Anda di halaman 1dari 6

Sengketa Indonesia-Australia di WTO terkait Bea Masuk

Kertas A4

Latar Belakang
Kinerja Ekspor Produk Kertas Fotokopi A4 Nilai ekspor kertas fotokopi A4
Indonesia ke dunia pada periode 2013-2017 stabil atau tidak mengalami banyak
pergerakan dengan rata-rata nilai ekspor sebesar 1,05 miliar dolar AS. Pada periode
Januari-September 2018, nilai ekspor mengalami peningkatan sebesar 26,05 persen
atau menjadi USD 978 juta dari tahun sebelumnya sebesar 776 juta dolar AS.
Kinerja ekspor kertas fotokopi A4 dari Indonesia ke Australia pada periode 2013-
2017 bergerak positif sebesar 23,22 persen dengan nilai ekspor tertinggi pada tahun
2016 sebesar 34,34 juta dolar AS.
Sejak dikenakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) oleh Australia pada 20
April 2017, kinerja ekspor kertas fotokopi A4 dari Indonesia ke Australia pada 2017
menurun drastis sebesar 42,56 persen dari tahun sebelumnya menjadi 19,7 juta
dolar AS. Penurunan ini juga terlihat pada periode Januari-September 2018 yang
turun sebesar 36,80 persen atau menjadi 9,47 juta dolar AS dibandingkan periode
yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 14,98 juta dolar AS. Direktur
Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menambahkan, penurunan kinerja ekspor
kertas fotokopi A4 ke Australia akibat pengenaan BMAD tersebut telah menjadi
salah satu faktor tergesernya posisi negara tujuan ekpor kertas fotokopi A4
Indonesia dari posisi lima besar menjadi 25 pada tahun ini. Lantaran itu, jika
interprestasi dan aplikasi menggunakan PMS oleh Australia untuk menetapkan
besaran margin dumping ini dibenarkan maka akan mengancam akses pasar ekspor.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo
melaporkan Australia ke World Trade Orfanization (WTO) dengan misi utama
membuka kembali akses pasar produk kertas fotokopi A4 dari Indonesia yang saat
ini dikenakan Bea Masuk Anti-Dumping berkisar antara 12,6-33 persen di Australia.
Permasalahan utama yang digugat Indonesia adalah tuduhan Australia yang muncul
di dalam final report bahwa terdapat situasi Particular Market Situation (PMS) di
industri kertas Indonesia yang menyebabkan harga bubur kertas sebagai bahan
baku kertas terdistorsi. Australia mendasari temuan adanya PMS dengan adanya
intervensi Pemerintah Indonesia dalam bentuk kebijakan-kebijakan di industri
kehutanan. Terkait tuduhan Australia, Kemendag telah melakukan sosialisasi
kepada stakeholders kayu dan produk kayu mengenai adanya ancaman tuduhan
yang sama. Tuduhan Australia itu merupakan replikasi tuduhan Amerika Serikat
(AS). Australia menilai kondisi PMS ini mengizinkan otoritas penyidik untuk
menggantikan data biaya produksi dan penjualan produsen/eksportir dengan tolok
ukur harga dari luar negeri (out-of-country benchmark). Dengan demikian, harga di
dalam negeri (normal value) akan melambung dan menyebabkan terbentuknya
margin dumping yang menyebabkan adanya perbandingan antara harga domestik
dengan harga ekspor.
Menurut Australia, otoritas penyidik dapat tidak mengenakan aturan lesser
duty atau pengenaan tingkat bea masuk anti-dumping dengan besaran (level) yang
lebih kecil dari margin dumping yang ada. Sepanjang besaran tersebut dianggap
proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor
produk dumping. Sebaliknya, bagi Indonesia, tuduhan ini sangat tidak adil. Dalam
upaya pembelaan pada tahap investigasi. Pemerintah menyampaikan sanggahan
terkait PMS ini lewat surat tingkat Menteri, hingga melayangkan gugatan ke
pengadilan domestik Australia, yaitu Anti-Dumping Review Panel (ADRP). Namun,
meski berbagai upaya telah dilakukan, Indonesia belum menemukan hasil yang
memuaskan sehingga diputuskan untuk menaikkan sengketa ke tingkat WTO.
Langkah ini telah menarik banyak perhatian negara lain baik negara maju maupun
negara berkembang, terbukti dengan keikutsertaan sejumlah negara seperti
Thailand, Singapura, Ukraina, Vietnam, AS, Kanada, China, Rusia, Jepang, Uni
Eropa, India, Israel dan Mesir sebagai third party dalam sengketa ini. Terdapat
pihak-pihak yang ingin mulai menerapkan metode yang sama dengan Australia da
nada pihak lain yang mengalami hal serupa dengan Indonesia.

Rumusan Masalah
1. Apakah tindakan yang dilakukan Australia dalam menerapkan BMAD telah sesuai
dengan kode etik perdagangan internasional?
2. Apakah tindakan Indonesia dalam melaporkan Australia ke WTO telah tepat
dilakukan?
Pembahasan
Dalam konteks perdagangan internasional, “dumping” terjadi ketika barang-
barang dijual di pasar luar negeri dengan harga lebih rendah daripada harga pasar
domestik, dikenal juga sebagai “nilai normal”. Penghitungan nilai normal ini
menentukan adanya dumping atau tidak, seberapa besar dumping tersebut, dan bea
anti-dumping yang harus ditarik sebagai akibatnya. Pada April 2017, pemerintah
Australia menerapkan bea anti-dumping terhadap kertas A4 yang diimpor dari
Indonesia. Ini terjadi sesudah Komisi Anti-Dumping Australia menemukan bahwa
pengekspor dari Indonesia menjual kertas A4 dengan harga “dumping”. Kondisi ini
dikenal sebagai “situasi pasar tertentu” (particular market situation), sebuah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan praktik negara-negara yang melakukan
distorsi harga barang-barang yang mereka ekspor.
Tindakan Australia dalam menerapkan BMAD tidak melanggar kode etik
perdagangan internasional. Tindakan Australia ini dilakukan untuk melindungi
industri lokal. Tindakan ini merupakan tindakan legal yang diizinkan di bawah aturan
WTO. Namun, yang menjadi permasalahan adalah cara keputusan ini dibuat. WTO
memang mengizinkan negara anggota untuk menindak dumping, tetapi WTO belum
mengatur bagaimana keputusan tersebut dibuat.
Dalam kasus ini, Australia menentukan batasan harga yang merefleksikan
nilai asli barang dalam pasar global, sehingga nilai ini akan menggantikan harga
yang terdistorsi dengan harga pasar yang kompetitif. Komisi Anti-Dumping Australia
tidak mengindahkan biaya asli bubur kertas yang harus dibayar produsen Indonesia
dan malah menggunakan harga batasan untuk menentukan nilai normal. Australia
mendasari temuan adanya PMS dari intervensi Pemerintah Indonesia dalam bentuk
kebijakan-kebijakan di industri kehutanan, khususnya kebijakan pelarangan ekspor
kayu bulat yang diduga memberi subsidi industri kertas dengan membuat pasokan
kayu bahan baku kertas melimpah sehingga harganya menjadi rendah. Tetapi, jika
semua intervensi Pemerintah otomatis dianggap sebagai PMS, maka tentunya hal
ini akan menimbulkan kontroversi. Implementasi PMS yang dilakukan Indonesia
sejauh ini masih belum bisa memenuhi kriteria sebagai intervensi yang
menyebabkan distorsi, seperti interpretasi Australia terhadap Indonesia.
Australia sebagai negara yang banyak menerapkan nilai-nilai kapitalisme,
dalam kasus ini juga menerapkan nilai-nilai sosialisme. Australia menerapkan BMAD
dengan tujuan untuk mendapatkan laba yang lebih dari produk impornya (nilai
kapitalisme) dan penerapan ini juga dilakukan untuk memberikan keadilan bagi
industri lokal (nilai sosialisme). Dalam penerapan BMAD, Australia mendasarkannya
pada harga batasan nilai normal yang ditetapkan, di mana hal ini sarat akan nilai
sosialis. Penerapan nilai-nilai Islam kurang tercerminkan dalam kasus ini. Indonesia
sebagai lawan sengketa dalam hal ini juga banyak menerapkan nilai-nilai kapitalisme
dan sosialisme. Keinginan Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor mengandung
nilai kapitalisme, namun intervensi pemerintah dalam pembuatan kebijakan
mengandung nilai sosialisme.
Tindakan Indonesia melaporkan kasus ini ke WTO sangatlah tepat.
Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini,
mulai dari menyampaikan sanggahan lewat surat tingkat Menteri, hingga
melayangkan gugatan ke pengadilan domestik Australia. Namun, Indonesia belum
menemukan hasil yang memuaskan sehingga diputuskan untuk menaikkan
sengketa ke tingkat WTO. WTO sebagai organisasi internasional yang mengatur
perdagangan internasional merupakan pihak akhir yang diharapkan Indonesia dapat
memediasi hal ini, karena sengketa yang terjadi adalah terkait perdagangan
internasional dan negara yang terlibat (Indonesia dan Australia) merupkan anggota
dari WTO.
Kemendag optimistis memenangkan gugatan, sehingga Indonesia dapat
membuka kembali akses pasar produk kertas di Australia. Kementerian
Perdagangan (Kemendag) masih memantau hasil akhir keputusan panelis Badan
Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) WTO dalam sengketa
penerapan bea masuk antidumping untuk produk kertas fotokopi A4 di Australia.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati mengatakan, sengketa
yang telah berjalan sejak September 2017 kini telah memasuki babak akhir. Ia
mengaku optimistis, gugatan-gugatan Indonesia dapat dimenangkan para panelis
dan dapat membuka kembali akses pasar produk kertas Indonesia di Australia.
Hambatan ekspor produk kertas Indonesia, yakni kebijakan anti-dumping
juga terjadi di beberapa negara tujuan ekspor lain seperti Amerika Serikat, Pakistan,
Australia, India, dan Korea Selatan. Namun ada berita baik yaitu Otoritas
perdagangan Korea Selatan (Korea Trade Commission/KTC) mengumumkan bahwa
produk kertas berjenis uncoated paper asal Indonesia kini telah terbebas dari bea
masuk antidumping (BMAD). Menurut KTC, kertas asal Indonesia tersebut tak
menyebabkan kerugian material terhadap industri domestik Korea Selatan.
Penyelidikan anti-dumping oleh Korea Selatan telah dimulai sejak Oktober
2018. Produk kertas yang jadi objek penyelidikan Otoritas Korea yaitu kertas tidak
dilapisi dengan berat antara 60-150 gram per 1 meter persegi, termasuk kertas
ukuran A3, A4, B4, dan B5. Sebelumnya, penyelidikan yang dikeluarkan KTC pada
Februari 2019 merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping Sementara
(BMADS) terhadap importasi kertas asal Indonesia sebesar 3-7 persen. Namun,
Kementerian Ekonomi dan Keuangan Korea Selatan kemudian memutuskan
menghentikan penyelidikan anti-dumping dan tidak menerapkan BMADS. Hal
tersebut lantaran WTO Anti-Dumping Agreement mengatur bahwa suatu negara
diperbolehkan menerapkan bea masuk tambahan kepada produk-produk impor
apabila ditemukan adanya importasi yang mengandung dumping dan menyebabkan
kerugian material bagi industri dalam negeri. Jadi, secara garis besar terdapat tiga
komponen yang harus dipenuhi pihak otoritas, yaitu adanya dumping, kerugian
material, serta ada hubungan sebab akibat di antara keduanya. Dalam kasus ini,
tidak satu pun komponen-komponen tersebut ditemukan dalam penyelidikan. Data
BPS menunjukkan, nilai ekspor Indonesia ke Korea Selatan untuk produk kertas
yang diselidiki mencapai sebesar 63,8 juta dolar AS pada 2018. Nilai tersebut
meningkat 131,53 persen dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 27,6 juta dolar
AS. Penyelidikan anti-dumping tersebut sempat membuat kinerja ekspor produk
kertas jenis tersebut terpengaruh pada 2019. Pada periode Januari-Mei 2019,
misalnya, Indonesia membukukan nilai ekspor sebesar 22,9 juta dolar AS atau turun
8,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 25 juta dolar
AS Sementara itu, total perdagangan Indonesia-Korea Selatan pada 2018 sebesar
18,6 miliar dolar AS. Nilai ini meningkat dibandingkan total perdagangan pada 2017
yang tercatat USD 16,3 miliar. Total perdagangan kedua negara pada periode
Januari-Mei 2019 telah mencapai USD 6,9 miliar.
Temuan oleh Korea Selatan ini harusnya dapat menjadi penguat bagi
sengketa Indonesia-Australia, bahwa Indonesia tidak menerapkan “dumping” dan
intervensi yang dilakukan Pemerintah Indonesia dilakukan tidak untuk mendukung
“dumping” melainkan untuk mendukung kekuatan industri lokal di Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan sengketa yang terjadi di antara Indonesia dan Australia maka
dapat disimpulkan bahwa walaupun banyak negara saat ini yang dengan jelas
menyebutkan bahwa mereka menganut nilai kapitalisme, namun negara-negara
tersebut juga tetap menganut nilai sosialisme. Rumitnya proses ekonomi
menyebabkan nilai-nilai ekonomi dapat diterapkan dengan murni. Nilai ekonomi saat
ini sangat dipengaruhi oleh banyak nilai, menjadikannya nilai yang bersifat campuran.
Di negara Barat, banyak negara mengatakan mereka menganut nilai kapitalisme,
namun secara tidak langsung mereka tetap dipengaruhi nilai sosialisme. Di
Indonesia, nilai yang dianut tidak hanya nilai kapitalisme dan sosialisme, ada nilai
ketiga yaitu nilai religiusme, yaitu nilai Islam. Ketiga nilai ini saling berhubungan
dalam membentuk nilai ekonomi Indonesia.
Australia menerapkan BMAD dengan tujuan untuk menguntungkan dan
melindungi negaranya sendiri, begitu pula dengan Indonesia yang mengajukan
tuntutan. Penting untuk diingat bahwa ekonomi dalam pasar bebas haruslah
didasarkan pada keadilan dan kerjasama. Sengeketa antara Indonesia dan Australia
diharapkan dapat memberikan hasil yang adil dan dapat menumbuhkan kerjasama
antara kedua negara.

DAFTAR PUSTAKA
Friana, Hendra. 2018. Indonesia Gugat Australia di WTO atas Bea Masuk Kertas A4.
https://tirto.id/indonesia-gugat-australia-di-wto-atas-bea-masuk-kertas-a4-dcg6.
Diakses tanggal 14 Oktober 2019 pukul 18:23.
Friana, Hendra. 2019. Sengketa Kertas di Australia, Kemendag Optimis Menang.
https://tirto.id/sengketa-kertas-di-australia-kemendag-optimistis-menang-eeTs.
Diakses tanggal 14 Oktober 2019 pukul 18:37.
Friana, Hendra. 2019. Korsel Putuskan Produk Kertas RI Bebas Bea Masuk Anti-
Dumping. https://tirto.id/korsel-putuskan-produk-kertas-ri-bebas-bea-masuk-anti-
dumping-eeSS. Diakses tanggal 14 Oktober 2019 pukul 18:51.
Zhou, Weihuan. 2017. Indonesia Menantang Taktik Anti-Dumping Australia di WTO.
http://theconversation.com/indonesia-menantang-taktik-anti-dumping-australia-
di-wto-84288. Diakses tanggal 15 Oktober 2019 pukul 12:17.

Anda mungkin juga menyukai