Anda di halaman 1dari 10

Contoh kasus Pelanggaran hak Konsumen

Pelanggaran Hak Konsumen Oleh Pelaku Bisnis

BAB 1

PENDAHULUAN

Masih banyak hak-hak konsumen dilanggar oleh pelaku usaha. Pelanggaran hak
konsumen tersebut harus disidang secara hukum. Selain itu, apabila pelaku usaha telah
melanggar UU perlindungan konsumen, maka izin usahanya harus dicabut.

Minimnya sosialisasi produk undang-undang yang dihasilkan pemerintah


menjadikan masyarakat konsumen tak memahami hak dan kewajibannya. Akibatnya, hak
konsumen rentan dilanggar oleh pelaku usaha dalam transaksi kebutuhan masyarakat
sehari-hari. Pelanggaran konsumen disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya factor
oleh pelaku usaha yang sering memandang konsumen sebagai pihak yang mudah untuk
dieksploitasi dan dipengaruhi untuk mengkonsumsi segala produk barang dan jasa.

BAB 2

PEMBAHASAN
Banyak orang tidak mau menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen
dilakukan secara sistematis oleh kalangan pelaku usaha, dan cenderung mengambil sikap
tidak ingin ribut. Dalam kasus parkir, kita bisa membayangkan jawaban apa yang akan
diterima apabila konsumen berani mengajukan komplain atas kehilangan sebagian atau
seluruh kendaraan yang dititipkan pada pelaku usaha? Apalagi jika kita meributkan
masalah uang kembalian yang (mungkin) menurut sebagian orang tidak ada nilainya.
Masalah uang kembalian menurut saya menimbulkan masalah legal political, disamping
masalah hukum yang muncul karena uang menjadi alat tukar yang sah dan bukannya
permen hal ini juga mempunyai implikasi dengan kebanggan nasional kita dalam
pemakaian uang rupiah.

Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi
tawar diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah
mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen.
Konsumen pada saat membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi
rendah, untuk itu diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidak
samaan posisi tawar ini melalui undang-undang. Tetapi peran konsumen yang berdaya
juga harus terus menerus dikuatkan dan disebarluaskan.

Hak-hak kosumen ada beberapa, yaitu :

1. Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan

Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif
keyakinan/ajaran agama tertentu.

2. Hak Untuk Memilih


Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh
karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari beberapa merek untuk
suatu barang, agar konsumen dapat memilih.

3. Hak Atas Informasi

Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi barang menyangkut harga dan
kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis
produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian
konsumen bisa membandingkan antara satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.

4. Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya

Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah
melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen;
Kedua, melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan
pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili
konsumen.

5. Hak Untuk Mendapatkan Advokasi

Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka
mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan
sosial. Hak ini dapat dipenuhi dengan cara: 1) Konsultasi hukum, diberikan pada
konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi
konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen; 2)
Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action); 3) Adanya
keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya lembaga penyelesaian
sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap pemerintah kota / kabupaten.

6. Hak Untuk Mendapat Pendidikan


Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan
baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal
yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan
konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan
tanggung jawab pelaku usaha.

7. Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif

Tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan


yang berbeda untuk pengguna jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya
yang sama. Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub
kategori pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar
konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.

8. Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi

Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran
dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan si pelaku usaha tersebut. Bentuk ganti eugi dapat berupa: 1)
pengembalian uang; 2) penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya; 3) perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK).

9. Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya

Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen,
seperti UU Kesehatan.

Sejak berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen tanggal 20 April 1999,


masalah pelanggaran atas hak-hak konsumen masih terus saja terjadi. Kasus konsumen
yang banyak terjadi pada hakekatnya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
konsumen dan kurangnya kesadaran pelaku usaha seperti tercantum dalam pasal 4 UU
No. 8 Tahun 1999. Tidak dipenuhinya hak konsumen oleh pelaku usaha dalam transaksi
pesanan merupakan sebuah tindakan yang melanggar Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999.
Secara sederhana, pelanggaran terhadap pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 ini berawal dari
perikatan yang timbul dari adanya kesepakatan antara pelaku usaha sebagai pihak
penawar barang/jasa dan konsumen sebagai pihak pemesan barang/jasa.

Dari tahap ini sebenarnya tidak timbul masalah yang berarti. Namun jika diteliti
pengaturan sanksi, terhadap pelaku yang melanggar Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999
dikenai sanksi pidana berupa pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak 2 miliar rupiah (pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999). Pengenaan sanksi
pidana terhadap pelanggaran perjanjian pesanan barang/jasa menimbulkan beberapa
permasalahan. Mengingat lahirnya perikatan/perjanjian pesanan itu berasal dari adanya
kesepakatan para pihak maka sudah seharusnya penyelesaian sengketa yang mungkin
terjadi dilakukan dalam lingkup Hukum Perdata. Hanya dengan adanya pengaturan pasal
62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 ini, konsumen bisa saja menuntut si pelaku usaha karena
dinilai telah melakukan tindak pidana perlindungan konsumen.

Hakekat Pelanggaran Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999

Lahirnya hubungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No. 8


Tahun 1999 sebenarnya berawal dari kehendak konsumen memesan makanan yang
diinginkannya. Kehendak untuk mendapatkan makanan ini kemudian bertemu dengan
penawaran pelaku usaha yang dalam hal ini menjual makanan seperti yang dikehendaki
konsumen. Pelayanan melalui pesanan menjadi bentuk baru dalam penawaran makanan
yang disediakan pelaku usaha. Pelayanan melalui pesanan disini sebenarnya merupakan
satu bagian utuh dari penawaran pelaku usaha makanan kepada konsumen. Karena pada
hakekatnya penawaran makanan melalui pesanan (delivery order) atau pengiriman
makanan menjadi satu hal penting yang dipertimbangkan oleh konsumen untuk membuat
kesepakatan. Ketika kesepakatan antara konsumen dan peaku usaha makanan bertemu
pada saat itu juga terjadilah hubungan kontraktual (privity of contract).

Akibat hukum dari adanya hubungan kontraktual ini adalah terikatnya para pihak
pembuat kesepakatan pesanan makanan untuk melakukan prestasi dan kontra prestasi
(Pasal 1338 BW-Asas Pacta Sunt Servanda) dan timbulnya prestasi dan kontra prestasi
yang dibebankan pada para pembuat kesepakatan. Pada tahap pertama pemenuhan
kesepakatan, pelaku usaha harus melakukan prestasi berupa mengirimkan barang
(makanan) sesuai dengan permintaan konsumen. Sedangkan bagi konsumen begitu
menerima pesanan makanan ia harus melakukan kontra prestasi dengan memberikan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan di awal.

Bentuk Sanksi yang dikenakan pada Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999

Bentuk sanksi yang bisa dikenakan terhadap pelanggar Undang-undang


Perlindungan Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 hanya ada dua macam yaitu
sanksi administratif (Pasal 60) dan sanksi pidana (Pasal 61-62) ditambah hukuman
tambahan (pasal 63). Hanya saja pengaturan tentang kewenangan sanksi administratif
dalam UU Perlindungan Konsumen hanya bisa diberikan oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen. Hal yang berbeda diberlakukan pada pengaturan sanksi pidana
dalam UU No. 8 Tahun 1999 ternyata dapat dikenakan langsung pada pelaku usaha yang
melanggar beberapa ketentuan hukum perlindungan konsumen.
Kebijakan pengenaan sanksi pada pelanggaran hak konsumen seharusnya
didasarkan atas pemahaman hubungan hukum yang akan dikenakan sanksi. Bentuk
sanksi seharusnya mengikuti hubungan hukum yang diatur. Secara khusus pada pasal 16
UU No. 8 Tahun 1999 terdapat hubungan hukum perdata berupa perjanjian jual-beli
makanan dengan sistem pesanan maka bentuk sanksi yang seharusnya dikenakan adalah
sanksi keperdataan berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian atau pemenuhan prestasi
pada perjanjian.

Pemahaman ini sangat penting mengingat sanksi pidana seringkali digunakan


sebagai alat pengancam bagi pelanggar hukum suatu ketentuan hukum. Hal ini sangat
tidak tepat jika dikaitkan dengan hakekat sanksi pidana sendiri sebagai ultimum
remidium.

Contoh Kasus Pelanggaran Hak Konsumen

Hak-hak konsumen yang dilanggar:


1. Hak atas kenyamanan, keselamatan dan keamanan
2. Hak untuk memilih
3. Hak atas informasi
4. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya
5. Hak untuk mendapatkan advokasi
6. Hak untuk mendapatkan pendidikan
7. Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif
8. Hak utnuk mendapatkan ganti rugi; dll

CONTOH :

Dalam jasa pelayanan seluler


Pertama, hak untuk memperoleh pelayanan dan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan jasa yang ditawarkan.
Contoh : Keluhan pelanggan seluler yang pulsanya terkuras habis tanpa disadari, gara-
gara mengikuti layanan push SMS content provider atau operator misalnya, merupakan
contoh konkret pengebirian hak-hak konsumen. Pasalnya, konsumen tak tahu kalau
layanan push SMS adalah layanan berlangganan. Yang dia tahu pulsanya habis begitu
saja, karena setiap menerima SMS dari penyedia layanan, pulsanya langsung dipotong.
Dengan tarif premium pula. Sementara, untuk menghentikan layanan itu, tak tahu pula
bagaimana caranya, karena penyedia layanan tidak memberikan informasi lengkap.
Kedua, hak pengguna seluler atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan layanan yang ditawarkan perusahaan seluler.
Contoh : Pelanggaran jenis ini berwujud beragam promosi atau penawaran layanan yang
dalam pelaksananya, baik disengaja atau tidak, telah memperkosa hak-hak konsumen.
Pasalnya, program tersebut tidak disertai dengan rincian informasi detail seperti jam
penggunaan program dan teknis perhitungan pulsa. Akibatnya, banyak pelanggan yang
pulsanya habis tanpa tahu penyebabnya, sehingga mendorong mereka mengajukan
gugatan.
Ketiga, hak konsumen untuk dilayani secara benar serta didengar pendapat dan
keluhannya atas jasa yang digunakannya.
Contoh: pelanggaran ini dapat dilihat dari tingginya keluhan pemakai seluler terhadap
pelayanan petugas operator yang lamban dan seringkali tidak bersahabat, pada saat
pelanggan menanyakan atau meminta informasi.
Suatu took menyebarkan brosur yang menyatakan bahwa produk yang dijual didiskon
30% ternyata harga barang tersebut telah dinaikkan sebelumnya sebesar 30% berarti
dalam hal ini tidak pernah ada diskon sebesar 30%.
Ketika seorang pedagang asongan atau seles sedang mempromosikan produk barunya,
mereka senang menunjukan barang-barang yang bagus akan tetapi ketika dibeli oleh
konsumen produk tersebut tidak sesuai dengan yang dipromosikannya bias jadi barangnya
lebih sedikit atau rusak.
Membeli sembako di warung; contohnya: membeli beras satu kilogram dengan di
timbang di timbangan yang sudah tidak layak pakai sehingga hasilnya tidak sampai satu
kilogram dengan harga yang sama.
Usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang kembalian pecahan
Rp. 25,00 dan Rp. 50,00. Yang ini malah lebih parah lagi perlakuannya, biasanya diganti
dengan permen dalam berbagai jenisnya (biasanya terjadi di supermarket) atau kalau
tidak malah dianggap sumbangan (ini biasanya di minimarket).
Kasus obat nyamuk HIT, kasus ini merupakan cerminan bagaimana para pelaku usaha
tidak mau memberikan informasi yang cukup dan memadai tentang kandungan dari obat
nyamuk tersebut. Belum lagi terdapat penelitian dari suatu lembaga penelitian independen
di Jakarta yang menemukan fakta bahwa pada umumnya pasta gigi mengandung bahan
detergent yang membahayakan bagi kesehatan.
Pengadaan lembaga-lembaga pendidikan informal yang memberikan tariff tinggi akan
tetapi penyediaan waktu yang diberikan tidak sepadan dengan biaya yang sudah
dikeluarkan sehingga konsumen menjadi rugi.
Dalam jasa angkutan umum; kelayakan angkutan umum sering kali menjadi permasalah
bagi pengguna jasa tersebut karena kendaraan yang ditumpangi biasanya sudah sangat
tua atau tidak layak pakai yang mengakibatkan konsumen menjadi tidak nyaman.

BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

Pelanggaran terhadap hak konsumen disebabkan beberapa faktor. Di antaranya


faktor sikap pelaku usaha yang sering memandang konsumen sebagai pihak yang mudah
dieksploitasi dan dipengaruhi untuk mengonsumsi segala bentuk barang/jasa yang
ditawarkan. Faktor ini diperparah dengan kurang mengertinya masyarakat umum sebagai
konsumen terhadap hak-haknya. Jika haknya diabaikan, konsumen tidak bisa berbuat
apa-apa karena memang tidak tahu dan tidak sadar. Ketika sadar, mereka justru tidak
mengerti bagaimana tata cara atau prosedur pengaduan dan penuntutan atas hak-haknya
yang dilanggar.

Seharusnya pelanggaran hak-hak dasar konsumenyang kemudian konsumen


menjadi subordinat dalam sistem ekonomi makrotidak akan pernah terjadi jika semua
pihak (pemerintah dan pelaku usaha) serius menegakkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Plus, dalam konteks kualitas pelayanan publik,
pemerintah konsisten mengimplementasikan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, yang mengamanatkan adanya standar pelayanan yang jelas (standar pelayanan
minimal). Tidak cukup bagi pemerintah piawai dalam membuat suatu undangundang
untuk melindungi konsumen dan publik secara luas, tapi kemudian memble dalam
pengawasan serta penegakan hukumnya.

Sumber:

http://siswaspk.kemendag.go.id/artikel/61

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/hak-konsumen-yang-dilanggar/

http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/07/29/ketentuan-sanksi-pidana-pada-
pasal-16-uupk/

http://sheonety.wordpress.com/2011/11/16/4/

Anda mungkin juga menyukai