Anda di halaman 1dari 95

`

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONSUMEN


DALAM TRANSAKSI JUAL BELI
SECARA DARING (ONLINE)
TERKAIT WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH
PRODUSEN

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :
HARIALDI DHARMAWAN SYAHPUTRA

NPM : 1926000247
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Perdata

FAKULTAS SOSIAL SAINS


PROGRAM STUDI ILM HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI
MEDAN
2021
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONSUMEN DALAM


TRANSAKSI JUAL BELI SECARA DARING (ONLINE)
TERKAIT WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH
PRODUSEN

Nama : Harialdi Dharmawan Syahputra


NPM : 1926000247
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Perdata

Disetujui Oleh:

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Abdullah Syafi, S.H., M.H. Beby Sendy, S.H.,M.H.

DIKETAHUI/DISETUJUI OLEH:
KETUA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

Dr. Syaiful Asmi Hasibuan, S.H., M.H.

DIKETAHUI OLEH:
DEKAN FAKULTAS SOSIAL SAINS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI MEDAN

Dr. Onny Medaline, S.H., M.Kn.


ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONSUMEN


DALAM TRANSAKSI JUAL BELI SECARA DARING (ONLINE)
TERKAIT WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PRODUSEN
Harialdi Dharmawan Syahputra *
Abdullah Syafi, S.H., M.H. **
Beby Sendy, S.H., M.H. **

Transaksi daring (online transaction) merupakan suatu kegiatan jual beli


yang dilakukan oleh konsumen dengan_produsen_yang melakukan tindakan
jual beli, dalam kegiatan transaksi ini banyak hal yang dijadikan
sebagai_bahan_transaksi seperti barang ataupun jasa. Namun, selama
melakukan_transaksi_sering kali adanya celah terjadinya tindakan
wanprestasi yang dilakukan oleh pihak produsen terhadap pihak konsumen
tindakan wanprestasi sering terjadi dengan adanya unsur tindak pidana
penipuan didalamnya. Akan tetapi, munculnya tindakan wanprestasi sendiri
juga muncul karena lalainya pengawasan (controling) oleh pihak pasar daring
(marketplace) yang dalam hal ini sebagai pihak ketiga.
Pasar_daring (marketplace) merupakan suatu tempat dimana konsumen
dan produsen melakukan transaksi, dalam tinjauan ini penulis menemukan
beberapa produsen yang melakukan tindakan wanprestasi selama melakukan
transaksi dengan pihak konsumen. Tanpa adanya pengawasan (controling)
dari pihak pasar daring yang dalam hal ini merupakan pihak
ketiga_permasalahan yang sering muncul_dalam_dunia transaksi online
sendiri cenderung muncul dalam berbagai bentuk, salah satunya masalah
wanprestasi yang_dilakukan pihak produsen dengan_metode pengiriman
barang yang_berbeda_dengan yang di inginkan oleh pihak_konsumen.
Dalam tinjauan_ini banyak terjadi karena adanya kelalaian dari pihak
pasar daring (marketplace), yang seharusnya dapat mengkontrol
perkembangan penjualan pihak produsen dengan pihak_konsumen, karena
adanya_kelalaian tersebut juga_pihak konsumen_selalu dirugikan, sementara
itu pihak produsen selalu dapat_lepas jerat hukum yang ada. Dalam hal ini
juga_akan menyebabkan munculnya berbagai produsen yang akan melakukan
tindakan yang sama, sehingga_menyebabkan kerugian terhadap pihak
konsumen.
Kata Kunci: Produsen, Konsumen, Wanprestasi,_Pasar Daring,
Transaksi Daring, Kerugian.
* Mahasiswa Fakultas Sosial Sains Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan
Panca Budi Medan
** Dosen Pembimbing I dan II, Fakultas Sosial Sains Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Pembangunan Panca Budi

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas rahmatnya dan karunia-nya kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan baik.

Adapun judul dari skripsi ini adalah: “TINJAUAN YURIDIS

TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI SECARA

DARING (ONLINE) TERKAIT WANPRESTASI YANG DILAKUKAN

OLEH PRODUSEN” Penulisan skripsi ini didasari atas keterkaitan penulis

terhadap pihak konsumen yang dirugikan terhadap terjadinya tindakan

wanprestasi yang dilakukan pihak konsumen.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Sains Universitas

Pembanguan Panca Budi Medan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat

kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Untuk itu, dengan berlapang dada

penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis

menyapaikan rasa terima kasih yang tulus atas bantuan dan dorongan dari

berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Dalam proses penyusunan

skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan dan bantuan dari berbagai

pihak, maka dalam kesempatan ini penulis dengan hormat mengucapkan terima

ii
kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. H. Muhammad Isa Indrawan, S.E., M.M. selaku Rektor

Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.

2. Ibu Dr. Onny Medaline, S.H., M.Kn. selaku Dekan Fakultas Sosial

Sains Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.

3. Bapak Dr. Syaiful Asmi Hasibuan, S.H., M.H selaku Ketua Program

Studi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Sains Universitas Pembangunan Panca

Budi Medan.

4. Bapak Abdullah Syafi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan arahan, didikan dan masukan kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Beby Sendy, S.H, M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan arahan, didikan dan masukan kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

6. Ayahanda Edhie Kosasih dan Ibunda Yanse selaku orang tua dari

penulis yang telah yang telah membesarkan, memotivasi, mendidik, dan

memenuhi seluruh kebutuhan penulis selama ini serta tak luput

memberikan doa dan juga memberikan kasih sayang, penulis ucapkan

terima kasih.

7. Untuk abang tercinta Hariyadi Dharmawan Syahputra, S.Farm., Apt.

yang selalu mendukung, membantu serta memotivasi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

iii
8. Kepada Eben Haezer S.H. yang telah memberikan bantuan dan

dukungan serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

9. Seluruh Civitas Akademik Fakultas Sosial Sains Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan yang dengan penuh

dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti

perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh teman-teman stambuk 2019 terkhusus Kelas Reguler II JS A

yang telah mengukir kenangan dan melukis suka duka bersama, serta

yang memberikan warna dalam hidup penulis selama pekuliahan.

11. Seluruh keluarga besar yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

namanya. Terima kasih aras semua kasih sayang, doa, dukungan,

motivasi, dan semangat yang sangat berarti.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna,

untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari

semua pihak agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Akhir kata penulis berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu

melimpahkan kasih sayang dan rahmat-nya kepada kita. Amin

Medan, 01 April 2021


Penulis,

Harialdi Dharmawan Syahputra

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK............................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................ 7
C. Tujuan Penelitian............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian........................................................... 8
E. Keaslian Penelitian.......................................................... 9
F. Tinjauan Pustaka............................................................. 15
G. Metode Penelitian............................................................ 23
H. Sistematika Penulisan...................................................... 25

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP


TINDAK WANPRESTASI DAN PENYELES-
AIANNYA DALAM TRANSAKSI JUAL
BELI MELALUI APLIKASI PASAR DAR-
ING (MARKETPLACE) SECARA UMUM
A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindakan Wanprestasi
Secara Umum.................................................................. 27
B. Pengaturan Hukum Terhadap Tindakan Wanprestasi
Dalam Bertransaksi Secara Daring (online) ................... 32
C. Penyelesaian Penanganan Tindakan Wanprestasi
Secara Umum (General) ................................................. 36

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN YANG


DIBERIKAN PIHAK PASAR DARING
(MARKETPLACE) TERHADAP PRODUSEN
YANG MENGALAMI WANPRESTASI
A. Penerapan Pertanggung Jawaban Pihak Pasar Daring
(marketplace) Selaku Pihak Ketiga................................. 43

v
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Bertransaksi Di
Pasar Daring.................................................................... 45

C. Perlindungan Hukum Yang Diperoleh Pembeli Terhadap


Penjual Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Transaksi
Pasar Daring.................................................................... 49

BAB IV PENYELESAIAN HUKUM WANPRESTASI


DALAM APLIKASI PASAR DARING
(MARKETPLACE)
A. Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Melalui Jalur
Litigasi............................................................................. 65
B. Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi (Alternatif)
Terhadap Tindakan Wanprestasi Melalui Aplikasi Pasar
Daring (marketplace)....................................................... 70

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................... 73
B. Saran................................................................................ 75

DAFAR PUSTAKA............................................................................... 78

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cikal bakal toko online baru muncul di tahun 1999 saat Andrew Darwis

mendirikan sebuah forum bernama Kaskus yang juga menjadi forum jual beli.

Selanjutnya, Bhinneka.com berdiri dan menjadi tempat jual beli juga di tanah

air. Menyadari pertumbuhan transaksi online yang berkembang dengan cepat,

pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk membuat draft Undang-

Undang e-commerce. Empat tahun berselang, Tokobagus.com berdiri.

Ekosistem toko online yang semakin banyak membuat Doku diluncurkan

sebagai layanan uang elektronik. Dua tahun kemudian, Tokopedia berdiri. Hype

e-commerce berhembus dengan kencang saat Go-jek didirikan pada tahun 2010

sebagai layanan transportasi online serta didirikannya Bukalapak.1

Hingga kini, Tokopedia dan Go-jek terus berinovasi dan telah menjadi

perusahaan yang memiliki pengaruh besar pada ekonomi tanah air. Mulai

bermunculan perusahaan-perusahaan e-commerce yang bergerak di berbagai

bidang seperti Tiket.com yang berdiri pada tahun 2011. Setahun kemudian,

giliran Traveloka dan Idea yang berdiri serta diadakannya Harbolnas (Hari

1
https://www.paper.id/blog/headline/toko-online-di-indonesia/ Diakses pada tanggal
11 November 2021, pukul 07.45 WIB.

1
2

Belanja Online Nasional). Di tahun 2014, Tokopedia mencetak sejarah dengan

mendapatkan kucuran dana sebesar US$ 100 juta dan menjadi yang terbesar

dalam sejarah e-commerce. Namun, rekor ini dikalahkan juga oleh Tokopedia

pada tahun 2017. Dalam sejarahnya, ada banyak pemain baru atau lama yang

berseliweran di dunia e-commerce Indonesia. Di tahun 2015, Tokobagus dan

Berniaga memutuskan untuk melebur menjadi satu dibawah nama OLX yang

berfokus pada jual beli barang second.

Indonesia sendiri adalah negara hukum, negara yang berlandaskan atas

hukum, yang bermakna bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang

sebagaimana termaksud di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Pada hakikatnya dalam kehidupan bernegara, salah satu yang

harus ditegakkan adalah kehidupan hukum dalam bermasyarakat, pandangan

ini disebabkan karena Indonesia menganut paham negara hukum tersebut2.

Dalam Pasal 1 Ayat 3 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah

Negara Hukum” jadi setiap tindakan warga negara diatur dengan hukum yang

telah ada, setiap aspek kehidupan memiliki aturan, ketentuan dan peraturannya

masing-masing. Hukum juga menetapkan apa yang harus dilakukan, apa yang

boleh dilakukan, serta apa hal yang dilarang. Salah satu bidang dalam hukum

adalah Hukum Perdata, yaitu sebuah kaidah, perangkat yang digunakan untuk

mengatur tentang segala kepentingan yang bersifat pribadi, yang bersifat privat.

2
Teguh prasetyo, Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum (Studi Penelitian Ahli Hukum
Sepanjang Zaman), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 2011, hal. 38.
3

Sedangkan perbuatan melawan hukum adalah segala suatu perbuatan yang

menimbulkan kerugian yang membuat korbannya dapat melakukan tuntutan

terhadap orang tesebut. Namun ada beberapa perbedaan yang membedakan

antara perbuatan melawan hukum dengan tindakan wanprestasi, adalah

pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian

yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah

diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak

boleh dilakukan.3

Pasar Daring atau yang lebih dikenal dengan nama marketplace

merupakan sebuah tempat atau platform digital dimana sebuah situs daring

(online) untuk melakukan tindakan berniaga, yang juga bertindak sebagai pihak

ketiga atau perantara di dalam transaksi antara produsen dengan konsumen.

Marketplace sendiri awalnya muncul pada tahun 1995 di Amerika Serikat, tidak

lama kemudian setalah cukup ramai di daerah Amerika. Jack Ma mendirikan

sebuah perusahaan Pasar Daring (marketplace) yang bernama Alibaba yang

kemudian menjadi sebuah marketplace terbesar di Tiongkok.

Pasar daring juga dikenal dengan online shop yang dalam artian sebagai

kedai daring yang merupakan sebuah sistem pembelanjaan yang dimana si

pembeli mengajukan transaksi dengan pihak kedua yang dikenal sebagai

3
Kitab Undang-Undang KUHPer, KUHP, KUHAP Beserta penjelasannya, Cet. 2,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, tahun 2017, Buku ke-tiga Tentang Perikatan, Bagian 4,
Ketentuan-ketentuan Umum, hal. 349.
4

penjual. Yang dalam hal ini penjual melakukan transaksi melalui perantara

pihak ketiga yaitu melalui pasar daring ataupun marketplace yang ada4.

Namun, berbeda dengan di negara seperti lain seperti di Tiongkok dan

Amerika Serikat, Indonesia sendiri baru mulai mengenal adanya sistem Pasar

Daring (marketplace) di tahun 2008 awal, trend marketplace sendiri pun

semakin berkembang di Indonesia sepanjang berkembangnya teknologi di

Indonesia. Akan tetapi, tanpa disadari banyak juga ditemukan adanya indikasi

pelanggaran-pelanggaran hukum yang mungkin ditemukan selama para

konsumen melakukan transaksi dengan pihak produsen, baik itu dari pihak

produsen sendiri maupun pihak konsumen (vice versa), ataupun melalui pihak

pasar daring (marketplace) selaku pihak ketiga, yang tanpa disadari juga ini

merupakan tugas dari dari pihak ketiga yang bertugas pengawas dalam tempat

atau platform (Sebuah tempat untuk menjalankan perangkat lunak) dimana para

produsen dan konsumen melakukan transaksi antara satu sama lain.

Dalam pengkajiannya, menurut pendiri (Founder) dan CEO (Chief

Executive Officer) Sirclo, Brian Marshal mengaku optimis dengan

pertumbuhan pasar daring (E-commerce) dan daya beli daring (online)

masyarakat Indonesia semakin meningkat di tahun 2021 ini5. Hal ini juga dapat

4
Damsar dan Indrayani, Pengantar Sosiologi Pasar, Cet. 1, Prenadamedia Group,
Jakarta, Tahun 2018, hal 235
5
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210106203654-206-590402/e-commerc
e-diingatkan-belanja-offline-bisa-meningkat-2021, diakses tanggal, 11 November 2021, pukul
08.00 WIB.
5

memicu munculnya celah-celah hukum yang dapat timbul dari adanya aktivitas

transasksi daring (online) yang dilakukan dengan pihak produsen dan

konsumen dalam massa bertransaksi. Jika dilihat dari sudut pandang hukum

celah yang paling memungkinkan terjadinya perbuatan melawan hukum adalah

tindakan wanrpestasi yang dilakukan oleh pihak produsen terhadap konsumen.

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

dengan debitur.6 Secara umumnya, menurut M. Yahya Harahap, menyatakan

bahwa wanprestasi adalah pelaksaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya

atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali7.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1243

menyatakan bahwa “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak

terpenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah

dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu

yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau

dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan8.

Karena seperti yang telah kita ketahui salah satu unsur dari tindakan

wanprestasi, adalah sebagai berikut:

6
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Raja Grafindo Persada Jakarta,
tahun 2008 hal. 180.
7
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung,
tahun 1986, hlm. 60.
8
Ibid, hal 3.
6

1. Ada perjanjian oleh para pihak;

2. Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah

disepakati;

3. Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi

perjanjian.

Menurut J. Satrio wanprestasi, adalah suatu keadaan yang timbul dimana

debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memnuhinya sebagaimana

mestinya9. Maka, saat terjadinya suatu tindakan wanprestasi yang terjadi karena

adanya unsur telah dilanggar oleh pihak produsen. Dan juga dengan adanya

indikasi kesalahan yang dibuat oleh pihak produsen seperti, kecacatan barang,

terlambatnya pengiriman, dan penguasaan barang yang tidak aman membuat

beberapa tempat (platform) yang dimana para produsen yang memasarkan

produknya di pasar daring (marketplace) tersebut dapat dibawa ke ranah

hukum, yang dimana dalam hal ini pihak pasar daring (marketplace) sendiri

dapat dianggap sebagai pihak ketiga dalam pemasaran produk dari pihak

produsen ke pihak konsumen.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti hal tersebut

dalam bentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Konsumen

Dalam Transaksi Jual Beli Secara Daring (Online) Terkait Wanprestasi

Yang Dilakukan Oleh Produsen”.

9
J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Penerbit Alumni, Bandung, Tahun
1993, hal. 15
7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraiakan oleh penulis di atas,

maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum apabila terjadinya tindakan wanprestasi

dalam aplikasi pasar daring (marketplace) ?

2. Bagaimana pertanggung jawaban pasar daring (marketplace) terhadap

produsen yang telah melakukan tindakan wanprestasi ?

3. Bagaimana penyelesaian jalur litigasi dan non-litigasi hukum apabila

terjadinya tindakan wanprestasi dalam transaksi jual-beli secara daring

(online) ?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan pasti memeliki tujuan dalam

penelitiannya, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang penanganan terhadap

perselisihan tindakan wanprestasi dalam transaksi di aplikasi pasar

daring (marketplace).
8

2. Untuk mengetahui sejauh mana pertanggung jawab pasar daring

(marketplace) yang dalam hal ini bertindak sebagai pihak ketiga atau

sebagai penyedia tempat (platform) bagi produsen yang memasarkan

barangnya di pasar daring (marketplace).

3. Untuk mengetahui jalur litigasi dan non litigasi dalam upaya

penyelesaian sengekta wanprestasi yang dapat diambil menghadapi

tindakan wanprestasi transaksi yang terjadi dalam penggunaan aplikasi

pasar daring (marketplace).

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa manfaat yang dapat diambil dari

penilitian ini, yaitu manfaat teoritis, manfaat akademis, dan manfaat praktis

yang dapat diterima, adapun manfaat-manfaat tersebut dijelaskan sebagai

berikut:

a. Manfaat Akademis

Manfaat akademis merupakan syarat dalam penyelesaian program

studi pendidikan sarjana hukum pada Program Studi Ilmu Hukum,

Fakultas Sosial Sains, Universitas Pembangunan Panca Budi dan sebagai

pengembangan ilmu pengetahuan, khasanah dan wawasan serta

peningkatan mutu pengetahuan.


9

b. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi

perkembangan Ilmu Hukum Perdata di Indonesia, khususnya dalam

bidang tinjauan yuridis terhadap konsumen dalam melakukan transaksi

jual beli secara daring (online) terkait dengan wanprestasi yang dilakukan

oleh pihak produsen.

c. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diterima dapat diharapkan dapat menjadi salah

satu referensi yang dapat diambil oleh pihak penegak hukum untuk

kedepannya dalam melakukan penyelesaian tindakan wanprestasi yang

dilakukan oleh pihak produsen dengan pihak konsumen.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang asli yang dapat dibuktikan

melalui adanya perbandingan dengan hasil karya peneliti-peneliti terdahulu

yang berkaitan dengan judul yang diambil oleh peneliti saat ini. Adapun judul

skripsi ini yang memeliki keterkaitan pembahasan dengan peneliti pendahulu

adalah sebagai berikut:


10

1. Skripsi penelitian yang dilakukan oleh Arda Putri Ramadhani, No.

Mahasiswa: 16410230, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta, dengan judul skripsi: “Perlindungan Hukum

Pengguna Marketplace Dalam Hal Keamanan Data Pribadi Pengguna

(Studi Penelitian PT. Tokopedia)” yang mengambil rumusan masalah

sebagai berikut10 :

1. Bagaimana perlindungan hukum baik secara normatif maupun

empiris atas kebocoran data pribadi pengguna marketplace?

2. Bagaimana penyelesaian hukum atas kasus kelalaian pihak

Tokopedia sebagai penyelenggara Sistem Elektronik?

Kesimpulan:

1. Dalam penelitian ini, jika dilihat dari segi yuridisnya sendiri

menimbulkan banyak celah untuk terjadinya kebocoran data

pengguna (user) yang mengakibatkan banyaknya kerugian dari

pihak pengguna (user) itu sendiri. Sehingga mengakibatkan

dapat timbulnya reaksi berantai (chain reaction) dari kebocoran

data tersebut, salah satunya adalah kehilangan kepercayaan oleh

pihak pengguna terhadap pihak pasar daring (marketplace) itu

sendiri.

10
Arda Putri Ramadhani, Perlindungan Hukum Pengguna Marketplace Dalam Hal
Keamanan Data Pribadi Pengguna (Studi Penelitian PT. Tokopedia),
https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/26861, diakses pada tanggal, 11 November 2021,
Pukul 08.30 WIB.
11

2. Pihak PT. Tokopedia yang dalam hal ini bertindak sebagai

pihak ketiga sebagai penyelenggara sistem elektronik, atau

penyedia tempat (platform) dapat menyurati secara elektronik

penggunanya dan melakukan investigasi serta dapat melakukan

kerja sama dengan institusi independen yang memiliki

spesialisasi di bidang keamanan siber untuk dapat

meningkatkan perlindungan data pribadi pegguna (user).

Sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan (prefentif)

agar tidak terjadinya tindakan pidana yang dapat merugikan

pihak pengguna (user).

2. Penelitian yang dilakukan oleh Lalu Handika Prayuda, NPM:

52331897FH15. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gunung

Rinjani, dengan judul penelitan penelitian skripsi: “Tinjauan Yuridis

Terhadap Perjanjian Jual Beli Online (E-commerce) Ditinjau Dari

Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)”,

pelaksanaan penelitian tahun 2019. Yang mengambil rumusan masalah

sebagai berikut11 :

11
Lalu Handika Prayuda, Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Online (E-
Commerce) Ditinjau Dari Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
http://repository.ugr.ac.id:1015/53/, diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul 08.45
WIB.
12

1. Bagaimana cara pengaturan sistem bertransaksi online (E-

commerce) ditinjau dari Undang-Undang Tentang Informasi

Dan Transaksi (ITE)

2. Bagaimana cara syarat sahnya perjanjian jual-beli melalui

online (E-commerce) jika ditinjau dari Undang-Undang

Tentang Informasi Dan Transaksi (ITE)

Kesimpulan:

1. Dalam penelitian ini, memeliki tujuan untuk mengetahui sejauh

mana batasan-batasan pengaturan hukum yang dapat di arahkan

terhadap beberapa konsumen yang ingin melakukan transaksi

daring (online), yang dalam hal ini batasan pengaturan hukum

yang mengatur tentang cara bertransaksi daring (online) yang

melakukan tindakan jual-beli. Melalui aplikasi E-commerce.

Serta sejauh mana penegak hukum dapat mengaplikasi Undang-

Undang Tentang Informasi Dan Transaksi (ITE) di era digital

saat ini.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan tentang keabsahan

dari Pasal 1320 Burgerlijk WetBoek KUHPerdata (Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata) dianggap telah tercapai

apabila pernyataan salah satu pihak diterima oleh pihak lainnya.

Ringkasnya, suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat

salah satu pihak menyatakan sepakat (menyepakati) pokok


13

perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan

tersebutlah yang dijadikan dasar kesepakatan (pernyataan

kehendak) dari kedua belah pihak. Dalam melakukan transaksi

daring (online).

3. Penelitian yang dilakukan oleh Aulia Fajrian Kamaruddin, NIM:

10400116069, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri

Alauddin Makassar, dengan judul skripsi: “Tinjuan Yuridis Transaksi

E-commerce Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur

Dihubungkan Dengan Syarat Sah Perjanjian Pada Pasal 1320

KUHPerdata”, pelaksanaan penelitian tahun 2020. Yang mengambil

rumusan masalah sebagai berikut12 :

1. Bagamana keabsahan dari perjanjian jual-beli menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)?

2. Bagaimana perlindungan hukum para pihak dalam melakukan

transaksi e-commerce?

12
Aulia Fajrian Kamaruddin, Tinjauan YuridisTransaksi E-Commerce Yang
Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur Dihubungkan Dengan Syarat Sah Perjanjian Pada Pasal
1320 KUHPerdata, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/17254/, diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul
09.00 WIB.
14

Kesimpulan:

1. Dalam penelitian ini, mengacu bagaimana sebuah perjanjian

jual beli yang dilakukan oleh seseorang anak yang belum cakap

hukum menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata), yang mengacu pada Pasal 330 KUHPerdata

yang menyatakan kecakapan hukum adalah orang yang telah

dewasa, baik yang berumur 21 tahun ataupun yang telah

menikah, dan anak-anak yang belum cakap umur.

2. Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Pihak yang

dirugikan dalam adanya permasalahan dalam bertrasnsaksi

tidak dapat dibawa melalui jalur hukum atau melalui jalur

pengadilan sesuai dengan Pasal 46 Ayat (1), yang artinya pihak

yang dirugikan dapat membawa keluar alternatif penyelesain

lainnya, seperti : arbitrase, mediasi, ataupun ganti rugi.


15

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengetian Tinjauan Yuridis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Tinjauan,

memiliki arti pandangan, pendapat atau mempelajari. Tinjauan juga

memiliki definisi sudah menyelidiki ataupun sudah mempelajari,

sedangkan yuridis sendiri memiliki arti sebuah aspek hukum13.

Sedangkan Yuridis mempunyai arti hukum atau aturan-aturan yang

telah disahkan oleh pemerintah, yang bersifat mengikat yang berisikan

norma-norma untuk mengatur tingkah laku. Serta menjaga ketertiban bagi

manusia agar tidak terjadinya kerusakan ataupun kekacauan dalam

menjani kehidupan.

Dalam hal ini, jika di defenisikan dalam pengertian hukum kalimat

“Tinjauan Yuridis” memliki arti sebuah pemeriksaan, mempelajari, atau

mengkaji dengan cermat (untuk memahami) secara seksama, suatu

pandangan atau pendapat dari segi hukum.

2. Pengertian Konsumen

Menurut Philip Kotler yang dalam bukunya yang berjudul Prinsiples

Of Marketing, Konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang

membeli atau memperoleh barang dan jasa untuk dikonsumsi pribadi14.

13
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam KBBI Daring,
Tinjauan Yuridis, https://kbbi.web.id/Tinjauan,diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul
09.10 WIB
14
Philip Kotler, 2000, Prinsiples Of Marketing, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 12.
16

Namun berbeda halnya pengetian dari konsumen berdasarkan Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Ayat

2 menyatakan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan dan tidak

untuk di perdagangkan”15.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumen

memiliki arti seseorang atau pemakai barang hasil produksi, penerima

pesan iklan, dan sebagai penerima jasa dari penjual barang dan/atau jasa

tersebut16.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, konsumen sendiri pada dasarnya

dapat dikatakan sebagai satu individu, satu kelompok, ataupun sebuah

organisasi. Mereka memliki berbagai macam peran dan kepentingan dalam

memenuhi keberlangsungan hidup sehari-hari, baik yang bertindak sebagai

pelaku ekonomi dalam kehidupan sehari-hari, ataupun sebagai pemakai

(user) produk-produk kebutuhan sehari-hari.

15
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, mengenai
Ketentuan Umum, https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-
8-tahun-1999, diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul 09.25 WIB.
16
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam KBBI Daring,
Konsumen, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Konsumen, diakses pada tanggal, 11 November
2021, Pukul 09.35 WIB.
17

3. Pengertian Transaksi

Transaksi merupakan suatu kejadian dimana salah seorang penyedia

barang/jasa melakukan tindakan jual beli ataupun melakukan sewa

menyewa barang/jasa tersebut dengan pelaku yang ingin membeli atau

ingin menyewanya. Dalam hal ini kegiatan jual beli ataupun tindakan sewa

menyewa juga dapat dikatakan sebagai transaksi.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

“Transaksi” terbagi atas 2 (dua) kata, yaitu “Trans” dan “Aksi” yang

memeliki arti persetujuan jual beli (dalam perdagangan) antara dua

pihak17.

Pada dasarnya dalam melakukan transaksi sendiri terbagi atas 2 (dua)

jenis, yaitu:

1) Transaksi Internal

Transaksi Internal adalah sejenis transaksi ekonomi yang

melibatkan divisi-divisi yang berada dalam suatu perusahaan yang

melahirkan perubahan kondisi ekonomi suatu perusahaan.

Beberapa contohnya adalah memo dari atasan pada mereka yang

diberi perintah, perubahan nilai finansial karena penyusutan, dan

pemanfaatan dari perlengkapan kantor oleh berbagai divisi.

17
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam KBBI Daring,
Transaksi, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/TRANSAKSI, diakses pada tanggal, 11 November
2021, Pukul 09.40 WIB.
18

2) Transaksi Eksternal

Transaksi Eksternal adalah suatu jenis transaksi yang melibatkan

pihak luar perusahaan dan akan melahirkan sebuah perubahan

kondisi finansial perusahaan. Contohnya adalah suatu kegiatan

transaksi penjualan dengan pihak lain, transaksi pembelian

dengan pihak lain, dan proses pembayaran utang piutang.

4. Pengertian Jual Beli

Secara terminologis, pengertian jual beli dapat diartikan sebagai

sebuah kegiatan tukar-menukar (barter) dengan pihak tertentu, dengan

adanya ketertarikan terhadapa barang yang ingin beli ataupun di jual oleh

kedua belah pihak, dengan menggunakan melakukan sistem pembayaran

yang syah. Sehingga terjadinya kegiatan mengalihkan benda tersebut

kepada pembeli yang berminat ataupun tertarik terhadap benda tersebut.

Dalam KUHPer Pasal 1457 menyatakan bahwa “Jual Beli adalah suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga

yang dijanjikan18.”

18
Kitab Undang-Undang KUHPer, KUHP, KUHAP Beserta penjelasannya, Ibid. Hal. 394.
19

5. Daring (online)

Istilah daring adalah singkatan dari dalam jaringan yang merupakan

terjemahan bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Inggris yaitu online.

Pada umumnya, pengertian daring atau online menyatakan adanya

konektifitas atau yang dalam penggunaannya menyatakan segala sesuatu

yang berhubungan dengan internet atau World Wide Web dengan

menggunakan perangkat tertentu seperti komputer, gadget dan lain-lain.

Daring atau online juga menyatakan kondisi pada suatu alat

perlengkapan atau pada unit fungsional. Dikatakan “daring” apabila telah

memenuhi salah satu dari syarat-syarat sebagai berikut:19

a. Berada dibawah pengendalian secara langsung dari alat yang lain.

b. Berada dibawah pengendalian secara langsung dari sebuah sistem.

c. Tersedia untuk penggunaan segera (realtime).

d. Tersambung pada suatu sistem dalam pengoperasiannya.

e. Fungsional dan siap melayani.

19
Achmad Maulidi, Arti Kata Daring dan Luring, http://www.kanalinfo.
web.id/2016/11/arti-kata-daring-dan-luring.html?m=1, Diakses pada 12 November 2021
Pukul 12.00 WIB.
20

6. Wanprestasi

Istilah wanprestasi pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu

“wanprestatie” yang artinya tidak terpenuhinya suatu perjanjian atau

kewajiban seseorang yang dilakukan terhadap pihak kedua dalam sebuah

perikatatan perjanjian yang telah timbul dibawah Undang-Undang.

Dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer prestasi adalah

semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik

yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan semacam ini

disebut jaminan umum20.

Menurut Abdul R. Saliman, Wanprestasi adalah suatu sikap dimana

seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara

kreditur dan debitur21.

Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan,

cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian 22. Menurut R.

Subekti, Wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4

(empat) macam, yaitu: Pertama, tidak melakukan apa yang telah

disanggupi akan dilakukannya. Kedua, melaksanakan apa yang telah

20
H. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi : Penemuan Kaidah Hukum , Cet.
1, Jakarta, tahun 2018, hal. 107
21
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahan Edisi V, Jakarta, tahun 2004,
hal. 15.
22
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, tahun 2007, hal. 578.
21

diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya. Ketiga, melakukan apa

yang diperjanjikan tetapi terlambat. Keempat, melakukan suatu perbuatan

yang menurut perjanjian tidak dapa dilakukan23.

Menurut Kitab KUHPer Pasal 1243 menyatakan bahwa wanprestasi

adalah “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya

suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan

Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus

diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya

dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”24.

7. Produsen

Produsen dalam Bahasa Inggris memiliki arti “produce” yang artinya

“penyedia” sehingga dapat diartikan juga sebagai seorang penyedia baik

jasa ataupun barang. Umumnya produsen lazim disebut sebagai pelaku

usaha. Dimana pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi.

23
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 2, Pembimbing Massa, Jakarta, tahun 1970, hal.
50.
24
Kitab Undang-Undang KUHPer, KUHP, KUHAP Beserta penjelasannya, Cet. 2,
Ibid. Hal. 394.
22

Berdasarkan Directive, pengertian “produsen” yang disebut juga

pelaku usaha meliputi:25

a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang

manufaktur. Mereka bertanggung jawab atas segala kerugian yang

timbul atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka

edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya

barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya;

b. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;

c. Siapa saja yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-

tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari

suatu barang.

Az. Nasution menyatakan, bahwa produsen atau pelaku usaha dapat

dikelompokan menjadi tiga antara lain:

a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang dan/atau

pelayanan jasa.

b. Penghasil atau pembuat barang dan/atau pelayanan jasa.

c. Penyalur barang dan/atau pelayanan jasa.

25
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafik, Jakarta,
2008, Hal 41.
23

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif

deskriptif. Penelitian normatif adalah merupakan penelitian hukum

yang di lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.26

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian

kepustakaan (library research). Dengan menggumpulkan data-data

yang diambil dari internet, jurnal, serta tulisan-tulisan ilmiah hukum

lainnya.

3. Metode Pengumpulan Data

Dikarenakan penelitian ini merupakan metode penelitian

normatif. Maka, metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), adalah

penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur

(kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil

penelitian terdahulu.27

26
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 2003, hal. 13.
27
IqbaI Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta,
2008, hal. 5.
24

4. Jenis Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Data Primer

Data Primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan

yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

Tentang Informasi, Dokumen dan Transaksi Elektonik, Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer), dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari literatur, buku, jurnal ilmiah, skripsi,

internet, dokumen-dokumen, serta tulisan ilmiah hukum.

c. Data Tersier

Data yang merupakan memberikan petunjuk bagi bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia.

5. Analisis Data

Analsis data merupakan bagian yang sangat vital dalam metode ilmiah,

karena dalam melakukan analisa data dapat memberikan makna yang

berguna dalam memecahkan suatu masalah penelitian. Menganalisa suatu

data merupakan suatu langkah dalam penelitian yang berguna untuk


25

mempertemukan suatu kesenjangan antara teori (das sollen) dan praktik

(das sein). Membangun suatu analisis juga berkaitan dengan pengujian

terhadap teori yang berlaku selama ini.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam

5 (lima) bab yang terdiri atas beberapa sub bab yang menguraikan

permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling

berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci

adalah sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan

terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan.

Bab II : Pengaturan hukum penyelesaian tindakan wanprestasi

dalam aplikasi pasar daring (marketplace), yang terdiri

dari pengaturan hukum terhadap tindakan wanprestasi

secara umum, pengaturan hukum terhadap tindakan

wanprestasi dalam bertransaksi jual beli secara daring

(online), dan penyelesaian penanganan tindakan

wanprestasi.
26

Bab III : Tolak ukur pertanggung jawaban yang diberikan pihak

pasar daring (marketplace) selaku pihak ketiga, yang

terdiri atas penerapan pertanggung jawaban pihak pasar

daring (marketplace) selaku pihak ketiga, jenis-jenis

pertanggung jawaban yang dapat diberikan pihak pasar

daring (marketplace) selaku pihak ketiga, dan

pertanggung jawaban yang diberikan oleh pihak pasar

daring (marketplace) selaku penyedia tempat atau

platform dalam bertransaksi jual beli.

Bab IV: Penyelesaian sengketa wanprestasi dalam aplikasi pasar

daring (marketplace), terdiri atas: penyelesaian sengketa

wanprestasi melalui jalur litigasi, penyelesaian sengketa

wanprestasi dalam menggunakan aplikasi pasar daring

(marketplacae), dan alternatif penyeelesaian sengketa

dalam tindakan wanprestasi melalui aplikasi pasar daring

(marketplace).

Bab V: Merupakan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan

dan saran.
BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK

WANPRESTASI DAN PENYELESAIANNYA DALAM

TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI APLIKASI PASAR

DARING (MARKETPLACE) SECARA UMUM

A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindakan Wanprestasi Secara Umum

Secara umum (general) wanprestasi pada dasarnya berasal dari bahasa

Belanda, yaitu “wanprestatie” yang artinya tidak terpenuhinya suatu perjanjian

atau kewajiban seseorang yang dilakukan terhadap pihak kedua dalam sebuah

perikatatan perjanjian yang telah timbul dibawah Undang-Undang26.

Menurut R. Subekti, Wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang

dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu: Pertama, tidak melakukan apa yang telah

disanggupi akan dilakukannya. Kedua, melaksanakan apa yang telah

diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya. Ketiga, melakukan apa yang

diperjanjikan tetapi terlambat. Keempat, melakukan suatu perbuatan yang

menurut perjanjian tidak dapa dilakukan.27 Sedangkan menurut peraturan yang

telah di tulis di dalam Burgerlijk Wet Boek Kitab Undang-Undang Hukum

26
Ibid. hal. 19
27
R. Subekti, Op. Cit, hal. 50

27
28

Perdata (KUHPer) Pasal 1243, menjelaskan bahwasannya wanprestasi adalah

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu

perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai,

tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus

diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam

waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Adapun unsur-unsur yang tekandung didalam KUHPer Pasal 1243,

adalah sebagai berikut:28

1. Ada perjanjian oleh para pihak;

2. Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah

disepakati;

3. Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi

perjanjian.

Selain dari adanya unsur-unsur yang menyebabkan terjadinya tindakan

wanprestasi, ada juga syarat-syarat tertentu yang yang dapat dianggap sebagai

terjadinya tindakan wanprestasi, yaitu sebagai berikut:

1. Syarat Materil, yaitu sebuah syarat yang terjadi dikarenakan adanya

unsur kesengajaan dalam sebuah perjanjian, dalam hal ini unsur

kesengajaan adalah sebagai berikut :

28
Ibid. hal. 6.
29

a) Kesengajaan, adalah sebuah unsur yang dilakukan oleh

seseorang dengan di kehendaki dan diketahui, serta disadari

oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian terhadap pihak

lain.

b) Kelalaian, adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang yang wajib berprestasi seharusnya tahu atau patut

menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap diambil olehnya

akan menimbulkan kerugian.

2. Syarat Formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau

wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi,

yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditur mengkehendaki

pemabayaran secara langsung atau dalam jangka waktu pendek.

Dalam terjadinya tindakan wanprestasi terdapat beberapa faktor-faktor

indikasi yang dianggp menjadi penyebab terjadinya sebuah tindakan

wanprestasi, diantaranaya adalah sebagai berikut:29

a. Adanya kelalain debitur (nasabah)

Kerugian ini dapat dipersalahakan kepada pihak debitur, jika

ditemukanya unsur kesengajaan ataupun kelalaian dalam peristiwa

yang merugikan pada pihak debitur yang dapat dieprtanggung

jawabkan olehnya.

29
J. Satrio, Op Cit, hal 16
30

Kewajiban-kewajiban yang dianggap sebagai kelalaian

dalam tindakan wanprestasi oleh pihak debitur (nasabah), yaitu

sebagai berikut:

1) Kewajiban untuk memberikan sesuatu yang telah

dijanjikan, dan telah disepakati sebelumnya;

2) Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan yang telah

dijanjikan, dan telah disepakati sebelumnya;

3) Kewajiban untuk tidak melaksanakan kewajiban yang telah

dijanjikan, dan telah disepakati sebelumnya.

b. Adanya keadaan yang memaksa (overmacht / force majure)

Keadaan memaksa ialah merupakan suatu keadaan dimana

tidak dapat terpenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi

suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana yang

tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada

waktu pembuatan perikatan. Dalam keadaan ini memaksa membuat

debitur untuk tidak dapat dipersalahkan dikarenakan karena

keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan juga

kemampuan debitur.

Adapun unsur-unsur yang dianggap sebagai hal pendukung

dalam keadaan memaksa (overmacht / force majure), yaitu sebagai

berikut:
31

1) Tidak dipenuhi prestasi dikarenakannya adanya suatu

peristiwa yang menimbulkan yang menyebabkan rusaknya

objek perikatan, ini selalu bersifat tetap;

2) Tidak dapat terpenuhinya prestasi karena suatu yang

menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat

bersifat tetap ataupun sementara;

3) Peristiwa yang tidak dapat diduga atau tidak dapat diketahui

akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh

debitur ataupun kreditur. Jadi bukanlah kesalahan pihak-

pihak, khususnya debitur.

Namun, ada beberapa kalangan orang yang dapat salah mengartikan

antara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan tindakan wanprestasi, pada

dasarnya perbuatan melawan hukum adalah suatu yang perbuatan terjadi karena

melanggar hukum, yang membawa kerugian terhadap orang lain, yang

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan atau menimbulkan

kerugian itu sendiri, untuk melakukan ganti kerugian tersebut30. Yang

membedakan antara perbuatan melawan hukum (PMH) dengan wanprestasi

adalah unsur yang terkandung didalam perbuatan melawan hukum memiliki

keperbedaan antara tindakan wanprestasi.

30
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5142a15699512/perbuatan-m
elawan-hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana/ diakses tanggal, 11 November
2021, pukul 10.00 WIB.
32

B. Pengaturan Hukum Terhadap Tindakan Wanprestasi Dalam

Bertransaksi Secara Daring (online)

Dalam pengkajiannya secara umum, pengaturan hukum dalam

bertransaksi secara daring (online) pada dasarmya terdapat pada Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi & Transaksi Elektronik31

dalam Pasal 9 dan Pasal 10.

Sedangkan, untuk penjelesan mengenai unsur wanprestasi dalam

penggunaan transaksi secara daring (online) lebih di diatur didalam Pasal 21

ayat 2 huruf (a) yang berbunyi sebagai berikut: “Pihak yang bertanggung jawab

atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: ”Jika dilakukan sendiri, segala

akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung

jawab para pihak yang bertransaksi”.

Serta juga tertera dalam Pasal 21 ayat 3 tentang bagaimana cara

penyelenggaraan pertanggung jawaban dalam penyelesaian perkara dalam

penyelenggaraan transaksi daring (online), namun dalam praktiknya sendiri

penerapan pengaturan hukum terhadap tindakan wanprestasi dalam transaksi

daring (online) hampir tidak ditemukan peraturan hukum yang mengikat.

31
https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/27912/undangundang-nomor-11-tahu
n -2008/ diakses tanggal, 11 November 2021, pukul 10.20 WIB.
33

Namun, berbeda halnya jika transaksi daring (online) yang dilakukan oleh

pihak produsen yang mengalami suatu keadaan keadaan memaksa (overmacht

/ force majure) dalam hal ini yang menyebabkan tertundanya suatu perjanjian

jual beli antara konsumen dan produsen, sehingga tidak dapat terpenuhinya

suatu perjanjian dalam kedua belah pihak. Force Majure atau keadaan

memaksa yang dimaksud adalah keadaaan atau peristiwa yang menyebabkan

suatu keadaan tidak terduga yang dalam hal ini tidak tercapainya sebuah

transaksi.

Sehingga banyak ditemukan beberapa indikasi pelanggaran tindakan

wanprestasi dalam bertransaksi daring (online) yang kemudian hanya berakhir

menjadi Perbuatan Melawan Hukum (PMH), dan tanpa adanya penyelesaian

hukum terhadap pertanggung jawaban yang dilakukan oleh pihak produsen

dalam melakukan tindakan wanprestasi, tanpa adanya pengawasan yang baik

oleh pihak pasar daring (marketplace) yang dalam hal ini merupakan sebagai

penyedia layanan atau sebagai pihak ketiga, yang sekaligus juga sebagai pihak

yang melakukan pengawas.

Dalam hal pengkajian pengaturan hukum terhadap tindakan wanprestasi

dalam bertransaksi secara daring (online), kita dapat mengacu kepada beberapa

peraturan perundang-undanganyang berlaku di Indonesia. Dimana dalam

peraturan perundang-undangan ini terkandung informasi-informasi yang

penting dan relevan dalam melakukan pengkajian terhadap pengaturan hukum

terhadap tindakan wanprestasi dalam bertransaksi secara daring, antara lain:


34

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia.

i. Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer, Pengertian Prestasi.

ii. Pasal 1243, Perumusan pengertian wanprestasi.

iii. Pasal 1246 , Macam-macam metode ganti rugi.

iv. Pasal 1266, Pencantuman syarat batal dalam perjanjian.

v. Pasal 1457, Pengertian jual beli.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi, Dokumen dan Transaksi Elektonik.

i. Pasal 9 dan Pasal 10, Pengaturan terhadap kewajiban pelaku usaha

dalam menawarkan produknya secara daring.

ii. Pasal 18, Pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang

bersifat internasional.

iii. Pasal 21 ayat 2 huruf (a), Pengaturan terhadap unsur wanprestasi

dalam penggunaan transaksi secara daring (online).

iv. Pasal 21 ayat 3, Penyelenggaraan pertanggung jawaban dalam

penyelesaian perkara kerugian akibat kegagalan oprasional dalam

penyelenggaraan transaksi daring (online).

v. Pasal 26, Perlindungan data pribadi dari pengguna tanpa izin.

vi. Pasal 38 ayat (1), Unsur tindakan wanprestasi secara daring.

vii. Pasal 39 Ayat (1) dan Ayat (2), Konsep penyelesaian sengketa

dalam transaksi online.

viii. Pasal 39 ayat 2, Penyelesaian sengketa diluar pengadilan.


35

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen

i. Pasal 1 ayat 2, Pengertian Konsumen.

ii. Pasal 4, Hak konsumen.

iii. Pasal 5, Kewajiban konsumen.

iv. Pasal 7, Kewajiban pelaku usaha.

v. Pasal 8, Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

vi. Pasal 24, Tanggung jawab pelaku usaha.

vii. Pasal 45 ayat 1, Hak konsumen yang dirugikan untuk menggugat

pelaku usaha.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2014 Tentang

Perdagangan

i. Pasal 65 ayat (5), Cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 2008 Tentang Informasi, Dokumen dan Transaksi Elektonik.

f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.


36

C. Penyelesaian Penanganan Tindakan Wanprestasi Secara Umum

(General)

Jenis penanganan hukum yang dapat diberikan terhadap pihak yang

melakukan tindakan wanprestasi, terbagi atas beberapa yaitu:

a) Kewajiban untuk membayar ganti rugi

Ganti rugi merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh

pihak yang dirugikan, guna untuk menuntut kerugian yang

ditimbulkan oleh pihak yang melakukan tindakan wanprestasi.

Sebelum melakukan ganti rugi pihak yang dirugikan hendaknya

melakukan panggilan atau teguran (somasi) terlebih dahulu,

terkecuali dalam pertistiwa-peristiwa tertentu yang membuat tidak

diperlukannya adanya panggilan.

Dalam ganti rugi sendiri sebenarnya telah diatur dalam

KUHPer, ganti rugi diatur dalam Pasal 1243 yang berbunyi, sebagai

berikut: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak

dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur,

walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi

perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau

dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam

waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.32

32
Ibid. hal. 29.
37

Adapun juga berbagai macam metode ganti rugi yang dapat

diberikan sesuai dengan Pasal 1246 KUHPer dengan bunyi “Biaya,

ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas

kerugian yang terlah dideritanya dan keuntungan yang sedianya

diperlukan olehnya, tanpa mengurangi pengecualian dan perubahan

yang disebut dibawah ini”.

Maka dari itu, ganti rugi sendiri hendaknya dihitung

berdasarkan kerugian (material cost), dengan jumlah atau nilai uang

yang hendak diberikan oleh pihak yang melakukan tindakan ingkar

janji tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menhindari kesalahan

dalam penilaian, jika harus diganti melalui cara lain.

b) Pembatalan perjanjian

Pembatan perjanjian merupakan suatu sanksi atau hukuman

yang diberikan apabila tidak tepenuhinya salah satu syarat dalam

perjanjian yang telah dibuat oleh pihak debitur dan kreditur yang

membuat perjanjian tersebut.

Menurut Pasal 1266 KUHPer, menyatakan bahwa: “Syarat

batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal

balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam hal demikian persetujuan tidak battal demi hukum, tetapi

pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan.


38

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal

mengenai tidak terpenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam

persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan,

maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat,

leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi

kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari 1 (satu)

bulan”.

Maka dari itu, batalnya perjanjian ini juga merupkan

kesepakatan yang diambil dan disetujui oleh kedua belah pihak.

c) Peralihan resiko

Sanksi peralihan resiko merupakan sanksi atau hukuman

yang terjadi karena adanya objek atau barang dalam pembuatan

suatu perjanjian antara pihak debitur maupun kreditur. Seperti pada

umunya perjanjian pembiayaan sewa menyewa (leasing), dalam hal

ini pengaturan hukum terhadap sewa menyewa telah diatur dalam

Pasal 1237 KUHPer, yang menyatakan bahwa “Pada suatu perikatan

untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan

kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan

barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan

dilakukan, menjadi tanggungannya.”


39

Sehingga pertanggung jawaban tersebut merupakan

kesalahan akan diberikan kepada pihak kreditur. Yang dianggap

telah lalai melakukan kewajibannya.

Dalam penganganan penyelesaian tindakan wanprestasi cenderung tidak

sepenuhnya melalui jalur litigasi, namun dapat pula diambil langkah jalur non

litigasi atau tanpa melalui pengadilan hukum, sehingga ada beberapa pihak

yang tidak melalui jalur litigasi untuk mencapai kesepakatan bersama dengan

jalur mediasi dengan alasan untuk menghindari jalur pengadilan.

Sehingga menyebabkan ada beberapa pihak yang telah melakukan

tindakan wanprestasi cenderung tidak dapat di angkat ke ranah hukum,

dikarenakan telah selesai di jalur non-litigasi.

Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution),

adalah sebuah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

prosudur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan

dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi ataupun pendapat para

ahli.33 Dalam hal ini penanganan jalur non-litigasi, atau yang lebih dikenal

dengan alternatif penyelesaian sengketa yang diterapkan dalam kasus tindakan

wanprestasi, yaitu sebagai berikut:

33
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya,
Cetakan ke-3, Kencana, Jakarta, tahun 2017, hal. 2
40

a) Konsultasi adalah jalur penyelesaian sengketa yang bersifat

personal antara pihak yang dirugikan dengan pihak lain, dalam hal

ini pihak yang dirugikan ataupun pihak yang lainnya biasanya akan

menyediakan konsultan sebagai pihak ketiga.

b) Negosiasi adalah jalur alternatif penyelesaian sengketa dengan

melalui musyawarah ataupun perundingan untuk mencapainya

kesepakatan bersama antara kedua belah pihak yang berselisih.

c) Mediasi adalah sebuah jalur penyelesaian sengketa yang ditempuh

melalui perundingan dengan adanya bantuan dari pihak luar yang

tidak berpihak pada siapapun (netral).

d) Konsiliasi (consilliation) adalah penyelesaian sengketa yang

dilakukan melalui jalur perundingan dengan melibatkan pihak

ketiga sebagai pihak yang bersifat netral (tidak memihak siapun),

dengan tujuan untuk memebantu pihak yang bertikai dengan tujuan

untuk menemukan bentuk penyelesaian yang dapat di sepakati oleh

segala pihak.

Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Teknologi Pasal 38 Ayat (1) memuat unsur tindakan wanprestasi,

unsur yang dimaksud dalam Pasal ini berbunyi “Setiap orang dapat mengajukan

gugatan terhadap pihak yang meyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau


41

meggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.”34 Dalam

unsur ini menyatakan cukup jelas bahwa kerugian yang dimaksud dapat

ditemukannya celah untuk terjadinya tindakan wanprestasi yang dapat

merugikan pihak konsumen, yang dalam hal ini merupakan pihak yang

dirugikan.

Sedangkan dalam konsep penyelesaian sengketa sendiri dalam transaksi

online diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Teknologi Pasal 39 Ayat (1) dan Ayat (2). Dalam Ayat (1)

menjelaskan bahwa “Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan”._Dalam penindakan gugatan keperdataan ini

dapat disimpulkan pula tindakan wanprestasi_yang terjadi didalam transaksi

daring (online) dapat di angkat ke jalur litigasi atau jalur pengadilan.

Namun tidak menutup kemungkinan melakukan tidakan non-litigasi

dengan cara melibatkan jalur alternatif penyelesaian sengketa yang juga ada

dalam Pasal 39 Ayat (2) yang menyatakan bahwa “Selain penyelesaian gugatan

perdata sebagaimana yang dimaksud_pada ayat (1), para pihak dapat

menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa

alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

34
Ibid. hal. 18
42

Sehingga, ketika munculnya kasus tindakan wanprestasi yang terjadi

antara kedua belah pihak dapat dilakukan pengambilan jalur penyelesaian

sengketa dengan bekerja sama dengan pihak-pihak mediator, yang dalam hal

ini berperan sebagai pihak penegah dalam alternatif penyelesaian sengketa.

Maka dari itu, konsep dari alternatif penelesaian sengketa tindakan

wanprestasi merupakan tindakan yang diambil untuk menyelesaiakan sebuah

sengketa dengan jalur sama-sama menguntungkan (win-win solution) tanpa

merugikan pihak manapun, sehingga penanganan kasus tindakan wanprestasi

yang sering muncul di dalam dunia litigasi terbilang jarang.

Karena dalam hal ini penanganan kasus tindakan wanprestasi yang

menyangkut antara konsumen dan produsen dalam transaksi online_diangkat

melalui ranah litigasi sedikit jumlahnya, dikarenakan jumlah tersebut lebih

banyak di selesaikan melalui jalur non-litigasi, seperti konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, dan lain-lain.


BAB III

PERTANGGUNG JAWABAN YANG DIBERIKAN

PIHAK_PASAR_DARING (MARKETPLACE) TERHADAP

PRODUSEN YANG MENGALAMI WANPRESTASI

A. Penerapan Pertanggung Jawaban Pihak Pasar Daring (marketplace)

Selaku Pihak Ketiga

Untuk dapat menggunakan jasa pasar daring, tentunya seorang pengguna

baik penjual (Seller) ataupun pembeli (Buyer) tentunya harus terlebih dahulu

melakukan tindakan registrasi yang dilakukan masing-masing pihak secara

sadar dan dengan keinginannya sendiri. Selain itu, tindakan registrasi ini juga

berfungsi sebagai identifikasi yang diberlakukan pihak pasar daring kepada

penggunanya untuk membedakan seorang pengguna dengan pengguna lainnya.

Dalam laman registrasi calon pengguna akan diwajibkan untuk mengisi data-

data seperti nama lengkap, alamat e-mail, nomor telepon yang kemudian akan

digunakan sebagai sebuah identitas pengguna untuk dapat bertransaksi dalam

pasar daring. Ketika melakukan pengisian data diri dalam pendaftaran /

registrasi pengguna baru, calon pengguna diwajibkan untuk menceklis atau

menandai kolom Syarat dan Ketentuan (Terms & Conditions).

43
44

Didalam laman syarat dan ketentuan lah dimuat berbagai informasi

penting yang berhubungan dengan seluruh kepentingan dan kewajiban serta hak

yang diperoleh baik oleh penjual dan pembeli bahkan hingga promosi dan

penyelesaian sengketa antar penjual dan pembeli yang terjadi dalam pasar

online tersebut. Meskipun tiap-tiap pasar daring memiliki ketentuannya

masing-masing, inti daripada persetujuan kolom Syarat dan Ketentuan sejak

pendaftaran awal tetaplah sama yaitu untuk menjelaskan bagaimana

melaksanakan itikad baik dalam berbelanja online antar pembeli dan penjual

serta antara pembeli ataupun penjual kepada pasar daring tersebut.

Dalam halnya Pertanggung jawaban oleh penyedia jasa pasar daring

terhadap adanya wanprestasi dalam kegiatan jual beli dalam pasar daring

(marketplace) telah dijelaskan dengan rinci dalam laman User Agreement

(Persetujuan Pengguna) yang disediakan oleh pihak pasar daring saat

melakukan registrasi seperti yang diuraikan diatas. Ketika calon pengguna

menyetujui syarat dan ketentuan yang diterapkan pihak pasar daring

kepadanya, maka secara otomatis calon pengguna akan menyetujui secara

keseluruhan akan ketentuan dan syarat yang ditetapkan pasar daring kepadanya.

Terhadap pemenuhan pertanggung jawabannya, umumnya para penyedia

pasar daring ternama yang menempati posisi pihak ketiga sebagai penghubung

pihak pertama (Penjual) kepada pihak kedua (pembeli) menetapkan sebuah

kalimat dalam bagian batasan pertanggung jawabannya yang memiliki inti yang

hampir serupa yaitu “Pembeli dan Penjual SETUJU bahwa kedua belah pihak
45

ini tidak akan mengajukan klaim / komplain perdata atau pidana terhadap pasar

daring tersebut” dan juga frasa “sejauh yang diizinkan oleh hukum yang

berlaku”. Adanya keharusan pengguna baru untuk langsung menyetujui syarat

dan ketentuan yang ditetapkan tersebut mencegah peselisihan antar pembeli dan

penjual serta penyedia pasar daring bahkan untuk mencapai klaim hukum.

Tetapi frasa “sejauh yang diizinkan oleh hukum yang berlaku” memberikan

sebuah tafsiran bahwasannya apabila ada pelanggaran yang dilakukan tetap

dapat dilakukan tindak hukum atasnya. Dengan kata lain, pembatasan tanggung

jawab oleh pasar daring telah ditentukan sejak pendaftaran awal pengguna baru

dimana sejauh yang diperkenankan oleh hukum, pembeli dan penjual tidak

diperkenankan mengajukan tuntutan hukum atau pertanggung jawaban hukum

terhadap kerugian yang dialami oleh penjual maupun pembeli terhadap pengada

pasar daring itu sendiri.

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Bertransaksi Di Pasar

Daring

Pada penjualan, kontrak dan kesepakatan terbatas pada hal-hal yang

berhubungan dengan penjualan barang-barang pada masa kini dan masa yang

akan datang, dan kontrak penjualan meliputi sebuah transaksi penjualan pada
46

saat ini serta kontrak penjualan pada masa yang akan datang.35 Dalam kontrak

jual beli para pelaku yang terkait didalamya mempunyai hak dan kewajiban

yang berbeda, kewajiban penjual dalam suatu perjanjian jual beli, sebagai

berikut: Menyerahkan hak millik atas barang yang diperjual-belikan.

Kewajiban menanggung kenikmatan tentram dan menanggung cacat-cacat

tersembunyi (vrijwaring, dan/atau warranty).

Hak penjual pada umumnya menentukan harga pembayaran atas

penjualan barang dari konsumen. Hak menerima pembayaran yang sesuai

dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad baik. Hak untuk melakukan pembelaan diri

sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Hak untuk

rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak berakibat oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak atas barang tertentu berpindah tergantung dari keinginan para pihak

berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat, dan untuk menentukan maksud dari

para pihak tersebut, dengan memperhatikan dalam suatu syarat-syarat

perjanjian. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

35
M. Arsyad Sanusi, Transaksi Bisnis dalam E-comerce: Studi Tentang
Permasalahan Hukum dan Solusinya, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 16 Vol.
8 Maret 2001, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jakarta, Tahun 2001. Hal. 38.
47

Perlindungan Konsumen (UUPK), Pembeli dianggap sebagai konsumen

sehingga berdasarkan Pasal 4 UUPK, hak pembeli atau hak konsumen antara

lain:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan.

Hak yang diberikan kepada konsumen (pembeli), harus diimbangkan

dengan kewajiban yang diberikan kepada konsumen agar konsumen tidak

sewenang-wenang dalam melakukan tindakannya, maka hak-hak tersebut

dibatasi. Kewajiban konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPK,

adalah:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.


48

Kewajiban konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk dalam

menggunakan barang dan/atau jasa terkadang dilalaikan oleh konsumen,

biasanya pelaku usaha telah mencantumkan petunjuk pemakaian di dalam

produk yang dibuatnya. Dalam pelaksanaan kontrak jual beli, adanya itikad

baik merupakan hal yang harus dimiliki oleh para pihak. Legalitas atau

keabsahan dari suatu kontrak atau perjanjian khususnya dalam kontrak jual beli

secara elektronik menjadi sebuah fenomena yuridis yang relatif baru bagi

hukum positif Indonesia pada umumnya. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut

terhadap aspek hukum pembuktian pada khususnya.

Proses pembuktian terhadap suatu peristiwa dapat dilakukan dengan

beberapa cara. Menurut Paton dalam bukunya A Textbook Of Jurisprudence

disebutkan bahwa, alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau materiil,

alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan seorang

dalam pengadilan, artinya kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat

bukti yang bersifat oral, alat bukti yang bersifat documentary adalah alat bukti

yang surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti yang bersifat materiil adalah

alat bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen.36

36
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.
Tahun 2002. Hal. 119.
49

C. Perlindungan Hukum Yang Diperoleh Pembeli Terhadap Penjual

Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Transaksi Di Pasar Daring

Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pasar daring perlu dikaji

lebih mendalam. Di era globalisasi sekarang ini, bertransaksi dipasar daring

sedang disukai masyarakat karena adanya pelayanan yang memanjakan

konsumen yang ditawarkan pasar daring di dalam bertransaksi. Selain

perubahan akibat perkembangan perilaku hubungan usaha atau bisnis yang

telah menjadi bagian dari hidup manusia, transaksi yang praktis, nyaman, dan

cepat menjadi nilai tambah konsumen memilih transaksi jual beli online.

Namun hak konsumen di dalam transaksi dalam pasar daring masih sering

diabaikan oleh para pelaku usaha. Masalahnya, banyak konsumen yang tidak

mengetahui ataupun mengertiakan haknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan

kurangnya informasi atau bahkan tidak sampainya informasi mengenai hak–

hak konsumen maupun dampak dari kurangnya kesadaran konsumen sendiri.

Berbagai hak konsumen seperti hak untuk mengetahui bagaimana kondisi

barang, hak peroleh barang sampai tepat pada waktu yang sudah diperjanjikan,

hak untuk mendapatkan harga yang terjangkau dan penawaran yang terbaik,

dan lain sebagainya.

Salah satu contoh kasus yang dilansir dari situs Quora, akun dengan

username Ahmad Ali Fahmi, membagikan pengalamannya berbelanja online di

salah satu penyedia jasa pasar daring. Pesanan oli mobil yang dipesannya

melalui salah satu platform jual beli online tersebut yang setelah diterima dan
50

dicek ternyata bukan merupakan oli. Pembeliannya yang diantarkan ke alamat

kantor tempat ia bekerja diterima oleh satpam karena tiba pada hari libur.

Setelah diantarkan dan diterima oleh satpam, secara otomatis platform

tersebut mengeluarkan pesan otomatis untuk meneruskan pembayaran kepada

penjual. Tetapi setelah ia menerima paket tersebut, ternyata oli yang ia beli

tidak memiliki warna, bau ataupun tekstur seperti oli pada umumnya. Akhirnya

ia tidak dapat mengajukan komplain apapun terhadap ketidaknyamanannya itu.

“hilanglah uang saya yang sekian ratus ribu itu” ujarnya menyesalkan

pembeliannya itu.37

Wanprestasi merupakan keadaan dimana tidak sepenuhnya atau tidak

sama sekali tercapai prestasi yang diperjanjikan di dalam suatu perjanjian.

Wanprestasi di dalam perjanjian jual beli berarti merupakan keadaan dimana

tidak tercapainya prestasi yang terdapat pada isi perjanjian yang disepakati

pihak penjual dan pembeli, baik itu karena murni kesalahan debitur yang

disengaja maupun karena kelalain sehingga kemudian menimbulkan kerugian.

Menurut J. Satrio, Wanprestasi yaitu suatu keadaan dimana debitur tidak

dapat memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya atau

yang sudah diperjanjikan, kesemuanya itu dipersalahkan kepadanya.38 Selain

itu, menurut R. Subekti, wanprestasi adalah suatu kelalaian debitur berupa tidak

37
https://id.quora.com/Bagaimana-pengalaman-terburukmu-saat-berbelanja-online,
Diakses pada 11 November 2021, Pukul 10.30 WIB.
38
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Ctk. Keempat, Pembimbing Masa, Jakarta, Tahun
1979. hal. 59.
51

melakukan apa yang seharusnya disanggupi untuk dilakukan, melaksanakan

apa yang dijanjikan namun tidak sebagaimana yang sudah diperjanjikan,

melakukan apa yang telah diperjanjikan namun waktu pelaksanaan terlambat,

dan melakukan sesuatu hal yang di dalam perjanjiannya tidak boleh untuk

dilakukan.39

Kasus wanprestasi yang dilakukan pelaku usaha selaku penjual sering

kali terjadi dalam pasar daring. Hal tersebut karena jual beli online ini tidak

melibatkan pertemuan secara langsung antara penjual dan pembeli sehingga

terkait kelalaian pemenuhan prestasi ataupun tindak penipuan penjual tidak

dapat dengan mudah di antisipasi oleh pembeli.

Dalam hal jual beli online, pembeli selaku konsumen dapat menyuarakan

pendapatnya mengenai kesannya terhadap penjual. Hal tersebut merupakan

umpan balik (feedback) yang dapat pembeli tuangkan pada kolom ulasan yang

ada terdapat dalam situs jual beli online milik pelaku usaha. Banyak ditemui di

dalam kolom ulasan situs pelaku usaha yang ditulis pembeli mengenai

kesannya membeli barang ditoko online penjual tersebut, seperti barang tidak

sampai tepat waktu, barang sampai tidak sesuai seperti foto atau deskripsi yang

dituliskan penjual dalam kolom deskripsi atau iklan. Hal–hal tersebut tentu saja

merugikan pihak konsumen, karena konsumen membeli suatu barang pasti

karena kepentingan ataupun kebutuhan tertentu.

39
Ibid.
52

Dari kebanyakan kasus wanprestasi di dalam jual beli online atau pasar

daring, sering kali ditemui pelanggaran hak–hak konsumen seperti yang

disebutkan di atas. Pelaku usaha yang tidak dapat memenuhi prestasi

menyebabkan pembeli selaku konsumen mengalami kerugian-kerugian

diantaranya:

a. Biaya

Biaya ini merupakan segala biaya yang sudah dikeluarkan

oleh pihak debitur selaku pembeli di dalam transaksi pasar daring.

Biaya yang dikeluarkan pembeli untuk dapat memesan barang atau

jasa dalam jual beli online, mereka membutuhkan pulsa (berupa

paket data), karena pemesanan dilakukan melalui dunia maya

(cyberspace) sehingga butuh biaya pulsa untuk dapat mengakses

intermet. Selain itu, di dalam transaksi pasar daring terdapat biaya

kirim atau yang biasa disebut dengan “ongkir”.

Apabila pembayaran suatu barang atau jasa disepakati

melalui transfer rekening bank, apabila rekening yang dimiliki

pembeli dengan penjual berbeda bank maka terdapat tambahan

biaya transfer beda bank. Di dalam Pasal 4 huruf b UUPK diatur hak

konsumen berupa hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta

mendaaptkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar

dan kondisi serta jaminan yang di janjikan.


53

Mengenai hal tersebut, meskipun secara umum hal–hal

tersebut bagi sebagian orang tidak mempermasalahkannya tetapi

tidak sedikit pula orang yang keberatan apabila tidak diberikan ganti

rugi terkait hal tersebut. Karena Undang-Undang terkait belum ada

yang mengatur mengenai hal–hal tersebut, untuk itu realitanya

ketika muncul permasalahan seperti diatas penyelesaiannya

menggunakan jalan musyawarah.

b. Waktu guna barang

Di dalam transaksi pasar daring hak konsumen mengenai

ketepatan waktu sampainya barang sering kali lalai diperhatikan

oleh penjual. Seperti misalnya seorang pembeli yang meng-order

barang sepatu pada salah satu akun penjual sepatu online, setelah

memilih barang dan melakukan transaksi sampai kepada

membayarkan sejumlah uang, sepakat sepatu akan sampai kepada

pembeli pada estimasi waktu 3 sampai 4 hari, namun ternyata sepatu

sampai di hari ke-7.

Pembeli merasa dirugikan karena seharusnya pada hari ke-5

pembeli sudah dapat memakai sepatu yang ia pesan ke sebuah acara

karena memang itu alasan pembeli membeli sepatu tersebut. Di

dalam UUPK, belum diatur secara tegas mengenai pelanggaran

terhadap estimasi waktu, namun menurut R. Subekti dalam bukunya

mengenai hukum perjanjian, wanprestasi merupakan kelalaian atau


54

kealpaan berupa 4 macam kondisi, yaitu:40

1. Tidak melakukan apa yang disanggupinya untuk dilakukan

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana

yang dijanjikannya

3. Melakukan apa yang dijanjikanya tetapi terlambat

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

c. Kegunaan barang

Barang tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan secara

maksimal karena barang tersebut sampai ketangan pembeli dengan

keadaan cacat atau tidak sempurna. Seperti misalnya sepatu yang

dikirim penjual kepada pembeli ukurannya lebih kecil dari yang

dipesanoleh pembeli. Hal tersebut terjadi karena penjual tidak

melakukan pengecekan ulang kepada barang sebelum akhirnya

dikirim kepada pembeli.

Hal ini berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha pada Pasal

7 huruf d UUPK yaitu menjamin mutu barang dan/atau jasa serta

memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan dan

pelanggaran atas hak konsumen pada Pasal 4 huruf b UUPK yaitu

hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

40
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan-konsum
en-dala-ecommerce, Diakses pada 11 November 2021, Pukul 10.45 WIB.
55

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan.

Berdasarkan kedua pasal tersebut, barang cacat yang

diterima pembeli merupakan akibat pelanggaran yang dilakukan

penjual yang tidak menjamin mutu serta jaminan kondisi barang.

Selain itu juga terdapat larangan dalam Pasal 8 ayat (2) UUPK yaitu

pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat

atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara

lengkap dan benar atas barang dimaksud.

Kerena ketidaktahuan mengenai hak–haknya sendiri, konsumen rentan

akan tipu daya penjual. Mengenai hal tersebut perlu bagi konsumen untuk

mencari tahu hak–hak seperti apa yang mereka miliki atau dapatkan menurut

hukum–hukum bersangkutan dengan perjanjian jual beli khususnya pasar

daring. Perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi pasar daring dapat

ditemui pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Undang–Undang Nomor 11 Tahun

2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) merupakan dasar

hukum dalam hal konsumen melakukan transaksi pasar daring, sedangkan

Undang–Undang Perlindungan Konsumen berperan sebagai dasar hukum

perlindungan konsumen.
56

Mengenai beberapa pasal yang terdapat di dalam UUPK yang setidaknya

perlu diketahui para pihak isi pasal–pasal yang terdapat di dalamnya, berikut

pembahasannya. Pasal 4 UUPK mengatur mengenai hak–hak konsumen. Isi

pada pasal tersebut diantaranya:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskrimanatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantin apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;


57

i. Hak–hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang–

undangan lainnya.

Di dalam pasal ini jelas tertera hak–hak konsumen yang dilindungi oleh

hukum. Terdapat diantaranya hak–hak konsumen apabila terkena wanprestasi

yang dilakukan pelaku usaha. Seringkali ditemui pelanggaran pada Pasal 4

hururf c, 4 huruf d, 4 huruf g, dan 4 huruf h, yang dilakukan pelaku usaha. Pada

Pasal 4 Huruf c UUPK disebutkan “Hak atas informasi yang benar, jelas, dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”, misalnya pelaku

usaha tidak mencantumkan cacat yang terdapat dalam produk dagangannya.

Pada Pasal 4 huruf d UUPK disebutkan “Hak untuk didengar pendapat dan

keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan”, misalnya sesuatu terjadi

pada barang atau jasa yang dijual seperti halnya terdapat cacat pada barang,

ketika konsumen melakukan komplain pada pelaku usaha justru kontak mereka

di blokir seakan pelaku usaha tidak ingin bertanggung jawab.

Sedangkan pada Pasal 4 huruf h UUPK disebutkan “Hak untuk

mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantin apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya”, kekurangannya berkaitan dengan Pasal 4 huruf c dan

4 huruf d UUPK. Di dalam kekurangan Pasal 4 huruf d UUPK, ketika pelaku

usaha tidak koperatif dengan konsumen perihal wanprestasi yang dilakukannya,

maka secara tidak langsung konsumen tidak mendapat hak kompensasi atau

ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha. Sementara itu Pasal 4
58

huruf g UUPK dapat dikaitkan dengan Pasal 4 huruf h UUPK dimana ketika

tidak mendapat pertanggung jawaban dari pelaku usaha, berarti konsumen tidak

dilayani secara benar dan jujur.

Sedangkan Pasal 7 UUPK menjelaskan mengenai kewajiban–kewajiban

pelaku usaha, diantaranya:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak

sesuai dengan perjanjian.


59

Pasal 7 UUPK mengatur mengenai kewajiban–kewajiban pelaku usaha.

Pasal ini berkaitan dengan Pasal 4 UUPK mengenai hak–hak konsumen. Hak

dari konsumen merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pelaku usaha,

demikian sebaliknya. Ketika hak konsumen tidak dipenuhi oleh pelaku usaha

maka kewajiban bagi pelaku usaha untuk bertanggung jawab. Bentuk tanggung

jawab disini adalah ganti rugi. Seperti yang telah dijelaskan, ganti rugi

merupakan sanksi konsumen yang tidak dapat memenuhi prestasinya kepada

konsumen.

Pasal 8 UUPK mejelaskan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku

usaha. Diantaranya:

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang–undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan

jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam

label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah

dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau


60

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses

pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana

dinyatakaan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa

tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,

komposisi, aturan pakai, tangal pembuatan, akibat sampingan,

nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk

penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan

perundang–undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat

atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap


61

dan benar atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan

pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

Seperti halnya Pasal 4 dan Pasal 7, Pasal 8 UUPK yang menentukan

perbuatan–perbuatan yang dilarang dilakukan bagi pelaku usaha ini juga

berkaitan dengan kedua pasal tersebut. Pasal 8 UUPK menjadi acuan

berperilaku bagi pelaku usaha dalam bertransaksi dengan konsumen.

Mengenai tanggung jawab pelaku usaha terdapat di dalam Pasal 24 Bab

IV UUPK. Berikut isi pasal tersebut:

1. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha

lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan

konsumen apabila:

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan

perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui

adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh

pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan

komposisi.
62

2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari

tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen

apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa

menjual kebali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas

barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 24 UUPK ini menyatakan tanggung jawab yang harus dipenuhi

pelaku usaha apabila konsumen mengalami kerugian. Pertanggung jawaban

tersebut merupakan pemberian ganti rugi. Seperti yang sudah diatur di dalam

Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi

dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau

tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan

perundang–undangan.

Untuk itu pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang

dan/atau jasa yang diperdagangkan sesuai dengan ketentuan standar mutu

barang atau jasa yang berlaku. Ketika pelaku usaha tidak menjalankan

kewajibannya seperti menjamin mutu barang dan/atau jasa yang mereka jual,

maka pelaku usaha dianggap lalai terhadap kewajibannya. Terhadap produsen

yang lalai itulah debitur selaku konsumen dapat meminta ganti rugi yang harus

dibayar oleh pelaku usaha.41

41
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia: dalam Perspektif Perbandingan
(Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, Tahun 2013. hal. 287.
63

Debitur yang berhak meminta ganti rugi akibat lalainya pemenuhan

prestasi oleh kreditur selaku pelaku usaha seperti diatas berlaku juga terhadap

konsumen yang tidak terikat hubungan kontraktual dengan produsen. Karena

tanggung jawab hukum merupakan kewajiban menanggung sesuatu akibat

menurut ketentuan hukum yang berlaku. Ketika ada perbuatan yang melanggar

norma hukum tersebut maka pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban

sesuai dengan norma hukum yang dilanggarnya.42

Perlindungan hukum seperti perlindungan oleh hukum atau perlindungan

dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Perlindungan hukum yang

diberikan pemerintah kepada masyarakat merupakan implementasi atas prinsip

negara hukum berdasarkan pancasila. Dalam hubungannya, penjual dan

pembeli dibatasi oleh hak dan kewajiban yang diatur dalam UUPK. Selain itu,

penyelesaian sengketa juga dimuat dalam UUPK untuk dapat menjamin

kelancaran proses jual beli yang terjadi. Kemudian mengingat transaksi

dilakukan secara daring, maka tentunya sangat diperlukan pengaturan atau

regulasi yang spesifik agar mencegah kejahatan elektronik yang berhubungan

dengan data pribadi. Tentunya regulasi perundang-undangan yang dimaksud

telah menjadi bagian dari kumpulan regulasi yang ada yaitu UUITE.

42
Wahyu Sasongko, Ketentuan – ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,
UNILA, Bandar Lampung, Tahun 2007, hal. 96.
64

Perlindungan hukum sangat diperlukan di dalam transaksi e-commerce

karena rentannya kejahatan termasuk yang berhubungan dengan data pribadi

pengguna internet. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UUITE) belum mengatur mengenai perlindungan data pribadi secara khusus,

tetapi secara implisit UUITE mengatur mengenai pemahaman perlindungan

informasi elektronik baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi.

Terkait perlindungan data pribadi dari pengguna tanpa izin Pasal 26 UUITE:43

a. Penggunan setiap informasi melalui media elektronik yang

menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan

orang yang bersangkutan

b. Setiap orang yang haknya dilanggar sebagaimana dimaksud ayat (1)

dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan

berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sedangkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menjadi

tumpuan untuk memberikan kedudukan lebih kuat bagi konsumen

tidak mengatur mengenai hal keamanan data pribadi.

43
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f235fec78736/dasar-hukum-perlindun
gan-datapribadi-pengguna-internet, Diakses pada 11 November 2021, Pukul 11.00 WIB.
BAB IV

PENYELESAIAN HUKUM WANPRESTASI

DALAM APLIKASI PASAR DARING

(MARKETPLACE)

A. Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Melalui Jalur Litigasi

Upaya hukum yang dapat ditempuh bagi pembeli dalam sengketa jual beli

online adalah melalui dua jalur yaitu jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur

Litigasi atau melalui proses pengadilan, pembeli atau pihak yang dirugikan

dapat mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan aturan Pasal 38 ayat 1

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dimana

dinyatakan bahwa: “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak

yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi

Informasi yang menimbulkan kerugian”.

Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Perdagangan juga menyatakan: Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan

transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang

mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan

atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Kemudian dalam Pasal

45 ayat 1 UUPK juga disebutkan bahwa “Setiap konsumen yang dirugikan bisa

65
66

menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan

sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada

di lingkungan peradilan umum”.

Sedangkan jalur non litigasi atau ADR (Alternative Dispute Resolution),

pembeli dapat menyelesaikan sengketa diluar pengadilan yaitu dengan proses

mediasi, konsiliasi, negosiasi atau arbitrase yang diatur dalam pasal 39 ayat 2

UUITE.44 Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau

mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali

kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 47 UUPK). Upaya hukum dalam

hal transaksi e-commerce bersifat Internasional. Masalah yang muncul dalam

hal terjadi sengketa pada transaksi e-commerce yang bersifat internasional

adalah menentukan hukum/pengadilan mana yang digunakan untuk

menyelesaikan sengketa. Dalam UUITE, pengaturan mengenai transaksi e-

commerce yang bersifat internasional terdapat dalam Pasal 18 UUITE.

Permasalahan lebih lanjut muncul ketika tidak dicantumkannya pilihan

hukum dalam perjanjian e-commerce-nya, ada beberapa teori yang berkembang

untuk menentukan hukum mana yang digunakan / berlaku, diantaranya:

44
Hakiki. Aditya, dkk, Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam Sengketa Jual Beli
Online, Justisia Jurnal Hukum FH Universitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya, Tahun
2017. Hal. 127.
67

1. Mail box theory (Teori Kotak Pos). Dalam hal transaksi e-

commerce, maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana

pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya yang dapat

berarti hukum si pembeli. Untuk ini diperlukan konfirmasi dari

merchant. Jadi perjanjian atau kontrak terjadi pada saat jawaban

yang berisikan penerimaan tawaran tersebut dimasukkan ke dalam

kotak pos (mail box).

2. Acceptance theory (Teori Penerimaan). Hukum yang berlaku adalah

hukum dimana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut

disampaikan. Jadi hukumnya si merchant.

3. Proper Law of Contract. Hukum yang berlaku adalah hukum yang

paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian.

Misalnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, kemudian

mata uang yang dipakai dalam transaksinya Rupiah, dan arbitrase

yang dipakai menggunakan Badan Arbitrase Nasional Indonesia,

maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.

4. The most characteristic connection. Hukum yang dipakai adalah

hukum pihak yang paling banyak melakukan prestasi. Teori ini

menjelaskan bahwa untuk menentukan suatu pilihan hukum yang

akan digunakan adalah dengan mendasarkan terhadap prestasi, hal

ini memberikan perlindungan terhadap pihak yang memberikan

prestasi yang paling banyak untuk mencegah timbulnya kerugian


68

terhadap pihak tersebut, sehingga hukum yang digunakan adalah

hukum si pemberi prestasi terbanyak.45

Selain para pihak dapat menentukan hukum yang berlaku,

para pihak juga dapat secara langsung pengadilan, arbitrase, dan

lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk

menyelesaikan sengketa diantara mereka (Pasal 18 ayat 4 UUITE).

Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce yang bersifat internasional,

sebaiknya menggunakan mekanisme ADR. Alasannya adalah bahwa dengan

menggunakan ADR maka para pihak tidak perlu dipusingkan dengan perbedaan

sistem hukum, budaya dan bahasa. Dasar hokum ADR diIndonesia adalah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Pelaksanaan penyelesaian sengketa e-commerce di

Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan

menggunakan e-mail.

Selain upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak, juga dapat

melalui prinsip tanggung gugat. Prinsip tanggung jawab mutlak adalah prinsip

yang berlaku dalam hal terjadinya wanprestasi. Lemahnya kedudukan

konsumen dalam transaksi e-commerce menjadikan tanggung jawab

45
http://hukumonline.com/klinik_detail.asp, Diakses tanggal 11 November 2021,
Pukul 11.40 WIB.
69

sepenuhnya berada ditangan pelaku usaha. Pelaku usaha akan bertanggung

jawab penuh atas kegiatan usaha yang dilakukannya dalam transaksi e-

commerce.

Dengan demikian, dalam transaksi e-commerce, pihak yang bertanggung

jawab adalah pihak yang melakukan wanprestasi yang dalam hal ini dilakukan

oleh pelaku usaha. Bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh pelaku usaha

adalah ganti rugi sesuai dengan besar kerugian yang diderita oleh konsumen.

Apabila pelaku usaha tidak bertanggung jawab dalam hal melakukan

wanprestasi pada transaksi e-commerce, maka konsumen dapat menempuh

jalur hukum sesuai yang diatur dalam pasal 38 dan 39 UUITE tentang

penyelesaian sengketa dan melaporkannya kepihak yang berwajib.

Namun ketika terjadinya tindakan waprestasi pihak konsumen selaku

pihak yang terlah dirugikan dapat melaporkannya ke kepolisian kemudian dapat

mengajukan somasi (ingebrekestelling) yang artinya pemanggilan kepada

pihak yang bersangkutan, yang dalam hal ini merupakan pihak produsen yang

telah melakukan tindakan wanprestasi terhadap konsumen.

Selain itu, tidak hanya pihak produsen yang dipanggil untuk mengikuti

proses persidangan. Namun, pihak perwakilan pasar daring (marketplace) dapat

diberikan somasi, pemanggilan terhadap pihak pasar daring ini dilakukan

karena pihak pasar daring merupakan pihak yang menyediakan tempat atau

layanan bagi pihak produsen melakukan transaksi jual beli terhadap pihak

ketiga. Maka dari itu, pemanggilan pihak pasar daring disini memiliki peranan
70

sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi.

Selanjutnya proses berjanlannya penyelesaian sengketa akan berjalan

sebagaimana proses hukum, seperti dalam proses peradilan yang sebagaimana

mestinya.

B. Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi (Alternatif) Terhadap

Tindakan Wanprestasi Melalui Aplikasi Pasar Daring (marketplace)

Sengketa dapat diselesaikan di luar Pengadilan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa (UU Arbitrase dan APS) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014

Tentang Perdagangan Pasal 65 ayat (5). Cara penyelesaian sengketa di luar

pengadilan terdiri dari:46

a. Mediasi, yaitu penyelesaian sengketa yang menggunakan jasa pihak

ketiga atau Mediator. Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus

didahului dengan kesepakatan sebelum timbulnya sengketa, yaitu

dicantumkan dalam klausul perjanjian (mediation clause agreement),

atau setelah timbul sengketa kemudian pada pihak membuat

kesepakatan untuk menyerahkan penyelesainnya melalui mediasi

(mediation submission).

46
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta,
Tahun 2014, hal 115-117.
71

Mediation clause agreement sulit dilakukan karena perjanjian

antara produsen dan konsumen tidak tertulis atau tidak dicantumkan

klausul-klasusul secara rinci bahkan orang yang tidak terikat perjanjian

dengan produsen dapat menuntut ganti rugi, sehingga untuk sengketa

konsumen lebih tepat menggunakan mediation submission. Mediasi

ditujukan untuk mencapai hasil penyelesaian sengketa dalam bentuk

kompromi yang bersumber dari kesepakatan para pihak. Keuntungan

dari mediasi adalah dengan dasar kompromi para pihak sehingga para

pihak tidak perlu mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki.

b. Konsiliasi, yaitu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan

yang dapat diartikan sebagai pertemuan antara para pihak yang

bersengketa dibantu oleh pihak ketiga yang disebut konsiliator.

Konsiliator memfasilitasi komunikasi antara para pihak untuk

menghasilkan solusi yang dapat diterima oleh para pihak. Konsiliator

memberikan pendapat atas sengketa yang disampaikan oleh para pihak.

Namun, pendapat konsiliator tidak mengikat para pihak, sehingga

penyelesaian sengketa melalui konsiliasi sangat tergantung pada

kesukarelaan para pihak.

c. Arbitrase, yaitu alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak

yang bersengketa. Lembaga yang menaungi arbitrase adalah Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), terbentuk sejak 30 November


72

1977, berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri

(KADIN) Nomor SKEP/152/DPH//1977.

Arbitrase dengan bentuk peradilan dapat dilaksanakan oleh para

pihak apabila para pihak telah mencantumkan klausul arbitrase dalam

perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian

arbitrase setelah timbulnya sengketa di antara mereka. Kelebihan dari

arbitrase ini adalah putusannya final dan mempunyai kekuatan hukum

tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase memiliki kekuatan

eksekutorial sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi

putusan secara sukarela, pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke

pengadilan.

Walaupun memiliki kelebihan, arbitrase memiliki kekurangan,

seperti biaya lebih mahal dibanding penyelesaian sengketa di luar

pengadilan dan hampir sama denga biaya melalui litigasi; selain itu pada

arbitrase penyelesaiannya lambat bahkan bertahun-tahun, apalagi kalau

terjadi perbedaan pendapat tentang penunjukkan arbitrase atau hukum

yang hendak diterapkan, hal ini membuat penyelesaian bertambah rumit

dan panjang.

Dari ketiga macam penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut,

mediasi lebih menguntungkan para pihak karena bertujuan untuk mencapai

kompromi dari para pihak sehingga kesepakatan dapat diterima oleh para pihak,

walaupun tidak mengikat dan final.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berikut merupakan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang

telah dilakukan:

1. Wanprestasi merupakan sebuah tindakan dimana prestasi yang

diperjanjikan tidak tercapai sebagian ataupun sepenuhnya. Wanprestasi

yang dilakukan penjual harus memenuhi syarat formil (kelalaian debitur

atau force majure / keadaan memaksa) dan materil (kelalaian dan atau

kesengajaan). Wanprestasi diatur secara umum pada Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi & Transaksi Elektronik. Namun,

dalam praktiknya hampir tidak ditemukan peraturan hukum yang mengikat

transaksi daring. Dalam hal penyelesaiannya, sengketa wanprestasi

umumnya diselesaikan dengan memenuhi kewajiban membayar ganti

kerugian, pembatalan perjanjian, dan peralihan resiko melalui jalur litigasi

maupun non litigasi.

2. Pertanggung jawaban para pihak tentunya merupakan sebuah hal yang

patut diperhatikan. Secara luas, pertanggung jawaban pasar daring selaku

pihak ketiga telah dituangkan terhadap persetujuan yang harus disetujui

pengguna baru saat hendak mendaftar sebagai pengguna jasa pasar daring.

73
74

Pihak penyedia jasa pasar daring juga tentunya wajib memberikan jaminan

terkait perlindungan data pribadi dari pengguna tanpa izin Pasal 26 UUITE.

Sedangkan bagi hak konsumen telah dijelaskan pada Pasal 4 UUPK dan

kewajibannya dalam Pasal UUPK. Bagi penjual, Pasal 7 UUPK telah

menjelaskan kewajiban-kewajiban penjual dilengkapi Pasal 8 UUPK

sebagai batasan larangan bagi pelaku usaha.

3. Dalam hal penyelesaian sengketa wanprestasi, tentunya dapat dilakukan

melalui jalur litigasi ataupun non litigasi. Sesuai Pasal 38 Ayat 1 UU ITE,

maka setiap orang yang dirugikan oleh penyelenggara Sistem Elektronik

dan/atau menggunakan Teknologi Informasi dapat mengajukan gugatan ke

pengadilan (Litigasi). Pasal 65 Ayat 5 UU Perdagangan yang seturut

dengan Pasal 45 UUPK, menerangkan konsumen yang mengalami

kerugian dalam transaksi daring maupun secara langsung dapat menggugat

pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas yaitu lembaga peradilan.

Sedangkan penyelesaian sengketa wanprestasi secara non litigasi dicapai

dengan menggunakan beberapa metode seperti mediasi, konsiliasi, atau

arbitrase seperti yang dijelaskan dalam UU Arbitrase dan APS dan Pasal

65 Ayat 5 UU Perdagangan. Mediasi menyediakan jalan tengah dengan

cara berkompromi antara para pihak yang dibantu oleh Mediator sebagai

pihak ketiga namun penyelesaian tidak bersifat mengikat. Hal serupa juga

berlaku terhadap konsiliasi dimana terjadi pertemuan antar para pihak yang

difasilitasi konsiliator dan hanya mengandalkan kesukarelaan para pihak


75

untuk menjalankan solusi yang telah dicapai. Berlainan halnya dengan

Arbitrase yang putusannya bersifat final atau mengikat meskipun

prosesnya lambat yang membuat penyelesaiannya rumit dan panjang.

B. Saran

Adapun saran yang dapat saya sampaikan ialah sebagai berikut:

1. Mengingat kurangnya pemahaman akan wanprestasi oleh rakyat dalam

bertransaksi secara daring dengan mempertimbangkan akan keunggulan

dan juga minat masyarakat dalam bertransaksi dalam pasar daring serta

demi membantu masa depan perkembangan sistem perdagangan di

Indonesia. Maka, seharusnya pemerintah memberikan sosialisasi dan

setidak-tidaknya pengadaan pendidikan ringan terhadap wanprestasi dan

cara menghindarinya agar dapat memberikan pemahaman mendasar

kepada para pihak yang terlibat dalam terjadinya transaksi perdagangan

secara daring. Pihak penyedia jasa pasar daring juga tentunya diharuskan

agar dapat secara kreatif memberikan pemahaman yang baik dan interaktif

kepada pengguna baik penjual maupun pembeli. Suatu peraturan tentunya

akan terlaksana lebih baik apabila subjek yang diatur mengetahui dasar-

dasar perbuatannya dalam hal ini hak dan kewajiban masing-masing pihak.
76

2. Mengingat tingginya tingkat ketidakpuasan pengguna terhadap layanan

pasar daring, dan demi memberikan kepastian dan jaminan originalitas

ataupun validitas kepada pembeli serta untuk memberikan kepastian

hukum atas hak dan kewajiban penyelenggara pasar daring, pembeli dan

penjual. Maka, pemerintah tentunya diharuskan untuk dapat memacu

percepatan pemerataan informasi terkait kewajiban dan hak para pihak agar

terhindar dari sengketa wanprestasi. Selain itu, pihak penyelenggara juga

harus secara kreatif dan interaktif memberikan pemahaman yang lengkap

terhadap hak dan kewajiban pengguna baik sebagai pembeli maupun

penjual dapat berupa konten ataupun dengan penjelasan singkat setelah

pendaftaran demi tercapainya kesetaraan informasi hak dan kewajiban

pengguna nantinya.

3. Untuk mengatasi minimnya pengetahuan penyelesaian sengketa

wanprestasi dalam kalangan pengguna jasa pasar daring, serta agar tercapai

pemerataan pemahaman alur penyelesaian sengketa. Maka, seharusnya

pemerintah memberikan pemahaman yang baik akan tata cara penyelesaian

sengketa sehingga dapat mengoptimalkan jalur penyelesaian sengketa

secara alternatif (non litigasi) yang dapat berpotensi meminimalkan beban

tanggungan pekerjaan (workload) pengadilan mengingat jalur litigasi yang

seharusnya merupakan ultimum remedium atau suatu usaha terakhir dalam

menyelesaikan sengketa. Dalam usaha mengoptimalkan penyelesaian

perkara wanprestasi, maka penting bagi pihak penyelenggara untuk dapat


77

menghadirkan solusi untuk dapat dengan mematuhi hukum yang berlaku

di Indonesia menyediakan alternatif penyelesaian sengketa yang lebih

interaktif dan juga lebih singkat sehingga prestasi yang dijanjikan dapat

tetap dipenuhi kedua belah pihak ataupun apabila telah terjadi wanprestasi,

sehtidak-tidaknya dapat membuat alur penyelesaian sengketa lebih singkat

dan mudah antara pihak yang terlibat.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmadi Miru, 2014, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,

Rajawali Pers, Jakarta.

Abdul R. Saliman, 2004, Hukum Bisnis Untuk Perusahan Edisi V,

Jakarta.

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen,

Sinar Grafik, Jakarta.

Damsar, & Indrayani, 2018, Pengantar Sosiologi Pasar, Cet. 1,

Prenada media Group, Jakarta.

H. Amran Suadi, 2018, Penyelesaian Sengketa Ekonomi: Penemuan

Kaidah Hukum, Cetakan ke-1, Jakarta.

Susanti Adi Nugroho, 2017, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan

Penerapan Hukumnya, Cetakan ke-3, Kencana, Jakarta.

Hakiki. Aditya, dkk, 2017, Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam

Sengketa Jual Beli Online, Justisia Jurnal Hukum FH Universitas

Muhammadiyah Surabaya, Surabaya.

78
79

IqbaI Hasan, 2008, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, Bumi

Aksara, Jakarta.

J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Penerbit Alumni,

Bandung.

M. Arsyad Sanusi, 2001, Transaksi Bisnis dalam E-commerce: Studi

Tentang Permasalahan Hukum dan Solusinya, dalam Jurnal Hukum

Ius Quia Iustum, No. 16 Vol. 8 Maret 2001, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, Jakarta.

Philip Kotler, 2000, Prinsiples Of Marketing, Rajawali Pers, Jakarta.

R. Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Cet. 2, Pembimbing Massa,

Jakarta.

R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cet. 4, Pembimbing Masa,

Jakarta.

Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia: dalam Perspektif

Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta.

Salim HS, 2008, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Raja

Grafindo Persada, Jakarta.


80

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif:

Suatu Tinjauan Singkat, PT. Jakarta Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Suratman dan Philips Dillah, 2015, Metode Penelitian Hukum,

Alfabeta, Bandung.

Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),

Liberty, Yogyakarta.

Teguh Prasetyo, 2011, Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum (Studi

Penelitian Ahli Hukum Sepanjang Zaman), Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan – ketentuan Pokok Hukum

Perlindungan Konsumen, UNILA, Bandar Lampung.

Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua,

Alumni, Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pedata Republik Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


81

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi, Dokumen dan Transaksi Elektonik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 2008 Tentang Informasi, Dokumen dan Transaksi Elektonik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2014 Tentang

Perdagangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen

Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Nomor.

SKEP/152/DPH//1977.

C. Jurnal Ilmiah

Arda Putri Ramadhani, Perlindungan Hukum Pengguna Marketplace

Dalam Hal Keamanan Data Pribadi Pengguna (Studi Penelitian

PT. Tokopedia), Oktober 2020.


82

D. Skripsi

Aulia Fajrian Kamaruddin, Tinjauan YuridisTransaksi E-Commerce

Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur Dihubungkan Dengan

Syarat Sah Perjanjian Pada Pasal 1320 KUHPerdata, Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Juni

2020.

Lalu Handika Prayuda, Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli

Online (E-Commerce) Ditinjau Dari Undang-Undang Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Hukum

Universitas Gunung Rinjani Selong, Desember 2019.

E. Internet

Achmad Maulidi, Arti Kata Daring dan Luring, http://www.kanalinfo.

web.id/2016/11/arti-kata-daring-dan-luring.html?m=1, Diakses

pada 12 November 2021 Pukul 12.00 WIB.

Arda Putri Ramadhani, Perlindungan Hukum Pengguna Marketplace

Dalam Hal Keamanan Data Pribadi Pengguna (Studi Penelitian

PT. Tokopedia), https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/268 61,

diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul 08.30 WIB.


83

Aulia Fajrian Kamaruddin, Tinjauan YuridisTransaksi E-Commerce

Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur Dihubungkan Dengan

Syarat Sah Perjanjian Pada Pasal 1320 KUHPerdata, Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,

http://repositori.uin-alauddin.ac.id/17254/, diakses pada tanggal,

11 November 2021, Pukul 09.00 WIB.

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210106203654-206-590

402/e-commerce-diingatkan-belanja-offline-bisa-meningkat-2021,

diakses tanggal, 11 November 2021, pukul 08.00 WIB.

https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/27912/undangundang-

nomor-11-tahun-2008, diakses pada, 11 November 2021, pukul

10.20 WIB.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5142a15699512/p

erbuatan-melawan-hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-

pidana/ diakses pada, 11 November 2021, pukul 10.00 WIB.

https://id.quora.com/Bagaimana-pengalaman-terburukmu-saat-berbel

anja-online, diakses pada, 11 November 2021, Pukul 10.30 WIB.


84

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindun

gan-konsumen-dala-ecommerce, Diakses pada 11 November 2021,

Pukul 10.45 WIB.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f235fec78736/dasar-hu

kum-perlindungan-datapribadi-pengguna-internet, Diakses pada

11 November 2021, Pukul 11.00 WIB.

http://hukumonline.com/klinik_detail.asp, Diakses tanggal 11

November 2021, Pukul 11.40 WIB.

https://www.paper.id/blog/headline/toko-online-di-indonesia/ Diakses

pada tanggal 11 November 2021, pukul 07.45 WIB.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam

KBBI Daring, Tinjauan Yuridis, https://kbbi.web.id/Tinjauan,

diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul 09.40 WIB.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam

KBBI Daring, Transaksi, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/TRAN

SAKSI, diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul 09.10 WIB

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam

KBBI Daring, Konsumen, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Kons

umen, diakses pada tanggal, 11 November 2021, Pukul 09.35 WIB.


85

Lalu Handika Prayuda, Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli

Online (E-Commerce) Ditinjau Dari Undang-Undang Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),

http://repository.ugr.ac.id:1015/53/, diakses pada tanggal, 11

November 2021, Pukul 08.45 WIB.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

mengenai Ketentuan Umum, https://www.hukumonline.com/

pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-8-tahun-1999, diakses

pada tanggal, 11 November 2021, Pukul 09.25 WIB.


OUTLINE

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONSUMEN


DALAM TRANSAKSI JUAL BELI SECARA
DARING (ONLINE) TERKAIT WANPRESTASI
YANG DILAKUKAN OLEH PRODUSEN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Keaslian Penelitian
F. Tinjauan Pustaka
G. Metode Penelitian
H. Sistematika Penulisan

BAB II PENGATURAN HUKUM PENYELESAIAN TINDAKAN


WANPRESTASI DALAM APLIKASI PASAR DARING
(MARKETPLACE)

A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindakan Wanprestasi Secara


Umum
B. Pengaturan Hukum Terhadap Tindakan Wanprestasi Dalam
Bertransaksi Jual Beli Secara Daring (online)
C. Penyelesaian Penanganan Tindakan Wanprestasi
BAB III PERTANGGUNG JAWABAN YANG DIBERIKAN
PIHAK PASAR DARING (MARKETPLACE) TERHADAP
PRODUSEN YANG MENGALAMI WANPRESTASI

A. Penerapan Pertanggung Jawaban Pihak Pasar Daring


(marketplace) Selaku Pihak Ke-tiga
B. Kewajiban dan Hak Para Pihak Dalam Bertransaksi Di Pasar
Daring
C. Perlindungan Hukum Yang Diperoleh Pembeli Terhadap
Penjual Yang melakukan Wanprestasi Dalam Transaksi
Pasar Daring

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI DALAM


APLIKASI PASAR DARING (MARKETPLACE)

A. Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Melalui Jalur Litigasi


B. Alternatif Peneyelesaian Sengketa Dalam Tindakan
Wanprestasi Melalui Aplikasi Pasar Daring (marketplace)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai