Indonesia berkaitan dengan WTO bukan merupakan hal yang mengherankan. Indonesia sudah
menjadi anggota WTO semenjak WTO didirikan 1 Januari 1995. WTO mengatur perdagangan
internasional dalam tiga bidang yaitu barang, jasa, dan hak kekayaan intelektual. Markas besar
organisasi ini berada di Jenewa, Swiss. Organisasi ini sekarang telah memiliki 146 anggota
negara-bangsa. Yang tidak menutup kemungkinan untuk semakin bertambah di setiap waktunya.
Mengingat manfaat menjadi anggota WTO yaitu:
d) Memberikan banyak pilihan atas produk dengan kualitas berbeda kepada konsumen;
Dengan manfaat yang menarik tersebut maka saat ini hampir semua negara-bangsa dalam sistem
internasional telah mendaftarkan diri sebagai anggota dari organisasi ini. Walaupun, organisasi
ini merupakan instrumen kaum liberalis, kaum sosialis pun turut telah turut masuk dalam
organisasi ini demi menjaga pergaulan internasionalnya dalam perdagangan. Contoh negara-
bangsa sosialis yang telah masuk yaitu Cina dan Vietnam. Yang mana, kedua negara ini telah
memperlhatkan kenaikan pertumbuhan ekonomi negaranya.
Ditambah dengan tiga prinsip besar yang diusung oleh organisasi internasional ini meliputi: most
favoured nations (non-diskriminasi), national treatment (perlakuan nasional), dan transparancy
(transparansi). Prinsip tersebut merupakan landasan bagi negara-bangsa di organisasi ini dalam
berinteraksi. Sehingga semua negara-bangsa disiratkan dalam keadaan yang sama atau adil satu
sama lain tanpa adanya diskriminasi maupun monopoli. Selain, aturan berinteraksi yang
berdasarkan prinsip tersebut, organisasi ini pun memiliki tujuan utama dalam pembentukannya
yaitu membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan
perdagangan. Dengan tujuan penting lainnya:
a) Mendorong arus perdagangan antar negara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai
hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.
Namun, tujuan yang tersurat tersebut merupakan hal yang sejatinya sulit direalisasikan karena
hingga saat ini negara-bangsa anggota WTO tetap mengalami hambatan perdagangan
internasional. Seperti Amerika Serikat dan Eropa yang tetap memberi subsidi pertanian
negaranya dan menolak masuknya hasil pertanian dari negara lain terutama negara berkembang
sehingga hasil pertanian Amerika Serikat dan Eropa relatif terjangkau dan terlihat lebih bermutu
dari negara lainnya yaitu negara-negara berkembang.
Indonesia dalam keanggotaannya di WTO mengalami berbagai hal, baik pasang maupun surut.
Dengan keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional ini, Indonesia mendapatkan
manfaat sebagai anggota sesuai dengan penjelasan diatas, namun begitu Indonesia belum
merasakan keseluruhan manfaat tersebut secara maksimal dikarenakan oleh berbagai hal.
Dengan kelembagaan Indonesia pada WTO, Indonesia harus melakukan berbagai standarisasi
yang sejatinya menyulitkan Indonesia dalam perdagangan internasional. Produk Indonesia sulit
menembus pasar internasional, ditambah membanjirnya produk asing dalam pasar nasional
sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tantangan berarti. Selain itu, Indonesia
pun merasakan diskriminasi dalam perdagangan internasional. Dimana, negara-negara maju
melakukan proteksi sebagai hambatan perdagangan internasional terhadap produk-produk dari
negara berkembang. Contoh nyata hal ini adalah pemberhentian impor rokok kretek Indonesia
oleh Amerika Serikat. Kasus ini telah membuktikan suatu tindakan pelanggaran oleh Amerika
Serikat terhadap Indonesia. Kemudian, WTO dengan restriksi berbagai hambatan perdagangan
internasional ini membuat Indonesia yang sejatinya belum siap menghadapi perdagangan bebas,
mau tidak mau harus menghadapinya. Maka, tidaklah mengherankan apabila kuota barang impor
di Indonesia melonjak naik secara signifikan, yang tidak diiringi dengan pelonjakan ekspor yang
cukup signifikan. Dengan demikian, Indonesia harus berupaya keras agar dapat melewati
tantangan ini. Indonesia harus memperbaiki industri nasionalnya agar menghasilkan produk yang
berstandar internasional sehingga mampu bersaing di pasar internasional. Ditambah dengan,
meningkatkan rasa cinta terhadap produk dalam negeri pada masyarakat Indonesia itu sendiri
agar produk domestik dapat menjadi raja di pasar nasional atau negeri sendiri.
Selain, hal yang kurang efektif dalam perdagangan internasional sebagai dampak dari
kelembagaan Indonesia dalam WTO. Terdapat juga hal-hal positif yang sedikit melegakan
Indonesia dalam perdagangan internasional. Hal tersebut seperti, produk Indonesia yang khas
atau unik mulai dikenal dunia. Sehingga produk Indonesia sejatinya memiliki tempat tersendiri
di hati masyarakat internasional. Selain itu, terpilihnya duta besar Indonesia untuk pertama
kalinya menjadi hakim dalam panel WTO penyelesaian sengketa perdagangan internasional
antara Amerika Serikat, Eropa, Meksiko, dan lainnya. Hal ini, menunjukkan semakin
dipercayanya peran internasional Indonesia dalam situasi internasional yang ada. Oleh karena
itu, dapat diasumsikan bahwa dampak kelembagaan Indonesia dalam WTO bersifat baik positif
maupun negatif. Maka, Indonesia harus meningkatkan berbagai potensinya agar semakin
mengurangi dampak negatif yang timbul dan menambah dampak positif yang ada.
Hambatan Kebijakan WTO
Kontroversi tentang manfaat liberalisasi perdagangan terus menjadi diskusi global. Sebagian
pendapat memandang liberalisasi perdagangan secara negatif yaitu liberalisasi perdagangan
dianggap turut berperan dalam menciptakan ketimpangan global (global inequality) sehingga
hanya akan membawa manfaat bagi negara ekonomi maju sebaliknya menjadi musibah bagi
negara ekonomi terbatas.
WTO sebagai penyetir perdagangan internasional yang diharapkan dapat menghilangkan
hambatan perdagangan baik dalam bentuk tariff dan non tariff barriers, meningkatkan
kesejahteraan penduduk dunia secara keseluruhan, dan menghapuskan kemiskinan di dunia saat
ini justru menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah kebijakan-kebijakan dalam WTO benar-
benar direalisasikan? Bagaimana dampaknya terhadap negara-negara anggota khususnya negara
berkembang dan LDCs?
Telah dikemukakan di bahasan sebelumnya bahwa negara-negara anggota WTO terikat
berbagai ketentuan berlaku dalam perdagangan internasional yang memberikan keuntungan dan
juga kerugian. Kurang terimplementasikannya perjanjian-perjanjian WTO, termasuk ketentuan-
ketentuan S&D, telah menjadi faktor utama keprihatinan dan keluhan dari negara berkembang
yang dikemukakan baik di dalam maupun di luar WTO.
Indonesia sebagai salah satu negara pendiri WTO pun belum merasakan manfaat
perdagangan internasional melalui kebijakan WTO secara maksimal dikarenakan oleh berbagai
hal. Indonesia diharuskan melakukan berbagai standardisasi yang menyulitkan. Produk-prosuk
Indonesia sulit menembus perdagangan internasional sedangkan produk asing dalam pasar dalam
negeri justru melimpah sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami tantangan berarti. Selain itu,
Indonesia merasakan diskriminasi sebagai negara berkembang. Kemudian dengan kebijakan
hambatan perdagangan internasional oleh WTO membuat Indonesia yang sejatinya belum siap
menghadapi perdagangan bebas, mau tidak mau dipaksa harus menghadapi. Jadi tidaklah
mengherankan jika kuota barang impor di Indonesia melonjak naik secara signifikan, tetapi tidak
diiringi dengan pelonjakan ekspor yang cukup signifikan.
Proses negosiasi dalam berbagai pertemuan WTO yang juga berjalan alot dan beberapa kali
terhenti tidak dapat memuaskan kepentingan negara-negara anggota WTO dan masyarakat di
luar. Dampaknya, mulai muncul persepsi bahwa perundingan yang berjalan di WTO merupakan
suatu proses yang tidak transparan dan merugikan negara-negara berkembang.
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM)-WTO ke-IV (2001) dihasilkan kesepekatan berupa
Doha Development Agenda (DDA) dengan memuat isu-isu pembangunan yang menjadi
kepentingan LDCs, seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja bagi
negara-negara terbelakang, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-
negara kecil ke dalam WTO. Keprihatinan dan keluhan dari negara berkembang atas kurang
terimplementasikannya perjanjian-perjanjian WTO, termasuk ketentuan-ketentuan S&D
kesulitan implementasi dalam praktek juga dikemukakan pada KTM ini. Ketentuan S&D tidak
memiliki daya mengikat secara hukum, tidak dapat ditegakkan secara efektif dalam proses
penyelesaian sengketa, dan negara berkembang tidak dapat mengacu kepada ketentuan-ketentuan
S&D untuk memaksa negara maju mengimplementasikan ketentuan itu, serta pada saat yang
sama negara berkembang juga tidak dapat mempertahankan hak-hak mereka berdasarkan
ketentuan S&D.
Secara umum, implementasi ketentuan S&D dalam praktek negara-negara anggota WTO
tidak efektif. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:
Akses pasar negara berkembang ke pasar negara-negara maju selalu dihambat; Adanya
hambatan perdagangan negara maju yang sangat signifikan antara lain berupa penerapan tarif
yang tidak fair (dirty tariffication), subsidi ekspor besar-besaran, ketidaktepatan pemilihan
produk, peningkatan kuota yang tidak signifikan, prosedur-prosedur administratif dan
kepabeanan yang memberatkan, dan penyalahgunaan mekanisme special safeguard dan anti
dumping.
Kepentingan perdagangan negara berkembang tidak dilindungi. Ketentuan S&D
mensyaratkan agar negara maju dapat mempertimbangkan tindakan-tindakan atau kebijakan-
kebijakan tertentu dalam rangka melindungi kepentingan negara berkembang. Tetapi ekspor
negara berkembang seringkali mengalami hambatan yang tidak seharusnya, seperti
penggunaan dan penegakan standar-standar teknis yang ketat.
Masa transisi kurang memadai. Negara berkembang memandang bahwa masa transisi yang
berlaku tidak memadahi untuk mengatasi kurangnya kemampuan mereka, atau untuk
mengakomodasi kebutuhan pembangunan dengan baik.
Tidak ada fleksibilitas bagi negara berkembang dalam menerapkan ketentuan-ketentuan
WTO. Fleksibilitas diperlukan oleh untuk mengatasi masalah internal, di antaranya untuk
mengoreksi penyimpangan-penyimpangan dan kegagalan pasar.1
1
Indonesia digugat di WTO oleh Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa melanggar ketentuan WTO karena
melaksanakan Program 1993 dan Program Mobil Nasional, untuk kepentingan pembangunannya, dalam hal ini
pembangunan industri mobil sendiri.
Bantuan teknis negara-negara maju tidak memadahi. Negara maju selalu membuat kebijakan
yang sifatnya protektif; agresif dalam mengajukan gugatan hukum, yang akhirnya memaksa
negara berkembang untuk membuka pangsa pasar.