Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Analisis Kebijakan Pemerintah Australia Terhadap Kemasan


Polos Rokok Dalam Prespektif Perdagangan Internasional dan
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual”

Nama : Farida Nur Hidayah

Nim : 11010115410053

Mata Kuliah : Hukum Perdagangan Internasional

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

TAHUN AJARAN 2016/2017


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang...............................................................................................................2

b. Rumusan Masalah…......................................................................................................4

c. Tujuan…………….........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

a. Kebijakan Pemerintah Australia Atas Kemasan Polos Rokok Berdasarkan Prespektif

Perdagangan Internasional...................................................................................5

b. Kebijakan Pemerintah Australia Atas Kemasan Polos Rokok Berdasarkan


Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.................................................................11

BAB V PENUTUP

a. Simpulan.......................................................................................................................17

b. Saran.............................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri rokok di Indonesia bermula sejak tahun 1975 setelah sebelumnya

Indonesia mengimpor kebutuhan rokoknya dari negara luar. Kemudian perkembangannya

cukup pesat baik dari industri rokok skala besar, menengah ataupun industri rokok skala

kecil. Indonesia adalah negara pengekspor rokok terbesar di dunia yang telah bertahan

sejak tahun 2004 lewat jenis rokok kretek yang telah mendunia pemasarannya.

Perekonomian Indonesia lewat industri rokok juga telah mendapatkan tempat yang sangat

istimewa baik bagi aspek pelebaran lapangan kerja juga pemasukannya bagi pemerintah.

Industri rokok berhasil menyumbangkan pemasukan cukai terbesar setelah cukai kotor

dibandingkan dengan cukai lainya seperti, cukai etil alkohol, cukai minuman

mengandung etil alkohol seperti yang dilansir oleh Diektorat bea dan cukai untuk skala

waktu 2012-2014. Keberhasilan industri juga banyak membawa dampak yang baik bagi

penuntasan masalah pengangguran di Indonesia yang telah menjadi masalah turunan.

Keberhasilan ekonomi dalam industri rokok telah membawa banyak

keberuntungan bagi para indutri kecil. Khusus industri rokok Indonesia perkembangannya

telah merambah di pasar dunia. Industri rokok Indonesia telah sampai ke Malaysia,

Singapore, Philipina, Amerika serikat dan masih banyak lagi. Dan dimulai dengan jumlah

yang cukup besar ke Malaysia, Australia dan Singapore. Akan tetapi selain membawa

dampak positif bagi indonesia juga membawa dampak negarif. Salah satunya adalah

pengaruh dari kebijakan pemerintah Australia atas kemasan polos rokok Indonesia.

2
Kebijakan Australia dalam mengendalikan epidemi tembakau mengalami

perkembangan baru yang signifikan pada masa pemerintahan Julia Gillard, terutama

dalam merespon isu penurunan kesehatan masyarakat global. Pemerintah Australia

menjadi lebih pro-aktif dalam proses pengambilan kebijakan pengendalian tembakau

ditetapkan. Australia telah memiliki beberapa peraturan merokok terberat di dunia. Rokok

harus dijual di balik pintu tertutup di gerai ritel Australia. Selanjutnya, kebijakan

mengenai bungkus rokok diatur secara sentralistik oleh kementerian kesehatan. Kebijakan

dalam memperkenalkan kemasan polos rokok merupakan upaya pertama di dunia yang

dilakukan Julia Gillard setelah mengadopsi pasal 11 dalam Framework Convention on

Tobacco Control (FCTC).

Pada bulan April 2010, Pemerintah Australia memberitahukan bahwa akan

memperkenalkan undang-undang yang mengatur mengenai pengemasan produk

tembakau yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2012 dengan implementasi penuh

sejak 1 Desember 2012. Pemerintah Australia membatasi penjualan rokok dan produk

tembakau di negaranya dengan menerbitkan aturan The Tobacco Plain Packaging Act.

Sebagai negara yang memberlakukan aturan tersebut, Australia membatasi seluruh rokok

dan produk tembakau wajib dikemas dalam kemasan polos tanpa mencantumkan warna,

gambar, logo dan slogan produk.1

Kemudian pemerintah Indonesia menggugat Australia agar taat pada aturan

Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization/WTO), khususnya

perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rightsv (TRIPS), untuk

mencabut kebijakan kemasan polos produk rokok. Kebijakan Australia itu dinilai telah

melanggar perjanjian TRIPS serta perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT).

1
http://rri.co.id/voi/post/berita/172983/fokus/indonesia_gugat_australia_terkait_kemasan_rokok_polos.html

3
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisis kebijakan pemerintah Australia atas kemasan polos rokok

berdasarkan prespektif perdagangan internasional ?

2. Bagaimana perlindungan hak kekayaan intelektual atas kebijakan pemerintah

Australia mengenai kemasan polos rokok ?

C. Tujuan

1. Mendeskripsikan kebijakan pemerintah Australia atas kemasan polos rokok

berdasarkan prespektif perdagangan internasional.

2. Mendeskripsikan perlindungan hak kekayaan intelektual atas kebijakan

pemerintah Australia mengenai kemasan polos rokok.

BAB II

4
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pemerintah Australia Atas Kemasan Polos Rokok Berdasarkan

Prespektif Perdagangan Internasional

Pemerintah Australia mengeluarkan aturan the Tobacco Plain Packaging Act yang

disahkan pada tahun 2011 dan akan dilaksanakan pada bulan Desember 2012, didalam

aturan disebutkan, untuk seluruh produk tembakau harus dibungkus dalam kemasan polos

berwarna hijau yang menampilakan satu jenis huruf dan kemasan juga harus

menampilkan gambar grafis dari seorang perokok yang menderita penyakit parah akibat

merokok. Kebijakan Australia dinilai mengancam produk tembakau dari Indonesia,

karena penerapan kebijakan akan menyebabkan daya saing menurun. Data Kementrian

Perindustrian bahwa kinerja ekspor tembakau dan rokok pada tahun 2009 menyentuh

angka 52.515 ton, pada tahun 2012 mencapai 37.110 ton. 2 Terdapat penurunan hingga

15.405 ton. Akibat kebijakan baru Pemerintah Australia tersebut, Ukraina, Honduras,

Republik Dominika, Kuba, dan terakhir Indonesia selaku negara pengimpor rokok

Australia, telah mengajukan gugatan terhadap Australia ke WTO. Kelima negara tersebut

mengklaim bahwa Australia telah melanggar peraturan perdagangan internasional dan

tidak menghargai hak kekayaan intelektual.3

Peraturan mengenai perdagangan internasional sudah diatur dalam GATT

(General Agreement on Tariffs and Trade). Persetujuan ini lahir pada tahun 1947 yang

didukung oleh 23 negara termasuk Amerika Serikat. GATT bukanlah suatu oganisasi

melainkan hanya sebuah persetujuan saja sedangkan implementasinya dikontrol oleh

2
http://www.kemenperin.go.id/
3
Ria Yohana. Kajian terhadap Kebijakan Kemasan Polos Rokok di Australia Merugikan Perusahaan Tembakau.
Jurnal Ilmiah. 2014

5
Interim Commission for the International Trade Organization (ICITO) yang berada di

Jenewa.4

Dalam pelaksanaan perdagangan internasional, WTO juga mempunyai prinsip-

prinsip yang harus ditaati oleh para anggotanya, yaitu :

1. Prinsip Most Favoured Nation (Non-Diskriminasi)

Prinsip MFN adalah prinsip dimana tidak ada perilaku diskriminasi diantara

produk impor (negara pengekspor 1 dengan negara pengekspor lainnya). Prinsip ini diatur

dalam Artikel 1 ayat 1 GATT.

2. Prinsip National Treatment

Prinsip ini adalah melarang negara importir melakukan diskrimimasi terhadap

produk import dengan produk lokal (ada perlakuan tidak adil antara produk dalam negeri

dengan produk luar negeri).

3. Prinsip perlindungan melalui tarif (Protection Through Tariff)

Perlindungan melalui tarif adalah diijinkan, karena tarif dinilai rasionaldan dapat

diprediksi. Biasanya perlidungan melalui tarif ditandai dengan adanya kenaikan harga

barang.

4. Prinsip Resiprositas (timbal balik)

Bahwa harus ada perlakuan timbal balik diantara mitra dagannya. Misalnya, ada

perlakuan dari mitra dagang yang mengancam produk lokal (untuk barag yang sejenis),

maka negara itu dapat melakukan tindakan safeguard untuk mengamankan produk

lokalnya.

4
Dr. FX. Joko Priyono, SH, M.Hum, HUKUM PERDAGANGAN BARANG DALAM GATT/WTO, hlm 3.

6
5. Prinsip perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang

Prinsip ini adalah keuntungan bagi negara berkembang, dimana negara maju

memberikan kemudahan kepada negara berkembang agar produknya dapat bersaing,

misalnya dengan membebaskan tarif bea impor. Namun produk tersebut harus memenuhi

ketentuan yang diatur oleh negara maju, yang dapat berbeda-beda dengan negara maju

lainnya.

Indonesia selaku negara penggugat dan Australia selaku negara tergugat

merupakan negara anggota WTO, oleh karena itu mereka wajib menaati setiap peraturan

yang dibuat WTO dengan itikad baik (asas pacta xunt servanda). Sifat mengikat

perjanjian kepada para pihak berarti negara-negara pihak perjanjian mempunyai

kewajiban untuk menaati, menghormati, dan melaksanakan perjanjian melalui organ-

organ negaranya. Apabila ada sengketa maka dapat diselesaikan melalui badan

penyelesaian sengketa (dispute settlement body). Pada tahun 1999, WTO mulai menyusun

framework FCTC (Frame Convention on Tobacco Control. FCTC adalah suatu aturan

pengendalian masalah tembakau yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi

negara-negara yang meratifikasinya. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan,

hingga tahun 2013 ada 177 negara yang sudah meratifikasi FCTC, Australia salah satu

diantaranya, sedangkan Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi FCTC. Adapun

tujuan FCTC adalah melindungi generasi sekarang dan yang akan datang dari kerusakan

kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau. Ada 6

(enam) isu yang dibahas dalam FCTC :

1. Pengendalian harga dan pajak

2. Pengaturan iklan, sponsor, dan promosi

7
3. Pemberian label bahaya rokok

4. Pengaturan udara bersih bebas rokok

5. Pengaturan dan pengungkapan isi rokok

6. Perdagangan ilegal

Dikarenakan Australia adalah negara yang sudah meratifkasi FCTC, maka

berdasarkan asas pacta sunt servanda, Australia wajib tunduk pada peraturan didalamnya

dan dengan diratifikasinya FCTC berarti Australia juga setuju untuk mencapai tujuan dari

dibentuknya FCTC. Hal ini tentu membuat Indonesia yang belum meratifikasi FCTC

merasa terusik dengan kebijakan yang dikeluarkan Australia, mengingat selama ini

Indonesia dan Australia sudah terjalin hubungan diplomatik yang baik.

Kemasan polos produk-produk tembakau atau yang disebut juga “kemasan

generik” atau “standar kemasan” sebenarnya bukanlah suatu ide baru. Asal-usul dari ide

ini dapat ditelusuri yang mana akan berawal pada September 1989 ketika laporan Dewan

Zat Beracun Selandia Baru memberikan sebuah rekomendasi bahwa semua produk

tembakau sebaiknya dijual dalam kemasan polos, yaitu dalam kemasan putih polos

dengan pencetakan huruf hitam dan tidak ada warna lain yang diijinkan baik dalam huruf

yang dicetak maupun kemasan itu sendiri dan tidak diijinkan adanya logo dalam bentuk

apapun.5

Ketentuan yang tercantum dalam FCTC terus ditentang, khususnya penentangan

di bawah hukum ekonomi internasional, termasuk di dalamnya gugatan yang dibawa di

hadapan WTO. Industri tembakau sendiri telah lama mengkhawatirkan mengenai

kebijakan pengemasan polos beserta “efek domino” yang akan bersama menyertainya

5
Patrick Basham & Dr. John C. Luik, 2011, Erasing Intellectual Property “Plain Packaging” For Consumer
Products And The Implications For Trademark Rights, Washington Legal Foundation, Washington, hlm. 1

8
apabila penerapan kebijakan pengemasan polos berhasil maka akan diikuti oleh banyak

negara di seluruh dunia. Industri tembakau juga telah lama menegaskan bahwa

pelaksanaan kemasan polos akan melanggar berbagai hukum domestik dan internasional.

Salah satu respon dari industri tembakau dalam menanggapi pelaksanaan

kebijakan pengemasan polos yaitu dengan menunjukkan bahwa terdapat sejumlah hukum

domestik dan internasional yang ada dapat menghambat implementasi kebijakan

pengemasan polos di Australia. Salah satu keberatan yang diajukan indstri tembakau yaitu

menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan pengemasan polos mungkin akan bertentangan

dengan kewajiban Australia dibawah WTO, khususnya dalam The Agreement on Trade-

Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) dan The Agreement

on Technical Barriers to Trade (TBT).

Pihak Australia merasa kebijakan yang dikeluarkannya adalah benar dan tidak

menyalahi aturan internasional. Adapun dasar hukum yang dipakai oleh pemerintah

Australia adalah :

- Artikel XX (General Exception) : artikel ini menyangkut pembatasan-

pembatasan dalam kaitan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Melindungi moral publik

b. Melindungi kesehatan atau kehidupan manusia, hewan, dan tanaman

c. Perdagangan emas dan perak

d. Perlindungan paten, merek, hak cipta, dan pencegahan praktek-praktek yang

menyesatkan

e. Produk buruh tahanan

9
f. Perlindungan kekayaan nasional dengan nilai seni, sejarah, atau nilai arkeologi

g. Konservasi sumberdaya alam yang dapat habis (exshaustible natural

resources)

- Prinsip-prinsip dalam TRIPs, yaitu :

• Annex 1 C Pasal 8 :

1. Sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan dalam persetujuan ini anggota

dapat, dalam rangka pembentukan dan penyesuaian hukum dan peraturan perundang-

undangan nasionalnya, mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka

perlindungan kesehatan dan gizi masyarakat dan dalam rangka menunjang kepentingan

masyarakat pada sektor-sektor yang sangat penting bagi pembangunan sosio-ekonomi dan

teknologi.

• Annex 1 C pasal 1 ayat (1) :

Standar minimal :

TRIPs hanya memuat ketentuan-ketentuan minimal yang wajib dipatuhi oleh

negara-negara anggota WTO. Dengan ini negara-negara anggota WTO dapat menerapkan

ketentuan nasional yang lebih ketat dibandingkan apa yang telah diatur dalam TRIPs

Agreement. TRIPs memberikan wewenang kepada negara untuk membatasi hak eksklusif

pemilik merek demi kepentingan nasional. Kebijakan Pemerintah mengenai kemasan

rokok ini adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan

masyarakat dan mendorong orang berhenti merokok, mencegah anak-anak merokok, dan

meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok. Selain itu pajak yang

diterima negara atas pajak rokok tidaklah sebanding dengan pengeluaran negara untuk

biaya kesehatan mengobati penyakit yang ditimbulkan akibat rokok.

10
Sebagai negara yang berorientasi ekonomi ekspor dan sebagai ketua Cairns Group

of Agricultural Exporter, Australia memiliki peran yang besar dalam pembaharuan

perdagangan multilateral dan bekerjanya sistem WTO yang efektif. Kebijakan

perdagangan merupakan suatu komponen yang penting bagi kerangka kebijakan ekonomi

Australia dan juga bagi liberalisasi perdagangan unilateral yang sudah menjadi bagian

integral dari perubahan struktural yang telah mendukung kekuatan ekonomi dan

keberlangsungan perdagangan Australia selama beberapa tahun kebelakang. 6 Kewajiban

Australia dibawah hukum ekonomi internasional melalui perjanjian-perjanjian WTO dan

perjanjian multilateral lainnya serta kewajiban Australia dibawah FCTC dengan

kebijakan pengemasan polos yang di implementasikan Australia merupakan suatu dilema

dalam perdagangan internasional yang kelanjutannya akan mempengaruhi

keberlangsungan perdagangan internasional serta praktek negara-negara selanjutnya

dalam hal pengaturan perdagangan produk tembakau.

B. Kebijakan Pemerintah Australia Atas Kemasan Polos Rokok Berdasarkan

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual dalam hubungan antar manusia dan

antar negara termasuk Indonesia merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.

Fakta ini merupakan konsekuensi dari keikutsertaan pemerintah Indonesia sebagai

negara peserta perjanjian pembenrtukan WTO beserta perjanjian-perjanjian lain

yang terkait dengan WTO, terutama yang terkait dengan perjanjian/konvensi-

konvensi internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Secara sekilas

pengertian HKI merupakan hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena

kemampuan intelektual manusia dibidang ilmu pengetahuan, seni, sastra ataupun

6
Petros C. Mavriodis, George A. Bermann & Mark Wu, 2010, The Law Of The World Trade Organization (WTO)
Documents, Cases & Analysis, Thomson Reuters, Minnesota, hlm. 1192

11
teknologi, yang dilahirkan atau diciptakan dengan pengorbanan tenaga, waktu, pikiran

dan juga seringkali dengan biaya yang besar. Oleh karena itu karya yang

dihasilkan menjadi memiliki nilai dengan manfaat ekonomi yang tinggi, sehingga

bagi dunia usaha karya-karaya itu bisa menjadi aset perusahaan/industri.7

HKI ( Hak Kekayaan Intelektual) adalah merupakan bagian dari hukum harta

benda (hukum kekayaan). HKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan

yang sifatnya tidak berwujud (intangible). HKI bersifat sangat abstrak dibandingkan

dengan hak atas benda bergerak pada umumnya, seperti hak kepemilikan atas tanah,

kendaraan, dan properti lainnya yang dapat dilihat dan berwujud.8

Hukum HKI berkembang secara bertahap dan pasti, mulai melekat dan

menjadi bagian dari sistem hukum nasional sebagai konsekuensi pergaulan bangsa

Indonesia dengan bangsa-bangsa ndustri maju dan bangsa-bangsa dari negara-

negara berkembang lainnya, lebih-lebih setelah Indonesia ikut serta dalam Organisasi

Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO) yang antara lain mencakup

Perjanjian Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual / TRIPS (Agreement

on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights).

Dalam perundingan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan

(General Agreement on Tariff and a Trade (GATT) sebagai bagian dari pembentukan

organisasi perdagangan dunia (WTO) telah disepakati norma-norma dan standar

perlindungan HKI yang meliputi9 :

1. Hak cipta dan hak-hak lain (copyrights and related right).


7
Sylvia Ostry dan Michael Gestrine dalam Ahmad M. Ramli,1999, Perlindungan Rahasia Dagang Dalam
Era GlobalisasiDikaitkan dengan Pengaturan dan Praktiknya di Indonesia,Disertasi, Program
Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung,hal. 1
8
Supasti Dharmawan. Ni Ketut, et.al., 2005, Hukum HakKekayaan Intelektual, Bagian Hukum Perdata
Fakultas HukumUniversitas Udayana, hal. 1
9
Ade Manan Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global , Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
97.

12
2. Merek (trademarks, service marks, and names)

3. Indikasi geografis (geographical indications);

4. Desain produk industri (industrial design);

5. Paten (patens), termasuk perlindungan varietas tanaman

6. Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design (topographic) ofintegrated

circuits)

7. Perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan (protection of undisclosed

information);

8. Pengendalian praktik-praktik persaingan curang dalam perjanjian lisensi

(control of anti competitive practices in contractual licenses).

Pengelompokan HKI yang didasarkan pada Convention Establishing The

World Intellectual Property Organization (WIPO) yaitu 10:

1. Hak cipta (copy rights)

2. Hak milik (kekayaan) perindustrian (industrial property rights). Hak cipta

dibedakan lagi menjadi dua, yakni hak cipta dan hak terkait dengan hak

cipta (neighbouring rights). Sementara itu, hak atas kekayaan

perindustrian terdiri atas:

a. Patent (paten)

b. Utility models (model rancang bangun), disebut juga paten

sederhana

c. Industrial design (desain industri)

d. Trade mark (merek dagang)


10
Muhammad Djumhana, R. & Djubaedillah, 1993, Hak Milik Intelektual (Sejarah Teori dan Prakteknya
di Indonesia) , PT. Citra Bakti, Bandung, hal. 14

13
e. Trade names (nama niaga atau nama dagang)

f. Indication of source or appellation of origin (stimber tanda atau sebutan

asal)

Dalam trade related aspects of intellectual property rights, section 2 tentang

trandemarks, article 15 Protectable Subject Matter disebutkan bahwa :

Any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or


services of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of
constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names,
letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any
combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where
signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services,
Members may make registrability depend on distinctiveness acquired through use.
Members may require, as a condition of registration, that signs be visually
perceptible.

Dapat diartikan bahwa hal – hal yang dilindungi dalam merek dagang adalah

tanda-tanda, atau kombinasi dari tanda-tanda, mampu membedakan barang atau jasa

dari satu usaha dari usaha lainnya, harus mampu merupakan merek dagang. Tanda-

tanda seperti, kata tertentu termasuk nama pribadi, surat, angka, unsur figuratif dan

kombinasi warna serta kombinasi dari tanda-tanda tersebut, harus memenuhi syarat

untuk pendaftaran sebagai merek dagang. Di mana tanda-tanda tidak inheren mampu

membedakan barang atau jasa yang relevan, Anggota mungkin membuat registrability

tergantung pada kekhasan yang diperoleh melalui penggunaan. Anggota mungkin

memerlukan, sebagai syarat pendaftaran, bahwa tanda-tanda akan secara visual.

Selain ketentuan dari trade related aspects of intellectual property rights

Australia juga menjadi anggota FCTC, bagi negara-negara yang menjadi anggota

dikenakan beberapa kewajiban mengenai pengaturan pengemasan dan pengiklanan

14
produk yang berkaitan dengan tembakau. Secara ringkas kewajiban-kewajiban yang

dikenakan antara lain yaitu meliputi:

a. Negara anggota diharapkan mengambil sebuah langkah dalam menjamin

pengemasan dan pelabelan produk tembakau tidak dipromosikan dengan

cara yang salah, menyesatkan, menipu, atau memungkinkan untuk

menciptakan kesan yang salah tentang karakteristik, efek kesehatan,

bahaya atau emisi, termasuk istilahistilah seperti “light” atau “mild”;

b. Pencetakan peringatan kesehatan dan informasi yang relevan pada area

tampilan utama tidak kurang dari 30% dari setiap kemasan satuan serta

setiap kemasan luar maupun dalam pelabelan produk tembakau dan;

c. Secara komprehensif melarang iklan, promosi dan sponsor produk

tembakau atau jika sebuah negara anggota Konvensi ini tidak dalam posisi

melakukan larangan komprehensif karena konstitusi atau prinsip-prinsip

konstitusional, negara harus membatasi kegiatan ini.11

Dengan masuknya Australia sebagai anggota FCTC, Asutralia juga diharuskan

tunduk pada perajanjian yang sudah ada. Hal ini menjadi pertentangan tersendiri,

karena di satu sisi Australia merupakan anggota WTO yang harus taat pada setiap

kebijakan WTO tetapi di satu sisi juga harus taat kepada FCTC karena Australia juga

merupakan anggota FCTC.

Kebijakan kemasan polos produk rokok Australia bertujuan untuk mengurangi

konsumsi rokok dan pembatasan akses rokok bagi anak muda serta perokok pemula.

Tujuan dari kebijakan Australia tersebut juga sejalan dengan kebijakan yang

dilakukan banyak negara termasuk Indonesia. Namun kebijakan Australia dalam

11
Masabumi Suzuki, 2011, Domestic Measures IP/Trade Law, The Case of the Australian Plain Packaging Act,
Doshisha Law Review, Nagoya, hlm. 371

15
mencapai tujuan dari kebijakannya tersebut melalui penerapan kemasan polos produk

rokok tidak melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas merek dagang produk

rokok yang dimiliki produsen rokok. Hal ini dapat merugikan para produsen tersebut

dan akan memberi pengaruh atas kompetisi dagang produk rokok yang dijual di

Australia dikarenakan hilangnya daya pembeda antara produk rokok yang satu dengan

produk rokok lainnya. Selain itu konsumen memiliki hak untuk mengetahui produk

yang akan dikonsumsi dan di sisi lain produsen juga memiliki hak untuk

menggunakan merek dagangnya secara bebas tanpa hambatan-hambatan yang tidak

berdasar dengan diberlakukannya kebijakan kemasan rokok polos oleh pemerintah

Australia.

Kebijakan kemasan rokok polos pemerintah Australia jelaslah sangat

bertentanggan dengan isi perjanjian ini. Sebagai anggota WTO, Australia wajib

menaati semua perjanjian yang telah dibauat. Akan tetapi perjanjian tersebut

dilanggar oleh Australia. Jadi disini ada pelanggaran hak kekayaan intelektual yang

dilakukan oleh pemerintah Australia dengan mengenakan kemasan polos rokok.

BAB III

16
PENUTUP

A. Simpulan

Kebijakan kemasan roko polos oleh pemerintah Australia memang bertujuan

untuk peningkatan kesehatan masyarakat, antara lain dengan cara mengurangi jumlah

individu yang akan memulai merokok dan mengkonsumsi produk tembakau. Hal ini

menimbulkan permasalahan terkait ketentuan WTO mengenai ketentuan

perdangangan internasional, dimana tidak boleh ada diskrimanasi atas produk dari

negara anggota lainnya. Akan tetapi TRIPs memberikan wewenang kepada negara

untuk membatasi hak eksklusif pemilik merek demi kepentingan nasional.

Kebijakan Australia dalam mencapai tujuan dari kebijakannya tersebut melalui

penerapan kemasan polos produk rokok tidak melindungi hak kekayaan intelektual

(HKI) atas merek dagang produk rokok yang dimiliki produsen rokok. Selain itu

konsumen memiliki hak untuk mengetahui produk yang akan dikonsumsi dan di sisi

lain produsen juga memiliki hak untuk menggunakan merek dagangnya secara bebas

tanpa hambatan-hambatan yang tidak berdasar dengan diberlakukannya kebijakan

kemasan rokok polos oleh pemerintah Australia

B. Saran

Permasalahan yang timbul harus diselesaiakan oleh lembaga ang berwenang

Dalam hal ini WTO mempunyai dispute settlement body sebagai badan yang akan

menyelesaikan masalah diantara para anggotanya. Mengenai kebijakan pemerintah

Australia, lebih baik diselesaikan lewat jalur hukum yang sudah disediakan oleh WTO

karena cukup merugikan negara anggota WTO lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

17
 Ade Manan Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global , Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2002.

 Dr. FX. Joko Priyono, SH, M.Hum, Hukum Perdagangan Barang Dalam GATT/

WTO, Undip Press. 2013.

 Masabumi Suzuki, Domestic Measures IP/Trade Law, The Case of the Australian

Plain Packaging Act, Doshisha Law Review, Nagoya, 2011.

 Muhammad Djumhana, R. & Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah

Teori dan Prakteknya di Indonesia) , PT. Citra Bakti, Bandung, 1993.

 Petros C. Mavriodis, George A. Bermann & Mark Wu, The Law Of The World Trade

Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, Thomson Reuters, Minnesota,

2010.

 Ria Yohana. Kajian terhadap Kebijakan Kemasan Polos Rokok di Australia

Merugikan Perusahaan Tembakau. Jurnal Ilmiah. 2014

 Supasti Dharmawan. Ni Ketut, et.al., Hukum HakKekayaan Intelektual, Bagian

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2005.

 Sylvia Ostry dan Michael Gestrine dalam Ahmad M. Ramli, Perlindungan Rahasia

Dagang Dalam Era GlobalisasiDikaitkan dengan Pengaturan dan

Praktiknya di Indonesia ,Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran

Bandung, 1999.

 http://rri.co.id/voi/post/berita/172983/fokus/

indonesia_gugat_australia_terkait_kemasan_rokok_polos.html [Diakses 16 Januari

2016, 15:40]

 http://www.kemenperin.go.id/ [Diakses 16 Januari 2016, 16:00]

18

Anda mungkin juga menyukai