis penelitian

hukum yaitu: penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis. Penelitian

hukum normatif dipengaruhi oleh doktrin hukum murni dan positivisme, sedangkan

penelitian hukum sosiologis dipengaruhi oleh doktrin sosiologi hukum (sosiologi of law)

46
47

maupun ilmu hukum sosilogis (sociological jurisprudence) (Depri Liber Sonata, 2014:

24).

Dalam Ilmu Hukum, cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan dilakukan

dengan dua tipologi, yakni: penelitian hukum normatif/doktrinal, dan (b) penelitian

hukum empirissosiologis/ nondoktrinal, dengan menggunakan cara berpikir atau

penalaran, baik secara deduktif maupun secara induktif. Disebut penelitian hukum

normatif, karena objek kajiannya adalah murni normatif hukum, sehingga tidak

dimungkinkan untuk menggunakan metode-metode penelitian sosial pada umumnya.

Dikatakan demikian karena data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Ketiga bahan

hukum tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif. Disebut penelitian hukum empiris

karena objek kajiannya adalah perilaku hukum dalam kenyataan masyarakat. Mengingat

penelitiannya dilakukan di lapangan (field research), maka data yang digunakan adalah

data primer, sehingga sendirinya metode yang digunakan adalah metode yang umumnya

berlaku dalam penelitian sosial (Bachtiar, 2019: 34).

Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang ditujukan untuk mengkaji hukum

sebagai gejala sosial. Jadi, dalam konteks norma, penelitian hukum empiris adalah

penelitian tentang pelaksanaan norma. Norma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

norma mengenai perkawinan, khususnya perkawinan menurut Hukum Adat Bali.

Kata“empiris” dalam penelitian hukum empiris bukan berarti harus menggunakan

alat pengumpul data dan teori-teori yang biasa dipergunakan di dalam metode penelitian

ilmu-ilmu sosial, namun di dalam konteks ini lebih dimaksudkan kepada pengertian

bahwa “kebenarannya dapat dibuktikan pada alam kenyataan atau dapat dirasakanoleh

panca indera” atau bukan suatu fiksi bahkan metafisika atau gaib (Depri Liber Sonata,

2014: 27).

Sebagai penelitian hukum empiris, penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa

tidak terdapat permasalahan berkaitan dengan regulasi yang ada, lebih ditujukan untuk
48

melakukan kajian apakah regulasi tersebut dalam kenyataannya sudah

diimplementasikan atau tidak. Syarat-syarat perkawinan sudah dinyatakan secara jelas

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan pelaksanaanya. Demikian

juga tata cara pelaksanaan pemgumuman/publikasi sudah diatur secara jelas, antara lain

dilakukan sebelum perkawinan disahkan melalui tahap pelaporan, penelitian oleh petugas

pencatat perkawinan, pengumuman dalam jangka waktu 10 hari.

3.2 Sifat Penelitian

Mengutip pendapat Abdulkadir Muhammad, Bachtiar menyetakan (Bachtiar,

2019:52):

Pertama, penelitian hukum eksploratori (exploratory legal study),

merupakan penelitian hukum yang bersifat mendasar dan bertujuan untuk

memperoleh keterangan, informasi, dan data mengenai hal-hal yang belum

diketahui. Penelitian ini tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu dan

data yang dikumpulkan adalah data primer melalui teknik observasi di lokasi

penelitian dan wawancara dengan informan/responden. Kedua, penelitian

hukum deskriptif (descriptive legal study), merupakan penelitian hukum

yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran

lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu, atau

mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi

dalam masyarakat. Ketiga, penelitian hukum eksplanatori (explanatory legal

study), merupakan penelitian yang bersifat penjelasan dan bertujuan untuk

menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau menolak teori atau

hipotesis hasil penelitian yang ada”.


49

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Adat Buleleng. Pemilihan lokasi penelitian

dilakukan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, yang terpenting adalah kesesuaian dengan

topik penelitian.

Alasan lain adalah untuk memudahkan proses pencarian data. Kemudahan tersebut

di antaranya karena peneliti berdomisili di Singaraja. Kemudahan ini berhubungan

dengan keberhasilan penelitian karena proses konfirmasi data yang meragukan, upaya

melengkapi data yang kurang, dan hal-hal lain yang perlu dapat dilakukan secara lebih

mudah.

3.4 Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari sumber data kepustakaan

dan sumber data lapangan. Dari sumber data kepustakaan dikumpulkan data sekunder

berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan hukum yang berupa:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat (hukum

positif) terutama berupa peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401); Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Perkawinan.
50

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan tentang

bahan hukum primer. Dalam hal ini yang digunakan adalah pendapat ahli hukum

yang tertuang dalam karangan ilmiah terutama dalam bentuk buku.

c. Bahan hukum tersier berupa kamus, kamus hukum, dan ensiklopedi.

Dari sumber data lapangan dikumpulkan data primer yang relevan, yaitu tentang apa

yang telah secara nyata terjadi.

3.5 Populasi dan Informan

Data dan informasi mengani tata cara perkawinan yang dilaksanakan di Desa Adat

Buleleng dapat diperoleh dari seluruh krama desa, namun untuk kepentingan validitas

dan kecukupan data, dipilih informan secara purposive (dengan tujuan-tujuan tertentu),

yaitu Prajuru Desa Adat Buleleng dan Petugas Pencatat pada Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kabupaten Buleleng.

3.6 Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian hukum empiris, dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan data,

yaitu: studi dokumentasi, wawancara, observasi, penyebaran quisioner/angket.

Penelitian ini mempergunakan beberapa teknik pengumpulan data:

a. Teknik studi dokumentasi/ kepustakaan yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh

data dengan cara membaca, menelaah, mengklasifikasikan, mengidentifikasikan dan

dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan

perundang-undangan dan buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Teknik wawancara. Dalam pelaksanaan wawancara digunakan pedoman wawancara

mengenai garis-garis besar yang akan dipertanyakan kepada responden secara


51

tertulis dengan kemungkinan pengembangan-pengembangan pertanyaan sesuai

situasi dan kondisi, yang masih ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan mengorganisasikan atau menata data sedemikian

rupa sehingga data penelitian tersebut dapat dibaca (readabel) dan ditafsirkan

(interpretable), dengan kata lain, pengolahan data adalah proses mentransformasi

(menyederhanakan dan mengorganisasi) data mentah ke dalam bentuk yang mudah

dibaca dan dipahami. Data yang mudah dibaca dan dipahami akan membantu peneliti

dalam memaknai dan menafsirkan data yang telah diolah (Bachtiar, 2019: 157).

Pengolahan data primer dilakukan melalui tahap-tahap:

1. pemeriksaan data (editing), yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul melalui

studi pustaka, dokumen, wawancara, dan kuisioner sudah dianggap relevan, jelas,

tidak berlebihan, dan tanpa kesalahan.

2. penandaan data (coding), yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik

berupa penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu yang

menunjukkan golongan/ kelompok/klasifikasi data menurut jenis dan sumbernya

dengan tujuan menyajikan data secara sempurna, memudahkan rekonstruksi serta

analisis data.

3. penyusunan/sistematisasi data (constructing/systematizing), yaitu kegiatan

mentabulasi secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu dalam

bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan persentase bila data itu kuantitatif,

mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit menurut klasifikasi data

dan urutan masalah bila data itu kualitatif.

Analisis data bertujuan untuk menjawab masalah penelitian dan membuktikan

asumsi dasar penelitian; menyusun dan menginterpretasikan data yang diperoleh;


52

menyusun data dalam cara yang bermakna sehingga dapat dipahami, lebih memudahkan

pembaca dalam memahami hasil penelitian; menjelaskan kesesuaian antara teori dan

temuan peneliti; dan menjelaskan argumentasi hasil temuan (Nanang Martono, 2016: 10).

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan disajikan

secara deskriptif analisis. Metode kualitatif yang dimaksud adalah meneliti obyek

penelitian dalam situasinya yang alamiah. Alur pengolahan data sebagai berikut: data

dikumpulkan kemudian disusun secara sistematis, direduksi, dipaparkan secara

sistematis, dan ditarik simpulan sebagai jawaban atas permasalahan.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Dari sembilan kabupaten yang terdapat di Pulau Bali, Kabupaten adalah salah

satunya yang berada di bagian utara Pulau Bali yang memiloki luas wilayah

kurang lebih 365,88 km2. Kabupaten Buleleng dikelilingi oleh beberapa

kabupaten yaitu dibagian barat berbatasan dengan Kabupaten Jembrana, di bagian

selatan berbatasan dengan Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan, dan

Kabupaten Bangli, di bagian timur berpatasan dengan Kabupaten Karangasem dan

dibagian utara terdapat Laut Jawa. Dari sembilan kabupaten yang berada di Pulau

Bali, Kabupaten Buleleng adalah kabupaten terluas dimana luasnya mencapai

25% dari luas Pulau Bali. Panjang pantai Kabupaten Buleleng yaitu kurang lebih

157 km dimana kabupaten ini memiliki 9 Kecamatan yaitu Kecamatan Tejekula,

Buleleng, Sawan, Sukasada, Seririt, Banjar, Sangsit, Gerokgarak dan Busung Biu,

serta 129 Desa, 19 Kelurahan, dan 169 Desa Adat.

Dilihat dari posisi geografisnya, Kabupaten Buleleng mempunyai wilayah

dimana dibagian selatan terdiri dari gunung dan bukit yang melintang dari daerah

timur yaitu perbatasan Kabupaten Bangli hingga daerah barat di perbatasan

Kabupaten Jembrana. Selanjutnya di bagian utara yang terdiri dari dataran rendah

di mana Panjang pantainya yaitu kurang lebih 157 km. Hal ini menjadikan

Kabupaten Buleleng mempunyai banyak tempat wisata seperti pantai serta air

terjun di bagian selatan karena terdiri dari perbukitan-perbukitan. Selain itu

Kabupaten buleleng terdapat banyak sekali sungai, baik yang airnya besar maupun

53
54

kecil yang mengalir saat musim hujan saja. Kabupaten Buleleng juga terkenal

karena memiliki danau yaitu Danau Tamblingan dengan luas mencapai 110

Hektar yang berlokasi di daerah kecamatan Banjar. Selain itu ada juga danau yang

lebih luas bernama Danau Buyan dengan luas 360 Hektar yang berlokasi di

Kecamatan Sukasada (Pemkab Buleleng 2018).

Selanjutnya menngkhusus ke daerah penelitian yaitu Desa Adat Buleleng,

merupakan desa adat apanage, yang telah memiliki sejarah panjang. Merupakan

desa adat yang besar jika dilihat dari luas wilayah dan jumlah masyarakat adatnya.

Desa Adat Buleleng terdiri dari 14 banjar adat, yaitu Banjar Liligundi, Banjar

Bale Agung, Banjar Paketan, Banjar Tegal, Banjar Kaliuntu, Banjar Kampung

Anyar, Banjar Kampung Baru, Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Tengah, Banjar

Peguyangan, Banjar Petak, Banjar Penataran, dan Banjar Delod Peken.

4.1.2 Hasil Penelitan

Penelitian ini dilakukan terhadap Prajuru desa adat Buleleng dan Petugas

pencatatan sipil. Beberapa responden yang ditemui, tidak semuanya bersedia

memberikan informasi. Dari beberapa responden hanya ada 2 responden yang

peneliti anggap cukup memberikan data bagi penelitian ini. Berikut data yang di

dapatkan dari hasil wawancara dengan tanggapan survei penelitian:

1. Responden pertama dari I Nyoman Westha, Spd, M. Pd sebagai ketua Desa

Adat Buleleng, beliu mengatakan Di Buleleng perkawinan secara hukum adat ini

cuma ada 3 jenis yaitu mepadik, ngrerorod, dan nyentana. Mepadik itu adalah upa

cara yang dilaksanakan dengan cara kekeluargaan itu dengan cara meminang dari

pihak perempuan atau pradana namanya oleh pihak purusa atau laki-laki jadi kedu

a pihak harus saling memperkenalkan diri, mempelainya harus diperkenalkan, apa


55

kah benar-benar cinta sama cinta, nanti sudah dikatakan cinta sama cinta maka na

nti ada suatu kesepakatan, baik itu kesepakatan hari, waktu upacara dan sebagainy

a. Lalu kedua yaitu Ngerorod, ngerorod ini istilah hindunya itu ialah memaling, m

emaksa dari pihak perempuan untuk di kawinkan oleh pihak laki laki atau purusa ,

dan setelah itu dicuri tampa sepengetahuan orang tua. Penyebab terjadinya ini mu

ngkin dari pihak orang tua yang perempuan tidak setuju, karena kasta berbeda, seg

i ekonomi yang berbeda dan masalah lainya. Setelah di rorod maka adalah suatu p

etugas untuk penyelesaian memberitahukan informasi bahwa anak bapak (orang t

ua pihak perempuan) sedang dilarikan oleh pacarnya dan itu ditujukan pertama ke

pada kelihan lingkungan atau kepala lingkungan, tidak boleh langsung kepada pih

ak keluarga perempuan, nanti bisa terjadinya pertengkaran dan amarah bisa terjadi

perkelahian maka saat pemberitahuan kepada pihak keluarga perempuan harus me

ngajak petugas klian lingkungan. Setelah adanya pemberitahuan maka dari pihak

keluarga perempuan dia menyatakan atau menyuruh untuk mendatangkan anakny

a dan pacarnya atau bisa juga langsung disetujui dan menyuruh menyelesaikan. Ji

ka nanti diupacarakan maka akan ada lagi petugas yang datang dalam bahasa balin

ya bernama “ngeluedin” penjantos namanya. Selanjutnya Nyentana juga ada di Bu

leleng , yaitu apabila seorang keluarga tidak punya anak laki-laki cuma memilik a

nak perempuan saja lalu keluarga tersebut mempunyai kekayaan, tanah yang tidak

ada yang mewarisi. Dalam adat Bali seorang laki ia mewarisi. Nyentana ini yang d

ipinang adalah laki-lakinya untuk disentana dijadikan purusa. Nah untuk pada gela

hang di buleleng belum ada, cuma diluar buleleng ada. Terkait tahapannya

menurut beliau pertama kita mengadakan penjantosan (menyantosin) berarti kita menga

dakan suatu perantara untuk menyampaikan dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga

perempuan bahwa tiang lagi tiga hari jagi wenten keluarga pacang meminang. Dan dihadi
56

ri keluarga kecil saja tampa membawa prajuru adat, dalam proses peminangan pihak pere

mpuan juga mepersilakan kepada pihak laki kedatangan pihak laki-laki untuk apa. Jika su

dah diterima meminangnya maka selanjutnya akan dilakukan upacara pawiwahan oleh ke

luarga laki-laki seperti pembebasan tri upasaksi dan serah terima secara sekala dan niskal

Selanjutnya belia mengatakan bahawa selama ini secara adat di buleleng s

angat mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974, karena jika sudah melakukan perkawi

nan dengan jenis perkawinan mepadik, ngrorod maupun nyentana maka itu juga h

arus mengikuti sistem di UU, karena ini akan bisa mendapatkan akta perkawinan,

selain itu perkawinan mepadik, ngrorod dan nyentana dianggap sah. Terkait

syarat-syarat perkawinan Dalam hukum adat di Desa adat buleleng tidak ada syarat khu

sus dalam melakukan perkawinan, cuma dalam pelaksanaan nya harus sudah ber umur 19

tahun dan juga tidak dalam keadaan bermasalah terkait gugat menggugat perceraian. Selai

n hal ini semua sama saja tidak ada syarat yang khusus. Prajuru desa pastinya memastika

n bahwa perkawinan yang dilakukan atas dasar persetujuan kedua mempelai, nantinya ka

n dalam kegiatan meminang nanti ada perwakilan prajuru Desa yang ikut untuk

menjadi saksi bahwa perkawinan ini dipersetujui oleh kedua belah pihak.

2. Responden kedua dari Ketut Sudarmi, S.E.,M.A.P sebagai Kepala Bidang

Pelayanan Pencatatan Sipil mengatakan bahwa terkait perkawinan yang

dicatatakan kantor dinas pencatatan sipil buleleng itu memiliki two foksi untuk

mencatatkan segala jenis permohonan harus diperlukan salah satunya akta

perkawinan apabila ada pelaporan dari yang bersangkutan, jadi tidak semua

perkawinan terjadi di adat itu di catatkan kalau memang mereka melaporkan kami

catatkan ke jika tidak laporkan kami tidak catatkan jadi system kami itu sesuai

pelaporan dari pada pusaka itu. Kemudia terkait syarat sah beliau mengatakan
57

Menurut undang-undang, Jadi perkawinan itu ada 2 ada perkawinan yang sah

secara agama itu artinya perkwinan sesuai dengan adat, yang kedua ada

perkawinan dengan sah secara hukum berarti dengan sesuai undang-undang jadi

kalau perkawinan yang sah secara agama itu diselesaikan di adat yang perkawinan

sah secara hukum setelah selesai di adat mereka melaksanakan pelaporan ke

diskucapil untuk melakukan perkawinannya sehingga terbitlah akte perkawinan.

Kemudian tahapan pemberitahuan sebelum kawin Dinas pencatatan sipil buleleng

itu hanya mencatatkan bagi perkawinan yang sudah sah secara agama terjadi, jadi

kalau memang belum terjadi perkawinan sah secara agama tidak melaporkan ke

dinas pencatatan sipil seperti itu jadi awalnya itu harus kalau itu di laksanakan

dulu secara agama sesuai dengan adat masing-masing Jadi apabila pelaporan

perkawinan masyarakat itu sudah sesuai dengan persyaratan baru akan di catatkan

kalau belum sesuai dengan persyaratan akan di kembalikan kembali untuk

melakukan sesuai dengan persyaratan. Tahapan pengumuman publikasi tersebut

dilaksanakan di masing-masing kantor prebekel atau lurah itu di umumkan dulu di

kantor desa nanti setelah di umumkan pengumumannya itu menjadi persyaratan

dalam pengajuan akte perkawinan jadi bukan ke dinas pencatatan sipil tapi di

kantor desa masing-masing.

Terkait koordinasi antara desa adat dan desa dinas kalau koordinasi antara

resmi desa adat dan kami memang tidak ada tapi kami memang ada istilahnya

terjadinya kerjasama dengan desa adat artinya pada saat dilaksanakan perkawinan

secara adat itu mengarahkan desa adat langsung mengesahkan kepada mempelai

jadi tidak 2 kali mereka begitu pada saat mereka mengundang adat untuk

mendatatangani perkawinannya secara adat mungkin karena seperti itu kerja sama
58

kami dengan masing-masing desa adat, tapi kalau intinya mereka apabila melapor

bakal ada perkawinan kita endak ada seperti itu kami hanya perjanjian sebatas

saling membantu supaya perkawinan di adat resmi kemudian secara hukum resmi

di sarankan kepada desa adat bagi mempelai yang ingin mencari hari baik

misalnya langsung disarankan mengisi formulir sehingga ketika upacara selesai

punya akte perkawinan.

4.2 Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat

Buleleng

Sebagai satuan masyarakat hukum keberadaan desa adat telah mendapat

pengakuan. Dalam kenyataannya antara desa adat yang satu dengan yang lain

terdapat ciri-ciri yang sama, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan mengingat

sejarah pembentukan dan faktor-faktor lain. Wayan Gede Suacana dengan

berdasarkan tradisi dominan yang menjadi ciri desa pakraman, mengklasifikasikan

desa pakraman kedalam tiga tipe yaitu desa bali aga, desa apanage dan desa anyar

(Wayan Gede Suacana, 2011).

Desa bali aga, adalah desa adat yang masih tetap menganut tradisi jaman Bali

asli (1800-1343 M) atau tradisi pra-Majapahit, yakni masa sebelum adanya

pengaruh agama Hindu. Konsep Bali Aga sendiri secara etimologis berarti “bali

asli” yakni penduduk Hindu Bali yang mendiami desa-desa di wilayah

pegunungan tanpa atau sedikit sekali kena pengaruh budaya dan agama Hindu

Jawa, khususnya yang berasal dari Majapahit. Tradisi kecil yang menyertainya

adalah tradisi yang didominasi ciri-ciri kebudayaan pra-Hindu seperti: (1) sistem

ekonomi terfokus pada ekonomi sawah dengan irigasi; (2) azas musyawarah

dengan deferensi dan stratifikasi sosial sederhana; (3) bangunan rumah dengan
59

kamar yang berbentuk kecil dan terdiri atas bahan kayu atau bambu; (4) kerajinan

melalui besi, perunggu, celup dan tenun; (5) sistem pura berhubungan dengan

keluarga, desa dan wilayah; (6) pada pura terdapat sistem ritual dan upacara yang

cukup kompleks; (7) bahasa setempat dengan kesusastraan lisan; serta (8) tari dan

tabuh dipakai dalam rangka upacara keagamaan yang terdiri atas: slonding,

angklung, tari sanghyang. Pada desa-desa seperti ini tidak dikenal adanya sistem

kasta, pendeta tertinggi tidak melakukan upacara padiksan, dan kepemimpinan

desa umumnya menganut pola kembar ataupun kolektif (Wayan Gede Suacana,

2011).

Desa apanage (Bali dataran), yaitu desa pakraman yang sistem

kemasyarakatannya sangat dipengaruhi oleh Majapahit, sebagaimana disebutkan

dalam kitab Negarakertagama. Desa ini mengikuti tradisi hukum Hindu yang

bersumber dari kitab Manawadharmasastra. Dalam sejarah Bali tercatat bahwa

enam tahun setelah Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten (1343) berkuasa,

pasukan kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada datang

menyerang pulau Bali. Beberapa kali terjadi perlawanan dari masyarakat Bali Aga

yang kebanyakan berasal dari desa-desa pegunungan Kabupaten Bangli dan

Karangasem, seperti Batur, Kedisan, Cempaga, Songan, Abang, Pinggan dan

Serai. Selain itu ada yang berasal dari Manikliu, Bonyoh, Sukawana, Margatiga,

Ulakan, Datah dan Pasedahan seperti disebutkan dalam Babad Dalem Turun ke

Bali. Setelah terjadi pertempuran yang hebat, orang-orang Bali Aga akhirnya bisa

ditundukkan oleh bala tentara Majapahit. Setelah orang-orang Bali Aga

ditundukkan banyak pengaruh Majapahit terhadap tata cara keagamaan, struktur

dan sistem kemasyarakatan, serta kepemimpinan orang Bali Aga. Beberapa aspek
60

keagamaan Hindu Majapahit akhirnya bisa masuk dan berkembang di Bali, berkat

upaya tokoh agama dari Majapahit, yaitu Danghyang Nirarta yang juga bernama

Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rauh. Desa-desa yang intens

terkena pengaruh ini kemudian lazim disebut desa apanage (bali dataran).Ciri-ciri

tradisi besar dalam Desa Apanage sebagai akibat pengaruh Majapahit mencakup

unsur-unsur kehidupan masyarakat Hindu, antara lain: (1) ekonomi sawah dengan

irigasi; (2) kekuasaan terpusat, kedudukan raja sebagai keturunan dewa; (3)

adanya tokoh pedanda ; (4) konsep-konsep kesusastraan dan agama tertulis dalam

lontar; (5) adanya sistem kasta; (6) adanya upacara pembakaran mayat bagi orang-

orang yang meninggal; (7) adanya sistem kalender Hindu-Jawa; (8) pertunjukan

wayang kulit; (9) arsitektur dan kesenian bermotif Hindu dan Budha; dan (10)

dikenalnya tarian topeng”. Desa-desa ini umumnya terdapat di daerah Bali

dataran. Kepemimpinan pada desa ini umumnya merupakan kepemimpinan

tunggal. Desa anyar (desa baru), yaitu desa yang terbentuk relatif baru, sebagai

akibat dari adanya perpindahan penduduk (trasmigrasi lokal) dengan tujuan awal

mencari penghidupan. Desa-desa seperti ini misalnya dapat ditemui di daerah

Jembrana dan Buleleng Barat (Wayan Gede Suacana, 2011).

Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang masyarakatnya

memiliki budaya dan seni beranekaragam. Masyarakat Bali dapat dikelompokkan

menjadi dua kelompok utama yaitu Bali mula (Bali mga) dan Bali daratan (Bali

Majapahit). Masyarakat Bali mula mendiami daerah pegunungan, sedangkan Bali

Majapahit mendiami daerah dataran. Perbedaan lain antara masyarakat Bali mula

dan Bali Majapahit adalah pada penggunaan bahasa dan struktur masyarakatnya.

Masyarakat Bali mula menggunakan bahasa yang disebut omong negari dan
61

omong pojol. Semua desa Bali mula tidak mengenal adanya pelapisan masyarakat

atau kasta seperti yang ada pada masyarakat Bali daratan. Pada masyarakat Bali

daratan terdapat pelapisan masyarakat atau kasta yang sekarang dikenal sebagai

wangsa, yaitu wangsa brahmana, kesatria, waisya dan sudra (Made Çri Dwitiari,

2012).

Penelitian menunjukkan bahwa antara masyarakat Bali aga dengan masyarakat

Bali dataran, terdapat perbedaan dalam pelibatan masyarakat adat dalam beberapa

aspek kemasyarakatan. Pada masyarakat Bali aga, desa adat memiliki peranan

sentral, sementara itu, pada masyarakat Bali dataran, umumnya peranan desa adat

terbatas pada masalah adat istiadat dan keagamaan. Adanya perbedaan peranan ini

membawa implikasi pada sikap dan perilaku individu atau masyarakat di dalam

kehidupannya. Peranan desa adat di Desa Bali aga cukup kuat, oleh karena itu,

sikap dan perilaku masyarakatnya cenderung bersifat terikat atau tertutup.

Sementara itu di desa Bali Dataran, peranan desa adatnya terbatas sehingga sikap

dan perilaku masyarakatnya cenderung agak longgar atau terbuka. Namun

demikian, pada prinsipnya tidak tampak perbedaan yang menonjol secara

signifikan, yang mempengaruhi implementasi nila-inilai sosial budaya setempat

(Yulianto Bambang Setyadi,. 2007).

Sejalan dengan hal tersebut, secara tipologis desa adat di Kabupaten Buleleng

dapat dibedakan antara:

1. Desa adat yang tergolong sebagai desa Bali Aga. Desa-desa yang tergolong

desa ini antara lain: Desa Adat Cempaga, Desa Adat Sidatapa, Desa Adat

Pedawa, Desa Adat Sembiran, Desa Adat Julah, dan beberapa desa lainnya.
62

2. Desa pakraman yang tergolong sebagai desa apanage/desa Bali dataran,

sebagian besar merupakan desa adat dengan tipologi ini.

3. Desa pakraman yang tergolong sebagai desa anyar/baru, antara lain Desa

Adat Penyabangan, Desa Adat Sumber Klampok, dan beberapa desa lain,

yang umumnya terbentuk karena adanya perpindahan penduduk lokal,

dengan memanfaatkan tanah yang dalam kenyataannya tidak terurus/

terlantar.

Desa Adat Buleleng, merupakan desa adat apanage, yang telah memiliki

sejarah panjang. Merupakan desa adat yang besar jika dilihat dari luas wilayah

dan jumlah masyarakat adatnya. Desa Adat Buleleng terdiri dari 14 banjar adat,

yaitu Banjar Liligundi, Banjar Bale Agung, Banjar Paketan, Banjar Tegal,

Banjar Kaliuntu, Banjar Kampung Anyar, Banjar Kampung Baru, Banjar Bali,

Banjar Jawa, Banjar Tengah, Banjar Peguyangan, Banjar Petak, Banjar

Penataran, dan Banjar Delod Peken.

Sebagai desa adat yang wilayahnya ada di perkotaan, maka dapat dipastikan

bahwa dalam skala masayarakat, masyarakatnya mencirikan masyarakat

perkotaan, antara lain (Adon Nasrullah Jamaludin, 2017: 73):

1. Hubungan antara sesama anggota masayarakat nyaris hanya didasarkan pada

pertimbangan untuk kepentingan pribadi.

2. Hubungan dengan masyarakat lain berlangsung secara terbuka dan saling

memengaruhi.

3. Masyarakatnya yakin bahwa iptek memiliki kemanfaatan untuk

meningkatkan kualitas hidupnya.


63

4. Masyarakat kota berdeferensi atas dasar perbedaan profesi dan keahlian

sebagai fungsi pendidikan serta pelatihan.

5. Tingkat pendidikan masyarakat kota relatif lebih tinggi bila dibandingkan

dengan masyarakat pedesaan.

6. Aturan-aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat perkotaan lebih

berorientasi pada aturan atau hukum formal yang bersifat kompleks.

7. Tata ekonomi yang berlaku bagi masyarakat kota umumnya ekonomi-pasar

yang berorientasi pada nilai uang, persaingan, dan nilai-nilai inovatif lainnya.

I Nyoman Westha, tokoh adat di Buleleng, yang juga merupakan sekretaris

Majelis Desa Adat Kabupaten Buleleng mengakui hal demikian, namun

menurutnya, masayarakat Desa Adat Buleleng, selain berorientasi pada hukum

formal (hukum nasional), sampai saat ini masih sangat mendukung dan mematuhi

hukum adat, termasuk dalam hal tata cara pelaksanaan perkawinan. Dijelaskan

bahwa jenis (sistem) perkawinan secara hukum adat yang umum dilakukan di

Desa Adat Buleleng ada 3, yaitu: mepadik, ngrerorod, dan nyentana. Mepadik ada

lah upacara yang dilaksanakan dengan cara kekeluargaan dengan cara meminang

pihak perempuan atau pradana oleh pihak purusa atau laki-laki. Jadi kedua pihak

harus saling memperkenalkan diri, mempelainya harus diperkenalkan, apakah ben

ar-benar cinta sama cinta, nanti sudah dinyatakan di depan keluarga, cinta sama ci

nta maka akan ditindaklanjuti dengan membuat kesepakatan, baik itu kesepakatan

hari, waktu upacara dan sebagainya.

Perkawinan ngerorod, istilah ngerorod ini bersalah dari Bahasa Bali ialah me

maling, memaksa pihak perempuan untuk dikawini oleh pihak laki laki atau purus

a, dan setelah itu dicuri tampa sepengetahuan orang tua. Penyebab terjadinya ini
64

mungkin dari pihak orang tua yang perempuan tidak setuju, karena kasta berbeda,

segi ekonomi yang berbeda dan masalah lainya. Setelah di-rorod maka petugas ad

at menindaklanjuti penyelesaian dengan memberitahukan informasi bahwa kepada

orang tua pihak perempuan bahwa anaknya sedang dilarikan oleh pihak laki-laki u

ntuk dikawini. Pemberitahuan ditujukan pertama kepada kelihan lingkungan atau

kepala lingkungan, tidak langsung kepada pihak keluarga perempuan, untuk meng

hindarkan terjadinya pertengkaran dan amarah yang dapat menyulut timbulnya per

kelahian. Pada saat pemberitahuan kepada pihak keluarga perempuan harus meng

ajak petugas kelian lingkungan. Setelah adanya pemberitahuan maka dari pihak k

eluarga perempuan menyatakan atau menyuruh untuk mendatangkan anaknya dan

pacarnya atau dapat juga langsung disetujui dan diselesaikan secara adat dan agam

a. Jika nanti diupacarakan maka akan ada lagi petugas yang datang dalam bahasa

balinya bernama “ngeluedin”, penjantos namanya.

Sistem ngerorod atau rangkat yang juga disebut cara selarian (sama-sama lari

berdasarkan cinta) sebagaimana dijumpai didalam hukum kebiasaan (acara

wyawahara) tradisi perkawinan di Bali, bila dibandingkan dengan sistem

perkawinan menurut Hukum Hindu akan tampak persamaannya dengan sistem

perkawinan Gandharwa Wiwaha. Sistem ini mempunyai azas kawin berdasarkan

sama-sama cinta yang secara ilustratif digambarkan dalam kitab Mahabharata (I

Made Rudita, 2015: 67).

PerkawinanNyentana juga ada di Buleleng , yaitu apabila ada keluarga tidak p

unya anak laki-laki cuma memilik anak perempuan saja lalu keluarga tersebut me

mpunyai kekayaan, tanah yang tidak ada yang mewarisi. Dalam adat Bali anak lak
65

i-laki yang menjadi ahli waris. Perkawinan nyentana ini yang dipinang adalah lak

i-lakinya untuk disentana dijadikan purusa.

I Nyoman Westha menjelaskan bahwa secara garis besar tata cara perkawinan

yang dilakukan dui desa Adat Buleleng adalah seperti berikut:

1. Pihak keluarga laki-laki mengadakan penjantosan (menyantosin) berarti men

ugaskan seseorang, biasanya keluarga pihak laki-laki, mengadakan suatu pera

ntara untuk menyampaikan bahwa pihak keluarga laki-laki akan datang kepad

a keluarga perempuan lagi tiga hari untuk meminang.

2. Pihak laki-laki melakukan peminangan, dihadiri keluarga kecil saja tanpa mel

ibatkan prajuru adat, dalam proses peminangan pihak perempuan juga memp

ersilakan kepada pihak laki menyampaikan maksud kedatangan pihak laki-la

ki. Jika pinangan sudah diterima maka selanjutnya akan dilakukan perencana

an pelaksanaan upacara pawiwahan antara lain penentuan dewasa (hari baik).

Pemilihan hari baik ini bertujuan untuk mendapatkan kelancaran dan

keberkahan sehingga pelaksanaan pernikahan dapat menjadikan kedua calon

pengantin menjadi pasangan suami istri yang bahagia.

3. Upacara widhi widana. Prosesi widhi widana dipimpin oleh seorang pendeta

atapun sulinggih, untuk menyempurnakan upacara pernikahan dan

membersihkan diri kedua mempelai setelah upacara-upacara sebelumnya.

Kedua calon pengantin akan menuju sanggah atau pura merajan di

pekarangan rumah, memberitahukan akan hadirnya keluarga baru kepada

para leluhur, serta memohon ijin dan restu agar kehidupan berkeluarga

keduanya dilanggengkan dan memiliki keturunan yang baik. Pada upacara


66

ini, kedua mempelai akan memakai pakaian kebesaran pengantin atau bisa

juga dengan pakaian adat biasa sesuai kemampuan.

4. Upacara Mejauman/mebebasan juga disebut dengan “ngabe tipat bantal”

atau membawa ketupat dan kue bantal. Di beberapa daerah, masyarakat

banyak menyebutnya sebagai upacara “meserah”. Dalam prosesi pernikahan

adat Bali ini, wanita yang mengikuti sang suami datang kembali ke keluarga

wanita didampingi oleh keluarga besar, kerabat dan tetangga dari keluarga

pria. Dengan melakukan upacara mepamit di sanggah pekarangan atau pun

merajan, dan mepamit (mohon ijin meninggalkan) secara niskala kepada

leluhur keluarga wanita.

Pelibatan prajuru desa adat atau perangkat desa dinas dapat dilakukan pada saa

t meminang, atau pada saat meserah, berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan kel

uarga. Pelibatan petugas desa adat dan desa dinas ini diperlukan antara lain, untuk

memenuhi persyarakatn administrasi untuk mencatatkan perkawinan tersebut di C

atatan Sipil. Hal inilah menjadi sebuah keunikan perkawinan di Desa Adat Bulele

ng dimana peran prajuru Desa sangat penting dalam prosesi perkawinan. Selain it

u adanya penyampingan hukum Nasional adalah keunikan selanjutnya dimana sec

ara hukum nasional yaitu Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa sebelu

m perkawinan harus melapor ke pihak pegawai pencatatan perkawinan, namun dal

am prakteknya hal ini tidak terlaksana di lapangan.

Selama ini secara adat di Buleleng pelaksanaan perkawinan mengacu pada U

U No. 1 Tahun 1974, karena jika sudah melakukan perkawinan dengan jenis perka

winan mepadik, ngrorod maupun nyentana maka itu juga harus mengikuti sistem

di UU, untuk mendapatkan akta perkawinan, selain itu perkawinan mepadik, ngro
67

rod dan nyentana dianggap sah. Dalam hukum adat di Desa adat buleleng tidak ad

a syarat khusus dalam melakukan perkawinan, cuma dalam pelaksanaan nya harus

sudah berumur 19 tahun dan juga tidak dalam keadaan bermasalah terkait gugat m

enggugat perceraian. Selain hal ini semua sama saja tidak ada syarat yang khusus.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan tata cara/tahapan

pelaksanaan perkawinan di Desa Adat Buleleng dalam kaitannya dengan

peraturan mengenai perkawinan khususnya UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hal-hal tersebut antara lain:

1. Tahap pemberitahuan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada

pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan

tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut

disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama

bupati. Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon

mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada pegawai pencatat perkawinan.

Dari tahapan perakwinan yang dilaksanakan di desa Adat Buleleng pelibatan

petugas desa adat maupun petugas desa dinas, dilakukan setelah ada

kesepakatan di antara kedua belah pihak, mengenai pelaksanaan perkawinan,

bahkan ada prosesi perkawinan baru melibatkan petugas pada saat

mejauman/mebebasan, jadi pada saat perkawinan telah secara sah dilakukan.

Dapat dinyatakan bahwa tahap pemberitahuan kepada pegawai pencatat


68

sering tidak dipenuhi dalam perkawinan yang dilakukan di Desa Adat

Buleleng.

2. Tahap penelitian syarat-syarat perkawinan. Tahap ini dilakukan setelah

pegawai pencatat menerima pemberitahuan, dilakukan penelitian apakah

syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan

perkawinan menurut undang-undang. Pegawai pencatat perkawinan juga

meneliti: kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam

hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat

keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang

diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu; keterangan

mengenai nama, agama/ kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang

tua calon mempelai; izin tertulis/ izin pengadilan sebagaimana dimaksud

Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Perkawinan, apabila salah

seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun; izin

pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-undang Perkawinan

dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai

istri; dispensasi pengadilan/ pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 Undang-

undang Perkawinan; surat kematian istri atau suami terdahulu atau dalam hal

perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan kedua kalinya atau

lebih; izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan

Keamanan/ Panglima ABRI, apabila salah seorang calon mempelai atau

kedua-keduanya anggota Angkata Bersenjata; surat kuasa otentik atau di

bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang

calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena suatu alasan
69

yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Di depan telah

disebutkan bahwa jika ternyata hasil penelitian terdapat halangan perkawinan

sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya semua

persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, maka pegawai pencatat harus

segera memberitahukan hal itu kepada calon mempelai yang bersangkutan

atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. Dihat dari proses perkawinan di

Desa Adat Buleleng yang diberitahukan setelah perkawinan dilaksanakan,

maka esensi dari pemberitahuan dan pengumuman/publikasi tidak tercapai

karena hal itu baru memiliki arti jika dilakukan sebelum perkawinan

dilakukan, karena pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang

pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan tersebut dengan cara

menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada

kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan

mudah dibaca oleh umum, setelah tidak ada halangan. Maksud diadakannya

pengumuman adalah untuk memberikan kesempatan kepada umum untuk

mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya

suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan

dengan hukum agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan atau

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

3. Tahap pengumuman. Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 dinyatakan bahwa setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai

pencatat menyelenggarakan pengumuman. Pengumuman dilakukan setelah

tidak ada halangan pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman

tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan tersebut


70

dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang

ditetapkan pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah

ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Maksud diadakannya

pengumuman adalah untuk memberikan kesempatan kepada umum untuk

mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya

suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan

dengan hukum agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan atau

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena

perkawinan telah dilaksanakan, maka jika ada larangan yang dilanggar dalam

perkawinan, maka perkawinan tersebut seharusnya dibatalkan.

4. Tahap pelaksanaan. Seharusnya perkawinan dilaksanakan setelah hari ke-10

(sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas rencana perkawinan

tersebut, bukan setelah perkawinan dilakukan.

Dari fakta yang ada, dapat diketahui terdapat ketimpangan antara fakta dilapangan

dengan aturan yang ada atau ketimpangan antara Das Sollen dan Das Sein. Fakta

dilapangan yaitu dimana mengenai tahapan perakwinan yang dilaksanakan di desa

Adat Buleleng pelibatan petugas desa adat maupun petugas desa dinas, dilakukan

setelah ada kesepakatan di antara kedua belah pihak, mengenai pelaksanaan

perkawinan, bahkan ada prosesi perkawinan baru melibatkan petugas pada saat

mejauman/mebebasan, jadi pada saat perkawinan telah secara sah dilakukan.

Sedangakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan

bahawa dalam proses perkawinan, terdapat beberapa rententan seperti pelaporan,

penelitian dan pengumuman. Hal ini bertentangan dengan fakta dilapangan


71

sehingga dapat dinyatakan bahwa tahap pemberitahuan kepada pegawai pencatat

sering tidak dipenuhi dalam perkawinan yang dilakukan di Desa Adat Buleleng.

Desa Adat Buleleng tetap melakukan pelaporan ke pegawai pencatatan

namun tidak diiringi dengan acara pelaporan, penelitian dan pengumuman.

Penyampaian perkawinan dilapornkan saat para pengantin sudah sah. Sehingga

adapun akibat hukum dari hal tersebut jika dikaji dari PP No 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

maka menurut Kentutan Pidana Pasal 45 menyatakan :

“ Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10

ayat 3, 40 Peraturan Permerintahan ini dihukum dengan hukuman denda

setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah)”.

Jika terjadi seuatu kasus para pengantin tidak melaporkan perkawinannya dan

tidak dicatat, maka akan merugikan posisi dari seorang perempuan. Hal ini

dikarenakan perempuan tidak dianggap istri yang sah sehinga istri tidak berhak

atas nafkah dan warisan abila suami meninggal. Selai itu istri tidak berhak atas

harta gono-gini jika terjadi perkawinan.

Dalam terjadinya ketimpangan antara fakta dan aturan, maka perlu kiranya

dikaji mengenai bagaimana Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 dengan dikaitkan dengan Teori Sistem Hukum M. Friedman. Teori ini

adalah teori yang memuat tiga aspek mengenai iplementasi sebuah aturan. Adapun

tiga aspek tersebut adalah Substansi Hukum (Aturan), Struktur Hukum (Penegak

Hukum), dan Budaya Hukum (Kebiasaan Masyarakat).

Dilihat dari Substansi Hukum atau aturan yang berlaku, tidak ada pasal pasal

yang memiliki makna ambigu atau pasal yang bertentangan dengan UU yang lain
72

atau UU yang berada lebih tinggi. Namun penulis hanya menilai mengenai

ketentuan pidana, denda Rp. 7500,- tidaklah relevan lagi jika dilihat dari

perkembangan nilai uang saat ini. Namun mengenai proses pencatatan perkawinan

mulai dari pelaporan, penelitian, dan pengumuman tidak ada permasalahan

mengenai bunyi pasal sehingga dapat ditarik sebuah hal dimana struktur hukum

bukan sebuah permasalahan dari ketimpangan antara das sollen dan das sein ini.

Selanjutnya dilihat dari Struktur Hukum atau penegak hukumnya, penulis

menilai bahwa pencatatan perkawinan oleh pihak petugas tidak sesuai PP yang

berlaku karena kebiasaan yang telah dipermaklumkan. Di Bali khususnya Desa

Adat Buleleng telah melangsungkan perkawinan menurut adat dan keyakinan

dengan runtutan acara Pihak keluarga laki-laki mengadakan penjantosan (menyantosin),

Pihak laki-laki melakukan peminangan, Upacara widhi widana, dan Upacara

Mejauman/mebebasan juga disebut dengan “ngabe tipat bantal” atau membawa ketupat

dan kue bantal dan mengenai pencatatan perkawinan dilakukan saat para pengantin sudah

sah atau saat acara mejauman/mebebasan. Sehingga dari ketimpangan antara aturan

dengan fakta dilapangan penulis melihat dikarenakan salah satu faktor yaitu para

penegak hukum dalam hal ini Catatan Sipil telah memaklumi hal ini dimana tidak

ada proses pelaporan diawal sebelum perkawinan dan penelitian mengenai syarat

sahnya perkawinan.

Selanjutnya yang terakhir adalah Budaya Hukum atau kebiasaan masyarakat.

Tidak adanya pelaporan diawal ke pegawai pencatatan perkawinan oleh para

calon pengantin sebelum proses perlangsungan acara pernikahan telah menjadi

kebiasaan dimasyarakat khususnya di Desa Adat Buleleng karena perkawinan bali

dijalankan berdasarkan agama atau keyakinan. Sehingga selain faktor struktur

hukum atau penegak hukum, salah satu faktor lainnya penyebab adanya
73

ketimpangan antara Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dengan fakta

dilapangan adalah budaya hukum atau kebiasaan masyarakat itu sendiri.

4.3 Pemenuhan Syarat Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor

1974 dalam Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng

Ketut Sudarmi, Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Buleleng menjelaskan bahwa

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Buleleng memiliki tugas

pokok dan fungsi untuk mencatatkan segala jenis permohonan akta yang

diperlukan, salah satunya akta perkawinan apabila ada pelaporan dari yang

bersangkutan. Diakui bahwa tidak semua perkawinan terjadi di desa adat itu di

catatkan. Pencatatan dilakukan kalau memang para pihak melaporkan kepada

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Buleleng. Jika tidak ada

laporkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Buleleng,

perkawinan itu tidak catatkan ke dalam system.

Ketut Sudarmi berpendapat bahwa sehubungan dengan perkawinan itu ada 2,

ada perkawinan yang sah secara agama itu artinya perkwinan sesuai dengan

agama dan adat. Kedua ada perkawinan dengan sah secara hukum berarti dengan

sesuai undang-undang jadi kalau perkawinan yang sah secara agama itu

diselesaikan di adat yang perkawinan sah secara hukum setelah selesai di adat

mereka melaksanakan pelaporan ke diskucapil untuk melakukan perkawinannya

sehingga terbitlah akte perkawinan.

Dijelaskan lebih lanjut, Dinas pencatatan sipil buleleng itu hanya

mencatatkan bagi perkawinan yang sudah sah secara agama terjadi, jadi kalau
74

memang belum terjadi perkawinan sah secara agama tidak melaporkan ke dinas

pencatatan sipil seperti itu jadi awalnya di laksanakan dulu secara agama sesuai

dengan adat masing-masing. Penjelasan ini tidak sejalan dengan tahapan

pencatatan perkawinan, yang seharusnya. Pelaporan, pemeriksaan persyaratan,

maupun pengumuman, merupakan bagian dari proses pencatatan perkawinan.

Menurut Ketut Sudarmi, tahapan pengumuman publikasi tersebut

dilaksanakan di masing-masing kantor prebekel atau lurah itu di umumkan dulu di

kantor desa nanti setelah di umumkan pengumumannya itu menjadi persyaratan

dalam pengajuan akte perkawinan jadi bukan ke dinas pencatatan sipil tapi di

kantor desa masing-masing.

Dijelaskan bahwa sesuai dengan aturan undang-undang pengumuman dan

publikasi itu wajib di kantor desa itu menjadi persyaratan agar dapat mencatatkan

ke kantor dinas pencatatan sipil kalau memang sudah dilakukan secara adat ya

dipertemukan langsung di kantor desa karena di persyaratan kami memang

mencantumkan dia pengumuman yang di tanda tangani oleh prebekel atau lurah.

Penjelasan ini juga kurang tepat, karena pengumuman seharusnya dilakukan

sebelum perkawinan dilakukan. Selain itu, penerimaan laporan, pemeriksaan

persyaratan,dan pengumuman menjadi tugas dan fungsi pegawai pencatatan

perkawinan.

Menurut Menurut Ketut Sudarmi di dalam undang-undang perkawinan syarat

perkawina sudah jelas antara lain usia perkawian bagi mempelai wanita dan pria

itu 19 tahun. Jadi kalau memang misalnya perkawinan adatnya sudah terjadi pada

saat mempelai di bawah usia tersebut perkawinan tersebut tidak bisa di catatkan

ke kantor dinas pencatatan sipil karena salah satu persyaratan yang wajib di
75

penuhi dispensasi dari pengadilan sepanjang yang bersangkutan memenuhi

dispensasi dari pengadilan dicatatkan kalau tidak hanya perkawinan yang berlaku

di adat saja.

Jadi kalau kami di dinas pencatatan sipil itu terkait dengan presentase

perkawinan yang di lakukan secara adat itu bukan merupakan two foksi kita ya

jadi yang ada di kami itu adalah dari yang berstatus kawin di kartu keluarga sudah

berapa persen yang mempunyai akte perkawinan itu baru ada tetapi kalau berapa

persen yang sudah melakukan di adat itu tidak ada di kami datanya

Koordinasi resmi antara desa adat dengan Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil memang tidak ada tapi pada dasarnya ada kerjasama dengan desa adat

artinya pada saat dilaksanakan perkawinan secara adat itu mengarahkan desa adat

langsung mengesahkan kepada mempelai jadi tidak 2 kali mereka begitu pada saat

mereka mengundang adat untuk mendatatangani perkawinannya secara adat

mungkin karena seperti itu kerja sama kami dengan masing-masing desa adat, tapi

kalau intinya mereka apabila melapor bakal ada perkawinan kita endak ada seperti

itu kami hanya perjanjian sebatas saling membantu supaya perkawinan di adat

resmi kemudian secara hukum resmi di sarankan kepada desa adat bagi mempelai

yang ingin mencari hari baik misalnya langsung disarankan mengisi formulir

sehingga ketika upacara selesai punya akte perkawinan.

Tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan di Desa Adat Buleleng

serta tata cara pencatatan perkawinan yang dilakukan pada Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil Kabupaten Buleleng, membuka peluang adanya perkawinan

yang tidak dicatatakan. Hal ini memprihatinkan karena regulasi mengenai

pencatatan perkawinan dibuat tanpa alasan, tetapi untuk memberikan kepastian


76

dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga

memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para

pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan

hukum. Sebaliknya dengan tidak dicatatnya perkawinan, maka perkawinan yang

dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti sebagai

suatu perkawinan (Rachmadi Usman, 2017: 256).

Dari sisi regulasi, memang ada pendapat bahwa terdapat pemaknaan bersifat

ambiguitas mengenai prinsip pencatatan perkawinan, yang dapat menimbulkan

ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Setiap perkawinan pada dasarnya harus

dicatat agar terjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi suami isteri beserta

akibat hukumnya, yang menandakan pencatatan perkawinan merupakan suatu

keharusan yang harus dipenuhi, selain harus memenuhi ketentuan dan syarat-

syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya. Prinsip pencatatan perkawinan yang dianut dalam UU 1/1974

menjadi tidak bermakna bilamana keabsahan suatu perkawinan tidak terkait

dengan pencatatan perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Namun hal ini tidak secara tegas ditentukan dalam UU 1/1974, sehingga

UU 1/1974 memberikan peluang terjadinya perkawinan yang tidak dicatat

(Rachmadi Usman, 2017: 256. Pencatatan perkawinan memang tidak berpengaruh

kepada sah atau tidaknya suatu pernikahan, karena pencatatan pernikahan

merupakan kegiatan administratif agar pernikahan yang dilaksanakan memiliki

kekuatan hukum. Sahnya pernikahan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor T tahun 1974 berdasarkan pada kepercayaannya masing-masing.


77

Sahnya perkawinan menurut Hukum Hindu dalam masyarakat Bali adalah

melalui upacara perkawinan (wiwaha samskara) yang menghadirkan tiga saksi

(tri upasaksi). Tri upasaksi berarti tiga saksi yang hadir menyaksikan proses

pelaksanaan perkawinan, yaitu dewa saksi, bhuta saksi, dan manusa saksi. Dewa

saksi adalah Tuhan yang secara simbolis dihadirkan melalui upacara dan upakara

perkawinan. Bhuta saksi adalah makhluk-makhluk bawah yang secara simbolis

dihadirkan dengan upacara mabyakaonan. Sementara itu, manusa saksi adalah

saksi manusia atau masyarakat yang menyaksikan secara nyata proses

pelaksanaan perkawinan (I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani, 2020: 63).

.Dalam masyarakat beragama Hindu di Bali perkawinan yang patut dihindari

bahkan dilarang adalah perkawinan Gamya Gemana yaitu perkawinan yang

dilarang karena adanya hubungan kekeluargaan baik secara pertikal orisontal dan

pertlian semenda yang terdekat, seperti: 1) perkawinan antara ayah atau ibu

dengan anaknya atau antara kakek atau nenek dengan cucunya, 2) perkawinan

antara saudara kandungnya atau saudara tirinya, 3) perkawinan antara seorang

anak laki-laki dengan ibu tirinya, atau seorang anak wanita dengan ayah tirinya, 4)

perkawinan antara mertua dan menantu (I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani,

2020: 64).
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan uarian di depan dapat disimpulkan hal-hal berikut:

1. Tata cara pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng

adalah sebagai berikut:

a. Pihak keluarga laki-laki mengadakan penjantosan (menyantosin) berarti menuga

skan seseorang, biasanya keluarga pihak laki-laki, mengadakan suatu perantara

untuk menyampaikan bahwa pihak keluarga laki-laki akan datang kepada keluar

ga perempuan lagi tiga hari untuk meminang.

b. Pihak laki-laki melakukan peminangan, dihadiri keluarga kecil saja tanpa melib

atkan prajuru adat.

c. Upacara widhi widana. Prosesi widhi widana dipimpin oleh seorang pendeta

atapun sulinggih, untuk menyempurnakan upacara pernikahan dan

membersihkan diri kedua mempelai setelah upacara-upacara sebelumnya.

d. Upacara Mejauman/mebebasan juga disebut dengan “ngabe tipat bantal” atau

membawa ketupat dan kue bantal. Dalam prosesi pernikahan adat Bali ini,

wanita yang mengikuti sang suami datang kembali ke keluarga wanita

didampingi oleh keluarga besar, kerabat dan tetangga dari keluarga pria.

2. Pemenuhan syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1974 dalam

Perkawinan Menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng secara umum

dilakukan melalui pelibatan prajuru desa adat, perangkat desa dinas, dan pegawai

pencatat perkawinan, tetapi tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan

belum menjalankan proses pengumuman, sehingga pemenuhan syarat

perkawinan tidak melibatkan masayarakat banyak/umum.

74
75

5.2 Saran

Sehubunagn dengan hasil penelitian ini disampaikan saran berikut:

1. Kepada prajuru Desa Adat Buleleng disarankan untuk melakukan penyesuaian

pelaksanaan tata cara perkawinan yang dilakukan di Desa Adat Buleleng agar

mengakomodir ketentuan mengenai pengumuman perkawinan, yang dilakukan

sebelum perkawinan disahkan.

2. Disarankan kepada Dinas kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng agar

melakukan sosialisasi mengenai tata cara pencatatan perkawinan, khususnya

mengenai tujuan dan manfaat proses pelaporan, pemeriksaan persyaratan, dan

pengumuman perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Adon Nasrullah Jamaludin. 2017. Sosiologi Perkotaan. Bandung: C.V. Pustaka Setia.

Amir Syarifuddin. 2014. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Cet. 5. Jakarta:


Prenada Media.

Anom, Ida Bagus, 2011, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, Denpasar :
CV Kayumas Agung.

Artadi, I Ketut, 2016, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya,


Denpasar: Pustaka Bali Post.

Atmaja, Jiwa, 2018, Bias Gender Perkawinan Terlarang pada Masyrakat


Bali, Denpasar : Udayana University Pers.

Bachtiar. 2019. Metode Penelitian Hukum. Tanggerang Selatan: UNPAM Press.

Batubara, Muhammad Hasyimsyah. 2019. Kamus Umum Bahasa Indonesia Gayo


Inggris. Yogyakarta: PENERBIT DEEPUBLISH.

Cahyani, Tinuk Dwi. 2020. Hukum Perkawinan. Malang: Universitas


Muhammadyah Malang.

Friedman, Lawrence Meir, 2011, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial,


Bandung: Nusa Media.

I Putu Gelgel dan Ni Luh Gede Hadriani. 2020. Hukum Perkawinan dan Waris Hindu.
Denpasar: UNHI Press.

I Ketut Artadi. 2077. Hukum Adat Bali “dengan aneka Masalahnya”. Denpasar: Pustaka
Bali Post.

Ishaq. 2017. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.

Marzuki, Peter Mahmud. 2016. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media


Group.

Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.

Mukti Fajar ND, Y. A. 2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nanang Martono,. 2016. Metode Penelitian Sosial: Konsep-Konsep Kunci. Jakarta:


Rajawali Pers.

Najih, Mokhamamad, & Soimin. 2016. Pengantar Hukum Indonesia. Malang:


Setara Press.
Nugrahani, Farida. 2014. Metode Penelitian Kualitatif dalam Penlenitian
Pendidikan Bahasa. Surakarta.

Nugroho, Bambang Daru. 2017. Hukum Perdata Indonesia Integrasi Hukum


Eropa Kontinental Ke Dalam Sistem Hukum Adat Dan Nasional. Bandung:
PT Refika Aditama.

Prakoso, Djoko, 2017, Asas-Asas Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Bina


Aksara.

Prem P. Bhalla,. 2010. Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu. Surabaya: Paramita.

Sembiring, Rosnidar. 2016. Hukum Keluarga Harta-Harta Benda Dalam


Perkawinan. Depok: PT Rajakrafindo Persada.

Setiady, Tolib. 2013. inti Sari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian
Kepustakaan). Bandung: Alfabeta.

Simanjuntak. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenamedia Group.

Situmorang, Victor, 2012, Aspek Akta Catatan Sipil di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika.

Soemarman, A, 2015, Hukum Adat Perspektif Sekarang Dan Mendatang,


Yogyakarta: Aditya Karya Nuasa.

Soerjono Soekanto. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wilbert D. Kolkman dkk. 2012. Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum
Waris di Belanda dan Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan.

Artikel dalam Jurnal

Adnyani, K.S. 2016. Bentuk Perkawinan Matriarki Pada Masyarakat Hindu Bali
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Adat Dan Kesetaraan Gender: Jurnal
Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(1), 2.
Akhmad Munawar. 2015. “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku Di
Indonesia”. Al Adil, Volume VII Nomor 13, Juni 2015.

Ariata, I Putu, 2012, Catur Drtesta : Artikel Catur Dtesta, 1-2.

Aristoni dan Junaidi Abdullah. 2016. “4 Dekade Hukum Perkawinan Di Indonesia:


Menelisik Problematika Hukum Dalam Perkawinan Di Era Modernisasi”. Yudisia,
Vol. 7, No. 1, Juni 2016

Depri Liber Sonata. 2014. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris:
Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum
Volume 8 No. 1, Januari-Maret 2014.
Dhyatmikawati, Putu. 2011. Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat
Hukum Adat di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan: Jurnal Ilmu Hukum, 7(14), 2.

Faizal, Liky, 2016, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan: eJournal Raden Intan
Lampung.

I Made Rudita. 2015. “Hak Asasi Manusia dan Perkawinan Hindu”. Jurnal Advokasi Vol.
5 No.1 Maret 2015.

Sutrisno Purwohadi Mulyono. 2013. “Bentuk-Bentuk Penerapan Norma Hukum Adat


dalam Kehidupan Masyarakat di Jawa Tengah”. Media Hukum. Vol. 20 No.2
Desember 2013.

Negara, P.B.P., Dkk. 2021. Tinjauan Yuridis Terhadap Keabsahan Perkawinan


Yang Tidak Didaftarkan Di Kantor Catatan Sipil Ditinjau Dari Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan: e-Journal Komunitas Yustisia
Universitas Pendidikan Ganesha, 4(2), 1.

Oktarina, Wijaya, & Demartoto. 2015. Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus


Pada Perempuan Lajang Yang Bekerja Di Kecamatan Bulu Kerto
Kabupaten Wonogiri: Jurnal Analisa Sosiologi, 4(1), 2.

Putra, I.B.S. 2015. Hakikat Sanksi Adat Sangaskara Danda Terhadap


Pelanggaran Adat Gamia Gamanal: Jurnal Magister Hukum Udayana,
4(2), 1.

Sanger, Juliana Pretty, 2015, Akibat Hukum Perkawinan Yang Sah Didasarkan
Pada Pasal 2 UU. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 3(6), 1.

Siburian, Brnhardt. (2019). Analisis Faktor-Faktor Penyebab


Perceraianberdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri Balige Tahun 2017.
Jurnal Ilmiah Religiosity Entity HumanityVol 1, No.1 Juni 2019

Siahaan, Albert Lodewyk Sentosa, Balwanti. (2020). Akibat Hukum Putusan


Pengadilan Terhadap Pembatalan Perkawinan. Jurnal Geuthee : Penelitian
Multidisiplin Vol. 03, No. 03.

Tengku Erwinsyahbana. “Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan


Pancasila”. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 3 No. 1 Tahun 2012.

Tilome. A. A., & Alkatiri. R, 2020. Makna Perkawinan Sedarah Bagi Warga
Suku Polahi di Indonesia: Jurnal Ideas, 6(2), 2.

Wayan Gede Suacana, 2011. “Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di
Bali”, Jurnal Kajian Bali , Volume 01, Nomor 01, April 2011.
Yulianto Bambang Setyadi, “Pariwisata Dan Perubahan Nilai-Nilai Sosial
Budayaberdasarkan Lingkungan Tradisi Pada Masyarakat Bali”, Jurnal Penelitian
Humaniora, Vol. 8, No. 2, 2007: 97-109.

Wiryawan, Perbawa, & Wiasta. 2015. Hukum Adat Bali Di Tengah Modernisasi
Pembangunan Dan Arus Budaya Global: Jurnal Bakti Saraswati, 4(2), 1-2.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650).

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia, No. 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6401, Jakarta).

Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor


Indonesia, Staatsblaad Tahun 1847 Nomor 23
LAMPIRAN 01
SURAT PELAKSANAAN PENELITIAN
LAMPIRAN 02

PEDOMAN WAWANCARA PENELITIAN


TEMPAT PENELITIAN : Desa Adat Buleleng.

INFORMAN/NARA SUMBER:

Nama :……………………………………………….

Jabatan :Prajuru Desa Adat Buleleng

Alamat : Jalan Rampai, No 1 Singaraja kelurahan banyuasri


kecamatan buleleng kabupaten buleleng.

A. Tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa
Adat Buleleng.

1. Apa saja jenis (sistem) perkawinan secara hukum adat yang dilakukan di Desa
Adat Buleleng?

a. mepadik.

b. ngerorod.

c. nyentana.

d. pada gelahang.

2. Bagaimanakah tahapan-tahapan pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat


yang dilakukan di Desa Adat Buleleng?

3. Apakah dalam pelaksanaan perkawinan secara adat di Desa Adat Buleleng,


Prajuru Desa mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974

4. Apa ada syarat-syarat khusus yang diberlakukan dalam perkawinan yang


dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng?

B. Pemenuhan persyaratan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 dalam perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat
Buleleng.

1. Apakah Prajuru Desa Adat memastikan bahwa perkawinan dilaksanakan atas


dasar persetujuan kedua mempelai?
2. Apakah Prajuru Desa Adat memastikan bahwa usia kedua mempelai sudah
cukup (sekurang-kurangnya 19 tahun untuk kedua mempelai)?

3. Apakah kalau calon pengantin laki-laki, dipastikan sudah ada izin dari
pengadilan?

4. Apakah kalau calon mempelai perempuan sudah pernah kawin dipastikan telah
melewati masa idah (130 hari cerai mati, 90 hari cerai hidup)?

5. Apakah prajuru memastikan bahwa diantara kedua mempelai tidak ada


hubungan kekerabatan yang tidak memungkinkan untuk kawin ?
TEMPAT PENELITIAN : Desa Adat Buleleng.

INFORMAN/NARA SUMBER:

Nama :……………………………………………….

Jabatan : Petugas Pencatatan perkawinan

Alamat :Jalan Gajah Mada No. 152, Banjar Jawa, Kec


Buleleng, Kab Buleleng

A. Tata cara pelaksanaan perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat
Buleleng.

1. Apakah dalam Proses Perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali di
Desa Adat Buleleng disertai dengan pencatatan?

2. Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai untuk mencatatkan
perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat ?

3. Apakah tahapan pemberitahuan sebelum perkawinan dilakukan oleh calon/keluarga


mempelai kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil?

4. Apakah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melakukan pemeriksaan terhadap


syarat-syarat yang harus dipenuhi kedua calon mempelai menurut UU No. 1 Tahun
1974?

5. Apakah dilakukan tahapan pengumuman/publikasi sehubungan dengan perkawinan


yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng?

B. Pemenuhan persyaratan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


dalam perkawinan yang dilakukan menurut Hukum Adat di Desa Adat Buleleng.

6. Jika perkawinan telah dilakukan secara adat, baru kemudian dilakukan proses
pencatatan, apakah masih dilakukan pengumuman/publikasi atas perkawinan
tersebut?
7. Jika perkawinan telah dilakukan baru diketahui ada persyaratan yang tidak dipenuhi,
misalnya ada larangan bagi kedua belah pihak untuk menikah, apa yang dapat
dilakukan?

8. Apakah berdasarkan catatan yang ada dapat dibuat prediksi berapa persen
perkawinan yang dilakukan secara adat di Desa Adat Buleleng yang dicatatkan?

9. Apakah ada koordinasi antara desa adat dan/atau desa dinas sehubungan dengan
proses pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat di desa adat
Buleleng?
LAMPIRAN 03

DAFTAR INFORMAN PENELITIAN


KEDUDUKAN
NO. NAMA JABATAN DALAM
PENELITIAN

1 I Nyoman Westha, Spd, M. Pd Ketua Desa Adat


Informan 1
Bulrlrng

2 Ketut Sudarmi, SE., M.A.P Kepala Bidang Pe


layanan Pencatata Informan 2
n Sipil
LAMPIRAN 04

DOKUMENTASI PENELITIAN
RIWAYAT HIDUP

I Dewa Putu Surya Wardana lahir pada tanggal 12

Maret 2000 di Mataram. Penulis lahir dari pasangan

suami istri Bapak I Dewa Putu Suriada, dan Ibu

Wartini. Penulis berkebangsaan Indonesia dan

beragama Hindu. Saat ini penulis beralamat di

Banjar Bonagung, Desa Pelapuan, Kecamatan

Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di

SD Negeri 1 Pelapuan dan lulus pada tahun 2012. Kemudian penulis melanjutkan

pendidikan di SMP Negeri 1 Busungbiu dan lulus pada tahun 2015. Dan pada

tahun 2018 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Busungbiu dan melanjutkan

perkuliahan ke prodi Ilmu Hukum, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja,

Bali. Pada semester akhir tahun 2022 penulis telah menyelesaikan tugas akhir

yang berjudul “Implementasi Undang-Undang Perkawinan Dalam Pelaksanaan Pe

rkawinan Adat Di Desa Adat Buleleng”. Selanjutnya mulai dari tahun 2018

sampai dengan penulisan skripsi ini, penulis masih terdaftar sebagai mahasiswa

Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas

Pendidikan Ganesha.

Anda mungkin juga menyukai