Anda di halaman 1dari 21

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS SARUSUN YANG

BELUM BERSERTIFIKAT SEBAGAI OBJEK TRANSAKSI

Ruth Mei Simangunsong

ruth.simangunsong1@gmail.com

Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular Jakarta

ABSTRAK
Perkembangan populasi manusia yang semakin berkembang pesat khususnya dikota besar
sehingga kebutuhan akan hunian semakin meningkat sehingga keterbatasan akan lahan
melahirkan hunian baru yang biasa disebut rumah susun/apartemen. Dalam penjualan apartemen,
pembeli tidak dapat memiliki langsung bukti kepemilikan berupa Sertifikat Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun (SARUSUN), untuk itu lahirlah suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) yang menjadi dasar/objek kepemilikan sementara. Seringkali ditemui PPJB mengundang
berbagai problematika salah satunya pembatalan PPJB atas apartemen. Berdasarkan paparan
diatas skripsi ini meneliti tentang bagaimana kekuatan hukum PPJB atas sarusun yang belum
bersertifikat? bagaimana perlindungan hukum konsumen yang menandatangani PPJB atas
sarusun yang belum bersertifikat? Metode penelitian yang Penulis gunakan Metode Normatif.
Berdasarkan Kesimpulan bahwa kekuatan hukum PPJB baik yang dibuat dibawah tangan
maupun dalam bentuk Akta Notaris, sepanjang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan dan panduan penyusunan isi PPJB yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Indonesia No.11/PRT/N/2019 tentang Sistem Perjanjian
Pendahuluan Jual Beli Rumah, sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat
digunakan sebagai dasar untuk memperjuangkan hak ketika terjadi Wanprestasi. Di Indonesia
sendiri mengatur ketentuan mengenai perlindungan hukum Konsumen, dimana Konsumen dapat
mengajukan upaya hukum melalui sarana peradilan hukum yang ada. Dengan diterbitkannya
peraturan Menteri ini merupakan terobosan perlindungan konsumen dalam melakukan pembelian
Apartemen dengan menggunakan PPJB karena meminimalisir resiko kerugian akibat wanprestasi
yang kemungkinan terjadi, namun hal ini dapat terlaksana apabila konsumen yang melakukan
transaksi jual beli mengerti aturan ini.
Selanjutnya, apabila dalam lingkup hukum perdata, developer dan atau konsumen yang
melakukan wanprestasi bisa dituntut dengan tuntutan ganti rugi, pembatalan perjanjian, peralihan
resiko dan pembayaran biaya perkara, maka dalam lingkup hukum pidana, debitur yang
wanprestasi bisa dituntut melakukan tindakan penipuan, karena apa yang telah diperjanjikan
ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah diberikan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
para pihak, baik itu pengembang maupun konsumen, sama-sama diberikan perlindungan hukum
atas hak-haknya dari kesewenang-wenangan salah satu pihak.

Kata Kunci: Satuan Rumah Susun, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Perlindungan
Hukum Konsumen.

1
ABSTRACT

The development of the human population is growing rapidly, especially in big cities so
that the need for housing will increase so that limited land will give birth to new dwellings which
are commonly called flats/apartments. In selling an apartment, the buyer cannot have direct proof
of ownership in the form of a Certificate of Ownership of Flats Units (SARUSUN), for this
reason a Sale and Purchase Agreement (PPJB) was born which became the basis/object of
temporary ownership. It is often found that PPJB invites various problems, one of which is the
smelting of PPJB for apartments. Based on the explanation above, this thesis examines how the
legal power of PPJB is for uncertified flats? how is the legal protection for consumers who carry
out PPJB on uncertified flats? The research method that the author uses is the normative method.
Based on the conclusion that the legal force of PPJB, whether made underhand or in the
form of a Notary Deed, as long as it is carried out in accordance with statutory provisions and
guidelines for the preparation of PPJB contents regulated in the Regulation of the Minister of
Public Works and Public Housing of Indonesia No.11/PRT/N/2019 regarding the Home
Purchase Preliminary Agreement System, which already has binding legal force and can be used
as a basis for fighting for rights in the event of a default. In Indonesia itself regulates provisions
regarding consumer legal protection, in which consumers can file legal remedies through
existing legal courts. The issuance of this ministerial regulation is a breakthrough in consumer
protection in purchasing apartments using the PPJB because it minimizes the risk of losses due to
defaults that may occur, but this can be implemented if consumers who make buying and selling
transactions understand this rule.
Furthermore, if within the scope of civil law, developers and/or consumers who commit
defaults can be sued for compensation, cancellation of agreements, transfer of risks and payment
of court fees, then within the scope of criminal law, debtors who default can be prosecuted for
fraud, because of what what has been promised turns out to be not in accordance with what has
been given. Based on these provisions, the parties, both developers and consumers, both provide
legal protection for their rights from the arbitrariness of one of the parties.

Keywords: Flats Unit, Sale and Purchase Binding, Consumer Legal Protection.

2
Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan tingkat populasi manusia yang perkembangannya sangat
pesat, dengan keterbatasan akan lahan Apartemen menjawab kebutuhan akan hunian setiap
orang. Namun dalam melakukan penjualan apartemen berbeda dengan rumah pada umumnya
karena pembeli tidak langsung dapat memiliki bukti kepemilikan berupa sertipikat Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun atau SHMSRS, untuk itu lahirlah suatu Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) yang menjadi dasar atau objek kepemilikan sementara sebelum terbitnya sertipikat
atas satuan rumah susun. Banyak kegiatan penjualan apartemen yang masih dalam proses
pembangunan menyebabkan adanya pembelian secara pesan lebih dahulu dengan menggunakan
PPJB. hal ini dilakukan pengembang untuk mendapatkan tambahan dana dengan mudah untuk
menjalankan bisnis disisi lain PPJB juga memberikan kemudahan bagi calon pembeli untuk
mendapatkan rumah dengan biaya yang terjangkau karena hanya perlu membayar uang muka
terlebih dahulu.

Bentuk-bentuk dari PPJB mempunyai isi yang hampir serupa yang menuangkan semua
proses transaksi mulai dari cara pembayaran, keterlambatan pembayaran, tanggal kapan
penyerahan objek transaksi serta banyak memuat hak dan kewajiban para pihak. Tetapi pada
prakteknya PPJB sering dimodifikasi mengikuti kebutuhan dan kepentingan dari pihak
pengembang sebagai pihak yang merasa posisinya paling tinggi dalam transaksi jual beli. Hal-hal
yang sering dimasukan dalam isi PPJB yang sangat merugikan pihak pembeli dan mau tidak mau
harus disetujui sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai problematika seperti batalnya PPJB
atas apartemen. Faktor penyebab terjadinya pembatalan PPJB paling sering karena masalah
ekonomi/ketidak sanggupan membayar, kelalaian membayar angsuran, penolakan permohonan
kredit di Bank dan keterlambatan penyerahan unit Apartemen oleh pengembang.
Mengacu dari uraian permasalahan tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih
lanjut mengenai proses, faktor-faktor sampai terjadinya permasalahan dan menyusunnya dalam
skripsi yang berjudul :

“ KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS


SARUSUN YANG BELUM BERSERTIPIKAT SEBAGAI OBJEK TRANSAKSI ”

3
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas sarusun yang belum
bersertipikat ?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Konsumen yang Menandatangani Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas sarusun yang belum bersertipikat ?

PEMBAHASAN

Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Penduduk


semakin bertambah, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas, maka pembangunan rumah
dibuat bertingkat atau yang kita kenal dengan rumah susun. Menurut Undang-Undang Rumah
Susun (selanjutnya disebut UURS), Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.1
Saat ini Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
rumah susun, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1985. Menurut Pasal 17 Undang-Undang Rumah Susun, rumah susun hanya dapat dibangun
diatas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara dan hak guna
bangunan atau hak pakai diatas hak pengelolaan.2 Penyelenggaraan rumah susun berlandasakan
pada asas kesejahteraan umum, keadilan dan pemerataan, kenasionalan, keterjangkauan dan

1 Arie S Hutagalung. 2007. Kondominium dan permasalahannya Jakarta : Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. hal. 12.
2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Tentang Rumah Susun, Pasal 17.

4
kemudahan, keefisienan dan kemanfaatan, kemandirian dan kebersamaan, kemitraan, keserasian
dan keseimbangan, keterpaduan, kesehatan, kelestarian dan berkelanjutan, keselamatan,
kenyamanan dan kemudahan serta keamanan, ketertiban dan keteraturan.
Batasan mengenai penyelenggaraan rumah susun sebagaimana diatur didalam Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun seperti: Pembinaan, Perencanaan,
Pembangunan, Penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan, Pengelolaan, Peningkatan kualitas,
Pengendalian, Kelembagaan, Tugas dan wewenang, Hak dan kewajiban, Pendanaan dan sistem
pembiayaan dan Peran masyarakat.
Berdasarkan status tanahnya, apartemen digolongkan menjadi Tanah Negara, Tanah Hak
Milik, dan Tanah Pengelolaan. Jika apartemen yang dibeli didirikan di atas tanah negara, maka
status pengelolaan oleh pengembang adalah HGB Murni. Sementara, jika apartemen berdiri di
tanah hak milik, maka hak pengelolaan pengembang adalah HGB Hak Milik. Sedangkan jika
developer hanya diberi kuasa untuk membangun apartemen di tanah pihak ketiga, maka status
pengelolaannya menjadi HGB HPL.
Status kepemilikan setiap pemilik unit apartemen adalah Satuan Hak Milik Satuan Rumah
Susun (SHMSRS). Meski demikian, SHMSRS tidak memberikan kepastian kepada pemilik unit
bahwa tanah apartemen dengan serta merta menjadi pemilik unit secara keseluruhan, melainkan
bergantung pada status tanah yang dimiliki pihak pengembang. Status yang paling aman tentu
saja jika pengembang mempunyai HGB Hak Milik. Artinya, tanah tempat apartemen dibangun
adalah milik developer. Dalam melakukan penjualan apartemen memang berbeda dengan rumah
pada umumnya karena pembeli tidak langsung dapat memiliki bukti kepemilikan berupa
Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atau SHMSRS, untuk itu lahirlah suatu Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) - yang menjadi dasar atau objek kepemilikan sementara sebelum
terbitnya sertipikat atas satuan rumah susun.
Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah
yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah.
Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula
yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah.
Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual
Beli (AJB) dapat di tandatangani. Pada umumnya persyaratan yang sering timbul adalah

5
persyaratan yang lahir dari kesepakatan para pihak yang akan jual beli, misalnya pada waktu
akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang
akan dibelinya sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan
dilain sisi, misalnya pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua biaya hak atas tanah
secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati. Dengan keadaan di atas
tentunya akan menghambat untuk pembuatan akta jual belinya, pejabat pembuat akta tanah akan
menolak untuk membuatkan akta jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan
tersebut. Untuk tetap dapat melakukan jual beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan
dilakukan setelah sertipikat selesai di urus, atau setelah harga dibayar lunas dan sebagainya.
Untuk menjaga agar kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta
bisa di urus maka biasanya pihak yang akan melakukan jual-beli menuangkan kesepakatan awal
tersebut dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian pengikatan jual
beli.
Pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas, bebas untuk mengadakan
perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, yaitu
tertulis atau tidak tertulis. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa, semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Pasal 1338 ini mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap
orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa
perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu
mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
Hukum tentang Perjanjian diatur dalam Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan,
mempunyai sifat sistem terbuka. Maksudnya dalam hukum perjanjian memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja,
asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.Menurut R.
Subekti, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada orang lain atau
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”3 dan menurut Djumadi, perjanjian

3 R. Subekti. 1998. Hukum Perjanjian Jakarta : Penerbit Intermasa. hal 1.

6
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang atau
lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.4
Perjanjian adalah suatu dasar hukum, selain undang-undang yang tujuannya menunjuk
kepada hubungan perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau
lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.5
Menurut M.Yahya Harahap, “Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan
antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.6 Dengan kata
lain perjanjian merupakan wadah untuk dapat memberikan kepastian atau keyakinan untuk para
pihak dalam melakukan perjanjian. Menurut Gunawan Widjaja dalam buku perikatan yang lahir
dari perjanjian menyebutkan perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Artinya, perjanjian
melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian.7 Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada
pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir
dari perjanjian tersebut.8
Dari aspek hukumnya, perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak berlaku
sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata). Oleh karenanya setiap perjanjian yang dibuat harus benar-benar
dilaksanakan. Kalau tidak, maka akan dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar
janji yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi.
Mengingat begitu penting dan begitu kuatnya kekuatan mengikat suatu perjanjian maka
tidak sembarangan membuat perjanjian, ada syarat - syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian
menjadi sah dan mengikat para pihak. Syarat tersebut dikenal dengan “syarat sahnya perjanjian”
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer. Syarat yang pertama adalah adanya kesepakatan
atau consensus Para Pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau

4 Djumadi. 2004. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 2.
5 Subekti. 1987. Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-4 Jakarta : Citra Aditya Bhakti. hal. 6.
6 Syahmin. 2006. Hukum Perjanjian Internasional Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 2.
7 Gunawan Widjaja. 2014. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Cetakan 6. hal 91.


8 Ibid. hal. 91.

7
lebih dengan pihak lainnya. Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak,
yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian
secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti
yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian hari.9 Dengan dilakukannya kata sepakat
mengadakan perjanjian, maka kedua belah pihak mempunyai kebebasan kehendak. Masing-
masing pihak tidak mendapat tekanan atau paksaan yang mengakibatkan adanya cacat bagi
perwujudan kehendak tersebut.
Bahwa perbuatan hukum pemindahan hak satuan rumah susun dibuktikan dengan akta jual
beli. Akan tetapi karena adanya persyaratan yang belum terpenuhi Para pihak dalam proses jual
beli tanah dan/atau bangunan melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) karena beberapa
alasan diantaranya belum dapat dilakukan pembayaran terhadap objek secara penuh atau lunas,
berkas administrasi yang berupa surat/dokumen objek belum dapat dilengkapi, belum dapat
dikuasainya objek oleh para pihak, penjual, ataupun pembeli dan pertimbangan mengenai nilai
objek yang diperjualbelikan yang masih belum ada kesepakatan antara para pihak. Satu-satunya
cara untuk melakukan transaksi jual beli sarusun yang belum bersertipikat adalah dengan
membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”), sebelum dilakukannya Akta Jual Beli
(“AJB”) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
Dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah pada Pasal 1
ayat 2 dan pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa PPJB dinyatakan dalam akta notaris dari ketentuan
ini dapat dilihat bahwa peraturan ini menginginkan agar PPJB yang dibuat dapat menjadi sebuah
atau autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga pelindung sehingga
melindungi para pihak dalam perjanjian.
Hal ini dipandang sangat merugikan pihak developer kerena dinilai ada pasal-pasal yang
menimbulkan kontroversi antara lain:
a. Pasal 8 Permen PUPR disebutkan mengenai Pemasaran mewajibkan developer untuk
bertanggung jawab terhadap informasi pemasaran yang disampaikan oleh agen
pemasaran atau penjualan. Ketentuan tersebut seolah – olah membebaskan agen
pemasaran dari tanggung jawab selama proses pemasaran. Padahal dalam

9
Salim, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, ( Jakarta : Sinar Gafika,
2008, cet 5 ), hal 33

8
implementasinya, agen pemasaran atau penjualan yang bekerja dengan target penjualan
tidak jarang melakukan upaya apapun untuk mencapai target penjualan, salah satunya
dengan memberikan informasi yang tidak tepat atau berlebihan kepada konsumen padahal
Developer belum tentu mengetahui dan menyetujui informasi tersebut.
b. Pasal 9 Permen PUPR mengatur pembatalan pembelian dan pengembalian seluruh
pembayaran oleh Developer dalam hal keterlambatan pelaksanaan akibat kelalaian
Developer. Selain itu apabila bukan disebabkan oleh kelalaian Developer, maka
Developer tetap harus mengembalikan seluruh pembayaran dengan potongan 10% dari
total pembayaran yang diterima ditambah dengan pajak. Aturan tersebut juga akan
mengenakan sanksi denda kepada Developer yang tidak mengembalikan pembayaran
kepada konsumen. Ketentuan ini telah mengundang kritik dan protes dari para Developer
karena hal ini sangat memberatkan dan merugikan Developer. Disisi lain, aturan baru
tersebut tidak mengatur kelalaian konsumen dalam pemenuhan kewajibannya. Hal ini
memperlihatkan aturan tidak memberikan keseimbangan dan keadilan bagi Developer
dan konsumen. Ketentuan ini juga mengabaikan kondisi diluar kemampuan manusia yang
menyebabkan keterlambatan Developer (Force Majeur). Menyamaratakan situasi dengan
penyelesaian yang harus dilakukan oleh Developer adalah tidak tepat. Selain itu, dari sisi
finansial, Developer akan mengalami kerugian yang besar. Contonya Developer yang
harus mengembalikan 90% pembayaran padahal keterbangunan sudah mencapai 80%
atau 90%. Tentu ketentuan ini tidak realistis dipandang dari sisi Developer.
c. Pasal 7 Permen PUPR mewajibkan materi muatan PPJB mengatur tentang waktu serah
terima bangunan dengan melengkapi dokumen Berita Acara Serah Terima dan Akta Jual
Beli atau Sertipikat Hak Milik/Sertifikat Hak Milik Sarusun/sertipikat kepemilikan
bangunan gedung sarusun. Dalam hal ini tampak Pemerintah bermaksud mendorong
pelaksanaan akad Akta Jual Beli (akad AJB) sebelum adanya serah terima bangunan.
Padahal dalam aturan sendiri, tidak diatur kapan akad AJB harus dilakukan. Hal ini juga
berarti, ketika Developer telah menetapkan jadwal serah terima, maka itu juga berarti
suatu jadwal dimana AJB telah dilaksanakan secara tuntas. Ketentuan ini juga
mengabaikan situasi lapangan dimana konsumen sering kali memilih tidak melakukan
AJB demi menghindari pajak. Dalam kondisi tersebut, tentu menjadi pertanyaan apakan
serah terima tidak dapat dilakukan oleh Developer, dan berdampak sanksi hanya kepada

9
Developer. Hal lainnya terkait pencantuman jadwal AJB, bahwa sebagaimana yang kita
ketahui proses menuju AJB harus melewati berbagai tahapan salah satunya telah terbitnya
SHMSRS yang mana sebelum itu terdapat rangkaian panjang pengurusan pertelaan yang
memakan waktu tidak sedikit. Sehingga dalam hal penentuan tanggal AJB tidak ada satu
pihak atau instansipun yang dapat menentukan kepastian kapan dapat dilakukannya AJB
oleh karena itu pencantuman janji pelaksanaan AJB tidak dipandang tidak perlu dimuat
dalam PPJB.
d. Pasal 12 Peraturan Menteri PUPR tersebut juga mewajibkan tanda tangan PPJB antara
Developer dengan konsumen dilakukan dihadapan pejabat Notaris. ketentuan ini tentu
akan menambah biaya terhadap jual beli unit bangunan padahal PPJB itu sendiri bersifat
sementara dimana akan digantikan dengan AJB. Aturan ini juga memberatkan dari yang
telah diatur oleh Undang – .Undang No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun dimana
tidak diatur kewajiban PPJB dalam akta Notaris, namu PPJB dapat berbentuk surat
dibawah tangan dengan legalisasi Notaris. Secara umum, aturan PUPR tersebut berupaya
untuk memperbaharui hak dan kewajiban dari Developer dan konsumen sesuai dengan
perkembangan dunia properti saat ini. Namun, aturan yang cenderung menitikberatkan
tanggung jawab pada Developer akan mengurangi motivasi para Developer untuk
melakukan pembangunan, terutama akan mengurangi daya tarik investasi asing..
Ketentuan Pasal 43 Ayat (2) diatur bahwa proses transaksi jual beli atas unit Satuan Rumah
Susun atau apartemen yang dilakukan sebelum pembangunan rumah susun selesai, dapat
dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris. Proses pembelian unit satuan rumah
susun juga diawali dengan dibuatnya Surat Pemesanan sebelum terpenuhinya sayarat pembuatan
PPJB yang bentuknya akta notaris maupun bawah tangan.
Secara normatif, Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen di Indonesia dibuat untuk
mengikat para pihak yang melakukan jual beli dan bersifat sementara. Perjanjian Pengikatan Jual
Beli juga mempunyai maksud bahwa penjual sepakat untuk menjual kapada calon pembeli yang
di sertai dengan uang muka yang disepakati untuk dibayarkan di awal. Karena jual beli dianggap
telah terjadi antara kedua belah pihak yang pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai
denda yang dijual belikan itu serta harganya, meskipun denda tersebut belum diserahkan dan
hargaya juga belum dibayar.10 Dalam perjanjian tersebut dimuat beberapa klausula seperti

10 Effendi Perangin. 1991. Hukum Agraria di Indonesia Rajawali Pers Jakarta : Hal. 14..

10
subyek perikatan, obyek perikatan, hak dan kewajiban para pihak, kesepakatan penyelesaian jika
ada permasalahan, dan lain sebagainya.
Dalam praktik jual beli apartemen atau rumah susun salah satu permasalahan yang sering kali
timbul adalah keterlambatan penyerahan unit apartemen. Konsumen selaku pembeli apartemen,
tidak memiliki kejelasan akan haknya untuk mendapatkan hunian yang telah dibelinya, sehingga
penyerahan unit apartemen tidak sesuai dengan perjanjian jual beli apartemen, yang
mengakibatkan kerugian bagi pembeli apartemen.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang biasanya dilakukan oleh pengembang, pada
umumnya dilakukan dengan cara pembeli melakukan pembayaran secara bertahap sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan. Sebaliknya, para pengembang mengikatkan dirinya kepada
pembeli untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama
pula. Dengan demikian, merupakan suatu kewajiban bagi pembeli untuk membayar pada jadwal
yang telah ditentukan, juga dapat ditetapkan suatu syarat yang bersifat timbal balik. 11 Sedangkan
pengertian PPJB menurut Herlien Budiono, yaitu perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas, sehingga PPJB ini dapat dikategorikan kedalam
perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama/pokok.12
Pengaturan PPJB dalam KUHPerdata pada dasarnya tidak dirumuskan secara tegas. Konteks
PPJB ini pada prinsipnya sama dengan konteks hukum perikatan / perjanjian dalam Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie (BW) diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, di mana PPJB ini dapat
dikatakan suatu perjanjian yang timbul dari adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subjek hukum untuk mengadakan perjanjian
yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.13

11 2ArinaRatna Paramita, 2016. Yunanto, Dewi Hendrawati, Wanprestasi Dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli Tanah dan Bangunan : Studi Penelitian Pada Pengembang Kota Semarang : Diponegoro
Law Journal. Volume 5. Nomor 3. hal. 2.

12 2DewiKurnia Putri, 2017. Amin Purnawan, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas Jurnal Akta : Vol. 4 No. 4. Hal. 632.

13 2Made Ara Denara Asia Amasangsa I Made Dedy Priyanto, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
Dalam Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan”, (Makalah, Program Kekhususan
Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana), hal. 6.

11
Proses jual beli menggunakan struktur PPJB pada umumnya harus diikuti klausula perbuatan
penyerahan, dalam hal ini penyerahan secara fisik maupun yuridis (juridische levering), di mana
dalam penyerahan secara yuridis ini dilaksanakan dengan adanya penandatanganan dan
pembuatan AJB dihadapan PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Oleh karena itu,
apabila dalam proses jual beli tersebut belum ada AJB, maka belum bisa dikatakan telah terjadi
penyerahan secara yuridis, sehingga meskipun telah terjadi PPJB, maka penyerahan fisik dan
yuridis belum terjadi.14
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa antara PPJB dengan perjanjian jual beli
terdapat perbedaan yang mendasar, yakni terkait perpindahan barang atau objek, di mana dalam
PPJB perpindahan atas barang atau objek baru terjadi dalam waktu yang akan datang, sedangkan
dalam perpindahan atas barang atau objek dalam perjanjian jual beli terjadi pada saat itu juga
(berpindah seketika dari pihak penjual kepada pihak pembeli). Dalam konteks jual beli tanah
dan/atau bangunan, maka perpindahan hak atas tanah tersebut baru terjadi setelah
ditandatanganinya AJB di hadapan pejabat yang berwenang, yaitu PPAT.
Berdasarkan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tersebut, maka
unsur yang harus terpenuhi adalah pertama, PPJB telah ditandatangani oleh pengembang sebagai
penjual dan pembeli unit apartemen pada saat kesepakatan jual beli. Kedua, pembeli telah
membayar lunas harga unit apartemen baik tunai bertahap ke pengembang maupun melalui KPA
dari bank. Ketiga, Pembeli telah menguasai objek jual beli, hal ini dibuktikan dengan serah
terima unit apartemen. Terakhir, yang keempat, penjual dan pembeli melakukan jual beli dengan
itikad baik dimana pembeli membeli unit apartemen dan penjual telah menyerahkan unit
tersebut.
Ketentuan terakhir tentang PPJB termuat dalam Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019 sebagai
pelengkap ketentuan-ketentuan PPJB sebelumnya, yang berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1
angka 2 menyebutkan bahwa Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual
Beli adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli
rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum

14 Ibid., hal. 8.

12
pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan
rumah deret yang dinyatakan dalam akta notaris.
Pejanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dan ditanda tangani dihadapan Notaris merupakan
akta PPJB yang bersifat akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum mutlak yang isinya telah
disesuaikan dengan ketentuan undang undang akan tetapi PPJB yang dibuat dibawah tangan
merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh developer yang isinya cenderng menguntukan
developer, hal ini yang mengakibatkan sering terjadinya sengketa akibat dari pembatalan PPJB
yang dilakukan. Adapun isi dari PPJB dibawah tangan yang penting untuk dibahas secara rinci
adalah mengenai hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli, harga obyek jual beli dan tata
cara pembayaran. Klausul tersebut dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Seperti
kepastian tanggal serah terima, denda akibat kerlambatan serah terima serta seringkali tidak
dicantumkan dalam PPJB adalah kapan dilakukannya akta jual beli dihadapan noratis dan kapan
konsumen dapat melakukan baliknama sertipikat atas unit apartemen yang dibeli.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas condominium yang dibuat oleh para pihak
dihadapan notaris dapat dimintakan pembatalan apabila salah satu pihak merasa dirugikan. Ganti
rugi dalam hukum perdata dapat timbul dikarenakan wanprestasi akibat dari suatu perjanjian atau
dapat timbul dikarenakan oleh perbuatan melawan hukum. Ganti rugi yang muncul dari
wanprestasi adalah jika ada pihak-pihak dalam perjanjian yang tidak melaksanakan
komitmennya yang sudah dituangkan dalam perjanjian, maka menurut hukum dia dapat
dimintakan tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam perjanjian tersebut menderita kerugian
karenanya. Apabila PPJB dimintakan pembatalan, tentunya akan ada akibat hukum terhadap akta
PPJB tersebut. Selain itu, yang perlu diketahui adalah bagaimana perlindungan hukum apabila
pihak pembeli yang membatalkan PPJB begitupun sebaliknya, seperti sanksi administrasi. Sanksi
administrasi merupakan perbuatan Pemerintah guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang
oleh kaidah hukum administrasi atau melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para
warga masyarakat karena bertentangan dengan undang-undang dan aturan-aturan lainya. 15
Jika para pihak baik developer ataupun konsumen condominium memilih menyelesaikan
suatu sengketa di pengadilan, maka jika pembeli yang mengajukan gugatan pihak pembeli harus
sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya (developer/pengembang) tersebut telah

15 Bahder Johan Nasution. 2020. Penerapan Sanksi Administratif Sebagai Sarana Pengendali
Pembatasan Terhadap Kebebasan Bertindak Bagi Notaris Recital Review : Vol 2 No. 1. hal. 4.

13
melakukan wanprestasi, bukan keadaan memaksa (overmacht).Begitu pula dengan developer,
developer harus meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan
seperti keadaan memaksa, menyatakan bahwa pihak pembeli telah melepaskan haknya, dan
kelalaian pembeli.Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (si berutang atau pihak pembeli
sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang diterima oleh debitur yang lalai ada empat macam, yaitu:16
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.
3. Peralihan risiko.
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim.
Terkait dengan pihak yang dinyatakan harus membayar denda akibat batalnya PPJB
tersebut, maka seharusnya dibuktikan dulu unsur-unsur sebagaimana tersebut diatas.Apabila
pihak yang dinyatakan wanprestasi telah memenuhi keempat unsur diatas, maka pihak yang
dinyatakan anprestasi tersebut wajib untuk emmberikan ganti kerugian. Oleh karenanya, dalam
suatu PPJB harus disebutkan dengan jelas mengenai sanksi yang dierikan jika salah satu pihak
dinyatakan wanprestasi.Hal ini sebagai pencegahan apabila dikemudian hari terdapat sengketa
diantara para pihak. Maka, akibat yang ditimbulkan akibat batalnya PPJB yang dibuat dihadapan
notaris karena wanprestasi adalah:
1. Adanya denda yang harus dibayarkan oleh pihak yang melakukan tindakan wanprestasi.
2. Akta yang dibuat dihadapan notaris yaitu akta PPJB menjadi dapat dibatalkan apabila tidak
memenuhi unsur subyektif atau batal demi hukum apabila tidak memenuhi unsur obyektif.
3. Membayar biaya perkara apabila pembatalan PPJB tersebut dilakukan dimuka pengadilan.
Notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat publik, dalam kedudukannya memang
bukanlah hakim yang bertugas memeriksa serta dan mengadili suatu perkara, namun Notrais
selaku pejabat publik mempunyai wewenang untuk membuat Akta Otentik mengenai suatu
perbuatan, perjanjian dan peraturan yang diperintahkan oleh peraturan umum serta diminta oleh
Klien yang berkepentingan.
Masalah hukum Konkrit atau peristiwa yang diajukan oleh Klien merupakan peristiwa
Konkrit yang masih harus dipecahkan dan dirumuskan menjadi peristiwa hukum yang

16 Yahya Harahap. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua Bandung : Alumni. Hal. 56.

14
merupakan tugas Notaris, disinilah peran Notaris menemukan hukum.17 Berdasarkan pendapat
tersebut bahwa penemuan hukum oleh Notaris penggunaan PPJB dalam membantu pelaksanaan
transaksi jual beli sarusun sebagai perjanjian pendahuluan sebelum pembuatan Akta Jual Beli
(AJB) bukanlah suatu hal yang melanggar ketentuan dan Norma hukum yang ada, sehingga
PPJB sah untuk dapat diterapkan dan dipergunakan. Karena menuruit Sudikno Mertokusumo,
penemuan hukum bertujuan untuk dapat memecahkan masalah-masalah hukum Konkrit.18
PPJB sebagai penemuan hukum yang dilakukan oleh notaris, dimana penemuan tersebut
bertujuan untuk dapat memudahkan prosedur yang harus dipenuhi para pihak sebelum
melakukan jual beli sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Akta
Jual Beli (AJB) atas sarusun yang dimana semua persyaratan dapat dipenuhi dalam sekali waktu
oleh Para Pihak yang hendak melakukan jual beli.
PPJB sebagaimana disyaratkan dalam Undang - Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang
Rumah Susun dimana tidak diatur kewajiban PPJB dalam akta Notaris sedangkan dengan
peraturan-peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah disyaratkan
dibuat dalam Akta Notaris. Dengan keadan tersebut penulis berpendapat bahwa PPJB dapat
berlaku dua kedudukan tergantung PPJB itu dibuat. Kitab Undang - Uundang Hukum Perdata
Pasal 1868 berbunyi “Suatu Akta Otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentuakan oleh Undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
ditempat akta itu dibuat”.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1868 dapat dilihat bentuk Akta
dan perumusannya ditentukan oleh Undang - Undang dan harus dibuat oleh dan dihadapan
Notaris selaku pejabat yang berwenang. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 1 (satu)
Undang - Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang
ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

17 Sudikno Martokusumo. 2004. “ Arti Penemuan Hukum” Majalah Revolusi edisi Tahun I No. 12. hal. 48-
49.

18 Ibid., hlm. 49

15
Sesuai dengan aturan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1868 dapat disimpulkan
bahwa syarat untuk akta otentik adalah sebagai berikut:
a. Akta otentik harus dibuat dihadapan pejabat umun;
b. Akat harus dibuat sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang;
c. Pejabat yang membuat akta harus memiliki wewenang untuk membuat akta autentik.
Dari pembahasan diatas dapat dilihat bahwa pada PPJB yang dibuat dihadapan Pejabat yang
berwenang atau oleh dan dihadapan Notaris maka PPJB tersebut telah memenuhi syarat yang
telah ditentukan oleh Undang-undang telah menjadi Akta Otentik. Dengan demikian PPJB yang
dibuat dihadapan Notaris tersebut merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum dan
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Sedangkan PPJB yang tidak dibuat dan
ditandatangani dihadapan pejabat umum atau Notaris, maka PPJB yang dibuat tersebut menjadi
PPJB dibawah tangan atau akta dibawah tangan, dan untuk akta dibawah tangan lebih lanjut
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1874 yang berbunyi:
Sebagai tulisan tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani dibawah
tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain, tulisan
yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum. Dengan penandatanganan sebuah
tulisan dibawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan satu pernyataan
yang bertanggal dari Seorang Notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-
undang darimana ternyata ia mengenal si pembuat cap jempol, atau orang ini bahwa telah
diperkenalkan kepadanya, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan
dihadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membubuhkan tulisan tersebut.
Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan
dan pembukuan termaksud.
Tujuan dari pasal diatas adalah mengatur tentang akta dibawah tangan yang baru akan
memiliki kekuatan hukum pembukian apabilah dibuatkan surat pernyataan atau pengesahan
tandatangan terkait dokumen tersebut dihadapan notaris atau pejabat yang ditunjuk untuk dapat
mengesahkan tandatangan (seperti Pejabat Konsuler, Kepalah Daerah dari tingkat Bupati keatas)
dengan dibacakan isi dan penjelasannya baru kemudian dilakukan penandatanganan dihadapan
Notaris atau pejabat yang ditunjuk.
Dengan demikian demikian dari keterangan diatas bahwa PPJB yang dibuat dalam bentuk
akta notaris memiliki pembuktian hukum yang sempurna sedangkan PPJB yang dibuat dibawah

16
tangan tidak memeiliki pembukian yang sempurna serta dapat terbantahkan dan untuk akta
dibawah tangan baru dapat menjadi akta yang sempuna jika dibubuhi pernyataan yang bertanggal
dari seorang Notaris atau pejabat lain yang ditunjuk seperti disebutkan dalam pasal diatas.
Terhadap adanya tindakan developer apartemen yang dilakukan semena-mena seperti penentuan
pasal-pasal dalam PPJB yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengakibatkan
ketidakjelasan bagi konsumen untuk mendapatkan hak- haknya, maka negara memberikan
perlindungan hukum terhadap pihak - pihak yang merasa dirugikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, bahwasanya dalam
upaya menciptakan keadilan dan kepastian hukum, dapat dipastikan bahwa kedudukan antara
penjual/developer dengan pembeli/konsumen adalah sama sehingga masing-masing pihak
diberikan fasilitas yang sama pula ketika ada yang merasa dirugikan atas tindakan salah satu
pihaknya.
Hal tersebut diwujudkan dalam ketentuan Pasal 9 Permen PUPR Nomor 11/PRT/M/2019
mengatur tentang pembatalan PPJB yang dilakukan oleh salah satu pihak, baik itu atas kelalaian
pengembang maupun atas keinginan konsumen. Dalam hal pelaku pembangunan lalai memenuhi
jadwal, calon pembeli dapat membatalkan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah
Susun dan apabila calon pembeli membatalkan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau
Rumah Susun karena disebabkan kelalaian dari pengembang, maka seluruh pembayaran yang
diterima pelaku pembangunan harus dikembalikan sepenuhnya kepada calon pembeli.
Dalam hal pembatalan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah Susun pada saat
Pemasaran oleh calon pembeli yang bukan disebabkan oleh kelalaian pelaku pembangunan,
maka pelaku pembangunan mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon
pembeli dengan dapat memotong 10% (sepuluh persen) dari pembayaran yang telah diterima
oleh pelaku pembangunan ditambah atas biaya pajak yang telah diperhitungkan.
Adapun bentuk perlindungan hukum kepada konsumen yaitu perlindungan hukum yang
bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya
sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap norma-norma
hukum dalam peraturan perundang-undangan khususnya Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah Dengan
diterbitkannya peraturan Menteri ini merupakan terobosan perlindungan konsumen dalam

17
melakukan pembelian Apartemen dengan mengguanakan PPJB karena meminimalisir resiko
kerugian akibat wanprestasi yang kemungkinan terjadi, namun hail ini dapat terlaksana apabila
konsumen yang melakukan transaksi jual beli mengerti aturan ini kerena banyak dari konsumen
umunya tidak mengerti dan belum mengetahui tentang aturan ini.
Selanjutnya, apabila dalam lingkup hukum perdata, developer dan atau konsumen yang
melakukan wanprestasi bisa dituntut dengan tuntutan ganti rugi, pembatalan perjanjian, peralihan
resiko dan pembayaran biaya perkara, maka dalam lingkup hukum pidana, debitur yang
wanprestasi bisa dituntut melakukan tindakan penipuan, karena apa yang telah diperjanjikan
ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah diberikan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
para pihak, baik itu pengembang maupun konsumen, sama-sama diberikan perlindungan hukum
atas hak-haknya dari kesewenang-wenangan salah satu pihak.

Kesimpulan

1. Kekuatan hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dalam bentuk akta notaris
merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang
PPJB tersebut dibuat menurut ketentuan yang berlaku sehingga mengikat terhadap para pihak
sebagai akta otentik termasuk didalamnya Pengadilan yang harus menerimanya sebagai alat
bukti yang sempurna. Keistimewaan dari suatu akta otentik terletak pada kekuatan
pembuktiannya yang dianggap melekat pada akta itu sendiri, artinya akta otentik merupakan
suatu bukti yang mengikat karena apa yang tertulis didalam akta itu dianggap benar adanya.
Sedangkan kekuatan hukum PPJB yang dibuat dibawah tangan dalam perkara perdata,
sepanjang tidak disangkal atau dipungkiri oleh para pihak maka PPJB yang dibuat dibawah
tangan tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta otentik, sedangkan apabila
kebenaran tanda tangan dalam akta PPJB dibawah tangan disangkal akan kebenarannya maka
PPJB tersebut harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan alat bukti lain seperti
saksi, persangkaan dan pengakuan (diatur dalam Pasal 1874 – 1984 KUH-Perdata).
Dari hasil penelitian ini Penulis menyimpulkan bahwa kekuatan hukum Perjanjian
Pengikatan Jual Beli atas sarusun yang belum bersertipikat pada dasarnya PPJB yang dibuat
di bawa tangan maupun dibuat dalam bentuk akta notaris sepanjang dilakukan serta dibuat
dengan benar dan mengikuti ketentuan aturan perundang-undangan dan panduan penyusunan
isi PPJB seperti disebutkan dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

18
Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/PRT/M/2019 tentang sistem Perjanjian pendahuluan
Jual Beli Rumah, sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat digunakan sebagai
dasar untuk memperjuangkan hak ketika terjadi wanpestasi baik dari konsumen ataupun dari
pengembang atau developer yang mengakibatkan terjadinya pembatalan PPJB, oleh karena
itu pelaksanaan PPJB sebelum AJB dibolehkan dengan adanya persyaratan yang harus
dipenuhi sebagaimana ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut.

2. Dalam rumusan masalah kedua tentang bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen yang
menandatangani PPJB atas sarusun yang belum bersertipikat, di Indonesia sendiri mengatur
ketentuan mengenai Perlindungan Hukum bagi para konsumen, dimana konsumen dapat
mengajukan upaya hukum melalui sarana peradilan hukum yang ada. Bentuk perlindungan
yang paling nyata dengan adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan,
kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-
litigasi) lainnya. Sebagaimana Menurut R. La Porta dalam Jurnal of Financial Economics,
bahwa bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat,
yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction). Regulasi yang
menjadi titik bantu untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen rumah susun
diantaranya: Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Perlindungan hukum bagi
para pihak dari adanya PPJB tergantung pada isi muatan dari PPJB itu sendiri, di mana dalam
PPJB setidaknya harus memuat beberapa hal yang harus dituangkan supaya perlindungan
hukum Para Pihak dapat tercapai dan terlindung. Kekuatan hukum dari PPJB pada prinsipnya
tertuang dalam kaidah hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata. PPJB
juga telah mempunyai payung hukum, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman, SEMA No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, serta Permen PUPR No.11/PRT/M/2019 (Pasal 10 s.d
13).

19
Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian ini, dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut:


1. Apa yang harus dilakukan agar kekuatan PPJB sebagai dasar persetujuan awal untuk jual
beli mempunyai dasar hukum disarankan agar Pemerintah selaku pihak yang berwenang,
perlu segera melakukan revisi terhadap Pasal 42 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, sehingga sejalan dengan peraturan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah, untuk
memastikan adanya kewajiban bagi developer dan konsumen untuk membuat PPJB
dihadapan Notaris. Dengan adanya kewajiban PPJB dibuat dihadapan Notaris, maka baik
developer maupun konsumen akan lebih terjamin perlindungan hak-haknya ketika salah
satu pihak melakukan wanprestasi. Developer dan Konsumen, disarankan perlunya
membuat PPJB yang dibuat dihadapan Notaris berisikan klausula yang jelas dan tidak
merugikan konsumen seperti penerapan klausul-klausul baku yang menyimpang dari
aturan Undang-Undang yang semata-mata menguntungkan developer sehingga terjadi
Wanprestasi dikemudianhari hak-hak dan kewajiban para pihak dapat terselesaikan dengan
lebih mudah;
2. Disarankan dalam membuat PPJB ini, meskipun dapat dibuat secara bawah tangan, maka
sebaiknya dilakukan di hadapan Notaris, sehingga PPJB tersebut dapat dijadikan sebagai
akta yang bersifat otentik, yang sifat pembuktiannya sempurna, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya, supaya para pihak mendapatkan perlindungan hukum yang semaksimal
mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arie S Hutagalung. (2007). Kondominium dan Permasalahnnya. Jakarta: Fakultas Hukum


Universitas Indonesia.
2. Djumadi. (2004). Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
3. Effendi Perangin. (1991). Hukum Agraria di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
4. Gunawan Widjaja. (2014) Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, cet 6.
5. R. Subekti. (1998). Hukum Perjanjian. Jakarta: Penerbit Intermasa.
6. Subekti. (1987). Hukum Perjanjian. Jakarta: Cetakan Ke-4 Citra Aditya Bhakti.
7. Syahmin. (2006). Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

20
8. Sudikno Mertokusumo. (1979). Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
9. Salim. (2008). Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian. Jakarta: Sinar
Gafika, cet ke- 5.
10. Yahya Harahap. (1986). Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Cetakan Kedua, Alumni.
11. Arina Ratna Paramita, Dewi Hendrawati, Yunanto. (2016). Wanprestasi Dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan. Studi Penelitian Pada Pengembang Kota
Semarang: Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3.
12. Bahder Johan Nasution. (2020). Penerapan Sanksi Administratif Sebagai Sarana Pengendali
Pembatasan Terhadap Kebebasan Bertindak Bagi Notaris. Recital Review Vol 2 No. 1.
13. Dewi Kurnia Putri, Amin Purnawan, 2017, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Lunas Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas”, (Jurnal Akta Vol. 4)
14. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
15. Republik Indonesia. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang
Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah Nomor 11/PRT/M/2019
16. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun
1999.
17. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Rumah Susun. UU Nomor 20 Tahun 2011.
18. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Jabatan Notaris. UU Nomor 30 Tahun 2004.

21

Anda mungkin juga menyukai