Disusun oleh:
195010107111002
35
Namun, bagi Indonesia tuduhan ini dianggap sebagai tuduhan yang tidak adil dan
merugikan Pemerintah Indonesia. Sehingga Indonesia melayangkan surat terkait PMS
ini dari Menteri Luar Negeri ke Anti-Dumping Review Panel sebagai pengadilan domestik
Australia. Namun, dalam upaya Pemerintah melalui pengadilan tersebut tidak
memberikan hasil yang signifikan. Pemerintah Indonesia lantas menaikkan sengketa ini
ke World Trade Organization untuk dapat menengahkan sengketa ini.
Nilai ekspor kertas fotokopi A4 Indonesia ke dunia pada periode 2013—2017 stabil
atau tidak mengalami banyak pergerakan dengan rata-rata nilai ekspor sebesar 1,05
miliar dolar AS. Pada periode Januari—September 2018, nilai ekspor mengalami
peningkatan sebesar 26,05 persen atau menjadi USD 978 juta dari tahun sebelumnya
sebesar 776 juta dolar AS. Kinerja ekspor kertas fotokopi A4 dari Indonesia ke Australia
pada periode 2013—2017 bergerak positif sebesar 23,22 persen dengan nilai ekspor
tertinggi pada tahun 2016 sebesar 34,34 juta dolar AS. Sejak dikenakan Bea Masuk Anti
Dumping (BMAD) oleh Australia pada 20 April 2017, kinerja ekspor kertas fotokopi A4
dari Indonesia ke Australia pada 2017 menurun drastis sebesar 42,56 persen dari tahun
sebelumnya menjadi 19,7 juta dolar AS. Penurunan ini juga terlihat pada periode
Januari—September 2018 yang turun sebesar 36,80 persen atau menjadi 9,47 juta dolar
AS dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 14,98 juta
dolar AS.
B. Sumber Hukum
Sumber hukum yang dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa ini adalah
berdasarkan kepada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT/WTO) dan juga ada
dasar hukum Anti-Dumping Code 1994. Sementara dalam kasus ini hanya kedua
konvensi tersebut yang dijadikan sebagai dasar hukum. Karena, dalam kasus ini tuduhan
terkait dengan Particular Market Situation (PMS) adalah kasus sengketa yang pertama
dalam WTO. Jadi belum ada yurisprudensi yang dijadikan acuan dasar hukum. Dalam
GATT/WTO sendiri pengaturan terkait dengan PMS masih minim dan bahkan belum ada.
Oleh karena itu, dalam kasus sengketa ini merupakan kasus dimana hukum terkait
dengan PMS akan mulai diatur melalui yurisprudensi.
C. Subjek Hukum
Subjek hukum yang bersengketa dalam kasus ini ada dua, yaitu terdiri dari
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia. Kedua pihak ini dapat dikategorikan
sebagai subjek hukum, karena keduanya merupakan sebuah entitas negara. Dimana,
Negara sendiri merupakan salah satu dari enam subjek hukum internasional. Kedua
pihak ini juga merupakan anggota dari Perjanjian Anti-Dumping World Trade
Organization atau lebih dikenal sebagai General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT/WTO). Dalam kasus ini Negara tidak mewakilkan perusahaan manapun. Karena,
sengketa perdagangan ekspor kertas ini timbul dari Australia yang mempermasalahkan
kebijakan-kebijakan dari Pemerintah Indonesia untuk memberikan subsidi terhadap
Pabrik Kertas domestik serta kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat yang digunakan
sebagai bahan baku dari produksi kertas fotocopy A4. Sedangkan Pemerintah Indonesia
menganggap bahwa Pemerintah Australia mengenakan Bea Masuk Anti-Dumping yang
tinggi, sehingga menurunkan tingkat penjualan kertas A4 Indonesia kepada Australia.
Dalam penyelesaian sengketa kasus Indonesia dan Australia ini, hukum yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa adalah sistem hukum yang didasarkan kepada
konvensi dari World Trade Organization atau General Agremeent of Tariffs and Trade.
Sistem hukum ini dipilih karena Indonesia menduga bahwa kebijakan Pemerintah
Australia telah melanggar Pasal 2.2 dan 2.2.3.3 dari General Agreement of Tariffs and
Trade (GATT/WTO). Jadi sistem hukum yang dipilih bukan berdasarkan sistem hukum
dari salah satu negara tergugat maupun penggugat. Hal ini didasari dengan Asas Pacta
Sunt Servanda Dimana kedua negara ini telah sama-sama meratifikasi konvensi
GATT/WTO ini. Jadi kedua belah pihak negara memiliki kekuatan hukum yang mengikat
untuk tunduk dan dapat diadili dengan berdasarkan konvensi ini.
F. Daftar Pustaka