Hukum dan Kejahatan seperti keping mata uang yang tiak dapat dipisahkan. Keberadaan
hukum disatu sisi dipergunakan untuk mencegah terjadinya kejahatan disisi lain
kejahatan muncul disebabkan oleh lemahnya hukum sebagai instrumen pengendalian
sosial. Namun dalam kenyataan hukum menimbulkan diskriminasi dimana kejahatan
kerah putih (white collar crime) sering tidak terjamah hukum. Mengapa demikian?
Tulisan maksimal 1500 kata, terdiri dari
1.Pendahuluan
2. Isi dan Diskusi
3. Kesimpulan
JAWAB:
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan menemukan berbagai peristiwa dan
fenomena, salah satunya adalah perilaku menyimpang. Sifat ini memiliki kata lain
yaitu deviance, suatu perilaku disebut menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai
dan norma social yang berlaku dalam masyarakat. Menurut kajian sosiologis, perilaku
menyimpang bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan
diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial.
Perilaku menyimpang terjadi karena proses sosialisasi yang kurang sempurna. Proses
sosialisasi yang kurang sempurna ini terjadi akibat ketidaksepadanan pesan-pesan yang
disampaikan oleh masing-masing agen sosialisasi atau seseorang mengambil peran
yang salah atau meniru perilaku yang menyimpang dari generalized others.
1.2 Identifikasi Masalah
Dalam masalah ini, banyak contoh-contoh peristiwa yang terjadi yang termasuk
kedalam sifat dan macam bentuk perilaku menyimpang (deviance). Sifat perilaku
menyimpang ada yang positif dan negatif. Deviance positif merupakan penyimpangan
yang mempunyai dampak yang positif terhadap sistem sosial. Karena mengandung
unsure kreatif dan inovatif. Sedangkan deviance negatif merupakan perilaku yang
bertindak kearah nilai-nilai social yang rendah dan buruk serta mengganggu system
social.
2017.2
Macam-macam perilaku menyimpang dapat digolongkan atas tindakan criminal atau
kejahatan, penyimpangan seksual,penyimpangan dalam bentuk pemakaian dan
pengedaran obat terlarang, serta penyimpangan dalam gaya hidup. Kejahatan dapat
dibagi menjadi kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan terorganisasi
(organized crime), kejahatan kerah putih (white collar crime), dan kejahatan korporat
(corporate crime).Macam kejahatan kerah putih akan dibahas lebih jauh lagi sebagai inti
dari isi dari makalah ini.
BAB II
KEJAHATAN KERAH PUTIH
2017.2
dengan baik, Gubernur BI tidak perlu emosi. Mungkin karena dia mendapat laporan
sistemnya berjalan baik sementara kenyataannya tidak seperti itu.
Sementara itu, para tersangka kasus korupsi juga digolongkan dalam tersangka
kejahatan kerah putih (white collar crime). Mereka ini memang memiliki status sosial
yang cukup baik di masyarakat, serta tentunya memiliki kesempatan untuk melakukan
korupsi. Kaum elit, begitu istilah awam menyebut mereka.
Koruptor memang maling berkelas. Saking berkelasnya, masyarakat, bahkan media,
cenderung lebih hati-hati memperlakukan mereka. Istilah-istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kejahatan mereka menunjukkan hal itu. Istilah pelaku penggelapan,
misalnya, lebih disukai ketimbang istilah garong. Penyalahgunaan dana dipakai untuk
mengganti kata korupsi. Padahal esensinya sama saja, mencuri. Koruptor bahkan
memiliki kadar kejahatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pencuri kelas teri.
Logikanya, mana ada orang korupsi hanya untuk beli beras buat makan hari ini. Kalau
pun ada, mungkin berasnya ratusan ton.
Perlakuan masyarakat juga tidak jauh berbeda. Sanksi moral untuk koruptor cenderung
lebih ringan dibanding sanksi moral terhadap yang melakukan sekedar maling ayam.
Orang masih bisa membungkuk hormat di hadapan orang yang sudah nyata-nyata
diputus pengadilan sebagai koruptor. Sementara, maling ayam yang mencuri untuk
sekedar bisa mengganjal perut, dikucilkan tanpa ampun.
Inilah realita yang ada di sekitar kita. Korupsi, seolah-olah kanker ganas yang amat
sangat sulit untuk disembuhkan. Dari tingkat atas sampai tingkat bawah, selalu terjadi.
Celakanya, di tengah masyarakat yang menganut budaya patron, budaya panutan, justru
banyak sekali orang-orang yang seharusnya menjadi teladan, malah menjadi pelaku
kejahatan kerah putih ini. Akibatnya, semakin lama orang semakin menganggap bahwa
korupsi merupakan hal yang wajar dilakukan oleh para petinggi, dan itu yang akhirnya
dicontoh oleh orang-orang yang ada dibawahnya. Maka berurat akarlah korupsi, dari atas
sampai ke bawah, dari yang berskala nasional, regional, sampai tingkat lokal.
Belakangan kita dikejutkan oleh maraknya kasus korupsi yang terjadi di belasan DPRD
Tingkat II. Wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, malah
merampok uang rakyat. Sebuah kekejian dan pengkhianatan yang sungguh
menyakitkan.
Belakangan ini, korupsi malah cenderung dianggap sebagai perbuatan terhormat.
Rasanya kurang pas kalau ada kesempatan, tapi tidak melakukan korupsi. Selain bisa
menunjang semangat memuja kebendaan, korupsi juga bisa menaikkan popularitas,
yang dalam skala tertentu bisa membantu mencapai tujuan-tujuan politis maupun tujuan-
tujuan lainnya. Bahkan kalau berhasil lolos dari jeratan hukum, terkesan ada semacam
kebanggaan bahwa diri sang pelaku memiliki kehebatan luar biasa, kekebalan hukum,
sekaligus –barangkali- ketebalan muka di atas rata-rata, sehingga membuat yang
bersangkutan semakin menepuk dada.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, untuk menyikapi semua itu? Ajaran Islam
mengatakan, jika melihat kemunkaran ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, jika
memiliki kekuatan, lawanlah kemunkaran dengan tangan. Artinya, kalau kebetulan anda
menjadi hakim yang punya kewenangan memutus perkara korupsi, maka jatuhkanlah
keputusan yang adil. Kalau anda jadi polisi, perlakukanlah semua orang dengan adil,
jangan pilih-pilih berdasarkan pertimbangan uang atau status sosial. Kalau anda jadi
Presiden, jangan cuma memanjakan konglomerat, tapi perhatikan juga rakyat kecil.
Kedua, jika tidak bisa dengan tangan, lakukanlah dengan lisan. Ungkapkanlah
2017.2
kebenaran, jangan ditutup-tutupi. Sebutlah warna hitam dengan Hitam, dan warna putih
dengan Putih, jangan ditukar-tukar. Ketiga, jika dengan lisan juga masih tidak mampu,
maka lawanlah dengan hati. Jangan pernah merestui kemunkaran, meskipun -kata Nabi-
inilah selemah-lemahnya iman. Semua itu bisa kita lakukan dengan berpedoman pada
akal sehat dan hati nurani.
Yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan pemahaman agama dan pemahaman
moral yang baik kepada anak-anak kita sejak dini. Jangan sampai pemahaman salah
kaprah tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar mana salah,
berlangsung terus menerus hingga menjadi kebenaran itu sendiri. Selain itu, jadikan diri
kita sebagai panutan yang baik untuk anak-anak kita. Jangan melarang anak-anak
merokok sambil mulut kita mengepulkan asap rokok. Artinya, jangan mengajarkan untuk
tidak korupsi, padahal kita sendiri koruptor. Rantai kebejatan moral harus diputus, dan itu
harga mati. Kecuali, jika kita ingin anak-anak kita, generasi mendatang, menjadi pelaku-
pelaku korupsi kelas kakap karena mereka menganggap koruptor merupakan profesi
bergengsi.
Kalangan anggota DPR meminta pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime) harus
ditindak tegas tanpa pandang bulu sesuai dengan hukum yang berlaku. Untuk kasus-
kasus yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, penyidik harus memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentang kelanjutan tindakan yang telah diambil. Kasus
ekspor fiktif, setelah penyidikannya tuntas dan terdapat bukti-bukti kuat, hendaknya
segera diajukan ke pengadilan. Kita harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku,
lebih-lebih dalam memberantas tindak pidana ekonomi dengan cara canggih, yang jelas
hanya bisa dilakukan pengusaha "white collar crime" kelas internasional.
Kasus demikian, jelas perlus egera diproses di pengadilan untuk dibuktikan. Ini
mengingat kasus kriminal seperti itu berdampak luas, merugikan negara dan mencoreng
citra kredibilitas bangsa. Hal ini , tidak tertutup kemungkinan masih terdapat sejumlah
pelaku kejahatan kerah putih canggih demikian. Namun sejauh ini belum terungkap.Tapi
jika kasus tersebut berhasil diungkap, ambil tindakan hukum secara tegas sesuai
undang-undang yang berlaku. Dampak negatif yang ditimbulkan ekspor fiktif, adalah
menjadikan data yang dihimpun instansi resmi menjadi semu. Pada akhirnya
menghasilkan kesimpulan yang semu pula, karena tidak didasarkan gambaran yang
sebenarnya. Itu jelas akan merugikan negara.
"Operational governance"
Jika pembicaraan diarahkan pada level paling sempit, yaitu level korporasi, kita sedang
menghadapi persoalan besar mengenai tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance/GCG). Selama ini, pembicaraan tentang GCG masih berhenti
pada level besar, yaitu pada level Corporate Governance. Padahal, inti masalah
sebenarnya justru terletak pada hal-hal yang lebih teknis dan mikro (Operational
Governance). Jika Corporate Governance (CG) menaruh perhatian pada hubungan
antara pemegang saham, dewan pengawas, dan eksekutif, Operational Governance
(OG) menekankan kontrol pada praktik manajerialnya.
Perdebatan CG yang mendapat inspirasi dari teori Agensi (agency theory), masih ada
pada level makro, sementara hal-hal yang berhubungan dengan praktik keseharian
manajerial diserahkan begitu saja pada otoritas manajemen (executives). Demikian juga
dengan studi soal kejahatan kerah putih, masih dikaitkan faktor-faktor makro itu, seperti
struktur kepemilikan saham, sistem penggajian CEO, atau peran dewan pengawas.
Salah satu studi pernah dilakukan terhadap 78 perusahaan publik dalam periode 1984-
1990 di AS. Kesimpulannya, kejahatan kerah putih akan kian berkurang jika pembagian
saham kepada karyawan kian besar (Alexander & Cohen, 1999).
Selain dipengaruhi faktor-faktor makro tersebut, kejahatan kerah putih juga amat
ditentukan oleh aneka perangkat mikro yang diciptakan dalam kontrol manajerial
(managerial control). Solusi ini ditawarkan mengingat adanya sebuah asumsi tertentu
tentang perilaku karyawan. Beberapa studi menyimpulkan, dalam sebuah organisasi
korporasi, umumnya, 30 persen karyawannya memiliki rencana/keinginan untuk (willing
to) melakukan tindak kejahatan terhadap perusahaan dalam berbagai bentuk. Sebanyak
30 persen lain sesekali tergoda melakukannya. Dan hanya 40 persen yang tegas
menolak melakukannya.
Dalam komposisi ini, paling kurang, ada 30 persen dari total karyawan yang masih bisa
dipengaruhi agar tidak melakukan kejahatan terhadap perusahaan (kelompok yang
sesekali tergoda melakukan kejahatan). Untuk itu, dibutuhkan seperangkat kontrol yang
di sisi lain tidak membuat seluruh sistem terpenjara. Kontrol terhadap perilaku karyawan
paling kurang muncul dalam dua hal besar, yaitu sistem akuntansi (accounting system)
dan paket kebijakan dan prosedur (policies & procedures) perusahaan.
2017.2
Korporasi adalah entitas yang rumit karena selain menyimpan mekanisme teknis
dan prosedural, juga dipenuhi aktor yang pada dasarnya bebas memainkan
perannya. Dalam sebuah lingkungan yang dipenuhi tindakan kriminal, korporasi
juga bisa menjadi bagian tak terpisahkan.
Menghadapi masalah kejahatan kerah putih di dunia perbankan, paling kurang ada tiga
level ruang lingkup masalah. Yaitu, prosedur teknis dalam organisasi perusahaan.
Berikutnya, lingkup pengambil kebijakan bisnis (business policy) yang menyangkut
keputusan-keputusan politis di tingkat korporasi. Misalnya, apakah perusahaan akan
bertahan atau meninggalkan investasi dalam situasi transisi sosial, ekonomi dan politik.
Level paling atas adalah konspirasi di tingkat makro (ekonomi-politik).
Kadang, kontrol yang dilakukan pengambil kebijakan tingkat korporasi tidak cukup untuk
menghentikan terjadinya skandal, apalagi hanya lewat kontrol prosedural teknis. Pada
gilirannya, skandal keuangan lebih menyangkut perkara politik tingkat tinggi yang
melibatkan pemain-pemain kelas kakap yang sulit ditunjuk batang hidungnya. Semuanya
gelap karena setiap indikasi ditepis dengan kemampuan berkelit yang luar biasa.
Jangan-jangan sederet skandal perbankan ini akan ditutup dengan kesimpulan sumir dan
tidak jelas, persis seperti kisah misteri yang sedang digandrungi di layar TV kita. Sulit
dipercaya, tetapi ada. Dan menelusuri kejahatan kerah putih akan menyerupai pencarian
alam gaib.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uaraian diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan kerah putih pada
dasarnya banyak dilakukan oleh orang-orang yang berkelas tinggi, orang
berdasi, pejabat pemerintah atau orang yang memliki kedudukan tinggi di
masyarakat sosial. Adapun kejahatan yang dilakukan berupa korupsi secara
besar-besaran hingga menyebabkan kerugian bagi negara dan seluruh
2017.2
rakyatnya. Pembobolan bank sentral yang dilakukan para petinggi dan
pegawai bank tersebut, menjadikan suatu ciri rentannya bidang perbankan
di Indonesia.
Faktor lain kurang tegasnya aparat penegak hukum yang selama ini tidak
tegas terhadap pejabat tinggi selama ini , dapat dilihat dari kurang tuntasnya
penanganan kasus –kasus korupsi besar di negeri ini. Mengakibatkan para
pelaku semakin banyak di negeri ini.
2017.2