Anda di halaman 1dari 20

UTS Hukum Pidana adat

Tentang
Pelanggaran Delik Adat Di Kawasan Adat Kajang
DOSEN : Tinuk Dwi Cahyani, S.H., SHI., M.Hum

oleh:

Maulana Dahlan
201510110311060

FAKULTS HUKUM UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala
nikmat dan kesempatan yang diberikan-Nya, penulis dapat mengerjakan makalah
yang berjudul “Pelanggaran Delik Adat Pencurian Dikawasan Adat Kajang”
dengan tepat waktu dan sebaik mungkin.

Makalah ini disusun guna menyelesaikan tugas Mata Kuliah Hukum Pidana
Adat yang akan dikumpulkan dalam waktu dekat ini. Makalah ini juga dikerjakan
untuk memberi pengetahuan kepada pembaca serta pada khususnya untuk
memenuhi nilai tugas dan mendapatkan nilai yang sebaik mungkin seperti yang
kami harapkan.

Terima kasih ditujukan kepada Bu Tinuk Dwi Cahyani, S.H., SHI., M.Hum
selaku dosen Hukum Pidana Adat atas waktu yang diberikan kepada Penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, Penulis merasa masih banyak kekurangan


yang harus diperbaiki di makalah ini. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati
menerima masukan-masukan positif ataupun kritik yang membangun dari para
pembaca. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Malang, 26 Oktober 2018

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


Daftar Isi ..............................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
BAB II ................................................................................................................................ 4
TINJUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 4
A. Pengertian Hukum Adat ...................................................................................... 4
B. Norma atau Adat Istiadat Masyarakat Adat Ammatoa .................................... 5
C. Ammatoa dan Wewenangnya .............................................................................. 6
BAB III............................................................................................................................... 9
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 9
A. Proses Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Di Kawasan Adat Ammatoa
Dan Termasuk Dalam Pelanggaran Jenis Apa .......................................................... 9
B. Proses Penyelesian Delik Adat Yang Telah Dilanggar .................................... 12
BAB IV ............................................................................................................................. 16
PENUTUP........................................................................................................................ 16
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 16
B. Saran .................................................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat
kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan
dengan hukum. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18 b ayat (2)
yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik
Indonesia,yang diatur dalam undang-undang”.1
Suku Bugis merupakan salah satu dari empat suku utama yang mendiami
Sulawesi Selatan, yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. selain itu terdapat
juga suku-suku kecil dan masyarakat lokal dengan bahasa dan dialeknya masing-
masing (di luar empat bahasa daerah utama) yaitu Massenrenpulu (Enrekang),
Selayar, Malili, Kajang, dan Balangnipa. Suku-suku tersebut kecuali suku Toraja
yang mayoritas Kristen dan masih kuat menganut adat “alu’ tulodo yaitu adat turun
temurun yang cendrung animisme, maka hampir semua suku lainnya menganut
agama Islam.
Masyarakat Ammatoa Kajang yang masih termasuk suku Bugis Makassar
merupakan perkecualian oleh karena pengaruh agama islam yang relative kecil dan
mereka masih kuat berpegang pada adat istiadat lokal secara turun temurun.
Masyarakat Ammatoa Kajang adalah salah satu masyarakat kecil suku bugis
Makassar yang mendiami bagian selatan provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Desa
Tanah Towa, Kecamatan Kajang,Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang
lebih 200 km dari kota Makassar. Keunikan masyarakat Ammatoa terletak pada
kepercayaan “patuntung” yang di anut turun temurun dan mempercayai adanya
“Turie’ Akra’kna sebagai Tuhan yang maha kuasa yang mengatur kehidupan
mereka. Kehidupan mereka sangat terbelakang bukan karena tidak terjangkau oleh
pembangunan. Prinsip atau sikap hidup mereka yang masih memilih “kamase-
masea” atau sederhana, sehingga mereka menolak semua program pembangunan

1
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, bab VI , Pasal 18.

1
masuk di desanya. Mereka tidak mengenal jalan aspal, penerangan listrik, sarana
dan prasarana kehidupan kota/desa pada umumnya.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka memilih cara hidup sederhana dan apa
adanya sebagai bagian dari Pasang (pesan) yaitu “tallasa kamase- masea” yang
artinya hidup yang sederhana. Kamase-mase adalah pengalaman dari sistem nilai
budaya pasang yang menjadi kewajiban bagi komunitas Ammatoa selama hidup di
dunia. dengan demikian akan menikmati kehidupan yang kalumanyang
kalumpepeang di alam gaib. prinsip-prinsip yang dikandung kamase-mase adalah
adanya hubungan sebab akibat perbuatan manusia yang akan mempengaruhi
kehidupannya di akhirat.2
Pasang (pesan) bentuknya berupa mitos, etiologi, legenda, maupun tema dan
isinya adalah sesuatu yang dijumpai pada masyarakat manapun di Indonesia.hanya
saja pada masyarakat Ammatoa, pasang (pesan) adalah adat kebiasaan yang
mengikuti mereka sejak lahir, sampai meninggal, termasuk adat kebiasaan,
kepercayaan, yang berkaitan dengan pembagian harta warisan. Dalam bentuknya
yang tiada tertulis, dimungkinkan pasang (pesan) untuk menjadi tidak teratur, maka
perlu ada yang melestariakannya dan menjaganya, yang melestarikan dan
menjaganya adalah Ammatoa selaku pemimpin adat dan pemimpin desa, wakil
nenek moyang dan dibantu pemimpin adat lainnya. Terdapat makna yang jelas
keterkaitan antara pasang (pesan) dalam kehidupan sehari-hari. Pasang (pesan)
adalah keseluruhan aturan yang harus diikuti oleh warga masyarakat Ammatoa, dan
menjadi tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pasang
(pesan) agar dilaksanakan dengan baik dan membe rikan sanksi atas
pelanggarannya.
Adat Ammatoa yang terletak di kecamatan Kajang mempunyai aturan-aturan
yang tidak tertulis yang dikhususkan mengatur masyarakat yang bernaung di
kawasan adat Ammatoa dalam aturan tersebut dibagai dalam beberapa bidang-
bidang salah satunya adalah aturan yang mengatur mengenai pencurian.
Pelaku pencurian di kawasan adat sangatlah dilarang karna termasuk suatu
perbuatan yang sangat merugikan bagi korbang pencurian, pencuri di kawasan adat
Ammatoa diadili berdasarkan aturan adat yang berlaku. Pencurian adalah suatu

2
Yusuf Akib, Potret Manusia Kajang (Makassar: Pustaka Refleksi, 2003), h. 7.

2
perbuatan yang dilarang selain melanggar norma sosial pencurian dikategorikan
sebagai suatu perilaku yang sangat meresahkan masyarakat, tindak pidana
pencurian diatur dalam undang-undang, hukum adat dan
Salah salah satu kasus yang sempat di ceritakan oleh warga bahwa pernah
terjadi sebuah kasus yang dilakukan oleh salah seorang yang bernama Lekkong,
umur 55 tahun, pekerjaan pagalung (petani), berasal dari Dusun Baraya Desa Tana
Towa. Mereka ini memasuki Borong Battasaya kemudian menebang pohon.
perbuatannya itu diketahui oleh warga masyarakat adat Kajang, lalu dilaporkan
kepada Gallak Puto, yang selanjutnya diteruskan atau melaporkan hal itu kepada
Ammatoa. Setelah itu lelaki yang bernama Lekkong ini dipanggil menghadap
Ammatoa untuk diadili. Dalam proses peradilannya berlangsung di rumah
kediaman Ammatoa, yang dihadiri oleh pemuka masyarakat, kepolisian dan warga
masyarakat lainnya. Pertanyaan Ammatoa kepada Lekkong hanya berkisar pada
perbuatannya menebang pohon di dalam Borong Battasaya, selain itu ditanyakan
kesediaannya untuk diadili oleh Ammatoa, atau perkaranya diserahkan kepada
pihak kepolisian. Namun dari pertanyaan-pertanyaan Ammatoa itu diiyakan oleh
yang bersangkutan untuk diadili oleh Ammatoa . Oleh karena perbuatannya diakui,
maka kepadanya anngalle passala (didenda menurut adat).
Adanya kenyataan seperti ini yang diuraikan di atas, membuat penulis merasa
tertarik untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang peranan kepala adat
dalam hal ini Bohe Amma pada proses pemberian sanksi terhadap pelaku pencurian
di kawasan adat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba.
B. Rumusan Masalah
Memperhatikan latar belakang di atas maka pokok masalah yang timbul
adalah bagaimana sistem peradilan dalam proses pemberian saknsi oleh Bohe
Amma terhadap tindak pidana pencurian di kawasan adat Ammatoa, Kecamatan
Kajang Kabupaten Bulukumba. Adapun dalam sub masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembuktian tindak pidana pencurian di kawasan adat
ammatoa dan termasuk dalam pelanggaran jenis apa?
2. Bagaimana proses penyelesian delik adat yang telah dilanggar tersebut?

3
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat adalah hukum asli yang hidup di dalam masyarakat dan
dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya
berpedoman pada rasa keadilan dan kepatutan dari tempat di mana hukum itu
lahir, tumbuh dan surut, yang timbul secara langsung dari landasan pokoknya,
ialah kesadaran hukum masyarakat, menjelmakan perasaan hukum yang nyata
dari rakyat, serta proses pembentukan norma-normanya tidak bergantung kepada
penguasa rakyat.
Hukum adat tersebut senantiasa tumbuh dari kebutuhan hidup yang riil, dari
sikap dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
masyarakatnya. Conelis van Volenhoven Beliau member pengertian Hukum Adat
adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai
sanksi (oleh karena itu disebut hukum) dan di sisi lain dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (oleh karena itu disebut Adat). Positif yaitu hic et nunc artinya
hukum yang dinyatakan berlaku disini dan saat ini atau dengan kata lain “hukum
yang sedang berlaku di suatu Negara tertentu pada saat tertentu.” Sanksi adalah
reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma. Dan, kodifikasi
adalah pembukuan sistimatis suatu daerah/lapangan/bidang hukum tertentu
sebagai kesatuan secara bulat, lengkap dan tuntas. Bulat dan utuh artinya semua
bagian diatur; lengkap artinya segala unsurunsur juga diatur; tuntas artinya semua
soal, hal atau kondisi yang mungkin timbul. Sistematis dan terstruktur artinya
mengikuti model pembuatan hukum Eropa Kontinental.3
Hukum Adat yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia hingga kini
masih diakui keberadaannya. Sebagai hukum asli bangsa Indonesia, Hukum Adat
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Hukum Barat (Eropa) yang
menganut sistem hukum kodifikasi. Hukum adat bersifat tradisional, namun
sekaligus dinamis dan plastis, elastic dan luwes. Sifat pertama menunjuk kepada
keterikatannya pada garis kontinuitas kebudayaan bangsa, sedangkan sifat kedua
dan ketiga membuktikan kemampuan hukum adat untuk berkembang seiring

3
1 Dominikus Rato, Hukum adat Kontemporer (Surabaya: Laksbang Justitia, 2014), h. 11.

4
sejalan dengan tuntunan alam dan zaman, serta mampu menyesuaikan diri dengan
kasus-kasus khusus, unik ataupun menyimpang.4
B. Norma atau Adat Istiadat Masyarakat Adat Ammatoa
Norma-norma dan adat istiadat pada uraian ini lebih dititik beratkan pada
pandangan atau sikap yang abstrak yang merupakan perwujudan dari sistem nilai
budaya. Dalam hubungannya dengan pasang dapat dirumuskan ke dalam empat
kerangka yaitu :
a. Jujur Nilai sosial yang paling utama dan paling mendasar yang digariskan
dalam ajaran pasang adalah kejujuran. Nilai kejujuran ini diungkapkan
dengan kalimat “Lambusk-nuji nukaraeng” yang artinya karena
kejujuranmu maka engkau jadi penguasa. Betapa tinggi nilai kejujuran itu
dapat dilihat dalam pengungkapan secara filosofis dengan kata-kata kiasan
“Accidong Ri Tana Eso”. Ungkapan ini secara harfiah berarti duduk di tanah
lapang. Maksudnya bertahan dan tetap pada suatu posisi karena kejujuran.
Mereka tidak khawatir menghadapi tantangan disebabkan karena
kejujurannya. Ini diperkuat lagi dengan ungkapan lainnya yaitu
“Akkambiang Ri Cinagori”. Ungkapan ini bermakna orang jujur mendapat
perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Sebab kejujuran itu termasuk nilai
sosial yang terpuji, jadi orang yang memiliki dan memeliharanya juga
termasuk orang yang dilindungi. Cinaguri sebenarnya adalah jenis
tumbuhan yang sangat sederhana, kecil namun diibaratkan sebagai pohon
yang dapat dijadikan tempat berlindung atau tempat bernaung.
b. Sabar Sabar (sabbara) atau tabah merupakan nilai sosial yang harus dimiliki
oleh setiap pengikut ajaran Pasang, terutama bagi mereka yang mempunyai
tugas sebagai pendidik, atau mereka yang mengetahui tata aturan dan adat
istiadat. Sebagaimana diungkapkan dalam Pasang “Sabbarak-nuji nu guru”,
yang berarti lantaran kesabaranmu maka engkau menjadi guru atau
pendidik. Maksudnya 39 seorang pendidik harus memiliki sifat tabah dan
sabar. Sebab mendidik itu membutuhkan keuletan dan kesabaran.
c. Konsekuensi Konsekuen merupakan nilai sosial yang menempati posisi
yang paling penting dalam kehidupan sosial masyarakat Amma Towa. Sifat

4
1 Dominikus Rato, Hukum adat Kontemporer (Surabaya: Laksbang Justitia, 2014), h. 11.

5
tersebut diungkapkan dengan kalimat “ Ri Gattanuji nu adak”, yang artinya
lantaran ketegasanmu maka engkau menjadi pemimpin adat. Nilai sosial
yang konsekuen begitu penting dimiliki sebab seorang pemimpin adat yang
tidak tegas, maka adat istiadat akan mudah dan gampang untuk
ditinggalkan. Konsekuen disini menghendaki pula suatu sikap tunduk dan
patuh terhadap peraturan. Termasuk konsekuen terhadap suatu keputusan.
Ini terlihat dalam ungkapan “Sallu Ri Ajoa”, yang berarti tunduk pada
gagang bajak. Dan ungkapan “Ammulu Ri Adahang”. Dua ungkapan ini
bermakna betapa pentingnya seseorang konsekuen terhadap tata aturan dan
adat istiadat. Sallu Ri Ajoka bermakna bahwa setiap orang harus tunduk dan
patuh terhadap norma-norma yang telah digariskan dalam pasang.
Sedangkan ungkapan “Ammulu Ri Adahang”, yang berarti bertolak dari
jalur bajakan, bermakna bahwa dalam suatu pekerjaan hendaklah konsekuen
terhadap program atau ketentuanketentuan yang telah disepakati.
d. Tenggang rasa Nilai sosial berupa tenggang rasa sangat diutamakan oleh
para dukun. Seperti diungkapkan dalam pasang”Pesona nuji nisanro”, yang
bisa berarti lantaran engkau tenggang rasa atau pasrah maka engkau menjadi
dukun. Sifat ini diutamakan kepada para dukun sebab pekerjaan dukun
memerlukan sifat 40 tenggang rasa atau sifat lapang dada. Dan sifat seperti
ini merupakan nilai sosial yang sama nilainya dengan sifat-sifat yang
disebutkan sebelumnya. Artinya menurut standar penilaian Pasang, sifat
tenggang rasa atau pasrah itu mempunyai nilai positif dan berharga.5
C. Ammatoa dan Wewenangnya
Ammatoa adalah “Tu Mariolo” atau “mula tau”, manusia pertama yang
diciptakan Tu Rie’A’ra’na di bumi yang pada waktu itu hanya berupa laut maha
luas dengan sebuah daratan menjulang. Tempat itu menyerupai tempurung kelapa
dan disebut Tombolo’. Tana yang mula-mula dicipta Tu Rie’ A’ra’na dikenal
dengan nama Tana Towa atau tanah yang tua. Oleh Tu Rie’A’ra’na kemudian
diciptakan seorang perempuan pendamping Amma (bandingkan dengan cerita Nabi
Adam dan Hawa menurut kepercayaan Islam) yang disebut Anrongta. Amma atau
bapak dan Anrong atau ibu inilah yang kemudian menjadi cikal bakal manusia.

5
Mas Alim Katu, Tasawuf Kajang (Makassar: Pustaka Refleksi, 2015), h. 75.

6
Konsep manusia pertama di Kajang ini dan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan,
disebut Tomanurung. Pada sejumlah tempat di daerah Bugis dan Makassar terdapat
Tomanurung yang menjadi awal keberadaan umat manusia.
Pada zaman dahulu, ketika belum banyak penghuni bumi,sebutan Ammatoa
belum dikenal. Yang ada ialah sanro atau sanro lohe, atau dukun yang sakti. Sanro
lohe bukan hanya sekedar sebagai dukun yang dapat mengobati penyakit, tetapi
juga merupakan tokoh pimpinan dalam upacara ritual keagamaan atau
pa’nganroang sekaligus sebagai pimpinan kelompok. Setelah manusia kian banyak
dan kebutuhan semakin berkembang seiring perkembangan dan tuntutan zaman,
istilah Amma mulai dikenal. Struktur organisasi pun dibentuk dengan pembagian
fungsi dan tugas masing-masing. “Pembagian” kekuasaan memang telah dikenal
dalam Pasang.
Jabatan pemimpin tertinggi di dalam komunitas dipegang Ammatoa, jabatan
ini tidak diwariskan atau didasarkan kepada garis keturunan sehingga seorang anak
Ammatoa tidak otomatis akan menduduki jabatan bapaknya, melainkan melalui
seleksi gaib dengan cara-cara sakral dan amat rahasia. Seorang Ammatoa
dipilih/terpilih berdasarkan penunjukukan Tu Rie akrakna melalui serangkaian
tanda-tanda khusus yang hanya diketahui orang-orang tertentu (telah mencapai
derajat mannuntungi) yang ikut dalam pa’nganroang anjuru borong (upacara
pengukuhan Amma) Ammatoa pengatur dan penentu kebijakan adat maupun
pemerintahan, sebab mereka percaya bahwa Tana Toa adalah tanah tertua yang
menjadi awal dari keberadaan dunia. 6
Mitos kajang menyebutkan bahwa awalnya di dunia ini hanya ada satu
daratan yang mereka namakan Tombolo. Tanah ini kemudian mengefeki
munculnya daratan lain yang membentuk dunia. Masyarakat adat Ammatoa juga
meyakini bahwa awal kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan berasal dari Tana Toa.
Berdasarkan pembagian teritorial, orangorang kajang yang keluar dari kawasan
adat dan memimpin suatu wilayah masingmasing. Teritorialisasi dan kepercayaan
akan pengaruh Ammatoa terhadap eksistensi tersebut lantas dituangkan dalam suatu
sebutan : Ammatoa ri Kajang, sombayya ri Gowa, Pajung ri Luwu, Mangkawu ri

6
Uchy Red Berry, “Kajang Ammato”, http://uchy-red.blogspot.co.id/2011/11/kajangammatoa-
desa-tanatoa-kecamatan.html (20 Oktober 2018)

7
Bone. Ammatoa merupakan representasi pemimpin tertinggi dari segi spiritualitas
dan pemerintahan dari kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada tersebut.

8
BAB III
PEMBAHASAN
A. Proses Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Di Kawasan Adat Ammatoa
Dan Termasuk Dalam Pelanggaran Jenis Apa
Sebelum masuk pada pembahasan sistem pembuktian pelaku pencurian
terlebih dahulu saya akan menjelaskan pengertian pencuri menurut hukum
negara dan pencuri menurut hukum adat kajang.
1. Pengertian pencuri menurut hukum negara. Pencuri menurut Undang-
undang hukum pidana dalam pasal 362, barang siapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian.7 Untuk membuktikan pelaku pencurian menurut hukum negara
harus memenuhi 2 alat bukti dan adanya barang bukti sehingga syarat
menurut hukum terpenuhi melakukan tindak pidana dan akan
mendapatkan sanksi pidana. Kenyatan tersebut berbeda dengan hukum
adat kajang, yang memiliki pendapat tersendiri mengenai pencurian dan
cara untuk membuktikan pelaku pencurian.
2. Pengertian pencurian menurut hukum adat kajang. Pencuri adalah orang
yang mengambil hak milik masyarakat adat dan hak milik kelembagaan
adat dengan maksud untuk dimiliki secara pribadi. Orang yang mengambil
suatu barang atau mengambil pohon di dalam hutan keramat akan
dianggap sebagai pencuri dan akan mendapat hukuman yang paling berat
atau istilah lokalnya pokok babbala (pokok cambuk). Begitupun orang
yang menebang pohon di dalam hutan battasaya (hutan perbatasan dengan
kebun warga) untuk dimiliki atau dijual kepada orang lain tanpa se-izin
Ammatoa akan mendapat hukuman tangga babbala (tengah cambuk).
Yang temasuk kategori pencurian menurut masyarakat adat kajang seperti
mengambil barang, ternak milik masyarakat adat dan menebang pohon di
dalam hutan dan atau memburu binatang liar yang ada di dalam hutan.

7
Soenarto Soeradibroto, kitab undang-undang hukum pidana dan kitab undang-undang hukum
acara pidana, (Jakarta: PT Radja Grapindo Persada, 2007), h, 223.

9
Terdapat beberapa upacara yang dilakukan untuk membuktikan pelaku
pencurian melalui ritual/upacara adat, yaitu:
1. Patunra (di sumpah)
Patunra (di sumpah) di lakukan ketika ada orang yang dicurigai, orang yang
dicurigai dipanggil oleh Ammatoa untuk ditanya dan Ammatoa dalam hal ini
mempunyai kelebihan untuk membaca tingkah orang yang berbohong,
Ammatoa dalam memberikan pertanyaan melihat gerak-gerik ketika orang itu
di tanya dan ketika Ammatoa melihat ada kebohongan yang di sembunyikan
oleh orang yang dicurigai dan tidak mau mengaku maka barulah orang tersebut
akan disumpah.
2. Attunu panrolik (membakar linggis)
Sebelum Upacara attunru panrolik (bakar linggis) dilaksanakan seluruh
pemangku adat dikumpulkan dan akan lebih dulu dilakukan abborong
(bermusyawarah) setelah itu Ammatoa mengumumkan dan memerintahkan
kepada orang kepercayaannya untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat
adat bahwa akan diadakan tunu panroli hari sekian dan jam sekian maka dari
itu seluruh warga masyarakat adat tidak boleh ada yang keluar dari kawasan
semuanya harus berkumpul tepat waktu sebelum upacara dilaksanakan dan
ketika ada orang yang tidak hadir maka dia akan dipanggil oleh Ammatoa
untuk ditanya. Setiap orang yang hadir diharuskan memegang linggis yang
sudah dibakar oleh Puto Duppa hingga merah membara. Hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui siapa pelaku pencuri sebenarnya. Jika seorang yang
memegang linggis itu tidak bersalah, maka ia tidak akan merasakan panasnya
linggis. Dan demikian sebaliknya, barang siapa yang tangannya terluka, maka
dialah pelakunya.
3. Tunu Passau (Membakar Dupa)
Tunu Passau (Membakar Dupa) sebelum upacara tunu passau dilakukan maka
seluruh pemangku adat dikumpulkan untuk dilakukan abborong, setelah
disepakati dalam musyawarah bahwa akan dilakukan tunu passau maka
Ammatoa memerintahkan kepada Puto Kaharu keturunan dari Bunngko Pabbu
untuk melakukan upacara tunu passau tanpa dihadiri oleh warga masyarakat di
dalam Borong Karamaka. Namun, sebelum acara itu dilakukan terlebih dahulu

10
disampaikan pengumuman kepada seluruh warga masyarakat. Pengumuman
tersebut berisikan tentang akan diadakannya upacara attunu passauk, karena
diketahuinya bahwa telah terjadi pencurian dalam kawasan adat tanpa
diketahui pelakunya, dan telah pula dilakukan upaya dengan acara attunru
panrolik. Penyampaian pengumuman itu dilakukan setiap hari selama satu
bulan penuh. Adapun cara penyampaiannya, yakni baik dari mulut ke mulut
maupun dengan memukul gendang yang ada di rumah Ammatoa dengan irama
tertentu yang maknanya dapat dipahami oleh setiap warga masyarakat adat
Adapun Bentuk larangan adat yang bersumber dari Pasang salah satunya
adalah Pencurian yang dilakukan di dalam kawasan adat kajang, Adapun bentuk-
bentuk sanksi yang diberlakukan bagi mereka yang terbukti melakukan pencurian,
berbeda beda tergantung tingkat pelanggaran yang dilakukan di dalam kawasan
adat. Agar sanksi-sanksi tersebut dapat berjalan dengan efektif, maka ditetapkanlah
ketentuan yang mengklasifikasikan tiga jenis sanksi dan jumlah denda yang harus
di bayar, ke dalam 3 kategori, yaitu (1) pelanggaran berat, (2) pelanggaran sedang
dan (3) pelanggaran ringan. Ketiga tingkat kategori pelanggaran tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pelanggaran berat, istilah lokalnya pokok babbalak (pangkal cambuk)
dengan denda sebesar 12 Real atau ketika dirupiahkan Rp. 12.000.000,
ditambah dengan satu gulung kain putih bagi orang yang beragama Islam.
2. Pelanggaran sedang, yaitu Tanga babbalak (tengah cambuk) dengan denda
sebanyak 8 Real atau ketika dirupihkan Rp. 80.00.000, ditambah dengan
kain putih satu gulung.
3. Pelanggaran ringan, yaitu hukuman yang disebut Cappa babbalak dengan
denda sebanyak 6 Real atau ketika dirupiahkan Rp. 6.000.000, ditambah
dengan satu gulung kain putih.\
Sehingga dari ketiga kategori pelanggaran diatas dapat diketahui bahwa
dalam kasus pencurian sebagaimana yang penulis uraikan diawal itu termasuk
ke dalam jenis pelanggaran ringan dikarenakan dalam kasus tersebut Ammatoa
langsung memutuskan bahwa yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa denda
yang disebut cappa babbalak, yaitu sebesar Rp. 4.000.000,- atau dan satu gulung

11
kain putih. Yang mana hal tersebut termasuk kategori pelanggaran ringan
sebagaimana yang telah dijelaska diatas.
B. Proses Penyelesian Delik Adat Yang Telah Dilanggar
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, bahwa Ammatoa adalah pemimpin
tertinggi di dalam kawasaa adat kajang, ia tidak hanya diangkat berdasarkan hasil
musyawarah atau pemilihan, tidak pula berdasarkan keturunan, melainkan
Ammatoa diangkat berdasarkan hasil penunjukan Turie’ A’ra’na’, sehingga
jabatan Ammatoa berlaku seumur hidup, kecuali jika ia melakukan pelanggaran
adat atau melanggar isi Pasang akan dikenakan sanksi, yaitu dilakukan pergantian
Ammatoa. Adapun sikap, tindakan dan kebijakan Ammatoa senantiasa selalu
dipantau oleh pemangku adat dan seluruh warga komunitas adat Kajang, yang
mana hal tersebut akan berkaitan dengan katallasang lino dan allo ri boko
(kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat). Tujuannya agar kedua kehidupan
ini dapat berjalan dengan baik dan normal.
Keadaan seperti itu, membuatnya posisi Ammatoa sebagai pemimpin
tertinggi di kawasan adat kajang, memegang peranan penting baik dalam
kehidupan sosial dan ritual, penasehat dalam menyelesaikan berbagai bentuk
perselisihan maupun berperan pada pembangunan dan ekonomi di tengah-tengah
masyarakat adat kajang. Ammatoa dalam melaksanakan perannya, terutama
terhadap pelanggaran adat yang terjadi di kawasan adat Kajang, senantiasa
berpegang pada pasang yang merupakan sebagai pegangan hidup atau sebagai
sumber sejarah bagi warga masyarakat adat Kajang, yang mengandung prinsip
hubungan antara warga masyarakat dengan Turie’ A’re’na, antara sesama manusia
dan hubungan manusia dengan lingkungannya.
Memahami Pasang sudah merupakan kewajiban bagi warga komunitas adat
Kajang, oleh karena itu kemuliaan warga masyarakatnya dikaitkan dengan tingkat
penguasanya dan ketaatannya terhadap Pasang. Setiap pelanggaran Pasang bukan
saja hanya merendahkan derajat pelanggaran di mata warga masyarakat adat
Kajang, melainkan akan menyusahkan warga masyarakat dan merusak
lingkungan fiik kawasan adat. Oleh karena itu, bagi warga masyarakat adat
Kajang yang memelihara dan merefleksikan makna Pasang dalam kehidupannya,
adalah orang yang terpandang dalam komunitas adat Kajang. Dan sebaliknya, bagi

12
mereka yang tidak mengindahkan isi dan makna Pasang dalam kehidupannya akan
dikenakan sanksi, baik sanksi berupa sosial dalam masyarakatnya atau sanksi
berupa denda (passala) yang berdasarkan hukum adat setempat, maupun sanksi
masyarakat dengan cara pengusiran (nipatoppangi butta) dari kawasan adat
Kajang.
Dalam penegakan supremasi hukum yang ada kaitannya dengan pengrusakan
hutan adat di dalam kawasan adat Kajang, para pemangku adat sebagai penegak
hukum adat (ada’ tanayya), yang terdiri atas Ammatoa,Karaeng Labbiriya,
Angrongta Ri Bungkina, Angrongta Ri Pangi, Ada’ Limayya ri Tana Kekeya dan
Ada’ Limayya ri Tana Lohea, telah diberikan wewenang khusus untuk mengadili
setiap pelanggaran dan atau pengrusakan lingkungan (hutan). Besar kecilnya
hukuman yang ada ditentukan melalui suatu pengadilan adat (abborong ada’) yang
menghadirkan tersangka dan seluruh masyarakat adat untuk menyaksikan
jalannya sistem peradilan adat tersebut.
Adapun jika betul-betul terjadi suatu pelanggaran adat di kawasan adat berupa
pencurian kayu atau penebangan pohon tersebut, maka para penjaga hutan atau
warga masyarakat yang mengetahuinya segera melaporkan kejadian itu kepada
Galla’ Puto, kemudian diteruskan kepada Ammatoa. Namun, sebelum penjaga
hutan melaporkan kejadian itu kepada Gallak Puto, akan lebih duluan diketahui
oleh Ammatoa. Ini menunjukkan bahwa Ammatoa mempunyai kelebihan-
kelebihan atau kemuliaan tersendiri diantara warga masyarakat adat Kajang
lainnya, sehingga dapat meramalkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam
kawasan adat tersebut. Sehubungan dengan adanya laporan kejadian tentang
pencurian atau penebangan pohon didalam kawasan tersebut, maka selanjutnya
Ammatoa segera memanggilnya untuk menghadap di meja peradilan adat Kajang
yang dihadiri oleh Ammatoa ri Kajang dan pemangku-pemangku adatnya untuk
mempertanggung jawabkan segala bentuk perbuatannya. Di tempat inilah
tersangka diadili dan ditentukan nasibnya, apakah dikenakan sanksi adat berupa
denda, pengusiran ataukah ia dibebaskan saja dengan syarat-syarat tertentu.
Adapun terkati kasus yang penulis angkat diawal telah diputusakn oleh
Ammatoa langsung bahwa yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa denda
yang disebut cappa babbalak, yaitu sebesar Rp. 4.000.000,- atau dan satu gulung

13
kain putih. Sedangkan pohon yang ditebangnya tidak diizinkan untuk diambil,
melainkan dibiarkan tergeletak ditempat penebangannya sampai lapuk, karena
dikhawatirkan apabila pohon kayu tebangan dapat diambil, baik oleh pelaku
maupun orang lain akan menimbulkan keinginan untuk berbuat yang sama. Hal
tersebut dapat saja terjadi, bilamana denda dengan taksiran harga kayu hasil
tebangan jauh berbeda.
Pada umumnya pohon kayu yang ada di dalam hutan sudah berusia tua, besar
dan tinggi, sehingga nilai jualnya akan sangat tinggi bila dibandingkan dengan
denda yang dijatuhkan oleh Ammatoa. Untuk menghindari kemungkinan yang
demikian, maka dengan membiarkan kayu hasil tebangan tergeletak begitu saja di
tempat penebangannya, dan diharapkan akan menghindarkan masyarakat
mengulangi perbuatan yang sama. Setelah yang bersangkutan nipallangga (diberi
nasehat) oleh Ammatoa agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, maka yang
bersangkutan dipersilahkan pulang. Mengenai uang denda yang disebut
pandingingi pakrasangang (pendingin negeri), oleh Ammatoa dibagi sama rata
kepada semua yang hadir, tidak terkecuali dan anak-anak pun mendapat bagian.
Hanya saja Ammatoa sendiri yang tidak memperoleh bagian dari uang denda itu,
kecuali denda yang berupa kain putih segulung untuk Ammatoa. Pembagian uang
denda kepada seluruh yang hadir, dimaksudkan untuk menanamkan tanggung
jawab kepada setiap warga masyarakat, sehingga secara bersama-sama menjaga
hutan dari orang-orang yang bermaksud jahat.
Sanksi yang dijatuhkan oleh Ammatoa adalah berdasarkan ketentuan Pasang,
namun denda yang berupa uang dan kain putih merupakan kesepakatan bersama
yang dihasilkan melalui musyawarah abborong. Selain sanksi-sanksi tersebut,
masih ada hukuman tambahan atas pencurian kayu, berupa kewajiban untuk
mengembalikan batang pohon curian itu (kalau sudah terlanjur diambil), dahan,
ranting dan daunnya di simpan ke tempat pohon itu yang ditebang demikian juga
pencurian lainnya seperti pencurian ternak, kendaraan dan lain-lain yang terjadi
dalam kawsan adat akan diadili oleh pengadilan adat kajang dan diberikan sanksi

14
menurut pasang, berat dan ringannya sanksi itu ditentukan dalam pengadilan adat
yang dihadiri oleh pemangku adat dan tokoh masyarakat.8

8
Bohe Amma, (73 tahun) Pemangku adat, Wawancara, Tanah Towa, 12 Desember 2016 dalam
(http://repositori.uin-alauddin.ac.id)

15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pembuktian tindak pidana pencurian di kawasan adat ammatoa
apabila pelakunya tidak diketahui akan dilakukan beberapa ritual atau upacara,
yang pertama Patunra (di sumpah) di lakukan ketika ada orang yang dicurigai,
orang yang dicurigai dipanggil oleh Ammatoa untuk ditanyakan dan Ammatoa
dalam hal ini mempunyai kelebihan untuk membaca tingkah orang yang
berbohong, Ammatoa dalam memberikan pertanyaan melihat gerak-gerik ketika
orang itu di tanya dan ketika Ammatoa melihat ada kebohongan yang di
sembunyikan oleh orang yang dicurigai dan tidak mau mengaku maka barulah
orang tersebut akan disumpah. Kemudian yang kedua Tunu Panroli (bakar
linggis) upacara ini dilaksanakan untuk membuktikan pelaku pencurian, semua
orang yang dicurigai dan seluruh masyarakat adat di kumpulkan dan Setiap
orang yang hadir diharuskan memegang linggis yang sudah dibakar hingga
merah membara dan yang ketiga Attunu Passau Pelaksanaan Maksud dari
pelaksanaan upacara attunu passauk ini, adalah agar pelaku yang tidak mengakui
perbuatannya, yaitu mencuri di dalam kawasan adat mendapat hukuman
langsung dari Turi’e’ A’ra’na berupa musibah yang bisa terjadi secara beruntun.
Musibah itu bukan hanya bagi si pelaku, tetapi dapat juga terjadi pada
keluarganya terutama keturunannya.
Sedangkan untuk jenis pelanggaran yang terdapat dalam hukum adat kajang
berkaitan dengan pencurian yaitu dibagi menjadi 3 kategori yaitu :
1. Pelanggaran berat, istilah lokalnya pokok babbalak (pangkal cambuk)
dengan denda sebesar 12 Real atau ketika dirupiahkan Rp. 12.000.000,
ditambah dengan satu gulung kain putih bagi orang yang beragama
Islam.
2. Pelanggaran sedang, yaitu Tanga babbalak (tengah cambuk) dengan
denda sebanyak 8 Real atau ketika dirupihkan Rp. 80.00.000, ditambah
dengan kain putih satu gulung.
3. Pelanggaran ringan, yaitu hukuman yang disebut Cappa babbalak dengan
denda sebanyak 6 Real atau ketika dirupiahkan Rp. 6.000.000, ditambah
dengan satu gulung kain putih.

16
Adapun dalam penyelesian delik adatnya jika pelaku suddah diketahui maka
Ammatoa segera memanggilnya untuk menghadap di meja peradilan adat Kajang
yang dihadiri oleh Ammatoa ri Kajang dan pemangku-pemangku adatnya untuk
mempertanggung jawabkan segala bentuk perbuatannya. Di tempat inilah
tersangka diadili dan ditentukan nasibnya, apakah dikenakan sanksi adat berupa
denda, pengusiran ataukah ia dibebaskan saja dengan syarat-syarat tertentu.
B. Saran
Ammatowa selaku pimpinan adat di kawasan adat Ammatoa Kecamatan
Kajang Kabupaten Bulukumba dalam memutuskan perkara pencurian hendaklah
berdasarkan Pasang dan mengutamakan pula hasil musyawarah pengadilan adat
tanpa mengabaikan keadilan yang selama ini di anggap patokan turun temurun dari
nenek moyang mereka.

17

Anda mungkin juga menyukai