Oleh :
YOHANES RAHARJO
NIM: 160710101386
SKRIPSI
Oleh:
YOHANES RAHARJO
NIM: 160710101386
MOTTO
“ Hayo Apa “
4
PERSEMBAHAN
PERSYARATAN GELAR
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember
Oleh:
YOHANES RAHARJO
NIM: 160710101386
PERSETUJUAN
Oleh:
PENGESAHAN
Oleh:
YOHANES RAHARJO
NIM. 160710101386
Mengesahkan:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Universitas Jember
Fakultas Hukum
Dekan,
PANITIA PENGUJI :
Ketua, Sekretaris,
Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.H. DINA TSALIST WILDANA, S.H.I., LL.M
NIP. 196506031990022001 NIP. 198507302015042001
PERNYATAAN
NIM : 160710101386
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dan
paksaan dari pihak manapun, serta saya bersedia mendapatkan sanksi akademik
apabila ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.
Yohanes Raharjo
Nim. 160710101386
10
11
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena
kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penulisan
karya ilmiah skripsi dengan judul : Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol).
Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan
Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember. Penulis
pada kesempatan ini ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Moh. Ali, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jember, berikut Ibu Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H.,
M.Hum., selaku Wakil Dekan I, berikut Bapak Echwan Iriyanto, S.H.,
M.H., selaku Wakil Dekan II, dan Bapak Dr. Aries Harianto S.H., M.H.,
selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Univeristas Jember;
2. Ibu Sapti Prihatmini, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama
skripsi yang memberikan arahan, nasihat, serta bimbingan selama
penulisan skripsi ini;
3. Bapak Dodik Prihatin AN., S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing
Anggota skrispsi yang memberikan masukan dan arahan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
4. Ibu Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.H., selaku Ketua Panitia Penguji
Skripsi;
5. Ibu Dina Tsalist Wildana, S.H.I., LL.M., selaku Sekretaris Panitia
Penguji Skripsi;
6. Bapak Gautama Budi Arundhati, S.H., LL.M., selaku Dosen
Pembimbing Akademik yang telah bersedia membimbing penulis selama
menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Jember;
7. Bapak dan Ibu Dosen, civitas akademika, serta seluruh karyawan
Fakultas Hukum Universitas Jember atas segala ilmu dan pengetahuan;
12
8. Orang tua penulis Papa Jayadi Slamet Raharjo dan Mama Subiarti, serta
Cece Elvina Raharjo dan Meme Valencia Raharjo yang telah
memberikan kasih sayang, mendoakan, dan mendukung penulis dalam
menyusun karya tulis ilmiah ini;
9. Semua keluarga dan kerabat atas doa dan dukungan yang diberikan
kepada penulis;
10. Keluarga besar UKM Kerohanian Kristen Universitas Jember (UKMKK
UNEJ) yang menjadi wadah pembinaan dan pengembangan kerohanian
penulis;
11. Teman Teman Kepengurusan UKM Kerohanian Kristen Periode Tahun
2019 Yosua Ade Pranata Wijaya, Silvi Serawati, Princessa Natalia,
Tatiana Hedyta, Gracia Audrey Karen, Priskila Margaretha Ganda,
Renny Mutiara Hutomo, Gracia Remawati, Aston Poulther Ndun, Otius
Simalya, Sheryl Amanda Surjono, Trio Putra Oktavianus, Stelen
Colarado, Tiur Violita Veronica Panjaitan, Sukma Ageng Prasetyo, Vivi
Wahyuningtyas, Sam Proboyunanto, Yosua Waas, Henry Kristianto
Wibisono, Widya Zennyver, Samuel Parulian Tampubolon, Satria
Pambudi, Santo Yosep Silaban, Rosalia Fitriani, Erniati, Putri Cahya
Agustin, Stella Renita Siahaan, Meida Putri Arisinta, Nicolas Imanuel
Purba, Agnes Setiawan, Karina Indah Febriyanti;
12. Teman-teman penulis Imelda Kristianti, Wulingga Elita Debora, Desy
Elsa Sanda, Helena Hegi Parascati, Merry Dwiarina, Yolanda Regina
Ruth Rawung, Fandy Sanjaya, Popy Anisah Puriyastuti dan Bella
Esmiranda Raharjo yang selalu memberi dukungan dan motivasi;
13. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum, Saktya Budi Ondakara,
Haechal Yan Kristanto, Widia Aprilia dan lainnya yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan;
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar karya tulis ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
13
RINGKASAN
Saran yang diberikan, yaitu: pertama, hakim lebih jeli lagi dalam
mengkualifikasikan suatu tindak pidana, baik itu pidana umum maupun pidana
khusus. Terlebih lagi dalam dakwaan alternatif, sebaiknya hakim memeriksa
terlebih dahulu dakwaan primairnya terlebih dahulu atau dakwaan yang memuat
hukum pidana khusus. Hal ini dapat meminimalisir kesalahan pengkualfikiasian
tindak pidana, sehingga tidak terjadi keluputuan atau kesalahan dalam
mengidentifikasi suatu kasus tindak pidana. Kedua, hakim dalam menjatuhkan
putusan sebaiknya lebih memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku. Hal ini
dikarenakan kesalahan atau penyimpangan terhadap suatu asas pidana dapat
menyebabkan batalnya suatu putusan tersebut.
15
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
Masih banyak kasus KDRT yang belum tertangani dengan maksimal serta
menyulitkan korban mendapatkan dukungan dan pendampingan dari masyarakat,
hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya adalah
1
Badriyah Khaleed, Penyelesaian Hukum KDRT, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 2.
1
2
2
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press,
Yogyakarta, 2015, hlm. 3.
3
rumah tangga yang saling terikat, sehingga cenderung dianggap sebagai masalah
privat ketika terjadi kekerasan. Di Indonesia sendiri KDRT memiliki angka kasus
yang cenderung tinggi.
3
Dwi Hadya Jayani, “Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Cenderung Meningkat”, diakses
dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/17/angka-kekerasan-terhadap-perempuan-
cenderung-meningkat, pada 28 Februari 2020 pukul 22.38.
4
Badriyah Khaleed, Op.Cit. hlm. 1
4
Terdapat beberapa isu hukum yang menarik untuk dianalisis dalam putusan
tersebut. Isu hukum yang pertama, yaitu merujuk ke ruang lingkup KDRT dari
kasus diatas apakah memungkinkan kejahatan yang dilakukan pelaku masih
masuk dalam ranah ruang lingkup KDRT. Mengingat dalam ketentuan umum UU
PKDRT, “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan... “ sedangkan dalam kasus diatas pelaku maupun
5
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi revisi), Prenadamedia Group, Jakarta, 2016
hlm. 60.
6
Ibid., hlm. 47.
7
7
Ibid, hlm..133-135.
8
8
Ibid, hlm. 181.
9
Ibid.
9
sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal, dan bahan hukum sekunder lain
yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
10
10
Ibid, hlm 213.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tindak pidana ( delik ) dalam hukum pidana yang merupakan salah satu
terjemahan dari “strafbaar feit” dalam bahasa Belanda. Secara etimologi
strafbaar feit terdiri atas dua suku kata yakni feit yang dalam bahas belanda
berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkbeid”,
sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harifiah perkataan
“strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan
kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.11
1. Vos
2. Simons
11
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984,
hlm.172.
11
12
4. Moeljatno
1) Tidak berhati-hati;
2) Dapat menduga akibat perbuatan itu.14
Unsur Objektif merrupakan unsur yang berasal dari luar diri pelaku
yang terdiri atas :
c) Keadaan-keadaan (circumstances)
14
Leden Marpaung, Op. Cit. hlm. 9.
14
18
Guse Prayudi, Op. Cit., hlm. 32.
16
19
Ibid, hlm. 75
17
kejadian pelaku atau korban tersebut harus telah berada dalam rumah
tangga atau keluarga tersebut dalam jangka waktu tertentu.23
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut
Orang yang bekerja membantu rumah tangga seringkali disebut
“pembantu rumah tangga”. Pembantu rumah tangga bisa menjadi
pelaku atau korban kekerasan dalam rumah tangga apabila yang
bersangkutan masih berada dan/atau bekerja dalam rumah tangga yang
bersangkutan.24
2.2 Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai asas Lex Specialis Derogat
Legi Generali dalam hal pengertiannya, hubungannya dengan KUHP, dan
berlakunya asas tersebut
Asas lex specialis derogat legi generali merupakan salah satu asas
dalam ilmu hukum. Secara harafiah poostulat lex specialis derogat legi
generali berarti hukum khusus mengesampingkan hukum umum atau de
25
speciale regel verdringtde algemene. Dalam konteks hukum pidana di
Indonesia, hukum yang bersifat umum adalah perbuatan kejahatan, atau
pelanggaran yang diatur dalam KUHP. Sedangkan hukum yang bersifat
khusus adalah perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang diatur secara
khusus dalam undang-undang diluar KUHP. Bizonder strafrecht atau
hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang menyimpang dari
ketentuan-ketentuan umum hukum pidana baik dari segi materiil maupun
formil. Artinya, ketentuan-ketentuan tersebut menyimpang dari ketentuan
umum yang terdapat dalam KUHP maupun menyimpang dari ketentuan-
23
Ibid, hlm. 25.
24
Ibid, hlm. 26.
25
Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta. 2015.
Hlm. 415
19
26
Ibid..
27
A.A Oka Mahendra, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diakses dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-
undangan.html, pada tanggal 9 Februari 2020 pukul 22.44.
28
Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
20
29
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 413.
30
Pasal 103 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
21
31
Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Setara Press, Surabaya, 2014, hlm. 140-141
22
32
Leden Marpaung, Proses penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 39 –
40.
23
Penuntut Umum dapat membuktikan satu tindak pidana yang terjadi dalam
suatu perkara.
33
Ibid., hlm.43-59.
24
Setiap orang
Setiap orang yang dimaksud mengandung arti bahwa subjek pelaku
atau yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang atau manusia.
Yang melakukan perbuatan kekerasan fisik
Kekerasan fisik dalam hal ini harus mencakup :
- Harus ada perbuatan yang menimbulkan sakit
- Rasa sakit tersebut menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya.
Dalam lingkup rumah tangga
Lingkup rumah tangga berdasarkan Pasal 2 UU PKDRT sebagai berikut
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, pengasuhan, perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga dan/atau;
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
Pasal 351 ayat (1) KUHP memuat unsur-unsur sebagai berikut:
a) Adanya kesengajaan
34
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT
35
Pasal 351 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
25
b) Adanya perbuatan
c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni :
- Rasa sakit pada tubuh, dan/atau
Rasa sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa tubuh, melainkan
pada tubuh timbul rasa sakit, perih, tidak enak, atau penderitaan.
- Luka pada tubuh
Luka diartikan terdapat perubahan dari tubuh menjadi berbeda dari
semula sebelum perbuatan itu dilakukan.
2.4 Pertimbangan Hakim
b) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa menurut KUHAP pasal 184 butir e,
digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang
dinyatakan terdakwa di sidang tentang pebuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui sendiri atau dialami sendiri.
c) Keterangan Saksi
Salah satu komponen yang harus diperhatikan hakim dalam
menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi dapat
dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan ia alami sendiri
dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat
sumpah.
d) Barang-Barang Bukti
Meskipun barang bukti bukan sebagai alat bukti, namun apabila
penuntut umum menyebutkan barang bukti itu didalam surat dakwaannya,
kemudian mengajukannya barang bukti itu kepada hakim, hakim ketua
dalam pemeriksaan harus memperlihatkannya, baik kepada terdakwa,
maupun kepada saksi, bahkan kalau perlu hakim membuktikannya dengan
membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa
atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya.
e) Pasal-Pasal dalam Peraturan Hukum pidana
Salah satu hal yang sering terungkap didalam proses persidangan
adalah pasal-pasal peraturan hukum pidana. Pasal-pasal ini bermula
terlihat dan terungkap pada surat dakwaan jaksa penuntut umum, yang
diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh
terdakwa. Pasal pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau
tindakan oleh hakim.37
2.4.2 Pertimbangan Non Yuridis
tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan
para pembuat kejahatan. Bila demikian halnya, wajar dan sepatutnya
bahkan pula seharusnya ajaran agama menjadi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusannya.38
2.5 Putusan Hakim
2. Putusan Akhir
38
Ibid., hlm. 352-353
29
a. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa pembebasan terdakwa karena
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
b. Putusan Lepas (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak termasuk
dalam tindak pidana.
c. Putusan Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP) yaitu
putusan yang dijatuhkan oleh hakim apabila terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.39
2.5.2 Syarat Sah Putusan
39
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahanya, PT.
Alumni, Bandung, 2007, hlm. 217-231
40
Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
30
41
Leden Marpaung, Op. Cit. hlm. 147-148.
31
42
Pasal 197 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
BAB III
PEMBAHASAN
Michael Barama, Tindak Pidana Khusus, Unsrat Press, Manado, 2015, hlm. 1
43
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
44
Tangga
32
33
Pasal 6-9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
45
Rumah Tangga
34
46
Guse Prayudi, Op.Cit. hlm. 15.
47
Ibid, hlm. 16.
48
Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
49
Tri Jata Ayu Pramesti, “Wajibkah Menafkahi Anak Tiri Pasca Perceraian“, diakses dari
https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53faccd6992c9/wajibkah-menafkahi-anak-tiri-
pasca-perceraian, pada 22 April 2020 pukul 01.01.
35
kayu tersebut dilantai dan memukul saksi korban menggunakan tangan kanan
mengenai pipi kanan saksi korban sebanyak 1 ( satu ) kali pukulan, setelah itu
terdakwan hendak membanting saksi korban sambil memegang pinggang saksi
korban, yang kemudian terdakwa mencekik leher saksi korban seraya berkata
akan membunuhnya. Akibat perbuatan tersebut berdasarkan Visum Et Repertrum
dari Rumah Sakit Umum Daerah Kondasopata’ Nomor 445/ 006/ RSUD-KS/ M/
I/ 2019 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Muhriani pada tanggal 24 Januari
2019, ditemukan fakta pada pemeriksaan bagian tubuh tertentu yakni :
a) Setiap orang
54
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 54
38
atau orang dalam unsur setiap orang disini adalah terdakwa Yohanis Alias
Anis.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
56
Tangga
39
- Darah
- Perkawinan
- Persusuan
- Pengasuhan
- Perwalian, dan
- Pekerjaan dalam rumah tangga tersebut.
Jika dilihat dari fakta persidangan yang ada, dapat diketahui bahwa saksi
korban Lel Markus alias Papa Paran memiliki hubungan keluarga dengan
Terdakwa Yohanis Alias Anis akibat hubungan darah. Hal ini dapat diketahui
pada 2 point surat dakwaan yang berbunyi :
Dilihat dari point surat dakwaan tersebut dijelaskan bahwa Saksi korban
memiliki hubungan darah dengan Tersangka, yakni sebagai paman dari
Tersangka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah Paman merujuk pada
pengertian adik laki-laki ayah atau adik laki-laki Ibu. Dalam kasus ini saksi
korban Lel. Markus merupakan adik laki-laki dari Ibu tersangka yakni
Per.Fransina Alias Mama Sanda. Hal ini tercakup pada ruang lingkup rumah tanga
pada Pasal 2 UU PKDRT yang termuat dalam point b. Namun untuk
mengkualifikasikan hal tersebut ke dalam ruang lingkup rumah tangga, terdapat
satu syarat lagi agar saksi korban dapat terkualifikasi dalam pasal tersebut, yakni
menetap dalam rumah tangga tersebut. Menetap dalam rumah tangga dapat
diartikan sebagai “selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.” Hal ini
berarti pada saat kejadian orang tersebut harus dan telah berada dalam rumah
tangga/ keluarga tersebut dalam jangka waktu tertentu. 57 Dalam kasus tersebut,
syarat menetap dalam rumah tangga juga telah terpenuhi. Hal ini tertuang pada
point surat dakwaan yang disebutkan bahwa saksi korban telah menetap bersama
terdakwa dalam satu rumah, setelah saksi korban bercerai bersama isterinya.
Memang tidak disebutkan secara jelas dan gamblang mengenai berapa lama saksi
korban menetap, namun jika melihat dari pengertian “menetap dalam rumah
tangga” tersebut dapat diketahui bahwa saksi korban sudah berada dalam jangka
waktu tertentu bersama keluarga tersebut.
57
Guse Prayudi, Op.Cit, hlm. 25
41
d. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa pembebasan terdakwa karena
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
e. Putusan Lepas (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak termasuk
dalam tindak pidana.
f. Putusan Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP) yaitu
putusan yang dijatuhkan oleh hakim apabila terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.58
58
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 231
42
Oleh karena itu peran hakim disini cukup penting, mengingat hakim
adalah orang yang memberikan pertimbangan dari fakta-fakta yang ada, untuk
menjadi dasar dalam memutus suatu perkara. Pertimbangan hakim dibagi menjadi
dua yakni pertimbangan hakim yuridis dan pertimbangan hakim non yuridis
Dalam memutus suatu perkara untuk menghasilkan putusan yang adil dan
dapat diterima masyarakat, hakim diberikan suatu kebebasan yang dijamin oleh
Undang-Undang yaitu pada pasal 24 ayat 1 UUD 1945. Kebebasan disini bukan
kebebasan tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaanya
(arrogance of power) dengan memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan
segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu pada penerapan hukum
Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat
59
Kebebasan hakim disini juga dapat dilihat dari kasus yang dianalisis dimana
hakim dihadapkan suatu pilihan tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh
Terdakwa Yohanis Alias Anis kepada Korban Lel Markus Alias Papa Paran.
Pilihan yang dimaksud disini adalah bentuk dari surat dakwaan yang diajukan
oleh penuntut umum berbentuk surat dakwaan alternatif yakni Pasal 44 ayat (1) Jo
Pasal 5 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang PKDRT atau Pasal
351 ayat (1) KUHP. Jika dicermati dalam kasus tersebut hakim memilih untuk
menggunakan dakwaan alternatif kedua yakni Pasal 351 ayat (1) KUHP. Hal ini
menjadi polemik dikarenakan putusan tersebut tidak sesuai dengan dengan suatu
asas hukum yang berlaku yaitu asas lex speciali derogat legi generali.
60
St. Zubaidah, Kebebasan Hakim dalam Sebuah Putusan(Memaknai Dissenting Opinion), diakses
dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/kebebasan-hakim-dalam-
sebuah-putusan-oleh-hj-st-zubaidah-s-ag-s-h-m-h-16-1, pada 31 Maret 2020 Pukul 02.01.
61
Ery Satyanegara, Kebebasan Hakim Memutus Perkara dalam Konteks Pancasila (ditinjau dari
keadilan “subtanstif”), Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke 43 No.4 Oktober-Desember
2013, hlm. 441-442
62
Eddy O.S. Hiariej. Op.Cit, Hlm. 415
44
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku
bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”65
63
Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
64
Septa Fajar Adi Kusuma, Pertimbangan Hakim Tidak Berdasar Asas Lex Spesialis Derogate
legi generali Dalam Putusan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Menyebabkan Matinya Orang
(Studi Putusan Hakim Nomor 480/Pid.B/2009/Pn.Ska dan 22/Pid.B/2010/Pn.Ska), Recidive vol 2
No.1 Januari – April 2013, hlm. 5
65
Pasal 103 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
45
penuntut umum ragu tentang tindak pidana apa yang paling tepat untuk
didakwakan sehingga surat dakwaan yang dibuat merupakan alternatif bagi hakim
untuk memilihnya. Umumnya keraguan tersebut muncul karena dari beberapa
tindak pidana tersebut memiliki kedekatan atau kemiripan unsur satu sama lain
66
namun bukan suatu perbarengan tindak pidana. Pembuktian yang praktis dari
dakwaan ini juga dapat membuat penuntut umum dan majelis hakim dalam
menentukan surat dakwaan mana yang akan digunakan, karena hanya salah satu
dakwaan yang akan dibuktikan sesuai dengan fakta persidangan yang sudah ada.
Selain itu bentuk surat dakwaan ini akan saling mengecualikan satu dakwaan
dengan dakwaan yang lain, artinya apabila salah satu dakwaan sudah dapat
dibuktikan maka dakwaan lain akan diabaikan atau tidak perlu dibuktikan.
Kebabasan hakim dalam pemilihan ini merupakan salah satu konsekuensi
dalam dakwaan alternatif dimana keraguan dari penuntut umum dalam
menentukan tindak pidana apa yang tepat agar terdakwa tidak terlepas dari
kejahatan yang dilakukannya, disisi lain juga hakim dianggap mengetahui dan
memahami segala hukum (Ius Curia Novit). Ditinjau dari teori hukum pidana,
akibat penyimpangan lex specialis derogate legi generali yakni pada pasal 63 ayat
(2) dan Pasal 103 KUHP, putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
Namun kesalahan kualifikasi tindak pidana dari hakim tidak bisa dijatuhkan
seluruhnya pada hakim. Hal ini dikarenakan dalam mengadili, hakim dibebaskan
dari segala tuntutan hukum, apabila hakim di anggap melakukan kesalahan teknik
yuridis bukan etik moral.
66
Tolib Effendi. Op.Cit, hlm. 146-147
BAB 4
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pembahasan tersebut dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut.
2. Putusan hakim yang menjatuhkan Pasal 351 ayat (1) KUHP dalam
Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol tidak sesuai
dengan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP. Hal ini dikarenakan
putusan tersebut bertentangan dengan asas Lex Specialis Derogate
Legi Generale, Hukum khusus seharusnya mengesampingkan
hukum umum, namun dalam putusan tersebut hakim menggunakan
hukum umum untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hal
ini jelas tidak sesuai dengan asas lex specialis derogate legi
generali yang diatur dalam pasal 63 ayat (2) dan pasal 103 KUHP.
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, penulis memberikan
saran sebagai berikut.
1. Hakim lebih jeli lagi dalam mengkualifikasikan suatu tindak
pidana, baik itu pidana umum maupun pidana khusus. Terlebih lagi
dalam dakwaan alternatif, sebaiknya hakim memeriksa terlebih
dahulu dakwaan primairnya terlebih dahulu atau dakwaan yang
46
memuat hukum pidana khusus. Hal ini dapat meminimalisir
kesalahan
47
48
A. Buku
Badriyah Khaleed, 2015, Penyelesaian Hukum KDRT, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia.
Eddy OS Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka.
Guse Prayudi, 2015, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Yogyakarta: Merkid Press.
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika.
Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika.
Lilik Mulyadi, 2007, “Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Permasalahanya”, Bandung: PT. Alumni.
Michael Barama, 2015, Tindak Pidana Khusus, Manado: Unsrat Press
P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta:
Prenadamedia Group (Divisi Kencana).
Ratna Batara Munti, dkk, 2016, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Peradilan Pidana : Analisis Konsistensi Putusan, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan MaPPI.
Teguh Prasetyo, 2015, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tolib Effendi, 2014, “Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana”, Surabaya: Setara
Press.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU No. 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No, 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
C. E - Jurnal
Ery Satyanegara, Kebebasan Hakim Memutus Perkara dalam Konteks Pancasila
(ditinjau dari keadilan “subtanstif”), Jurnal Hukum dan Pembangunan
Tahun ke 43 No.4 Oktober-Desember 2013, hlm. 441-442
Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara
Sebagai Amanat Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember,
2015, hlm. 231
Nurhafifah dan Rahmiati, 2015, “Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana”,
Jurnal Ilmu Hukum No.66.
Septa Fajar Adi Kusuma, Pertimbangan Hakim Tidak Berdasar Asas Lex
Spesialis Derogate legi generali Dalam Putusan Perkara Kecelakaan Lalu
Lintas Menyebabkan Matinya Orang (Studi Putusan Hakim Nomor
480/Pid.B/2009/Pn.Ska dan 22/Pid.B/2010/Pn.Ska), Recidive vol 2 No.1
Januari – April 2013, hlm. 5
D. Internet
A.A Oka Mahendra, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diakses
dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-
peraturan-perundang-undangan.html, pada tanggal 9 Februari 2020 pukul
22.44 WIB.
Dwi Hadya Jayani, “Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Cenderung
Meningkat”, diakses dari
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/17/angka-kekerasan-
terhadap-perempuan-cenderung-meningkat, pada 28 Februari 2020 pukul
22.38 WIB.
St. Zubaidah, Kebebasan Hakim dalam Sebuah Putusan(Memaknai Dissenting
Opinion), diakses dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/kebebasan-
hakim-dalam-sebuah-putusan-oleh-hj-st-zubaidah-s-ag-s-h-m-h-16-1, pada
31 Maret 2020 Pukul 02.01.
Tri Jata Ayu Pramesti, “Wajibkah Menafkahi Anak Tiri Pasca Perceraian“,
diakses dari
https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53faccd6992c9/wajibkah-
menafkahi-anak-tiri-pasca-perceraian, pada 22 April 2020 pukul 01.01.