ANALISIS
Dimana pada sengketa kali ini diceritakan bahwa penggugat hendak menjual
tanah dan bangunan yang ada diatasnya yang merupakan harta warisan dari orang tuanya
yaitu Almarhum Bapak Yakobus Go dan Ibu Monika Dengker. Dimana sebelum
melakukan transaksi jual-beli tanah tersebut dilakukan penggugat telah sepakat bahwa
hasil dari penjualan harta warisan tersebut akan diberikan secara rata kepada seluruh ahli
waris yang berhak (Seluruh anak laki-laki). Seluruh ahli waris (anak laki-laki) juga
sepakat untuk memberikan hasil penjualan harta warisan tersebut secara sukarela atau
dalam bahasa Floresnya disebut sebagai “Widang”.
Namun nyatanya niat dari penggugat yang hendak menjual harta warisan dari
kedua orang tuanya tidaklah disetujui oleh anak-anak perempuan dari almarhum Bapak
Yakobus Go dan Ibu Monika Dengker, bahkan anak-anak perempuan dari almarhum
menolak keras “widang” yang diberikan oleh anak-anak laki-laki karena meanggap
bahwa pembagian waris tidaklah adil apabila hanya berdasarkan gender atau jenis
kelamin saja. Sehingga adapun upaya yang dilakukan para anak perempuan almarhum
ialah dengan menguasai tanah dan bangunan sebagai objek utama persengketaan ini.
Sebelum penggugat (anak laki-laki) membawa sengketa ini ke ranah hukum atau
menggugat ke pengadilan, penggugat sudah berulang kali menyampaikan dan
memperingati para anak perempuan dari almaruh yang pada persengketaan ini
berkedudukan sebagai tergugat untuk meninggalkan tanah dan bangunan yang menjadi
objek sengketa. Namun alih-alih mendengarkan justru para tergugat tidaklah
1
menghiraukan peringatan tersebut. Sehingga dengan berat hati penggugat membawa
penyelesaian persengketaan ini ke jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke PN
Ruteng.
Selain itu dalam hukum waris Flores, NTT dijelaskan juga bahwa alasan mengapa
anak perempuan tidak dikategorikan sebagai ahli waris orang tuanya karena anak
perempuan biasanya akan mewariskan harta warisan dari klan suaminya sehingga tidak
diperbolehkan untuk menerima dua sumber warisan. Dimana prinsip tersebut sejak dari
dahulu telah berlaku sebagai living law masyarakat Flores, NTT.
Terlebih lagi pada persengketaan ini penggugat juga memiliki niat baik untuk
memberikan widang atau bagian harta warisan dari penjualan tanah dan bangunan
diatasnya kepada saudara perempuannya walaupun widang tersebut bersifat opsional atau
tidaklah wajib diberikan. Namun karena penggugat sadar betul bahwa sejatinya asas
keadilan haruslah direalisasikan maka penggugat dengan kesadaran ingin memberikan
widang namun ditolak mentah-mentah oleh para tergugat.
2
PUTUSAN NO. 1/PDT.G/2015/PN.BLG
ANALISIS
Dari hasil perkawinan Alm. YS dengan Almh. SBS mendapat keturunan dua
orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan, akan tetapi dari keenam orang
tersebut, hanya dua orang yang hidup yaitu LJS (penggugat I) dan HS (penggugat II).
Almh. SBS adalah maen (Boru ni Iboto ni Almh. TBS), maka tungkot inilah yang
melahirkan anak buat Almh. TBS sehingga anak itu menjadi tanggung jawab sepenuhnya
bagi mereka berdua. Itu sebabnya Almh. TBS dinamakan Nai Lucia Jaganirna, dan Almh.
SBS dinamakan Nai Hatinurbaya.
Pada suatu masa, ayah para penggugat diam-diam menikah lagi dengan Almh. TBT
sekitar tahun 1951, tanpa diketahui dan disetujui oleh Almh. TBS dan Almh. SBS,
sehingga Almh. TBT yang merupakan madu (imbang) keduanya. Perkawinan Alm. YS
3
dan Almh. TBT memperoleh lima orang anak yaitu: MS (tergugat I); RS (Almh.), yaitu
istri dari (turut tergugat I); JMS (tergugat II); NS (turut tergugat II); dan HS (telah
meninggal dan tidak punya keturunan). Adapun yang objek gugatan sebidang tanah
persawahan yang terletak di Kampung Sitahuru Desa Sitinjak, Kecamatan Onan Runggu,
Kabupaten Samosir, yang luasnya kurang lebih 374 M2. Dengan alasan kesehatan Almh.
SBS semakin menurun dan para penggugat bertempat tinggal di perantauan, maka objek
sengketa tersebut diberikan hanya untuk dikerjakan oleh Almh. TBS (Op. Rimson)
beserta tergugat I dan tergugat II, dan bukan untuk dimiliki apalagi untuk dijual kepada
piha lain. Namun, tanpa sepengetahuan dan seizin para penggugat, objek tersebut telah
dikuasai/dijual atau dialihkan oleh mereka kepada tergugat III dan tergugat IV, dan sudah
berdiri bangunan yang dihuni oleh tergugat III dan tergugat IV.
Kedua, putusan ini juga mengakui adanya perkawinan adat bernama tungkot dan
imbang yang mendapatkan hak pewarisan. Perkawinan ini semacam pola poligami
dengan alasan perkawinan ini guna mendapatkan keturunan atau sebab lainnya. Anak
hasil perkawinan ini juga mendapatkan pengakuan hak waris dalam kedua putusan di
atas.
4
Kedua, bahwa Almh. SBS menjadi pengganti Almh. TBS, sehingga seluruh
hakhak dan harta warisan menjadi milik Almh. SBS dan anak-anaknya. Perkawinan
Almh. SBS adalah perwakinan yang “direstui” Almh. TBS. Bahkan justru ia sendiri yang
mencarikan istri dari keluarga terdekat untuk suaminya Alm. YS dengan alasan untuk
mendapatkan keturunan. Hal inilah dinamakan perkawinan tungkot.
Ketiga, hakim telah mempertimbangkan atas rasa kemanusiaan dan keadilan serta
atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, menganggap sebagai hukum yang
hidup di seluruh Indonesia, seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris,
dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya. Hakim merujuk pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 179/K/SIP/1961 tanggal 23 November 1961 yang
memberikan hak sama laki-laki dan perempuan mendapatkan warisan.
Dimana hasil dari putusan pengadilan menyatakan bahwa Anak yang lahir dari
dua perkawinan tersebut sama-sama diakui memiliki hak pewarisan atas harta bersama
atas perkawinan kedua orang tua masing-masing. Pewarisan patrilineal mutlak tidak
berlaku sepenuhnya. Majelis hakim berpendapat rasa kemanusiaan dan keadilan serta
atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria menjadi alasan seorang anak
perempuan merupakan ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang
tuanya. Hal ini yang bermakna pembagian warisan dalam putusan ini tidak berdasarkan
kekerabatan patrilineal kembali, namun parental di mana perempuan dan laki-laki
memiliki hak yang sama.
PUTUSAN MA NO 179/K/SIP/1961
5
ANALISIS
Pasca meninggalnya Rolak Sitempu segala harta warisan baik rumah, kendara,
tanah, usaha dan harta warisan lainnya dikelola dan dikuasai oleh anak perempuan satu-
satunya yaitu Rumbane Boru Sitepu. Namun setelah Rumbane Boru Sitepu meninggal
harta warisan tersebut dialihkan kepada Benih Ginting yang mana Benih Ginting
merupakan anak laki-laki dari Rumbane Boru Sitempu.
Namun nyatanya kedua keponanakan dari Boru Sitepu yaitu Langtewas Sitepu
dan Ngadu Sitepu tidak terima harta warisan dari pamannya dikelola oleh Benih Ginting
yang berkedudukan sebagai cucu dari Boru Sitempu, terlebih lagi hukum adat Batak
sendiri menganut sistem patrilineal yang artinya melihat garis keturunan dari laki-laki
sehingga seharusnya Benih Ginting akan mendapatkan harta warisan dari ayahnya dan
seharusnya harta warisan dari Boru Sitepu dialokasikan kepada keponakan laki-lakinya
karena pewaris tidak memiliki anak laki-laki saat meninggal dunia. Atas gugatan tersebut
akhirnya Benih Ginting digugat ke PN Kabanjahe.
6
yang diberikan oleh ibunya. Sehingga Benih Ginting mengajukan banding ke pengadilan
tinggi medan untuk menempuh penyelesaian sengketa waris adat yang dialaminya.
Tidak puas dengan hasil dari pengadilan negari dengan dalil hukum waris adat
batak merupakan living law yang mutlak dan diakui maka Langtewas Sitepu dan Ngadu
Sitepu akhirnya mengajukan kasasi ke MA. Namun nyatanya MA justru sepakat dengan
keputusan pengadilan tinggi medan yang membatalkan putusan dari pengadilan negeri
kabanjahe.
Dari hasil pengadilan tinggi MA atas persengketaan ini nyatanya secara tidak
langsung membawa dampak positifi, yaitu masyarakat adat Batak Karo dalam hal
pewarisan sudah mengarah pada kesepahaman pembagian hak waris yang sama antara
laki-laki dan perempuan yang ditandai ditandai telah berkurangnya gugatan terkait hak
waris yang masuk ke Pengadilan Negeri Kabanjahe dan sudah banyak orangtua dalam
keluarga masyarakat Batak Karo di Kabanjahe yang melakukan pembagian harta warisan
dengan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan dengan kesadaran sendiri
tanpa harus melalui proses di pengadilan. Yurisprudensi ini merupakan tonggak sejarah
bagi masyarakat Batak Karo yang menggambarkan telah lahirnya keadilan bagi
kedudukan anak perempuan di Tanah Karo.
7
PUTUSAN MA RI NO 217 K/SIP/1970
ANALISIS
Penerapan hukum adat Minangkabau terkait dengan masalah warisan atas tanah
memakai sistem matrilineal. Untuk mengalihkan hak atas tanah di Minangkabau harus
mengkaji terlebih dahulu mengenai status tanahnya. Seperti yang telah dibahas diatas,
dalam hal tanah yang termasuk dalam harta pusaka tinggi, tidak dapat di perjual belikan
namun hanya bisa digadaikan saja dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Berbeda
dengan tanah yang berasal dari harta pusaka rendah, tanah ini dapat diperjual belikan
ataupun digadaikan.
Dimana pada persengketaan waris ada kali ini si mamak sebagai kepala waris
dalam sistem waris adat yang menganut sistem matrilineal ini telah diakomodir dalam
Putusan No. 439 K/Pdt/2012. Dalam putusan tersebut Majelis Hakim ditingkat Kasasi
menyatakan beberapa yurisprudensi sebagai berikut:
8
Minangkabau, harus dilakukan oleh Mamak Kepala waris dalam kaum, guna
mewakili kaum di muka Pengadilan Negeri.
• Putusan Mahkamah Agung Rl tanggal 25 Agustus 1971 No.180 K/ Sip/1971
menentukan bahwa: "Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua dalam kaum."
• Putusan Mahkamah Agung Rl tanggal 25 Agustus 1972 No. 98 K1 Sip/1972
menentukan bahwa: "Mamak Kepala Waris sebagai laki-laki tertua (umur)
dalam kaum bertali darah, menguasai harta pusaka kaum, dan sebagai Kepala
Kaum bertindak ke dalam dan keluar atas nama kaum" "Kedudukan Mamak
Kepala Waris dalam kaum tidak dapat dipindahkan oleh anggota kaumnya atau
ditunjuk begitu saja, karena kedudukan tersebut adalah titiak bak hujan, hinggok
bak la- ngau, kecuali bila orang yang memangku jabatan tersebut membawa cacat
diri berpengaruh sejak lahir atau telah tidak tentu alamatnya."
Dari sini dapat kita tarik kesimpulan dimana walaupun masih ditemukan beberapa
kelemahan dan menyebabkan beberapa sengketa atas tanah pu- saka tinggi di
Minangkabau tersebut, namun sistem matrilineal masih dirasakan sebagai suatu sistem
yang masih efektif dan hidup ditengah-tengah ma- syarakat hukum adat Minangkabau
terutama dalam sistem hukum adat waris. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali (2010)
bahwa ketika kita ingin menge- tahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita
pertama- tama harus dapat mengukur "sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak
ditaati".
9
PUTUSAN NO.134/PDT/G/PN.DPS
Namun, “angin segar” bagi kaum perempuan Bali dalam hal pewarisan bertiup
beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2010. Angin segar tersebut berupa
dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No.
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil
Pasamuhan Agung III MUDP Bali (“Keputusan Pasamuhan Agung III/2010”).
Sehingga pada persengeketaan yang terjadi pada kali ini seseorang hanya
mempunyai anak tunggal perempuan, anak ini kemudian dikawinkan menurut adat kawin
keceburin. Menurut Adat Masyarakat Bali, maka anak perempuan ini adalah pelanjut
keluarga (purusa) dari ayahnya almarhum, dan berhak untuk mewarisi Harta Peninggalan
almarhum ayahnya sebagai ahli waris. Selanjutnya anak perempuan ini juga mempunyai
anak tunggal perempuan. Anak ini juga dikawinkan secara adat kawin Keceburin. Status
hukum sebagai pria yang disandang anak perempuan ini memberikan hak dan kewajiban
sebagai pelanjut keluarga (purusa) dengan akibat hukum ia adalah ahli waris yang berhak
atas harta peninggalan kakeknya almarhum.
10
Adapun alasan pertimbangan hakim pada putusan kali ini selain dari Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010
ialah berpedoman pada asas keadilan dimana tentunya tidak ada alasan yang relevan
dimana pihak anak perempuan tidak diberikan harta warisan, terlebih lagi pada
persengketaan kali ini pewaris tidaklah memiliki anak laki-laki sehingga tentunya baik
secara perdata ataupun hukum positif sudah seharusnya pewaris memberikan harta
warisannya kepada anak perempuannya, pada dasarnya, yang menjadi ahli waris adalah
generasi berikutnya yang paling karib dengan Pewaris (ahli waris utama) yaitu anak-anak
yang dibesarkan dalam keluarga (brayat) si Pewaris.
11