Anda di halaman 1dari 26

REGULER A (PAGI)

ASPEK HUKUM PUBLIK DALAM PERLINDUNGAN


KONSUMEN
Sri Hidayani, SH.,M.Hum

DISUSUN
OLEH :
1. WAHYU GANTARA 158400070
2. RINA MAISYARAH NASUTION 158400008
3. NONI ZULKARNAIN 168400128
4. INDRA JAYA 158400081
5. FAJAR SIDIK 158400040
6. MUHAMMAD REZA 158400018

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
T.A. 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah ia berikan
sehingga dapat tercapainya pembuatan makalah ini sesuai dengan materi yang diberikan tepat
pada waktunya, kami juga berterima kasih pada masukan-masukan dari berberapa media dalam
memberikan referensi.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kelak akan menjadi bahan yang berguna bagi
para mahasiswa hukum dalam memahami dan mempelajari tentang Hukum Perlindungan
Konsumen, adapun hal-hal yang masih kurang dalam isi ataupun bahasan dalam makalah ini
nantinya dapat di koreksi dan menjadi masukan bagi kami untuk dapat membuat yang lebih baik
kedepannya.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan semoga makalah kami ini dapat bermanfaat
bukan hanya bagi kami tapi bagi teman-teman sekalian, adapun segala sesuatu yang salah dalam
kata ataupun penulisan untuk dapat dimaklumi dan biarlah menjadi masukan bagi kami
dikemudian hari.

Medan, 16 November 2017

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG.............................................................................................................................. 1

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................................ 3

C. TUJUAN PENULISAN .......................................................................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 4

A. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN.............................................................................................. 4

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ................................................................................ 4

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen.................................................................................... 6

3. Pihak-pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen ........................................................... 8

4. Badan Perlindungan Konsumen .................................................................................................. 11

5. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Majelis Penyelesaian Sengketa Konsumen ....... 12

B. ASPEK HUKUM PUBLIK .................................................................................................................... 13

1. Hukum Pidana ............................................................................................................................. 17

2. Hukum Administasi Negara......................................................................................................... 19

3. Hukum Transnasional.................................................................................................................. 21

BAB 3 PENUTUP .......................................................................................................................................... 22

A. KESIMPULAN ................................................................................................................................... 22

B. SARAN ............................................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................................... 23

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Hukum perlindungan konsumen belum dikenal sebagaimana kita
mengenal cabang hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi, hukum
internasional, hukum adat dan berbagai cabang hukum lainnya. Dalam hal ini juga
belum ada kesepakatan hukum perlindungan konsumen terletak dalam cabang
hukum yang mana. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum perlindungan
konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain perdata, pidana,
administrasi, dan konvensi internasional.

Hukum konsumen pada dasarnya adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan


asas-asas yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak berkaitan
dengan barang dan atau jasa konsumen satu sama lain, di dalam pergaulan hidup.

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen,


untuk menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak
dipakainya istilah konsumen dalam peraturan perundang-undangan tersebut
walaupun ditemukan sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria
konsumen.

1
Sebelum diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan ini memang tidak
secara langsung mengenai perlindungan konsumen, namun secara tidak langsung
dimaksudkan juga untuk melindungi konsumen, peraturan yang dimaksud antara
lain :
1. Undang-Undang tentang Pokok Kesehatan No. 9 Tahun 1960 (LN RI
No.131 tahun 1960 dan TLN RI No. 2068).
2. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara
Republik Indonesia, selanjutnya disingkat dengan LN RI, No. 23 Tahun
1973) tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan
Pestisida.
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 79 Tahun 1978 tentang Produksi Dan
Peredaran Makanan yang melarang periklanan yang menyesatkan,
mengacaukan, atau menimbulkan penafsiran salah atas produk yang
diklankan.
4. Keputusan Menteri Perindustrian No.727/M/SK/12/1981 tentang Wajib
Pemberian Tanda (Label) Pada Kain Batik Tulis, Kain Batik Kombinasi
(Tulis dan Cap), dan Tekstil yang Dicetak (printed) dengan Motif (Disain)
Batik.
5. Keputusan Menteri Perindustrian No.27/M/SK/1/1984 tentang Syarat-
syarat dan ijin Pengolahan Kembali Pelumas Bekas dan Pencabutan semua
Ijin Usaha Industri Pengolahan Kembali Pelumas Bekas.
6. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 (LN RI No.4 Tahun 1985 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3283.) tentang
Wajib dan Pembebanan Untuk Ditera dan atau Ditera Ulang Serta Syarat-
syarat Bagi Alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya.

2
Dengan diberlakukannya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
maka UU tersebut merupakan ketentuan positif yang khusus mengatur
perlindungan konsumen. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang aspek
hukum yang berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen yaitu hukum
publik. Hukum publik yang termasuk didalamnya seperti Hukum Pidana, Hukum
Administrasi Negara, dan Hukum Internasional.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang terdapat dalam pembahasan perlindungan konsumen pada
aspek hukum publik?
2. Apa yang dapat dipelajari dari aspek hukum publik yang terdapat
dalam hukum perlindungan konsumen?

A. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang pembahasan mengenai perlindungan
konsumen pada aspek hukum publik.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang dapat dipelajari dari aspek hukum
publik yang terdapat dalam hukum perlindungan konsumen.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen merupakan sarana seorang konsumen
untuk memperoleh hak dan kewajiban, jika seorang konsumen benar-benar tidak
melanggar apa yang telah dijadikan sebuah perjanjian, konsumen merupakan
pengkonsumsi barang,1 yang artinya barang tersebut tidak diperjual belikan,
sehingga konsumen yang seperti ini disebut dengan istilah konsumen terakhir
yang hanya membeli barang untuk dikonsumsi sendiri tanpa di perdagangkan
kembali. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
mendefinisikan konsumen sebagai "Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan." Definisi
ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user/pengguna terakhir,
tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.
Secara universal, berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar teryata
konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannnya
dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan maupumn
kemampuan atau daya bersaing/ daya tawar ( lihat antara revolusi PBB 39/248
tentang perlindungan konsumen ).2
Kedudukan konsumen ini baik yang bergabung dalam suatu organisasi
apalagi secara individu tidak seimbang di bandingkan dengan kedudukan
pengusaha.oleh sebab itu untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut di butuhkan
perlindungan pada konsumen.3
Sejalan dengan batasan hukum perlindungan konsumen maka hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah dan

1
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja GrafindoPersada,
2004, halaman 37
2
Az nasution, S.H. konsumen dan hukum, pustaka sinar harapan, jakarta :1995 (hal 65-66)
3
Celina tri siwi kristanti, hukum perlindungan konsumen, sinar grafika, Jakarta : 2008 (hal 28)

4
hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan
masalahnya denagn para penyedia barang atau jasa konsumen.
Surojo Wignojodiputro berpendapat bahwa,
Hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban masyarakat,
yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama warga masyarakat
yang satu dengan yang lain. Hubungan tersebut harus dilakukan menurut norma
atau kaidah hukum yang berlaku. Adanya kaidah hukum itu bertujuan
mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat
sehingga dapat dihindarkan kekacauan dalam masyarakat.”4
Didalam hukum perlindungan konsumen terdapat aspek hukum yang
mengaturnya diantaranya : hukum perdata, hukum pidana, tata usaha Negara dan
UU 8/ 1999 yang didalam aspek hukum tersebut keseluruhannya membahas
tentang hukum perlindungan konsumen.

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang, ini adalah,


adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen.
Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang
dan/atau jasa keutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya
apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen
tersebut. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses
negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
kebutuhannya. Disamping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan
sengketa konsumen yang timbul karena kerugian yang timbul karena kerugian
harta bendanya, keselamatan/kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau
pemanfaatan produk konsumen. Perlu diingat bahwa sebelum ada UU ini,
“konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar”,
karena itu sangatlah dibutuhkan adanya UU yang melindungi kepentingan-
kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.

4
Surojo Wignojodiputro, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1974, hlm. 1.

5
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Disamping itu
perlindungan konsumen diselenggarakan bersama berdasarkan lima asas yang
sesuai dengan pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan maksudnya agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan maksudnya perlindungan konsumen memberikan
keseimbangan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keselamatan dan keamanan konsumen, yaitu untuk memberikan
jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan dan pemakaian, serta pemanfaatan barang atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum maksudnya agar pelaku usaha dan konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

6
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dinyatakan, bahwa untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab. Atas dasar pertimbangan ini, maka perlindungan konsumen
bertujuan :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari askses negatif pemakaian barang/ jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastiam hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingannya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung
jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.5

5
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis ( Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia), Jakarta:PT
Rajagrafindo Persada, 2016, hlm. 192-193.

7
Pihak-pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen
Dalam undang-undang perlindungan konsumen , perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan. Dari pengertian perlindungan konsumen diatas, pada prinsipnya ada
dua pihak yang terkait dalam perlindungan konsumen itu, yaitu konsumen sendiri
dari pelaku usaha.
1. Konsumen
Yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dengan demikian, konsumen bisa orang-perorangan atau sekelompok masyarakat
maupun makhluk hidup lain yang membutuhkan barang atau jasa untuk
dikonsumsi oleh yang bersangkutan, atau dengan kata lain barang atau jasa
tersebut tidak untuk diperdagangkan.
Masing-masing konsumen mempunyai hak dan kewajiban. Hak konsumen
sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang atau jasa;
2) Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang/jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang atau jasa;
4) Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang atau jasa
yang digunakan;
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak didiskriminatif.

8
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian,
apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak-hak konsumen diatas menurut Yusuf Sofraie. Sedangkan kewajiban
konsumen sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa;
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.

2. Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun sama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.6
Sementara itu hak dari pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6 UU Pelaku Usaha,
meliputi :
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri di dalam penyelesaian sengketa
konsumen
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa
yang diperdagangkan

6
Ibid., hlm. 193-196.

9
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya

Dalam Pasal 7 UU tentang kewajiban produsen atau pelaku usaha, yaitu :


1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Melakukan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan,perbaikan dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif; pelaku usah dilarang membedakan konsumen
dalam memberikan pelayanan dan dilarang membedakan mutu
pelayanan kepada konsumen.
4) Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau
diperdangankan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa
yang berlaku.
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba
barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas
barang yang dibuat atau diperdagangkan
6) Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan,pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang
diperdagangkan
7) Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian barang atau jasa
yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.7

7
Kansil dan Christine, Dkk, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004, hlm.230

10
Badan Perlindungan Konsumen
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk
Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang berkedudukan di Ibu Kota Negara
Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. (Pasal 2 ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional). Apabila dipandang perlu Badan Perlindungan Konsumen
Nasional dapat membentuk perwakilan di ibukota Daerah Propinsi untuk
membantu pelaksanaan dan tugasnya.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran
dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan
konsumen di Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi tersebut Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:
1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan dibidang perlindungan konsumen.
2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
3. Melakukan penelitian terhadap barang atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen.
4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.
5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada
konsumen.
6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari
masyarakat, lembaga perlindungan swadaya masyarakat atau pelaku
usaha
7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

11
2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Majelis Penyelesaian
Sengketa Konsumen
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Majelis Penyelesaian
Sengketa Konsumen diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Dalam Pasal 1 huruf 11 dari undang-undang tersebut menentukan
bahwa yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah
badan yang bertugas menanganani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen. Penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan
dengan cara melalui pengadilan dan non pengadilan. Yang non pengadilan
dilakukan secara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase.
Dalam mengembangkan perlindungan konsumen dan penegakan hak-hak
konsumen apabila terjadi perselisihan, pemerintah membentuk Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang pada intinya bertugas untuk
menyelesaikan perselisihan atau sengketa konsumen yang bersifat nonlitigas.8

8
Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hlm. 207-211

12
B. ASPEK HUKUM PUBLIK
Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bidang dalam ilmu
hukum. Apabila diibaratkan dengan bagian pohon, hukum perlindungan
konsumen hanya bagian kecil dari pohon yang bernama hukum, yaitu bagian dari
“jangkauan transnasional dari hukum dagang” yang kemudian merupakan bagian
dari hukum dagang III dengan cabang besarnya hukum dagang.
Pembidangan hukum secara klasik tidaklah mungkin dipertahankan lagi
secara utuh mengingat perkembangan hukum dan campur tangan pemerintah
dalam kehidupan masyarakat secara terprogram. Konsekuensi munculnya cabang
hukum lainnya pun tak dapat dipungkiri.
Kedudukan hukum perlindungan konsumen dalam sistem hukum di
Indonesia terlihat begitu sempit. Namun untuk memberikan gambaran pengaturan
hukum perlindungan konsumen dalam hukum positif Indonesia, uraian berikut
akan lebih diarahkan kepada pendekatan objek formal atau sudut pandangnya
yang dikelompokkan menjadi aspek hukum keperdataan, hukum pidana, hukum
administrasi negara dan hukum internasional.
Hukum keperdataan secara substansial merupakan area hukum yang
sangat luas dan dinamis. Terlihat dari judul – judul buku dalam KUH Perdata dan
KUH Dagang. KUH Dagang merupakan lex specialis, sementara KUH Perdata
merupakan lex generalis-nya. Dalam asas hukum apabila terjadi perselisihan
antara undang – undang khusus dan undang – undang umum maka yang khusus
lah yang harus didahulukan atau dikenal dengan istilah lex specialis derogat lex
generalis).
Aspek keperdataan dimaksudkan untuk menjelaskan segala hal yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban konsumen yang bersifat keperdataan seperti
hak dan kewajiban perorangan lebih didahulukan walaupun tidak
mengesampingkan hak dan kewajiban suatu badan.
KUH Perdata memang tidak pernah menyebut kata konsumen didalamnya
melainkan menggunakan istilah lain yang sepadan dengan kata konsumen, seperti
pembeli, penyewa, dan si berutang atau debitur.

13
Adanya asas kebebasan berkontrak mendorong pihak – pihak yang terlibat
dalam hubungan keperdataan melakukan jenis – jenis perjanjian baru. Misalnya
perjanjian sewa beli yang termasuk kedalam perjanjian tak bernama versi KUH
Perdata. Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan
faktor yang sangat penting, walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada.
Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu saja sangat membantu
memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan
hak – haknya. Perjanjian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu
sumber lahirnya perikatan. Perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-
undang.
Dengan demikian keterbatasan peraturan perundang – undangan dalam
lapangan hukum perdata tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk memasung hak –
hak konsumen sepanjang unsur – unsur pasal 1365 KUH Perdata terpenuhi.
Sementara dalam pasal 1865 KUH Perdata menganut asas pembuktian yang masih
menjadi kendala besar karena mensyaratkan penggugat (konsumen) mengajukan
bukti – bukti pendukung padahal dalam berbagai kondisi keterbatasan, konsumen
biasanya tidak memiliki kekuatan tawar menawar yang berimbang dengan pelaku
usaha.

14
Hukum pidana baik yang termuat maupun yang tidak termuat dalam KUH Pidana
merupakan sumber – sumber penting hukum perlindungan konsumen.
Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum terdapat
dalam KUH Pidana. Hukum pidana sendiri termasuk kedalam kategori hukum
publik. Diantara semua aspek hukum publik yang paling banyak menyangkut
perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi negara.
Dalam KUH Pidana tidak disebut kata konsumen. Kendati demikian terdapat
pasal yang memberikan perlindungan hukum pada konsumen, antara lain:

1. Pasal 204;
2. Pasal 205;
3. Pasal 359;
4. Pasal 360;
5. Pasal 382;
6. Pasal 362 bis;
7. Pasal 383;
8. Pasal 390.

Sementara itu diluar pengkodifikasian terdapat banyak sekali ketentuan


pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan paling
luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terdapat pada bidang
kesehatan.
Selain itu juga dalam pengaturan hak – hak atas kekayaan intelektual sayangnya
peraturan – peraturan dibidang hak atas kekayaan intelektual yang sebenarnya
bersinggungan erat dengan kepentingan konsumen, ternyata belum secara intens
mengarahkan perhatiannya kepada kepentingan tersebut. Perlindungan yang
diberikan justru lebih besar diberikan kepada pemegang hak bukan pada
konsumen yang sebagian besar rakyat Indonesia.
Dapat disadari betapa terbatasnya upaya konsumen menuntut haknya secara
hukum pidana. Disamping itu, tidak sedikit pula upaya konsumen menuntut
tenaga profesional yang melakukan perbuatan malpraktik.

15
Dengan hukum administrasi dimaksudkan hukum yang memuat asas – asas dan
kaidah – kaidah yang mengatur hunungan antar alat kelengkapan negara dengan
alat kelengkapan negara lainnya.
Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi negara juga merupakan
instrumen hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen karena
sanksi – sanksi hukum secara perdata dan pidana dirasa kurang efektif tanpa
disertai sanksi administratif.
Sanksi administratif ditunjukan kepada pelaku usaha produsen maupu distributor
produknya. Semula sanksi administratif hanya dikonotasikan sebagai pencabutan
sepihak oleh pemerintah kepada pelaku usaha. Dalam pasal 60 UUPK sanksi
administratif telah diperluas bentuknya, yakni dapat berbentuk penerapan ganti
rugi.
Campur tangan administratur negara idealnya harus dilatarbelakangi oleh
itikad melindungi masyarakat luas dari bahaya terutama kesehatan dan jiwa.
Syarat – syarat pendirian perusahaan yang bergerak dibidang tersebut dan
pengawasan proses produksinya dilakukan secara hati – hati.
Sanksi administratif dirasa lebih efektif dibandingkan sanksi – sanksi lainnya. Ini
beralasan karena sanksi administratif ditetapkan secara sepihak dan langsung, lalu
sanksi ini memberikan efek jera terhadap pelakunya. Walaupun sanksi ini dirasa
efektif namun tetap saja ada kendala dalam penerapannya.
Sebutan hukum transnasional mempunyai dua arti. Pertama, hukum
transnasional yang berdimensi perdata yang lazim disebut hukum perdata
interasional dan yang kedua hukum internasional yang berdimensi publik. Hukum
perdata internasional merupakan bagian dari hukum perdata nasional.
Salah satu resolusi yang pernah dicetuskan oleh perserikatan bangsa – bangsa
adalah tentang perlindungan konsumen. Terakhir masalah ini dimuat dalam
resolusi nomor 39/248 tahun 1985.
Resolusi perserikatan bangsa – bangsa tersebut dikeluarkan setelah melalui
proses penelitian yang cukup panjang selama kurang lebih 20 tahun yang
berlokasi di 25 negara anggota dan bekerja sama dengan badan – badan intern
perserikatan bangsa – bangsa, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah
negara yang bersangkutan.

16
Hukum Pidana
Cabang-cabang hukum publik yang berkaitan dan berpegaruh atas hukum
konsumen pada umumnya adalah hukum administrasi,hukum pidana , hukum
acara perdata, dan acara pidana, hukum internasional.
Diantara cabang hukum tersebut, tampaknya yang paling berpengaruh pada
hubungan dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau hukum
perlindungan konsumen.
Hukum pidana merupakan salah satu dari hukum publik yang penting dalam
melindungi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan masyarakat konsumen
dari perbuatan-perbuatan (tindak pidana berbentuk kejahatan atau pelanggaran)
yang merugikan baik harta benda, kesehatan tubuh maupun ancaman terhadap
jiwa mereka.
Berdasarkan kaidah-kaidah yang termuat dalam KUHP atau perundang-
undangan lainnya di luar KUHP, pelaku tindak pidana diancamatau dijatuhi
hukuman tertentu, tergantung pada berat ringannya perbuatan.
Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHP atau
di luar KUHP sepenuhnya di selenggarakan oleh alat-alat perlengkapan Negara
yang di berikan wewenang oleh undang-undang, untuk itu KUHP (KITAB
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No 8 Tahun 1981 L.N. 1981 No.76)
menetapkan setiap penjabat polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk
melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang di
duga sebagai tindak pidana (pasal 4 jo. Pasal 1 butir 4 KUHP).
Penerapan KUHP dan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak
pidana oleh badan-badan tata usaha Negara memang menguntungkan bagi
kepentingan perlindungan konsumen. Oleh karena keseluruhan proses perkara
menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

17
Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian sangat terbantu
dalam mengajukan gugatan perdata ganti rugi.
Sebagaimana diketahui setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak (ganti rugi
misalnya) akibat suati perbuatan atau peristiwa, di wajibkan membuktikan hak
atau peristiwa itu (pasal 1865 KUHPer).berdasarkan hukum atau kenyataan beban
pembuktian ini selalu sangat memberatkan konsumen.9
Beberapa perbuatan tertentu dan dinyatakan sebagi tindak pidana yang sangat
berkaitan dengan kepentingan konsumen termuat dalam KUHP maupun diluar
KUHP.
Dalam KUHP diantaranya adalah pasal-pasal 204 dan 205 KUHP
(menyangkut barang-barang pada umumnya ), pasal 383 dan seterusnya
(menyangkut penjualmenipu pembeli tentang berbagai barang, keadaan, sifat
banyaknya barang tersebut) dan pasal 386 ( menyangkut khusus barang makanan,
minuman dan obat-obatan).10
Diluar KUHP juga terdapat berbagai perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana dan berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Beberapa diantaranya yaitu :
1. Undang-undang no.4 tahun 1982 ( Undang-Undang lingkungan hidup-LN
1982-12) tentang lingkungan hidup pada pasal 82 ayat 3 menyatakan tindakan-
tindakan tertentu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran.
2. Undang-undang No 5 tahun 1985 tentang perindustrian yang di atur pada
pasal 28 dari undang-undang ini.
3. Undang-undang no 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang di atur pada
pasal 80 dan pasal 86 undang-undang ini.
4. Undang-undang No 14 tahun 1992 tentan lalu lintas jalan dan angkutan
jalan.11

9
Dr, dedi harianto, perlindungan hukum bagi konsumen. Ghalia Indonesia : 2010
10
Dr, hj endang purwaningsih, sh, m,hum, hukum bisnis, ghalia indonenesia :2010 (hal 54)
11
Az nasution, S.H. konsumen dan hukum, pustaka sinar harapan, jakarta :1995 (hal 122-123)

18
Hukum Administasi Negara
Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah
instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-
sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak
disertai saknsi administratif.
Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi
justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun penyalur hasil-hasil
produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Jika
terjadi pelanggaran, izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah.
Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari
produsen/penyalur. Produksi di sini harus diartikan secara luas, dapat berupa
barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti
melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban.
Adapun pemulihan hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas
instrument hukum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat
dituntut dengan bantuan hukum perdata dan/atau pidana.
Sanksi administrative seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi
perdata atau pidana, ada beberapa alasannya:
Pertama, sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak.
Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu
meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun
itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi pemerintah terkait.
Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera”
bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak
seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative
produsen.

19
Walaupun secara teoritis instrumen hukum administratif Negara ini cukup
efektif, tetap ada kendala dalam penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang
tercantum dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan
Lingkungan Hidup. Sanksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang
mencemari lingkungan masih teramat jarang dilakukan. Bahkan, untuk kasus-
kasus tertentu, sperti pencemaran oleh PT. Inti Indorayon Sumatera Utar,
Pemerintah masih mengandalkan inisiatif konsumen untuk mempersalahkannya.
Pemerintah tampaknya menjadikan sanksi administratif ini sebagai ultimum
remedium, karena dikaitkan dengan pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan.
Tentu saja, kedua pertimbangan tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf
bagi pengusaha yang merugikan konsumen tersebut, sepanjang memang didukung
oleh bukti-bukti yang cukup.

20
1. Hukum Transnasional
Sebutan “Hukum transnasional” mempunyai dua
konotasi. Pertama, hukum transnasional yang berdimensi perdata, yang lazim
disebut hukum perdata internasional. Kedua, hukum internasional yang
berdimensi publik, yang biasanya dikenal sebagai hukum internasional publik.
Hukum perdata internasional sesungguhnya bukan hukum yang berdiri sendiri,
melainkan bagian dari hukum perdata nasional. Hukum perdata internasional
hanya berisi petunjuk tentang hukum nasional mana yang akan diberlakukan jika
terdapat kaitan lebih dari satu kepentingan hukum nasional. Melalui petunjuk
inilah lalu ditentukan hukum atau pengadilan mana yang akan menyelesaikan
perselisihan tersebut.
Hukum internasional (publik) sering dinilai sebagai instrument yang
“mandul” dalam menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara.
Kepentingan nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus
menjadi “macan kertas” yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak
mempunyai kekuatan memaksa.
Maslah perlindungan konsumen merupakan salah satu bukti diantaranya.
Gerakan ini memang berkembang pesat di berbagai penjuru dunia, namun
intensitas gerakan tersebut tidka selalu sama pada tiap-tiap Negara. Kondisi suatu
Negara sangat dominan menentukan seberapa jauh gerakan ini mendapat tempat
di masyarakatnya.
Sumber terpenting dari hukum internasional adalah perjanjian antarnegara
dan konvensi-konvensi internasional. Walaupun begitu, keberadaan sumber-
sumber hukum internasional itu tetap tidak banyak artinya jika belum diratifikasi
oleh Negara yang bersangkutan.

21
BAB 3
PENUTUP

KESIMPULAN
1) Dalam Hukum Publik yang menyebutkan bahwa secara umum
menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat, hubungan
antara Hukum Perlindungan Konsumen yang termasuk juga dalam
masyarakat sebagai bagian dari konsumen sehingga memunculkan
berberapa hal, yaitu yang adanya hukum pidana, hukum administrasi
negara, dan hukum transnasional.
2) Bahwa setiap aspek hukum publik, yaitu hukum pidana, hukum
administrasi negara, dan hukum transnasional berperan dalam terwujudnya
suatu perlindungan bagi konsumen dalam kegiatannya mengkonsumsi
barang dan/ atau jasa dan menjamin adanya kepastian dan keadilan
disamping memberikan kemamfaatan.
A. SARAN
1) Hukum sebagai landasan yang paling hakiki harus dapat melindungi dan
memproteksi kepentingan public/umum yang termuat dalam aspek hukum
publik berdasarkan hukum perlindungan konsumen.
2) Setiap bagian dari berbagai aspek termasuk didalamnya hukum pidana,
hukum administrasi negara, dan hukum transnasional harus dilaksanakan
dalam bentuk yang sebenar-benarnya dalam public/umum di masyarakat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasrtyo, Bisnis E-Commerce: (Studi


Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
2. Kansil dan Christine, Dkk, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
3. Rudyanti Dorotea Tobing, Aspek-aspek Hukum Bisnis, Surabaya:
Lasbang Justitia, 2015.
4. Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis ( Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia), Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2016.

5. http://septiorif.blogspot.co.id/2017/05/makalah-aspek-hukum.html
6. pankga.blogspot.com/2012/05/makalah-aspek-hukum-konsumen.html

23

Anda mungkin juga menyukai