Anda di halaman 1dari 17

Gugatan Pemerintah Indonesia kepada WTO terhadap

kebijakan Pemerintah Australia dalam kemasan polos pada


bungkus rokok.

Tugas UAS Perdagangan Internasional

17.00

BAB I

A. LATAR BELAKANG
Sebagaiman yang kita ketahui Indonesia adalah salah satu negara
pengekspor tembakau berbentuk rokok untuk Australia. Baru baru ini Pemerintah
Indonesia dan negara lain seperti Kuba, Honduras, dan Republik Dominika
mengajukan gugatannya kepada World Trade Organization atau (WTO) atas
kebijakan yang dikeluarkan oleh Australia terhadap ekspor rokok dimana setiap
rokok yang masuk ke Australia harus dalam bentuk kemasan polos atau plain
packaging. Kebijakan Pemerintah Australia melanggar hak cipta dan kekayaan
intelektual, plus melanggar merek dagang tembakau. Selain itu bagi kelima negara
tersebut kebijakan kemasan polos menghambat perdagangan rokok dan tembakau,
serta menimbulkan kerugian materiil maupun imateriil dari kebijakan tersebut.
Namun gugatan yang diajukan oleh Indonesia sangat lemah dan bisa menjadi
boomerang tersendiri untuk Indonesia. Pasalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh
Australia dalam plain packaging adalah kebijakan nasional Australia sendiri dalam
melindungi masyarakatnya dari dampak buruk merokok. Jika rokok dikemas
dengan keadaan polos, ini akan membuat konsumen pemula maupun aktif merasa
bingung untuk mengkonsumsi rokok dan mengakibatkan tidak membeli. Tetapi
Indonesia sendiri mengklaim dengan adanya merek dan sebagainya, konsumen
dapat mengetahui informasi dan pilihan dari rokok tersebut. Selain itu ternyata
sebagian orang di Indoneisa tidak setuju dengan pengajuan gugatan terkait hal ini,
sebagian berpendapat bahwa Indonesia tidak akan menang dalam gugatan tersebut
dan hanya akan menghabiskan dana yang sia-sia. Akan lebih baik bagi pemerintah
memberikan dukungan bagi industri tersebut dengan memperbaiki regulasi yang
berkaitan dengan IHT, memperbaiki struktur industri agar bisa bersaing di pasar
internasional, menyediakan subsidi untuk petani tembakau agar harga bisa
bersaing dengan tembakau impor asal Tiongkok.

B. Perumusan Masalah

Kesimpulan yang dapat ditarik sebagai Gugatan Pemerintah Indonesia kepada


WTO terhadap kebijakan Pemerintah Australia dalam pengharusan kemasan polos
pada bungkus rokok, yang dapat memberikan arah pada studi yang akan dilakukan
adalah mempertanyakan keberhasilan dari tujuan tersebut. Secara spesifik dapat
dikemukaakan beberapa (sub) permasalahan sebagai berikut:
(a). Apa yang akan dilakukan Pemerintah dalam menghadapi kebijakan ini?
(b). Lalu bagaimanakah tuntutan dari Honduras dan Republik Dominika, apakah
cukup membantu Indonesia?
(c). Dan mengapa Australia dapat memenangkan gugatan atas Indonesia ini?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan
a. Untuk mengetahu bagaimana sikap Pemerintah dalam menghadapi
kebijakan ini.
b. Untuk menjelaskan kebijakan yang dikeluarkan oleh Australia.
c. Untuk menganalisis tuntutan yang digugat oleh Indonesia terhadap
Kebijakan Australia.
2. Manfaat
a. Mengetahui apa yang dilakukan Pemerintah Indoensia dalam menghadapi
kebijakan Australia.
b. Mengetahuai bagaimana kebijakan Australia.
c. Memperluas wawasan pembaca tentang WTO.
d. Melalui skripsi ini pembaca akan mengetahui bagaimana kelanjutan
ekspor tembakau/rokok kepada Australia.

D. Tinjauan Pustaka
hilangnya alat pemasaran dalam kemasan produk rokok. Dengan
diberlakukannya kebijakan kemasan polos melalui regulasi yang mengatur suatu
kemasan maka ke khawatiran dari pihak produsen rokok untuk kehilangan calon
konsumennya. Hal ini dikemukakan oleh the Alliance of Australian Retailers (AAR) yang
menolak kebijakan tersebut. AAR menyatakan bahwa dengan hadirnya kebijakan
kemasan polos maka akan menghilangkan branding dalam periklanan produk, dan hal
tersebut akan mengurangi perokok pemula. Selain itu AAR membantah argumen
mengenai kemasan polos akan mencegah dari perokok, namun tidak mencegah dari
perokok pada anak-anak yang memiliki kecenderungan ingin mencoba hal baru. (Gage,
S. 2017. Will plain packaging of cigarettes work? A look at the current evidence. The
Guardian)
Kita tahu bahwa pengemasan tetap menjadi salah satu alat pemasaran ampuh
terakhir bagi perusahaan tembakau untuk merekrut perokok baru ke produk mereka
yang mematikan, tetapi sekarang paket rokok hanya akan berfungsi sebagai pengingat
nyata akan dampak buruk merokok bagi kesehatan. (Hon Nicola Roxon MP, 1 Year for Big
Tobacco to Get Plain Packs Into Gear Media Release, 1 December 2011, accessed 15
December 2011)
Panel menunjuk pada bukti bahwa “prevalensi merokok secara keseluruhan di
Australia terus menurun setelah diperkenalkannya langkah-langkah [pengemasan
biasa],” dan bahkan telah mengalami penurunan yang cepat. Hal ini juga
mengidentifikasi penurunan cepat penjualan rokok yang serupa secara keseluruhan
setelah penerapan langkah-langkah tersebut. (Matthew Rimmer, Professor of Intellectual
Property and Innovation Law, Faculty of Law, Queensland University of Technology
(QUT), Brisbane, Australia; Plain packaging of tobacco products: landmark ruling)
E. Kerangka Pemikiran
Menurut Joshua Goldstein mengatakan bahwa pengertian Kebijakan Luar Negeri
adalah kebijakan luar negeri adalah strategi-strategi yang diambil oleh pemerintah dalam
menentukan aksi mereka di dunia internasional. Sedangkan menurut K.J. Holsti,
kebijakan luar negeri adalah tindakan atau gagasan yang dirancang untuk memecahkan
masalah atau membuat perubahan dalam suatu lingkungan. Tiap negara memiliki
perbedaan tujuan kebijakan luar negerinya. Namun, negara mengeluarkan kebijakannya
untuk memenuhi dan mencapai kepentingan pribadi maupun kolektifnya. Pada
umumnya kebijakan luar negeri suatu negara dilakukan agar dapat mempengaruhi
terhadap negara lain, menjaga keamanan nasional, memiliki prestise, serta benefit
untuk negaranya. Mereka bertindak berdasarkan sumber daya yang ada. Menurut
Rosenau tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses
dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat
dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. KJ. Holsti membagi tujuannya
menjadi tiga kriteria utama, sebagai berikut:

1. Nilai, yang diletakkan pada tujuan negara, sebagai faktor utama mendorong
pembuat kebijakan, hal itu dilakukan berdasarkan sumber daya yang dimiliki
untuk mencapai tujuan.

2. Unsur Waktu, jangka waktu untuk mencapai tujuan.

3. Jenis tuntutan tujuan, negara tujuan akan dibebankan dari negara yang
mengeluarkan kebijakan luar negeri

World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi


internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun
1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan
disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen.
Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang
dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya. Pengambilan
keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh
negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri
(KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-
kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di
bawahnya terdapat badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-
komite yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-
perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar WTO
adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas
"Most-Favored-Nation principle" (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan
di antara negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua
kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional
dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan
mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan
kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan
stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan
kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi setiap negara anggota.
(https://kemlu.go.id/portal/id/read/133/halaman_list_lainnya/world-trade-
organization-wto)

Tujuan dan fungsi WTO

WTO memiliki tujuan penting, yaitu:

1. Mendorong arus perdagangan antar negara dengan mengurangi dan


menghapus berbagai hambatan yang dapat menganggu kelancaran arus
perdagangan barang dan jasa.

2. Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang


lebih permanen.

3. Penyelesaian sengketa dagang antar negara.

Keberhasilan implementasi persetujuan-persetujuan dalam WTO tergantung pada


dukungan negara anggotanya.

Adapun fungsi utama dari WTO adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan kerangka kelembagaan bagi hubungan perdagangan


antar anggota dalam implementasi perjanjian dan berbagai instrumen
hukum termasuk yang terdapat didalam Annex persetujuan WTO.
2. Untuk memberikan suatu forum tetap, guna melakukan perundingan di
antara negara anggota. Mencakup isu-isu yang terdapat maupun belum
terdapat dalam persetujuan WTO.

Berdasarkan Pasal III Persetujuan WTO ditegaskan 5 fungsi yaitu:

1. Implementasi dari persetujuan WTO

2. Forum untuk perundingan perdagangan

3. Sebagai administrasi sistem penyelesaian sengketa WTO.

4. Mekanisme tinjauan atas kebijakan perdagangan.

5. Melakukan kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional dan


organisasi-organisasi non-pemerintah.

F. Asumsi dan Hipotesis.

1. Asumsi.

Australia kebijakannya disini sangatlah bagus karena kebijakannya dimana


Australia bertujuan untuk melindungi masyarakatnya dari bahaya
merokok, maka dari itu dibuatlah plain packaging. Tetapi disini sangat
berbenturan dengan kepentingan Indoensia dalam hak cipta rokok yang
diekspor ke Australia

2. Hipotesis.

Australia dapat memenangkan gugatan ini, karena kebijakannya disini


adalah untuk kepentingan bersama yaitu menjaga masyarakat Australia
dari bahaya merokok.

G. Model Analisis.

Unit Analisis

Gugatan Pemerintah Indonesia kepada WTO terhadap kebijakan


Pemerintah Australia dalam pengharusan kemasan polos pada
bungkus rokok.
Fenomena yang diteliti

Australi digugat oleh Indonesia ke WTO Karena kebijakannya


mengharuskan ekspor rokok dengan kemasan polos produsen tembakau
di Indonesia merasa rugi.

DEFINISI KONSEPTUAL

Organisasi Internasional
H. Metode Penelitian
Kebijakan Luar
Dalam penelitian ini Negeri
metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
deskriptif. Metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan
sejumlah data, baik yang tertulis maupun lisan dari orang-orang serta tingkah laku yang
diamati. Dalam hal ini individu atau organisasi harus dipandang sebagai bagian dari suatu
keseluruhan. Artinya tidak boleh diisolasikan ke dalam variabel atau hipotesis. Eriyanto
mengutip pendapat Cresswell, ada beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu
pertama, penelitian kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil. Kedua, peneliti
kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat
utama dalam mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun
langsung ke lapangan, melakukan observasi pertisipasi di lapangan. Keempat, peneliti
kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian, interpretasi
data dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar. Dalam pendekatan
kualitatif, penelitian dapat dilakukan dalam tiga tahap utama, yaitu (1) Pengumpulan
Data (Data Collective); (2) Pengolahan Data Data Analysis); dan (3) Laporan Penelitian
(Report Writing).

Penggunaan metode kualitatif menjadi penulis dalam melakukan penelitian karena


penulis menilai fenomena ini dapat diangkat menjadi bagian dari pelaksanaan
diplomasi. Selain itu, berdasarkan penjelasan Neuman bahwa penelitian kualitatif
cenderung lebih terbuka untuk menggunakan variasi bukti dan pengungkapan isu-isu.
Untuk itulah penulis memilih metode kualitatif dalam penelitian mengingat pembahasan
butuh gambaran yang jelas dalam memahami permasalahan yang ada.

Dalam hal ini studi kasus yang dipilih tentunya adalah studi kasus yang kedua yakni studi
kasus kebijakan mengingat peneliti ingin melihat satu kasus ini melalui penggugatan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia menanggapi kebijakan Australia dan
kasus seperti ini hanya salah satu contoh perseteruan bilateral, antar dua negara.
Penelitian ini akan didasarkan pada latar belakang kebijakan Australia sejak diawali 2012
lalu. Sehingga Indonesia menggugat kebijakan tentang kemasan rokok polos, yang
berimbas pada produsen tembakau di Indonesia.

I. Sistematika Penulisan

PEMBAHASAN
Berangkat pada permasalahan tingginya tingkat perokok aktif di Australia
dengan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 sebanyak
17% dari populasi Australia dengan estimasi sebanyak 3,101,000 warga
merupakan perokok aktif. Jumlah tersebut merupakan perhitungan dengan 19%
pria Australia dan 15% wanita dari jumlah keseluruhan penduduk Australia
merupakan perokok aktif (World Health Organization, 2015). Nicola Roxon
Menteri Kesehatan Australia pada tahun 2010 mengusulkan kebijakan yang
meregulasi standarisasi kemasan produk rokok dan produk tembakau menjadi satu
bentuk kemasan yang sama, atau kemasan polos (Chapman & Freeman, 2014, hal.
115). (Journal of International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hal. 499-508,
Kemenangan Australia dalam Tuntutan Anggota WTO Mengenai Kebijakan
Kemasan Polos pada Bungkus Rokok dan Produk Tembaka, Muhammad Azhar
Fahri). Pada saat ini Pemrintahan Australia sedang mengeluarkan kebijakan
ekspor rokok kemasan polos yang masuk ke Australia. Kebijakan ini sendiri
dibuat sebagaimana Pemerintah Australia dengan segala kepentingan nasionalnya
turut menggandeng masyarkat dalam hidup yang sehat serta mencegah dan
mengurangi jumlah konsumen rokok. Pada dasarnya mengapa kemasan dibuat
agar polos karena konsumen akan merasa bimbang dalam memilih rokok mana
yang diinginkan serta disukai oleh konsumen. Jika semua rokok berbentuk polos,
konsumen menjadi sedikit tidak tertarik dalam membeli rokok dan otomatis akan
ada penurunan pembelian atas konsumen rokok. Inilah tujuan utama dari Australia
dalam kebijakan nasionalnya yang mana jika dilihat sebagai strategi yang sangat
bagus. Namun sayangnya ada beberapa negara yang menilai ini sebagai strategi
yang dapat saja merugikan kalangan pengekspor tembakau dan rokok. Salah
satunya Indonesia, dimana Indonesia telah melancarkan gugatan terhadap
Australia karena Indoesia menilai kebijakan Australia dalam pengeksporan rokok
bungkus polos ini akan merugikan dan Pemerintah Indonesia mendalilkan bahwa
kebijakan Pemerintah Australia melanggar hak cipta dan kekayaan intelektual,
plus melanggar merek dagang tembakau. Dengan tidak tahunya konsumen akan
rokok yang mereka konsumsi, Kementrian Perdagangan berpendapat bahwa
konsumen memiliki hak untuk mengetahui produk yang akan dikonsumsi.
Sementara produsen juga berhak menggunakan merek dagangnya di kemasan
rokok dan jika peminatan pada rokok berkurang dan itu akan menurunkan angka
ekspor terhadap tembakau pada Indonesia. Kemendag juga menilai kebijakan
kemasan polos produk rokok Australia bertujuan untuk mengurangi konsumsi
rokok dan pembatasan akses rokok bagi anak muda serta perokok pemula. Tujuan
dari kebijakan Australia tersebut juga sejalan dengan kebijakan yang dilakukan
banyak negara termasuk Indonesia. “Namun kebijakan Australia dalam mencapai
tujuan dari kebijakannya tersebut melalui penerapan kemasan polos produk rokok
dianggap tidak melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas merek dagang
produk rokok yang dimiliki produsen rokok,”. Selain itu kebijakan Australia ini
juga dilihat oleh negara-negara lainnya seperti Honduras, Republik Dominika dan
negara lainnya yang mengekspor tembakau menjadikan ini sebuah kekhawatiran
jika kebijakan Australia ini akan diterapkan terhadap negara-negara lainnya yang
memungkinkan jatuhnya nilai ekspor.
Hal ini dapat merugikan para produsen tersebut dan akan memberi
pengaruh atas kompetisi dagang produk rokok yang dijual di Australia
dikarenakan hilangnya daya pembeda antara produk rokok yang satu dengan
produk rokok lainnya. Kemendag, Bachrul mencatat industri rokok menyumbang
1,66 persen total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia dan devisa negara
melalui ekspor ke dunia yang nilainya pada 2013 mencapai US$ 700 juta. Selain
itu, industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang
bekerja di industri rokok secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta
petani tembakau dan cengkeh.
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150623071140-92-61728/gugat-
kebijakan-kemasan-rokok-australia-bisa-jadi-bumerang-ri)

WTO
World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi
internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun
1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan
disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen.
Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang
dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya. Pengambilan
keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh
negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri
(KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-
kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di
bawahnya terdapat badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-
komite yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-
perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar WTO
adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas
"Most-Favored-Nation principle" (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan
di antara negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua
kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional
dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan
mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan
kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan
stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan
kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi setiap negara anggota.
(https://kemlu.go.id/portal/id/read/133/halaman_list_lainnya/world-trade-
organization-wto)
Tujuan dan fungsi WTO

WTO memiliki tujuan penting, yaitu:

4. Mendorong arus perdagangan antar negara dengan mengurangi dan


menghapus berbagai hambatan yang dapat menganggu kelancaran arus
perdagangan barang dan jasa.

5. Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang


lebih permanen.

6. Penyelesaian sengketa dagang antar negara.

Keberhasilan implementasi persetujuan-persetujuan dalam WTO tergantung pada


dukungan negara anggotanya.

Adapun fungsi utama dari WTO adalah sebagai berikut:

3. Untuk memberikan kerangka kelembagaan bagi hubungan perdagangan


antar anggota dalam implementasi perjanjian dan berbagai instrumen
hukum termasuk yang terdapat didalam Annex persetujuan WTO.

4. Untuk memberikan suatu forum tetap, guna melakukan perundingan di


antara negara anggota. Mencakup isu-isu yang terdapat maupun belum
terdapat dalam persetujuan WTO.

Berdasarkan Pasal III Persetujuan WTO ditegaskan 5 fungsi yaitu:

6. Implementasi dari persetujuan WTO

7. Forum untuk perundingan perdagangan

8. Sebagai administrasi sistem penyelesaian sengketa WTO.

9. Mekanisme tinjauan atas kebijakan perdagangan.

10. Melakukan kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional dan


organisasi-organisasi non-pemerintah.

(https://heerohee.wordpress.com/2016/09/16/15/)
Berdasarkan beberapa poin pertimbangan keuntungan dan resiko yang
diterima oleh Australia maka kebijakan bungkus polos produk rokok dan
tembakau merupakan langkah yang baik bagi Pemerintah Australia. Kepentingan
nasional yang diperjuangkan bukan hanya di dasari dari kebijakan nasionalnya
saja, melainkan melihat adanya potensi dukungan yang tinggi dari WTO dan
anggotanya, sehingga dalam memperjuangkan kebijakannya Australia dapat
menarik negara lain untuk mendukungnya. Namun beberapa negara pengekspor
malah kewalahan, seperti Honduras dan Republik Dominika.
Beberapa tuntutan dalam gugatan ekspor tembakau rokok bungkus polos;
1). Honduras.
Honduras memiliki poin tuntutan dengan penambahan mengenai reputasi
barang dan penyediaan sarana hukum yang baik agar tidak menyesatkan
konsumen di pasar global. Honduras tidak memiliki hubungan dagang produk
rokok dan tembakau dengan Australia, namun terjadi penurunan secara drastis
pada tahun-tahun diperkenalkan kebijakan hingga implementasi dari Pemerintah
Australia. Motif ekonomi dalam kasus ini tidak cukup kuat karena pada pasar
utama Honduras yaitu Amerika Latin tren pasarnya cenderung meningkat.
Berdasarkan data trade map oleh International Trade Center (ITC) menunjukan
bahwa tidak ada nilai perdagangan yang dihasilkan oleh Honduras di bidang
rokok dan produk tembakau dengan Australia (International Trade Center, 2018).
Namun Honduras merupakan produsen dan eksportir rokok terbesar di Amerika
Latin dengan pasar utama Nicaragua, Guatemala, El Salvador, dan Bahama
(Parker, 2009). Motif dari Honduras untuk menghalangi Australia dengan
melayangkan tuntutan melalui DSB WTO didasari pada motif ekonomi yaitu
ekspor produk rokok dan tembakau Honduras. Meskipun tidak memiliki
hubungan dagang pada produk rokok dan tembakau secara langsung dengan
Australia, akan tetapi dampak yang ditimbulkan dari kebijakan Australia
dirasakan oleh Honduras dengan menurunnya tingkat ekspor secara drastis.
Sedangkan pada pasar utama Honduras yaitu negara-negara di Amerika Latin
tidak mengalami penurunan yang drastis bahkan meningkat pada tahun 2011
dengan nilai ekspor 27,293 juta dolar, tahun 2012 senilai 36,323 juta dolar, dan
pada tahun 2013 meningkat sebanyak 4,811 juta dolar dari tahun 2012 yaitu
41,134 juta dolar (International Trade Center, 2018).
2). Indonesia.
Indonesia dalam tuntutannya menegaskan mengenai poin hak dalam merk
dagang atau trademark. Penggunaan merek dagang dimaksudkan untuk
melindungi dari penyalahgunaan informasi yang beredar sehingga dapat merusak
preferensi pasar. Hubungan dagang antara Indonesia dan Australia terkait produk
rokok dan tembakau terpantau naik turun. Kondisi naik turunnya nilai ekspor
Indonesia menurun drastis pada tahun 2010 ke tahun 2011, dimana tahun tersebut
Australia baru memperkenalkan kebijakan kemasan polos. Pada tahun setelahnya
periode 2011 hingga 2013 nilai ekspor Indonesia berada pada kondisi yang
meningkat secara positif, dimana periode tersebut Indonesia mulai menyampaikan
tuntutannya terkait kebijakan kemasan polos Australia. Indonesia dan Kuba
merupakan negara penuntut yang bukan merupakan party dari WHO FCTC
sehingga ketentuan yang ada dapat dibantah oleh Indonesia. Posisi tawar
Indonesia dalam kasus ini berada pada tingkat menengah, di mana Indonesia dapat
melemahkan alasan Australia disatu sisi Indonesia tidak merasakan dampak yang
dihasilkan secara ekonomi dari kebijakan tersebut. ). (Journal of International
Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hal. 499-508, Kemenangan Australia dalam
Tuntutan Anggota WTO Mengenai Kebijakan Kemasan Polos pada Bungkus
Rokok dan Produk Tembaka, Muhammad Azhar Fahri).
Pencapain utama dari Australia adalah memenangkan persidangan WTO
terkait pelanggaran atas TRIPS pada kebijakan kemasan polos. Permasalahan
yang timbul diyakini oleh negara penuntut merasa dirugikan dari kebijakan yang
ditetapkan. Pada hakekatnya terdapat tiga elemen utama dari kemenangan
Australia yakni antara lain: Pertama, posisi tawar Australia yang unggul. Kedua,
memenangkan persidangan melalui DSB WTO. Ketiga, bantuan WHO FCTC
terhadap Australia. Ketiga elemen tersebut memperkuat posisi Australia dalam
melindungi kebijakan kemasan polos di mata dunia.
Pada akhirnya posisi tawar Australia yang lebih tinggi terhadap negara
penuntutnya. Hal tersebut terlihat dari kuatnya dasar hukum dari kebijakan
kemasan polos dan beberapa dari negara penuntut tidak memiliki hubungan
dagang pada produk rokok dengan Australia. Kelebihan Australia berada pada
dukungan yang di peroleh dari memanfaatkan momentum WHO FCTC untuk
menggalang dukungan terhadap kebijakan kemasan polos Australia. Posisi tawar
Australia dipengaruhi juga dengan status dirinya sebagai negara maju, sehingga
dalam penafsiran hukumnya Australia dianggap lebih obyektif dibandingkan
negara penuntut yang merupakan negara berkembang.
Adapun alasan kemenangan Australia dalam persidangan terbagi dalam
dua bagian yang terdiri dari kegagalan negara penuntut dalam memahami
kebijakan kemasan polos secara obyektif, dan melanggar aturan dalam TRIPS,
TBT serta GATT 1994. Pertama, secara obyektif negara penuntut telah gagal
memahami kebijakan kemasan polos. Menurut negara penuntut kebijakan
kemasan polos tidak berpengaruh terhadap promosi dan periklanan, sehingga
tidak perlu Australia mempertahankan kebijakan kemasan polosnya. Hasil
persidangan menunjukan bahwa negara penuntut tidak memahami bahwa adanya
kaitan antara kemasan sebagai media promosi dan iklan dengan kebiasaan
merokok. Kemasan rokok yang menarik dapat mempengaruhi kebiasaan merokok.
Berdasarkan hasil riset pakar (Profesor Slovic, Profesor Fong, Dr Biglan, dan Dr
506 Brandon) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh kebiasaan merokok dengan
kemasan rokok yang menarik perhatian. Negara penuntut tidak berhasil untuk
membuktikan bahwa kebijakan kemasan polos tidak berkaitan dengan
menghilangkan kebiasaan merokok. Kebijakan kemasan polos juga berdampak
pada segi penurunan minat masyarakat, dibuktikan semenjak tahun 2012 jumlah
perokok di Australia menurun. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan kemasan
polos memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi jumlah perokok,
dengan tidak mempengaruhi kualitas produk rokok, serta kebijakan kemasan
polos merupakan kebijakan jangka panjang dalam mengurangi tingkat perokok
(World Trade Organization, 2016). Kedua, pada ketentuan TRIPS dijelaskan
bahwa merk dagang merupakan cara untuk membedakan suatu produk melalui
adanya pelabelan merk dagang. Kesalah pahaman dari negara penuntut adalah
menggunakan istilah merk dagang untuk hal-hal yang berkaitan dengan nilai
estetika, loyalitas, dan reputasi dari pemegang merk. Hal tersebut berbanding
terbalik dengan yang ada dalam TRIPS artikel 20, dimana penggunaan merk
dagang sebatas pembeda atas produk yang sama, tanpa mengaitkan dengan nilai
merk tersebut. Pada artikel 15.1 dijelaskan bentuk merk dagang meliputi
penggunaan simbol-simbol, warna, atau elemen, dapat dikategorikan sebagai merk
dagang. Kebijakan kemasan polos pada dasarnya tetap menggunakan elemen
maupun simbol berupa nama merk yang membedakan dengan produk rokok lain.
Penjelasan tersebut mematahkan argumen negara penuntut bahwa merk dagang
meliputi pembeda secara keseluruhan, baik itu simbol, warna, maupun nama merk
(World Trade Organization, 2016, hlm. 18-20). Kewajiban terhadap artikel 17
terkait kepentingan pemilik merk dagang menimbulkan salah interpretasi, bahwa
yang dimaksud hak pemegang merk tidak dibebani oleh isi pasal pengecualian.
Negara penuntut melihat merk dagang dapat menghalangi dari pasal pengecualian
yang salah satu tujuannya untuk melindungi kesehatan publik. Kepentingan
pemilik merk dagang bagi negara penuntut merupakan hal yang mutlak, dengan
tidak memperhatikan kebijakan kemasan polos sangat dibutuhkan sehingga
menimbulkan dua kepentingan. Minimnya bukti bahwa kebijakan kemasan polos
melanggar artikel 17 membuat tuntutan yang diajukan tidak sah, sehingga
argumen Australia terbukti valid (World Trade Organization, 2016, hlm. 21-23).
(Journal of International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hal. 499-508,
Kemenangan Australia dalam Tuntutan Anggota WTO Mengenai Kebijakan
Kemasan Polos pada Bungkus Rokok dan Produk Tembaka, Muhammad Azhar
Fahri).
I. KESIMPULAN
Kebijakan Australia seolah-olah hanya menjadi boomerang bagi Indonesia.
Pasalnya sejak gugatan Indonesia terhadap Australia dilayangkan kepada WTO,
semua alasan atau faktor penggugat adalah lemah; Dengan gugatanya Indonesia
mengklaim bahwa rokok ekspor Indonesia ke Australia dengan kemasan polos
akan menghilangkan hak cipta atau hak produsen serta Pemerintah Indonesia
menyatakan konsumen wajib menetahui informasi apa yang mereka konsumsi,
begitu juga produsen, harus mencantumkan informasi dari produk tersebut.
NamunWTO menilai bahwa apa yang digugat Pemerintah Indonesia hanyalah
untuk kepentingan bisnisnya saja dan tidak mewakilkan kepentingan dari seluruh
masyarakat Indonesia yang pada dasarnya 70% tidak merokok. Sementara itu
berbeda dengan kebijakan Australia dimana Pemerintah Australia ingin
melindungi masyarakatnya dari bahaya merokok. Kebijakan kemasan polos juga
berdampak pada segi penurunan minat masyarakat, dibuktikan semenjak tahun
2012 jumlah perokok di Australia menurun. Hal ini membuktikan bahwa
kebijakan kemasan polos memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi
jumlah perokok, dengan tidak mempengaruhi kualitas produk rokok, serta
kebijakan kemasan polos merupakan kebijakan jangka panjang dalam mengurangi
tingkat perokok (World Trade Organization, 2016).
REFERENCES;

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150623071140-92-61728/gugat-kebijakan-
kemasan-rokok-australia-bisa-jadi-bumerang-ri

https://kemlu.go.id/portal/id/read/133/halaman_list_lainnya/world-trade-organization-
wto

https://akurat.co/ekonomi/id-247906-read-wto-tolak-gugatan-indonesia-soal-kebijakan-
kemasan-rokok-polos-australia

https://heerohee.wordpress.com/2016/09/16/15/

Journal of International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hal. 499-508,


Kemenangan Australia dalam Tuntutan Anggota WTO Mengenai Kebijakan
Kemasan Polos pada Bungkus Rokok dan Produk Tembaka, Muhammad Azhar
Fahri

Anda mungkin juga menyukai