Anda di halaman 1dari 10

Nama : Ayu Ningtias Saputri

Npm : 1812120074
Matku : Hukum Bisnis

1. Aturan tentang hukum perlindungan konsumen di Indonesia saat ini secara umum berdasarkan
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).
Khusus mengenai perlindungan bagi pengguna rokok dapat kita temui pengaturannya dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (“PP 109/2012”).
 
Rokok adalah salah satu Produk Tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap
dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang
dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya
yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan

Penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif[3] berupa Produk Tembakau
(termasuk rokok) bagi kesehatan meliputi:[4]

a. produksi dan impor


b. peredaran
c. perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil; dan
d. kawasan tanpa rokok.

 
Lebih jauh untuk melaksanakan PP 109/2012 ini diterbitkan beberapa peraturan teknis sebagai berikut:

1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan


Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau (“Permenkes
28/2013”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang
Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk
Tembakau (“Permenkes 56/2017”);
2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 62/MPP/KEP/2/2004 Tahun
2004 tentang Pedoman Cara Uji Kandungan Kadar Nikotin dan Tar Rokok
(“Kepmenperindag 62/2004”);
3. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 41 Tahun 2013 tentang
Pengawasan Produk Tembakau yang Beredar, Pencantuman Peringatan Kesehatan Dalam
Iklan dan Kemasan Produk Tembakau, dan Promosi (“Perkap BPOM 41/2013”);
4. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa
Rokok (“Peraturan Bersama Menkes dan Mendagri”).

 
Jadi, jika yang Anda tanyakan adalah wujud dari perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok,
pemerintah telah menetapkan batasan-batasan yang antara lain adalah:

1. Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau wajib memiliki izin
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[5] Sehingga tidak semua orang bisa
memproduksi rokok untuk dikonsumsi masyarakat luas.

2. Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau berupa Rokok harus melakukan pengujian
kandungan kadar Nikotin dan Tar per batang untuk setiap varian yang diproduksi. [6] Keharusan
melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar juga berlaku untuk importir.[7]

 
Keharusan melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar dimaksudkan untuk memberikan
informasi kepada konsumen mengenai bahaya merokok.[8]
 

3. Kadar nikotin dan tar hasil pemeriksaan wajib dicantumkan pada label dengan penempatan yang
jelas dan mudah dibaca.[9]

 
Kewajiban mencantumkan informasi kandungan kadar Nikotin dan Tar bertujuan untuk memberikan
informasi kepada konsumen tentang bahaya Tar dan Nikotin bagi kesehatan.[10]
 
Selain menyebabkan ketergantungan (adiksi), Nikotin dapat juga menyebabkan penyempitan pembuluh
darah termasuk pembuluh darah koroner yang memberi oksigen pada jantung dan penggumpalan sel
darah. Karena penyempitan pembuluh darah, maka jantung akan memompa atau bekerja lebih keras,
sehingga terjadi kenaikan tekanan darah, karbondioksida akan mengikat hemoglobin menggantikan
oksigen. Tidak adanya aliran oksigen ke otot jantung ditambah penyempitan dan penyumbatan arteri
koroner yang mengakibatkan serangan jantung. Sedangkan Tar yang bersifat karsinogenik dapat
menyebabkan penyakit kanker.[11]
 

4. Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan
kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi
kesehatan.[12]

5. Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau berupa Rokok putih
mesin dilarang mengemas kurang dari 20 (dua puluh) batang dalam setiap Kemasan.[13] Maksud
dari pelarangan membuat Kemasan Rokok kurang dari 20 (dua puluh) batang bertujuan agar
harga Rokok tidak mudah terjangkau oleh konsumen.[14]

6. Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau ke wilayah Indonesia
wajib mencantumkan peringatan kesehatan yang berbentuk gambar dan tulisan yang harus
mempunyai satu makna yang tercetak menjadi satu dengan Kemasan Produk Tembakau.[15]

 
Pencantuman peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan dalam Kemasan Produk Tembakau
dimaksudkan untuk mengedukasi dan menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya akibat
penggunaan Produk Tembakau secara lebih efektif[16]
 

7. Selain Peringatan Kesehatan, pada setiap Kemasan Produk Tembakau wajib dicantumkan
Informasi Kesehatan meliputi:[17]
a. kandungan kadar nikotin dan tar;
b. pernyataan “dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan
perempuan hamil”;
c. kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen.

 
Selain informasi tersebut, pada Kemasan Produk Tembakau dapat dicantumkan pernyataan:[18]

a. “tidak ada batas aman”; dan


b. “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab
kanker”.

8. Pemerintah melakukan pengendalian Iklan Produk Tembakau yang dilakukan pada media cetak,
media penyiaran, media teknologi informasi, and/atau media luar ruang.[19] Pengawasan
terhadap hal ini juga dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (“BPOM”)
sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Perkap BPOM 41/2013.

9. Dalam rangka penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk
Tembakau bagi kesehatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan Kawasan
Tanpa Rokok, antara lain:[20]
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. fasilitas proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

 
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah contoh wujud perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok
secara khusus dan bagi masyarakat secara umum.
 
Pemerintah daerah juga dapat memperingati dan memberikan batasan-batasan untuk melindungi
pengguna rokok maupun masyarakat di antaranya seperti yang telah disebutkan di atas dan dengan
menetapkan kawasan tanpa rokok seperti yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan
mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang
Merokok sebagaimana telah diubah dengan Pergub DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2—5 tentang Kawasan
Dilarang Merokok. Penjelasan lebih jauh simak artikel Sanksi Pidana Bagi Pelanggar Kawasan
Dilarang Merokok.
 
Jadi, perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok memang telah diberikan oleh pemerintah
sebagaimana telah diuraikan di atas. Tetapi, mengenai kesadaran bahwa rokok akan berisiko bagi
kesehatan pribadi konsumen rokok ada pada masing-masing individu, meskipun upaya tersebut sudah
dilakukan oleh pemerintah.
 
Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;


2. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan
dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi
Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau;
4. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok;
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 62/MPP/KEP/2/2004 Tahun 2004
tentang Pedoman Cara Uji Kandungan Kadar Nikotin dan Tar Rokok;
6. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 41 Tahun 2013 tentang
Pengawasan Produk Tembakau yang Beredar, Pencantuman Peringatan Kesehatan Dalam Iklan
dan Kemasan Produk Tembakau, dan Promosi.

 
 
 

[1] Produk Tembakau adalah suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun
tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan dihirup
atau dikunyah (Pasal 1 angka 2 PP 109/2012)
[2] Pasal 1 angka 3 PP 109/2012
[3] Zat Adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang membahayakan
kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk
mengkonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi prioritas pada
penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan
keadaan gejala putus zat. (Pasal 1 angka 1 PP 109/2012)
[4] Pasal 8 PP 109/2012
[5] Pasal 9 PP 109/2012
[6] Pasal 10 ayat (1) PP 109/2012
[7] Pasal 2 ayat (1) Kepmenperindag 62/2004
[8] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) PP 109/2012
 
[9] Pasal 19 PP 109/2012 dan Pasal 2 ayat (2) Kepmenperindag 62/2004
[10] Penjelasan Pasal 19 PP 109/2012
[11] Penjelasan Pasal 19 PP 109/2012
[12] Pasal 12 ayat (1) PP 109/2012
[13] Pasal 13 ayat (1) PP 109/2012
[14] Penjelasan Pasal 13 ayat (1) PP 109/2012
[15] Pasal 14 PP 109/2012
[16] Penjelasan Pasal 14 ayat (1) PP 109/2012
[17] Pasal 21 PP 109/2012 dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenkes 28/2013
[18] Pasal 20 PP 109/2012 dan Pasal 11 Permenkes 28/2013
[19] Pasal 26 PP 109/2012
[20] Pasal 50 ayat (1) PP 109/2012
2. Pelindungan hukum adalah pengayoman kepada hak asasi manusia pihak yang dirugikan oleh
aparat penegak hukum, agar masyarakat dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum demi terciptanya rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan ancaman
dari pihak manapun (Satjipto Rahardjo, 2000: 53 dan 74). Nasabah Jiwasraya sebagai pihak
dirugikan tentunya berhak mendapatkan pelindungan hukum. Pelindungan hukum ada 2 yaitu
preventif dan represif. Preventif bertujuan mencegah pelanggaran sedangkan represif bertujuan
pemberian sanksi karena telah terjadi pelanggaran (Soerjono Soekanto, 1984:133). Berkaitan
dengan kasus Jiwasraya, maka yang mengemuka adalah pelindungan hukum represif karena
sudah terjadi pelanggaran. Ada 4 bentuk pelindungan hukum secara represif yang dapat diberikan
oleh aparat penegak hukum dalam kasus ini, yaitu:Pertama, pelindungan hukum dari aspek
pidana yaitu dengan memproses secara pidana pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya
kerugian negara dalam tubuh Jiwasraya. Saat ini Kejagung telah menetapkan beberapa pihak
sebagai tersangka berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Kejagung juga sedang bekerja
sama dengan PPATK menelusuri aset Jiwasraya sekaligus mencari bukti terkait adanya Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU). Penggunaan pasal TPPU dalam kasus ini sangat baik karena
dengan TPPU maka para tersangka dapat dikenakan pidana dalam bentuk uang pengganti. KPK
dapat terlibat dalam kasus ini terutama jika melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara
negara, meresahkan masyarakat dan/atau menimbulkan kerugian minimal Rp1 milyar (Pasal 11
UU KPK). Kedua, pelindungan hukum dari aspek perdata, pelindungan hukum dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu gugatan perdata biasa atau kepailitan. Pelindungan hukum secara perdata
dapat diberikan oleh hakim yang menangani perkara. Gugatan perdata biasa dapat diajukan
kepada para direksi, komisaris, dan pemegang saham Jiwasraya apabila terbukti yang
bersangkutan telah melakukan tindakan yang merugikan perseroan atau piercing the corporate
veil. Saat ini beberapa nasabah telah mengajukan gugatan wanprestasi terhadap Jiwasraya.
Sedangkan kepailitan dapat diajukan oleh para nasabah Jiwasraya, hanya saja penyelesaian
melalui kepailitan sangat merugikan nasabah asuransi karena dalam prakteknya kedudukan
nasabah hanya sebagai kreditor konkuren yang akan mendapatkan perlunasan setelah upah buruh,
kreditor separatis dan kreditor preferen (Luthvi, 2017:262)

Ketiga, pelindungan hukum dari aspek administrasi. Pelanggaran aturan tata kelola dalam POJK
No. 73/POJK.05/2016 membuat OJK dapat mengenakan sanksi administrasi terhadap Jiwasraya. Akuntan
publik yang terlibat juga terancam sanksi adminstrasi oleh Menteri Keuangan. Terakhir keempat, aspek
pertanggungjawaban etik terutama terkait pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai OJK.
Pengenaan sanksi etik akan dilakukan oleh Dewan Komisioner OJK. Meski menurut Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 kasus perdata didahulukan atas kasus pidana. Akan tetapi keempat
skema pertanggungjawaban dalam kasus Jiwasraya dapat berjalan bersamaan karena penyelesaian secara
pidana dalam kasus ini sangat mendesak. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sedang diuji.
Selain itu proses pidana diperlukan untuk menghalangi pihak tertentu untuk lepas dari tanggung jawab
alias melarikan diri atau melarikan aset. Berkaitan dengan kasus Jiwasraya, DPR RI awalnya berencana
akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Asuransi Jiwasraya (Persero). Namun rencana ini ditentang
oleh sejumlah kalangan mulai dari nasabah yang dirugikan sampai dengan LSM, seperti: Institute for
Development of Economics and Finance (Indef) dengan alasan yang hampir senada yaitu karena masalah
ini merupakan masalah bisnis dan penanganannya membutuhkan stabilitas politik (Republika.co.id, 13
Januari 2020). Supaya penyelesaian kasus Jiwasraya tidak bermuatan politis, akhirnya DPR memutuskan
untuk membentuk panitia kerja (panja). Pembentukan panja dalam kasus ini sudah tepat karena dengan
adanya panja pada masing-masing komisi terkait, pembahasan dengan mitra kerja terkait akan lebih
fokus. Contoh: Panja di Komisi III dapat berperan mengawasi Kejaksaan, Kepolisan dan KPK agar tidak
saling lepas tanggung jawab atau sebaliknya saling tarik menarik kepentingan terkait kasus ini.

3. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dipahami sebagai seperangkat hak eksklusif yang
diberikan kepada seseorang atau pihak yang atas kekayaan intelektual. Kekayaan
intelektual sendiri adalah hasil dari kemampuan daya pikir manusia yang kreatif dalam
berbagai bentuk. Kekayaan intelektual dipandang memiliki nilai ekonomis lantaran dapat
menunjang kehidupan manusia.

HKI merangkum berbagai macam hak yang sesuai dengan pemahaman di atas berdasarkan
undang-undang yang berlaku. Dalam situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
(DJKI), yang bernaung dalam konsep HKI terdiri dari paten, merek, hak cipta, desain industri,
indikasi geografis, desain tata letak sirkuit terpadu, dan rahasia dagang. 

Konsep Royalti dalam Pajak Usaha Waralaba


Penjelasan perihal royalti dalam konteks perpajakan dapat ditemukan pada penjelasan Undang-
Undang PPh Pasal 4 Ayat (1) Huruf h. Dalam penjelasan tersebut, royalti diartikan sebagai
jumlah yang terutang atau wajib dibayarkan sebagai imbalan atas berbagai macam hal, yaitu:

1. Penggunaan maupun hak untuk menggunakan hak cipta pada bidang kesusastraan,
kesenian, karya ilmiah, paten, desain, rencana, formula maupun proses rahasia, merek
dagang, maupun bentuk HKI lainnya. Macam-macam hak yang diatur oleh HKI ini
merupakan harta tidak berwujud yang punya nilai ekonomis meski tidak bisa dilihat
secara fisik.
2. Penggunaan maupun hak untuk menggunakan alat-alat industri, komersial, maupun
ilmiah.
3. Pemberian informasi maupun pengetahuan pada bidang ilmiah, industri, maupun
komersial.

Ketiga macam hal tersebut jelas berkaitan erat dengan usaha waralaba sehingga royalti menjadi
bagian dari pajak usaha waralaba. Hal tersebut lantaran usaha waralaba melibatkan pemberi
waralaba alias franchisor dan penerima waralaba atau franchisee. Franchisor merupakan pemilik
berbagai macam HKI, entah berupa merek dagang, hak cipta, paten, maupun desain. Selain itu,
franchisor juga memiliki informasi yang berkaitan dengan rahasia dagang untuk dibagikan
kepada franchisee. Kemudian franchisee wajib memberikan sejumlah imbalan terhadap
informasi yang diberikan oleh franchisor.

PPN dan PPh

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tidak
berwujud. Royalti atas merek dagang yang terdaftar dapat dikatakan sebagai BKP tidak
berwujud lantaran memiliki nilai ekonomis tertentu. Nilai ini dikukuhkan dengan pendaftaran
dalam HKI sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh sembarang pihak. Sebagai BKP tidak
berwujud, tarif PPN atas royalti adalah sebesar 10%.
Sementara itu, dalam Pajak Penghasilan  (PPh) yang menjadi objek adalah segala tambahan
kemampuan ekonomis yang didapatkan Wajib Pajak, baik untuk keperluan konsumsi maupun
untuk menambah kekayaan. Objek PPh memiliki beragam nama dan bentuk, termasuk royalti.

Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, dalam usaha waralaba, franchisee wajib


memberikan imbalan kepada franchisor. Dengan kata lain, franchisor menerima tambahan
kemampuan ekonomis atas penjualan merek dagang, paten, maupun informasi lainnya yang
sudah terdaftar dalam HKI. Tambahan kemampuan ekonomis inilah yang kemudian dikenai
pajak penghasilan. Besarnya pajak penghasilan secara lebih lanjut diatur dalam PPh Pasal 23 dan
PPh Pasal 26.

4. Beberapa alasan mengapa mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat
perhatian yang lebih di Indonesia:

 Faktor Ekonomis, di mana mediasi sebagai altematif penyelesaian sengketa memiliki potensi
sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang
biaya maupun waktu.
 Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki kemampuan untuk membahas agenda
permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.
 Faktor pembinaan hubungan baik, di mana mediasi yang mengandalkan cara-cara penyelesaian
yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar
manusia (relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai