Anda di halaman 1dari 20

Pembagian Warisan Laki-Laki dan Perempuan

Bagi Suku Batak Berdasarkan Putusan


Mahkamah Agung Dan Pengadilan Negeri

Harialdi Dharmawan Syahputra 227011047


Mora H.Ramadhan Panggabean 227011089
Ricardo Calvin Enoni Nazara 227011092
I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Masyarakat Indonesia lebih cenderung menggunakan hukum adat untuk
mengatur tentang pewarisan,karena hukum adat merupakan hukum
yang lahir, hidup dan berkembang dari nilai-nilai masyarakat Indonesia
sehari-hari.
Berdasarkan hal tersebut, hkum adat sangat relevan digunakan untuk
mengatur tentang pewarisan pada masyarkat Indonesia.
Pertikaian terkait warisan bisa muncul karena berbagai penyebab, salah
satunya adalah pembagian harta warisan yang dirasa tidak adil oleh
salah satu pihak atau beberapa pihak ahli waris.
Salah satu rasa ketidak-adilan ini dapat dijumpai pada sistem pembagian
harta warisan di Kota Kabanjahe dimana manyoritas penduduknya
adalah suku Batak Karo sehingga dalam hal kewarisan sistem pembagian
harta yang digunakan adalah hukum waris adat Batak karo.
Namun seiring berjalannya waktu, pewarisan dalam hukum adat
masyarakat Batak Karo ini mengalami pergeseran dilihat dari adanya
putusan-putusan pengadilan selama ini.
Salah satu putusan yang bertentangan dengan hukum waris menurut
adat Batak Karo adalah putuan Mahkamah Agung No.179 K/SIP/1961
Adanya yurisprudensi ini kemudia menimbulkan dualisme proses
pewarisan pada masyarakat Batak Karo, yaitu pembagian harta
warisan yang sama bagianak Laki-Laki dan anak perempuan dan
pembagian harta waris dimana harta waris hanya diberikan kepada
anak Laki-Laki saja.
Tetapi dari sudut lain kita juga dapat melihat bahwa masih banyak
masyarakat Batak Karo yang mempertahanakan hukum waris adat
lama, yaitu masih dipakainya ketentuan bahwa anak Laki-Laki saja
yang memperoleh harta warisan dari orang tuanya, terutama di Kota
Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara
II.RUMUSAN MASALAH
Adapun Rumusan masalah yang akan kami bahas,yaitu
1. Bagaimana Latar Belakang Keputusan Hakim Terhadap
Putusan Mahkamah Agung 179 K/SIP/1961?
2. Apakah Dampak(Side Effect) Yang Timbul Dari Munculnya
Putusa Mahkamah Agung Nomor 179 K/SIP/1961 Dalam
Masyarakat Batak karo Di Kota Kabanjahe Pasca Keluarnya
Yurisprudensi?
3. Bagimana Pengaruh Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 179 K/SIP/1961Terhadap
Mewarisi Harta pada Masyarakat Batak Karo DI Kota
Kabanjahe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara?
III.PEMBAHASAN
A.Latar Belakang Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan Putusan Nomor 179 K/SIP/1961
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan akan
sangat menentukan apakah putusan seorang hakim dianggap telah
memenuhi rasa keadilan dan dapat dipertanggung jawabkan atau
tidak.
Sumber hukum yang dapat diterapkan oleh hakim dapat berupa
peraturan perundang-undangan berikut peraturan pelaksanaannya,
hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu
pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli.
Adapun Putusan Hakim terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia No.179 K/SIP/1961 pada pengadilan Kabanjahe,
maka dapat diambil beberapa dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan tersebut, yaitu:
1. Bahwa hakim yang memutuskan perkara ini mengetahui
betul ruang lingkup atas suatu peristiwa yang konkret,
maka hakim terlebih dahlulu perlu memperoleh kepastian
tentang sengketa yang terjadi , dan putusan yan adil secara
universal, baik pada perempuan maupun Laki-Laki.
2. Bahwa hakim memuat asas-asas hukum waris adat
terhadap putusan MA nomor 179 K/SIP/1961, yaitu :
a. Asas ketuhanan Dan Pengendalian Diri
b. Asas Kesamaan Hak Dan Kebersamaan Hak
c. Asas Kerukunan Dan Kekeluargaan
d. Asas Musyawarah dan Mufakat
e. Asas Keadilan Dan Parimirma.
Jika dilihat secara sekilas dapat dikatakan hakim dalam
menjatuhkan putusan ini telah mengesampingkan hukum
adat yang hidup di dalam masyarakat.
Namun disisi lain hakim bertujuan untuk mencapai keadilan
yang universal, sehingga keputusan hakim dalam perkara ini
telah memenuhi asas keadilan.
Oleh karena itu , baik Penggugat maupun tergugat
mendapatkan harta warisan.
B.Dampak Yang Timbul Dalam Masyarakat Batak Karo Dikota
Kabanjahe Pasca Keluarnya Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 179 K/Sip/1961
Yurisprudensi ini menimbulkan dampak bagi masyarakat
suku Batak Karo dan beberapa masyarakat diluar suku
Batak Karo.
Dampak yang timbul dari lahirnya Yurisprudensi ini tidak
sekaligus muncul, melainkan secara bertahap.
Pembagian ke dalam beberapa tahap/fase ini kami
tuangkan ke dalam bagan atau Putusan Mahkamah Agung
sesuai dengan putusan yurisprudensi ini tercantum
Bagan/Skema Putusan Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Agung Tanggal 23 Oktober


Tanah Karo
Nomor 179K/SIP/1961 1961

Putusan Mahkamah Agung


Tanggal 16 Juni 1971 Tapanuli
Nomor 415 K/SIP/1970

Putusan Mahkamah Agng Taggal 16 November


Bali
Nomor 4766 K/Pdt/1998 1999
Putusan Mahkamah Agug Tanggal 26 September Rote Ndao Nusa
Nomor 1048 K/Pdt/2012 2012 Tenggara Timur

Putusan Mahkamah Agung


18 April 2017 Tionghoa
Nomor 147 K/Pdt/2017

Putusan Mahkamah Agung


19 Juni 2017 Batak Toba
Nomor 573 K/Pdt/2017
Putusan Mahkamah Agung Manggarai Nusa
Tanggal 10 Juli 2017
Nomor 1130 K/Pdt/2017 Tenggara Timur

Putusan Mahkamah Agung


Tanggal 4 Agustus 2017 Yurisprudensi
Nomor 3 Tahun 2017

Tidak adanya putusan,hanya 1


Putusan Mahkamah Agung
Dokumen Tidak Ada Putusan,yaitu Putusan Mahkamah
Nomor 100 Tahun 1979 Agung Nomor 179 K/SIP/1961
Memiliki Contoh
Kasus Yang Sama
Putusan
Mahkamah
Agung Yaitu
sebagai berikut :

P
tu san h Ma utusa
Pu kama or Ag hka n
h m 179 ung N mah
Ma g No /201 K o
un G
Ag /Pdt. edan Kab /SIP/ mor
0 anj 196
58 Pn.M ah 1
e
5
C. Pengaruh Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179k/Sip/1961 Terhadap Hak Mewaris Pada Masyarakat
Batak Karo Di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara

Bila membicarakan pengaruh hukum dalam masyarakat, berarti


membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau
memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum.
Bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh
peraturan hukum.
Saruddin Bangun mengatakan, bahwa di desa dimana ia menjabat
sebagai pengetua adat tidak banyak masyarakat yang mengetahui
eksistensi/keberadaan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia No.179 K/SIP/1961, bahkan ia tahu tentang adanya
yurisprudensi tersebut, sehingga biasanya para pihak kemudian akan
lebih memilih menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah
dan mufakat tanpa melalui jalur peradilan nasional (peradilan negara)
Menurut Damenta Tarigan, sebagian besar masyarakat di
Desa Seberaya mengetahui tentang keberadaan
yurisprudensi yang menyamakan hak waris antara Laki-Laki
dan perempuan tersebut.
Hanya saja masyarakat lebih memilih untuk menggunakan
hukum adat yang sudah berkembang dalam hal pembagian
warisan.
Hal tersebut dikarenakan, masyarakat Desa Seberaya yang
menjunjung tinggi hukum adat yag berlaku dan merasa
masih lebih nyaman untuk menggunakannya serta sebagai
sebuah penghormatan kepada para leluhur dan nenek
moyang yang telah dengan susah payah menciptakan
hukum tersebut.
Menurut R. Ginting, masyarakat Kota Kabanjahe sudah
sangat banyak yang mengetahui keberadaan yurisprudensi
tersebut, karena masyarakat Batak Karo di Kota Kabanjahe
cara berpikirnya sudah lebih maju (open minded).
Secara sosialisasi hukum juga Kota Kabanjahe dapat
dikatakan lebih baik apabila dibandingkan dengan daerah
pelosok/pedesaan di Tanah Karo.
Oleh Karena itu, dalam pembagian warisan, masyarakatnya
menggunakan sistem pembagian harta warisan yang sama
bagiannya antara Laki-Laki dengan Perempuan sesuai
dengan isi putusan yang tercantum di dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179 K/SIP/1961.
Sifat hukum adat berkaitan erat dengan unsur-unsur
agama, tradisi, spiritual, kepercayaan dan kenyakinan
masing-masing agama, akan menimbulkan masalah dalam
usaha pembetuka hukum yang baru.
Tentu saja akan menimbulkan konsekuensi terbenturnya
yurisprudensi tersebut dengan keanekaragaman agama dan
kepercayaan yang dianut, serta majemuknya sistem
kekeluargaan di Indonesia.
kenyataanya memang usaha-usaha perombakan hukum
adat menuju hukum nasional dari tiap-tiap daerah selalu
menempuh jangka waktu dan pembahasan yang relatif
lama.
IV.KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan yang telah kami sampaikan dalam
presentasi hukum waris adat, maka dapat kami simpulkan
bahwa pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan dan
keadilan gender sebagaimana termuat di dalam berbagai
putusan di atas kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung
melalui fungsi pengaturan atau legislasi dengan diberlakukannya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan
Hukum pada Tanggal 4 Agustus 2017 (Yurisprudensi)
Dengan telah Konsistennya sikap Mahkamah Agung sejak Tahun
1961 terkait hak yang sama antara Laki-Laki dan Perempuan
dalam kewarisan, maka sikap hukum ini telah menjadi
yurisprdensi di Mahkamah Agung.
V.SARAN
Adapun saran yang ingin kami sampaikan dalam presentasi
yang telah kami laksanakan terhadap putusan tersebut
diatas adalah
1.Kesamaan hak memang sudah diatur oleh UU Hak Asasi
Manusia,namun apabila ada sebuah
permasalahan,seharusnya dibicarakan secara musyawarah
dan mufakat, sebelum ke persidangan, sehingga nilai-nilai
pancasila tercapai dalam kehidupan sehari-hari
2.Jangan sampai Hukum Adat yang berlaku pada
masyarakat hilang oleh zaman terhadap putusan ini,
sebelum berlakunya putusan ini terhadap sebuah hukum,
hukum adat sudah berlaku sebelum putusan ini disahkan
3.Jangankan Hukum Adat, Hukum Islam sendiri mengatur
pembagian harta lebih banyak kepada Laki-Laki yaitu ½ dari
harta yang dimiliki oleh harta yang dimiliki oleh orang tua
dan ¾ untuk perempuan, sehingga pembagian harta
kekayaan sebetulnya lebih banyak kepada laki-laki apapun
itu hukum yang dilakukan,oleh karena itu gunakan hukum
yang sudah ada terdahulu untuk kehidupanmu sehari-
hari,jangan sampai karena ingin harta yang berlebih, kamu
menghilangkan hukum-hukum yang terdahulu sudah ada.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai