Anda di halaman 1dari 68

SKRIPSI

PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM


RUMAH TANGGA
(Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol)

JUDGE DECISION IN CRIME OF DOMESTIC VIOLENCE


(Veredict Number 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol)

Oleh :
YOHANES RAHARJO
NIM: 160710101386

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2020
2

SKRIPSI

PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM


RUMAH TANGGA
(Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol)

JUDGE DECISION IN CRIME OF DOMESTIC VIOLENCE


(Veredict Number 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol)

Oleh:
YOHANES RAHARJO
NIM: 160710101386

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2020
3

MOTTO

“ Hayo Apa “
4

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan skripsi ini kepada:

1. Orang tuaku, papa Jayadi Slamet Raharjo, mama Subiarti atas


untaian doa, curahan kasih sayang, segala perhatian, dan
dukungan yang telah diberikan dengan tulus ikhlas;
2. Seluruh Guru saya, TKK Santa Theresia, SDK Pembina,
SMPK Santa Maria, SMA Negeri 2, dan dosen Fakultas
Hukum Universitas Jember yang dengan tulus ikhlas
membagikan ilmu-ilmunya yang sangat bermanfaat dan
berguna serta membimbing dengan penuh kesabaran;
3. Almamater Universitas Jember yang saya banggakan.
5

PERSYARATAN GELAR

PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM


RUMAH TANGGA
(Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol)

JUDGE DECISION IN CRIME OF DOMESTIC VIOLENCE


(Veredict Number 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember

Oleh:
YOHANES RAHARJO
NIM: 160710101386

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2020
6

PERSETUJUAN

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL…………….

Oleh:

Dosen Pembimbing Utama,

SAPTI PRIHATMINI, S.H., M.H.


NIP. 197004281998022001

Dosen Pembimbing Anggota,

DODIK PRIHATIN A.N., S.H., M.HUM.


NIP. 197408302008121001
7

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:


PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
(Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol)

Oleh:

YOHANES RAHARJO
NIM. 160710101386

Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota,

SAPTI PRIHATMINI, S.H., M.H. DODIK PRIHATIN A.N., S.H., M.HUM.


NIP. 197004281998022001 NIP. 197408302008121001

Mengesahkan:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Universitas Jember
Fakultas Hukum
Dekan,

Dr. Moh. Ali, S.H., M.H.,


NIP. 197210142005011002
8

PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji pada :


Hari :
Tanggal :
Bulan :
Tahun :
Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember

PANITIA PENGUJI :

Ketua, Sekretaris,

Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.H. DINA TSALIST WILDANA, S.H.I., LL.M
NIP. 196506031990022001 NIP. 198507302015042001

ANGGOTA PANITIA PENGUJI :

Sapti Prihatmini, S.H., M.H : (..................................................)


NIP. 197004281998022001

DODIK PRIHATIN AN., S.H., M.Hum. : (..................................................)


NIP. 197408302008121001
9

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yohanes Raharjo

NIM : 160710101386

Menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa karya tulis skripsi dengan


judul : PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA (Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol) ;
adalah hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum diajukan
pada intuisi manapun, serta bukan karya jiplakan. Penulis bertanggung jawab atas
keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung
tinggi.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dan
paksaan dari pihak manapun, serta saya bersedia mendapatkan sanksi akademik
apabila ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 1 September 2020


Yang Menyatakan,

Yohanes Raharjo
Nim. 160710101386
10
11

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena
kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penulisan
karya ilmiah skripsi dengan judul : Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol).
Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan
Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember. Penulis
pada kesempatan ini ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Moh. Ali, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jember, berikut Ibu Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H.,
M.Hum., selaku Wakil Dekan I, berikut Bapak Echwan Iriyanto, S.H.,
M.H., selaku Wakil Dekan II, dan Bapak Dr. Aries Harianto S.H., M.H.,
selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Univeristas Jember;
2. Ibu Sapti Prihatmini, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama
skripsi yang memberikan arahan, nasihat, serta bimbingan selama
penulisan skripsi ini;
3. Bapak Dodik Prihatin AN., S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing
Anggota skrispsi yang memberikan masukan dan arahan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
4. Ibu Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.H., selaku Ketua Panitia Penguji
Skripsi;
5. Ibu Dina Tsalist Wildana, S.H.I., LL.M., selaku Sekretaris Panitia
Penguji Skripsi;
6. Bapak Gautama Budi Arundhati, S.H., LL.M., selaku Dosen
Pembimbing Akademik yang telah bersedia membimbing penulis selama
menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Jember;
7. Bapak dan Ibu Dosen, civitas akademika, serta seluruh karyawan
Fakultas Hukum Universitas Jember atas segala ilmu dan pengetahuan;
12

8. Orang tua penulis Papa Jayadi Slamet Raharjo dan Mama Subiarti, serta
Cece Elvina Raharjo dan Meme Valencia Raharjo yang telah
memberikan kasih sayang, mendoakan, dan mendukung penulis dalam
menyusun karya tulis ilmiah ini;
9. Semua keluarga dan kerabat atas doa dan dukungan yang diberikan
kepada penulis;
10. Keluarga besar UKM Kerohanian Kristen Universitas Jember (UKMKK
UNEJ) yang menjadi wadah pembinaan dan pengembangan kerohanian
penulis;
11. Teman Teman Kepengurusan UKM Kerohanian Kristen Periode Tahun
2019 Yosua Ade Pranata Wijaya, Silvi Serawati, Princessa Natalia,
Tatiana Hedyta, Gracia Audrey Karen, Priskila Margaretha Ganda,
Renny Mutiara Hutomo, Gracia Remawati, Aston Poulther Ndun, Otius
Simalya, Sheryl Amanda Surjono, Trio Putra Oktavianus, Stelen
Colarado, Tiur Violita Veronica Panjaitan, Sukma Ageng Prasetyo, Vivi
Wahyuningtyas, Sam Proboyunanto, Yosua Waas, Henry Kristianto
Wibisono, Widya Zennyver, Samuel Parulian Tampubolon, Satria
Pambudi, Santo Yosep Silaban, Rosalia Fitriani, Erniati, Putri Cahya
Agustin, Stella Renita Siahaan, Meida Putri Arisinta, Nicolas Imanuel
Purba, Agnes Setiawan, Karina Indah Febriyanti;
12. Teman-teman penulis Imelda Kristianti, Wulingga Elita Debora, Desy
Elsa Sanda, Helena Hegi Parascati, Merry Dwiarina, Yolanda Regina
Ruth Rawung, Fandy Sanjaya, Popy Anisah Puriyastuti dan Bella
Esmiranda Raharjo yang selalu memberi dukungan dan motivasi;
13. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum, Saktya Budi Ondakara,
Haechal Yan Kristanto, Widia Aprilia dan lainnya yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan;

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar karya tulis ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
13

RINGKASAN

Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT merupakan suatu


tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Tindak pidana ini
seringkali menimbulkan luka fisik maupun trauma bagi korbannya. KDRT sendiri
dipicu karena adanya ketidaksetaraan atau keharmonisan dalam rumah tangga
sehingga menyebabkan adanya perilaku dominan oleh salah satu personal baik itu
laki-laki maupun perempuan yang berusaha mengambil alih kontrol dalam rumah
tangga. Kekerasan dalam rumah tangga terdapat pada Pasal 5 sampai Pasal 9 UU
PKDRT yang meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan
penelantaran rumah tangga.

Dalam kaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga, penulis


melakukan kajian pada Putusan Pengadilan Negeri Polewali Nomor
42/Pid.Sus/2019/PN.Pol. Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 2 (dua) hal,
yaitu: apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam Putusan Pengadilan
Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol termasuk kualifikasi lingkup KDRT, dan apakah
putusan hakim yang menjatuhkan Pasal 351 ayat (1) KUHP dalam Putusan
Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol sudah sesuai dengan Pasal 63 ayat (2)
dan Pasal 103 KUHP. Tujuan Penelitian skripsi ini, yaitu: untuk menganalisis
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam Putusan Pengadilan Nomor
42/Pid.Sus/2019/PN.Pol merupakan lingkup KDRT, dan untuk menganalisis
kesesuaian putusan hakim yang menjatuhkan pasal 351 ayat (1) KUHP dalam
Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019.PN.Pol dengan Pasal 63 ayat (2) dan
Pasal 103 KUHP. Metode Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini
menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan
hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan, yaitu: pertama,


Perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam Putusan Pengadilan Nomor
14

42/Pid.Sus/2019/PN.Pol termasuk kualifikasi lingkup KDRT. Hal ini dikarenakan


Saksi korban merupakan paman dari terdakwa, yang mana hal tersebut termasuk
memiliki hubungan keluarga karena pertalian darah menurut UU PKDRT.
Kedua, Putusan hakim yang menjatuhkan Pasal 351 ayat (1) KUHP dalam
Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol tidak sesuai dengan Pasal 63
ayat (2) dan Pasal 103 KUHP. Hal ini dikarenakan putusan tersebut bertentangan
dengan asas Lex Specialis Derogate Legi Generale, Hukum khusus seharusnya
mengesampingkan hukum umum, namun dalam putusan tersebut hakim
menggunakan hukum umum untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hal ini
jelas tidak sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generali yang diatur
dalam pasal 63 ayat (2) dan pasal 103 KUHP.

Saran yang diberikan, yaitu: pertama, hakim lebih jeli lagi dalam
mengkualifikasikan suatu tindak pidana, baik itu pidana umum maupun pidana
khusus. Terlebih lagi dalam dakwaan alternatif, sebaiknya hakim memeriksa
terlebih dahulu dakwaan primairnya terlebih dahulu atau dakwaan yang memuat
hukum pidana khusus. Hal ini dapat meminimalisir kesalahan pengkualfikiasian
tindak pidana, sehingga tidak terjadi keluputuan atau kesalahan dalam
mengidentifikasi suatu kasus tindak pidana. Kedua, hakim dalam menjatuhkan
putusan sebaiknya lebih memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku. Hal ini
dikarenakan kesalahan atau penyimpangan terhadap suatu asas pidana dapat
menyebabkan batalnya suatu putusan tersebut.
15

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ........................................................................i


HALAMAN SAMPUL DALAM ......................................................................ii
HALAMAN MOTTO..........................................................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................iv
HALAMAN PERSYATARAN GELAR............................................................v
HALAMAN PERSETUJUAN ...........................................................................vi
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................vii
HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................viii
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH.........................................................ix
HALAMAN RINGKASAN.................................................................................x
HALAMAN DAFTAR ISI .................................................................................xi
HALAMAN LAMPIRAN...................................................................................xiii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................5
1.4 Metode Penelitian............................................................................................7
1.4.1 Tipe Penelitian......................................................................................8
1.4.2 Pendekatan Masalah..............................................................................9
1.4.3 Sumber Bahan Hukum..........................................................................9
1.4.3.1 Bahan Hukum Primer................................................................11
1.4.3.2 Bahan Hukum Sekunder...........................................................12
1.4.4 Analisis Bahan Hukum.........................................................................12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................6
2.1 Tindak Pidana KDRT .....................................................................................6
2.1.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ........................................6
2.1.2 Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana KDRT ................................9
2.1.3 Lingkup Rumah tangga.........................................................................12
2.2 Asas Lex Specialis Deogat Legi Generali ......................................................13
16

2.2.1 Pengertian Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali ........................13


2.2.2 Regulasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali ............................14
2.3 Surat Dakwaan ................................................................................................15
2.3.1 Pengertian Surat Dakwaan ...................................................................15
2.3.2 Syarat Surat Dakwaan ..........................................................................16
2.3.3 Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan.............................................................17
2.3.4 Unsur-Unsur Pasal dalam Dakwaan......................................................19
2.4 Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan .......................................20
2.4.1 Pertimbangan Yuridis ...........................................................................20
2.4.2 Pertimbangan Non Yuridis ...................................................................21
2.5 Putusan Hakim ................................................................................................23
2.5.1 Pengertian dan Jenis-Jenis Putusan ......................................................23
2.5.2 Syarat Sah Putusan ...............................................................................24
BAB 3 PEMBAHASAN .....................................................................................27
3.1 Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam Putusan Pengadilan
Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol merupakan lingkup KDRT.........................27
3.2 Kesesuaian putusan hakim yang menjatuhkan pasal 351 ayat (1) KUHP
dalam Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019.PN.Pol dengan Pasal
63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP....................................................................28
BAB 4 PENUTUP ...............................................................................................31
4.1 Kesimpulan......................................................................................................51
4.2 Saran................................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA
17

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran : Putusan Pengadilan Negeri Polewali Nomor


42/Pid.Sus/2019/PN.POL
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang majemuk yang terdiri dari berbagai


macam kultur dan budaya yang berbeda. Keberagaman tersebut dapat menjadi
harmoni apabila semua masyarakat dapat saling menghargai dan menerima
perbedaan. Namun tidak dapat dipungkiri dengan beragamnya sifat dan budaya
serta beragamnya pemikiran masyarakat, tidak memungkinkan semuanya akan
menjadi satu pola pikir yang sejalan atau akan selaras terus menerus. Perbedaan
tersebut dapat memicu gesekan maupun konflik yang akhirnya akan menimbulkan
suatu pelanggaran atau kejahatan yang berujung pada melakukan suatu tindak
pidana. Tindak pidana tersebut bisa terjadi dimana saja dan kapan saja seperti
salah satunya adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut KDRT) merupakan


tindak pidana yang sering terjadi dalam lingkup rumah tangga. Tindak pidana ini
seringkali menimbulkan luka fisik maupun trauma bagi korbannya. KDRT
umumnya terjadi dikarenakan tidak adanya kesetaraan atau keharmonisan dalam
rumah tangga sehingga menyebabkan adanya perilaku dominan oleh pasangan
baik laki-laki maupun perempuan yang berusaha mengambil alih kontrol dalam
rumah tangga.1 Kekerasan yang dimaksud dalam KDRT tidak hanya terbatas
dalam lingkup kekerasan fisik saja, namun juga mencakup baik kekerasan seksual,
kekerasan psikis, dan lain-lain.

Masih banyak kasus KDRT yang belum tertangani dengan maksimal serta
menyulitkan korban mendapatkan dukungan dan pendampingan dari masyarakat,
hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya adalah

1
Badriyah Khaleed, Penyelesaian Hukum KDRT, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 2.

1
2

Adanya ketimpangan relasi antara laki-laki maupun perempuan,


ketergantungan istri terhadap suami, sikap masyarakat yang mengabaikan KDRT,
keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat, dan mitos KDRT.2
Adanya ketimpangan relasi antara laki-laki maupun perempuan baik dalam
rumah tangga maupun dalam kehidupan publik. Adanya anggapan bahwa yang
berhak memimpin adalah laki-laki bukan perempuan sehingga laki-laki merasa
berhak mengontrol dan mengawasi perempuan. Seringkali pemaksaan tersebut
dilakukan dengan kekerasan.
Ketergantungan istri terhadap suami secara penuh. Ketergantungan terjadi
terutama pada masalah ekonomi dimana suami adalah kepala keluarga yang
menafkahi istri. Hal ini mengakibatkan istri berada di bawah kekuasaan suami dan
seringkali dapat menjadi pelampiasan bagi suami.
Sikap masyarakat yang cenderung mengabaikan KDRT. Masyarakat
bersikap acuh dan sering beranggapan bahwa KDRT merupakan masalah yang
wajar dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Adanya sikap acuh tersebut
membuat korban KDRT merasa takut untuk mencari pertolongan dan dukungan
dari masyarakat.
Keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang
mungkin bersumber dari tafsir agama. Adanya ajaran-ajaran agama yang
menyatakan bahwa perempuan harus tunduk dan mematuhi suami yang
menyebabkan perempuan harus mengalah dan menerima segala perlakuan suami
entah itu baik maupun buruk. Selain itu perempuan harus bersabar dan pandai
dalam mengurus keluarga dan ada kekhawatiran akibat dari perceraian.
Mitos KDRT. Adanya anggapan bahwa KDRT terjadi karena korban tidak
bisa melayani keluarga dengan baik sehingga wajar jika mengalami hal tersebut.
Anggapan tersebut pada akhirnya memojokkan korban dan menjauhkan korban
dari segala bentuk pertolongan dan perlindungan.
KDRT merupakan tindak pidana yang cukup unik dan memiliki ciri khas
tersendiri. Hal ini disebabkan kedudukan pelaku dan korban terjadi dalam lingkup

2
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press,
Yogyakarta, 2015, hlm. 3.
3

rumah tangga yang saling terikat, sehingga cenderung dianggap sebagai masalah
privat ketika terjadi kekerasan. Di Indonesia sendiri KDRT memiliki angka kasus
yang cenderung tinggi.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas


Perempuan) mencatat kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada 2018
mencapai 406.178 kasus, meningkat 16,6% dibandingkan 2017 yang sebanyak
348.446 kasus. Data tersebut berasal dari Catahu yang dikompilasi berdasarkan
data perkara yang ditangani Pengadilan Agama sebanyak 96% (392.610 kasus)
dan 209 lembaga mitra pengada layanan sebanyak 3% (13.568 kasus). Selama
sepuluh tahun terakhir, jumlah pelaporan dari kekerasan terhadap perempuan
cenderung meningkat. Hanya pada 2010 dan 2016 angka pelaporan menurun.
Pada 2010, laporan menurun 26,8% dari 143.586 kasus menjadi 105.103 kasus.
Sementara itu, pada 2016 jumlah laporan menurun 19,5% dari 321.752 menjadi
259.150 kasus. Komnas Perempuan melihat selama sepuluh tahun terakhir ada
tren yang menunjukkan semakin banyak korban kekerasan yang berani melapor.
Selain itu, tingkat kepercayaan dan kebutuhan korban terhadap lembaga-lembaga
penyedia layanan pendampingan kasus kekerasan juga meningkat.3 Maka dari itu,
untuk mencegah terjadinya KDRT, melindungi korban KDRT, dan menindak
pelaku KDRT dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU
PKDRT).4 UU PKDRT juga berkaitan dengan beberapa peraturan perundang-
undangan yang ada seperti : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP), Kitab Undang-Undang Acara Pidana (selanjutnya disebut
KUHAP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of All Forms of Discriminations Women/CEDAW), Undang-Undang

3
Dwi Hadya Jayani, “Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Cenderung Meningkat”, diakses
dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/17/angka-kekerasan-terhadap-perempuan-
cenderung-meningkat, pada 28 Februari 2020 pukul 22.38.
4
Badriyah Khaleed, Op.Cit. hlm. 1
4

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun


1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Berkaitan dengan KDRT, penulis tertarik untuk menganalisis Putusan


Pengadilan Negeri Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol atas nama terdakwa Yohanis
Alias Anis yang telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban bernama
Lel. Markus Alias Papa Paran pada tanggal, 18 Januari 2019 sekitar pukul 18.00
WITA yang bertempat di Dusun Kopian, Desa Kariango, Kec. Tawalian, Kab.
Mamasa tepatnya di dalam rumah Per. Fransina Alias Mama Sanda. Awalnya
saksi Korban Lel. Markus Alias Papa Paran adalah paman dari terdakwa Yohanis
Alias Anis yang tinggal serumah dengan Terdakwa bersama ibunya sejak saksi
korban bercerai dengan isterinya sedang menonton TV. Sementara itu Terdakwa
Yohanis Alias Anis sedang berada di dapur bersama ibunya yaitu Per. Fransina
yang adalah kakak perempuan dari saksi korban sedang makan. Tiba-tiba Saksi
korban mendengar teriakan dari saksi Per. Fransina alias Mama Sanda kepada
terdakwa. Ketika Saksi korban menyahut teriakan tersebut, tiba-tiba dari belakang
terdakwa Yohanis Alias Anis memukul saksi korban menggunakan Alu ( kayu )
yang digenggam kedua tangannya yang mengenai tangan kiri saksi korban.
Setelah itu terdakwa melepas kayu tersebut dilantai dan memukul saksi korban
menggunakan tangan kanan mengenai pipi kanan saksi korban sebanyak 1 ( satu )
kali pukulan, setelah itu terdakwan hendak membanting saksi korban sambil
memegang pinggang saksi korban, yang kemudian terdakwa mencekik leher saksi
korban seraya berkata akan membunuhnya. Akibat perbuatan tersebut berdasarkan
Visum, saksi korban ditemukan fakta pada bagian tubuh tertentu ditemukan bekas
memar dan perubahan warna kulit yang nyeri ketika ditekan.

Terdapat beberapa isu hukum yang menarik untuk dianalisis dalam putusan
tersebut. Isu hukum yang pertama, yaitu merujuk ke ruang lingkup KDRT dari
kasus diatas apakah memungkinkan kejahatan yang dilakukan pelaku masih
masuk dalam ranah ruang lingkup KDRT. Mengingat dalam ketentuan umum UU
PKDRT, “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan... “ sedangkan dalam kasus diatas pelaku maupun
5

korban merupakan laki-laki dan bukan merupakan hubungan keluarga seorang


ayah dan anak melainkan antara paman dan keponakan.

Isu hukum yang kedua yaitu pertimbangan hakim yang menyatakan


terdakwa Yohanis Alias Anis telah terbukti melakukan tindak pidana
penganiayaan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Apabila
ditinjau dari keterangan terdakwa maupun saksi-saksi yang menyatakan bahwa
terdakwa dengan saksi korban memiliki hubungan darah keluarga, dan mengingat
ada undang-undang yang secara khusus mengenai penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga. Maka hakim harus memperhatikan setiap regulasi yang ada dan
berdasaarkan fakta persidangan yang ada.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian terhadap


putusan hakim tersebut yang diberi judul “ Putusan Hakim dalam Tindak
Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Putusan Nomor
42/Pid.Sus/2019/PN.Pol) “.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah menjadi


dua bagian sebagai berikut :

1. Apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam Putusan


Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol termasuk kualifikasi
lingkup KDRT ?
2. Apakah putusan hakim yang menjatuhkan Pasal 351 ayat (1) KUHP
dalam Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol sudah
sesuai dengan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP ?
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis dapat menyusun penelitian,


yaitu :
6

1. Untuk menganalisis perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam


Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol merupakan
lingkup KDRT.
2. Untuk menganalisis kesesuaian putusan hakim yang menjatuhkan
pasal 351 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Nomor
42/Pid.Sus/2019.PN.Pol dengan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103
KUHP.

1.4 Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan metode yang penting dalam penulisan atau


penyusunan karya tulis ilmiah. Penyusunan karya tulis ilmiah ini dituangkan
secara sistematis dan terarah agar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh
penulis dan mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, oleh karena itu diperlukan metode penelitian yang tepat sebagai pedoman
penyusunan karya ilmiah. Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan know-how
dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how,
penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Di
sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum,
melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian
5
memberikan pemecahan atas masalah tersebut.

1.4.1 Tipe Penelitian

Dalam perumusan skripsi ini, tipe penelitian yang digunakan adalah


yuridis normatif, dimana sesuai untuk penelitian ini yang lebih memfokuskan
untuk menemukan kebenaran koherensi yaitu adakah aturan hukum yang sesuai
norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai
dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma
hukum atau prinsip hukum.6

5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi revisi), Prenadamedia Group, Jakarta, 2016
hlm. 60.
6
Ibid., hlm. 47.
7

1.4.2 Pendekatan Masalah

Dalam suatu Penelitian terdapat 5 (lima) macam pendekatan yaitu :7

1. Pendekatan Undang-undang (statue approach)

Pendekatan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan


regulasi yang bersangkut paut dengan isi hukum yang sedang ditangani.

2. Pendekatan kasus (case approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-


kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.

3. Pendekatan historis (historical approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang


dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
Pendekatan ini digunakan apabila dalam melakukan penelitian, peneliti
ingin mengungkapkan filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu
yang dipelajari.

4. Pendekatan komparatif (comparative approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu


negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai
hal atau peraturan yang sama, selain itu juga putusan pengadilan
dibeberapa negara untuk kasus yang sama.

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan mempelajari pandangan atau pendapat


para ahli dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Berdasarkan penjabaran diatas maka, dalam penulisan skripsi ini penulis


menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan

7
Ibid, hlm..133-135.
8

pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan


merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang menjadi pokok
bahasan. Sehingga dalam penelitian ini masih menggunakan undang-undang
maupun regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ada. Pendekatan
konseptual digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu atau doktrin-doktrin yang
berlaku yang saling bersangkut paut dengan isu hukum yang dibahas.

1.4.3 Sumber Bahan Hukum

1.4.3.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,


dimana ia memiliki otoritas. Bahan hukum primer antara lain terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau pun risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.8 Berkaitan dengan itu, yang
termasuk bahan hukum primer dalam penulisan skripsi ini, antara lain :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana (KUHP).
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
4) Putusan Pengadilan Negeri Polewali Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol

1.4.3.2 Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari seluruh
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan suatu dokumen resmi 9. Publikasi
tersebut antara lain meliputi buku-buku, jurnal-jurnal, literatur ilmiah, pun juga
kamus hukum. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum

8
Ibid, hlm. 181.
9
Ibid.
9

sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal, dan bahan hukum sekunder lain
yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
10

1.4.4 Analisis Bahan Hukum

Dalam hal analisis bahan hukum, penulis menggunakan analisa deduktif,


yaitu dengan melihat suatu permasalahan yang ada secara umum terlebih dahulu
hingga kemudian sampai pada hal-hal bersifat khusus untuk mencapai maksud
yang sebenarnya. Sementara langkah yang selanjutnya digunakan, antara lain :

1. Melakukan identifikasi atas fakta-fakta hukum yang ada dan


mengeliminasi hal-hal yang tidak relevan untuk dapat menetapkan isu
hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan baik hukum maupun non hukum yang
memang dirasa memiliki relevansi terhadap isu yang hadapi;
3. Melakukan telaah terhadap isu-isu hukum yang diajukan dengan
didasarkan pada bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi sebagai jawaban atas
permasalahan yang ditemukan;
5. Memberikan preskripsi dengan didasarkan pada argumentasi yang
telah dibagun di dalam kesimpulan.10

Berdasarkan langkah-langkah tersebut, langkah awal yang diambil oleh


penulis adalah mengidentifikasi fakta hukum dalam Putusan Nomor :
42/Pid.Sus/2019/PN.POL untuk menetapkan isu hukum yang ada dalam rumusan
masalah. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan sumber bahan hukum, baik
itu bahan hukum primer, maupun bahan hukum sekunder yang memiliki relevansi
dengan isu hukum yang dikaji. Sumber bahan hukum yang telah dikumpulkan
akan menjadi dasar dalam menelaah isu-isu hukum yang ada pada rumusan
masalah dengan cara melakukan analisis isu hukum yang relevan dengan putusan
hakim, perundang-undangan, dan buku-buku maupun artikel-artikel hukum.

10
Ibid, hlm 213.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindak Pidana KDRT

Tindak Pidana memiliki suatu aturan dalam peraturan perundang-undangan.


Dalam memahami hal tersebut pada pembahasan ini akan dijelaskan pengertian
tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, pengertian tindak pidana KDRT dan
jenis-jenisnya.

2.1.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana ( delik ) dalam hukum pidana yang merupakan salah satu
terjemahan dari “strafbaar feit” dalam bahasa Belanda. Secara etimologi
strafbaar feit terdiri atas dua suku kata yakni feit yang dalam bahas belanda
berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkbeid”,
sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harifiah perkataan
“strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan
kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.11

Istilah strafbaar feit sendiri diterjemahkan secara berbeda-beda oleh


beberapa sarjana hukum pidana antara lain sebagai berikut :

1. Vos

Merumuskan bahwa suatu strafbaar feit adalah suatu kelakuan


manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.

2. Simons

11
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984,
hlm.172.

11
12

Merumuskan strafbaar feit adalah suatu “suatu tindakan melanggar


hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai
dapat dihukum”.12
3. Pompe

Pengertian strafbaar feit adalah, suatu pelanggaran norma


(gangguan terhadap tertib hukum) yang sengaja ataupun tidak sengaja
telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.

4. Moeljatno

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh hukum


yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan bagi siapa saja
yang melanggar.13

Berdasarkan beberapa pendapat Ahli Hukum Pidana tersebut, dapat


disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan
melanggar hukum atau melawan hukum dan diancam dengan pidana.
Sehingga untuk memahami suatu perbutan termasuk dalam kualfikasi
tindak pidana atau bukan, maka diperlukan juga untuk memahami unsur-
unsur yang terdapat di dalam tindak pidana itu sendiri. Menurut doktrin,
unsur-unsur dalam tindak pidana sendiri terdapat 2 (dua) macam yakni
unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif merupakan unsur yang terdapat dalam diri pelaku.


Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada
kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty
or actus non facit reum nisi mens rea). Kesalahan yang dimaksud di sini
adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada
12
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 8.
13
Mulyati Pawennei, dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media, Jakata,
2015, hlm. 6.
13

Umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3


(tiga) bentuk,yakni

1) Kesengajaan sebagai maksud(oogmerk);


2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzin);
3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis).

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari


kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni

1) Tidak berhati-hati;
2) Dapat menduga akibat perbuatan itu.14

Unsur Objektif merrupakan unsur yang berasal dari luar diri pelaku
yang terdiri atas :

a) Perbuatan manusia, berupa :


a) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
b) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
b) Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan


menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan,
dan sebagainya.

c) Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;


b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
d) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

14
Leden Marpaung, Op. Cit. hlm. 9.
14

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang


membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum
adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan
dengan larangan atau perintah.15

2.1.2 Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana KDRT

Menurut UU PKDRT, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap


seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.16 UU PKDRT menekankan bahwa perempuan sebagai
subjek atau kelompok yang rentan menjadi korban KDRT.

KDRT pada dasarnya merupakan kekerasan berbasis gender (gender


basic violence), yaitu kekerasan yang diakibatkan adanya kontruksi dan
relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat patriarki terutama dalam perkawinan.17 Kontruksi gender
tersebut mengakibatkan perempuan rentan mengalami kekerasan. Oleh
karena itu KDRT bukan merupakan kejahatan biasa namun menjadi
kejahatan khusus yang memerlukan penanganan tersendiri baik dalam
tindak upaya pencegahan, penanganan, perlindungan, dan lain-lain.

Kekerasan dalam rumah tangga terdapat pada Pasal 5 sampai Pasal 9


UU PKDRT. Tindak pidana KDRT terdiri dari: a) kekerasan fisik, b)
kekerasan psikis, c) kekerasan seksual, dan d) penelantaran rumah tangga.
a) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik diartikan sebagai perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 UU
15
Ibid, hlm. 10
16
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
17
Ratna Batara Munti, dkk, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Peradilan Pidana: Analisis
Konsistensi Putusan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia dan MaPPI, Jakata, 2016, hlm.
33.
15

PKDRT). Pengertian tersebut serupa namun tidak sama dengan


pengertian “penganiayaan” yang ada pada Pasal 351 KUHP. Perbedaan
tersebut nampak dari “kekerasan fisik” diberikan penafsiran otentik
pada Pasal 6 UU PKDRT sedangkan pada Pasal 351 KUHP tidak
dijelaskan pengetian “penganiayaan” tetapi hanya dikualifikasikan
deliknya yakni “penganiayaan”.18
Larangan melakukan kekerasan fisik dalam Pasal 5 huruf a jo
Pasal 6 UU PKDRT diancam dengan pidana dalam Pasal 44 UU
PKDRT. Kekerasan fisik dalam rumah tangga bisa seperti dipukul,
ditendang, dijambak rambutnya, ditampar, dicekik, dan sebagainya.
Akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan fisik dapat berupa memar,
luka, bahkan hingga kematian.
b) Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis yang dimaksud pada Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Larangan melakukan kekerasan psikis dalam Pasal 5 huruf b jo
Pasal 7 UU PKDRT diancam dengan pidana dalam Pasal 45 UU
PKDRT. Kekerasan psikis dalam rumah tangga dapat berupa ancaman,
hinaan, tekanan, pembatasan aktivitas, dan sebagainya. Dalam
pembuktian kekerasan psikis diperlukan pemeriksaan dari Psikolog
ataupun Psikiater.
c) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yang dimaksud pada Pasal 5 huruf c UU
PKDRT sebagai berikut.
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut;

18
Guse Prayudi, Op. Cit., hlm. 32.
16

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang


dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Larangan melakukan kekerasan seksual dalam Pasal 5 huruf c
jo Pasal 8 UU PKDRT diancam dengan pidana dalam Pasal 46-48 UU
PKDRT. Pemaksaan hubungan seksual menurut hasil penelitian LBH
APIK dapat berupa:19
1. Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual
suami.
2. Pemaksaan hubungan seksual saat isteri tertidur.
3. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu
waktu.
4. Pemaksaan hubungan seksual saat isteri sedang
haid/menstruasi.
d) Penelantaran Rumah Tangga
Setiap orang dilarang melakukan penelantaran dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 UU PKDRT, yaitu:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut.

19
Ibid, hlm. 75
17

Larangan melakukan penelantaran rumah tangga dalam Pasal 5


huruf d jo Pasal 9 UU PKDRT diancam dengan pidana dalam Pasal 49
UU PKDRT.
Dalam putusan yang dianalisis penulis, berdasarkan surat dakwaan
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa masuk dalam kekerasan fisik
yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit terhadap saksi korban.
2.1.3 Lingkup Rumah Tangga
Korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang berada
dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga menurut Pasal 2 UU
PKDRT adalah sebagai berikut :
a. Suami, isteri, dan anak
Suami isteri dalam UU PKDRT adalah seorang pria dan wanita
yang terikat dalam perkawinan yang sah baik yang dicatatkan maupun
yang tidak dicatatkan yang membentuk keluarga (rumah tangga).20
Dalam rumah tangga, kualifikasi anak dilihat dari bentuk ikatan
darah (anak kandung) dan ikatan yuridis yang mengikat seseorang
menjadi orangtua dan anak, yakni perkawinan (anak tiri) dan
pengangkatan anak (anak angkat).21 Anak sebagai pelaku dan korban
kekerasan dalam rumah tangga dapat dikualifikasikan sebagai anak di
bawah umur dan anak yang telah dewasa.
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga
UU PKDRT tidak menggantungkan syarat keluarga dengan
perderajatan.22 Hal ini diperluas dengan dianggapnya saudara karena
persusuan, pengasuhan, dan perwalian.
Menetap dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai selama
berada dalam rumah tangga yang bersangkutan pada saat terjadinya
20
Ibid, hlm. 15.
21
Ibid, hlm. 16.
22
Ibid, hlm. 24.
18

kejadian pelaku atau korban tersebut harus telah berada dalam rumah
tangga atau keluarga tersebut dalam jangka waktu tertentu.23
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut
Orang yang bekerja membantu rumah tangga seringkali disebut
“pembantu rumah tangga”. Pembantu rumah tangga bisa menjadi
pelaku atau korban kekerasan dalam rumah tangga apabila yang
bersangkutan masih berada dan/atau bekerja dalam rumah tangga yang
bersangkutan.24
2.2 Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali

Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai asas Lex Specialis Derogat
Legi Generali dalam hal pengertiannya, hubungannya dengan KUHP, dan
berlakunya asas tersebut

2.2.1 Pengertian Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali

Asas lex specialis derogat legi generali merupakan salah satu asas
dalam ilmu hukum. Secara harafiah poostulat lex specialis derogat legi
generali berarti hukum khusus mengesampingkan hukum umum atau de
25
speciale regel verdringtde algemene. Dalam konteks hukum pidana di
Indonesia, hukum yang bersifat umum adalah perbuatan kejahatan, atau
pelanggaran yang diatur dalam KUHP. Sedangkan hukum yang bersifat
khusus adalah perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang diatur secara
khusus dalam undang-undang diluar KUHP. Bizonder strafrecht atau
hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang menyimpang dari
ketentuan-ketentuan umum hukum pidana baik dari segi materiil maupun
formil. Artinya, ketentuan-ketentuan tersebut menyimpang dari ketentuan
umum yang terdapat dalam KUHP maupun menyimpang dari ketentuan-

23
Ibid, hlm. 25.
24
Ibid, hlm. 26.
25
Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka. Yogyakarta. 2015.
Hlm. 415
19

ketentuan umum yang terdapat dalam KUHAP.26 Adapun prinsip-prinsip


yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generali :

a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap


berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis. 27
2.2.2 Regulasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali

Istilah Regulasi banyak digunakan di berbagai bidang sehingga


memiliki makna yang luas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Regulasi merupakan kata lain dari peraturan yang memiliki
makna petunjuk/kaidah/ketentuan yang dibuat untuk mengatur. Dengan
demikian regulasi Asas lex specialis derogat legi generali dapat diartikan
sebagai peraturan yang mengatur asas tersebut. Asas lex Specialis Derogat
legi generali sendiri dalam hukum pidana diatur dalam pasal 63 ayat (2)
KUHP, yaitu :

“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum,


diatur pula dalam aturan pidana khusus maka hanya yang khusus itulah
yang diterapkan”28

Artinya jika seseorang melakukan tindak pidana melanggar 2 (dua)


ketentuan, yaitu ketentuan pidana umum dan pidana khusus maka yang
dikenakan pada pelaku adalah ketentuan pidana khusus sebagaimana
diatur dalam pasal tersebut. Dalam pasal ini hukum pidana khusus
mengesampingkan ketentuan umum. Dewasa ini banyak sekali sekali
undang-undang yang lahir kemudian, selain memuat ketentun hukum

26
Ibid..
27
A.A Oka Mahendra, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diakses dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-
undangan.html, pada tanggal 9 Februari 2020 pukul 22.44.
28
Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
20

pidana materiil yang menyimpang dari KUHP, juga memuat ketentuan


beracara sendiri yang menyimpang dari KUHAP. Sekian banyak undang-
undang tersebut adalah bijzonder delic atau tindak pidana khusus yang
apabila dikenakan bersama-sama dengan ketentuan dalam KUHP, maka
ketentuan tindak pidana khusus itulah yang harus digunakan berdasarkan
postulat lex specialis derogat legi generali.29

Dalam pasal 103 KUHP juga disinggung mengenai asas lex


spesialis derogat legi generali, yaitu

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga


berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-
undang ditentukan lain.”30

Dapat disimpulkan bahwa pasal ini menjembatani segala istilah/pengertian


dalam bab I-VIII buku satu KUHP yang dapat digunakan apabila tidak diatur lain
dalam undang-undang atau aturan-aturan yang mengatur tentang hukum pidana
diluar KUHP.

2.3 Surat Dakwaan

Surat Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara pidana dalam


pengadilan. Dalam proses penegakan hukum perkara pidana, terdakwa
dapat dipidana berdasarkan hal yang terbukti mengenai kualifikasi tindak
pidana menurut surat dakwaan. Dalam pembahasan berikut ini, penulis
akan membahas tentang pengertian surat dakwaan, syarat surat dakwaan,
bentuk surat-surat dakwaan, dan unsur-unsur surat dakwaan.

2.3.1 Pengertian Surat Dakwaan


Menurut Karim Nasution, surat dakwaan adalah surat atau akta yang
memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara
dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan

29
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 413.
30
Pasal 103 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
21

dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan. Menurut M.Yahya Harahap,


surat dakwaan merupakan sebuah surat akta yang memuat rumusan tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari
pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana
yang dilanggar dan didakwakan para terdakwa dan surat dakwaan tersebut
menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan.31
2.3.2 Syarat Surat Dakwaan
Surat Dakwaan sangat penting dalam proses persidangan. Surat dakwaan
menjadi dasar bagi hakim dalam pembuatan putusan. Surat dakwaan harus
memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP, yaitu :
A. Syarat Formil
 Surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandangani oleh Penuntut Umum.
 Berisi identitas terdakwa, yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan
pekerjaan terdakwa.
B. Syarat Materiil
Surat dakwaan harus memuat secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
1. Cermat
Makna dari kata cermat, adalah teliti, dan seksama. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan ketelitian dan kesaksamaan Penuntut
Umum mengenai tindak pidana yang didakwakan antara lain :
 Syarat formil dari tindak pidana yang didakwakan, misalnya jika
delik pengaduan maka perlu diteliti tentang adanya pengaduan,
apakah telah ada dan apakah diajukan oleh orang yang ditentukan
undang-undang, perlu diteliti dengan saksama.
 Ne bis in idem (Pasal 76 KUHAP) Penelitian tentang tindak
pidana yang didakwakan, sudah atau belum pernah diadili.

31
Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Setara Press, Surabaya, 2014, hlm. 140-141
22

 Kedaluwarsaan (Pasal 78 KUHP). Penuntut Umum meneliti


mengenai tindak pidana yang didakwakan sudah atau belum
daluwarsa.
 Strafuits luitings grounde yakni tentang si terdakwa dapat atau
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
2. Jelas
Makna dari kata jelas, adalah nyata, gamblang. Dengan demikian,
maka dalam hal ini dimaksud agar Penuntut Umum merumuskan dalam
dakwaan semua unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan
perbuatan materiil yang telah dilakukan terdakwa, sehingga secara jelas
nyata/gamblang tampak rumusan unsur-unsur dengan perbuatan materiil
yang dilakukan terdakwa. Dengan perkataan lain, rumusan unsur-unsur
delik dipadukan dengan perbuatan materiil (fakta).
3. Lengkap
Makna dari kata lengkap, adalah genap tak ada yang kurang,
komplet. Dengan demikian yang dimaksud secara lengkap adalah secara
komplet dimuat dalam rumusan dakwaan baik mengenai unsur tindak
pidana yang didakwakan maupun mengenai perbuatan materiil yang
telah dilakukan terdakwa. Dengan ketinggalan satu unsur atau keliru
merumuskan satu unsur tindak pidana yang didakwakan, maka si
terdakwa dapat menjadi bebas.32
2.3.3 Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan
Penyusunan surat dakwaan harus disesuaikan dengan perbuatan terdakwa.
Menurut bentuknya surat dakwaan dapat disusun sebagai berikut :
a) Surat Dakwaan Tunggal

Surat dakwaan tunggal adalah surat dakwaan yang uraiannya


berupa satu jenis tindak pidana yang dituduhkan kepada terdakwa tanpa
disertai dakwaan lain. Surat dakwaan tunggal diberlakukan apabila Jaksa

32
Leden Marpaung, Proses penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 39 –
40.
23

Penuntut Umum dapat membuktikan satu tindak pidana yang terjadi dalam
suatu perkara.

b) Surat Dakwaan Alternatif


Surat dakwaan alternatif adalah surat dakwaan yang bersifat
mengecualikan satu dengan yang lain dan bertujuan menuduhkan terdakwa pada
dua tindak pidana atau lebih. Surat dakwaan alternatif selalu menggunakan kata
“atau” sebagai indikator umum, sehingga hakim atau pengadilan memiliki pilihan
untuk menentukan dakwaan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa
karena tindak pidana yang dilakukannya.
c) Surat Dakwaan Subsidair

Dalam dakwaan subsidair adalah bentuk surat dakwaan yang


disusun secara berurutan, terdiri dari dua atau lebih dakwaan mulai dari
dakwaan terberat sampai pada dakwaan teringan. Dakwaan ini berupa
bentuk “pengganti” artinya dajwaab subsidair menggantikan dakwaan
primair/dakwaan kedua menggantikan dakwaan pertama.

d) Surat Dakwaan Kumulatif


Surat dakwaan kumulatif adalah surat dakwaan yang terdiri dari beberapa
tindak pidana yang masing-masing terpisah satu dengan yang lain, tetapi
terdakwanya sama dan dirumuskan dalam satu surat dakwaan.
e) Surat Dakwaan Kombinasi
Surat dakwaan kombinasi adalah gabungan dari beberapa surat dakwaan
kumulatif dan alternatif atau kumulatif dan subsidair.33

2.3.4 Unsur-Unsur Pasal dalam Dakwaan

Dalam surat dakwaan pada Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol,


jaksa penuntut umum mendakwa dengan dakwaan bentuk alternatif.
Dakwaan kesatu adalah Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT

33
Ibid., hlm.43-59.
24

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam


lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)”34

Atau dakwaan kedua Pasal 351 ayat (1) KUHP

“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua


tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
35
ratus rupiah”

Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT memuat unsur-unsur sebagai berikut :

 Setiap orang
Setiap orang yang dimaksud mengandung arti bahwa subjek pelaku
atau yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang atau manusia.
 Yang melakukan perbuatan kekerasan fisik
Kekerasan fisik dalam hal ini harus mencakup :
- Harus ada perbuatan yang menimbulkan sakit
- Rasa sakit tersebut menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya.
 Dalam lingkup rumah tangga
Lingkup rumah tangga berdasarkan Pasal 2 UU PKDRT sebagai berikut
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, pengasuhan, perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga dan/atau;
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
Pasal 351 ayat (1) KUHP memuat unsur-unsur sebagai berikut:
a) Adanya kesengajaan
34
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT
35
Pasal 351 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
25

b) Adanya perbuatan
c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni :
- Rasa sakit pada tubuh, dan/atau
Rasa sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa tubuh, melainkan
pada tubuh timbul rasa sakit, perih, tidak enak, atau penderitaan.
- Luka pada tubuh
Luka diartikan terdapat perubahan dari tubuh menjadi berbeda dari
semula sebelum perbuatan itu dilakukan.
2.4 Pertimbangan Hakim

Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai pertimbangan hakim


dalam menjatuhkan putusan yang dibagi menjadi 2, yaitu pertimbangan
yuridis dan pertimbangan non yuridis.

2.4.1 Pertimbangan Yuridis


Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada fakta fakta yuridis yang terungkap didalam persidangan dan oleh
undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam
putusan.Adapun pertimbangan hakim yang digolongkan sebagai pertimbangan
yuridis secara sistematis akan diuraikan sebagai berikut :36
a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan ini merupakan dasar hukum acara pidana karena
berdasarkan itulah pemeriksaan persidangan dilakukan. Dakwaan selain
berisikan identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan. Selain itu dakwaan penuntut umum digunakan oleh hakim
sebagai bahan pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan putusan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pengadilan dalam
menjatuhkan putusan senantiasa menjadikan surat dakwaan sebagai suatu
bahan pertimbangan.
36
Nurhafifah dan Rahmiati, Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana terkait Hal yang
Memberatkan dan Meingankan Putusan, Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th XVII
(Agustus,2015), hlm. 347.
26

b) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa menurut KUHAP pasal 184 butir e,
digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang
dinyatakan terdakwa di sidang tentang pebuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui sendiri atau dialami sendiri.
c) Keterangan Saksi
Salah satu komponen yang harus diperhatikan hakim dalam
menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi dapat
dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan ia alami sendiri
dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat
sumpah.
d) Barang-Barang Bukti
Meskipun barang bukti bukan sebagai alat bukti, namun apabila
penuntut umum menyebutkan barang bukti itu didalam surat dakwaannya,
kemudian mengajukannya barang bukti itu kepada hakim, hakim ketua
dalam pemeriksaan harus memperlihatkannya, baik kepada terdakwa,
maupun kepada saksi, bahkan kalau perlu hakim membuktikannya dengan
membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa
atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya.
e) Pasal-Pasal dalam Peraturan Hukum pidana
Salah satu hal yang sering terungkap didalam proses persidangan
adalah pasal-pasal peraturan hukum pidana. Pasal-pasal ini bermula
terlihat dan terungkap pada surat dakwaan jaksa penuntut umum, yang
diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh
terdakwa. Pasal pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau
tindakan oleh hakim.37
2.4.2 Pertimbangan Non Yuridis

Pertimbangan non yuridis artinya, pertimbangan yang didasarkan


pada latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang
37
Ibid., hlm. 347-351
27

ditimbulkan, kondisi dari terdakwa, keadaan sosial ekonomi dan


lingkungan keluarga terdakwa, serta faktor ekonomi.

a) Latar belakang Pebuatan Terdakwa


Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang
menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri
terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.
b) Akibat Perbuatan terdakwa
Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa
korban ataupun kerugian pada pihak lain. Berpengaruh tidaknya akibat
kejahatan tersebut ke masyarakat luas dapat juga menjadi pertimbangan
hakim.
c) Kondisi Terdakwa
Kondisi diri terdakwa adalah keadaan fisik ataupun psikis terdakwa
sebelum melakukan kejahatan,termasuk pula status sosial yang melekat
pada dirinya. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat
kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan
dengan perasaan misalnya dalam keadaan marah mempunyai perasaan
dendam, mendapatkan ancaman atau tekanan orang lain dan pikiran dalam
keadaan kacau atau tidak normal.
d) Keadaan Sosial Ekonomi Terdakwa
Menurut Dahlan, salah satu yang harus dipertimbangkan hakim
adalah keadaan sosial ekonomi terdakwa, misalnya tingkat pendapatan dan
biaya hidupnya, kondisi sosial ekonomi tersebut dapat dijadikan
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan sepanjang hal tersebut
merupakan fakta yang terungkap dimuka persidangan karena pada
dasarnya faktor ekonomilah yang sangat berpagaruh terdakwa untuk
melakukan kejahatan.
e) Faktor Agama Terdakwa
Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila
hanya sekedar meletakkanya kata “Ketuhanan” pada kepala, putusan
melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik
28

tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan
para pembuat kejahatan. Bila demikian halnya, wajar dan sepatutnya
bahkan pula seharusnya ajaran agama menjadi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusannya.38
2.5 Putusan Hakim

Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai putusan hakim dalam


segi pengertian, jenis-jenis, dan syarat sah dalam putusan.

2.5.1 Pengertian dan Jenis-Jenis Putusan


Pengertian Putusan Hakim adalah suatu pernyataan atau tindakan akhir
berupa keputusan hakim dalam persidangan yang menentukan apakah terdakwa
dinyatakan terbukti bersalah ataukah tidak bersalah dan memiliki kekuatan hukum
tetap. Jenis-jenis putusan sesuai sudut pandang dari segi fungsi mengakhiri
perkara yaitu :
1. Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan saat proses
pemeriksaan perkara yang bertujuan untuk memperlancar jalannya
pemeriksaan, putusan sela ini tidak untuk mengakhiri pemeriksaan tetapi
mempengaruhi pada jalan dan arahnya pemeriksaan perkara. Putusan sela
ini dibuat seperti putusan biasa, akan tetapi tidak secara terpisah melainkan
dituliskan dalam berita acara persidangan. Putusan sela sudah seharusnya
diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum dan
ditandatangani oleh panitera serta majelis hakim yang turut dalam
bersidang. Putusan sela juga tidak beridiri sendiri melainkan selalu tunduk
pada putusan akhir sehingga dapat dipertimbangkan pada akhir putusan.

2. Putusan Akhir

Putusan Akhir adalah putusan yang dijatuhkan untuk mengakhiri


persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun
belum melalui tahapan pemeriksaan. Putusan akhir biasanya diucapkan

38
Ibid., hlm. 352-353
29

hakim setelah memeriksa pokok perkara dan memperhatikan fakta yang


terjadi dalam persidangan. Ada beberapa jenis putusan akhir, antara lain :

a. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa pembebasan terdakwa karena
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
b. Putusan Lepas (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak termasuk
dalam tindak pidana.
c. Putusan Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP) yaitu
putusan yang dijatuhkan oleh hakim apabila terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.39
2.5.2 Syarat Sah Putusan

Syarat sah putusan pengadilan, terdapat dalam pasal 195 KUHAP,


“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.”40 Dengan demikian
untuk sahnya suatu putusan pengadilan harus memenuhi syarat-syarat :

1. Memuat hal-hal yang diwajibkan (Pasal 197 ayat (1) dan


ayat (2));’

2. Diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Hal-hal tersebut yang harus dinyatakan sebagai syarat mutlak


sesuatu putusan sedang hal-hal lain misalnya dengan hadirnya terdakwa,
tidak merupakan syarat mutlak. Dengan hadirnya salah seorang terdakwa
saja dari beberapa terdakwa tokoh putusan tersebut telah sah. Demikian

39
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahanya, PT.
Alumni, Bandung, 2007, hlm. 217-231
40
Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
30

halnya dengan pengecualian yang mengadili terdakwa secara in absentia


atau pengadilan yang memutuskan secara verstek, putusan tetap sah.41

Pasal 197 KUHAP

(1) Surat putusan pemidanaan, memuat :

a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“.
b) Nama lengkap, tempat lahir, umur dan atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa.
c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan serta alat pembuktiaan yang diperoleh dari pemeriksaan di
persidangan yang menjadi dasar penentu kesalahan terdakwa.
e) Tuntutan pidana, sebagaimana termaksud dalam surat tuntutan.
f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan meringankan terdakwa.
g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal
h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
mengenai barang bukti.
j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di
mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat otentik dianggap palsu.

41
Leden Marpaung, Op. Cit. hlm. 147-148.
31

k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau


dibebaskan.
l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf


a,b,c,d,e,f,h,i,j,k,dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum.42

42
Pasal 197 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Perbuatan yang dilakukan Terdakwa dalam Putusan Pengadilan


Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol termasuk lingkup KDRT

Tindak Pidana merupakan perbuatan yang dilakukan dengan melanggar


atau melawan hukum yang diancam dengan pidana. Tindak pidana dibedakan
menjadi 2 macam, yakni tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak
Pidana umum adalah tindak pidana yang ketentuan pidana nya diatur dalam
undang-undang pidana hukum umum yaitu KUHP. Sedangkan tindak pidana
khusus adalah tindak pidana yang diatur di luar KUHP dan memiliki ketentuan-
ketentuan khusus acara pidana43. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang
terdapat dalam KUHP merupakan indikator untuk menentukan apakah undang-
undang pidana itu merupakan tindak pidana khusus atau bukan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum tindak pidana khusus adalah undang-undang pidana atau
hukum pidana yang diatur dalam undang-undang pidana tersendiri. Salah satu
contoh tindak pidana khusus adalah kekerasan dalam rumah tangga yang
ketentuaanya diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang PKDRT.

Menurut UU PKDRT di pasal 1 menyatakan, Kekerasan dalam Rumah


Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.44

Michael Barama, Tindak Pidana Khusus, Unsrat Press, Manado, 2015, hlm. 1
43

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
44

Tangga

32
33

Pengertian tersebut dapat menjelasakan bahwa, bentuk kekerasan


dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik merupakan
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Kekerasan psikis mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual merupakan
pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah
tangga atau pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersil.
Penelantaran rumah tangga merupakan perbuatan menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangga dan pembatasan aktivitas.45

Pengertian “rumah tangga” dalam UU PKDRT memiliki cakupan ruang


lingkup yang sangat luas, sehingga tidak hanya melindungi perempuan/istri saja
sebagai korban, namun juga melindungi anggota keluarga lainnya yang bahkan
tidak memiliki hubungan pertalian darah. Orang-orang yang dimaksud tidak
memiliki hubungan pertalian darah namun dilindungi oleh UU PKDRT, adalah
orang-orang yang telah lama tinggal bersama dalam rumah tangga tersebut atau
bekerja dalam rumah tangga tersebut baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain
itu terdapat kenyataan bahwa perempuan yang dalam konteks ini hendak
dilindungi oleh UU PKDRT juga bisa menjadi pelaku tindak pidana KDRT itu
sendiri. Hal ini terlihat dari :

1. Asas Penghapusan KDRT yakni Nondiskriminasi (Pasal 3 huruf c UU


PKDRT)
2. Cara Perumusan tindak pidana KDRT (tersebut dalam Bab VIII UU
PKDRT), yaitu awalan kata “Setiap orang”. Dari perumusan ini dapat
diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” baik
dalam jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

Pasal 6-9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
45

Rumah Tangga
34

3. Dilihat dari perumusan tentang korban KDRT,yakni orang yang


mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga (Pasal 1 angka 3 jo Pasal2) meluputi :
a. Suami, isteri, dan anak;

Suami isteri dalam UU PKDRT adalah seorang pria dan wanita


yang terikat dalam perkawinan yang sah baik yang dicatatkan maupun
yang tidak dicatatkan yang membentuk keluarga (rumah tangga). 46
Dalam rumah tangga, kualifikasi anak dilihat dari bentuk ikatan darah
(anak kandung) dan ikatan yuridis yang mengikat seseorang menjadi
orangtua dan anak, yakni perkawinan (anak tiri) dan pengangkatan
anak (anak angkat).47 Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.48 Anak tiri
adalah anak salah seorang suami atau istri sebagai hasil dari
perkawinannya dengan istri atau suaminya yang terdahulu. 49 Anak
sebagai pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga dapat
dikualifikasikan sebagai anak di bawah umur dan anak yang telah
dewasa.

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang


sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga;

46
Guse Prayudi, Op.Cit. hlm. 15.
47
Ibid, hlm. 16.
48
Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
49
Tri Jata Ayu Pramesti, “Wajibkah Menafkahi Anak Tiri Pasca Perceraian“, diakses dari
https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53faccd6992c9/wajibkah-menafkahi-anak-tiri-
pasca-perceraian, pada 22 April 2020 pukul 01.01.
35

UU PKDRT tidak menggantungkan syarat keluarga dengan


perderajatan.50 Hal ini diperluas dengan dianggapnya saudara karena
persusuan, pengasuhan, dan perwalian. Dalam hal ini,yang dimaksud
dengan hubungan perkawinan mencakup mertua dari suami dan/atau
istri, menantu dari suami dan/atau istri, ipar dari suami dan/atau istri,
serta besan yang timbul dari hubungan perkawinan tersebut. Hubungan
Persusuan adalah hubungan yang timbul akibat dari menyusunya
seorang anak kepada seorang ibu yang bukan ibu kandungnya
sendiri,anak tersebut akan menjadi saudara sepersusuan dari anak-anak
kandung ibu yang menyusui tersebut. Akibat dari saudara sepersusuan
ini adalah larangan menikah bagi sesama saudara sepersusan yang
diatur dalam hukum islam. Sedangkan hubungan pengasuhan dan
perwalian adalah hubungan yang timbul antara anak asuh dengan wali
asuh akibat ketidakmampuan orang tua kandung anak tersebut untuk
merawat dan menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. Sehingga
anak tersebut akan dialihkan kuasa asuhnya secara hukum kepada
seseorang atau lembaga asuh, yang nantinya akan menjadi walinya dan
dapat memberikan bimbingan, perawatan dan pemeliharaan yang baik.
Menetap dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai selama berada
dalam rumah tangga yang bersangkutan pada saat terjadinya kejadian
pelaku atau korban tersebut harus telah berada dalam rumah tangga
atau keluarga tersebut dalam jangka waktu tertentu.51
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
Orang yang bekerja membantu rumah tangga seringkali disebut
“pembantu rumah tangga”. Pembantu rumah tangga bisa menjadi
pelaku atau korban kekerasan dalam rumah tangga apabila yang
bersangkutan masih berada dan/atau bekerja dalam rumah tangga yang
bersangkutan.52
50
Guse Prayudi, Op.Cit. hlm. 24.
51
Ibid, hlm. 25.
52
Ibid, hlm. 26.
36

Artinya Isteri (perempuan) bisa menjadi pelaku tindak pidana KDRT


dengan korban Suami, anak, keluarga atau pembantunya.

4. Adanya penunjukan langsung dalam rumusan pasal 44 ayat (4), Pasal 45


ayat (2) , Pasal 53 dengan adanya frasa “dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya”.53

Hal tersebut secara nyata telah menjelasakan bahwa tidak hanya


perempuan/istri saja yang dilindungi oleh UU PKDRT, melainkan juga
suami/laki-laki maupun anggota keluarga lainnya yang menetap dalam rumah
tangga tersebut. Ketentuan tersebut sekaligus memutus pemikiran bahwa hanya
pelaku laki-laki saja yang dapat dijerat oleh UU PKDRT, sedangkan perempuan
hanya di jerat oleh pasal dalam KUHP saja, namun secara jelas menjabarkan
bahwa baik Suami, istri, ataupun anak dapat menjadi pelaku atau korban dalam
lingkup KDRT.

Pada kasus yang dianalisis pada Putusan No. 42/Pid.Sus/2019/Pn.Pol,


Hakim memilih menggunakan dakwaan alternatif kedua yakni pasal 351 ayat (1)
KUHP untuk mengadili terdakwa. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah dalam
kasus putusan tersebut tidak masuk dalam lingkup kualifikasi KDRT. Dalam fakta
persidangan yang ada, terdakwa telah melakukan penganiayaan terhadap saksi
korban pada tanggal, 18 Januari 2019 sekitar pukul 18.00 WITA yang bertempat
di Dusun Kopian, Desa Kariango, Kec. Tawalian, Kab. Mamasa tepatnya di dalam
rumah saksi Per. Fransina Alias Mama Sanda. Awalnya saksi Korban adalah
paman dari terdakwa yang tinggal serumah dengan Terdakwa bersama ibunya
sejak saksi korban bercerai dengan isterinya sedang menonton TV. Sementara itu
Terdakwa sedang berada di dapur bersama ibunya yaitu Per. Fransina yang adalah
kakak perempuan dari saksi korban sedang makan. Tiba-tiba Saksi korban
mendengar teriakan dari saksi Per. Fransina alias Mama Sanda kepada terdakwa.
Ketika Saksi korban menyahut teriakan tersebut, tiba-tiba dari belakang terdakwa
memukul saksi korban menggunakan Alu ( kayu ) yang digenggam kedua
tangannya yang mengenai tangan kiri saksi korban. Setelah itu terdakwa melepas
53
Ibid, hlm.12
37

kayu tersebut dilantai dan memukul saksi korban menggunakan tangan kanan
mengenai pipi kanan saksi korban sebanyak 1 ( satu ) kali pukulan, setelah itu
terdakwan hendak membanting saksi korban sambil memegang pinggang saksi
korban, yang kemudian terdakwa mencekik leher saksi korban seraya berkata
akan membunuhnya. Akibat perbuatan tersebut berdasarkan Visum Et Repertrum
dari Rumah Sakit Umum Daerah Kondasopata’ Nomor 445/ 006/ RSUD-KS/ M/
I/ 2019 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Muhriani pada tanggal 24 Januari
2019, ditemukan fakta pada pemeriksaan bagian tubuh tertentu yakni :

- Kepala : Tampak bengkak pada daerah pipi sebelah kanan,


ditemukan nyeri saat dilakukan penekanan, warna kulit lebih
kmerahan dari warna sekitarnya.

- Pinggang : Tampak luka lebam pada pinggang sebelah kanan, nyeri


saat dilakukan penekanan, warna kulit lebih kemerahan dari
sekitarnya.

- Anggota gerak atas : Tampak bengkak pada lengan sebelah kiri,


nyeri saat dilakukan penekanan, dan warna kulit lebih kemerahan
dari sekitarnya.

Sesuai tidaknya tindakan tersebut untuk terkualfikasi dalam lingkup


KDRT, dapat ditinjau pada unsur-unsur pasal yang ada, yang di sesuaikan dengan
fakta- fakta persidangan yang ada. Unsur-unsur yang pasal yang dimaksud
merupakan unsur-unsur pasal 44 ayat (1) Jo pasal 5 huruf a UU PKDRT. Pasal 44
ayat (1) UU PKDRT memuat unsur-unsur sebagai berikut :

a) Setiap orang

Pada unsur yang pertama membahas setiap orang. Setiap orang


disini mengandung arti bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau
subjek tindak pidana adalah manusia.54 Setiap orang disini menunjukan
orang sebagai Pribadi. Dalam perkara yang dibahas yang menjadi subjek

54
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 54
38

atau orang dalam unsur setiap orang disini adalah terdakwa Yohanis Alias
Anis.

b) Yang melakukan perbuatan kekerasan fisik

Kekerasan fisik dalam hal ini harus memenuhi syarat berupa :

- Harus ada perbuatan yang menimbulkan rasa sakit.


- Rasa sakit tersebut menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariaan atau
kegiatan sehari-hari.55

Pada fakta persidangan yang ada dijelaskan bahwa terdakwa


melakukan perbuatan memukul saksi korban menggunakan alu (kayu),
memukul pipi kanan korban menggunakan tangan kanan, mencekik leher
korban dan akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi korban mengalami
sakit dan terdapat bekas memar pada bagian tubuh tertentu, serta
perubahan warna kulit yang nyeri ketika ditekan.

Fakta-fakta tersebut sesuai dengan pengertian kekerasan fisik


sebagaimana dalam Pasal 5 huruf a dimana perbuatan yang mengakibatkan
rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.56

c) Dalam lingkup rumah tangga

Lingkup rumah tangga berdasarkan Pasal 2 UU PKDRT sebagai


berikut

a. Suami, isteri, dan anak;


b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan
darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga dan/atau;

Guse Prayudi, Op.Cit, hlm. 38


55

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
56

Tangga
39

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap


dalam rumah tangga tersebut.

Dalam hal ini terdakwa dan saksi korban memiliki hubungan


keluarga akibat pertalian darah, dimana saksi korban merupakan paman
dari terdakwa. Selain itu dalam fakta persidangan juga terungkap bahwa
saksi korban Lel Markus Alias Papa Paran tinggal serumah dengan
terdakwa Yohanis Alias Anis, serta ibunya yakni Per Fransina Alias Mama
Sanda, yang tidak lain adalah kakak dari saksi korban, sejak saksi korban
bercerai dengan isterinya.

Pada kasus tersebut kedudukan terdakwa dianggap tidak termasuk dalam


kualifikasi perbuatan KDRT sehingga hakim memutuskan menggunakan KUHP.
Jika ditelaah lebih dalam, pada ketentuan Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa
yang bisa dianggap sebagai keluarga dengan “ Suami, isteri, dan anak” adalah
orang-orang yang memiliki hubungan :

- Darah
- Perkawinan
- Persusuan
- Pengasuhan
- Perwalian, dan
- Pekerjaan dalam rumah tangga tersebut.

Semua hubungan tersebut dapat dapat mengkualifikasikan seseorang


menjadi keluarga dengan syarat orang tersebut menetap dalam rumah tangga
tersebut.

Jika dilihat dari fakta persidangan yang ada, dapat diketahui bahwa saksi
korban Lel Markus alias Papa Paran memiliki hubungan keluarga dengan
Terdakwa Yohanis Alias Anis akibat hubungan darah. Hal ini dapat diketahui
pada 2 point surat dakwaan yang berbunyi :

- Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana seperti tersebut


diatas, awalnya saksi korban Lel. Markus Alias Papa Paran
40

yang adalah Paman dari tersangka bersama ibunya sejak saksi


korban bercerai dengan isterinya sedang menonton TV dengan
posisi duduk diatas rumah panggung yang terbuat dari kayu
dengan dapurnya disebelah utara dibawah tanah dengan lantai
tembok setengah permanen milik saksi Per. Fransina Alias
Mama Sanda yang menghadap ke Barat
- Sementara itu Tersangka Yohanis Alias Anis sedang berada di
dapur bersama ibunya yaitu saksi Per. Fransina Alias Mama
Sanda yang adalah kakak perempuan dari saksi korban sedang
makan

Dilihat dari point surat dakwaan tersebut dijelaskan bahwa Saksi korban
memiliki hubungan darah dengan Tersangka, yakni sebagai paman dari
Tersangka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah Paman merujuk pada
pengertian adik laki-laki ayah atau adik laki-laki Ibu. Dalam kasus ini saksi
korban Lel. Markus merupakan adik laki-laki dari Ibu tersangka yakni
Per.Fransina Alias Mama Sanda. Hal ini tercakup pada ruang lingkup rumah tanga
pada Pasal 2 UU PKDRT yang termuat dalam point b. Namun untuk
mengkualifikasikan hal tersebut ke dalam ruang lingkup rumah tangga, terdapat
satu syarat lagi agar saksi korban dapat terkualifikasi dalam pasal tersebut, yakni
menetap dalam rumah tangga tersebut. Menetap dalam rumah tangga dapat
diartikan sebagai “selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.” Hal ini
berarti pada saat kejadian orang tersebut harus dan telah berada dalam rumah
tangga/ keluarga tersebut dalam jangka waktu tertentu. 57 Dalam kasus tersebut,
syarat menetap dalam rumah tangga juga telah terpenuhi. Hal ini tertuang pada
point surat dakwaan yang disebutkan bahwa saksi korban telah menetap bersama
terdakwa dalam satu rumah, setelah saksi korban bercerai bersama isterinya.
Memang tidak disebutkan secara jelas dan gamblang mengenai berapa lama saksi
korban menetap, namun jika melihat dari pengertian “menetap dalam rumah
tangga” tersebut dapat diketahui bahwa saksi korban sudah berada dalam jangka
waktu tertentu bersama keluarga tersebut.
57
Guse Prayudi, Op.Cit, hlm. 25
41

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa Perbuatan yang


dilakukan terdakwa dalam Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol
termasuk atau terkualifikasi lingkup KDRT. Hal ini dikarenakan ketentuan-
ketentuan yang ada serta kedudukan antar saksi korban dengan terdakwa
terkualfikasi secara jelas pada ketentuan yang termuat pada UU PKDRT.

a. Kesesuaian Putusan Hakim yang menjatuhkan Pasal 351 ayat (1)


KUHP dalam Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019.PN.Pol
dengan Pasal 63 ayat (2) Dan Pasal 103 KUHP.

Dalam penerapan hukum acara pidana, setelah alur proses persidangan


dalam pengadilan telah dilakukan, maka alur yang terakhir adalah penjatuhan
putusan akhir oleh hakim. Putusan Akhir adalah putusan yang dijatuhkan untuk
mengakhiri persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun
belum melalui tahapan pemeriksaan. Putusan akhir biasanya diucapkan hakim
setelah memeriksa pokok perkara dan memperhatikan fakta yang terjadi dalam
persidangan. Ada beberapa jenis putusan akhir, antara lain :

d. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa pembebasan terdakwa karena
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
e. Putusan Lepas (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) yaitu putusan yang
dijatuhkan oleh hakim berupa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak termasuk
dalam tindak pidana.
f. Putusan Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP) yaitu
putusan yang dijatuhkan oleh hakim apabila terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.58

58
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 231
42

Selain itu, dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan


kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan
pengadilan. Tujuan putusan pengadilan sejatinya :

a. Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan


jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para
pihak (penggugat vs tergugat ; terdakwa vs penuntut
umum), dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan
yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan
pengadilan;
b. Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya
ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan
ketidakadilan
c. Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan
dasar putusan pengadilan tersebut;
d. Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial
dan ketentraman masyarakat;
e. Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama
bagi pihak yang berperkara.59

Oleh karena itu peran hakim disini cukup penting, mengingat hakim
adalah orang yang memberikan pertimbangan dari fakta-fakta yang ada, untuk
menjadi dasar dalam memutus suatu perkara. Pertimbangan hakim dibagi menjadi
dua yakni pertimbangan hakim yuridis dan pertimbangan hakim non yuridis

Dalam memutus suatu perkara untuk menghasilkan putusan yang adil dan
dapat diterima masyarakat, hakim diberikan suatu kebebasan yang dijamin oleh
Undang-Undang yaitu pada pasal 24 ayat 1 UUD 1945. Kebebasan disini bukan
kebebasan tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaanya
(arrogance of power) dengan memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan
segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu pada penerapan hukum

Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat
59

Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember, 2015, hlm. 231


43

yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar,


menasirkan hukum yang tepat dan melalui pendekatan yang dibenarkan, dan
kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (recht vinding).60 Pengaturan
kebebasan hakim dalam mengadili juga diatur dalam konvensi Internasional,
menjamin kebebasan hakim dalam imunitas dari segala tuntutan hukum. Jaminan
hukum terhadap kebebasan hakim dalam mengadili yang bersumber dari asas-asas
peradilan, yaitu Ius Curia Novit (hakim dianggap tahu hukum), Res Judicata Pro
Variatate Habetur (putusan hakim dianggap benar). Sedangkan dalam mengadili,
hakim dibebaskan dari segala tuntutan hukum, apabila hakim di anggap
melakukan kesalahan teknik yuridis, bukan etik moral.61

Kebebasan hakim disini juga dapat dilihat dari kasus yang dianalisis dimana
hakim dihadapkan suatu pilihan tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh
Terdakwa Yohanis Alias Anis kepada Korban Lel Markus Alias Papa Paran.
Pilihan yang dimaksud disini adalah bentuk dari surat dakwaan yang diajukan
oleh penuntut umum berbentuk surat dakwaan alternatif yakni Pasal 44 ayat (1) Jo
Pasal 5 huruf a Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang PKDRT atau Pasal
351 ayat (1) KUHP. Jika dicermati dalam kasus tersebut hakim memilih untuk
menggunakan dakwaan alternatif kedua yakni Pasal 351 ayat (1) KUHP. Hal ini
menjadi polemik dikarenakan putusan tersebut tidak sesuai dengan dengan suatu
asas hukum yang berlaku yaitu asas lex speciali derogat legi generali.

Asas lex specialis derogat legi generali berarti hukum khusus


62
mengesampingkan hukum umum atau de speciale regel verdringtde algemene.
Asas lex Specialis Derogat legi generali sendiri dalam hukum pidana diatur dalam
pasal 63 ayat (2) KUHP, yaitu :

60
St. Zubaidah, Kebebasan Hakim dalam Sebuah Putusan(Memaknai Dissenting Opinion), diakses
dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/kebebasan-hakim-dalam-
sebuah-putusan-oleh-hj-st-zubaidah-s-ag-s-h-m-h-16-1, pada 31 Maret 2020 Pukul 02.01.
61
Ery Satyanegara, Kebebasan Hakim Memutus Perkara dalam Konteks Pancasila (ditinjau dari
keadilan “subtanstif”), Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke 43 No.4 Oktober-Desember
2013, hlm. 441-442
62
Eddy O.S. Hiariej. Op.Cit, Hlm. 415
44

“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum,


diatur pula dalam aturan pidana khusus maka hanya yang khusus itulah yang
diterapkan”63

Artinya jika seseorang melakukan tindak pidana melanggar 2 (dua)


ketentuan, yaitu ketentuan pidana umum dan pidana khusus maka yang dikenakan
pada pelaku adalah ketentuan pidana khusus sebagaimana diatur dalam pasal
tersebut. Berdasarkan asas hukum pidana lex specialis derogat legi generali jika
terjadi suatu tindak pidana yang memenuhi suatu kualfikasi tindak pidana khusus,
maka ketentuan umum (KUHP) dapat dikesampingkan. Ketentuan umum dalam
KUHP tetap berlaku karena merupakan payung hukum pidana selama ketentuan
khusus tidak mencantumkan penghapusan ketentuan umum.64 Hal tersebut juga
diatur dalam dalam pasal 103 KUHP juga menyinggung mengenai asas lex
spesialis derogat legi generali, yaitu

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku
bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”65

Dalam kasus tersebut pasal 44 ayat (1) UU PKDRT termasuk ke dalam


pidana khusus, sedangkan penganiayaan pada pasal 351 ayat (1) KUHP sendiri
merupakan pidana umum. Hal ini sudah mengharuskan hakim untuk memilih
Dakwaan pertama yaitu Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT untuk menghukum
terdakwa agar tidak terjadi penyimpangan terhadap pasal 63 ayat (2) dan Pasal
103 KUHP. Namun bila kita cermati kembali alasan hakim memilih dakwaan
kedua daripada dakwaan pertama adalah karena bentuk dari surat dakwaan nya.
Bentuk surat dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum adalah surat dakwaan
alternatif, surat dakwaan alternatif adalah surat dakwaan ini disusun apabila tindak
pidana yang akan didakwakan kepada terdakwa hanya satu tindak pidana, tetapi

63
Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
64
Septa Fajar Adi Kusuma, Pertimbangan Hakim Tidak Berdasar Asas Lex Spesialis Derogate
legi generali Dalam Putusan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Menyebabkan Matinya Orang
(Studi Putusan Hakim Nomor 480/Pid.B/2009/Pn.Ska dan 22/Pid.B/2010/Pn.Ska), Recidive vol 2
No.1 Januari – April 2013, hlm. 5
65
Pasal 103 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
45

penuntut umum ragu tentang tindak pidana apa yang paling tepat untuk
didakwakan sehingga surat dakwaan yang dibuat merupakan alternatif bagi hakim
untuk memilihnya. Umumnya keraguan tersebut muncul karena dari beberapa
tindak pidana tersebut memiliki kedekatan atau kemiripan unsur satu sama lain
66
namun bukan suatu perbarengan tindak pidana. Pembuktian yang praktis dari
dakwaan ini juga dapat membuat penuntut umum dan majelis hakim dalam
menentukan surat dakwaan mana yang akan digunakan, karena hanya salah satu
dakwaan yang akan dibuktikan sesuai dengan fakta persidangan yang sudah ada.
Selain itu bentuk surat dakwaan ini akan saling mengecualikan satu dakwaan
dengan dakwaan yang lain, artinya apabila salah satu dakwaan sudah dapat
dibuktikan maka dakwaan lain akan diabaikan atau tidak perlu dibuktikan.
Kebabasan hakim dalam pemilihan ini merupakan salah satu konsekuensi
dalam dakwaan alternatif dimana keraguan dari penuntut umum dalam
menentukan tindak pidana apa yang tepat agar terdakwa tidak terlepas dari
kejahatan yang dilakukannya, disisi lain juga hakim dianggap mengetahui dan
memahami segala hukum (Ius Curia Novit). Ditinjau dari teori hukum pidana,
akibat penyimpangan lex specialis derogate legi generali yakni pada pasal 63 ayat
(2) dan Pasal 103 KUHP, putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
Namun kesalahan kualifikasi tindak pidana dari hakim tidak bisa dijatuhkan
seluruhnya pada hakim. Hal ini dikarenakan dalam mengadili, hakim dibebaskan
dari segala tuntutan hukum, apabila hakim di anggap melakukan kesalahan teknik
yuridis bukan etik moral.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa putusan tersebut memiliki


ketidaksesuaian dengan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP mengenai asas Lex
Specialis Derogate Legi Generali. Terlepas dari bentuk surat dakwaan yang
diajukan, kesalahan mengkualifikasikan tindak pidana khusus dengan tindak
pidana umum oleh hakim dapat menyebabkan putusan yang dijatuhkannya batal
demi hukum.

66
Tolib Effendi. Op.Cit, hlm. 146-147
BAB 4

PENUTUP

a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pembahasan tersebut dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut.

1. Perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam Putusan Pengadilan


Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol termasuk kualifikasi lingkup
KDRT. Hal ini dikarenakan Saksi korban merupakan paman dari
terdakwa, yang mana hal tersebut termasuk memiliki hubungan
keluarga karena pertalian darah menurut UU PKDRT.

2. Putusan hakim yang menjatuhkan Pasal 351 ayat (1) KUHP dalam
Putusan Pengadilan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Pol tidak sesuai
dengan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP. Hal ini dikarenakan
putusan tersebut bertentangan dengan asas Lex Specialis Derogate
Legi Generale, Hukum khusus seharusnya mengesampingkan
hukum umum, namun dalam putusan tersebut hakim menggunakan
hukum umum untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hal
ini jelas tidak sesuai dengan asas lex specialis derogate legi
generali yang diatur dalam pasal 63 ayat (2) dan pasal 103 KUHP.

b. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, penulis memberikan
saran sebagai berikut.
1. Hakim lebih jeli lagi dalam mengkualifikasikan suatu tindak
pidana, baik itu pidana umum maupun pidana khusus. Terlebih lagi
dalam dakwaan alternatif, sebaiknya hakim memeriksa terlebih
dahulu dakwaan primairnya terlebih dahulu atau dakwaan yang

46
memuat hukum pidana khusus. Hal ini dapat meminimalisir
kesalahan

47
48

pengkualfikiasian tindak pidana, sehingga tidak terjadi keluputuan


atau kesalahan dalam mengidentifikasi suatu kasus tindak pidana.

2. Hakim dalam menjatuhkan putusan sebaiknya lebih


memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku. Hal ini dikarenakan
kesalahan atau penyimpangan terhadap suatu asas pidana dapat
menyebabkan batalnya suatu putusan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Badriyah Khaleed, 2015, Penyelesaian Hukum KDRT, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia.
Eddy OS Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka.
Guse Prayudi, 2015, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Yogyakarta: Merkid Press.
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika.
Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika.
Lilik Mulyadi, 2007, “Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Permasalahanya”, Bandung: PT. Alumni.
Michael Barama, 2015, Tindak Pidana Khusus, Manado: Unsrat Press
P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta:
Prenadamedia Group (Divisi Kencana).
Ratna Batara Munti, dkk, 2016, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Peradilan Pidana : Analisis Konsistensi Putusan, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan MaPPI.
Teguh Prasetyo, 2015, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tolib Effendi, 2014, “Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana”, Surabaya: Setara
Press.

B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU No. 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No, 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga

C. E - Jurnal
Ery Satyanegara, Kebebasan Hakim Memutus Perkara dalam Konteks Pancasila
(ditinjau dari keadilan “subtanstif”), Jurnal Hukum dan Pembangunan
Tahun ke 43 No.4 Oktober-Desember 2013, hlm. 441-442
Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara
Sebagai Amanat Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember,
2015, hlm. 231
Nurhafifah dan Rahmiati, 2015, “Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana”,
Jurnal Ilmu Hukum No.66.
Septa Fajar Adi Kusuma, Pertimbangan Hakim Tidak Berdasar Asas Lex
Spesialis Derogate legi generali Dalam Putusan Perkara Kecelakaan Lalu
Lintas Menyebabkan Matinya Orang (Studi Putusan Hakim Nomor
480/Pid.B/2009/Pn.Ska dan 22/Pid.B/2010/Pn.Ska), Recidive vol 2 No.1
Januari – April 2013, hlm. 5

D. Internet
A.A Oka Mahendra, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diakses
dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-
peraturan-perundang-undangan.html, pada tanggal 9 Februari 2020 pukul
22.44 WIB.
Dwi Hadya Jayani, “Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Cenderung
Meningkat”, diakses dari
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/17/angka-kekerasan-
terhadap-perempuan-cenderung-meningkat, pada 28 Februari 2020 pukul
22.38 WIB.
St. Zubaidah, Kebebasan Hakim dalam Sebuah Putusan(Memaknai Dissenting
Opinion), diakses dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/kebebasan-
hakim-dalam-sebuah-putusan-oleh-hj-st-zubaidah-s-ag-s-h-m-h-16-1, pada
31 Maret 2020 Pukul 02.01.
Tri Jata Ayu Pramesti, “Wajibkah Menafkahi Anak Tiri Pasca Perceraian“,
diakses dari
https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53faccd6992c9/wajibkah-
menafkahi-anak-tiri-pasca-perceraian, pada 22 April 2020 pukul 01.01.

Anda mungkin juga menyukai