Anda di halaman 1dari 269

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perlindungan Konsumen merupakan salah satu aspek penting yang senantiasa


harus diperhatikan dalam menyikapi dinamika perkembangan ekonomi pasar. Di
pasar bebas, secara klasik pelaku usaha selalu menawarkan produk-produknya, baik
yang berupa barang maupun jasa, dengan tujuan untuk mencari keuntungan yang
semaksimal mungkin. Namun dilain pihak konsumen pun ingin memperoleh barang
dan/atau jasa yang selain murah tetapi sesuai dengan kebutuhan dan juga aman. Pada
kenyataannya kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen tidaklah memiliki
perimbangan kekuatan yang sama. Posisi pelaku usaha lazimnya jauh lebih kuat
daripada (para) konsumen, khususnya konsumen-konsumen perorangan. Dominasi
pelaku usaha tersebut merebak salah satunya dikarenakan oleh penguasaan produk
yang sepenuhnya berada pada produsen. Kondisi semacam ini menyebabkan
rentannya eksploitasi konsumen oleh para pelaku usaha. Ketidakkondusifan situasi
ini mendorong pemerintah untuk memberlakukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU-PK). Pemberlakuan UU-PK ini
merupakan upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para
konsumen, yaitu berupa pemberian perlindungan atas hak-hak dasar konsumen.
Perlindungan konsumen apabila dikaitkan dalam konteks transaksi yang
terjadi dan dibuat oleh dan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka pada
umumnya bersinggungan dengan keberadaan sebuah format penjanjian baku, dimana
di dalam format perjanjian baku dimaksud didalamnya pun terdapat klausula-
klausula baku. Klausula baku mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU-PK
adalah:

“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.”
lazimnya klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil pada kuitansi, faktur/bon,
perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli.

1
Perjanjian baku yang didalamnya turut memuat klausula baku berpotensi
untuk merugikan (para) konsumen. Indikasi kerugian bagi konsumen adalah
dikarenakan pembentukan suatu kondisi, dimana konsumen tidak diberikan adanya
suatu alternatif pilihan selain daripada untuk menerima segala ketentuan dan
prasyarat yang diberikan oleh pelaku usaha. Situasi ini menimbulkan suatu polemik
tersendiri. Format perjanjian baku pada kenyataannya sangat membantu kelancaran
transaksi-transaksi perdagangan. Terlepas dari sebuah realitas bahwa didalam sebuah
perjanjian baku tersebut memuat klausula-klausula baku. Memang kita tidak dapat
menutup mata terhadap kompleksitas kesulitan yang timbul apabila banyak variabel
perjanjian atau kontrak sehari-hari yang harus melalui proses negosiasi terhadap
setiap maupun seluruh syarat dan ketentuannya. Semisal transaksi tiket menonton
pertunjukan, transaksi tiket parkir, transaksi jual beli di pasar swalayan/pasar
modern/perkulakan modern dan lain sebagainya, maka kita akan mengalami
hambatan jika dalam setiap transaki tersebut harus terlebih dahulu melalu proses
negosiasi. Sehingga instrumen perjanjian baku diterapkan dalam rangka untuk
mengatasi terjadinya hambatan dalam kelancaran transaksi-transaksi tersebut.
UU-PK menunjukan sikapnya terhadap transaksi-transaksi yang
menggunakan perjanjian baku, yaitu dengan memberlakukan larangan penggunaan
klausula baku tertentu dalam sebuah perjanjian baku. Meskipun demikian masih
dirasakan bahwa ketentuan larangan klausula baku yang tercantum dalam UU-PK
dalam pengaturannya masih belum spesifik, khususnya untuk jenis maupun macam
transaksi perjanjian apa sajakah yang dapat dan harus diberlakukan ketentuan Pasal
18 UU-PK dimaksud. Urgensi untuk diadakannya perangkat peraturan pelaksanan
guna mendukung pelaksanaan penegakan pelarangan penggunaan klausula baku
adalah agar dalam penegakannya dapat lebih spesifik dan teridentifikasi, misalnya
guna melakukan pembatasan penggunaan klausula baku yang dilarang di kalangan
perbankan, asuransi, perumahan, perparkiran dan lain sebagainya. Pertimbangan dari
keberadaan pengaturan format perjanjian baku adalah agar konsumen lebih dapat
memahami tentang hak-hak mereka dan masyarakat pun memahami bahwa
pemerintah selaku regulator juga turut memperhatikan kepentingan mereka.
Dari banyak kasus yang masuk dan diterima oleh Direktorat Perlindungan
Konsumen dapat teridentifikasi, bahwa keluhan-keluhan konsumen ternyata meliputi

2
banyak hal. Keluhan masuk selama ini didominasi oleh keluhan mengenai kerugian
yang dialami oleh konsumen di bidang perumahan. Setelah itu secara berturut-turut
variabel peringkat keluhan pun beraneka ragam, termasuk dan tidak terbatas dalam
lingkup leasing, perbankan, asuransi, dan multi level marketing (MLM). Perihal
pengaduan konsumen terkait dengan bidang perumahan ditangani oleh Direktorat
Perlindungan Konsumen. Keluhan yang masuk lebih banyak berkisar pada
ketidaksesuaian antara apa yang telah dijanjikan oleh pengembang dengan realitas
rumah yang diterima oleh konsumen. Beberapa masalah yang seringkali dikeluhkan
oleh konsumen diantaranya adalah dengan tidak diperolehnya informasi yang jelas
dan transparan dari pengembang, khususnya terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan ketidaksesuaian kondisi sarana dan prasana pendukung yang dijanjikan
dengan realitasnya, status tanah/bangunan yang tidak sesuai, kondisi hasil akhir fisik
rumah tidak sama dengan kondisi yang dijanjikan, ketidakjelasan sertifikat apakah
Girik/Hak Milik/Hak Guna Bangunan berikut proses pembaliknamaan sertifikast,
ketidakjelasan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Fasilitas Sosial (Fasos)
maupun Fasilitas Umum (Fasum) oleh pengembang serta lain sebagainya.
Jumlah pengaduan konsumen yang diterima oleh Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1996-2003, khusus di bidang perumahan
mencapai jumlah 1.023 (seribu dua puluh tiga) kasus atau sebesar 17,65% (tujuh
belas koma enam puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan pengaduan yang
masuk. Berdasarkan catatan yang kami peroleh turut menunjukan hingga tahun 2007
sampai pertengahan tahun 2008 pengaduan di bidang perumahan menduduki
peringkat pengaduan nomor 1 (satu). Pengaduan yang disampaikan oleh konsumen
ke YLKI berkisar tentang kerugian yang dialami oleh konsumen, yang sementara ini
diduga akibat keterbatasan pemahaman konsumen terhadap aspek-aspek yang harus
diperhatikan pada saat proses jual-beli rumah. Di lain pihak adanya indikasi terkait
dengan unsur ketidakjujuran dari (para) pelaku usaha dalam penyampaian informasi
kepada konsumen, baik mengenai kualitas produk maupun kebenaran harga yang
dipromosikan serta janji lainnya seperti yang selalu dimuat dalam brosur-brosur
maupun iklan penjualannya. Kekurangtegasan penegak hukum untuk menindak para
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran(-pelanggaran) dimaksud mengakibatkan
tidak adanya efek jera bagi pelaku usaha untuk pada akhirnya menghentikan

3
pelanggarannya. Penyelenggaraan perlindungan konsumen masih dilakukan dengan
menggunakan cara-cara yang bersifat parsial oleh masing-masing instansi, sehingga
dalam upaya penegakannya jelas tidak akan memberikan hasil yang optimal.
Berdasarkan dari pemaparan tersebut di atas secara umum dapat disampaikan, bahwa
transaksi jual-beli rumah yang dilakukan oleh pengembang dengan konsumen
lazimnya menggunakan perjanjian jual-beli rumah. Apabila konsumen tidak
melakukan pembelian secara tunai, maka dokumen yang ditandatangani adalah
perjanjian pengikatan jual-beli. Terhadap perjanjian jual-beli tanah dan rumah
ditentukan untuk dibuat dihadapan notaris yang juga merupakan pejabat pembuat
akta tanah atau dihadapan camat setempat yang memiliki kewenangan sebagai
pejabat pembuat akta tanah. Sedangkan, perjanjian pengikatan jual-beli tanah dan
rumah pada prakteknya masih banyak dijumpai yang dibuat secara di bawah tangan.
Perjanjian jual-beli maupun perjanjian pengikatan jual beli tanah dan rumah
dimaksud menggunakan standar perjanjian baku. Terhadap dokumen-dokumen
perjanjian dimaksud diasumsikan memuat klausula-klausula baku yang dilarang oleh
UU-PK.
Permasalahan dalam klausula baku dalam rangka perlindungan konsumen
relatif pelik karena permasalahannya didasari pada perbedaan kepentingan yang
timbul dari dari pelaku usaha bilamana ditinjau dari sisi produsen, konsumen dan
pemerintah antara lain meliputi:

1. Rendahnya tingkat kesadaran hukum dari para pelaku usaha maupun


konsumen.
2. Kurangnya informasi yang lengkap dan jelas tentang isi perjanjian (klausula
baku) dari produsen/pengembang kepada konsumen
3. Keterbatasan pemahaman pengembang terhadap pentingnya perlindungan
konsumen dari sisi pencantuman klausula baku dalam instrumen perjanjian di
bidang perumahan
4. Keterbatasan pemahaman konsumen terhadap isi perjanjian (klausula baku)
dalam pembelian perumahan termasuk mempelajari Perjanjian Jual Beli atau
Perjanjian Pengikatan Jual Beli rumah.
5. Banyaknya pengaduan konsumen dibidang transaksi jual beli rumah.

4
6. Lemahnya pengawasan terhadap aspek klausula baku yang dilarang (Pasal 18
UU-PK ), karena disinyalir belum terdapat pengaturan yang dapat
dipergunakan sebagai pedoman teknis yang pengatur klausula baku yang
dilarang di bidang perumahan.

Sehingga yang menjadi pertanyaan dalam kajian ini adalah:

1. Sejauh mana implementasi dan penegakan ketentuan Pasal 18 ayat UU PK


tentang larangan pencantuman klausula baku di bidang transaksi jual beli
perumahan?
2. Apakah konsumen memiliki pemahaman dan/atau memahami isi perjanjian
terkait dengan klausula baku?

Sehubungan dengan kondisi tersebut di atas perlu untuk dilakukannya kajian


dan telaah yang dapat memberikan rekomendasi dalam penyusunan peraturan
pendukung yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dibidang
transaksi jual beli rumah. Kajian dan telaah yang akan dilaksanakan adalah
sehubungan dengan implementasi klausula baku yang dilarang oleh UU-PK, yang
terbatas dalam lingkup perumahan. Salah satu pertimbangan pentingnya kajian dan
telaah ini adalah dengan memperhatikan dan mengingat begitu banyaknya klaim
masyarakat di bidang perumahan.

1. 2. Tujuan dan Keluaran Kajian

1.2.1. Tujuan Kajian

Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan kajian sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan


pasal 18 UU-PK tentang klausula baku di bidang perumahan.
b. Mengidentifikasi pemahaman konsumen terhadap eksistensi klausula
baku dan dampaknya pasca penandatanganan perjanjian pengikatan
jual beli di bidang perumahan.
c. Memberikan bahan-bahan masukan bagi regulator terkait dengan
dinamika dan perkembangan transaksi di bidang perumahan dalam
konteks perlindungan konsumen.

5
1.2.2. Keluaran Kajian

a. Identifikasi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan pasal


18 UU-PK tentang klausula baku di bidang perumahan.
b. Identifikasi pemahaman konsumen terhadap eksistensi klausula baku
dan dampaknya pasca penandatanganan perjanjian pengikatan jual
beli di bidang perumahan.
c. Bahan-bahan masukan bagi regulator terkait dengan dinamika dan
perkembangan transaksi di bidang perumahan dalam konteks
perlindungan konsumen.

1.3. Ruang Lingkup Kajian

1.3.1. Fokus Kajian Klausula Baku

Kajian klausula baku lebih difokuskan di bidang perumahan, khususnya


perumahan (rumah tinggal) kelas mewah (real estat), kelas sederhana dan
kelas sangat sederhana. Klasifikasi responden perumahan yang menjadi
sampel kajian lebih diutamakan terhadap konsumen yang membeli rumah
secara kredit, langsung dari pengembang (developer) yang melakukan
(menandatangani) perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) setelah tanggal 1
Januari 2004. Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang dimaksud dalam
kajian ini adalah standar kontrak yang memuat klausula baku (pasal-pasal
baku). Meskipun demikian tetap tidak menutup kemungkinan untuk
dilakukannya telaah terhadap perjanjian jual-beli rumah.

1.3.2. Aspek yang diteliti

a. Kesesuaian implementasi kebijakan tentang klausula baku dengan


perjanjian yang memuat klausula baku.
b. Lembaga pengawasan.
c. Bentuk/dokumen klausula baku dalam perjanjian jual beli atau PPJB
rumah.
d. Karakteristik usaha properti.
e. Karakteristik produsen/properti.

6
f. Pemahaman hukum konsumen terhadap Klausula baku.
g. Faktor-faktor demografi yang mempengaruhi seperti umur, pendidikan,
dan pendapatan.

1.3.3. Responden Kajian

a. Departemen Perdagangan (Direktorat Perlindungan Konsumen,


Direktorat Pengawasan Barang dan Jasa yang beredar);
b. Kementerian Perumahan dan Pemukiman Rakyat;
c. Dinas Industri dan Perdagangan;
d. Konsumen;
e. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);
f. Badan Pengaduan Sengketa Kosumen (BPSK)/Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM);
g. Pelaku usaha bidang properti;
h. Asosiasi real estat Indonesia; dan
i. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)/Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).

1.4. Sistematika Laporan

Kerangka laporan yang disiapkan sebagai laporan akhir dari kegiatan ini
terdiri dari 7 bab, sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN
1.l. Latar Belakang
1.2. Tujuan dan Keluaran Kajian
1.3. Ruang Lingkup
1.4. Sistematika Laporan
BAB II : KERANGKA TEORI
2.1. Perjanjian Baku Secara Umum
2.2. Klausula Baku Secara Umum
2.2.1. Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak
2.2.2. Bentuk Perjanjian Dengan Syarat Baku (Klausula
Baku)

7
2.2.3. Macam-Macam Perjanjian Baku
2.2.4. Ciri-Ciri Perjanjian Negatif Baku
2.2.5. Berlakunya Perjanjian Baku
2.2.6. Ciri-Ciri/Karakterisktik Perjanjian Baku
2.2.7. Tahapan-Tahapan Transaksi Antara Produsen dan
Konsumen
2.2. Perlindungan Konsumen
2.3.1. Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
2.3.2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2.3.3. Ketentuan Pengawasan Terhadap Klausula Baku
2.3. Tinjauan Teoretis Kebijakan vs. Perjanjian
BAB III : METODOLOGI KAJIAN
3.1. Kerangka Pikir
3.2. Metode Analisis Data
3.3. Jenis Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
3.4. Teknik Penarikan Sampel
BAB IV : PENERAPAN KLAUSULA BAKU DI BIDANG
PERUMAHAN
4.1. Inventarisasi dan identifikasi Klausula Baku di Bidang
Perumahan yang Bertentangan dengan UU-PK
4.2. Temuan Hasil Survey Lapangan (Termasuk Temuan yang
Bersifat Wanprestasi)
4.2.1. Batam
4.2.2. Makassar
4.2.3. Surabaya
4.2.4. Bandung
4.2.5. Jakarta
4.2.6. Bogor
4.2.7. Depok
4.2.8. Bekasi
4.2.9. Tangerang

8
BAB V : PEMAHAMAN KONSUMEN TERHADAP KLAUSULA
BAKU DI BIDANG PERUMAHAN
5.1. Tipe Rumah yang dibeli dan Tempat Penandatanganan
Perjanjian
5.2. Pengetahuan Subyektif Mengenai Jual Beli Rumah
5.3. Perilaku Terhadap Dokumen Perjanjian Jual Beli Rumah
5.4. Pengetahuan tentang Aturan Perlindungan Konsumen terkait
PPJB Rumah
5.5. Masalah-Masalah Lainnya yang Dihadapi oleh Pembeli
Rumah
5.6. Faktor Demografi yang Mempengaruhi Pembelian
Perumahan
5.7. Perbedaan Pengetahuan Subyketif Responden dan Variabel-
Variabel Demografi.
BAB VI : ANALISIS DAN TINDAK LANJUT PENERAPAN
KLAUSULA BAKU BIDANG PERUMAHAN
6.1. Analisis Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli
Rumah
6.2. Analisis Terhadap Pelaku Usaha
6.2.1. Perjanjian Baku Mutlak Didasari Pada Prinsip-
Prinsip Itikad Baik
6.2.2. Berdasarkan Perjanjian Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Perjanjian Baku dibatasi
Oleh Kewajiban-Kewajiban Pelaku Usaha
6.2.3. Klasifikasi Pelanggaran Pasal 18 Ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen
6.2.4. Pelaku Usaha Wajib Mematuhi Keputusan Menteri
Negara Perumahan Rakyat No.09/KPTS/M/1995
tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah
BAB VII PENUTUP
7.1. Kesimpulan
7.2. Saran

9
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

10
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1. Perjanjian Secara Umum

Ada berbagai macam pengertian mengenai perjanjian, diantaranya adalah


pendapat-pendapat dari para ahli hukum yang mencoba memberikan definisi
mengenai perjanjian dan disamping itu pula pengertian perjanjian menurut KUH
Perdata. Dalam ilmu hukum ada pendapat yang mengartikan perjanjian sebagai suatu
hubungan hukum dibidang hukum kekayaan, sebagai terjemahan istilah bahasa
Belanda “verbintenis”, jadi merupakan pengertian Perikatan, namun ada pula ahli
hukum yang mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum atau peristiwa
hukum yang menerbitkan perikatan, jadi sebagai terjemahan istilah bahasa Belanda
“overeenkomst”, yakni mengartikan perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan,
selain undang-undang.
Dalam KUH Perdata perjanjian merupakan “suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih1,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1313 KUH Perdata.2
Dalam ilmu hukum, definisi tersebut dikatakan pada satu sisi dianggap terlalu
luas, namun pada sisi yang lain dianggap terlalu sempit. Dari perkataan perbuatan
dalam definisi perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata, dikatakan definisi
perjanjian terlalu luas, karena dapat mencakup perbuatan melawan hukum dan
pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela. Seharusnya di dalam pasal 1313
KUH Perdata perjanjian dirumuskan sebagai perbuatan hukum. Perkataan
mengikatkan diri, diartikan melakukan kewajiban tertentu kepada pihak yang lain.
Dalam hal ini ilmu hukum berpendapat bahwa rumusan perjanjian tersebut telalu
sempit, karena hanya meliputi perjanjian sepihak saja. Perjanjian tidaklah hanya
meliputi perjanjian sepihak, melainkan terdapat perjanjian timbal balik, dimana hak
dan kewajiban ada pada kedua belah pihak.

1
Prof R Subekti dan R Tjtrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramitha, 1996) hal 282.
2
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.

11
Perjanjian dalam Buku III KUH Perdata dimaksudkan hanya meliputi
perjanjian dibidang hukum kekayaan saja. Kata “perjanjian” secara umum dapat
mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap
perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana dikehendaki (dianggap
dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian
perkawinan, dan lain-lain. Sedangkan, dalam arti sempit “perjanjian” disini hanya
ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja,
seperti yang dimaksud oleh Buku III BW3.
Perjanjian menurut Prof. Subekti, S.H.,4 merupakan “suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal”. Dari peristiwa itu menimbulkan suatu hubungan
antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian merupakan sumber
perikatan disamping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan
persetujuan, karena kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan sesuatu.
Dalam Pasal 1233 KUH Perdata5 mengatur mengenai sumber perikatan
dimana selain perjanjian adalah juga undang-undang. Perikatan yang lahir dari
perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu
perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir karena undang-undang diadakan oleh
undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.
Pengertian perikatan menurut Prof. Subekti S.H.,6 adalah suatu hubungan
hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yaitu memberi hak pada
yang satu untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Obyek perikatan adalah prestasi,

3
J Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1992),
hal 23.
4
Prof. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, PT Intermasa, 1996), hal 1.
5
Tentang perikatan-perikatan umumnya

Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.


6
Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1996), hal 122-123

12
prestasi dalam perjanjian ada 3 sebagaimana diatur di dalam pasal 1234 KUH
Perdata7, yaitu:
1. Memberikan atau menyerahkan sesuatu, misalnya: jual-beli, tukar-menukar,
sewa-menyewa, dan sebagainya.
2. Perikatan atau perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya: perjanjian untuk
membuat lukisan, perjanjian membangun garasi, perjanjian pemborongan
kerja menjahit baju seragam sekolah, perjanjian kerja dan perjanjian jasa dan
sebagainya.
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya: perjanjian untuk tidak
mendirikan perusahaan sejenis, perjanjian untuk tidak membangun tembok
pemisah, dan sebagainya.

Asas yang dianut dalam Buku III KUH Perdata adalah asas “kebebasan”
dalam hal membuat perjanjian. Asas ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata8, yang menerangkan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”

Sebenarnya apa yang dimaksud dalam Pasal 1338 KUH Perdata9 tidak lain bahwa
setiap perjanjian itu “mengikat” kedua belah pihak, sehingga seseorang leluasa untuk
menentukan isi perjanjian, sepanjang perjanjian dibuat dengan tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan, serta perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak
tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini
biasa disebut asas kebebasan berkontrak.

7
Tiap-tiap perikatan adalahuntuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
8
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
9
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

13
Pasal 1320 KUH Perdata10 menentukan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian
dimana pasal tersebut menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat, yakni antara lain adalah:
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya.
Suatu perjanjian itu baru timbul apabila ada kata sepakat kedua belah pihak
mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian.
Sepakat disini maksudnya adalah suatu persesuaian paham dan kehendak
antara dua pihak tersebut11. Dan apabila dalam pemberian kata sepakat
terdapat kekhilafan atau paksaan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Kata sepakat juga dikatakan cacat apabila sepakat itu diberikan karena:

a. Kekhilafan
Ialah gambaran yang salah, yang diperoleh salah satu pihak mengenai
objek perjanjian atau mengenai diri pihak lain.

b. Penipuan
Penipuan dapat terjadi bilamana terdapat gambaran yang salah
(kekhilafan) ditimbulkan dengan sengaja oleh tipu muslihat pihak
lain. Tipu muslihat itu dapat berupa rangkaian kebohongan ataupun
mendiamkan sesuatu sehingga menimbulkan kekeliruan dari
kehendaknya.

c. Paksaan
Yang dimaksud dengan paksaan disini adalah bukan paksaan fisik
tetapi berupa paksaan psikis (ancaman). Jika seseorang di bawah
paksaan dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.

10
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
11
Prof. Subekti, op.cit.hal 26

14
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Pada dasarnya semua orang cakap untuk membuat suatu perjanjian. Yang
dimaksud dengan cakap disini adalah cakap menurut hukum. Artinya setiap
orang yang sudah dewasa dan sehat akal pikirannya, pada hakekatnya adalah
cakap untuk membuat perjanjian, kecuali orang-orang yang dinyatakan tidak
cakap oleh undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 KUH
Perdata12, yaitu:

a. Orang-orang yang belum dewasa.


Menurut Pasal 330 KUH Perdata13 tentang kebelum dewasaan
seseorang dapat dikatakan belum dewasa apabila orang tersebut
belum genap berumur duapuluh satu (21) tahun dan tidak lebih dahulu
telah kawin.

12
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;


2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
13
Tentang kebelum dewasaan. Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin.

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka
tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah
perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan
keenam bab ini.

Penentuan arti istilah “belum dewasa” yang dipakai dalam beberapa peraturan undang-undang
terhadap bangsa Indonesia.
Ordonansi 31 Januari 1931, L.N. 1931 – ’54.
Untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena ordonansi 21 Desember 1917, L.N.
1917 – 138, dengan mencabut ordonansi ini, ditentukan sebagai berikut:

(1) Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka sekadar mengenai
bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segala orang yang belum mencapai umur
genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
(2) Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
(3) Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak.

15
b. Mereka yang di bawah pengampuan.
Dalam Pasal 433 KUH Perdata14 mengenai orang-orang yang berada
di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada
dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di
bawah pengampuan. Seseorang dapat juga ditaruh di bawah
pengampuan karena ia pemboros.

c. Seorang Istri.
Menurut KUH Perdata seorang istri dilarang membuat perjanjian
karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum, tetapi
sejak di keluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3
tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, maka Mahkamah Agung
menyatakan tidak berlaku lagi Pasal 10815 dan 110 KUH Perdata16
tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum
dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa ijin atau bantuan
suaminya. Dengan demikian seorang istri dapat dinyatakan cakap
untuk melakukan perbuatan hukum. Undang-Undang Perkawinan,
Undang-undang No.1 tahun 1974 yang menentukan bahwa seorang
isteri cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Pada asasnya suami
dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang baik dalam keluarga

14
Tentang Pengampuan

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus
ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.

Seorang dewasa boleh juga di taruh dibawah pengampuan karena keborosannya.


15
Tentang Hak dan Kewajiban Suami dan Istri

Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekali
pun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau
memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta,
atau dengan izin tertulis dari suaminya.

Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat sesuatu akta, atau untuk
mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu
pembayaran, atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya.
16
Seorang istri, biar ia kawin diluar per-satuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu,
biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia
menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya.

16
maupun dalam pergaulan kemasyarakatan mereka, isteri cakap untuk
melakukan perbuatan hukum (Pasal 3117 Undang-Undang No. 1 tahun
1974).

3. Adanya suatu hal tertentu.


Maksud dari suatu hal tertentu secara umum adalah hal-hal yang
diperjanjikan yang didalamnya meliputi hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak jika di kemudian hari timbul sengketa, semisal objek dari
persengketaan tersebut adalah berupa barang, maka sudah seharusnya barang
yang dimaksudkan tersebut telah disebutkan dalam perjanjian dan setidaknya
telah diketahui jenisnya. Bahwa katakan barang tersebut sudah tidak berada
di tangannya si berutang pada waktu perjanjian itu dibuat, tidak diharuskan
oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja
kemudian dapat dihitung dan ditetapkan. Misalnya suatu perjanjian mengenai
panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah,
tetapi suatu perjanjian jual beli teh untuk seratus rupiah dengan tidak
memakai penjelasan yang lebih terang lagi, harus dianggap tidak jelas.

4. Adanya sebab yang halal dalam perjanjian


Di dalam perjanjian tersebut harus memuat klausula atau sebab yang halal
bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Jika terdapat suatu perjanjian tanpa sebab,
maka kehendak yang ingin dicapai oleh para pihak tidak ada sehingga
perjanjian tersebut akan menimbulkan perjanjian tanpa dasar yang patut.
Misalnya perjanjian yang terjadi karena kekhilafan, dan juga jika suatu
perjanjian dibuat dengan sebab yang palsu, artinya sebab yang disimulasi
dimana kedua pihak dalam perjanjian dengan sengaja menyebut kausal yang
bertentangan dengan kebenaran tujuan dan pihak ketiga percaya akan sebab
tersebut. Dalam hal ini pihak ketiga yang beritikad baik harus dilindungi oleh
hukum.

17
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

17
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 syarat, yaitu adanya kata
sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal antara mereka yang
mengikatkan dirinya. Syarat yang pertama dan kedua yaitu kata sepakat dan
kecakapan untuk membuat perjanjian disebut sebagai syarat subyektif karena
mengenai para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian atau subyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka
perjanjiannya bukan batal demi hukum melainkan salah satu pihak dalam perjanjian
tersebut mempunyai hak untuk meminta perjanjian tersebut dibatalkan. Salah satu
pihak yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum misalnya
mereka yang masih di bawah umur atau di bawah pengampuan. Perjanjian demikian
disebut voidable yaitu karena selalu diancam dengan bahaya pembatalan.
Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai
syarat obyektif. Jika syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi
hukum, artinya dari semula perjanjian itu dianggap tidak pernah ada atau tidak
pernah dilahirkan, hal ini biasa disebut sebagai null and void.
Unsur-Unsur perjanjian, beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam
perjanjian yaitu:

1. Unsur Essensialia.
Merupakan unsur perjanjian yang selalu harus ada dalam suatu perjanjian
atau dengan kata lain merupakan suatu unsur mutlak, dimana tanpa adanya
unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada, misalnya : unsur kata sepakat,
unsur “sebab yang halal” merupakan unsur essensialia untuk adanya suatu
perjanjian, seperti: harga barang yang jelas.

2. Unsur Naturalia.
Merupakan unsur perjanjian yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau
diganti, misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan
(levering) dan untuk menjamin (Pasal 147618 jo 149219 KUH Perdata) dapat

18
Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli,
jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya.
19
Meskipun pada waktu penjualan dilakukan tiada dibuat janji tentang penanggungan, namun si
penjual adalah demi hukum diwajibkan menanggung si pembeli terhadap suatu penghukuman untuk
menyerahkan seluruh atau sebagian benda yang dijual kepada seorang pihak ketiga, atau terhadap

18
dikesampingkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Unsur naturalia pada
hakekatnya unsur yang merupakan hukum pelengkap yang diatur di dalam
Buku III KUH Perdata.

3. Unsur Accidentalia.
Merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak dalam
perjanjian tersebut, misalnya: untuk benda-benda tertentu dapat dikecualikan
dalam perjanjian. Unsur accidentalia merupakan unsur yang secara khusus
diperjanjikan dan mengikat para pihak yang membuatnya, misalnya dalam
perjanjian diperjanjikan bahwa risiko tetap ada pada pihak penjual, meskipun
barang masih ada pada pihak penjual. Hal ini merupakan pengaturan yang
secara khusus diperjanjikan, menyimpang dari pasal 1460 KUH Perdata.20

Dalam pelaksanaan perjanjian perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu perjanjian


merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain
untuk melaksanakan sesuatu yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan suatu
perjanjian terdapat hal yang harus dilaksanakan yang disebut prestasi.
a. Menurut prestasinya perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu21:
1) Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang.
2) Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

b. Eksekusi Riil
Ialah dalam hal si berutang (debitur) tidak dapat melaksanakan apa yang
telah dijanjikan (tidak menepati janjinya), maka si berpiutang (kreditur)
dapat mewujudkan sendiri prestasinya yang dijanjikan dengan biaya
debitur. Walaupun selalu ada kemungkinan mendapatkan suatu ganti rugi,

beban-beban yang menurut keterangan seorang pihak ketiga dimilikinya atas benda tersebut dan yang
tidak diberitahukan sewaktu pembelian dilakukan.
20
Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak
saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si
penjual berhak menuntut harganya.
21
Subekti, op.cit, hal 36.

19
tetapi lebih memuaskan bagi seseorang apabila mendapatkan apa yang
telah dijanjikan itu. Apa yang diperjanjikan itu disebut prestasi primair
sedangkan ganti rugi disebut prestasi subsidair. Secara harfiah eksekusi
riil berarti pelaksanaan atau pemenuhan kewajiban debitur seperti yang
diperjanjikan22.

Menurut KUH Perdata, suatu perjanjian ada yang mungkin dapat


dieksekusi riil ada juga yang tidak dapat di eksekusi riil bila dilihat dari
macam pelaksanaan suatu perjanjian, yaitu:
1) Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang.
a) Barang bergerak
Terdiri dari barang tertentu dan barang tidak tertentu. Mengenai
barang tertentu dapat dilakukan secara eksekusi riil, sedangkan
barang tidak tertentu tidak mungkin dilakukan eksekusi riil.
b) Barang tidak bergerak
Mengenai barang tidak bergerak terdapat dua pendapat, yaitu:
(1) Menurut Yurisprudensi
Untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang tidak
bergerak diperlukan akta transpor yang harus dibuat oleh
kedua pihak dan tidak mungkin digantikan dengan putusan
hakim, berarti tidak dapat dieksekusi riil.
(2) Alasan a Contrario
Dalam Pasal 1171 ayat (3)23 KUH Perdata menyatakan
bahwa dimungkinkan eksekusi riil bagi hipotik (jaminan
barang atau benda tidak bergerak) bagi seseorang yang
cidera janji, sedangkan dalam hal seseorang yang

22
J. Satrio. Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung, Alumni, 1993), hal 57.
23
Tentang Hipotik

Barangsiapa yang, berdasarkan undang-undang atau persetujuan, diwajibkan memberikan hipotik,


dapat dipaksa untuk itu dengan putusan Hakim, yang mempunyai kekuatan yang sama seolah-olah ia
telah memberikan persetujuannya untuk hipotik itu dan yang dengan terangakan menunjuk benda-
benda atas mana akan dilakukan pembukuan.

20
menyerahkan hak milik atas barang tidak bergerak tidak ada
aturannya sehingga tidak dimungkinkan eksekusi riil.
2) Perjanjian untuk berbuat sesuatu
Tercantum dalam pasal 1241 KUH Perdata24 yang menjelaskan
bahwa apabila si berutang (debitur) tidak melaksanakan apa yang
telah dijanjikan (tidak menepati janjinya), maka si berpiutang
mempunyai hak untuk mengusahakan sendiri pelaksanaan
perjanjian atas biaya si berutang (debitur).
3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Dijelaskan dalam pasal 1240 KUH Perdata25 yaitu bahwa si
berpiutang (kreditur) berhak menuntut penghapusan segala
sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan
boleh meminta hakim untuk menyuruh menghapuskan segala
sesuatu yang telah dibuat dengan biaya si berutang (debitur).

2. Substansi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian.


Untuk melaksanakan suatu perjanjian terlebih dahulu harus memperhatikan
secara cermat apa isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak
dan kewajiban masing-masing pihak26. Dan menurut pasal 1339 KUH
Perdata27 bahwa suatu perjanjian tidak hanya untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh masing-masing


pihak. Karena ini merupakan salah satu sendi yang paling penting dalam
hukum perjanjian. Bila awalnya sudah tidak mempunyai niat yang tidak baik

24
Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia
sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang.
25
Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah
dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk
menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat atas biaya si berutang; dengan tak
mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
26
Subekti, op.cit, hal 39.
27
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang.

21
bisa menimbulkan berbagai masalah, artinya perjanjian tersebut harus
dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan, dan
kesusilaan.

Menurut Pasal 1338 KUH Perdata28 menyatakan bahwa setiap perjanjian


harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan
untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar pelaksanaan perjanjian tersebut
tidak menyimpang dari kepatutan dan keadilan. Maksud dari pasal 1338 KUH
Perdata bila dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum
maka hukum itu mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian (ketertiban)
supaya apa yang diperjanjikan dapat dipenuhi dan memenuhi tuntutan
keadilan dengan tidak meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.

Perjanjian sebagai serangkaian kata-kata maka perlu ditetapkan dengan


cermat apa yang dimaksudkan oleh para pihak, perbuatan ini dinamakan
menafsirkan perjanjian29. Penafsiran perjanjian ini mempunyai pedoman
utama, yaitu jika kata-kata dalam perjanjian itu jelas, maka tidak dibolehkan
untuk menyimpang dari jalan penafsiran tersebut, misalnya: dalam suatu
perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi, maka tidak
boleh ditafsirkan sebagai seekor kuda.

Idealnya, suatu perjanjian tidak memerlukan penafsiran apapun, tetapi


klausula, kalimat atau kata-kata dalam perjanjian seharusnya sudah dengan
sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada.
Karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis dalam perjanjian, maka
penafsiran perjanjian bukan hanya tidak diperlukan, tetapi tidak
diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut akan mempunyai arti yang

28
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.


29
Subekti, Op.cit, hal 43.

22
menyimpang dari yang tersirat tersebut. Inilah yang dalam ilmu hukum
perjanjian disebut dengan “Doktrin Kejelasan Makna” (plain meaning rules).
Doktrin kejelasan makna ini dengan tegas diakui sepenuhnya oleh KUH
Perdata, lewat Pasal 1342, yang menyatakan bahwa:

“Jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas, maka tidak lagi
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.”

Namun demikian, perjanjian itu bermacam-macam ragamnya. Ada perjanjian


yang panjang terurai, tetapi ada juga perjanjian yang singkat padat, bahkan
ada perjanjian yang terdiri dari beberapa kalimat saja. Karena itu, mengingat
keanekaragaman perjanjian tersebut, sangat mungkin akhirnya dibutuhkan
kejelasan-kejelasan lebih lanjut, yakni yang dilakukan lewat berbagai metode
penafsiran perjanjian.

Yang dimaksud dengan penafsiran perjanjian adalah suatu metode yang


menunjukan proses dalam memberi arti yang sebenarnya kepada bahasa yang
digunakan dalam perjanjian untuk selanjutnya dapat ditentukan bagaimana
akibat hukum dari perjanjian tersebut. Ini adalah pengertian penafsiran
perjanjian yang umum diberikan atau dianut oleh banyak kalangan ahli
hukum perjanjian. Karenanya. Sebagian ahli hukum kontrak mencoba
memperbedakan antara istilah “penafsiran” (interpretation) dengan istilah
“konstruksi” (construction) terhadap suatu perjanjian, dengan menyatakan
bahwa kata “penafsiran” lebih menitikberatkan kepada pemberian arti
terhadap bahasa yang digunakan, sedangkan kata “konstruksi” dalam hal ini
diartikan sebagai penentuan akibat hukum dari kontrak yang sudah
ditafsirkan tersebut.

Dapat dipastikan bahwa suatu perjanjian lebih luas dari hanya sekedar
penafsiran semantik karena adanya fenomena-fenomena sebagai berikut:
a. Maksud dari para pihak
Para penafsir perjanjian harus sejauh mungkin melihat maksud dari
para pihak dari hanya sekedar melihat kepada bahasa hitam putih
yang ditulis dalam perjanjian. Bisa saja misalnya yang dimaksudkan

23
oleh para pihak dengan perjanjian jual beli adalah sejenis perjanjian
pembiayaan yang disebut dengan Sale and Lease Back.

b. Kebiasaan dalam Praktek


Kebiasaan dalam praktek perdagangan (trade usage) yang serupa
dengan perdagangan dalam perjanjian juga perlu dipertimbangkan
dalam menafsirkan suatu perjanjian. Jika secara semantik, 1 (satu) rim
kertas dianggap berisikan 400 (empat ratus) halaman, maka terhadap
suatu perjanjian jual beli kertas tidak dapat dikatakan wanprestasi
hanya karena dalam 1 (satu) rim kertas yang dibeli berjumlah 395
(tiga ratus sembilan puluh lima) lembar. Sebab dalam praktek jual beli
kertas, 1 (satu) rim kertas diartikan sebagai jumlah antara 390 (tiga
ratus sembilan puluh) sampai 410 (empat ratus sepuluh) lembar.

Pada prinsipnya penafsiran perjanjian diperlukan jika dalam perjanjian


tersebut antara lain terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. Bahasa dalam perjanjian tidak jelas artinya.
b. Bahasa dalam perjanjian tidak jelas ketikannya.
c. Bahasa dalam perjanjian sangat umum, kurang terperinci.
d. Terdapat ambiguitas (lebih dari 1 (satu) arti) dari bahasa dalam
perjanjian.
e. Terhadap bahasa dalam perjanjian dapat diberikan berbagai
penafsiran.
f. Terdapat keragu-raguan terhadap bahasa dalam perjanjian.

Disamping pedoman utama terdapat pula pedoman-pedoman yang lain, yang


penting dalam menafsirkan perjanjian, adalah30:
a. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam
penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang
membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata
menurut hukum.31

30
Subekti, Op.cit, hal 44.
31
Penafsiran tersebut dapat dilakukan dengan mempergunakan pendekatan penafsiran gramatikal atau
penafsiran teleologis. Yang dimaksud dengan penafsiran gramatikal terhadap suatu perjanjian adalah

24
b. Jika sesuatu janji berisikan dua macam pengertian, maka dipilih
pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada
memberikan pengertian yang tidak memungkinkan pelaksanaannya.
c. Jika kata-kata dapat memberikan dua macam pengertian, maka harus
dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
d. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang
menjadi kebiasaan atau di tempat di mana perjanjian itu diadakan.
e. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji
harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
f. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas
kerugian orang yang telah meminta diperjanjikan suatu hal dan untuk
keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.

Dalam ilmu hukum perjanjian, sebenarnya dikenal 3 (tiga) metode penafsiran


perjanjian, yaitu sebagai berikut:
a. Metode Penafsiran Subjektif
Menurut metode penafsiran subjektif ini, penafsiran perjanjian
dilakukan dengan berpegang seoptimal mungkin pada maksud yang
sebenarnya dari para pihak, tanpa terlalu berpegang kepada kata-kata
yang ada pada perjanjian tersebut. Metode ini dianut juga oleh KUH

penafsiran suatu perjanjian untuk sedapat mungkin berpegang teguh dan tidak menyimpang dari bunyi
teks dari perjanjian yang bersangkutan. Dengan demikian, penafsiran perjanjian secara gramatikal
lebih bersifat formal. Sedangkan yang dimaksud dengan penafsiran teleologis adalah penafsiran yang
tidak terlalu berpegang kepada bunyi teks dari perjanjian, tetapi lebih mempertimbangkan maksud dan
tujuan, baik maksud dan tujuan dari perjanjian maupun dari pembuat/penandatanganan perjanjian
tersebut. Dengan demikian, penafsiran perjanjian secara gramatikal lebih bersifat material dan
penafsiran secara teleologis lebih bersifat historis, karena diselidiki juga maksud para pihak ketika
dahulunya menandatangani perjanjian tersebut.

Hal tersebut dapat terlihat dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Pasal 1343 KUH Perdata, “Dalam hal ini ditentukan bahwa penafsiran perjanjian dilakukan
dengan lebih mempertimbangkan dan menyelidiki maksud dan tujuan dari kedua belah pihak dari
hanya melihat kepada kata-kata secara gramatikal.”
2. Pasal 1350 KUH Perdata, “Ketentuan dalam pasal ini menyebutkan bahwa jika bahasa dalam
suatu perjanjian terlalu luas, maka haruslah ditafsirkan semata-mata yang dikehendaki oleh para
pihak.”

25
Perdata, dengan menyebutkannya dalam Pasal 1343 KUH Perdata32
yang menentukan bahwa penafsiran perjanjian dilakukan dengan lebih
mempertimbangkan dan menyelidiki maksud dan tujuan dari kedua
belah pihak dan hanya melihat kepada kata-kata secara gramatikal.

b. Metode Penafsiran Objektif


Berbeda dengan metode penafsiran subjektif, maka metode penafsiran
objektif lebih menekankan pada apa yang tertulis dalam suatu
perjanjian, daripada melihat kepada maksud dari para pihak, apalagi
jika bahasa yang digunakan dalam perjanjian sudah cukup jelas.
Metode penafsiran objektif ini sesuai pula dengan doktrin “pengertian
jelas” yang menyatakan bahwa tidak diperlukan penafsiran jika
bahasa dalam kontrak sudah jelas artinya. Pasal 1342 KUH Perdata33
juga menyatakan hal yang senada.

c. Metode Penafsiran antara Objektif dan Subjektif


Akan tetapi, penafsiran yang banyak terjadi justru penafsiran yang
bergerak antara metode penafsiran objektif dengan metode subjektif.
KUH Perdata juga mengandung banyak pasal yang bergerak di
tengah-tengah seperti ini.

Dalam ilmu hukum perjanjian, dikenal 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi
dalam penafsiran perjanjian, yaitu sebagai berikut:

a. Penafsiran perjanjian harus untuk mendapatkan arti yang logis/masuk


akal (reasonable).
b. Penafsiran perjanjian harus untuk mendapatkan arti yang sesuai
dengan undang-undang dan kebiasaan yang berlaku.
c. Penafsiran perjanjian haruslah untuk mendapatkan arti yang efektif
dan efisien.

32
Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya
menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti
kata-kata menurut huruf.
33
Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya
dengan jalan penafsiran.

26
KUH Perdata mengatur masalah penafsiran perjanjian ini dari Pasal 134234
sampai dengan Pasal 135135. Ada 10 (sepuluh) prinsip dari penafsiran
perjanjian menurut KUH Perdata. Prinsip-prinsip penafsiran perjanjian36
tersebut adalah sebagai berikut:

34
Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya
dengan jalan penafsiran.
35
Jika seorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak
dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan
perjanjian menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan.
36
Di samping prinsip-prinsip penafsiran perjanjian seperti tersebut di atas, maka dalam ilmu hukum
kontrak dikenal pula sekurang-kurangnya beberapa prinsip tambahan bagi suatu interpretasi terhadap
perjanjian, yaitu sebagai berikut:

1. Pegangan utama dalam menafsirkan perjanjian adalah adanya asumsi bahwa para pihak telah
menggunakan bahasa dengan cara yang sama seperti kebanyakan orang menggunakannya.
2. Klausula yang dinegosiasikan secara khusus lebih diperhatikan ketimbang klausula baku.
3. Klausula khusus lebih diperhatikan ketimbang klausula umum.
4. Maksud utama (primary purpose) dari para pihak lebih diutamakan.
5. Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang beritikad baik daripada pihak yang tidak
beritikad baik.
6. Klausula yang ditulis tangan lebih diperhatikan ketimbang klausula yang diketik.
7. Klausula yang diketik lebih diperhatikan ketimbang klausula yang dicetak.
8. Jika dalam perjanjian ada 2 (dua) klausula yang bertentangan, maka klausula yang lebih banyak
dibicarakan (dinegosiasikan) lebih dimenangkan daripada klausula yang kurang dinegosiasikan.
9. Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang tidak memakai tenaga lawyer atau tenaga ahli
dalam proses drafting atau negosiasi kontrak, daripada pihak yang memakai tenaga lawyer atau
tenaga ahli.
10. Doktrin contra profentem. Dalam hal penafsiran perjanjian, yang dimaksudkan adalah bahwa
penafsiran perjanjian dilakukan untuk kerugian pihak yang menyusun perjanjian tersebut.
11. Dokrin expressio unius est exclusion alterius. Artinya, harfiahnya adalah bahwa menyatakan
sesuatu berarti tidak untuk memasukan yang lain. Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini
dimaksudkan bahwa jika para pihak telah dengan khusus membuat daftar dari sesuatu, maka
berarti yang lainnya tidak akan termasuk dalam daftar tersebut, kecuali ada kata-kata yang
bersifat inklusif dalam daftar tersebut, seperti kata-kata “dan lain-lain” misalnya.
12. Doktrin ejusdem generic (dari jenis yang sama). Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini
dimaksudkan bahwa jika para pihak telah dengan khusus membuat daftar dari sesuatu, disertai
dengan kata-kata yang bersifat inklusif dalam daftar tersebut, seperti kata-kata “dan lain-lain”
misalnya. Maka dalam hal ini, hal lain yang boleh masuk ke dalam daftar tersebut adalah hal-hal
yang sejenis dengan hal yang ada dalam daftar tersebut.
13. Doktrin noscitur a sociis (dikenali dari kelompoknya). Doktrin ini serupa dengan doktrin ejusdem
generis. Dalam hal penafsiran perjanjian, hal ini dimaksudkan bahwa arti dari suatu kata dalam
perjanjian dapat dilihat dari kata-kata lain yang menyertainya.
14. Jika kebijaksanaan hukum atau kebijaksanaan pengadilan pada umumnya lebih menghendaki
keabsahan kontrak, maka penafsiran harus untuk mengesahkan berlakunya perjanjian daripada
membatalkan perjanjian.
15. Dalam menafsirkan perjanjian kebiasaan dalam perdagangan mengikat para pihak, meskipun
salah satu pihak dalam perjanjian tidak mengetahui adanya kebiasaan tersebut. Misalnya, kata
“50% (lima puluh persen)” dalam bisnis bisa juga berarti 45,5% (empat puluh sembilan koma
lima persen).
16. Suatu perjanjian tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan, tidak bisa sepotong-sepotong.

27
a. Jika kata-kata sudah jelas, tidak boleh ditafsirkan untuk menyimpang
daripadanya (Pasal 134237). Ini yang disebut dengan “Doktrin
Pengertian Jelas” (Plain Meaning Rule).
b. Disesuaikan dengan maksud kedua belah pihak (Pasal 1343 KUH
Perdata38), daripada berpegang secara kaku pada bahasa dalam
perjanjian.
c. Dipilih pengertian yang memungkinkan untuk dilaksanakan perjanjian
tersebut (Pasal 1344 KUH Perdata39).
d. Dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal
1345 KUH Perdata40).
e. Ditafsirkan sesuai dengan kebiasaan setempat (Pasal 1346 KUH
Perdata41).
f. Hal-hal yang selamanya ada dalam perjanjian, harus dianggap ada
dalam setiap perjanjian (Pasal 1347 KUH Perdata42).
g. Antara 1 (satu) klausula dengan klausula lain harus ditafsirkan secara
menyeluruh (Pasal 1348 KUH Perdata43).

17. Istilah-istilah teknis harus ditasirkan sesuai pengertiannya secara teknis dalam bidang yang
bersangkutan, tidak ditafsirkan dalam pengertiannya yang umum.
37
Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya
dengan jalan penafsiran.
38
Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya
menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti
kata-kata menurut huruf.
39
Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang
sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada memberiakan pengertian yang tidak
memungkinkan suatu pelaksanaan.
40
Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling
selaras dengan sifat perjanjian.
41
Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau
di tempat, dimana perjanjian telah dibuat.
42
Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan
dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
43
Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain;
tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.

28
h. Ditafsirkan untuk kerugian pihak yang diperjanjikan hal tertentu
(Pasal 1349 KUH Perdata44).
i. Ditafsirkan sesuai dengan maksud para pihak dalam membuat
perjanjian (Pasal 1350 KUH Perdata45), terhadap kata yang sangat
luas artinya.
j. Penegasan terhadap sesuatu hal dalam perjanjian tidak berpengaruh
terhadap hal-hal lainnya yang tidak ikut ditegaskan Pasal 1351 KUH
Perdata46).

Istilah khusus harus diartikan secara khusus daripada memakai arti yang
berasal dari bahasa yang umum.

Didalam hukum perjanjian terdapat asas yang perlu diketahui yaitu Asas
kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi) .47 Dalam hal ini perjanjian yang
dimaksud adalah perjanjian yang sah yaitu undang-undang karena memuat Pasal
1338 KUH Perdata:

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.

Di dalam istilah “semua” itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas
kebebasan mengadakan perjanjian yang artinya semua orang dapat mengadakan
perjanjian asalkan dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dibuat
menurut hukum atau secara sah menurut undang-undang agar mengikat para pihak
dan mempunyai itikad baik dalam melaksanakan perjanjian.

44
Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah
meminta diperjanjiakannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya
untuk itu.
45
Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu perjanjian disusun, namun perjanjian itu
hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat
perjanjian.
46
Jika seorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak
dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan
perjanjian menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan.
47
Mariam Darus, et.al. Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2001) hal: 66

29
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang menyatakan bahwa orang bebas
membuat perjanjian apa saja, bebas menentukan syarat-syarat perjanjian, dan
bebas menentukan isi perjanjian, dengan bentuk tertentu dan bebas memilih
undang-undang yang akan dipakai untuk perjanjian itu. Walaupun dikatakan
semua orang bebas dalam membuat perjanjian apa saja tetapi dalam hal ini
tetap dibatasi oleh tiga hal yaitu:
a. Tidak dilarang oleh Undang-Undang
b. Tidak bertentangan dengan kesusilaan
c. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme memiliki arti bahwa pada dasarnya perjanjian dan
perikatan itu timbul karena sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan48. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah ada
kata sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas.
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat
sahnya suatu perjanjian yang memerlukan empat syarat, yaitu antara lain:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.

3. Asas Kepercayaan
Untuk mengadakan suatu perjanjian dengan pihak lain, diperlukan
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak agar perjanjian
tersebut dapat berjalan baik. Tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian itu
mungkin tidak akan diadakan oleh para pihak karena adanya kepercayaan ini
mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai
undang-undang.

48
Subekti, Op.cit, hal. 15

30
4. Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat adalah asas yang mengikat para pihak dalam
perjanjian tetapi tidak terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga
terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasan dan
kepatutan moral.

5. Asas Persamaan Hukum


Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat artinya tidak
membeda-bedakan warna kulit, bangsa, kekayaan, dan lain-lainnya. Para
pihak dianggap sama di muka hukum dan sama sebagai manusia ciptaan
Tuhan.

6. Asas Keseimbangan
Asas ini merupakan asas yang mengehendaki para pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan menuntut prestasi
dari si debitur namun si kreditur harus melaksanakan perjanjian tersebut
dengan itikad baik, jadi kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan
kewajibannya untuk memperhatikan itikadi baik, sehingga kedudukan
kreditur dan debitur menjadi seimbang.

7. Asas Kepastian Hukum


Dalam setiap perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung asas
kepastian hukum untuk mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang bagi
para pihak.

8. Asas Moral
Asas moral maksudnya yaitu perbuatan sukarela dari seseorang yang tidak
menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari si debitur.
Dan dalam melaksanakan perbuatan sukarelanya yang bersangkutan
mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan
perbuatannya.

31
9. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata49, yang berkaitan dengan
isi perjanjian. Asas kepatutan harus dipertahankan untuk menjaga hubungan
dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Para pihak yang terkait dala suatu perjanjian paling sedikit berjumlah dua
orang. Para pihak dalam tersebut dapat terdiri dari manusia atau badan hukum. KUH
Perdata membedakan para pihak ke dalam golongan yang tersangkut dalam
perjanjian, yaitu50:

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri


Yang dimaksud para pihak disini ialah minimal dua pihak yang bersepakat
dalam suatu perjanjian dan mereka mempunyai hak dan kewajibannya
masing-masing sehingga umumnya perjanjian tersebut bersifat timbal balik.

2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya.
Menurut pasal 1318 KUH Perdata:

“jika seseorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah
untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya,
kecuali dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat
perjanjian, bahwa tidak demikian maksudnya”.
3. Pihak ketiga
Pihak ketiga adalah pihak yang diberi kuasa oleh seseorang untuk melakukan
perjanjian atas nama orang lain bukan atas namanya sendiri. Dalam suatu
perjanjian tidak membawa rugi bagi pihak ketiga, dan perjanjian tersebut
tidak dapat ditarik kembali apabila pihak ketiga ingin mempergunakannya.

Adakalanya dalam suatu perjanjian salah satu pihak tidak memenuhi apa
yang diperjanjikan dan semuanya itu tidak dapat dipersalahkan kepadanya, maka
dapat dikatakan bahwa ia wanprestasi. Wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak
melakukan ingkar janji/kelalaian/kealpaan dalam perjanjian, maka dikatakan

49
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang.
50
Mariam Darus, Op.cit, hal.70

32
melakukan pelanggaran hukum. Adapun bentuk dari wanprestasi debitur dapat
berupa empat macam, yaitu:
1. tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukan
2. melaksanakan apa yang dijanjikan tapi tidak sebagaimana dijanjikan
3. melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan51.

Terhadap kelalaian si berutang (debitur sebagai pihak yang wajib melakukan


sesuatu) diancam beberapa sanksi atau hukuman, yaitu:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat


dinamakan ganti rugi, meliputi tiga hal yaitu:
a. biaya : segala pengeluaran perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan satu pihak.
b. Rugi : kerugian karena kerusakan barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan karena kelalaian debitur
c. Bunga : kerugian berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian


Mengenai pembatalan perjanjian sebagai sanksi kedua atas kelalaian debitur
bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Kalau salah satu pihak sudah menerima sesuatu dari
pihak lain, baik berupa uang ataupun barang, maka itu harus dikembalikan.
Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak
debitur, diatur dalam pasal 1266 KUHPer, yang berbunyi:

”syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian yang


timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.
Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan
harus dimintakan kepada hakim. Permintaan juga harus dilakukan, meskipun
syarat mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian.

51
Subekti, Op.cit, hal. 45

33
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut
keadaan atas permintaan si tergugat untuk memberikan jangka waktu yang
mana tidak boleh lebih dari sebulan.

Dengan adanya ketentuan yang mengharuskan bahwa pembatalan perjanjian


harus dimintakan kepada hakim, maka tidak mungkin perjanjian itu batal
secara otomatis pada waktu si debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya.
Dan juga disebutkan secara jelas bahwa perjanjian tidak batal demi hukum.

3. Peralihan risiko
Diatur dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata52, merupakan kewajiban
untuk memikul kerugian jka terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.


Bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara seperti
diatur dalam Pasal 181 ayat (1) H.I.R. Jadi seorang debitur yang lalai tentu
akan dapat dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara dimuka hakim.
Dalam hal ini berdasarkan uraian diatas kreditur dapat memilih tuntutannya
sebagai berikut:
a. Pemenuhan perjanjian.
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi.
c. Ganti rugi saja.
d. Pembatalan perjanjian.
e. Pembatalan disertai ganti rugi.

Risiko dalam hukum perjanjian adalah memikul kerugian yang disebabkan


karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Risiko diatur dalam Pasal
1237 KUH Perdata yang berbunyi:

52
Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak
perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.

Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas
tanggungannya.

34
“dalam hal adanya perjanjian untuk memberikan suatu barang tertentu, adalah
atas tanggungan si berutang”.
Dengan berdasarkan ketentuan tersebut maka yang menanggung risiko jika terjadi
sesuatu diluar dugaan adalah:
1. Risiko pada perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian yang prestasinya hanya ada pada satu
pihak. Jadi jika karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak maka
kerugiannya ditanggung oleh kreditur yaitu pihak yang berhak menerima barang
tersebut.

2. Risiko pada perjanjian timbal balik


Pada perjanjian timbal balik ini untuk menentukan siapa yang bertanggung
jawab terhadap peristiwa yang terjadi diluar dugaan yang bukan merupakan
kesalahan salah satu pihak. Dalam hal ini penyelesaiannya didasarkan pada
penafsiran Pasal 1444 KUH Perdata53, yang berarti hapusnya perjanjian karena
tidak ada benda yang diperjanjikan yang disebabkan oleh peristiwa diluar
dugaan tersebut.

2.2. Klausula Baku Secara Umum

Pada awal dimulainya sistem perjanjian prinsip penting di dalam perjanjian


itu adalah kebebasan berkontrak diantara pihak yang berkedudukan seimbang dan
kesepakatan pihak-pihak. Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin
berkembang, para pihak mencari cara-cara yang lebih praktis. Salah satu pihak
menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format pada perjanjian

53
Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau
hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.

Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan sesuatu barang sedangkan ia tidak telah menanggung
terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan hapus jika barangnya akan musnah secara
yang sama ditangan si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya.

Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan itu.

Dengan cara bagaimanapun sesuatu barang, yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang
ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti
harganya.

35
yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya
untuk disetujui (ditandatangani). Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian standar
atau perjanjian baku. Perjanjian baku ini diistilahkan secara beragam dalam bahasa
Inggris disebut dengan standardized contract, pad contract, standard contract atau
contract of adhesion. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa pengertian mengenai
klausula baku, sebagai salah satu variasi perjanjian yang lebih khusus sifatnya, dan
penjelasan-penjelasan pendukungnya.54
Istilah perjanjian baku sebenarnya merupakan terjemahan yang
dialihbahasakan dari istilah yang dikenal di dalam bahasa Belanda yaitu Standaard
Contract atau Standaard voorwaden. Dalam literatur mengenai istilah standaard
contract belum terdapat keseragaman. Kepustakaan Jerman misalnya menggunakan
istilah Standaarvertrag, Standaarkonditionen atau Algemeine Geschaft Berdingun.
Literatur di Inggris menyebutnya dengan istilah standard contract, standarized
contract. Menurut Mariam Darus menerjemahkan standard contract dengan istilah
perjanjian baku. Baku diartikan sebagai patokan ukuran atau acuan. Perjanjian baku
menurut Mariam Darus adalah perjanjian yang isinya telah dibakukan dan
dituangkan dalam bentuk formulir yang lazim dibuat secara kolektif. Standardized
Contract (kontrak standard/kontrak baku), Prof. Johannes, 2002 adalah kontrak
tertulis berupa formulir yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah distandarisasi
atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, serta bersifat massal tanpa
mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take-it or leave-it
contract). Isi atau ketentuan yang terdapat di dalam kontrak standar disebut sebagai
klausula baku/standardized clause.
Dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai
tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining power yang seimbang. Jika salah
satu lemah, pihak yang mempunyai bargaining power lebih kuat dapat memaksakan
kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat
atau ketentuan dalam kontrak semacam itu akhirnya akan melanggar aturan yang adil

54
Perjanjian baku (Ari W, 2009) adalah bentuk perjanjian yang disetujui oleh para pihak dalam
bentuk tertulis berupa formulir perjanjian yang telah ditentukan oleh pihak pertama yaitu pihak
prinsipal yang dalam hal ini telah terlebih dahulu dipersiapkan oleh perusahaannya dengan demikian
perjanjian yang diadakan merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah
perjanjian yang dibuat secara kolektif dalam bentuk formulir.

36
dan layak. Di dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki bargaining
power yang seimbang, sehingga Negara perlu campur tangan untuk melindungi pihak
yang lemah. Oleh sebab itu Pasal 1233 KUH Perdata55 membedakan perikatan yang
lahir karena perjanjian dan karena undang-undang. Dalam perkembangannya,
perikatan yang lahir dari perjanjian, sesungguhnya merupakan sumber perikatan
yang terbanyak, dibandingkan dengan perikatan yang lahir karena undang-undang.
Pembedaan tersebut mendasarkan pada ketentuan hukum perdata Indonesia,
dimana perjanjian berdasarkan sumbernya diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata
yang menyatakan,”tiap-tiap perikatan dilakukan, baik karena perjanjian, baik karena
undang-undang.” Dalam perikatan karena undang-undang terbagi lagi antara undang-
undang saja dan undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan orang, baik
perbuatan yang halal dan perbuatan yang melanggar hukum. Adanya pembedaan
tersebut merupakan konsekuensinya logis dari kebebasan dalam membentuk ikatan
yang terwujud dari kesepakatan para pihak, sehingga dapat dikatakan perikatan
merupakan perbuatan yang seakan tidak tak terbatas materi muatannya. Namun, ada
baiknya, pembentukannya sesuaikan dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata56. Dengan demikian,”lembaga perikatan
akan benar-benar melembaga secara fundamental sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya dan mendukung tercapainya suatu sistem hukum perikatan
yang dinamis.”
Dengan mendasarkan pada asumsi perikatan dilahirkan oleh perjanjian dan
undang-undang, sudah sewajarnya jika dalam perumusan materi muatanya
berpedoman pada kedua aspek tersebut. Hal ini disebabkan adanya perikatan yang
bersumber pada perjanjian menunjuk adanya kebebasan dalam membentuk materi
muatan perikatan. Adapun perjanjian yang menjadi sumber perikatan lazimnya
berbentuk perjanjian obligator, yaitu “...dengan ditutupnya perjanjian itu pada

55
Tentang perikatan-perikatan umumnya

Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.


56
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

37
asasnya baru melahirkan perikatan-perikatan saja, dalam arti hak atas objek
perjanjian belum beralih; untuk peralihan tersebut masih diperlukan adanya
levering/penyerahan...”57
Pada dasarnya, hampir seluruh perikatan bersumberkan pada perjanjian. Hal
ini disebabkan perikatan demikian lebih mengandung kemerdekaan bagi para pihak
untuk menentukan rumusannya. Disamping itu, materi muatannya terus meluas
seiring dengan suatu kebenaran yang mau tidak mau harus diwujudkan sebagai salah
satu fondasi hukum bagi pihak yang membuatnya. Akan tetapi, kebebasan yang
berlebihan terhadap perumusan materi muatan perjanjian justru dikhawatirkan
memperlemah dan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Akibatnya, posisi perikatan menjadi terlalu superior di hadapan peraturan perundang-
undangan yang di bentuk lembaga formal Negara. Dengan alasan itulah, suatu
perikatan yang berdasarkan perjanjian akan menjadi “alat legitimasi bagi para pihak
untuk menekan dan menyimpang dari hukum normatif dan norma sosial
kemasyarakatan.” Hal ini tentunya merupakan kekurangan dari perikatan yang hanya
berdasarkan pada perjanjian yang “menekankan kebebasan dalam menentukan materi
muatannya, sehingga kemungkinan akan memarjinalisasi peranan peraturan
perudang-undangan formal.”
Sementara itu, perikatan yang bersumberkan pada Undang-undang
maksudnya adalah:

“… perikatan antara orang/pihak yang satu dengan pihak yang lainnya,


tanpa orang-orang yang bersangkutan menghendakinya atau lebih tepat,
tanpa memperhitungkan kehendak mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa
perikatan timbul tanpa orang-orang/para pihak melakukan suatu perbuatan
tertentu; perikatan bisa lahir karena kedua pihak berada dalam keadaan
tertentu atau mempunyai kedudukan tertentu.”
Adanya rumusan tersebut menandakan materi muatan perikatan dilakukan
dan didasarkan menurut undang-undang. Hal ini kemudian menjelaskan ketentuan
suatu kedudukan para pihak di dalamnya dan menentukan hak dan kewajibannya,

57
Memang kondisinya demikian menjadi suatu dasar yang nyata perjanjian melahirkan perikatan
karena memang perjanjian seringkali (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perjanjian. Akan
tetapi, dalam implementasinya dewasa ini seringkali proses transaksi dilakukan tanpa mestinya
menyerahkan barang dan pihak lain meyerahkan uang.

38
artinya materi muatannya tidak terlepas dari pengaruh kebijakan undang-undang
yang dibentuk Negara. Selain itu, perikatan yang dibentuk tidak terlepas dari
pengaruh politik hukum pembentukan undang-undang, termasuk di dalamnya
kemungkinan adanya vested interest.
Namun, berkaitan dengan itu, tetapi harus ada jaminan kebebasan dalam
undang-undang yang menjadi sumber perikatan agar para pihak dalam menjalankan
kewajibannya tidak ditentukan cara dan metodenya. Hal ini perlu dilakukan agar
jangan sampai undang-undang tersebut membatasi atau mengurangi kebebasan bagi
para pihak dalam menentukan cara pelaksanaannya.
Undang-undang pada dasarnya mengatur suatu perikatan dalam kondisi
manusia menjalankan kewajibannya, sehingga dalam menghadapi perbuatan tersebut,
keputusannya semata-mata dilakukan demi perasaan keadilan bagi para yang terlibat
di dalamnnya. Adanya rumusan perikatan yang didasarkan undang-undang atas
perbuatan manusia yang tidak melawan hukum juga menunukan kebebasan yang
dianut dalam pembentukan perjanjian bukan merupakan kebebasan tanpa batas,
melainkan kebebasan yang diikat oleh tanggung jawab para pihak dalam
menjalankan kesepakatannya.
Sementara itu, yang berkaitan dengan bentuk perjanjian, Pasal 1319 KUH
Perdata58 membagi perjanjian menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Benoemde atau nominaat contracten, yaitu perjanjian yang oleh undang-


undang diberikan suatu nama khusus sebagai suatu perjanjian bernama.
Contohnya jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar;
2. Onbenoemde atau innominaat contracten yaitu perjanjian yang dalam
undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu atau disebut juga
perjanjian tidak bernama, lahirnya perjanjian tidak bernama ini adalah
berdasarkan padan asas kebebasan untuk mengadakan perjanjian atau partij
otonomi yang berlaku dalam hukum perjanjian.

Sementara itu berdasarkan UU-PK, yang dimaksud dengan klausula baku

58
Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab
yang lalu.

39
pada Pasal 1 ayat (10) adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
Beberapa ahli hukum mencoba memberikan definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan perjanjian baku. Menurut Hondius (1978):

standaartvoorwarden zijn schrijftelijke koncept bedingen welke zijn opqesteld om


zonder onderhandelingen omtrent hun inhoud opqenomen te woorden in een
gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenskomten van bepaald aard.
(terjemahan tidak resminya perjanjian baku ialah konsep janji-janji tertulis, dan
lazimnya disusun tanpa membicarakan isinya dan dituangkan dalam sejumlah tak
terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu).
Dalam hal ini Hondius selanjutnya mengemukakan bahwa kadang-kadang
ketentuan isi perjanjian tersebut tidak disusun oleh satu pihak melainkan disusun
oleh suatu oraganisasi perusahaan atau perdagangan. Perjanjian baku juga meliputi
kontrak-kontrak yang telah dibakukan dan disusun oleh notaris atau perjanjian yang
berlaku dikalangan tertentu.
Menurut Drooglever Fortuijn, dalam tulisannya ”de overheid en de standaard
contracten,” WNPR 5067, 1970, seperti yang dikutip oleh Mariam Darus,
mengatakan bahwa perjanjian baku adalah:

Contracten waarven een belangrijk deel van de inhoud word bepaald door een
vast samenstel van contracts bedingen. (terjemahan tidak resminya Perjanjian
yang bagian isinya yang penting dituangkan dalam susunan janji-janji).

Abdul Kadir Muhammad (1996) dalam bukunya Perjanjian Baku Dalam


Praktek Perusahaan Perdagangan menyatakan bahwa perjanjian baku ialah perjanjian
yang menjadi tolak ukur yang dipakai atau dipergunakan sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
pengusaha yang dibakukan di dalam perjanjian. Perjanjian demikian ialah merupakan
model rumusan dan ukuran yang selanjutnya dikatakan bahwa perjanjian baku ialah
naskah perjanjian yang memuat syarat-syarat baku yang dibuat secara tertulis berupa
akta otentik atau akta di bawah tangan.
Adapun terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa perjanjian baku ialah
perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh salah satu

40
pihak dan pihak yang lain dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan. Dalam perjanjian baku, klausul yang belum dibakukan
hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat,
waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifikasinya dari obyek yang diperjanjikan.
Dengan kata lain, yang dibakukan bukan bentuk/formulir perjanjian tersebut, tetapi
klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat di hadapan notaris,
dengan klausul yang hanya mengambil alih klausul yang telah dibakukan oleh salah
satu pihak, sedangkan pihak lain yang tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan atas klausul itu, perjanjian yang dibuat
dengan akta notaris itu pun disebut juga suatu perjanjian baku.59
Mengenai perjanjian baku menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini adalah
“perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan.” Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman
dalam tulisan menyebutkan standard cantract tersebut sebagai perjanjian baku.
Adapun yang dimaksud dengan pengertian perjanjian baku, yaitu perjanjian yang
isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Baku artinya patokan atau
ukuran. Dengan menggunakan perjanjian baku, pengusaha akan memperoleh

59
Yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh
salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan sering kali perjanjian tersebut sudah tercetak
(boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika
perjanjian tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, di mana pihak lain
dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,
sehingga biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian
baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it
or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen “kata sepakat”
yang merupakan syarat sahnya perjanjian dalam perjanjian baku tersebut. Karena itu pula, untuk
membatalkan suatu perjanjian baku, tidaklah cukup hanya ditunjukkan bahwa perjanjian tersebut
adalah perjanjian baku, sebab perjanjian baku an sich adalah netral. Untuk dapat membatalkannya,
yang perlu ditonjolkan adalah elemen apakah dengan perjanjian baku tersebut telah terjadi
penggerogotan terhadap keberadaan posisi tawar-menawar (bargaining position), sehingga eksistensi
unsur “kata sepakat” diantara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi. Karena itu, syarat-syarat sahnya
dari suatu perjanjian mesti ditinjau sehubungan dengan adanya perjanjian baku ini, antara lain adalah:

1. Syarat kausa yang halal terutama, misalnya jika ada unsur penyalahgunaan keadaan
(misrepresentation).
2. Syarat kausa yang halal terutama jika adanya unsur pengaruh tidak pantas (undue influence).
3. Syarat kesepakatan kehendak, terutama jika ada keterpaksaan atau ketidakjelasan bagi salah satu
pihak.

41
efisiensi dalam penggunakan biaya, tenaga dan waktu. Penggunaan perjanjian baku
pada dasarnya menunjukan suatu gambaran masyarakat frigmatis.
Sementara itu, Mariam Darus Badrulzaman dalam tulisannya membedakan
perjanjian baku dalam empat jenis, yaitu:
1 perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak
yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu, (pihak yang kuat adalah
kreditur). Perjanjian ini disebut perjanjian adhesi.
2 perjanjian baku timbal balik adalah yang isinya ditentukan oleh kedua belah
pihak, pihak-pihaknya terdiri pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya
buruh (debitur);
3 perjanjian baku ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya
ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu,
misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
(formulir seperti diatur dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal
6 Agustus 1977 No.104/Dja/1977, akta jual beli, model 1156727, akta hipotik
model 1045055 dan sebagainya); dan
4 perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak
yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu, (pihak yang kuat adalah
kreditur). Perjanjian ini disebut perjanjian adhesi.

Dalam perjanjian baku umumnya ternyata pembatasan tanggung jawab atau


kewajiban atau kewajiban dari salah satu pihak yang biasa disebut sebagai klausula
eksonerasi. Klausul tersebut terdapat dalam perjanjian baku yang pada umumnya
terlihat pada ciri-ciri adanya pembatasan tanggung jawab atau kewajiban salah satu
pihak (kreditur) untuk membayar ganti rugi kepada debitur.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri-ciri klausula eksonerasi adalah
berikut ini:
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh penjual yang posisinya relatif kuat dari
pembeli.
2. Pembeli sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian.
3. Terdorong oleh kebutuhannya pembeli terpaksa menerima perjanjian
tersebut.
4. Bentuk tertulis.

42
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara missal atau individu.

Perjanjian baku yang di dalamnya terdapat klausula eksonerasi sudah sering


dijumpai dalam dunia bisnis sehari-hari dan eksistensinya sudah diterima oleh
masyarakat luas. Akan tetapi, tetap masih perlu diperhatikan perjanjian baku tersebut
tidak bersifat sangat berat sebelah, sehingga perjanjian baku yang di dalamnya
terdapat klausula eksonerasi tidak merupakan perjanjian yang menindas dan tidak
adil.
Klausula eksonerasi merupakan bagian dari klusula baku yang terdapat dalam
perjanjian standar. Hubungan hukum dan setiap transaksi antara pelaku usaha dan
konsumen seringkali diwujudkan melalui suatu perjanjian standar, yaitu perjanjian
yang dibuat secara sepihak oleh sepihak, klausulnya pun ditentukan secara sepihak
oleh pelaku usaha, sehingga disebut klausula baku.
Klausula ini mencakup pengaturan yang sangat luas dari pengertian, hak dan
kewajiban para pihak, sampai pada pengakhiran kontrak dan ganti rugi, bahkan
seringkali isinya berupa klausula eksonerasi, yaitu klausula yang mengandung
kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang
semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual). Tujuan
dibuatnya perjanjian standar adakalanya ditujukan untuk memberikan kemudahan
(kepraktisan) bagi para pihak yang yang bersangkut. Oleh karena itu, untuk tujuan
kepraktisan dalam pembuatan perjanjian antara konsumen dan produsen seringkali
perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk formulir.
Perjanjian yang mencantumkan klausula baku atau biasa disebut dengan
perjanjian standar data diartikan sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausanya
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tiak mempunyai
peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang dibakukan
bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya. Bentuk perjanjian
standar dengan klausula baku ini umumnya terdiri atas:

1. Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk dokumen perjanjian, dan;


2. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan.

Perjanjian standar dalam bentuk persyaratan dapat berupa ketentuan yang


tercantum dalam kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, brosur, papan

43
pengumuman, atau secarik kertas tertentu yang disertakan dalam kemasan atau
wadah produk terkait. Misalnya, ketentuan tertulis yang menyatakan “barang yang
sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” (biasanya di kuitansi atau bon pembelian),”
ganti rugi maksimum 10 kali ongkos pengiriman” (pada bon perusahaan pengiriman
barang), “barang yang di mobil yang diparkir dan atau mobil hilang di luar tanggung
jawab kami” (biasanya dicantumkan pada karcis parkir), dan sebagainya.
Perjanjian baku diadakan dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi,
kepastian dan lebih bersifat praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor
negatif, karena dapat merugikan pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Dalam
perjanjian baku maka konsumen dalam hal ini hanya mempunyai dua pilihan yaitu
menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya, yang artinya tidak
terjadi transaksi antara para pihak. Dalam bahasa Inggris perjanjian baku sering
diungkapkan sebagai take it or leave it contract. Dalam hal ini faktor yang
menyebabkan perkembangan perjanjian baku antara lain adalah:

1. Faktor hukum, perjanjian baku lazim dipergunakan di dalam praktek, yakni


karena adanya prinsip kebebasan berkontrak dalam perjanjian dan sebagai
upaya untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak karena segala
sesuatu persyaratan telah ditentukan dalam bentuk klausula-klausula
perjanjian.
2. Faktor ekonomi, karena perjanjian baku dapat dikatakan bersifat lebih efisien,
lebih ekonomis sebagai upaya untuk menghemat biaya, waktu dan tenaga.
3. Faktor perkembangan teknologi, juga dapat merupakan penyebab
dilakukannya perjanjian dalam bentuk standar, yaitu perkembangan industri
yang amat pesat dan semakin lancarnya arus transportasi dan komunikasi.

Namun demikian, harus juga diakui bahwa meskipun banyak kelemahannya,


kehadiran dari perjanjian baku sangat diperlukan, terutama dalam bisnis yang
melibatkan perjanjian dalam jumlah yang banyak (mass production of contract) yang
sangat memerlukan suatu standardisasi terhadap perjanjian tersebut. Bagi dunia
bisnis, kehadiran dari perjanjian baku tersebut sangat diperlukan untuk
mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos. Memang dari segi
hukum, perjanjian baku ini banyak masalah, tetapi tetap dibutuhkan. Karena itu pula,

44
tidak mengherankan jika dalam praktek bisnis ditemukan begitu banyak dilakukan
transaksi-transaksi melalui perjanjian baku ini, yang hampir-hampir tidak lagi
merupakan perjanjian tertulis dalam arti yang sebenarnya, yakni perjanjian dalam arti
kesepakatan kehendak yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Adapun yang
merupakan contoh-contoh dari perjanjian baku yang sering dilakukan dalam praktek
adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian (Polis) Asuransi.


2. Perjanjian di Bidang Perbankan.60
3. Perjanjian Sewa Guna Usaha.
4. Perjanjian Jual Beli Rumah/Apartemen dari Perusahaan Real Estate.
5. Perjanjian Sewa-Menyewa Gedung Perkantoran.
6. Perjanjian Pembuatan Credit Card. .
7. Perjanjian Pengiriman Barang (Darat, Laut dan Udara).
8. dan Lain-lain.

60
Terhadap perjanjian baku berupa perjanjian kredit bank, ada banyak klausula yang sangat
memberatkan salah satu pihak, khususnya memberatkan pihak nasabah penerima kredit. Klausula-
klausula yang memberatkan 'nasabah penerima kredit tersebut antara lain sebagai berikut: (Sutan Remi
Sjahdeini, 1993:194).
1. Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu secara sepihak tanpa alasan apa pun dan tanpa
pemberitahuan sebelumnya menghentikan izin bank kredit.
2. Dalam hal penjualan barang jaminan yang kreditnya sudah macet, maka bank berwenang secara
sepihak untuk menentukan harga jual dari barang agunan tersebut.
3. Nasabah debitur diwajibkan untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah
ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank.
4. Nasabah debitur diwajibkan untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan umum tentang
hubungan rekening koran dari bank yang bersangkutan, tanpa diberi kesempatan untuk
mempelajari syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut.
5. Nasabah debitur harus memberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk
melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank.
6. Nasabah debitur harus memberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk
mewakili dan melaksanakan hak-hak nasabah debitur dalam setiap rapat umum pemegang saham.
7. Dicantumkannya klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti rugi
oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita oleh nasabah debitur sebagai akibat
dari tindakan bank.
8. Dicantumkannya klausula eksemsi tentang tidak adanya hak nasabah debitur untuk dapat
menyatakan keberatan atas pembebanan bank terhadap rekeningnya.
9. Kelalaian nasabah debitur dibuktikan secara sepihak oleh pihak bank semata-mata.
10. Bunga bank ditetapkan dan dihitung secara merugikan nasabah debitur.
11. Denda keterlambatan yang merupakan bunga terselubung.
12. Perhitungan bunga berganda menurut praktek perbankan yang bertentangan dengan Pasal 1251
KUH Perdata.
13. Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata jika terjadi events of default.
14. Kewajiban pelunasan bunga terlebih dahulu, yang meskipun sesuai dengan Pasal 1397 KUH
Perdata, tetapi sangat memberatkan nasabah.

45
Perjanjian baku ini memiliki kelebihan dan kekurangannya. Seperti telah
disebutkan bahwa di antara kelebihan dari perjanjian baku adalah bahwa perjanjian
baku tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, serta
dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Hal ini sangat menguntungkan
terutama bagi perjanjian-perjanjian masal, yakni perjanjian yang dibuat dalam
volume yang besar (mass production of contract). Sedangkan kelemahan-kelemahan
dari suatu perjanjian baku adalah bahwa karena kurangnya kesempatan bagi pihak
lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam perjanjian yang
bersangkutan, sehingga perjanjian baku tersebut sangat berpotensi untuk terjadi
klausula yang berat sebelah.
Faktor-faktor penyebab sehingga sering kali perjanjian baku menjadi sangat
berat sebelah adalah sebagai berikut:

1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak
untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya disodorkan
perjanjian tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi perjanjian tersebut,
apalagi terdapat perjanjian yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil.
2. Karena penyusunan perjanjian yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen
biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-
klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah berkonsultasi
dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh para ahli.
Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak banyak
kesempatan dan sering kali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut.
3. Pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku menempati kedudukan yang
sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”.

Dalam praktek klausula-klausula yang berat sebelah dalam perjanjian baku


tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut:
1. Dicetak dengan huruf kecil.
2. Bahasa yang tidak jelas artinya.
3. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca.
4. Kalimat yang kompleks.

46
5. Bahkan, ada perjanjian baku yang tidak berwujud seperti kontrak (kontrak
tersamar), seperti tiket parkir, karcis bioskop, tanda penerimaan pembuatan foto,
dan lain-lain.
6. Jika kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak
dibacakan oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausul eksemsi ditulis di dalam
kotak barang yang dibeli.

Sebenarnya, perjanjian baku itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara
hukum, mengingat perjanjian baku sudah merupakan kebutuhan dalam praktek dan
sudah merupakan kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah manakala
perjanjian baku tersebut mengandung unsur-unsur yang tidak adil (berat sebelah)
bagi salah satu pihak, sehingga apabila hal yang demikian dibenarkan oleh hukum,
akan sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.
Dengan adanya praktek perjanjian baku ini, ada beberapa prinsip hukum
perjanjian yang sangat potensial untuk dilanggar, yaitu prinsip-prinsip hukum
sebagai berikut:

1. Doktrin Perjanjian Baku An Sich

Dengan doktrin perjanjian baku an sich, maka suatu perjanjian baku yang
mengandung/klausula yang berat sebelah tidak pantas untuk diperkenalkan
oleh hukum. Karena itu, terutama lewat perangkat perundang-undangan,
hukum harus melarang pembuatan perjanjian baku yang berat sebelah
tersebut. Menurut doktrin perjanjian baku an sich, suatu perjanjian yang
dibuat oleh salah satu pihak di mana pihak lainnya tidak mempunyai atau
terbatas kesempatan untuk bernegosiasi terhadap klausula-klausulanya, jika
perjanjian tersebut berat sebelah, maka perjanjian tersebut atau sebagian
perjanjian tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

2. Doktrin Kesepakatan Kehendak dari Para Pihak

Karena tidak adanya atau terbatasnya kesempatan bagi salah satu pihak untuk
menegosiasikan klausula-klausula dalam perjanjian baku tersebut, maka
meskipun pihak tersebut akhirnya menandatangani perjanjiannya, masih
disangsikan apakah isi perjanjian tersebut memang benar seperti yang

47
diinginkannya, sehingga disangsikan pula apakah benar ada kata sepakat
daripadanya. Sebagaimana diketahui, bahwa kata sepakat merupakan salah
satu syarat sahnya perjanjian. Lihat Pasal 1320 KUH Perdata Indonesia.61

3. Doktrin Perjanjian Tidak Boleh Bertentangan dengan Kesusilaan

Jika terdapat klausula yang sangat berat sebelah dalam suatu perjanjian baku,
apalagi jika pihak yang kepadanya disodorkan formulir perjanjian tersebut
berada dalam keadaan tidak berdaya, seperti kecilnya kesempatan memilih
untuk membuat perjanjian dengan pihak lainnya, maka klausula tersebut
dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesusilaan, prinsip mana
merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu perjanjian. KUH Perdata Indo-
nesia mengatur hal ini dalam Pasal 1337.62 Jadi, jika suatu perjanjian baku
yang berat sebelah, baik dengan klausula eksemsi atau tidak, terlepas ada atau
tidaknya unsur pengaruh tidak pantas, atau unsur penyalahgunaan keadaan,
maka perjanjian yang demikian dianggap bertentangan dengan kesusilaan, se-
hingga perjanjian seperti itu dianggap batal demi hukum. Dalam kasus
penting, yaitu kasus Saladin (HR 19 Mei 1967), Hoge Raad negeri Belanda
memberikan putusan mengenai perjanjian baku dengan mempertimbangkan
kepada alasan “itikad baik” dan “kesusilaan”.

4. Doktrin Perjanjian Tidak Boleh Bertentangan dengan Ketertiban Umum

Sama halnya dengan pertentangan dengan unsur kesusilaan, maka jika suatu
kontrak baku yang berat sebelah, baik dengan klausula eksemsi atau tidak,
terlepas ada atau tidaknya unsur pengaruh tidak pantas, atau unsur
penyalahgunaan keadaan, sangat mungkin perjanjian yang demikian dianggap

61
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
62
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.

48
bertentangan dengan unsur ketertiban umum, sehingga perjanjian seperti itu
juga dapat dianggap batal demi hukum.

Menurut KUH Perdata Indonesia, suatu perjanjian tidak boleh bertentangan


dengan prinsip ketertiban umum. Jika ada klausula perjanjian yang sangat
berat sebelah, apalagi jika perjanjian tersebut dipergunakan secara masal,
seperti perjanjian perbankan dengan nasabah, perjanjian asuransi, perjanjian
kartu kredit, perjanjianpenyambungan telepon, perjanjian pengangkutan, dan
Iain-Iain, maka klausula atau kontrak yang sangat berat sebelah tersebut
sudah dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban urruim (public policy),
sehingga klausula atau perjanjian yang bersangkutan harus dianggap batal
demi hukum. KUH Perdata Indonesia mengatur hai ini dalam Pasal 1337.

5. Doktrin Ketidakadilan (Unsconscionability)

Doktrin ketidakadilan (unsconscionability) mengajarkan bahwa suatu


perjanjian atau klausula dari suatu perjanjian haruslah dinyatakan batal jika
klausula tersebut sangat tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila
dibiarkan, akan sangat menyentuh rasa keadilan atau suara hati dari
masyarakat. perjanjian yang berat sebelah (baik dalam bentuk baku ataupun
tidak) akan sangat merugikan salah satu pihak, dan oleh karenanya akan
sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat, Dengan demikian, menurut
doktrin ketidakadilan, perjanjian/klausula tersebut harus dinyatakan batal.

6. Doktrin Pengaruh Tidak Pantas (Undue Influence)

Yang dimaksud dengan doktrin pengaruh tidak pantas adalah suatu doktrin
yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian batal atau dapat dibatalkan dengan
alasan tidak tercapainya kesesuaian kehendak yang disebabkan adanya usaha
oleh salah satu pihak, karena kedudukan khususnya (seperti kedudukannya
yang lebih dominan, ada hubungan yang rahasia atau hubungan fiduciary)
dengan pihak lainnya dalam kontrak tersebut, di mana pihak yang
mempunyai kedudukan khusus tersebut telah menggunakan cara-cara
persuasif untuk mengambil keuntungan yang tidak fair dari pihak lainnya

49
tersebut. Perjanjian baku dapat saja berisikan hal-hal yang merupakan
pengaruh tidak pantas.

7. Doktrin Perjanjian Sesuai dengan Itikad Baik

Ketentuan hukum mengatakan bahwa perjanjian, seperti juga perbuatan


hukum lainnya, haruslah dibuat dengan itikad baik. Jika suatu perjanjian baku
yang berat sebelah, baik dengan klausula eksemsi atau tidak, terlepas ada atau
tidaknya unsur pengaruh tidak pantas, atau unsur penyalahgunaan keadaan,
sangat mungkin perjanjian yang demikian dianggap dibuat tidak dengan
itikad baik, sehingga kontrak seperti itu juga dapat dianggap batal demi
hukum. Agar suatu perjanjian sah, maka hukum mempersyaratkan agar
perjanjian tersebut dibuat dengan itikad baik. Dalam KUH Perdata Indonesia,
ketentuan seperti ini kita dapati dalam Pasal 1338 alinea ke-363. Perjanjian
baku yang sengaja didesain untuk memberatkan salah satu pihak potensial
untuk melanggar prinsip itikad baik ini. Di samping itu, suatu kontrak yang
dibuat tidak dengan itikad baik akan merupakan perjanjian yang tidak
mengandung kausa yang legal, yang dalam hal ini dilarang oleh Pasal 1320
alinea kesatu KUH Perdata Indonesia.

8. Doktrin Kausa yang Halal

Di samping harus beritikad baik, ketentuan hukum mengatakan bahwa


perjanjian, seperti juga perbuatan hukum lainnya, haruslah dibuat dengan
kausa yang halal. Jika suatu perjanjian baku yang berat sebelah, terutama
yang dibuat dengan klausula eksemsi, atau dengan unsur pengaruh tidak
pantas, sangat mungkin perjanjian yang demikian dianggap dibuat tidak
dengan itikad baik sehingga dianggap dibuat tidak dengan kausa yang legal.
Dengan demikian, perjanjian seperti itu juga dapat dianggap dianggap batal
demi hukum.

63
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

50
9. Prinsip Perjanjian Sesuai dengan Asas Kepatutan

Keterikatan seseorang kepada suatu perjanjian, tidak hanya kepada kata-kata


dalam perjanjian tersebut, tetapi para pihak terikat juga kepada prinsip yang
patut terhadap kontrak yang bersangkutan. KUH Perdata Indonesia
menegaskan prinsip ini dalam Pasal 1339.64 Karena itu, suatu perjanjian baku
yang sangat berat sebelah potensial juga dianggap bertentangan dengan asas
kepatutan tersebut.

10. Doktrin Perlindungan Konsumen (Consumer Protection)

Suatu perjanjian baku yang berat sebelah, khususnya yang menyangkut


dengan orang banyak, seperti perjanjian asuransi, pemberian jasa perbankan,
pemberian jasa tertentu lainnya, dapat juga didekati dengan menggunakan
kaidah-kaidah hukum tentang perlindungan konsumen, yang di Indonesia
diatur oleh UU-PK. Sehingga dalam hal ini diharapkan bahwa pihak yang
kepadanya disodorkan perjanjian baku yang berat sebelah, yang juga
merupakan pihak konsumen, akan terlindungi kepentingannya oleh kaidah-
kaidah hukum tentang perlindungan konsumen.

11. Doktrin Larangan terhadap Ketidakadilan Substantif (Substantive


Unfairness)

Sering pula dikatakan bahwa kontrak baku yang isinya sangat berat sebelah
merupakan suatu perjanjian yang tidak adil secara substantif (substantive
unfairness). Karena itu, perjanjian seperti ini menjadi sangat tidak layak.

12. Doktrin Larangan terhadap Penipuan Konstruktif (Constructive Fraud)

Adakalanya cara-cara yang dipakai dalam penandatanganan suatu perjanjian


sedemikian rupa sehingga hal tersebut setara dengan suatu penipuan,
meskipun bukan penipuan dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena itu,
tindakan seperti ini disebut dengan “penipuan konstruktif” (constructive
fraud). Ini merupakan ketidakwajaran dalam penandatanganan suatu

64
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang.

51
perjanjian dalam tingkat yang paling jelek, yakni perjanjian ditandatangani
dengan kecenderungan salah satu pihak menipu pihak lainnya, meskipun
belum sampai berarti sudah melakukan penipuan, tetapi sudah “setara”
dengan penipuan, atau melanggar atau menyalahgunakan kepercayaan yang
diberikan oleh pihak lainnya, yang dapat melanggar ketertiban umum.
Misalnya, praktek pembuatan dan penandatanganan kontrak secara tidak
bermoral, melampaui batas, licik, mengambil manfaat dari posisi pihak lain
yang tidak menguntungkan, tidak membuka fakta material, atau dengan cara-
cara tidak layak lainnya yang tidak disadari oleh pihak lainnya.

Selain dari beberapa doktrin hukum perjanjian yang potensial untuk dilanggar
dengan pernberlakuan kontrak baku ini seperti tersebut di atas, maka ada juga
beberapa prinsip hukum perjanjian yang sangat mendukung eksistensi suatu
perjanjian baku, yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:

1. Prinsip Kesepakatan Kehendak dari Para Pihak

Meskipun dalam suatu perjanjian baku disangsikan adanya kesepakatan


kehendak yang benar-benar seperti diinginkan oleh para pihak, tetapi kedua
belah pihak akhirnya juga menandatangani kontrak tersebut. Dengan
penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsi bahwa kedua belah pihak
telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kata sepakat sudah terjadi.

2. Prinsip Asumsi Risiko dari Para Pihak

Dalam suatu kontrak, setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi
risiko. Artinya bahwa jika ada risiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu
perjanjian, tetapi salah satu pihak bersedia menanggung risiko tersebut
sebagai hasil dari tawar menawarnya, maka jika memang kemudian risiko
tersebut benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi risiko tersebutlah yang
harus menanggung risikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baku, maka
dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan, berarti segala risiko apa
pun bentuknya akan ditanggung oleh pihak yang menandatanganinya sesuai
isi dari perjanjian tersebut.

52
3. Prinsip Kewajiban Membaca (Duty to Read)

Sebenarnya, dalam ilmu hukum perjanjian diajarkan bahwa ada kewajiban


membaca (duty to read) bagi setiap pihak yang akan menandatangani
perjanjian. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani perjanjian yang
bersangkutan, hukum mengasumsikan bahwa dia telah membacanya dan
menyetujui apa yang telah dibacanya.

4. Prinsip Perjanjian Mengikuti Kebiasaan

Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak perjanjian


dibuat secara baku. Karena perjanjian baku tersebut menjadi terikat, antara
lain juga karena keterikatan suatu perjanjian tidak hanya terhadap kata-kata
yang ada dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terhadap hal-hal yang bersifat
kebiasaan. Lihat Pasal 1339 KUH Perdata Indonesia.65 Dan perjanjian baku
merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan
sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya
mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.

Dari segi aplikasi perjanjian baku, beberapa masalah yuridis sering terjadi,
yaitu masalah-masalah yuridis sebagai berikut:
1. Sampai batas-batas tertentu, faktor keadilan menghendaki penafsiran
perjanjianyang bertentangan dengan isi dari perjanjian baku tersebut.
2. Isi klausula baku, yang dalam hal ini merupakan klausula konveksi (sudah
jadi) sering bertentangan dengan isi lainnya dari perjanjian yang merupakan
hasil negosiasi.
3. Isi klausula baku, yang sebenamya merupakan suatu corpus alienum (bagian
yang asing) terhadap kontrak tersebut secara keseluruhan, sehingga klausula
baku tersebut sering tidak berhubungan dengan isi perjanjian secara
keseluruhan.

65
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang.

53
2.2.1. Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam Hukum Perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas


konsensualitas perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang
berarti sepakat. Asas konsensualitas berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan
adanya kesepakatan. Hal ini sudah semestinya, suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat
mengenai suatu hal. Arti asas konsensualitas ialah pada dasarnya perjanjian
dan perikatan yang timbul, sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah
sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu
formalitas. Asas konsensualitas di dalam sistem hukum Indonesia diatur
dalam KUH Perdata merupakan suatu asas yang universal dapat ditemukan
dan disimpulkan dari Pasal 132066 jo. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal
1338 ayat (1) menentukan semua persetujuan dibuat secara sah berlaku
sebagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya persetujuan
mengikat para pihak. oleh karenanya, asas konsensualitas yang dianut KUH
Perdata untuk memberikan pengertian melahirkan suatu perjanjian cukup
dengan kata sepakat saja. Sementara itu, pernyataan kehendak (wils
verklaring) dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan atau surat, dan lainya.

Adanya kata sepakat ini dianggap sah apabila kata sepakat yang diberikan
tersebut tidak berdasarkan asas:
a. Kekhilafan (dwaling);
b. Paksaan (dwang);
c. Penipuan (bedrog).

66
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

54
Suatu perjanjian dapat diakui sebagai suatu perjanjian yang sah menurut
hukum, apabila memenuhi berbagai syarat seperti yang dikehendaki oleh
Pasal 1320 KUH Perdata.

Dengan alasan terhadap sumber perikatan tersebut, timbulnya suatu perikatan


timbul suatu perikatan dilandasi oleh asas fundamental yang terdapat dalam
hukum perjanjian, yaitu:

a. Asas konsensualisme
Perjanjian terbentuk karena adanya perjanjian kehendak (konsensus)
dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak
terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui
konsensus belaka.

b. Asas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende krachtder


overenkomst)
Para pihak harus memenuhi hal yang telah disepakati dalam perjanjian
yang dibuat.

c. Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid)


Para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat
membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikat diri dengan
siapapun yang dikehendaki. Para pihak juga dapat bebas menentukan
cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun
kesusilaan.

Akan tetapi, mengikat suatu perjanjian terhadap para pihak menurut


pekembangannya tidak hanya berdasarkan pada asas konsensualitas saja.
Akan tetapi, perlu juga diperhatikan hal berikut ini:

a. Adanya itikad baik sebelum hubungan hukum perjanjian/kata sepakat


tercapai (pra contractuele verhouding) dan sebagai akibat dari
pandangan tersebut, setiap orang wajib mempunyai ketelitian atau

55
keseksamaan dalam pembuatan perjanjian dan martabat atau
kemuliaan hukum dalam perjanjian (contractule recht waardigheid).
b. Setiap orang memperhatikan kepatuhan, ketelitian dan kehati-hatian
pada waktu mengadakan kata sepakat.
c. Pada waktu mengadakan perjanjian harus ada maatschappelijke
zargvuldigheid atau kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam
pergaulan kehidupan hukum di masyarakat.

Berkaitan dengan kebebasan berkontrak ini terdapat pengecualian, yaitu


dengan adanya perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian di mana klausulnya
tidak diatur oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, telah dipersiapkan terlebih
dahulu oleh salah satu pihak dimana pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas
klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian baku tersebut.

2.2.2. Bentuk Perjanjian Dengan Syarat Baku (Klausula Baku)

Menurut bentuknya, klausula baku dibedakan berupa:

a. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan (klausula) .


Bentuk ini banyak dijumpai jika kita mendapatkan kuitansi, dalam
kemasan barang atau tercantum dalam tempat produk tertentu, tanda-
tanda penjualan, tiket atau karcis perjalanan, tanda parkir, tanda penitipan
barang bahkan dicantumkan dalam papan-papan pengumuman.

b. Dalam Bentuk Perjanjian


Suatu perjanjian atau konsep perjanjian yang sudah dibuat terlebih
dahulu sedemikian rupa oleh penjual/pelaku usaha. Biasanya dalam
bentuk formulir yang didalamnya termuat persyaratan-persyaratan
khusus, yang dalam kenyataannya seringkali menyalahi ketentuan umum
yang berlaku.

56
2.2.3. Macam-Macam Perjanjian Baku

Di dalam praktek dapat diidentifikasi mengenai berbagai macam perjanjian


standard atau perjanjian baku, dan perjanjian baku tersebut umumnya
dipergunakan oleh masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam
mengadakan transaksi bisnis. Macam-macam perjanjian baku tersebut antara
lain yaitu

a. Perjanjian standar sepihak, yang lazim disebut pula dengan istilah


adhesi kontrak, yaitu suatu perjajian baku yang isinya ditentukan oleh
pihak yang lebih kuat kedudukannya atau kedudukan ekonominya
lebih kuat dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian demikian,
lazim pembuat perjanjian atau pihak ekonomi yang kuat (pihak
kreditur), lebih banyak menentukan kewajiban-kewajiban kepada
pihak yag mengikatkan diri dalam perjanjian yang lazimnya
merupakan pihak ekonomi lemah (pihak debitur). Klausula yang
bersifat demikian dinamakan klausula eksonerasi atau exemption
clause.

b. Perjanjian baku timbal balik, yakni perjanjian standar yang isinya


ditentukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian,
misalnya perjanjian perburuhan yang diadakan oleh serikat buruh dan
serikat majikan, yang merupakan perjanjian buruh kolektif atau
perjanjian perburuhan, yang lazim dijadikan dasar bagi perjanjian
kerja antara buruh dan majikan.

c. Perjanjian standar yang dibuat oleh pemerintah, yaitu perjanjian baku


yag isinya ditentukan oleh pemerintah di dalam melakukan ikatan atau
di dalam melakukan perjanjian dengan pihak lain. Misalnya perjanjian
yang obyeknya hak-hak atas tanah, perjanjian pemborongan
perjanjian sewa beli rumah negeri, atau perjanjian-perjanjian lain
dimana pemerintah ikut sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut,
dan sebagainya.

57
d. Perjanjian baku yang berlaku atau ditentukan bagi dikalangan tertentu,
misalnya perjanjian yang dilakukan atau berlaku dikalangan notaris,
pengacara, yaitu perjanjian yang sejak semula konsepnya telah
disediakan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang
meminta bantuan kepada notaris atau pengacara. Perjanjian baku
demikian dikenal dengan contract model.

2.2.4. Ciri-ciri Perjanjian Negatif Baku

Di dalam praktek sehari-hari perjanjian standar yang sering dipergunakan


ialah perjanjian standar atau perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang
isinya ditentukan oleh salah satu pihak yang lebih kuat kedudukan
ekonominya, yang lazim disebut dengan adhesi kontrak. Mariam Darus
Badrulzaman mempergunakan perjanjian sepihak untuk adhesi kontrak.
Perjanjian baku sepihak tersebut di dalam prakteknya dibuat sedemikian rupa
dengan berbagai versi dari bentuk standar yang sangat sederhana, sampai
bentuk standard yang sangat kompleks dan panjang dengan klausula yang
diketik dalam huruf yang sangat kecil, sehingga sulit dibaca. Oleh karena itu
Drion mengemukakan bahwa di dalam adhesi terdapat 3 aspek yang
merupakan ciri negatif perjanjian tersebut, yaitu bahwa:

a. perjanjian baku sepihak menempatkan kedudukan yang terjepit bagi


pihak yang ikut serta atau pihak yang akan mengikatkan diri di dalam
perjanjian tersebut, oleh karena itu adhesi kontrak lazim pula disebut
dengan take it or leave it contract;

b. perjanjian baku sepihak pembuatannya dilakukan oleh salah satu


pihak di dalam perjanjian, yaitu pihak yang mempunyai ekonomi
kuat, sehingga kurang mengikut sertakan pihak lain, atau kurang
memperhatikan kepentingan pihak lain yang akan mengikat diri;

c. Perjanjian baku sepihak isinya tidak diketahui oleh pihak yang akan
mengikatkan diri, karena lazimnya perjanjian demikian telah
ditentukan secara sepihak dan diketik dengan huruf ketik yang kecil,

58
yang sulit dibaca dan ditempatkan pada bagian belakang perjanjian
atau formulir yang disediakan.

2.2.5. Berlakunya Perjanjian Baku

Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal empat asas penting yang bersifat
universal, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas
itikad baik dan asas konsensualisme. Tiga asas yang pertama (kebebasan
berkontrak, pacta sunt servanda dan itikad baik) dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku


sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas konsensualisme mengandung arti “kemauan” (will) dan terdapat
didalam Pasal 1320, yang menyatakan bahwa: “Untuk Sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat: Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Suatu hal tertentu; Suatu sebab
yang halal.

Dengan demikian, perjanjian atau perikatan yang timbul pada dasarnya sudah
sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan
sesuatu formalitas untuk menjadikannya sah. Kebebasan berkontrak berlatar
belakang pada faham individualisme yang lahir dalam zaman Yunani dan
berkembang pesat dalam zaman renaissance. Faham ini berpandangan bahwa
setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas
kebebasan berkontrak ini juga merupakan dasar dalam Principles of
Internasional Commercials Contracts, seperti tercantum dalam Article 1.1
UNIDROIT yang berbunyi: The Parties are free to enter into contract and to
determine its content”67

67
UNIDROIT, Principles of International Commercial Contracts, Rome, 1994, hlm 7.

59
Di Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan muncul pemikiran apakah
kebebasan berkontrak ini harus tetap dipertahankan sebagai asas esensial di
dalam Hukum Perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa
kebebasan berkontrak tetap perlu dipertahankan sebagai asas utama di dalam
Hukum Perjanjian Nasional.68 Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam
pengertian kebebasan yang mutlak karena dalam kebebasan tersebut terdapat
berbagai pembatasan antara lain oleh undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan. Seperti dikatakan oleh Friedman bahwa kebebasan berkontrak
masih dianggap aspek yang esensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi
mempunyai nilai absolut seperti satu abad yang lalu.69

Selanjutnya, di dalam setiap perjanjian meskipun tidak dengan tegas


dinyatakan selalu tersirat adanya itikad baik dari para pihak. Asas itikad baik
merupakan asas bahwa para pihak harus melaksanakan substansi kontrak,
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan atau kemauan baik dari para pihak.
Itikad baik ini tidak terbatas pada waktu mengadakan hubungan hukum, akan
tetapi juga pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
timbul dari hubungan hukum tersebut.

Menurut Subekti, itikad baik merupakan suatu sendi yang terpenting dalam
hukum perjanjian. Apabila pada waktu awalnya di tanah air para ahli hukum
menganggap itikad baik bersifat subyektif, maka di Belanda pengertian itikad
baik telah berkembang yang memandang bahwa itikad baik itu juga bersifat
obyektif. Misalnya, dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek (NBW) pengertian
itikad baik itu juga mengandung asas kepantasan dan kepatutan (redelijkheid
en billijkheid). Dengan demikian selain terletak pada hati sanubari manusia,
itikad baik dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban manusia, itikad baik
dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dai suatu
hubungan hukum (perjanjian) harus mengindahkan norma-norma kepatutan

68
Mariam Darus Badrulzaman , et. Al, op. Cit, hlm 85.
69
Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, Fourth edition, 1960, hlm 369.

60
dan keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin
menimbulkan kerugian pihak lain.70

Selanjutnya Subekti menyatakan bahwa hukum itu selalu mengejar dua


tujuan, yaitu menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan
keadilan, kalau ayat pertama Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang
sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), maka
ayat ketiga Pasal 1338 KUH Perdata harus dipandang sebagai suatu tuntutan
keadilan.71

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua
atribut, yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah
mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak
atau manfaat berupa tuntutan dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi
dalam perjanjian itu. Karena itu dalam setiap perjanjian masing-masing pihak
harus menepati janjinya untuk melaksanakan kewajibannya dan juga
menghormati hak pihak lain.

Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan


mengatakan bahwa “janji itu mengikat” (Pacta sunt servanda) dan “kita
harus memenuhi janji kita” (promissorrum implendorum obligati). Falsafah
ini juga terdapat dalam Syari’at Islam, sebagaimana dalam surat Al Maidah
ayat pertama yang berbunyi “Yaa ayyuhalladziina aamanuu aufuu bil
‘uqud”’ yang artinya “wahai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janji
itu” dan surat Al Isra ayat 34 yang berbunyi “wa aufu bil”ahdi innal ‘ahda
kana mas uulan” yang artinya” dan penuhilah olehmu akan janji,
sesungguhnya janji itu akan ditanyakan [dimintakan pertanggungjawaban]”.
Namun syariat Islam juga sangat memperhatikan kesadaran individu dengan
motif, aspirasi, kesadaran yang baik dan itikad baik. Dengan itikad baik
seseorang tidak akan mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain yang

70
Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit. hlm 41.

Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas hukum perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung,
Bandung, 1979 hlm 85.
71
Subekti, Loc.cit.

61
tidak terlihat sebelumnya, karena hal itu bukan merupakan bagian dari hal
yang disepakati.

Selanjutnya, menurut Grotius asas pacta sunt servanda ini timbul dari
premise bahwa kontrak secara alam dan sudah menjadi sifatnya mengikat
berdasarkan dua alasan. Alasan pertama adalah sifat kesederhanaan bahwa
seorang harus berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain yang berarti
bahwa orang-orang ini harus saling mempercayai, yang pada gilirannya akan
memberikan kejujuran dan kesetiaan. Alasan kedua adalah setiap individu
memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang dapat
dialihkan. Apabila seorang individu memiliki hak untuk melepaskan
miliknya, maka tidak ada alasan mengapa dicegah untuk melepaskan haknya
yang kurang penting seperti melalui kontrak.72

Meskipun sudah dimasukkan ke dalam Hukum Gereja sejak abad XIII, masih
beberapa abad sebelumnya prinsip nudus consensus, obligat, pacta nuda
servanda sunt ini diakui dalam jus civile. Adagium pacta sunt servanda
mempunyai arti yang besar sejak abad XVI, bukan saja dibidang hukum
privat melainkan juga dalam bidang-bidang hukum tata negaradan hukum
internasional. Penerapan asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian
pada awalnya sebagai Hukum Gereja dikuatkan dengan sumpah. Namun
dibawah pengaruh kaum teologi moral sedikit demi sedikit telah
dikembangkan prinsip, bahwa persetujuan-persetujuan yang tidak dikuatkan
dengan pengangkatan sumpah juga mempunyai kekuatan mengikat.73

Dengan demikian, adagium tersebut telah berubah sifatnya, yaitu sekarang


telah menjadi kekuatan mengikat suatu persetujuan. Prinsip bahwa kita terikat
pada janji-janji dan kesanggupan-kesanggupan kontraktual, bukan saja harus
dipenuhi secara moral, tetapi juga merupakan kewajiban hukum. Hal ini
harus dianggap sebagai sesuatu yang berlaku sendirinya, sehingga tidak perlu
dipersoalkan lebih lanjut.
72
Grotius, H., The Law of war and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1664 ed., Kelsey, F.W. trans.,
Oxford, 1916-25 dan Pupendorf, S., The Law of Naturaeet Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934, TLDB
Document ID: 105700, diakses dari http://uni-koeln.de/php/pub.
73
Soedjono Dirdjosiswono, op.cit., hlm. 104.

62
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pacta sunt servanda diterima
sebagai salah satu prinsip yang umum dalam perdagangan internasional dan
perjanjian antara negara. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa
setiap perjanjian (Treaty) mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik.74 Para pihak berkewajiban untuk melaksanakan suatu perjanjian
sedemikin rupa menurut yang telah disepakati, meskipun pelaksanaan
tersebut menjadi tidak menguntungkan atau sulit bagi salah satu pihak.
Ketentuan ini merupakan aturan dasar (basic rule) dari “lex mercatoria”,
yang dimaksudkan untuk menjamin perdagangan.

Prinsip pacta sunt servanda ini telah dikenal baik dalam sistem hukum
kontinental maupun common law yang mendukung adanya jaminan dan
kepastian perdagangan dan telah diintegrasikan dalam hukum internasional.
Karena itu adagium ini dapat dipandang bagian dari hukum kebiasaan, yang
penerapannya mencapai kehidupan pribadi dan bangsa. Meskipun banyak
pelanggaran dari kontrak telah terjadi, namun fakta menunjukkan bahwa
prinsip kesucian kontrak internasional ini tetap hidup. Ingkar janji selalu
dianggap sebagai suatu tindakan yang salah yang dikenakan keharusan
memberikan kompensasi (ganti rugi).

Pada saat ini, prinsip tersebut diatas tidak memiliki ciri yang mutlak
(absolute). Lingkupnya dibatasi dengan pengecualian, yang diberikan oleh
hukum, misalnya, perbuatan yang tidak mungkin baik secara hukum maupun
fisik dan memperkaya diri secara tidak adil. Hak suatu pihak untuk
mengundurkan diri dari kontrak bertentangan dengan prinsip kesucian
kontrak (sanctity of contracts). Kepentingan terutama para pihak, mungkin
dapat terjadi kontrak tersebut dilaksanakan tidak sempurna atau dalam
beberapa hal tidak dilaksanakan sama sekali. Dalam situasi demikian, pihak
yang dirugikan dilengkapi dengan perangkat hukum lengkap dengan cara
penanggulangannya. Tindakan yang paling drastis karena tidak memenuhi
persyaratan perjanjian adalah pemutusan perjanjian.

74
UN Conventions on the Law of Treaties, Viena (23 May 1969), Article 26: “Every treaty in force is
binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”.

63
Pada saat kita berbicara tentang berlakunya perjanjian baku maka pada saat
yang bersamaan kita akan berbicara tentang keabsahan perjanjian baku itu
sendiri. Keabsahan berlakunya suatu perjanjian suatu perjanjian baku tidak
perlu lagi dipersoalkan karena perjanjian baku eksistensinya sudah
merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara
meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu
terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat
sendiri. Dengan demikian, dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa
perjanjian baku.

Perjanjian baku dibutuhkan oleh dan diterima masyarakat. Sekalipun


keabsahan berlakunya memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu
dipertanyakan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat “berat sebelah” dan
tidak mengandung “klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi
pihak lainnya.”Dengan demikian, perjanjian itu merupakan perjanjian yang
menindas dan tidak adil. Istilah berat sebelah maksudnya adalah perjanjian itu
hanya, atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja, yaitu
pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut, tanpa mencantumkan
kewajiban pihak lainnya. Sementara itu, yang menjadi hak pihak lainnya itu
tidak disebutkan.

Klausul eksemsi merupakan klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau


membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya
dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya
melaksanakan kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.
Klausul eksemsi dapat disusun dalam berbagai bentuk, antara lain, bentuk
pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh
pihaknya apabila terjadi ingkar janji (wanprestasi). Selain itu, dapat pula
berbentuk pembatasan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut, dapat pula
berbentuk pembatas waktu bagi orang yang dirugikan untuk dapat
mengajukan gugatan atau ganti rugi. Dalam hal yang terakhir ini batas waktu
tersebut sering kali lebih pendek dari batas waktu yang ditentukan oleh
undang-undang bagi seseorang untuk dapat mengajukan gugatan ganti rugi.

64
Salah satu contoh klausul eksemsi yang sering digunakan adalah klausul
mengenai force majeure.75 Klausul force majeure pada hakikatnya

75
Dalam pelaksanaan perjanjian, ada kemungkinan tuntutan hukum dari kreditur atas tidak
dilaksanakannya prestasinya, debitur yang dituduh lalai dapat membela diri dengan mengajukan
alasan, antara lain, adalah mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force
majeur). Keadaan memaksa ini merupakan alasan dimana:

“dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya
apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana
ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.
Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu,
bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah satu alpa, dan orang
yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaiannya.”

Sementara itu, berdasarkan kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak dapat dibedakan atas
dua hal, yaitu:

a. force majeure yang absolut, yaitu suatu force majeure yang terjadi, sehingga prestasi dan kontrak
sama sekali tidak mungkin dilakukan;
b. force majaeure yang relatif, yaitu suatu force majeure di mana pemenuhan prestasi secara normal
tidak mungkin dilakukan. Dalam kondisi, perjanjian masih mungkin (possible) dilaksanakan,
tetapi tidak praktis lagi (impracticability).

Selain itu, berdasarkan jangka waktu berlakunya kondisi yang menyebabkan terjadinya force majeure
dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:

a. Force majeure permanent, yaitu jika sama sekali sampai kapan pun suatu prestasi yang terlibat
dari perjanjian tidak mungin dilakukan lagi.
b. Force majeure temporer, yaitu bilamana pemenuhan prestasi dari perjanjian tersebut tiak
mungkin dilakukan untuk sementara waktu.

Pada dasarnya, berdasarkan KUH Perdata, ketentuan force majeure diatur dengan tiadanya
pengaturannya secara umum, khususnya untuk perjanjian timbal balik. Dengan demikian, tidak ada
landasan yuridis secara umum yang dapat dipergunakan dalam menetapkan maksud force majeure ini.
Oleh sebab itu, pengaturan yang khusus yang berada pada bagian tentang ganti kerugian atau
pengaturan risiko akibat force majeure untuk perjanjian sepihak dan perjanjian bernama. Disamping
itu, ketentuan mengenai force majeure dalam KUH Perdata juga lebih terkait erat dengan masalah
ganti rugi suatu perjanjian. Hal demikian disebabkan force majeure sangat terkait erat dengan,
“hilangnya atau tertundanya kewajiban untuk melaksanakan prestasi yang terbit dari suatu kontrak,
juga suatu force majeure dapat juga membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat
tidak terlaksananya kontrak.” Hal yang paling esensial dalam pengaturan keadaan memaksa ini dalam
KUH Perdata adalah dirumuskannya ketentuan dalam beberapa perjanjian bernama, seperti perjanjian
jual beli, perjanjian tukar menukar, dan perjanjian sewa menyewa.

Oleh sebab itu, dengan mendasarkan pada ciri tersebut, force majeure dalam KUH Perdata
mempunyai persyaratan berikut.

a. peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah “tidak terduga” oleh para
pihak (Pasal 1244 KUH Perdata).

65
merupakan klausul yang membebaskan debitur untuk bertanggung jawab atas
tidak dapat dipenuhinya kewajiban yang ditentukan baginya, tetapi pada saat
ini klausul force majeure tidak dapat dianggap sebagai klausul eksemsi
karena pembebasan tanggung jawab debitur yang demikian itu memang
dibenarkan oleh undang-undang.

Dengan kata lain, sekalipun klausul force majeure tersebut tidak dicantumkan
dalam perjanjian, tetapi debitur yang bersangkutan tetap dibebaskan dari
tanggung jawab atas tidak dilaksanakan kewajiban itu. Hal ini disebabkan
ketentuan undang-undang memang merupakan demikian. Klausul force
majeure biasanya digunakan untuk mengurangi suatu syarat perjanjian
dimana salah satu atau kedua belah pihak dimaafkan untuk tidak
melaksanakan prestasinya. Baik seluruhnya atau sebagian, berkaitan dengan
terjadinya kejadian tertentu yang berada di luar kekuasaannya. Adanya
kondisi demikian diatur dalam Pasal 1244 KUH Perdata76 yang menyatakan
suatu kondisi, “hal yang tidak terduga, pun tidak dapat

b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan
prestasi (pihak debitur) tersebut (Pasal 1244 KUH Perdata).
c. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut di luar kesalahan pihak debitur
(Pasal 1545 KUH Perdata).
d. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja
oleh debitur (Pasal 1553 jo. Paal 1245 KUH Perdata). Hal ini merupakan perumusan yang kurang
tepat, sebab yang semestinya tindakan tersebut ”di luar kesalahan” para pihak, bukan tidak
disengaja. Sebab, kesalahan para pihak, baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun denan tidak
disengaja, yaitu dalam bentuk kelalaian (negligence).
e. Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (Pasal 1244 KUH Perdata).
f. Jika terjadi force majeure, kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak
dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (Pasal 1545 KUH Perdata).
g. Jika terjadi force majeure, para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi (Pasal 1244 jo. Pasal 1245
jo. Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata). Akan tetapi, karena kontrak yang bersangkutan menjadi
gugur karena adanya force majeure tersebut, untuk menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan,
pemberian restitusi atau quantum merit tentu masih dimungkinkan.

Risiko (sebagai akibat dari force majeure) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat
seharusnya barang tersebut diserahkan (Pasal 1545 KUH Perdata).
76
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak
dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu,
disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya
itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

66
dipertanggungjawabkan kepada debitur, dengan tanpa itikad buruk dari
debitur.” Sementara itu Pasal 1245 KUH Perdata77 mengatur kerugian yang
timbul karena terhalangnya debitur untuk memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan oleh karena adanya keadaan memaksa atau suatu kejadian
yang tidak disengaja.

Dalam dua kondisi demikian, debitur tidak dapat dituntut ganti rugi oleh
kreditur. Adanya force majeure tersebut pada pokoknya adalah adanya akibat
yang ditimbulkannya, sehingga kewajiban prestasi debitur menjadi hapus dan
konseksuensinya debitur tidak perlu mengganti kerugian kreditur yang
diakibatkan oleh itu (karena tidak ada kewajiban prestasi pada debitur).
Kedua pasal tersebut pada dasarnya “merupakan suatu doublure, dua pasal
yang mengatur satu hal yang sudah diberikan oleh yang lainnya.” Dengan
demikian, adanya force majeure berkaitan dengan risiko dan kesalahan yang
berkaitan dengan masalah timbulnya halangan untuk berprestasi (dengan
baik). Hal ini berarti kondisi debitur berada dalam keadaan yang memaksa
adalah “tidak hanya berarti debitur tidak bermasalah, tetapi juga berada pada
posisi tidak dapat menduga akan timbulnya halangan prestasi.” Keadaan
memaksa ini dapat dikondisikan sebagai suatu alasan untuk dibebaskan untuk
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Pada dasarnya force
majeure apabila berdasarkan pihak yang terkena dibedakan atas dua macam,
yaitu:
a. Force majeure yang obyektif, yaitu yang terjadi atas benda yang
merupakan obyek perjanjian tersebut. Hal ini berarti keadaan benda
tersebut sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi
prestasi sesuai perjanjian, tanpa adanya unsure kesalahan dari pihak
debitur.
b. Force majeure yang subyektif, yaitu yang terjadi manakala force
majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan objek

77
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran
suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memeberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

67
(yang merupakan benda) dari perjanjian yang bersangkutan. Akan
tetapi, dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan
debitur itu sendiri.

Kembali kepada kerangka berlakunya perjanjian baku agar mengikat pihak


lain, menurut Hondius terdapat 4 cara atau kemungkinan untuk
memberlakukan syarat-syarat baku yang terdapat di dalam perjanjian yang
lazimnya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yaitu:

a. Penandatanganan dokumen perjanjian. Dalam hal ini klausula-


klausula perjanjian tersebut telah ditentukan terlebih dahulu dalam
suatu formulir, ketika membuat perjanjian atau pihak ketiga akan
mengikatkan diri maka dokumen atau formulir tersebut disodorkan
kepada pihak yang akan mengikatkan diri untuk dibaca dan
ditandatangani. Dengan penandatanganan dokumen perjanjian
tersebut maka pihak yang mengikat diri dalam perjanjian terikat pada
syarat-syarat baku yang telah ditentukan sebagai klausula di dalam
perjanjian tersebut;

b. Dengan pemberitahuan melalui dokumen perjanjian. Dalam hal ini


menurut kebiasaan yang berlaku, maka syarat-syarat yang telah
dibakukan dicetak di atas dokumen perjanjian yang tidak
ditandatangani oleh pihak yang akan mengikatkan diri, misalnya
konosemen, surat angkutan, surat pesanan, nota pembelian. Agar
pihak lain terikat dalam perjanjian tersebut, maka dokumen perjanjian
tersebut harus diterimakan atau dikirimkan kepada pihak yang
mengikat diri di dalam perjanjian tersebut, pada saat atau sesudah
dibuatnya perjanjian tersebut;

c. Dengan penunjukkan dalam dokumen perjanjian. Dalam dokumen


perjanjian tidak dimuat syarat-syarat baku, tetapi dalam dokumen
perjanjian tersebut hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku
tertentu, misalnya di dalam dokumen perjanjian jual beli perdagangan
ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar FOB atau CIF. Dalam
hal ini maka diartikan bahwa mengenai syarat penyerahan barang atas

68
dasar FOB (Free On Board) atau CIF (Cost Insurance Freight)
berlaku terhadap perjanjian yang diadakan oleh para pihak tersebut;

d. Pemberitahuan melalui papan pengumuman. Dalam hal ini syarat-


syarat baku yang ditentukan dapat merupakan bagian dari isi
perjanjian dengan cara pemberitahuan melalaui papan pengumuman.
Cara demikian lazim digunakan oleh perusahaan yang bergerak dalam
bidang pelayanan umum yang melayani banyak orang atau
masyarakat umum dalam waktu yang bersamaan.

Meskipun perjanjian baku nyata-nyata dibutuhkan dalam praktek, para


sarjana hukum berbeda pendapat tentang eksistensi dari perjanjian baku,
yakni ada yang mendukungnya, ada yang menentangnya, dan ada pula yang
mendukung, tetapi dengan persyaratan atau pengawasan tertentu. Di antara
para sarjana hukum Belanda yang mendukung eksistensi perjanjian baku
adalah Stein, yang mengatakan bahwa suatu perjanjian baku dapat diterima
berdasarkan fiksi tentang adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en
vertrouwen), yakni kemauan dan kepercayaan untuk mengikatkan diri ke
dalam perjanjian tersebut. Selanjutnya, Asser - Rutten menyatakan bahwa
seorang mengikat kepada perjanjian baku karena dia sudah menandatangani
perjanjian tersebut, sehingga dia harus dianggap mengetahui serta
menghendaki dan karenanya bertanggung jawab kepada isi dari perjanjian
tersebut. Ahli hukum lain yang juga mendukung perjanjian baku ini adalah
Hondius, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian baku mempunyai
kekuatan hukum berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku dalam
masyarakat, Sebaliknya, beberapa sarjana hukum Belanda yang melakukan
kritik terhadap eksistensi perjanjian baku, misalnya Sluijter yang antara lain
menyatakan bahwa perjanjian baku sebenarnya bukanlah perjanjian, sebab
kedudukan dari pihak yang membuat formulir kontrak tersebut sudah menjadi
seperti pembuat undang-undang swasta (legio particuliere wetgever).
Kemudian, ahli hukum Pitlo menyebut perjanjian baku sebagai perjanjian
paksa yang dalam bahasa Belanda disebut dengan dwangcontract (Sutan
Remi Sjahdeini, 1993: 69).

69
Di Amerika Serikat sampai dengan sekitar tahun 1960, seperti juga di negara-
negara lainnya yang berlaku sistem hukum Common Law, pengadilan-
pengadilan di sana tetap berpegang teguh pada prinsip Caveat Emptor (Let
the buyer beware), yang berarti pembelilah yang harus berhati-hati,
sedangkan formulir biasanya dibuat oleh pihak penjual. Dalam hal ini pihak
pembeli oleh hukum dimintakan untuk bersikap hati-hati untuk dirinya
sendiri. Ini berarti pihak penandatangan perjanjian oleh hukum dibeban
kewajiban membaca (duty to read) perjanjian yang bersangkutan. Manakala
dia gagal melakukan tugas membaca tersebut, maka risiko mesti ditanggung.
Perjanjian baru bisa dibatalkan jika terjadi fraud atau misrepresentation.

Namun demikian, sejak lebih kurang tahun 1960, pengadilan di Amerika


Serikat mulai waspada dengan eksistensi perjanjian baku yang semakin
gencar berlakunya. Untuk mengatasi adanya perjanjian baku yang berat
sebelah, mulailah di sana dikembangkan “doktrin ketidakadilan”
(Unconscionability) yang melarang perjanjian yang isinya sangat tidak
seimbang, sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak. Oleh
pengadilan di Amerika Serikat, kontrak yang demikian dapat dibatalkan
sebagian atau seluruhnya. Di Amerika Serikat, di samping dibatalkannya
perjanjian baku (yang berat sebelah) atau klausula-klausula di dalamnya
berdasarkan doktrin “ketidakadilan” tersebut, bahkan perjanjian baku atau
klausula-klausulanya seperti itu dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan-
ketentuan khusus tentang perjanjian baku.

Hukum di Jerman, berlaku sejak tanggal 9 Desember 1976, yakni dengan


syarat-syarat baku dari perjanjian (AGB Gezetz) telah mengatur tentang
syarat-syarat baku, antara lain dengan memuat daftar dari klausul-klausul
yang dicurigai.

Dalam beberapa putusan dari Mahkamah Agung (Hoge Raad) negeri


Belanda, beberapa petunjuk hukum dapat diambil dalam hubungan dengan
masalah perjanjian baku, khususnya yang mengandung klausula eksemsi.
Petunjuk-petunjuk hukum tersebut adalah sebagai berikut: (W.M. Kleyn,
1978:36).

70
a. Mesti dilihat kepada beratnya kesalahan dari pelaku, termasuk dengan
menganalisis kesungguhan dari kepentingan-kepentingan yang ada.
b. Mesti dilihat dan dihubungkan dengan sifat dan isi selebihnya (di luar
klausula eksemsi) dari perjanjian.
c. Mesti dilihat kedudukan para pihak dalam masyarakat dan hubungan
antarpara pihak dalam perjanjian tersebut. Misalnya, harus
dipertimbangkan faktor-faktor berikut ini:
1) Kedudukan yang kuat atau kedudukan monopolistis dari salah
satu pihak dalam perjanjian.
2) Apakah salah satu pihak mempunyai kewajiban mengadakan
perjanjiank (misalnya perusahaan menjalankan kepentingan
umum).
3) Apakah antara para pihak ada perbedaan keahlian (seperti dokter,
arsitek, akuntan, dan Iain-Iain).

Mesti dilihat bagaimana cara terjadinya klausula yang merugikan itu.


Misalnya harus diperhatikan:
1) Apakah klausula tersebut lahir sesudah adanya perundingan yang
cukup atau tidak.
2) Apakah klausula tersebut lahir dalam keadaan yang menyesatkan
atau tidak.

d. Mesti dilihat berapa besarnya kesadaran dan kemengertian pihak yang


kepadanya diajukan perjanjian yang bersangkutan terhadap maksud
dari klausula yang merugikan tersebut.

Salah satu palang pintu hukum yang menjadi benteng pertahanan agar
pelaksanaan perjanjian baku tidak memberatkan salah satu pihak dalam
perjanjian adalah terdapatnya berbagai metode penafsiran perjanjian
sebagaimana telah disampaikan pada bagian sebelumnya dari bab ini yang
tidak memihak kepada pembuat perjanjian baku. Namun ringkasnya dapat
disampaikan bahwa metode-metode penafsiran perjanjian tersebut adalah
sebagai berikut:

71
a. Apabila ada pertentangan antara klausula baku dengan klausula yang
tidak baku dalam suatu perjanjian, maka yang dimenangkan adalah
klausula yang tidak baku tersebut.
b. Penafsiran klausula baku haruslah untuk kerugian pihak yang
menyediakan perjanjian baku tersebut (asas contra proferentem).
c. Seperti juga terhadap penafsiran perjanjian lainnya, maka penafsiran
terhadap klausula baku dilakukan dengan lebih melihat kepada
maksud para pihak daripada hanya melihat kepada kata-kata demi
kata-kata dalam perjanjian tersebut (metode penafsiran
historis/teleologis).

2.2.6. Ciri-Ciri Karakteristik Perjanjian Baku

Adanya karakteristik perikatan berdasarkan KUH Perdata diuraikan untuk


menggambarkan banyaknya konsep hukum mengenai perikatan yang lazim
digunakan dalam praktek. Pada dasarnya, perikatan yang ada berdasarkan
KUH Perdata dijalankan dalam suatu mekanisme yang telah diatur dan khas
bagi para pihak yang menjalankannya. Adanya ketentuan mengenai perikatan
juga disesuaikan dengan ketentuan hukum perdata yang mempengaruhi
perumusannya. Selain itu, pembentukan perjanjian yang khas bagi para pihak
bukanlah suatu hal yang mudah mengikat akibat hukumannya bagi suatu para
pihak yang terkait padanya, sehingga sangat menentukan pelaksanaan
perjanjian tersebut.

Selama ini ada lima macam perikatan yang dikenal dalam hukum perdata
Indonesia, yaitu:
a. Perikatan bersyarat;
b. Perikatan dengan ketentuan waktu;
c. Perikatan alternatif;
d. Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng;
e. Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi-bagi;
f. Perikatan dengan ancaman hukuman.

72
Dalam pembagian perikatan ini lazim dilakukan atas dasar kewenangan dan
kebutuhan atas perjanjian yang diberikan antara satu pihak dan pihak lainnya.
Para pihak mempunyai kebebesan untuk menentukan karakteristik perikatan
yang menjadi dasar kesepakatannya meskipun harus dipahami makna
perikatan dalam jenisnya yang berbeda tetapi berkaitan dengan adanya pihak
yang memberikan hak dan yang menyerahkan kewajiban. Oleh sebab itu,
pada dasarnya, semua karakteristik perjanjian di sini tetap meletakkan hak
dan kewajiban yang seimbang pada para pihak, yang realisasinya dilakukan
dengan seketika.

“yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan
masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya
perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara
membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut,”

Perjanjian seperti ini dikaitkan dengan ketentuan pasal 1254 KUH Perdata78
yang menyatakan syarat itu harus mungkin terlaksana, tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan undang-undang. Disamping itu, syarat yang demikian
juga dapat bersifat “digantungkan” sebagaimana diatur dalam Pasal 1253
KUH Perdata79, “persetujuan (Pasal 1254 KUH Perdata),” dikehendaki dan
dimaksudkan kedua belah pihak”(Pasal 1257 KUHPerdata80). Dengan
demikian, rumusan syarat yang dicantumkan dalam perikatan terlihat sengaja
dimaktubkan dalam perikatan.

Dalam perikatan ini, para pihak diberikan suatu hak yang penuh kepadanya
untuk menentukan sendiri syarat yang diperjanjikan. Dengan demikian, syarat

78
Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang
bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal,
dan berakibat bahwa perjanjian yang digantungkan padanya, tak berdaya.
79
Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut.
80
Semua syarat harus terpenuhi secara yang mungkin dikehendaki dan dimaksudkan oleh kedua belah
pihak.

73
yang menjadi dasar dalam perikatan muncul sebagai bentuk kesepakatan juga
yang tidak terlepas dari munculnya perikatan.

Syarat tersebut juga dapat merupakan tindakan hukum bagi para pihak dalam
menjalankan perikatan itu. Sehingga rumusannya akan lebih tepat bagi
perikatan yang lahir dari perjanjian atau yang berkaitan dengan pembuatan
testamen. Disamping itu, ada dua jenis perikatan bersyarat ini yaitu perikatan
yang lahir hanya apabila peristiwa yang dimaksud dalam perjanjian terjadi
dan perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa itu. Perikatan ini disebut
perikatan dengan suatu syarat tangguh. Kedua, perikatan yang lahir justru
saat berakhirnya atau dibatalkannya peristiwa tersebut, sehingga disebut
perikatan dengan suatu syarat batal.

Dalam perikatan bersyarat, adanya penetapan syarat secara sepihak dan


didasarkan pada kemauan orang yang terikat menjadi batal. Syarat dalam
suatu perikatan yang ditentukan sepihak disebut sebagai syarat potestatif.

Dengan adanya suatu perikatan yang dipersyaratkan pada persyaratan, suatu


peristiwa yang dipersyaratkan akan batal dengan sendirinya jika realisasi
tidak terpenuhi. Batalnya perikatan ini pada asasnya selalu berlaku surut
hingga saat lahirnya perjanjian, sehingga seolah-olah tidak pernah ada suatu
perjanjian.

Dalam perikatan dengan ketentuan waktu, perikatan ini sebenarnya bertumpu


pada kekuasaan yang dimiliki salah satu pihak dalam menentukan waktu
realisasi perjanjian. Dalam hukum perdata nasional, lazimnya perikatan ini
dipahami sebagai perikatan yang mengikat sejak dilahirkan. Dalam perikatan
ini, fungsi perjanjian termasuk dalam upaya membatasi suatu pekerjaan agar
selesai tepat pada waktunya. Hal ini lazimnya digantungkan kepada peristiwa
tertentu dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, perikatan sudah
lahir, tetapi baru mempunyai daya kerja mengikat kalau dalam jangka waktu
tertentu terjadi peristiwa sebagaimana ditentukan dalam perjanjian. Pasal

74
1258 KUH Perdata81 merupakan landasan hukum pelaksanaan perikatan
dengan ketentuan waktu ini. Dengan dasar hukum tersebut pada dasarnya
menegaskan perikatan tidak menangguhkan lahirnya suatu perikatan, tetapi
hanya menangguhkan pelaksanaannya.

Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 1271 KUH Perdata82, debitur tidak


dapat lagi mengharapkan ketentuan waktu untuk keuntunganya kalu
dinyatakan pailit atau jaminannya turun nilainya. Hal demikian terjadi pada
perikatan utang-piutang, dimana hapusnya ketentuan waktu diserahkan untuk
melindungi kepentingan kreditur dan juga sebagai hukuman kepada debitur.

Dalam perikatan alternatif, perikatan ini sebenarnya muncul sebagai bagian


dari proses perkembangan perikatan yang begitu pesat, yang memunculkan
sistem alternatif perikatan. Pasal 1227 KUH Perdata83 menyatakan perikatan
alternatif sebagai suatu kondisi dimana si berutang dibebaskan jika ia
menyatakan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan.
Akan tetapi, ia tidak boleh memaksakan si berpiutang untuk menerima
sebagian dari barang yang satu dan sebagian yang lain. Dengan demikian,
wewenang kebebasan memilih merupakan hak kepada debitur dengan
sebelum menetapkan dahulu obyek prestasi yang diperjanjikan. Perikatan ini
disebut juga sebagai perikatan yang waktu lahir, obyek prestasinya belum
tertentu karena masih akan ditentukan di antara beberapa obyek yang

81
Jika suatu perikatan bergantung pada syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi didalam suatu waktu
tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak
terjadinya peristiwa tersebut.
82
Si berutang tak lagi dapat menarik manfaat dari suatu ketetapan waktu, jika ia telah dinyatakan
pailit, atau jika karena kesalahannya jaminan yang diberikannya bagi si berpiutang telah merosot.
83
Tentang pegawai-pegawai yang ditugaskan menyimpan hipotik, tentang tanggung jawab mereka,
dan tentang diketahuinya register-register oleh umum

Kecuali dalam hal pasal 619, para pegawai penyimpan hipotik tidak sekali-kali diperbolehkan
menolak atau memperlambat pembukuan akta-akta pemindahan hak milik guna pengumuman,
pembuakuan hak-hak hipotik, pemberian kesempatan melihat surat-surat yang telah diserahkan
kepada mereka dan register-register mereka, atau memberikan surat-surat pernyataan yang diminta
dari mereka, atas ancaman mengganti biaya, rugi dan bunga kepada para pihak; untuk keperluan
mana, atas permintaan mereka yang menghendakinya, oleh seorang notaris atau seorang jurusita
dengan dua orang saksi akan dibuat suatu pemberitaan tentang penolakan atau perlambatan pegawai
penyimpan.

75
disebutkan dalam perikatan yang bersangkutan. Sistem ini paling banyak
digunakan dan muncul karena diperjanjikan oleh para pihak, yang sebenarnya
juga menciptakan dua atau lebih prestasi yang diperjanjikan.

Dalam perikatan ini, biasanya prestasi yang dipilih tidak saja menjadi
monopoli kreditur, tetapi debitur juga dmenentukan prestasi yang ditawarkan
oleh kreditur. Ada ciri umum yang dikemukakan dalam suatu macam
perikatan ini, yang sebenarnya terkait erat dengan sistem yang berlaku dalam
perjanjian pada umumnya, yaitu perjanjian ini juga terkait erat dengan
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu juga.

Dalam perikatan yang bersifat tanggung menanggung atau tanggung renteng,


salah satu pihak merupakan kelompok yang secara bersama-sama mempunyai
tanggung jawab untuk memenuhi seluruh utang. Juga dapat terjadi adanya
pihak kreditur yang berhak menuntut pembayaran seluruh utangnya.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1278 dan Pasal 1280 KUH Perdata84 yang
juga dinamakan “perikatan aktif tanggung menanggung” (jika ada lebih dari
satu kreditur) dan “perikatan pasif tanggung menanggung” (jika ada lebih
dari satu debitur). Pasal 1278 menyatakan perikatan tanggung menanggung
adalah:

“suatu perikatan yang terjadi antara beberapa orang berpiutang, jika


dalam persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak
untuk menuntut pemenuhan seluruh hutang, sedang pembayaran yang
dilakukan kepada salah satu membebaskan orang yang berhitung,
meskipun perikatan itu menuntut sifatnya padat dipecah dan dibagi
diantara beberapa orang berpiutang tadi.”

Perikatan ini menganut suatu rezim di mana dua atau lebih debitur atau
kreditur dapat mengambil kekuasaan seluruhnya untuk sebagian dengan
mengajukan terlebih dahulu penagihan kepada pihak yang berkewajiban.
Dengan demikian, kekuasaan mengajukan tuntutan dapat dilakukan oleh

84
Adalah terjadi suatu perikatan tanggung menanggung di pihaknya orang-orang yang berutang,
manakala mereka kesemuanya diwajibkan melakukan suatu hal yang sama, sedemikian bahwa salah
satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan orang-orang
berutang yang lainnya terhadap si berpiutang.

76
salah satu atau lebih dengan menandatangani sendiri perjanjian yang telah
mengalami pembatasan dalam proses penuntutannya.

Merupakan hukum perdata, dan tuntutan seorang tidak memerlukan


persetujuan pihak yang menuntut lainnya, seperti persetujuan yang dibuat
dalam bentuk persetujuan antara-kreditur, persetujuan yang berisi klausula
yang jelas mengenai dispensasi perikatan dan perjanjian yang melengkapi
perjanjian sebelumnya dapat dilakukan dengan penagihan secara tanggung
renteng.

Sementara itu, dalam perikatan yang dapat dibagi atau tidak dapat dibagi,
perjanjian tidak dapat dibagi adalah sekedar pretasinya dapat dibagi menurut
imbangan dan tidak mengurangi hakekat prestasinya. Hal ini juga terbawa
oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan
dari maksud perikatan tersebut. Secara historis, perikatan ini didasarkan atas
kehendak para pihak untuk dapat mengawasi secara ketat pelaksanaan
perjanjian. Sistem ini mempunyai akibat hukum dalam suatu perikatan
tidakdapat dibagi, tiap-tiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasinya pada
tiap-tiap debitur. Sementara masing-masing debitur diwajibkan memenuhi
prestasinya secara keseluruhan.

Ketentuan demikian cukup sama dengan perikatan tanggung menanggung,


khususnya perihal kreditur yang berhak menuntut dari masing-masing debitur
pemenuhan seluruh utang. Keadaan itu untuk mengantisipasi dengan adanya
kemungkinan wanprestasi, dengan perbedaannya terletak pada tak dapat
dibaginya perikatan adalah mengenai prestasinya sendiri, sedangkan soal
tanggung menanggung mengenai orang-orangnya yang berutang dan
berpiutang.

Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi para pihak dalam menjalankan


perikatan, di dalam perjanjian ditentukan dan diberikan suatu kekuasaan
hukum pada pihak tertentu menjatuhkan hukuman jika perikatannya tidak
terpenuhi. Adanya hukuman ini dilakukan sebagai bagian dari perjanjian
yang tanpa memerlukan persetujuan dari pengadilan dalam menjatuhkan
sanksinya. Bentuk perjanjian ini disebut sebagai punishment agreements atau

77
persetujuan dalam bentuk sanksi. Persetujuan ini biasanya berupa kekuasaan
khusus untuk menjatuhkan sanksi perdata dan ganti rugi kepada pihak yang
tidak melakukan persetujuan sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kiranya dapat di identifikasi ciri-


ciri karakteristik suatu perjanjian standar atau perjanjian baku, antara lain
ialah:
a. isinya lazimnya ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha yang
mempunyai kedudukan atau posisi ekonominya lebih kuat;
b. masyarakat yang mengikatkan diri dalam perjanjian atau pihak
konsumen tidak ikut terlibat dalam menentukan isi perjanjian;
c. terdorong oleh kebutuhan tertentu, konsumen terpaksa harus
menerima perjanjian itu, artinya mau tidak mau konsumen harus
mengikuti ketentuan perjanjian tersebut, jika akan mengikatkan diri
dengan pengusaha;
d. perjanjian itu dipersiapkan terlebih dahulu dalam jumlah banyak
(massal) atau bersifat kolektif;
e. isi perjanjian terdiri dari rangkuman janji-janji yang merupakan
syarat-syarat perjanjian, atau klausula-klausula perjanjian seperti
misalnya mengenai cara mengakhiri perjanjian, cara memperpanjang
masa berlakunya perjanjian, cara penyelesaian sengketa dan syarat-
syarat atau klausula-klausula eksonerasi;
f. perjanjian standard lazimnya tidak dimungkinkan untuk dirubah;
g. bentuknya tertentu (tertulis), dan
h. perjanjian baku pada umumnya menguntungkan pihak pelaku usaha
atau kreditur.

2.2.7. Tahapan-Tahapan Transaksi Antara Produsen dan Konsumen

Pada sistem perekonomian modern, berbagai pihak memenuhi kebutuhannya


dengan pertukaran dan transaksi. Pertukaran, yang merupakan konsep inti
dari pemasaran, mencakup perolehan produk yang diinginkan dari seseorang

78
dengan menawarkan sesuatu sebagai gantinya. Persyaratan yang harus
dipenuhi supaya terjadi pertukaran (Kotler dan Keller, 2008: 7) yaitu:
a. Sekurang-kurangnya ada dua pihak;
b. Masing-masing pihak memiliki sesuatu yang dianggap bernilai bagi
pihak lain;
c. Masing-masing pihak mampu berkomunikasi dan menyerahkan
sesuatu;
d. Masing-masing pihak bebas untuk menerima atau menolak tawaran
pertukaran;
e. Masing-masing pihak yakin bahwa bertransaksi dengan pihak lain
merupakan hal yang tepat dan diinginkan.

Apakah pertukaran akan benar-benar terjadi tergantung pada apakah


pihak-pihak yang terlibat sepakat dalam hal syarat-syarat (trading terms)
yang akan membuat keadaan semua pihak menjadi lebih baik (atau sekurang-
kurangnya tidak bertambah buruk) dibandingkan sebelumnya. Pertukaran
adalah proses penciptaan nilai karena pada dasarnya memungkinkan keadaan
pihak-pihak yang terlibat menjadi lebih baik. Sedangkan transaksi adalah
suatu bentuk persetujuan, komunikasi, atau pergerakan yang diselenggarakan
antara entitas-entitas atau obyek-obyek yang berbeda, yang sering melibatkan
pertukaran sesuatu yang bernilai, seperti informasi, barang, jasa dan uang
(Wikipedia, diakses pada 16 Februari 2009).

Sementara, menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2008: 8)


mendefinisikan transaksi dari sudut pandang disiplin pemasaran; yakni
transaksi sebagai perdagangan nilai antara dua atau lebih pihak. Sebuah
transaksi mencakup beberapa dimensi; sekurang-kurangnya mencakup
kondisi bernilai yang disepakati, waktu kesepakatan dan tempat kesepakatan.
Selain itu, ada sistem hukum yang mendukung dan mengukuhkan pemenuhan
kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi. Tanpa adanya undang-
undang yang mengatur perjanjian, transaksi akan sulit terlaksana karena tidak
ada kepastian hukum yang mengikat, sehingga setiap pihak yang terlibat pun

79
mengalami kerugian karena tidak bisa memenuhi kebutuhannya lewat
transaksi tersebut.

Sebelum konsumen memakai atau meng\onsumsi produk atau jasa yang


diperolehnya dari produsen, tentu ada peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan itu dapat digolongkan atau
dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan peristiwa/keadaan. Di bawah ini
dibedakan garis besar tahapan-tahapan transaksi yang dilakukan antara
produsen dan konsumen dalam upaya konsumen untuk memperoleh produk.

Tahapan-tahapan transaksi itu dapat dibedakan dalam tiga tahap, yaitu tahap
pratransaksi, tahap transaksi (yang sesungguhnya) dan tahap purnatransaksi.
a. Tahap Pratransaksi Konsumen
Dalam tahapan pratransaksi, konsumen masih dalam proses pencarian
informasi atas suatu barang, peminjaman, pembelian, penyewaan atau
leasing. Dalam tahap ini konsumen membutuhkan informasi yang
akurat tentang karakteristik suatu barang dan atau jasa. Right to be
informed of consumers betul-betul memegang peranan penting dan
harus dihormati, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.

Merujuk pada ketentuan pasal 1320 KUH Perdata85, perjanjian yang


sah hanyalah perjanjian yang dibuat atas kesepakatan para pihak,
sedangkan kesepakatan dianggap tidak sah (cacat) jika mengandung
unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan (dan penyalahgunaan
keadaan, menurut perkembangan yurisprudensi). Karena itu, berkaitan
dengan pemberian informasi, produsen penjual haruslah memberikan
keterangan yang benar, jujur, dan sesungguhnya tentang produk yang
dijualnya sehingga konsumen pembeli tidak merasa terpedaya atau
tertipu. Jika informasi disebarkan melalui iklan, iklan itu haruslah

85
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

80
memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang
periklanan, yang pada pokoknya menghendaki iklan yang benar, jujur
sesuai dengan kenyataannya dan sebagainya. Demikian juga dengan
informasi yang diberikan melalui media lainnya termasuk dengan cara
lisan. Sebaliknya calon pembeli/konsumen perlu hati-hati dalam
menerima dan mengolah informasi yang diperolehnya.

b. Tahap Transaksi Konsumen


Pada tahap ini konsumen melakukan transaksi dengan pelaku usaha
dalam suatu perjanjian (jual beli, sewa atau bentuk lainnya). Kedua
belah pihak betul-betul harus beritkad baik sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing. Di negara-negara maju, konsumen
diberi kesempatan untuk mempertimbangkan apakah akan
memutuskan membeli/memakai suatu barang dan atau jasa dalam
tenggang waktu tertentu atau membatalkannya. Klausula ini dapat
dilihat pada praktik di Amerika, Belanda, Inggris dan Australia.

c. Tahap Purnatransaksi Konsumen


Tahap ini data disebut dengan tahap purnajual after sale service
dimana penjual menjanjikan beberapa pelayanan cuma-cuma dalam
jangka waktu tertentu. Pada umumnya penjual menjanjikan garansi
atau servis gratis selama periode tertentu

2.3. Perlindungan Konsumen


2.3.1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sejak tahun 1999 telah diterbitkan UU-PK yang memberikan kewenangan


bagi pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap konsumen. UU-PK
ini memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan kepada konsumen
yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut
konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu sehingga
memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU-PK disebutkan; Perlindungan Konsumen adalah


segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

81
perlindungan kepada konsumen. Hak-hak konsumen dilindungi oleh Undang-
Undang tersebut terutama terdapat pada pasal 4 huruf:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi


perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan dalam dua aspeknya
itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen
barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah
disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini
termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku,
proses produksi, proses distribusi, desain produk dan sebagainya,
apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan

82
keselamatan konsumen. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen
mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau
mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-
syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan
promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual
dan sebagainya.

Aspek yang pertama, mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasilkan
dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk,
yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen karena barang yang
diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya sehingga
menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sedangkan yang kedua, mencakup
cara konsumen memperoleh barang dan jasa, yang dikelompokkan dalam
cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang
diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak
mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemafaatan jasa yang dibeli konsumen;

83
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada pengaturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

UU-PK Pasal 18 ayat 2, menyatakan:


Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.

UU-PK Pasal 18 ayat 3, menyatakan:


Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

UU-PK Pasal 18 ayat 4, menyatakan:


Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.

2.3.2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kontrak (perjanjian) adalah suatu peristiwa seorang berjanji kepada orang


lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.(Subekti,
1983:1). Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat
kontrak. Sehingga, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah
mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan
perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya
saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan.

84
Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar
janji (wanprestasi).

Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak
apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada
pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan
tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

a. KUH Perdata Pasal 133886


Aspek-aspek kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 KUH,
yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam
perjanjian adalah:
1) Terjadinya perjanjian. Asas yang disebut konsensualisme,
artinya perjanjan hanya terjadi apabila telah adanya
persetujuan kehendak antara para pihak (consensus,
consensualism).
2) Akibat perjanjian. Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan
yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini
ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) yang menegaskan bahwa
perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku
sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan
perjanjian tersebut.
3) Isi perjanjian. Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak yang
bersangkutan.

Azas azas dalam perjanjian tersebut, selama tidak bertentangan


dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum

86
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

85
dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Berlakunya asas
kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menentukan bahwa: "setiap perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya".

Oleh karena itu, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan
pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya, sama
seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat
perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah
perjanjian.

b. KUH Perdata Pasal 132087


Bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat
hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus
berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata
menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada
kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1) Agreement (Kesepakatan)
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa
ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di
antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Kesepakatan tidak ada apabila perjanjian dibuat atas dasar
paksaan, penipuan atau kekhilafan.

2) Capacity (Kecakapan)
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat perjanjian
haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai
subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum

87
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

86
cakap untuk membuat perjanjian. Yang tidak cakap adalah
orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang
dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele),
dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum
dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila
seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa,
berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3) Certainty of Term (Hal Tertentu)


Hal tertentu maksudnya objek yang diatur perjanjian tersebut
harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh
samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau
kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya
perjanjian fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas
merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya
berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak
boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan
lebih lanjut.

4) Conderation (Sebab yang dibolehkan)


Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan
perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban
umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah
tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.

2.3.3. Ketentuan Pengawasan Terhadap Klausula Baku

Pengawasan pemenuhan ketentuan klausula baku sebagaimana dimaksud


dalam Keputusan Menteri Perdagangan No. 634 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pengawasan Barang dan atau Jasa Yang Beredar Pasal 4 ayat (1) huruf c
dilakukan terhadap dokumen dan/atau perjanjian pada setiap barang dan/atau
yang ditawarkan dalam hal:

87
a. Pembuatan atau pencantuman klausula baku yang memuat:
1) Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada pihak lain;
2) Penolakan penyerahan kembali barang yang telah dibeli
konsumen;
3) Penolakan penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang telah dibelikonsumen;
4) Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
telah dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5) Pengaturan perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang telah dibeli oleh
konsumen;
6) Pemberian hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang
menjadi objek jual beli jasa;
7) Pernyataan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya; atau
8) Pernyataan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
b. Pencantuman klausula baku yang letak atau bentuknya tidak mudah
dilihat dan tidak mudah dibaca secara jelas.
c. Penggunaan istilah-istilah atau tanda-tanda atau penggunaan bahasa
yang tidak mudah dimengerti oleh konsumen dan tidak dalam bahasa
Indonesia.

88
2.4. Tinjauan Teoretis Kebijakan vs Perjanjian

Tinjauan teoretis ini turut dipadu padankan dengan beberapa pendekatan


terlebih dahulu, dimana beberapa pendekatan dimaksud diangkat dalam telaah
teoretis setelah melihat perilaku sosial dalam bertransaksi yang berlaku
dimasyarakat. Asumsi yang diangkat melalui pendekatan dogmatis ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Luaran yang terkompilasi adalah melalui pendekatan penafsiran terhadap
pasal-pasal perundang-undangan yang dikaitkan dengan serbaneka perjanjian yang
berlaku di masyarakat, sehingga terhadap justifikasi suatu transaksi berkembanglah
doktrin-doktrin yang menunjang ataupun sebaliknya terhadap patron-patron transaksi
tertentu. Terjadinya pertentangan antara kebijakan yang berlaku dengan praktek yang
berlangsung merupakan titik tolak telaah ini, dimana para pakar senantiasa
melakukan berbagai interpretasi terhadap perangkat kebijakan dan tidak jarang pula
yang berupaya untuk memadupadankan dengan instrumen-instrumen yang ada dan
berkembang dimasyarakat. Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri sekiranya
terjadi silang argumentasi terhadap sebuah instrumen hukum yang tidak jarang lebih
dikarenakan perbedaan perspektif maupun kepentingan para pihak. Oleh sebab mana
sebelum memasuki substansi telah tersebut tim terlebih dahulu memaparkan
beberapa metode penafsiran terhadap perjanjian yang berkembang dimaksyarakat
sebagai suatu pengantar sebelum dilakukan telaah terhadap telaah teoretis kebijakan.
Seperti halnya KUH Perdata Indonesia juga memilih penafsiran praktis bagi
penafsiran suatu kontrak selain dari penafsiran suatu perangkat perundang-undangan.
Hal ini sejalan dengan substansi telaah klausula baku yang merupakan telaah kajian.
Yang dimaksud dengan penafsiran praktis adalah penafsiran atas suatu kontrak yang
tidak jelas sehingga memiliki lebih dari 1 (satu) pengertian, maka dalam hal ini
pengertian kontrak dipilih menurut pengertian yang dapat dilaksanakan daripada
memilih pengertian yang tidak dapat dilaksanakan/dipraktekkan. Dalam hal ini, Pasal
1344 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut:

Jika suatu janji dapat diberikan 2 (dua) macam pengertian, maka harus dipilihnya
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada
memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.

89
Ketentuan KUH Perdata yang menghendaki interpretasi praktis ini mudah dapat
dimengerti mengingat ketika membuat suatu perjanjian, tentunya para pihak
mengehendaki agar kontrak dapat dilaksanakan, sehingga dengan penafsiran praktis,
paling mendekati juga suatu perjanjian dengan kehendak dari para pembuat
perjanjian.
Ada 1 (satu) prinsip dalam suatu interpretasi perjanjian, yaitu prinsip
kerugian pengusul atau kerugian penyusun. Maksudnya adalah bahwa jika suatu
klausula dalam perjanjian diusulkan oleh salah satu pihak, maka penafsiran atas
klausula tersebut dilakukan atas kerugian pihak yang mengusulkan klausula tersebut.
Dan jika draft perjanjian atau draft dari suatu klausula disediakan oleh salah satu
pihak, maka penafsirannya dilakukan atas kerugian dari pihak yang menyediakan
draft perjanjian atau draft klausula tersebut.
Penafsiran perjanjian untuk kerugian pihak yang menyediakan draft
perjanjian atau klausula perjanjiansudah menjadi hukum yang universal, sementara
penafsiran untuk kerugian pihak yang mengusulkan klausula dalam suatu perjanjian
diberlakukan dengan tegas oleh Pasal 1349 KUH Perdata. Pasal 1349 KUH Perdata
tersebut menentukan sebagai berikut:

Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang telah meminta diperjanjikannya suatu hal, dan untuk keuntungan
orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
Penafsiran untuk kerugian pihak yang mengusulkan atau pihak yang menyediakan
draft perjanjian mempunyai tujuan yuridis agar para pihak terhindar dari eksploitasi
dari pihak lainnya. Misalnya, dengan jalan memasukkan klausula yang terselubung
ke dalam perjanjian yang dapat memperdaya pihak lainnya. Terhadap klausula-
klausula yang demikian, tidak pantas jika risiko dibebankan kepada pihak lain selain
dari pihak yang merencakan klausula secara licik tersebut. Sehingga dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa penafsiran untuk kerugian pihak yang megusulkan atau pihak
yang menyediakan draft perjanjian, merupakan harga yang harus dibayar oleh pihak
drafter atau pihak pengusul klausula dalam perjanjian tersebut.
Selain daripada penafsiran-penafsiran yang telah dipaparkan di atas terdapat
penafsiran integrasi yang memiliki keterkaitan yang signifikan dengan kajian ini.
Yang dimaksud dengan penafsiran terintegrasi terhadap suatu perjanjian adalah suatu

90
model penafsiran yang menafsirkan klausula dari perjanjian sebagai bagian model
berkesinambungan dari keseluruhan isi perjanjian tersebut. Jadi, suatu kontrak harus
dipandang dengan utuh secara keseluruhan, tidak boleh dipilah-pilah untuk diberikan
pengertian yang berbeda-beda dari masing-masing bagian tersebut.
KUH Perdata secara eksplisit menganut doktrin penafsiran terintegrasi ini
sebagaimana disebutkan oleh pasal-pasal berikut ini:
Pasal 1345:

Jika terhadap kata-kata (dalam kontrak) dapat diberikan 2 (dua) macam


pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat
kontrak tersebut.
Pasal 1348:

Semua janji yang dibuat dalam suatu kontrak, haruslah diartikan dalam
hubungannya satu sama lain. Setiap janji haruslah ditafsirkan dalam rangka
kontrak secara keseluruhan.
Di samping itu, ada 1 (satu) doktrin yang berhubungan dengan metode penafsiran
terintegrasi ini, yaitu yang disebut dengan “Doktrin Pembuktian Lisan” (Parol
Evidence). Yang dimaksud dengan doktrin pembuktian lisan adalah suatu doktrin
yang mengajarkan bahwa setiap kesepakatan lisan (tetapi kemudian doktrin ini
berkembang juga terhadap kesepakatan tertulis) yang dibuat sebelum atau bersamaan
dengan pembuatan perjanjiantertulis, tidak dapat diterima sebagai bukti, manakala
kesepakatan lisan tersebut diajukan sebagai bukti yang kontradiksi atau bersifat
modifikasi terhadap perjanjiantertulis yang dibuat belakangan tersebut, meskipun
dapat dibuktikan bahwa dahulunya ada keinginan para pihak untuk memasukkan
kesepakatan terdahulu tersebut ke dalam perjanjian yang dibuat belakangan yang
merupakan perjanjian final.
Penolakan setiap fakta awal (yang bertentangan atau yang berbeda) dari suatu
perjanjian banyak manfaatnya bagi berfungsinya suatu perjanjian. Sebab, ada
kepentingan yang nyata bagi suatu perjanjiank (dalam teoretis maupun praktis) agar
perjanjianyang dibuat dapat dilaksanakan sepenuhnya tanpa perlu ditambah fakta-
fakta yang memperlemah pelaksanaan dari perjanjian tersebut. Dengan demikian,
dengan doktrin pembuktian lisan ini, pengakuan terhadap eksistensi suatu perjanjian
semakin tinggi.

91
Penamaan doktrin pembuktian lisan (parol evidence) hanya berdasarkan
alasan historis semata-mata. Sebab, meskipun dalam perkembangannya doktrin ini
masih berdiri tegar, perkembangan doktrin ini banyak mengalami erosi bahkan
menyimpang dari namanya sendiri, terutama dalam hal sebagai berikut:
1. Doktrin ini melarang sebagai bukti tidak lagi hanya pembuktian lisan (parol),
tetapi juga segala pembuktian tertulis yang dibuat sebelum pembuatan
perjanjian, seperti tidak diterimanya pembuktian melalui surat, faksmili,
telegram, Memorandum of Understanding, dan lain-lain yang dibuat sebelum
pembuatan perjanjian tersebut.
2. Sebenarnya doktrin ini tidak lagi berada dalam wilayah hukum acara (hukum
pembuktian), tetapi sudah berada dalam wilayah hukum substantif. Sebab,
yang dilarang adalah diterimanya fakta lain (lisan atau tertulis) yang dibuat
sebelum atau pada saat pembuatan suatu perjanjian. Jika hal tersebut masih
dalam wilayah hukum acara (pembuktian), maka yang mestinya ditolak
bukan faktanya, melainkan sistem pembuktiannya. Jika fakta tersebut tidak
diterima dengan salah satu cara pembuktian, mestinya dapat diterima dengan
cara pembuktian yang lain, padahal dalam doktrin pembuktian lisan, tidaklah
dimaksudkan demikian.

Di samping itu, sebenarnya doktrin pembuktian lisan (parol evidence) ini


juga merupakan sejenis pengakuan terhadap eksistensi penafsiran perjanjian secara
terintegrasi. Artinya, perjanjian harus dilihat secara utuh, sehingga tidak dapat
dipilah-pilah dan diberikan arti yang berlain-lainan terhadap bagian-bagian dari
perjanjian (integrasi internal), dan tidak dapat pula suatu perjanjian dianggap bagian
dari perjanjian yang lain (integrasi eksternal), karena setiap kesepakatan terdahulu
sudah dianggap melebur ke dalam kontrak yang dibuat belakangan.

2.4.1. Doktrin Pembuktian Lisan

Ilmu hukum perjanjian mengenal 2 (dua) teori tentang luas cakupan dari
doktrin pembuktian lisan ini, yaitu sebagai berikut:
1. Teori Integrasi Parsial

92
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kesepakatan terdahulu
tidak dapat diterima jika dia “bertentangan” dengan kesepakatan yang dibuat
belakangan.

2. Teori Integrasi Total


Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kesepakatan terdahulu
tidak dapat diterima jika dia “bertentangan” dan/atau bersifat
“menambahkan” terhadap kesepakatan yang dibuat belakangan.

Contoh dari doktrin pembuktian lisan ini adalah sebagai berikut:


Jika sebelum membuat perjanjian tertulis tentang pembelian sebuah rumah
berikut tanah diperjanjikan secara lisan bahwa pembelian tersebut termasuk
juga sebuah mebel yang ada dalam rumah tersebut. Akan tetapi, dalam
perjanjian jual beli yang dibuat di depan pejabat pembuat akta tanah tidak
disebutkan bahwa mebel termasuk juga sebagai objek jual beli. Maka jika
pihak pembeli tidak dapat membuktikan bahwa perjanjian yang dibuat di
depan pejabat pembuat akta tanah bukan merupakan perjanjian terintegrasi
(konklusif), maka mebel dianggap tidak termasuk ke dalam objek jual beli.

Namun demikian, ilmu hukum perjanjian juga mengajarkan bahwa terhadap


doktrin pembuktian lisan ini terdapat beberapa pengecualian, dalam arti dalam hal-
hal tertentu, kesepakatan sebelum atau pada saat dibuat perjanjian yang bertentangan
atau memodifikasi perjanjian tersebut masih dapat diterima, meskipun dalam kontrak
tersebut ada “klausula merger” (yang menyatakan bahwa perjanjian adalah
konklusif), karena klausula merger tidak lebih dari membuktikan bahwa perjanjian
tersebut adalah bersifat terintegrasi penuh (full integrated). Akan tetapi, kekecualian-
kekecualian ini akan lemah daya berlakunya terhadap perjanjian yang wajib dibuat
secara tertulis, atau dengan akta otentik. Kekecualian-kekecualian terhadap doktrin
pembuktian lisan ini adalah terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Jika kesepakatan sebelumnya tersebut mengenai subjek yang berbeda.
2. Jika kesepakatan sebelumnya tersebut tidak bertentangan atau tidak
memodifikasi perjanjianyang dibuat belakangan.

93
3. Jika kesepakatan sebelumnya tersebut dimaksudkan untku menentukan
apakah perjanjian yang dibuat belakangan bersifat final dan eksklusif (total
integration).
4. Jika kesepakatan sebelumnya tersebut dibuat tertulis, sedangkan perjanjian
kemudiannya dibuat secara lisan. Dalam hal ini berlaku salah satu prinsip
hukum perjanjian yang menyatakan bahwa kesepakatan tertulis lebih tinggi
kedudukannya daripada kesepakatan lisan.
5. Jika kesepakatan sebelumnya tersebut dimaksudkan untuk membuktikan
adanya paksaan, penipuan dan kesilapan dari para pihak, atau hal-hal lain
yang menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
6. Jika kesepakatan sebelumnya hanya merupakan tambahan yang tetap
konsisten dengan perjanjian yang dibuat belakangan, kecuali jika perjanjian
yang dibuat belakangan tersebut bersifat final dan eksklusif (total
integration).
7. Jika kesepakatan sebelumnya tersebut dimaksudkan untuk membuktikan
bahwa perjanjian yang dibuat belakangan tidak secara akurat mencerminkan
kehendak para pihak.
8. Jika kesepakatan sebelumnya tersebut dimaksudkan untuk menafsirkan
bahasa kontrak yang tidak jelas atau kata yang ambiguitas.
9. Doktrin pembuktian lisan (parol evidence) tidak berlaku terhadap
kesepakatan (lisan atau tertulis) yang dibuat belakangan (subsequent
agreement), kecuali dalam perjanjian sebelumnya terdapat klausula merger
(merger clause) yang menyatakan bahwa perjanjian sebelumnya tersebut
bersifat eksklusif, atau jika terdapat klausula larangan modifikasi perjanjian
secara lisan (non-oral modification clause). Bahwa pada prinsipnya tidak
berlakunya doktrin pembuktian lisan terhadap kesepakatan yang dibuat
belakangan adalah didasarkan pada prinsip hukum perjanjian yang
menyatakan bahwa kesepakatan yang dibuat belakangan lebih tinggi
kedudukannya daripada kesepakatan terdahulu.
10. Jika terdapat perjanjian bersyarat, di mana syarat tersebut hanya dinyatakan
secara lisan. Dalam hal ini, selama syarat tersebut tidak mengubah isi
perjanjian (jadi hanya menambahkan saja), maka syarat tersebut masih dapat

94
dibenarkan, dengan alasan bahwa dari syarat tersebut terlihat bahwa
perjanjian tidak berbentuk integrasi total (tidak final).
11. Jika kesepakatan terdahulu, meskipun berhubungan dengan perjanjian yang
dibuat belakangan, tetapi perjanjian terdahulu tersebut mempunyai prestasi
balik (tegen prestatie) tersendiri. Misalnya, jika seseorang membeli sebuah
kapal motor dengan perjanjian tertulis, tetapi sebelumnya diperjanjikan juga
secala lisan bahwa bersamaan dengan pembelian tersebut, dengan
kesepakatan lisan dia membeli juga sebuah mesin cadangan dari kapal motor
tersebut dengan harta tertentu (sebagai prestasi balik), maka kesepakatan
lisan tersebut dapat diterima.

2.4.2. Doktrin Pengertian Jelas

Selanjutnya terdapat doktrin pengertian jelas, dimana yang dimaksud dengan


“Doktrin Pengertian Jelas” atau yang popular dengan istilah Plain Meaning Rule
adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa pengertian setiap kata atau kalimat
dalam perjanjian yang tertulis dengan bahasa yang jelas, lengkap dan tidak
ambiguitas tidak dapat dilakukan penafsiran lagi dan/atau tidak dapat ditambah
dengan bukti lain yang bersifat menambah atau bertentangan dengan bahasa dalam
kontrak yang sudah jelas itu. Dalam KUH Perdata, Doktrin Pengertian Jelas
sebagaimana yang terdapat dalam hukum kontrak ini diakui, seperti yang
dimaksudkan oleh Pasal 1342 KUH Perdata Indonesia88, yang menyatakan bahwa
manakala kata-kata dalam suatu perjanjian sudah jelas, maka tidaklah diperkenankan
untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran.
Akan tetapi, penerapan doktrin “pengertian jelas”ternyata mengandung
banyak masalah hukum, sehingga tidak bisa begitu saja diterapkan apa adanya.
Unsur “keadilan” dan “kepatutan” mengisyaratkan agar aplikasi doktrin “pengertian
jelas” meskipun berlaku tetapi tidak bisa sepenuhnya diberlakukan sehingga doktrin
ini akan berhadapan dengan berbagai pengecualian, meskipun pengecualian ini
masih dapat diperdebatkan berlakunya mengingat bahasa dalam Pasal 1342 KUH

88
Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya
dengan jalan penafsiran.

95
Perdata sudah begitu jelas bunyinya. Pengecualian-pengecualian yang patut
diberikan adalah sebagai berikut:
1. Diperkenankan penafsiran Sosiologis.
2. Diperkenankan penafsiran untuk memperjelas istilah.
3. Diperkenankan penafsiran yang disesuaikan dengan maksud para pihak.
4. Jika para pihak mempunyai maksud yang berbeda-beda, dianggap tidak ada
kata sepakat, sehingga tidak ada kontrak.
5. Berlaku doktrin konvensi pribadi (private convention).

Berikut ini penjelasannya untuk masing-masing kekecualian terhadap doktrin


“pengertian jelas”, yaitu sebagai berikut:
1. Diperkenankan penafsiran sosiologis
Penafsiran sosiologis masih pantas diberikan, meskipun bahasa dalam
kontrak sudah jelas bunyinya. Dengan demikian, penyesuaian kontrak dengan
kebiasaan setempat atau kebiasaan dalam perdaganan tertentu, seyogyanya
masih dapat diterima. Jika dalam suatu kontrak pembelian ribuan ayam, yang
diserahkan adalah anak ayam, padahal yang dimaksudkan oleh si pembeli
adalah ayam dewasa, maka kebiasaan setempat dapat memperjelasnya.
Sebab, apabila yang mau dibeli adalah ayam dewasa, cukup disebut dengan
istilah “ayam” saja (atau dengan istilah “ayam potong”), sedangkan apabila
yang ingin dibeli adalah anak ayam, maka biasanya dalam praktek dagang
dipakai istilah “anak ayam”. Karena itu, dengan perjanjian yang
menggunakan istilah “ayam” tersebut, yang harus diserahkan adalah ayam
dewasa (ayam potong), bukan anak ayam.

2. Diperkenankan penafsiran untuk memperjelas istilah


Meskipun bahasa dalam perjanjian sudah jelas, maka masih layak untuk
diperkenankan menggunakan interpretasi sekadar untuk memperjelas maksud
dari bahasa tersebut. Hal ini juga tidak dilarang oleh Pasal 1342 KUH
Perdata, karena Pasal 1342 tersebut hanya tidak membenarkan penafsiran
yang bertentangan dengan bahasa yang terdapat dalam perjanjian.

96
3. Diperkenankan penafsiran yang disesuaikan dengan maksud para pihak
Meskipun bertentangan dengan “doktrin pembuktian lisan” (parol evidence)
dan bertentangan pula dengan doktrin “Pengertian Jelas”, tetapi sampai batas-
batas tertentu masih patut dipertimbangkan tentang maksud yang sebenarnya
dari para pihak. Misalnya, jika untuk maksud tertentu agar pihak pesaing
bisnis tidak bisa mencuri rahasia dagangnya, maka dalam suatu perjanjian
jual beli dibuat tersamar dengan jalan masing-masing pihak mengartikan
setiap kata “beli” untuk kata “jual” dan mengartikan setiap kata “jual” untuk
kata “beli” meskipun hal tersebut tidak tertulis dalam perjanjian. Maka jika
suatu hari terjadi perselisihan di antara para pihak, maka maksud para pihak
yang sebenarnya (untuk menyamar) tersebut yang dimenangkan, dalam hal
ini dengan mengabaikan bahasa yang tertulis hitam putih dalam perjanjian.

4. Jika para pihak mempunyai maksud yang berbeda-beda dianggap tidak ada
kata sepakat, sehingga tidak ada kontrak
Akan tetapi, jika terjadi perbedaan penafsiran yang latent (bukan perbedaan
yang patent) di antara para pihak terhadap bahasa dalam perjanjian,
sedangkan perbedaannya cukup signifikan maka cukup wajar jika kata
sepakat yang sebenarnya di antara para pihak dianggap tidak pernah ada,
sehingga karenanya perjanjian pun dianggap tidak pernah ada, meskipun
bahasa yang dipergunakan dalam kontrak kelihatannya cukup jelas. Ambil
misalnya jika dalam perjanjian sewa kapal motor yang bernama “Raja Laut”,
tetapi ternyata si pemilik kapal laut memiliki 2 (dua) buah kapal motor yang
bernama “Raja Laut” dengan perbedaan ukuran yang sangat mencolok,
sedangkan dalam perjanjian tidak disebutkan kapal “Raja Laut” yang mana
yang akan disewa. Maka jika pada waktu perjanjian ditandatangani, yang
dimaksud dengan kapal “Raja Laut” oleh penyewa sebagai kapal yang besar,
sementara sebaliknya yang dimaksud oleh pemilik kapal adalah kapal yang
kecil, maka dalam hal ini cukup pantas jika dianggap tidak terjadi
kesepakatan yang sebenarnya (tidak ada kata sepakat), sehingga kontrak
dianggap tidak pernah ada (null and void), yakni batal demi hukum. Contoh
lain adalah jika terdapat kata-kata yang ambiguitas (memiliki lebih dari 1
(satu) arti), sedangkan para pihak dalam kontrak tersebut masing-masing

97
mengartikannya secara berbeda-beda, maka wajar jika dalam hal tersebut pun
dianggap tidak pernah ada kata sepakat, sehingga perjanjian menjadi batal
demi hukum.

5. Berlaku doktrin konvensi pribadi (private convention)


Sampai batas-batas tertentu berlaku doktrin “konvensi pribadi” (private
convention). Doktrin konvensi pribadi ini mengajarkan bahwa kontrak
merupakan suatu kesepakatan pribadi antara para pihak. Mereka dapat
menentukan apa yang mereka suka dalam kontrak. Mereka bebas, misalnya
menyebutkan menjual benda 10 (sepuluh) ton beratnya, padahal yang mereka
maksudkan adalah jual beli untuk 1 (satu) ton saja. Mereka dapat menulis
kata-kata dalam kontrak yang bertentangan dengan pengertian yang lazim
dalam masyarakat, asalkan kedua belah pihak setuju untuk itu. Karenanya,
penafsiran kontrak juga lebih mengikuti kehendak mereka daripada
mengikuti arti yang lazim dalam masyarakat.

Adapula penafsiran sosiologis, yaitu penafsiran suatu perjanjianyang lebih


dititiberatkan penyesuaiannya dengan kebiasaan dalam masyarakat dan situasi serta
kondisi di sekitar perjanjianyang bersangkutan. KUH Perdata juga secara tegas
menganut model penafsiran sosiologis ini, dengan menyatakan bahwa hal-hal yang
menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan
ke dalam perjanjian, meskipun dalam perjanjian tersebut tidak dengan tegas-tegas
dikatakan demikian. Lihat Pasal 1347 KUH Perdata.89
Namun demikian, penafsiran dengan memasukkan kebiasaan setempat
tersebut hanya pantas digunakan sekedar untuk memperjelas atau menambah
terhadap kontrak yang bersangkutan, bukan untuk menyimpang dari apa yang ditulis
dalam perjanjian.Tidak semua kebiasaan dalam perdagangan (trade usage) dapat
begitu saja dimasukkan ke dalam perjanjian atas dasar kewenangan untuk
menafsirkan perjanjian. Syarat-syarat yang pantas diberlakukan agar suatu kebiasaan
dapat masuk ke dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan harus telah dilakukan masyarakat secara berulang-ulang.

89
Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan
dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.

98
2. Kebiasaan yang berulang-ulang tersebut harus terus dilakukan masyarakat
secara serupa.
3. Kebiasaan tersebut sering dilakukan di tempat di mana perjanjian dibuat dan
atau dilaksanakan.
4. Kebiasaan harus popular (diketahui oleh masyarakat secara meluas).
5. Kebiasaan tidak boleh merugikan salah satu pihak.
6. Kebiasaan harus telah diketahui atau patut diketahui oleh para pihak ketika
perjanjian dibuat.
7. Kebiasaan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku.

2.4.3. Penafsiran Perjanjian Selain Kebiasaan

Untuk menafsirkan suatu perjanjian, di samping kebiasaan dalam praktek (trade


usage, custom), sering digunakan juga:
1. perjanjian lain yang sebelumnya pernah dilakukan sebelum dibuat perjanjian
yang mau ditafsirkan (course of dealing).
2. Yang dimaksudkan adalah pelaksanaan perjanjian yang dilakukan sesuai dengan
pelaksanaan perjanjian sebelumnya. Misalnya, jika istilah tertentu sudah pernah
digunakan dalam perjanjian sebelumnya antara pihak yang sama dengan
perjanjiankemudian, maka cara pelaksanaan perjanjian sebelumnya tersebut
dilakukan juga untuk perjanjian yang dibuat belakangan, meskipun isi
perjanjian belakangan tersebut tidak menyebutkan apa-apa tentang hal itu.
Rationale dari pemberlakuan penafsiran berdasarkan transaksi-transaksi
sebelumnya yang dilakukan oleh para pihak yang sama adalah bahwa ketika
menandatangani perjanjian yang kemudian dibuat, para pihak dalam suatu
understanding atau nuansa di bawah naungan perjanjian sebelumnya. Jadi, logis
jika mereka berpikir akan memberlakukan perjanjianyang sama dengan kontrak
sebelumnya.
3. Pelaksanaan yang sudah pernah dilakukan terhadap perjanjian yang ditafsirkan
tersebut (course of permformance).
4. Dalam hal ini hanya ada 1 (satu) perjanjian di mana pelaksanaan kontrak
tersebut diikuti model-model pelaksanaan sebelumnya terhadap hal yang
bersangkutan. Misalnya jika perjanjian tersebut memerlukan pelaksanaan

99
prestasi yang berulang-ulang seperti dalam hal pembayaran secara cicilan, maka
model pembayaran cicilan yang telah dilakukan dahulu dalam perjanjian yang
sama menjadi model cicilan selanjutnya.

Sesuatu hal yang menarik untuk disampaikan dalam paparan ini ternyata
hakim pun dapat memasukan klausula ke dalam perjanjian. Bagaimana hal nya jika
para pihak dalam perjanjian tidak menentukan sesuatu apa pun dalam perjanjian,
sedangkan untuk hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang dan kehendak para
pihak juga tidak jelas, tetapi para pihak saling bersengketa tentang hal tersebut.
Dapatkah dalam hal yang demikian hakim memasukkan klausulanya sendiri atas
pertimbangannya sendiri ke dalam perjanjian yang bersangkutan. Dalam hal ini,
berdasarkan prinsip bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan hukum tidak mengatur sesuatu perkara, maka hakim dapat
memasukkan klausulanya sendiri ke dalam perjanjian, baik dengan dalih penafsiran
perjanjian, atau dengan sebagai konsekuensi dari kata-kata “dengan mengadilinya
sendiri” atau dengan cara-cara lainnya. Misalnya, hakim dapat menentukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Suatu harga yang pantas.
2. Waktu yang pantas untuk pembayaran harga.
3. Waktu yang pantas untuk penyerahan benda.
4. Keharusan itikad baik dalam menjalankan prestasi.
5. Keharusan untuk tetap menjalankan bisnis dari salah satu pihak jika memang
hal tersebut dibutuhkan oleh pihak lain.
6. Terminasi perjanjian.
7. Larangan berkompetisi dengan pihak lain.
8. Dan lain-lain.

Klausula-klausula yang dimasukkan oleh hakim tersebut tetap mengikat para


pihak dan mempunyai kekuatan yang sama dengan isi dari perjanjian tersebut.
Meskipun ada golongan ahli hukum yang berpendapat sebaliknya, yakni yang
menyatakan bahwa pembuatan materi perjanjian bukan bisnis dari hakim.
Selanjutnya perlindungan konsumen merupakan salah satu prinsip hukum
yang berlaku dalam hubungan antara pihak produsen/pedagang dengan pihak

100
konsumen. Dalam hubungan dengan pihak konsumen, maka perjanjian baku yang
berat sebelah atau yang dibuat dengan cara-cara yang tidak layak dan bertentangan
dengan prinsip-prinsip perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam UU-PK.

2.4.4. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen

Prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam hubungannya dengan


eksistensi perjanjian baku adalah sebagaimana ditentukan oleh Pasal 18 UU-PK,
yang menyatakan bahwa dalam suatu kontrak baku dilarang dengan ancaman batal
demi hukum terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat, jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
9. Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat terbaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

101
Di samping itu, beberapa klausula lain yang biasa terdapat dalam perjanjian
yang sangat potensial untuk merugikan konsumen sehingga perlu diwaspadai, yaitu
klausula-klausula sebagai berikut:
1. Klausula yang menyatakan tidak melakukan pemberian garansi purnajual atas
barang yang dijual.
2. Klausula yang membatasi tanggung jawab jika terjadi wanprestasi terhadap
garansi purnajual atas barang yang dijual.
3. Klausula yang memaksakan proses beracara yang tidak layak.
4. Klausula yang menghilangkan tangkisan hukum terhadap pihak penerima
pengalihan hak (assignee).
5. Klausula penjaminan silang (cross collateral).
6. Pengalihan upah/gaji debitur kepada kreditur.

Berikut ini penjelasan dari masing-masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Klausula yang menyatakan tidak melakukan pemberian garansi


purnajual atas barang yang dijual
Sebagaimana diketahui bahwa ada kewajiban hukum tertentu bagi penjual
atas barang yang dijualnya itu, sehingga hal tersebut akan menjadi fair bagi
pihak pembeli. Misalnya, kewajiban menjamin tidak ada cacat yang
tersembunyi atau kewajiban memberikan garansi (warrantee). Dengan
demikian, jika ada klausula dalam kontrak baku yang membebaskan pihak
penjual (terutama penjual barang baru) dari kewajibannya untuk memberikan
garansi purnajual, maka klausula tersebut tidak dapat dibenarkan.

2. Klausula yang membatasi tanggung jawab jika terjadi wanprestasi


terhadap garansi purnajual atas barang yang dijual
Sama tidak layaknya dengan klausula yang meniadakan garansi purnajual
adalah klausula yang membatasi tanggung jawab jika terjadi wanprestasi
terhadap garansi purnajual, terutama jika pembatasan tanggung jawab
tersebut tidak layak dilakukan. Jadi, pembatasan yang masih layak tentu
boleh-boleh saja dilakukan, misalnya pembatasan garansi purnajual hanya
untuk suatu waktu tertentu yang layak dalam arti tidak terlalu pendek masa
garansinya. Dalam praktek, untuk barang-barang yang bisa bertahan lama,

102
maka pembatasan garansi purnajual untuk jangka waktu 1 (satu) tahun masih
dianggap wajar dan biasa dilakukan.

3. Klausula yang memaksakan proses beracara yang tidak layak


Proses beracara yang layak merupakan keharusan dalam setiap segmen
hukum, tidak terkecuali hukum perjanjian, karena hanya dengan suatu proses
beracara yang layaklah suatu keadilan dapat diharapkan akan didapati oleh
kedua belah pihak. Dengan demikian, setiap usaha untuk menghilangkan atau
menghalang-halangi proses beracara yang tidak layak akan dilarang oleh
hukum, karena itu akan bertentangan dengan prinsip beracara secara fair (due
process of law).

Dalam suatu perjanjian baku, sering juga terdapat klausula yang bertujuan
menghalang-halangi terwujudnya suatu proses beracara yang fair. Misalnya
klausula yang membenarkan salah satu pihak untuk mengeksekusi sendiri
barang jaminan hutang atau memprosesnya ke pengadilan tanpa sama sekali
pemberitahuan atau tanpa kesempatan pembelaan bagi pihak lainnya.

4. Klausula yang menghilangkan tangkisan hukum terhadap pihak


penerima pengalihan hak (assignee)
Jika terjadi pengalihan hak tagih dari kreditur kepada pihak ketiga, maka
pihak yang menerima hak tagih tersebut menggantikan posisi kreditur
semula. The assignee stands in the shoes of the assignor. Karena itu, bagi
pihak debitur, hak apa pun yang dimilikinya terhadap pihak kreditur, berlaku
juga baginya terhadap pihak yang menerima pengalihan hak.

Berdasarkan prinsip hukum tersebut, maka tidak dapat dibenarkan jika ada
klausula dalam perjanjian baku yang hanya membenarkan debitur untuk
mempertahankan haknya hanya terhadap pihak kreditur, dan tidak dapat
mempertahankan haknya terhadap pihak penerima pengalih hak.

5. Klausula penjaminan silang (cross collateral)


Adalah hal yang normal manakala penjual suatu barang menjadikan barang
tersebut sebagai jaminan hutang (misalnya melalui sistem reservasi
kepemilikan), sehingga jika barang tersebut tidak terbayar atau tidak lunas

103
terbayar pada saat yang dijanjikan, maka barang tersebut diambilnya
(reposses) kembali. Yang tidak wajar adalah dalam hal jual beli tersebut ikut
dijaminkan juga barang-barang lain di samping barang objek jual beli
tersebut. Misalnya, ketentuan dalam perjanjian baku yang menyatakan bahwa
yang menjadi jaminan hutang adalah barang-barang yang dibeli dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun, padahal pembelian dilakukan secara terus-menerus
hampir tiap bulan oleh pihak pembeli, sehingga terdapat beberapa jaminan
hutang (beberapa barang) untuk pembelian 1 (satu) barang.

6. Pengalihan upah/gaji debitur kepada kreditur


Adalah juga dianggap tidak layak sehingga perlu dilarang oleh hukum
manakala terdapat ketentuan dalam suatu perjanjian baku terdapat ketentuan
bahwa yang menjadi jaminan terhadap pembayaran hutang dari pihak debitur
adalah seluruh atau sebagian dari gaji atau upah yang akan diterima oieh
pihak debitur, Meskipun hal yang demikian kadang-kadang dilakukan juga
dalam praktek, hal yang demikian akan sangat memberatkan pihak debitur,
dengan asumsi bahwa seseorang tidak dapat hidup tanpa menerima upah atau
gaji, terutama jika gaji/upah merupakan satu-satunya penghasilan tetap dari
debitur tersebut.

Yang merupakan sumber malapetaka dari suatu perjanjian baku adalah


terdapatnya beberapa klausula dalam perjanjian tersebut, klausula mana sangat
memberatkan salah satu pihak. Klausula berat sebelah ini dalam bahasa Belanda
disebut dengan onredelijk bezwarend, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
unreasonably onerous. Salah satu klausula berat sebelah tersebut adalah apa yang
disebut dengan “klausula eksemsi” (exemption clause), yang dalam bahasa Belanda
disebut dengan istilah exoneratie clausule. Yang dimaksud dengan klausula eksemsi
adalah suatu klausula dalam perjanjian yang membebaskan atau membatasi tanggung
jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi, padahal menurut hukum,
tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.
Secara yuridis-teknis, syarat eksemsi dalam suatu kontrak biasanya dilakukan
melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut:

104
1. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajiban-
kewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak.
Misalnya, dilakukan melalui upaya perluasan pengertian force majeure
(keadaan darurat).
2. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat\hukum
karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar, misalnya, pengurangan atau
penghapusan ganti kerugian jika terjadi wanprestasi dari salah satu pihak
dalam perjanjian.
3. Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak
dalam perjanjian. Misalnya, tanggung jawab salah satu pihak, tetapi
dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian kepada pihak ketiga
yang berada di luar perjanjian.

Berikut ini beberapa contoh dari klausula eksemsi, yaitu sebagai berikut: (Sutan
Remi Sjahdeini, 1993:75).
Contoh 1:
Normandy Ferries shall not liable for the death of or any injury, damage, or loss,
delay or accident to passengers, their apparel or baggage, whensoever,
wheresoever and howsoever caused and whether by negligence of their servants
or agents or by unseaworthiness of the vessel (whether existing at the time of
embarkation or sailing or at any other time) or otherwise. Normandy Ferries
may in its absolute discretion and without any liability whatsoever alter the ports
of embarkation or disembarkation and time of sailing and arrival, change the
route, call any port whatsoever without previous notice to the passengers. A
passenger accepts that Normandy Ferries give no condition or warranty express
or implied that the vessel used for carriage is fit for the carriage of passengers,
their baggage or accompanied vehicles.

Contoh 2:
Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apa pun juga yang
ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk
segala kelambatan datang penumpang dan/ atau kelambatan penyerahan bagasi.

105
Contoh 3:
Semua tuntutan ganti kerugian haruss dapat dibuktikan besarnya kerugian yang
diderita. Tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi
ditetapkan sejumlah maksimum Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per kilogram.

Contoh 4:
This agreement contains all the terms and conditions under which I agree to
purchase the machine specified above and any express or implied condition,
statement or warranty statutory or otherwise, not stated herein is hereby
excluded.

Ada saran dari Departemen Kehakiman negeri Belanda untuk menghadapi klausula-
klausula eksemsi dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut:
1. Membuat undang-undang yang bersifat hukum memaksa yang melarang
penggunaan klausula eksemsi. Di Belanda, hal tersebut misalnya terlihat
dalam undang-undang tentang Sewa Beli atas Benda Tidak Bergerak
(Huurkoop Onroerend Goed).
2. Memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mengesahkan klausula
eksemsi atas permintaan dari pihak yang berkepentingan.
3. Dibukanya kemungkinan oleh undang-undang untuk keikutsertaan
organisasi-organisasi konsumen dalam rangka perundingan-perundingan
dengan pihak yang membuat perjanjian dengan klausula eksemsi.
4. Undang-undang memberikan kewenangan kepada ombudsman konsumen
untuk mengajak pihak-pihak untuk mengubah klausula-klausula eksemsi
dalam perjanjian-perjanjian. Jika pihak pengusaha menolak perundingan
tersebut, ombudsman dapat memprosesnya secara hukum lewat
pengadilan khusus, seperti Pengadilan Marknadsdomtol di Swedia.
(W.M.Kleyn, 1978:175).

106
BAB III
METODOLOGI KAJIAN

3. 1. Kerangka Pikir

Dalam perkembangan kebijakan ekonomi di era globalisasi ini lahir berbagai


pemikiran-pemikiran baru yang mewarnai dan menjembatani bidang ekonomi dan
bidang hukum. Sejalan dengan Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia yang diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979 oleh
Prof. Padmo Wahjono, S.H., yang berjudul Indonesia ialah Negara yang Berdasar
atas Hukum, beliau menyatakan sebagai berikut:

Bahwa suatu negara sebaiknya berdasar atas hukum didalam segala hal
ihwalnya, yang sudah didambakan semenjak Plato dengan “Nomoi-nya” E.
Kant dengan negara hukum (formil-nya), J. Stahl dengan negara hukum
(materialnya) maupun Dicey dengan “Rule of Law”-nya.
Pemahaman tentang Indonesia sebagai negara yang legistis dan dogmatis dalam
pranata hukum memiliki konsekuensi logis bahwa dalam rangka menunjang
kepastian hukum dibidang perekonomian bangsa, yang bertujuan untuk lebih
meningkatkan laju perekonomian negara dalam implementasinya memerlukan
perangkat peraturan perundang-undangan guna mengawalnya. Tidak lain artinya
negara sebagai regulator memiliki peran penting untuk memastikan bahwa kegiatan
perdagangan yang berlangsung di Indonesia merupakan aktivitas-aktivitas
perdagangan yang tidak melanggar ataupun bertentangan dengan hukum.
Kegiatan perdagangan dengan berbagai macam variabelnya tersebut ternyata
dapat dilakukan pemilahan-pemilahan, berkenaan dengan lingkup kategorisasi
transaksinya menurut hukum, yang secara umum dibedakan dalam kategori transasi
legal maupun ilegal. Lembaga eksekutif melalui departemen pelaksananya dalam hal
ini Departemen Perdagangan merupakan salah satu lembaga yang memiliki peran
penting dalam melakukan kendali maupun pengawasan terhadap transaksi maupun
dinamika perdagangan yang berkembang.
Transaksi jual beli rumah merupakan transaksi yang bersifat umum
dikarenakan rumah termasuk sebagai kebutuhan primer manusia. Meskipun demikian
ternyata dalam perkembangannya terdapat praktek-praktek yang mengarah pada
penyimpangan yang berorientasi pada kepentingan pelaku usaha. Kedudukan

107
dominan pelaku usaha dan kekurangpahaman konsumen merupakan faktor yang
menjadikan praktek penyimpangan ini tumbuh subur dan terus berkembang. Secara
prinsip jual beli rumah tersebut tidak bermasalah, tetapi akan lain halnya bilamana
instrumen yang dipergunakan dalam transaksi jual beli rumah dimaksud ternyata
disalahgunakan melalui pengaturan pasal-pasalnya.
Prinsip kebebasan berkontrak yang lahir dari diperkenalkannya paham
ekonomi klasik laissez-faire atau persaingan bebas memiliki suatu pemahaman
bahwa kedudukan antara para pihak dalam perjanjian dimaksud memiliki kedudukan
yang seimbang. Namun demikian dalam perkembangannya kedudukan yang
seimbang ini tidak dapat selamanya dipertahankan, yaitu dikarenakan salah satu
pihak, yang berkedudukan dominan, telah memiliki sebuah format perjanjian baku.
Format perjanjian baku dimaksud didalamnya terdapat klausula baku dan pihak yang
akan mengadakan perjanjian dengan si pelaku usaha tersebut tidak difasilitasi dengan
forum perundingan untuk dilakukannya perubahan ataupun penyesuaian terhadap
klausula-klausula yang terdapat dalam format perjanjian baku dimaksud. Menurut
konsep Laissez-faire, individu harus diberikan kebebasan untuk menetapkan
langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan yang
seoptimal mungkin. Jika individu berhasil mencapai kesejahteraan, masyarakat yang
merupakan kumpulan individu tersebut akan sejahtera pula. Dalam mencapai
kesejahteraan ekonomi individu harus mempunyai kebebasan dan raja serta
pejabatnya tidak boleh campur tangan. seiring dengan perkembangan Laissez-faire
tersebut, freedom of contract, merupakan suatu prinsip umum yang mendukung
persaingan bebas.90
Pada tatanan perspektif lainnya pencantuman klausula baku telah lazim
dipergunakan dalam pembuatan perjanjian oleh para pelaku usaha (produsen), yaitu
dengan tujuan untuk pemasaran barang secara masal, agar produk dapat segera
dipasarkan tanpa adanya hambatan yang dikarenakan belum terdapatknya kata
sepakat. Seperti halnya untuk perjanjian jual beli rumah yang perjanjiannya telah

90
Prinsip kebebasan berkontrak berakar dari hukum alam yang kemunculannya bersama dengan
lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez-fare atau persaingan bebas. kedua paham
ini berpendapat umumnya individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan bagaimana
cara mencapainya. Kemampuan tersebut diperoleh karena manusia mempergunakan akalnya.

108
dipersiapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha, yang didalamnya telah
dipersiapkan klausula-klausula baku. Pada implementasinya perjanjian baku selain
bertujuan untuk mempermudah transaksi tetapi dilain pihak berpotensi untuk
menimbulkan berbagai permasalahan, yang salah satunya dikarenakan kedudukan
yang tidak seimbang antara para pihak dimaksud.
Penelitian ini sebenarnya menekankan pada implikasi yuridis dan
perlindungan hukum bagi konsumen sebagai pihak dalam sebuah perjanjian baku
pada transaksi jual beli rumah, khususnya yang didalamnya terdapat klausula-
klausula baku yang berpotensi sangat merugikan konsumen.Penelitian ini juga
bersifat normatif kualitatif terhadap aplikasi transaksi jual beli dan terhadap klausula
baku yang berat sebelah dan merugikan konsumen. Selain daripada itu penelitian ini
memiliki korelasi telaah terkait dengan peran dan hubungan yang terjadi antara
pelaku usaha, konsumen dan regulator dalam rangka menciptakan harmonisasi dan
penegakan kepastian hukum.

3.2. Kerangka Alur Pikir


Kerangka alur pikir ini merupakan pedoman bagi tim dalam memposisikan
pokok bahasan yang disajikan dalam sebuah struktur khusus. Melalui struktur inilah
titik tolak pelaksanaan penelitian yang lebih menekankan pada suatu bentuk
penyamaan presepsi, sehingga dalam hasil maupun luaran kajian ini akan
memberikan informasi sesuai dengan yang diharapkan maupun direncanakan
sebelumnya.

109
KERANGKA ALUR PIKIR:

Identifikasi
klausula baku
Perjanjian yang melanggar
TRANSAKSI baku ketentuan UU-
JUAL BELI PK Pa. 18 &
RUMAH Batasan terhadap
Klausula Pasal 1338
baku Inventarisasi KUHPer
Kepentingan
Penggunaan
Pelaku Usaha
klausula
PPJB OBJEK Baku yang
rumah PENELITIAN dilarang REKOMENDASI
Kepentingan (Pasal 18
Konsumen UU-PK)

Konsumen Pelaku usaha


Kitab Undang- UU-PK
Undang
Hukum Regulator
Perdata

110
3.3. Metode Analisis Data

Metode analisis yang akan digunakan dalam kajian ini akan didasarkan pada
tujuan dan manfaat kajian. Untuk menjawab tujuan pertama penelitian, yakni
mengidentifikasi penyimpangan terhadap ketentuan pasal 18 UU-PK tentang
klausula baku khususnya di bidang perumahan, akan dilakukan wawancara
mendalam (depth interview) dan analisis isi (content analysis) terhadap dokumen-
dokumen PPBJ yang didapatkan dari responden pelaku usaha dan terhadap rekaman
wawancara mendalam dengan para pelaku usaha, lembaga pendukung, serta instansi
terkait.
Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian dengan cara
melakukan analisis terhadap isi dari suatu dokumen (bisa dokumen tertulis, audio,
maupun visual) untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan
sahih dengan memperhatikan konteksnya. (Klaus Krippendorff:1993). Analisis isi
memiliki 4 (empat) prinsip, yakni:
a. Prinsip Sistematik, bahwa ada perlakuan prosedur yang sama pada semua isi
yang dianalisis.
b. Prinsip Obyektif, hasilnya tergantung pada prosedur penelitian bukan pada
orangnya.
c. Prinsip Kuantitatif, mencatat nilai-nilai bilangan atau frekuensi untuk
melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan.
d. Isi yang nyata, yang diteliti dan dianalisis hanyalah isi yang tersurat, yang
tampak, bukan makna yang dirasakan oleh si peneliti.

Untuk menjawab tujuan kedua penelitian, yakni mengidentifikasi pemahaman


konsumen terhadap eksistensi klausula baku dan dampaknya pasca penandatanganan
perjanjian pengikatan jual beli di bidang perumahan, akan dilakukan penelitian
survei (survey research) kepada responden konsumen. Hasil dari survey tersebut
akan dianalisis secara deskriptif baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu,
akan dilakukan analisis chi-square terhadap jawaban responden untuk menguji
kesamaan (atau perbedaan) jawaban responden berdasarkan variabel demografi
responden (yakni variabel jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, serta jenis
pekerjaan).

111
Analisis Chi Square adalah alat analisis statistik inferensial yang dapat
dilakukan untuk menguji hipotesis tentang variansi populasi. Chi square dapat
dilakukan untuk menguji perbedaan nilai (yang bersifat non metrik) atas lebih dari
dua kelompok sampel (yang bersifat independen satu sama lain) berdasarkan
distribusi chi-square. Distribusi chi-square adalah jumlah dari kuadrat variabel acak
normal terstandar dengan rumusan (z1)2+(z2)2+(z3)2, dan seterusnya. Nilai Chi-square
yang diperoleh akan dipergunakan untuk menentukan apakah H0 (yakni tidak adanya
perbedaan antar kelompok yang diteliti) dapat diterima atau ditolak.
Untuk menjawab tujuan ketiga penelitian, yakni memberikan bahan-bahan
masukan bagi regulator terkait dengan dinamika dan perkembangan transaksi di
bidang perumahan dalam konteks perlindungan konsumen, tim peneliti akan
melakukan analisis expert judgement bersama-sama dengan panel tenaga ahli hukum
perjanjian perikatan jual beli atas hasil analisa atas jawaban tujuan pertama dan
kedua dari penelitian ini.

3.4. Jenis Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Data dan informasi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ini meliputi
data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden konsumen rumah,
para pelaku usaha properti, lembaga pendukung, serta instansi terkait. Kajian
Klausula Baku akan dilakukan di 9 (sembilan) daerah penelitian yaitu DKI Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, Makssar dan Batam.
Pemilihan daerah didasarkan dengan pertimbangan bahwa lokasi kajian merupakan
daerah yang berkembang untuk pembangunan perumahan komersial. Responden
survei akan meliputi pelaku usaha (properti), konsumen baik yang pernah melakukan
pengaduan maupun konsumen yang membeli secara kredit perumahan, instansi dan
lembaga-lembaga lain yang terkait dengan kajian klausula baku di bidang
perumahan.

112
Tabel 3.1.
Target Responden Di Daerah Kajian

Responden

No Daerah Total
Pelaku Lembaga
Konsumen Instansi Terkait
usaha/properti Pendukung

1 DKI Jakarta 3 25 25

2 Bogor 3 25 25

3 Depok 3 25 25

4 Tangerang 3 25 25

5 Bekasi 3 25 25

6 Surabaya 3 25 25

7 Bandung/Medan 3 25 25

8 Batam 3 25 25

9 Makassar 3 25 25

Total responden 27 225 225

Responden konsumen akan diperoleh dengan metode survey. Informasi yang


akan digali dari responden konsumen ditunjukkan pada Tabel 3.3.1. Indikator-
indikator tersebut menggunakan format pertanyaan essay, pertanyaan semi-terbuka
dengan pilihan jawaban dengan skala nominal, dan pertanyaan semi-terbuka dengan
pilihan jawaban dengan skala semantic differential.

113
Tabel 3.2.
Jenis Informasi yang akan digali pada Responden Konsumen

Skala yang
No Jenis Informasi
digunakan

1 Tempat Dan Waktu Penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli skala nominal


(PPJB)

2 Informasi tentang jenis rumah yang dibeli dan metode pembeliannya skala nominal

3 Perilaku saat menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB), skala nominal

4 Pengetahuan Subyektif mengenai Jual Beli Rumah semantic differential


scale

5 Pengetahuan dan pemahaman tentang Perjanjian Pengikatan Jual-Beli skala nominal


(PPJB)

6 Pengetahuan dan pemahaman tentang klausula baku dalam Perjanjian skala nominal
Pengikatanan Jual-Beli (PPJB)

7 Dampak yang timbul karena penerapan klausula baku skala nominal

8 Permasalahan yang pernah dihadapi terkait dengan Perjanjian pertanyaan essay


Pengikatan Jual Beli

9 Identitas (terkait dengan demografi) responden skala nominal

Catatan:
2. Skala nominal adalah skala dimana jawaban responden bersifat sama-tingkat.
Tidak ada peringkat yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam skala ini.
3. Skala semantic differential adalah skala yang meminta responden konsumen
memberikan tanggapan atas pernyataan dengan pilihan 7 skala interval dalam
rentang nilai negatif ke positif.

Dokumen-dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) juga merupakan


data sekunder yang akan diteliti dengan metode analisis isi. Beberapa data yang perlu
dikumpulkan adalah seperti Tabel 3.3.

114
Tabel 3.3.
Pengujian Data Sekunder dengan Metode Analisis Isi

Tujuan Penelitian Metode Sumber Data

Mengidentifikasi - Mengiventarisasi PPJB Sekunder dan Primer


penyimpangan-penyimpangan perumahan yang terkait
terhadap ketentuan pasal 18 klausula baku
UU-PK tentang klausula baku
khususnya di bidang perumahan - Menganalisis klausula baku
dalam PPJB dengan Pasal 18
UU-PK dengan analisis
content melalui expert
judgment.

Mengidentifikasi pemahaman - Apresiasi/kesadaran - Primer (konsumen &


konsumen terhadap eksistensi konsumen diukur property)
klausula baku dan dampaknya berdasarkan skala nominal, - Sekunder (website, dit PK,
pasca penandatanganan ordinal dan interval Dit Pengawasan,
perjanjian pengikatan jual beli (semantic differential scale). Kementerian Perumahan
di bidang perumahan
- Faktor-faktor demografi rakyat; YLKI BPSK, DLL)
dianalisis dengan chi-square dan Primer (konsumen &
properti)
- Inventarisasi permasalahan
(keluhan) konsumen di
bidang perumahan (data
sekunder & primer)-
Identifikasi permasalahan
konsumen yg berkaitan
dengan klausula baku
(SPPJB). Dilakukan analisis
deskriptif/tabulasi untuk
melihat keluhan apa yang
dominan (%)
- Catatan: data primer
digunakan kuesioner dan
wawancara

Memberikan bahan-bahan - Hasil analisis (sintesa) dari Hasil analisis (1) dan (2)
masukan bagi regulator terkait (1) dan (2) untuk
dengan dinamika dan merumuskan usulan konsep
perkembangan transaksi di klausula baku dibidang
bidang perumahan dalam perumahan melalui expert
konteks perlindungan judgment
konsumen.

3.5. Teknik Penarikan Sampel


Responden konsumen akan diperoleh dengan menggunakan teknik sampling
purposif dengan kriteria di 9 daerah dengan kriteria sampel tertentu, yakni responden

115
yang membeli perumahan langsung dari pengembang (developer) dan terlibat secara
langsung dalam melakukan perikatan perjanjian dalam kurun waktu paling lama 5
tahun terakhir.
Secara detail kajian klausula baku ini dilakukan melalui 4 (empat) tahapan
kegiatan dan tiap tahapan menghasilkan keluaran seperti terlihat dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.4.
Tahapan Kegiatan/Modul Kajian
Tahapan Kegiatan Keluaran
Tahap 1 • Mengumpulkan data dari instansi terkait • Gambaran peraturan klausula
Pengumpulan Dept Perdagangan (Dit. Pengawasan dan baku
data sekunder Dit PK) , Kementerian Perumahan Rakyat, • Gambaran masalah klausula baku
BPKN • Inventarisasi PPJB
• Mempelajari UU KUH Perdata, UU-PK, • Daftar responden
Kepmenperindag Nomor • Daftar Kelembagaan
634/MPP/Kep/2002, Kepmen Perumahan • ROP & Kuesioner
N0 9/1995
• Tinjauan pustaka /kerangka teori
• Identifikasi masalah
• Menyiapkan ROP dan Kuesioner

Tahap 2 • Survai awal dilakukan di daerah • Identifikasi PPJB


Pengumpulan Jabodetabek • Persepsi aparat pemerintah,
data primer • Dilanjutkan ke 4 daerah (Surabaya, pelaku usaha dan konsumen
Makassar, Batam dan Bandung) terhadap klausula baku
• Responden kajian: • Kondisi pelaksanaan pengawasan
& permasalahannya
1. Dinas Perindag • Usulan/tanggapan dari
2. BPSK pelaksana,pelaku usaha dan
3. LPKSM konsumen
4. YLKI • Laporan Pendahuluan
5. Pelaku usaha
6. Konsumen

Tahap 3 • Menganalisis hasil tahap 1 dan tahap 2 • Analisis kondisi dan


Pengolahan data untuk dianalisis dan merumuskan bahan permasalahan
dan Analisis masukan • Rumusan bahan masukan
• Laporan Sementara

Tahap 4 • Workshop • Laporan akhir


Penyusunan • Validasi hasil melalui diskusi dengan nara
laporan sumber yang kompeten dlm bidang
pengawasan
• Workshop
• Finalisasi laporan

116
BAB IV
PENERAPAN KLAUSULA BAKU DI BIDANG PERUMAHAN

Pembangunan dan perkembangan perekonomian nasional telah menghasilkan


berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan
globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
telekomunikasi kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa.
Akhirnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat
bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen. Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku
usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang
lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya oleh pelu usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan
perjanjian baku yang merugikan konsumen.

4.1. Inventarisasi Klausula Baku di Bidang Perumahan (sumber PPJB) yang


Bertentangan dengan UU-PK

Pada bagian ini akan menguraikan beberapa temuan hasil survey ke lapangan,
khususnya terhadap dokumen-dokumen yang didalamnya memuat klausula-klausula
baku yang diluar berdasarkan ketentuan Pasal 18 UU-PK. Berikut ini adalah
beberapa sampel klausula-klausula baku yang berhasil diinventarisasi antara lain
sebagai berikut:
1. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa, atas hutang
yang diakui tersebut, Pihak Pertama menetapkan biaya administrasi kepada
Pihak Kedua sebesar 14% per tahun Flat.

2. Selama Pihak Kedua mempunyai tunggakan hutang, maka setiap setoran


Pihak Kedua kepada Pihak Pertama akan diperhitungkan lebih dahulu oleh
Pihak Pertama sebagai pembayaran tunggakan biaya administrasi dan
selebihnya baru diperhitungkan sebagai angsuran hutang pokok.

117
3. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa pengikatan
jual beli dalam akta ini menjadi batal demi hukum apabila Pihak Kedua tidak
memenuhi kewajibannya untuk membayar harga tanah dan bangunan
sebagaimana tercantum dalam akta ini dan atau Pihak Kedua melalaikan
kewajibannya untuk membayar angsuran bulanannya sebagaimana disepakati
selama 3 (tiga) kali angsuran baik berturut-turut maupun tidak dalam satu
tahun takwim sehingga untuk itu Pihak Kedua telah mendapat surat
peringatan terakhir dari Pihak Pertama.
4. Dengan batalnya akta ini, maka para pihak sepakat untuk melepaskan
ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPER, dan untuk itu Pihak Kedua
mengikatkan diri untuk mengosongkan tanah dan bangunan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai tanggal perintah dari
Pihak Pertama tanpa syarat-syarat dan ganti rugi apapun juga oleh Pihak
Pertama kepada Pihak Kedua.
5. Dalam hal pengosongan tanah dan bangunan tersebut di atas, Pihak Pertama
berhak untuk meminta bantuan dari pihak yang berwenang guna
mengeluarkan Pihak Kedua dan mengosongkan tanah dan bangunan tersebut,
dan untuk itu Pihak Kedua menyatakan melepaskan haknya untuk meminta
bantuan dari instansi manapun juga mengenai pengosongan itu.
6. Para Pihak sepakat bahwa dengan batalnya akta ini, Pihak Pertama tidak
diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah dilakukan oleh
Pihak Kedua dan dianggap sebagai sewa tanah dan bangunan, sehingga Pihak
Kedua baik sekarang maupun dikemudian hari melepaskan Pihak Pertama
dari segala tuntutan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut baik secara
pidana maupun perdata, dan Pihak Pertama berhak untuk menjual kembali
tanah dan bangunan tersebut kepada pihak lainnya.
7. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa selain
ketentuan dan syarat yang ditentukan dalam akta ini, Pihak Kedua juga
menerima baik segala ketentuan dan syarat yang telah disepakati dan
ditandatangani sebelum akta ini dibuat. Dan juga menerima baik ketentuan
dan syarat yang mungkin timbul dikemudian hari yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dengan akta perjanjian ini.

118
8. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran angsuran tersebut diatas maka
Pihak Kedua dikenakan denda keterlambatan sebesar 0,25% (dua setengah
persen) per hari keterlambatan dari pembayaran yang jatuh tempo yang atas
denda mana harus dibayarkan sekaligus lunas bersamaan dengan pembayaran
angsuran berikutnya.
9. Apabila Pihak Kedua selama 3 bulan berturut-turut tidak melakukan
kewajibannya membayar angsuran sebagaimana yang telah ditetapkan di atas
maka Pihak Kedua dengan ini sekarang juga untuk nanti pada saatnya
menyetujui dan juga memberi kuasa kepada Pihak Pertama untuk
membatalkan Perjanjian dan dalam hal terjadi demikian (pembatalan) Pihak
Kedua menyatakan dengan ini sekarang juga untuk nanti pada saatnya
melepaskan haknya atas persil tersebut dan karenanya persil tersebut
sepenuhnya menjadi hak dan milik Pihak Pertama dari Pihak Kedua akan
dikembalikan kepada Pihak Kedua setelah dikurangi 50% dari seluruh uang
yang diterima oleh Pihak Pertama dan akan dikembalikan setelah Persil
tersebut terjual kepada pihak ketiga.
10. Pihak Kedua wajib dalam waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak
diterimanya pemberitahuan secara tertulis dari pihak pertama tentang
pembatalan tersebut menyerahkan Persil dalam keadaan kosong dan
terpelihara baik kepada Pihak Pertama jika Pihak Kedua dalam waktu yang
ditetapkan tersebut tidak juga memenuhi kewajibannya, maka Pihak Kedua
menyatakan dengan ini sekarang juga untuk nanti pada saatnya memberi
kuasa kepada Pihak Pertama untuk mengosongkan dan mengambil alih Persil
tersebut dari penguasaan Pihak Kedua atau pihak lain yang menguasai Persil
tersebut, jika perlu dengan bantuan pihak yang berwajib dan seluruh biayanya
menjadi tanggungan dan harus dibayar oleh Pihak Kedua.
11. Pada saat bangunan atas persil selesai didirikan dan syarat-syarat untuk serah
terima telah dipenuhi oleh Pihak Kedua, maka dalam waktu selambat-
lambatnya 7 hari terhitung sejak selesainya bangunan, Pihak Kedua wajib
untuk meminta Memorando (surat pengantar) untuk serah terima bangunan.
Serah terima bangunan hanya dapat dilaksanakan selambat-lambatnya 10 hari
terhitung sejak tanggal Memorando tersebut di atas. Apabila serah terima

119
dilaksanakan melebihi jangka waktu termaksud di atas maka Pihak Kedua
tidak berhak atas pemeliharaan bangunan yang diatur dalam Pasal 5
Perjanjian ini.
12. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat bahwa apabila terjadi pembatalan
Perjanjian ini, Namun Akad Kredit Belum dilaksanakan maka akan berlaku
ketentuan sanksi dalam Pasal 2 ayat 3 di atas kecuali pembatalan Perjanjian
diakibatkan penolakan permohonan KPR oleh Bank maka uang muka akan
dikembalikan setelah dipotong 7% dari Harga Persil.
13. Apabila pembatalan Perjanjian ini terjadi setelah Akad Kredit, sementara
penandatanganan Akta Jual Beli Belum dilaksanakan dan Pihak Kedua tidak
dapat memenuhi ketentuan seperti yang dimaksud dalam ayat 1.3. tersebut
diatas, maka Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa
Persil tersebut merupakan hak Pihak Pertama, dan Pihak Kedua
membebaskan pihak Pertama dari segala tuntutan atau gugatan dari pihak
manapun termasuk Pihak Kedua sendiri.
14. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam Perjanjian ini merupakan bagian yang
penting dan tidak terpisahkan dari persesuaian yang dimaksud dalam
Perjanjian ini, yang jika tidak dengan adanya kuasa-kuasa mana, persesuaian
ini niscaya tidak dilangsungkan dan karenanya kuasa-kuasa tersebut tidak
dapat ditarik kembali dan tidak akan berakhir disebabkan oleh hal-hal yang
dimaksud dalam pasal 1813 KUH Perdata.
15. Jika Pihak Kedua lalai melaksanakan kewajibannya untuk membayar
angsuran yang telah diuraikan tersebut diatas pada waktu yang telah
ditentukan maka Pihak Kedua dikenakan denda keterlambatan sebesar 2%o
(dua perseribu) untuk tiap hari keterlambatan dari jumlah angsuran yang
menunggak.
16. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa pengikatan jual
beli dalam akta ini menjadi batal demi hukum apabila Pihak Kedua tidak
memenuhi kewajibannya menurut akta ini menjadi batal demi hukum apabila
Pihak Kedua tidak memenuhi kewajibannya menurut akta ini.
17. Dengan batalnya akta ini, maka para pihak sepakat untuk melepaskan
ketentuan pasal 1266 dan pasal 1267 KUHPER dan untuk itu Pihak Kedua

120
mengikatkan diri untuk mengosongkan tanah dan bangunan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai tanggal perintah dari
Pihak Pertama tanpa syarat syarat dan ganti rugi apapun juga oleh Pihak
Pertama kepada Pihak Kedua.
18. Dalam hal pengosongan Tanah dan Bangunan tersebut diatas Pihak Pertama
berhak untuk meminta bantuan dari pihak yang berwenang guna
mengeluarkan Pihak Kedua dan mengosongkan Tanah dan Bangunan
tersebut, dan untuk itu Pihak Kedua menyatakan melepaskan haknya untuk
meminta bantuan dari instansi manapun juga mengenai pengosongan itu.
19. Dalam hal Pihak Kedua membayar harga tersebut di atas secara angsuran
maka harga tersebut akan ditambah dengan biaya administrasi angsuran
sebesar Rp. ( )
20. Bila kelalaian/keterlambatan membayar sisa pembayaran berlaku hingga 3
(tiga) bulan berturut-berturut dihitung sejak tanggal permulaan
kelalaian/keterlambatan terjadi, maka Pihak Pertama berhak secara sepihak
membatalkan Surat Perjanjian ini seketika batal tanpa perlunya campur
tangan Pengadilan Negeri dan dalam kejadian demikian, para pihak dalam hal
ini melepaskan ketentuan-ketentuan tersebut pada pasal 1256, 1266, 1267
KUHPER. Pembatalan ini cukup dinyatakan oleh Pihak Pertama dengan surat
tercatat dan mulai berlaku sejak saat pengiriman Surat Tercatat tersebut yang
dibuktikan dengan tanda penerimanya yang dikeluarkan oleh Kantor Pos.
Apabila Surat Perjanjian ini menjadi batal, maka Pihak Kedua sesuai dengan
pasal VI ayat (1).
21. Apabila Pihak Kedua membayar harga Tanah dan Bangunan Rumah dengan
cara mengangsur melalui Pihak Pertama maka apabila sewaktu-waktu Pihak
Pertama menghendaki, Pihak Kedua bersedia untuk dipindahkan pembayaran
angsuran harganya melalui Bank/Lembaga Keuangan yang ditunjuk oleh
Pihak Pertama.
22. Apabila dalam masa angsuran, baik melalui Pihak Pertama ataupun
Bank/Lembaga Keuangan, Pihak Kedua lalai/terlambat membayar angsuran
selama 2 bulan berturut-turut, maka selain denda yang tersebut di ayat 3 pasal
ini dengan ini Pihak Kedua memberi ijin kepada Pihak Pertama untuk

121
melakukan pemutusan saluran air bersih (Water Treatment). Bila
keterlambatan membayar angsuran berlangsung hingga 3 bulan berturut-turut
dihitung sejak tanggal permulaan kelalaian/keterlambatan Pihak Kedua
memberi ijin/kuasa kepada Pihak Pertama untuk melakukan pengosongan
rumah yang menjadi obyek Surat Perjanjian ini sesaat setelah dilakukan
pembatalan sebagaimana diatur pasal III ayat 4 dan pasal VI perjanjian ini.
23. Kedua belah pihak setuju bahwa dalam hal Pihak Kedua membatalkan
niatnya untuk membeli Tanah dan Bangunan Rumah yang menjadi obyek dari
Surat Perjanjian ini karena sebab dan alasan apapun juga dan Pihak Pertama
membatalkan Surat Perjanjian ini karena cedera janji yang dilakukan oleh
Pihak Kedua, maka kedua belah pihak setuju bahwa Pihak Pertama akan
melakukan pembayaran atas harga Tanah dan Bangunan Rumah yang telah
dibayar oleh Pihak Kedua setelah dipotong tanda jadi sesuai SPT
No.0285/EW8/EW/IX/2007 tanggal 5 September 2007, PPN yang sudah
disetor, dan biaya administrasi sebesar 30% dari uang yang telah dibayarkan
oleh Pihak Kedua.
24. Kedua belah pihak setuju bahwa pembayaran kembali uang yang dimaksud
pada ayat 1 pasal ini baru dilakukan oleh Pihak Pertama setelah berhasil
melakukan penjualan atas Tanah dan Bangunan Rumah tersebut kepada Pihak
Ketiga, tanpa dikenakan kewajiban untuk membayar biaya administrasi atau
ganti kerugian dalam bentuk apapun juga.
25. Dalam hal uang tersebut tidak atau belum dapat dikembalikan karena satu dan
lain hal sehingga mengakibatkan tidak dapat dijumpainya Pihak Kedua, maka
uang tersebut akan disimpan oleh Pihak Pertama tanpa kewajiban membayar
bunga, hingga saat Pihak Kedua dapat dijumpai kembali oleh Pihak Pertama.
26. Apabila Surat Perintah Pengosongan Rumah tidak ditaati, maka Pihak
Pertama akan menyerahkan kepada yang berwajib untuk mengambil tindakan
pengosongannya, sedangkan segala ongkos ditanggung oleh Pihak Kedua.
27. Apabila dikemudian hari ada peraturan baru dari Pemerintah menjadi
tanggung jawab Pembeli sepenuhnya.
28. Apabila dalam jangka waktu 7 hari setelah tanggal yang disepakati pada pasal
2 ayat 2, uang tanda jadi sebesar minimal 10% belum dibayarkan seluruhnya

122
oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama maka PPJBR ini dianggap batal
dengan sendirinya dan rumah dapat dijual kembali oleh Pihak Pertama
kepada pihak lain dan uang yang telah disetorkan menjadi hangus seluruhnya.
29. Apabila setelah lewat tanggal yang ditetapkan pada pasal 5 ayat 2, Pihak
Kedua belum melengkapi dan menyerahkan surat-surat dan persyaratan KPR
atau menjadi Pembatalan Sepihak oleh karena ketidaksiapan Pihak Kedua,
maka PPJBR ini dianggap batal dengan sendirinya dan rumah dapat dijual
kembali oleh Pihak Pertama kepada pihak lain dan uang tanda jadi yang telah
disetorkan menjadi hangus seluruhnya.
30. Dan jika Pihak Kedua lalai atau tidak membayar angsuran yang terhutang
tiap-tiap bulan berikut “Denda administrasi” selama 3 bulan berturut-turut
maka PPJBR ini dengan sendirinya dan demi hukum seketika menjadi batal
tanpa diperlukan campur tangan Hakim Pengadilan Negeri, dalam hal mana
kedua belah pihak dengan ini melepaskan kewajiban-kewajibannya tersebut
dalam pasal 2 dan uang yang sudah diterima Pihak Pertama dari Pihak Kedua
dianggap hangus.
31. Jika terjadi keterlambatan terhadap penyambungan aliran listrik (PLN) dan
aliran air bersih (PDAM) pada bangunan yang bersangkutan, tidak dapat
dianggap sebagai keterlambatan Serah Terima Rumah tersebut di atas, karena
hal tersebut diluar kemampuan Pihak Pertama.
32. Dalam waktu 3 bulan setelah jangka waktu serah terima yang ditetapkan
ternyata Pihak Pertama tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut dalam
pasal 6 ayat 1 kecuali yang disebabkan oleh hal-hal yang tersebut dalam ayat
9 diatas maka pihak pertama dikenakan denda sebesar 0,1% dari harga
bangunan yang belum terselesaikan untuk setiap hari keterlambatan dan
denda maksimum adalah sebesar 5% dari harga sisa bangunan yang belum
terselesaikan.
33. Jika dalam PPJBR ini ditetapkan waktu untuk suatu kewajiban atau
pembayaran, maka dalam hal ini lewatnya waktu saja telah menjadi bukti
yang cukup untuk suatu kelalaian sehingga tidak diperlukan
pemberitahuan/teguran dengan jurusita atau surat lain yang mempunyai
kekuatan hukum serupa itu.

123
34. Akhirnya para pihak menerangkan bahwa PPJBR ini dibuat dengan
sebenarnya tanpa paksaan yang berwujud apapun juga, kemudian
ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan itikad baik sebagai persetujuan
bersama. Demikian PPJBR ini dibuat dalam rangkap 2 bermeterai cukup dan
keduanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
35. untuk setiap hari keterlambatan pembayaran angsuran sebagaimana tersebut
diatas, maka pihak kedua wajib membayar denda sebesar 50% dari jumlah
angsuran yang tertunggak, denda mana harus dibayar oleh pihak kedua
kepada pihak kesatu secara seketika dan sekaligus, oleh karenanya pihak
pertama wajib memberika bukti penerimaan uang/kwitansi untuk denda yang
dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak pertama, sebab tanpa bukti
kwitansi denda tersebut, maka pihak kedua masih sanggup wanprestasi.
36. denda pihak kedua sebagaimana ditentukan diatas akan diperhitungkan terus
dan berlaku sampai dengan dilakukan pelunasan oleh pihak kedua oleh
karenanya pihak pertama tidak akan melakukan serah terima tanah dan
bangunan tersebut apabila pembayaran angsuran berikut denda-denda belum
lunas.
37. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, hak kepemilikan atas
tanah dan segala sesuatu yang berdiri, tertanam tersebut adalah milik pihak
kesatu, pihak kedua hanya berhak menempati tanah dan segala sesuatu yang
berdiri dan tertanam tersebut selama pembayaran angsuran sesuai dengan
jadwal/ tanggal pembayaran.
38. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, pihak kesatu
diperbolehkan menjaminkan dan/atau menggadaikan tanah dan segala sesuatu
yang berdiri serta tertanam diatasnya tersebut dengan ketentuan selambat-
lambatnya 1 bulan setelah pembayaran telah dilunasi oleh pihak kedua maka
sertipikat hak atas tanah tersebut harus diserahkan kepada pihak kedua dalam
keadaan bersih dari segala penjaminan dan tidak terikat dalam suatu
perjanjian dengan pihak lain dan tidak dalam disewakan baik sebagian
maupun seluruhnya pada pihak lain, serta bebas dari segala perkara dan
sitaan.

124
39. Semua bea dan biaya-biaya serta pajak-pajak dari tanah dan segala sesuatu
yang berdiri serta tertanam diatasnya tersebut yang masih belum dibayar
hingga hari ini ditanggung dan harus dibayar oleh pihak kesatu, sedangkan
semua bea, biaya-biaya serta pajak-pajak terhitung mulai hari ini ditanggung
dan harus dibayar oleh pihak kedua.
40. Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pendapatan (PPn) ditanggung oleh pihak
kedua.
41. Apabila pekerjaan pembangunan rumah telah selesai, maka pihak kedua
wajib menandatangani Berita Acara Serah Terima Rumah (BASTR) untuk
keperluan Bank walaupun belum mencapai batas waktu pembangunan
(Konsumen KPR).
42. Jika Pihak Kedua lalai atau tidak membayar angsuran dan/atau kewajiban
pembayaran lainnya berdasarkan Perjanjian ini pada waktu dan jumlah yang
telah ditentukan, maka Pihak Kedua wajib membayar kepada Pihak Pertama
denda sebesar 4% per bulan yang dihitung dari jumlah angsuran maupun
kewajiban pembayaran lainnya yang terlambat atau kurang pembayarannya.
43. Apabila Pihak Kedua telah membayar angsuran kurang dari atau sampai
dengan 50% dari Harga Pengikatan maka seluruh pembayaran angsuran
tersebut menjadi hak dan milik Pihak Pertama dan Pihak Kedua tidak dapat
menuntut kembali seluruh atau sebagian pembayaran angsuran tersebut.
44. Dalam hal terjadi suatu keadaan Force Majeure yang mengakibatkan Pihak
Pertama tidak dapat melaksanakan kewajibannya yang tercantum dalam
Perjanjian ini, atau apabila Force Majeure tersebut menyebabkan pekerjaan
Pihak Pertama tertunda, maka kewajiban Pihak Pertama berdasarkan
Perjanjian ini akan diperpanjang untuk jangka waktu selama berlangsungnya
keadaan Force Majeure tersebut tanpa mengurangi kewajiban Pihak Kedua
berdasarkan Perjanjian ini.
45. Bahwa apabila Pihak Kedua mengundurkan diri atau membatalkan transaksi
jual beli Tanah dan Bangunan Rumah maka Pihak Pertama akan
mengembalikan uang yang telah dibayar oleh Pihak Kedua tanpa bunga dan
biaya-biaya lainnya setelah lebih dahulu dikurangi seluruh akumulasi denda-
denda Pihak Kedua (jika ada) dan biaya-biaya lain yang terhutang (jika ada)

125
dan dipotong biaya administrasi yang ditetapkan sebesar 30% dari harga
penjualan/pembelian sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat 1.
46. Bahwa apabila dalam masa pemeliharaan, sebagaimana dimaksud dalam ayat
9 pasal ini, terjadi kerusakan pada bangunan yang disebabkan oleh Keadaan
memaksa, seperti antara lain, gempa bumi, banjir, huru-hara perang dan
tindak kekerasan yang dilakukan oleh perorangan maupun massal, atau
karena adanya perubahan bangunan rumah yang dilakukan Pihak Kedua,
maka Pihak Pertama dibebaskan atas tanggung jawab perbaikan.
47. Pihak Kedua wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir dan
tahun-tahun berikut atas tanah yang dibeli tersebut pertama kali.
48. Pihak Kedua mengetahui keadaan serta kondisi tanah dan rumah yang
dibelinya dengan perjanjian ini, sehingga untuk sekarang dan selanjutnya
tidak akan mengadakan tuntutan dalam bentuk apapun mengenai keadaan dan
kondisi tanah dan rumah tersebut.
49. Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh Pihak
Pertama kepada Pihak kedua tersebut menjadi milik Pihak Kedua tetapi
segala keuntungan yang diperoleh dari dan segala kerugian yang diderita
dengannya terhitung sejak tanggal penyerahan kedua bidang tanah tersebut
kepada Pihak Kedua menjadi milik atau dipikul Pihak Kedua.
50. Melakukan penjualan tanah dan segala sesuatu diatasnya itu kepada Pihak
Kedua dengan memakai harga dan syarat-syarat serta peraturan-peraturan
yang dipandang baik dan perlu oleh yang diberi kuasa dan berhubung dengan
itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menandatangani, Akta Jual Beli,
menyerahkan apa yang dijual itu kepada yang berhak menerimanya serta
melakukan apa saja yang baik yang diperlukan untuk mencapai maksud
tersebut diatas tidak ada yang dikecualikan.
51. Dalam hal terjadi seperti tersebut pada Pasal 4 ayat (2) Perjanjian ini maka
Pihak Pertama akan mengembalikan uang yang telah dibayar oleh Pihak
Kedua tanpa bunga setelah lebih dahulu dikurangi biaya administrasi yang
ditetapkan 25% dari jumlah uang yang telah diterima oleh Pihak Pertama dan
Pihak Pertama akan mengembalikan uang setelah rumah terjual kepada Pihak
Ketiga.

126
52. Pihak Kedua menjamin Pihak Pertama tentang apa yang telah dibelinya
seperti tersebut di atas, dengan sesungguhnya benar-benar akan dipergunakan
sebagai rumah tinggal sesuai dengan peruntukan yang diizinkan oleh Otorita
Batam.
53. Pihak Kedua mengetahui keadaan serta seluk beluk tanah dan rumah yang
dibelinya dengan perjanjian ini sehingga untuk sekarang dan selanjutnya tidak
akan mengadakan tuntutan dalam bentuk apapun mengenai keadaan dan seluk
beluk tanah dan rumah tersebut.
54. Booking Fee hanya 7 (tujuh) hari dan apabila melewati waktu yang telah
ditentukan pembeli/ konsumen belum membayar angsuran ke 1 (satu) uang
muka, maka transaksi dapat dibatalkan oleh penjual/developer secara sepihak
dan booking fee tidak dikembalikan (hangus).
55. Apabila pembeli tidak membayar angsuran uang muka 2 (dua) bulan berturut-
turut selama angsuran berjalan, maka penjual/developer berhak penuh
membatalkan transaksi jual beli ini secara sepihak dan angsuran uang muka
yang telah dibayarkan tidak dapat diminta kembali (otomatis hangus).
56. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran “Uang Muka” maka
pembeli/konsumen bersedia dan menyanggupi membayar denda sebesar 5%
(lima persen) perbulan dari jumlah keterlambatan yang harus dibayar begitu
pula sebaliknya apabila terjadi keterlambatan serah terima bangunan lebih
dari 3 bulan terhitung dari jadwal serah terima bangunan yang telah
ditentukan, maka pihak developer bersedia dikenakan denda maximum
sebesar 5% (lima persen) dari uang muka yang telah diterima dengan
sempurna oleh developer.
57. Bahwa pembeli/konsumen menyadari dan menyatakan setuju untuk
membebaskan penjual/developer dari segala tuntutan apapun apabila ada
peraturan atau kebijaksanaan pemerintah ataupun Force Majeur yang
menyebabkan keterlambatan atau dibatalkannya pembangunan proyek,
terkecuali keterlambatan pembangunan proyek yang disebabkan atas
kesalahan penjual/developer.

127
58. Pembeli/konsumen bersedia mematuhi/mengikuti segala peraturan dan
persyaratan yang telah ditetapkan oleh penjual/developer sekarang dan
dikelak kemudian hari.
59. Bilamana pembayaran yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua kepada Pihak
Pertama belum mencapai 10% (sepuluh persen) dari nilai Harga jual, maka
seluruh jumlah pembayaran Angsuran Uang Muka atau Angsuran Pelunasan
tersebut dengan sendirinya adalah menjadi haknya Pihak Pertama dan Pihak
Kedua tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut kepada
Pihak Kedua.
60. Bilamana pembayaran yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua kepada Pihak
Pertama telah mencapai 10% (sepuluh persen) atau lebih dari nilai Harga jual,
maka Pihak Pertama akan memotong 40% (empat puluh persen) dari jumlah
seluruh total pembayaran Angsuran Uang Muka atau Angsuran Pelunasan
yang telah dilakukan Pihak Kedua kepada Pihak Pertama.
61. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa, Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ini batal demi hukum apabila terjadi hal-hal sebagai
berikut:
a. Dalam hal Pihak Kedua tidak memenuhi salah satu
ketentuan/kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam isi
surat Perjanjian Jual Beli ini;
b. Dalam hal Pihak Kedua mengundurkan diri atau membatalkan
transaksi jual beli secara sepihak Tanah dan Bangunan ini, karena
sebab atau alasan apa pun juga.

62. Bahwa peralihan hak serta penyerahan atas Tanah dan Bangunan tersebut
belum mungkin dilakukan oleh karena:
1) Ijin Peralihan Hak dari Otorita Batam belum diperoleh.
2) Bangunan tersebut belum selesai dibangun.
3) Harga belum dibayar lunas oleh Pihak Kedua.

63. Segala akibat hukum yang timbul karena pembayaran yang tidak dilakukan
menurut ketentuan dalam Perjanjian ini merupakan resiko dan tanggung
jawab Pihak Kedua.

128
64. Bahwa sebelum jangka waktu pelunasan uang muka berakhir, maka Pihak
Kedua harus sudah melengkapi persyaratan-persyaratan administrasi KPR
Pihak Bank melalui Pihak Pertama, dan jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung masa pelunasan uang muka berakhir Pihak Kedua belum juga
melengkapi persyaratan tersebut maka pemesanan atas Tanah dan Bangunan
dimaksud dapat dianggap batal oleh Pihak Pertama. Dalam hal terjadi
demikian, maka seluruh Uang Tanda Jadi (UTJ) yang telah diterima Pihak
Pertama dan sebesar 40% (empat puluh persen) dari seluruh pembayaran
yang telah dibayarkan oleh Pihak Kedua adalah tetap menjadi hak Pihak
Pertama.
65. Perjanjian ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kecuali pembatalan
Perjanjian oleh Pihak Pertama karena terjadi kelalaian sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat 3 Perjanjian ini. Dan mengenai pembatalan Perjanjian oleh
Pihak Pertama dengan cara tersebut, para pihak telah setuju untuk melepaskan
(mengesampingkan) ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1266 dan Pasal
1267 KUH Perdata.
66. Apabila pembatalan Perjanjian ini diminta oleh Pihak Kedua dan dapat
disetujui secara tertulis oleh Pihak Pertama maka Uang Tanda Jadi yang telah
dibayar menjadi hak Pihak Pertama, dan apabila Pihak Kedua telah
membayar angsuran atas pembelian Tanah dan Bangunan tersebut akan
dipotong 40% (empat puluh persen) dari jumlah yang telah dibayarkan,
sisanya (jika ada) akan dikembalikan kepada Pihak Kedua.
67. Apabila salah satu atau lebih dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini tidak berlaku, tidak sah dan/atau tidak
dapat dilaksanakan dalam hal apa pun berdasarkan hukum yang berlaku,
maka ketentuan-ketentuan lain dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini tetap
berlaku dan mengikat bagi para pihak.
68. Bahwa peralihan hak serta penyerahan tanah dan bangunan sebagaimana
dimaksud pada point 2 tersebut di atas, tidak akan dilakukan oleh Pihak
Pertama kepada Pihak Kedua apabila:
a. Ijin Peralihan Hak dari Badan Otorita Batam (BOB) belum
diterbitkan/diperoleh Pihak Pertama dan/atau;

129
b. Bangunan tersebut belum selesai dibangun oleh Pihak Pertama
dan/atau;
c. Pihak Kedua belum melunasi seluruh kewajiban-kewajibannya atas
pemesanan/pembelian tanah dan bangunan. 

69. Harga jual Tanah dan Bangunan sebagaimana yang tersebut pada ayat 1 Pasal
Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini, belum termasuk biaya-biaya lain.
70. Jika di kemudian hari, berdasarkan hasil pengukuran terakhir oleh instansi
yang berwenang ternyata bahwa luas tanah tersebut kurang atau lebih luas
sebagaimana yang tersebut pada Pasal 1 ayat (2) huruf d di atas, maka Pihak
Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa kekurangan atau
kelebihan luas tanah tersebut akan diperhitungkan dengan satuan harga
sebesar $ Sin 200.-/M2 (dua ratus Dollar Singapura per meter persegi).
71. Bahwa untuk pembayaran Pihak Kedua yang menyimpang dari ketentuan-
ketentuan sebagaimana yang tersebut dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli
ini, tidak diakui sebagai suatu pembayaran yang sah dan oleh karenanya
adalah menjadi resiko dan tanggung jawab Pihak Kedua sepenuhnya.
72. Seluruh akibat hukum yang menyangkut pajak-pajak yang timbul dari
perubahan Blok dan Nomor kavling atau pengalihan hak atas Tanah dan
Bangunan tersebut di kemudian hari, adalah menjadi tanggung jawab Pihak
Kedua sepenuhnya.
73. Atas posisi Tanah dan Bangunan yang telah dilakukan ikatan jual beli antara
Pihak Pertama dengan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama berhak menata
kembali dan atau memindahkan posisi Blok atau Nomor Kavling yang telah
dipesan/dibeli oleh Pihak Kedua, untuk disesuaikan dengan ketentuan-
ketentuan Badan Otorita Batam (BOB) atau Pemerintah Kota (PEMKO)
Batam dan/atau tanah dimana tempat kavling berada, apabila secara teknis di
lapangan tidak dapat dilakukan pembangunan.
74. Apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan pada
bangunan yang diakibatkan oleh keadaan Force Majeure, seperti : gempa
bumi, banjir, akibat huru-hara, perang, kebakaran, tindakan kekerasan yang
dilakukan baik oleh perorangan maupun massal, ataupun karena perbaikan
atau perubahan (renovasi) yang dilakukan oleh Pihak Kedua sendiri atas

130
bangunan tersebut, maka Pihak Pertama dibebaskan dari kewajiban untuk
melakukan perbaikan-perbaikan atas bangunan tersebut, oleh karenanya hal
tersebut menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua pribadi sepenuhnya.
75. Para Pihak sepakat apabila Pihak Pembeli membatalkan Perjanjian ini dengan
alasan apapun, maka seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan oleh Pihak
Pembeli kepeda Pihak Penjual tidak dapat dikembalikan dan akan
diperhitungkan sebagai kompensasi ganti kerugian kepada Pihak Penjual atas
pembatalan Perjanjian ini.
76. Akan mengusahakan sendiri air bersih untuk keperluan Mandi, Cuci, Kakus
(MCK) sehari-hari selama meteran ATB belum dipasang oleh Pihak ATB
(karena kebijakan dari ATB) dan melepaskan PT dari segala tuntutan atas hal
tersebut di atas.
77. Hanya akan mengajukan Komplain yang sewajarnya kepada PT atas fisik
bangunan rumah yang dibeli/ditempati.
78. Bersedia menerima potongan sebesar 60% (uang booking fee hangus) dari
uang yang telah disetorkan kepada PT bila melakukan pembatalan sebelum
penendatanganan Akte Jual Beli (AJB) dilakukan.
79. Surat Pernyataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Persetujuan Pesanan Rumah/Agreement yang telah saya tanda tangani
sebelumnya dengan PT.

4. 2. Temuan Hasil Survey Lapangan (termasuk temuan yg bersifat


wanprestasi)
4.2.1. Batam

Sehubungan dengan hasil survey lapangan di Batam. Adapun penyusunan


laporan ini disampaikan dalam suatu sistematis yang berdasarkan penggabungan dari
beberapa diskusi dan temuan selama dilapangan, maka beberapa hal yang merupakan
hasil temuan selama kunjungan di lokasi, yaitu sebagai berikut:
1. Beberapa pihak yang menurut penilaian tim merupakan para pemangku
kepentingan (stakeholders) dan memiliki kompetensi terkait dengan tujuan
penelitian kami, khususnya yang berada di Batam antara lain adalah:

131
a. Dinas Departemen Perdagangan Batam;
b. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dinas Perdagangan Batam;
c. REI Batam;
d. Para pengembang perumahan Batam;
e. Yayasan Lembaga Konsumen Batam (YLKB); dan
f. Konsumen.

2. Dinas Departemen Perdagangan Batam (”Dinas”) dalam hal ini sangat


memberikan dukungan dan partisipasinya. Bentuk kontribusi yang diberikan
oleh Dinas dalam hal ini berupa pemberian semua informasi yang dibutuhkan
oleh tim penelitian Departemen Perdagangan Republik Indonesia (”Tim”),
khususnya terhadap hal-hal berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Selain
daripada itu pemberian bantuan turut diwujudkan dalam bentuk
pendampingan oleh pejabat setempat selama kami melakukan kunjungan
lapangan.

3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dinas Perdagangan Batam (”BPSK


Batam”) dalam hal ini menyampaikan bahwa lembaga BPSK Batam adalah
lembaga yang baru saja dibentuk, sehingga dalam hal ini belum begitu
banyak permasalahan yang masuk terkait dengan sengketa perumahan.
Beberapa perselisihan yang masuk di BPSK Batam, yang terbilang besar,
adalah perselisihan antara perusahaan listrik swasta setempat dengan
manajemen Hotel Novotel. Namun demikian terkait dengan masalah sengketa
perumahan yang masuk ke dalam daftar perkara BPSK Batam saat ini hanya
terdapat 2 (dua) perkara.

Kendala yang dihadapi oleh BPSK Batam adalah dikarenakan fungsinya


adalah sebagai lembaga yang menengahi perselisihan yang terjadi tetapi tidak
memiliki kekuatan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku untuk
melakukan sebuah tindakan konkrit terhadap penyelesaian perselisihan yang
berada di bawah penanganannya. Alasan yang melatarbelakangi kegelisahan
ini adalah dikarenaka para pihak yang mengajukan perkara perselisihan
mereka ke hadapan BPSK Batam tetap menempuh upaya hukum lainnya,
seperti melalui proses peradilan umum. Hal mana terjadi dikarenakan tidak

132
lain dikarenakan adanya keinginan untuk memenangkan perselisihan yang
terjadi dan dikarenakan adanya partisipasi pihak ketiga lainnya, baik
penasehat hukum internal perusahaan, notaris maupun pengacara.

Keadaan ini menurut hemat BPSK Batam kurang memberikan suatu kesan
positif maupun bentuk konkrit dari eksistensi BPSK Batam. Menurut
pendapat kami hal yang perlu dilakukan adalah terkait dengan pemahaman
terhadap hakekat lembaga BPSK tersebut yang secara peraturan perundang-
undangan tetapi lebih merupakan sebagai lembaga alternatif pernyelesaian
perselisihan yang memfasilitasi para pihak yang berselisih dalam bentuk
forum mediasi. Oleh karenanya terhadap lembaga-lembaga sejenis memang
tidak diberikan otoritas untuk melakukan proses hukum layaknya sebuah
institusi peradilan. Langkah yang dapat dilakukan dalam rangka mereposisi
pemahaman tersebut adalah dengan mengirimkan para personil BPSK Batam
untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan teknik-teknik
mediasi.

Perihal kasus yang ditangani oleh BPSK Batam saat ini berkaitan dengan isu
wanprestasi dan bukan perkara yang berkaitan dengan klausula baku. Perkara
dimaksud berkenaan dengan hal sebagai berikut:
a. Perselisihan karena kekurangan pembayaran yang mengakibatkan
disitanya rumah yang telah sebagian penuh dibayarkan; dan
b. Perselisihan yang dikarenakan ketidaksesuaian antara brosur dengan
realitas lapangan, yaitu terhadap pembangunan fasilitas pembuangan air
yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Perkara ini berlanjut sampai
dengan pengadilan dikarenakan pihak pengembang pada saat pemilik
rumah tidak ada ditempat dilakukan penggantian seluruh kunci rumah
dan seluruh perabot milik penghuni dikeluarkan dari dalam rumah,
sehingga barang-barang milik penghuni dijarah oleh orang-orang sekitar
dikarenakan dianggap sebagai barang tidak bertuan.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari BPSK Batam saat ini
pemilik rumah yang telah merasa dirugikan tersebut tengah menggalang

133
dukungan untuk melakukan perlawanan terhadap pihak pengembang
bersangkutan.

Salah satu hal yang menarik perhatian Tim adalah temuan bahwa ternyata
bentuk klausula baku tidak hanya diimplementasikan dalam bentuk perjanjian
ataupun perjanjian pengikatan jual beli, melainkan juga dibuat dalam
dokumen pernyataan kesanggupan pemesanan tanah dan bangunan. Penting
untuk diketahui bersama bahwa bentuk dokumen pernyataan tersebut secara
formal yuridis bukan merupakan dokumen pernyataan, melainkan merupakan
sebuah perjanjian yang hanya saja judulnya adalah pernyataan. Dalam
dokumen pernyataan tersebut memuat beberapa klausula baku yang dilarang
oleh Pasal 18 undang-undang perlindungan konsumen.

Perihal tentang adanya pengembang asing yang juga menjalankan kegiatan


usahanya di pulau Batam, secara umum memang ada. Namun demikian pada
kenyataannya hanya satu atau dua perusahaan yang secara umum diketahui
oleh masyarakat Batam. Perumahan yang dibangun oleh perusahaan-
perusahaan tersebut termasuk dalam kategori perumahan mewah dan ekslusif
di Batam.

Selain daripada perusahaan-perusahaan yang telah dikemukakan tersebut di


atas tidak dapat diketahui pasti bahwa pengembang yang bersangkutan adalah
perusahaan dalam bentuk investasi asing. Hal yang menyulitkan Dinas
maupun BPSK Batam adalah semua perusahan pengembang dimaksud sudah
barang tentu tidak akan menyampaikan sumber dana maupun perjanjian
kerjasama yang telah dibuat oleh dan antara pihaknya dengan investor asing
tersebut. Dinas maupun BPSK Batam dalam hal ini hanya dapat menyebutkan
beberapa nama perusahaan pengembang yang disinyalir telah bekerjasama
dengan investor asing, tetapi dikarenakan informasi tersebut tidak turut
ditunjang dengan adanya dokumen-dokumen hukum, maka kami tidak dapat
menyampaikan informasi tersebut secara terbuka dalam laporan kunjungan
Tim ke Batam.

Tidak dipungkiri bahwa di kepulauan Batam terdapat beberapa rumah yang


dimiliki oleh orang asing. Mengingat bahwa berdasarkan hukum yang

134
berlaku di negara Indonesia tidak diperkenankan kepemilikan oleh warga
negara asing, maka instrumen yang mereka pergunakan adalah dengan
menunjuk pihak warga negara Indonesia yang bertindak seolah-olah sebagai
pemilik rumah tersebut. Tim berhasil mendapat terdapat salah seorang
pejabat Dinas yang bersuamikan orang asing dan menetap di Batam serta
membeli rumah tinggal. Hal yang dapat kami sampaikan adalah yang
bersangkutan kami berikan formulir isian sebagai konsumen. Selain daripada
itu kami tidak dapat mengakses lebih dalam lagi dikarenakan adanya
keberatan-keberatan dari pihak suami dalam memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Perlu kiranya kami sampaikan bahwa keberatan-
keberatan tersebut disampaikan melalui istrinya dan bukan oleh suaminya
secara langsung.

Pasangan yang terikat dalam sebuah perjanjian jual beli rumah, khususnya
apabila salah satunya adalah orang asing, sangat merahasiakan keberadaan
dokumen perjanjian tersebut. Keadaan semacam ini pun turut kami alami
pada saat mengunjungi pengembang dan meminta mereka untuk berbagi
informasi tersebut dengan Tim, tetapi Tim memperoleh tanggapan bahwa
yang dapat melihat ataupun mempelajari dokumen tersebut hanya mereka-
mereka yang merupakan konsumen dari pengembang yang bersangkutan.

BPSK Batam pada saat kunjungan Tim kelapangan baru berdiri kurang lebih
3 (tiga) bulan, sehingga dalam menangani perkara pun mengalami kesulitan
fasilitas infrastruktur yang tersedia. Infrastruktur yang saat ini ada masih
berbagi dengan Dinas, sehingga dalam proses penanganan perkara terkadang
masih mengalami kendala dalam administrasi pelaksaan, khususnya terhadap
kesediaan ruang maupun sumber daya manusia yang mampu dan
berpengalaman dalam menangani perkara-perkara sengketa konsumen.

4. Pertemuan dengan REI Batam tidak menghasilkan sesuatu hal yang


diharapkan dari tujuan pelaksanaan penelitian ini. Semula kami sangat
berharap bahwa REI Batam akan bersifat kooperatif yaitu dengan
menyatakan kesediaannya untuk menyampaikan informasi dalam bentuk
pengisian formulir yang Tim sampaikan kepada mereka. Sampai dengan

135
batas akhir waktu kunjungan kami selama di Batam, dokumen maupun
konfirmasi lisan yang kami harapkan sama sekali tidak dapat diperoleh.
Meskipun demikian kami telah melakukan daya upaya untuk dari waktu ke
waktu menghubungi pihak REI Batam untuk dapat kembali meluangkan
waktunya agar dapat berdiskusi dengan kami.

Hal lain yang turut menarik perhatian Tim adalah sekretaris REI Batam
rupanya merangkap sebagai pimpinan sebuah perusahaan pengembang di
Batam. Asumsi awal yang dapat kami sampaikan adalah besar kemungkinan
bahwa seluruh jajaran dalam struktur organisasi REI Batam juga merupakan
para pelaku usaha dibidang pengembangan perumahan di Batam. Oleh
karenanya dalam perspektif tertentu terdapat benturan kepentingan (conflict
of interest) manakala REI Batam memberikan informasi-informasi sesuai
dengan yang kami paparkan dalam formulir kuesioner kami tersebut.

Berdasarkan hasil konfirmasi lisan yang kami peroleh dari Dinas, BPSK
Batam dan YLKB diperoleh keterangan bahwa mayoritas pengembang
perumahan di Batam tidak memperhatikan kepentingan dari para konsumen.
Beranjak dari keterangan tersebut, maka kami dapat memahami adanya
restriksi tertentu dari para pelaku usaha untuk tidak menyampaikan informasi
yang kami harapkan. Dugaan kami adalah adanya kekhawatiran dari para
pelaku usaha bilaman ternyata didapati temuan oleh Tim, maka berdasarkan
temuan-temuan ini mereka akan dihadapkan pada proses hukum.

Pertemuan Tim dengan REI Batam tidak sepenuhnya tidak bermanfaat


dikarenakan Tim memperoleh referensi sebagai berikut:
a. Batam Real Estate Directory 2009-2010; dan
b. Majalah Realestat Media Komunikasi dan Informasi REI vol 3 –Edisi 3
2009.

Menilik dari direktori tersebut tersebut yang dibuat dalam dua versi bahasa,
maka kesimpulan pertama yang dapat Tim sampaikan bahwa tujuan
penerbitan tersebut adalah untuk mengundang investor asing untuk turut
menanamkan investasinya dibidang perumahan.

136
Informasi yang sangat bermanfaat yang Tim peroleh dari direktori tersebut
adalah perihal prosedur perijinan yang harus dipenuhi oleh calon perusahaan
pengembang. Prosedur perijinan yang harus dipenuhi oleh perusahaan
pengembang di Batam sangat berbeda dengan di daerah Indonesia lainnya.
Secara umum yang membedakan adalah karena Batam merupakan kawasan
free trade zone yang dikelola oleh otorita. Informasi tersebut akan
memperkaya hasil luaran akhir penelitian ini.

5. Perihal pengumpulan data primer dari para pengembang hanya diperoleh 2


(dua) tanggapan yang diterima oleh Tim. Tingkat kekooperatifan antara
pengembang dengan Tim merupakan permasalahan utama yang dihadapi
dilapangan. Semula Tim berharap pada REI Batam untuk dapat bertindak
sebagai fasilitator, tetapi yang terjadi adalah tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan.

Tim berhasil mewawancarai pihak pemasaran salah satu perumahan mewah


yang telah terpasarkan sebagian besar dari jumlah rumah yang tersedia.
Tahap awal wawancara berjalan dengan lancar tetapi pada saat memasuki
substansi tujuan penelitian pihak pemasaran tidak berkenan untuk melakukan
wawancara lanjutan dengan alasan bahwa Tim bukan merupakan konsumen
dan tidak adanya otoritas dari pihak pemasaran untuk menjawab pertanyaan
lebih lanjut dari segala yang telah disampaikan sebelumnya.

6. Perihal hasil diskusi dan wawancara dengan YLKB membuahkan hasil yang
sangat bermanfaat dengan tujuan penelitian Tim, adapun informasi yang
berhasil diperoleh antara lain adalah:
a. prosedur perijinan perusahaan pengembang yang berada di bawah
kewenangan otorita Batam yang secara ekslusif melebihi kewenangan
yang dimiliki oleh undang-undang nasional;
b. tanah yang telah bersertifikat dan memiliki status hak atas tanah yang
diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional dapat dicabut secara
sepihak oleh pihak otorita Batam;

137
c. adanya klasifikasi atas bidang-bidang tanah yang berada di Batam dan
hak pengaturan atas tanah tersebut sepenuhnya berada di bawah
kendali Otorita Batam;
d. konsumen tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kondisi
tanah dimana bangunan mereka berada;
e. adanya struktur Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) yang
diberlakukan oleh pihak otorita kepada para pemegang hak atas tanah
dan bangunan yang harus dibayarkan secara berkala, yaitu dalam
kurun waktu kurang lebih 30 tahun sekali. Strukturnya kurang lebih
sama dengan pembayaran untuk perpanjangan sertifikat hak guna
bangunan atau hak guna usaha yang telah berakhir masa berlakunya.
Perbedaan prinsip antara keduanya adalah untuk UWTO masuk ke kas
otorita sedangkan perpanjangan HGB dan HGU masuk ke negara
dalam bentuk pemasukan negara berupa pajak;
f. berubahnya fungsi tanah yang diatasnya telah dibangun perumahan
dan telah dihuni atas kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pihak
otorita;
g. ketidaksesuaian antara informasi dalam brosur dengan realitas di
lapangan;
h. tidak terdapatnya fasos maupun fasum dalam komplek perumahan;
i. adanya pelanggaran oleh perusahaan pengembang yang memasukan
klausula-klausula baku yang dilarang dalam perjanjian maupun
dokumen perikatan lainnya yang dibuat oleh dan antara pihaknya
dengan konsumen;
j. struktur jual beli secara kredit di Batam menggunakan pola yang
serupa dengan mekanisme leasing, dimana pada saat pembayaran
cicilan pertama, maka pembeli rumah telah menerima kunci rumah
dan dapat dipergunakan pada saat itu juga;
k. dan lain sebagainya.

Pertemuan dengan tim YLKB berlangsung beberapa kali dengan pemberian


informasi-informasi tambahan pada tiap-tiap pertemuan berikutnya. Tim pun
memperoleh data primer yang diharapkan dari tim YLKB.

138
Berdasarkan pantauan YLKB konsumen lebih banyak dirugikan oleh para
pelaku usaha dikarenakan kedudukannya yang tidak seimbang dan
keterbatasan pengetahuan yang berbeda. Pelaku usaha cenderung untuk tidak
berlaku adil dalam setiap transaksi yang dilakukannnya dibidang perumahan.

Suatu fenomena yang menarik adalah YLKB memiliki peran penting dalam
lingkup aktifitas perdagangan di Batam dengan memiliki akses terhadap
fungsi-fungsi strategis. Seperti halnya dengan REI Batam, Dinas, BPSK,
otorita dan fungsi maupun kelembagaan terkait lainnya, yang menjadikan
YLKB sebagai mitra maupun rival pada saat yang bersamaan.

7. Perihal adanya hambatan yang timbul dari pihak REI Batam dan para pelaku
usaha di Batam, maka berdasarkan hasil rapat evaluasi internal Tim diambil
suatu keputusan bahwa data primer akan semaksimal mungkin dikumpulkan
dari konsumen.

Terhitung sejak kunjungan hari pertama ke Batam, Tim telah menyebar


kuesioner sebanyak 10 set, dan menyikapi kondisi yang terjadi dilapangan
maka tim dengan bantuan dari Dinas dan tenaga outsourcing yang direkrut
oleh Tim. Oleh karenanya total keseluruhan kuesioner yang disebar kepada
konsumen melebihi jumlah 50 set, dimana keseluruhannya telah kembali
kepada Tim sebelum Tim mengakhiri masa kunjungannya di Batam.

Merujuk pada hasil kuesioner konsumen tersebut diperoleh informasi bahwa


banyak dari konsumen yang tidak memiliki wawasan terhadap eksistensi
klausula baku. Perselisihan yang sering mengemukan dari kalangan
konsumen lebih banyak dikarenakan adanya peristiwa wanprestasi atau
dikarenakan adanya kebijakan otorita yang tidak menimbulkan adanya suatu
kepastian hukum bagi konsumen.

Secara umum Tim telah memperoleh data primer antara lain:


1. Dinas data kuesioner diperoleh sebanyak 2 set;
2. BPSK data kuesioner diperoleh sebanyak 3 set;
3. Pelaku usaha data kuesioner diperoleh sebanyak 2 set;
4. YLKB data kuesioner diperoleh sebanyak 5 set; dan

139
5. Konsumen data kuesioner diperoleh sebanyak 50 set.
Data primer yang tidak berhasil diperoleh adalah:
- REI Batam
Atas bantuan dan kerjasama dari Dinas, BPSK, YLKB dan salah satu perusahaan
pengembang, Tim berhasil memperoleh beberapa sampel Perjanjian Pengikatan Jual
Beli dan bentuk dokumen pengikatan lainnya yang dibuat oleh dan antara pelaku
usaha dengan konsumen.

Secara umum dapat disampaikan bahwa, meskipun target Tim tidak sepenuhnya
dapat tercapai tetapi dengan upaya untuk mengompensasi target yang tidak tercapai
tersebut dengan manuver baru, maka harapannya segala sesuatu yang tidak didapat
dari REI Batam dan para pelaku usaha developer di Batam dapat terpetakan dari
berbagai masukan yang Tim peroleh dari para konsumen, YLKB dan lembaga terkait
lainnya.

4.2.2. Makasar

Wawancara terhadap pengembang/developer dilakukan terhadap lima


pengembang/developer, namun pengisian kuesioner hanya dilakukan oleh dua
pengembang saja. Alasan mereka jawaban kuesioner lebih kurang sama dengan dua
pengembang yang telah mengisi kuesioner tersebut. Pencarian data dan informasi
dari pengembang cukup sulit diperoleh dan ada keengganan untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan. Hasil wawancara dengan pengembang menginformasikan
bahwa:
a. Konsumen perumahan sudah cukup terlindungi terutama oleh pihak
Perbankan. Misal harga rumah Rp.100.000.000.- (seratus juta Rupiah), uang
muka Rp.20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah) maka yang ditanggung olek
bank Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta Rupiah). Seharusnya pihak bank
menyerahkan seluruh uang tersebut kepada pihak pengembang, namun
kenyataannya pihak bank menahan 15-20% uang tersebut sampai pihak bank
yakin bahwa pengembang telah memenuhi kewajibannya sesuai spesifikasi
yang telah ditentukan. Selain itu menurut informasi pengembang bahwa supply
rumah lebih besar daripada demandnya dimana untuk propinsi Sulawesi

140
Selatan terdapat sekitar 267 pengembang, sehingga posisi konsumen relatif
cukup kuat.
b. Permasalahan yang dihadapi oleh pengembang saat ini adalah listrik dan
dengan instansi pertanahan. Untuk propinsi Sulawesi Selatan dan Pulau
Sulawesi pada umumnya saat ini pasokan listrik menjadi kendala yang cukup
serius. Hal ini menjadi salah satu penyebab permasalahan antara konsumen
dan pengembang. Kendala ini menyebabkan konsumen tidak mau membayar
cicilan uang muka rumah yang menjadi kewajibannya (umumnya uang muka
rumah dicicil oleh konsumen) dan kondisi ini mempengaruhi keuangan pihak
pengembang.
c. Berdasarkan hasil wawancara bahwa PPJB yang dibuat umumnya tidak
mengakomodir syarat-syarat yang tertuang dalam UU PK meskipun mereka
mengaku mempunyai UU PK tersebut. Berdasarkan informasi dengan PT.
Dayaprima Nusa Wisesa bahwa PPJB dibuat berdasarkan contoh PPJB yang
sudah ada dan tidak melibatkan notaris atau konsultan hukum. Notaris baru
akan dilibatkan jika sudah menyangkut masalah dengan perbankan.
d. Masalah uang muka yang tidak dikembalikan ke konsumen meskipun terjadi
pembatalan pembelian dan umumnya merupakan klausula baku dalam PPJB,
pihak pengembang berkilah bahwa jika konsumen sudah membayar uang
muka berarti rumah tersebut tidak dapat diperjualbelikan meskipun ada yang
berminat membayar tunai. Jika konsumen membatalkan pembelian rumah,
maka uang muka rumah seharusnya menjadi hak pengembang karena sudah
dirugikan.

4.2.3. Surabaya

Survey yang dilakukan di Surabaya dengan melakukan wawancara mendalam


kepada para pelaku usaha, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, BPSK, YLKI,
asosiasi perumahan dan melakukan pencarian data melalui penyebaran kuesioner
pada konsumen. Di Surabaya wawancara terhadap pengembang/developer dilakukan
terhadap empat pengembang/developer, namun pengisian kuesioner hanya dilakukan
oleh dua pengembang saja dan hanya satu pengembang yang diwakili oleh bagian
legalnya yang menerima dan bersedia melakukan wawancara dengan tim surveyor.

141
Alasan mereka tidak bersedia mengisi kuesioner dan melakukan wawancara karena
selain keenganan mereka menjawab karena ketidaktahuan mereka terhadap topik
perlindungan konsumen terutama klausula baku perumahan juga merasa ketakutan
menjawab pertanyaan kuesioner karena bukan tugas dan pekerjaannya (3
pengembang perumahan yang didatangi ternyata bukan kantor pusatnya tapi hanya
kantor cabang yang bertugas hanya melakukan promosi dan penjualan rumah).
Empat perusahaan pengembang perumahan yang didatangi yaitu, PT.
Arthawahana Pratama Dinamika, PT. Bhakti Tamara, Royal Residence dan Citraland
Surya, dan PT. Citraland Surya, hanya pengembang yang terakhir selaku House
Advisor/Legal PT. Citraland Surya yang menerima dan bersedia diwawancari oleh
tim surveyor. Menurut Pak Franky, PT Citraland Surya yang mengelola perumahan
Citraland “The Singapore of Surabaya” dalam melakukan perjanjian dengan
konsumen perumahannya mempergunakan standar kontrak (PPJB) yang didalamnya
memuat klausula baku. Dan dalam pelaksanaan perjanjian SPPJB, pihak konsumen
diberi kesempatan yang leluasa dalam membaca dan mengartikan butir-butir isi
dalam perjanjian. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa pengembang besar
dengan segala kesadarannya melengkapi dirinya dengan segala perangkat yang
berkaitan dengan kenyamanan dan perlindungan konsumen.
Beberapa permasalahan yang diperoleh selama melakukan pencarian data di
Surabaya antara lain terdapat permasalahan antara pengembang perumahan dengan
penduduk sekitar terutama masalah luas wilayah yang dipunyai pengembang tapi di
klaim oleh penduduk sekitar wilayah perumahan. Selain hal tersebut hampir semua
pengembang yang didatangi menyatakan kurangnya sosialisasi berbagai peraturan
perumahan yang dilakukan oleh instansi pemerintah terkait. Terdapat keluhan dari
beberapa pengembang yang mempermasalahkan rumitnya jalur birokrasi dalam hal
pengurusan perijinan dan BPN. Para pelaku usaha mengharapkan pihak pemetintah
yang terkait dengan permasalahan perumahan untuk lebih memperjelas pelaksanaan
peraturan pajak yang berlaku, sehingga tidak merugikan para pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya.

142
4.2.4. Bandung

Pengumpulan data primer untuk kajian klausula baku telah dilakukan di


daerah Bandung, dengan respondennya terdiri dari konsumen, pengembang
perumahan, BPSK, Yayasan Bina Konsumen Indonesia, dan Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Propinsi Bandung dengan jumlah responden untuk konsumen
perumahan berjumlah sekitar 30 orang.
Terdapat beberapa temuan-temuan selama melakukan survey yang dilakukan
di Bandung, antara lain komplain konsumen yang sering diadukan pada BPSK lebih
banyak mengenai penyerahan sertifikat rumah yang terlambat; disamping
pembangunan perumahan tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh pihak
pengembang. Dari hasil kuesioner yang tejaring terlihat bahwa konsumen
perumahan di Bandung belum mengetahui dan belum memahami dengan jelas isi
dari PPJB yang mereka tanda tangani.
Pada wawancara yang dilakukan dengan staf BPSK Bandung terdapat
keluhan mengenai isi dari UU PK dimana dalam UU PK belum diatur tentang sanksi
bagi pelanggar, ini menyulitkan BPSK untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi
dilapangan dan melakukan tindakan hukum bagi para pelaku usaha yang terbukti
melakukan pelanggaran, Selain hal tersebut dalam UU PK juga tidak terdapat
kalimat yang menyatakan bahwa konsumen tidak boleh didampingi oleh ahli
hukum, akibatnya terjadi ketidak seimbangan dalam mediasi antara konsumen
dengan pelaku usaha.
Pengembang di daerah Bandung rata-rata belum pernah diikut sertakan dalam
sosialisai UU PK, sehingga banya dari mereka tidak mengetahui dan memahami isi
dari UU PK. Demikian juga dalam wawancara yang dilakukan dengan asosiasi
perumahan di Bandung, pengurus REI selama ini kurang mengetahui dan tidak
memahami tentang UU PK dan Klausula Baku perumahan.

4.2.5. Jakarta

Data dikumpulkan dengan melakukan penyebaran kuesioner terhadap 25


orang responden konsumen perumahan. Responden adalah konsumen yang membeli
rumah secara kredit dari pengembang (developer), melakukan dan menandatangani

143
Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Di samping itu dilakukan pula wawancara dengan
pejabat Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi DKI Jakarta, BPSK kota
Jakarta, Asosiasi dalah hal ini diwakili oleh APERSI (Asosiasi Pengembang
Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia) dan beberapa pengembang
perumahan.
Pada umumnya, responden konsumen perumahan di Jakarta tidak terlalu
paham akan pasal-pasal yang terdapat di dalam perjanjian baku perumahan yang
tertuang dalam surat perjanjian pengikatan jual beli rumah (SPPJB), sehingga
perlunya sosialisasi dari pihak-pihak yang berwenang mengenai hak dan
kewajibannya sebagai konsumen perumahan yang tertuang dalam pasal-pasal yang
terdapat di dalam surat perjanjian pengikatan jual beli rumah (SPPJB);
Seringnya pengaduan-pengaduan yang dikeluhkan oleh konsumen perumahan
kepada para pengembang perumahan (developer) lebih mengarah kepada
wanprestasi, pengingkaran perjanjian yang dibuat sebelumnya yang dirasakan
merugikan para konsumen perumahan. Pentingnya kerjasama antar lembaga
pemerintah dengan para pengembang perumahan dan asosiasi pengembang untuk
mengurangi terjadinya keluhan konsumen perumahan baik dengan melakukan
sosialisasi kebijakan perumahan maupun teguran-teguran bagi pihak-pihak yang
melakukan pelanggaran;
Pemerintah daerah telah banyak melakukan sosialisasi peraturan-peraturan
dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mengenai perumahan kepada
para pelaku usaha dan konsumen perumahan. Selain menyediakan unit Perlindungan
Konsumen, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi DKI Jakarta dan di Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Propinsi DKI Jakarta juga membentuk Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menyediakan wadah bagi konsumen
dan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan melalui: konsiliasi, mediasi dan
arbitrasi.
Wawancara yang dilakukan dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) menegaskan bahwa pengaduan perumahan yang masuk kepada YLKI
berkenaan permasalahan perumahan kebanyakan berkaitan dengan keterlambatan
serah terima bangunan rumah kepada konsumen. Perlunya tindakan yang tegas dan
nyata kepada para pelaku usaha yang melakukan keterlambatan penyerahan rumah

144
kepada konsumen, namun selama ini dirasakan bahwa sanksi berupa denda lebih
banyak dibebankan kepada konsumen, terutama jika konsumen yang bersangkutan
terlambat membayar cicilan rumah.
Wawancara dengan pihak asosiasi perumahan dilakukan dengan mendatangi
Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh
Indonesia (APERSI) DKI Jakarta. Peran dan fungsi APERSI di bidang perumahan
sebagai wadah bagi para pengembang untuk mensosialisasi peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh Menteri Perumahan Rakyat. Selain tugas tersebut pihak asosiasi
juga bertugas memberikan sertifikasi bagi para anggotanya pelaku usaha perumahan.

4.2.6. Bogor

Selama kurang lebih tiga hari melakukan survey di daerah Bogor dan
sekitarnya dengan mendatangi berbagai responden yang meliputi Dinas Perindag
Kota Bogor, konsumen perumahan dan para pelaku usaha (pengembang
perumahan/developer). Berikut ini kami sampaikan bebarapa hal yang merupakan
hasil temuan selama kunjungan di lokasi, yaitu sebagai berikut:
1. Pengembang dalam menyusun PPJB mempunyai standar perjanjian untuk semua
type, dan disusun dengan bantuan tenaga ahli hukum. Dasar-dasar penyusunan
PPJB antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia;
b. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Pertanahan;
c. PP Nomor 24 tahun 1997.
2. Isi dari PPJB pada umumnya mencankup harga tanah dan bangunan, prosedur
jual beli, jadwal pembayaran rumah syarat-syarat penyerahan bangunan dan lain-
lain. Penyusunan PPJB dilakukan oleh pihak pengembang perumahan tanpa
adanya diskusi dengan konsumen perumahan.
3. Pengembang tidak semua mengetahui dan memahami tentang UU-PK terutama
yang berkaitan dengan Klausula Baku. Selama penandatanganan PPJB
pengembang perumahan dapat menerima keluhan konsumen selama tidak
merubah pasal-pasal yang telah dicantumkan terutama yang berkaitan dengan
perjanjian pembayaran atau cicilan rumah.

145
4. Masing-masing pengembang perumahan memiliki standar baku sendiri dalam
menyusun PPJB.
5. Belum semua konsumen mengetahui dan memahami adanya peraturan
pemerintah yang melindungi konsumen dalam UU-PK terutama yang mengatur
mengenai PPJB. Sehingga pada umumnya konsumen belum menyadari bahwa
mereka mempunyai hak dalam menuntut pengembang jika mereka dirugikan
dalam melakuna trasnsaksi pembelian rumah.dengan pihak pengembang
perumahan.

4.2.7. Depok

Seperti daerah survey lain pengembang perumahan di daerah Depok rata-rata


belum pernah diikut sertakan dalam sosialisasi UU PK, sehingga umumnya mereka
tidak mengetahui adanya pengaturan tentang PPJB dalam UU PK. Selama ini pihak
pengembang menyusun PPJB dengan dasar penyusunan PPJB sebelumnya, tidak
berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah baik dari
Kementerian Perumahan Rakyat maupun dari UU-PK.
Temuan lainnya yang diperoleh adalah banyaknya ditemukan pembangunan
perumahan di Depok rata-rata dibangun di atas tanah partikelir, dan diatas tanah yang
belum jelas keperuntukkannya sehingga sering terjadi gugatan dari masyarakat yang
merasa memilikinya. Dalam kasus ini dibutuhkan terbentuknya konsumen-konsumen
perumahan yang cerdas agar terhindar dari masalah ini, adalah hal yang mutlak para
konsumen untuk secara teliti membaca dan memahami PPJB yang akan mereka
sepakati dengan para pengembang perumahan.
Permasalahan di atas diperparah dengan tidak tersedianya SDM di Dinas
Perindag setempat yang memahami perlindungan konsumen secara menyeluruh
khususnya berkaitan dengan permasalahan perumahan dan mampu mensosialisasikan
kepada masyarakat. Seringnya rotasi pejabat di daerah dan penempatan pejabat Dinas
sesuai selera kepala daerah tanpa melihat kompetensinya menjadi salah satu
penyebab mengapa di daerah-daerah tidak tersedia SDM yang mempunyai keahlian
yang dibutuhkan dalam mengawal UU PK.

146
4.2.8. Bekasi

Pengumpulan data untuk kajian klausula baku dengan melakukan survey di


daerah Bekasi, dengan responden terdiri dari konsumen, pengembang perumahan,
dan Disperindag Kota Bekasi didapat permasalahan yang relatif sama dengan daerah
survey lain, seperti kurang pahamnya baik konsumen maupun pengembangan
perumahan terhadap UU PK terutama yang berkaitan dengan klausula baku, dan
masalah-masalah lain berkaitan dengan wanprestasi yang dilakukan para pelaku
usaha perumahan.
Terdapat beberapa saran-saran yang diperoleh dari para pengembang
perumahan kepada pemerintah berkaitan dengan penetapan kebijakan perumahan
yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Perumahan Rakyat dan Direktorat
Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan, antara lain seperti; permudah
akses informasi bagi pengusaha dan konsumen terutama dalam pengeluaran
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan perumahan
sehingga baik pelaku usaha maupun konsumen memahami dan menjalankan
kebijakan tersebut, permudah administrasi perpajakan, hal ini terutama disuarakan
oleh pengembang perumahan berkaitan dengan pendirian maupun pengembangan
usaha.

4.2.9. Tangerang

Pengumpulan data primer untuk kajian klausula baku telah dilakukan di


daerah Tangerang, dengan responden terdiri dari konsumen, pengembang, BPSK,
dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tangerang dengan jumlah responden
sekitar 25 orang. Disperindag Kota Tangerang menghadapi kendala baru
terbentuknya seksi perlindungan konsumen disamping belum berdirinya BPSK Kota
Tangerang. Selama ini pengaduan masalah perumahan mengenai permasalahan
klausula baku perumahan belum ada, pengaduan hanya berupa wanprestasi.
Pengaduan-pengaduan yang ada sampai saat ini ditampung dan diteruskan ke pada
pihak-pihak terkait (BPSK, REI) kemudian dialihkan ke pemda kabupaten.
Wawancara yang dilakukan pada pengembang, didapat bahwa kebanyakan
pengembang perumahan di Kota Tangerang belum mengetahui dan memahami

147
tentang UU PK terutama permasalahan Klausula Baku. Selama ini pengembang
menerima keluhan konsumen selama tidak merubah apa yang telah tertuang dalam
PPJB. Biasanya keluhan-keluhan timbul setelah PPJB ditandatangai. Hal ini
mengidikasikan bahwa konsumen perumahan tidak secara teliti membaca naskah
PPJB sebelumnya. Hal-hal yang sering dikeluhkan konsumen adalah jadwal serah
terima rumah yang seringkali terlambat dan denda keterlambatan pembayaran
cicilan yang dirasa berat bagi para konsumen perumahan. Pengembang di daerah
Tangerang umumnya belum pernah diikut sertakan dalam sosialisai UU PK, dan
mereka tidak mengetahui adanya pengaturan tentang PPJB dalam UU PK.
Hasil survey terhadap konsumen perumahan di Kota Tangerang
menghasilkan data yang menginformasikan bahwa mereka sebagai konsumen
perumahan umumnya belum mengetahui dan memahami isi dari UU PK, terutama
permasalah mengenai klausula baku bahkan pengetahuan mengenai prosedur jual
beli rumah baru mereka mengetahui waktu membeli rumah, dimana ada pasal-pasal
yang tertuang dalam surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli rumah. Sebagian besar
konsumen hanya membaca dokumen PPJB secara sekilas, karena buru-buru
menandatangani dokumen dan tidak didampingi oleh ahli hukum, ada juga
konsumen yang menganggap penjelasan dokumen PPJB hanya formalitas.
Pelanggaran sering terjadi saat pembelian awal, dimana pengembang membangun
fasilitas tanpa memberitahu ke konsumen, fasilitas yang diberikan tidak sesuai
dengan yang dijanjikan, sertifikat terlambat diterima dan bangunan tidak boleh
dirubah. Selain hal-hal tersebut, pengaduan konsumen di Tangerang banyak berupa
konsumen sudah bayar uang muka namun rumah belum dibangun-dibangun juga,
tidak mendapatkan PPJB sampai bertahun-tahun rumah ditempati, rumah sudah
dibayar lunas tetapi AJB (sertifikat ) belum juga diperoleh.

148
BAB V
PEMAHAMAN PEMBELI TERHADAP KLAUSULA BAKU DI BIDANG
PERUMAHAN

Bab ini akan menguraikan analisis terhadap hasil survey ke kalangan


responden kajian. Dalam hal ini, target responden kajian ini adalah mereka yang
membeli rumah secara kredit dari pengembang (developer) perumahan, melakukan
dan menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli setelah tanggal 1 Januari 2004.
Pembatasan kurun waktu ini dilakukan dengan asumsi responden masih mampu
mengingat dan mampu menyadari, bersikap dan melakukan evaluasi terhadap PPJB
dan proses pembelian rumah apabila kurun waktunya masih 5 tahun. Di atas kurun
waktu tersebut, konsumen mungkin akan kesulitan mengingat terhadap peristiwa
pembelian dan penandatangan PPJB tersebut.

5.1. Tipe Rumah yang di beli dan Tempat Penandatanganan Perjanjian


Pengikatan Jual-Beli (PPJB)
Tipe rumah apa yang dibeli oleh responden? Pertanyaan ini ditanyakan
kepada responden di 5 daerah kajian (Jabodetabek, Batam, Bandung, Surabaya dan
Makassar). Mayoritas responden penelitian ini ternyata adalah pembeli rumah
sederhana atau tipe menengah. Antara 52% (di Bandung) sampai dengan 82,1% (di
Jabodetabek) adalah pembeli rumah tipe ini. Secara nasional, 13,7% responden
kajian ini adalah pembeli rumah mewah, dalam kajian ini sebesar 75,8% adalah
pembeli rumah sederhana/menengah dan 10,4% adalah pembeli rumah sangat
sederhana. Rincian informasi ini di setiap kota ditampilkan dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1
Tipe rumah yang dibeli Responden

Respons di daerah kajian (dalam persentase)


Jabod
Sura- Maka-
Tipe Rumah yang eta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
Dibeli bek
Rumah mewah 11,3% 6,5% 48,0% 12,0% 0,0% 13,7%
Rumah
82,1% 87,1% 52,0% 64,0% 72,0% 75,8%
sederhana/menengah
Rumah sangat sederhana 6,6% 6,5% 0,0% 24,0% 28,0% 10,4%
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

149
Lalu, pertanyaan berikutnya adalah mengenai tempat penandatanganan PPJB
rumah. Pada umumnya, sebagian besar responden menandatangani PPJB di kantor
pemasaran perumahan. Secara nasional, sejumlah 67,3% responden menyatakan
mereka menandatangani PPJB di tempat ini. Hampir di seluruh kota kajian
menunjukkan fenomena ini, kecuali di Bandung dimana ternyata mayoritas
responden (52%) mengaku bahwa mereka menandatangani PPJB di kantor notaris.
Selain itu, bank dan lokasi rumah yang dibeli juga merupakan tempat-tempat lainnya
yang disebutkan responden sebagai tempat dimana mereka menandatangani
dokumen PPJB (Lihat Tabel 5.2).

Tabel 5.2
Tempat Penandatanganan Dokumen Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) Rumah

Tempat Respons di daerah kajian (dalam persentase)


penandatanganan
dokumen J
Perjanjian Jabo- Sura- Maka-
Batam Bandung Nasional
Pengikatan Jual- deta- baya ssar
Beli (PPJB) bek
Rumah
Kantor pemasaran
72,6% 80,6% 36,0% 48,0% 76,0% 67, 3%
perumahan
Di rumah yang 0,0%
5,7% 8,0% 4,0% 4,0% 4,7%
dibeli
Kantor Notaris 5,7% 9,7% 52,0% 36,0% 0,0% 14,2%
Bank 9,4% 6,5% 0,0% 12,0% 8,0% 8,1%
Lainnya 6,7% 3,2% 0,0% 0,0% 8,0% 5,7%
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

Tujuan penandatanganan di Bank adalah untuk jual beli dan bukan PPJB,
sehingga melalui survey ini diketahui bahwa ada konsumen yang belum dapat
membedakan antara perjanjian jual beli dengan PPJB. Lazimnya untuk
penandatanganan di Bank dibacakan terlebih dahulu isi perjanjiannya sebelum
ditandatangani. Selain daripada kantor notaris dan Bank peluang untuk dibacakan isi
perjanjian tersebut sangatlah kecil kemungkinannya.
Lazimnya tempat penandatanganan turut mempengaruhi kesempatan
konsumen untuk mempelajari dokumen PPJB terkait. Apabila dokumen PPJB
ditandatangani di kantor notaris, maka sebelum penandatanganan notaries terlebih
dahulu membacakan isi dari PPJB dimaksud. Tidak lain tujuannya adalah agar para

150
pihak dapat meminta klarifikasi kepada pihak lainnya atas pasal-pasal yang tidak
jelas atau kurang dipahami isinya.
 
5.2. Pengetahuan Subyektif mengenai Jual Beli Rumah

Untuk mengukur tingkat pemahaman responden terhadap jual beli rumah,


ditanyakan 3 pertanyaan yang mengindikasikan mengenai pengetahuan dan
pemahaman subyektif responden terhadap prosedur jual beli rumah dan dokumen
PPJB.
Indikator yang pertama adalah mengenai pengetahuan subyektif responden
mengenai prosedur jual-beli rumah. Sebagian besar responden mengaku cenderung
kurang mengetahui atau netral/ragu-ragu bila mereka mengetahui prosedur jual beli
rumah. Secara nasional, 57,8% responden menyatakan hal tersebut. Bahkan,
sejumlah 86,3% responden di Makassar menyatakan hal ini (Lihat Tabel 5.3).

Tabel 5.3
Pengetahuan Responden Mengenai Prosedur Jual-Beli Rumah

Pengetahuan Respons di daerah kajian (dalam persentase)


Responden
mengenai Jabo-
Maka-
prosedur deta- Batam Bandung Surabaya Nasional
ssar
jual-beli bek
rumah
Cenderung
Kurang
Mengetahui 17,3% 34,5% 41,7% 34,8% 63,6% 29,9%
Netral/Ragu-
ragu 32,7% 27,6% 12,5% 26,1% 22,7% 27,9%
Cenderung
mengetahui 50,0% 37,9% 45,8% 39,1% 13,6% 42,3%
Nilai Rerata 4,65 3,93 4,13 3,96 3,14 4,24
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat adalah terbatas pada konteks jual
dan beli. Penjual berarti si pemilik produk dan pembeli adalah mereka yang mencari
produk dan akan membelinya. Pembeli pada hakekatnya adalah pemilik uang.
Sehingga jual beli yang dipahami oleh masyarakat adalah dengan membayar
sejumlah uang tertentu, maka saya berhak mendapatkan barang yang
dikehendakinya. Sifat dari transaksi biasanya terang dan tunai. Jual beli rumah tidak

151
sesederhana itu karena konsumen harus diberikan pemahaman selain proses, tetapi
juga variabel mekanisme jual beli, antara lain mekanisme-mekanisme sebagai
berikut:
1. Jual beli rumah dengan cash keras;
2. Jual beli rumah dengan mencicil;
3. Tata cara pengajuan KPR ke Bank;
4. Tata cara balik nama;
5. Tata cara pembebanan hak tanggungan;
6. Tata cara roya sertipikat;
7. Kewajiban-kewajiban penjual atas objek jual beli terkait dengan perizinan-
perizinan yang mutlak diperlukan;
8. Dst.
Indikator selanjutnya adalah mengenai pengetahuan subyektif responden
mengenai dokumen PPJB rumah. Sejalan dengan temuan sebelumnya, sebagian besar
responden mengaku cenderung kurang mengetahui atau netral/ragu-ragu bila mereka
mengetahui dokumen PPJB rumah. Secara nasional, 60,7% responden menyatakan
hal tersebut. Bahkan, sejumlah 86,3% responden di Makassar menyatakan hal ini
(Lihat Tabel 5.4).

Tabel 5.4
Pengetahuan Responden Mengenai
Dokumen Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) Rumah

Pengetahuan Respons di daerah kajian (dalam persentase)


Responden
mengenai
dokumen Jabo-
Sura- Maka-
Perjanjian deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
Pengikatan Jual- bek
Beli (PPJB)
rumah
Cenderung Kurang
Mengetahui 26,0% 41,4% 41,7% 39,1% 72,7% 36,8%
Netral/Ragu-ragu 25,0% 31,0% 16,7% 30,4% 13,6% 23,9%
Cenderung
mengetahui 49,0% 27,6% 41,7% 30,4% 13,6% 39,3%
Nilai Rerata 4,51 3,72 3,92 3,74 2,82 4,05
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

152
Indikator ketiga adalah mengenai pemahaman subyektif responden mengenai
dokumen PPJB rumah. Sejalan dengan temuan sebelumnya, sebagian besar
responden mengaku cenderung kurang memahami atau netral/ragu-ragu bila mereka
memahami dokumen PPJB rumah. Secara nasional, 56,5% responden menyatakan
hal tersebut. Bahkan, sejumlah 81,8% responden di Makassar menyatakan hal ini
(Lihat Tabel 5.5).
Sekedar memberikan catatan umum tentang pengetahuan subyektif mengenai
jual beli rumah ini bukan bertujuan untuk memberikan suatu justifikasi terhadap
temuan-temuan survey di lapangan. Informasi ini sebenarnya merupakan suatu
gambaran umum tentang proses dari instrument yang ada dalam lingkup jual beli
rumah. Konteksnya yang sangat subyektif ini justru lebih pada kepedulian maupun
kehati-hatian pribadi konsumen untuk memperkaya dirinya dengan informasi-
informasi yang dibutuhkan terhadap suatu proses maupun instrumen jual beli rumah.

Tabel 5.5
Pemahaman Responden Mengenai
Dokumen Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) Rumah

Pemahaman Respons di daerah kajian (dalam persentase)


Responden
mengenai
dokumen Jabo-
Sura- Maka-
Perjanjian deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
Pengikatan bek
Jual-Beli (PPJB)
rumah
Cenderung
Kurang
Memahami 26,0% 37,9% 37,5% 40,9% 68,2% 35,5%
Netral/Ragu-ragu 27,9% 17,2% 12,5% 13,6% 13,6% 21,0%
Cenderung
Memahami 46,2% 44,8% 50,0% 45,5% 18,2% 43,5%
Nilai Rerata 4,51 3,90 4,17 3,95 3,00 4,16
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

5.3. Perilaku terhadap Dokumen Perjanjian Jual Beli Rumah

Adalah hal yang menarik dan berguna untuk mengungkapkan bagaimanakah


perilaku responden sebelum menandatangani dokumen PPJB. Secara nasional,
mayoritas (58,3%) responden menyatakan mereka membaca dengan hati-hati setiap

153
pasal dalam dokumen. Konteks membaca secara berhati-hati ini belum sepenuhnya
mencerminkan bahwa konsumen telah paham betul terhadap apa yang dibacanya.
Justru hal ini merupakan suatu temuan yang menarik. Responden di Jabodetabek,
Batam dan Bandung mengungkapkan hal serupa. Namun, di Surabaya dan Makassar
menunjukkan fenomena berbeda, dimana sebagian besar responden mengaku bahwa
mereka hanya sekilas membaca dokumen tersebut.

Tabel 5.6
Perilaku Pembeli Sebelum Penandatanganan
Dokumen Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB)

Sebelum Respons di daerah kajian (dalam persentase)


menandatangani
Jabo-
dokumen Perjanjian Sura- Maka-
detabe Batam Bandung Nasional
Pengikatan Jual-Beli baya ssar
k
(PPJB), responden:
langsung 1,9% 7,1% 0,0% 16,0% 8,0% 4,9%
menandatangani
Dokumen Perjanjian
tanpa membacanya.
membaca Dokumen 37,1% 25,0% 12,5% 48,0% 60,0% 36,9%
Perjanjian secara
sekilas.
membaca dengan hati- 61,0% 67,9% 87,5% 36,0% 32,0% 58,3%
hati isi setiap pasal
dalam Dokumen
Perjanjian
Responden didampingi 28,3% 22,6% 12,5% 52,0% 28,0% 28,1%
oleh orang yang
memahami hukum jual
beli rumah (bisa lawyer,
notaris, sarjana hukum,
dsb, maupun kenalan
yang mengerti hukum)
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

Secara nasional, sekitar 41,7% responden mengaku tidak membaca dengan


hati-hati setiap pasal dalam surat perjanjian. Sekitar 36,9% hanya membaca dokumen
itu secara sekilas, sedangkan 4,9% langsung menandatangani dokumen tersebut
tanpa membacanya. Di Surabaya, bahkan sekitar 16% dari responden pembeli
perumahan mengaku langsung menandatangi tanpa membaca dokumen PPJB. Hal-
hal apa saja yang menyebabkan mereka tidak membaca secara hati-hati dokumen
yang sebenarnya sangat vital dalam proses jual-beli rumah itu?

154
Secara nasional, kepercayaan responden terhadap kredibilitas dan reputasi
penjual atau pengembang merupakan alasan yang paling banyak disebutkan oleh
responden. Sementara ketidakpahaman terhadap bahasa dan isi dokumen PPJB
disebutkan oleh 21,8% responden sebagai alasannya, 12,6% responden mengaku
terburu-buru ketika menandatangani dokumen PPJB. Asumsinya yang dapat
disampaikan adalah:
1. pembeli berada di bawah tekanan untuk segera menandatangani;
2. pembeli sepenuhnya percaya kepada penjual;
3. pembeli tidak diberikan kesempatan untuk mempelajari dokumen;
4. pembeli tidak terbiasa membaca dokumen.
Terdapat hal yang cukup menarik pada responden di Jabodetabek, dimana
sekitar 2,4% responden menandatangani PPJB tanpa membaca dengan hati-hati
dikarenakan mereka mendapatkan penjelasan dari pihak penjual bahwa dokumen
PPJB adalah prosedur formalitas saja. Dalam hal ini, kita dapat menangkap nuansa
penyesatan terhadap konsumen di sini. Akibatnya, mereka pun memandang bahwa
isi dokumen PPJB adalah sama saja untuk setiap pengembang.
Menarik juga untuk mencermati respon dari kota Makassar. Terdapat 5,9%
responden yang mengeluhkan bahwa tulisan dalam PPJB dibuat terlalu kecil dan
butir-butir perjanjian dibuat rumit dan banyak. Hal ini merupakan indikasi kenakalan
pengembang.
Perilaku pembeli meskipun tidak termasuk dalam konteks hukum, tetapi
prilaku ini merupakan cerminan dari gejala sosial yang terjadi. Manakala prilaku ini
telah bergeser menjadi sebuah fenomena sosial, maka hasil temuan-temuan di
lapangan dapat dipergunakan sebagai referensi tentang perlu atau tidaknya
pengaturan tertentu dalam sebuah regulasi sebagai tindak lanjut dari perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat.

155
Tabel 5.7
Alasan Responden Yang Tidak Membaca Dengan Hati-Hati
Isi Setiap Pasal Dalam Dokumen PPJB

Alasan Responden Respons di daerah kajian (dalam persentase)


yang tidak membaca
dengan hati-hati isi
setiap pasal dalam
dokumen Perjanjian Jabo- Sura- Maka-
Batam Bandung Nasional
Pengikatan Jual-Beli detabek baya ssar
(PPJB)?
(Dapat menjawab lebih
dari satu jawaban)
tidak memahami
bahasa dan isi
Dokumen Perjanjian. 17,1% 30,0% 0,0% 37,5% 17,6% 21,8%
terburu-buru ketika
menandatangani
Dokumen Perjanjian. 12,2% 20,0% 0,0% 6,3% 17,6% 12,6%
percaya dengan
kredibilitas dan
reputasi penjual atau
pengembang. 78,0% 50,0% 100,0% 75,0% 41,2% 67,8%
Diterangkan bahwa
dokumen PPJB hanya
formalitas 2,4% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 1,1%
Menganggap bahwa isi
dokumen PPJB adalah
sama saja antar
pengembang. 2,4% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 1,1%
Telah dijelaskan
sebelumnya secara
lisan 0,0% 10,0% 0,0% 0,0% 0,0% 1,1%
Tulisannya terlalu kecil 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 5,9% 1,1%
Terlalu banyak
butirnya 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 5,9% 1,1%
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

Dalam kuesioner disebutkan beberapa alasan mengapa konsumen tidak membaca


secara berhati-hati draft PPJB, tetapi hal utama yang menjadi sorotan adalah:
1. tidak memahami bahasa dan isi PPJB,
2. percaya dengan kredibilitas dan reputasi penjual.
Temuan yang menarik adalah mayoritas responden menunjukkan paham
bahasa dan isi PPJB, lebih jauh lagi mayoritas konsumen sangat percaya kepada
penjual. Kedua hal ini adalah titik terlemah bagi konsumen dalam menandatangani
PPJB. Seseorang memerlukan keahlian bidang ilmu tertentu untuk mengerti isi dari

156
sebuah draft perjanjian. Tidak jarang dijumpai adanya pasal-pasal terselubung
memiliki arti lebih dari satu, alur perjanjian dibuat tidak sistematis, penamaan
dokumen dengan istilah lain selain perjanjian yang dapat menyesatkan konsumen.
Responden di Surabaya cukup berbesar hati dengan menyatakan bahwa mereka tidak
sepenuhnya memahami. Sedangkan responden lainnya mungkin paham isi perjanjian
hanya berdasarkan keterangan lisan dari penjual dan bukan dikarenakan membaca isi
materi perjanjian.
Pembeli percaya kepada kredibilitas dan reputasi penjual adalah suatu hal
yang positif sepanjang si penjual memang telah berlaku adil, jujur dan profesioanal.
Tetapi apabila kita berhadapan dengan penjual yang berorientasi sepenuhnya untuk
memperoleh keuntungan dan mengabaikan kepentingan konsumen, maka konsumen
wajib disadarkan pemahamannya. Hasil responden menunjukkan bahwa mayoritas
konsumen percaya pada draft PPJB yang dibuat oleh penjual. Pada titik ini konsumen
telah melakukan kelalaian yang teramat fatal. Kebesaran sebuah nama perusahaan
seharusnya tidak menjadikan konsumen mengabaikan kewajibannya untuk membaca
dan memahami dokumen PPJB. Fakta ini menunjukkan bahwa dominasi nama besar
perusahaan timbul karena pencitraan dan kinerja bagian pemasaran yang luar biasa.
Tetapi dilain pihak menunjukkan bahwa konsumen sepenuhnya mengandalkan pada
hasil pencitraan tersebut. Pada posisi ini kedudukan konsumen sangat lemah.

5.4. Pengetahuan tentang Aturan Perlindungan Konsumen terkait PPJB


Rumah
Bagian selanjutnya akan mengungkapkan pengetahuan responden pembeli
rumah terhadap aturan perlindungan konsumen terkait dengan PPJB rumah. Terdapat
hal yang cukup menarik dari temuan kajian ini, bahwa ternyata jumlah responden
nasional yang mengetahui aturan perlindungan konsumen dalam perjanjian
pengikatan jual beli rumah hampir berimbang dengan mereka yang tidak
mengetahuinya. Secara nasional, 53,1% responden mengaku mengetahui aturan ini
sementara sejumlah 46,9% responden tidak mengetahui. Tingkat pengetahuan
responden ini ternyata terindikasi berkorelasi dengan jarak dari ibukota pemerintahan
negara kita. Jakarta dan Bandung menunjukkan tingkat pengetahuan responden yang
lebih tinggi daripada rekan-rekannya di Surabaya dan Makassar (Lihat Tabel 5.8)

157
Setelah dikatakan bahwa 53,1% responden menyatakan mengetahui,
sebenarnya hal ini masih terlalu sumir. Dikatakan seperti itu karena konteks
mengetahui memiliki beberapa parameter yang antara lain adalah melihat,
mendengar, melihat dan mendengar, melihat, mendengar dan memahami sehingga
jumlah 53,1% meliputi parameter tersebut di atas. Oleh karenanya tidak dapat
ditafsirkan bahwa responden tersebut turut mengetahui dalam tingkat pemahaman
atas seluruh maupun sebagian dari ketentuan pasal-pasal dalam UUPK.

Tabel 5.8
Pengetahuan Responden Terhadap Adanya Pasal Dalam UU Perlindungan Konsumen
Yang Mengatur Tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah

Apakah Responden Respons di daerah kajian (dalam persentase)


mengetahui bahwa
terdapat pasal dalam
UU Perlindungan Jabo-
Sura- Maka-
Konsumen yang deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
mengatur tentang bek
perjanjian pengikatan
jual beli rumah?
Tidak 40,6% 50,0% 29,2% 72,0% 64,0% 46,9%
Ya 59,4% 50,0% 70,8% 28,0% 36,0% 53,1%
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

Setelah menanyakan pertanyaan umum mengenai pengetahuan responden


terhadap aturan perlindungan konsumen, kajian mencoba mengungkapkan beberapa
hal khusus yang diatur dalam UU-PK. Dari sejumlah 211 responden kajian, hanya
sejumlah 117 responden yang mampu menjawab beberapa hal khusus tersebut karena
mereka mengaku bahwa tahu adanya aturan perlindungan konsumen tersebut.
Dalam UU-PK Pasal 18 ayat 1 (a), Pemerintah telah mengatur bahwa
pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir perjanjian yang mengalihkan
tanggung jawab pelaku usaha kepada pihak lain. Diilustrasikan dengan misalnya ada
pasal yang menyatakan bahwa pengembang dapat sewaktu-waktu mengalihkan
tanggungjawabnya ke pengembang lainnya. Dalam hal ini, 55,6% responden
nasional ternyata mengaku mengetahui hal ini, 56,4% responden nasional memahami
aturan ini, dan terdapat 8,9% responden pernah menemukan pelanggaran atas aturan
ini. Namun, terdapat hal yang cukup unik karena mayoritas responden di Jakarta dan
Makassar ternyata tidak mengetahui dan memahami aturan ini. Dapat dipahami

158
karena konteks mengetahui dan memahami tidak dapat secara mudah disampaikan
karana memiliki konsekuensi yang cukup serius.

Tabel 5.9
Pengetahuan Responden Bahwa Pengembang Tidak Diperbolehkan Untuk Membuat
Butir Perjanjian Yang Mengalihkan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Pihak
Lain

Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam


bahwa pengembang tidak persentase)
diperbolehkan untuk membuat
butir perjanjian yang
Jabo-
mengalihkan tanggung jawab Sura- Maka-
deta- Batam Bandung Nasional
pelaku usaha kepada pihak baya ssar
bek
lain

Apakah responden Tidak 59,1% 14,3% 5,9% 28,6% 61,5% 44,4%


mengetahui hal ini? Ya 40,9% 85,7% 94,1% 71,4% 38,5% 55,6%
Apakah responden Tidak 56,1% 21,4% 5,9% 42,9% 53,8% 43,6%
memahami aturan ini? Ya 43,9% 78,6% 94,1% 57,1% 46,2% 56,4%
Apakah responden Tidak 92,9% 75,0% 100,0% 100,0% 83,3% 91,1%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 7,1% 25,0% 0,0% 0,0% 16,7% 8,9%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana


pengembang dapat sewaktu-waktu mengalihkan tanggungjawabnya ke pengembang
lainnya. Aturan ayat ini sebenarnya bertujuan agar penjual tidak lagi bertindak
sebagai layaknya pemilik atas objek yang diperjualbelikan. Artinya manakala sudah
ditandatangani PPJB, maka konsekuensi yuridisnya adalah telah terjadi kesepakatan
untuk melakukan jual beli. Namun demikian jual beli dimaksud belum sempurna
dikarenakan adanya kewajiban-kewajiban yang masih harus dipenuhi, antara lain:
1. pembeli melakukan pembayaran secara cicilan;
2. bangunan belum selesai dibangun;
3. terkait dengan proses perizinan pembangunan yang terhambat;
4. dst.
Hasil temuan dilapangan yang berhubungan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir
(a) dimaksud antara lain adalah:
ƒ rumah yang sudah lunas sertifikat belum ada;
ƒ serah terima rumah tidak sesuai jadwal;

159
ƒ apabila terjadi kelalaian pihak kreditur, pihak debitur bisa mengalihkan ke
pihak lain tanpa sepengetahuan pihak kreditur;
ƒ aturan Bank dan Notaris yang simpang siur.
Isi ketentuan pasal tersebut bertujuan untuk melindungi konsumen, yaitu
dengan memberikan pemahaman bahwa obyek yang diperjualbelikan haknya telah
berakhir kepada pembeli. Artinya, meskipun belum dilakukan penyerahan ataupun
serah terima objek jual beli, dimana penjual akan melakukan tindakan-tindakan yang
dianggap akan merugikan pembeli yang beritikad baik. Salah satu tindakan yang
dimaksud adalah objek jual beli tersebut dijadikan sebagai jaminan pelunanasan
utang atas pinjaman yang diterima oleh penjual. Kemungkinan terburuk lainnya
adlah obyek jual beli dapat saja dijual kepada pihak ketiga lainnya secara melawan
hukum oleh si penjual.
Dalam UU-PK Pasal 18 ayat 1 (c), Pemerintah telah mengatur bahwa
pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir perjanjian yang menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas rumah yang telah dibeli konsumen.
Hal ini diilustrasikan dengan misalnya ada pasal dalam PPJB yang menyatakan
bahwa booking fee dan/atau uang muka yang telah dibayarkan tidak dapat
dikembalikan atau dapat dikembalikan dengan potongan sejumlah tertentu. Terkait
aturan ini, 52,6% responden nasional ternyata mengaku mengetahui hal ini, namun
52,6% responden nasional tidak memahami aturan ini, dan terdapat 15% responden
pernah menemukan pelanggaran atas aturan ini. Namun, terdapat hal yang cukup
unik karena mayoritas responden di Bandung dan Surabaya ternyata tidak
mengetahui dan memahami aturan ini (Lihat Tabel 5.10).

160
Tabel 5.10
Pengetahuan Responden Bahwa Pengembang Tidak Diperbolehkan Untuk Membuat
Butir Perjanjian Yang Menolak Penyerahan Kembali Uang Yang Dibayarkan Atas
Rumah Yang Telah Dibeli Konsumen

Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam persentase)


bahwa pengembang tidak
diperbolehkan untuk
membuat butir perjanjian Jabo-
Sura- Maka-
yang menolak penyerahan deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
kembali uang yang bek
dibayarkan atas rumah yang
telah dibeli konsumen.
Apakah responden Tidak 42,2% 26,7% 82,4% 85,7% 30,8% 47,4%
mengetahui hal ini? Ya 57,8% 73,3% 17,6% 14,3% 69,2% 52,6%
Apakah responden Tidak 53,1% 26,7% 82,4% 85,7% 23,1% 52,6%
memahami aturan Ya
ini? 46,9% 73,3% 17,6% 14,3% 76,9% 47,4%
Apakah responden Tidak 83,6% 76,9% 94,1% 100,0% 84,6% 85,0%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 16,4% 23,1% 5,9% 0,0% 15,4% 15,0%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana


pengembang membuat butir perjanjian yang menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas rumah yang telah dibeli konsumen, antara lain:
ƒ di salah satu perumahan didalamnya ada salah satu syarat free booking tapi
dengan ketentuan tertentu yang sangat merugikan konsumen;
ƒ apabila konsumen ditolak pengajuan kreditnya oleh pihak BTN maka uang
booking fee tidak dapat dikembalikan;
ƒ booking fee apabila batal dipotong biaya admministrasi;
ƒ konsumen mengalami sendiri menjadi contoh/korban dari licinnya, cerdiknya
pelaku usaha;
ƒ booking fee tidak dapat dikembalikan.
Banyak temuan survey yang menunjukkan bahwa pelanggaran ini masih banyak
dijumpai di lapangan. Pada prinsipnya booking fee adalah biaya administrasi yang
bertujuan untuk mengikat objek yang diperjualbelikan atau biaya yang diperlukan
sebagai syarat pemesanan objek jual beli. Secara yuridis telah tercipta kesepakatan
antara penjual dan pembeli yang harus ditaati bersama. Kendala timbul oleh karena

161
besaran biaya administrasi yang umumnya ditentukan secara sepihak oleh penjual.
Pembeli tidak memiliki alternatif pilihan kecuali untuk mengikuti persyaratan yang
dimaksud.
Variabel nilai booking fee prakteknya tidak terdapat keseragaman. Faktor ini
menimbulkan ketidak pastian dan adanya kecenderungan untuk memberikan
perlindungan secara sepihak bagi penjual. Permasalahan lain yang timbul adalah
ketika pembeli membatalkan niatnya untuk membeli obyek jual beli. Apabila hanya
sekedar biaya administrasi saja yang tidak lebih dari 10% (dari nilai jual beli) oleh
ketentuan hukum masih dapat dibenarkan. Akan berbeda halnya apabila ternyata
booking fee ditentukan sepihak oleh penjual sebesar 50% dari harga jual obyek jual
beli.
Sengketa timbul manakala booking fee yang besarnya di atas 10% dimaksud
seutuhnya tidak dapat dikembalikan kepada calon pembeli. Calon pembeli dalam hal
ini sangat dirugikan karena beban tersebut tidak seharusnya menjadi tanggungan
pihaknya. Apalagi jika ketentuan tersebut diatur dalam dokumen PPJB yang dibuat
bersama dengan penjual. Atas dasar ketentuan dalam perjanjian tersebut calon
pembeli tidak dapat memungkiri apa yang telah disepakati bersama. Biasanya pasal
yang mengatur tentang pembatalan booking tidak diungkapkan kepada calon
pembeli.
Kasus yang menarik dijumpai di Makassar di mana alasan nilai booking fee
tinggi dan tidak dapat di kembalikan karena terdapat praktek pesaing usaha bidang
developer lainnya melakukan booking komplek perumahan yang bersebelahan
dengan proyeknya agar pesaing tersebut tidak dapat menjual objek jual belinya.
Tetapi hal ini tidak tepat apabila pada aplikasinya konsumen yang harus menanggung
beban praktek usaha yang kotor pengusaha lainnya.
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1 (d), Pemerintah telah
mengatur bahwa pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir perjanjian
yang memberikan kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan
dengan rumah yang telah dibeli oleh konsumen secara angsuran. Hal ini
diilustrasikan dengan misalnya ada pasal dalam PPJB yang menyatakan bahwa
pengembang dapat meniadakan dan/atau mengubah fasilitas umum dan/atau fasilitas

162
sosial tanpa terlebih dahulu dari persetujuan konsumen. Terkait aturan ini, ternyata
sebagian besar responden nasional (58,5%) mengaku tidak mengetahui hal ini, 61,5%
responden nasional tidak memahami aturan ini, dan terdapat 13,8% responden
pernah menemukan pelanggaran atas aturan ini (Lihat Tabel 5.11).

Tabel 5.11
Pengetahuan Responden Bahwa Pengembang Tidak Diperbolehkan Untuk Membuat
Butir Perjanjian Yang Memberikan Kuasa Dari Konsumen Kepada Pelaku Usaha
Baik Secara Langsung Maupun Tidak Langsung Untuk Melakukan Segala Tindakan
Sepihak Yang Berkaitan Dengan Rumah Yang Telah Dibeli Oleh Konsumen Secara
Angsuran

Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam


bahwa pengembang tidak persentase)
diperbolehkan untuk membuat
butir perjanjian yang
memberikan kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha
Jabo-
baik secara langsung maupun Sura- Maka-
deta- Batam Bandung Nasional
tidak langsung untuk baya ssar
bek
melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan
rumah yang telah dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Apakah responden Tidak 60,0% 53,8% 70,6% 33,3% 46,2% 58,5%
mengetahui hal ini? Ya 40,0% 46,2% 29,4% 66,7% 53,8% 41,5%
Apakah responden Tidak 61,7% 53,8% 70,6% 66,7% 38,5% 59,4%
memahami aturan ini? Ya 38,3% 46,2% 29,4% 33,3% 61,5% 40,6%
Apakah responden Tidak 85,5% 77,8% 94,1% 100,0% 83,3% 86,2%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 14,5% 22,2% 5,9% 0,0% 16,7% 13,8%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana


pengembang membuat butir perjanjian yang memberikan kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan rumah yang telah dibeli oleh
konsumen secara angsuran, antara lain:
ƒ pengembang membuat sebuah fasilitas tanpa memberitahukan kepada
konsumen;

163
ƒ jalan di depan perumahan 2 sisi/jalur menjadi hanya 1 jalur, sehingga
bermasalah dengan perumahan sebelah. Masalah lainnya adalah lokasi fasum
masih bermasalah dengan warga sebagai konsumen.;
ƒ membuka usaha dagang tanpa pemberitahuan kepada konsumen terlebih
dahulu;
ƒ sebelum pengembang mengubah link perumahan harus ada persetujuan dari
konsumen;
ƒ fasilitas umum tidak disediakan secara memadai. Taman, tempat ibadah tidak
dibuat.;
ƒ seperti di perumahan yang saya tinggali, maket plan berubah terus tidak
sesuai dengan awalnya.
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir d dimaksud bertujuan untuk memberikan
perlindungan apabila ternyata terdapat klausul dalam perjanjian yang mengatur
tentang kuasa untuk bertindak secara sepihak dari penjual atas objek yang
diperjualbelikan. Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah diinformasikan baik
dalam brosur, leaflet, maupun media lainnya termasuk pula berdasarkan janji-janji
lisan lainnya haruslah ditepati.
Sekiranya akan dilakukan suatu perubahan yang sifatnya hanya memberikan
keuntungan bagi penjual dan tidak memberikan nilai tambah bagi para pembeli.
Seharusnya tidak ditempuh melalui kebijakan sepihak penjual.
Dampak yang ditimbulkan sebenarnya tidak hanya terbatas pada peruntukan
maupun fasilitas perumahan saja yang berubah, melainkan lebih besar daripada itu.
Pada prakteknya dijumpai adanya bangunan tiang listrik dan telepon yang masuk ke
dalam areal rumah. Bahkan dimungkinkan dalam PPJB tanpa disadari oleh pembeli,
penjual menentukan apabila ternyata terdapat ketentuan pemerintah yang
diberlakukan kepada perumahan tersebut, yang salah satunya terkait dengan
pencabutan izin, maka pembeli diwajibkan tunduk dan penjual tidak bertanggung
jawab atas keadaan tersebut.
Penekanan pasal tersebut adalah terhadap kuasa yang dilaksanakan hanya
untuk memberikan manfaat sepihak bagi penjual dan menimbulkan kerugian bagi
pembeli. Manakala tujuannya adalah untuk meningkatkan fasilitas maupun nilai

164
tambah maka terbuka peluang bahwa pasal tersebut dapat digugurkan berdasarkan
bukti-bukti yuridis yang ada.
Dalam UU-PK Pasal 18 ayat 1 (e), Pemerintah telah mengatur bahwa
pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir perjanjian yang mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan rumah yang telah dibeli oleh konsumen.
Hal ini diilustrasikan dengan misalnya ada pasal dalam PPJB yang menyatakan
bahwa segala bukti yang berlaku adalah bukti yang dikeluarkan sepihak oleh
pengembang; dan/atau yang memungkinkan pengembang untuk tidak
bertanggungjawab terhadap adanya cacat tersembunyi, seperti ketidaksesuaian
informasi dalam brosur dengan isi PPJB yang berakibat berkurangnya manfaat yang
diterima konsumen. Terkait aturan ini, ternyata sebagian besar responden nasional
(55,5%) mengaku tidak mengetahui hal ini, 60,9% responden nasional tidak
memahami aturan ini, dan terdapat 10,3% responden pernah menemukan
pelanggaran atas aturan ini (Lihat Tabel 5.12).

Tabel 5.12
Pengetahuan Responden Bahwa Pengembang Tidak Diperbolehkan Untuk Membuat
Butir Perjanjian Yang Mengatur Perihal Pembuktian Atas Hilangnya Kegunaan
Rumah Yang Telah Dibeli Oleh Konsumen

Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam


bahwa pengembang tidak persentase)
diperbolehkan untuk membuat
butir perjanjian yang
Jabo-
mengatur perihal pembuktian Sura- Maka-
deta- Batam Bandung Nasional
atas hilangnya kegunaan baya ssar
bek
rumah yang telah dibeli oleh
konsumen.
Apakah responden Tidak 60,3% 27,3% 70,6% 57,1% 33,3% 55,5%
mengetahui hal ini? Ya 39,7% 72,7% 29,4% 42,9% 66,7% 44,5%
Apakah responden Tidak 65,1% 36,4% 76,5% 71,4% 33,3% 60,9%
memahami aturan Ya
ini? 34,9% 63,6% 23,5% 28,6% 66,7% 39,1%
Apakah responden Tidak 91,1% 80,0% 100,0% 100,0% 75,0% 89,7%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 8,9% 20,0% 0,0% 0,0% 25,0% 10,3%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

165
Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana
pengembang membuat butir perjanjian yang mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan rumah yang telah dibeli oleh konsumen, antara lain:
ƒ fasilitas yang diberikan pada konsumen tidak sesuai dengan brosur;
ƒ khusus untuk rumah bagian depan dua sisi kali kiri-kanan menjadi satu sisi;
ƒ di dalam brosur yang tersedia tidak sesuai dengan apa kenyataannya;
ƒ sertifikat yang ada cuma HGB yang seharusnya hak milik;
ƒ bangunan rumah tidak rapih.
Konteks kehilangan kegunaan ini dapat diklarifikasikan kehilangan kegunaan
secara keseluruhan ataupun sebagian saja. Pasal ini turut memberikan perlindungan
pada kehilangan secara sebagian. Artinya masing-masing benda yang ada melekat
pada bangunan rumah seperti pintu, atap, selokan, tangga, sambungan listrik,
sambungan telepon, pondasi dan lain sebagainya. Apabila ternyata dalam
kenyataannya benda-benda tersebut tidak dapat dipergunakan sesuai dengan
fungsinya yang bukan dikarenakan kesalahan pembeli, maka seharusnya jangan
dibebankan kepada pembeli.
Pengecualian terhadap pembebanan kepada pembeli adalah sebelum
dilakukan serah terima rumah. Lazimnya dalam proses serah terima rumah telah
didahului dengan pemeriksaan rumah yang dilakukan secara bersama-sama antara
penjual dan pembeli. Mereka secara bersama-sama melakukan pengecekan bersama
terhadap berbagai macam hal, termasuk fungsi, kegunaan maupun kerapihan
pekerjaan. Jika ditemui ketidaksempurnaan maka pembeli dapat meminta penjual
untuk melakukan perbaikan maupun penggantian yang diperlukan.
Sekurangnya dalam pemeriksaan tidak terdapat kekurangan, maka
selanjutnya dilakukan penandatanganan berita acara serah terima rumah. Pada posisi
dimaksud tanggung jawab penjual telah beralih kepada pembeli. Biasanya pada
pengembang yang profesional di bidangnya memberikan hak retensi selama 3 bulan
pasca penandatanganan perjanjian, seandainya terdapat kerusakan-kerusakan pada
bangunan rumah. Mengingat telah terjadi pengalihan hak maka terhadap tuntutan
kehilangan kegunaan di kemudian hari atas obyek yang telah diperiksa bersama
sebelum serah terima rumah, dapat digugurkan.

166
Kasus lain yang kerap terjadi adalah hilangnya kegunaan yang tidak dalam
konteks rumah tetapi lebih pada lingkungan, yaitu fasos dan fasum lahan yang
seharusnya diperuntukan sebagai fasos dan fasum jika diubah kegunaannya menjadi
bangunan baru, maka hal tersebut sebaiknya diberlakukan secara kolektif oleh warga
perumahan yang bersangkutan.
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1 (g), Pemerintah telah
mengatur bahwa pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir perjanjian
yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan baru, tambahan, lanjutan
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan rumah
yang dibelinya. Terkait aturan ini, ternyata sebagian besar responden nasional
(57,3%) mengaku tidak mengetahui hal ini, 57,3% responden nasional tidak
memahami aturan ini, dan terdapat 6,3% responden pernah menemukan pelanggaran
atas aturan ini (Lihat Tabel 5.13).

Tabel 5.13
Pengetahuan Responden Bahwa Pengembang Tidak Diperbolehkan Untuk Membuat
Butir Perjanjian Yang Menyatakan Tunduknya Konsumen Kepada Peraturan Baru,
Tambahan, Lanjutan Yang Dibuat Sepihak Oleh Pelaku Usaha Dalam Masa
Konsumen Memanfaatkan Rumah Yang Dibelinya

Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam persentase)


bahwa pengembang tidak
diperbolehkan untuk
membuat butir perjanjian
yang menyatakan tunduknya
Jabo-
konsumen kepada peraturan Sura- Maka-
deta- Batam Bandung Nasional
baru, tambahan, lanjutan baya ssar
bek
yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan
rumah yang dibelinya
Apakah responden Tidak 59,7% 28,6% 82,4% 50,0% 46,2% 57,3%
mengetahui hal ini? Ya 40,3% 71,4% 17,6% 50,0% 53,8% 42,7%
Apakah responden Tidak 58,1% 28,6% 82,4% 75,0% 46,2% 57,3%
memahami aturan Ya
ini? 41,9% 71,4% 17,6% 25,0% 53,8% 42,7%
Apakah responden Tidak 92,7% 100,0% 100,0% 100,0% 80,0% 93,8%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 7,3% 0,0% 0,0% 0,0% 20,0% 6,3%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

167
Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana
pengembang membuat butir perjanjian yang menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan baru, tambahan, lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan rumah yang dibelinya, antara lain:
ƒ fasum yang diberikan dibangun rumah;
ƒ dalam hal terlambat serah terima, developer selalu berlindung dengan
pasal/klausul tambahan berikutnya.
Tunduk pada ketentuan baru sebagai warga Negara yang taat hukum sudah
merupakan suatu keharusan. Namun akan berbeda konteksnya apabila ketentuan baru
tersebut seharusnya dipatuhi oleh pengembang. Misalnya pengembang membangun
lahan perumahan di atas lahan yang bukan diperuntukan untuk lokasi perumahan.
Salah satu peristiwa yang terjadi adalah perumahan dibangun di atas tanah hak pakai
atau hak pengelolaan. Jika penjual tidak mengungkapkan fakta tersebut, maka
pengembang telah melakukan tindak kejahatan. Pembeli atas tanah hak pakai dan
hak pengelolaan tersebut hanya dapat menikmati hunian dalam periode tertentu saja.
Saat sudah habis jangka waktunya atas lahan tersebut Negara dapat mengalih
fungsikan kegunaan lahan sesuai dengan kebutuhan. Keadaan ini hanya merupakan
salah satu realitas yang dijumpai sebagai alasan dipergunakannya pasal 18 ayat(1)
butir (g) tersebut.
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1 (h), Pemerintah telah
mengatur bahwa pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir perjanjian
yang menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pengembang untuk
pembebanan hak tanggungan terhadap rumah yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran. Hal ini diilustrasikan dengan misalnya ada pasal dalam PPJB yang
menyatakan bahwa selama cicilan konsumen belum lunas, pengembang masih
berkuasa terhadap rumah dan dapat menjaminkan untuk mendapatkan dana. Terkait
aturan ini, sebagian besar responden nasional (60,3%) mengaku mengetahui hal ini,
60,7% responden nasional mengaku memahami aturan ini, dan terdapat 4,3%
responden pernah menemukan pelanggaran atas aturan ini (Lihat Tabel 5.14).
Namun, terdapat hal yang cukup unik karena mayoritas responden di Jakarta dan
Surabaya ternyata tidak mengetahui dan memahami aturan ini.

168
Tabel 5.14
Pengetahuan Responden Bahwa Pengembang Tidak Diperbolehkan Untuk Membuat
Butir Perjanjian Yang Menyatakan Bahwa Konsumen Memberi Kuasa Kepada
Pengembang Untuk Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Rumah Yang Dibeli
Oleh Konsumen Secara Angsuran
 
Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam persentase)
bahwa pengembang tidak
diperbolehkan untuk membuat
butir perjanjian yang
menyatakan bahwa konsumen Jabo-
Sura- Maka-
memberi kuasa kepada deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
pengembang untuk bek
pembebanan hak tanggungan
terhadap rumah yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran
Apakah responden Tidak 53,1% 33,3% 0,0% 57,1% 23,1% 39,7%
mengetahui hal ini? Ya 46,9% 66,7% 100,0% 42,9% 76,9% 60,3%
Apakah responden Tidak 53,3% 23,1% 0,0% 80,0% 25,0% 39,3%
memahami aturan ini? Ya 46,7% 76,9% 100,0% 20,0% 75,0% 60,7%
Apakah responden Tidak 96,2% 100,0% 100,0% 100,0% 83,3% 95,7%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 3,8% 0,0% 0,0% 0,0% 16,7% 4,3%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana


pengembang membuat butir perjanjian yang menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pengembang untuk pembebanan hak tanggungan terhadap rumah yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Secara teknis perbankan, bank tidak akan memberikan fasilitas KPR apabila
hak atas tanah masih atas nama pengembang. Sehingga pola jual beli yang
dilaksanakan adalah bank menanggung kekurangan bayar pembeli. Dengan demikian
sertipikat hak telah atas nama pembeli dan pembeli membebankan rumah yang
dibelanja untuk jaminan pelunasan fasilitas KPR yang diterimanya. Kekhawatiran
pembuat undang-undang apabila penjual diberikan kuasa untuk membebankan hak
tanggungan, maka kemungkinan yang terjadi adalah penjual dapat memperoleh
pinjaman bank untuk manfaat dirinya bukan manfaat pembeli. Selayaknya adanya
jaminan pihak ketiga, tetapi pembeli dalam hal ini telah diperdaya dan secara
ekonomis dan yuridis dirugikan.

169
Terkait dengan teknis dokumen PPJB, dalam UU Perlindungan Konsumen
Pasal 18 ayat 2, Pemerintah telah mengatur bahwa pengembang tidak diperbolehkan
untuk membuat butir perjanjian yang letak atau bentuknya tidak mudah dilihat dan
tidak mudah dibaca secara jelas dalam perjanjian jual beli rumah. Terkait aturan ini,
sebagian besar responden nasional (54,7%) mengaku mengetahui hal ini, sementara
yang memahami peraturan ini hanyalah 50%. Selain itu, terdapat 5,1% responden
pernah menemukan pelanggaran atas aturan ini (Lihat Tabel 5.15). Namun, terdapat
hal yang cukup unik karena mayoritas responden di Bandung ternyata tidak
mengetahui aturan ini; sementara mayoritas responden di Jabodetabek, Bandung dan
Surabaya mengaku tidak memahaminya. Pelanggaran atas peraturan ini ternyata
paling banyak dikeluhkan di Makassar (16,7% responden), diikuti Bandung (8,3%)
dan Jabodetabek (3,6%).

Tabel 5.15
Pengetahuan Responden Bahwa pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat
butir perjanjian yang letak atau bentuknya tidak mudah dilihat dan tidak mudah
dibaca secara jelas dalam perjanjian jual beli rumah

Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam


bahwa pengembang tidak persentase)
diperbolehkan untuk membuat
butir perjanjian yang letak
atau bentuknya tidak mudah Jabo-
Sura- Maka-
dilihat dan tidak mudah dibaca deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
secara jelas dalam perjanjian bek
jual beli rumah.

Apakah responden Tidak 46,2% 26,7% 76,5% 28,6% 30,8% 45,3%


mengetahui hal ini? Ya 53,8% 73,3% 23,5% 71,4% 69,2% 54,7%
Apakah responden Tidak 50,8% 21,4% 82,4% 57,1% 30,8% 50,0%
memahami aturan Ya
ini? 49,2% 78,6% 17,6% 42,9% 69,2% 50,0%
Apakah responden Tidak 96,4% 91,7% 100,0% 100,0% 83,3% 94,9%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 3,6% 8,3% 0,0% 0,0% 16,7% 5,1%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana


pengembang membuat butir perjanjian yang letak atau bentuknya tidak mudah dilihat
dan tidak mudah dibaca secara jelas dalam perjanjian jual beli rumah, antara lain:

170
ƒ Dokumen perjanjian sengaja dibuat dengan tulisan yang sangat kecil sehingga
sulit dibaca.
Maksud dari pasal tersebut adalah untuk tidak hanya diartikan secara harfiah
karena pelarangan tersebut dititikberatkan pada beberapa hal yaitu:
1. Tulisan harus jelas dan mudah dibaca;
2. Kalimat harus memiliki arti yang jelas dan tidak memberikan penafsiran lain;
3. Tidak boleh ada kata-kata terselubung yang disisipkan dalam pasal-pasal,
baik yang secara langsung diintegrasikan, dalam catatan kaki maupun di
halaman balik lembar dokumen;
4. Harus menggunakan bahasa dan istilah yang mudah dimengerti;
5. Dll.
Masih juga terkait dengan teknis dokumen PPJB, Pemerintah juga telah
mengatur bahwa pengembang tidak diperbolehkan menggunakan istilah-istilah atau
tanda-tanda atau penggunaan bahasa yang tidak mudah dimengerti oleh konsumen
dan tidak dalam bahasa Indonesia dalam perjanjian jual beli rumah. Terkait aturan
ini, sebagian besar responden nasional (55%) mengaku tidak mengetahui hal ini,
sementara yang memahami peraturan ini sebanyak 56%. Selain itu, terdapat 10,4%
responden pernah menemukan pelanggaran atas aturan ini (Lihat Tabel 5.15).
Namun, terdapat hal yang cukup unik karena mayoritas responden di Bandung
ternyata tidak mengetahui dan tidak memahami aturan ini. Pelanggaran atas
peraturan ini ternyata paling banyak dikeluhkan di Makassar dan Batam (18,2%
responden), diikuti Jabodetabek (11,1%).

171
Tabel 5.16
Pengetahuan Responden Bahwa Pengembang Tidak Diperbolehkan Menggunakan
Istilah-Istilah Atau Tanda-Tanda Atau Penggunaan Bahasa Yang Tidak Mudah
Dimengerti Oleh Konsumen Dan Tidak Dalam Bahasa Indonesia Dalam Perjanjian
Jual Beli Rumah

Pemerintah telah mengatur Respons di daerah kajian (dalam


bahwa pengembang tidak persentase)
diperbolehkan menggunakan
istilah-istilah atau tanda-tanda
atau penggunaan bahasa yang Jabo-
Sura- Maka-
tidak mudah dimengerti oleh deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
konsumen dan tidak dalam bek
bahasa Indonesia dalam
perjanjian jual beli rumah
Apakah responden Tidak 43,9% 9,1% 76,5% 33,3% 41,7% 45,0%
mengetahui hal ini? Ya 56,1% 90,9% 23,5% 66,7% 58,3% 55,0%
Apakah responden Tidak 43,9% 9,1% 76,5% 33,3% 33,3% 44,0%
memahami aturan ini? Ya 56,1% 90,9% 23,5% 66,7% 66,7% 56,0%
Apakah responden Tidak 88,9% 81,8% 100,0% 100,0% 81,8% 89,6%
pernah menemukan
pelanggaran aturan Ya 11,1% 18,2% 0,0% 0,0% 18,2% 10,4%
ini?
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 117 responden.

Beberapa keluhan responden pembeli terkait dengan aturan dimana


pengembang menggunakan istilah-istilah atau tanda-tanda atau penggunaan bahasa
yang tidak mudah dimengerti oleh konsumen dan tidak dalam bahasa Indonesia
dalam perjanjian jual beli rumah, antara lain:
ƒ Di sebuah perjanjian di salah satu pengembang perumahan dan itu ada bahasa
yang tidak dipahami;
ƒ Kita harus memahami isi bahasa yang ada dalam perjanjian PPJB;
ƒ Bahasa hukum yang agak membingungkan artinya;
ƒ Hampir semua dokumen perjanjian ditulis dengan bahasa yang susah
dimengerti;
ƒ PPJB sering mengunakan istilah-istilah/bahasa yang tidak baku seperti
'agunan' dan 'hari kerja'. Seharusnya pada Pasal 1 harus diberikan definisi
tentang hal-hal tersebut.
Dalam bahasa ekonomi dan hukum dikenal banyak istilah-istilah yang
seringkali di intergrasikan dengan dokumen-dokumen jual beli rumah. Secara umum
tidak ada masalah untuk menggunakan istilah-istilah tersebut sepanjang pada bagian

172
sebelumnya telah disebutkan secara jelas arti maupun definisi dari istilah yang
dipergunakan tersebut. Adalah salah apabila pengembang beranggapan atau
memposisikan pembeli telah separuhnya memahami makna dari istilah-istilah
tersebut.
Selanjutnya kajian mengeksplorasi mengenai apakah terdapat jaminan
mengenai waktu penyerahan sertifikat rumah setelah pelunasannya. Mayoritas
responden menyatakan bahwa terdapat jaminan itu, sementara 8,4% responden
menyatakan tidak ada, dan 25,8% responden tidak tahu.

Tabel 5.17
Jaminan Mengenai Waktu Penyerahan Sertifikat Akan Diserahkan Setelah Pelunasan

Apakah di dalam dokumen Respons di daerah kajian (dalam persentase)


Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) terdapat jaminan Jabo-
Sura- Maka-
mengenai waktu penyerahan deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
sertifikat akan diserahkan bek
setelah pelunasan?
Tidak 11,7% 7,4% 4,2% 4,8% 4,0% 8,4%
Tidak tahu 28,7% 18,5% 4,2% 42,9% 32,0% 25,8%
Ya 59,6% 74,1% 91,7% 52,4% 64,0% 65,8%
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

Akhirnya, kajian mengeksplorasi mengenai apakah terdapat salah terkait


dengan isi dokumen Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB). Sebanyak 7,3%
responden menyatakan terdapat masalah-masalah seperti berikut:
ƒ Asuransi tidak pernah ditagih, tetapi disuruh bayar saat pelunasan;
ƒ Keterlambatan sertifikat yang dijanjikan oleh pengembang;
ƒ Setelah DP angsuran lunas, ketika cicilan pertama langsung dikenakan denda
serta bunga. Padahal lama proses karena pihak BTN, sehingga ketika akad
kredit dengan developer jadi hutang. Tapi saat itu saya menolak dan ingin
membatalkan membeli rumah, karena takut akhirnya saya dikenakan biaya
musyawarah win-win solution!;
ƒ Penetapan sertifikat tidak jelas selesainya. Proses lambat, saya baru menerima
surat perjanjian jual beli padahal bangunan dan tanah sudah lunas tahun 2003;
ƒ Pelaku usaha berbelit-belit;

173
ƒ Kalau kita membatalkan beli rumah tersebut akan dipotong 60 % DP dan
booking fee hangus;
ƒ Pelaku usaha cenderung melempar permasalahan kepada pihak bank dan
notaris;
ƒ Perjanjian sengaja dibuat sesulit mungkin untuk dibaca dan dipahami
sehingga konsumen pun enggan mengoreksi karena juga terlalu banyak butir-
butir yang dibuat;
ƒ Rumah yang saya ambil sudah satu tahun belum dibangun dengan berbagai
alasan dari pengembang dan akhirnya saya minta uang kembali;
ƒ Sertifikat belum di terima padahal sudah di bayar lunas 2 tahun lalu;
ƒ Fasum taman yang ada dalam perjanjian ternyata setelah di tempati tidak ada
taman yang jadi;
ƒ Tidak tahu apakah rumah yang dibangun ada IMB. Tidak tahu dokumen apa
saja yang harus saya pegang sebagai pembeli (kredit).

Pada bagian ini sebenarnya pelaku usaha tidak memiliki itikad baik dan
menimbulkan kerugian bagi pembeli. Terhadap kondisi semacam ini Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Indonesia mengatur tentang perbuatan melawan hukum
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1365-nya artinya secara hukum pembeli
diberikan hak untuk menuntut pemulihan dan ganti rugi atas perbuatan pelaku usaha
tersebut. Ketentuan pasal 1365 KUHPer tersebut dapat pula di integrasikan dengan
UUPK. Berdasarkan hasil temuan survey ini menunjukan bahwa mayoritas
konsumen tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk melindungi dan
memperjuakan hak-haknya.

5.5. Masalah-Masalah Lainnya yang dihadapi oleh Pembeli Rumah

Akhirnya, responden mengungkapkan berbagai masalah yang dialaminya


terkait dengan kerugian yang dialami saat hal jual beli rumah:
ƒ Kaca bagian depan pecah tidak diganti oleh pengembang. Genteng pecah
tidak diganti. Sumur pantek yang tidak berfungsi;
ƒ Pada saat angsuran dinaikkan tanpa pemberitahuan;
ƒ Bangunan rumah tidak boleh dirubah;

174
ƒ Pembangunan dan atau perbaikan fasos dan fasum diubah atau tertunda-tunda
seperti: fasilitas ibadah sempat tertunda pembangunannya; jalan didalam
komplek sempat rusak parah; taman kurang terawat; kolam renang berubah
menjadi balai warga (persetujuan warga?); keamanan lingkungan kurang
kondusif; banyaknya preman/pemalak; penerangan jalan sering byar pet;
ƒ Selama mencicil, tidak ada info yang jelas tentang jumlah denda
keterlambatan, sehingga ketika ada keterlambatan denda dan bunga tiba-tiba
muncul yang nilainya cukup tinggi. Seharusnya di awal perjanjian konsumen
diberitahu atau diberi contoh sehingga tidak merasa dirugikan;
ƒ Keterlambatan angsuran di denda. Tetapi keterlambatan pengurusan sertifikat
tidak di denda/ klausulnya tidak ada (CV);
ƒ Konsep pemasaran terlihat murah tapi dalam perhitungan sebenarnya tetap
mahal;
ƒ Mutu dan kualitas bangunan masih jauh dari selayaknya. Keterlambatan
penyelesaian pembangunan rumah juga masih sering jadi persoalan;
ƒ Ternyata membeli rumah itu tidak semudah yang kami bayangkan. Diawal-
awal sebelum pembelian rumah itu, kami kira tidak ada biaya ini itu, ternyata
banyak sekali biaya yang harus kami keluarkan;
ƒ Suku bunga berubah-ubah;
ƒ Kenyataan tidak sesuai dengan pemasaran;
ƒ Bahwa rumah yang sudah dibayar angsurannya dan sudah diserahkan
kuncinya ternyata ternyata ada pihak lain yang juga memegang kunci rumah
yang sama (1 rumah ada 2 orang yang memilikinya) dan sudah saya batalkan
tetapi pengembalian uang cuma separuh dari total yang sudah saya bayarkan.;
ƒ Masalah janji perusahaan dalam pembangunan rumah 4 s/d 5 bulan selesai,
tapi pada kenyataannya pada akhir bulan februari pembangunan baru dimulai.
Sudah terjadi akad kredit di BTN disaksikan oleh pihak BTN, developer,
notaris serta saksi-saksi lain, tetapi dalam 2 hari kemudian akad kredit kami
digagalkan pihak BTN dengan alasan informasi yang diberikan pihak
developer tentang luas tanah tidak benar;
ƒ Bangunan tidak sesuai dengan konstruksi misalnya lantai keramik, ternyata
ubin abu-abu. Saluran air tidak jalan;

175
ƒ Terjadinya banjir. Ketika promosi dikatakan bebas banjir, tapi kenyataannya
terjadi banjir;
ƒ Saya ngotot baru dipenuhi;
ƒ Setelah saya minta diselesaikan (saya marah-marah dan mengamuk) baru
dipenuhi;
ƒ Soal klausula baku yang diperbuat oleh pelaku usaha (developer) tidak
obyektif, tidak konstruktif serta selalu mengada-ada terhadap aturan UU PK
yang sebenarnya. Selain itu, soal susulan tindakan pelaku usaha (klausula
baku) yang dapat memicu serta mengarah kedalam undang-undang yang ada;
ƒ Pengembang selalu ingkar janji, padahal uang muka sudah lunas tapi
bangunan belum juga dibangun, bangunan tidak sesuai dengan spesifikasi,
fasilitas tidak sesuai dengan brosur dll;
ƒ Sertifikat yang belum ada;
ƒ Sertifikat yang tidak ada kepastian padahal sudah lunas;
ƒ Banyak rusak;
ƒ Tanah yang dibayarkan seluas 130 m, tapi setelah sertifikat terbit hanya
tercantum 128 m dan sertifikat yang terbit hanya HGB bukan hak milik;
ƒ Serah terima lambat, bangunan kurang rapih, listrik tidak langsung ada;
ƒ Listrik belum tersambung pada saat rumah dihuni. Perencanaan fasos dan
fasum berubah. Jalan lingkungan tidak sesuai dengan janji awal. Komplain
kondisi rumah tidak ditanggapi pada saat serah terima kunci (STK);
ƒ Ternyata lokasi perumahan banjir dan dekat dengan pabrik serta tempat
sampah;
ƒ Waktu penyerahan terlambat 1,5 bulan dari waktu yang telah disepakati.
(disepakati diserahkan seharusnya 1 Maret tetapi baru diserahkan 20 April);
ƒ Sebelum kami menempati rumah, kami menemukan kualitas bangunan rumah
sangat buruk dan dengan komplain berkali-kali baru bisa ditanggapi dan
dilakukan perbaikan.
Sebagai tambahan, kajian mengeksplorasi mengenai apakah responden
pernah mengalami keterlambatan dalam waktu penyerahan rumah (tidak sesuai
dengan kesepakatan. Sejumlah 7,8% responden (Lihat Tabel 5.17) menyatakan
terdapat masalah-masalah seperti berikut:

176
ƒ Waktu penyerahan rumah tidak terlambat, hanya saja pengembang terlambat
memberikan fasilitas pendukung seperti pemasangan listrik tidak tepat waktu
dan penyerahan pompa air/jet pump yang sangat terlambat dari tanggal yang
telah disepakati;
ƒ Kadang penyerahan rumah sering kali terlambat karena lamanya proses
finishing rumah sebelum penyerahan;
ƒ Dikarenakan pendapatan yang tidak menentu, uang terpakai untuk keperluan
lain yang lebih penting;
ƒ Masih dalam renovasi;
ƒ Masih dipinjam untuk acara keluarga;
ƒ Ternyata dari pihak penjual sertifikat masih di Bank, berdasarkan konfirmasi
Bank, katanya pengembang ini belum melunasi pinjaman dan ternyata
sertifikatnya juga belum di pecah2 masih global;
ƒ Setelah melunasi uang muka tetapi belum di KPR ternyata rumah yang dibeli
belum selesai di bangun (pembangunan rumah terlambat 1 tahun setelah
perjanjian) dan akhirnya kami dibantu developer dan diberikan rumah lain
yang sudah siap huni dengan developer yang sama dengan perjanjian rumah
yang dibeli semula dibatalkan (karena pada prinsipnya banyak developer
yang hanya menjual gambar rumah terlebih dahulu sebelum rumahnya
dibangun);
ƒ Soalnya pihak developer menentukan tanggal akadnya tapi selalu tidak
ditepati (tidak sesuai jadwal);
ƒ Molor 18 bulan. Bangunan dijanjikan selesai 3 bulan setelah DP (Agustus
2005) dan penyerahan baru terlaksana Juni 2006;
ƒ Sesuai dengan promosi dan marketing, penyerahan rumah akan dilakukan 6
bulan kedepan, tetapi terlambat sampai 8 bulan dengan kondisi listrik belum
menggunakan PLN;
ƒ Karena pengembang beralasan listrik PLN dan PAM belum siap.
Pada bagian tersebut pelaku usaha telah cidera janji/wanprestasi atas janji-
janji yang telah dibuatnya. Untuk itu pembeli berhak atas pemulihan keadaan
berdasarkan hukum Indonesia. Yang seringkali terjadi adalah pengaturan tentang
cidera janji pada pembeli diatur secara lengkap dan rinci, dimana di dalamnya turut

177
diatur sanksi-sanksi yang dijatuhkan bagi pembeli yang cidera janji. Sedangkan pasal
tentang pelaku usaha yang cidera janji tidak diatur secara khusus, apalagi terhadap
sanksi-sanksi yang dibebankan kepada pelaku usaha manakala terjadi peristiwa
cidera janji tersebut.

Tabel 5.18
Respons Mengenai Mengalami Keterlambatan Dalam Waktu Penyerahan Rumah
(Tidak Sesuai Dengan Kesepakatan Awal)

Apakah Responden pernah Respons di daerah kajian (dalam persentase)


mengalami keterlambatan
Jabo-
dalam waktu penyerahan Sura- Maka-
deta- Batam Bandung Nasional
rumah (tidak sesuai dengan baya ssar
bek
kesepakatan)?
Tidak 94,2% 83,3% 100,0% 84,0% 96,0% 92,2%
Ya 5,8% 16,7% 0,0% 16,0% 4,0% 7,8%
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

5.6. Faktor-faktor Demografi yang Mempengaruhi Pembelian Perumahan

Kajian di 9 kota besar ini melibatkan 211 orang responden dengan sebaran
demografi ditunjukkan pada Tabel 5.18. Berdasarkan variabel jenis kelamin,
responden terdiri dari 63,8% pria dan 36,2% wanita. Dari sisi usia responden,
sebagian besar berasal dari kelompok usia dewasa madya (58,5% dari usia 35 sampai
dengan 49 tahun), diikuti oleh kelompok usia dewasa muda (24,6% dari usia 19
sampai dengan 34 tahun) dan 16,9% dari kelompok usia dewasa tua (berusia 50
tahun atau lebih).
Tabel 5.19
Sebaran Demografi Responden Kajian

Respons di daerah kajian (dalam


persentase)
Identitas Responden Jabo-
Sura- Maka-
deta- Batam Bandung Nasional
baya ssar
bek
Jenis Kelamin Pria 58,5% 70,0% 73,9% 72,0% 58,3% 63,8%
Wanita 41,5% 30,0% 26,1% 28,0% 41,7% 36,2%
Usia Responden 19 sd 34
30,2% 33,3% 0,0% 12,0% 25,0% 24,6%
tahun
35 sd 49
60,4% 63,3% 39,1% 68,0% 54,2% 58,5%
tahun
50 tahun
9,4% 3,3% 60,9% 20,0% 20,8% 16,9%
atau lebih

178
Status Belum 0,0% 0,0%
11,5% 3,4% 8,3% 7,4%
Pernikahan menikah
Menikah 86,5% 96,6% 100,0% 100,0% 83,3% 90,7%
Janda/Duda 1,9% 0,0% 0,0% 0,0% 8,3% 2,0%
Pendidikan SMP 1,9% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 1,0%
terakhir SMU 23,8% 53,3% 43,5% 20,0% 37,5% 31,6%
Akademi 16,2% 10,0% 13,0% 0,0% 4,2% 11,7%
Sarjana 47,6% 26,7% 43,5% 68,0% 58,3% 47,6%
Pasca 0,0% 0,0%
10,5% 10,0% 12,0% 8,3%
sarjana
Pekerjaan Pegawai 75,0%
25,7% 16,7% 44,0% 45,8% 33,5%
Responden Negeri Sipil
Karyawan 20,0%
41,0% 36,7% 40,0% 54,2% 37,9%
swasta
TNI/Polri 1,0% 6,7% 0,0% 0,0% 0,0% 1,5%
Wiraswasta 17,1% 26,7% 0,0% 8,0% 0,0% 15,8%
Ibu rumah 0,0% 0,0% 0,0%
9,5% 13,3% 6,9%
tangga
Lainnya 5,7% 0,0% 4,0% 8,0% 0,0% 4,4%
Sumber: Hasil kajian terhadap responden di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Batam, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Total sampel = 211 responden.

Berdasarkan status pernikahannya, 90,4% responden telah menikah. Dari sisi


pendidikan terakhir, 47,6% mengenyam pendidikan sarjana; 31,6% berpendidikan
SMU; 11,7% berpendidikan Diploma Tiga; 8,3% berpendidikan pasca sarjana; dan
hanya 1% yang berpendidikan SMP atau lebih rendah.
Dari sisi pekerjaannya, sebagian besar responden bekerja sebagai karyawan,
baik yang di sektor swasta (37,9%) dan sektor pemerintahan (33,5% dari pegawai
negeri sipil).
Selanjutnya, cukup menarik untuk dikaji mengenai apakah pengetahuan dan
perilaku berbeda berdasarkan faktor-faktor demografi ini. Dalam hal ini, patut dikaji
apakah pengetahuan dan perilaku ini berbeda berdasarkan jenis kelamin, usia
responden, dan pendidikan terakhir-nya.

5.6.1. Perbedaan Pengetahuan Subyektif Responden berdasarkan Variabel-


Variabel Demografi

Uji t-test for equality of means terhadap indikator-indikator pengetahuan


subyektif berdasarkan variabel demografi jenis kelamin responden, seperti yang
ditampilkan pada Tabel 5.19, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan pada pengetahuan subyektif responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam

179
hal ini, tingkat pengetahuan responden mengenai prosedur jual beli rumah, tingkat
pengetahuan responden mengenai dokumen PPJB dan tingkat pemahaman responden
mengenai dokumen PPJB tidak berbeda secara signfikan antara pria maupun wanita.

Tabel 5.20
Uji T-Test For Equality Of Means Terhadap Indikator-Indikator Pengetahuan
Subyektif Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

Indikator Jenis Std. t-test for Equality of Means


Pengetahuan Kelamin N Mean Devi
Sig. (2-
Subyektif Responden ation t df Kesimpulan
tailed)
Pengetahuan Pria 125 4,36 1,494 1,186 197 ,237 Pengetahuan
Responden Wanita 74 4,08 1,773 tidak berbeda
mengenai signifikan
prosedur jual- berdasarkan
beli rumah jenis kelamin
Pengetahuan Pria 125 4,14 1,569 ,803 197 ,423 Pengetahuan
Responden Wanita 74 3,95 1,857 tidak berbeda
mengenai signifikan
dokumen PPJB berdasarkan
jenis kelamin
Pemahaman Pria 124 4,27 1,614 1,022 196 ,308 Pemahaman
Responden Wanita 74 4,01 1,794 tidak berbeda
mengenai signifikan
dokumen PPJB berdasarkan
jenis kelamin

Uji t-test for equality of means terhadap indikator-indikator pengetahuan


subyektif berdasarkan variabel demografi tingkat pendidikan responden ditampilkan
pada Tabel 5.20. Dalam hal ini, tingkat pendidikan responden dibedakan menjadi 2
kelompok, yakni kelompok responden berpendidikan menengah (SMP dan SMA)
dan kelompok responden berpendidikan tinggi (D3, Sarjana, dan Pasca Sarjana). Uji
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat
pengetahuan responden mengenai prosedur jual beli, namun tidak pada pengetahuan
dan pemahaman responden mengenai dokumen PPJB. Dalam hal ini, tingkat
pengetahuan responden mengenai prosedur jual beli rumah pada kelompok
responden berpendidikan tinggi secara signifikan lebih tinggi daripada mereka yang
berpendidikan menengah.

180
Tabel 5.21
Uji T-Test For Equality Of Means Terhadap Indikator-Indikator Pengetahuan
Subyektif Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden

Indikator Tingkat Std. t-test for Equality of Means


Pengetahuan Pendidikan N Mean Devi
Sig. (2-
Subyektif Responden ation t df Kesimpulan
tailed)
Pengetahuan Pendidikan Pengetahuan
65 3,86 1,685
Responden Menengah berbeda
mengenai Pendidikan signifikan
-2,447 197 ,015
prosedur jual- Tinggi berdasarkan
134 4,45 1,534
beli rumah tingkat
pendidikan
Pengetahuan Pendidikan Pengetahuan
65 3,78 1,736
Responden Menengah tidak berbeda
mengenai Pendidikan signifikan
-1,678 197 ,095
dokumen PPJB Tinggi berdasarkan
134 4,21 1,641
tingkat
pendidikan
Pemahaman Pendidikan Pengetahuan
65 3,86 1,776
Responden Menengah tidak berbeda
mengenai Pendidikan signifikan
-1,823 196 ,070
dokumen PPJB Tinggi berdasarkan
133 4,32 1,622
tingkat
pendidikan

Selanjutnya, untuk menguji perbedaan tingkat pengetahuan subyektif


responden berdasarkan variabel kelompok usia responden, dilakukan uji Analysis of
Variance. Hal ini dilakukan karena Uji t-test for equality of means terhadap
indikator-indikator pengetahuan subyektif tidak mungkin dilakukan karena kelompok
usia responden adalah 3, yakni kelompok responden berusia 19 – 34 tahun,
kelompok responden berusia 35 – 49 tahun, dan kelompok responden berusia 50
tahun atau lebih.
Uji Analysis of Variance seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.21,
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengetahuan
subyektif responden berdasarkan kelompok usia responden. Dalam hal ini, tingkat
pengetahuan responden mengenai prosedur jual beli rumah, tingkat pengetahuan
responden mengenai dokumen PPJB dan tingkat pemahaman responden mengenai
dokumen PPJB tidak berbeda secara signfikan di antara 3 kelompok usia tersebut.

181
Tabel 5.22
Uji Analysis of Variance Terhadap Indikator-Indikator Pengetahuan Subyektif
Berdasarkan Kelompok Usia Responden

Kesimpulan
Indikator
Kelompok Usia Std.
Pengetahuan N Mean
Responden Deviation
Subyektif
Pengetahuan 19 sd 34 tahun 47 4,26 1,648 Nilai F = 0,001
Responden 35 sd 49 tahun 118 4,25 1,564 Nilai Sig = 0,999
mengenai 50 tahun atau 34 4,26 1,729
prosedur jual- lebih Pengetahuan
beli rumah Between Groups Responden tidak
,003 2 ,001
berbeda signifikan
Within Groups 509,927 196 2,602 berdasarkan variable
kelompok usia
Total 509,930 198 responden

Pengetahuan 19 sd 34 tahun 47 4,00 1,794 Nilai F = 0,077


Responden 35 sd 49 tahun 118 4,08 1,618 Nilai Sig = 0,926
mengenai 50 tahun atau 34 4,15 1,778
dokumen PPJB lebih Pengetahuan
Between Groups ,437 2 ,218 Responden tidak
Within Groups 558,578 196 2,850 berbeda signifikan
Total berdasarkan variable
559,015 198 kelompok usia
responden

Pemahaman 19 sd 34 tahun 47 4,06 1,712 Nilai F = 0,152


Responden 35 sd 49 tahun 118 4,22 1,641 Nilai Sig = 0,859
mengenai 50 tahun atau 34
dokumen PPJB 4,15 1,828 Pengetahuan
lebih
Between Groups ,866 2 ,433 Responden tidak
Within Groups 557,295 195 2,858 berbeda signifikan
berdasarkan variable
Total
558,162 197 kelompok usia
responden

5.6.2. Perbedaan Perilaku Responden berdasarkan berdasarkan Variabel-


Variabel Demografi
Untuk menguji perbedaan perilaku responden berdasarkan jenis kelamin,
digunakan alat uji pearson’s chi square pada prosedur tabulasi silang untuk indikator
perilaku responden yang berskala nominal. Uji ini, seperti yang ditampilkan pada
Tabel 5.22, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada perilaku
responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam hal ini, perilaku responden sebelum

182
menandatangani dokumen Perjanjian Perikatan Jual-Beli (PPJB) tidak berbeda secara
signifikan baik pada pria maupun wanita.

Tabel 5.23
Uji Pearson’s Chi Square Terhadap Indikator Perilaku Berdasarkan Jenis Kelamin
Responden

Jenis Kelamin
Responden
Total

Pria Wanita
Perilaku responden Langsung tandatangan dokumen tanpa
6 4 10
sebelum membaca
menandatangani Membaca dokumen secara sekilas 47 28 75
dokumen Perjanjian membaca dengan hati-hati setiap isi
Perikatan Jual-Beli 77 41 118
pasal dalam Dokumen PPJB
(PPJB) Total 130 73 203

Chi-Square Tests

Asymp.
Sig. (2- Kesimpulan
Value df sided)
Pearson Chi-Square ,208(a) 22 ,901
Tidak terdapat perbedaan
Likelihood Ratio ,207 2 ,902
signifikan pada perilaku
Linear-by-Linear
,207 1 ,649 responden berdasarkan jenis
Association
kelamin responden
N of Valid Cases 203

Untuk menguji perbedaan perilaku responden berdasarkan tingkat


pendidikan, digunakan alat uji pearson’s chi square pada prosedur tabulasi silang
untuk indikator perilaku responden yang berskala nominal. Uji ini, seperti yang
ditampilkan pada Tabel 5.23, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan pada perilaku responden berdasarkan tingkat pendidikan. Dalam hal ini,
perilaku responden sebelum menandatangani dokumen Perjanjian Perikatan Jual-Beli
(PPJB) tidak berbeda secara signifikan baik pada tingkat pendidikan menengah
maupun pada tingkat pendidikan tinggi.

183
Tabel 5.24
Uji Pearson’s Chi Square Terhadap Indikator Perilaku Berdasarkan Tingkat
Pendidikan Responden

Pendidikan terakhir
Menengah Tinggi Total
(SMP dan (D3, S1,
SMA) Pasca)
Perilaku Langsung tandatangan
6 4 10
responden dokumen tanpa membaca
sebelum Membaca dokumen secara
47 28 75
menandatangani sekilas
dokumen membaca dengan hati-hati
Perjanjian setiap isi pasal dalam 77 41 118
Perikatan Jual- Dokumen PPJB
Beli (PPJB) Total 130 73 203

Chi-Square Tests

Asymp.
Sig. (2- Kesimpulan
Value df sided)
Pearson Chi-Square 3,904(a) 2 ,142
Tidak terdapat perbedaan
Likelihood Ratio 3,635 2 ,162
signifikan pada perilaku
Linear-by-Linear
2,403 1 ,121 responden berdasarkan tingkat
Association
pendidikan responden
N of Valid Cases 203

Untuk menguji perbedaan perilaku responden berdasarkan kelompok usia,


juga digunakan alat uji pearson’s chi square pada prosedur tabulasi silang untuk
indikator perilaku responden yang berskala nominal. Uji ini, seperti yang
ditampilkan pada Tabel 5.24, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan pada perilaku responden berdasarkan kelompok usia responden. Dalam hal
ini, perilaku responden sebelum menandatangani dokumen Perjanjian Perikatan Jual-
Beli (PPJB) berbeda secara signifikan baik pada beberapa kelompok usia responden.

184
Tabel 5.25
Uji Pearson’s Chi Square Terhadap Indikator Perilaku Berdasarkan Kelompok Usia
Responden

Usia Responden
50 tahun Total
19 - 34 35 - 49 atau
tahun tahun lebih
Perilaku responden Langsung tandatangan dokumen
1 5 4 10
sebelum tanpa membaca
menandatangani Membaca dokumen secara
13 54 8 75
dokumen Perjanjian sekilas
Perikatan Jual-Beli membaca dengan hati-hati setiap
(PPJB) 35 60 23 118
isi pasal dalam Dokumen PPJB
Total 49 119 35 203

Chi-Square Tests

Asymp.
Sig. (2- Kesimpulan
Value df sided)
Pearson Chi-Square 12,622(a) 4 ,013
Terdapat perbedaan signifikan
Likelihood Ratio 12,284 4 ,015
pada perilaku responden
Linear-by-Linear
1,967 1 ,161 berdasarkan tingkat pendidikan
Association
responden
N of Valid Cases 203

5.6.3. Perbedaan Pengetahuan Responden terhadap Aturan Perlindungan


Konsumen berdasarkan berdasarkan Variabel-Variabel Demografi

Untuk menguji perbedaan pengetahuan responden terhadap aturan


perlindungan konsumen berdasarkan jenis kelamin, digunakan alat uji pearson’s chi
square pada prosedur tabulasi silang untuk indikator-indikator pengetahuan
responden yang berskala nominal. Uji ini, seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.25,
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengetahuan
responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam hal ini, pengetahuan responden
mengenai adanya pasal dalam UU Perlindungan Konsumen yang mengatur PPJB
tidak berbeda secara signifikan baik pada pria maupun wanita.

185
Tabel 5.26
Uji Pearson’s Chi Square Terhadap Indikator Perilaku Berdasarkan Jenis Kelamin
Responden

Jenis Kelamin
Responden
Total

Pria Wanita
Apakah Anda mengetahui bahwa Tidak 65 33 98
terdapat pasal dalam UU Ya 67 42 109
Perlindungan Konsumen yang Total
mengatur perjanjian pengikatan jual 132 75 207
beli rumah?

Chi-Square Tests

Asymp.
Sig. (2- Kesimpulan
Value df sided)
Pearson Chi-Square ,527(b) 1 ,468 Tidak terdapat perbedaan
Continuity Correction(a) ,338 1 ,561 signifikan pada pengetahuan
Likelihood Ratio ,528 1 ,467 responden berdasarkan jenis
N of Valid Cases 207 kelamin responden

Uji pearson’s chi square pada prosedur tabulasi silang untuk indikator
pengetahuan responden yang berskala nominal, seperti yang ditampilkan pada Tabel
5.26, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengetahuan
responden berdasarkan tingkat pendidikan. Dalam hal ini, pengetahuan responden
mengenai adanya pasal dalam UU Perlindungan Konsumen yang mengatur PPJB
tidak berbeda secara signifikan baik pada tingkat pendidikan menengah maupun pada
tingkat pendidikan tinggi.

Tabel 5.27
Uji Pearson’s Chi Square Terhadap Indikator Perilaku Berdasarkan Tingkat
Pendidikan Responden
Pendidikan terakhir
Menengah Total
Tinggi (D3,
(SMP dan
S1, Pasca)
SMA)
Apakah Anda mengetahui bahwa Tidak 34 64 98
terdapat pasal dalam UU Ya 33 76 109
Perlindungan Konsumen yang
mengatur tentang perjanjian Total 67 140 207
pengikatan jual beli rumah?

186
Chi-Square Tests

Asymp.
Sig. (2- Kesimpulan
Value df sided)
Pearson Chi-Square ,460(b) 1 ,498 Tidak terdapat perbedaan
Continuity Correction(a) ,281 1 ,596 signifikan pada pengetahuan
Likelihood Ratio ,460 1 ,498 responden berdasarkan tingkat
N of Valid Cases 207 pendidikan responden

Uji pearson’s chi square pada prosedur tabulasi silang untuk indikator
pengetahuan responden yang berskala nominal, seperti yang ditampilkan pada Tabel
5.27, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengetahuan
responden berdasarkan kelompok usia responden. Dalam hal ini, perilaku responden
sebelum menandatangani dokumen Perjanjian Perikatan Jual-Beli (PPJB) tidak
berbeda secara signifikan pada ketiga kelompok usia responden.

Tabel 5.28
Uji Pearson’s Chi Square Terhadap Indikator Perilaku Berdasarkan Kelompok Usia
Responden

Usia Responden
Total
19 - 34 35 - 49 50 tahun
tahun tahun atau lebih
Apakah Anda mengetahui Tidak 21 58 19 98
bahwa terdapat pasal dalam Ya 30 63 16 109
UU Perlindungan Konsumen
yang mengatur tentang
Total 51 121 35 207
perjanjian pengikatan jual beli
rumah?

Chi-Square Tests

Asymp.
Sig. (2- Kesimpulan
Value df sided)
Pearson Chi-
1,472(a) 2 ,479 Tidak terdapat perbedaan signifikan pada
Square
perilaku responden berdasarkan tingkat
Likelihood Ratio 1,476 2 ,478
pendidikan responden
N of Valid Cases 207

187
BAB VI
ANALISIS DAN TINDAK LANJUT PENERAPAN KLAUSULA BAKU
BIDANG PERUMAHAN

Dalam praktek pelaksanaan PPJB dalam bidang perumahan tidak sesuai


dengan janji-janji yang disampaikan oleh para pengembang kepada para
konsumennya, tidak jarang justru yang terjadi adalah bertolak belakang dengan
kenyataan dan oleh karena posisi tawar yang tidak seimbang dan keterbatasan
pengetahuan konsumen dibidang hukum mengakibatkan adanya hal-hal yang diatur
dalam PPJB yang sebenarnya sangat merugikan mereka. Untuk itu, sebaiknya
konsumen sebelum menandatangani surat pemesanan, meminta pengembang atau
agen pemasarannya untuk mencantumkan secara tertulis janji-janji tersebut pada
surat pemesanan, lalu setelah itu menandatanganinya. Meskipun demikian
berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pengembang sebagai pelaku usaha
kedudukannya sangat dominan dan memiliki tim yang sangat mengerti dan paham
tentang bagaimana untuk membuat sebuah PPJB secara sedemikian rupa, sehingga
konsumen tidak mengetahui bahwa dokumen PPJB tersebut seolah-olah tidak
terdapat suatu masalah apapun, tetapi didalamnya terdapat pasal-pasal yang tidak
memberikan perlindungan kepada konsumen dalam bentuk pengabaian hak-hak
konsumen.
Ketidakkondusifan situasi yang terjadi dilapangan menuntut sektor regulator
untuk melakukan evaluasi ulang dan langkah-langkah yang lebih maju dalam rangka
tegaknya peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen. Pada
perspektif tertentu asumsinya tidak melulu dikarenakan oleh lemahnya peraturan
perundang-undangan yang ada dan berlaku, tetapi juga patut diuji efektifitas
keberlakukan peraturan perundang-undangan dimaksud. Sudah barang tentu menilai
apakah memang telah terdapat suatu urgensi tersendiri untuk memberlakukan sebuah
perangkat baru dibidang perlindungan konsumen.

6.1. Analisis Terhadap Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Rumah

Mengutip pendapat Roscoe Pound, “law is a tool sosial engeneering” hukum


adalah alat rekayasa sosial masyarakat. Maksudnya hukum dibuat untuk mengatur
tatanan hidup/sosial masyarakat, sehingga diharapkan dengan adanya hukum yang

188
berupa aturan-aturan tulisan, dapat tercipta suatu keteraturan kehidupan dalam
bermasyarakat yang mencerminkan serta menjamin rasa keadilan dan kepastian
hukum. Diakui, bahwa hukum atau aturan yang dibuat seringkali terlambat
mengantisipasi perkembangan masyarakat, terutama perkembangan dunia bisnis.
Belum lagi kemampuan para pembuat aturan yang tidak dapat melihat persoalan
hukum secara komprehensif dan integral.
Manfaatkan celah hukum tidak selamanya atau identik dengan pelanggaran
hukum. Hal ini karena pembuktiannya sangat sulit, sebab sudah direkayasa
sedemikian rupa dengan bukti-bukti lain yang sah. Perbuatan pemanfaatan celah
hukum tersebut di atas, dalam literature hukum dapat dikategorikan sebagai
perbuatan penyelundupan hukum yaitu membuat aturan yang menyimpang dari yang
sesungguhnya terjadi.Menyiasati aturan hukum seperti halnya penyelundupan hukum
ini dapat dengan mudah kita temui dalam praktek bisnis properti. Ini karena dasar
tindakannya adalah suka sama suka dan saling menguntungkan. Beberapa contoh
dapat disampaikan antara lain adalah:

1. PPN 10 % atas service charge rumah susah (strata title)

Menurut aturan perpajakan, service charge itu tidak dikenakan PPN jika
dikelola sendiri oleh perhimpunan penghuni, karena dianggap
mengelola/mengurus rumah tangga sendiri atau non-profit. Namun jika
dikelola oleh badan pengelola (property management) professional yang
profit oriented, maka pajak itu wajib dikenakan. Dalam prakteknya hal ini
disiasati dengan cara dibuat kontrak kerja antara perhimpunan penghuni
dengan property management, di mana pegawai atau pelaksana property
management tersebut seakan-akan sebagai pegawai perhimpunan penghuni.
Dengan demikian, service charge itu tidak dapat dikenakan PPN karena
dianggap rumah susun yang dikelola sendiri oleh perhimpunan penghuni.

2. Jual kaveling

Menurut aturan, pengembang tidak dapat menjual tanah saja (kaveling)


begitu saja, tapi harus dijual beserta bangunan rumahnya. Maka dari itu,
biasanya dalam PPJB selalu disebutkan Akta Jual Beli (AJB)
dibuat/ditandatangani setelah pembangunan rumah telah selesai. Namun

189
dalam prakteknya, banyak pengembang yang menjual tanah, khususnya
kaveling siap bangun (kasiba). Kemudian AJB-nya dibuat tanpa harus
menunggu pembangunan rumahnya, tetapi cukup dengan IMB dan
pembangunan ala kadarnya sebagai formalitas, seperti pondasinya saja,
sementara penyelesaiannya tak kunjung diselesaikan.

Konsumen perumahan di Indonesia seolah tak berdaya menghadapi


pengembang (developer) yang merugikannya. Konsumen kerap kali dirugikan,
misalnya karena penyerahan rumah yang tak sesuai jadwal atau spesifikasi rumah
yang tak sesuai dengan janji. Benarkah posisi konsumen begitu lemah? Sebenarnya
tidak. Jika konsumen menyadari dan mau menegakkan hak-haknya, posisi konsumen
malah sangat kuat. Apabila kalau mau menggalang kekuatan sesama konsumen,
maka posisinya tawarnya dapat semakin kuat. Perlu untuk dilakukan perubahan
paradigma pikir, dimana pada hakekatnya pengembang sangat tergantung pada
konsumen. Sebab, pengembang telah mengeluarkan biaya yang besar untuk
perizinan, pembebasan lahan, pembangunan, pemasaran, dan lain-lainnya. Apalagi,
jika untuk semua keperluan tersebut mereka menggunakan dana perbankan, maka
biaya bunganya tentulah tidak sedikit. Dalam kondisi demikian, jika pengembang
beritikad tidak baik pada konsumen dan konsumen bereaksi keras, apalagi bersama-
sama, maka hal ini jelas sanat merepotkan pengembang baik secara materil maupun
non materil.
Karena itu apabila dimaknai secara mendalam adalah keliru jika dikatakan
lemahnya posisi konsumen disebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dengan
penyediaan rumah. Hal ini hendaknya menjadi pertimbangan bagi para konsumen
untuk memperkuat posisi tawarnya. Aspek-aspek yang perlu diwaspadai konsumen
dalam melakukan transaksi jual beli rumah, secara umum transaksi dilakukan dalam
dua tahap. Pertama, transaksi pada saat pemesanan yang dapat dilakukan pada saat
launching atau pameran perumahan. Konsumen mendapatkan penjelasan secara lisan
dari pengembang atau agen pemasarannya. Jika tertarik, konsumen diminta
menandatangani draft surat pesanan dalam surat pesanan tersebut ada klausula
bahwa bila konsumen tidak menandatangani PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli)
sesuai jadwal, maka uang pesanan (booking fee) akan hangus. Padahal, ketika
menjelaskan pada saat launching atau pameran, pengembang atau agen pemasaranya

190
tidak pernah memperlihatkan draft PPJB tersebut. Pada tahap ini, sering aspek-aspek
hukum diabaikan kedua pihak. Yang dibicarakan hanyalah masalah harga, diskon,
lokasi dan bentuk fisik bangunan. Pada tahap ini pengembang atau agen
pemasaranya juga selalu mengobral janji-janji indah tentang perumahan yang
dipasarkannya. Dalam prakteknya malah cenderung bertolak belakang dengan
kenyataannya. Untuk itu, sebaiknya konsumen sebelum menandatangani surat
pesanan, meminta pengembang atau agen pemasarannya untuk mencantumkan secara
tertulis janji-janji tersebut pada surat pemesanan, lalu setelah itu menandatanganinya.
Kalau perlu ditambah dengan klausula-klausula yang mengamankan posisi
konsumen secara hukum.
Kedua, transaksi pada saat penandatanganan PPJB. Konsumen perlu
memperlihatkan hal-hal sebagai berikut sebelum menandatangani PPJB, “komparisi
perjanjian, yaitu para pihak yang akan menandatangani PPJB. Apabila badan hukum
PT pengembang itu telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, ataukah
belum? Hal ini penting sehubungan dengan pertanggungjawabannya bila PT itu
bubar atau pailit. Lalu, apakah direktur yang menandatangani telah mendapat
persetujuan dari komisaris perseroan, atau bila diwakili oleh orang lain selain direksi,
harus mendapat kuasa dari direksi?” Premis, yaitu penjelasan awal mengenai
perjanjian. Harus ditegaskan bahwa pengembang telah memiliki atau menguasai
lahan tersebut secara sah dan tidak dalam keadaan dijaminkan. Lalu, pengembang
telah mendapatkan izin-izin yang diperlukan untuk proyek tersebut yang sesuai
dengan SK Menprera tentang PPJB rumah. Isi PPJB yaitu:

1. Harga jual dan biaya-biaya lain yang ditanggung konsumen.


2. Tanggal serah terima fisik yang tidak boleh melebihi 1 bulan sejak
pembayaran pertama.
3. Denda keterlambatan bila pengembang terlambat melakukan serah terima
fisik kepada konsumen.
4. Spesifikasi bangunan dan lokasi.
5. Hak konsumen untuk membatalkan perjanjian, bila pengembang lalai akan
kewajibannya dengan pembayaran kembali seluruh uang yang telah
disetorkan konsumen berikut denda-dendanya, sebagaimana pengembang
membatalkan perjanjian bila konsumen lalai melaksanakan kewajibannya.

191
6. Penandatanganan akta jual beli haruslah ada kepastian tanggalnya dan denda
bila terjadi keterlambatan penandatangaanan tersebut. Sehingga, tidak hanya
keterlambatan serah terima fisik yang didenda.
7. Masa pemeliharaan 100 (seratus) hari sejak tanggal serah terima.

Hal lain yang perlu diperhatikan konsumen adalah pada saat serah terima
fisik. Rumah yang diserahkan harus cocok spesifikasinya dengan yang ada di dalam
PPJB. Jika tidak sesuai, maka konsumen berhak untuk tidak menandatangani berita
acara serah terima tersebut sebelum pengembang menyelesaikannya.
Berkenaan dengan pertimbangan tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa
yang menjadi hak dan kewajiban konsumen. Hak dan Kewajiban Konsumen
berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU-PK, adalah:

“Hak konsumen, adalah:

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi


dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.”

Selanjutnya penjelasan ketentuan Pasal 4 UU-PK menyatakan sebagai berikut:

192
Huruf g

“hak untuk diperlakukan atau layani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif
berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial
lainnya.”

Hak-hak konsumen sebagimana disebutkan dalam Pasal 4 UU-PK lebih luas


daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh
Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret
1962 yaitu terdiri atas:

1. hak memperoleh keamanan;


2. hak memilih;
3. hak mendapat informasi;
4. hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia
yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal
3, 8, 19, 21 dan 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International
Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen
lainnya, yaitu:

1. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;


2. hak untuk memperoleh ganti rugi;
3. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG)


juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagi berikut:

a. hak perlindungan kesehatan dan keamanan ( recht op bescherming van zijn


gezendheid en veligheid );
b. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn
economische belangen );
c. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);
d. hak atas penerangan (recht op voolichting en vorming);
e. hak untuk didengar (recht om te warden gehord).

193
Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan pada
dasarnya 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut:

1. hak atas keamanan dan keselamatan;


2. hak untuk memperoleh informasi;
3. hak untuk memilih;
4. hak untuk didengar;
5. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
6. hak untuk memperoleh ganti rugi;
7. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
8. hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
9. hak untuk mendapat barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;
10. hak untuk mendapat upaya penyelesaian hukum yang patut.

Selanjutnya masing-masing hak tersebut dapat diuraikan sebagi berikut:


 
a. Hak atas keamanan dan keselamatan, dimaksudkan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa
yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik
maupun psikis) atas suatu produk.
b. Hak untuk memperoleh informasi, hak ini sangat penting, karena tidak
memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat
instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi
yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh
gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi
tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai
kebutuhannya serta terdiri dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan
produk.
c. Hak untuk memilih, yaitu untuk memberikan kebebasan kepada konsumen
untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa
ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen
berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk,

194
demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis
produk yang dipilihnya.
d. Hak untuk di dengar, ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan
lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat
berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-
produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut
kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah
dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa
pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara
perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung
maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya melalui YLKI.
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak ini merupakan hak yang sangat
mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap
orang (konsumen) berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau
jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama
yang berupa hak atas pangan, sandang, papan, serta hak-hak lainnya yang
berupa hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
f. Hak untuk memperoleh ganti rugi, hak atas ganti rugi ini dimaksudkan untuk
memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat
adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan
konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah
merugikan konsumen, bagi yang berupa kerugian materi, maupun kerugian
yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk
merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang
diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan
melalui pengadilan.
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, ini dimaksudkan agar
konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan
agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan
pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan
teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

195
h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, hak atas
lingkungan uang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen
dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan sehat serta
hak utuk memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya,
ini dimaksudkan utuk melindungi kosumen dari kerugian akibat permainan
harga secara tidak wajar karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja
membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atas
kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya.
j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. Hak ini tentu
saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah
dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.

Sepuluh hak konsumen, yang merupakan himpunan dari berbagai pendapat tersebut
di atas hampir semuanya sama dengan hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam
Pasal 4 UU-PK, sebagaimana dikutip sebelumnya. Hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam Pasal 4 UU-PK tersebut, terdapat satu hak yang tidak terdapat
pada 10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya, yaitu ”hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, namun sebaliknya Pasal
4 UU-PK tidak mencantumkan secara khusus tentang “hak untuk memperoleh
kebutuhan hidup” dan “hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat,”
tapi hak tersebut dapat dimaksudkan ke dalam hak yang disebutkan terakhir dalam
Pasal 4 UU-PK tersebut, yaitu “hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undang lainnya.” Sedangkan hak-hak lainnya hanya perumusan yang
lebih dirinci, tapi pada dasarnya sama dengan hak-hak yang telah disebutkan
sebelumnya.
Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah
dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi
prinsip dasar, yaitu:

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik


kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

196
2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan
3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang
dihadapi;

Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak
konsumen sebagaimana diatur dalam UU-PK, maka hal tersebut sangat esensial bagi
konsumen, sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan hukum bagi
konsumen di Indonesia. Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-
hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun
oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi
kerugian konsumen dari berbagai aspek.
Hak tawar adalah hak yang dapat dipergunakan oleh konsumen atau pembeli
adalah pada materi perjanjian pengikat sebelum menandatangani. Hal ini jarang pula
dilakukan. Sebagaimana disebabkan karena adanya anggapan bahwa PPJB yang
dibuat oleh developer secara standar adalah perjanjian standar yang tidak bisa diutak-
atik dan pembelian hanya menandatangani saja. Anggapan ini tidak benar. Sebab, di
dalam konstruksi yuridis tidak dikenal adanya perjanjian standar secara materil
karena asas perikatan kita adalah terbuka dan bebas. Maksudnya, para pihak bebas
menentukan isi atau materi yang diperjanjikan bersama-sama, asal saja tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Dengan adanya syarat kesepakatan berbagai pihak, berarti pembelian
mempunyai hak tawar mengenai materi perjanjian (PPJB) dan tidak mengikuti saja
semua ketentuan standar yang disodorkan developer.
Kenyataannya, draft perjanjian (PPJB) telah dipersiapkan oleh developer
yang isinya menguntungkan pihak developer. Namun, hal itu sebenarnya masih
berupa tawaran perjanjian. Tinggal bagaimana pihak pembeli mempergunakan hak
tawarnya untuk mengusulkan tambahan atau perubahan-perubahan klausula yang
dapat melindungi kepentingan mereka.
Hal-hal yang perlu diperhatikan konsumen dalam mengusulkan atau
menawarkan klausula perubahan materi perjanjian (PPJB) antara lain:

197
1. Jaminan developer bahwa tanahnya tidak dalam sengketa dan telah menjadi
hak sah dari developer serta tidak sedang dalam pembebanan atau sedang
dijaminkan.
2. Harga jual dan spesifikasinya.
3. Penyerahan fisik rumah oleh developer harus ada kepastian. Bila terjadi
keterlambatan penyerahan, selayaknya developer dikenakan denda atas
keterlambatan sebagaimana halnya bila pembelian terlambat melaksanakan
pembayarannya.
4. Pembatalan sepihak. Developer dapat membatalkan secara sepihak perjanjian
trsebut bila pembeli lalai melaksanakan kewajibanya. Demikian pula
sebaliknya, hak pembeli untuk dapat membatalkan secara sepihak perjanjian
itu bila developer dianggap telah lalai melaksanakan kewajibannya atau
cedera janji. Dalam klausula itu, perlu diatur secara jelas dalam kondisi apa
saja developer dapat dianggap telah cedera janji. Karena bila hal itu terjadi,
maka developer wajib mengembalikan seluruh uang yang telah diterima
berikut denda-dendanya kepada pembeli.

Namun, efektif atau tidaknya hak tawar konsumen perumahan sangat dipengaruhi
juga oleh dua faktor lain. Pertama, pengetahuan dan kesadaran konsumen untuk
mempergunakan hak tawarnya. Kedua, dukungan aturan-aturan hukum yang
berpihak pada perlindungan konsumen, terutama yang menyangkut kewenangan
pemerintah untuk mengatur ketertiban para developer, termasuk penerapan sanksi
hukum yang efektif.
Kewajiban Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU-PK adalah:

“kewajiban konsumen, adalah:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau


pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.

198
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi
kemanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan.

Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah


menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen
tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan
kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika
konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban
tersebut. Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada
transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi
konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat
melakukan transaksi dengan prosedur. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan
terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh
produsen (pelaku usaha). Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disampaikan dengan pelaku usaha, adalah hal yang sudah biasa dan sudah
semestinya demikian. Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut
adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab
sebelum di undangkannya UU-PK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara
khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana
tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau
kejaksaan. Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UU-PK di anggap tepat, sebab
kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi
lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara
patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika
tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha (Pasal 7 UU-PK).
Permasalahan yang timbul dilapangan dalam kajian ini adalah konsumen
tidak mengetahui akan hak-haknya sebagai konsumen, tetapi dilain pihak konsumen
pun tidak melakukan atau tidak sepenuhnya melakukan segala sesuatu yang wajib
dilakukan olehnya. Kondisi semacam ini dapat disampaikan berdasarkan hasil
temuan lapangan, yang antara lain sebagai berikut:

199
1. Indikator mengenai pengetahuan subyektif responden mengenai prosedur
jual-beli rumah. Sebagian besar responden mengaku cenderung kurang
mengetahui atau netral/ragu-ragu bila mereka mengetahui prosedur jual beli
rumah. Secara nasional, 57,8% responden menyatakan hal tersebut.
2. Indikator mengenai pengetahuan subyektif responden mengenai dokumen
PPJB rumah. Sejalan dengan temuan sebelumnya, sebagian besar responden
mengaku cenderung kurang mengetahui atau netral/ragu-ragu bila mereka
mengetahui dokumen PPJB rumah. Secara nasional, 60,7% responden
menyatakan hal tersebut. Bahkan, sejumlah 86,3% responden di Makassar
menyatakan hal tersebut.
3. Indikator mengenai pemahaman subyektif responden mengenai dokumen
PPJB rumah. Sejalan dengan temuan sebelumnya, sebagian besar responden
mengaku cenderung kurang memahami atau netral/ragu-ragu bila mereka
memahami dokumen PPJB rumah. Secara nasional, 56,5% responden
menyatakan hal tersebut. Bahkan, sejumlah 81,8% responden di Makassar
menyatakan hal ini.
4. Adalah hal yang menarik dan berguna untuk mengungkapkan bagaimanakah
perilaku responden sebelum menandatangani dokumen PPJB. Secara
nasional, mayoritas (58,3%) responden menyatakan mereka membaca dengan
hati-hati setiap pasal dalam dokumen. Konteks membaca secara berhati-hati
ini belum sepenuhnya mencerminkan bahwa konsumen telah paham betul
terhadap apa yang dibacanya. Justru hal ini merupakan suatu temuan yang
menarik. Responden di Jabodetabek, Batam dan Bandung mengungkapkan
hal serupa. Namun, di Surabaya dan Makassar menunjukkan fenomena
berbeda, dimana sebagian besar responden mengaku bahwa mereka hanya
sekilas membaca dokumen tersebut. Secara nasional, sekitar 41,7%
responden mengaku tidak membaca dengan hati-hati setiap pasal dalam surat
perjanjian. Sekitar 36,9% hanya membaca dokumen itu secara sekilas,
sedangkan 4,9% langsung menandatangani dokumen tersebut tanpa
membacanya. Di Surabaya, bahkan sekitar 16% dari responden pembeli
perumahan mengaku langsung menandatangi tanpa membaca dokumen PPJB.
Secara nasional, kepercayaan responden terhadap kredibilitas dan reputasi

200
penjual atau pengembang merupakan alasan yang paling banyak disebutkan
oleh responden. Sementara ketidakpahaman terhadap bahasa dan isi dokumen
PPJB disebutkan oleh 21,8% responden sebagai alasannya, 12,6% responden
mengaku terburu-buru ketika menandatangani dokumen PJB.
5. Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1 (a), Pemerintah telah
mengatur bahwa pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir
perjanjian yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada pihak lain.
Diilustrasikan dengan misalnya ada pasal yang menyatakan bahwa
pengembang dapat sewaktu-waktu mengalihkan tanggungjawabnya ke
pengembang lainnya. Dalam hal ini, 55,6% responden nasional ternyata
mengaku mengetahui hal ini, 56,4% responden nasional memahami aturan
ini, dan terdapat 8,9% responden pernah menemukan pelanggaran atas aturan
ini. Namun, terdapat hal yang cukup unik karena mayoritas responden di
Jakarta dan Makassar ternyata tidak mengetahui dan memahami aturan ini.
6. Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1 (c), Pemerintah telah
mengatur bahwa pengembang tidak diperbolehkan untuk membuat butir
perjanjian yang menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
rumah yang telah dibeli konsumen. Hal ini diilustrasikan dengan misalnya
ada pasal dalam PPJB yang menyatakan bahwa booking fee dan/atau uang
muka yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan atau dapat
dikembalikan dengan potongan sejumlah tertentu. Terkait aturan ini, 52,6%
responden nasional ternyata mengaku mengetahui hal ini, namun 52,6%
responden nasional tidak memahami aturan ini, dan terdapat 15% responden
pernah menemukan pelanggaran atas aturan ini. Namun, terdapat hal yang
cukup unik karena mayoritas responden di Bandung dan Surabaya ternyata
tidak mengetahui dan memahami aturan ini.
7. Adanya pasal dalam PPJB yang menyatakan bahwa pengembang dapat
meniadakan dan/atau mengubah fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial tanpa
terlebih dahulu dari persetujuan konsumen. Terkait aturan ini, ternyata
sebagian besar responden nasional (58,5%) mengaku tidak mengetahui hal
ini, 61,5% responden nasional tidak memahami aturan ini, dan terdapat
13,8% responden pernah menemukan pelanggaran atas aturan ini.

201
8. Dst.

Beberapa doktrin hukum perjanjian yang potensial untuk dilanggar dengan


pernberlakuan kontrak baku ini seperti tersebut di atas, maka ada juga beberapa
prinsip hukum perjanjian yang sangat mendukung eksistensi suatu perjanjian baku,
yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:

1. Prinsip Kesepakatan Kehendak dari Para Pihak

Meskipun dalam suatu perjanjian baku disangsikan adanya kesepakatan


kehendak yang benar-benar seperti diinginkan oleh para pihak, tetapi kedua
belah pihak akhirnya juga menandatangani kontrak tersebut. Dengan
penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsi bahwa kedua belah pihak
telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kata sepakat sudah terjadi.

2. Prinsip Asumsi Risiko dari Para Pihak

Dalam suatu kontrak, setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi
risiko. Artinya bahwa jika ada risiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu
perjanjian, tetapi salah satu pihak bersedia menanggung risiko tersebut
sebagai hasil dari tawar menawarnya, maka jika memang kemudian risiko
tersebut benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi risiko tersebutlah yang
harus menanggung risikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baku, maka
dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan, berarti segala risiko apa
pun bentuknya akan ditanggung oleh pihak yang menandatanganinya sesuai
isi dari perjanjian tersebut.

3. Prinsip Kewajiban Membaca (Duty to Read)

Sebenarnya, dalam ilmu hukum perjanjian diajarkan bahwa ada kewajiban


membaca (duty to read) bagi setiap pihak yang akan menandatangani
perjanjian. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani perjanjian yang
bersangkutan, hukum mengasumsikan bahwa dia telah membacanya dan
menyetujui apa yang telah dibacanya.

202
4. Prinsip Perjanjian Mengikuti Kebiasaan

Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak perjanjian


dibuat secara baku. Karena perjanjian baku tersebut menjadi terikat, antara
lain juga karena keterikatan suatu perjanjian tidak hanya terhadap kata-kata
yang ada dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terhadap hal-hal yang bersifat
kebiasaan. Lihat Pasal 1339 KUH Perdata Indonesia. Dan perjanjian baku
merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan
sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya
mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.

Dalam hal ini pihak pembeli oleh hukum diminta untuk bersikap hati-hati untuk
dirinya sendiri. Ini berarti pihak penandatangan perjanjian oleh hukum dibeban
kewajiban membaca (duty to read) perjanjian yang bersangkutan. Manakala dia
gagal melakukan tugas membaca tersebut, maka risiko mesti ditanggung. Perjanjian
baru bisa dibatalkan jika terjadi fraud atau misrepresentation. Perlu dibedakan bahwa
membaca tidak memiliki arti yang sama dengan memahami. Secara umum siapapun
dapat membaca tetapi memahami merupakan satu hal yang berbeda sama sekali.
Oleh karenanya yang perlu dilakukan adalah apakah konsumen memahami ketentuan
perundang-undangan yang dibuat untuk melindunginya dan pada saat melakukan
transaksi jual beli rumah seberapa dalam dirinya memahami korelasi antara janji-
janji pengembang dengan apa-apa yang tertuang dalam dokumen-dokumen transaksi.
Yang perlu dilakukan perubahan adalah perilaku konsumen yang hanya
mengikuti segala ketentuan dan prersyaratan yang diajukan oleh pengembang tanpa
memahami dampaknya dikemudian hari. Aspek terpenting lainnya adalah konsumen
diwajibkan untuk membaca dan apabila telah membaca secara seksama dan berhati-
hati, maka pihaknya diberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi, memperoleh
keterangan dan terhadap hal-hal yang tidak jelas bahasanya dalam dokumen-
dokumen transaksi harus disampaikan dan dikonsultasikan. Tidak tertutup peluang
bahwa apabila konsumen merasa tidak mampu untuk memahami, maka dapat saja
meminta bantuan pihak ketiga lainnya untuk memberikan masukan-masukan,
khususnya tentang berbagai aspek transaksi maupun hukum yang ada didalamnya.
Dengan demikian dapat dilakukan review berdasarkan hukum dan doktrin-doktrin

203
yang berlaku. Konsumen mutlak harus diberikan ruang dan kesempatan dikarenakan
nilai transaksi properti memiliki nilai yang sangat besar. Karena begitu cerdasnya
pelaku usaha untuk memanipulasi dokumen seolah-olah bukan merupakan atau
memuat ketentuan yang bertentangan dengan hukum, seperti halnya dalam sebuah
perjanjian baku yang formatnya dapat berubah tidak dalam bentuk perjanjian tetapi
dalam dokumen-dokumen lainnya tetapi didalamnya memuat klasula-klausula baku
yang dilarang oleh UU-PK.
Hasil survey lapangan menunjukan bahwa konsumen belum memahami betul
faktor resiko yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang mereka tandatangani
terhadap perlindungan kepentingan mereka. Asumsi yang dapat dijadikan hipotesa
adalah mereka beranggapan bahwa hal-hal tersebut adalah merupakan kelaziman
dalam praktek dan bukan merupakan suatu bentuk pelanggaran, baik yang bersifat
umum maupun bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Faktor
kebesaran nama perusahaan merupakan salah satu hal yang terkadang membius
konsumen untuk tidak mempertanyakan apa-apa yang merupakan hak mereka.
Realitas ini merupakan kondisi yang tidak terelakan dikarenakan rendahnya
kesadaran untuk membaca, bertanya dan memperjuangkan hak-hak individu
konsumen. Terlebih tingkat pendidikan dan luasnya wilayah Indonesia merupakan
salah satu faktor yang memberikan dampak yang signifikan terhadap manipulasi
transaksi oleh para pelaku usaha. Kesulitan utama yang menjadi permasalahan adalah
apabila dokumen-dokumen transaksi, termasuk PPJB, telah ditandatangani dapat
dijadikan dasar oleh pelaku usaha untuk mangkir dengan alasan bahwa dengan
ditandatanganinya dokumen-dokumen tersebut berarti konsumen telah sepenuhnya
membaca isi perjanjian dan menyetujuinya.

6.2. Analisis Terhadap Pelaku Usaha

Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal empat asas penting yang bersifat
universal, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik
dan asas konsensualisme. Tiga asas yang pertama (kebebasan berkontrak, pacta sunt
servanda dan itikad baik) dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa:

204
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-
alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.”
Asas konsensualisme mengandung arti “kemauan” (will) dan terdapat
didalam Pasal 1320, yang menyatakan bahwa: “Untuk Sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat: Sepakat mereka yang mengikat dirinya; Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; Suatu hal tertentu; Suatu sebab yang halal. Dengan
demikian, perjanjian atau perikatan yang timbul pada dasarnya sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas
untuk menjadikannya sah. Kebebasan berkontrak berlatar belakang pada faham
individualisme yang lahir dalam zaman Yunani dan berkembang pesat dalam zaman
renaissance. Faham ini berpandangan bahwa setiap orang bebas untuk memperoleh
apa yang dikehendakinya. Asas kebebasan berkontrak ini juga merupakan dasar
dalam Principles of Internasional Commercials Contracts, seperti tercantum dalam
Article 1.1 UNIDROIT yang berbunyi: The Parties are free to enter into contract
and to determine its content.”91
Prinsip kebebasan berkontrak berdasarkan KUHPerdata ini yang seringkali
dijadikan sebagai justifikasi para pelaku usaha untuk menerapkan perjanjian baku.
Namun demikian prinsip kebebasan berkontrak harus didasarkan pada kepatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip hukum
yang dikenal dan diakui secara universal. Oleh karenanya dalam penerapan
perjanjian baku bidang properti hal-hal yang mutlak harus dipenuhi oleh
pengembang adalah sebagai berikut:

6.2.1. Perjanjian Baku mutlak didasari pada Prinsip-Prinsip Itikad Baik

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa hingga sekarang tidak ada makna
tunggal itikad baik dalam kontrak. Sampai sekarang masih terjadi perdebatan
mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti itikad baik itu. Di mana
doktrin itikad baik diterima, maka disitu terjadi perbedaan pendapat dalam

91
UNIDROIT, Principles of International Commercial Contracts, Rome, 1994, hlm 7.

205
mengartikan itikad baik tersebut. Memang dalam kenyataannya sangat sulit
untuk mendefinisikan itikad baik. Bahkan E. Allan Farnsworth mencatat
bahwa di Inggris doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu yang
kontroversial, karena pengadilan belum mampu menemukan makna itikad
baik yang konkrit dalam konteks hukum kontrak. Tanpa makna itikad baik
yang jelas, doktrin itikad baik dapat menjadi suatu ancaman bagi kesucian
prinsip kepastian dan prediktabilitas hukum. E. Allan Farnsworth juga
menyatakan bahwa di Amerika Serikat banyak sekali pandangan yang
mencoba memberikan pengertian itikad baik.92 Akibat ketidakjelasan
tersebut, penerepan itikad baik seringkali lebih banyak didasarkan pada
intuisi pengadilan, yang hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi dan tidak
konsisten.

Doktrin itikad baik di atas berkembang seiring dengan mulai diakuinya


kontrak konsensual informal yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jual
beli, sewa menyewa, persekutuan perdata, dan mandat. Doktrin itikad baik
berakar pada etika sosial Romawi93 mengenai kewajiban yang komprehensif
akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warganegara maupun bukan.
Inti konsep bona fides adalah fides. Fides kemudian diperluas ke arah bona
fides. Fides merupakan suatu konsep yang aslinya merupakan sumber yang
bersifat religious, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran
seseorang kepada orang lainnya. Dengan demikian, fides bermakna sebagai
keyakinan akan perkataan seseorang. Bona Fides diterapkan untuk
memastikan isi kontrak. Kepercayaan akan perkataan seseorang merupakan
prasyarat bagi suatu hubungan hukum, dan Cicero menggambarkannya
sebagai fundamentum iustitiae.

92
Phrase itikad baik ini biasanya dipasangkan dengan fair dealing. Itikad baik tersebut juga seringkali
dihubungkan dengan makna fairness, reasonable standard of fair dealing, decency, reasonableness, a
common ethical sense, a spirit of solidarity, and community standarts.
93
Itikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam
kontrak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak
boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga,
para pihak mematuhi kewajibannya dan berprilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun
kewajiban tersebut tidak secara tegas diperjanjikan.

206
Dalam “Etika”, Aristoteles menggambarkan kontrak sebagai suatu bentuk
keadilan. Menurut Aristoteles, keadilan merupakan gagasan yang mendua,
sebab dari satu sisi, konsep ini mengacu pada keseluruhan kebajikan sosial.
Dari sisi yang lain juga mengacu kepada salah satu jenis kebajikan sosial
yang khusus. Yang pertama disebut keadilan universal (umum), dan yang
kedua disebut keadilan partikular. Keadilan universal adalah keadilan yang
terbentuk bersamaan dengan perumusan hukum, sedangkan keadilan
partikular adalah jenis keadilan yang oleh Aristoteles diidentikan dengan
fairness atau equalitas. Keadilan partikular terdiri dari dua jenis, yakni
keadilan distributif dan keadilan rektifikatoris. Keadilan distributif adalah
keadilan proporsional. Keadilan distributif harus dijamin oleh pemerintah
agar setiap warganegara mendapat bagian atas kesejahteraan dan martabat
dalam masyarakat secara pantas.

Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda,
yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith
performance berkaitan dengan kepatutan (yang objektif), atau reasonableness
pelaksanaan kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik
digunakan sebagai implied term, yang digunakan di dalam hukum Romawi,
mensyaratkan adanya kerjasama diantara para pihak untuk tidak
menimbulkan kerugian dari reasonable expectation. Good faith purchase, di
lain pihak, berkaitan dengan a contracting party’s subjective state of mind;
apakah seseorang membeli dengan itikad baik sepenuhnya digantungkan pada
ketidaktahuannya, kecurigaan, dan pemberitahuan yang berkaitan dengan
kontrak.

Menurut Summers, kemudian itikad baik, memiliki pengertian spesifik dan


bervariasi yang bertentangan dengan bentuk spesifik dan veriasi dari itikad
tidak baik yang dilarang oleh hakim.94 Dari kasus-kasus itu memungkinkan
dapat dihimpun suatu daftar bentuk itikad tidak baik atau itikad buruk,

94
takes on specific and variant meanings by way of contrast with specific and variant form of bad
faith which judges decide to prohibit.

207
dengan suatu daftar yang saling berlawanan bagi setiap bentuk yang termasuk
ke dalam pengertian itikad baik.95 Daftar tersebut adalah sebagai berikut:

Bentuk dari pelaksanaan itikad baik:96

a. Penjual menutupi kerusakan atas apa yang dijualnya;97


b. Pembangun secara sengaja tidak berkerja sepenuhnya, walaupun
sebaliknya ia bekerja secara substansial;98
c. Kontraktor menyalahgunakan kedudukannya dalam tawar menawar
untuk memaksakan kenaikan harga dalam kontrak;99
d. Menyewa seorang broker dan kemudian secara sengaja mencegahnya
untuk menyelesaikan pekerjaan;100
e. Kekurangsadaran dalam meminimalkan kerugian pihak lain;101
f. Bertindak sewenang-wenang dalam mengakhiri kontrak;102
g. Mengadopsi bahasa/istilah kontrak secara berlebihan;103
h. Melecehkan pihak lain dalam jaminan pelaksanaan yang
berwenang.104

Pengertian Itikad Baik105

a. Membuka seluruh fakta material;106


b. Melakukan pekerjaan secara substansial tanpa menyimpang dari
spesifikasi pekerjaan;107
c. Menghindari penyalahgunaan kedudukan dalam tawar menawar;108
d. Bertindaak ko-operatif;109
e. Bertindak penuh tanggung jawab;110

95
listed as corresponding specific meaning of good faith.
96
Form of Bad Faith Conduct
97
Seller concealing a defect in what he is selling
98
Builder willfully failing to perform in full, though otherwise substantially performing
99
Contractor openly abusing bargaining power to coerce an increase in the contract price
100
Hiring a broker and then deliberately preventing him from consummating the deal
101
Conscious lack of diligence in mitigating the other party’s damages
102
Arbitrarily and capriciously exercising a power to terminate a contract
103
Adopting an overreaching interpretation of contract language
104
Harassing the other party for repeated assurances of performance.
105
Meaning of Good faith
106
Fully disclosing material facts
107
Substantially performing without knowingly deviating from specifications
108
Refraining from abuse of bargaining power
109
Acting coorperatively

208
f. Bertindak berdasarkan alasan;111
g. Menginterpretasikan bahasa/istilah kontrak dengan adil;112
h. Menerima jaminan yang memadai.113

Dengan cara seperti itu, Summers menyatakan bahwa prase itikad baik tidak
memiliki pengertian umum, tetapi memiliki makna yang heterogen sesuai
dengan bentuk itikad buruk. Berdasarkan konsep ini, maka itikad baik
sesungguhnya tiada lain hanyalah keadaan itikad buruk. Dengan perkataan
lain, pertanyaannya adalah bukan pada apa itikad baik, tetapi apa yang
menjadi dasar pelaksanaan putusan pengadilan melalui doktrin itikad baik.114
Dengan analisisnya itu, Summer mengklasifikasikan beberapa kategori
pelaksanaan itikad tidak baik:

a. Menghindari apa yang menjadi semangat pekerjaan;115


b. Tidak bekerja sebaik-baiknya dan tidak memberikah perhatian penuh
terhadap pekerjaan;116
c. Secara sadar hanya mengerjakan pekerjaan yang substansial;117
d. Penyalahgunaan kedudukan pada waktu tertentu;118
e. Penyalahgunaan kedudukan dalam menetapkan kepatuhan;119
f. Hambatan dengan, atau tidak dapat bekerjasama dengan, pelaksanaan
pekerjaan dari pihak lain.120

Walaupun itikad baik dalam pelaksanaan kontrak telah berkembang lama


sekali, tetapi masih menimbulkan sejumlah permasalahan yang memerlukan
pemecahan. Sekurang-kurangnya itikad baik pelaksanaan kontrak masih
menimbulkan dua permasalahan hukum. Pertama, berkaitan dengan standar
hukum (legal test) yang harus digunakan oleh hakim untuk menentukan ada

110
Acting diligently
111
Acting with some reason
112
Interpreting contract language fairly
113
Accepting adequate assurances.
114
what self interested conduct the court exclude through good faith doctrine.
115
Evasion of the spirit of deal.
116
Lack of diligence and slacking off.
117
Willful rendering of only substantial performance.
118
Abuse of a power to specify term.
119
Abuse of a power to determine compliance;
120
Interference with, or failure to cooperation, the other party’s performance.

209
tidaknya itikad baik dalam kontrak. Kedua, fungsi itikad baik dalam
pelaksanaan kontrak.

Di Amerika Serikat hal-hal yang dapat mematahkan prinsip-prinsip


kebebasan berkontrak antaral lain adalah sebagai berikut:

a. Sifat dari Masalah Konseptual (The Nature of the Conceptual


Problem121)

Bahkan pendukung pasar dan kebebasan kontrak mengakui bahwa


persyaratan adanya informasi tertentu yang harus dipenuhi untuk
memenuhi kualitas Pareto superior. Misalnya, untuk mengingat
kembali pernyataan Milton Friedman: "Kemungkinan koordinasi
melalui kerjasama secara sukarela bersandar pada proposisi/dalil
dasar- yang sering dibantah, yaitu bahwa kedua belah pihak pada
suatu transaksi ekonomi yang mendapatkan manfaat daripadanya
dapat bekerjasama, asalkan transaksi tersebut adalah bilateral secara
sukarela dan ada pemberitahuan sebelumnya.122

b. Kategori Kegagalan Informasi (Categories of Information


Failure123)

i. Penipuan Fraud

Ingatlah bahwa dalam kasus pemaksaan, Kronman


berpendapat bahwa adalah mustahil untuk menghasilkan teori
yang koheren mengenai kesukarelaan, yang mana adalah tidak
sama dengan teori keadilan distributif, dalam arti spesifikasi
pemberian atau keuntungan yang manakah yang pihak-

121
Michael J. Trebilcock, “The Limits of Freedom of Contract-second printing,” (USA: Harvard
University Press, 1997) p.102.
122
Even the most proponents of tree markets and freedom of contract recognize that certain
information preconditions must be met for a given exchange to possess Pareto superior qualities. For
example, to recall the statement of Milton Friedman: “The possibility of coordination through
voluntary cooperation rests on the elementary-yet frequently denied-proposition that both parties to
an economic transaction benefit from it, provided the transaction is bilaterally voluntary and
informed.
123
Ibid., p.103.

210
pihaknya dapat diijinkan untuk mengambil manfaat darinya
vis-à-vis pihak-pihak lain dengan siapa mereka telah bersama-
sama terlibat ke dalam hubungan kontraktual. Dalam kasus
pemaksaan, kita berusaha untuk mendiskualifikasi penggunaan
kekuatan yang superior. Dalam kasus penipuan, kami
melarang eksploitasi kewenangan yang superior untuk
penipuan. Sebaliknya, Fried menolak sebagai "seperti seolah-
olah benar adanya" argumen bahwa larangan kontrak penipuan
adalah suatu bentuk redistribusi.124

Seorang penipu yang berusaha untuk mencapai tujuannya


dengan menciptakan keyakinan palsu teman bicaranya, maka
ia dapat dikatakan melakukan kejahatan dengan
mempermainkan pikiran, walaupun sebagai penyerang, ia
tidak membahayakan karena tidak meletakkan tangan pada
tubuh korbannya. Pelaksanaan perjanjian yang berdasarkan
penipuan adalah bertentangan dengan moral penghormatan
dan kepercayaan yang diberikan oleh korban yang telah
dikhianati oleh si penipu yang telah mengkhianati janji.
Meskipun karakterisasi Fried yang memberikan acuan bahwa
penipuan dan pemberian bantuan terhadap pengambilalihan
kontraktual lebih menarik dibandingkan pendapat Kronman,
saya akan memberi beberapa kasus yang lebih problematis, di
mana suatu teori non-instrumental mengenai konflik
125
kontraktual telah memberikan pandangan yang kurang.

124
Recall that in the case of coercion, Kronman has argued that it is impossible to generate a
coherent theory of voluntariness that is not at the same time a theory of distributive justice in the
sense of some specification of what endowments or advantages particular parties will be permitted to
exploit vis-à-vis other parties with whom they have entered into contractual relationships. In the case
of coercion, we seek to disqualify the use of superior force. In the case of fraud, we disallow the
exploitation of a superior capacity for deception. Conversely, Fried dismisses
as “specious” the argument that the contractual prohibition on fraud is a form of redistribution.
125
A liar seeks to accomplish his purpose by creating a false belief in his interlocutor, and so he may
be said to do harm by touching the mind, as an assailant does harm by laying hands on his victim’s
body. To enforce a promise induced by fraud is to invoke against the victim the very morality of

211
ii. Kelalaian Representasi (Negligent Misrepresentation126)

Mari kita ambil tiga kasus. Pertama, sebuah mobil bekas dari
sebuah dealer atau penjual swasta memutar balik odometer
pada mobil untuk menipu calon pembeli tentang jarak tempuh
mobil. Kami tidak memiliki kesulitan dalam memutuskan hal
tersebut sebagai suatu kasus penipuan. Dalam kasus kedua,
seorang calon pembeli bertanya kepada penjual apakah yang
tertera dalam odometer mobil adalah benar, dan penjual
dengan itikad baik menjawab bahwa odometer itu benar,
meskipun ia seharusnya tahu, dari sejarah mobil dan dari
dokumentasi, bahwa itu sangat tidak mungkin yang tertera
dalam odometer tersebut adalah benar dan bahwa beberapa
pemilik sebelumnya mungkin telah merubahnya. Penjual di
sini tidak menjanjikan, sebagaimana tertera dalam kontrak,
bahwa yang tertera dalam odometer adalah benar, tapi hal
yang keliru adalah telah mendorong pembeli untuk masuk ke
dalam suatu transaksi yang, bukan Pareto superior, yaitu
pembeli telah masuk ke dalam suatu transaksi yang apabila
sekiranya ia mengetahui keadaan sebenarnya, ia tidak akan
melakukan transaksi tersebut. Kasus semacam ini tidak
dibahas baik oleh Kronman atau Fried, meskipun
permasalahan seperti itu sangat umum terjadi pada kasus
hukum menyangkut kontrak.127

respect and trust that the liar betrayed in eliciting the promise. Although I find Fried’s
characterization of why we object to fraud and provide relief against contractual undertakings on that
account more intuitively appealing than Kronman’s, I will shortly address some more problematic
cases, where a non-instrumental theory of contractual objection seems to provide mush less insight.
126
Ibid., p.104.
127
Let us take three cases. In the first, a used-car dealer or private seller turns back the odometer on
a car to deceive prospective buyers about the car’s mileage. We have no difficulty recognizing this as
a case of fraud. In the second case, a perspective buyers asks a seller whether the odometer reading in
the car is correct, and the seller represents in good faith that it is, even though he should have known,
from the prior history of the car of its documentation, that it was highly unlikely the odometer reading
was accurate and that some previous owner had probably tampered with it. Here the seller is not
promising, as a contractual term, that the odometer reading is accurate, but his misrepresentation has

212
Kasus ketiga yang menyangkut kelalaian dalam representasi
adalah dimana seorang penjual mengetahui hal-hal mana yang
benar dan, namun tidak memberi ketegasan atas hal-hal yang
salah. Ia juga lalai dalam penggunaan bahasa/kata-kata,
sehingga pembeli mendapat kesan bahwa penjual telah
memberikan suatu informasi, dimana sebenarnya informasi
tersebut adalah informasi yang salah. Tidak seperti kasus
kedua, di mana penjual seharusnya melakukan pemeriksaan
lebih lengkap mengenai fakta-fakta, dalam kasus ini, penjual
seharusnya lebih berhati-hati mengenai pilihan bahasa/kata-
kata yang ia gunakan. Dalam kategori kasus kedua dan ketiga,
tampaknya sulit untuk mengandalkan teori non-instrumental
atau otonomi yang berbasis teori mengenai kewajiban kontrak
yang menentukan apakah pembeli bisa mendapatkan
keringanan dari kontrak. Sebaliknya, yang terjadi disini adalah
kecerobohan yang mungkin dapat dihindari oleh penjual dan
hal/informasi yang masih dapat diterima oleh akal pembeli.
Hal ini memunculkan semacam perbuatan melawan hukum
menyangkut kesalahan konsep dan kepercayaan, dimana yang

induces a buyer to enter into a transaction which, ex post, is not Pareto superior, that is, the buyer is,
rendered worse off as a result of the transaction that he would have been had he not entered into it.
This kind of case is not addressed by either Kronman or Fried, although it is a very common class of
situation in the contract case-law. A third type of case entailing negligent misrepresentation is one
where the seller knows all along which propositions are true and false, does not intend to assert any
false proposition, but is negligent in his use of language, so that the buyer gets the impression that the
seller has asserted some proposition that in fact is not true. Unlike the second case, where the seller
should have undertaken a fuller investigation of the facts, in this case, the seller should have been
more careful about his choice of language. In the second and third categories of cases, it seems
difficult to rely on a non-instrumental or autonomy-based theory of contractual obligation to
determine whether the buyer should obtain relief from the contract. Rather, what we have is careless
and presumably avoidable conduct on the part of the seller and reasonable reliance on the part of the
buyer. This evokes tort-like concepts of faults and reliance, but to the extent we assign liability to the
seller, it is not obviously premised on a consensually assumed obligation to the buyer. Although we
can justify liability for negligent misrepresentation, at least in some contexts, it is also true that
liability for negligence generally in tort law can be justified in autonomy terms-in terms not of
consensually assumed obligations but of an obligation to avoid unreasonable conduct that violates the
equal autonomy of another. Here the seller is not promising, as a contractual term, that the odometer
reading is accurate, but his misrepresentation has induces a buyer to enter into a transaction which,
ex post, is not Pareto superior, that is, the buyer is, rendered worse off as a result of the transaction
that he would have been had he not entered into it. This kind of case is not addressed by either
Kronman or Fried, although it is a very common class of situation in the contract case-law.

213
seharusnya menjadi tanggung jawab penjual, tidak
diasumsikan sebagai kewajiban oleh pembeli. Meskipun kita
dapat membenarkan kelalaian dalam representasi, setidaknya
dalam beberapa konteks, adalah benar bahwa pada umumnya
tanggung jawab atas kelalaian dalam aturan mengenai
perbuatan melawan hukum dapat diberikan dalam hal yang
berkaitan dengan otonomi. Namun apabila berdasarkan
kesepakatan dianggap tanggung jawab atas kekeliruan tersebut
bukan sebagai suatu kewajiban, maka yang menjadi kewajiban
adalah menghindari perilaku yang tidak sepantasnya yang
melanggar otonomi satu sama lain.128

iii. Kekeliruan Representasi yang Dibenarkan (Innocent


Misrepresentation129)

Mari kita bayangkan sedikit variasi dari contoh sebelumnya.


Seorang calon pembeli, menanggapi suatu iklan baris, dan
menghubungi penjual mobil dan meminta informasi mengenai
jarak tempuh mobil. Penjual memberikan informasi yang
benar mengenai odometer tersebut, yang memang diyakini
benar oleh penjual, walaupun dalam kenyataannya adalah
tidak benar, meskipun ia tidak memiliki alasan untuk menduga
hal tersebut adalah sebaliknya. Selanjutnya, yang bertanya
akhirnya membeli mobil tersebut. Di sini, yang ada adalah

128
A third type of case entailing negligent misrepresentation is one where the seller knows all along
which propositions are true and false, does not intend to assert any false proposition, but is negligent
in his use of language, so that the buyer gets the impression that the seller has asserted some
proposition that in fact is not true. Unlike the second case, where the seller should have undertaken a
fuller investigation of the facts, in this case, the seller should have been more careful about his choice
of language. In the second and third categories of cases, it seems difficult to rely on a non-
instrumental or autonomy-based theory of contractual obligation to determine whether the buyer
should obtain relief from the contract. Rather, what we have is careless and presumably avoidable
conduct on the part of the seller and reasonable reliance on the part of the buyer. This evokes tort-like
concepts of faults and reliance, but to the extent we assign liability to the seller, it is not obviously
premised on a consensually assumed obligation to the buyer. Although we can justify liability for
negligent misrepresentation, at least in some contexts, it is also true that liability for negligence
generally in tort law can be justified in autonomy terms-in terms not of consensually assumed
obligations but of an obligation to avoid unreasonable conduct that violates the equal autonomy of
another.
129
Ibid., p.105.

214
kepercayaan pembeli dan penjual yang tidak melakukan
kesalahan. Orang dapat berpendapat bahwa penjual seharusnya
lebih berhati-hati dalam jawabannya, mengingat kurangnya
informasi tentang apa yang mungkin terjadi pada mobil
tersebut di tangan pemilik sebelumnya; orang berpendapat
bahwa seharusnya hukum mengatur mengenai sikap kehati-
hatian dari penjual dalam klaim yang mereka berikan
mengenai sejarah barang-barang yang mereka jual, yang
sepenuhnya tidak mereka mengetahui, sehingga dapat
130
melegakan pembeli. Tetapi sekali lagi, kewajiban penjual di
sini tidak berasal dari kewajiban yang sudah disepakati. Juga
tidak jelas bagaimana teori Kronman tentang pengambilan
keuntungan banyak membantu dalam situasi tersebut, kecuali
jika orang percaya bahwa prinsip Pareto yang ia ubah akan
menghasilkan kesimpulan bahwa pembeli umumnya dalam
jangka panjang tidak akan mengizinkan perilaku semacam ini
dilakukan oleh penjual. Tetapi ini tampaknya hanya sebuah
cara yang rumit dalam merumuskan tes penghindaran biaya
secara langsung yang konvensional yang dipilih oleh para ahli
hukum dan ekonomi dalam konteks gugatan, yang
membutuhkan teori pertimbangan efisiensi Kaldor-Hicks.
Suatu Pareto tes, apabila diterapkan dalam konteks ini,
mungkin akan membantu pembeli, terlepas dari biaya
pencegahan relatif, meskipun untuk alasan-alasan tertentu,

130
Let us imagine a slight variation on the previous example. A prospective buyer, responding to a
classified ad, telephones a private seller of a car and asks the mileage of the car. The seller reports
the current odometer reading, which the seller believes to be accurate when, in fact, it is not, although
he has no reason for supposing it to be otherwise. Subsequently, the inquirer purchases the car. Here,
we have reliance by the buyer and the absence of fault on the part of the seller. One might tentatively
argue that the seller should have been more cautious in his response, given his lack of information
about what might have happened to the car in the hands of previous owners; one might thus argue
that to encourage appropriate circumspection on the part of sellers in claims they make about goods
they are selling whose prior histories they are not fully in formed of, the law would be justified in
providing the buyer with relief.

215
sebagian besar pelanggaran atas kontrak akan dimaafkan atas
dasar ini.131

c. Ketidakterbukaan Material (Material Non-Disclosure132)

Kasus ketidakterbukaan yang disengaja jauh lebih bermasalah


daripada kasus yang dipertimbangkan sebagai kasus kompleks dan
membingungkan dalam kedua sistem hukum baik common law
maupun civil law. Pertama, contoh tindakan ketidakterbukaan yang
dilakukan oleh penjual adalah sebagai berikut. Dalam satu kasus,
seorang pemilik rumah menemukan rayap di loteng (setelah
mendengar suara-suara rayap di malam hari dan mengamati
kotorannya). Rayap tersebut telah menimbulkan kerusakan serius
pada struktur rumah. Jika ia membersihkan kotoran rayap untuk
menyembunyikan keberadaan rayap tersebut, dan menunjukkan
keadaan rumah hanya pada siang hari ketika rayap tidak dapat
terdengar, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu
jenis penipuan.133 Bagaimanapun, si penjual rumah tidak mengambil
langkah-langkah aktif untuk menyembunyikan rayap, dan menjual
rumah kepada pembeli yang tidak curiga dan penjual secara sadar
mengetahui bahwa pembeli tersebut telah mendapat kesalahan
informasi mengenai kerusakan struktural yang dilakukan oleh rayap

131
But again, the seller’s obligations here do not derive from any consensually assumed obligation.
Nor is it clear how Kronman’s theory of advantage-taking helps us much in the situation, unless one
believes that his modified Paretian principle (discussed in chapter 5) would yield the conclusion that
buyers generally and in the long-run would not be rendered better off by permitting this kind of
conduct on the part of sellers. But this simply seems an elaborate way of formulating a
straightforward least-cost-avoider test of the kind that is conventionally favoured by law and
economic scholars in a tort context, invoking Kaldor-Hicks efficiency considerations. A literal
Paretian test, at least if applied expost in this context, might yield relief for the buyer, irrespective of
relative precaution costs, though for reasons noted, most contract breaches would be excused on this
basis.
132
Ibid., p.106.
133
Cases of deliberate non-disclosure are much more problematic than the cases I have been
considering and have generated a complex and confusing body of doctrine in both common law and
civil law legal systems. First, let me take non-disclosure by sellers. In one case, an owner of a house
discovers that he has termites in the attic (after hearing their activities at night or observing their
droppings) and that they have done serious damage to the structure of the house. If he sweeps up the
droppings to conceal their presence and permits showings of the house only during the daytime, when
they cannot be heard, we might want this as a species of fraud.

216
dan, karenanya kesalahan informasi mengenai nilai riil rumah.
Kronman akan menyelesaikan kasus seperti ini dengan mengacu pada
perbedaan cara perolehan informasi yang didapat secara kasual atau
yang sengaja dibicarakan terlebih dahulu. Informasi yang pertama
mengacu pada aturan keterbukaan informasi, sedang informasi yang
ke dua tidak. Menurut Kronman, dengan membuat perbedaan ini
maka akan memudahkan perolehan informasi. Pandangan ini
nampaknya didasarkan pada pertimbangan efisiensi Kaldor-Hicks
umum, dan bukan Pareto test secara harfiah, yang akan memaafkan
sebagian besar kesalahan. Juga tidak jelas apakah perubahan Pareto
test oleh Kronman, pada tingkat umum di mana ia merumuskan
perbedaan antara perolehan informasi secara kasual atau perolehan
informasi yang sengaja dibicarakan, telah melibatkan setiap
pertimbangan yang berbeda yang terdapat pada perspektif Kaldor-
Hicks.134

Dalam kedua contoh mengenai rayap tersebut, informasi yang


diketahui oleh penjual yang tidak diketahui oleh pembeli tidak
diperoleh sebagai hasil dari kegiatan pengumpulan informasi dan
karena itu, menurut Kronman, memerlukan pengungkapan dimana
pengungkapan tersebut tidak akan menimbulkan kerugian dalam
perolehan informasi. Penjelasan ini tidak begitu meyakinkan.
Misalkan penjual telah mencurigai adanya rayap di loteng dan telah
mempekerjakan para ahli untuk menyelidiki kemungkinan ini, dengan
biaya sendiri. Dalam hal ini maka pengungkapan tidak terlalu

134
Suppose, however, that the seller of the house takes no active steps to conceal the termites but sells
the house to an unsuspecting buyer who the seller is aware is seriously misinformed as to the
structural damage done by the termites and, therefore, the real value of the house. Kronman would
resolve cases such as this by reference to a distinction he develops between casually and deliberately
acquired information. The first class of information would be subject to a disclosure rule, but the
second would not. According to Kronman, this distinction preserves incentives for efficient
information generation. This view seems predicated on general Kaldor-Hicks efficiency
considerations, and not a literal Paretian test, which would ex post excuse most mistakes. It is also
not clear whether Kronman’s modified Paretian test, at the level of generality at which he formulates
the distinction between casually and deliberately acquired information, entails any considerations
different from those in a Kaldor-Hicks perspective.

217
diharuskan dibandingkan apabila penjual menemukan informasi ini
secara kebetulan?135

Orang mungkin juga berpendapat bahwa adanya keharusan untuk


keterbukaan dapat menghindari berbagai bentuk pemborosan biaya
transaksi, seperti calon pembeli yang mempekerjakan mekanik untuk
memeriksa mobil sebelum ia membeli. Tapi hal ini adalah murni
argumen yang instrumental, dan tidak menyangkut pertimbangan
efisiensi Kaldor-Hicks secara umum, yang lebih mengacu pada
argumen mengenai distribusi. Mungkin, Pareto test yang dibuat
Kronman, dapat disimpulkan bahwa pembeli sebagai suatu kelas dan
selama jangka panjang tidak diuntungkan dengan mengizinkan
perilaku semacam ini oleh penjual dalam transaksi tertentu. Dan
selama pembeli mobil sering hanya sebagai penjual, ini bisa
dipandang sebagai aturan yang adil. Tidaklah jelas bahwa pada
intinya, bagaimanapun, hal ini mencerminkan pertimbangan yang
secara substansial berbeda dari yang ditunjukkan oleh perspektif
efisiensi umum Kaldor-Hicks.136 137

135
In the second termites example, the information known to the seller and unavailable to the buyer
was not acquired as a result of costly investment in information-gathering activities and therefore,
according to Kronman, requiring disclosure of it would not create disincentives to the acquisition of
the information. This explanation is not particularly convincing. Suppose the seller had suspected the
presence of termites in his attic and had hired experts to investigate this possibility, at some expense
to himself. Would we feel any less inclined to require disclosure here than in cases where he came
across this information fortuitously?
136
One might also reasonably argue that requiring disclosure for this range of defects avoids various
forms of sosially wasteful transaction costs, such as a succession of prospective buyers hiring
mechanics to inspect cars before purchase or, in the event of purchase in the absence of accurate
information, further transactions that might be entailed in moving the goods to their sosially most
valuable uses, given the now fully revealed condition of the goods. But this is purely instrumental
argument, and those not attracted by general Kaldor-Hicks efficiency considerations of this sort might
prefer instead some distributional argument. Perhaps, on Kronman’s modified Paretian test, one
would conclude that buyers as a class and over the long-term are not advantaged by permitting this
kind of conduct by sellers in any particular transaction. And to the extent that buyers of cars are just
as often sellers, this might be seen as a fair rule. It is not clear that in its essence, however, it reflects
substantially different considerations from those implied by a general Kaldor-Hicks efficiency
perspective
137
Ibid., p.108.

218
Sekarang mari saya mengambil dua contoh yang melibatkan
ketidakterbukaan oleh pembeli. Pertama, seorang calon pembeli
(seorang profesor ekonomi) melihat buku yang sangat langka yaitu
edisi pertama dari Adam Smith's Wealth of Nations, secara pribadi
ditandatangani oleh Adam Smith (yang terlihat di tangannya), dengan
penjualan sebesar lima puluh sen dalam karton buku yang dijual
dalam suatu garage sale pada suatu lingkungan perumahan. Apakah
calon pembeli berdasarkan suatu kewajiban harus mengungkapkan
kepada penjual bahwa ia telah memberi harga di bawah harga yang
seharusnya? Dalam hal ini, seperti dalam kasus rayap, pembedaan
cara perolehan informasi yang diutarakan oleh Kronman tampaknya
rapuh. Mungkin si pembeli dapat mengatakan bahwa ia telah
mengeluarkan sejumlah modal untuk membayar ahli yang bertugas
untuk mencari tahu nilai sesunggungnya dari buku tersebut. Dalam
kasus ini, mungkin si pembeli mempunyai hobi membeli buku
ekonomi edisi langka dan sangat pembelian buku ini adalah insidentil
dan sesuai dengan pekerjaan/keahliannya di bidang ekonomi. Dalam
hal ini, menurut Fried, maka akan ada acuan yang mengatur apa yang
seharusnya diharapkan dan tidak diharapkan oleh calon pembeli.138 139

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha


merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan
tentang itikad baik ini diataur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan Arrest H.R di

138
Now let me take two examples involving non-disclosure by buyers. First, a prospective buyer (a
professor of economics) observes a very rare first edition of Adam Smith’s Wealth of Nations,
personally autographed by Adam Smith (in his visible hand), on sale of fifty cents in a carton of books
being sold by the executors of an estate on a neighborhood front lawn at a garage sale. Is the
prospective buyer under an obligation to disclose to the sellers the dramatic undervaluation of the
book before buying it at the stipulated price? Here, as in the termite cases, Kronman’s distinction
between casually and deliberately acquired information seems fragile. Perhaps the buyer can argue
that he has invested a large amount of human capital acquiring an expertise the true value if this
book. Suppose, however, that buying rare editions of old economics treaties is a hobby and is quite
incidental to the activities in which he principally employs his economic expertise. Fried would remit
us to unspecified, but apparently established, sosial conventions which would tell us what is or is not
expected of the prospective buyer in this case.
139
Ibid.

219
Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam
tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik,
bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya itikad baik tersebut,
sehingga dalam perundang-undangan atau perjanjian antara para pihak, kedua
belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang
dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih
lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing
calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan
penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum
menandatangani kontrak, atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian
yang cukup dalam menutup perjanjian yang berkaitan dengan itikad baik.

Di Jerman Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa apabila ditetapkan


syarat-syarat umum mengenai perjanjian maka kebebasan berkontrak
dianggap apa sejauh kebebasan ini mengenai isi perjanjian menurut
ukurannya sendiri, yaitu berdasarkan itikad baik dengan kewajiban untuk
memperhatikan kepentingan-kepentingan pihak lawan dalam perjanjian pada
awal penyusunan syarat-syarat perjanjian itu. Apabila satu pihak hanya
mengajukan kepentingan-kepentingan sendiri, maka ia menyalahgunakan
kebebasan dalam membuat perjanjian.

Kedua keputusan tersebut menunjukan bahwa itikad baik menguasai para


pihak pada periode pra perjanjian, yaitu dengan memperhatikan kepentingan-
kepentingan yang wajar dari pihak lain.

Putusan Pengadilan Inggris yang menyatakan bahwa apabila orang memiliki


pengetahuan khusus (ahli) memberikan keterangan kepada pihak lain dengan
maksud mempengaruhi pihak lain supaya menutup perjanjian dengannya,
maka dia wajib untuk berhati-hati bahwa keterangan-keterangannya adalah
benar dan dapat dipercaya, juga terkait dengan itikad baik. Asas sikap
berhati-hati tersebut merupakan perkembangan asas itikad baik. Berdasarkan
asas sikap hati-hati dalam perjanjian tersebut dapat disimpulkan adanya
beberapa kewajiban seperti kewajiban meneliti, kewajiban untuk memberi

220
keterangan, kewajiban untuk membatasi kerugian, kewajiban untuk
membantu perubahan–perubahan dalam pelaksanaan perjanjian, kewajiban
untuk menjauhkan diri dari persaingan, kewajiban untuk memelihara mesin-
mesin yang dipakai dan sebagainya. Rumusan tersebut dimaksudkan untuk
menggambarkan hubungan dengan kewajiban berhati-hati di luar perjanjian
serta untuk mencegah kesalahpahaman tentang pengertian itikad baik.

Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan adanya itikad baik sebagai suatu


perilaku kontraktual yang diharapkan para pihak dalam pelaksanaan kontrak.
Walaupun ada kewajiban umum itikad baik, tetapi semua ketentuan tersebut
tidak menyebutkan atau menentukan standar atau tes apa yang harus
digunakan untuk menilai itikad baik tersebut. Sehingga penggunaan standar
tersebut lebih banyak didasrkan kepada sikap pengadilan dan doktrin-doktrin
yang dikembangkan para pakar hukum.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam beberapa system hukum


kontarak, seperti hukum kontrak Jerman dan hukum kontrak Belanda, itikad
baik dibedakan antara itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Standar
atau tes bagi itikad baik pelaksanaan kontrak tentunya adalah standar objektif.
Dalam hukum kontrak, pengertian bertindak sesuai dengan itikad baik
mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standard of fair
dealing, yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan
redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). Ini benar-benar
standar objektif. Jika salah satu pihak bertindak dengan cara tidak masuk akal
dan tidak patut will not be a good defense to say that he honestly believed his
conduct to be reasonable an inequitable.

Itikad baik subjektif (subjecteive geode trouw) dikaitkan dengan hukum


benda (bezit). Di sini ditemui istilah pemegang yang beritikad baik atau
pembeli barang yang beritikad baik dan sebagainya sebagai lawan dari orang-
orang yang beritikad buruk. Seorang pembeli yang beritikad baik adalah
seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual
benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Ia sama sekali tidak
mengetahui bahwa ia membeli barang dari orang yang bukan pemiliknya. Ia

221
adalah seorang pembeli yang jujur. Dalam hukum benda, itikad baik diartikan
dengan kejujuran. Pembeli yang beritikad baik adalah orang yang jujur yang
tidak mengetahui adanya cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu.
Artinya cacat mengenai asal usulnya. Dalam hal ini, itikad baik merupakan
suatu elemen subjektif. Itikad baik yang subjektif ini berkaitan dengan sikap
batin atau kejiwaan (psychische gestelheid), yakni apakah yang bersangkutan
menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak
dengan itikad baik.

Itikad baik pelaksanaan kontrak mengacu kepada itikad baik yang objektif.
Standar yang digunakan dalam itikad baik objektif adalah standar yang
objektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak
dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis
yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan itikad baik menunjuk
kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai
suatu sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan objektif karena
tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi
tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik
tersebut.

Dalam hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi. Itikad baik dalam
fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus
ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah
(aanvullende werking van de geode trouw). Fungsi ketiga adalah fungsi
membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de
geode trouw). Beberapa hal yang mutlak untuk diperhatikan dalam hal ini
adalah:

a. Penafsiran kontrak harus didasarkan pada itikad baik

Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk
menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat
diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Menurut
Corbin, penafsiran atau interpretasi kontrak adalah proses di mana
seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi

222
yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah
kata-kata baik satu per satu maupun kelompok, oral atau tertulis.
Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan
interpretasi. Asas itikad baik memegang peranan penting dalam
penafsiran kontrak.

Ada beberapa prinsip umum penafsiran kontrak yang diterima


pengadilan Belanda sebagai berikut:

1) Maksud para pihak yang harus diuji daripada sekedar


menafsirkan makna literal kata-kata dalam kontrak;
2) Ketentuan-ketentuan kontrak harus dipahami dalam makna
yang menimbulkan pengaruh dibandingan dengan makna yang
tidak menimbulkan pengaruh; in which it would have any
effect rather than in a sense in which it would have no effect;
3) Kata-kata kontrak harus diperlakukan sesuai dengan sifat
kontrak;
4) Jika menafsirkan suatu kontrak harus mengingat aspek
regional, lokal, profesional, dan kebiasaan;
5) Dalam hal kondisi yang tidak menentu terjadi, pihak yang
profesional pada prinsipnya harus menafsirkan kontrak
secara sesuai kepada pihak lain, terutama apabila pihak lain
tersebut adalah konsumen; In case of uncertainties (general)
conditions drawn up by a professional party are in principle
construed in favor of other party, especially when the other
party is a consumer;
6) Persyaratan-persyaratan umum yamg tertulis atau ketikan
tambahan yang dicetak mengalahkan persyaratan yang
dicetak; dan
7) Suatu argument a contario harus digunakan dengan penuh
hati-hati.

223
Penyebutan prinsip-prinsip tersebut di atas tidak berarti bahwa daftar
tersebut sebagai daftar prinsip penafsiran yang lengkap. Prinsip-
prinsip tersebut memberikan beberapa pedoman umum penafsiran
kontrak.

b. Fungsi itikad baik yang menambah

Dengan fungsinya yang kedua, itikad baik dapat menambah isi suatu
perjanjian tertentu dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan
undang-undang mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian ini
dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara
para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak.

c. Fungsi itikad baik yang membatasi dan meniadakan

Dalam fungsi itikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan
meniadakan. Beberapa para pakar hukum sebelum perang
berpendapat bahwa itikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka
mengajarkan bahwa suatu perjanjian tertentu atau suatu syarat tertentu
dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu
dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu menimbulkan
ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu, kewajiban
kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar
itikad baik.

6.2.2. Berdasarkan UU-PK Perjanjian Baku dibatasi oleh kewajiban-


kewajiban Pelaku Usaha
Secara singkat kewajiban pelaku usaha yang terintegrasi dengan ketentuan
Pasal 18 UU-PK sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU-PK adalah:

“kewajiban pelaku usaha adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


b. Memberkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

224
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai
dengan perjanjian.”

Kewajiban Konsumen sebagaimana diatur dalam Penjelasan huruf c dan e


Pasal 5 UU-PK adalah:

- Huruf c

“pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam


memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan
mutu pelayanan kepada konsumen.”

- Huruf e

“yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang


yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau
kerugian.”

Dalam UU-PK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan


kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Dalam UU-PK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha,
karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,
sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik
dimulai sejak barang dirancang/direduksi sampai pada tahap purna penjualan,
sebaiknya konsep hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hanya ini tentu saja disebabkan

225
karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi
konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat
melakukan transaksi dengan produsen.

Tentang kewajiban kedua usaha yaitu memberikan informasi yang benar, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi
disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau
informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis
cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai


suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu
produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat
berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi, yang dapat
disampaikan sebagai berikut:

a. Representasi

Perlunya representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah


satu penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah
terjadinya misrepresentasi terhadap produk tertentu. Kerugian yang
dialami oleh konsumen di Indonesia dalam kaitannya dengan
misrepesentasi banyak disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan atau
brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut
tidak selamanya memuat informasi yang benar, karena pada umumnya
hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaiknya
kelemahan produk tersebut ditutup-tutupi.

Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat


menjadi alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam gugatan
konsumen terhadap produsen. Bahkan tindakan produsen yang berupa
menyampaikan informasi melalui brosur-brosur secara tidak benar
yang merugikan konsumen tersebut, dikategorikan sebagai

226
wanprestasi. Karena brosur dianggap sebagai penawaran dan janji-janji
yang bersifat perjanjian, sehingga ini brosur tersebut dianggap
diperjanjikan dalam ikatan jual beli meskipun tidak dinyatakan
dengan tegas.

Pertimbangan hakim yang menggolongkan perbuatan produsen sebagai


wanprestasi di atas, dapat diartikan bahwa brosur yang dikeluarkan
oleh produsen merupakan bagian dari perjanjian, sehingga sebagai
konsekuensinya, yang dapat menuntut ganti rugi hanya pihak yang
terkait perjanjian dengan pelaku usaha. Hal ini berbeda dengan Section
402 B Rest.2d of Tort, yang menempatkan misprepresentasi sebagai
alasan pertanggung gugatan pihak penjual terhadap kerugian yang
dialami oleh konsumen walaupun konsumennya tidak membeli atau
terikat perjanjian dengan penjual. Lebih jelasnya Section 402 N Rest
2d of Tort, menentukan:

"seseorang yang terlibat dalam bisnis menjual barang bergerak,


yang oleh iklan, label, atau sebaliknya, memberikan pemahaman
yang keliru kepada publik tentang fakta material mengenai
karakter atau kualitas dari sebuah benda yang dijual olehnya,
bertanggungjawab kepada konsumen atas kerusakan fisik dari
benda tersebut yang disebabkan oleh adanya kekeliruan dalam
representasi, walaupun:

a. Hal tersebut bukan merupakan suatu bentuk penipuan atau


kelalaian;
b.  Konsumen tidak membeli barang tersebut atau tidak terlibat
dalam suatu kontrak dengan si penjual.140

Pembebanan tanggung gugat terhadap produsen yang merepresentasi


suatu produk secara tidak benar, baik dengan alasan wanpresentasi

140
“One engaged in the business of selling chattels who, by advertising, lables, or otherwise, make to
the public a misrepresentation of a a material fact concerning the character or quality of a chattel sold
by him is subject to liability for physical harm to a consumer of the chattel causd by justifiable
reliance upon the mispresentation, even thoug: (a) It is nto made fraudulently or negligently, and (b)
The consumer has not bought the chattel form or entered into any contractual relation with seller.”

227
maupun dengan alasan perbuatan melanggar hukum, merupakan suatu
saran yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen, karena
dengan adanya pertanggunggugatan tersebut dapat menyebabkan
produsen lebih berhati-hati dalam merepresentasikan sesuatu produk
tertentu, sehingga konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar
terhadap suatu produk.

Representasi ini lebih menuntut kehati-hatian bagi orang yang


mempunyai keahlian khusus, karena apabila orang yang mempunyai
keahlian khusus melakukan representasi kepada orang lain, berupa
nasihat, informasi atau opini dengan maksud agar orang lain
mengadakan perjanjian dengannya, maka dia berkewajiban untuk
berhati-hati secara layak bahwa representasi itu adalah benar, serta
nasihat, informasi atau opini itu dapat dipercaya. Jika ia tidak berhati-
hati atau secara sembrono memberikan nasihat, informsi atau opini
yang keliru, maka ia akan bertanggung gugat dalam memberikan ganti
kerugian representasi suatu produk dalam UU-PK diatur dalam Bab
IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Salah satu
larangan yang berkaitan dengan representasi tersebut terlihat dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (1) f dan Pasal(1) Undang-undang
Perlindungan Konsumen.

Disamping berbagai larangan di atas, masih banyak larangan bagi


pelaku usaha dalam menawarkan barangnya kepada konsumen,
namun secara garis besar kesemuanya adalah mengenai
kualitas/kondisi, harga, kegunaan, jaminan atas barang tersebut, serta
pemberian hadiah kepada pembeli.

Berdasarkan berbagai ketentuan yang berkaitan denagn representasi


produk dalam UU-PK, maka tidak dipenuhinya ketentuan tersebut
oleh produsen yang menyebabkan kerugian konsumen, dapat dituntut
berdasarkan perbuatan melanggar hukum, yang berarti bahwa untuk
menggugat pelaku usaha, konsumen tidak harus terkait perjanjian
dengan pelaku usaha yang digugat. Dengan demikian ketentuan dalam

228
UU-PK dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga
yang tidak terikat perjanjian dengan pelaku usaha sebagaimana halnya
ketentuan dalam Section 402 B Rest. 2d of Tort. Hal tersebut
merupakan langkah maju dibandingkan dengan menggolongkan
misrepresentasi sebagai wanprestasi.

b. Peringatan

Peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu


produk, yang merupakan informasi bagi konsumen, walaupun
keduanya memiliki fungsi yang berbeda, yaitu instruksi terutama telah
diperhitungkan untuk menjamin efisien penggunaan produk,
sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan
penggunaan produk.

Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi kepada


konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan
yang diberikan kepada konsumen ini memang peranan penting dalam
kaitan dengan keamanan suatu produk. Dengan demikian pabrik
(produsen pembuat) wajib menyampaikan peringatan kepada
konsumen. Hal ini berarti bahwa tugas produsen pembuat tersebut
tidak berakhir hanya dengan menempatkan suatu produk dalam
sirkulasi.

Produk yang dibawa ke pasar tanpa petunjuk cara pemakaian dan


peringatan atau petunjuk dan peringatan yang sangat kurang/tidak
memadai menyebabkan suatu produk dikategorikan sebagai produk
yang cacat instruksi. Hal ini berlaku bagi peringatan sederhana,
misalnya “simpan di luar jangkauan anak-anak” dan berlaku pula
terhadap peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu
produk tertentu. Peringatan demikian maupun petunjuk-petunjuk cara
pemakaian harus disesuaikan dengan sifat produk dan kelompok
pemakai.

229
Kelalaian menyampaikan peringatan terhadap konsumen dalam hal
produk yang bersangkutan memungkinkan timbulnya bahaya tertentu
akan menimbulkan tanggung gugat bagi cacat, namun secara hukum
produk tersebut dikategorikan sebagai produk cacat instruksi, karena
dapat membahayakan konsumennya. Pembebanan tanggung gugat
yang demikian hanya akan dibebankan kepada produsen tersebut
mempunyai pengetahuan atau dapat mempunyai pengetahuan tentang
adanya kecenderungan bahaya produk.

Masalah yang sering timbul adalah bahwa produsen telah


menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk,
namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan
kepadanya, atau dapat pula terjadi bahwa peringatan itu telah
disampaikan tapi tidak jelas atau tidak mengundang perhatian
konsumen untuk membacanya.

c. Instruksi

Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisien


penggunaan produk, juga penting untuk mencegah timbulnya
kerugian bagi konsumen. Pencantuman informasi bagi konsumen
yang berupa instruksi atau petunjuk/prosedur suatu produk merupakan
kewajiban bagi produsen agar produknya tidak dianggap cacat (karena
ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai). Sebaiknya,
konsumen berkewajiban untuk membaca, atas mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau
jasa, demi keamanan dan keselamatan.

Instruksi yang disampaikan kepada konsumen suatu produk memang


paling banyak berkaitan dengan produk obat-obatan karena produk
obat-obatan. Ini bukan berarti bahwa produk lain tidak membutuhkan
instruksi tentang cara pemakaiannya, karena terhadap banyak produk
lain, instruksi tersebut juga tetap dibutuhkan oleh konsumen, karena
setiap produk yang memiliki kemungkinan menimbulkan kerugian

230
manakala terjadi penggunaan secara keliru seharusnya memilik
instruksi tentang cara pemakaiannya.

6.2.3. Identifikasi Pelanggaran Pasal 18 ayat (1) UU-PK

Berdasarkan hasil inventarisasi klausula baku di bidang perumahan yang


bertentangan dengan Pasal 18 UU-PK yang telah dilakukan pada Bab IV, Berikut ini
adalah hasil identifikasi klausula-klausula baku yang melanggar Pasal 18 UU-PK,
antara lain sebagai berikut:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, yaitu:

a. Dengan batalnya akta ini, maka para pihak sepakat untuk melepaskan
ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPER, dan untuk itu Pihak
Kedua mengikatkan diri untuk mengosongkan tanah dan bangunan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai
tanggal perintah dari Pihak Pertama tanpa syarat-syarat dan ganti rugi
apapun juga oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua;
b. Dalam hal pengosongan tanah dan bangunan tersebut di atas, Pihak
Pertama berhak untuk meminta bantuan dari pihak yang berwenang
guna mengeluarkan Pihak Kedua dan mengosongkan tanah dan
bangunan tersebut, dan untuk itu Pihak Kedua menyatakan
melepaskan haknya untuk meminta bantuan dari instansi manapun
juga mengenai pengosongan itu.;
c. Para Pihak sepakat bahwa dengan batalnya akta ini, Pihak Pertama
tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah
dilakukan oleh Pihak Kedua dan dianggap sebagai sewa tanah dan
bangunan, sehingga Pihak Kedua baik sekarang maupun dikemudian
hari melepaskan Pihak Pertama dari segala tuntutan yang berkaitan
dengan pembayaran tersebut baik secara pidana maupun perdata, dan
Pihak Pertama berhak untuk menjual kembali tanah dan bangunan
tersebut kepada pihak lainnya;
d. Apabila Pihak Kedua selama 3 bulan berturut-turut tidak melakukan
kewajibannya membayar angsuran sebagaimana yang telah ditetapkan

231
di atas maka Pihak Kedua dengan ini sekarang juga untuk nanti pada
saatnya menyetujui dan juga memberi kuasa kepada Pihak Pertama
untuk membatalkan Perjanjian dan dalam hal terjadi demikian
(pembatalan) Pihak Kedua menyatakan dengan ini sekarang juga
untuk nanti pada saatnya melepaskan haknya atas persil tersebut dan
karenanya persil tersebut sepenuhnya menjadi hak dan milik Pihak
Pertama dari Pihak Kedua akan dikembalikan kepada Pihak Kedua
setelah dikurangi 50% dari seluruh uang yang diterima oleh Pihak
Pertama dan akan dikembalikan setelah Persil tersebut terjual kepada
pihak ketiga. Pihak Kedua wajib dalam waktu paling lambat 14 hari
terhitung sejak diterimanya pemberitahuan secara tertulis dari
pihakpertama tentang pembatalan tersebut menyerahkan Persil dalam
keadaan kosong dan terpelihara baik kepada Pihak Pertama jika Pihak
Kedua dalam waktu yang ditetapkan tersebut tidak juga memenuhi
kewajibannya, maka Pihak Kedua menyatakan dengan ini sekarang
juga untuk nanti pada saatnya memberi kuasa kepada Pihak Pertama
untuk mengosongkan dan mengambil alih Persil tersebut dari
penguasaan Pihak Kedua atau pihak lain yang menguasai Persil
tersebut, jika perlu dengan bantuan pihak yang berwajib dan seluruh
biayanya menjadi tanggungan dan harus dibayar oleh Pihak Kedua;
e. Pada saat bangunan atas persil selesai didirikan dan syarat-syarat
untuk serah terima telah dipenuhi oleh Pihak Kedua, maka dalam
waktu selambat-lambatnya 7 hari terhitung sejak selesainya bangunan,
Pihak Kedua wajib untuk meminta Memorando (surat pengantar)
untuk serah terima bangunan. Serah terima bangunan hanya dapat
dilaksanakan selambat-lambatnya 10 hari terhitung sejak tanggal
Memorando tersebut di atas. Apabila serah terima dilaksanakan
melebihi jangka waktu termaksud di atas maka Pihak Kedua tidak
berhak atas pemeliharaan bangunan yang diatur dalam Pasal 5
Perjanjian ini;
f. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat bahwa apabila terjadi
pembatalan Perjanjian ini, Namun Akad Kredit Belum dilaksanakan

232
maka akan berlaku ketentuan sanksi dalam Pasal 2 ayat 3 di atas
kecuali pembatalan Perjanjian diakibatkan penolakan permohonan
KPR oleh Bank maka uang muka akan dikembalikan setelah dipotong
7% dari Harga Persil. Apabila pembatalan Perjanjian ini terjadi
setelah Akad Kredit, sementara penandatanganan Akta Jual Beli
Belum dilaksanakan dan Pihak Kedua tidak dapat memenuhi
ketentuan seperti yang dimaksud dalam ayat 1.3. tersebut diatas, maka
Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa Persil
tersebut merupakan hak Pihak Pertama, dan Pihak Kedua
membebaskan pihak Pertama dari segala tuntutan atau gugatan dari
pihak manapun termasuk Pihak Kedua sendiri;
g. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa
pengikatan jual beli dalam akta ini menjadi batal demi hukum apabila
Pihak Kedua tidak memenuhi kewajibannya menurut akta ini menjadi
batal demi hukum apabila Pihak Kedua tidak memenuhi
kewajibannya menurut akta ini;
h. Dengan batalnya akta ini, maka para pihak sepakat untuk melepaskan
ketentuan pasal 1266 dan pasal 1267 KUHPER dan untuk itu Pihak
Kedua mengikatkan diri untuk mengosongkan tanah dan bangunan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai
tanggal perintah dari Pihak Pertama tanpa syarat syarat dan ganti rugi
apapun juga oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua;
i. Dalam hal pengosongan Tanah dan Bangunan tersebut diatas Pihak
Pertama berhak untuk meminta bantuan dari pihak yang berwenang
guna mengeluarkan Pihak Kedua dan mengosongkan Tanah dan
Bangunan tersebut, dan untuk itu Pihak Kedua menyatakan
melepaskan haknya untuk meminta bantuan dari instansi manapun
juga mengenai pengosongan itu;
j. Bila kelalaian/keterlambatan membayar sisa pembayaran berlaku
hingga 3 (tiga) bulan berturut-berturut dihitung sejak tanggal
permulaan kelalaian/keterlambatan terjadi, maka Pihak Pertama
berhak secara sepihak membatalkan Surat Perjanjian ini seketika batal

233
tanpa perlunya campur tangan Pengadilan Negeri dan dalam kejadian
demikian, para pihak dalam hal ini melepaskan ketentuan-ketentuan
tersebut pada pasal 1256, 1266, 1267 KUHPER. Pembatalan ini
cukup dinyatakan oleh Pihak Pertama dengan surat tercatat dan mulai
berlaku sejak saat pengiriman Surat Tercatat tersebut yang dibuktikan
dengan tanda penerimanya yang dikeluarkan oleh Kantor Pos. Apabila
Surat Perjanjian ini menjadi batal, maka Pihak Kedua sesuai dengan
pasal VI ayat (1);
k. Apabila dikemudian hari ada peraturan baru dari Pemerintah menjadi
tanggung jawab Pembeli sepenuhnya;
l. Jika terjadi keterlambatan terhadap penyambungan aliran listrik
(PLN) dan aliran air bersih (PDAM) pada bangunan yang
bersangkutan, tidak dapat dianggap sebagai keterlambatan Serah
Terima Rumah tersebut di atas, karena hal tersebut diluar kemampuan
Pihak Pertama;
m. Dalam waktu 3 bulan setelah jangka waktu serah terima yang
ditetapkan ternyata Pihak Pertama tidak dapat memenuhi
kewajibannya tersebut dalam pasal 6 ayat 1 kecuali yang disebabkan
oleh hal-hal yang tersebut dalam ayat 9 diatas maka pihak pertama
dikenakan denda sebesar 0,1% dari harga bangunan yang belum
terselesaikan untuk setiap hari keterlambatan dan denda maksimum
adalah sebesar 5% dari harga sisa bangunan yang belum terselesaikan;
n. Akhirnya para pihak menerangkan bahwa PPJBR ini dibuat dengan
sebenarnya tanpa paksaan yang berwujud apapun juga, kemudian
ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan itikad baik sebagai
persetujuan bersama. Demikian PPJBR ini dibuat dalam rangkap 2
bermeterai cukup dan keduanya mempunyai kekuatan hukum yang
sama;
o. Semua bea dan biaya-biaya serta pajak-pajak dari tanah dan segala
sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya tersebut yang masih
belum dibayar hingga hari ini ditanggung dan harus dibayar oleh
pihak kesatu, sedangkan semua bea, biaya-biaya serta pajak-pajak

234
terhitung mulai hari ini ditanggung dan harus dibayar oleh pihak
kedua;
p. Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pendapatan (PPn) ditanggung oleh
pihak kedua;
q. apabila pekerjaan pembangunan rumah telah selesai, maka pihak
kedua wajib menandatangani Berita Acara Serah Terima Rumah
(BASTR) untuk keperluan Bank walaupun belum mencapai batas
waktu pembangunan (Konsumen KPR);
r. Bahwa apabila dalam masa pemeliharaan, sebagaimana dimaksud
dalam ayat 9 pasal ini, terjadi kerusakan pada bangunan yang
disebabkan oleh Keadaan memaksa, seperti antara lain, gempa bumi,
banjir, huru-hara perang dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh
perorangan maupun massal, atau karena adanya perubahan bangunan
rumah yang dilakukan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama dibebaskan
atas tanggung jawab perbaikan;
s. Pihak Kedua wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan tahun
terakhir dan tahun-tahun berikut atas tanah yang dibeli tersebut
pertama kali;
t. Pihak Kedua mengetahui keadaan serta kondisi tanah dan rumah yang
dibelinya dengan perjanjian ini, sehingga untuk sekarang dan
selanjutnya tidak akan mengadakan tuntutan dalam bentuk apapun
mengenai keadaan dan kondisi tanah dan rumah tersebut;
u. Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh
Pihak Pertama kepada Pihak kedua tersebut menjadi milik Pihak
Kedua tetapi segala keuntungan yang diperoleh dari dan segala
kerugian yang diderita dengannya terhitung sejak tanggal penyerahan
kedua bidang tanah tersebut kepada Pihak Kedua menjadi milik atau
dipikul Pihak Kedua;
v. Pihak Kedua menjamin Pihak Pertama tentang apa yang telah
dibelinya seperti tersebut di atas, dengan sesungguhnya benar-benar
akan dipergunakan sebagai rumah tinggal sesuai dengan peruntukan
yang diizinkan oleh Otorita Batam;

235
w. Pihak Kedua mengetahui keadaan serta seluk beluk tanah dan rumah
yang dibelinya dengan perjanjian ini sehingga untuk sekarang dan
selanjutnya tidak akan mengadakan tuntutan dalam bentuk apapun
mengenai keadaan dan seluk beluk tanah dan rumah tersebut;
x. Apabila pembeli tidak membayar angsuran uang muka 2 (dua) bulan
berturut-turut selama angsuran berjalan, maka penjual/developer
berhak penuh membatalkan transaksi jual beli ini secara sepihak dan
angsuran uang muka yang telah dibayarkan tidak dapat diminta
kembali (otomatis hangus);
y. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran “Uang Muka”
maka pembeli/konsumen bersedia dan menyanggupi membayar denda
sebesar 5% (lima persen) perbulan dari jumlah keterlambatan yang
harus dibayar begitu pula sebaliknya apabila terjadi keterlambatan
serah terima bangunan lebih dari 3 bulan terhitung dari jadwal serah
terima bangunan yang telah ditentukan, maka pihak developer
bersedia dikenakan denda maximum sebesar 5% (lima persen) dari
uang muka yang telah diterima dengan sempurna oleh developer;
z. Bahwa pembeli/konsumen menyadari dan menyatakan setuju untuk
membebaskan penjual/developer dari segala tuntutan apapun apabila
ada peraturan atau kebijaksanaan pemerintah ataupun Force Majeur
yang menyebabkan keterlambatan atau dibatalkannya pembangunan
proyek, terkecuali keterlambatan pembangunan proyek yang
disebabkan atas kesalahan penjual/developer;
aa. Bahwa peralihan hak serta penyerahan atas Tanah dan Bangunan
tersebut belum mungkin dilakukan oleh karena:

1) Ijin Peralihan Hak dari Otorita Batam belum diperoleh.


2) Bangunan tersebut belum selesai dibangun.
3) Harga belum dibayar lunas oleh Pihak Kedua.

bb. Segala akibat hukum yang timbul karena pembayaran yang tidak
dilakukan menurut ketentuan dalam Perjanjian ini merupakan resiko
dan tanggung jawab Pihak Kedua;

236
cc. Bahwa untuk pembayaran Pihak Kedua yang menyimpang dari
ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tersebut dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ini, tidak diakui sebagai suatu pembayaran yang
sah dan oleh karenanya adalah menjadi resiko dan tanggung jawab
Pihak Kedua sepenuhnya;
dd. Seluruh akibat hukum yang menyangkut pajak-pajak yang timbul dari
perubahan Blok dan Nomor kavling atau pengalihan hak atas Tanah
dan Bangunan tersebut di kemudian hari, adalah menjadi tanggung
jawab Pihak Kedua sepenuhnya;
ee. Apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan
pada bangunan yang diakibatkan oleh keadaan Force Majeure,
seperti: gempa bumi, banjir, akibat huru-hara, perang, kebakaran,
tindakan kekerasan yang dilakukan baik oleh perorangan maupun
massal, ataupun karena perbaikan atau perubahan (renovasi) yang
dilakukan oleh Pihak Kedua sendiri atas bangunan tersebut, maka
Pihak Pertama dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan
perbaikan-perbaikan atas bangunan tersebut, oleh karenanya hal
tersebut menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua pribadi
sepenuhnya;
ff. Akan mengusahakan sendiri air bersih untuk keperluan Mandi, Cuci,
Kakus (MCK) sehari-hari selama meteran ATB belum dipasang oleh
Pihak ATB (karena kebijakan dari ATB) dan melepaskan PT dari
segala tuntutan atas hal tersebut di atas;
gg. Hanya akan mengajukan Komplain yang sewajarnya kepada PT atas
fisik bangunan rumah yang dibeli/ditempati;
hh. Surat Pernyataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Persetujuan Pesanan Rumah/Agreement yang telah saya tanda
tangani sebelumnya dengan PT.

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali


barang yang dibeli konsumen, yaitu:

237
a. Apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan
pada bangunan yang diakibatkan oleh keadaan Force Majeure,
seperti: gempa bumi, banjir, akibat huru-hara, perang, kebakaran,
tindakan kekerasan yang dilakukan baik oleh perorangan maupun
massal, ataupun karena perbaikan atau perubahan (renovasi) yang
dilakukan oleh Pihak Kedua sendiri atas bangunan tersebut, maka
Pihak Pertama dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan
perbaikan-perbaikan atas bangunan tersebut, oleh karenanya hal
tersebut menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua pribadi
sepenuhnya.

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang


yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen,yaitu:

a. Selama Pihak Kedua mempunyai tunggakan hutang, maka setiap


setoran Pihak Kedua kepada Pihak Pertama akan diperhitungkan lebih
dahulu oleh Pihak Pertama sebagai pembayaran tunggakan biaya
administrasi dan selebihnya baru diperhitungkan sebagai angsuran
hutang pokok;
b. Bahwa peralihan hak serta penyerahan atas Tanah dan Bangunan
tersebut belum mungkin dilakukan oleh karena:

i. Ijin Peralihan Hak dari Otorita Batam belum diperoleh.


ii. Bangunan tersebut belum selesai dibangun.
iii. Harga belum dibayar lunas oleh Pihak Kedua.

c. Bahwa sebelum jangka waktu pelunasan uang muka berakhir, maka


Pihak Kedua harus sudah melengkapi persyaratan-persyaratan
administrasi KPR Pihak Bank melalui Pihak Pertama, dan jika dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung masa pelunasan uang muka
berakhir Pihak Kedua belum juga melengkapi persyaratan tersebut
maka pemesanan atas Tanah dan Bangunan dimaksud dapat dianggap
batal oleh Pihak Pertama. Dalam hal terjadi demikian, maka seluruh
Uang Tanda Jadi (UTJ) yang telah diterima Pihak Pertama dan
sebesar 40% (empat puluh persen) dari seluruh pembayaran yang

238
telah dibayarkan oleh Pihak Kedua adalah tetap menjadi hak Pihak
Pertama;
d. Apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan
pada bangunan yang diakibatkan oleh keadaan Force Majeure,
seperti: gempa bumi, banjir, akibat huru-hara, perang, kebakaran,
tindakan kekerasan yang dilakukan baik oleh perorangan maupun
massal, ataupun karena perbaikan atau perubahan (renovasi) yang
dilakukan oleh Pihak Kedua sendiri atas bangunan tersebut, maka
Pihak Pertama dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan
perbaikan-perbaikan atas bangunan tersebut, oleh karenanya hal
tersebut menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua pribadi
sepenuhnya.

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik


secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran, yaitu:

a. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa, atas
hutang yang diakui tersebut, Pihak Pertama menetapkan biaya
administrasi kepada Pihak Kedua sebesar 14% per tahun Flat;
b. Selama Pihak Kedua mempunyai tunggakan hutang, maka setiap
setoran Pihak Kedua kepada Pihak Pertama akan diperhitungkan lebih
dahulu oleh Pihak Pertama sebagai pembayaran tunggakan biaya
administrasi dan selebihnya baru diperhitungkan sebagai angsuran
hutang pokok;
c. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa
pengikatan jual beli dalam akta ini menjadi batal demi hukum apabila
Pihak Kedua tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar harga
tanah dan bangunan sebagaimana tercantum dalam akta ini dan atau
Pihak Kedua melalaikan kewajibannya untuk membayar angsuran
bulanannya sebagaimana disepakati selama 3 (tiga) kali angsuran baik
berturut-turut maupun tidak dalam satu tahun takwim sehingga untuk

239
itu Pihak Kedua telah mendapat surat peringatan terakhir dari Pihak
Pertama;
d. Dengan batalnya akta ini, maka para pihak sepakat untuk melepaskan
ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPER, dan untuk itu Pihak
Kedua mengikatkan diri untuk mengosongkan tanah dan bangunan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai
tanggal perintah dari Pihak Pertama tanpa syarat-syarat dan ganti rugi
apapun juga oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua;
e. Dalam hal pengosongan tanah dan bangunan tersebut di atas, Pihak
Pertama berhak untuk meminta bantuan dari pihak yang berwenang
guna mengeluarkan Pihak Kedua dan mengosongkan tanah dan
bangunan tersebut, dan untuk itu Pihak Kedua menyatakan
melepaskan haknya untuk meminta bantuan dari instansi manapun
juga mengenai pengosongan itu;
f. Para Pihak sepakat bahwa dengan batalnya akta ini, Pihak Pertama
tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah
dilakukan oleh Pihak Kedua dan dianggap sebagai sewa tanah dan
bangunan, sehingga Pihak Kedua baik sekarang maupun dikemudian
hari melepaskan Pihak Pertama dari segala tuntutan yang berkaitan
dengan pembayaran tersebut baik secara pidana maupun perdata, dan
Pihak Pertama berhak untuk menjual kembali tanah dan bangunan
tersebut kepada pihak lainnya;
g. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran angsuran tersebut diatas
maka Pihak Kedua dikenakan denda keterlambatan sebesar 0,25%
(dua setengah persen) per hari keterlambatan dari pembayaran yang
jatuh tempo yang atas denda mana harus dibayarkan sekaligus lunas
bersamaan dengan pembayaran angsuran berikutnya;
h. Apabila Pihak Kedua selama 3 bulan berturut-turut tidak melakukan
kewajibannya membayar angsuran sebagaimana yang telah ditetapkan
di atas maka Pihak Kedua dengan ini sekarang juga untuk nanti pada
saatnya menyetujui dan juga memberi kuasa kepada Pihak Pertama
untuk membatalkan Perjanjian dan dalam hal terjadi demikian

240
(pembatalan) Pihak Kedua menyatakan dengan ini sekarang juga
untuk nanti pada saatnya melepaskan haknya atas persil tersebut dan
karenanya persil tersebut sepenuhnya menjadi hak dan milik Pihak
Pertama dari Pihak Kedua akan dikembalikan kepada Pihak Kedua
setelah dikurangi 50% dari seluruh uang yang diterima oleh Pihak
Pertama dan akan dikembalikan setelah Persil tersebut terjual kepada
pihak ketiga. Pihak Kedua wajib dalam waktu paling lambat 14 hari
terhitung sejak diterimanya pemberitahuan secara tertulis dari
pihakpertama tentang pembatalan tersebut menyerahkan Persil dalam
keadaan kosong dan terpelihara baik kepada Pihak Pertama jika Pihak
Kedua dalam waktu yang ditetapkan tersebut tidak juga memenuhi
kewajibannya, maka Pihak Kedua menyatakan dengan ini sekarang
juga untuk nanti pada saatnya memberi kuasa kepada Pihak Pertama
untuk mengosongkan dan mengambil alih Persil tersebut dari
penguasaan Pihak Kedua atau pihak lain yang menguasai Persil
tersebut, jika perlu dengan bantuan pihak yang berwajib dan seluruh
biayanya menjadi tanggungan dan harus dibayar oleh Pihak Kedua;
i. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam Perjanjian ini merupakan bagian
yang penting dan tidak terpisahkan dari persesuaian yang dimaksud
dalam Perjanjian ini, yang jika tidak dengan adanya kuasa-kuasa
mana, persesuaian ini niscaya tidak dilangsungkan dan karenanya
kuasa-kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali dan tidak akan
berakhir disebabkan oleh hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1813
KUH Perdata;
j. Jika Pihak Kedua lalai melaksanakan kewajibannya untuk membayar
angsuran yang telah diuraikan tersebut diatas pada waktu yang telah
ditentukan maka Pihak Kedua dikenakan denda keterlambatan sebesar
2%o (dua perseribu) untuk tiap hari keterlambatan dari jumlah
angsuran yang menunggak;
k. Dengan batalnya akta ini, maka para pihak sepakat untuk melepaskan
ketentuan pasal 1266 dan pasal 1267 KUHPER dan untuk itu Pihak
Kedua mengikatkan diri untuk mengosongkan tanah dan bangunan

241
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai
tanggal perintah dari Pihak Pertama tanpa syarat syarat dan ganti rugi
apapun juga oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua;
l. Dalam hal pengosongan Tanah dan Bangunan tersebut diatas Pihak
Pertama berhak untuk meminta bantuan dari pihak yang berwenang
guna mengeluarkan Pihak Kedua dan mengosongkan Tanah dan
Bangunan tersebut, dan untuk itu Pihak Kedua menyatakan
melepaskan haknya untuk meminta bantuan dari instansi manapun
juga mengenai pengosongan itu;
m. Dalam hal Pihak Kedua membayar harga tersebut di atas secara
angsuran maka harga tersebut akan ditambah dengan biaya
administrasi angsuran sebesar Rp. ( );
n. Bila kelalaian/keterlambatan membayar sisa pembayaran berlaku
hingga 3 (tiga) bulan berturut-berturut dihitung sejak tanggal
permulaan kelalaian/keterlambatan terjadi, maka Pihak Pertama
berhak secara sepihak membatalkan Surat Perjanjian ini seketika batal
tanpa perlunya campur tangan Pengadilan Negeri dan dalam kejadian
demikian, para pihak dalam hal ini melepaskan ketentuan-ketentuan
tersebut pada pasal 1256, 1266, 1267 KUHPER. Pembatalan ini
cukup dinyatakan oleh Pihak Pertama dengan surat tercatat dan mulai
berlaku sejak saat pengiriman Surat Tercatat tersebut yang dibuktikan
dengan tanda penerimanya yang dikeluarkan oleh Kantor Pos. Apabila
Surat Perjanjian ini menjadi batal, maka Pihak Kedua sesuai dengan
pasal VI ayat (1);
o. Apabila Pihak Kedua membayar harga Tanah dan Bangunan Rumah
dengan cara mengangsur melalui Pihak Pertama maka apabila
sewaktu-waktu Pihak Pertama menghendaki, Pihak Kedua bersedia
untuk dipindahkan pembayaran angsuran harganya melalui
Bank/Lembaga Keuangan yang ditunjuk oleh Pihak Pertama;
p. Apabila dalam masa angsuran, baik melalui Pihak Pertama ataupun
Bank/Lembaga Keuangan, Pihak Kedua lalai/terlambat membayar
angsuran selama 2 bulan berturut-turut, maka selain denda yang

242
tersebut di ayat 3 pasal ini dengan ini Pihak Kedua memberi ijin
kepada Pihak Pertama untuk melakukan pemutusan saluran air bersih
(Water Treatment). Bila keterlambatan membayar angsuran
berlangsung hingga 3 bulan berturut-turut dihitung sejak tanggal
permulaan kelalaian/keterlambatan Pihak Kedua memberi ijin/kuasa
kepada Pihak Pertama untuk melakukan pengosongan rumah yang
menjadi obyek Surat Perjanjian ini sesaat setelah dilakukan
pembatalan sebagaimana diatur pasal III ayat 4 dan pasal VI
perjanjian ini;
q. Kedua belah pihak setuju bahwa dalam hal Pihak Kedua membatalkan
niatnya untuk membeli Tanah dan Bangunan Rumah yang menjadi
obyek dari Surat Perjanjian ini karena sebab dan alasan apapun juga
dan Pihak Pertama membatalkan Surat Perjanjian ini karena cedera
janji yang dilakukan oleh Pihak Kedua, maka kedua belah pihak
setuju bahwa Pihak Pertama akan melakukan pembayaran atas harga
Tanah dan Bangunan Rumah yang telah dibayar oleh Pihak Kedua
setelah dipotong tanda jadi sesuai SPT No.0285/EW8/EW/IX/2007
tanggal 5 September 2007, PPN yang sudah disetor, dan biaya
administrasi sebesar 30% dari uang yang telah dibayarkan oleh Pihak
Kedua;
r. Kedua belah pihak setuju bahwa pembayaran kembali uang yang
dimaksud pada ayat 1 pasal ini baru dilakukan oleh Pihak Pertama
setelah berhasil melakukan penjualan atas Tanah dan Bangunan
Rumah tersebut kepada Pihak Ketiga, tanpa dikenakan kewajiban
untuk membayar biaya administrasi atau ganti kerugian dalam bentuk
apapun juga;
s. Dalam hal uang tersebut tidak atau belum dapat dikembalikan karena
satu dan lain hal sehingga mengakibatkan tidak dapat dijumpainya
Pihak Kedua, maka uang tersebut akan disimpan oleh Pihak Pertama
tanpa kewajiban membayar bunga, hingga saat Pihak Kedua dapat
dijumpai kembali oleh Pihak Pertama;

243
t. Apabila dikemudian hari ada peraturan baru dari Pemerintah menjadi
tanggung jawab Pembeli sepenuhnya;
u. Apabila dalam jangka waktu 7 hari setelah tanggal yang disepakati
pada pasal 2 ayat 2, uang tanda jadi sebesar minimal 10% belum
dibayarkan seluruhnya oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama maka
PPJBR ini dianggap batal dengan sendirinya dan rumah dapat dijual
kembali oleh Pihak Pertama kepada pihak lain dan uang yang telah
disetorkan menjadi hangus seluruhnya;
v. Apabila setelah lewat tanggal yang ditetapkan pada pasal 5 ayat 2,
Pihak Kedua belum melengkapi dan menyerahkan surat-surat dan
persyaratan KPR atau menjadi Pembatalan Sepihak oleh karena
ketidaksiapan Pihak Kedua, maka PPJBR ini dianggap batal dengan
sendirinya dan rumah dapat dijual kembali oleh Pihak Pertama kepada
pihak lain dan uang tanda jadi yang telah disetorkan menjadi hangus
seluruhnya;
w. Dan jika Pihak Kedua lalai atau tidak membayar angsuran yang
terhutang tiap-tiap bulan berikut “Denda administrasi” selama 3 bulan
berturut-turut maka PPJBR ini dengan sendirinya dan demi hukum
seketika menjadi batal tanpa diperlukan campur tangan Hakim
Pengadilan Negeri, dalam hal mana kedua belah pihak dengan ini
melepaskan kewajiban-kewajibannya tersebut dalam pasal 2 dan uang
yang sudah diterima Pihak Pertama dari Pihak Kedua dianggap
hangus;
x. Jika terjadi keterlambatan terhadap penyambungan aliran listrik
(PLN) dan aliran air bersih (PDAM) pada bangunan yang
bersangkutan, tidak dapat dianggap sebagai keterlambatan Serah
Terima Rumah tersebut di atas, karena hal tersebut diluar kemampuan
Pihak Pertama;
y. Jika dalam PPJBR ini ditetapkan waktu untuk suatu kewajiban atau
pembayaran, maka dalam hal ini lewatnya waktu saja telah menjadi
bukti yang cukup untuk suatu kelalaian sehingga tidak diperlukan

244
pemberitahuan/teguran dengan jurusita atau surat lain yang
mempunyai kekuatan hukum serupa itu;
z. Untuk setiap hari keterlambatan pembayaran angsuran sebagaimana
tersebut diatas, maka pihak kedua wajib membayar denda sebesar
50% dari jumlah angsuran yang tertunggak, denda mana harus dibayar
oleh pihak kedua kepada pihak kesatu secara seketika dan sekaligus,
oleh karenanya pihak pertama wajib memberika bukti penerimaan
uang/kwitansi untuk denda yang dibayarkan oleh pihak kedua kepada
pihak pertama, sebab tanpa bukti kwitansi denda tersebut, maka pihak
kedua masih sanggup wanprestasi;
aa. Denda pihak kedua sebagaimana ditentukan diatas akan
diperhitungkan terus dan berlaku sampai dengan dilakukan pelunasan
oleh pihak kedua oleh karenanya pihak pertama tidak akan melakukan
serah terima tanah dan bangunan tersebut apabila pembayaran
angsuran berikut denda-denda belum lunas;
bb. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, hak
kepemilikan atas tanah dan segala sesuatu yang berdiri, tertanam
tersebut adalah milik pihak kesatu, pihak kedua hanya berhak
menempati tanah dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam
tersebut selama pembayaran angsuran sesuai dengan jadwal/ tanggal
pembayaran;
cc. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, pihak kesatu
diperbolehkan menjaminkan dan/atau menggadaikan tanah dan segala
sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya tersebut dengan
ketentuan selambat-lambatnya 1 bulan setelah pembayaran telah
dilunasi oleh pihak kedua maka sertipikat hak atas tanah tersebut
harus diserahkan kepada pihak kedua dalam keadaan bersih dari
segala penjaminan dan tidak terikat dalam suatu perjanjian dengan
pihak lain dan tidak dalam disewakan baik sebagian maupun
seluruhnya pada pihak lain, serta bebas dari segala perkara dan sitaan;
dd. Jika Pihak Kedua lalai atau tidak membayar angsuran dan/atau
kewajiban pembayaran lainnya berdasarkan Perjanjian ini pada waktu

245
dan jumlah yang telah ditentukan, maka Pihak Kedua wajib
membayar kepada Pihak Pertama denda sebesar 4% per bulan yang
dihitung dari jumlah angsuran maupun kewajiban pembayaran lainnya
yang terlambat atau kurang pembayarannya;
ee. apabila Pihak Kedua telah membayar angsuran kurang dari atau
sampai dengan 50% dari Harga Pengikatan maka seluruh pembayaran
angsuran tersebut menjadi hak dan milik Pihak Pertama dan Pihak
Kedua tidak dapat menuntut kembali seluruh atau sebagian
pembayaran angsuran tersebut;
ff. Dalam hal terjadi suatu keadaan Force Majeure yang mengakibatkan
Pihak Pertama tidak dapat melaksanakan kewajibannya yang
tercantum dalam Perjanjian ini, atau apabila Force Majeure tersebut
menyebabkan pekerjaan Pihak Pertama tertunda, maka kewajiban
Pihak Pertama berdasarkan Perjanjian ini akan diperpanjang untuk
jangka waktu selama berlangsungnya keadaan Force Majeure tersebut
tanpa mengurangi kewajiban Pihak Kedua berdasarkan Perjanjian ini;
gg. Bahwa apabila Pihak Kedua mengundurkan diri atau membatalkan
transaksi jual beli Tanah dan Bangunan Rumah maka Pihak Pertama
akan mengembalikan uang yang telah dibayar oleh Pihak Kedua tanpa
bunga dan biaya-biaya lainnya setelah lebih dahulu dikurangi seluruh
akumulasi denda-denda Pihak Kedua (jika ada) dan biaya-biaya lain
yang terhutang (jika ada) dan dipotong biaya administrasi yang
ditetapkan sebesar 30% dari harga penjualan/pembelian sebagaimana
dimaksud pasal 2 ayat 1;
hh. Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh
Pihak Pertama kepada Pihak kedua tersebut menjadi milik Pihak
Kedua tetapi segala keuntungan yang diperoleh dari dan segala
kerugian yang diderita dengannya terhitung sejak tanggal penyerahan
kedua bidang tanah tersebut kepada Pihak Kedua menjadi milik atau
dipikul Pihak Kedua;
ii. Dalam hal terjadi seperti tersebut pada Pasal 4 ayat (2) Perjanjian ini
maka Pihak Pertama akan mengembalikan uang yang telah dibayar

246
oleh Pihak Kedua tanpa bunga setelah lebih dahulu dikurangi biaya
administrasi yang ditetapkan 25% dari jumlah uang yang telah
diterima oleh Pihak Pertama dan Pihak Pertama akan mengembalikan
uang setelah rumah terjual kepada Pihak Ketiga;
jj. Pihak Kedua menjamin Pihak Pertama tentang apa yang telah
dibelinya seperti tersebut di atas, dengan sesungguhnya benar-benar
akan dipergunakan sebagai rumah tinggal sesuai dengan peruntukan
yang diizinkan oleh Otorita Batam;
kk. Booking Fee hanya 7 (tujuh) hari dan apabila melewati waktu yang
telah ditentukan pembeli/ konsumen belum membayar angsuran ke 1
(satu) uang muka, maka transaksi dapat dibatalkan oleh
penjual/developer secara sepihak dan booking fee tidak dikembalikan
(hangus);
ll. Apabila pembeli tidak membayar angsuran uang muka 2 (dua) bulan
berturut-turut selama angsuran berjalan, maka penjual/developer
berhak penuh membatalkan transaksi jual beli ini secara sepihak dan
angsuran uang muka yang telah dibayarkan tidak dapat diminta
kembali (otomatis hangus);
mm. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran “Uang Muka”
maka pembeli/konsumen bersedia dan menyanggupi membayar denda
sebesar 5% (lima persen) perbulan dari jumlah keterlambatan yang
harus dibayar begitu pula sebaliknya apabila terjadi keterlambatan
serah terima bangunan lebih dari 3 bulan terhitung dari jadwal serah
terima bangunan yang telah ditentukan, maka pihak developer
bersedia dikenakan denda maximum sebesar 5% (lima persen) dari
uang muka yang telah diterima dengan sempurna oleh developer;
nn. Bahwa pembeli/konsumen menyadari dan menyatakan setuju untuk
membebaskan penjual/developer dari segala tuntutan apapun apabila
ada peraturan atau kebijaksanaan pemerintah ataupun Force Majeur
yang menyebabkan keterlambatan atau dibatalkannya pembangunan
proyek, terkecuali keterlambatan pembangunan proyek yang
disebabkan atas kesalahan penjual/developer;

247
oo. Pembeli/konsumen bersedia mematuhi/mengikuti segala peraturan
dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh penjual/developer
sekarang dan dikelak kemudian hari;
pp. Bilamana pembayaran yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua kepada
Pihak Pertama belum mencapai 10% (sepuluh persen) dari nilai Harga
jual, maka seluruh jumlah pembayaran Angsuran Uang Muka atau
Angsuran Pelunasan tersebut dengan sendirinya adalah menjadi
haknya Pihak Pertama dan Pihak Kedua tidak memiliki kewajiban
untuk mengembalikan uang tersebut kepada Pihak Kedua;
qq. Bilamana pembayaran yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua kepada
Pihak Pertama telah mencapai 10% (sepuluh persen) atau lebih dari
nilai Harga jual, maka Pihak Pertama akan memotong 40% (empat
puluh persen) dari jumlah seluruh total pembayaran Angsuran Uang
Muka atau Angsuran Pelunasan yang telah dilakukan Pihak Kedua
kepada Pihak Pertama;
rr. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa,
Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini batal demi hukum apabila terjadi
hal-hal sebagai berikut:

a. Dalam hal Pihak Kedua tidak memenuhi salah satu


ketentuan/kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam
isi surat Perjanjian Jual Beli ini;
b. Dalam hal Pihak Kedua mengundurkan diri atau membatalkan
transaksi jual beli secara sepihak Tanah dan Bangunan ini,
karena sebab atau alasan apa pun juga;{61}
 
ss. Bahwa sebelum jangka waktu pelunasan uang muka berakhir, maka
Pihak Kedua harus sudah melengkapi persyaratan-persyaratan
administrasi KPR Pihak Bank melalui Pihak Pertama, dan jika dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung masa pelunasan uang muka
berakhir Pihak Kedua belum juga melengkapi persyaratan tersebut
maka pemesanan atas Tanah dan Bangunan dimaksud dapat dianggap
batal oleh Pihak Pertama. Dalam hal terjadi demikian, maka seluruh

248
Uang Tanda Jadi (UTJ) yang telah diterima Pihak Pertama dan
sebesar 40% (empat puluh persen) dari seluruh pembayaran yang
telah dibayarkan oleh Pihak Kedua adalah tetap menjadi hak Pihak
Pertama;
tt. Perjanjian ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kecuali
pembatalan Perjanjian oleh Pihak Pertama karena terjadi kelalaian
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 3 Perjanjian ini. Dan mengenai
pembatalan Perjanjian oleh Pihak Pertama dengan cara tersebut, para
pihak telah setuju untuk melepaskan (mengesampingkan) ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata;
uu. Apabila pembatalan Perjanjian ini diminta oleh Pihak Kedua dan
dapat disetujui secara tertulis oleh Pihak Pertama maka Uang Tanda
Jadi yang telah dibayar menjadi hak Pihak Pertama, dan apabila Pihak
Kedua telah membayar angsuran atas pembelian Tanah dan Bangunan
tersebut akan dipotong 40% (empat puluh persen) dari jumlah yang
telah dibayarkan, sisanya (jika ada) akan dikembalikan kepada Pihak
Kedua;
vv. Apabila salah satu atau lebih dari ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini tidak berlaku, tidak sah
dan/atau tidak dapat dilaksanakan dalam hal apa pun berdasarkan
hukum yang berlaku, maka ketentuan-ketentuan lain dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ini tetap berlaku dan mengikat bagi para pihak;
ww. Bahwa peralihan hak serta penyerahan tanah dan bangunan
sebagaimana dimaksud pada point 2 tersebut di atas, tidak akan
dilakukan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua apabila:

a. Ijin Peralihan Hak dari Badan Otorita Batam (BOB) belum


diterbitkan/diperoleh Pihak Pertama dan/atau;
b. Bangunan tersebut belum selesai dibangun oleh Pihak Pertama
dan/atau;
c. Pihak Kedua belum melunasi seluruh kewajiban-kewajibannya
atas pemesanan/pembelian tanah dan bangunan..

249
xx. Harga jual Tanah dan Bangunan sebagaimana yang tersebut pada ayat
1 Pasal Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini, belum termasuk biaya-
biaya lain;
yy. Jika di kemudian hari, berdasarkan hasil pengukuran terakhir oleh
instansi yang berwenang ternyata bahwa luas tanah tersebut kurang
atau lebih luas sebagaimana yang tersebut pada Pasal 1 ayat (2) huruf
d di atas, maka Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama
lain bahwa kekurangan atau kelebihan luas tanah tersebut akan
diperhitungkan dengan satuan harga sebesar $ Sin 200.-/M2 (dua ratus
Dollar Singapura per meter persegi);
zz. Atas posisi Tanah dan Bangunan yang telah dilakukan ikatan jual beli
antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama
berhak menata kembali dan atau memindahkan posisi Blok atau
Nomor Kavling yang telah dipesan/dibeli oleh Pihak Kedua, untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Badan Otorita Batam (BOB)
atau Pemerintah Kota (PEMKO) Batam dan/atau tanah dimana tempat
kavling berada, apabila secara teknis di lapangan tidak dapat
dilakukan pembangunan;
aaa. Apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan
pada bangunan yang diakibatkan oleh keadaan Force Majeure,
seperti: gempa bumi, banjir, akibat huru-hara, perang, kebakaran,
tindakan kekerasan yang dilakukan baik oleh perorangan maupun
massal, ataupun karena perbaikan atau perubahan (renovasi) yang
dilakukan oleh Pihak Kedua sendiri atas bangunan tersebut, maka
Pihak Pertama dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan
perbaikan-perbaikan atas bangunan tersebut, oleh karenanya hal
tersebut menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua pribadi
sepenuhnya;
bbb. Para Pihak sepakat apabila Pihak Pembeli membatalkan Perjanjian ini
dengan alasan apapun, maka seluruh jumlah uang yang telah
dibayarkan oleh Pihak Pembeli kepeda Pihak Penjual tidak dapat

250
dikembalikan dan akan diperhitungkan sebagai kompensasi ganti
kerugian kepada Pihak Penjual atas pembatalan Perjanjian ini;
ccc. Hanya akan mengajukan Komplain yang sewajarnya kepada PT atas
fisik bangunan rumah yang dibeli/ditempati;
ddd. Bersedia menerima potongan sebesar 60% (uang booking fee hangus)
dari uang yang telah disetorkan kepada PT bila melakukan
pembatalan sebelum penendatanganan Akte Jual Beli (AJB)
dilakukan;
eee. Surat Pernyataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Persetujuan Pesanan Rumah/Agreement yang telah saya tanda
tangani sebelumnya dengan PT.

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau


pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, yaitu:

a. Dan jika Pihak Kedua lalai atau tidak membayar angsuran yang
terhutang tiap-tiap bulan berikut “Denda administrasi” selama 3 bulan
berturut-turut maka PPJBR ini dengan sendirinya dan demi hukum
seketika menjadi batal tanpa diperlukan campur tangan Hakim
Pengadilan Negeri, dalam hal mana kedua belah pihak dengan ini
melepaskan kewajiban-kewajibannya tersebut dalam pasal 2 dan uang
yang sudah diterima Pihak Pertama dari Pihak Kedua dianggap
hangus;
b. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, hak
kepemilikan atas tanah dan segala sesuatu yang berdiri, tertanam
tersebut adalah milik pihak kesatu, pihak kedua hanya berhak
menempati tanah dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam
tersebut selama pembayaran angsuran sesuai dengan jadwal/ tanggal
pembayaran;
c. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, pihak kesatu
diperbolehkan menjaminkan dan/atau menggadaikan tanah dan segala
sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya tersebut dengan
ketentuan selambat-lambatnya 1 bulan setelah pembayaran telah

251
dilunasi oleh pihak kedua maka sertipikat hak atas tanah tersebut
harus diserahkan kepada pihak kedua dalam keadaan bersih dari
segala penjaminan dan tidak terikat dalam suatu perjanjian dengan
pihak lain dan tidak dalam disewakan baik sebagian maupun
seluruhnya pada pihak lain, serta bebas dari segala perkara dan sitaan;
d. Bahwa apabila dalam masa pemeliharaan, sebagaimana dimaksud
dalam ayat 9 pasal ini, terjadi kerusakan pada bangunan yang
disebabkan oleh Keadaan memaksa, seperti antara lain, gempa bumi,
banjir, huru-hara perang dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh
perorangan maupun massal, atau karena adanya perubahan bangunan
rumah yang dilakukan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama dibebaskan
atas tanggung jawab perbaikan;
e. Pihak Kedua menjamin Pihak Pertama tentang apa yang telah
dibelinya seperti tersebut di atas, dengan sesungguhnya benar-benar
akan dipergunakan sebagai rumah tinggal sesuai dengan peruntukan
yang diizinkan oleh Otorita Batam;
f. Pihak Kedua mengetahui keadaan serta seluk beluk tanah dan rumah
yang dibelinya dengan perjanjian ini sehingga untuk sekarang dan
selanjutnya tidak akan mengadakan tuntutan dalam bentuk apapun
mengenai keadaan dan seluk beluk tanah dan rumah tersebut;
g. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran “Uang Muka”
maka pembeli/konsumen bersedia dan menyanggupi membayar denda
sebesar 5% (lima persen) perbulan dari jumlah keterlambatan yang
harus dibayar begitu pula sebaliknya apabila terjadi keterlambatan
serah terima bangunan lebih dari 3 bulan terhitung dari jadwal serah
terima bangunan yang telah ditentukan, maka pihak developer
bersedia dikenakan denda maximum sebesar 5% (lima persen) dari
uang muka yang telah diterima dengan sempurna oleh developer;
h. Bahwa pembeli/konsumen menyadari dan menyatakan setuju untuk
membebaskan penjual/developer dari segala tuntutan apapun apabila
ada peraturan atau kebijaksanaan pemerintah ataupun Force Majeur
yang menyebabkan keterlambatan atau dibatalkannya pembangunan

252
proyek, terkecuali keterlambatan pembangunan proyek yang
disebabkan atas kesalahan penjual/developer;
i. Apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan
pada bangunan yang diakibatkan oleh keadaan Force Majeure,
seperti: gempa bumi, banjir, akibat huru-hara, perang, kebakaran,
tindakan kekerasan yang dilakukan baik oleh perorangan maupun
massal, ataupun karena perbaikan atau perubahan (renovasi) yang
dilakukan oleh Pihak Kedua sendiri atas bangunan tersebut, maka
Pihak Pertama dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan
perbaikan-perbaikan atas bangunan tersebut, oleh karenanya hal
tersebut menjadi beban dan tanggung jawab Pihak Kedua pribadi
sepenuhnya;
j. Hanya akan mengajukan Komplain yang sewajarnya kepada PT atas
fisik bangunan rumah yang dibeli/ditempati.

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat, jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa,
yaitu:

a. Dengan batalnya akta ini, maka para pihak sepakat untuk melepaskan
ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPER, dan untuk itu Pihak
Kedua mengikatkan diri untuk mengosongkan tanah dan bangunan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai
tanggal perintah dari Pihak Pertama tanpa syarat-syarat dan ganti rugi
apapun juga oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua;
b. Dalam hal pengosongan tanah dan bangunan tersebut di atas, Pihak
Pertama berhak untuk meminta bantuan dari pihak yang berwenang
guna mengeluarkan Pihak Kedua dan mengosongkan tanah dan
bangunan tersebut, dan untuk itu Pihak Kedua menyatakan
melepaskan haknya untuk meminta bantuan dari instansi manapun
juga mengenai pengosongan itu;
c. Apabila Pihak Kedua selama 3 bulan berturut-turut tidak melakukan
kewajibannya membayar angsuran sebagaimana yang telah ditetapkan

253
di atas maka Pihak Kedua dengan ini sekarang juga untuk nanti pada
saatnya menyetujui dan juga memberi kuasa kepada Pihak Pertama
untuk membatalkan Perjanjian dan dalam hal terjadi demikian
(pembatalan) Pihak Kedua menyatakan dengan ini sekarang juga
untuk nanti pada saatnya melepaskan haknya atas persil tersebut dan
karenanya persil tersebut sepenuhnya menjadi hak dan milik Pihak
Pertama dari Pihak Kedua akan dikembalikan kepada Pihak Kedua
setelah dikurangi 50% dari seluruh uang yang diterima oleh Pihak
Pertama dan akan dikembalikan setelah Persil tersebut terjual kepada
pihak ketiga. Pihak Kedua wajib dalam waktu paling lambat 14 hari
terhitung sejak diterimanya pemberitahuan secara tertulis dari
pihakpertama tentang pembatalan tersebut menyerahkan Persil dalam
keadaan kosong dan terpelihara baik kepada Pihak Pertama jika Pihak
Kedua dalam waktu yang ditetapkan tersebut tidak juga memenuhi
kewajibannya, maka Pihak Kedua menyatakan dengan ini sekarang
juga untuk nanti pada saatnya memberi kuasa kepada Pihak Pertama
untuk mengosongkan dan mengambil alih Persil tersebut dari
penguasaan Pihak Kedua atau pihak lain yang menguasai Persil
tersebut, jika perlu dengan bantuan pihak yang berwajib dan seluruh
biayanya menjadi tanggungan dan harus dibayar oleh Pihak Kedua;
d. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam Perjanjian ini merupakan bagian
yang penting dan tidak terpisahkan dari persesuaian yang dimaksud
dalam Perjanjian ini, yang jika tidak dengan adanya kuasa-kuasa
mana, persesuaian ini niscaya tidak dilangsungkan dan karenanya
kuasa-kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali dan tidak akan
berakhir disebabkan oleh hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1813
KUH Perdata;
e. Bila kelalaian/keterlambatan membayar sisa pembayaran berlaku
hingga 3 (tiga) bulan berturut-berturut dihitung sejak tanggal
permulaan kelalaian/keterlambatan terjadi, maka Pihak Pertama
berhak secara sepihak membatalkan Surat Perjanjian ini seketika batal
tanpa perlunya campur tangan Pengadilan Negeri dan dalam kejadian

254
demikian, para pihak dalam hal ini melepaskan ketentuan-ketentuan
tersebut pada pasal 1256, 1266, 1267 KUHPER. Pembatalan ini
cukup dinyatakan oleh Pihak Pertama dengan surat tercatat dan mulai
berlaku sejak saat pengiriman Surat Tercatat tersebut yang dibuktikan
dengan tanda penerimanya yang dikeluarkan oleh Kantor Pos. Apabila
Surat Perjanjian ini menjadi batal, maka Pihak Kedua sesuai dengan
pasal VI ayat (1);
f. Dalam hal uang tersebut tidak atau belum dapat dikembalikan karena
satu dan lain hal sehingga mengakibatkan tidak dapat dijumpainya
Pihak Kedua, maka uang tersebut akan disimpan oleh Pihak Pertama
tanpa kewajiban membayar bunga, hingga saat Pihak Kedua dapat
dijumpai kembali oleh Pihak Pertama;
g. Dan jika Pihak Kedua lalai atau tidak membayar angsuran yang
terhutang tiap-tiap bulan berikut “Denda administrasi” selama 3 bulan
berturut-turut maka PPJBR ini dengan sendirinya dan demi hukum
seketika menjadi batal tanpa diperlukan campur tangan Hakim
Pengadilan Negeri, dalam hal mana kedua belah pihak dengan ini
melepaskan kewajiban-kewajibannya tersebut dalam pasal 2 dan uang
yang sudah diterima Pihak Pertama dari Pihak Kedua dianggap
hangus;
h. Dalam waktu 3 bulan setelah jangka waktu serah terima yang
ditetapkan ternyata Pihak Pertama tidak dapat memenuhi
kewajibannya tersebut dalam pasal 6 ayat 1 kecuali yang disebabkan
oleh hal-hal yang tersebut dalam ayat 9 diatas maka pihak pertama
dikenakan denda sebesar 0,1% dari harga bangunan yang belum
terselesaikan untuk setiap hari keterlambatan dan denda maksimum
adalah sebesar 5% dari harga sisa bangunan yang belum terselesaikan;
i. Jika dalam PPJBR ini ditetapkan waktu untuk suatu kewajiban atau
pembayaran, maka dalam hal ini lewatnya waktu saja telah menjadi
bukti yang cukup untuk suatu kelalaian sehingga tidak diperlukan
pemberitahuan/teguran dengan jurusita atau surat lain yang
mempunyai kekuatan hukum serupa itu;

255
j. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, hak
kepemilikan atas tanah dan segala sesuatu yang berdiri, tertanam
tersebut adalah milik pihak kesatu, pihak kedua hanya berhak
menempati tanah dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam
tersebut selama pembayaran angsuran sesuai dengan jadwal/ tanggal
pembayaran;
k. Dalam hal terjadi suatu keadaan Force Majeure yang mengakibatkan
Pihak Pertama tidak dapat melaksanakan kewajibannya yang
tercantum dalam Perjanjian ini, atau apabila Force Majeure tersebut
menyebabkan pekerjaan Pihak Pertama tertunda, maka kewajiban
Pihak Pertama berdasarkan Perjanjian ini akan diperpanjang untuk
jangka waktu selama berlangsungnya keadaan Force Majeure tersebut
tanpa mengurangi kewajiban Pihak Kedua berdasarkan Perjanjian ini;
l. Bahwa apabila Pihak Kedua mengundurkan diri atau membatalkan
transaksi jual beli Tanah dan Bangunan Rumah maka Pihak Pertama
akan mengembalikan uang yang telah dibayar oleh Pihak Kedua tanpa
bunga dan biaya-biaya lainnya setelah lebih dahulu dikurangi seluruh
akumulasi denda-denda Pihak Kedua (jika ada) dan biaya-biaya lain
yang terhutang (jika ada) dan dipotong biaya administrasi yang
ditetapkan sebesar 30% dari harga penjualan/pembelian sebagaimana
dimaksud pasal 2 ayat 1;
m. Bahwa apabila dalam masa pemeliharaan, sebagaimana dimaksud
dalam ayat 9 pasal ini, terjadi kerusakan pada bangunan yang
disebabkan oleh Keadaan memaksa, seperti antara lain, gempa bumi,
banjir, huru-hara perang dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh
perorangan maupun massal, atau karena adanya perubahan bangunan
rumah yang dilakukan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama dibebaskan
atas tanggung jawab perbaikan;
n. Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh
Pihak Pertama kepada Pihak kedua tersebut menjadi milik Pihak
Kedua tetapi segala keuntungan yang diperoleh dari dan segala
kerugian yang diderita dengannya terhitung sejak tanggal penyerahan

256
kedua bidang tanah tersebut kepada Pihak Kedua menjadi milik atau
dipikul Pihak Kedua;
o. Pihak Kedua menjamin Pihak Pertama tentang apa yang telah
dibelinya seperti tersebut di atas, dengan sesungguhnya benar-benar
akan dipergunakan sebagai rumah tinggal sesuai dengan peruntukan
yang diizinkan oleh Otorita Batam;
p. Pihak Kedua mengetahui keadaan serta seluk beluk tanah dan rumah
yang dibelinya dengan perjanjian ini sehingga untuk sekarang dan
selanjutnya tidak akan mengadakan tuntutan dalam bentuk apapun
mengenai keadaan dan seluk beluk tanah dan rumah tersebut;
q. Apabila pembeli tidak membayar angsuran uang muka 2 (dua) bulan
berturut-turut selama angsuran berjalan, maka penjual/developer
berhak penuh membatalkan transaksi jual beli ini secara sepihak dan
angsuran uang muka yang telah dibayarkan tidak dapat diminta
kembali (otomatis hangus);
r. Atas posisi Tanah dan Bangunan yang telah dilakukan ikatan jual beli
antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama
berhak menata kembali dan atau memindahkan posisi Blok atau
Nomor Kavling yang telah dipesan/dibeli oleh Pihak Kedua, untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Badan Otorita Batam (BOB)
atau Pemerintah Kota (PEMKO) Batam dan/atau tanah dimana tempat
kavling berada, apabila secara teknis di lapangan tidak dapat
dilakukan pembangunan;
s. Hanya akan mengajukan Komplain yang sewajarnya kepada PT atas
fisik bangunan rumah yang dibeli/ditempati.

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,


tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya,
yaitu:

a. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat satu sama lain bahwa selain
ketentuan dan syarat yang ditentukan dalam akta ini, Pihak Kedua

257
juga menerima baik segala ketentuan dan syarat yang telah disepakati
dan ditandatangani sebelum akta ini dibuat. Dan juga menerima baik
ketentuan dan syarat yang mungkin timbul dikemudian hari yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan akta perjanjian ini;
b. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, pihak kesatu
diperbolehkan menjaminkan dan/atau menggadaikan tanah dan segala
sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya tersebut dengan
ketentuan selambat-lambatnya 1 bulan setelah pembayaran telah
dilunasi oleh pihak kedua maka sertipikat hak atas tanah tersebut
harus diserahkan kepada pihak kedua dalam keadaan bersih dari
segala penjaminan dan tidak terikat dalam suatu perjanjian dengan
pihak lain dan tidak dalam disewakan baik sebagian maupun
seluruhnya pada pihak lain, serta bebas dari segala perkara dan sitaan;
c. Bahwa apabila dalam masa pemeliharaan, sebagaimana dimaksud
dalam ayat 9 pasal ini, terjadi kerusakan pada bangunan yang
disebabkan oleh Keadaan memaksa, seperti antara lain, gempa bumi,
banjir, huru-hara perang dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh
perorangan maupun massal, atau karena adanya perubahan bangunan
rumah yang dilakukan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama dibebaskan
atas tanggung jawab perbaikan;
d. Melakukan penjualan tanah dan segala sesuatu diatasnya itu kepada
Pihak Kedua dengan memakai harga dan syarat-syarat serta peraturan-
peraturan yang dipandang baik dan perlu oleh yang diberi kuasa dan
berhubung dengan itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk
menandatangani, Akta Jual Beli, menyerahkan apa yang dijual itu
kepada yang berhak menerimanya serta melakukan apa saja yang baik
yang diperlukan untuk mencapai maksud tersebut diatas tidak ada
yang dikecualikan;
e. Pihak Kedua menjamin Pihak Pertama tentang apa yang telah
dibelinya seperti tersebut di atas, dengan sesungguhnya benar-benar
akan dipergunakan sebagai rumah tinggal sesuai dengan peruntukan
yang diizinkan oleh Otorita Batam;

258
f. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran “Uang Muka”
maka pembeli/konsumen bersedia dan menyanggupi membayar denda
sebesar 5% (lima persen) perbulan dari jumlah keterlambatan yang
harus dibayar begitu pula sebaliknya apabila terjadi keterlambatan
serah terima bangunan lebih dari 3 bulan terhitung dari jadwal serah
terima bangunan yang telah ditentukan, maka pihak developer
bersedia dikenakan denda maximum sebesar 5% (lima persen) dari
uang muka yang telah diterima dengan sempurna oleh developer;
g. Pembeli/konsumen bersedia mematuhi/mengikuti segala peraturan
dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh penjual/developer
sekarang dan dikelak kemudian hari;
h. Bahwa peralihan hak serta penyerahan atas Tanah dan Bangunan
tersebut belum mungkin dilakukan oleh karena:

1) Ijin Peralihan Hak dari Otorita Batam belum diperoleh.


2) Bangunan tersebut belum selesai dibangun.
3) Harga belum dibayar lunas oleh Pihak Kedua;

i. Apabila salah satu atau lebih dari ketentuan-ketentuan yang termuat


dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini tidak berlaku, tidak sah
dan/atau tidak dapat dilaksanakan dalam hal apa pun berdasarkan
hukum yang berlaku, maka ketentuan-ketentuan lain dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ini tetap berlaku dan mengikat bagi para pihak;
j. Bahwa peralihan hak serta penyerahan tanah dan bangunan
sebagaimana dimaksud pada point 2 tersebut di atas, tidak akan
dilakukan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua apabila:

1) Ijin Peralihan Hak dari Badan Otorita Batam (BOB) belum


diterbitkan/diperoleh Pihak Pertama dan/atau;
2) Bangunan tersebut belum selesai dibangun oleh Pihak Pertama
dan/atau;
3) Pihak Kedua belum melunasi seluruh kewajiban-kewajibannya
atas pemesanan/pembelian tanah dan bangunan.

259
k. Atas posisi Tanah dan Bangunan yang telah dilakukan ikatan jual beli
antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama
berhak menata kembali dan atau memindahkan posisi Blok atau
Nomor Kavling yang telah dipesan/dibeli oleh Pihak Kedua, untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Badan Otorita Batam (BOB)
atau Pemerintah Kota (PEMKO) Batam dan/atau tanah dimana tempat
kavling berada, apabila secara teknis di lapangan tidak dapat
dilakukan pembangunan;
l. Surat Pernyataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Persetujuan Pesanan Rumah/Agreement yang telah saya tanda
tangani sebelumnya dengan PT.

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk


membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, yaitu:

a. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam Perjanjian ini merupakan bagian


yang penting dan tidak terpisahkan dari persesuaian yang dimaksud
dalam Perjanjian ini, yang jika tidak dengan adanya kuasa-kuasa
mana, persesuaian ini niscaya tidak dilangsungkan dan karenanya
kuasa-kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali dan tidak akan
berakhir disebabkan oleh hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1813
KUH Perdata;
b. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, hak
kepemilikan atas tanah dan segala sesuatu yang berdiri, tertanam
tersebut adalah milik pihak kesatu, pihak kedua hanya berhak
menempati tanah dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam
tersebut selama pembayaran angsuran sesuai dengan jadwal/ tanggal
pembayaran;
c. Selama pembayaran belum dilunasi oleh pihak kedua, pihak kesatu
diperbolehkan menjaminkan dan/atau menggadaikan tanah dan segala
sesuatu yang berdiri serta tertanam diatasnya tersebut dengan
ketentuan selambat-lambatnya 1 bulan setelah pembayaran telah

260
dilunasi oleh pihak kedua maka sertipikat hak atas tanah tersebut
harus diserahkan kepada pihak kedua dalam keadaan bersih dari
segala penjaminan dan tidak terikat dalam suatu perjanjian dengan
pihak lain dan tidak dalam disewakan baik sebagian maupun
seluruhnya pada pihak lain, serta bebas dari segala perkara dan sitaan;
d. Atas posisi Tanah dan Bangunan yang telah dilakukan ikatan jual beli
antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua, maka Pihak Pertama
berhak menata kembali dan atau memindahkan posisi Blok atau
Nomor Kavling yang telah dipesan/dibeli oleh Pihak Kedua, untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Badan Otorita Batam (BOB)
atau Pemerintah Kota (PEMKO) Batam dan/atau tanah dimana tempat
kavling berada, apabila secara teknis di lapangan tidak dapat
dilakukan pembangunan.

9. Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat terbaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Bentuk pelanggarannya dapat disampaikan dalam bentuk matriks adalah


sebagai berikut:

No. Klausula Baku yang melanggar Analisis Pelanggaran


Pasal 18 ayat (1) UU-PK

I Pasal 18 ayat (1) huruf a


Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

1. Dengan batalnya akta ini, maka para • Bahwa, manakala terjadi pelanggaran maupun
pihak sepakat untuk melepaskan cidera janji yang dilakukan oleh pihak kedua
ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 (pembeli), penjual berdasarkan ketentuan pasal
KUHPER, dan untuk itu Pihak Kedua ini dibenarkan untuk melakukan langkah-
mengikatkan diri untuk mengosongkan langkah secara sepihak dan mengabaikan proses
tanah dan bangunan selambat- peradilan (hingga dikeluarkannya putusan
lambatnya dalam jangka waktu 14 hari pengadilan), sebagaimana hal tersebut
terhitung mulai tanggal perintah dari sebenarnya merupakan hak pembeli yang
Pihak Pertama tanpa syarat-syarat dan diberikan berdasarkan undang-undang untuk
ganti rugi apapun juga oleh Pihak mempertahankan hak-haknya, yaitu berdasarkan
Pertama kepada Pihak Kedua. ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata.
Sehingga pelaku usaha dapat melakukan
eksekusi langsung tanpa adanya intervensi
lembaga peradilan.
• Bahwa, pihak pertama diperboleh mengeluarkan
perintah sepihak kepada pihak kedua untuk

261
No. Klausula Baku yang melanggar Analisis Pelanggaran
Pasal 18 ayat (1) UU-PK
mengosongkan rumah tanpa mempersyaratkan
adanya kewajiban untuk memprosesnya terlebih
dihadapan para penegak hukum, dan perintah
tersebut bersifat absolut.
• Bahwa, setelah 14 hari sejak diterbitkannya surat
perintah tersebut apabila pihak kedua tidak
melakukan pengosongan rumah, maka pihak
pertama dapat mengambil langkah-langkah yang
dipandang perlu untuk mengamankan haknya.
• Bahwa, pihak kedua sepenuhnya tunduk dan taat
untuk tidak akan menuntut ganti rugi apapun
atas tindakan yang dilakukan oleh pihak pertama
terhadapnya. Misalnya pembeli telah membayar
sebesar 60% dari nilai rumah yang dibelinya,
tetapi berdasarkan ketentuan pasal ini, nilai yang
sudah dibayarkan tersebut sangat besar
kemungkinannya untuk tidak dapat diperoleh
kembali oleh pembeli.

Pengalihan tanggung jawab pihak pertama dalam


pasal ini sebenarnya tidak dinyatakan secara
implisit dalam ketentuan pasal ini. Namun demikian
pasal-pasal dalam PPJB merupakan satu kesatuan
dan saling terkait satu sama lainnya, sehingga
apabila terdapat hal yang mengatur tentang
pengalihan tanggung jawab dilanggar oleh pihak
kedua, maka ketentuan ini akan dapat secara serta
merta diberlakukan.

Selain daripada itu ketentuan pasal ini dapat


ditafsirkan bahwa apabila dikarenakan satu dan lain
hal pembeli tidak dapat melaksanakan salah satu
maupun seluruh isi dari PPJB tersebut, maka secara
hakekat pihak penjual tidak akan tahu menahu atau
memahami situasi sulit yang dialami oleh si
pembeli pada saat itu dengan pemikiran bahwa hal
tersebut bukan merupakan tanggung jawab penjual,
tetapi adalah tanggung jawab pembeli. Atas
peristiwa tersebut justru pembeli berpeluang untuk
mengambil keuntungan dari situasi sulit yang
tengah dihadapi oleh pembeli.

2. Dalam hal pengosongan tanah dan • Bahwa, manakala terjadi peristiwa cidera janji
bangunan tersebut di atas, Pihak maka yang diberikan keistimewaan untuk
Pertama berhak untuk meminta meminta bantuan pejabat yang berwenang
bantuan dari pihak yang berwenang adalah hanya pada pihak pelaku usaha,
guna mengeluarkan Pihak Kedua dan sedangkan hak yang serupa tidak diberikan
mengosongkan tanah dan bangunan kepada pembeli.
tersebut, dan untuk itu Pihak Kedua • Bahwa, pembeli secara absolut melepaskan hak-
menyatakan melepaskan haknya untuk haknya untuk meminta bantuan dari instansi
meminta bantuan dari instansi manapun, dimana didalamnya turut termasuk
manapun juga mengenai pengosongan aparat penegak hukum.
itu.
Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa apabila

262
No. Klausula Baku yang melanggar Analisis Pelanggaran
Pasal 18 ayat (1) UU-PK
dikarenakan satu dan lain hal pembeli tidak dapat
melaksanakan salah satu maupun seluruh isi dari
PPJB tersebut, maka secara hakekat pihak penjual
tidak akan tahu menahu atau memahami situasi sulit
yang dialami oleh si pembeli pada saat itu dengan
pemikiran bahwa hal tersebut bukan merupakan
tanggung jawab penjual, tetapi adalah tanggung
jawab pembeli. Atas peristiwa tersebut justru
pembeli berpeluang untuk mengambil keuntungan
dari situasi sulit yang tengah dihadapi oleh pembeli.

3. Para Pihak sepakat bahwa dengan • Bahwa, manakala terjadi peristiwa cidera yang
batalnya akta ini, Pihak Pertama tidak dilakukan oleh pembeli janji pihak penjual sama
diwajibkan untuk mengembalikan sekali tidak dibebankan kewajiban untuk
pembayaran yang telah dilakukan oleh mengembalikan pembayaran atas objek jual beli
Pihak Kedua dan dianggap sebagai yang telah diterimanya. Hal ini adalah salah
sewa tanah dan bangunan, sehingga dikarenakan pendekatan yang dipergunakan
Pihak Kedua baik sekarang maupun adalah bukan berlandaskan pada prinsip jual
dikemudian hari melepaskan Pihak beli, tetapi lebih kepada prinsip sewa beli. Oleh
Pertama dari segala tuntutan yang karenanya judul perjanjiannya seharusnya bukan
berkaitan dengan pembayaran tersebut PPJB melainkan sewa beli rumah.
baik secara pidana maupun perdata, • Bahwa, pembeli secara absolut melepaskan hak-
dan Pihak Pertama berhak untuk haknya untuk meminta bantuan dari instansi
menjual kembali tanah dan bangunan manapun, dimana didalamnya turut termasuk
tersebut kepada pihak lainnya. aparat penegak hukum.
• Bahwa, pembeli mengalihkan sepenuhnya hak
atas kepemilikan rumahnya kepada pihak
penjual seolah-olah tidak pernah terjadi jual beli
rumah, melainkan hanya berdasarkan prinsip
sewa menyewa saja. Atas dasar
penyerahan/pengalihan hak tersebut dijadikan
sebagai dasar pembenar bagi pihak penjual
untuk mengalihkan objek rumah tersebut kepada
pihak lainnya dan tidak akan menghadapi
maupun menanggapi tuntutan-tuntuan yang
diajukan oleh pembeli yang telah cidera janji
tersebut.

Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa apabila


dikarenakan satu dan lain hal pembeli tidak dapat
melaksanakan salah satu maupun seluruh isi dari
PPJB tersebut, maka secara hakekat pihak penjual
tidak akan tahu menahu atau memahami situasi sulit
yang dialami oleh si pembeli pada saat itu dengan
pemikiran bahwa hal tersebut bukan merupakan
tanggung jawab penjual, tetapi adalah tanggung
jawab pembeli. Atas peristiwa tersebut justru
pembeli berpeluang untuk mengambil keuntungan
dari situasi sulit yang tengah dihadapi oleh pembeli.
Bahkan dalam hal ini menunjukan bahwa penjual
memanfaatkan ketidakpahaman struktur transaksi
sebagai celah untuk memberikan keuntungan lebih
bagi pihaknya, yang dilain pihak justru merugikan
konsumen.

263
Adapun terhadap penjelasan atas bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan hasil
temuan survey akan disampaikan secara lengkap dalam bagian lampiran dari laporan
penelitian klausula baku ini.

6.2.4. Pelaku Usaha Wajib Mematuhi Keputusan Menteri Negara Perumahan


Rakyat Nomor : 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual
Beli Rumah
Pemerintah Republik Indonesia telah memberlakukan Keputusan Menteri
Negara Perumahan Rakyat Nomor : 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman
Pengikatan Jual Beli Rumah, yang memiliki makna bahwa untuk setiap
perjanjian pengikatan jual beli pelaku usaha tidak boleh terlepas dari hal-hal
yang diatur didalamnya sebagai sesuatu hal yang bersifat imperatif. Apabila
ternyata pelaku usaha bidang perumahaan tidak mematuhinya maka dapat
saja pelanggaran yang dilakukan olehnya sebagai pelanggaran tunggal
maupun pelanggaran bertingkat.

Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan mengikatnya
kontrak sebagai berikut:

1. isi kontrak itu sendiri;


2. kepatutan atau itikad baik;
3. kebiasaan; dan
4. undang-undang.

Fungsi penegakan hukum pun akan melibatkan aparat negara maupun profesional
lainnya yang juga perlu memahami aspek-aspek perlindungan konsumen dan tidak
semata-mata terbatas pada kepentingan pelaku usahanya, tetapi dalam kerangka yang
lebih luas lagi. Peran notaris, pengacara, YLKI, LSM dan hakim akan muncul dan
mengikuti peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi dalam peristiwa yang terkait
dengan pelanggaran terhadap klausula baku yang dilarang tersebut.

264
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil


kesimpulan sebagai berikut.

1. Pelaku usaha ternyata menyisipkan klausula-klausula baku yang dilarang


dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) rumah.
2. Pencantuman klausula-klausula baku tersebut tidak selamanya berada dalam
PPJB, melainkan juga dalam dokumen-dokumen lainnya yang merupakan
satu kesatuan dengan PPJB.
3. Perkara yang ditemui BPSK selama ini tidak pernah ada yang
memperkarakan adanya klausula baku dalam PPJB, tetapi lebih banyak
perkara-perkara wanprestasi.
4. Pengembang menunjukkan sikap ketidakkooperatifan pada saat disebutkan
bahwa survey dilakukan dalam rangka identifikasi klausula baku yang
dilarang berdasarkan UU-PK.
5. Berdasarkan kuesioner pada konsumen dengan menggunakan metode SPSS
diketahui bahwa, konsumen menganggap telah memahami UU-PK dan Pasal
18-nya, tetapi dalam realitasnya ternyata PPJB yang ditandatanganinya
memuat banyak klausula baku yang dilarang.
6. Meskipun telah membaca PPJB tetapi ternyata konsumen tidka memahami
maksud maupun bunyi dari perjanjian, yang salah satunya lebih dikarenakan
bonafiditas pengembang dan rasa percaya.
7. Pelaku usaha menerapkan prinsip kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata
dalam arti yang seluas-luasnya dan mengabaikan aspek itikad baik dan
adanya peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

265
7.2. Saran dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisa pada bab-bab sebelumnya, dapat disampaikan saran


dan rekomendasi sebagai berikut.

1. Perlu dilakukan sosialisasi tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku
usaha, terutama apabila terdapat hal-hal yang dilanggar disertai dengan
penjabaran sanksi-sanksinya, termasuk kemungkinan dilakukannya
pembatalan kontrak/PPJB.
2. Aparat pelaksana perlindungan konsumen harus diberikan pembekalan
tentang klausula baku yang dilarang beserta contohnya sebagai referensi
dalam menjalankan fungsi dan tugasnya (lampiran 1).
3. Prinsip kebebasan berkontrak tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya
alasan yang dipergunakan sebagai dasar perjanjian karena masih terdapat
parameter lainnya yang juga menentukan keabsahan sebuah perjanjian.
4. Regulator perlu melakukan evaluasi tentang bagaimana caranya untuk
menjangkau para pelaku usaha untuk tidak melakukan upaya-upaya curang
dengan menggunakan pencantuman klausula-klausula baku yang dilarang,
antara lain:
• Jika ingin mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB), developer harus
terlebih dulu menyerahkan draft PPJB yang akan dipergunakan, yang
bersih dari pelanggaran Pasal 18 ayat (1) UU-PK.
• Membuat edaran sesuai skema pada lampiran 2 yang ditujukan pada
Notaris yang berisi Larangan untuk membuat Perjanjian Baku yang
bertentangan dengan Pasal 18 Klausula Baku.
• Menstandardisasi dokumen PPJB sehingga menjadi acuan pihak
pengembang dalam membuat dokumen dimaksud.
5. Baik pengembang dan pelaku usaha harus memperhatikan kebijakan
perundang-undangan lainnya yang berlaku seperti salah satunya SK Menpera
No. 09 Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah sebagai
dasar acuan dalam membuat PPJB.

266
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan


Perdagangan, Cet 1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992.
2. Aduru Rajendra Prasad, The Regulation of Unfair Contracts, 1994
3. Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2004.
4. Alan Giplin, Dictionary Of Teras, (London, ButterWorth & Co, 1977).
5. Amul Partomuan. ”Penggunaan Kontrak Baku (Standart Contract) Dalam
Praktek Bisnis Di Indonesia.” (Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman 1993).
6. Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Diadit
Media, Jakarta, 2002
7. Black, Henry Campbell, MA, et.al. Black Law Dictionary 8th ed. St. Paul
Minn: West Publishing. Co, 1990.
8. Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
9. Dewi Tenty Septi Artiany, Realibilitas Perjanjian Baku, Penerapannya Dalam
Perjanjian Kerja Sama Perusahaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak
untuk Umum (SPBU), Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2007.
10. Erwin Kallo, Aplikasi Hukum Dalam Bisnis Properti di Indonesia Disertai
Studi Kasus Aktual, Jakarta: Ombak, 2003.
11. Erwin Kallo, Perspektif Hukum Dalam Dunia Properti, Jakarta: Minerva
Athena Presindo, 2008.
12. Felix Oentoeng Soebagjo, “Beberapa Aspek Hukum Dari Perjanjian
Keagenan Dan Distributor”, Hukum dan Pembangunan 27, (Jakarta:Fakultas
Hukum Universitas Indonesia).

267
13. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan
(Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2006.
14. H. Suradji, S.H., Pularjono dan Tim Redaksi Tata Nusa, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) beserta Perubahan Ke-I, II, III
& IV, dilengkapi dengan: Dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta, UUD
Sementara, Konstitusi RIS, (Jakarta, 2002).
15. J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung: Penerbit
Alumni, 1993.
16. Johannes Gunawan, Klausula Baku Berdasarkan UU.No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, 2004
17. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi),
Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.
18. Mariam Darus,”Perlindungan Terhadap Konsumen dilihat dari Sudut
Perjanjian Baku (Standard)”, (makalah disampaikan pada Simposium
“Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen”, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Jakarta, 16-18 Oktober 1980).
19. N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk, 2005
20. Oliver, R.L., (1997), Satisfaction: A Behavioral Perspective on the
Consumer. New York: Irwin/McGraw-Hill
21. Paulus Susilo, Prinsip-Prinsip Praktis Perlindungan Distributor, Jakarta:
Media Maret, 2002.
22. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jakarta: Djambatan, 2003.
23. R. Setiawan, Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Percetakan Binacipta, 1986.
24. Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta:
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
25. SK 634/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan atau
Jasa Yang Beredar di Pasar
26. Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas
Indonesia. 1986.

268
27. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.
28. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi
revisi, Jakarta: Pradnya Paramita,. 1995.
29. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
30. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1996.
31. Theodorik Simorangkir,”Masalah Hukum Dalam Perjanjian Baku (Suatu
Tinjauan Normatif Perlindungan Konsumen)”,(Skripsi FHUI, 1988).
32. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

269

Anda mungkin juga menyukai