Disusun Oleh:
Reyhan Al Fakih Riskian (010002000418)
Dosen Pengampu:
Dr. Anda Setiawan S.H, M.H
Dr. Endang Pandamdari, S.H., M.H., CN.
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2022
PEMBAHASAN / ANALISIS
Dalam pasal 105 dan 106 UU No. 20 tahun 2011 dijelaskan bahwa adapun
penyelesaian sengketa terhadap rumah susun ialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
diutamakan untuk dilakukan musyarawarah untuk mufakat terlebih dahulu dan apabila
pada proses musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan atau mufakatt barulah
penyelesaian sengketa rumah susun dapat dilakukan secara litigasi, yaitu diajukan melalui
pengadilan.
Melalui upaya hukum maka pihak yang dirugikan akan mengajukan gugatan ke
pengadilan umum, adapun beberapa pihak yang dapat mengajukan gugatan
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1) Perseorangan;
2) Badan Hukum;
3) Masyarakat;
4) Pemerintah maupun intansi pemerintahan.
Namun tidak dipungkiri juga ada beberapa sengketa mengenai rumah susun yang
diselesaikan melalui nonlitigasi atau diluar pengadilan, contoh penyelesaian secara non
litigasi ialah berupa arbitrase, musyawarah untuk mufakat, konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi dan lain sejenisnya. Perlu digaris bawahi juga bahwa berdasarkan Pasal 105
Ayat 4 dijelaskan bahwa apabila penyelesaian mengenai sengketa rumah susun
diselesaikan secara non litigasi bukan bearti menghilangkan tanggung jawab pidananya.
Walaupun telah memiliki regulasi yang jelas mengenai apa yang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkan dalam transaksi rumah susun namun masih saja banyak oknum
yang nakal dan sering melakukan penipuan terhadap konsumen. Salah satu tindak
kejahatan atau penipuan yang sering kali terjadi ialah praktek pre project selling, dimana
1
pre project selling merupakan tindakan dimana ada beberapa oknum atau distributor yang
telah melakukan penawaran ataupun promosi terhadap rumah susun kepada konsumen
namun fisik dari rumah susun tersebut belum sepenuhnya selesai atau terpenuhi.
Maraknya pre project selling dinilai tidaklah aman dan tidak lah memberikan kepastian
hukum kepada konsumen, sehingga hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan
dalam UU No. 20 Tahun 2011.
Adapun contoh dari praktek pre project selling yang pernah terjadi di Indonesia
ialah pada kasus Sipoa di Jawa Timur, dimana salah satu perusahaan pembangunan rumah
susun terus-terusan melakukan pemasaran terhadap masyarakat sekitar mengenai
pembangunan rumah susun, bahkan ada beberapa konsumen yang sudah melunasi unit
rumah susun tersebut 100% namun kejelasan dan kepastian akan rumah susun tersebut
tidak kunjung menemukan titik terang.
1
Ari Trilestari, Karakteristik Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Unit Kondotel, (Surabaya 2015). (31).
2
yang baru berdasarkan Undang-undang ini. Sehingga Pasal tersebut menyatakan bahwa
eksistensi Surat Pesanan tetap diakui.
Surat pesanan tersebut haruslah dibuat serinci dan sedetail mungkin guna memberikan
kepastian dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak apabila salah satu dari pihak
yang melaksanakan perjanjian melakukan wanprestasi. Selain itu perlu diketahui bersama
bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11 Tahun 1994
dijelaskan juga bahwa dalam tempo waktu selambat-lambatnya 30 hari maka kedua belah
pihak haruslah memenuhi prestasi atau kewajiban dari perikatan jual beli rumah susun
tersebut.
Sengketa hukum yang terjadi pada kasus rumah susun sipoa ialah pihak perusahaan
atau pihak PT Sipoa belum dapat melaksanakan PPJB karena sebab Pengembang masih
belum melakukan Pembangunan terhadap Proyek tersebut. Hal ini berkenaan dengan
2
Lintang Yudhantaka, “Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun dengan Sistem Pre Project Selling”
(2017), 32 Yuridika. (85-86).
3
persyaratan PPJB dalam Pasal 43 ayat (2) huruf d UU Rumah Susun mengenai
keterbangunan minimal 20%. Pembeli hanya dijanjikan mengenai penyelesaian bangunan
saja dan pengembang belum melaksanakan bangunan. Sehingga proyek dari pengembang
PT. Sipoa tersebut hanya dilakukan dengan perjanjian surat pesanan yang telah melewati
jangka waktu sebagaimana mestinya. Isu yang berkembang pada kasus Sipoa ini, bahwa
lahan yang digunakan sebagai pembangunan rumah susun dengan tipe Royal Mutiara
Residence termasuk kedalam wilayah perluasan Bandara Djuanda yang dikenal dengan
zona hijau. Sehingga apabila diteruskan pembangunan rumah susun dapat mengganggu
jalur penerbangan.Dengan kondisi yang seperti ini maka patut dipertanyakan bahwa
bagaimana mungkin izin mendirikan bangunan dapat dikeluarkan oleh instansi yang
terkait padahal wilayah tersebut berdasarkan RT dan RW Kabupaten Sidoarjo merupakan
wilayah perluasan bandara.
4
hukum, landasan demokrasi, landasan instrumental yaitu daya guna (efisiensi) dan hasil
guna (efektif).3
Sehingga dengan demikian terdapat 3 (tiga) cara penyelesaian sengketa konsumen yaitu:
Dari sengketa kasus rumah susun sipoa akhir para konsumen yang merasa
dirugikan dari adanya pre project selling akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
problematika hukum tersebut secara litigasi yaitu melalui pengadilan umum. Sebaimana
pula diatur dalam hukum perdata bahwa konsumen atas dasar adanya tanggung gugat
pelaku pembangunan terhadap keterlambatan pembangunan atau tidak terlaksanannya
pembangunan sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen sering kali kandas
ditengah jalan.
Pemasaran satuan rumah susun yang menggunakan sistem pre project selling
selalu berkaitan dengan Pasal 42 dan Pasal 43 UU Rumah susun. Pasal 42 dan pasal 43
UU Rumah Susun merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku
pembangunan yang hendak melakukan pemasaran sebelum pembangunan rumah susun
3
Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen. (Sinar Grafika 2010). (37).
4
Agus Yudha Hernoko, ‘Undang-undang Perlindungan Konsumen Piranti Bagi Upaya Perlindungan dan
Pemberdayaan Konsumen’, Yudistira Law Research and Information Center.
5
dilaksanakan. Segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan mengikat
sebagai PPJB. Dalam praktik, apabila ditemukan PPJB yang tidak sesuai dengan apa yang
dipasarkan atau PPJB yang belum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana
dimaksud Pasal 43 ayat (2). Padahal ini merupakan suatu bentuk larangan bagi pelaku
pembangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 98 UU Rumah Susun, maka dengan
demikian ini ketentuan pidana dapat ditegakkan. Berdasarkan Pasal 110 UU Rumah
Susun ketentuan pidana dapat berupa penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda
paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
REFERENSI
Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, (Sinar Grafika 2010).
Ahmad Miru & Sutaman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Raja Grafindo Persada 2004).
Lintang Yudhantaka, “Keabsahan Kontrak Jual Beli Rumah Susun dengan Sistem Pre Project
Selling” (2017), 32 Yuridika.
Luthvi Febryka Nola, ‘Permasalahan Hukum dalam Praktik Pre-Project Selling Apartemen’,
(2017), IX, Info Singkat.
Ari Trilestari, Karakteristik Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Unit Kondotel, Tesis, Program
Studi MagisterKenotariatan Universitas Airlangga, (Surabaya 2015).