Anda di halaman 1dari 14

Contoh Kasus Perlindungan Konsumen

“Bedah Kasus Konsumen Fidusia”

Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui jaminan fidusia masih marak terjadi
hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor
menjadikan proses jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun yang pendapatan
hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul ketikakonsumen tidak mampu membayar kredit
motor, yang membuat erusahaan mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung.

Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales dengan iming-iming kemudahan memperoleh
dana untuk pembayaran dengan jaminan fidusia, dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah
sehingga konsumen kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausula baku
yang telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat merugikan
konsumen. Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah ini:

Kasus Posisi

LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam,
selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjaman
pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi
yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen telah membayar uang
muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran
sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan
angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor dari PT. AF.

Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya


Masyarakat (LPKSM)Bojonegoro. Kemudian karena tidak mampu melakukan Pembayaran, maka LAS
menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara penyerahan.Akibatnya LAS/NO
dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah
melakukan penadahan.

Penanganan Kasus

Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen
Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan menggali 2
informasi kepada para pihak terkait. Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan hukum pada
Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia, sebagai berikut:

1. Ketentuan dalam klausula baku

Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan klausula baku.
Saat konsumen
mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul, namun tidak memenuhi
ketentuan Ps. 18 UU No. 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:

a. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor
yang dibeli konsumen;

b. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara
angsuran.

c. Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya batal demi hukum
dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.

2. Pendaftaran Jaminan Fidusia

PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana
diamanatkan dalam UU No. 42 Tahun 1999.Akibatnya perjanjian jaminan fidusia menjadi gugur dan
kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa (akta dibawah tangan). Bila jaminan
fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung (parate eksekusi) untuk menarik kembali motor
yang berada dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak
eksekusi langsung terhadap objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang
harus menunggu penyelesaian utang bersama kreditor yang lain.

3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa

Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh.Ini berarti
konsumen telah menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek
sengketa tersebut telah ada sebagian hak milik debitor (konsumen) dan sebagian hak milik kreditor

"Jual Bakso Daging Celeng, Pria Ini Dipidanakan"

Petugas dari Suku Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan menunjukan merek bakso yang
mengandung daging babi di mobil laboratorium, Tomang, Jakarta Barat,Jumat (14/12). TEMPO/Marifka
Wahyu Hidayat.

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan
sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah diperiksa di
laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi Pengawasan dan
Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat, Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei
2014.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di Jalan Pekojan
III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo, 55 tahun. "Laporannya
pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan.

Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan untuk penjual bakso
keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas Peternakan membeli bakso tersebut
dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan menyatakan daging bakso itu mengandung
daging babi hutan atau celeng.

Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman mengaku membeli daging
tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim
saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan Sutiman.

Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh Suku Dinas
Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung dipasarkan secara
terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak dikonsumsi," katanya.

Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan. Dia dijerat Pasal
62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sutiman dianggap menipu
konsumen karena tak menyebutkan bahan baku sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia
melanggar karena tak melewati proses pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan
berterus terang kepada pembeli," kata Pangihutan.

Analisis :

Dapat kita lihat di kasus ini terjadi dimana penjual daging ini tidak mengatakan kepada konsumennya
bahwa daging yang dia buat menjadi bakso itu adalah daging celeng. Kita harus ketahui bahwa hak
konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau
jasa. Dan konsumen akan sangat dirugikan sekali bila mereka mengetahui bahwa daging yang dibelinya
itu tidak sesuai dengan kemasannya yang tertulis daging sapi.

Dan sebagai pelaku usaha seharusnya penjual daging ini memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi barang yang dijualnya. Pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang dimana ketidaksesuaiaannya isi barang dengan label kemasannya yang dituliskan daging
sapi padahal didalamnya daging celeng.

Seperti yang dikatakan berita diatas, pelaku terjerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, pasa ini berisikan bahwa :

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah).
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat
(1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku

INDOMIE DI TAIWAN

Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie
adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya
hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah
memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua
supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.

Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala
BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie
itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie
ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya
yang terkandung di dalam produk Indomie.

A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam
Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet
yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal
dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi
maksimal 0,15%.

Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus
Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di
dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih
dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.

Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram
untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan
unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko
terkena penyakit kanker.

Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk
Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan
produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan
di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara
berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

Analisis kasus berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Kasus penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen indomie
mengandung bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl P-Hydroxybenzoate pada
produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus barberque.

Hal ini disanggah oleh Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang berdasarkan rilis resmi
Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor
ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan.
BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.

Permasalahan diatas bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan
menyangkutkan beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi konsumen dan
produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen.

Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang
berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:

Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 7 ( b dan d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Perlu ditilik dalam kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen
indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan tidak
aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia memakai standart BPOM dan CODEX
Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional.

Namun hal itu menjadi polemic karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang melarang zat
mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal ini yang dijadikan pokok masalah
penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan penyelidikan dan investigasi yang lebih lanjut.

Untuk menyikapi hal tersebut PT Indofood Sukses Makmur mencantumkan segala bahan dan juga
campuran yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehingga masyarakat atau konsumen
di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan.

Berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk
mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro
Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.
Direktur Indofood Franciscus Welirang bahkan menegaskan, isu negatif yang menimpa Indomie
menunjukkan produk tersebut dipandang baik oleh masyarakat internasional, sehingga sangat potensial
untuk ekspor. Menurutnya, dari kasus ini terlihat bahwa secara tidak langsung konsumen di Taiwan lebih
memilih Indomie ketimbang produk mie instan lain. Ini bagus sekali. Berarti kan (Indomie) laku sekali di
Taiwan, hingga banyak importir yang distribusi.

Contoh Kasus Perlindungan Konsumen

Iklan sebuah produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa
iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acapkali merasa tertipu iklan.

Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan roda empat merek
Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik minat perempuan berjilbab ini untuk membeli.
Maret tahun lalu, Milla-- begitu Ludmilla Arief biasa disapa—membeli Nissan March di showroom Nissan
Warung Buncit, Jakarta Selatan.

Sebulan menggunakan moda transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia merasa jargon ‘irit’ dalam
iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros bahan bakar. Penasaran, Milla mencoba menelusuri
kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia
meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.

“Sampai sekarang saya ingin membuktikan kata-kata city car dan irit dari mobil itu,” ujarnya ditemui
wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/4).

Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian
mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Rute yang sering dilalui Milla adalah Buncit–Kuningan-
Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan. Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung
Buncit dan Nissan cabang Halim.

Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu
liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah
Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes
majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,” imbuhnya.

Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua kali
proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan tes langsung di jalan
dengan mengikutsertakan saksi. “Saya berharap diadakan road test dengan ada saksi,” kata karyawati
swasta itu.

Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta
tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu
memenangkan Milla. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya
mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.

Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang
lanjutan pada 12 April ini sudah memasuki tahap kesimpulan. Dalam permohonan keberatannya, NMI
meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.

Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David ML Tobing, berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia
meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Dikatakan David, kliennya kecewa pada iklan produsen
yang tak sesuai kenyataan.“Tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi
syarat tertentu. Lalu kenapa tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah dengan menuliskan syarat rute
kombinasi dan eco-driving. Ini berarti ada unsur manipulasi,” ujarnya usai persidangan.

Kuasa hukum NMI, Hinca Pandjaitan, menepis tudingan David. Menurut Hinca, tidak ada kesalahan
dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan tidak membohongi
konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin
asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan cara menggoda orang,” pungkasnya.

Sumber :

1. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-nissan-march-masuk-
pengadilan

2. http://putrifebriwulandariblog.wordpress.com/2013/05/20/perlindungan-konsumen-dan-contoh-
kasus/

Analisis

Iklan memang ditujukan kepada konsumen agar tertarik untuk membeli produk atau barang yang akan
ditawarkan. Akan tetapi seharusnya iklan itu tidak menjurus ke penipuan, karena hal tersebut dapat
mebuat konsumen hilang kepercayaan terhadap produk yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut dan
akan mengakibatkan kerugian tersendiri bagi perusahaan tersebut. Dari kasus tersebut konsumen sudah
dirugikan terhadap haknya yaitu Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa, Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.Berdasarkan kasus tersebut maka perusahaan tersebut telah melanggar UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000 tentang perlindungan
konsumen.

“Kasus Penarikan Produk Obat Anti-Nyamuk HIT”


Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur
dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan.
Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak
di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti
keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh,
kanker hati dan kanker lambung.

HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena
bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan
tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis
HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan
melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni
2006.Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah
akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.

Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan),
Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU,
registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan.
Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM.

Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus
terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada kenyataanya, selama
ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin atas
rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-
instansi tersebut.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :

1. a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan, peraturan yang berlaku, ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang
sebenarnya.

b. Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang dan/atau
jasa yang menyangkut berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam hitungan, kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran, mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau
penggunaan tertentu, janji yang diberikan.

c. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas
barang tertentu, informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan
yang berlaku
d. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label

e. Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat nama barang,

ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama dan
alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.

f. Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.

2. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa.

a. Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar mutu tertentu,
potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu, dalam keadaan
baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang
tertentu.

b. Secara tidak benar dan seolah -olah barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan/memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris
tertentu, dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi, telah tersedia bagi
konsumen, langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata
berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan
lengkap, menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti, dengan harga/tarif khusus
dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan, dengan menjanjikan hadiah cuma-
cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji, dengan
menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat
kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.

3. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang


mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :

a. Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.

b. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.

c. Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.

4. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
dengan cara undian dilarang

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.

b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.

c. Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara
dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
5. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain
yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.

6. Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen
dengan

a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan
tidak mengandung cacat tersembunyi.

b. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.

c. Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual
barang lain.

KASUS 3

“Keterlambatan Maskapai Penerbangan Wings Air”

Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di
karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama DAVID
ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan
untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi
terlambat paling tidak sembilan puluh menit.

Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB.
Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak
kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan.
Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.

DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan
keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara.

Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh
kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung
jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.

ANALISA
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji
terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan
Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas.

Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah
adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi.Hukum
tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan
kemakmuran rakyat.

Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau
tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang
secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana
ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955
serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.

Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan
mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan
sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.

Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang
UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan
perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada
dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat
dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.

Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat
kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh
rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga
diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi.

Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen
yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen.
Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen
yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk
menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama
yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.

Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan


untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur
dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat
penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative
penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata.

Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini
menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5
tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan
prinsip Ultimum Remedium.

Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi
tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan
berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;


(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan
adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan
penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya.

Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul
“Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan
dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau
kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu
bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh
pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari
pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan
kepentingan konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian
yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air
bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.

Analisis

Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai konsumen
harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang ditawarkan dan adapun pasal-pasal bagi
konsumen, seperti:

Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;

Teliti sebelum membeli;

Biasakan belanja sesuai rencana;

Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan,
keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;

Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;

Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;

Pasal 4, hak konsumen adalah :


a. Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.

b. Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti Berdasarkan
penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba
dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum)
sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN
juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan
penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan
untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow).

c. Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa”.

d. Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan
lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur
adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi
bahan makanannya.

Anda mungkin juga menyukai