Anda di halaman 1dari 10

PAPER

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI PROSES LITIGASI


Paper Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen

Kelas: D

Dosen Pengampu :

Sylvana Murni Deborah Hutabarat, SH., MH.

Disusun Oleh:

Amanda Febrianthi Soeyatno 1710611008


Rika Putri Wulandari 1710611044
Ferninda Shaviera 1710611085
Chaerunisa Privalia 1710611087
Berliana Yuliyanti Wijaya 1710611153
Savira Afra Yuliandhari 1710611343

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2020
Komitmen negara dalam menjamin perlindungan konsumen dapat dilihat melalui
eksistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 1
angka 1 UUPK menyatakan bahwa “perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Merujuk pada pengertian tersebut, artinya konsumen memiliki hak untuk memperoleh
perlindungan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa dan mendapatkan kepastian hukum
dalam penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha.1
Sengketa konsumen dimaknai sebagai sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran
hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana
maupun tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah “sengketa transaksi
konsumen” karena penggunaan frasa tersebut terkesan lebih sempit, yang hanya mencakup
aspek hukum keperdataan.2 UUPK sebagai payung hukum utama yang menjadi landasan
utama pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia sejatinya tidak memberikan batasan
mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata “sengketa konsumen”
dijumpai pada beberapa bagian UUPK yaitu:
a. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebuah institusi administrasi negara
yang mempunyai penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal
ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 1 butir 11 UUPK);
b. Penyelesaian sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian
sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian sengketa. Pada Bab ini digunakan
penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48
UUPK.3
Melalui ketentuan Bab X Penyelesaian Sengketa khususnya dalam Pasal 45 ayat (1)
UUPK dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 pilihan untuk melakukan penyelesaian sengketa
konsumen yakni melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen
dan pelaku usaha (dalam hal ini BPSK) dan melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.4 Penyelesaian sengketa melalui BPSK dikenal sebagai penyelesaian melalui
jalur non litigasi sedangkan apabila sengketa konsumen diselesaikan melalui peradilan umum

1 Nurul Fibrianti, 2015, Perlindungan Konsumen dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Jalur
Litigasi, Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER Volume 1 Nomor 1, h. 112.
2 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo: Jakarta, h. 165.
3 Abdul Halim Barkatullah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan
Pemikiran, Nusamedia: Bandung, h. 107.
4 Bustamar, 2015, Sengketa Konsumen dan Teknis Penyelesaiannya Pada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), Jurnal Juris Volume 14 Nomor 1, h. 39.
maka penyelesaian dilakukan melalui jalur litigasi.5 Sebagaimana dimuat dalam Pasal 46
UUPK, gugatan dapat diajukan oleh 4 pihak yakni a) oleh konsumen yang dirugikan atau ahli
waris yang bersangkutan (bersifat individual); b) oleh sekelompok konsumen yang memiliki
kepentingan yang sama; c), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; dan d)
pemerintah.6
Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan
menggunakan hukum acara pidana, perdata, maupun melalui instrumen hukum tata usaha
negara.7 Namun, yang menjadi fokus pembahasan paper ini adalah penyelesaian secara
pidana dan perdata yang kemudian akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Perdata
Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam UUPK.
Karena UUPK hanya mengatur beberapa pasal ketentuan beracara, maka secara umum
peraturan hukum acara perdata seperti dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR)
maupun RBg tetap berlaku.8 Alur atau prosedur penyelesaian sengketa konsumen secara
perdata diawali dengan penggugat mengajukan gugatan ke panitera Pengadilan Negeri
yang kemudian oleh panitera diserahkan ke ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan akan
menunjuk majelis hakim yang akan mengadili dan memutus gugatan dengan proses
persidangan hingga melahirkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.9 UUPK tidak
mengenal gugatan immateriil, yaitu gugatan ganti kerugian atas hilangnya kesempatan
untuk mendapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebagainya10, sehingga
gugatan perdata atas adanya sengketa konsumen umumnya dilakukan apabila terdapat
unsur perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang dimaksudkan dalam
hal ini salah satunya dapat ditafsirkan apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak
memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). 11 Sanksi
hukum yang akan didapatkan disesuaikan dengan interpretasi hakim dan ketentuan
hukum yang berlaku, baik berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban)

5 Sulasi Rongiyati, 2019, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Dagang Melalui Sistem Elektronik, Jurnal
Negara Hukum Volume 10 Nomor 1, h. 17-18.
6 Nurul Fibrianti, Op.Cit., h. 115.
7 Susanti Adi, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala
Implementasinya, Kencana: Jakarta, h.126.
8 Sidharta, Loc.Cit.
9 Nurul Fibrianti, Op.Cit., h. 119.
10 Tami Rusli, 2012, Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut Peraturan
Perundang-Undangan, Jurnal Keadilan Progresif Volume 3 Nomor 1, h. 100.
11 Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
maupun hilangnya suatu keadaan hukum yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan
hukum baru.12
Ganti rugi identik dengan sanksi yang didapatkan akibat adanya gugatan perdata.
Namun, perlu dipahami bahwa ganti kerugian berupa sanksi administratif adalah berbeda
dengan ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami konsumen yang digugat melalui
BPSK maupun badan peradilan.13 Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 60
Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan suatu hak khusus yang diberikan
oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan. 14
Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang- Undang Perlindungan
Konsumen, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa
penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.15 Besarnya ganti kerugian
tersebut tergantung pada nilai kerugian konsumen akibat memakai, menggunakan, atau
memanfaatkan barang dan/atau jasa produsen atau pelaku usaha.
B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Pidana
Sanksi pidana dalam Undang-Undang Perlindunngan Konsumen dalam batas-batas
tertentu dipandang sepadan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan
kepentingan-kepentingan tersebut, yang secara lebih khusus kepentingan-kepentingan itu
dirumuskan dalam hak-hak konsumen. Hukum pidana baru digunakan, bila instrumen-
instrumen hukum lainnya sudah tidak berdaya lagi untuk melindungi konsumen. 16 Dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah ditetapkan sanksi pidana terhadap pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini. Sanksi pidana yang
diatur terdiri atas:
1) Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh
pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan

12 Shanti Rachmadsyah, 2010, Sanksi Hukum (Pidana, Perdata, dan Administratif),


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-perdata-dan-
administratif-/ diakses pada 13 Mei 2020.
13 Tami Rusli, Loc.Cit.
14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, h. 83.
15 Ibid., h. 84.
16 Abdul Rahman Tibahary, Haerani Husainy, dan Maisa, 2018, Tinjauan Yuridis Tentang Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Jurnal Kolaboratif Sains Volume 1 Nomor 1, h. 157.
oleh pelaku usaha.17 Sanksi pidana pokok diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan
huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan lika berat, sakit berat, cacat tetap,
atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Ketentuan Pasal 62 di atas memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan
ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku
ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.18
2) Sanksi Pidana Tambahan
Selain sanksi pidana pokok, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga
mengatur tentang sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 63 yang terdiri
atas perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti
rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin usaha.19

KASUS
Transaksi yang terjadi diantara pelaku usaha dengan konsumen tidak sedikit yang
akhirnya menimbulkan sengketa antar para pihak yang merugikan konsumen sebagai pihak
yang mengkonsumsi barang dan jasa. Kasus sengketa konsumen salah satunya terjadi antara

17 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Loc.Cit.


18 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers: Jakarta, h. 288.
19 Merlin M. Paat, 2013, Penyidikan Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perkara Tindak Pidana di Bidang
Perlindungan Konsumen, Lex Crimen Volume II Nomor 4, h. 87.
pihak developer Cindo Residen, Ir. Fattah dengan Firniyanto.20 Terjadinya sengketa bermula
pada tahun 2010 tepatnya 19 Oktober, Firniyanto membeli rumah di Cindo Residen Blok B5
dengan harga Rp 350 juta rupiah dan saat ingin dibangun Firniyanto sebagai konsumen
meminta tipe rumah yang lebih luas yang kemudian disetujui pengembang. Akan tetapi, saat
konsumen menempati rumah tersebut pada 31 Maret 2011, keadaannya tidak sesuai dengan
brosur iklan seperti ada yang tidak dipasang sebagian, keadaan plesteran dinding rentak dan
cat buram, atap rumah bocor, bahkan hingga saluran air pembuangan air dari kamar mandi
tembus kesamping rumah serta belum dibangunnya pagar belakang. Sebagai konsumen
firniyanto melakukan komplain kepada pengembang akan tetapi oleh pengembang tidak
dibenahi seluruh masalah yang terjadi dirumah tersebut. Sebab itu, Firniyanto melaporkan
pengembang Cindo Residen Ir.Fattah karena merasa dirugikan dan putusan PN Palembang
menyatakan bahwa Ir. Fattah sebagai pengembang telah melanggar Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal
8 ayat (1) UUPK degan memproduksi dan memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam iklan dan dihukum dengan 1 tahun penjara . Diperkuat
pula dengan putusan Pengadilan Tinggi Palembang yang semakin memperberat posisi
pengembang Ir. Fattah dimana majelis hakim sepakat dengan pasal yang menjadi dasar
putusan PN Palembang dengan justru majelis menjatuhkan hukuman menjadi 2 tahun
penjara.
Tidak hanya kasus sengeketa konsumen tersebut yang diselesaikan secara pidana,
terdapat pula kasus sengketa konsumen yang diselesaikan secara perdata. Salah satu kasus
yang sampai saat ini menarik dan menimbulkan pertanyaan terkait kepastian hukum
perlindungan bagi konsumen. Sengketa jual-beli mobil bekas yang melibatkan Tuan Haryoko
Tedjo sebagai penggugat dengan Tuan Benny Sutanto sebagai tergugat, disebabkan karena
Tuan Benny Sutanto tidak mejelaskan dan memberikan informasi secara benar, detail terkait
dengan keadaan serta status mobil tersebut. Permintaan Tuan Haryoko sebagai konsumen
terhadap kerugian yang dialaminya atas cacat tersembunyi pada objek jual tidak diindahkan
oleh Tuan Benny selaku penjual mobil tersebut yang beralasan bahwa ia merasa pula
membeli mobil tersebut dari orang lain yaitu Tuan Thio Aijie. 21 Tidak dipenuhinya hak
konsumen untuk mendapatkan kompensasi berujung pada dilakukannya oleh Penggugat
secara perdata. Mobil yang dijual kepada Penggugat diduga merupakan hasil penadahan
sebab dilaporkan hilang kepada Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbuatan Tergugat

20 detiknews, 2014, Rumah Yang Dibangun Bocor Pengembang Properti Dihukum 2 Tahun Penjara,
https://news.detik.com/berita/d-2485389/rumah-yang-dibangun-bocor-pengembang-properti-dihukum-2-tahun-
penjara diakses pada13 Mei 2020.
21 Nurul Fibrianti, Op.Cit., h. 114-115
merupakan perbuatan melawan hukum sebab tidak melakukan kewajibannya dan dengan
sengaja menjual mobil hasil kejahatan tersebut kepada orang lain dan tidak memberikan
informasi yang tidak jujur yang menimbulkan kerugian bagi Penggugat. Kemudian
dikeluarkannya putusan MA terkait sengketa tersebut, dimana Tergugat terbukti secara sah
bersalah dan harus membayar sejumlah uang yang tercantum sesuai amar putusan. Akan
tetapi Penggugat yakni Tuan Haryoko Tedjo tidak mendapatkan ganti rugi maupun
kompensasi yang dialaminya sebagai konsumen. Diperkuat pula oleh putusan tingkat banding
dan kasasi yang memenangkan Tuan Haryoko sebagai Penggugat.

ANALISIS
Melihat pada kedua sengketa konsumen tersebut, titik permasalahannya ialah sama yakni
tidak diberikannya informasi secara jelas, detail dan benar oleh pihak penjual/pelaku usaha.
Sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 4 angka 3 dan angka 8 UUPK bahwa konsumen
memiliki hak yakni hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang, serta hak atas kompensasi atau ganti rugi apabila barang tersebut tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Tidak hanya pengingkaran terhadap hak
konsumen yang tejadi dikasus tersebut pula bukti adanya pengingkaran kewajiban sebagai
pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 UUPK untuk memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur serta memberikan kompensasi/ganti rugi apabila menimbulkan kerugian bagi
konsumen.
Pada sengketa Ir.Fattah sebagai pihak pengembang dengan Finiyanto memperlihatkan
bahwa seringkali terjadi sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha yang dimana pelaku
usaha tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Berbagai upaya telah dilakukan
konsumen namun tidak membuahkan hasil dan tidak diindahkan oleh pelaku usaha membuat
suatu keadaan dimana akhirnya konsumen memutuskan menyelesaikan secara pidana.
Putusan hakim dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1)
UUPK sudah sesuai dan memberikan kepastian hukum kepada kedudukan Firniyanto sebagai
konsumen yang dirugikan oleh pihak pengembang. Akan tetapi, tidak berhenti disitu perlu
kajian secara komprehensif kembali bagaimana kemudian agar sengketa konsumen seperti
kasus Firniyanto dapat diminimalisir dan memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi
konsumen karena memang secara nyata dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak memiliki
itikad baik melaksanakan kewajibannya. Sejatinya, penggantian kerugian maupun
diberikannya kompensasi oleh pelaku usaha tidak akan semerta-merta menghapus tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian terbalik ada tidaknya unsur kesalahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 ayat (4) UUPK.22
Kemudian kasus sengketa antara Tuan Haryoko dan Tuan Benny, secara perdata
memang apabila telah ada putusan hakim yang kemudian pelaku usaha/penjual dinyatakan
bersalah dan harus melaksanakan putusan hakim, tidak serta merta memberikan jaminan
kepada konsumen untuk pasti mendapatkan ganti kerugiannya.23 Tidak dapat dipungkiri
bahwa beberapa pihak yang kalah dalam persidangan tidak melaksanakan putusan hakim
secara sukarela. Maka konsumen harus mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua
Pengadilan dimana kasus itu diproses serta data maupun keterangan objek yang akan
dieksekusi berdasarkan kepemilikan harta dari pelaku usaha.24 Gagalnya pihak yang
dimenangkan dalam kasus tersebut mendapatkan ganti rugi karena ketidakmampuan pihak
tersebut mencari harta benda pihak yang kalah untuk dijadikan objek pengajuan permohonan
eksekusi. Salah satu tujuan hukum yang digaungkan oleh Gustav Radbruch yakni kepastian
hukum tidak tercapai sebab adanya ketentuan mengenai perlindungan dan penyelesain
sengketa konsumen masih tidak memberikan kepastian hukum. Perbuatan tersebut
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena pelaku usaha menolak dan tidak
memberikan tanggapan bahkan tidak memberikan ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4).
Terdapatnya berbagai pilihan alternatif penyelesain sengketa konsumen tidak menjamin
secara pasti pula bahwa kerugian yang dialami konsumen akan pasti dapat langsung
dipulihkan melalui beberapa cara penyelesaian sengketa dari non litigasi bahkan litigasi baik
secara pidana maupun perdata. Hal ini dikarenakan tujuan hukum dapat tercapai apabila
terdapat sinergitas yang baik dari segi substansi, aparat penegak hukum, dan juga kebiasaan
masyarakat untuk menegakkan aturan-aturan yang ada.

22 Butje Tampi, 2011, Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Hukum Acara Pidana, Karya Ilmiah,
Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, h. 32-33.
23 Nurul Fibrianti, Op.Cit, h. 120.
24 Ibid., h. 121.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adi S, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta
Kendala Implementasinya, Kencana: Jakarta.
Barkatullah A.H, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan
Pemikiran, Nusamedia: Bandung.
Miru A. dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers: Jakarta
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo: Jakarta.
Widjaja G. dan Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.

Jurnal
Bustamar, 2015, Sengketa Konsumen dan Teknis Penyelesaiannya Pada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), Jurnal Juris Volume 14 Nomor 1.
Fibrianti N, 2015, Perlindungan Konsumen dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui
Jalur Litigasi, Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER Volume 1 Nomor 1.
Paat MM, 2013, Penyidikan Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perkara Tindak Pidana di
Bidang Perlindungan Konsumen, Lex Crimen Volume II Nomor 4
Rongiyati S, 2019, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Dagang Melalui Sistem
Elektronik, Jurnal Negara Hukum Volume 10 Nomor 1.
Rusli T, 2012, Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut
Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Keadilan Progresif Volume 3 Nomor 1.
Tibahary A.R, Haerani Husainy, dan Maisa, 2018, Tinjauan Yuridis Tentang Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Jurnal Kolaboratif Sains Volume 1 Nomor 1.

Sumber Lain
detiknews, 2014, Rumah Yang Dibangun Bocor Pengembang Properti Dihukum 2 Tahun
Penjara, https://news.detik.com/berita/d-2485389/rumah-yang-dibangun-bocor-
pengembang-properti-dihukum-2-tahun-penjara diakses pada13 Mei 2020.
Rachmadsyah S, 2010, Sanksi Hukum (Pidana, Perdata, dan Administratif),
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4be012381c490/sanksi-hukum-
pidana-perdata-dan-administratif-/ diakses pada 13 Mei 2020.
Tampi B, 2011, Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Hukum Acara Pidana, Karya
Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi.

Anda mungkin juga menyukai