Anda di halaman 1dari 164

KEBIJAKAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA

RINGAN OLEH KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA BERBASIS


RESTORATIVE JUSTICE (STUDI KASUS PADA KEJAKSAAN NEGERI
KOTA SEMARANG)

TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan


Program Studi Magister Hukum

Oleh:
Sylvester Enricho Mahardika, S.H.
NIM. 11000119410050

PEMBIMBING:
Prof. Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

2022

i
Halaman Persetujuan

KEBIJAKAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA


RINGAN OLEH KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA BERBASIS
RESTORATIVE JUSTICE (STUDI KASUS PADA KEJAKSAAN NEGERI
KOTA SEMARANG)

TESIS
Disusun dalam Rangka Memenuhi
Persyaratan Program Studi

Pembimbing Peneliti

Prof. Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H Sylvester Enricho Mahardika, S.H.
NIDK. 8883720016 NIM. 11000119410050

Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro

Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum.


NIP.19660606 199203 1 001

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Sylvester Enricho Mahardika, S.H.
NIM : 11000119410050
Program Kajian : Reguler B
Judul Tesis : Kebijakan Penghentian Penuntutan Tindak
Pidana Ringan Oleh Kejaksaan Republik
Indonesia Berbasis Restorative Justice
(Studi Kasus Pada Kejaksaan Negeri Kota Semarang)

Telah diuji dan berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji


pada hari Jumat, tanggal 12 Agustus 2022 dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh Gelar Magister Hukum pada
Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Dewan Penguji :

Pembimbing : Prof. Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H. (......................)

Penguji I : Dr. Irma Cahyaningtyas, S.H., M.H (....................)

Penguji II : Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum. (....................)

Ditetapkan di Semarang

iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Diponegoro, Saya yang bertanda tangan di


bawah ini :
 Nama : Sylvester Enricho Mahardika, S.H.
 NIM 11000119410050
 Program Kajian : Reguler B
 Program Studi : Magister Hukum
 Fakultas : Hukum
 Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Diponegoro Hak Bebas Royalti Non-ekslusif (Non-Exclusive Royalty
Free Right) atas Karya Ilmiah Saya yang berjudul :

“Kebijakan Penghentian Penuntutan Tindak Pidana Ringan Oleh


Kejaksaan Republik Indonesia Berbasis Restorative Justice (Studi Kasus
Pada Kejaksaan Negeri Kota Semarang)”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
Ekslusif ini Universitas Diponegoro berhak menyimpan, mengalih media atau
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan
mempublikasikan tugas akhir Saya, tanpa meminta ijin dari Saya selama tetap
mencantumkan nama Saya sebagai Penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Semarang
Pada tanggal : Agustus 2022
Yang Menyatakan

Sylvester Enricho Mahardika, S.H.


NIM. 11000119410050

iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Karya Ilmiah Tesis ini adalah asli hasil karya saya sendiri yang dibuat

dengan sebenar-benarnya dan Karya Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai

pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1)

maupun Magister (S2) dari Universitas Diponegoro maupun Perguruan Tinggi

lainnya.

Semua informasi yang dimuat dalam Karya Ilmiah ini yang berasal dari Penulis

lain baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan

mengutip nama sumber Penulis secara benar dan semua isi Karya
Ilmiah/Tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai Penulis.

Semarang, 3 Agustus 2022

Yang membuat
pernyataan,

Sylvester Enricho Mahardika, S.H


NIM. 11000119410050

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar


kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan
meluruskan jalanmu.
(Amsal 3: 5-6)

Sapa sing temen, bakal


tinemu

(Pepatah Jawa)

Semua menjadi indah tepat pada waktunya karena rencana Tuhan itu baik dan
luar biasa
(Papa Yohanes Suhardjo)

Tesis ini saya persembahkan kepada :


Keluarga Tercinta.

Almamater Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat

dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum yang

berjudul Kebijakan Penghentian Penuntutan Tindak Pidana Ringan Oleh

Kejaksaan Republik Indonesia Berbasis Restorative Justice (Studi Kasus

Pada Kejaksaan Negeri Kota Semarang) ini dengan baik. Penulisan hukum ini

disusun sebagai tugas dan syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan

pendidikan Program Studi Magister Hukum (S2) pada Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak mungkin dapat

terselesaikan tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis

mengucapkan ucapan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus, yang tak henti-hentinya memberikan segala

kemudahan dan NikmatNya kepadaku.

2. Bapak Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., selaku Rektor

Universitas Diponegoro;

3. Ibu Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro;

4. Bapak Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Magister

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang telah banyak

membantu penulis dalam mengejar kesulitan yang dihadapi oleh penulis saat

mengejar tenggat waktu pendaftaran sidang tesis;

5. Ibu Dr. Ratna Herawati, S.H, M.H, selaku Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang;


vii
6. Prof. Barda Nawawie Arief, S.H., Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.H., Alm.

Prof. Dr. Muladi, S.H., M.H., Alm. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya

selaku Guru Besar serta Dosen Program Studi Hukum Pidana Universitas

Diponegoro Semarang.

7. Bapak Prof. Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing

atas waktu, arahan, bimbingan, dan ilmu yang diberikan sehingga penulis

dapat mengerjakan serta menyelesaikan penulisan tesis ini.

8. Ibu Dr. Irma Cahyaningtyas, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji atas waktu,

dan arahan, serta ilmu yang diberikan sehingga penulis dapat mengerjakan

serta menyelesaikan penulisan tesis ini dengan baik.

9. Alm. Eyang Buyut, Alm. Eyang Kakung, Alm. Eyang Putri di Lampung

dan Eyang Putri di Semarang, yang telah memberikan doa dan nasihat-

nasihat terbaiknya.

10. Mama Dra. Dionisia Indriati Sri Catur Pardrini, M.Pd. dan Papa Dr.

Yohanes Suhardjo, S.E., M.Si., Ak., CA., orang tuaku yang selalu

mengasihi anak-anaknya melebihi dirinya sendiri tanpa pernah mengeluh.

Selalu mengajarkan prinsip hidup sesuai ajaran cinta kasih Allah.

11. Patricia Evericho Mountaines, S.T. M.Cs., dan Fredericho Mego

Sundoro, S.E. M.Ec.Dev., kedua kakakku yang selalu mengajarkan untuk

saling memelihara rasa welas asih dalam persaudaraan dan arti ngunduh

wohing pakarti, dan selalu memberi semangat juga doanya untuk lekas

menyelesaikan kuliah dan mencapai gelar Magister Hukum.

12. Gus Luqman Hakim dan Ibu Wahyu Hermawati, yang telah berperan

seperti orang tua penulis sendiri dalam menemani dan menjadi tempat
viii
curahan hati selama proses pengerjaan tesis ini.

13. Sahabat dan teman-teman terkasih, yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu, yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama proses

pengerjaan tesis ini.

ix
Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang

membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Semarang, 3 Agustus 2022

Sylvester Enricho Mahardika, S.H


NIM. 11000119410050

x
ABSTRAK
Dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 memuat
mengenai kewenangan jaksa untuk menghentikan penuntutan berdasarkan
keadilan restoratif yang selanjutnya menjadi terobosan dalam penyelesaian tindak
pidana. Kejaksaan Negeri Kota Semarang telah berhasil menerapkan restorative
justice terhadap empat tindak pidana. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisa kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana
ringan oleh Kejaksaan Republik Indonesia berbasis Restorative Justice saat ini
dan yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian yuridis empiris. Dengan menggunakan pendekatan hukum atau
peninjauan terhadap peraturan terkait Restorative Justice. Perkara pidana yang
dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif adalah perkara tindak pidana ringan
dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407
dan Pasal 482 KUHP dengan nilai kerugian tindak lebih dari Rp. 2.500.000,- (dua
juta lima ratus ribu rupiah). Substansi dalam RUU KUHP memiliki konsep
restorative justice yang didasarakan pada kriteria penerapan hukum yang hidup
dalam masyarakat, perubahan paradigmatik mengenai konsepsi penghukuman
yang mulai beralih dari konsep konsepsi pembalasan (retributif/absolute) yang
berupaya semaksimal mungkin memberikan efek jera dengan penghukuman yang
keras berubah menjadi konsep verbeterings/rehabilitasi.
Kata Kunci: Penghentian Penuntutan; Tindak Pidana Ringan; Restorative Justice.

xi
ABSTRACT
In the Attorney General's Regulation Number 15 of 2020, it contains the authority
to follow up based on restorative justice which will then become a settlement in
the settlement of criminal acts. The Semarang District Attorney has successfully
applied restorative justice to four crimes. The purpose of this study is to
determine and analyze the policy of stopping criminal acts by the Attorney
General's Office of the Republic of Indonesia based on current and future
Restorative Justice. The research method used is an empirical juridical research
method. By using a legal approach or to regulations related to Restorative
Justice. Criminal cases that can be resolved with restorative justice are cases of
minor crimes with criminal threats as stipulated in 364, 373, 379, 384, 407 and
Article 482 of the Criminal Code with a loss value of more than Rp. 2.500.000, -
(two million five hundred thousand rupiah). The substance in the Draft Criminal
Code has the concept of restorative justice which is based on the criteria for
applying the law that lives in society, a paradigmatic change in the concept of
punishment which has begun to shift from the concept of retribution
(retributive/absolute) which as much as possible provides a deterrent effect with
harsh punishment turning into a concept of retaliation verbeterings/rehabilitation
Keywords: Dismissal of Prosecution; Minor Crimes; Restorative Justice

xii
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................i

Halaman Persetujuan.......................................................................................ii

Halaman Pengesahan.......................................................................................iii

Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi.................................................iv

Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah.................................................................v

Halaman Persembahan.....................................................................................vi

Abstrak...............................................................................................................viii

Daftar Isi............................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang.............................................................................................1
2. Perumusan Masalah.....................................................................................6
3. Tujuan Penelitian.........................................................................................6
4. Manfaat Penelitian.......................................................................................7
5. Kerangka Pemikiran....................................................................................8
6. Metode Penelitian
a. Pendekatan Masalah.......................................................................24
b. Spesifikasi Penelitian.....................................................................25
c. Sumber dan Jenis Data..................................................................26
d. Teknik Pengumpulan Data............................................................28
e. Teknik Analisis Data.....................................................................28
7. Orisinalitas Penelitian...............................................................................32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................35

xiii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana ringan oleh Kejaksaan

Republik Indonesia berbasis Restorative Justice saat ini..................................92

B. Kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana ringan oleh Kejaksaan

Republik Indonesia berbasis Restorative Justice yang akan datang...............116

BAB IV PENUTUP...........................................................................................132

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................133

xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah dari larangan yang

mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh

anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap

petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau

penguasa masyarakat ini.1 Kehidupan manusia tidak lepas dari perbuatan

pidana, kejahatan atau tindak pidana (strafbaat feit). Untuk itu eksistensi

hukum sangat diperlukan. Memang hukum menjadi landasan,dasar,moral,

dalam mengawal tercapainya tujuan kehidupan yang dicita-citakan bersama

demi timbulnya ketertiban bermasyarakatan. Tentu hukum juga berfungsi

mencegah, mengurangi, dan memberantas tindak pidana

Dalam perkembangan hukum pidana di kenal istilah keadilan

restoratif. Perkembangan ini di karenakan sistem restributif yang selama iai

diterapkan ternyata tidak sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan bagi

masyarakat. Penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan

keadilan restoratif atau restorative justice yang menekankan pemulihan

kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan

kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada

pembalasan merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan sebuah

mekanisme yang harus dibangun

1
1
Ojak Nainggolan, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: UHN PRESS, 2010), hlm. 10.

2
dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem

peradilan pidana.2

Satjipto Raharjo menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui

sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu

penegakan hukum (law enforcement) ke arah jalur lambat. Hal ini karena

penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai

tingkatan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan

Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Pada akhirnya berdampak

pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan.

Selain itu, keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata belum

tentu mencerminkan rasa keadilan, mahal, berkepanjangan, melelahkan dan

tidak menyelesaikan masalah serta yang lebih parah lagi adalah di dalamnya

penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.3

Bertitik fokus pada hukum dengan sistem pemidanaannya, bahwa

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses dalam menyelesaikan suatu

kasus tindak pidana yang pada umumnya diselesaikan melalui jalan formal

yaitu lembaga peradilan (Litigasi). Adapun tahapan proses penanganan

perkara pidana dilakukan dalam suatu rangkaian sistem yang terdiri dari

proses penyidikan, penuntutan, pengadilan, pelaksanaan putusan hakim,

serta pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan.

2
Reynaldi Sinyo Wakkary. “Implementasi Prinsip Restorative Justice Dalam Sistem Penuntutan
Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020”, Jurnal Lex Crimen. Vol X (9),
2021, hlm.116
3
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, 2003, hlm. 170

3
Salah satu proses terpenting ialah proses penuntutan. Lembaga yang

melaksanakan proses penuntutan di Indonesia adalah lembaga kejaksaan.

Kejaksaan mempunyai kedudukan yang sentral dan perananan yang strategis

didalam suatu negara hukum khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana

Indonesia karena institusi kejaksaan menjadi penyaring antara proses

penyidikan dan proses pemeriksaan.

Konsep keadilan restoratif (restorative justice) di implementasikan di

dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020

tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

(Restorative Justice). Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan

pendekatan dalam penyelesaian tindak pidana yang saat ini kembali banyak

disuarakan di berbagai negara. Melalui pendekatan keadilan restoratif,

korban dan pelaku tindak pidana diharapkan dapat mencapai perdamaian

dengan mengedepankan win-win solution, dan menitikberatkan agar

kerugian korban tergantikan dan pihak korban memaafkan pelaku tindak

pidana

Dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor

15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan

Restoratif; disebutkan bahwa :

“Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan


penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi
syarat sebagai berikut: pertama, tersangka baru pertama kali
melakukan tindak pidana, kedua tindak pidana hanya diancam dengan
pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5
(lima) tahun, dan ketiga tindak pidana dilakukan dengan nilai barang
bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana
tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).”

4
Kejaksaan membuat kebijakan tersebut atas dasar asas peradilan cepat,

sederhana, dan biaya ringan, untuk menangani perkara yang

mengedepankan proses penuntutan dengan keadilan restoratif sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.4

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam

peraturan tersebut, dilakukan dengan mempertimbangkan “adanya

perdamaian antara Korban dan Tersangka” yang termuat dalam ketentuan

Pasal 4 ayat (2) huruf g Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2020. Hal tersebut bertujuan agar Penuntut Umum dapat

mempertimbangkan keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian

perkara pidana. Sehingga tujuan dari keadilan restoratif tersebut dalam

upaya mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula dan memastikan

pelaku dapat hidup normal kembali dalam masyarakat tanpa melalui proses

pemidanaan terhadap pelaku dapat terwujud.

Pada perkembangannya hukum pidana kerap dijadikan pilihan

pertama, apabila suatu tindakan dianggap sebagai perbuatan tindak pidana

dalam menyelesaikan permasalahan. Perbuatan tersebut menunjukkan

bahwa masyarakat sedikit demi sedikit telah meninggalkan budaya hukum

dan musyawarah mufakat. Kasus tindak pidana ringan di Indonesia sering

kali berakhir pada pidana penjara. Putusan pengadilan yang memberikan

4
Anggara dan Riesta Aldilah, Bahasan.id, Penghentian Penuntutan karena Dasar Perdamaian,
https://bahasan.id/penghentian-penuntutan-karena-dasar-perdamaian/,. Diakses pada 18
Februari 2022 pukul 10.38 WIB

5
hukuman penjara berakibat pada meningkatnya jumlah narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan.

Dengan ditetapkannya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor

15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan

Restoratif (Restorative Justice) kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan

sebagai pelaksana asas dominus litis dimana Kejaksaan sebagai pengendali

proses perkara, karena institusi Kejaksaan dapat menentukan apakah suatu

perkara dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang

sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan berada di poros dan menjadi

penyaring antara proses Penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan.5

Peraturan ini didasarkan pada pertimbangan penyelesaian perkara

tindak pidana yang mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan

dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi

pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan

sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan

penuntutan

dan pembaharuan sistem peradilan pidana.

Kejaksaan Negeri Kota Semarang telah berhasil menerapkan

restorative justice terhadap empat tindak pidana antara lain adalah :

Pertama, tersangka GALANG JOSY PRADIKA BIN DJOKO SUJETNO

dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang di Kota Semarang, yang disangka

melanggar Pasal 76 C Jo.

6
5
Ibnu Mazjah, “Peningkatan Peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai Dominus Litis dalam
Melaksanakan Keadilan Restoratif ”, diakses di KomisiKejaksaan.go.id, pada 15 februari
2022 pukul 10.49

7
Pasal 80 Ayat (1) UU RI No. 35 tentang Perubahan Kedua atas UU RI No.

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Kedua, EKA BUDI PRAKOSO

BIN ALM. HERI NURDIANTO dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang di

Kota Semarang, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (2) KUHP atau

Pasal 351 Ayat (1) KUHP; ketiga, tersangka JAROT ADI HARYANTO

BIN JAROT WAKIDI dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang di Kota

Semarang, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP; dan

keempat tersangka BAGUS PUTRA ARDANI BIN ARI SETYO

AGUNG dari Kejaksaan

Negeri Kota Semarang di Kota Semarang, yang disangka melanggar Pasal

362 KUHP. Sebagai tindak lanjut dari implementasi penerapan

restorative justice, Kejaksaan Negeri Kota Semarang mulai membentuk

Rumah Restorative Justice (RJ) di empat kelurahan Kota Semarang yang

merupakan tempat pengendalian permasalahan pidana sesuai kriteria dengan

perdamaian. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk

mengkaji dan menganalisis mengenai perluasan makna demi kepentingan

hukum pada proses penghentian penuntutan dengan mengangkat judul

“Kebijakan Penghentian Penuntutan Tindak Pidana Ringan Oleh

Kejaksaan Republik Indonesia Berbasis Restorative Justice (Studi Kasus

Pada Kejari Semarang).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,

adapun rumusan permasalahan sebagai fokus pembahasan dalam tesis ini,

sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana ringan


8
oleh Kejaksaan Republik Indonesia berbasis Restorative Justice saat

ini?

2. Bagaimana kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana ringan

oleh Kejaksaan Republik Indonesia berbasis Restorative Justice yang

akan datang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah yang

telah dikemukakan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa kebijakan penghentian penuntutan

tindak pidana ringan oleh Kejaksaan Republik Indonesia berbasis

Restorative Justice saat ini.

2. Untuk menganalisa kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana

ringan oleh Kejaksaan Republik Indonesia berbasis Restorative

Justice yang akan datang.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini

dan tujuan yang ingin dicapai maka, diharapkan penelitian ini dapat

memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran

dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana

terkait prinsip Restorative Justice.

2. Secara Praktis

a. Dapat memberikan gambaran dan masukan mengenai

9
penghentian penuntutan berdasarkan prinsip Restorative Justice

serta dapat bermanfaat bagi kebutuhan praktis, baik bagi para

penegak hukum dalam menghadapi unjuk rasa dengan

pandangan hak asasi manusia maupun untuk bahan kajian

pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam mengambil

putusan dalam perkara tersebut.

b. Sebagai stimulan serta sumbangan bagi masyarakat ilmiah pada

umumnya untuk mencari, meneliti, menemukan dan

memecahkan masalah-masalah hukum yang terjadi dalam

kehidupan masyarakat.

c. Diharapkan dapat memberikan dasar serta landasan untuk

penelitian lebih lanjut untuk pengembangan peraturan dalam

menghadapi unjuk rasa dengan pandangan hak asasi manusia.

1
0
E. Kerangka Pemikiran

1. Flowchart
KEBIJAKAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN TINDAK
PIDANA RINGAN OLEH KEJAKSAAN REPUBLIK
INDONESIA BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE (STUDI
KASUS KEJARI SEMARANG)

PERMASALAHAN

Bagaimana kebijakan Bagaimana kebijakan penghentian


penghentian penuntutan penuntutan tindak pidana ringan oleh
tindak pidana ringan oleh Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan Republik berbasis Restorative Justice yang akan
Indonesia berbasis datang?
Restorative Justice saat ini?

TEORI TEORI
RESTORATIVE TEORI PERBANDINGAN HUKUM
TEORI HUKUM
JUSTICE HUKUM INTEGRATIF
PROGRESIF

Proses penegakan hukum melalui Restorative justice memfokuskan


pendekatan keadilan restorative dalam kepada kebutuhan baik korban
penyelesaian perkara tindak pidana yang maupun pelaku kejahatan. Di
dilakukan Kejaksaan mengacu pada Perja samping itu, pendekatan
No.15 Tahun 2020. Restorative Justice (Keadilan
Penghentian penuntutan berdasarkan Restoratif) membantu para
keadilan restorative dilaksanakan dengan pelaku kejahatan untuk
asas keadilan, kepentingan umum, menghindari kejahatan lainnya
proporsionalitas, pidana sebagai jalan pada masa yang akan datang.
terakhir, cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Hal ini sejalan dengan teori hukum
progresif, hukum progresif mengarah pada
aspek moral, sehingga dalam pembentukan
hukum berinkorporasi dengan nilai
dasar/prinsip
Moral.

Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan,
dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dengan korban. Jaksa agung tidak memungkiri
bahwa upaya penegakan hukum saat ini masih mengutamakan aspek kepastian hukum dan legalitas
formal dibandingkan dengan keadilan yang substansial bagi masyarakat sehingga untuk
kedepannya penegak hukum khususnya pada kejaksaan baik dalam tingkatan kejaksaan agung,
kejaksaan tinggi maupun kejaksaan negeri dapat menerapkan keadilan restorative dalam
penanganan perkara tindak pidana.

9
2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual akan mendeskripsikan secara ringkas mengenai

permasalahan yang hendak dikaji serta batasan kajian penelitian, sementara

kerangka teoritik merupakan acuan teori yang nantinya akan dijadikan

sebagai dasar dalam menganalisis permasalahan yang dimunculkan dalam

penelitian. Kerangka konseptual (conceptual framework) ini merupakan

kerangka berpikir yang bersifat konsepsional mengenai masalah yang akan

diteliti. Kerangka berpikir tersebut menggambarkan bagaimana hubungan

antara konsep-konsep yang akan diteliti.6

Kerangka konseptual, adalah kerangka yang mendiskripsikan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti 7. Suatu konsep

bukan sebagai gejala yang akan diteliti, namun suatu abstraksi dari gejala

tersebut8. Gejala tersebut biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep

merupakan suatu uraian mengenai hubungan – hubungan dalam fakta

tersebut.9

Penegakan hukum saat ini terkesan, bagaimana memasukan pelaku

tindak pidana ke penjara, sehingga para pelaku tindak pidana semua

terkumpul di lembaga pemasyarakatan, konsekensinya membuat penjara

penuh dengan para terpidana, bahkan lembaga pemasyarakatan saat ini over

6
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 29.
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press), 1986,) hlm 132
8
Ibid. hlm. 132
9
Ibid. hlm. 132

10
kapasitas dan menjadi masalah utama dalam lingkungan lapas di

Indonesia.10 Hal ini terjadi karena semua perkara baik perkara besar maupun

kecil ataupun perkara berat maupun ringan semua deselesaikan melalui

mekanisme peradilan yang berujung pada pemidanaan penjara, alternatif

lain tentunya perlu dipetimbangkan seperti konsep restorative justice dalam

penyelesaian tindak pidana khususnya dalam hal penghentian penuntutan

oleh Kejaksaan Republik Indonesia.

Pendefinisian terhadap beberapa konsep dasar diperlukan sebagai

pedoman untuk menjawab permasalahan dalam penelitian, sehingga

diperoleh hasil penelitian yang komprehensif, sebagai berikut:

a. Tugas dan Wewenang Kejaksaan Republik Indonesia

Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan serta mempunyai kewenangan lain.

Kejaksaan merupakan pengemban kekuasaan negara di bidang penuntutan

maka kejaksaan melakukan penuntutan pidana. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, ditegaskan bahwa Kejaksaan melaksanakan

tugasnya secara merdeka, artinya bebas dan terlepas dari pengaruh

kekuasaan lainnya.

Tugas dan wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal 30 Undang-

Undang RI No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu

10
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 107
11
1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang

dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus

dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas

nama negara atau pemerintah;

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut

meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat

dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

12
b. Penuntutan

Penuntutan adalah suatu keputusan yang dilakukan oleh penuntut

umum untuk melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri terhadap

terdakwa agar memperoleh putusan hakim. Definisi menurut Pasal 1 angka

7 KUHAP adalah sebagai berikut:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan


perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang
pengadilan.”11
Di Indonesia di kenal dua asas penuntutan yaitu asas Legalitas dan

asas Opportunitas.12 Pengertian dari kedua asas tersebut sebagai berikut:

1. Asas legalitas yaitu Penutut Umum diwajibkan melakukan

penuntutan terhadap setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana

dimana tindakan tersebut disengaja maupun tidak tetap harus menjalankan

hukuman. Asas ini adalah suatu perwujudan dari asas Equality before the

law.

2. Asas oppurtunitas yaitu Jaksa selaku Penuntut Umum tidak

diwajibkan melakukan penuntutan terhadap seseorang meskipun seseorang

telah melakukan tindak pidana yang dapat di proses secara hukum.13

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa asas pertama

Penuntut Umum sebagai tugasnya sebagai penuntut memiliki kewajiban

untuk menuntut pelaku tindak pidana dengan hukum yang ada berdasarkan

peraturan perUndang-Undangan sedangkan asas yang kedua yaitu Penuntut

11
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, KUHAP, Pasal 1 angka 7
12
Djoko Prakoso, Tugas dan Peran Jaksa dalam Pembangunan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984),
hal 26

13
13
Hadari Djenawi Tahir, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan,(Jakarta:Sinar Grafika,2002) hal 37

14
Umum tidak akan menuntut sesorang walaupun sesorang tersebut telah

melakukan tindak pidana yang dapat di proses secara hukum dengan

mempertimbangakan kepentingan umum.

c. Penghentian Penuntutan

Penghentian penuntutan oleh penuntut umum didasarkan pada bunyi

Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Dari ketentuan Pasal tersebut secara garis besar

dibagi menjadi alasan penghentian penuntutan dan prosedur penghentian

penuntutan.

-Alasan penghentian penuntutan, yaitu:

Seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP,

alasan penghentian penuntutan dikarenakan tidak cukup bukti, peristiwa

tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, perkara ditutup demi

hukum.

Untuk memperjelas maksud penghentian penuntutan, pertama-tama

kita kembali kepada pengertian penuntutan seperti yang dimaksud dalam

Pasal 1 butir 7 KUHAP yang berbunyi:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan


perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.”
Jadi menurut pengertian tersebut penuntutan terjadi jika suatu perkara

telah dilimpahkan ke pengadilan, sehingga batasan telah terjadi penuntutan

atau belum adalah adanya pelimpahan suatu perkara ke pengadilan negeri.

Secara harfiah arti kata penghentian penuntutan adalah suatu perkara telah

dilimpahkan ke pengadilan negeri, kemudian perkara tersebut dihentikan

15
prosesnya dan kemudian dicabut dengan alasan tidak terdapat cukup bukti

dan peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.

Namun demikian dua alasan tersebut bisa digunakan juga untuk tidak

jadi menuntut oleh penuntut umum seperti yang ditentukan dalam Pasal 46

ayat (1) huruf b KUHAP. Berarti perkara tersebut belum sampai

dilimpahkan ke pengadilan.

Perkara ditutup demi hukum (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP)

mempunyai perumusan lain yang mempunyai maksud yang sama yakni

dalam Pasal 14 huruf h KUHAP tentang kewenangan penuntut umum

menutup perkara demi kepentingan hukum. Suatu perkara yang ditutup demi

hukum atau menutup perkara demi kepentingan hukum dilakukan oleh

penuntut umum sebelum melakukan penuntutan.14

Perbuatan menutup perkara demi hukum ini antara lain dapat

dilakukan oleh penuntut umum, apabila mengenai suatu tindak pidana itu

ternyata terdapat dasar-dasar yang meniadakan penuntutan atau ternyata

terdapat vervolgingsuitsluitingsgronden, karena dengan adanya dasar-dasar

seperti itu menjadi tertutup kemungkinannya bagi penuntut umum untuk

dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seseorang yang oleh penyelidik

telah disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu. Dalam suatu tindak

pidana itu terdapat dasar-dasar yang meniadakan pidana atau tidak, apakah

suatu tindak pidana itu telah dilakukan oleh pelakunya berdasarkan sesuatu

unsur

14
PAF Lamintang, KUHAP dengan Pembahasan secara yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 106
16
schuld atau tidak, apakah sesuatu tindakan itu bersifat melawan hukum atau

tidak, apakah seorang tersangka itu dapat dipandang sebagai

toerekeningsvatbaar atau tidak, dan apakah tindakan seorang pelaku itu

dapat dipandang sebagai toerekenbaar atau tidak, maka setelah seorang itu

disidik atau dituntut, hanya hakim sajalah yang berwenang untuk

memutuskannya.

d. Restorative Justice

Secara umum, definisi restorative justice adalah suatu pemulihan

hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak

pidana terhadap korban tindak pidana tersebut di luar pengadilan dengan

maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya

perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan

tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.

Di Indonesia, yang dimaksud Restorative Justice (Keadilan Restoratif)

adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban,

keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana

secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut

dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembalipada keadaan

semula sebagaimana diatur dalam beberapa kebijakan penegak hukum.

Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah

(pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan

menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu

keadilanyang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana

tersebut yaitu pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana untuk mencari

17
solusi terbaik yang disetujui dan disepakati oleh para pihak. Restorative

Justice dikatakan sebagai pedoman dasar dalam mencapai keadilan yang

dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan proses

perdamaian dari pelaku tindak pidana dan korban yang timbulnya

akibat,yaitu korban atau kerugian dari perbuatan pidana tersebut.15

e. Tindak Pidana Ringan

Tindak Pidana Ringan (Tipiring) menurut Utrecht berhubungan

dengan kompetisi pengadilan. Definisi secara konkrit tentang tindak pidana

ringan akan sulit ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

dikarenakan sebagian besar isi pokok peraturan hukum dalam Kitab

Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia merupakan adopsi dari Kitab

Undang- Undang Hukum Pidana warisan Hindia-Belanda. Pada masa

kolonial Belanda tidak menyertakan aturan hukum tentang tindak pidana

ringan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda. Dalam

Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, tindak pidana ringan lebih dikenal

dengan jenis-jenis perbuatan ringan, seperti: penganiayaan ringan, pencurian

ringan, penggelapan ringan, dsb.

Akan tetapi pemahaman tentang unsur-unsur tindak pidana ringan

dijelaskan lebih lanjut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) No. 8 Tahun 1981 sebagai ketentuan hukum pidana formal dari

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, meskipun penjelasan tersebut bukan

15
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana,
Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009, hal. 43

18
merupakan definisi umum tentang tindak pidana ringan menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Pemahaman tentang tindak pidana ringan

menurut KUHAP dijelaskan dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP.16

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah


perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling
lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima
ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam
Paragraf 2 Bagian ini.

Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP tersebut,

pemahaman tentang tindak pidana ringan adalah suatu perkara kejahatan

yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan

dan/atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah dalam Kitab

Undang- Undang Hukum Pidana. Apabila dianalisis lebih lanjut pada setiap

bunyi Pasal yang menjelaskan tentang pidana kurungan atau penjara paling

lama tiga bulan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana setidaknya

terdapat sembilan Pasal yang tergolong ke dalam bentuk Tindak Pidana

Ringan, antara lain:

a. Pasal 302 ayat (1) : Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan;

b. Pasal 352 ayat (1) : Penganiayaan Ringan;

c. Pasal 364 : Pencurian Ringan;

d. Pasal 373 : Penggelapan Ringan;

16
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981.

19
e. Pasal 379 : Penipuan Ringan;

f. Pasal 384 : Penipuan Dalam Penjualan;

g. Pasal 407 ayat (1) : Perusakan Barang;

h. Pasal 482 : Penadahan Ringan; dan

i. Pasal 315 : Penghinaan Ringan

Secara substansi, pemahaman tentang tindak pidana ringan menurut

Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2012 hampir sama dengan

muatan pokok dalam Pasal 205-210 KUHAP dimana kategori Tindak

Pidana Ringan (tipiring) ini didasarkan atas ancaman hukuman penjara atau

kurungan paling lama tiga bulan melalui pemeriksaan perkara yang

dilakukan dengan acara cepat dengan segera menetapkan Hakim tunggal

untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tersebut,17 yang

selanjutnya nilai denda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dilipatgandakan menjadi 10.000 (kali) dalam perma ini, sehingga dengan

sendirinya dianggap sebagai tindak pidana ringan tanpa adanya lagi lembaga

banding atau kasasi dan lembaga penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum

(JPU). Selain itu, tidak diperbolehkan melakukan tindakan penahanan

terhadap diri tersangka atau terdakwa oleh pihak penyidik dan jaksa

penuntut umum pada kasus tindak pidana ringan.

17
Pasal 2 Ayat (2) PERMA RI No. 02 Tahun 2012

20
Perintah penahanan dapat dilakukan oleh penyidik atau jaksa penuntut

umum terhadap diri terdakwa atau tersangka untuk kepentingan penyidikan

apabila terdakwa atau tersangka melakukan tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dengan begitu, asas peradilan

cepat, sederhana, dan biaya ringan pada penyelesaian kasus tindak pidana

ringan akan tercapai.

Namun, bila dicermati lebih lanjut akan terdapat perbedaan unsur

klasifikasi tindak pidana ringan antara ketentuan dalam perma dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, seperti yang telah Penulis jelaskan

sebelumnya. Jenis-jenis tindak pidana ringan yang termuat dalam perma ini

hanya terfokus pada enam Pasal yang tergolong dalam tindak pidana ringan,

yaitu Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482. Bentuk kejahatan ringan

tersebut berupa pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan. Hal

tersebut berbeda dengan klasifikasi tindak pidana dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yang menyebutkan ada sembilan Pasal yang

tergolong dalam tindak pidana ringan. Pada PERMA RI No. 02 tahun 2012

tidak mencantumkan Pasal 302 ayat (1) tentang Penganiayaan Ringan

Terhadap Hewan, Pasal 352 ayat (1) tentang Penganiayaan Ringan, dan

Pasal 315 tentang Penghinaan Ringan. Dengan tidak dicantumkannya ketiga

Pasal tersebut dalam perma ini yaitu didasarkan atas pertimbangan nilai

objek perkara pidana, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1, berbunyi :

21
Kata-kata dua ratus lima puluh rupiah dalam Pasal 364, 373, 379, 384,

407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima

ratus ribu rupiah).

Selanjutnya, pada Pasal 2 ayat (2) :

Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Ketua Pengadilan
segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang
diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.

Berdasarkan bunyi kedua Pasal tersebut, maka segala bentuk

kejahatan ringan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

kemudian diubah dalam perma ini lebih menitik-beratkan pada kasus tindak

pidana ringan yang memiliki objek perkara dengan nilai dan/atau jumlah

denda sebesar dua ratus lima puluh rupiah dan dilipatgandakan 10.000 kali

menjadi Rp 2.500.000,00, yang selanjutnya pemeriksaan perkara tersebut

dilakukan melalui Asas Peradilan Cepat (APC).

3. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir

pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang

menjadi bahan pendapat yang menjadi perbandingan, pegangan teoritis.18

Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran

18
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Mandar Maju, 1994) hlm.80.

22
yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.19 Tujuan

kerangka teori adalah untuk memperdalam ilmu pengetahuan serta

mempertajam konsep penelitian.

Berdasarkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini maka

untuk mempermudah dan memperlancar menganalisis permasalahan yang

ada, penulis menggunakan beberapa teori yang saling berkaitan dengan

“Kebijakan Penghentian Penuntutan Tindak Pidana Ringan Oleh Kejaksaan

Republik Indonesia Berbasis Restorative Justice” adalah sebagai berikut:

Ada tiga teori hukum asli Indonesia yang mewarnai perkembangan

kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pemikiran, pembuatan,

penerapan maupun pada penegakannya. Tiga teori tersebut adalah Teori

Hukum Pembangunan yang dipelopori oleh Mochtar Kusumaatmaja, Teori

Hukum Progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo dan Teori Hukum

Integratif yang diusung oleh Romli Atmasasmita.20

a. Teori Hukum Progresif

Teori hukum Progresif merupakan bagian dari proses searching for

the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Satjipto

Rahardjo sebagai penggagas hukum progresif mengatakan bahwa rule

breaking sangat penting dalam sistem penegaka hukum. Dalam penegakan

hukum hakim dan juga penegak hukum lainnya harus berani membebaskan

diri dari penggunaan pola baku. Ada tiga cara untuk melakukan rule

breaking, pertama dengan

19
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press,
2003) hlm.39.
20
Any Farida, “Teori Hukum Pancasila Sebagai Sintesa Konvergensi Teori-Teori Hukum Di
Indonesia”, Jurnal Perspektif, Volume XXI No. 1, 2016, hlm. 61.
23
menggunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum

dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama. Kedua, melakukan

pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam

menjalankan hukum dan bernegara hukum. Ketiga, hukum hendaknya

dijalankan tidak menurut prinsip logika sajatetapi dengan perasaan,

kepedulian dan keterlibatan (compassion) kepada kelompok yang lemah.21

Satjipto Rahardjo “merumuskan konsep keadilan bagaimana bisa

menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas

persamaan hak dan kewajiban.” Namun harus juga diperhatikan kesesuaian

mekanisme yang digunakan oleh hukum, dengan membuat dan

mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian menerapkan sanksi terhadap

para anggota masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu,

perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif.

Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata

tertib untuk melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat

prosedural, misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan

hukum acara perdata (prosedural).22

b. Teori Restorative Justice

Teori restorative justive merupakan salah satu teori dalam hukum

untuk menutup celah kelemahan dalam penyelesaian perkara pidana

konvensional yang yaitu pendekatan represif yang sebagaimana

dilaksanakan dalam Sistem

21
Suteki. Masa Depan Hukum Progresif. Thafa Media:Yogyakarta. 2015.Hlm.38
22
Fence M. Wantu, Opcit.484
24
Peradilan Pidana. Kelemahan pendekatan represif sebagai penyelesaian

terhadap perkara pidana yaitu antara lain karena berorientasi pada

pembalasan berupa pemidanaan dan pemenjaraan pelaku, tetapi walaupun

pelaku telah menjalani hukuman korban tidak merasakan kepausan.

Demikian juga, pelaku yang telah menjalani hukuman tidak dapat

diintegrasikan atau direkatkan ke dalam lingkungan sosial pelaku berasal.

Hal tersebut menyebabkan rasa dendam yang berkepanjangan dan dapat

melahirkan perilaku kriminal baru. Penyelesaian perkara pidana dengan

pendekatan represif tidak dapat menyelesaikan perkara secara tuntas,

terutama antara pelaku dengan pihak korban serta lingkungannya. Hal

tersebut karena antara pelaku dan korban tidak dilibatkan dalam proses

pengambilan keputusan dalam penyelesaian kasus. Padahal sejatinya

penyelesaian suatu perkara harus memberikan kontribusi keadilan bagi

mereka yang berperkara.23

Melihat dari perkembangan teori pemidanaan yang pada awalnya

terfokus pada kedudukan pelaku, berlanjut kepada peran penting bagi

korban. Dalam perkembangan pemikiran pemidanaan lahirlah suatu Filosofi

Pemidanaan baru yang berorientasi pada penyelesaian perkara pidana yang

menguntungkan semua pihak baik korban, pelaku maupun masyarakat.

Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana tidaklah adil apabila

menyelesaikan suatu persoalan pidana hanya memperhatikan salah satu

23
Mansyur Kartayasa, “Restorative Justice dan Prospeknya dalam Kebijakan Legislasi” makalah
disampaikan pada Seminar Nasional, Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme.
Menuju Penelitian yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun
IKAHI ke59, 25 April 2012, hlm. 1-2.

25
kepentingan saja, baik pelaku maupun korban. Maka diperlukan suatu teori

tujuan pemidanaan yang mewakili semua aspek dalam penyelesaian suatu

perkara baik korban, pelaku dan masyarakat oleh karenanya diperlukan

adanya kombinasi antara satu teori dan teori lainnya.24

Adapun kegunaan teori hukum progresif dan teori restorative justice

dalam tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah

yang pertama bagaimana kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana

ringan oleh Kejaksaan Republik Indonesia berbasis Restorative Justice saat

ini?

c. Teori Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum dalam bahasa asing diterjemahkan

Comparative Law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa

Belanda), Droit Compare (bahasa Perancis). Istilah ini dalam pendidikan

tinggi hukum di Amerika Serikat sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai

conflict law atau dialih bahasakan menjadi hukum perselisihan yang artinya

menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia.25

Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah

ilmu pengetahuan yang memperlajari secara sistematis hukum (pidana) dari

dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode

perbandingan.26

24
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
1995, hlm. 81
25
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, Bandung:
Gramedia, 2000, hlm. 6
26
Ibid, hlm. 12

26
Manfaat atau kegunaan dari perbandingan sistem hukum yaitu seperti

yang diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut:27

Menurut Rene David dan Brierly

1) Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat historis dan filosofis.

2) Penting untuk memahami lebih baik dan untuk mengembangkan

hukum nasional kita sendiri.

3) Membantu dalam mengembangkan pemahaman terhadap

bangsabangsa lain dan memberikan sumbangan untuk menciptakan

hubungan atau suasana yang baik bagi perkembangan hubungan

internasional.

d. Teori Hukum Integratif

Perkembangan teori hukum Indonesia sampai saat ini telah

menghasilkan apa yang disebut "tripartite character of social and

bureaucratic enginering" yaitu perpaduan sistem norma dinamis, sistem

perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai filsafat

kehidupan bangsa Indonesia. Berdasarkan sudut pandang teori hukum,

relevan dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang tengah

membangun, adalah perpaduan teori hukum pembangunan dan teori hukum

progresif, diperkuat teori hukum integratif. Dalam konteks Indonesia, maka

Teori Hukum Integratif bermakna pengembangan hukum di Indonesia harus

dilandasi pada Pancasila. Teori Hukum Integratif menjelaskan bahwa

rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat harus dilandaskan pada sistem

27
Ade Maman Suherman, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 17

27
norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila

sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Satu kesimpulan yang utama dari pengembangan teori hukum

integratif di Indonesia adalah bahwa teori hukum ini memiliki peranan

penting dan menentukan dalam mendefinisikan dan mempertahankan nilai-

nilai dan idealisme yang dapat memelihara kesinambungan pandangan

hidup kita bersama yaitu Pancasila. Teori Hukum Integratif sebagai

penyempurnaan dari kedua teori yang disampaikan oleh para pemikir

hukum besar di Indonesia. Jika teori hukum pembangunan oleh Prof.

Mochtar Kusumaatmadja. merupakan sistem norma (system of norm) dan

Teori Hukum Progresif yang disampaikan oleh Profesor Satjipto Rahardjo

hukum sebagai sistem perilaku (system behavior), maka teori ini melengkapi

bahwa hukum dapat diartikan juga sebagai sistem nilai (system of values).

Menurut Teori Hukum Integatif, rekayasa hukum, masyarakat, dan penegak

hukum yang dilakukan, haruslah dilandaskan pada sistem norma, sistem

perilaku, dan sistem nilai yang tidak lain bersumber pada Pancasila sebagai

ideologi bangsa Indonesia.28

Adapun kegunaan teori hukum progresif dalam tulisan ini adalah

untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah yang kedua bagaimana

kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana ringan oleh Kejaksaan

Republik Indonesia berbasis Restorative Justice yang akan datang?

F. Metode Penelitian

28
Romli Atmasasmita. Teori Hukum Integratif Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif.,(Yogyakarta: Genta Publisihing, 2018),
hlm 34
28
1. Metode Pendekatan

Terwujudnya tujuan dari sebuah penelitian hukum bergantung pada

pendekatan masalah yang digunakan peneliti. Menurut Suteki, Peneliti harus

mengenali konsep hukum yang dipilih berikut konsekuensi metode mana

yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang diajukan.29

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis

empiris. Penelitian yurdis empiris adalah penelitian lapangan dengan

berbasis pada ilmu hukum normatif yang mengkaji implementasi sistem-

sistem peraturan hukum positif dalam pelaksanaannya di masyarakat dengan

memadukan data dan fakta yang terjadi, yang mana penelitian ini sering

disebut juga dengan penelitian bekerjanya hukum (law in action). Pokok

kajiannya adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif

dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi

dalam masyarakat guna mencapai tujuan yag telah ditentukan. 30


Metode

yuridis empiris merupakan suatu metode yang menekankan pada teori-teori

hukum dan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti dan kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang ada mengenai

faktor apa saja yang memengaruhi masyarakat.31

Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya

adalah bahwa dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara

memadukan

29
Suteki, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), (Depok : Raja Grafindo
Persada, 2018),, hlm 152
30
Suteki dan Galang Taufani, Metodolocgi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik),
(Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), hlm. 175
31
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit 2004), hlm. 4
29
bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data primer

yang diperoleh di lapangan. Metode pendekatan di atas digunakan

mengingat bahwa permasalahan yang diteliti bukan hanya berkisar pada

berbagai instrument hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada,

melainkan melihat juga hasil penelitian dan faktanya terjadi.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini merupakan penelitian kualitatif yang

mana data–data dalam penelitian tersebut tidak berupa angka – angka, tapi

kata–kata verbal. Suteki, mengutip definisi penelitian kualitatif menurut

Syaodih Sukmadinata, yaitu sutau penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial,

sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual secara

maupun kelompok.32

3. Sumber dan Jenis Data

Penelitian dalam penulisan ini berdasarkan analisisnya merupakan

penelitian kualitatif sehingga wujud data penelitian bukan berupa angka-

angka sebagaimana yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, melainkan

berupa kata kata. Data yang digunakan berupa bahan hukum yang terbagi

menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Bahan hukum primer terdiri atas dokumen yang memiliki kekuatan

hukum mengikat secara hukum, yaitu peraturan perundang-undangan

hukum positif dan putusan hakim, sedangkan bahan hukum sekunder

32 Ibid. hlm.

29
berupa

33 Ibid. hlm.

29
pendapat para ahli hukum dalam buku – buku, hasil penelitian, RUU, risalah

sidang pembahasan UU dan lain lain. Bahan hukum tersier dapat berupa

bibliografi, indeks serta kamus hukum.33

Dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah penelitian yang

bersifat deskriptif, sehingga data yang diusahakan adalah :

1) Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dilokasi penelitian

atau dari sumbernya; berupa sejumlah informasi dan keterangan yang

dibutuhkan oleh peneliti menggunakan wawancara. Mengumpulkan data

dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung dengan narasumber.

Wawancara ini dilakukan dengan Bapak Galang Prama Jasa, S.H., M.H.

selaku Kepala Sub Seksi (Kasubsi) Pra Penuntutan pada Seksi Tindak

Pidana Umum pada Kejaksaan Negeri Kota Semarang.

2) Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan untuk membangun kerangka berpikir

dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier, yakni berupa :

a. Bahan hukum primer merupakan hasil dari tindakan suatu lembaga

yang berwenang, bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan, yakni undang-

undang dasar, undang-undang, dan peraturan lainnya, meliputi :

1. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

33
Ibid. hlm. 266.

30
2. Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana;

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

.
4. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020

Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;

b. Bahan Hukum Sekunder, antara lain :

Yaitu bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, terdiri dari

hasil karya ilmiah pada sarjana dan hasil-hasil penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier, antara lain:

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, terdiri dari :

1) Kamus Hukum

2) Kamus Ilmiah Populer

3) Kamus Besar Bahasa Indonesia

Dengan mengadakan telaah/penelitian kepustakaan akan diperoleh data awal

untuk dipergunakan dalam penelitian di lapangan dan berguna sebagai

landasan teori dalam menganalisis pokok-pokok permasalahan.

4) Internet

Penjelajahan internet sebenarnya hampir sama dengan studi kepustakaan

yaitu sama-sama mencari bahan pustaka. Dalam menjelajahan internet,

peneliti melakukan penelusuran terhadap data-data yang berhubungan

dengan pokok permasalahan. Kelebihan penjelajahan di internet adalah

35
efisien, cepat dan murah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data/bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumenter dengan

pencarian ke lokasi terkait seperti Kejaksaan Negeri Semarang maupun

studi kepustakaan dengan pencarian bahan hukum ke perpustakaan.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif melalui penelaahan logika

berpikir secara deduktif yaitu Data/bahan hukum yang telah terkumpul

melalui proses inventarisasi hukum, kemudian diklasifikasikan untuk

selanjutnya dianalisis secara mendalam dengan menggali asas, nilai serta

norma pokok yang terkandung di dalamnya kemudian dilakukan cross-

check dengan peraturan perundang – undangan yang lain guna menemukan

taraf sinkronisasi dan inkonsistensi di antara peraturan perundang –

undangan terebut.34

G. Sistematika Penulisan

Hasil Penelitian dengan judul “Kebijakan Penghentian Penuntutan

Tindak Pidana Ringan Oleh Kejaksaan Republik Indonesia Berbasis

Restorative Justice (Studi Kasus Pada Kejaksaan Negeri Semarang)”

dituliskan dalam bentuk karya ilmiah dengan sistematika sebagaimana yang

telah ditentukan oleh Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro. Sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut:

36
BAB I:

PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan

Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian,

dan Orisinalitas Penelitian

BAB II:

TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab ini akan dimuat secara rinci dan sistematis berbagai teori,

pendapat para ahli, ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

BAB III:

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh

dari hasil penelitian pustaka yaitu berupa “Kebijakan Penghentian

Penuntutan Tindak Pidana Ringan Oleh Kejaksaan Republik Indonesia

Berbasis Restorative Justice (Studi Kasus Pada Kejaksaan Negeri

Semarang)”

BAB IV :

PENUTUP

Bab ini terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari

permasalahan yang ada mengenai “Kebijakan Penghentian Penuntutan

Tindak Pidana Ringan Oleh Kejaksaan Republik Indonesia Berbasis

Restorative Justice (Studi Kasus Pada Kejaksaan Negeri Semarang)”

37
H. ORISINALITAS PENELITIAN
Karya ilmiah sebagai bahan pembanding orisinalitas tesis ini dapat dilihat pada matriks berikut:

Penelitian Sebelumnya Penelitian Penulis


No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian Unsur Kebaruan
1 Yoanes Pelaksanaan Latar belakang penyusunan Peraturan Penulisan Yoanes Kardinto dan penelitian oleh
Kardinto Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Novi Widi Astuti lebih berfokus latar belakang
Kejaksaan Tahun 2020 tentang Penghentian penyususnan dan konsep dari Peraturan
(2021, Tesis Republik Indonesia Penuntutan Berdasarkan Keadilan Kejaksaaan Nomor 15 Tahun 2020 adalah
Universitas Nomor 15 Tahun Restoratif berangkat dari kebutuhan hukum menekankan pada keadilan restorative. Dimana
Pancasakti 2020 Tentang masyarakat terkait pemulihan kembali pada dengan adanya pemberlakuan aturan ini sanksi
Tegal) Penghentian keadaan semula dan keseimbangan hukum pidana diposisikan sebagai ultimum
Penuntutan perlindungan dan kepentingan korban dan remedium dalam penanganan sebuah perkara.
Berdasarkan pelaku tindak pidana yang tidak tercapai
Keadilan Restoratif dengan menggunakan sistem peradilan Dari hasil penelitian sebelumnya tersebut, maka
Di Wilayah Hukum pidana konvensional. Melalui peraturan ini ada unsur kebaruan dalam penulis meneliti
Kejaksaan Tinggi Restorative Justice diharapkan dapat penulisan dalam bentuk tesis ini yaitu dengan
Jawa Tengah terwujud sehingga hukum pidana dapat lebih berfokus pada pedoman penerapan
diposisikan sebagai ultimum remidium. Restorative Justice dan dampak dari
Tulisan ini menemukan permasalahan dan implementasinya bagi sistem peradilan pidana di

38
tantangan pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Indonesia. Pendekatan hukum progresif dalam
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 implementasi Restorative Justice dinilai sangat
tentang Penghentian Penuntutan berperan karena dengan sejalan dengan
Berdasarkan Keadilan Restoratif di wilayah penegakan pada aspek moral, sehingga dalam
hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, pembentukan hukum berinkorporasi dengan nilai
termasuk bagaimana langkah strategis dasar/prinsip moral. Selain itu juga pendekatan
untuk menjawab problem faktual tersebut. hukum integratif yang teradopsi dalam
2 Novi Widi restorative justice dinilai membantu para pelaku
Astuti Analisis Yuridis Konsep penghentian penuntutan demi kejahatan untuk menghindari kejahatan lainnya
Penghentian kepentingan hukum berdasarkan keadilan pada masa yang akan datang.
(2021, Tesis Penuntutan Demi restoratif diatur dalam Peraturan Kejaksaan
Universitas Kepentingan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020
Brawijaya Hukum yang memiliki batasan dan syarat dalam
Malang) Berlandaskan Asas pelaksanaanya. Selain itu sebagai peraturan
Keadilan Restoratif perundang-undangan, memiliki beberapa
kelemahan yaitu telah melanggar ketentuan
norma dalam KUHAP sebagai hukum yang
lebih tinggi kedudukannya, serta kekaburan
norma sehingga tidak memiliki kekuatan

39
hukum yang mengikat maka, perlu
penyempurnaan makna penghentian
penuntutan demi kepentingan hukum
berdasarkan keadilan restoratif.

40
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak

kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang

pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang

harus dihindari danbarang siapa melanggarnya maka akan dikenakan

pidana. Jadi, larangan- larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang

harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-

undang maupun peraturan- peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat

maupun daerah.35 Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti kata

“stafbaarfeit”.

Sudarto mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu pengertian

yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime

atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)

atau secara kriminologis.36

Menurut Moeljanto definisi dari delik atau tindak pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

35
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya
Bhakti,1997), hlm. 7
36
Sudarto, Hukum Pidana 1 Edisi Revisi (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip,
2013), hlm. 13

41
ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut. 37

Menurut Pompe yang mengemukakan pengertian suatu tindak pidana

adalah tindak lain dari pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan

undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 38

Selanjutnya menurut Pompe perkataan “Strafbaar feit” itu secara

teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan

terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja

telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana penjatuhan hukuman terhadap

pelaku terebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum.39

P.A.F Lamintang dalam bukunya selanjutnya menguraikan beberapa

pengertian mengenai strafbaar feit dari para ahli yakni: 40

a. Hazewinkel Suriga :

Strafbaar Feit adalah suatu perilaku manusia yang suatu saat tertentu

lelah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai

perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan

sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalam undang-

undang.

b. Simons

37
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rinike Cipta, 2002), hlm. 54
38
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama., (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2002), hlm. 72
39
P.A.F.Lamintan, Op.cit, hlm. 182
40
Ibid, hlm. 181
42
Strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang

telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat dihukum.

c. Pompe

Perkataan Strafbar Feit adalah pelanggaran norma (gangguan terhadap

tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak disengaja telah dilakukan

oleh seseorang pelaku dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut

adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

umum.

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menjelaskan tentang tindak pidana

bahwa pelanggaran norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu perdata,

hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh

pembentuk undang-undang ditanggapi sebagai hukum pidana.41

Istilah tindak pidana hanya menunjukkan kepada sifat perbuatan saja,

yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana apabila dilanggar. Apakah yang

melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini

tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan

tindakannya itu yaitu dengan kesalahannya. Jadi, tindak pidana dipisahkan

demi pertanggung jawaban pidana. Lain halnya dengan Strafbaar Feit yang,

mencakup pengertian perbuatan dan kesalahan.

41
Wirjono Prodjokodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Aditama,
2003), hlm. 1

43
Bahwa untuk pertanggung jawaban pidana tidak cukup dengan

dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada

kesalaham, atau sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang

tidak tertulis “tindak pidana jika tidak ada kesalahan”.

Andi Hamzah menyamakan Strafbaar Feit dengan istilah Inggris Criminal

act dengan alasan :

Pertama, bahwa criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau

dengan kata lain sebagai akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oelh

hukum. Kedua, karena criminal act juga dapat dipisahkan dari pertanggung

jawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility, juga

dapat dipidananya seseorang selain dari pada melakukan perbuatan pidana

orang itu harus mempunyai kesalahan.42

Uraian tersebut adalah pendapat para sarjana tentang definisi dari

tindak pidana, terdapat hubungan yang erat antara larangan dan ancaman

pidana. Oleh karena, antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian

ada hubungaan hukum yang tidak terpisahkan.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak

pidana. Jadi, seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang

dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana (stafbaarfeit). Sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, pandangan

mengenai unsur-

42
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 32
44
unsur tindak pidana telah mengarah kepada dua golongan yang berbeda,

yaitu “aliran monistis”dan “aliran dualistis”.43

a. Pandangan Monistis

1) Simons

Unsur dari tindak pidana (stafbaarfeit), meliputi: perbuatan manusia,

diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan

kesalahan, dan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

2) Van Hamel

Stafbaar feit memiliki unsur-unsur perbuatan manusia yang

dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, dilakukan

dengan kesalahan dan patut dipidana.

3) J. Bauman

Strafbaar Feit adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik,

bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan.

4) Wirjono Prodjodikoro

Unsur tindak pidana adalah pelakunya dapat dikenakan pidana karena

perbuatannya.

5) Karni

Unsur-unsur tindak pidana mengandung perlawanan hak, yang

dilakukan dengan salah dosa, oleh oleh orang yang sempurna akal

budinya dan kepada siapa perbuatan itu dapat dipertanggungkan.

b. Pandangan Dualistis

43
Soedarto, Op.cit, hlm. 67-70

45
1) H.B. Vos

a. Perbuatan manusia, dan

b. Diancam pidana dalam undang-undang.

2) Moeljanto

a. Perbuatan (manusia)

b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil

sebagai konsekuensi adanya asas legalitas)

c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil: perbuatan harus

betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan

yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena

bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat

d. Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak

masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena unsur

perbuatan ini terletak pada orang yang berbuat.

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli hukum di atas, dapat

disimpulkan bahwa dalam aliran monistis tidak dijelaskan pemisahan antara

criminal act dan criminal responsibility sedangkan dalam “aliran dualistis”

dijelaskan tentang pemisahan antara kedua hal tersebut. Seperti yang

dikemukakan oleh Sudarto “Bagi orang yang berpandangan monistic

seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi

yang berpandangan dualistis sama sekali belum mencukupi syarat untuk

dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana

yang harus ada pada orang yang berbuat.”

46
Sedangkan, menurut Adami Chazawi dari rumusan-rumusan tindak

pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak

pidana, yaitu:44

1. Unsur tingkah laku.

2. Unsur melawan hukum.

3. Unsur kesalahan.

4. Unsur akibat konstitutif.

5. Unsur keadaan yang menyertai.

6. Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana.

7. Unsur tambahan untuk memperberat pidana.

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

9. Unsur objek hukum tindak pidana.

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana, dan

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan

melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan unsur perbuatan

si pelaku termasuk unsur objektif, misalnya melawan hukum perbuatan

mengambil pada pencurian (Pasal 362 KUHP) terletak bahwa dalam

mengambil itu dari luar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan

hukum objektif). Atau pada Pasal 251 KUHP pada kalimat “tanpa izin

memerintah” juga pada Pasal 253 KUHP pada kalimat “menggunakan cap

asli secara melawan hukum objektif”.

44
Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 82

47
Akan tetapi, ada juga melawan hukum subjektif misalnya melawan

hukum dalam penipuan (Pasal 378 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP),

pengancaman (Pasal 369 KUHP) dimana disebutkan untuk menggantungkan

diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Begitu juga unsur

melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan (Pasal 372

KUHP) yang bersifat subjektif, artinya terdapat kesadaran bahwa memiliki

benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu merupakan celaan

masyarakat.

Dari rumusan tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP, maka

dapat diketahui adanya 2 (dua) unsur tindak pidana, yaitu :45

a. Unsur Obyektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Unsur perbuatan

2. Sifat melanggar hukum

3. Kualitas darin si pelaku

4. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa)

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Perasaan takut yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHP.

45
P.A.F Lamintang, Op.cit, hlm. 193-194

48
Terhadap perbuatan tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua)

bentuk, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (misdrijven) menunjuk

pada suatu perbuatan, yang menurut nilai-nilai kemasyarakatan dianggap

sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur dalam ketentuan undang-

undang. Oleh karenanya disebut dengan rechtsdelichten. Sedangkan

pelanggaran menunjuk pada perbuatan yang oleh masyarakat dianggap

bukan sebagai perbuatan tercela. Diangkatnya sebagai perbuatan pidana

karena ditentukan oleh undang-undang. Oleh karenanya disebut dengan

wetsdelicten.

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana

tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam Buku III memuat

tentang pelanggaran,. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam

setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku atau perbuatan walaupun ada

perkecualian seperti Pasal 351 KUHP (Penganiayaan). Unsur kesalahan dan

melawan hukum kadang-kadang dicantumkan mengenai unsur bertanggung

jawab. Disamping itu, banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar

maupun mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk

rumusan tertentu.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

a. Kejahatan dan Pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh

undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut

kejahatan dan dalam buku ke III memuat delik-delik yang disebut

49
pelanggaran. Menurut ilmu pengetahuan ada dua jenis kriterium untuk

membedakan kedua jenis delik itu. Pendapat pertama yaitu, bahwa

antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif.

Pertama rechtsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan

keadilan, terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-

undang atau tidak jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat

sebagai bertentangan dengan keadilan misal pembunuhan, pencurian

delik ini disebut kejahatan (Mala per se). Kedua wetsdelict ialah

perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana,

karena undang-undang baru menyebutnya sebagai delik, jadi karena

undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal memarkir mobil

disebalah kanan jalan (Mala quia prohibits) delik ini disebut

pelanggaran. Pendapat kedua, bahwa antara delik kejahatan dan

pelanggaran ada perbedaan yang bersifat kuantitatif. Dimana kriterium

perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran”

lebih ringan daripada “kejahatan”.

b. Delik Formal dan Delik Materiil (delik dengan perumusan

secara formal dan delik dengan perumusan secara materiil)

Pertama, delik formal adalah delik yang perumusannya dititik

beratkan pada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai

dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan

delik. Kedua, delik materiil adalah delik yang perumusannya

dititikberatkan pada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik

ini baru selesai

50
apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum,

maka paling banyak hanya ada percobaan.

c. Delik Commissionis, Delik Omissionis dan Delik Commissionis

Per Ommisionem Commisa.

Pertama delik commissionis, delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang seperti

pencurian, penggelapan, penipuan.

Kedua delik omissionis, delik yang berupa pelanggaran terhadap

perintah ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/ yang

diharuskan seperti tiak menolong orang yang memerlukan pertolongan

(Pasal 531 KUHP).

Ketiga, delik commissionis per ommisionem commisa, delik

yang berupa pelanggaran larangan (dus delik commissionis) akan

tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat seperti ibu yang

membunuh anaknya dengan tidak memberikan air susu (Pasal 338,

340 KUHP)

d. Delik Dolus dan Delik Culpa ( doleuse en culpose delicten)

Pertama delik dolus, delik yang memuat unsur kesengajaan

misal

Pasal 187 KUHP. Kedua, delik culpa yaitu delik yang memuat

kealpaan sebagai salah satu unsur misal Pasal 360 KUHP.

e. Delik Tunggal dan Delik Berganda (enkelvoudige en

samengestelde delicten)

Pertama delik tunggal, delik yang cukup dilakukan dengan

51
perbuatan satu kali. Kedua, delik berganda yaitu delik yang baru

52
merupakan delik apabila dilakukan beberapa kali perbuatan misal

Pasal 481 KUHP (penadahan sebagai kebiasaan)

f. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung

terus (voordurende en niet voortdurende / aflopende delicten)

Delik yang berlangsung terus mempunyai ciri bahwa keadaaan

terlarang itu berlangsung terus misalnya perampasan kemerdekaan

seseorang (Pasal 333 KUHP)

g. Delik Aduan dan Bukan Delik Aduan (klachtdelicten en niet –

klacht delicte)

Delik aduan, delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila

ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal

penghinaan (Pasal 310 dst. Jo 319 KUHP). Delik aduan dibedakan

menurut sifatnya yaitu, delik aduan yang absolut misal Pasal 310

KUHP delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut

berdasarkan pengaduan. Delik aduan yang relatif misal Pasal 367

KUHP disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan

istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.

h. Delik Sederhana dan Delik yang Ada Pemberatannya

(eenvoudige dan gequalificeerde delicten)

Delik yang ada pemberataanya, misal penganiayaan yang

menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat (2) (3)

KUHP). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena

dilakukan dalam keadaan tertentu, misal pembunuh kanak-kanak

(Pasal

53
341 KUHP) delik ini disebut “geprivilegeerd delict”. Delik sederhana,

misal penganiayaan (Pasal 351 KUHP)

i. Delik Ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan

bukan delik ekonomi, terdapat dalam Pasal 1 UU Darurat No.7

Tahun 1955.

j. Kejahatan Ringan, misal Pasal 364 KUHP.46

B. Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Jaksa Sebagai Penuntut Umum

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman dalam Pasal 1 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.47 Lahirnya sistem

peradilan di Indonesia berpedoman pada ketentuan diatas dan dalam

melaksanakan tugasnya instansi ini harus terlepas dari intervensi berbagai

pihak yang hanya menginginkan kepentinganya masing-masing.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diberikan kepada elemen-

elemen lain yang ada didalamnya seperti badan-badan peradilan yang telah

disebutkan didalam undang-undang. Peradilan di Indonesia mempunyai

beberapa pengadilan Berdasarkan lingkunganya masing-masing seperti :

1. Peradilan Umum

46
Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang : Yayasan Sudarto,2013) hlm. 94-100
47
Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

54
2. Peradilan Agama

3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Berbicara kekuasaan kehakiman maka kita juga menyinggung seluruh

elemen yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah jaksa, seperti yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa

Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.48

Mengingat berbagai perubahan yang dilakukan terutama pada

UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, hal ini dilakukan

karena undang-undang yang lama dianggap tidak sesuai lagi dengan

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan

menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

serta memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia

sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang

penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.49

1. Pengertian Jaksa Sebagai Penuntut Umum

48
Lihat Pada Pertimbangan Huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
49
Ibid.

55
Menurut KUHAP Pasal 1 butir 6 huruf jo Pasal 270 jo Pasal 33 ayat 1

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasan Kehakiman menyatakan bahwa jaksa adalah pejabat yang

diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut

umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

Tentang Kejaksaan Republik Indoensia bahwa jaksa merupakan pejabat

fungsional yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk bertindak

sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan

Undang-Undang.

Terlepas dari kedudukan dan fungsi kejaksaan Republik Indonesia

yang diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, yang jelas bahwa Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem

dari sistem ketatanegaraan Indonesia.

Dalam Pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa jaksa adalah

pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Di ketentuan lainya Pasal 1 ayat 6 huruf

b KUHAP juga disebutkan bahwa penuntutut umum adalah jaksa yang

diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan

dan melaksanakan penetapan hakim.50

50
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan
Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1988, hlm. 3.
56
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Sedangkan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan supaya

diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.51

Menegenai penuntut umum dan penuntutan diatur secara terpisah

dalam KUHAP. Penuntut umum diatur dalam bab II, bagian ketiga yang

terdiri 3 Pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15, sedangkan

penuntutan diatur dalam bab XV dimulai dari Pasal 137 sampai dengan

Pasal 144.

Berbicara kewenangan penuntut umum dalam hal penuntutan, dapat

dilihat dari Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur secara jelas posisi

dari Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia yang mana merupakan bagian

dari kekuasaan kehakiman. Berdasarkan Pasal 24 ayat 3 Undang-Undang

Dasar 1945 jo. Pasal 41 Undang-Undang. No. 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia

menyandang asas dominus litis.52 Asas dominus litis ini merupakan asas

kewenangan mutlak dari penutut umum dalam melaksakan penuntutan,

hanya penuntut umum yang dapat menentukan seseorang dikatakan sebagai

terdakwa dan melimpahkan perkara terdakwa ke pengadilan berdasarkan

alat bukti yang cukup dan melaksanakan penetapan maupun putusan

pengadilan.

57
51
Lihat Pasal 1 Butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
52
https://kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&id=54 Diakses pada Tanggal 16
Maret 2022 pukul 17:09 WIB

58
2. Tugas dan Wewenang Jaksa

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia menjelaskan bahwa kejaksaan mempunyai kemerdekaan dan

kemandirian dalam melakukan setiap tugasnya, khususya dalam hal

penuntutan. Bila dilihat dari sudut pandang kelembagaan maka kejaksaan

merupakan sebuah lembaga yang berada dibawa kekuasaan eksekutif atau

pemerintahan namun jika dilihat dari sisi lain ia juga menjalankan tugasnya

sebagai lembaga yudikatif.

Sebagai lembaga yudikatif kejaksaan melaksanakan tugas, fungsi dan

wewenangnya secara merdeka, lembaga ini tidak bisa di intervensi oleh

kekuasaan pemerintah. Hal ini berarti bahwa negara melalui hukumnya

menjamin jaksa dalam menjalankan profesinya terlepas dari pengaruh,

gangguan, campur tangan yang tidak tepat.

Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat cukup penting

karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan

tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang

berlaku bahwa penuntut umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya

setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari penuntut umum,

yaitu lembaga kejaksaan karena hanya penuntut umum yang berwenang

mengajukan status tersangka kepada pelaku tindak pidana dimuka sidang

persidangan.53

53
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm. 52.

59
Fungsi utama kejaksaaan dalam sistem peradilan pidana adalah

sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang bersifat

inkracht, hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 1,2,3 dan Pasal 2 ayat 1, 2

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun

yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan

melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Jika

dijabarkan wewenang jaksa sebagai penuntut umum yang terdapat didalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka banyak kewenangan

yang sebenernya telah diberikan oleh Negara kepada lembaga ini. Adapun

wewenang jaksa sebagai penuntut umum sebagai berikut:54

a. Wewenang menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal

setelah dimulainya penyidikan suatu tindak pidana seperti pada Pasal

109 ayat 1 dan juga Pasal 6 ayau 1 huruf b mengenai penyidikan

dihentikan oleh hukum.

b. Menerima berkas tahap pertama dan kedua sebagaimana yang

dimaksud oleh 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan

singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu

(Pasal 12)

c. Mengadakan pra penuntututan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

14 huruf b

54
Daniel S Barus, “Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Dalam Melakukan Prapenuntutan Di
Kejaksaan Negeri Medan” Skripsi Pada Program Sarjana Fakultas Hukum, Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2010, hlm. 37.
60
d. Melakukan penahanan (Pasal 20 ayat 2) dan memberikan

perpanjangan penahanan(Pasal 124 ayat 20) serta mengalihkan jenis

penahanan.

e. Memberikan penangguhan penahanan atas permintaan terdakwa

(Pasal 31 KUHAP)

f. Melakukan penjualan lelang barang sitaan (Pasal 45 ayat 1)

g. Membatasi bahkan melarang kebebasan hubungan antara penasihat

hukum dengan tersangka atau terdakwa karena ditakutkan

menyalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat 4)

h. Meminta dilakukanya penegakan hukum memalui mekanisme

horizontal yang bernama pra peradilan (Pasal 80)

i.Menentukan sikap apakah berkas perkara sudah lengkap dan siap

untuk dilimpahkan ke persidangan

j.Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab selaku Penuntut Umum (Pasal 14 huruf i)

k. Jika penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat

dilakukan penuntutan maka dalam waktu yang segera ia membuat

surat dakwaan

l. Membuaat surat dakwaan (Pasal 140 ayat 1)

m. Mengeluarkan SP3 (surat penetapan penghentian penuntutan) Pasal

140 ayat2

n. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan

penuntutan, penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum

61
pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7

(tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).

Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang menyatakan bahwa dengan pengecualian untuk sementara

mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada

Undang- Undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak

berlaku lagi.

Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang

pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan

bahwa penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana

tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal

284 ayat

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilaksanakan oleh

penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan

peraturan perundang-undangan”.55

C. Tinjauan Umum Kewenangan Jaksa Dalam Proses Penuntutan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Di dalam Pasal 1 undang-

undang tersebut diberikan pengertian-pengertian pokok, atau tafsir otentik

sebagai berikut:

1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini


untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

55
Lihat Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
62
2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim sidang pengadilan.56
Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) menyebutkan:

(2) Dalam melaksanakan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan


atas nama negara serta bertanggung-jawab menurut saluran hierarki;
(3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat
bukti yang sah.
(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya jaksa senantiasa
bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma
keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan serta wajib menggali dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam
masyarakat serta senantiasa menjaga kehormatan serta martabat
profesinya.
Ancaman ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) tersebut diatur

dalam ayat (5) nya, yang berbunyi:

Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan,

pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa

yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.

Ketentuan tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1), yang

berbunyi: Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang

dilaksanakan

63
56
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 757

64
secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.

Menurut Pasal 1 ayat (3) di atas, sebenarnya jaksa di dalam melakukan

penuntutan tidak terlalu ketat mengikuti garis komando seperti saat ini,

karena jaksa di dalam penuntutan harus didasarkan keyakinan berdasarkan

alat bukti yang sah. Karena jaksa selaku penuntut umum di dalam

persidangan yang paling mengetahui situasi perkara serta perkembangannya

yang terungkap dalam sidang.

Untuk menjalankan kewajibannya, kejaksaan mempunyai tugas dan

wewenang di bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha negara serta

bidang ketertiban dan ketenteraman umum, sebagaimana diatur dalam Pasal

30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sebagai berikut:57

1. Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang

dalam

65
57
Lihat Penjelasan Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3) Undang- Undnag No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia

66
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus

dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas

nama negara atau pemerintah;

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut

meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat

dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Tugas-tugas kejaksaan yang terakhir ini bersifat preventif dan edukatif.

Tugas-tugas kejaksaan yang lain adalah:

1. Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan

seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat

lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri

atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain,

lingkungannya atau dirinya sendiri (Pasal 31).

2. Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan

undang-undang (Pasal 32).

67
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum

kepada instansi pemerintah lainnya (Pasal 34). Di samping mengatur tugas

dan wewenang umum kejaksaan, di dalam Undang-undang ini juga diatur

khusus tugas dan wewenang Jaksa Agung di dalam Pasal 35, yakni:

a. menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan

keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh

undang-undang;

c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yakni

kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas

(asas oportunitas);

d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah

Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara (Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung);

e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar

wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya

dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

1. Wewenang Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan

Dalam Perkara Pidana

68
Secara garis besar wewenang penuntut umum menurut KUHAP dapat

diinventarisir sebagai berikut:58

a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah

mulai melakukan penyidikan dari suatu peristiwa yang merupakan

tindak pidana (Pasal 109 ayat (1) KUHAP) dan pemberitahuan baik

dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal 6

ayat (1) huruf b KUHAP mengenai penyidikan dihentikan demi

hukum;

b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan

kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b

KUHAP. Dalam hal Acara Pemeriksaan Singkat menerima berkas

perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12 KUHAP);

c. Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b KUHAP) dengan

memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) KUHAP

dan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP;

d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2) KUHAP),

melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2)

KUHAP Pasal 21 ayat (2) KUHAP, Pasal 25 KUHAP dari Pasal 29

KUHAP); melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2)

KUHAP); penahanan kota (Pasal 22 ayat (3) KUHAP), serta

mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23 KUHAP);

58
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, UMM, Malang, 2004, hal. 216

69
e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan

penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan

penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat

yang ditentukan (Pasal 131 KUHAP);

f. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau

membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai

putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan

hukum tetap, atau mengamankannya dengan disaksikan oleh

tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1) KUHAP);

g. Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasihat

hukum dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya

(Pasal 70 ayat (4) KUHAP); mengawasi hubungan antara penasihat

hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal

71 ayat (1) KUHAP) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan

negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal 71 ayat (2)

KUHAP). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat

hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah

dilimpahkan penuntut umum ke pengadilan negeri untuk

disidangkan (Pasal 74 KUHAP);

h. Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri

untuk memeriksan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan

oleh penyidik (Pasal 80 KUHAP). Maksud Pasal 80 ini adalah

untuk

70
menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana

pengawasan secara horisontal.

i. Dalam perkara konesitas, karena perkara pidana itu harus dihadiri

oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut

umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dab

selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut

kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1) KUHAP);

j. Menentukan sikap apakah berkas perkara telah memenuhi syarat

atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP).

k. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab

selaku penuntut umum (Pasal 14 huruf f KUHAP).

l. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan

dapat dilakukan penuntutan maka dalam waktu secepatnya

membuat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP)

m. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat

(2) huruf a KUHAP) dikarenakan tidak cukup bukti, bukan

merupakan suatu tindak pidana dan perkara ditutup demi hukum.

n. Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikannya

penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 (2) huruf d

KUHAP).

o. Menegakkan penggabungan perkara dan pembuatannya dalam satu

surat dakwaan (Pasal 141 KUHAP).

71
p. Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu

berkas perkara yang membuat beberapa tindak pidana yang

dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 143 (1) KUHAP.

q. Melimpahkan perkara ke pengadilan disertai surat dakwaan (Pasal

143 (1) KUHAP)

r. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 (1) KUHAP)

s. Menyempurnakan atau tidak penuntutan, penuntut umum dan

mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari

sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai

(Pasal 144 KUHAP).

Penghentian penuntutan oleh penuntut umum didasarkan pada bunyi

Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Dari ketentuan Pasal tersebut secara garis besar

dibagi: alasan penghentian penuntutan dan prosedur di dalam melakukan

penghentian penuntutan.59

2. Alasan Penghentian Penuntutan

Seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP,

alasan penghentian penuntutan dikarenakan tidak cukup bukti, peristiwa

tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, perkara ditutup demi

hukum.

Untuk memperjelas maksud penghentian penuntutan, pertama-tama

kita kembali kepada pengertian penuntutan seperti yang dimaksud dalam

Pasal 1 butir 7 KUHAP yang berbunyi:

59
Lihat Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

72
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan.”

Jadi menurut pengertian tersebut penuntutan terjadi jika suatu perkara

telah dilimpahkan ke pengadilan, sehingga batasan telah terjadi penuntutan

atau belum adalah adanya pelimpahan suatu perkara ke pengadilan negeri.

Secara harfiah arti kata penghentian penuntutan adalah suatu perkara telah

dilimpahkan ke pengadilan negeri, kemudian perkara tersebut dihentikan

prosesnya dan kemudian dicabut dengan alasan tidak terdapat cukup bukti

dan peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.

Namun demikian dua alasan tersebut bisa digunakan juga untuk tidak

jadi menuntut oleh penuntut umum seperti yang ditentukan dalam Pasal 46

ayat (1) huruf b KUHAP. Berarti perkara tersebut belum sampai

dilimpahkan ke pengadilan.

Perkara ditutup demi hukum (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP)

mempunyai perumusan lain yang mempunyai maksud yang sama yakni

dalam Pasal 14 huruf h KUHAP tentang kewenangan penuntut umum

menutup perkara demi kepentingan hukum. Suatu perkara yang ditutup demi

hukum atau menutup perkara demi kepentingan hukum dilakukan oleh

penuntut umum sebelum melakukan penuntutan.60

60
PAF Lamintang, KUHAP dengan Pembahasan secara yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 106
73
Perbuatan menutup perkara demi hukum ini antara lain dapat

dilakukan oleh penuntut umum, apabila mengenai suatu tindak pidana itu

ternyata terdapat dasar-dasar yang meniadakan penuntutan atau ternyata

terdapat vervolgingsuitsluitingsgronden, karena dengan adanya dasar-dasar

seperti itu menjadi tertutup kemungkinannya bagi penuntut umum untuk

dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seseorang yang oleh penyelidik

telah disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu. Dalam suatu tindak

pidana itu terdapat dasar-dasar yang meniadakan pidana atau tidak, apakah

suatu tindak pidana itu telah dilakukan oleh pelakunya berdasarkan sesuatu

unsur schuld atau tidak, apakah sesuatu tindakan itu bersifat melawan

hukum atau tidak, apakah seorang tersangka itu dapat dipandang sebagai

toerekeningsvatbaar atau tidak, dan apakah tindakan seorang pelaku itu

dapat dipandang sebagai toerekenbaar atau tidak, maka setelah seorang itu

disidik atau dituntut, hanya hakim sajalah yang berwenang untuk

memutuskannya.

3. Prosedur penghentian penuntutan

Prosedur penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2)

huruf b, c dan d KUHAP dan penghentian penuntutan dituangkan dalam

surat ketetapan. Selanjutnya harus ditempuh prosedur sebagai berikut:

- isi surat ketetapan tersebut harus diberitahukan kepada tersangka dan

bila ditahan harus dibebaskan;

-turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau

penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim;

74
-apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat

melakukan penuntutan terhadap tersangka.61

Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang

No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan

tersebut sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan

bahwa: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan

perkara demi “kepentingan umum”. Apa artinya “kepentingan umum”

dijelaskan dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud

dengan kepentingan umum adalah sebagai berikut:”....dengan demikian,

kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di

negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan masyarakat

dan bukan untuk kepentingan masyarakat”.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16

Tahaun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu:

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan

bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat

dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah memperhatikan saran dan

pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai

hubungan dengan masalah tersebut”.

61
Lihat Penjelasan Pasal 140 ayat (2) huruf b,c dan d. KUHAP, mengenai prosedur melakukan
penghentian penuntutan

75
Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada

Jaksa Agung dan bukan pada jaksa di bawah Jaksa Agung (vide Penjelasan

Pasal 77 KUHAP).62

D. Tinjauan Umum Hukum Acara Pemeriksaan di Persidangan

1. Acara Pemeriksaan Biasa

Pengaturan hukum acara pemeriksaan biasa adalah yang paling luas

aturanya. Hal ini Berdasarkan pada penggunaanya yang diperuntukan

kepada pemeriksaan perkara-perkara tindak pidana yang berat, sehingga

hukum acara pemeriksaan lainya merujuk kepada ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Pasal-Pasal pemeriksaan acara pemeriksaan biasa.

Tindak pidana atau kejahatan yang ancaman hukumnya berat

selayaknya menggunakan acara pemeriksaan ini, karena pembuktinya

membutuhkan waktu yang lama dan juga penerapan hukumnya sulit. Acara

pemeriksaan biasa adalah perkara yang diselesaikan menurut prosedur biasa

diatur dalam Pasal 152-202 KUHAP. Tata cara atau prosedur yang

digunakan pengadilan dalam memeriksa perkara adalah dengan prosedur

sebagai berikut:

a. Pembukaan sidang dan pernyataan sidang dibuka untuk umum.

b. Terdakwa dipanggil masuk dan menghadap di muka sidang dalam

keadaan bebas. Bebas artinya tidak diikat atau diborgol atau hal lain

yang membuat terdakwa merasa tidak bebas.

62
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 20

76
c. Pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

d. Eksepsi (jika ada) yakni sifat eksepsi tergantung pada terdakwa atau

penasehat hukumnya dalam menanggapi atau melakukan bantahan

akan dakwaan yang dibacakan JPU.

e. Pemeriksaan saksi-saksi.Saksi-saksi yang diperiksa dalam

pemeriksaan antara lain:

1) Saksi korban adalah pemeriksan saksi korban dilakukan pertama kali

karena untuk menguatkan alasan bagi hakim dalam suatu pemeriksaan

perkara.

2) Saksi decarge adalah saksi-saksi yang diajukan jaksa untuk membuktikan

kesalahan terdakwa.

3) Saksi adecarge adalah saksi-saksi yang keterangannya menguntungkan

terdakwa yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya.

f. Pemeriksaan terdakwa

g. Pembacaan surat tuntutan

h. Pembelaan terdakwa / Penasehat hukum (pleidoi)

Yang disampaikan terdakwa merupakan hak terdakwa, maka hakim

harus menghormati pleidoi terdakwa. Secara yuridis requisitoir/pleidoi

mempengaruhi hakim untuk sejalan sependapat terhadap yang yang

diungkapkan tersebut atau hal yang diungkapkan para pihak.

i. Diberi kesempatan bagi masing-masing pihak untuk menanggapi :

77
Replik adalah tanggapan Penuntut Umum atas pembelaan terdakwa

atau penasehat hukum dan duplik adalah tanggapan terdakwa atau

penasehat hukum terhadap replik Penuntut Umum. Posisi terakhir

dalam pemberian tanggapan adalah terdakwa atau Penasehat

hukumnya, jika dalam persidangan hakim memberikan kesempatan

lagi untuk memberikan tanggapan maka terdakwa/penasehat hukum

harus memberikan tanggapan yang terakhir setelah Penuntut Umum.

l. Putusan. Putusan yang berupa pemidanaan yaitu apabila yang

didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa

dijatuhi pidana.

m. Pembebasan yaitu apabila apa yang didakwakan tidak terbukti

maka hakim memberikan putusan pembebasan.

n. Pelepasan dari segala tuntutan hukum yaitu apabila perbuatan yang

didakwakan terbukti

2. Acara Pemeriksaan Singkat

KUHAP membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang

pengadilan negeri. pertimbangan yang melandasi perbedaan tersebut adalah

tata cara pemeriksaan, jenis tindak pidana yang diadili, dan mudah atau

sulitnya permbuktian perkara tersebut.

Pada umumnya tindak pidana yang ancaman hukumnya diatas 3

(Tiga) Tahun penjara akan diperiksa menggunakan hukum acara

pemeriksaan biasa, sedangkan perkara yang ancaman hukumya ringan dan

pembuktianya mudah

78
maka akan menggunakan hukum acara pemeriksaan singkat, lalu jika untuk

tindak pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas akan menggunakan hukum

acara pemeriksaan cepat. Atas perbedaan yang disebutkan diatas, kita

mengenal tiga hukum acara pemeriksaan pada sidang pengadilan negeri.63

a. Acara Pemeriksaan Biasa diatur dalam bagian ketiga, Bab XVI

b. Acara Pemeriksaan Singkat diatur dalam bagian kelima, Bab XVI

c. Acara Pemeriksaan Cepat diatur pada bagian keenam, Bab XVI

yang terdri dari dua jenis, yaitu :

1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan

2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

Mengenai hukum acara pemeriksaan singkat diatur pada Pasal 203

KUHAP. Hukum acara ini atau yang dikenal dalam bahasa asing the short

session of the court pada hakikatnya hampir sama dengan perkara sumir

yang diatur dalam HIR.

Pembuktian dan penerapan ukumnya mudah dan sifatnya sederhana

dapat berlaku jika penuntut umum menilai dan berpendapat suatu perkara

sifatnya sederhana. Adapun yang dimaksud dengan sederhana adalah

pemeriksaan perkara tidak memerlukan persidangan waktu yang lama dan

memungkinkan untuk diputus pada hari itu juga.64

Sedangkan terhadap ketentuan kedua tentang pembuktian dan

penerapan hukumnya mudah adalah tersangka/terdakwa mengakui

63
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Cet 15, Sinar Grafika, 2016, hlm.
109
64
Ibid., hlm 396

79
sepenuhnya tindak pidana yang dilakukan. Selain itu pengakuan tersebut

didukung dengan alat bukti yang cukup. Begitu juga dengan sifat dan tindak

pidana yang didakwakan sederhana dan mudah untuk diperiksa.

Pada umumnya dalam praktik peradilan, hukuman pidana yang

dijatuhkan pada acara pemeriksaan singkat tidak lebih dari 3 (tiga) Tahun

penjara. Dalam hal ini penuntut umum harus meneliti dengan seksama

tentang ancaman hukuman yang ditentukan dalam tindak pidana

bersangkutan. Patokan yang harus digunakan oleh penuntut umum dalam

menentukan suatu perkara masuk kedalam kelompok hukum acara

pemeriksaan singkat ialah dari segi ancaman hukumanya yakni ancaman

hukuman diatas tiga bulan penjara dan denda lebih dari Rp. 7.500,00. Inilah

yang menjadi patokan minimum oleh penuntut umum sedangkan untuk

maksimal tidak dijelaskan oleh undang-undang namun pada umumnya

berkisar paling tinggi tiga Tahun penjara.

Tata Cara Pemeriksaan Acara Pemeriksaan Singkat

Pada umumnya berpedoman pada acara pemeriksaan biasa, dalam

Pasal 203 ayat 3 menegaskan bahwa hukum acara pemeriksaan singkat

berlaku ketentuan sebagai berikut :

1) Bagian Kesatu Bab XVI

Bagian ini mengatur tentang tata cara pemeriksaan terdakwa dan saksi

maupun ahli. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 dan 146 KUHAP,

yang pada intinya sebagai berikut:65

65
Lihat Pasal 145 dan 146 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

80
a) Surat pemanggilan disampaikan pada terdakwa pada alamat

tinggalnya

b) Apabila alamat tempat tinggalnya tidak diketahui maka

disampaikan pada alamat terakhirnya

c) Apabila alamat kediaman tidak diketahui maka disampaikan pada

kepala desa tempat kediaman terakhirnya

d) Surat panggilan terdapat terdakwa yang di dalam rutan disampaikan

melalui pejabat rutan

e) Surat panggilan yang diterima baik kepada terdakwa langsung

maupun orang yang, dilakukan dengan tanda tangan penerimaan

f) Apabila tempat kediaman sama sekali tidak diketahui maka surat

panggilan ditempelkan pada papan pengumuman pengadilan yang

mengadili

g) Surat panggilan memuat hari, tanggal, jam dan tempat sidang

h) Surat panggilan memuat untuk perkara apa ia dipanggil

i) Panggilan disampaikan selambat-lambatnya 3(tiga) hari sebelum

dimulainya persidangan

2) Bagian Kedua Bab XVI

Pada bagian ini berlaku acara pemeriksaan singkat yang mengatur

tentang sengketa wewenang mengadili. Patokan yang digunakan hakim

dalam menentukan kewenangan mengadili ialah Berdasarkan Pasal 84, 85,

86. Asas yang paling utama menurut Pasal 84 ayat 1 ialah asas tempat

tindak pidana dilakukan.

81
3) Bagian Ketiga Bab XVI

Pada bagian ini berlaku acara pemeriksaan yang mengatur tentang tata

cara pemeriksaan. Pada dasarnya semua aturan yang berlaku pada hukum

acara pemeriksaan biasa juga berlaku pada hukum acara pemeriksaan

singkat, baik berupa tata cara pemeriksaan saksi dan ahli yang diatur pada

Pasal 159- 181 KUHAP maupun tata cara pemeriksaan terdakwa yang juga

diatur pada Pasal 153-158 dan 181-182 KUHAP.

Setiap pengadilan negeri biasanya telah menetapkan hari tertentu

untuk melangsungkan perkara singkat, pada hari tersebut penuntut umum

langsung membawa dan melimpahkan perkara ke pengadilan. Berkas yang

dibawa tidak menggunakan surat pelimpahan sebagaimana biasanya, tetapi

langsung dilimpahkan pada hari sidang yang telah ditentukan.

Berkas yang dilimpahkan ke pengadilan khususnya dalam perkara

dengan acara singat tidak diwajibkan menggunakan surat dakwaan, namun

lebih baik jika penuntut umum membuat surat dakwaan agar lebih mudah

dalam menjelaskan dakwaan pada persidangan. Jika penuntut umum tidak

menggunakan surat dakwaan maka penuntut umum cukup memberitahukan

secara lisan tentang tindak pidana yang didakwakan.

Pada dasarnya menyampaikan dakwaan secara lisan berpedoman

kepada ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf b dan Pasal 203 ayat 3 huruf a

angka

1. Dengan demikian dakwan yang disampaikan harus jelas menerangkan :

a) Unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sesuai

dengan yang dimuat dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan.

82
b) Menyebutkan tempat, waktu dan tindak pidana yang dilakukan

c) Juga menjelaskan keadaan yang menyangkut perbuatan tindak

pidana.

Jika pemberitahuan dakwaan secara lisan tidak sesuai dengan

ketentuan hukum yang diatas maka mengakibatkan dakwaan batal demi

hukum.66 Dakwaan yang disampaikan oleh penuntut umum dicatat oleh

panitera dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan dan catatan ini

berfungsi sebagai pengganti surat dakwaan. Salah satu tujuan utama

pemeriksaan dengan acara pemeriksaan singkat adalah penyederhanaan

proses serta sedapat mungkin menyidangkan dan memutus perkara tersebut

pada hari itu juga.

Ketentuan dalam Pasal 203 ayat 3 huruf b KUHAP juga menjelaskan

dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan

pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama 14(empat belas) hari dan

bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat

menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara

itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa. Guna kepentingan

pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasehat hukum,

hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama 7(tujuh) hari.

Salah satu pembeda dari acara pemeriksaan biasa dengan acara

pemeriksaan singkat adalah pembuatan surat putusan. Dalam hukum acara

pemeriksaan singkat pembuatan surat putusan disatukan dengan berita acara

66
Ibid. hlm 400
83
sidang, hal ini sesuai dengan Pasal 203 ayat 3 huruf d yang menyatakan

putusan dalam acara pemeriksaan singkat “dicatat” dalam berita acara

sidang. Dalam hal jika pemeriksaan suatu perkara yang menggunakan acara

pemeriksaan singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan, dan seharusnya

diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat, maka hakim dengan persetujuan

terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut, penyataan diatas

berpedoman kepada Pasal 204 KUHAP. Pengaturan hukum cara singkat

dapat dilakukan dengan sebagai berikut:67

a) Berdasarkan Pasal 203 KUHAP maka yang diartikan dengan

perkara acara singkat adalah perkara pidana yang menurut Penuntut

Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya

sederhana.

b) Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut

Umum dapat dilakukan pada hari¬-hari persidangan tertentu yang

ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

c) Pada hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum langsung

membawa dan melimpahkan perkara singkat kemuka Pengadilan.

d) Ketua Pengadilan Negeri sebelum menentukan hari persidangan

dengan acara singkat, sebaiknya mengadakan koordinasi dengan

Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan supaya berkas perkara dengan

acara singkat diajukan tiga hari sebelum hari persidangan.

67
http://www.pn-muaraenim.go.id/index.php/layanan-hukum/pidana/pidana-acara-singkat Diakses
pada 19 Maret 2022 pada pukul 20.00 WIB
84
e) Penunjukan Majelis / Hakim dan hari persidangan disesuaikan

dengan keadaan di daerah masing-masing.

f) Pengembalian berkas perkara kepada kejaksaan atas alasan formal

atau berkas perkara tidak lengkap.

g) Pengembalian berkas perkara dilakukan sebelum perkara diregister.

h) Cara pengembalian kepada kejaksaan dilakukan secara langsung

pada saat sidang di pengadilan tanpa prosedur adminstrasi.

i) Dalam acara singkat, setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis serta

menanyakan identitas terdakwa kemudian Penuntut Umum

diperintahkan untuk menguraikan tindak pidana yang didakwakan

secara lisan, dan hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Sidang

sebagai pengganti surat dakwaan (Pasal 203 ayat 3 KUHAP).

j) Tentang pendaftaran perkara pidana dengan acara singkat, didaftar

di Panitera Muda Pidana setelah Hakim memulai pemeriksaan

perkara.

k) Apabila pada hari persidangan yang ditentukan terdakwa dan atau

saksi-saksi tidak hadir, maka berkas dikembalikan kepada Penuntut

Umum secara langsung tanpa penetapan, sebaiknya dengan buku

pengantar (ekspedisi),

l) Hakim dalam sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum

mengadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan

pemeriksaan penyidikan jika hakim berpendapat pemeriksaan

penyidikan masih kurang lengkap.

m) Perintah pemeriksaan tambahan dituangkan dalam surat penetapan.

85
n) Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari,

sejak penyidik menerima surat penetapan pemeriksaan tambahan.

o) Jika hakim belum menerima hasil pemeriksaan tambahan dalam

waktu tersebut, maka hakim segera mengeluarkan penetapan yang

memerintahkan supaya perkara diajukan dengan acara biasa.

p) Pemeriksaan dialihkan ke pemeriksaan acara cepat dengan tata cara

sesuai Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP.

q) Untuk kepentingan persidangan Hakim menunda persidangan

paling lama 7 hari

r) Putusan perkara pidana singkat tidak dibuat secara khusus tetapi

dicatat dalam Berita Acara Sidang.

s) BAP dibuat dengan rapi, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip ex

jika terdapat kesalahan tulisan diperbaiki dengan renvoi.

t) Ketua Majelis Hakim / Hakim yang ditunjuk bertanggung-jawab

atas ketepatan batas waktu minutasi.

u) Paling lambat sebulan setelah pembacaan putusan, berkas perkara

sudah diminutasi.

v) Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan kepada

terdakwa atau penasihat hukumnya, dan penuntut umum.

Sedangkan yang terbaru belum kita temui, pengaturanyan masih

bersifat rancangan yang terdapat dalam Pasal 198 Rancangan Undang-

86
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2009 sebagai

berikut:68

a) Perkara yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah

perkara tindak pidana yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 199 dan

yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya

mudah dan sifatnya sederhana.

b) Dalam perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Penuntut

Umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, barang bukti, ahli, dan juru

bahasa apabila diperlukan.

c) Dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berlaku

ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua, dan Bagian Ketiga Bab ini

dengan ketentuan bahwa:

i. Penuntut Umum dengan segera setelah terdakwa di sidang

menjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147

ayat 4 memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa

tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan

menerangkan waktu, tempat, dan keadaan pada waktu tindak pidana

dilakukan, yang dicatat dalam Berita Acara sidang dan merupakan

pengganti surat dakwaan;

ii. Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, maka

diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama 14 (empat

belas) hari dan apabila dalam waktu tersebut Penuntut Umum belum

68
Lihat Pasal 198 Rancangan Undang-Undang KUHAP Tahun 2009

87
juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim

memerintahkan perkara tersebut diajukan ke sidang pengadilan

dengan acara pemeriksaan biasa;

iii. Guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa

dan/atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling

lama 7 (tujuh) hari;

iv. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam Berita

Acara sidang;

v. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan dan surat

tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan

pengadilan dalam acara pemeriksaan biasa.

3. Acara Pemeriksaan Cepat

Hukum Acara Pemeriksaan Cepat diatur dalam bagian keenam bab

XVI KUHAP yang dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:69

Acara Pemeriksaan tindak pidana ringan, yang diatur dalam paragraf 1

dari Pasal 205 sampai dengan Pasal 210 KUHAP. Menurut Pasal 205 ayat 1

KUHAP, perkara yang diperiksa menggunakan acara pemeriksaan cepat

adalah perkara-perkara yang diancam pidana :

Pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan atau pidana denda
sebanyak-banyaknya Rp. 7500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), Penghinaan
ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHAP, yang ancaman
hukumanya paling lama 4 bulan penjara. Pada perkara tindak pidana ringan,
yang melimpahkan perkara ke pengadilan adalah penyidik, penyidik atas
kuasa penuntut umum.

69
Ramelan, Hukum Acara Pidana : Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2005, hlm.
282

88
Acara Pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan, yang diatur

dalam paragraf 2 dari Pasal 211 sampai dengan Pasal 216. Kalau dalam

pemeriksaan perkara dengan acara ringan, penyidik membuat berita acara

sekalipun berupa berita acara ringkas dalam pelanggaran lalu lintas jalan

penyidik tidak perlu membuat berita acara pemeriksaan.70 Acara

pemeriksaan ini merupakan mekanisme acara yang terakhir setelah

sebelumnya acara pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaan singkat.

E. Tinjauan Umum Restorative Justice

1. Pengertian Restorative Justice menurut para ahli

Umbreit dalam tulisannya menjelaskan bahwa:

“Restorative justice is a “victim-centered response to crime that

allows the victim, the offender, their families, and representatives of

community to address the harm caused by the crime”

(Keadilan restorative adalah sebuah “tanggapan terhadap tindak

pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku

tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari

masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh

tindak pidana”.)71

70
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali…,Op.Cit, hlm. 423.
71
Mark Umbreit, Family Group Conferencing: Implications for Crime Victims, The Center for
Restorative Justice, University of Minnesota, http://www.ojp.us-
doj/ovc/publications/infores/restorative_justices/9523-family_group/family3.html., 2001.
Lihat: Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition,
Wastview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 407-408.

89
Terhadap pandangan tersebut Daly72 mengatakan, bahwa konsep

Umbreit tersebut memfokuskan kepada “memperbaiki kerusakan dan

kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana” yang harus ditunjang melalui

konsep restitusi, yaitu “mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan

kerugian yang diderita oleh pra korban tindak pidana dan memfasilitasi

terjadinya perdamaian”.73

Dengan demikian tepatlah yang dikatakan oleh Tony Marshall bahwa

sebenarnya keadilan restorative adalah suatu konsep penyelesaian suatu

tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan

untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari

penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana

tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang.74

Menurut Wright, bahwa tujuan utama dari keadilan restoratif adalah

pemulihan, sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi.75 Hal ini berarti

bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan restoratif

adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana, yang bertujuan untuk

memulihkan

72
Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies, Law in Context 1:167-190,
2000. Lihat : Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition,
Westview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 367.
73
Sthepanie Coward-Yaskiw, Restorative Justice: What Is It? Can It Work? What Do Women
Think?, Horizons 15 Spring), http: web.infotrac.gale-group.com; Lihat : Mark M. Lanier
dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition, Westview, Colorado, USA,
2004, hlm. 332 dan 365
74
Tony Marshall, Restorative Justice: An Overview, London: Home Office Research Development
and Statistic Directorate, 1999, hlm. 5, diakses dari website:
http//www.restorativejustice.org. pada tanggal 21 Maret 2022 pukul 17.01
75
Wright, 1991 hlm. 117 diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada tanggal 21
Maret 2022 pukul 17.01

90
keadaan yang di dalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban melalui

cara- cara tertentu yang disepakati oleh para pihak yang terlibat di

dalamnya.

Menurut UNODC, bahwa yang dimaksud dengan restorative justice

adalah pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya,

melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan

dan masyarakat.76

Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa

perilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban

dan masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku

kriminal harus, bila memungkinkan, melibatkan pelaku serta pihak-pihak

yang terluka, selain menyediakan yang dibutuhkan bagi korban dan pelaku

berupa bantuan dan dukungan.77

Sedangkan menurut Clifford Dorn, seorang sarjana terkemuka dari

gerakan restorative justice, telah mendefinisikan restorative justice sebagai

filosofi keadilan menekankan pentingnya dan keterkaitan pelaku, korban,

masyarakat, dan pemerintah dalam kasus-kasus kejahatan dan kenakalan

remaja.78

Menurut Centre for Justice & Reconciliation (CJR) bahwa restorative

justice adalah teori keadilan yang menekankan memperbaiki kerugian yang

disebabkan oleh perilaku kriminal. Hal ini paling baik dilakukan ketika para

76
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series,
(Vienna: UN New York, 2006), hlm. 5
77
Rocky Mabun, Restorative Justice Sebagai Sistem Pemidanaan di Mas Depan,
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com, diakses pada 21 Maret 2022 pukul 17.07
78
Susan C. Hall, Restorative Justice in the Islamic Penal Law. A Cintribution to the Global System,
Duquesne University School of Law Research Paper, No. 2012-11, hlm. 4.
91
pihak bersama-sama secara sadar bertemu untuk memutuskan bagaimana

untuk melakukan hal ini. Hal ini dapat menyebabkan transformasi hubungan

antar masyarakat.79

Dari berbagai pendapat para ahli diatas maka peneliti dapat

mendefinisikan bahwa restorative justice adalah pada prisipnya merupakan

suatu pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan masalah di luar

pengadilan dengan mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu

keadilan yang diharapkan oleh para pihak yaitu antara lain pelaku tindak

pidana serta korban tindak pidana untuk mencari solusi terbaik yang

disepakati oleh para pihak.

Dalam hal ini restorative justice mengandung arti yaitu keadilan yang

direstorasi atau dipulihkan. Masing masing pihak yang terlibat dalam suatu

tindak pidana diberikan kesempatan untuk bermusyawarah, restorative

justice menekankan pada kesejahteraan dan keadilan.Korban tindak pidana

berhak menuntut ganti rugi kepada pelaku tindak pidana yaitu kerugian yang

telah dideritanya, sedangkan pelaku tindak pidana wajib mengganti kerugian

yang disebabkan olehnya kepada korban.

2. Konsep Restorative Justice

Menurut Sarre:80

79
Dvannes, Restorative Justice Briefing Paper-2, Centre for Justice & Reconciliation, November
2008, hlm. 1.
80
Rick Sarre, Restorative Justice: A Paradigm of Possibility, dalam Martin D. Schwartz dan Suznne
E. Hatty, eds., Contoversies in Critical Criminology, 2003, hlm. 97-108. Lihat: Mark M.
Lanier dan Struart Henry, Essential Criminology, Second Edition, Westview, Colorado,
USA, 2004, hlm. 332 dan 400.

92
…, restorative justice is concerned with rebuilding relationships after

an offence, rather driving a wedge between offenders and their

communities, which is the hallmark of modern criminal justice systems.

(Keadilan restorative bekaitan dengan bagaimana membangun

kembali hubungan setelah terjadi suatu tindak pidana, bukannya

membangun tembok pemisah antara para pelaku tindak pidana dengan

masyarakat mereka, yang merupakan hallmark (tanda/karakteristik) dari

sistem-sistem peradilan pidana modern).

Dari pendapat Sarre tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa

konsep dasar pendekatan restoratif berupa tindakan untuk “membangun

kembali hubungan yang rusak akibat tindak pidana” telah lama dikenal dan

dipraktikkan di dalam hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dengan

perkataan lain dapat dinyatakan bahwa filosifi dasar tujuan pendekatan

restorative, yaitu “memulihkan keadaan pada keadaan semula sebelum

terjadinya konflik” adalah identik dengan filosofi “mengembalikan

keseimbangan yang terganggu” yang terdapat dalam Hukum Adat

Indonesia. Burt Galaway dan Joe Hudson menyatakan bahwa konsep

keadilan menurut konsep keadilan restorative, memiliki unsure-unsur

yang sangat mendasar, yaitu81 pertama, tindak pidana

dipandangsebagai suatu konflik/pertentangan antara individu-

individu yang mengakibatkan kerugian kepada para korban, masyarakat,

dan para pelaku tindak pidana itu sendiri;

81
Burt Galaway dan Joe Hudson, Criminal Justice, Restitution and Reconciliation (Criminal
Justice) Penggantian Kerugian dan Perdamaian). Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1990
hlm. 2, diakses dari wbsite http://www.restorativejustice.org pada tanggal 21 Maret
2022 pukul
93
17.16 WIB

94
kedua, tujuan dari proses (criminal justice) haruslah menciptakan

perdamaian di dalam masyarakat dengan memperbaiki kerugian yang

diakibatkan oleh konflik itu; ketiga, proses tersebut harus menunjang

partisipasi aktif oleh para korban, pelaku dan masyarakat untuk menemukan

pemecahan terhadap konflik yang bersangkutan.

Unsur-unsur yang mendasari pendekatan restoratif sebagaimana yang

diutarakan oleh Burt Gallaway dan Joe Hudsob tersebut, memberi

pemahaman bahwa korban sebagai pihak yang mengalami dampak kerugian

atau kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana memiliki

hak sepenuhnya untuk ikut serta dalam proses penyelesaian dan pemulihan

tindak pidana tersebut.

Pemahaman tersebut membawa konsekuensi logis terhadap makna dan

pengertian tindak pidana yang bukan lagi harus dipandang sebagai suatu

perbuatan melanggar hukum yang harus diberi sanksi oleh Negara tetapi

suatu perbuatan yang harus dipulihkan melalui ganti rugi atau jenis sanksi

lain yang sifatnya menjauhi efek pemenjaraan.

3. Prinsip Restorative Justice

Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat

dalam konsep pendekatan restoratif dalam peneyelesaian tindak pidana,

antara lain sebagai berikut:

a) Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)

Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh Negara, kepada

tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang

95
prosedural perlindungan tertetu ketika dihadapkan pada penuntutan atau

penghukuman. Proses peradilan (due process) haruslah dianggap sebagai

bentuk perlindungan untuk member keseimbangan bagi kekuasaan Negara

untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari suatu putusan

penghukuman.82

Dalam implementasinya, mekanisme proses pendekatan restoratif

menghendaki adanya keinginan untuk tetap memberi perlindungan bagi

tersangka yang terkait dengan due process. Akan tetapi, karena dalam

proses restorasi mengharuskan adanya pengakuan bersalah terlebih dahulu

maka hal ini menimbulkan pertanyaan mengeai sampai sejauh mana

persetujuan yang diberitahukan (informed consent) dan pelepasan hak suka

rela (wiver of rights) dapat dipergunakan sebagai awal penyelesaian yang

adil.83

Konsep dasar penyelesaian melalui pendekatan restoratif yang

mengharuskan adanya pengakuan bersalah bagi pelaku adalah merupakan

syarat untuk mendapatkan jalan keluar dilanjutkannya proses pemulihan dan

sekaligus sebagai isyarat bahwa pelaku harus bertanggung jawab atas

perbuatannya, karena sebuah pengakuan bersalah adalah bentuk lain dari

suatu tanggung jawab.

b) Perlindungan yang Setara

Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan

restoratif, keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami akan

makna dan

82
Van Ness dan Strong, 1997, hlm. 15, diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada

96
tanggal 23 Maret 2022 pukul 17.21
83
Dr. Rufinus Hotmalana Hutauruk, S.H, M.M, M.H. 2013. Penanggulangan Kejahatan Korporasi
Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. hlm. 127.

97
tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, asal

bangsa dan kedudukan sosial lainnya.84

c) Hak-Hak Korban

Dalam penyelesaian masalah melalui pendekatan restoratif, hak-hak

korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang

berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan (hukum) dalam

proses penyelesaiannya. Pada sistem peradilan pidana pada umumnya,

ditengarai bahwa korban tidak menerima perlindungan yang setara dari

pemegang wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang

hakiki dari korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar

pemenuhan sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.

d) Proporsionalitas

Gagasan fairness di dalam sistem restoratif didasarkan pada konsensus

persetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam menyelesaikan

masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan dengan

lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus dikenakan pada

pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan pidana pada

umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah memenuhi

suatu perasaan keadilan retributive (keseimbangan timbale balik antara

punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan restoratif dapat

84
Ibid.

98
memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar

yang melakukan pelanggaran yang sama.85

e) Praduga Tak Bersalah

Dalam peradilan pidana pada umumnya, Negara memiliki beban

pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan sampai

beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus dianggap tidak bersalah.

Berbeda halnya dalam proses restoratif, yang mensyaratkan suatu

pengakuan bersalah merupakan syarat dilanjutkannya lingkaran

penyelesaian.

Dalam proses-proses restoratif, hak-hak tersangka mengenai praduga

tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara yaitu tersangka memiliki

hak untuk melakukan terminasi proses restorasi dan menolak proses

pengakuan bahwa ia bersalah, dan selanjutnya memilih opsi proses formal

dimana kesalahan harus dibuktikan, atau tersangka dapat memperoleh hak

untuk banding ke pengadilan dan semua perjanjian yang disepakati dalam

proses restoratif dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat.86

f) Hak Bantuan Konsultasi atau Penasehat Hukum

Dalam proses restoratif, advokat atau penasehat hukum memiliki

peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan pelanggar dalam

melindungi haknya vis a vis bantuan penasehat hukum. Dalam semua

tahapan informal yang restorative, tersangka dapat diberi informasi melalui

bantuan

85
Warner,1994, diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada tanggal 21 Maret 2022
pukul 17.30
99
86
Moore, 1993, hlm. 19, diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada tanggal 21
Maret 2022 pukul 17.30

10
0
penasehat hukum mengenai hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan

sebagai pertimbangan dalam membuat membuat keputusan.87

Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpartisipasi dalam

sebuah proses restorative, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas

namanya sendiri. Posisi-posisi mereka yang mengizinkan pengacara

mewakili partisipan-partisipan dalam semua titik tahapan selama proses

restoratif, akan menghancurkan banyak manfaat yang diharapkan dari

“perjumpaan” (encounter), seperti komunikasi langsung dan pengungkapan

perasaan, danpembuatan keputusan kolektif proaktif. Pengacara juga bisa

sangat membantu dalam memberi saran klien-klien mereka tentang hasil

yang paling mungkin yang didapatkan dan seharusnya diharapkan.

4. Model Sistem Pendekatan Restoratif88

Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative tidak akan

menjadi suatu realitas yang dapat diimplementasikan jika tidak dapat

dibangun atau dikembangkan suatu model struktural dengan paradigm

restoratif yang akan menjadi pilihan alternative dalam sistem hukum pidana.

Dalam hal ini ada berbagai macam model sistem pendekatan restoratif yang

dijabarkan oleh Van Ness, antara lain :

a) Unified System

Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesetaraan

dalam hukum melihat hiptesa Christie, yaitu bahwa Negara telah mencuri

87
Ibid.
88
Rufinus Hotmalana Hutauruk. 2013. Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. hlm. 141-145.

10
1
konflik dari para pihak menjadi suatu pilihan yang dapat member

pandangan untuk memvisikan pendekatan restoratif menggantikan peradilan

pidana.

Untuk mengembalikan konflik itu ke “pemiliknya yang berhak,

memerlukan suatu pendekatan yang benar-benar berbeda dalam mengelola

pemberian proses-proses keadilan, yang memungkinkan korban dan

pelanggar dapat menentukan sendiri hasil penyelesaian konfliknya tersebut

dan Negara tidak memiliki hak mutlak atas konflik yang dimaksud,

sehingga berdasar pandangan ini, proses-proses penyelesaian tindak pidana

melalui pendekatan restorative seharusnya dapat menggantikan semua

proses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya.

b) Dual Track System

Model dual track system ini dapat dibuat menjadi suatu pendamping

alternatif bersama sistem peradilan pidana yang ada. Dalam suatu model

jalur ganda, proses restoratif dan proses tradisional akan berdampingan

secara bersama-sama, dimana para pihak yang menentukan wacana jalannya

proses dari suatu kasus tertentu. Jika kesepakatan untuk memasuki proses

restoratif tidak dapat dicapai (dengan konsesus semua pihak yang

berkepentingan) maka sistem pengadilan peradilan pidana akan tetap

tersedia. Jadi, dalam hal ini pendekatan restoratif ditempatkan menduduki

prosisi primer sedangkan lembaga-lembaga formal adalah berperan sebagai

suatu unsure pendukung, sebagaimana model peradilan pidana Jepang pada

dasarnya terdiri dari suatu sistem dua jalur, yang sistem peradilan

formalnya sama dengan mayoritas

10
2
Negara demokrasi industry, dengan hukum pidana materiil dan hukum

pidana formilnya yang mengatur jalannya proses suatu kasus tindak pidana.

c) Safeguard System

Model ini adalah suatu model yang dirancang untuk menangani tindak

pidana melalui pendekatan restorative, dimana program-program restorasi

akan menjadi sarana utama untuk menangani permasalahan-permasalahan

tindak pidana maka hal ini berarti bahwa akan terjadi suatu peralihan besar

dari sistem peradilan pidana pada umunya yang akan mengalami reduksi ke

sistem keadilan restorative. Namun, untuk kasus-kasus tertentu akan tetap

ditangani oleh sistem peradilan pidana yang kontemporer, yaitu kasus-kasus

yang dianggap tidak sesuai untuk ditangani oleh suatu proses atau program

restorative. Contoh-contohnya mungkin dalam situasi-situasi dimana

diperlakukan suatu jawaban pasti atas adanya suatu pertanyaan yang riil

perihal “bersalahnya” si terdakwa, atau situasi-situasi dimana tindakan-

tindakan koersif signifikan atau tindakan-tindakan pengendalian tampak

diperlukan untuk perlindungan masyarakat.

d) Hybrid System

Dalam model ini, proses penentuan atau penetapan seseorang bersalah

diproses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya dan kemudian dalam

proses penentuan saksi maka konsep pendekatan restoratif dapat

dipergunakan untuk menentukan jenis sanksinya. Dalam sistem hybrid, baik

respon pendekatan restoratif maupun respon peradilan pidana kontemporer

dipandang sebagai bagian-bagian normatif dari sistem peradilan.

10
3
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Penghentian Penuntutan Tindak Pidana Ringan Oleh

Kejaksaan Republik Indonesia Berbasis Restorative Justice Saat Ini.

Bersamaan dengan kegagalan sistem peradilan pidana yang didasari

dinamika perubahan dan perkembangan hukum pidana, timbul suatu paradigma

penghukuman yang disebut sebagai restorative justice. Dalam restorative justice

pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada

korban, keluarganya dan juga masyarakat. Program utamanya adalah “a meeting

place for people” guna menemukan solusi perbaikan hubungan dan kerusakan

akibat kejahatan.

Program keadilan restoratif ditingkat penuntutan dapat dijalankan

berdasarkan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 tersebut memberikan wewenang kepada jaksa untuk

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kalimat,

“mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”, dapat dimaknai perubahan

dan pergeseran dari prosedur retributive justice ke arah restorative justice, dari

berorientasi kepada penjatuhan pidana ke arah orientasi perbaikan dan

perlindungan masyarakat, yakni kepentingan pelaku, korban dan kepentingan

masyarakat luas.

10
4
Perbedaan antara Retributive Justice dengan Restorative Justice dapat

dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1.1

Perbedaan Retributive Justice dengan Restorative Justice

Retributive Justice Model Restorative Justice Model

Kejahatan dirumuskan sebagai Kejahatan dirumuskan sebagai

pelanggaran terhadap negara, hakekat pelanggaran seseorang terhadap orang

konflik dari kejahatan dikaburkan dan lain, dan diakui sebagai konflik.

ditekan.

Perhatian diarahkan pada penentuan Titik perhatian pada pemecahan

kesalahan pada masa lalu. masalah pertanggungjawaban dan

kewajiban pada masa depan.

Hubungan para pihak bersifat Sifat Normatif dibangun atas dasar

perlawanan, melalui proses yang dialog dan negoisasi.

teratur dan bersifat normatif.

Penerapan penderitaan untuk Restitusi sebagai sarana perbaikan

penjeraan dan pencegahan. para pihak, rekonsiliasi dan restorasi

sebagai tujuan utama.

Keadilan dirumuskan dengan Keadilan dirumuskan sebagai

kesengajaan dan dengan proses. hubungan-hubungan hak, dinilai atas

dasar hasil.

Kerugian sosial yang satu digantikan Sasaran perhatian pada perbaikan

oleh yang lain. kerugian sosial.

10
5
Masyarakat berada pada garis samping Masyarakat merupakan fasilitator di

dan ditampilkan secara abstrak oleh dalam proses restoratif.

negara.

Aksi diarahkan dari negara pada Peran korban dan pelaku tindak

pelaku tindak pidana , koraban harus pidana diakui, baik dalam masalah

pasif. maupun penyelesaian hak-hak dan

kebutuhan korban. Pelaku tindak

pidana didorong untuk

bertanggungjawab.

Pertanggungjawaban si pelaku Pertanggungjawaban si pelaku

tindak pidana dirumuskan dalam dirumuskan sebagai dampak

rangka pemidanaan. pemahaman terhadap perbuatan dan

untuk membantu memutuskan yang

Terbaik.

Tindak pidana dirumuskan dalam Tindak pidana dipahami dalam

terminologi hukum yang bersifat konteks menyeluruh, moral, sosial dan

teoritis dan murni tanpa dimensi ekonomis.

moral, sosial dan ekonomi.

Stigma kejahatan tak dapat Stigma dapat dihapus melalui tindakan

dihilangkan. restoratif.

Dari uraian di atas nampak bahwa keadilan restoratif sangat peduli terhadap

pembangunan kembali hubungan setelah terjadinya tindak pidana, daripada

10
6
memperparah keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat yang merupakan

karakter sistem peradilan pidana modern saat ini. Keadilan restoratif merupakan

reaksi yang bersifat “victim-centered”, terhadap kejahatan yang memungkinkan

korban, pelaku, keluarga dan wakil-wakil mayarakat untuk memperhatikan

kerugian akibat terjadinya tindak pidana. Pusat perhatian diarahkan kepada

reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian yang diderita akibat kejahatan dan

memprakarsai serta memfasilitasi perdamaian. Hal ini untuk menggantikan dan

menjauhi keputusan terhadap yang menang atau kalah melalui system adversarial

(permusuhan). Keadilan restoratif berusaha memfasilitasi dialog antara berbagai

pihak yang terlibat atau dipengaruhi akibat kejahatan, termasuk korban, pelaku,

keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.89

Dalam menyelenggarakan sistem pemasyarakatan yang sesuai

dengan retributive justice, diharapkan pelaku tindak pidana mendapat pembinaan

agar menyadari dan menyesali kesalahan, bertanggungjawab atas perbuatan,

memperbaiki diri, dan tidak melakukan tindak pidana lagi ketika kembali ke

masyarakat. Namun pada kenyataannya, tujuan dari sistem pemidanaan ini tidak

serta merta dapat terlaksana dikarenakan sejumlah permasalahan yang ada di

Lembaga Pemasyarakatan, salah satunya yaitu kelebihan kapasitas. Kelebihan

kapasitas di penjara sendiri terjadi dikarenakan tingginya angka kriminalitas yang

bersumber dari hancurnya sistem pemidanaan saat ini yang dinilai hanya

mengutamakan pada pemidanaan dan penghukuman pelaku tindak pidana dan

belum meperhatikan kepentingan korban dan/atau masyarakat yang dirugikan.

89
Muladi, Loc.cit. hlm. 5.

10
7
Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan perkara ini adalah

dengan menerapkan sistem restorative justice.

Restorative justice dapat dirumuskan sebagai sebuah pemikiran yang

merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada

kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.90

A.1. Dasar Hukum dan Tata Pelaksanaan Kebijakan Penghentian

Penuntutan Oleh Kejaksaan Republik Indonesia.

Dengan diterbitkannya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15

tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

maka untuk saat ini Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menjalankan

amanat hukum progresif dimana penegak hukum dapat memberikan perlindungan

bukan hanya bagi korban namun juga kepada tersangka atas dasar musyawarah

dan mediasi kepada kedua belah pihak.

Jika dilihat dari kacamata hukum progresif, maka kejaksaan dengan asas

dominus litis sesungguhnya bukan hanya sebagai alat pemerintah untuk

menegakan hukum. Berbicara kewenangan penuntut umum dalam hal penuntutan,

dapat dilihat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang

mengatur secara jelas posisi dari Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia yang

mana merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman. Berdasarkan Pasal 24 ayat 3

Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 41 Undang-Undang. Nomor 4 Tahun 2004

Tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia

menyandang asas dominus litis.


90
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Pustaka

Magister, Semarang, 2012, hlm. 4-5.

10
8
Asas dominus litis ini merupakan asas kewenangan mutlak dari penutut umum

dalam melaksakan penuntutan, hanya penuntut umum yang dapat menentukan

seseorang dikatakan sebagai terdakwa dan melimpahkan perkara terdakwa ke

pengadilan berdasarkan alat bukti yang cukup dan melaksanakan penetapan

maupun putusan pengadilan. Lebih singkatnya asas dominus litis ini memiliki arti

“jaksa” atau penguasa perkara sehingga dalam proses peradilan pidana, jaksalah

yang berwenang apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan ke pengadilan

atau tidak.91

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor

15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,

perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya

berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;


b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian
yang ditimbulkan akibat dari indak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah).
Dapat dijabarkan pada poin a, tersangka baru pertama kali melakukan tindak

pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak

pidana. Status tersangka diberikan saat proses penyidikan di mana bukti

permulaan telah ditemukan.

91
Tiar Adi Riyanto. Fungsionalisasi Prinsip Dominus Litis Dalam Penegakan Hukum Pidana Di
Indonesia. Lex Renaissan Vol 6(3), 2021. Hlm 481-492

109
Terdapat beberapa hak yang dimiliki oleh seorang tersangka. Hak-hak

tersebut, yakni:

1. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik agar selanjutnya

dapat diajukan kepada penuntut umum;

2. Hak agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum;

3. Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik;

4. Hak mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan dari seorang atau

lebih penasihat hukum;

5. Hak mengajukan saksi atau ahli yang dapat menguntungkannya;

6. Hak mendapatkan bantuan juru bahasa jika tersangka tidak paham bahasa

Indonesia dan penerjemah jika tuli dan atau bisu dalam pemeriksaan pada

tingkat penyidikan.

Terdapat frasa “baru pertama kali melakukan tindak pidana” maka terkait

penetapan tersebut penuntut umum untuk terlebih dahulu memeriksa pada

penyidik Kepolisian apakah benar tersangka baru pertama kali melakukan tindak

pidana.

Membedah poin b, “tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau

diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun”. Sampai sekarang,

belum ada suatu peraturan atau literatur yang memberikan pedoman baku yang

lengkap mengenai parameter penentuan pidana. Dalam menentukan pidana, di

samping mempertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak

pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku, juga harus

mempertimbangkan sifat jahatnya perbuatan.

Untuk menentukan suatu tindak pidana dapat diancam pidana denda ataupun

pidana penjara serta menentukan seberapa lama hukuman yang dijalani, suatu

110
tindak pidana dapat dikualifikasikan pada pemberian bobot tindak pidana sebagai

berikut:

1. Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang meresahkan

masyarakat, ancaman pidananya ditingkatkan secara khusus dan

sebaliknya dengan alasan khusus dapat diturunkan ancaman

pidananya;

2. Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan

keuntungan ekonomi (yang tinggi), pidana penjara yang diancamkan

dapat cukup tinggi, pidana penjara yang diancamkan dapat

dialternatifkan dan dikumulatifkan dengan pidana denda;

3. Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan

disparitas pidana dan meresahkan masyarakat, pidana penjara dan

pidana denda dapat diancamkan secara minimum khusus.

Selanjutnya pada poin c ditegaskan bahwa “tindak pidana dilakukan

dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari

tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).”

Patokan nilai kerugian tindak pidana ringan sebesar Rp.2.500.000,-

diharapkan tidak ada lagi perkara-perkara ringan yang diselesaikan seperti tindak

pidana biasa. Sehingga implementasi restorative justice pada tahap penuntutan

dapat diterapkan. Selain daripada itu, pada Pasal 5 Ayat 6 Peraturan Kejaksaan

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan

Berdasarkan Keadilan Restoratif disebutkan penghentian penuntutan berdasarkan

Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:

1. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula dengan cara:


(a) mengembalikan barang yang diperoleh dari kejahatan;
(b) mengganti kerugian korban;
(c) mengganti biaya yang timbul dari kejahatan; dan/atau

111
(d) memperbaiki kerusakan yang timbul dari kejahatan;
2. Telah ada kesepakatan perdamaian; dan
3. Masyarakat merespon positif.

A.1.1 Tata Cara Perdamaian

Mengenai tata cara perdamaian telah diatur dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal

9 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Terdapat dua

komponen dalam tata cara penghentian penuntutan atas dasar perdamaian, yaitu

upaya perdamaian yang tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 8 serta proses

perdamaian yang telah diatur dalam Pasal 9. Upaya perdamaian ini merupakan

upaya yang ditawarkan oleh penuntut umum saat memasuki tahap penuntutan,

tanpa adanya tekanan, paksaan dan intimidasi.

Pasal 7

(1) Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan


Tersangka.
(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa
tekanan, paksaan, dan intimidasi.
(3) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada
tahap penuntutan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti (tahap dua).
Pasal 8

(1) Untuk keperluan upaya perdamaian, Penuntut Umum melakukan


pemanggilan terhadap Korban secara sah dan patut dengan menyebutkan
alasan pemanggilan.
(2) Dalam hal dianggap perlu upaya perdamaian dapat melibatkan keluaga
Korban/Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang
terkait.
(3) Penuntut Umum memberitahukan maksud dan tujuan serta hak dan
kewajiban Korban dan Tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak
untuk menolak upaya perdamaian.
(4) Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka
dilanjutkan dengan proses perdamaian.
(5) Setelah upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka,
Penuntut Umum membuat laporan upaya perdamaian diterima kepada
Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan Negeri untuk
diteruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
(6) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari pimpinan
dan masyarakat, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) juga

112
disampaikan kepada Jaksa Agung secara berjenjang.
(7) Dalam hal upaya perdamaian ditolak oleh Korban dan/ atau Tersangka
maka Penuntut Umum:
a. menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita acara;
b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan
dengan menyebutkan alasannya; dan
c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Tahap upaya perdamaian ini dimulai dengan pemanggilan terhadap korban

oleh penuntut umum diikuti dengan pemberitahuan alasan pemanggilan, maksud

dan tujuan upaya perdamaian, hak dan kewajiban korban dan tersangka dalam

upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian. Selain

korban, upaya perdamaian ini juga bisa melibatkan keluarga korban/tersangka,

tokoh/ perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait apabila diperlukan.

Dalam hal tawaran upaya perdamaian diterima oleh korban dan tersangka,

upaya ini kemudian dilanjutkan ke langkah selanjutnya yaitu proses perdamaian.

Namun apabila upaya perdamaian ditolak oleh korban dan/atau tersangka, maka

penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan.

Membahas terkait proses perdamaian, Penuntut Umum yang ada di proses

perdamaian berperan sebagai fasilitator, yang tidak mempunyai kepentingan atau

keterkaitan dengan perkara, korban maupun tersangka baik secara pribadi maupun

profesi. Proses perdamaian dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat

belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh tersangka,

proses ini dilakukan di kantor Kejaksaan. Setelah itu, jika proses perdamaian telah

tercapai, korban dan tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis di

hadapan penuntut umum yang isinya:

1. Sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu.

2. Sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.92

113
92
Lihat Pasal 9 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Apabila kesepakatan perdamaian telah tercapai, maka penuntut umum

melanjutkan untuk lapor ke Kepala Cabang/ Kepala Kejaksaan Negeri dengan

melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian, di samping laporan yang

disampaikan, penuntut umum juga meminta persetujuan penghentian penuntutan

berdasarkan Keadilan Restoratif.

A.1.2 Tahapan Proses Penghentian Perkara

Berdasarkan Surat Edaran Nomor : 01/E/EJP/02/2022 Tentang Pelaksanaan

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, tahapan proses

penghentian perkara adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan laporan Penuntut Umum bahwa musyawarah perdamaian

telah mencapai suatu kesepakatan. Kacabjari atau Kajari mengajukan

permohonan gelar perara kepada Jampidum melalu Kepala Kejaksaan

Tinggi dalam waktu 1 (satu) hari sejak kesepakatan perdamaian

menggunakan sarana tercepat.

2. Permohonan diajukan dengan melampirkan berita acara musyawarah

perdamaian, kesepakatan perdamaian dan nota pendapat Penuntut Umum.

3. Gelar perkara dilakukan paling lambat 2 (dua) hari sejak permohonan

diterima oleh Jampidum dengan media sarana elektronik.

4. Gelar perkra dilakukan oleh Penuntut Umum berserta pimpinan

Cabjari/Kajari dean Kajati dihadapan Jampidum.

5. Gelar perkara dilakukan dengan memaparkan kronologis singkat perkara,

upaya perdamaian, proses perdamaian dan kesepakatan perdamaian yang

difasilitasi oleh Penuntut Umum.

6. Setelah Jampidum menyetujui, Penuntut Umum memanggil para pihak

untuk melaksanakan proses perdamaian.


114
7. Berdasarkan laporan Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan.

Jenis-jenis penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah

sebagai berikut:

1) Mediasi korban dengan pelaku.

Tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa melalui proses

perundingan guna memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh

seorang atau lebih mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para

pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian tanpa menggunakan cara

memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.93

2) Musyawarah Keluarga

Musyawarah keluarga dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara anak

melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku dan keluarga korban,

dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh

kesepakatan dari kedua belah pihak.

Dalam musyawarah keluarga, perlu diperhatikan:

a) Keterlibatan pihak-pihak terkait yang meliputi korban, pelaku, keluarga

dan orang-orang yang dekat dengan anak;

b) Pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan

pihak yang mendukung pelaku;

93
Lihat Pasal 1 butir 6 dan butir 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2008

115
c.) Hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan

informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme

pertemuan.

3) Musyawarah Masyarakat

Musyawarah masyarakat dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara

melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban dan tokoh

masyarakat/tokoh agama, dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak

yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak.

Dalam musyawarah masyarakat, perlu diperhatikan:

a) keterlibatan pihak-pihak terkait meliputi korban, pelaku, keluarga dan

orang-orang yang dekat dengan pelaku, tokoh masyarakat/tokoh agama dan

siapa saja yang dirugikan oleh perbuatan tersebut;

b) pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan

pihak yang mendukung pelaku;

c) hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi

kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan.

Prosedur penghentian penuntutan sendiri telah diatur dalam Pasal 140

Ayat (2) huruf b, c dan d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dan penghentian penuntutan dituangkan dalam surat ketetapan.

116
Selanjutnya harus ditempuh prosedur sebagai berikut:

Pasal 140 Ayat (2) huruf b, c, dan d KUHAP :

b.) surat ketetapan tersebut harus diberitahukan kepada tersangka dan


bila ditahan harus dibebaskan;
c.) turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim;
d.) apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap tersangka.94

Dalam pelaksanaan keadilan restoratif terdapat prosedur keadilan dasar yang

menjamin keadilan dan kejujuran pelaku dan korban, adalah sebagai berikut:

a. Di bawah hukum nasional korban dan pelaku harus memiliki hak untuk

berkonsultasi dengan konsultan hukum sehubungan dengan proses keadilan

restoratif dan apabila perlu, untuk menterjemahkan dan menafsirkan. Anak-

anak di bawah umur memiliki hak untuk dibantu orang tua atau

pendamping;

b. Sebelum menyepakati untuk ikut serta dalam proses keadilan restoratif

para pihak harus diberi informasi lengkap tentang hak-haknya, hakekat

proses dan konsekuensinya yang mungkin terjadiakibat keputusannya;

c. Baik korban maupun pelaku tidak dapat dipaksa atau dibujuk dengan

cara- cara tidak jujur untuk ikut serta dalam proses keadilan restoratif atau

untuk menerima hasilnya.95

94
Lihat Penjelasan Pasal 140 ayat (2) huruf b,c dan d. KUHAP, mengenai prosedur melakukan
penghentian penuntutan

95
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Makalah Dalam Focus
Group Discussion (FGD) Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Diselenggarakan oleh Puslitbang SHN – BPHN, Jakarta,
117
26 Agustus 2013. Di BPHN Jakarta, hlm 7.

118
Teori restorative justice telah berkesinambungan dengan implementasi

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif di mana teori ini

merupakan salah satu teori dalam hukum untuk menutup celah kelemahan dalam

penyelesaian perkara pidana konvensional yang yaitu pendekatan represif yang

sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana.

Kelemahan pendekatan represif sebagai penyelesaian terhadap perkara

pidana yaitu antara lain karena berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan

dan pemenjaraan pelaku, tetapi walaupun pelaku telah menjalani hukuman korban

tidak merasakan kepuasan.

Demikian juga, pelaku yang telah menjalani hukuman tidak dapat

diintegrasikan atau direkatkan ke dalam lingkungan sosial pelaku berasal. Hal

tersebut menyebabkan rasa dendam yang berkepanjangan dan dapat melahirkan

perilaku kriminal baru. Penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan represif

tidak dapat menyelesaikan perkara secara tuntas, terutama antara pelaku dengan

pihak korban serta lingkungannya. Hal tersebut karena antara pelaku dan korban

tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian kasus.

Padahal sejatinya penyelesaian suatu perkara harus memberikan kontribusi

keadilan bagi mereka yang berperkara.96

96
Mansyur Kartayasa, “Restorative Justice dan Prospeknya dalam Kebijakan Legislasi” makalah
disampaikan pada Seminar Nasional, Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme.
Menuju Penelitian yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun
IKAHI ke59, 25 April 2012, hlm. 1-2.

A.2 Tindak Pidana Yang Dapat Diselesaikan Dengan Restorative


119
Justice Menurut Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun

2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Telah dikemukakan pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan

Keadilan Restoratif Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan

dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi

syarat sebagai berikut:

a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;


b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian
yang ditimbulkan akibat dari indak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah).

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber yakni Bapak

Gilang Prama Jasa, S.H., M.H. selaku Kepala Sub Seksi (Kasubsi) Pra Penuntutan

pada Seksi Tindak Pidana Umum, sesuai dengan pasal tersebut, Kejaksaan Negeri

Kota Semarang telah berhasil menerapkan restorative justice terhadap empat

tindak pidana, di antaranya adalah :

- Pertama, tersangka GALANG JOSY PRADIKA BIN DJOKO

SUJETNO dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang di Kota Semarang,

yang disangka melanggar Pasal 76 C Jo. Pasal 80 Ayat (1) UU RI No.

35 tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak;

- Kedua, EKA BUDI PRAKOSO BIN ALM. HERI NURDIANTO dari

Kejaksaan Negeri Kota Semarang di Kota Semarang, yang disangka

melanggar Pasal 351 Ayat (2) KUHP atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP;

- Ketiga, tersangka JAROT ADI HARYANTO BIN JAROT WAKIDI

120
dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang di Kota Semarang, yang disangka

melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP; dan

- Keempat, tersangka BAGUS PUTRA ARDANI BIN ARI SETYO

AGUNG dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang di Kota Semarang, yang

disangka melanggar Pasal 362 KUHP.

Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber, terhadap tindak pidana

tersebut kemudian dilakukan penghentian penuntutan. Selanjutnya, para pihak

membuat kesepakatan pedamaian setelah pemenuhan kewajiban dilaksanakan atau

proses perdamaian berhasil dilaksanakan tanpa syarat. Upaya perdamaian yang

dilakukan dengan restorative justice pun telah sesuai dengan ketentuan pada Bab

IV tentang Tata Cara Perdamaian yang tertuang dalam Peraturan Kejaksaan

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan

Berdasarkan Keadilan Restoratif pada Pasal 7 dan Pasal 9.97

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan oleh

Kejaksaan Negeri Kota Semarang dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan hal- hal sebagai berikut:

a. Kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi.

b. Penghindaran stigma negatif.

c. Penghindaran pembalasan.

d. Respon dan keharmonisan masyarakat.

97
Wawancara dengan Kasubsi Pra Penuntutan pada Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Kota
Semarang pada 10 Juli 2022 di Kantor Kejari Semarang

121
e. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

f. Subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana.

g. Latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana.

h. Tingkat ketercelaan.

i. Kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana.

j. Cost and benefit penanganan perkara.

k. Pemulihan kembali pada keadaan semula.

l. Adanya perdamaian antara korban dan tersangka.

Selama ini masyarakat umumnya mengetahui bahwa Restorative Justice

hanya dikenakan untuk tindak pidana ringan. Pemahaman tentang unsur-unsur

tindak pidana ringan dijelaskan lebih lanjut dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981 sebagai ketentuan hukum pidana

formal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), meskipun penjelasan

tersebut bukan merupakan definisi umum tentang tindak pidana ringan menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pemahaman tentang tindak

pidana ringan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

dijelaskan dalam Pasal 205 Ayat (1).98

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah


perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga
bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.”

Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP tersebut,

pemahaman tentang tindak pidana ringan adalah suatu perkara kejahatan yang

98
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981.

122
ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda

paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Apabila dianalisis lebih lanjut pada setiap bunyi pasal yang

menjelaskan tentang pidana kurungan atau penjara paling lama tiga bulan dalam

Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) setidaknya terdapat sembilan

pasal yang tergolong ke dalam bentuk Tindak Pidana Ringan, antara lain:

a. Pasal 302 Ayat (1) : Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan;

b. Pasal 352 Ayat (1) : Penganiayaan Ringan;

c. Pasal 364 : Pencurian Ringan;

d. Pasal 373 : Penggelapan Ringan;

e. Pasal 379 : Penipuan Ringan;

f. Pasal 384 : Penipuan Dalam Penjualan;

g. Pasal 407 Ayat (1) : Perusakan Barang;

h. Pasal 482 : Penadahan Ringan; dan

i. Pasal 315 : Penghinaan Ringan

Secara substansi, pemahaman tentang tindak pidana ringan menurut

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 hampir

sama dengan muatan pokok dalam Pasal 205-210 KUHAP dimana kategori

Tindak Pidana Ringan (tipiring) ini didasarkan atas ancaman hukuman penjara

atau kurungan paling lama tiga bulan melalui pemeriksaan perkara yang dilakukan

dengan acara cepat dengan segera menetapkan Hakim tunggal untuk memeriksa,
123
mengadili dan memutuskan perkara tersebut,99 yang selanjutnya nilai denda

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dilipatgandakan menjadi 10.000

(sepuluh ribu kali) menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)

dalam perma ini, sehingga dengan sendirinya dianggap sebagai tindak pidana

ringan tanpa adanya lagi lembaga banding atau kasasi dan lembaga penuntutan

oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Diimplementasikannya keadilan restoratif dalam pengehentian penuntutan

pada lembaga kejaksaan ini sesuai dengan arah teori hukum progresif di mana

teori ini menyebutkan bahwa hukum merupakan bagian dari proses searching for

the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Satjipto Rahardjo

sebagai penggagas hukum progresif mengatakan bahwa rule breaking sangat

penting dalam sistem penegaka hukum. Penegak hukum harus berani

membebaskan diri dari penggunaan pola baku. Ada tiga cara untuk melakukan

rule breaking, pertama dengan menggunakan kecerdasan spiritual untuk bangun

dari keterpurukan hukum dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama. Kedua,

melakukan pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam

menjalankan hukum dan bernegara hukum. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan

tidak menurut prinsip logika sajatetapi dengan perasaan, kepedulian dan

keterlibatan (compassion) kepada kelompok yang lemah.100

Satjipto Rahardjo “merumuskan konsep keadilan bagaimana bisa

menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas

persamaan hak dan kewajiban.” Namun harus juga diperhatikan kesesuaian

99
Pasal 2 Ayat (2) PERMA RI No. 02 Tahun 2012
100
Suteki. Masa Depan Hukum Progresif. Thafa Media:Yogyakarta. 2015.Hlm.38

124
mekanisme yang digunakan oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan

peraturan hukum dan kemudian menerapkan sanksi terhadap para anggota

masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang

boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif. Namun juga harus dikeluarkan

peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk melaksanakan peraturan

substantif tersebut yaitu bersifat prosedural, misalnya hukum perdata (substantif)

berpasangan dengan hukum acara perdata (prosedural).101

Dengan diterbitkannya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15

tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif maka

untuk saat ini Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menjalankan amanat

hukum progresif di mana penegak hukum dapat memberikan perlindungan bukan

hanya bagi korban namun juga kepada tersangka atas dasar musyawarah dan

mediasi kepada kedua belah pihak.

B. Kebijakan Penghentian Penuntutan Tindak Pidana Ringan Oleh

Kejaksaan Republik Indonesia Berbasis Restorative Justice Yang Akan

Datang.

Permasalahan utama untuk memberlakukan atau mengimplementasikan

pendekatan restorative justice dalam sebuah sistem hukum pada umumnya dan

pada sistem peradilan pidana pada khsusunya, terletak pada mekanisme

penyelesaian yang ditawarkan oleh pendekatan restorative justice berbeda dengan

mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh sistem peradilan pidana yang ada

saat ini sehingga masih sulit untuk diterima. Hal ini dikarenakan restorative

justice lebih mengedepankan konsep perdamaian, konsep “mediasi” dan konsep

101
Fence M. Wantu, Opcit.484

125
rekonsiliasi di mana pelaku, korban, aparat penegak hukum dan masyarakat luas

berpartisipasi secara langsung dalam menyelesaikan perkara pidana tentunya

berbanding terbalik atau bertentangan dengan sistem peradilan pidana tradisional

yang sudah diberlakukan sejak lama dan berlaku hingga saat ini.

Hal ini di latar belakangi oleh fokus perhatian dan pandangan atas suatu

tindak pidana dan keadilan yang dicapai atas suatu penyelesaian perkara pidana.

Pandangan terhadap arti dari suatu tindak pidana dan pemidanaan yang dianut

dalam sistem peradilan pidana tradisional saat ini adalah “is a violation of the

state, defined by lawbreaking and guilty” (pelanggaran negara didefinisikan

sebagai pelanggaran hukum dan bersalah). Sementara keadilan dalam sistem

peradilan pidana tradisional dipahami sebagai “terbuktinya dakwaan dan

penjatuhan pidana kepada pelaku oleh Negara sebagai pemegang kedaulatan

dalam menjatuhkan pidana. Otoritas demikian pada akhirnya justru berimbas pada

kondisi tidak terwakilinya kepentingan korban dan masyarakat dalam sebuah

sistem yang berkaitan satu dengan yang lain.”102

102
Hanafi Arief; Ningrum Ambarsari. Penerapan Prinsip Restorative Justice
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Al’adl vol X(2), 2018. Hlm 173-190
126
Implementasi atau pelaksanaan konsep keadilan restoratif (restorative

justice) di berbagai negara setidaknya melewati 3 (tiga) tahap berikut ini:103

Tabel 1.2

Tahapan Konsep Keadilan Restoratif

Indikator Bisa Menjadi Restoratif Restoratif

Restoratif Sebagian Sepenuhnya

Keterlibatan Keterlibatan Para pemangku Semua pihak

bukanlah perhatian kepentingan (mereka yang

utama. Keputusan merupakan kunci terluka mereka,

yang dibuat oleh untuk mereka yang

pihak yang tidak memberikan dirugikan dan

secara langsung informasi sampai masyarakat)

terkena dampak. tingkat yang disediakan

Tidak ada pilihan terbatas. kesempatan untuk

untuk dialog di Beberapa berpartisipasi,

antara mereka yang pemangku membentuk proses

terkena dampak kepentingan dan membuat

langsung memiliki keputusan. Dalam

beberapa hal ini terdapat

keputusan dan peluang yang jelas

masukan akan untuk berdialog.

103
Ahmad Faizal Azhar. Penerapan Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam
Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 4(2), 2019.
Hlm 134-143
127
tetapi, keputusan Keputusan dibuat

akhir dibuat atau secara consensus

disetujui oleh oleh mereka yang

sistem formal. terkena dampak

Dalam restoratif langsung. Dan

Sebagian keputusan harus

terdapat dihormati dan

kesempatan dilaksanakan oleh

terbatas untuk semua pihak.

dialog antara

beberapa para

pemangku

kepentingan.

Pertanggung Fokusnya adalah Perhatian utama Fokus pada

Jawaban pada aturan atau adalah dengan identifikasi,

hukum yang membayar untuk mengakui dan

dilanggar dan bahaya dan menangani bahaya,

konsekuensi atas kebutuhan tetapi kebutuhan dan

perbuatannya focus utama penyebab yang

(pertanggungjawaban adalah aturan muncul. Hal ini

pasif) atau hukum yang menciptakan

dilanggar dan peluang bagi

segala

128
konsekuensi pertanggungjawaban

yang muncul. secara aktif.

Perbaikan Memulihkan Beberapa upaya Berfokus pada

kerusakan atau dilakukan untuk memulihkan luka

kerugian yang memulihkan fisik emosional dan

dialami. Sebagian sosial dari semua

Pertanggungjawaban kerugian yang pihak yang terkena

pasif dari pelaku sangat nyata. dampak dan

biasanya berfokus Seringkali kebutuhan untuk

tidak untuk bahaya dan sedapat mungkin

memulihkan. upaya untuk menangani semua

memulihkan pihak yang terlibat.

diberikan kepada

orang lain selain

mereka yang

secara langsung

terkena dampak

Berdasarkan kriteria perkembangan konsep atau pendekatan restorative

justice di atas, apabila dikaitkan dengan penerapan konsep atau pendekatan

restorative justice di Indonesia saat ini maka penerapan konsep atau pendekatan

keadilan restoratif di Indonesia sedang berada pada tahap “bisa menjadi restoratif”

atau setidaknya pada tahap “restoratif sebagian” dan belum bisa menerapkan

restorative justice sepenuhnya karena masyarakatnya cenderung berpandangan

pada aturan yang bersifat formal dan kaku sehingga tidak memberikan alternatif

129
lain untuk pelaku dan korban dalam menyelesaikan permasalahanya.

B.1 Perbandingan Penerapan Restorative Justice di Indonesia dan

Australia

Digunakan teori perbandingan hukum untuk menelaah perbandingan

penerapan Restorative Justice di Indonesia dan Australia. Romli Atmasasmita

yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang

memperlajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum

dengan mempergunakan metode perbandingan.104

Manfaat atau kegunaan dari perbandingan sistem hukum yaitu seperti yang

diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut:105

Menurut Rene David dan Brierly

1) Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat historis dan filosofis.

2) Penting untuk memahami lebih baik dan untuk mengembangkan hukum

nasional kita sendiri.

3) Membantu dalam mengembangkan pemahaman terhadap bangsabangsa

lain dan memberikan sumbangan untuk menciptakan hubungan atau suasana

yang baik bagi perkembangan hubungan internasional.

Kelebihan dari implementasi konsep Restorative Justice di Indonesia adalah

lebih mengedepankan pendekatan sosio-kultural dibandingkan dengan pendekatan

normatif sehingga dengan melalui pendekatan sosio-kultural, aspek-aspek

keadilan

104
Ibid, hlm. 12
105
Ade Maman Suherman, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal.
17

130
dan kemaslahatan masyarakat dapat lebih diperhatikan. Implementasi dari

Restorative Justice di Indonesia dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan

kebijakan dan rasa keadilan masyarakat. Pada hakekat penyelesaian perkara

melalui konsep restorative justice ini, sesungguhnya merupakan konsep yang

sudah ada dalam pola penyelesaian perkara pidana adat. Mekanisme penyelesaian

masalah melalui sidang adat lebih mengutamakan musyawarah mufakat, nilai

keadilan tercermin pada pengembalian kerugian korban. Jadi fokus kesepakatan

penyelesaian perkara pada pemulihan korban.

Namun, kelebihan dari penerapan Restoratif Justice dibarengi dengan

permasalahan utama atau kelemahan untuk memberlakukan atau

mengimplementasikan pendekatan restorative justice dalam sebuah sistem hukum

di Indonesia pada umumnya dan pada sistem peradilan pidana pada khsusunya,

terletak pada mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh pendekatan

restorative justice berbeda dengan mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh

sistem peradilan pidana yang ada saat ini sehingga masih sulit untuk diterima. Hal

ini dikarenakan restorative justice lebih mengedepankan konsep perdamaian,

konsep “mediasi” dan konsep rekonsiliasi di mana pelaku, korban, aparat penegak

hukum dan masyarakat luas berpartisipasi secara langsung dalam menyelesaikan

perkara pidana tentunya berbanding terbalik atau bertentangan dengan sistem

peradilan pidana tradisional yang sudah diberlakukan sejak lama dan berlaku

hingga saat ini.

Hal ini dilatar belakangi oleh fokus perhatian dan pandangan atas suatu

tindak pidana dan keadilan yang dicapai atas suatu penyelesaian perkara

pidana.

131
Pandangan terhadap arti dari suatu tindak pidana dan pemidanaan yang dianut

dalam sistem peradilan pidana tradisional saat ini adalah “is a violation of the

state, defined by lawbreaking and guilty” (pelanggaran negara didefinisikan

sebagai pelanggaran hukum dan bersalah). Sementara keadilan dalam sistem

peradilan pidana tradisional dipahami sebagai “terbuktinya dakwaan dan

penjatuhan pidana kepada pelaku oleh Negara sebagai pemegang kedaulatan

dalam menjatuhkan pidana. Otoritas demikian pada akhirnya justru berimbas pada

kondisi tidak terwakilinya kepentingan korban dan masyarakat dalam sebuah

sistem yang berkaitan satu dengan yang lain.106

Bila dibandingkan dengan Indonesia, implementasi Restorative Justice di

Australia memiliki prinsip dasar sebagai berikut:

1. Tidak menyebabkan kerusakan lebih lanjut akibat dari adanya tindak pidana.

2. Bekerjasama dengan mereka yang terlibat untuk terciptanya suatu keberhasilan

Restorative justice antara korban pelaku dan masyarakat

3. Mengatur hubungan para pihak yang berperkara agar kembali menjadi baik.

Dampak diimplementasikannya Restorative Justice di Austalia menurut

penelitian menunjukkan bahwa Restorative Justice mungkin lebih efektif untuk

pelanggar. Sementara kemampuan keadilan restoratif untuk mengurangi pelanggaran

kembali masih diperdebatkan, berfokus pada sejauh mana manfaat lainnya, seperti

kepuasan korban, tanggung jawab pelaku atas tindakan dan peningkatan kepatuhan

terhadap berbagai perintah.

Dikutip dari Australian Institute of Criminology, kendala penerapan Restorative

Justice di Austalia adalah sebagai berikut:

1. Upscaling following pilot programs

Many pilot programs have successfully been adopted and expanded, however
132
there remain difficulties in this area. Several pilot programs across Australia

have not been adopted despite positive results. The reasons for this are not

always available, although it is likely that cost is a key factor.

(Terkait dengan peningkatan program restorative justice bahwa beberapa

program restorative justice untuk pelanggaran di seluruh Australia belum

diadopsi meskipun hasilnya positif. Alasannya yaitu biaya untuk

peningkatan program merupakan faktor kunci dari peningkataan program

restorative justice.)

2. Caseflow problems

For many programs, problems relating to low referrals have dissipated as key

stakeholders have come to better understand the goals of restorative justice.

However, low referral rates remain a challenge for some programs and this is

more pronounced in the early stages of implementation.

(Terkait masalah alur kasus pada penerapan restorative justice untuk

banyak program, masalah terkait dengan rendahnya rujukan telah hilang

karena pemangku kepentingan utama telah lebih memahami tujuan

keadilan restoratif. Namun, tingkat rujukan yang rendah tetap menjadi

tantangan bagi beberapa program dan ini lebih terasa pada tahap awal

implementasi.

3. Safeguarding right

There remains a tendency among advocates for victims and offenders to

characterise any benefit for, or enhancement in the rights of, one party as being

‘at the expense of the other’ (Strang & Sherman 2003: 36). Research on the

impact of restorative justice has contradicted this zero-sum approach and has

been relatively consistent in reporting satisfaction among victims. Research has

133
also failed to show that offender’s rights are violated in restorative justice

processes.

(Terkait perlindungan hak, masih ada kecenderungan di antara para

advokat bagi korban dan pelaku untuk menggolongkan keuntungan apa

pun untuk, atau peningkatan hak, satu pihak'dengan mengorbankan pihak

lain.

4. Appropriate and effective in Indigenous and ethnic communities

Many of the issues relating to the use of restorative justice in Indigenous and

ethnic communities that were identified in 2001. Notably, efforts have been

undertaken to reduce these barriers by increasing the cultural relevance of

restorative justice programs through a range of ways, including the involvement

of respected community members and elders. Further research is required to

better understand the impact of restorative justice for racial and ethnic minority

groups in Australia.

134
(Terkait dengan keefektif dalam masyarakat adat dan etnis, banyak

masalah yang berkaitan dengan penggunaan keadilan restoratif dalam

komunitas adat dan etnis yang diidentifikasi pada tahun 2001 (yaitu

rendahnya tingkat rujukan, sedikitnya penyelenggara konferensi adat,

tingginya jumlah pemuda yang tidak hadir untuk konferensi dan

kurangnya kesadaran di antara komunitas adat tentang manfaat potensial

dari keadilan restoratif) tetap ada sampai sekarang. Khususnya, upaya

telah dilakukan untuk mengurangi hambatan ini dengan meningkatkan

relevansi budaya dari program keadilan restoratif melalui berbagai cara,

termasuk keterlibatan anggota masyarakat dan tetua yang dihormati.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami dampak keadilan

restoratif bagi kelompok ras dan etnis minoritas di Australia.

106
Hanafi Arief; Ningrum Ambarsari. Penerapan Prinsip Restorative Justice
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Al’adl vol X(2), 2018. Hlm 173-190
107
Vanny Ritasari. Studi Perbandingan Konsepsi Efektifitas Pencarian Keadilan Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan Hukum Acara Pidana : Telaah Konsep
Restorative Justice, Plea Bargaining Dan Rechtelijk Pardon. Jurnal Verstek Vol. 9(2), 2021.
Hlm 435-44
135
B.2 Konsep Restorative Justice Pada Substansi dalam RUU KUHP

Substansi dalam RUU KUHP memiliki konsep restorative justice yang

didasarakan pada kriteria:

Pertama, mulainya penataan mengenai kearifan lokal atau penerapan

hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). mengenai sejauh mana hukum

yang diakui, implikasi terhadap pelaksanannya dan apakah penerapannya justru

bertentangan dengan konsep hak asasi manusia yang menghindari perlakuan

kejam dan tidak manusiawi. Oleh karena itu, penting pembatasan mengenai

kriteria kerugian dan syarat untuk tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,

konstitusi, hak asasi manusia dan prinsip umum dalam negara demokratis.

Kedua, perubahan paradigmatik mengenai konsepsi penghukuman yang

mulai beralih dari konsep konsepsi pembalasan (retributif/absolute) yang

berupaya semaksimal mungkin memberikan efek jera dengan penghukuman

yang keras berubah menjadi konsep verbeterings/rehabilitasi dengan fokus pada

perbaikan pelaku untuk dapat berintergrasi dengan masyarakat.

Ketiga, pidana kerja sosial dapat diterapkan kepada terdakwa yang

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5

(lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan

atau jumlah denda tertentu. Keempat, penguatan terhadap mekanisme judicial

pardon yang secara konsep diarahkan pada pemberian kewenangan kepada hakim

untuk memberikan pemaafan atau pengampunan kepada orang yang melakukan

tindak pidana.

Selain sebagai bagian dari perkembangan restorative justice dan koreksi

terhadap penerapan asas legalitas, ketentuan ini akan memperluas konsep alasan

136
pemaaf bagi pelaku tindak pidana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2)

KUHP terhadap perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena

mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab

kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.

Berdasarkan uraian konsep restorative justice dalam RKUHP maka sejatinya

restorative justice secara normatif telah menjadi satu mekanisme penyelesaian

perkara hukum dalam konteks criminal justice system dengan stakeholder utama

pada aparat penegak hukum. Keberhasilan dari penerapan konsep restorative

justice bergantung pada ketepatan dalam penentuan personalisme, perumusan

reparasi, proses reintegrasi dan partisipasi penuh dari para pihak. Konsep keadilan

restoratif telah termuat dalam pasal di RKUHP 2022 sebagai berikut:

Pasal 53
Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakan hukum dan
keadilan. Jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
hakim wajib mengutamakan keadilan.
Pasal 54 ayat (2)

Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu


dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal 55

Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dibebaskan dari


pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana jika orang
tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat
menjadi alasan peniadaan pidana tersebut.
Pasal 70 ayat (1)

Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak
dijatuhkan jika ditemukan keadaan:
a. terdakwa adalah Anak;
b. terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;
c. terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;
d. kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;
e. terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban;
f. terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan
menimbulkan kerugian yang besar;

137
g. Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
h. Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak
Pidana tersebut;
i. Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak
mungkin terulang lagi;
j. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan
melakukan Tindak Pidana yang lain;
k. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa
atau keluarganya;
l. pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil
untuk diri terdakwa;
m. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat
Tindak Pidana yang dilakukan terdakwa;
n. Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau
o. Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
Pasal 132 ayat (1)

Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika:


a. ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap Setiap Orang atas perkara yang sama;
b. tersangka atau terdakwa meninggal dunia;
c. kedaluwarsa;
d. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana
yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III;
e. maksimum pidana denda kategori IV dibayar dengan sukarela bagi
Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun;
f. ditariknya pengaduan bagi Tindak Pidana aduan; atau
g. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang.
Konsep restorative justice dalam RKUHP berkesesuaian dengan teori

hukum integratif dimana teori tersebut memiliki peranan penting dan menentukan

dalam mendefinisikan dan mempertahankan nilai-nilai dan idealisme yang dapat

memelihara kesinambungan pandangan hidup kita bersama yaitu Pancasila.

Menurut hukum integratif, rekayasa hukum, masyarakat dan penegak hukum yang

dilakukan haruslah dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem

nilai yang tidak lain bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa

Indonesia.108

Romli Atmasasmita, “Memahami Teori Hukum Integratif”, Jurnal Legalita, Vol. III No. 2,
108

Desember 2012, hlm. 13.

138
Keadilan restoratif khas kejaksaan adalah keadilan yang menitik beratkan

pada memperbaiki keadaan yang timbul akibat adanya sebuah perbuatan pidana

yang fokus penentuan keadilan bagi korban dalam rangka untuk mengembalikan

keadaan seperti semula. Keadilan restoratif khas kejaksaan juga turut

memperhatikan aspek kemanusiaan pelaku yang menyebabkan terjadinya

kejahatan tertentu. Tetapi perlu ditegaskan juga bahwa jaksa dalam menerapkan

keadilan restoratif tunduk pada tekanan masyarakat, tetapi berarti bahwa setiap

tindakan yang dijalankan oleh jaksa harus berlandaskan hati nurani dan

proporsional. Hal ini dikarenakan penegakan hukum yang berkeadilan adalah

penegakan hukum yang dapat memberikan suatu kemanfaatan dan menghadirkan

keadilan yang dapat dirasakan oleh masyarakat.109

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasubsi Pra Penuntutan pada Seksi

Tindak Pidana Umum Kejari Kota Semarang sebagai wujud sarana bagi

masyarakat untuk melakukan upaya perdamaian terhadap problematika sosial,

Kejaksaan Negeri Kota Semarang bekerja sama dengan Pemerintah Kota

Semarang mendirikan rumah restorative justice. Berdasarkan hasil wawancara

penulis, Kejaksaan Negeri Kota Semarang memiliki 4 (empat) rumah restorative

justice yang terletak di Kelurahan Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat,

Kelurahan Kedung Pane Kecamatan Mijen, Kelurahan Genuk Sari Kecamatan

Genuk. Rumah restorative justice ini berada di tempat-tempat atau wilayah yang

ada potensi sering terjadinya kasus seperti penganiayaan, pencurian, tawuran, dan

perkelahian. Keberadaan rumah Restorative Justice ini diharapkan dapat

menciptakan kedamaian dan ketentraman di lingkungan masyarakat.


\

139
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1) Kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana ringan oleh Kejaksaan

Republik Indonesia berbasis Restorative Justice saat ini sudah baik

berdasarkan data secara nasional diperoleh sebanyak 1343 perkara yang

telah berhasil diselesaikan dengan Restorative Justice. Di wilayan kejaksaan

Tinggi Jawa Tengah berjumlah 58 perkara. Penghentian penunturan

berdasarkan keadilan restoratif telah memenuhi rasa keadilan masyarakat

dengan menyeimbangkan antara kepastian hukum dan hati nurani.

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor

15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan

Restoratif, perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan

penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi syarat

sebagai berikut:

d. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;


e. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan
pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
f. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian
yang ditimbulkan akibat dari indak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah).

Mengenai tata cara perdamaian telah diatur dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal

9 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Terdapat dua

komponen dalam tata cara penghentian penuntutan atas dasar perdamaian,


140
yaitu upaya perdamaian yang tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 8 serta

proses perdamaian yang telah diatur dalam Pasal 9. Upaya perdamaian ini

merupakan upaya yang ditawarkan oleh penuntut umum saat memasuki

tahap penuntutan, tanpa adanya tekanan, paksaan dan intimidasi.

Berdasarkan Surat Edaran Nomor : 01/E/EJP/02/2022 Tentang Pelaksanaan

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, tahapan proses

penghentian perkara adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan laporan Penuntut Umum bahwa musyawarah perdamaian

telah mencapai suatu kesepakatan. Kacabjari atau Kajari mengajukan

permohonan gelar perara kepada Jampidum melalu Kepala Kejaksaan

Tinggi dalam waktu 1 (satu) hari sejak kesepakatan perdamaian

menggunakan sarana tercepat.

2. Permohonan diajukan dengan melampirkan berita acara musyawarah

perdamaian, kesepakatan perdamaian dan nota pendapat Penuntut

Umum.

3. Gelar perkara dilakukan paling lambat 2 (dua) hari sejak permohonan

diterima oleh Jampidum dengan media sarana elektronik.

4. Gelar perkra dilakukan oleh Penuntut Umum berserta pimpinan

Cabjari/Kajari dean Kajati dihadapan Jampidum.

5. Gelar perkara dilakukan dengan memaparkan kronologis singkat

perkara, upaya perdamaian, proses perdamaian dan kesepakatan

perdamaian yang difasilitasi oleh Penuntut Umum.

6. Setelah Jampidum menyetujui, Penuntut Umum memanggil para pihak

untuk melaksanakan proses perdamaian.

7. Berdasarkan laporan Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan


141
Penghentian Penuntutan.

2) Kebijakan penghentian penuntutan tindak pidana ringan oleh Kejaksaan

Republik Indonesia berbasis Restorative Justice yang akan datang dilihat

dari :

Perbandingan penerapan restorative justice di Indonesia dan Australia, di

Indonesia kelemahan untuk memberlakukan atau mengimplementasikan

pendekatan restorative justice dalam sebuah sistem hukum di Indonesia

pada umumnya dan pada sistem peradilan pidana pada khsusunya, terletak

pada mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh pendekatan restorative

justice berbeda dengan mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh

sistem peradilan pidana yang ada saat ini sehingga masih sulit untuk

diterima. Hal ini dikarenakan restorative justice lebih mengedepankan

konsep perdamaian, konsep “mediasi” dan konsep rekonsiliasi di mana

pelaku, korban, aparat penegak hukum dan masyarakat luas berpartisipasi

secara langsung dalam menyelesaikan perkara pidana tentunya berbanding

terbalik atau bertentangan dengan sistem peradilan pidana tradisional yang

sudah diberlakukan sejak lama dan berlaku hingga saat ini. Sedangkan di

Australia kendala penerapan restorative justice terletak pada:

1. Terkait dengan peningkatan program restorative justice bahwa

beberapa program restorative justice untuk pelanggaran di seluruh

Australia belum diadopsi meskipun hasilnya positif. Alasannya yaitu

biaya untuk peningkatan program merupakan faktor kunci dari

peningkataan program restorative justice.)

2. Terkait masalah alur kasus pada penerapan restorative justice untuk


142
banyak program, masalah terkait dengan rendahnya rujukan telah

hilang karena pemangku kepentingan utama telah lebih memahami

tujuan keadilan restoratif. Namun, tingkat rujukan yang rendah tetap

menjadi tantangan bagi beberapa program dan ini lebih terasa pada

tahap awal implementasi.

3. Terkait perlindungan hak, masih ada kecenderungan di antara para

advokat bagi korban dan pelaku untuk menggolongkan keuntungan

apa pun untuk, atau peningkatan hak, satu pihak'dengan

mengorbankan pihak lain.

4. Terkait dengan keefektif dalam masyarakat adat dan etnis, banyak

masalah yang berkaitan dengan penggunaan keadilan restoratif dalam

komunitas adat dan etnis yang diidentifikasi pada tahun 2001 (yaitu

rendahnya tingkat rujukan, sedikitnya penyelenggara konferensi adat,

tingginya jumlah pemuda yang tidak hadir untuk konferensi dan

kurangnya kesadaran di antara komunitas adat tentang manfaat

potensial dari keadilan restoratif) tetap ada sampai sekarang.

Khususnya, upaya telah dilakukan untuk mengurangi hambatan ini

dengan meningkatkan relevansi budaya dari program keadilan

restoratif melalui berbagai cara, termasuk keterlibatan anggota

masyarakat dan tetua yang dihormati. Penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk lebih memahami dampak keadilan restoratif bagi

kelompok ras dan etnis minoritas di Australia.

Substansi dalam RUU KUHP memiliki konsep restorative justice

yang didasarakan pada kriteria:


143
1. Mulainya penataan mengenai kearifan lokal atau penerapan hukum

yang hidup dalam masyarakat (living law).

2. Perubahan konsepsi pembalasan (retributif) menjadi rehabiliatsi.

3. Pidana kerja sosial.

4. Pemberian kewenangan pada Hakim untuk memberikan Pemaafan

bagi pelaku tindak pidana.

B. Saran

1. Perlu adanya perubahan pasal mengenai klasifikasi tindak pidana dalam

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, karena ada kasus

tindak pidana di luar ketentuan tindak pidana yang diatur dalam Peraturan

Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian

Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang dapat diselesaikan dengan

Restorative Justice.

2. Perlu diberikannya kewenangan kepada Kepala Kejaksaan baik di tingkat

Kabupaten, Kota maupun Provinsi untuk dapat memutuskan apakah suatu

tindak pidana dapat diselesaikan dengan Restorative Justice.

3. Tidak membatasi syarat-syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan

restoratif seperti pada Pasal 5 Ayat (1) huruf c terkait syarat nominal kerugian.

144
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Atmasasmita, Romli 2012. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap

Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta:

Genta Publishing.

Djoko, Prakoso, 1984. Tugas dan Peran Jaksa dalam Pembangunan, Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Eriyantouw, Wahid, 2009. Keadilan Restoratif Dan Peradilan

Konvensional Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Universitas Trisaksi

Hadari, Djenawi Tahir, 2002. Pembahasan Permasalahan dan

Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta:Sinar

Grafika

Hadari, Nawawi, 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Universitas

Gajah Mada Press

Harahap, Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta

M. Karjadi dan R. Soesilo, 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor

Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan

Penerbit Universitas Diponegoro

145
Ojak, Nainggolan, 2010. Pengantar Ilmu Hukum, Medan: UHN PRESS

PAF Lamintang, 1984. KUHAP dengan Pembahasan secara yuridis menurut

Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Bandung:Sinar Baru.

Rahardjo, Satjipto, 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta,

Kompas.

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013. Penanggulangan Kejahatan Korporasi

Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan, Jakarta: Sinar Grafika.

Rianto Adi, 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit.

Ramelan, 2005. Hukum Acara Pidana : Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu

Jaya: Jakarta.

Suteki. 2015. Masa Depan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media.

Suteki, 2018. Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), Depok :

Raja Grafindo Persada.

Solly Lubis, 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press)

Wirjono Prodjokodikoro, 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia,

Bandung: Aditama

Yudi Kristiana, 2006. Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT

Citra Aditya Bakti: Bandung

Jurnal:

Any Farida, “Teori Hukum Pancasila Sebagai Sintesa Konvergensi Teori-Teori

Hukum Di Indonesia”, Jurnal Perspektif, Vol XXI(1), 2016

146
Ahmad Faizal Azhar. Penerapan Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Kajian Hukum Islam

Vol 4(2), 2019. Hlm 134-14

Dewi Setyowati. Memahami Konsep Restorative Justice sebagai Upaya Sistem

Peradilan Pidana Menggapai Keadilan. Jurnal Pendecta Vol 15(1),2020.

Hlm 121-141

Hanafi Arief; Ningrum Ambarsari. Penerapan Prinsip Restorative Justice

Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Al’adl vol X(2), 2018.

Hlm 173-190

Ivo Aertsen, , Restorative Justice and the Active victim: Exploring the Concept of

Empowerment, (Journal TEMIDA, 2011), hal. 8-9.

July Ester, “Mediasi Penal Dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Sebagai

Upaya Meminimalisir Kelebihan Hunian Di Lembaga Pemasyarakatan”,

Nommensen Journal Of Legal Opinion Vol 1(1), 2020

Reynaldi Sinyo Wakkary. Implementasi Prinsip Restorative Justice Dalam Sistem

Penuntutan Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020.

Jurnal Lex Crimen Vol X (9), 2021

Tiar Adi Riyanto. Fungsionalisasi Prinsip Dominus Litis Dalam Penegakan

Hukum Pidana Di Indonesia. Lex Renaissan Vol 6(3), 2021. Hlm 481-492

Taufik Makarao, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative Justice

Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI,

2013,hlm. 27

147
Pratomo Beritno. “Penghentian Penuntutan Berdasarkan Peraturan Kejaksaan

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan

Berdasarkan Keadilan Restoratif.” Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai Vol.

6( 2), 2021. hlm 190-206

Vanny Ritasari. Studi Perbandingan Konsepsi Efektifitas Pencarian Keadilan

Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan Hukum Acara Pidana :

Telaah Konsep Restorative Justice, Plea Bargaining Dan Rechtelijk Pardon.

Jurnal Verstek Vol. 9(2), 2021. Hlm 435-444

Mukhidin, “Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan

Rakyat”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1 No. 3 September 2014, hlm.

269.

Widodo, Perspektif Hukum Pidana Dan Kebijakan Pemidanaan Diversi dan

Keadilan Restoratif, Terorisme, Cybercrime, Pidana Mati dan Peradilan

Sesat, Cetakan Pertama, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2017, hlm. 152.

Yoanes Kardinto (2021, Tesis Universitas Pancasakti Tegal) Pelaksanaan

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Di Wilayah

Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah

Novi Widi Astuti (2021, Tesis Universitas Brawijaya Malang). Analisis Yuridis

Penghentian Penuntutan Demi Kepentingan Hukum Berlandaskan Asas

Keadilan Restoratif

148
Internet:

https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/441912/kejaksaan-terapkan-

restorative-justice-secara-profesional.

Anggara dan Riesta Aldilah, Bahasan.id, Penghentian Penuntutan karena Dasar

Perdamaian, https://bahasan.id/penghentian-penuntutan-karena-dasar-

perdamaian/

https://www.antaranews.com/berita/2687101/icjr-beban-rutan-dan-lapas-per-

januari-2022-capai-223-persen. Diakses pada 17 Maret 2022 pukul 13.52

WIb

Eva Achjani Zulfa, Mendefinisikan Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa,

http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html.

diakses pada 01 April 2022 pada pukul 9.52

https://fh.unair.ac.id/jaksa-agung-ri-ungkap-pendekatan-restorative-justice-

sebagai-paradigma-pemidanaan-baru-di-indonesia/. Diakses pada 13 Juli

2022

Ibnu Mazjah, “Peningkatan Peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai

Dominus Litis dalam Melaksanakan Keadilan Restoratif ”, diakses di

KomisiKejaksaan.go.id, pada 15 februari 2022 pukul 10.49

Mark Umbreit, Family Group Conferencing: Implications for Crime Victims, The

Center for Restorative Justice, University of Minnesota, http://www.ojp.us-

doj/ovc/publications/infores/restorative_justices/9523-

family_group/family3.html., 2001. Lihat: Mark M. Lanier dan Stuart Henry,

Essential Criminology, Second Edition, Wastview, Colorado, USA, 2004,

hlm. 332 dan 407-408

149
Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies, Law in

Context 1:167-190, 2000. Lihat : Mark M. Lanier dan Stuart Henry,

Essential Criminology, Second Edition, Westview, Colorado, USA, 2004,

hlm. 332 dan 367

Sthepanie Coward-Yaskiw, Restorative Justice: What Is It? Can It Work? What

Do Women Think?, Horizons 15 Spring), http: web.infotrac.gale-

group.com; Lihat : Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential

Criminology, Second Edition, Westview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332

dan 365

Tony Marshall, Restorative Justice: An Overview, London: Home Office

Research Development and Statistic Directorate, 1999, hlm. 5, diakses dari

website: http//www.restorativejustice.org. pada tanggal 21 Maret 2022

pukul 17.05

Wright, 1991 hlm. 117 diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada

tanggal 21 Maret 2022 pukul 17.01

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

Undang-Undang 11 tahun 2021 tentang Perubahan UU 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia;

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

150

Anda mungkin juga menyukai