Anda di halaman 1dari 13

PERAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN WTO BAGI INDONESIA

Pemerintah Indonesia menyusun program Masterplan Percepatan dan Perluasan


Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai salah satu program percepatan realisasi
perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran masyarakat untuk mewujudkan
Indonesia sebagai 10 negara maju tahun 2025. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia tersebut menetapkan sejumlah


program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi dan
kebijakan. Berdasarkan kesepakatan dalam MP3EI, Indonesia akan fokus pada 8 program utama,
yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta
pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan
ekonomi utama yaitu telematika, perkapalan, tekstil, makanan minuman, besi baja, alutsista,
kelapa sawit, karet, kakao, peternakan, perkayuan, minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga,
bauksit, perikanan, pariwisata, pertanian pangan, jabodetabek area, KSN Selat Sunda, dan
peralatan transportasi. Keberhasilan dari program MP3EI ini diharapkan mampu untuk
memenuhi kebutuhan barang atas industri tertentu bahkan menyediakan produksi dalam negeri
untuk dikomoditaskan di luar Indonesia.

Kemampuan ataupun ketidakmampuan suatu negara untuk menyediakan kebutuhan


masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri merupakan faktor utama yang menyebabkan
terjadinya perdagangan internasional. Adapun alasan lain terjadinya perdagangan internasional
yang berkembang saat ini yaitu: adanya revolusi informasi dan transportasi yang mempermudah
akses perdagangan; keunggulan dan kelebihan setiap negara pada berbagai aspek sumber daya
alam, manusia, serta teknologi; keyakinan dan kebebasan setiap negara untuk bertransaksi dan
mencari peluang keuntungan; keunikan produksi; serta fakta bahwa setiap negara membutuhkan
devisa untuk pembangunan.
World Trade Organization
Perdagangan Internasional yang dilakukan Indonesia salah satunya dinaungi oleh World
Trade Organization (WTO). WTO adalah salah satu organisasi internasional yang memegang
peran penting dalam mengatur masalah-masalah perdagangan dunia dengan maksud pendirian
untuk menciptakan kesejahteraan negara-negara anggota melalui perdagangan internasional yang
lebih bebas. Saat ini WTO mempunyai 159 negara anggota serta 32 negara pengamat yang sudah
mendaftar untuk menjadi anggota.. WTO mulai berlaku pada 1 Januari 1995 dengan tugas
utamanya adalah mendorong perdagangan bebas dengan mengurangi dan menghilangkan
hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif dan non tarif (misalnya regulasi); menyediakan
forum perundingan perdagangan internasional; penyelesaian sengketa dagang; serta memantau
kebijakan perdagangan di negara-negara anggota. WTO merupakan metamorfosis dari Perjanjian
Umum Bea Masuk dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariff and Trade) yang
didirikan tahun 1947, sebagai bagian dari kesepakatan di Bretton Woods, Amerika.
Tiga isu besar yang berada di bawah WTO adalah:
1. Perjanjian Umum tentang Barang tariff dan barang (General agreement on Tariifs and

Trade/GATT) yang merupakan perjanjian umum mengenai liberalisasi barang.


2. Perjanjian Umum Perdagangan Jasa-jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS).
3. Hak atas Kekayaan Intelektual yang Terkait dengan Perdagangan (Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights/TRIPS).
Adapun unsur pokok untuk kesuksesan WTO adalah:
1. Penurunan Tarif. Menghapus atau menurunkan tarif atas suatu produk guna mengurangi
biaya ekspor, sehingga membuka pasar tambahan bagi produsen.
2. Most Favoured Nation (MFN). Mengharuskan pemerintah memperlakukan semua negara,
investasi dan perusahaan asing secara sama dari segi hukum atau non diskriminasi.
Misalnya, suatu negara tidak dapat menghentikan impor daging sapi dari negara A bila ia
tetap mengimpor daging sapi dari negara B.
3. National Treatment (NT). Mengharuskan semua negara memperlakukan semua negara,
investasi dan perusahaan sama rata dengan investor dan perusahaan domestik. Misalnya,
pemerintah tidak boleh memberikan subsidi untuk perusahaan lokal yang memenuhi kriteria
lingkungan hidup.
4. Penghapusan restriksi kuantitatif. Melarang penggunaan restriksi selain tarif dan bea.
Negara tidak boleh membatasi ekspor atau impor dengan menetapkan kuota untuk
membatasi arus barang.
Peran Serta WTO untuk Indonesia
Dengan adanya WTO, siap atau tidak, Indonesia harus membuka pasar dalam negeri secara
luas kepada negara-negara anggota. Sebaliknya, Indonesia juga dipandang akan mendapatkan
kesempatan yang lebih luas untuk memasuki pasar dalam negeri negara-negara anggota WTO
lainnya.
Manfaat WTO bagi Indonesia yaitu untuk menghindari tindakan unilateral negara ekonomi
kuat; memperkarakan praktek yang tidak sesuai dengan persetujuan WTO dengan adanya
prosedur penyelesaian sengketa; membuka peluang produk eskpor Indonesia dengan liberalisasi
perdagangan yang dipromosikan WTO; adanya aturan main yang jelas dalam praktek
perdagangan internasional; adanya transparansi peraturan; serta perlakuan khusus yang berbeda
bagi Indonesia sebagai negara berkembang.
Manfaat perdagangan internasional bagi negara berkembang yang diberikan oleh sistem
hukum perdagangan multilateral dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari sudut
pandang eksportir dan kedua dari sudut pandang importir. Bagi eksportir, pada perdagangan
barang, hampir seluruh tarif di negara-negara maju dan sebagian besar tarif di negara
berkembang dan negara transisi ekonomi dipastikan tidak akan mengalami kenaikan. Kepastian
tidak akan adanya kenaikan tarif ini memperluas akses pasar dan terdapat jaminan bahwa akses
pasar tersebut tidak akan dirusak oleh pembatasan yang diterapkan secara mendadak oleh negara
pengimpor. WTO juga memberikan stabilitas bagi eksportir dengan mewajibkan setiap negara
anggota menerapkan ketentuan yang seragam tentang perbatasan (border). Negara anggota juga
wajib menjamin aturan main yang jelas tentang kepabeanan, seperti aturan tentang pemeriksaan
barang atau izin impor. Adanya keseragaman tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan efisiensi
bagi eksportir karena mengurangi banyaknya perbedaan persyaratan diperlakukan oleh masing-
masing negara. Bagi importir, yang mengimpor bahan mentah atau setengah jadi untuk diekspor,
adanya ketentuan yang membolehkan melakukan impor tanpa adanya pembatasan kecuali tarif
dan adanya keseragaman aturan akan menjamin kelangsungan usaha mereka. Aturan ini juga
memberikan kepastian bagi importir bahwa mereka akan menerima barang pada waktunya dan
dengan harga yang kompetitif. Disamping itu, adanya aturan tentang tarif yang mengikat
membuat importir juga mengetahui dengan jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengimpor suatu barang.
Kebijakan WTO juga telah mengakomodasi kepentingan negara berkembang melalui
berbagai ketentuan yang disebut Special and Differential Treatment (S&D). Kebijakan S&D
adalah hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan WTO kepada negara
berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya kebijakan ini dimaksudkan
untuk memfasilitasi proses integrasi negara berkembang ke dalam sistem perdagangan
multilateral, serta membantu negara berkembang mengatasi kesulitan pengimplementasian
seluruh perjanjian WTO. Sehingga diharapkan kepentingan pertumbuhan dan pembangunan
negara berkembang tidak terhambat. Selain itu, S&D menunjukkan bahwa dengan perbedaan
tingkat pembangunan yang dicapai oleh negara anggota memerlukan adanya perangkat-
perangkat kebijakan dalam mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berbeda
pula. Terdapat 145 ketentuan S&D yang tersebar dalam berbagai perjanjian WTO, 107
diantaranya diadopsi pada Putaran Uruguay, dan 22 secara khusus diperuntukkan bagi negara
terbelakang (Least Developed Countries/LDCs).
WTO mengklasifikasikan ketentuan-ketentuan S&D ke dalam enam kategori:
Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan kesempatan perdagangan negara
berkembang.
Ketentuan-ketentuan yang menghendaki negara-negara anggota WTO untuk melindungi
kepentingan negara berkembang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan fleksibilitas dalam komitmen, tindakan,dan
penggunaan instrumen-instrumen kebijakan.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan masa transisi.
Ketentuan-ketentuan tentang bantuan teknis.
Ketentuan-ketentuan khusus bagi negara terbelakang.

Dampak WTO Bagi Indonesia

Indonesia berkaitan dengan WTO bukan merupakan hal yang mengherankan. Indonesia sudah
menjadi anggota WTO semenjak WTO didirikan 1 Januari 1995. WTO mengatur perdagangan
internasional dalam tiga bidang yaitu barang, jasa, dan hak kekayaan intelektual. Markas besar
organisasi ini berada di Jenewa, Swiss. Organisasi ini sekarang telah memiliki 146 anggota
negara-bangsa. Yang tidak menutup kemungkinan untuk semakin bertambah di setiap waktunya.
Mengingat manfaat menjadi anggota WTO yaitu:

a) Persengketaan antar-negara dapat ditangani secara konstruktif;


b) Memudahkan perdagangan antar-negara;

c) Mendorong pengurangan tarif dan hambatan non tariff;

d) Memberikan banyak pilihan atas produk dengan kualitas berbeda kepada konsumen;

e) Mendorong pertumbuhan ekonomi;

f) Mendorong perdagangan berjalan lebih efisien.

Dengan manfaat yang menarik tersebut maka saat ini hampir semua negara-bangsa dalam sistem
internasional telah mendaftarkan diri sebagai anggota dari organisasi ini. Walaupun, organisasi
ini merupakan instrumen kaum liberalis, kaum sosialis pun turut telah turut masuk dalam
organisasi ini demi menjaga pergaulan internasionalnya dalam perdagangan. Contoh negara-
bangsa sosialis yang telah masuk yaitu Cina dan Vietnam. Yang mana, kedua negara ini telah
memperlhatkan kenaikan pertumbuhan ekonomi negaranya.

Ditambah dengan tiga prinsip besar yang diusung oleh organisasi internasional ini meliputi: most
favoured nations (non-diskriminasi), national treatment (perlakuan nasional), dan transparancy
(transparansi). Prinsip tersebut merupakan landasan bagi negara-bangsa di organisasi ini dalam
berinteraksi. Sehingga semua negara-bangsa disiratkan dalam keadaan yang sama atau adil satu
sama lain tanpa adanya diskriminasi maupun monopoli. Selain, aturan berinteraksi yang
berdasarkan prinsip tersebut, organisasi ini pun memiliki tujuan utama dalam pembentukannya
yaitu membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan
perdagangan. Dengan tujuan penting lainnya:

a) Mendorong arus perdagangan antar negara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai
hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.

b) Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen.

c) Menyelesaikan sengketa, mengingat hubungan dagang sering menimbulkan konflik-


konflik kepentingan.

Namun, tujuan yang tersurat tersebut merupakan hal yang sejatinya sulit direalisasikan karena
hingga saat ini negara-bangsa anggota WTO tetap mengalami hambatan perdagangan
internasional. Seperti Amerika Serikat dan Eropa yang tetap memberi subsidi pertanian
negaranya dan menolak masuknya hasil pertanian dari negara lain terutama negara berkembang
sehingga hasil pertanian Amerika Serikat dan Eropa relatif terjangkau dan terlihat lebih bermutu
dari negara lainnya yaitu negara-negara berkembang.

Indonesia dalam keanggotaannya di WTO mengalami berbagai hal, baik pasang maupun surut.
Dengan keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional ini, Indonesia mendapatkan
manfaat sebagai anggota sesuai dengan penjelasan diatas, namun begitu Indonesia belum
merasakan keseluruhan manfaat tersebut secara maksimal dikarenakan oleh berbagai hal.
Dengan kelembagaan Indonesia pada WTO, Indonesia harus melakukan berbagai standarisasi
yang sejatinya menyulitkan Indonesia dalam perdagangan internasional. Produk Indonesia sulit
menembus pasar internasional, ditambah membanjirnya produk asing dalam pasar nasional
sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tantangan berarti. Selain itu, Indonesia
pun merasakan diskriminasi dalam perdagangan internasional. Dimana, negara-negara maju
melakukan proteksi sebagai hambatan perdagangan internasional terhadap produk-produk dari
negara berkembang. Contoh nyata hal ini adalah pemberhentian impor rokok kretek Indonesia
oleh Amerika Serikat. Kasus ini telah membuktikan suatu tindakan pelanggaran oleh Amerika
Serikat terhadap Indonesia. Kemudian, WTO dengan restriksi berbagai hambatan perdagangan
internasional ini membuat Indonesia yang sejatinya belum siap menghadapi perdagangan bebas,
mau tidak mau harus menghadapinya. Maka, tidaklah mengherankan apabila kuota barang impor
di Indonesia melonjak naik secara signifikan, yang tidak diiringi dengan pelonjakan ekspor yang
cukup signifikan. Dengan demikian, Indonesia harus berupaya keras agar dapat melewati
tantangan ini. Indonesia harus memperbaiki industri nasionalnya agar menghasilkan produk yang
berstandar internasional sehingga mampu bersaing di pasar internasional. Ditambah dengan,
meningkatkan rasa cinta terhadap produk dalam negeri pada masyarakat Indonesia itu sendiri
agar produk domestik dapat menjadi raja di pasar nasional atau negeri sendiri.

Selain, hal yang kurang efektif dalam perdagangan internasional sebagai dampak dari
kelembagaan Indonesia dalam WTO. Terdapat juga hal-hal positif yang sedikit melegakan
Indonesia dalam perdagangan internasional. Hal tersebut seperti, produk Indonesia yang khas
atau unik mulai dikenal dunia. Sehingga produk Indonesia sejatinya memiliki tempat tersendiri
di hati masyarakat internasional. Selain itu, terpilihnya duta besar Indonesia untuk pertama
kalinya menjadi hakim dalam panel WTO penyelesaian sengketa perdagangan internasional
antara Amerika Serikat, Eropa, Meksiko, dan lainnya. Hal ini, menunjukkan semakin
dipercayanya peran internasional Indonesia dalam situasi internasional yang ada. Oleh karena
itu, dapat diasumsikan bahwa dampak kelembagaan Indonesia dalam WTO bersifat baik positif
maupun negatif. Maka, Indonesia harus meningkatkan berbagai potensinya agar semakin
mengurangi dampak negatif yang timbul dan menambah dampak positif yang ada.
Hambatan Kebijakan WTO
Kontroversi tentang manfaat liberalisasi perdagangan terus menjadi diskusi global. Sebagian
pendapat memandang liberalisasi perdagangan secara negatif yaitu liberalisasi perdagangan
dianggap turut berperan dalam menciptakan ketimpangan global (global inequality) sehingga
hanya akan membawa manfaat bagi negara ekonomi maju sebaliknya menjadi musibah bagi
negara ekonomi terbatas.
WTO sebagai penyetir perdagangan internasional yang diharapkan dapat menghilangkan
hambatan perdagangan baik dalam bentuk tariff dan non tariff barriers, meningkatkan
kesejahteraan penduduk dunia secara keseluruhan, dan menghapuskan kemiskinan di dunia saat
ini justru menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah kebijakan-kebijakan dalam WTO benar-
benar direalisasikan? Bagaimana dampaknya terhadap negara-negara anggota khususnya negara
berkembang dan LDCs?
Telah dikemukakan di bahasan sebelumnya bahwa negara-negara anggota WTO terikat
berbagai ketentuan berlaku dalam perdagangan internasional yang memberikan keuntungan dan
juga kerugian. Kurang terimplementasikannya perjanjian-perjanjian WTO, termasuk ketentuan-
ketentuan S&D, telah menjadi faktor utama keprihatinan dan keluhan dari negara berkembang
yang dikemukakan baik di dalam maupun di luar WTO.
Indonesia sebagai salah satu negara pendiri WTO pun belum merasakan manfaat
perdagangan internasional melalui kebijakan WTO secara maksimal dikarenakan oleh berbagai
hal. Indonesia diharuskan melakukan berbagai standardisasi yang menyulitkan. Produk-prosuk
Indonesia sulit menembus perdagangan internasional sedangkan produk asing dalam pasar dalam
negeri justru melimpah sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami tantangan berarti. Selain itu,
Indonesia merasakan diskriminasi sebagai negara berkembang. Kemudian dengan kebijakan
hambatan perdagangan internasional oleh WTO membuat Indonesia yang sejatinya belum siap
menghadapi perdagangan bebas, mau tidak mau dipaksa harus menghadapi. Jadi tidaklah
mengherankan jika kuota barang impor di Indonesia melonjak naik secara signifikan, tetapi tidak
diiringi dengan pelonjakan ekspor yang cukup signifikan.
Proses negosiasi dalam berbagai pertemuan WTO yang juga berjalan alot dan beberapa kali
terhenti tidak dapat memuaskan kepentingan negara-negara anggota WTO dan masyarakat di
luar. Dampaknya, mulai muncul persepsi bahwa perundingan yang berjalan di WTO merupakan
suatu proses yang tidak transparan dan merugikan negara-negara berkembang.
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM)-WTO ke-IV (2001) dihasilkan kesepekatan berupa
Doha Development Agenda (DDA) dengan memuat isu-isu pembangunan yang menjadi
kepentingan LDCs, seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja bagi
negara-negara terbelakang, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-
negara kecil ke dalam WTO. Keprihatinan dan keluhan dari negara berkembang atas kurang
terimplementasikannya perjanjian-perjanjian WTO, termasuk ketentuan-ketentuan S&D
kesulitan implementasi dalam praktek juga dikemukakan pada KTM ini. Ketentuan S&D tidak
memiliki daya mengikat secara hukum, tidak dapat ditegakkan secara efektif dalam proses
penyelesaian sengketa, dan negara berkembang tidak dapat mengacu kepada ketentuan-ketentuan
S&D untuk memaksa negara maju mengimplementasikan ketentuan itu, serta pada saat yang
sama negara berkembang juga tidak dapat mempertahankan hak-hak mereka berdasarkan
ketentuan S&D.
Secara umum, implementasi ketentuan S&D dalam praktek negara-negara anggota WTO
tidak efektif. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:
Akses pasar negara berkembang ke pasar negara-negara maju selalu dihambat; Adanya
hambatan perdagangan negara maju yang sangat signifikan antara lain berupa penerapan tarif
yang tidak fair (dirty tariffication), subsidi ekspor besar-besaran, ketidaktepatan pemilihan
produk, peningkatan kuota yang tidak signifikan, prosedur-prosedur administratif dan
kepabeanan yang memberatkan, dan penyalahgunaan mekanisme special safeguard dan anti
dumping.
Kepentingan perdagangan negara berkembang tidak dilindungi. Ketentuan S&D
mensyaratkan agar negara maju dapat mempertimbangkan tindakan-tindakan atau kebijakan-
kebijakan tertentu dalam rangka melindungi kepentingan negara berkembang. Tetapi ekspor
negara berkembang seringkali mengalami hambatan yang tidak seharusnya, seperti
penggunaan dan penegakan standar-standar teknis yang ketat.
Masa transisi kurang memadai. Negara berkembang memandang bahwa masa transisi yang
berlaku tidak memadahi untuk mengatasi kurangnya kemampuan mereka, atau untuk
mengakomodasi kebutuhan pembangunan dengan baik.
Tidak ada fleksibilitas bagi negara berkembang dalam menerapkan ketentuan-ketentuan
WTO. Fleksibilitas diperlukan oleh untuk mengatasi masalah internal, di antaranya untuk
mengoreksi penyimpangan-penyimpangan dan kegagalan pasar.1

1
Indonesia digugat di WTO oleh Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa melanggar ketentuan WTO karena
melaksanakan Program 1993 dan Program Mobil Nasional, untuk kepentingan pembangunannya, dalam hal ini
pembangunan industri mobil sendiri.
Bantuan teknis negara-negara maju tidak memadahi. Negara maju selalu membuat kebijakan
yang sifatnya protektif; agresif dalam mengajukan gugatan hukum, yang akhirnya memaksa
negara berkembang untuk membuka pangsa pasar.

KOMITMEN INDONESIA DI INTERNATIONAL Fora


pelaksanaan inisiatif multilateral
Ratifikasi Perjanjian Marrakesh telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 2
Desember 1994. Pemerintah mendukung peran WTO dalam memperkuat sistem perdagangan
multilateral dan berkomitmen untuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab yang timbul
dari Putaran Uruguay. Hal ini ditunjukkan oleh komitmen Indonesia di WTO yang baru-baru
meliputi teknologi informasi, telekomunikasi, dan jasa keuangan.
Mengenai pelaksanaan hasil UR, Indonesia dihapuskan sebagian besar hambatan non-
tarif itu berkomitmen untuk di Jadwal XXI. Selanjutnya, Pemerintah juga telah menghilangkan
biaya tambahan impor sejak Juni 1996. Sisa hambatan non-tarif adalah di sektor minyak.
Sebagai anggota WTO, Indonesia telah menerapkan Perjanjian Penilaian WTO sejak 1
April 1997. Sejak saat itu, penentuan nilai pabean untuk barang impor berdasarkan ketentuan
Perjanjian. Selain itu, Indonesia menciptakan instrumen berikut dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, seperti Kustom UU No.10 / 1995; Keputusan Menteri Keuangan Nomor
690 / KMK.05 / 1996; Surat Beredar Bea Direktur Jenderal No.SE-11 / BC / 1997; Direktur
Jenderal Bea Keputusan No.KEP-14 / BC / 1997 dan KEP-21 / BC / 1997. Sejalan dengan
pelaksanaan Perjanjian, Indonesia juga merevisi prosedur impor untuk mengakomodasi sistem
penilaian pabean baru. Dengan demikian, barang impor diproses melalui saluran hijau atau
merah. Pemilihan untuk hijau atau merah didasarkan pada penilaian risiko yang dilakukan oleh
unit intelijen.
Sejak tahun 1994, Indonesia telah melakukan latihan bersama untuk meningkatkan
perlindungan HKI yang ada dan prosedur sesuai dengan standar dan praktek seperti yang
ditentukan oleh semua konvensi internasional dan hak kekayaan intelektual internasional. Upaya
juga dilakukan untuk membuat undang-undang baru dan mengubah yang sudah ada sesuai
dengan Perjanjian WTO / TRIPS. Pada Mei 1997, Indonesia menetapkan tiga undang-undang
baru di bidang HKI, yaitu:
(xxxiv) Hukum No.12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang no.6 tahun 1982
tentang Hak Cipta, sebagaimana telah diubah dengan No.7 hukum 1987;
(xxxv) UU No.13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten; dan.
(XXXVI) UU No.14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.19 tahun 1992
tentang Merek.
Langkah sedang dilakukan untuk memenuhi kewajiban WTO / TRIPS di Indonesia pada
tahun 1999. Pengesahan undang-undang baru, yaitu, untuk perlindungan varietas tanaman, hak
pemain 'dan lay-out desain sirkuit terpadu serta perubahan kecil pada yang ada paten dan hukum
merek dagang berada pada berbagai tahap drafting.
Indonesia telah diberlakukan negara yang paling disukai untuk semua anggota WTO dan
tidak pernah berubah status sejak pertengahan tahun 1995. Sebagai informasi, keputusan Menteri
Keuangan yang ditandatangani pada 21 Januari 1998 disebutkan mengurangi tarif dengan sistem
MFN untuk semua bangsa.
Pelaksanaan Inisiatif Regional
Indonesia menekankan pentingnya kuat untuk kerjasama regional dan terus berpartisipasi
aktif dalam berbagai kelompok regional, seperti ASEAN dan APEC.
Sebagai salah satu penggagas Deklarasi Bogor pada liberalisasi perdagangan dan
investasi pada 2010 untuk ekonomi industri dan 2020 untuk mengembangkan ekonomi anggota
APEC, Indonesia telah berkomitmen untuk liberalisasi terus-menerus pada perdagangan dan
investasi. Indonesia akan terus mengejar pengurangan tarif sejalan dengan upaya liberalisasi
perdagangan dan komitmen di ASEAN dan APEC.
Prioritas Indonesia difokuskan pada upaya untuk meningkatkan perdagangan dan
kerjasama ekonomi dalam ASEAN di bidang perdagangan dan jasa, hak kekayaan intelektual,
transportasi dan komunikasi, pengembangan infrastruktur dan kerjasama industri.
Untuk melaksanakan komitmen ASEAN-AFTA, Indonesia telah mengambil langkah-
langkah sejak tahun 1994 untuk menurunkan tarifnya, dan memperbaharui jadwal penurunan
tarif untuk AFTA pada tahun 2003, yang meliputi 7,212 pos tarif. Mereka tarif terdiri dari
Inclusion List (6,622), Temporary Exclusion List (541), Sensitive List (4), dan daftar Exception
Umum (45).
Krisis ekonomi saat ini tidak akan mengubah komitmen Indonesia untuk melaksanakan
skema CEPT-AFTA pada tahun 2003.
MASA DEPAN ARAH KEBIJAKAN INDONESIA
Dengan bernaungnya Indonesia dibawah WTO, siap atau tidak siap Indonesia harus bersiap
untuk membuka pangsa pasar dalam negeri seluas-luasnya dan menciptakan iklim yang baik bagi
produk dalam negeri berorientasi ekspor. Hal ini sejalan dengan mandat WTO untuk
menciptakan dan menjalankan peraturan perdagangan bebas menuju dunia tanpa batas negara.
Kesiapan dari Pemerintah Indonesia juga harus didukung dengan berani menyuarakan
kepentingan nasional baik dalam forum WTO maupun diluar WTO melalui diplomasi ekonomi
yang baik sehingga Indonesia sebagai negara berkembang memiliki hak yang sama dengan
negara maju. Dan atas permasalahan serta keluhan yang selama ini disuarakan oleh negara
berkembang, WTO harus berani untuk secara transparan menentukan kebijakan. Karena jika
tidak diselesaikan, masalah bukan hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju
yang akhirnya keberlangsungan WTO sendiri dipertaruhkan.
Inilah beberapa kesiapan Indonesia untuk masa depan :

a. Selama bertahun-tahun, pemerintah telah secara konsisten menunjukkan kemampuannya


untuk mempertahankan komitmennya untuk pembangunan ekonomi. Namun, karena
turbulensi ekonomi belum pernah terjadi sebelumnya sejak pertengahan tahun 1997,
prioritas pertama pemerintah, dalam jangka pendek, adalah untuk menstabilkan situasi
ekonomi dan politik. Prioritas yang paling mendesak bagi pemerintah adalah
meningkatkan sistem distribusi dan memastikan kecukupan pasokan komoditas
kebutuhan pokok.
b. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melanjutkan program reformasi yang meliputi
5 komponen utama :
Mempertahankan stabilitas ekonomi makro;
Mereformasi dan memperkuat sistem perbankan;

Restrukturisasi utang perusahaan;


Mengejar reformasi struktural untuk meningkatkan tata kelola dan efisiensi
sektor swasta; dan
Mengambil tindakan untuk melindungi rakyat miskin dan mempertahankan
investasi kunci sumber daya manusia.
c. Indonesia akan terus menegakkan komitmennya kepada masyarakat internasional.
Kembali ke atas

Anda mungkin juga menyukai