Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumen merupakan faktor penting dalam perekonomian. Dalam suatu


perekonomian terdapat banyak pelaku kegiatan ekonomi diantaranya, produsen, konsumen,
dan distributor. Konsumen berperan penting dalam suatu kegiatan ekonomi, karena
banyaknya konsumen yang mampu membeli produk yang dihasilkan oleh produsen menjadi
indikator kemajuan perekonomian suatu negara.

Seperti halnya hak-hak yang dimiliki manusia, konsumen juga memiliki hak-hak
kewenangan dan juga kewajiban yang dikendalikan oleh hukum yang berlaku. Hal ini sesuai
dengan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ”Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.”

Dalam kegiatan bisnis konsumen memiliki kepentingan memperoleh kepuasaan melalui


pemenuhan kebutuhannnya terhadap produk tertentu. Dalam hubungan demikian seringkali
terdapat ketidakseimbangan antara keduanya. Konsumen biasanya berada pada posisi tawar-
menawar yang lemah karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang
secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat. Untuk melindungi atau
memberdayakan konsumen diperlukan adanya campur tangan negara melalui penetapan
sistem perlindungan hukum terhadap konsumen.

Kian ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam


produk barang, maka perlu keseriusan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) memantau secara serius pelaku usaha/penjual yang hanya mengejar
profil semata dengan mengabaikan kualitas produk barang. Hukum perlindungan konsumen
selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang, hukum lain, karena
pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat
konsumen. Karena itu ruang lingkup hukum perlindungan sulit dibatasi hanya dengan
menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti UUPK. Memahami perbedaan
antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antara hak-hak pokok dari

1
konsumen dan keterkaitan antara hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum
yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen

1.2.2 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

1.2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen

1.2.4 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

1.2.5 Prinsip Hukum Perlindugan Konsumen

1.2.6 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

1.2.7 Penyelesaian Sengketa Konsumen

1.2.8 Sanksi terhadap Pelanggar Hukum Perlindungan Konsumen

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui Pengertian Konsumen dan Pengertian Perlindungan Konsumen

1.3.2 Mengetahui Dasar – dasar Hukum Perlindungan Konsumen Serta Unsurnya

1.3.3 Mengetahui Hak dan Kewajiban Yang Dimiliki Konsumen

1.3.4 Mengetahui Asas dan Tujuan Perlunya Perlindungan terhadap Konsumen

1.3.5 Mengetahui Prinsip Hukum Perlindugan Konsumen

1.3.6 Menganalisa Badan – badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

1.3.7 Mengetahui dan Memahami Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen

1.3.8 Mengetahui Sanksi Terhadap Pelanggar Hukum Perlindungan Konsumen

2
BAB II

ISI

2.1 Pengertian Konsumen dan Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen secara umum dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang
diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual
diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.

Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang – undang Nomor 8 Tahun


1999 yaitu “Setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.”

Dari pengertian konsumen menurut pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 terdapat
unsur – unsur definisi konsumen, diantaranya :

a. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang dan/atau jasa.
b. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata “pemakai”
menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah
pemakai menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil
dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan
prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa
itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha
tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).
c. Barang dan/atau jasa
UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak atau tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebgai setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan kepada masyarakat

3
menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat.” Artinya, harus lebih
dari satu orang.
d. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di
pasaran. Barang dan/jasa tersebut telah disediakan baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Unsur ini memperluas pengertian kepentingan yang tidak sekedar ditujukan untuk
untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga diperuntukkan bagi orang lain bahkan
untuk makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan
f. Barang dan/atau jasa yang tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan dengan
2(dua) rancangan Undang – undang perlindungan konsumen lainnya, yatiu pertama
dalam rancangan Undang – undang pelindungan konsumen yang diajukan oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa :
Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi
kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk
diperdagangkan kembali.
Sedangkan yang kedua dalam naskah final Rancangan Akademik Undang –
undang Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Rancangan
Akademik) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia
bekeranjasama dengan Badan Penelitian dan Perdagangan Departemen
Perdagangan RI menentukan bahwa, konsumen adalah setiap orang atau keluarga
yang mendapatkan barnag untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian perlindungan konsumen menurut pasal 1 angka 1 Undang – undang


Nomor 8 Tahun 1999, yaitu “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.”

Berdasarkan pengertian perlindungan konsumen menurut pasal 1 angka 1 Undang –


undang Nomor 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen mencakup dua aspek penting.
Pertama, perlindungan terhadap kemungkinan adanya penyerahan barang dan/jasa yang tidak
sesuai atau menyalahi kesepakatan dan undang – undang kepada konsumen. Kedua,
perlindungan terhadap tindak ketidak adilan yang mungkin dilakukan terhadap konsumen.

4
Hal tersebut berkaitan erat dengan kegiatan produsen dalam memproduksi dan
mendistribusikan produknya.

2.2 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Pemberian perlindungan terhadap konsumen perlu ditegaskan dengan adanya dasar –


dasar hukum yang jelas agar tidak dipandang sebelah mata sehingga hak – hak konsumen
mampu terpenuhi. Terdapat beberapa dasar hukum yang mengatur tentang bagaimana
konsumen dapat memperoleh perlindungan haknya, diantaranya :

a. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
27 , dan Pasal 33.
b. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3821
c. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
d. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
e. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
f. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

Sumber – sumber hukum yang mengatur tentang hak konsumen juga diuraikan dalam
beberapa ketentuan umum diantaranya :

a. Undang – undang Dasar dan Ketetapan MPR


Landasan hukum yang mengatur tentang hukum perlindungan konsumen
terdapat pada pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4 berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa indonesia.”

5
Menurut Az. Nasution kata “melindungi” memuat asas perlindungan pada
segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah
UUD 1945 dalam melindungi segenap bangsa, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) menetapkan berbagai ketetapan sejak tahun 1978. Pada TAP-MPR 1978
digunakan istilah “menguntungkan konsumen, TAP-MPR 1988 “menjamin”
kepentingan konsumen, pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan
konsumen”. Namun tidak dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kata
menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan konsumen tersebut.
Kegiatan – kegiatan yang dilakukan konsumen memiliki berbagai kepentingan
yang harus dijaga dan dan diperhatikan. Sebagai contoh, kepentingan nonkomersial
bagi konsumen dapat berupa akibat – akibat kegiatan usaha dan persaingan di
kalangan pelaku usaha terhadap jiwa, tubuh atau harta benda. Oleh karenanya, dalam
penyusunan perundang – undangan konsumen harus dijelaskan siapa yang
dimaksudkan pelaku usaha, siapa konsumen dan apa hak – hak dan/atau kewajiban
yang sesuai dengan kepentingan masing – masing pihak tersebut.
b. Hukum Kosumen dalam Hukum Perdata
Kaidah – kaidah hukum perdata umumnya termuat dalan Kitab Undang –
undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hubungan hukum perdata dan masalahnya
dalam lingkungan berlaku Hukum Adat. Beberapa putusan pengadilan tentang
masalah keperdataan berkaitan dengan perlindungan konsumen masih terlihat.
Adapun hubungan – hubungan hukum atau masalah antara penyedia barang dan jasa
dan konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak bersamaan hukum yang
berlaku bagi mereka, dapat diberlakukan Hukum Internasional dan asas – asas hukum
internasional khususnya Hukum Perdata Internasional, memuat pula berbagai
ketentuan hukum perdata bagi konsumen.
Kaidah – kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara
pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dengan konsumennya termuat dalam :
- KUH Perdata, dalam buku kedua, ketiga dan keempat
- KUHD, buku kesatu dan buku kedua
- Peraturan perundang – undangan lain yang memuat kadiah – kaidah hukum
bersifat perdata tentang subjek – subjek hukum, hubungan hukum dan
masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan
konsumen.
c. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

6
Hukum publik dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur hubungan antara
negara dan alat –alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan
perorangan. Kaidah – kadidah hukum publik seperti hukum administrasi, hukum
pidana, hukum internasional, khususnya hukum perdata internasional dan hukum
acara perdata serta hukum acara pidana berpengaruh besar dalam pembentukan
hukum konsumen.
Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa Pemerintah
melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang – undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
Undang – undang tentang Rumah Susun, Undang – undang Nomor 16 Tahun 1985
LN Tahun 1985 No. 75)

2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak konsumen dalam Pasal 4 UU NO.8 tahun 1999 adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan
jasa;
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan
dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis)

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak untuk memilih diberikan kepada konsumen untuk memilih produk-produk
tertentu sesuai kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat
memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi
tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta
terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang
merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah mengenai manfaat kegunaan
produk; efek samping atas penggunaan produk; kadaluwarsa, serta identitas produsen

7
dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan maupun
tulisan, baik yang dicantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk,
maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media
cetak maupun media elektronik.

d. Hak untuk didengar pendapat dan/atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
Hak untuk didengar merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih
lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hal ini dapat berupa
pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu
apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut belum memadai, ataukah
berupa pengaduan atas kerugian yang dialami akibat penggunaaan suatu produk, atau
yang berupa pertanyaan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan, maupun
kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh lembaga
tertentu, misalnya YLKI.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang dirugikan akibat
penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen
memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar
dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen
tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu
produk yang diinginkan.
g. Hak untuk diberlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen dalam Pasal 4 UU NO. 8 tahun 1999 adalah :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

8
Kewajiban konsumen membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan
sangat penting, karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan dengan
jelas pada suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah
disampaikan padanya. Dengan pengaturan ini, memberikan konsekuensi kepada
pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, jika konsumen tersebut menderita
kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
Kewajiban konsumen untuk beiktikad baik dalam transaksi pembelian barang
dan/jasa disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk mendapatkan
merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda
dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
c. Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati;
Konsumen harus berkomitmen untuk membayar harga yang telah disepakati
terhadap barang dan/atau jasa kepada pembeli tanpa adanya unsur paksaan.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Kewajiaban ini diatur untuk mengimbangi hak konsumen untuk upaya
penyelesaian sengketa perlingungan konsumen secara patut.

2.4 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Asas pelindungan konsumen diatur dalam pasal 2 UU NO. 8 Tahun 1999 yaitu
“perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum”.
Dalam penjelasannya perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaar sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

9
c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan
spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Sedangkan tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 UU NO. 8 tahun 1999 adalah :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen
d. Menciptkana sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
e. Menumbuhkan kesadaaram pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.

2.5 Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

A. Prisnip-prinsip tanggung jawab


Dalam kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehatian-hatian dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab konsumen dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut :

10
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based On Fault)
Adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365,1366,dan
1367, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru
bisa dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan
yang dilakukan, menurut pasal 1365 KUH perdata, sebagai berikut :
1) Adanya perbuatan
2) Adanya unsur kesalahan
3) Adanya kerugian yang diderita
4) Adanya hubungan kualitas antara kesalahan dan kerugian
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (Persumption Of Liabilaty)
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (persumption
of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah.
3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (Persumption On
Nonliability)
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua.prinsip ini hanya dikenal dalam
transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh penerapan prinsip ini adalah
dalam hukum pengangkutan.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Stricht liability adalah tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai
faktor yang menentukan, namun pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Absolute
liabilaty adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya.
5. Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab (Limitation of Liability)
Prinsip ini biasanya dikombinasikan denga prinsip – prinsip tanggung jawab
lainnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha.
B. Product liability
Kebutuhan-kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya ekonomi dalam
perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globalisasi,
Indonesia dituntun membentuk hukum nasional yang harus mampu berperan dalam
memperlancar lalu lintas hukum di tingkat internasional. Adalah fakta bahwa terdapat
ketentuan-ketentuan yang baik yang berasal dari legal culture negara lain ataupun

11
konvensi-konvensi internasional yang dapat dimanfaatkan dalam rangka modernisasi
hukum nasional. Salah satu lembaga hukum yang perlu diperhatikan dalam revisi
maupun pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggung jawab produk
(product liability). Secara historis, product liability lahir karena ada
ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Dengan lembaga
ini produsen yang pada awalnya menetapkan strateg product oriented dalam pemasar
produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen harus
berhati-hati dengan produknya, karena tanggung jawab dalam product liability ini
menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
Menurut Johannes Gunawan, tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan
product liability adalah :

a. Memberi perlindungan kepada konsumen (consumer product)


b. Agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan konsumen
1. Pengertian Product Liability
Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa
indonesi seperti : “tanggung jawab produk” atau “atau tanggung gugat produk”.
Secara historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung
jawab antara produsen dan konsumen. Dengan lembaga ini produsen yang pada
awalnya menetapkan strateg product oriented dalam pemasar produknya harus
mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Maksud dari Product Liability
secara umum adalah suatu tanggung jawab secara hukum dsri orang atau badan
yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (producer,
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.
Ciri-ciri Product Liability, sebagai berikut :
a) Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah
 Pembuat produk jadi (finsihed product)
 Penghasil bahan baku
 Pembuat suku cadang
 Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan
mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang
membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu

12
 Importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan,
disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi
perdagangan
 Pemasok (supplier), dalan hal identitas dari importir atau produsen tidak
dapat ditentukan
b) Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir (end
consumer atau ultimate consumer)
c) Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun
benda bergerak tersebut telah menjadi komponen/bagian dari benda bergerak
atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian
dan perburuan
d) Yang dapat dikualifikasi sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia
(death atau personal injury) dan kerugian pada harta benda, selain dari produk
yang bersangkutan
e) Produk dikualifikasi sebagai mengandung kerusakan apabila produk itu tidak
memenuhi keamanan (safety) yang dapat diaharapkan oleh seseorang dengan
mempertimbangkan semua aspek, antara lain :
 Penampilan produk (the presentation of the product)
 Maksud penggunaan produk (intended use of the product)
 Saat ketika produk ditempatkan di pasaran (the time when the product was
put into circulation)
Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak
sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain
(konsumen), baik kerugian badaniah, kematian atau harta benda.

C. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden)


Penyalahgunaan keadaan menguraikan penerapan lembaga ini dalam sengketa
transaksi konsumen yang akan direkomendasikan untuk diterima menjadi salah satu
prinsip penting dalam hukum positif di Indonesia. Penyalahgunaan keadaan berkaitan
dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada
salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada dua unsur, yaitu
kerugian bagi salah satu pihak dan penyalagunaan kesempatan bagi pihak lain.

13
Ciri – ciri dari penyalahgunaan keadaan, sebagai berikut :

 Pada waktu menutu perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit
 Karena keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendesak
 Karena hubungan atasan-bawahan, keunggulan ekonomi pada salah satu
pihak; hubungan majikan-buruh; orang tua/wali-anak belum dewasa
 Karena keadaan, seperti pasien membutuhkan pertolongan dokter ahli
 Perjanjian itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal
balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang); pembebasan majikan
dari risiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh
 Kerugian yang sangat besar dari salah satu pihak
D. Norma-norma Perlndungan Konsumen
Adanya Undang-Undang Perlindungan konsumen memberikan dampak
ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk
meningkatkan kualitas/mutu produk barang dan jasa sehingga produknya memiliki
keunggulan kompetitif di dalam dan luar negeri.

2.6 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Proses pembentukan badan penyelesaian sengketa konsumen menurut Pasal 49 UU No.


8 Tahun 1999 :

1. Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat


II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
2. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat berikut :
a. Warga negara Republik Indonesia
b. Berbadan sehat
c. Berkelakuan baik
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun
3. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, unsur pelaku usaha

14
4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya
3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang
5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
ditetapkan oleh menteri

Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut Pasal 53 UU


NO. 8 tahun 1999, meliputi :

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui


mediasi atau arbitrase dan konsiliasi

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam


undang-undang ini

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap


perlindungan konsumen

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana maksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak tersedia
memnuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan

k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap


perlindungan konsumen

15
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini

2.7 Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa konsumen dilandaskan berdasarkan pasal 45 Undang-undang


perlindungan konsumen, yaitu

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Peneyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
(4) Apabila telah dipillih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa

Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberikan hak mengajukan
gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah:

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.


2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.

Beradasarkan Pasal 45 ayat (1) dalam menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua
pilihan yaitu :

16
1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha, atau
2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum

A. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum


Menurut pasal 48 UU NO. 8 tahun 1999 Penyelesaian sengketa konsumen elalui
pengadilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku
dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45. Artinya penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila :
a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, atau
b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa

Cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan menggunakan hukum acara yang


umum berlaku selama ini, yaitu HIR/RBg. Dalam mengajukan surat gugatan ke
pengadilan syarat-syarat surat gugatan tidak ditentukan secara limitative dalam ketentuan
hukum acara perdata (HIR/RBg). Dalam praktek berkembang setidaknya surat gugatan
memenuhi beberapa persyaratan berikut ini.

a. Syarat formal, meliputi :


1. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
2. Pembubuhan meterai
3. Tanda tangan penggugat sendiri atau kuasa hukumnya.

Dalam praktik, semula surat gugatan tidak dibubuhi meterai. Kemudian, muncul
praktik disejumlah pengadilan bahwa surat gugatan dibubuhi meterai. Dipengadilan negri
Jakarta Selatan, surat gugatan baru diberi nomor perkara stelah dibubuhi meterai.

b. Syarat substansial/material, meliputi:


1. Identitas pengugat / para penggugat dan tergugat / para tergugat
2. Posita / fundamentum petendi (dalil-dalil kongkret/alasan-alasan yang
menunjukkan perikatan berdasarkan perjanjian atau perbuatan melawan
hukum guna mengajukan tuntutan).
3. Petitum (hal-hal yang dimohonkan penggugat / para penggugat untuk
diputuskan oleh hakim / pengadilan).

17
Dalam praktik uraian dalam posita menyangkut fakta-fakta hukum (uraian
mengenai hal-hal yang menimbulkan sengketa), objek, sengketa/perkara (tanah,
perjanjian, dan sebagainya), kualifikasi perbuatan terugat/para tergugat (wanpres-tasi,
perbuatan melawan hukum, perbuatan melawan hukum penguasa), uraian mengani
kerugian, serta perlunya tindakan untuk menjamin gugatan penggugat (sita jaminan)
bila gugatan penggugat dimenangkan. Mengenai petitumnya, penggugat dapat
pengajukan petitum primer dan petitum subsidair. Petitum primer memuat hal-hal
pokok yang dimohonkan penggugat untuk dikabulkan pengadilan, sedangkan petitum
subsidair memberi kebebasan kepada hakim untuk mengabulkan lain dari petitum
primer.

Minimnya masalah-masalah konsumen di pengadilan (tidak termasuk di luar


pengadilan) mungkin disebabkan sikap konsumen Indonesia yang enggan beperkara
di pengadilan. Penyebab keengganan mereka meminta keadilan dari pengadilan
disebabkan oleh yang bersifat yuridis-politis-sosiologis:

Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-


putusannya. Sering terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus
yang serupa. Dalam kasus-kasus beskala nasional saja, pengadilan belum mampu
bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus-kasus konsumen pada era perdagangan
bebas yang bersuasana internasional.

Kedua, konsumen enggan beperkara di pengadilan padahal telah (sangat)


dirugikan pengusaha. Keengganan mereka sebelum diundangkannya Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 1999, lebih
didasarkan pada:

a. Belum jelasnya norma-norma perlindungan konsumen (sebelum diundangkannya


Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
b. Peradilan kita yang belum sederhana, cepat dan biaya ringan
c. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar.

Ketiga, tarik-menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang


bukan konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses
kepada pengambil keputusan. Yang terakhir ini secara sosiologis berada di laur

18
jangkauan hukum. Kalaupun hukum mampu menjangkaunya itu pun hanya sebatas
pada mereka yang menjadi tumbal (spacegoat) tarik-menarik kepentingan tersebut.

Yusuf Shofie berpendapat secara teroritis, dapat saja. Dari perspektif


konsumerisme kalah atau menang bukan itu tujuannya. Tujuannya, yaitu perbaikan
nasib kebanyakan konsumen, terutama yang berakses lemah terhadap hukum apalagi
di negara-negara yang belum menempatkan konsumennya sebagai subjek hukum.
Adapun bagaimana pengadilan menjalankan fungsinya tidak akan sama dari masa ke
masa. Diharapkan semakin bertambah terobosan-terobosan baru melalui pengadilan,
untuk menyuarakan rasa keadilan masyarakat konsumen. Hendaknya pengadilan tidak
lagi hanya menunggu undang-undang sebagai dasar hukum mengadili
sengketa/perkara yang diajukan para pencari keadilan. Sudah bukan saatnya lagi
pengadilan hanya sebagai “corong” undang-undang.

B. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan


Di Indonesia, peneyelesaian sengketa di luar peradilan atau yang lebih dikenal
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai daya tarik khusus karena
keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah
mufakat. Beberapa hal di bawah ini merupakan keuntungan yang sering muncul
dalam ADR, yaitu:
(1) Sifat kesukarelaan dalam proses
(2) Prosedur yang cepat
a. Keputusan nonyudisial
b. Kontrol tentang kebutuhan organisasi
c. Prosedur rahasia (confidential)
d. Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat peneylesaian masalah
e. Hemat waktu
f. Hemat biaya
g. Pemeliharaan hubungan
h. Tingginya kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan
i. Kontrol dan lebih mudah memperlihatkan hasil
j. Keputusan bertahan sepenjang waktu

Penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam pasal 47 UUPK dimana


penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai

19
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan /atau mengenai tindakan
tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.” Bentuk jaminan yang dimaksud ini
berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali
perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.”

Berdasarkan isi Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 di atas,
maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak
tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak
“konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk
memenuhi keperluan klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
kliennya.
2. Negosiasi
Negosiasi adalah proses konsesus yang digunakan para pihak untuk memperoleh
kesepakatan di antara mereka. Negosiasi menurut Roger Fisher dan William Ury
adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada
saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun
berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa
untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah
yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga
pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi).
3. Mediasi
Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan
bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui
seorang mediator.
Mediasi dapat dikatakan sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di
mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang
bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan
memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.

20
Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung
menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk
menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi karena pihak yang
bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan
penyelesaian sengketa tanpa arahan konkret dari pihak ketiga.
Cara mediasi ditempuh atas iniasiatif salah satu pihak atau para pihak, sama
halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan Majelis BPSK sebagai pemeratan dan
penasihat Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara mediasi terlihat
dari tugas Majelis BPSK, yaitu
1. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
2. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan.
3. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
4. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
5. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa
konsumen sesui dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan
konsumen. Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara
mediasi ada 2 (dua) (Pasal 31 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001/.
Pertama , proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun
jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis
BPSK bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasihat, petunjuk,
saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengleta. Kedua, hasil
musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan
BPSK.

4. Konsiliasi
Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1851 KUH Perdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian
sengketa diluar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai
perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakannya proses
peradilan (litigasi), melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang
berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak
ketiga mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus
duduk bersama dalam perundingan dengan para pihak yang berselisih, konsiliator
biasanya tidak terlibat secara mendalam atas substansi dari perselisihan.

21
Ketentuan tentang konsiliasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (10)
dan alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hasil
dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi
harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak
yang bersenketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis dari
konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para pihak.
Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke
BPSK ditangani Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bersikap
pasif dalam persidangan dengan cara konsilisasi. Sebagai pemerantara antara para
pihak yang bersengketa, Majelis BPSK bertugas (Pasal 28 SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001:
1. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
2. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan.
. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
4.Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara
konsiliasi ada 2 (dua) (Pasal 29 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001).
Pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun
jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis
BPSK bertindak pasif sebagai konsiliato. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan
pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.

5. Penilaian Ahli
Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga
arbitrase. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
berbunyi:
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Dalam suatu bentuk kelembagaan, arbitrase ternyata tidak hanya bertugas
untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang
terjadi di antara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat

22
memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan
dari setiap pihak yang melakukannya. Oleh sebab itu, pendapat tersebut diberikan
atas permintaan dari para pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme
sebagaimana halnya suatu penunjukan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan
suatu perselisihan atau sengketa, maka pendapat hukum ini juga bersifat final.

Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen yang sering terjadi adalah


tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh
suatu produk barang dan jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada tiga masalah
yang sering menjadi bahan diskusi, yakni:
1. Masalah prinsip ganti rugi yang di dalamnya mencakup sistem pembuktian.
2. Masalah lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya
peranan lembaga-lembaga di luar pengadilan.
3. Yang akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak
(gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok
(class/representative action).

Secara bebas dapat diartikan suatu class action adalah suatu cara yang
diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu
masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai
perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 menerapkan konsep class action
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46, yang antara lain menyatakan, bahwa
gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh “sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. “Pasal ini pun menyatakan
bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen diajukan kepada
peradilan umum (ayat(2)). Di dalam penjelasan Pasal 46 tersebut dinyatakan
bahwa undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action harus
diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara
hukum, yang salah satu di antaranya adalah adanya bukti transaksi. Dengan
demikian menurut undang-undang ini, class action diajukan oleh konsumen
apabila memenuhi ketentuan bahwa:

1. Konsumen benar-benar dirugikan.


2. Secara hukum dapat dibuktikan.

23
1. Prosedur Class Action pada Penyelesaian Masalah Konsumen
Gugatan kelompok atau lebih lazim disebut class action atau class
representative adalah pranata hukum yang berasal dari sistem Common Law.
Walaupun demikian, di banyak negara penganut Civil Law, prinsip tersebut
diadopsi, termasuk dalam UUPK Indonesia. Class action merupakan instrumen
hukum yang dapat menjamin tuntutan ganti kerugian yang bersifat massal.
Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil
kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Namun, konsep tersebut belum
memberikan penjelasan terhadap beberapa rumusan gugatan perwakilan yang
dituangkan dalam beberapa undang-undang.
Walaupun baru dimasukkan dalam UUPK, tidak berarti gugatan-gugatan
konsumen selama ini belum mencoba menggunakan prinsip class action. Gugatan
class action di Indonesia pernah diajukan oleh pengacara R.O. Tambunan
terhadap PT Bentoel dalam kasus “Bentoel Remaja”; kemudian gugatan Mochtar
Pakpahan dalam kasus “Demam Berdarah” di DKI Jakarta. Juga tercatat kasus
lain, yaitu gugatan warga atas pencemaran sungai Ciunjung dan gugatan YLKI
atas pemadaman listrik oleh PLN.
UUPK mengakomodasikan gugatan kelompok (class action) ini dalam Pasal
46 ayat (1) huruf (b). Ketentuan itu menyatakan gugatan atas pelanggaran pelaku
usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama. Penjelasan dari rumusan itu menyatakan, gugatan kelompok tersebut
harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan
secara hukum, salah satu diantaranya adanya bukti transaksi.
Prinsip class action berbeda dengan legal standing. Umumnya class action wajib
memenuhi empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal
of Civil Procedure meliputi:
1. Numerosity (jumlah orang yang mengajukan harus sedemikian banyaknya).
Persyaratan ini mengharuskan kelas yang diwakili (class members) sedemikian
besar jumlahnya karena apabila gugatan diajukan satu demi satu (individual)
sangat tidak praktis dan tidak efisien.

24
2. Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of
law antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili.
3. Typically, artinya tuntutan (bagi penggugat) maupun pembelaan (bagi tergugat)
pada class action haruslah sejenis.
4. Adequancy of Representation (kelayakan perwakilan), artinya mewajibkan
perwakilan kelas (class representative) untuk menjamin secara jujur dan adil serta
mampu melindungi kepentingan pihak yang diwakili.

Mekanisme penentuan apakah suatu gagasan dapat dikategorikan sebagai class


action atau kah gugatan biasa melalui mekanisme judicial certification atau
prepliminary certification test. Juga diatur pada tahap awal, hakim akan
melakukan penilaian tentang isu hukum dan faktual yang dipersoalkan,
kemampuan pengacara, dan motivasi para pihak beserta pengacara. Penilaian
(prepliminary certification test) bersifat fleksibel dan bergantung pada diskresi
hakim. Tujuan preliminary certification test mencakup:

1. Apakah gugatan memenuhi kriteria atau kondisi dasar untuk


pengajuan class action.
2. Apakah class action merupakan upaya yang benar-benar efesien
dan berpegang pada prinsip keadilan (fair).
3. Apakah pihak yang mewakili secara jujur dan sungguh-sungguh
dapat melindungi kepentingan pihak yang diwakili.

2. Legal standing untuk LPKSM


Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima kemungkinan
proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal
standing. Hak yang memiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM
(NGO’s standing). Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal
46 ayat (1) huruf c: Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas,tujuan didirikannya organisasi
tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya.
Dalam definisi yang diberikan oleh Pasal 1 angka 9 UUPK, jelas ada
keinginan agar setiap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

25
(LPKSM) itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran
dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam
proses beracara di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing
LPKSM.
Kembali kepada persoalan legal standing ini. Selain dalam UUPK, NGO’s
legal standing ternyata juga diterima dalam Undang-Undang No. 23 Tahun1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang yang disebutkan terakhir
ini menamakan NGO’s legal standing ini dengan sebutan “hak gugat organisasi
lingkungan”
Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 menyatakan:
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan pola kemitraan,organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud ayat (1) terbatas pada
tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti
rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan.
b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan
menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
c. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 selanjutnya menyatakan:


Tatacara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara
Perdata yang berlaku.

Dibandingkan dengan UUPK, uraian dalam Undang-Undang Pengelolaan


Lingkungan Hidup jauh lebih rinci. Penjelasan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, secara tegas menyatakan, gugatan
yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat berupa tuntutan
membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu:

26
a) Memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
b) Menyatakan seseorang melakukan perbuatan melanggar hukum karena
mencemarkan atau merusak lingkungan hidup.
c) Memerintahkan seseorang yang melakukan usaha/atau kegiatan untuk
membuat atau memperbaiki unit pengolahan limbah. Yang dimaksud dengan
biaya atau pengeluaran rill adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan
dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.

Penjelasan Pasal 38 ayat (3) juga memuat uraian yang cukup baik, yang tidak
ditemukan dalam UUPK. Penjelasan tersebut menyatakan:

Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan


lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan sebagaimana lingkungan
hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan
hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara,
tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memerilksa dan
mengadili perkara yang dimaksud.

Penjelasan ini dapat pula digunakan untuk memahami maksud Pasal 46


UUPK. Tampaknya pembentuk UUPK banyak mengambil referensi pada Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Untuk memiliki legal standing tersebut LPKSM yang menjadi wakil


konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah
perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dan NGO’s legal standing.
Oleh karena itu, unsur commonality dan typically tidak dipersyaratkan dalam NGO’s
legal standing. Selanjutnya, syarat adequancy of representation dalam NGO’s legal
standing tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada
kondisi objektif, yaitu harus memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK
atau Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia


(WALHI) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang banyak
mengajukan gugatan atas dasar NGO’s legal standing,walaupun dalam pokok

27
perkaranya Walhi dikalahkan. Waktu itu, Walhi menggugat Badan Koordinasi
Penanaman Modal Pusat, Gubernur Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri
Negara Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan PT Inti Indorayon di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.

3. Small Claim Court


Konsep small claim court merupakan suatu usaha untuk membantu
konsumen dalam mendapatkan perlindungan hukum dengan menerapkan asas
hukum beperkara dengan murah, cepat, sederahana, dan biaya ringan. Hal ini
disebabkan oleh small claim court adalah semacam peradilan kilat, dengan hakim
tunggal, tanpa ada keharusan menggunakan pengacara, berbiaya ringan, dan tidak
ada upaya hukum banding. Sengketa konsumen pada umumnya mempunyai nilai
nominal yang kecil, sehingga tidak praktis apabila gugatan untuk meminta ganti
rugi dilakukan melalui peradilan umum. Peradilan umum selain mahal juga
membutuhkan waktu yang relatif lama dan prosedurnya yang cukup rumit.
Adanya small claim court diharapkan mampu memberikan akses kepada
konsumen untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha, meskipun nilai
nominal yang disengketakan sangat kecil.

2.8 Sanksi Terhadap Pelanggar Hukum Perlindungan Konsumen

Setiap ketentuan hukum yang telah ditetapkan memiliki sanksi – sanksi yang
akan diberikan kepada pelanggar hukum atau ketentuan tersebut. Pemberian sanksi
dilakukan sesuai dengan apa yang telah dilanggar dan sesuai dengan ganjaran hukum
yang telah ditetapkan.

Berikut jenis – jenis sanksi bagi pelanggar hukum perlidungan konsumen :

a. Sanksi administrasi, diatur dalam Pasal 60 UUPK, bahwa:


1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha.
2) Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan.
b. Sanksi pidana pokok diatur dalam Pasal 61 UUPK bahwa:

28
1) Pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima
tahun) atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
2) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
c. Sanksi pidana tambahan diatur dalam Pasal 63 UUPK berupa:
1) Perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim, pembayaran
ganti rugi, pemerintah kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran atau
pencabutan izin usaha.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran materi dalam makalah di atas, maka dapat disimpulkan,


Pengertian Perlindungan konsumen secara umum yaitu , perangkat hukum yang diciptakan
untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Konsumen berperan penting dalam
semua kegiatan faktor produksi. Oleh karena itu harus dibentuk suatu ketentuan hukum yang
dapat memberikan jaminan kepada konsumen dalam menjalankan kewajiban serta untuk
mendapatkan haknya.

Terdapat banyak sumber hukum yang mengatur mengenai perlindungan konsumen,


diantaranya, Undang – undang Dasar dan ketetapan MPR, Hukum Perdata, Hukum Pidana,
Hukum Publik, serta Peraturan Pemerintah dan ketentuan lainnya yang secara resmi telah
disahkan dan memiliki sanksi hukum nantinya bagi pelanggar hukum perlindungan
konsumen yang telah ditetapkan.

Tujuan diciptakannya hukkum perlindungan terhadap konsumen tidak lain untuk


mencapai kesejahteraan konsumen yang merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang
haknya telah diatur dalam UUD 1945. Dan demi tercapainya keadilan, kesejahteraan, dan
keselarasan dalam praktik hukum dalam lingkup kegiatan konsumen.

3.2 Saran

Diharapkan dengan tersusunnya makalah yang berjudul “Hukum Perlindungan


Konsumen” ini dapat dijadikan sebagai pedoman baik bagi konsumen maupun pelaku usaha
lainnya agar dapat melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan hukum yang telah
ditetapkan dan menerapkan prinsip norma – norma yang berlaku dalam praktik kegiatannya.
Serta diharapkan kepada baik konsumen maupun pelaku usaha lainnya agar dapat
memberikan hak orang lain sesuai kepentingannya.

30

Anda mungkin juga menyukai