Anda di halaman 1dari 4

Nama: Yessica Irene Sembiring

NIM: 190200033

Mata Kuliah: Hukum Adat Lanjutan

Dosen Pengampu: Khairuna Malik Hasibuan SH.,M.Kn

Yusrispridensi yang berkaitan dengan hukum waris adat diantaranya adalah:

1. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 179/K/SIP/1961

Hukum Waris Adat yang cukup penting untuk diketahui adalah terkait dengan lahirnya
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179 K/SIP/1961 yang melahirkan
penemuan hukum adanya persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan anak perempuan pada
masyarakat Patrilineal Batak. Dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.179 K/SIP/1961 tersebut dalam perkembangannya telah menjadi suatu Yurisprudensi tetap dari
Mahkamah Agung. Melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179 K/Sip/19614 ,
tanggal 23 Oktober 1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak pewarisan antara anak laki-laki
dengan anak perempuan (suatu putusan atas kasus di Tanah Karo), meskipun putusan Mahkamah
Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru
menyetujui hal tersebut kemudian diikuti beberapa putusan-putusan Mahkamah Agung yang
subtansinya mengakui dan memberikan kedudukan hak mewaris bagi anak perempuan pada
masyarakat Patrilineal Batak.

2. Yurisprudensi Nomor 3/Yur/Pdt/2018

Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hakatas
warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian
(porsi) yang sama dengan laki-laki.
3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 60. K/AG/1996, Tanggal 20 Agustus 1997

Harta peninggalan (Harta Tirkah) masih belum dibagi-bagikan kepada Ahli waris yang berhak.
Ternyata kemudian harta peninggalan tersebut telah dikuasai oleh seorang ahli waris yang
mengakui bahwa harta tersebut adalah hak miliknya, bukan harta peninggalan. Sebagian ahli waris
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama agar harta peninggalan tersebut dikembalikan kedalam
harta waris, yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada para ahli waris yang berhak sesuai dengan
bagiannya masing-masing menurut Hukum Islam. Namun bersamaan dengan itu, sebagian ahli
waris atas harta peninggalan. Dalam Keadaan yang demikian ini,maka harta warisan terperkara
yang masih belum dibagi-bagikan kepada ahli waris tersebut,mengandung didalamnya “suatu
Sengketa hak milik” (dalam mengandung didalamnya ”suatu Sengketa hak milik” (dalam proses
Pengadilan Negeri), karena itui sesuai dengan UU No. 7 tahun 1989, Pengadilan Agama tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

4. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3293. K/Pdt/1986, Tanggal 30 Maret 1986

• Anak kandung selaku Ahli waris tidak dapat menuntut dibatalkannya perbuatan Hibah Tanah yang
dilakukan oleh mendiang ayahnya kepada anak angkat, selama hibah tanah ersebut tidak merugikan
Hak Waris dari para Ahli Waris anak kandungnya. Hibah oleh orang tua ini harus dihormati oleh
Ahli Warisnya.
• Tanah bekas Tanah Golongan Desa, yang berdasar S.K. Gubernur, dikonversikan menjadi Tanah
Hak Milik, maka tanah ini statusnya sebagai Harta Bersama (Barang gono-gini) antara suami yang
memperoleh Hak Milik tersebut dengan wanita yang saat itu menjadi isterinya.
• sebagai Harta Gono-Gini, maka janda berhak menguasai dan menikmati harta ini untuk jaminan
hidupnya sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi.
• Harta Asal (Barang Gawan) dari ayah berhak diwarisi oleh anak kandung sebagai Ahli Warisnya.

5. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 100/K/Sip/1967

Putusan Mahkamah Agung Nomor 100/K/Sip/1967 sebenarnya tidak hanya terkait dengan
anak perempuan tetapi juga janda dari pewaris karena keduanya menjadi Tergugat dalam perkara
ini. Perkara dalam putusan ini merupakan sengketa waris antara Tangsi Bukit (anak laki-laki
pewaris) melawan ibu tirinya, Pengidahen boru Meliala, dan saudara perempuannya, Muli boru
Bukit. Penggugat berpendapat bahwa yang berhak mewaris hanya anak laki-laki, sedangkan harta
warisan telah dijual oleh Pengidahen boru Meliala. Pengadilan Negeri Kabanjahe sebelumnya
menyatakan gugatan Tangsi Bukit tidak dapat diterima. Tangsi Bukit mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan membatalkan putusan sebelumnya tetapi
hanya menetapkan 1/6 bagian dari harta untuk Tangsi Bukit. Tangsi Bukit yang tidak puas
kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa
pertumbuhan masyarakat telah mengarah ke arah persamaan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan. Selain itu, penetapan janda sebagai ahli waris telah menjadi yurisprudensi yang dianut
oleh Mahkamah Agung.

6. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 90/Sip/1952, tanggal 30 November 1955

Apabila pewaris (erflater) hanya meninggalkan janda-janda dan seorang saudara (kakak
perempuan), maka kakak itu adalah satu-satunya ahli waris tentang harta aslinya, tetapi berhubung
wajib bagi janda-janda untuk memilhara dan membereskan harta waris seluruhnya, termasuk
pengabenan jenazah, kepada janda-janda itu harus diberi bekal, yang meliputi hasil dari satu per
tiga harta waris.

7. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 130 K/Sip/1957

Tentang hukum adat di daerah Bandung, dalam perkara Dokter Raden Mas Soehirman Erwinn
dan Drs. R.M.E Soertaman Erwinn meninggal, meninggalkan istri dan tiga orang anak (pria).
Pertimbangan Mahkamah Agung: Ketiga anak almarhum adalah “ahli waris”, sedang janda adalah
“bukan ahli waris, melainkan berhak atas harta waris”. Jadi, keempat-empatnya berhak atas harta
waris almarhum.

8. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3293 K/PDT/1986

Harta terperkara adalah harta gana-gini maka janda berhak menguasai dan menikmati untuk
menjamin hidupnya sampai dia (janda) meninggal dunia atau kawin lagi. Adapun harta gawan
diwarisi oleh anak kandung.

9. Putusan Mahkamah Agung Nomor 100 K/SIP/1967

Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan dari putusan pengadilan tinggi yang


menetapkan: Dalam hal meninggalkannya seorang suami dengan meninggalkan seorang janda,
seorang anak laki-laki dan anak perempuan, janda berhak atas separuh dari harta gana-gini
sedangkan sisanya dibagi antara janda dan anak-anaknya.

10. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1686 K/Pdt/1995

Menurut hukum adat Minangkabau yang bersifat matrilineal, suami tidak berhak atas harta
bawaan isterinya karena harta sengketa terbukti sebagai harta bawaan almarhumah/isteri
Penggugat, sehingga Penggugat tidak berhak atas harta bawaan isterinya sehingga gugatan
Penggugat harus ditolak

11. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 284 K/Sip/1975, tanggal 2 November 1976
“Menurut Hukum Adat baru istri dan anak-anak perempuan adalah ahli waris”

12. Putusan Mahkamah Agung Nomor 100 K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968
“...karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju kearah persamaan
kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan
yurisprudensi yang dianut oleh Mahkamah Agung”.

13. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 4766 K/Pdt/1998 tanggal 16 November 1999
”Perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris, walaupun sistem pewarisan di
Bali sendiri mengenal sistem pewaris mayorat laki-laki.”

Anda mungkin juga menyukai