SAMUEL REYNALDI
215010100111157
11
C. Analisis Kasus
1. Issue
Salah satu sengketa perdagangan terberat yang pernah diajukan oleh Indonesia adalah
sengketa perdagangan rokok kretek di Amerika Serikat. Indonesia mengajukan keberatan
kepada Amerika Serikat atas pengesahan the Family Smoking Prevention and Tobacco
Control Act of 2009, Public Law 111-31. Kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat yang
memberlakukan larangan penjualan rokok kretek di pasar Amerika Serikat, menyimpang
dari peraturan WTO dan hal tersebut merugikan Indonesia sebagai produsen. Dalam kasus
ini, Indonesia menang atas DSB oleh WTO, hal tersebut menunjukkan penegakan hukum
internasional dalam mengintervensi kebijakan di suatu Negara. Tetapi pada akhirnya kasus
sengketa ini selesai dengan kedua negara sepakat untuk menandatangani nota kesepahaman
(Mou) pada 2014.
Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan peraturan publik the Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act of 2009, Public Law 111-31. Pada tanggal 22 Juni 2009,
Presiden Barack Obama secara resmi menyetujui dan mengesahkan, bersama dengan
Komite Senat Amerika Serikat, mengenai sebuah kenijakan untuk mencegah dan
mengurangi perokok muda di Amerika Serikat. Dan Family Smoking Prevention and
Tobacco Control Act resmi menjadi undang-undang di Amerika Serikat, setelah
ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Obama.
Dengan disahkannya peraturan the Family Smoking Prevention and Tobacco Control
Act, ekspor rokok kretek Indonesia ke Amerika Serikat telah dihentikan. Hal ini
mengakibatkan kerugian pada perdagangan ekspor Indonesia karena Indonesia
menganggap undang-undang tersebut tidak konsisten ketika undang-undang tersebut
muncul dengan dalih melindungi rakyatnya, terutama untuk melindungi kaum muda sebagai
perokok pemula, tetapi mengecualikan rokok menthol diperbolehkan beredar di pasaran.
Rokok menthol yang diperbolehkan ini merupakan rokok yang dibuat Amerika Serikat
sendiri, sehingga hal tersebut merupakan tindakan yang dilakukan untuk menguntungkan
negaranya sendiri.
Atas dasar hal tersebut, Indonesia mengajukan gugatan atau permintaan penyelesaian
sengketa ke Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) dengan
mengajukan gugatan ke WTO pada April 2010. Gugatan tersebut berisi mengenai Indonesia
yang menentang kebijakan Amerika Serikat yang melarang produk tembakau yang
mengandung adiktif tambahan, yang dinilai Indonesia cukup diskriminatif.
2. Rule
the Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act of 2009, Public Law
111-31. (Termasuk Pasal 907)
Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT 1994), Pasal III, XXII dan
XXIII
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan
Perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (TBT Agreement), Pasal 2.1,
2.2, 2.12, 2.9.2.
3. Analysis
a. Penyelesaian Sengketa Internasional
Suatu sengketa (dispute) muncul ketika “Perjanjian WTO” dilanggar.
Permohonan sengketa harus disertai dengan permohonan untuk konsultasi dan juga
disertai dengan perjanjian WTO yang telah dilanggar. Penyelesaian sengketa sama
dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa, keduanya digunakan secara bergantian
dan keduanya merupakan terjemahan dari dispute. Pasal XXII dan XXIII GATT
Pasal XXII dan XXIII GATT mengatur tentang penyelesaian sengketa, memuat
aturan sederhana mengenai mekanisme penyelesaian sengketa komersial antara
negara-negara anggota GATT. Dalam kedua pasal tersebut, fokus utama tidak benar-
benar dirancang untuk menyelesaikan sengketa komersial. Kedua pasal ini
dimaksudkan untuk ‘melindungi nilai dari konsesi tarif yang telah dipertukarkan.
b. Industri Rokok Kretek dan Sengketa Antara Indonesia dengan Amerika
Serikat
Seiring berjalannya waktu, industri tembakau menghadapi banyak tantangan.
Permasalahannya adalah dampak negatif rokok terhadap kesehatan di tingkat
nasional maupun global. Pembentukan badan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa
melalui WHO membentuk Konvensi kerangka kerja tentang pengendalian tembakau
(FTCT), sebuah konvensi yang dibentuk untuk mengendalikan produk tembakau.
Namun sejauh ini pemerintah belum menandatangani kesepakatan tersebut.
Sedangkan di tingkat nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Beberapa negara di dunia mulai
mengkampanyekan sikap dan kebijakan kontra terhadap rokok karena hal terebut.
Salah satu negara yang mengkampanyekan sikap dan kebijakan kontra terhadap
rokok tersebut adalah Amerika Serikat. Amerika serikat menerapkan kebijakan yang
melarang rokok kretek masuk ke negaranya sejak tahun 2009. Hal tersebut
menyebabkan Indonesia mengalami banyak kerugian. Kebijakan pembatasan impor
rokok kretek yang dilakukan oleh Amerika Serikat memicu pertentangan dari
pemerintah Indonesia. Indonesia memandang kebijakan ini sebagai upaya untuk
melindungi perdagangan tembakau di Amerika Serikat, yang merugikan Indonesia
hingga 200 juta dollar Amerika Serikat per tahun dan memukul industri tembakau
Indonesia, yang memperkerjakan sekitar 6 juta orang. Hal yang dilakukan oleh
pemerintah Amerika Serikat dengan adanya kebijakan pembatasan impor rokok
kretek tersebut dianggap telah melakukan diskriminasi terhadap Indonesia karena
melarang rokok kretek beredar di pasaran Amerika Serikat yang beralasan akan
membuat kecanduan bagi perokok pemula, akan tetapi membiarkan rokok menthol
tetap dipasarkan di Amerika Serikat. Rokok kretek dan menthol pada dasarnya
memiliki potensi yang sama dengan rokok lainnya. Akan tetapi, Indonesia
menganggap hal ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap komitmen WTO yang
mensyaratkan penerapan prinsip non-diskriminasi dalam perdagangan Kepentingan
nasional Indonesia terhadap industri tembakau sangat kuat. Industri tembakau
merupakan salah satu industri terbesar di Indonesia dalam hal pendapatan dan
tenaga kerja. Sebelum terjadinya sengketa perdagangan antara Indonesia dan
Amerika Serikat, data menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan negara dari
cukai hasil tembakau meningkat 29 kali lipat, dari Rp 1,7 triliun pada tahun 1990
menjadi Rp 49,9 triliun pada 2008.16 Dari sisi ekspor, Indonesia merupakan
pengekspor rokok kretek terbesar di dunia. Pada 2009, jumlah rokok kretek
Indonesia di Amerika Serikat sekitar 200 juta dolar Amerika Serikat atau Rp.1,8
triliun sebelum pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan pelarangan
impor rokok kretek. Sebelum Indonesia mengajukan gugatan ke DSB WTO
mengenai sengketa ini, Indonesia telah mengupayakan penyelesaian sengketa
tersebut dengan cara diplomasi dan
negosisasi dengan pemerintah Amerika Serikat. Apa yang dilakukan Indonesia
terhadap Amerika Serikat dalam diplomasi dan negosiasi ini adalah mengajukan
protes ke Amerika Serikat dan kemudian berkonsultasi dengan pemerintah Amerika
Serikat. Dalam protesnya, Indonesia mengatakan bahwa Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act Public Law 111-31, adalah undang-undang
yang melanggar prinsip-prinsip umum non-diskriminasi dalam perdagangan yang
ada dalam peraturan WTO. Selain itu, Indonesia menambahkan dalam protesnya
bahwa Amerika Serikat tidak memberikan informasi ilmiah yang rinci yang
menunjukkan bahwa rokok kretek memiliki risiko kesehatan lebih besar daripada
rokok menthol buatan Amerika Serikat sendiri.
Setelah Indonesia melayangkan nota protes terhadap pemerintah Amerika
Serikat yang tampaknya tidak mendapat tanggapan positif, pemerintah Indonesia
meminta konsultasi dengan pemerintah Amerika Serikat. Konsultasi ini merupakan
tindakan lanjut dari negosiasi setelah nota protes yang diajukan oleh Indonesia tidak
ditanggap oleh Amerika Serikat. Indonesia kembali menyatakan Pasal 907 Family
Smoking Prevention and Tobacco Control Act” Public Law 111-31, dalam
konsultasi ini. Dalam pasal tersebut melarang pembuatan atau penjualan rokok di
Amerika Serikat yang mengandung adiktif
tertentu, termasuk cengkeh, tetapi tetap mengizinkan pembuatan dan penjualan
rokok jenis lain, termasuk rokok yang mengandung menthol. Melalui upaya
diplomasi dan negosiasi ini, Indonesia telah meminta Amerika Serikat untuk
memberikan penjelasan dan bukti ilmiah atas pelarangan rokok kretek dari pasaran
tetapi mengecualikan rokok menthol di pasar Amerika Serikat.
Terkait permintaan Indonesia agar pemerintah Amerika Serikat agar menarik
atau mengubah kebijakan tersebut, Amerika Serikat tetap pada prinsipnya untuk
terus menegakkan peraturan tersebut, bahkan Amerika Serikat terus melobi agar
negara lain juga menerapkan kebijakan tersebut. Upaya diplomasi dan negosiasi
yang dilakukan melalui konsultasi sudah berlangsung lama, dan belum ada secercah
harapan antara Indonesia dan Amerika Serikat dalam sengketa ini.
Pada akhirnya, pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan permintaan
pembentukan panel yang diungkapkan dalam Sidang Dispute Settlement Body
(DSB) World Trade Organization (WTO) pada 22 Juni 2010 di Jenewa sebagai
upaya hukum untuk sengketa komersial. Berawal dari diundangkannya undang-
undang di Amerika Serikat untuk mencegah atau mengurangi rokok bagi anak muda,
hal ini jelas merugikan Indonesia yang merupakan “Penguasa” pasar rokok kretek
di Amerika Serikat. Aturan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat ini melanggar
aturan WTO, yaitu diskriminasi terhadap peredaran rokok beraroma seperti kretek.
Kecuali roko beraroma mentol padahal rokok kretek dan rokok menthol
diklasifikasikan sebagai "like products" sebagaimana tercantum pada Pasal 2.1
perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (TBT Agreement).
Sebagai eksportir rokok keretek, Indonesia menentang perlakuan tidak adil
terhadap rokok kretek dibandingkan dengan rokok menthol karena Amerika Serikat
dianggap melakukan kegiatan yang menguntungkan untuk negaranya sendiri.
Amerika Serikat sudah melanggar Pasal 2.1 dan 2.2 dari perjanjian tentang
Hambatan Teknis Perdagangan (TBT Agreement) dan Pasal III GATT 1994,
penggunaan Article XX GATT 1994 yang tidak disertakan dengan bukti ilmiah.
Tanggal 24 Juli 2010, akhirnya DSB WTO mensetujui untuk membentuk panel.
4. Conclusion
a. Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas, tampaknya Amerika Serikat telah melanggar
prinsip non-diskriminasi WTO melalui Undang-Undang Family Smoking Protection
and Tobacco Control Act yang mendiskriminasi rokok kretek Indonesia. Prinsip
non-diskriminasi WTO mencakup dua aspek utama: perlakuan yang sama terhadap
semua negara anggota (prinsip most-favoured-nation atau MFN) dan perlakuan yang
sama terhadap produk domestik dan impor (prinsip national treatment).
Dalam kasus ini, Appellate Body WTO memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar prinsip-prinsip ini. Meskipun demikian, Amerika Serikat
tampaknya belum memenuhi tuntutan Indonesia meskipun Indonesia telah
memenangkan sengketa ini.
Proses penyelesaian sengketa WTO biasanya melibatkan tiga tahap utama:
konsultasi antara pihak-pihak yang bersengketa, penilaian oleh panel dan (jika
berlaku) oleh Appellate Body, dan implementasi putusan, yang dapat mencakup
tindakan balasan jika pihak yang kalah gagal menerapkan putusan.
Dalam konteks ini, tampaknya Amerika Serikat belum sepenuhnya mematuhi
putusan WTO dan prinsip-prinsipnya sebagai anggota WTO. Meskipun demikian,
penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman
antara kedua negara menunjukkan langkah positif menuju penyelesaian sengketa ini.
Secara umum, penyelesaian sengketa seperti ini harus selaras dengan kaidah-
kaidah hukum perdagangan internasional, yang mencakup prinsip-prinsip non-
diskriminasi dan penyelesaian sengketa yang adil dan transparan. Dalam hal ini,
tampaknya telah ada beberapa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini, tetapi
penyelesaian akhir sengketa ini melalui MoU menunjukkan upaya untuk mematuhi
kaidah-kaidah ini.
b. Saran
Saat menerapkan keputusan panel dan badan banding terhadap negara maju
untuk mematuhi rekomendasi DSB, DSB seharusnya memiliki kekuatan yang
memaksa. Agar negara -negara maju dapat mengurangi kecenderungannya untuk
melanggar hukum dan aturan kebijakan WTO, sehingga keputusan panel dan badan
banding appellate body dapat dilaksanakan dan ditegakkan dengan baik.