Anda di halaman 1dari 7

enyebab konflik antara Venezuela dan Kolombia bisa dikatakan cukup kompleks.

Hal ini
dikarenakan adanya berbagai faktor internal hubungan bilateral kedua negara dan adanya
intervensi Amerika Serikat dalam hubungan bilateral ini. Venezuela dan Kolombia sendiri awal
mulanya merupakan sebuah negara yang bersatu. Pada pertengahan abad ke-15 Venezuela
memutuskan untuk menjadi negara sendiri dan lepas dari pemerintahan Kolombia. Sejak
terjadinya Perang Dingin, kedua negara ini menganut ideologi yang berbeda. Perbedaan
perngaruh ideologi ini berdampak secara langsung terhadap berbagai bidang pemerintahan
kedua negara.
Perbedaan Ideologi Kedua Negara
Ideologi kedua negara ini sangatlah bertentangan. Hal ini secara langsung berdampak pada
tatanan hubungan bilateral kedua negara sekaligus hubungan regional di Amerika Selatan.
Ideologi Kolombia berkiblat pada Amerika Serikat yang liberal-kapitalis, sedangkan Venezuela
merupakan ekstrimis sosialis yang anti terhadap Amerika Serikat. Permasalahan perbedaan
ideologi ini semakin tajam setelah Hugo Chavez menjadi Presiden Venezuela pada tahun 1998.
Kemenangan Chavez di pemilu tahun 1998 membuat haluan politik Venezuela berubah secara
drastis. Secara personal, Hugo Chavez merupakan seorang dengan haluan politik sosialis dan
hal ini berdampak pada arah pemerintahan Venezuela selama di bawah pimpinan Chavez.
Sebaliknya, Presiden Kolombia saat itu, Andreas Pastrana merupakan seorang anti sosialis dan
sangat pro terhadap Amerika Serikat. Hal ini membuat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
Pastrana dilandasi oleh asas-asas liberalis-kapitalis. Maka dari itu, perbedaan ideologi kedua
negara ini berpengaruh secara langsung terhadap tindakan-tindakan yang diambil kedua negara
dalam mengejar kepentingan nasionalnya masing-masing.
Hubungan bilateral kedua negara hanya harmonis di bidang ekonomi. Namun di bidang politik,
keamanan, dan pertahanan terlihat jelas disinkronisasi antara kedua negara ini. Hal ini jelas
disebabkan oleh perbedaan ideologi. Ditambah lagi eratnya hubungan diplomatik antara
Kolombia dan Amerika Serikat yang semakin membuat Venezuela merasa terancam.
Ketidakharmonisan ini berlanjut pada tataran regional, khususnya di kawasan Andes, di mana
kebijakan luar negeri Venezuela saling bertentangan dengan kebijakan keamanan dalam negeri
Kolombia. Venezuela lebih berorientasi pada usaha peningkatan integrasi kawasan dengan
jargon Bolivarianismenya yang berbasiskan pada ide-ide sosialisme, sedangkan Kolombia pada
tataran regional tidak begitu aktif dalam memperjuangkan integrasi kawasan.
Kolombia yang secara internal disibukkan dengan persoalan stabilitas keamanan dan ekonomi
lebih banyak mencari solusi ke Amerika Serikat yang dianggap lebih bisa mengakomodasi
kepentingannya, termasuk membantu pendanaan dalam memerangi FARC (kelompok gerakan
revolusi sosialis Kolombia) dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Kebijakan keamanan

Kolombia telah bersinggungan dengan kebijakan luar negeri Venezuela yang akhirnya
berbenturan dalam persoalan FARC. Kolombia tidak memperhatikan jika kerjasama
pertahanannya dengan Amerika Serikat akan membahayakan kedaulatan Venezuela.
Sementara kebijakan Venezuela yang mendukung FARC sebagai agen Sosialis di Kolombia
merupakan pelecehan terhadap pemerintah Kolombia yang secara terangterangan mencap
FARC sebagai kelompok Teroris.

Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Amerika Serikat


Selama masa pemerintahan Carlos Perez (1974-1993), hubungan bilateral antara Venezuela
dan Amerika Serikat sebenarnya terjalin dengan baik. Selama masa itu Venezuela sangat
bergantung kepada Amerika Serikat terkait dengan ketersediaan senjata bagi militernya. Setelah
masa jabatan Perez berakhir, ia digantikan oleh Ramon Velasquez yang merupakan Presiden
sementara Venezuela. Hubungan bilateral Amerika Serikat dengan Venezuela selama masa
pemerintahan Velasquez pun juga berjalan dengan baik. Kedua negara inipun saling sepakat
untuk bekerja sama dalam memberantas narkotika yang marak beredar di kedua negara.
Keharmonisan hubungan diplomatik kedua negara ini dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk
menambah pundi-pundi pendapatan negaranya. Amerika Serikat pun juga mulai menyebarkan
pengaruh politik dan ekonomi neoliberal di Venezuela. Kebijakan ekonomi liberal yang
berasaskan pada Washington Consensus membuat Venezuela sangat bergantung pada IMF dan
Bank Dunia. Untuk mendapatkan pinjaman dana dari IMF maupun Bank Dunia, Venezuela harus
menaati peraturanperaturan yang diatur di Washington Consensus. Peraturan-peraturan tersebut
meliputi: mengurangi anggaran publik, liberalisasi keuangan dan perdagangan, mendorong
investasi asing, privatisasi BUMN, deregulasi ekonomi, nilai tukar yang kompetitif untuk
perekonomian berbasis ekspor, menjamin disiplin fiskal, reformasi pajak, serta perlindungan hak
cipta.
Atas kesepakatan Perez dan Washington Consensus, Venezuela mendapatkan dana pinjaman
sebesar 4,6 miliar Dollar AS. Namun kebijakan ekonomi liberalis tersebut gagal dijalankan
dengan baik, sehingga Venezuela terpaksa meminjam dana tambahan sebesar 2,5 miliar Dollar
AS. Selain itu, Venezuela juga terlanjur menyepakati asas-asas yang terdapat di Washington
Consensus, sehingga mau tidak mau Venezuela harus menerima serbuan perusahaanperusahaan asing yang hendak berinvestasi di Venezuela. Hal ini berakibat pada munculnya
perbedaan kelas antara si kaya (borjuis) dan si miskin (proletar) di Venezuela. Dampaknya
adalah tumbuh instabilitas sosial, politik, dan ekonomi di Venezuela.
Hugo Chavez muncul di saat yang sangat tepat. Dengan ide Revolusi Bolivariannya yang
terkenal, Chavez mempengaruhi negara-negara di Amerika Latin seperti Argentina, Chile,

Uruguay, Paraguay, Bolivia, dan Brazil untuk menentang liberalisme yang diterapkan oleh
Amerika Serikat di Amerika Latin. Tindakan Chavez ini didasari oleh pemikirannya yang
menganggap bahwa neoliberalisme tidak akan mampu menyejahterakan rakyat miskin. Justru
akan semakin memperkaya para pemilik modal dengan cara mengeksploitasi rakyat miskin
sebagai pekerja. Ia meyakini bahwa rakyat miskin di Venezuela tidak akan menjadi sejahtera
dengan diterapkannya sistem ekonomi neoliberal. Hal itu terbukti dengan adanya perbedaan
kelas yang sangat jelas terlihat saat ia terpilih menjadi Presiden Venezuela pada 1998.
Revolusi Bolivarian sendiri berangkat dari sejarah perjuangan bangsa Venezuela untuk
meningkatkan standar hidup dan martabat rakyat Venezuela. Revolusi ini pertama kali
diperkenalkan oleh Simon Bolivar pada abad ke-19 saat rakyat Venezuela berjuang merebut
kemerdekaan dari Spanyol. Intinya, Revolusi Bolivarian merupakan sebuah respon terhadap
proses globalisasi neoliberal yang memperbesar jurang kesenjangan antara si miskin dan si
kaya dalam konteks negara utara-selatan. Revolusi Bolivarian tidak menggunakan kekerasan
sebagai metode utamanya, melainkan menggunakan referendum dengan partisipasi rakyat yang
damai. Sebagai Presiden, Chavez memanfaatkan wewenangnya untuk mengajukan kebijakankebijakan radikal di bidang sosial, ekonomi dan politik. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Hugo
Chavez selalu menekankan pada anti-liberalisme dan antikapitalisme di Venezuela.
Kemenangan Hugo Chavez untuk mendapatkan kursi Presiden Venezuela pada 1998 secara
mendadak merubah wajah sistim ekonomi di Venzuela dari kapitalis menjadi sosialis. Sebagai
negara dengan sumber daya minyak yang sangat melimpah, Chavez berencana untuk
menasionalisasi sebagian besar perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki saham terbesar
di bidang perminyakan. Selama masa 2001 2002, Hugo Chavez berhasil menasionalisasi
Statoil (Norwegia), TOTAL (Prancis), ENI (Italia), dan Exxon Mobil (Amerika Serikat). Selain itu
Chavez juga menasionalisasi PDVSA (Petroleos de Venezuela SA) milik Venezuela yang
sebelumnya dimiliki oleh seorang konglomerat kaya.
Upaya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Venezuela merupakan bentuk
implementasi sistem ekonomi sosialis yang diperjuangkan oleh Chavez. Tujuannya adalah untuk
mengembalikan kekayaan Venezuela kepada rakyatnya agar bisa menikmati hasil bumi yang
melimpah.

Penempatan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Kolombia


Pada Agustus tahun 2009, Hugo Chavez memerintahkan pasukan militernya untuk bersiaga
penuh atas kemungkinan perang dengan Kolombia. Perintah Chavez ini tidak lain diakibatkan
oleh penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Kolombia. Chavez merasa ancaman
terhadap negaranya semakin meningkat setiap harinya. Selain itu, Chavez juga menuding

bahwa Amerika Serikat berencana menggunakan pangkalan militernya di Kolombia untuk


mendestabilisasi kawasan perbatasan Kolombia dan Venezuela.
Penempatan pangkalan militer Amerika Serikat di Kolombia merupakan bentuk kesepakatan
kerjasama pertahanan Defense Cooperation Agreement (DCA). Walaupun sebenarnya
kerjasama ini bertujuan untuk melawan narkotika, peredaran senjata ilegal, dan gerakan
separatis di Kolombia, Hugo Chavez tetap menganggap bahwa kerjasama ini akan membawa
provokasi di kawasan Amerika Latin. Sedangkan Presiden Kolombia, Alvaro Uribe, tetap
berpegang teguh pada tujuan awal kerjasama ini, yaitu untuk melawan narkotika, senjata ilegal,
dan gerakan separatis.

Kerjasama militer ini menimbulkan kekhawatiran besar bagi Venezuela. Chavez melihat bahwa
Amerika Serikat akan memanfaatkan tujuh pangkalan militer ini sebagai pintu masuk untuk
melakukan agresi militer terhadap Venezuela. Serangan ini dicurigai bertujuan untuk
menghancurkan Revolusi Bolivarian yang telah dicapai oleh Venezuela melalui dukungan militer
Amerika Serikat terhadap gerakan oposisi di Venezuela untuk menjatuhkan Hugo Chavez.
Untuk menghadapi ancaman ini, Chavez mengumpulkan beberapa kepala negara di Amerika
Selatan yang anti-Amerika seperti Argentina, Brazil, Bolivia, Ekuador, Chili, Nikaragua, dan
Paraguay. Negara-negara yang mengikuti KTT ini mengecam kebijakan Kolombia yang
menyewakan pangkalan militernya kepada Amerika Serikat. Kolombia juga diharuskan
menyepakati pernyataan bahwa penempatan angkatan militer Amerika Serikat di Kolombia tidak
boleh lepas dari tujuan-tujuan awal kerjasama yang telah disepakati oleh Kolombia dan Amerika
Serikat.
Intervensi Venezuela Di Kolombia

Ada beberapa sumber konflik antara Venezuela Kolombia dan salah satunya adalah dukungan
Venezuela terhadap kelompok pemberontak bersenjata Kolombia Fuerzas Armadas
Revolucionaries de Colombia (FARC). FARC merupakan kelompok pemberontak (Insurgent
Group) bersenjata yang teroganisasi secara rapi dan baik. FARC sendiri di bentuk pada tahun
1964 sebagai sayap militer dari Partai Komunis Kolombia. Sebagai organisasi berbasis ideologi
Marxis Leninisme, FARC merupakan yang tertua, terbesar dan paling mapan di daratan
Amerika Latin. Dalam mengeksekusi misinya, FARC menggunakan taktik gerilya.
Tujuan FARC sendiri adalah untuk merebut kekuasaan dari Pemerintah Kolombia saat ini yang
menurut mereka pro-imperialisme dan Kapitalisme ala AS untuk menjadikan Kolombia sebagai
Negara berhaluan Kiri. Sejak di deklarasikannya FARC, pemerintah Kolombia direpotkan dengan
aksi-aksi FARC yang tidak hanya merugikan perekonomian dan keamanan Kolombia tetapi juga
mencoreng muka pemerintah Kolombia di dunia internasional karena Pemerintah Kolombia
gagal dalam memberikan perlindungan bagi warga Negara asing, termasuk pengusaha asing
maupun korporasi multinasional.

Dalam melaksanakan aksinya, FARC memperoleh sumber pendanaan dari Pajak terhadap
perdagangan obat-obatan ilegal yang di jalankan dan dioperasikan di wilayah kekuasaan
mereka. Disamping itu, FARC juga melakukan aksi penculikan terhadap turis asing termasuk
individu-individu yang mempunyai reputasi internasional. Belakangan FARC juga ternyata terlibat
didalam bisnis obat-obatan terlarang dan merupakan sumber pendapatan terbesar bagi
organisasi itu untuk menjalankan aksi-aksi mereka. Namun, yang paling ditakutkan pemerintah
Kolombia adalah sebuah Kudeta terencana yang akan membawa Kolombia jatuh ketangan
Komunisme.
Dukungan Venezuela kepada Fuerzas Armadas Revolucionaries de
Colombia (FARC)

Venezuela mulai memperlihatkan dukungannya kepada FARC ketika Chavez mulai memegang
kekuasaan di Negara itu. Dukungan ini dapat dilihat sebagai bentuk implementasi kebijakan luar
negeri Chavez dalam lingkup Kawasan yang menginginkan integrasi kawasan Amerika Latin dan
Karibia kedalam sebuah blok regional berbasis sosialisme. FARC yang secara ideologis sama
dengan Venezuela merupakan agen yang tepat untuk membawa Kolombia menjadi Negara
Sosialis. Selain itu, dukungan Venezuela ini juga dapat dilihat sebagai reaksi terhadap kebijakan
keamanan dalam negeri dan kebijakan luar negeri pemerintahan Alvaro Uribe yang pro AS.
Venezuela melihat kerjasama militer Kolombia AS yang ditujukan untuk menumpas FARC,
sangat membahayakan kedaulatannya karena basis dan operasi militernya yang terlalu dekat
dengan perbatasan Venezuela.
Di Kolombia sendiri, konflik ini terjadi secara vertikal antara kelompok pemberontak FARC
dengan Pemerintah Kolombia maupun secara horizontal antara kubu pemerintah dengan kubu
pemberontak. Konflik internal yang terjadi antara FARC dan pemerintah selama bertahun-tahun
akhirnya meluas ke Negara tetangga. Hal ini wajar secara teori karena konflik internal yang tidak
bisa ditangani secara baik oleh pemerintah akan berdampak pada Negara tetangga akibat
banyaknya pemberontak ataupun para korban dari konflik internal tersebut yang kemudian
mencari tempat aman hingga melewati batas-batas teritori Negara mereka. Dari sinilah
kemudian muncul Venezuela sebagai Negara tetangga Kolombia yang paling menonjol didalam
konflik internal Kolombia tersebut.
Jadi, keterlibatan Venezuela didalam urusan dalam negeri Kolombia pada awalnya adalah akibat
aktivitas FARC yang melampaui teritori Kolombia. Berdasarkan teori tipologi Konflik, hal ini wajar
mana kala sebuah konflik internal yang asimteris akan mengundang perhatian negara-negara
tetangga karena kemungkinan besar pihak pemberontak ataupun korban dari sebuah perang
sipil biasanya akan mencari tempat aman hingga masuk ke perbatasan negara tetangga. Hingga
pada tataran ini, keterlibatan Venezuela dapat dilihat sebagai
spiil over effect yang terjadi dalam masalah internal Kolombia. Venezuela merasa terganggu
akibat aktivitas FARC di sepanjang perbatasannya yang berpotensi mengganggu keamanan
dalam negerinya. Sebagai responya atas persoalan ini, Venezuela pernah memfasilitasi
perundingan damai antara Pemerintah Kolombia FARC di Caracas pada 3 Juni 1991.
Namun, kondisi ini berubah semenjak rezim Chavez naik menguasai pemerintah dan parlemen
Venezuela. Dengan jargon Sosialisme Abad 21 yang diimplementasikan kedalam kebijakannya
yang dikenal dengan Revolusi Bolivarianisme, Chavez mengubah Venezuela menjadi negara
Sosialis, berikut sistem pemerintahan, Parlemen dan ekonominya. Dalam politik luar negerinya,
Chavez pun memiliki tujuan untuk mengintegrasikan negara-negara Amerika Selatan dan Karibia
dibawah sebuah organisasi regional berbasis Sosialisme. Ia pun turut mendukung berbagai
gerakan sosialisme di seluruh kawasan tersebut.

Di sisi lain, kebijakan utama dalam negeri Alvaro Uribe yang mengutamakan stabilitas keamanan
dalam negeri untuk mendukung pembangunan ekonomi menjadikan FARC sebagai target utama
dalam implementasi kebijakan keamanan dalam negerinya. Hal ini karena FARC sebagai
organisasi kelompok pemberontak terbesar di Kolombia sering menjadi penyebab utama
masalah keamanan di negara itu.
Bentuk Dukungan Venezuela kepada Fuerzas Armadas Revolucionaries de
Colombia (FARC)
Keterlibatan Venezuela pasca naiknya Rezim Chavez di dalam konflik Internal di Kolombia dapat
dilihat sebagai sebuah bentuk Intervensi. Berdasarkan derajat intervensi yang digambarkan oleh
Nye, Intervensi Venezuela dalam masalah internal Kolombia terlihat dalam tiga bentuk, yakni
mendukung oposisi (support
Opposition), bantuan militer (Military Advisors) dan bantuan Finansial (Economic
Aid). Ketiga bentuk intervensi Venezuela terhadap masalah internal Kolombia ini diberikan
kepada FARC dalam mempertahankan eksistensinya di sepanjang perbatasan Kolombia
Venezuela.
Mendukung Oposisi (Support Opposition) diperlihatkan oleh Venezuela ketika Chavez
melakukan diplomasinya kepada komunitas Internasional untuk mengajak mereka tidak lagi
melihat FARC sebagai Kelompok Pemberontak (Insurgent Group) bahkan sebagai Teroris seperti
yang dilabeli oleh AS dan sekutunya, tetapi sebagai Pihak-pihak yang sedang Berperang
(Belligerent Group).
Sementara itu, Bantuan Militer (Military Advisor) oleh Venezuela kepada FARC terkuak ketika
diketahui bahwa FARC memiliki Peluncur Roket dan Roket anti tank buatan Swedia,Saab yang
sejatinya oleh Pemerintah Swedia persenjataan itu dijual hanya untuk Venezuela. Dalam hal
Bantuan Ekonomi (Economic Aid), Venezuela dibawah Chavez memberikan donasi sekitar 300
juta dollar AS untuk operasi dan logistik FARC.

Anda mungkin juga menyukai