Anda di halaman 1dari 80

SKRIPSI

“TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP SESEORANG YANG


BELUM DEWASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK”

(Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst)

DECENCY CRIMES AGAINST SOMEONE WHO IMMATURE IN THE ACT OF


CHILD PROTECTION

(Verdict Number 92/Pid.B/2018/PN Gst)

RENISA DENA ISMITHASARI ALFATH

NIM : 150710101363

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2019
SKRIPSI

“TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP SESEORANG YANG


BELUM DEWASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK”

(Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst)

DECENCY CRIMES AGAINST SOMEONE WHO IMMATURE IN THE ACT OF


CHILD PROTECTION

(Verdict Number 92/Pid.B/2018/PN Gst)

Oleh:

RENISA DENA ISMITHASARI ALFATH

NIM. 150710101363

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2019

ii
MOTTO

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan


yang kekal lagi shalah adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih
baik menjadi harapan.”
(Al-Qur’an Surah Al Kahfi (18) Ayat 46)*

*
Mushaf Aisyah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Insan Media Pustaka,
2013, hlm. 299

iii
PERSEMBAHAN

Segala Puji bagi Allah seru sekalian alam atas segala limpahan
kemurahanNya, Penulis persembahkan skripsi ini untuk:
1. Ibuku tercinta Zulaeha, Papaku tersayang Margono kakakku terkasih
Merryzka Juned Juliana Alfath atas segala doa yang berulang kali
diucapkan, cinta tulus sepenuh hati, nasehat, motivasi dan segala
pengorbanan yang telah diberikan selama ini;
2. Semua guru sejak TK Aisyiyah Bustanul Athfal Kalibaru, SDN 3 Kalibaru
Kulon, SMPN 1 Kalibaru, SMAN 1 Glenmore dan dosen Fakultas Hukum
Universitas Jember yang telah mendidik, membimbimbing, memotivasi
dan memberikan ilmunya;
3. Almamater tercinta Universitas Jember yang penulis banggakan.

iv
PERSYARATAN GELAR

“TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP SESEORANG YANG


BELUM DEWASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK”

(Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst)

DECENCY CRIMES AGAINST SOMEONE WHO IMMATURE IN THE ACT OF


CHILD PROTECTION

(Verdict Number 92/Pid.B/2018/PN Gst)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember

RENISA DENA ISMITHASARI ALFATH

NIM. 150710101363

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2019

v
PERSETUJUAN

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL, 25 SEPTEMBER 2019

Oleh:

Dosen Pembimbing Utama,

Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum.

NIP. 196506031990022001

Dosen Pembimbing Anggota,

Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H.

NIP. 198002162008121002

vi
PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:


TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP SESEORANG YANG
BELUM DEWASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK
(Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst)

Oleh

RENISA DENA ISMITHASARI ALFATH


NIM.150710101363

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota

Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum Samuel SM. Samosir, S.H., M.H
NIP. 196506031990022001 NIP. 198002162008121002

Mengesahkan:
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Universitas Jember
Fakultas Hukum
Dekan

Dr. Nurul Ghufron, S.H., MH


NIP. 197409221999031003

vii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji pada :


Hari : Rabu
Tanggal : 25
Bulan : September
Tahun : 2019
Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember

PANITIA PENGUJI :

Ketua, Sekretaris,

Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H. Sapti Prihatmini, S.H., M.H.
NIP. 196401031990022001 NIP. 197004281998022001

ANGGOTA PANITIA PENGUJI :

Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum. : (..................................................)

NIP. 196506031990022001

Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H. : (..................................................)

NIP. 198002162008121002

viii
PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Renisa Dena Ismithasari Alfath
NIM : 150710101363
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa karya tulis dengan judul:
“TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP SESEORANG YANG
BELUM DEWASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK (Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst)” adalah
hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum pernah diajukan
pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Penulis bertanggung jawab
atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus
dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dan
paksaan dari pihak manapun serta saya bersedia mendapatkan sanksi akademik
apabila ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 25 September 2019


Yang menyatakan,

RENISA DENA ISMITHASARI ALFATH


NIM. 150710101363

UCAPAN TERIMAKASIH

ix
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya,
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “TINDAK
PIDANA KESUSILAAN TERHADAP SESEORANG YANG BELUM
DEWASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN
ANAK (Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst” sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Jember. Penyelesaian Skripsi
ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis
menyampaikan terima kasih atas semua dukungan dan bantuan kepada :
1. Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jember; Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum, Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Jember; Echwan Iriyanto, S.H., M.H, Wakil
Dekan II Fakultas Hukum Universitas Jember; Dr. Aries Harianto, S.H.,
M.H, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Jember;
2. Ibu Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing
Utama penulis, yang telah banyak membantu dalam penulisan dan
penyusunan skripsi ini dengan penuh kesabaran, kasih tulus memberikan
arahan dan motivasi serta bimbingan selama penulisan skripsi ini;
3. Bapak Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H. selaku Dosen
Pembimbing Anggota, yang telah banyak membantu dalam penulisan
skripsi ini dengan penuh kesabaran dalam membimbing serta ketulusan
dalam memberi arahan, memberi motivasi serta bimbingan selama
penulisan skripsi ini;
4. Ibu Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H. selaku Ketua Penguji dalam
ujian skripsi ini yang telah bersedia meluangkan waktunya serta
memberikan arahan yang bermanfaat kepada penulis sehingga
terselesaikannya skripsi ini;
5. Ibu Sapti Prihatmini, S.H., M.H. selaku Sekretaris Penguji dalam ujian
skripsi ini yang telah bersedia meluangkan waktunya serta memberikan
arahan yang bermanfaat kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi
ini;

x
6. Nuzulia Kumala Sari, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik
terima kasih atas bimbingan, saran dan waktu dari awal kuliah sampai
akhir kuliah ini;
7. Seluruh Dosen, Pegawai dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Jember yang telah memberikan bekal, arahan, dukungan selama
perkuliahan dari semester awal sampai akhir.
8. Ibu Zulaeha, Papa Margono, kakakku Merryzka Juned Juliana Alfath dan
keluarga tercinta atas segala pengorbanan, kasih sayang, dukungan baik
moril maupun materil serta do’a yang selalu dipanjatkan yang mungkin
tidak dapat terbalas dengan apapun demi kelancaran penyusunan skripsi
ini;
9. Kekasihku Robbil Satria Nugraha yang telah memberikan cinta kasih,
kesabaran, semangat dan nasihat dalam mengerjakan skripsi;
10. Sahabat-sahabatku Emma, Mbak Laila, Nila, Okta, Risca, Fitri, Nina,
Lidya, Ima, Dinda Triana, Vika Wanda, Pinkan, Desi, Ira, Icha yang turut
berperan memberi segala dukungan, semangat, motivasi dalam membantu
menyelesaikan skripsi ini;
11. Teman-teman Criminal Law Student Assosiation (CLSA), teman-teman
KKN Andongsari, Ambulu atas semangat dan dukungan yang telah
diberikan;
12. Seluruh keluarga, sahabat yang tidak disebutkan disini semuanya terima
kasih atas doa dan dukungannya di Jember.
Semoga Allah S.W.T membalas segala kebaikan yang berlipat, serta penulis
berharap karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan keilmuan dan
budidaya tanaman kedelai dimasa mendatang.

Jember, 25 September 2019 Penulis,

xi
RINGKASAN
Terdakwa yang berusia 47 tahun dan berkewarganegaraan Indonesia, yang
bertempat tinggal di Dusun I Desa Siofabanua Kecamatan Bawolato Kabupaten
Nias dan bekerja sebagai petani/pekebun dan merupakan tetangganya sekaligus
sebagai bapak talu dari saksi korban telah melakukan persetubuhan terhadapnya
yang masih dikategorikan sebagai seseorang yang belum dewasa. Dalam fakta
persidangannya dinyatakan bahwa kejadian persetubuhan yang dilakukan oleh
terdakwa kepada saksi korban bermula pada hari Kamis bulan November 2017
sekira pukul 16.30 di kamar mandi milik terdakwa, dimana terdakwa mengancam
korban untuk tidak mengadukan perbuatannya kepada siapapun. Pada hari Selasa
bulan November 2017 sekira pukul 15.30 di kamar mandi milik terdakwa, hal
serupa yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa terjadi kepada saksi
korban, namun kali ini korban memberikan uang sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh
ribu rupiah) kepada saksi korban dengan maksud supaya saksi korban tidak
menceritakan kejadian ini kepada orang lain. Pada hari Minggu bulan November
2017 sekira pukul 15.30 di kamar tidur milik terdakwa, terdakwa memaksa saksi
korban untuk melakukan persetubuhan dengannya. Perbuatan tersebut terdakwa
lakukan pada hari yang telah disebutkan pada saat korban tersebut sedang
mengambil air di rumah terdakwa.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini ada 2 (dua), pertama yaitu
mengenai pasal yang diterapkan dalam surat dakwaan penuntut umum dalam
Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst telah sesuai atau tidak dengan perbuatan
terdakwa jika dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan yang
kedua yaitu tentang pertimbangan hakim dalam menguraikan unsur-unsur dari
pasal yang didakwakan oleh penuntut umum sudah benar atau tidak ditinjau dari
Pasal 197 KUHAP.
Metode yang digunakan yaitu menggunakan metode penelitian hukum
dengan tipe penelitian yuridis normatif (legal research). Pendekatan yang
digunakan dalam skripsi ini ada 2 (dua), yaitu metode pendekatan perundang-
undangan yaitu dengan melihat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Kedua menggunakan metode
konseptual, yaitu dengan melihat beberapa literatur atau buku-buku hukum yang
berkaitan dengan teori-teori tentang anak, teori tindak pidana kesusilaan, surat
dakwaan, pembuktian, pertimbangan hakim, putusan hakim, serta yang berkaitan
dengan rumusan masalah.
Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah yang pertama, surat dakwaan
dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst yang disusun oleh penuntut umum
dengan menggunakan Pasal 293 ayat (1) KUHP berdasar atas analisis penulis
tidak tepat, karena penuntut umum dalam membuat surat dakwaan tidak
memperhatikan suatu aturan hukum yang menyatakan asas lex specialis derogat
legi generalis, padahal perkara tersebut terjadi pada tahun 2018 dimana dalam
tahun 2002 telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Apabila terjadi perbenturan norma undang-undang maka
yang digunakan adalah undang-undang yang mengatur secara khusus sesuai
dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP. Kedua, pertimbangan hakim dalam Putusan

xii
Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst tidak tepat, karena tidak menguraikan unsur
ketiga dengan tepat dan cermat, dimana dalam uraian unsur ketiga hakim kembali
menjelaskan perbuatan terdakwa yang berdasar atas unsur kedua dalam Pasal 293
ayat (1) KUHP. Hakim dalam membuat pertimbangannya haruslah menjelaskan
tiap unsur yang ada dalam pasal yang didakwakan sesuai dengan ketentuan Pasal
197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Adapun saran yang diberikan penulis dalam penulisan skripsi ini yaitu
yang pertama, penuntut umum sebagai pemilik wewenang dalam membuat surat
dakwaan semestinya dilakukan dengan memperhatikan Pasal 143 KUHAP,
dimana dalam pasal tersebut menjelaskan tentang sahnya surat dakwaan.
Pembuatan surat dakwaan juga harus memperhatikan aturan hukum yang
menyatakan keberadaan asas lex specialis derogat legi generalis dimana asas
tersebut diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP dan menjelaskan bahwa aturan
yang khusus mengesampingkan aturan yang umum. Kedua, hakim dalam
menjatuhkan Putusan terhadap terdakwa haruslah melihat dan mempertimbangkan
fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan agar dalam penjatuhan putusan
memiliki nilai keadilan sebagai tujuan dari hukum itu sendiri sesuai dengan Pasal
197 Ayat (1) huruf d KUHAP.

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN..................................................................................... i


HALAMAN SAMPUL DALAM....................................................................................ii
HALAMAN MOTTO....................................................................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN.....................................................................................iv
HALAMAN PERSYARATAN GELAR........................................................................v
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................................vi
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................vii
HALAMAN PENETAPAN.........................................................................................viii
HALAMAN PERNYATAAN........................................................................................ix
HALAMAN UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................x
HALAMAN RINGKASAN..........................................................................................xii
HALAMAN DAFTAR ISI...........................................................................................xiv
HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................................6
1.4.1. Manfaat Akademis.......................................................................................6
1.4.2. Manfaat Praktis............................................................................................6
1.5 Metode Penelitian..................................................................................................7
1.5.1. Tipe Penelitian.............................................................................................7
1.5.2. Pendekatan Masalah....................................................................................7
1.5.3. Sumber Bahan Hukum.................................................................................8
1.5.3.1. Bahan Hukum Primer......................................................................9
1.5.3.2. Bahan Hukum Sekunder..................................................................9
1.5.4. Analisa Bahan Hukum.................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................11

2.1 Anak......................................................................................................................11
2.1.1 Pengertian Anak.......................................................................................11
2.1.2 Hak – Hak Anak.......................................................................................13

xiv
2.2 Tindak Pidana Kesusilaan...................................................................................15
2.2.1 Pengertian Tindak Pidana dan Unsur – Unsur Tindak Pidana...............15
2.2.2 Pengertian dan Jenis – Jenis Tindak Pidana Kesusilaan..........................20
2.3 Surat Dakwaan.....................................................................................................23
2.3.1 Pengertian Surat Dakwaan.......................................................................23
2.3.2 Syarat – Syarat Surat Dakwaan................................................................25
2.4 Pertimbangan Hakim...........................................................................................28
2.4.1 Pengertian Pertimbangan Hakim.............................................................28
2.4.2 Macam – Macam Pertimbangan Hakim..................................................29
2.5 Putusan Hakim.....................................................................................................32
2.5.1 Pengertian dan Syarat Sah Putusan Hakim..............................................32

BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................35

3.1 Kesesuaian Pasal Yang Diterapkan Dalam Surat Dakwaan Penuntut


Umum Dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst Dengan Perbuatan
Terdakwa.............................................................................................................35
3.2 Kesesuaian Pertimbangan Hakim Dalam Membuktikan Unsur-Unsur Pasal
Yang Terdapat Dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst..........................50

BAB IV PENUTUP........................................................................................................58

4.1 Kesimpulan..........................................................................................................58
4.2 Saran....................................................................................................................59

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xv
DAFTAR LAMPIRAN

1. Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nomor: 92/Pid.B/2018/PN. Gst

xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting
dalam mewujudkan keadilan. Menurut Moeljatno hukum pidana adalah bagian
dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-
dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan
ataupun perbuatan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut dan untuk
menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan dan juga menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana
itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.*
Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang dilanggar oleh hukum
pidana haruslah diselesaikan secara hukum. Penyelesaikan hal tersebut haruslah
melalui beberapa proses, yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan barulah
di proses di pengadilan. Setelah proses penyelidikan itu maka barulah penuntut
umum dapat membuat suatu surat dakwaan, dimana surat dakwaan tersebut diatur
dalam Pasal 140 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
selanjutnya disebut KUHAP yang isinya menyebutkan bahwa “dalam hal
penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”
Perkembangan masyarakat yang sangat pesat rupanya memiliki dampak
pada dunia kejahatan, salah satunya yaitu kejahatan terhadap kesusilaan dimana
kejahatan tersebut dapat menciptakan kecemasan dan kekhawatiran bagi
masyarakat terutama kejahatan-kejahatan yang berbau seksual seperti,
pemerkosaan, persetubuhan, dan pencabulan. Merajalelanya kejahatan terhadap
kesusilaan semakin mencemaskan masyarakat, khususnya pada orang tua. Tindak
pidana persetubuhan terhadap anak, termasuk ke dalam salah satu masalah hukum

*
Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 1

1
2

yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam. Seperti yang diketahui, tindak
pidana persetubuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma
agama dan norma kesusilaan, apalagi jika yang menjadi korban adalah anak
dimana anak haruslah dilindungi karena anak merupakan generasi penerus bangsa.
Untuk memberikan perlindungan kepada anak maka telah disahkan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UU
Perlindungan Anak) yang tujuannya untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar anak dapat hidup, berkembang dan berpartisipasi secara maksimal sesuai
harkat dan martabat kemanusiaan juga mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia
dan sejahtera. Hal tersebut telah dijamin dalam konvensi internasional yaitu
Convention On The Rights Of The Child. Kemudian diratifikasi melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Hal tersebut yang menjadi dasar
lahirnya UU Perlindungan Anak, dalam perubahan tersebut untuk mempertegas
pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak.
Proses penegakan hukum dalam upaya melindungi anak juga sangat
berkaitan dengan proses formilnya. Surat dakwaan merupakan dasar hukum acara
pidana karena berdasarkan dakwaan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan.
Definisi surat dakwaan menurut Yahya Harahap yaitu surat atau akta yang
memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang
disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar
serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.†
Mengenai pembuatan surat dakwaan, maka haruslah mengedepankan
syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP, sedangkan dalam
Pasal 143 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa surat dakwaan yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi
hukum. Dalam upaya perlindungan kepada anak, maka penuntut umum dalam
membuat surat dakwaan juga harus memperhatikan pasal dakwaan mana yang
lebih tepat dikenakan kepada pelaku kejahatan terhadap anak, salah satunya
adalah mempertimbangkan asas lex specialis derogat legi generalis. Kitab

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm. 387
3

Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP telah


menuangkan asas ini ke dalam Pasal 63 ayat (2) yang berbunyi “ Jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.” Jadi,
dengan dasar-dasar tersebut penuntut umum haruslah dengan teliti dalam
penyusunan surat dakwaan.
Berbicara mengenai peranan hakim, sebagaimana perannya memiliki tugas
dan kewenangan penting dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan. Hakim
selain dituntut untuk bersikap adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu
perkara, pun juga dituntut untuk dapat menafsirkan suatu perkara yang ada untuk
kemudian dihubungkan dengan berbagai peraturan maupun asas-asas yang ada
dalam hukum di Indonesia ini. Sedangkan mengenai asas hukum, maka kaitannya
adalah mengenai unsur yang penting dan juga pokok dari peraturan hukum.
Dalam kaitannya ada salah satu asas yang akan penulis bahas yaitu asas lex
specialis derogat legi generali. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto asas tersebut mempunyai pengertian bahwa apabila peristiwa hukum
tersebut bersifat khusus maka undang-undang yang diberlakukan kepadanya
adalah undang-undang yang menyebut peristiwa itu, meski dalam peristiwa
khusus tersebut bisa dikenakan dengan menggunakan undang-undang yang lebih
luas cakupannya.‡
Hakim sebagai palaksana hukum diberi wewenang oleh undang-undang
untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Maka, hakim
dalam memutus suatu perkara haruslah bertindak secara adil. Dari bukti-bukti
yang didapatkan dalam persidangan maka hakim akan mendapatkan dasar sebagai
pertimbangannya dalam memutus perkara tersebut. Menurut Lilik Mulyadi,
hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian terhadap unsur-
unsur dari suatu delik yang menyatakan bahwa apakah perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa tersebut memenuhi unsur pasal yang didakwakan oleh penuntut
umum sehingga pertimbangan hakim tersebut sesuai dengan amar/diktum putusan
hakim.§


Agustina Shinta, “Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam
Sistem Peradilan Pidana”, MMH Jilid 4 No. 4, 2015, hlm 504
4

Mengenai pembuktian, maka yang dimaksud dengan pembuktian menurut


Yahya Harahap adalah suatu ketentuan yang isinya berupa penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan
kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa. ** Pada hakekatnya, pemeriksaan
suatu perkara pidana bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil terhadap
suatu perkara tersebut. Maka untuk mendapatkan kebenaran materiil tersebut, para
penegak hukum haruslah mencari dan mendapatkan bukti-bukti untuk
mengungkap suatu perkara.
Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst memutus perkara tersebut dengan
tindak pidana persetubuhan terhadap seseorang yang belum dewasa oleh terdakwa
yang berusia 47 tahun dan merupakan tetangganya. Dalam fakta persidangannya
dinyatakan bahwa kejadian bertempat di Dusun 1 Desa Siotabanua Kecamatan
Bawolato Kabupaten Nias tepatnya di kamar mandi milik terdakwa, bermula pada
hari Kamis bulan November 2017 sekira pukul 16.30 di kamar mandi milik
terdakwa, kemudian pada hari Selasa bulan November 2017 sekira pukul 15.30 di
kamar mandi milik terdakwa dan pada hari Minggu bulan November 2017 sekira
pukul 15.30 di kamar tidur milik terdakwa. Terdakwa melakukan perbuatan
persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang belum dewasa. Perbuatan
tersebut terdakwa lakukan pada hari yang telah disebutkan pada saat korban
tersebut sedang mengambil air di rumah terdakwa. Kejadian pada hari kamis,
setelah terdakwa menyetubuhi korban, terdakwa mengatakan pada korban untuk
tidak menceritakan hal tersebut kepada siapapun. Pada hari selasa setelah
terdakwa menyetubuhi korban, terdakwa memberikan uang sejumlah lima puluh
ribu rupiah (Rp. 50.000) kepada korban, namun korban tidak menerimanya,
dimana terdakwa memberikan uang tersebut dengan tujuan untuk tidak
memberitahu siapapun atas perbuatannya. Pada hari minggu, terdakwa kembali
menyetubuhi korban dan menyuruh korban untuk tidak memberitahukan hal
tersebut kepada siapapun. Dalam kasus tersebut penuntut umum mendakwa
terdakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 293 ayat (1) KUHP dimana
§
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2007, hlm. 193
**
M. Yahya Harahap. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP: Jilid 2.
Pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Sinar Grafika, 2009.
hlm 273
5

dituntut dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan hakim mumutus
terdakwa dengan pidana penjara selama sembilan (9) bulan. Jika dilihat dengan
munculnya UU Perlindungan Anak apakah hakim dalam Putusan Nomor
92/Pid.B/2018/PN. Gst penerapan Pasal 293 ayat (1) KUHP tersebut masih dapat
diterapkan kepada terdakwa, mengingat bahwa penuntut umum dalam surat
dakwaan menyatakan bahwa korbannya adalah seorang belum dewasa.
Mengenai isu hukum kedua penulis membahas tentang ratio decidendi
hakim dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst. Hakim dalam memutus
suatu perkara juga harus membuktikan semua unsur yang ada terhadap pasal yang
dijatuhkan terhadap terdakwa. Jika salah satu unsur tidak terbukti maka terdakwa
tidak dapat dikenakan dengan pasal tersebut. Dalam putusan ini hakim
menjatuhkan terdakwa dengan Pasal 293 (1) KUHP dimana terdapat 3 (tiga) unsur
dari pasal tersebut yang masing-masing maknanya berbeda. Penulis melihat,
bahwa hakim didalam membuktikan unsur kedua dan unsur ketiga terdapat suatu
kemiripan isi dari ratio decidendi hakim. Padahal dari unsur kedua dan unsur
ketiga tersebut memiliki arti yang berbeda. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
menganalisis apakah terdakwa memang terbukti melakukan perbuatan
sebagaimana unsur-unsur yang telah disebutkan tadi.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih
mendalam mengenai Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst untuk diangkat
sebagai karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “TINDAK
PIDANA KESUSILAAN TERHADAP SESEORANG YANG BELUM
DEWASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN
ANAK” (Putusan Nomor: 92/Pid.B/2018/PN. Gst)”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu
sebagai berikut:
1. Apakah pasal yang didakwakan dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN.
Gst sesuai dengan penerapan pasalnya, mengingat telah adanya Undang-
Undang Perlindungan Anak?
6

2. Apakah putusan hakim pada Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst telah


memberikan ratio decidendi yang benar dalam membuktikan unsur-unsur
pasal yang dikenakan kepada terdakwa?

1.3 Tujuan Penelitian


Sebagai suatu karya tulis ilmiah, maka skripsi ini mempunyai tujuan yang
hendak dicapai. Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui dengan cara menganalisis kesesuaian pasal yang
didakwakan dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst telah
mempertimbangkan Undang-Undang Perlindungan Anak.
2. Untuk mengetahui dengan cara menganalisis apakah dalam Putusan
Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst hakim telah memberikan ratio decidendi
yang benar dalam membuktikan unsur-unsur pasal yang dikenakan kepada
terdakwa.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dalam penelitian ini terbagi dalam 2 aspek yakni, manfaat secara
akademis dan manfaat secara praktis.
1.4.1 Manfaat Akademis
Karya ilmiah ini bermanfaat sebagai khazanah keilmuan bagi penulis dan
teman-teman mahasiswa fakultas hukum terkait dengan kesesuaian antara pasal
yang didakwakan dan pertimbangan hakim dalam tindak pidana kesusilaan dalam
Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst.

1.4.2 Manfaat Praktis


Sebagai masukan bagi penuntut umum agar lebih cermat dan teliti dalam
memilih pasal yang didakwakan terhadap perbuatan terdakwa tindak pidana
persetubuhan terhadap seseorang yang belum dewasa dalam Putusan Nomor
92/Pid.B/2018/PN. Gst.
1.5 Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara untuk memperoleh atau menemukan hasil atau
menjalankan suatu kegiatan untuk mendapatkan hasil yang konkrit. Menggunakan
7

metode merupakan suatu ciri khas dari ilmu pengetahuan untuk mendapatkan
suatu kebenaran dalam hukum. Sementara itu, penelitian merupakan suatu sarana
pokok dalam mengembangkan teknologi maupun ilmu pengetahuan. Sedangkan
penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum,
prinsip – prinsip hukum maupun doktrin – doktrin untuk menjawab isu hukum
yang dihadapi.†† Dengan menggunakan penelitian hukum, maka suatu pemikiran
yang bermanfaat terkait penegakan hukum dapat dituangkan pada karya ilmiah
yang baik dan benar, sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan pembentukan
hukum.
1.5.1 Tipe Penelitian
Dalam hal tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis
normatif, dimana penelitian ini meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan
sistem norma, yaitu mengenai asas-asas norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, dan juga doktrin. Dalam penelitian ini penulis juga
menganalisis perkara pada Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor
92/Pid.B/2018/PN Gst.

1.5.2 Pendekatan Masalah


Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian
masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan
penelitian. Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan untuk
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang
dicoba untuk dicari jawabannya.‡‡ Metode pendekatan masalah yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan perundang-undangan
(statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan
perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-
undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

††
Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum (edisi revisi cetakan ke 12), Jakarta,
Kencana, hlm. 36
‡‡
Ibid, hlm. 133.
8

sedang ditangani.§§ Pendekatan Undang-Undang ini dilakukan dengan cara


mempelajari tentang keberadaan konsistensi dan kesesuaian antara suatu peraturan
perundang-undangan dengan permasalahan yang akan Penulis bahas. Dengan
tujuan untuk bisa menghasilkan suatu argumen agar dapat memecahkan isu
hukum yang sedang dihadapi.
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis juga menggunakan pendekatan
konseptual. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. *** Dengan pendekatan
konseptual, penulis skripsi ini akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu yang dikaji.††† Dalam penulisan skripsi ini, Penulis
menggunakan doktrin judicis est judicare secundum allegata et probata dimana
hakim dalam memutus suatu perkara harus berdasarkan pada fakta-fakta dan
bukti-bukti yang ada dalam persidangan, serta ajaran-ajaran tentang kesalahan.
Penulis juga menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis dimana
apabila untuk suatu perilaku yang telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana
yang bersifat umum itu berpendapat suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus,
maka yang terakhir inilah yang harus diberlakukan, serta pertanggungjawaban
pidana (criminal responsibilty) yakni suatu mekanisme untuk menentukan apakah
seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan
pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan
bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang.

1.5.3 Sumber Bahan Hukum


Bahan hukum merupakan sarana dari suatu penelitian yang digunakan
untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai
apa yang seharusnya diperlukan sumber – sumber penelitian. Menurut Peter
Mahmud Marzuki sumber – sumber penelitian hukum dibedakan menjadi sumber
– sumber penelitian yang berupa bahan – bahan hukum primer dan bahan – bahan

§§
Ibid, hlm. 134.
***
Ibid, hlm. 135.
†††
Ibid, hlm. 136.
9

hukum sekunder. Disamping itu, peneliti hukum juga dapat menggunakan bahan
bahan non hukum apabila dipandang perlu.‡‡‡
1.5.3.1 Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer memiliki sifat autoritatif, dimana ia mempunyai otoritas.
Bahan hukum primer terdiri dari perundang – undangan, catatan – catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang – undangan dan putusan hakim. §§§
Sehingga, bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan
skripsi ini, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
4. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 92/Pid.B/2018/PN Gst yang telah
berkekuatan hukum tetap.
1.5.3.2 Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah sumber bahan hukum yang diperoleh dari
seluruh publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen
resmi. Publikasi tersebut meliputi literatur ilmiah, buku – buku, kamus hukum,
jurnal hukum, serta komentar – komentar atas putusan pengadilan yang bertujuan
untuk mempelajari isu pokok permasalahan yang dibahas.**** Dalam penulisan
skripsi ini, bahan hukum sekunder yang digunakan oleh Penulis adalah buku
hukum, literatur hukum, jurnal hukum, makalah ilmiah hukum, dan bahan hukum
sekunder yang berhubungan dengan itu.

1.5.4 Analisa Bahan Hukum


Dalam hal analisa bahan hukum, penulis menggunakan metode analisa
deduktif, yaitu dengan terlebih dahulu melihat permasalahan yang terjadi secara
umum kemudian sampai pada hal-hal yang secara khusus untuk mencapai maksud
yang sebenarnya. Selanjutnya, langkah berikutnya yang digunakan dalam
melakukan suatu penelitian hukum adalah :

‡‡‡
Ibid, hlm. 183.
§§§
Ibid, hlm. 181.
****
Ibid, hlm. 182.
10

1. Mengidentifikasi fakta hukum yang ada dan mengeliminasi hal-hal yang


tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang
dianggap mempunyai relevansi terhadap isu yang dihadapi;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan
yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi agar dapat menjawab
permasalahan yang ditemukan;
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di
dalam kesimpulan.††††
Dalam penulisan ini, Penulis melakukan tahapan tahapan yaitu yang pertama
mengidentifikasi pasal yang didakwakan oleh penuntut umum apakah sudah
sesuai dengan perbuatan terdakwa dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst
dan menetapkan isu hukum yang dicantumkan dalam rumusan masalah, langkah
kedua yang penulis lakukan adalah mengumpulkan bahan hukum primer yaitu
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Putusan Pengadilan Negeri
Gunungsitoli Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst, dan mengumpulkan bahan hukum
sekunder yaitu buku-buku literature hukum, tulisan-tulisan hukum, maupun jurnal
hukum yang relevan dengan isu hukum yang penulis bahas, langkah ketiga yang
penulis lakukan dalam penelitian ini Melakukan telaah atas isu berdasarkan bahan
hukum yang digunakan dengan penalaran deduktif dari umum ke khusus dan
menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum untuk
memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dalam
kesimpulan yang dituangkan kedalam saran.

††††
Ibid, hlm. 213.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak merupakan generasi penerus
bangsa yang dipersiapkan untuk terus membangun dan membawa masa depan
bangsa untuk menjadi lebih baik. Dalam kedudukannya sebagai anak, maka
diperlukannya suatu perlakuan khusus agar anak dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.1.1. Pengertian Anak
Batasan usia dari seorang anak memiliki perbedaan di antara negara satu
dengan negara yang lainnya. Dalam hukum positif di Indonesia terdapat
perbedaan mengenai penetapan batas usia anak sehingga hal ini dapat
menimbulkan masalah dalam hukum ketika terjadi tindak pidana yang
menyangkut anak. Berikut merupakan batasan usia anak menurut perundang-
undangan yang ada di Indonesia, yaitu:
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Dalam Undang-Undang ini telah diatur mengenai batasan umur anak yaitu
dalam Pasal 45 KUHP yang memberikan batasan usia anak adalah 16 (enam
belas) tahun, jika anak dibawah 16 (enam belas) tahun terlibat dalam perkara
pidana maka anak tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau
pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana sebagai anak negara atau dapat juga dijatuhi pidana. Akan tetapi ketentuan
Pasal 45, 46 dan 47 KUHP ini berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang
3/1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak
dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal
287, 290, 292, 294 dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas)
tahun.
2. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak

11
12

Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa, “anak


adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan.” Undang-undang ini tidak membatasi
berapa usia minimal seseorang namun memberikan batasan maksimal.
Namun dalam undang-undang ini juga tidak ada ketentuan mengenai anak
yang sudah berusia 18 tahun namun sudah menikah apakah masih dapat
dikategorikan sebagai anak atau bukan.
3. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menyatakan bahwa anak yang dikategorikan dibawah umur yaitu anak yang
telah berumur 12 tahun namun belum berumur 18 tahun, dan membedakan usia
anak dilihat dari suatu tindak pidana yang dilakukannya kedalam tiga kategori,
yaitu:
a. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
(Pasal 1 angka 3)
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana. (Pasal 1 angka 4)
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. (Pasal 1 angka 5)
Antara KUHP dan UU Perlindungan Anak mempunyai hubungan satu
sama lain, yaitu yang satu bersifat khusus dari yang lain dan yang satu bersifat
umum dari yang lainnya yang biasa dikenal dengan asas lex specialis derogat legi
generalis. Undang-Undang Perlindungan Anak bersifat lex specialis dan KUHP
bersifat lex generalis. Dari beberapa pengertian tersebut diatas juga dapat
13

disimpulkan bahwa yang dapat dinyatakan sebagai anak adalah yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun.

2.1.2. Hak-Hak Anak


Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak ialah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Mengenai pengertian dari perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa dalam upaya perlindungan
terhadap anak memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-
hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Dalam UU Perlindungan Anak
telah menjelaskan secara rinci dalam pasal-pasalnya tentang hak-hak serta
kewajiban bagi seorang anak. Adapun hak-hak yang dimiliki seorang anak antara
lain adalah:‡‡‡‡
1. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam
bimbingan orang tua atau wali. (Pasal 6);
2. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakat. (Pasal 9 ayat (1));
3. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan
dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik,
tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (Pasal 9
ayat (1a));
4. Selain mendapatkan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (1a), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan
‡‡‡‡
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
14

luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan


pendidikan khusus. (Pasal 9 ayat (2));
5. Setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. (Pasal 12);
6. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan
merupakan pertimbangan terakhir. (Pasal 14 ayat (1));
7. Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana, anak tetap berhak: (Pasal 14
ayat (2);
a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua
orang tuanya;
b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan
untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan
d. memperoleh hak anak lainnya.
8. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: (Pasal 15);
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan;
e. pelibatan dalam peperangan; dan
f. kejahatan seksual.
Sehingga dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara telah
memberikan perhatian secara khusus mengenai hak-hak anak sebagaimana diatur
dalam undang-undang, dimana dalam undang-undang tersebut telah menjamin
kesejahteraan kehidupan anak dimasa mendatang.

2.2. Tindak Pidana Kesusilaan


15

Tindak pidana kesusilaan merupakan suatu tindak pidana yang


berhubungan dengan nafsu seksual seseorang dimana perbuatan tersebut
melibatkan rasa malu seksual bagi seseorang atau kelompok. Tindak pidana
kesusilaan ini biasanya melanggar norma dan kaidah yang ada didalam
masyarakat. Dalam tindak pidana kesusilaan ini penulis akan menjelaskan
mengenai tindak pidana pemerkosaan dan tindak pidana pencabulan.
2.2.1. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Kesusilaan
Istilah tindak pidana berasal dari Belanda yang dikenal dengan istilah
hukum pidana belanda yaitu strafbaar feit. Meskipun isitilah ini terdapat dalam
WvS Belanda (KUHP), namun tidak ada penjelasan yang menjelaskan tentang
pengertian dari strafbaar feit itu. Para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti
dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman
pendapat.§§§§ Ada tiga kata yang menyusun kalimat Strafbaar Feit, yakni straf,
baar dan feit. Rupanya straf diterjemahkan dengan pidana atau hukum, sedangkan
baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Sementara itu, untuk kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, atau perbuatan. Secara
Literlijk, kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah
perbuatan.*****
Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu
pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian
yang bersifat yuridis seperti halnya dalam memberikan definisi atau pengertian
terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan
definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana
dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,
sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan
pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini
bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti

§§§§
Adam Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014,
hlm 67.
*****
Ibid, hlm 69.
16

khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu straf yang dapat diartikan
sebagai hukuman.†††††
Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal
yang perlu diperhatikan:
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
kepadanya oleh suatu aturan hukum.
b. Larangan tersebut ditujukan kepada suatu perbuatan (yaitu, suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan orang),
sedangkan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu diancam
pidana.
c. Ada suatu hubungan yang saling berkaitan antara larangan dan ancaman
pidana, karena ada suatu hubungan yang saling berkaitan pula antara
kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian tersebut. “Kejadian
tidak dapat dilarang jika menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan
olehnya”.
Moeljatno dalam bukunya menjelaskan bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang memiliki unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang
dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:‡‡‡‡‡
a. Subyektif adalah berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk ke
dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dihatinya.
b. Obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaannya, yaitu dalam keadaan-
keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan Balai Pustaka 1989, menyebutkan
bahwa kata kesusilaan artinya perihal susila. Arti dari kata susila itu sendiri yakni
sebagai berikut:§§§§§
1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;
†††††
Moeljatno, Op.Cit. hlm. 37.
‡‡‡‡‡
Ibid. hlm 69.
17

2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;


3. Pengetahuan tentang adat.
Dalam bahasa inggris kata susila dapat diartikan sebagai moral, ethics
ataupun decent, namun ada perbedaan dalam menerjemahkan kata-kata tersebut.
Kata moral diterjemahkan dalam moril, kesopanan dan ethics diterjemahkan
dengan kesusilaan sedangkan decent diterjemahkan dengan kepatutan. Hal yang
rumit dan selalu dicampurbaurkan adalah “moral” tetapi ethics ada dalam kata
“moral.”
Unsur-Unsur Tindak Pidana Kesusilaan
Tindak pidana kesusilaan yang penulis bahas yaitu mengenai tindak pidana
pencabulan dan persetubuhan, dimana dalam hal ini penulis akan menjelaskan
unsur-unsur tindak pidana dari rumusan Pasal 293 ayat (1) KUHP dan Pasal 76D
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu sebagai berikut:
 Pasal 293 ayat (1) KUHP
a. Unsur Subyektif
1. Barang siapa
Maksud dari barang siapa adalah seseorang atau setiap orang dalam hal ini
adalah seorang manusia pribadi yang hidup atau subyek hukum (pendukung hak
dan kewajiban) yang cakap hukum dan dapat bertanggungjawab dari segala
tindakan dan atau perbuatan yang dilakukannya.******
b. Unsur Objektif
1. Memberi atau menjanjikan uang atau barang menyalahgunakan wibawa
yang timbul dari hubungan keadaan
Memberi atau menjanjikan uang atau barang memliki suatu persamaan, yaitu
uang dan barang tersebut diberikan kepada seseorang untuk dimiliki atau menjadi
miliknya. Maka setelah perbuatan tersebut dilakukan, uang atau barang yang
diberikan akan menjadi milik orang yang diberi. Perbedaannya pada memberikan,
setelah perbuatan dilakukan, uang dan atau barang telah beralih kekuasaannya
pada orang yang diberi. Akan tetapi, pada perbuatan menjanjikan, setelah

§§§§§
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka 1989, hlm. 1110
******
Moeljatno, Op.Cit, hal. 165
18

perbuatan dilakukan, uang atau barang itu belum diserahkan, dan akan diserahkan
kemudian, tidak pada saat janji diucapkan. Dalam hal ini perbuatan menjanjikan
harus dapat memberikan suatu kepercayaan terhadap orang yang menerima janji,
dengan demikian si penerima janji akan dengan sukarela melakukan perbuatan
tersebut.††††††
Menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, maksudnya
ialah daya pengaruh yang terpancar dari kewibawaan yang timbul dan dimiliki
oleh seseorang karena hubungan yang ada antara si pembuat dengan orang yang
digerakkan (korban) dalam kehidupan sosial. Kewibawaan terhadap orang lain
yang dimiliknya inilah yang dapat digunakan untuk menggerakkan orang yang
ada di bawah pengaruhnya untuk melakukan perbuatan asusila.
2. Dengan penyesatan sengaja menggerakan seseorang belum dewasa dan
baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,
diketahui atau selayaknya harus diduganya.
Pengertian dari penyesatan adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan
untuk mengelabui atau mengelirukan anggapan, pengertian, pengetahuan, atau
pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar, sehingga orang
lain itu menjadi salah atau keliru dalam berpendirian. Maksud dari perbuatan
menggerakkan adalah suatu perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain atau
menanamkan pengaruh pada kehendak orang lain ke arah kehendaknya sendiri,
atau agar sama dengan kehendaknya sendiri. Jadi, objek yang dipengaruhi adalah
kehendak atau kemauan orang lain.‡‡‡‡‡‡ Mengenai pengertian dari seorang belum
dewasa, menurut R. Soesilo yaitu seseorang yang usianya belum 21 tahun dan
belum kawin.§§§§§§ Sedangkan mengenai pengertian baik tingkah lakunya
(onbesproken gedrag) adalah hanya mengenai kelakuan dalam hal seksual.
Membujuk seorang pelacur, meskipun belum dewasa tidak masuk disini, karena
pelacur sudah bercacat kelakuannya dalam lapangan seksual.******* Pada perbuatan
cabul, menurut pengertian ini R. Soesilo memberikan pengertian yaitu segala
††††††
Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007, hal 93
‡‡‡‡‡‡
Ibid, hlm. 92
§§§§§§
R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar –
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1995, hlm. 215
*******
Ibid, hlm. 215
19

perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,


semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman,
meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb.†††††††
 Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai
tindak pidana persetubuhan terhadap anak dari perumusan Pasal 76D Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah :
a. Unsur Subjektif
1) Setiap Orang
Unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang
dapat melakukan tindak pidana itu manusia (natuurlijke personen). Selain
manusia, ada pula badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi
subyek tindak pidana, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang
untuk delik tertentu.‡‡‡‡‡‡‡ Setiap orang selalu diartikan sebagai orang atau subyek
hukum yang diajukan ke persidangan sebagai terdakwa yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidananya apabila perbuatannya memenuhi semua unsur
dalam pasal yang bersangkutan. Sehingga unsur setiap orang yang dimaksud
dalam perkara tersebut akan terpenuhi. Orang perseorangan yang belum berumur
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Untuk
menyelesaikan perkara anak tersebut diberlakukan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
b. Unsur Objektif
1) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan
persetubuhan
Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan yang
tidak kecil secara tidak syah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala
macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.§§§§§§§ Menurut Simons,

†††††††
Ibid, hlm. 215
‡‡‡‡‡‡‡
Soedarto., Hukum Pidana I. (Semarang:Yayasan Sudarto (Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro), 1990) hlm 63.
§§§§§§§
R. Soesilo, Op.Cit., hlm 98.
20

untuk dapat dikatakan adanya “ancaman kekerasan” harus dipenuhi syarat-syarat


sebagai berikut:********
a. Bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian
rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam bahwa
yang diancam itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan
pribadinya.
b. Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan
seperti itu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan “memaksa”
adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa sedang yang dimaksud
“paksa” adalah mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau.
Arrest Hooge Raad adalah bahwa adanya persetubuhan antara anggota kelamin
laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi
kelamin laki-laki harus masuk ke kelamin perempuan hingga mengeluarkan air
mani.††††††††

2.2.2. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana Kesusilaan


Secara umum tindak pidana kesusilaan diartikan sebagai tindak pidana
yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan (etika). Pernyataan ini
menunjukkan bahwa menentukan batasan atau pengertian mengenai kesusilaan
tidaklah sederhana. Batasan-batasan kesusilaan (etika) sangat tergantung dengan
nilai – nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.‡‡‡‡‡‡‡‡ Hal ini juga diakui oleh
R. Soesilo yang menyatakan bahwa “sifat merusak kesusilaan perbuatan-
perbuatan tersebut kadang-kadang amat tergantung pada tempat umum pada
waktu dan tempat itu.” Tindak pidana kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana diatur dalam Bab XIV Buku II tentang Kejahatan dan Bab VI
Buku III tentang Pelanggaran. KUHP yang berlaku saat ini telah mulai
diberlakukan sejak tahun 1918.

********
R. Wiyono, S.H., Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, (Jakarta:Sinar
Grafika,2016), hlm 102.
††††††††
Y.A. Triana Ohoiwutun, Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Depensi Hukum
pada Ilmu Kedokteran), Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2016, hlm. 52
‡‡‡‡‡‡‡‡
Firgie Lumingkewas, Tindak Pidana Kesusilaan dalam KUHP dan RUU KUHP
Serta Persoalan Keberpihakan Terhadap Perempuan, Vol.V No. 1, 2016, hlm. 22
21

R. Soesilo dalam bukunya menjelaskan bahwa kata kesopanan disini


dalam arti kata kesusilaan, yaitu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu
kelamin. Misalnya, bersetubuh, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan
anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Kejahatan terhadap
kesopanan ini semuanya dilakukan dengan suatu perbuatan. §§§§§§§§ Sedangkan
menurut kamus hukum kesusilaan diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan
perakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan norma-norma kesopanan
yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan tata susila
dalam kehidupan bermasyarakat.*********
Di Indonesia sendiri, ketentuan kejahatan kesusilaan dikelompokkan menjadi
tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana kesopanan. Masing-masing dari tindak
pidana tersebut dimuat dalam Undang-Undang, dimana bentuk kejahatan tindak
pidana kesusilaan diatur dalam Pasal 281-289 KUHP dan bentuk pelanggarannya
diatur dalam Pasal 532-535 KUHAP. Sedangkan untuk bentuk kejahatan tindak
pidana kesopanan diatur dalam Pasal 300-303 KUHP dan bentuk pelanggarannya
diatur dalam Pasal 536-547 KUHAP.
Delik kesusilaan yang dirumuskan dalam KUHP sebagai hukum positif
adalah sebagai berikut:
a. Perkosaan (Rape):
Perkosaan adalah tindak kekerasan atau kejahatan seksual yang berupa
hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan
kondisi: (1) tidak atas kehendak dan persetujuan perempuan, (2) dengan
persetujuan perempuan namun dibawah ancaman, (3) dengan persetujuan
perempuan namun melalui penipuan. Dalam Pasal 285 KUHP telah dijelaskan
bahwa perkosaan adalah “barangsiapa yang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa seseorang perempuan yang bukan isterinya bersetubuh
dengan dia, karena perkosaan, dipidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas)

§§§§§§§§
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 204
*********
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hlm.
132
22

tahun. Delik perkosaan ini dirumuskan dalam Pasal 285 KUHP.


b. Merusak kesusilaan dihadapan umum :
KUHP merumuskan pada Pasal 281 yang rumusannya sebagai berikut
“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.”
1. Barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan dihadapan umum;
2. Barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan di muka orang lain yang
hadir dengan tidak kemauannya sendiri.”†††††††††
c. Zina (adultery):
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dicantumkan artinya sebagai berikut.
1. Perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
oleh hubungan pernikahan (perkawinan);
2. Perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan
seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang
terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.
KUHP merumuskan delik zina pada pasal 284.‡‡‡‡‡‡‡‡‡
d. Pornografi:
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dicantumkan artinya sebagai berikut.
1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk
membangkitkan nafsu birahi: mereka mengumandangkan argumentasi
bahwa merendahkan kaum wanita;
2. Bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk
membangkitkan nafsu birahi dalam seks.§§§§§§§§§
e. Perbuatan cabul dengan kekerasan/ancaman kekerasan:
KUHP merumuskan delik Perbuatan cabul dengan kekerasan/ancaman
kekerasan pada pasal 289.**********

†††††††††
Leden Marpaung. Kejahatan Terhadap Kesusilaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),
hlm. hlm 32.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid. hlm 41.
§§§§§§§§§
Ibid. hlm 36.
**********
Ibid. hlm 63
23

2.3. Surat Dakwaan


Jaksa mempunyai kewenangan dalam membuat surat dakwaan, dimana
surat dakwaan tersebut berisi tentang tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Surat dakwaan merupakan syarat formil dalam proses beracara di persidangan.
Dalam proses penegakan hukum suatu tindak pidana, terdakwa hanya dapat
dipidana berdasarkan apa yang terbukti mengenai kualifikasi tindak pidana yang
dilakukan oleh seorang terdakwa menurut rumusan surat dakwaan.
2.3.1. Pengertian Surat Dakwaan
Surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan
itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Selain berisikan identitas terdakwa,
juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.†††††††††† Undang-undang tidak memberi batasan
mengenai pengertian surat dakwaan, hanya menyebutkan tentang syarat-syarat
surat dakwaan. A.K. Nasution memberi pengertian surat dakwaan yang waktu itu
(zaman HIR) masih disebut surat tuduhan, sebagai berikut:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
“Tuduhan adalah suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari
tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari
surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim
untuk melakukan pemeriksaan.”
Selanjutnya, I.A. Nederburg, pakar hukum acara pidana Nederland, menulis:
“Surat ini adalah sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana karena
ialah merupakan dasarnya, dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan
hakim. Memang, pemeriksaan itu tidak batal jika dilampaui tetapi putusan
hakim hanyalah boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam
batas-batas itu. Karena itu, terdakwa dapat dihukum karena suatu tindak
pidana yang disebutkan dalam surat dakwaan, juga tidak tentang tindak
pidana yang wakaupun disebutkan di dalamnya, tetapi tindak pidana
tersebut hanya dapat dihukum dalam suatu keadaan tertentu ternyata
memang ada tetapi tidak dituduhkan. Demikian pula tidak dapat dihukum

††††††††††
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007, hlm. 213.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Prof. Dr. Andi Hamzah, Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung:
PT. Alumni, 2016, hlm. 29
24

karena tindak pidana tersebut terjadi secara lain daripada yang telah
dinyatakan.”
Selain itu, terdapat beberapa ahli hukum yang mendefinisikan pengertian
dari surat dakwaan, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Adam Chazawi
Surat dakwaan adalah surat yang dibuat penuntut umum atas dasar BAP
yang diterimanya dari penyidik yang memuat uraian secara cermat, jelas,
dan lengkap tentang rumusan tindak pidana yang telah dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang.§§§§§§§§§§
2. Menurut M. Yahya Harahap
Surat dakwaan adalah surat yang memurat rumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil
pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar pemeriksaan serta landasan
bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.***********
3. Menurut Leden Marpaung
Surat dakwaan adalah dasar pemikiran perkara selanjutnya, baik
pemeriksaan di tingkat persidangan Pengadilan Negeri maupun pada
pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan
peninjauan kembali, bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan.
Terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum untuk
perbuatan-perbuatan yang tidak tercantum dalam surat dakwaan.†††††††††††
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah
pemeriksaan di persidangan dilakukan. Tujuan utama pembuatan surat dakwaan
ialah untuk menentukan batas-batas pemeriksaan di sidang pengadilan, yang
menjadi dasar dari penuntut umum melakukan penuntutan terhadap terdakwa atau
orang yang diduga sebagai pelaku kejahatan. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Dalam penjelasan tersebut

§§§§§§§§§§
Adam Chazawi, Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Malang:
Bayumedia Publising, 2018, hlm. 29
***********
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 387
†††††††††††
Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.
21
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Paul SinlaEloE, Memahami Surat Dakwaan, Nusa Tenggara Timur:
Perkumpulan Perkembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat, 2015, hlm. 2
25

dapat ditarik kesimpulan bahwa hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana


diluar batas-batas yang ditentukan dalam dakwaan.

2.3.2. Syarat-Syarat Surat Dakwaan


Surat dakwaan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh jaksa
berdasarkan atas asas oportunitas yang memberikan hak kepada penuntut umum
jaksa sebagai wakil dari negara untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa
atau pelaku tindak pidana.§§§§§§§§§§§ Dalam KUHAP surat dakwaan diatur hanya
dalam dua pasal saja, yaitu Pasal 143 dan 144. Dalam Pasal 143 ayat (1) KUHAP
dikatakan: ************
“Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan
permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai surat dakwaan.”
Hal inilah yang disebut dengan akta pelimpahan perkara dengan dakwaan, dimana
Belanda menyebutnya dengan acte van verwejzing.
Penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan harus membuatnya
dengan sebaik-baiknya, sehingga surat dakwaan dapat tersusun secara sempurna
karena telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 143
ayat (2) KUHAP, yakni:††††††††††††
a. Syarat Formil
Syarat formil yang harus dipenuhi atau terdapat dalam suatu surat dakwaan
adalah:
1. Diberi tanggal.
Pencantuman tanggal dalam surat dakwaan diperlukan guna memenuhi
syarat sebagai suatu akte/surat. Selain itu, pencantuman tanggal dalam
surat dakwaan sangat bermanfaat untuk mengantisipasi terjadinya
pembuatan surat dakwaan mendahului terjadinya suatu peristiwa pidana.
2. Ditandatangani oleh penuntut umum
Surat dakwaan harus ditanda tangani oleh penuntut umum dalam rangka
memenuhi syarat sebagai suatu akte/surat. Alasan lain dalam kaitannya
dengan surat dakwaan harus ditanda tangani oleh penuntut umum adalah

§§§§§§§§§§§
Ibid, hlm. 5
************
Prof. Dr. Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 31
††††††††††††
Paul SinlaEloE, Op.Cit, hlm. 5
26

untuk menunjukan identitas dari pihak yang bertanggung jawab atas surat
dakwaan dan merupakan penegasan tentang pihak yang berwenang
(Pasal 14 huruf d KUHAP) untuk menandatangai suatu surat dakwaan.
3. Berisi identitas terdakwa/para terdakwa
Meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa
(Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP). Identitas tersebut dimaksudkan
agar orang yang didakwa dan diperiksa di depan sidang pengadilan
adalah benar-benar terdakwa yang sebenarnya dan bukan orang lain
(Error in Persona). Apabila syarat formil ini tidak seluruhnya dipenuhi
maka dapat dibatalkan oleh hakim (Vernietigbaar), karena dinilai tidak
jelas terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan.
b. Syarat Materiil
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, mengamanatkan bahwa surat dakwaan
harus memuat secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
dilakukan oleh terdakwa. Jika syarat materil ini tidak dipenuhi, maka
dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard) dan
batal demi hukum (absolut nietig). Dalam KUHAP tidak dijelaskan tentang
apa yang dimaksud dengan istilah cermat, jelas, dan lengkap, namun oleh
kebanyakan pakar hukum pidana, pengertian cermat, jelas dan lengkap
dimaknai sebagai berikut:
1. Uraian harus cermat
Cermat yang dimaksud di sini adalah ketelitian penuntut umum dalam
mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan undang-undang yang
berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan atau
kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak
dapat dibuktikan. Dengan kata lain, penuntut umum diharuskan untuk
bersikap teliti dengan semua hal yang berhubungan dengan keberhasilan
penuntutan perkara di persidangan, di antaranya: (a) apa ada pengaduan
dalam hal delik khusus atau tindak pidana umum?; (b) apa penerapan
hukumnya sudah tepat?; (c) apa terdakwa dapat diminta
27

pertanggungjawaban dalam suatu tindak pidana; (d) apakah tindak pidana


tersebut belum atau sudah daluwarsa; (e) apakah tindak pidana yang
didakwakan itu tidak nebis in idem, yakni terdakwa diadili lebih dari satu
kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum
atau membebaskannya.
2. Uraian harus jelas
Uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara menyusun redaksi
yang mempertemukan fakta-fakta (perbuatan material) terdakwa dengan
unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa atau
penasehat hukum yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan
mendapatkan gambaran tentang: (a) siapa yang melakukan tindak pidana;
(b) tindak pidana apa yang dilakukan; (c) kapan dan di mana tindak
pidana tersebut dilakukan; (d) apa akibat yang ditimbulkan; dan (e)
mengapa terdakwa melakukan tindak pidana itu. Uraian komponen-
komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan
bahasa yang sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk para pihak yang
terlibat dalam berperkara dapat mengetahui secara jelas, apakah terdakwa
dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut dalam
kapasitas sebagai pelaku (dader) dengan peran: Orang yang Melakukan
(pleger), Orang yang Menyuruh Melakukan (doenpleger), Orang yang
Turut Serta Melakukan (medepleger), Orang yang Menganjurkan untuk
Melakukan (uitlokker), atau hanya sebagai Pembantu Melakukan
(medeplichting). Apakah unsur yang diuraikan tersebut sebagai tindak
pidana dengan kualifikasi, misalnya penipuan atau penggelapan atau
pencurian, dsb.
3. Uraian harus lengkap
Uraian harus lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan
uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur yang ditentukan
secara lengkap. Jangan sampai terjadi ada unsur delik yang tidak
dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materilnya
secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan
merupakan tindak pidana menurut undang-undang.
28

2.4. Pertimbangan Hakim


Pengertian dari pertimbangan hakim merupakan pertimbangan hukum
yang menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Pasal 197 ayat
(1) huruf d KUHAP telah menjelaskan bahwa pertimbangan yang dibuat oleh
hakim harus disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta pembuktian
yang ada di dalam persidangan. Dalam pertimbangannya, hakim harus memenuhi
pertimbangan dari segi yuridis maupun non yuridis.
2.4.1. Pengertian Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim dikenal dengan istilah “ratio decidendi” yakni
alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada
putusannya. Hakim berhak memberikan putusan berupa penjatuhan pidana kepada
terdakwa dengan berdasarkan kepada bukti-bukti dan proses di persidangan yang
nantinya akan menimbulkan suatu fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Fungsi dari pertimbangan Hakim itu sendiri yakni: ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
1. Untuk menyusun fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.
2. Untuk membuktikan unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa
apakah telah sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.
3. Untuk membuktikan unsur kesalahan dalam diri si terdakwa.
4. Untuk menilai apakah alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan telah
cukup dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa.
5. Untuk menarik kesimpulan fakta yang terungkap dalam persidangan dan
disertai keyakinan hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak,
dan selanjutnya menjatuhkan putusan.
Dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, hakim harus berdasarkan
pertimbangan dan mengacu pada Pasal 183 KUHAP. Dalam Pasal 197 KUHAP
mengenai syarat pemidanaan, terdapat pengaturan mengenai pertimbangan hakim
yaitu dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP yang isinya:
“pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan,
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.”

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.
245.
29

Lebih lanjut lagi dalam penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d yang dimaksud
dengan “fakta dan keadaan disini” ialah segala apa yang ada dan apa yang
diketemukan disidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi,
ahli, terdakwa, penasihat hukum dan saksi korban.

2.4.2. Macam-Macam Pertimbangan Hakim


Macam-macam pertimbangan hakim dalam hal membuktikan pasal yang
didakwakan kepada terdakwa yang disesuaikan dengan fakta yang terungkap di
persidangan. Menurut Rusli Muhammad menyatakan bahwa terdapat 2 kategori
pertimbangan hakim, yaitu:§§§§§§§§§§§§
1. Pertimbangan Hakim Bersifat Yuridis
Pertimbangan hakim bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan dan oleh
undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus termuat di dalam putusan. Hal-
hal yang dimaksud tersebut antara lain, dakwaan penuntut umum, keterangan
terdakwa dan saksi, barang-barang bukti, pasal-pasal dalam peraturan hukum
pidana dan sebagainya.
- Surat Dakwaan Penuntut Umum.
Merupakan dasar hukum acara pidana karenanya pemeriksaan dalam
pengadilan dapat dilakukan. Perumusan surat dakwaan didasarkaan pada
hasil pemeriksaan pendahuluan yang di susun sesuai dengan Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun bentuk bentuk surat
dakwaan berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor :
SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Dengan
berdasarkan bentuk bentuk itu pula hakim dalam pertimbangannya
memutuskan suatu perkara. Dengan melihat perbuatan perbuatan yang
menurut pertimbangannya telah terbukti di muka persidangan.
- Keterangan Terdakwa
Berdasarkan Pasal 184 butir e KUHAP, keterangan terdakwa merupakan
bagian dari alat bukti. Keterangan terdakwa ialah apa saja yang ia
kemukakan atas pertanyaan hakim dan juga penuntut umum di muka

§§§§§§§§§§§§
Rusli Muhammad, Op.Cit, hlm. 212.
30

persidangan tentang perbuatan perbuatan yang ia lakukan atau yang ia


ketahui sendiri atau di alami sendiri. Dengan mengaitkan keterangan
terdakwa sebagai alat bukti yang sah, dalam pertimbangannya hakim
melihat perbuatan perbuatan yang terbukti di muka persidangan.
- Keterangan saksi
Dapat dijadikannya keterangan saksi sebagai alat bukti yangn sah,
keterangan tersebut harus mengenai peristiwa yang di degar sendiri, ia
lihat sendiri dan alami sendiri dan harus di sampaikan di muka
persidangan dengan di ambilnya sumpah. Jika keterangan yang dianggap
sebagai de auditu testimonium de auditu tidak dapat di nilai sebagai alat
bukti yang sah karenanya keterangan saksi yang di sampaikan di muka
persidangan merupakan hasil rekaan atau pemikirannya saja dan tidak
dapat dijadikan pertimbangan.Pertimbangan hakim yang di dasarkan pada
keterangan saksi agar dapat melihat kebenaran perbuatan terdakwa.
- Barang bukti
Ialah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh
penuntut umum di muka persidangan. Adapun barang barang bukti yang di
maksud ialah :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana.
b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkan
c. Benda yang digunakan untuk menghalang halangi penyidikan tindak
pidan.
d. Benda yang khusus di buat atau di peruntukkan melakukan tindak pidana
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Barang bukti yang di maksud di atas tidak termasuk ke dalam alat bukti,
karena berdasarkan undang undang yang berlaku, alat bukti yang berlaku
hanyalah keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, surat,
dan petunjuk. Meski bukan termasuk dalam alat bukti, namun jika dalam
surat dakwaanya penuntut umum mencantumkannya, dan di ajukan ke
31

muka persidangan kemudian dapat memberikan keyakinan kepada hakim


maka dalam hal ini, barang bukti yang di ajukan dapat di jadikan dasar
pertimbangan hakim di dalam persidangan.
- Pasal-Pasal Peraturan Hukum Pidana
Berdasarkan pasal 197 KUHAP, di dalam surat putusan pemidanaan harus
mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar pemidanaan atau tindakan. Dengan menghubungkan antara pasal-
pasal yang dikenakan dengan perbuatan perbuatan terdakwa. Pertimbangan
atas pasal pasal tersebut didasarkan pada fakta hukum yang terungkap
berdasarkan pasal pasal yang di dakwakan oleh penuntut umum.
2. Pertimbangan Hakim Bersifat Non Yuridis
a. Latar Belakang Terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan
timbulnya keinginan serta dorongan keras pada terdakwa dalam
melakukan tindak pidana kriminal.
b. Akibat Perbuatan Terdakwa yang dilakukan oleh terdakwa sudah pasti
membawa korban atau kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat perbuatan
terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh
buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman
mereka senantiasa terancam.
c. Kondisi diri terdakwa, keadaan fisik atau psikis sebelum malakukan
kejahatan, termasuk pula status sosial melekat. Fisik yang dimaksut
berkaitan dengan usia dan tingkat kedewasaan, sedang keadaan psikis
adalah berkaitan dengan perasaan, misalnya dalam keadaan marah,
mempunyai perasaan dendam, mendapat ancaman atau tekanan orang.
d. Keadaan sosial ekonomi terdakwa, latar belakang keadaan ekonomi yang
membuat terdakwa melakukan tindak pidana;
e. Faktor agama, setiap putusan pengadilan diawali dengan kalimat “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
yang fungsinya adalah bahwa dalam memutus perkara semata-mata untuk
menunjukkan keadilan yang didasarkan Ketuhanan, arti kata Ketuhana ini
menunjukkan suatu pemahaman berdimensi keagamaan yang berarti
terikat oleh ajaran-ajaran keagamaan, maka keterikatan hakim terhadap
32

f. ajaran agama tidak hanya sekedar melekat kata “Ketuhanan” pada kepala
putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian diri setiap tindakan
para hakim sendiri maupun dan terutama terhadap tindaka para pembuat
kejahatan.

2.5. Putusan Hakim


Pasal 1 angka 11 KUHAP telah menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan putusan hakim adalah suatu pernyataan dari hakim yang diucapkan di
dalam sidang pengadilan yang diselenggarakan secara terbuka yang berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pengambilan setiap putusan
harus berdasarkan surat dakwaan, requisitor penuntut umum, kemudan pada
segala fakta dan keadaan-keadaan yang terbukti dalam sidang pengadilan. Setiap
putusan pengadilan harus memuat dasar dan alasan diberikannya putusan tersebut.
2.5.1. Pengertian dan Syarat Sahnya Putusan Hakim
Putusan hakim atau yang biasa disebut dengan istilah putusan pengadilan
sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya putusan
hakim ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa
dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya.************* Pengertian
putusan hakim/putusan pengadilan menurut pandangan doktrin adalah sebagai
berikut:†††††††††††††
1. Menurut Leden Marpaung, putusan adalah hasil atau kesimpulan dari
sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya
yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.
2. Menurut Lilik Mulyadi, putusan pengadilan adalah putusan yang
diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara
pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan
prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar
pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat
dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
*************
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya, Cetakan II, P.T. Alumni, Bandung, 2012, hlm. 201.
†††††††††††††
Ibid, hlm. 202
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid, hlm. 203
33

3. Dalam Bab I Pasal 1 angka 11 KUHAP menerangkan pengertian putusan


pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
Selain itu dalam pembuatan putusan juga harus memenuhi persyaratan
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP bahwa putusan
harus memuat semua hal yang telah ditentukan secara limitatif, yaitu:
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang ditujukan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetpat dalam tahanan atau
dibebaskan.
34

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kesesuaian Pasal Yang Diterapkan Dalam Surat Dakwaan Penuntut


Umum Dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst Dengan Perbuatan
Terdakwa
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang dipersiapkan untuk terus
membangun dan membawa masa depan bangsa untuk menjadi lebih baik. Di
Indonesia terdapat beberapa perbedaan mengenai penetapan batasan usia terhadap
anak menurut perundang-undangan. KUHP dalam hal ini mengatur batasan usia
anak yaitu dalam Pasal 45 KUHP yang memberikan batasan usia anak adalah 16
(enam belas) tahun, sedangkan dalam UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Perkembangan masyarakat yang modern berdampak pada maraknya kasus-
kasus asusila, dimana kasus tersebut tidak mengenal batasan usia. Kasus-kasus
seperti ini dapat terjadi terhadap anak maupun orang dewasa. Tindak pidana
kesusilaan merupakan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan nafsu
seksual seseorang dimana perbuatan tersebut melibatkan rasa malu seksual bagi
seseorang atau kelompok. Tindak pidana kesusilaan ini biasanya melanggar
norma dan kaidah yang ada didalam masyarakat. R. Soesilo dalam bukunya
menjelaskan bahwa kata kesopanan disini dalam arti kata kesusilaan, yaitu
perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya, bersetubuh,
meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau
pria, mencium dan sebagainya. Kejahatan terhadap kesopanan ini semuanya
dilakukan dengan suatu perbuatan.§§§§§§§§§§§§§
Tindakan-tindakan asusila dalam KUHP dibedakan menjadi dua yaitu
tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP
dan tindak pidana perkosaan untuk cabul diatur dalam pasal 289-296 KUHP.
Tindak pidana persetubuhan menurut Arrest Hooge Raad adalah bahwa adanya

§§§§§§§§§§§§§
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 204

35
36

persetubuhan antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang bisa


dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi kelamin laki-laki harus masuk ke
kelamin perempuan hingga mengeluarkan air mani. ************** Tindak pidana
pencabulan menurut R. Soesilo adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan
nafsu birahi, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba
buah dada dan sebagainya.††††††††††††††
Membahas mengenai anak sebagai korban tindak pidana kesusilaan,
dahulu sebelum dibuatnya UU Perlindungan Anak maka peraturan atau dasar
hukum yang digunakan adalah KUHP. Seiring dengan perkembangan zaman
secara statistik kejahatan terhadap anak kian meningkat, sehingga pemerintah
berinisiatif untuk membuat peraturan khusus untuk melindungi korban anak.
Untuk memberikan perlindungan kepada anak maka telah disahkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Lahirnya UU Perlindungan Anak ditujukan untuk memperbaiki hukum
pidana anak di Indonesia agar terdapat undang-undang yang mengatur secara
khusus bagi anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan sebagaimana
mestinya. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis maupun filosofis
dibentuknya UU Perlindungan Anak antara lain karena disadari bahwa anak
merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber
daya instansi bagi pembangunan nasional sehingga terhadap anak diperlukan
pembinaan fisik, mental, maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan dari segala
kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa dimasa depan
termasuk munculnya fenomena penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan
perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri,
maupun masyarakat. Dengan lahirnya UU Perlindungan Anak maka undang-

**************
Y.A. Triana Ohoiwutun, Op. Cit, hlm. 52
††††††††††††††
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 212
37

undang ini merupakan aturan khusus dimana aturan khusus ini dapat
mengesampingkan aturan yang umum atau biasa disebut dengan asas lex specialis
derogat legi generalis.
Asas lex specialis derogat legi generalis diatur dalam pasal 63 ayat (2)
KUHP yang rumusannya berbunyi “Apabila untuk suatu perilaku yang telah
diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum itu berpendapat suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
diterapkan.” Dari rumusan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut cukup jelas dapat
diketahui, bahwa yang diatur di dalamnya yaitu mengenai kemungkinan suatu
perilaku yang terlarang itu telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana tertentu,
akan tetapi kemudian ternyata telah diatur kembali di dalam suatu ketentuan
pidana yang lain.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Dalam konteks hukum pidana, berbagai kejahatan dan
pelanggaran yang tertuang dalam KUHP adalah hukum pidana umum, sedangkan
berbagai kejahatan atau pelanggaran yang diatur di dalam undang-undang
tersendiri adalah hukum pidana khusus. Bijzonder strafrecht atau hukum pidana
khusus adalah hukum pidana yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum
hukum pidana baik dari segi materiil maupun formil, artinya ketentuan-ketentuan
tersebut menyimpang dari ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP maupun
menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
KUHAP.§§§§§§§§§§§§§§
Cara mengetahui bahwa ketentuan pidana yang lebih khusus telah
mengatur suatu perilaku yang pada kenyataannya telah diatur dalam suatu
ketentuan yang lain, sehingga ketentuan pidana tersebut bersifat khusus. Di dalam
doktrin terdapat dua cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu untuk
mengatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan suatu ketentuan pidana yang
bersifat khusus ataupun bukan. Cara-cara tersebut yaitu cara memandang secara
logis dan cara memandang secara yuridis. Menurut pandangan secara logis, suatu
ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat
khusus, apabila ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang
lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Franciscus Theojunior Lamintang S.I.Kom., S.H.,
M.H. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm 729-730
§§§§§§§§§§§§§§
Eddy OS., Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014
38

Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara logis seperti


itu, di dalam doktrin juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau suatu
kekhususan secara logis.*************** Menurut pandangan secara yuridis atau secara
sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari
suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui,
bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan
ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Mengacu kepada Pasal 63 ayat (2) KUHP, untuk menegakkan
perlindungan terhadap anak, penuntut umum sebagai penegak hukum harus
mengikuti perkembangan hukum yang berlaku. Penuntut umum mempunyai
kewenangan dalam membuat surat dakwaan, dimana surat dakwaan menurut M.
Yahya Harahap adalah surat yang memuat rumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan
penyidikan, dan merupakan dasar pemeriksaan serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan di muka sidang pengadilan.††††††††††††††† Penuntut umum dalam
menyusun surat dakwaan harus membuatnya dengan sebaik-baiknya, sehingga
surat dakwaan dapat tersusun secara sempurna dan memenuhi syarat-syarat
sebagaimana terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Syarat membuat surat dakwaan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu syarat
formil dan syarat materiil. Syarat formil dari pembuatan surat dakwaan diatur
dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP sedangkan syarat materiil diatur dalam
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Penuntut umum dalam membuat surat
dakwaannya, apabila syarat formil ini tidak seluruhnya dipenuhi maka dapat
dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar), karena dinilai tidak jelas terhadap siapa
dakwaan tersebut ditujukan. Syarat materiil dalam KUHAP mengamanatkan
bahwa surat dakwaan harus dibuat secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana dilakukan oleh terdakwa. Jika syarat materil ini tidak dipenuhi, maka surat

***************
Lilik Mulyadi, OpCit, hlm 37
†††††††††††††††
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 387
39

dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard) dan batal
demi hukum (absolut nietig).
Mengenai syarat materiil dari surat dakwaan, maksud dari cermat adalah
ketelitian penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan
undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan
atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak
dapat dibuktikan, dengan kata lain penuntut umum diharuskan untuk bersikap
teliti dengan semua hal yang berhubungan dengan keberhasilan penuntutan
perkara di persidangan, di antaranya:
1. Apa ada pengaduan dalam hal delik khusus atau tindak pidana umum.
Maksudnya adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan
penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan
penuntutan terhadap orang tertentu. Pihak-pihak yang berhak
mengajukan aduan diatur dalam Pasal 72 KUHP.
2. Apa penerapan hukumnya sudah tepat. Menurut kajian normatif
penegakan hukum adalah suatu tindakan yang pasti yaitu menerapkan
hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat diibaratkan menarik garis
lurus antara dua titik.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
3. Apa terdakwa dapat diminta pertanggungjawaban dalam suatu tindak
pidana. Menurut Pompe di dalam teori pertanggungjawaban pidana,
seseorang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:§§§§§§§§§§§§§§§
a. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader), yang
memungkinkan ia menentukan perbuatannya;
b. Dan oleh sebab itu, ia dapat memahami makna dari akibat
perbuatannya;
c. Dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai
dengan pendapatnya
4. Apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah daluwarsa. Daluwarsa
berarti kewenangan penegak hukum memproses hukum suatu dugaan

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali,
Jakarta, 1980, hlm. 19
§§§§§§§§§§§§§§§
A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Hukum Pidana I, Sinar Grafika,
Jakarta, 1995, hlm 190
40

tindak pidana menjadi hilang, karena lewatnya tenggang waktu tertentu.


Pengertian daluwarsa diatur dalam Pasal 76 KUHP.
5. Apakah tindak pidana yang didakwakan itu tidak nebis in idem, yakni
terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada
keputusan yang menghukum atau membebaskannya.
Mengenai uraian harus jelas adalah uraian jelas dan mudah dimengerti
dengan cara menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta (perbuatan
material) terdakwa dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga
terdakwa atau penasehat hukum yang mendengar atau membacanya akan mengerti
dan mendapatkan gambaran tentang: (a) siapa yang melakukan tindak pidana; (b)
tindak pidana apa yang dilakukan; (c) kapan dan di mana tindak pidana tersebut
dilakukan; (d) apa akibat yang ditimbulkan; dan (e) mengapa terdakwa melakukan
tindak pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik
dan kronologis dengan bahasa yang sederhana. Uraian harus lengkap adalah
bahwa dalam menyusun surat dakwaan uraian surat dakwaan harus mencakup
semua unsur yang ditentukan secara lengkap, jangan sampai terjadi ada unsur
delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan
materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan
merupakan tindak pidana menurut undang-undang.****************
Berdasarkan uraian diatas, penuntut umum dalam surat dakwaannya
mendakwa terdakwa dengan Pasal 293 ayat (1) KUHP yang memiliki 3 (tiga)
unsur tindak pidana. Unsur-unsur dalam rumusan Pasal 293 ayat (1) KUHP
tersebut terdiri dari:
1. Barang siapa;
2. Memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
wibawa yang timbul dari hubungan keadaan;
3. Dengan penyesatan sengaja menggerakan seseorang belum dewasa dan
baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,
diketahui atau selayaknya harus diduganya.
Penjelasan dari unsur-unsur Pasal 293 ayat (1) KUHP menurut Penulis adalah:

****************
Paul SinlaEloE, Op.Cit, hlm. 5
41

1. Barang siapa
Maksud dari barang siapa adalah seseorang atau setiap orang dalam hal ini
adalah seorang manusia pribadi yang hidup atau subyek hukum (pendukung hak
dan kewajiban) yang cakap hukum dan dapat bertanggungjawab dari segala
tindakan dan atau perbuatan yang dilakukannya.†††††††††††††††† Dalam perkara
Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst yang terbukti meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana adalah terdakwa sesuai dengan identitas yang terantum
dalam surat dakwaan. Terdakwa lahir di Siofabanua tanggal 11 Oktober 1970.
Tempat tinggal terdakwa di Dusun 1 Desa Siotabanua Kecamatan Bawolato
Kabupaten Nias dan bekerja sebagai petani/pekebun dimana terdakwa merupakan
seorang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Mengenai fakta-fakta persidangan dari keterangan saksi korban maka dapat
diketahui bahwa kata barang siapa disini merujuk pada terdakwa sesuai dengan
keterangan yang diajukan dalam surat dakwaan penuntut umum sebagaimana
keterangan saksi korban bahwa kejadian bermula pada hari Kamis bulan
November 2017 sekira pukul 16.30 di kamar mandi milik terdakwa, kemudian
pada hari Selasa bulan November 2017 sekira pukul 15.30 di kamar mandi milik
terdakwa dan pada hari Minggu bulan November 2017 sekira pukul 15.30 di
kamar tidur milik terdakwa. Dalam persidangan terdakwa membenarkan bahwa
memang benar dirinya yang melakukan hal tersebut.
Dengan begitu unsur barang siapa ini telah terpenuhi oleh perbuatan
terdakwa.
2. Memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa
yang timbul dari hubungan keadaan
Unsur ini bersifat alternatif, artinya cukup salah satu dari unsur tersebut saja
dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Memberi atau menjanjikan uang atau
barang memliki suatu persamaan, yaitu uang dan barang tersebut diberikan kepada
seseorang untuk dimiliki atau menjadi miliknya. Maka setelah perbuatan tersebut
dilakukan, uang atau barang yang diberikan akan menjadi milik orang yang diberi.
Perbedaannya pada memberikan, setelah perbuatan dilakukan, uang dan atau
barang telah beralih kekuasaannya pada orang yang diberi. Akan tetapi,

††††††††††††††††
Moeljatno, Op.Cit, hal. 165
42

pada perbuatan menjanjikan, setelah perbuatan dilakukan, uang atau barang itu
belum diserahkan, dan akan diserahkan kemudian, tidak pada saat janji diucapkan.
Dalam hal ini perbuatan menjanjikan harus dapat memberikan suatu kepercayaan
terhadap orang yang menerima janji, dengan demikian si penerima janji akan
dengan sukarela melakukan perbuatan tersebut.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Berdasarkan keterangan saksi korban bahwa dalam kronologi kejadian pada
hari Selasa bulan November 2017 sekira pukul 15.30 WIB di kamar mandi
terdakwa, setelah terdakwa melakukan perbuatan asusila terdakwa memberi uang
sebesar Rp. 50.000,- terhadap saksi korban. Didalam persidangan terdakwa
membenarkan hal tersebut, maka hal tersebut memberikan petunjuk kepada
penuntut umum bahwa memang benar unsur memberi atau menjanjikan uang atau
barang terpenuhi.
Menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, maksudnya
ialah daya pengaruh yang terpancar dari kewibawaan yang timbul dan dimiliki
oleh seseorang karena hubungan yang ada antara si pembuat dengan orang yang
digerakkan (korban) dalam kehidupan sosial. Kewibawaan terhadap orang lain
yang dimiliknya inilah yang dapat digunakan untuk menggerakkan orang yang
ada di bawah pengaruhnya untuk melakukan perbuatan asusila.
Berdasarkan keterangan saksi korban terdakwa masih memiliki hubungan
kekeluargaan dimana istri terdakwa dengan orang tua korban adalah bersaudara
bapak sehingga sehari-harinya korban memanggil terdakwa dengan sebutan bapak
talu, sehingga wibawa tersebut tumbuh terhadap terdakwa. Menurut saksi korban,
terdakwa memaksa korban untuk melakukan tindakan asusila dengannya dan
mengancam korban untuk tidak mengatakan kejadian tersebut kepada siapapun.
Dalam persidangan terdakwa membenarkan bahwa memang benar dirinya
melakukan hal tersebut.
Dengan begitu unsur memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan tersebut terpenuhi.
3. Dengan penyesatan sengaja menggerakan seseorang belum dewasa dan
baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Adam Chazawi, Op.Cit, hal 93
43

perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,


diketahui atau selayaknya harus diduganya.
Pengertian dari penyesatan adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan
untuk mengelabui atau mengelirukan anggapan, pengertian, pengetahuan, atau
pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar, sehingga orang
lain itu menjadi salah atau keliru dalam berpendirian. Maksud dari perbuatan
menggerakkan adalah suatu perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain atau
menanamkan pengaruh pada kehendak orang lain ke arah kehendaknya sendiri,
atau agar sama dengan kehendaknya sendiri. Jadi, objek yang dipengaruhi adalah
kehendak atau kemauan orang lain. §§§§§§§§§§§§§§§§ Mengenai pengertian dari seorang
belum dewasa, menurut R. Soesilo yaitu seseorang yang usianya belum 21 tahun
dan belum kawin.***************** Sedangkan mengenai pengertian baik tingkah
lakunya (onbesproken gedrag) adalah hanya mengenai kelakuan dalam hal
seksual. Membujuk seorang pelacur, meskipun belum dewasa tidak masuk disini,
karena pelacur sudah bercacat kelakuannya dalam lapangan seksual.†††††††††††††††††
Pada perbuatan cabul, menurut pengertian ini R. Soesilo memberikan pengertian
yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan
yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-
ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Pada persidangan pengadilan, mengenai unsur dengan penyesatan sengaja
menggerakkan dilihat dari keterangan terdakwa bahwa terdakwa awalnya
menyetubuhi saksi korban dengan iming-iming memberikan uang kepada saksi
korban dengan cara meminjamkannya sebesar Rp. 50.000,- sehingga pada saat
saksi korban sedang mencuci piring di dalam kamar mandi rumah terdakwa
timbulah niat terdakwa menyetubuhi saksi korban dan dilakukannya sebanyak tiga
kali. Terdakwa menyetubuhi saksi korban pertama pada hari Kamis bulan
November 2017 sekira pukul 16.30 di kamar mandi milik terdakwa, kedua pada
hari Selasa bulan November 2017 sekira pukul 15.30 bertempat di kamar mandi

§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid, hlm. 92
*****************
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 215
†††††††††††††††††
Ibid, hlm. 215
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 215
44

milik terdakwa dan pada hari Minggu bulan November 2017 sekira pukul 16.30 di
dalam kamar tidur milik terdakwa.
Mengenai unsur seseorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya dalam
fakta persidangannya penulis tidak mendapatkan informasi mengenai umur pasti
dari saksi korban dikarenakan dalam surat dakwaannya penuntut umum tidak
menyebutkan atau tidak memberikan keterangan mengenai umur dari saksi
korban. Mengenai baik tingkah lakunya saksi korban merupakan seseorang yang
belum dewasa dan bukan merupakan pelacur seperti yang dikatakan oleh R.
Soesilo. Terdakwa mengaku bahwa saksi korban sudah tidak perawan lagi dengan
alasan pada saat dilakukan persetubuhan tidak terdapat darah yang keluar dari
lubang vagina milik saksi korban. Menurut Penulis pendarahan tidak selalu terjadi
pada perempuan setelah hubungan seksual yang pertama. Faktor yang
menyebabkan tidak keluarnya darah saat melakukan persetubuhan adalah apabila
cairan lubrikasi yang cukup, dan juga selaput dara dari perempuan umumnya
berbeda satu sama lain.
Selanjutnya, mengenai unsur melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia menurut fakta dipersidangan perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa bukanlah merupakan tindak pidana pencabulan
sebagaimana yang disebutkan dalam Visum et Repertum nomor : 183.04/49/Med,
tanggal 12 Maret 2018 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Honazaro
Marunduri, SPOG selaku dokter jaga/ruang kamar bersalin pada RSUD.
Gunungsitoli dengan hasil pemeriksaan saksi korban mengalami:
o Tinggi fundus ukuran 2 jari atas pusat;
o Tampak luka lama pada hampir semua daerah jalan lahir.
Kesimpulan: alat kelamin yang bersangkutan pernah dimasuki oleh benda tumpul.
Pengertian dari tinggi fundus tersebut adalah titik tertinggi, sedangkan uteri
berarti rahim, jadi tinggi fundus uteri adalah titik tertinggi dari rahim, tujuan dari
pengukuran tinggi fundus adalah untuk menghitung usia kehamilan dan mengukur
perkembangan dan pertumbuhan janin. Menurut fakta dipersidangan saksi yang
merupakan ayah dari saksi korban mengaku bahwa anaknya sudah hamil tua
berumur 7 (tujuh) bulan. Dalam hal ini, dapat diketahui terdakwa melakukan
tindak pidana persetubuhan bukan pencabulan. Menurut Arrest Hooge Raad
45

menyatakan bahwa adanya persetubuhan antara anggota kelamin laki – laki dan
perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi kelamin laki-laki
harus masuk ke kelamin perempuan hingga mengeluarkan air mani.§§§§§§§§§§§§§§§§§
Dalam hal ini penuntut umum tidak tepat dalam membuat surat dakwaan yang
mendakwa terdakwa melakukan perbuatan cabul.
Dengan begitu unsur dengan penyesatan sengaja menggerakan seseorang
belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,
diketahui atau selayaknya harus diduganya tersebut tidak terpenuhi.
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, penuntut umum dalam
membuat surat dakwaan mendakwa terdakwa dengan menggunakan Pasal 293
ayat (1) KUHP. Menurut analisis penulis, unsur ketiga dari pasal tersebut tidak
terbukti dan apabila yang menjadi korban merupakan seseorang yang belum
dewasa maka akan lebih tepat apabila penuntut umum mendakwa terdakwa
dengan menggunakan undang-undang yang diatur secara khusus. Dilihat dari
pengertian cermat, jelas dan lengkap dapat diketahui bahwa penuntut umum
dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst tidak cermat dalam membuat surat
dakwaannya apabila dihubungkan dengan hal apakah penerapan hukumnya sudah
tepat atau belum.
Penuntut umum disini juga harus memperhatikan mengenai aturan hukum
yaitu asas lex specialis derogat legi generalis dimana asas tersebut menjelaskan
bahwa aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum. Pasal 293 ayat
(1) KUHP merupakan pasal yang mengatur tentang perbuatan pidana yang
dilakukan terhadap anak yang masih dibawah umur secara umum sebagaimana
terdapat dalam KUHP. Asas ini menjadi penting untuk lebih diperhatikan lagi
oleh aparat penegak hukum khususnya penuntut umum selaku pemegang
wewenang dalam membuat surat dakwaan untuk menerapkan suatu aturan dalam
suatu peristiwa. Apabila dihubungkan dengan Pasal 64 ayat (1) UU Perlindungan
Anak yang menjelaskan bahwa “perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang
berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban

§§§§§§§§§§§§§§§§§
Y.A. Triana Ohoiwutun, Op.Cit, hlm. 52
46

dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat” atau dengan mengacu pada Pasal
63 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa “jika suatu perbuatan masuk dalam suatu
aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka
hanya yang khusus itulah yang diterapkan” sehingga hal tersebut harus dipahami
sebagai aspek sosio legal seorang penuntut umum dalam melaksanakan tugasnya
yang mengakomodir kepentingan korban dan negara.
Cara untuk mengetahui bahwa ketentuan pidana yang lebih khusus telah
mengatur suatu perilaku yang pada kenyataannya telah diatur dalam suatu
ketentuan yang lain, sehingga ketentuan pidana tersebut bersifat khusus yaitu yang
pertama dengan cara pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat
dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabila ketentuan
pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua
unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Dalam Undang-undang
Perlindungan Anak memuat unsur-unsur yang telah ada pada KUHP yang khusus
dibuatkan suatu undang-undang yang mengatur tentang Anak. Sehingga secara
logis unsur-unsur yang termuat dalam Undang-undang Perlindungan Anak
terdapat dari semua unsur-unsur yang berada dalam KUHP yang bersifat umum.
Misalnya di dalam KUHP terdapat Pasal yang mengatur tentang pencabulan dan
persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dibawah umur namun Pasal yang
mengatur tentang pencabulan dan persetubuhan telah diatur lebih khusus didalam
Undang-undang perlindungan Anak. Yang kedua yaitu cara pandangan secara
yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat
semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap
sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas
dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk
memberlakukan ketentuan pidana yang bersifat khusus. Dalam Undang-undang
Perlindungan Anak dibuat hanya untuk mengatur khusus mengenai tentang Anak.
Semua unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Anak
khusus diperuntukkan untuk Anak yang berada dibawah umur.
Penulis tidak sependapat dengan surat dakwaan penuntut umum yang
menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pencabulan terhadap
seseorang yang belum dewasa yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP
47

namun dalam hal ini dari analisis penulis perbuatan terdakwa lebih tepatnya
masuk dalam persetubuhan yang diatur dalam Pasal 76 D jo Pasal 81 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dimana dalam Pasal 81 ayat
(1) menyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000 (lima miliar rupiah). Maka, dalam Pasal 76D Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Setiap orang
Unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang
dapat melakukan tindak pidana itu manusia (natuurlijke personen). Selain
manusia, ada pula badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi
subyek tindak pidana, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang
untuk delik tertentu.****************** Setiap orang selalu diartikan sebagai orang atau
subyek hukum yang diajukan ke persidangan sebagai terdakwa yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidananya apabila perbuatannya memenuhi
semua unsur dalam pasal yang bersangkutan.
Dalam perkara Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst yang terbukti
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adalah terdakwa sesuai dengan
keterangan yang diajukan dalam surat dakwaan penuntut umum lahir di
Siofabanua tanggal 11 Oktober 1970. Tempat tinggal terdakwa di Dusun 1 Desa
Siotabanua Kecamatan Bawolato Kabupaten Nias dan bekerja sebagai
petani/pekebun dimana terdakwa merupakan seorang yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena terdakwa terbukti melakukan
persetubuhan kepada korban yang masih dikatakan sebagai seseorang yang belum
dewasa maka terdakwa memenuhi unsur setiap orang dalam Pasal 76 D Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

******************
Soedarto, Hukum Pidana I, Semarang:Yayasan Sudarto (Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro), 1990, hlm 63.
48

2. Dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak


melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan yang
tidak kecil secara tidak syah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala
macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.†††††††††††††††††† Menurut
Simons, untuk dapat dikatakan adanya “ancaman kekerasan” harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian
rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam bahwa
yang diancam itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan
pribadinya.
b. Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan
seperti itu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan “memaksa”
adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa sedang yang dimaksud
“paksa” adalah mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau.
Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Persetubuhan menurut Arrest Hooge Raad adalah bahwa adanya persetubuhan
antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk
mendapatkan anak, jadi kelamin laki-laki harus masuk ke kelamin perempuan
hingga mengeluarkan air mani.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Dalam perkara Putusan Nomor: 92/Pid.B/2018/PN. Gst yang terbukti
memenuhi unsur melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya sesuai dengan fakta persidangan diatas yaitu pada hari Minggu bulan
November 2017 sekira pukul 15.30 ketika terdakwa sedang duduk diteras
rumahnya, dimana pada saat itu terdakwa memanggil saksi korban dan menanyai
saksi korban mengenai uang yang diberikan oleh terdakwa pada hari Selasa bulan

††††††††††††††††††
R. Soesilo, Op.Cit. hlm 98.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Y.A. Triana Ohoiwutun, Op.Cit, hlm. 52
49

November 2017. Kemudian saksi korban menjawab bahwa dirinya tidak pernah
mengambil uang tersebut dan mengatakan bahwa uang tersebut masih dibiarkan
berada di kamar mandi milik terdakwa. Ketika saksi korban hendak mengambil
uang yang berada didalam kamar mandi milik terdakwa tiba-tiba terdakwa
menarik tangan kiri saksi korban kemudian memaksa membawa saksi korban
kedalam kamar tidurnya dengan cara mendorong tubuh saksi korban diatas
ranjang tempat tidurnya, seterusnya terdakwa membuka celana dan celana
dalamnya sampai di lututnya kemudian terdakwa menyuruh saksi korban agar
membuka pakaiannya namun saksi korban menolaknya sambil menangis dengan
berkata “Aku tidak mau” lalu terdakwa memegang tangan kiri saksi korban
kemudian memaksa saksi korban untuk memegang penisnya lalu terdakwa
menarik badan saksi korban agar berdiri dan hendak mencium bibir dan pipi saksi
korban namun saksi korban langsung menampar wajah terdakwa akan tetapi
terdakwa dengan menggunakan kedua tangannya mencoba untuk meremas remas
kedua payudara saksi korban sehingga pada saat itu saksi korban berusaha untuk
keluar dari dalam kamar tidur terdakwa namun dengan cepat terdakwa kembali
menarik tangan saksi korban sambil kembali mendorong tubuh saksi korban
hingga terduduk kembali diatas tempat tidurnya, kemudian terdakwa dengan
menggunakan kedua tangannya memaksa untuk membuka celana dan celana
dalam saksi korban sampai terbuka kemudian terdakwa membaringkan tubuh
saksi korban diatas ranjang dengan posisi kedua kaki saksi korban dipegang oleh
terdakwa dengan kedua tangannya lalu terdakwa menimpa tubuh saksi korban dari
atas sambil terdakwa dengan menggunakan kedua tangannya berusaha
melepaskan pakaian yang di kenakan oleh saksi korban, kemudian saksi korban
langsung menendang tubuh saksi korban dengan kedua kakinya sehingga
terdakwa terhempas jatuh kebelakang kelantai rumahnya, selanjutnya terdakwa
berdiri kemudian kembali menimpa tubuh saksi korban dari atas lalu memaksa
memasukan penisnya yang telah menegang kedalam lubang vagina saksi korban,
seterusnya terdakwa menggerakan pinggulnya naik turun secara berkali-kali dan
tidak lama kemudian terdakwa mengeluarkan spermanya kedalam lubang vagina
saksi korban, selanjutnya terdakwa mencabut penisnya dari dalam lubang vagina
saksi korban dan saksi korban langsung bergegas menggenakan celana dan celana
50

dalamnya kemudian pergi meninggakan rumah terdakwa dan pulang kerumahnya


sambil menangis ketakutan.
Dari penjelasan yang telah Penulis uraikan diatas, maka Penulis tidak
sependapat dengan penuntut umum yang mendakwa terdakwa dengan
menggunakan pasal dalam KUHP. Dalam hal ini Penulis menganalisa bahwa
apabila penuntut umum mendakwa terdakwa menggunakan Pasal 76 D jo Pasal 81
ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak maka akan lebih
tepat, karena sudah jelas diketahui bahwa pada tahun 2018 atau tahun perkara ini
sudah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.

3.2. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Dalam Membuktikan Unsur-Unsur


Pasal Yang Terdapat Dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst
Putusan hakim atau yang biasa disebut dengan istilah putusan pengadilan
sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Pasal 1 angka 11 KUHAP
menerangkan pengertian putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Menurut Lilik Mulyadi, putusan pengadilan adalah
putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara
pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural
hukum acara pidana pada umumnya berisikan ammar pemidanaan atau bebas atau
pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
penyelesaian perkaranya.§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Dalam pembuatan putusan juga harus
memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 197 ayat (1)
KUHAP bahwa putusan harus memuat semua hal yang telah ditentukan secara
limitatif.
Sebelum sampai pada putusannya, maka hakim harus terlebih dahulu
membuat pertimbangannya. Pertimbangan hakim dikenal dengan istilah “ratio

§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 201.
37

decidendi” yakni alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai
pada putusannya. Pertimbangan hakim ada 2 (dua) jenis, yaitu pertimbangan
51

hakim secara yuridis dan pertimbangan hakim secara non yuridis. Pertimbangan
hakim secara yuridis memiliki maksud yaitu pertimbangan hakim yang
berdasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan
dalam undang-undang telah ditentukan sebagai unsur yang harus dimuat dalam
putusan hakim. Pertimbangan hakim secara non yuridis yaitu pertimbangan hakim
yang berdasar pada alasan-alasan terdakwa melakukan tindak pidana, akibat
tindak pidana, keadaan ekonomi terdakwa, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial
dan faktor agama.******************* Hakikatnya, pada pertimbangan yuridis
merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandellen) dari suatu tindak pidana
apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak
pidana yang didakwakan oleh penuntut umum/penuntut umum.†††††††††††††††††††
Pertimbangan hakim masuk dalam isi surat putusan pemidanaan
sebagaimana termuat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d, dimana pertimbangan
hakim harus disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa. Hakim berhak memberikan putusan berupa
penjatuhan pidana kepada terdakwa dengan berdasarkan kepada bukti-bukti dan
proses di persidangan yang nantinya akan menimbulkan suatu fakta-fakta yang
terungkap di persidangan.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Selanjutnya, setelah fakta-fakta dalam
persidangan tersebut diungkapkan pada putusan hakim kemudian akan
dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan
oleh penuntut umum/penuntut umum.
Hakim dalam membuat pertimbangannya sebelum memberikan
pertimbangan-pertimbangan yuridis ini dibuktikan dan dipertimbangkan, hakim
terlebih dahulu menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan
merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa
dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Pada dasarnya
fakta-fakta dalam persidangan berorientasi pada dimensi tentang locus dan tempus
delicti, modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilakukan,

*******************
Rusli Muhammad, Op.Cit, hlm. 122
†††††††††††††††††††
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2014, hlm. 219
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm. 245.
52

penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana,
kemudian bagaimanakah akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan
terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak
pidana dan sebagainya. Selanjutnya, setelah fakta-fakta dalam persidangan
tersebut diungkapkan pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan
terhadap unsur-unsur (bestandellen) dari tindak pidana yang telah didakwakan
oleh penuntut umum/penuntut umum.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Sedikitnya dalam praktik peradilan ada tiga bentuk tanggapan dan
pertimbangan dari majelis hakim terhadap hal ini, yaitu sebagai
berikut:********************
1. Ada majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan secara
detail, terperinci dan substansial tehadap tuntutan pidana dari penuntut
umum penuntut umum dan pledooi dari terdakwa atau penasihat hukum.
2. Ada majelis hakim yang menganggapi dan mempertimbangkan secara
selintas saja terhadap tindak pidana yang diajukan oleh penasihat
hukumnya.
3. Ada majelis hakim yang sama sekali tidak menanggapi dan
mempertimbangkan terhadap tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut
umum/penuntut umum.
Menurut Lilik Mulyadi, dalam putusan hakim, suatu tanggapan dan pertimbangan
tersebut dibuat detail.†††††††††††††††††††† Detail merupakan bagian yang kecil-kecil
(yang sangat terperinci), seperti dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP dimana isinya
merupakan syarat dari membuat surat putusan harus dirancang sedetail mungkin
oleh hakim. Lebih spesifiknya lagi mengenai unsur-unsur dalam pertimbangannya
harus dibuktikan secara detail dan terperinci.
Dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst hakim memutus terdakwa
dengan Pasal 293 ayat (1) KUHP dimana dalam pasal tersebut memiliki 3 (tiga)
unsur pokok yang berbeda, unsur-unsur tersebut antara lain:
1. Barang siapa;

§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 219-220
********************
Ibid, hlm. 222-223
††††††††††††††††††††
Ibid, hlm 223
37

2. Memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa


yang timbul dari hubungan keadaan;
53

3. Dengan penyesatan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan


baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,
diketahui atau selayaknya harus diduganya.
Hakim dalam menguraikan unsur-unsur tersebut tidak dibuat secara cermat
dan hati-hati dimana ditemukan persamaan isi dalam unsur pasal kedua dan unsur
pasal ketiga. Dapat diketahui bahwa makna dari unsur kedua dan ketiga adalah
sama.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Uraian dari unsur kedua tentang memberi atau menjanjikan
uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan
berdasarkan keterangan saksi korban bahwa dalam kronologi kejadian pada hari
Selasa bulan November 2017 sekira pukul 15.30 WIB di kamar mandi terdakwa,
setelah terdakwa melakukan perbuatan asusila terdakwa memberi uang sebesar
Rp. 50.000,- terhadap saksi korban. Didalam persidangan terdakwa membenarkan
hal tersebut, maka hal tersebut memberikan petunjuk kepada penuntut umum
bahwa memang benar unsur memberi atau menjanjikan uang atau barang
terpenuhi.
Menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, berdasarkan
keterangan saksi korban terdakwa masih memiliki hubungan kekeluargaan dimana
istri terdakwa dengan orang tua korban adalah bersaudara bapak sehingga sehari-
harinya korban memanggil terdakwa dengan sebutan bapak talu, sehingga wibawa
tersebut tumbuh terhadap terdakwa. Menurut saksi korban, terdakwa memaksa
korban untuk melakukan tindakan asusila dengannya dan mengancam korban
untuk tidak mengatakan kejadian tersebut kepada siapapun. Dalam persidangan
terdakwa membenarkan bahwa memang benar dirinya melakukan hal tersebut.
Dengan begitu unsur memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan tersebut terpenuhi.
Uraian unsur dengan penyesatan sengaja menggerakan seseorang belum
dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Lampiran Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nomor
92/Pid.B/2018/PN. Gst. Penjelasan unsur kedua pada halaman 19-23 dan unsur kesua pada
halaman 23-26.
37

atau selayaknya harus diduganya, pada persidangan pengadilan dilihat dari


keterangan terdakwa bahwa terdakwa awalnya menyetubuhi saksi korban dengan
54

iming-iming memberikan uang kepada saksi korban dengan cara


meminjamkannya sebesar Rp. 50.000,- sehingga pada saat saksi korban sedang
mencuci piring di dalam kamar mandi rumah terdakwa timbulah niat terdakwa
menyetubuhi saksi korban dan dilakukannya sebanyak tiga kali. Terdakwa
menyetubuhi saksi korban pertama pada hari Kamis bulan November 2017 sekira
pukul 16.30 di kamar mandi milik terdakwa, kedua pada hari Selasa bulan
November 2017 sekira pukul 15.30 bertempat di kamar mandi milik terdakwa dan
pada hari Minggu bulan November 2017 sekira pukul 16.30 di dalam kamar tidur
milik terdakwa.
Mengenai unsur seseorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya dalam
fakta persidangannya penulis tidak mendapatkan informasi mengenai umur pasti
dari saksi korban dikarenakan dalam surat dakwaannya penuntut umum tidak
menyebutkan atau tidak memberikan keterangan mengenai umur dari saksi
korban. Mengenai baik tingkah lakunya saksi korban merupakan seseorang yang
belum dewasa dan bukan merupakan pelacur seperti yang dikatakan oleh R.
Soesilo. Terdakwa mengaku bahwa saksi korban sudah tidak perawan lagi dengan
alasan pada saat dilakukan persetubuhan tidak terdapat darah yang keluar dari
lubang vagina milik saksi korban. Menurut Penulis pendarahan tidak selalu terjadi
pada perempuan setelah hubungan seksual yang pertama. Faktor yang
menyebabkan tidak keluarnya darah saat melakukan persetubuhan adalah apabila
cairan lubrikasi yang cukup, dan juga selaput dara dari perempuan umumnya
berbeda satu sama lain.
Selanjutnya, mengenai unsur melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia menurut fakta dipersidangan perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa bukanlah merupakan tindak pidana pencabulan
sebagaimana yang disebutkan dalam Visum et Repertum nomor : 183.04/49/Med,
tanggal 12 Maret 2018 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Honazaro
Marunduri, SPOG selaku dokter jaga/ruang kamar bersalin pada RSUD.
Gunungsitoli dengan hasil pemeriksaan saksi korban mengalami:
o Tinggi fundus ukuran 2 jari atas pusat;
o Tampak luka lama pada hampir semua daerah jalan lahir.
55

Kesimpulan: alat kelamin yang bersangkutan pernah dimasuki oleh benda tumpul.
Pengertian dari tinggi fundus tersebut adalah titik tertinggi, sedangkan uteri
berarti rahim, jadi tinggi fundus uteri adalah titik tertinggi dari rahim, tujuan dari
pengukuran tinggi fundus adalah untuk menghitung usia kehamilan dan mengukur
perkembangan dan pertumbuhan janin. Menurut fakta dipersidangan saksi yang
merupakan ayah dari saksi korban mengaku bahwa anaknya sudah hamil tua
berumur 7 (tujuh) bulan. Dalam hal ini, dapat diketahui terdakwa melakukan
tindak pidana persetubuhan bukan pencabulan. Menurut Arrest Hooge Raad
menyatakan bahwa adanya persetubuhan antara anggota kelamin laki – laki dan
perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi kelamin laki-laki
harus masuk ke kelamin perempuan hingga mengeluarkan air mani. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Dalam hal ini penuntut umum penuntut umum tidak tepat dalam membuat surat
dakwaan yang mendakwa terdakwa melakukan perbuatan cabul.
Dengan begitu seharusnya unsur dengan penyesatan sengaja menggerakan
seseorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum
kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya tersebut tidak
terpenuhi.
Uraian hakim dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst dalam
menguraikan unsur ketiga Pasal 293 (1) KUHP dirasa tidak dapat membuktikan
mengenai isi dari unsur tersebut. Apabila dilihat dalam Putusan Nomor
92/Pid.B/2018/PN Gst maka dapat diketahui bahwa hakim dalam menjelaskan
unsur ketiga terkesan copy paste terhadap unsur keduanya. Dalam putusannya
ternyata hakim dalam mengartikan unsurnya sama padahal dalam setiap unsur
pasti memiliki makna yang berbeda. Hal ini terlihat bahwa dalam pertimbangan
yang dibuat oleh hakim tentang pemenuhan unsur antara unsur kedua dan ketiga
sama.
Dari penjelasan diatas maka Penulis tidak sependapat dengan
pertimbangan hakim, karena dalam pertimbangan unsur ketiga hakim tidak
menguraikan unsur ketiga dengan tepat dan cermat, karena dalam uraian unsur
ketiga hakim kembali menjelaskan perbuatan terdakwa yang berdasar atas unsur

§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Y.A. Triana Ohoiwutun, Op.Cit, hlm. 52
56

kedua dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP. Hakim dalam membuat pertimbangannya
haruslah menjelaskan tiap unsur yang ada dalam pasal yang didakwakan. Dari
uraian diatas penulis menemukan bahwa dalam penafsiran ketiga unsur pokok
yang terdapat dalam pasal 293 ayat (1) KUHP antara unsur pasal kedua dan ketiga
adalah sama, dimana sudah jelas bahwa antara unsur-unsur tersebut memiliki
makna yang sangat berbeda. Unsur pasal yang terbukti dalam putusan ini adalah
unsur pertama dan kedua dimana unsur pertama yaitu barang siapa yaitu terdakwa
yang bertempat tinggal di Dusun 1 Desa Siotabanua Kecamatan Bawolato
Kabupaten Nias dan bekerja sebagai petani/pekebun. Unsur kedua yaitu memberi
atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari
hubungan keadaan disini terdakwa memberi uang sebesar Rp. 50.000,- kepada
korban agar korban tidak menceritakan hal tersebut terhadap siapapun. Sedangkan
pada unsur ketiga yang berbunyi dengan penyesatan sengaja menggerakan
seseorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum
kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya hakim tidak
menjelaskannya secara rinci, namun hanya didapati kemiripan penjelasan dengan
penjelasan unsur kedua. Maka dalam hal ini hakim dalam membuktikan unsur-
unsur dalam pasal tersebut tidak dibuktikan secara jelas dan detail dan membuat
putusan ini tidak tepat untuk putusan yang berkeadilan.
Sebelum memberikan putusannya hakim juga harus dapat membuktikan
semua unsur yang ada dalam pasal yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Apabila
salah satu dari unsur tersebut tidak terbukti maka terdakwa tidak dapat dikenakan
dengan pasal tersebut. Dalam memberikan putusan, hakim harus memberikan
pertimbangan-pertimbangannya. Pertimbangan-pertimbangan itu bisa memuat
unsur-unsur dari pasal tersebut, sehingga ketika hakim menyatakan seseorang
bersalah maka hakim harus membuktikan bahwa unsur yang dikenakan terhadap
terdakwa itu benar. Mengacu pada pendapat Lilik Mulyadi yang menyatakan
bahwa dalam putusan hakim, suatu tanggapan dan pertimbangan tersebut dibuat
detail, terperinci dan substansial terhadap kasus pembuktian yang pelik, dimana
terdakwa atau penasihat hukum tidak sependapat dengan tuntutan pidana atau juga
menurut pertimbangan majelis hakim fakta-fakta yang diungkapkan dalam
57

persidangan tidak sesuai dengan tuntutan pidana dan sebagainya. Dapat dilihat
bahwa dalam putusan ini, fakta-fakta yang diungkapkan dalam persidangan tidak
sesuai dengan tuntutan pidana dimana dalam fakta persidangan dapat diketahui
bahwa unsur pokok ketiga dari pasal tersebut tidak terpenuhi karena terdakwa
bukan melakukan tindak pidana pencabulan melainkan persetubuhan terhadap
seseorang yang belum dewasa.
Pasal 197 KUHAP menjelaskan mengenai syarat pemidanaan, dimana
dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP mengatur mengenai pertimbangan
hakim yang diharuskan untuk tersusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi
dasar penentuan kesalahan terdakwa, yang dimaksud dengan “fakta dan keadaan”
disini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan disidang oleh pihak
dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum
dan saksi korban.
Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, bahwa cara hakim dalam
menguraikan unsur-unsur dari perbuatan terdakwa dalam Putusan Nomor
92/Pid.B/2018/PN. Gst tidak sesuai dengan fakta persidangan. Ketidaksesuaian
tersebut terkait dengan cara hakim dalam menguraikan unsur-unsur dari pasal
yang dikenakan terhadap terdakwa. Seharusnya dalam hal ini hakim harus lebih
cermat dan teliti dalam mnguraikan unsur-unsur dari pasal tersebut, meskipun
hakim dalam pemeriksaan serta memutus perkara pidana bebas dalam melakukan
penilaiannya namun penilaian tersebut haruslah berdasar pada fakta-fakta
dipersidangan dan surat dakwaan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan


skripsi yang berjudul Tindak Pidana Kesusilaan Terhadap Seseorang Yang Belum
Dewasa Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Anak Putusan Nomor
92/Pid.B/PN. Gst, atas keseluruhan penulisan yang dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut:

1. Surat dakwaan dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst yang


disusun oleh penuntut umum dengan menggunakan Pasal 293 ayat (1)
KUHP berdasar atas analisis penulis tidak tepat, karena penuntut umum
dalam membuat surat dakwaan tidak memperhatikan suatu aturan hukum
yakni asas yang menyatakan lex specialis derogat legi generalis, padahal
perkara tersebut terjadi pada tahun 2018 dimana dalam tahun 2002 telah
disahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. Apabila terjadi perbenturan norma undang-undang maka yang
digunakan adalah undang-undang yang mengatur secara khusus sesuai
dengan Pasal 63 ayat (2) KUHP.
2. Pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 92/Pid.B/2018/PN. Gst tidak
tepat, karena tidak menguraikan unsur ketiga dengan tepat dan cermat,
dimana dalam uraian unsur ketiga hakim kembali menjelaskan perbuatan
terdakwa yang berdasar atas unsur kedua dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP.
Hakim dalam membuat pertimbangannya haruslah menjelaskan tiap unsur
yang ada dalam pasal yang didakwakan sesuai dengan ketentuan Pasal 197
ayat (1) huruf d KUHAP.

58
59

4.2 Saran

Berdasarkan uraian pada bab pembahasan dan kesimpulan, maka penulis


dapat memberikan saran sebagai berikut:

1. Penuntut umum yang berwewenang dalam membuat surat dakwaan


semestinya dilakukan dengan memperhatikan aturan hukum yang
menyatakan keberadaan asas lex specialis derogat legi generalis
dimana asas tersebut diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP dan
menjelaskan bahwa aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang
umum. Penuntut umum juga harus memperhatikan Pasal 143 KUHAP,
dimana dalam pasal tersebut menjelaskan tentang sahnya surat
dakwaan dimana surat dakwaan harus dibuat secara cermat, jelas dan
lengkap.
2. Hakim dalam menjatuhkan Putusan terhadap terdakwa haruslah
melihat dan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan agar dalam penjatuhan putusan memiliki nilai keadilan
sebagai tujuan dari hukum itu sendiri sesuai dengan Pasal 197 Ayat (1)
huruf d KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Adam Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
_____________, 2014, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
____________, 2018, Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana,
Malang: Bayumedia Publising.
Andi Hamzah, 2016, Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: PT.
Alumni.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka.
Eddy Os Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka
Hasan Alwi, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Lamintang, S.H., 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika
Leden Marpaung, 2008. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah
Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafiika
______________, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana di Kepenuntut
umuman dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi, Edisi Kedua,
Jakarta: Sinar Grafika
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti
____________, 2014, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Moeljatno, 2008, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
M.Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Edisi Kedua. Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika
_______________, 2014, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika.
Paul SinlaEloE, 2015, Memahami Surat Dakwaan, Nusa Tenggara Timur:
Perkumpulan Perkembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana.
___________________, 2016, Penelitian Hukum (edisi revisi cetakan ke 12),
Jakarta: Kencana.
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
R. Soesilo, 1995, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar – Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.
R. Wiyono, 2016, Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.
Soedarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto (Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro)
Sorjono Soekanto, 1980, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: CV.
Rajawali
Y.A. Triana Ohoiwutun, 2016, Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Depensi
Hukum Pada Ilmu Kedokteran, Yogyakarta: Pohon Cahaya
Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika

B. Peraturan Perundang – Undangan


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

C. Jurnal
Agustina Shinta, 2015, “Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
dalam Sistem Peradilan Pidana”, MMH Jilid 4 No. 4., hlm. 503-510
Firgie Lumingkewas, 2016, Tindak Pidana Kesusilaan dalam KUHP dan RUU
KUHP Serta Persoalan Keberpihakan Terhadap Perempuan, Vol.V No. 1.,
hlm. 21-27

Anda mungkin juga menyukai