Anda di halaman 1dari 17

KELOMPOK 6

PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN
DI PENGADILAN
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
HK19 B
KELOMPOK 6
KELAS HK19B
1. DESYIFA NURHIDAYAH
2. ERIK ISWANDI
3. FAZRIN SEPTIAN
4. MASNIDA MALAU
5. NARYA SURYADI
Sengketa konsumen adalah sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha tentang produk
konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu,
dengan penyelesaiannya sesuai dengan hukum
positif yang berlaku terutama undang-undang yang
bersifat khusus seperti Undang-undang Perlindungan
Konsumen, sebagaimana upaya untuk memberikan
perlindungan terhadap konsumen.
Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu:

1. Pelaku Usaha Tidak Melaksanakan Kewajiban Hukumnya Sebagaimana di Atur


didalam UU,
yang berarti pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang
kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang di kenakan padanya
dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang
bersumber dari hukum.

2. Pelaku Usaha atau Konsumen Tidak Menaati Isi Perjanjian,


yang berarti, baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajiban sesuai
dengan kontrak atau perjanjian yang di buat antara mereka. Sengketa seperti ini dapat
disebut sengketa yang bersumber dari kontrak
Terdapat tiga cara untuk menyelesaikan sengketa
konsumen, yaitu:

1. Penyelesaian sengketa konsumen dengan


tuntutan seketika melalui forum negosiasi,
konsultasi, konsiliasi, mediasi, dan penilaian
ahli,
2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), dan
3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan.
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI PENGADILAN

Pada prinsipnya setiap konsumen yang di rugikan dapat


menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
(BPSK) atau melalui badan pengadilan di tempat kedudukan
konsumen, sebagaimana di atur dalam pasal 23 UUPK.
Lanjutan….

Kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan umum


dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku di lingkungan peradilan umum
tersebut. Hal ini berarti tata cara pengajuan gugatan dalam masalah perlindungan
konsumen mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku.

Menurut pasal 48 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara di pakai dalam tata
cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan HIR yang berlaku
di daerah Jawa dan Madura atau RBg untuk wilayah luar Jawa dan Madura.
Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang medasar (prinsipiil).

Sengketa Konsumen memang lebih di arahkan kepada sengketa perdata


namun tanggung jawab pidana juga tidak dapat di hapuskan, sesuai dengan
tatanan hukum pidana.
A. Pengajuan Gugatan
Dalam hukum acara perdata yang kini masih berlaku di Indonesia, dikenal asas
hakim bersifat menunggu, hakim pasif, artinya, bahwa inisiatif berperkara datang dari
pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kaitan ini Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan:

1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan,


b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama,
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya,
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit.
Dalam sengketa konsumen, pihak-pihak yang digugat adalah
produsen, yaitu semua pihak yang ikut serta di dalam
penyediaan dan peredaran produk hingga sampai ke tangan
konsumen. Jadi, sangat mungkin terdiri atas beberapa orang
(pihak) yang berbeda. Dalam hal seperti ini jika tergugat ada
beberapa orang, dapat dipilih di tempat tinggal salah satu
tergugat sebagai tempat mengajukan gugatan.
Pada umumnya gugatan itu diajukan secara tertulis.
Namun demikian, gugatan dapat diajukan secara lisan.
Pengajuan gugatan disertai dengan pembayaran
sejumlah uang administrasi.

Dalam gugatan, penggugat mengemukakan dalil-dalil


yang berupa dasar tuntutan yang disebut dengan
pundamentum petendi yang terjadi atas dua bagian, yaitu
bagian yang menguraikan kejadian-kejadian atau
peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum.
Lanjutan….

Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara,


sedangkan uraian tentang hukum merupakan uraian tentang adanya hak atau
hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Di sini konsumen
sebagai penggugat menguraikan dengan jelas hubungan hukum antara
produsen dan konsumen sampai pada peristiwa adanya kerugian yang diderita
konsumen.

Hubungan hukum itu dapat berupa hubungan yang timbul karena adanya
perjanjian (kontrak) atau dapat pula berupa hubungan hukum yang timbul
karena terjadinya peristiwa melanggar hukum. Jadi, ada dua peristiwa yang
dapat diajukan sebagai dasar hak konsumen untuk mengajukan tuntutan, yaitu
peristiwa wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.

Pada bagian akhir gugatan dimuat petitum, yaitu tuntutan apa yang oleh
penggugat diminta atau diharapkan akan diputuskan oleh hakim. Jadi, petitum
itu akan mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amar putusan.
Syarat-syarat gugatan tidak di tentukan secara limitative dalam ketentuan hukum
acara perdata (HIR/RBg). Dalam praktik berkembang setudaknya surat gugatan
memenuhi beberapa persyaratan berikut:

a. Syarat Formil
1. Tempat dan tanggal pembuatan surat
2. Pembubuhan materai
3. Tandatangan penggugat sendiri atau kuasa hukum nya.
b. Syarat Materiil
1. Identitas para penggugat dan para tergugat
2. posita/ fundamentum petendi (fakta hukum/alasan-alasan
menunjukan perikatan berdasarkan perjanjian atau perbuatan
melawan hukum guna mengajukan tuntutan.
3. Petitum (hal-hal yamg dimohonkan penggugat untuk di putuskan oleh
hakim di pengadilan.
Pemeriksaan dan Pembuktian

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1865 KUH Perdata,


peristiwa yang menjadi dasar hak itu harus dibuktikan oleh
penggugat. Artinya, kalau gugatan atas ganti kerugian
didasarkan pada peristiwa Wanprestasi, pengangugat
perlu membuktikan:

1. Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian)

2. Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak


dipenuhi oleh produsen, dan,

3. Timbulnya kerugian bagi konsumen-penggugat.

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen ini memberi kewajiban
pembuktian atas kesalahan kepada produsen.
Jika gugatan ganti kerugian didasarkan pada peristiwa Perbuatan Melawan
Hukum, haruslah dibuktikan:
1. Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak
konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran
norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma kepatutan.
2. Adanya kesalahan dari produsen pelaku usaha, baik berupa
kesengajaan maupun kelalalian .
3. Adanya sejumlah kerugian yang di derita konsumen penggugat.
4. Adanya hubungan kalusal antara perbuatan melawan hukum yang
sahlah itu dan kerugian
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dapat di lakukan dengan melakukan
pengajuan gugatan kepada pengadilan.

Kekurangan dari penyelesaian melalui litigasi atau pengadilan adalah mahalnya biaya,
ketidak efisien nya waktu dan tenaga dalam proses sengketa di pengadilan membuat hal ini
menjadi kekurangan dalam mengajukan gugatan ke pengadilan, maka dari itu instansi
BPSK lebih dipilih oleh masyarakat karena dirasa mampu mewadahi segala permasalahan
sengketa perlindungan konsumen.

Walaupun begitu, jalur litigasi tetap di gunakan sebagai jalan terakhir jika dalam BPSK tidak
mendapatkan jalan keluar dari permasalahan sengketa konsumen ini, dengan melakukan
gugatan kepada pengadilan.
TERIMAKASIH
Any Question?

Anda mungkin juga menyukai