Anda di halaman 1dari 72

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,

RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PROSTITUSI


MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

DIMAS ADAM KASTURI


NIM. RRB10016296

JAMBI
2022
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Jambi maupun di
perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Pembimbing Skripsi.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai calon acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan ketidakbenaran dalam penulisan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku di perguruan tinggi ini.

Jambi, 4 Juli 2022


Yang membuat pernyataan

DIMAS ADAM KASTURI


RRB10016296

i
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: 1)Untuk mengetahui proses penyidikan tindak pidana


prostitusi melalui media elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi. 2)Untuk
mengetahui kendala yang dihadapi dalam proses penyidikan perkara tindak pidana
prostitusi melalui media elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi. Rumusan
masalah diteliti: 1)Bagaimana Proses Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Melalui
Media Elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi? 2)Apakah Kendala yang dihadapi
dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Elektronik di
Wilayah Hukum Polda Jambi? Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian
Empiris. Hasil Penelitian menunjukkan pertama Bahwa Penyidikan tindak pidana
prostitusi melalui media elektronik masih belum berjalan sebagaimana mestinya
karena proses administratif seperti penangkapan, penahanan, dan penyitaan barang
bukti akibatnya proses penyidikannya berbelit belit memakan waktu lama dan
melakukan penyidikan hanya jika pelakunya sudah jelas identitasnya saja. Sangat
banyak kasus hanya terhenti sampai tingkat penyidikan saja, tentunya ini jalan untuk
pelanggar untuk bebas tanpa hukuman apapun. Kedua dibutuhkan tenaga ahli yang
lebih dari satu orang karena tidak tersedianya tenaga ahli yang menguasai teknologi
dan informasi, sarana dan prasarana yang mendukung proses investigasi, pengetahuan
penyidik terhadap kejahatan dunia maya mengakibatkan kekurangan personel
dibandingkan dengan jumlah kasus kejahatan dunia maya yang terjadi, serta belum
optimalnya kesadaran hukum masyarakat. Saran: Penegakan hukum terhadap tindak
pidana prostitusi melalui media elektronik seharusnya di lakukan dengan cara yang
lebih intensif dan teliti, karna proses penyidikannya sulit dilakukan. Diharapkan
kepada pemerintah agar menyediakan alat dan teknologi yang lebih memadai untuk
mempermudah proses penyelidikan dan penyidikan dalam kasus tindak pidana
prostitusi melalui media elektronik.

Kata Kunci: Proses Penydikan, Tindak Pidana, Prostitusi, Media Elektronik

ii
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,
RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM

PERSETUJUAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Dimas Adam Kasturi

Nomor Mahasiswa : RRB10016296

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Judul Skripsi : Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi

Melalui Media Elektronik

Telah Disetujui Oleh Pembimbing Pada Tanggal Seperti Tertera dibawah ini
dan Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Jambi

Jambi, 4 Juli 2022


Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. H. Usman, S.H., M.H. Yulia Monita, S.H., M.H.


NIP. 196405031990031004 NIP. 197407052006042001

iii
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,
RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM

PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : DIMAS ADAM KASTURI
Nomor Mahasiswa : RRB10016296
Program Kekhususan : Hukum Pidana
Judul Skripsi : Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Melalui
Media Elektronik

Skripsi ini telah dipertahankan d ihadapan Tim Penguji Skripsi


Fakultas Huku m Universitas Jambi Pada Tanggal 4 Juli 2022
dan dinyatakan LULUS

TIM PENGUJI
NAMA JABATAN TANDA TANGAN
Dr. Sahuri L, S.H., M.Hum Ketua Tim Penguji

Dr. Erwin, S.H., M.H. Sekretaris

Hj. Andi Najemi, S.H., M.H. Penguji Utama

Dr. H. Usman, S.H., M.H. Anggota

Yulia Monita, S.H., M.H. Anggota

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jambi

Dr. H. USMAN, S.H., M.H.


NIP. 196405031990031004

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penyidikan Tindak Pidana

Prostitusi Melalui Media elektronik”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu terutama kepada yang terhormat:

1. Dr. H. Usman, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi Utama dan Yulia

Monita, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi Kedua, yang telah banyak

memberikan bimbingan serta petunjuk dalam penulisan penyusunan skripsi ini;

2. Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc.,Ph.D, Rektor Universitas Jambi yang telah

memberi fasilitas kepada Penulis selama masa perkuliahan dan penyusunan

tugas akhir ini;

3. Dr. H. Usman, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi

yang telah memfasilitasi Penulis selama proses perkuliahan dan penyusunan

tugas akhir skripsi ini;

4. Dr. Hj. Muskibah, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,

Kerjasama, dan Sistem Informasi Fakultas Hukum Universitas Jambi, yang

telah banyak memberikan bantuan dalam administrasi akademik selama proses

perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini;

5. Umar Hasan, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Umum, Perencanaan

dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah memberi fasilitas

selama dalam pendidikan;

v
6. Dr. A. Zarkasi, S.H., M.H., selaku Wakli Dekan Bidang Kemahasiswaan dan

Alumni Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah memfasilitasi dalam

kegiataan kemahasiswaan;

7. Dr. Elly Sudarti, S.H., M.H., selaku Ketua dan Dheny Wahyudi, S.H., MH.,

selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi,

yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan kepada Penulis dalam

persetujuan skripsi hingga pada penyusunan tugas akhir skripsi ini;

8. Hj. Netty S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah

membimbing Penulis mengenai studi dan berbagai persyaratan akademik;

9. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Jambi yang memberikan

ilmu selama mengikuti studi di Fakultas Hukum Universitas Jambi;

10. Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah banyak

membantu dalam proses administrasi selama Penulis menuntut ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Jambi;

11. Terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua Penulis, Bapak Mahbut

Junaidi S.E., dan Ibu Rosmila serta Adik Penulis M. Fariz Fahreza yang

menjadi penyemangat bagi Penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas

Hukum Universitas Jambi begitu juga dengan doa, dukungan, dan nasehat;

12. Kepada rekan-rekan penulis yang telah banyak membantu, baik itu dari segi

moril maupun materiil hingga terselesaikannya skripsi.

vi
Penulis mengharapkan saran dan kritiknya untuk penyempurnaan skripsi

ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Jambi, 4 Juli 2022

Dimas Adam Kasturi

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................


PERNYATAAN .............................................................................................. i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
PERSETUJUAN SKRIPSI ............................................................................ iii
PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 12
D. Kerangka Konseptual .................................................................. 13
E. Landasan Teoritis ........................................................................ 16
F. Metode Penelitian ....................................................................... 21
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN DAN


TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA
ELEKTRONIK

A. Penyidikan .................................................................................. 26
1. Penyidikan Tindak Pidana...................................................... 26
2. Upaya Paksa Dalam Penyidikan ............................................ 31
3. Berakhirnya Penyidikan ......................................................... 37
B. Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Elektronik................... 39
1. Tindak Pidana......................................................................... 39
2. Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Elektronik .............. 43

BAB III PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PROSTITUSI


MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DI WILAYAH
HUKUM POLDA JAMBI

A. Proses Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media


Elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi ............................... 47
B. Kendala Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi
Melalui Media Elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi....... 53

viii
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 58
B. Saran ........................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 60

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan

atau moral dan melawan hukum. Perbuatan prostitusi merupakan salah satu

bentuk penyimpangan sosial yang sudah dilakukan sejak dahulu kala. Prostitusi

merupakan peristiwa penjualan diri dengan memperjual belikan badan dan

kehormatan kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan

suatu imbalan pembayaran.1

Masalah prostitusi adalah masalah yang rumit, oleh karena itu masalah

ini sangat butuh perhatian khusus oleh masyarakat. Prostitusi, bisnis yang tidak

dapat dipisahkan dari dunia gelap adalah salah satu perbuatan yang

menghasilkan uang dengan cepat tidak memerlukan modal banyak, hanya

dengan beberapa tubuh yang bersedia dibisniskan.

Prostitusi tidak hanya berdampak pada yang melakukannya yaitu

pelaku dan pengguna jasa, tetapi juga berdampak pada masyarakat luas.

Prostitusi bahkan berbahaya bagi kehidupan rumah tangga yang terjalin

sehingga dapat berujung pada tindak pidana, kejahatan dan sebagainya. Agama

sebagai salah satu pedoman dalam hidup sama sekali tidak dihiraukan oleh

mereka yang terlibat di dalam praktik prostitusi ini dan benar-benar merupakan

perbuatan yang dilarang oleh agama.2

1
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1981, hlm. 200-201.
2
Terence H, Hull, Endang Sulistianingsih, Gavin W.Jones, Pelacuran di Indonesia,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hlm. 3.

1
2

Pelacuran bukan hanya gejala individu akan tetapi sudah menjadi gejala

sosial dari penyimpangan seksualitas yang normal dan juga agama. Prostitusi

selalu ada pada semua negara sejak zaman purba sampai sekarang dan

senantiasa menjadi obyek urusan hukum baik hukum positif maupun hukum

agama dan tradisi karena perkembangan teknologi, industri, kebudayaan

manusia turut berkembang pula prostitusi dalam berbagai bentuk dan

tingkatnya.3

Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut hukum islam berbeda

dengan sistem barat. Dalam hukum islam, setiap hubungan seksual yang

dilakukan diluar pernikahan itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang yang

telah berkeluarga maupun belum berkeluarga, meskipun dilakukan rela sama

rela tetap dikategorikan tindak pidana.4

Tindakan prostitusi melalui media elektronik atau prostitusi online

sampai saat ini sedang ramai diperbincangkan secara lokal. Praktik prostitusi

berbasis web ini menjadikan seseorang sebagai barang untuk dipertukarkan

melalui media elektronik atau online. Media-media online yang digunakan

dalam praktik prostitusi yaitu Website, MiChat, Twitter, Facebook dll.

Prostitusi online dilakukan karena lebih mudah, praktis, dan lebih aman dari

razia petugas. Maka dari itu praktik prostitusi online saat ini sering terdengar

dan kita lihat di berita-berita. Tindakan penyimpangan seperti ini biasanya di

3
Kartini Kartono, Op. Cit. hlm. 241.
4
Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau
Dari Hukum Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm. 15.
3

dorong atau di motivasi oleh dorongan pemenuhan kebutuhan hidup yang

relatif sulit di penuhi.

Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) melarang mereka yang

mempunyai profesi sebagai penyedia sarana dan mereka yang mempunyai

profesi sebagai penyedia sarana dan mereka yang mempunyai profesi sebagai

pekerja seks komersial (PSK) serta mucikari atau pelindung PSK (Pasal 296

KUHP). Mereka yang menjual perempuan dan laki-laki dibawah umur untuk

dijadikan pelacur (Pasal 297 KUHP). Barang siapa menarik keuntungan dari

perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur,

diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun (Pasal 506).

Perbuatan mengenai praktik prostitusi diatur oleh pasal 4 ayat 2 huruf d

Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Dan Pornoaksi yang

menyatakan

“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang menawarkan

atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual”.

Kejahatan praktik prostitusi yang dilakukan melalui media elektronik

internet juga di atur oleh pasal 27 angka 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa

“Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmiskan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu
milliar rupiah”.
Untuk itulah perlu dilakukan tinjauan terhadap kejahatan prostitusi

melalui media elektronik komunikasi, agar kemudian dapat ditemukan solusi


4

efektif dalam meminimalisir, menanggulangi dan memberantas tindakan-

tindakan negatif atas kejahatan prostitusi. Agar terciptanya kehidupan yang

sebagaimana mestinya, dengan dijamin keamanan, merasa tentram, damai dan

sehat. Dapat menjalankan pekerjaan halal yang memberikan keuntungan bagi

diri sendiri dan orang lain tanpa menimbulkan efek negatif (tidak merugikan

orang lain). Memiliki kualitas pendidikan yang tinggi sehingga dapat dianggap

oleh orang lain, bangsa dan dunia. Masyarakat yang berkepribadian baik dan

berakhlak mulia serta mampu mengharumkan nama baik keluarga, bangsa dan

negara.

Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengkategorikan sebuah substansi sebagai

pornografi berdasarkan adanya pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan

tidak menjabarkannya ke dalam kategori yang lebih rinci. Norma kesusilaan

merupakan aturan yang menjadi acuan penentuan baik buruknya suatu

perbuatan. Norma tersebut berasal dari manusia sendiri, sehingga tidak terbatas

pada sikap lahir namun juga sikap batin manusia, yang kemudian hidup dan

berkembang di dalam masyarakat. Di dalam pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun

2008, suatu perbuatan atau obyek dapat dipandang sebagai suatu perbuatan

pornografi jika melanggar satu ukuran standar, norma kesusilaan. Norma

kesusilaan ini ternyata menjadi batu uji bagi perbuatan atau segala bentuk

obyek yang dianggap memiliki unsur pornografi. Hanya saja permasalahannya,

UU No. 44 Tahun 2008 tidak menjelaskan dengan jelas dan tegas apakah yang

disebut norma kesusilaan itu sendiri dan bagaimana menentukan ada atau

tidaknya perbuatan pornografi terkait dengan penerapan norma kesusilaan itu

sendiri. Pemahaman akan norma kesusilaan ini begitu penting dan mendesak
5

bagi siapa pun juga mengingat akhir-akhir ini suatu batasan perbuatan itu

melanggar norma kesusilaan atau tidak bagi satu orang dengan orang lain

ternyata tidak sama. Pembahasan akan norma kesusilaan ini harus dilakukan

secara komprehensif melalui pendekatan filosofis-teoritis dengan tidak

melupakan sisi histories yaitu konteks dimana masyarakat itu berada.

Pemahaman akan norma kesusilaan secara tepat akan memberikan satu dasar

legalitas yang pasti tentang sejauh mana norma kesusilaan itu mengatur.5

Jika dianalisa, maka aturan dalam KUHP hanya dapat digunakan untuk

menjerat penyedia tempat untuk pelacuran sedangkan ketentuan yang dapat

digunakan untuk menjerat pelaku (PSK atau pemakai jasa PSK). Namun

demikian, ada yang perlu dicermati di sini bahwa arti prostitusi adalah

pemanfaatan seseorang dalam aktifitas seks untuk suatu imbalan. Dari uraian

itu, maka prostitusi baik yang berbasis online maupun tidak, bertentang dengan

pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP. Jika dilihat tindakan para mucikari dan

mengacu kepada pandangan Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya yang

berjudul “Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”, maka perdagangan perempuan

harus diartikan sebagai semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk

menempatkan seorang perempuan dalam keadaan tergantung dari kemauan

orang lain, yang ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan

perbuatan-perbuatan cabul atau prostitusi dengan orang ketiga.

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa melakukan perbuatan-

perbuatan cabul atau prostitusi dan memudahkan perbuatan tersebut terjadi

5
https://www.researchgate.net/publication/292610641_Norma_Kesusilaan_sebagai_Batas
an_Pornografi_menurut_UU_No_44_Tahun_2008 , diakes tanggal 6 Juli 2022
6

sangat bertentangan dengan pasal-pasal dalam KUHP. Kenyataan ini semakin

menjadi lebih kuat lagi apabila dilihat dari penempatan pasal-pasal tersebut

pada buku ke dua KUHP tentang Kejahatan yang menegaskan maksimal sanksi

pidananya.6

Sebuah kasus seperti prostitusi melalui media elektronik merupakan

suatu permasalahan dalam sosiologis masyarakat yang bertentangan dengan

Pancasila yang sangat menjunjung tinggi norma serta nilai adat istiadat. Maka

jika perbuatan prostitusi itu menjalar dan merugikan masyarakat dalam hal ini

negara baik secara materil atas perbuatan itu memberikan sanksi hukum, tetapi

pengaturan hukum terhadap pelaku prostitusi melalui media elektronik tidak

jelas.7

Dalam hal ini masyarakat dituntut untuk lebih menghormati norma dan

nilai yang terdapat di kehidupan masyarakat karena masalah prostitusi melalui

media elektronik ini dapat menghancurkan masa depan bangsa seperti adanya

kasus yang ditemukan dengan pelaku penyedia jasa prostitusi melalui media

elektronik yang masih remaja dan kurang tegasnya peraturan perundang-

undangan yang dipergunakan untuk menjerat pelaku penyedia jasa prostitusi

melalui media elektronik.

Dalam konstitusi, Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara

hukum, Indonesia wajib melindungi setiap warga negaranya dari setiap

perbuatan yang dapat merugikan apalagi perbuatan tersebut dapat merusak

6
Oksidelfa Yanto, “Prostitusi Sebagai Kejahatan Terhadap Eksploitasi Anak Yang Bersifat
Ilegal Dan Melawan Hak Asasi Manusia”, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, 2015,
hlm. 14 https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/420/300
7
Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 2007, hlm. 3.
7

tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya kejahatan yang

terjadi di media internet atau biasa disebut dengan cybercrime.8

Mengenai penyidikan dalam KUHAP, pengertian penyidikan adalah

sebagai rangkaian tindakan penyidik menurut dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti yang

dengannya alat bukti itu menerangkan tentang tindak pidana yang terjadi dan

dalam perintah untuk menemukan tersangka. Sebagaimana telah dijelaskan

dalam pembahasan ketentuan umum, Pasal 1 angka 1 dan 2 merumuskan

pengertian penyidikan yang menyatakan bahwa penyidik adalah polisi atau

pegawai negeri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.9

Mengenai pengaturan tentang penyidikan perkara pidana informasi

Pasal 42 Undang-Undang ITE memberikan penegasan bahwa tata cara

penyidikan yang berlaku dalam Undang-Undang ITE adalah penyidikan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981, selanjutnya disebut KUHAP) ditambah dengan

ketentuan lain yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ITE.

Pengaturan ini pada dasarnya menunjukkan bahwa KUHAP masih menjadi

dasar penanganan perkara pidana informasi dan transaksi elektronik sepanjang

tidak merumuskan adanya pengaturan khusus. Berdasarkan hal tersebut maka

penyidikan tetap didasarkan pada Pasal 1 angka 2 KUHAP yang menyatakan

8
Dheny Wahyudi, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cyber Crime Di
Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4 No. 1, 2013, hlm. 99,
https://media.neliti.com/media/publications/43295-ID-perlindungan-hukum-terhadap-korban-
kejahatan-cyber-crime-di-indonesia.pdf
9
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyelidikan
dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 109.
8

bahwa, "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya".

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah

ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan Pasal 31

ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke dalam

undang-undang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan pencegahan

penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah

beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak

pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal

43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih

harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.

Penyidik sebagaimana kewajibannya mempunyai wewenang dalam

Pasal 7 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya


tindak pidana,
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
9

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;


g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penegak hukum yang bertugas dalam tahap penyidikan ini terdiri dari

pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu

yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan

penyidikan. Terkait dengan penyidik dalam perkara pidana informasi dan

transaksi elektronik ini Pasal 43 angka 1 Undang-Undang ITE memberikan

penegasan bahwa pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksudkan

adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu dilingkungan Pemerintah

yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik yang diberi wewenang melakukan penyidikan. PPNS

Pemerintah di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang

berwenang melakukan penyidikan dalam hal perbuatan pidana informasi dan

transaksi elektronik berada pada kewenangan Kementerian Komunikasi dan

Informatika dengan Unit Kerja Inspektorat Jenderal Kementerian Komunikasi

dan Informatika.10

Setelah penulis melakukan penelitian di Polda Jambi terdapat proses

penyidikan khususnya tindak pidana prostitusi melalui media elektronik,

ternyata ada kendala dalam proses penyidikan. Hal ini dapat dibuktikan dalam

2 (dua) tahun belakangan ini saja, tindak pidana prostitusi melalui media

10
Ibid, hlm. 120.
10

elektronik yang masuk ke Polda Jambi adalah sebagaimana terlihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel
Pengungkapan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media
Elektronik di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Kota Jambi Tahun
2021-2022
Tahun Jumlah Kasus Penyelesaian Kasus

2021 2 1

2022 3 2

Jumlah 5 3

Sumber: Kepolisan Negara Republik Indonesia Daerah Kota Jambi (Polda


Jambi)
Berdasarkan dari tabel di atas kasus tindak pidana prostitusi melalui

media elektronik pada tahun 2021 terdapat 2 (dua) kasus dan terdapat 1 (satu)

kasus terselesaikan serta 1 (satu) kasus tidak terselesaikan, kemudian pada

tahun 2022 terdapat 3 (tiga) kasus dan yang terselesaikan hanya 2 (kasus) serta

1 (satu) kasus tidak terselesaikan.

Kasus tindak pidana prostitusi melalui media elektronik bahwa terdapat

kendala di proses penyidikan, salah satu kendalanya ialah kurangnya Alat atau

teknologi yang memadai. Dari tahun 2021 sampai 2022 terdapat Jumlah Tindak

Pidana 5 (lima) kasus tetapi penyidik di dalam melakukan penyidikannya yang

bisa dilanjutkan proses selanjutnya hanya 3 (tiga) kasus terselesaikan, disini

penulis tertarik melakukan penelitian karena kendala apa yang dihadapi

penyidik dalam proses penyidikannya.

Dalam sebuah kasus tindak pidana prostitusi perlu adanya penyidikan

ketika tindak pidana tersebut terjadi, dalam melakukan proses penyidikan


11

jangka waktu penahanan sangat penting karena dapat membuat tersangka bebas

dari hukum yang dijelaskan pada Pasal 109 Ayat (2) KUHAP. Penyidikan

merupakan peran penting dalam mengumpulkan alat bukti yang terjadi untuk

menemukan tersangkanya. Apabila hasil penyidikan tidak cukup ditemukan

sekurang kurangnya dua alat bukti yang ditentukan undang-undang maka

kesalahan didakwakan kepada tersangka dibebaskan dari hukuman.

Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti

yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah dan

kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena pertimbangan bahwa

hukum dapat memberikan pidana kepada seseorang, maka hukum harus

digunakan secara berhati-hati, cermat, menilai dan mempertimbangkan nilai

pembuktian.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk

mengangkat masalah ini dengan menuangkan ke dalam bentuk penulisan

dengan mengambil judul “Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Melalui

Media Elektronik”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang

permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang

akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik?

2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses penyidikan tindak pidana

prostitusi melalui media elektronik?


12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Berlandaskan perumusan masalah di atas, tujuan penilitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses penyidikan tindak pidana prostitusi melalui

media elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi.

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam proses penyidikan

tindak pidana prostitusi melalui media elektronik.

b. Manfaat Penelitian

Sedangkan dari tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat menambah wawasan dan

ilmu pengetahuan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan

pada khususnya di bidang hukum pidana mengenai proses penyidikan

tindak pidana prostitusi melalui media elektronik. Selain itu penelitian ini

diharapkan dapat menjadi salah satu referensi atau bahan pustaka

menyangkut hal tersebut.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan penelitian ini membantu mengembangkan

penalaran dan pengetahuan penulis menjadi bentuk sumbangan pemikiran

penulis di bidang hukum bagi para ahli, praktisi hukum dan masyarakat

dalam rangka pengembangan dan penerapan hukum pidana.

D. Kerangka Konseptual
13

Untuk menghindari adanya salah penafsiran terhadap para pembaca,

harus diketahui terlebih dahulu pengertian dari judul tersebut terutama kata-

kata yang masih kabur pengertiannya untuk mengetahui kata yang ada dalam

judul tersebut maka penulis menjelaskan beberapa konsepsi yang berkaitan

dengan penulisan ini yaitu sebagai berikut :

1. Penyidikan

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana memberi defenisi penyidikan adalah

"Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya."

Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto,

menyidik (opsporing) berarti "pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat

yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan

jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi

sesuatu pelanggaran hukum."11

2. Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana atau yang biasa dikenal sebagai

"strafbaarfeit" yang artinya suatu kenyataan yang dapat di hukum, yang sudah

barang tentu tidak tepat, karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat

11
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2016, hlm. 120.
14

dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,

perbuatan atau tindakan.12

3. Prostitusi

Prostitusi (pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual

sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja. untuk imbalan berupa

uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah pembayaran,

promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional.13 Pelacuran atau prostitusi adalah

penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, untuk uang.

Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut

dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Di Indonesia pelacur sebagai

pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan

bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi

musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak

ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama

dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan

melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini

terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa.

Resiko yang dipaparkan pelacuran antara lain adalah keresahan masyarakat dan

penyebaran penyakit menularseksual, seperti AIDS yang merupakan resiko

umum seks bebas tanpa pengaman seperti kondom.14

12
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013, hlm. 181.
13
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010,
hlm. 159.
14
https://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran, diakses tanggal 16 Februari 2022.
15

Menurut Purnomo dan Siregar: Prostitusi, pelacuran atau persundalan

adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak lelaki dengan

imbalan pembayaran guna disetubuhi dan pemuas nafsu seks si pembayar, yang

ia lakukan diluar pernikahan.15

4. Melalui

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti

kata melalui adalah melewati. Arti lainnya dari melalui adalah menempuh

(jalan, ujian, percobaan, dan sebagainya).16

5. Media Elektronik

Media elektronik terdiri dari dua kata yaitu “media” dan “elektronik”

yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, media berarti sarana atau alat

berupa sarana komunikasi bagi masyarakat berupa koran, majalah, televisi,

siaran radio, telepon, internet dan sebagainya yang terletak diantara kedua

pihak sebagai perantara dan penghubung.17

Media elektronik berkembang seiring perkembangan dan teknologi dan

informasi Penyebarluasan informasi melalui media elektronik telah mengalami

perkembangan, hal tersebut didukung pula dengan perangkat dan media

elektronik itu sendiri dengan munculnya radio, televisi dan internet.

Perkembangan teknologi yang menghasilkan berbagai macam media

elektronik yang semakin tinggi dan memberikan kemudahan bagi masyarakat

15
Bagong Suyanto, Op. Cit, hlm. 159-160.
16
https://kbbi.lektur.id/melalui#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Ind
onesia,%2C%20percobaan%2C%20dan%20sebagainya) , diakses tanggal 16 Februari 2022
17
Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Agung media Mulia, 2009, hlm. 400.
16

untuk mendapatkan informasi. Perkembangannya melalu media online

internet.18

Dari pengertian konsep-konsep tersebut diatas maka dapat disimpulkan

bahwa penyidikan pengungkapan kasus tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik di wilayah hukum polda jambi.

E. Landasan Teoretis

Penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.19 Tindakan penyidikan

merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-bukti awal untuk mencari

tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi-saksi yang

mengetahui tentang tindak pidana tersebut.

Jika dalam tindakan Penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan

mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai

tindak pidana, maka pada tindakan Penyidikan titik beratnya diletakkan pada

tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yan

ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat ditemukan pelakunya.

1. Teori Pembuktian

Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di

sidang pengadilan, karena melalui proses pembuktian dapat ditentukan nasib

18
http://elib.unikom.ac.id/ruang-lingkup-dan-penyelenggaraan-pers-di-indonesia, diakses
tanggal 16 Februari 2022.
19
Mukhlis R, “Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik POLRI dengan Perkembangan
Delik-Delik di Luar KUHP”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 3 No. 1, 2019, hlm. 57,
https://jih.ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/view/1040/1033
17

terdakwa apakah kesalahan terdakwa patut dihukum atau sebaliknya. Salah

satu cara membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah yakni dengan

menghadirkan saksi, dan keterangan yang diberikan saksi merupakan salah

satu alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.20

Sebelum disahkannya Undang-Undang tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, salah satu hal yang menjadi kendala dalam penanganan

praktik tindak pidana dunia maya ini adalah bahwa bukti-bukti berupa

software, data elektronik, atau data dalam bentuk elektronis (elektronik

evidence) lainnya yang belum dapat diterima sebagai alat bukti dalam hukum

Indonesia.

Sementara berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, maka hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat, dalam hal ini menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan

eksistensi alat bukti elektronik dalam menangani praktik tindak pidana dunia

maya terhadap transaksi elektronik. Sehingga jelas bahwa alat bukti elektronik

harus diakui keberadaannya dan kekuatan hukumnya. Pengaturan mengenai

eksistensi dan kekuatan hukum alat bukti elektronik harus dituangkan dalam

peraturan yang setingkat dengan undang-undang. Dalam hal ini adalah

20
Haryadi, Dessy Rakhmawati, Nadia Febriani, “Penanganan Saksi Mahkota (Kroo
ngetuige) dalam Pembuktian di Persidangan Terhadap Tindak Pidana Narkotika,” PAMPAS:
Journal Of Criminal, Vol 1 No. 2, 2020, hlm. 46, https://online-
journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9614/6398
18

Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tentu saja dengan

harapan peraturan ini dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.21

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam

perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana)

adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau

yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata (hukum

acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya hakim

tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang

berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup membuktikan

dengan "preponderance of evidence", sedangkan hakim pidana dalam mencari

kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable

doubt).22

Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah usaha dari yang

berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal

yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai

oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara

tersebut. Sedangkan menurut Darwan, bahwa pembuktian adalah pembuktian

bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakaukannya, sehingga harus mempertanggungjawab kannya.23

21
Sahuri Lasmadi, “Pengaturan Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Dunia Maya”, Journal
Fakultas Hukum, 2014, hlm. 2, https://www.neliti.com/publications/43274/pengaturan-alat-bukti-
dalam-tindak-pidana-dunia-maya
22
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Rangkang Education, Yogyakarta
2013, hlm. 241.
23
Ibid, hlm. 247.
19

Perbuatan melawan hukum di dunia maya (cyber crime) merupakan

fenomena yang sangat mengkhawatirkan, mengingat tindakan carding,

hacking, penipuan, terorisme, dan penyebaran informasi destruktif telah

menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan di dunia maya.24

2. Teori Penegakan Hukum

Menurut Wayne LaFavre yang dikutip dari buku Soerjono Soekanto

yang berjudul factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, bahwa

penegakan hukum sebagai suatu proses merupakan “penerapan diskresi yang

menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah

hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi atau diskresi yang

berada diantara hukum dan moral”.25 Gangguan terhadap penegakan hukum

mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai yang

berpasangan, menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola

perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Wayne

LaFavre, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)


b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum,
c. Faktor saran atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum,
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan,
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

24
Kabib Nawawi, Sahuri Lasmadi, Ardi Saputra Gulo, “Cyber Crime Dalam Bentuk Phising
Berdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, PAMPAS: Journal Of
Criminal, Vol 1 No. 2, 2020, hlm. 70, https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9574
25
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mmpengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 1983, hlm. 4.
20

Kelima faktor tersebut saling berkaitan, oleh karena merupakan esensi

dari penegakan hukum serta merupakan tolak ukur dari pada efektifitas

penegakan hukum.

Penegakan hukum di lapangan oleh Polri terdapat dua pilihan, yaitu

pilihan pertama, tindakan upaya paksa yang telah diatur secara rinci pasal demi

pasal sampai pelimpahan berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti

kepada penuntut umum sesuai proses hukum dalam Undang-undang Nomor 8

tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pilihan kedua, adalah tindakan atas

dasar pertimbangan atau keyakinan yang ditekankan pada moral pribadinya

dan kewajiban daripada hukum dan sesuai dengan tujuan bukum. Kadang-

kadang tindakan tersebut bertentangan dengan prosedur yang telah ditetapkan

dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tapi

dilindungi oleh peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tugas dan

wewenang Polri untuk mengadakan tindakan tersebut dalam memelihara

ketertiban masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia.

Menurut Goodhart, Penegakan Hukum (Law Enforcement) merupakan

penegakan sistem nilai (jiwa) yang ada di belakang norma secara menyeluruh.

Diskresi dalam penegakan hukum yang aktual akan berdampak negatif apabila

tidak dipantau dengan baik den dijadiken masukan dalam pembaruan hukum

(law reform). Ketentuan hukum tidak hanya merupakan perangkat norma,

tetapi merupakan instrumen keadilan yang sarat dengan nilai-nilai hak-hak

asasi manusia.

Di lain pihak, menurut Soerjono Soekanto. Secara konsepsional,

penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai


21

yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan

sikap lindak sebaga, rangkaian penjabaran milai tahap akhir, untik menciptakan

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang

mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut

sehingga akan tampak lebih konkrit.26

F. Metode Penelitian

Untuk mengetahui dan memahami secara terperinci metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, berikut penulis uraikan tentang

metode dalam penelitian skripsi ini :

1. Lokasi penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di wilayah

hukum Polda Jambi.

2. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian

yang dilakukan terhadap fakta hukum yang ada dengan melakukan

penelitian secara langsung ke lapangan untuk mengetahui pelaksanaan dan

masalah-masalah yang timbul.27

Menurut Bahder Johan Nasution, pengertian empiris yaitu bahwa di

dalam mengadakan pendekatan dilakukan dengan melihat kenyataan yang

ada dalam praktik. Penelitian ini berarti mengetahui sejauh mana hukum itu

bekerja dalam masyarakat.28

26
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum, Jakarta, Makalah Pada
Seminar Hukum Nasional ke-IV, 1979.
27
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 141.
28
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung,
2008, hlm. 126.
22

3. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang akan diteliti maka spesifikasi

penelitian ini adalah deskriptif analitis yakni dengan menggambarkan dan

menguraikan secara detail fakta-fakta dalam tinjauan kejahatan prostitusi

melalui media elektronik di polda jambi.

Berdasarkan sifat dan tujuan penelitian, penulisan skripsi ini

menggunakan penelitian hukum deskriptif yaitu berupa pemaparan yang

bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap tentang keadaan hukum

yang berlaku atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

4. Populasi dan sampel penelitian

a) Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau

subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari kesimpulannya.

Adapun populasi dalam penelitian ini yaitu aparat kepolisian selaku

penyidik.

b) Sampel

Adapun sampel dalam penelitian ini diambil dari jumlah popolasi

dengan menggunakan teknik penarikan sampel Proposive Sampel.

Sebagaimana dikatakan oleh Bahder Johan Nasution:

Proposive sample artinya memilih sampel berdasarkan penilaian


tertentu karena unsur-unsur atau unit-unit yang dipilih dianggap
mewakili populasi. Pemilihan terhadap unsur-unsur atau unit-unit
yang dijadikan sampel harus berdasarkan pada alasan yang logis
artinya dalam pengambilan sampel tersebut benar-benar
mencerminkan ciri-ciri populasi yang ditentukan. Ciri atau karakter
tersebut diperoleh berdasarkan pengetahuan atau informasi yang
23

telah dicermati sebelumnya. Ciri-ciri ini dapat berupa pengetahuan,


pengalaman, pekerjaan, dan atau jabatan yang sama.29

Berdasarkan pendapat diatas sampel dalam penelitian ini yaitu:

1) 2 (dua) orang penyidik Ditreskrimsus Polda Jambi

5. Teknik Pengumpulan data

Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap. Hal ini dimaksud

agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan

realibitas yang cukup tinggi. Teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini dengan teknik sebagai berikut:

a. Studi Lapangan

Pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke lapangan pada

obyek penelitian untuk mengadakan penelitian secara langsung. Hal ini

dimaksud untuk mendapatkan data yang valid dengan pengamatan

langsung dan wawancara. Dalam penelitian hukum ini penulis

menggunakan metode wawancara. Wawancara dilakukan terhadap

Penyidik Polda Jambi. Dalam pelaksanaan wawancara sebelumnya

dibuat pedoman dan daftar pertanyaan lebih dahulu, sehingga hasil

wawancara relevan dengan masalah yang diteliti.

b. Studi Kepustakaan

Pengumpulan data dengan menghimpun informasi yang relevan,

teori-teori yang mendasar dengan masalah yang sedang diteliti yang

diperoleh dari buku buku ilmiah, laporan peneltian, peraturan-peraturan.

29
Ibid, hlm. 159.
24

6. Sumber Data

a. Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui

penelitian di lapangan, berupa sejumlah informasi keterangan serta hal

yang berhubungan dengan obyek penelitian. Sumber data adalah tempat

ditemukan data. Sumber data primer adalah penulis akan melakukan

wawancara langsung dengan penyidik kepolisian.

b. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber bahan

kepustakaan yakni melalui literatur/buku-buku, dokumen-dokumen serta

peraturan-peraturan yang ada relevansinya dengan materi yang dibahas.

c. Data Tersier merupakan sumber hukum yang memberikan penjelasan

terhadap sumber data primer dan data sekunder, yaitu berupa Kamus

Hukum ( Law Dictionary).

7. Analisis Data

Setelah data terkumpul secara lengkap, maka tahap selanjutnya adalah

analisis data. Seluruh data yang terkumpul diolah sedemikian rupa sehingga

tercapai suatu kesimpulan. Mengingat data yang ada sifatnya beragam,

maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data

kualitatif. Analisis data kualitatif ini dapat dilakukan dengan

mengumpulkan data-data yang telah diperoleh, kemudian dihubungkan

dengan literatur-literatur yang ada atau teori yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti. Kemudian dicari pemecahannya dengan cara

menganalisa, yang pada akhirnya akan dicapai kesimpulan untuk

menentukan hasilnya.
25

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah merupakan uraian

tentang keterkaitan bab demi bab, yaitu :

BAB I Pendahuluan Pada bab ini isinya atas latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual,

landasan teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini menjadi

panduan untuk bab selanjutnya.

BAB II Tinjauan Pustaka Pada bab ini akan menguraikan tentang

pengertian kejahatan prostitusi melalui media elektronik. Bab ini merupakan

kerangka teori bagi bab selanjutnya.

Bab III Pembahasan Pada bab ini berisikan tentang pembahasan

proses penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media elektronik di Wilayah

Hukum Polda Jambi, kendala dalam proses penyidikan tindak pidana prostitusi

melalui media elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi. Bab ini merupakan

jawaban atas permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan.

BAB IV Kesimpulan Pada bab ini menguraikan tentang kesimpulan

dari bab pembahasan dan sekaligus memberikan saran yang berkenaan dengan

permasalahan yang dihadapi dalam penulisan skripsi ini. Kesimpulan

menguraikan pokok-pokok pembahasan dari skripsi yang ditulis sekaligus

jawaban tentang permasalahan yang diajukan dalam proposal skripsi ini serta

kritik dan saran yang diperlukan berkitan dengan skripsi ini.


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN DAN TINDAK PIDANA
PROSTITUSI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

A. Penyidikan

1. Penyidikan Tindak Pidana

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian

Opsporing (Belanda) dan Investigation (Inggris) atau penyiasatan KUHAP

memberi definisi penyidikan sebagai berikut:

Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya.30

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti

dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi

manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan

adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik


2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik
3. Pemeriksaan di tempat kejadian
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5. Penahanan Sementara
6. Penggeledahan
7. Pemeriksaan atau Interogasi
8. Berita Acara
9. Penyitaan
10. Penyampingan Perkara.31

30
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2016,
hlm. 120.
31
Ibid.,

26
27

Mengenai terjadinya delik dari empat kemungkinan yaitu sebagai

berikut:

1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP)


2. Karena Laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP)
3. Karena Pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP)
4.Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga
penyidik mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat
kabar, mendengar orang bercerita.32
Menurut Pasal 1 ke 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

POLRI, yang dimaksud dengan penyidikan adalah: "Penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti

itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya."

Isi pasal tersebut di atas sama dengan yang ditetapkan di dalam Pasal 1

ke 2 KUHAP. Dengan penjelasan lain bahwa penyidikan adalah:

Rangkaian aksi atau tindakan dari penegak hukum (POLRI) atau


pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu, yang dilakukan setelah
diketahui atau diduga terjadinya tindak pidana, guna mendapatkan
keterangan, bahan dan apa saja yang diharapkan dapat mengungkap
tentang apa yang telah terjadi dan siapa yang melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana tersebut. Pada pokoknya untuk menjamin
agar orang yang benar-benar terbukti melakukan tindak pidana dapat
dituntut di pengadilan dan dijatuhi pidana serta menjalani pidana yang
dijatuhkan tersebut.33

Maksud dari penyidik menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981

tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 1 butir (1)

adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri

32
Ibid., hlm. 121.
33
Coky T.N. Sinambela, Laurencius Rambe Manalu, Paingot Rambe Manalu, Hukum Acara
Pidana Dari Segi Pembelaan, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2010, hlm. 36.
28

Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan. Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 2

tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa

penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan yang

berhak menjadi penyidik menurut Pasal 2A Ayat (1) Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang pelaksanaan KUHAP

adalah: "Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-

kurangnya berpangkat Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah

sarjana strata satu atau yang setara".

Ketentuan di atas dengan pengecualian, jika disuatu tempat tidak ada

pejabat penyidik sebagaimana dimaksud maka Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia atau Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

ditunjuk karena jabatannya dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai

penyidik, hal tersebut sesuai dalam Pasal 2B Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan KUHAP. Penyidik dari

Polri yang berwenang melakukan penyidikan saat ini minimal harus seorang

Polisi dengan pangkat minimal Inspektur Dua Polisi (IPTU), sedangkan untuk

seorang Polisi yang sebagai penyidik pembantu berasal dari Bintara Polisi

dengan pangkat minimal Brigadir Polisi Dua (BRIPDA), Brigadir Polisi Satu

(BRIPTU), Brigadir atau Brigadir Kepala (BRIPKA) dengan syarat lulus

pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse criminal, bertugas

dibidang penyidikan paling singkat 2 tahun, sehat jasmani dan rohani dengan
29

dibuktikan surat keterangan Dokter serta memiliki kemampuan dan integritas

moral yang tinggi.34

Pada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk meringankan beban penyidik

juga telah diatur adanya penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan yang diberi

wewenang tertentu dalam melaksanakan tugas penyidikan yang diatur dalam

undang-undang.

Pejabat Penyidik Pembantu dalam KUHAP diatur dalam Pasal 10,

selanjutnya Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang

Pelaksanaan KUHAP menetukan bahwa :

1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik


Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse criminal;
c. bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
2) Pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan
masingmasing. Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia:
3) Wewenang Penyidik Pembantu ini hampir sama dengan penyidik
pada umumnya, kecuali pada kewenangan penahanan. Dalam hal
penahanan, penyidik pembantu harus menunggu terlebih dahulu
pelimpahan wewenang dari penyidik. Dalam pembuatan berita acara
dan berkas perkara yang tidak langsung diserahkan kepada penuntut

34
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 80.
30

umum, tetapi diserahkan kepada penyidik, kecuali dalam perkara


dengan pemeriksaan singkat.

Dalam melakukan pemeriksaan, seorang penyidik harus taat pada

standard operasional prosedur (SOP) disamping KUHAP, Peraturan

Pemerintah, ataupun Dalam Perkaba SOP tentang Pelaksanaan Penyidikan

Tahun 2014 terdapat beberapa prinsip dan azas yang menjadikan pedoman atau

petunjuk dalam melaksanakan pemeriksaan atau penyidikan, prinsip dan azas

tersebut dijelaskan dalam Pasal 3 Perkaba SOP Pelaksanaan Penyidikan Tahun

2014.

Prinsip dan azas dalam Pasal 3 Perkaba SOP Pelaksanaan Penyidikan

tahun 2014 tersebut adalah:

1) Akuntabel: mengutamakan akuntabilitas dalam penyidikan dengan


melibatkan pemangku kepentingan dan dapat
dipertanggungjawabkan;
2) Professional: meningkatkan kapasitas dan kemampuan penyidik
sehingga dapat memberikan pelayanan yang mudah, cepat dan
proporsional;
3) Responsif: meningkatkan kepekaan penyidik dalam menindak
lanjuti laporan masyarakat;
4) Transparan: proses dan hasil penyidikan di laksanakan secara terbuka
dan dapat di monitor dengan mudah oleh pihak yang berkepentingan
sehingga masyarakat dapat mengakses informasi seluas-luasnya dan
akurat;
5) Efisien dan efektif: pelaksanaan penyidikan berjalan dengan baik dan
mencapai sasaran yang di harapkan;
6) Dalam melaksanakan proses penyidikan, penyidik memperhatikan:
a. hak tersangka sesuai KUHAP;
b. hak pelapor dan pengadu;
c. hak saksi korban;
d. hak asasi manusia;
e. azas persamaan dimuka hukum;
f. azas praduga tak bersalah;
g. azas legalitas;
h. azas kepatutan, kecuali dalam hal diatur dalam undang-undang
lain;
31

i. memperhatikan etika profesi Kepolisian.35

Pasal dalam SOP tersebu mendeskripsikan kewajiban seorang penyidik

dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai penyidik dengan melihat

azas penugasan serta mengedepankan hak dari seseorang yang dijadikan

subyek dari pemeriksaan penyidikan untuk mencegah kesewenang-wenangan

dalam penyidikan.

2. Upaya Paksa Dalam Penyidikan

Dalam penyidikan yang dilakukan penyidik, dilakukan tindakan-

tindakan yang diatur dalam Bab V Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana sebagai berikut:

1. Penangkapan

Yang dimaksud dengan penangkapan berdasarkan Pasal 1 butir 20

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah "suatu tindakan penyidik

berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat

cukup bukti guna kepentingan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam Undang-undang ini". Selanjutnya dalam pasal 16 ayat (2) Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana ditentukan bahwa "untuk kepentingan

penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan

penangkapan".

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian

negara dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka

surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara

35
Ibid., hlm. 87.
32

yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya dan juga

tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus diberikan kepada keluarga

tersangka segera setelah penangkapan dilakukan.

Dalam hal tertangkap tangan atau tertangkapnya seseorang pada waktu

sedang melakukan tindak pidana atau dengan segala segera setelah beberapa

saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak

ramai sebagai orang yang melakukan atau apabila sesaat kemudian padanya

ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan

tindak pidana itu menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut serta

melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut. (Pasal 1 butir 19

KUHAP).36

Penangkapan dilakukan tanpa surat perintah penangkapan, dengan

ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tersangka beserta atau

tanpa barang bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.

Mengenai lamanya penangkapan, Pasal 19 Ayat (1) Kitab Undang

undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa penangkapan yang dilakukan

terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan

bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP) dapat dilakukan untuk paling

lama satu hari.

2. Penahanan

Pasal 1 butir 21 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Acara Pidana

menentukan bahwa penahanan adalah "penempatan tersangka di tempat

36
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana, BP, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995,
hlm. 6.
33

tertentu oleh penyidik dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini". Selanjutnya dalam Pasal 20 Ayat (1) Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana dijelaskan bahwa untuk kepentingan

penyidikan, penyidik penyidik pembantu atas perintals penyidik berwenang

melakukan penahanan.

Adapun yang menjadi alasan untuk dapat melakukan penahanan adalah

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 21 Ayat (2) Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana yaitu harus ada kekhawatiran bahwa tersangka atau

terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau

dan atau mengulangi tindak pidana yang dilakukan. Mengenai lamanya

penahanan dalam proses penyidikan adalah seperti diatur dalam Pasal 24 Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu perintah penahanan yang

diberikan oleh penyidik berlaku selama 20 hari, namun apabila diperlukan guna

kepentingan pemeriksaan yang belum selesai maka masa penahanan tersebut

dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang selama 40 hari.

Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan adalah

dua yaitu:

1. Syarat objektif ialah dasar penahanan yang ditinjau dari segi tindak
pidananya, yaitu tindak pidana apa saja yang dapat dikenakan
penahanan. Untuk itu telah ditetapkan dalam Pasal 21 Ayat (4)
KUHAP sebagai berikut:
a. tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5
tahun penjara atau lebih.
b. tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 Ayat (3). Pasal
296, Pasal 335 Ayat (1). Pasal 353 Ayat (1), Pasal 172, Pasal 378.
379 a. 453, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHP, Pasal 25
dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
Ordanansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatblad tahun
1931 Nomor 471), Pasal 1. Pasal 2 dan Pasal 4 Undang undang
Tindak Pidana imigrasi (Undang-undang Nomor & Drt. Tahun
34

1955, lembaran negara tahun 1955 Nomor 8). Pasal 36 Ayat (7).
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 23 Pasal 47 dan pasal 48 Undang-undang
9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
c. tindak pidana yang berupa percobaan maupun pemberian bantuan
dalam tindak pidana tersebut di atas
2. Syarat subjektif adalah alasan-alasan penahanan yang ditinjau dari
segi perlunya terangka atau terdakwa itu ditahan. Menurut Pasal 21
Ayat (1) KUHAP, perlunya tersangka atau terdakwa itu ditahan
karena adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa:
a. tersangka melarikan diri.
b. merusak atau menghilangkan barang bukti.
c. mengurangi tindak pidana.
Syarat subjektif ini bersifat alternatif, maksudnya tidak perlu
ketiga syarat dipenuhi, tetapi salah satu syarat saja sudah cukup.37

Di dalam proses penyidikan terdapat tiga jenis penahanan (Pasal 22

Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu:

a. Penahanan Rumah Tahanan Negara


Talah penahanan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka
tidak dikenal selama penyidikan di rumah tahanan negara, namun
apabila selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang
bersangkutan maka penahanan dilakukan di kantor kepolisian negara
setempat.
b. Penahanan Rumah
lalah penahanan dilakukan di rumah tempat tinggal atau rumah
kediaman tersangka atau terdakwa dengan pengawasan terhadapnya
untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam penyidikan.
c. Penahanan Kota lalah penahanan yang dilaksanakan di kota tempat
tinggal atau tempat kediaman tersangka dengan kewajiban bagi
tersangka melapor diri pada waktu yang ditentukan pada penyidik
yang bersangkutan.

3. Penggeledahan

Berdasarkan Pasal 1 butir 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana yang dimaksud dengan penggeledahan rumah adalah "tindakan

penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya

37
Ibid., hlm 50.
35

yang melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau

penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang

ini".

Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 18 Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan penggeledahan badan

adalah "tindakan penyidik untuk pemeriksaan badan atau pakaian tersangka

untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau di bawanya

serta, untuk disita. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan

penggeledahan rumah dan atau badan dan atau bahan pakaian menurut tata cara

yang ditentukan dalam Undang-undang ini".

Khusus untuk penggeledahan rumah, harus dengan surat izin Ketua

Pengadilan Negeri setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan

mendesak dimana patut dikhawatirkan tersangka segera melarikan diri atau

mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita khawatirkan segera

dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin Ketua Pengadilan Negeri

tidak mungkin diperoleh dengan cara layak dan dalam waktu singkat (Pasal 32

34 KUHAP).

4. Penyitaan

Pasal 1 butir 16 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah "serangkaian

tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah

penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak berwujud atau tidak

berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan". Seperti halnya

penggeledahan rumah maka penyitaan harus dapat mendapatkan izin dari


36

Ketua pengadilan negeri setempat, namun apabila tertangkap tangan, penyidik

dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah

dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain sebagai barang

bukti tanpa perlu surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat tetapi

langsung membuat berita acara yang ditandatangani oleh tersangka.

Adapun yang dapat dikenakan penyitaan menurut ketentuan Pasal 39

Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah:

a. Benda atau tagihan tersangka yang seluruh atau sebagian diduga


diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan
tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan.

5. Pemeriksaan Surat

Ada tiga pasal yang mengatur tentang pemeriksaan surat yaitu, Pasal

47, Pasal 48 dan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Yang

dimaksud dengan pemeriksaan surat dalam ketiga pasal di atas ialah

pemeriksaan terhadap surat yang tidak langsung mempunyai hubungan dengan

tindak pidana yang diperiksa, akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat.38

Untuk itu penyidik berhak membuka, memeriksa dan meminta surat

tersebut yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau

perusahaan komunikasi atau pengangkutan dengan izin yang diberikan untuk

itu dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini penyidik dapat meminta

38
Ibid., hlm. 62.
37

kepada Kepala Kantor Pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan

komunikasi atau pegangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya dan untuk

itu harus diberikan surat tanda penerimaan.

Apabila setelah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu adalah

hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, maka surat tersebut

dilampirkan pada berkas perkara, dan apabila tidak ada hubungannya dengan

perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada

kantor pos dan telekomunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap

yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik", dengan tanggal tanda tangan

beserta identitas penyidik.

Selanjutnya penyidik membuat berita acara tentang pemeriksaan surat

tersebut, dan turunnya dikirimkan kepada kepala kantor Pos dan

Telekomunikasi kepala, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengakuan

yang bersangkutan.39

3. Berakhirnya Penyidikan

Setelah tindakan-tindakan dalam proses yang dilakukan oleh telah

selesai, maka penyidik yang bersangkutan segera melimpahkan berkas perkara

ke Penuntut Umum diadakannya pemeriksaan dilanjutkan (Pasal 8 (2) dan

Pasal 110 Ayat (1) KUHAP), yang mana penyerahan berkas perkara tersebut

diserahkan pada tahap pertama dari keseluruhan pelimpahan tanggung jawab

penyidik ke Penuntut Umum sebelum melakukan pelimpahan tersangka dan

barang bukti (Pasal 8 Ayat (3) huruf a KUHAP).

39
Ibid.
38

Kemudian setelah berlangsungnya proses pelimpahan berkas perkara

tersebut Penuntut Umum melakukan pemeriksaan kelengkapan terhadap

berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik. Dalam hal Penuntut Umum

berpendapat bahwa berkas perkara tersebut sudah lengkap dan dalam jangka

waktu 14 Hari Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau

apabila sebelum batas waktu tersebut berakhirnya telah ada pemberitahuan dari

Penuntut Umum, maka penyidikan dianggap telah selesai. Sehingga penyidik

dapat segera melimpahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti

kepada Penuntut Umum (Pasal 8 Ayat (3) huruf b KUHAP).

Sedangkan apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa berkas perkara

yang dilimpahkan masih belum lengkap, maka Penuntut Umum dalam jangka

waktu 14 Hari harus mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik

untuk dilengkapi dengan disertai petunjuk dari Penuntut Umum (Pasal 110

Ayat (3) KUHAP). Atas dasar hal tersebut penyidik segera melakukan

penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum tentang hal-

hal yang harus dilengkapi untuk menunjang berkas perkara yang ada (Pasal 110

Ayat (3) KUHAP), Kemudian setelah dilengkapi, berkas perkara tersebut

diserahkan kembali kepada Penuntut Umum dalam jangka waktu 14 (empat

belas) hari sejak penerimaan pengembalian perkara yang mana apabila dalam

hal berkas sudah dianggap lengkap dan penyidikan sudah dianggap selesai atau

berakhir, maka penyidik dapat melimpahkan tanggung jawab atas tersangka

dan barang bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 Ayat (3) KUHAP).

Namun ada kalanya perkara yang telah diisi oleh penyidik tidak

diteruskan ke tahap penuntutan pada penuntut umum disebabkan menurut


39

pendapat penyidik tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata

bukan tindak pidana atau penyidikannya harus dihentikan demi hukum. Untuk

itu menurut Pasal 109 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

penyidik mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan dan

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

B. Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Elektronik

1. Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk

memberikan defenisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah

hal yang mudah untuk memberikan defenisi atau pengertian terhadap istilah

tindak pidana.40 Perlu disampaikan disini bahwa, pidana merupakan suatu

istilah yuridis yang mempunyai arti khusus, sebagai terjemahan dari bahasa

Belanda "Strafbaar feit" yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia

dengan berbagai di antaranya, yaitu tindak pidana, delik, perbuatan pidana.

peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat di pidana. Para ahli dalam

memberikan defenisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda sehingga

perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.

Seperti yang dikemukakan oleh Simons (dalam bukunya Romi

wiyanto) tindak pidana merupakan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang

diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum

40
Amir Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2019, hlm. 40.
40

(onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang

mampu bertanggung jawab.41

Sedangkan menurut Van Hamel juga sependapat dengan rumusan


tindak pidana dari Simons, tetapi menambahkan adanya sifat perbuatan
yang mempunyai sifat dapat dihukum. Jadi, pengertian tindak pidana
akan meliputi lima unsur, sebagai berikut:
1. Diancam dengan pidana oleh hukum
2. Bertentangan dengan hukum
3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld)
4. Seseorang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya
5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.42
Selain itu menurut Vos yang merumuskan tindak pidana secara singkat,

tindak pidana yaitu suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang

undangan diberi pidana. Jadi, suatu kelakukan manusia yang pada umumnya

dilarang dan diancam dengan pidana.43

Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno yang menterjemahkan

istilah strafbaar feit sebagai perbuatan pidana menyimpulkan rumusan tindak

pidana dari Simons dan Van hamel mengandung dua pengertian, yaitu:

1. Bahwa feit dalam Strafbaar feit berarti handeling, kelakuan, atau tingkah

laku.

2. Bahwa pengertian Strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang

mengadakan kelakuan tadi.44

Bertolak dari pendapat para ahli tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana atan Strafbaar feit yaitu

suatu rumusan yang memuat tertentu yang menimbulkan dapat pidana nya

41
Roni Wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Cet.1, CV Mandar Maju, Bandung,
2012, hlm. 160.
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Ibid., hlm 161.
41

seseorang atas perbuatannya yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-

undangan pidana. Ada pula unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat berupa

perbuatan yang sifatnya aktif maupun perbuatan yang bersifat pasif atau tidak

berbuat sebagaimana yang diharuskan oleh undnag-undang, yang dilakukan

oleh seseorang dengan kesalahan, bertentangan dengan hukum pidana, dan

orang itu dapat dipertanggunjawabkan karena perbuatannya. Dan juga perlu

diperhatikan pula mengenai waktu dan tempat terjadinya suatu tindak pidana

sebagai syarat mutlak yang harus diperlihatkan oleh penuntu umum dalam

surat dakwaannya, rationya untuk kepastian hukum bagi pencari keadilan.

Rusli Efendy mengemukakan bahwa peristiwa tindak pidana, yaitu

"perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana"

menjelaskan Perkataan peristiwa pidana dijadikan serta diartikan sebagai kata

majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lainnya. Sebab kalau dipakai

kata peristiwa saja, hal ini dapat mempunyai arti yg lain yg umpamanya

peristiwa alamiah.45

Secara doktrinal, dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang

perbuatan pidana yaitu:

a. Pandangan Monisti
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan
sifat dari perbuatan". Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip
pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana
sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act)
dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility).
b. Pandangan Dualistis Berbeda dengan pandangan monistis yang
melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada
perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan

45
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Siner Grafika, Jakarta, 2019, hlm. 63.
42

monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya


baik criminal act maupun criminal responbility, sedangkan menurut
pandangan dualistis, yaitu:
Dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal
responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu
untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak
pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan/
pertanggungjawaban pidana.46
Dengan batasan seperti ini menurut Simons, untuk adanya suatu tindak

pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)


maupun perbuatan negatif (tidak berbuat).
2. Diancam dengan pidana
3. Melawan hukum
4. Dilakukan dengan kesalahan
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.47
Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa pidana,

dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monistis sebagai "kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, dimana bersifat melawan hukum,

yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang

yang mampu bertanggung jawab.48

Moeljatno yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit

dengan perbuatan pidana dan menguraikannya sebagai, “perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan

tersebut”.49

46
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 31-32.
47
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 54.
48
Ibid., hlm. 56.
49
Ibid., hlm. 67.
43

Simon berpendapat bahwa (strafbaarfeit) adalah kelakuan yang

diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan

dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Jonkers dan Ultrecht memandang rumusan Simons ini merupakan rumusan

yang lengkap, yang meliputi:

a. Diancam dengan pidana oleh hukum

b. Bertentangan dengan hukum

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya

Berdasarkan defenisi/pengertian perbuatan/tindak pidana yang

diberikan tersebut di atas, bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak tercakup

pertanggungjawaban pidana (criminal responbility).

2. Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Elektronik

Prostitusi Melalui Media Elektronik adalah praktik pelacuran yang

lewat media social dalam menjajakannya, yang dimana para pelaku melakukan

promosi lewat media sosial dalam menyebarkan lewat media sosial twitter,

instragram, aplikasi-aplikasi penguhubung sosial lainnya. Dari berbagai kasus

yang ada media sosial sering di salah gunakan dan untuk melancarkan prositusi

agar banyak orang yang tertarik untuk menggunakan jasa PSK tersebut.

Prostitusi melalui media elektronik merupakan suatu perbuatan berhubungan

seksual dengan orang lain dengan menggunakan “transaksi” yang mana proses

transaksi itu dapat dilakukan dengan menggunakan media elektronik. Kegiatan

ini melibatkan paling tidak dua orang pihak yaitu orang yang menggunakan
44

jasa layanan seksual dan pemberi layanan seksual atau pekerja seks komersial

(PSK).50

Sudah bukan rahasia lagi, media elektronik sekarang tidak hanya

menjadi alat untuk berteman atau bertukar informasi, tetapi juga sebagai alat

untuk berinteraksi, menjadi jembatan yang praktis untuk melakukan suatu

bisnis, jasa atau sumber sosialisasi yang kini sudah tidak asing lagi, dijadikan

alat untuk melakukan kegiatan terlarang. Media elektronik kini marak

digunakan sebagai sarana yang mudah dan dianggap paling efisien untuk

memenuhi target/sasaran dalam melakukan transaksi bisnis yang melibatkan

prostitusi. Semakin merebaknya pelacuran melalui situs internet, terlihat para

wanita/lelaki pekerja seks komersial (PSK) sekarang menggunakan media

elektronik sebagai salah satu cara untuk menjajakan dirinya dalam menjaring

klien.

Hal mengenai orang yang melakukan ini sudah diatur dalam Pasal 27

ayat (1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa

hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat

diaksesnya Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan”. Serta sanksi pidananya secara tegas juga telah diatur pada pasal

45 ayat (1) Undang- Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur

sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4)

50
Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak
Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.
45

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Jika dikaitkan dengan prostitusi dalam kategori umum (bukan secara

online), maka KUHP mengaturnya dalam dua pasal, yaitu pasal 296 dan pasal

506. Pasal 296 menyatakan “barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau

memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadkannya sebagai

pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu

tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.

Sedangkan pasal 506 menyatakan 'barang siapa menarik keuntungan dari

perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur,

diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Sebuah perbuatan prostitusi antar si pelacur (pekerja seks komersial)

dengan pelanggannya bukanlah tindak pidana menurut KUHP Indonesia,

sehingga segala bentuk kegiatan prostitusi yang dikelola atau di-manage

sendiri oleh dirinya dengan pelanggannya tidak bisa dikategorikan sebagai

delik yang diancam dengan hukuman termasuk juga pelacuran online yang

dikelolanya sendiri dengan pelanggannya.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu UU

No. 11 tahun 2008 pun tidak memberikan ancaman pidana atas sebuah tindakan

pelacuran online yang dikelola oleh si pelacur kepada pelanggan-pelangganya.

Pasal 27 ayat (1) UU ITE memberikan ancaman hanya pada perbuatan yang

mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi

elektronik yang melanggar kesusilaan. Informasi elektronik yang melanggar

kesusilaan menurut tafsir dari ilmuwan hukum pidana diantaranya adalah


46

berupa gambar, video, percakapan, animasi, sketsa yang mengandung konten

kecabulan, persetubuhan, kekerasan seksual, alat kelamin. Objek perbuatan

kesusilaan ini pun harus disebarluaskan ke publik melalui media elektronik

(email, media sosial, atau layanan pesan singkat). Mengacu pada ketentuan

UU-ITE, jika perbuatan yang dilakukan berisi pesan untuk melacurkan dirinya

tetapi tidak disebarluaskan ke publik maka tidak memenuhi unsur dari pasal 27

ayat (1) UU-ITE.

Yang hal tersebut termasuk dalam Undang-Undang Informasi dan

Teknologi Elektronik pasal 27 ayat (1) karena melalui sarana media elektronik.

Karena pada judul penelitian mengacu pada kendala penyidikannya, maka

yang akan dibahas oleh peneliti adalah bahasan mengenai penyidikan pada

Undang-Undang ITE.

Penyidikan terhadap tindak pidana ini dilakukan berdasarkan ketentuan

KUHAP yaitu pada pasal 106 sampai dengan 135 dan Undang-Undang ITE

pada pasal 42 sampai dengan 44.


BAB III
PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI
MEDIA ELEKTRONIK DI WILAYAH HUKUM POLDA JAMBI

A. Proses Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Elektronik Di

Wilayah Hukum Polda Jambi

Dari uraian mengenai tindak pidana prostitusi melalui media elektronik

di Polda Jambi yang meningkat dalam 2 (dua) tahun ini terdapat Jumlah Tindak

Pidana 5 (lima) kasus tetapi penyidik di dalam melakukan penyidikannya yang

bisa dilanjutkan proses selanjutnya hanya 3 (tiga) kasus terselesaikan, dan 2

(dua) kasus tidak bisa dilanjutkan ke proses selanjutnya, disini penulis tertarik

melakukan penelitian karena kendala apa yang dihadapi penyidik dalam proses

penyidikannya. Adanya kasus tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik unsur-unsur tindak pidana harus dibuktikan agar pelaku dapat

diproses.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 sendiri tidak ada ketentuan

yang secara eksplisit mengatur mengenai prostitusi online. Ketentuan dalam

UU ITE tersebut bersifat sangat umum, yakni sebatas melarang informasi

ataupun dokumen elektronik berisi hal-hal yang melanggar kesusilaan. Hal

tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE sebagai berikut: ”Setiap Orang

dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/

atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Hubungan dari

keseluruhan unsur dalam sebuah rumusan pasal nantinya dapat diperoleh

47
48

alasan tercelanya suatu perbuatan yang dilarang dalam setiap tindak pidana,

dalam hal ini adalah tindak pidana yang melanggar kesusilaan

Adapun proses penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik itu dijelaskan oleh aparat Polda Jambi sebagai berikut. Oleh Bapak

Asdian selaku penyidik Polda Jambi menjelaskan:

Kasus tindak pidana prostitusi melalui media elektronik yang masuk ke


kantor ini langsung dilakukan penyidikan agar barang bukti tidak hilang
dan para pelaku yang belum tertangkap segera dapat menangkapnya.
Apabila kasus yang ditangani penyidik kantor polisi wilayah lain
sebelumnya, maka kami meminta laporan dari mereka bagaimana dan
sampai dimana penyidikannya.51
Ketentuan tentang penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir (2) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

Kemudian diperkuat pula oleh Ahmad Muqri Razi, selaku penyidik

Polda Jambi sebagai berikut:

Pada proses penyidikan yang dilakukan sama halnya dengan


penyidikan oleh penyidik lainnya dan seperti halnya juga terhadap
tindak pidana lainnya. Dimana dalam pemeriksaan ini mulai dengan
memeriksa tersangka, memeriksa bukti yang ada serta mengumpulkan
informasi dan alat-alat bukti yang belum didapat. Hasil penyidikan itu
dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Perkara. Setelah dirasa
cukup, berkas perkara beserta pelakunya diajukan kepada Penuntut
Umum, apabila Penuntut Umum merasa cukup maka selesailah
penyidikan yang kami lakukan.52

51
Wawancara dengan BRIPKA Asdian, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6 Juni
2022.
52
Wawancara dengan Ahmad Muqri Razi, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6
Juni 2022.
49

Langkah awal yang dilakukan oleh bagian cyber dari unit PPA dan

Tipidter Kepolisian Daerah Kota Jambi dalam penyidikan perkara penyedia

jasa prostitusi melalui media elektronik adalah melacak keberadaan pelaku

dengan menelusuri data akun sosial media pelaku dan menambahkan kontak

pelakunya dalam pertemanan. Ini merupakan salah satu bentuk rencana

penyelidikan dan penyidikan dengan cara undercover (penyamaran) yang

mana hal tersebut tidak ditemukan aturannya di dalam UU ITE, melainkan

dapat ditemukan dalam kebijakan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019

Tentang Penyidikan Tindak Pidana, lain halnya dengan ketentuan UU

Narkotika yang dengan jelas mengatur tentang undercover dalam

penyidikannya.

Isu hukum lainnya dalam penerapan undercover dalam menangani

tindak pidana prostitusi online sebenarnya meninggalkan persoalan hukum.

Undercover sebagai suatu proses dalam penyidikan sebagai upaya menegakkan

hukum harus dievaluasi scara tuntas. Selain itu, penulis menemukan fakta

bahwa yang melakukan penyamaran tersebut bukanlah penyidik yang

ditugaskan untuk melakukan penyidikan tersebut, melainkan orang lain yang

disuruh oleh untuk memesan PSK tersebut. Jika merujuk pada ketentuan dalam

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang

Penyidikan Tindak Pidana bahwa yang boleh melakukan penyamaran tersebut

hanyalah penyidik yang ditugaskan sebagaimana tertera dalam surat perintah

tugas, dan di wilayah hukum Kepolisian Daerah Kota Jambi tingkat

keberhasilan pengungkapan tindak pidana prostitusi online terbilang cukup

rendah dibandingkan dengan daerah yang lain.


50

Penanganan prostitusi melalui media elektronik di Polda Jambi yaitu

sebagaimana berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Ahmad

Muqri Razi, selaku Penyidik Unit PPA Polda Jambi menyatakan bahwa:

Beberapa kasus yang di proses berkaitan dengan protitusi online,


berawal pelaporan dari pihak korban dan saksi, pihak kepolisian akan
melangkah ke Lidik. Pada proses ini, pihak kepolisian melakukan
beberapa langkah antara lain :
1. Interview adalah:
a. Tanya jawab dengan seseorang untuk dimintai pendapat atau
keterangan suatu hal (bukan pemeriksaan)
b. Cara untuk mendapatkan keterangan atau pendapat dalam bentuk
Tanya jawab tentang sesuatu hal yang perlu memperoleh
kejelasan oleh pejabat, narasumber, ahli atau yang
berkepentingan untuk itu.
2. Observasi adalah Pemantauan, suatu teknik untuk pengawasan
dengan teliti atau peninjauan secara cermat terhadap hal-hal tertentu
untuk mendapatkan informasi secara langsung tentang sesuatu yang
dilakukan sehubungan dengan penyelidikan.
3. Surveillance adalah Pengawasan, pengamatan atau pembuntutan
secara tertutup untuk mendapatkan informasi atau mengumpulkan
bukti.
4. Undercover adalah Penyelidikan tertutup kegiatan atau usaha
penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri secara tertutup atau
rahasia tetapi objek tidak mengetahui kegiatan tersebut.53
Maka dapat diketahui bahwa langkah yang dilakukan pihak kepolisian

diantaranya dimulai dengan interview guna mengetahui tentang prostitusi

melalui media elektronik yang marak beredar di media sosial. Selanjutnya

dilakukan observasi dan diteruskan dengan surveillance hingga akhirnya

dilakukan penyelidikan tertutup (undercover) dengan melakukan penyamaran

untuk menjebak mucikari dan mengungkapkan jaringan yang lebih besar lagi.

Selanjutnya, menurut keterangan Bapak Ahmad Muqri Razi bahwa:

Dalam hal ini kepolisian bisa melakukan penahanan terhadap


tersangka. Tujuannya agar pihak tersangka tidak melakukan tindakan
seperti :

53
Wawancara dengan Ahmad Muqri Razi, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6
Juni 2022.
51

1. Tidak melakukan intimidasi kepada pihak korban atau keluarga


korban.
2. Tidak menghilangkan barang bukti atas kejahatannya.
3. Tidak melarikan diri atas tindak kejahatannya.54
Proses penyidikan prostitusi melalui media elektronik di wilayah

hukum Kepolisian Polda Kota Jambi, penyidik melakukan proses penyidikan

dengan cara penyamaran dan penjebakan terhadap pelaku.

Bersamaan dengan itu diketahui dari keterangan Bapak Asdian selaku

Penyidik Unit PPA Polda Jambi, beliau mengungkapkan beberapa hal

diantaranya, bahwa praktik prostitusi melalui media elektronik diketahui dari

masyarakat yang membahas aplikasi MiChat. Selanjutnya, pada aplikasi

MiChat tersebut akan dilihat pada bio akun yang menawarkan jasa prostitusi.

Berdasarkan keterangan Bapak Asdian selaku Penyidik, beliau menyatakan

bahwa:

Kami menggunakan telepon android punya kepolisian (khusus) untuk


mencari akun yang menawarkan prostitusi, dengan mengatur kisaran
radius 5-20 Km, kami menemukan akun yang menawarkan diri yang
dapat dilihat dari profile mereka yang mencantumkan tarif Open BO.55
Untuk memberantas tindak pidana prostitusi online yang semakin

menjamur di Kota Jambi, aparat kepolisian polda Kota Jambi terus melakukan

beberapa rangkaian tahapan dan tidak segan melakukan razia pekat (penyakit

masyarakat) dan juga melakukan penyidikan secara menyamar dan menjebak

tiap pelaku. Jika diperhatikan, penangkapan terhadap pelaku tindak pidana

54
Wawancara dengan Ahmad Muqri Razi, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6
Juni 2022.
55
Wawancara dengan BRIPKA Asdian, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6 Juni
2022.
52

prostitusi melalui media elektronik dilakukan secara tangkap tangan. Dalam

hal ini maka tindak pidana ditemukan oleh polisi.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Asdian selaku penyidik Polda

Jambi menjelaskan:

Saat melakukan razia pekat (penyakit masyarakat), yang terjaring


dalam razia itu tidak hanya mucikari penyedia jasa prostitusi melalui
media elektronik tetapi juga pelacur yang memperjualkan dirinya
sendiri melalui media elektronik.56

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa proses penyidikan terhadap

pelaku tindak pidana prostitusi melalui media elektronik di Polda Jambi setelah

mencari data wawancara langsung ke narasumber sehingga ditemukanlah

alasan 2 (dua) kasus tersebut dalam melakukan penyidikan tidak bias lanjut ke

proses berikutnya, karena 2 (dua) kasus tersebut tidak melalui mucikari sebab

sebuah perbuatan prostitusi antar si pelacur (pekerja seks komersial) dengan

pelanggannya bukanlah tindak pidana menurut KUHP Indonesia, sehingga

jenis prostitusi yang dikelola atau di-manage sendiri oleh dirinya dengan

pelanggannya tidak dapat dikategorikan sebagai delik yang diancam dengan

hukuman termasuk juga pelacuran online yang dikelolanya sendiri dengan

pelanggannya.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu UU

No. 11 tahun 2008 tidak memberikan ancaman pidana terhadap tindakan

prostitusi online yang dikelola oleh si pelacur kepada pelangganya. Pasal 27

ayat (1) UU ITE memberikan ancaman hanya pada perbuatan yang

56
Wawancara dengan BRIPKA Asdian, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6 Juni
2022.
53

mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi

elektronik yang melanggar kesusilaan. Informasi elektronik yang melanggar

kesusilaan menurut tafsir dari ilmuwan hukum pidana diantaranya adalah

berupa gambar, video, percakapan, animasi, sketsa yang mengandung konten

kecabulan, persetubuhan, kekerasan seksual, alat kelamin.

B. Kendala Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media

Elektronik Di Wilayah Hukum Polda Jambi

Dalam kenyataannya di Polda Jambi tidak selamanya proses penyidikan

terhadap tindak pidana prostitusi melalui media elektronik berjalan sesuai apa

yang kita harapkan melainkan dihadapi oleh beberapa kendala. Adapun

kendala kendala yang dihadapi tersebut dapatlah disimak dari penjelasan para

aparat penyidik Polda Jambi sebagai berikut.

Bapak Asdian, selaku penyidik Polda Jambi menjelaskan:

Memang dalam proses penyidikan perkara tindak pidana prostitusi yang


masuk ke kantor ini, dalam beberapa kasus mengalami kendala seperti:
Pelaku tindak pidana melarikan diri, hilangnya alat bukti dan tidak
adanya ahli.57
Untuk itu ketika melakukan penyidikan tindak pidana prostitusi ini

harus apparat kepolisan hendaknya harus sigap dan tanggap agar proses

peniyidikan ini berjalan lancar.

Kendala lain yang dihadapi penyidikian tindak pidana prostitusi melalui

media elektronik menurut Bapak Ahmad Muqri Razi ialah:

Pihak kepolisian sulit dalam melakukan proses penyidikan untuk


menentukan mana korban yang benar-benar terjaring oleh tipu daya
mucikari, dan mana yang suka rela untuk ikut bergabung dalam jaringan
prostitusi itu, karena tidak semua gadis itu adalah korban penjaringan

57
Wawancara dengan BRIPKA Asdian, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6 Juni
2022.
54

bisnis prostitusi, terkadang mereka sendiri yang memilih untuk ikut


dalam jaringan prostitusi itu, sehingga jika mereka tertangkap mereka
seolah-olah sebagai korban.
Kendala dalam penegakan hukum dapat dipastikan selalu ada dalam

setiap penindakannya, keberhasilan penegakan hukum akan di pengaruhi oleh

beberapa hal salah satunya sarana dan fasilitas.

Dalam menangani cyber crime, aparat penegak hukum mengalami

kendala yuridis dan non yuridis dalam melakukan penyidikan:

1) Kendala yuridis, yaitu tidak ada peraturan perundang-undangan


khusus mengatur cyber crime, terbatasnya pengertian alat bukti
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP menyangkut
keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti, petunjuk, dan
keterangan terdakwa itu sendiri, dan tidak adanya kewenangan
penyidik untuk menggeledah sistem komputer yang diduga menjadi
alat atau sasaran kejahatan.
2) Kendala non yuridis, yaitu keterbatasan kemampuan dan jumlah
aparat kepolisian yang menguasai bidang teknologi komputer,
barang bukti dalam cyber crime mudah dihilangkan atau dihapus,
adanya kesulitan dalam mendeteksi kejahatan, kesulitan
pendektesian kejahatan tersebut disebabkan oleh kurang tersedianya
peralatan yang memadai, keengganan dari beberapa korban untuk
melapor kepada polisi, sistem keamanan dari pemilik aset atau
sistem yang relatif lemah, sulit melacak keberadan atau domisili
pelaku kejahatan.58
Dari permasalahan kasus tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik bahwa terdapat kendala di proses penyidikan. Dari tahun 2021

sampai 2022 terdapat Jumlah Tindak Pidana 5 (lima) kasus tetapi penyidik

didalam melakukan penyidikannya yang bisa dilanjutkan proses selanjutnya

hanya 3 (tiga) kasus terselesaikan, setelah penulis melakukan data mengenai

permasalahan yang terjadi hasil wawancara penulis pada tanggal 6 juni ada

58
Haryadi, Dheny Wahyudi, “Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi Secara Online”,
PAMPAS: Journal Of Criminal, Vol.2 No.1, 2021, hlm. 51, https://online-
journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/12413
55

beberapa hambatan dalam penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik adalah:

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Asdian selaku penyidik

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kota Jambi bahwa

pada prinsipnya hambatan dalam melakukan penyidikan untuk kasus prostitusi

online ini adalah:

Terkendala keberagaman Undang-Undang yang diberlakukan, jika


dalam kasus prostitusi yang biasa, pelaku dijerat dengan Pasal 296
KUHP serta Pasal 506 KUHP karena mengandung unsur prostitusi
sebagai pencaharian dan terdapat mucikari di dalamnya. Namun pada
kasus Prostitusi secara Online ini karena menggunakan media sosial
online maka tidak bisa dijerat dengan Pasal yang berada di KUHP, dan
mengacunya pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi Teknologi dan Elektronik pada Pasal 27 ayat (1) yang karena
mengandung unsur kesusilaan. Jika pihak korban masih dibawah umur,
pengaturannya menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.59
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa keberagaman Undang-

Undang dalam penegakan hukum tindak pidana prostitusi di Indonesia

menjadikan salah satu hambatan penyidik dalam menerapkan Pasal dalam

penyelidikannya, sehingga penyelidik harus dengan cermat mengidentifikasi

dugaan tindak pidana yang diketahui, apakah bisa di proses dan apakah ada

pelanggaran pidana.

Kemudian berdasarkan wawancara dengan Bapak Ahmad Muqri Razi

selaku Penyidik Pembantu Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian

Daerah Kota Jambi, bahwa yang menjadi hambatan dalam melakukan

penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media elektronik ini adalah:

59
Wawancara dengan BRIPKA Asdian, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6 Juni
2022.
56

Kesulitan mengumpulkan alat bukti, sulitnya menentukan identitas asli


dari pelaku karena identitas pelaku sering dipalsukan sehingga sulit
untuk dikenali ataupun dilacak, tidak tersedianya alat seperti
penyelidikan elektronik, dimana alat-alat tersebut hanya ada di Markas
Besar Kepolisian Republik Indonesia, terbatasnya Sumber Daya
Manusia merupakan suatu masalah yang tidak dapat diabaikan, seperti
jumlah personil penyidik yang tidak sesuai dengan jumlah tindak
pidana cyber crime yang terdapat di Direktorat Reserse Kriminal
Khusus Kepolisian Daerah Kota Jambi sehingga hambatan yang terjadi
adalah waktu penyelidikan yang lama untuk satu kasus dan juga tidak
adanya penyidik pembantu yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman terhadap permasalahan cyber crime.60
Untuk mengoptimalisasi penyidikan terhadap pelaku tindak pidana

prostitusi melalui media elektronik setidaknya dapat dianalisis dari pendapat

ahli Stenin Schjolberg dan Amanda M Hubband dimana mereka

mengungkapkan dalam persoalan cyber crime (internet) diperlukan

standarisasi dan harmonisasi dalam tiga area yaitu legislation, criminal

enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan

harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya

undang-undang yang mengatur tentang cyber crime, lebih dari itu adalah

kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Asdian selaku penyidik

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi ia mengatakan:

Pertama Upaya agar penyidikan lebih maksimal adalah menambah


Sumber Daya Manusia yang berkualitas dalam penguasaan Ilmu
Teknologi dan Komunikasi sehingga menghasilkan ahli-ahli yang
bersertifikasi serta mampu membantu proses penyidikan yang tidak
memakan waktu lama dalam menunggu ahli yang hanya ada di Markas
Besar Kepolisian Republik Indonesia, karena peranan saksi ahli
sangatlah besar dalam memberikan keterangan pada kasus cyber crime,
sebab apa yang terjadi di dunia maya membutuhkan keterampilan dan
keahlian yang spesifik.

60
Wawancara dengan BRIPDA Ahmad Muqri Razi, Selaku Penyidik Polda Jambi pada
tanggal 6 Juni 2022.
57

Kedua adanya sarana dan prasarana yang telah disebutkan sebelumnya


seperti alat untuk melacak keberadaan pelaku dan juga alat untuk
meretas. membajak ataupun menjelajah (hacking) pengguna akun
media sosial khususnya pelaku tindak pidana ini agar tidak mudah
untuk melarikan diri dan juga menghilangkan barang bukti sehingga
dengan lengkapnya sarana dan prasarana tersebut, upaya penyelidikan
dan penyidikan lebih sempurna.61
Apabila diperhatikan secara seksama kegagalan suatu penyidikan

dalam melakukan penyelesaian kasus dapat disimpulkan hambatan yang

dialami pihak kepolisian Daerah Kota Jambi di dalam proses penyidikan

diantaranya dalam mengumpulkan alat bukti yang cukup dan menetapkan

tersangka. Hal ini dikarenakan tidak adanya aturan khusus tentang penyidikan

terhadap tindak pidana prostitusi online, sehingga penyidik melakukan

penyidikan dengan cara undercover, selanjutnya keberagaman undang-undang

yang mengatur tindak pidana prostitusi online, pelaku memalsukan identitas

aslinya, dan sumber daya manusia yang kurang professional dalam

menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya

(cybercrime), karena tindak pidana prostitusi melalui media elektronik ini perlu

kecermatan dan analisa karena berbeda dengan alat bukti tindak pidana biasa.

61
Wawancara dengan BRIPKA Asdian, Selaku Penyidik Polda Jambi pada tanggal 6 Juni
2022.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab pembahasan, maka penulis dapat

menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Penegakan hukum terhadap tindak pidana prostitusi online di Wilayah

Hukum Kepolisian Daerah Kota Jambi telah berjalan dan telah di lakukan

serangkaian tindakan penyidikan dan penyelidikan untuk mengungkap

kasus prostitusi melalui media elektronik. Dari hasil penyidikan yang

dilakukan oleh Kepolisian Daerah Kota Jambi diketahui bahwa pelaku

kejahatan prostitusi melalui media elektronik memanfaatkan aplikasi media

social seperti MiChat.

2. Kendala dalam penegakan hukum tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik di wilayah hukum Polisi Daerah Kota Jambi, yaitu kurangnya

Alat atau teknologi yang serta sumber daya manusianya yang kurang

professional dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan cyber

crime yang mengakibatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana

prostitusi melalui media elektronik belum berjalan dengan maksimal.

Kemudian selain itu masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk

menindak lanjuti prostitusi melalui media elektronik itu sendiri, dan

semakin terkikisnya budaya sehingga banyak yang tidak memperdulikan

masalah yang menentang norma seperti norma agama, kesusilaan,

kesopanan dan juga norma hukum. Kemudian kendala yang dialami pihak

kepolisian Daerah Kota Jambi di dalam proses penyidikan diantaranya

58
59

dalam mengumpulkan alat bukti yang cukup dan menetapkan tersangka,

selanjutnya keberagaman undang-undang yang mengatur tindak pidana

prostitusi melalui media elektronik dan pelaku memalsukan identitas

aslinya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka penulis dapat

merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada pihak kepolisian proses penegakan hukum terhadap

tindak pidana prostitusi melalui media elektronik oleh Kepolisian Daerah

Kota Jambi seharusnya di lakukan dengan cara yang lebih intensif dan teliti,

karna prostitusi melalui media elektronik ini penyebarannya sangat cepat

dan kegiatan atau transaksinya di lakukan melalui media elektronik

sehingga pihak kepolisian pun kesulitan dalam hal mencari barang bukti dan

proses penyidikannya pun sulit dilakukan.

2. Diharapkan kepada pemerintah agar menyediakan alat dan teknologi yang

lebih memadai untuk mempermudah proses penyelidikan dan penyidikan

dalam kasus tindak pidana prostitusi melalui media elektronik serta para

aparat kepolisian diberikan pelatihan khusus untuk menangani kasus cyber

crime seperti kasus prostisusi melalui elektronik ini agar penegakan hukum

terhadap kasus ini berjalan maksimal, dan kemudian membuat aturan

khusus tentang penyidikan prostitusi melalui media elektronik ini.


60

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Rangkang Education,


Yogyakarta 2013.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2016.

Amir Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2019.


Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2010.
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2008.
Coky T.N. Sinambela, Laurencius Rambe Manalu, Paingot Rambe Manalu, Hukum
Acara Pidana Dari Segi Pembelaan, CV. Novindo Pustaka Mandiri,
Jakarta, 2010.
Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Ditinjau Dari Hukum Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010.

Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan


Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana
Mitra, Handalan, 2015.

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1981.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP


(Penyelidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013.
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Roni Wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Cet.1, CV Mandar Maju,

Bandung, 2012.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.


61

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mmpengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta,

PT. Raja Grafindo Persada, 1983.

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum, Jakarta,


Makalah Pada Seminar Hukum Nasional ke-IV, 1979.

Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana, BP, Universitas Diponegoro, Semarang,

1995.

Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Agung media Mulia, 2009.

Terence H, Hull, Endang Sulistianingsih, Gavin W.Jones, Pelacuran di Indonesia,


Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 2007.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan
dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Siner Grafika, Jakarta, 2019.

B. Peraturan Perundang – Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


Nomor 11 Tahun 2008. LNRI Tahun 2008 Nomor 58. TLNRI Nomor 4843.
-------, Undang-Undang Tentang Pornografi. Nomor 44 Tahun 2008. LNRI Tahun
2008 Nomor 181. TLNRI Nomor 4928.
-------, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. Nomor 8 Tahun 1981.
LNRI Tahun 1981 Nomor 76. TLNRI Nomor 3209.
-------, Undang-Undang Tentang Penyidikan Tindak Pidana. Nomor 6 Tahun 2019.
-------, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Nomor 19 Tahun
2016. LNRI Tahun 2016 Nomor 251. TLNRI Nomor 5952.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

C. Jurnal

Dheny Wahyudi, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cyber Crime


Di Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jambi,
Jambi, 2013. https://media.neliti.com/media/publications/43295-ID-
62

perlindungan-hukum-terhadap-korban-kejahatan-cyber-crime-di-
indonesia.pdf

Haryadi, Dessy Rakhmawati, Nadia Febriani, Penanganan Saksi Mahkota (Kroo


ngetuige) dalam Pembuktian di Persidangan Terhadap Tindak Pidana
Narkotika, PAMPAS: Journal Of Criminal, Fakultas Hukum Universitas
Jambi, Jambi, 2020. https://online-
journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9614/6398

Haryadi, Dheny Wahyudi, Yolla Fitri Amalia, “Penyidikan Tindak Pidana


Prostitusi Secara Online”, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Jambi, Jambi, 2021. https://online-
journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/12413

Kabib Nawawi, Sahuri Lasmadi, Ardi Saputra Gulo, “Cyber Crime Dalam Bentuk
Phising Berdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi
Elektronik”, PAMPAS: Journal Of Criminal, Fakultas Hukum Universitas
Jambi, Jambi, 2020, https://online-
journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9574

Mukhlis R, “Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik POLRI dengan


Perkembangan Delik-Delik di Luar KUHP”, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Riau, Riau, 2019.
https://jih.ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/view/1040/1033

Oksidelfa Yanto, “Prostitusi Sebagai Kejahatan Terhadap Eksploitasi Anak Yang


Bersifat Ilegal Dan Melawan Hak Asasi Manusia”, Dosen Fakultas Hukum
Universitas Pamulang, 2015. https://e-
jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/420/300

Sahuri Lasmadi, “Pengaturan Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Dunia Maya”,
Journal Fakultas Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2014.
https://www.neliti.com/publications/43274/pengaturan-alat-bukti-dalam-
tindak-pidana-dunia-maya

D. Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran

http://elib.unikom.ac.id/ruang-lingkup-dan-penyelenggaraan-pers-di-indonesia

https://www.researchgate.net/publication/292610641_Norma_Kesusilaan_sebagai

_Batasan_Pornografi_menurut_UU_No_44_Tahun_2008

https://kbbi.lektur.id/melalui#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%

20Indonesia,%2C%20percobaan%2C%20dan%20sebagainya).

Anda mungkin juga menyukai